Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    1/22

    Acara II

    PRODUK SUSU FERMENTASI 

    LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

    TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2016

    Disusun oleh: Nama: Debora Rika Angelita

     NIM: 13.70.0041

    Kelompok: D1

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    2/22

     

    1

    1.  TOPIK DAN TUJUAN PRAKTIKUM

    1.1. Topik Praktikum

    Praktikum teknologi pengolahan susu bab produk susu fermentasi kloter D dilaksanakan

     pada Senin, 30 Mei 2016 di Laboratorium Rekayasa Pangan. Asisten dosen yang

     bertanggung jawab pada praktikum ini adalah Tjan, Ivana Chandra dan Beatrix Riski

    Restiani. Pada praktikum ini, dilakukan pembuatan 3 macam susu fermentasi, yaitu

     yoghurt , kefir dan acidophilus milk . Yoghurt dan kefir dibuat dengan 2 macam

    inokulum, yaitu  fresh culture  dan  plain yoghurt/ kefir komersial, sedangkan produk

    acidophilus milk  dibuat dengan menggunakan  fresh culture. Pengamatan produk susu

    fermentasi dilaksanakan pada hari Selasa, 31 Mei 2016.

    1.2. Tujuan Praktikum

    Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui prinsip pembuatan  yoghurt dan kefir

    dengan tipe inokulum berbeda, yakni menggunakan kultur segar ( fresh culture bacteria)

    dan menggunakan “ plain yoghurt ” komer sial, mengetahui cara kerja pembuatan

    acidophilus milk , mengetahui karakteristik  yoghurt , kefir, dan acidophilus milk   yang

    dihasilkan dari tipe inokulum yang berbeda (kekentalan dan derajat keasaman), dan

    untuk mengetahui perbedaan karakteristik yoghurt , kefir, dan acidophilus milk .

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    3/22

     

    2

    2.  HASIL PENGAMATAN

    Hasil pengamatan produk susu fermentasi dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1.Produk Susu Fermentasi

    Kel Jenis Susu Fermentasi Foto Produk KekentalanDerajat

    KeasamanHasil

    D1

    Yoghurt  dengan

    inokulum “ fresh

    culture” 

    ++ 4,5  

    D2

    Yoghurt  dengan

    inokulum “ plain

     yoghurt ” komersial 

    +++ 4  

    D3Kefir dengan inokulum

    “ fresh culture” +++ 4,5  

    D4Kefir dengan inokulum

    “ plain kefir ” komersial ++ 4  

    D5

     Acidophilus milk

    dengan inokulum

    “ fresh culture” 

    ++ 6 x

    Keterangan:

    Hasil: tanda centang bila produk berhasil, silang bila produk gagal

    Kekentalan:

    + = encer

    ++ = kurang kental

    +++ = kental

    ++++ = sangat kental

    Berdasarkan data pada Tabel 1, diketahui bahwa produk  yoghurt   dengan inokulum

    “ fresh culture” dibandingkan dengan  yoghurt   dengan inokulum “ plain yoghurt ”

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    4/22

    3

    komersial memiliki kekentalan yang lebih rendah dengan pH yang lebih tinggi. pH

     yoghurt yang dihasilkan berkisar 4,0  –   4,5. Produk kefir dengan inokulum “ fresh

    culture” dibandingkan dengan kefir dengan inokulum “ plain kefir ” komersial memiliki

    kekentalan yang sama dengan pH yang lebih tinggi. pH kefir yang dihasilkan berkisar

    4,0  –  4,5.  Acidophilus milk dengan inokulum “ fresh culture” memiliki viskositas yang

    kurang kental dengan pH 6, yang menandakan bahwa produk tersebut gagal.

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    5/22

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    6/22

    5

    Menurut Astawan & Astawan (1998),  yoghurt  merupakan makanan yang berasal dari

    susu yang berbentuk seperti bubur atau es krim dengan rasa agak asam. Lee & Lucey

    (2010) menambahkan bahwa  yoghurt   merupakan produk susu fermentasi yang

    menggunakan kultur campuran bakteri  Lactobacillus delbrueckii subsp bulgaricus dan

    Streptococcus thermophilus.Yoghurt   sangat baik untuk pencernaan karena mudah

    dicerna dalam perut; baik bagi penderita gangguan lambung atau usus yang terluka;

    dapat menurunkan kadar kolesterol; serta bermanfaat bagi penderita defisiensi enzim

    laktase. Hayes (1995) menambahkan bahwa  yoghurt   mempunyai kandungan protein

    yang lebih tinggi daripada susu sapi, namun mempunyai kandungan lemak yang lebih

    rendah, sehingga yoghurt  cocok bagi orang yang ingin berdiet.

    Menurut  Sharma & Caralli (1998),  yoghurt   aman bagi penderita lactose intolerance 

    karena bakteri  starter   dalam  yoghurt   akan memecah laktosa susu. Mary et al . (2011)

    menambahkan pula bahwa protein yang terkandung dalam  yoghurt  merupakan sumber

     bioaktif peptida yang memiliki peran penting. Mekanisme kerja yang terjadi adalah

    dimana bioaktif peptide akan menurunkan tekanan darah dengan mensintesis ACEI

    ( Angiotensin Converting Enzime Inhibitory), sehingga berperan penting dalam penyakit

    hipertensi. Menurut Widiyaningsih (2011), probiotik yang berasal dari spesies

     Lactobaccillus casei dan  Lactobacillus bulgaricus dapat meningkatkan produksi

    makrofag dan dan aktivasi fagosit pada tubuh manusia yang berperan dalam

    menyingkirkan agen toksik yang masuk ke dalam tubuh.

