31
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluhan sakit atau (pain; seperti sakit gigi) merupakan simtom dari berbagai kelainan tubuh, termasuk diantaranya nyeri muskuloskeletal, misal: rematik, spondilitis dan ischialgia. Beberapa daripada keluhan sakit ini ada yang disertai dengan proses inflammasi. Rasa sakit merupakan suatu fenomena yang kompleks melibatkan komponen neurofisiologis dan psikologis. Selama proses yamg kompleks tersebut berlangsung dilepaskan berbagai mediator, seperti serotonin, histamin, bradikinin, lekotrin, dan prostaglandin. Dalam pengobatan rasa sakit, tindakan non farmakologi dan farmakologis, harus dipertimbangkan dengan seksama. Sediaan perorang selalu merupakan obat yang disenangi penderita, terlebih lagi sediaan dengan efek samping sedikit dan kemungkinan kejadian addiksinya rendah yang mampu menekan gejala dan keluhan nyeri proses inflammasi disebut analgetika OAINS (obat anti-inflamsi non-steroid). Secara farmakologis praktis OAINS dibedakan atas kelompok

Tugas Farmasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas Farmasi

Citation preview

Page 1: Tugas Farmasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluhan sakit atau (pain; seperti sakit gigi) merupakan simtom dari

berbagai kelainan tubuh, termasuk diantaranya nyeri muskuloskeletal, misal:

rematik, spondilitis dan ischialgia. Beberapa daripada keluhan sakit ini ada

yang disertai dengan proses inflammasi.

Rasa sakit merupakan suatu fenomena yang kompleks melibatkan

komponen neurofisiologis dan psikologis. Selama proses yamg kompleks

tersebut berlangsung dilepaskan berbagai mediator, seperti serotonin,

histamin, bradikinin, lekotrin, dan prostaglandin.

Dalam pengobatan rasa sakit, tindakan non farmakologi dan

farmakologis, harus dipertimbangkan dengan seksama. Sediaan perorang

selalu merupakan obat yang disenangi penderita, terlebih lagi sediaan dengan

efek samping sedikit dan kemungkinan kejadian addiksinya rendah yang

mampu menekan gejala dan keluhan nyeri proses inflammasi disebut

analgetika OAINS (obat anti-inflamsi non-steroid). Secara farmakologis

praktis OAINS dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan

non salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan OAINS non salisilat

termasuk derivat as. Arylalkanoat (Arbie, 2003).

Asam asetilsalisilat adalah obat yang berguna untuk analgesik,

antipiretik dan antiinflamasi (Kousar et al., 2004; Lenggana, 2010). Asam

asetilsalisilat merupakan analgesik antiinflamasi pilihan pertama yang banyak

digunakan oleh masyarakat (Badan POM, 2003; Lenggana, 2010). Sediaan

asam asetilsalisilat yang umumnya berupa sediaan tablet telah banyak

digunakan oleh para produsen obat dengan beberapa jenis sediaan, bahkan

dapat digunakan sebagai anti platelet dengan mekanisme penghambatan

terhadap agregrasi platelet (Pulcinelli et al., 2004; Lenggana, 2010). Dengan

beberapa karakteristik tersebut perlu adanya suatu pengawasan mutu dengan

Page 2: Tugas Farmasi

2

metode yang sederhana dan memiliki sensitivitas tinggi dengan batas deteksi

yang rendah (Lenggana, 2010).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dibuat suatu rumusan masalah

yaitu bagaimana peran salisilat sebagai obat analgesik.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran salisilat

sebagai obat analgesik.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah agar masyarakat mengetahui bagaimana

peran salisilat sebagai obat analgesik.

Page 3: Tugas Farmasi

3

BAB II

FARMASI - FARMAKOLOGI

2.1 Sifat Fisiko Kimia

Asam salisilat, dikenal juga dengan 2-hydroxy-benzoic acid atau

orthohydrobenzoic acid, memiliki struktur kimia C7H6O3. Asam salisilat

memiliki pKa 2,97. Asam salisilat dapat diekstraksi dari pohon willow bark,

daun wintergreen, spearmint, dan sweet birch. Saat ini asam salisilat telah

dapat diproduksi secara sintetik. Bentuk makroskopik asam salisilat berupa

bubuk kristal putih dengan rasa manis, tidak berbau, dan stabil pada udara

bebas. Bubuk asam salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah larut dalam

lemak. Sifat lipofilik asam salisilat membuat efek klinisnya terbatas pada

lapisan epidermis (Sulistyaningrum, 2012).

