Upload
hoangque
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kespon Terhadap Penetapan HJD Berada Pada Tingkat KPH
Sebelumnya telah dinyatakan bahwa manfaat penetapan harga jual dasar
kayu bundar jati berada pada tingkat KPH diperoleh dari berbagai hasil penelitian
sebelumnya, yaitu :
1. E'endapatan perusahaan masih bisa ditingkatkan,
2. Kondisi stock masing-masing KPH nampak dalam laporan keuangan,
3. Output dan Harga Optimal diketahui.
Berdasarkan manfaat-manfaat tersebut diharapkm kinerja KPH akan
meningkat. Namun demikia~l, hasil analisa hierarki diperoleh sebaliknya. Dengan
membandingkan penetapan HJD bukan pada KPH dengan penetapan HJD berada
pada KPI-I, diperoleh hasil sebagai berikut (data-da.ta selengkapnya terdapat pada
lampiran) :
0,526 Faktor Penghambat : = 1,109
0,474 0,957 = 0,862
0,489 1,109 Faktor Pendukung : -- = 0,957
0,511
Dari analisa benefit-cost ratio diperoleh besaran 0,862 atau kurang dari 1,
maka dapat dinyatakan bahwa penetapan HJD berada pada tingkat KPH dalam
lingkungan PT. Perhutani belum bisa dilaksanakan.
39
Kondisi demikian mengindikasikan bahwa institusi, dalam pengertian
organisasi PT. Perhutani tidak menganggap manfaat-manfaat tersebut sebagai
sebuah inovasi ke arah pembaharuan sistem penetapan HJD kayu bundar jati.
Hal ini nampak dari analisa hierarki yang menempatkan faktor penghambat sulit
dsln memerlukan waktu lama sebagai prioritas pertama. Hasil selengkapnya adalah
sebagai berikut :
1. Hambatan Implementasi Perubahan Penetapan HJD
Beberapa aktor yang dijadikan responden dalam penelitian ini menyatakan
penilaiannya terhadap implementasi perubahan penetapan harga jual dasar
berdasarkan pengalanlan mereka selama bekerja di PT. Perhutani. Mereka
seakm bersepakat dalam menyatakan penilaiannya bahwa yang menjadi
penghambat utama dalam penetapan HJD pada masing-masing KPH adalah sulit
dan memerlukan w d t u yang lama, serta prediksi akan timbulnya gejolak pasar.
Sedangkan PT. Perhutani bukan lembaga profit murni serta penetapan harga
bultan wewenang Unit dan IQH menempati prioritas selanjutnya.
Demikian juga dengan matrik pendapat gabungan, faktor sulit dan
memerlukan waktu lama serta prediksi timbul gejolak pasar merupakan prioritas
pertama dan kedua, sedangkan PT. Perhutani bukan lembaga profit murni dan
penetapan harga bukan wewenang Unit dan KPH merupakan prioritas ketiga dan
keerripat. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Bobo: dan Prioritas Faktor Penghambat Matrik Pendapat Individu dan Gabungan Penetapan HJD Berada pada KPH.
Keterangan : Non Profit : PT. Perhutani Bukan Lembaga Profit Murni Sulit : Sulit & Memerlukan Waktu Lama Gejolak : Timbul Gejolak Pasar Wewenang : Penetapan Harga Bu-kan Wewenang Unit & KPH
Faktor penghambat sulit dan memerlukan waktu lama. Seperti telah
dijelaskan pada Bab 111, luas hutan jati yang dikelola oleh PT. Perhutani hampir
Sumber : Diolah dari kuesioner.
Faktor
- Nor1 Profit
SUM
Gejolak
Wewenang
1,5 juta hektar. Luasan ini terbagi kedalam petak-petak atau anak petak yang
Unit KPH
masing-masing luasnya berkisar antara 4,O ha - 50,O hektar, sehingga jurnlah
Gabungan Direksi
Bobot
0,271
0,286
0.365
0,079
Bobot
0.116
0.447
0,339
0,098
petawanak-petaknya sangat banyak sekali. Disamping itu, situasi dan kondisi
Bobot
0,214
0,336
0,327
0,123
Bobot
0,243
-2- 0 281
0,25 1
0,225
Pri
3
2
1
4
Pri
3
1
2
4
wilayah pengelolaan sangat variatif, baik daur ekonomi, keadaan hutan, geografis
Pri
3
1
2
4
Pri
3
1
2
4
hutark dan komponen biaya pembentuknya. Implikasinya variasi kualitas kayu
sangid beragam sekali, disarnpirig jenis sortimen yang dihasilkan. Hal ini sangat
sulit dan memerlukan waktu yang lama apabila harga ditetapkan berdasarkan
parameter-parameter tersebut serta berdasarkan sistem akuntansi yang
memasukkan tegakan sebagai persediaan yang harus diketahui setiap periode
tahunan. Berdasarkan prakiraan ini, penetapan harga yang sesuai dengan kondisi
nyata di lapangan akan sulit dilaksanakan.
Kalaupun suatu saat ha1 ini sudah menjadi keputusan Direksi bahwa setiap
KPH harus mempunyai harga jual dasar masing-masing, sosialisasi dan proses
pelaksanaannya dibutuhkan waktu yang lama.
Timbul Gejolak Pasar. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, setiap aksi
akan menimbulkan reaksi. Prinsip ini sangat dipaharni benar oleh Perhutani,
setiap kenaikan harga akan direspon negatif oleh pasar. Dengan kata lain,
kanaikan harga akan menyebabkan turunnya kuantitas penjualan dan berakibat
pula pada turunnya pendapatan. Harga tidak serta merta dapat dinaikkan jika
dikaitltan dengan sedilcitnya jumlah persediaan (stock) ltayu di hutan.
Jika harga jual dasar dinaikkan dengan pertimbangan tersebut, implikasinya
adalsth akan timbul gejolak pasar (pada tahun 1999, pernah terjadi demo oleh
konsumen terhadap kenaikan harga), sehingga berakibat volume penjualan
menurun dan pendapatan menurun.
Sedangkan faktor PT. Perhutani bukan lembaga profit murni, ha1 itu
dibenarkan oleh para aktor. Hal tersebut nampak pada matrik pendapat individu
dan matrik pendapat gabungan yang semuanya menempatkan pada prioritas
ketiga. Para aktor seakan bersepakat untuk mengembalikan semua kegiatan
perusahaan pada visi dan misi perusahaan, termasuk pada penetapan harga jual
dasar kayu bundar jati agar tidak terlalu tinggi agar dapat dijangkau oleh semua
lapism masyarakat.
