Upload
hambyong
View
279
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009 ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009
TPL13-1
KUALITAS GAS EMISI PADA UJICOBA
INSINERATOR BERGERAK SKALA 5 KG/JAM
Muryanto, Muchlis, Edi Iswanto Wiloso PUSAT PENELITIAN KIMIA – LIPI
Kawasan PUSPITEK, Serpong, Tangerang
Telp: ( 021 ) 7560929 – Fax : ( 021 ) 7560549
e-mail : [email protected],
Abstrak
Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia menunjukkan adanya
kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Barang bukti sitaan narkoba yang juga
meningkat menimbulkan resiko penyalahgunaan oleh pihak tidak berwenang jika tidak segera
dimusnahkan. Salah satu cara pemusnahan narkoba secara tepat dan cepat serta dapat mencapai lokasi-
lokasi yang tersebar adalah dengan menggunakan mobile incinerator yang didesain khusus
memusnahkan narkoba. Insinerator ini terdiri dari dua ruang bakar yaitu ruang bakar utama untuk
pembakaran narkoba padat (serbuk, pil dan tablet) dan ruang bakar kedua untuk pembakaran gas
hidrokarbon menjadi gas CO2. Suplai panas berasal dari gas burner di masing-masing chamber
berkapasitas 70.000 kcal/jam. Insinerator ini diletakkan pada platform beroda berukuran 2 m x 4 m
untuk melayani pemusnahan di lokasi yang tersebar di banyak wilayah. Insinerator ini berkapasitas 5 kg
dengan kapasitas alat pengumpan 1kg. Pada tahap ujicoba digunakan gaplek sebagai pengganti
narkoba. Emisi gas yang keluar dari cerobong dianalisa untuk dibandingkan dengan baku mutu. Analisa
gas baru terbatas pada gas-gas parameter pembakaran yaitu karbondioksida, karbon monoksida, SOx
dan NOx. Dari hasil analisa diperoleh nilai emisi CO2 sebesar 5.5 %, kadar CO sebesar 2 ppm, kadar
SOx < 14 ppm, dan kadar NOx sebesar 71 ppm. Sehingga dapat disimpulkan nilai emisi tersebut
memenuhi baku mutu emisi udara untuk insinerator, Keputusan Kepala Bapedal No.
KEP-03/BAPEDAL/09/1995.
Kata kunci: insinerator, gas emisi, karbon monoksida, narkoba
Abstract
Abuse and illegal distribution of narcotic, psychotropic and other types of drugs in Indonesia rises.
Increasing of evidence has some possibilities for authorized person to use the materials. This evidence
must be destruction as soon as possible. The solution for this problem is using mobile incinerator for
narcotic destruction that can be used in many locations. The paper presents a temperature profile in
chamber that designed to destruction the confiscated narcotics. The mobile incinerator consist of two
chambers, that primary chamber for burning solid narcotic and secondary chamber for burning
hydrocaarbon gases to be carbondioxide. Two 70.000 kcal/hr gas burners are used to ignite the narcotic
and to maintain a constant combustion temperature. The mobile incinerator is placed on wheeled
platform having size 2 m x 4 m. The mobile incinerator was completed with an exhaust gas treatment unit
consisted of a quencher and a jet venturi scrubber. Thus the emitted gas trough the chimney is not
harmful to the environment. Gas analysis in this paper only in gas that have influence to combustion,
which are carbon dioxide carbon monoxide,SO2 and NOx. From analysis value of CO2, CO, SO2, and
NOx are 5.5 %, 2 ppm, < 14 ppm, and 71 ppm. The emiited gas from mobile incinerator achieved the
emission gas standard, KEP-03/BAPEDAL/09/1995.
Keyword : chamber, incinerator, mobile, narcotics, temperature
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009 ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009
TPL13-2
1. Pendahuluan Penyalahgunaan narkoba (narkotika,
psikotropika dan bahan berbahaya lainnya)
merupakan permasalahan nasional yang serius.
