s_sej_033707_bab_ii.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    1/45

    9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Dalam bab ini menjelaskan beberapa konsep hasil penelaahan dan analisis

    pendapat para ahli dalam beberapa literatur yang berhubungan dengan tema besar

    yang dikaji dalam penulisan skripsi. Selanjutnya pembahasan dikelompokan

    kedalam beberapa tema yaitu : Gerakan Pembaharuan Islam, Konsep Jihad, Tokoh

    Pembaharuan dan Jihad dalam Islam.

    A. Gerakan Pembaharuan Islam.

    Gerakan pembaharuan Islam pertama kali berkembang di era modern,

    yaitu pada abad ke sembilan belas ketika terjadi persentuhan budaya antara Islam

    dengan kebudayaan Barat (Nasution, 1992:11). Pengaruh kebudayaan Barat

    begitu besar pada umat Islam, ide-ide yang berasal dari Barat seperti demokrasi,

    rasionalisme, nasionalisme tumbuh dan berkembang berkembang. Permasalahan

    tersebut, telah mendorong pemimpin-pemimpin Islam berfikir dan melakukan

    usaha untuk mempengaruhi umat Islam agar berfikir dan bertindak Islami dalam

    kehidupannya serta tidak tunduk pada arus pemikiran dan praktik Barat (Esposito,

    2001:133).

    Selain untuk membendung arus pemikiran dan budaya Barat yang telah

    tumbuh dan berkembang pada diri umat Islam, adanya stagnasi dan kemunduran

    dalam bidang pemikiran dan kebudayaan Islam menjadikan faktor munculnya

    gerakan pembaharuan Islam. Sebagaimana yang disampaikan Esposito :

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    2/45

    10

    Seruan untuk kebangkitan dan pembaruan muncul dari dikenalinya gejalaketerbelakangan dan stagnasi pemikir agama pada masyarakat muslim

    pada abad ke sembilan belas. Para pemikir Islam menyadari bahwa harus

    diusahakan untuk meraih derajat kemajuan yang setara dengan langkah

    cepat perkembangan Eropa. Islam tidak dilihat sebagai penyebab masalah,

    tetapi sebagai pemecah masalah asalkan kaum muslim mendekati agama

    dengan cara yang baru (2001:133).

    Dalam diri umat Islampun mulai tumbuh pemikiran dan gerakan untuk

    menyesuaikan pemikiran-pemikiran Islam dengan perkembangan baru yang

    timbul karena pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi. Langkah yang ditempuh

    tersebut diharapkan oleh para pemimpin umat Islam agar bisa melepaskan Islam

    dari stagnasi dan kemunduran. Adanya perhatian yang terhadap hal yang bersifat

    modern dalam Islam, menjadikan kata modernisme mulai diterjemahkan kedalam

    bahasa-bahasa yang sering dipakai dalam Islam seperti at-tajdid dalam bahasa

    Arab dan pembaharuan dalam bahasa Indonesia (Nasution, 1992:12).

    Berkembangnya pemikiran pembaharuan dalam Islam, tidak dianggap

    sebagai suatu permasalahan selama itu tidak menyangkut pada masalah-masalah

    pokok agama Islam yang bersifat tetap. Seperti halnya aqidah Islam yang bersifat

    tetap. Pembaharuan dalam Islam hanya berlaku pada masalah-masalah cabang

    agama (furu) yang senantiasa berkembang menjangkau persoalan-persoalan baru

    dan menyesuaikan diri dengan realitas. Bahkan pembaharuan dianggap penting

    untuk menemukan esensi dari prinsip-prinsip, rukun-rukun, kaidah-kaidah agama.

    Urgensi pembaharuan Islam yang lainnya adalah untuk menjaga kelangsungan

    agama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Imarah:

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    3/45

    11

    Jadi, pembaharuan tidak bertentangan dengan kesempurnaan dan

    kebakuan agama, melainkan menjadi jalan perluasan pengaruh-pengaruh

    agama yag sempurna ini ke wilayah-wilayah jangkauan baru danpersoalan-persoalannya yang baru timbul, dan jaminan bagi kelangsungan

    dasar-dasar itu dalam menyertai perkembangan jaman dan tempat, dengan

    kata lain, untuk menjamin kelangsungan risalah penutup agar abadi

    sebagaimana yang dikehendaki Allah (1998: 240).

    Adapun orang-orang yang terlibat aktif dalam gerakan pembaharuan

    Islam di sebut sebagai mujaddid. Seorang mujaddid bukanlah seorang muslim

    pada umumnya, tetapi harus memiliki karkteristik yang hampir mendekati

    seorang rasul walaupun ia manusia biasa. Kriteria seorang mujaddid dijelaskan

    secara panjang lebar oleh Al-Maududi sebagai berikut :

    Ia memenuhi kriteria berfikir kritis, berpandangan jauh ke muka, adil tak

    memihak, berkemampuan khusus untuk melihat jalan lurus yang nyata

    bagi semua golongan ekstrim serta memelihara keseimbangannya, mampu

    berfikir bebas dari segala pertentangan antara golongan muda dan tua serta

    prasangka-prasangka sosial lainnya, berani menentang kedhaliman pada

    masanya, berbakat sebagai pemimpin dan pembimbing, dan

    berkemampuan lebih untuk melakukan ijtihad serta menghasilkan karya-

    karya rekonstruksi. Selain harus memenuhi segala persyaratan tadi, ia pun

    harus mengenal Islam secara mendalam dan meyeluruh. Seorang muslim

    sempurna baik dalam pemikiran maupun dalam sikap, harus bermata jeli

    dalam menggariskan batas antara yang Islam dan non-islam secara

    terperinci. Mampu memisahkan kebenaran dari lumpur kepalsuan yang

    sudah lama melembaga. Tanpa memiliki kriteria-kriteria tersebut, jangan

    harap kita dapat menjadi seorang mujaddid(1984: 42-43).

    Di era modern dikenal beberapa ulama yang bisa dikategorikan sebagai

    mujaddid jika dilihat dari kiprah ataupun pemikirannya terhadap pembaharuan

    Islam berpengaruh besar. Dari beberapa orang ulama itu, tiga orang diantaranya

    dianggap paling populer dan menonjol terhadap gerakan pembaharuan Islam,

    mereka itu adalah Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

    Selain pernah beraktivitas di tempat yang sama yaitu Mesir, ketiga tokoh ini juga

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    4/45

    12

    memiliki hubugan khusus yaitu hubungan guru dengan murid. Berikut ini

    gambaran singkat latar belakang kehidupan, pemikiran dan pengaruh pemikiran

    mereka terhadap gerakan pembaharuan Islam.

    1. Jamaluddin Al-Afghani

    Nama lengkapnya adalah Jamaluddin Al-Afghani As-Sayid Muhammad

    bin Shafdar Al-Husain. Dilahirkan di desa Asadabad, Distrik Konar, Afghanistan

    pada tahun 1838. Silsilah keluarganya tersambung dengan cucu Rasulullah SAW,

    Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya adalah Sayyid Safdar Al-Husainiyyah

    yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali Al-Turmudzi (seorang perawi hadist

    yang masyhur) juga dengan nasab Ali bin Abi Thalib. Keluarganya merupakan

    penganut mazhab fiqih Hanafi. Pada masa kecil dan remajanya ia habiskan di

    Afghanistan. Namun, ketika beranjak dewasa ia berpindah dari satu negara ke

    negara lainnya, seperti India, Mesir dan Prancis (Republika: 12 Juli 2009).

    Di masa kecilnya Jamaluddin Al-Afghani pindah ke kota Kabul beserta

    keluarganya. Sejak masa kecilnya telah nampak pada diri Jamaluddin Al-Afghani

    kecerdasan dan kemauan yang besar untuk menggali pengetahuan. Dalam usia

    delapan tahun ia mulai belajar disiplin ilmu dan menguasai beberapa ilmu,

    diantaranya Al-Quran, bahasa Arab, hadits, fiqih, ilmu kalam, politik, sejarah,

    musik dan termasuk ilmu-ilmu eksak (http://muhammadzulifan.multiply.com/

    item/35 [29September 2009]).

    Ketika Sher Ali Khan menggantikan Dost Muhammad Khan pada tahun

    1864, Jamaluddin Al-Afghani diangkat menjadi penasihatnya. Dan beberapa

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    5/45

    13

    tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad Azam Khan.

    Karena campur tangan Inggris dalam soal politik di Afghanistan dan

    kekalahannya dalam pergolakan melawan golongan yang didukung Inggris, ia

    meninggalkan Afghanistan tahun 1869 menuju India. Ternyata Inggris yang

    berada di India selalu mengawasi kegiatannya, ia pun meninggalkan India dan

    pergi ke Mesir pada tahun 1871, dan menetap di Kairo.

    Pada mulanya Jamaluddin Al-Afghani menjauhi persoalan-persoalan

    politik Mesir dan memusatkan perhatiannya pada bidang ilmu pengetahuan dan

    sastra Arab. Rumahnya dijadikan tempat pertemuan murid-murid dan para

    pengikutnya. Di sinilah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Salah

    seorang murid Jamaluddin Al-Afghani adalah Muhammad Abduh yang

    melanjutkan ide-ide pembaharuannya, setelah ia meninggal. Pada tahun 1879,

    Jamalauddin Al-Afhgani membentuk partai politik dengan nama Hizb Al-Watani

    (Partai Kebangsaan). Dengan partai ini ia berusaha menanamkan kesadaran

    nasionalisme dalam diri orang-orang Mesir. Partai yang ia dirikan ini bertujuan

    untuk memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukan

    unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi militer. Kegiatan yang dilakukan

    Jamaluddin Al-Afgani selama berada di Mesir memberi pengaruh yang besar bagi

    umat Islam di sana. Ia yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga

    negara itu dapat mencapai kemajuan dan menjadi negara modern. Akan tetapi,

    karena keterlibatannya dalam bidang politik itu, pada tahun 1882 ia diusir dari

    Mesir oleh penguasa saat itu. Dia kemudian pergi ke Paris (http://www.republika.

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    6/45

    14

    co.id/berita/67549/Jamaluddin_al_Afgani_Penentang_Imperialisme_Barat [29

    September 2009]).

    Pada tahun 1882, Jamaluddin Al-Afghani mendirikan perkumpulan yang

    diberi nama Al-Urwah Al-Wusqa (ikatan yang kuat) di Paris, yang anggotanya

    terdiri atas orang-orang Islam yang berasal dari India, Mesir, Suriah, Afrika Utara,

    dan lain-lain. Tujuan didirikannya perkumpulan tersebut, antara lain, memperkuat

    rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada

    kemajuan. Organisasi ini kemudian menerbitkan jurnal yang mengecam keras

    penjajahan yang dilakukan negara-negara Barat. Penguasa Barat melarang jurnal

    ini diedarkan di negara-negara muslim karena dikhawatirkan dapat menimbulkan

    semangat persatuan Islam. Karena dilarang diedarkan, jurnal ini hanya beredar

    selama delapan bulan (http://arsip.kotasantri.com/galeria.php?aksi=cetak&artid

    =181[29 September 2009]).

    Sepanjang pengembaraannya, seperti ke India dan Mesir yang tengah

    dijajah oleh Inggris, Jamaluddin Al-Afghani terus membangkitkan semangat

    umat Islam untuk menentang imperialisme Barat, juga mengajak kembali pada

    Islam yang murni. Dalam bidang keilmuan, ia mendorong umat Islam untuk

    mempelajari sains dan teknologi Barat tanpa harus terpengaruh budaya negatif

    Barat. Perjuangannya bertujuan membangun sistem politik berdasarkan

    persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) yang telah hancur akibat penjajahan

    yang dilakukan Barat. Selain itu ia juga adalah perintis pembaharuan Islam yang

    memberikan inspirasi gerakan Pan-Islamisme (persatuan umat Islam sedunia)

    (http://www. (alhikmahonline.com/content/view/176/13/[29 September 2009]).

