9
LIBERALISME Ada tiga asumsi dasar liberalisme menyangkut EPI, yaitu (1) banyak aktor internasional selain negara; (2) aktor-aktor tadi semuanya rasional dan mengejar tujuan yang berbeda-beda, di mana aktor yang berbeda tadi memiliki kapabilitas yang berbeda di ranah yang berbeda pula; (3) EPI menawarkan kesempatan bagi siapa pun untuk mendapatkan (to gain) yang diinginkan di saat yang sama, di mana aktor lebih perhatian pada absolute well-being ketimbang relative position. Explanatory variable: Liberalisme adalah konfigurasi kepentingan dan kapabilitas yang dihubungkan dengan sebuah given issue area yaitu outcomes (termasuk pembentukan institusi yang didesain mengokohkan Pareto optimal outcomes, situasi dimana tidak ada aktor yang menjadi lebih baik tanpa membuat aktor lain lebih buruk –secara finansial) di mana ia menjadi sebuah fungsi dari preferensi dan kapabilitas atas tinjauan berbagai macam aktor yang berbeda yang sama-sama risau dengan maksimalisasi utilitas individu masing-masing. Evidence: Yang dibutuhkan oleh para analis liberal adalah spesifikasi aktor yang memiliki relevansi (saling berhubungan), penaksiran atas sumber daya mereka dan menunjukkan tujuan-tujuan mereka (bukan hanya interest, tetapi juga batasan dan paksaan/constraints and incentive yang ditunjukkan dengan eksistensi struktur internasional dan aktor- aktor lain). Exemplary problems: Isu paling penting dalam pandangan liberalis adalah market failure, yaitu situasi dimana perhitungan kepentingan individual murni tidak membawa pada Pareto optimal outcomes. Liberalisme pada dasarnya menawarkan citra ekonomi global yang ramah (benign), di mana aktor-aktor yang berbeda sebagai manusia, memiliki kelihaian dan kecerdikan untuk menciptakan institusi baru yang mendorong perilaku yang menghasilkan Pareto optimal outcomes. Perhatian utama pada pertumbuhan interaksi global menghasilkan pandangan, bahwa ekonomi dunia yang makin terbuka merupakan sebuah keuntungan. Variants: Ada tiga jenis pendekatan liberalisme, yaitu: 1. Fungsionalisme, yang digadangi David Mitrany. Perhatian utamanya adalah pembentukan integrasi ekonomi global lewat pendekatan interest and loyalities. Sedangkan pembaharunya, Neo-fungsionalis, melihat integrasi didapat melalui political spillover, functional spillover, serta up-grading common interest. 2. Transnasionalisme. Transnational interaction didefinisikan oleh Keohane dan Nye sebagai ‘pergerakan atas items yang terlihat ataupun tidak, melewati perbatasan negara, di mana setidaknya satu aktor (yang melakukan pergerakan) bukan agent dari sebuah pemerintah atau organisasi internasional.’ Interaksi semacam ini dipandang selalu ada, sehingga manajemen efektifnya memerlukan kooperasi di tingkat lebih tinggi ketimbang negara. Sayangnya, teori ini tidak jelas menspesifikasi ex-ante actors, interest, dan kapabilitas masing-

Teori Ekopolin

Embed Size (px)

DESCRIPTION

4 Teori Klasik Ekonomi Politik Int'l

Citation preview

Page 1: Teori Ekopolin

LIBERALISME

Ada tiga asumsi dasar liberalisme menyangkut EPI, yaitu (1) banyak aktor internasional selain negara; (2) aktor-aktor tadi semuanya rasional dan mengejar tujuan yang berbeda-beda, di mana aktor yang berbeda tadi memiliki kapabilitas yang berbeda di ranah yang berbeda pula; (3) EPI menawarkan kesempatan bagi siapa pun untuk mendapatkan (to gain) yang diinginkan di saat yang sama, di mana aktor lebih perhatian pada absolute well-being ketimbang relative position.

