Upload
rizal-adhi-kurniawan
View
230
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tugas Farmasi
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keluhan sakit atau (pain; seperti sakit gigi) merupakan simtom dari
berbagai kelainan tubuh, termasuk diantaranya nyeri muskuloskeletal, misal:
rematik, spondilitis dan ischialgia. Beberapa daripada keluhan sakit ini ada
yang disertai dengan proses inflammasi.
Rasa sakit merupakan suatu fenomena yang kompleks melibatkan
komponen neurofisiologis dan psikologis. Selama proses yamg kompleks
tersebut berlangsung dilepaskan berbagai mediator, seperti serotonin,
histamin, bradikinin, lekotrin, dan prostaglandin.
Dalam pengobatan rasa sakit, tindakan non farmakologi dan
farmakologis, harus dipertimbangkan dengan seksama. Sediaan perorang
selalu merupakan obat yang disenangi penderita, terlebih lagi sediaan dengan
efek samping sedikit dan kemungkinan kejadian addiksinya rendah yang
mampu menekan gejala dan keluhan nyeri proses inflammasi disebut
analgetika OAINS (obat anti-inflamsi non-steroid). Secara farmakologis
praktis OAINS dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan
non salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan OAINS non salisilat
termasuk derivat as. Arylalkanoat (Arbie, 2003).
Asam asetilsalisilat adalah obat yang berguna untuk analgesik,
antipiretik dan antiinflamasi (Kousar et al., 2004; Lenggana, 2010). Asam
asetilsalisilat merupakan analgesik antiinflamasi pilihan pertama yang banyak
digunakan oleh masyarakat (Badan POM, 2003; Lenggana, 2010). Sediaan
asam asetilsalisilat yang umumnya berupa sediaan tablet telah banyak
digunakan oleh para produsen obat dengan beberapa jenis sediaan, bahkan
dapat digunakan sebagai anti platelet dengan mekanisme penghambatan
terhadap agregrasi platelet (Pulcinelli et al., 2004; Lenggana, 2010). Dengan
beberapa karakteristik tersebut perlu adanya suatu pengawasan mutu dengan
2
metode yang sederhana dan memiliki sensitivitas tinggi dengan batas deteksi
yang rendah (Lenggana, 2010).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dibuat suatu rumusan masalah
yaitu bagaimana peran salisilat sebagai obat analgesik.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran salisilat
sebagai obat analgesik.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah agar masyarakat mengetahui bagaimana
peran salisilat sebagai obat analgesik.
3
BAB II
FARMASI - FARMAKOLOGI
2.1 Sifat Fisiko Kimia
Asam salisilat, dikenal juga dengan 2-hydroxy-benzoic acid atau
orthohydrobenzoic acid, memiliki struktur kimia C7H6O3. Asam salisilat
memiliki pKa 2,97. Asam salisilat dapat diekstraksi dari pohon willow bark,
daun wintergreen, spearmint, dan sweet birch. Saat ini asam salisilat telah
dapat diproduksi secara sintetik. Bentuk makroskopik asam salisilat berupa
bubuk kristal putih dengan rasa manis, tidak berbau, dan stabil pada udara
bebas. Bubuk asam salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah larut dalam
lemak. Sifat lipofilik asam salisilat membuat efek klinisnya terbatas pada
lapisan epidermis (Sulistyaningrum, 2012).
2.1.1 Sifat Fisis
Rumus molekul : C7H6O3
Wujud pada 1 atm 25 ºC : padat, kristal
Berat molekul, (g/mol) : 138
Titik beku, (ºC) : 159
Titik didih, (ºC) : 255,85
Temperatur kritis, (K) : 739
Tekanan kritis, (Bar) : 51,80
Densitas, (g/cm3) : 1,140
Δ H°f pada, 25 ºC, 1 atm, (kj/mol) : -466,36
Δ G°f pada, 25 ºC, 1 atm, (kj/mol) : - 365
4
2.1.2 Sifat Kimia
Reaksi Esterifikasi:
Dengan senyawa alkohol dapat membentuk ester, misal pada reaksi
pembentukan metil salisilat.
