25
BAB 4. PERTUMBUHAN MIKROBA Mikroba hidup di sekitar kita dan hidup di sembarang lingkungan di bumi. Pertumbuhan mikroba merupakan aspek penting dalam mempelajari mikrobiologi. Karena berdasarkan kurva pertumbuhan tersebut kita dapat memanipulasi pertumbuhan mikroba untuk kepentingan manusia. Bentuk manipulasi pertumbuhan dapat berupa mempercepat maupun menghambat pertumbuhan. PERTUMBUHAN Pertumbuhan adalah bertambahnya tinggi atau berat suatu organisme. Pertambahan tinggi maupun berat organisme merupakan bertambahnya ukuran sel atau bertambahnya jumlah sel. Dalam dunia mikroba pertumbuhan diartikan sebagai bertambahnya jumlah sel. Hal ini karena mikroba sebagian besar adalah organisme bersel tunggal. Sehingga difinisi pertambahan tinggi maupun berat organisme tidak berlaku lagi. Mikroba memperbanyak diri melalui pembelahan sel maupun reproduksi seksual. Reproduksi seksual hanya dijumpai pada mikroba bersel banyak seperti jamur. Pembelahan Sel Terdapat 2 jenis pembelahan sel yaitu pembelahan biner dan pertunasan (budding). Pembelahan biner adalah pembelahan yang menghasilkan 2 sel sama besar (Gambar 3.1), sedangkan pertunasan adalah pembelahan yang menghasilkan 2 sel yang tidak sama besar (sel yang besar disebut induk dan sel yang kecil disebut anak). Pada jamur terdapat suatu deviasi dari pembelahan biner yang disebut pembelahan filamentus. Pembelahan atau pertumbuhan filamentus adalah pembelahan sel filamen (sel tubulus dan panjang), di mana hasil pembelahan tidak terpisah melainkan tetap menjadi suatu bagian utuh organisme tersebut. Hal ini masuk akal karena jamur merupakan

Textbook Mikrobiologi4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Textbook Mikrobiologi4

BAB 4. PERTUMBUHAN MIKROBA

Mikroba hidup di sekitar kita dan hidup di sembarang lingkungan di bumi.

Pertumbuhan mikroba merupakan aspek penting dalam mempelajari mikrobiologi.

Karena berdasarkan kurva pertumbuhan tersebut kita dapat memanipulasi

pertumbuhan mikroba untuk kepentingan manusia. Bentuk manipulasi pertumbuhan

dapat berupa mempercepat maupun menghambat pertumbuhan.

PERTUMBUHAN

Pertumbuhan adalah bertambahnya tinggi atau berat suatu organisme.

Pertambahan tinggi maupun berat organisme merupakan bertambahnya ukuran sel

atau bertambahnya jumlah sel. Dalam dunia mikroba pertumbuhan diartikan sebagai

bertambahnya jumlah sel. Hal ini karena mikroba sebagian besar adalah organisme

bersel tunggal. Sehingga difinisi pertambahan tinggi maupun berat organisme tidak

berlaku lagi. Mikroba memperbanyak diri melalui pembelahan sel maupun reproduksi

seksual. Reproduksi seksual hanya dijumpai pada mikroba bersel banyak seperti

jamur.

Pembelahan Sel

Terdapat 2 jenis pembelahan sel yaitu pembelahan biner dan pertunasan

(budding). Pembelahan biner adalah pembelahan yang menghasilkan 2 sel sama

besar (Gambar 3.1), sedangkan pertunasan adalah pembelahan yang menghasilkan

2 sel yang tidak sama besar (sel yang besar disebut induk dan sel yang kecil disebut

anak). Pada jamur terdapat suatu deviasi dari pembelahan biner yang disebut

pembelahan filamentus. Pembelahan atau pertumbuhan filamentus adalah

pembelahan sel filamen (sel tubulus dan panjang), di mana hasil pembelahan tidak

terpisah melainkan tetap menjadi suatu bagian utuh organisme tersebut. Hal ini

masuk akal karena jamur merupakan mikroba bersel banyak. Pada bagian ini

pembelahan sel yang dipelajari adalah pembelahan biner. Hal ini karena bakteri

sebagian besar melakukan pembelahan biner dalam pertumbuhannya.

Pembelahan (Biner) Sel

Pada pembelahan (biner) sel akan memperbesar ukurannya mencapai

ukuran ideal untuk pembelahan sel. Selama proses pertambahan ukuran sel terdapat

beberapa kejadian di dalam sel termasuk replikasi kromosom dan sintesis dinding sel

untuk perpanjangan sel. Pada dasarnya pembelahan sel dimulai setelah pembelahan

kromosom. Namun pembelahan sel dapat dimulai tanpa menunggu selesainya

pembelahan kromosom. Lokasi pembelahan pada dinding sel bukan di sembarang

tempat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya mesosom yang berindikasi pada lokasi atau

tempat pembelahan berlangsung.

