179
Nur Farida Apandi Winning Fano’s Feeling Leg 1 daydREaM Publishing

winning fano feeling

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: winning fano feeling

Nur Farida Apandi

Winning Fano’s Feeling

Leg 1

daydREaM Publishing

Page 2: winning fano feeling

2

WINNING FANO’S FEELING

Oleh: Nur Farida Apandi

Copyright © 2010 by Nur Farida Apandi

Penerbit

daydREaM Publishing

Desain Sampul:

Nur Farida Apandi

Diterbitkan melalui:

www.nulisbuku.com

Page 3: winning fano feeling

3

“..untuk Ayah di surga yang pertama mengenalkan penulis pada dunia sepakbola serta kedua saudara laki-lakiku yang menjadi

teman diskusi bola paling seru. Big Hug..”

Page 4: winning fano feeling

4

BABAK 1

Pemirsa RCTI Sport, demikianlah telah kita saksikan bersama jalannya pertandingan babak pertama antara tuan rumah ‘La Beneamata’ Inter Milan melawan tim tamu ‘Los Blaugrana’ Barcelona dalam big match semi final Liga Champions. Selama menunggu kick of babak kedua, terlebih dulu kita berbincang-bincang mengenai ulasan pertandingan babak pertama dan prediksi babak selanjutnya bersama komentator kita pagi hari ini, Bung Ropan. Jam boleh menunjukan pukul setengah empat pagi, namun suasana sepi tidak nampak di ruang keluarga Rema. Seperti biasa, pada jam-jam penayangan pertandingan bola seperti ini, Rema bersama sang ayah serta kakak cowoknya selalu siap stay tuned di depan televisi. “Ayah gimana, masih tetap mau jagoin Barcelona? Kebalas 1-1 nih. Babak dua pasti tuan rumah unggul jauh.”, tantang Rema, mulai melancarkan aksi saling ejek yang biasa ia lakukan bareng sang ayah dan kakak. Berhubung sang kakak yang seorang wartawan bola sedang bertugas meliput berita ke luar negeri, jadinya malam ini permainan saling ejek hanya diikuti dua kontestan.

“Eh Re, babak pertama Barca bisa mencuri gol lebih dulu. Lihat saja hasil akhirnya nanti pasti 2-1 buat Barca.”, tantang balik ayah. “Boo!”, ejek Rema sambil mengangkat kedua jempolnya menungging ke bawah. ”Oke, mending kita taruhan aja. Kalo prediksi Ayah kebukti Rema akan pijitin ayah satu jam penuh setiap habis pulang kerja selama seminggu gratis. Tapi kalo Inter yang menang, privilege-nya uang jajan Rema naik dua kali lipat selama seminggu.” Ayah mempertimbangkan terlebih dulu usulan taruhan yang ditawarkan putri semata wayangnya. Sementara Rema, sambil tersenyum licik, dengan sabar ia menanti sambutan uluran tangan Ayah yang berarti menandakan kesepakatan. “Ayo dong, yah! Deal or no deal!”, desak Rema mengikuti gaya presenter kuis di televisi. Setelah mantap berpikir, akhirnya Ayah memberikan jawaban, “Oke, deal, Ayah terima tantangan kamu. Paling juga nanti kamu mesti siap-siap melatih otot jari kamu di pundak ayah selama seminggu. Hahaha!”

“Kita lihat saja nanti.”, komentar Rema lebih yakin lagi. Keduanya kembali fokus menunggu kelanjutan pertandingan.

ZLEEEEP!!! Tak ada petir tak ada hujan dalam sekejap layar kaca televisi mendadak berubah hitam, gelap, alias mati. Rema dan

Page 5: winning fano feeling

5

Ayah seketika saling bertatapan syok mendapati kejadian tragis tersebut. “Ayah, tv-nya kenapa?”, tanya Rema bingung sembari memukul-mukul tv besar yang ada dihadapannya, mencoba cara tradisional untuk menghidupkan kembali si tv. Setali tiga uang Ayah pun sama tidak tahunya dengan sang putri. Setelah diusut, misteri mendadak matinya televisi pun terungkap plus sang aktor dibalik kejadian tersebut.

“Ya ampuun! Ayah! Rema! Ini tuh jam setengah tiga pagi, bukan siang. Kalian mau nonton bola sampai kapan? Memang besok kamu sekolah siang, Re? Ayah juga, bukannya besok ada jadwal pimpin pertandingan? Bukannya pada istirahat, ini malah bikin gaduh di pagi buta.” Demikianlah serentetan omelan yang tidak jarang terdengar juga di saat-saat seperti ini, setidaknya untuk seminggu kebelakang. Bagi Ayah juga Rema, kehadiran beserta omelan Ibu ini tidak hanya terdengar sebagai kemarahan biasa tapi juga bunyi peluit panjang yang menandakan pertandingan harus segera berakhir, meski pertandingannya sendiri masih menyisakan satu babak.

“Iih, Ibu kenapa sih? Lagi-lagi omelin Rema karena nonton bola. Ibu kan tahu Rema itu gak bisa bolos nonton bola, apalagi buat pertandingan big match seperti sekarang!”, protes Rema diikuti anggukan tanda dukungan dari Ayah di belakang.

“Iya, tapi kalo sebagai gantinya kamu jadi bolos sekolah, ibu gak bisa tolerir lagi. Ngerti!”, ancam Ibu dengan ekspresi jauh lebih galak.

“Siapa yang bolos sekolah? Ibu suka ngasal deh!”, bantah Rema dengan suara tegas, keras dan meyakinkan, “orang Rema bolosnya cuma jam pertama aja kok.”, lanjutnya namun dengan suara yang sangat-sangat kecil cenderung berbisik hingga bisa dipastikan tidak mungkin terdeteksi oleh telinga manusia dengan jelas.

“Apa??”, tanya Ibu yang walaupun tidak mendengar jelas kelanjutan ucapan Rema tapi tetap merasa curiga dengan isi ucapannya. Sebelum keadaan makin memanas, Ayah buru-buru menyenggol lengan Rema supaya diam. “Tenang Bu, tenang!” Ayah coba jadi penengah, “Ya sudah, biar Ibu tenang, kita udahan nonton bolanya. Re, kamu balik tidur ke kamar kamu sana!”, perintah Ayah, dengan hati-hati mengambil remote tv dari tangan ibu untuk kemudian meletakkannya di atas meja.

Meski tidak rela, Rema akhirnya setuju untuk menghentikan acara nonton bola dan dengan terpaksa kembali pergi tidur ke kamarnya di lantai atas.

Page 6: winning fano feeling

6

“Aduuh! Betee!”, teriak Rema dengan kencang pagi harinya di kantin sekolah ketika jam istirahat berlangsung. Razy dan Indah, sahabat terdekatnya, menatap penuh kasihan atas penderitaan yang dialami Rema, dengan setia mereka selalu siap sedia buka telinga mendengarkan segala keluh kesah Rema. “Ibu gue tuh kenapa sih akhir-akhir ini kerjaannya marah-marah mulu! Gue maen bola sama anak-anak kompleks, marah. Beli koran, majalah, sama poster bola, marah juga. Bilangnya gue itu buang-buang duit, ‘mendingan uangnya ditabung, Rema sayang!’ gitu katanya. Dan terakhir nih, tadi pagi banget pas gue lagi nonton champions league bareng bokap, untuk ke tiga kalinya dia ngomel-ngomel cuma karena kita nonton bola, sukses bikin pertandingan berakhir menggantung buat gue.” Rema mengambil napas sejenak setelah cukup panjang berorasi. Hal itu kemudian dimanfaatkan Indah untuk berkomentar, “Gue rasa sih Re, gak ada alasan lain yang bisa jelasin sikap antipati bola nyokap lo akhir-akhir ini selain karena prestasi sekolah lo yang makin mengecewakan.”

“Hah? Gak salah ngomong lo, Ndah. Emang gue bikin kecewa apa sama nyokap gue?”

“Banyak. Peringkat kelas lo contohnya yang makin menurun. Emang sih lo masih bisa masuk lima besar semester kemarin. Tapi kalo lo nyari masalah terus dengan sering kesiangan dan bolos jam pertama. Udah gitu ditambah pilihan lo yang tetap gak mau ikut klub ekskul apapun. Padahal kita semua tahu kalau di sekolah kita yang tercinta ini keaktifan di ekskul itu amat sangat penting. So, gue cuma bisa kasih saran supaya lo say goodbye dengan tekad lo untuk merebut kembali tahta juara kelas dari Razy. Dan yang ada peringkat lo tuh bakalan makin jauh turun, mungkin sampai out sepuluh besar.”

Tubuh Rema bergidik ngeri. “Iih Indah, tega banget sih lo gambarin keadaan gue semengerikan itu. Lo sendiri juga gak lebih baik dari gue.”, balas Rema membela diri, walau dalam hati kecil ia sedikit membenarkan ucapan Indah tersebut. Di sekolahnya ini, SMU Pelita Unggulan, semua murid unggulan berkumpul dan saling bersaing ketat. Persaingan pun merata di segala bidang tidak hanya dalam akademik, tapi juga di bidang kesenian, olahraga, musik, sains, serta kekayaan. Dan Rema yang sudah pasti tidak memiliki keunggulan di lima bidang terakhir yang disebutkan tadi, setidaknya dalam akademik ia berusaha untuk memperlihatkan keunggulan. Yah, itu pun masih sejauh ini.

Kembali ke perdebatan antara Rema dan Indah, tentunya Indah tidak tinggal diam mendengar omongan Rema yang balik menyindirnya itu. Sebagai peraih sepatu emas ‘miss bawel’ –versi FIFA yang

Page 7: winning fano feeling

7

Presiden direkturnya Rema-, adrenalinnya tentu terpacu untuk kembali menggocek mulut. “Jangan tersinggung ya Re! Gue itu berbicara sesuai fakta. Kenapa? soalnya masalah yang kita hadapi masing-masing itu beda. Begitu REal MAdrid-ku sayang!”

“Hus! Indah!”, protes Rema buru-buru dengan mata melotot. Bukan karena kata-kata awal omongan Indah, tapi lebih karena panggilan terakhir Indah yang menyebutkan langsung akronim namanya. Yup. Nama Rema yang diberikan sang ayah tersebut merupakan kepanjangan dari nama salah satu klub sepak bola ternama yang bermarkas di Madrid Spanyol, klub Real Madrid. Bukan tanpa alasan sang ayah memberi nama tersebut bagi anak kedua yang juga merupakan anak bungsunya itu. Julukan Los Galacticos yang berarti tim bertabur bintang yang disandang sang klub menjadi alasan utama untuk kembali mengabadikan nama klub sepakbola pada buah hatinya. Ayah ingin putri tercintanya itu selalu jadi bintang yang bersinar terang di kehidupannya. Sebelumnya Ayah memberikan nama ‘Chester’ bagi putra pertamanya, kakak Rema, yang diambil dari penggalan nama klub di Liga Inggris, Manchester United.

“Lo kurang kenceng nyebutin nama panjang gue. Sekalian aja lo ke ruang informasi dan ulangi ucapan lo tadi.”, sindir Rema kesal dengan tindakan sembrono Indah. Wajar jika Rema sedikit naik pitam mendengar namanya disebut secara lengkap seperti tadi. Bukan karena ia malu atau tidak bangga. Bukan, sama sekali bukan. Rema justru sangat bangga. Hanya saja ia memiliki trauma dengan sejarah namanya tersebut yang sering dijadikan bahan ejekan oleh teman-teman sekelasnya ketika duduk di bangku sekolah dasar.

“Ups,, sori Re. Gue gak sengaja. Suaranya kekencengan ya tadi?”, sesal Indah betul-betul. Tidak lama, Rema pun tersenyum menanggapi permohonan maaf sahabat dari SMA-nya tersebut. “Gak apa-apa Ndah. Gue tahu lo pasti gak sengaja. Tapi ntar-ntar lo mesti lebih hati-hati ya. Ini di kantin Ndah!”, tegur Rema mengingatkan.

“Iya,,iya,, kan gue keceplosan tadi.” “Ya..ya..ya.” “Nah, gitu dong! Oke, lanjut. Jadi maksud gue dengan kondisi

kita yang berbeda itu, karena nyokap lo sangat teramat berharap lo bisa dapatin beasiswa ke Perguruan Tinggi dari sekolah. Dan itu hanya bisa terwujud kalo lo berprestasi bagus dan menangin seleksi beasiswa yang super ketat itu. Sedang gue, masa bodoh kali nyokap-bokap mau rapor gue biasa-biasa aja juga, yang penting jangan hancur. Hehehe”

Rema terdiam. Terngiang ucapan Ibu yang selalu menaruh harapan besar padanya, “Ibu itu cuma lulusan SMA, gak punya

Page 8: winning fano feeling

8

kemampuan apa-apa, jadi gak bisa bantu Ayah cari uang. Sedang Ayah, kamu sendiri tahu kan bagaimana pekerjaannya. Gaji jadi wasit emang besar! Belum lagi kalau sedang libur liga. Apalagi pas nanti pensiun. Mana ada tunjangan seperti pegawai negeri! Mau cari kerjaan lain, susahnya minta ampun.” Sesak dada Rema setiap teringat curahan hati Ibunya tersebut. Beban berat sebesar gunung serasa bertengger di pundaknya. Ia memang bukan Indah yang berayahkan seorang pejabat tinggi atau Razy yang walaupun perekonomian keluarganya tidak jauh berbeda dengan dirinya, tapi sahabatnya itu memiliki pegangan beasiswa dari Universitas di Singapura berkat keberhasilannya meraih medali perak di ajang olimpiade kimia se-dunia tiga bulan lalu. Sedang dirinya, walau dua kali pernah jadi juara kelas, yaitu ketika semester 1-2 kelas X dan terakhir turun ke peringkat lima di kelas XI semester 1 kemarin. Tidak ada prestasi membanggakan lain yang pernah ia raih. Selain itu, keadaannya yang tidak melibatkan diri aktif di kegiatan ekstrakulikuler apapun di sekolah, membuatnya sulit untuk mendapatkan nilai tambahan sebagai penunjang prestasi.

“Udah Re, lo gak usah murung gitu. Gimana kalau lo gabung ke klub kimia bareng gue? Kalau lo aktif terus disana, lo bisa dapatin banyak peluang beasiswa. Apalagi klub kimia kita punya nama baik di dalam dan luar sekolah.”, bujuk Razy akhirnya ikut bergabung dalam perbincangan setelah sebelumnya hanya menyibukkan diri dalam benaman koran yang rutin dibaca setiap hari.

Indah mendelik tak setuju ke arah Razy. “Eh, Zy apa lo main doktrin-doktrinan segala! Jangan Re, lo gabung di klub renang aja bareng gue. Gue jamin dalam tiga bulan tubuh lo akan berubah se-Indah tubuh gue. Hohoho!”, promo Indah dengan bangga sambil berpose-pose centil layaknya foto model.

“Hahaha! Aduh Re, jangan sampe deh lo dengar omongan cewek super pede ini. Bodi bagus emang bisa bantuin apa?”, balas Razy. Membuat suasana berubah panas.

Sreeet!!! “Eh, otak molekul. Mulai merasa kecakepan yah lo. Mentang-mentang label lo sekarang sebagai mantan ‘juara olimpiade kimia.” Indah marah besar sampai-sampai menarik koran yang sedang dibaca Razy hingga jatuh ke lantai.

“Yah setidaknya ada yang bisa gue banggain dalam diri gue.” “Hah!? Sombong banget lo Zy! Rema, lo putusin deh, diantara

ajakan gue sama si kunyuk ini mana yang lo pilih. Gue kan!” Tidak ada sahutan yang terdengar dari kubu Rema. Dan betapa kagetnya Indah juga Razy, ketika mereka mengalihkan pandangan kembali pada Rema, dilihatnya sang sahabat tengah sibuk menjelajahi isi koran yang tadi

Page 9: winning fano feeling

9

dibaca Razy. “ ‘Liga Champions: Inter Milan Tumbangkan Barcelona 3-1.’

Yes! Yes! Asyiik!!” Rema berteriak kegirangan usai membaca sebaris headline dalam kolom olahraga koran. Razy dan Indah berubah diam terpaku melihat perubahan drastis sikap Rema. Senyum-senyum sendiri yang dilanjutkan dengan aksi loncat-loncat dan joget kegirangan. Kelakuannya ini bisa diibaratkan seperti orang yang baru mendapati dirinya dikutuk sekaya Bill Gates. “Lo kenapa Re? Belum ada lima menit lo merengek-rengek bilang bete. Sekarang kok lo malah mendadak super happy gitu.”, tanya Indah kebingungan.

“Hahaha! gimana gue gak mendadak girang Ndah. Gue baru ingat tadi pas lihat korannya Razy. Sebelum nyokap datang merusak acara nobar tuh gue sempat taruhan dulu sama bokap. Nah, pas gue cek rubrik olahraga dan lihat hasil akhir pertandingan, ternyata jagoan gue menang. Itu berarti gue menang taruhan dan selama seminggu dompet gue bakal dua kali lebih tebal dari biasanya. Hahaha! Money,money, come to mama!” Razy dan Indah langsung terduduk lesu usai mendengar penjelasan Rema. Dikira ada kejadian besar apa. Mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan kegilaan Rema dalam berselebrasi.

“Hai Zy, Indah, Rema!”, sapa seorang cewek yang tiba-tiba datang menghampiri meja ketiganya. Nampak cewek cantik itu sudah tidak asing lagi bagi Rema-Indah-Razy. “Mmm, gue ganggu yah?” tanya ‘tamu tak diundang’ tersebut.

“Enggak lah Rin, lo ini kayak lagi ketemu siapa aja.”, jawab Razy, satu-satunya orang yang bersikap welcome. Reaksi yang jauh berbeda diperlihatkan Indah dan Rema yang jangankan untuk menjawab sapaan cewek bernama Airin tersebut, melihat ke arahnya saja mereka enggan.

“Tumben Rin akhir-akhir ini lo sering nyapa kita bertiga lagi. Aneh.”, sindir Indah penuh curiga. “Hus! Indah! apanya yang aneh? Airin kan dulu sahabat kita juga. Wajar kalo dia sapa kita bertiga.”, debat Razy lengkap dengan tatapan awasnya.

“Iya, DULU Airin emang sahabat kita. Sebelum dia masuk tim cheers sekolah, gabung sama geng barunya yang sok eksklusif dan mulai menjauhi sahabat-sahabat lamanya.”, timpal Indah ketus. Airin memilih diam dan hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan pedas Indah. Bagaimana pun dia tidak bisa menyangkal semua kebenaran tersebut. “Maksud kedatangan gue kesini. Gue cuma pengen ngomong sesuatu sama lo Re.”, ucap Airin tenang, membuat tenggorokan Indah makin tersedak karena sindirannya tadi tidak ditanggapi oleh Airin.

Page 10: winning fano feeling

10

Sebelum Indah kembali mengeluarkan kata-kata pedasnya, Razy langsung berinisiatif menyambungkan perbincangan, “Lo mau ngomongin hal penting sama Rema? Apa perlu gue dan Indah tinggalin kalian berdua buat ngobrol?” Loh-loh,, kenapa nama gue disebut-sebut. Kalau mau pergi, pergi aja sendiri, rutuk Indah dalam hati, tidak terima namanya dibawa-bawa Razy.

“Nggak, nggak perlu Zy. Gue cuma bentar kok.” Airin memberi senyum hangat pada Razy sebelum pandangannya beralih pada Rema. “Re, gue pengen ucapin banyak makasih sama lo. Keputusan lo kemarin benar-benar di luar dugaan dan gue sangat-sangat bersyukur untuk itu.” Indah dan Razy memasang wajah bingung, tidak mengerti sama sekali maksud ucapan Airin.

“Lo tahu gue gak punya pilihan lain.”, sahut Rema pelan dan datar. Makin membuat kepala Indah dan Razy dipenuhi tanda tanya.

“Iya gue tahu, dan karena itu gue juga ingin meminta maaf sama lo karena udah pake cara seperti itu.” Rema tak memberi tanggapan kali ini. “Oh yah, besok siang sepulang sekolah rencana awal akan dilaksanakan. Kehadiran lo sangat-sangat penting, untuk itu gue minta lo datang. Soal tempat nanti gue kabari. Bisa kan Re?” Rema menghela nafas panjang untuk kemudian mengangguk setuju. Airin tersenyum lebar menerima kesediaan Rema. “Apa yang pengen gue omongin semuanya udah gue sampaiin. Kalau gitu gue cabut dulu Re, Zy, Ndah. Sori udah ganggu waktu kalian.”, pamit Airin sebelum berlalu pergi.

Suasana meja mendadak hening sepeninggal Airin dan segala misteri yang ia munculkan. Indah dan Razy membisu dalam kebingungan. Sementara Rema membisu dalam kegalauan. “Re, gue kok gak ngerti yah sama omongan Airin barusan. Maksud omongan dia apa sih?”, tanya Indah memecah kesunyian.

“Iya Re, gue juga nggak ngerti sama omongan Airin tadi, sekalipun IQ gue jauh diatas si bodi kerempeng ini. Lo udah berbuat apa sih sampai Airin berterimakasih kayak gitu? Lalu rencana apa yang dimaksud Airin? Jangan-jangan soal permintaan Airin sebelumnya itu..”

“Heh! Maksud lo apa Zy hina-hina badan gue! Dasar otak molekul. Tampang lo tuh ketuaan dua puluh tahun!”

Teeet!! Bel tanda masuk kelas terlanjur berbunyi sebelum rasa penasaran Indah dan Razy terjawab, dan juga sebelum pertarungan debat ejek berlanjut lebih sengit lagi diantara keduanya. “Gue cerita nanti aja ya! Yang pasti gue gak bakal sembunyiin apapun dari kalian. Yuk balik ke kelas!”, ajak Rema yang langsung disetujui oleh Razy dan Indah. Mereka bertiga pun segera meninggalkan kantin.

Page 11: winning fano feeling

11

Saat itu, sekitar dua minggu lalu, seperti biasa selepas waktu pulang sekolah Rema mampir terlebih dulu ke kios koran dan majalah yang biasa berjualan di depan gerbang sekolah. Begitu tiba, majalah dan koran olahraga langsung menjadi menu utama yang disantapnya. Jauh berbeda dengan siswi-siswi lain yang ramai mengerubuti majalah fashion, musik atau gosip. Tanpa berlama-lama Rema segera mengambil salah satu koran bola langganannya dan siap-siap mengambil uang di saku untuk melakukan pembayaran. “3500 yah mas! Ini uangnya.”, kata sebuah suara asing dibelakang Rema. Orang tersebut kemudian mengulurkan tangan dan membayarkan koran yang akan dibeli Rema. Rema terkejut sekali sewaktu menengok ke belakang dan melihat sosok familiar yang telah menjadi asing berdiri tersenyum ramah seperti tidak ada masalah. “Lo kenapa sih Rin akhir-akhir ini jadi sering muncul dihadapan gue? Jangan bilang kalau lo lupa kita udah bukan sahabat dekat lagi.”, tanya Rema sinis pada orang yang seharusnya lebih berhak diberi ucapan terima kasih itu.

“Lo justru kenapa Re selalu sinis, dingin, dan curiga sama kehadiran gue?”, tanya balik Airin, orang yang berburuk hati membayarkan koran Rema– kembali, ini menurut versi Rema.

“Eits, tunggu dulu. Apa nggak kebalik tuh? bukannya selama ini justru lo yang selalu sinis dan dingin sama gue.”, tandas Rema sambil berbalik pergi menjauhi kios dan mengambil sepedanya yang terparkir di pohon dekat trotoar, bersiap untuk pulang. Sebelum Rema sempat menaiki sepeda, Airin berhasil menahannya dan memaksa Rema untuk tinggal lebih lama. “Gue pengen ngobrol sebentar sama lo Re. please!” Seperti sebelum-sebelumnya, Rema berniat untuk menolak kembali permintaan Airin tersebut. Namun, entah kenapa kali ini yang keluar dari mulutnya justru adalah kata ‘Oke’. “Lo jangan geer dulu. Gue lakuin ini karena udah capek terus-terusan diminta buat ngobrol terus.”, tegas Rema mengemukakan alasan kesediaannya.

“Makasih Re, apapun itu alasan lo. Mmm, enaknya kita ngobrol dimana ya. Di kursi dekat pohon sana aja gimana?” Airin menunjuk tempat yang dimaksud dan langsung bergegas kesana. Dengan sikap tak antusias Rema mengikuti Airin dari belakang. Tidak banyak basa-basi, sesampainya di tempat tujuan Airin segera mengutarakan maksudnya selama seminggu terakhir ini terus-menerus menemui Rema. Semakin banyak penjelasan yang keluar dari mulut Airin, semakin Rema syok, tak percaya, dan marah.

“Tunggu-tunggu Rin! Jangan bilang kalo lo pengen gue bantuin

Page 12: winning fano feeling

12

lo sama geng ‘4U Cupid’ lo itu buat menangin taruhan!”, potong Rema tak bisa menutupi keterkejutannya. Airin mengangguk cepat. Dan itu cukup membuat Rema kehilangan selera untuk melanjutkan perbincangan. Airin kemudian melanjutkan ucapannya sebelum Rema makin bertambah kesal. “Re, gue tahu kesalahan gue sama lo banyak. Dan gue juga tahu sampai detik ini lo belum bisa maafin gue.”

”Nah itu lo tahu.”, timpal Rema ketus. ”Tapi taruhan ini teramat penting buat gue, Re. Ini menyangkut

harga diri gue. Dan gue rela kalo harus memohon di kaki lo supaya lo bisa maafin kesalahan-kesalahan gue selama ini dan mau bantuin gue.”, mohon Airin dengan penuh harap. Sebagai bukti kesungguhan kata-katanya, Airin bangkit berdiri lalu jongkok di samping kaki Rema. Rema sontak kaget, tapi itu tidak lantas meluluhkan hatinya.

“Rin, masalahnya kenapa harus gue? Geng lo yang bikin taruhan sama si Prita, kenapa gue mesti ikut terlibat segala? Lo bisa kan andalin Arnett, Zeta atau Elvi, sobat-sobat lo di ‘4U Cupid’ dan bukannya gue, mantan sahabat lo.” Tuh, benar kan hati Rema belum melunak. Kata-katanya saja masih nyerempet hati kayak bajaj. Tapi bukan Airin namanya kalau menyerah begitu saja. Ia belum kehabisan akal untuk menaklukan hati Rema. “Gue gak pernah anggap lo sebagai mantan sahabat. Bagi gue lo itu tetap ‘Rema Thalita’ sahabat gue. Kalaupun setelah masuk SMA kita jadi sedikit menjauh, itu gue akuin karena kesalahan gue yang terlalu sibuk dengan teman-teman baru gue di klub cheers.”

Mulut Rema terbuka lebar jengah mendengar pembelaan Airin barusan. Apa tadi katanya? Sedikit menjauh? Karena sibuk? Gak bisa dipercaya. “Udah deh Rin. Nggak ada gunanya debat soal siapa yang salah dan benar. Yang jelas gue gak bisa bantu lo menangin taruhan itu. Sekalipun misalkan gue masih sahabat lo, tetap aja bakalan sulit buat gue coba masuk ke kehidupan cowok itu. Lo pikir aja, secara fisik-duit-popularitas gue kalah jauh dibanding lo-Arnet-Zetta-Elvi, apalagi dibanding Prita sama antek-anteknya. Dan lo dengan seenak jidat lo malah nyuruh gue buat dekati sang target. Targetnya tuh ‘Stefano’, Rin! Walaupun secara personal gue gak kenal tuh cowok, tapi gue tahu segimana terkenalnya dia di sekolah dan seberapa banyak cewek yang antri kejar dia. Lo jangan nyindir gue deh!” Airin terdiam, kehilangan kata-kata untuk membalas omongan Rema. “Ini uang koran gue. Mulai sekarang lo nggak usah lagi sok dekat dan baik sama gue. Yang jelas alasan gue tadi udah cukup rasional buat bikin lo batalin niat lo nyuruh gue maju deketin Stefano.” Secara paksa Rema memberikan uang korannya ke tangan Airin lalu kemudian bangkit berdiri.

Page 13: winning fano feeling

13

Tidak mau menyerah, dengan cepat Airin segera menangkap tangan Rema sebelum gadis itu benar-benar pergi. “Gue benar-benar butuh pertolongan lo kali ini, Re. Gue serius.” Airin begitu putus asa, hingga nyaris menitikkan air mata. ”Anggap saja ini satu-satunya cara untuk membayar hutang budi lo sama gue atas kejadian dua tahun lalu. Selama ini lo selalu meminta untuk balas budi kan! Kalau lo benar-benar serius dengan ucapan lo itu Re, maka inilah saatnya lo buktikan.” Kata-kata pamungkas Airin tersebut seketika meruntuhkan tembok sikap penolakan tegas Rema yang sedari awal telah ia bangun. Bagaimana tidak? Jika itu menyangkut hutang nyawa yang ia miliki selama ini, apapun akan dilakukan, termasuk merubah keputusan untuk bersedia memenuhi permintaan Airin.

Apa ini sudah tepat? Apa tindakan gue benar? Pertanyaan-pertanyaan penuh keraguan tersebut terus menggelayuti pikiran Rema usai ia memberi tahu Airin tentang kesediaannya untuk membantu kemarin malam melalui telepon. Airin menyambut penuh sukacita perubahan sikap Rema tersebut. Berulang kali dia mengungkapkan rasa terima kasih sekaligus penyesalannya karena harus menggunakan cara yang sedikit tidak baik untuk mendesak Rema.

Di waktu siang menjelang sore lalu lintas Jakarta sudah mulai padat merayap. Tak ingin berlama-lama kelaparan di tengah perjalanan, Indah mengusulkan sebuah rumah makan sunda yang terletak tidak jauh dari daerah sekolah mereka sebagai tempat menghabiskan makan siang pada kedua sahabatnya. Rema yang ikut di mobil Indah mengangguk setuju, begitupun dengan Razy yang mengikuti dari belakang dengan motor kesayangannya tampak tak masalah dengan tempat pilihan Indah.

Usai memarkirkan kendaraan di tempat parkir depan restoran, ketiga sahabat itu langsung memasuki rumah makan dengan interior ala pedesaan. Alunan musik tradisional sunda dan sapaan ‘wilujeng sumping’ dari penerima tamu menyambut ketiganya begitu mereka memasuki area dalam rumah makan. Sang penerima tamu kemudian memberikan nomor meja, dan selanjutnya mereka menuju ke meja prasmanan untuk memesan makanan. Setelah melihat-lihat beberapa saat, Indah-Rema-Razy sepakat memesan nasi liwet, gurame cobek, ayam goreng bumbu kecap, tumis kangkung, dan sayur lodeh sebagai menu pilihan mereka siang ini. Makanan-makanan berat itu pasti mampu memenuhi rasa lapar yang menyiksa mereka akibat pusingnya

Page 14: winning fano feeling

14

materi-materi pelajaran sekolah yang baru selesai diikuti. Sembari menunggu pesanan tiba, Indah coba mengambil inisiatif

membuka perbincangan. Topiknya tidak jauh dari seputar kejadian di kantin tadi pagi dan cerita misteri dibalik itu semua.

“Re, gue masih gak ngerti deh kenapa mereka mesti bikin perjanjian taruhan yang gak penting seperti itu? Old skul banget gak sih! And then, another big question-nya, kenapa bisa elo yang dimintain tolong sama Airin? Yah mengingat banyak hal pasti ada alasan besar di balik itu semua.”, komentar Indah, diikuti anggukan setuju Razy yang menaruh kebingungan yang sama. Razy dan Indah memang tidak mengetahui secara gamblang apa yang terjadi. Mereka hanya sebatas tahu kalau Airin meminta tolong Rema untuk membantunya memenangi taruhan mendekati Stefano dan dari keterangan terbaru, Rema telah setuju untuk membantu Airin.

Rema menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pusing harus mulai bercerita darimana. “Aah, kalau gue cerita juga pasti kalian berdua bakal makin menganggap ini semua nggak masuk akal. Gue aja masih nggak percaya bisa memutuskan terlibat di urusan mereka.”, jawabnya yang tak menjawab itu, membuat Indah gemas karena Rema selalu saja berputar-putar setiap ditanya detail apa yang terjadi. Rema menyadari reaksi kecewa Indah dan kemudian mulai memberi kata-kata lanjutan yang menyegarkan. ”Ok, gue cerita!”, putusnya mengguratkan senyum di wajah Indah dan Razy. Rema berpikir keras untuk bisa masuk ke inti cerita yang cukup berbelit ini. Sampai akhirnya ia menemukan kata-kata tepat yang bisa mengungkap kembali apa yang disampaikan Airin dua minggu lalu. “Ndah, Zy, kalian pernah dengar nggak gosip persaingan intern di klub cheers sekolah?”, pancing Rema mulai bercerita.

Indah dengan cepat bereaksi “Oh, yang persaingan antara geng 4U Cupid-nya Airin dengan geng PrincesShine-nya si Prita bukan?” Rema mengangguk. “Dulu sih anak-anak cewek di klub renang pernah bahas masalah itu. Katanya sih persaingan antara kedua geng udah dimulai sejak jaman pemilihan ketua cheers di awal-awal.”

“Yup, lo gak salah.” “Trus hubungannya sama lo, Re?” “Sabar dulu non. Nah, akhirnya itu kan yang jadi ketua tim cheers

si Airin. Lo tahu nggak kenapa itu bisa terjadi? Secara lo tahu sendiri gimana jeleknya sifat si Prita yang gak pernah mau ngalah itu. Dan ternyata, semua itu bisa terjadi karena si Prita dan ekor-ekornya kalah taruhan sama Airin. Taruhannya apa? Yaitu siapa yang bisa jadian sama Marlon, dialah yang berhak menjadi pemimpin klub cheers.”

Page 15: winning fano feeling

15

Indah terlihat takjub usai Rema bercerita. “Wah, lo tahu semua itu Re! Gila, sejak kapan seorang ‘Rema’ jadi serba tahu masalah gosip anak-anak sekolah. Ngalahin gue lagi!”

“Yang jelas gue tahu semua itu dari Airin. Masa gue yang nyari tahu sendiri. Gak mungkin lah, gak ada kerjaan banget. But that’s not the point. Masalahnya sekarang mereka tuh bikin taruhan lagi yang sama, dan taruhan itulah yang menyeret gue.” Indah menggeser tubuhnya lebih mendekat kearah Rema. Berita ini benar-benar menarik perhatiannya. “Taruhan sekarang buat memperebutkan apa Re? Masa jabatan ketua cheers lagi! Wah gue semangat nih kalo udah bahas soal gosip-gosip terhangat.”

“Huh, dasar tukang gosip!”, ledek Rema. Indah hanya cengengesan. ”Taruhan kali ini beda. Ini menyangkut harga diri Airin. Lo tahu kan sekarang si Marlon pacaran sama siapa?”

“Aha! Gue ngerti. Si Marlon kan sekarang cowoknya Rebecca, cs-nya Prita di PrincesShine. Ya,,ya,,ya, pastilah Airin sama geng 4U Cupidnya itu kelabakan.”

“Itu dia, makanya taruhan ini bukan sekedar pertaruhan gengsi antar dua geng seperti sebelumnya. Tapi lebih dari itu, ini menyangkut harga diri Airin sebagai cewek dan juga sebagai pembalasan karena dia udah dicampakan gitu aja. Awalnya Airin mendadak diputusin sama Marlon tanpa ada penjelasan apa-apa. Dan setelah beberapa hari, akhirnya terungkap kalo orang ketigalah penyebabnya. Rebecca dan Marlon ternyata sudah lama berhubungan dibelakang Airin, disaat mereka masih pacaran. Jelas Airin sangat marah dan tidak terima dengan perselingkuhan pacarnya itu, apalagi ini dengan musuh bebuyutannya. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak, selain membiarkan semua terjadi begitu saja. Sampai kemudian temannya yang lain di 4U Cupid tahu, dan merekalah yang menggantikan Airin membuat perhitungan dengan Rebecca."

"Pastinya kedua geng itu langsung ribut saling adu mulut, bahkan mungkin sampai jambak-jambakan. Tapi ujung-ujungnya si Prita malah nantangin balik buat bikin taruhan lagi. Siapa yang kalah di taruhan baru kali ini, dia lah yang harus bersujud dan minta maaf di hadapan semua anak satu sekolah pas acara pesta akhir tahun nanti. Airin gak tahu apa-apa soal taruhan itu, sampai keesokan harinya Arnett cerita ke dia secara detail termasuk siapa yang jadi calon target taruhan selanjutnya."

Rema memberi jeda sejenak, melihat bagaimana reaksi kedua sahabatnya. Indah nampak tak berkedip sama sekali, sementara Razy terdiam serius mendengarkan. "Yah singkat cerita, Airin jelas marah

Page 16: winning fano feeling

16

besar mendengar ada taruhan seperti itu. Apalagi ini yang jadi targetnya adalah Stefano, cowok yang sama sekali belum terjamah oleh 4U Cupid, bahkan mungkin oleh semua cewek di sekolah. Dan satu hal lagi yang bikin dia marah dan tidak setuju adalah konsekuensi bagi yang kalah itu yang harus bersujud dan meminta maaf ke lawan di hadapan murid satu sekolah. Jelas Airin tidak berharap kalah. Tapi kalau seandainya memang dia ternyata kalah, dia tidak ingin minta maaf dan bersujud ke Rebecca. Hal itulah yang membuatnya pasrah menerima taruhan itu, dan bertekad untuk sekali lagi memenangkannya." Rema mengakhiri cerita. Menyeruput minuman es kelapanya sesaat.

“Dan itu melalui bantuan lo, Re?”, tanya Indah melanjutkan. Rema mengangguk lemah. “How can?”

Rema menjentikkan jarinya. “Itulah bagian paling tidak masuk akal yang belum gue temukan jawabannya apa. Gue udah jelasin panjang lebar ke Airin gimana jauhnya perbedaan gue sama mereka. Tapi tetap aja dia bersikeras.”

Seorang pelayan pria kemudian datang ke meja mereka dengan membawakan pesanan. Perbincangan yang tengah berlangsung seru itupun mesti terhenti sesaat. Selanjutnya pelayan tersebut menurunkan satu-persatu piring berisi makanan ke atas meja. Nasi liwet, gurame cobek, ayam goreng bumbu kecap, tumis kangkung, dan sayur lodeh. Perut ketiganya pun sontak kembali berdendang kelaparan melihat santapan yang begitu menggiurkan di depan mata. “Selamat dinikmati!”, ucap si pelayan ramah sebelum pergi meninggalkan meja. Tanpa banyak memakan waktu ketiganya sepakat untuk memenuhi rasa lapar terlebih dulu.

Hanya dalam waktu tidak kurang dari dua puluh menit semua menu di meja telah habis disantap. Untuk urusan makan ketiga sahabat ini memang ahlinya. Mereka adalah pecinta makanan dan kuliner sejati. Setiap akhir pekan mereka selalu menyempatkan waktu berburu tempat makan baru atau kuliner yang unik. Tidak hanya di wilayah Jakarta namun juga sampai ke luar kota. Kota Bandung menjadi kota yang paling sering ketiganya kunjungi. Selain karena jarak tempuhnya yang tidak terlalu jauh, keanekaragaman kuliner kota kembang juga menjadi nilai plus yang membuat mereka selalu ingin kembali berkunjung. Oke, dan wisata factory outlet-nya juga.

“Aha! Re, gue ngerti sekarang kenapa Airin minta tolong lo buat bantuin dia.” Indah tiba-tiba berseru kencang saat mereka tengah menikmati minuman penutup. “Kalo menurut gue, lo itu sengaja dimintain tolong sama dia buat dekati Fano karena lo die-hard football fan!”, lanjutnya memberikan spekulasi.

Page 17: winning fano feeling

17

“Haah!” Rema terbelalak. ”Plis deh Ndah, yang masuk akalan dikit dong alasannya. Masa karena gue gila bola!? Lebih masuk akal juga karena gue itu pintar, cantik atau seksi. Hehe.. gak mungkin yah.”

“Iya!!”, sambar Indah dengan tegas, membuat bibir Rema maju beberapa senti. ”Eh, tapi siapa bilang gak ada hubungannya. Dengar baik-baik yah Re! Gue baru aja keingetan kalo Fano itu gabung di klub bola sekolah sebagai pilihan ekstrakulikulernya. It means, dia itu sama kayak lo, sama-sama penggila bola.” Indah mengakhiri analisanya dengan senyum meyakinkan dan penuh kepuasan. Berbeda dengan Rema yang menanggapi dengan kernyitan dahi.

“Masa sih Ndah! Terlalu klise deh analisa lo itu. Masa cuma karena gue gila bola trus si Fano kebetulan gabung di klub bola, Airin sampai berani bertaruh gue bisa naklukin tuh cowok. Nggak-nggak, tetap nggak masuk akal.”, sanggah Rema masih tak sepakat.

“Terserah lo mau gak percaya. Hanya saja gue yakin analisa gue tadi biar pun nggak benar seratus persen tapi nggak salah sepenuhnya juga.”

Rema merasakan kepalanya makin bertambah pusing. “Tapi Ndah, kalau sekali pun benar karena itu alasannya, apa coba yang bisa gue perbuat untuk mereka? Lo kira hanya karena memiliki interest yang sama pada bola, gue jadi ada kesempatan gitu buat dekat dengan cowok itu.”

“Aah, gak tahu juga Re! Itu kan cuma tebak-tebakan gue aja.”, teriak Indah tidak mau berdebat lagi. Rema tertawa geli melihat muka menekuk Indah yang biasanya terpasang saat gadis itu pusing mengerjakan soal-soal.

“Udah dong Re, kasihan, jangan paksa anak ini mikir lagi. Lo gak lihat apa kepalanya udah mulai berasap.”, ejek Razy sembari mengusap kepala Indah dan tertawa lebar. Wajah Indah makin menekuk, apalagi kini musuh bebuyutannya dalam hal adu mulut, saudara Razy, mulai ikut-ikutan bicara. “Eh Re, kalau lo serba gak tahu gitu, kenapa lo mau beresiko terima permintaan Airin? Bukannya gue gak pengen lo bantuin Airin, bagaimanapun juga Airin itu tetap sahabat lama kita. Tapi lo harus pikirin banyak pertimbangan juga. Jangan sampai lo nya yang rugi.”

Rema tersenyum senang mendengar kekhawatiran Razy, dan juga ucapan bijaknya tentang Airin. Rema, Razy dan Airin adalah sahabat dekat sejak masih duduk di bangku SMP. Mereka bertiga dulu tak terpisahkan. Kemana-mana selalu bersama. Tapi itu tidak berlangsung lama. Begitu memasuki jenjang SMA mereka mulai terpecah dan menjauh, tepatnya Airinlah yang mulai menyingkir dari kehidupan

Page 18: winning fano feeling

18

Rema dan Razy. Ingin mencari suasana dan pengalaman baru dengan teman-teman baru adalah alasan yang Airin kemukakan saat itu. Jadilah mereka mulai saling asing, apalagi ditambah dengan keadaan Airin yang tidak sekelas dengan Rema dan Razy. Awalnya Rema merasa sangat kehilangan dan kesepian dengan perubahan sikap Airin yang begitu mendadak asing itu. Namun untunglah tidak lama Rema segera menemukan sahabat baru yang begitu menyenangkan, Indah. Indah bahkan tidak hanya dekat dengan dirinya saja, tapi bisa juga nyambung dengan Razy. Yah meski dua orang itu kadang suka berantem adu mulut yang nggak penting. Tapi keduanya pasti cepat berbaikan secepat mereka bisa berantem. Malah kadang Rema selalu merasa Razy memiliki perhatian lebih pada Indah. Meski caranya sedikit unik yaitu dengan membuat Indah kesal atau marah. Yah entahlah, who knows?

Yup, pada akhirnya Rema memutuskan untuk tidak mempedulikan Airin lagi. Toh itu kan kemauan Airin. Dan jadilah keduanya menjalani masa tahun pertama SMA mereka sebagai orang asing. Tak pernah saling bertegur sapa apalagi ngobrol untuk sekedar basa-basi. Airin sibuk dengan geng dan kegiatan barunya di klub cheers sekolah, sementara Rema sibuk dengan kestabilan hidupnya. Perang dingin diantara ketiganya baru pecah setelah kejadian Airin yang datang meminta pertolongan Rema. Oke, lebih tepatnya perang dingin antara Rema dan Airin, karena selama ini ternyata Razy masih sering berkomunikasi dengan Airin.

“Re!”, panggil Razy melihat Rema termangu-mangu. “Oh, eh itu. Itu karena gue mau bayar hutang budi gue yang dulu

sama Airin, Zy. Yang dua tahun lalu itu. Lo masih ingat?” Razy coba mengingat. Indah celingak-celinguk tak mengerti.

“Yang kejadian tragis nyokap lo itu bukan?” Razy memastikan. Rema mengiyakan.

Alis Indah mengerut. “Ada kejadian apa sih? Kok gue nggak tahu.”, tanyanya penasaran.

Razy dan Rema berbarengan menghela nafas. Keduanya saling beradu pandang menentukan siapa yang akan bercerita. Akhirnya Razy bersedia untuk angkat suara. “Gini Ndah. Dulu saat kita kelas 2 smp sempat ada musibah kecelakaan. Ibunya Rema jatuh terpeleset dari tangga atas lantai dua. Sewaktu pulang sekolah, tahu-tahu Rema sudah menemukan ibunya bersimbah darah dan tak sadarkan diri.” Indah membuka mulut ngeri, tak mampu membayangkan kejadian buruk itu. “Di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Ayah Rema berada di luar kota, begitupun dengan bang Chester. Rema yang panik tidak bisa berbuat apa-apa. Untungnya Airin datang tepat waktu. Airin memang

Page 19: winning fano feeling

19

sudah ada janji dengan Rema. Dengan bantuan Airin, Ibu Rema dibawa ke rumah sakit dan diberikan perawatan terbaik.”

Rema melanjutkan cerita Razy. “Iya Ndah, Airin udah sangat berjasa. Tidak hanya mengantar nyokap ke rumah sakit tapi dia juga membayar biaya awal pengobatan nyokap. Gue yang udah keserang rasa panik boro-boro ingat buat bawa duit.” Rema tersenyum kecut. “Jadi kalau dibandingkan apa yang udah Airin perbuat dengan apa yang gue lakukan buat dia sekarang rasa-rasanya tidak sebanding. Kalian mengerti sekarang kan alasan kenapa gue mau menolong Airin?”

“Tapi kan Re emang sudah seharusnya Airin menolong lo saat itu. Bukan hanya karena persahabatan tapi juga kemanusiaan. Kalau gue ada di posisi Airin, pasti gue tolong lo juga, dan itu tanpa pamrih!”

“Gue tahu Ndah. Gue yakin saat itu juga Airin menolong gue dengan ikhlas tanpa pamrih. Hanya saja kali ini posisinya terbalik, dia yang sedang butuh pertolongan gue. Karena di awal gue udah nolak mentah-mentah, gak ada cara lain dengan terpaksa dia gunain peristiwa itu untuk membujuk gue. Lagipula Airin janjikan keuntungan lain buat gue kalau gue mau bantuin dia.”, cerita Rema penuh rahasia.

“Apa Re?”, tanya Indah antusias. “Airin rupanya tahu masalah kemerosotan prestasi gue dan

kegagalan gue dapatin beasiswa semester ini. Entah dapat informasi darimana dia. Yang pasti Airin janjiin gue suatu peluang untuk bisa mendapatkan beasiswa kembali, dan dia yakinkan gue kalau peluang ini sangat-sangat besar dengan kemungkinan keberhasilan yang tinggi. Jadi ada semacam simbiosis mutualisme gitulah. Gue belum tahu rencana apa yang dia punya untuk memenuhi janjinya itu.Yang jelas janji itulah yang bikin gue makin yakin untuk mengambil keputusan kontroversi ini.” Rema menjelaskan dengan senyum penuh kepuasan.

“Hahaha, dasar! Sekali Rema tetep Rema. Gue udah duga pasti ada alasan udang di balik batu yang bikin lo bisa seikhlas ini.”, timpal Indah tertawa ngakak. Dilemparkannya tisu ke arah Rema.

“Eits, ini namanya memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, Ndah.”, elak Rema sembari mengedipkan sebelah matanya. Sebenarnya alasan hutang budi atas jasa Airin padanya di masa lalu sudah cukup bagi Rema memutuskan untuk membantu. Tapi tidak ada salahnya kan jika memiliki alasan lain yang jelas-jelas menguntungkan. Dan mulai sejak saat ini Rema berniat sepenuh hati membantu Airin, selama ia bisa benar-benar makin dekat dengan sang beasiswa.

Page 20: winning fano feeling

20

BABAK 2

Saat-saat seperti apa yang mampu membuat Arnett, Elvi, Zeta, dan Airin tegang bukan kepalang menantikan sesuatu. Jika pertanyaan itu diajukan kemarin atau sebelum-sebelumnya, keempat anggota geng 4U Cupid ini pasti akan sepakat menjawab ‘saat menunggu keputusan final juri ketika mengikuti lomba dance di salah satu tv swasta’. Tapi itu dulu, karena saat ini mereka sedang mengalami rasa tegang yang luar biasa akibat tak kunjung munculnya seseorang yang sedang mereka nanti.

“Rin, temen lo Rema-Rema itu beneran bakal datang kan?” Entah untuk keberapa kalinya Elvi menanyakan hal tersebut pada Airin. Dan berulang kali juga Airin meyakinkan ketiga sahabatnya kalau Rema pasti akan muncul. Meski keyakinan itu terus memudar karena faktanya hingga 30 menit berlalu batang hidung Rema tak nampak juga di hadapan mereka. Keempat anggota cheers sekolah ini sengaja berdiri di lapangan upacara sekolah saat waktu belajar telah usai bermaksud untuk menunggu Rema. Rencananya hari ini mereka akan mulai menjalankan strategi dalam rangka memenangkan taruhan. Jelas tanpa kehadiran Rema strategi tersebut tidak akan berjalan mengingat Remalah sesungguhnya aktor utama di dalam rencana yang mereka susun.

“Rin, gimana kalau tanpa sepengetahuan lo si Rema mendadak berubah pikiran dan nggak mau bantu kita?”, khawatir Elvi.

“Nggak mungkin El. Rema bukan orang yang seperti itu.” Penegasan Airin ini lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. Yah, nggak mungkin Rema membuatnya kecewa. Meski selama setahun ini hubungan mereka merenggang, tapi Airin tahu pasti Rema bukan tipe orang yang mudah ingkar janji.

“Kalau kemungkinan terburuknya ternyata dia nggak akan datang dan nggak jadi bantu kita, terus kita mesti gimana? Apa kita ganti strategi aja pake cara yang dulu dipake ke Marlon?” Zeta berkomentar sekaligus memberi usul.

“Gak mungkin berhasil Ta kalo pake cara dulu saat kita berusaha dekati Marlon. Masalahnya Marlon sama Fano itu beda. Marlon sering beredar dimana-mana. Gak sulit buat kita nemuin dan dekati dia. Di

Page 21: winning fano feeling

21

setiap acara party anak-anak sekolah, dia pasti datang. Ngubek ke Citos, PIM, atau Plaza Senayan pasti ada. Tapi Fano, selain di sekolah dan di klub bola, kita gak tahu lagi tempat cowok itu biasa mangkal dimana.”

“Mangkal? Ojek kali, Net. Tapi, omongan Arnett tadi benar banget. Di kelas kita sulit banget deketin Fano, di luar kelas apalagi. Nah, tinggal lewat jalur klub bola ini kita bisa benar-benar berusaha mendekati dia. Dan gue jamin, kalo yang kita ajuin buat jadi calon manajer klub itu adalah Rema. Sesuai cerita Airin tentang cewek itu, gue yakin om gue pasti bakal setuju.”, ucap Zeta mendukung pernyataan Arnett sebelumnya.

“Yah, kita berdoa saja semoga semua rencana yang sudah disusun bisa berjalan lancar. Gue agak sedikit khawatir, apalagi kalau ingat kejadian tadi pas istirahat. Gue lihat Prita sama bandit-banditnya semeja bareng anak klub bola. Emang sih gue gak lihat ada Fano disitu, tapi gue udah bisa tebak mereka gunakan cara deketin anak klub bola buat bisa deketin Fano. Hah, mentang-mentang kakaknya si Prita mantan manajer klub bola. Mereka jadi gunakan akses tersebut.”, rutuk Zeta dengan mulut bersungut.

“Girl,,girl, simpan kekecewaan kalian untuk hal lain. Rema udah datang!” Airin berseru senang saat melihat Rema muncul dari kejauhan. Segera saja ia menghampiri Rema yang datang terpogoh-pogoh karena lelah berlari.

“Sorry Rin gue telat. Tadi mesti pulang ke rumah dulu buat ambil kunci rumah. Ibu mau pergi ke rumah saudara di Bandung soalnya. Terus pas balik menuju ke sini mendadak ban sepeda gue kempis. Terpaksa di sisa perjalanan gue mesti dorong sepeda gue.” Rema menjelaskan panjang lebar alasan keterlambatannya.

“Nggak apa-apa Re. Gue senang banget lo jadi datang. Makasih banget Re.”, ucap Airin tulus dengan mata berkaca-kaca. Dipeluknya Rema dengan erat. Membuat kedua sahabat lama ini teringat kembali akan masa-masa SMP dulu.

Drama Rema-Airin terhenti begitu Zeta, Elvi, dan Arnett datang menghampiri keduanya. Jika dibiarkan lebih lama beberapa saat bukan tidak mungkin akan terjadi pertumpahan air mata.

“Hei, Rema yah! Kita belum kenalan secara formal, gue Elvi!” Elvi yang pertama memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya pada Rema. Sedikit canggung Rema menyambut uluran tangan Elvi. “Eh, Rema.” Rema memerhatikan sosok Elvi dengan cermat. Badannya sedikit kurus dibanding yang lain, tapi tetap berisi. Kulitnya putih dan hidungnya sangat mancung. She’s beautiful. Dibanding dirinya, Elvi

Page 22: winning fano feeling

22

sangat jauh lebih masuk akal untuk bisa dekati Fano. Cowok mana yang bakal nolak replika Asmirandah ini.

“Hai, gue Arnett.”, kata gadis berikutnya. Melihat gaya serta postur tubuhnya yang tegap dan sedikit berotot, Rema bisa tebak kalau Arnett adalah cewek yang tomboy dan sporty.

“Zeta”, sapa cewek terakhir yang ikut memperkenalkan diri. Zeta sosok cewek yang sangat fashionable. Terlihat dari outlooking, gaya rambut dan aksesoris yang dikenakan. Semua yang menempel di tubuh Zeta mulai dari jepit rambut sampai sepatu tidak ada yang tidak up to date.

Usai acara perkenalan singkat tersebut, Zeta langsung mengusulkan untuk segera menemui Om-nya. Entah siapa si Om yang dimaksud dan mengapa mereka harus menemuinya. Hal itu menjadi pertanyaan lain yang ada di benak Rema mengingat masih ada hal penting yang harus ia tanyakan terlebih dulu pada anak-anak 4U Cupid. “Tunggu-tunggu! Sebelumnya ada yang pengen gue tanyain sama kalian. Dan gue mau tanya itu sekarang juga.” Airin saling bertatapan bingung dengan Zeta, Elvi, dan Arnett. “Mmh, boleh. Lima menit aja yah, gak apa-apa kan. Soalnya takut om gue keburu pergi.”

Lagi-lagi si om. Emang penting banget yah nemuin orang itu. “Begini Rin dan semuanya, gue pengen tahu dulu rencana kalian secara rinci sebenarnya seperti apa? Gue pengen tahu, apa peran gue dalam rencana kalian?”

4U Cupid sedikit bingung menentukan siapa diantara mereka yang akan memberi penjelasan pada Rema. Dan akhirnya, Airin terpilih secara otomatis karena dia orang yang paling dekat dengan Rema. “Re, seperti apa yang udah lo ketahui, saat ini kami sedang terlibat taruhan dengan Prita dan teman-temannya. Taruhannya adalah siapa diantara kami dan mereka yang bisa jadian dengan Fano, maka dialah pemenangnya. Kalo Fano itu seperti kebanyakan cowok di sekolah sih, kita mungkin gak perlu repot-repot minta bantuan lo. Masalahnya Fano itu much different. Selain karena dia murid baru, dia juga orangnya sangat-sangat tertutup dan anti sosial. Sangat susah dekati dia. Teman-teman dekatnya juga hanya yang berasal dari klub bola saja, nggak ada yang lain. Di kelas sulit banget dekati dia karena sifat anehnya itu, di luar kelas lebih-lebih lagi. Kita nggak tahu tempat dia biasa main, hang out, yah menghabiskan waktunya di luar jam sekolah di mana. Tinggal lewat jalur klub bola lah harapan kita satu-satunya supaya lebih mengenal dekat Fano. Karena alasan itulah Re kita berniat untuk masukin lo ke klub bola sebagai manajer.” Rema tercengang mendengar penjelasan dan kata-kata terakhir Airin. Ia jadi teringat

Page 23: winning fano feeling

23

pendapat Indah tentang adanya kaitan antara dirinya yang penggemar bola dengan Fano yang tergabung di klub bola.

“Nah, kebetulan Zeta punya link oke yang bisa bantu kita buat masukin lo ke klub bola. Dengan masuknya lo ke komunitas dia. Kita berharap lo bisa cari informasi sebanyak-banyak mungkin tentang Fano, deketin dia, jadi sahabat dekatnya, atau kalau perlu lo jadi pacarnya sekalian.” Rema melotot ngeri mendengar ucapan terakhir Airin. Gila aja nyuruh orang pacaran seenaknya. Sekalipun ada keajaiban yang bisa membuat Fano jatuh cinta padanya, belum tentu juga ia mau jadian dengan cowok asing. Lagipula dalam hati Rema sudah lama terisi seseorang. Seseorang yang bahkan mungkin tidak menyadari keberadaannya.

Kembali pada penjelasan panjang Airin, entah kenapa bukannya membuat semua semakin jelas, justru di otak Rema kini semakin banyak muncul pertanyaan lain. “Tunggu. Kalo kalian punya link yang bagus, kenapa nggak salah seorang dari kalian aja yang jadi manajer klub bola? Selesai kan urusan.”

“Good question. Masalahnya di antara kami berempat gak ada satu pun yang ngerti bola. Bahkan mungkin cewek-cewek di sekolah ini jarang ada yang ngerti atau suka bola, kecuali lo. Dan meski kita punya link yang bagus yaitu Om nya Zeta, tapi tetap aja kita mesti ajuin orang yang benar-benar memenuhi persyaratan dan standar klub.” I see. Jadi itu alasan utamanya kenapa gue, tangkap Rema. Sebagai sahabat lama, Airin tentu tahu dengan pasti tentang kegilaan Rema terhadap semua hal berbau sepakbola.

“Sudah semua, kita bisa pergi sekarang kan!”, ajak Zeta tak sabar seperti tengah diburu waktu.

“Tunggu-tunggu! Satu eh tiga lagi,” potong Rema menghentikan langkah kaki Zeta, Airin, Arnett, dan Elvi yang sudah siap melangkah, “Gue cuma jadi manajer aja kan di klub bola nanti, gak merangkap jadi pelatih? Trus tugas gue cuma deketin Fano dan cari informasi sebanyak-banyaknya tentang dia kan, gue gak harus jadian sama dia? Oh ya, soal peluang beasiswa yang lo janjiin itu gimana Rin?” Pertanyaan yang sangat memusingkan bagi 4U Cupid. Apalagi untuk pertanyaan pertama. Mereka sama sekali tidak mengerti maksud pertanyaan Rema. Tapi karena sedang berpacu dengan waktu, Airin pun menjawab dengan asal. “Jadi manajer ya berarti jadi manajer, bukan pelatih. Lalu soal tugas lo untuk sementara memang dekati Fano. Kalau soal beasiswa, dengan masuknya lo ke klub bola dan sedikit bantuan dari omnya Zeta, lo bakal dapat rekomendasi dari klub buat dapatin beasiswa. Semua oke sekarang!”

Page 24: winning fano feeling

24

Alis Rema berkerut, bingung. Semudah itukah ia bisa mendapatkan beasiswa kembali. Tapi mengingat di sekolahnya ini kegiatan ekskul sangat-sangat berperan penting, hal tersebut mungkin saja. “Udah-udah, penjelasannya kita lanjut nanti.” Dengan terpaksa Airin harus menarik tangan Rema agar mau berangkat dan berhenti mengajukan pertanyaan. Sedetik kemudian, mereka berlima pun segera meluncur menuju tempat om Zeta berada.

Ternyata omnya Zeta bukanlah sosok asing bagi Rema. Begitu sampai di tempat tujuan yang tidak lain adalah kantor sekolah, identitas si Om pun terkuak. Si Om yang menjadi link geng 4U Cupid itu adalah pak Wahyu, guru yang mengurusi bidang olahraga di sekolah sekaligus ketua pengurus klub sepakbola. Kini Rema bersama Airin, Elvi, dan Arnett tengah berdiri menunggu di luar ruang kerja pak Wahyu. Sementara itu Zeta sudah masuk terlebih dulu ke dalam ruangan untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka pada sang Om. Tidak memakan waktu lama, Zeta pun keluar dari balik pintu dan menyuruh Rema ikut masuk ke dalam bersamanya.