Reaksi:
C7H6O3 + CH3OH C8H8O3+ H2O
Dapat membentuk methyle salycilade bila direaksikan dengan aniline
memakai katalis PCL3.
Reaksi:
C7H6O3 + C6H5NH2 HOC6H4CONHC6H5
(Juliana, 2014).
Gambar 1. Asam Salisilat
5
2.2 Farmakologi Umum
Salisilat / Asam Asetisalisilat
Salisilat termasuk dalam golongan obat anti inflamasi non steroid
(AINS). Mekanisme kerja adalah menghambat sintesis Prostaglandin dengan
menghambat kerja enzim siklooksigenase pada pusat termoregulator di
hipothalamus dan perifer. Salisilat sudah digunakan lebih dari 100 tahun.
Salisilat digunakan sebagai analgetik, antipiretik, anti inflamasi, anti fungi
(Darsono, 2002).
Asam asetilsalisilat (aspirin) sebagai prototip nonsteroidal anti-
inflammatory drugs (NSAID) merupakan analgetika nonsteroid, non-narkotik
(Reynolds, 1982; Mansjoer, 2003). Kerja utama asam asetilsaIisilat dan
kebanyakan obat antiradang nonsteroid lainnya sebagai penghambat enzim
siklooksigenase yang mengakibatkan penghambatan sintesis senyawa
endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini merupakan prazat
semua senyawa prostaglandin, dengan demikian sintesis rostaglandin akan
terhenti (Mutschler, 1991; Campbell, 1991; Mansjoer, 2003).
2.3 Farmakodinamik
2.3.1 Manfaat dan Mekanisme Kerja Asam Salisilat
1) Efek Keratolitik dan Desmolitik
Asam salisilat telah digunakan secara luas dalam terapi
topikal sebagai bahan keratolitik. Zat ini merupakan bahan
keratolitik tertua yang digunakan sejak 1874. Berbagai penelitian
menyimpulkan terdapat tiga faktor yang berperan penting pada
mekanisme keratolitik asam salisilat, yaitu menurunkan ikatan
korneosit, melarutkan semen interselular, dan melonggarkan serta
mendisintegrasi korneosit.
6
Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan
menghilangkan ikatan kovalen lipid interselular yang berikatan
dengan cornified envelope di sekitar keratinosit. Mekanisme kerja
zat ini adalah pemecahan struktur desmosom yang menyebabkan
disintegrasi ikatan antar sel korneosit. Terminologi desmolitik lebih
menggambarkan mekanisme kerja asam salisilat topikal. Efek
desmolitik asam salisilat meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasi.
Asam salisilat topikal dalam konsentrasi yang lebih besar
(20-60%), menimbulkan destruksi pada jaringan sehingga kerap
digunakan pada terapi veruka dan kalus. Pengelupasan secara
mekanik dapat meningkatkan efektivitas kerja asam salisilat topikal.
Pasien dapat diedukasi untuk mengusap kulit dengan spon halus atau
handuk basah saat mandi. Pada terapi kalus, pengelupasan dapat pula
dilakukan dengan bantuan sikat. Bantuan mekanik ini akan
menyebabkan pengelupasan yang adekuat setelah kulit diberikan
asam salisilat topikal selama beberapa hari (Sulistyaningrum, 2012).
2) Efek Keratoplastik
Pada konsentrasi 0,5-2%, asam salisilat memiliki stabilisasi
stratum korneum yang menyebabkan efek keratoplastik. Mekanisme
belum diketahui secara pasti, namun hal tersebut diduga merupakan
fenomena adaptasi homeopatik, yaitu asam salisilat menyebabkan
rangsangan keratolitik lemah yang menyebabkan peningkatan
keratinisasi.
3) Efek Anti-Pruritus
Asam salisilat memiliki efek anti-pruritus ringan. Efek ini
dapat diamati pada konsentrasi 1-2%. Mekanisme kerja asam
salisilat sebagai antipruritus belum diketahui secara pasti.