42
Mengenai faktor penetapan harga bukan wewenang Unit dan KPH, yang
menempati prioritas keempat, baik matrik pendapat individu maupun matrik
pendapat gabungan, para alttor tidak secara eksplisit menyataltannya. Pendapat
para aktor umumnya adalah bahwa hal-ha1 yang menyangkut kebijakan harusnya
berada di Direksi. Sedangkan KPH hanya menyangkut kegiatan operasional di
lapangan dengan Unit sebagai koordinator dan fasilitator.
Sedangkan mengenai faktor-faktor pendukung, persepsi para aktor pada
umumnya adalah sebagai berikut :
2. Ilukungan Implementasi Perubahan Penetapan HJD
Seperti halnya pada hambatan implementasi perubahan penetapan harga jual
dasar tersebut di atas, para aktor Direksi dan Unit yang dijadikan responden
seakdn bersepakat dalam menyatakan penilaiannya bahwa yang menjadi faktor
pendukung dalam penetapan HJD pada masing-masing KPH adalah kemarnpuan
SDM pada prioritas pertam.a serta potensi tegakan dapat dipantau pada prioritas
kedua, akan tetapi merupakan sebaliknya bagi KPH. Sedangkan faktor pendukung
lainnya menempati prioritas selanjutnya.
Demikian juga dengan matrik pendapat gabungan, faktor kemampuan SDM
serta potensi tegakan dapat dipantau merupakan prioritas pertama dan kedua,
Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4. Bobot dan Prioritas Faktor Pendorong Matrik Pendapat Individu dan Gabungan Penetapan HJD Berada pada KPH.
Keterangan : Pote~nsi : Potensi Tegakan Dapat Dipantau Aktiva : Nilai Aktiva. Tegakan Dapat Dipantau SDM : Kemarnpuan SDM Otda : Otonomi Daerah Status : Perubahan Status Perusahaan Global : Era Globalisasi
Faktor Yendorong
Potensi - Akl iva
SDM
Otda
Status --- Global
-.
Seperti telah dijelaskan pada bab-bab sebelurnnya, kemampuan SDM
dalarn ha1 ini jumlah karyawan dan karyawati yang saat ini bekerja di PT.
Sumber : Diolah dari kuesioner.
Perhutani sampai tahun 2000 adalah sebayak 26.607 terdiri dari 15.487 orang
Direksi
tenaga kerja tetap dan 11.120 tenaga kerja kontrak, terdiri atas 1.373 tenaga
Bobot
0,297
0,203
0,315
0,069
0,056
0,060
teknis kehutanan, 652 sarjana non kehutanan, serta 13.388 SLTA, SLTP, SD, dan
Unit
Pri
2
3
1
4
6
5
non SD. Kualifikasi tenaga teknis kehutanan terdiri atas 400 sarjana, 255 diploma
Bobot
0,235 - 0,173
0,367
0,041
0,087
0,097
dan 7 18 SKMAIKKMAISUKMA. Selain itu terdapat karyawan dengan
Pri
2
3
1
6
5
4
KPH
kualifikasi pasca sarjana sebanyak 74 orang. Dengan dukungan tenaga kerja
Bobot
0,361
0,159
0,335
0,032
0,071
0,042
Gabungan
seperti itu, diyakini bahwa penetapan HJD berada pada KPH dapat dilaksanakan.
Pri
1
3
2
6
4
5
Bobot
0,298
0,176
0,341
0,045
0,073
0,067
Pri
2
3
1
6
4
5
44
Sedangkan faktor pendukung potensi tegakan dapat dipantau, menempati
prioritas kedua, baik pada matrik pendapat individu (Direksi dan Unit) maupun
pada matrik pendapat gabungan serta merupakan prioritas pertama pada matrik
pendapat individu bagi KPH. Hampir semua aktor berpendapat bahwa faktor
pendukung ini berkait dengar1 faktor pendukung nilai aktiva tegakan dapat
dipantau yang merupakan prioritas ketiga, baik pada matrik pendapat individu
maupun pada matrik pendapat gabungan.
Untuk mengetahui potensi tegakan sebenarnya bisa melalui RPKH yang
telah disusun bagi KPH tesebut, yang perkembangannya bisa dipantau melalui
Buku Statistik Perusahaan (BSP) yang mencatat perubahan yang terjadi pada
setiap petak. Namun kegiatan ini jarang dilakukan, sehingga BSP bukan menjadi
pegangan yang baik untuk rnengetahui kondisi tegakan terkini. Berkait dengan
ha1 tersebut, merupakan ha1 yang baik sekali apabila potensi dan nilai aktiva
tegakan dapat diketahui dan dipantau pada setiap satu periode akuntansi.
Sedangkan faktor perubahan status perusahaan, menempati prioritas
keenlpat pada matrik pendapat individu KPH dan matrik pendapat gabungan, serta
menempati prioritas kelima dan keenam bagi matrik individu Unit dan Direksi.
Menurut pendapat para aktor, terdapat dua sisi dengan berubahnya status
perusahaan. Pertama, pesimis, meskipun perusahaan statusnya berubah, namun
jika perilaku dan budaya organisasi yang diterapkan adalah sama dengan kondisi
pada saat menjadi Perum, maka yang berubah hanya statusnya saja. Kedua,
optimis, dengan berubahnya status perusahaan diharapkan efisiensi terjadi di
semila lini pekerjaan, kewenangan lebih besar diberikan ltepada KPH, sehingga
rantai birokrasi untuk memutuskan sesuatu ha1 menjadi lebih pendek.
Mengenai era globalisasi, yang menempati urutan prioritas kelima pada
matrik individu (KPH, Direksi) dan matrik pendapat gabungan serta menempati
urutan keempat pada matrik pendapat individu Unit, hampir semua aktor
sependapat, bahwa tidak terlalu perduli dengan ha1 tersebut. Jika PT. Perhutani
tidak bisa menjual ke negara-negara yang menerapkan syarat ekolabel,
PT. llerhutani inasih bisa menjual ke negara-negara yang tidak mengenakan syarat
terse but.
Menurut penulis pendapat ini tidak benar, karena era globalisasi tidak
ideniik dengan sertifikasi. Dalam ha1 ini masyarakat internasional menginginkan
dilakukannya internalisasi faktor kelestarian lingkungan hidup dalam aktivitas
ekonomi, rnulai dari eksploitasi bahan baku, proses produksi hingga pengemasan.
Perhatian dunia terhadap Icehutanan tidak berhenti sampai disitu.