Ini kali pertamanya Rema memasuki ruang kantor pak Wahyu. Ruangannya agak sedikit berantakan oleh berkas-berkas dan berbagai penghargaan berupa piala serta medali yang tidak tertata rapi. Melihat penampilan pak Wahyu yang tidak serapi layaknya guru-guru lain tentu tidak akan terlalu terkejut melihat keadaan kantornya yang seperti ini. Pak Wahyu memang sedikit unik. Saat mendekati meja sang guru, secara tidak sengaja Rema melihat sebuah berkas administrasi klub bola dan profil beberapa pemainnya. Nampak ada profil Fano disitu lengkap dengan sebuah foto. Rema membaca sedikit beberapa data tentang cowok yang akhir-akhir ini begitu familiar di telinganya namun tidak di matanya. ‘Ooh, jadi nama lengkapnya ‘Alfredo Di Stefano’. Perasaan gak asing deh sama nama itu. Nama legenda pemain bola kalo gak salah. Ah, ngapain juga gue pikirin’. Rema pusing sendiri.

“Helo, Rema, apa kabar?”, sapa pak Wahyu ramah, mengalihkan perhatian Rema. “Eh, baik, Pak.”, jawab Rema masih merasa canggung.

“Jadi, apa benar ucapan Zeta kalau kamu mau masuk ke klub bola sebagai manajer? Melihat cv kamu dan mendengar cerita dari Zeta tentang kamu sepertinya kamu cocok untuk posisi ini.” Rema terperangah mendengar ucapan pak Wahyu. Hah, cv?! Kapan dia bikin cv? Ah pasti ini ulah Airin. Meski begitu Rema tetap mengangguk membenarkan pernyataan pak Wahyu tersebut. “Syukurlah. Akhirnya posisi ini terisi juga. Posisi manajer tim memang sedang kosong karena baru ditinggalkan oleh pemegangnya yang dulu. Perempuan juga

Page 25: winning fano feeling

25

manajer tim yang dulu. Dia kakak kelas kalian ‘Gina’. Awalnya klub sangat kehilangan Gina. Sebagai manajer dia sudah sangat baik menangani tim. Tapi melihat penggantinya sekarang, yaitu kamu Re. Bapak rasa klub telah mendapat amunisi baru setelah Fano.” Rema sedikit tersanjung mendengar perkataan pak Wahyu barusan. Bukan karena namanya disandingkan dengan Fano, tapi lebih pada kepercayaan sang guru terhadap dirinya yang begitu tulus. Ia yakin itu di luar faktor Zeta yang menjadi keponakannya. Kepercayaan tersebut pasti murni karena pak Wahyu merasa yakin bahwa ia memang layak berada di posisi ini.

Pertemuan dengan pak Wahyu tidak memakan waktu lama. Setelah berbincang-bincang singkat, Rema dan Zeta pun pamit pergi. Terakhir, pak Wahyu meminta Rema untuk kembali menemuinya di kantor besok saat istirahat.

4U Cupid sangat surprised dan senang dengan tanggapan positif yang diberikan pak Wahyu. Sepanjang perjalanan pulang –Rema diantar pulang oleh 4U Cupid menggunakan mobil Zeta- tidak hentinya ucapan terima kasih mengalir dari mulut empat sahabat itu. Rema hanya tersenyum canggung menanggapi setiap sanjungan berlebihan yang diberikan untuk dirinya. Rema sendiri sebenarnya masih merasa kurang yakin akan jalan yang sedang ditempuhnya ini. Rema takut tidak bisa beradaptasi dan cocok dengan anak-anak cowok di klub bola nanti.

Rema memang bukan tipikal orang supel yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, malah ia cenderung menghindari hal-hal baru. Itu sebabnya selama ini Rema malas mengikuti kegiatan ekskul apapun di sekolah, karena setiap ekskul pasti memerlukan intens pertemuan yang tidak jarang. Sahabat dekatnya pun dari dulu sampai sekarang hanya Razy, Indah, Airin, dan beberapa teman satu kompleks. Meski begitu Rema tidak pernah merasa hampa, kesepian atau apa. Bagi Rema hidupnya sudah sangat cukup ramai dan berwarna dengan keberadaan keluarga, Indah, Razy, Airin, dan teman-teman sekompleksnya.

Tok,,tok,,tok. “Ya, silahkan masuk!” Sambil menghela nafas panjang, Rema membuka pintu kantor

pak Wahyu dengan hati-hati. Begitu masuk, dilihatnya sang guru tengah sibuk menandatangani surat-surat di meja kantor. Sedikit

Page 26: winning fano feeling

26

ketakutan, Rema menyapa pak Wahyu. ”Maaf pak, sedang sibuk yah? apa kedatangan saya mengganggu bapak?”

Pak Wahyu menoleh ke arah Rema. ”Oh Rema, kamu duduk saja dulu! Sebentar, bapak ngurusin kertas-kertas ini.” perintahnya sambil tersenyum ramah, membuat Rema sedikit bisa meregangkan ketegangan. Selang beberapa menit kemudian, pak Wahyu akhirnya selesai membereskan pekerjaan yang ada, dan dapat fokus pada urusannya dengan Rema. ”Begini Re, Bapak menyuruh kamu datang ke sini agar kamu bisa melaksanakan tugasmu sebagai manajer tim secepatnya. Kamu tahu kan kejurnas antar SMU tinggal satu bulan lagi?” Rema melongo bingung. Hah! Mana gue tahu! Pak Wahyu terus berbicara. ”Nah, jadi tentunya segala persiapan harus sudah dilakukan seperti latihan, persiapan seragam, jadwal pertandingan, membuat taktik dan formasi. Semua sudah harus dipersiapkan dari sekarang.”

”Tapi pak, saya sebetulnya tidak begitu paham dengan tugas-tugas manajer. Walaupun keluarga saya berdarah bola semua, tapi masalah manajerial tim saya kurang paham sama sekali pak.”, sela Rema.

Pak Wahyu tertawa mendengar kata-kata Rema barusan. ”Berdarah bola? Hahaha, kamu itu ada-ada aja Re. Tenang. Ini baru kejurnas tingkat SMU bukan tingkat profesional. Jadi tugas manajer tidak begitu ribet sampai harus mengurusi masalah gaji pemain, regenarasi, dan jual beli pemain. Lagipula bapak sudah meminta seseorang untuk membantu kamu beradaptasi dengan tugas-tugasmu dan dengan anggota klub yang lain.” Rema mengerutkan kening bingung dengan ucapan pak Wahyu. Di saat itu seseorang datang mengetuk pintu dan muncul dalam ruangan. ”Masuk!” perintah pak Wahyu kembali. Kali ini bukan untuk Rema melainkan untuk seseorang yang berada dibelakangnya saat ini.

”Maaf pak, saya terlambat. Tadi harus memberitahu para pemain masalah latihan untuk nanti sore.”, kata tamu lain pak Wahyu tersebut yang ternyata seorang cowok.

”Nggak apa-apa, Bi. Oh ya Bima, kenalkan ini manajer baru kita, Rema. Rema ini Bima, dia kapten tim sepakbola.” Pak Wahyu saling memperkenalkan kedua murid yang ada didepannya.

Ya Ampun, kak Bima. Mimpi apa gue semalam sampai bisa ketemu malah kenalan sama kak Bima, takjub Rema dalam hati berusaha sekuat tenaga menahan rasa senangnya agar tidak sampai terdeteksi siapapun. Dari kelas satu, Rema sudah menyukai dan menaruh kekaguman pada kakak kelasnya ini. Tapi bukan ikut-ikutan seperti teman seangkatannya yang lain. Pertama kali Rema mulai

Page 27: winning fano feeling

27

menaruh perhatian pada Bima yaitu sewaktu secara tidak sengaja melihat kapten tim tersebut berlatih di lapangan sepulang sekolah. Saat itu Bima sedang melakukan tendangan jarak jauh yang entah mengapa nampak sangat memukau di mata Rema. Kekagumannya semakin bertambah manakala melihat langsung sang kapten berlaga di suatu event kejuaraan. Kepemimpinannya selama pertandingan berjalan, begitu mengesankan. Bima mengingatkan Rema pada sosok Zinadine Zidane tatkala memimpin rekan-rekannya di timnas Perancis. Dan yang pasti, kekaguman Rema tidak melahirkan follow up-follow up apapun. Baginya terlalu mustahil harapan untuk bisa dekat dengan sang kapten. Cukup dalam hati saja Rema memendam kekagumannya tersebut. Lagipula yang ia ketahui dari Indah, sang pujaannya itu sudah memilki pacar. Pacar yang tentu sepadan dengannya.

”Rema!”, panggil pak Wahyu cukup mengagetkan. Rema kalang kabut karena bad habit-nya yang suka mendadak bengong dan berkhayal kembali kambuh. ”Kamu tidak mau berkenalan dengan Bima?”, tanya pak Wahyu sedikit marah. Rupanya sejak tadi Bima sudah mengulurkan tangannya pada Rema untuk berkenalan. Rema pun segera menyambut uluran tangan Bima dan balik memperkenalkan diri. Aduuh, malu-maluin banget sih gue, rutuk Rema dalam hati.

”Re, selain sebagai kapten, Bima ini juga orang yang akan membantu kamu beradaptasi di klub. Kamu bisa tanya apapun segala hal menyangkut klub pada Bima. Pokoknya mulai sekarang kalian harus saling bahu-membahu demi kemajuan tim.”

”Baik Pak. Mohon bantuannya kak!”, kata Rema sambil tersenyum ramah kepada Bima.

”Ah nggak. Justru kedepannya nanti gue yang bakal sering merepotkan lo. Siapa lagi yang akan bantu tim memenangi setiap game kalau bukan lo. Benar nggak Pak!” Rema sebetulnya tidak mengerti maksud ucapan Bima apa. Tapi karena sudah terlanjur terbuai oleh keramahan Bima, maksud perkataan itu pun tidak jadi terlalu dipersoalkan.

”Ya sudah, segala urusan mengenai tim bola selanjutnya bapak serahkan pada kalian. Kalau ada sesuatu jangan sungkan beritahu bapak. Bapak akan selalu senang membantu kalian.”

”Baik Pak. Terima kasih banyak.”, jawab Bima dan Rema berbarengan. Pak Wahyu tersenyum senang melihat kekompakan dua anak didiknya. Semoga ini menjadi awal yang baik bagi nasib tim ke depan.

Rema dan Bima kemudian melangkah keluar bersama dari kantor pak Wahyu. Selama perjalanan menuju ke kelas, tak henti-hentinya

Page 28: winning fano feeling

28

senyum mengambang di wajah gadis itu. Bukan karena sudah resmi diterima jadi manajer klub yang membuat Rema bahagia seperti ini, tapi lebih karena keberadaan Bima yang untuk pertama kalinya berada dekat disampingnya.

”Oh ya Re, ini buat lo”, kata Bima sambil memberikan sebuah map, ”di dalamnya terdapat daftar nama pemain berikut posisi masing-masing dan formasi yang biasa dipakai. Terus disitu juga ada jadwal latihan rutin dan acara ’road to kejurnas’. Semua bisa lo pelajari sendiri. Kalo lo mau bikin perubahan apapun, lo bisa konfirmasi langsung ke pemain atau ke gue.” Rema melihat-lihat isi dalam map tersebut. Sesuai dengan penjelasan Bima, map itu memang penuh berisi kertas-kertas yang berhubungan dengan tim. Melihat map yang kini berada dalam genggamannya, Rema jadi tersadar akan tugas berat yang tengah dipikulnya saat ini. Di luar masalah taruhan dan masalah perasaannya sendiri, dalam hati Rema bertekad untuk benar-benar serius menangani tim sepak bola sekolah ini.

”Oh ya kak, ngomong-ngomong, pelatih tim kita siapa? Pak Wahyu lupa nggak ngasih tahu Rema.”, tanya Rema penasaran. Yang ditanya malah terlihat lebih bingung. ”Loh, pelatihnya yah kamu juga, Re. Memang sih tahun kemarin pak Wahyu masih sempat buat melatih tim. Tapi karena kejurnas kali ini bentrok dengan jadwal kejurnas atletik, jadi beliau melimpahkan tugas kepelatihan ke tangan manajer, merangkap gitu. Lo belum tahu?” Rema langsung shock mendengar penjelasan Bima. Dalam perhitungannya hanya jadi manajer tidak begitu masalah. Tinggal mengatur jadwal latihan, pertandingan, kebutuhan para pemain, dan mengurusi ruang klub, itu saja, tidak ribet. Tapi kalo sampai menjadi pelatih, Wuaa! mana bisa dia menyusun strategi. Kalo di game Football Manager sih bisa, tapi kalo game beneran!!

”Udah tenang, posisi lo sebagai pelatih hanya formalitas aja kok, hanya sebagai persyaratan kejurnas. Lagipula semua pemain memiliki tugas yang sama untuk menentukan formasi dan strategi yang tepat bagi tim.” jelas Bima seperti dapat membaca raut ketegangan di wajah Rema. ”Oh ya, ntar sore jam tiga lo datang ke lapangan yah! Hari ini kita ada jadwal latihan rutin. Sekalian gue pengen ngenalin lo ke anggota tim yang lain.” Rema mengangguk dan tersenyum kecil. Begitu tersanjung dengan sikap welcome Bima. ”Gue artikan senyuman lo itu sebagai tanda setuju. Ya udah, gue cabut dulu. Sampai ketemu nanti sore di lapangan.”

Bima pun berlalu meninggalkan Rema sendiri. Sesaat Rema tidak bisa melepaskan pandangannya dari punggung tegap dan lebar milik

Page 29: winning fano feeling

29

Bima yang makin lama makin menjauh. Sampai akhirnya bel tanda istirahat berakhir berbunyi, menjatuhkannya seketika pada realita.

Jam tiga yang di tunggu-tunggu itu pun hampir tiba. Setengah jam sebelumnya Rema sudah bersiap-siap untuk berangkat dari rumah. Baru saja Rema dan sepedanya akan melewati pagar rumah, sebuah mobil swift silver yang cukup familiar berhenti dan terparkir tepat di depan pagar.

”Ah, untung lo belum berangkat Re.”, kata Elvi sekeluarnya ia dari dalam mobil, kemudian disusul Arnett, Zeta, dan Airin.

”Lo kenapa gak bilang sih hari ini mau ada latihan perdana? Untung tadi siang gue iseng tanyain soal lo ke om gue. Jadinya kita bisa langsung berangkat ke rumah lo.”, kata Zeta sambil menghampiri Rema, diikuti oleh yang lain.

”Hmm, memangnya ada apa? Oh gue ngerti, kalian mau mulai pedekate ke Fano dari sekarang yah!”, tebak Rema dengan keyakinan tinggi. Tebakan Rema sama sekali tak digubris oleh 4U Cupid. ”Jangan bilang tadinya lo mau langsung berangkat Re?” Rema mengangguk menanggapi pertanyaan Elvi. ”Lo mau pergi latihan dan ketemu Fano dengan kostum seperti ini? T-shirt di tumbuk jaket dan celana jeans? Lo becanda ya!” Rema semakin bingung. Sebenarnya ada apa dengan gadis-gadis ini, kenapa mereka begitu terlihat sewot dengan penampilannya? ”Udah-udah, daripada makin lama wasting time mending sekarang kita balik lagi ke kamar Rema. C’mon girls!” Tanpa bisa berbuat apa-apa, Rema pasrah digiring Zeta masuk kembali ke dalam rumahnya.

Setibanya di kamar Rema, 4U Cupid langsung beraksi. Rupanya mereka bermaksud untuk me-make over Rema yang dianggap berdandan terlalu biasa. Elvi dan Airin bertugas menggeledah seluruh isi lemari pakaian Rema, mencari pakaian terlayak versi 4U Cupid. Sementara Zeta sibuk dengan box kecil yang dibawanya dari mobil. Dan setelah dibuka, Rema bisa melihat isi dari box kecil tersebut yang ternyata adalah peralatan make-up. Berbeda dengan ketiga temannya yang lain, Arnett yang tidak kebagian tugas apa-apa malah sibuk mengagumi dekor kamar Rema yang serba bola.

”Baju lo kayak gini semua, Re?”, tanya Elvi dan Airin. ”Udah gue duga peralatan make-up lo pasti gak komplit, malah

bisa dibilang gak ada sama sekali. Untung gue selalu bawa ’kotak

Page 30: winning fano feeling

30

ajaib’ gue ini.” sambung Zeta sambil memperlihatkan box kecil yang dibanggakannya itu.

”Wah Re, semua barang yang ada di kamar lo gak ada satu pun yang gak berhubungan sama bola. Keren-keren. Kita emang nggak salah ajuin lo jadi manajer tim bola.”, kali ini Arnett berkomentar.

Kurang dari lima menit, 4U Cupid telah selesai melaksanakan tugasnya masing-masing. Elvi dan Airin akhirnya berhasil menemukan pakaian paling layak dikenakan Rema untuk bisa membuat Fano terkesan. Atasan sabrina putih beraksen tali-tali kecil dipadu rok pink pleast mini menjadi pilihan terbaik dari dua pengarah busana dadakan ini. Selanjutnya, setelah pakaian pilihan Elvi dan Airin yang merupakan hadiah ulang tahun dari Indah tiga bulan lalu tersebut dikenakan Rema – untuk pertama kalinya-, Zeta pun bergegas menjalankan tugasnya sebagai penata rias.

”Bibir lo mungil yah, Re. Biar kelihatan lebih berisi, gue kasih lipstik warna agak gelap aja. Bentar, gue bikin out line tipis-tipis dulu pake lip liner pink muda biar gak keluar warnanya. Mmm, lipstiknya warna apa ya? Coklat kemerahan aja deh!” Sejurus kemudian Zeta memoleskan lipstik ke bibir Rema menggunakan kuas bibir dengan lihainya. ”Taraa, gimana hasil make up-an gue? Perfect kan!”, tanya Zeta pada yang lain sambil menunjuk wajah Rema yang sudah ia permak.

”Bibirnya jadi kurang fresh deh Ta karena lo kasih warna agak gelap.”, sahut Elvi. Zeta memerhatikan kembali bibir Rema dengan lebih seksama, sedang Rema hanya bisa duduk pasrah menerima nasib malangnya. ”Oh ya? Kalau gitu gue olesin lip gloss transparan aja yah di tengah-tengah bibirnya.” Sejurus kemudian Zeta kembali beraksi mengoles-olesi bibir Rema. ”Gimana? Kalau yang sekarang, ok kan!” Tidak ada yang berkomentar kali ini. Make-up dari Zeta sudah sangat sempurna di wajah Rema.

Rema sendiri sampai terkesima tak percaya melihat penampilannya di cermin yang looks so beautiful dengan make-up soft tapi eye catching dan juga baju yang sangat simple tapi cute, membuat Rema serasa bukan Rema. Rema masih tak mampu percaya kalau beautiful girl in the mirror itu adalah dirinya. ”Gue rasa ini terlalu berlebihan deh.”, pendapat Rema pada ujungnya. Walaupun mengakui hasil karya tangan dingin 4U Cupid. Hanya saja Rema merasa kurang nyaman dengan penampilan baru yang terlalu jauh berbeda dari kesehariannya itu.

”Ya ampun Re. Lo tuh cantik banget kali. Percaya deh.”, yakin Airin. Terlihat binar kesungguhan di kedua matanya. ”Benar Re. Lo

Page 31: winning fano feeling

31

gak usah pake gak pede segala. Gue yakin, pas Fano pertama lihat lo dengan penampilan istimewa ini, dia pasti bakal terpesona dan mungkin malah langsung jatuh cinta sama lo.”, tambah Zeta semakin berlebihan. Dan berhasil. Rema akhirnya terlanjur terbuai oleh pujian Zeta. Tapi bukan Fano yang ada di pikirannya, melainkan Bima.

”Eh, udah mau jam tiga. Ta, kita anter Rema ke lapangan sekarang!” Semua kompak melihat jam begitu Elvi mengingatkan tentang waktu yang terus bergulir. Langsung saja semua penghuni di kamar Rema berhamburan keluar menuju mobil.

Dengan nafas terengah-engah dan posisi lari yang tidak nyaman -karena pake rok-, Rema berusaha sekuat tenaga secepatnya sampai di lapangan. 4U Cupid hanya mengantarnya hingga ke gerbang sekolah. Mereka harus segera tampil di sebuah pertandingan basket pukul setengah empat. Rema sempat terharu melihat pengorbanan 4U Cupid yang sampai rela mengesampingkan kepentingan mereka untuk dirinya. Tetapi saat teringat tujuan akhir mereka sebetulnya apa, yaitu untuk memenangkan taruhan, rasa haru itu pun mendadak hilang.

Akhirnya, dengan penuh perjuangan sampailah Rema di pintu masuk lapangan sepakbola sekolah. Jantungnya yang sudah bergerak liar karena kecapean semakin berdetak kencang saat akan mendekati kerumunan laki-laki berpakaian seragam bola di kejauhan sana. Mereka tengah berkumpul di sisi lapangan. Rasa sesal sempat memasuki pikiran Rema kenapa sudah mau bersedia membantu Airin dan ikut terlibat dalam taruhan gak masuk akal ini. Tapi pikiran buruk itu segera ia singkirkan manakala mengingat beasiswa yang sedang diperjuangkannya saat ini. Yah, gue harus bertahan. Fight Rema!

”Selamat sore!” sapa Rema dengan segenap keberanian yang dapat dikeluarkan begitu telah berada dekat dengan kerumunan para pemain. Para pemain yang ia sapa hanya terdiam heran menatap Rema tanpa ada seorang pun yang bersedia memberi balasan. Di saat itulah Rema tersadar kalau Bima tidak ada diantara kerumunan para pemain. Kegugupan pun menjalar ke seluruh sel tubuhnya. Keadaan yang akan selalu terjadi setiap ia berada di komunitas baru dan asing.

”Lo, Rema?” Terdengar sebuah suara di belakang Rema. Setelah ditengok, sosok Bima muncul dan seketika membawa hawa kelegaan ke dada Rema. ”Lo Rema manajer tim yang baru itu kan?”, tanyanya sekali lagi untuk memastikan. Rema mengangguk senang. Tidak menyangka Bima sampai harus memastikan benar itu dirinya padahal

Page 32: winning fano feeling

32

mereka baru bertemu beberapa jam lalu. Apa gue benar-benar terlihat berbeda yah setelah didandani 4U Cupid? Pikir Rema yang sedikit berharap Bima bisa tertarik dengan penampilan barunya ini. Oke, sangat berharap.

”Oh sori, penampilan lo lain banget. Jadi gue agak ragu buat nyapa.” Yes! Sorak Rema dalam hati. ”Oke, semua! mohon perhatiannya sebentar! Ada pengumuman penting yang pengen gue sampaikan pada kalian.”, teriak Bima yang ditujukan pada rekan-rekan setimnya. Semua pemain yang berjumlah empat belas orang tersebut segera mengalihkan perhatiannya pada Bima. Dari sini Rema bisa lihat betapa besar dan kuatnya pengaruh Bima di tim. Ya iyalah, secara dia kapten tim. ”Teman-teman, cewek yang ada di sebelah gue ini adalah Rema, anak kelas XI F. Rema ini yang akan bertugas menggantikan Gina sebagai manajer baru tim. Semua, ayo beri sapaan hangat!”

”Hai!”, sapa para pemain terdengar enggan dan dipaksakan. ”Rema, kenalkan dari yang paling kanan itu namanya Ilham, dia

kiper andalan tim. Kemudian di sebelah kirinya secara beruntun ada Juki, Fedi, Angga, Luki, Hendra dan Gary. Mereka berenam adalah para jangkar pertahanan tim. Selanjutnya ada Faisal, Kemal, Paundra, Gobin, dan Candra gelandang juga kreator serangan kita. Dan terakhir yang paling kiri itu adalah Fano dan Maksi, mereka penyerang handal dan mesin gol kita. ” Rema mulai menghapalkan satu-persatu nama yang baru saja Bima perkenalkan. Saking sibuk mengingat Rema sampai lupa untuk balik memperkenalkan diri. Setelah melihat tatapan menunggu Bima, Rema pun buru-buru angkat bicara. ”Oh ya, nama gue Rema. Semoga kedepannya nanti kita bisa saling membantu.”, ucap Rema gugup, seketika langsung menyesali kata-kata yang keluar yang dirasa terlalu formal. Emangnya ini perkenalan di perkantoran apa. Huhu, begooo!!

”Re, sekarang ini kita mau pemanasan lari-lari kecil sekitar lapangan. Kalau mau, lo bisa lihat-lihat dulu ruang klub disana.”, usul Bima menunjuk sebuah bangunan kecil bercat hijau yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Rema mengangguk, undur diri dan kemudian berjalan memasuki markas klub.

Ruang klub yang menjadi base camp para pemain bola ini ukurannya tidak begitu luas dibanding ruang klub ekskul lain semisal renang atau kimia, meski begitu tetap cukup luas untuk menampung beberapa lemari serta loker, dan sebuah kursi kayu panjang yang diletakkan di tengah ruangan. Dinding ruangan yang tidak jelas warna, -akibat kotor, banyak dihiasi foto-foto para pemain dan pengurus tim dari berbagai angkatan. Selain itu terpajang tiga buah white board yang

Page 33: winning fano feeling

33

berisi jadwal pertandingan, skema permainan, dan jadwal latihan. ”Biasa main 4-4-2 toh!”, celetuk Rema melihat skema permainan tim di salah satu white board.

Saat sedang asyik memerhatikan seluruh isi ruangan, secara tidak sengaja Rema menemukan sebuah pintu tersembunyi di samping lemari penyimpanan peralatan latihan. Rema yang penasaran kemudian membuka pintu tersebut yang ternyata adalah.. ”Busyet deh, ini kamar mandi apa tempat pembuangan? Bau dan kotornya sepuluh kali lebih parah dari wc umum terminal.” Rema stres sendiri melihat keadaan kamar mandi klub yang sangat bau serta di penuhi oleh baju dan celana kotor. Untunglah tidak ada binatang atau sesuatu yang aneh di dalamnya sehingga Rema bisa dengan tenang mengangkat pakaian-pakaian kotor yang berserakan di lantai ke dalam sebuah kantong plastik besar dengan menggunakan ujung jari telunjuk dan jempolnya. Setelah merasa cukup melihat-lihat isi ruangan, Rema berniat kembali ke lapangan untuk mengamati latihan para pemain. Sebelum akan keluar, mata Rema terlebih dulu menangkap sebingkai foto yang terpasang di atas pintu. Foto itu merupakan foto anggota klub angkatan sebelumnya. Hampir semua pemain yang tadi diperkenalkan Bima termasuk Bima sendiri ada dalam foto tersebut. Yang tidak ada hanya beberapa orang seperti Angga, Gary, Candra, Paundra, dan Fano, karena kelimanya baru masuk sekolah dan klub tahun ini.

”Cewek yang di samping kak Bima siapa yah? Kok rasa-rasanya pernah lihat.” tanya Rema penasaran sambil berusaha mengingat-ngingat siapa wanita cantik yang ikut tersenyum di dalam foto. Tunggu, jangan bilang dia cewek yang sama dengan yang ditunjuk Indah waktu itu. Tapi emang iya sih, dia cewek yang dulu pernah dibilang Indah sebagai pacarnya kak Bima. Kok bisa yah dia ikut ada di foto? Mungkin karena dia pacarnya kak Bima kali ya. Coba gue yang ada di situ. Hihihi! Rema cengengesan sendiri menanggapi khayalan tingkat tingginya.

”Bi, lo yakin cewek tipe itu bisa jadi manajer tim kita? Bisa gantiin posisi Gina?”, tegur sebuah suara asing di balik pintu yang membuat Rema kembali mengurungkan niatnya untuk keluar dari ruangan.

”Yah, semoga aja bisa Fed. Oh ya, nama cewek itu Rema.” deg.. jantung Rema langsung berdegup kencang mendengar namanya disebut Bima. Kali ini bukan degupan kebahagiaan seperti biasa, melainkan degupan kegelisahan. Apa saat ini mereka sedang membicarakan gue? Rema merasa was-was.

Page 34: winning fano feeling

34

”Gak penting siapa dia, yang terpenting adalah apa lo yakin si Rema-Rema itu orang yang tepat dan capable untuk posisinya? Manajer sekaligus pelatih loh Bi! Itu bukan posisi sembarangan. Apalagi melihat keadaan tim kita saat ini yang masih perlu banyak berbenah dalam menghadapi kejurnas. Kita butuh manajer yang competent bukan yang entertaint! Lo gak lihat apa dari penampilannya sekarang. Dia lebih cocok masuk klub cheers ketimbang klub bola. Takutnya bukan membantu, dia malah makin membuat kita repot.” Hati Rema terasa sakit mendengar pendapat buruk Fedi tentang dirinya, padahal mereka baru berkenalan tapi kenapa dia bisa membuat judge seperti itu? Rema memandangi kembali penampilannya hari ini. Walau sedikit menyakitkan, tapi kata-kata cowok itu memang benar. Saat ini ia tidak jauh berbeda dengan 4U Cupid atau PrincesShine.

”Yah kita lihat saja dulu sejauh mana kualitas manajer baru kita.”, jawab Bima berusaha bijak.

”Berapa lama? Seminggu, dua minggu, apa sebulan? Kelamaan.”

”Terus mau lo sekarang gimana?” Bima menyerah dan mulai membuka opsi. Fedi segera memanfaatkan dengan menjelaskan maksud keinginannya. ”Gini Bi, gue udah ngobrol tadi sama anak-anak, dan kita semua sepakat buat bujuk Gina batalin keputusannya cabut dari tim. Lo bisa bantu kita kan?” Bima terdiam sejenak, cukup lama suasana menggantung sepi. Begitu jawaban keluar dari mulutnya, ada sedikit kepiluan yang terdengar. ”Bukan hanya kalian yang pengen Gina tetap bareng kita Fed, gue juga. Bahkan mungkin gue orang yang paling kecewa atas keputusannya keluar dari klub. Tapi gue gak bisa berbuat apa-apa. Mau pakai cara apapun, dia tetap tidak akan merubah keputusannya.”

Kali ini giliran Fedi yang tidak langsung melanjutkan obrolan. ”Sori, Bi. Gue nggak bermaksud menyinggung perasaan lo. Oh yah, hubungan lo sama Gina sendiri baik-baik saja kan?”

Rema tidak sanggup lagi mendengarkan percakapan kedua pria itu lebih lanjut. Hatinya terlampau perih dan sakit. Baru beberapa saat yang lalu Rema merasa berada di atas langit dengan khayalan-khayalan bodohnya. Namun sekarang, ia serasa terlempar jatuh ke bumi dan hancur berkeping-keping. Tangan kirinya yang sejak tadi menggantung di atas kenop pintu perlahan terlepas seiring dengan memudarnya keinginan untuk keluar dan bertemu dengan Bima atau siapapun. Sayang, keinginan Rema untuk bersembunyi dari semua orang tidak terwujud karena secara mengejutkan Bima muncul dari balik pintu arah

Page 35: winning fano feeling

35

luar. ”Re, lo lagi ngapain di sini?”, tanya laki-laki itu tampak tidak curiga kalau Rema telah mendengar percakapannya barusan.

”Eh, nggak kak. Nggak lagi apa-apa kok.”, bohong Rema. Bima mengangguk percaya. ”Kalau gitu lo ikut gue ke luar

lapangan. Latihan sudah akan dimulai. Nanti sewaktu kami semua berlatih, tolong lo catatin hasil-hasil kemajuan dan juga kekurangan setiap pemain. Map yang kemarin gue kasih lo bawa kan?”

Sekuat tenaga Rema berusaha mengeluarkan suara tanpa membuatnya pecah jadi getaran. Pikirannya masih berkecamuk. Bagaimana mungkin dia bisa kembali ke lapangan, bersikap seolah tidak mendengar apa-apa, dan berpura-pura menganggap semua pemain di tim menerimanya dengan tangan terbuka padahal dia tahu itu tidak benar. ”Kenapa kak Bima masih meminta Rema mengerjakan tugas-tugas manajer ini? Bukannya kakak ragu Rema bisa jadi manajer tim atau tidak?”

Sesaat dahi Bima berkerut tidak mengerti akan maksud pertanyaan Rema. Tetapi kemudian sesuatu tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. ”Lo tadi dengar obrolan gue di luar?”, tanya Bima memastikan. Rema terdiam. ”Oh gosh! Dengar Re, gue janji akan jelasin masalah ini sama lo sehabis latihan nanti. Tapi please, sekarang gue harap lo bisa bersikap seperti biasa dan bantu gue pantauin perkembangan anak-anak. Gue harus ikut latihan bareng mereka.” Terpancar permohonan tulus dari mata Bima, dan Rema tidak kuasa untuk menolaknya. “Baiklah.”, pasrahnya, kemudian mengikuti Bima menuju lapangan.

Sepanjang latihan berjalan, Rema hanya duduk manis di pinggir lapang dengan kedua tangan memegang erat data training pemain. Matanya kosong menatap ke depan ke hamparan lapangan sepakbola yang dihiasi tarian indah sekumpulan pemain yang tengah asyik memainkan kulit bundar. Meski tampak seperti sedang melamun, namun sebetulnya Rema sangat memerhatikan betul setiap gerakan dalam latihan yang dilakukan para pemain. Mulai dari dribbling bola, passing, free kick, shooting, heading, tackling, goal keeping, ball control dan lainnya. Tak ada yang luput satupun dari tangkapan mata Rema karena ia sudah terbiasa menyaksikan aksi-aksi tersebut baik di layar kaca maupun secara langsung.

Tanpa terasa 90 menit waktu latihan pun berakhir. Semua pemain bergegas menuju ruang klub untuk mandi dan berganti pakaian, tentunya setelah beristirahat dan mendinginkan tubuh terlebih dulu. Rema yang tak ikut berlatih tetap sabar menunggu semua pemain selesai berganti untuk kemudian baru pulang. Tidak enak kalau ia

Page 36: winning fano feeling

36

pulang terlebih dulu. Bisa-bisa para pemain makin tidak menyukainya karena menganggap ia tidak memiliki rasa solidaritas.

Di saat hampir semua pemain telah selesai berganti dan bersiap pulang, muncul seseorang ke lapangan yang langsung menghampiri para pemain. ”Halo semuanya!”, sapa gadis tersebut dengan hangat dan ramah. Sepertinya dia bukan orang asing bagi para pemain. Buktinya semua pemain, kecuali Bima dan Fano, begitu bersemangat menyambut hangat cewek tersebut. ”Gina! kemana aja lo, kok baru jengukin kita-kita sekarang? Lo datang kesini buat gabung lagi di klub kan?”, tebak Juki orang pertama yang menghampiri dan memeluk cewek bernama Gina itu.

”Ijuk! gue kangen banget sama lo. Hehe...”, teriak Gina dengan cerianya.

Oh jadi ini Gina pacarnya kak Bima yang sekaligus mantan manajer tim itu. Cukup lama Rema memerhatikan sosok cewek cantik putih yang ada di depannya saat ini. Penampilannya sangat simpel namun terlihat modis dengan kaos vintage berwarna ungu dan celana jeans. Wajahnya pun tanpa riasan make-up berlebih, hanya memakai maskara dan lipglos. Rambutnya yang sedikit ikal diikat ke belakang dengan asal. Tapi justru keserba-biasaan penampilan Gina inilah yang membuat Rema minder dan malu sendiri. Rema merasa seperti badut dengan segala apa yang dikenakannya saat ini.

”Hai, gue Gina. Lo pasti manajer baru tim ini kan?”, sapa Gina ramah memperkenalkan dirinya pada Rema. Rema sedikit kaget saat melihat uluran tangan Gina untuknya.

”Ah iya, gue Rema. Kakak pasti kak Gina mantan manajer tim?”, sapa Rema balik.

”Iya. Gimana, lo udah bisa beradaptasi sama klub dan semua pemain belum?”

”Hehee.. belum sih. Mungkin nanti.” Ah, gila ni cewek. Sudah cantik, baik, sederhana, ramah lagi. Benar-benar pasangan yang pas buat kak Bima. Dan wajar juga kalau dia bisa jadi pacarnya kak Bima.

Usai beramah tamah dengan Rema, Gina kemudian mengalihkan perhatiannya pada sang pacar, Bima. ”Bi, kamu kok diam aja sih.”, keluh Gina terdengar manja pada Bima. Semua pemain langsung menyoraki drama percintaan yang ditunjukkan dua sejoli itu. Tidak tahan dengan ulah teman-temannya yang semakin iseng menggoda, Bima akhirnya bergerak maju mendekati Gina. Obrolan pun mengalir diantara mereka berdua.

Entah mengapa perasaan Rema mendadak berubah tidak enak melihat pemandangan antara Bima dan Gina. Perlahan Rema bergerak

Page 37: winning fano feeling

37

mundur sedikit demi sedikit menjauhi kerumunan anak-anak, dan memilih duduk di kursi teras luar markas klub. Di sampingnya Fano yang sudah berada di kursi terlebih dulu, tengah sibuk menelpon sembari melucuti sepatu bolanya. Fano sendiri baru akan berganti sekarang karena tadi dia menambah porsi latihannya sendiri hingga dua puluh menit.

”Quire usted hecerme un favor?1”, ucap Fano dalam bahasa Spanyol pada seseorang di ujung telfon sana. Rema yang duduk tidak jauh dapat mendengar dengan jelas percakapan tersebut dan langsung merasa takjub. Ya ampun, ni cowok beneran lagi ngomong bahasa Spanyol! Gila, ternyata dia emang pernah tinggal di Argentina. Ya iyalah Rema bego, kata Indah kan Fano baru beberapa bulan di Indonesia. ”Cómo! De veras?2

”Qué feliz soy! Gracias, muchas gracias. Usted es muy amable.

” Rema berusaha semakin mempertajam pendengarannya. Walaupun tidak mengerti sama sekali arti kata-kata yang diucapkan Fano, tapi Rema sudah lama tertarik dengan bahasa Spanyol. Kefanatikannya pada salah satu klub bola raksasa di Spanyol membuat ia jadi ikut tertarik dengan bahasa negeri matador itu sendiri.

3

”Eh..” Rema tersentak, malu sudah tertangkap basah. ”Nggak, nggak ada apa-apa. Gue cuma surprise aja lo bisa bahasa Spanyol dengan sangat lancar. Hehehe..” Rema tertawa garing sembari melengos. Ups. Lo ngomong apa sih Re? Semua anak di sekolah juga tahu kali Fano bisa bahasa Spanyol. Uuh, dasar bego! Rema terus menyalahkan diri dan meratapi ketololan yang baru saja dilakukan, padahal Fanonya sendiri bereaksi biasa dan santai-santai saja. Entahlah, Rema merasa hari ini terlalu banyak kesalahan dan hal tolol yang ia perbuat. Dan semua tragedi itu berawal dari perubahan penampilannya ini, karena ia tidak menjadi dirinya sendiri. Harusnya dari awal Rema

” Fano menutup telfon dan meletakkan kembali handphonenya ke dalam tas. Meski pembicaraan itu telah selesai, Rema masih saja memerhatikan Fano dengan penuh rasa takjub. Hal itu segera disadari oleh Fano yang langsung menegur Rema karena merasa tidak nyaman. ”Ada apa? Lo kok lihatin gue terus!”

1 Anda mau menolong saya? 2 Apa! Sungguh? 3 Saya sangat senang! Terima kasih, terima kasih banyak. Anda sangat baik sekali.

Page 38: winning fano feeling

38

sadar kalau penampilan ini tidak pas untuknya. Sayang, ia terlalu mudah terhipnotis angan-angan kosong 4U Cupid.

Akhirnya Rema memutuskan untuk tidak menunda lagi kepulangannya. Makin lama berada di tempat ini, makin banyak hal aneh yang terjadi. Tidak ada jaminan kalau kejadian berikutnya tidak akan lebih buruk atau memalukan. Untuk itu Rema segera bersiap pamit pada semua orang. ”Gue pulang dulu yah!”, pamitnya ke para pemain. Sayang, tidak ada satu orang pun yang menyahut atau bahkan mungkin mendengar suaranya tadi. Semua masih sibuk mengobrol seru dengan Gina, termasuk Bima. Hal menyebalkan ini semakin memantapkan hati Rema untuk cepat-cepat hengkang angkat kaki. Mau semua orang tahu, nggak tahu, atau bahkan nggak mau tahu, putus Rema masa bodoh, mulai bergegas pergi.

”Eh Rema, lo mau kemana?”, teriak sebuah suara ketika Rema sudah cukup jauh meninggalkan lapangan. Begitu berbalik, Rema tercengang melihat Bima tengah berlari kecil ke arahnya. Tubuhnya kembali serasa melayang-layang. ”Lo mau balik?”, tanya sang kapten begitu jarak keduanya telah dekat.

”Iya kak.” jawab Rema singkat. Bima nampak sedikit kecewa. Pertanda apakah ini? Batin Rema kegeeran.

”Yah, kok lo balik sekarang? Gue kan pengen ngomong sesuatu dulu sama lo soal yang tadi itu. Emang lo gak mau dengar penjelasan gue? Selain itu juga ada masalah tim yang mau gue diskusikan sama lo.”

Rema baru saja akan membuka mulut mengatakan ’ia akan menunda kepulangannya’, sampai sebuah suara tiba-tiba memotong dan memaksa Rema kembali menelan kata-katanya tersebut. ”Bi, gue pengen ngomong sesuatu juga sama lo. Lo mau kan ikut makan bareng gue dan anak-anak sekarang.”, pinta Gina yang datang menyambar dari belakang.

”Maaf Gin, tapi gue udah ada janji sama Rema buat obrolin masalah tim.”, tolak Bima halus mengguratkan kesedihan di wajah Gina. Hati Rema terenyuh tidak tega melihat kekecewaan Gina. Rema pun memilih untuk mengalah. ”Eh kak nggak usah, nggak apa-apa. Kita bisa obrolinnya besok. Lagian Rema harus segera pulang, udah sore.”, ucapnya mengabaikan protes dari sebagian hati kecilnya.

”Oh gitu. Ya sudah besok siang sepulang sekolah kita ketemu di ruang klub. oke?”, usul Bima memberi option.

”Oke!” sahut Rema. Berusaha tetap tersenyum di tengah kepahitan hatinya.

Page 39: winning fano feeling

39

Dan jadilah sore itu Rema pulang ke rumah sendiri berjalan kaki dan,,, nyeker. Rema sudah tidak sanggup lagi untuk memakai high heels. Sekujur otot kakinya berdenyut sakit, dan jika terus dipaksakan bisa-bisa kakinya cedera karena keseleo. Kalau tidak ingat sepatu mahal ini milik Zeta, Rema pasti sudah melempar sepatu ini jauh-jauh untuk melampiaskan kesedihan dan kekesalan yang dirasakan.

Page 40: winning fano feeling

40

BABAK 3 ”Gue mau berhenti jadi manajer klub!”, putus Rema sehari setelah latihan pertama bersama tim klub sepakbola. Ia ungkapkan keputusannya tersebut pada Razy dan Indah di kelas. ”loh-loh, baru juga sehari lo jadi manajer udah langsung KO gitu!”, heran Indah. ”Justru karena baru sehari merasakan neraka itu makanya gue gak mau balik lagi kesana.”, jelas Rema. Razy dan Indah saling bertatapan tak mengerti. ”Kok bisa sih Re? Kalau kemarin-kemarin sewaktu lo gabung di ekskul lain terus ngomong kayak gini gue gak heran. Tapi ini klub bola loh Re, bukannya lo football lover banget!”, tanya Indah kembali. ”Masalahnya gue merasa gak nyaman di sana Ndah, Zy. Sekalipun gue berada di dunia yang gue banget. Gak ada satu orang pun di tim yang welcome dengan kehadiran gue, kecuali kak Bima. Dan parahnya, semua pemain terus saja membanding-bandingkan gue sama manajer tim yang dulu. Gue udah gak tahan.”, tambah Rema berusaha menarik simpati kedua sahabatnya. ”Lagi-lagi. Alasan klasik tahu Re!”, komen Razy terdengar sinis. ”Terus gimana dengan masalah perjanjian lo sama Airin? Lo mau jelasin apa ke dia? Terus tekad lo buat dapatkan beasiswa itu?” Pertanyaan Razy selanjutnya ini sukses membuat Rema diam tak berkutik. Dia lupa akan janji tersebut sewaktu semalam memutuskan untuk resign dari posisinya sebagai manajer bola. Tak disangka masalahnya akan serumit ini. Tapi walau bagaimana pun keputusan sudah bulat dan mutlak. Rema akan tetap akan keluar dari klub bola. ”Nanti gue ngomong langsung ke Airin masalah keputusan terbaru gue ini. Gue akan coba jelasin ke dia hambatan-hambatan apa yang bikin gue sulit untuk tetap bertahan. Gue akan cari cara lain untuk membalas budi Airin. Semoga saja dia mau mengerti. Sekali pun enggak, gue gak peduli.”, tutur Rema mencoba sedikit egois. Razy dan Indah nampak terkejut dan kecewa dengan jawaban yang Rema berikan, terlebih Razy. Kekecewaan tersebut diungkapkan Razy melalui kritikan pedasnya kepada Rema. ”Gue kecewa sama lo, Re. Bukan hanya karena lo udah ingkar janji sama Airin. Lebih dari itu, gue kecewa karena mental lo dari dulu belum juga berubah, masih aja

Page 41: winning fano feeling

41

cemen. Sifat pengecut dan pecundang lo itu nggak juga hilang sampai sekarang.” Rema sangat terkejut mendengar respon Razy yang benar-benar di luar dugaan. ”Lo ngomong apa barusan Zy? Gue apa? Cemen? Pengecut? Pecundang?”, tanya balik Rema tidak terima. ”Iya, lo itu cemen, pengecut, dan pecundang. Lo gak bisa bertahan di kondisi luar zona comfort lo. Bahkan tanpa usaha yang berarti lo langsung mundur gitu aja, kembali berlindung di zona nyaman lo.”, tambah Razy lebih pedas, cukup untuk membuat Rema bangkit berdiri dan berhadapan wajah langsung dengan cowok segudang prestasi tersebut. ”Oh, enak banget lo Zy ngomong gitu. Lo tuh gak ngerasain bagaimana berada di posisi gue saat ini. Terdampar di komunitas orang-orang yang gak anggap lo exist. Selain itu, lo juga terus diatur dan ditekan oleh orang-orang yang gak bisa lo tolak karena alasan janji dan persahabatan.” ”Itu adalah keputusan yang sudah lo ambil dan harus lo selesaikan sendiri, Re. Tapi tidak dengan cara melarikan diri seperti ini.” Rema membuang muka, kesal. Namun dalam hati kecilnya ia sedikit membenarkan ucapan Razy. ”Lo kira gue gak dapat hambatan apa selama berada di klub kimia dan selama gue mengikuti olimpiade di Singapura kemarin. Salah kalo lo anggap tidak ada. Dari sejak awal gabung, sebenarnya gue udah dapat banyak tekanan. Di sekeliling gue semua murid-murid nomor satu di kelasnya, sedang gue saat itu cuma orang nomor dua.” Rema sedikit tergerak mendengar cerita Razy. Saat itu, dialah orang nomor satu tersebut. ”Tapi gue gak mau larut dalam keminderan gue, Re. Gue terus berusaha menganggap hal tersebut tidak ada. Dan sewaktu klub ajuin anggotanya buat ikut seleksi tim olimpiade kimia tingkat nasional, gue bahkan gak masuk dalam pilihan mereka. Gue akhirnya bisa ikut setelah ada murid yang mundur karena sakit. Baru akhirnya gue terpilih. Itu pun setelah melalui tes ketat bersama semua anggota klub lain. Status gue yang hanya sebagai pengganti membuat semua orang memandang sebelah mata dan tidak mengunggulkan gue. Tapi gue bertekad untuk patahin segala anggapan dan prediksi itu. Gue berusaha terus, bekerja keras hingga akhirnya gue bisa jadi juara pertama dan dikirim ke olimpiade kimia tingkat dunia.” Tidak ada maksud menyombongkan diri saat Razy memutuskan untuk menceritakan perjalanan beratnya selama mengikuti olimpiade kimia pada Rema. Rema dan Indah pun tidak memiliki pikiran negatif tersebut. Kalaupun memang benar Razy berniat seperti itu, kenapa baru sekarang dia menceritakannya pada mereka. Rema dan Indah memang

Page 42: winning fano feeling

42

baru tahu sekarang cerita pahit Razy dibalik kesuksesannya sebagai peraih medali perunggu Olimpiade Kimia Internasional. Sebelumnya cerita yang mereka ketahui hanya permukaan saja, tidak sampai mendetail. Razy bukan tipe orang yang senang menceritakan segala kesulitan hidupnya. Dan jika sekarang dia mau membeberkannya, itu berarti ada maksud penting lain yang ingin disampaikan. Rema bisa menangkap maksud lain Razy tersebut.

Saat ini Rema tengah dalam perjalanan menuju ruang klub bola. Selain karena sudah ada janji dengan Bima, kepergiannya kali ini juga membawa alasan lain yaitu untuk memberitahu Bima tentang keputusan hengkangnya sebagai manajer klub. Ya, Rema tetap memutuskan untuk keluar meski Razy dan Indah sudah membujuknya sebisa mungkin. Rema memang sangat keras kepala dan susah dikasih tahu. Kelebihan yang diberikan Tuhan melalui kecerdasannya membuat Rema kadang sulit menerima pendapat orang lain disaat ia menganggap benar pendapatnya sendiri. Sekalipun untuk kasus sekarang dimana Rema sendiri mengakui kalau bujukan Razy itu ada benarnya. Tapi keputusan telah diambil dan tidak ada alasan untuk membatalkannya, terkecuali kalau Bima memaksanya tetap tinggal. Hanya saja kemungkinan kecil itu sudah diprediksi tidak mungkin terjadi. Bahkan Rema berani bertaruh kalau semua pemain di tim akan sangat gembira mendengar pengunduran dirinya, termasuk Bima. Karena dengan begitu mereka jadi memiliki alasan kuat untuk membuat Gina kembali jadi manajer tim. Rupanya Bima sudah terlebih dulu sampai di tempat janjian mereka sebelum Rema. Begitu memasuki ruang klub, Rema menemukan kakak kelasnya tersebut tengah sibuk membereskan peralatan latihan ke dalam lemari penyimpanan. “Siang kak!”, panggil Rema, menghentikan seketika aktifitas Bima. ”Eh lo udah datang, Re. Ayo duduk di situ!” Bima menunjuk kursi panjang yang ada di tengah ruangan. Rema pun duduk di sana sambil menunggu Bima menyelesaikan sisa pekerjaannya. Setelah selesai, Bima kemudian menghampiri Rema dan duduk di sebelahnya. ”Hmm, mulai darimana yah ngomongnya..” Bima kebingungan. Rema tersenyum geli melihat mimik linglung kapten tim yang disukainya itu. ”Kak, sebenarnya ada yang pengen Rema omongin juga sama kakak.” Rema coba membuka perbincangan.

Page 43: winning fano feeling

43

”Oh ya. Kalau gitu lo ngomong duluan aja.”, usul Bima. ”Nggak, kakak aja. Orang yang pengen ngomong duluan kan kakak.”, tolak Rema. Bima menarik napas cukup panjang. “Baiklah kalau begitu.”, desahnya. Rema merasakan sepertinya akan terjadi penjelasan panjang lebar. Dan benar saja. Penuturan deras mengalir dari mulut Bima sedetik kemudian. ”Lo tahu Re, klub bola ini adalah tempat yang sangat berharga bagi gue dan juga pemain lain. Gue sendiri udah anggap klub ini sebagai rumah kedua gue. Tempat gue bisa keluarin semua perasaan gue setiap kali bermain bola bareng anak-anak. Perjalanan dan kenangan gue bareng mereka di klub ini udah gak kehitung lagi banyaknya. Mulai dari saat awal gue, Fedi, Ilham, Juki, Maksi, Kemal, dan Hendra menginjakkan kaki pertama kali disini, sampai sekarang tahun terakhir kami disini.” Rema cukup kaget mendengar Bima tiba-tiba bercerita tentang kenangannya selama di klub. Kenapa hari ini banyak yang cerita soal kenangan hidupnya sama gue? Tadi si Razy sekarang kak Bima. Rema berhenti menduga-duga dan kembali menyimak Bima yang bercerita dengan mata menerawang jauh. ”Lo tahu Re tahun pertama kali gue masuk ke sini keadaan klub seperti apa?”, tanya Bima, menoleh sesaat pada Rema lalu kembali melihat ke depan. Rema menggeleng tak tahu. ”Keadaan klub dua tahun lalu sangat-sangat mengkhawatirkan. Bayangkan, hanya berisi enam orang pemain ditambah kami bertujuh jadi tiga belas orang. Peralatan yang ada pun sangat minim, hanya ada bola saja, belum ada seragam tim, sepatu, stopwatch, peralatan medis dan yang lainnya. Tapi kami tetap bersemangat dengan segala keterbatasan itu dan juga dengan segala kepesimisan orang-orang terhadap tim ini. Walaupun tim langsung gugur sebagai juru kunci di babak penyisihan grup kejurnas, tapi itu adalah kejuaraan pertama tim bola ini. Kami tetap bangga saat itu bisa membawa nama sekolah untuk pertama kalinya ke kejurnas.” ”Hahaa. lucu sekali kalau mengingat dulu kami pernah diprotes oleh sekolah lain karena pakaian kami yang tidak seragam. Sebagai manajer tim Gina memberikan penjelasan mengenai keadaan tim yang serba kurang persiapan pada panitia, dan kemudian berjanji untuk memakai pakaian seragam di pertandingan selanjutnya.” Rema ikut tersenyum membayangkan peristiwa tersebut, meski ia masih belum mengerti apa maksud Bima menceritakan kenangan tersebut padanya. ”Nah, sekarang lo bisa mengerti kan Re kenapa Fedi bisa sampai hati bicara seperti itu kemarin? Bukan karena dia benci sama lo, tapi lebih karena dia terlalu sayang dengan klub. Di tahun terakhir ini kami bertujuh sama-sama bertekad untuk memberikan kenangan terbaik bagi

Page 44: winning fano feeling

44

klub. Sekarang kami sedang berusaha keras agar bisa mencapai target lolos semi final di kejurnas nanti, setelah target lolos babak penyisihan musim lalu tercapai.” Rema termenung. Tak menduga Bima bisa memberi penjelasan yang dapat menghapus begitu saja semua rasa amarahnya sehari lalu. Rema mengerti bagaimana berharganya sebuah perjuangan dan tekad yang keras. Sekalipun selama hidupnya ia tidak pernah benar-benar bertekad atau berjuang demi mencapai sesuatu. Peringkat satu yang diraih di kelas pun bukan karena betul-betul hasil perjuangan dan tekadnya, tapi lebih karena kecerdasan yang dianugerahkan Tuhan padanya. Sayang kecerdasan itu tidak Rema pergunakan sebaik mungkin. Justru karena merasa bisa dalam segala bidang yang membuat Rema tidak pernah fokus pada satu bidang untuk ditekuni atau dijadikan hobi, terkecuali bola. Bagi Rema sepak bola adalah dunia yang penuh misteri dan sulit dikalkulasikan hasilnya dan kadang berada di luar jangkauan pemikirannya. ”Lo ngerti kan Re seberapa berharganya klub dan kejurnas kali ini buat gue juga anak-anak kelas XII lain? Ini adalah pertarungan terakhir kami sebelum kami meninggalkan klub dan sekolah tahun depan.” Rema mengangguk paham. Bima tersenyum lega menerima respon Rema. ”Syukurlah kalau lo bisa ngerti. Untuk itu gue harap lo mau mundur dan tidak memaksakan diri lagi tetap bertahan di klub. Gue tahu lo ada taruhan yang harus dimenangkan saat ini. Tapi lo juga harus tahu kalau ada banyak taruhan lain yang tengah diperjuangkan para pemain demi memenangkan setiap pertandingan. Sepertinya arah jalan dan tujuan kita berbeda.” ”Ma-maksud kakak apa?”, tanya Rema pura-pura tidak mengerti meski sudah bisa menangkap maksud ucapan Bima. Jantung Rema berdegup risau. ”Gue tahu lo terlibat taruhan sama anak cheers buat dekati Fano. Awal tahu itu gue sempat tidak percaya karena lo adalah orang yang ditunjuk langsung pak Wahyu sebagai manajer baru kami. Tapi setelah tahu ada unsur nepotisme dibalik penunjukkan lo. Rasa ketidakpercayaan gue lantas luntur.” Rema terperangah. Degup jantungnya berderap cepat. Kulit wajahnya mendadak merah dan panas. Rema malu sekali karena Bima telah mengetahui alasannya berada di klub untuk apa. Walaupun sebenarnya bukan itu juga alasan utama dia mau jadi manajer klub. Tapi begitulah yang orang lain dan Bima tahu. Rema berada di klub untuk mendekati Fano. ”Gue nggak nyalahin atau anggap lo rendah, Re. Gue hanya berharap lo mau menghargai usaha keras yang sedang tim kerjakan

Page 45: winning fano feeling

45

sekarang. Kami butuh manajer yang benar-benar mampu menbantu kami memenangkan setiap partai, dan sepertinya lo bukan orang yang kami cari. Maap, tapi latihan sore ini dan sore-sore selanjutnya lo gak perlu datang lagi.” Bima bangkit berdiri, menepuk pelan bahu Rema, lalu beranjak pergi. Tegas dan menyakitkan. Itulah yang Rema rasakan saat mendengar ucapan terakhir Bima. Mulutnya mendadak terkunci, tak bisa mengucap sepatah katapun untuk sekedar memberii penyangkalan atau pembelaan. Sampai Bima berlalu meninggalkan ruang klub pun Rema masih tetap membeku dalam diam. Tenang Re, tenangin diri lo. Lo gak boleh sampai nangis di sini. Harusnya juga lo senang kan gak perlu repot-repot lagi bilang ke kak Bima soal pengunduran diri lo. Iya, lo harusnya senang Re. Rema berusaha meyakinkan diri agar tak terpengaruh peristiwa tadi. Tapi terlambat, kata-kata Bima terlanjur terjejal kuat di kepalanya dan terus terngiang di telinganya. ”Kak Bima, tunggu!”, teriak Rema sambil berusaha berlari menyusul Bima yang sudah meninggalkan ruang klub. Setelah mampu mengejar Bima dan berada di dekat laki-laki itu lagi, Rema kemudian mengeluarkan sebuah map dari dalam tas, memberikannya pada Bima, dan berkata sesuatu. ”Apa yang kak Bima omongin tadi memang benar, tapi tidak semua. Rema nggak tahu dan nggak mau tahu siapa orang yang sudah menceritakan perihal taruhan itu pada kakak. Tapi bisa Rema pastikan kalau orang tersebut tidak tahu lebih banyak lagi soal Rema dan taruhan itu, karena dia hanya mendengar cerita dari satu pihak saja. Rema akan buktikan dan tunjukkan sama kakak juga pemain lain kalau ada banyak alasan yang membuat Rema tetap layak jadi manajer kalian. Oh ya, ini data hasil latihan kemarin. Hasilnya tidak begitu jelek tapi juga tidak begitu bagus. Perlu usaha dan latihan sangat keras kalau kalian ingin mencapai semi final. Dengan performa yang sekarang tentunya masih sangat jauh dari harapan. Rema pamit kak. Sampai ketemu nanti di tempat latihan.” Tanpa menunggu reaksi Bima, Rema berlalu begitu saja. Dari ucapannya barusan itu menunjukan kalau Rema tidak jadi mundur dari tim. Dia akan tetap bertahan untuk membuktikan pada semua orang di klub bola kalau mereka keliru telah menyepelekan dirinya.