7
4) Efek Anti-Inflamasi
Sediaan asam salisilat telah lama diketahui memiliki khasiat
anti-inflamasi. Sebagaimana diketahui, aspirin (asam asetil salisilat)
telah digunakan secara luas sebagai analgesik, anti-piretik, dan anti-
inflamasi sistemik. Asam salisilat menghambat biosistesis
prostaglandin dan memiliki efek anti-inflamasi pada sediaan topikal
dengan konsentrasi 0,5 - 5%.
5) Efek Analgetik
Asam salisilat digunakan pula sebagai bahan analgesia. Metil
salisilat topikal (sebagai contoh: minyak gandapura) memiliki sifat
sebagai counter irritant ringan. Zat ini kerap dikombinasikan dengan
mentol sebagai sediaan topikal yang digunakan dalam pengobatan
nyeri pada otot dan persendian.
6) Efek Bakteriostatik dan Disinfektan
Efek bakteriostatik lemah asam salisilat tampak terutama
terhadap golongan Streptococcus spp., Staphylococcus spp.,
Escherechia coli, dan Pseudomonas aeruginosa. Solusio asam
salisilat 1:1000 dapat digunakan sebagai kompres pada luka. Solusio
asam salisilat 1:1000 lebih nyaman digunakan dari solusio
permanganas kalikus maupun rivanol, karena tidak mengotori
pakaian atau mewarnai kulit.
7) Efek Fungistatik
Kepustakaan menyebutkan efek fungistatik ringan asam
salisilat topikal dapat diamati terhadap Trichophyton spp. dan
Candida spp. Efek ini diamati pada konsentrasi rendah 2-3g/l (<1%).
Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan kemungkinan efek
desmolitik asam salisilat yang membantu penyembuhan infeksi
jamur superfisial, bukan efek fungistatik langsung.
8
8) Efek Tabir Surya
Asam salisilat dan turunannya dapat bekerja sebagai tabir
surya. Mekanisme efek tabir surya kimiawi tersebut melalui
transformasi cincin benzen aromatik pada pajaran ultraviolet (UV).
Selain itu, asam salisilat juga memiliki efek absorpsi sinar ultraviolet
B (UVB) terutama pada gelombang 300-310 nm. Pada psoriasis,
penggunaan asam salisilat topikal yang tidak dibersihkan sebelum
fototerapi dapat mempengaruhi hasil terapi. Sebagai tabir surya
kimiawi, asam salisilat diklasifikasikan dalam golongan non-PABA
(para amino benzoic acid). Daya proteksi asam salisilat sebagai tabir
surya lebih rendah 40% bila dibandingkan golongan PABA
(Sulistyaningrum, 2012).
2.3.2 Kontraindikasi
Penggunaan asam salisilat topikal relatif aman. Zat ini
digunakan sebagai obat bebas di Amerika Serikat dalam konsentrasi 1-
40%. Konsentrasi yang lebih tinggi dapat diberikan dengan
kewaspadaan dan edukasi penggunaan yang tepat. Pasien dengan
riwayat sensitivitas atau alergi kontak terhadap asam salisilat topikal
sebaiknya tidak diberikan preparat ini. Tidak terdapat penelitian
penggunaan asam salisilat topikal pada ibu hamil maupun ibu
menyusui. Asam salisilat diekskresi pada ASI dan berpotensi
menimbulkan abnormalitas trombosit dan perdarahan pada bayi.
Penggunaan aspirin pada ibu hamil dan menyusui tidak dianjurkan.
Asam salisilat masuk dalam kategori C oleh FDA. Terdapat laporan
kasus kejadian sindrom Reye pada penggunaan aspirin peroral pasien
dengan varisela sehingga salisilat dan turunannya tidak
direkomendasikan pada pasien yang menderita varisela, enam minggu
pasca-varisela, dan pasien yang baru mendapat vaksinasi varisela
(Sulistyaningrum, 2012).
9
2.4 Farmakokinetik
Pemberian secara per oral, salisilat akan di absorpsi di dalam lambung
dan usus halus melalui cara difusi pasif. Mencapai plasma dalam waktu 30
menit dan mencapai konsentrasi puncak setelah 1-2 jam. Pada dosis kecil,
mempunyai waktu paruh kira-kira 4 jam. Pada dosis yang digunakan sebagai
anti inflamasi (4-6 g /hari) dengan kadar salisilat serum mencapai 200-300
mg/L, menunjukkan waktu paruh 12-25 jam. Kecepatan absorpsi dan ekskresi
bergantung pada jenis preparat, besarnya dosis dan individu (Darsono, 2002).
