22
Teori Dalam Hukum Kontrak Oleh : M. Yusrizal, SH., MKn. A. Teori Kepentingan (UtilitarianismeTheory) dari Jeremy Bentham. Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasari pemikirannya pada ajaran hukum alam, hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianisme. Utilatarianism dan teori klasik ekonomi laissez faire[1] , dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberlis individualistis.[2] Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduction to the Morals and Legislation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Menurut Teory Utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya kebahagian sebesar-besarnya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama dari pada hukum.[3] Dalam hal

Teori Dalam Hukum Kontrak

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Teori Dalam Hukum Kontrak

Teori Dalam Hukum Kontrak

Oleh : M. Yusrizal, SH., MKn.  

A. Teori Kepentingan (UtilitarianismeTheory) dari Jeremy  Bentham.

Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang

dipelopori oleh Adam Smith. Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasari

pemikirannya pada ajaran hukum alam, hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham

yang dikenal dengan utilitarianisme. Utilatarianism dan teori klasik ekonomi laissez faire[1],

dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberlis individualistis.[2]

Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduction to the Morals and Legislation” berpendapat

bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.

Menurut Teory Utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya kebahagian sebesar-besarnya pada

orang sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan

utama dari pada hukum.[3] Dalam hal ini pendapat Bentham dititik beratkan pada hal-hal  yang

berfaedah dan bersifat umum.[4] 

Peraturan-peraturan yang timbul dari norma hukum (kaedah hukum), dibuat oleh

penguasa Negara, isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan

segala paksaan oleh alat-alat Negara. Keistimewaan dari norma hukum justru terletak dalam

sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya berupa ancaman hukuman.[5] Bahwa undang-undang

adalah keputusan kehendak dari satu pihak; perjanjian, keputusan kehendak dari dua pihak;

Page 2: Teori Dalam Hukum Kontrak

dengan kata lain, bahwa orang terikat pada perjanjian berdasar atas kehendaknya sendiri, pada

undang-undang terlepas dari kehendaknya.[6] 

  

B. Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe

Dikatakan Krabbe: “aldus moet ook van recht de heerscappij gezocht worden in de

reactie van het rechtsgevoel, en ligt dus het gezag niet buiten maar in den mens”, kurang lebih

artinya, demikian halnya dengan kekuasan hukum yang harus kami cari dari dalam reaksi

perasaan hukum; jadi, kekuasaan hukum itu tidak terletak diluar manusia tetapi didalam manusia.

Hukum berdaulat yaitu diatas segala sesuatu, termasuk Negara. Oleh karena itu menurut Krabbe;

Negara yang baik adalah Negara hukum (rechtstaat), tiap tindakan Negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada hukum.[7]

Azas kebebasan berkontrak dalam melakukan suatu perjanjian merupakan bentuk dari

adanya suatu kedaulatan hukum yang dipunyai oleh setiap individu dalam melakukan suatu

perbuatan hukum. Setiap individu menurut kepentingannya secara otonom berhak untuk

melakukan perjanjian dengan individu lain atau kelompok masyarakat lainnya.

C. Teori 3 P [8]

Teori ini didasarkan kepada pemilikiran Scoott J. Burham yang mendasarkan dalam

penyusunan suatu kontrak haruslah dimulai mendasari dengan pemikiran-pemikiran sebagai

berikut:

1.      Predictable, dalam perancangan dan analisa kontrak seorang darfter harus dapat meramalkan

atau melakukan prediksi mengenai kemungkinan-kemngkinan apa yang akan terjadi yang ada

kaitannya dengan kontrak yang disusun.

Page 3: Teori Dalam Hukum Kontrak

2.      Provider, yaitu  Siap-siap terhadap kemungkinan yang akan terjadi.

3.      Protect of Law, perlindungan hukum terhadap kontrak yang telah dirancang dan dianalisa

sehingga dapat melindungi klien atau pelaku bisinis dari kemungkinan kemungkin terburuk

dalam menjalankan bisnis.

Lebih dari seabad yang lalu (tahun 1861), ahli hukum Inggris yang masyur Sir Hendry

Maine menerbitkan buku berjudul Ancient Law  (Hukum Kuno). Dalam bagian yang terkenal.