Page 2: Textbook Mikrobiologi4

Gambar 4.1 Pembelahan biner sel bakteri Staphylococcus aureus

Pada bakteri Enterococcus hirae pembelahan sel dimulai dari pembelahan

kromosom (replikasi). Dua pita DNA pada kromosom bakteri mengalami pemutusan

ikatan pada lokasi yang disebut origin of replication. Dengan putusnya ikatan

antarbasa mengakibatkan enzim polimerase bekerja menyintesis pasangan baru

untuk masing-masing pita DNA. Selama proses replikasi dinding sel bakteri E. hirae

mempersiapkan diri untuk pembelahan dinding sel.

Secara kronologis pembelahan dinding sel pada E. hirae adalah sebagai

berikut (Gambar 4.2). Terjadi penetrasi sentripetal dinding sel dari 2 arah berlawanan

pada pita dinding sel (pita ekuatorial), sehingga menghasilkan celah atau noktah

dinding sel 2 pita dinding sel yang terpisah. Penetrasi noktah dinding sel ke arah

dalam (70-80 nm) diikuti sintesis dinding sel baru. Pita dinding sel terbelah menjadi 2

dinding sel anakan (sebagian). Penetrasi noktah dinding sel (diikuti sintesis dinding

sel baru) semakin ke dalam sehingga 2 noktah dinding sel bertemu. Ketika 2 noktah

dinding sel bertemu, dinding sel memisah, terjadi pembelahan sel sempurna.

Page 3: Textbook Mikrobiologi4

Gambar 4.2 Proses pembelahan sel pada E. hirae. M, mesosom; N, nukleoid; MS, membran sel; PD, pita dinding sel; ND, noktah dinding sel

Pengukuran Pertumbuhan

Pertumbuhan pada bakteri didefinisikan dengan pertambahan berat sel.

Karena berat sel relatif sama, maka pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai

pertambahan jumlah sel. Terdapat berbagai metode dalam mengukur pertumbuhan

sel bakteri. Perhitungan sel bakteri terdiri atas 2 cara, yaitu perhitungan langsung

dan tidak langsung. Perhitungan langsung meliputi metode turbidimetri, total count,

dan berat kering. Perhitungan tidak langsung yaitu viable count.

Metode Turbidimetri

Secara rutin jumlah sel bakteri dapat dihitung dengan cara mengetahui

kekeruhan (turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu kultur, semakin banyak jumlah

selnya. Prinsip dasar metode turbidimetri adalah, jika cahaya mengenai sel, maka

sebagian cahaya diserap dan sebagian cahaya diteruskan. Jumlah cahaya yang

diserap proposional (berbanding lurus) dengan jumlah sel bakteri. Atau jumlah

cahaya yang diteruskan berbanding terbalik dengan jumlah sel bakteri. Semakin

banyak jumlah sel, semakin sedikit cahaya yang diteruskan (Gambar 4.3).

Menurut Hukum Beer-Lambert bahwa fraksi cahaya yang diteruskan (I/I0)

akan menurun seiring dengan log-10 densitas sel (x) atau I/I0= 10-xl. Di mana l adalah

Page 4: Textbook Mikrobiologi4

lebar wadah atau kuvet. Jika dikali log10, maka log I/I0 = -xl. Karena log I/I0 =

OD=absorbansi cahaya, maka diperoleh persamaan OD=A= xl.

Metode ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak dapat membedakan antara sel

mati dan sel hidup.

Gambar 4.3 Perhitungan sel dengan metode turbidimetri. Suspensi mikroba menerima cahaya dari lampu. Ketika cahaya mengenai sel mikroba, cahaya diserap (garis panah membelok, I0) dan jika cahaya tidak mengenai sel mikroba , maka cahaya diteruskan (garis panah lurus, I).

Metode Total Count

Total count memerlukan mikroskop dan wadah yang diketahui volumenya.

Jika setetes kultur dimasukkan ke dalam wadah (misalnya hemasitometer) yang

telah diketahui volumenya, maka jumlah sel dapat dihitung (Gambar 4.4). Akan

tetapi, cara ini memiliki keterbatasan, yaitu tidak dapat membedakan sel hidup dan

mati dan tidak dapat digunakan pada jumlah sel yang sangat sedikit (kurang dari 106

sel/ml).

Gambar 4.4 Hemasitometer yang dapat digunakan untuk perhitungan total count

Page 5: Textbook Mikrobiologi4

Metode yang lebih memuaskan dalam mengukur jumlah sel adalah Elektronic

Total Count. Jika medan listrik mengenai sel hidup, maka timbul kejutan listrik. Akan

tetapi, jika medan listrik mengenai sel mati, maka tidak timbul kejutan listrik. Semakin

banyak kejutan listrik, semakin banyak pula jumlah sel yang hidup.

Metode Berat Kering

Cara yang paling cepat mengukur jumlah sel adalah metode berat kering.