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    7/45

    15

    Selain mengumandangkan ide Pan-Islamisme, karena keresahannya

    menyaksikan umat Islam sedang terbelakang secara ilmu pengetahuan, tekhnologi

    serta kebudayaan, ia juga menggelorakan semangat pembaruan dengan

    menyerukan membuka pintu ijtihaddan melakukan gerakan kembali pada ajaran

    Islam yang murni, yakni bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah. Bagi

    Jamaluddin Al-Afghani, umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran

    agamanya dan karena banyak mengikuti ajaran dari luar Islam. Agama Islam

    sekadar menjadi ucapan di lisan dan tulisan di atas kertas, tidak diwujudkan dalam

    kenyataan. Kemunduran umat Islam juga karena perpecahan di dalam, yang

    memperlemah persaudaraan (http://www.muhammadiyah.or.id/index2.php?option

    =com_content&do_pdf=1&id=1047[29 September 2009]).

    Analisisnya tentang kemunduran umat Islam pada saat itu, juga dituangkan

    dalam tulisannya yang di muat dalam jurnalAl-Urwah Al-Wusqa:

    Kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam, sebagaimana dianggap,

    tidak sesuai dengan perobahan zaman dan kondisi baru. Umat Islam

    mundur, karena telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya

    dan mengikuti ajaran-ajaran dari luar lagi asing bagi Islam. Ajaran Islam

    yang sebenarnya hanya tinggal dalam ucapan dan diatas kertas.

    Sebahagian dari ajaran-ajaran asing itu dibawa orang-orang yang pura-

    pura bersikap suci, sebahagian lain oleh orang-orang yang mempunyai

    keyakinan-keyakinan yang menyesatkan dan sebahagian lain lagi oleh

    hadis-hadis buatan. Faham kada dan kadar umpamanya, demikian Al-Afghani, telah dirusak dan dirubah oleh fatalisme, yang membawa umat

    Islam pada keadaan statis. Kada dan kadarsebenarnya mengandung arti

    bahwa segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sabab-musabab. Kemauan

    manusia merupakan salah satu dari mata rantai sabab musabab itu. Di

    masa yang silam keyakinan pada kada dan kadar serupa ini memupuk

    keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam untuk menghadapi

    segala macam bahaya dan kesukaran. Karena percaya pada kada dan

    kadar inilah maka umat Islam di masa yang silam bersifat dinamis dan

    dapat menimbulkan peradaban yang tinggi (Nasution, 1992: 55).

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    8/45

    16

    Solusi untuk memperbaiki keadaan umat Islam, menurut Jamaluddin Al-

    Afghani adalah menghilangkan pengertian-pengertian yang salah yang dianut

    umat Islam dan kembali pada ajaran-ajaran dasar Islam yang sebenarnya yang

    bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur

    dihidupkan kembali demikian pula kesediaan untuk berkorban demi kepentingan

    umat. Dengan berpedoman pada ajaran-ajaran dasar Islam yang bersumber dari

    Al-Quran dan Sunnah, umat Islam akan dapat bergerak maju mencapai kemajuan

    (Nasution, 1992: 56).

    Selain dianggap sebagai pelopor pembaharuan Islam, Jamaluddin Al-

    Afghani juga dianggap sebagai salah satu pemimpin politik umat Islam, ini

    terlihat dari cita-cita perjuangannnya yaitu Pan-Islamisme. Kondisi ini memang

    tidak terlepas dari keadaan umat Islam pada saat itu yang mayoritas berada

    dibawah jajahan bangsa Barat. Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh Dr.

    Muhammad Al-Bahiy:

    Jamaluddin menarik contoh perbandingan dari sejarah bangsa-bangsa,

    begitupun dari sejarah umat Islam sendiri, sebagai ia menarik fakta-fakta

    yang dapat disaksikan dan menakutkan Muslimin berupa siasat

    kolonialisme di negera-negera Islam khususnya di India dan Mesir

    yakni contoh-contoh yang dapat diambilnya dari bukti-bukti kehidupan

    Islam dan manifestasinya saat itu, dengan menyorot permainan dan intrik

    (akal bulus) kekuasaan asing, tujuannya yang mengarah meluaskanpengaruh mereka demi kepentingan khusus golongan Eropah di serata

    Dunia Islam. Pergeseran langsung inilah yang menyebabkan gerakan

    Jamaluddin Al-Afghani tampak sebagai suatu gerakan politik, dan itulah

    pula yang menyebabkan kegiatannya terpusat kepada kemerdekaan politik

    di Timur Islam bagi seluruh penduduk, baik Muslimin maupun Masehi

    (An-Nadwi, 1983:106-107).

    Jamaluddin Al-Afghani meninggal pada tanggal 8 Maret 1897 di Istanbul,

    Turki. Sampai akhir hayatnya ia terus memperjuangan cita-citanya tentang Pan

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    9/45

    17

    Islamisme. Meskipun cita-citanya untuk mempersatukan umat Islam tidak pernah

    terwujud tapi sumbangan pemikiran dan perjuangannnya terhadap gerakan

    pembaharuan Islam begitu besar. Setelah kematiannya, ide dan perjuangannnya

    tentang pembaharuan Islam dilanjutkan oleh muridnya yaitu Muhammad Abduh.

    2.

    Muhammad Abduh

    Nama lengkap Muhamad Abduh adalah Muhammad Abduh bin Hassan Khair

    Allah. Terlahir di desa Mahallat Nashr, Provinsi Gharbiyah, Mesir, pada tahun

    1849. Ayahnya bernama Abduh Khair Allah, warga Mesir keturunan Turki.

    Sedangkan ibunya adalah seorang perempuan keturunan Arab yang nasabnya

    tersambung hingga Umar Ibnu Khattab. Pendidikan agama pertama kali diperoleh

    dari ayahnya, Abduh Khair Allah. Ayahnya mengajarkan baca tulis dan

    menghapal Al-Quran, karena kecerdasannya dalam waktu kurang dari tiga tahun

    ia telah berhasil menghafal Al-Quran. Pada usia 14 tahun, Muhammad Abduh di

    kirim ke kota Tanta, untuk belajar pada sebuah lembaga pendidikan di Masjid Al-

    Ahmad, milik universitas Al-Azhar, Mesir. Di sini ia belajar bahasa Arab, Al-

    Quran, dan fikih. Setelah dua tahun belajar di tempat tersebut Muhammad Abduh

    mengundurkan diri, dengan alasan tidak cocok dengan sistem belajar yang hanya

    menekankan pada hapalan dan tidak memeberikan kebebasan kepada para siswa

    untuk mengembangkan pemikiran (http://www.psq.or.id/tokoh_detail.asp?mnid=

    37&id=9. [29 September 2009]).

    Pada tahun 1866, diusia 17 tahun Muhammad Abduh menikah. Baru 40

    hari menjalankan pernikahan, ia dipaksa oleh orang tuanya untuk melanjutkan

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    10/45

    18

    belajar kembali di kota Tantha. Sebelum ke kota Tantha, Muhammad Abduh

    bertemu dengan pamannya yang seorang pengikut tarekat As-Syadziliyah

    bernama Syekh Darwisy Khadr. Dari pamannya inilah Muhammad Abduh

    menimba ilmu tentang tasawuf untuk beberapa bulan. Selanjutnya ia melanjutkan

    belajar di lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad kota Tanta, selama tiga bulan.

    Kemudian Muhammad Abduh melanjutkan belajar di Universitas Al-Azhar,

    Kairo, meskipun kembali kecewa karena metode belajarnya hampir sama dengan

    lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad yaitu menekankan pada hapalan. Untuk

    menambah wawasannya mengenai ilmu-ilmu non agama yang tidak didapatkan

    dari universitas Al-Azhar, ia belajar pada Syeikh Hasan At-Tawil, darinya ia

    belajar ilmu filsafat, matematika dan logika (http://muhammadzulifan.multiply.

    com/journal/item/36[29 September 2009]).

    Ketika Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir, pada tahun 1871,

    kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan menghadiri pertemuan-

    pertemuan ilmiah yang diadakan olehnya. Muhammad Abduh sangat terpengaruh

    oleh pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, gurunya. Bagi Muhammad Abduh, sosok

    Jamaluddin Al-Afghani adalah orang yang telah membukakan dunia Islam di

    hadapannya, beserta permasalahan-permasalahan yang dihadapinya di zaman

    modern. Hubungan ini mengalihkan kecenderungan Muhammad Abduh dari

    tasawuf dalam arti yang sempit, sebagai bentuk tata cara berpakaian dan zikir,

    kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk melakukan perbaikan

    keadaan masyarakat, membimbing mereka untuk maju, dan membela ajaran

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    11/45

    19

    ajaran Islam (http://armansyah. swaramuslim.net/more.php?id=48_0_1_0_M. [29

    September 2009]).

    Mengenai ide pembaharuan Islam, Muhammad Abduh menganalisis, yang

    menyebabkan kemunduran umat Islam pada saat itu yaitu faham jumud. Dalam

    kata jumud terkandung arti keadaan membeku, statis, tidak ada perubahan.

    Karena dipengaruhi faham inilah umat Islam tidak menghendaki perubahan. Umat

    Islam hanya berpegang teguh pada trdisi. Selanjutnya ia menerangkan :

    Sikap ini dibawa kedalam tubuh Islam oleh orang-orang bukan Arab yang

    kemudian dapat merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam.

    Dengan masuknya mereka kedalam Islam adat-istiadat dan faham-faham

    animistis mereka turut pula mempengaruhi umat Islam yang mereka

    perintah. Di samping itu mereka bukan berasal dari bangsa yang

    mementingkan pemakaian akal seperti yang dianjurkan dalam Islam.

    Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal pada ilmu

    pengetahuan. Ini merupakan bidah menurut Muhammad Abduh,

    masuknya berbagai macam bidah kedalam Islamlah yang membuat umat

    Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.Bidah-bidah itulah

    yang mewujudkan masyarakat Islam yang jauh menyeleweng dari

    masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk menolong umat Islam, faha-

    faham asing lagi salah itu harus dikeluarkan dari tubuh Islam. Umat harus

    kembali ke ajaran-ajaran Islam yang semula, ajaran-ajaran Islam sebagai

    terdapat di zaman salaf, yaitu zaman sahabat dan ulama-ulama besar

    (Nasution, 1992: 62-63).