2.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Sistemik
1) Absorpsi Perkutan
Toksisitas asam salisilat perkutan berkorelasi langsung
dengan absorpsi perkutan. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi absorpsi perkutan, yaitu konsentrasi obat, vehikulum,
penggunaan oklusi, luas permukaan aplikasi, frekuensi dan durasi
aplikasi, serta keadaan kulit. Semakin tinggi konsentrasi obat maka
akan semakin tinggi kemungkinan absorpsi sistemik. Penggunaan
vehikulum minyak/ salep akan lebih mudah diserap dibandingkan
krim. Semakin luas permukaan aplikasi, semakin sering frekuensi
aplikasi dan semakin lama durasi pengunaan asam salisilat topikal,
serta oklusi akan meningkatkan absorpsi sistemik. Keadaan kulit,
terutama fungsi sawar, berpengaruh terhadap absorpsi asam salisilat
perkutan. Asam salisilat telah terdeteksi dalam urin dalam 24 jam
setelah aplikasi topikal pada penderita eritroderma. Penggunaan
asam salisilat 3% dengan frekuensi 3x/hari pada seluruh area kulit
kecuali wajah dan leher menyebabkan toksisitas sistemik pada hari
ke-5.
10
2) Usia
Populasi bayi, anak, dan lanjut usia memiliki risiko kejadian
toksisitas lebih besar dibandingkan dewasa. Bayi dan anak memiliki
perbandingan volume dan luas permukaan tubuh yang besar. Selain
itu fungsi detoksifikasi dan ekskresi belum berkembang secara
sempurna. Pada usia lanjut, volume cairan ekstravaskular juga lebih
rendah.
3) Fungsi Hati dan Ginjal
Asam salisilat mengalami metabolisme di retikulum
endoplasmik dan mitokondria sel hati, serta di eksresi melalui ginjal
sebagai asam salisilat bebas, salicyluric acid, dan asam gentisat.
Kegagalan fungsi hati akan menyebabkan kadar asam salisilat dalam
plasma meningkat sedangkan kegagalan fungsi ginjal akan
menyebabkan ekskresi asam salisilat dan metabolitnya menurun,
sehingga meningkatkan akumulasinya dalam plasma.
2.4.2 Distribusi
Distribusi melalui difusi pasif ke hampir semua jaringan dan
cairan tubuh. Salisilat dapat melewati sawar darah otak dan sawar uri.
Metabolisme berlangsung di hati, dengan cara hidrolisa oleh enzim
esterase menjadi asam salisilat dan asam asetat, suatu konjugat yang
larut dalam air dan dengan cepat diekskresi melalui ginjal. Plasma
Protein Binding : 50 - 80% Salisilat banyak dijumpai sebagai salah
satu komponen dalam sediaan obat flu antara lain digunakan sebagai
efek analgesik-antipiretik dan dapat dijumpai dalam bentuk preparat
topikal karena mempunyai efek keratolitik dan keratoplastik (Darsono,
2002).
11
2.4.3 Dosis
Pengobatan tunggal rata-rata : 10 mg/KBB.
Dosis lazim harian : 40 - 60 mg/KBB/hari.
Tablet aspirin mengandung 325 - 650 mg asam salisilat.
Pada dosis 150 - 200mg /KBB dapat terjadi Intoksikasi akut sedang,
dan dosis 300-500 mg / KBB akan menyebabkan intoksikasi berat.
Intoksikasi kronik dapat terjadi pada pemberian dosis lebih dari 100
mg/KBB selama 2 hari atau lebih (Darsono, 2002).
2.5 Toksisitas
Salisilat menyebabkan efek toksik yang bervariasi, dari intoksikasi
sedang sampai berat. Gejala intoksikasi salisilat bergantung pada penggunaan
akut atau kronik (Darsono, 2002).
Biasanya intoksikasi terjadi pada pemberian dosis besar yang
berulangkali.