Sesumgguhnya growing stock tidak termasuk dalam laporan keuangan ini tidak
hariya terjadi di Indonesia, namun juga di negara-negara lain. Dalam Deklarasi
Kongres Kehutanan Sedunia XI di Antalya - Turki, tanggal 22 Oktober 1997,
pada butir ke 7 meminta kepada negara-negara dan organisasi internasional untuk
mengembangkan metodologi dan mekanisme pemasukan perubahan persediaan
hutark dalam sistem akuntansi nasional.
Berkaitan dengan uraian di atas PT. Perhutani sebagai perusahaan
pengusahaan hutan yang selama ini dikenal dengan pengelolaannya yang lestari,
harusnya sudah mulai mengarah pada integrasi asset tegakan hutan dalam sistem
46
akuritansi perusahaan. Hal ini mutlak dilakukan, selain terkait dengan Deklarasi
Antalya tersebut, yang lebih penting lagi adalah kinerja perusahaan dapat
meningkat, baik perkembangan potensi tegakan yang dapat tergambar jelas setiap
satu periode akuntansi, juga kinerja keuangan perusahaan lebih nyata.
Otonomi daerah menempati prioritas keenam pada matrik pendapat
individu KPH dan Unit serta pada matrik gabungan, akan tetapi menempati
prioritas keempat pada matrik pendapat individu Direksi. Bagi para pelaksana di
daerah otonomi daerah tidak ada hubungannnya dengan penetapan harga pada
KPH, yang berkait dengan Pemda setempat adalah seberapa besar Perhutani bisa
menyumbang PAD Pemda setempat. Lain halnya dengan Direksi, terdapat
kekuatiran yang cukup pada para aktor bahwa dengan semangat otonomi daerah,
terdapat kemungkinan bahwa pengelolaan hutan diserahkan kepada pemerintah
daeriih setempat.
B. Perilaku Organisasi
Dari Sub Bab sebelumnya dijelaskan bahwa faktor penghambat sulit dan
memerlukan waktu lama menempati prioritas pertama jika implementasi
penetapan harga jual dasar pada KPH dilaksanakan. Sebenarnya ha1 tersebut tidak
perlu terjadi jika PT. Perhutani memperhatikan faktor pendukung yang
menempatkan kemampuan sumberdaya manusia yang dimiliki pada prioritas
pertama. Atau kalaupun tidak, PT. Perhutani bisa melakukan kerjasama dengan
perusahaan lain untuk melakukan perhitungan harga jual dasar berdasarkan
47
parameter-parameter daur, situasi dan kondisi, geografis serta struktur biaya
pembuatan tegakan. Uraian berikut akan nlenjelaskan mengapa kondisi tersebut
tetap bertahan hingga saat ini.
1. l'engaruh Tidak Langsung
a. Budaya Indonesia dan Budaya Perusahaan di Indonesia
Uraian ini merupakan tinjauan dari berbagai referensi. Tujuan dari uraian
ini adalah untuk menggambarkan bahwa PT. Perhutani yang berkedudukan di
Indonesia, juga tidak terlepas dari budaya Indonesia dan budaya perusahaan di
Indonesia. Uraian selengkapnya adalah sebagai berikut :
Salah satu sumber daya yang penting bagi manajemen sebuah perusahaan
ialah manusia yang berkedudukan sebagai manajer dan pegawai/karyawan/buruh
atau pekerja. Sumberdaya inilah yang diberi nama baru yang sangat populer
dengan nama Sumber Daya Manusia (SDM) atau Human Resources. Human
Resources ini seringkali disebut manpower yang di Indonesia secara resmi
diteqemahkan menjadi tenaga kerja (Zainun, 2001). Selanjutnya dinyatakan
bahwa esensi dari SDM terletak pada "daya" yaitu daya yang bersurnber dari
rnanusia. Manusia di sini adalah manusia Indonesia.
Tanpa bermaksud menyamaratakan orang Indonesia, budaya pribadi orang
Indonesia tercermin dari rekaman para kartunis-situasi tentang berbagai kejadian
yang dapat dipandang sebagai gejala personal-czJture orang Indonesia dewasa ini,
G.M Sudarta (Kompas, 4 Januari 1997), Pramono (Suara Pembaharuan, 2
48
Februari 1997), Dwi Koen (Kompas, 5 Januari 1997 dan 2 Februari 1997).
Karikatur-karikatur mereka menyiratkan bahwa manusia Indonesia mempunyai
kesadaran akan tanggungjawab yang lemah, suka cepat-cepat cuci tangan dan
menuding sosok lain sebagai kambing hitam, mudah ditunggangi, mudah dijebak,
mudah terseret hasutan dan ajaran-ajaran sempit radikal (Ndraha, 1997). Apabila
gambaran-gambaran ini memang mencerminkan realitas di lapangan, maka akan
mencadi penghambat utarna pemecahan masalah struktural dalam pengelolaan
hutan.
Jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan PT. Perhutani sebagai sebuah
perusahaan di Indonesia, juga dipengaruhi oleh budaya pribadi orang Indonesia.
Kondisi demikian sebenarnya bukan hanya terjadi pada PT. Perhutani. Dalam
uraiannya mengenai Budaya Perusahaan di Indonesia, Ndraha (1997)
menjelaskan, bahwa sejak tahun 70-an secara bertahap dan pasti, administrasi
pemr:rintahan adalah juga manajemen pembangunan. Manajemen pembangunan
adalah manajemen proyek. Karena manajemen proyek adalah uang, maka
budaya organisasi yang terbentuk pada setiap level administratif pemerintahan
adalzdl budaya proyek. Budaya proyek lahir dari rimba birokrasi yang sangat
sentralistik, yang oleh Fred W. Riggs dalam Administration in Developing
Countries (1 964) penuh dengan formalism, overlapping dan heterogeneity. Untuk
memudahkan kontrol, segala sesuatu dibuat seragarn (uniform), serentak dan
formal; untuk memacu prestasi, target ditetapkan, kegiatan sosial dan profesional
diwa-jibkan berwadah tunggal. Pada kondisi seperti itu setiap unit kerja hanya
pelak sana operasional belaka dan duduk menunggu perintah atau proyek tahun
49
depim. Semakin jauh dari pusat, semakin membudaya nilai-nilai demikian.
Perilaku unit kerja terlihat dari berbagai ungkapan seperti "jika sulit mengapa
dipermudah?". Singkatnya, pernyataan tersebut merujuk pada sikap5, perilaku6,
pentlirian7, dan raga daripada manusia tersebut (Ndraha, 1997).