    Proses pembuatan  yoghurt   diawali dengan mempersiapkan inokulum terlebih dahulu

    menggunakan media MRS broth cair yang inkubasi selama 48 jam. Penggunaan media

    MRS broth  sesuai dengan pernyataan Atlas (2006) yang menyatakan bahwa de Man Ragosa Shape (MRS) adalah suatu medium yang cocok untuk menumbuhkan

     Lactobacillus sp.  dan bakteri asam laktat lainnya yang berfungsi dalam pembuatan

     produk susu asam. Media ini juga mengandung berbagai komponen seperti polisorbat,

    asetat, magnesium, dan mangan yang diketahui sebagai faktor petumbuhan untuk

     Lactobacilli.

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    7/22

    6

    Setelah 48 jam, akan dihasilkan endapan pada media. Lalu media dibuang hingga hanya

    tertinggal endapan kultur. Setelah itu dicuci dengan garam fisiologis 0,85% atau

    aquades steril lalu dihomogenkan dan disentrifugasi sampai filtratnya benar-benar

    terpisah, filtrat dibuang kembali kemudian proses pencucian diulang 2 kali. Lalu

    masing-masing hasil panen kultur (endapan) dituang ke dalam susu cair 100 ml yang

    sudah dipanaskan hingga suhu 85oC dan diturunkan suhunya hingga terasa hangat,

    kemudian dituangkan secukupnya dalam tabung sentrifus yang berisi kultur bakteri.

    Selanjutnya dituangkan dalam erlenmeyer yang telah berisi susu cair yang telah

    dipasteurisasi, dihomogenkan, dan diinkubasi pada suhu 42-44oC hingga terbentuk

    curd . Hal ini sesuai dengan pendapat Fellows (1990) menjelaskan bahwa persyaratan

    utama bagi tiap kultur  starter   laktat adalah mengandung jenis-jenis mikroorganisme

    yang diinginkan, mampu berkembang dalam kondisi yang diberikan, serta

    menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan dan bebas dari kontaminasi. Oleh

    karena itu substrat yang digunakan dalam penumbuhan inokulum  yoghurt adalah susu

    agar inokulum dapat tumbuh secara optimal dan untuk mempersingkat waktu adaptasi

    saat proses fermentasi.

    Setelah masing-masing inokulum dipersiapkan, susu skim dan susu cair segar

    dipanaskan secara terpisah hingga suhunya mencapai 85oC dan jangan sampai mendidih

    selama 2 menit. Penggunaan susu skim dalam proses pembuatan  yoghurt   dapat

    mempengaruhi rasa dan tekstur akhir dari  yoghurt . Hal ini sesuai dengan pendapat

    Okoro (2009) bahwa penambahan susu skim mampu meningkatkan total padatan di

    dalam susu dan akan berkontribusi terhadap rasa dan tekstur akhir yang dihasilkan.

    Menurut Astawan & Astawan (1991), pemanasan (pasteurisasi) susu bertujuan untuk

    mematikan mikroorganisme patogen yang terdapat pada susu skim maupun susu cairsegar yang memiliki potensi untuk mengganggu hasil akhir dan pertumbuhan inokulum,

    serta mendenaturasi enzim yang dapat menghambat fermentasi  yoghurt . Saleh (2004)

    menambahkan bahwa pasteurisasi juga dapat mengurangi jumlah populasi bakteri pada

    susu, memperpanjang umur simpan bahan atau produk, memberikan cita rasa yang lebih

    menarik, serta menginaktivasi enzim fosfatase dan katalase pada susu yang dapat

    membuat susu cepat rusak. Chirlaque (2011) menambahkan bahwa pada tahap

     pasteurisasi, efek kehilangan nilai gizi pada susu tidak terlalu signifikan. Selain itu,

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    8/22

    7

    aroma dan rasa susu masih tetap dapat dipertahankan. Oleh karena itu, dalam

     pembuatan susu fermentasi, sebaiknya susu segar dipasteurisasi, bukan disterilisasi.

    Susu skim sebanyak 110 ml dicampur dengan susu sapi segar sebanyak 115 ml,

    sehingga dihasilkan volume total susu adalah 225 ml dan dimasukkan ke dalam toples

    kaca yang sudah disterilkan sebelumnya. Setelah itu susu yang berada di dalam toples

    kaca didinginkan di dalam baskom berisi air hingga terasa hangat. Hal ini sesuai dengan

     pendapat Potter (1987), penambahan inokulum harus dilakukan pada suhu 42-44oC

    supaya mikroorganisme kontaminan tidak dapat tumbuh. Hal ini sesuai pula dengan

     pendapat Sumner & Hutkins (1990) yang mengungkapkan bahwa penambahan kultur

     starter  sebaiknya dilakukan tidak dalam keadaan sangat panas karena suhu yang terlalu

    tinggi dapat membunuh kultur bakteri asam laktat dan mencegah terjadinya proses

    koagulasi. Hadiwiyoto (1983) menambahkan bahwa tujuan dari pendinginan adalah

    untuk memberikan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan bakteri asam laktat. Setelah

    dingin, susu ditambahkan 10% kultur  starter  (25 ml) untuk  fresh culture, dan 10% (25

    ml) plain yoghurt  “biokul” untuk starter yoghurt  komersial secara aseptis.