Gejala-gejala intoksikasi salisilat disebabkan oleh:
1. Perangsangan pusat pernafasan sehingga timbul hiperventilasi, respirasi
alkalosis, asidosis metabolik dan dehidrasi.
2. Terganggunya proses oksidasi fosforilasi intraseluler dan metabolisme
glukosa dan asam lemak terganggu.
3. Perubahan integritas kapiler yang dapat menyebabkan terjadinya edem
otak dan pulmonal.
4. Terganggunya fungsi platelet dan menyebabkan perpanjangan waktu
protombin.
2.5.1 Gejala klinik
1) Intoksikasi akut : nausea dan vomitus yang timbul segera setelah
termakan, diikuti dengan hiperpnea, tinnitus, ketulian dan letargi.
Gejala Intoksikasi berat : koma, kejang, hipoglikemi, hipertermi
bahkan edema pulmonal, perdarahan pulmonal, ARF, oliguria.
Edema serebral dan pulmonal lebih sering terjadi pada intoksikasi
12
akut. Dapat terjadi kematian akibat kegagalan saraf pusat dan
kolaps kardiovaskuler.
2) Intoksikasi kronik : korban umumnya anak kecil dapat pula dewasa
muda. Diagnosis sering terlewat karena gejala tidak spesifik seperti
bingung, dehidrasi dan metabolik asidosis menyerupai sepsis,
pneumonia dan gastroenteritis. Mortalitas dan morbiditas lebih
tinggi daripada intoksikasi akut. Keracunan berat dapat timbul pada
kadar salisilat yang lebih rendah.
2.5.2 Penanganan
A. Keadaan darurat
1. Pertahankan jalan nafas dan respirasi, bila perlu oksigen.
2. Pemeriksaan gas darah arteri dan X-ray untuk memantau adanya
edema pulmonal.
3. Tangani koma, kejang, edema pulmonal dan hipertermi jika
terjadi.
4. Terapi asidosis metabolik dengan infus sodium bikarbonat
intravena. Pemberian infus di stop jika pH darah < 7,4
5. Ganti kekurangan cairan dan elektrolit akibat muntah dan
hiperventilasi dengan cairan kristaloid intravena. Hati-hati jangan
sampai terjadi edema pulmonal.
6. Monitor penderita asimptomatis minimum dalam 6 jam (atau
lebih lama terutama jika disebabkan oleh tablet salut enterik atau
dosis besar).
7. Penderita dengan gejala intoksikasi sebaik-nya dimasukkan dalam
ICU
B. Antidotum dan obat khusus
Antidotum spesifik tidak ada. Dapat diberikan sodium
bikarbonat untuk mencegah terjadinya asidemia dan untuk
meningkatkan eliminasi melalui ginjal.
13
C. Dekontaminasi
Dekontaminasi tidak di-perlukan pada penderita intoksikasi
kronik. Sebelum RS : beri karbon aktif (dewasa : 50-100 g; anak-
anak 15-30 g / 1g/KBB), Ipekak (15 – 30 ml) untuk menginduksi
muntah, sebagai terapi awal pada anak-anak terutama diberikan
dalam 30 menit setelah paparan.
RS : beri karbon aktif dan katartik secara oral atau dengan gastric
tube/lavage. Jika dosis <200-300 mg/KBB dan telah diberi karbon
aktif tidak perlu dilakukan bilas lambung.
Catatan : Dosis salisilat yang sangat besar (30-60 g), memerlukan
dosis aktif karbon sangat besar untuk mengabsorpsi salisilat dan
mencegah desorpsi. Pada kasus demikian perlu aktif karbon 25-50 g
tiap 3-5 jam. Pemberian aktif karbon harus diteruskan sampai kadar
salisilat dalam serum benar-benar turun.
14
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Nyeri
The International Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai
perasaan sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang dihubungkan
dengan kerusakan jaringan yang telah atau akan terjadi atau digambarkan
seperti mengalami kerusakan jaringan. Nyeri bersifat subyektif karena
ambang nyeri setiap individu berbeda-beda.7 Ambang nyeri akan turun pada
saat kita merasa lelah, cemas, sedih, marah, depresi, bosan, takut, dan
terisolasi. Keadaan tidur, istirahat, rasa empati, diversi, dan pengertian akan
meningkatkan ambang nyeri.