Metode ini relatif mudah dilakukan, yaitu kultur disaring atau disentrifugasi, kemudian

bagian yang tersaring atau yang mengendap hasil sentrifugasi dikeringkan. Pada

metode ini juga tidak dapat membedakan sel yang hidup dan yang mati. Akan tetapi,

keterbatasan itu tidak menutup manfaat metode ini dalam hal mengukur efisiensi

fermentasi, karena pertumbuhan diukur dengan satuan berat, sehingga dapat

diperhitungkan dengan parameter konsumsi substrat dan produksi senyawa yang

diinginkan.

Gambar 4.5 Cara pengenceran mikroba yang hendak dihitung jumlah selnya secara viable count

Metode Viable Count

Metode viable count sering disebut dengan metode total plate count. Kultur

diencerkan sampai batas yang diinginkan. Kultur encer ditumbuhkan kembali pada

media, sehingga diharapkan setiap sel tumbuh menjadi 1 koloni beberapa saat

berikutnya biasanya 12-4 jam (Gambar 4.5). Akan tetapi, cara ini memiliki

keterbatasan, yaitu jumlah sel terhitung biasanya lebih kecil dari sebenarnya

Page 6: Textbook Mikrobiologi4

(kemungkinan besar 1 koloni dapat berasal dari lebih dari 2 sel) dan tidak dapat

diaplikasikan pada bakteri yang tumbuh lambat.

Pada metode ini yang perlu diperhatikan adalah jumlah sel bakteri harus

mendekati kelipatan 10 pada setiap pengencerannya. Jika tidak, maka perhitungan

dianggap gagal. Misalnya cawan yang dapat dihitung jumlah selnya adalah yang

mempunyai jumlah sel sekitar 2-4 untuk sampel pengenceran (10-x), 20-40 untuk

sampel pengenceran (10-(x+1)), dan 200-400 untuk sampel pengenceran (10-(x+2)).

Fase Pertumbuhan

Fase dalam pertumbuhan bakteri telah dikenal luas oleh ahli mikrobiologi.

Terdapat 4 fase pertumbuhan bakteri ketika ditumbuhkan pada kultur curah (batch

culture), yaitu fase adaptasi (lag phase), fase perbanyakan (exponential phase), fase

statis (stationer phase), dan fase kematian (death phase) (Gambar 4.6)

Gambar 4.6 Fase dalam pertumbuhan bakteri pada kultur curah (batch culture); 1 fase adaptasi; 2 fase perbanyakan; 3 fase statis; 4 fase kematian.

Fase Adaptasi

Ketika sel dalam fase statis dipindahkan ke media baru, sel akan melakukan

proses adaptasi. Proses adaptasi tersebut meliputi sintesis enzim baru yang sesuai

dengan medianya dan pemulihan terhadap metabolit yang bersifat toksik (misalnya

asam, alkohol, dan basa) pada waktu di media lama.

Pada fase adaptasi tidak dijumpai pertambahan jumlah sel. Akan tetapi,

terjadi pertambahan volume sel, karena pada fase statis biasanya sel melakukan

pengecilan ukuran sel. Akan tetapi, fase adaptasi dapat dihindari (langsung ke fase

perbanyakan), jika sel di media lama dalam kondisi fase perbanyakan dan dipindah

ke media baru yang sama komposisinya dengan media lama.

Page 7: Textbook Mikrobiologi4

Fase Perbanyakan

Setelah sel memperoleh kondisi ideal dalam pertumbuhannya, sel melakukan

pembelahan. Karena pembelahan sel merupakan persamaan eksponensial, maka

fase tersebut disebut fase eksponensial. Pada fase perbanyakan jumlah sel

meningkat sampai pada batas tertentu (tidak terdapat pertambahan bersih jumlah

sel), sehingga memasuki fase statis.

Pada fase perbanyakan sel bakteri bertambah mengikuti pola atau

persamaan eksponensial, yaitu Nt=No2n. Di mana Nt adalah populasi bakteri pada

waktu ke-t; No adalah populasi awal bakteri, dan n adalah jumlah generasi.

Secara praktek kita dapat mengubah persamaan di atas dengan persamaan

logaritmik, yaitu log10Nt= log10No + log102n. Dengan demikian kita dapat menentukan

jumlah generasi (n) = 3.32[log10Nt - log10No].

Setelah menentukan jumlah generasi, maka kita dapat menentukan laju

pertumbuhan (k) = n/t = (3.32[log10Nt - log10No])/t. Waktu generasi juga dapat kita

hitung (tgen) = 1/k = t/n = t/(3.32[log10Nt - log10No]).

Pada fase perbanyakan sel melakukan konsumsi nutrien dan proses fisiologis

lainnya. Pada fase ini produk senyawa yang diinginkan oleh manusia terbentuk,

karena senyawa tersebut merupakan senyawa yang disekresi oleh sel bakteri.

Beberapa senyawa yang diinginkan pada fase perbanyakan adalah etanol, asam

laktat dan asam organik lainnya, asam amino, asam lemak, dan lainnya.