Saat ini Indonesia bukan hanya sebagai tempat
transit perdagangan gelap narkoba, tetapi juga
telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan
tempat produksi gelap narkoba. Jumlah kasus
narkoba yang dapat diungkap oleh pihak
kepolisian selama tahun 2008 (Januari-
September) sebanyak 29.359 kasus yang
tersebar di berbagai daerah seperti Jakarta,
Tangeran, Bogor, dan beberapa kota besar di
Indonesia seperti Sumatera Utara, Riau,
Lampung, Aceh dan Bali. Jumlah barang bukti
yang berhasil disita sebanyak 700 ribu gram
narkotika dan psikotropika, dan lebih dari satu
juta tablet ekstasi menyebabkan pihak
kepolisian sulit untuk melakukan pemusnahan
secara terpusat dan dalam waktu cepat (BNN,
2009). Bila tidak dimusnahkan dengan segera,
dapat timbul resiko penyalahgunaan barang
bukti/sitaan narkoba oleh pihak yang tidak
berwenang.
Menurut Undang-undang No 22 Tahun
1997 yang dimaksud dengan Narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintesis maupun semi-
sintesis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan sebagaimana
terlampir dalam undang-undang ini atau yang
kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan. Secara garis besar narkotika
menurut undang-undang ini dibagi menjadi tiga
golongan. Sedangkan menurut Undang-undang
No 5 tahun 1997, yang dimaksud dengan
psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah
maupun sintetis, bukan narkotika yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Psikotropika dibagi menjadi empat
golongan utama.
Jenis narkotika yang sering
disalahgunakan oleh pemakai antara lain;
(1) Opioda terdiri atas opium, morfin dan
heroin; (2) Kokain, (3) Ganja/Kanabis/
Mariyuana, sedangkan jenis psikotropika yang
sering disalah gunakan adalah: (1)
Amfetamin, (2) Ekstasi, dan (3) Shabu-shabu
(Fatchurahman dan Bulkani, 2006).
Keberhasilan aparat kepolisian dalam
mengungkap penyalahgunaan narkoba membuat
semakin banyak barang bukti narkoba yang
tersita. Pemusnahan barang bukti narkoba
merupakan hal yang amat penting, pemusnahan
ini dilakukan hingga barang-barang tersebut
tidak dapat lagi disalahgunakan atau bahkan
disebarluaskan dan menjadi permasalahan baru.
Terkait dengan bahan narkotika, teknik
pemusnahan yang mudah adalah dengan cara
membakarnya hingga tuntas sehingga
keseluruhan bahan tidak memiliki lagi sifat-sifat
asalnya yang dapat disalahgunakan.
Pemusnahan barang bukti tindak
kejahatan narkoba, khususnya yang berupa
bahan narkotika, psikotropika maupun zat
berbahaya lainnya, harus memenuhi unsur: (i)
tidak dapat digunakan lagi; (ii) tidak
menghasilkan bahan baru yang juga berbahaya;
(iii) tidak berisiko terhadap lingkungan.
Pemusnahan barang bukti narkoba dengan cara
pembakaran pada suhu tinggi perlu juga
memenuhi syarat-syarat keamananan, di mana
pembakaran berlangsung sempurna, sehingga
hasil pembakaran tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan.
Pemusnahan narkoba telah banyak
diberitakan dalam surat kabar. Metode
pemusnahan yang selama ini dilakukan adalah
dengan membakarnya pada tempat terbuka atau
yang lebih dikenal dengan pembakaran terbuka.