2.1.1 Sifat Fisis

Rumus molekul : C7H6O3

Wujud pada 1 atm 25 ºC : padat, kristal

Berat molekul, (g/mol) : 138

Titik beku, (ºC) : 159

Titik didih, (ºC) : 255,85

Temperatur kritis, (K) : 739

Tekanan kritis, (Bar) : 51,80

Densitas, (g/cm3) : 1,140

Δ H°f pada, 25 ºC, 1 atm, (kj/mol) : -466,36

Δ G°f pada, 25 ºC, 1 atm, (kj/mol) : - 365

Page 4: Tugas Farmasi

4

2.1.2 Sifat Kimia

Reaksi Esterifikasi:

Dengan senyawa alkohol dapat membentuk ester, misal pada reaksi

pembentukan metil salisilat.

Reaksi:

C7H6O3 + CH3OH C8H8O3+ H2O

Dapat membentuk methyle salycilade bila direaksikan dengan aniline

memakai katalis PCL3.

Reaksi:

C7H6O3 + C6H5NH2 HOC6H4CONHC6H5

(Juliana, 2014).

Gambar 1. Asam Salisilat

Page 5: Tugas Farmasi

5

2.2 Farmakologi Umum

Salisilat / Asam Asetisalisilat

Salisilat termasuk dalam golongan obat anti inflamasi non steroid

(AINS). Mekanisme kerja adalah menghambat sintesis Prostaglandin dengan

menghambat kerja enzim siklooksigenase pada pusat termoregulator di

hipothalamus dan perifer. Salisilat sudah digunakan lebih dari 100 tahun.

Salisilat digunakan sebagai analgetik, antipiretik, anti inflamasi, anti fungi

(Darsono, 2002).

Asam asetilsalisilat (aspirin) sebagai prototip nonsteroidal anti-

inflammatory drugs (NSAID) merupakan analgetika nonsteroid, non-narkotik

(Reynolds, 1982; Mansjoer, 2003). Kerja utama asam asetilsaIisilat dan

kebanyakan obat antiradang nonsteroid lainnya sebagai penghambat enzim

siklooksigenase yang mengakibatkan penghambatan sintesis senyawa

endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini merupakan prazat

semua senyawa prostaglandin, dengan demikian sintesis rostaglandin akan

terhenti (Mutschler, 1991; Campbell, 1991; Mansjoer, 2003).

2.3 Farmakodinamik

2.3.1 Manfaat dan Mekanisme Kerja Asam Salisilat

1) Efek Keratolitik dan Desmolitik

Asam salisilat telah digunakan secara luas dalam terapi

topikal sebagai bahan keratolitik. Zat ini merupakan bahan

keratolitik tertua yang digunakan sejak 1874. Berbagai penelitian

menyimpulkan terdapat tiga faktor yang berperan penting pada

mekanisme keratolitik asam salisilat, yaitu menurunkan ikatan

korneosit, melarutkan semen interselular, dan melonggarkan serta

mendisintegrasi korneosit.

Page 6: Tugas Farmasi

6

Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan

menghilangkan ikatan kovalen lipid interselular yang berikatan

dengan cornified envelope di sekitar keratinosit. Mekanisme kerja

zat ini adalah pemecahan struktur desmosom yang menyebabkan

disintegrasi ikatan antar sel korneosit. Terminologi desmolitik lebih

menggambarkan mekanisme kerja asam salisilat topikal. Efek

desmolitik asam salisilat meningkat seiring dengan peningkatan

konsentrasi.

Asam salisilat topikal dalam konsentrasi yang lebih besar

(20-60%), menimbulkan destruksi pada jaringan sehingga kerap

digunakan pada terapi veruka dan kalus. Pengelupasan secara

mekanik dapat meningkatkan efektivitas kerja asam salisilat topikal.

Pasien dapat diedukasi untuk mengusap kulit dengan spon halus atau

handuk basah saat mandi. Pada terapi kalus, pengelupasan dapat pula

dilakukan dengan bantuan sikat. Bantuan mekanik ini akan

menyebabkan pengelupasan yang adekuat setelah kulit diberikan

asam salisilat topikal selama beberapa hari (Sulistyaningrum, 2012).

