8
JKK, Tahun 2014, Volume 3(2), halaman 56-63 ISSN 2303-1077 56 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI ADSORBEN GAS H 2 S DARI ZEOLIT ALAM Weni Mandasari 1* , Berlian Sitorus 1 , Dian Rahayu Jati 2 1 Progam Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, 2 Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura, Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak, 78124 * email: [email protected] ABSTRAK Zeolit alam adalah suatu mineral yang tersusun dari senyawa silika-alumina yang berbentuk kristal. Zeolit memiliki beberapa karakteristik seperti ukuran pori yang seragam serta selektivitas terhadap gas, sehingga baik untuk dimanfaatkan sebagai adsorben. Pada penelitian ini zeolit digunakan sebagai adsorben gas H 2 S yang berbau seperti telur busuk dan beracun pada konsentrasi tertentu. Adsorpsi gas dilakukan dengan penambahan zeolit alam tanpa dan dengan aktivasi pada variasi ketebalan adsorben yaitu 1, 2 dan 3 cm. Hal ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan adsorpsi zeolit terhadap gas H 2 S. Zeolit dikarakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction, X-Ray Fluorosence dan Gas Sorption Analyzer. Hasil XRD menunjukkan zeolit alam yang digunakan adalah jenis modernit dengan munculnya puncak khas pada daerah 2θ = 22,43°, 25,73° dan 26,80°. Hasil XRF menunjukkan nilai rasio Si/Al tanpa dan dengan aktivasi meningkat dari 5 menjadi 7. Kemudian hasil analisis GSA menunjukkan luas permukaan, volume total pori dan rerata jari pori meningkat dengan proses aktivasi. Kadar gas H 2 S diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan metode metilen biru. Berdasarkan penelitian ini diperoleh efisiensi penyerapan adsorben zeolit alam terhadap gas H 2 S terbaik adalah zeolit dengan aktivasi, pada variasi ketebalan adsorben 3 cm. Efisiensi penyerapan zeolit pada ketebalan 3 cm sebesar 91,22%. Hal ini dikarenakan zeolit teraktivasi memiliki nilai kapasitas adsorpsi dua kali lebih besar dari zeolit tanpa aktivasi. Kata Kunci : Efisiensi, gas H 2 S, kapasitas adsorpsi, metode metilen biru, zeolit alam PENDAHULUAN Zeolit merupakan suatu kelompok mineral alumunium silikat terhidrasi dari logam alkali dan alkali tanah. Secara struktural ketersediaan zeolit di Indonesia sangat melimpah dikarenakan banyaknya gunung berapi. Zeolit terbentuk akibat dari letusan gunung berapi yang mengeluarkan abu vulkanik dan magma panas kemudian mengalami pelapukan. Berdasarkan proses pembentukannya zeolit dikategorikan menjadi dua jenis yaitu zeolit alam dan zeolit sintetik. Zeolit alam saat ini banyak dimanfaatkan sebagai adsorben untuk menurunkan kadar garam dalam air (Gustian dan Suharto, 2005), reduksi volume limbah radioaktif (Kismolo dkk., 2012) dan sebagai adsorpsi gas pada biogas (Hamidi dkk., 2012). Zeolit memiliki kemampuan sebagai adsorben dikarenakan mempunyai rongga dengan struktur kerangka tiga dimensi (Kismolo dkk., 2012), tahan terhadap suhu tinggi dan stabilitas tinggi (Corma, 1997 dan Barrer, 1988 dalam Taglibue et al., 2009). Selain itu zeolit juga memiliki ukuran pori yang seragam dengan kisaran ukuran 3-10 Å sehingga dikategorikan sebagai material mikropori, volume pori 0,35 cm 3 /g (Corma, 1997 dan Barrer, 1988 dalam Taglibue et al., 2009) dan selektivitas yang tinggi terhadap gas (Wahono dkk., 2010). Wahono dkk. (2010) menyatakan bahwa zeolit termodifikasi kaolin dengan perbandingan 6:1 mampu mengadsorpsi gas CO 2 dan H 2 S pada biogas. Gas H 2 S adalah gas berbau telur busuk yang dihasilkan dari fermentasi anaerobik bahan- bahan organik (Alwathan dkk., 2013). Adanya gas H 2 S memiliki dampak negatif yaitu pada konsentrasi tertentu dapat bersifat racun dan menyebabkan korosif pada logam (Padang dkk., 2012). Maka dari pada itu perlu dilakukannya penyerapan terhadap gas tersebut, salah satunya dengan metode adsorpsi menggunakan zeolit alam. Belakangan ini telah dilakukan penelitian mengenai adsorpsi gas H 2 S dengan menggunakan Fe 2 O 3 (Padang dkk., 2012) dan karbon aktif (Alwathan dkk., 2013). Pada penelitian ini gas H 2 S dibuat secara sintetik dengan menggunakan HCl dan FeS sehingga menghasilkan gas H 2 S, sedangkan bahan baku adsorbennya menggunakan zeolit alam. Tahapan pembuatan adsorben meliputi dua hal yaitu tahap preparasi zeolit alam dan aktivasi zeolit alam.

