Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Suntingan Teks Naskah Sejarah Keris KR.7 – NR.381
Siti Rosiyah, Karsono H Saputra
Prodi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
16424, Depok
E-mail: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini menyajikan deskripsi dan suntingan teks naskah sejarah keris koleksi FSUI berkode
KR.7 –NR.381 serta terdapat analisis makna pamor. Teks di tulis menggunakan bahasa dan aksara
Jawa yang di salin Pigeaud pada Agustus 1939 di Yogyakarta. Teks berbentuk prosa ini
menceritakan tentang sejarah raja-raja yang pertama kali membuat keris dengan dhapur dan jenis
pamor tertentu. Metode penelitian filologi yang digunakan adalah metode intuitif. Suntingan teks
dilakukan dengan menerapkan metode edisi standar (metode kritis) dengan melakukan perbaikan
teks yang dilengkapi dengan ringkasan cerita dan pedoman alihaksara.
Kata kunci: Naskah Sejarah Keris, manuskrip, Raja-raja Jawa, Dhapur, Pamor.
Edited text of Naskah History Keris KR.7 – NR.381
Abstract
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
2
This undergraduate bachelor thesis presents description and text editing on the history of keris
owned by FS UI coded KR.7 –NR.381. This writing also presents the analysis of (pamor). Texts
were written in the language and alphabet of Javanese copied by Pigeaud in the year of 1939 in
Yogyakarta. This prose shaped text tells about the history of the king who the first made a keris
with certain dhapur and pamor. Philological research method that used in this research were
intuitive method. Text editing were conducted by applying standard edition method (critical
method) by doing text refinement that completed by summary of the story and guidelines
translation.
Key words: Sejarah Keris Script, manuscript, Kings of Java, Keris, Pamor.
Pendahuluan
Hubungan kebudayaan dalam perkembangan masa lampau dengan masa
kini saling terkait satu sama lain. Kebudayaan yang sekarang ini ada di Indonesia
pada dasarnya merupakan warisan leluhur nenek moyang Indonesia yang hingga
saat ini harus tetap dilestarikan. Kebudayaan selalu berkembang dari waktu ke
waktu sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan berubahnya sistem sosial.
Adanya perubahan kebudayaan dalam hal fisik, maka alangkah baiknya suatu
kebudayaan tersebut dapat tersimpan secara tertulis atau terdokumentasi. Hal itu
bertujuan agar generasi saat ini dapat mempelajari bagaimana kebudayaan masa
lalu yang dijadikan landasan untuk menghasilkan suatu inovasi. Karsono (2011:
23) mengatakan bahwa dokumentasi menjadi bagian pembelajaran terhadap
kebudayaan masa lalu yang seringkali melahirkan inspirasi untuk inovasi.
Budaya berarti sebuah pemikiran, adat istiadat atau akal budi (Tim
penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia). Budaya seolah diidentikkan dengan
kegiatan nenek moyang di masa lalu. Tradisi merupakan budaya yang senantiasa
dilakukan sampai pada zaman sekarang. Sejak zaman dahulu manusia Jawa telah
mengenal dua tradisi, yakni tradisi lisan dan tradisi tulis. Tradisi tersebut dapat
diungkap dari adanya sejarah asal-usul dari apa yang akan kita teliti atau yang
ingin diketahui.
Naskah Jawa mengandung isi yang sangat kaya. Kekayaan itu ditunjukkan
dari aneka aspek kehidupan yang dikemukakan dalam teksnya, misalnya masalah
politik, sosial, ekonomi, agama, kebudayaan, bahasa dan sastra. Dilihat dari sifat
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
3
pengungkapannya dapat dikatakan bahwa kebanyakan isi teks mengacu pada
sifat-sifat historis, didaktis, religius, dan belletri (Baried, 1985: 4). Hubungan
antara naskah dan tradisi tulis sangat erat kaitannya, yaitu bahwa suatu wilayah
jika sudah ada tradisi tulis, maka pasti dengan sendirinya terdapat suatu hal yang
dianggap penting secara otomatis akan didokumentasikan, seperti halnya naskah.