2) Efek Keratoplastik

Pada konsentrasi 0,5-2%, asam salisilat memiliki stabilisasi

stratum korneum yang menyebabkan efek keratoplastik. Mekanisme

belum diketahui secara pasti, namun hal tersebut diduga merupakan

fenomena adaptasi homeopatik, yaitu asam salisilat menyebabkan

rangsangan keratolitik lemah yang menyebabkan peningkatan

keratinisasi.

3) Efek Anti-Pruritus

Asam salisilat memiliki efek anti-pruritus ringan. Efek ini

dapat diamati pada konsentrasi 1-2%. Mekanisme kerja asam

salisilat sebagai antipruritus belum diketahui secara pasti.

Page 7: Tugas Farmasi

7

4) Efek Anti-Inflamasi

Sediaan asam salisilat telah lama diketahui memiliki khasiat

anti-inflamasi. Sebagaimana diketahui, aspirin (asam asetil salisilat)

telah digunakan secara luas sebagai analgesik, anti-piretik, dan anti-

inflamasi sistemik. Asam salisilat menghambat biosistesis

prostaglandin dan memiliki efek anti-inflamasi pada sediaan topikal

dengan konsentrasi 0,5 - 5%.

5) Efek Analgetik

Asam salisilat digunakan pula sebagai bahan analgesia. Metil

salisilat topikal (sebagai contoh: minyak gandapura) memiliki sifat

sebagai counter irritant ringan. Zat ini kerap dikombinasikan dengan

mentol sebagai sediaan topikal yang digunakan dalam pengobatan

nyeri pada otot dan persendian.

6) Efek Bakteriostatik dan Disinfektan

Efek bakteriostatik lemah asam salisilat tampak terutama

terhadap golongan Streptococcus spp., Staphylococcus spp.,

Escherechia coli, dan Pseudomonas aeruginosa. Solusio asam

salisilat 1:1000 dapat digunakan sebagai kompres pada luka. Solusio

asam salisilat 1:1000 lebih nyaman digunakan dari solusio

permanganas kalikus maupun rivanol, karena tidak mengotori

pakaian atau mewarnai kulit.

7) Efek Fungistatik

Kepustakaan menyebutkan efek fungistatik ringan asam

salisilat topikal dapat diamati terhadap Trichophyton spp. dan

Candida spp. Efek ini diamati pada konsentrasi rendah 2-3g/l (<1%).

Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan kemungkinan efek

desmolitik asam salisilat yang membantu penyembuhan infeksi

jamur superfisial, bukan efek fungistatik langsung.

Page 8: Tugas Farmasi

8

8) Efek Tabir Surya

Asam salisilat dan turunannya dapat bekerja sebagai tabir

surya. Mekanisme efek tabir surya kimiawi tersebut melalui

transformasi cincin benzen aromatik pada pajaran ultraviolet (UV).

Selain itu, asam salisilat juga memiliki efek absorpsi sinar ultraviolet

B (UVB) terutama pada gelombang 300-310 nm. Pada psoriasis,

penggunaan asam salisilat topikal yang tidak dibersihkan sebelum

fototerapi dapat mempengaruhi hasil terapi. Sebagai tabir surya

kimiawi, asam salisilat diklasifikasikan dalam golongan non-PABA

(para amino benzoic acid). Daya proteksi asam salisilat sebagai tabir

surya lebih rendah 40% bila dibandingkan golongan PABA

(Sulistyaningrum, 2012).

2.3.2 Kontraindikasi

Penggunaan asam salisilat topikal relatif aman. Zat ini

digunakan sebagai obat bebas di Amerika Serikat dalam konsentrasi 1-

40%. Konsentrasi yang lebih tinggi dapat diberikan dengan

kewaspadaan dan edukasi penggunaan yang tepat. Pasien dengan

riwayat sensitivitas atau alergi kontak terhadap asam salisilat topikal

sebaiknya tidak diberikan preparat ini. Tidak terdapat penelitian

penggunaan asam salisilat topikal pada ibu hamil maupun ibu

menyusui. Asam salisilat diekskresi pada ASI dan berpotensi

menimbulkan abnormalitas trombosit dan perdarahan pada bayi.

Penggunaan aspirin pada ibu hamil dan menyusui tidak dianjurkan.