    Setelah inokulasi, toples kaca ditutup untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi,

    kemudian diinkubasi pada suhu 42-44oC selama 1 hari tanpa dibuka maupun diaduk,

    hingga diperoleh konsistensi custard  yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan pendapat

    Hadiwiyoto (1983), tahapan inkubasi atau tahap pemeraman yang merupakan tahap

    dimana susu yang telah diinokulasikan bakteri disimpan atau diinkubasi pada suhu

    tertentu. Pada proses inkubasi, terjadi fermentasi oleh bakteri asam laktat untuk

    mengubah laktosa menjadi asam laktat. Selanjutnya, apabila sudah terbentuk gumpalan,  

     yoghurt diaduk secara perlahan supaya kekentalannya merata. Hal ini sesuai dengan pendapat Chirlaque (2011), koagulasi atau penggumpalan susu dalam pembuatan susu

    fermentasi disebabkan karena asam yang diproduksi oleh bakteri-bakteri asam laktat

    (BAL) yang akan memfermentasi laktosa menjadi asam, sehingga pH susu akan turun

    dan terjadi penggumpalan kasein.

    Berdasarkan data hasil pengamatan, diketahui bahwa produk  yoghurt  dengan inokulum

    “ fresh culture” memiliki kekentalan yang lebih rendah dibandingkan dengan  yoghurt  

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    9/22

    8

    dengan inokulum “ plain yoghurt ” komersial. Hal ini sesuai dengan pendapat Fellows

    (1990), dalam  plain yoghurt   komersial sudah ditambahkan bahan-bahan lain yang

    mengakibatkan kekentalannya lebih tinggi. Produk  yoghurt   dengan inokulum “ fresh

    culture” memiliki pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan yoghurt  dengan inokulum

    “ plain yoghurt ” komersial.  pH yoghurt yang dihasilkan berkisar 4,0-4,5. Hal ini sesuai

    dengan pendapat Eskin (1990), pH pada  yoghurt   berkisar 4,0-4,5, sehingga dapat

    dipastikan bahwa jumlah asam dan flavor  yang dihasilkan sudah tepat. Hal ini diperkuat

    oleh Hadiwiyoto (1983), bahwa pemeraman dikatakan telah selesai bila keasaman sudah

    mencapai pH 4,0-4,5. Yoghurt   dengan menggunakan “ plain yoghurt ”  komersial

    menghasilkan karakteristik produk akhir yang sesuai dengan produk komersial pada

    umumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Yunita (2011),  plain yoghurt   yang masih

    mengandung kultur aktif dapat digunakan sebagai inokulum sehingga proses fermentasi

    dapat berjalan dengan baik.

    Rasa yoghurt  yang asam disebabkan oleh adanya aktivitas bakteri penghasil asam laktat.

    Hal ini sesuai dengan pendapat Fellows (1990), mekanisme terbentuknya  yoghurt  dari

    campuran bakteri diawali dengan pertumbuhan Streptococcus thermophilus yang lebih

    cepat untuk memproduksi diacetyl , asam laktat, asam format, dan asam asetat,

    sedangkan  Lactobacillus bulgaricus memiliki aktivitas protease yang lemah sehingga

    mengalami pertumbuhan yang lebih lambat. Bakteri ini akan melepaskan peptida dari

     protein susu. Namun, seiring dengan peningkatan keasaman  yoghurt , pertumbuhan

     bakteri Streptococcus thermophilus  melambat dan sebaliknya mempercepat

     pertumbuhan bakteri Lactobacillus bulgaricus. Bakteri Lactobacillus bulgaricus dapat

    tumbuh dengan baik di lingkungan yang berasam tinggi yang secara tidak langsung

    dirangsang oleh produksi asam format pada tahap awal fermentasi.  Lactobacillusbulgaricus  akan memberikan efek berlebihan pada produksi asam laktat dan

    asetaldehid, sehingga kedua bakteri akan bersama-sama memfermentasikan hampir

    seluruh laktosa menjadi asam laktat. Senyawa-senyawa yang dihasilkan selama proses

    fermentasi inilah yang memberikan aroma pada  yoghurt   dan memberikan rasa khas

     pada  yoghurt .  Menurut Suryono et al . (2005), faktor-faktor yang berkontribusi pada

     flavor yoghurt  adalah keasaman, kekentalan, dan komponen volatile yang terkandung di

    dalamnya.

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    10/22

    9

    Yoghurt   yang sudah jadi dapat disimpan pada refrigerator   suhu 5oC dengan umur

    simpan selama 1-2 minggu. Hal ini disampaikan oleh Winarno (1993) bahwa

     pendinginan mampu memperlambat kecepatan reaksi metabolisme. Setiap penurunan

    suhu 8o, kecepatan reaksi akan berkurang setengahnya. Pendinginan juga dapat

    mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung dari macam

     bahan pangannya.