Naskah Sejarah Keris sebagai bahan penelitian hanya ditemukan pada
Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, dengan kode naskah KR.7/NR.381. Naskah tersebut berbahasa Jawa,
ditulis dengan aksara Jawa di atas kertas Eropa dengan ukuran kertas 11 cm, dan
berbentuk prosa. Naskah tersebut sudah di mikrofilmkan dengan kode rol 241.
Naskah terdiri dari 73 halaman yang setiap halaman berisi 18 baris, dan ukuran
naskahnya 21,3 cm x 16 cm.
Pada cover pertama naskah tertulis Sejarah Keris, namun pada kelopak
atau halaman selanjutnya terdapat tulisan“pratelanipun para nata ingkang awit
yasa dadamel sarta namaning empu” (senjata para raja dari masa ke masa
beserta nama empu pembuatnya). Menurut keterangan katalog, pada mulanya
naskah ini berjudul Pratelanipun para nata ingkang awit yasa dadamel sarta
namaning empu, namun menurut penyalin judul tersebut terlalu panjang, sehingga
penyalin mengganti judul menjadi naskah Sejarah Keris. Hal tersebut dilakukan
karena memang isi naskah mengenai sejarah raja-raja yang pertama kali membuat
keris dengan dhapur tertentu. Terdapat juga keterangan titimangsa yang
ditunjukkan dengan sengkalan (diikuti angka tahun) untuk tiap-tiap pembuatan
keris dan dhapur. Di samping terdapat daftar dhapur dan pamor keris, pada
bagian akhir teks terdapat keterangan gambar, tetapi gambar yang dimaksud tidak
ada, sehingga ruang yang tersedia untuk gambar keris tetap kosong, dan gambar
hanya terdapat pada halaman 33 yang menunjukan gambar Dhapur Lar ngatap.
Menurut kolofon1, naskah ini mulai disalin pada bulan Juli 1895, tetapi di
mana dan kapan penyalinan dilaksanakan tidak dijelaskan. Naskah ini diperoleh
Pigeaud dari Sinu Mundisura di Yogyakarta, pada bulan Agustus 1939.
1Kolofonadalah“catatantambahan”diakhirteksyangdidalamnyaberisiketerangandaninformasimengenaiseluk-belukpenyalinan,antaralainsiapayangmenyalin,atasperintahsiapa,kapanpenyalinandilakukan,dantempatpenyalinan.
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
4
Keterangan lebih rinci untuk pembuatan dan penyalinannya hingga saat ini belum
dapat diketahui, karena memang dalam naskah tersebut tidak disebutkan.
Naskah Sejarah Keris kemungkinan masih ada hubungannya dengan
naskah yang berjudul “Bab Dhapuring Keris” dengan kode naskah KR.1 yang
terdapat pada katalog FSUI. Dilihat dari deskripsi naskah bab dhapuring keris
yang menjelaskan mengenai jenis dhapuring keris, dalam naskah sejarah keris
pun sedikit membahas tentang dhapuring keris. Setelah ditelusuri, isi dari kedua
naskah tersebut berbeda. Hal itu dapat diketahui setelah peneliti melihat
keterangan melalui katalog bahwa naskah bab dhapuring keris tersebut hanyalah
membahas beberapa dhapur keris pada zamannya, sedangkan naskah Sejarah
Keris berisi raja-raja yang pertama kali membuat keris dengan dhapur tertentu,
serta dilengkapi dengan nama-nama pamor.
