15
BAB I PENDAHULUAN Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak nafas, batuk dan produksi sputum. Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus meningkat. Menurut survey dari WHO (World Health Organization) tahun 2008, memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat dari posisi 12 ke 5 sebagai penyakit terbanyak dan sebagai penyebab utama kematian akan meningkat dari urutan ke-6 menjadi ke-3. Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting terjadinya PPOK dengan persentase 10-20%. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari 1

tugas PPOK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: tugas PPOK

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK merupakan

penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas

yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan

karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi

dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak nafas, batuk dan

produksi sputum.

Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena

prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus meningkat. Menurut survey dari WHO

(World Health Organization) tahun 2008, memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020

prevalensi PPOK akan meningkat dari posisi 12 ke 5 sebagai penyakit terbanyak dan

sebagai penyebab utama kematian akan meningkat dari urutan ke-6 menjadi ke-3.

Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting terjadinya PPOK

dengan persentase 10-20%. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang

perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia

yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.

Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu

sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam

jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Komponen-komponen asap rokok

tersebut juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.

Kebiasaan merokok pada masyarakat di indonesia yang semakin meningkat

menjadi 10 juta orang pertahun menyebabkan PPOK akan semakin banyak terjadi dan

akan menjadi salah satu masalah yang besar dalam bidang kesehatan di Indonesia. Di

Indonesia, tahun 2004 menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang

angka kesakitan (35%). Menurut data Survey Kesehatan Nasional (SUKSENAS)

TAHUN 2001, PPOK merupakan penyebab kematian ke 2 di indonesia. Prevalensi

PPOK lebih tinggi pada pria daripada wanita dan menyerang sekitar 10% penduduk usia

40 tahun ke atas.

1

Page 2: tugas PPOK

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan

gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi

yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang

berbahaya.

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala

eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya

dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti

sesak nafas yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau

purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise,

kelelahan dan gangguan tidur.

Dalam menilai gambaran klinis PPOK gejalanya sebagai berikut :

a. Gejala batuk sputum yang produktif

b. Sesak pada saat melakukan aktivitas

c. Hambatan aliran udara umunya irreversibel (tidak bisa kembali normal)

Penderita biasanya akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-

batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+). Sedangkan pada kondisi ringan

dapat tanpa keluhan atau gejala.

2.1.1 Bronkitis kronis

Pembesaran kelenjar mukus, perubahan struktur pada saluran pernafasan termasuk

atrofi, metaplasia sel squamous, abnormalitas silia, hiperplasia otot lurik, proses

inflamasi, dan penebalan dinding bronkiolus adalah tanda-tanda bronkitis kronik.

Neutrofilia terjadi di lumen saluran pernafasan dan infiltrasi neutrofil berkumpul di

submukosa. Di bronkiolus, terjadi proses inflamasi mononuklear, oklusi lumen oleh

mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot lurik, dan distorsi akibat fibrosis. Semua

perubahan ini dikombinasikan bersama kehilangan supporting alveolar attachments

menyebabkan pernapasan yang terbatas akibat penyempitan lumen saluran pernafasan

dan deformitas dinding saluran pernafasan.

2

Page 3: tugas PPOK

2.1.2. Emfisema

Emfisema ditandai dengan pelebaran rongga udara distal bronkiolus

terminal yang disertai kerusakan dinding alveoli.

2.1.3 Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah suatu keadaan bronkus atau bronkiolus yang

melebar akibat hilangnya elastisitas dinding otot bronkus yang dapat disebakan

oleh obstruksi dan peradangan yang kronis, atau dapat pula disebabkan oleh

kelainan kongenital.

2.2 Epidemiologi

Insidensi pada pria > wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita

meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok wanita.

Survei tahun 2001 : di US, kira-kira 12.1 juta pasien menderita PPOK, 9

juta menderita bronchitis kronis, dan sisanya menderita emphysema, atau

kombinasi keduanya. Angka prevalensi bagi masing-masing Negara berkisar

3,5-6-7%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan

prevalensi 5,6%. Kejadian meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok.

2.3 Faktor –faktor Risiko PPOK

2.3.1 Merokok

Pada tahun 1964, penasihat committee surgeon general of the united states

menyatakan bahwa merokok merupakan faktor resiko utama mortalitas bronkitis

kronis. Penyakit Paru Obstruksi Kronis berkembang pada sekitar 15% perokok.

Umur pertama kali merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun,

serta status terbaru perokok memprediksikan mortalitas akibat PPOK.

Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi

sistem pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan

fungsi paru.

2.3.2 Pemaparan akibat kerja

3

Page 4: tugas PPOK

Peningakatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran

pernafasan juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama

bekerja. Pekerjaan seperti perusahaan penghasil tekstil dan kapas berisiko untuk

mengalami obstruksi saluran nafas.

