Click here to load reader
Upload
vukhanh
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SITUASI DAN KONDISI HUKUM ISLAM DI INDONESIA(Ditinjau Dari Aspek Sejarah Perkembangannya )
MAKALAH
Dibuat dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah Tarikh Tasyri’ Al-
Islami Semester II Tahun Akademik 2014-2015 Jurusan Hukum Bisnis
Syariah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Dosen
Ali Hamdan, M.A, Ph.D
Oleh
KELOMPOK
Ali nahrowi : 13220214
Heri sutrisno : 13220212
M Mannan Abdul Basith : 132202
Muhammad Syahrun Nidhom : 132202
MALANG
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Situasi Dan Kondisi Hukum Islam
Di Indonesia ” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu matakuliah
tarikh tasyri’ al-islami bapak Ali Hamdan, M.A, Ph.D
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang
penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan sejarah dan
situasi dan kondisi hukum islam di Indonesia , serta infomasi dari media
massa yang berhubungan dengan aspek sejarah dari situasi dan kondisi Ham
islam di Indonesia , tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen
matakuliah tarikh tasyri’ al-islami atas bimbingan dan arahan dalam
penulisan makalah ini. dan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita
mengenai sejarah perkembangan stasi hukum islam di Indonesia khususnya
dalam lingkup sejarah perkembangannya, terutama bagi penulis. Memang
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Malang, 18 mei 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................3
A. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda....................................3
B. Kum Islam Pada Masa Pendudukan Jepang........................................5
C. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan (1945)..................................7
D. Hukum Islam Di Era Orde Lama Dan Orde Baru...............................8
E. Hukum Islam Di Era Reformasi........................................................10
BAB III PENUTUP......................................................................................12
A. Simpulan............................................................................................12
DAFTAR RUJUKAN...................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur
paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam
Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar
yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan
sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu.
Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum
muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ?
Maka dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak
komunitas muslim hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah
hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan
bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di
masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan
hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan
tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan
politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh
Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di
masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi
sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana situasi dan kondisi hukum Islam masa Pra penjajahan
Belanda?
1
2. Bagaimana situasi dan kondisi hukum Islam masa penjajahan
Belanda?
3. Bagaimana situasi dan kondisi hukum Islam masa pendudukan
Jepang?
4. Bagaimana situasi dan kondisi hukum Islam masa Masa
Kemerdekaan (1945)?
5. Bagaimana situasi dan kondisi hukum Islam masa Masa Era Orde
Lama dan Orde Baru?
6. Bagaimana situasi dan kondisi hukum Islam pada Era Reformasi
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui situasi dan kondisi hukum Islam masa Pra
penjajahan Belanda.
2. Untuk mengetahui situasi dan kondisi hukum Islam masa penjajahan
Belanda.
3. Untuk mengetahui situasi dan kondisi hukum Islam masa
pendudukan Jepang.
4. Untuk mengetahui situasi dan kondisi hukum Islam masa Masa
Kemerdekaan (1945).
5. Untuk mengetahui situasi dan kondisi hukum Islam masa Masa Era
Orde Lama dan Orde Baru.
6. Untuk mengetahui situasi dan kondisi hukum Islam pada Era
Reformasi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian
ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad
ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan
nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan
sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan,
gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di
Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu
kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada
abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia
terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai
wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri
menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari
Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan
Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri
Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.1
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah,
itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif
yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap
kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang
telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini
dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para
ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung
hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.2
1Mardani, Hukum Islam:Pengantar Ilmu Hukum Islam Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hlm. 1312Praja, Juyaha S. Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek). (Jakarta: PT. Remaja
Rosdakarya, 1991). hlm.43
3
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai
dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia
Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi
dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal
ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang
menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur.
Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili
Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu
saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.3
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi”
yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: dalam Statuta Batavia yag
ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan
Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.4
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum
Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai
berikut:
a. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda
melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang
secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum
di Indonesia dengan hukum Belanda.
b. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem,
Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang
agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal
persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak
bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
3Praja, Juyaha S. Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktek). (Jakarta: PT. Remaja
Rosdakarya, 1991). hlm.464 Nuruddin, Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
(Jakarta: PT. Kencana, 2004) hlm.24
4
Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah
subordinasi dari hukum Belanda.
c. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk
komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa
dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum
diterima oleh hukum adat setempat).5
d. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2
Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78
Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim
akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah
diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu
ordonasi.6
B. Kum Islam Pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat
kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8
Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan.
Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang
menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang
sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan
baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum
Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap
melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di
Indonesia. Diantaranya adalah:
a. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan
Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
5
6 Praja, Juyaha S. Hukum Islam di Indonesia (Perkembangan dan Pembentukan) (Jakarta:
PT. Remaja Rosdakarya, 1991). hlm.65
5
b. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin
oleh bangsa Indonesia sendiri
c. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan
NU
d. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi) pada bulan oktober 1943.
e. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA
f. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk
mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta
seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk
menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian
“dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan
menundanya hingga Indonesia merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi
hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun
bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda
dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam
mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan
bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam.7
Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-
masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan
politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang,
mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang
dapat dimanfaatkan.8
7 Praja, Juyaha S. Hukum Islam di Indonesia (Perkembangan dan Pembentukan) (Jakarta:
PT. Remaja Rosdakarya, 1991). hlm.658 Daniel S.Lev, Islamic Courts in Indonesia, h. 34, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hlm. 83.