Explanatory variable: Liberalisme adalah konfigurasi kepentingan dan kapabilitas yang dihubungkan dengan sebuah given issue area yaitu outcomes (termasuk pembentukan institusi yang didesain mengokohkan Pareto optimal outcomes, situasi dimana tidak ada aktor yang menjadi lebih baik tanpa membuat aktor lain lebih buruk –secara finansial) di mana ia menjadi sebuah fungsi dari preferensi dan kapabilitas atas tinjauan berbagai macam aktor yang berbeda yang sama-sama risau dengan maksimalisasi utilitas individu masing-masing.Evidence: Yang dibutuhkan oleh para analis liberal adalah spesifikasi aktor yang memiliki relevansi (saling berhubungan), penaksiran atas sumber daya mereka dan menunjukkan tujuan-tujuan mereka (bukan hanya interest, tetapi juga batasan dan paksaan/constraints and incentive yang ditunjukkan dengan eksistensi struktur internasional dan aktor-aktor lain).Exemplary problems: Isu paling penting dalam pandangan liberalis adalah market failure, yaitu situasi dimana perhitungan kepentingan individual murni tidak membawa pada Pareto optimal outcomes. Liberalisme pada dasarnya menawarkan citra ekonomi global yang ramah (benign), di mana aktor-aktor yang berbeda sebagai manusia, memiliki kelihaian dan kecerdikan untuk menciptakan institusi baru yang mendorong perilaku yang menghasilkan Pareto optimal outcomes. Perhatian utama pada pertumbuhan interaksi global menghasilkan pandangan, bahwa ekonomi dunia yang makin terbuka merupakan sebuah keuntungan.

Variants: Ada tiga jenis pendekatan liberalisme, yaitu:

1. Fungsionalisme, yang digadangi David Mitrany. Perhatian utamanya adalah pembentukan integrasi ekonomi global lewat pendekatan interest and loyalities. Sedangkan pembaharunya, Neo-fungsionalis, melihat integrasi didapat melalui political spillover, functional spillover, serta up-grading common interest.2. Transnasionalisme. Transnational interaction didefinisikan oleh Keohane dan Nye sebagai ‘pergerakan atas items yang terlihat ataupun tidak, melewati perbatasan negara, di mana setidaknya satu aktor (yang melakukan pergerakan) bukan agent dari sebuah pemerintah atau organisasi internasional.’ Interaksi semacam ini dipandang selalu ada, sehingga manajemen efektifnya memerlukan kooperasi di tingkat lebih tinggi ketimbang negara. Sayangnya, teori ini tidak jelas menspesifikasi ex-ante actors, interest, dan kapabilitas masing-masing, sehingga outcomes yang dihasilkan analisa, bisa apa saja, and it explains nothing. Tetapi generalisasi ini tidak berlaku bagi argumen Richard Cooper tentang global finance di mana ukuran dan mobilitas international capital flows telah memaksa kemampuan negara/state untuk membuat sebuah kebijakan moneter independen.3. Co-operation. Ia menganalisa permasalahan market failure. State bisa jadi gagal dalam memaksimalkan utilitas mereka sendiri disebabkan oleh karena tingkah laku individu mereka yang self-interested. Kesalahan semacam ini sering diatasi dengan pembentukan institutional arrangements yang menyediakan informasi, dan solusi nyata yang terawasi. Teori ini mendasarkan dirinya pada teknik analisis, terutama game theory dan rational choice. Teori ini berhasil diterapkan pada isu trade, finance, environment dan economic sanction.Liberalisme sangat sedikit berbicara tentang perang, karena keterbukaan ekonomi global yang menawarkan kesempatan dirasa membuat aktor lebih suka exchange demi mutual gain ketimbang perang. Akan tetapi pendekatan ini tidak

Page 2: Teori Ekopolin

dapat digunakan untuk menganalisa kenapa masih banyak perang di sebagian besar negara.

Liberalisme ekonomi muncul sebagai kritik terhadap pendekatan Merkantilisme yang melihat ekonomi sebagai alat politik negara untuk meningkatkan powernya. Pada pendekatan liberalisme ekonomi, ekonomi dan politik cenderung menjadi dua komponen yang terpisahkan. Meskipun para kaum liberalis beranggapan bahwa pasar tidak boleh mengikutkan campur tangan pemerintah, namun hubungan antar ekonomi dan politik ini tergambar secara implisit. Pasar dianggap muncul dan mengalami perluasan secara spontan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Adam Smith menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pasar, uang, serta institusi ekonomi tercipta. Pemikiran dasar mengenai sistem pasar sendiri ditujukan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi guna mensejahterakan manusia (Gilpin, 1987: 28).

