68

VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188
Page 2: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Penanggung Jawab: Kapuslit Metalurgi – LIPI Dewan Redaksi : Ketua Merangkap Anggota: Ir. Bambang Sriyono Dipl.Ing. Anggota: Dr. Ir. Rudi Subagja Dr. Ir. F. Firdiyono Dr. Agung Imadudin Dr. Efendi Mabruri Ir. Adil Jamali, M.Sc (UPT BPM – LIPI) Prof. Riset. Dr. Ir. Pramusanto (Puslitbang TEKMIRA) Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi, DEA (UI) Dr. Ir. Sunara, M.Sc (ITB) Sekretariat Redaksi: Dedi Irawan, ST Daniel Panghihutan Malau, ST Arif Nurhakim, S.Sos Penerbit: Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, Gedung 470 Telp: (021) 7560911, Fax: (021) 7560553 Alamat Sekretariat: Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, Gedung 470 Telp: (021) 7560911, Fax: (021) 7560553 E-mail: [email protected] Majalah ilmu dan teknologi terbit berkala setiap tahun, satu volume terdiri atas 3 nomor.

VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188 AKREDITASI : SK 187/AU1/P2MBI/08/2009 Pengantar Redaksi …………….xxvii

Analisa Kerusakan Lapisan Kobalt pada Piringan Katup Buang Mesin Diesel

Abstrak ……………………………..xxix

Perilaku Oksidasi Baja Tahan Karat Feritik Fe-Cr-Mo selama Proses Aniling pada Temperatur 1200

Ika Kartika dan Kawan-kawan ……….. 119

0

C

Pembentukan Fasa Intermetalik Nb

Fatayalkadri Citra dan Bambang S ….…129

3

Sn pada Proses Pembuatan Kawat Super Konduktor dengan Metode Internal Tin

Pius Sebleku ……………………………… 139 Pembuatan Material CaMnO3 sebagai Thermoelektrik Type-N dari Bahan CaCO3 dan MnCO3

untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas

Analisa Retak pada Pelat Tipis Paduan Al-17Mg-1Si Hasil Pembekuan Cepat dengan Twin Roll Pengecor

Lusiana dan Kawan-kawan……...……... 147

Sintesis, Analisis Korosi dan Toksisitas pada Material Biokompatibel Co-Cr-Mo

Saefudin dan Ika Kartika ………………. 155

Sulistioso GS dan Kawan-kawan…….......163 Indeks

Page 3: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

xxvi | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188

Page 4: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

 

Pengantar Redaksi| xxvii

PENGANTAR REDAKSI

Syukur Alhamdulillah Majalah Metalurgi Volume 25 Nomor 3, Desember 2010 kali ini menampilkan 6 buah tulisan. Makalah pertama, yaitu “Analisa Kerusakan Lapisan Kobalt pada Piringan Katup Buang Mesin Diesel” yang disampaikan oleh Ika Kartika, Budi Priyono, Cahyo Sutowo, Edi PU, dan Tri Arini. Fatayalkadri Citrawati dan Bambang Sriyono menulis tentang “Perilaku Oksidasi Baja Tahan Karat Feritik Fe-Cr-Mo Selama Proses Aniling pada Temperatur 1.200°C”. Makalah selanjutnya ditulis oleh Pius Sebleku tentang “Pembentukan Fasa Intermetalik Nb3Sn pada Proses Pembuatan Kawat Superkonduktor dengan Metoda Internal Tin”. Sementara itu, Lusiana, Edi Herianto, dan Sigit Dwi Y menyajikan tulisan “Pembuatan Material CaMnO3 Sebagai Themoelektrik Type-N dari Bahan CaCO3 dan MnCO3 untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas”. Saefudin dan Ika Kartika menyampaikan tulisan tentang “Analisa Retak pada Pelat Tipis Paduan Al -17Mg-1Si Hasil Pembekuan Cepat dengan Twin Roll Pengecor”. Tulisan berikutnya disajikan oleh Sulistioso G.S., Andika W..P, Irma Suparto, dan Silmi Mariya dengan tulisan “Sintesis, Analisis Korosi, dan Toksisitas pada Material Biokompatibel Co-Cr-Mo”.

Semoga penerbitan Majalah Metalurgi volume ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia penelitian di Indonesia.

REDAKSI

Page 5: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

xxviii | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188

Page 6: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Abstrak | xxix

METALURGI (Metallurgy)

ISSN 0126 – 3188 Vol 25 No. 3 Desember 2010 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.

UDC (OXDCF) 620.18

Ika Kartika, Budi Priyono, Cahyo Sutowo, Eddy P. Utomo dan T. Arini (Puslit Metalurgi – LIPI)

Analisa Kerusakan Lapisan Kobalt pada Piringan Katup Buang Mesin Diesel

Metalurgi, Volume 25 No.3 Desember 2010

Kerusakan telah terdeteksi pada lapisan piringan katup buang mesin diesel. Kerusakan teramati berupa retak, terlepasnya lapisan piringan katup buang serta adanya deposit pada permukaan dasar katup buang. Permukaan patahan memperlihatkan beberapa indikasi yang menunjukkan terjadinya aus. Untuk mengidentifikasi penyebab kerusakan beberapa pengujian telah dilakukan seperti pengamatan visual secara makro, analisa komposisi kimia, kekerasan mikro dengan vickers, metalografi, fraktografi patahan dengan SEM dan analisa kualitatif deposit dengan EDX. Hasil analisa komposisi kimia menunjukkan bahwa lapisan katup buang terbuat dari paduan kobalt Stellite-1, sedangkan piringan katup buang terbuat dari baja cor tahan panas paduan Cr-Ni-Mn. Fraktografi pada permukaan area patahan menunjukkan lapisan piringan katup buang telah mengalami keausan sliding. Fenomena ini lebih jauh dapat mengakibatkan patah lelah pada area tersebut.

Kata kunci: Lapisan piringan katup buang, Material tahan aus berbasis kobalt, Fenomena sliding wear, Patah lelah Fracture was detected on exhaust valve plate coating layer of engine diesel. These fractures are showed as a crack, loss of exhaust valve coating layer and deposit content on the face of exhaust valve. Fracture surface exhibits several indications of wear failure modes. In order to identify cause of failure, several examinations are carried out such as macro visual, chemical analysis, vicker’s micro hardness, metallography, fractography by SEM and deposit analysis by EDX qualitatively. The results of chemical composition present that material for exhaust valve coating layer is made from Stellite-1 cobalt alloy, whereas exhaust valve plate is heat resistant cast steel of Cr-Ni-Mn alloy. Fractography on surface fracture area visually showed wear damage, while by SEM demonstrates that sliding wear was occurred on the coating layer of exhaust valve plate. Further this phenomenon can also lead to the fatigue fracture on that area. Keywords: Exhaust valve plate, Wear resistant material of cobalt base alloy, Sliding wear phenomena, Fatigue fracture

Page 7: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

xxx | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188

METALURGI (Metallurgy)

ISSN 0126 – 3188 Vol 25 No. 3 Desember 2010 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.

UDC (OXDCF) 620.17

Fatayalkadri Citrawati dan Bambang Sriyono (Puslit Metalurgi – LIPI) Perilaku Oksidasi Baja Tahan Karat Feritik Fe-Cr-Mo Selama Proses Aniling pada Temperatur 1200°C

Metalurgi, Volume 25 No.3 Desember 2010

Salah satu proses fabrikasi baja tahan karat austenitik bebas Ni, melibatkan proses aniling temperature tinggi dengan atmosfer nitrogen, namun pembentukan senyawa oksida selama proses berlangsung pada permukaan baja tahan karat feritik Fe-Cr-Mo dapat menghambat proses difusi nitrogen ke dalam logam. Untuk baja tahan karat feritik, senyawa oksida yang dominan terbentuk adalah senyawa Cr2O3. Senyawa ini dapat terbentuk pada temperatur tinggi dengan keberadaan oksigen pada tekanan tertentu. Perilaku pembentukan senyawa oksida kromium ini mengikuti grafik parabolik. Pada percobaan ini, ketebalan rata-rata maksimum yang dibentuk oleh senyawa-senyawa oksida pada Baja A (27% berat Cr) dicapai pada lama waktu proses 24 jam, selanjutnya ketebalannya menurun seiring dengan semakin lamanya waktu proses, perilaku ini juga terjadi pada Baja B (21% berat Cr). Perbedaan signifikan dari kedua baja ini terletak pada ketebalan lapisan oksida yang terbentuk, pada waktu proses selama 8 jam, Baja A memiliki ketebalan lapisan oksida lebih tinggi, semakin lama waktu proses dialami oleh kedua baja, Baja B memiliki ketebalan lapisan oksida yang lebih tinggi, yaitu untuk waktu proses 12 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam. Kemungkinan hal ini disebabkan karena pada Baja A, kandungan Cr yang lebih tinggi jika berinteraksi dengan oksigen untuk waktu yang lebih lama, lebih banyak yang bereaksi membentuk CrO3

gas atau gas-gas senyawa oksida kromium lainnya.

Kata kunci : Baja tahan karat feritik, Oksidasi, Aniling, Temperatur tinggi, Perlakuan panas One of Ni free austenitic stainless steel fabrication methods involves high temperature annealing process in nitrogen atmosphere, however the formation of oxide compound during the process on ferritic stainless steel Fe-Cr-Mo surface is able to prevent nitrogen to diffuse into the steel. For ferritic stainless steel, the most dominant oxide compound form is Cr2O3. This compound is able to form at high temperature along with the presence of oxygen at certain level of pressure. The behaviour of this oxide compound follows parabolic law. In this experiment, the maximum average thickness formed by the oxide compounds on Steel A (27 w%t Cr) was achieved when the steel processed for 24 hours, afterwards the thickness decrease as the process time increase, this behaviour also found in Steel B (21 wt% Cr). The significant difference between these steels laid on their oxide thickness, during 8 hours process, Steel A oxide thickness is higher than that of Steel B, the longer the process hour applied to both steels, Steel B has higher oxide thickness than Steel A, this is for 12 hours, 24 hours, 48 hours and 72 hours processing time. This might happened due to the formation of volatile species in Steel A during longer processing time, such as CrO3

gas or other volatile oxide compounds of chromium.

Keywords : Ferritic stainless steel, Oxidation, Annealing, High temperature, Heat treatment

Page 8: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Abstrak | xxxi

METALURGI (Metallurgy)

ISSN 0126 – 3188 Vol 25 No. 3 Desember 2010 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.

UDC (OXDCF) 621.319

Pius Sebleku (Puslit Metalurgi – LIPI)

Pembentukan Fasa Intermetalik Nb3Sn pada Proses Pembuatan Kawat Superkonduktor dengan Metode Internal Tin

Metalurgi, Volume 25 No.3 Desember 2010

Kualitas kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn utamanya diukur dari nilai rapat arus (Jc) yang dihasilkan. Semakin banyak senyawa Nb3Sn yang terbentuk, maka Jc semakin tinggi. Studi penelitian ini berangkat dari permasalahan optimalisasi pembentukan senyawa superkonduktif Nb3Sn, yang sejauh ini diantisipasi dengan cara memperbanyak jumlah monofilamen di dalam kawat. Akan tetapi hal ini berpotensi langsung pada peningkatan biaya produksi. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan gambaran tentang evolusi fasa yang terjadi antara Cu, Nb, dan Sn di dalam sistem superkonduktor Cu-Nb-Sn. Hasil ini diharapkan dapat memprediksi intensitas dan kuantitas pembentukan senyawa Nb3

Sn. Prediksi ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mendesain ingot beserta jalur teknik manufaktur kawat superkonduktor yang ingin digunakan, sehingga bisa memangkas biaya produksi. Desain ingot yang dikembangkan dalam studi penelitian ini adalah superkonduktor berbasis Cu,Nb,Sn.

Kata kunci: MRI, NMR, Kawat superkonduktor, Internal tin, Nb-Sn, Cu-Nb-Sn The quality of Cu-Nb-Sn superconductor wire is mainly measured from its current density (Jc). The more Nb3Sn is formed, the higher Jc is. This research study departs from the problem on Nb3Sn formation, which has been so far anticipated by increasing the number of monofilaments inside the wire. However this situation yields in high production cost. This research activity is aimed to that can depict the phase evolution among Nb, and Sn within the Cu-Nb-Sn superconducting system. The results can be used to predict the intensity as well as quantity of Nb3

Sn formation. Such prediction can be used to decide which ingot design and manufacturing path shall be chosen, therefore the cost of production can be made efficientIn. In this research study, the ingot design with the basis of Cu-Nb-Sn will be developed as supercondctor wire.

Keywords : MRI, NMR, Superconductor wire, Internal tin, Nb-Sn, Cu-Nb-Sn

Page 9: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

xxxii | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188

METALURGI (Metallurgy)

ISSN 0126 – 3188 Vol 25 No. 3 Desember 2010 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.

UDC (OXDCF) 620

Lusiana, Edi Herianto, Sigit Dy Pembuatan Material CaMnO3 Sebagai Themoelektrik Type-N dari Bahan CaCo3 dan MnCo3

untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas

Metalurgi, Volume 25 No.3 Desember 2010 Penerapan bahan thermoelektrik sangat luas, dapat digunakan sebagai penghemat bahan bakar pada kendaraan bermotor, penyedia listrik dari panas matahari, panas tungku pembakar sampah dan lain-lain. Pembuatan material CaMnO3 thermoelectric type-n dari bahan CaCO3 dan MnCO3 pada kondisi pemampatan bahan yang telah dihaluskan 200 Mpa dan dipanaskan pada temperatur 1300 °C selama 12 jam, kemudian hasilnya di analisa menggunakan XRD, XRF dan SEM. Dengan keberhasilan pembuatan material material CaMnO3

thermoelectric type-n ini disamping dapat memanfaatkan bahan baku lokal juga mendukung upaya mengurangi ketergantungan energi kita pada bahan bakar fosil.

Kata kunci : Thermoelectrik, CaMnO3

, Type-n, Energi

Application materials thermoelectric very broad, can be used as a fuel saver in the motor vehicle, a provider of solar thermal electricity, heat furnaces and other junk. Making material CaMnO3 n-type thermoelectric material and MnCO3 CaCO3 on the condition that the material has been smoothed squishing 200 MPa and heated at a temperature of 1300 °C for 12 hours, then the results were analyzed using XRD, XRF and SEM. With the success of manufacturing materials thermoelectric materials CaMnO3 type-n in addition to utilizing local raw materials also support efforts to reduce our energy dependence on fossil fuels

.

Keywords : Thermoelectric, CaMnO3

, n- type, Energy

Page 10: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Abstrak | xxxiii

METALURGI (Metallurgy)

ISSN 0126 – 3188 Vol 25 No. 3 Desember 2010 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.

UDC (OXDCF) 620

Saefudin, Ika Kartika (Puslit Metalurgi – LIPI)

Analisa Retak pada Pelat Tipis Paduan Al -17Mg-1Si Hasil Pembekuan Cepat dengan Twin Roll Pengecor

Metalurgi, Volume 25 No.3 Desember 2010

Pembuatan pelat tipis dengan twin roll pengecor pada paduan aluminium mempunyai beberapa keuntungan seperti mempercepat proses pembekuan, rendahnya biaya peralatan juga dapat menekan biaya produksi. Pada penelitian pembuatan pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si hasil proses pembekuan cepat dengan twin roll telah terjadi retak sepanjang sisi pelat tipis. Pelat tipis yang dihasilkan mempunyai tebal berkisar 1 mm dengan lebar sekitar 50 mm. Hasil uji keras dengan Vickers pada posisi tebal pelat menunjukkan harga kekerasan rata-rata adalah 175,1 HVN. Hasil metalografi dengan SEM menunjukkan fasa yang terbentuk adalah α–Al dendritik sebagai matriks dan partikel Mg2Si yang bersifat getas. Mg2Si teramati bersegregasi sepanjang sisi dan sudut kristal α-Al matriks. Analisa komposisi kimia dengan EDX pada permukaan area tebal pelat menghasilkan kandungan unsur Mg dan Si yang tinggi. Kelarutan Mg dan Si yang tinggi cenderung akan membentuk fasa eutektik Mg2Si yang mempunyai suhu cair yang lebih rendah dibandingkan α–Al matriks. Oleh karenanya fasa eutektik Mg2

Si akan mengalami pembekuan lebih cepat dibandingkan α–Al matriks. Fenomena rapuh panas akan terjadi dan menghasilkan retak sepanjang sisi pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si melalui proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor.

Kata kunci : Paduan Al-17Mg-1Si, Proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor, Fasa eutektik Mg2

Si, Rapuh panas, Retak

There are several advantages to produce aluminum alloys strip by using twin roll caster such as rapidly solidification process, low equipment cost and reduce production cost. In the study of manufacturing of Al-17Mg-1Si alloy strip from rapid solidification by twin roll caster, fracture was occurred along side of strip. Product of strip has a thickness approximately around 1 mm and 50 mm of wide. Vickers hardness result on strip thickness area shows an average hardness around 175.1 HVN. Metallography examination using SEM shows α – Al dendritic phase as a matrix and Mg2Si eutectic particles which are attributed to brittleness. Mg2Si particles show segregate along edge and angle of α-Al matrix. Chemical composition analysis by EDX on the surface of thickness area of Al-17Mg-1Si alloy strip obtains high content of Mg and Si elements. Highly solidify of Mg and Si elements leads to form Mg2

Si eutectic phase, which has lower melting point compared to α–Al matrix. Therefore, eutectic phase would rapidly solidify than α–Al matrix. Hot shortness phenomena will occur and perform cracking along edge area of Al-17Mg-1Si alloy strip throughout rapid solidification process by twin roll caster.

Keywords : Al-17Mg-1Si alloy, Rapid solidification process by twin roll caster, Mg2

Si eutectic phase, Hot shortness, Cracking

Page 11: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

xxxiv | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188

METALURGI (Metallurgy)

ISSN 0126 – 3188 Vol 25 No. 3 Desember 2010 Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin dan biaya.

UDC (OXDCF) 620.112

Sulistioso GS, Andika WP, Irma Suparto,Silmi Mariya (PTBIN – BATAN) Sintesis, Analisis Korosi dan Toksisitas pada Material Biokompatibel Co-Cr-Mo

Metalurgi, Volume 25 No.3 Desember 2010

Telah dilakukan uji korosi dan toksisitas pada hasil pembuatan paduan material implan Co-Cr-Mo. Komposisi paduan yang dibuat adalah 30 – 35% Cr, 5% Mo, 0.5 – 0.6% Mn, 0.2 – 0.3% Si, 1.5 – 1.6% N, dan sisanya Co. Karakterisasi hasil analisis fasa dengan XRD menunjukkan pola difraksi di mana fasa ε tidak muncul dan fasa yang dominan adalah fasa γ sebagai konsekuensi dari penambahan unsur N. Pengamatan mikrostruktur dengan mikroskop optik menunjukkan struktur cor dan sampel Co-Cr-Mo hasil peleburan tidak berpori. Berdasarkan hasil analisis korosi diperoleh laju korosi pada media air demin adalah 0,0249 mpy dan pada media larutan tubuh buatan (simulated body fluid atau SBF) adalah 0,036 mpy. Uji toksisitas secara in vitro pada kultur sel endotel CPAE (ATCC-CCL 209) berumur 24 jam menunjukkan tidak adanya perubahan morfologi dan kematian sel setelah 72 sampai dengan 144 jam pasca penambahan sampel. Hasil ini menunjukkan bahwa material Co-Cr-Mo dengan penambahan tidak menimbulkan toksisitas terhadap kultur sel endotelial sampai dengan 6 hari inkubasi. Kata kunci : Co-Cr-Mo , Korosi, Toksisitas in vitro, Kultur sel endotel CPAE Analysis of corrosion and toxicity of Co-Cr-Mo as implant materials has been performed. The alloy composition was 30 - 35% Cr, 5% Mo, 0.5 - 0.6% Mn, 0.2 - 0.3% Si, 1.5 - 1.6% N, and Co as the balance. Characterization of phase analysis by XRD through its diffraction patterns indicates that phase ε does not appear as a consequence of the addition of N. Microstructure observations of the samples by optical microscope showed that the structure of Co-Cr-Mo cast was not porous. Corrosion analysis showed that the corrosion rate in demineralized water was 0.0249 mpy and in simulated body fluid (SBF) was 0.036 mpy. In vitro toxicity assay in 24 hours endothelial cell CPAE (ATCC CCL-209) showed that there were no morphologic changes or cell death after 72 up to 144 hours of sample incubation. It concludes that Co-Cr-Mo material was not toxic to endothelial cell culture for at least six days.