Fase Statis

Alasan bakteri tidak melakukan pembelahan sel pada fase statis bermacam-

macam. Beberapa alasan yang dapat dikemukaan adalah nutrien habis, akumulasi

metabolit toksik (misalnya alkohol, asam, dan basa), penurunan kadar oksigen, dan

penurunan nilai aw (ketersediaan air). Untuk kasus kedua dijumpai pada fermentasi

alkohol dan asam laktat, untuk kasus ketiga dijumpai pada bakteri aerob, dan untuk

kasus keempat dijumpai pada fungi.

Pada fase statis biasanya sel melakukan adaptasi terhadap kondisi yang

kurang menguntungkan. Adaptasi itu dapat menghasilkan senyawa yang diinginkan

manusia misalnya antibiotika dan antioksidan4).

Fase Kematian

Penyebab utama kematian adalah autolisis sel dan penurunan energi seluler.

Beberapa bakteri hanya mampu bertahan beberapa jam selama fase statis dan

akhirnya masuk ke fase kematian, sedangkan ada bakteri yang mampu bertahan

sampai harian bahkan mingguan pada fase statis dan akhirnya masuk ke fase

kematian. Beberapa bakteri bahkan mampu bertahan sampai puluhan tahun

sebelum mati dengan mengubah sel menjadi spora.

Page 8: Textbook Mikrobiologi4

Pertumbuhan Diauxic

Pertumbuhan diauxic terjadi ketika bakteri dihadapkan pada dua sumber

karbon yang berbeda dan mampu menggunakan kedua sumber karbon tersebut.

Misalnya E. coli ditumbuhkan pada media yang mengandung glukosa dan laktosa

(Gambar 4.7). E. coli memanfaatkan glukosa, karena sel telah memiliki enzim

pendegradasi glukosa (enzim struktural). Glukosa sendiri menghambat sintesis

enzim pemecah laktosa. Ketika glukosa habis, sel masuk fase statis dan menyintesis

enzim yang mampu menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Ketika

glukosa tersedia di media, sel memasuki fase perbanyakan kembali.

Gambar 4.7 Pertumbuhan diauxic pada E. coli ketika dihadapkan pada 2 sumber karbon, yaitu glukosa dan laktosa.

Rhizobium juga menunjukkan pertumbuhan diauxic ketika pada media

diintroduksi 2 sumber karbon, yaitu suksinat dan glukosa. Rhizobium memanfaatkan

suksinat dulu, kemudian glukosa. Mengapa Rhizobium lebih memanfaatkan suksinat

bukan glukosa? Hal ini karena Rhizobium merupakan bakteri simbion. Secara alami

bakteri simbion biasanya memerlukan triosa atau tetrosa yang dihasilkan dari siklus

asam sitrat (Krebs) yang dihasilkan oleh inangnya daripada heksosa.

Kultur Kontinyu

Dengan mengunakan kultur curah, maka fase perbanyakan sangat terbatas

dan dengan segera beralih ke fase statis. Hal ini tidak menguntungkan bagi ahli

mikrobiologi untuk mempelajari aspek-aspek dalam fisiologi bakteri. Oleh karena itu

para ahli mikrobiologi memperkenalkan suatu metode kultivasi yang dapat

Page 9: Textbook Mikrobiologi4

memperpanjang umur fase perbanyakan bakteri. Metode demikian disebut kultur

kontinyu.

Kultur kontinyu dapat dirancang dengan 2 metode yaitu metode kemostat

dan turbidostat. Kedua metode pada dasarnya mengontrol populasi bakteri pada

jumlah tertentu. Pada metode kemostat kontrol populasi bakteri berdasarkan pada

laju pemasukan media pakan steril (Gambar 4.8). Sedangkan pada metode

turbidostat kontrol populasi berdasarkan sensor foto-sel yang dapat mengukur

populais bakteri.

Gambar 4.8 Metode kemostat pada kultur kontinyu

PEMBENTUKAN SPORA

Spora pada bakteri berbeda dengan spora pada fungi. Bakteri Bacillus dan

Clostridium mampu mengubah sel vegetatif menjadi spora yang disebut endospora.

Myxococcus mampu membentuk spora yang disebut mikrokista. Bakteri

Azotobacter dan anggotanya membentuk spora yang disebut kista. Sianobakteri

membentuk spora yang disebut akinet. Spora bakteri mampu bertahan pada kondisi

lingkungan yang ekstrim. Endospora Bacillus mampu bertahan terhadap proses

sterilisasi dengan autoklaf.

Bakteri Bacillus dan Clostridium mampu membentuk endospora (Gambar

4.9). Proses pembentukan endospora disebut sporulasi. Sporulasi biasanya dimulai

ketika sel memasuki fase stasioner. Sel berubah baik secara morfologi maupun

fisiologi khususnya mempersiapkan diri untuk pembentukan endospora. Beberapa

jenis bakteri mampu melakukan autolisis sel vegetatif, sedangkan beberapa jenis

bakteri tidak mampu melakukannya, sehingga endospora tetap berada di dalam sel

vegetatif. Pembentukan spora bakteri secara alami belum diketahui dengan jelas.