Metode Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti pada Direktori
Naskah Nusantara tidak ditemukan adanya naskah sekorpus2 naskah Sejarah
Keris, maka peneliti menganggap bahwa naskah Sejarah Keris merupakan naskah
tunggal, sehingga peneliti secara langsung menentukan metode intuitif sebagai
metode kerja yang digunakan dalam penggarapan naskah Sejarah Keris
sebagaimana dikemukakan oleh Karsono H Saputra dalam bukunya Pengantar
Filologi Jawa (2011). Metode intuitif adalah metode yang dikhususkan untuk
naskah yang dianggap tunggal. Syarat penggunaan metode intuitif adalah hanya
ada satu-satunya naskah yang mengandung teks yang digarap sehingga tidak ada
teks pembanding dan tidak ada teks yang dapat dibandingkan
Menurut pendapat Karsono, (2011: 98), untuk metode suntingan teks edisi
teks naskah tunggal, terdapat 2 asas, yakni edisi standar3 dan edisi diplomatik4
2Korpusadalahnaskah-naskahyangmemilikijudulyangsama,bisajugajudulyangberbedanamunmengandungisiteksyangsama(Karsono,2008:83).3Edisistandaradalahpengalihaksaraandenganpenyesuaiantandaberikutsistemnyakedalamsistemsebagaimanayangberlakusesuaidenganaksarayangdiinginkan.Alihaksaradenganasasstandartidakhanyafokuskepadapenggantianaksara(lambang)dariaksaraaslinyakeaksara
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
5
atau edisi fotografis. Sesuai dengan tujuan awal filolog yaitu menjadikan teks agar
dapat dibaca oleh masyarakat umum, oleh karena itu dalam langkah kerja
alihaksara ini peneliti menggunakan edisi standar, karena agar lebih tepat dalam
mencapai tujuan utamanya. Selain itu, para peneliti pemula lebih mudah dalam
memahami langkah kerja dengan menggunakan edisi standar, yaitu dengan
aksara-aksara yang biasa digunakan. Peneliti menggunakan edisi standar, karena
memang apa yang diketahui dan dipelajari selama ini adalah teks yang biasa
gunakan, sehingga peneliti mudah dalam memahami juga bertujuan agar pembaca
lebih cepat menangkap apa yang dimaksud oleh penulis. Dalam
pertanggungjawaban alihaksara ini peneliti sama sekali tidak mengubah apa yang
ada dalam naskah.
Sesuai dengan edisi yang digunakan dalam penyuntingan yakni edisi
standar maka pertanggungjawaban alih aksara pada naskah naskah Sejarah Keris
akan disesuaikan dengan aturan yang terdapat pada Baoesastra Djawa (1939)
karangan Poerwadarminta dan Bausastra Jawa (2011) terbitan Balai Bahasa
Yogyakarta serta menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin
yang Disempurnakan (Balai Bahasa Yogyakarta, 2011). Aturan-aturan penulisan
kata berbahasa Jawa dalam buku tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penulisan pĕpĕt dalam transliterasi, akan ditulis dengan /e/, sedangkan
taling ditulis dengan dua kemungkinan, yaitu /é/ dan /è/ (sesuai
konteks kata).
2. Penulisan reduplikasi diberikan tanda hubung (-), contoh: warni-warni
(hal. 19, 22), alu-alu (hal. 22), awrat-awrat (hal. 22) dan sebagainya.
3. Huruf kapital, pada aksara Jawa terdapat aksara murda yakni aksara
yang melambangkan huruf kapital. Aksara murda pada aksara Jawa
adalah aksara na, ka, ta, sa, pa, nya, ga, ba. Aksara murda digunakan sasarannya,tetapijugamenyesuaikandengansistemyangberlakuyangdisesuaikandenganaksarasumberkeaksarayangdiinginkanpeneliti(aksarasasaran).4edisidiplomatikadalahsistempengalihaksaraanyanghanyamelakukanpengubahandarilambangsumberkelambangsasarantanpamengubahsistemyangberlakupadaaksarasasaran.Haliniberartibahwasatulambangdiwakilidengansatulambangyanglain.
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
6
untuk menulis nama gelar, nama diri, nama geografi, nama lembaga
pemerintahan, dan nama lembaga berbadan hukum yang biasanya
ditulis di depan katadan menggunakan huruf kapital. Contoh:
Sri Paduka
4. Konsonan rangkap dialihaksarakan menjadi satu konsonan saja.
Karena memang pada dasarnya hanya satu konsonan saja sesuai
dengan aturan atau ejaan yang disempurnakan. Contohnya:
sogokkan => sogokan
pejettan => pejetan
Dalam penyuntingan naskah Sejarah Keris KR.7 – NR.381, penulis
menggunakan tanda-tanda tertentu untuk memberikan kritik terhadap teks naskah
tersebut. Tanda-tanda yang digunakan antara lain:
1. Tanda-tanda yang digunakan pada suntingan teks:
a. Tanda (...) digunakan untuk keterangan/pergantian halaman pada
naskah.
b. Tanda //...// digunakan untuk keterangan pergantian cerita (ganti
kisah raja).
c. Tanda [...] digunakan untuk penambahan huruf yang hilang.
Terdapat pada halaman 32 (put[r]anipun).