Keywords : Co-Cr-Mo , Corrosion , In vitro toxicity, Endothelial cell culture CPAE

Page 12: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

ANALISA KERUSAKAN LAPISAN KOBALT PADA PIRINGAN KATUP BUANG MESIN DIESEL

Ika Kartika, Budi Priyono, Cahyo Sutowo, Eddy P. Utomo dan T. Arini

Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang Selatan 15314

E-mail : [email protected]

Intisari

Kerusakan telah terdeteksi pada lapisan piringan katup buang mesin diesel. Kerusakan teramati berupa retak, terlepasnya lapisan piringan katup buang serta adanya deposit pada permukaan dasar katup buang. Permukaan patahan memperlihatkan beberapa indikasi yang menunjukkan terjadinya aus. Untuk mengidentifikasi penyebab kerusakan beberapa pengujian telah dilakukan seperti pengamatan visual secara makro, analisa komposisi kimia, kekerasan mikro dengan vickers, metalografi, fraktografi patahan dengan SEM dan analisa kualitatif deposit dengan EDX. Hasil analisa komposisi kimia menunjukkan bahwa lapisan katup buang terbuat dari paduan kobalt Stellite-1, sedangkan piringan katup buang terbuat dari baja cor tahan panas paduan Cr-Ni-Mn. Fraktografi pada permukaan area patahan menunjukkan lapisan piringan katup buang telah mengalami keausan sliding. Fenomena ini lebih jauh dapat mengakibatkan patah lelah pada area tersebut. Kata kunci : Lapisan piringan katup buang, Material tahan aus berbasis kobalt, Fenomena sliding wear, Patah lelah

Abstract

Fracture was detected on exhaust valve plate coating layer of engine diesel. These fractures are showed as a

crack, loss of exhaust valve coating layer and deposit content on the face of exhaust valve. Fracture surface exhibits several indications of wear failure modes. In order to identify cause of failure, several examinations are carried out such as macro visual, chemical analysis, vicker’s micro hardness, metallography, fractography by SEM and deposit analysis by EDX qualitatively. The results of chemical composition present that material for exhaust valve coating layer is made from Stellite-1 cobalt alloy, whereas exhaust valve plate is heat resistant cast steel of Cr-Ni-Mn alloy. Fractography on surface fracture area visually showed wear damage, while by SEM demonstrates that sliding wear was occurred on the coating layer of exhaust valve plate. Further this phenomenon can also lead to the fatigue fracture on that area. Keywords : Exhaust valve plate, Wear resistant material of cobalt base alloy, Sliding wear phenomena, Fatigue fracture PENDAHULUAN

Katup buang (exhaust valve) dan katup isap (inlet valve) merupakan komponen yang sangat penting pada suatu mesin diesel, karena mengontrol aliran gas masuk dan keluar pada silinder mesin.

Material dasar piringan katup buang harus memiliki sifat tahan temperatur tinggi, memiliki koefisien ekspansi panas yang tinggi, tahan aus, ketahanan terhadap kejut panas, ketahanan korosi tinggi dan bersifat ringan. Material dasar piringan

katup buang yang umum digunakan adalah baja tahan karat austenitik dengan penambahan nitrogen (21-2N, 21-4N), baja martensitik dengan paduan dasar Cr atau Si dan baja cor austenitik dengan ketahanan cor dan pemesinan yang baik [1]. Sedangkan material untuk lapisan piringan katup buang harus mempunyai sifat tahan temperatur tinggi, ketahanan aus yang tinggi, dan konduktivitas panas yang rendah. Material yang digunakan untuk melapisi katup buang biasanya menggunakan paduan berbasis kobalt

Page 13: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

120 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 119-128

dalam bentuk serbuk logam seperti ST1 (Stellite-1), ST6, ST12; paduan berbasis nikel seperti Nimonic, Inconel dan paduan titanium seperti 6242S (Ti-6Al-2Sn-4Zr-2Mo-0.1Si), TIMETAL @ 1100 (Ti-2.7Sn-4Zr-0.4Mo-0.45Si) [2]. Teknologi pelapisan pada katup silinder mesin yang telah banyak dikembangkan adalah teknologi plasma permukaan (plasma surface technology) [3] atau teknologi pelapisan dengan laser (laser cladding technology) [4-

7]

.

PENDAHULUAN

Katup buang (exhaust valve) dan katup isap (inlet valve) merupakan komponen yang sangat penting pada suatu mesin diesel, karena mengontrol aliran gas masuk dan keluar pada silinder mesin.

Material dasar piringan katup buang harus memiliki sifat tahan temperatur tinggi, memiliki koefisien ekspansi panas yang tinggi, tahan aus, ketahanan terhadap kejut panas, ketahanan korosi tinggi dan bersifat ringan. Material dasar piringan katup buang yang umum digunakan adalah baja tahan karat austenitik dengan penambahan nitrogen (21-2N, 21-4N), baja martensitik dengan paduan dasar Cr atau Si dan baja cor austenitik dengan ketahanan cor dan pemesinan yang baik [1]. Sedangkan material untuk lapisan piringan katup buang harus mempunyai sifat tahan temperatur tinggi, ketahanan aus yang tinggi, dan konduktivitas panas yang rendah. Material yang digunakan untuk melapisi katup buang biasanya menggunakan paduan berbasis kobalt dalam bentuk serbuk logam seperti ST1 (Stellite-1), ST6, ST12; paduan berbasis nikel seperti Nimonic, Inconel dan paduan titanium seperti 6242S (Ti-6Al-2Sn-4Zr-2Mo-0.1Si), TIMETAL @ 1100 (Ti-2.7Sn-4Zr-0.4Mo-0.45Si) [2]. Teknologi pelapisan pada katup silinder mesin yang telah banyak dikembangkan adalah teknologi plasma permukaan (plasma surface technology) [3] atau teknologi pelapisan

dengan laser (laser cladding technology) [4-

7]

Prinsip kerja mesin diesel diilustrasikan pada Gambar 1, yaitu merubah energi kimia menjadi energi mekanis. Energi kimia diperoleh melalui reaksi proses pembakaran bahan bakar solar dan oksidiser di udara di dalam silinder (ruang bakar).

.

Gambar 1. Komponen dan prinsip kerja mesin diesel

[8]

Proses pembakaran dalam mesin diesel (Gb. 1) dimulai ketika udara masuk dan mendorong katup isap ke bawah. Terjadi penekanan udara/kompresi yang menghasilkan peningkatan tekanan dan temperatur yang cukup tinggi. Kemudian injektor bahan bakar akan memasukkan bahan bakar dengan cara dikabutkan. Tingginya temperatur pada kondisi tersebut serta adanya bahan bakar yang telah masuk memicu terjadinya reaksi pembakaran sehingga menggerakkan torak yang dihubungkan oleh poros engkol. Tekanan hasil pembakaran kemudian mendorong piston ke atas dan katup buang akan terbuka untuk membuang gas sisa hasil pembakaran tersebut. D ari fungsi katup di atas, katup buang dan katup isap akan terpapar temperatur tinggi dan secara mekanis mengalami tegangan berlebih. Temperatur pada katup buang saat beroperasi berkisar 650 °C – 800 °C sedangkan pada katup isap berkisar 450 °C – 550 °C [1]. Selama katup menutup kombinasi aus dan tumbukan (impact) akan mengarah pada terjadinya keausan

Page 14: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Analisa Kerusakan Lapisan…../ Ika Kartika | 121

dibagian dudukan katup dan piringan katup. Adanya tumbukan saat katup menutup mengakibatkan deformasi plastis pada permukaan dudukan (seat) dan membentuk serangkaian tonjolan dan cekungan. Hal ini akan mengarah pada terjadinya retak dan secara langsung terlepasnya material pada bagian dalam dudukan saat proses menutup dengan kecepatan tinggi [9]. Ravindra Prasad dan N.K. Samria dalam penelitiannya mengenai perpindahan panas dan tegangan pada katup isap dan katup buang mesin diesel dalam kondisi semi adiabatik, menemukan bahwa tegangan panas akan lebih besar diterima katup buang dibandingkan dengan katup isap. Selain itu, adanya kenaikan dan penurunan temperatur pada katup mengakibatkan adanya tegangan akibat perbedaan radius temperatur sehingga akan memicu terjadinya retak [10]

Dilain pihak, adanya deposit pada bagian dasar katup dan dudukan dapat mengakibatkan pengaruh penyekatan dimana proses pendinginan menjadi lambat dan katup menjadi semakin panas. Apabila deposit terbentuk berupa bintik atau serpih pada permukaan dasar katup, hal ini akan mengarah pada terbentuknya celah yang tererosi atau bagian dalam katup menjadi hitam. Deposit yang terbentuk pada katup buang berasal dari reaksi bahan bakar dan oli sebagai lubrikasi selama pembakaran. Sulfur, vanadium, dan sodium yang terkandung dalam bahan bakar akan teroksidasi selama proses pembakaran dan membentuk sulfur dioksida, sulfur trioksida, sodium oksida dan vanadium pentaoksida. Pada temperatur 550 °C, garam-garam deposit akan mencair. Pada kondisi cair, garam-garam ini akan mengalir sepanjang batas butir, larut dalam lapisan proteksi, sehingga mengakibatkan korosi sepanjang batas butir (intergranular corrosion) pada material katup terutama katup buang

.

[11]

Pada penelitian ini, telah terjadi kegagalan berupa turunnya tekanan kompresi G 398 gas engine 73B saat

beroperasi pada 5000-6000 HM. Kondisi kerusakan terlihat berupa rompal (cowak) pada lapisan piringan katup buang dan juga adanya pengendapan deposit baik pada katup buang ataupun katup isap setelah dikeluarkan dari kepala silinder mesin (Gb. 2b). Gambar 2a menunjukkan komponen katup bersentuhan dengan dudukan katup (valve seat) saat terpasang dalam kepala silinder mesin. Gambar 2b menunjukkan komponen katup buang (tanda panah) yang mengalami kerusakan.

.

(a)

(b)

Gambar 2. (a) Kepala silinder mesin (cylinder head machine) dan (b) katup buang yang mengalami rompal (tanda panah) dengan lapisan deposit di permukaannya

Investigasi awal dari penelitian ini mengarah kepada proses pembakaran yang tidak sempurna, karena udara yang masuk melalui katup isap tidak seluruhnya termampatkan untuk proses pembakaran. Proses pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan deposit atau garam-garam oksida pada bagian dasar katup buang. Selain itu, adanya area yang rompal pada lapisan piringan katup buang perlu diamati, apakah mengarah pada terjadinya fenomena lelah (fatigue) atau fenomena aus dengan jenis abrasive, erosion atau

Page 15: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

122 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 119-128

sliding[2]

Pada penelitian ini, beberapa pengujian dilakukan terpusat pada permukaan patahan piringan katup buang (Gambar 3) dan analisa kandungan deposit di bagian dasar piringan katup tersebut (Gambar 2b). Hasil pengujian diharapkan dapat menjawab penyebab kerusakan yang terjadi pada komponen katup buang.

yang mengakibatkan kerusakan pada komponen tersebut.

METODA ANALISIS

Beberapa pengujian yang akan dilakukan pada lapisan piringan komponen katup buang adalah pengamatan visual pada daerah yang rompal, analisa komposisi kimia, metalografi, uji keras dan fraktografi patahan pada piringan katup buang serta analisa deposit pada bagian dasar piringan katup buang. Makro Visual Makro visual dilakukan pada permukaan patahan pada piringan katup buang seperti ditunjukkan pada Gambar 3 di bawah ini.

(a)

(b)

Gambar 3. (a) komponen katup buang yang rusak, (b) daerah yang rompal pada lapisan piringan katup buang. Penandaan dilakukan untuk pengujian metalografi dan SEM

Analisa Komposisi Kimia Analisa komposisi kimia dilakukan

untuk mengetahui jenis material yang digunakan pada komponen katup, sehingga kegagalan yang berawal dari kesalahan penggunaan material dapat diketahui. Analisa ini dilakukan dengan alat spektrometri OES (optical emission spectrometer) tipe ARL 3460 pada material dasar piringan katup buang. Sampel dipotong dengan mesin pemotong untuk mendapatkan ukuran 10x10 mm. Permukaan sampel kemudian di ampelas kasar untuk membuang kotoran yang ada di permukaan material dasar katup buang.

Untuk daerah lapisan katup buang, analisa dilakukan secara kualitatif dengan alat SEM-EDX merk JEOL JSM 6390 A. Sampel dipotong, kemudian permukaan sampel pada arah melintang atau tegak lurus komponen digerinda dengan kertas amplas kasar dan halus, untuk kemudian dilakukan pengujian. Hanya area lapisan piringan katup buang yang akan dianalisa.

Fraktografi Untuk melihat kecenderungan daerah

rompal merupakan kegagalan yang disebabkan oleh fenomena lelah ataupun keausan maka dilakukan pengujian SEM pada permukaan daerah patahan tersebut. Posisi pengambilan sampel seperti ditunjukkan pada Gambar 3, dilakukan pada sebagian permukaan patahan piringan katup buang. Potongan sampel sebelumnya dibersihkan dari kotoran dengan sikat gigi secara hati-hati untuk menjaga keutuhan permukaan patahan tersebut. Metalografi Metalografi dilakukan pada potongan melintang tegak lurus permukaan patahan katup buang. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop optik metalografi merk Olympus tipe PME. Sampel dipotong, digerinda dengan kertas amplas kasar dan halus, kemudian dipoles dengan alumina dan dietsa. Larutan etsa yang digunakan adalah larutan Kalling’s [12]

.

Page 16: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Analisa Kerusakan Lapisan…../ Ika Kartika | 123

Uji Kekerasan Pengujian kekerasan dilakukan dengan alat uji keras mikro merk Shimadzu. Pengujian kekerasan ini dilakukan secara mikro pada posisi melintang tegak lurus komponen dengan menggunakan metoda Vickers dengan beban 200 kgf dan waktu pembebanan 30 detik. Pengujian dilakukan mulai dari area lapisan menuju ke area material dasar piringan katup buang seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Area pengujian dilakukan di daerah piringan katup buang yang masih utuh atau jauh dari daerah yang rompal. Permukaan sampel yang akan diuji, dipersiapkan sesuai untuk pengujian metalografi.

Gambar 4. Pengujian kekerasan mikro diawali dari daerah lapisan menuju material dasar piringan katup buang seperti ditunjukkan anak panah EDX

Analisa kualitatif dengan EDX (energy piringan katup buang. Sebelum diobservasi deposit ditaruh di permukaan perekat karbon (carbon tape) yang menempel pada pemegang sampel (stub holder) pada alat SEM-EDX, selanjutnya dilakukan pengujian. Pengujian

didasarkan pada analisis spektrum radiasi sinar-X karakteristik yang dipancarkan dari atom sampel pada iradiasi dengan berkas elektron difokuskan dari SEM. Energi dari sinar-x digolongkan dalam suatu tebaran energi spektrometer dan dapat digunakan untuk identifikasi unsur-unsur dalam sampel secara kualitatif.dispersive x-ray) dilakukan untuk mengetahui kandungan

unsur pada deposit berwarna putih yang menempel di bagian bawah.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Material

Tabel 1 menunjukkan komposisi unsur pada material dasar piringan katup buang. Piringan katup buang setelah dianalisa merupakan baja cor austenitik paduan Cr-Ni-Mn. Paduan ini sesuai untuk material katup dengan fungsi unsur Mn untuk menahan aus dan meningkatkan ketahanan korosi, sedangkan penambahan Cr untuk meningkatkan kekuatan pada temperatur tinggi dan ketahanan korosi. Komposisi paduan material dasar piringan katup buang sesuai dengan standar JIS G 5122 dalam kelas SCH 17. Komposisi unsur dalam standar tersebut adalah C=0,2%-0,5%; Si= maks 2%; Mn= maks 3%; Ni= 8%-11%; Cr= 26%-30%; Mo=0,5% [13]

.

Tabel 1. Komposisi unsur dari material dasar piringan katup buang

Unsur C Si P Mn Ni Cr Mo Fe

Kadar (%

Berat)

0,33

0,72

0,02

2,75

8,57

28,34

0,18

Bal.

Tabel 2 menunjukkan komposisi unsur secara kualitatif dari lapisan piringan katup buang. Hasil komposisi kimia pada lapisan piringan katup buang adalah material tahan aus berbasis kobalt dengan merk dagang ST1 (Stellite) [2]. Tingginya kadar karbon, krom dan tungsten pada ST1 akan membentuk partikel-partikel karbida yang keras seperti karbida krom (M7C3) dan karbida tungsten (M6

C).

Tabel 2. Komposisi unsur dari lapisan piringan katup buang

Unsur C Cr Mn Fe W Co

Kadar (%

Berat)

2,67

30,31

0,94

8,6

10,46

Bal.

MMAATTEERRIIAALL DDAASSAARR

Page 17: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

124 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 119-128

Gambar 5 menunjukkan perbedaan kekerasan yang cukup signifikan antara lapisan kobalt dan material dasar piringan katup buang. Tingginya kekerasan pada daerah lapisan menunjukkan adanya karbida chrom M7C3 dan karbida tungsten M6C pada lapisan tersebut.

Gambar 5. Kekerasan pada lapisan dan material dasar piringan katup buang

Gambar 6a menunjukkan struktur mikro di area antara lapisan dan material dasar piringan katup buang. Teramati pada gambar 6a, batas butir pada material dasar piringan katup buang sudah terkorosi. Oksida-oksida yang dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna teramati sudah merambat sepanjang batas butir di dasar piringan katup buang. Gambar 6b menunjukkan struktur mikro lapisan piringan katup buang yang mengilustrasikan adanya presipitasi karbida M7C3 dan M6

C yang didukung dengan kekerasan yang tinggi (Gb.5).

Fraktografi Hasil fraktografi dengan SEM pada

permukaan patahan di area lapisan piringan katup buang ditunjukkan pada Gambar 7-10. Gambar 7 menunjukkan fraktografi permukaan patahan yang akan diamati. Penandaan pada Gambar 7 bertujuan untuk membedakan jenis material pada area patahan dari lapisan piringan katup buang. Garis putih menandakan area patahan yang masih mengandung material pelapis berupa paduan berbasis kobalt, sedangkan area diluar garis tersebut adalah material

dasar dari piringan katup buang yaitu baja cor paduan Cr-Ni-Mn tahan temperatur tinggi (Gambar 7). Sebagai tambahan, pengamatan fraktografi pada area material dasar dan lapisan piringan katup buang menunjukkan adanya beberapa tahapan penjalaran retak (crack propagation) yang dapat dikategorikan sebagai patah lelah (fatigue). Akan tetapi ciri-ciri lain dari patah lelah seperti inisiasi retakan sudah terdegradasi oleh partikel-partikel abrasif.

Gambar 8a menunjukkan perbesaran area patahan material dasar piringan katup buang (posisi 1-Gb. 7) dengan ciri adanya alur-alur retakan. Retakan pada material dasar lebih banyak teramati terjadi di dekat area yang masih mengandung lapisan kobalt. Alur-alur retakan dan adanya retakan mikro sepanjang batas butir (Gb. 8c) diperkirakan terjadi karena sisa-sisa lapisan kobalt pada permukaan material dasar menjadi partikel sangat keras yang menumbuk permukaan material dasar saat katup buang terangkat dan kontak dengan dudukan katup. Porositas juga ditemukan pada permukaan patahan dari material dasar piringan katup buang (Gb. 8b). Selain itu, seperti ditunjukkan dengan jelas pada Gambar 8c, permukaan patahan telah mengalami abrasi atau seperti terkikis oleh partikel keras dan halus.

(a)

material dasar

lapisan

Page 18: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Analisa Kerusakan Lapisan…../ Ika Kartika | 125

(b)

Gambar 6. Struktur mikro piringan katup buang pada area; (a) lapisan dan material dasar, (b) lapisan berupa paduan tahan aus berbasis cobalt. Etsa larutan Kalling’s

Gambar 7. Fraktografi hasil SEM pada piringan katup buang disebagian permukaan area rompal (sesuai Gb. 8a)

(a)

(b)

(c)

Gambar 8. Fraktografi hasil SEM material dasar piringan katup buang; (a) Perbesaran Gb.7 (area-1), (b) Perbesaran dari area yang ditandai pada (a), dan (c) Perbesaran dari area (b)

Gambar 9(a) menunjukkan perbesaran

area patahan lapisan piringan katup buang (area 2-Gb.7) dengan SEM. Jenis patahan pada lapisan ini (Gb. 9a) menunjukkan karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan jenis patahan pada material dasar piringan katup buang (Gb. 8a). Fraktografi patahan pada Gambar 9 mencirikan retakan terjadi sepanjang batas butir (intergranular cracking). Selain itu, ukuran butir pada lapisan tersebut sangat halus (fine grain) dengan ukuran kira-kira 8µm (Gb. 9b). Ini menunjukkan material lapisan piringan katup buang pada awalnya berupa serbuk logam. Fenomena lain yang terjadi pada lapisan tersebut seperti ditunjukkan pada Gambar 10(a) adalah adanya keausan (sliding) pada permukaan patahan.