Pemusnahan dengan menggunakan pembakaran
terbuka berpotensi menimbulkan menyabarnya
zat-zat yang masih bersifat adiktif. Pembakaan
sistem terbuka juga memperbesar peluang
terbentuknya pembakaran tidak sempurna yang
dapat menghasilkan gas-gas beracun dan
meninggalkan sisa-sisa bahan yang tidak
terbakar. Pembakaran terbuka dari limbah
rumah tangga yang dilakukan pada kondisi
pembakaran dan suhu yang rendah dapat
menimbulkan gas racun dioksin dan furan,
demikian dikatakan oleh
Paul Lemieux, Ph.D., salah seorang peneliti dari
National Risk Management Research
Laboratory, US-EPA.
Sedangkan menurut PP 18 tahun 1999
tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3) produk-produk kadaluarsa
dan kemasan dari kegiatan farmasi
dikatagorikan sebagai limbah B3, dan dari segi
komposisi kimia, narkotika dan zat psikotropika
dapat dimasukkan kedalam kelas bahan farmasi.
Menurut Basel Convention, teknik yang umum
digunakan untuk memusnahkan limbah B3
adalah salah satunya dengan insinerasi pada
suhu tinggi. Demikian juga menurut Office of
Controlled Substances of Health Canada
menyatakan bahwa metode untuk memusnahkan
obat-obatan kadaluarsa termasuk narkotika
adalah dengan insinerator (CVO, Canada, 2007).
Teknik insinerasi atau pembakaran telah banyak
digunakan di dunia dengan mengacu kepada
konvensi Basel tahun 1997 (Basel Convention,
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009 ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009
TPL13-3
1997). Oleh karena itu, insinerator bergerak
menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi
permasalahan tersebut.
Makalah ini membahas tentang analisa
gas yang dihasilkan dari emisi insinerator
bergerak yang telah dirancang khusus untuk
memusnahkan barang bukti sitaan narkoba
untuk membantu pihak kepolisian. Analisa gas
yang dihasilkan baru terbatas pada tahap ujicoba
saja dengan menggunakan bahan yang
diasumsikan memiliki kandungan yang sama
dengan narkoba.
2. Teori Dasar
Insinerator yang digunakan didesain
khusus untuk memusnahkan narkoba.
Umumnya bahan yang dapat dibakar adalah
sampah tipe 0 sampai tipe 4 dengan nilai bakar
dan komposisi tertentu, namun dapat juga
didesain secara khusus. Narkoba dapat
diasumsikan sebagai limbah farmasi dan obat-
obatan yang umumnya mempunyai karakteristik
berbeda-beda. Oleh karena itu karakteristik dan
senyawa-senyawa berbahaya yang terkandung
dalam narkoba harus diidentifikasi terlebih
dahulu untuk menentukan secara tepat proses
dan desain yang akan digunakan. Senyawa yang
menjadi perhatian dalam mendesain insinerator
diantaranya adalah kandungan senyawa organik,
senyawa halogen, logam-logam, dan kandungan
nitrogen (Basel Convention, 1997).
Insinerator bergerak ini terdiri dari dua
ruang bakar, yaitu ruang bakar pertama yang
berfungsi untuk melakukan pembakaran
narkoba padat, dan ruang bakar kedua yang
berfungsi untuk membakar kembali gas-gas
yang dihasilkan dari pembakaran di ruang bakar
utama. Suhu pada ruang bakar pertama dijaga
pada suhu > 700 oC yang diharapkan dapat
mencegah terjadinya gas-gas berbahaya hasil
pembakaran yang tidak diinginkan seperti
dioxin. Sedangkan pada ruang bakar kedua suhu
pembakaran adalah > 1000 oC, berada diatas
titik bakar gas karbonmonoksida, sehingga gas
karbon monoksida akan terbakar di ruang bakar
kedua ini menjadi gas karbondioksida. Masing-
masing ruang bakar memiliki satu buah burner
yang berguna sebagai sumber api untuk
membakar narkoba dan gas-gas hasil
pembakaran, dan juga berfungsi untuk menjaga
suhu yang diinginkan di kedua ruang bakar.