Adam Smith sebagai bapak ekonomi liberal berpandangan bahwa ekonomi pasar adalah sumber utama kemajuan, kerjasama, dan kesejahteraan. MEskipun tidak secara eksplisit menjelaskan hubungan ekonomi dan politik, namun pernyataan dan asumsi-asumsi dari leiberalis ekonomi ini sendiri cukup menggambarkan adanya keterkaitan antara ekonomi dan politik dalam cakupan interrnasional. Smith melihat bahwa campur tangan politik melalui peraturan negara akan menyebabkan konflik dan kemunduran (Sorense, 2005: 235).

Jika pada pendekatan merkantilisme negara dianggap sebagai aktor utama yang berperan dalam ekonomi politik internasional, pada pendekatan liebralisme ekonomi, individu sebagai konsumen dan produsen menjadi aktor utama. Peran negara di dalamnya hanya berfungsi untuk mencegah kegagalan pasar atau sebagai penyedia barang publik saja. Kegiatan ekonominya bersifat positive sum game, seiring perkembangannya, pasar merupakan arena kerjasama yang dapat meberi keuntungan timbal balik bagi negara yang berpartisipasi di dalamnya.

STRUKTURALISMarxisme yang berpandangan bahwa perekonomian adalah arena

eksploitasi manusia dan perbedaan kelas. Hampir sama dengan merkantilisme yang memandang perekonomian sebagai zero sum game, marxisme menggunakannya pada hubungan antar kelas selain hubungan antar negara. Jika merkantilisme menempatkan ekonomi sebagai alat politik, yang berarti poltiik memiliki posisi di atas ekonomi, marxisme adalah kebalikannya. Marxisme menempatkan ekonomi di atas politik. Di dalam perekonomian kapitlais, marxis melihat adanya du akelas yang tercipta, yaitu borjuis dan proletar (Sorensen, 2005: 235-236).

Kapitalisme dianggap oleh kaum marxisme sebagaisebuah langkah kemajuan, dimana buruh dapat menjual tenaganya dan memperoleh imbalan, selain itu kapitalisme juga dipandang membuka jalan bagi revolusi sosial. Dominasi kaum borjuis dalam perekonomian kapitalis ini dipandang juga memiliki kecenderungan untuk mendominasi sektor politik. Jika pada merkantilisme negara sebagai aktor utamanya dan pada liberalisme ekonomi individu merupakan aktornya, pada marxisme negara dianggap tidak otonom, kegiatan ekonomi dan politik digerakkan oleh kepentigan kelas-kelas penguasa. Selain itu kapitalisme dianggap bersifat ekspansif, perluasan inilah menjadi salah satu bentuk globalisasi ekonomi, dimana banyak perusahaan transnasional raksasa yang berkuasa (Sorensen, 2005: 240).

Pada intinya, pendekatan marxisme beranggapan bahwa aktor utama adalah kelas-kelas. Bahwasanya kelas-kelas penguasa yang mendominasi salah satu sektor juga akan mendominasi sektor lainnya. Dominasi kelas ekonomi akan juga mendominasi sektor politik, dan fokus bahasan pada pendekatan marxisme ini adalah seputar pembangunan kapitalis global yang menyebabkan krisis antar negara dan juga antar kelas.

Page 3: Teori Ekopolin

Ketiga pendekatan yang disebutkan di atas merupakan tiga pendekatan utama dalam pembahasan ekonomi politik internasional. Ketiganya muncul sebagai reaksi atas pendekatan lainnya. Merkantilisme melihat bahwa negara akan menggunakan ekonomi sebagai alat poltiik yang mampu meningkatkan power bagi negara. Liberalisme ekonomi berpandangan bahwa negara tidak seharusnya memberi campur tangan pada perekonomian. Dan marxisme mngkritisi pandangan liberalisme ekonomi yang melihat pasar sebagai arena kerjasama, marxisme lebih melihat pasar sebagai arena eksploitasi kelas. Meskipun saling mengkritisi satu sama lain, ketiga pendekatan ini memberikan alternatif-alternatif pandangan yang variatif dalam melihat hubungan antar aekonomi dan politik internasional.