Asam salisilat masuk dalam kategori C oleh FDA. Terdapat laporan

kasus kejadian sindrom Reye pada penggunaan aspirin peroral pasien

dengan varisela sehingga salisilat dan turunannya tidak

direkomendasikan pada pasien yang menderita varisela, enam minggu

pasca-varisela, dan pasien yang baru mendapat vaksinasi varisela

(Sulistyaningrum, 2012).

Page 9: Tugas Farmasi

9

2.4 Farmakokinetik

Pemberian secara per oral, salisilat akan di absorpsi di dalam lambung

dan usus halus melalui cara difusi pasif. Mencapai plasma dalam waktu 30

menit dan mencapai konsentrasi puncak setelah 1-2 jam. Pada dosis kecil,

mempunyai waktu paruh kira-kira 4 jam. Pada dosis yang digunakan sebagai

anti inflamasi (4-6 g /hari) dengan kadar salisilat serum mencapai 200-300

mg/L, menunjukkan waktu paruh 12-25 jam. Kecepatan absorpsi dan ekskresi

bergantung pada jenis preparat, besarnya dosis dan individu (Darsono, 2002).

2.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Sistemik

1) Absorpsi Perkutan

Toksisitas asam salisilat perkutan berkorelasi langsung

dengan absorpsi perkutan. Terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi absorpsi perkutan, yaitu konsentrasi obat, vehikulum,

penggunaan oklusi, luas permukaan aplikasi, frekuensi dan durasi

aplikasi, serta keadaan kulit. Semakin tinggi konsentrasi obat maka

akan semakin tinggi kemungkinan absorpsi sistemik. Penggunaan

vehikulum minyak/ salep akan lebih mudah diserap dibandingkan

krim. Semakin luas permukaan aplikasi, semakin sering frekuensi

aplikasi dan semakin lama durasi pengunaan asam salisilat topikal,

serta oklusi akan meningkatkan absorpsi sistemik. Keadaan kulit,

terutama fungsi sawar, berpengaruh terhadap absorpsi asam salisilat

perkutan. Asam salisilat telah terdeteksi dalam urin dalam 24 jam

setelah aplikasi topikal pada penderita eritroderma. Penggunaan

asam salisilat 3% dengan frekuensi 3x/hari pada seluruh area kulit

kecuali wajah dan leher menyebabkan toksisitas sistemik pada hari

ke-5.

Page 10: Tugas Farmasi

10

2) Usia

Populasi bayi, anak, dan lanjut usia memiliki risiko kejadian

toksisitas lebih besar dibandingkan dewasa. Bayi dan anak memiliki

perbandingan volume dan luas permukaan tubuh yang besar. Selain

itu fungsi detoksifikasi dan ekskresi belum berkembang secara

sempurna. Pada usia lanjut, volume cairan ekstravaskular juga lebih

rendah.

3) Fungsi Hati dan Ginjal

Asam salisilat mengalami metabolisme di retikulum

endoplasmik dan mitokondria sel hati, serta di eksresi melalui ginjal

sebagai asam salisilat bebas, salicyluric acid, dan asam gentisat.

Kegagalan fungsi hati akan menyebabkan kadar asam salisilat dalam

plasma meningkat sedangkan kegagalan fungsi ginjal akan

menyebabkan ekskresi asam salisilat dan metabolitnya menurun,

sehingga meningkatkan akumulasinya dalam plasma.

2.4.2 Distribusi

Distribusi melalui difusi pasif ke hampir semua jaringan dan

cairan tubuh. Salisilat dapat melewati sawar darah otak dan sawar uri.

Metabolisme berlangsung di hati, dengan cara hidrolisa oleh enzim

esterase menjadi asam salisilat dan asam asetat, suatu konjugat yang

larut dalam air dan dengan cepat diekskresi melalui ginjal. Plasma

Protein Binding : 50 - 80% Salisilat banyak dijumpai sebagai salah

satu komponen dalam sediaan obat flu antara lain digunakan sebagai

efek analgesik-antipiretik dan dapat dijumpai dalam bentuk preparat

topikal karena mempunyai efek keratolitik dan keratoplastik (Darsono,

2002).

Page 11: Tugas Farmasi

11

2.4.3 Dosis

Pengobatan tunggal rata-rata : 10 mg/KBB.

Dosis lazim harian : 40 - 60 mg/KBB/hari.

Tablet aspirin mengandung 325 - 650 mg asam salisilat.

Pada dosis 150 - 200mg /KBB dapat terjadi Intoksikasi akut sedang,

dan dosis 300-500 mg / KBB akan menyebabkan intoksikasi berat.