Hasil survey PQM Consultant (1992) dalam Kartodihardjo (1999),
menunjukkan bahwa hambatan pembaharuan perusahaan-perusahaan di Indonesia,
swasta maupun BUMN, pada umurnnya disebabkan oleh faktor-faktor :
(1) k.urangnya komitmen dari pimpinan puncak, (2) kurangnya pengetahuan dan
keyakinan akan arti pembaharuan, (3) kurangnya prioritas penetapan program
yang bersifat strategis, (4) kurangya dukungan manajemen tingkat menengah,
(5) budaya perusahaan yang tidak mendukung, dan (6) kurangnya standart (ukuran
kineja) sebagai sarana pengetahuan.
Pada PT. Perhutani, meskipun ha1 tersebut tidak seluruhnya benar,
setidihya dari penelitian ini, diketahui bahwa perubahan penetapan HJD kayu
bundar jati belum bisa dilaksanakan.
5 . Sikap adalah kecenderungan jiwa terhadap sesuatu, ia menunjukkan arah, potensi dan dorongan menuju sesuatu itu. L.L. Thurstone mendefinisikannya sebagai the degree of positive or negative affect associated with some psychologicul object. Indrawijaya (2000) mendefinisikan sebagai apredisposition to react in some manner to an individual or situation.
6 . Perilaku (behavior) adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam, teknologi, atau organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan aktualisasi pendirian. Ilrnu jiwa mendefinisikan perilaku sebagai : kegiatan organisme yang dapat diamati oleh organisme lain oleh berbagai instrumen penelitian. Yang termasuk dalam perilaku ialah laporan verbal mengenai pengalaman subyektif dan disadari.
7. Pendirian bersifat abstrak, ia terlihat melalui sikap. Ukurannya didasarkan atas keteguhan atitu kekuatannya.
b. Sikap Feodalistik dan Paternalistik
Menurut Ndraha (1 997), disamping dampak budaya perusahaan di Indonesia
tersebut, di dalam organisasi juga terasa dampak budaya daerah yang masih kuat.
Misalnya bahasa yang digunakan sehari-hari di kantor dan masyarakat. Di
kantor-kantor, bahasa dan logat masing-masing subkultur tetap digunakan.
Jika pepatah "bahasa menunjukkan bangsa" diingat, dapat dibayangkan betapa
sulitnya rnembentuk persepsi yang sama dalam berkomunikasi dan bekerja sama.
Apabila dihubungkan dengan konsepsi organisasi, pengaruh kebudayaan
sangat terlihat sekali dalam ha1 motivasi. Walaupun belum ada suatu studi yang
mendalam tentang pengaruh suatu kebudayaan etnik di Indonesia, penemuan
Prof. Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan
membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kebudayaan dan pelaku
administrasi (Indrawijaya, 2000).
Perlu dijelaskan bahwa pengelolaan hutan jati di P. Jawa dimulai pada abad
XVII, melalui persetujuan antara Belanda (VOC) dengan Susuhunan Surakarta,
yang isinya VOC mendapatkan hak untuk memanen kayu jati.
Hal ini menyiratkan kentalnya budaya barat dan kerajaan di P. Jawa dalam
budaya organisasi PT. Perhutani. Jika mental imperialis lambat lawn terkikis
dengiin semangat nasionalisasi perusahaan sejak jaman proklamasi kemerdekaan,
akan tetapi mental feoda18 belum sepenuhnya hilang dalam tubuh PT. Perhutani.
8. Fc:odalisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan (1) sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yarig besar kepada kaum bangsawan; (2) sistem sosial- kt:masyarakatan yang mengagung-agungkan jabatan (kedudukan) dan bukan mengagung- agungkan prestasi kerja; (3) sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan dominan di tangan tuan tanah.
Implikasi feodalisme ini antara lain, peserta organisasi dalam menyelesaikan
peke jaannya berpikiran bukan karena ha1 tersebut merupakan tanggungjawabnya,
akan tetapi lebih terdorong terhadap siapa yang memberi tugas.
Menurut Raillon (200 l), dalam budaya Jawa terdapat stereotip sektor swasta
pribumi yang berkembang selana masa penjajahan Belanda masih berlaku. Inti
dari nilai-nilai pribumi, budaya jawa, sering dicap sebagai merusak bagi
kegiiitan ekonomi. Rasa memiliki pada orang Jawa terhadap suatu komunitas,
pola gotong royong dan visi apanase9 perekononiian yang dipandang sebagai
sisteln feodal yang memanjakan dianggap bertentangan dengan cara orang barat
berdiigang.
Jebarus (2000) menyatakan, mungkin terdapat proses adopsi nilai masyarakat
dalarn rangka pembentukan budaya organisasi. Namun akan sangat celaka kalau
nilai-,nilai yang berasal dari suatu masyarakat tertentu dituangkan begitu saja dan
menjadi budaya dominan suatu organisasi. Masalah akan timbul, manakala
anggata organisasi tersebut bersifat heterogen secara budaya. Sehingga terjadi
pemaksaan budaya yang mungkin saja tidak cocok untuk individu organisasi yang
berasal dari culture berbeda. Selain itu, masalah pun akan timbul manakala
nilai-nilai yang dianut masyarakat tersebut tidak cocok dengan tuntutan perubahan
dalanl lingkungan organisasi. Dengan demikian, yang bisa dilakukan adalah suatu
tindakan kompromi dalam merumuskan nilai budaya organisasi yang dianut.
9. Apanase, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisilcan sebagai bantuan berupa tempat atau tanah yang diberikan pemerintah kepada orang anggota kerabat bangsawan atau tuan tanah.
5 2
Nilai masyarakat bisa menjadi salah satu unsur pembentuk budaya organisasi di
sarnping unsur-unsur lain seperti sejarah perkembangan perusahaan.
Pendapat tersebut, jika dikaitkan dengan kentalnya budaya Jawa dengan
mental feodalistik dan paternalistiknya dalanl tubuh PT. Perhutani merupakan
perdebatan yang panjang, bisa benar meskipun tidak seluruhnya benar,
sebaliknya bisa salah meskipun tidak seluruhnya salah.
2. Pengaruh Langsung
a. Motif Kepentingan
Seperti telah dinyatakan pada Bab Pendahuluan, jika manfaat-manfaat
tersebut bulcan dianggap sebagai sebuah solusi, maka peserta organisasi
PT. 13erhutani menganggap, tidak ada masalah dengan penetapan harga jual dasar
yang saat ini diberlakukan. Demikian juga kalaupun peserta organisasi
PT. Perhutani tahu dengan kondisi tersebut, akan tetapi pura-pura tidak tahu, bisa
dinyatakan bahwa para peserta mempunyai adaptasi yang kurang terhadap ha1 itu.