Walaupun beberapa pekerjaan yang tepapar dengan debu dan gas yang

berbahaya berisiko untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah kurang jika

dibandingkan dengan efek akibat merokok.

2.3.3 Polusi udara

Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan pada individu yang tinggal

dikota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di

kota. Meskipun demikian hubungan terjadinya PPOK dengan polusi udara masih

belum bisa di buktikan. Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang

kurang penting berbanding rokok.

2.3.4 Faktor genetik

Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko

untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi α1-

antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang daripada satu. α1-antitripsin

merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi

neutrophil elastase di paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat menyebabkan

emfisema pada umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi

perokok.

2.4 Patogenesis PPOK

Perubahan patologis pada PPOK terjadi disaluran pernafasan, bronkiolus dan

parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi dan

makrofag yang melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh

antiprotease. Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif yang

disebabkan oleh radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan oleh

fagosit, dan leukosit polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel yang

4

Page 5: tugas PPOK

terpapar. Penurunan usia dan mekanisme autoimun juga mempunyai peran dalam

patogenesis PPOK.

2.5 Patofisiologia. Penyempitan sal nafas à derajat obstruksi b. Bronkitis kronis

Saluran nafas kecil ( diameter < 2 mm) menjadi sempit, berkelok, kdg obliterasi.

Juga karena metaplasia sel goblet. Sal nafas besar hipertrofi dan hiperplasia kel mucus.

c. Emfisema paru Elastisitas paru menurun

2.6 Gejala Klinis PPOK

Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi

akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat

akut. Eksaserbasi akut ini ditandai dengan gejala yang khas, sesak napas yang

semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum

atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan

gangguan tidur.

Gejala klinis PPOK ini dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala

sistemik. Gejala respirasi berupa sesak napas yang bertambah berat, peningkatan

volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan

cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh peningkatan denyut

nadi serta gangguan status mental.9 Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien

mengalami gejala batuk, sputum yang produktif, sesak nafas, dan mempuyai riwayat

terpajan faktor risiko.

2.7 Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis:

Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah

(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara

5

Page 6: tugas PPOK

Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

2. Pemeriksaan Fisik :

pasien tampak kurus dengan Barrel shaped chest

vocal fremitus berkurang atau tidak ada

perkusi dada hipersonor, batas paru hati lebih rendah

suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, suara tambahan (ronkhi atau

wheezing)

3. Pemeriksaan penunjang :

a) Pemeriksaan radiologi

Pada bronkiektasis, foto thoraks memperlihatkan tampak gambaran berupa

bronkovaskuler yang kasar yang umumnya terdapat di lapangan bawah paru,

honey comb appearance, atau gambaran garis-garis translucen yang panjang

menuju ke hilus dengan bayangan konsolidasi sekitarnya akibat peradangan

sekunder.

Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan

gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah

pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.

Pada bronkitis kronis, foto torak menunjukkan corakan bronkovaskuler

meningkat, diafragma rendah dan datar, jantung tear drop,gambaran tramp

lines, hiperairasi paru (+).

b) Pemeriksaan fungsi paru (spirometri)

c) Pemeriksaan gas darah

d) Pemeriksaan EKG

e) Pemeriksaan Laboratorium darah (gambaran leukositosis)

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan penderita PPOK adalah untuk mengurangi gejala,

mencegah eksaserbasi, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, dan

6

Page 7: tugas PPOK

meningkatkan kualitas hidup. Adapun modalitas terapi yang digunakan terdiri dari

unsur edukasi, obat-obatan, oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.

2.7.1 Non Farmakologi

Pencegahan: Mencegah terjadinya PPOK (hindari asap rokok), hindari polusi

udara, hindari infeksi saluran napas berulang), dan mencegah perburukan PPOK

(berhenti merokok, gunakan obat-obatan adekuat, mencegah eksaserbasi berulang).

2.7.2 Farmakologi

1. Terapi eksaserbasi akut dengan:

a. antibiotik

b. terapi oksigen

c. chest fisioterapi

d. bronkodilator

2. Terapi jangka panjang dengan:

a. antibiotik

b. bronkodilator

c. latihan fisik untuk meningkatkan toleransi fisik

d. mukolitik dan ekspektoran

e. terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II

dengan PaO2 < 7,3 kPa (55 mmHg).

f.Rehabilitasi:

1) chest fisioterapi

2) Psikoterapi

3) Rehabilitasi pekerjaan (Okupasi Terapi)

Obat-Obat yang digunakan :

1. Antikolinergik inhalasi : Terapi pertama , dosis harus cukup tinggi: 2 pu ff 4-6x/hari

; jika sulit, gunakan nebulizer 0.5 mg setiap 4-6jam. Cont : ipratropium atau

oxytropium bromide

2. Simpatomimetik : Terapi ke dua : terbutalin,salbutamol

7

Page 8: tugas PPOK

3. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik : untuk meningkatkan efektifitas

4. Metil ks antin : banyak ADR (efek samping), dipakai jika yang lain tidak mempan.

5. Mukolitik : membantu pengenceran dahak, namun tidak memperbaiki aliran udara ,

masih kontroversi, apakah bermamfaat secara klinis atau tidak.