(a)

11 LLAAPPIISSAANN CCOOBBAALLTT ((LLCC))

BBAASSEE MMAATTEERRIIAALL

LLCC

22

33

AARRAAHH PPEENNGGIIKKIISSAANN

PPOORROOSSIITTAASS

RREETTAAKK MMIIKKRROO

AARRAAHH PPEENNGGIIKKIISSAANN

Page 19: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

126 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 119-128

(b)

Gambar 9. Fraktografi hasil SEM pada lapisan piringan katup buang; (a) perbesaran pada gambar. 7 (area 2), dan (b) perbesaran area (a)

(a)

Gambar 10. Fraktografi hasil SEM pada lapisan piringan katup buang ; (a) perbesaran area 3-Gb.7, dan (b) perbesaran area (a)

Sliding pada permukaan patahan

lapisan kobalt menunjukkan adanya fenomena sliding wear [2]

Gambar 11 dan Tabel 3 menunjukkan lokasi dan kandungan unsur hasil pengujian EDX dari deposit yang menempel pada material dasar piringan katup buang.

. Fenomena sliding wear pada paduan kobalt dalam penelitian ini terjadi karena beberapa mekanisme seperti adanya gabungan antara tegangan kontak yang tinggi dan lapisan oksida di area pertemuan katup

buang dan dudukan katup. Kondisi di atas dapat memicu terjadinya pengelasan dingin (cold welding) di permukaan area kontak atau adanya perpindahan patahan-patahan kecil logam yang langsung terlepas akibat kontak kedua permukaan. Patahan-patahan kecil logam tersebut akan berpindah-pindah dari satu permukaan ke permukaan lain dan menyebabkan deformasi pada permukaan lapisan katup buang. Mekanisme lain terjadinya fenomena sliding wear pada lapisan katup buang adalah ketika temperatur permukaan katup buang meningkat akibat lingkungan sekitar atau tingginya faktor gesekan. Oksida akan tumbuh di permukaan dengan cepat seiring bertambahnya temperatur, oksida ini dikenal dengan istilah oksida kaca (oxide glazes). Oksida kaca ini sangat halus, mudah berpindah, terbentuk dari kotoran-kotoran oksida (oxide debris). Pada kondisi kasus kerusakan katup buang pada penelitian ini, oksida karbon dan sulfida menempel pada permukaan area kontak dan menjadi sangat abrasif. Mekanisme lain yang mencirikan terjadinya fenomena sliding wear pada penelitian ini adalah patah lelah (fatigue).

Gambar 11. Pengujian EDX dari deposit yang menempel pada bagian bawah piringan katup buang dilakukan pada lokasi 1 dan 2

AARRAAHH PPEENNGGIIKKIISSAANN

1

2

SSLLIIDDIINNGG

Page 20: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Analisa Kerusakan Lapisan…../ Ika Kartika | 127

Unsur kalsium pada kandungan deposit (Tabel 3) dihasilkan dari oli atau pelumas yang berfungsi untuk menurunkan titik cair dari garam-garam oksida hasil pembakaran. Unsur- unsur lain pemicu terjadinya lapisan oksida adalah C, O dan P dan bersifat korosif. Gambar 12 menunjukkan hasil SEM pada area antara lapisan dan material dasar piringan katup buang. Gambar 12b memperlihatkan adanya kerusakan pada batas butir akibat adanya lapisan oksida di bagian bawah material dasar piringan katup buang. Lapisan oksida tersebut terlihat telah berdifusi secara mikro sepanjang batas butir seperti terlihat jelas dalam Gambar 12c. Peristiwa tersebut mengakibatkan korosi sepanjang batas butir dan butiran lambat laun akan rontok dan terjadi kerusakan pada dasar piringan katup buang. Tabel 3. Kandungan unsur pada deposit di bagian dasar piringan katup buang

UNSUR

MASS (%) LOKASI 1 LOKASI 2

C 56,20 45,78 O 14,69 18,07 P 7,25 9,97

Ca 10,70 18,66 Zn 11,16 7,51

(a)

(b)

(c)

Gambar 12. (a) Hasil SEM antara area lapisan dan material dasar piringan katup buang, (b) Perbesaran area (a), (c) Korosi sepanjang batas butir pada material dasar. Etsa larutan Kalling’s

KESIMPULAN

Kerusakan pada piringan katup buang adalah keausan atau dikenal dengan fenomena sliding wear. Kronologis kerusakan pada lapisan piringan katup buang terjadi dengan tahapan sebagai berikut : 1. Adanya lapisan oksida atau kotoran

(oxide debris) yang diduga dihasilkan dari bahan bakar atau sisa pembakaran yang tidak sempurna, dipicu oleh peningkatan temperatur saat proses pembakaran yang akan menghasilkan partikel-partikel oksida yang halus dan keras (oxide glazes).

2. Ketika lapisan piringan katup buang terangkat dan bergesekan dengan dudukan katup, partikel-partikel oxide glazes tersebut menimbulkan tegangan kontak yang tinggi dan

Page 21: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

128 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 119-128

menjadi sangat abrasif terhadap permukaan material kontak.

3. Kondisi di atas terjadi secara periodik dan berulang sehingga mengakibatkan adanya siklus tegangan. Oleh karenanya area dari lapisan yang sudah tidak mampu lagi menahan beban mengalami rompal karena patah lelah, yang dimulai dari proses pertumbuhan dan penjalaran retak pada kedalaman tertentu.

DAFTAR PUSTAKA [1] Larry Carley. 2005 “Valve Selection:

Hot Valve Materials for Hot Engine”,(http://www.enginebuildermag.com, diakses 21 Juni 2011).

[2] ASM Handbook : 2. 1990. Properties and Selection: Nonferrous Alloys and Special-Purpose Materials, USA.

[3] Y.H. Xiang, B.S. Xu, Y.H. Lv, D Xia. 2008. ,,Technical Study of Exhaust Valve Overlaying Based on Micro Plasma Arc Welding”, Key Engineering Materials: 373-374, 330-333, Switzerland.

[4] M. Zhong, W. Liu, K. Yao, J.C. Goussain, C. Mayer an A. Becker. 2002. ,,Microstructural Evolution in High Power Laser Cladding of Stellite 6+WC layers”, Surface and Coatings Technology : 157, 128-137, Amsterdam.

[5] Y.Yang. 1999. ,,Microstructure and Properties of Laser Clad High Temperature Wear Resistant Alloy”, Applied Surface Science : 140, 19-23, North Holland.

[6] Y. Yang, H.C. Man. 2000. ,, Microstructure Evolution of Laser Clad Layers of W-C-Co Alloy Powders”, Surface and Coatings Technology : 132, 130-136, Amsterdam.

[7] A.S.C. d’Oliveira, R. Vilar and C. G. Feder. 2002. ,,High Temperature Behavior Transferred Arc and Laser Co-based Alloy Coatings”, Applied Surface Science : 201, 154-160, North Holland.

[8] Cara Kerja Mesin Diesel, (http://nanozr.co.id/article/cara-kerja-mesin-diesel, diakses 20 November 2010).

[9] Nurten Vardar, Ahmet Ekerim. 2010. ,,Investigation of Exhaust Valve Failure in Heavy Duty Diesel Engine”, Gazi University Journal of Science: 23 (4), 493-499, Turkey.

[10] Ravindra Prasad, N.K. Samria. 1989. ,,Heat Transfer and Stress Fields in the Inlet and Exhaust Valve of a Semi Adiabatic Diesel Engine”, Journal Computers and Structures : 34 (5),765-777, Great Britain.

[11] Nanda, S.K., Roskilly A.P. 2003. ,,Exhaust Valve Failure under Residual Fuel Operations”, Journal of Marine Design and Operations : 23-28 University of Newcastle Upon Tyne.

[12] ASM Handbook : 9. 1985. Metallography and Microstructure, USA.

[13] JIS Handbook. 2004. Heat Treatment, Japanese Standard Association.

RIWAYAT PENULIS Ika Kartika, lahir di Bandung. Menamatkan S1 di Jurusan Teknik Metalurgi UNJANI Bandung tahun 1996. Menamatkan S2 di Jurusan Teknik Material ITB pada tahun 2006 dan S3 di Jurusan Material Processing, Institute for Materials Research, Tohoku University, Sendai, Japan lulus pada tahun 2010. Bekerja sebagai Peneliti di Puslit Metalurgi-LIPI sejak Maret 1998.

Page 22: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

PERILAKU OKSIDASI BAJA TAHAN KARAT FERITIK Fe-Cr-Mo SELAMA PROSES ANILING PADA TEMPERATUR 1200°C

Fatayalkadri Citrawati dan Bambang Sriyono

Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI Kawasan PUSPIPTEK Cisauk, Tangerang Selatan

E-mail: [email protected]

Intisari

Salah satu proses fabrikasi baja tahan karat austenitik bebas Ni, melibatkan proses aniling temperature tinggi dengan atmosfer nitrogen, namun pembentukan senyawa oksida selama proses berlangsung pada permukaan baja tahan karat feritik Fe-Cr-Mo dapat menghambat proses difusi nitrogen ke dalam logam. Untuk baja tahan karat feritik, senyawa oksida yang dominan terbentuk adalah senyawa Cr2O3. Senyawa ini dapat terbentuk pada temperatur tinggi dengan keberadaan oksigen pada tekanan tertentu. Perilaku pembentukan senyawa oksida kromium ini mengikuti grafik parabolik. Pada percobaan ini, ketebalan rata-rata maksimum yang dibentuk oleh senyawa-senyawa oksida pada Baja A (27% berat Cr) dicapai pada lama waktu proses 24 jam, selanjutnya ketebalannya menurun seiring dengan semakin lamanya waktu proses, perilaku ini juga terjadi pada Baja B (21% berat Cr). Perbedaan signifikan dari kedua baja ini terletak pada ketebalan lapisan oksida yang terbentuk, pada waktu proses selama 8 jam, Baja A memiliki ketebalan lapisan oksida lebih tinggi, semakin lama waktu proses dialami oleh kedua baja, Baja B memiliki ketebalan lapisan oksida yang lebih tinggi, yaitu untuk waktu proses 12 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam. Kemungkinan hal ini disebabkan karena pada Baja A, kandungan Cr yang lebih tinggi jika berinteraksi dengan oksigen untuk waktu yang lebih lama, lebih banyak yang bereaksi membentuk CrO3

gas atau gas-gas senyawa oksida kromium lainnya.

Kata Kunci : Baja tahan karat feritik, Oksidasi, Aniling, Temperatur tinggi, Perlakuan panas

Abstract

One of Ni free austenitic stainless steel fabrication methods involves high temperature annealing process in nitrogen atmosphere, however the formation of oxide compound during the process on ferritic stainless steel Fe-Cr-Mo surface is able to prevent nitrogen to diffuse into the steel. For ferritic stainless steel, the most dominant oxide compound form is Cr2O3. This compound is able to form at high temperature along with the presence of oxygen at certain level of pressure. The behaviour of this oxide compound follows parabolic law. In this experiment, the maximum average thickness formed by the oxide compounds on Steel A (27 w%t Cr) was achieved when the steel processed for 24 hours, afterwards the thickness decrease as the process time increase, this behaviour also found in Steel B (21 wt% Cr). The significant difference between these steels laid on their oxide thickness, during 8 hours process, Steel A oxide thickness is higher than that of Steel B, the longer the process hour applied to both steels, Steel B has higher oxide thickness than Steel A, this is for 12 hours, 24 hours, 48 hours and 72 hours processing time. This might happened due to the formation of volatile species in Steel A during longer processing time, such as CrO3

gas or other volatile oxide compounds of chromium.

Keywords : Ferritic stainless steel, Oxidation, Annealing, High temperature, Heat treatment PENDAHULUAN

Keberadaan unsur nitrogen di dalam baja tahan karat austenitik memberikan pengaruh pada peningkatan kekuatan material melalui mekanisme penguatan larutan padat (solid solution strengthening), penguatan ukuran butiran,

peningkatan ketahanan aus dan kekuatan lelah [1-2]. Selain itu nitrogen juga merupakan unsur penstabil fasa austenite seperti halnya nikel. Untuk mengurangi bahkan menghilangkan kandungan unsur nikel yang secara ekonomis menjadi semakin langka dan mahal [3], dapat dilakukan melalui proses aniling

Page 23: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

130 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 129-138

temperature tinggi dengan atmosfer nitrogen dengan material dasar baja tahan karat feritik. Pada proses absorbsi nitrogen suhu tinggi, timbulnya oksida di permukaan logam dasar, yaitu baja tahan karat feritik, selama proses absorbsi berlangsung dapat mengakibatkan kerugian. Hal ini disebabkan karena lapisan oksida yang terbentuk dipermukaan logam dasar selama proses absorbsi berlangsung dapat menghalangi proses difusi nitrogen ke dalam logam dasar.

Unsur C Si Mn Ni Cr Mo Zn Fe

Baja A 0,06 0,7 0,3 0,2 27,0 2,0 0,02 Bal

Baja B 0,06 0,5 0,3 0,3 21,0 2,0 0,02 Bal

Pertumbuhan oksida ini dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu komposisi kimia, tekanan parsial oksigen, temperatur dan waktu [4]

. Unsur Cr yang dominan pada baja tahan karat feritik merupakan salah satu unsur yang dapat dengan mudah membentuk senyawa oksida pada temperatur tinggi, bahkan ketika lingkungan proses hanya sedikit sekali mengandung oksigen. Proses dan mekanisme tumbuhnya senyawa-senyawa oksida, salah satunya oksida kromium, ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk memperoleh gambaran kondisi dan parameter proses yang mampu menghambat terbentuknya senyawa-senyawa oksida pada temperatur proses absorbsi nitrogen, yaitu 1200 °C.

PROSEDUR PERCOBAAN Sebelum proses aniling dilakukan, baja tahan karat feritik dipotong terlebih dahulu untuk memperoleh spesimen uji berukuran 30 mm x 20 mm dengan ketebalan sesuai ketebalan plat awal, yaitu 10 mm. Sampel uji yang digunakan pada percobaan kali ini menggunakan dua komposisi kimia yang berbeda, terutama pada kandungan Cr. Baja tahan karat feritik yang memiliki kandungan Cr lebih tinggi yaitu sebesar

27% berat diberi kode sebagai Baja A, sedangkan baja tahan karat feritik yang memiliki kandungan Cr lebih rendah yaitu sebesar 21% berat diberi kode sebagai Baja B. Komposisi kimia dari sampel uji yang digunakan dalam percobaan ini dapat dilihat pada Tabel 1. Spesimen uji ini kemudian mengalami proses penghalusan permukaan (grinding). Selanjutnya, sampel-sampel uji tersebut dimasukkan ke dalam tube furnace bertemperatur 1200 °C dengan menggunakan atmosfer gas nitrogen dengan kemurnian tinggi yang terus dialirkan selama proses aniling berlangsung. Tekanan di dalam tube furnace berada pada kisaran 0,15 Pa. Proses aniling berlangsung selama selang waktu yang berbeda-beda, yaitu 8 jam, 12 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam. Lapisan-lapisan oksida yang mungkin terbentuk setelah proses aniling diamati melalui foto struktur mikro dari masing-masing sampel, XRD dan SEM. Untuk pengamatan struktur mikro sampel terlebih dahulu di mounting kemudian diamplas dengan menggunakan kertas amplas bertahap mulai dari 800 grit hingga mencapai 1200 grit dan dipoles dengan menggunakan alumina hingga 0,1 mikron. Reagen etsa yang digunakan adalah Kalling’s. Selanjutnya struktur mikro sampel, yaitu pada bagian penampang melintangnya, diamati dengan menggunakan mikroskop optik Olympus DP 12. Untuk memperoleh data unsur-unsur yang terkandung di dalam lapisan yang mungkin terbentuk dilakukan pengujian SEM dan EDS terhadap sampel yang telah mengalami proses aniling dengan menggunakan JEOL JSM 6390 A. Senyawa-senyawa oksida yang mungkin terbentuk selama proses aniling diamati juga dengan menggunakan XRD. Pengujian kekerasan sampel uji yang telah mengalami proses aniling dilakukan mulai dari bagian tepi menuju ke bagian dalam. Pengujian ini dilakukan dengan mengunakan Vicker’s Hardness Tester Shimidzu Type M 81287.

Tabel 1. Komposisi kimia Baja Tahan Karat Feritik

Page 24: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Perilaku Oksidasi Baja…../ Fatayalkadri | 131

Gambar 1. Struktur mikro Baja A setelah mengalami proses aniling pada (a) 8 jam (b) 12 jam (c) 24 jam (d) 48 jam dan (e) 72 jam HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Waktu Proses Terhadap Pembentukan Oksida

Dari pengujian struktur mikro yang telah dilakukan (Gambar 1(a) – Gambar 1(e)), pada permukaan Baja A yang telah mengalami proses aniling selama selang waktu penahanan yang berbeda-beda memperlihatkan adanya lapisan yang memiliki warna dan struktur mikro berbeda jika dibandingkan dengan logam dasarnya, yaitu berwarna putih. Ketebalan rata-rata lapisan putih yang tampak pada foto struktur mikro setelah proses aniling pada waktu penahanan yang berbeda-beda dapat dilihat pada Gambar 2.

Titik awal pengukuran kekerasan pada Baja A maupun Baja B berjarak 50 mikron dari permukaan. Dari grafik pengaluran antara ketebalan rata-rata lapisan putih dengan lamanya proses aniling (Gambar 2), untuk Baja A, lapisan putih rata-rata yang paling tebal adalah sebesar 50 mikron yaitu pada proses aniling selama 8 jam sedangkan lapisan putih rata-rata yang paling tipis adalah sebesar 9 mikron yaitu pada proses aniling selama 72 jam. Grafik kekerasan untuk proses aniling selama 8 jam (Gambar 3) menunjukkan perbedaan nilai kekerasan antara titik awal pengujian, yaitu sebesar 226,1 VHN dengan titik

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Page 25: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

132 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 129-138

akhir pengujian, yaitu sebesaar 175,3. Hal ini disebabkan karena titik pertama pengujian kekerasan berada pada daerah lapisan putih sedangkan titik akhir pengujian adalah daerah tengah logam dasar. Grafik kekerasan lain, yaitu untuk proses aniling selama 12 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam, titik awal pengujiannya tidak berada pada lapisan putih, sehingga nilai kekerasannya berada pada kisaran 207,3 VHN – 183,2 VHN, lebih rendah dari nilai kekerasan titik awal sampel uji yang telah mengalami proses aniling selama 8 jam.

Gambar 2. Grafik yang menggambarkan hubungan antara lamanya proses aniling dengan ketebalan rata-rata lapisan putih yang terbentuk dipermukaan Baja A dan Baja B

Gambar 3. Grafik pengaluran antara nilai kekerasan dan jarak dari permukaan Baja A

Adanya variasi nilai kekerasan dari keempat sampel terakhir dimungkinkan karena adanya variasi distribusi unsur pada area 50 mikron dari permukaan sampel,

seperti terlihat pada hasil pengujian EDS (Gambar 4). Hasil pengujian kekerasan diatas jarak 50 mikron hingga 5000 mikron menunjukkan pola yang sama untuk kelima sampel uji. Nilai kekerasannya memiliki kecenderungan untuk naik hingga jarak kurang dari 1000 mikron kemudian turun pada jarak 5000 mikron. Walaupun pada jarak 1000 mikron tidak ada lapisan putih yang terbentuk, kemungkinan daerah ini masih terkena pengaruh difusi dari unsur-unsur yang terkandung di dalamnya ke arah permukaan spesimen.

(a)

(b)

Page 26: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Perilaku Oksidasi Baja…../ Fatayalkadri | 133

Gambar 4. Grafik pengaluran antara besarnya kandungan unsur dengan jarak dari permukaan Baja A, setelah proes aniling selama (a) 8 jam (b) 12 jam (c) 24 jam (d) 48 jam (e) 72 jam

Banyak sedikitnya unsur yang terdifusi ke arah permukaan sampel memiliki kaitan dengan lamanya proses aniling yang dialami oleh sampel dan koefisien difusi masing-masing unsur. Semakin lama waktu proses aniling yang dialami oleh sampel, unsur-unsur yang berdifusi ke arah permukaan semakin banyak. Sedangkan

banyak sedikitnya kandungan masing-masing unsur di permukaan ditentukan oleh kecepatan difusi dari unsur itu sendiri. Adanya perbedaan komposisi unsur inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai kekerasan.