MERKANTILISME

Merkantilisme, merupakan sebuah pendekatan yang memandang bahwa elit-elit politik merupakan aktor utama dalam pembangunan negara modern. Pandangan utama dalam pendekatan merkantilisme adalah ekonomi merupakan alat politik yang digunakan sebagai dasar kekuasaan politik. Sehingga para penganut merkantilisme beranggapan bahwa kegiatan ekonomi harus tunduk pada tujuan utama dalam membangun negara yang kuat, hal ini tentu tidak terlepas dari asumsi bahwa ekonomu merupakan alat politik bagi sebuah negara (Sorensen, 1999: 232).

            Merkantilisme memandang perekonomian internasional sebagai ajang konflik karena di dalamnya terdapat kepentingan-kepentingan yang bertentangan dibandingkan sebagai arena kerjasama yang menguntungkan. Dengan kata lain, merkantilisme melihat perekonomian internasional sebagai arena zero-sum game dimana keuntungan negara dianggap sebagai kerugian bagi negara lainnya. Selain itu, merkantilisme berasumsi bahwa kekayaan material negara perlu dikhawatirkan, sebab melalui keuntungan ekonomi relatif yang dimiliki negara, maka negara tersebut akan mampu memperkuat kekuatan politik dan militer untuk melawan negara lain (Sorensen, 2005: 232).

Merkantilisme melihat terdapat dua bentuk persaingan ekonomi antarnegara, yaitu benign mercantilism atau merkantilisme ramah, dimana negara berupaya untuk memelihara kepentingan nasionalnya karena hal ini dianggap sebagai unsur penting bagi keamanan dan ketahanan negara. Merkantilisme ramah bersifat bertahan. Jenis kedua adalah malevolent mercantilism atau merkantilisme jahat. berpandangan bahwa ekonomi internasional merupakan arena imperialis, eksploitasi, serta perluasan nasional. Maka dari itu disebut dengan merkantilisme yang bersifat agresif atau jahat (Gilpin, 1987: 234).

Dalam pendekatan merkantilisme ini negara dipandang sebagai aktor utama yang berperan dengan tujuan utama meningkatkan kekuatan negara. Ekonomi dan politik, yaitu kekayaan dan kekuasaan dinilai saling melengkapi satu sama lain. Melalui kekayaan ekonomi, negara akan mampu meningkatkan power di dalam bidang politik dan militer, begitu pula sebaliknya, melalui keuataan politik dan militer, negara akan dengan mudah mendapatkan keuntungan ekonomi.

Ada 3 teori utama EPI, yaitu :

MERKANTILISMEKaum merkantilisme menganggap perekonomian tunduk pada komunitas politik, khususnya pemerintah. Aktivitas ekonomi dilihat dalam konteks yang lebih besar atas peningkatan kekuatan negara. Organisasi yang bertanggung jawab dalam mempertahankan dan memajukan kepentingan nasional, yang disebut negara

Page 4: Teori Ekopolin

memerintah di atas kepentingan ekonomi swasta. Kekayaan dan kekuasaan adalah tujuan yang saling melengkapi, bukan saling bertentangan. Ketergantungan ekonomi pada negara-negara lain seharusnya dihindari sejauh mungkin. Ketika kepentingan ekonomi dan keamanan pecah, kepentingan keamanan mendapat prioritas.

LIBERALISME Kaum ekonomi liberal berpendapat bahwa perekonomian pasar merupakan wilayah otonom dari masyarakat, berjalan sesuai dengan hukum ekonominya sendiri. Pertukaran ekonomi bersifat “positive-sum game”, dan pasar cenderung memaksimalkan keutungan bagi individu, rumah tangga dan perusahaan. Perekonomian merupakan bidang kerjasama saling menguntungkan, antarnegara dan antar individu. 