Siang begitu terik, matahari bersinar gagah di atas langit memancarkan panasnya yang menyengat. Cuaca maha panas yang biasa menyelimuti Jakarta ini seperti tidak dirasakan oleh beberapa

Page 46: winning fano feeling

46

anak laki-laki yang justru tengah asyik menantang panas dengan berlari-lari mengejar bola di lapangan kecil dalam sebuah kompleks perumahan. Keringat yang kian berpeluh tidak dianggap sebagai tanda kelelahan, tapi justru dijadikan sebagai amunisi tambahan pembakar semangat yang makin membuat mereka larut dalam suasana permainan bernama street football. ”Woi, oper sini!”, teriak anak cowok berbadan tinggi kurus berkulit hitam pada temannya yang tengah memegang bola. Bola pun diberikan dan kini dikuasai oleh cowok yang baru saja berteriak. Dengan cepat bola kemudian digiringnya hingga mendekati daerah pertahanan lawan, sampai akhirnya dengan sedikit sentuhan yang terarah dan keras, bola pun melesat ke dalam gawang. ”Goool! Yes, 3-0 sekarang.” Semua pemain satu timnya berlari menghampiri dan merangkul cowok tersebut. Selebrasi pun dilakukan dengan menari-nari samba ala pemain Brazil. PRIIIT! Peluit panjang pun bertiup menandakan pertandingan telah berakhir. Semua pemain kemudian saling bersalaman sebagai tanda fair play sebelum meninggalkan lapangan. ”Ari! Sini!”, panggil seorang gadis yang sudah lima belas menit lamanya menunggu di sisi lapang. Cowok yang barusan mencetak gol itu menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya, kemudian berlari kecil menghampiri. ”Rema! sejak kapan lo di sini? Pertandingan tadi gimana, seru kan? Anak kompleks belakang yang nantangin kita dan mereka kalah telak, 3-0. Hahaha!” Ari tertawa lebar mengekspresikan kebahagiaannya. Rema pun ikut senang atas keberhasilan kawan-kawan sekompleksnya itu. ”Gue baru datang beberapa menit yang lalu. Oh yah Ri, gini, gue pengen minta bantuan lo dan yang lain. Bisa gak?” Tanpa mempertimbangkan terlebih dulu, Ari langsung mengiyakan. ”Bisa, tentu saja. Lo butuh bantuan apa emang?” ”Gak tanya ke anak-anak yang lain dulu?” Ari menoleh ke belakang, melihat keadaan teman-teman setimnya yang masih sibuk berbincang dengan tim lawan. ”Udah, tenang aja. Mereka mana berani nolak permintaan lo, Re.” Rema tersenyum geli. Dia memang sangat dimanja oleh teman-teman cowok sekompleksnya itu. ”Oke, jadi gini, gue pengen lo semua ............”, jelas Rema memberikan gambaran. ”No problem. Itu permintaan kecil.” ”Oke kalau gitu. Gue harap lo bisa gue andalin, Ri. Thank you yah!”

Page 47: winning fano feeling

47

Jam telah menunjukan pukul 15.15. Sudah sekitar lima belas menit Rema berdiri mondar-mandir gak jelas di pinggir gerbang. Sore ini ia berniat untuk kembali ke lapangan, sekalipun tadi siang Bima menyuruh sebaliknya. Hal itulah yang membuat Rema tertahan di gerbang seperti ini. ”Nggak, gue gak boleh berdiri di sini terus. Bagaimanapun juga gue tetap harus datang ke lapangan. Ayo Re, buktikan sama mereka semua siapa lo sebenarnya. AYO MAJU! FIGHT REMA!” Rema mengepalkan kedua tangannya ke udara sebagai tanda penyemangat. Sesampainya di lapangan, Rema mendapati latihan telah dimulai. Entah sejak kapan mungkin sekitar lima menit yang lalu karena biasanya persiapan latihan memerlukan waktu sepuluh menit. Sesuai dugaan, semua pemain nampak terkejut melihat kehadirannya kembali di hadapan mereka. Khususnya Bima yang mungkin lebih tidak menyangka lagi Rema masih berani menampakkan diri meski kedoknya telah terbongkar. ”Kenapa cewek itu masih balik lagi kesini Bi? Bukannya lo tadi bilang kemungkinan besar dia bakal hengkang dari klub.”, tanya Fedi dengan nada tidak suka. ”Yang namanya kemungkinan kan belum pasti begitu faktanya. Ya sudah, gue samperin dia dulu. Kalian lanjutin aja latihannya.” Bima menghentikan sejenak kegiatan latihannya untuk kemudian menemui Rema. Kerisauan kembali menghinggapi hati Rema saat melihat sosok Bima makin mendekat dan jelas. ”Wow, sedikit surprise lihat lo ada disini. Gue kira lo gak bakal datang lagi.” Rema berusaha bersikap setenang mungkin menutupi kegugupannya. ”Terakhir kan Rema bilang kalo Rema akan buktikan banyak hal yang tidak diceritakan oleh informan kakak.” ”Jadi artinya lo masih tetap mau bertahan demi memenangkan taruhan itu? Sebenarnya gue gak begitu mempermasalahkan sejauh tidak merugikan kepentingan tim.” Dari kata-kata Bima yang terlontar barusan Rema dapat menangkap penilaian negatif cowok itu terhadapnya belum hilang. Sepertinya orang yang menjadi informan Bima adalah orang terdekat dan yang sangat dipercaya sehingga Bima begitu yakin sampai tidak meminta penjelasan lebih lanjut pada Rema. Benar-benar tidak adil sebelah pihak seperti ini. Tapi siapa kira-kira orang itu? Otak Rema buntu setiap berusaha mencari jawabannya. ”Kakak tenang saja. Orang yang sebenarnya bertaruh itu bukan Rema, dan alasan utama Rema ada di sini juga bukan semata-mata demi taruhan, yah meski sebagian orang beranggapan seperti itu. Kak Bima lihat saja nanti apa yang bisa Rema perbuat pada tim ini.”

Page 48: winning fano feeling

48

Bima tersenyum kecil, ”Sepertinya gue baru dengar kata-kata seorang manajer tim. Well, dengan senang hati gue bakal tunggu gebrakan lo seperti apa.” Senyum merekah di wajah Rema mendapat sambutan baik Bima. Hatinya mendadak berubah cerah secerah langit sore ini. ”Gue balik latihan lagi kalo gitu. Lo mau sapa anak-anak dulu atau langsung memantau latihan?”, tanya Bima menawarkan pilihan. ”Begini kak, sebenarnya Rema pengen melakukan sesuatu, tapi sebelumnya ada satu hal yang ingin Rema pastikan terlebih dulu. Posisi Rema di sini jadi manajer sekaligus pelatih kan?” Bima mengangguk ragu, sedikit aneh mendengar pertanyaan yang pastinya sudah diketahui sendiri jawabannya oleh Rema. Rema tersenyum senang. ”Kalau gitu bisa tolong kumpulkan semua pemain di sisi lapangan sekarang juga kak!”, pinta Rema dengan segala kerendahan hati. Bima kembali mengiyakan meski nampak bingung. Selama menunggu Bima mengumpulkan para pemain, Rema meraih hp dalam sakunya lalu mengetikkan pesan singkat secepat kilat. Setelah itu baru kemudian Rema menyusul Bima menemui para pemain yang kini telah berjajar di sisi lapang. ”Dia mau apa sih Bi pake acara kumpulin kita segala? Habisin waktu latihan aja.”, gerutu Maksi tidak suka. Pemain lain ikut bersuara sumbang, kecuali Fano yang sibuk sendiri memainkan bola di kakinya ke udara. Bima mengangkat bahu tidak tahu, ”Gue juga bingung.”, jawabnya singkat. Hampir semua pemain di tim kurang menerima hangat keberadaan Rema, apalagi anak-anak kelas XII yang tentunya berharap kursi manajer masih ada di tangan Gina. Maklum hampir dua tahun lamanya mereka bersama-sama dengan Gina di klub, dan ketika gadis itu memutuskan untuk mundur demi fokus persiapan kuliah ke luar negeri semua lantas merasa kecewa. Meski telah dibujuk dengan sejuta cara namun tetap saja tidak berhasil membuat Gina mau merubah keputusannya. Bima yang notabene pacarnya pun tidak mampu mengajak Gina kembali. Mereka sempat menaruh harapan pada pak Wahyu sebagai pihak yang mampu membawa Gina kembali ke klub, tapi lagi-lagi kekecewaan harus ditelan. Bukannya Gina yang pak Wahyu bawa ke bangku posisi manajer, justru malah orang lain yakni Rema, pengganti yang dianggap jauh kualitasnya di bawah Gina, dilihat dari penampilan di pertemuan pertama yang terlalu ’cewek’ untuk ukuran seorang manajer bola. ”Siang semua!”, panggil Rema dengan lantang ke barisan para pemain. Terdengar jawaban dari lima orang pemain, itu pun dengan nada sedikit dipaksakan. Tapi Rema tidak akan menyerah begitu saja.

Page 49: winning fano feeling

49

Dia sudah bertekad bulat, yang tidak akan berubah lagi, bahwa kali ini dia akan menjadi manajer klub yang disegani demi membantu Bima mewujudkan mimpinya untuk memberikan kenangan akhir terindah bagi klub. ”Kenapa cuma beberapa orang saja yang jawab? Suaranya pada hilang kemana? Pada gak ada tenaga yah! Hah, baru juga latihan beberapa menit udah langsung pada kehabisan stamina semua. Ini tim yang punya target tembus semi final kejurnas itu!”, sindir Rema dengan nada meremehkan, membuat jengkel seluruh pemain atas sikap juteknya yang mendadak ini. ”Belum apa-apa kalian sudah mengecewakan. Kalau sampai ini terulang kedua kalinya. Siap-siap menerima hukuman tambahan latihan selama satu jam.”, ancam Rema tanpa kompromi. Para pemain tak ada yang tak geram atas tindakan Rema yang sedikit otoriter. Melihat respon yang muncul, bukannya takut Rema justru malah merasa senang. Inilah yang ia inginkan. Para pemain memberikan reaksi atas keberadaannya. Meski bukan reaksi bagus namun setidaknya mereka menganggap Rema ada diantara mereka. ”Eh Re, lo itu anak kemarin sore di sini. Jadi jangan sembarangan sok bertindak sebagai pelatih! Lagipula kami semua belum memutuskan untuk terima lo jadi manajer baru kami.”, sahut Maksi balas mengancam. Jantung Rema tersentak kaget mendengar kata-kata pedas Maksi. Untung saja ini bukan kali pertamanya dibentak oleh cowok. Sebelumnya bahkan Rema pernah adu mulut dengan anak cowok kompleks sebelah yang sering bikin masalah dengannya dan teman-teman cowok sekompleksnya yang lain. ”Terserah kalau kalian belum mau menerima atau bahkan tidak mau menerima kehadiran gue sama sekali. Yang jelas pak Wahyu udah nunjuk gue sebagai manajer kalian. Dan yang berhak memutuskan gue tetap di sini atau tidak, itu cuma pak Wahyu.”, tantang balik Rema, cukup untuk membuat kemarahan Maksi sampai ke ubun-ubun. ”Dua kali.”, sahut Rema membuat dahi para pemain mengernyit. ”Dua kali kalian bikin gue kecewa. Kalau sampai terjadi sekali lagi, dengan terpaksa hukuman tadi akan diberlakukan.”, lanjutnya kemudian. Pada akhirnya semua pemain dengan terpaksa harus menurut pada Rema. Bukan karena takut dengan segala ancamannya, melainkan segan begitu mendengar nama pak Wahyu diangkat ke forum. Memang itulah yang jadi senjata utama Rema agar bisa bertahan di klub, yaitu wewenang yang diberikan pak Wahyu. ”Bagus kalau kalian semua sudah mengerti. Gue akan melanjutkan pengumuman. Jadi kalian sengaja dikumpulkan seperti ini karena ada satu latihan khusus yang

Page 50: winning fano feeling

50

ingin gue adakan, yaitu pertandingan uji coba atau semacam pertandingan persahabatan melawan tim lain. Ini sebagai tes awal untuk melihat sejauhmana kemampuan kalian sebagai sebuah tim.” Terdengar kericuhan usai Rema menginformasikan maksud dari tindakannya. Para pemain tak ada yang menduga dengan jalan berpikir Rema. Persoalannya selama ini mereka belum pernah melakukan persiapan latihan apapun untuk mengahadapi sebuah pertandingan. Sekalipun ada, itu hanya sekedar latihan tanding antar pemain yang dibagi dalam dua kelompok. ”Tenang-tenang. Gue tahu ini sangat mendadak, tapi justru itulah tujuan dari uji coba ini. Gue pengen melihat kemampuan murni kalian seperti apa. Kelebihan juga kelemahan. Dan yang akan menjadi lawan kalian untuk pertandingan uji coba kali ini adalah.... mereka!” Rema menunjuk sepuluh orang laki-laki yang baru saja datang dari arah belakang para pemain. Diantara sepuluh orang tersebut, Ari nampak berada diantaranya. ”Hi Re! Sori telat. Biasalah tadi kita baru habisin duit taruhan dulu di cafe. Tandingnya jadi gak nih!”, tanya Ari setelah mereka berada di dekat Rema dan para pemain. ”Jadi. Tuh lawannya!” Rema menaikkan sebelah alis menunjuk ke Bima cs. Kedua tim yang akan bertanding sesaat lagi itu pun saling beradu pandang. ”Lo, lo nyuruh kita lawan preman-preman ini Re?”, tanggap Juki dengan mimik heran dan sinis. Wajar jika pertanyaan itu terlontar melihat penampilan Ari dan kawan-kawannya yang sedikit cadas dan tidak terlihat seperti seorang pemain sepakbola. ”Kenapa lo takut?”, balas Gendut, salah satu teman sekompleks Rema, lebih sinis. Gendut lalu mengarahkan pandangannya kembali pada Rema. ”Lo juga aneh-aneh aja Re nyuruh kita datang jauh-jauh ke sini cuma buat tanding sama anak-anak mami ini. Kita ini pemain sepakbola jalanan Re, nanti kalau dari mereka ada yang luka gara-gara tanding dengan kita gimana coba? Kaki-kaki mulus model gini sih ke-tackling dikit juga udah langsung cedera.” Ari cs serentak tertawa mendengar ejekan Gendut. ”Eh kalo yang nge-tackling itu preman macam kalian gimana gak langsung cedera? Preman kan biasa main kasar.”, hardik Maksi. ”Alaah, emang dasar lo nya aja pada lemah dan cengeng, pake alasan kita yang kasar. Dasar banci, belum apa-apa udah takut duluan.”, sindir Gendut tidak mau kalah. Gigi Maksi bergemurutuk geram. ”Udah jangan banyak omong. Ayo langsung tanding! Kita buktikan di lapangan siapa yang anak mami”, celetuk Fano balik

Page 51: winning fano feeling

51

menantang lawan. Ini adalah kali pertama Rema melihat Fano bereaksi. And well, boleh juga psywar yang dilancarkannya tadi. Fano kemudian menggiring bola ke dalam lapangan. Rekan-rekan setim Fano juga lawan mengikuti dari belakang, bersiap untuk memulai pertandingan. Segala persiapan untuk melangsungkan pertandingan segera Rema urus. Setelah semua beres, Rema pun memberi penjelasan rinci soal aturan permainan. ”Oke, untuk pertandingan kali ini kita akan memakai aturan yang sedikit tidak lazim. Tidak ada offside4

Kedua tim langsung mengambil posisi masing-masing di lapangan. Kick off pun dimulai. Terlebih dulu Rema mengundi dengan koin tim mana yang akan menendang bola pertama. ”Tim tuan rumah yang akan memulai kick off.”, putus Rema begitu melihat pilihan Bima yakni angka berada di atas. Pertandingan pun dimulai. Tanpa menunggu menit-menit awal yang membosankan, pertandingan langsung berjalan panas dan alot. Kedua tim saling berinisiatif melakukan serangan dan sama-sama bermain ngotot. Keadaan tersebut mungkin dipicu oleh situasi yang sudah terlebih dulu panas sebelum pertandingannya sendiri dimulai. Selama lima belas menit babak pertama berjalan, tim tamu yang dipimpin kapten Gendut berhasil mendominasi ball possesion / penguasaan bola. Walau kalah dalam jumlah pemain, karena hanya bermain dengan sepuluh orang, tetapi tim tuan rumah justru dibuat tertekan dengan gencarnya serangan Ari cs yang bervariasi dari berbagai arah. Serangan yang bertubi-tubi tersebut menyebabkan Fano harus turun ikut membantu daerah pertahanan sehingga mengakibatkan daya serang tuan rumah mengendor.

dan tidak ada hakim garis. Lalu mengenai ketentuan jumlah pemain, tidak diharuskan sebelas orang tapi tidak boleh melebihi juga, dan pergantian pemain bisa dilakukan tanpa batas seperti dalam pertandingan basket. Mengerti semua! Oh ya, gue bertindak sebagai wasit dan akan bersikap senetral mungkin.”

”Gimana ini? Serangan tidak hanya datang dari arah sayap tapi dari tengah juga. Bisa-bisa kebobolan kalau terus dibiarkan.”, keluh Bima pada Fano yang berdiri disampingnya. Mereka berdua tengah membangun dinding pertahanan bagi lawan yang akan melakukan free kick sejauh lima belas meter dari gawang.

4 Dalam olah raga sepak bola, offside terjadi jika seorang pemain diberikan bola ketika berada lebih dekat dengan garis gawang lawan dibanding posisi pemain lawan. Biasanya offside digunakan para pemain belakang sebagai bagian dari taktik untuk menjebak lawan.

Page 52: winning fano feeling

52

”Gak tahu, Bi. Gue masih cari titik kelebihan dan kekurangan mereka dimana? Mengapa mereka bisa begitu mudah masuk daerah pertahanan kita padahal kita unggul jumlah pemain. Dan pola yang mereka pakai, gue lihat itu bukan pola yang biasa ada.” Priit! Peluit bertiup. Ari sang eksekutor tendangan bebas langsung menendang bola dengan keras dan terarah ke gawang yang dijaga Ilham, dan Goool...! Kekhawatiran Bima serta seluruh pemain tuan rumah terjadi. Tim tamu berhasil mencetak angka dan merubah kedudukan menjadi 1-0 untuk keunggulan sementara lawan. Tertinggal satu gol, tim tuan rumah berniat membalas. Hal tersebut ditandai dengan semakin bergerak majunya posisi para pemain ke daerah pertahanan lawan, hingga hanya menyisakan dua orang defender, Hendra dan Luki, di daerah pertahanan. Sayang, ketidakberuntungan justru harus kembali ditelan Bima cs. Ketika heading keras Fano hanya mampu membentur atas mistar gawang dan mementalkan ke kaki pemain belakang lawan, serangan balik kilat pun dilancarkan. Dan dari umpan lambung panjang nan terukur Ari, Gendut yang berada di depan berhasil mempecundangi kembali tim tuan rumah dengan gol tambahannya. Skor pun berubah 2-0 untuk tim tamu yang bertahan hingga babak pertama usai. ”Kenapa pergerakan mereka bisa secepat itu? Dan kenapa kita bisa sampai kewalahan membendung serangan mereka padahal mereka hanya bermain dengan sepuluh orang?”, heran Juki begitu frustasi di sela waktu istirahat. ”Iya Bi, gue juga heran kita bisa kebobolan sampai dua gol seperti ini padahal pertahanan kita sudah segitu rapatnya.”, tambah Hendra ikut berkomentar. Bima tidak menjawab. Dia sendiri masih bingung dengan apa yang sudah terjadi. Seketat apa dia membantu pertahanan masih saja kebobolan, bahkan hingga dua kali. Dan serapih apapun penyerangan yang dibangun bersama Maksi dan Fano, tetap saja selalu berhasil dipatahkan pemain belakang dan kiper lawan. Rema yang tak sengaja mendengar perbincangan Bima bersama timnya ingin sekali gabung untuk memberikan hiburan dan bantuan agar mereka bisa kembali bangkit di babak kedua. Tapi keinginan tersebut harus ia tahan mengingat posisinya dalam pertandingan sebagai wasit yang dituntut untuk bersikap netral dan adil. Rema pun hanya bisa berbicara sebatas kepentingannya sebagai pemimpin pertandingan. ”Babak kedua dimulai lima menit lagi!” Rema memberi pengumuman pada kedua tim. Tim tamu terlihat lebih santai menanggapi pemberitahuan tersebut. Mereka langsung bersiap kembali ke lapangan dan melanjutkan pertandingan. Sementara tim tuan rumah

Page 53: winning fano feeling

53

terlihat gusar dan kalang kabut. Mereka masih bingung dengan taktik yang akan diterapkan untuk menyusul ketertinggalan dan memenangkan pertandingan. Menyadari kondisi tim yang berada di bawah tekanan, Fano kemudian angkat bicara berusaha menenangkan rekan-rekannya. ”Sudahlah, sebaiknya kita tidak usah memikirkan lagi penyebab terjadinya dua gol tadi. Kebobolan dua kali bukan berarti pertahanan kita renggang atau tidak disiplin. Ingat, gol pertama lahir dari bola mati, sedang gol kedua diakibatkan kecerobohan satu tim yang terlalu asyik menyerang, dan juga karena kejelian mereka memanfaatkan kelengahan kita. Sekarang yang terpenting adalah kita harus tetap fokus di babak kedua dan berusaha untuk membalikkan keadaan.”, tutur Fano tenang namun mengena. Semua terdiam mendengarkan dan menyimak. ”Fano benar, guys!”, tanggap Bima, ”seharusnya kita tidak boleh larut dengan kegagalan babak pertama tadi, toh masih ada 45 menit babak kedua buat kita mengejar ketertinggalan. Walau pertandingan uji coba, tapi ini adalah langkah awal penting buat persiapan tim sebelum menghadapi kejurnas. Kalau kita kalah mudah sekarang, apa realisitis kita bikin target mencapai semi final?” Bara semangat kembali menyala di dada para pemain berkat wejangan tambahan yang diberikan sang kapten. Semua mulai berusaha bangkit dari keterpurukan. ”Fan, lo ada ide atau strategi khusus untuk babak kedua nanti?”, tanya Bima penuh harap. ”Strategi khusus sebenarnya tidak ada. Tapi ada beberapa catatan penting yang mungkin bisa membantu kita untuk mengacaukan pola permainan mereka yang aneh itu.”, jelas Fano sengaja menggantung demi menarik rasa penasaran yang lain. ”Apa itu?” Luki bertanya mewakili yang lain. ”Tadi mereka bilang kalau mereka adalah pemain street football. Setahu gue street football atau sepak bola jalanan itu sangat jauh berbeda dengan sepak bola formal. Dimana ada lapangan dan bola, disitu sepakbola jalanan bisa dimainkan tanpa perlu banyak aturan seperti di formal, bahkan tanpa perlu ada wasit. Pola permainannya pun cukup unik, suatu waktu semua pemain dalam satu tim bisa sama-sama ikut menyerang, tapi di lain waktu bisa sama-sama ikut bertahan. Itulah kenapa mereka bisa begitu hebat dalam penyerangan dan pertahanan sekaligus.”, Fano berhenti sejenak untuk mengambil nafas. ”Yang gue heran, street football biasanya lebih mengutamakan kemampuan individual dibanding kerja sama tim. Tapi mereka tidak, selain jago di free style yang jadi fokus street football, kerjasama dalam tim mereka juga sangat baik. Entahlah, mungkin karena sering bertanding bersama

Page 54: winning fano feeling

54

sebagai sebuah tim, teamwork mereka pun muncul secara alami tanpa perlu dilatih.”, lanjut Fano kembali. ”Wah, apa itu berarti mereka tidak punya kelemahan dan celah sama sekali untuk bisa kita tembus?”, tanya Juki khawatir ”Jangan terlalu berlebihan. Walaupun mereka juga menerapkan teamwork dalam permainannya sama seperti kita, tapi mereka tidak memiliki disiplin. Lagipula gue yakin diantara kita juga pasti ada yang bisa freestyle. Jadi sebenarnya imbang, mereka punya keunggulan di style dan juga teamwork, begitupun kita.” ”Lalu, kenapa kita bisa sampai kalah?”, potong Maksi tidak sabar. ”Itu karena kita lupa tidak memanfaatkan dengan baik kelebihan yang sebenarnya bisa jadi senjata utama kita dalam menghadapi permainan mereka.” Semua pemain semakin bingung dengan penjelasan Fano yang berputar-putar dan memakan waktu cukup lama. Akibatnya, Bima harus meminta waktu tambahan istirahat kepada Rema dan tim lawan. Waktu tambahan pun diberikan sekitar lima menit. ”Fano, kita nggak punya waktu lama lagi sekarang.”, kata Bima mengingatkan. ”Oke, to the point. Jadi senjata yang gue maksud yang bisa kita gunakan untuk menghadapi mereka itu adalah ukuran lapangan.” Tampak guratan kekecewaan pada wajah para pemain. Bagaimana mungkin ukuran lapangan bisa dijadikan sebagai senjata? Masih lebih masuk akal jika Fano mengeluarkan botol ramuan khusus rahasia kehebatan Lionel Messi ketimbang ini. Memahami situasi membingungkan yang terjadi akibat pernyataannya, Fano segera memberikan klarifikasi. ”Begini semua. Yang namanya sepak bola jalanan itu biasa dimainkan di lapangan-lapangan kecil di samping jalanan atau kompleks rumah, besarnya pun mungkin seukuran lapangan futsal. Sedangkan kita biasa bermain dan latihan di lapangan besar. Dan saat ini kita sedang bermain di lapangan besar yang bukan menjadi kebiasaan mereka.” ”Maksud lo Fan, kita manfaatin luas lapangan ini untuk menekan mereka?”, tangkap Bima. ”Asi es.5

5 Ya, tepat.

Bayangkan perbedaan luas antara lapangan kecil yang biasa mereka gunakan dengan lapangan sebesar ini yang biasa kita pakai. Ada banyak daerah dari lapangan yang bisa kita explore untuk

Page 55: winning fano feeling

55

melakukan serangan, dan daerah yang gue maksud itu adalah sisi lapangan. Sayangnya selama babak pertama tadi kita terbawa oleh pola permainan mereka yang hanya bermain di setengah lapangan saja.” Semua pemain kemudian berkumpul melingkari Fano untuk mendengarkan lebih detail strategi yang ada di pikiran pemain blesteran itu demi mengatasi permainan cantik dan cepat lawan di babak kedua. Fano memberi instruksi kepada kawan-kawan setimnya untuk lebih banyak melakukan serangan melalui sektor sayap dengan umpan-umpan panjang. ”Kalau kita memakai umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki seperti babak pertama tadi, kemungkinan untuk terblok dan terbaca besar sekali. Tetapi kalau umpan jauh yang kita pakai, itu akan lain ceritanya.”, yakin Fano dengan senyum tipis. Ia kemudian menggambarkan sebuah skema taktik serangan di atas tanah menggunakan ujung telunjuknya. Rekan-rekannya yang lain memerhatikan secara seksama. Rema tidak sengaja mendengar dan melihat apa yang dilakukan Fano. Tanpa disadari rasa kekaguman muncul dalam hatinya. Lebih dari itu Rema mulai penasaran dengan jati diri Fano yang sebenarnya. Bagaimana bisa dia membuat analisa yang hebat dan tepat seperti itu? Dan bagaimana bisa dia tahu banyak tentang sepakbola jalanan? Sepertinya dia bukan pemain sembarangan. ”Ayo kedua tim, silahkan memasuki lapangan kembali! Babak kedua akan segera dimulai!”, teriak Rema mengumumkan. Kedua tim pun kembali menempati posisinya yang kini telah bertukar tempat. Kick off babak kedua berlanjut, kali ini dilakukan oleh tim tamu. Tanpa banyak mengulur waktu mereka langsung melancarkan serangan, tapi kemudian dapat dipatahkan oleh Juki yang menjadi sentral pertahanan tim tuan rumah. Serangan balik pun dilakukan dengan menggunakan strategi yang telah diberikan Fano, yaitu umpan-umpan panjang melalui sektor sayap. Awalnya strategi ini hampir terlihat berhasil dan tim lawan pun sempat dibuat kerepotan. Sayang tim tuan rumah masih saja gagal mencetak gol. ”Rupanya tim ini lemah dalam umpan-umpan panjang dan kontrol bola. Analisa Fano memang jitu dan strateginya juga sebenarnya bagus. Tapi kalau tidak didukung dengan kemampuan individu yang baik maka sulit untuk berhasil.” Rema memberi penilaian pada kemampuan tim asuhannya sejauh babak kedua ini. Tidak hanya Rema yang memiliki anggapan seperti itu, dalam otaknya pun Fano terus berpikir keras mencari cara untuk mengefektifkan strategi yang telah dibuat. Sejauh ini mereka hanya bisa melakukan passing-passing jauh yang tidak akurat dan mudah

Page 56: winning fano feeling

56

terblok. Jika ini terus berlanjut maka mereka akan terus gagal menuai angka. ”Bi ganti taktik, kita kombinasikan juga dengan umpan pendek, tapi serangan masih dari dua sektor sayap. Kita harus buat mereka berpencar dan keluar dari ’lapangan kecil’nya. Setelah pertahanan mereka merenggang kita pasti bisa lebih mudah masuk ke jantung pertahanan mereka.”, bisik Fano pada Bima mencuri waktu di saat bola keluar lapangan. Bima mengangguk tanda mengerti lalu kemudian memberi instruksi secara cepat dan rahasia kepada pemain lain. Saat tiba kembali giliran tim tuan rumah melakukan serangan, perubahan taktik dadakan dijalankan. Umpan pendek satu-dua antara Maksi dan Bima dari lapangan tengah berjalam jauh lebih efektif. Dalam suatu peluang Bima berhasil menggiring bola hingga masuk mendekati kotak penalty lawan dari arah sayap kanan, setelah sebelumnya melewati empat pemain sekaligus. Waktu untuk memeberikan umpan silang panjang pun tiba, dengan gesit Bima segera menendang bola ke arah Fano yang sudah berada di kotak penalty lawan. Karena sebelumnya sudah banyak pemain bertahan lawan yang berhasil ditarik keluar dari posisinya oleh Bima dan Maksi, daerah kotak penalty pun menjadi lengang dan hanya menyisakan dua defender. Dengan leluasa Fano pun melesatkan tendangan kerasnya ke arah gawang hingga akhirnya merubah kedudukan menjadi 1-2 masih untuk keunggulan tim tamu. ‘Plook!’ Fano melakukan tos dengan Bima dan Maksi, merayakan keberhasilan taktik mereka yang berbuah skor. Sementara itu, tim lawan tampak kecewa dengan terjadinya gol balasan ini. ”Sial, pintar juga mereka bikin kita semua terpencar dan keluar dari daerah pertahanan.”, kesal Indra, bek tim tamu yang tadi gagal menghadang Bima. ”Rupanya mereka sudah menemukan titik kelemahan kita. Bisa-bisa kalah dan mesti bayar uang taruhan ke Rema ini! Mau bagaimana lagi, sekarang saatnya kita bermain all out bertahan. Kita pertahankan hasil skor ini hingga akhir.”, instruksi Gendut pada rekan-rekannya. ”Ari, kita bergerak ke samping sekarang membantu pertahanan! Usahakan selama lima belas menit sisa waktu pertandingan, kita tahan terus gempuran serangan mereka.”, lanjutnya. ”Oke, bos! Ah, akhirnya kita punya saingan yang hebat juga. Selanjutnya pertandingan akan seru nih!”, jawab Ari santai. Semua rekannya tertawa menanggapi tingkah Ari yang selalu santai dan ceria di segala situasi pertandingan. Mau dalam keadaan menang atau kalah, menekan atau tertekan, he’s always happy. Tim lawan pun dibuat heran

Page 57: winning fano feeling

57

melihat reaksi Ari dkk yang tidak seperti layaknya tim yang baru kebobolan, meski masih dalam keadaan unggul juga. Saat pertandingan dilanjutkan kembali, benar saja prediksi Ari kalau pertandingan akan berjalan semakin seru dan ketat. Kedua tim sama-sama tak menyerah sedikitpun. Tim tuan rumah dengan taktik serangnya dan tim tamu dengan strategi bertahannya. Sepuluh menit berlalu, Fano cs belum berhasil juga mendulang kesuksesan yang sama seperti percobaan sebelumnya yang berbuah gol. Semua pemain lawan bertahan begitu rapat. Kedisiplinan yang Fano pikir tidak dimiliki oleh lawannya tersebut ternyata salah besar. Mereka justru bermain dengan sangat disiplin. Hal tersebut membuat semua pemain tuan rumah kembali frustasi. Mau tidak mau mereka harus bisa memanfaatkan sisa lima menit waktu normal untuk membuat gol kembali. ”Sial, sepertinya harus kita sendiri yang bikin mereka buat kesalahan”, rutuk Fano. Sebuah rencana licik terputar di otaknya. Dia akan membuat sebuah situasi yang memprovokasi lawan untuk melakukan pelanggaran di dalam kotak penalti. Sebuah drama yang tidak jarang dilakukan oleh para pemain profesional sekaliber Francesco Totti, Cristiano Ronaldo, atau Marco Materazzi di saat tim mereka berada dalam bawah tekanan. Sayang, rencana Fano tersebut harus kembali gagal karena banyak tackling yang dapat dilakukan dengan bersih oleh pemain lawan. Tapi bukan Fano namanya kalau tidak punya segudang akal cadangan. Sang striker kemudian mengalihkan fokus hanya pada satu pemain yang dirasa memiliki temperamental buruk. Pilihan pun jatuh pada Indra. Fano berencana untuk menempeli terus pemain tersebut dan membuatnya kesal hingga melakukan pelanggaran sendiri. Cara yang Fano pakai sangatlah simpel. Dia akan mengajak Indra berduel memperebutkan bola. Mengandalkan keahlian kontrol bola dan freestyle-nya yang sangat baik, Fano akan membuat Indra frustasi hingga melakukan pelanggaran. Waktunya pun tiba. Fano sengaja menggiring bola mendekati Indra, pemain incarannya tersebut dan memainkan bola seenak kakinya. Ia menggocek bola dengan lihai dan memancing ketidaksabaran Indra. Duuk!! Priiiiit!!! Rencana berhasil. Indra tak tahan untuk tidak menjatuhkan Fano yang begitu sulit dihentikan. Meski begitu rencana kurang berjalan sempurna karena Fano dijatuhkan tipis di luar kotak penalti. Jadilah hanya tendangan bebas yang dihadiahkan Rema di sisa satu menit injury time ini, dan bukan penalti seperti yang diharapkan Fano. Namun itu tidak jadi masalah. Yang penting kesempatan emas

Page 58: winning fano feeling

58

datang. Kesempatan terakhir yang mungkin masih dimiliki Fano dan timnya untuk merubah kedudukan akhir menjadi imbang. Ari dan Indra beserta dua rekannya yang lain segera bersiap berdiri membelakangi gawang membentuk pagar betis. Sementara itu sang lawan, Fano dan Maksi berada dihadapan mereka, berdiskusi cepat menentukan siapa yang akan mengeksekusi bola mati tersebut. ”Oke, siap!” Rema memberi aba-aba. ”Priit!” Fano mundur beberapa langkah berancang-ancang seolah akan melakukan tendangan. Pemain lawan sigap bereaksi saat striker berbahaya itu maju, menduga ia akan melakukan eksekusi. Namun ternyata, di luar dugaan Maksi lah yang mengambil kesempatan tendangan bebas tersebut. Fano hanya melewati bola begitu saja tanpa sedikitpun menyentuhnya. Dan karena lawan sudah terlanjur terkecoh oleh gerakan Fano, Maksi pun lebih leluasa melihat celah untuk kemudian memanfaatkannya sebaik mungkin. Seeet... Bola melesat dengan keras ke sudut kanan atas gawang. Rocki, sang kiper tim tamu, sulit menghalau karena bola diarahkan pada posisi di luar jangkauannya. Akhirnya, gol kedua tuan rumah penyeimbang kedudukan itu pun tercipta, bersamaan dengan ditiupnya peluit panjang tanda babak kedua berakhir. Priiiiit.... Pertandingan pun usai dengan kedudukan akhir imbang dua sama. Beberapa pemain langsung menjatuhkan diri di lapangan melepas lelah yang tak terkira. Pertandingan ini sangat-sangat menguras stamina, terutama bagi tim tamu yang sebelumnya baru saja menjalani pertandingan lain. Cukup lama para pemain dari kedua tim tersebut melepas lelah di lapangan. ”Re, gue salut. Tim sekolah lo hebat juga. Kita sering main lawan dua belas bahkan sampai tujuh belas orang, tapi baru sekarang kita berhasil ditahan seri.”, ucap Ari saat timnya akan berpamitan. ”Menyebalkan sekali. Udah jauh-jauh datang, capek iya tapi duit taruhan gak dapat.”, celetuk Indra kecewa. ”Eh cungkring, gara-gara lo tahu kita balik dengan hasil nihil. Coba lo tadi sabaran dikit dan gak bikin pelanggaran sama striker nomor 23 itu. Jadinya gak bakal ada hadiah tendangan bebas dan gol balasan.”, timpal Gendut sembari meneloyor kepala Indra. ”Abisnya kaki gue gatal banget gak bisa rebut bola dari tuh bule. Jadinya yah gue jatuhin aja dia. Tapi gue curiga dia sengaja incar gue. Soalnya yang biasa gue hadapi itu si nomor 7, gak tahu kenapa pas akhir babak dua mendadak no 23 yang ada di daerah gue.”, bela Indra yang kebingungan.

Page 59: winning fano feeling

59

”Udah, jangan banyak alasan. Emang lo nya aja yang kalah duel sama dia.”, sahut Gendut, ”Eh Re, kita balik dulu yah! Lo sering-sering dong main ke tempat kita.” ”Iya Re, kalau ada lo kan kita makin semangat bertanding.”, tambah Ari dihiasi senyum hangat. Rema hanya tertawa renyah tanpa berkata apa-apa menanggapi candaan sahabat-sahabatnya. Begitu waktu berpisah benar-benar tiba, Rema pun melambaikan kedua tangan hingga mereka berjalan jauh meninggalkan area lapangan. Setelah kepergian Ari dkk Rema kembali menemui anak-anak tim sekolah yang tengah berada di sekitar markas klub. Betapa terkejutnya ia saat melihat apa yang sedang terjadi di sana. ”Loh-loh, kalian lagi pada ngapain?”, tanyanya heran melihat beberapa pemain melepaskan sepatu dan seragam olahraga, berbondong menuju ruang ganti. ”Kita yah sedang siap-siap mau pulang juga. Pertandingan kan udah selesai, waktu latihan juga udah habis, mau ngapain lagi emang?”, jawab Juki enteng. ”Pertandingan emang udah selesai tapi bukan berarti waktu latihan juga ikut selesai.”, sanggah Rema menghentikan setiap aktifitas ganti para pemain. ”Maksudnya apa Re? Sekarang udah jam 5, waktunya pulang.”, jelas Bima coba mengingatkan manajer baru yang mungkin kelupaan itu. ”Iya kak, Rema tahu. Tapi hari ini kita mau ada latihan tambahan.” Bima terlihat masih tak mengerti. Rema menghela nafas panjang, berusaha bersabar. Apa stamina dapat mempengaruhi daya ingat yah? ”Begini kak, ingat nggak Rema bilang apa sebelum kalian tanding tadi. Kalau sampai para pemain melakukan hal yang mengecewakan hingga tiga kali, maka akan ada hukuman tambahan latihan selama satu jam.” Semua pemain membuka mulut tak percaya mendengar penjelasan Rema. It means, akan ada tambahan latihan ekstra selama satu jam sore ini dengan keadaan stamina yang telah terkuras habis oleh pertandingan sebelumnya. ”Eh Rema, kejam itu juga ada batasnya. Kita semua udah pada kecapean, kehabisan tenaga. Lagipula kita kan baru ngecewain lo dua kali, bukannya tiga kali.”, protes Maksi kesal. ”Siapa bilang dua kali? Emangnya pertandingan tadi nggak mengecewakan apa? Kalian itu bermain dengan sebelas orang sementara mereka hanya sepuluh orang. Harusnya kalian bisa menang dan bukannya seri. Kebobolan duluan lagi, dua kali pula! Apa itu bukan mengecewakan namanya?”, jelas Rema dengan tegas.

Page 60: winning fano feeling

60

Maksi semakin kesal hingga bangkit dari duduknya. ”Setidaknya kan kita tidak kalah dan bisa membalas dua gol ketertinggalan itu. Lo gak menghargai banget usaha kita yah Re! Manajer macam apa lo?”, bentak Maksi sengit. Bima langsung memegang bahu cowok yang sangat temperamental itu, coba menenangkan. Tenang Re, lo nggak boleh gentar! Lo harus tunjukin wibawa lo sebagai manajer tim. Biar kak Maksi itu senior lo, tapi disini dia adalah pemain lo. ”Oke, kalau kalian ingin dihargai. Tambahan latihan kali ini hanya setengah jam saja. Negosiasi selesai. Semua harus sudah berkumpul di lapangan dalam waktu lima menit, kalau tidak hukuman awal akan diberlakukan kembali. Oh ya, nanti kita akan melakukan latihan teknik umpan panjang dan kontrol bola. Gue harap kalian bisa serius!” Rema langsung berbalik menuju lapangan, tak ingin memperpanjang debatnya dengan Maksi atau siapapun. Ini bukan saat yang tepat. Lagipula Rema ragu apa ia bisa tahan tidak tersulut amarah jika terus dibentak seperti itu. Untunglah sesuatu yang melegakan terjadi, membuat hati Rema berubah sedikit tenang. Saat menoleh ke belakang, Rema melihat Fano berjalan mengikutinya, disusul kemudian Fedi-Juki-Ilham-Kemal dan yang lain. Sementara itu Bima masih sibuk berbicara alot dengan Maksi. Berusaha membujuk sang pemain berkepala plontos itu untuk mau mengesampingkan egonya dan mengikuti tambahan latihan yang Rema buat. Butuh waktu sepuluh menit sampai akhirnya latihan ekstra dapat dimulai. Siapa lagi kalau bukan Maksi yang membuat waktu sampai molor selama itu. Tapi bagaimanapun dalam hati Rema tetap merasa senang melihat Maksi mau bersedia mengikuti latihan, meski dengan keadaan sangat terpaksa. Latihan tambahan pun berjalan dengan lancar dan sukses. Tujuan Rema yang ingin memperbaiki ketepatan umpan jauh dan kontrol bola para pemain yang sering gagal di pertandingan tadi cukup membuahkan hasil, meski masih butuh perbaikan dan penyempurnaan. Namun Rema optimis, di kejurnas nanti kesiapan tim baik secara teknik maupun mental akan jauh lebih baik dan siap dari saat ini.

Page 61: winning fano feeling

61

BABAK 4

”Lo lagi bikin apaan sih, Re?”, tanya Razy penasaran melihat Rema sibuk tulas-tulis dalam sebuah buku besar. Saat ini Rema, Razy, dan Indah seperti biasa tengah menikmati waktu istirahat bersama di kantin sekolah. ”Lo lagi kerjain tugas yah Re? Tapi kan hari ini kita nggak ada tugas yang mesti dikumpulin.”, sambung Indah. Rema tetap tak menyahut. Ia terus saja sibuk tenggelam dalam pekerjaan menulisnya, membuat Razy dan Indah gondok setengah mati, hingga akhirnya memilih diam angkat tangan.

”Ah, beres juga!”, sahut Rema tiba-tiba sambil menutup buku. Razy dan Indah yang sempat berencana tidak mau tahu urusan Rema, ujungnya bertanya kembali demi memuaskan rasa penasaran yang ada. ”Jadi gini Zy, Ndah, gue itu tadi lagi atur jadwal dan porsi latihan para pemain di klub bola, disesuaikan dengan sisa waktu yang ada sebelum kejurnas dimulai. Terus gue juga nyocokin jadwal kejurnas dengan jadwal akademik sekolah. Berat dan ribet ternyata tugas-tugas manajer itu, sampai gue mesti urusin surat permohonan dispensasi segala ke sekolah karena ada jadwal pertandingan yang bentrok dengan waktu belajar. Belum lagi masalah jumlah pemain yang minim. Gue harus putar otak gimana biar para pemain tidak sampai cedera. Gue baru tahu ternyata klub bola sekolah ini sangat sedikit peminatnya. Tidak sepopuler klub olahraga lain.”, jelas Rema panjang lebar.

”Tunggu-tunggu! Lo bilang apa tadi? Lagi ngurusin klub bola? Bukannya kemarin lo bilang mau keluar dari klub Re, kok berubah lagi?!?” Indah keheranan.

Ups. Rema memang lupa belum cerita pada pasangan tom & jerry ini perihal pembatalan hengkangnya. Semalam Rema langsung tepar ambruk di tempat tidur sepulang latihan bola yang berakhir hingga jam enam sore. ”Duh, ceritanya lumayan panjang. Ntar aja yah gue kasih tahu detailnya gimana. Kita makan dulu, ok! Gue lapar banget. Yang jelas saat ini gue masih berstatus sebagai manajer klub bola sekolah dan akan terus bertahan setidaknya sampai satu tahun kedepan.”, jelas Rema berharap bisa sedikit menjawab rasa penasaran kedua sahabatnya. Razy dan Indah kembali hanya bisa pasrah. Walaupun dalam benak mereka masih tersimpan banyak pertanyaan tapi ya sudah,

Page 62: winning fano feeling

62

mereka bisa apa. Rema orangnya memang susah ditebak dan sedikit plin-plan. Kejadian yang mengerutkan alis seperti ini juga bukan kali pertama terjadi.

”Eh Re, 4U Cupid manggil lo tuh!”, kata Indah di sela waktu mereka makan. Rema mendongakkan kepalanya dari mangkok bakso. Dilihatnya empat cewek cantik yang makin sering beredar di kehidupannya melambaikan tangan penuh semangat. ”Ada apa lagi sih? Ganggu orang makan aja. Gue kesana bentar yah.” Rema bangkit berdiri dan pergi ke meja tempat 4U Cupid berada. ”Ada apa?”, tanyanya langsung setelah tiba dan duduk di salah satu kursi.

”Gue dengar katanya kemarin lo ada latihan bola lagi yah?”, tanya Zeta mewakili yang lain.

”Hooh.” Rema mengiyakan. ”Terus, lo pake baju apa? Pake make-up kan!”, serobot Elvi. Rema terheran-heran. ”Yah, pake baju yang biasa gue pake, jeans

sama kaos.” Apalagi emang? Pake kebaya! Semua anggota geng 4 U Cuipd kompak lesu mendengar jawaban

Rema. Melihat respon tidak baik keempat gadis dihadapannya tersebut, Rema segera tersadar kalau ini pasti ada kaitannya dengan Fano.

”Calm down girls, anggap aja kemarin kita kecolongan.”, hibur Zeta pada teman-temannya. ”Terus, kapan lagi lo ada jadwal latihan?” Oow. Perasaan Rema mendadak berubah tidak enak. Terbayang di otaknya 4U Cupid akan melakukan tindakan yang sama seperti di kala latihan pertama. Dan Rema tidak mau tragedi itu sampai terulang kedua kali.

”Hmm sebenarnya ada yang pengen gue omongin sama lo semua mengenai masalah itu.”, ucap Rema hati-hati. Ia menggeser sedikit posisi duduknya ke depan sebelum melanjutkan pembicaraan. ”Bisa nggak kalian berhenti mengatur-atur apa yang mesti gue pake-gue lakuin di klub? Bisa nggak kalian beri gue kebebasan penuh untuk menjalankan tugas gue sebagai manajer?”, pintanya penuh harap, dengan tegang menunggu reaksi 4U Cupid seperti apa.

”Maksud lo, Re? Lo mau lepas tanggung jawab gitu aja buat deketin Fano!”, konfirm Arnett sedikit membentak.

”Oh, bukan-bukan!”, sanggah Rema kelabakan, dengan cepat memutar otak. ”Maksud gue, gue pengen kalian percaya penuh sama gue dan biarkan gue menjalani rencana gue dengan tenang.” Rema kembali menunggu reaksi dari 4U Cupid. Untunglah garis kemarahan di raut wajah mereka sudah sedikit memudar. Ia bisa sedikit bernafas lega.

Page 63: winning fano feeling

63

”Jadi lo pengen kita percayain urusan Fano sepenuhnya sama lo?”, tanya Airin mengambil kesimpulan.

Bukan. Bukan itu sebenarnya maksud gue. Namun karena tak ingin kejadian make-over waktu itu terulang lagi dengan terpaksa Rema mengangguk.

”Lantas lo punya taktik apa buat deketin Fano? Biarpun sekarang kita sudah setuju kasih lo kepercayaan penuh, tapi lo tetap harus lapor ke kita sejauh mana perkembangan hubungan lo dengan Fano.”, jelas Zeta mengingatkan. Rema mengerti 4U Cupid tidak mungkin akan lepas tangan sepenuhnya. Kehormatan geng mereka kini ada di tangannya. ”Iya Re, lo udah ada kemajuan belum?”, pancing Elvi antusias.

”Oh itu,,” Mampus gue mesti jawab apa. ”Wah, hubungan gue sama Fano udah mulai akrab sekarang. Yah meski masih sebatas hubungan pemain dan manajer, tapi kita tuh sering banget ngobrol berdua yang bersifat pribadi. Nah, dari obrolan itu gue tahu kalau Fano ternyata nggak suka cewek yang hobi dandan trus yang terlalu feminim.”, bohong Rema seenak jidatnya. Surprisingly, Arnett, Zeta, Elvi, dan Airin percaya begitu saja pada kebohongannya itu. Melihat keantusiasan 4U Cupid, Rema pun semakin bersemangat memperpanjang dan memperindah karangannya.

Hihihi! Kalau mereka sampai nanya langsung ke Fano bisa mampus gue. Tapi mana mungkin mereka tahu kejadian sebenarnya kayak gimana. Mereka kan gak lebih dekat sama Fano dari gue. So, aman. Padahal kalau mereka tahu kenyataannya gimana, boro-boro bisa ngobrol lama berdua, saling nyapa aja kami jarang. Hohoho!

Sore menjelang, rutinitas baru Rema di waktu-waktu seperti ini adalah pergi ke lapangan. Kali ini Rema sengaja berangkat sejam lebih awal berencana untuk membersihkan ruang klub terlebih dulu. Rema teringat keadaan tempat itu saat pertama kali menginjakkan kaki. Tempatnya kotor, berantakan, dan bau. Kebiasaan buruk itu harus diubah mulai sekarang, mengingat kelak ia akan sering berada disana. Begitu sampai di markas klub, Rema langsung memulai acara bersih-bersih. Langkah pertama ia membereskan barang-barang yang berserakan untuk kemudian ditata dan dirapikan. Selanjutnya ia menyapu lantai, mengepel, mengelap kaca dan terakhir yang paling berat adalah membersihkan kamar mandi. “Ternyata benar kata Indah, yang namanya makhluk cowok itu nggak ada yang nggak jorok.”,

Page 64: winning fano feeling

64

dumel Rema sambil membawa dua kantong keresek besar sampah ke halaman belakang ruang klub. Selesai membuang sampah, Rema kembali masuk ke dalam ruangan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati sudah ada orang lain di sana. Seorang cowok yang sepertinya salah satu pemain itu saat ini tengah membuka loker lemari. Wajahnya tak dapat dikenali karena terhalang oleh pintu loker. Rema hanya bisa menduga-duga jati diri orang tersebut. Sempat berharap kalau dia adalah Bima. Waktu latihan masih setengah jam lagi. Tidak mungkin pemain lain mau kerajinan datang lebih awal. “WUAH!”, pekik kaget si cowok misterius saat menutup loker dan melihat ada seseorang berdiri di dekatnya. Rema ikut kaget mendengar teriakan cowok yang ternyata adalah Fano. “Lo kok pake teriak segala sih! Ngagetin gue aja. Emang lo baru lihat hantu apa?”, protes Rema sebal sembari mengusap-usap dada. “Eh, harusnya gue yang marah karena udah lo kagetin. Tiba-tiba muncul tanpa suara. Rambut panjang lo tuh kayak hantu.”, komplain Fano. Rema tertawa. Kalau dipikir-pikir tadi memang dia yang duluan ngagetin Fano. “Kenapa lo datang lebih awal Fan? Rajin amat.”, tanya Rema penasaran. “Kalau sempat gue emang biasa datang setengah jam lebih awal.”, jawab Fano singkat, mengambil duduk di bangku panjang tengah ruangan lalu membuka sepatu sekolahnya untuk diganti dengan sepatu bola. “Ooh gitu.” Kepala Rema manggut-manggut. “Memangnya lo ngapain dulu selama setengah jam itu? Kan bosen kalau cuma nunggu yang lain datang.”, pancing Rema membuka obrolan. Itu ia lakukan bukan karena berniat pdkt ke Fano, jelas bukan. Rema hanya merasa bosan kalau harus duduk diam selama setengah jam menunggu waktu latihan dimulai. “Yah banyak yang bisa gue lakukan, pemanasan, menyempurnakan skill, kembangin teknik, terutama tendangan jarak jauh. Gue masih belum baik dalam hal itu”, jelas Fano. Rema kembali manggut-manggut. “Ooh, pantes kemarin yang eksekusi free kick itu kak Maksi. Rupanya tendangan bebas lo belum bagus.”, gumamnya tanpa sadar. Raut wajah Fano berubah masam. Cowok itu pun menyelonong pergi masuk ke kamar mandi, meninggalkan Rema yang masih sibuk manggut-manggut. Begitu tersadar Fano sudah tidak ada disebelahnya, perasaan tidak enak serta merta merasuki hati Rema. “Oh ya Fan, kemarin makasih yah lo udah

Page 65: winning fano feeling

65

mau ikut latihan tambahan. Coba aja lo nggak memulai untuk balik ke lapangan, pasti pemain lain nggak bakal ada yang mau ikuti instruksi gue.”, teriak Rema kencang agar suaranya dapat terdengar sampai ke dalam kamar mandi. Tidak ada sahutan dari Fano. Mungkin dia gak dengar ucapan gue barusan, tebak Rema. “Gue ikut latihan tambahan bukan karena perintah lo, tapi karena gue merasa isi latihan itu perlu untuk tim. Umpan panjang dan kontrol bola pemain kita memang masih jauh dari sempurna.”, klarifikasi Fano sekeluarnya dari kamar mandi. Kini Fano telah mengganti seragam sekolahnya dengan seragam tim. Dalam hati Rema harus mengakui, mau memakai apapun cowok blesteran Indo-Argentina ini tetap saja kelihatan memukau. Rema buru-buru mengusir pikiran anehnya tentang Fano. Sedikit gelagapan kembali berbicara. “Bagaimanapun juga gue tetap berterimakasih sama lo. Terserah lo mau terima atau tidak.” Fano tak memberi tanggapan, sibuk memasukkan barang-barangnya kembali ke dalam loker. Seolah tidak dapat diam, Rema kembali mengoceh. “Fan, kemarin juga gue sebenarnya salut sama lo. Analisa lo tentang pertandingan dan tim lawan sangat tepat sekali. Orang-orang biasanya kan jarang tahu tentang sepakbola jalanan. Tapi lo tahu, dan malah lo seperti pernah jadi bagian dari itu semua. Apa emang iya lagi? Yah meski taktik yang lo bikin gagal, tapi gue tetep salut kok.”, ucapnya cablak, membuat sang lawan bicara bingung menentukan apa dirinya bermaksud memuji atau mengritik. “Lo itu bawel yah, bikin pusing. Mending gue cepat-cepat ke lapangan daripada terus denger lo ngoceh.”, dumel Fano sembari bergegas keluar ruangan. Mulut Rema langsung membentuk cibiran demi mendapat respon yang tidak ramah dari Fano. “Yee, dasar cowok aneh. Ada orang nanya bukannya dijawab malah dibilang bawel. Cowok kayak gini yang mesti gue deketin! Ih, ogah deh!”, gerutunya komat-kamit. Rema pun kembali duduk sendirian termenung memikirkan banyak hal. Tak lama berselang, Fano mendadak muncul kembali. Kali ini cowok itu secara tiba-tiba menarik tangan Rema, lalu menyeretnya menuju ke suatu ruang. Belum sempat Rema berontak dan menolak, Fano sudah lebih cepat mendorongnya masuk ke dalam kamar mandi. “Woi, cowok saiko! Ngapain lo narik-narik gue kesini? Jangan bilang lo mau ngapa-ngapain gue! Eh, gini-gini gue jago karate tau. Sekalipun masih sabuk biru, tapi gue bisa patah-… mmbbpp!!” Fano menutup mulut Rema dengan tangannya. “Sst, jangan ribut! Tenang aja, selera gue bukan cewek tipe kayak lo.”

Page 66: winning fano feeling

66

Antara lega dan terhina Rema menanggapi ucapan Fano barusan. “Trus ngapain lo nyuruh gue masuk ke kamar mandi bareng lo gini?”, tanya Rema setelah bisa menarik tangan Fano dari mulutnya, menatap laki-laki itu dengan lantang. Tanpa sadar, jarak keduanya hanya terpaut beberapa senti. Dari jarak sedekat ini, ketampanan wajah Fano semakin jelas terlihat. Bagaimana bisa 4U Cupid naruh harapan sama gue buat dapatin cowok ini? Demi Tuhan. Mereka buta apa tolol sih berpikir cewek sesimpel dan sebiasa gue bisa narik perhatian cowok se-Wow dia! Kutub utara mesti cair dulu kalau mau itu terjadi. “Ssstt, gue bilang diam. Jangan berisik!”, perintah Fano setengah berbisik. Hembusan wangi nafasnya menyapu lembut wajah Rema. Buru-buru Rema menarik diri menjauh sebelum ia sampai kelepasan melakukan sesuatu yang memalukan, apapun itu. Suasana sunyi sesaat. Tak berselang lama, terdengar keributan dari arah luar sana. Suara orang yang sedang bertengkar. Awalnya hanya terdengar sayup-sayup, tapi makin lama semakin terdengar keras dan jelas. Suara laki-laki dan wanita yang terlibat percekcokan. ”Kamu kenapa sih selalu bertindak egois? Apa-apa selalu ingin menangnya sendiri.”, teriak si cowok, terdengar kesal. Dari suaranya, Rema menduga kalau cowok itu adalah Bima. ”Egois? Kamu bilang aku egois, Bi! Jelas-jelas kamu yang egois karena tidak bisa menerima keputusan aku.”, bantah si cewek. Tuh kan benar. Cowok yang ada di dalam ruang klub saat ini adalah kak Bima. Tapi kira-kira ceweknya ini siapa yah? Apa mungkin Gina? ”Sekarang aku udah bisa menerima keputusan kamu. Kalaupun di awal aku sempat marah dan kecewa, itu wajar karena kamu tidak pernah mendiskusikannya terlebih dulu sama aku. Tahu-tahu kamu keluar gitu aja dari klub tanpa sepengetahuan aku. Jadi gak salah kalau aku merasa seperti tidak dihargai oleh pacar aku sendiri. Maaf, mantan pacar kan sekarang!” Deg, mantan? Gue gak salah denger nih! Kak Bima sama ceweknya udah putus! Aduh Re, kenapa lo malah senang gini dengarnya? Jahat banget sih lo! Sisi devil dalam diri Rema terus menghasutnya untuk gembira menanggapi kabar putus tersebut. Sementara sisi malaikat Rema berulang kali mengingatkan agar ia tidak bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Dan hasil yang ada, hati Rema tetap saja berbunga bahagia. Rema pun semakin merapatkan daun telinga kanannya ke pintu agar dapat mendengar lebih jelas lagi. Sikap penuh antusias Rema ini sangat jauh berbeda dengan Fano. Cowok itu nampak santai saja mengetahui ada pertengkaran hebat di

Page 67: winning fano feeling

67

luar sana. Ia lebih memilih diam bersender di tembok sembari memainkan botol sabun kosong di kakinya. Dasar apatis!, ledek Rema sembari melanjutkan kegiatan mengupingnya. Pertengkaran sepasang mantan kekasih itu kini kian memanas. ”Ya kamu bisa terima keputusan aku sekarang karena kamu udah nemuin pengganti aku kan, Bi?”, tuduh Gina yang langsung disambut decak tak percaya oleh Bima. ”Hah? Maksud kamu siapa? Verlita? Aduh Gina, itu cuma gosip murahan yang dia bikin sendiri.” ”Bukan. Maksud gue bukan Verlita,”, sanggah Gina. ”tapi manajer baru itu.”, lanjutnya menghenyakkan siapapun yang mendengar, termasuk Rema. ”Whaat!” Rema kaget sekali, tak mengira dirinya bisa ikut terseret dalam pertengkaran di luar sana. Hampir saja Rema membuka pintu kamar mandi untuk menanyakan langsung pada Gina apa benar yang dia maksud itu adalah dirinya. Tapi tindakan nekat itu tidak mungkin dilakukan mengingat keberadaan Fano yang saat ini bersamanya. Apa pikiran kak Bima nanti saat lihat gue berduaan bareng Fano di kamar mandi? Tidak mungkin dia berpikir yang baik-baik. ”Kamu jangan ngaco deh Rin! Dia nggak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan permasalahan kita.” ”Oh ya! Lalu kenapa kamu masih pertahanin dia sebagai manajer, padahal aku udah kasih tahu kamu kalau dia masuk klub karena ada tujuan tertentu, dan bukan untuk benar-benar membantu tim?” Rema tak mampu bergerak sama sekali mengetahui ternyata Gina lah yang menjadi informan Bima. Pantas saja Bima begitu percaya dan memandangnya rendah seketika. Jelas saja, yang mengantar berita itu adalah Gina. ”Dia nggak seperti apa yang kamu kira Gin.” Nada bicara Bima sedikit melunak. ”awalnya memang dia terlihat tidak cocok sebagai manajer klub bola. Tapi beberapa hari ini dia nampak sangat menikmati dan bersemangat menjalankan tugasnya. Apapun tujuan utamanya masuk ke klub ini, sepanjang yang dia lakukan tidak merugikan tim, maka tidak ada masalah. Lagian kamu tuh lucu kalau sampai naruh curiga sama dia, kamu sendiri kan tahu betul orang yang lagi dia incar itu siapa, bukan aku tapi ....” Oh, tidak! Kak Bima, jangan sampai kakak sebutin nama Fano! Orangnya ada disini kak! Kalau sampai kakak bilang terus Fano dengar dan ngeh? Habislah gue! Mau ditaruh dimana harga diri gue? Rema terus-terusan resah, tak henti berdoa. Fano dibuat keheranan melihat perubahan drastis sikap Rema yang mendadak stres sendiri.