    Sebagaimana gurunya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduhpun

    sangat menentang ajaran taqlidyang pada saat itu banyak dijalankan oleh umat

    Islam. Sebaliknya ia menyarankan umat Islam memakai akal dan pikiran dalam

    memahami ajaran Islam agar keluar dari keterpurukan, sebagaimana yang

    dijelaskannya dalam bukuRissalah At-Tauhid:

    Islam mengutuk taqlid secara membabi buta (mengikuti pendapat secara

    tidak kritis) dalam masalah keyakinan (aqidah) dan pengamalan

    kewajiban-kewajiban agama secara mekanik. Islam membangunkan

    akal dari tidurnya dan menyaringkan suaranya untuk menentang

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    12/45

    20

    prasangka-prasangka orang yang bodoh, sembari menegaskan bahwa

    manusia tidak dicipta untuk dibelenggu tetapi secara fitri ia harus

    membimbing dirinya sendiri dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan,yaitu ilmu tentang alam semesta dan pengetahuan tentang hal-hal yang

    sudah berlaluIslam menjauhkan kita dari keterikatan secara eksklusif

    kepada segala sesuatu yang sampai kita dari nenek moyang kita Ia

    menunjukan kepada kita bahwa kenyataan yang, dari segi waktunya, lebih

    dahulu sampai kepada kita tidak merupakan bukti pengetahuan atau

    ketinggian akal pikiran, bahwa para nenek moyang dan keturunannya

    memiliki kemampuan intelektual dan kemampuan-kemampuan alami yang

    sama Jadi ia melepaskan diri dari rantai yang mengikatnya, dan

    mengembalikan kewenangan kepadanya untuk mengambil keputusan

    sendiri sesuai dengan penilaian dan kebajikannya sendiri Namun

    demikian, ia wajib berkhidmat dihadapan Allah sendiri dan berhenti padabatas-batas yang ditetapkan oleh agama; tetapi dalam batas-batas ini tidak

    ada penghalang bagi kegiatannya dan juga tidak ada pembatasan terhadap

    berbagai macam spekulasi yang dapat dikemukakan atas

    tanggungjawabnya (Gibb, 1993: 75-76).

    Dalam bidang teologis, Muhammad Abduh menekankan umat Islam

    untuk memakai akal dan pikirannya dalam mencapai hakikat iman. Sebagaimana

    yang ditulis Muhammad Imarah dalam bukunyaAl-Amal Al-Kamilah Li Al-Imam

    Muhammad Abduh:

    ide-ide pembaharuan teologis yang disebarkan oleh Muhammad Abduh,

    didasari oleh tiga hal, yaitu: kebebasan manusia dalam memilih perbuatan,

    kepercayaan yang kuat terhadap sunahAllah, dan fungsi akal yang sangat

    dominan dalam menggunakan kebebasan. Pandangannya tentang

    perbuatan manusia bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah

    mahluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Namun demikian,

    kebebasan tersebut bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Setidaknya adadua ketentuan yang menurutnya mendasari perbuatan manusia, yakni :

    pertama, manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya :

    kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang

    terjadiMuhammad Abduh memandang akal berperan penting dalam

    mencapai pengetahuan yang hakiki tentang iman. Akal dalam sistem

    teologiMuhammad Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi.

    Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya,

    mengetahui adanya hidup di akhirat, mengetahui kewajiban terhadap

    Tuhan, mengetahui kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban

    membuat hukum-hukum. Namun demikian, menurutnya, akal masih

    membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka. Sebab wahyu

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    13/45

    21

    sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk

    mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan

    akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalamlingkungan sosialnya (http://www.ilma95.net/muhammad_abduh.htm [29

    September 2009]).

    Selain pembaharuan dalam bidang teologis, menurut Muhammad Abduh,

    pembaharuanpun sangat penting dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan

    tinggi Islam dan perumusan ajaran-ajaran Islam dalam pengertian-pengertian,

    kalau tidak menurut pemikiran modern, setidaknya yang lebih diterima oleh

    orang-orang modern daripada perumusan abad pertengahan yang sudah

    ketinggalan zaman tetapi masih diterpakan pada saat itu oleh umat Islam. Menurut

    Muhammad Abduh dengan meningkatkan mutu pendidikan Islam dan

    mengemukakan kembali ajaran-ajaran dasar Islam dengan jelas dan tegas, unsur-

    unsur yang merusak dalam ajaran Islam, baik yang bersifat materialistik maupun

    animistik, dapat dikeluarkan dan dilenyapkan (Gibb, 1993: 69).

    Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, menurut Muhammad Abduh,

    umat Islam dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan Barat, jika mereka mau

    membersihkan aqidah Islam dari hal-hal yang mengotorinya selama berabad-

    abad. Disamping itu ia berpendapat bahwa jalan yang paling benar untuk

    membebaskan umat Islam dari penjajahan dan kediktatoran adalah melalui

    pendidikan dan pengajaran, bukan kudeta atau revolusi sebagaimana yang

    dianjurkan gurunya Jamaluddin Al-Afghani (Amin, 2003: 303; Gibb, 1993: 69).

    Inilah perbedaan corak pemikiran antara Jamaluddin Al-Afghani dengan

    Muhammad Abduh meskipun hubungan mereka secara ideologi adalah guru

    dengan murid. Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani lebih condong pada revolusi

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    14/45

    22

    politik (Pan-Islamisme) sedangkan Muhammad Abduh menempuh jalan evolusi

    budaya (reformasipendidikan dan pengajaran).

    Muhammad Abduh meninggal dunia pada tahun 1905 di Mesir. Ketika itu

    ia masih menjabat sebagaiMuftinegara Mesir yang diembannya dari tahun 1899.

    Jabatan lain yang pernah diembannya adalah menjadi anggota Majelis Ala pada

    tahun 1894 di Universitas Al-Azhar, pada saat itulah ia banyak melakukan

    perubahan-perubahan dalam sistem pengajaran universitas Al-Azhar. Kontribusi

    penting Muhammad Abduh dalam pembaharuan Islam salah satunya pada tahun

    1884 bersama gurunya di Paris menerbitkan majalah Al-Urwah Al-Wusqa

    (Nasution, 1992: 62). Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh terhadap umat

    Islam begitu besar. Ide-ide pembaharuannnya setelah dia meninggal di lanjutkan

    oleh murid-muridnya, salah satunya adalah Rasyid Ridha.

    3. Rasyid Ridha.

    Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin

    Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Dilahirkan di sebuah desa

    bernama Qalamun, yang tidak jauh dari kota Tripoli, Lebanon, pada tahun 1865.

    Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan

    taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih

    memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi

    Muhammad SAW.

    Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di

    desanya, Qalamun, untuk belajar membaca Alquran, belajar menulis, dan

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    15/45

    23

    berhitung. Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, ketika usianya sekitar 17

    tahun, Rasyid Ridha melanjutkan belajarnya di Madrasah Al-Wathaniyyah Al-

    Islamiyyah (sekolah nasional Islam) yaitu sekolah milik pemerintah di kota

    Tripoli. Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan

    oleh SyaikhAl-Jisr, seorang ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya

    telah dipengaruhi oleh ide-ide modernisme. Di sini, Rasyid Ridha belajar

    pengetahuan agama dan bahasa Arab secara lebih mendalam. Selain itu, ia juga

    belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan modern lain, seperti bahasa

    Prancis dan Turki. Syaikh Al-Jisrlah yang telah banyak berjasa dalam

    menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaharuan dalam diri Rasyid Ridha di

    kemudian hari. Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah

    pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk

    mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum

    dengan metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang

    didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh

    penjuru dunia, padahal tidak diajarkan pelajaran agama di

    dalamnya(http://www.republika.co.id/berita/71358/Rasyid_Ridha_Tokoh_Reform

    is_Dunia_Islam [29 September 2009]).

    Sebelum terlibat aktif dalam gerakan pembaharuan Islam, Rasyid Ridha

    pada awalnya adalah pengikut dan pengamal ajaran sufi tarekatSyadziliyyahdan

    tarekat Naqsyabandiyya. Karena pengaruh tulisan-tulisan dalam majalah Al-

    Urwah Al-Wutsqa, terutama tulisan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad

    Abduh. yang menganggap ajaran tasawuf itu bidah dan banyak menyimpang

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    16/45

    24

    dari ajaran Islam, ia pun keluar dari tarekat Syadziliyyah dan tarekat

    Naqsyabandiyya (http://id.wikipedia.org/wiki/Rasyid_Ridha [29 September 2009

    ]).

    Melalui majalah Al-Urwah Al-Wutsqa Rasyid Ridha mengenal gagasan

    dua tokoh pembaharu Islam yaitu Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad

    Abduh. Ide-ide cemerlang yang disampaikan kedua tokoh itu begitu berkesan

    dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru

    pada kedua tokoh itu. Keinginan untuk bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani

    tidak tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Namun, ketika

    Muhammad Abduh diasingkan ke Beirut pada tahun 1882, Rasyid Ridha

    berkesempatan berdialog dan bertukar bertukar pikiran dengan Muhammad

    Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan

    semangat dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam yang saat itu berada dalam

    keterbelakangan dan kebodohan.

    Rasyid Ridha awalnya mencoba menerapkan ide-ide pembaharuan

    Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Tripoli, Libanon, tetapi

    mendapatkan penentangan keras dari pemerintah. Karena itulah, kemudian Rasyid

    Ridha memutuskan untuk pindah ke Mesir pada tahun 1898, selain agar lebih

    leluasa meneruskan perjuangannya dalam menerapkan ide-ide pembaharuan Islam

    juga agar lebih dekat dengan gurunya Muhammad Abduh.

    Beberapa bulan setelah berada di Mesir, pada tanggal 18 Maret 1898

    bersama gurunya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menerbitkan sebuah majalah

    bernama Al-Manar. Tujuan diterbitkannaya Al-Manar adalah untuk meneruskan

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    17/45

    25

    misi dari majalah Al-Urwah Al-Wutsqayaitu, menyebarkan ide-ide pembaharuan

    dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi, memberantas tahayul dan bidah dalam

    ajaran Islam, memberantas faham fatalisme, mengkritis penyimpangan ajaran

    tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan serta membangkitkan semangat

    persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Majalah

    ini banyak menyiarkan pemikiran-pemikiran Muhamad Abduh, baik berupa

    tulisan-tulisannya sendiri, maupun ide-ide yang kemudian di interpretasikan

    kedalam tulisan oleh Rasyid Ridha (Nasution, 1992: 70).

    Rasyid Ridha merasa perlu adanya tafsir modern dari Al-Quran,

    kemudian ia medesak Muhamad Abduh untuk mengadakan kuliah tafsir yang

    sesuai dengan ide-ide pembaharuan gurunya itu. Kuliah tafsirpun diadakan dan

    dimulai sejak tahun 1899 di universitasAl-Azhar, Mesir. Dalam kuliah tafsir ini,

    Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang dikemukakan

    Muhammad Abduh. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan

    diserahkan kepada Muhammad Abduh untuk diperiksa kembali. Setelah diperiksa

    dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-

    Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar

    inilah yang kemudian dibukukan menjadi TafsirAl-Manar. Pengajaran tafsir yang

    dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surat An-Nisaayat 125, dan

    merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan

    Muhammad Abduh meninggal pada tahun 1905, sebelum menyelesaikan

    penafsiran seluruh isi Al-Quran. Selanjutnya penulisan tafsir Al-Manar

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    18/45

    26

    dilanjutkan oleh Rasyid Ridha sampai selesai (http://wapedia.mobi/ms/

    (Rasyid_Ridha?p=1[29 September2009]).

    Seperti gurunya Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, Rasyid

    ridha adalah seorang yang gigih menyebarkan pemikirannya tentang pembaharuan

    Islam. Intisari pemikirannya seperti dibidang agama, Rasyid Ridha mengatakan

    bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran

    Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan para

    sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur

    dengan bid'ah dan khurafat.Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka

    harus kembali berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah.

    Ia membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan

    Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia).

    Menurutnya, masalah yang pertama, Al-Quran dan hadits harus dilaksanakan

    serta tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus berubah dan berkembang.

    Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti

    keadilan, persamaan, dan hal lain, namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan

    kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat

    situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-

    prinsip dasar ajaran Islam.

    Dibidang pendidikan, Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam akan

    maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, dia banyak menghimbau dan

    mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan

    lembaga-lembaga pendidikan. Dalam bidang ini, Ridha pun berupaya memajukan

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    19/45

    27

    ide pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum. Dan

    sebagai bentuk kepeduliannya, ia mendirikan sekolah di Kairo pada tahun 1912

    yang diberi nama MadrasahAd-Da'wah wa Al-Irsyad (Nasution, 1992: 71).