6
C. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan (1945)
Ketika Indonesia memasuki pintu kemerdekaan, mucul “para
nasionalis Islami” (Islamic Nationalist) yang berjuang berasaskan Islam dan
berpandangan bahwa negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai
agama dalam arti luas, yaitu agama yang mengatur tidak hanya hubungan
manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan antara sesama
manusia serta sikap manusia terhadap lingkungannya. Kelompok
“Nasionalis Islami” ini berhadapan dengan para “nasionalis sekuler” yang
merupakan pribadi-pribadi yang beranggapan bahwa agama dan negara itu
terpisah secara tegas.9 Kompromi antara kedua kubu ini melahirkan modus
vivendi, yakni rumusan untuk preambule Undang-Undang Dasar yang
dikenal dengan Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh sembilan anggota
BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945.10 Dalam proses perumusan dasar
negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil rakyat hasil pemilihan umum
tahun 1955, muncul tiga usul tentang dasar negara: Pancasila, Islam, dan
sosialis ekonomi. Namun, lembaga legislatif yang dikenal dengan de –
Konstituante itu tidak berhasil memutuskan dasar negara hingga kemudian
keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada
Undang-Undang Dasar tahun 1945, termasuk didalamnya dasar negara
pancasila.11
Pada zaman kemerdekaan, hukum Islam pun melewati dua periode:12
a. periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif
(persuasive source) yakni dalam hukum institusi adalah sumber
hukum yang baru diterima orang apabila ia telah diyakini.
9 Abdul Halim Barkatullah: Hukum Islam:Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus
Berkembang (Yogyakarta: Pustaka Belajar,2006), hlm. 1510 Mohammad Kamal Hasan, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P3M, 1979),
Hlm. 13611 Mohammad Kamal Hasan, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P3M, 1979), hlm. 7212 Nourzzaman Shiddiqi, Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1993), hlm. 42
7
b. periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoritatif, yakni
sumber hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum.
Dalam hukum tata negara ketika ditempatkannya Piagam Jakarta
dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana dapat disimak
berikut ini: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal
22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam Konstitusi tersebut.”
Kata “menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat
aturan perudangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya. Secara positif berarti bahwa pemeluk Islam
diwajibkan menjalankan syariat Islam. Oleh karena itu, harus dibuat
undang-undang yang akan memberlakukan hukum Islam dalam hukum
nasional.
Politik hukum negara Republik Indonesia barulah memberlakukan
hukum Islam bagi pemeluknya oleh Pemerintah Orde Baru sebagaimana
dibuktikan dengan adanya UUP No. 1/ 1974 tentang perkawinan. Pasal 2
undang-undang tersebut menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Dalam upaya
mengaplikasikan hukum Islam sesuai dengan konteks zaman dan waktu,
timbul pemikiran-pemikiran baru pada zaman Orde Baru. Pemikiran ini
berupaya melakukan penilaian ulang atas beberapa institusi hukum Islam
seperti kewarisan dan peninjauan terhadap lembaga perbankan yang
semakin menguat di kehidupan modern.13
D. Hukum Islam Di Era Orde Lama Dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah
eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini 13 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada, 1997), Cet 2, hlm. 182-183.
8
perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu
partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus
dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan
tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya
Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI[28] kemudian menyusun
komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu,
terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah
satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan
kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang
selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut
membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana
mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat
hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak
mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde
Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan
besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana
mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi
kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang
sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini
menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan
di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui
upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi. Lalu bagaimana dengan hukum
Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber
hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-
upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan
oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU,
yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat
9
Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun
gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan
hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun
1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU
No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan
peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan
sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung
sebagai hukum yang berdiri sendiri.
E. Hukum Islam Di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan
bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang
panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya
secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang
berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan
ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari
suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan
berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.14
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya
kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan
peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya
adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe
Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun
2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas
bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di 14 Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, (Jakarta, 27 September 2000).hlm.65
10
Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan
pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum
Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku
dalam hukum Nasional kita.
11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut
diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat
Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari
memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini
dijalankan secara cerdas dan bijaksana.
Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan
menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa
perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan
berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran
dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya
penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis
yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama
ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan
kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap
kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri,
dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan
sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.
12
DAFTAR RUJUKAN
Daud Ali, Moh., hukum islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Radjawali Press.1996.
Halim Barkatullah Abdul,.Hukum Islam: Menjawab Tantangan
Zaman Yang Terus Berkembang,Yogyakarta: Pustaka Belajar,2006.
Kamal Hasan, Mohammad., Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,
Jakarta: P3M, 1979.
Mardani, Hukum Islam:Pengantar Ilmu Hukum Islam Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Belajar,2010.
Nuruddin, Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari. Hukum Perdata Islam
di Indonesia. Jakarta: PT. Kencana, 2004.
Praja, Juyaha S. Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan
Praktek). Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.
Rofiq, Ahmad,. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; Pt Raja Grafindo
Persada, 1997.
Shiddiqi, Nourzzaman., Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1993,.
13