Sikap adaptasi yang kurang ini jika ditelusuri lebih lanjut, merupakan sikap apatis
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan luarnya.
Dalam kerangka pemikiran juga telah dijelaskan, bentuk kesempatan yang
tersedia (opportunily sets) dalam lingkungan tergantung dari aturan main yang
bersifat formal seperti peraturan pemerintah, maupun informal seperti kebiasaan,
adat-istiadat dan lain-lain. Aturan main tersebut inerupakan bentuk institusi yang
menentukan interdepedensi antar individu atau kelompok masyarakat yang
53
terlibat. Implikasi bentuk interdepedensi tersebut mengakibatkan 'siapa
menclapatkan apa" dalarn suatu sistem ekonomi tertentu (Kartodihardjo, 1998b).
Dari pengertian sikap dan perilaku di atas, apabila dihubungkan dengan
sikap apatis serta opportunity sets dan rational expectations, menunjukkan
bahwa perilaku mendapat pengaruh kuat dari motif kepentingan. Namun bukan
hanya kepentingan yang disadari yang dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku
seseorang, kondisi lingkungan (dari luar) juga mempengaruhinya.
Pada kasus peserta organisasi PT. Perhutani, motif kepentingan yang
disactari berhubungan dengan opportunity sets dan dan rational expectations yang
selama ini dirasakan dan telah dinikmati dianggap sudah sesuai dengan sikap clan
pendirian bahkan dengan budaya perusahaan itu sendiri, yang apabila dilakukan
perubahan penetapan HJD pada tingkat KPH, opportunity sets dan rational
ecpectations pun juga turut berubah, dan perubahan yang akan terjadi tidak
dikelahui, apakah akan membawa benefits (keuntungan secara pribadi) atau justru
cost (meskipun bukan merupakan kerugian atau biaya yang mesti ditanggung,
akan tetapi benefits yang mestinya dapat dinikmati akan l~ilang). Kondisi ini
masih ditambah dengan lingkungan yang juga akan berubah seiring dengan
perubahan yang terjadi, dan pada akhirnya perubahan lingkungan tersebut akan
mempengaruhi opportunity sets dan rational expectations.
b. Lemahnya Insentif
Secara umurn konsep insentif di PT. Perhutani belum dilaksanakan
sepeiluhnya, dengan kata lain baru berupa cost/penalty/disincentive yang
54
mengemuka atau dikedepankan. Pihak manajemen menentukan penalty karena
ditemukan suatu pelanggaran oleh satuan pengawas, sedangkan rewards
terkadang tjdak sesuai dengan prestasi yang telah dicapai. Sehingga terdapat
kesam bahwra prestasi satuan pengawas adalah jika telah menemukan suatu
pelanggaran dan bobot dari pelanggaran tersebut. Kondisi ini sebenarnya tidak
protfuktif, karena peserta organisasi tidak mau dan bersikap tidak perduli dengan
prestasi, implikasinya adalah setiap individu tidak bersedia untuk mengeluarkan
kemampuan terbaiknya yang dimiliki, atau dengan pernyataan lain, motivasi
individu ditentukan oleh penghargaan yang dapat diterimanyalO.
C. Pendekatan Perubahan Terhadap Sistem Penetapan Hargn Jual Dasar
Sebenarnya PT. Perhutani sendiri sudah melakukan perubahan-perubahan
sejak diagendakannya Reformasi Perum Perhutani pada tahun 1999 serta melalui
SK. Direksi No. 193/Kpts/Dir/2001 tentang Transformasi Menuju Perhutani Masa
Depan. Di dalamnya tercakup mengenai perubahan paradigma pengelolaan hutan,
dari timber management menjadi forest resources management, dan dari state
bast? forest management menjadi community based forest management melalui
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM); serta pricing
polilcy, pemberantasan KKN, efisiensi, restrukturisasi organisasi, hingga redefinisi
10. Menurut teori harapan (expectancy theori) motivasi seseorang dalam organisasi bergantung j~ada harapannya. Seseorang akan mempunyai motivasi yang tinggi untuk berprestasi tinggi (lalam organisasi kalau ia berkeyakinan bahwa dari prestasinya itu ia dapat mengharapkan hmbalan yang lebih besar. Seseorang yang yang tidak mempunyai harapan bahwa prestasinya iidak akan dihargai lebih tinggi, tidak akan berusaha meningkatkan prestasinya (Indrawijaya, :,000).
peran level-level organisasi dan bisnis, yaitu : Direksi sebagai pembuat kebijakan
tingltat korporat, Unit sebagai taktis-koordinatif, pengawasan dan pengendalian,
serta ICPH sebagai operasional atau sebagai pusat pertanggungjawaban.
Namun demikian, program-program yang dicanangkan dan sebagian sedang
dilaksanakan, sebenarnya merupakan gejala, akibat dan situasi dari permasalahan
yang, sebenarnya. Akar permasalahannya belum disentuh, yaitu kurang
sempurnanya institusi yang diperlukan agar setiap pengambil keputusan dapat
mengarahkan keputusannya pada hal-ha1 yang benar-benar menjadi pokok
permasalahan.
Sejalan dengan SK Direksi tersebut, penyempurnaan institusi disini bersifat
melengkapi serta menekankan kekurangan-kekurangan dalam transformasi
tersebut. Jika transformasi dilaksanakan dengan terbitnya sebuah surat
keputusan, maka penyempurnaan institusi yang dilakukan disini juga
diterbitkannya melalui surat keputusan. Dengan kata lain untuk menjalankan
sebuah kebijakan pada organisasi PT. Perhutani diperlukan ketegasan bahkan
coercbion yang diwujudkan melalui diterbitkannya surat keputusan oleh Direksi.
Terbitnya surat keputusan ini bukan semata-mata bahwa Direksi sebagai
pembuat kebijakan tingkat korporat, namun lebih mengarah pada pendekatan
rasiollalitas ekonomis dan rasionalitas birolaatis". Pendekatan rasionalitas
1 1. Menurut Putra (2001) pendekatan rasionalitas dalam proses pembuatan kebijakan publik pada dasarnya bertumpu pada dua hal, yaitu rasionalitas ekonomis dan rasionalitas birokratis. Riisionalitas ekonomis dimaksudkan bahwa pembuatan kebijakan harus didahului oleh pembacaan yang mendalam atas perhitungan-perhitungan dampak ekonomis, sedangkan rasionalitas birokratis bertumpu pada efisiensi dan efektifitas kinerja birokrasi yang mengacu pada kaidah-kaidah tipe ideal birokrasi seperti spesialisasi, hierarki, impersonal dan se bagainya.
eko~iomis didasarkan pada bahwa PT. Perhutani sebagai organisasi yang juga
ingin memperoleh laba, dalam pembuatan kebijakan penetapan HJD harus
didahului dengan pembacaan yang mendalam atas implikasi dari penerapan
kebijakan tersebut, lebih banyak menguntungkan atau bahkan membawa kerugian
secara materi bagi perusahaan.