    Dalam bidang politik, Rasyid Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah

    Islamiyah(persaudaraan Islam). Sebab, ia banyak melihat penyebab kemunduran

    Islam, antara lain, karena perpecahan yang terjadi di kalangan mereka sendiri.

    Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan,

    satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum

    dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkannya

    bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah

    (kekhalifahan) seperti pada masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin. Dia menganjurkan

    pembentukan organisasi Al-Jami'ah Al-Islamiyah (persatuan umat Islam) di

    bawah naungan khalifah(pemimpin kekhalifahan).

    Khalifahideal, menurutnya, adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa

    persyaratan, antara lain, dari segi keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan

    kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Lebih lanjut, Rasyid Ridha

    menyebutkan dalam bukunya Al-khilafah, bahwa fungsi khalifah adalah

    menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan, memelihara agama, dan

    bermusyawarah mengenai masalah yang tidak dijelaskan nash (Al-Quran dan

    Sunnah). Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di

    bawah pengawasan sebuah dewan pengawas yang anggotanya terdiri atas para

    ulama dan pemuka masyarakat. Tugas dewan pengawas selain mengawasi

    pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    20/45

    28

    lembaga ini berhak menindak khalifahyang berbuat zalim dan sewenang-wenang.

    Khalifahharus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran

    agama. Ia merupakan kepala atau pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak

    memerintah secara langsung setiap negara anggota. Dan menurut Rasyid Ridha,

    seorang khalifah hendaknya juga seorang mujtahid (pemikir Islam) besar yang

    dihormati. Di bawah khalifah seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat Islam

    dapat terwujud (http://www.republika.co.id/berita/71358/Rasyid__Ridha_Tokoh

    _Reformis_Dunia_Islam [29 September 2009]).

    Meskipun secara garis besar pemikiran Rasyid Ridha hampir sama dengan

    pemikiran gurunya Muhammad Abduh yaitu tentang pembaharuan Islam, tetapi

    dalam beberapa hal ada perbedaan khas diantara keduanya. Seperti yang

    dikemukakan Gibb:

    Para pengikut ajarannya, yang dipimpin oleh muridnya dari Syria, Syaikh

    Muhammad Rasyid Ridha, meneruskan proses berfikir itu dengan gerakan

    kas yang halus menuju kepada ekstrimisme. Dengan membawa kemabali

    ajaran tentang taklid itu diluar para pendiri mazhab-mazhab dikalangan

    salaf, atau para ulama besar dimasa lalu dan menggabungkan dengan

    kuasi-rasionalisme dari logika skolastik, tetapi tanpa kestabilan dalam

    liberalisme sebagaimana dimiliki Muhammad Abduh, mereka [para

    pegikut ajaran Abduh itu] dengan sendirinya terbawa kearah eksklusivisme

    dan kekakuan mazhab Hanbali. Dalam penerbitan berkala mereka, Al-

    Manar, yang berarti mercusuar, pengaruh Al-Gozali, tokoh besar yang

    mendambakan pemaduan [antara berbagai pandangan yang salingbertentangan] dengan cepat digantikan oleh pengaruh tokoh

    fundamentalis, Ibnu Taimiyyah. Sebagai seorang paling gigih menentang

    ulama abad pertengahan dan bidah-bidah dikalangan sufi, Ibnu

    Taimiyyah memberikan semacam otoritas dan senjata ampuh yang

    diperlukan oleh [kelompok] Al-Manaruntuk melaksanakan kegiatan

    mereka (1993: 60-61).

    Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha begitu besar, ide-ide pembaharuan

    Islam yang dikemukakannya banyak mengilhami semangat pembaharuan di

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    21/45

    29

    berbagai wilayah dunia Islam. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk

    membaca majalah Al-Manardan mengembangkan ide yang diusungnya. Rasyid

    Ridha meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil setelah mengantar Pangeran

    Sa'ud Al-Faisal dari Saudi Arabia di kota Suez, Mesir pada tanggal 22 Agustus

    1935.

    B. Konsep Jihad

    Muhammad Imarah (Imarah, 1998:206) menjelaskan definisi jihad berasal

    dari kata dasar jahada yang berarti setiap usaha yang dilakukan dengan

    kemampuan berupa perkataan dan perbuatan serta ajakan pada agama yang haq.

    Sedangkan dala tradisi sufisme, jihad dipahami sebagai pengekangan jiwa

    (mujahadah an-nafs). Inilah jihad yang dipandang paling agung (al-jihad al-

    akbar) sedangkan perang adalah jihad kecil (al-jihad al-ashghar).

    Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, kata jihad berasal dari kata al-juhd

    yang berarti upaya dan kesulitan. Dalam bahasa Arab, jaahada, yujaahidu,

    jihaadan, dan mujaahadatan, bermakna melakukan segala usaha dan berupaya

    sekuat tenaga serta menanggung segala kesulitan didalam memerangi musuh dan

    agresinya, yaitu yang dikenal dengan sebutan perang. Yakni, pertempuran

    bersenjata antara dua negara atau lebih (Sabiq, 2004: 1). Ia menambahkan bahwa

    ajaran perang tidak hanya berlaku pada umat Islam, tapi juga pada umat-umat

    terdahulu, bahkan lebih kejam yaitu seperti pengrusakan, penghancuran,

    pembinasaan dan penawanan. Seperti dalam ajaran Yahudi dalam kitab Perjanjian

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    22/45

    30

    Lama : Ulangan 20:10. begitupun dalam agama Kristen dalam kitab Injil Matius

    X ayat 24.

    Abul Ala Al-Maududi berpendapat Islam adalah suatu ideologi dan

    program revolusioner yang berusaha mengubah tatanan sosial dunia sesuai

    dengan cita-citanya. Muslim adalah julukan bagi partai revolusioner

    internasional yang diorganisir oleh Islam untuk merealisasikan program-

    programnya. Jihad adalah puncak perjuangan yang dilakukan partai Islam untuk

    mencapai tujuan-tujuannya (Al-Maududi, 1984:7). Hal menarik dari tulisan ini

    adalah bagaimana ia memandang bahwa jihad adalah sebagai metode untuk

    melakukan revolusi sosial dalam ajaran Islam.

    Hal yang sama dikemukakan oleh Sayyid Quthb yang mendefinisikan

    jihad sebagai perjuangan di jalan Allah yang dilakukan orang beriman untuk

    menghapuskan kebatilan dan menegakan kalimat Allah (Chirzin, 2001: 222).

    Dalam penjelasan tentang jihad, Sayyid Quthb dengan tegas mengarahkan pada

    metode peperangan. Sebagaimana yang di kemukakan ulama abad pertengahan

    Ibnul Qoyyim, Sayyid Quthb berpendapat bahwa peperangan dalam Islam

    mengalami perkembangan menarik: pertama, diharamkan, lalu diijinkan, lalu

    diperintahkan untuk orang-orang yang memulai peperangan, kemudian terakhir,

    diperintahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrik yang ada (Quthb, 2009:

    75). Tujuan perang dalam Islam menurutnya sangat mulia, yaitu dalam kaitannya

    dengan dunia adalah untuk menjaga eksistensi manusia dihadapan manusia

    lainnya dan untuk mencegah kerusakan di bumi.

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    23/45

    31

    Jihad dalam bentuk perang, menurut Sayyid Quthb sangat dibutuhkan

    dalam Islam, selain bertujuan untuk menegakan ajaran Allah dimuka bumi juga

    untuk merebut, mendirikan dan mempertahankan kekuasaan dengan nilai dasar

    Ketuhanan di muka bumi. Sebagaimana yang dikemukan olehnya dalam buku

    Maaalim fith Thariiq (Petunjuk Jalan):

    Dengan begitu, peperangan ini merupakan hal mutlak adanya, bukan satu

    kondisi yang temporal. Sebab, pertentangan anatara yang hak dan yang

    batil akan selamnaya terjadi dimuka bumi ini. Dan, disaat Islam

    menyerukan seruan universalnya untuk mendirikan ketuhanan Allah atasalam semesta, membebaskan manusia dari penghambaan manusia atas

    manusia lainnya, menghancurkan para pencuri kekuasaan Allah,

    disamping misinya mengeluarkan manusia dari kekuasaan palsu mereka,

    para perongrong kekuasaan Allah ini akan menentangnya. Mereka tidak

    akan menyerah begitu saja. Oleh karena itu, Islam dalam hal ini harus

    maju ke depan, menghancurkan mereka agar dapat melindungi manusia di

    muka bumi dari para pencuri kekuasaan ini. Kondisi ini terus

    berlangsung. Tidak akan pernah berhenti seiring dengan gerakan jihad

    pembebasan ini. Hingga pada akhir nanti, agama (ad-diin) ini semuanya

    milik Allah (Quthb, 2009: 76-77).

    Hal yang penting dari penjelasan tersebut, adalah bahwa Sayyid Quthb

    berpendapat bahwa jihad dalam Islam tidaklah bersifat bertahan (defensif), tetapi

    menyerang (ofensif).

    Hukum jihad bagi umat Islam menurut Muhammad Imarah terbagi

    menjadi dua, yaitu fadhu kifayah (kewajiban kolektif) bilamana sebagian muslim

    telah melaksanakannya maka kewajiban jihad gugur bagi kaum muslim yang

    lainnya. Menjadi fardhu ain (kewajiban individu) bilamana musuh telah

    menginjakan kakinya di negeri muslim (Imarah, 1998:207-208). Lebih luas Hasan

    Al-Banna menjelaskan tentang hukum jihad menurut empat mazhab fiqih Islam,

    yaitu :

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    24/45

    32

    Menurut mazhab Hanafi:..kewajiban jihad pada mulanya sebagai fardhu

    kifayah. Maksudnya kita harus mengawalinya dengan dakwah. Apabila

    kaum kafir tidak mengadakan agresi, imam (pemerintah) wajibmengirimkan pasukan ke wilayah darurat militer sebanyak satu hingga dua

    kali setahun. Semua rakyat wajib membantu pemerintah dalam

    melaksanakan jihad ini. Apabila sebagian umat Islam telah

    melaksanakannya maka gugur kewajiban bagi umat Islam yang lainnya.

    Apabila masih dibutuhkan, maka kewajiban jihad berlaku bagi umat yang

    lainnya. Dan apabila dengan penambahan pasukan itu belum cukup maka

    kewajiban jihad hukumnya menjadi fardhu ain (kewajiban individu)

    seperti halnya kewajiban shalat. ..Menurut mazhab Maliki: jihad untuk

    meninggikan kalimatullah, hukumnya fardhu kifayah pada setiap

    tahunnya. Apabila sebagian umat Islam telah melaksanakan kewajiban itu,

    maka gugur kewajiban bagi umat Islam lainnya. Hukum jihad berubahmenjadi fardhu ain apabila imam (pemerintah) memerintahkannya

    sehingga kewajibannya sama dengan shalat, puasa dan lain sebagainya.

    Selain itu bisa juga disebabkan karena adanya serangan musuh terhadap

    salah satu wilayah Islam, atau karena nadzar (janji kepada Allah) dari

    seseorang untuk melakukannya. ..Menurut mazhab Syafii: apabila kaum

    kafir berada di wilayahnya sendiri maka hukum jihad fardhu kifayah.