Patofisiologi nyeri diawali dengan pengeluaran mediator-mediator
inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin (PGE2 dan PGEa), histamin,
serotonin, dan substansi P yang akan merangsang ujung-ujung saraf bebas.
Stimulus ini akan diubah menjadi impuls listrik yang dihantarkan melalui
saraf menuju ke sistem saraf pusat. Adanya impuls nyeri akan menyebabkan
keluarnya endorfin yang akan berikatan dengan reseptor m, d, dan k di sistem
saraf pusat. Terikatnya endorfin pada reseptor tersebut akan menyebabkan
hambatan pengeluaran mediator di perifer, sehingga akan menghambat
penghantaran impuls nyeri ke otak (Windiastuti, 2005)
3.2 Analgetik
Analgetik adalah obat yang digunakan untuk menghambat atau
mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri
adalah sesuatu yang tidak menyenangkan merupakan sesuatu gejala yang
harus dicari penyebabnya dan sifatnya subyektif bagi setiap individu.
Analgetik berdasarkan farmakologisnya dibagi dalam dua kelompok
besar, yakni (Tjay dan Raharja, 2002; Wulandari, 2011) :
15
A. Analgetik Perifer (non narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Secara kimiawi, analgetik
perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni:
1) Parasetamol
2) Salisilat: asetosal, salisilamida, dan benorilat
3) Penghambat Prostaglandin (NSAID): ibuprofen
4) Derivat-derivat antranilat: mefenaminat, asam niflumat glafenin,
floktafenin
5) Derivat-derivat pirazolinon: aminofenazon, isopropil fenazon,
isopropilaminofenazon, dan metamizol
6) Lainnya: benzidamin (tatum)
Obat-obat ini mampu menghilangkan atau menghalau rasa nyeri, tanpa
mempengaruhi sistem syaraf pusat atau menurunkan kesadaran, juga tidak
menimbulkan ketagihan. Daya antipiretiknya berdasarkan rangsangan
terhadap pusat pengatur kalor di hypothalamus, yang mengakibatkan
vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan
disertai keluarnya banyak keringat (Tjay dan Raharja, 2002; Wulandari,
2011).
Efek samping yang paling umum adalah gangguan lambung usus
untuk salisilat, penghambat prostaglandin (NSAID) dan derivat-derivat
pirazolino. Kerusakan darah untuk parasetamol, salisilat, derivat-derivat
antranilat dan derivat-derivat pirazolinon. Kerusakan hati dan ginjal untuk
untuk parasetamol dan penghambat prostaglandin (NSAID) serta reaksi alergi
pada kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau
dalam dosis tinggi. Oleh karena itu, penggunaan analgetik secara kontinyu
tidak dianjurkan (Tjay dan Rahardja, 2002; Wulandari, 2011).
16
B. Analgetik narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,
seperti pada kanker (Anief, 1996; Wulandari, 2011). Penggunaan untuk
jangka waktu lama pada sebagian pemakai menimbulkan kebiasaan dan
ketergantungan (Tjay dan Raharja, 2002; Wulandari, 2011).
Analgetik yang biasa digunakan antara lain:
1. Parasetamol
Derivat asetanilida ini adalah metabolik dari fenasetin, yang dahulu
banyak digunakan sebagai analgetikum. Khasiatnya analgetis dan
antipiretis, tetapi tidak antiradang (Djamhuri, 1995; Wulandari, 2011).
Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling
aman juga untuk swamedikasi. Parasetamol tidak menimbulkan
perdarahan lambung, sehingga dapat diminum baik sesudah maupun
sebelum makan.
Efek analgetisnya diperkuat oleh kafein dengan kira-kira 50% dan kodein.
Efek samping jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan
kelainan darah. Pada dosis yang tinggi dapat memperkuat efek
antikoagulansia dan pada dosis biasa tidak interaktif. Obat analgetik yang
mengandung parasetamol tidak boleh diberikan pada penderita gangguan
hati (Tjay dan Raharja, 2002; Wulandari, 2011).