Terdapat tiga parameter utama dalam
operasi insinerator yang harus diperhatikan,
yaitu 3-T (Temperature, Time dan Turbulence).
Temperatur berkaitan dengan pasokan oksigen
melalui udara. Udara yang dipasok akan
menaikan temperatur karena proses oksidasi
materi organik bersifat eksotermis. Waktu
berkaitan dengan lamanya fasa gas, sehingga
terjadi pembakaran sempurna. Turbulensi untuk
membuat limbah kontak sempurna dengan
oksigen. Insinerator besar diatur dengan kisi-
kisi atau ruang bakar yang dapat bergerak,
sedang insinerator kecil ruang bakarnya statis
(Brunner, 1984).
Insinerator bergerak ini dilengkapi unit
penanganan gas hasil pembakaran ini berfungsi
untuk mereduksi polutan-polutan yang terdapat
dalam gas buang sehingga memenuhi baku
mutu emisi udara untuk insinerator, sesuai
dengan Keputusan Kepala Bapedal No. KEP-
03/BAPEDAL/09/1995 tentang Persyaratan
Teknis Pengolahan Limbah Bahan Beracun
Berbahaya. Pada Tabel 1 ditunjukkan baku
mutu emisi udara sesuai dengan KEP-
03/BAPEDAL/09/1995
Tabel 1. Baku Mutu Emisi Udara untuk
Insinerator
Parameter
Kadar
maksimum
(mg/Nm3)
Partikulat
Sulfur dioksida (SO2)
Nitrogen oksida (NO2)
Hidrogen Fluorida (HF)
Karbon monoksida (CO)
Hidrogen Klorida (HCl)
Total hidrokarbon
(sebagai CH4)
Arsen (As)
Kadmium (Cd)
Kromium (Cr)
Timbal (Pb)
Merkuri (Hg)
Talium (TI)
Opasitas
50
250
300
10
100
70
35
1
0,2
1
5
0,2
0,2
10%
(KEP-03/BAPEDAL/09/1995)
Emisi gas buang yang dihasilkan
insinerator sangat bergantung kepada
karakteristik dan komposisi umpan serta desain
dan kondisi pengoperasian insinerator beserta
sistem pengendaliannya. Emisi yang dapat
dikendalikan dengan teknologi pembakaran
diantaranya karbon monoksida (CO), oksida-
oksida nitrogen (sebagai NO2), total
hidrokarbon (sebagai CH4), dan kelompok
polutan hasil pembakaran tidak sempurna
seperti dioksin (PCDDs/PCDFs), semi-volatile
dan volatile organic compound. Senyawa-
senyawa ini dapat dikendalikan keberadaannya
dengan menjaga kesempurnaan pembakaran.
Selain itu, insinerator juga menghasilkan
polutan jenis logam berat (As, Cr, Cd, Pb, Hg
dan TI), partikulat, serta gas-gas anorganik
(SO2, HF, dan HCl) yang berasal dari
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009 ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009
TPL13-4
Tangki
Sirkulasi
Separator
Cerobong
Venturi
Scrubber
Quencher
karakteristik umpan. Kelompok polutan ini
dapat ditangani dengan wet scrubber.
Unit penanganan gas pada insinerator
bergerak ini terdiri dari unit pendingin, unit
scrubber, cerobong, dan tangki sirkulasi
absorben. Unit pendingin (quencher) merupakan
unit pendukung kinerja venturi yang berperan
dalam menurunkan beban volume pengolahan
gas oleh unit venturi melalui proses pendinginan
gas secara kontak langsung dan cepat dengan
memanfaatkan panas penguapan air yang
diumpankan melalui nozzle berdesain khusus
berjenis hidraulik dengan laju alir 4 LPM. Unit
Quencher dibangun dengan material Stainless
Steel AISI 304L yang tahan korosi terhadap
suasana asam dan kuat terhadap temperatur
tinggi hingga 1000 C. Posisi saluran inlet
diletakkan tepat dibagian bawah saluran nozel,
namun diletakkan pada ketinggian yang cukup
aman terhadap kemungkinan bahaya aliran balik
dari cairan nozzle yang terakumulasi pada
bagian dasar quencher menuju insinerator.