ZEOLIT.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • JKK, Tahun 2014, Volume 3(2), halaman 56-63 ISSN 2303-1077

    56

    PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI ADSORBEN GAS H2S

    DARI ZEOLIT ALAM

    Weni Mandasari1*

    , Berlian Sitorus1, Dian Rahayu Jati

    2

    1Progam Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura,

    2Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura,

    Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak, 78124 *email: [email protected]

    ABSTRAK

    Zeolit alam adalah suatu mineral yang tersusun dari senyawa silika-alumina yang berbentuk kristal. Zeolit memiliki beberapa karakteristik seperti ukuran pori yang seragam serta selektivitas terhadap gas, sehingga baik untuk dimanfaatkan sebagai adsorben. Pada penelitian ini zeolit digunakan sebagai adsorben gas H2S yang berbau seperti telur busuk dan beracun pada konsentrasi tertentu. Adsorpsi gas dilakukan dengan penambahan zeolit alam tanpa dan dengan aktivasi pada variasi ketebalan adsorben yaitu 1, 2 dan 3 cm. Hal ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan adsorpsi zeolit terhadap gas H2S. Zeolit dikarakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction, X-Ray Fluorosence dan Gas Sorption Analyzer. Hasil XRD menunjukkan zeolit alam yang digunakan adalah jenis modernit dengan munculnya puncak khas pada daerah 2 = 22,43, 25,73 dan 26,80. Hasil XRF menunjukkan nilai rasio Si/Al tanpa dan dengan aktivasi meningkat dari 5 menjadi 7. Kemudian hasil analisis GSA menunjukkan luas permukaan, volume total pori dan rerata jari pori meningkat dengan proses aktivasi. Kadar gas H2S diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan metode metilen biru. Berdasarkan penelitian ini diperoleh efisiensi penyerapan adsorben zeolit alam terhadap gas H2S terbaik adalah zeolit dengan aktivasi, pada variasi ketebalan adsorben 3 cm. Efisiensi penyerapan zeolit pada ketebalan 3 cm sebesar 91,22%. Hal ini dikarenakan zeolit teraktivasi memiliki nilai kapasitas adsorpsi dua kali lebih besar dari zeolit tanpa aktivasi. Kata Kunci : Efisiensi, gas H2S, kapasitas adsorpsi, metode metilen biru, zeolit alam

    PENDAHULUAN

    Zeolit merupakan suatu kelompok mineral alumunium silikat terhidrasi dari logam alkali dan alkali tanah. Secara struktural ketersediaan zeolit di Indonesia sangat melimpah dikarenakan banyaknya gunung berapi. Zeolit terbentuk akibat dari letusan gunung berapi yang mengeluarkan abu vulkanik dan magma panas kemudian mengalami pelapukan. Berdasarkan proses pembentukannya zeolit dikategorikan menjadi dua jenis yaitu zeolit alam dan zeolit sintetik. Zeolit alam saat ini banyak dimanfaatkan sebagai adsorben untuk menurunkan kadar garam dalam air (Gustian dan Suharto, 2005), reduksi volume limbah radioaktif (Kismolo dkk., 2012) dan sebagai adsorpsi gas pada biogas (Hamidi dkk., 2012).