Akan tetapi, kita dapat memicu bakteri membentuk spora. Pemanasan pada suhu

Page 10: Textbook Mikrobiologi4

60-65C selama 10 menit atau lebih mampu memicu pembentukan spora. Faktor lain

yang mampu memicu pembentukan spora bakteri adalah perlakuan pH rendah, suhu

rendah, pemberian agen pereduksi, dana agen-agen kimia lainnya.

Gambar 4.9 Struktur endospora Bacillus menunjukkan pembungkus spora (spore coat; SC) yang tebal, alur germinal (germinal groove; G) di dalam spore coat, lapisan korteks luar (outer cortex layer; OCL) dan korteks (Cx), lapisan germinal dinding sel (germinal cell wall layer; GCW). Di bawah membran protoplasma (PM), terdapat daerah yang terisi nukleoid (n)

Perubahan morfologi pada proses pembentukan endospora bakteri Bacillus

dapat dilihat pada Gambar 4.10. Pada tahap pertama (I) bakteri membentuk filamen

aksial. Pembentukan filamen aksial tidak berlangsung lama. Tahap kedua (II) adalah

pembentukan septum asimetris, menghasilkan sel induk dan calon sel pra-spora.

Masing-masing sel menerima DNA anakan. Selanjutnya terjadi fagositosis sel

praspora oleh sel induk, sehingga sel praspora menjadi bentukan yang disebut

protoplas. Tahap ketiga (III) adalah perkembangan protoplas yang disebut

perkembangan spora-awal (forespore). Pada perkembangan spora-awal belum

terbentuk peptidoglikan, sehingga bentuk spora-awal tidak beraturan (amorfus).

Tahap keempat (IV) adalah pembentukan korteks (peptidoglikan). Spora-awal

menyintesis peptidoglikan, sehingga spora-awal mempunyai bentuk pasti.

Pembentukan peptidoglikan oleh spora-awal disebut juga pembentukan korteks.

Tahap kelima (V) adalah pembentukan pembungkus (coat). Spora-awal menyintesis

berlapis-lapis pembungkus spora. Pembungkus spora disintesis baik secara terus-

menerus maupun terputus-putus, sehingga tampak seperti penebalan korteks.

Page 11: Textbook Mikrobiologi4

Material korteks dan pembungkus spora berbeda. Tahap keenam (VI) adalah

pematangan spora. Spora bakteri menyintesis asam dipokolinat dan melakukan

pengambilan kalsium. Dua komponen ini merupakan karakteristik resistensi dan

dormansi endospora. Tahap ketujuh (VII) adalah pelepasan spora. Terjadi lisis sel

induk, sehingga spora yang telah matang keluar.

Gambar 4.10 Tahapan perkembangan endospora Bacillus subtillis. Tahapan perkembangan endospora (I—VIII) dapat dilihat di teks.

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN

Laju pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi kondisi lingkungan.

Perubahan kondisi lingkungan dapat menghambat pertumbuhan bahkan dapat

membunuh pertumbuhan mikroba. Parameter lingkungan yang paling berpengaruh

terhadap pertumbuhan mikroba adalah suhu, ketersediaan oksigen, konsentrasi ion

hidrogen (pH), dan konsentrasi solut

Suhu

Setiap mikroba memiliki kisaran suhu bagi pertumbuhannya. Bahkan mikroba

mampu hidup di bawah titik beku (0C) seperti di kutub utara dan selatan sampai di

atas titik didih (100C) seperti di sekitar kawah gunung berapi. Namun sebagian

besar mikroba mampu tumbuh di kisaran suhu 20—30C. Kisaran pertumbuhan

mikroba juga bervariasi. Bakteri patogen Neisseria gonorrhoeae mampu tumbuh di

kisaran suhu sempit (35—40C). Bakteri tanah Bacillus licheniformus mampu tumbuh

pada kisaran suhu luas (25—60C). Kisaran suhu pertumbuhan mencerminkan

lingkungan di mana mikroba tumbuh. Dengan demikian Neisseria gonorrhoeae

Page 12: Textbook Mikrobiologi4

hanya dapat tumbuh di tubuh manusia, sedangkan Bacillus licheniformus mampu

tumbuh di tanah dengan suhu berfluktuasi. Di antara kisaran suhu terendah dan

tertinggi terdapat suhu optimal (Gambar 4.11). Suhu optimal merupakan suhu

pertumbuhan yang menghasilkan laju maksimal pertumbuhan mikroba. Suhu

optimum pertumbuhan mikroba selalu lebih rendah beberapa derajat dari suhu

maksimal pertumbuhan.

Gambar 4.11 Grafik laju pertumbuhan mikroba yang mencapai maksimal pada suhu optimal dan minimal pada suhu minimum dan maksimum.