Maine mencoba menjelaskan bagaimana hukum berevolusi selama bertahun-tahun pada

masyarakat yang “progresif” (yaitu, yang modern). Maine menunjukan bahwa pada masyarakat

seperti itu hukum begerak “dari satus ke kontrak”. Maksudnya, hubungan hukum dalam

masyarakat modern tidak tergantung secara khusus pada kelahiran atau kasta; hubungan hukum

itu tergantung pada perjanjian sukarela.[9]  Kontrak adalah perangkat hukum yang umumnya

berkenaan dengan perjanjian sukarela.[10]

Hukum kontrak di Indonesia diatur dalam Buku III KUHPerdata  Bab Kedua yang

mengatur tentang perikatan-perikaan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Pengertian

kontrak dengan persetujuan adalah sama seperti terlihat yang didefinisikan pada pasal 1313

KUHPerdata. Hukum kontrak hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis

perjanjian tertentu.[11] Sekalipun demikian mungkin kontrak adalah bagian yang kurang

menonjol dari hukum yang hidup (living law) dibandingkan bidang lain yang berkembang

berdasarkan hukum kontrak atau pemikiran tentang kontrak.[12]

Secara akademis, terdapat berbagai macam teori tentang kontrak, yang masing-

masingnya mencoba menjelaskan berdasarkan pengelompokannya dan kriterinya masing-

masing. Menurut Munir Fuady ada beberapa teori hukum tentang kontrak, yaitu:[13]

Page 4: Teori Dalam Hukum Kontrak

D.   Teori-teori berdasarkan Prestasi Kedua Belah Pihak.

Teori-teori berdasarkan prestasi kedua belah pihak, menurut Roscoe Pound, sebagaimana yang

dikutib Munir Fuady terdapat berbagai teori kontrak:[14]

1.      Teori Hasrat (Will Theory). Teori hasrat ini menekankan kepada pentingnya “hasrat” (will atau

intend) dari pihak yang memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku  dan

substansi dari suatu kontrak diukur dari hasrat tersebut. Menurut teori ini yang terpenting dalam

suatu kontrak bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, akan tetapi apa

yang mereka inginkan.

2.      Teori Tawar Menawar (Bargaining Theory). Teori ini merupakan perkembangan dari teori

“sama nilai” (equivalent theory) dan sangat mendapat tempat dalam Negara-negara yang

menganut system Common Law.  Teori sama nilai ini mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya 

mengikat sejauh apa yang dineosiasikan (tawar menawar) dan kemudian disetujui oleh para

pihak. 

3.      Teory sama nilai (Equivalent Theory). Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru

mengikat jika para pihak dalam kontrak tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau

sama nilai (equivalent).  

4.      Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theory). Teori ini mengajarkan bahwa kontrak

sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan

bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena

kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana. 

E.     Teori-teori berdasarkan Formasi Kontrak.

Page 5: Teori Dalam Hukum Kontrak

Dalam ilmu hukum ada empat teori yang mendasar dalam teori formasi kontrak, yaitu:

1.      Teori kontrak defacto. Kontrak de facto (implied in-fact) dalah kontrak yang tidak pernah

disebutkan  dengan tegas tetapi ada dalam kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai

kontrak yang sempurna.

2.      Teori kontrak ekpresif. Bahwa setiap kontrak yang dinyatakan dengan tegas (ekpresif) oleh

para pihak baik dengan tertulis ataupun secara lisan, sejauh memenuhi syarat-syarat syahnya

kontrak, dianggap sebagai ikatan yang sempurna bagi para pihak.

3.      Teori promissory estoppel. Disebut juga dengan detrimental reliance, dengan adanya

persesuaian kehendak diantara pihak  jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat

dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk suatu ikatan

kontrak.

4.      Teori kontrak quasi (pura-pura). Disebut juga quasi contract atau implied in law, dalam hal

tertentu apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat dianggap adanya kontrak

diantara para pihak dengan berbagai konsekwensinya, sungguhpun dalam kenyataannya kontrak

tersebut tidak pernah ada. 