    Apabila sebagian umat Islam telah melaksanakannya, maka gugurlah dosa

    umat Islam yang lainnya. Hukum jihad menjadi fardhu ain jika kaum

    kafir telah memasuki negara Islam, pada kondisi ini seluruh umat Islam di

    wilayah tersebut wajib mempertahankan diri dengan mengerahkan segala

    potensi yang ada. Menurut mazhab Hambali: hukum jihad adalah

    fardhu kifayah apabila sebagian umat Islam telah melaksanakannya dan

    gugurlah kewajiban umat Islam yang lainnya. Hukumnya menjadi fardhu

    ain,jika dalam keadaan sebagai berikut:pertama,apabila pasukan musuh

    dengan pasukan umat Islam telah berhadapan, maka haram hukumnya

    menghentikan pertempuran. Kedua, apabila kaum kafir menyerang negara

    Islam, maka wajib hukumnya bagi seluruh penduduk negeri untuk

    mempertahankan diri. Ketiga, apabila imam (pemerintah) mengeluarkan

    intruksi mobilisasi umum, maka wajib seluruh umat Islam mentaati

    perintah itu (Al-Maududi, Al-Banna dan Quthb, 1984: 108-113).

    Orang-orang yang ikut berjihad memiliki posisi yang mulia di sisi Allah.

    Menurut Hasan Al-Banna, Alloh telah mewajibkan jihad secara tegas kepada

    setiap muslim. Tidak ada alasan bagi orang Islam untuk meninggalkan kewajiban

    jihad. Ajaran Islam mendorong umatnya untuk berjihad dan akan

    melipatgandakan amalannya bagi yang mati syahid, dan tidak ada amalan dalam

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    25/45

    33

    Islam yang melebihi amalan orang-orang yang melakukan jihad di jalan Allah

    (Al-Banna, 2005:15). Pendapat senada juga dikemukakan Sayyid Quthb:

    Dalam peperangan, Allah swt. Menjanjikan salah satu dua kebaikan:

    kemenangan atau kesyahidan. Dan Allah menjanjikan pahala yang lebih

    utama bagi mereka yang ikut berjuang di medan perang daripada mereka

    yang tinggal di rumah (Chirzin, 2001: 222).

    Mereka yang terbunuh ketika melaksanakan jihad disebut martyrs, atau dalam

    istilah Islam disebut syahid. Balasan bagi mereka yang menjadi martyrs atau

    syahid adalah surga abadi yang dijelaskan secara mendetail dalam teks-teks

    agama masa awal (Lewis, 2004: 49).

    C. Tokoh Pembaharuan dan Jihad dalam Islam.

    1. Hassan Al-Banna.

    Nama lengkapnya adalah Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna. Dilahirkan

    pada tanggal 14 Oktober 1906 di Mahmudiyah, salah satu wilayah di provinsi

    Buhairah di Delta Nil, Mesir. Ayahnya bernama Ahmad Abdurrahman As-saati

    adalah seorang ahli dalam ilmu fiqih dan hadist, hasil karyanya yang terkenal

    adalah sebuah kitab hadist berjudulAl-Fathur Rabbani Fi Tartibi Musnadil Imam

    Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani. Profesi ayahnya adalah sebagai tukang

    perbaikan jam, sehingga julukannya as-saati.

    Hassan Al-Banna memperoleh pendidikan dasar di sekolah Ar-Rasyad Ad-

    Diniyah. Pada usia 12 tahun, Hasan al-Banna telah menghafal Al-Quran.

    Ketika belajar di Al-Idadiyah (setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama) di

    sekolahnya dia sudah mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Jam'iyah

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    26/45

    34

    Al-Akhlaq Al-Adabiyah dan organisasi Man'u Al-Muharramat yang bergerak

    dibidang perbaikan ahlak. Dia juga selalu menulis surat yang dikirimkan kepada

    orang-orang yang berpengaruh. Dalam surat yang tidak menyebutkan namanya

    itu, berisi tentang nasihat-nasihat kepada mereka. Dia selalu mengunjungi

    perpustakaan As-Salafiyah dan tempat-tempat berkumpulnya para ulama Al

    Azhar untuk menimba ilmu.

    Setelah lulus SMA dengan memperoleh predikat ranking 5 tingkat negara

    Mesir, pada tahun 1923 Al-Banna melanjutkan pendidikan ke Fakultas Dar Al

    Ulumdan lulus pada tahun 1927 dengan mendapatkan peringkat pertama. Setelah

    menamatkan pendidikannya, ia kerap berpindah dari satu tempat ke tempat yang

    lain untuk berdakwah hingga kemudian ia memutuskan untuk menetap di

    Ismai'iliyah (Nurdi, 2008: 90).

    Tahun 1928, bersama enam orang temannya, Hasan Al-Banna mendirikan

    organisasi Ikhwanul Muslimin di kota Isma'iliyah, Mesir. Perkembangan

    organisasi ini sangat pesat, dua puluh tahun setelah berdirinya yaitu pada tahun

    1948, organisasi ini telah memiliki 2000 cabang dengan jumlah anggota dua juta

    orang. Kantor administrasinya ada diseluruh provinsi di Mesir (Jabir, 2008: 339).

    Bukan hanya itu. Ikhwanul Muslimin bahkan kemudian berkembang menjadi

    sebuah miniatur negara, karena menjalankan usaha-usaha yang biasanya

    dijalankan oleh negara. Seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, persatuan

    olahraga, forum ilmiah, lembaga penelitian, masjid, perusahaan dan lainnya. Juga

    terlibat aktif dibidang ibadah, pendidikan, bisnis, sosial dan politik. Menurut Anis

    Matta, ada empat kekuatan yang diintegrasikan oleh Hasan Al-Banna dalam

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    27/45

    35

    organisasiIkhwanul Muslimin, yaitu: konsep, kader, massa dan organisasi (Sabili,

    2002: 51). Saat ini, menurut majalah Al-Mujtama, Ikhwanul Muslimin telah

    berkembang di tujuh puluh negara, seperti Afghanista, Pakistan, Sudan bahkan

    Indonesia (Nurdi, 2008: 94).

    Dalam melakukan gerakan, yang menjadi landasan idiologi Hasan Al-Banna

    adalah:

    Pertama, Islam adalah idiologi yang komplit bagi individu dan kehidupan

    bersama, bagi negara dan masyarakat. Kedua, Al-Quran, yang merupakanwahyu Allah, dan teladan (sunnah) Rasul Allah adalah dasar bagi

    kehidupan kaum muslim. Ketiga, hukum Islam (syariah, jalan Allah)

    didasarkan pada Al-Quran dan teladan Rasul Allah, yang menjadi cetak

    biru bagi kehidupan kaum muslim. Keempat, keteguhan dalam berpegang

    pada tujuan muslim dalam menegakan kerajaan Allah melalui penerapan

    hukum Allah akan membawa keberhasilan, kekuasaan dan kesejahtraan

    bagi masyarakat Islam (ummah), di dunia dan di akhirat. Kelima,

    kelemahan dan perbudakan yang dialami masyarakat muslim bersumber

    pada ketiadaan iman kaum muslim. Mereka telah terjauhkan dari jalan

    yang ditetapkan Allah dan mengikuti jalan sekuler, idiologi-idiologi

    materialistik dan nilai-nilai yang datang dari Barat dan Timur yakni

    Kapitalisme dan Marxisme. Keenam, untuk menumbuhkan kembali harga

    diri, kekuatan dan kekuasaan kaum muslim (dengan merujuk ke masa lalu

    yang gemilang yang dicapai oleh kerajaan-kerajaan Islam dan puncak

    kebudayaan mereka), maka umat Islam harus kembali pada Islam, menaati

    kembali hukum-hukum Allah dan bimbingan dalam hidup bernegara dan

    bermasyarakat. Ketujuh, ilmu dan tekhnologi harus diperkuat dan

    digunakan dalam kerangka Islam dan konteks terencana untuk

    menghindari proses westernisasi dan sekulerisasi dalam diri masyarakat

    muslim (Esposito, 1995: 137).

    Sedangkan dalam format gerakan, organisasi Ikhwanul Muslimin banyak

    terpengaruh dan mirip dengan gerakan-gerakan Islam sebelumnya. Menurut Al-

    Husaini (Jabir, 2008: 348) dalam banyak hal Ikhwanul Muslimin mirip dengan

    gerakan Wahabiyah dan gerakan Sanusiyah, sangat dipengaruhi oleh aliran

    salafiyah yang digagas Rasyid Ridha di Mesir, aliran Ibnu Taimiyah, dan ahli

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    28/45

    36

    hadist Ishaq bin Rahawiyah di Khurasan serta Ahmad bin Hambal di Irak pada

    abad ke 3 H.

    Menurut Almuzammil Yusuf, dalam bukunya tentang Pemikiran Politik

    Ikhwanul Muslimin, kelahiran organisasi ini disebabkan adanya fakta sejarah yang

    menunjukkan keimanan umat Islam sudah mulai bercampur dengan sesuatu yang

    tidak diajarkan dalam Al-Quran maupun hadist Rasulullah SAW. Selain itu,

    adanya fenomena Perang Salib, keragaman pendapat dan gagasan tokoh

    muslim, seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Juga disebabkan

    adanya pengaruh gerakan sufi dan tarekat serta gerakan ideologi politik yang

    berkembang pada saat itu (http://www.republika.co.id/berita/76281/Hasan_ Al_

    Banna_Tokoh_Pembaru_Islam_Abad_ke_20 [15 Oktober 2009]).

    Sedangkan menurut Mahmud Jami, berdirinya organisasi Ikhwanul

    Muslimintidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik waktu itu. Yaitu adanya

    keinginan bangsa Yahudi untuk mendirikan negara di wilayah Palestina,

    runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani dan penjajahan bangsa Barat terhadap

    negara-negara Islam. Sebagaimana yang dipaparkannya :

    Suatu hari saya pernah bertanya kepada mursyid Am (ketua umum)

    Ikhwanul Muslimin ke 5, Musthafa Masyhur, tentang masalah-masalah

    yang melatarbelakangi dan mengiringi munculnya organisasi IkhwanulMuslimin. Dia menjawab, Yahudi meminta kepada Khalifah kaum

    muslimin, Raja Abdul Hamid, agar menyerahkan Palestina kepada mereka

    dan mereka akan memberinya uang. Tetapi ia menjawab bahwa Palestina

    bukan milikku sehingga saya bisa memberikannya pada kalian, tetapi

    Palestina adalah milik semua kaum muslimin. Maka, orang-orang Yahudi

    itu mengadu kepada Musthafa Kemal Atarturk dan mereka menjatuhkan

    Khalifah Islamiyah. Hal itu terjadi pada tahun 1924 dan pada saat itu,

    Hasan Al-Banna masih duduk di semester pertama Universitas Darul

    Ulum. Tetapi pada saat itu, dia telah yakin bahwa kaum muslimin tidak

    mungkin bisa bertahan tanpa negara atau khilafah dan dia merasa bahwa

    ini adalah kewajiban agama bagi setiap muslim dan muslimah. Artinya

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    29/45

    37

    kekurangan apapun dalam merealisasikan kewajiban ini pelakunya akan

    mendapatakan hukuman. Namun, tidak mungkin dia bisa melaksanakan

    kewajiban ini sendirian, karena itu, mereka harus membentuk jamaah(kelompok) yang menyusun dan merencanakan program kerja. Itulah

    kemudian yang menjadi penyebab munculnya pemikiran tentang

    pembentukan Jamaah Ikhwanul Muslimin. Maka diapun mengonsep

    tujuan, rencana, dan tahap-tahapnya, yang mana jamaah harus berusaha

    membebaskan negara Islam dari semua penguasa asing, kemudian

    berupaya untuk mendirikan Daulah Islamiyah di negara yang

    dibebaskannya itu (Jami, 2004: 31-32).