MARXISMEPendapat kaum Marxis yaitu menganggap perekonomian sebagai tempat eksploitasi dan perbedaan antar kelas, khususnya kaum borjuis dan kaum proletar. Sebagian besar, politik ditentukan oleh konteks social ekonomi. Kelas ekonomi yang dominan juga dominan secara politik. Hal itu berarti bahwa dalam perekonomian kapitalis , kaum borjuis akan menjadi lebih berkuasa. Pembangunan kapitalis global bersifat tidak seimbang bahkan menghasilkan krisis dan kontradiksi, baik antar Negara maupun antar kelas social. EPI Marxis selanjutnya hirau pada sejarah tentang perluasan kapitalis global, peruangan antar kelas dan Negara yang telah memberikan kebangkitan diseluruh dunia, dan bagaimana transformasi yang revolusioner dari dunia tersebut mungkin akan muncul.

Ketiga teori tersebut yakni; merkantilime, ekonomik liberalisme, dan Marxisme

Merkantilisme adalah teori yang yang memiliki kaitan erat dengan pembentukan negara berdaulat, modern, pada abad ke-16 dan ke-17. Merkantilis berpendapat bahwa aktivitas ekonomi adalah seharusnya tunduk pada tujuan primer untuk membangun serta menciptakan negara yang kuat. Dimana dapat dikatakan bahwasanya ekonomi adalah alat politik yang dasar untuk membangun kekuatan politik, dan kekuatan politik-militer yang dapat digunakan untuk melawan negara lain. Merkantilis melihat perekonomian internasional sebagai area konflik bagi mereka yang memiliki kepentigan berbeda, dibandingkan sebagai wilayah untuk bekerja sama dan saling menguntungkan. Dalam hal ini merkantilis menekankan pada zero-sum game,yang mana kemenangan satu pihak adalah kekalahan bagi pihak yang lainnya. Perekonomian haruslah tunduk pada tujuan utama peningkatan kekuatan negara, atau seperti yang ditulikan oleh Jackson & Sorenson, 1999, “Politics must have primacy over economics”.

            “Mercantilists share the preumptions Realits in international relations. They do not focus on individual policymakers and their policy choices but rather assume that the world-economy is an-arena of competition among states seeking to maximize relative strength and power” (John Baylis, 2001).

Liberal. Ekonomik liberal hadir sebagai kritik akan teori dan kebijkan yang men-subordinate ekonomi pada politik. Ekonomi liberal berpendapat bahwasanya

Page 5: Teori Ekopolin

ekonomi pasar adalah sumber utama kemajuan, kerjasama, dan kesejahteraan. Campur tangan politik dan peraturan negara akan menciptakan kemunduran serta menyebabkan konflik. Kaum ekonomi liberal menolak pandangan kaum merkantilis bahwa negara adalah aktor dan fokus sentral dalam menghadapi permasalahan ekonomi. Menurut ekonomi liberal, aktor utama adalah individu sebagai konsumen dan juga produsen, dimana diketahui bahwasanya sifat dasar manusia yang rasional dapat membawa keuntungan bagi semua pihak, dimana membawa kepada harga yang optimal dan kestabilan ekonomi.

            Ekonomi liberal juga berpendapat bahwasanya dengan perbedaan sumber daya alam yang setipa negara miliki, perdagangan bebas menjadi opsi terbaik. Konsep David Ricardo mengenai comarative advantage melandasi pemikiran tersebut, dimana ia berpendapat bahwa perdagangan bebas yaitu aktivitas komersial yang dijalankan secara bebasdari perbatasan nasional, akan membawa keuntungan bagi semua partisipan sebab perdagangan bebas menjadikan terjadinya spesialisasi dan spesialisasi meningkatkan efisiensi, dan dengan demikian, meningkatkat produktivitas (Jackson & Sorenson, 1999: 181).

            “For markets to function most efficiently, economics, and political must be seperated as much as possible; that is, market must be free”...”Mercantilists views that politics determines economis,liberals see economics as determining politics, though ideally the two should be kept seperated as much as possible” (Mingst, 2008: 249).