Sedangkan pendekatan rasionalitas birokratis didasarkan bahwa sebagai
sebuah organisasi dengar1 perilaku dan budaya yang saat ini terjadi, implementasi
sebuah kebijakan perlu dilakukan oleh jenjang tertinggi level pengambil
keputusan agar efisiensi dan efektifitas kebijakan tersebut dapat dicapai oleh
level-level organisasi dibawahnya.
Adapun penyempurnaan institusi yang dimaksud dalam penelitian ini
menyangkut pada aturan main dan organisasi penetapan harga jual dasar kayu
bundar jati. Penyempurnaan ini tentunya akan menghasilkan implikasi-implikasi
terteiitu bagi organisasi pelaksananya, sehingga yang diperlukan disini adalah
kecocokanl\uatu perangkat kebijakan dengan permasalahan yang dihadapi
dalam sistem penetapan harga jual kayu bundar jati. Penyempurnaan tersebut
adalah sebagai berikut :
12. Menurut Darusman (1981), kecocokan suatu kebijakan ditentukan oleh sifat-sifat : (a) workability, (b) efisiensi, (c) derajat kepastian hasil, (d) keluwesan, (e) konsistensi, dan (0 ketepatan waktu. Kelemahan yang sering terjadi di negara berkembang adalah dalam sifat wr7rkabiIiol. Suatu aturan tidak akan efektif bila badan yang bertanggungjawab pada pelaksanaannya tidak mampu. Disamping itu menurut Kartodihardjo (19..), adanya ktlemahan dalam proses pembuatan kebijakan menimbulkan banyak masalah dalam in~plementasinya. Beberapa masalah yang terlihat antara lain : inefisiensi dalam penggunaan sumberdaya alam, inkonsistensi antara berbagai kebijakan, inkonsistensi antara tujuan kebijakan, instument yang dipakai dan - tentunya - hasil yang dicapai. Masalah kedua adalah banyaknya negative externalities yang dirasakan masyarakat, serta masalah ketiga adalah lernahnya political will yang melatarbelakangi. Sumber kelemahan ketiga adalah adanya sikap rent seeking dikalangan para pelaku ekonomi, birokrasi ekonomi, dan bahkan legislator.
1. Penyempurnaan Cara Pandang Kebijaltan Penetapan HJD
a. Cara Pandang Saat Ini : Kayu Jati Sebagai Komoditas Perdagangan
Hal yang paling utama dalam penyempurnaan kebijakan penetapan harga
jual dasar kayu bundar jati ad.alah perubahan cara pandang bahwa kayu jati
bukanlah semata-mata merupakan komoditas perdagangan, akan tetapi merupakan
suat~x produk dari pabrik tegakan jati. Antara produk dan pabriknya bukan
meru~pakan sesuatu yang terpisah, melainkan sebuah satu kesatuan yang
merupakan bagian dari ekosistem hutan secara keseluruhan.
Pada kebijakan penetapan HJD saat ini, cara pandang demikian nampak
pada peraturan-peraturan yang mendasarinya, baik pada Surat Direksi Perum
Perhutani No. 025/07 1.1 /Sar/Dir tanggal 9-2- 1999 perihal Penjualan Kayu Bundar
Jati, yang menganggap sama semua kondisi tegaltan jati pada semua wilayah,
padahal setiap wilayah hutan mempunyai karakteristik berbeda; maupun pada
PSAK 32 yang menganggap tegakan bukan sebagai asset perusahaan, padahal
dalanl sebuah perusahaan kehutanan, tegakan merupakan inti dari pengusahaan.
Kondisi ini mengakibatkan pemborosan surnberdaya hutan (tercermin dari
economic loss pada Tabel 2). Tegakan bukan merupakan sesuatu yang perlu
dihemat dan dipertahankan keberadaannya. Oleh karena itu rusaknya hutan
secara fisik misalnya akibat pencurian atau altibat tidak diperhatikannya nilai
hutan sebagai asset, mengandung arti bahwa kedua pelaku dibalik tindakannya itu
5 8
menlpunai value yang menganggap bahwa hutan bukanlah barang yang langka
(Kartodihardjo, 1999).
b. KPH Sebagai Unit Kelestarian dan Unit Usaha
Dari uraian sebelumnya dapat dinyatakan bahwa hutan bukan hanya sebagai
sumberdaya alam yang menunjang pembangunan ekonomi, melainkan juga
sebagai sumberdaya alam yang mendukung pelestarian lingkungan hidup, sosial
dan budaya. Kesemuanya tersebut terdapat pada KPH, sehingga penyempurnaan
cara pandang yang seharusnya dilakukan adalah dikembalikan pada peran sebuah
KPH. Sebagai "pemilik tegakan" KPH merupakan unit kelestarian sekaligus
merupakan unit usaha PT. Perhutani.
Seperti diketahui, tegakan jati tersebar di seluruh Jawa dengan karakteristik
tegakan yang tidak sama serta situasi sosial budaya yang berbeda. Sebagai unit
kelestarian KPH berperan bukan hanya melestarikan hutan sebagai sumberdaya
alam yang mendukung pelestarian lingkungan hidup, akan tetapi
bertanggungjawab terhadap situasi sosial budaya setempat. Namun demikian,
KPH tnemerlukan dana untuk menunjang aktivitas tersebut, disinilah peran KPH
sebagai unit usaha.
Dari uraian tersebut bisa dinyatakan bahura kedua peran tersebut tidak dapat
dipisiihkan satu sama lain, sehingga sebagai bagian dari sebuah pengusahaan
hutan,, ltegiatan sebuah K.PH adalah mulai dari perencaan, penanaman,
pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran produknya, serta sebagai agen
pembangunan wilayah setempat.
2. Penyempurnaan Kebijakan Penetapan HJD
Menyangkut kebijakan penetapan HJD sendiri, setelah cara pandang
tersebut diperoleh, adalah :
a. Memasukkan Tegakan Sebagai Asset Perusahaan
Seperti telah dinyatakan sebelumnya, sistem akuntansi yang dianut sebagian
besar perusahaan kehutanan, tidak terkecuali PT. Perhutani, adalah PSAK 32.