    Zeolit memiliki kemampuan sebagai adsorben dikarenakan mempunyai rongga dengan struktur kerangka tiga dimensi (Kismolo dkk., 2012), tahan terhadap suhu tinggi dan stabilitas tinggi (Corma, 1997 dan Barrer, 1988 dalam Taglibue et al., 2009). Selain itu zeolit juga memiliki ukuran pori yang seragam dengan kisaran ukuran 3-10 sehingga dikategorikan sebagai material mikropori, volume pori 0,35 cm3/g (Corma, 1997 dan Barrer, 1988 dalam Taglibue et al., 2009) dan

    selektivitas yang tinggi terhadap gas (Wahono dkk., 2010).

    Wahono dkk. (2010) menyatakan bahwa zeolit termodifikasi kaolin dengan perbandingan 6:1 mampu mengadsorpsi gas CO2 dan H2S pada biogas. Gas H2S adalah gas berbau telur busuk yang dihasilkan dari fermentasi anaerobik bahan-bahan organik (Alwathan dkk., 2013). Adanya gas H2S memiliki dampak negatif yaitu pada konsentrasi tertentu dapat bersifat racun dan menyebabkan korosif pada logam (Padang dkk., 2012). Maka dari pada itu perlu dilakukannya penyerapan terhadap gas tersebut, salah satunya dengan metode adsorpsi menggunakan zeolit alam.

    Belakangan ini telah dilakukan penelitian mengenai adsorpsi gas H2S dengan menggunakan Fe2O3 (Padang dkk., 2012) dan karbon aktif (Alwathan dkk., 2013). Pada penelitian ini gas H2S dibuat secara sintetik dengan menggunakan HCl dan FeS sehingga menghasilkan gas H2S, sedangkan bahan baku adsorbennya menggunakan zeolit alam. Tahapan pembuatan adsorben meliputi dua hal yaitu tahap preparasi zeolit alam dan aktivasi zeolit alam.

  • JKK, Tahun 2014, Volume 3(2), halaman 56-63 ISSN 2303-1077

    57

    Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan kemampuan adsorben dari zeolit alam dengan beberapa variasi ketebalan adsorben untuk dapat menyerap gas H2S. Adapun untuk mengetahui karakteristik dari zeolit alam dilakukan karakterisasi X-Ray Diffraction (XRD) untuk mengetahui jenis zeolit, X-Ray Fluoroscence (XRF) untuk megetahui komposisi kimia dari zeolit alam, Gas Sorption Analyzer (GSA) untuk menentukan luas permukaan, rerata jejari pori serta volum total pori dari zeolit alam dan adsorben serta Spektrofotometer Ultraviolet-Visible untuk mengetahui konsentrasi gas H2S. METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan

    Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini amilum, HNO3, H2SO4, HCl, (NH4)2SO4, FeCl3. 6H2O, I2, KIO3, KI, Na2EDTA, NaOH, Na2S2O3. 5 H2O, Na2CO3, Na2S. 9H2O, para-amino dimetilanilin dihidroklorida, ZnSO4.7H2O. Sampel

    yang digunakan adalah zeolit alam.

    Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini

    meliputi ayakan 100 mesh, Gas Sorption Analyzer (GSA), hot plate, neraca analitik, oven, peralatan gelas standar, pH meter, seperangkat alat refluks, spektrofotometer UV-Vis, tanur, X-Ray Diffraction (XRD) dan X-Ray Fluoroscence (XRF). Prosedur Penelitian Preparasi Zeolit Alam

    Zeolit alam dihaluskan kemudian diayak menggunakan ayakan 100 mesh. Zeolit selanjutnya dicuci menggunakan akuades hingga mencapai pH netral (pH=7). Setelah itu zeolit dikeringkan di dalam oven selama 4 jam pada suhu 110C. Zeolit kemudian dianalisis menggunakan GSA, XRD dan XRF. Aktivasi Zeolit Alam

    Metode ini mengacu kepada Roocyta (2006) dimana aktivasi zeolit alam dilakukan dengan 3 tahap yaitu tahap demineralisasi, dealuminasi dan kalsinasi. Tahap pertama yaitu demineralisasi zeolit alam. Zeolit hasil preparasi dicuci dengan menggunakan EDTA 1 M melalui proses refluks pada suhu 80-90C selama 24 jam. Setelah direfluks, sampel dicuci dengan akuades hingga pH netral (pH=7). Sampel kemudian disaring dan diambil endapannya. Endapan yang

    diperoleh dikeringkan di dalam oven selama 4 jam pada suhu 110C dan ditimbang.

