Upload
tomi-atmadirja
View
122
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK merupakan
penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas
yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan
karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi
dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak nafas, batuk dan
produksi sputum.
Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena
prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus meningkat. Menurut survey dari WHO
(World Health Organization) tahun 2008, memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat dari posisi 12 ke 5 sebagai penyakit terbanyak dan
sebagai penyebab utama kematian akan meningkat dari urutan ke-6 menjadi ke-3.
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting terjadinya PPOK
dengan persentase 10-20%. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang
perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia
yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam
jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Komponen-komponen asap rokok
tersebut juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.
Kebiasaan merokok pada masyarakat di indonesia yang semakin meningkat
menjadi 10 juta orang pertahun menyebabkan PPOK akan semakin banyak terjadi dan
akan menjadi salah satu masalah yang besar dalam bidang kesehatan di Indonesia. Di
Indonesia, tahun 2004 menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang
angka kesakitan (35%). Menurut data Survey Kesehatan Nasional (SUKSENAS)
TAHUN 2001, PPOK merupakan penyebab kematian ke 2 di indonesia. Prevalensi
PPOK lebih tinggi pada pria daripada wanita dan menyerang sekitar 10% penduduk usia
40 tahun ke atas.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi
yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang
berbahaya.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala
eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya
dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti
sesak nafas yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau
purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise,
kelelahan dan gangguan tidur.
Dalam menilai gambaran klinis PPOK gejalanya sebagai berikut :
a. Gejala batuk sputum yang produktif
b. Sesak pada saat melakukan aktivitas
c. Hambatan aliran udara umunya irreversibel (tidak bisa kembali normal)
Penderita biasanya akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-
batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+). Sedangkan pada kondisi ringan
dapat tanpa keluhan atau gejala.
2.1.1 Bronkitis kronis
Pembesaran kelenjar mukus, perubahan struktur pada saluran pernafasan termasuk
atrofi, metaplasia sel squamous, abnormalitas silia, hiperplasia otot lurik, proses
inflamasi, dan penebalan dinding bronkiolus adalah tanda-tanda bronkitis kronik.
Neutrofilia terjadi di lumen saluran pernafasan dan infiltrasi neutrofil berkumpul di
submukosa. Di bronkiolus, terjadi proses inflamasi mononuklear, oklusi lumen oleh
mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot lurik, dan distorsi akibat fibrosis. Semua
perubahan ini dikombinasikan bersama kehilangan supporting alveolar attachments
menyebabkan pernapasan yang terbatas akibat penyempitan lumen saluran pernafasan
dan deformitas dinding saluran pernafasan.
2
2.1.2. Emfisema
Emfisema ditandai dengan pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal yang disertai kerusakan dinding alveoli.
2.1.3 Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah suatu keadaan bronkus atau bronkiolus yang
melebar akibat hilangnya elastisitas dinding otot bronkus yang dapat disebakan
oleh obstruksi dan peradangan yang kronis, atau dapat pula disebabkan oleh
kelainan kongenital.
2.2 Epidemiologi
Insidensi pada pria > wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita
meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok wanita.
Survei tahun 2001 : di US, kira-kira 12.1 juta pasien menderita PPOK, 9
juta menderita bronchitis kronis, dan sisanya menderita emphysema, atau
kombinasi keduanya. Angka prevalensi bagi masing-masing Negara berkisar
3,5-6-7%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan
prevalensi 5,6%. Kejadian meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok.
2.3 Faktor –faktor Risiko PPOK
2.3.1 Merokok
Pada tahun 1964, penasihat committee surgeon general of the united states
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor resiko utama mortalitas bronkitis
kronis. Penyakit Paru Obstruksi Kronis berkembang pada sekitar 15% perokok.
Umur pertama kali merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun,
serta status terbaru perokok memprediksikan mortalitas akibat PPOK.
Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi
sistem pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan
fungsi paru.
2.3.2 Pemaparan akibat kerja
3
Peningakatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran
pernafasan juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama
bekerja. Pekerjaan seperti perusahaan penghasil tekstil dan kapas berisiko untuk
mengalami obstruksi saluran nafas.
Walaupun beberapa pekerjaan yang tepapar dengan debu dan gas yang
berbahaya berisiko untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah kurang jika
dibandingkan dengan efek akibat merokok.