Page 68: winning fano feeling

68

”Orangnya itu bukan aku tapi.. ah, sudahlah. Kita gak usah debatin hal ini lagi. Aku capek. Sebaiknya kita keluar. Anak-anak sebentar lagi datang, gak enak kalau mereka pergoki kita berantem seperti ini.” Gina nampak setuju untuk mengakhiri perdebatan mereka, meski hatinya masih belum merasa puas. Tapi Bima benar, tidak baik kalau sampai semua pemain tahu permasalahan mereka. ”Ayo, aku antar kamu sampai mobil. Siang ini kamu ada jadwal les kan?” Beberapa detik kemudian terdengar derap langkah yang kian menjauh serta suara derit pintu yang menutup. Bima dan Gina pasti telah pergi meninggalkan ruangan. Fiuuh, leganya. Rema sangat bersyukur sekali tadi Bima tidak jadi menyebut nama Fano. Rema tak peduli dengan tatapan aneh yang dilayangkan Fano padanya, yang penting nyawanya kali ini selamat. Yah, kali ini. Rema sadar rahasia taruhan ini tidak mungkin menjadi rahasia selamanya. Suatu saat nanti Fano atau bahkan pemain yang lain akan tahu tentang masalah ini. ”Lo mau keluar apa terus diam di situ? Pintunya mau gue tutup nih.”, tanya Fano menyadarkan Rema dari lamunannya. Cowok itu rupanya sudah berada di ambang pintu. Rema segera melangkah keluar dari kamar mandi. ”Ya keluarlah. Lo pikir gue kuncen penjaga kamar mandi apa! Eh Fan, ngapain juga lo tadi pake ajak-ajak gue masuk ke dalam? Emang sih kak Bima lagi ribut sama ceweknya, tapi kan kita gak perlu pake sembunyi segala.”, gerutu Rema meminta penjelasan. ”Justru karena mereka lagi ada masalah maka kita perlu memberi mereka ruang dan privasi. Bima harus menyelesaikan persoalan pribadinya sesegera mungkin sebelum hal itu memberi dampak buruk pada permainannya dan tim.”, gumam Fano pelan kemudian berlalu pergi. Rema terpaku sesaat. Fano berbicara seolah dia sangat mengenal Bima dan telah lama bersahabat dengannya. Bagaimana bisa? Fano kan baru masuk sekolah semester ini. Ah, ngapain juga gue mesti pusing-pusing mikirin itu. Aneh.

”Woi Re! Pagi-pagi udah bengong, pamali anak gadis bengong pagi-pagi. Bisa susah dapat jodoh loh.”, goda Razy melihat Rema duduk termangu sendiri di kelas pagi itu. ”Ngaco lo Zy, mitos darimana coba?”, tanggap Rema masa bodoh dengan tatapan tetap lurus ke depan.

Page 69: winning fano feeling

69

”Jangan salah, ini bukan sembarang mitos. Berdasarkan percobaan kimia yang gue lakukan, bengong di pagi hari akan mengakibatkan gangguan pada sistem pencernaan dan membuat asam hidroklorida di dalam perut makin cepat bereaksi. Lo tahu kan kalau hidroklorida itu asam yang kuat. Nantinya tubuh lo bakal kelebihan asam, Re. Bau badan lo asam, muka lo, senyum lo, semuanya deh. Nah, kalau udah kayak gitu cowok mana coba yang mau sama lo?” Rema tertawa terbahak-bahak mendengar analisis Razy yang super ngaco. ”Nah, gitu dong! Ketawa. Jangan cemberut terus! Kenapa, lo ada masalah lagi di klub?” Tawa di wajah Rema seketika berganti muram kembali. ”Ya begitulah Zy. Gue juga bingung kenapa masalah gue gak ada habisnya di klub? Baru juga beres masalah yang kak Bima tahu soal taruhan itu. Eh, sekarang datang lagi permasalahan baru.”, keluh Rema menunduk lesu. ”Masalah apa lagi emang? Apa ada pemain lain yang tahu soal taruhan itu?”, terka Razy. Rema menggeleng. ”Bukan, masalahnya lain lagi Zy. Jadi gini, tempo hari itu gue sempat adu mulut sama salah satu pemain senior di tim. Gue pikir masalahnya nggak akan berlanjut, tahunya udah tiga kali latihan, pemain tersebut nggak datang-datang lagi ke lapangan.”, cerita Rema. Pemain yang dimaksud adalah Maksi. Sudah tiga hari dari sejak pertandingan uji coba dengan Ari cs, Maksi tidak pernah muncul lagi ke lapangan. ”Senior itu pasti anak sekolahan kita juga kan. Yaudah, lo temui dan tanya langsung orangnya.” ”Nah, itu dia! Kak Bima udah nanya ke pemain itu dan katanya dia mau keluar dari klub.” ”Hah! Keluar? Cuma gara-gara adu mulut doang sama lo, Re?”, tanya Razy tak percaya. ”Ya mana gue tahu. Kemungkinan sih gitu. Soalnya kata kak Bima, kak Maksi, pemain yang adu mulut sama gue itu, orangnya memang sangat keras dan gengsinya selangit. Dia tidak terima gue bentak dan suruh-suruh waktu di latihan tempo lalu.” Rema menghela nafas panjang. Selama dalam latihan terakhir ini ia masih bisa berpura-pura tidak peduli dan menganggap semua normal. Rema juga malah sempat bilang pada pemain yang lain, kalau tim tetap akan baik dengan atau tanpa kehadiran Maksi. Padahal dalam hati sebenarnya Rema sadar kalau Maksi adalah salah satu pemain yang sangat penting di tim, dan tim akan mengalami kerugian atas keabsenannya. ”Terus lo punya solusi apa untuk masalah ini?”

Page 70: winning fano feeling

70

”Enggak ada.”, jawab Rema enteng sembari mengangkat bahu. Razy terdiam, berpikir, sesaat kemudian beseru kencang. ”Aha! gini aja”, sahutnya sambil menjentikkan kedua jari, lalu membisikkan ide yang ada di kepalanya ke telinga Rema. ”Benar itu bisa berhasil?”, sangsi Rema selepas Razy mengemukakan usulnya. ”Coba aja!”, bujuk cowok berlesung pipit itu. Rema menimbang sejenak. Ide Razy tidak terlalu buruk sebetulnya, dan tidak rugi juga untuk dicoba. ”Oke, saya terima usulan anda, saudara Razy!”, putus Rema dengan nada bercanda. Selanjutnya dua sahabat itu melanjutkan obrolan dengan topik yang berbeda. Waktu kosong satu jam pelajaran karena sang guru sedang berhalangan hadir, sangat cukup bagi Rema dan Razy untuk membicarakan banyak hal. Mulai dari kabar kesehatan Indah yang sedang sakit, prediksi pertandingan liga-liga eropa, kasus penganiayaan tkw yang seperti tiada ujung, korupsi, sampai masalah pro-kontra poligami. Semuanya mereka bahas kupas satu persatu secara lugas dan tuntas.

Angin malam berhembus kencang, dingin hingga menusuk tulang. Rema yang keluar menantang udara malam ini berjalan dengan badan menggigil kedinginan dan gigi yang bergemelutuk keras. Jaket tebal yang dikenakan tak mampu melindungi tubuhnya agar tetap hangat. Kondisi tersebut makin diperparah dengan suasana mencekam di sekitar pinggiran kota Jakarta yang tengah ditelusurinya. Rema memang bukan cewek penakut, tapi tetap saja ia merasa was-was harus berada di daerah asing sendirian malam hari pula. “Aduuh, apa gue salah jalan yah? Daerahnya kok serem gini.”, rintih Rema sembari terus mengecek nama jalan dalam secarik kertas yang ia genggam. Kekhawatiran yang begitu besar ini wajar ia alami mengingat sebelumnya Rema tidak pernah keluar rumah malam-malam. Sekalipun pernah yaitu sewaktu nonton timnas berlaga di Stadion Gelora Bung Karno, itupun tidak sendiri melainkan pergi bersama seluruh keluarganya.

Kembali ke Rema yang tengah gelisah. Kalau saja bukan karena ada misi penting, jelas ia takkan berani keluyuran tengah malam begini sampai harus membohongi ibunya segala. Resiko ini harus ia ambil demi menyelesaikan persoalan Maksi. Ya, Rema berniat menemui langsung Maksi dan memintanya kembali ke klub. Begitulah ide yang dilontarkan Razy tadi pagi di sekolah.

Page 71: winning fano feeling

71

Kalau bisa memilih juga tentu Rema tidak berharap harus sejauh ini mengejar mas-mas eh Maksi. Sayangnya, ketika meminta informasi pada Bima mengenai tempat dimana bisa ditemui cowok itu, alamat tidak dikenal inilah yang diberikan. Sang kapten tim mengatakan kalau akhir-akhir ini Maksi sangat sulit ditemui baik di rumah maupun sekolah. Hanya di tempat itulah sang target kemungkinan besar ada. Jadilah Rema dengan nekat menyusuri jalanan sepi seorang diri demi bisa menemui Maksi. Yeah, Finding Maksi!

Kresek..kresek..kresek..kresek.. Suara aneh tiba-tiba terdengar dari arah sekitar tempat Rema berdiri. Rema berputar mencari asal sumber suara, tapi nihil, tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan. Rema pun coba melanjutkan kembali perjalanan tanpa mempedulikan suara-suara misterius tersebut. “Ah, palingan juga angin.”, asumsinya sambil terus melangkah.

Namun, tak berselang lama suara berisik tersebut kembali terdengar kian jelas dan menakutkan.

Kresek..kresek..kresek..kresek. Bulu kuduk Rema seketika berdiri merinding. Rasa was-was yang dari awal sudah ia rasakan kini makin menguasainya dan bertambah lebih parah. Saat menyapu pemandangan sekitar, Rema kembali tak temukan apa-apa selain jalanan lengang dan bangunan tua tak berpenghuni. Fakta itu membuat pikiran buruknya kian bergerak liar tak terkendali. Mata Rema lalu tak sengaja menangkap sesuatu yang aneh. Tumpukan sampah yang berderet di depan sebuah bangunan tua kosong terlihat bergerak-gerak. Rema yakin kalau suara-suara spooky tadi berasal dari sana. Diantara rasa takut dan penasaran, Rema pun coba memberanikan diri mendekati sumber suara aneh tersebut. Rasa penasaran jauh lebih kuat mendorongnya daripada debaran ketakutan yang dirasakan. Begitu telah dekat, Rema bersiap menyibak salah satu kantong kresek untuk melihat apa yang ada di baliknya. Dengan tangan bergemetar Rema memegang ujung kresek kemudian perlahan menggesernya.

“Kyaaaa!” Rema berteriak histeris saat melihat sepasang bola mata bersinar di balik kresek sampah yang ia pindahkan. Saking kaget dan ketakutannya, Rema sampai berlari kencang tak tentu arah dan tak melihat ke depan.

Hampir sepuluh menit Rema berlari bak orang kesetanan yang dikejar-kejar hantu. Ia akhirnya bisa berhenti berlari setelah secara tidak sengaja menabrak seseorang lalu jatuh terjerembab.

Bruuk! “Aduuh! Sakit! Pinggang gue.. AUW!”, rintih Rema kesakitan. Ia

sempat berharap orang yang bertabrakan dengannya itu akan

Page 72: winning fano feeling

72

mengulurkan tangan memberinya pertolongan. Namun harapan itu seketika sirna manakala menerima perlakuan kasar disertai bentakan dari orang tersebut.

“Heh! Kalau lari itu lihat-lihat ke depan! Untung lo cewek. Kalau cowok, udah gue kasih perhitungan.”, hardiknya memekakan telinga. Rema yang tadinya masih ingin merintih kesakitan seketika berubah geram. Ia tentu tidak terima diperlakukan bak terdakwa seperti ini. Yang jadi korban itu gue. Kenapa malah gue yang kena semprot. Buru-buru Rema bangkit berdiri, siap untuk balik menghardik. Surprise, begitu menengadahkan kepala, betapa kagetnya Rema saat melihat sosok cowok yang sudah cukup familiar berdiri di hadapannya.

“Fano!”, kaget Rema. “elo! Ngapain lo ada di sini malam-malam?”, tanya Fano yang

ikut kaget mengetahui cewek yang baru saja dibentaknya itu ternyata adalah Rema, manajer timnya.

“Gue mau nemuin seseorang.”, jawab Rema pendek. “Nah, lo sendiri lagi ngapain disini? Terus kenapa pakaian lo aneh gitu?” Rema menatap geli pakaian yang dikenakan Fano, kemeja putih plus vest hitam dan, oh My God, celana kain hitam panjang! Rema terkikik menertawakan penampilan formal Fano ini. “Hahaha! Lo culun banget sih Fan. Abis dari kondangan yah.”, godanya masih terus tertawa.

Wajah Fano seketika berubah merah. “Ini… ini baju seragam kerja gue. Gue lagi kerja di sekitar sini dan mau buang sampah ke depan sana.”, jawab Fano pelan. Tawa Rema seketika terhenti, tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari Fano.

“Lo lagi kerja Fan? Kerja apaan emang? Kok bisa lo sampai kerja!”

“Yah bisa aja. Kenapa harus sampai gak bisa?”, jawab Fano sembari memungut kantong sampah yang tadi terjatuh saat bertubrukan dengan Rema.

“Aneh. Emangnya orang tua lo gak nyuruh lo berhenti apa? Bisa-bisa kan sekolah lo keganggu kalau lo sibuk kerja sampai malam gini.”

“Duuh, lo bawel banget sih! Itu kan urusan gue. Nah, lo sendiri mau nemuin siapa malam-malam gini di pinggir jalan? Aha, gue tahu, lo mau nemuin om-om genit kan.” Gantian Fano yang menatap Rema penuh curiga.

Pletak!! “Aaauuww!!” Tanpa ampun Rema melayangkan kepalan

tangannya ke kepala Fano, tak terima mendapat tuduhan serendah itu. Fano hanya bisa merintih kesakitan sambil mengusap kepalanya yang terasa berdenyut. “Lo pikir gue cewek apaan? Enak aja lo nuduh gue

Page 73: winning fano feeling

73

cewek yang gak bener.”, hardik Rema yang tabiat galaknya langsung muncul.

“Iya, ampun Re. sori-sori.“, mohon Fano disertai sunggingan senyum tanda damai. Biasanya Rema tak mudah terima jika dihina apalagi dituduh negatif seperti itu. Tapi entah kenapa kali ini hatinya mudah luluh begitu saja.

“Oh, jadi lo lagi nyari Maksi di Indigo Café ?”, tanya Fano

memastikan. Mereka berdua kini tengah berjalan menuju ke tempat pembuangan sampah, tempat tujuan Fano sebelum bertabrakan dengan Rema tadi.

“Iya. Daritadi gue udah muter-muter nyari tempat itu tapi gak ketemu juga. Padahal alamatnya sih udah benar. Ini jalan kejaksaan kan?” Fano mengangguk sambil terus mengingat-ingat dimana letak Indigo Café berada. Sesampainya di tempat pembuangan sampah yang dimaksud Fano, bulu kuduk Rema sontak kembali berdiri. Ternyata mereka berdua kini berada di tempat angker yang tadi sukses membuat Rema berlari ketakutan.

“Kenapa?”, tanya Fano heran melihat Rema mendadak berlindung di belakangnya.

“Hii! Gue tadi lihat hantu di sini Fan. Serem deh! Gara-gara tuh hantu makanya gue lari-lari gak jelas.”, jelas Rema masih trauma.

“Hantu? Dimana?” “Itu!” Rema menunjuk tempat di mana tadi ia melihat sepasang

bola mata menakutkan. Fano mendekati tempat yang dimaksud Rema berniat memastikan

benar tidaknya. Dengan diliputi ketakutan Rema menguntiti Fano dari belakang. Ketika keduanya telah sampai di depan tumpukan sampah tersebut, sepasang bola mata bersinar yang mengejutkan Rema itu pun kembali terlihat.

“Kyaaa!”, teriak Rema histeris, memekakakan telinga Fano. Dua kali melihat hantu yang sama dalam jangka waktu berdekatan membuatnya sangat shock ketakutan. Spontan Rema memegang erat lengan Fano –nyaris mencengkram- dan menyembunyikan wajahnya di balik punggung laki-laki berbadan atletis itu.

“Hahaha!” Fano tertawa keras dan puas. Rema yang keheranan sedikit demi sedikit mulai mengeluarkan kepalanya dari balik punggung Fano. “Lo takut sama itu Re? Hahaha!” Rema memanjangkan lehernya, mencari tahu apa yang baru saja ditertawakan

Page 74: winning fano feeling

74

Fano. Dan setelah dicek, perasaan campur aduk antara kaget, marah, kesal, malu, dan geli meliputi hatinya.

“meeoong!”, bunyi sesuatu yang sebelumnya disangka Rema sebagai hantu itu, yang ternyata hanyalah seekor kucing. Dasar kucing sialan! Rema menggeram kesal dalam hati.

“Hahaha!” “Udah-udah! Seneng banget sih lo ngetawain gue.”, gerutu Rema

dengan bibir manyun. Kali ini ia tidak bisa membalas Fano seperti biasa. Fakta bahwa makhluk yang muncul tadi ternyata hanya seekor kucing memang sangat memalukan. Fano dan Rema kini telah berada di depan tempat kerja Fano. Rupanya Fano bekerja di sebuah restoran bernama Latino Resto. Restoran itu terletak tidak jauh dari tempat mereka bertemu awal tadi.

“Oke-oke, gue berhenti ketawa. Hmm, jadinya sekarang lo mau gimana Re, tetap nyari Maksi ke kafe itu atau pulang saja?”

Rema berpikir sejenak. “Yah mau nggak mau gue tetap harus nyari kak Maksi. Soalnya waktu kejurnas dimulai tinggal sebulan lagi. Lo tahu kan gimana pentingnya posisi kak Maksi di tim dan sesusah apa cari pengganti yang sepadan dalam waktu sesingkat ini?” Fano tidak memberi komentar. Tahu betul maksud ucapan Rema.

“Di Stefano! Dónde usted?6”, panggil sebuah suara dari arah dalam Latino Resto. Fano menoleh ke pintu restoran dengan wajah risau. “Mmm Re, bos gue manggil nih. Gue masuk dulu bentar. Lo tunggu gue di sini, oke!” Rema mengangguk saja meski tidak mengerti maksud ucapan Fano apa. “Sí, senór, ¿Por quѐ?7

Cukup lama Rema menunggu Fano di luar restoran, dan itu sangat membuatnya kesal. Rema memang paling benci dengan yang namanya menunggu. Kesabarannya selalu mudah habis untuk aktivitas yang satu itu. Tapi untunglah, sebelum Rema nekat masuk ke restoran dan berteriak-teriak mencari Fano, cowok itu sudah menampakkan diri dihadapannya.

” Fano pun bergegas masuk ke dalam restoran yang bernuasa serba latin itu. Mulai dari dekorasi, musik, menu makanan, sampai para pelayannya pun semua berbau latin. Yah, namanya juga Latino Resto.

“LO TUH LAMA,, banget sih!”, protes Rema dengan nada kian merendah. Awalnya tadi ia sempat ingin marah besar, hanya saja begitu melihat orang yang ditunggunya keluar dengan setelan baru yang ehem, 6 Dimana kamu? 7 Ya, tuan, kenapa?

Page 75: winning fano feeling

75

memukau banget, niat itu menguap begitu saja. Padahal ni cowok cuma pake jeans sama sweater abu-abu doang, tapi kok bisa bikin gue terpukau dan spechless gini yah! Rema, wake up! Lo jangan kelihatan tolol gitu di depan Fano, pinta Rema pada dirinya sendiri.

“Sori, gue harus minta izin keluar dulu tadi sama bos gue, dan itu cukup sulit karena restoran lagi ramai banget malam ini.”, jelas Fano tidak menyadari keanehan lawan bicaranya yang mendadak terdiam seribu bahasa.

Ya ampun Rema! Pliis jangan terpengaruh segitu dalamnya. Oke, dia memang ganteng, banget. So, what? Itu bukan berarti lo suka apalagi langsung jatuh cinta sama dia kan? Get real Re! Ingat kak Bima. Cowok yang lo suka itu dia, bukan si bule ini.

Sementara Rema berusaha menyadarkan diri, Fano melanjutkan kembali ucapannya. “Oh yah Re, tadi gue sempat nanya sama teman kerja gue dimana letak indigo café, untungnya dia tahu. Nggak jauh dari sini kok. Tapi berhubung sekarang udah lumayan malam mending kita langsung pergi aja nemuin Maksi ke sana. Gimana?”

Cukup lama Rema baru bisa mengurai otaknya dan memberi respon. “Hah, apa? Kita?” Rema terperangah, akhirnya bisa membangkitkan kesadaran sepenuhnya. “Lo, lo mau nemenin gue nemuin kak Maksi, Fan?” ada sedikit rasa tidak percaya dalam nada bicara Rema.

“Iya,” jawab Fano ikut heran. “Emang lo pikir gimana? Oh jangan-jangan,, kalau gitu buat apa gue susah-susah minta izin sama bos gue dan nanya ke orang-orang dimana indigo café? Tapi kalau lo nggak mau gue temenin juga nggak apa-apa, gue bisa balik lagi ke...”

“Eh,,eh,, gue mau kok!” Rema buru-buru memotong “Gila aja lo. Ada yang nawarin diri jadi guide dan bodyguard gratis masa gue tolak. Hehehe.. Kalau gitu, ayo kita jalan!”, sahutnya sambil menarik tangan Fano.

Fano tersenyum kecil, diam-diam ia menatap Rema penuh arti. Entah mengapa hatinya merasakan sesuatu yang aneh dan beda saat berada di dekat cewek penuh keceriaan dan semangat itu. Sesuatu yang sangat nyaman. Sementara dalam hati Rema tidak berhenti mendesir, Ya Tuhan, kenapa cowok ini mesti kelihatan cakep banget malam ini? Bikin gue nervous aja.

Selama dalam perjalanan menuju Indigo Cafe, Rema banyak mengobrol dengan Fano. Lebih tepatnya Rema yang banyak bertanya,

Page 76: winning fano feeling

76

sementara Fano sangat irit bicara. Saat tiba giliran Fano yang bertanya, secara panjang lebar Rema menjawab setiap pertanyaannya. Tapi dari obrolan yang tidak seimbang itu, Rema jadi sedikit tahu tentang sosok Fano yang konon katanya sangat misterius. Mulai dari pekerjaannya sebagai pelayan di Latino Resto yang sudah berjalan lama sekitar satu setengah tahun. Terus keberadaannya yang sebatang kara semenjak datang ke Indonesia dua tahun silam sehingga dia harus bekerja untuk memenuhi biaya hidupnya sendiri. Dan terakhir yakni pertemuannya dengan Bima yang jadi penyebab utama kenapa Fano bersedia masuk ke sekolah mereka.

Rema banyak menaruh rasa salut mengetahui life story Fano yang bak film itu. Ia tidak menyangka, Fano yang diidolakan oleh banyak cewek di sekolah ternyata orang yang sangat sederhana dan biasa. Berbeda dengan cowok-cowok lain yang banyak diidolakan karena mobilnya yang sering gonta-ganti, penampilannya yang mentereng abis, dompetnya yang diisi kartu kredit platinum tanpa limit, gaulnya yang di tempat-tempat dugem dan berkelas, tapi hampir semuanya itu playboy dan belagu gak ketulungan. Kalau 4U Cupid dan PrincesShine tahu tentang kisah Fano ini, apa mereka masih akan tetap bertaruh untuk mendapatkannya? Entahlah, yang jelas bagi Rema, Fano jauh lebih baik dari cowok-cowok borjuis dan kapitalis itu.

“Yup, sampai juga kita. Itu tempatnya!” Fano menunjuk sebuah bangunan besar ber-plang ‘Indigo Café’ yang ada di depan mereka saat ini. Rema takjub melihat begitu ramai dan meriahnya tempat yang akan segera ia masuki itu. Lampu-lampu terang memancar dari dalam dan luar kafe. Sepertinya ini bukan kafe biasa.

“Benar ini tempatnya? Kok kayak tempat dugem bukan kafe?”, tanya Rema ragu. Ia belum pernah sih pergi ke tempat hiburan malam tapi melihat di tv-tv sepertinya tidak jauh berbeda dengan yang ada didepannya sekarang.

“Namanya juga kafe malam Re. Nggak cuma ada kafe aja, tapi juga ada live music dan hiburan lain.”, terang Fano. Mereka berdua pun masuk ke dalam kafe tersebut.

Pengap dan sesak, begitulah kondisi yang Rema rasakan saat melangkahkan kakinya memasuki kafe. Bau asap rokok dan minuman beralkohol membuat kepalanya berputar-putar pusing. Belum lagi suara derap musik band yang sedang manggung, membuat dada dan kepalanya bertalu-talu keras, cepat, serasa ingin pecah. “Uhuk,,uhuk!” batuk Rema berkali-kali. Walaupun sudah mengibas-ngibaskan tangannya tetap saja asap rokok menyembur deras ke wajahnya. “Fan, uhuk,,uhuk, gimana kita bisa nemuin kak Maksi di antara berjubel

Page 77: winning fano feeling

77

orang sebanyak ini?”, tanya Rema masih sibuk dengan gangguan pernapasan dan tenggorokannya.

“Mmm, coba kita tanya sama salah satu pelayan di sini.”, usul Fano. Ia kemudian menarik tangan Rema agar mengikutinya mencari seorang pelayan untuk dimintai keterangan. Rema merasakan sengatan aneh saat Fano menyentuh tangannya yang untuk pertama kali itu. Perlahan coba dilepaskannya genggaman Fano. Tak sampai sedetik, dengan cepat cowok itu meraih kembali tangan Rema. “Lo mau kita terpencar? Jangan sampai kita kepisah, nanti bisa berabe.”, ujarnya sembari mengunci genggaman lebih erat.

“Fiuuh!” Rema menghembuskan nafas panjang dan berat. Kenapa nafas gue terasa makin sesak gini yah? Rema keheranan sendiri. Pasti karena asap rokok, yah pasti karena itu. Gue kan alergi rokok.

Setelah berkeliling memutari kafe sebanyak dua kali, akhirnya Fano dan Rema berhasil menemukan seorang pelayan diantara kerumunan pengunjung. Pelayan tersebut adalah seorang wanita cantik super seksi yang baru saja mengantar minuman ke sebuah meja di dekat mereka.

“Permisi, mbak!”, sapa Fano. Sang pelayan yang masih muda itu menoleh ke arah Fano dan Rema.

“Yah, ada apa? Ada yang bisa aku bantu atau ingin memesan sesuatu?”, tanyanya dengan senyuman genit yang ditujukan khusus untuk Fano. Rema langsung merasa enek.

“Oh, tidak mbak, makasih. Kami sedang mencari seseorang disini. Namanya Maksi. Perawakannya tinggi besar dengan kepala agak sedikit plontos. Kami dengar dia sering datang ke sini. Mbak mengenal dia?” Si mbak pelayan tersebut mengernyitkan dahinya sebentar lalu kemudian memalingkan wajah ke kiri seraya berkata, “Maksud kalian, Maksi gitaris band yang lagi manggung itu?” Rema dan Fano berbarengan ikut menoleh. Keduanya sama-sama terkejut melihat Maksi tengah beraksi di atas panggung bersama dengan bandnya. Maksi tidak menyadari keberadaan mereka karena laki-laki itu terus menunduk memerhatikan permainan gitarnya.

“Benar mbak. Dia orang yang sedang kami cari. Terima kasih banyak mbak.”, sahut Fano dengan sopan. Tanpa sadar Rema menggerutu dalam hati, kenapa Fano mesti sesopan dan seramah ini sih? Biasa aja kali. Giliran sama gue aja seringnya jutek dan marah-marah.

“Sama-sama ganteng. Jangan panggil mbak dong! Panggil nama aku aja, Amelia. Kalau perlu bantuan lagi gak usah malu-malu cari aku.

Page 78: winning fano feeling

78

Aku standby di table sana.”, godanya sambil membelai-belai lengan Fano. Fano yang mulai ketakutan, segera menarik tangan Rema untuk pergi menjauh dari pelayan genit tersebut. Rema tidak kaget dengan reaksi si pelayan tadi. Fano sih terlalu ramah dan sopan, jadi geer deh tuh pelayan.

“Gimana nih sekarang? Kita teriak aja dari sini manggil Maksi biar dia noleh!”, usul Fano setelah mereka berhasil kabur dari pandangan Amelia sang pelayan genit.

“Eh, jangan-jangan! Ngng, gini aja.”, Rema memutar otaknya berpikir mencari solusi, “Lagunya bentar lagi mau habis. Begitu selesai perform pasti bandnya pada break dulu ke belakang panggung. Nah, nanti gue temuin Maksi kesana.”

Fano menimbang sebentar. “Lo mau nyamperin Maksi ke backstage Re? Yakin lo? Perlu gue temenin?”

“Nggak, nggak usah. Lo tunggu aja disini. Yang lagi ada masalah dengan kak Maksi kan gue. Nanti kalau dalam lima belas menit gue belum juga keluar baru lo nyusul ke dalam. Ok?” Dengan terpaksa Fano mengangguk setuju.

Alunan keras lagu Tarantula milik Smashing Pumpkins yang dibawakan oleh bandnya Maksi berakhir juga. Semua pemain band, termasuk Maksi, serentak turun dari panggung untuk kemudian digantikan oleh seorang penyanyi wanita cantik yang berpakaian sangat minim. Ya, ini waktunya. Rema kemudian melangkah maju menuju belakang panggung.

Suasana di belakang panggung tidak kalah ramai dengan di luar sana. Banyak personil band serta penyanyi yang menjadi pengisi acara di kafe malam itu duduk menunggu giliran tampil. Maksi dan teman-teman bandnya langsung bersorak riang merayakan kesuksesan penampilan mereka tadi di backstage. Minuman pun telah disediakan untuk semakin memeriahkan perayaan yang akan diadakan.

“Wah, Gila! Heboh banget tadi penontonnya. Gue yakin bro, next, band kita pasti bakal dapat banyak permintaan manggung.”, seru Benjo, sang vokalis. Semua mengangguk-angguk antusias. “Ayo kita rayakan awal kesuksesan band kita ini! Maks, lo jangan diam mulu! Diminum dong minumannya!” Maksi menurut. Diteguknya kaleng minuman yang sejak tadi dipegangnya hingga habis. “Nah, gitu dong!” Semua sontak menyambut gembira tindakan Maksi tersebut.

Saat perayaan sedang berlangsung seru. Rema muncul untuk kemudian menghampiri kerumunan cowok yang tengah bersulang itu. Keterkejutan terpasang jelas pada raut wajah Maksi tatkala melihat kedatangan tak terduga Rema.

Page 79: winning fano feeling

79

“Siapa dia Maks? Lo kenal?”, tanya Benjo melirik curiga ke arah Rema. Maksi tidak menjawab, masih terlalu kaget.

“Halo, kak! Mmm, ganggu nggak? Rema pengen ngomong berdua sebentar sama kakak, boleh?”, pinta Rema dengan sopan. Senyum ramah terpasang lebar di wajahnya.

“Ya sudah, lo ngomong aja disini!”, suruh Maksi jutek tanpa melihat ke arah Rema sama sekali. Rema yang sudah merasa capek semalaman berjalan kaki sedikit jengkel menghadapi ulah cuek Maksi ini. Tapi Rema terus berusaha bersabar, sekuat tenaga menahan gemuruh amarah di dada dan tetap menarik ujung bibirnya agar selalu tersenyum. Kalau bisa sebenarnya Rema ingin sekali teriak dan marah-marah mendapat perlakuan sedingin ini. Untungnya Rema segera tersadar kalau sekarang bukan waktu yang tepat untuk bersikap emosional. Saat ini ia harus tetap bersabar dan mengalah demi kepentingan tim.

“Ehem, baik kalau kak Maksi ingin kita berbicara di tempat terbuka seperti ini. Sebenarnya maksud kedatangan Rema ke sini adalah untuk minta kakak kembali ke klub dan tetap memperkuat tim di kejurnas nanti.”, jelas Rema cukup singkat mengemukakan maksud kedatangannya. Sayang, bukannya anggukan atau bahkan sedikit jawaban yang diterima pertama kali, melainkan justru ledakan tawa merendahkan yang keluar dari mulut teman-teman band Maksi.

“Hahaha! Lo ke sini nemuin Maksi cuma pengen minta dia balik lagi ke klub bola tololnya itu? Hahaha! Emang lo belum bilang sama cewek ini Maks kalo lo udah keluar dari klub bola?” Emosi Rema menggejolak. Telinganya panas mendengar ledekan Eric, drumer band, barusan. Dan kekecewaannya makin memuncak tatkala melihat reaksi Maksi yang hanya diam membisu.

“Eh, cewek, siapa nama lo tadi? Rema yah! Gini ya adek Rema,” Tawa kembali membahana. “Maksi itu udah nggak gabung lagi di tim bola sekolah. Sekarang ini dia lagi sibuk sama band dan karir musiknya. Buat apa dia masih tetap gabung di klub anak-anak iseng kayak gitu. Udah bikin capek, gak dapat duit lagi.”, sambung Benjo. Bau alcohol menyeruak tercium dari mulutnya.

Sabar Re sabar. Rema kembali mengingatkan diri. “Gini yah, Om. Selama gue belum dengar langsung dari mulut kak Maksi, lo semua mau bicara sampe berbusa pun gue tetap gak akan percaya.”, tegasnya tidak kalah garang. Untung Rema sudah terbiasa menghadapi berandalan di kompleks rumahnya, sehingga tidak ada rasa gentar di hatinya untuk berhadapan dengan cowok-cowok setipe.

Page 80: winning fano feeling

80

“Beuh, bandel amat nih cewek, udah dibilangin juga. Eh Maks, mending lo ngomong langsung sama ni bocah. Party kita bisa-bisa terganggu gara-gara dia.” Rema dan yang lain kini menunggu jawaban dari Maksi. Cowok itu tampak kesulitan mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Akhirnya Maksi berani juga mengucapkan sesuatu, dan jawabannya sangat mengecewakan Rema. “Apa yang teman-teman gue omongin tadi semuanya benar. Lagian kan gue udah ngomong ke Bima kalau gue mau keluar dari klub.”

“Tuh kan! Barusan lo dengar sendiri kan dari orangnya.”, kata Eric puas. Semua lantas tertawa mengejek Rema. Sekuat tenaga Rema berusaha untuk tetap kuat.

“Oke, tidak masalah sebenarnya bagi tim untuk kehilangan seorang pemain. Apalagi kalau sekedar pemain matrealistis yang hanya mengukur segala sesuatu dari uang. Ada satu hal yang perlu kak Maksi tahu. Memang kak, di klub kita tidak dapat imbalan uang seperti apa yang kakak dapat di band ini. Tapi ada banyak hal berharga lain yang bisa diperoleh di klub. Pelajaran hidup, pengalaman, arti sebuah perjuangan, persaudaraan, kerjasama, kekalahan, kemenangan, dan kebersamaan. Itu semua sangat jauh lebih mahal harganya dibandingkan uang berapapun.”

“Kak Bima pernah cerita tentang awal perjuangannya di klub dua tahun lalu. Dia cerita bagaimana besarnya hambatan yang dia alami bersama teman-temannya di tahun pertama mereka berseragam tim. Kak Bima juga bilang kalau saat ini dia dan teman-teman seangkatannya sedang berjuang semaksimal mungkin untuk mempersembahkan kenangan terakhir yang indah bagi klub. Menutup buku cerita mereka selama tiga tahun dengan sebuah tinta emas. Tapi sepertinya kak Maksi lupa dengan semua itu, atau mungkin kak Maksi bukan salah satu dari ‘teman-teman’ yang dimaksud kak Bima?”

Rema segera beranjak meninggalkan tempat usai menceramahi Maksi panjang lebar. Baru maju beberapa langkah, gadis itu tiba-tiba memutar kembali tubuhnya, bergerak mendekati Benjo kemudian menatap tajam cowok itu. “Heh, lo jangan pernah sekali-kali bilang kami sekumpulan orang iseng! Orang macam lo itu terlalu dungu untuk tahu atau mengerti arti sebuah perjuangan dan persaudaraan. Gue kasih saran nih ya, daripada lo sibuk rendahin orang mending lo urusin tuh suara yang lebih cocok masuk dapur pemakaman ketimbang dapur rekaman. Ough!” Rema mengangkat jotosnya tepat di muka Benjo. Keterkejutan bercampur takut tergambar jelas di wajah tolol vokalis itu.

Setelah puas mengeluarkan segala kekesalan di hatinya, Rema pun pergi keluar dari backstage. Orang-orang yang menyaksikan dari

Page 81: winning fano feeling

81

awal drama percekcokan Rema dan band Maksi, tidak melepaskan pandangan sedikitpun dari Rema hingga cewek itu menghilang dari balik pintu.

“Sudah puas, señora8

“Eh, Fanooo!”, pekik Rema begitu senang. Melihat wajah Fano setelah bertemu orang-orang yang menyebalkan tadi terasa sangat menenangkan. Rema menghela napas sejenak. “Ya sedikitlah, lumayan. Walaupun sebenarnya masih belum begitu puas kalau nggak sampai nonjok orangnya langsung. Hehe..”

Rema?”, tanya seseorang langsung menyambut Rema saat ia keluar dari backstage.

Fano membelai kepala Rema lembut. “Kita pergi yuk!”, ajaknya sambil melingkarkan tangan di bahu gadis itu. Rupanya Fano juga sudah sangat tidak betah berlama-lama di sana. Apalagi kalau bukan Amelia si pelayan seksi nan genit itu yang jadi penyebabnya. Saat sedang menunggu Rema, Amelia terus-menerus mengganggu Fano dengan segala flirting-annya.

8 nona

Page 82: winning fano feeling

82

BABAK 5

Esok pagi di sekolah Rema harus menderita rasa kantuk yang sangat akut sebagai bayaran untuk kejadian semalam yang berakhir hingga jam sebelas. Rema merasakan sekujur tubuhnya lemas kecapean, kepalanya berdenyut kencang, dan matanya begitu berat diangkat. Berkali-kali ia meminta Razy yang duduk di depan, untuk mencubiti punggung tangannya agar membuat ia sedikit bangun. Tapi cara tersebut ternyata tidak selalu manjur. Beberapa menit kemudian, Rema akhirnya roboh di atas meja. Baru sesaat merasakan enaknya tidur, pak Robi, guru biologi yang tengah mengajar di kelas saat itu, memergokinya dan langsung mempersilahkan Rema keluar dari kelas.

Setelah diusir, Rema memutuskan pergi ke kantin dan membeli makanan. Tadi pagi di rumah Indah, ia tidak sempat sarapan. Jadi kejadian dikeluarkan dari kelas yang bukan untuk pertama kalinya ini bisa ada hikmahnya, yakni untuk menyelamatkan perutnya yang tengah dilanda kelaparan.

Sesampainya di kantin, Rema langsung memesan sepiring nasi goreng dan segelas es teh manis. Ibu kantin sempat bertanya kenapa Rema berkeliaran di luar kelas saat jam-jam belajar seperti ini. Dengan nada becanda Rema beralasan, ”Gurunya tahu mak Rema udah menguasai materi pelajaran. Jadi dia nyuruh Rema gak usah ikut belajar. Hehehe...” Ibu kantin yang biasa dipanggil ’emak’ oleh anak-anak sekolah tersebut ikut tertawa mendengar celotehan Rema. Si emak sendiri sebenarnya sudah bisa menebak jawaban sebenarnya itu apa. Kalau bukan karena telat masuk, pasti Rema diusir guru akibat tidur di kelas. Ya, si emak memang tahu betul kebiasaan buruk Rema yang satu itu.

Saat tengah nikmat menyantap nasi goreng, muncul seorang murid ke dalam kantin. Murid yang mungkin senasib dengan Rema itu langsung memesan sebotol soft drink. Rema melirik ke arahnya dan tertawa tak percaya begitu mengenali murid tersebut.

”Woi, Fano! Fano!”, panggil Rema sekencang mungkin. ”Sini!”, ajaknya sambil melambaikan tangan. Fano menengok ke sumber suara yang baru saja meneriakkan namanya. Keterkejutan juga tampak di

Page 83: winning fano feeling

83

wajahnya. Selesai meneguk botol minuman hingga habis, Fano kemudian menghampiri Rema.

”Gue dikeluarin gara-gara tidur di kelas.”, cerita Rema tentang latar belakang keberadaannya di kantin. Fano kini duduk semeja dengannya dengan posisi saling berhadapan. ”Duh, akhir-akhir ini gue sial mulu deh Fan. Udah kemarin capek-capek nyari kak Maksi hasilnya nihil, pulangnya ke rumah Indah gue ketahuan nyokap pergi keluar malam-malam sendirian, dan sekarang gue dikeluarin dari kelas sama guru. Komplit sudah penderitaan gue.”

”Hooaam!” Fano menguap entah untuk ke berapa kalinya. Dari tadi Fano memang terus-terusan membuka mulut. Rema pun tidak tahan menanyakan perihal keberadaan Fano di sini dan keadaannya tersebut. ”Gue telat masuk kelas tadi. Jadinya begini, senasib sama lo.”, tuturnya masih tetap menguap.

”Kenapa lo bisa telat?”, tanya Rema polos. ”Ya karena gue telat bangun. Kenapa gue telat bangun? Itu

karena semalam gue habis nganterin cewek yang sok-sokan nyari orang buat nyelesain masalah tapi ujungnya malah kesasar.”, sindir Fano dengan nada becanda.

”Iya-iya, sori, gara-gara gue lo jadi telat masuk kelas.” Fano tertawa puas sudah sukses membuat wajah Rema cemberut. Semalam Fano memang tidur sangat larut. Jam tiga pagi bayangkan! Setelah mengantar Rema terlebih dulu ke rumah Indah, Fano harus kembali ke tempat kerjanya menyelesaikan sisa pekerjaan yang ada, barulah kemudian dia bisa pulang ke kosannya yang terletak tidak jauh dari Latino Cafe.

”Hmm makasih banyak yah Fan lo udah mau anterin gue semalam. Kalau nggak ketemu lo, gue nggak tahu deh nasib gue semalam bakal gimana.”, ucap Rema tulus dihiasi senyuman. Fano mendadak salah tingkah dan gugup menerima pernyataan terima kasih tulus Rema. Untuk menyembunyikan keanehannya itu, Fano buru-buru mengalihkan pembicaraan. ”Eh Re, jadinya si Maksi gimana, dia mau balik lagi ke klub gak setelah lo bujuk?”

Rema mengernyitkan dahi. ”loh, bukannya semalam gue udah cerita ke lo Fan kalau kak Maksi lebih milih bandnya ketimbang tim.”

”Uhuk,,uhuk!”, batuk Fano tersedak. Dia lupa kalau semalam Rema sudah bercerita banyak tentang kejadian di backstage. Fano sendiri sebenarnya menyaksikan langsung apa yang terjadi semalam. Namun melihat keantusiasan Rema bercerita, ia pun berpura-pura tidak tahu. ”Oh iya semalam lo udah cerita. Kenapa gue bisa lupa yah.”, bisik Fano sambil tertawa garing, ”Mmm, maksud gue langkah lo

Page 84: winning fano feeling

84

selanjutnya apa? Setelah posisi Maksi kosong, lo ada ide apa buat tim? Apa lo mau rombak formasi atau cari pemain lain buat mengisi posisi Maksi?”

Rema berpikir sejenak. ”Tau juga nih. Gue belum mikirin langkah selanjutnya gimana. Gue bakal diskusi dulu sama kak Bima dan pemain yang lain.” Fiuh. Fano menghela napas lega. Rencananya untuk mengalihkan perhatian Rema berhasil. Padahal sebelumnya ia sempat khawatir Rema akan curiga, karena sepanjang pengamatannya, Rema itu adalah tipe orang yang sangat jeli, cerdik, dan susah buat diakali.

”Waa, udah jam setengah sembilan!”, teriak Rema panik kalang kabut. Cepat-cepat ia menghabiskan nasi goreng dan teh manis yang masih tersisa sedikit. Selesai itu Rema pun pamit duluan pada Fano berhubung jam pelajaran biologi di kelasnya akan segera berakhir. ”Sampai ketemu ntar sore di lapangan yah Fan!”, pamitnya langsung berlari secepat kilat meninggalkan kantin dan Fano yang kini duduk sendiri. Tak lama berselang Fano ikut menyusul Rema balik ke kelas, tapi di tempat yang berbeda.

Senyum tipis selalu tersungging di wajah Fano sepanjang perjalanan menuju kelas. Saking terlalu sibuk tersenyum, Fano sampai tidak memerhatikan jalan hingga bertabrakan dengan seorang cewek.

Bruuk!! Keduanya bertabrakan cukup keras hingga nyaris membuat cewek itu jatuh terjerembab ke lantai. Untunglah dengan cepat tangan Fano refleks menangkap pinggang cewek tersebut. ”Maaf-maaf, ini salah gue. Tadi gue nggak lihat-lihat jalan. Maaf banget.”, ucap Fano penuh sesal. Dilepaskannya pinggang si cewek yang sudah bisa kembali berdiri tegak. Setelah itu Fano membereskan buku-buku milik si cewek yang jatuh berserakan di lantai. ”Maaf yah! Kamu nggak apa-apa kan?”, tanya Fano khawatir. Memastikan semua baik-baik saja. Anehnya cewek tersebut hanya diam saja. Tidak menggubris sama sekali ucapannya. Apa karena saking marahnya dia jadi nggak bisa ngomong apa-apa? Waduh, bentar lagi udah mau masuk jam kedua. Kalau telat lagi bisa berabe. ”Sori banget, gue harus masuk kelas sekarang juga. Gue pergi duluan, nggak apa-apa kan. Sekali lagi, maaf yah.”, kata Fano selesai ia membantu cewek korban tabraknya tersebut.

Tak lama senyum yang sempat terputus itu kembali menghiasi wajah Fano sampai ia memasuki ruang kelas dan duduk di bangkunya. Teman-teman sekelas Fano dibuat keheranan oleh kejadian yang sedikit langka itu, terutama anak-anak cewek yang langsung kegeeran

Page 85: winning fano feeling

85

menganggap Fano tengah tersenyum pada mereka, termasuk diantaranya ialah Prita.

”Eh becca, lo lihat nggak tadi, Fano balas senyum gue! Wah gila, ini suatu kemajuan yang bagus. Pokoknya lihat aja ntar, walaupun lamban perkembangannya tapi gue yakin bisa naklukin tuh cowok.”, sesumbar Prita.

”Terus rencana lo selanjutnya apa Pri? Gue dengar-dengar obrolannya 4U Cupid, katanya si manajer gadungan teman mereka itu sudah semakin akrab dengan Fano.”

”Aah itu sih karangan mereka aja. Gak usah lo dengerin. Gue masih cari cara buat dekati Fano. Lo tahu kan kalau kakak gue keluar dari klub? Jadinya yah rencana awal kita mesti dirubah. Tapi tenang aja, kita pasti bisa menangin taruhan ini. Dibanding teman mereka si rema-rema itu, jelas kita jauh lebih segalanya dari dia.”, ucap Prita dengan keyakinan super tinggi.

”Oke, gue percaya sama lo Pri.”, tutur Becca, ”eh ngomong-ngomong si Jeni kemana yah?”, lanjutnya dengan kepala melengak-lengok bak ular yang sedang menari.

”Itu anaknya! Eh Jen, sini ada kabar bagus. Loh-loh, Jen lo mau kemana?” Jeni yang dipanggil Prita tak menyahut sama sekali. Sahabatnya itu malah berjalan melewati Prita dan Rebecca begitu saja. Bergerak lurus menuju meja yang didiami dua orang cowok yang tengah asyik mengobrol.

”Kenapa lo Fan? Girang amat kelihatannya.”, tanya Luki, teman sebangku Fano yang juga salah seorang pemain di klub bola. Luki ikut heran melihat perubahan raut wajah temannya yang tidak seperti biasa, cerah.

”Ah, masa? Padahal gue lagi biasa-biasa aja kok.”, bohong Fano, segera memasang kembali tampang cool dan pendiamnya untuk menghentikan kecurigaan Luki. Meski Fano berhasil mengelabui Luki atau bahkan seluruh teman sekelasnya, tetap saja ia tidak mampu membohongi dirinya sendiri akan perasaan nyaman dan menyenangkan yang mendadak muncul membaluti hatinya.

”Permisi.”, sapa seseorang pada Fano dan Luki. Fano langsung mengenali wajah orang yang kini berada di

depannya. ”Eh elo! Lo yang tadi tabrakan sama gue itu yah?”, tanyanya memastikan.

”Jeni!”, sahut Luki tiba-tiba. ”loh, lo kenal dia Ki?”, heran Fano. ”Ya iyalah, dia itu Jeni teman sekelas kita, anak cheers. Ampuun

deh Fan, masa lo gak tahu!”, jelas Luki membuka identitas si cewek.

Page 86: winning fano feeling

86

”Oh kita teman satu kelas. Sori gue nggak langsung ngenalin lo.”, ucap Fano merasa tak enak.

Jeni terlihat tak tersinggung sama sekali. Gadis itu masih tersenyum hangat pada Fano. ”Nggak apa-apa kok Fan. Lo kan masih baru di sini.”, ujarnya memaklumi. ”Oh yah, ini gue mau ngasih barang lo yang terjatuh tadi. Takutnya ini barang yang penting buat lo”. Jeni mengeluarkan selembar foto wanita cantik yang sudah cukup usang dari saku seragamnya, lalu memindahtangankan pada Fano. Raut Fano terlihat penuh keterkejutan sekaligus kelegaan, buru-buru dia mengambil foto tersebut untuk kemudian disimpan kembali dalam dompetnya. Satu pertanyaan segera muncul di benak Jeni dan Luki, siapa cewek yang ada di foto itu sampai-sampai membuat Fano begitu panik karena sempat menghilangkannya?

”Makasih banget, Jen. Foto ini benar-benar berharga banget buat gue. Gue hutang budi sama lo. Kalau ada perlu apa-apa, lo jangan sungkan minta bantuan gue.”, tawar Fano dengan tulus. Fano memang tipe orang yang sangat menghargai setiap kebaikan orang sekecil apapun.

”Jangan berlebihan gitu Fan, kayak gue udah ngapain aja. Lagian gue juga senang bisa bantuin lo. Oh yah, tawaran lo tadi serius kan?”, tanya Jeni dengan wajah tersipu.

”Tentu saja. Kalau gue bisa, gue pasti bantu lo.” Wajah Jeni semakin tersipu. Di kepalanya segera muncul 1001

ide untuk memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang ada agar dapat semakin dekat dengan Fano. Entahlah, saat tidak sengaja bertabrakan tadi, Jeni merasa hatinya juga secara tidak sengaja ikut tersentuh. Ia seperti merasakan love at first sight pada cowok yang jadi incaran sahabatnya sendiri.

”Eh Jen, lo tadi ngapain di depan bangku Fano? Lo ngobrol apaan sama dia?”, tanya Prita langsung menginterogasi Jeni begitu sahabatnya itu telah kembali ke bangkunya. Yang ditanya hanya senyam-senyum tanpa memberi komentar. Dan itu semakin membuat Prita juga Rebecca tidak sabar dan penasaran. ”Jenii! Lo kok jadi budek gini sih. Eh, jawab dong!”, paksa Becca sambil menggoyang-goyangkan tubuh Jeni. Mencoba untuk membuat sahabatnya itu bereaksi.

”Pri, gue boleh minta sesuatu gak sama lo?” Jeni akhirnya bereaksi. Prita, orang yang ditanya malah berbalik terdiam, bingung. ”Itu tugas deketin Fano dalam taruhan, kalau gue yang ambil alih tugas itu gimana?”, pinta Jeni di luar dugaan kedua sahabatnya. Prita dan Rebecca pun saling bertatapan tak percaya.

Page 87: winning fano feeling

87

”Kenapa lo mendadak jadi pengen ikut andil gini Jen? Biasanya juga lo nggak pernah mau ikut campur dalam setiap urusan geng kita?”, heran Prita disertai anggukan setuju Becca. Jeni memang bagian dari PrincesShine. Meski begitu dia jarang bahkan nyaris tidak pernah melibatkan diri dalam setiap sepak terjang geng mereka kecuali dalam urusan dance. Di taruhan Marlon kemarin pun Jeni hanya bertindak sebagai penasihat, atau mungkin bisa dikatakan penonton. Prita dan Rebecca sudah terbiasa menghadapi kecuekan sahabatnya itu yang sudah berlangsung lama. Jadi jika sekarang Jeni tiba-tiba ingin ikut andil, wajar mereka merasa sangsi.

”Yah justru karena itu Pri, Be. Gue tuh merasa gak pernah kasih sesuatu buat geng kita. Makanya untuk urusan taruhan memenangkan Fano ini, biar gue aja yang handle.” Prita dan Rebecca kembali saling bertatapan. Di satu sisi mereka senang karena Jeni akhirnya mau berbuat sesuatu bagi PrincesShine, tapi disisi lain mereka masih terlalu kaget dengan perubahan drastis Jeni ini.

”Ehem, lo seriusan sama ucapan lo itu?” Jeni buru-buru mengiyakan. ”Oke, gak masalah. Awalnya sih gue udah nyiapin rencana sendiri tapi kalau lo pengen maju, gue pasti dukung lo.”

”Thanks Pri! Lo juga Be.” Jeni tersenyum bahagia. Kartu ijin dari Prita dan Rebecca telah dikantonginya. Tinggal sekarang bagaimana ia membuat rencana sebaik mungkin untuk mendapatkan hati Fano. Ini adalah pengalaman jatuh cintanya yang pertama. Jeni tahu hatinya tidak mungkin bergetar begitu saja kalau bukan pada seseorang yang spesial.

Fano is different. He’s the one. She believes that.

Anak-anak klub bola tengah berkumpul di teras luar markas tim. Waktu latihan rutin telah usai beberapa saat yang lalu. Tidak seperti biasanya Rema meminta kepada para pemain untuk berkumpul sejenak sebelum bubar pulang. Manajer tim itu ingin menyampaikan suatu kabar penting pada rekan-rekannya.

”Ehem, sebelumnya gue mau minta maaf dulu karena udah menunda waktu pulang kalian, nggak apa-apa kan? Tenang aja. Gue cuma mau umumin dua hal aja di sini. Gak akan makan waktu lama.” Semua pemain diam mendengarkan. Rema pun lanjut berbicara, ”Jadi gini teman-teman, ada dua kabar yang mesti gue sampaikan. Satunya kabar baik dan satunya lagi kabar buruk. Kalian mau dengerin yang mana dulu, kabar baik atau kabar buruk?” Rema memberikan pilihan, berusaha bersikap demokratis.

Page 88: winning fano feeling

88

”kabar baik dulu lah Re. Gue nggak suka sama kabar buruk. Kalau bisa sih kabar buruknya gak usah diumumin. Hehe!”, sahut Juki memberi usul.

”Sepakat kak! Tapi sayang kabar buruknya tetap harus disampaikan.”, sesal Rema. Oh yah, hubungan Rema dengan para pemain sekarang sudah jauh lebih baik. Buktinya tadi Rema dan Juki dapat berkomunikasi secara akrab dan tak jarang diselingi canda. Sikap pemain-pemain lain pun sudah mulai ikut berubah terhadap Rema, jauh lebih welcome. Bahkan Fedi yang sebelumnya menaruh kepesimisan terhadap kapabilitas manajerial Rema, kini tidak lagi menganggap Rema sebagai manajer gadungan. Adapun hubungan Rema dengan Bima pastinya semakin bertambah dekat bahkan maju pesat. Tadi aja Bima menyatakan kesalutannya pada Rema karena sudah bisa akrab dan berbaur dengan seluruh pemain. Pujian tersebut tentu membuat perasaan Rema melayang tinggi, apalagi ditambah status Bima sekarang yang bukan lagi milik siapa-siapa. Kian melambungkan khayalan Rema tentang Bima.

Mengenai hubungan Rema yang makin membaik dengan para pemain itu sebenarnya ada rahasianya. Jadi, segala perubahan positif yang ada bisa terjadi berkat saran yang diberikan Fano tentang bagaimana Rema seharusnya memposisikan diri sebagai manajer tim. Pada malam saat Fano mengantar Rema pulang ke rumah Indah nasihat itu diberikan: ”Memang benar seorang manajer harus menjaga wibawa untuk mempertahankan pengaruhnya di tim. Tapi, akan jauh lebih baik kalau kewibawaan itu diganti dengan keakraban dan kepercayaan sehingga keterikatanlah yang muncul dan tertanam kuat, bukan rasa takut atau segan apalagi benci.” Pertama kali mendengar rangkaian kata-kata bijak Fano tersebut Rema tidak begitu mengerti dan kurang menangkap maksudnya. Namun setelah semalaman mencerna akhirnya ia paham bahkan langsung mengaplikasikan keesokan harinya. Cara yang Rema lakukan untuk menanam kepercayaan dan keterikatan dengan para pemain yakni dimulai dari sering datang membawa kue atau cemilan, selalu tersenyum ceria setiap saat, serta coba mengakrabkan diri dengan mengajak ngobrol setiap pemain personally. Awalnya para pemain sempat heran dan kaget melihat perubahan sikap Rema yang jauh berbeda 180 derajat itu, tapi setelah menyaksikan sendiri keantusiasan dan ketulusan yang Rema perlihatkan, mereka pun mulai berbalik ramah pada manajer barunya.

”Oke, semua pay attention yah sama kabar baik yang mau gue sampaikan ini. Ehem, tadi siang gue dipanggil sama pak Wahyu ke

Page 89: winning fano feeling

89

kantornya, dan ternyata dia ingin kasih kabar kalau kita semua minggu depan... mmm... minggu depan kita semua..” Rema terus membolak-balikan kata untuk membuat penasaran orang-orang. Tentunya semua pemain ikut terpancing oleh tindakan usil Rema tersebut.

”Aduuh, ada apaan sih Re minggu depan? Bikin penasaran aja lo!”, gerutu Juki.

Rema makin puas melihat kebingungan dan ketidaksabaran yang ditunjukkan teman-temannya, berarti rencananya untuk bikin kejutan hampir berhasil. ”Hehehe... begini yah teman-teman, minggu depan itu kita semua bakal ikut camp latihan di luar sekolah selama empat hari. Gimana kalian senang kan?” Senyum lebar di wajah Rema mengendor melihat reaksi anak-anak yang datar biasa saja. Kini gantian Rema yang kebingungan. ”Kok kalian gak surprise dan senang sih dengar berita ini?”, tanyanya kecewa.

”Eeh, gini Re, sebenarnya ngadain camp latihan di luar sekolah sudah jadi program rutin kita setiap pra-kompetisi. Tempatnya selalu berbeda tiap tahun. Kalau tahun kemarin kita ngadainnya di anyer.”, jelas Bima dengan hati-hati, takut membuat Rema makin kecewa karena gadis itu sudah terlihat begitu antusias. Anehnya, setelah mendengar penjelasan Bima, semangat Rema bukannya berkurang justru kembali membara.

Aha, kesempatan gue buat bikin kejutan rupanya belum gagal. Mereka pasti tidak akan menyangka kalau tempat tujuan camp latihan kali ini akan sangat jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau mereka tahu pasti semua bakal terkejut dan senang. ”Tunggu dulu! Berita pertamanya belum beres. Masih ada lanjutannya.”, ucap Rema tetap semangat. Yang lain pun kembali memberikan perhatiannya kepada Rema. ”Tahun ini bakalan beda dan lebih spesial karena tahun ini guys camp latihan kita bakal diadain di.......... BALI!!” Rema berteriak histeris sambil loncat dan berputar-putar kegirangan, terlalu terbawa oleh suasana hatinya sendiri yang begitu meluap bahagia karena akhirnya bisa juga pergi ke Bali. Reaksi Rema tersebut sangat jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh anak-anak cowok. ”Loh kok masih pada biasa juga sih ekspresinya? Bukannya pak Wahyu bilang kalau camp latihan ke Bali ini baru pertama kali diadain.”, heran Rema merasa sedih. Wajahnya kini berubah lesu.

”Eh apa Re? ke Bali? Lo nggak salah ngomong tadi, kita bakal pergi ke Bali buat camp kali ini?”, tanya Fedi tiba-tiba berubah senang.