    3.2. Kefir

    Menurut Otles & Cagindi (2003), kefir merupakan minuman fermentasi yang terbuat

    dari biji kefir. Biji kefir biasa digunakan sebagai inokulum kefir berbentuk seperti koral

    yang mengandung campuran  yeast   (lactose-fermenting   dan non-lactose-fermenting )

    serta bakteri ( Lactobacillus,  Leuconostoc,  Lactococcus, dan  Acetobacteria). Menurut

    Sri (2007), kefir merupakan susu pasteurisasi yang difermentasi dengan  starter  berupa

     butir (biji) kefir yaitu butir-butiran berwarna putih atau krem, yang merupakan

    kumpulan Streptococcus sp. , Lactobacillus sp., dan beberapa jenis khamir non-patogen,

    seperti Saccharomyces cerevisiae. Selain itu, kefir juga dapat dibuat dengan

    menggunakan kultur yang masih segar maupun kultur yang berasal dari produk

    komersial.

    Produk kefir memiliki kemiripan dengan  yoghurt   namun kefir memiliki kandungan

    alkohol yang dihasilkan oleh  yeast, sedangkan  yoghurt   tidak. Hal ini didukung oleh

     pendapat dari Rehm et al.  (1995) bahwa proses fermentasi yang terjadi menghasilkan

    kefir yang mengandung alkohol dan gas CO2. Pelczar & Reid (1958) menambahkan

     bahwa kefir merupakan campuran dari fermentasi asam laktat dan fermentasi alkohol,sehingga hasil fermentasi dari kefir dan  yoghurt  berbeda. Pada kefir, komponen asam

    diproduksi oleh bakteri (0,6-1% asam laktat), sedangkan  yeast   memproduksi alkohol

    (0,5-1% alkohol). Mikroorganisme utama untuk fermentasi kefir adalah Streptococcus

    lactis,  Lactobacillus bulgaricus, dan  yeast   penyebab fermentasi laktosa. Produk kefir

    memiliki manfaat bagi kesehatan, terutama direkomendasikan bagi penderita penyakit

    saluran pencernaan, alergi, hipertensi, dan penyakit jantung.

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    11/22

    10

    Menurut Widodo (2002), inokulum yang digunakan pada proses pembuatan kefir adalah

    Streptococcus lactis,  Lactobacillus bulgaricus, dan  yeast   Saccharomyces cerevisiae.

    Persiapan inokulum segar ini juga dilakukan terlebih dahulu dengan mengaktifkan

    masing-masing kultur menggunakan media yang inkubasi selama 48 jam seperti yang

    dilakukan pada pembuatan yoghurt . Proses persiapan inokulum ini juga dilakukan untuk

     fresh culture, sedangkan untuk kultur komersial tidak perlu melalui proses tersebut.

    Setelah  fresh culture  dan kultur dari produk komersial dipersiapkan, mula-mula susu

    sapi segar yang telah dipasteurisasi sebanyak 230 ml dimasukkan ke dalam toples kaca

    yang sudah disterilkan sebelumnya. Penggunaan susu segar dalam pembuatan kefir ini

    sesuai dengan teori Fardiaz (1997), bahwa kefir dapat dibuat dengan susu sapi, domba,

    atau kerbau. Sri (2007) menambahkan bahwa pembuatan kefir sebaiknya menggunakan

    susu rendah lemak (susu skim). Hal ini bertujuan agar kefir yang dihasilkan tidak

    mengandung banyak lemak. Lee & Lucey (2010) menambahkan bahwa proses

     pasteurisasi suhu hingga 85oC bertujuan untuk mematikan mikroorganisme yang tidak

    diinginkan karena apabila dibiarkan akan mengganggu kerja dari  starter   produk

    fermentasi.

    Setelah itu susu yang berada di dalam toples kaca didinginkan di dalam baskom berisi

    air hingga terasa hangat. Hal ini sesuai dengan pendapat Potter (1987), penambahan

    inokulum harus dilakukan pada suhu 42-44oC supaya mikroorganisme kontaminan tidak

    dapat tumbuh. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Sumner & Hutkins (1990) yang

    mengungkapkan bahwa penambahan kultur  starter   sebaiknya dilakukan tidak dalam

    keadaan sangat panas karena suhu yang terlalu tinggi dapat membunuh kultur bakteri

    asam laktat dan mencegah terjadinya proses koagulasi. Hadiwiyoto (1983)

    menambahkan bahwa tujuan dari pendinginan adalah untuk memberikan kondisi yangoptimal bagi pertumbuhan bakteri asam laktat. Setelah dingin, susu ditambahkan 8%

    kultur starter  (20 ml) untuk fresh culture, dan 8% (20 ml) plain kefir  untuk starter kefir  

    komersial secara aseptis.

    Setelah inokulasi, toples kaca ditutup untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi,

    kemudian diinkubasi pada suhu 20-25oC selama 1 hari tanpa dibuka maupun diaduk,

    hingga diperoleh konsistensi custard  yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan pendapat

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    12/22

    11

    Hadiwiyoto (1983), tahapan inkubasi atau tahap pemeraman yang merupakan tahap

    dimana susu yang telah diinokulasikan bakteri disimpan atau diinkubasi pada suhu

    tertentu. Pada proses inkubasi, terjadi fermentasi oleh bakteri asam laktat untuk

    mengubah laktosa menjadi asam laktat. Selanjutnya, apabila sudah terbentuk gumpalan,  

    kefir  diaduk secara perlahan supaya kekentalannya merata. Sumner & Hutkins (1990)

    menambahkan bahwa suhu inkubasi atau penyimpanan yang terlalu tinggi atau terlalu

    rendah dapat memperlambat pertumbuhan kultur bakteri asam laktat dan

    memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk koagulasi susu.