2.3.3 Polusi udara
Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan pada individu yang tinggal
dikota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di
kota. Meskipun demikian hubungan terjadinya PPOK dengan polusi udara masih
belum bisa di buktikan. Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang
kurang penting berbanding rokok.
2.3.4 Faktor genetik
Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko
untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi α1-
antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang daripada satu. α1-antitripsin
merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi
neutrophil elastase di paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat menyebabkan
emfisema pada umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi
perokok.
2.4 Patogenesis PPOK
Perubahan patologis pada PPOK terjadi disaluran pernafasan, bronkiolus dan
parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi dan
makrofag yang melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh
antiprotease. Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif yang
disebabkan oleh radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan oleh
fagosit, dan leukosit polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel yang
4
terpapar. Penurunan usia dan mekanisme autoimun juga mempunyai peran dalam
patogenesis PPOK.
2.5 Patofisiologia. Penyempitan sal nafas à derajat obstruksi b. Bronkitis kronis
Saluran nafas kecil ( diameter < 2 mm) menjadi sempit, berkelok, kdg obliterasi.
Juga karena metaplasia sel goblet. Sal nafas besar hipertrofi dan hiperplasia kel mucus.
c. Emfisema paru Elastisitas paru menurun
2.6 Gejala Klinis PPOK
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi
akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat
akut. Eksaserbasi akut ini ditandai dengan gejala yang khas, sesak napas yang
semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum
atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan
gangguan tidur.
Gejala klinis PPOK ini dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala
sistemik. Gejala respirasi berupa sesak napas yang bertambah berat, peningkatan
volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan
cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh peningkatan denyut
nadi serta gangguan status mental.9 Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien
mengalami gejala batuk, sputum yang produktif, sesak nafas, dan mempuyai riwayat
terpajan faktor risiko.
2.7 Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis:
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
5
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan Fisik :
pasien tampak kurus dengan Barrel shaped chest
vocal fremitus berkurang atau tidak ada
perkusi dada hipersonor, batas paru hati lebih rendah
suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, suara tambahan (ronkhi atau
wheezing)
3. Pemeriksaan penunjang :
a) Pemeriksaan radiologi
Pada bronkiektasis, foto thoraks memperlihatkan tampak gambaran berupa
bronkovaskuler yang kasar yang umumnya terdapat di lapangan bawah paru,
honey comb appearance, atau gambaran garis-garis translucen yang panjang
menuju ke hilus dengan bayangan konsolidasi sekitarnya akibat peradangan
sekunder.
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan
gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah
pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.
Pada bronkitis kronis, foto torak menunjukkan corakan bronkovaskuler
meningkat, diafragma rendah dan datar, jantung tear drop,gambaran tramp
lines, hiperairasi paru (+).
b) Pemeriksaan fungsi paru (spirometri)
c) Pemeriksaan gas darah
d) Pemeriksaan EKG
e) Pemeriksaan Laboratorium darah (gambaran leukositosis)
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan penderita PPOK adalah untuk mengurangi gejala,
mencegah eksaserbasi, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, dan
6
meningkatkan kualitas hidup. Adapun modalitas terapi yang digunakan terdiri dari
unsur edukasi, obat-obatan, oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.
2.7.1 Non Farmakologi
Pencegahan: Mencegah terjadinya PPOK (hindari asap rokok), hindari polusi
udara, hindari infeksi saluran napas berulang), dan mencegah perburukan PPOK
(berhenti merokok, gunakan obat-obatan adekuat, mencegah eksaserbasi berulang).
2.7.2 Farmakologi
1. Terapi eksaserbasi akut dengan:
a. antibiotik
b. terapi oksigen
c. chest fisioterapi
d. bronkodilator
2. Terapi jangka panjang dengan:
a. antibiotik
b. bronkodilator
c. latihan fisik untuk meningkatkan toleransi fisik
d. mukolitik dan ekspektoran
e. terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II
dengan PaO2 < 7,3 kPa (55 mmHg).
f.Rehabilitasi:
1) chest fisioterapi
2) Psikoterapi
3) Rehabilitasi pekerjaan (Okupasi Terapi)
Obat-Obat yang digunakan :
1. Antikolinergik inhalasi : Terapi pertama , dosis harus cukup tinggi: 2 pu ff 4-6x/hari
; jika sulit, gunakan nebulizer 0.5 mg setiap 4-6jam. Cont : ipratropium atau
oxytropium bromide
2. Simpatomimetik : Terapi ke dua : terbutalin,salbutamol
7
3. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik : untuk meningkatkan efektifitas
4. Metil ks antin : banyak ADR (efek samping), dipakai jika yang lain tidak mempan.
5. Mukolitik : membantu pengenceran dahak, namun tidak memperbaiki aliran udara ,
masih kontroversi, apakah bermamfaat secara klinis atau tidak.