”Iya kak, ke Bali.”, jawab Rema masih lesu. Fedi kemudian tertawa lebar sembari diam-diam menepuk bahu

Juki, Bima, dan Fano yang berada di dekatnya. ”Hahaha! Kita kurang

Page 90: winning fano feeling

90

jelas tadi dengarnya Re. Ke Bali yah! Wah pasti bakal asyik tuh. Sebelumnya camp belum pernah diadakan di luar pulau Jawa.” Kata-kata Fedi tersebut perlahan membangkitkan kembali semangat Rema. Apalagi selanjutnya pemain lain ikut memberikan respon sama seperti yang sebelumnya Rema bayangkan.

”Aduh Re, kirain gue lo itu bilang ’Kediri’ bukan ’Bali’. Kalau ke Bali sih kita semua pasti excited banget.”, tambah Juki. Rema semakin senang. Itu berarti rencananya berhasil.

”Makanya kalau ngomong itu yang jelas sampai selesai. Jangan disambung teriakan!”, tegur Fano ke Rema.

”Ah biarin, yang penting semua senang. Lo juga senang kan Fan kita akan pergi ke Bali.”, goda Rema. Yang digoda nampak datar-datar saja.

”Nggak juga. Lagian belum tentu gue akan ikut. Kerjaan gue di resto banyak, dan gak mungkin gue tinggal gitu aja selama empat hari.”

”Yah Fan, masa lo nggak ikut sih?” Hati Rema kembali kecewa, tapi untuk alasan lain yang ia sendiri tidak tahu dengan jelas. ”Lo nggak bisa apa minta izin dulu sama bos lo?”

”Nggak bisa. Minta waktu jam kerja buat latihan aja gaji gue mesti kena potongan beberapa persen, apalagi kalau ditambah ijin empat hari. Bisa-bisa gaji gue bulan ini dipotong setengahnya.”

Rema tidak melanjutkan lagi aksi bujuknya. Ia dapat menerima penjelasan Fano dan mengerti posisinya yang tak sebebas pemain lain. Meski begitu, kekecewaan itu masih saja tetap ada. Mungkin karena sebagai manajer Rema tahu posisi Fano di tim sangat vital makanya ia bereaksi seperti ini. Yah, tidak mungkin karena alasan lain.

Melihat perubahan wajah Rema yang mendadak muram membuat hati Fano jadi tidak tega. Fano pun ikut terdiam dan perlahan mulai bergerak mundur menjauhi Rema.

”Eh Re, lalu kabar buruknya apa nih?”, sahut Ilham angkat bicara, menyadarkan yang lain akan satu berita penting yang belum Rema sampaikan.

”Oh iya. Hmm, kabar buruknya itu adalah...” Rema mengambil jeda sejenak. Bukan sengaja ingin membuat penasaran seperti sebelumnya, tapi ia sedang mengumpulkan keberanian agar mampu mengucapkan kabar buruk ini. ”begini, ada salah seorang teman kita yang memutuskan keluar dari klub. Setelah gue tanya alasannya adalah karena dia ingin fokus ke impiannya yang lain di luar sepak bola. Tapi gue yakin kecintaan dia dengan sepakbola dan klub ini tidak berkurang sedikit pun. Jadi dia tetap saudara kita dan akan selalu menjadi bagian dari kita meski sudah tidak bersama-sama.” Rema menunggu sejenak

Page 91: winning fano feeling

91

respon para pemain. Mereka pasti akan merasakan kesedihan yang sama dengan yang ia rasakan saat ini. Namun, hingga beberapa saat, reaksi yang diprediksi itu tidak juga tampak di raut wajah para pemain. Tanda tanya pun kembali menari-nari di kepala Rema. Apa kali ini mereka salah dengar lagi?

”Re, maksud lo siapa teman kita yang mau hengkang itu?”, tanya Hendra kebingungan.

Ih, kok pada lemot semua sih! Pastinya pemain yang nggak ada di sinilah yang gue maksud mau hengkang itu. Siapa lagi coba kalau bukan...

”Hey, Maksi! Darimana aja lo, kok baru dateng?” teriak Juki, memanggil sebuah nama yang baru saja hendak keluar dari mulut Rema. Keterkejutan tak dapat Rema sembunyikan manakala menoleh ke belakang dan benar-benar melihat Maksi muncul di sana.

”Sori, gue baru datang. Ada urusan dulu tadi. Lagi ngumpul apaan nih!”, dengan santainya Maksi berbicara.

”Ini Rema bilang ada anggota klub yang mau keluar. Trus sebelumnya dia ngumumin kalau camp pelatihan bakal diadain di Bali.”, terang Juki memberi penjelasan.

”Oh, baguslah. Terus siapa yang mau hengkang itu Re?”, tanya Maksi berlagak sok polos. Rema yang tadinya terkejut berubah kesal melihat akting amnesia yang dilakoni Maksi. ”Loh, bukannya kak Maksi malam itu bilang...”

”Oh iya Re, ada yang lupa belum gue sampain sama lo. Soal cuti gue dari klub itu nggak jadi gue perpanjang. Mulai sekarang gue udah bisa ikut latihan lagi bareng kalian.”, potong Maksi, mengedipkan sebelah matanya pada Rema memberi isyarat tertentu.

Hah cuti? apa-apaan ini? Rema pusing sendiri melihat ulah ajaib Maksi.

”Jadi siapa nih Re yang mau hengkang?”, desak Hendra. ”Ee..ee itu, yang mau hengkang itu.. kak Gina yah kak Gina,

manajer klub sebelumnya. Tadi pak Wahyu baru kasih pengumuman resminya. Beliau mengatakan kalau kak Gina ingin fokus pada impiannya meneruskan sekolah ke luar, dan karena itu dia memutuskan mundur dari klub. Hahaha. Iya begitu.” Fiuh, Rema menarik napas lega. Meski jawaban yang ia lontarkan tadi sangat-sangat tolol– plis deh semua juga udah pada tahu kali Gina keluar dari klub-, tapi setidaknya berkat jawaban spontannya itu Rema berhenti ditanyai para pemain.

”Thanks Re.”, bisik Maksi dari kejauhan.

Page 92: winning fano feeling

92

Selanjutnya semua pemain pun larut dalam euphoria kegembiraan merayakan acara camp latihan yang akan diadakan di Bali selama empat hari. Sayangnya Rema tidak bisa lagi menikmati rasa kegembiraan sepenuhnya seperti sedia kala. Berbagai pertanyaan terus berputar di pikirannya seputar keengganan Fano mengikuti camp.

Kenapa Fano harus bekerja keras mencari uang sendiri? Sekalipun dia hidup sebatangkara di Jakarta, tapi apa orang tuanya tidak pernah mengirimi dia uang? Terus ngapain dia balik ke Indonesia kalau cuma buat hidup susah seperti ini? Ngapain juga dia mesti sekolah di sekolah yang mahal sementara untuk cari uang makan saja harus kerja banting tulang? Dan terakhir, kenapa gue pake mikirin itu semua? Sejak kapan gue jadi sebegitu pedulinya sama kehidupan orang? Tapi, Fano memang benar-benar misterius.

Lelah. Kondisi itulah yang pasti dirasakan Fano saat ini. Rutinitas sekolah dan latihan sepak bola yang selalu dijalani jelas sangat menguras tenaga. Jika boleh memilih, tentu Fano ingin sekali berbaring sejenak di tempat tidur, melepas semua lelah yang telah menumpuk sejak pagi, kemudian bersantai-santai sejenak. Tapi apa mau dikata, waktu yang tersedia untuknya beristirahat hanya sekitar lima belas menit. Usai mandi, ganti pakaian, dan mengganjal perut dengan mie instant, Fano segera bergegas meninggalkan kosannya untuk meluncur ke Latino Resto yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya berada.

Hanya memakan waktu lima belas menit dengan berjalan kaki, Fano sudah dapat sampai di tempat kerjanya. Bagi Fano pekerjaan yang sedang dijalaninya sekarang merupakan sebuah berkah yang tak terduga. Apalagi mengingat awal kehidupannya di Jakarta yang sangat keras dan terluntang-lantung. Pertemuannya dengan Juan Ramos, sang bos pemilik Latino Resto, yang secara tidak sengaja dapat dikatakan sebagai suatu keajaiban. Dan hingga saat ini, Fano selalu mensyukuri segala hal yang ia dapatkan setelah pertemuannya dengan sénor Ramos di kantor polisi satu setengah tahun lalu.

Selain mendapatkan pekerjaan, usai bertemu dengan senor Ramos, Fano juga dapat kembali melanjutkan sekolahnya yang sempat tertunda hampir satu tahun dan juga kegemarannya dalam bermain sepak bola. Hal penting lain yang didapatkan Fano atas bantuan sang bos adalah ia tidak perlu lagi khawatir dengan masalah keimigrasian dan ancaman deportasi, karena kini Fano memiliki dua kewarganegaraan sekaligus, Argentina dan Indonesia, berhubung

Page 93: winning fano feeling

93

usianya yang belum mencapai 18 tahun. Mengingat semua itu, wajar jika Fano tidak berani mengeluhkan kelelahannya sedikitpun. Baginya apa yang ia kerjakan saat ini masih belum setara dengan segala kebaikan sénor Ramos terhadapnya. Lagipula, toh Fano bekerja untuk dirinya sendiri, membiayai setiap keperluan hidupnya. Sama sekali tidak perlu ada yang dikeluhkan.

Walau sudah banyak membantu, namun bos konglomerat pemilik belasan restoran itu tidak pernah memanjakan Fano sama sekali. Dan Fano mengerti akan poin penting itu. Kemandirian yang ditanamkan dan diajarkan sang bos adalah untuk bekalnya kelak agar siap dengan takdir dan pilihan hidupnya sendiri.

”Buenas tardes!9

Baru beberapa detik Fano mengistirahatkan kakinya yang terasa pegal di kursi kasir, tiba-tiba panggilan tugas terdengar. ”Camarero, sírvase traerme la carta!

”, sapa Fano kepada rekan-rekannya sesama pelayan begitu memasuki ruang dapur. Meski para pelayan yang hampir semua berdarah latin ini fasih berbahasa Indonesia, tapi sudah menjadi kebiasaan para penghuni Latino Resto untuk selalu menggunakan bahasa Spanyol yang terkadang diselingi Inggris dalam percakapan sehari-hari mereka.

10

Latino Resto paling sering dikunjungi oleh turis-turis berdarah latin yang tinggal atau sedang berkunjung ke Jakarta. Di tempat ini tersedia berbagai macam makanan khas negara latin seperti guacamole yang bercita rasa asam dan dimakan bersama dengan quesadillas, semacam roti tipis. Adapula arroz con pollo, nasi yang dimasak dengan suwiran ayam dan kacang polong, kalau di Indonesia bisa disamakan dengan nasi goreng. Dan untuk hidangan penutup tersedia arroz con leche dan teh mate. Meski tidak menyediakan makanan dalam negeri, bukan berarti tidak ada pengunjung orang Indonesia asli di restoran ini. Menu mereka juga banyak diminati oleh orang-orang berdarah non-latin. Selain itu beberapa pegawai resto juga ada yang berasal dari penduduk lokal, baik itu yang full time job atau part time seperti yang satu ini...

”, teriak tamu laki-laki yang baru saja mengisi salah satu meja pengunjung. Sang tamu adalah turis asal Brazil yang cukup sering mampir ke restoran. Fano segera mendatangi meja tempat tamu tersebut duduk untuk memberikan daftar menu yang diminta.

9 Selamat sore! 10 Pelayan, tolong berikan saya daftar menu!

Page 94: winning fano feeling

94

”Hah! Rema! Ngapain lo disini?”, kaget Fano melihat Rema telah berada di meja pengunjung yang hendak didatanginya dan melakukan hal yang sebelumnya ingin ia lakukan, memberikan daftar menu pada konsumen.

”Eh Fano, lo pasti baru datang. Gue nungguin lo dari tadi. Bete kelamaan nunggu, ya udah gue sekalian ikut bantu-bantu. Gue udah minta ijin kok sama bos lo.”, jawab Rema dengan santai. Fano yang masih belum dapat menerima keberadaan mendadak Rema di tempat kerjanya segera menarik tangan gadis itu memasuki ruang dapur lalu memintanya kembali memberikan penjelasan.

”Aduh-aduh!” Rema merintih kesakitan, sama sekali tidak digubris oleh Fano.

”Lo,, lo kenapa tiba-tiba ada di sini? Dan lo tadi ngapain pake ngasih daftar menu ke pengunjung?”, tanya Fano sekali lagi. Tatapan matanya menuntut penjelasan rinci.

”Oke-oke, gue kasih penjelasan. Tapi lo lepasin dulu dong tangan gue! Sakit tauk.”, pinta Rema, melirik ke arah lengan atasnya yang tergenggam kuat jemari Fano. Fano langsung merasa tidak enak, buru-buru dilepaskannya lengan Rema. ”Sori.”, bisiknya tak bermaksud menyakiti.

”It’s oke. Gue ke sini cuma pengen ketemu dan ngomong sama lo, Fan. Pas gue datang eh lo nya belum ada. Untung tadi ada bos lo, dia orangnya ramah banget yah. Kita ngobrol-ngobrol dulu tadi, ngobrolin bola, argentina, wah seru deh. Gak kebayang gimana betenya gue kalau sampai mesti nunggu lo sambil celingak-celinguk.....”

”Rema! Rema! Straight to the point, okay! Maksud lo nyari gue ke sini apa?”, tegur Fano makin tidak sabar setelah mendengar penuturan Rema yang malah keluar konteks.

”Oh itu,” Rema segera tersadar. “Gue mau bujuk lo supaya ikut camp pelatihan ke Bali nanti Fan.”, lanjutnya dengan mata memohon.

Fano memalingkan wajah, kecewa dengan jawaban Rema. Dihelanya nafas perlahan. ”Gue kan udah bilang tadi sore kalau gue benar-benar nggak bisa ikut, dan alasan gue sudah sangat jelas. Mending sekarang lo pulang. Gue mesti lanjut kerja.” Fano bersiap-siap menuju kembali ke ruang makan pengunjung.

”Eh-eh, bentar dulu Fan!”, tahan Rema. Gantian sekarang Rema yang menarik lengan Fano. ”Yah nggak bisa gitu juga lah Fan. Lo nggak bisa seenaknya bikin keputusan buat gak datang. Lo itu punya kewajiban dan tanggung jawab sebagai pemain untuk mengikuti camp.”

”Aduh Rema, gue benar-benar nggak bisa ikut. Kenapa sih lo maksa banget gue buat ikut? Lo nggak bisa apa kalau nggak ada gue?

Page 95: winning fano feeling

95

Jangan-jangan lo suka lagi sama gue.” Suasana hening seketika. Rema terhenyak mendengar dugaan Fano tentangnya barusan. Sementara itu, Fano hanya bisa menyesali kata-kata terakhirnya yang tak sengaja terucap. Dengan cemas Fano menunggu reaksi yang akan diberikan Rema seperti apa.

”Mmbb..wahahaha!” Rema tertawa membahana hingga tubuhnya bergoyang-goyang. ”Fano, lo lucu banget. Kok bisa sampai kepikiran kayak gitu. Gue suka sama lo? Hahaha.. lucu banget! Sekalipun emang ada cowok yang lagi gue suka, yang pasti itu bukan elo. Eh, eh, Fan tunggu dulu dong!”

Langkah Fano kembali terhenti karena lagi-lagi Rema berhasil menghadangnya. ”Apa lagi sih Re? Kenapa lo masih juga bujuk gue ikut padahal ’untung’nya bukan gue orang yang lo suka?”, sindir Fano yang entah kenapa begitu marah mendengar jawaban Rema tadi.

”Masalahnya Fan,” Rema berusaha mencari alasan dan kata-kata yang tepat. ”tim itu butuh lo. Sebagai manajer, gue melihat posisi lo di tim sangat sakral. Akan sayang kalau sampai lo nggak ikut. Dengan adanya camp ini Fan, kekompakan, koordinasi dan kerjasama tim akan semakin terjalin erat. Selain itu juga kualitas permainan skuad kita pasti akan ikut meningkat. Kejurnas tinggal beberapa minggu lagi. Dan lo bisa lihat sendiri kesiapan tim kita seperti apa, masih jauh dari kata sempurna. Komunikasi antar pemain masih buruk, koordinasinya juga masih kacau balau. Kalau lo nggak ikut serta Fan, masalah tadi nggak akan terselesaikan secara tuntas.” Rema memberi penjelasan panjang lebar dengan sangat meyakinkan. Hatinya berharap-harap cemas menanti cowok bermata cokelat itu menyerah dan berkata ’iya’. Ayo dong Fan! Lo tinggal nyerah dan nurutin permintaan gue. Gampang kan!

”Tetap nggak bisa Re.”, putus Fano tak goyah, membuat bahu Rema terkulai lemas. ”Kalau hanya masalah itu yang lo khawatirkan, tenang aja. Selama ini koordinasi dan komunikasi gue dengan pemain lain apalagi pemain tengah udah cukup baik. Latihan gue selama beberapa bulan bareng mereka nggak akan sia-sia hanya karena empat hari keabsenan gue.”

Sial. Kenapa lo jago beralasan banget sih Fan. Bikin gue terdesak untuk ungkapin alasan yang sebenarnya. ”Oke-oke, gue jujur sekarang.” Rema bergerak maju-mundur, gelisah. ”Alasan utama gue maksa lo ikut sebenarnya... sebenarnya karena gue masih merasa canggung dengan para pemain. Gue takut kejadian adu mulut gue dengan kak Maksi waktu itu akan terulang lagi.”

”Eh?” Fano kebingungan.

Page 96: winning fano feeling

96

”Iya Fan, gak tahu kenapa gue merasa anak-anak di klub masih belum dapat menerima gue sepenuhnya. Emang kejadian kemarin jauh berbeda dan lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya. Tapi, tetap saja gue kurang yakin mereka udah nganggap gue sebagai bagian dari mereka. Gue takut kalau nggak ada lo terus sesuatu yang buruk terjadi, gue mesti minta dukungan dan bantuan sama siapa selain lo. Cuma lo yang selalu pro ke gue.”, tutur Rema tulus, meski sebenarnya bukan itu juga alasan utama ia terus memaksa Fano ikut.

Jadi lo butuh gue, Re, batin Fano. Senyum tipis sempat tergores di bibir cowok ganteng itu. Cepat-cepat dihapusnya senyum tersebut sebelum tertangkap kamera mata Rema. Fano kemudian menepuk pelan bahu Rema. ”Tenang aja Re, anak-anak udah nerima lo sepenuhnya kok. Mereka juga udah anggap lo sebagai bagian dari tim. Buktinya kemarin mereka ikut senang sewaktu lo kasih tahu akan ada acara camp ke Bali.”

”Maksud lo?”, gantian Rema yang bingung, ”bukannya mereka emang pada senang kita pergi ke Bali?”

Fano terkekeh. ”Rema..Rema, lo itu polos apa bego sih! Emang camp baru pertama kali diadakan di Bali, tapi bukan berarti mereka baru pertama kali juga pergi ke Bali. Malah mungkin mereka sudah bosan saking terlalu seringnya berlibur ke Bali.”

”Apa?” Rema terpekik kaget. ”Jadi kemarin itu sikap antusias dan senang mereka cuma pura-pura?” Rema langsung tertunduk lesu. Perasaan malu dan kesal karena telah dipermainkan berkecamuk di dadanya. Fano buru-buru menenangkan Rema. ”Lo harusnya senang Re, bukan sedih. Lo tahu nggak kenapa mereka tetap excited dengan pengumuman lo kemarin?” Rema menggeleng lemah. ”Itu karena mereka ngehargain lo. Mereka nggak tega lihat lo kecewa hanya karena mereka nggak terkejut atau ikut senang, padahal lo nya sendiri udah begitu bersemangat. Betul nggak?!” Rema berpikir sesaat memutar ulang kejadian kemarin sore. Rupanya Fedi sengaja menepuk bahu Juki, Bima, dan Fano supaya ketiganya mau berpura-pura terkejut. Dan itu mereka lakukan untuk membuatnya senang. Rasa haru kini berganti menyelimuti hati Rema.

Melihat gadis dihadapannya sudah dapat kembali tersenyum, Fano pun segera menutup topik pembicaraan. ”Nah, udah nggak ada lagi yang perlu lo cemaskan. Kalau gitu sekarang lo pulang dan biarkan gue bekerja dengan tenang, oke!”, pintanya sembari mendorong Rema menuju pintu keluar.

”Eh Fan, tapi lo jadi ikut kan?”, rayu Rema pada detik-detik terakhir keberadaannya di restoran.

Page 97: winning fano feeling

97

”Jawaban tetap sama, nggak. Oke! Adíos. Hasta la vista!11

BRAAKK!!! Pintu masuk sekaligus keluar bergaya pintu bar koboi milik Latino Resto pun tertutup, dengan posisi Rema yang kini berdiri di luar restoran.

.”, usir Fano secara halus.

Aaarggh! Sial, gagal! Nanti gue mesti ngasih penjelasan apa sama 4U Cupid???

11 Selamat tinggal. Sampai bertemu lagi!

Page 98: winning fano feeling

98

BABAK 6

Hari Sabtu yang menjadi hari keberangkatan pelatihan sepakbola ke Bali tiba. Semua awak tim telah siap berkumpul di halaman sekolah sore harinya sebelum berangkat. Persiapan packing sibuk dilakukan, mulai dari berbenah bawaan barang pribadi hingga keperluan tim. Selain para pemain beserta sang manajer, hadir pula pihak luar yang ikut dalam perjalanan rutin klub bola ini. Mereka adalah 4U Cupid.

”Ayo dong kak, izinin kita ikut bareng kalian! Kita cuma dua hari kok di Bali. Kita janji nggak bakal ganggu apalagi merusak acara kalian.”, mohon Zeta pada Bima sehari sebelumnya di sekolah. Tentu saja Bima langsung menolak permintaan adik kelasnya tersebut. Tetapi karena pak Wahyu memberi instruksi untuk mengikutsertakan anak-anak cheers ini ke dalam rombongan mereka, mau tidak mau Bima pun harus setuju juga. Ia tidak mungkin membantah perintah sang guru.

4U Cupid pastinya sangat gembira bisa ikut gabung dengan rombongan tim bola ke Bali. Selain karena mereka memiliki teman seperjalanan selama mengikuti agenda di kota dewata tersebut, lebih dari itu ada misi besar yang tersimpan dalam keikutsertaan mereka yang singkat ini, yakni untuk semakin menempeli Fano. Berusaha mengenal lebih dekat sang target demi menyukseskan program taruhan yang diikuti. Sayangnya, meski sudah berhasil membujuk pak Wahyu untuk menyelundupkan mereka ke dalam rombongan tim bola, namun rencana tetap terancam gagal karena hingga menit-menit akhir keberangkatan sang target tak kunjung juga datang.

”Re, Fano mana? Kok nggak nongol-nongol juga sih? Waktu itu lo berhasil bujukin dia ikut kan?”, tanya Zeta setengah berbisik saat mereka tengah sibuk memasukkan barang ke dalam mobil. Rema kelabakan harus memberi jawaban apa. Ia belum sempat memberitahu 4U Cupid perihal kegagalannya merubah keputusan Fano beberapa hari lalu. Bukannya lupa, Rema justru khawatir kalau 4U Cupid akan semakin mendesaknya untuk terus membujuk Fano. Rema tahu betul alasan 4U Cupid ikut rombongan tim bola bukan semata karena akan menghadiri pagelaran dance internasional seperti yang diutarakan pada pak Wahyu, tapi lebih karena ada Fano dalam rombongan ini. Yah, begitulah setidaknya yang mereka kira, kalau Fano akan ikut camp ke

Page 99: winning fano feeling

99

Bali. Dan sebetulnya yang menjadi alasan kenapa Rema begitu gencar memaksa Fano ikut, tidak lain adalah karena desakan 4U Cupid.

”Re, lo kok diam aja?”, komplain Zeta, memandang Rema penuh tekanan.

Aduh mampus, gue mesti bilang apa coba, pusing Rema. Entah mengapa kali ini otaknya tidak mampu menyuplai ide karangan cemerlang seperti biasa, padahal mengarang cerita merupakan salah satu keahlian terbesar Rema. Setiap berada di situasi mendesak seperti sekarang, ide-ide segar selalu muncul memenuhi kepalanya.

”Semua! Tolong kumpul sebentar di depan mobil!”, teriak Bima membuat pengumuman. Menyelamatkan Rema dari interograsi menegangkan yang dihadapinya. Buru-buru Rema melangkah ke depan menyusul para pemain yang lain, meninggalkan 4U Cupid untuk sedikit bersabar menunggu penjelasan tentang Fano. Lumayan jadi ada waktu cari alasan.

Tidak kurang dari tiga menit semua anggota klub bola yang ikut serta dalam acara camp sudah siap berdiri di depan mobil sesuai intruksi Bima. Tanpa banyak mengulur waktu sang kapten tim segera menyampaikan maksudnya mengumpulkan orang-orang. ”Guys, waktu sekarang sudah menunjukkan pukul 16.50. Beberapa menit lagi kita akan berangkat. Sebelumnya gue pengen absen kalian dulu. Bagi yang namanya dipanggil, tolong angkat tangan atau menyahut, ok!” Semua mengangguk tanda mengerti. Bima pun kemudian mulai mengabsen setiap anggota klub. ”Gary! Hendra! Angga! Ilham! ....” Satu persatu pemain mengangkat tangan, memberi respon sewaktu namanya disebut oleh Bima. Pada saat giliran nama Fano muncul, suasana berubah sunyi, tak terdengar sahutan juga tak terlihat acungan tangan di antara kerumunan pemain. ”Fano!”, panggil Bima kembali. Hingga beberapa kali dipanggil tetap saja tak ada respon dari sang pemain. 4U Cupid langsung melayangkan pandangan penuh tanya pada Rema. Sedapat mungkin Rema menghindari tatapan maut tersebut, berpura-pura tak mengerti dan bersikap polos seolah tak tahu menahu.

”Re, Fano kemana? Kenapa dia tidak hadir?”, tanya Bima tegas menggagalkan sandiwara yang sedang Rema lakoni. Semua mata kini memandang ke arah Rema.

Sial, mau nggak mau gue harus ngomong juga. ”Mmm.. kemarin Fano bilang dia nggak bisa ikut kita ke Bali, kak.”, jawab Rema masih menghindari tatapan Zeta, Arnett, Elvi, dan Airin.

”Oh yah? Sayang sekali, padahal ini acara yang sangat penting buat tim. Lo tahu alasan dia apa sampai harus melewatkan kesempatan emas yang jarang ini?”, tanya Bima kembali. Nada tegas dan dingin

Page 100: winning fano feeling

100

yang ditekankan membuat Rema gelagapan. Tidak mungkin ia bilang kalau keadaan Fano yang harus bekerja yang menyebabkan cowok itu tidak bisa ikut. Rasanya tidak pantas mengumumkan kehidupan pribadi seseorang dihadapan publik seperti ini. Tak menemukan jawaban alternatif lain, ditambah otaknya yang kembali macet ide, Rema pun hanya bisa mengeluarkan kebohongan klasik ‘tidak tahu’. Ketidakpuasan tergurat jelas di wajah Bima mendengar jawaban Rema tersebut.

”Bagaimana bisa lo bilang nggak tahu Re? Lo itu manajer di sini. Sebagai manajer sudah kewajiban lo mencari tahu segala hal tentang pemain yang berkaitan dengan klub. Ketidakhadiran Fano ini masalah yang cukup besar. Lo nggak bisa hanya bilang nggak tahu.” Deg. Jantung Rema tersentak hebat mendengar komplain pedas Bima. Belum pernah Bima membentaknya seperti itu, dihadapan seluruh pemain pula. ”Lo nggak bisa kasih penjelasan lain, Re? Kenapa lo diam? Apa lo lupa tugas-tugas lo sebagai manajer itu apa saja? Inilah yang gue khawatirkan sejak awal kedatangan lo kesini, lo terlalu fokus sama misi lain lo sampai-sampai lupa dengan segala kewajiban lo.” Bima tak henti mengeluarkan komplain. Rema merasakan wajahnya berubah memanas mendengar sindiran terakhir Bima untuknya. Sekuat tenaga Rema menahan diri agar tidak sampai menitikkan air mata. Meski begitu, ia tetap tidak bisa membiarkan hatinya untuk tidak terluka menerima perlakuan buruk Bima.

Ternyata tidak hanya Rema yang terhenyak kaget dengan sikap dingin Bima yang tidak biasanya itu. Para pemain bahkan 4U Cupid juga dibuat tak berkutik menghadapi tingkah aneh Bima. Semua orang tahu kepribadian sang kapten seperti apa. Sabar, hangat, tegas, dan tak pernah sekalipun ia membentak atau marah besar. Baru kali ini Bima bersikap penuh emosi dan tak terkendali.

”Gue disini Bi!” Terdengar sahutan dari arah belakang kerumunan di saat suasana dalam keadaan menegangkan. Sahutan datang dari seseorang yang sedari tadi ditunggu-tunggu kehadirannya, yang menjadi pangkal dari munculnya suasana tak mengenakan ini. ”Udah, lo nggak usah buang-buang energi kasih penjelasan tugas manajer ke Rema. Mending kita langsung berangkat!”, usul Fano, dengan santainya melewati para pemain yang tengah berkumpul, menuju ke belakang mobil lalu kemudian memasukkan tas travel besar yang digendongnya ke dalam bagasi.

”Harusnya lo kasih dulu penjelasan kenapa lo datang telat? Lebih bagus lagi kalau lo minta maaf.”, tegur Bima tetap dengan nada dingin.

Page 101: winning fano feeling

101

Fano sudah selesai menyimpan barang bawaannya dan kini bersiap memasuki kursi depan mobil van yang menjadi kendaraan mereka hingga bandara. ”Kalau gue kasih penjelasan dulu waktu yang gue buang makin banyak. Udah telat masih ditambah penjelasan! Tapi lo benar, gue salah karena lupa meminta maaf sama lo semua. Maafin gue teman-teman! Gue salah karena udah bikin kalian menunggu lama.”, mohon Fano sembari membungkukan badannya beberapa derajat ke depan. 4U Cupid langsung bereaksi mengangguk-angguk dengan semangat sembari menatap Fano penuh pesona. Sementara para pemain, meski tak seheboh 4U Cupid, tapi tak nampak raut marah atau kesal di wajah mereka. Sebetulnya mereka tidak terlalu mempermasalahkan perihal keterlambatan Fano ini. Toh Fano hanya terlambat absen saja, dan bukannya terlambat waktu keberangkatan.

”Nah Bi, semuanya udah mau berbaik hati maafin gue, masa lo nggak? Ayo kita berangkat! Gue udah nggak sabar menghirup udara pantai.” Fano tersenyum lebar membayangkan suasana Bali yang akan segera ditemuinya beberapa jam lagi. Ekspresi Fano ini membuat yang lain jadi ikut tak sabar menginjakkan kaki di Bali.

”Baiklah. Semua, masuk ke mobil sekarang!” Bima memberi instruksi, membuat suasana kembali tenang seperti sediakala. Semua awak rombongan segera berbondong-bondong memasuki van sekolah yang berjumlah tiga itu. Satu mobil masing-masing diisi 6-7 orang. Rema sendiri berada di mobil tiga bersama dengan Airin, Elvi, Zeta, dan Arnett. Mobil pun berangkat. Selama berada dalam perjalanan menuju bandara, pikiran Rema tak lepasnya dari perubahan drastis sikap Bima tadi. Cara bicaranya, tatapannya, perlakuannya, semuanya begitu beda. Rema memang baru mengenal dekat Bima beberapa minggu. Tapi ia yakin seratus persen bahwa idolanya itu bukan orang yang bersifat pemarah apalagi kasar.

Apa yang terjadi dengan kak Bima? Kenapa hari ini dia begitu jauh berbeda? Seperti ada sosok lain yang sedang meminjam tubuhnya saat ini. Sewaktu latihan kak Bima tidak pernah marah sekalipun ada pemain yang telat satu jam. Dan setiap gue melakukan kesalahan pun belum pernah dia komplain segitu pedasnya, tapi tadi... Huuh, Fano juga sama anehnya. Kemarin-kemarin dia bersikeras negasin gak bisa ikut, tapi sekarang dia malah terlihat begitu semangat. Tahu dia jadi ikut kan gue gak perlu bohong segala, dan kejadian buruk tadi juga gak mungkin terjadi. Dasar cowok plin-plan!

Rema terus menggurutui Fano dalam hati. Tindakannya ini sangat jauh berbeda dengan teman-teman semobilnya yang justru tak henti memuji dan mengagung-agungkan Fano.

Page 102: winning fano feeling

102

”Wah, Fano keren banget yah tadi. Aduh, jangan sampai deh cecurut-cecurut itu yang menangin hati Fano. Kebagusan banget buat mereka. Pokoknya salah satu diantara kita harus ada yang bisa dapatkan Fano.”, kata Elvi dengan mata berkaca-kaca.

”Iya Vi, keren banget. Di sekolah aja yang cuma pake seragam Fano udah kelihatan ganteng banget. Apalagi tadi pas pake kaos putih ditumpuk jaket hijau, jeans, terus sunglasses. OMG, gue dibikin breathless, sumpah! Coba aja kita bisa semobil kan bisa lebih puas lagi lihat dia.” Zeta ikut berkoar. Tidak hanya Zeta, Arnett dan Airin pun kemudian ikut nimbrung menggosipkan Fano. Rema memandang lucu kehebohan geng cewek-cewek cantik itu. Ia jadi teringat sahabatnya Indah. Reaksi Indah setiap ketemu cowok cakep tidak jauh berbeda dengan reaksi 4U Cupid sekarang. Mendadak Rema merindukan sahabatnya tersebut.

Tiga jam waktu yang diperlukan rombongan klub sepakbola Pelita Unggulan untuk sampai mendarat di bandara Ngurah Rai, Bali. Lama penerbangan dari take off hingga pesawat landing sebetulnya hanya 1,5 jam, namun karena sempat terjebak macet di Jakarta jadwal pun sedikit molor. Setibanya di airport, seorang guide yang sebelumnya sudah dipesan datang menjemput dan mengantarkan mereka menuju hotel di daerah kuta.

Tak terbayangkan bagaimana perasaan Rema saat ini. Setelah sebelumnya hanya bisa mendengar cerita tentang Bali dari Indah dan melalui tv, sekarang akhirnya ia bisa juga melihat keindahan pulau dewata secara langsung. Wajar jika setiap saat setiap detik, kamera digital Rema tidak pernah berhenti mengambil gambar. Matanya pun tidak pernah ia relakan terpejam lama, karena tak ingin melewatkan momen-momen berharga ini. Sesampainya di kamar hotel, Rema langsung roboh di tempat tidur. Rasa lelah selama dalam perjalanan baru mulai ia rasakan malam harinya. Sewaktu Airin cs mengajaknya berkeliling melihat sekitar hotel pun Rema terpaksa menolak dan lebih memilih istirahat di dalam kamar. Matanya terasa begitu berat meski ia terbiasa tidur larut malam.

“Bener Re lo mau di kamar aja?”, tanya Airin memastikan. Ia bersama ketiga sahabatnya yang lain tengah berdiri di depan pintu kamar hotel Rema, berusaha membujuk.

“Iya Rin, gue ngantuk banget.”, jawab Rema ogah-ogahan dengan mata yang sudah setengah terpejam.

Page 103: winning fano feeling

103

“Yaah Re padahal tadinya kita pengen ajakin lo ketemu Fano. Kita mau mulai melakukan pendekatan ke dia nih. Kalau bareng lo kan jadi lebih gampang. Kalian kan udah cukup dekat sekarang.”, ucap Elvi bernada kecewa.

Whaatt? Gila nih cewek-cewek, nggak bisa apa nunggu besok! Udah malam juga, masih tetap pengen usaha. Gue nggak tahu mesti salut atau gimana, yang jelas kekuatan taruhan memang sangat luar biasa. “Duuh semuanya, maaf yah, tapi gue beneran capek banget. Kalau besok, gue pasti temenin kalian.”, sesal Rema penuh penghayatan lengkap dengan mimik memelas. Yes, aktingnya kali ini berhasil. 4U Cupid menyerah juga dan dapat menerima keputusan Rema yang tidak bisa ikut bergabung.

“Ya sudahlah, kita biarkan Rema istirahat. Lagipula sekarang saatnya kita yang beraksi girls! Kita manfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin.”, sahut Zeta tersenyum penuh arti. 4U Cupid pun kemudian pamit meninggalkan Rema yang sudah tidak sabar ingin pergi ke alam mimpi. Usai mandi, Rema pun segera menghempaskan tubuhnya ke atas kasur beranjak tidur.

Tok,,tok,,tok,, “Re, bangun Re!”, teriak seseorang di luar kamar Rema. Tok,,tok,,tok,, “Rema, bangun! Cepat bangun, Re!”, teriaknya

kembali lebih kencang hingga berhasil mengusik alam bawah sadar Rema.

Aduuh, siapa sih yang teriak-teriak? Orang masih ngantuk coba, gerutu Rema sembari berjalan terhuyung-huyung menuju pintu. “Hah? Kalian lagi!”, kaget Rema melihat wajah Zeta dan teman-teman segengnya muncul dari balik pintu. “Ada apa lagi sih kalian? Ganggu tidur gue mulu.” 4U Cupid yang ditanya malah berbalik bingung mendengar keluhan Rema. “Ya ampun Re, ini tuh udah pagi. Lo dari semaleman tidur belum puas juga apa?”, heran Airin geleng-geleng kepala.

“Udah pagi?” Rema melongo tak percaya, otaknya masih belum bekerja sepenuhnya. Rema melirik ke arah jam dan jendela kamar untuk mengecek, dan ternyata benar sekarang memang sudah pagi.

“Percaya sekarang udah pagi?” Rema cengengesan malu. “Kalau gitu sekarang buruan siap-siap. Lo udah ditunggu di bawah buat sarapan.”, lanjut Arnett memberitahu.

“Oh gitu, thanks yah! Kalau gitu gue mandi dulu, nanti baru turun ke bawah.”, kata Rema sembari menutup pintu kembali. Tapi sebelum

Page 104: winning fano feeling

104

pintu benar-benar tertutup, Airin dengan cepat menahan dengan tangannya. “Eh, eh, tunggu dulu!”, teriak 4U Cupid kompak.

“Ada apa lagi?”, tanya Rema, menunda sejenak rencana mandinya.

“Mm, gini Re. Semalam itu kita gagal buat pdkt ke Fano. Uuh boro-boro pdkt, ketemu aja enggak. Padahal yah Re yang lainnya ada semua di restoran hotel. Cuma lo sama Fano doang yang nggak ada.”, cerita Zeta tentang kejadian semalam.

“Jadi?”, potong Rema mempersingkat waktu. “Jadi, kita pengen minta tolong lo buat cari tahu kamar Fano

dimana? Soalnya di bawah tadi dia juga nggak ada. Takutnya dia gak nginep sehotel bareng kita. Ya kita sih pengen dengar kepastiannya aja.”, lanjut Zeta. Apa-apaan sih mereka? Makin lama permintaannya makin aneh aja. Gue mesti cari tahu kamar Fano dimana! Gak masuk akal banget.

Kebetulan Rema memang tidak mengurusi soal penginapan dan pembagian kamar para pemain. Berdasarkan kesepakatan bersama, urusan tersebut akan di-handle Bima, sementara Rema fokus pada round down acara para pemain selama berada di Bali. “Ayo dong Re! lo kan bisa nanya sama kak Bima, dan lo gak bakal dicurigai karena lo adalah manajer tim disini. Nah sedangkan kita, pasti bakal langsung dicurigai!”, desak Elvi dengan wajah memelas.

Salah. Kalau gue yang nanya kak Bima malah bakal makin curiga. Dia kan udah tahu gue ikut terlibat dalam taruhan. Tapi sepertinya Zeta, Arnett, dan Elvi belum tahu soal bocornya informasi ke telinga kak Bima. Airin pasti belum cerita. Rema memang langsung memberitahu Airin perihal terbongkarnya rahasia taruhan mereka oleh Bima. Awalnya ia marah besar pada Airin kenapa rahasia itu sampai bocor ke Bima. Kenapa 4U Cupid tidak menutup rapat agar tidak sampai diketahui pihak luar, apalagi ini Bima yang notabene orang berperanan penting di klub. Airin hanya bisa meminta maaf untuk kemudian berjanji tidak akan membiarkan rahasia besar mereka tersebar lagi.

“Oke, gue usahakan cari tahu. Tapi sekarang biarkan gue mandi dengan tenang yah!”, pinta Rema gantian memelas.

“Oh yah, tentu. Silahkan tuan puteri Rema! Tuan puteri butuh perawatan kembang 7 rupa untuk memuluskan kulit tuan puteri? ”

“Atau tuan puteri ingin fasilitas mandi susu? Kami siap membantu.”, canda Zeta dan Elvi dengan gaya ala para dayang. Semua tertawa termasuk juga Rema.

Page 105: winning fano feeling

105

Ah, anak-anak 4U Cupid ini, sebenarnya mereka tidak terlalu buruk. Zeta, Elvi, dan Arnett orangnya sangat lucu dan baik. Apalagi kalau permintaan mereka sudah dipenuhi. Dan yang pasti mereka jauh dari sikap sombong dan belagu seperti anggapan Rema sebelumnya. Malah semakin mengenal dekat mereka, Rema justru banyak melihat sisi kepolosan dan kekonyolannya. Kalau dulu Rema menganggap 4U Cupid adalah sekumpulan cewek yang aneh, sekarang ia melihat mereka sebagai sekumpulan cewek yang unik.

Sepanjang lorong hotel tak hentinya Rema menimbang jadi atau tidak memenuhi keinginan 4U Cupid. Bukan perkara mudah mencari tahu keberadaan Fano melalui Bima, bahkan sangat-sangat tidak mudah. Tidak saja karena kejadian buruk terakhir kemarin, yah itu juga, tapi yang paling dirisaukan Rema adalah bagaimana pandangan Bima padanya nanti. Tahu ia ikut terlibat dalam taruhan saja Bima sudah memandangnya negatif, apalagi sekarang jika terbukti Rema benar-benar berusaha mendekati Fano. Entah pikiran buruk apa yang akan ada di kepala Bima.

Selama batinnya bergelut dalam kebimbangan, tanpa sadar Rema telah sampai di depan pintu kamar Bima. Untung kemarin saat pembagian kunci kamar Bima menyebutkan nomor kamarnya pada semua orang, jadi Rema tidak perlu kesulitan mencari sang kapten. Kini persoalan lain muncul. Apakah keberanian Rema cukup untuk mengetuk pintu di hadapannya ini? Belum-belum tangannya sudah gemetaran hebat serta mengeluarkan keringat dingin. Aduuh, masuk gak yah? Ketok gak yah? kok gue jadi lemes gini. Rema menarik nafas panjang, mengumpulkan segenap kekuatan yang ada dan membuang segala dugaan-dugaan buruk dalam benaknya. Terserahlah kak Bima mau curiga atau makin nganggap gue negatif. Yang jelas gue udah janji sama 4U Cupid buat bantu mereka. Pantang bagi seorang Rema Thalita untuk ingkar janji, apalagi pada sahabat sendiri.

Keberanian Rema pun telah terkumpul beserta tekad yang bulat untuk menghadap Bima. Segera Rema berancang-ancang mengetuk pintu.

“Kapan lo mau minta maaf sama Rema, Bi?” Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah dalam kamar hotel Bima saat tangan Rema nyaris menyentuh daun pintu. Suara itu menyebut namanya. Tubuh Rema seketika terbujur kaku.

“Minta maaf untuk?”, tanya balik Bima.

Page 106: winning fano feeling

106

“Untuk tindakan lo kemarin yang tidak pada tempatnya itu.” Bima nampak tidak mengerti maksud ucapan Fedi, orang yang sedang bersamanya di dalam, begitupun dengan Rema yang saat ini tengah menguping di luar kamar. “Lo nggak merasa tindakan marah-marah lo kemarin salah?”

Bima akhirnya mengerti. “Oh, masalah kemarin sebelum keberangkatan itu. Gue nggak marah kok sama Rema, gue cuma ingatin dia dengan tugas-tugasnya sebagai manajer tim. Itu saja.”, jelas Bima tak ingin berdebat panjang.

“Lo emang lagi nggak marah sama Rema, Bi. Kemarin itu lo lagi marahan sama seseorang tapi salah melampiaskan ke orang lain. Coba lo pikir-pikir lagi tindakan kemarin lo itu. Apa perlu membentak Rema segitu kerasnya hanya karena masalah sepele?” Bima tak berkomentar. Ia sedang merenungkan ulang tindakannya kemarin yang kini dikritik Fedi. “Gue tahu lo lagi ada masalah dengan Gina. Kemarin lusa lo berdua berantem hebat kan? Tapi bukan berarti lo bisa seenaknya melampiaskan marah ke siapa saja. Bukannya gue sok nasehatin Bi. Gue cuma gak mau lo nyampur-adukin masalah pribadi dengan masalah tim. Sikap lo kemarin kurang tepat, man.”

Entah apa selanjutnya yang dibicarakan kedua orang itu. Rema sudah tidak sanggup lagi berdiri lebih lama di luar kamar Bima untuk mendengarkan semua percakapan yang ada. Air matanya ingin sekali menetes karena dua hal yang bertolak belakang sekaligus. Di satu sisi Rema merasa sedih karena sudah dijadikan pelampiasan amarah oleh Bima. Di sisi lain ia justru merasa terharu dengan tindakan pembelaan yang dilakukan Fedi untuknya. Rema jadi teringat ucapan Fano di Latino Resto waktu itu. Fano benar, para pemain sudah mulai menganggapnya sebagai bagian dari tim. Hatinya benar-benar tersentuh.

Eh, eh, tunggu! Ngomongin Fano, kok gue jadi lupa yah dengan misi gue sebelumnya buat cari info tentang keberadaan dia. Ah udahlah, nanti aja cari tahunya. Ini bukan waktu yang tepat. Sekarang mending gue ke bawah, putus Rema berbalik menjauhi kamar Bima. Sesampainya di restoran hotel di lantai dasar, Rema segera bergabung dengan teman-teman serombongannya yang sudah duduk memenuhi salah satu meja makan. Semua lengkap hadir kecuali Fano, Fedi, dan Bima. Melihat kedatangan Rema, 4U Cupid langsung bersemangat siap meminta informasi. Tapi Rema pintar untuk memilih tempat duduk yang berjauhan dengan gadis-gadis itu. Sewaktu dari kejauhan Zeta memberi isyarat ‘gimana?’, Rema hanya membalas dengan kode ‘nanti

Page 107: winning fano feeling

107

yah’, yang salah ditangkap Zeta kalau Rema sudah mendapatkan informasinya.

Saat acara sarapan telah berjalan lima menit, Fedi dan Bima baru kemudian muncul di tempat makan. Perasaan tidak enak sontak menghinggapi hati Rema dan Bima, apalagi saat keduanya saling beradu mata secara tidak sengaja. Bima merasa tidak enak karena bersalah setelah ditegur Fedi, sementara Rema yang tadi menguping juga ikut serba salah tingkah. Situasi konyol tersebut makin sering terjadi disebabkan posisi duduk Bima yang tepat berada di sebrang Rema.

Gue mesti gimana ini? Atmosfirnya gak nyaman banget. Nggak, nggak, gue harus tetap tenang. Gue harus berpura-pura tidak mendengar apa-apa. Yup, bersikap seperti biasa. Rema meneguk habis minuman dalam gelasnya, berharap kegelisahan yang ia rasa dapat sirna seketika.

“Eh, Fano kemana? Dia nggak ikut sarapan bareng? Trainning-nya dimulai hari ini kan!”, tanya Fedi penasaran. Semua lantas menengok ke arah Juki.

“Woi-woi! gue emang sekamar sama dia, tapi gue nggak tahu bocah itu kemana. Orang dari semalam dia menghilang.”, jelas Juki yang merasa tersudut karena menjadi roommate-nya Fano. Semua mengerti dan kembali fokus pada piring masing-masing.

“Eh panjang umur, itu anaknya datang!”, seru Kemal saat melihat perwujudan Fano memasuki pintu restoran hotel. Semua yang ada di meja makan langsung menatap Fano penuh tanda tanya hingga Fano duduk di salah satu kursi.

“Lo dari mana aja?”, tanya Juki mewakili yang lain. “Semalam gue ada urusan pribadi. Sorry, gue gak bilang ke elo

semua.”, jawab Fano singkat, masih menyisakan banyak pertanyaan. “Mmm, bisa nggak acara interogasinya ditunda nanti. Gue lapar banget dari kemarin sore belum makan.”, pintanya sembari memanggil seorang pelayan dan memberitahukan pesanannya. Acara interogasi pun ditunda.

Seusai sarapan, rombongan tim bola SMU Pelita Unggulan tidak langsung beranjak pergi. Rema lah yang menahan mereka tetap tinggal di tempat dalam rangka mengumumkan beberapa informasi penting. “Oke guys, dengar baik-baik yah jadwal kegiatan kalian selama di Bali yang akan gue sampaikan ini. Kalau perlu catat sekalian buat kalian yang memiliki masalah dengan daya ingat.”, kata Rema penuh peringatan. Ia menatap serius ke arah Maksi yang terkenal sebagai mister forgetful.

Page 108: winning fano feeling

108

“Iya Re, gue catet di hp nih!”, sembur Maksi yang merasakan betul tatapan penuh wanti-wanti Rema. Dikeluarkannya segera hp dari dalam saku celana.

“Bagus. Kalau gitu gue mulai sekarang.” Rema tersenyum kecil kemudian membaca selembar kertas yang ada dalam genggamannya. “Schedule kegiatan rombongan klub bola SMA Pelita Unggulan! Hari pertama kemarin, kita sudah dijemput di airport, diantar menuju hotel, check in, dan kemudian istirahat. Nah, hari kedua yaitu hari ini, semua pemain jam sebelas siang wajib mengikuti acara workshop tentang ‘how to be the next Zinadine Zidane’ yang diadakan oleh Real Madrid Football Academy di Ballroom hotel. Nanti disana kalian akan mendapat penjelasan tentang teknik yang baik, taktik, pembentukan mental juara, dan lain-lain. Acaranya sampai pukul lima sore. Oh yah kalian juga akan dapat lunch. So jangan takut kelaparan. Next, selesai dari workshop kalian balik ke hotel, free time sampai nanti jam tujuh malam kita dinner di Jimbaran Seafood.”

“Tunggu, Re!”, interupsi Fano, menunda penyampaian kegiatan hari ketiga. “selama kita semua workshop, lo kemana dan ngapain? Apa lo ikut kita?” Alis Rema mengerut. “Ya enggak lah Fan. Itu kan acara buat kalian para pemain. Sementara gue udah punya acara sendiri.”, jawabnya dengan wajah berseri.

“Apa?”, tanya Fano lagi. “Hehe,, hari ini tuh gue mau keliling Bali. Nonton pertunjukan

tari Barong, terus ke Goa Gajah, makan siang di Kintamani, dan terakhir ke Pura Tirtha Empul Tampaksiring. Kyaaaa!!” Rema tak kuasa menahan kegembiraannya yang meluap-luap.

“Wooo!”, semua pemain kompak menyoraki Rema. “Tenang-tenang! Jangan dulu sirik. Nanti hari ketiga kita semua

akan wisata bareng ke pantai Tanjung Benoa Nusa Dua, terus makan siang di Dedari restaurant Garuda Wisnu Kencana, dan terakhir kita ke pantai Kuta untuk melakukan latihan langsung. Sekalian kalian praktekin ilmu yang udah didapat di workshop. Oke!”. Suasana kembali tenang setelah Rema memberi penjelasan lanjutan. “Ya udah, sekarang semua siap-siap untuk acara workshop nanti. Ingat kalian harus serius! Di sana nanti akan datang para agen pencari bakat. Ini acara yang sangat penting buat kemajuan karir kalian sebagai seorang pemain.”, ucap Rema mengingatkan. Semua mengangguk tanda mengerti.

“Re, gimana kalau kita semua tos dulu sebelum bubar?”, usul Ilham penuh semangat. Rema mengangguk setuju, kemudian mengajak pemain lain termasuk 4U Cupid untuk bersama-sama melakukan tos.

Page 109: winning fano feeling

109

“Pelita Unggulan!”, teriak Juki memberi komando. “FIGHT-FIGHT-FIGHT!!”, koor semua sembari mengangkat

tangan ke atas.

“Aduuh, capek banget!”, keluh Rema sembari memijati kakinya pelan-pelan. Bagaimana tidak, sepanjang perjalanan tadi menyaksikan tari Barong dan berkunjung ke Goa Gajah, Rema tak hentinya bergerak menjelajah dan mengambil foto. Walhasil kakinya sekarang pegal-pegal hingga rasanya ingin putus, padahal masih ada dua tempat lagi yang akan dikunjungi selesai makan siang di Kintamani. Makanan pesanan Rema sudah lama datang, namun belum tersentuh sama sekali karena masih menunggu seseorang yang akan datang. Di sela kegiatan menunggu tersebut, pikiran Rema berkelana pada kejadian di hotel sebelumnya tadi.

“Re, tunggu sebentar!”, panggil Fano tiba-tiba saat Rema akan memasuki lift menuju kamarnya di lantai tiga.

“Ada apa Fan?”, tanya Rema heran melihat Fano masih berkeliaran di lobi padahal pemain lain sudah berangkat menuju Ballroom hotel.

“Lo, lo berangkat sama siapa nanti jalan-jalannya?”, tanya Fano di luar dugaan. Tentu saja Rema terlalu kaget untuk segera memberi jawaban. “Maksud gue gini Re. Lo kan baru pertama kali ke Bali. Gue takut lo kesasar atau kenapa-kenapa selama dalam perjalanan. Emang lo sewa mobil, tapi kan nggak menjamin juga you’ll be safe here 100%. Jadi kalau semisal terjadi apa-apa, lo bisa minta tolong sama teman gue yang tinggal di sini. Ini nomornya gue kasih ke elo. Lo tinggal hubungi dia. Kapanpun, dia pasti siap bantu lo.”, jelas Fano panjang lebar. Diberikannya secarik kertas berisikan sebuah nama dan nomor telepon ke tangan Rema. Selanjutnya cowok itu pergi begitu saja meninggalkan Rema yang masih sibuk terbengong-bengong.

Fano kenapa bisa sebaik itu yah sama gue? Dia perhatian banget sampai khawatirin gue segitunya. Jadi geer nih! Hihihi… eh, tunggu dulu! Jangan-jangan dia malah bermaksud nyindir gue karena baru pertama kali datang ke Bali. Trus waktu gue kesasar nyariin kak Maksi kemarin kan dia yang nolongin gue. Apa Fano pikir gue bakal kesasar kayak waktu itu lagi? Huh, awas aja kalau sampai dugaan gue tadi benar. Lo nggak bakalan selamat, Stefano! Uuuuh! Rema geram himgga mengacak-acak makanannya dengan garpu. Saat itulah seseorang yang sedang ditunggu-tunggu itu datang.

Page 110: winning fano feeling

110

“Rema! Loh muka lo kenapa? Serem deh!”, bingung Airin, orang yang janjian dengan Rema.

“Airin, akhirnya lo datang juga. Lama amat sih lo. Gue ketuaan nunggu nih!”, gerutu Rema dengan wajah menekuk. Airin terkikik. “Sori,,sori,, tadi pertunjukan dance-nya lama banget.”

“Seru?” “Of course lah, awesome banget tadi pertunjukannya. Acara

berskala internasional dong Re bayangkan!”, komentar Airin singkat tentang pertunjukan dance yang baru saja disaksikannya bersama Arnett, Zeta, dan Elvi. Selesai acara Airin tidak ikut gabung ketiga sahabatnya pergi berbelanja ke butik-butik di sekitaran kuta, melainkan menemani Rema melanjutkan jalan-jalan selesai makan siang ini.

Semua kegiatan anak-anak SMU Pelita Unggulan di hari kedua dapat berjalan dengan lancar dan sukses, baik acara workshop maupun acara jalan-jalan Rema. Dari cerita para pemain, Rema bisa tahu kalau acara workshop ternyata juga dihadiri oleh peserta kejurnas SMU yang lain. Jadilah acara sedikit berbau aroma persaingan, apalagi pada saat break makan siang. Tapi secara keseluruhan acara langka tersebut dapat memberi banyak input positif bagi para pemain.

Saat makan malam di Jimbaran Seafood, Maksi begitu bersemangat menceritakan ulang apa yang terjadi selama workshop pada Rema. “Gokil banget tadi workshopnya Re. Walaupun banyak yang nggak gue ngerti pas wakil dari El Real-nya ngomong, tapi untung kita punya penerjemah pribadi ‘Di Stefano’. Hehee.. Jadi kita tetap bisa tahu maksud pembicaraan Mr. Brandon itu apa. Oh yah, tadi juga diulas tentang teknik-teknik Re, di mulai untuk penyerang sampai kiper. Dan yang ngasih penjelasan itu Re, trainer dari El Real academy-nya langsung.” Rema ikut senang menanggapi keantusiasan Maksi. Apalagi jika mengingat sebelumnya tim hampir kehilangan sosok bomber penyerang tangguh itu. Kejadian malam ini laksana suatu keajaiban. Rema sangat bersyukur dapat menjadi bagian dari tim ini. Di sini, sedikit demi sedikit, ia mulai memahami arti sebuah perjuangan, proses didalamnya yang tidak ringan, serta arti tentang kebersamaan. Hal yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya.

Hari ketiga pun tiba. Selesai sarapan semua pemain beserta sang manajer berangkat menuju pantai Tanjung Benoa Nusa Dua untuk berekreasi olahraga air. Sementara anak-anak 4U Cupid, Arnett, Zeta, Airin, dan Elvi terpaksa harus angkat koper ke Jakarta lebih dulu karena waktu mereka di Bali hanya dua hari saja. Sebelum berangkat ke bandara, tak lupa Zeta menitipkan pesan khusus pada Rema. “Lo harus maju terus dapatkan Fano, Re! Kita udah coba segala cara

Page 111: winning fano feeling

111

dekatin Fano selama di Bali ini tapi susahnya minta ampun. Tinggal lo lah tumpuan harapan kita satu-satunya.” Rema mengangguk iya-iya saja saat menerima amanat besar Zeta. Bagaimanapun juga ia tidak boleh lupa dengan urusan taruhan yang sedang mengikatnya saat ini. Meski Rema sendiri sebetulnya tidak begitu peduli dengan perkembangan taruhan tersebut.

Selama di pantai Tanjung Benoa Nusa Dua semua pemain menyalurkan adrenalinnya dengan mencoba segala atraksi. Mulai dari banana boat, snorkling, parasailing, diving, flying fish, berselancar, melihat pemandangan bawah laut dengan glass buttom boat dan berbagai kegiatan olah raga air lainnya. Sayang karena keterbatasan dana Rema hanya bisa mencoba beberapa permainan saja, yaitu banana boat, flying fish dan parasailing.

Duuh, coba kemarin gue nggak belanja gila-gilaan. Pasti sekarang bisa coba banyak permainan. Kapan lagi coba pergi ke Bali gratis pula, sesal Rema meratapi nasibnya. Untunglah keberadaan mereka di sana tidak terlalu lama. Begitu siang menjelang, rombongan segera cabut ke Dedari restauran GWK untuk makan siang. Dan setelah melewati siang di GWK, tur mereka pun dilanjutkan ke pantai Kuta, salah satu pantai terindah yang ada di Bali.

“Ayo, semua, lebih cepat lagi larinya!”, teriak Rema memberi semangat kepada para pemain yang tengah berlari sepanjang pantai. “Teriakannya mana nih!”, lanjutnya sambil sesekali melihat stopwatch yang tergantung di leher.

“Woi, Re hosh,, buat lari aja hosh..hosh,, tenaga kita udah kekuras abis. Hosh,,hosh,, lo masih nyuruh kita teriak-teriak!”, protes Juki yang berlari di dekat Rema.

“Iya, Re. hosh,,hosh,, lo enak naek sepeda. Lah kita! Hosh,,hosh.”, sambung Paundra terengah-engah. Pemain yang lain ikut mengangguk-angguk setuju. Wajar mereka kompak protes keras seperti ini. Sudah satu jam lebih Rema menyuruh para pemain berlari tiada henti menyusuri pantai. Rema bukannya tanpa alasan hingga tega melakukan ini semua. Jelas dia punya tujuan tertentu.

“Eh, yang akan bermain di kejurnas nanti itu kalian, bukan gue. Nggak usah banyak protes! Masa baru lari satu jam aja udah pada ngeluh. Nanti itu saat bertanding kalian akan berlari sepanjang 90 menit. Jadi dari sekarang fisik kalian harus sudah mulai dibiasakan kuat berlari. Ayo cepat teriakan kata-kata penyemangatnya!”, koar Rema tetap dengan perintah sebelumnya. Semua pemain pun menyerah dan terpaksa mengikuti perintah sang manajer. “FIGHT! FIGHT! FIGHT! FIGHT!”, sorak para pemain secara serempak.