    

Asas-asas  Hukum Kontrak di Indonesia

Menurut Paul Scholten, asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di

dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan

dan keputusan-keputusan individu yang dapat dipandang sebagai penjabarannya.[15] Pada

umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk yang konkrit, misalnya “asas

Page 6: Teori Dalam Hukum Kontrak

konsensualitas” yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu, “sepakat mereka yang

mengikatkan diri”. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau

peraturan yang konkrit.[16] 

Dalam tulisannya Johannes Gunawan menyebutkan, ada Asas-asas Hukum Kontrak

yang tersirat dalam Kitab KUHPerdata, yaitu, Asas Kebebasan Berkontrak,Asas Mengikat

Sebagai Undang undang, Asas Konsensualitas, dan Asas Itikad Baik.[17]

1.  Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract),

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan lahirnya

paham individualisme. Paham individualisme secara embrional lahir pada zaman Yunani yang

kemudian diteruskan oleh kaum epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaissance

melalui ajaran-ajaran  antara lain ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan

Rousseau.[18]  Asas Kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Kebebasan dalam membuat perjanjian dimana para pihak dapat dengan bebas mengatur hak dan

kewajiban dalam perjanjian yang disepakati. Menurut Subekti dalam Bukunya Hukum

Perjanjian, Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang

pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan keteriban umum.[19]  Kebebasan

berkontrak bukan berarti para pihak dapat membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, akan

tetapi tetap mengindahkan syarat-syarat sahnya pernjanjian, baik syarat umum sebagaimana yang

ditentukan oleh pasal 1320 KUHPerdata, maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian

tertentu.

Page 7: Teori Dalam Hukum Kontrak

Pendekatan terhadap asas kebebasan berkontrak berdasarkan hukum alam,

dikemukakan oleh Hugo de Groot dan Thomas Hobbes. Grotius sebagai penganjur terkemuka

dari ajaran hukum alam berpendapat bahwa hak untuk mengadakan perjanjian adalah hak asasi

manusia. Ia beranggapan, suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela  dari seseorang yang

berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang lain itu menerimanya. Kontrak lebih

dari sekedar janji  karena suatu janji tidak dapat memberikan hak kepada pihak lain atas

pelaksanaan janji itu. Selanjutnya Hobbes menyatakan bahwa kebebasan berkontrak sebagai

kebebasan manusia yang fundamental. Kontrak adalah metode dimana hak-hak fundamental

manusia dapat dialihkan.[20] 

Menurut Munir Fuady, Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para

pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur

sendiri isi kontrak tersebut.[21] Asas ini tersirat dalam pasal 1338 KUHPerdata, pada intinya

menyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat kontrak apapun sejauh tidak bertentangan

dengan hukum, ketertiban dan kesusilaan. Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata,

menyebutkan orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban

umum atau kesusilaan, pada umumnya juga boleh mengenyampingkan peraturan-peraturan yang

termuat dalam Buku III karena Buku III merupakan “hukum pelengkap” (aanvullend recht)

bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.[22] Secara Historis kebebasan berkontrak

sebenarnya meliputi lima macam kebebasan, yaitu:

a)      kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak.

b)      kebebasan menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak.

c)      kebebasan para pihak menetukan bentuk kontrak.

d)      kebebasan para pihak menentukan isi kontrak.

Page 8: Teori Dalam Hukum Kontrak

e)      kebebasan pada pihak menentukan cara penutupan kontrak.

Menurut Felix.O. Soebagjo, dalam penerapan asas kebebasan berkontrak, bukan berarti

dapat dilakukan bebas sebebasnya, akan tetapi juga ada pembatasan yang diterapkan oleh

pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kepatutan dan kesusilaan.[23] Dengan demikian kita melihat  bahwa asas kebebasan ini tidak

hanya milik KUHPerdata, akan tetapi bersifat universal [24].