    Mengenai karakteristikIkhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna menegaskan,

    bahwa organisasinya itu bukan hanya partai politik, tetapifikrah (pemikiran) yang

    memadukan berbagai makna perbaikan, berupaya kembali kepada Islam secara

    murni, dan menjadikan Islam sebagai manhaj (landasan) hidup yang menyeluruh.

    Manhaj perbaikan yang diserukan Ikhwanul Muslimin bertumpu pada tarbiyah

    (pendidikan) dan bertahap dalam mewujudkan perubahan yang diinginkan.

    Tahapan tersebut adalah membentuk pribadi muslim, keluarga muslim,

    masyarakat muslim, pemerintahan muslim, negara Islam, khilafah Islam, dan

    akhirnya ustadziyatul alam (kepeloporan dunia) (Faqih, 2006: 27).

    Organisasi Ikhwanul Muslimin merekrut anggotanya dari masjid-masjid,

    sekolah dan universitas. Hasilnya banyak sekali orang yang tertarik terhadap

    organisasi ini, baik dari kalangan pemuda, orang tua, laki-laki ataupun

    perempuan. Anggotanyapun terdiri dari berbagai profesi dalam masyarakat,

    mulai dari dokter, insinyur, pegawai, ilmuwan, guru, dosen, pelajar, ulama,

    pedagang, pekerja hingga petani. Tujuannya adalah membentuk satu generasi

    baru yang terdidik secara modern tetapi tetap berorientasikan Islam, yang

    dipersiapkan untuk menempati setiap posisi dalam masyarakat (Esposito, 1995:

    137). Slogan yang sering dikumandangkan oleh organisasi ini adalah Allahu

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    30/45

    38

    Akbar wa lillahilhamdu..Allahu ghoyatuna, Ar-Rasul zaimuna, Al-Quran

    dusturuna, al-jihadu sabilina wal mautu fi sabilillahi asma amaluna (Allah Maha

    Besar dan segala puji bagi Allah ..Allah tujuan kami, Rasul-Nya pimpinan kami,

    jihad jalan kami, dan mati dijalan Allah adalah cita-cita kami yang tertinggi)

    (Jami, 2004: 19).

    Kontribusi Hasan Al-Banna pada gerakan pembaharuan dan kebangkitan

    Islam melalui pendirian Ikhwanul Muslimin begitu besar. Dalam hal ini, An-

    Nadwi berkata:

    Hasan Al-Banna telah berhasil dengan gemilang dalam membentuk

    gerakan Islam yang jarang anda dapati di dunia Arab khususnya, sebuah

    gerakan yang lebih luas, lebih efektif, lebih berwibawa, lebih berpengaruh,

    lebih menyatu dengan masyarakat dan lebih mampu mengendalikan jiwa,

    darinya. Dawah yang telah mengembalikan kedalam jiwa generasi baru di

    dunia Arab kepercayaan kepada kelayakan Islam dan keabadian

    risalahnya, telah menumbuhkan iman baru dalam jiwa dan hati, dan telah

    menghalau rasa rendah diri dan kekalahan mental yang menggerogoti

    ummat (Jabir, 2008: 330).

    Begitupun Smith dalam bukunya Islam in Modern History, mengemukakan

    tentang pentingnyaIkhwanul Muslimin:

    Ia ingin kembali pada dasar-dasar masyarakat yang berdiri diatas nilai-

    nilai moral yang tetap dan telah diakui bersama, kepada pemikiran sehat

    dan adilDalam dawah Al-Ikhwan terdapat pemecahan yang cepat dan

    praktis bagi sebagian besar kemusykilan-kemusykilan sosial, dan andainya

    tidak muncul golongan lain untuk mengatasi kesulitan ini dengankeberanian yang besar dan tekad kemauan yang pekat, maka kita dapat

    mengakui bahwa gerakan Al-Ikhwan akan tetap hidup dan berkembang

    betapapun sengitnya cemeti ancaman dan tekanan kediktatoran. Al-

    Ikhwan adalah satu-satunya gerakan di masa kini selain komunisme-

    yang mengemukakan didepan khalayak ramai suatu buah pikiran yang

    tidak saja dihormati dengan lisan dan disanjung dengan perkataan, tapi

    juga beroleh dukungan dan simpati dalam arti yang lebih luas (An-

    Nadwi, 1983:123-124).

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    31/45

    39

    Ajaran jihad dalam Ikhwanul Muslimin, menjadi salah satu dari sepuluh

    rukun baiat (janji setia) dalam jamaah. Hasan Al-Banna berkata: wahai

    ikhwan yang jujur, rukun baiat kita ada sepuluh, peliharalah baik-baik, yaitu:

    kefahaman (al-fahm), ikhlas, amal, jihad, pengorbanan(tadhiyah), ketaatan (ath-

    thaah), keteguhan (tsabat), kemurnian (tajarrud), persaudaraan (ukhuwah),

    kepercayaan (tsiqoh) (Jabir, 2008: 344). Selanjutnya ia menjelaskan:

    Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban yang terus

    berlaku sampai hari kiamat. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw,barang siapa mati sementara ia belum pernah berperang dan belum

    berniat untuk berperang, maka ia mati seperti matinya orang jahiliyah.

    Urutan jihad yang pertama adalah pengingkaran hati dan puncaknya

    adalah berperang di jalan Allah swt. Di antara keduanya ada ada jihad

    dengan lisan, pena, tangan dan kata-kata yang benar di depan penguasa

    yang zhalim. Tanpa jihad, dakwah tidak akan pernah hidup. Ketinggian

    dan luasnya cakrawala dakwah menjadi tolak ukur sejauh mana keagungan

    jihad dijalannya, besarnya haraga yang harus dibayar untuk

    mendukungnya, dan banyaknya pahala yang disediakan untuk para

    aktivisnya.Dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya

    jihad (Q.S Al-Hajj (22): 78). Dengan demikian anda telah memahami

    slogan, jihad adalah jalan kami (Al-Khatib dan Hamid, 2004: 147).

    Ajaran jihad dalam Ikhwanul Muslimin tidak hanya disebarkan dengan

    kata-kata, tetapi juga dengan kerja nyata. Ini dibuktikan, setelah pada tanggal 29

    November 1947, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) membagi wilayah Palestina

    menjadi dua wilayah yaitu wilayah orang Arab dan wilayah orang Yahudi.

    Bangsa-bangsa Arab dan organisasi Ikhwanul Muslimin mengumumkan perang

    terhadap negara Israel yang didirikan oleh bangsa Yahudi diatas tanah bangsa

    Palestina. Tak kurang dari 10.000 anggota Ikhwanul Muslimin dikirim untuk

    berjihad diwilayah Palestina. Sebelumnya, anggota tersebut telah dipersiapkan

    dengan latihan militer khusus yang ditangani orang-orang khusus agar memiliki

    keterampilan di medan tempur seperti menggunakan senjata, peledakan bom, bom

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    32/45

    40

    bunuh diri, taktik peperangan, mengendarai tank, dan menggunakan senjata berat

    (Jami, 2004: 30). Hasilnya, karena keberanian dan kecakapan mereka dalam

    peperangan, para anggota Ikhwanul Muslimin berhasil masuk kedalam wilayah

    Israel bahkan hampir memasuki ibukotanya, Tel Aviv. Peperangan berakhir

    setelah pemerintah Mesir yang dipimpin raja Farouq menandatangani perjanjian

    damai dengan Israel. Ironisnya, pemerintah Mesir kemudian menangkap dan

    memenjarakan semua pemimpin dan anggota Ikhwanul Muslimin yang ikut

    berperang melawan Israel (Al-Banna, 2005: 18).

    Hasan Al-Banna meninggal dunia pada tanggal 12 Februari 1949, di Kairo

    Mesir, setelah dua orang yang diduga polisi rahasiah menembak dirinya. Tiga

    bulan sebelumnya yaitu pada tanggal 8 desember 1948, pemerintah Mesir

    membubarkan dan memenjarakan seluruh anggota Ikhwanul Muslimin, kecuali

    Hasan Al-Banna.

    2. Sayyid Quthb.

    Nama lengkapnya Sayyid Quthb Ibrahim. Dilahirkan pada tanggal 9

    Oktober 1906 di desa Mousah, provinsi Asyuth, Mesir, sebuah desa dengan

    tradisi agama yang kental. Ayahnya bernama Ibrahim Husain Sadhili. Sayyid

    Quthb mendapat pendidikan pertama dari orang tuanya yang taat beragama. Di

    usia 6 tahun, Sayyid Quthb masuk sekolah dasar di kampungnya. Pada usia 7

    tahun ia mulai menghafal Al-Quran dan tiga tahun kemudian, ia telah menghafal

    seluruh Al-Qur`an. Melihat minatnya yang besar terhadap ilmu pengetahuan,

    Sayyid Quthb di kirim belajar oleh orang tuanya ke Helwan, sebuah daerah yang

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    33/45

    41

    dekat dengan ibukota Mesir, Kairo. Selanjutnya ia berhasil masuk pada

    perguruan tinggi Tajhiziyah Dar Al-Ulum atau sekarang bernama Universitas

    Cairo (http://www.hudzaifah.org/Article188.phtml [30 Maret 2008]).

    Pada tahun 1929, Sayyid Quthb kuliah di Dar-Al-Ulum dan berhasil

    memperoleh gelar Sarjana Muda Pendidikan pada tahun 1933. Kemudian ia

    diangkat menjadi guru di sekolah Ad-Dawiddiyah, kemudian pindah ke sekolah di

    kota Dimyath pada tahun 1935, selanjutnya pada tahun 1940 diangkat menjadi

    pengawas sekolah dasar di Departemen Pendidikan Mesir. Untuk memperdalam

    pengetahuannya mengenai pendidikan, pada tahun 1949, Sayyid Quthb mendapat

    tugas untuk belajar ke Amerika Serikat selama dua tahun. Di Amerika Serikat, ia

    belajar di tiga universitas, yaitu pada Wilsons Teachers College di Washington,

    Greely College di Colorado, dan Stanford University di California. Selain

    mengunjungi banyak kota besar di Amerika Serikat, Sayyid Quthb pun

    berkunjung ke Inggris, Swiss dan Italia (Chirzin, 2001: 31-32).

    Pengalamannya belajar di Amerika Serikat, tampaknya menjadi titik balik

    dalam hidup Sayyid Quthb. Meskipun kepergiannya itu dikarenakan

    kekagumannya terhadap Amerika Serikat, di negeri itu ia mengalami kejutan

    budaya. Kekecewaannya muncul ketika menyaksikan dekadensi moral dan

    pandangan rasial anti Arab pada masyarakat Amerika Serikat, juga ketika

    mengetahui bahwa dukungan pemerintah dan media massa sangat besar terhadap

    Israel. Kekecewaannya bertambah oleh fenomena kebebasan seksual, pelacuran,

    pemakaian alkohol secara bebas dan pergaulan antara laki-laki dan perempuan

    tanpa batas pada masyarakat Amerika Serikat (Esposito, 1995: 141).

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    34/45

    42

    Pengalamannya itu menjadikan dirinya lebih taat beragama dan meluaskan

    wawasan pemikirannya mengenai masalah-masalah sosial yang ditimbulkan oleh

    paham materialisme yang kosong dengan nilai-nilai Ketuhanan. Ketika kembali

    ke Mesir, ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan

    manusia dari paham materialisme, sehingga terlepas dari keinginan-keinginan

    akan materi yang tak pernah terpuaskan (http://www.cmm.or.id/cmm-

    ind_more.php?id=A74_0_3_0_M[24 Juni 2008]).