Terbentuknya senyawa-senyawa oksida pada sistem paduan Fe-Cr-O dapat di prediksi melalui diagram potensial kimia antara tekanan parsial oksigen dengan fraksi mol dari kromium pada temperatur tertentu. Oksida-oksida stabil yang mungkin terbentuk pada temperatur 800 °C dan 1000 °C antara lain adalah corundum [(Fe,Cr)2O3], spinel yang kaya dengan Fe [(Fe, Cr)3O4] dan halite [FeO] [4]

.

Gambar 5. Pola difraksi Baja A untuk lama waktu proses aniling yang berbeda-beda

Berdasarkan perhitungan diagram potensial kimia pada temperatur 1000 °C pada sistem paduan Fe-Cr dengan kandungan Cr 27 % berat, pada tekanan parsial oksigen diatas 1 atm hingga dibawah 10-20 atm, oksida yang terbentuk berturut-turut dari lapisan teratas oksida ke permukaan logam dasar adalah Fe2O3

(c)

,

(d)

(e)

Page 27: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

134 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 129-138

(Fe,Cr)3O4, FeO, FeCr2O4, Cr2O3 [4]

Pada proses aniling 1200 °C, senyawa-senyawa oksida yang terbentuk di permukaan Baja A, dari hasil analisa pola difraksi (Gambar 5) adalah Cr

. Perbedaan temperatur yang digunakan akan mempengaruhi daerah kestabilan masing-masing senyawa oksida yang telah tebrentuk.

2O3, Mn3O4 dan Fe3O4

Kedalaman penetrasi oksigen ke dalam Baja A semakin meningkat dan mencapai nilai maksimum pada sampel uji dengan lama waktu aniling 24 jam, yaitu sebesar 23 mikron, selanjutnya dengan semakin bertambahnya waktu aniling, kedalaman penetrasi oksigen semakin berkurang yaitu sebesar 11 mikron untuk sampel uji dengan lama waktu aniling 72 jam. Senyawa oksida yang dominan terbentuk adalah Cr

. Senyawa-senyawa ini tidak membentuk keseluruhan lapisan putih, tetapi hanya beberapa mikron di permukaan logam dasar (Gambar 4), sedangkan sisanya merupakan persenyawaan antara Fe, Cr dan Mo. Pada Baja A, daerah yang masih mengandung oksigen bervariasi, bergantung kepada lamanya waktu aniling yang dialami oleh sampel uji. Pada sampel uji dengan lama waktu aniling 8 jam, oksigen masih terdeteksi pada kedalaman 3 mikron.

2O3, mengingat unsur Cr pada Baja A mencapai 27 %berat. Pertumbuhan oksida kromium ini mengikuti hukum parabolik. Cr2O3 yang terbentuk semakin lama akan terdisosiasi menjadi senyawa-senyawa gas seperti CrO3

Dari pengaluran diagram Ellingham, pada temperatur 1200 °C, tekanan oksigen pada saat Cr dan Cr

, sehingga akhirnya ketebalan oksida menjadi berkurang.

2O3 sama-sama terbentuk berada pada selang 10-16 – 10-18

atm.

Pengaruh Perbedaan Kandungan Unsur Cr Terhadap Pembentukan Oksida

Dari foto struktur mikro Baja B (Gambar 6), lapisan putih juga terbentuk pada kandungan Cr yang lebih rendah, 21

% berat. Ketebalan lapisan putih ini mengalami kenaikan dari lama proses aniling 8 jam menuju ke 24 jam (Gambar 2), dimana ketebalan lapisan putih mencapai nilai maksimumnya. Selanjutnya seiring dengan bertambahnya waktu proses aniling, ketebalan lapisan putih menjadi berkurang. Jika dibandingkan dengan Baja A yang memiliki kandungan Cr lebih tinggi, pada waktu proses terendah, yaitu 8 jam, lapisan putih yang terbentuk pada Baja B dengan kandungan Cr yang lebih rendah, memiliki ketebalan lapisan yang lebih tipis dibandingkan dengan Baja A (Gambar 2). Semakin bertambahnya waktu proses, lapisan putih pada Baja A menjadi lebih rendah dibandingkan lapisan pada Baja B. Hal ini dimungkinkan karena sistem pemanasan yang tidak vakum, memungkinkan masuknya oksigen ke dalam tube furnace, oksigen ini terus bereaksi dengan lapisan oksida yang terbentuk di permukaan baja dan membentuk senyawa-senyawa gas oksida kromium.

Baja A yang memiliki kandungan Cr lebih tinggi, lapisan oksidanya lebih reaktif terhadap oksigen, sehingga ketika proses aniling dihentikan lapisan oksida yang tersisa lebih sedikit dibandingkan dengan Baja B.

Pada Baja B, karena lapisan putih yang terbentuk pada keseluruhan proses tidak mencapai 50 mikron, hasil pengujian kekerasan yang diperoleh belum menggambarkan tingkat kekerasan lapisan putih, tetapi dapat memberikan gambaran daerah yang terpengaruh oleh proses difusi unsur-unsur yang telah mengalami proses pemanasan hingga 72 jam.

Hasil pengujian kekerasan sampel uji pada masing-masing sampel uji Baja B (Gambar 7) menunjukkan pada daerah 50 mikron kekerasan tertinggi dicapai oleh sampel yang telah diproses selama 24 jam, sedangkan kekerasan terendah dicapai oleh sampel yang telah diproses selama 72 jam.

Page 28: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Perilaku Oksidasi Baja…../ Fatayalkadri | 135

Gambar 6. Struktur mikro Baja B setelah mengalami proses aniling pada (a) 8 jam (b) 12 jam (c) 24 jam (d) 48 jam dan (e) 72 jam

Selanjutnya, pada sampel uji 8 jam, semakin ke dalam, tingkat kekerasannya memiliki kecenderungan menurun dan pada jarak 1000 mikron dari permukaan Baja B, nilainya tidak jauh berbeda dengan daerah yang memiliki jarak 5000 mikron dari permukaan. Kecenderungan nilai kekerasan ini juga berlaku untuk sampel dengan lama waktu proses 12 jam dan 24 jam.

Pada sampel uji dengan lama waktu proses 48 jam dan 72 jam, perilaku nilai kekerasan ini berlaku sebaliknya, nilai kekerasannya memiliki kecenderungan naik dari jarak 50 mikron hingga 1000 mikron. Selanjutnya pada jarak 5000 mikron, untuk sampel uji yang telah mengalami proses 48 jam, nilai kekerasannya lebih rendah dibandingkan nilai kekerasan pada jarak 1000 mikron, sedangkan untuk sampel uji yang telah mengalami proses selama 72 jam, nilai kekerasan pada jarak 5000 mikron lebih tinggi dibandingkan nilai kekerasan pada jarak 1000 mikron.

Jika dilihat pada daerah dengan jarak 1000 mikron dari permukaan, untuk Baja A dan Baja B, seluruh spesimen uji pada Baja B memiliki selang nilai kekerasan 175 VHN – 195 VHN, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan nilai kekerasan pada Baja A, yang berada pada selang kekerasan 175 VHN – 215 VHN. Perbedaan nilai kekerasan ini disebabkan karena adanya perbedaan banyak dan jenis

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Page 29: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

136 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 129-138

unsur yang berdifusi ke arah permukaan sampel uji.

Gambar 7. Grafik pengaluran antara nilai kekerasan dan jarak dari permukaan Baja B

Dari hasil pengujian EDS Baja A dan Baja B untuk spesimen uji dengan lama waktu proses 8 jam (Gambar 4(a) dan Gambar 8(a)), distribusi unsur Cr di permukaan sampel, untuk Baja A, kandungan Cr dari permukaan sampel meningkat hingga kedalaman 3,5 mikron dari permukaan sampel, yaitu mencapai 75 % massa selanjutnya kandungan Cr ini menurun cukup signifikan hingga mencapai 15 % massa pada kedalaman 5 mikron hingga 16 mikron.

Gambar 8. Grafik pengaluran antara besarnya kandungan unsur dengan jarak dari permukaan Baja B, setelah proes aniling selama (a) 8 jam (b) 12 jam (c) 24 jam (d) 48 jam (e) 72 jam

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Page 30: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Perilaku Oksidasi Baja…../ Fatayalkadri | 137

Pada Baja B, kandungan unsur Cr dari permukaan sampel meningkat hingga kedalaman 6 mikron, sebesar 40 % massa, selanjutnya semakin jauh dari permukaan sampel uji, kandungan unsur Cr menurun menjadi 15 % massa. Kandungan unsur Cr pada daerah dekat permukaan sampel uji pada Baja A dan B menunjukkan adanya perbedaan. Jarak kedalaman dari permukaan yang masih mengandung unsur Cr yang tinggi juga berbeda. Pada Baja A, yang memiliki kandungan unsur Cr lebih banyak, dengan waktu proses yang sama dengan Baja B, unsur Cr yang berdifusi ke permukaan sampel uji menjadi lebih banyak.

Selain dari koefisien difusi masing-masing unsur, adanya unsur lain dalam logam dapat menjadi agen pembantu atau malah sebaliknya agen penghambat dari proses difusi yang sedang terjadi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan distribusi unsur di dalam Baja A dan Baja B.

Dari hasil pengujian XRD pada seluruh sampel uji Baja B (Gambar 9), jenis senyawa oksida yang terbentuk pada permukaan sampel uji menunjukkan adanya penurunan jumlah senyawa oksida. Pada saat sampel uji mengalami proses aniling selama 8 jam, senyawa-senyawa oksida yang dominan terbentuk adalah Cr2O3 dan Mn3O4. Pada proses aniling selama 12 jam, kedua senyawa ini terbentuk kembali ditambah dengan senyawa Fe3O4. Selanjutnya, pada proses aniling selama 24 jam, senyawa oksida yang terbentuk berkurang menjadi Mn3O4 dan Fe3O4. Pada spesimen uji yang mengalami proses aniling selama 48 jam, senyawa oksida yang terbentuk menjadi hanya Fe2O3, dan pada proses aniling selama 72 jam, senyawa yang terbentuk hanya Mn3O4

. Ketiadaan senyawa oksida Cr pada sampel uji 72 jam ini, dimungkinkan karena kandungan Cr yang terdeteksi dari hasil pengujian EDS (Gambar 8(e)) mulai dari permukaan sampel uji hingga kedalaman 12 mikron

menunjukkan kandungan dibawah 5 % massa.

Gambar 9. Pola difraksi Baja B untuk lama waktu proses aniling yang berbeda-beda

Sedangkan pada Baja A, untuk sampel uji yang mengalami aniling selama 72 jam, pada permukaannya masih terbentuk senyawa kromium oksida pada pola difraksinya (Gambar 5), hal ini berkaitan juga dengan hasil pengujian EDS pada sampel uji tersebut (Gambar 4(e)), kandungan Cr yang terdeteksi di permukaan sampel uji masih sebesar 25 % massa dan mencapai nilai kandungan terendahnya pada 15 % massa, yaitu pada kedalaman 8,5 mikron.

Adanya perbedaan kandungan Cr untuk waktu proses aniling yang cukup lama, yaitu 72 jam, menunjukkan perbedaan yang cukup siginifikan akan senyawa-senyawa oksida yang terbentuk pada kedua permukaan baja.

Page 31: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

138 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 129-138

KESIMPULAN

Senyawa oksida kromium, yang merupakan senyawa oksida yang dominan pada baja tahan karat feritik Fe-Cr-Mo, pada temperatur proses aniling, 1200°C, tetap dapat dengan mudah terbentuk bahkan dengan sedikit adanya oksigen yang berada pada atmosfer gas selama proses berlangsung. Tumbuhnya senyawa oksida ini akan bergantung dari lamanya waktu proses pemanasan dan kandungan unsur-unsur pada logam yang mengalami proses aniling dalam hal ini Cr dan Mo. Pertumbuhannya mengikuti hukum parabolik, dimana semakin lama waktu proses, oksida yang terbentuk akan mencapai nilai optimum pada waktu tertentu dan akhirnya akan menurun kembali. Perbedaan kandungan Cr memberikan pengaruh selain kepada banyaknya senyawa oksida Cr yang terbentuk dipermukaan sampel uji juga pada senyawa oksida lain atau senyawa Cr lain apa saja yang dapat terbentuk di permukaan, seperti misalnya oksida corundum dan spinel yang merupakan persenyawaan antara Fe, Cr dan O, yang pada akhirnya dapat memberikan perbedaan pada sifat mekanis material, salah satunya adalah kekerasannya. DAFTAR PUSTAKA [1] Simmons, J.W. 1996. ,,Overview :

High-Nitrogen Alloying of Stainless Steels”. Materials Science and Engineering A : 159-169.

[2] Lo, K.H., et. al. 2009. ,,Recent Development in Stainless Steels”. Materials Science and Engineering R : 1-66.

[3] Speidel, M.O. 2006. ,,Nitrogen Containing Austenitic Stianless Steel”. Mat-wiss. u. Werkstoiftech : 875 – 880.

[4] Dheeradhada, Voramon S., et. al. 2011. ,,Oxidation of Ferritic Stainless Steel Interconnects : Thermodynamic and Kinetic Assessment”. Journal of Power Source : 1975-1982.

[5] Birks, N., et. al. 1983. Introduction to High Temperature Oxidation of Metals. London : Edward Arnold (Punlishers) Ltd.

[6] Gupta, Chiranjib Kumar. 2003. Chemical Metallurgy. Principles and Practice. Weinheim : Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA.

[7]

[8] Jacob, Y.P. et. al. 2002. ,,The Effect of Gas Composition on The Isothermal Oxidation Behaviour of PM Chromium”. Corrosion Science : 2027 – 2039.

Barshillia, Harish C. et. al. 2008. ,,Growth and Characterization of Chromium Oxide Coatings prepared by Pulse-Direct Current Reactive Unbalanced Magnetron Sputtering”. Applied Surface Science : 2925 – 2931.

[9] Illieva, L.I. et. al. 1995. ,,Investivigation on The Chromium Oxide System by Means of Temperature-Programmed Reduction”. Thermocimica Acta : 223 – 231.

RIWAYAT PENULIS Fatayalkadri Citrawati, lahir di Yogyakarta, 6 Agustus 1980. Lulus Program Studi Metalurgi, Teknik Pertambangan ITB 2002. Bekerja di Puslit Metalurgi – LIPI Serpong sejak tahun 2003 sampai sekarang.

Page 32: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

PEMBENTUKAN FASA INTERMETALIK Nb3PADA PROSES PEMBUATAN KAWAT SUPERKONDUKTOR

DENGAN METODE INTERNAL TIN

Sn

Pius Sebleku

Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314

E-mail: [email protected] Intisari

Kualitas kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn utamanya diukur dari nilai rapat arus (Jc) yang dihasilkan. Semakin banyak senyawa Nb3Sn yang terbentuk, maka Jc semakin tinggi. Studi penelitian ini berangkat dari permasalahan optimalisasi pembentukan senyawa superkonduktif Nb3Sn, yang sejauh ini diantisipasi dengan cara memperbanyak jumlah monofilamen di dalam kawat. Akan tetapi hal ini berpotensi langsung pada peningkatan biaya produksi. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan gambaran tentang evolusi fasa yang terjadi antara Cu, Nb, dan Sn di dalam sistem superkonduktor Cu-Nb-Sn. Hasil ini diharapkan dapat memprediksi intensitas dan kuantitas pembentukan senyawa Nb3

Sn. Prediksi ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mendesain ingot beserta jalur teknik manufaktur kawat superkonduktor yang ingin digunakan, sehingga bisa memangkas biaya produksi. Desain ingot yang dikembangkan dalam studi penelitian ini adalah superkonduktor berbasis Cu,Nb,Sn.

Kata kunci : MRI, NMR, Kawat superkonduktor, Internal tin, Nb-Sn, Cu-Nb-Sn

Abstract

The quality of Cu-Nb-Sn superconductor wire is mainly measured from its current density (Jc). The more

Nb3Sn is formed, the higher Jc is. This research study departs from the problem on Nb3Sn formation, which has been so far anticipated by increasing the number of monofilaments inside the wire. However this situation yields in high production cost. This research activity is aimed to that can depict the phase evolution among Nb, and Sn within the Cu-Nb-Sn superconducting system. The results can be used to predict the intensity as well as quantity of Nb3

Sn formation. Such prediction can be used to decide which ingot design and manufacturing path shall be chosen, therefore the cost of production can be made efficientIn. In this research study, the ingot design with the basis of Cu-Nb-Sn will be developed as supercondctor wire.

Keywords : MRI, NMR, Superconductor wire, Internal tin, Nb-Sn, Cu-Nb-Sn PENDAHULUAN

Superkonduktor Cu-Nb-Sn dikategorikan sebagai Low Temperature Superconductors (LTS) atau superkonduktor suhu rendah. Contoh superkonduktor LTS lainnya adalah Cu-Nb-Ti dan Cu-Nb-Al. Kelompok material ini dikatakan sebagai LTS karena suhu kritis (Tc) kelompok material tersebut lebih rendah dari titik didih (boiling point) nitrogen yaitu T = 77 K (-196 °C). Tc adalah suhu transisi suatu material dari

keadaan normal (memiliki resistivitas listrik = R) ke keadaan superkonduktif (R ≈ 0) . Adapun material dengan Tc > 77 K termasuk dalam kategori High Temperature Superconductors (HTS) [2-3], dan banyak didominasi oleh keramik dan logam tanah jarang seperti contoh grup Yttrium-Barium-Copper-Oxide (YBCO) dengan senyawa spesifik Y1Ba2Cu3O7-δ (Tc = 91 K), dan grup Thalium-Barium-Calcium-Copper-Oxide (TBCCO) dengan senyawa spesifik Tl1Ba2Ca2Cu3O9 (Tc =

Page 33: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

140 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 139-146

122 K) dan Tl2Ba2Ca2Cu3O10

Aplikasi komersial superkonduktor masih banyak menggunakan LTS, berdasarkan pertimbangan kemudahan teknik manufaktur dan relatif rendahnya biaya produksi. Aplikasi LTS yang populer (dalam bentuk kumparan kawat) adalah pada peralatan Nuclear Magnetic Resonance (NMR) spectrometer yang salah satu fungsi utamanya adalah untuk penentuan makrostruktur suatu molekul (Gambar 1), serta pada peralatan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendiagnosa kerusakan/kelainan pada jaringan lunak tubuh manusia (Gambar 2). Gambar 3 menunjukkan hasil diagnosa otak manusia dengan menggunakan MRI.

(Tc = 125 K).

Gambar 1. NMR Spectrometer

Gambar 2. Peralatan MRI

Gambar 3. Hasil pindai (scan) otak manusia dengan MRI

Sifat superkonduktifitas Cu-Nb-Sn berasal dari pembentukan senyawa intermetalik Nb3Sn berstruktur kristal A15 hasil interdifusi suhu tinggi antara Nb dengan Sn. Intermetalik superkonduktif ini pertama kali ditemukan oleh Matthias et al dari Bell Telephone Laboratories, New Jersey USA pada tahun 1954 , untuk kemudian menjadi komersial pada dekade tahun 1960-an dan digunakan pada berbagai bentuk aplikasi sejak tahun 1970-an. Bergantung pada metode manufaktur yang dipergunakan, Sn dapat berasal dari Sn murni (padatan utuh maupun serbuk) atau dari perunggu (paduan Cu-Sn) . Bila Sn berasal dari padatan utuh Sn murni, maka metode manufaktur yang dipergunakan disebut internal tin process atau rod-in-tube (RIT) atau modified jelly roll. Bila Sn berbentuk serbuk, maka metode yang digunakan adalah powder-in-tube (PIT). Sedangkan bila Sn berasal dari paduan Cu-Sn, maka metode manufaktur yang dimaksud adalah proses perunggu atau bronze process. Interdifusi Nb-Sn menjadi Nb3Sn tersebut terjadi saat kawat Cu-Nb-Sn dipanaskan dalam kondisi vakum pada kisaran suhu T = 600 – 900 °C selama t = 24 – 100 jam, setelah proses deformasi kawat secara keseluruhan selesai dilakukan. Hal ini penting, mengingat intermetalik Nb3

Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui terjadinya fasa intermetalik Nb

Sn bersifat rapuh (brittle) sehingga pengerjaan deformasi atau cold working lebih lanjut berpotensi menyebabkan kegagalan mekanis pada kawat, selain pula menurunkan kualitas sifat superkonduktifitas yang dihasilkan.

3Sn pada temperatur 750 °C, t:24 jam dan temperatur 850

°C, t:48 jam.