    Tahap kedua yaitu dealuminasi, sampel zeolit hasil demineralisasi ditimbang dan direfluks selama 24 jam pada suhu 80-90C. Setelah itu, sampel dicuci dengan menggunakan akuades hingga pH netral (pH=7). Sampel disaring dan diambil endapannya. Kemudian endapan tersebut dikeringkan di dalam oven selama 4 jam pada suhu 110C dan ditimbang. Terakhir tahap ketiga yaitu zeolit dikalsinasi selama 3 jam pada suhu 500C.

    Pembuatan Adsorben

    Proses pembuatan adsorben yaitu zeolit teraktivasi (serbuk) ditimbang kemudian

    dicampurkan dengan akuades. Campuran zeolit diaduk hingga merata dan di bentuk pelet. Zeolit yang telah berbentuk pelet dikeringkan di dalam oven dan disimpan dalam desikator selama 30 menit. Pelet yang telah kering dimasukkan ke dalam tabung adsorben dengan masing-masing variasi ketebalan yaitu 1, 2 dan 3 cm. Pembuatan Gas H2S

    Prosedur pembuatan gas H2S mengacu pada penelitian Prasetyo (2002). FeS dan HCl 1 M direaksikan dengan komposisi masa 0,06 g dan 1,5 mL. Gas yang terbentuk dialirkan ke dalam erlenmeyer yang telah berisi 50 mL larutan penjerap (ZnSO4) untuk kemudian diuji kadar H2Snya.

    Gambar 1. Pembuatan gas H2S Uji Kadar H2S dengan Metode Metilen Biru menggunakan Spektrofotometer

    Uji kadar H2S dengan metode metilen biru menggunakan spektrofotometer mengacu pada SNI 19-7117.7-2005

    ZnSO4

    Adsorben HCl

    FeS

  • JKK, Tahun 2014, Volume 3(2), halaman 56-63 ISSN 2303-1077

    58

    Pengambilan Gas H2S 1. Persiapan contoh uji

    Larutan yang berisi 50 mL contoh uji dipindahkan dari rangkaian dan dibilas dengan menggunakan akuades. Contoh uji kemudian diencerkan hingga volume 200 mL dengan menggunakan akuades (sampel). Selain itu disiapkan 100 mL larutan penjerap (ZnSO4) kemudian diencerkan dengan akuades hingga volume 200 mL (blanko).

    2. Pengujian Contoh Uji

    Larutan contoh uji dan blanko dipipet sebanyak 20 mL ke dalam tabung reaksi. Masing-masing tabung ditambahkan 2 mL para-aminodimetilanilin dan 1 mL FeCl3 kemudian dihomogenkan. Setelah itu diencerkan dengan akuades hingga volume 25 mL, dihomogenkan kembali dan didiamkan 30 menit. Larutan contoh uji diukur serapannya pada panjang gelombang 670 nm dan dihitung konsentrasi gas H2S dengan menggunakan kurva kalibrasi. Kapasitas Adsorpsi Zeolit Alam dapat dihitung dengan rumus berikut (Yuliusman dkk., 2010).

    Kap. Ads =

    Persentase efesiensi gas H2S yang diadsorpsi dapat dihitung dengan rumus berikut (Yamliha dkk., 2013). % H2S = x 100%

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Preparasi Zeolit dan Aktivasi Alam

    Preparasi zeolit alam diawali dengan tahap penghalusan dan pengayakan. Zeolit alam dihaluskan dengan proses penggilingan kemudian diayak menggunakan ayakan 100 mesh. Hal ini bertujuan untuk memperoleh ukuran partikel yang halus dan homogen. Dengan ukuran partikel yang halus, luas permukaannya akan meningkat (Hartati, 2005). Zeolit yang telah seragam ukurannya kemudian dicuci dengan menggunakan akuades hingga pH netral. Pencucian dengan akuades bertujuan untuk menghilangkan debu dan pengotor-pengotor yang menempel pada permukaan zeolit. Selanjutnya zeolit dikeringkan di dalam oven pada suhu 110C selama 4 jam. Pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan air yang terdapat pada zeolit setelah proses pencucian.