    Kehidupan Sayyid Quthb terbagi menjadi dua fase. Fase pertama, sebagai

    sastrawan dan memasuki tahap awal kesadarannya terhadap Islam. Ini terjadi pada

    awal tahun 1940, ketika ia menulis buku berjudul At-Taswir Fanni Fil Quran.

    Tulisan ini mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Quran.

    Selanjutnya pada tahun 1945 ia menulis sebuah buku berjudul Masyahidul

    Qiamah Fil Quran yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam Al-

    Qur`an. Dan pada tahun 1948, Sayyid Quthb menulis sebuah buku berjudul Al-

    Adalah Al-Ijtimaiyyah Fil Islam atau Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam buku

    ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat hanya akan tercapai bila

    masyarakat menerapkan sistem Islam. Fase kedua, sebagai pemikir dan aktivis

    gerakan Islam. Fase ini dimulai pada tahun 1951, saat ia mulai bergabung dengan

    organisasi Ikhwanul Muslimin. Menjadi anggota organisasi Ikhwanul Muslimin

    baginya sangat penting, karena ia pernah mengatakan bahw tahun 1951 adalah

    tahun kelahirannya (http://www.eramuslim.com/berita/lpk/7a19061627-101-

    tahun-kelahiran-sayyidqutb-telunjuk-bersyahadah-dalam-setiap-shalat-initm.[26

    Mei 2008]).

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    35/45

    43

    Ketertarikannya tehadap organisasi Ikhwanul Muslimin, berawal ketika

    Sayyid Quthb mengalamai sebuah peristiwa aneh di Amerika Serikat, setelah

    mendengar kabar kematian Hasan Al-Banna. Ia menyaksikan, masyarakat

    Amerika Serikat begitu gembira mendengar berita itu, bahkan ada yang menari-

    nari dan saling mengucapkan selamat satu sama lain. Alasan mereka melakukan

    itu satu, musuh paling berbahaya bagi Barat dan Amerika Serikat, yaitu Hasan Al-

    Bana telah tewas. Sayyid Quthb merasa heran, karena dia sendiri sebagai warga

    Mesir tidak mengenal sosok Hasan Al-Banna. Karena dorongan keingintahuan

    itulah, setelah kembali ke Mesir, ia banyak membaca tulisan-tulisan Hasan Al-

    Banna. Dan pada tahun 1951 mulai tercatat sebagai anggota organisasi Ikhwanul

    Muslimin (Al-Waiy, 2007: 48).

    Sayyid Quthb banyak mencurahkan waktu dan tenaganya dalam organisasi

    Ikhwanul Muslimin, berkat keluasan ilmu dan pengalamannya, dalam tempo

    singkat ia telah menjadi tokoh penting selain Hasan Al-Hudaibi dan Abdul Qadir

    Audah. Kontribusi penting Sayyid Quthb dalamIkhwanul Musliminyaitu berhasil

    menjembatani generasi awal dengan generasi baru tahun 1960 dan sesudahnya

    dalam organisasi itu. Wacana pemikirannya yang revolusioner dalam Ikhwanul

    Muslimin, menjadikannya dianggap sebagai idiolog kedua setelah Hasan Al-

    Banna (Sabili, 2002: 66). Pada saat larangan terhadapIkhwanul Muslimindicabut

    pada tahun 1951, ia terpilih sebagai pemimpin bagian dakwah. Pada tahun 1953 ia

    mengahadiri konferensi di Suriah dan Yordania dan sering memberikan ceramah

    tentang pentingnya akhlak, keadilan sosial dan masyarakat Islami serta kedaulatan

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    36/45

    44

    umat Islam sebagai sebagai prasyarat kebangkitan umat (http://irwanmasduqi.

    blogspot.com/2006/11/sayid-qutub-tafsir-fi-dhilal-alquran.html. [21 Juni 2008]).

    Pada tahun 1953 Sayyid Quthb diberi tugas untuk menjadi pemimpin

    koran mingguan Ikhwanul Muslimin. Ketika Gamal Abdul Naseer melakukan

    kudeta terhadap presiden Muhammad Najib, dan menggunakan sistem

    pemerintahan otoriter serta banyak melecehkan praktisi hukum dan ulama, Sayyid

    Quthb berpolemik dengan para tokoh Revolusi 1952 yang dipimpin Gamal

    Abdul Naseer. Akibatnya, pada awal tahun 1954 ia bersama para pemimpin

    Ikhwanul Muslimin dipenjara selama dua minggu. Sayyid Quthb kembali

    ditangkap setelah terjadi tragedi Al-Mansyiyah ketika presiden Gamal Abdul

    Naseer menuduh Ikhwanul Muslimin merencanakan pembunuhan terhadapnya

    pada tanggal 26 Oktober 1954. Dalam persidangan tanggal 22 November 1954

    yang dipipin oleh Gamal Salim dengan anggota Anwar Sadat dan Husain SyafiI,

    Sayyid Quthb dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Akan tetapi berkat negosiasi

    presiden Irak, Abdul Salam Arif, ia pun dibebaskan 10 tahun kemudian yaitu

    tahun 1964 degan alasan kesehatan fisik (Al-Waiy, 2007: 49).

    Setahun setelah keluar dari penjara, Sayyid Quthb pada tahun 1965 kembali

    dipenjara bersama tiga orang saudaranya, Muhammad Quthb, Hamidah dan

    Aminah. Selain itu ditangkap pula 20.000 orang lannya termasuk 700 orang

    wanita. Alasan penangkapan itu adalah Sayyid Quthb dituduh berencana untuk

    membunuh presiden Gamal Abdul Naseer. Pada tanggal 12 April 1966 ia diadili

    di Pengadilan Militer. Tuduhan terhadapnya berdasarkan buku yang ditulisnya

    berjudul Maalim fith Thariq, selain itu diperkuat dari kesaksian orang lain,

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    37/45

    45

    bahwa ia berencana melakukan kudeta terhadap pemerintahan Gamal Abdul

    Naseer dengan cara kekerasan. Pada tanggal 21 Agustus 1966, ia bersama dua

    anggota Ikhwanul Muslimim lainnya, Muhammad Yusuf Hawwasy dan Abdul

    Fatah Ismail dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Sayyid Quthb

    dihukum gantung dengan dua orang lainnya itu pada hari Senin, tanggal 29

    Agustus 1966. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai syuhada bagi kebangkitan

    Islam (Nurdi, 2008: 113).

    Sejak haluan pemikirannya berubah pada tahun 1947, Sayyid Quthb

    menjadi salah satu pembaharu Islam dan menjadi salah satu tokoh pelopor

    pemikiran Islam kontemporer. Ia menyerukan kebangkitan Islam dan dimulainya

    kehidupan berdasarkan Islam. Sebagai salah satu sarananya ia menafsirkan Al-

    Quran dengan pendekatan baru yaitu haraqi (gerakan) dan tarbiyah (pendidikan)

    dalam buku tafsirnya yang berjudul Fi Zhilalil Quran (Di Bawah Naungan Al-

    Quran) (Al-Aqil, 2003: 603). Selain itu, ia juga menyerukan agar umat Islam

    melakukan rekonstruksi spiritual, seperti yang dikemukakan oleh Charles Tripps:

    Sayyid Quthb menyerukan adanya rekonstruksi dan regenerasi spiritual,

    agar setiap orang memperhatikan kesahihan (kebenaran) imannya dan

    keselarasan antara iman dan prilaku hidupnya. Mereka mendapatkan dari

    Sayyid Quthb visi harmoni agar setiap individu menemukan Tuhan dan

    melalui Tuhan menemukan pola ilahiah dalam kemanusiaan mereka. Suatuinterpretasi yang lebih subjektif, moralitas dan nonpolitis merupakan

    interpretasi yang dianut oleh mayoritas muslim yang mendapatkan

    inspirasi dari tulisannya. Seruan untuk kembali menegakan syariat,

    pertama-tama dengan mengenal kembali sebara langsung teks Al-Qura,

    menghindari fiqih tradisional yang sulit, kemudian mempelajari struktur

    negara dan masyarakat, dengan niat membongkar struktur itu, telah

    menjadi ilham dan dorongan bagi mereka yang sudah sangat kecewa

    melihat status quo (Chirzin, 2001: 44-45).

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    38/45

    46

    Bagi Sayyid Quthb, Islam adalah pedoman hidup yang diciptakan Allah

    untuk manusia. Sepanjang manusia ini mengalami perkembangan dan perubahan,

    maka Islam pasticocok untuk segala waktu dan tempat. Dalam hal ini bukan

    berarti ia menolak segala perubahan dan pembaharuan. Tetapi yang diinginkannya

    adalah perubahan dan pembaharuan itu hendaklah dilandaskan pada ajaran Islam,

    dan bukan mengambilnya dari Barat. Pandangan ini sesungguhnya hampir sama

    dengan pandangan Jalalludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,

    Muhammad Iqbal dan Al-Maududi (Muhammad, 2004:56-57).

    Dalam menganalisis fenomena sosial, Sayyid Quthb menggunakan

    terminologi jahiliyah (suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pada

    periode kebodohan yang terjadi sebelum dakwah nabi Muhammad saw) yang ia

    kembangkan secara makna dari pencetus awalnya Al-Maududi. Menurutnya

    masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kedaulatan

    manusia sedangkan masyarakat Islam adalah yang menjunjung tinggi kedaulatan

    Tuhan. Oleh karena itu, menurutnya setiap masyarakat adalah jahiliyah, bodoh,

    jika cara hidupnya tidak didasarkan kepada penyerahan total kepada Tuhan.

    Kapan pun dan dimanapun jahiliyah dan Islam tidak akan bisa berkompromi,

    selanjutnya institusi-institusi dan penguasajahiliyah akan terus menerus melawan

    Islam. Menrut Sayyid Quthb, masyarakat jahiliyah adalah hambatan bagi

    kebahagiaan masyarakat Islam. Hanya dalam masyarakat ketika Tuhan yang

    merupakan penguasa dan Islam beserta hukumnya diterapkan dan diterima secara

    penuhlah manusia dapat memperoleh kemerdekaan, kemuliaan, dan keadilan

    sosial yang sesungguhnya (Fealy dan Bubalo, 2007:38-39).

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    39/45

    47

    Dalam bidang pemikiran politik, Sayyd Quthb berpendapat bahwa

    menegakan sistem pemerintahan Islam adalah perintah Ilahi, dan bukanlah

    bersipat pilihan tetapi kewajiban. Menurutnya sekarang masyarakat telah kembali

    kepada jahiliyah, sistem politik telah dikuasai para pemimpin yang bukan Islam

    dan otoriter. Hukum Allah telah dihapuskan dari kehidupan manusia, dan

    manusia kembali menyembah kepada sesama manusia setelah dahulu dibebaskan

    oleh Islam (http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view

    &id=2675&Itemid=60 [6 april 2008]). Sayyid Quthb menyimpulkan, dalam

    kondisi tersebut untuk merubah sistem politik dari dalam adalah sebuah usaha

    yang sia-sia. Harus ada metode lain yaitu:

    Jihad menjadi satu-satunya pilihan untuk menegakan suatu tatanan Islami

    baru. Jihad, perjuangan bersenjata untuk memepertahankan Islam dari

    ketidakadilan, menjadi suatu hal yang niscaya bagi semua orang yang

    mengaku beriman dalam menghadapi krisis yang ada di dunia Islam. Saat

    ini Islam berada diambang kehancuran, terancam oleh pemerintah yang

    anti-Islam yang refresif, serta neokolonialisme Timur dan Barat. Kaum

    muslim yang menolak untuk berpartisipasi atau bersikap ragu-ragu

    dianggap sebagai musuh Tuhan (Esposito, 1995: 142).