Page 112: winning fano feeling

112

Begitu sesi ‘Run, Run, Run!’ selesai. Rema melanjutkan acara latihan ke sesi berikutnya yakni ‘shooting in the water’. Dari namanya sudah dapat ditebak kalau para pemain diharuskan menendang bola dari dalam air. Tapi, bagaimana bisa? Yah, bisa-bisa saja berhubung bola yang dipakai sudah Rema persiapkan khusus sedemikian rupa sehingga tidak mengapung di air. Dan Rema telah menyediakan bola khusus tersebut masing-masing satu untuk setiap pemain.

“Kalian harus menendang bola mulai dari kedalaman selutut sana hingga menyentuh tepi pantai, kemudian di-dribbling teruus sampai ke garis yang udah gue tandain. Ingat yah, saat di air bolanya di-shoot bukan di-dribble.”, instruksi Rema sembari memberikan bola satu-persatu pada setiap pemain. Berbagai keluhan serta-merta menggema, namun seperti biasa, para pemain hanya bisa pasrah melaksanakan instruksi sang manajer.

Malam harinya diadakan acara perpisahan berbentuk pesta barbeque yang bertempat di taman belakang hotel. Sambil menyantap makan malam yang tersedia, semua awak tim sepakbola SMA Pelita Unggulan berbincang dan bergurau bersama membahas camp latihan mereka selama di Bali. Aha! tidak semua ternyata, ada satu pemain yang tidak hadir, lagi-lagi dia adalah Fano.

“Tadi begitu sampai kamar hotel dia langsung mandi, ganti pakaian, dan wuuus pergi lagi gak tahu kemana.”, terang Juki menceritakan kronologis kepergian Fano.

“Gila tuh bocah, gak capek apa habis latihan langsung pergi lagi. Gue sih sumpah, langsung tepar begitu nyampe kamar hotel.”, tutur Maksi.

“Gue juga sama Maks. Latihan tadi benar-benar nyiksa abis. Si Rema udah kayak mandor bangunan dan kita jadi kulinya dia.”, setuju Juki, langsung melakukan tos dengan Maksi.

Menyadari dirinya menjadi target serangan dua pemain sekaligus, Rema yang tengah enak melahap daging asap buru-buru mengambil tindakan pembelaan diri. “Eh,,eh, apa-apaan ini pada sekongkol salahin gue?”, protes Rema dengan mulut masih dipenuhi makanan, “Harusnya itu kalian bersyukur punya manajer secerdas dan secantik gue. Gue kasih latihan kayak tadi itu juga buat kemajuan kalian. Sadar gak kalau fisik kalian itu lemah banget. Oke, teknik dan skill boleh jago. Tapi kalau gak ditunjang fisik yang kuat sama aja kayak Messi udah kakek-kakek main bola.” Dengan antusias Rema melontarkan semua argumen sampai-sampai lupa membersihkan giginya yang masih tertempeli sisa makanan.

Page 113: winning fano feeling

113

“Iya Re, lo emang cerdas. Soal fisik kita akui masih lemah banget, dan latihan tadi cukup banyak meningkatkan kekuatan fisik kita. Sewaktu menendang bola di dalam air susahnya minta ampun, tapi begitu sampai di pantai, menendang bola jadi terasa jauh lebih gampang dan ringan. Shooting gue jadi berubah lebih keras dan cepat dari sebelumnya karena kekuatan kaki gue sudah mulai meningkat.” Rema tersenyum puas membanggakan diri mendengar komentar Fedi yang pro padanya. “Tapi Re,”, potong Fedi menormalkan kembali bibir Rema, “kalau untuk setuju lo manajer yang cantik hmm.. kayaknya enggak deh. Masa cewek cantik giginya warna merah. Mmmbbp!” Fedi berbalik menjatuhkan Rema sambil menahan tawa. Cukup lama Rema baru bisa mencerna ucapan Fedi tersebut. Begitu telah tersadar, sesegera mungkin Rema memeriksa sesuatu yang dicurigai sebagai sumber tawa Fedi. Setelah dicek ternyata benar saja dugaan buruknya itu. Ada sisa potongan cabai menempel di gigi Rema.

“Aaah! kak Fedi!!”, pekik Rema kesal “Kakak itu ada di pihak siapa sih sebenarnya?” Tawa Fedi kian kencang mendapat protes keras dari Rema. Tidak hanya Fedi, semua pemain kini ikut menertawakan Rema, dan yang paling heboh siapa lagi kalau bukan Maksi dan Juki. Dijadikan bahan tertawaan anak-anak seperti ini tidak membuat Rema sakit hati atau marah. Candaan Fedi ini justru membuat Rema semakin yakin kalau ia sudah benar-benar diterima sebagai bagian dari tim. Apalagi untuk ukuran seorang Fedi, dapat bercanda seperti ini tentu bukan hal yang biasa.

“This is for my peoples who just lost somebody, your best friend, your baby, your man, or your lady…” Alunan lagu ‘Bye Bye’ milik Mariah Carey terdengar dari hp Rema. Buru-buru Rema menjawab call tone tersebut begitu melihat nama ‘homesweethome’ tertera di layar hpnya. “Halo, ibu, ini Rema. Bu? Ibu dengar suara Rema gak?” berulang-ulang Rema memanggil sang ibu, namun tidak terdengar sahutan yang jelas dari sebrang telfon sana.

“Re, disini sinyalnya jelek. Coba lo naik ke taman atas sana.”, usul Ilham menunjuk sebuah tempat dibelakang mereka yang dilalui tangga cukup panjang.

“Oh iya, makasih kak.” Rema pun segera berlari menuju tempat yang dimaksud Ilham. Kasihan Ibunya kalau dibiarkan lama menunggu, biaya panggilan dari telepon rumah ke hp kan gak murah.

Sesampainya di taman atas, Rema dapat melakukan pembicaraan dengan sang ibu secara lebih jelas dan leluasa. Kurang lebih selama sepuluh menit pasangan ibu-anak ini saling melepas rindu via telfon. Rema sedikit kecewa karena tidak dapat mengobrol dengan sang Ayah

Page 114: winning fano feeling

114

yang sedang bertugas ke luar kota untuk memimpin suatu pertandingan liga Indonesia. Meski begitu Rema tetap bahagia dan bersyukur mengetahui kedua orangtuanya dalam keadaan baik dan sehat.

“Iya bu, Rema bakal jaga diri baik-baik. Lagipula besok kan Rema udah balik ke Jakarta. Tenang-tenang, tas pesenan ibu udah Rema siapkan. Iya, iya. Waalaikumsalam.” Rema menutup telpon dengan perasaan sedih. Ia yang tidak terbiasa berada jauh dari rumah dan sang ibu tentu merasa homesick saat ini. Jarang sekali Rema meninggalkan rumah hingga beberapa hari, paling juga menginap di rumah Indah, itupun tidak pernah lebih dari dua hari.

Setelah mengembalikan emosinya normal ke sedia kala, Rema memutuskan kembali turun ke tempat acara perpisahan di bawah. Baru bergerak beberapa langkah, secara tak sengaja mata Rema menangkap sebuah pemandangan hamparan langit malam dan pantai yang luar biasa indah. Rema pun mengurungkan dulu niatnya untuk buru-buru pergi. Ingin menikmati sejenak pemandangan menakjubkan di depan matanya ini. “Wah, indah banget!”, takjub Rema menyaksikan lukisan Tuhan yang sangat jarang ditemui di langit Jakarta. Perlahan Rema melangkah maju mendekati ujung taman agar dapat melihat semakin jelas pemandangan yang ada.

Ternyata, Rema tidak seorang diri di tempat tersebut. Setelah makin mendekati ujung taman yang dipagari tembok seukuran setengah badan, Rema menemukan ada orang lain di sana. Seorang laki-laki tengah melakukan apa yang baru dilakukannya tadi, yakni menelfon. Keadaan taman yang gelap temaram ditambah keadaan sang cowok yang memakai topi, membuat Rema kesulitan mengenali siapa orang itu. Meski begitu sayup-sayup ia dapat mendengar obrolan telfon si cowok, tanpa bermaksud mencuri dengar.

“Kamu serius dengan keputusan kamu itu? Kamu sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan aku? Dengar baik-baik, kalau sampai kamu benar-benar melakukannya, aku bersumpah tidak akan memperdulikan kamu lagi. Aku serius. Hallo? Ha.. shit!” Lelaki itu menutup telfonnya dengan kesal. Diduga kuat pembicaraan mereka diputus secara sepihak oleh lawan bicaranya. Merasa iba, Rema coba memberanikan diri menghibur the mysterious guy.

“Ehem, pemandangannya bagus banget yah. Sayang kalau dilewatkan gitu aja. Kalau di Jakarta sih udah jarang banget bisa lihat langit seindah dan secerah ini. Gimana bias. Setiap melihat ke atas pemandangan yang terlihat malah gedung-gedung tinggi pencakar langit.”, tutur Rema buka suara. Sesuai prediksi lelaki tersebut menengok kaget padanya, mungkin tak menyangka ada orang lain

Page 115: winning fano feeling

115

selain dirinya di tempat tersebut. Tapi semoga saja selanjutnya nanti dia bisa memberi respon yang hangat.

“Rema?”, sahut lelaki tersebut tak percaya. Jelas Rema terkejut setengah mati mendengar lelaki itu memanggil dirinya. Bagaimana dia bisa tahu nama gue? “Lo lagi ngapain disini?”, tanya lelaki itu kembali. Rema semakin dibuat kebingungan. “Ini gue Re.” Topi yang membuat samar itu pun akhirnya tersibak. Dan Rema sekarang dapat melihat dengan jelas sosok cowok misterius yang ternyata adalah…

“Kak Bima!”

Malu, spechless, merasa tolol, menyesal, menyalahkan diri sendiri, tapi juga sedikit senang. Inilah rangkaian perasaan yang bercampur aduk di hati Rema. Di antara semua itu, rasa malulah yang paling dominan dirasakan. Bagaimana tidak? Orang yang diperhatikan sedari tadi ternyata adalah Bima, dan dengan bodohnya ia sempat mencoba untuk berbasa-basi. Bagaimana bisa ia sampai tidak mengenali suara Bima? Saat kejadian di kamar mandi bareng Fano lalu kemarin di kamar Bima, Rema bisa mengenali suara cowok itu, tapi kenapa sekarang tidak?!

”Lo, lo sejak kapan ada di situ, di belakang gue? Lo dengar semua obrolan gue di telfon tadi?” Jika memiliki kantong ajaib doraemon pastinya Rema akan langsung mengeluarkan ’pintu kemana saja’, ’baling-baling bambu’, atau alat apa saja yang dapat membawanya pergi menghilang dari tempat ini sekarang juga. ”Eee nggak kak, Rema nggak tahu apa-apa kok. Pas Rema nyampe sini kak Bima udah selesai nelfon. Jadi kak Bi tenang aja, Rema nggak dengar kakak tadi marah-marah kok.”, bohong Rema dengan sangat tidak sempurnanya. Rema segera menyadari kebodohannya tersebut dan hanya bisa merutuki diri sendiri.

”Yah nggak apa-apa juga kalau lo dengerin semua obrolan gue tadi.”, ucap Bima menangkap gelagat mencurigakan Rema.

”Hehe.. makasih kak. Kalau gitu Rema pergi dulu. Maaf kalau Rema udah ganggu kakak.”

”Eh-eh, tunggu Re!”, cegah Bima sebelum Rema sempat berbalik badan. Rema pun kembali mengurungkan niat perginya. ”Mmm Re, harusnya gue yang minta maaf sama lo, bukan sebaliknya.”, lanjut Bima dengan tulus dan sedikit canggung.

Rema tertegun. ”Loh, kok jadi kak Bima yang minta maaf? Maaf buat apa coba?”, herannya sama sekali tak mengerti.

Page 116: winning fano feeling

116

Bima maju beberapa langkah mendekati Rema agar dapat berbicara lebih jelas. Dan kini jarak keduanya hanya tinggal beberapa langkah. Rema sekuat tenaga menahan degup jantungnya yang seakan ingin meloncat keluar. ”Sebenarnya udah dari kemarin-kemarin gue pengen minta maaf sama lo tapi belum ada kesempatan. Gue pengen minta maaf soal insiden keberangkatan waktu itu, Re.” Rema membeku terpaku, bingung harus bereaksi seperti apa mengingat ia sudah tahu dari percakapan yang tidak sengaja didengarnya di kamar Bima. ”Jujur Re awalnya gue nggak begitu menyadari kesalahan gue itu. Tapi setelah Fedi mengingatkan kalau gue udah bertindak di luar batas sama lo, gue pun coba introspeksi diri dan akhirnya sadar kalau gue emang udah bersikap kurang baik sama lo.”

Rema mendengarkan dengan seksama pernyataan bersalah Bima. Hatinya terasa lapang dan bahagia. Bukan semata-mata karena Bima mau meminta maaf padanya, tetapi lebih karena keberadaan mereka yang begitu dekat ditambah dukungan tempat yang begitu indah dan romantis ini. ”Nggak ada yang perlu dimaafin kok kak. Lagipula Rema juga salah karena sudah bikin kak Bima kecewa.”, kata Rema dengan bijaknya.

”Nggak Re, gue emang bersalah sama lo. Harusnya gue bisa memisahkan masalah pribadi dengan masalah tim, bukannya malah mencampuradukkan kedua hal itu.”

”Maksud kak Bima?”, tanya Rema, kembali berpura-pura tidak tahu.

”Gue lagi ada masalah dengan seseorang, dan itu cukup banyak menyita pikiran gue. Jadinya ya gue agak mudah ’tanduk’an, kesinggung dikit langsung emosi. Kebetulan lo yang kena Re, padahal lo nggak salah apa-apa.”, terang Bima terdengar sangat menyesal.

Entah mengapa Rema merasa penjelasan Bima tadi tidak sepenuhnya jujur. Ada sesuatu yang disembunyikan cowok itu darinya. Tak ingin dibuat bertanya-tanya, Rema pun meminta penjelasan lebih. ”Kak, tolong jawab jujur! Masalah yang kakak hadapi itu ada kaitannya dengan Rema dan taruhan itu kan? Karena Rema yakin bukan suatu kebetulan Rema yang jadi korban pelampiasan emosi kakak. Memang kita belum lama kenal dekat, tapi Rema yakin kak Bima bukan orang yang seperti itu, yang mudah melampiaskan emosi ke siapa saja. Pasti ada penyebab lain iya kan?”, desak Rema berusaha mencari tahu.

”Kenapa lo bisa berpikiran seperti itu Re? Masalah gue nggak ada hubungannya sama sekali dengan lo.”, sangkal Bima, berusaha menghindar.

Page 117: winning fano feeling

117

”Ayolah kak, jangan bohong!” Rema tak mau menyerah, ”Ok, Rema yang duluan buka kartu kalau gitu. Sebenarnya Rema tahu siapa yang udah menceritakan ke kakak soal taruhan itu. Dia kak Gina bukan? dan pastinya kak Gina tahu dari adiknya Prita. Semua ini ada kaitannya kan kak? Ayolah, Rema cuma nggak ingin kak Bima punya pikiran buruk tentang Rema hanya karena urusan taruhan sialan itu.” Rema merasakan kejengkelan yang teramat sangat besar saat mengucapkan kata-kata terakhir tadi. Ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya melampiaskan gejolak amarah yang ada. Rema ingin sekali memberitahu Bima hal sejujurnya tentang kenyataan perasaannya selama ini.

”Jadi lo udah tahu soal itu.”, gumam Bima lemah. ”Oke, gue akan cerita semua. Sekalian gue juga pengen dengar beberapa penjelasan dari lo.” Bagus, batin Rema, sudah lama ia ingin membeberkan perihal keterlibatannya dalam taruhan pada Bima. Inilah kesempatannya untuk memperbaiki reputasi diri di mata sang pujaan hati.

Mata Bima menerawang ke atas saat mulai berbicara. ”Ya benar, yang beritahu gue soal taruhan adalah Gina dan dia tahu itu dari Prita. Setelah mendapat informasi tersebut Gina langsung kasih tahu gue dan minta gue buat keluarin lo dari klub.” Rema tidak begitu kaget mendengar pengakuan Bima, namun hatinya tetap saja terasa sesak dan pilu. ”Alasan Gina minta lo keluar bukan karena kebetulan dia kakaknya Prita atau ingin membantu adiknya memenangkan taruhan. Bukan, bukan karena itu. Dia hanya ingin agar tim mendapat manajer pengganti yang capable, serius serta berkomitmen tinggi, bukan yang punya misi lain di luar urusan tim. Alasan yang cukup logis sebetulnya karena meski sudah berhenti jadi manajer tim tapi hati Gina tetap akan selalu bersama tim ini.”

Rema tersenyum kecil, mengerti. ”Ya, Rema paham. Kak Gina pasti menginginkan pengganti yang sepadan atau setidaknya yang tidak jauh berbeda dengan dirinya.”, bisiknya lesu.

”Maaf Re, tanpa bermaksud menghakimi lo, harus gue akui kekhawatiran Gina itu terbukti. Apalagi setelah gue tahu lo gunakan koneksi supaya lolos masuk klub. Kepercayaan gue terhadap lo semakin menipis.” Ternyata pikiran kak Bima tentang gue sudah seburuk itu. Gue benar-benar nggak nyangka, batin Rema begitu kecewa. Rasanya langit malam sudah tidak indah lagi. Semua mendadak buruk di mata Rema. ”Tapi sedikit demi sedikit gue mulai lihat sisi lo yang lain. Walaupun lo di sini untuk tujuan taruhan itu, tapi lo nggak pernah main-main dalam menjalankan tugas sebagai manajer. Dan yang gue lihat lo ternyata bukan tipe cewek manja atau ’make-up

Page 118: winning fano feeling

118

freak’ yang tidak tahu apa-apa soal bola, seperti perkiraan gue sebelumnya sewaktu di latihan pertama. Lo tahu banyak tentang sepakbola dan punya semangat tinggi untuk mengangkat tim.” Apa?? Gue nggak salah denger nih! Rema berubah senang sesenang-senangnya saat mendengar kelanjutan perkataan Bima. Semoga saja ini jadi pertanda baik, harapnya. ”Hanya saja Re, nggak tahu kenapa Gina justru marah dan tidak senang sewaktu gue putuskan untuk tetap mempertahankan lo dengan alasan tadi itu. Dia bahkan nuduh gue ada apa-apa sama lo. Hahaha! Tuduhan yang aneh. Jelas-jelas Gina sendiri tahu orang yang lagi lo incar itu siapa. Tapi yah hal itu tidak terlalu gue pikirkan. Gue bisa tebak kalau Gina cemburu sama lo. Kalian memiliki banyak kesamaan, lo dan Gina. Mungkin Gina khawatir gue bisa suka sama lo.”

Benarkah? Ada kemungkinan kak Bima bisa suka sama gue!! Oh la la, mimpi apa gue semalam. Tunggu! Itu kan dugaannya kak Gina bukan kak Bima. Tapi kenapa kak Gina sampai berpikiran seperti itu? Jangan-jangan dia tahu lagi soal perasaan gue terhadap kak Bima! Nggak, nggak mungkin, yang tahu soal itu kan cuma Indah dan Razy.

”Tapi bukan itu masalah pentingnya Re. Sekarang yang jadi persoalan adalah sampai sejauh mana keprofesionalan lo untuk mendahulukan urusan tim di atas urusan lo yang lain itu. Maksud gue, apa lo bisa mengesampingkan misi taruhan lo demi tim? Gue takut lo gak bisa, Re.” Rema langsung bereaksi keras atas kepesimisan Bima terhadapnya, ”kenapa mesti nggak bisa? Rema bisa kok.”, bantahnya dengan tegas.

”Oh yah? Lalu kejadian kemarin, apa bisa lo jamin nggak akan terulang lagi?”

Dahi Rema mengerut. ”Kejadian kemarin? Kejadian apa?”, gumamnya bingung.

”Kejadian teman-teman lo yang maksa ikut bareng ke Bali. Awalnya gue udah nolak tapi karena mereka minta bantuan pak Wahyu, mau gak mau gue mesti setuju juga. Padahal sebelumnya Re, gue udah nolak permintaan Prita yang sama ingin ikut bergabung.”

”Tapi,, mereka ikut rombongan kita karena akan menghadiri event di sini.”, bela Rema dengan polos.

”Ayolah Re, lo pasti tahu dengan betul tujuan mereka ikut bareng kita untuk apa. Gue yakin selanjutnya nanti akan ada banyak lagi kejadian serupa. Bahkan yang berikutnya mungkin akan melibatkan langsung posisi lo. Gue nggak mau ada hal seperti itu terjadi di klub. Jadi sebelum lebih jauh campur tangan lo dan temen-temen lo, lebih baik lo keluar dari klub secepatnya.”, putus Bima dengan tegas. Apa?

Page 119: winning fano feeling

119

Keluar dari klub? Bagaimana bisa kak Bima setega itu menyuruh gue pergi tinggalkan klub? Kenapa keadaannya jadi serumit ini? ”Maaf, kalau ucapan gue sedikit kasar dan menyakitkan, tapi gue mohon sama lo untuk keluar dari klub. Ini pilihan terbaik buat lo dan tim.” Bima kembali meminta Rema, kali ini lebih serius. Tanpa menunggu respon dari lawan bicaranya, laki-laki itu kemudian beranjak pergi meninggalkan Rema yang masih berdiri shock.

Nggak. Nggak boleh. Gue gak boleh nyerah gitu aja dan keluar dari klub. Gue udah terlanjur jatuh cinta dengan tim ini. Tapi bagaimana caranya merubah keputusan kak Bima? Rema berusaha mencari akal. Satu hal yang Rema ketahui dengan pasti, semua hal baik yang telah didapatkan selama beberapa minggu ini tidak boleh berakhir begitu saja. Setidaknya ia harus berusaha untuk mempertahankan posisinya di tim. Di antara campur-aduk tekanan dan rasa gelisah akhirnya Rema menemukan satu-satunya cara yang mungkin menjadi jalan terakhir baginya tetap bertahan. Cara yang tidak mudah untuk dilakukan. Pengakuan.

”Beasiswa dan kak Bima.”, celetuk Rema cukup keras untuk menghentikan langkah kaki Bima yang siap menuruni tangga. ”Alasan utama Rema masuk klub bola ini awalnya adalah karena ingin mendapatkan beasiswa. Pasti kakak tahu seberat dan seketat apa persaingan yang ada di sekolah kita ini. Karena itu, untuk berhasil mendapatkan beasiswa Rema tidak hanya bisa mengandalkan prestasi akademik saja, prestasi lain di luar akademik pun harus ada. Dan saat sebuah kesempatan emas untuk mewujudkan keinginan tersebut datang, siapapun pasti akan sulit menolaknya. Meski kesempatan itu datang dengan syarat perjanjian, tapi Rema tidak peduli, yang penting beasiswa itu bisa Rema dapatkan pada akhirnya.”

“Kak Bima kira Rema nggak dapat hambatan apa sewaktu memutuskan masuk ke klub? Hambatan itu ada kak. Dan yang paling besar justru datang dari diri Rema sendiri. Sifat Rema yang tidak mudah beradaptasi, tidak percaya diri, dan selalu takut diremehkan orang. Itu semua selalu jadi kendala besar setiap Rema akan masuk ke lingkungan baru. Tapi karena saat ini Rema berada di klub bola, dunia yang paling Rema cintai, baru Rema bisa bertahan. Dan kak Bima tahu alasan lain kenapa Rema mampu bertahan di klub ini? Itu adalah karena kak Bima.” Mulut Bima sontak terbuka tak percaya, se-tak percaya Rema pada keputusannya untuk mengungkap semua yang tersimpan selama satu tahun ini. ”Jika ada seseorang yang paling Rema kagumi selama ini di sekolah, itu adalah kak Bima. Jika ada seseorang yang sering Rema perhatikan dan harapkan, itu juga kak Bima. Pasti kak Bi

Page 120: winning fano feeling

120

tidak percaya kan? Tapi kenyataannya selama ini Rema diam-diam menaruh rasa suka sama kakak. Saat masuk klub kemudian mengenal dekat kakak, itu adalah hal yang membahagiakan buat Rema. Tidak pernah sekalipun Rema berharap atau bermimpi kita bisa sedekat ini. Dunia kita terlalu berbeda sebelumnya. Tapi sekarang, di sini, kak Bima akhirnya bisa melihat Rema.”

Rema mengambil jeda sejenak, sekuat tenaga menahan gempuran air mata yang siap menetes, baru kemudian melanjutkan kembali ucapannya. ”Kalau kakak menyuruh Rema keluar dari klub sekarang. Itu tidak hanya akan membuat Rema kehilangan kesempatan mendapatkan beasiswa, tapi juga akan membuat Rema kehilangan dunia yang mulai Rema cintai, dan juga sahabat-sahabat baru yang Rema temukan di sini. Jadi dengan teramat sangat, tolong kak jangan minta Rema meninggalkan klub!” Selesai mengutarakan segala isi hatinya Rema pun terdiam, menunggu dengan cemas respon yang akan diberikan Bima. Tak ada keinginan lain yang diharapkannya selain tetap dapat bertahan di klub. ”Kenapa kak Bima diam saja? Apa kakak masih tetap pada keputusan kakak semula menyuruh Rema keluar?”, tanya Rema tak sabar menunggu respon Bima yang lambat.

Bima tampak frustasi. Ia memegang kepalanya pusing. ”Kenapa lo bisa semudah itu mengutarakan perasaan lo, Re? Ah, ini benar-benar gila. Gak masuk akal. Lo tahu kan gue sudah ada Gina?”

”Siapa bilang ini mudah kak. Perlu waktu setahun untuk Rema mengutarakan ini semua. Lagipula, kakak sudah putus dengan kak Gina kan?” Bima makin terkejut. Bagaimana Rema bisa tahu soal putus hubungannya dengan Gina. Tapi ada hal lain yang lebih membingungkannya saat ini, yaitu harus bagaimana menentukan sikap pada Rema. Rema yang ada dihadapannya sekarang bukanlah Rema yang dikenal sebelumnya, Rema yang sudah ia anggap seperti adik sendiri. Sosok itu kini telah berubah menjadi sangat asing, sosok seorang wanita.

”Yah meski status kami berubah tapi perasaan kami tidak.”, tutur Bima hati-hati takut melukai perasaan Rema.

”It’s okay, Rema bisa menerima hal itu. Tapi untuk pergi dari klub sampai kapan pun Rema tidak akan pernah terima. Rema mohon sekali lagi kak. Biarkan Rema tetap bertahan di tim ini.”, pintanya berulang-ulang. Berusaha sedaya upaya menggoyahkan keputusan Bima. Terus didesak, Bima akhirnya menyerah juga untuk mau mengabulkan permohonan Rema. ”Baiklah, gue terima permintaan lo dengan satu syarat. Lo harus janji untuk mendahulukan kepentingan tim di atas kepentingan lain lo. Kalau tidak, gue gak akan pernah kasih

Page 121: winning fano feeling

121

lo kesempatan lagi.” Beberapa patah kata dari Bima sebelum pergi tersebut sudah cukup bagi Rema untuk tetap bertahan sebagai manajer tim bola. Meski gagal meluluhkan hati sang kapten agar menerima perasaannya, tapi setidaknya Rema telah berhasil membuat Bima mau menerima permintaannya yang lain. Dan itu sudah sangat cukup bagi Rema.

Selepas kepergian Bima kembali ke tempat acara farewell party di bawah, Rema memutuskan untuk berdiam diri sejenak di taman atas ini. Hatinya masih terasa galau dan kacau balau. Mungkin jika sendirian dulu beberapa saat dan menyepi, perasaannya bisa tertata kembali ke sedia kala. Semoga saja angin malam yang cukup hangat ini mampu meniup pergi semua kesedihannya.

Namun, kenyataan kadang selalu tak berjalan sesuai dengan keinginan. Di saat Rema berniat ingin menyendiri dulu, seseorang secara tak terduga muncul kemudian membawanya pergi ke suatu tempat.

Rema memandang bentangan laut di hadapannya dengan penuh seksama. Sebuah perahu kecil terombang-ambing di antara deburan ombak yang mengelilinginya, seolah menggambarkan keadaan hati Rema malam ini yang sedang tak menentu. Pasir pantai yang lembut bercampur kerikil kecil sedikit demi sedikit melumuri sekujur kakinya, memberi kesan tentang perjalanan hidup yang tidaklah selalu berjalan mudah, penuh kerikil-kerikil tajam.

Ya, Rema berada di pantai saat ini. Seseorang membawanya ke tempat tersebut tanpa bisa ia tolak. Orang itu kini tengah duduk disamping Rema, menemani gadis itu melewati saat-saat sulitnya.

”Waah langitnya indah banget! Lo tahu nggak Fan dari kecil gue paling suka memandangi langit malam. Kayak orang yang nggak ada kerjaan sih, tapi enggak tahu kenapa hati gue selalu merasa lapang dan bahagia setiap melihat langit dan bintang. Dari kecil ayah gue sering bepergian ke luar kota, jarang ada di rumah. Begitupun dengan kakak cowok gue yang usai kuliah langsung kerja di luar negeri. Otomatis di rumah seringnya cuma ada gue dan nyokap. Rumah jadi sepi. Tapi, gue gak pernah merasa kesepian apalagi sedih dengan keadaan gue itu. Lo tahu kenapa? Itu karena gue selalu teringat kata-kata ayah gue, ’kalau seseorang yang kamu sayangi berada jauh dan kamu sedang sangat merindukan dia, tataplah langit, kamu akan merasa dekat dengannya karena kalian bernaung di bawah atap langit yang sama. Lalu kalau

Page 122: winning fano feeling

122

kamu merasa sedih dan tidak ada seorangpun yang dapat menghiburmu, pandangilah bintang-bintang karena mereka bersinar untuk menghibur setiap hati yang berduka’.” tutur Rema bercerita tentang masa lalu, memecah keheningan antara dirinya dengan Fano yang telah berjalan lebih dari sepuluh menit sejak kedatangan mereka di pantai. ”Oh yah, lo sudah berapa lama berdiri di sana tadi? Lo dengar semua obrolan gue dengan kak Bima?”, tanya Rema menyadarkan Fano yang terlihat masih sibuk dengan lamunannya.

”Eee, nggak lama juga. Gue baru beberapa menit berdiri di tangga. Tapi apa yang gue dengar rasanya udah cukup untuk menyimpulkan kalau ada sesuatu yang terjadi antara kalian berdua.”, jawab Fano tanpa menoleh sedikitpun ke arah Rema.

Rema memandangi Fano was-was, mencari segurat saja garis kemarahan di wajah cowok blesteran itu. Untunglah hal yang dikhawatirkannya tersebut tidak ada. Raut wajah Fano masih normal seperti biasa. Syukur tadi nama Fano tidak disebut. Kalau sampai disebut dia pasti akan curiga.

”Eh Re, gue heran lo kok tadi mohon-mohon ke Bima supaya tetap bertahan di klub? Emang siapa yang nyuruh lo pergi? Apa Bima yang nyuruh gara-gara lo bilang suka sama dia?”

”Hah?” Rema terbelalak kaget mendengar pertanyaan Fano barusan. Perasaan leganya luntur seketika. ”Bukan. Lo salah paham. Nggak ada yang nyuruh gue keluar dari klub. Ngaco lo.”, sanggahnya, berbohong.

”Heh, jelas-jelas gue dengar tadi. Bima sampai ngancam kalau lo nggak bisa penuhi janji lo, dia gak bakal kasih lo kesempatan lagi. Itu maksudnya apa?” Fano merasa tidak puas dengan jawaban yang Rema berikan sebelumnya.

”Umm, maksudnya itu..” Rema gelagapan. ”kak Bima cuma sekedar mengingatkan gue aja. Lo kan tahu gue sering bikin kesalahan. Jadinya ya kak Bi menuntut keprofesionalan gue sebagai manajer. Itu aja. Benar!”, tegas Rema dengan sangat-sangat meyakinkan. Tentu ia tak ingin Fano masih menaruh curiga apapun. Dan untunglah berhasil. Fano bisa menerima penjelasannya dan mereka kini kembali duduk dalam keheningan. Bagi Rema keadaan ini lebih baik dibanding harus terus ditanyai hal-hal yang sulit ia jawab.

”Jadi, Bima yah orang yang lo suka itu.”, lirih Fano pelan, menyamarkan kekecewaan dalam nada suaranya. Mata indah Fano menatap lurus ke depan ke hamparan laut yang seolah tanpa ujung. ”Kenapa lo bisa suka sama dia, Re? Apa karena dia populer, look good,

Page 123: winning fano feeling

123

kaya, atau baik?”, tambahnya memberikan pertanyaan sulit lain bagi Rema.

Nafas Rema berhembus pelan dan berat. ”Huft,, gimana jelasinnya yah!? Kalau dibilang gue suka karena dia populer, harusnya sewaktu awal masuk sekolah ini gue langsung suka. Waktu jaman ospek dulu kan banyak banget teman-teman gue yang mengidolakan kak Bima. Kalau dibilang karena dia cakep, nggak juga sih, cowok yang lebih cakep banyak, yang kaya juga. Lalu kalau dibilang karena dia baik, sepertinya bukan juga. Dulu gue mana tahu kak Bima itu baik atau nggak. Baru sekarang aja gue tahu dia ternyata orang yang baik.”

”Jadi?” ”Jadi yah bisa dibilang gue sendiri nggak tahu alasan gue bisa

suka itu apa. Yang gue tahu, sewaktu tidak sengaja melihat kak Bima melakukan tendangan jarak jauh di lapangan saat anak-anak klub bola sedang berlatih, perasaan suka itu muncul begitu saja.”

Terputar kembali dalam memori Rema kejadian yang telah berlalu setahun silam. Memori saat ia pertama kali melihat Bima beraksi di lapangan hijau. Rema tidak berencana menonton anggota klub bola berlatih kala itu, seperti apa yang dilakukan kebanyakan murid-murid cewek seangkatannya. Ia melewati area lapangan bola karena itulah rute perjalanan pulangnya selama ini. Biasanya Rema lewat begitu saja tanpa memperdulikan apa yang terjadi di sekeliling. Tapi hari itu lain, tiba-tiba saja ban belakang sepedanya kempih tepat di depan lapangan bola yang tengah dipakai anak-anak klub bola berlatih. Sementara menunggu bantuan dari Indah datang, Rema pun menyaksikan keahlian para pemain memainkan si kulit bundar dengan lihai. Ternyata permainan skuad SMA Pelita Unggulan tidak terlalu buruk. Malah salah satu pemainnya ada yang mampu menarik perhatian Rema. Ya, dia adalah Bima. Sejak itulah Rema menaruh rasa suka pada Bima, dan diam-diam mulai sering mengamati permainan sang pujaan baik saat latihan atau kala bertanding. Hanya sampai di situ saja tindakan Rema terhadap perasaan sukanya. Ia cukup tahu diri untuk tidak berharap lebih pada cowok orang yang memiliki banyak penggemar itu. Siapa dirinya? Bagaimana bisa dia dibandingkan dengan Gina, pacar Bima, yang sama populernya dengan Bima dan banyak disukai orang juga?

Sreek.. tanpa sadar air mata Rema menetes begitu saja. Buru-buru dihapusnya air mata itu agar tak sampai dilihat oleh lelaki di sampingnya. Akan sangat memalukan kalau sampai Fano melihatnya menangis. ”Eh Fan, lo tega banget sih. Gue kan baru patah hati. Bukannya dihibur, ini malah terus ditanya-tanya. Pake ingatin gue

Page 124: winning fano feeling

124

kejadian yang dulu lagi.”, protes Rema berusaha mengalihkan perhatian Fano pada hal lain. Fano tak berkomentar banyak, ia hanya membisikkan sepatah kata ”maaf” yang membuat hati Rema tersentuh.

Rema melirik ke arah Fano, diam-diam tersenyum kecil. Tadinya ia berniat menyendiri dulu menenangkan hati. Eh, tak diduga Fano ternyata berada di tempat yang sama dengannya dan Bima tadi. Walaupun sempat kesal karena cowok itu menguping percakapannya bersama Bima, namun entah kenapa Rema mau saja mengikuti ajakan Fano pergi ke pantai.

Buk..Buk! Fano tiba-tiba menepuk bahunya sendiri. Rema mengernyitkan dahi heran, ”kenapa lo Fan?”, tanyanya dengan kedua alis mengerut.

”Suasana hati lo lagi gak enak kan? Nih gue kasih pinjem bahu gue buat jadi tempat lo nangis.”, kata Fano menawari. Rema dibuat geli. Bukannya bersandar ke bahu Fano seperti apa yang diharapkan, Rema malah mendorong cowok itu dengan kuat hingga terjatuh dari posisi duduknya.

”Hahaha!” Rema tertawa ngakak melihat tubuh Fano terjerembap di atas pasir.

”Re, lo benar-benar cewek aneh yah. Ada cowok ganteng yang berbaik hati pinjamkan bahunya buat lo nangis malah lo dorong.”, protes Fano berlagak marah.

”Hah? ganteng? Dasar cowok narsis. Ini baru ganteng!”, ucap Rema sembari menempeli wajah Fano dengan pasir basah lalu kembali tertawa lepas. Fano tentu tak tinggal diam dijadikan objek keisengan oleh Rema. Saat gadis itu lengah, ia langsung membalas ulah usil Rema dengan menarik tangannya agar ikut terjatuh seperti dirinya.

Brukk! Tanpa diduga oleh keduanya, Rema jatuh tepat dengan posisi menindih tubuh Fano. Dan kini wajah keduanya berjarak sangat dekat, hingga nyaris bagi mereka berciuman. Sesaat Rema merasakan nafasnya seperti terhenti, begitupun dengan waktu dan seluruh galaksi ini, semua serasa berhenti berputar. Reaksi sama juga dialami oleh Fano. Perasaan aneh yang akhir-akhir ini muncul setiap kali berdekatan dengan Rema, kini kembali hadir dan terasa jauh lebih nyata.

Sial, gue kenapa lagi? batin Fano dan Rema bersamaan. Seeet. Tangan Rema kemudian mengolesi wajah Fano sekali lagi

dengan pasir. ”Yes! 2-0, gue menang.”, sahutnya sambil tersenyum puas dan bangkit berdiri.

Fano yang telah tersadar segera bereaksi. ”Gue akan bikin jadi 2-3 sekaligus.”, ultimatumnya lalu berlari mengejar Rema yang buru-buru ngacir kabur melihat gelagat balas dendam Fano. Selanjutnya, dua

Page 125: winning fano feeling

125

orang manusia iseng itu pun menghabiskan malam dengan saling berkejaran dan tertawa bersama.

Makasih Fan, lo ada disamping gue saat seperti ini ^^

Page 126: winning fano feeling

126

BABAK 7

Akhir-akhir ini serangan stres sering menyerang Rema. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena semakin dekatnya event kejurnas yang hanya tinggal menghitung hari. Tidak saja tenaga dan otak yang terkuras habis tapi juga mental. Rema begitu tegang dan risau dengan apa yang akan terjadi nanti di kejurnas. Baik atau buruk kah? Sukses atau tidak kah? Jangan ditanya, orang-orang terdekat Rema seperti Indah, Razy dan para pemain sudah sering memberinya nasihat bijak berulang-ulang agar tidak pesimis dan percaya penuh pada kemampuan tim. Sayang nasihat tersebut tidak mampu membuat Rema sepenuhnya tenang. Seolah belum cukup tekanan yang didapat dari urusan klub dan kejurnas. Muncul dua masalah lain yang tidak kalah menyita perhatian Rema. Oke, sebenarnya tiga. See, bagaimana bisa lebih tenang di saat masalah datang berbondong-bondong di waktu bersamaan?

Masalah pertama yang Rema hadapi sebetulnya tidak berhubungan langsung dengan dirinya, melainkan kedua sahabatnya. Ya, sejak kembali dari Bali Rema mendapati hubungan Indah dan Razy berubah sangat aneh. Bukan, mereka bukan bertengkar hebat karena sesuatu, justru mereka tidak bertengkar adu mulut seperti biasanya. Saat mereka bertiga berkumpul, Rema dapat merasakan suasana dingin di antara pasangan tom and jerry itu. Mereka hanya berbicara seperlunya terhadap satu sama lain dan selalu berusaha saling menghindar. Saat ditanya apa terjadi sesuatu selama kepergiannya ke Bali, keduanya akan kompak menjawab ‘tidak ada’, ‘perasaan lo aja kali’ dan sejenisnya.

Hal lain yang sedang Rema pikirkan saat ini dan yang sama-sama membuatnya pusing tujuh keliling adalah persoalan taruhan yang melibatkan Fano. Semakin akrab dan mengenal dekat Fano membuat perasaan bersalah Rema terhadap cowok itu semakin besar. Ia merasa seperti seorang teman yang menusuk dari belakang. Sangat buruk bukan? Tapi kalau sampai Fano tahu dirinya dijadikan barang taruhan di mana Rema ikut terlibat, apa bisa Fano memaafkannya dengan mudah dan menganggap itu semua tidak jadi suatu persoalan? Tentu

Page 127: winning fano feeling

127

tidak. Yang ada Fano bakal langsung membencinya dan tidak akan mau lagi bersahabat dengannya.

Apa gue ngomong jujur aja yah sama Fano? Siapa tahu aja dia bisa mengerti posisi gue? Ah, nggak-nggak. Kalau itu gue lakukan sama saja gue udah mengkhianati Airin. Nanti malah Airin yang nggak mau sahabatan lagi sama gue. Jadi serasa makan buah simalakama gini. Pusiing! Rema mengacak-acak rambutnya sendiri, stres.

Terlalu fokus memikirkan persoalan Indah-Razy-Fano membuat Rema yang sedang dalam perjalanan menuju markas klub tak sadar kalau kini ia sudah berada di depan tempat tujuan. Akhirnya, Rema memutuskan untuk menunda dulu pencarian solusi atas segala permasalahanya tadi, karena jika terus dipaksakan juga ujung-ujungnya pasti akan tetap mentok. Ya sudahlah, besok atau lusa palingan Razy dan Indah akan kembali seperti semula. Mereka kan cepat berbaikan secepat mereka bisa berantem. Kalau masalah Fano, mungkin nanti akan muncul jalan keluarnya. Rema pun menutup topik permasalahan dengan kesimpulan tersebut. Tidak baik jika saat latihan pikirannya masih bergelut dengan persoalan Indah-Razy-Fano. ”Kejurnas sudah di depan mata, Re. Lo harus fokus seratus persen!” Rema mengingatkan dirinya kembali. Ia pun berjalan memasuki ruang klub dengan semangat tinggi. Begitu membuka pintu, sesuatu dalam ruang klub mengejutkan Rema, lebih tepatnya seseorang. Rema melihat sosok Bima tengah melakukan persiapan latihan di dalam ruangan. Kalau saja hubungannya dengan Bima normal seperti biasa Rema tentu tidak akan sampai sekaget atau segugup ini, malah ia akan merasa senang karena memiliki waktu berdua dengan Bima.

Inilah persoalan ketiga yang mengganggu ketenangan hidup Rema beberapa hari ini. Sebenarnya, tidak hanya Indah-Razy saja yang hubungannya mendadak berubah aneh, hubungan Rema dengan Bima juga tidak berjalan normal seperti biasa. Semenjak kejadian malam terakhir di Bali yang tak terduga, hubungan Bima dan Rema tak lagi seakrab dulu. Keduanya selalu saling menghindar, dan berbicara hanya seperlunya saja. Sikap Bima terhadap Rema begitu formal, kaku, tidak cair, dan canggung. Rema sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia tak menyangka akibat dari kejadian itu akan berbuntut panjang hingga saat ini.

Bima segera menyadari kedatangan Rema yang telah memasuki ruang klub. Suasana canggung pun seketika terbangun diantara keduanya. Masing-masing tak bergerak dari posisinya. ”Eh Re, lo baru sampai.”, gugup Bima memecah keheningan. ”Eee, gue ke lapangan

Page 128: winning fano feeling

128

dulu kalau gitu.”, pamitnya seketika, kembali menghindar seperti sebelum-sebelumnya.

”Tunggu, kak!”, cegah Rema, meminta Bima tetap tinggal. ”Bisa kita ngobrol sebentar, beberapa menit saja?”, pintanya dengan sangat. Ia sudah tidak tahan terus-terusan perang dingin dengan Bima.

Bima mengangguk setuju. Mereka berdua pun duduk di kursi panjang tengah ruangan untuk membincangkan masalah yang ada. ”lo mau ngomong apa Re?”, tanya Bima pura-pura tidak tahu.

Rema menarik nafas panjang sebelum memulai. ”Kenapa sih kak Bima sering menghindari Rema akhir-akhir ini? Kakak masih tidak bisa menerima kehadiran Rema disini yah!” Tanpa basa-basi Rema langsung ke inti persoalan. ”Kalau kakak belum bisa menerima Rema sepenuhnya, tidak suka dengan keberadaan Rema di klub, Rema tidak akan memohon untuk tetap dipertahankan lagi. Rema akan keluar dari klub sesuai dengan keinginan kakak.” Rema bangkit berdiri bersiap untuk pergi. Untunglah niatan tidak seriusnya itu tidak benar-benar harus ia lakukan karena Bima segera mencegahnya.

”Sebentar Re!” Bima menahan tubuh Rema, memintanya untuk duduk kembali. ”Maaf kalau lo merasa akhir-akhir ini gue jadi berubah dingin sama lo. Gue akui gue memang sengaja menjauhi lo. Tapi itu bukan karena gue pengen lo keluar dari klub. Bukan. Sama sekali bukan karena itu.”, jelasnya menolak tuduhan-tuduhan Rema sebelumnya.

”Lalu karena apa kak?”, tanya Rema yang telah kembali tenang. ”Mmm, itu karena gue merasa tidak enak dan merasa bersalah

sama lo, Re.”, jawab Bima pelan. Rema mencerna sejenak. ”Apa kakak merasa tidak enak karena

malam itu Rema menyatakan perasaan suka Rema pada kakak?” Bima terdiam. ”Aduh kak Bi! Kalau cuma karena hal itu sih kak Bima tenang aja. Dari awal suka Rema tidak pernah sekalipun berharap lebih sama kakak. Kak Bima nggak perlu merasa bersalah karena udah nolak Rema. Benar! Kak Bi mau jadi sahabat Rema aja itu udah lebih dari cukup.”, jelas Rema meyakinkan, lengkap dengan sebuah senyuman, meski saat berbicara hatinya masih sedikit sakit.

”Sebenarnya bukan karena itu saja Re. Rasa bersalah gue jauh lebih besar lagi. Selama ini gue udah sering berburuk sangka terhadap lo. Selalu berpikir negatif tanpa mendengar penjelasan apapun dari lo. Gue salah karena udah dengan mudahnya terpengaruh omongan orang lain tentang lo.”, tambah Bima penuh penyesalan.

”Ya ampun kak! Apalagi kalau cuma masalah itu. Tidak perlu dipikirkan. Rema bisa memaklumi kok. Wajar kan kalau kita sangat

Page 129: winning fano feeling

129

percaya dengan apa yang dikatakan oleh orang yang kita sayang. Yang penting sekarang, kakak mau gak sahabatan lagi dengan Rema?”, tawar Rema menyodorkan jari kelingkingnya pada Bima. Ia ingin mengembalikan keharmonisan hubungannya dengan Bima sebagai sahabat.

”Sahabat?” Alis Bima mengernyit. ”Nggak ah.”, tolaknya dengan santai. Rema langsung murung, tangannya terkulai lemas. ”Gue pengen lo jadi adik angkat gue, Re. Gimana?”, lanjut Bima sembari tersenyum lebar, sukses membuat Rema kaget dan berubah senang.

”Kak Bima jadi kakak angkat Rema?”, tanyanya memastikan. ”Yah kalau lo mau. Lo tahu kan kalau gue itu anak tunggal. Dari

dulu gue berharap banget bisa punya adik, apalagi adik cewek yang suka bola kayak lo.”, cerita Bima, membuat gadis itu begitu tersanjung. Jadi adik angkatnya kak Bima. Aduuh, mimpi apa gue semalam. ”Eh Re, lo mau nggak?”, tanya ulang Bima tak sabar karena Rema tak kunjung memberi jawaban.

”Iya, mau-mau!”, teriak Rema tanpa sengaja penuh semangat. Tawa Bima langsung pecah melihat ekspresi wajah Rema yang berubah merah.

”Bagus-bagus. Sekarang gimana kalau kita siapkan bareng perlengkapan latihan buat sore ini? Sebentar lagi yang lain pasti datang. Lo bawa bola keluar lapangan yah Re!”, perintah Bima.

”loh, kok masih manggil lo-gue? Itu kan tidak sopan, kakak!”, tegur Rema dengan nada bercanda.

”Hahaha! lo tuh eh kamu tuh ada-ada aja Re.” Bima geleng-geleng kepala. Rema ikut tertawa. Hatinya terasa sangat bahagia. Orang yang ia sukai selama ini berada disampingnya dan mereka tertawa bersama. Walaupun tidak hadir sebagai pacar, melainkan hanya sebagai kakak angkat, tapi itu tidak mengurangi kebahagiaan yang ada.

Beberapa menit kemudian, salah seorang pemain pun datang memasuki ruang klub, dia adalah Juki. Begitu masuk, Juki langsung dibuat keheranan dengan keakraban yang diperlihatkan Bima dan Rema. ”Wah, udah akur lagi nih berdua. Baguslah, biar suasana tim makin enak.”, komentarnya dalam hati. Menyusul Juki, para pemain lain mulai muncul berdatangan. Gary, Ilham, Maksi, dan seterusnya sampai yang paling terakhir yakni Fano. Ya, tidak seperti biasanya latihan kali ini Fano datang terlambat. Dan dari keterangan yang disampaikan Fano pada Rema, selama seminggu ini jatah waktu kerja Fano di Latino Resto akan ditambah beberapa jam sebagai konsekuensi atas keabsenannya selama mengikuti training camp di Bali kemarin.

Page 130: winning fano feeling

130

Begitu semua pemain sudah lengkap hadir, Rema memberi instruksi pada semuanya untuk berkumpul sebentar sebelum kegiatan latihan dimulai. “Guys, kita kumpul dulu yuk bentar! Ada yang mau gue sampaikan.”, ajaknya diikuti seulas senyuman. Kalau mood sedang baik rasanya ingin selalu tersenyum kapanpun dan dimanapun. Para pemain segera mencari posisi yang enak dan strategis untuk mendengar pengumuman sang manajer. Ada yang memilih duduk di kursi, berselonjoran di lantai, dan ada pula yang berdiri bersandar di tembok. Sementara itu, Rema memilih berdiri menghadap seluruh pemain.

“Gue mau umumkan nama-nama tim yang akan menjadi lawan kita di babak penyisihan grup.” Rema menatap serius para pemain di hadapannya. “Dari hasil drowing, tim kita masuk ke grup D. Di grup ini kita akan bersaing meraih posisi juara dan runner-up grup dengan tim-tim dari SMU Kencana Nusantara, SMK Perkasa, dan Lamandau International High School.” Rema memberi jeda sejenak untuk melihat reaksi para pemain. Terlihat skuadnya terkulai lemas tidak bersemangat atas hasil pembagian grup tersebut. Tanda tanya pun menari-nari di kepala Rema. “Kalian kenapa, kok mendadak lesu gitu?”

“Gimana kita gak lesu Re, tim-tim yang lo sebutin tadi tim jagoan dan favorit juara semua. Benar-benar sial kita masuk grup neraka”, keluh Juki dengan raut wajah kesal. Rema masih bingung belum begitu mengerti. Ini kali pertamanya mengikuti event kejurnas. Masih sangat minim pengetahuan yang ia miliki tentang tim-tim lawan. Sebelumnya mana pernah Rema terlibat dalam Kejuaraan Nasional antar SMU yang rutin diadakan setiap setahun sekali itu. Melihat ekspresi Rema yang masih penuh tanda tanya, Fedi pun memberikan penjelasan lanjutan. “Gini Re, SMA Kencana Nusantara itu tradisi juaranya kuat, mereka sudah tiga kali juara sepanjang Kejurnas berlangsung. Sementara SMK Perkasa, mereka baru sekali juara dan itu tahun lalu. Nah yang satu lagi, Lamandau International High School, walaupun baru tiga kali ikut ajang ini tapi grafik mereka meningkat terus setiap tahun. Tahun lalu saja mereka sampai tembus final. Nah, sekarang terbayang kan sama lo seberat apa lawan-lawan kita.”

Rema manggut-manggut sendiri sembari mencerna informasi Fedi. “Hmm, jadi yang satu favorit juara, satunya juara bertahan, terus yang satunya lagi difavoritin jadi juara. Waa, bagus dong kalau gitu!” Semua pemain menatap Rema ngeri, menduga sang manajer sakit jiwa karena bereaksi seantusias itu. “Eh coba kalian bayangkan, dari awal kita sudah dapat lawan yang kuat dan tangguh. Itu artinya kita gak boleh santai-santai tapi harus langsung panas tancap gas sejak pertandingan perdana. Bukankah itu hal yang bagus? I think every

Page 131: winning fano feeling

131

game's got to be a final for us now! Kita gak boleh main-main.” Semua tertawa tak percaya mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Rema. Meski terdengar seperti menggampangkan keadaan, tapi ucapan Rema sebenarnya lebih dimaksudkan untuk mengangkat moril para pemain.

“Re, yang jadi lawan pertama kita siapa?”, tanya Bima selanjutnya.

“Tunggu sebentar,” pinta Rema mengecek isi kertas yang semrawutan terjejal di tangannya terlebih dulu. “Nah, ini dia.”, gumamnya begitu menemukan kertas yang berisi data jadwal pertandingan. “Lawan pertama kita minggu nanti adalah tim SMA Kencana Nusantara, lalu berikutnya SMK Perkasa dan terakhir Lamandau.” Bima saling bertatapan penuh arti dengan Maksi, Juki, Fedi, Ilham, Hendra dan Faisal usai mendengarkan pemberitahuan Rema. Mereka seperti tengah mengenang sesuatu.

“Ada yang menarik Bi dengan lawan pertama kita ini?”, tanya Fano penasaran.

“Hanya sedikit kenangan buruk saja, Fan.”, jawab Bima singkat. “Memangnya pernah ada kejadian apa kak? Kita pernah

dikalahkan yah?”, serobot Rema tak sabar. “Bukan dikalahkan lagi Re. Tapi kita dibantai habis tahun lalu di

perempat final, skornya 4-1.”, jawab Juki membuat mental semua pemain kembali down, begitupun dengan Rema.

Melihat situasi yang berubah tidak mengenakan, buru-buru Bima mengambil tindakan. “Sudah-sudah. Itu kan tahun lalu. Tahun ini saatnya kita yang membantai mereka.”, hiburnya coba menaikkan kembali semangat juang rekan-rekannya. “Ayo kita latihan! Re, peralatannya sudah kamu persiapkan kan?” Rema mengangguk pelan. Pikirannya masih berkecamuk seputar tragedi pembantaian yang baru diceritakan Juki. Ternyata perjuangan tim di kejurnas sangat-sangat berat. Pantas jika Bima begitu kecewa saat tahu ia terlibat dalam taruhan. Ini bukan sembarang kompetisi. Kehormatan, harga diri, nama besar, semua dipertaruhkan. Sangat egois jika itu semua sampai terabaikan karena persoalan sepele.

“Kak Ilham, kakak kenapa? Tangan kakak baik-baik saja kan!”, tanya Rema risau saat melihat Ilham belum beranjak ke lapangan dan malah sibuk memijati tangan kirinya sendiri. “Sini kak Rema pijitin tangannya.”

“Nggak Re, nggak usah,” tolak Ilham halus, “Tangan gue gak kenapa-kenapa kok, cuma pegal dikit aja karena terlalu sering diforsir

Page 132: winning fano feeling

132

kerja.”, tambahnya disertai senyuman untuk menenangkan hati Rema. Ilham pun segera menyusul ke lapangan.

Melihat kondisi Ilham, rasa khawatir Rema semakin bertambah besar. Bagaimana tidak? Ilham adalah penjaga gawang tim satu-satunya. Dan menurut cerita Bima, selain sibuk di klub bola, setiap hari sang kiper juga harus bekerja di bengkel milik keluarganya. Entah apa yang akan terjadi dengan tim kalau sampai Ilham cedera. Tapi untuk mencari kiper cadangan dalam waktu seminggu hampir tidak mungkin. Yang jelas persiapan menghadapi kemungkinan terburuk harus tetap ada. Rema paham untuk segera menemukan jalan keluar.

Teeeeet! “SMU PELITA UNGGULAN! FIGHT-FIGHT-FIGHT!

YEAAH!” “KENCANA NUSANTARA! WE ARE THE CHAMPIONS!” “WAA..!” “Wow! Wow! Wow! Benar-benar kemeriahan yang luar biasa!

Welcome everybody! Sesaat lagi kita akan saksikan bersama partai kedua di grup D Kejuaraan Nasional antar SMU se-Indonesia. Partai kali ini akan menampilkan pertandingan yang penuh aroma dendam. Kita akan lihat apakah tim SMA Pelita Unggulan mampu membalaskan kekalahan menyakitkan di perempat final tahun lalu dari tim SMA Kencana Nusantara, atau justru tragedi yang sama akan terulang? Mmm, menarik untuk kita tunggu tentunya! Ditemani salah satu bintang timnas kita, Bambang Pamungkas, saya Rico Setiawan dari SMA 5 Bandung akan memandu jalannya pertandingan hingga peluit akhir dibunyikan. Baiklah, sebelum menyaksikan pertandingan babak pertama, kita akan berbincang-bincang terlebih dulu dengan tamu istimewa kita kali ini. Selamat sore, kak Bepe apa kabar? Bagaimana prediksi kakak mengenai pertandingan yang akan kita saksikan sesaat lagi?”

“Baik, terima kasih. Pertandingan nanti pasti akan berjalan alot dan ketat. Tentunya kedua tim sama-sama mematok tiga poin demi membuka peluang besar melaju ke babak selanjutnya.”

“Ya, setuju sekali. Apalagi sehari sebelumnya, di partai pertama grup D ini, secara mengejutkan Lamandau International High School berhasil menekuk sang juara bertahan SMK Perkasa dengan skor tipis 1-0. Dan itu artinya mereka berhasil membalas kekalahan di Final tahun lalu. Ada komentar tentang hasil pertandingan kemarin?”

Page 133: winning fano feeling

133

“Ya Rico, Lamandau di luar dugaan sukses mengalahkan Perkasa. Sangat menarik untuk kita tunggu apakah Pelita Unggulan akan meraih hasil yang sama atau tidak?”

“Tentunya anak-anak Pelita Unggulan harus bekerja sangat keras jika ingin mewujudkan hal tersebut. Tapi segala kemungkinan bisa terjadi dalam sepakbola, seperti kata pepatah bola itu bundar, and nothing is impossible. Baiklah, sebelum perbincangan dilanjutkan, kita akan menyaksikan terlebih dahulu aksi-aksi hiburan dari para pendukung kedua kesebelasan yang akan bertanding. Pertama mari kita sambut, aksi dari anak-anak cheerleaders SMA Kencana Nusantara. Yuuhuu!”

Sorak-sorai kemeriahan seketika membahana seantero stadion lapangan sepakbola SMA Handayani yang menjadi tempat berlangsungnya event kejurnas tahun ini. Kemeriahan yang luar biasa tersebut tak pelak membuat semua pendukung dan peserta yang berpartisipasi menahan degup rasa tegang tak terhingga. Begitupun sama halnya dengan Rema. Tak hentinya gadis itu mondar-mandir di depan pintu ruang ganti timnya berusaha untuk menenangkan diri dan meredakan kegugupan. Sayang, usahanya itu tak kunjung membuahkan hasil, yang ada tubuh Rema makin berkeringat dingin karena gelisah.

“Rema!”, panggil seseorang dari arah pintu utama stadion yang menghubungkan area tempat ganti tim dengan lapangan luar sana.

“Airin!”, sahut Rema bahagia, segera berlari menghampiri dan memeluk sang sahabat. “Makasih banget lo ada disini.”, ucapnya sepenuh hati.

Airin tersenyum hangat. “Gue yakin lo sekarang pasti lagi deg-degan banget, makanya gue inisiatif temui lo dulu buat kasih dukungan moril.”

Rema kembali memeluk Airin. “Makasih Rin. Makasih banget. Lo tahu aja kalau gue lagi deg-degan gak ketulungan. Eh, Razy sama Indah datang juga kan?”

“Iya, mereka datang kok, tapi yah pada misah gitu duduknya.”, jawab Airin dengan wajah murung. Airin mengetahui persoalan antara Indah dan Razy karena sekarang –tepatnya setelah keterlibatan Rema dalam taruhan- ketiganya telah kembali bersahabat seperti dulu. Rema-Razy-Airin beserta Indah tentunya. Bahkan Airin mengetahui dengan jelas rahasia apa yang membuat hubungan Razy dan Indah berubah. Hal yang belum Rema ketahui hingga saat ini, dan Airin mengetahui hal tersebut dari Razy.