2. Tanda yang menunjukkan angka yang terletak di tengah adalah
keterangan yang menunjukkan sebuah bab.
3. Tanda titik (.)
- Tanda titik dipakai pada akhir kalimat. Contoh:
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
7
Ing ngandhap punika pratelanipun para nata ingkang awit yasa
dedamel sarta namaning empu ingkang anggarap sakathahing
dhuwung yasa dalem.
- Tanda titik dipakai dibelakang angka atau huruf di dalam suatu
daftar. Contoh:
1. Dhuwung dhapur Larngatap......
2. Dhuwung dhapur Pasopati.....
4. Tanda Koma (,)
- Tanda koma dipakai diantara unsur-unsur di dalam suatu perincian.
Contoh:
.............awrat-awrat boten dipunwangun kadosta: ingkang warni
gada, tapra, lori...
- Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan dan
keterangan aposisi. Contoh:
Dhapur Kalamisani, punika lepas mawi sogokan kekalih ing
ngajeng.....
5. Tanda Titik Dua (:)
- Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang
memerlukan pemerian. Contoh:
Ingkang damel anama Empu Isakadi, kala taun Jawi anglepasi
sang kala : 216.
Kemudian, berikut metode penelitian untuk analisis makna pamor:
Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis
makna pamor bagi masyarakat Jawa. Data yang digunakan adalah jenis pamor
yang terdapat pada suntingan naskah Sejarah Keris. Peneliti mendeskripsikan
nama pamor dari akar kata yang telah dicari maknanya, kemudian dianalisis
sesuai dengan makna denotatif dan konotatif serta disesuaikan pula dengan arti
yang ada di kamus. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori makna
yang dikemukakan oleh Ogden & Richards (1952: 11) dalam bukunya F.X
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
8
Rahyono yang berjudul Studi Makna (2014: 67). Dalam teorinya, menggambarkan
hubungan antara ketiga elemen makna dalam bentuk segitiga seperti pada gambar
berikut:
thought or reference
correct symbolises adeque refers to
(a casual relation) (other casual relations)
Symbol ---------------------------referent
Symbol adalah elemen linguistik, yakni kata, kalimat, dsb; referent adalah obyek
atau benda yang ada di dunia pengalaman (dunia nyata); thought atau reference
adalah konsep atau makna. Berdasarkan uraian teori yang dikemukakan oleh
Ogden & Richards (1952: 11) maka peneliti akan menganalisis makna pamor
dengan menggunakan teori segitiga semiotik, serta menyesuaikan dengan arti
yang ada di dalam Baoesastra Djawa karangan Poerwodarminta (1939).
Berikut tahap atau langkah kerja dalam analisis data pada penelitian
ini:
1. Tahap penyediaan data
Berdasarkan data yang ada, yaitu data tertulis atau terlampir maka
langkah awal yang dilakukan peneliti adalah dengan mencatat dan
mendaftar semua kata yang ada kemudian dibuat tabel .
2. Tahap analisis data
Dalam menganalisis makna pamor yang datanya berupa kata
perkata, maka peneliti menggunakan analisa berdasarkan makna
padanan dari nama-nama pamornya kemudian menerapkan teori
segitiga semiotik yang disesuaikan pula dengan Baoesastra Djawa
karangan Poerwadarminta (1939). Kemudian alat yang digunakan
berupa analisa makna dari kata sasaran yang disajikan dengan tabel
dari masing-masing kelompok makna.
3. Tahap Penyajian hasil analisis data
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
9
Pada tahap penyajian hasil analisis data, peneliti mengelompokkan
jenis pamor berdasarkan angsarnya. Hal tersebut sesuai teori yang
dikemukakan oleh Yuwono Sri Suwito dalam buku Kajian Koleksi
Keris (2014: 29) yang mengungkapkan bahwa pamor wirasat
adalah pamor yang mempunyai bentuk, nama dan khasiat tertentu.
Selanjutnya, peneliti memberikan pendapatnya melalui analisa
yang telah dilakukan, serta menyertakan opini dari beberapa ahli
keris, sebagai penguat pendapat peneliti.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang di capai oleh penulis adalah suntingan teks naskah
Sejarah Keris KR.7 – NR.38. Berikut ini adalah kutipan pada bait akhir yang
berisi bab pamoring keris yang digunakan pula sebagai bahan penelitian pada
analisis pamor bagi masyarakat Jawa.