    Berarti ada perbedaan metode yang mendasar diantara dua tokohIkhwanul

    Muslimin dalam melakukan perubahan. Menurut Hasan Al-Banna sistem Islami

    dicapai dari bawah yakni dari Islamisasi masyarakat melalui pembaharuan-

    sedangkan menurut Sayyid Quthb sistem Islami hanya dapat dicapai dari atas,

    dengan secara langsung menghilangkan sistem jahiliyah yang menghalangi jalan

    Islam (Fealy dan Bubalo, 2007: 40).

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    40/45

    48

    3.

    Al-Maududi.

    Nama lengkapnya Sayyid Abul Ala Al-Maududi, lahir pada tanggal 25

    September 1903 di Aurangabad, India. Ayah Abu Ala Al-Maududi ialah Ahmad

    Hasan seorang ahli hukum yang taat. Ia mendapat pendidikan di Madrasah

    Furqaniyah, sebuah sekolah tinggi terkenal di Hyderabad, India. Kemudian

    melanjutkan sekolah di Dar Al-Ulum di Hyderabad. Pada tahun 1920, Al-

    Maududi telah mahir berbahasa Arab, Persia, Inggris, dan Urdu. Ketika belajar

    di perguruan tinggi Dar Al-Ulum, ayahnya sakit kemudian meninggal. Karena

    pertimbangan ekonomi, ia berhenti kuliah dan memutuskan untuk bekerja (Al-

    Maududi, 2007: 7).

    Tahun 1918 Al-Maududi mulai bekerja sebagai wartawan dalam surat

    kabar berbahasa Urdu untuk mencukupi kehidupannya. Tahun 1920, berprofesi

    sebagai editor surat kabar Taj, sebuah majalah mingguan milik partai Kongres

    yang diterbitkan di kota Jabalpore. Saat itu ia aktif dalam gerakan khilafah,serta

    aktif memobilisasi umat Islam untuk mendukung partai Kongres. Tahun 1921, Al-

    Maududi pindah ke Delhi bekerja sebagai editor surat kabar Muslim(1921-1923),

    dan kemudian editor surat kabar Al-Jamiyat(1925-1928), yang diterbitkan oleh

    Jamiyat-i Ulama-i Hind, sebuah organisasi ulama-ulama India. Hasil

    kepimpinannya sebagai editor,Al-Jamiyat menjadi surat kabar utama untuk umat

    Islam di Asia Selatan ( India, Pakistan, Bangladesh, Sri Langka dan Maldive).

    Runtuhnya Khilafah Islamiyah di Turki pada tahun 1924, mengakibatkan

    kehidupan Al-Maududi mengalami perubahan besar. Dia menjadi kurang simpati

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    41/45

    49

    terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir,

    dan menyebabkan mereka menghancurkan kesatuan muslim dengan cara

    menolak kekuasaan Turki Usmani dan kekhalifahan muslim. Dia juga tak lagi

    percaya pada nasionalisme India. Dia beranggapan bahwa partai Kongres hanya

    mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Sejak saat

    itu, sebagai upaya menentang imperialisme Inggris di India, Al-Maududi

    menganjurkan aksi Islami, bukan nasionalis. Ia percaya aksi yang ia anjurkan

    akan melindungi kepentingan muslimin. Hal ini memberi tempat bagi wacana

    kebangkitan Islam di India

    (http://onemandream.wordpress.com/2009/02/23/biografi-abul-ala-al- maududi/

    [15 Oktober 2009]).

    Pada tahun 1925, seorang Muslim membunuh Swami Shradhnand,

    pemimpin kebangkitan Hindu. Swami Shradhnand memancing kemarahan kaum

    muslimin karena dengan terang-terangan meremehkan keyakinan kaum muslimin.

    Kematian Swami Shradhnand menimbulkan kritik media massa, bahwa Islam

    adalah agama kekerasan. Al-Maududi pun bertindak. Ia menulis bukunya yang

    terkenal mengenai perang, damai, kekerasan dan jihad dalam Islam, berjudul Al

    Jihad fi Al Islam. Buku ini berisi penjelasan sistematis sikap Muslim mengenai

    jihad, sekaligus sebagai tanggapan atas kritik terhadap Islam (Al-Maududi, 2007:

    7).

    Menurut Al-Maududi dalam bukuAl Jihad fi Al Islam, jihad bukan perang

    suci untuk mengislamkan orang kafir, melainkan merupakan perjuangan

    revolusioner untuk merebut kekuasaan demi kebaikan seluruh umat manusia. Dari

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    42/45

    50

    semua profesi yang ada, pada akhirnya harus siap untuk perjuangan bersenjata.

    Selanjutnya ia menjelaskan:

    Jika Islam disamakan dengan agama, dan orang-orang Islam disetarakan

    dengan bangsa, maka jihad hanyalah istilah yang kosong makna. Akan

    tetapi Islam bukanlah nama dari suatu agama dan muslim bukanlah

    julukan bagi suatu bangsa. Dalam kenyataannya, Islam merupakan suatu

    idiologi dan program revolusioner yang berusaha mengubah tatanan sosial

    seluruh dunia dan membangunnya kembali sesuai dengan prinsip-prinsip

    dan cita-citanya sendiri. Muslim merupakan julukan bagi partai

    revolusioner internasional yang diorganisasikan oleh Islam guna

    mewujudkan program revolusionernya. Dan jihad berarti perjuangan

    revolusioner serta pendayagunaan puncak yang dilakukan partai Islamtersebut untuk mencapai sasarannya (Al-Maududi, Al-Banna dan Quthb,

    1984: 6-7).

    Sebagai seorang pembaharu, Al-Maududi menganjurkan diadakannya

    pembaharuan Islam dan pengadopsian ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern

    untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang dialami umat Islam. Tapi tetap

    mengkritik para pembaharu Islam yang mencari kecocokan antara Islam dan

    Barat, kemudian menggunakan nilai-nilai Barat, sehingga pada akhirnya

    menghasilkan Islam yang terbaratkan. Menurutnya harus ada sistem seleksi dalam

    menerima nilai-nilai Barat. Selanjutnya menurut Al-Maududi, pembaharuan Islam

    tidak datang dari akal atau sekularisme, melainkan dari wahyu Tuhan.

    Sebagaimana yang ditulisnya:

    Kita mendambakan suatu renaisans Islam yang berdasarkan Al-Quran.

    Bagi kita, ruh Al-Quran dan ajaran Islam abadi; tetapi penerapannya

    dalam kehidupan praktis harus selalu disesuaikan dengan perubahan

    kondisi dan meningkatnya pengetahuan Jalan yang kita tempuh ini

    sungguh berbeda dengan jalan sarjana Muslim pada masa sebelum kita,

    ataupu sarjana modern yang telah ter-Eropa-kan. Di satu sisi kita harus

    menyelami semangat Al-Quran dan mengidentifikasi pandangan kita

    dengan ajaran Islam, sementara, di sisi lain, kita harus menimbang secara

    menyeluruh perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan

    perubahan kondisi yang terjadi dalam hidup kita 800 tahun belakangan ini;

    dan ketiga, kita mesti menyusun gagasan dan hukum-hukum kehidupan

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    43/45

    51

    yang sungguh sejalan dengan Islam. Hingga pada akhirnya Islam akan

    kembali menjadi penggerak dinamis; pemimpin dunia, dan bukan pengikut

    dunia (Esposito, 1992: 139).

    Dalam bidang politik Islam, Al-Maududi adalah seorang yang

    mencetuskan konsep theodemokrasi. Konsep ini dituangkan dalam bukunya yang

    terkenal Al-Khilafah wa Al-Mulk (Khilafahdan Kerajaan). Seperti dapat diduga

    dari istilahnya, konsep theodemokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide

    demokrasi. Namun, ini tidak berarti Al-Maududi menerima secara mutlak konsep

    theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori

    kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena

    menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang

    berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat

    hukum. Kedua, praktik kedaulatan rakyat seringkali justru menjadi omong

    kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan

    setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan

    sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun

    mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan

    pribadi (Al-Maududi, 2007: 19).

    Namun demikian bukan berarti Al-Maududi menolak sistem demokrasi

    sama sekali, ada satu aspek demokrasi yang diterimanya, yakni dalam arti, bahwa

    kekuasaan (khilafah) ada di tangan setiap individu umat Islam. Khilafah tidak

    dikhususkan bagi kelompok atau golongan tertentu. Inilah, menurut Al-Maududi,

    yang membedakan sistem khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah Al-

    Maududi lalu menyimpulkan, Dan ini pulalah yang mengarahkan Khilafah

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    44/45

    52

    Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan mendasar antara

    demokrasi Islam dan demokrasi Barat (http://satutujuan.multiply.com/journal/

    item/ 19 [15 Oktober 2009]).

    Untuk mewujudkan pemikiran-pemikirannya tentang pembaharuan dan

    kebangkitan Islam, Al-Maududi tidak mencukupkan diri dengan hanya menulis,

    melainkan juga mendirikan organisasi Islam bernama Jamaat Islami yang

    didirikan pada 26 Agustus 1940 di Lahore. Sebagai gerakan Islam, Jamaat Islami

    didirikan untuk memberikan bentuk intitusional bagi konsep pemikiran Al-

    Maududi dalam membangun kembali masyarakat muslim yang berdasarkan

    kepada ajaran Islam, mndidik dan melatih kader aktifis Muslim yang dapat

    berfungsi sebagai a vanguard of an Islami revolutionary movement (Sabili,

    2002: 72).

    Sistem rekruitmen keanggotaanJamaat Islamiterbuka untuk semua orang.

    Namun untuk menjadi anggota Jamaat Islami, dilakukan penyaringan yang ketat

    dan sangat selektif. Penyeleksian ditujukan untuk membuat fondasi pergerakan

    agar sangat kokoh dan tidak goyah. Sebab sebuah gerakan, dalam pandangan Al-

    Maududi, jika tidak memiliki lapisan dasar yang kuat dan dengan pandangan yang

    sangat kuat, akan sangat gampang dihancurkan. Soliditas pandangan dan wawasan

    para anggota Jamaat Islami menjadi agenda utama gerakan ini. Dan ini sesuai

    dengan cara perubahan masyarakat yang diajarkan Al-Maududi yaitu membentuk

    a small, knowledgeable, commted, and highly disciplined organization that

    would struggle to shoulder political and social leadership. Yakni perubahan

    yang dilakukan dari atas (top-down). Sebuah sisitem kaderisasi yang tujuannya

  • 7/25/2019 s_sej_033707_bab_ii.pdf

    45/45

    menciptakan tokoh-tokoh dan bukan massa. Sebab, dalam pandangan Al-

    Maududi, perubahan sebuah masyarakat akan mudah berjalan jika para tokoh

    pemikirnya telah mengerti Islam yang benar. Dampak dari cara seleksi yang ketat

    ini, agak sedikit menghambat organisasi ini untuk merekrut anggota yang banyak.

    Bahkan tak jarang dianggap eksklusif, karena hanya membatasi merekrut orang-

    orang dengan karakteristik tertentu saja (http://shuffulislam.com/index. php?

    option=com_content&task=view&id=30&Itemid=31 [15 Oktober 2009]).

    Al-Maududi meninggal pada tanggal 22 September l979, di New York,

    Amerika Serikat karena penyakit ginjal. Dia dimakamkan di kota Lahore,

    Pakistan. Beberapa saat sebelum meninggal, ia sempat mendapat penghargaan

    Faisal King Award dari kerajaan Arab Saudi berkat aktivitasnya dalam bidang

    pemikiran dan kontribusinya pada peradaban Islam. (Sabili, 2002: 73).