TEORI DASAR

Kualitas kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn utamanya diukur dari nilai rapat arus (Jc) yang dihasilkan. Jc adalah besar arus listrik (ampere) per luas penampang (mm2) senyawa Nb3Sn yang terbentuk. Ini berarti semakin banyak senyawa Nb3Sn yang

Page 34: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Pembentukan Fasa Intermetalik…../ Pius Sebleku | 141

terbentuk, maka Jc semakin tinggi. Akan tetapi tidak mudah untuk memperkirakan kuantitas senyawa Nb3Sn yang akan terbentuk secara optimal, karena pembentukan senyawa non-superkonduktif lainnya seperti Nb6Sn5 dan NbSn2 dapat terjadi bersamaan dengan terbentuknya Nb3Sn. Hal ini bergantung kepada desain ingot, komposisi awal, jumlah monofilamen, tingkat deformasi kawat, serta suhu dan waktu pemanasan. Berdasarkan diagram fasa Nb-Sn diketahui bahwa selain Nb3Sn, senyawa intermetalik Nb6Sn5 dan NbSn2

Peningkatan sifat superkonduktifitas kawat (Jc, Tc, Bc) merupakan hal yang penting baik secara aplikatif maupun komersial. Peningkatan sifat ini secara langsung berhubungan erat dengan kuantitas dan kehomogenan senyawa intermetalik Nb

juga berpotensi untuk terbentuk melalui mekanisme interdifusi suhu tinggi.

3Sn di sepanjang kawat. Sejauh ini, peningkatan kuantitas Nb3Sn ini dilakukan dengan memperbanyak jumlah monofilamen (sub-elemen) yang berdampak kepada naiknya biaya manufaktur. Kondisi ini perlu disikapi dengan bijak dan cermat. Biasanya cara termudah yang dilakukan untuk meningkatkan pembentukan senyawa Nb3

Fenomena superkonduktivitas pertama kali diamati pada tahun 1912 di Laboratorium Heike Kamerlingh Onnes, Universitas Leiden – Belanda. Saat itu beberapa jenis material secara tiba-tiba kehilangan ketahanan mereka terhadap aliran listrik saat didinginkan (pada suhu yang sangat rendah). Fenomena tersebut tetap menjadi kuriositas sampai tahun 1954, ketika G. B. Yntema dari Universitas Illinois, Chicago – USA dengan sukses membuat magnet superkonduktor pertama di dunia, di mana pada saat itu sifat-sifat magnet biasa masih berada jauh dari sifat-sifat superkonduktor yang diinginkan.

Sn adalah dengan memperbanyak jumlah monofilamen di dalam kawat. Akan tetapi hal ini berdampak langsung pada peningkatan biaya produksi.

Kemajuan riset dan pengembangan superkonduktor setelah itu cukup lambat akibat: 1. Kesulitan dalam menyediakan

kebutuhan suhu yang sangat rendah (cryogenic condition).

2. Kurangnya pengetahuan perihal bagaimana membuat kabel yang stabil dari bahan superkonduktor. Bahan-bahan superkonduktor awal

seperti timbal (Pb), indium (In), dan merkuri (Hg) dikategorikan sebagai superkonduktor tipe I Pada superkonduktor tipe I ini: 1. Fluks magnet (magnetic flux) tidak

dapat mempenetrasi bulk material. Kepadatan arus listrik kritis (critical curent density) terbatas hanya berada pada permukaan material dengan kedalaman sekitar 1/10 mikron (10-7

2. Medan magnet maksimum (maximum magnetic field) yang dapat beroperasi pada jenis superkonduktor ini biasanya kurang dari 0,1 T (0,1 tesla), yang setara dengan kepadatan fluks antara dua kutub dari magnet permanen tapal kuda yang kita kenal.

meter).

Superkonduktor yang siap difabrikasi

menjadi kawat, kumparan dan kabel untuk aplikasi arus listrik tinggi disebut superkonduktor tipe II . Pada superkonduktor tipe II, fluks magnet dapat berpenetrasi material. Contoh superkonduktor tipe II yang populer: a. Nb-Ti (niobium – titanium) Medan magnet maksimum: 13 T

(tesla) Kepadatan arus listrik maksimum: >

1000 Ampere/mm Suhu kritis (critical temperature): 10

K (-263 °C).

2

b. Nb3 Medan magnet maksimum: 27 T

(tesla)

Sn (niobium – timah)

Kepadatan arus listrik maksimum: > 1000 Ampere/mm2

Page 35: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

142 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 139-146

Suhu kritis (critical temperature): 18 K (-255 °C ).

Pada superkonduktor, kendala utama dari fenomena superkonduktivitas tidak hanya pada suhu yang sangat rendah, tetapi juga pada kepadatan arus listrik dan medan magnet yang terbatas. Di sini, nilai maksimum dari suhu (T), kepadatan arus listrik (J), dan kuat medan magnet (B) saling ber-ketergantungan satu sama lain apabila mereka diplot pada sumbu 3-dimensi, seperti terlihat pada Gambar 4. Gambar 5 menunjukkan interdependensi antara kepadatan arus listrik kritis dan medan magnet. Pembuatan Kawat Superkonduktor dengan Proses Perunggu (Bronze Process)

Niobium (Nb) rod pertama dicladding ke dalam paduan perunggu (Cu-Sn) murni untuk membentuk sub-element assembly. Beberapa sub-element assembly kemudian disusun kembali dalam tabung perunggu (Cu-Sn). Kumpulan sub-element assembly dalam perunggu ini kemudian dicladding dengan Nb atau Ta (tantalum), yang berfungsi sebagai penahan proses difusi dari timah di perunggu ke lapisan tembaga di sisi paling luar. Lapisan tembaga (Cu) paling luar berfungsi untuk menghantar panas dan listrik, sehingga harus murni dan tidak boleh terkontaminasi timah dari perunggu di bagian dalam. Material kemudian di-heat treatment pada suhu 650 – 700 °C agar terjadi interdifusi antara Nb dengan Sn (di perunggu) untuk membentuk Nb3Sn (superkonduktor). Bentuk potongan penampang lintang kawat superkonduktor ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Interdependensi dari suhu (T), medan magnet (B), dan kepadatan arus listrik (J)

Gambar 5. Perbandingan kepadatan arus listrik kritis pada suhu 4,2 K (-268,8 °C) dari berbagai jenis Nb-Ti dan Nb3Sn dalam bentuk helaian (strands) dan tapes

[1]

Gambar 6. Skema proses perunggu Pembuatan Kawat Superkonduktor dengan Proses Timah Internal (Internal Sn)

Prinsip: meningkatkan kepadatan arus listrik kritis, dengan meningkatkan kandungan Sn dan membuat Sn terpisah dari Cu selama fabrikasi helaian. Rod Sn dibungkus dengan lembaran selang-seling antara Cu dan Nb (seperti sosis di dalam dadar gulung) untuk membentuk sub-element assembly. Sub-element assembly ini kemudian dicladding dengan Nb atau Ta sebagai penahan proses difusi (diffusion barrier). Kumpulan sub-element assembly yang telah dicladding Nb atau Ta ini kemudian disusun dan dicladding ke dalam tabung Cu murni. Material kemudian di-heat treatment pada suhu 650 – 700 °C

Page 36: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Pembentukan Fasa Intermetalik…../ Pius Sebleku | 143

agar terjadi interdifusi antara Nb dengan Sn (di perunggu) untuk membentuk Nb3

Sn (superkonduktor). Karena kandungan Sn meningkat dan Sn mudah mengalami pengerasan kerja, maka material harus secukupnya dianil. Bentuk potongan penampang lintang kawat superkonduktor ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 7. Skema proses internal Sn

Pada penelitian ini metoda yang digunakan adalah Timah Internal (Internal Tin).

PROSEDUR DAN METODOLOGI

Persiapan bahan yang utama adalah Plate Niobium (Nb) murni dengan ukuran 100 x 200 x 2 mm. Plate Niobium harus diimport karena didalam negri tidak memproduksi logam niobium ini.

Untuk keperluan percobaan bahan plate niobium ini telah diimport dari china, dengan tingkat kemurnian 99,99%. Plate niobium dengan tebal 2 mm diroll sampai mencapai ukuran 0,5 mm. Selanjutnya tabung tembaga harus dianil terlebih dahulu dengan Temperatur: 700

Untuk menghindari terjadinya proses oksidasi pada benda kerja maka Proses heat treatment harus dilakukan pada

kondisi yang sangat vakum. Adapun balok timah dilebur sampai temperatur cair sekitar 300

°C dengan waktu 2 jam. Tujuan dari anil ini adalah untuk mengembalikan kondisi tembaga dalam keadaan semula. Setelah itu lembaran niobium yang sudah diroll dipotong dan dimasukkan kedalam tabung tembaga dengan diameter 10 mm. Persiapan benda kerjaharus benar-benar bersih dari zat pengotor utamanya pada proses grinding dan polishing.

°C lalu dimasukkan kedalam tabung tembaga yang telah berisi lembaran niobium. Hasil proses heat treatment kemudian dikarakterisasi dengan SEM-EDS untuk melihat adanya fasa intermetalik Nb3

Diagram alir percobaan laboratorium tentang difusi suhu tinggi dari sitem Nb-Sn dapat dilihat pada Gambar 8.

Sn. Metoda observasi dengan SEM-EDS dilakukan dengan garis konsentrasi atau memusat.

Gambar 8. Diagram alir percobaan pengamatan interdifusi suhu tinggi dari material Nb-Sn

Adapun jumlah sample yang dibutuhkan

adalah : Tabel 1. Sampel yang dibutuhkan

Jenis Material : Nb-Sn 1 variabel Suhu Pemanasan : 750 2 variabel °C dan 850 °C

Waktu Pemanasan : 24 jam dan 48 jam 3 variabel

Page 37: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

144 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 139-146

PERCOBAAN

Telah dilakukan penarikan kawat Cu-Nb-Sn dengan diameter awal 10 mm, prosesnya dengan rolling dan wire drawing yang menghasilkan diameter akhir 1 mm. Kemudian dilanjutkan dengan heat treatment sesuai dengan variasi pada metodologi.

Gambar 9. Foto permukaan electron microscope (perbesaran 65x)

Gambar 10 memperlihatkan metode observasi SEM-EDS yang dilakukan pada penampang kawat Nb-Sn. Sistem observasi SEM-EDS dilakukan dengan garis konsentris atau memusat.

Gambar 10. Memperlihatkan metode observasi SEM-EDS yang dilakukan pada penampang kawat Nb-Sn. Sistem observasi SEM-EDS dilakukan dengan garis konsentris atau memusat

Sistem observasi SEM-EDS dengan garis konsentris atau memusat, hasilnya sebagai berikut :

• Pada garis LG1 :

0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00

keV

LG10001

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

Coun

ts

CuLl

CuLa

CuKa

CuKbNb

LlNb

La

NbKaSnLl

SnLa

SnLb

SnLb

2Sn

LrSn

Lr2,

Grafik 1. Analisis kualitatif (perbesaran 65x)

Persentase semi quantitative analysis (perbesaran 65x)

• Pada garis LG2 :

0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00

keV

LG20001

0

300

600

900

1200

1500

1800

2100

2400

Coun

ts

CuLl

CuLa

CuKa

CuKbNb

LlNb

La

NbKaSn

LlSn

LaSn

LbSn

Lb2

SnLr

SnLr

2,

Grafik 2. Analisis kualitatif (perbesaran 65x)

Persentase semi quantitative analysis (perbesaran 65x) KESIMPULAN 1. Hasil percobaan laboratorium

menunjukkan adanya fenomena interdifusi antara Nb dengan Sn, dimana

ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2689 Element (keV) Mass% Error% Atom% K Cu K 8.040 36.52 0.43 48.41 42.9556 Nb L 2.166 33.30 0.22 30.18 29.6844 Sn L 3.442 30.18 0.27 21.41 27.3600 Total 100.00 100.00

ZAF Method Standardless Quantitative Analysis Fitting Coefficient : 0.2904 Element (keV) Mass% Error% Atom% K Cu K 8.040 3.86 0.64 5.91 4.6470 Nb L 2.166 66.85 0.28 70.05 70.6873 Sn L 3.442 29.30 0.43 24.03 24.6657 Total 100.00 100.00

Page 38: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Pembentukan Fasa Intermetalik…../ Pius Sebleku | 145

terdapat prosentase Sn di wilayah yang kaya dengan Nb.

2. Untuk dapat mengetahui lebih jelas terjadinya pembentukan fasa intermetalik Nb3

3. Dari hasil yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa Temperatur dan Waktu penahanan memegang peranan yang sangat pentingdalam pembentukan fasa intermetalik Nb

Sn maka perlu dilakukan peningkatan Temperatur pemanasan dan waktu penahanan (Holding time) yang lebih lama, agar dapat memberikan hasil yang optimum.

3

DAFTAR PUSTAKA

Sn.

[1] Smith, W. F. : “Principles of Materials Science and Engineering”, 3rd

[2] Matthias,B.T.; Geballe, T.H.; Geller,S.; and Corenzwit,E.: “Superconductivity of Nb3Sn” , Physical Review, Vol 95 No. 6, September 1954, p. 1435.

edition, Mc Graw Hill, 1996, p. 855.

[3] Lee, P. J. : “Superconductor: Wires and Cables: Materials and Processes” in Encyclopedia of Materials: Science

and Technology – Update (editors: K. H. J. Buschow, R. W. Cahn, M. C. Flemings, P. Veyssiere, E. J. Kramer, S. Mahajan), Elsevier 2003.

[4] Paranthaman, M. P. :”YBCO Coated Conductors” from Short Course Module: Superconducting Materials Development – Current Status and Future Directions, Applied Superconductivity Conference, Chicago, Illinois, USA, August 17, 2008.

[5] Brochure “Superconductivity: Present and Future Applications” by Coalition for the Commercial Application of Superconductors (CCAS) and IEEE Council on Superconductivity, 2008.

RIWAYAT PENULIS Pius Sebleku, lahir di Makassar. Menamatkan pendidikan S1 Jurusan Teknik Metalurgi UNJANI Bandung. Bekerja sebagai peneliti bidang ilmu logam dan material di P2M-LIPI dari Tahun 1985 sampai sekarang.

Page 39: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

146 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 139-146

Page 40: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

PEMBUATAN MATERIAL CaMnO3 SEBAGAI THEMOELEKTRIK TYPE-N DARI BAHAN CaCO3 DAN MnCO3

UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS

Lusiana, Edi Herianto, Sigit DY Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI

Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314 E-mail : [email protected]

Intisari

Penerapan bahan thermoelektrik sangat luas, dapat digunakan sebagai penghemat bahan bakar pada kendaraan bermotor, penyedia listrik dari panas matahari, panas tungku pembakar sampah dan lain-lain. Pembuatan material CaMnO3 thermoelectric type-n dari bahan CaCO3 dan MnCO3 pada kondisi pemampatan bahan yang telah dihaluskan 200 Mpa dan dipanaskan pada temperatur 1300 °C selama 12 jam, kemudian hasilnya di analisa menggunakan XRD, XRF dan SEM. Dengan keberhasilan pembuatan material material CaMnO3

thermoelectric type-n ini disamping dapat memanfaatkan bahan baku lokal juga mendukung upaya mengurangi ketergantungan energi kita pada bahan bakar fosil.

Kata kunci : Thermoelectrik, CaMnO3

, Type-n, Energi

Abstract

Application materials thermoelectric very broad, can be used as a fuel saver in the motor vehicle, a provider

of solar thermal electricity, heat furnaces and other junk. Making material CaMnO3 n-type thermoelectric material and MnCO3 CaCO3 on the condition that the material has been smoothed squishing 200 MPa and heated at a temperature of 1300 °C for 12 hours, then the results were analyzed using XRD, XRF and SEM. With the success of manufacturing materials thermoelectric materials CaMnO3 type-n in addition to utilizing local raw materials also support efforts to reduce our energy dependence on fossil fuels

.

Keywords : Thermoelectric, CaMnO3

, n- type, Energy

PENDAHULUAN

Melambungnya harga bahan bakar dan pemberlakuan standar emisi karbon di berbagai negara, membuat produsen kendaraan berkreatif mengembangkan energi alternatif untuk meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil. Hal inilah yang menjadi alasan penelitian ini dilakukan, mencoba mengembangkan energi alternatif mengunakan teknologi thermoelectric. Salah satu contoh pemanfaatan teknologi thermoelectric adalah pada pesawat ruang angkasa Voyager I dan II. Voyager yang diterbangkan NASA tahun 1977 ini dirancang khusus untuk terbang menjauhi

Tata Surya sehingga solar cell tidak dapat dipergunakan. Dalam menempuh perjalanan yang tak terbatas itu diperlukan pula energi yang besar dan stabil untuk mengirimkan data ke Bumi. Untuk itulah Voyager menggunakan teknologi thermoelectric dengan plutonium-238 sebagai sumber panasnya (Radioisotop Thermoelectric Generators-RTGs). Sistem ini mampu membangkitkan listrik sebesar 400 serta secara kontinu dan tanpa perawatan apa pun, Voyager tetap dapat mengirimkan data walau sudah terbang selama 30 tahun[1]. Contoh menarik lainnya adalah yang dilakukan oleh Seiko Co Ltd. Seiko memasarkan jam termoelektrik sejak tahun 1998 dengan

Page 41: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

148 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 147-154

nama Seiko Thermic. Jam tangan ini memanfaatkan perbedaan suhu tubuh dan suhu sekitarnya. Bahan yang digunakan, bismut-tellurium, mampu menghasilkan listrik sebesar 0,2 mV/ °C. Jika 1.000 buah material tersebut dipasang seri, tentu akan menghasilkan tegangan listrik 0,2 V dalam setiap perbedaan 1°C. Untuk itu, Seiko membuat unit pembangkit listrik, terdiri atas 10 buah modul termoelektrik yang masing-masing berisi 100 kawat mikro. Dari setiap unit inilah dihasilkan energi listrik sebesar 0,15 V untuk mengisi baterai litium pada jam tersebut[2]

Penggunaan thermoelectric sebagai pendingin ruangan juga sudah dikembangkan, sebagai hotel-hotel Jepang sudah banyak yang mempergunakan teknologi ini. Pendingin thermoelectric dapat diletakkan dengan leluasa di bawah tempat tidur karena tidak menimbulkan suara dan getaran. Mitsubishi saat ini juga sudah memproduksi kulkas termoelektrik yang mampu menghemat energi 20 persen dibandingkan dengan kulkas biasa. Dalam dunia komputer, termoelektrik dipergunakan untuk mendinginkan CPU komputer. Toshiba mengembangkan sebuah alat yang dapat mendinginkan sumber panas itu sendiri. Panas yang dihasilkan dari sumber panas dalam komputer digunakan untuk membangkitkan listrik, kemudian listrik itu dipergunakan untuk memutar kipas yang diarahkan ke sumber panas. Perangkat ini mampu menurunkan panas sekitar 32 °C. Jika alat ini ditambahkan dengan alat pengontrol, tentu bisa dikontrol pula suhu yang ingin dicapai oleh sumber panas tersebut, tanpa menggunakan energi dari luar, baik untuk pendinginnya ataupun untuk penghasil listriknya. Seperti yang dikembangkan produsen mobil premium Jerman BMW yang mencoba mengembangkan energi dari panas gas buang dan tenaga matahari. Gas buang kendaraan ternyata bisa dimanfaatkan. Di Jerman saja, BMW memperkirakan sebanyak 12 miliar liter bahan bakar terbuang sia-sia saat jalan macet dan

rintangan lainnya. Seperti di ketahui, dari 100 persen bahan bakar yang dipakai, hanya sekitar 30 persen yang dipergunakan untuk menggerakkan mobil. Sebagian besar energi terbuang dalam bentuk panas di radiator dan gas buangan. Di antara kedua panas tersebut, gas buangan memiliki perbedaan panas lebih tinggi, yakni sekitar 300-700 °C sehingga lebih baik untuk dikonversikan menjadi energi penggerak mobil. Perbedaan temperatur yang dihasilkan gas buang ternyata dapat dikonversi menjadi energi listrik atau thermoelectric. Pengaplikasian teknologi ini memberi sumbangan untuk memangkas konsumsi bahan bakar fosil.

.