Sehubungan dengan itu, teori-teori hukum Common Law tertentu membolehkan untuk membatalkan kontrak-kontrak yang bersifat menindas atau adanya unsur ketidakadilan sebagai bentuk adanya pembatasan kebebasan berkontrak.  Dorongan pembatasan kebebasan berkontrak ini tampil ke permukaan guna lebih menyediakan ruang dan peluang yang lebih besar pada pengertian-pengertian keadilan, kebenaran, kesusilaan serta ketertiban umum. Karenanya kontrak merupakan dasar dari banyak kegiatan bisnis dan hampir semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak, meskipun kontrak dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun. 

2. Asas Mengikat Sebagai  Undang undang,

Pacta Sun Servanda, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya

atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati.[25] Semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya dan perjanjian-perjanjian itu

tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan para pihak atau karena alasan-alasan yang

telah ditetapkan oleh undang-undang. Dan perjanjian harus dilakukan dengan itikat baik. Suatu

hal yang penting yang patut diperhatikan bahwa, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal

yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.[26]  Asas hukum ini, telah

meletakan posisi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat menjadi undang-undang baginya

sehingga Negara tidak berwenang lagi ikut campur dalam perjanjian.

Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang tak terbatas, karena tetap ada

batasannya dan akan ada akibat hukum yang timbul terhadap kebebasan yang tak terbatas itu.

Page 9: Teori Dalam Hukum Kontrak

Sutan Remi Sjahdeini, menyebutkan adanya batas-batas kebebasan berkontrak, yaitu bila suatu

kontrak melanggar peraturan perundang-undangan atau suatu public policy, maka kontrak

tersebut menjadi illegal. Apa yang dimaksud dengan  public policy amat tergantung kepada nilai-

nilai yang ada dalam suatu masyarakat.[27] Asas ini tercantum dalam pasal yang sama dengan

pasal yang berisi asas kebebasan berkontrak, yaitu pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan

bahwa “semua kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai undang undang bagi para

pihak dalam kontrak tersebut”.  Pemuatan dua asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak

dan asas mengikat sebagai undang-undang  di dalam satu pasal yang sama, menurut logika

hukum berarti:

1)      Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya;

2)      Kontrak baru akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut,

apabila di dalam pembuatannya terpenuhi asas kebebasan berkontrak yang terdiri atas lima

macam kebebasan.[28] 

Asas bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka terima sebagai kewajiban

masing-masing karena persetujuan merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang

mengadakannya dan kekuatan mengikatnya dianggap sama dengan kekuatan undang-undang,

sehigga istilah Pacta Sun Servanda berarti “janji itu mengikat”. Terikatnya para pihak pada

perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap

beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral.[29] 

3. Asas Konsensualitas (Consensualitas)

Sebagaimana yang tersirat dalam pasal 1320 KUHPerdata, bahwa sebuat kontrak sudah

terjadi dan karenannya mengikat para pihak dalam kontrak sejak terjadi kata sepakat  tentang

Page 10: Teori Dalam Hukum Kontrak

unsur pokok dari kontrak tersebut. Dengan kata lain, kontrak sudah sah apabila sudah tercapai

kesepakatan mengenai unsur pokok kontrak dan tidak diperlukan formalitas tertentu.[30] Banyak

pertanyaan, kapan saatnya kesepakatan dalam perjanjian itu terjadi. Kesepakatan itu akan timbul

apabila para pihak yang membuat perjanjian  itu pada suatu saat bersama-sama berada disatu satu

tempat dan disitulah terjadi kesepakatan itu. Akan tetapi dalam praktek tidak sedemikian sering

terjadi, dan banyak perjanjian terjadi melalui surat menyurat, sehingga juga timbul persoalan

kapan kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dikarenakan untuk perjanjian-perjanjian yang

tunduk pada azas konsensualitas, saat terjadinya kesepakatan merupakan saat terjadinya

perjanjian.[31] Kekuatan mengikat dari suatu kontrak adalah lahir ketika telah adanya kata

sepakat, atau dikenal dengan asas konsensualitas, dimana para pihak yang berjanji telah sepakat

untuk mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian hukum.

Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang

lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang

melakukan penawaran (efferter) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik

itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak

membaca menjadi tanggungjawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat

yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.[32]  Menurut Wirjono Prodjodikoro

sebagaimana yang dikutip oleh Riduan Syahrani, ontvangs theorie dan verneming theorie dapat

dikawinkan sedemikian rupa, yaitu dalam keadaan biasa perjanjian harus dianggap terjadi pda

saat surat penerimaan sampai pada alamat penawar (ontvangs theorie), tetapi dalam keadaan luar

biasa kepada si penawar diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa itu mungkin dapat

mengetahui isi surat penerimaan pada saat surat itu sampai dialamatnya, melainkan baru

Page 11: Teori Dalam Hukum Kontrak

beberapa hari kemudian atau beberapa bulan kemudian, misalnya karena bepergian atau sakit

keras.[33] 

Asas ini juga dapat ditemukan dalam pasal 1338 KUHPerdata, dalam istilah “semua”.

Kata-kata “semua” menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan

keinginan (will) yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. [34]

4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdata. Yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Akan tetapi dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara ekplisit apa yang dimaksud dengan

“itikad baik”.  Akibatnya orang akan menenui kesulitan dalam menafsirkan dari itikad baik itu

sendiri. Karena itikat baik merupakan suatu pengertian yang abstrak yang berhubungan dengan

apa yang ada dalam alam pikiran manusia. Menurut James Gordley, sebagaimana yang dikutip

oleh Ridwan Khairandy, memang dalam kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan itikad

baik.[35]  Dalam praktek pelaksanan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan

dengan kepatuhan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu kontrak.

Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi

dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini tidak melindungi pihak

yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap

ini perjanjian belum menenuhi syarat tertentu.[36]

Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis, haruslah sangat diperhatikan terutama

pada saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negosiasi, karena itikad baik baru diakui pada

pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat syahnya perjanjian atau setelah negosiasi dilakukan.

Page 12: Teori Dalam Hukum Kontrak

Terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakukan asas itikad baik ini,

Suharnoko menyebutkan bahwa secara implisit Undang undang Perlindungan Konsumen sudah

mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-

janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut

diingkari.[37]

Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian, menyebutkan bahwa itikad baik itu

dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian.[38] Sehingganya Riduan

Syahrani menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan perjanjian peranan itikad baik (te geder

trouw) sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali.[39] Pemikiran ini berpijak dari

pemahaman bahwa itikad baik merupakan landasan dalam melaksanakan perjanjian dengan

sebaik baiknya dan semestinya.

Asas itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan

berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki

tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad

baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan

menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan

fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking

vande geode trouw).[40] Dengan fungsi ini hakim dapat mengenyampingkan isi perjanjian yang

telah dibuat oleh para pihak. Tidak semua ahli hukum dan pengadilan menyetujui fungsi ini,

karena akan banyak hal bersinggungan dengan keadaan memaksa, sehingganya masih dalam

perdebatan dalam pelaksanaannya.

Pengertian itikad baik secara defenisi tidak ditemukan, begitu juga dalam KUHPerdata

tidak dijelaskan secara terperinci tentang apa yang dimaksud dengan itikad baik, pada pasal 1338

Page 13: Teori Dalam Hukum Kontrak

ayat (1) KUHPerdata hanyalah disebutkan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan

dengan “itikad baik”. Menurut Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad baik (te goeder trouw)

yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran, dibedakan menjadi dua macam, yaitu; (1) itikad

baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau perjanjian, dan (2) itikad baik pada

waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari hubungan hukum

tersebut.[41] 

Sampai sekarang tidak ada makna tunggal itikad baik dalam kontrak, sehingga masih

terjadi perdebatan megnenai bagaimana sebenarnya makna dari itikat baik itu. Itikad baik para

pihak, haruslah mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang ditengah masyarakat, sebab itikad

baik merupakan bagian dari masyarakat.

Sifat dari itikad baik dapat berupa subjektif, dikarenakan terhadap perbuatan ketika

akan mengadakan hubungan hukum maupun akan melaksanakan perjanjian adalah sikap mental

dari seseorang. Banyak penulis ahli hukum Indonesia menganggap itikad baik bersifat subjektif.