Intoksikasi kronik dapat terjadi pada pemberian dosis lebih dari 100

mg/KBB selama 2 hari atau lebih (Darsono, 2002).

2.5 Toksisitas

Salisilat menyebabkan efek toksik yang bervariasi, dari intoksikasi

sedang sampai berat. Gejala intoksikasi salisilat bergantung pada penggunaan

akut atau kronik (Darsono, 2002).

Biasanya intoksikasi terjadi pada pemberian dosis besar yang

berulangkali.

Gejala-gejala intoksikasi salisilat disebabkan oleh:

1. Perangsangan pusat pernafasan sehingga timbul hiperventilasi, respirasi

alkalosis, asidosis metabolik dan dehidrasi.

2. Terganggunya proses oksidasi fosforilasi intraseluler dan metabolisme

glukosa dan asam lemak terganggu.

3. Perubahan integritas kapiler yang dapat menyebabkan terjadinya edem

otak dan pulmonal.

4. Terganggunya fungsi platelet dan menyebabkan perpanjangan waktu

protombin.

2.5.1 Gejala klinik

1) Intoksikasi akut : nausea dan vomitus yang timbul segera setelah

termakan, diikuti dengan hiperpnea, tinnitus, ketulian dan letargi.

Gejala Intoksikasi berat : koma, kejang, hipoglikemi, hipertermi

bahkan edema pulmonal, perdarahan pulmonal, ARF, oliguria.

Edema serebral dan pulmonal lebih sering terjadi pada intoksikasi

Page 12: Tugas Farmasi

12

akut. Dapat terjadi kematian akibat kegagalan saraf pusat dan

kolaps kardiovaskuler.

2) Intoksikasi kronik : korban umumnya anak kecil dapat pula dewasa

muda. Diagnosis sering terlewat karena gejala tidak spesifik seperti

bingung, dehidrasi dan metabolik asidosis menyerupai sepsis,

pneumonia dan gastroenteritis. Mortalitas dan morbiditas lebih

tinggi daripada intoksikasi akut. Keracunan berat dapat timbul pada

kadar salisilat yang lebih rendah.

2.5.2 Penanganan

A. Keadaan darurat

1. Pertahankan jalan nafas dan respirasi, bila perlu oksigen.

2. Pemeriksaan gas darah arteri dan X-ray untuk memantau adanya

edema pulmonal.

3. Tangani koma, kejang, edema pulmonal dan hipertermi jika

terjadi.

4. Terapi asidosis metabolik dengan infus sodium bikarbonat

intravena. Pemberian infus di stop jika pH darah < 7,4

5. Ganti kekurangan cairan dan elektrolit akibat muntah dan

hiperventilasi dengan cairan kristaloid intravena. Hati-hati jangan

sampai terjadi edema pulmonal.

6. Monitor penderita asimptomatis minimum dalam 6 jam (atau

lebih lama terutama jika disebabkan oleh tablet salut enterik atau

dosis besar).

7. Penderita dengan gejala intoksikasi sebaik-nya dimasukkan dalam

ICU

B. Antidotum dan obat khusus

Antidotum spesifik tidak ada. Dapat diberikan sodium

bikarbonat untuk mencegah terjadinya asidemia dan untuk

meningkatkan eliminasi melalui ginjal.

Page 13: Tugas Farmasi

13

C. Dekontaminasi

Dekontaminasi tidak di-perlukan pada penderita intoksikasi

kronik. Sebelum RS : beri karbon aktif (dewasa : 50-100 g; anak-

anak 15-30 g / 1g/KBB), Ipekak (15 – 30 ml) untuk menginduksi

muntah, sebagai terapi awal pada anak-anak terutama diberikan

dalam 30 menit setelah paparan.

RS : beri karbon aktif dan katartik secara oral atau dengan gastric

tube/lavage. Jika dosis <200-300 mg/KBB dan telah diberi karbon

aktif tidak perlu dilakukan bilas lambung.

Catatan : Dosis salisilat yang sangat besar (30-60 g), memerlukan

dosis aktif karbon sangat besar untuk mengabsorpsi salisilat dan

mencegah desorpsi. Pada kasus demikian perlu aktif karbon 25-50 g

tiap 3-5 jam. Pemberian aktif karbon harus diteruskan sampai kadar

salisilat dalam serum benar-benar turun.