Marxisme. Marxisme datang mengkritik pemikiran ekonom liberal yang mana mengatakan perekonomian sebagai suatu halyang positif dan menguntungkan semua pihak. Marxist berpendapat bahwasanya perekonomian dalam kenyataannya adalah tempat eksploitasi manusia dan perbedaan kelas. Kaun marxis sependapat dengan para kaum merkantilis bahwa politik dan ekonomi sangat lah berkaitan. Baik marxis maupun merkantilis menolak pandangan liberal yang berpendapat bahwa ekonomi berjalan dengan hukumnya sendiri. Akan tetapi, yang membedakan marxis dn merkantilis disini yakni padangan apa yang lebih utama. Menurut kaum Marxis, Ekonomi berada diatas politik.

            Marxisme percaya bahwasanya terdapat dua kelas didalam perekonomian kapitalis, yakni kaum proletar dan kaum borjouis, yakni bukan pemilik modal dan pemilik modal. Menurut Marxis perekonomian yang ada yakni mengenai kompetisi diantara kelas-kelas, yakni diantara kelas pemilik modan yang kelas bukan pemilik modal. Marxis berpendapat bahwa politik, sebagian besar ditentukan oleh konteks sosial ekonomi. Kelas ekonomi yang dominan akan menjadi dominan juga didalam politik, yakni kelas bourjuis.

CRITICAL THEORY

Bagi, Gramsci sains sosial yang dikembangkan oleh Marxisme orthodoks, mendistorsi peran-peran manusia sebagai ’agen’, dimana fluktuasi ideologi dan politik hanya merupakan ekspresi dari basis struktur (ekonomi) (Sugiono, 1999, Hal 22). Lebih lanjut, Gramsci berpendapat bahwa bertahannya kapitalisme dari krisis internalnya, bukan semata-mata karena mampu memperbaiki hubungan-hubungan produksinya menjadi fleksibel melainkan karena mampu membangun konsensus mengenai universalisasi ide-ide kapitalisme dengan kelompok subordinat. Artinya, manipulasi melalui mekanisme sosialisasi seperti

Page 6: Teori Ekopolin

media massa mengenai keunggulan spritul dan kultural kelas penguasa menjadikan kelas subordinat secara tak sadar menerima ketertindasan tersebut. ’Perang ide’ merupakan gambaran Gramsci mengenai kondisi ini (Femia, 2001).

Dalam konteks ini, Gramsci kemudian mengembangkan apa yang disebutnya sebagai ’hegemoni’; seluruh kompleks aktivitas pratiks dan teoritis dimana kelas berkuasa tidak hanya menjustifikasi dan menjaga dominasinya, tetapi juga berusaha memenangkan persetujuan aktif dari mereka yang dikuasai. Artinya, sebuah hubungan hegemonik akan terjadi apabila kelompok berkuasa mendapat legitimasi dari kelompok subordinat atas subordinasinya. Legitimasi tersebut tidak ditatantang karena baik ideologi, nilai, kultur diinternalisasikan sedemikian rupa sebagai ’milik’ kelompok tertindas.

Pada perkembangannya, terminologi teori kritis lebih banyak dihubungkan dengan pandangan Frankfurt School (Mazhab Frankfurt), seperti, Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benyamin, Herbert Marcus, Erich Fromm dan Jurgen Habermas. Implisit dari karekter pemikiran mereka ialah upaya untuk membangun emansipasi manusia terhadap modernitas dan kemajuan kapitalisme yang ’menghancurkan’ potensi kemanusiaan.

 Karakter emansipatoris teori kritis tercermin melalui beberapa syarat, yaitu;

a) bersikap kritis dan curiga terhadap zamannya;

b) berpikir secara historis, berpijak pada masyarakatnya dalam kondisi yang ‘historis’; c) tidak memisahkan teori dari praktek, tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang objektif (Adian, 2005).

Dengan demikian, teori kritis lebih bersifat reflektif (yaitu, ’membongkar’ segala bentuk tatanan sosial yang dominatif, timpang, tidak adil dan tidak setara) ketimbang mengutamakan objektifitas ilmu pengetahuan. Pada titik ini, teori kritis sebenarnya beroposisi dengan pandangan kaum behavioralisme yang menekankan pada positivisme ilmu pengetahuan, bebas nilai, objektivitas dan pembedaan tegas antara subjek (peneliti) dan objek (yang diteliti), sehingga oleh beberapa ilmuwan teori kritis dikategorisasikan kedalam postbehavioralism.

