Upload
juzt-zhara
View
182
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
j
Citation preview
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak awal abad ke-2 H ( 8M ). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang
makin meluas mengharuskan islam berinteraksi dengan peradaban dan agama
lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara islam dengan pemikiran asing.
Terkikisnya pemahaman islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke-
13 H. Saat itu umat islam mulai mengupayakan pembaruan untuk memahami
syariat islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Hal ini mendorong para
pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi sebagaimana
firman Allah SWT:
�ه� الل ن�� و�أ ه م� نف�س
� أ ب م�ا � وا �ر� �غ�ي ي �ى ت ح� � ق�و�م ع�ل�ى �ع�م�ه�ا ن� أ �ع�م�ة& ن & �را م�غ�ي �ك� ي �م� ل �ه� الل ن�
� أ ب ك� ذ�ل
يم* ع�ل م يع* س�
(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak
akan merubah sesuatu ni'mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum,
hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri , dan
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. Ar-Ra’d
13:11)
Sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan diyakini
sebagai kebenaran tunggal, ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-
ubah, akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus berubah. Dari
perbedaan penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqh dan teologi yang
berbeda. Salah satu bidang kajian Islam yang secara intens dilakukan pengkajian
oleh kalangan akademisi, ilmuwan, dan pemerhati Islam adalah tentang
pembaruan dalam Islam. Hal ini terlihat dari banyaknya kajian yang
membicarakan tema tersebut, baik mengenai sejarahnya, maupun tokoh, serta
pemikiran pembaruannya.
Adanya intensitas perbincangan dan pengkajian tersebut, menunjukkan bahwa
di kalangan umat Islam, khususnya di kalangan para ilmuwan Islam, telah
terbangun suatu pandangan bahwa pembaruan Islam merupakan suatu
keniscayaan sekaligus sebagai konsekuensi logis dari pengalaman ajaran Islam.
Meskipun demikian, terdapat saling tarik-menarik yang menjadikan isu
pembaruan Islam aktual sekaligus kontroversial sepanjang sejarah pemikiran
Islam. Dengan ungkapan lain bahwa terdapat kelompok pro dan kontra terhadap
pembaruan Islam, yaitu antara yang menganggap bahwa pembaruan Islam sebagai
suatu keharusan untuk aktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dengan yang
melakukan penolakan dan penentangan terhadap pembaruan Islam karena
dipandang bahwa Islam adalah agama pembawa kebenaran mutlak sehingga
upaya pembaruan dipandang bertentangan dengan watak kemutlakan Islam
tersebut. Melihat perbedaan di atas, pro dan kontra pembaruan Islam
sesungguhnya terletak pada kerangka metodologis dalam memahami Islam
sehingga perbedaan antara keduanya berada dalam wilayah pemahaman atau
penafsiran, bukan dalam wilayah yang sangat prinsip. Oleh karenanya, pembaruan
Islam pada dataran ini dapat dipandang sebagai suatu keharusan.
Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa
kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu
sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem
kehidupan sosial,1 antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models
for reality,2sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama
yaitu antara folk variant dan scholarly veriant,3
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis dapatkan ialah:
1. Bagaimana konsep pembaharuan dalam islam?
2. Apakah perbedaan dari kaum modernis dan tradisionalis dalam Islam?
3. Bagaimana perspekstif modernitas dan werternisasi dalam islam
1 Andrew Rippin, Muslim, 35.2 Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.3 Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 5.
BAB 2. ISI
2.1 Konsep Pembaharuan Islam
Pembaharuan islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau
konsep asalnya dipahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi
masyarakat pada masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan
dengan aslinya
2.1.1 Makna Pembaharuan Islam
Dalam kosakata “Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, kemudian
muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna yaitu
modernisme, reformisme, puritanis-me, revivalisme, dan fundamentalisme. Secara
bahasa, kata tajdid berarti pembaharuan ia merupakan proses menjadikan sesuatu
yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Dalam hal ini tajdid pada
hakekatnya selalu berorientasi pada pemurnian yang sifatnya kembali pada ajaran
asal dan bukan adopsi pemikiran asing yang dalam pelaksanaannya diperlukan
pemahaman yang dalam akan paradigma dan pandangan hidup islam yang
bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, serta pendapat para ulama yang terdahulu
yang secara ijma dianggap shohih. Selain itu diperlukan pemahaman terhadap
kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun pemahaman yang
dimaksud bukanlah mengambil konsep asing tersebut Di samping kata tajdid, ada
istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata
islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “pembaharuan”, dan islah sebagai
“perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu
tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam
beserta praktek-prakteknya dalam komunitas kaum muslimin.4
4 Lihat, John O. Voll, “Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Islah”,
dalam John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses, dan Tantangan, terj.
Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hal. 21-23.
Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang
menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa
pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun
merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera jaman ,5
melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-
ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta semangat jaman.6
2.1.2 Fungsi Pembaharuan Dalam Islam
Upaya tajdid tidak sama sekali membenarkan segala upaya mengoreksi
nash-nash syar’i yang shohih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode
yang menyelisihi ijma’ulama islam. Adapun secara spesifik fungsi tajdid
diantaranya:
1. Merupakan upaya untuk menghadirkan kembali sesuatu yang sebelumnya
telah ada untuk diperbaiki dan disempurnakan.
2. Sebagai upaya pemurnian yang sifatnya kembali keajaran asal bukan dan
bukan adopsi pemikiran asing.
3. Upaya yang sama sekali bukan dan adopsi pemikiran asing.
4. Upaya yang sama sekali bukan pembenaran kepada segala upaya
mengkoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks
syar’i dengan metode yang menyelesihi ulama.
5. Upaya memodernsaikan islam dari ketinggalan ( yang bersifat tidak
mutlak yang dapat dirobah-robah ) dengan tidak menghilangkan “ciri
khasnya” ( Al-Quran dan Hadist ).
5 Lihat Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam (Jakarta: Pustaka Ilmu Jaya, 1988),
hal. 7. 6 M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam
(Jakarta: Rajawali, 1998), hal. 3.
2.1.3 Faktor-Faktor Pendorong Pembaharuan Islam
Adapun faktor-faktor pendorong pembaharuan dalam Islam diantaranya:
1. Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh
generasi baru muslim.
2. Gagalnya system social yang bertumpu pada kapitalisme dan
sosialisme
3. Gaya hidup elit sekuler di negara-negara Islam.
4. Hasrat untuk memperoleh kekuasaan diantara segmen kelas menengah
yang semakin berkembang yang tidak dapat diakomodasi secara
politik.
5. pencarian keamanan psikologis diantara kaum pendatang baru di
daerah perkotaan.
6. Lingkungan kota
7. Ketahanan ekonomi negara-negara Islam tertentu akibat melonjaknya
harga minyak.
8. Rasa percaya diri akan masa depan akibat kemenangan Mesir atas
Israel tahun 1973, Revolusi Iran 1979, dan fajar kemunculan kembali
peradaban Islam abad ke 15 Hijriah
2.1.4 Landasan Pembaruan Islam
Pembaruan Islam merupakan suatu keharusan bagi upaya aktualisasi dan
kontekstualisasi Islam. Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi
upaya pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan
historis.
a. Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan
pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis
yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam).7
7Achmad Jainuri, “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an,
No. 3 Vol. VI. Tahun 1995, hal. 38.
Landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (univer-salisme
Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin,
memberikan rahmat bagi seluruh alam.
Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua
aspek kehidupan, mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik
berhubungan dengan habl min Allah (hubungan dengan sang khalik), habl min al-
nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan
dengan alam lingkungan).Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah
hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di
akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan
duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S.
Al-Qashash 28 : 77)
Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku
pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, dengan tidak membatasi diri
pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu.8
8 Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), hal. 360-
362; Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution
(Bandung: Mizan, 1996), hal. 32-33.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan
Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul
Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah
agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti pasca
Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula
bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling
sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama
yang diturunkan sebelumnya.9
b. Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang
diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis.
Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan
tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan
melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dhuha:
Sungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. (Q.S. Adh-dhuhaa 93:4)
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari
situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif
dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya.
Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaru dalam masyarakat harus
selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat melakukan mekanisme
penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.10
9 Lihat Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam (Cairo: The Arab Writer Publisher &
Printers, t.t.), hal. 3.10 Lihat Hamzah Yaa’qub, Pemurnian, hal. 5.
Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang
menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad
seseorang yang akan memperbarui (pema-haman) agamanya”.
Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam yang biasanya
hanya menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata tersebut dikaitkan
dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami karena sebagian mereka yang
disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam telah meninggal dunia pada awal
abad, yang berarti bahwa mereka belum melakukan pembaruan. Atas dasar ini,
maka sebagian lagi memahami dalam pengertian yang lebih longgar dan
menyatakan bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad
yang dimaksud
Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai
awal abad), yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif
dalam teks hadis Nabi.
c. Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan
pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan
Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya
berkata: “sami’na wa atha’na”.
Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan
yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali". (Q.S. Al-Baqarah 2:285)
Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis
menyebar luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu
mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu
kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama
dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan Umat Islam dalam
periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi
peradaban. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana
dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke
abad XIV M) Ibn Taimiyah telah tampil membendungnya (melakukan
pembaruan).11
Pembaruan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga
sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi
asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik.
Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam
memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada umat Islam agar kembali
kepada al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya.12
Dalam perkembangan sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu
Taimiyah terus mengalami dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami
beberapa variasi corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks
waktu, tempat, dan problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu
sendiri dapat diklasifi-kasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-
modern dan gerakan pembaharuan pada masa modern.11 Taqi al-Din Ahmad Ibn Taimiyah (1263-1326), adalah pemikir dan penulis terbesar di masanya. Ia menjadi guru besar mazhab Hanbali di Universitas Damaskus. Lihat H.A.R. Gibb, Mohammedanism, hal. 162; S. F. Mahmud, The Story of Islam (London & Decca: Oxford University Press, 1960), hal. 148-149.
12 M. Amin Rais, “Kata Pengantar”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito (eds.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj. Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hal. ix.
Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil
bentuknya terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan
modern terutama dimulai pada saat jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte
(1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan umat Islam tentang rendahnya
kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta memunculkan kesadaran akan
kelemahan dan keterbelakanganGerakan pembaruan pra-modern dengan dasar
“kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijtihad” sebagaimana di atas, juga
me-warnai gerakan pembaruan pada era modern (abad XIX dan XX M). Sebagai
misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad
Abduh, yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam
dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan
khufarat); kedua, pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan
kembali doktrin Islam sejalan dengan semangat pemikiran modern; keempat,
pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik
yang sama dengan era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa
yang dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan
juga dalam gerakan dan pemikiran yang dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam baik
pra-modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang atau
tema yang digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada penerapan
ketat al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad; ketiga,
penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang berbeda
dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.13
Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan
teologis dan normatif, secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua
landasan tersebut (teologis dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid
(pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat sebagai pijakan bagi
kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.
13 John O. Voll, “Pembaharuan”, hal. 26.
2.2 Perbedaan Kaum Tradisionalis dan Modernis dalam Islam
Adapun perbedaan kaum modernis dan tradisionalis dalam Islam yang dapat
penulis jabarkan dalam uraian berikut.
2.2.1 Tradisionalis Islam
Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayang
adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat
Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti
progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Mereka
adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-
Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan
Islam.14
Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational,
pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan.
Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen
Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.15
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan
sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau
sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.16 Menurut Achamad
Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan
dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik
dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.17
Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi.
Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.18
Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme
adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa
lampau dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama.19
414 Ibid., 2.515 Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.616Andrew Rippin, Muslim, 6.717Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi, 68.818Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.91? Ibid.20 Daniel Brown, Rethinking Tradition, 2.
Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang
berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara
keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.20
Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam
berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-ulama’
terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan
mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.21
Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang
dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah terkristal
dalam beberapa madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih
cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’
terdahulu.22 Mereka menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.23
Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi terdalam
dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk kepada Imam al-
Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada abad ke-12/18,
seperti ajaran yang disampaikan oleh al-Ghazali.24
Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia sebagai
paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat Islam
penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad ke-20
sebagai perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara
terma modernis menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang
kehidupan, termasuk Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul
pada abad ke-20, yang menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan
Islam sebagai senjata dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat
muslim.
21 Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, 13.22Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.23 Ibid.24 Ibid.
Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada Islam
tradisional Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian
kyai yang sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis
semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam
tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan
bahwa Islam tradionalis adalah Islam pedesaan.
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual
sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis.
Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan
yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di
tingkat lokal.
2.2.2 Modernisme Islam
Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang
diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang
mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan
dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan
lagi di masa sekarang.
Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah
yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena
perubahan makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki
makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna
baru lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian,
apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan
budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau
dalam konteks yang lain.
Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh budaya
menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa meletakkan pada
persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut baru dan kuno. Karena
penilaian tentang apa yang disebut modern adalah persoalan perspektif dari orang
yang melihat, fenomena yang kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda
tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh karena itu, contoh karya arsitektur
modern pada pertengahan abad ke-20 sekarang sudah terlihat kuno.
Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan
perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20
tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri
dari penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat
dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah
bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan
keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta
mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.25
Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek
kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang
dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi
kaum modernis tugas setiap muslim adalah mengimplementasikan semua aspek
ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu
keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran yang universal. Universalitas
ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi mencakup semua dasar norma bagi semua
aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial, dari
aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk,
Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik
maupun geografis.
Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa kesempatan
untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini
mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu
melakukan interpretasi sepanjang masa.
25 Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM, 2004), 94.Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah
Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami
perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini
disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia.
Di antara ciri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas
dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat
kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan
ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi.
Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas
menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para
professional. Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini
adalah "melek huruf", yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan.
Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.
Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam
semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung
menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai
pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir
rasional, memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan,
teknologi, dan industri atau telah terbawa oleh arus modernisasi.26 Pemikiran
kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun industri,
akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang bertujuan
untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.
Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai
oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran
yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya
terbatas pada persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek
kehidupan sosial kemasyarakatan.
26 Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.