Terminologi umum untuk kisaran suhu pertumbuhan mikroba adalah

psikrofil, mesofil, dan thermofil. Psikrofil merupakan kisaran suhu pertumbuhan

mikroba antara 0—20C. Mesofil merupakan kisaran suhu pertumbuhan mikroba

antara 20—45C. Thermofil merupakan kisaran suhu pertumbuhan mikroba antara

45—80C. Jika mikroba mampu tumbuh di atas 80C disebut thermofil ekstrim atau

hiperthermofil, sedangkan yang mampu tumbuh di bawah 0C disebut psikrofil

ekstrim atau hipopsikrofil. Lingkungan yang dapat dijumpai mikroba hiperthermofil

adalah di sumber mata air panas maupun di perut gunung berapi. Sedangkan

lingkungan yang dapat dijumpai mikroba hipopsikrofil adalah di kutub dan di periran

laut dalam. Kisaran pertumbuhan berbagai mikroba dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Kisaran suhu pertumbuhan berbagai bakteriBakteri Habitat Minimal Optima

lMaksimal

Listeria monocytogenes

Vibrio marinusStenotrophomonas

maltophilia

Hewan, tanah, vegetasi akar, air

Laut terbukaTanah

1

44

30-37

1535

45

3041

Page 13: Textbook Mikrobiologi4

Thiobacillus novellus

Staphylococcus aureusEscherichia coliClostridium perfringensStreptococcus pyogenesAnoxybacillus

flavithermusThermus aquaticusMethanococcus

jannaschiiSulfolobus

acidocaldariusPyrobacterium brockiiMethanopyrus kandleri

Tempat yang terdapat sulfur tereduksi

KulitSaluran pencernaanTanah, makananMembran mukosaManure piles (warm)

Mata air panasHydrothermal vent*

Mata air sulfur (panas & sulfur tereduksi)

Hydrothermal vent*Hydrothermal vent*

5

1010152030

4060

70

8085

25-30

30-3737453760

70-7285

75-85

102-105100

42

4545554072

7990

90

115110

* Terdapat pada laut dalam dengan gradien suhu tinggi antara 4—300C.

Pada suhu minimum, biasanya membran sel mengalami pembekuan,

sehingga menghambat fungsinya (transportasi molekul). Untuk mengatasi hal

tersebut, biasanya asam lemak pada membran sel mikroba dipenuhi oleh asam

lemak tidak jenuh. Hal ini karena titik beku asam lemak tidak jenuh sangat rendah (di

bawah 0C), sehingga fungsi transportasi molekul membran sel berperan baik. Hal ini

terlihat pada mikroba yang diisolasi dari Antartika ternyata memiliki membran sel

yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated fatty acid). Hal

sebaliknya terjadi pada mikroba thermofil. Membran sel pada mikroba thermofil

banyak mengandung asam lemak jenuh.

Pada suhu tinggi dan rendah juga menimbulkan permasalahan pada fungsi

enzim. Oleh karena itu mikroba psikrofil biasanya memiliki enzim yang masih mampu

menjalankan fungsinya pada suhu rendah yaitu dengan mengubah urutan asam

amino dan struktur 3D enzim. Perubahan tersebut mengakibatkan enzim bekerja

baik pada suhu rendah, tetapi tidak bekerja (terdenaturasi) pada suhu moderat. Jika

dalam kondisi normal pada suhu di atas 50C enzim mengalami denaturasi, maka

mikroba thermofil memodifikasi enzimnya, sehingga enzim tersebut mampu bekerja

baik pada suhu tinggi. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa enzim thermofil lebih

kaku dibadingkan enzim mesofil, yaitu dengan memperbanyak jembatan garam pada

struktur 3D enzim.

Oksigen

Banyak mikroba memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, terutama

sebagai akseptor elektron pada proses respirasi. Namun terdapat mikroba yang tidak

memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Mikroba yang memerlukan (mutlak)

oksigen bagi pertumbuhannya disebut aerob obligat. Mikroba yang tidak

memerlukan (mutlak) oksigen bagi pertumbuhannya disebut anaerob obligat.

Page 14: Textbook Mikrobiologi4

Mikroba aerob yang dapat tumbuh tanpa oksigen disebut fakultatif anaerob.

Mikroba yang dapat tumbuh dengan atau tanpa adanya oksigen (meskipun dia tidak

memerlukan oksigen) disebut aerotoleran anaerob. Sedangkan mikroba yang

hanya dapat tumbuh di lingkungan dengan kandungan oksigen rendah ( di bawah

kandungan oksigen atmosfer) disebut mikroaerofil. Daftar mikroba dan

ketergantungannya terhadap oksigen dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Daftar mikroba dan ketergantungannya terhadap oksigenMikroba Habitat Ketergantungan

akan oksigenSulfolobus acidocaldariusAcinetobacter calcoaceticusBifidobacterium bifidumMethanosarcina barkeri