Page 14: Tugas Farmasi

14

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Nyeri

The International Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai

perasaan sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang dihubungkan

dengan kerusakan jaringan yang telah atau akan terjadi atau digambarkan

seperti mengalami kerusakan jaringan. Nyeri bersifat subyektif karena

ambang nyeri setiap individu berbeda-beda.7 Ambang nyeri akan turun pada

saat kita merasa lelah, cemas, sedih, marah, depresi, bosan, takut, dan

terisolasi. Keadaan tidur, istirahat, rasa empati, diversi, dan pengertian akan

meningkatkan ambang nyeri.

Patofisiologi nyeri diawali dengan pengeluaran mediator-mediator

inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin (PGE2 dan PGEa), histamin,

serotonin, dan substansi P yang akan merangsang ujung-ujung saraf bebas.

Stimulus ini akan diubah menjadi impuls listrik yang dihantarkan melalui

saraf menuju ke sistem saraf pusat. Adanya impuls nyeri akan menyebabkan

keluarnya endorfin yang akan berikatan dengan reseptor m, d, dan k di sistem

saraf pusat. Terikatnya endorfin pada reseptor tersebut akan menyebabkan

hambatan pengeluaran mediator di perifer, sehingga akan menghambat

penghantaran impuls nyeri ke otak (Windiastuti, 2005)

3.2 Analgetik

Analgetik adalah obat yang digunakan untuk menghambat atau

mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri

adalah sesuatu yang tidak menyenangkan merupakan sesuatu gejala yang

harus dicari penyebabnya dan sifatnya subyektif bagi setiap individu.

Analgetik berdasarkan farmakologisnya dibagi dalam dua kelompok

besar, yakni (Tjay dan Raharja, 2002; Wulandari, 2011) :

Page 15: Tugas Farmasi

15

A. Analgetik Perifer (non narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak

bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Secara kimiawi, analgetik

perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni:

1) Parasetamol

2) Salisilat: asetosal, salisilamida, dan benorilat

3) Penghambat Prostaglandin (NSAID): ibuprofen

4) Derivat-derivat antranilat: mefenaminat, asam niflumat glafenin,

floktafenin

5) Derivat-derivat pirazolinon: aminofenazon, isopropil fenazon,

isopropilaminofenazon, dan metamizol

6) Lainnya: benzidamin (tatum)

Obat-obat ini mampu menghilangkan atau menghalau rasa nyeri, tanpa

mempengaruhi sistem syaraf pusat atau menurunkan kesadaran, juga tidak

menimbulkan ketagihan. Daya antipiretiknya berdasarkan rangsangan

terhadap pusat pengatur kalor di hypothalamus, yang mengakibatkan

vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan

disertai keluarnya banyak keringat (Tjay dan Raharja, 2002; Wulandari,

2011).

Efek samping yang paling umum adalah gangguan lambung usus

untuk salisilat, penghambat prostaglandin (NSAID) dan derivat-derivat

pirazolino. Kerusakan darah untuk parasetamol, salisilat, derivat-derivat

antranilat dan derivat-derivat pirazolinon. Kerusakan hati dan ginjal untuk

untuk parasetamol dan penghambat prostaglandin (NSAID) serta reaksi alergi

pada kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau

dalam dosis tinggi. Oleh karena itu, penggunaan analgetik secara kontinyu

tidak dianjurkan (Tjay dan Rahardja, 2002; Wulandari, 2011).

Page 16: Tugas Farmasi

16

B. Analgetik narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,

seperti pada kanker (Anief, 1996; Wulandari, 2011). Penggunaan untuk

jangka waktu lama pada sebagian pemakai menimbulkan kebiasaan dan

ketergantungan (Tjay dan Raharja, 2002; Wulandari, 2011).

Analgetik yang biasa digunakan antara lain:

1. Parasetamol

Derivat asetanilida ini adalah metabolik dari fenasetin, yang dahulu

banyak digunakan sebagai analgetikum. Khasiatnya analgetis dan

antipiretis, tetapi tidak antiradang (Djamhuri, 1995; Wulandari, 2011).

Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling

aman juga untuk swamedikasi. Parasetamol tidak menimbulkan

perdarahan lambung, sehingga dapat diminum baik sesudah maupun

sebelum makan.

Efek analgetisnya diperkuat oleh kafein dengan kira-kira 50% dan kodein.