Bab Pamoring dhuwung
Sawarnine pamor dhuwung ingkang boten narajang lalandhap, punika
cinastan prayogi sakathahing dhuwung boten tamtu pamoripun. Awit saestuning
manut sakarsanipun ingkang yasa bab sae utawi awoning asaripun dhuwung,
punika pinanggih wonten ingkang andarbeni, inggih punika ingkang kasorahaken
ing ngajeng. Menggah gambaring dhuwung ing wingking punika namung
amretelakaken kawujudan tuwin namaning pamor, kadosta:
1. Dhapur dhuwung Pasopati, pamor Wos Wutah
2. Dhapur dhuwung Jalak dingding, pamor Blarak Ngirid
3. Dhapur dhuwung Carita, pamor Wengkon
(25)
4. Dhapur dhuwung Tilam upih, pamor Bendha Sagada
5. Dhapur dhuwung Kala misani, pamor Tambal
6. Dhapur dhuwung Pandhawa, pamor Adeg tiga
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
10
7. Dhapur dhuwung Sampanir, pamor Ron gendhuru
8. Dhapur dhuwung lara siduwa, pamor Kenanga Ginubah
9. Dhapur dhuwung Sarang soka, pamor Sekar Pala
10. Dhapur dhuwung kebo lajer, pamor Lawes Tukel
11. Dhapur dhuwung Panji sekar, pamor Katiga Warna
12. Dhapur dhuwung Panji sinom, pamor Ombak Mas
13. Dhapur dhuwung Bethok, pamor Sekar Lampes
14. Dhapur dhuwung Balet, pamor Adeg Sapu
15. Dhapur dhuwung trojol, pamor Sekar Blimbing
16. Dhapur dhuwung Parungsari, pamor Walang Sinuduk
17. Dhapur dhuwung Bima krodha, pamor Sulur Ringin
18. Dhapur dhuwung urubing dilah, pamor Ujung Gunung
19. Dhapur dhuwung Cengkrong, pamor Pandhan Binethot
20. Dhapur dhuwung Tilam sari, pamor Batu Lapak
21. Dhapur dhuwung Kracan, pamor Pudhak Sategal
(26)
22. Dhapur dhuwung Bango dholok, pamor Genndhagan
23. Dhapur dhuwung Megan lara, pamor Udan Mas
24. Dhapur dhuwung Krena tinandhing, pamor Ombaking Toya
Pembahasan
Setelah penulis melakukan penyuntingan, pada naskah Sejarah Keris KR.7
– NR.381 terdapat beberapa kesalahan penulisan, seperti adanya ketidaksesuaian
pada huruf kapital, terdapat konsonan yang rangkap dan tidak komitmen pada saat
penulisan. Seperti contoh pada kata sogokkan atau pejettan (konsonan rangkap)
ataupun kesalahan yang lain.
Selanjutnya, sesuai data yang digunakan yaitu macam-macam pamor yang
terdapat pada suntingan naskah Sejarah Keris yang terletak pada bagian “bab
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
11
pamoring keris”, maka penulis menyantumkan satu pembahasan sebagai contoh
atau perwakilan dari ke-24 pamor.
Pamor Wos Wutah
Makna leksem wos pada masyarakat Jawa adalah “padi yang telah
terkelupas kulitnya (yang menjadi nasi setelah di tanak)”. Orang Inggris
menyebutnya rice. Serta pandangan masyarakat Jawa yang hingga kini
menganggap beras adalah suatu kebutuhan yang sangat diutamakan untuk
kelangsungan hidupnya sebagai asupan makanan. Adapun wutah adalah “suatu
keadaan tumpah atau mengalir ke-”, tumpah dalam hal ini karena melebihi
tempatnya.
Apabila kedua leksem tersebut digabung maka menjadi wos wutah
“padi/beras yang tumpah” artinya padi atau beras tersebut sangat banyak sehingga
tumpah dan mengalir ke tempat-tempat lain. Dengan kata lain, kondisi yang
demikian menandakan suatu keadaan makmur yang ditandai dengan adanya padi
yang sangat banyak dan melimpah ruah. Artinya, wos wutah memiliki makna
kemakmuran. Hal tersebut didukung dengan pemikiran masyarakat Jawa yang
melambangkan beras sebagai simbol kemakmuran seseorang.