    Selama fermentasi kefir terjadi perubahan biokimia dari substrat akibat aktivitas bakteri

    asam laktat heterofermentasi dan  yeast   alkoholik. Hal ini sesuai dengan pendapat

    Fardiaz (1997), selama fermentasi keasaman kefir akan meningkat dari 0,85% menjadi

    1,0% akibat asam laktat. Selain itu, kefir memiliki rasa karbonat karena proses

    fermentasi yang menghasilkan karbondioksida. Hal ini akan membentuk cita rasa kefir

    yang diinginkan. Senyawa asetonin dan diasetil juga terbentuk selama proses fermentasi

    kefir. Saat fermentasi, terbentuk pula kefiran yang merupakan polimer yang terdiri atas

    unit-unit gula (galaktosa dan glukosa) dalam jumlah sama. Hal ini didukung oleh

     pendapat Fellows (1990), aroma yang ditimbulkan pada pangan hasil fermentasi

     biasanya dipengaruhi oleh komponen kimia volatile (amina, asam lemak, aldehid, ester,

    dan keton), serta produk hasil interaksi antara semua komponen tersebut selama proses

    fermentasi dan maturasi.

    Berdasarkan data hasil pengamatan, produk kefir dengan inokulum “ fresh culture”

    dibandingkan dengan kefir dengan inokulum “ plain kefir ” komersial memiliki

    kekentalan yang sama dengan pH yang lebih tinggi. Menurut Fellows (1990), kefirdengan inokulum komersial memiliki kekentalan yang lebih tinggi karena adanya

    komponen-komponen gizi maupun non gizi yang ditambahkan dalam pembuatan kefir

    komersial tersebut. Namun dalam praktikum ini, kedua produk memberikan kekentalan

    yang sama. Hal ini mungkin disebabkan oleh “ plain kefir ” komersial yang digunakan

    dalam praktikum ini tidak ditambahkan bahan pengental dalam proses pembuatannya.

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    13/22

    12

     pH kefir yang dihasilkan berkisar 4,0-4,5. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadiwiyoto

    (1983) bahwa kefir memiliki pH 4,0-4,5. pH kefir yang menjadi asam tersebut

    disebabkan karena adanya penambahan kultur ke dalam susu yang akan menyebabkan

    kefir mengandung asam laktat dan alkohol. Rasa kefir yang asam dan beralkohol sesuai

    dengan teori Fardiaz (1997) yang menyatakan bahwa kefir memiliki rasa asam akibat

     perkembangbiakan bakteri asam laktat (Streptococcus lactis  dan  Lactobacillus

    bulgaricus), sedangkan aroma alkohol dihasilkan oleh yeast  Saccharomyces cerevisiae.

    Menurut Fardiaz (1998), kefir sebagai minuman probiotik dapat menekan pertumbuhan

     bakteri penyebab penyakit saluran pencernaan karena bakteri asam laktat memproduksi

    senyawa antimikrobia, antara lain bakteriosin dan berbagai antibiotik. Kefir memiliki

    umur simpan yang lebih panjang dibandingkan susu segar. Hal ini sesuai dengan

     pendapat Fellows (1990), kefir memiliki berbagai kelebihan jika dibandingkan dengan

    susu segar karena asam yang terbentuk dapat memperpanjang masa simpan, mencegah

     pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, sehingga mencegah kerusakan susu dan

    mencegah pertumbuhan mikroorganisme patogen, sehingga meningkatkan keamanan

     produk kefir.

    3.3. Acidophilus M ilk

    Menurut Astawan & Astawan (1998), acidophilus milk   terbuat dari susu skim,

    kemudian difermentasi dengan  Lactobacillus acidophilus  yang merupakan  strain 

    dengan golongan intestinal implantable  (sangat aktif ketika ditanam dalam saluran

     pencernaan manusia).  Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri berbentuk batang,

    termasuk famili  Lactobacillaceae, dan genus  Lactobacillus. Bakteri ini tergolong

     bakteri gram positif dan tidak membentuk spora. Menurut Eti et al. (2004), kandunganasam laktat acidophilus milk   sebesar 1,32-1,50%, protein 4-5%, lemak 1%, dan tidak

    terdapat kandungan alkohol. Susu asam ini memiliki efek positif bagi pencernaan

    manusia. Hal ini sesuai dengan teori Buchanan & Gibbons (1974),  Lactobacillus

    acidophilus merupakan bakteri  probiotik yang dapat menghasilkan asam laktat pada

     produk susu, peroksida hidrogen, dan by products  lain. Selama berada dalam

     pencernaan,  Lactobacillus acidophilus  juga membantu produksi niasin, cuka  folic, dan

     pyridoxine. Selain itu,  Lactobacillus acidophilus membantu empedu deconjugation, 

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    14/22

    13

    memisahkan amino yang asam dari cuka empedu, dan kemudian dapat didaur ulang

    oleh tubuh.