Dosis parasetamol untuk dewasa 500-1000 mg (1-2 tablet) setiap 4-
6 jam sampai 4 g/hari, sedangkan untuk anak-anak usia 2-6 tahun 125-250
mg (1/4-1/2 tablet) setiap 4-6 jam maksimal empat kali dosis sekali
minum. Pada dosis terapetik parasetamol relatif tidak toksik. Tetapi bila
diberikan dosis yang besar, obat ini menyebabkan nekrosis hati pada
hewan dan manusia. Hepatotoksisitas ini dikaitkan dengan tidak adanya
tingkat glutation hati oleh metabolit elektrofilik dan asetaminofen. Bila
tingkat glutation hati dihilangkan (80% atau lebih), ikatan kovalen dari
metabolit reaktif dengan makromolekul hepatik bertanggung jawab pada
nekrosis hati yang diamati (Manfred,1994; Wulandari, 2011).
17
2. Asetosal
Asetosal adalah obat anti nyeri tertua yang sampai saat ini paling
banyak digunakan di seluruh dunia. Efek samping yang paling sering
terjadi berupa iritasi mukosa lambung dengan resiko tukak lambung.
Selain itu asetosal menimbulkan efek-efek spesifik seperti pada alergi kulit
dan tinitus pada dosis lebih tinggi, efek yang lebih serius adalah kejang-
kejang bronkhi hebat. Selain itu asetosal atau aspirin tidak boleh diberikan
pada orang menderita asma (Tjay dan Raharjo,2002; Wulandari, 2011).
3. Asam Mefenamat
Asam mefenamat adalah golongan antranilat dengan analgetik,
antipiretik dan antiflogistik yang cukup baik. Asam mefenamat dapat
digunakan pula sebagai obat rematik. Efek sampingnya yang sering terjadi
adalah gangguan-gangguan lambung-usus, oleh karena itu obat tersebut
diminum sesudah makan. Dosis: oral permulaan 2 kapsul dari 250 mg,
kemudian 3-4 kali sehari 250 mg setelah makan. Asam mefenamat
termasuk obat wajib apotek sehingga dapat dibeli di apotek (Tjay dan
Rahardja, 2002; Wulandari, 2011).
3.3 Salisilat
Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan asetosal atau
aspirin merupakan senyawa yang memiliki khasiat sebagai analgesik,
antipiretik, dan anti inflamasi pada penggunaan dosis besar. Asetosal
termasuk produk over the counter (OTC) yang dapat diperoleh tanpa resep
dokter dan telah digunakan secara luas di masyarakat. Beberapa dekade
terakhir ini, asetosal bukan lagi merupakan pilihan utama sebagai analgesik
dikarenakan efek sampingnya yang dapat mengiritasi lambung. Untuk
mengurangi efek iritasi lambung ini, asetosal biasanya dibuat dalam bentuk
tablet biasa (plain uncoated), buffered tablets, enteric coated tablets,
dispersible tablets, suppositoria dll (Sweetman., 2002; Annuryanti et al,
2013). Khasiat lain yang dimiliki asetosal pada penggunaan dosis kecil adalah
18
sebagai anti platelet yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya infark
miokard pada orang dengan resiko tinggi stroke atau ischemia cerebral,
sehingga asetosal diproduksi dengan dosis sediaan 80 dan 160 mg/tablet
dengan aturan pakai 1 tablet/hari (Sweetman, 2002; Annuryanti et al, 2013).
Asam asetilsalisilat mempunyai nama sinonim asetosal, asam salisilat
asetat dan yang paling terkenal adalah aspirin (brandname produk dari Bayer)
(Jeffers, 2002; Lenggana, 2010). Serbuk asam asetil salisilat dari tidak
berwarna atau kristal putih atau serbuk granul kristal yang berwarna putih.