“Mereka pasti masih belum pada baikan, padahal ini udah lewat seminggu.”, keluh Rema sedih.

Page 134: winning fano feeling

134

Airin menepuk pelan bahu Rema. “Udah, lo tenang aja. Urusan mereka biar gue yang tangani. Gue jamin dalam beberapa hari dua pasangan sial itu akan kembali berbaikan. Lo fokus aja sama pertandingan.” Airin tersenyum meyakinkan. Rema sedikit bertanya-tanya darimana datangnya keyakinan Airin itu. Mungkin Airin ingin buat gue tenang, duga Rema. Dan entah kenapa Rema mempercayai begitu saja ucapan Airin tersebut. Hatinya kini terasa jauh lebih tenang.

“Selanjutnya, kita akan saksikan aksi dari tim cheerleaders SMU Pelita Unggulan. Mari kita beri tepuk tangan semeriah mungkin!!!” Suara Rico kembali terdengar dan kini sang komentator memanggil tim cheers Airin untuk tampil.

“Aduh Re, gue mesti balik ke lapangan sekarang. Semangat yah! jangan gugup atau takut, oke! Fighting!” Airin segera berlari menuju lapangan. Rema menatap gadis itu hingga sosoknya menghilang dari kejauhan.

Airin benar. Gue gak boleh takut. Gue harus yakin dengan kemampuan tim. Kami pasti bisa memenangkan game ini, capai semi final atau bahkan final lalu juara. Semangat Re! Setelah mentalnya cukup kuat, Rema pun dapat percaya diri menemui para pemain. Tadi ia sempat ragu memasuki pintu kamar ganti karena takut kegugupannya hanya akan menyusahkan para pemain, dan bukannya membantu seperti apa yang seharusnya seorang manajer perbuat. Sekarang Rema telah siap untuk melaksanakan tugasnya. Kegugupan memang masih ada, tapi itu sudah bisa ditanganinya sekarang.

“Semua, ayo berkumpul! Kita berdoa dulu sebentar.”, ajak Rema pada para pemain. Semua kemudian berkumpul membentuk lingkaran. Rema menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara. “Teman-teman, inilah saatnya kita tunjukan apa yang selama ini telah kita lakukan, usahakan, dan perjuangkan bersama-sama. Yakinlah selalu bahwa kita pasti mampu melakukan dan meraih apa saja, termasuk kemenangan di hari ini.” Rema menatap serius semua pemain. “Kak Bima, closing statement?” Rema menoleh ke arah sang kapten.

“Ya?” Bima terhenyak dari lamunannya. “Mmm, gue cuma ingin mengingatkan semua untuk tetap fokus pada pertandingan ini. Apapun hasil pertandingan kemarin, jangan sampai itu membuat kita terbebani. Kita justru harus semakin terpacu.” Semua mengangguk mengerti. Hasil pertandingan kemarin antara SMK Perkasa dengan Lamandau memang sedikit banyak mempengaruhi mental pemain. “Baik, gimana kalau kita langsung berdoa? Semoga di pertandingan nanti kita bisa mengeluarkan segala kemampuan terbaik kita. Oke, berdoa dimulai!” Dengan penuh khidmat anak-anak Pelita Unggulan tertunduk

Page 135: winning fano feeling

135

mengucap doa yang sama. Rema begitu terharu dengan apa yang terjadi saat ini. Untuknya, ini adalah kali pertama ia berharap begitu besar dan berdoa begitu tulus dalam menghadapi suatu momen tertentu di hidupnya. Semoga momen seperti ini tidak akan cepat berakhir, tambah Rema dalam doanya. “Ya, selesai. Ayo kita yel-yel dulu!”, ajak Bima disambut uluran tangan dari semua kawannya.

“Pelita Unggulan!”, teriak Bima penuh semangat. “Fight! Fight! Fight!” Sesaat setelah itu terdengar pengumuman dari Rico sang

komentator yang meminta kedua tim segera beranjak memasuki lapangan. Rema beserta para pemain bergegas meninggalkan ruang ganti. Begitu keluar pintu ruangan, mereka langsung berhadapan dengan kesebelasan lawan yang pastinya juga akan pergi menuju tempat pertandingan.

Suara Rico kembali terdengar. Kali ini sang komentator mengumumkan bahwa pertandingan babak pertama sesaat lagi akan dimulai. Kedua tim diharap segera berada di lapangan. Rema hanya bisa mengantar Bima cs sampai pintu luar. Ia beserta keempat pemain cadangan tim lainnya yakni Angga, Gary, Paundra, dan Candra akan duduk di sisi lapangan di mess yang telah disediakan oleh panitia.

Akhirnya, kedua tim pun memasuki lapangan. Sorak sorai para suporter kian membahana seisi stadion. Berbagai teriakan penyemangat dikumandangkan oleh masing-masing pendukung kesebelasan yang bertanding. Tak hanya itu terdengar pula bunyi terompet dan drum yang makin menyemarakan suasana.

Kegugupan Rema kembali tak terkendali manakala melihat histeria penonton yang begitu besar. Semenjak duduk di bangku tempat pelatih dan pemain cadangan, Rema tak dapat tenang sedikitpun. Kakinya terus menghentak gelisah, jantungnya menderu cepat, membuatnya nyaris tak bisa bernafas. Angga yang duduk di sebelah Rema dapat melihat dengan jelas kegugupan sang manajer.

”Kak Rema, kakak harus tenang. Kalau kakak gugup nanti tidak bisa fokus pantau pertandingan. Tenang kak, semua pasti baik-baik saja.”, hibur Angga. Rema tersenyum lemah menanggapi perhatian juniornya tersebut. Angga benar, kalau terus-terusan gugup seperti ini, ia hanya akan makin menyulitkan keadaan. ”Makasih, Ngga”, ucap Rema tulus. Kini ia dapat menyaksikan jalannya pertandingan dengan perasaan lebih ringan.

Sayang, beberapa detik kemudian ketenangan Rema harus kembali terusik. Kali ini bukan kehebohan stadion yang mengganggu pikiran sang gadis, tapi hal lain yang Rema sendiri tidak pahami kenapa

Page 136: winning fano feeling

136

bisa sampai mempengaruhinya. Jadi secara tidak sengaja Rema melihat adegan saling tatap dan lempar senyum antara Fano dengan salah satu anak cheers sekolah. Perut Rema mendadak mulas melihat pemandangan manis itu. Apalagi saat anak cheers tersebut meneriakan kata-kata penyemangatnya khusus untuk Fano, perasaan Rema semakin bertambah aneh. Setahunya, Fano bukan tipe cowok yang mudah tersenyum kepada siapa saja, apalagi ke cewek. Apa ada sesuatu di antara mereka? Aah, Rema cukup! Lo harus fokus ke pertandingan. Fokus..fokus! Ingat itu!

’Para penonton sekalian di lapangan olahraga SMA Handayani, tak lama lagi kita akan saksikan bersama babak pertama partai kedua grup D kejurnas antar SMU yang menampilkan sang favorit juara SMA Kencana Nusantara dan tim kuda hitam yang terus meningkat prestasinya, tim SMA Pelita Unggulan. Dan yah, kick off babak pertama akan dilakukan sesaat lagi. Kini kedua tim telah memasuki area lapangan dan menempati posisinya masing-masing.’

’Sebagai catatan, sepanjang sejarah kejurnas kedua tim telah bertemu sebanyak tiga kali. Dan hasilnya, dua kemenangan berhasil diraih SMA Kencana Nusantara, sementara sisanya kedua tim bermain imbang. Kekalahan terakhir yang diterima SMA Pelita Unggulan adalah setahun lalu saat kedua tim bertemu di babak perempat final. Pada pertandingan sore ini, menarik untuk kita tunggu apakah SMA Pelita Unggulan mampu memperbaiki rekor pertemuan mereka dengan Kencana Nusantara atau tidak?’

PRIIIT! ’Yah, kick off babak pertama telah dimulai. Bola kini dikuasai

oleh tim SMA Kencana Nusantara’ Suasana lapangan kian meriah usai peluit dibunyikan. Meski

hanya sebuah event kejurnas antar SMU dengan fasilitas lapangan yang tidak semegah stadion GBK, dan tribun penonton yang hanya memuat beberapa ribu orang saja, namun bagi Rema ini merupakan pertandingan sepakbola terbesar yang pernah disaksikannya.

’Wow, benar-benar pertandingan yang seru. Kedua tim sama-sama langsung melakukan gebrakan serangan. Apakah pada pertandingan sore ini akan tercipta banyak gol? Kita masih harus menunggu. Yah, serangan kini dilancarkan oleh SMA Kencana Nusantara melalui pemain tengah bernomor punggung 7, Beni. Pelita Unggulan tentu saja tidak tinggal diam. Ada Fedi disana yang siap menghadang pergerakan Beni. Tapi Beni berhasil lolos saudara-saudara. Dengan kelihaiannya sang gelandang sukses mengecoh lawan..’

Page 137: winning fano feeling

137

Rema berkonsentrasi penuh memperhatikan jalannya pertandingan yang ada di depan mata. Suara riuh penonton yang sedikit mengganggu berusaha ia tepis agar tak sampai mengganggu pantauannya. ”Ayo kak Bima, rebut bolanya!”, desis Rema greget.

’Kembali lolos saudara-saudara. Beni dengan mudahnya melewati begitu saja para pemain Pelita Unggulan. Dan kini ia sudah berada di daerah pertahanan lawan.’

”Aduh,,aduh, bagaimana ini?”, resah Rema menahan napas. Situasi berbahaya tengah dihadapi timnya.

’shooting langsung! Dan,,, sayang sekali, berhasil digagalkan oleh kiper Pelita Unggulan. Terlalu mudah rupanya tendangan dari Beni tadi untuk diantisipasi Ilham. Kini giliran Pelita Unggulan melakukan serangan, dimulai dari sektor kiri lapangan.’

Rema menarik nafas lega setelah tadi jantungnya sempat terhenti karena mengira tendangan keras Beni akan lolos dari blocking Ilham. Kejadian seperti ini sangat mungkin terjadi lagi selama pertandingan berlangsung. Rema harus mempersiapkan diri untuk itu.

”Kalau kita berhasil mencuri gol lebih dulu itu akan menaikan mental dan semangat para pemain. Tapi kalau sampai kita yang kebobolan duluan, keadaannya justru akan terbalik”, kata Angga tiba-tiba berkomentar. Rema langsung tertarik dengan apa yang baru saja dikemukakan oleh Angga. Lebih jauh, Rema tertarik dengan profil juniornya yang sedikit unik tersebut.

”Gue dengar lo dulu mantan pemain basket yah Ngga?”, tanya Rema, cukup mengagetkan sang lawan bicara.

”Ah itu,, bagaimana kakak bisa tahu?”, tanya balik Angga. ”karena gue manajer tim ini.”, jelas Rema singkat. Angga tertawa

pelan. ”Jadi, kenapa lo tinggalin basket dan malah mulai dari nol lagi di sepakbola?”, tanya Rema tidak henti menginterogasi karena memiliki suatu misi tertentu.

”Sebenarnya dari kecil gue pengen jadi pemain sepakbola. Tapi, bokap pengen gue jadi atlit basket meneruskan jejaknya. Jadi yah gue dilatih basket dari kecil.”

Rema mengangguk kecil. ”Terus sekarang kenapa lo bisa ada di tim ini bukan di tim basket? Apa bokap lo nggak melarang?” Rema semakin tertarik dengan kisah hidup Angga. Dari sejak pertama tahu kabar ini, sebenarnya ia sudah ingin bertanya dan mencari tahu. Tapi karena waktu yang mepet serta kesibukan yang padat di klub, baru sekarang Rema bisa memuaskan rasa penasarannya.

”Gue bisa ada di tim bola sekarang itu juga karena bokap. Setahun lalu gue ikut tes masuk klub yunior Perbasi, tapi gagal. Selang

Page 138: winning fano feeling

138

beberapa hari dari kegagalan gu itue, bokap tiba-tiba dipecat dari kursi pelatih salah satu klub peserta Liga Basket Indonesia. Keluarga gue langsung mengalami krisis keuangan, karena selama ini biaya hidup kami hanya dari basket. Semenjak kejadian itu, bokap berubah 180 derajat. Dia tidak mau gue jadi atlit basket lagi atau atlit apapun. Dia takut gue mengalami nasib yang sama seperti dirinya. Tapi gue udah terlanjur jatuh cinta dengan dunia olahraga. Jadinya sekarang tanpa sepengetahuan bokap, gue masuk klub bola dan mencoba mengejar impian gue sewaktu kecil.” Tanpa beban dan dengan mengalirnya Angga menceritakan sebagian kisah hidupnya pada Rema. Dia sudah menganggap Rema seperti kakaknya sendiri hingga dapat dengan mudah berbagi kisah. Rema beberapa kali menepuk pelan bahu Angga sebagai tanda simpati dan dukungan. Selanjutnya, mereka berdua kembali fokus pada pertandingan yang sudah memasuki menit ke lima belas.

'Oh, telah terjadi pelanggaran rupanya. Juki, pemain belakang Pelita Unggulan baru saja menjatuhkan Aiman. Dan kini tendangan bebas dihadiahkan wasit bagi tim SMA Kencana Nusantara. Siapakah yang akan mengeksekusi bola mati yang hanya berjarak 15 meter dari gawang tersebut? Oh, rupanya Aiman sendiri yang akan melakukan free kick.'

Dengan jarak segini gol bisa saja terjadi. Saat uji coba dulu, tim sempat kebobolan oleh sebuah tendangan bebas. Semoga saja kali ini tidak terulang, Rema berharap-harap cemas.

'Yah, free kick dilakukan! kembali shooting langsung dari Kencana Nusantara. Dan kembali, Ilham berhasil menyelamatkan gawangnya dari kebobolan. Corner kick untuk Kencana Nusantara. Wow, Pelita Unggulan benar-benar digempur pertahanannya oleh Kencana Nusantara. Jika keadaan ini terus berlanjut dan Pelita Unggulan tidak segera keluar dari tekanan, maka gol bagi Kencana Nusantara hanya tinggal menunggu waktu.'

Rema semakin stres mendengar komentar Rico barusan. Bukannya ia tidak terima dengan pernyataan sang pemandu pertandingan yang seolah menyudutkan timnya itu. Justru Rema sangat setuju dan sadar bahwa ucapan Rico tadi adalah kenyataan. Jika timnya terus bermain bertahan seperti ini, hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi, tidak kebobolan atau justru kebobolan banyak. Dan biasanya kemungkinan kedua lah yang sering terjadi.

'Bola sedang dipersiapkan di sudut lapangan. Ada empat orang pemain Kencana Nusantara yang saat ini menanti di kotak penalti Pelita Unggulan. Sementara itu delapan pemain Pelita Unggulan

Page 139: winning fano feeling

139

berjaga ketat di daerah pertahanannya. Wasit meniup peluit. Bola hanya dioper saja oleh Aiman kepada Beni. Dioper lagi oleh Beni pada Aiman. One-two passing. Kembali Aiman menguasai bola. Tiga bek Pelita Unggulan dengan setia terus menjaga dua punggawa tim lawan mereka.’

’Passing jauh melambung dari Aiman. Di-heading saja oleh Deni! Sayang sekali masih membentur tiang gawang. Dan bola kini jatuh tepat di kaki Luki, pemain belakang Pelita Unggulan. Yah, saatnya sekarang bagi anak-anak Pelita Unggulan untuk keluar dari tekanan dan balik menekan Kencana Nusantara. Serangan mulai dibangun dari tengah melalui Kemal dan Bima. Nampak Maksi dan Stefano bersiap menyambut bola dari rekannya tersebut.’

’Apa yang terjadi saudara-saudara? Perebutan bola yang sengit berlangsung antara Bima dan Deni di lapangan tengah. Bima berusaha mempertahankan bola, dan diluar dugaan Deni berhasil merebut bola dari Bima dengan mulus. Bola langsung saja ditendang jauh ke depan oleh Deni. Aiman yang masih berada di daerah pertahanan Pelita Unggulan langsung menyambut umpan matang dari Deni. Tidak OFFSIDE!! Pemain belakang Pelita Unggulan berusaha sekuat tenaga menghadang Aiman. Namun terlambat, kini sang striker telah berada di jantung pertahanan lawan dan siap berhadapan langsung dengan Ilham. Akankah Aiman kembali melakukan sepakan langsung dan membuat timnya unggul terlebih dulu?’

’Yah, shooting Aiman! Bukan tendangan langsung yang mengarah ke gawang, bola justru diarahkan ke samping. Apa yang ada dipikiran Aiman saat ini? Wah! Wah! Rupanya itu sebuah umpan saudara-saudara! Beni tiba-tiba saja muncul dari arah belakang dan langsung menyambut bola hasil sepakan Aiman tadi. Ilham yang terkecoh pun mati langkah. Dan, GOOOOL!! Beni berhasil merubah kedudukan menjadi 1-0 bagi tim SMA Kencana Nusantara pada menit ke 24 di babak pertama. Gol yang berawal dari kesalahan pemain tengah lawan ini berhasil dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Aiman dengan memberikan sebuah umpan cantik bagi rekannya, Beni. Dan Beni ’the right man in the right place’ melakukan finishing baik yang berbuah gol pertama bagi keunggulan timnya.’

Rema dan juga seluruh pendukung tim Pelita Unggulan tentu merasa kecewa dengan gol lawan yang tercpta ini. Gol tersebut tidak hanya membuat timnya tertinggal, namun juga berpotensi menurunkan semangat dan moril para pemain. Oleh karena itu, Rema sadar untuk tidak berlarut-larut dalam penyesalan dan segera berfikir cepat mencari cara demi mengantisipasi situasi berbahaya ini. Dengan skor 0-1,

Page 140: winning fano feeling

140

timnya jelas berada di posisi yang tidak menguntungkan. Ia harus mencegah keadaan bertambah buruk atau makin tak terkendali.

”Kak Kemal! Kak Kemal!”, teriak Rema memanggil Kemal yang berada di sisi lapang terdekat sembari bergerak maju mendekatinya. Kemal mengalihkan pandangan pada Rema lalu perlahan menghampiri sang manajer. Di saat lawan tengah sibuk melakukan selebrasi gol, Rema sengaja mencuri kesempatan untuk berkomunikasi dengan pemain. ”Kenapa, Re?”, tanya Kemal.

”Kasih tahu ke semua untuk bermain lebih bertahan dulu”, ucap Rema singkat.

”Loh?!” Ilham tersontak. ”Re, kita ini baru saja tertinggal satu gol. Kalau kita bertahan kita akan sulit membalas apalagi mengejar skor.”, jelas Kemal tidak setuju dengan apa yang Rema instruksikan.

”Iya Rema tahu. Justru itu untuk sementara kita harus sabar bermain bertahan dulu kalau tidak ingin tertinggal lebih jauh.”

Priiit! Wasit memberi isyarat pertandingan akan dilanjutkan kembali. Rema pun harus mengakhiri percakapan singkatnya dengan Kemal dan balik ke pinggir lapang tempatnya berada.

”Kenapa kakak menyuruh para pemain untuk mundur bertahan?”, tanya Angga heran setelah mengetahui apa yang terjadi dari Rema.

”Dengan posisi baru saja unggul semangat tim lawan saat ini sedang meningkat berlipat-lipat untuk bisa menciptakan gol lagi. Mental mereka lebih terangkat dan kepercayaan diri pun semakin tinggi. Sementara keadaan yang terbalik menimpa para pemain kita. Kalau kita memaksakan langsung melakukan gempuran serangan demi mengimbangkan skor kembali ditakutkan hasil yang lebih buruk akan terjadi.”

”kok bisa?” ”Ya bisa saja karena mental para pemain kita masih labil dan

lemah. Dalam menyikapi ketertinggalan bukannya berusaha tetap tenang dan memperbaiki kelemahan tim yang menjadi celah buat lawan, yang ada mereka malah cenderung menjadi gegabah, serba terburu-buru dan kacau dalam melakukan serangan atau membangun pertahanan. Jadi lebih baik yah kita lebih fokus bertahan dulu. Selain untuk menahan gempuran serangan lawan yang akan makin meningkat, juga untuk mengembalikan kembali semangat dan kepercayaan diri para pemain. Setelah itu baru taktik menyerang diterapkan lagi. Kalau taktik itu diterapkan langsung sekarang dikhawatirkan hasilnya tidak akan maksimal, dan justru akan berbalik jadi senjata makan tuan.”

Angga berusaha mencerna dengan baik penjelasan Rema tersebut. Ada beberapa poin yang tidak ia mengerti sebetulnya. Gary,

Page 141: winning fano feeling

141

Paundra, dan Candra yang ikut menyimak setali tiga uang dengan Angga, mereka sama-sama tidak terlalu paham. Meski begitu, mereka tidak berani bertanya lebih lanjut karena Rema terlihat sangat serius menyaksikan jalannya lanjutan pertandingan.

’Kick off untuk Pelita Unggulan. Dioper saja bola ke belakang oleh pemain bernomor punggung 10, Di Stefano, dan kini bola berada dalam penguasaan Kemal, pemain bernomor 22. Kemal memberikan bola pada Gobin, dan Gobin segera menggiring bola tersebut menuju ke area pertahanan lawan. Kelihatannya SMA Pelita Unggulan tidak ingin berlama-lama dalam posisi tertinggal.’

Tanpa Rema duga ternyata permainan timnya tidak berubah seperti apa yang ia instruksikan. Mereka masih tetap menerapkan taktik menyerang. Terbukti dari pergerakan pemain yang kian maju ke daerah pertahanan lawan. “Sepertinya instruksi gue tidak mereka jalankan.”, simpulnya. ”Sudahlah, gak masalah, yang terpenting gue harus tetap percaya pada kemampuan para pemain. Mereka pasti punya pertimbangan sendiri. Semoga saja kekhawatiran gue tadi tidak terbukti.”

Namun sayang, kenyataan yang terjadi justru sesuai dengan apa yang Rema khawatirkan sebelumnya. Terlalu bernafsu untuk menyamakan kedudukan, pertahanan tim Pelita Unggulan jadi terbengkalai dan semakin membuka banyak celah. Kelemahan itu lalu dimanfaatkan sebaik mungkin oleh lawan sehingga mereka berhasil kembali menciptakan gol bahkan sampai dua kali. Skor pun berakhir 3-0 untuk keunggulan lawan hingga akhir babak pertama.

Suasana yang jauh berbeda dari saat sebelum pertandingan dimulai berlangsung di ruang ganti tim SMA Pelita Unggulan. Tak ada senyuman, candaan ataupun gurauan di waktu istirahat babak pertama ini. Semua pemain tertunduk lesu usai menjalani babak pertama yang berakhir menyesakkan, kalah telak 3-0. Sebagai manajer, Rema tentu berkewajiban mengangkat kembali semangat para pemain. Tapi bagaimana bisa ia melakukan hal tersebut sementara kondisinya sendiri tidak jauh berbeda, sama-sama terpukul.

”Fiuh, 45 menit yang berat yah. Defisit tiga gol, agak sulit juga. Tapi, hey, masih ada 45 menit babak kedua. Bukan tidak mungkin kan kita mengejar defisit tiga gol tersebut di babak kedua nanti. Liverpool saja bisa menyusul ketertinggalan 3 gol dari AC Milan dalam waktu enam menit ketika final liga champions. Kenapa kita enggak? kita pasti bisa melakukan hal yang sama.”, kata Rema coba menjalankan tugasnya dengan baik.

Page 142: winning fano feeling

142

”Itu kan Liverpool, kak, makanya bisa.”, respon Gary penuh kepesimisan.

”Yah memang kita bukan Liverpool, dan lawan kita juga bukan AC Milan. Hanya saja pada intinya posisi kita sama dengan Liverpool, sama-sama pernah berada dalam posisi tertinggal hingga tiga gol. Mengenai apa kita bisa mengalami akhir yang sama dengan Liverpool? itu tergantung kita sendiri mau berusaha atau tidak.”

Para pemain inti masih juga berdiam diri. Rema kehabisan akal harus bertindak apa lagi untuk mengangkat moril timnya. Sepertinya gue nggak ada bakat jadi manajer, batin Rema balik menyalahkan diri sendiri.

”Re, kok lo diam lagi?”, tanya Juki tiba-tiba. ”Hah?” Rema terperangah tak mengerti. ”Kenapa lo sekarang diam lagi seperti tadi saat pertandingan

berjalan? Apa hanya itu yang bisa lo lakukan sebagai manajer tim. Diam, diam, dan diam! Lo tahu kan Re kalau memberi pengarahan para pemain ketika pertandingan berjalan itu adalah tugas terpenting seorang manajer. Tapi apa yang lo lakukan tadi, hanya mematung saja dipinggir lapang.”, ketus Juki mengkritisi kinerja Rema sebagai manajer.

”Heh Juki, lo boleh kesal dengan hasil skor saat ini. Tapi lo nggak boleh berbicara sekasar itu sama Rema. Jangan menyalahkan dia! Kita semua seharusnya saling introspeksi diri.”, ucap Ilham berdiri di pihak Rema.

”Gue nggak bermaksud nyalahin Rema atas kekalahan kita, Ham. Gue cuma komplain kenapa tadi dia tidak memberi pengarahan apa-apa pada pemain. Apalagi dengan kondisi kita yang tertinggal harusnya dia segera mencari cara untuk memperbaiki atau mungkin merubah strategi. Dia kan berada di pinggir lapang, jadi bisa melihat secara jelas permainan kita dan lawan seperti apa.”

”Cukup! cukup!”, potong Kemal meredam situasi tak mengenakkan yang ditimbulkan Juki dan Ilham. ”Gue yang salah. Sebenarnya Rema udah kasih instruksi ke gue sewaktu gol pertama terjadi agar kita bermain bertahan dulu. Tapi karena kurang setuju, gue gak sampain ke pemain yang lain. Sori Re selama ini gue sebenarnya meragukan kemampuan lo, ternyata gue keliru.” Raut penyelasan tergurat jelas di wajah Kemal dan juga Juki. Juki malah berubah salah tingkah setelah mendengar perngakuan Kemal. ”Re, maafin gue, gue nggak tahu lo...”

”Sudahlah kak, itu nggak penting.”, potong Rema buru-buru. ”Nggak ada yang perlu meminta maaf atau memaafkan di sini. Sebagai sebuah tim kita harus selalu saling percaya. Itulah yang coba Rema

Page 143: winning fano feeling

143

lakukan di babak pertama tadi. Mempercayakan apapun keputusan kalian saat di lapangan. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah tindakan apa yang mesti diambil di babak kedua nanti untuk memperkecil keadaan. Kalau perlu kita samakan skor atau bahkan balik mengungguli mereka. Mmm, ada yang punya usul?” Rema meminta usulan para pemain. Sesaat suasana hening karena semua kini tengah berpikir keras.

”Kalau ingin mengejar ketertinggalan skor yang ada saat ini tentunya kita tidak bisa hanya bermain bertahan saja. Kita harus menerapkan strategi menyerang yang efektif, apik, dan yang tidak mudah terbaca oleh lawan.”, gumam Fedi memberikan analisa. Rema beserta yang lain kemudian memikirkan masak pendapat sang defender tersebut.

”Re, lo ganti Bima dengan Candra”, celetuk Fano tiba-tiba mengagetkan seluruh penghuni ruang ganti. Pernyataan kontroversial Fano ini tentu ditanggapi tidak masuk akal oleh rekan-rekannya, termasuk Rema.

”Fan, maksud lo apa nyuruh gue tarik kak Bima? Lo jangan main-main ah!”, tegur Rema kesal dengan jalan berpikir Fano. Bagaimana mungkin kak Bima gue tarik keluar? Dia kan pemain inti, kapten pula.

Fano tak kaget mendapat reaksi keras dari Rema maupun yang lain. Ia sendiri punya alasan kuat dibalik usulan yang tidak populernya itu. ”Re, kalau lo nggak bermaksud main-main dengan ucapan lo sebelumnya tadi, sebaiknya lo tarik keluar Bima. Sori Bi, tapi performa lo saat ini jauh dari kata baik. Entah ada masalah berat apa dalam pikiran lo, yang jelas itu udah membuat keberadaan lo menghambat kemajuan tim” Tanpa memilah-milih kata terlebih dulu, Fano begitu to the point memaparkan alasannya.

Sikap blak-blakan Fano ini kembali menuai protes, kali ini datang dari Juki. ”Eh Fan, lo jangan seenaknya gitu nyuruh Rema keluarkan Bima. Memang gue akui tadi Bima bisa dikatakan flop. Tapi performa sedikit menurun bisa menimpa pemain mana pun, bukan berarti harus dijadikan alasan untuk langsung diganti. Lagipula Bima adalah kapten tim. Kalau dia keluar, siapa yang akan gantikan posisinya”, tentang Juki habis-habisan. Suasana ruang ganti pun kembali menegang.

Fano menarik nafas panjang. ”Dengar yah semua, skema permainan kita sama dengan mereka, 4-4-2. Itu artinya tim yang berhasil menguasai lapangan tengah, dialah yang akan mengendalikan jalannya pertandingan. Selama babak pertama tadi tim kita selalu kalah dalam perebutan bola di tengah. Sedangkan untuk melakukan crossing

Page 144: winning fano feeling

144

umpan jauh, kita belum jago dan terbiasa. Kalian bisa mengerti kan sekarang jalan berpikir gue? Gak salah paham lagi!” Semua terdiam usai mendengar penjelasan Fano. Mau tidak mau, mereka harus mengakui kalau apa yang diucapkan Fano ada benarnya.

”Fan, gue sangat mengerti alasan lo barusan, tapi omongan Juki juga ada benarnya. Kita nggak bisa langsung ganti posisi Bima gitu aja. Wajar jika sesekali performa pemain menurun, tapi selalu ada kesempatan untuk perbaikan bukan!”, ucap Fedi mendinginkan suasana.

Fano mengangkat kedua tangannya. ”Ya sudah, sekarang kita tinggal minta komitmennya Bima aja. Bisa tidak dia benar-benar fokus di babak kedua nanti dan mengesampingkan dulu urusan pribadinya?”

Semua mata kini tertuju pada Bima, menunggu jawaban apa yang akan diberikan oleh sang kapten. ”Tarik gue keluar di babak dua nanti Re”, putus Bima diluar dugaan.

”Ta,,tapi kak.”, cegah Rema. ”Udahlah. Semua, Fano benar, dari sejak menit awal pikiran gue

sudah gak fokus ke pertandingan. Hasilnya seperti yang kita semua lihat, gue banyak melakukan kesalahan sendiri. Gol pertama lawan juga berawal dari kesalahan gue yang dengan mudahnya kehilangan bola.”

Suasana serta merta berubah sunyi. Tak ada yang berani buka suara hingga salah seorang dari panitia datang mengabarkan bahwa pertandingan babak kedua akan segera dilanjutkan dalam lima menit.

”Ayo semua, siap-siap kembali ke lapangan!”, teriak Rema memberi arahan. ”Kalian tidak boleh langsung menyerah, oke!”, tambahnya ketika para pemain mulai keluar melewati pintu satu persatu. Hati Rema sangat miris melihat keadaan tim yang begitu memprihatinkan, dan yang paling membuat buruk adalah ia tidak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki semua ini.

Setelah hampir semua pemain keluar meninggalkan ruangan, Rema bersiap menyusul. Sebelum itu Rema menghadap Bima yang masih berdiam diri di ruang ganti sambil tertunduk lesu. “Kak, apa kakak benar-benar ingin ditarik keluar?”, tanya Rema sekali lagi. Bima mengangguk pelan lalu memberikan seulas senyuman paksa. Kesedihan nampak jelas dari sinar mata laki-laki itu yang redup. Keputusan ditarik keluar tentu bukan perkara mudah diambil oleh Bima. Tapi Bima sadar performanya saat ini begitu buruk, dan akan sangat egois jika ia membiarkan teman-teman setim ikut menanggung akibat yang ditimbulkan. Mau tidak mau Rema pun harus pasrah menerima keputusan Bima.

Page 145: winning fano feeling

145

Plok! Plok! Plok! “Hebat! Hebat!” Secara tak terduga Maksi, yang masih belum meninggalkan ruangan, berjalan menghampiri Bima dan Rema sembari bertepuk tangan, lalu mengucapkan kata-kata yang menyinggung Bima. “Hebat! Gue salut sama lo Bi karena berani mengakui segala kesalahan lo. Sayang, rasa kecewa gue terhadap lo jauh lebih besar lagi. Bukannya berusaha memperbaiki kesalahan yang sudah diperbuat, lo malah lari dari tanggung jawab menebus kesalahan.” Tanpa ampun Maksi terus menyindir Bima. “Re, lo bohongin gue yah?”, lanjut Maksi menuduh Rema begitu saja.

“Bohong apa kak?”, tanya Rema merasa tak berdosa. “Lo dulu pernah bilang ke gue kalau Bima ingin berjuang keras

bersama teman-teman seangkatannya di kejurnas kali ini. Lo tahu nggak, gara-gara kebohongan lo itu gue batal hengkang dari klub dan nekat tinggalin grup band gue. Cuih, ternyata ini yang lo maksud berjuang bersama itu. Nyesel gue balik ke klub.” Maksi pun melenggak pergi meninggalkan Bima dan Rema begitu saja seolah tak terjadi apa-apa.

“Haduuuh! Kak Maksi kenapa lagi? Tiba-tiba ngomel gak jelas, nambah-nambahin persoalan aja. Dasar orang aneh!”, gerutu Rema dongkol. “Kak, jangan dimasukin ke hati omongan kak Maksi tadi. Gitu tuh kalau orang yang gak ikhlas, ngeluh aja bisanya. Mmm, kalau gitu Rema balik ke lapangan dulu yah kak!” Meski tidak enak, tapi Rema harus tetap pergi meninggalkan Bima sendiri di ruang ganti.

‘Welcome back everybody! Babak kedua partai di grup D akan segera dilangsungkan sesaat lagi. Skor sementara cukup telak 3-0 bagi SMA Kencana Nusantara. Apa pertandingan akan berjalan membosankan? No no no, skor jauh bukan berarti membuat babak kedua otomatis menjadi milik Kencana Nusantara. Pastinya SMA Pelita Unggulan tidak ingin hasil sementara ini menjadi hasil akhir pertandingan. Selalu ada kemungkinan di setiap kesempatan, bukan? Apapun bisa terjadi dalam sepak bola.’

‘Yah, kita saksikan bersama para pemain sedang bersiap memasuki area lapangan. Mereka telah berdiri menempati posisinya masing-masing. Hmm tapi, kenapa kick off belum dilakukan juga yah? Kelihatannya ada faktor teknis yang sedikit menunda jalannya pertandingan babak kedua. Oh, baru saja saya mendapatkan informasi kalau ada seorang pemain Pelita Unggulan yang belum memasuki lapangan sehingga pertandingan harus sedikit tertunda. Aduh,

Page 146: winning fano feeling

146

bagaimana ini? Semoga saja kita tidak harus menunggu lebih lama lagi.’

“Kalian ini mau bermain dengan sepuluh orang atau mau melakukan pergantian pemain atau bagaimana?”, tanya wasit meminta kejelasan.

“Tunggu sebentar pak wasit, kami akan melakukan pergantian pemain. Hanya saja sepertinya manajer kami belum menginformasikannya pada panitia. Hahaha.. mohon ditunggu sebentar yah pak! Lima menit saja.”, jawab Maksi meminta sedikit waktu. “Aduh, si Rema kemana lagi? Bukannya stand by di pinggir lapang, ini malah ngiilang gak jelas”, gerutunya pelan agar tak terdengar wasit. Tidak hanya Maksi saja yang dibuat kerepotan dengan aksi menghilang dadakan Rema ini, seluruh pemain Pelita Unggulan pun dibuat pusing oleh ulah sang manajer.

Dan ternyata, orang yang sedang dicari-cari itu masih berada di locker room bersama dengan Bima. Tadinya Rema sudah berniat ke lapangan mengikuti Maksi yang terakhir keluar. Namun, tiba-tiba Bima memanggil dan memintanya untuk tinggal sejenak. Tak urung, Rema pun menunda kepergiannya.

“Re, tunggu sebentar!”, panggil Bima sesaat ketika Rema akan melewati pintu ruang ganti.

Rema membalikkan badannya, “Iya, kak. Kenapa?” Dengan raut wajah penuh kebingungan dan tersiksa Bima

menanyakan sesuatu. “Menurut kamu, kalau kakak keluar gitu saja seperti ini keadaan tim akan menjadi lebih baik?”

Mata Rema berputar. Otaknya menimbang-nimbang dengan cermat jawaban apa yang kiranya tepat dan mengena. “Hmm, kalau keadaan tim Rema tidak tahu apa akan menjadi lebih baik atau buruk. Tapi kalau keadaan kakak, Rema yakin tidak akan jadi lebih baik dengan tetap memutuskan keluar.”

Bima terdiam sejenak mencerna pendapat Rema, “Jadi, gue harus gimana?”

“Entahlah. Mungkin kakak hanya perlu mengingat kembali tujuan awal kakak berada di sini. Itu saja.”, ujar Rema memberikan sebuah pesan singkat namun penuh makna. Senyum dukungan menghiasi wajah Rema.

“Lima menit habis. Cepat kalian putuskan akan bermain dengan sepuluh orang atau melakukan pergantian pemain?” Wasit kembali memberi peringatan. Maksi dan Fano saling beradu pandang, melempar tanggung jawab siapa yang harus mengambil keputusan. Tak kunjung mendapat jawaban. Wasit pun membuat keputusan sendiri. “Ya sudah,

Page 147: winning fano feeling

147

saya anggap kalian memilih untuk bermain dengan sepuluh orang. Sekarang juga babak dua kita mulai.”

“Tunggu-tunggu!”, teriak seseorang dari arah sudut lapangan. Semua mata langsung tertuju pada pemilik suara tersebut. “Maaf pak saya terlambat. Tadi perut saya tiba-tiba sakit dan karena tidak tahan, akhirnya saya …”, ujarnya memberi alasan. Wasit langsung memotong penjelasan orang tersebut. “Sudah-sudah, segera mulai pertandingannya. Dan kartu kuning buat kamu Bima karena sudah mengulur-ulur waktu.” Dirogohnya sebuah kartu berwarna kuning dari dalam saku untuk kemudian diangkat ke depan tubuh Bima. Menerima kartu kuning tidak membuat semangat Bima mengendor atau surut, semangatnya kini justru tengah meningkat berkat pencerahan yang didapat di kamar ganti sebelumnya.

“Sakit perut?! Hahaha, nggak ada alasan lain yang lebih keren, Bi?”, sindir Maksi pada Bima dengan nada bercanda.

“Heh, gue nggak jago mengarang kebohongan kayak lo.”, sindir balik Bima. “Anyway, thanks Maks, kata-kata lo tadi nyindir gue banget. Lain kali gue pasti balas omongan nyakitin lo itu. Lo juga Fan, gracias. Gue nggak akan sungkan mengkritik lo balik.” Bima tertawa, begitupun dengan Maksi dan Fano.

“Well, thanks juga lo udah mau gabung lagi bareng kita. Tapi awas kalau sampai lo masih kasih gue umpan jelek. Gue gak akan tolerir lagi.”, ancam Maksi tak serius.

“Hahaha!” Tawa itu kembali membahana. Priiiit! ‘Ya, kick off babak kedua telah kita saksikan beberapa

saat lalu. Setelah sempat tertunda, akhirnya pertandingan dapat dilanjutkan kembali. Bola kini dikuasai oleh pemain Pelita Unggulan dengan nomor punggung 24, Bimasatya Wiluya.’

“Kak Rema!”, panggil Angga begitu melihat batang hidung Rema akhirnya muncul juga. “Kakak dari mana saja? Dari tadi para pemain sibuk mencari kakak. Untunglah masalahnya sudah selesai. Kak Bima tadi muncul begitu saja di lapangan dan membatalkan niatnya untuk keluar.”

“Iya,,iya gue tahu. Udah jangan dibahas lagi. Sekarang mending lo bantuin gue pantau pertandingan, oke!”, pinta Rema tersenyum senang. Tanpa banyak bicara, Angga langsung menjalankan tugasnya sebagai asisten dadakan Rema.

Di babak kedua permainan anak-anak Pelita Unggulan jauh lebih baik dari babak sebelumnya. Bukan semata-mata karena performa Bima yang telah kembali ke sedia kala. Ada faktor lain yang membuat permainan mereka menjadi lebih hidup di babak dua ini. Tumbuhnya

Page 148: winning fano feeling

148

kembali rasa kebersamaan antar pemain dan spirit untuk bermain sepakbola dengan sepenuh hati, itulah yang menjadi kunci peningkatan kualitas permainan mereka. Rema yang berada di pinggir lapang bisa merasakan gaya permainan timnya yang berbeda kali ini.

Bagi Rema pengalaman pertandingan pertamanya ini telah memberikan begitu banyak pelajaran berharga. Ketegangan, kekhawatiran, kesedihan, kekecewaan, juga kebahagiaan, semua ia rasakan sekaligus. Walaupun tim Pelita Unggulan pada akhirnya harus tetap menelan kekalahan dengan skor tipis 3-2, Fano berhasil meciptakan dua gol balasan di menit 72 dan 88 untuk memperkecil keadaan. Tapi, bukankah ada orang bijak yang mengatakan bahwa hasil itu bukanlah segalanya? Ya memang hasil itu penting. Namun terkadang proses dan pembelajaran dari sebuah upaya mencapai hasil jauhlah lebih penting, dengan begitu ketika mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan harapan, kita tidak akan terlalu kecewa atau putus asa karena sudah mendapat banyak ‘hasil-hasil’ lainnya selama perjuangan itu berlangsung. Pelajaran penting itulah yang Rema peroleh.

“It’s not failure that embrrassing, what’s embrrassing is not making the challenge”

Page 149: winning fano feeling

149

BABAK 8

”Mak, nasi goreng dua yah, sama es teh manis juga.”, pesan Rema kepada emak si penjaga kantin sekolah. Seperti biasa Rema bersama sang sahabat Indah tengah menikmati waktu senggang di sela break pelajaran di tempat yang menjadi favorit semua murid, kantin. Kali ini mereka hanya makan berdua, tanpa dihadiri Razy. Sahabat satunya itu sedang sibuk mengurusi suatu acara perlombaan karya tulis yang diadakan klub kimia, tidak tanggung-tanggung Razy bertindak sebagai ketua panitia.

Sebelumnya Rema sempat mengajak –lebih tepatnya memaksa- Razy untuk mau bergabung bersama ia dan Indah makan. Rema memiliki misi perdamaian di balik tindakannya itu yakni untuk mengakhiri perang dingin antara dua manusia berkepala batu, Indah-Razy. Sayang niat mulianya tersebut tidak bisa terlaksana karena Razy sedang sangat sibuk. Tanggung jawab yang dipegangnya sebagai ketua panitia sangatlah besar, tidak mungkin Rema mengganggu pekerjaan Razy dengan terus memaksakan kehendaknya meski itu untuk hal baik.

Tunggu! Tidak ada Razy bukan berarti rencana gagal begitu saja. Gue kan bisa bujuk Indah supaya cerita ada masalah apa diantara mereka dan minta dia buat berbaikan. Aha, good idea! Rema pun kembali bersemangat melanjutkan misinya.

“Ndah,, umm,, kita bertiga sahabat kan, gue-lo-Razy?” Indah yang tengah memainkan hp-nya mengerutkan alis,

bingung. “lo kenapa Re tiba-tiba tanya itu?” “Iiih, Indah! Jawab dulu dong. Iya kan kita bersahabat?” Dengan

enggan Indah menjawab pertanyaan aneh Rema tersebut. “Iya-iyaa!” Rema tersenyum senang. “Nah! Lo tahu dong sebagai sahabat

kita harus saling terbuka, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi?” Indah kembali mengangguk. “Ndah, sebenarnya ada masalah apa sih antara lo dan Razy? Jangan bilang nggak ada apa-apa. Gue bukan anak kecil yang mudah dikelabui gitu aja!”

“Hahaa.. yang anggap lo anak kecil siapa, Re. Ada-ada aja lo.” “Eh Ndah, jangan coba alihkan topik pembicaraan deh.” Indah kembali tertawa. “Re, dengar yah, sekali lagi gue tegaskan

kalau semua baik-baik saja. Tidak ada hal buruk menyangkut gue dan

Page 150: winning fano feeling

150

Razy yang perlu lo curigai.” Indah menjawab dengan sangat diplomatis. Sebenarnya ada hal penting yang terjadi antara dirinya dengan Razy. Namun hal tersebut belum bisa ia ceritakan pada Rema karena masih menunggu waktu yang tepat. “Daripada pusing-pusing nggak guna pikirin gue mending lo fokus dengan nasib tim lo di kejurnas.”, lanjut Indah sukses membuat raut wajah Rema berubah frustasi.

Rema menempelkan kepalanya lesu di atas permukaan meja. Hasil negatif di pertandingan awal membuat langkah timnya kedepan menjadi sangat berat. Setidaknya mereka harus memenangkan semua laga sisa agar lolos dari babak penyisihan grup. Misi yang sangat tidak mudah mengingat lawan yang juga tidak remeh. Meski begitu, pertandingan kemarin memberi pengalaman baru yang berharga buat Rema. Banyak pelajaran hidup positif yang ia dapatkan seperti bagaimana membuat keputusan penting di waktu genting, bagaimana menangani karakter orang yang berbeda-beda, dan bagaimana cara mengantisipasi suatu keadaan di luar prediksi kita. Rema merasakan karakter pribadinya mulai berkembang lebih matang.

Melihat sahabatnya berubah diam termenung, Indah merasa tidak enak hati. Ia pun coba memberi Rema semangat. “Tenang Re, gue yakin tim bola kita pasti mampu menang di pertandingan-pertandingan berikutnya. Kemarin itu kalian kalah hanya karena telat panas aja. Baru di babak kedua kalian bermain bagus. Kalau saja tambahan waktunya itu lima menit bukan tiga menit, gue yakin skor akhirnya bakal tiga sama. Lo tidak boleh pesimis. Apalagi lihat performa Fano kemarin. Wuiih, keren banget dia kemarin Re. Lo tahu nggak seharian ini Fano diomongin terus sama anak-anak cewek. Mereka pada terpesona gitu sama Fano. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena kemarin Fano berhasil mencetak dua gol. Ehem, saingan lo makin banyak aja nih Re!”, goda Indah dengan usilnya.

“Loh, apa hubungannya sama gue?”, tanya Rema bingung. Tubuhnya telah kembali berada dalam posisi duduk tegak.

“Please deh Rema, lo kan lagi ngejar dia juga. Masa lo lupa sama persoalan ta-ru-han.”, ucap Indah menekankan kata-kata terakhir.

Bahu Rema terkulai lemas mengingat misi rahasianya itu. Kemarin-kemarin ia memang sempat benar-benar hilang ingatan tentang apapun yang berhubungan dengan taruhan, tapi sekarang berkat Indah ingatan buruknya itu kembali muncul. Thanks to Indah. “Ah, lo Ndah, bikin gue makin pusing aja.”, keluh Rema. Indah hanya nyengir kuda.

Page 151: winning fano feeling

151

Tidak ingin menyiksa kepalanya lebih lama, Rema coba mencari hiburan. “Mak, putar ke acara gosip dong tv nya!”, teriaknya kencang agar bisa terdengar oleh si emak. Rema sudah biasa me-request acara tv seperti ini.

“Itu acaranya sudah gosip neng, cuma lagi breking nus aja.”, jawab emak dengan bahasa seadanya. Oh yah maksudnya si emak itu adalah ‘breaking news’. Hihi!

‘Selamat pagi pemirsa, berikut akan kami sampaikan breaking news.” Dengan antusias Rema memandangi layar televisi berukuran 14 inch yang terpasang di atas langit-langit kantin sana. Minatnya yang cukup besar terhadap tayangan yang sedang tersiar bukan hanya karena Rema menyukai acara-acara berita. Lebih dari itu Rema sangat tertarik menilik gaya si news anchor dalam membawakan berita. Cita-cita Rema kelak adalah menjadi presenter berita olahraga seperti idolanya Tamara Geraldine dan Dona Agnesia.

‘Pemirsa, baru saja telah terjadi bentrok besar antar dua suporter yang akan bertanding sore ini dalam pertandingan lanjutan Liga Indonesia. Kerusuhan yang awalnya dipicu oleh aksi saling ejek ini menelan korban setidaknya dua belas orang. Korban tidak hanya berasal dari suporter maupun polisi yang bertugas melerai, namun juga dari pihak lain. Salah satu korban yang mengalami luka paling parah ialah wasit Teguh Pradata. Kini korban tengah dilarikan ke ruang gawat darurat di salah satu rumah sakit di Jakarta. Berikut berita selengkapnya.’

Syok dan tertegun tak percaya. Itulah reaksi pertama Rema saat menyaksikan berita yang tengah disiarkan televisi. Bagaimana tidak? Nama ayahnya baru saja disebut-sebut sebagai salah satu korban dalam insiden kerusuhan tersebut, bahkan beliau dikabarkan terluka parah. Kaki Rema lemas seketika selemas jantungnya yang semakin berdetak lemah. Tubuh Rema kian bertambah lemas tatkala melihat dalam tayangan lengkap berita ditampilkan sosok ayahnya yang sedang digotong oleh beberapa orang. Darah tampak berlumuran di sekujur wajah pria yang terkulai lemah itu. Meski seluruh muka sang korban tertutupi oleh darah, namun Rema dapat mengenali kalau pria yang ada dalam berita adalah ayahnya.

“Ndah, itu bokap gue.”, ucap Rema dengan wajah berurai air mata.

“Iya Re. Aduh gimana ini? Berdoa Re, berdoa! Gue yakin bokap lo pasti baik-baik aja.”, hibur Indah sambil memeluk Rema. Indah turut bersedih atas apa yang menimpa ayah sahabatnya.

Page 152: winning fano feeling

152

“Gue harus ke rumah sakit sekarang.”, putus Rema, “gue harus melihat langsung keadaan bokap gimana.” Rema segera bangkit dari duduknya.

“Tunggu Re, gue ikut!” “Nggak usah, Ndah. Gue pergi sendiri aja. Jam berikutnya kan

ada tes.”, tolak Rema. “Aduuh Re, bokap lo lebih penting daripada tes.”, paksa Indah. “Iya gue ngerti Ndah. Tapi lo bisa nyusul nanti selesai sekolah.

Sekalian gue pengen titip tas. Tas gue masih ada di kelas. Gue mau buru-buru pergi sekarang. Yah Ndah?”

Indah menimbang sesaat. “Baiklah kalau gitu. Bentar, gue telfon supir gue dulu, suruh dia ke sini buat antar lo ke rumah sakit.”

“Nggak usah, kelamaan kalau nunggu sopir lo datang dari rumah. Gue naik taksi aja. Nggak apa-apa kok.” Dengan berat hati Indah pun menerima permintaan Rema. “Yaudah. Hati-hati yah Re! Kabari gue sesampainya lo di rumah sakit. Oke?”, pesannya terakhir sebelum melepas Rema pergi.

Tanpa menghabiskan waktu lebih lama, Rema segera berlari melesat cepat meninggalkan kantin. Bayangan ayahnya yang sedang terkulai lemah kesakitan terus memenuhi isi kepalanya. Ketakutan dengan deras meneror Rena, membuatnya tak bisa fokus melihat jalan. Rema hanya tahu berlari, berlari, dan berlari. Rema dapat merasakan seluruh wajahnya memanas dan air mata mengalir deras di kedua pipinya. Berlari dengan keadaan desperate seperti itu membuat penglihatan Rema jadi terganggu, kabur, dan tak jelas. Walhasil ketika sedang berbelok melewati suatu kelas, secara tak sengaja Rema bertabrakan dengan seseorang yang baru keluar dari dalam pintu kelas tersebut.

“Aaw!”, pekik Rema kesakitan. Lengan dan lututnya terasa berdenyut kencang. Entah separah apa luka jatuhnya itu, Rema lebih memilih untuk tidak mengindahkannya dan kemudian bangkit berdiri lagi. Ini bukan waktu yang tepat untuk mempedulikan rasa sakit yang dirasakan, mengingat di tempat lain seseorang yang paling ia cintai tengah jauh lebih kesakitan.

“Re, lo nggak apa-apa? Kenapa sih lo nggak pernah lihat-lihat ke depan kalau lari? Jangan bilang lo lihat hantu lagi.”, kata orang yang bertabrakan dengan Rema, setengah meledek. Dari suara dan kata-kata yang keluar, tanpa perlu melihat wajahnya Rema sudah bisa menebak kalau dia adalah Fano.

Dan ternyata benar, Fanolah yang ada di depan Rema saat ini. Senyum geli menghiasi wajah rupawan cowok itu, membuat siapa saja

Page 153: winning fano feeling

153

yang berada disampingnya tak kan mau beranjak. Tapi Rema sedang tidak ingin menemui siapa-siapa kecuali ayahnya sekarang. Rema pun kemudian melangkah melewati Fano begitu saja tanpa berkata apa-apa.

“Hei-hei, kamu kenapa?”, tanya Fano curiga. Ia berhasil menarik tangan Rema sebelum gadis itu pergi jauh.

“Gue nggak kenapa-kenapa. Sekarang tolong lepasin tangan gue.” Fano tetap bergeming, tatapannya masih meminta penjelasan. “Pliis Fan! Gue lagi buru-buru banget. Bokap gue masuk rumah sakit dan lukanya parah. Gue harus segera ke sana sekarang.”, jelas Rema setengah berteriak.

Bukannya menurut, Fano malah makin mengeratkan pegangannya. “Lo tunggu gue di sini sebentar, hanya tiga menit! Awas kalau sampai bergeser sesenti saja dari posisi lo.”, perintah Fano berbau sedikit ancaman. Rema sama sekali tidak mengerti maksud Fano memintanya tetap tinggal apa. Meski begitu, entah mengapa Rema menurut begitu saja dengan tetap berdiri di tempat. Laki-laki itupun kemudian masuk ke dalam kelas, dan tak lebih dari tiga menit muncul kembali lagi ke hadapannya.

“Ayo, gue antar lo ke rumah sakit!”, ucap Fano sekeluarnya ia dari ruang kelas. Rema masih berdiri mematung. “Loh kok diam?! Katanya tadi lagi buru-buru. Kenapa? terharu sama kebaikan gue.”

Rema segera bereaksi dengan mengerutkan kening, “Siapa yang merasa terharu? ayo pergi!”, jawabnya sambil melanjutkan perjalanan. Setelah keduanya keluar melewati area ruang belajar sekolah, Fano kemudian meminta Rema untuk menunggunya di gerbang sementara dirinya mengambil mobil ke tempat parkir. Dengan ragu Rema kembali menurut meski dalam hati masih diliputi kebingungan kenapa Fano mau repot-repot mengantarnya ke rumah sakit. Dan yang lebih aneh lagi, kenapa Fano terlihat begitu khawatir. Orang yang kena musibah kan bukan siapa-siapanya dia.

Pertanyaan-pertanyaan Rema tadi segera terhenti saat mobil Ford Everest berwarna hitam melintas dan berhenti tepat didepannya. Sang pengemudi mobil yang tiada lain adalah Fano, kemudian membunyikan klakson dua kali sebagai isyarat agar dirinya segera masuk.

“Ini mobil lo?”, tanya Rema usai naik dan duduk di kursi depan penumpang, di samping Fano. Rasa takjub menaungi wajah gadis itu.

“Bukan. Ini mobil bos gue.”, jawab Fano pendek. Mata Rema terbelalak. “Lo pake mobil bos lo ke sekolah! Baik

amat bos lo. Bukan baik lagi, ini sih namanya udah terlalu amat sangat baik. Gila! Bos macam apa yang mau kasih pinjam mobil semahal ini sama pegawainya!”, ucap Rema tak habis pikir.

Page 154: winning fano feeling

154

“Pulang sekolah ini gue harus mewakili bos gue ketemu salah satu rekan bisnis. Takut gue telat, dia paksa gue bawa salah satu mobilnya.”

“Ooh.” Rema mengangguk-angguk pelan. “Bos lo maksa? Bukannya kebalik?”, goda Rema.

Fano mendengus kesal. “Asal lo tahu aja, gue bukan tipe orang yang nyaman pakai barang milik orang lain, sebagus atau sesuka apapun gue pada barang itu. Lagipula gue lebih suka naik motor ketimbang mobil.”, konfirmnya. “Re, mending sekarang lo kasih tahu nama sama alamat rumah sakit tempat bokap lo dirawat. Lo pengen cepet-cepet melihat bokap lo kan!”

Kesedihan langsung mencekik leher Rema begitu Fano mengingatkannya soal sang ayah. Air mata kembali menggenangi mata gadis itu. “Ini Fan alamat rumah sakitnya.”, ucap Rema dengan suara parau. Diperlihatkannya sms dari ibunya beberapa saat lalu yang memberitahukan sebuah alamat rumah sakit. Rema tak sanggup membacakan karena takut suaranya pecah jadi tangisan.

“Mmm, gue tahu alamat ini. Kita bisa potong jalan biar lebih cepat.”, gumam Fano usai membaca sebaris alamat di tangannya. Tak ada tanggapan dari Rema. Saat menoleh ke arah kursi penumpang, Fano mendapati gadis itu tengah memandang kaca jendela mobil dengan gelisah sambil menahan tangis.

“Kamu,, nangis aja Re. Jangan ditahan-tahan. Memang tidak akan merubah keadaan tapi setidaknya bisa sedikit meringankan beban yang ada.”, saran Fano sangat tulus. Ia menghapus setitik air di sudut mata Rema dengan sebelah tangannya lalu membelai lembut pipi Rema.

Suasana mendadak canggung seketika. Apa yang terjadi di pantai malam terakhir di Bali lalu, kini terulang dengan sensasi yang sama. Nafas yang mendadak terhenti, waktu yang serasa tak bergulir, dan bumi yang seperti berhenti berputar. Kedua orang itu pun langsung dilanda kegugupan.

“Lo kalau mau nangis jangan lupa pake tisu. Nanti ngotorin mobil bos gue lagi!”, sahut Fano salah tingkah, memecah kecanggungan. Buru-buru Fano menstarter mobil lalu menancap gas. Rema membuka mulut tak terima, siap membalas Fano dengan sungutannya. Namun saat mendapati wajah cowok di sebelahnya bersemu merah, Rema pun mengurungkan niatnya dan diam-diam tersenyum hangat menatap Fano.

Tidak tahu kenapa saat Fano mencoba menghiburnya tadi, hati Rema mendadak bertambah kuat dan tegar. Lalu saat tangannya

Page 155: winning fano feeling

155

terbungkus erat dalam genggaman Fano sepanjang perjalanan, Rema merasakan ada semacam kedamaian menjalari hatinya. Aneh, Fano seperti memiliki kekuatan yang mampu memengaruhi emosinya.

Perjalanan ke rumah sakit untunglah tidak memakan waktu lama. Selain karena jaraknya yang tidak terlalu jauh berkat jalur yang dipilih Fano, kemacetan juga tidak terlalu parah siang itu. Lalu lintas Jakarta sedikit lengang untuk ukuran biasanya.

Setibanya di rumah sakit, Rema segera menuju ke ruang informasi menanyakan keberadaan sang ayah. Bersama Fano, cepat-cepat Rema meluncur ke lantai tempat ayahnya di rawat, begitu sampai sang Ibu langsung menyambut Rema dengan pelukan erat. Rema pun menangis sejadi-jadinya dalam dekapan sang Ibu.

“Keadaan ayah gimana bu?”, tanya Rema setelah berhasil meredakan sedikit tangisnya.

“Ayah sedang di rawat intensif oleh dokter, sayang. Ibu masih belum tahu keadaan pastinya bagaimana.”, jawab Ibu berusaha tegar agar putrinya tidak semakin bertambah sedih.

“Sebenarnya apa yang terjadi sama Ayah, Bu? Bagaimana bisa Ayah berada di tempat kejadian?”, tanya Rema lagi.

“Ibu juga kurang tahu apa yang terjadi. Ayah sedang ada urusan di hotel sekitar stadion, sementara kerusuhan terjadi di luar stadion. Entah bagaimana sewaktu bentrokan pecah, ayah terperangkap bersama kerumunan suporter. Dari keterangan saksi katanya kepala ayah terkena peluru nyasar.” Hati Rema tersentak, tak mampu menerima kenyataan tragis yang diterima. Tangisnya kembali pecah tak terkendali. Rema tak kuasa membayangkan kejadian mengerikan yang baru saja dialami ayahnya. Fano refleks memegang bahu Rema berusaha menenangkan. Lagi-lagi, emosi Rema mendadak kembali terkendali oleh sentuhan Fano.

Melihat keberadaan Fano dan apa yang dilakukannya pada sang putri, tak ayal Ibu pun menatap Fano penuh tanda tanya. “Kamu teman sekelas Rema?”, tanyanya ramah pada Fano. Merasa tidak enak, Fano buru-buru memperkenalkan diri. “Iya tante, nama saya Di Stefano. Saya teman satu sekolah Rema.”, terang Fano dengan sopan.