    Aktivasi zeolit meliputi tiga tahap yaitu demineralisasi, dealuminasi dan kalsinasi. Demineralisasi adalah proses untuk mengurangi

    mineral-mineral yang terdapat di dalam zeolit. Proses demineralisasi zeolit menggunakan Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA) 1 M yang merupakan ligan heksadentat yang mempunyai enam atom donor yaitu dua atom nitrogen dan empat atom oksigen dari empat gugus asetat. Ligan ini merupakan ligan multidentat karena memiliki lebih dari dua atom koordinasi per molekul (Rivai, 1994).

    Dealuminasi zeolit alam menggunakan HNO3 8M dilakukan untuk mengurangi kandungan aluminium yang terdapat di kerangka maupun permukaan zeolit. Dengan berkurangnya Al maka rasio Si/Al akan meningkat sehingga bersifat hidrofobik, sehingga kemampuan penyerapan zeolit terhadap gas akan semakin besar. Selain itu proses dealuminasi juga dilakukan untuk menjaga stabilitas struktur pori dan meningkatkan kapasitas adsorpsi zeolit (Sutarti dan Rachmawati, 1994).

    Pada proses dealuminasi, ion H+ yang dihasilkan dari reaksi penguraian HNO3 akan mengurangi ikatan atom Al yang berada pada kerangka zeolit. Ion H+ akan diserang oleh atom oksigen yang terikat pada Si dan Al. Berdasarkan harga energi disosiasi ikatan Al-O (116 kkal/mol) lebih rendah dibandingkan dengan nilai energi disosiasi ikatan Si-O (190 kkal/mol) maka dari pada itu ikatan Al-O jauh lebih mudah untuk terurai dibandingkan dengan ikatan Si-O. Ion H+ cenderung mengakibatkan pemutusan ikatan Al-O dan membentuk gugus silanol (Mutngimaturrohmah dkk., 2008). Sedangkan ion NO3

    - hasil penguraian HNO3 berpengaruh pada ikatan Al-O dan Si-O. Ion NO3

    - memiliki elektronegativitas yang tinggi dan berukuran kecil sehingga mengakibatkan ion NO3

    - mudah untuk berikatan dengan kation bervalensi besar seperti Si4+ dan Al3+. Ion NO3

    - cenderung akan berikatan dengan atom Al dikarenakan harga elektronegativitas atom Al (1,61) lebih kecil dibandingkan dengan elektronegativitas atom Si (1,90) (Mutngimaturrohmah dkk., 2008). Mekanisme reaksinya dapat dilihat pada Gambar 2 (Weitkamp and Puppe, 1999):

    Pada penelitian ini zeolit alam yang digunakan sebagai adsorben mempunyai nilai rasio Si/Al rendah sebesar 5 (seperti ditunjukkan pada Tabel 2), hal ini menunjukkan zeolit bersifat hidrofilik. Zeolit yang baik digunakan untuk adsorben adalah zeolit yang bersifat hidrofobik dengan nilai rasio Si/Al >5 (Sriatun dan Darmawan, 2005). Proses dealuminasi dapat meningkatkan rasio Si/Al zeolit. Roocyta (2006) menyatakan konsentrasi HNO3 8M adalah konsentrasi optimum dalam proses dealuminasi zeolit sebagai adsorben. Setelah didealuminasi dengan HNO3, zeolit alam dicuci kembali dengan

  • JKK, Tahun 2014, Volume 3(2), halaman 56-63 ISSN 2303-1077

    59

    akuades hingga pH netral. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kelebihan asam dari ion H+ saat proses dealuminasi. Adanya gugus H+ dimaksudkan untuk meningkatkan daya aktif zeolit sebagai adsorben yang berhubungan dengan pusat aktif dan saluran antara struktur zeolit.

    Gambar 2. Dealuminasi zeolit

    Tahap selanjutnya adalah kalsinasi, suhu 500C merupakan suhu optimum dalam proses aktivasi zeolit. Hal ini diperkuat oleh beberapa penelitian yang menggunakan zeolit sebagai adsorben. Gustian dan Suharto (2005) menggunakan suhu 500C dalam pengaktifan zeolit yang digunakan dalam penurun salinitas air.