Thermoelectric bukanlah suatu penemuan yang baru, tetapi sudah dimulai sejak lama dan sekarang di lirik lagi dengan alasan diatas. Teknologi

Masalah krisis energi dan masalah kelestarian lingkungan merupakan masalah global. Disini efek thermoelectric diharapkan dapat menjadi solusi bagi kedua masalah tersebut. Ca

thermoelectric bekerja dengan mengkonversi energi panas menjadi listrik secara langsung (generator thermoelectric), atau sebaliknya, dari listrik menghasilkan dingin (pendingin thermoelectric). Untuk menghasilkan listrik, material thermoelectric cukup diletakkan sedemikian rupa dalam rangkaian yang menghubungkan sumber panas dan dingin. Dari rangkaian itu akan dihasilkan sejumlah listrik sesuai dengan jenis bahan yang dipakai.

3Co4O9 merupakan salah satu bahan thermoelectric type-p yang memiliki kemampuan thermoelectric (ZT) yang lebih dari 1 pada suhu diatas 500 °C[2]. Sedangkan tipe-n yang merupakan pasangannya dipakai bahan seperti CaMnO

Penelitian yang telah dilakukan adalah membuat bahan CaMnO

3.

3 dari serbuk oksida Ca dan Mn dengan cara pemanasan. Produk yang dihasilkan akan di karakterisasi dengan memakai XRD, SEM dan XRF. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam untuk mendapatkan

Page 42: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Pembuatan Material CaMnO3…../ Lusiana | 149

teknologi pembuatan bahan thermoelectric. Bahan thermoelektric yang dihasilkan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan energi pada bahan bakar fosil. METODOLOGI PERCOBAAN Prosedur Percobaan

Bahan dasarnya adalah serbuk CaCO3, MnCO3

yang mula-mula diaduk, selama 24 jam, kemudian dipanaskan sekitar 800 °C selama 10 jam, lalu di pres dengan tekanan 200 MPa. Bahan yang dihasilkan dipanaskan kembali pada suhu sekitar 1300 °C selama 12 jam. Diagram alir penelitian ditampilkan pada Gambar 1.

CaCO3 + MnCO3Komposisi atom Ca:Mn 1:1

Campuran Diaduk Selama 24 jam

Dipanaskan 800 °C selama 10 jam di atmosfir

Diaduk selama 5 jam

Dipres dengan tekanan 200 MPa

Dipanaskan 1300 °C selama 12 jam di atmosfir

SEM, XRD dan XRF

CaMnO3

Gambar 1. Diagram alir penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari penelitian yang telah dilakukan untuk bahan awal serbuk CaCO3 dan MnCO3 dan dilakukan pengadukan selama selama 24 jam dengan ratio Ca terhadap Mn dengan ratio 1 : 1, dari hasil pengujian dengan XRD seperti ditampilkan pada Gambar 2 kondisi peak CaMnO3 hampir belum terjadi, lalu sampel yang telah diaduk selanjutnya dilakukan pemanasan pada temperatur 800 °C selama 10 jam, dan diaduk kembali selama 5 jam. Hasil pengujian XRD ditampilkan pada Gambar 3. Pada kondisi ini peak CaMnO3 mulai terbentuk. Campuran bahan yang dipanas kan pada temperatur 800 °C selama 10 jam, dan diaduk kembali selama 5 jam, kemudian dilakukan perlakuan ulang seperti pada kondisi sebelumnya, hasil analisa XRD menunjukan peak CaMnO3 mulai terbentuk cukup tinggi terlihat pada Gambar 4. Bahan selanjutnya di press pada tekanan sampai 200 MPa kemudian dipanaskan lagi sampai 1300 °C selama 12 jam di dalam tungku, lalu hasilnya di analisa menggunakan XRD, peak CaMnO3

terbentuk dengan baik, hasil ini ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 2. Hasil pengujian XRD setelah diaduk 24 jam

Gambar 3. Hasil pengujian XRD setelah diaduk 24 jam dan dipanaskan 800 °C selama 10 jam

Page 43: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

150 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 147-154

Gambar 4. Hasil pengujian XRD sampel CaMnO3 setelah dipanaskan 800 °C 10 jam, kemudian diaduk 5 jam

Gambar 5. Hasil pengujian XRD sampel CaMnO3

pada tekanan 200 Mpa dipanaskan pada 1300 °C, di aduk dengan mesin pengaduk

Gambar 6. Hasil pengujian XRD sampel CaMnO3

pada tekanan 200 Mpa dipanaskan pada 1300 °C, di aduk dengan mortar

Dari hasil pengujian X – Ray Difraksi dapat dilihat pada Gambar 2, 3, 4, 5 dan Gambar 6. Dari Gambar 2 terlihat peak dari senyawa CaMn3O7, CaMn4O8 sedangkan untuk peak CaMnO3

Dari Gambar 3. terlihat dominan peak senyawa Ca

tampak tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan kedua senyawa tersebut. Terbentuknya senyawa tersebut diatas setelah mengalami proses pengadukan dengan menggunakan mortal selama 24 jam.

2Mn2O5 dibandingkan dengan senyawa CaMnO3

2CaCO

. Terbentuknya senyawa ini pada proses pengadukan selama 24 jam

kemudian dipanaskan sampai 800 °C selama 10 jam. Reaksi yang terbentuk :

3 + 2MnCO3 dipanaskan Ca2Mn2O5 + 4CO2

Dari Gambar 4. terlihat peak CaMnO ……………. (1)

3 mulai terlihat di bandingkan dengan Gambar 3. Hasil pengujian XRD ini merupakan proses lanjutan dari sebelumnya, dimana campuran sampel CaCO3 dengan MnCO3 diaduk selama 24 jam kemudian dipanaskan sampai 800 °C selama 10 jam setelah itu di aduk lagi selama 5 jam. Mulai terbentuknya senyawa CaMnO3 di sebabkan oleh pengadukan yang berulang sehingga paduan akan lebih banyak terbentuk. Dari Gambar 5 terlihat jelas peak CaMnO3 di bandingkan dengan Gambar 4, dan 5. Hal ini terjadi karena sampel dilakukan tekanan sampai 200 MPa kemudian dipanaskan lagi sampai 1300

CaCO

°C selama 12 jam di dalam tungku. Reaksi yang terjadi :

3 + MnCO3 dipanaskan CaMnO3 + 2CO2

Sedangkan untuk Gambar 6 adalah merupakan hasil pengadukan dengan menggunakan peralatan pengadukan yang berbeda, yaitu tidak mengalami perlakuan mekanik ( mesin pengaduk ). Dari hasil peak yang terbentuk tidak jauh beda dengan pengadukan yang menggunakan perlakuan mekanik (mortal), ini bisa di lihat pada Gambar 6. Dari hasil X-Ray Diffraksi tidak terlihat perbedaan penggunaan alat pengaduk, hal ini bisa dilihat dengan membandingkan Gambar 5 dengan Gambar 6.

………………. (2)

Gambar 7. Prototype CaMnO3

CaM

nO3

CaM

nO3

CaM

nO3

CaM

nO3

Page 44: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Pembuatan Material CaMnO3…../ Lusiana | 151

Gambar 8. Hasil pengujian SEM sampel CaCO

3

Gambar 9. Hasil pengujian SEM sampel MnCO

3

Gambar 10. Hasil pengujian SEM sampel MnCO3 + CaCO3

setelah diaduk 24 jam

Gambar 11. Hasil pengujian SEM sampel MnCO3 + CaCO3

setelah dipanaskan 800 °C selama 10 jam

Gambar 12. Hasil pengujian SEM sampel MnCO3 + CaCO3

setelah dipanaskan 800 °C, selama 10 jam kemudian diaduk 5 jam

Gambar 13. Hasil pengujian SEM sampel CaMnO3

pada tekanan 200 Mpa dipanaskan pada 1300 °C, diaduk dengan mortar

001

001

20 µm20 µm20 µm20 µm20 µm

001

001

20 µm20 µm20 µm20 µm20 µm

001

001

20 µm20 µm20 µm20 µm20 µm

001

001

20 µm20 µm20 µm20 µm20 µm

001

001

20 µm20 µm20 µm20 µm20 µm

Page 45: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

152 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 147-154

Gambar 14. Hasil pengujian SEM sampel CaMnO3

pada tekanan 200 Mpa dipanaskan pada 1300 °C, diaduk dengan mesin pengaduk

Tabel 1. Hasil EDS dari sampel CaCO

Element 3

(keV) Mass % Error % Atom % C K 0,277 12,44 0,10 20,25 O K 0,525 50,45 0,60 61,65 Ca K 3,690 37,10 0,19 18,10

Tabel 2. Hasil EDS dari sampel MnCO

Element 3

(keV) Mass % Error % Atom % C K 0,277 8,82 0,15 20,92 O K 0,525 25,20 0,14 44,86

Mn K 5,894 65,98 0,38 34,22

Tabel 3. Hasil EDS dari sampel MnCO3 + CaCO3

Element

setelah diaduk 24 jam

(keV) Mass % Error % Atom % C K 0,277 12,81 0,10 22,06 O K 0,525 46,08 0,30 59,60 Ca K 3,690 20,97 0,15 10,83 Mn K 5,894 18,66 0,35 7,03

Tabel 4. Hasil EDS dari sampel MnCO3 + CaCO3

Element

setelah dipanaskan 800 °C selama 10 jam

(keV) Mass % Error % Atom % C K 0,277 11,19 0,10 23,14 O K 0,525 29,57 0,30 45,92 Ca K 3,690 25,51 0,14 15,81 Mn K 5,894 31,72 0,32 14,34

Tabel 5. Hasil EDS dari sampel MnCO3 + CaCO3 setelah dipanaskan 800 °C selama 10 jam kemudian diaduk 5 jam

Element (keV) Mass % Error % Atom % C K 0,277 10,06 0,11 23,34 O K 0,525 21,58 0,28 37,59 Ca K 3,690 24,32 0,14 16,90 Mn K 5,894 41,72 0,32 21,16

Page 46: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Proses Pemurnian Silikon…../ Bintang Adjiantoro | 153

Tabel 6. Hasil EDS dari sampel sampel CaMnO3

Element

pada tekanan 200 Mpa dipanaskan pada 1300 °C, diaduk dengan mortar

(keV) Mass % Error % Atom % O K 0,525 35,82 0,28 62,38 Ca K 3,690 27,02 0,15 18,78 Mn K 5,894 37,16 0,34 18,84

Tabel 7. Hasil EDS dari sampel sampel CaMnO3

Element

pada tekanan 200 Mpa dipanaskan pada 1300 °C, diaduk dengan mesin pengaduk

(keV) Mass % Error % Atom % O K 0,525 27,72 0,30 53,04 Ca K 3,690 32,37 0,14 24,72 Mn K 5,894 39,92 0,32 22,24

Dari Gambar 9, terlihat bentuk kristal

senyawa CaCO3 berbentuk orthorombik, sedangkan dari Gambar 10, terlihat juga bentuk kristal MnCO3 cenderung kubus. Sedangkan untuk campuran CaCO3 dan MnCO3 yang telah diaduk selama 24 jam menggunakan mortar dapat dilihat pada Gambar 11, dimana Senyawa CaCO3 masih bisa terlihat dengan jelas bentuk stuktur kristalnya, begitu juga dengan senyawa MnCO3 strukturnya seakan terpisah dengan CaCO3. Walaupun ada sebagian MnCO3 yang sudah menempel pada CaCO3. Reaksi antara senyawa CaCO3 dan MnCO3 mulai terlihat setelah komposisi senyawa tersebut yang telah diaduk selama 24 jam kemudian dipanaskan pada temperatur 800 °C selama 10 jam, hal ini dapat terlihat pada Gambar 12. Dimana bentuk kristal senyawa CaCO3 bentuk kristalnya mulai tidak beraturan, sedangkan untuk MnCO3 bentuk kristalnya cenderung masih sama yaitu agak bulat, karena ada sebagian senyawa CaCO3 sudah mulai bersatu sehingga tidak terlihat lagi struktur kristal CaCO3 yang berbentuk kubus. Senyawa CaCO3 dan MnCO3 sudah tidak terlihat lagi karena sudah melebur membentuk struktur baru yang saling berikatan. Hal ini terbentuk setelah proses pemanasan 800 °C kemudian diaduk lagi selama 5 jam, kondisi ini terlihat pada Gambar 13. Struktur yang terbentuk sudah mulai teratur membentuk jaringan yang saling berikatan satu dengan yang lainnya. Terbentuknya struktur yang

saling berikatan satu dengan yang lainnya setelah dilakukan tekanan sampai 200 MPa kemudian dipanaskan pada temperatur 1300 °C selama 12 jam, kondisi ini kalau dilihat dari hasil XRD menunjukan material CaMnO3

Dari hasil SEM dapat terlihat analisa komposisi unsur, dimana unyuk unsur Ca pada pengadukan 24 jam sampai proses akhir cenderung menurun ( Tabel 3, 4 dan 5), tetapi pada tahap akhir kembali naik tapi tidak terlalu drastis (Tabel 6 dan 7), karena mulai beriktan membentuk CaMnO

pembentukannya sudah sempurna, hal ini ditunjukan pada Gambar 14.

3

Untuk bentuk kristal terjadi perbedaan antara menggunakan mesin pengaduk dan mortal, dimana pengadukan menggunakan mortal, kristal yang terbentuk bulat dan panjang sedangkan dengan menggunakan mesin pengaduk kristal yang terbentuk panjang dan tajam. Hal ini di sebabkan pada pengadukan menggunakan mortal terjadi proses mekanik.

. Untuk unsur Mn cenderung naik di bandingkan dari proses awal, karena mulai beriktan dgn Ca dan O.

KESIMPULAN

Dari serangkaian penelitian awal pembuatan material CaMnO3 thermoelectric Type-n dari bahan CaCO3 dan MnCO3, pemanasan dan pengadukan serta pemampatan sangat berpengaruh terhadap terjadinya reaksi antara senyawa

Page 47: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

154 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 147-154

CaCO3 dan MnCO3. Pemanasan pada temperatur 800 °C reaksi senyawa CaCO3 dan MnCO3 sudah mulai terjadi, walaupun belum sempuna, kondisi ini dibuktikan dari hasil pengujian XRD maupun SEM. Reaksi terjadi secara sempurna terlihat pada kondi setelah komposisi senyawa CaCO3 dan MnCO3 setelah dimampatkan atau ditekan pada 200 MPa kemudian dipanaskan pada temperatur 1300 °C selama 12 jam. Dimana pada kondisi tersebut material baru CaMnO3

[1] Norbert Kockmann, ”Transport Phenomena in Micro Process Engeneering”, springer, 2007.

sudah terbentuk, hal ini di buktikan dari hasil pengujian XRD maupun SEM yang dilakukan. DAFTAR PUSTAKA

[2] Driss Kenfaui, Daniel Chateigher, “Texture Mechanical And Thermoelectric Properties of Ca3Co4O9

Compounds, Volume 490 issue 1-2, 2010.

”, Journal of Alloys and

[3] G.S. Nolas, J. Sharp, H.J.Goldsmid, Material Science, “Thermoelectrics, Basic Principles and New Materials Development”, Springer, volume 45, 2001.

[4] H. Julian Goldsmid, Material Science , “Introduction to Thermoelectricity”, Springer 2009.

[5] Japan Patent, P2004-356476A, 16 Des 2004.

[6] Japan Patent, P2005-93450A, 7 April 2005.

RIWAYAT PENULIS Lusiana, lahir 7 Juli 1969 di Bukittinggi, menamatkan S1 Teknik Metalurgi Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI) Bandung tahun 1997. Pada tahun 2010 menamatkan S2 Teknik Metalurgi dan Material program studi korosi pada Universitas Indonesia. Dari tahun 1998 sampai sekarang bekerja di P2M LIPI sebagai peneliti.

Page 48: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

ANALISA RETAK PADA PELAT TIPIS PADUAN Al -17Mg-1Si HASIL PEMBEKUAN CEPAT DENGAN TWIN ROLL PENGECOR

Saefudin, Ika Kartika

Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang Selatan 15314

E-mail : [email protected]

Intisari

Pembuatan pelat tipis dengan twin roll pengecor pada paduan aluminium mempunyai beberapa keuntungan seperti mempercepat proses pembekuan, rendahnya biaya peralatan juga dapat menekan biaya produksi. Pada penelitian pembuatan pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si hasil proses pembekuan cepat dengan twin roll telah terjadi retak sepanjang sisi pelat tipis. Pelat tipis yang dihasilkan mempunyai tebal berkisar 1 mm dengan lebar sekitar 50 mm. Hasil uji keras dengan Vickers pada posisi tebal pelat menunjukkan harga kekerasan rata-rata adalah 175,1 HVN. Hasil metalografi dengan SEM menunjukkan fasa yang terbentuk adalah α–Al dendritik sebagai matriks dan partikel Mg2Si yang bersifat getas. Mg2Si teramati bersegregasi sepanjang sisi dan sudut kristal α-Al matriks. Analisa komposisi kimia dengan EDX pada permukaan area tebal pelat menghasilkan kandungan unsur Mg dan Si yang tinggi. Kelarutan Mg dan Si yang tinggi cenderung akan membentuk fasa eutektik Mg2Si yang mempunyai suhu cair yang lebih rendah dibandingkan α–Al matriks. Oleh karenanya fasa eutektik Mg2

Si akan mengalami pembekuan lebih cepat dibandingkan α–Al matriks. Fenomena rapuh panas akan terjadi dan menghasilkan retak sepanjang sisi pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si melalui proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor.

Kata kunci : Paduan Al-17Mg-1Si, Proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor, Fasa eutektik Mg2

Si, Rapuh panas, Retak

Abstract

There are several advantages to produce aluminum alloys strip by using twin roll caster such as rapidly solidification process, low equipment cost and reduce production cost. In the study of manufacturing of Al-17Mg-1Si alloy strip from rapid solidification by twin roll caster, fracture was occurred along side of strip. Product of strip has a thickness approximately around 1 mm and 50 mm of wide. Vickers hardness result on strip thickness area shows an average hardness around 175.1 HVN. Metallography examination using SEM shows α – Al dendritic phase as a matrix and Mg2Si eutectic particles which are attributed to brittleness. Mg2Si particles show segregate along edge and angle of α-Al matrix. Chemical composition analysis by EDX on the surface of thickness area of Al-17Mg-1Si alloy strip obtains high content of Mg and Si elements. Highly solidify of Mg and Si elements leads to form Mg2

Si eutectic phase, which has lower melting point compared to α–Al matrix. Therefore, eutectic phase would rapidly solidify than α–Al matrix. Hot shortness phenomena will occur and perform cracking along edge area of Al-17Mg-1Si alloy strip throughout rapid solidification process by twin roll caster.

Keywords : Al-17Mg-1Si alloy, Rapid solidification process by twin roll caster, Mg2

Si eutectic phase, Hot shortness, Cracking

PENDAHULUAN

Pembuatan pelat tipis dengan menggunakan twin roll pengecor, prosesnya tidak sama dengan proses pembentukan pelat tipis secara biasa, dimana material yang dirol dalam

keadaan padat seperti pengecoran direct chill dan pengerolan panas pada billet secara langsung. Pada proses ini logam cair akan dialirkan secara langsung dari nozel kedalam celah diantara kedua rol, logam cair tersebut akan membeku dan langsung dikenakan deformasi dalam

Page 49: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

156 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 155-162

keadaan panas sehingga menjadi pelat tipis. Melalui proses ini ketergantungan akan peralatan yang biasa dilakukan untuk proses rol panas dapat diminimalisir sehingga biaya penggunaan peralatan dapat ditekan [1]

Twin roll pengecor yang digunakan pada penelitian ini lebih tertuju pada kemampuan untuk mencapai pembekuan secara cepat dari logam cair paduan Al-17Mg-1Si sesaat setelah proses pengerolan berlangsung.

.

Faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembuatan pelat tipis hasil proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor adalah temperatur logam cair dan penentuan kecepatan putaran rol [2]. Selain itu design posisi nozel harus diperhatikan, apakah kontak langsung dengan rol atau tanpa kontak. Apabila posisi nozel pada mesin pengerolan kontak dengan rol maka logam cair tidak akan keluar dari celah antara nozel dan rol. Kondisi ini akan mengakibatkan tingginya tekanan hidrostatik yang diakibatkan oleh aliran logam cair di bagian depan. Dilain pihak, tekanan hidrostatik ini sangat berguna untuk mencegah permukaan yang bergelombang dari pelat tipis hasil pembekuan cepat dengan twin roll pengecor [3]

Proses pengerolan logam cair dengan twin roll banyak digunakan pada paduan aluminium dan paduan magnesium. Pengembangan teknologi proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor pada paduan magnesium umumnya dilakukan untuk paduan magnesium AZ 31 , AZ 61, AZ 91 dan AM 60

.