    Persiapan inokulum segar ini juga dilakukan terlebih dahulu dengan mengaktifkan

    masing-masing kultur menggunakan media yang inkubasi selama 48 jam seperti yang

    dilakukan pada pembuatan  yoghurt,  hanya saja bakteri yang digunakan adalah

     Lactobacillus acidophilus. Mula-mula susu skim yang telah dipasteurisasi sebanyak 245

    ml dimasukkan ke dalam toples kaca yang sudah disterilkan sebelumnya. Setelah itu

    susu yang berada di dalam toples kaca didinginkan di dalam baskom berisi air hingga

    terasa hangat. Hal ini sesuai dengan pendapat Potter (1987), penambahan inokulum

    harus dilakukan pada suhu 42-44oC supaya mikroorganisme kontaminan tidak dapat

    tumbuh. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Sumner & Hutkins (1990) yang

    mengungkapkan bahwa penambahan kultur  starter   sebaiknya dilakukan tidak dalam

    keadaan sangat panas karena suhu yang terlalu tinggi dapat membunuh kultur bakteri

    asam laktat dan mencegah terjadinya proses koagulasi. Hadiwiyoto (1983)

    menambahkan bahwa tujuan dari pendinginan adalah untuk memberikan kondisi yang

    optimal bagi pertumbuhan bakteri asam laktat. Setelah dingin, susu ditambahkan 1%

    kultur starter  (5 ml) untuk fresh culture secara aseptis. Hal ini sesuai dengan pernyataan

    Eti et al. (2004) bahwa dalam pembuatan acidophilus  milk   digunakan  starter  

     Lactobacillus acidophilus sebanyak 1 –  3%.

    Setelah inokulasi, toples kaca ditutup untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi,

    kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 hari tanpa dibuka maupun diaduk,

    hingga diperoleh konsistensi custard  yang diinginkan. Suhu inkubasi dalam praktikum

    ini sesuai dengan pendapat Tamime & Robinson (1999) bahwa  Lactobacillusacidophilus merupakan Lactobacilli yang bersifat obligat homofermentatif, tidak motil,

    dan menghasilkan asam laktat dengan suhu optimum pertumbuhannya adalah 35-45oC.

    Hadiwiyoto (1983) menambahkan bahwa tahapan inkubasi atau tahap pemeraman yang

    merupakan tahap dimana susu yang telah diinokulasikan bakteri disimpan atau

    diinkubasi pada suhu tertentu. Pada proses inkubasi, terjadi fermentasi oleh bakteri

    asam laktat untuk mengubah laktosa menjadi asam laktat. Selanjutnya, apabila sudah

    terbentuk gumpalan,  acidophilus milk diaduk secara perlahan supaya kekentalannya

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    15/22

    14

    merata. Sumner & Hutkins (1990) menambahkan bahwa suhu inkubasi atau

     penyimpanan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat memperlambat pertumbuhan

    kultur bakteri asam laktat dan memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk koagulasi

    susu.

    Pelczar & Reid (1958) menjelaskan bahwa perbedaan mendasar antara kefir dan

    acidophilus milk   adalah pada kultur inokulum yang digunakan. Pada produk kefir,

    kultur yang digunakan adalah campuran bakteri asam laktat dan  yeast , sedangkan kultur

    inokulum yang digunakan pada pembuatan acidophilllus milk   adalah  Lactobacillus 

    acidophilus. Selain itu cita rasa produk yang dihasilkan juga berbeda, dimana kefir

    terdapat adanya alkohol dan rasa asam pada produk yang disebabkan karena pada

    inokulum kefir mengandung  yeast  yang membentuk alkohol selama proses fermentasi,

    sedangkan pada acidophilus milk   hanya menggunakan kultur bakteri  Lactobacillus

    acidophilus yang bersifat heterofermentasi yang mengakibatkan pada acidophilus milk  

    hanya terdapat rasa asam, tanpa adanya bau dan rasa alkohol.

     Lactobacillus acidophilus yang digunakan dalam pembuatan acidophilus milk  memiliki

    efek menguntungkan bagi tubuh manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Gilliland

    (1985) dan Kim & Gilliland (1983),  Lactobacillus acidophilus  dapat menekan

     pertumbuhan bakteri pembusukan di dalam usus dan memperpanjang usia, menghambat

     bakteri patogen di saluran pencernaan, mengurangi resiko kanker usus besar,

    mengontrol kadar kolesterol darah, serta memperbaiki pencernaan laktosa pada individu

    lactose intolerance.  Lactobacillus acidophilus  juga memiliki aktivitas laktase yang

    mampu menghidrolisa laktosa susu pada susu atau produk susu sehingga produk dapat

    diterima oleh individu lactose intolerance.

    Berdasarkan data hasil pengamatan, acidophilus milk dengan inokulum “ fresh culture”

    memiliki viskositas yang kurang kental.  Hal ini sesuai dengan teori Dewi & Ulfah

    (2011) yang mengatakan bahwa achidophilus milk memiliki kekentalan yang sangat

    encer.  Acidophilus milk yang dihasilkan memiliki pH 6, yang menandakan bahwa

     produk tersebut gagal. Menurut Banina et al.  (1988), setelah susu skim yang

    ditambahkan kultur  Lactobacillus acidophilus dan diinkubasikan dengan suhu 37oC

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    16/22

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    17/22

    16

     bahwa bakteri  Lactobacillus acidophilus  dapat dikategorikan sebagai intestinal

    implantable karena dapat bertahan hidup pada kondisi asam, yaitu antara pH 1-4, tahan

    terhadap garam empedu, dapat mendegradasi enzim-enzim pencernaan yang ada dalam

    susu, serta dapat mengurangi aktivitas penghasilan metabolit yang bersifat toksik seperti

    fenol yang dihasilkan selama pencernaan.