Efek samping jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan

kelainan darah. Pada dosis yang tinggi dapat memperkuat efek

antikoagulansia dan pada dosis biasa tidak interaktif. Obat analgetik yang

mengandung parasetamol tidak boleh diberikan pada penderita gangguan

hati (Tjay dan Raharja, 2002; Wulandari, 2011).

Dosis parasetamol untuk dewasa 500-1000 mg (1-2 tablet) setiap 4-

6 jam sampai 4 g/hari, sedangkan untuk anak-anak usia 2-6 tahun 125-250

mg (1/4-1/2 tablet) setiap 4-6 jam maksimal empat kali dosis sekali

minum. Pada dosis terapetik parasetamol relatif tidak toksik. Tetapi bila

diberikan dosis yang besar, obat ini menyebabkan nekrosis hati pada

hewan dan manusia. Hepatotoksisitas ini dikaitkan dengan tidak adanya

tingkat glutation hati oleh metabolit elektrofilik dan asetaminofen. Bila

tingkat glutation hati dihilangkan (80% atau lebih), ikatan kovalen dari

metabolit reaktif dengan makromolekul hepatik bertanggung jawab pada

nekrosis hati yang diamati (Manfred,1994; Wulandari, 2011).

Page 17: Tugas Farmasi

17

2. Asetosal

Asetosal adalah obat anti nyeri tertua yang sampai saat ini paling

banyak digunakan di seluruh dunia. Efek samping yang paling sering

terjadi berupa iritasi mukosa lambung dengan resiko tukak lambung.

Selain itu asetosal menimbulkan efek-efek spesifik seperti pada alergi kulit

dan tinitus pada dosis lebih tinggi, efek yang lebih serius adalah kejang-

kejang bronkhi hebat. Selain itu asetosal atau aspirin tidak boleh diberikan

pada orang menderita asma (Tjay dan Raharjo,2002; Wulandari, 2011).

3. Asam Mefenamat

Asam mefenamat adalah golongan antranilat dengan analgetik,

antipiretik dan antiflogistik yang cukup baik. Asam mefenamat dapat

digunakan pula sebagai obat rematik. Efek sampingnya yang sering terjadi

adalah gangguan-gangguan lambung-usus, oleh karena itu obat tersebut

diminum sesudah makan. Dosis: oral permulaan 2 kapsul dari 250 mg,

kemudian 3-4 kali sehari 250 mg setelah makan. Asam mefenamat

termasuk obat wajib apotek sehingga dapat dibeli di apotek (Tjay dan

Rahardja, 2002; Wulandari, 2011).

3.3 Salisilat

Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan asetosal atau

aspirin merupakan senyawa yang memiliki khasiat sebagai analgesik,

antipiretik, dan anti inflamasi pada penggunaan dosis besar. Asetosal

termasuk produk over the counter (OTC) yang dapat diperoleh tanpa resep

dokter dan telah digunakan secara luas di masyarakat. Beberapa dekade

terakhir ini, asetosal bukan lagi merupakan pilihan utama sebagai analgesik

dikarenakan efek sampingnya yang dapat mengiritasi lambung. Untuk

mengurangi efek iritasi lambung ini, asetosal biasanya dibuat dalam bentuk

tablet biasa (plain uncoated), buffered tablets, enteric coated tablets,

dispersible tablets, suppositoria dll (Sweetman., 2002; Annuryanti et al,

2013). Khasiat lain yang dimiliki asetosal pada penggunaan dosis kecil adalah

Page 18: Tugas Farmasi

18

sebagai anti platelet yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya infark

miokard pada orang dengan resiko tinggi stroke atau ischemia cerebral,

sehingga asetosal diproduksi dengan dosis sediaan 80 dan 160 mg/tablet

dengan aturan pakai 1 tablet/hari (Sweetman, 2002; Annuryanti et al, 2013).

Asam asetilsalisilat mempunyai nama sinonim asetosal, asam salisilat

asetat dan yang paling terkenal adalah aspirin (brandname produk dari Bayer)

(Jeffers, 2002; Lenggana, 2010). Serbuk asam asetil salisilat dari tidak

berwarna atau kristal putih atau serbuk granul kristal yang berwarna putih.