Symbol Referent Thought or reference
Wos Beras Padi yang terkelupas
kulitnya
Wutah Tumpah/melebihi Keadaan tumpah/mengalir
ke-
Dari tabel tersebut dapat diketahui wos sebagai suatu symbol secara
langsung akan memberikan suatu pemikiran bahwa thought or referencenya
adalah padi yang telah terkelupas kulitnya yang kemudian dijadikan untuk
memenuhi kebutuhannya. Adapun wutah, thought or referencenya adalah keadaan
tumpah atau mengalir ke-. Selanjutnya antara makna atau konsep wos dan wutah
tersebut digabung sehingga terjadi kondisi dimana beras tumpah melimpah, dan
tumpah disini karena terlalu banyak dan melebihi ruang yang ada. Hal tersebut
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
12
dalam pandangan masyarakat Jawa, bahwa orang yang mempunyai beras yang
melimpah ruah berarti hidupnya makmur. Hal itu dapat dikatakan karena pada
hakikatnya, beras bagi masyarakat Jawa merupakan kebutuhan pokok dan simbol
kemakmuran.
Kesimpulan
Naskah berjudul Sejarah Keris merupakan naskah koleksi Perpustakaan
Pusat Universitas Indonesia dengan kode naskah KR.7 – NR. 381 pada katalog
Naskah-naskah Nusantara Jilid 3A-B suntingan T.E Behrend dan Titik Pudjiastuti
(1997). Naskah ini mempunyai ketebalan 73 halaman, akan tetapi terdapat
beberapa halaman yang kosong. Terdapat pula sampul dalam yang di dalamnya
bertuliskan “Pratelanipun para nata ingkang awit yasa dadamel sarta namaning
Empu, berdasarkan keterangan pada katalog, tulisan tersebut merupakan judul,
namun karena terlalu panjang, kemudian diganti menjadi naskah Sejarah Keris.
Kondisi tulisan atau huruf di dalam naskah masih cukup mudah untuk
dapat dibaca. Ejaan yang ada dalam naskah terkadang tidak konsisten, terdapat
perangkapan konsonan dan vokal. Akan tetapi, masih cukup dapat dimengerti oleh
peneliti. Ada beberapa masalah keberaksaan, seperti terdapat konsonan rangkap
pada beberapa kata, contohnya pejettan dan sogokkan. Kemudian dalam penulisan
nomer halaman, terdapat penulisan rangkap, yaitu dengan menggunakan angka
dan aksara Jawa. Pada penulisan nomor dengan angka, dimulai dengan angka 3 di
halaman awal, sedang penulisan menggunakan aksara Jawa di mulai dengan
nomer 1 (urut). Selanjutnya, terdapat unsur magis pada teks naskah Sejarah Keris
ini terdapat pada bab pamoring keris, dalam bab tersebut tertera daftar nama
pamor yang pada masa itu dibuat oleh para Empu.
Berdasarkan analisis semantis yang telah dilakukan dengan menggunakan
teori makna yang dikemukakan oleh Ogden & Richards (1952: 11) dalam
bukunya F.X Rahyono (2014: 67) yang berjudul Studi Makna. dapat ditemukan
makna yang terkandung di dalam pamor keris tersebut. Dalam pemaknaannya,
langkah awal yang dilakukan peneliti adalah dengan mencatat dan mendafar
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
13
daftar kosa katanya kemudian di cari makna dari masing-masing kata dengan
menggunakan Baoesastra Djawa karangan Poerwadarminta (1939) dan Kamus
Lengkap Jawa-Indonesia (2009). Setelah itu, dianalisis sesuai arti kata dan bentuk
dari pamor tersebut, sehingga terdapat kaitan antara kata yang satu dengan kata
yang lain.
Makna dari pamor tersebut dihubung-hubungkan dengan kebiasaan yang
dilakukan masyarakat Jawa, sehingga kebanyakan menggunakan kata kiasan.