    Bakteri intestinal implantable termasuk dalam bakteri probiotik namun bakteri probiotik

     belum tentu termasuk dalam bakteri human  intestinal implantable. Menurut Fuller

    (1992), bakteri probiotik merupakan bakteri yang aman untuk dikonsumsi, seperti

     Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus,  Lactobacillus acidophilus,

     Bifidobacterium longum, dan  Bifidobacterium bifidum. Kailasapathy & Chin (2000)

    menambahkan bahwa, tidak semua bakteri yang tergolong probiotik dan bakteri asam

    laktat merupakan intestinal implantable, contohnya  Lactobacillus bulgaricus  dan

    Streptococcus thermophilus  yang tergolong probiotik dan bakteri asam laktat (BAL),

    namun kedua bakteri ini tidak tahan terhadap asam empedu, sehingga tidak dapat

    dikategorikan sebagai intestinal implantable. 

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    18/22

     

    17

    4.  KESIMPULAN

      Produk  yoghurt   dengan inokulum “ fresh culture” memiliki kekentalan yang lebih

    rendah dibandingkan dengan yoghurt  dengan inokulum “ plain yoghurt ” komersial.

       pH pada yoghurt  berkisar 4,0-4,5, sehingga dapat dipastikan bahwa jumlah asam dan

     flavor  yang dihasilkan sudah tepat.

       plain yoghurt   yang masih mengandung kultur aktif dapat digunakan sebagai

    inokulum sehingga proses fermentasi dapat berjalan dengan baik.

      Rasa  yoghurt   yang asam disebabkan oleh adanya aktivitas bakteri penghasil asam

    laktat. Faktor-faktor yang berkontribusi pada  flavor yoghurt   adalah keasaman,

    kekentalan, dan komponen volatile yang terkandung di dalamnya.

      Kefir dengan inokulum komersial memiliki kekentalan yang lebih tinggi karena

    adanya komponen-komponen gizi maupun non gizi yang ditambahkan dalam

     pembuatan kefir komersial tersebut.

       pH kefir yang dihasilkan berkisar 4,0-4,5.

      Kefir memiliki rasa asam akibat perkembangbiakan bakteri asam laktat

    (Streptococcus lactis  dan  Lactobacillus bulgaricus), sedangkan aroma alkohol

    dihasilkan oleh yeast  Saccharomyces cerevisiae.

      Pada acidophilus milk  hanya menggunakan kultur bakteri  Lactobacillus acidophilus 

    yang bersifat heterofermentasi yang mengakibatkan pada acidophilus milk   hanya

    terdapat rasa asam, tanpa adanya bau dan rasa alkohol.

       Achidophilus milk memiliki kekentalan yang sangat encer.

       pH acidophilus milk  berkisar 4,53.

      Bakteri intestnal implantable termasuk dalam bakteri probiotik namun bakteri

     probiotik belum tentu termasuk dalam bakteri human intestinal implantable.

    Semarang, 5 Juni 2016

    Praktikan, Asisten Dosen :

    -  Tjan, Ivana Chandra

    -  Beatrix Riski Restiani

    Debora Rika Angelita

    (13.70.0041)

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    19/22

     

    18

    5.  DAFTAR PUSTAKA

    Astawan, M. W. & M. Astawan. (1998). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat

    Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.

    Atlas, R. M. (1984).  Microbiology: Fundamentals and Applications. MacMillan

    Publishing Company. New York.

    Banina, A.; M. Vulkasinovic; S. Brankovic; D. Fira; M. Kojic & L. Topisirovic. (1988).

    Characterization of Natural Isolate Lactobacillus acidophilus BGRA43 Useful for

     Acidophilus Milk Production. Faculty of Technology and Metallurgy,

    Karnegijeva. Belgrade, Yugoslavia.

    Buchanan, R. E. & N. E. Gibbons. (1974).  Bergey’s Manual of Determinative

     Bacteriology 8

    th

     Edition. The William and Walkins Company Inc. California.

    Chirlaque, R. A. (2011).  Factors Influencing Raw Milk Quality and Dairy. Universidad

    Politecnica De Valencia. Gandia.

    Dewi, I. & Ulfah. (2011). Viabilitas  Lactobacillus achidophilus pada Susu Fermentasi

    yang Diperkaya dengan Tepung Pisang ( Musa paradisiaca). Fakultas Teknologi

    Pangan Universitas Brawijaya. Malang.

    Eskin, N. A. M. (1990).  Biochemistry of Foods 2nd   Edition. Academic Press, Inc.

    California.

    Eti, S.; R. Setyaningsih; A. Susilowati. (2004). Pembuatan Minuman Probiotik dari

    Susu Kedelai dengan Inokulum Lactobacillus casei,  Lactobacillus plantarum, dan

     Lactobacillus acidophilus. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

    Fardiaz, S. (1997). Kefir, Susu Asam Berkhasiat. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi,

    Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. 

    Fardiaz, S. (1998). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

    Fellows, P. (1990).  Food Processing Technology : Principles and Practises. Ellis

    Horwood Limited. New York.

    Fuller, R. (19920.  History and Development of Probiotic  :  Probiotic the Scientific

     Basic. Chapman & Hall. London.

    Gilliland, S. E. (1985).  Bacterial Starter Cultures for Food . CRC Press Inc. Boca

    Paiton, Florida.

    Goldin, B. R. & S. L. Gorbach. (1984). The Effect of Milk and Lactobacillus Feeding on

     Human Intestinal Bacterial Enzyme Activity. The American Journal of Clinical

     Nutrition Vol. 39 : 756-761. USA.