Asam asetilsalisilat stabil dalam udara kering tapi terdegradasi perlahan jika
terkena uap air menjadi asam asetat dan asam salisilat. Nilai titik lebur dari
asam asetil salisilat adalah 1350C. Asam asetilsalisilat larut dalam air (1:300),
etanol (1:5), kloroform (1:17) dan eter (1:10-15), larut dalam larutan asetat
dan sitrat dan dengan adanya senyawa yang terdekomposisi, asam
asetilsalilsilat larut dalam larutan hidroksida dan karbonat (Clarke’s, 2004;
Lenggana, 2010).
Efek samping dari asetosal adalah penurunan pendengaran, gangguan
saluran cerna, dan pendarahan spontan sering terjadi, dengan perdarahan akut
dari erosi lambung juga mungkin terjadi Seperti dengan obat antiinflamasi
nonsteroid lainnya, asetosal dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal,
khususnya pada mereka yang sudah ada penyakit ginjal atau gagal jantung
kronis (Anderson, 2001; Astuti, 2011)
Asetosal dikontraindikasikan pada kondisi gangguan perdarahan,
asma, hipersensitif terhadap obat antiinflamasi nonsteroid lain atau pewarna
tartrazin. Untuk tindakan pencegahan, asetosal harus digunakan dengan hati-
hati pada pasien dengan penyakit ginjal, tukak lambung, kecenderungan
perdarahan, hipoprotrombinemia, memiliki sejarah asma, atau sedang
menggunakan antikoagulan. Penggunaan salisilat tidak dianjurkan pada anak-
anak dan remaja yang mengalami infeksi virus dengan gejala seperti flu atau
cacar air karena dapat menyebabkan Reye's syndrome. Asetosal dapat
menyebabkan bronkospasme. (Anderson, 2001; Astuti, 2011)
19
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam pengobatan rasa sakit, tindakan non farmakologis dan
farmakologis, harus dipertimbangkan dengan seksama. Secara farmakologis
praktis OAINS (obat anti inflamasi non steroid) dibedakan atas kelompok salisilat
(asetosal, diflunisal) dan non salisilat. Asam asetilsalisilat adalah obat yang
berguna untuk analgesik, antipiretik dan anti inflamasi. Asam asetilsalisilat
merupakan analgesik anti inflamasi pilihan pertama yang banyak digunakan oleh
masyarakat. Namun perlu diperhatikan penggunaan salisilat sebagai analgesik
karena memiliki efek samping yang dapat mengiritasi lambung. Untuk
mengurangi efek iritasi lambung ini, salisilat biasanya dibuat dalam bentuk tablet
biasa.
20
DAFTAR PUSTAKA
Annuryanti., dkk. 2013. Kandungan Salisilat Bebas Dalam Tablet Asetosal Yang
Beredar Di Surabaya. Surabaya: UNAIR. 28-32
Arbie, Rosian. 2003. Penanggulangan Rasa Sakit Dengan Analgetika Dalam
Bentuk Obat Bebas. Sumatera Utara: USU.
Astuti, Ketut. 2011. Kombinasi Asetosal dan Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda
citrifolia L.) Dapat Memperpanjang Waktu Perdarahan dan Koagulasi
pada Mencit. Bali: UNUD.
Darsono, Lusiana. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan
Parasetamol. Bandung: UKM. 30-38.
Juliana. 2014. Prarancangan Pabrik Metil Salisilat dari Metanol dan Asam
Salisilat Kapasitas 20.000 Ton/tahun. Surakarta: UMS.
Lenggana, Tirtana. 2010. Validasi Penetapan Kadar Asam Asetil Salisilat
(Asetosal) Dalam Sediaan Tablet Berbagai Merek Menggunakan Metode
Kolorimeter. Surakarta: UMS.
Mansjoer, Soewarni. 2003. Mekanisme Kerja Obat Antiradang. Sumatera Utara: USU.
Sulistyaningrum., dkk. 2012. Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi.
Jakarta: UI. 277-284.
Windiastuti, Endang & Farastuti, Damayani. 2005. Penanganan Nyeri pada
Keganasan. Jakarta: UI. 153-159.
21
Wulandari, Immawati. 2011. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Penggunaan
Analgetik Pada Pengobatan Sendiri Berdasarkan Sosiodemografi Pada
Masyarakat Di Kecamatan Karanganom Kabupaten Klaten. Surakarta:
UMS.