Seperti halnya wos wutah, bahwa bagi masyarakat Jawa wos atau beras
merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk kelanjutan hidupnya, kemudian
kata wutah yang berarti melebihi tempatnya (atau serba kecukupan bahkan hingga
lebih). Dari pengertian dan makna kedua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa
orang yang memiliki keris dengan pamor wos wutah diharapkan mempunyai
rezeqi yang berlimpah atau mempunyai simbol kemakmuran. Pengetahuan
masyarakat Jawa mengenai keris, khususnya pamor beserta khasiat dan tuahnya
dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam memahami unsur-unsur
kebudayaan Jawa.
Daftar Pustaka
Buku:
Baried, Siti Baroroh, dkk. (1985). Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Bloomfield, Leonard. (1957). Language. London: George Allen&Unwin.
Buanadjaya, B.S. (1998). Keris Nusantara (Pamor, nuansa estetis Pesona
esoteteris). Jakarta: CV Aneka Solo.
--------------, B.S. (1988). Keris Pusaka (nilai historis – metafisis). Jakarta: CV
Aneka Solo.
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
14
Budiastra, Putu dkk. (1992). Keris Koleksi Museum Negeri Propinsi Bali. Bali:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
Dinas Kebudayaan DIY. (2014). Kajian Koleksi Keris. Yogyakarta: Museum
Negeri Sonobudoyo Yogyakarta.
Doyodipuro, Ki Hudoyo. (1997). Keris (Daya Magic-Manfaat-Tuah-Misteri).
Semarang: Dahara Prize.
F.X. Rahyono. (2009). Studi Makna. Jakarta: Penaku.
Hamzuri, Drs. (1984). Keris. Jakarta: Djambatan.
Harsrinuksmo, Bambang. (1988). Ensiklopedi Budaya Nasional. Jakarta: Cipta
Adi pustaka.
Ikram, Achadiati. (1997). Filologi Nusantara. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Kementrian Pendidikan Nasional. (2011). Pedoman umum Ejaan Bahasa Jawa
Huruf Latin Yang Disempurnakan. Yogyakarta: Balai Bahasa
Yogyakarta.
Larson, Mildred L. (1989). Penerjemahan Berdasar Makna (Terjemahan Oleh
Kencanawati Taniran). Jakarta: Arcan.
Machali, Rochayah. (2000). Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo.
Mas Djomul. (1985). Keris Benda Budaya. Jakarta : Aksara Baru.
Museum Negeri Sonobudoyo. 2014. Kajian Koleksi Keris. Yogyakarta: Dinas
Kebudayaan DIY.
NS, Elis Suryani. (2012). Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Padmosoekotjo. (1967). Sarine Basa Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Pusat Bahasa. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta:
Balai Pustaka.
Robson, S. O. (1994). Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.
Karsono H Saputra. (2008). Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra.
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
15
Sutrisno Sastro Utomo. (2009). Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
Poerbatjaraka. Hadidjaja, Tardjan. (1952). Kepustakaan Djawi. Jakarta:
Djambatan.
Ragil, Pamungkas. (2007). Mengenal Keris (Senjata “Magis” Masyarakat Jawa.
Jakarta: Narasi.
Syaifuddin Huda, Arief. (2010). Sejarah Keris. Jakarta: DFS Publisher.
Werdisastro, Ilyas. (2009). Keris Kalimasada dan Walisongo. Jakarta: Timpani
Publishing.
Kamus:
Poerwadarminta, W.J.S. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: J.B.Wolters
Uitgevers Maatschappij.
Zoetmulder, P.J. (1995). Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Tim Balai Bahasa Yogyakarta. (2011). Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa).
Yogyakarta: Kanisius.
Katalog:
Behrend, TE. Pudjiastuti, Titik. (1997). Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara
Jilid 3-A Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Website:
digilib.uinsby.ac.id/8991/4/bab%201.pdf diakses pada 18 Juni 2016, pukul 01.00.
simki.unpkediri.ac.id/mahasiswa/file_artikel/2016/11.1.01.02.0001.pdf diakses pada
18 juni 2016, pukul 01.30.
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016
16
uap.unnes.ac.id/skripsi/abstrak/ppt/keris_sebagai_salah_satu_simbo_3501405058.ppt
diakses pada 18 Juni 2016, pukul 01.55.
lib.unnes.ac.id/2748/1/7163.pdfdiakses pada 18 Juni 2016, pukul 02.13.
Siti Rosiyah ..., Siti Rosiyah, FIB UI, 2016