Sedangkan untuk saluiran outlet diletakkan pada
posisi diagonal terhadap saluran inlet yang
memberikan jarak tempuh maksimum bagi
aliran gas yang mengalami proses pendinginan.
Unit scrubber yang digunakan pada
insinerator bergerak ini adalah jenis jet venturi
scrubber, karena selain dapat mengabsorp
partikulat yang dihasilkan dari pembakaran,
juga dapat menimbulkan efek vakum yang
berfungsi menarik gas hasil pembakaran menuju
cerobong. Prinsip kerja unit ini memanfaatkan
fenomena tumbukan inersia antara partikulat
dalam aliran gas buang dengan aliran cairan
penyerap berkecepatan tinggi dalam kondisi
turbulen di dalam saluran yang menyempit.
Tangki sirkulasi absorben digunakan untuk
mensirkulasikan cairan penyerap ke unit jet
venturi scrubber, cairan yang digunakan adalah
air. Sedangkan nozzle yang digunakan juga
menggunakan material Stainless Steel AISI
304L dan termasuk golongan jenis nozzle
hidraulik berukuran ¾ inch yang dalam
pengoperasiannya menggunakan tekanan pompa
yang cukup tinggi hingga 3 bar untuk
mengalirkan cairan penyerap dengan laju alir
berkisar 50 LPM. Unit ini diharapkan dapat
menyisihkan partikulat berukuran besar dari
1 µm dengan efisiensi penyisihan hingga 92%.
Disamping itu, unit ini juga diharapkan mampu
menyisihkan gas-gas polutan anorganik yang
dapat diserap dalam air (HF, HCl, HBr, HI,
SOx) melalui peristiwa absorpsi.
Selain itu juga dilengkapi dengan unit
separator, yang merupakan unit pelengkap
untuk menyempurnakan peristiwa absorpsi gas-
gas polutan dan dilanjutkan dengan
memisahkan antara aliran gas buang dan cairan
penyerap. Peralatan ini terbuat dari logam
stainless steel yang tahan karat serta tahan
terhadap suhu relatif tinggi. Pada unit
penanganan gas emisi ini juga dilengkapi
dengan tangki sirkulasi absorben yang berfungsi
untuk menampung dan mensirkulasikan air
sebagai cairan penyerap ke unit Jet venturi
scrubber dengan bantuan pompa. Unit
penanganan gas emisi dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Unit penanganan gas keluaran
ruang pembakaran
Insinerator bergerak ini diletakkan pada
platform beroda berukuran 2 m x 4 m untuk
melayani pemusnahan di lokasi yang tersebar di
banyak wilayah, seperti yang terlihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Insinerator Bergerak
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009 ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009
TPL13-5
Wadah vakum
Plastik sampling pompa
Selang
silikon
3. Bahan dan Metode
Penelitian yang dilakukan adalah
melakukan ujicoba pada insinerator bergerak
yang dibuat khusus untuk memusnahkan
narkoba. Insinerator bergerak ini dirancang
berdasarkan nilai kalori dari narkoba padat.
Barang bukti narkoba sangat sulit didapatkan,
sehingga sebagai pengganti digunakan gaplek
singkong. Hal ini didasari bahwa seperti halnya
obat-obatan, narkoba ini tidak murni 100 % zat
aktif, namun terdiri dari campuran zat aktif dan
sebagian besar zat pengisi yang pada umumnya
adalah amilum dan kafein (Suharjono, 1997).