Pada sistenl ini stock tegakan ditempatkan diluar sistem akuntansi, atau dengan
pernyataan lain bahwa tegakan tidak dianggap sebagai bagian dari asset
perusahaan. Dampak dari kebijakan ini adalah kinerja perusahaan yang nampak
dalslln laporan keuangan adalah bias (Kamarudin, 2000).
Asset yang dimaksud disini adalah asset pada masing-masing KPH. Setiap
KPH mempunyai asset tegakan sesuai dengan nilai tegakan masing-masing,
sebagai dasar penentuan harga pokok penjualan. Menurut Andayani (1 998), jika
kebijakan ini diterapkan, maka pendapatan perusahaan secara keseluruhan
meniiigkat.
b. Law enjorcement
Fungsi hutan dalam bentuk intangible akan memberikan masyarakat
pemakainya turut menikmati hasilnya tanpa bertambahnya biaya produksi. Atau
dengim pernyataan lain, setiap penambahan satu unit manfaat yang diperoleh
masyarakat tidak menambah biaya marginal (MC=O) dalam proses produksinya.
Dala~n keadaan seperti itu bentuk manfaat intangible hutan disebut barang dengan
dam pak bersamaljoint impact goods (Kartodihardjo, 1995). Sehingga, apabila
terjadi perubahan ekosistem hutan akibat perlakuan tertentu oleh pihak yang
mendapatkan hak akan mempengaruhi pihak lain yang dapat saja kehidupannya
tidalc bersangkut paut dengan hutan. Secara ekonomi kejadian seperti ini disebut
eksternalitas.
Sesuai dengan sifat kepemilikannya, hutan merupakan barang milik negara
(stale property). Para individu mempunyai kewajiban mematuhi aturan yang telah
ditetapkan oleh negara, atau pemerintah yang niemperoleh kuasa atau departemen
yang mengelola sumberdaya tersebut. Demikian pula, departemen yang
bersimgkutan mempunyai hak untuk memutuskan aturan main tersebut (Arifin dan
Racllbini, 2001). Berdasarkan uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa kewajiban
pernerintah (atau departemen) adalah mengelola sumberdaya tersebut untuk
men-nenuhi hajad hidup orang banyak sesuai dengan UUD 1945. Demikian pula
dapat dinyatakan bahwa hak individu sebagai warga masyarakat dapat melakukan
kontrol (dan penuntutan secara hukum) atas kelalaian-kelalaian pemerintah atas
pengelolaan terhadap sumberdaya alam tersebut.
Berdasarkan konsep joint impact goods dan state property tersebut,
dipellukan penyempurnaan kebijakan penegakan hukum lingkungan13 dan
13. Beberapa kendala penegakan hukum lingkungan di Indonesia menurut Koesnadi Hardjasoemantri (1997) dalam Absori (2001) adalah : (1) pemasyarakatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup kurang memadai sehingga sc:lama ini masyarakat kurang mengetahui hak dan kewajibannya, (2) Aparat penegak hukum, yaitu meliputi, pertama, pejabat yang berwenang memberi ijin, kedua, polisi, ketiga , jaksa, kzempat, hakim, kelima, pengacara/konsultan hukum, kurang tanggap terhadap perkembangan hukum lingkungan, dan (3) beberapa ketentuan undang-undang lingkungan hidup, terutama yang berkaitan dengan penegakan hukum kurang ada penjabaran secara jelas.
6 1
pengelolaan hutan khususnya, dari segi hukum administrasi, pidana dan perdata.
Hal ini diperlukan guna membentuk opini bahwa siapapun (pemerintah,
pengelolalperusahaan, dan masyarakat m u m ) apabila melakukan perusakan
terhiidap hutan, &an berhadapan dengan hukum dan di depan hukum
kedudukannya adalah sama.
3. Penyempurnaan Organisasi Sistem Penetapan HJD
Dalam trasformasi juga tercantum mengenai restrukturisasi organisasi,
antara lain restrukturisasi organisasi Direksi serta perkuatan organisasi KPH
melalui penempatan tenaga dengan keahlian khusus. Disamping itu juga terdapat
redefinisi dan penetapan peran level-level organisasi (Direksi, Unit dan KPH).
Sedangkan penyempurnaan organisasi yang dimaksud disini adalah
pernibenahan secara mendasar sistem penetapan harga jual dasar melalui :
a. Menyederhanakan struktur organisasi14 sehingga ramping, luwes, memudahkan
pengambilan keputusan, mempercepat arus informasi dan berorientasi pada
f~mgsi, melalui pelimpahan wewenang penetapan HJD pada KPH.
b. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM. Selama lima tahun terakhir
terjadi peningkatan kuantitas karyawan dengan kualifikasi pendidikan sarjana
muda keatas. Jika ha1 ini tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas dan
14. Carzo dan Yanousas, 1969 dalam Masyita, 2000, menyatakan, dengan tingginya hirarki akan ntenyulitkan implementasi dan meningkatkan biaya birokrasi. Biaya birokrasi didefinisikan sebagai biaya opeasional dari sebuah struktur organisasi dan sistem kontrol.
62
kapabilitasnya, maka yang terjadi hanyalah peningkatan kuantitas dan
peningkatan kualitas orang per orang.
c. Pembangunan mental dan spiritual karyawan dalam rangka pembentukan
perilaku dan nilai15 sesuai dengan visi, misi dan transformasi perusahaan
rrlenuju budaya organisasi yang barn.
d. Pembentukan citra. Pada masyarakat selama ini telah terbentuk kesan bahwa
membeli kayu jati adalah sulit dan biroktatis. Kesan ini harus dieliminir
bersamaan dengan dijalankannya transformasi PT. Perhutani.
e. Kecintaan pada profesi, tidak ada bagian perencanaan, bagian hasil hutan, dan
lain-lain, karena kesemuanya adalah rimbawan, sehingga kecemburuan antar
bagianlkelompoWgroup tidak ada.
f. Dikikisnya sikap feodal.
g. Dibentuknya tim intelejen pasar untuk mengetahui perilaku konsumen sebagai
dasar penyesuaian kebijakan pemasaran.
4. Penetapan Kinerja
Ukuran kinerja PT. Perhutani didasarkan pada SK. Menteri Keuangan
Nomor 826lKMK.O 1311 992 tanggal 24 Juli 1992 perihal Peningkatan Efisiensi
15. Nilai didefinisikan sebagai pengertian-pengertian (conceptions) yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebuh benar atau kurang benar (Dananjaya, 1986). Sedangkan Sathe (1958) mendefinisikan nilai sebagai asumsi dasar tentang kondisi ideal yang diinginkan atau berharga, selcalipun memerlukan pengorbanan untuk mencapainya. Semua pengertian tentang nilai tersebut terdapat dalam Ndraha (1997).