[2]. Beberapa tipe twin roll pengecor yang lazim digunakan untuk pembuatan pelat tipis terutama untuk paduan magnesium ditunjukkan pada Tabel 1. Untuk paduan aluminium, proses pengecoran dengan twin roll pengecor banyak dilakukan pada paduan aluminium-magnesium-silikon (6xxx) atau paduan aluminium-magnesium (5xxx) [4]. Proses twin roll pengecor pada

beberapa paduan aluminium akan meningkatkan sifat mekaniknya. Akan tetapi, untuk paduan aluminium dengan waktu pembekuan yang relatif lebih lama, teknik ini tidak menguntungkan karena penekanan rol menjadi terbatas dan pelat tipis tidak dapat didinginkan secara langsung [5]. Beberapa cacat yang umumnya timbul pada paduan aluminium dengan proses twin roll pengecor adalah cacat permukaan seperti surface bleeding, lengkungan atau garis pada permukaan, sedangkan cacat pada bagian dalam produk seperti makro dan mikrosegregasi [6]

.

Tabel 1. Berbagai tipe twin roll pengecor [2]

Pada studi penelitian pembuatan pelat

tipis paduan Al-17Mg-1Si ini, telah terjadi retak sepanjang sisi pelat tipis tersebut sesaat setelah proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor. Analisa penyebab kerusakan akan dipelajari dengan karakterisasi secara visual, metalografi dengan mikroskop optik dan SEM, dan analisa kualitatif unsur dengan menggunakan SEM-EDX pada pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si hasil proses. Pada tulisan ini, penelitian hanya terbatas pada penyebab terjadinya retak dari pelat tipis paduan tersebut. METODA PENELITIAN Proses Peleburan

Material yang akan dilebur adalah ingot paduan aluminium-magnesium-

Page 50: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Analisa Retak Pada Pelat…../ Saefudin | 157

silikon dengan komposisi 17% Mg, 1% Si, 0,24% Mn, 0,04% Cu dan sisanya adalah aluminium. Sebelum dilakukan proses peleburan, material di atas dicampur dalam krusible karbida silikon dengan kapasitas 0,5-1 kg. Proses peleburan dilakukan dalam tungku muffle pada T = 800 °C seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Logam cair kemudian ditahan pada T = 680 °C, selanjutnya permukaan cairan logam dibersihkan dari slag atau pengotor. Setelah permukaan logam cair bersih, kemudian dituang pada nozel yang terletak disamping area rol dari mesin pengerolan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 1. Tungku muffle dengan temperatur maksimum 1200 °C Temperatur Penuangan

Temperatur logam cair sebelum proses penuangan saat akan dirol perlu dikontrol, yaitu berkisar 680 °C mengacu pada diagram fasa biner Al-Mg2

Si pada Gambar 3. Apabila temperatur logam cair saat akan dituang terlalu tinggi, maka proses pembekuan akan terhambat, logam cair akan mengalir ke segala arah dan sulit untuk di rol. Sebaliknya, bila suhu logam cair terlalu rendah, maka logam cair akan mengalami pembekuan secara cepat didalam nozel dan tidak mengalir kedalam rol. Pada penelitian ini temperatur logam cair diukur dengan

menggunakan termokopel dengan elektroda Chromel (10% Cr-90%Ni).

Proses Pengerolan

Proses ini menggunakan mesin rol berdiameter 200 mm dengan putaran maksimum rol sebesar 3 m/min dimana material rol adalah baja perkakas. Mesin rol tersebut dilengkapi nozel yang berfungsi untuk mengalirkan cairan logam kedalam rol, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Saat mesin rol beroperasi, cairan logam siap dituangkan dari nozel. Cairan logam akan mengalir masuk ke dalam rol yang dalam keadaan dingin. Kemudia cairan logam akan mengalami pembekuan cepat akibat perbedaan temperatur dan terdeformasi menjadi pelat tipis.

Gambar 2. Mesin rol beserta nozel penyimpan cairan logam

Gambar 3. Diagram fasa biner Al - Mg2Si

[7]

Rol

Nozel

Page 51: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

158 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 155-162

Pengujian Kekerasan

Pengujian kekerasan dilakukan dengan metoda Vickers dengan beban 100 gf dan waktu pembebanan 3 detik. Area tengah dari pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si searah rol dipotong menjadi ukuran 3 x 3 mm2

. Posisi pengujian dilakukan pada area tebal dari pelat yang berkisar setebal 1 mm. Area tersebut kemudian dimounting serta diampelas menggunakan kertas ampelas dengan kekasaran 400-1000 mesh. Selanjutnya permukaan sampel dipoles dengan alumina dan dietsa menggunakan larutan etsa Keller’s.

Metalografi

Pengujian metalografi dilakukan untuk mengetahui fasa yang terbentuk ataupun cacat coran yang terjadi pada sampel pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si. Pengujian dilakukan dengan mikroskop optik merk Olympus dan SEM merk JEOL JSM 6390 A. Posisi pengujian dilakukan di area tengah dari permukaan pelat tipis searah pengerolan dan di posisi tebal pelat. Persiapan sampel untuk metalografi dilakukan sesuai dengan untuk pengujian kekerasan. Selain itu, pengujian SEM-EDX dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur-unsur secara kualitatif pada sampel pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4 menunjukkan pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si hasil proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor dengan ketebalan sekitar 1 mm dan lebar rata-rata pelat sebesar 50 mm. Secara visual teramati bahwa lebar pelat tidak merata, dan juga permukaan pelat terlihat buram. Ini menunjukkan bahwa kondisi kontak antara logam cair dan rol tidak begitu sempurna di daerah dengan warna tersebut. Selain itu, pelat mengalami retak pada beberapa daerah

tepi dan merambat ke bagian tengah dari pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya retak diantaranya adalah rendahnya temperatur logam cair dan tingginya kecepatan putaran rol saat logam cair dituangkan dari nozel kedalam rol.

Gambar 4. Pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si hasil proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor

Grafik harga kekerasan pada pelat tipis Al-17Mg-1Si hasil proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor ditunjukkan pada Gambar 5. Harga kekerasan dari area sisi ke tengah ternyata tidak homogen, kekerasan meningkat pada posisi tengah sejauh 300 µm dari area sisi pelat tipis tersebut. Kekerasan yang tidak homogen menunjukkan adanya mikrosegregasi. Fasa yang terbentuk pada pelat tipis Al-17Mg-1Si juga mempengaruhi harga kekerasannya.

Gambar 5. Harga kekerasan (HVN) pada pelat tipis paduan Al- 17Mg-1Si hasil proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor

Page 52: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Analisa Retak Pada Pelat…../ Saefudin | 159

Struktur mikro pada pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si hasil proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7. Gambar 6 menunjukkan struktur mikro di area tengah dari permukaan pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si searah proses pengerolan. Gambar 7 menunjukkan struktur mikro di area tengah pada posisi melintang atau tegak lurus permukaan pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si. Pada gambar tersebut (Gbr. 6 dan 7) teramati struktur di area tengah pelat adalah dendritik dan bulat (globular). Fasa yang terbentuk adalah matriks α-Al dendritik dan eutektik Mg2Si. Arah pembekuan dari α-Al dendritik terlihat acak. Partikel eutektik Mg2Si seringkali teramati bersegregasi sepanjang atau pada sudut-sudut butir α-Al dendritik dengan struktur yang halus. S.P. Li dan kawan-kawan [8] dalam penelitiannya tentang morfologi dan sifat orientasi dari arah pembekuan α-Al – eutektik Mg2Si menunjukkan bahwa pertumbuhan Mg2

Si berawal dari ujung atau sudut kristal matriks. Hal itu terjadi karena tempat tersebut menguntungkan untuk mengeliminir panas saat proses pembekuan berlangsung.

Gambar 6. Struktur mikro di area tengah dari permukaan pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si searah pengerolan. Fasa α–Al dendritik sebagai matriks dan partikel eutektik Mg2

Si. Etsa Keller’s

Gambar 7. Struktur mikro di area tengah dengan posisi melintang atau tegak lurus permukaan pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si. Fasa α–Al dendritik sebagai matriks dan partikel eutektik Mg2

Si. Etsa Keller’s

Gambar 8. Posisi pengujian SEM-EDX pada area tengah dari permukaan pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si searah pengerolan. Etsa Keller’s

Gambar 9. Grafik kandungan unsur Mg dan Si secara kualitatif dengan SEM-EDX pada permukaan pelat tipis paduan Al-17Mg-1Si. Posisi pengambilan area sesuai dengan Gambar 8

Page 53: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

160 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 155-162

Gambar 8 menunjukkan struktur mikro pelat tipis Al-17Mg-1Si dengan SEM. Pada foto struktur mikro pelat tipis tersebut terlihat beberapa penandaan posisi untuk mengetahui kandungan unsur Mg dan Si secara kualitatif. Gambar 9 menunjukkan grafik hasil penembakan pada area yang ditunjukkan pada Gambar 8. Terlihat dari posisi 1, 3 dan 4 (Gb. 8-9), unsur Mg dan Si bersegregasi sepanjang sisi α-Al dendritik dengan kandungan yang hampir seragam. Sedangkan pada posisi 2 (Gb. 8-9) yaitu posisi diluar α-Al dendritik, kandungan Mg dan Si memiliki prosentase kandungan yang berbeda dibandingkan posisi lain sepanjang interface α-Al dendritik yaitu berturut-turut berkisar 51,43% dan 0,42%. Hal ini menunjukkan adanya mikrosegregasi atau menandakan kelarutan kedua unsur tersebut tidak homogen. Selain itu, kelarutan Mg dan Si yang tinggi memicu terjadinya fasa eutektik Mg2Si. Fasa eutektik Mg2Si mempunyai titik cair yang rendah yaitu berkisar 590 °C (Gambar 3) dibandingkan α-Al dendritik (Tc = 660 °C). Apabila kondisi ini terjadi, maka fasa Mg2Si akan lebih dahulu membeku dibandingkan α-Al dendritik saat proses pengerolan. Mg2

Si menjadi partikel yang keras dan mengakibatkan retak saat proses pembuatan pelat tipis Al-17Mg-1Si hasil pembekuan cepat dengan twin roll pengecor.

KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Beberapa faktor yang mempengaruhi

keberhasilan pembuatan pelat tipis menggunakan twin roll pengecor dengan memanfaatkan pembekuan cepat perlu diperhitungkan. Faktor tersebut antara lain kecepatan putaran rol yang harus selaras dengan ukuran rol yang digunakan dan design

penempatan nozel dalam mesin pengerolan.

2. Temperatur logam cair saat dituang dari nozel kedalam rol harus dikontrol dengan cermat untuk mengontrol proses pembekuan yang terjadi sehingga peristiwa segregasi dapat dihindari.

3. Komposisi kimia material awal perlu diketahui secara jelas untuk menghindari kegagalan produk berupa cacat permukaan dan segregasi.

DAFTAR PUSTAKA [1] T. Haga, H. Sakaguchi, H. Watari,

S. Kumai. 2008.,, High Speed Twin Roll Casting of 6016 Aluminum Alloy Strip”, Journal of Achievements in Materials and Manufacturing Engineering : 31, 45-92.

[2] H. Watari, R. Paisarn, T. Haga, K. Noda, K. Davey, N. Koga. 2007. ,, Development of Manufacturing Process of Wrought Magnesium Alloy Sheets by Twin Roll Casting”, Journal of Achievements in Materials and Manufacturing Engineering : 20, 515-518.

[3] M. Yun, X. Yang, D.V. Edmonds, J.D. Hunt, P.M. Thomas. 1991. ,,High Speed Roll Casting of Al Alloy and Mg Alloy Strip”, Cast Met.: 4 (2), 108-111.

[4] H. Sakaguchi, T. Haga, H. Watari, and S. Kumai. 2007. ,,High Speed Twin Roll Casting of 6016 Aluminum Alloy Strip”, Journal of Achievements in Materials and Manufacturing Engineering : 20, 495-498.

[5] Toshio Haga, Shinsuke Suzuki. 2003. ,, Study on High Speed Twin Roll Caster for Aluminum Alloys”, Journal of Materials Processing Technology :143-144, 895-900.

[6] Ch. Gras, M. Meredith, J.D. Hunt. 2004. ,, Microdefects formation

Page 54: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Analisa Retak Pada Pelat…../ Saefudin | 161

during the twin-roll casting of Al-Mg-Mn Aluminum Alloys”, Journal of Materials Processing Technology : 167, 62-72.

[7] J. Zhang, Z. Fan, Y.Q. Wang, B.L. Zhou. 2000. ,, Effect of cooling rate on the microstructure of hypereutectic Al-Mg2Si ”, Journal of Materials Science Letter : 19, 1825-1828.

[8] S.P. Li, S.X. Zhao, M.X. Pan, D.Q. Zhao and X.C. Chen. 1996. ,, Morphology and Orientation Characteristics of Directionally Solidified (Al)-Mg2Si Eutectic”, Acta Metallurgica Sinica : 9 (5), 323-328.

RIWAYAT PENULIS Saefudin, lahir di Tegal, 09 Desember 1959. Lulus Akademi Industri logam Bandung, jurusan Teknik Metalurgi tahun 1984. Lulus universitas Jenderal Akhmad Yani, Jurusan Teknik Metalurgi 1993. Bekerja di Puslit Metalurgi – LIPI Serpong sejak tahun 1985 sampai sekarang.

Page 55: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

162 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 155-162

Page 56: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

SINTESIS, ANALISIS KOROSI DAN TOKSISITAS PADA MATERIAL BIOKOMPATIBEL Co-Cr-Mo

Sulistioso GS1), Andika WP2), Irma Suparto3,4), Silmi Mariya3)

1) PTBIN – BATAN

2) P2M – LIPI 3) Departemen Kimia, FMIPA IPB

4) Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) LPPM–IPB Bogor

Intisari

Telah dilakukan uji korosi dan toksisitas pada hasil pembuatan paduan material implan Co-Cr-Mo. Komposisi paduan yang dibuat adalah 30 – 35% Cr, 5% Mo, 0.5 – 0.6% Mn, 0.2 – 0.3% Si, 1.5 – 1.6% N, dan sisanya Co. Karakterisasi hasil analisis fasa dengan XRD menunjukkan pola difraksi di mana fasa ε tidak muncul dan fasa yang dominan adalah fasa γ sebagai konsekuensi dari penambahan unsur N. Pengamatan mikrostruktur dengan mikroskop optik menunjukkan struktur cor dan sampel Co-Cr-Mo hasil peleburan tidak berpori. Berdasarkan hasil analisis korosi diperoleh laju korosi pada media air demin adalah 0,0249 mpy dan pada media larutan tubuh buatan (simulated body fluid atau SBF) adalah 0,036 mpy. Uji toksisitas secara in vitro pada kultur sel endotel CPAE (ATCC-CCL 209) berumur 24 jam menunjukkan tidak adanya perubahan morfologi dan kematian sel setelah 72 sampai dengan 144 jam pasca penambahan sampel. Hasil ini menunjukkan bahwa material Co-Cr-Mo dengan penambahan tidak menimbulkan toksisitas terhadap kultur sel endotelial sampai dengan 6 hari inkubasi. Kata kunci : Co-Cr-Mo , Korosi, Toksisitas in vitro, Kultur sel endotel CPAE

Abstract

Analysis of corrosion and toxicity of Co-Cr-Mo as implant materials has been performed. The alloy composition was 30 - 35% Cr, 5% Mo, 0.5 - 0.6% Mn, 0.2 - 0.3% Si, 1.5 - 1.6% N, and Co as the balance. Characterization of phase analysis by XRD through its diffraction patterns indicates that phase ε does not appear as a consequence of the addition of N. Microstructure observations of the samples by optical microscope showed that the structure of Co-Cr-Mo cast was not porous. Corrosion analysis showed that the corrosion rate in demineralized water was 0.0249 mpy and in simulated body fluid (SBF) was 0.036 mpy. In vitro toxicity assay in 24 hours endothelial cell CPAE (ATCC CCL-209) showed that there were no morphologic changes or cell death after 72 up to 144 hours of sample incubation. It concludes that Co-Cr-Mo material was not toxic to endothelial cell culture for at least six days.

Keywords : Co-Cr-Mo , Corrosion , In vitro toxicity, Endothelial cell culture CPAE

PENDAHULUAN

Penggunaan material implan sebagai endoprostetik pada tubuh manusia mensyaratkan biokompatibilitas yang baik, kuat, dan tahan terhadap korosi, khususnya dalam media cairan tubuh Material yang umum digunakan sebagai material implan adalah stainless steel, paduan logam berbasis Co dan titanium. Paduan titanium memiliki tingkat biokompatibilitas dan

ketahanan korosi yang baik, tetapi harganya sangat mahal. Paduan Co-Cr-Mo memiliki tingkat biokompatibilitas yang lebih rendah daripada paduan titanium, akan tetapi memiliki sifat mekanik yang lebih baik dan harganya lebih murah dibandingkan dengan paduan titanium. Sedangkan jika dibandingkan dengan stainless steel, paduan CoCrMo memiliki sifat biokompatibilitas, ketahanan korosi dan sifat mekanik yang lebih baik,

Page 57: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

164 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 163-168

walaupun harganya lebih tinggi dibandingkan stainless steel [1-3] . Syarat mendasar dari biomaterial berbasis logam adalah sifat anti karat yang tinggi. Selain itu, sifat yang utama harus dimiliki oleh biomaterial berbasis logam adalah kesuaian dengan sel hidup (excellent biocompatibility). Hal ini penting karena biomaterial ditanam dalam tubuh atau mulut serta berhubungan langsung dengan sel hidup tubuh manusia. Logam tersebut tidak boleh melepaskan ion-ion yang bersifat racun atau karsinogen bagi sel dan tubuh manusia [4]. Reaksi korosi material implan dapat menimbulkan reaksi peradangan (inflamasi) di sekitar jaringan yang diimplankan sehingga apabila digunakan dalam jangka waktu lama akan sangat berbahaya bagi tubuh [5]

Saat ini penelitian dalam bidang material implan masih jarang dilakukan di Indonesia. Dalam makalah ini akan dilaporkan penelitian pembuatan dan karakterisasi sifat korosi dan toksisitas dari paduan Co-Cr-Mo. Aplikasi dari paduan Co-Cr-Mo sebagai material implan adalah sebagai tempurung lutut buatan (knee cap) atau sebagai sambungan tulang pinggul buatan (hip joint). Paduan Co-Cr-Mo dibuat dengan metoda peleburan (casting) menggunakan arc melting furnace. Komposisi paduan CoCrMo dibuat berdasarkan standar paduan Co-Cr-Mo ASTM F75, tetapi dimodifikasi dengan menaikkan kandungan Cr dan N

.

[6].

Pada paduan ASTM F75, fasa yang dominan adalah fasa ε (struktur kristal hcp) dan fasa σ yang rapuh (struktur kristal tetragonal) di sepanjang daerah interdendritic. Penambahan krom (Cr) dapat meningkatkan kekuatan paduan Co-Cr-Mo sekaligus menstabilkan fasa γ (struktur kristal fcc). Dengan demikian, peningkatan kadar Cr dan N diharapkan dapat meningkatkan kekuatan luluh (yield strength) dan kekuatan tarik (tensile strength) paduan Co-Cr-Mo, tanpa perlu dilakukannya proses cold working seperti tempa (forging). Komposisi paduan yang dibuat pada penelitian ini adalah 30 – 35%

Cr, 5% Mo ; 0,5 – 0,6% Mn ; 0,2 – 0,3% Si ; 1,5 – 1,6% N, dan sisanya Co. Uji korosi akan dilakukan dalam media larutan tubuh buatan atau SBF (Simulated Body Fluid) dan uji toksisitas akan dilakukan secara in vitro pada kultur sel endotel CPAE (ATCC-CCL 209).

PROSEDUR PERCOBAAN

Pembuatan sampel dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, mula–mula seluruh unsur pemadu ditimbang sesuai dengan persentasenya dengan jumlah total 30 g , kemudian di aduk dengan ball miling, pada kecepatan 400 rpm selama 30 menit. Setelah itu, seluruh serbuk yang sudah diaduk dikompaksi dengan ukuran masing–masing pelet 5–6 g. Tahapan akhir adalah seluruh pelet–pelet tersebut dilebur di dalam arc melting furnace dalam suasana inert dengan dialiri gas argon. Pencampuran unsur N dilakukan dengan menggunakan paduan CrN. Contoh ingot hasil peleburan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Sampel CoCrMo dengan penambahan unsure Mn ,Si dan N. Hasil peleburan dengan Tri Arc Melting Furnace

Analisis fasa dari paduan Co-Cr-Mo

dilakukan dengan metoda difraksi sinar X menggunakan alat difraksi Sinar – X merk Shimadzu tipe 610-XD .Analisis fasa dilakukan pada sampel Co-Cr-Mo dengan dan tanpa penambahan unsur nitrogen (N), dengan kondisi sampel berbentuk padatan. Uji korosi sampel Co-Cr-Mo dilakukan dengan metoda Potensiostat, menggunakan alat potensiostat – Galvanostat merk EG and G. Ukuran sampel untuk uji korosi adalah diameter 14 mm dan tebal 1 – 5

D = 25mm

Page 58: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Sintesis, Analisis Korosi…../ Sulistioso | 165

mm. Pada penelitian ini media yang digunakan adalah cairan tubuh buatan.