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    20/22

    19

    Hadioetomo, R. S. (1993). Mikobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur

    Dasar Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

    Hadiwiyoto, S. (1983). Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty.

    Yogyakarta.

    Hayes, P. R. (1995). Food Microbiology and Hygiene. Chapman & Hall. London.

    Kailasapathy, K. & J. Chin. (2000). Survival and Therapeutic Potential of Probiotic

    Organisms with Reference to Lactobacillus acidophilus and Bifidobacterium spp.

     Immunology and Cell Biology Vol. 78 : 80-88. New South Wales, Australia.

    Kim, H. S. & Gilliland, S. (1983).  L. acidophilus as Dietary Adjunct for Milk to Aid

     Lactose Digestion in Humans. Journal of Nutrition Vol. 129 : 1431S-1433S.

    Lee, W. J. & J. A. Lucey. (2010). Formation and Physical Properties of Yogurt . Asian –   Aust. Asian-Aust. J. Anim. Sci. Vol. 23 (9) : 1127-1136. USA.

    Mary M. McGrane, Eva, E., Julie, O., Joan, L., Patricia, M., Joanne, S., & Linda, V.H.

    (2011). Dairy Consumption, Blood Pressure, and Risk of Hypertension: An

    Evidence-Based Review of Recent Literature. Curr Cardiovascular Risk. US

    Department of Agriculture, United Stated. Vol 5(4):287-298.

     Ndife, J., F. Idoko & R. Garba. (2014). Production and quality assessment of functional

     yoghurt   enriched with coconut. International Journal of Nutrition and Food

    Sciences 3(6).

    Okoro, L. (2009).  Profitable Investment in Yoghurt Production.

    http://businessworldng.com/web/articles/997/1/Profitable-Investment-in-Yoghurt-

     Production/Page1.html . Diakses tanggal 5 Juni 2016 pukul 23.24.

    Otles, S. & O. Cagindi. (2003). Kefir: A Probiotic Dairy-Composition, Nutritional and

    Therapeutic Aspects. Pakistan Journal of Nutrition Vol. 2 (2): 54-59.

    Pelczar, M. J. & R. D. Reid (1958).  Microbiology. McGraw-Hill Book Company, Inc.

     New York, London.

    Potter, N. N & J. H. Hotchkiss. (1995). Food Science 5th Edition. Chapman & Hall, Inc.

     New York.

    Potter, N. N. (1987). Food Science. The Avi Publishing Company, Inc. USA.

    Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Arcan. Jakarta.

    Rehm, H. J.; G. Reed; A. Puhler & P. Stadler. (1995).  Biotechnology Second,

    Completely Revised Edition. VCH Verlagsgesellschaft mbH, D-69451. New York.

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    21/22

    20

    Saleh, E. (2004). Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. USU Digital Library.

    http://library.usu.ac.id./download/fp/ternak-eniza2.pdf .  Diakses tanggal 5 Juni

    2016 pukul 21.55.

    Sharma, J. L. & S. Caralli. (1998).  A Dictionary of Food and Nutritition. CBSPublishers & Distributors. New Delhi.

    Sri. (2007). Kefir, Susu Fermentasi dengan Rasa Menyegarkan. Warta Penelitian dan

    Pengembangan Pertanian Vol. 29 (2). Diakses tanggal 5 Juni 2016 pukul 22.55.

    Sumner, S & R. Hutkins. (1990).  Making Yoghurt at Home. University of Nebraska,

     Institute of Agriculture and Natural Resources. USA. 

    Suriawiria, H.U. (2005). Mikrobiologi Dasar. Papas Sinar Sinanti. Jakarta.

    Suryono, A. S.; Mirnawati, A & Apriyantono. (2005). Studi Pengaruh PenggunaanBifidobakteria terhadap Flavor Yoghurt . Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan. Vol

    16 (1) : 62-69.

    Tamine A. Y. & R. K. Robinson. (1999). Yoghurt Science and Technology. CRC Press.

    Washington DC.

    Tamine, A. Y. & V. M. E. Marshall. (1997).  Microbiology and Technology of

     Fermented Milks.  In Microbiology and Biochemistry of Cheese and Fermented

     Milk . Blackie. Acad. Prof. London.

    Widiyaningsih, E.N. (2011). Peran Probiotik untuk Kesehatan. Jurnal Kesehatan.

    Universitas Muhamadiyah, Surakarta. Vol 4(1), ISSN: 1979-7621.

    Widodo, W. (2002). Bioteknologi Fermentasi Susu. Pusat Pengembangan Bioteknologi,

    Universitas Muhammaditan. Malang.

    Winarno, F. G. (1993). Ilmu Pangan dan Gizi, Teknologi dan Konsumsi. PT Gramedia

    Pustaka Utama. Jakarta.

    Yunita, Dewi. (2011).Pembuatan Ni yoghurt   dengan Perbedaan

    PerbandinganStreptococcus thermophilusdan  Lactobacillus bulgaricusSertaPerubahan Mutunya Selama Penyimpanan.Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 12 No.

    2 (Agustus 2011) 83-90.

  • 8/15/2019 Susu Fermentasi_Debora Rika Angelita_13.70.0041

    22/22

     

    21

    6.  LAMPIRAN

    6.1. Abstrak Jurnal

    6.2.Laporan Sementara