Akan tetapi sebagaiman dikutip Riduan Syahrani  dalam bukunya Wirjono Prodjodikoro, Asas-

Asas Hukum Perjanjian, menyebutkan para kalangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann

dan Vollmar menganggap bahwa disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif,  juga

ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka  tidak lain maksudnya adalah  k e p a  t u t a n

(billikheid, redelijkheid).[42]

[1] Istilah laissez bukan berasal dari Adam Smith. Istilah itu pada mulanya dikemukakan oleh Vincent de Gournay, salah seorang pelopor mazhab fisiokrat. Istilah lengkapnya adalah “laissez faire, laissez passer, lemonade va alors de lui meme”, secara arafiah berarti “Biarlah berbuat, biarlah berlalu, dunia akan tetpa berputar terus’.  

[2] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI) Jakarta 1993, Hal.17.

Page 14: Teori Dalam Hukum Kontrak

[3]  L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta 1981 Hal. 168.

[4]  C.S.T. Kansil,op.cit. Hal.42.[5]  C.S.T. Kansil, ib.id. Hal. 86-67. [6]  L.J.van Apeldoorn. op.cit., Hal. 168. [7]  Ibid.[8]  Teori ini dikembangkan oleh  Scoott J. Burham dalam bukunya Drafting Contract,

yang diterbitlan oleh The Michie Company Montana 1992, Hal.2[9] Lawrence F. Friedman, Amerrican Law An Introduction, Second Editon, Hukum

Amerika Sebuah Pengantar (Penerjemah Wishnu Basuki), Penerbit PT.Tatanusa, Jakarta 2001, Hal.195.

[10] Ibid. [11] Ibid. Hal.196. [12] Ibid. Hal. 197. [13] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya

Bakti, Bandung 2001, Hal.5-11.[14] Ibid [15]  J.J.H. Bruggink (alih bahasa Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum, PT.Citra

Adytia Bakti, Bandung, 1996, Hal.119.[16]  Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogjakarta, 1999, Hal.34-35. [17]  Johannes Gunawan,  op.cit. hal. 47  dan juga lihat Mariam Darus Badrulzaman,

KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni Bandung,1993 Hal.108.[18]  Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika

Jakarta 2003, Hal. 9.[19]  Subekti, op.cit., Hal.13. [20]  Sutan Remy Sjahdeni,op.cit. Hal.18-20.[21]  Munir Fuady, Pengatar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2002,

Hal. 12.[22]  Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Cet. ke-XXXIII, PT.Intermasa, Jakarta

2005,Hal. 128.[23]  Felix.O.Soebagjo, Perkebangan Asas-Asas Hukum Kontrak Dalam Praktek Bisnis

selama 25 Tahun Terakhir,Disampaikan dalam pertemuan ilmiah “Perkembangan Hukum Kontrak dalam PraktekBisnis di Indonesia”, diseleggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Nasional, Jakarta 18 dan 19 Pebruari 1993. 

[24]  Bandingkan dengan, Mariam Darsu Badrulzaman, op.cit, hal.108-109. [25]  C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka

Jakarta 1983, Hal.48 [26]  I.G.Ray Widjaya, op.cit. Hal.135[27]  Sutan Remi Sjahdeini, op.cit  Hal.41. [28]  Johannes Gunawan,  op.cit. Hal. 48         [29] Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.Citra Adytia

Bakti, Bandung, 2001. Hal.88. [30]  Johannes Gunawan,  op.cit.[31]  Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni Bandung

2000, Hal.214[32]  Subekti,   Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta Cet VI. 1979, Hal.29-30.

Page 15: Teori Dalam Hukum Kontrak

[33]  Riduan Syahrani,  op.cit. Hal. 216.[34]  Mariam Darus Badrulzaman, dkk. Op.cit, Hal. 87.[35]  Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2003, Hal.129-130. [36]  Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta

2004, Hal. 5 [37]  Ibid., Hal. 8-9.[38]  Subekti, op.cit. Hal. 41.[39]  Riduan Syahrani, op.cit. Hal.259.[40]  Ridwan Khairandy, op.cit. Hal. 33.[41]  Riduan Syahrani, .op.cit.Hal. 260. [42]  Riduan Syahrani, ib.id .Hal.262