Rema kemudian memberikan keterangan tambahan. “Fano ini anak klub bola sekolah juga, Bu. Dia yang antar Rema ke sini.”, jelasnya.

Ibu tersenyum hangat pada Fano. “Waduh, terima kasih banyak yah nak Fano sudah mau direpotkan anak ibu. Kamu pasti bolos sekolah buat antar Rema ke sini. Maaf yah!”

Page 156: winning fano feeling

156

“Nggak kok Tante, nggak merepotkan sama sekali. Wah, jadi saya sekarang yang merasa tidak enak. Sebenarnya tadi kami tidak sengaja bertemu. Karena khawatir melihat kondisi Rema yang tertekan, saya pun mengantarkannya kesini, takut terjadi apa-apa nanti di jalan.”

Rema menatap Fano lekat tak percaya. Apa benar nih cowok ngekhawatirin gue seperti yang dia bilang ke nyokap barusan? Ah, benar-benar deh bikin orang serba salah, pusing menerka jalan berpikirnya gimana. Tapi kenapa perasaan gue sedikit melayang gini yah? Hmm, pasti gue merasa terharu dengan kebaikan Fano. Yah, pasti.

“Keluarga Bapak Teguh Pradata!”, panggil salah seorang perawat yang baru keluar dari kamar rawat ayah Rema. Ibu, Rema, beserta Fano segera menghampiri perawat tersebut. “Ada apa suster? Suami saya baik-baik saja kan?”, tanya Ibu diliputi kecemasan.

“Suami anda masih koma, Bu. Beliau kehilangan banyak darah, dan kami membutuhkan donor darah untuk suami anda secepatnya. Hanya saja ada masalah dengan persediaan darah di rumah sakit ini, ada keterlambatan pengantaran darah dari Bank darah sampai besok. Golongan darah suami anda adalah B. Apakah diantara keluarga anda ada yang memiliki darah yang sama dengan beliau?”

Rema dan Ibu mendadak lemas mendengar kabar lanjutan dari si perawat, “Darah saya A suster, begitu pun dengan putri saya. Putra saya memiliki darah yang sama, tapi saat ini dia sedang berada di luar negeri.”, ungkap Ibu lemah tak berdaya.

“Bapak Pradata harus segera mendapatkan donor sekarang juga. Jika tidak, pasien bisa…”

“Nggak!”, erang Rema histeris. “Sesuatu yang buruk nggak boleh menimpa ayah saya. Suster ini gimana sih? Bukannya nolongin malah nakutin. Terus ini rumah sakit macam apa sampai bisa kekurangan persediaan darah segala! Rumah sakit nggak profesional, nggak berkualitas!” Rema tak kuasa menahan amarahnya dan berteriak mencak-mencak di depan wajah si perawat. Aksi Rema ini serta-merta mengundang perhatian banyak orang. Sebelum anaknya benar-benar melukai perawat tak berdosa itu, Ibu segera menahan tubuh Rema.

“Maaf sus, darah saya B, apa bisa saya mendonorkan darah saya?”, ucap Fano tiba-tiba menawarkan diri. Rema langsung memandang Fano penuh keterkejutan, begitupun dengan Ibu.

Si perawat yang masih terkesima memandang wajah Fano, buru-buru mengangguk. “Iya, bisa-bisa. Kalau begitu mari ikut saya!”, ajaknya.

Page 157: winning fano feeling

157

Rema sempat mencegah niatan Fano tersebut karena merasa tidak enak serta tidak ingin memiliki hutang budi. Fano segera memberi cewek keras kepala itu penjelasan, “Saat ini nyawa ayah lo lebih penting dari apapun kan Re?” Mendengar kalimat itu Rema pun akhirnya menurut. Fano benar, keselamatan ayahnya jauh lebih penting dari apapun apalagi dari harga dirinya yang memang kadang suka kelewat tinggi. Lagipula menerima bantuan orang bukan berarti kita merendahkan diri kita kan?

Setelah memastikan tak ada lagi protes di wajah Rema, Fano pun bisa dengan tenang mengikuti perawat memasuki ruangan tempat transfusi darah dilakukan.

Sudah enam jam lebih Rema beserta Ibu menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Sang ayah yang kini berada di meja operasi tengah berjuang antara hidup dan mati melawan luka yang ada di tubuhnya. Meski telah menunggu hingga berjam-jam, namun sampai detik ini masih belum juga ada kabar mengenai keadaan pasien yang diterima keluarga. Rema memandang sendu ke langit malam yang gelap dan mendung. Tak ada bintang yang bersinar malam ini yang bisa menghiburnya dari rasa duka. Semoga saja ini tidak menjadi suatu pertanda buruk, harapnya dengan sangat. Akhirnya, selang beberapa menit kemudian operasi panjang itu berakhir juga. Begitu pintu ruang operasi terbuka, para dokter berduyun keluar sambil melepaskan masker dari wajahnya. Rema serta Ibu segera menghampiri dan mencari tahu apa yang terjadi. “Suami saya gimana dok? Dia baik-baik saja kan!”, tanya Ibu penuh ketakutan. Rema ikut berharap cemas di sampingnya, menanti dengan tak sabar jawaban dari dokter. Tapi, jawaban yang ditunggu-tunggu itu tidak juga kunjung terdengar. Para dokter hanya terdiam lama untuk kemudian menggelengkan kepala pelan penuh penyesalan. Firasat buruk melesat dalam pikiran Rema. Firasat yang mengatakan bahwa ayahnya... “Ayah saya selamat kan dok? Dia masih hidup kan!” Nafas Rema memburu cepat diliputi ketakutan. “Kami turut menyesal atas apa yang menimpa almarhum.” Hanya beberapa kata saja yang keluar dari mulut salah satu dokter setelah penantian panjang yang begitu menyiksa, dan kata-kata tersebut sudah cukup untuk membuat Rema beserta Ibunya terpukul sangat mendalam.

Page 158: winning fano feeling

158

Ibu bahkan langsung jatuh terkulai tak sadarkan diri saking tak kuasanya menghadapi kenyataan pahit yang terjadi. Rema segera berlari memasuki ruang operasi. Dia tidak percaya ayahnya benar-benar telah pergi untuk selama-lamanya. Benar-benar tidak mungkin. Ayahnya masih begitu sehat pagi tadi saat pamit bekerja. Tapi sekarang dia dikatakan telah tiada oleh para dokter. Gak masuk akal. Ini sangat-sangat tidak masuk akal. “Ayah!”, panggil Rema berurai air mata ketika telah berada di samping jasad sang ayah. “Ayah, bangun! Rema dan Ibu sudah menunggu Ayah dari tadi. Kenapa Ayah masih belum juga bangun?” Rema terus berteriak histeris, menggoyang-goyangkan tubuh yang terbaring dingin kaku itu. Hingga beratus kali pun ia berusaha membangunkan sang ayah, hasilnya tetap akan sama, nihil dan mengecewakan. Beberapa perawat kemudian datang menghampiri Rema, lebih tepatnya jasad ayah Rema. Tanpa mengucap sepatah kata para perawat itu memindahkan jasad tubuh ayah dari meja operasi ke tempat tidur beroda. Setelah jasad berpindah tempat, mereka lalu mendorong dan membawanya keluar. Rema yang masih syok hanya mampu memandang dan meronta tak berdaya. “Tunggu sus, ayah saya tidak boleh dibawa kemana-mana! Suster, tolong jangan bawa pergi ayah saya!” Rema terus berteriak memohon, tapi permohonannya sama sekali tidak digubris oleh para perawat yang terus menggiring jasad sang ayah hingga menghilang dari balik pintu. “Ayah! Ayah!”, teriak Rema berulang-ulang hingga terjatuh lemah. Ingin sekali ia bangkit, berlari, dan menyusul para perawat yang membawa ayahnya tersebut. Hanya saja Rema merasakan kakinya mendadak lumpuh, membeku dan tak berdaya sedikitpun. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berteriak dan menangis. “TIDAAK!!! AYAAAAH!” Hosh..hosh..hosh! Deru nafas mengalun cepat mengaliri darah Rema. Keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya. Rema melemparkan pandangan ke sekeliling, tempatnya sedikit asing, tapi ia bisa mengenali kalau saat ini dirinya berada di sebuah ruangan rumah sakit. Terbesit satu pertanyaan dalam benak Rema, kenapa ia bisa terbaring dalam sofa kamar rumah sakit? Jangan-jangan tadi ia jatuh pingsan saking terpukulnya atas kematian tak terduga sang ayah. “Hah! Ayah.”, Rema langsung bangkit dari pembaringan begitu mengingat peristiwa

Page 159: winning fano feeling

159

pahit yang baru saja terjadi. Ia harus segera mencari tahu keberadaan sang ayah dimana, tak peduli meski tenaganya masih belum terkumpul cukup kuat. Klok. Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Sosok ibu lalu muncul dari balik pintu tersebut. Ia tersenyum hangat menatap sang putri. “Kamu sudah bangun sayang? Gimana tidurnya? nyenyak?”, tanya Ibu masih dengan senyumnya. “Bu, Ayah dimana? Dia dibawa kemana sama suster-suster itu?”, tanya Rema begitu frustasi, membuat sang ibu kebingungan. “Ayah yah masih ada di ruang intensif. Sebentar lagi mungkin akan dipindahkan ke ruangan ini. Kamu kenapa Re? Pasti tadi kamu bermimpi buruk sewaktu tertidur.”, curiga Ibu sembari memeluk hangat putrinya. Rema masih tidak mengerti mana yang nyata dan bukan saat ini. Apa kejadian buruk tadi benar-benar cuma mimpi? Sepertinya begitu, mana mungkin Ibu bersikap setenang ini. Masih bisa tersenyum lebar lagi. Fiuuh, syukurlah. “Bu, kenapa Rema bisa ada disini?”, heran Rema dengan kondisinya saat ini. “Loh, kamu tidak ingat yah! Tadi kamu ketiduran sewaktu nunggu ayah di waiting room. Tidak tega lihat kamu yang tidur pulas, Fano gotong kamu ke sini. Biar badan kamu nggak pegal-pegal katanya”, terang Ibu mengingatkan kembali semua ingatan Rema pada saat sebelum ia jatuh tertidur. Iya benar, tadi gue ketiduran karena terlalu capek dan banyak nangis terus dibawa kesini sama.... “eh Bu, Fano sekarang di mana? Masa dia masih ada di ruang transfusi.” “Fano sudah pulang, Re. Setelah mendonorkan darahnya dan menggotong kamu kesini, dia langsung pamit pulang. Katanya ada hal penting yang harus dia urus siang ini.” Rema mengerti, Fano pasti pergi ke tempat partner kerja bosnya itu. Gue belum ucapin makasih lagi sama dia. Udah maen pergi aja. “Uhuk!” Rema merasakan tenggorokannya kering dan gatal. Ia lalu mengambil segelas air dari dispenser yang tersedia dalam ruangan untuk membersihkan tenggorokan dan memulihkan staminanya. Entah sudah berapa jam tubuhnya tak diisi cairan, yang ada ia justru banyak mengeluarkan cairan tubuh. Lihat saja seragamnya yang penuh keringat ini. Untung saja tidak sampai dehidrasi. “Fano itu anak yang sangat mengagumkan sekali yah Re. Udah baik, sopan, bertanggung jawab, ganteng pula. Hmm, coba Ibu punya menantu seperti dia. Pasti menyenangkan sekali.”, gumam Ibu beranda-andai. Rema yang sedang menyeruput minuman langsung tersedak

Page 160: winning fano feeling

160

mendengar celotehan aneh Ibu tersebut. “Uhuk-uhuk! Ibu apa-apaan sih? Mengkhayal kok nggak masuk akal gitu. Menantu?! Rema masih SMA bu!” Ibu tersenyum makin lebar melihat reaksi sewot putrinya yang bak orang kebakaran jenggot. Rema mendengus sebal. Menantu? Fano? Nggak mungkin banget. Hebat juga si Fano, baru pertama ketemu Ibu udah langsung suka gitu. Sampai dipromosiin segala! Dasar tukang ambil hati orang!

“Benar Bu, nggak apa-apa Rema pergi ke tempat latihan sekarang?”, tanya Rema memastikan. “Iya, nggak apa-apa. Kalau kamu nggak datang, berarti kamu gak profesional. Jangan khawatir, Ayah pasti baik-baik saja.”, jamin Ibu. “Ya sudah, kalau gitu Rema berangkat ke lapangan sekarang. Kalau ada apa-apa dengan Ayah, Ibu harus cepat-cepat hubungi Rema. Janji!” “Iya-iya. Sudah sana pergi! Ingat, kalau ketemu Fano jangan lupa bilang terima kasih. Terus bilang juga kalau Ibu mengundang dia makan malam di rumah kita nanti setelah Ayah keluar dari rumah sakit. Oke? Jangan lupa yah pesan terakhir Ibu tadi.” “Iya bu. Udah tujuh belas kali Ibu ingatin Rema.” Rema kembali meyakinkan sang Ibu. Ibu tertawa lalu menempelkan telunjuknya di bibir tanda tidak akan mengucap lagi pesannya. Rema pun berangkat kembali ke sekolah untuk memantau latihan para pemain seperti biasa. Mengingat lusa akan diadakan lanjutan pertandingan kejurnas, tentunya latihan kali ini menjadi sangat penting bagi tim. Jam menunjukkan pukul 15:45 saat Rema tiba di depan gerbang sekolah. Ia sudah terlambat 45 menit dari jadwal latihan dimulai. Tak ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi, selesai membayar ongkos taksi Rema segera meluncur ke lapangan. Semoga saja gue tidak terlalu banyak melewatkan bagian latihan, harap Rema sambil bergerak cepat. Sesampainya di lapangan, sesuatu mengejutkan Rema tatkala ia melihat kondisi lapangan yang kosong melompong. Tidak ada orang, bola, apalagi kegiatan latihan. Begitu masuk ke ruang klub, hati Rema semakin bertambah kesal ketika hanya mendapati beberapa orang pemain saja di sana. “Loh pada kemana ini? Kenapa cuma ada kalian berenam saja?”, tanya Rema meminta penjelasan apa yang terjadi. “Eh, kak Rema sudah datang. Para pemain belum berkumpul semua kak. Jadi latihannya belum bisa dimulai.”, kata Angga memberi

Page 161: winning fano feeling

161

penjelasan mewakili yang lain. Kekesalan Rema semakin memuncak tak terbendung. Bagaimana bisa di saat yang begitu penting seperti ini para pemain justru malas latihan?! Dari enam pemain yang telah hadir di markas klub, hanya ada dua pemain inti, yaitu Kemal dan Fedi, sementara empat orang sisanya merupakan pemain cadangan. “Ada yang bisa kasih penjelasan ke gue kenapa banyak pemain yang belum datang?”, tanya Rema berusaha untuk tetap bersabar. “Apalagi Re penyebabnya kalau bukan kekalahan kita kemarin.”, jawab Kemal sekenanya, membuat kesabaran Rema kian menipis. “Hah? Hanya karena itu? Memangnya kemarin kekalahan pertama kalian sampai langsung down dan trauma kayak gini!”, tanya Rema tak percaya. Kemal kembali memberi jawaban. “itu memang bukan kekalahan pertama kita, Re. Tapi kekalahan kemarin berpengaruh cukup besar terhadap mental semua pemain. Kita jadi semakin pesimis menghadapi pertandingan selanjutnya. Dan lo tahu, tim kita diprediksi banyak pihak akan jadi tim pertama yang gugur di grup D, bahkan mungkin dari kompetisi ini.” Sudah cukup, Rema tidak sanggup lagi untuk tetap bersabar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan isi kepala para pemain. Bagaimana bisa mereka menjadikan hasil prediksi orang sebagai pegangan? “Eh, dengar yah! Kalau kalian menganggap apa yang diprediksikan itu adalah apa yang akan terjadi, maka benar prediksi itu akan jadi kenyataan. Tapi kalau kalian ingin dan mau berusaha keras untuk mematahkan semua prediksi itu, maka tidak ada yang tidak mungkin. Apa yang kita pikirkan adalah apa yang akan terjadi menimpa kita. Sekalipun sudah mencoba namun hasilnya tetap gagal, setidaknya itu lebih baik daripada langsung menyerah bak pecundang seperti kalian sekarang.” Semua tertunduk diam mendengarkan curahan kekesalan Rema. Tidak biasanya sang manajer marah besar seperti ini. “Oh God! Benar-benar sia-sia gue mengerahkan segala pikiran, tenaga, waktu, dan uang buat membantu tim ini. Jangan kan berharap semua pengorbanan gue itu dihargai sedikit saja oleh kalian. Gue yakin untuk menghargai usaha diri kalian sendiri saja kalian tidak bisa. Lebih baik gue pergi dari tempat ini sebelum ketularan jadi pecundang seperti kalian.” Baru beberapa menit menginjakkan kaki, Rema sudah akan meninggalkan lapangan lagi. Entah pengaruh suasana hatinya yang memang dari awal sudah buruk, yang jelas kali ini Rema merasa sudah tidak sanggup lagi menolerir tingkah para pemain yang selalu seenaknya sendiri. Sekali-kali mungkin tidak apa dia bersikap kekanak-kanakan dan tak

Page 162: winning fano feeling

162

bertanggung jawab. Malah mungkin ini bisa jadi pembelajaran bagi para pemain supaya mau belajar menghargai, setidaknya menghargai diri mereka sendiri.

“Kali ini lo benar-benar akan keluar dari klub bola Re?”, tanya Indah malam harinya di rumah Rema. Ia dan Razy datang berkunjung ke rumah Rema untuk mengetahui kondisi terbaru ayahnya. Usai memberitahukan kondisi sang ayah, Rema menceritakan tentang apa yang terjadi di markas klub bola tadi sore pada dua sahabatnya. Dan begitulah reaksi Indah serta Razy. Mereka sedikit terkejut saat Rema menyinggung soal kemungkinannya keluar dari klub.

“Gue nggak akan keluar begitu aja kok. Hanya saja jika semangat para pemain masih sama seperti tadi, tidak berubah juga. Gue gak jamin akan terus mendampingi mereka, karena itu berarti gue udah gagal sebagai manajer dan mereka butuh yang lebih baik daripada gue” Indah mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Di antara alasan-alasan Rema sebelumnya yang membuat ia ingin keluar dari klub, alasan terakhir inilah yang menurutnya paling dapat diterima. Jika berada di posisi Rema sekarang mungkin Indah akan memutuskan hal yang sama.

“Kalau lo jadi keluar dari klub bola Re, jangan ragu gabung ke klub kimia bareng gue. Kapan aja lo mau, pintu klub kimia akan selalu terbuka lebar buat lo.”, ajak Razy mencairkan suasana yang ada.

“Lo tuh yah Zy masih aja usaha menghasut Rema gabung ke klub lo. Jangan Re! Di klub kimia hidup lo bakal makin sengsara. Mending juga lo masuk klub renang. Kita sehatkan tubuh bersama-sama!”, promosi Indah tak mau kalah.

Tawa Rema pecah. “Hahaha! Makasih-makasih buat ajakannya. Kalian berdua tuh lucu banget tahu nggak. Oh ya, sejak kapan kalian mulai akur lagi? Sudah pada baikan yah!”, tebak Rema melihat hubungan Razy-Indah yang telah kembali ke sedia kala. “Semoga kalian berbaikan seperti ini nggak cuma di depan gue aja. Pas giliran gak ada gue, kalian diam-diaman lagi.” Razy dan Indah langsung tertawa berbarengan, tawa yang dipaksakan. Mereka seperti anak kecil yang tertangkap basah berbohong. Dugaan Rema sebetulnya memang benar, Indah dan Razy sepakat bersikap akur dihadapan Rema demi menjaga perasaan sang sahabat agar tidak makin terbebani. Tapi nampaknya Rema terlalu jeli untuk bisa dibohongi dengan sempurna.

Page 163: winning fano feeling

163

Malam kian larut. Dengan berat hati Indah dan Razy terpaksa pamit pulang karena besok pagi mereka harus sekolah. Meski tidak tega meninggalkan Rema dalam keadaan home alone, pada akhirnya mereka tetap mesti beranjak juga. “Lo beneran nggak apa-apa kita tinggal sendirian di rumah? Apa gue nginap aja di rumah lo?”, tanya Indah memastikan. Hatinya masih tidak tenang.

“Ya ampun Ndah, gue kan bukan sekali ini aja jaga rumah sendiri. Lagian kalo lo nginep kasihan nyokap lo sendirian di rumah. Udah kalian tenang aja.”

“Oke kalau gitu kita balik dulu Re. Langsung kunci pintunya! Daah!”

“Hati-hati yah Re!” “Iya. Daaah!” Begitu tamu-tamunya telah keluar, cepat-cepat

Rema menutup pintu dan menguncinya rapat. Terbiasa ditinggal sendiri bukan berarti Rema tidak takut sama sekali dengan ancaman kejahatan dari luar yang selalu siap mengintai kapan saja.

Usai meninggalkan rumah Rema, Indah dan Razy langsung menjauh secara otomatis, kembali bersikap dingin satu sama lain. Kesepakatan damai yang mereka buat memang hanya sebatas dihadapan Rema saja, di luar itu kesepakatan tak berlaku.

“Ayo aku antar kamu ke rumah!”, ajak Razy, menarik tangan Indah menuntunnya memasuki kursi depan. Malam ini Razy membawa mobil tua milik ayahnya ke rumah Rema.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Indah suasana dalam mobil sangat-sangat dingin, nyaris tidak ada percakapan di antara keduanya. Indah sibuk memandangi kaca jendela, sementara Razy memilih fokus menyetir. Kesunyian baru pecah setelah mobil Razy sampai di depan rumah Indah.

“Terima kasih tumpangannya Zy.”, ucap Indah bersiap membuka pintu mobil.

“Tunggu Ndah!”, cegah Razy dengan cepat. Indah pun menunda kepergiannya. Suasana hening sesaat sebelum Razy melanjutkan pembicaraan. “Oke, aku nyerah. Aku gak akan maksa lagi. Kita akan tetap menyembunyikan hal ini dari Rema. Meski aku masih menganggap dia perlu tahu, tapi kamu benar, ini bukan saat yang tepat, apalagi melihat situasi Rema sekarang.”

Indah tak langsung memberi respon. Hatinya diliputi keraguan. Pada awalnya memang ia yang bersikeras menolak memberi tahu Rema tentang apa yang terjadi antara dirinya dan Razy, lain dengan Razy. Tapi sekarang, kenapa ia merasa pendapat Razy sebelumnya justru benar. Mereka tidak boleh membohongi Rema lebih lama lagi.

Page 164: winning fano feeling

164

Akhirnya, keputusan yang cukup sulit pun Indah ambil. “ Nggak Zy. Sudah saatnya Rema tahu kita berdua bukan sahabat lagi. Besok kita beritahu Rema hal yang sebenarnya. Aku masuk dulu.” Seulas senyum menghiasi wajah Indah sesaat sebelum ia keluar dari mobil Razy.

Rema duduk manis menghadap Indah dan Razy. Dua orang itu bertingkah aneh sejak dari pagi. Saat akan masuk kelas jam pertama, dengan wajah takut keduanya mengatakan ingin bicara hal penting nanti saat istirahat. Dan hingga waktu istirahat tiba, dua manusia itu hanya diam saling lempar pandang satu sama lain, tanpa mengucap sepatah kata pun.

“Hei, kalian mau sampai kapan bikin gue bengong ngeliatin kalian?”, sindir Rema yang sudah mulai merasa bosan.

“Oh-eh ituu.. Zy, lo yang mulai ngomong duluan!”, suruh Indah. Razy langsung melotot dan menggelengkan kepalanya, membuat Indah semakin kesal. “Iih, kan yang punya ide ini elo, Zy.”

“Apa? Gue? Yang semalam bilang ‘besok kita beritahu Rema’ itu siapa?”, timpal Razy.

“Udah-udah! Kalau gak ada yang mau ngomong ya sudah nanti lagi aja. Ini malah pada berantem.”, lerai Rema. “Kalau gitu gue keluar kelas dulu yah, ada seseorang yang pengen gue temui.” Orang yang ingin Rema temui adalah Fano. Rema belum menyampaikan ucapan terima kasih dan pesan sang Ibu pada cowok itu. Kemarin saat di ruang klub mereka tidak sempat bertemu. Untuk itu Rema memutuskan menemuinya di sekolah hari ini.

“Bentar Re jangan dulu pergi. Oke-oke, kita ngomong sekarang.”, teriak Indah sembari menahan tangan Rema. “Sebenarnya Re,, sebenarnya gue sama Razy,,, udah tiga bulan ini kami,, kami jadian.”

Rema terkesiap, tak mampu berkata apa-apa mendengar pengakuan mengejutkan Indah. Apalagi kemudian Indah menceritakan lebih detail segalanya hingga tak ada lagi rahasia yang tersisa. Jadi, selama tiga bulan ini diam-diam Indah dan Razy berpacaran tanpa sepengetahuan Rema. Indah memberi alasan tidak ingin merusak persahabatan mereka sehingga ia tega menyembunyikan hal tersebut dari Rema. Alasan yang tidak masuk akal bagi Rema.

“Lalu kenapa sekarang kalian beritahu gue? Apa bedanya tiga bulan lalu dengan sekarang?”, tanya Rema sedikit berbau kesal,

Page 165: winning fano feeling

165

membuat Indah dan Razy was-was takut tak memperoleh kata maaf darinya.

“Itu karena kita gak tega Re terus-terusan menyembunyikan hal ini dari lo. Tidak hanya hari ini atau kemarin saja, dari awal kita sudah merasa takut dan bersalah sama lo. Maafin kita Re. Kita menunggu waktu yang tepat buat ngomong tapi kemudian muncul masalah Airin, dan selanjutnya lo mulai sibuk dengan urusan tim bola, kita jadi gak ada waktu buat ngomongin hal ini ke lo.”

Rema memijat kepalanya pusing. Seharusnya ini jadi kabar gembira, tapi kenyataan mereka berpura-pura selama tiga bulan membuat hati Rema sedikit marah. Ia merasa dibodohi dan dibohongi, dua hal yang paling dibencinya. “Jadi, status kalian sekarang benar-benar berpacaran?” Rema coba memastikan kembali, lebih tepatnya ia coba meyakinkan dirinya sendiri. Ah tidak, bagaimana mungkin dua sejoli tom and jerry ini berubah jadi sepasang mickey-minnie mouse? Membayangkannya saja sudah begitu aneh, apalagi menerimanya sebagai kenyataan. Eh tunggu, jangan-jangan selama ini mereka berantem adu mulut demi menyukseskan kebohongan mereka, biar gue gak curiga. Pasti begitu.

“I..iya Re.”, jawab Indah hati-hati. Rema menunduk lesu usai mendengar kepastian Indah. Melihat ekspresi Rema yang tidak bersahabat, ketakutan Indah semakin menjadi. “Lo keberatan yah Re? Lo gak bisa maafin kita yah? Kalo gitu gue putus aja deh sama Razy biar lo gak marah.”, ucap Indah spontan, langsung disambut tatapan tak setuju dari Razy.

Hati Rema terenyuh juga dengan reaksi penuh sesal Indah. “Ehem, lo nggak perlu memutuskan seperti itu kali, Ndah. Yah jujur, gue emang sedikit marah kalian udah bohongi gue tiga bulan ini dan juga sedikit takut akan ada yang berubah nanti setelah tahu kalian berpacaran. Tapi entah kenapa, begitu gue pikir-pikir lagi....”, gantung Rema.

“Iya Re, kenapa?”, desak Indah dan Razy penasaran. “Mmm,, begitu gue pikir-pikir lagi, gue kok malah jadi senang

banget yah. Hahahaa! akhirnya perang dingin diantara kalian berakhir juga. Pacaran lagi sekarang. Ckckck,, gue pasti kangen sama adu mulut kalian yang gak ada habisnya.”, lanjut Rema memberikan beribu kelegaan di hati sepasang kekasih itu.

“Sial lo Re, pake ngerjain kita segala. Gue kira lo beneran ngambek.”, tutur Razy. Rema hanya cengengesan. Tidak mungkin ia tidak mengerjai balik Razy dan Indah yang sudah membohonginya selama tiga bulan. Melihat sikap Rema yang telah kembali bersahabat,

Page 166: winning fano feeling

166

Razy bisa bernafas lega. Laki-laki itu pun dapat dengan tenang mengalihkan perhatiannya pada proposal acara perlombaan yang diketuai.

“Awas lo Re, gue bakal bikin lo iri lihat kemesraan gue sama Razy.”, ancam Indah tak serius.

Tawa Rema semakin kencang melihat ekspresi kesal Indah. “Eh, tapi awas yah kalau kalian sering pamer kemesraan didepan gue! kalau gue jadi pengen punya pacar gimana? hehe..”, canda Rema lagi.

“Yah lo pacaran juga aja Re, apa susahnya?”, usul Indah. “Gue? Pacaran? Sama siapa? Kayak ada aja cowok yang suka

sama gue.”, sahut Rema merendahkan diri. Tapi memang begitulah kenyataannya.

“Ya ada lah. Contohnya, Fano. Jangan hopeless gitu dong say!” Rema melongo, heran mendengar Indah menyebut nama Fano. “Fano suka sama gue? Ngarang lo Ndah.”, sangkal Rema sambil tersenyum miris.

“Eh Re, dengar yah. Dari semua cerita lo tentang Fano dan apa yang dia lakukan buat lo. Bisa gue simpulkan kalau Fano tuh suka sama lo. Cuma sayang lo nya kurang peka dan kelewat polos.”, jelas Indah mempertegas pernyataan sebelumnya.

Rema menimbang sejenak. “Emang sih Fano super baik sama gue, ada di saat gue kesusahan dan selalu menolong gue. Tapi, itu bukan berarti dia suka sama gue. Yah mungkin sebatas suka sebagai teman satu klub saja, nggak lebih.”

Indah gerah dengan kesimpulan yang Rema ambil. “Terserah lo deh. Yang jelas menurut gue Fano itu suka sama lo. Atau nggak kita taruhan aja. Kalau dugaan gue yang benar, lo harus turutin permintaan gue selama sehari penuh. Tapi kalau dugaan gue salah, sebaliknya lo bisa minta apapun sama gue. Gimana?” Indah mengajak Rema bertaruh soal siapa yang benar dugaannya. Tidak mau kalah, Rema pun menerima tantangan Indah. “Sepakat!”, sahut Rema. Keduanya pun lalu berjabat tangan sebagai tanda telah disahkannya perjanjian.

Detik berikutnya, entah mengapa keyakinan Rema tiba-tiba goyah. Ia mulai memikirkan ulang pendapat Indah tentang Fano. Apa iya benar yang dikatakan Indah? Fano suka sama gue? Dia emang baik banget sih. Tapi masa cuma itu yang jadi tolak ukurnya. Kalau gitu kak Juki-Kak Fedi-Kak Maksi-Kak Bima semua suka juga dong sama gue. Mereka kan sama baiknya dengan Fano. Ah, udahlah, gue kok jadi keprovokasi Indah gini. Nggak mungkin benarlah dugaan anehnya itu. Hah, siap-siap aja Indah menerima kekalahan! Gue akan

Page 167: winning fano feeling

167

bikin lo sengsara selama sehari penuh. Rema kembali meyakinkan diri, mengusir keraguan yang sempat menghasuti pikirannya.

“Oh ya, kalian bisa jadian itu gimana ceritanya? Gue masih bingung.”, tanya Rema selanjutnya. Bukannya menjawab, Indah malah cekikikan sendiri. Rema jadi ikutan geli melihat reaksi Indah ini. “Kenapa lo Ndah? Ada yang lucu yah?”

“Hahaha,,, jadi gini Re. Lo ingat gak beberapa bulan lalu Felix mantan gue pernah ngajak gue balikan. Waktu itu kan Razy yang paling nentang gue terima Felix lagi. Alasannya sih dia khawatir gue diselingkuhin yang kedua kali, padahal aslinya dia cemburu. Hahaha!”

“Oh ya? Terus-terus!”, desak Rema tak sabar. “Nah, gue curiga kenapa Razy sampai sejauh itu peduli urusan

gue. Lo tahu sendiri kan sahabat lo satu itu penyakit cueknya kayak gimana. Ya udah suatu malam gue pancing dia. Gue bilang aja mau ketemuan sama Felix buat balikan lagi. Eh langsung dong Re, Razy datang ke rumah gue buat cegah gue ketemu Felix. Saat itulah dia nyatain perasaannya ke gue selama ini. Gue masih ingat banget kata-katanya tiga bulan lalu, ‘,, Ndah dengar baik-baik. Gue akan ucapin ini sekali saja, jadi lo harus pasang telinga baik-baik. Gue,, gue sayang sama lo. Bukan sebagai sahabat. Gue benar-benar suka sama lo sebagai seorang Razy. Entah bermula dari kapan dan dari apa, tapi sudah lama gue gak bisa anggap lo hanya sebatas sahabat lagi...’. gitu Re! ” Indah mengakhiri cerita proses jadiannya dengan Razy. Mulut Rema terbuka tak percaya. Terpana. Rema sudah begitu lama mengenal Razy, hampir di separuh umurnya. Dan yang Rema kenal Razy adalah sosok yang dewasa, serius, berwibawa, cuek soal cewek, dan sangat fokus dengan masa depan. Ya, Razy yang merupakan sulung dari 5 bersaudara itu sadar betul kelak dirinya akan menjadi tumpuan keluarga, dan dia tidak boleh sampai mengecewakan orang tua serta adik-adiknya.

“Zy, gue benar-benar gak nyangka lo bisa seromantis itu. Ternyata gue belum kenal lo sepenuhnya.”, puji Rema diselingi tawa.

Razy sama sekali tidak tersanjung dengan pujian Rema tersebut. Ia justru merasa malu. Rusak deh reputasi gue. “Nggak Re, jangan percaya! Kejadiannya nggak seperti itu. Ada penyelewengan fakta disana.”, bantah Razy secepatnya. Namun Rema tak menggubrisnya. Ia tetap saja tertawa dan menatap Razy dengan terpukau.

“Apaan sih Zy, orang benar juga.”, kukuh Indah, kembali menemani Rema tertawa.

Razy tidak tinggal diam saja ditertawakan seperti ini. Ia kemudian mencari akal. “Kalau gitu Rema juga harus tahu soal kecemburuan kamu terhadap Airin beberapa minggu terakhir ini.”

Page 168: winning fano feeling

168

“Hah, apa Zy!? Indah cemburu sama Airin?”, potong Rema penasaran. Tawanya terhenti sesaat.

Senyum jahil menghiasi wajah Razy. Saatnya pembalasan. “Iya, Re. Semenjak urusan taruhan itu, hubungan gue sama Airin kembali dekat seperti dulu sewaktu jaman-jaman kita SMP. Gue sering ketemu dan ngobrol bareng Airin. Nah, Indah ini pikirannya ngaco dan aneh. Dia kira kedekatan gue dengan Airin ada apa-apanya, padahalkan sama aja seperti hubungan gue sama elo. Bego banget kan?”

“Hahaa! Yang bener Ndah? Lo cemburu sama Airin?” Rema kembali tertawa, kali ini berduet dengan Razy. Indah langsung cemberut karena keadaan sekarang berbalik menyudutkan dirinya.

“Eh, Zy, maksud lo apa cerita itu ke Rema? Itu kan rahasia.”, protes Indah tak terima.

“Lo duluan yang bongkar-bongkar rahasia.”, sahut Razy tak mau kalah.

“Tapi kan kejadiannya nggak perlu dilebih-lebihkan kayak gitu. Pake bilang gue bego lagi. Itu namanya penghinaan tahu!”

“Emang iya. Kalau nggak bego namanya apa coba?” Razy dan Indah kembali berdebat sengit. Rema yang sudah berhenti tertawa hanya bisa diam menelan ludah melihat pertengkaran dua insan yang katanya berpacaran itu. Tebakannya salah. Adu mulut mereka selama ini ternyata bukan bagian dari kebohongan, tapi memang murni hobi keduanya berdebat kusir. Apa ini Ndah kemesraan yang mau lo tunjukan itu? Hahaha.. makasih deh!

“Udah-udah! Debatnya disambung ntar aja pas pulang. Udah bel masuk!”, lerai Rema sembari menepuk bahu Razy dan Indah. Keduanya pun dengan terpaksa berhenti berdebat saat melihat pak Amrun, sang guru fisika, memasuki ruang kelas.

Melihat “kemesraan” pasangan baru itu, hati Rema sebenarnya sedikit merasakan iri. Memang Indah dan Razy sering ribut, tapi mereka juga cepat berbaikan lagi. Terbukti saat Indah kesulitan memahami suatu teori, Razy coba menjelaskan dengan detail dan sabar. Dari situ Rema dapat melihat setulus apa rasa sayang Razy kepada Indah, begitu pun sebaliknya.

Haah, benar-benar bikin orang iri..?$#%@!

Pulang sekolah Rema berangkat ke rumah sakit. Sang ayah telah menjalani operasi pertamanya dan kini dirawat serius di ruang ICU. Rema sudah tak sabar ingin melihat kondisi terbaru ayahnya. Kemarin

Page 169: winning fano feeling

169

sang ayah telah berhasil menjalani operasi dengan lancar. Meski masih belum dapat berkomunikasi, tapi melihat orang yang dicintainya itu tetap bernafas hingga saat ini, Rema sudah sangat bersyukur.

Ketika memasuki kamar tempat ayahnya dirawat Rema mendapati sang Ibu sedang sibuk mencari tas dengan pakaian yang sudah rapi. Pertanyaan pun muncul dalam benak Rema. Ternyata Ibu memang akan pergi ke suatu tempat. Entah untuk urusan apa Rema kurang tahu jelas karena Ibu yang begitu terburu-buru dikejar waktu tidak sempat memberinya banyak penjelasan. “Re, kamu jaga Ayah dulu. Sepertinya urusan Ibu akan lama. Kamu nggak apa-apa kan nggak ke tempat latihan hari ini?” Rema mengangguk menanggapi pesan Ibunya. Dari awal Rema sudah berniat tidak akan pergi ke lapangan sore ini. Bukan karena mantap keluar seperti niatnya semalam, melainkan karena Rema ingin mendampingi sang ayah, berada di dekatnya selama mungkin. “Ibu pergi dulu yah Re! Kalau ada apa-apa langsung hubungi ibu.”, pesan terakhir Ibu sebelum pergi menghilang dari balik pintu.

Dan tinggalah Rema sendiri menjaga ayahnya di ruang tunggu ICU rumah sakit. Sembari menunggu, Rema membuka buku pelajaran sekolah, mengulang materi-materi yang telah diajarkan. Ia lalu teringat akan tugas yang baru diberikan pak Amrun tadi pagi. Tugas itu dikumpulkan minggu depan. Rema berniat mengerjakannya sekarang sembari mengisi waktu kosong. Nggak ada salahnya kan mengerjakan tugas sedini mungkin? Biar lebih tenang, iya nggak?

Dua jam lebih waktu yang Rema perlukan untuk menyelesaikan tugas fisika yang super sulit itu. Untuk masalah tugas, pak Amrun memang jagonya dalam menyiksa murid-murid. Tidak pernah sekali saja guru yang paling disegani itu memberi tugas yang mudah dikerjakan dan yang menghabiskan waktu sebentar. Selalu saja tugas-tugasnya banyak dan susah minta ampun. Bukan pak Amrun namanya kalau tidak begitu.

“Ah, gilaa! Remuk badan gue.” Rema meregangkan tangan, punggung dan lehernya yang terasa pegal sekali. Beberapa jam membungkuk mengerjakan soal ternyata cukup melelahkan juga, tidak hanya fisik yang tersiksa tapi juga psikis.

“Wah sudah setengah lima!”, seru Rema tak menduga waktu begitu cepat bergulir. Anak-anak masih pada latihan gak yah? Ah, ngapain gue pake kepikirin mereka segala. Belum tentu juga mereka sedang latihan sekarang. Bisa aja kan penyakit pecundangnya kambuh lagi. Tapi kenapa gue gak bisa tenang tinggalin mereka? Sudah Re,

Page 170: winning fano feeling

170

cukup! Lebih baik gue shalat ashar aja sekarang. Udah telat banget. Hehee.

Selesai shalat, Rema kemudian melanjutkan rutinitas dengan kegiatan membaca. Kebetulan sebelum berangkat ke rumah sakit tadi ia sempat pergi ke perpus untuk meminjam beberapa buku. Dua buku yang berhubungan dengan pelajaran sekolah dan satu lagi buku non fiksi bergenre psikologi berjudul ‘Sybil’. Sekarang ini Rema memang sedang tertarik dengan buku-buku berbau psikologi seperti Sybil, A man called David, Sheila, 24 wajah Billy dll. Pada dasarnya Rema menyukai semua jenis buku. Tiap genre memiliki waktunya tersendiri. Ada kalanya ia tergila-gila dengan thriller, suspense, romance, novel fantasy, bahkan komik-komik kocak semacam Miiko atau One Piece. Semua jenis buku bisa Rema lahap, termasuk buku TTS.

Tok,,tok,,tok! Baru beberapa halaman Rema membaca isi novel tentang seorang wanita yang memiliki kepribadian ganda tersebut, terdengar suara ketukan dari arah luar sana. “Siapa?”, tanya Rema memastikan, namun aneh tak ada jawaban yang terdengar. Apa mungkin Ibu yah? Tapi ngapain Ibu pake ngetok pintu segala. Aneh-aneh aja Ibu ini. Rema lalu meletakkan novelnya di atas meja dan beranjak membukakan pintu. Begitu pintu terbuka, sekeranjang buah-buahan langsung menyambut Rema. Rema tersentak kaget menerima surprise gift tersebut. Dan saat si tamu misterius muncul, Rema semakin kaget melihat tak hanya satu-dua orang saja tamu yang datang melainkan beberapa orang.

“Kalian? kenapa kalian bisa ada disini? Tahu dari mana gue ada di rumah sakit?”, tanya Rema tak menduga sama sekali akan kedatangan para pemain. “Kalian nggak latihan lagi? Bagaimana ini? jadwal pertandingan kedua kan besok!” Jiwa manajer Rema keluar. Mengetahui para pemainnya mangkir latihan, ia langsung uring-uringan.

Maksi segera menenangkan Rema. “Kita habis latihan kok ini Re. Udah lo tenang aja, nggak perlu pusingin kejurnas dulu. Fokus aja dengan masalah bokap lo. Oh ya, keadaan bokap lo sekarang gimana Re? Membaik?”

“Ya begitulah. Besok bokap akan menjalani operasi kedua. Kalau operasi besok berhasil, keadaannya akan jauh lebih baik. Untuk itu, berhubung operasi kali ini begitu penting, besok gue pengen ada disamping bokap gue.”, jelas Rema sedikit membuat kecewa para pemain karena itu berarti sang manajer tak bisa mendampingi mereka di pertandingan besok.

Page 171: winning fano feeling

171

“Re, lo ini gimana sih? Bokap masuk rumah sakit bukannya kemarin bilang, ini malah marah-marah. Gue kira lo ngambek makanya nggak datang ke lapangan sore ini.”, protes Fedi menghangatkan suasana.

“Iya Re. Untung aja Fano kasih tahu kita semua. Jadinya kita bisa datang ke sini buat jenguk bokap lo. Huh, mana tuh bocah sempat nyindir kita lagi. Bilang tingkat solidaritas kita rendah. Eh dia sendiri pas diajak ke sini malah nolak, pake alasan ada urusan penting segala.”, lanjut Juki menjawab kebingungan Rema mengenai sosok Fano yang tidak nampak hadir di antara para pemain.

Jadi Fano yang bilang ke anak-anak soal kondisi bokap. Tapi kenapa dia nggak ikut datang? Apa dia sedang kerja di resto? Sepertinya begitu. Mmm, padahal gue masih hutang ucapin makasih sama dia. Istirahat tadi dicari kemana-mana gak ketemu.

“Re, selain buat jenguk bokap lo, kedatangan kita kesini sekaligus juga buat minta maaf sama lo.”, ucap Bima dengan ekspresi wajah serius. “Selama ini kita sering banget bikin lo kesal, kecewa, dan marah. Lo udah begitu sabar menghadapi tingkah aneh kita yang pasti bikin lo pusing dan jengkel. Tapi itu tidak akan terulang lagi Re. Kita semua janji mulai saat ini kita akan berjuang lebih keras lagi di kejurnas. Lo masih mau dampingi kita kan Re?” Rema tak mampu berkata apa-apa mendengar permintaan Bima. Hatinya begitu terharu saking senangnya. Ia seperti mendapat dukungan yang besar dari kata-kata tersebut. Baru kemarin Rema merasa begitu risau dan putus asa dengan kondisi tim. Tapi sekarang, segala kekhawatirannya sirna, terhapus oleh janji yang diikrarkan Bima.

“Iya Re, pokoknya besok kita akan berjuang mati-matian. Tampil all out agar tidak pulang lebih awal. Lo bisa dampingi bokap lo dengan tenang, nggak perlu pusing memikirkan nasib tim. Besok kita pasti akan menang.” Rema semakin terharu dengan semangat yang diberikan Juki. Tanpa sadar air mata mulai menetes di pipinya.

Dikelilingi para pemain yang langsung kelabakan begitu sang manajer menangis, Rema menumpahkan segala beban yang beberapa hari ini mengganjal di hati. Kondisi ayah yang kritis, kondisi tim yang terpuruk, semua benar-benar membebani pikiran Rema. Rema pun menangis sekencang-kencangnya.

Suasana Latino Resto sudah tampak sepi pada jam 9 malam ini. Para pengunjung satu-persatu telah pergi meninggalkan restoran,

Page 172: winning fano feeling

172

persiapan untuk tutup pun bergegas dilakukan para pegawai. Fano yang kebagian shift sore-malam pada hari itu mendapat tugas membersihkan dan merapikan kursi serta meja makan pengunjung. Sementara rekan-rekan kerja lainnya ada yang bertugas membersihkan ruang dapur, kamar mandi, kaca jendela, halaman depan dan sebagainya. Fano tidak sendirian saat menjalankan tugas terakhirnya itu. Ada seseorang yang berbaik hati bersedia untuk menemani selama Fano mengerjakan pekerjaannya. Yah, hanya sekedar menemani tidak ikut membantu karena orang tersebut bukan rekan kerja Fano di Latino Resto melainkan rekannya di sekolah.

“Cero, uno, dos, tres, cuatro, cinco, seis, siete, ocho12

“Nueve, diez, once, doce, trece, catorce, quince

,, hmm apalagi yah Fan? Gue lupa lagi nih.”

13

“Oh iya yah. Eh, kok sampai lima belas! Yang mau ditest besok kan cuma sampai hitungan ke sepuluh.”, bingung Jeni.

”, jawab Fano meneruskan hitungan Jeni sembari mengelap meja restoran.

“Ya bagus dong. Siapa tahu nilai lo jadi ditambahin. Iya nggak?” Jeni berpikir sejenak. “Iya juga sih. Oke, sekarang nama hari.

Denger yah Fan. Lunes, martes, miércoles, jueves, viernes, sábado,14 aduh-aduh satu lagi hari minggu apa yah? Mmmh,, oh yah domingo15

“Bagus. Daya tangkap otak lo cepat juga ternyata.”, puji Fano, melambungkan perasaan Jeni sangat tinggi. “Coba sekarang lo ulangi lagi nama bulan, bilangan, dan hari in Spanish.”, perintah Fano selanjutnya.

. Haha, akhirnya gue hafal juga.”, sahut Jeni kegirangan. Fano ikut tersenyum melihat ekspresi gembira Jeni. Sudah setengah jam lebih Jeni menghapalkan angka dan nama hari dalam bahasa Spanyol. Baru sekarang dia berhasil hafal dan lancar menyebutkan. “Eh Fan, kemampuan bahasa Spanyol gue gimana, progresnya bagus kan?”, tanya Jeni meminta pendapat Fano.

Wajah Jeni mengerut. Ia sempat ingin protes karena hafalannya belum terlalu kuat dan masih butuh beberapa kali pengulangan. Namun seperti biasa pada akhirnya ia tetap harus menuruti titah sang guru yang

12 Nol, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan 13 Sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas 14 Senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu 15 minggu

Page 173: winning fano feeling

173

tak lain adalah Fano. “Ah, ok, cek yah Fan! Enero, fabrero, marzo, abril, mayo, junio, julio16

Selama Jeni melafalkan nama-nama bulan dalam bahasa Spanyol, secara tak terduga muncul seseorang dari arah pintu masuk restoran. “Permisi!”, sahut tamu yang datang itu. Keterkejutan tak mampu ditutupi dari wajah si tamu saat melihat sosok Jeni tengah duduk di kursi kasir. Reaksi sama juga ditunjukan Jeni yang langsung menghentikan seketika kegiatan hafalannya saat melihat siapa yang datang. Hanya Fano yang bereaksi tidak berlebihan seperti kedua gadis ini.

…”

“Eh Rema, ada apa? Tumben kesini.”, tanya Fano, masih sibuk mengelapi meja. Ia kemudian menghampiri Rema yang masih berdiri mematung di lorong tempat keluar-masuk pengunjung.

“Fan, gue rasa acara belajar buat hari ini cukup. Gue balik sekarang!”, pamit Jeni, mulai sibuk membereskan buku-buku pelajaran bahasa Spanyolnya ke dalam tas. Fano hanya mengangguk lalu memberikan senyum perpisahan kepada Jeni. “Gracias Fan, buenas noches17

“Re, kok bengong?”, panggil Fano heran dengan sikap pendiam Rema. Rema pun sontak tersadar dari lamunannya. Kenapa perasaan gue jadi nggak enak gini yah? Bingung Rema dengan keadaan hatinya.

! Bye Rema!” Jeni pun melangkah pergi menuju pintu yang tadi dilewati Rema. Sekilas Rema melihat senyum sinis tersungging di bibir Jeni ketika mereka berdua berpapasan. Entah apa maksudnya.

“Fan, tadi itu Jeni teman sekelas lo kan? Kalau gue boleh tahu, dia lagi ngapain di sini? Lo dekat yah sama dia? Kok gue baru tahu.”, tanya Rema berantai.

“Woi-woi, banyak banget pertanyaan lo. Gue serasa lagi diinterogasi.”, sahut Fano sambil terkekeh pelan.

“Oh, yaudah kalau gue nggak boleh tahu, nggak masalah kok.”, tutur Rema menyalah-artikan ucapan Fano.

“Eh iya-iya, gue jawab. Jangan marah dong! Tadi itu emang Jeni yang sekelas sama gue. Masa lo nggak tahu?”, heran Fano. Rema tak menggubris pertanyaannya tersebut. Raut wajah Rema begitu serius. “Oke, gue lanjut. Dia ke sini buat ketemu gue. Biasa kalau cewek jengukin pacarnya. Jadi..”

16 Januari, februari, maret, april, mei, juni, juli

17 Selamat malam

Page 174: winning fano feeling

174

“Hah? Apa Fan? Jeni, cewek lo? Kalian pacaran?”, potong Rema cepat padahal Fano belum selesai berbicara. Wajar jika Rema bereaksi berlebihan seperti ini. Berita yang disampaikan Fano benar-benar sangat mengagetkan dan tak terduga.

Dalam sehari gue dapat dua kabar orang jadian sekaligus. Yang pertama tadi pagi Indah dan Razy, sekarang Fano. Tapi kenapa untuk yang kedua ini gue nggak sesenang kabar pertama? Padahal semuanya sama-sama sahabat gue, Indah-Razy-Fano. Apa karena yang jadi ceweknya itu adalah Jeni makanya gue kurang antusias? Oh ya Jeni! dia kan teman satu gengnya Prita. Berarti… mereka yang menangin taruhan itu. Pantas Fano dan Jeni terlihat akrab sewaktu di pertandingan perdana tim kemarin. Rupanya mereka..

Menerima respon yang berlebihan dari Rema, Fano pun tidak kalah kagetnya dengan gadis itu. “Re, lo nggak apa-apa?”, tanya Fano khawatir dengan kondisi Rema yang di luar dugaan.

“Gue? Ngng,, gue baik-baik aja. Hanya sedikit kaget.”, ucap Rema menutupi keadaan yang sebenarnya. “eh Fan, kalian sejak kapan pacaran? Kenapa jarang terlihat bareng di sekolah atau di lapangan?” Rema tak hentinya mengajukan pertanyaan. Rema sendiri tidak tahu kenapa bisa sampai segitu penasarannya dengan urusan Fano yang satu ini. Apa karena menyangkut soal taruhan atau yang lain...?

“Ooh, ituu, itu sebenarnya karena,,” Fano memberi jeda, coba mengulur-ngulur waktu. “sebenarnya Re, gue udah bohongin elo. Tadi gue cuma becanda. Hahaha!” wajah Fano yang sebelumnya begitu serius berubah drastis menjadi kebalikannya, penuh tawa dan canda. Laki-laki blesteran itu tak kuasa menahan tawa sudah berhasil membuat Rema percaya dengan kebohongannya.

Awalnya Rema merasa bingung dengan tingkah aneh Fano yang berubah-ubah. Butuh waktu beberapa detik untuk Rema menyadari kalau dirinya baru saja dibohongi. “Lucu yah Fan?”, tanyanya sinis. Tentu saja Rema merasa kesal dengan ulah jahil Fano yang menurutnya sama sekali tidak lucu. Reaksi dingin Rema ini seketika menghentikan tawa Fano. “Kedatangan gue kesini cuma ingin nyampein ucapan makasih dari nyokap, sekalian bawain lo sedikit makanan. Ini masakan khusus yang dibikin nyokap buat lo. Semoga lo suka.” Rema meletakkan kantong keresek hitam berisi makanan yang sedari tadi digenggamnya ke atas meja kasir. “Gue pulang dulu!”, pamitnya dengan tampang masih tak bersahabat.

“Eh Re, tunggu! gue antar lo sampai depan.” Fano berteriak kencang, berusaha mengejar Rema yang sudah keluar melewati pintu restoran. Rema sama sekali tidak memperdulikan teriakan Fano di

Page 175: winning fano feeling

175

belakang. Gadis itu terus berjalan dengan cepat tanpa menoleh sedikit pun ke arah Fano.

Sial, gue dibohongi habis-habisan sama tuh bule. Dasar cowok nyebelin! Gue udah pakai acara kaget segala lagi. Uuh, malu-maluin! Rema merutuki reaksi berlebihannya tadi. Tidak menyangka kejadiannya akan sememalukan ini.

“Re, lo marah yah? Maaf-maaf, gue cuma becanda. Habis lo kelihatan serius gitu nanyain soal Jeni. Gue jadi geli pengen godain lo.”, ucap Fano merasa bersalah sambil berusaha terus mengejar langkah kaki Rema. Jarak keduanya pun sudah semakin dekat. “Ayo dong Re. Masa lo nggak bisa maafin gue untuk masalah sekecil itu.”, mohonnya berulang-ulang.

Hati Rema terenyuh juga terus-terusan dibombardir permintaan maaf oleh Fano. Rema pun mulai melambatkan kecepatan jalannya. “Gue nggak marah kok Fan. Hanya sedikit kesal saja.”, jelas Rema, masih tetap berjalan lurus dan tidak menatap wajah laki-laki di sebelahnya. Fano menghela nafas lega. Lumayan, setidaknya Rema sudah bisa diajak bicara lagi.

Selanjutnya, tanpa Rema minta, Fano menceritakan begitu saja apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dengan Jeni. “Sudah dua minggu ini gue ajari Jeni bahasa Spanyol. Kebetulan dia ambil kursusnya, dan untuk memperlancar dia minta bantuan gue. Awalnya gue sempat nolak, lo tahu sendiri kan selain sekolah, latihan bola, gue juga harus kerja. Tapi Jeni terus memohon. Dia berjanji tidak akan menyita banyak waktu gue. Yah, akhirnya gue setuju juga. Itung-itung gue bayar hutang budi ke dia.” Rema masih bungkam walau sudah mendengar pengakuan jujur Fano. Hanya sebuah senyum tipis yang diam-diam terukir di bibir gadis itu. Rema sendiri tak sadar akan perubahan drastis hatinya yang mendadak diliputi kelegaan.

“Oh yah, kabar bokap lo gimana?”, tanya Fano selanjutnya. Kini gantian Rema yang bercerita tentang kondisi terakhir sang ayah. “Jadi, bokap lo besok menjalani operasi lagi?” Rema mengangguk. “Lo mau temani bokap lo besok?”

Rema kembali mengiyakan. “Gue takut terjadi sesuatu yang buruk dengan bokap, Fan. Kalau sampai itu terjadi dan gue nggak ada disamping dia, gue pasti akan menyesal seumur hidup gue.” Terbayang dalam ingatan Rema mimpi buruknya saat tertidur di rumah sakit waktu itu. Meski hanya sebuah mimpi, namun efek yang diakibatkannya pada diri Rema sangat besar dan nyata.

Fano mengangguk mengerti. Tidak hanya sekedar simpati, Fano juga bisa ikut merasakan apa yang Rema hadapi saat ini. Dulu sewaktu

Page 176: winning fano feeling

176

masih berada di Argentina, Fano pernah mengalami kejadian serupa. Tepatnya tiga tahun lalu. Sebelum meninggal ayah Fano sempat dirawat di rumah sakit. Setiap hari sepulang sekolah dan latihan sepak bola, Fano selalu datang mengunjungi sang ayah. Menemani dan menjaganya. Sayang momen tersebut tidak berlangsung lama. Setelah tiga bulan berada dalam perawatan rumah sakit, ayahnya pergi menghembuskan nafas terakhir. Kini Fano hanya bisa tersenyum miris setiap mengingat kejadian pahit tersebut. Walau sudah berlalu beberapa tahun silam, namun baginya peristiwa itu akan selalu terasa seperti baru terjadi kemarin sore.

“Fan, terima kasih banyak yah!” ucap Rema tiba-tiba. Rema menghentikan langkah kakinya lalu berbalik menatap Fano lekat. “Pertolongan lo waktu itu benar-benar sangat berharga. Gue nggak tahu harus berbuat apa untuk membalas semua hutang budi gue sama lo. Gue bayar pakai darah lagi juga rasanya tetap gak akan cukup.” Fano membalas lembut tatapan Rema. Entah mengapa momen tersebut terasa slow motion bagi keduanya. Tatapan tulus Rema langsung membekas dalam hati Fano. Begitupun sebaliknya, tatapan tajam tapi hangat milik Fano selalu saja sukses membuat Rema nervous dan breathless.

“Lo nggak perlu merasa berhutang budi seperti itu Re. Lo nggak ada hutang apa-apa sama gue. Lagipula gue senang bisa nolongin lo dan ada disamping lo setiap lo lagi kesusahan. Itu semua karena...”, Fano menghela nafas panjang. “itu karena gue suka sama lo, Re.”, lanjut Fano lirih begitu saja. Sukses membuat Rema terhenyak kaget tak percaya. Ditatapnya Fano dengan penuh tanda tanya. Apa tadi gue gak salah dengar?

“Gue benar-benar suka sama lo Re.”, ucap Fano sekali lagi. Ya ampun, gue nggak salah dengar ternyata. Tapi, tapi kenapa

Fano mendadak bilang suka sama gue? Terus kenapa jantung gue mesti deg-degan gini? Apa ini yang dirasakan Indah sewaktu Razy nyatain perasaannya yang mendadak itu? Nggak-nggak, ini pasti ulah iseng Fano lagi. “Hahaha,,,” Rema tertawa garing. “lo, lo pasti coba bohongi gue lagi kan, Fan? Eh, nggak bakal mempan tahu. Lo kira gue keledai apa yang bakal jatuh di lubang sama dua kali.” Fano tersenyum simpul kemudian terkekeh pelan menerima respon Rema. Entah apa arti senyumnya itu. Rema tak bisa menerkanya sama sekali.

“Eh, taksinya udah ada. Gue balik sekarang kalau gitu. Oh yah ingat, besok harus semangat! Jangan sampai kita kalah lagi. Daah!” Dengan tergesa-gesa Rema segera membuka pintu taksi, masuk ke dalam, dan langsung meminta sang supir menjalankan mobil. Rema sengaja tak membuka kaca jendela untuk memberi Fano perpisahan

Page 177: winning fano feeling

177

terakhir karena ia masih tidak mampu mengendalikan hatinya yang terus bergejolak. Selama perjalanan menuju rumah pun, dalam taksi Rema tak henti-hentinya memegangi dadanya yang masih saja merasakan sensasi aneh. Perasaan yang menyelimutinya ini baru sekali Rema alami. Terbesit pertanyaan dalam pikiran Rema, mengapa jantungnya harus begitu gugup padahal jelas-jelas Fano tadi tidak serius? Benar-benar tidak masuk akal.

..............

Page 178: winning fano feeling

178

Hola! Bagaimana kesanmu setelah membaca novel ini? Let’s share it. Kasih saran dan kritikmu ke akun twitter ini:

http://twitter.com/idaFar Gracias ^_^

Page 179: winning fano feeling

179

SKUAD TIM PELITA UNGGULAN