Uji toksisitas dilakukan dengan secara in vitro menggunakan media kultur sel endotel CPAE. Biocompatibilitas suatu bahan pada tempat implant, akan melibatkan suatu interaksi yang kompleks antar sel dan jaringan. Prosedur pengujian toksisitas yang digunakan sebagai berikut, mula–mula sampel Co-Cr-Mo dipotong–potong kecil dengan ukuran 2 x 5 x 1 mm, kemudian dibungkus rapat untuk disterilisasi dengan iradiasi sinar gama dengan dosis 25 kGy. Setelah itu, sampel yang sudah disterilisasi diuji toksisitasnya secara in vitro dengan meletakkannya dalam kultur sel CPAE yang telah berkonfluensi 50% (24 jam usia kultur sel).. Pemilihan sel endotel CPAE dilakukan karena di dalam tubuh proses pembentukan pembuluh darah baru sangat penting untuk memberi nutrisi dan membuang limbah. Pembuluh darah juga sensitif terhadap kontak dengan benda asing[1]

. Material komponen tempurung lutut buatan ini akan tertanam (implantasi) dalam tubuh untuk jangka waktu yang sangat lama. Maka diharapkan tidak ada toksisitas dari material implant Co-Cr-Mo dalam tubuh, yang dalam hal ini diwakilkan oleh kultur sel endotel.

HASIL PERCOBAAN Pola difraksi sinar – X tanpa penambahan unsur N dan pola difraksi sinar – X dengan penambahan unsur N ditunjukkan pada Gambar 2A dan 2B.

Co Cr Mo Panjang

0

20

40

60

80

100

120

140

160

0 20 40 60 80 100

2 theta

Inten

sitas

(cps

)

Gambar 2A. Pola difraksi Co-Cr-Mo sebelum ditambah unsur N

logam

0

20

40

60

80

100

120

140

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

2 theta

Inte

nsita

s

Gambar 2B. Pola difraksi Co-Cr-Mo setelah ditambah unsur N Pada Gambar 2A diatas fasa γ dan fasa ε tampak dominan, akan tetapi fasa ε tidak terlihat pada Gambar 2B. Hal ini disebabkan penambahan unsur nitrogen (N) dapat menstabilkan fasa austenit dan menekan pembentukan fasa ε.

Sifat fisik dari sistem Co-Cr serupa dengan Fe-Cr, karena itu penambahan unsur N diharapkan memiliki dampak yang serupa pada paduan Co-Cr . Penambahan unsur krom (Cr) dapat meningkatkan kekuatan paduan Co-Cr-Mo dan juga menstabilkan fasa γ. Tetapi, penambahan Cr ini cenderung mendorong terbentuknya fasa σ yang keras tapi getas. Sehingga penambahan Cr dan N akan meningkatkan kekuatan luluh (yield strength) dan kekuatan tarik (tensile strength) paduan Co-Cr-Mo. Penambahan Cr juga akan meningkatkan ketahanan korosi, karena Cr akan membentuk lapisan CrO dipermukaan sampel, yang merupakan lapis lindung dari proses oksidasi [6]

.

Gambar 3. Struktur mikro CoCrMo yang ditambah dengan Si, Mn dan N. Hasil peleburan dengan Tri Arc Melting furnace

Pola difraksi Co-Cr-Mo tanpa N

Bag. Dalam sampel

Bag. Luar sampel

γ ε

Page 59: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

166 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 163-168

Pada Gambar 3 diatas tampak struktur cor, berbentuk dendrit dan tidak tampak pori–pori. Hal ini menunjukkan bahwa peleburan dengan arc melting dalam suasana argon memberikan hasil yang baik. Bagian luar sampel mempunyai struktur yang lebih halus karena membeku terlebih dahulu. Sedangkan pada bagian dalam, diperoleh butir-butirnya lebih kasar karena panas di bagian dalam dapat bertahan beberapa saat yang memungkin butir–butirnya membesar. Uji korosi dilakukan dengan alat Potensiostat EG & G pada media air demineralisasi dan media larutan tubuh buatan (SBF) dengan hasil sebagaimana berikut: Tabel 1. Hasil uji korosi CoCrMo implan dalam air demineralisasi dan larutan tubuh buatan (SBF)

Media Laju korosi (mpy) Air demineralisasi 0,0249

Larutan tubuh (SBF) 0,0360

Hasil uji korosi pada logam SS 316L, dengan alat dan media SBF yang sama adalah 0,138[7]. Hasil uji korosi pada Tabel 1 diatas menunjukkan ketahanan korosi yang baik jika dibandingkan dengan ketahanan korosi dari material SS 316L komersil. Kandungan dari larutan SBF yang digunakan untuk uji korosi pada suhu 37o

MgCl2.H2O 0,305 g/l;

C pada penelitian ini adalah sebagai berikut: NaCl, 6,547 g/l; NaHCO3 2,268 g/l; KCl 0,372 g/l; Na2HPO4 0,124 g/l;

CaCl2.2H2O 0,368 g/l; Na2SO4 0,071 g/l.

Jumlah larutan yang digunakan untuk setiap kali pengukuran adalah sebanyak 600 ml.

Setelah 72 jam dan 144 jam pasca pemberian sampel, sel diamati secara mikroskopik dengan mengamati morfologi sel serta jumlah sel yang hidup. Hasil yang diperoleh ditampilkan pada Gambar 4 a-d. Hasil pengamatan 72 jam pada sumur yang diberi sampel, sel CPAE tidak mengalami perubahan morfologi dengan jumlah 100.000 sel per sumur yang sedikit di bawah jumlah sel tanpa sampel, yaitu 120.000 sel per sumur. Jumlah lebih rendah pada sumur yang ditambahkan sampel diduga karena proses adaptasi sel adanya benda asing di lingkungan tumbuhnya. Dugaan ini didukung dengan hasil pengamatan sel setelah 144 jam atau 6 hari inkubasi (Gambar 4d), yaitu morfologi sel tidak menunjukkan abnormalitas serta jumlah sel pada kultur yang diberi sampel sama dengan sel control (Gambar 4a).

Hal ini menegaskan telah terjadinya adaptasi sel terhadap benda asing karena setelah 144 jam, sel CPAE sudah dapat menyesuaikan diri dengan ditunjukkan jumlah sel yang sama dengan kontrol sel. Pemberian sampel pada kultur sel endotel CPAE tidak mengakibatkan perubahan morfologi sel yang normal dan jumlah sel per sumur sama dengan kontrol yang tidak ditambahkan sampel implan.

Page 60: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Sintesis, Analisis Korosi…../ Sulistioso | 167

Gambar 4. a) kultur sel CPAE 24 jam, b) kultur sel CPAE 144 jam c) kultur sel CPAE setelah penambahan sampel 72 jam d) kultur sel CPAE setelah penambahan sampel 144 jam KESIMPULAN

Paduan Co-Cr-Mo dengan komposisi : 30 – 35% Cr ; 5% Mo ; 0,5 – 0,6% Mn ; 0,2 – 0,3% Si ; 1,5 – 1,6% N, dan sisanya Co yang dibuat dengan metoda peleburan (casting) menggunakan alat Tri Arc Melting Furnace , komposisi tersebut merupakan modifikasi dari komposisi ASTM F75. Paduan Co-Cr-Mo pada penelitian ini mempunyai ketahanan korosi yang baik, fasa yang dominan adalah fasa γ dan tidak menyebabkan toksisitas terhadap kultur sel endotel CPAE. DAFTAR PUSTAKA [1] Buddy D.Ratners, Allan S. Hoffman,

Frederick J.Schoen , Jack E. Lemon. 2004 “Biomaterials Science, An Introductions to Materials in Medicine” 2nd

[2] David A. Puleo, Rena Bizios, Kay C.Dee. 2002. “ Tissue – Biomaterials Interactions, an introductions “., John Wiley & SonsNew Yersey USA.

Edition. Elsevier. California USA.

[3] David Bombač, Miha Brojan, Peter Fajfar, Franc Kosel, Rado Turk, 2007 “ Review of materials in medical applications, RMZ” – Materials and Geoenveron ment, Vol. 54, No. 4, pp. 471-499.

[4] Syarif Junaidi . 2009/08/”Biomaterial Berbasis Logam.” http://www.infometrik.com/ biomaterial-berbasis-logam/Aplikasi Teknologi, Featured, Material Sains .Diakses April 2011.

[5] Manivasagam G, Dhinasekaran D, Rajaminickam A. 2010. Biomedical implants: corrosion and its prevention – a review. Recent Patents on Corrosion Science 2: 40-54.

[6] S-.H. Lee, N. Nomura, A. Chiba 2007, “Microstructures and Mechanical properties of biomedical Co-Cr-Mo alloys with combination of N addition and Cr-enrichment.” 1st Asian Biomaterials Congress, December 6-8, , Tsukuba, Japan.

[7] Dedi Setiawan , 2009 . “Pengaruh Nitridasi Terhadap Ketahanan Korosi Stainless Steel AISI 316L Dalam Cairan Tubuh Tiruan.” Tesis, Jurusan Fisika. FMIPA – ITS Surabaya.

Page 61: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

168 | Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188/ hal 163-168

Page 62: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Indeks |

Indeks Penulis

A Andika WP 163

B Bambang Sriyono 129 Bintang Adjiantoro 153 Budi Priyono 119

C Cahyo Sutowo 119

E Eddy P. Utomo 119 Edi Herianto 147

F Fatayalkadri Citrawati 129

I Ika Kartika 119, 155 Irma Suparto 163

L Lusiana 147

P Pius Sebleku 139

S Saefudin 115 Sigit DY 147 Silmi Mariya 163 Sulistioso GS 163

T T. Arini 119

Page 63: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

| Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188

Page 64: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

Indeks |

Indeks

A Aniling 129, 130, 131, 132, 133, 134,

135, 136, 137, 138 Annealing 129 Al-17Mg-1Si alloy 155

B Baja tahan karat feritik 129, 130, 137

C CaMnO3

Cracking 125, 155

147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154

Co-Cr-Mo 163, 164, 165, 167 Cu-Nb-Sn 139, 140, 144 Corrosion 121, 138, 163, 167

E Energi 120, 123, 147, 148 Energy 123, 147 Exhaust valve plate 119 Endothelial cell culture CPAE 163

F Fasa eutektik Mg2Fenomena sliding wear 119, 126, 127

Si 155, 160

Fatigue fracture 119 Ferritic stainless steel 129, 138

H High temperature 128, 129, 138, 139 Heat treatment 128, 129, 142, 144 Hot shortness 155

I Internal tin 139, 140, 143 In vitro toxicity 163

K

Kawat superkonduktor 139, 140, 142, 143

Korosi 119, 120, 121, 123, 124, 127, 154, 163, 164, 165, 166, 167

Kultur sel endotel CPAE 163, 164, 165, 166, 167

L Lapisan piringan katup buang 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127

M Material tahan aus berbasis kobalt 119, 123 MRI 121, 128, 129, 130 Mg2Si eutectic phase 155

N Nb-Sn 139, 140, 141, 143, 144 NMR 139, 140 n- type 147

O Oksidasi 121, 129, 131, 133, 135, 137,

143, 165 Oxidation 129, 138

P Paduan Al-17Mg-1Si 155, 156, 158, 159 Patah lelah. 119, 124, 126, 128 Perlakuan panas 129 Proses pembekuan cepat dengan twin roll pengecor 155, 156, 158, 159

R Rapuh panas 155 Retak 119, 121, 124, 125, 128, 155, 156,

157, 158, 159, 160, 161 Rapid solidification process by twin roll caster 155

Page 65: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

| Majalah Metalurgi, V 25.3.2010, ISSN 0126-3188

S Sliding wear phenomena 119 Superconductor wire 139, 145

T Temperatur tinggi 119, 120, 123, 124,

129, 130 Thermoelectrik 147

Toksisitas in vitro 163 Type-n 147, 153 Thermoelectric 147, 148, 154

W Wear resistant material of cobalt base alloy 119

Page 66: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

PANDUAN BAGI PENULIS

1. Penulis yang berminat menyumbangkan hasil karyanya untuk dimuat di dalam majalah Metalurgi, diharuskan mengirim naskah asli dalam bentuk final baik hardcopy atau softcopy (dalam file doc), disertai pernyataan bahwa naskah tersebut belum pernah diterbitkan atau tidak sedang menunggu penerbitannya dalam media tertulis manapun.

2. Penulis diminta mencantumkan nama tanpa gelar, afiliasi kedudukan dan alamat emailnya setelah judul karya tulisnya, dan ditulis dengan Times New Roman (TNR), jarak 1 spasi, font 12.

3. Naskah harus diketik dalam TNR font 12 dengan satu (1) spasi. Ditulis dalam bentuk hardcopy dengan kertas putih dengan ukuran A4 pada satu muka saja. Setiap halaman harus diberi nomor dan diusahakan tidak lebih dari 30 halaman

4. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, harus disertai dengan judul yang cukup ringkas dan dapat melukiskan isi makalah secara jelas. Judul ditulis dengan huruf kapital menggunakan TNR font 14 dan ditebalkan. Untuk yang berbahasa Indonesia, usahakanlah untuk menghindari penggunaan bahasa asing.

5. Isi naskah terdiri dari Judul naskah, Nama Pengarang dan Institusi beserta email, Intisari/Abstract, Pendahuluan, Tata Kerja/Prosedur Percobaan, Hasil Percobaan, Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka, Ucapan Terimakasih dan Riwayat Hidup. Pakailah bahasa yang baik dan benar, singkat tapi cukup jelas, rapi, tepat dan informatif serta mudah dicerna/dimengerti. Sub judul ditulis dengan huruf kapital TNR font 12, ditebalkan tanpa penomoran urutan sub judul, misalnya : PENDAHULUAN PROSEDUR PERCOBAAN, dan seterusnya.

6. Naskah harus disertai intisari pendek dalam bahasa Indonesia dan abstract dalam bahasa Inggris ditulis TNR 10 jarak 1 spasi diikuti dengan kata kunci/keywords ditulis miring. Isi dari intisari/abstract merangkum secara singkat dan jelas tentang : • Tujuan dan Ruang Lingkup Litbang • Metoda yang Digunakan • Ringkasan Hasil • Kesimpulan

7. Isi pendahuluan menguraikan secara jelas tentang : • Masalah dan Ruang Lingkup • Status Ilmiah dewasa ini • Hipotesis • Cara Pendekatan yang Diharapkan • Hasil yang Diharapkan

8. Tata kerja/prosedur percobaan ditulis secara jelas sehingga dapat dipahami langkah- langkah percobaan yang dilakukan.

9. Hasil dan pembahasan disusun secara rinci sebagai berikut : • Data yang disajikan telah diolah, dituangkan dalam bentuk tabel atau gambar, serta diberi

keterangan yang mudah dipahami. Penulisan keterangan tabel diletakkan di atas tabel, rata kiri dengan TNR 10 dengan spasi 1. Kata tabel ditulis tebal. Akhir ketrangan tidak diberi tanda titik .

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA P U S A T P E N E L I T I A N M E T A L U R G I Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15314, Tlp.021-7560911 Fax. 021-7560553

Page 67: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

PANDUAN BAGI PENULIS

Contoh : Tabel 1. Harga kekerasan baja SS 316L Penulisan keterangan gambar ditulis di bawah gambar, rata kiri dengan TNR 10 jarak 1 spasi, format “in line with text”. Kata gambar ditulis tebal. Akhir ketrangan tidak diberi tanda titik. Contoh : Gambar 1. Struktur mikro baja SS 316L

• Pada bagian pembahasan terlihat adanya kaitan antara hasil yang diperoleh dengan konsep dasar dan atau hipotesis

• Kesesuaian atau pertentangan dengan hasil litbang lainnya • Implikasi hasil litbang baik secara teoritis maupun penerapan

10. Kesimpulan berisi secara singkat dan jelas tentang : • Esensi hasil litbang

Penalaran penulis secara logis dan jujur, fakta yang diperoleh 11. Penggunaan singkatan atau tanda-tanda diusahakan untu memakai aturan nasional atau

internasional. Apabila digunakan sistem satuan maka harus diterapkan Sistem Internasional (SI)

12. Kutipan atau Sitasi • Penulisan kutipan ditunjukkan dengan membubuhkan angka (dalam format superscript)

sesuai urutan. • Angka kutipan ditulis sebelum tanda titik akhir kalimat tanpa spasi, dengan tanda kurung

siku dan tidak ditebalkan (bold). • Jika menyebut nama, maka angka kutipan langsung dibubuhkan setelah nama tersebut. • Tidak perlu memakai catatan kaki. • Urutan dalam Daftar Pustaka ditulis sesuai dengan nomor urut kutipan dalam naskah.

Contoh: Struktur mikro baja SS 316L[2]. 13. Penyitiran pustaka dilakukan dengan memberikan nomor di dalam tanda kurung. Daftar

pustaka itu sendiri dicantumkan pada bagian akhir dari naskah. Susunan penulisan dari pustaka sebagai berikut : 1. Buku dengan satu pengarang atau dua pengarang (hanya nama pengarang yang

dibalik) : [1] Peristiwady, Teguh. 2006. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia : Petunjuk Identifikasi. Jakarta : LIPI Press. [2] Bambang, Dwiloka dan Ratih Riana. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta : Rineka Cipta.

2. Buku dengan tiga pengarang atau lebih [1] Suwahyono, Nurasih dkk. 2004. Pedoman Penampilan Majalah Ilmiah Indonesia. Jakarta : Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI.

3. Buku tanpa nama pengarang, tapi nama editor dicantumkan. [1] Brojonegoro, Arjuno dan Darwin (Ed.). 2005. Pemberdayaan UKM melalui Program Iptekda LIPI, Jakarta : LIPI Press.

4. Buku tanpa pengarang, tapi ditulis atas nama Lembaga. [1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Nasional. 2006. Kamus Besar bahasa Indonesia Jakarta : Balai Pustaka.

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA P U S A T P E N E L I T I A N M E T A L U R G I Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15314, Tlp.021-7560911 Fax. 021-7560553

Page 68: VOLUME 25 NOMOR 3, DESEMBER 2010 ISSN 0126 – 3188

PANDUAN BAGI PENULIS

5. Artikel dari Jurnal/majalah dan koran (bila tanpa pengarang) [1] Haris, Syamsudin. 2006.,,Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik.: 67-76 Jakarta.

6. Artikel dari bunga rampai [1] Oetama, Yacob. 2006.,, Tradisi Intelektualitas, Taufik Abdullah, Jurnalisme Makna”. Dalam A.B. Lapian dkk. (Ed.), Sejarah dan Dialog Peradaban. Jakarta : LIPI Press.

7. Bahan yang belum dipublikasikan atau tidak diterbikan [1] Wijana, I dewa Putu. 2007.,,Bias Gender pada Bahasa Majalah Remaja”. Tesis, Fakultas Ilmu Budaya Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

8. Bahan yang belum dipublikasikan atau tidak diterbikan

[1] Wijana, I dewa Putu. 2007.,,Bias Gender pada Bahasa Majalah Remaja”. Tesis, Fakultas Ilmu Budaya Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

9. Tulisan Bersumber dari Internet [1] Rustandy, Tandean. 2006 “Tekan Korupsi Bangun Bangsa”. (http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1291, diakses 14 Januari 2007)

14. Ucapan terimakasih ditulis dengan huruf kapital TNR font 12 dan ditebalkan. Isi dari ucapan terimakasih ditulis dengan TNR 12 dan spasi 1.

15. Naskah yang dinilai kurang tepat untuk dimuat di dalam majalah akan dikirim kembali kepada penulis. Saran-saran akan diberikan apabila ketidak tepatan tersebut hanya disebabkan oleh format atau cara penyajian.

16. Penulis bertanggung jawab penuh atas kebenaran naskahnya. 17. Setiap penerbitan tidak ada dua kali atau lebih penulis utama yang sama. Apabila ada, salah

satu naskahnya penulis utama tersebut ditempatkan pada penulis kedua.

Serpong, 8 Juni 2009 Redaksi Majalah Metalurgi

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA P U S A T P E N E L I T I A N M E T A L U R G I Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15314, Tlp.021-7560911 Fax. 021-7560553