Asam asetilsalisilat stabil dalam udara kering tapi terdegradasi perlahan jika

terkena uap air menjadi asam asetat dan asam salisilat. Nilai titik lebur dari

asam asetil salisilat adalah 1350C. Asam asetilsalisilat larut dalam air (1:300),

etanol (1:5), kloroform (1:17) dan eter (1:10-15), larut dalam larutan asetat

dan sitrat dan dengan adanya senyawa yang terdekomposisi, asam

asetilsalilsilat larut dalam larutan hidroksida dan karbonat (Clarke’s, 2004;

Lenggana, 2010).

Efek samping dari asetosal adalah penurunan pendengaran, gangguan

saluran cerna, dan pendarahan spontan sering terjadi, dengan perdarahan akut

dari erosi lambung juga mungkin terjadi Seperti dengan obat antiinflamasi

nonsteroid lainnya, asetosal dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal,

khususnya pada mereka yang sudah ada penyakit ginjal atau gagal jantung

kronis (Anderson, 2001; Astuti, 2011)

Asetosal dikontraindikasikan pada kondisi gangguan perdarahan,

asma, hipersensitif terhadap obat antiinflamasi nonsteroid lain atau pewarna

tartrazin. Untuk tindakan pencegahan, asetosal harus digunakan dengan hati-

hati pada pasien dengan penyakit ginjal, tukak lambung, kecenderungan

perdarahan, hipoprotrombinemia, memiliki sejarah asma, atau sedang

menggunakan antikoagulan. Penggunaan salisilat tidak dianjurkan pada anak-

anak dan remaja yang mengalami infeksi virus dengan gejala seperti flu atau

cacar air karena dapat menyebabkan Reye's syndrome. Asetosal dapat

menyebabkan bronkospasme. (Anderson, 2001; Astuti, 2011)

Page 19: Tugas Farmasi

19

BAB IV

KESIMPULAN

Dalam pengobatan rasa sakit, tindakan non farmakologis dan

farmakologis, harus dipertimbangkan dengan seksama. Secara farmakologis

praktis OAINS (obat anti inflamasi non steroid) dibedakan atas kelompok salisilat

(asetosal, diflunisal) dan non salisilat. Asam asetilsalisilat adalah obat yang

berguna untuk analgesik, antipiretik dan anti inflamasi. Asam asetilsalisilat

merupakan analgesik anti inflamasi pilihan pertama yang banyak digunakan oleh

masyarakat. Namun perlu diperhatikan penggunaan salisilat sebagai analgesik

karena memiliki efek samping yang dapat mengiritasi lambung. Untuk

mengurangi efek iritasi lambung ini, salisilat biasanya dibuat dalam bentuk tablet

biasa.

Page 20: Tugas Farmasi

20

DAFTAR PUSTAKA

Annuryanti., dkk. 2013. Kandungan Salisilat Bebas Dalam Tablet Asetosal Yang

Beredar Di Surabaya. Surabaya: UNAIR. 28-32

Arbie, Rosian. 2003. Penanggulangan Rasa Sakit Dengan Analgetika Dalam

Bentuk Obat Bebas. Sumatera Utara: USU.

Astuti, Ketut. 2011. Kombinasi Asetosal dan Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda

citrifolia L.) Dapat Memperpanjang Waktu Perdarahan dan Koagulasi

pada Mencit. Bali: UNUD.

Darsono, Lusiana. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan

Parasetamol. Bandung: UKM. 30-38.

Juliana. 2014. Prarancangan Pabrik Metil Salisilat dari Metanol dan Asam

Salisilat Kapasitas 20.000 Ton/tahun. Surakarta: UMS.

Lenggana, Tirtana. 2010. Validasi Penetapan Kadar Asam Asetil Salisilat

(Asetosal) Dalam Sediaan Tablet Berbagai Merek Menggunakan Metode

Kolorimeter. Surakarta: UMS.

Mansjoer, Soewarni. 2003. Mekanisme Kerja Obat Antiradang. Sumatera Utara: USU.

Sulistyaningrum., dkk. 2012. Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi.

Jakarta: UI. 277-284.

Windiastuti, Endang & Farastuti, Damayani. 2005. Penanganan Nyeri pada

Keganasan. Jakarta: UI. 153-159.

Page 21: Tugas Farmasi

21

Wulandari, Immawati. 2011. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Penggunaan

Analgetik Pada Pengobatan Sendiri Berdasarkan Sosiodemografi Pada

Masyarakat Di Kecamatan Karanganom Kabupaten Klaten. Surakarta:

UMS.