Komposisi kadnungan singkong adalah 70% air,
24 % pati, dan 2% serat dan 4% kandungan lain
(Tonukari, 2004). Sehingga pengeringan
singkong menjadi gaplek dapat menurunkan
kadar air dan meningkatkan kandungan pati
pada singkong hingga 60%
(www.cassavabiz.org). Gaplek yang digunakan
bervariasi, disimulasikan seperti narkoba, yaitu
dalam bentuk granular yang diasumsikan
sebagai pil dan tablet, serta dalam bentuk
serbuk.
Pengambilan sampling gas dilakukan
pada lubang samping yang terdapat pada ujung
cerobong, gas hasil pembakaran disampling dan
disimpan didalam gas sampling bag untuk
kemudian dianalisa. Rangkaian peralatan
analisa dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Instalasi Sampling Gas
Khusus untuk pengambilan data
karbondioksida dan karbonmonoksida
dilakukan dengan melakukan variasi pada unit
blower sebagai alat pensuplai udara sekunder ke
dalam ruang pembakaran, dan pada unit
quencher sebagai unit pendingin gas hasil
pembakaran sebelum masuk ke dalam scrubber.
Untuk variasi sampling gas CO dan CO2 ini
dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Variasi sampling gas CO dan CO2
4. Hasil dan Pembahasan Pada ujicoba insinerator bergerak ini
gaplek digunakan sebagai umpan untuk
menggantikan narkoba. Gaplek yang bentuknya
bervariasi dari mulai serbuk hingga granular
dimasukkan kedalam ruang bakar melalui unit
pengumpan. Sebelum dilakukan pengumpanan,
dilakukan terlebih dahulu proses preheating.
Proses ini dimaksudkan untuk mencapai suhu
yang diinginkan pada ruang bakar pertama,
yaitu sekitar 700oC. Temperatur ini ditujukan
untuk mencegah terbentuknya dioksin yang
terbentuk pada temperatur dibawah 600oC.
Selain itu preheating ini juga ditujukan agar
dinding-dinding bata api pada permukaan ruang
bakar telah mengalami pemanasan yang merata.
Waktu yang dibutuhkan untuk proses preheating
berdasarkan ujicoba-ujicoba sebelumnya
diperoleh selama 60-70 menit.
Umpan gaplek dimasukkan setelah
suhu ruang bakar pertama mencapai > 700oC
yaitu pada menit ke 0-10 setelah proses
Preheating hingga > 700oC
Sampling gas CO dan CO2
variabel : on/off quencher
dan blower
4 Run @ duplo
persiapan kondisi RUN
baru : 10 menit
selesai
RUN Blower Quencher
I ON OFF
II ON ON
III OFF OFF
IV OFF ON
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009 ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009
TPL13-6
preheating. Umpan yang dimasukkan sebesar
1 kg secara bertahap melalui unit pengumpan.
Pemasukkan umpan secara bertahap ini juga
untuk menghindari terjadinya penumpukkan
umpan didalam ruang bakar pertama. Sampling
dilakukan setelah proses pengumpanan berjalan
5 menit, hal ini diperkirakan bahwa sudah
terjadi kondisi steady state pada ruang bakar.
Data hasil pengukuran emisi gas insinerator
bergerak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Hasil Uji Emisi Gas
Parameter Baku Mutu Emisi *) Hasil
Uji (mg/Nm3)
Partikulat 50 2,8
SOx 250 < 14
NOx 300 71
CO 100 17
*) Keputusan Kepala Bapedal No.KEP-
03/BAPEDAL/09/1995
Analisa gas yang dilakukan pada ujicoba
ini baru terbatas pada gas-gas yang terbentuk
dari proses pembakaran secara umum. Hal ini
dilakukan untuk memperlihatkan kinerja proses
pembakaran yang terjadi di dalam ruang bakar
hasil rancangan. Tabel 1 menunjukkan bahwa
nilai emisi gas-gas tersebut masih berada di
bawah baku mutu emisi untuk insinerator
sehingga emisi gas insinerator ini masih
memenuhi Kep. Bapedal No 03/09/1995. Selain
gas-gas tersebut dalam baku mutu juga
diharuskan mengukur nilai emisi dari logam-
logam berat yang dihasilkan dari gas emisi.