Kemunculan teori kritis adalah ’reaksi’ dan kritik terhadap positivisme ilmu pengetahuan yang sangat dijunjung oleh kaum behavioralism. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kehadiran teori kritis bukanlah sesuatu yang muncul dari ruang hampa melainkan hasil dialektika dari pelbagai pemikiran tradisi kritis sebelumnya – sebuah perpaduan apik dari pemikiran Kant, Hegel, Marx dan Psikoanalisis Freud; Kant memahami kritik sebagai upaya untuk mengenal keterbatasan rasio dalam setiap klaim pengetahuan; Hegel memahami kritik sebagai refleksi diri atas berbagai rintangan, tekanan, dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan-diri dari rasio dalam sejarah; Marx memahami kritik sebagai usaha-usaha emansipatoris dari penindasan dan usaha-usaha alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat, sementara Freud memahami Kritik sebagai pembebasan individu dari irrasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi sadar. 

Horkheimer menyebutnya Teori Kritis (sebagai pembeda atas Teori Tradisional – Behavioralisme), yang setidaknya memiliki empat karakter, yaitu; pertama, teori kritis bersifat historis, artinya diperkembangkan oleh berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak diatasnya; kedua, teori kritis disusun atas kesadaran akan keterlibatan para pemikirnya; ketiga, teori kritis memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual; dan keempat, teori kritis itu merupakan teori yang bersifat praktis (Hardiman, 2004).

Page 7: Teori Ekopolin

Marxisme dan teori Kritis dalam Studi Hubungan Internasional

Dalam studi Hubungan Internasional, kedua perspektif ini memiliki kecenderungan yang sama, yakni sikap kritisnya terhadap kapitalisme internasional, yang eksploitatif dan timpang. Bahkan tak jarang digunakan secara ’bersamaan’ untuk menganalisis dominasi sistem kapitalis dunia, sumber-sumber ketidakadilan struktural yang terdapat dalam sistem internasional, merefleksikan secara kritis kondisi-kondisi historis yang mendasari ketidakadilan tersebut, kekuatan-kekuatan material dan ideologis yang mempertahankannya, dan berupaya untuk menciptakan kekuatan-kekuatan potensial yang memungkinkan terjadinya transformasi radikal struktur internasional yang lebih adil (Griffiths, 2001. Hal. 147).

Selain itu, baik Marxisme maupun Teori Kritis memiliki kecenderungan untuk membangun konstruksi baru tatanan internasional yang memungkinkan tercapainya emansipasi universal. Jika perspektif Marxisme melalui Imanuel Wallerstein lebih menekankan pada upaya untuk menciptakan tata ekonomi dunia yang berkeadilan ekonomi dan politik, melalui gerakan sosial nasional menuju skala global, upaya untuk mencapai emansipasi universal tersebut bagi kelompok Teori Kritis, dapat dilakukan dengan membongkar diskurus dominan yang menguasai sistem internasional sekaligus mensubordinasi kelas sosial tertentu untuk mewujudkan seluruh kapasitas potensialnya.

Perbedaan pokok diantara keduanya ialah, jika Marxisme lebih menekankan pada analisis ekonomi (perdagangan internasional) untuk membongkar berbagai ketimpangan dalam sistem kapitalis dunia, dan ’mengabaikan’ peran ide/subjek (manusia), Teori Kritis lebih memfokuskan dirinya pada ’agen’, yakni berupaya untuk menjelaskan bagaimana peran agen (ide/diskurusus) dan hubungan-hubungan intersubjektif (melibatkan individu, kelas sosial tertentu) yang berupaya untuk ’melanggengkan’ kekuasaan politik tertentu – dititik ini, penulis melihat bahwa Teori Kritis dalam studi HI berada dalam konteks untuk ’menggenapi’ beberapa hal yang tak mampu dijangkau oleh Marxisme.