6. Kortikosteroid : sangat terbatas manfaat (benefit is very limited), laporan tentang
efektivitasnya masih bervariasi, kecuali jika pasien memiliki riwayat asma.
7. Oksigen : untuk pasien hipoksemia, cor pulmonale. Digunakan jika baseline PaO2
turun sampai<55 mmHg
8. Antibiotic : digunakan bila ada tanda infeksi, bukan untuk maintenance therapy.
9. Vaksinasi : direkombinasikan untuk high-risk patients : vaksin pneu mococcus (tiap
5-10th) dan vaksin influenza (tiap tahun)
10. α 1-proteinase inhibitor : untuk pasien yang defisiensi α 1-antitripsin , digunakan per
minggu, masih mahal. Cont : prolastin.
Tahap terapi pada PPOK yang stabil :
a. Tahap 1 :
Ipratropium bromide (MDl) atau nebulizer, 2-6 puff 4x sehari, tunjukan cara
penggunaan yang tepat, advis pasien tentang pentingnya penggunaan teratur dan
efek samping yang mungkin timbul (mulut kering dan rasa pahit), jika hasil tri al :
perbaikan FEV 1<20%. Lanjut step 2
b. Tahap 2 :
Tambahkan β-agonis MDI atau nebulizer, tunjukan cara penggunaan yang tepat,
advis pasien tentang pentingnya penggunaan teratur dan efek samping yang
mungkin timbul (takikardia, tremor), jika tidak ada perkembangan : hentikan β-
agonis, jika ada perbaikan tapi kecil. Lanjut step 3
c. Tahap 3 :
Tambah teofilin, mulai dari 400mg/hari dlm bentuk sustained released,
sesuaikan dosis setiap interval 3 hari untuk menjaga serum level antara 10-15 μ
g/ml. pantau ESO takikardia, tremor, nervous, Efek GI (gastro intestinal) ; jika tidak
ada perbaikan : hentikan teofilin. Lanjut step 4
d. Tahap 4
8
Coba dengan kostikosteroid : prednisone 30-40mg/hari selama 2-4 minggu. Cek
dengan spirometer (perbaikan ≥20%), titrasi dosis ke dosis efektif terkecil (< 10 μ g
sehari). Pertimbangkan penggunaan kortikosteroid inhalasi ; jika pasien tidak
berespon baik, kembali ke steroid oral.
Terapi antibiotik :
Berdasarkan evidence terbaru yang tersedia, antibiotika harus diberikan pada
pasien-pasien PPOK yang :
a. Pasien dengan eksaserbasi akut denga 3 tanda utama yaitu :
Increased dyspnea, increased sputum volume, increased sputum purulence
(Evidence B), atau
b. Pasien dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama : jika peningkatan purulensi
sputum merupakan salah satunya (Evidence C)
c. Pasien dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik
invasive maupun non-invasif (Evidence B)
Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut antibiotik a
9
DAFTAR PUSTAKA
Riyanto BS. Penyakit paru obstruksi kronis,prevalensi dan diagnosis PPOK, dalam :
Sudoyo AW, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4, jilid II.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Uniservitas
Indonesia; 2006. Hal. 985-984.
Menteri Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang
Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi Kronik. 2008 Di unduh dari :
URL http:/,NvN.N,iv.depkes.go.id!’downloadsi/,en.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2002. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease Surveillance. United States: Centers for Disease Control
and Prevention (CDC). Available from: http:// www. cdc. gov/ mmwr/ preview/
mmwrhtml/ss5106a1.htm .
Tomas LS,Kachar’s.Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Di unduh dari URL:
hhtp://zuliesikawati.staf.u,Yiu.ac.idiwpcontetit/uploads/co pd.pdf.
Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit
Paru FK Unair. Surabaya.
Stefani YW. Penelitian Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) di Rumah Sakit Paru Batu Malang :
Universitas Sumatera Utara; 2009.
Tomas LS,Kachar’s.Penyakit paru obstruksi kronik. 2008. Di unduh dari URL:
hhtp://zuliesikawati.staf.u,Yiu.ac.idiwpcontetit/uploads/copd.pdf.
10