Namun parameter tersebut belum dilakukan
karena diasumsikan pada umpan yang masuk
yaitu gaplek singkong tidak terdapat logam-
logam berat seperti As, Cd, Cr, Pb, Hg, dan Tl.
Namun jika dilihat dari senyawa-senyawa
penyusun narkoba, yang umumnya adalah
senyawa-senyawa organik, maka dapat
diasumsikan bahwa untuk emisi logam-logam
berat ini juga memenuhi baku mutu emisi
insinerator.
Kadar gas karbonmonoksida (CO) yang
merupakan hasil dari proses pembakaran yang
tidak sempurna juga masih jauh dibawah baku
mutu, sehingga dapat disimpulkan proses
pembakaran yang terjadi di dalam ruang bakar
terjadi secara sempurna. Hal ini dapat terjadi
karena pada saat pembakaran suhu operasi yang
terjadi adalah > 800 untuk ruang bakar pertama
dan > 1000 untuk ruang bakar kedua. Suhu ini
relatif lebih tinggi dari temperatur gas
hidrokarbon khsususnya gas karbon monoksida,
sehingga gas CO dapat terbakar di dalam ruang
bakar kedua dan berubah menjadi gas karbon
dioksida (CO2).
Pada ujicoba ini juga dilakukan
perubahan kondisi pada saat operasi, hal ini
ditujukan untuk mengetahui proses pembakaran
dalam ruang bakar terjadi sempurna. Kondisi
yang dilakukan adalah dengan mematikan
memvariasikan suplai udara sekunder pada
blower dan proses pendinginan yang juga
berhubungan dengan waktu tinggal gas di ruang
pembakaran sekunder. Kondisi I adalah kondisi
dimana udara sekunder ditambahkan kedalam
ruang bakar dan waktu tinggal gas didalam
ruang bakar lebih lama karena quencher
dimatikan dan dapat berfungsi sebagai ruang
bakar, kondisi II quencher dinyalakan sehingga
proses pendinginan gas berlangsung, kondisi III
adalah kondisi dimana tidak diberikan udara
sekunder ke dalam ruang pembakaran dan juga
waktu tinggal gas lebih lama, dan kondisi IV
adalah kondisi dimana tidak ada suplai udara
sekunder namun quencher tetap dinyalakan.
Data hasil pengukuran emisi gas CO dan CO2
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Emisi Gas CO dan CO2
pada berbagai kondisi
Kondisi CO ppm CO2 %
1 2 1 2
I 17 - 3.8 -
II 10 10 4.2 4.2
III 1 1 4.9 4.9
IV 2 2 5.5 5.5
Dari Tabel 2 dapat diperoleh bahwa
walaupun dengan adanya variasi kondisi
menunjukkan nilai emisi gas CO dan CO2
masih memenuhi baku mutu. Sehingga dari
hasil ujicoba ini dapat ditentukan kondisi
operasi yang tepat dan lebih hemat energi. Pada
kondisi I dimana merupakan kondisi ekstrim
yaitu dengan adanya tambahan udara dari
blower yang memberikan kondisi udara yang
berlebih dan jalur gas panas lebih panjang
sebelum mengalami pendinginan dan absorbsi
di scrubber, menunjukkan bahwa kadar CO dan
CO2 lebih tinggi dibanding kondisi lain. Kondisi
yang terbagus terlihat pada kondisi III yaitu
pada saat tidak ada udara berlebih yang masuk,
namun kondisi ini kurang baik dari segi proses
keseluruhan karena tidak terjadi proses
pendinginan gas sebelum masuk scrubber. Data
tersebut juga menunjukkan bahwa pada proses
pembakaran tersebut tidak lagi dibutuhkan
tambahan udara dari unit blower, karena sudah
tercukupi oleh blower yang terdapat pada unit
burner. Sehingga kondisi operasi yang dipilih
untuk insinerator bergerak ini adalah kondisi
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009 ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009
TPL13-7
IV, yaitu tidak diberikan udara sekunder
(mematikan blower) namun tetap menyalakan
unit quencher yang berfungsi sebagai pendingin
gas sebelum memasuki scrubber sehingga kerja
scrubber lebih optimal. Pada kondisi ini juga
nilai emisi gas CO masih memenuhi baku mutu
yaitu sebesar 2 ppm. Efisiensi pembakaran pada
kondisi ini mencapai 99,99%.