Magnetospirillum magnetotacticum

Campylobacter jejuni

Bacillus licheniformisEnterobacter aerogenes

Vibrio fischeri

Lactobacillus acidophilus

Mata air sulfur panas KulitUsus manusiaAir tawar, sedimen laut,

digestor limbah anaerobAir tawar dan laut

Permukaan mukosa hewan & burung

UbiquitousUsus hewan berdarah

panas, air tawarAir laut, organ ringan

species lautHewan, tanaman, makanan

terfermentasi

Aerob obligatAerob obligatAnaerob obligatAnaerob obligat

Mikroaerofil

Mikroaerofil

Fakultatif anaerobFakultatif anaerob

Fakultatif anaerob

Aerotoleran anaerob

Gambar 4.12 Pengaruh oksigen pada pola pertumbuhan mikroba. Media thioglikolat agar mampu membatasi difusi oksigen hanya sampai ¼ bagian agar. Tabung #1 menunjukkan pertumbuhan mikroba aerob. Tabung #2 dan #3 menunjukkan pertumbuhan mikroba fakultatif anaerob, dan tabung #4 menunjukkan pertumbuhan mikroba anaerob.

Media thioglikolat agar (mengandung thioglikolat dan sistein) dapat

menunjukkan ketergantungan mikroba terhadap oksigen (Gambar 4.12). Mikorba

fakultatif anaerob tumbuh tersebar (dari atas sampai bawah), anaerob kaku hanya

Page 15: Textbook Mikrobiologi4

tumbuh di dasar agar, dan aerob hanya tumbuh di atas saja. Aerob obligat dan

fakultatif anaerob mempunyai laju pertunmbuhan lebih tinggi daripada aerotoleran

anaerob dan anaerob obligat. Hal ini karena aerob obligat dan fakultatif anaerob

mempunyai kemampuan menghasilkan energi lebih tinggi dibandingkan aerotoleran

anaerob dan anaerob obligat ketika melakukan respirasi dan metabolisme.

Meskipun mikroba aerob memerlukan oksigen dalam pertumbuhannya, tetapi

sebagian besar enzim mengalami kerusakan jika kontak dengan oksigen. Oleh

karena itu mikroba melakukan detoksifikasi oksigen. Mekanisme detoksifikasi

oksigen dapat dilihat pada Gambar 4.13. Oksigen bereaksi menjadi 2 produk utama

dalam sel yaitu hidrogen peroksida (H2O2) dan superoksida radikal (O2-). Kedua

produk ini sangat berbahaya bagi sel karena dapat memicu karsinogenesis. Oleh

karena itu, mikroba menetralisir hidrogen peroksida dan radikal superoksida dengan

enzim katalase dan superoksida dismutase menjadi oksigen dan air.

Gambar 4.13 Mekanisme detoksifikasi oksigen

Konsentrasi Ion Hidrogen (pH)

Di dalam air konsentrasi ion hidrogen bervariasi antara 1x10-14 M (pH 14)

sampai 1 M (pH 0). Mikroba dapat ditemukan disetiap lingkungan berpH 1—14,

tetapi sebagian besar ditemukan pada lingkungan berpH 7 (netral). Berdasarkan

ketergantungan terhadap pH, maka mikroba dapat dikelompokkan menjadi 5

kelompok yaitu asidofil, netrofil, alaklifil, alaklifil ekstrim, dan asidofil ekstrim (Gambar

4.14). Bakteri Thiobacillus dan Sulfolobus merupakan mikroba asidofil yang mampu

hidup pada lingkungan berpH 1—5,5, sedangkan mikroba patogen Streptococcus

merupakan mikroba netrofil dengan kisaran pertumbuhan pada lingkungan berpH 6,5

—8 (Tabel 4.3). Mikroba alaklifil lebih memilih hidup di lingkungan berpH 8—11, yaitu

di danau bersoda dan tanah berkarbonat.

Page 16: Textbook Mikrobiologi4

Gambar 4.14 Pengelompokan mikroba berdasarkan nilai pH pertumbuhannya

Tabel 4.3 Nilai pH lingkungan untuk pertumtumbuhan berbagai mikroba

Organisme Habitat pH Min pH Opt pH Maks

Thiobacillus thiooxidans

Daerah kaya sulfur (biasanya asam)

0.5 2.0-2.8 4.0-6.0

Sulfolobus acidocaldarius

Mata air sulfur asam 1.0 2.0-3.0 5.0

Bacillus acidocaldarius

Mata air panas asam 2.0 4.0 6.0

Zymomonas lindneri

Lingkungan tinggi gula 3.5 5.5-6.0 7.5

Lactobacillus acidophilus

Hewan, tumbuhan, materi terbusukan

4.0-4.6 5.8-6.6 6.8

Staphylococcus aureus

Permukaan hewan, rongga hidung, kulit

4.2 7.0-7.5 9.3

Escherichia coli Usus hewan 4.4 6.0-7.0 9.0

Clostridium sporogenes

Tanah dan sedimen anaerobik

5.0-5.8 6.0-7.6 8.5-9.0

Erwinia caratovora

Patogen tanaman 5.6 7.1 9.3

Pseudomonas aeruginosa

Ubiquitous 5.6 6.6-7.0 8.0

Streptococcus pneumoniae

Patogen hewan 6.5 7.8 8.3

Nitrobacter spp. Ubiquitous 6.6 7.6-8.6 10.0

Meskipun hidup di lingkungan berpH jauh dari netral, tetapi mikroba asidofil

dan alaklifil mampu menjaga nilai pH sitoplasma sekitar netral (Tabel 4.4). Mikroba

asidofil mampu hidup sampai nilai pH eksternal 1-4, tetapi nilai pH intrasel 6,5.