6. Kortikosteroid : sangat terbatas manfaat (benefit is very limited), laporan tentang

efektivitasnya masih bervariasi, kecuali jika pasien memiliki riwayat asma.

7. Oksigen : untuk pasien hipoksemia, cor pulmonale. Digunakan jika baseline PaO2

turun sampai<55 mmHg

8. Antibiotic : digunakan bila ada tanda infeksi, bukan untuk maintenance therapy.

9. Vaksinasi : direkombinasikan untuk high-risk patients : vaksin pneu mococcus (tiap

5-10th) dan vaksin influenza (tiap tahun)

10. α 1-proteinase inhibitor : untuk pasien yang defisiensi α 1-antitripsin , digunakan per

minggu, masih mahal. Cont : prolastin.

Tahap terapi pada PPOK yang stabil :

a. Tahap 1 :

Ipratropium bromide (MDl) atau nebulizer, 2-6 puff 4x sehari, tunjukan cara

penggunaan yang tepat, advis pasien tentang pentingnya penggunaan teratur dan

efek samping yang mungkin timbul (mulut kering dan rasa pahit), jika hasil tri al :

perbaikan FEV 1<20%. Lanjut step 2

b. Tahap 2 :

Tambahkan β-agonis MDI atau nebulizer, tunjukan cara penggunaan yang tepat,

advis pasien tentang pentingnya penggunaan teratur dan efek samping yang

mungkin timbul (takikardia, tremor), jika tidak ada perkembangan : hentikan β-

agonis, jika ada perbaikan tapi kecil. Lanjut step 3

c. Tahap 3 :

Tambah teofilin, mulai dari 400mg/hari dlm bentuk sustained released,

sesuaikan dosis setiap interval 3 hari untuk menjaga serum level antara 10-15 μ

g/ml. pantau ESO takikardia, tremor, nervous, Efek GI (gastro intestinal) ; jika tidak

ada perbaikan : hentikan teofilin. Lanjut step 4

d. Tahap 4

8

Page 9: tugas PPOK

Coba dengan kostikosteroid : prednisone 30-40mg/hari selama 2-4 minggu. Cek

dengan spirometer (perbaikan ≥20%), titrasi dosis ke dosis efektif terkecil (< 10 μ g

sehari). Pertimbangkan penggunaan kortikosteroid inhalasi ; jika pasien tidak

berespon baik, kembali ke steroid oral.

Terapi antibiotik :

Berdasarkan evidence terbaru yang tersedia, antibiotika harus diberikan pada

pasien-pasien PPOK yang :

a. Pasien dengan eksaserbasi akut denga 3 tanda utama yaitu :

Increased dyspnea, increased sputum volume, increased sputum purulence

(Evidence B), atau

b. Pasien dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama : jika peningkatan purulensi

sputum merupakan salah satunya (Evidence C)

c. Pasien dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik

invasive maupun non-invasif (Evidence B)

Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut antibiotik a

9

Page 10: tugas PPOK

DAFTAR PUSTAKA

Riyanto BS. Penyakit paru obstruksi kronis,prevalensi dan diagnosis PPOK, dalam :

Sudoyo AW, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4, jilid II.

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Uniservitas

Indonesia; 2006. Hal. 985-984.

Menteri Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang

Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi Kronik. 2008 Di unduh dari :

URL http:/,NvN.N,iv.depkes.go.id!’downloadsi/,en.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2002. Chronic Obstructive

Pulmonary Disease Surveillance. United States: Centers for Disease Control

and Prevention (CDC). Available from: http:// www. cdc. gov/ mmwr/ preview/

mmwrhtml/ss5106a1.htm .

Tomas LS,Kachar’s.Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Di unduh dari URL:

hhtp://zuliesikawati.staf.u,Yiu.ac.idiwpcontetit/uploads/co pd.pdf.

Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit

Paru FK Unair. Surabaya.

Stefani YW. Penelitian Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian

penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) di Rumah Sakit Paru Batu Malang :

Universitas Sumatera Utara; 2009.

Tomas LS,Kachar’s.Penyakit paru obstruksi kronik. 2008. Di unduh dari URL:

hhtp://zuliesikawati.staf.u,Yiu.ac.idiwpcontetit/uploads/copd.pdf.

10