Kadar abu untuk dari gaplek singkong
yang digunakan dalam umpan adalah 14%.
Sedangkan abu yang tersisa dari hasil
pembakaran di dalam ruang bakar sebesar
1.65 %. Nilai destruction and removal eficiency
dari ruang bakar ini belum bisa dilakukan,
karena umpan yang dimasukkan belum
mengandung principil organic hazardaous
compound (POHC). Namun pengukuran DRE
dengan mendekati nilai perbandingan kadar abu
dari umpan yang masuk mencapai 98,34%.
5. Kesimpulan
Hasil ujicoba menunjukkan, gas emisi
keluaran insinerator untuk gas-gas parameter
pembakaran masih memenui baku mutu, dengan
nilai karbondioksida, karbon monoksida, SOx
dan NOx. Dari hasil analisa diperoleh nilai emisi
CO2 sebesar 5.5 %, kadar CO sebesar 2 ppm,
kadar SOx < 14 ppm, dan kadar NOx sebesar
71 ppm.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ir. R. Binudi, Joko Waluyo, ST, Haznan
Abimanyu, PhD, dan Dr. rer nat Hery Haerudin,
atas diskusinya.
Daftar Pustaka
[1] Anonim, (1998), Design and
Construction of BMW insinerator,
Central Pollution Control Board Ministry
of Environment & Forest, Govt of India,
Parivesh Bhawan, East Arjun Nagar,
Delhi
[2] Anonim, Cassava Starch Production, Juli
2009,
http://www.cassavabiz.org/postharvest/st
arch03.htm
[3] Basel Convention, (1997), Technical
Guidelines on Incineration on Land.
Genewa: Basel Convention International
Environmnet House. ISBN : 92-1-
158604-6
[4] Brunner, Calvin R. (1984), “Incineration
Systems Selection and Design”, New
York: Van Nostrand Reinhold Company
[5] Cooper, David and F.C. Alley (Eds.),
(2002), “Air Polution Control : A Design
Approach”, edisi 3. Illinois: Waveland
Press Inc.
[6] Fatchurahman, M. dan Bulkani, 2006.
Peran Guru Pembimbing dalam Upaya
Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika
pada Siswa SMA Negeri dan Swasta
Kota Palangkaraya. WARTA, Vol. 9, No.
1, Maret 2006 : 21-27
[7] Pemerintah Republik Indonesia, (1997),
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997
tentang Narkotika. Jakarta: DPR RI
[8] Pemerintah Republik Indonesia, (1997),
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika. Jakarta: DPR RI
[9] Suharjono, (1997), Putau Bukan Sekedar
Heroin. Majalah Intisari. Oktober 1997
[10] Tim data puslitbang & Info BNN, (2009),
Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di
Indonesia tahun 2001-2008. Jakarta:
Badan Narkotika Nasional
[11] Tonukari, Nyerhovwo John, (2004),
Cassava and the future of starch, Electric
Journal of Biotechnology, Vol. 7 No. 1.
[12] WHO, (1999), Guidelines for Safe
Disposal of Unwanted Pharmaceuticals
in and after Emergencies. World Health
Organization, Switzerland
RUN Blower Quencher
I ON OFF
II ON ON
III OFF OFF
IV OFF ON