    Selain itu, Setiadi dan Pertiwi (2007) menyatakan kalsinasi pada suhu 500C efektif dikarenakan tidak merusak struktur dari zeolit sebesar 50%. Kalsinasi dilakukan bertujuan untuk menguapkan basa Bronsted, H2O serta dapat mengatur kembali susunan atom yang tertukar sehingga menjadi lebih teratur dengan terbentuknya oksida logam yang stabil dan kuat di antara zeolit (Jetsya dan Maygasari, 2010).

    Gambar 3. Pembentukan situs asam Bronsted dan Lewis pada zeolit (Tatsumi and Takash, 2004)

    Karakterisasi XRD Zeolit Alam Karakterisasi kristalinitas zeolit alam dilakukan

    menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) yang bertujuan untuk mengetahui jenis mineral penyusun zeolit. Hasil analisa pada penelitian ini ditunjukkan pada difraktogam zeolit alam Gambar 4.

    Gambar 4. Hasil analisis XRD zeolit alam

    Jenis mineral penyusun zeolit ditandai dengan munculnya puncak (2) pada daerah tertentu dari tingkat kristalinitas struktur komponen. Mineral penyusun zeolit alam kebanyakan adalah kuarsa dan modernit. Hal ini dapat dilihat dari puncak tertinggi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

    Tabel 1. Puncak Khas Zeolit Modernit

    Referensi Zeolit Alam Penelitian

    Modernit Kuarsa Modernit Kuarsa

    2 % I 2 % I 2 % I 2 % I

    22,38 78 26,80 100 22,43 85,80 26,78 38,82

    25,78 100 36,79 6,5 25,73 100 36,57 10,77

    27,74 48 26,80 65,32

    Berdasarkan kesesuaian difaktogam zeolit pada penelitian ini dengan referensi dapat disimpulkan bahwa jenis zeolit yang digunakan sebagai adsorben gas H2S pada penelitian ini adalah jenis modernit. Hal ini dilihat dari % I tertinggi pada daerah 2. Hal ini juga dipaparkan oleh Kesuma (2013), mineral modernit memiliki puncak khas pada 2 = 22,3, 25,65 dan 27,66. Modernit merupakan salah satu jenis zeolit yang memiliki stabilitas termal yang tinggi, hal ini dilihat dari kemampuannya untuk mempertahankan strukturnya pada suhu tinggi (Rianto dkk., 2012). Komposisi Kimia Zeolit Sebelum dan Sesudah Aktivasi

    Analisis komposisi zeolit alam pada penelitian ini dilakukan menggunakan alat X-Ray Fluorosence Thermo ARL 9900. Analisis tersebut diperoleh hasil bahwa kandungan senyawa dari

    M =Modernit

    K = Kuarsa + 4 n HNO3

    + NO3- + n Al(NO3)3

  • JKK, Tahun 2014, Volume 3(2), halaman 56-63 ISSN 2303-1077

    60

    zeolit tanpa dan dengan aktivasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

    Tabel 2. Data Karakterisasi XRF Zeolit Alam Tanpa dan dengan Aktivasi

    Logam Zeolit Alam

    Tanpa Aktivasi (%)

    Zeolit Alam dengan

    Aktivasi (%)

    Si 31,66 35,02 Al 5,71 4,95 Fe 1,23 0,28 Ca 1,83 0,55 Mg 0,47 0,06 Na 2,42 0,71 K 2,92 1,76

    Berdasarkan hasil X-Ray Fluorosence (XRF)

    pada Tabel 2 terlihat bahwa kandungan logam Si pada zeolit tanpa dan dengan aktivasi meningkat. Kandungan logam Al zeolit tanpa dan dengan aktivasi menurun. Rasio Si/Al zeolit alam tanpa dan dengan aktivasi meningkat dari 5 menjadi 7. Selain itu hasil XRF menunjukkan bahwa kadar logam alkali dan alkali tanah (seperti Na, K, Mg dan Ca) dengan aktivasi mengalami penurunan, hal ini juga diikuti dengan penurunan logam Fe. Penambahan EDTA pada proses demineralisasi mampu menghilangkan mineral dan mengikat logam-logam pengotor pada zeolit. Hal ini juga dipaparkan pada penelitian Kesuma (2013) bahwa pada tahap dealuminasi logam Si meningkat sebesar 19,23% dan logam Al mengalami penurunan sebesar 38,59%. Dengan nilai rasio Si/Al zeolit alam tanpa dan dengan aktivasi meningkat dari 6 menjadi 11. Hal ini dikarenakan pada proses refluks zeolit dengan HNO3 8 M selama 24 jam mampu melarutkan material pengotor di dalam zeolit, selain itu juga terjadi proses pelepasan Al dalam kerangka menjadi Al di luar kerangka sehingga rasio Si/Al zeolit meningkat (Yuliusman dkk., 2010). Semakin besar rasio Si/Al zeolit alam maka zeolit tersebut bersifat hidrofobik (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Karakterisasi Pori Zeolit Alam Tanpa dan dengan Aktivasi Menggunakan GSA