63
dan Produktivitas BUMN'~, dengan indikator utama (70%), yaitu rentabilitas,
likuxditas dan solvabilitas, serta indikator tambahan (30%) yang meliputi rasio
kelestarian, rasio pengolahan dan rasio operasi. Dari ukuran kinerja tersebut
nampak bahwa kinerja sebuali perusahaan kehutanan negara lebih dititikberatkan
pada kesehatan finansial daripada ukuran kelestarian hutan yang dikelolanya.
Dampak dari kebijakan ini adalah bahwa pengusaha akan lebih mendahulukan
pemenuhan terhadap ukuran-ukuran finansial yang bobot nilainya lebih besar.
Oleh karenanya, penataan kebijakan bagi perusahaan kehutanan harusnya
mengarah pada ukuran-ukuran kinerja yang lebih menitikberatkan pada aspek
kelestarian sumberdaya hutan. Demikian juga dengan kinerja sistem penetapan
HJD kayu bundar jati khususnya dan KPH urrlumnya, ukuran kinerjanya, selain
perbrrndingan rencana dan realisasi pelaksanaan kegiatan dan pemenuhan target
pendapatan dan keuntungan, juga menyangkut pada berkurang tidaknya
sumberdaya hutan yang dikelolanya.
5. Insentif
Dalam pembaharuan institusi terdapat konsekuensi (consequences of
institutions). Terdapat dua tingkatan konsekuensi, yang pertarna kelembagaan
meningkatkan rutinitas atau keteraturan atau tindakan manusia yang tidak
rnemerlukan pilihan yang lengkap dan sempurna, tetapi kelembagaan dapat
16. Berdasarkan SK tersebut, rasio kelestarian dihitung dengan membagi besaran luas tanaman dengan luas tebangan, rasio pengolahan dihitung dengan membagi besaran volume kayu yang diolah dengan volume tebangan, sedangkan rasio operasi dihitung dengan membagi hasil penjualan dengan total biaya (Rahardjo, 2001).
64
mempengaruhi tingkah laku individual melalui insentif dan disinsentif. Kedua,
kelembagaan memiliki pengaruh bagi terciptanya suatu pola interaksi yang stabil
yang di-internalisasi oleh setiap individu. Hal inilah yang menimbulkan suatu
ekspektasi keteraturan dimasa mendatang (Arifin dan Rachbini, 200 1).
Dari uraian tersebut, dapat dinyatakan bakwa diperlukan insentif untuk
mendukung pelaksariaan sistem penetapan HJD berada pada tingkat KPH.
Insentif dapat berupa menyediakan rational expectations yang sesuai dengan
prestasi kerjanya, misalnya bonus (material rewards), serta penghargaan lainnya,
misalnya promosi, kenaikan pangkat (non material rewards). Sedangkan
disirlsentif yang dapat berupa kebalikan dari insentif tersebut.
6. Monitoring, Review dan Evaluasi
Terakhir dari kerangka penyempurnaan institusi sistem penetapan HJD kayu
bundar jati adalah monitoring, review dan evaluasi. Hal ini penting bukan hanya
menyangkut bagaimana pelaksanaannya, akan tetapi juga menyangkut apa
tujuannya, siapa pelaksananya, pengetahuan apa yang dibutuhkan, siapa yang
puny.a akses terhadap hasil monitoring, serta siapa yang berpartisipasi, siapa yang
belajar dari hasil ini dan siapa yang membuat keputusan, siapa yang merevisi
program atau membuat rumusan program barn dari hasil review dan evaluasi
terse but.
7. Implikasi Penyempurnaan Institusi Penetapan HJD
a. Implikasi Pada KPH
Implikasi ini akan berbeda-beda pengaruhnya pada setiap KPH, bergantung
pada kondisi masing-masing, baik internal KPH maupun eksternal dengan KPH
lainnya. Internal KPH sendiri berkait dengan nilai, sikap, perilaku dan budaya
KPH, yang diharapkan akan lebih baik.
Sedangkan menyangkut dengan KPH lain, dapat timbul persaingan antar
KPH, yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Terdapat kebebasan pasar untuk
memilih darimana sebuah produk berasal serta harga. yang ditawarkan.
Dampaknya akan terasa sekali pada KPH-KPH lemah dalarn ha1 kuantitas
penyediaan dan kualitas produk, yang akan ditinggalkan oleh konsumen. Disinilah
peran Direksi dan Unit sebagai stabilisator dan fasilitator antar KPH. Stabilisator
harga lebih mengarah pada stabilisasi harga pada masing-masing KPH agar tidak
terjadi persaingan tidal< sehat dengan mengabaikan etika bisnis. Fasilitator lebih
tertuju pada KPH-KPH yang produknya tidak laku, bagaimana menyalurkan
produk dan harganya tersebut secara bijaksana, demikian juga jika terjadi
kelehihan penawaran pada KPH, bagaimana kebijakan Unit untuk mengatasi ha1
tersebut.
b. Implikasi di Luar KPH
Implikasi pada luar KPH adalah berkait dengan konsurnen, baik pengusaha
kayu jati (pedagang) maupun industri pengolahan kayu jati, yaitu adanya
perubahan struktur pasar.
Pasar kayu bundar jati selama ini telah terbentuk, berikut dengan rantai
pemasarannya, yaitu mulai dari pedagang besar, pedagang menengah, pedagang
kecil, pengecer hingga pada konsumen akhir. Jika HJD diterapkan pada
masing-masing KPH, terdapat kebebasan konsumen untuk memilih produk yang
akan mereka beli. Ketergantungan masing-masing rantai pemasar akan berkurang
satu sama lain, karena konsumen dapat menentukan secara bebas kuantitas dan
kualltas berikut harga penawaran produk yang akan mereka beli. Implikasi dari
ha1 tersebut adalah perubahan pada struktur pasar, tidak ada konsumen
(pedagang besar dan menengah) yang "bertindak" sebagai produsen, semuanya
berstatus sama sebagai konsumen.
Sedangkan implikasi pada industri adalah perubahan pada mesin-mesin
industri. Karena tersedianya produk dengan kuantitas, kualitas serta harga
yang variatif, maka mesin-rnesin industri harus menyesuaikan dengan ha1 terebut,
yaitu kapasitas mesin sehubungan dengan kuantitas produk, spesifikasi mesin
berkaitan dengan kualitas produk, serta harga mesin kaitannya dengan harga
bahan baku dan biaya produksi.