Page 17: Textbook Mikrobiologi4

Dengan demikian bakteri asidofil mampu mempertahankan gradien pH lebih dari 2,5

unit. Demikian juga untuk bakteri neutrofil dan alkalifil. Bakteri neutrofil mampu

mempertahankan gradien pH sekitar 0,5-1,5 unit dan bakteri alkalifil mampu

mempertahankan gradien pH sekitar 1,5-2 unit. Stabilitas nilai pH intrasel sangat

penting, karena aktivitas metabolisme pada umumnya bekerja maksimal pada

lingkungan berpH netral. Untuk menjaga stabilitas nilai pH intrasel, sel prokariota

harus dapat menjaga gradien pH antara eksternal dan intrasel semaksimal mungkin.

Mekanisme mempertahankan kestabilan nilai pH internal terhadap perubahan nilai

pH eksternal disebut homeostasis pH.

Tabel 4.4 Nilai pH di dalam dan di luar sel pada mikroba netrofil, asidofil, dan alkalifil.

Mikroba Nilai pH luar Nilai pH dalam Gradien pH (pH)

NeutrofilAsidofilAlkalifil

6-81-49-12

7,5-8,06,5-7,08,4-9,0

0,5—1,5 >2,5

1,5—2,0

Gambar 18.2 Mekanisme homeostasis pH.

Banyak faktor yang mempengaruhi nilai pH intrasel. Salah satu faktor adalah

kapasitas bufer sitoplasma dan metabolisme produksi asam dan basa. Namun faktor

utama dalam homeostasis pH adalah mengatur keluar-masuknya proton. Ketika nilai

pH intrasel menjadi sangat asam (akibat perubahan nilai pH eksternal menjadi

asam), maka proton akan dipompa keluar (Gambar 4.15,1). Proses ini harus

dinetralisir, yaitu dengan pengambilan K+ (Gambar 4.15, 2). Sebaliknya ketika nilai

Page 18: Textbook Mikrobiologi4

pH intrasel menjadi alkali, maka sel melakukan pengambilan proton dan memompa

keluar Na+ atau K+ (Gambar 4.15, 3 dan 4). Oleh karena itu, penghambatan pompa

proton mengakibatkan nilai pH intrasel sama dengan nilai pH eksternal (pH internal =

pH eksternal).

Konsentrasi Solut (Ketersediaan Air)

Air merupakan pelarut universal yang dapat melarutkan sebagian besar

molekul untuk kehidupan. Oleh karena itu organisme mutlak memerlukan air untuk

kehidupannya. Oleh karena itu, dengan membuang aor dari makanan mampu

mengawetkan makanan dari kontaminasi mikorba, sehingga umur makanan menjadi

lama. Ketersediaan air (aktivitas air) merupakan ukuran seberapa banyak air bebas

untuk keperluan reaksi seluler. Air murni memiliki aktivitas air sebanyak 100%.

Konsentrasi air dapat diperkecil dengan mengevaporasi maupun dengan

mengikatnya dengan solut. Semakin tinggi konsentrasi solut, maka kecil aktivitas air.

Meningkatnya konsentrasi solut berpengaruh pada sel. Sel akan mengeluarkan air

untuk menetralisir lingkungan yang pekat solut, sehingga sel mengalami plasmolisis.

Sebaliknya jika konsentrasi solut rendah, maka air akan masuk ke dalam sel,

sehingga sel berpotensi pecah. Untungnya mikroba memiliki membran sel dan

dinding sel yang mampu menahan tekanan osmotik akibat proses osmosis. Semakin

pekat konsentrasi solut juga akan menyulitkan kerja enzim, karena kerja enzim

terhadao solut memerlukan sejumlah air. Akibatnya enzim tidak bekerja dengan baik.

Mikroba yang memerlukan konsentrasi garam tinggi dalam lingkungan

disebut halofil. Halofil lemah, moderat, dan ekstrim memerlukan konsentrasi garam

masing-masing sebesar 1—6%, 6—15%, dan 15—30%. Mikroba halotoleran masih

dapat tumbuh sampai kadar garam 15% tetapi tumbuh baik jika tidak ada garam.

Mikroba yang mampu tumbuh pada lingkungan berkadar gula tinggi disebut osmofil.

Mikroba yang mampu tumbuh di lingkungan kering disebut xerofil.