    Salah satu penggunaan zeolit alam adalah dengan memanfaatkan porositasnya yaitu sebagai adsorben. Untuk mengetahui pori zeolit alam maka perlu dilakukan identifikasi porositas zeolit alam. Luas permukaan spesifik, volume total pori dan rerata jari pori dapat dianalisis dengan uji adsorpsi-desorpsi gas N2 dengan menggunakan persamaan Brunaurer, Emmet dan Teller (BET).

    Tabel 3. Hasil Analisis Luas Permukaan, Rerata Jari Pori dan Volume Total Pori Zeolit Alam Tanpa dan dengan Aktivasi

    Karakter Pori

    Zeolit Alam Tanpa Aktivasi (Kesuma dkk.,

    2013)

    Zeolit Alam dengan Aktivasi

    Luas Permukaan (m

    2/g)

    48,45 203,109

    Rerata Jari Pori (nm)

    0,547 3,006

    Volume Total Pori (cc/g)

    0,068 0,080

    Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa luas

    permukaan zeolit alam dengan aktivasi mengalami peningkatan lima kali lipat dari zeolit alam tanpa aktivasi. Rerata jari pori zeolit alam setelah aktivasi meningkat enam kali dan volume total pori zeolit dengan aktivasi meningkat dibandingkan dengan zeolit tanpa aktivasi. Disimpulkan bahwa zeolit alam dengan aktivasi dapat menyerap gas H2S lebih besar dibandingkan dengan zeolit alam tanpa aktivasi. Hal ini dikarenakan luas permukaan, rerata jari pori dan volume total porinya lebih besar untuk berinteraksi dengan gas H2S. Interaksi yang terjadi antara zeolit dan gas merupakan interaksi gadient luas permukaan-kuadrupol molekul. Sisi aktif dari zeolit akan lebih mudah berinteraksi dengan gas yang memiliki momen kuadrupol yang lebih besar atau sebanding (Tagliabue et al., 2009).

    Pembuatan Adsorben dan Uji Daya Adsorpsi Gas H2S

    Adsorben gas H2S pada penelitian ini dibuat dari zeolit alam tanpa dan dengan aktivasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan penyerapan dari masing-masing variasi adsorben. Adsorben dari zeolit alam ini dicampurkan dengan akuades dan dibentuk pelet. Adsorben dibuat dalam bentuk pelet agar gas H2S dapat mengalir melewati celah-celah adsorben. Jika adsorben berbentuk serbuk maka gas akan sulit melewati adsorben, meskipun luas permukaannya lebih besar dibandingkan dengan adsorben dalam bentuk pelet. Hasil penelitian Wahono dkk. (2010) diketahui bahwa zeolit memiliki kemampuan penyerapan yang baik terhadap gas yaitu gas H2S.

    Adsorben zeolit alam yang telah di bentuk pelet kemudian diujikan pada gas H2S yang dibuat secara sintetik. Gas H2S dibuat dengan mereaksikan FeS dan HCl 1M, sehingga diperoleh persamaan reaksi:

    FeS (s) + 2HCl (aq) FeCl2 (s) + H2S (g) (1)

  • JKK, Tahun 2014, Volume 3(2), halaman 56-63 ISSN 2303-1077

    61

    Adsorben dimasukkan kedalam tabung adsorben dengan variasi ketinggian tabung 1, 2 dan 3 cm. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan penyerapan optimum dari masing-masing adsorben. Gas H2S yang terbentuk dialirkan tanpa dan dengan menggunakan adsorben. Uji gas tanpa adsorben ini dilakukan sebagai pembanding untuk mengetahui gas H2S yang terbentuk, sehingga dengan ditambahkan adsorben dapat diketahui kemampuan penyerapan adsorben tersebut. Gas H2S yang terbentuk dialirkan dan ditangkap oleh larutan penjerap (ZnSO4) dan ditepatkan dengan H2O sehingga terbentuk persamaan reaksi:

    H2S (g) + ZnSO4 (aq) H2SO4 (aq)+ ZnS (aq) (2)

    Larutan yang telah menjerap gas H2S kemudian diukur konsentrasinya dengan metode metilen biru menggunakan spektrofotometer UV-Vis berdasarkan SNI 19-7117.7-2005. Untuk mengetahui konsentrasi H2S yang terserap pada penelitian ini dibuat terlebih dahulu kurva kalibrasi dengan lima variasi konsentrasi sehingga didapatkan persamaan garis y = 0.014x + 0.058 dengan nilai R2 sebesar 0.98 (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5). Persamaan garis yang didapatkan dari kurva kalibrasi digunakan untuk menentukan konsentrasi H2S sampel yang akan diuji pada penelitian ini.

    Pada Tabel 4 adsorben 1 tanpa aktivasi memiliki kemampuan penyerapan terhadap gas H2S paling kecil dibandingkan dengan adsorben 2 dan 3 tanpa aktivasi. Hal ini berhubungan dengan masa adsorben yang digunakan untuk proses adsorpsi. Adsorben 2 komposisi masa yang digunakan dalam penyerapan dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan adsorben 1 yaitu sebanyak 10 g. Sedangkan adsorben 3 memiliki masa tiga kali lipat lebih banyak dari adsorben 1 sebanyak 15 g. Sehingga dari Tabel 4 diatas dapat disimpulkan bahwa semakin banyak adsorben yang digunakan maka semakin besar kemampuan penyerapan zeolit alam terhadap gas H2S.

    Selain dilakukan pengukuran kemampuan penyerapan zeolit alam tanpa aktivasi terhadap gas H2S juga dilakukan pengukuran gas H2S menggunakan zeolit alam dengan aktivasi.

    Berdasarkan Tabel 5 adsorben 1 dengan aktivasi memiliki kemampuan penyerapan paling rendah yaitu sebesar 72,12% dibandingkan dengan adsorben 2 dan 3 dengan aktivasi. Hal ini dikarenakan komposisi masa adsorben yang digunakan pada adsorben 1 lebih sedikit dibandingkan adsorben 2 dan 3. Adsorben 2 memiliki komposisi masa sebanyak 10 g dan

    adsorben 3 memiliki masa sebanyak 15 g. Sehingga kemampuan penyerapan terhadap gas H2S pada adsorben 3 pun lebih besar dengan kemampuan penyerapan sebesar 91,22%.

    Gambar 5. Kurva kalibrasi antara konsentrasi standar dengan absorbansi H2S

    Tabel 4. Hasil Pengukuran Gas H2S dengan Adsorben Tanpa Aktivasi

    Kode Sampel

    Konsentrasi (ppm)

    Ulangan ke-1

    Ulangan ke-2

    Ulangan ke-3

    Rata-rata

    Efisiensi H2S yang

    teradsorpsi (%)

    Adsorben 1 50,857 51,357 52,285 51,499 13,68 Adsorben 2 33,785 34,071 34,214 34,023 42,97 Adsorben 3 20,285 20,5 20,928 20,571 65,52

    Keterangan: Adsorben 1 adalah adsorben dengan ketebalan 1 cm Adsorben 2 adalah adsorben dengan ketebalan 2 cm Adsorben 3 adalah adsorben dengan ketebalan 3 cm Konsentrasi gas H2S tanpa adsorben dalam larutan penjerap sebesar 59,664 ppm

    Tabel 5. Hasil Pengukuran Gas H2S Adsorben dengan Aktivasi

    Kode Sampel

    Konsentrasi (ppm)

    Ulangan ke-1

    Ulangan ke-2

    Ulangan ke-3

    Rata-rata

    Efisiensi H2S yang

    teradsorpsi (%)

    Adsorben 1 16,5 16,642 16,758 16,633 72,12 Adsorben 2 9,928 10,071 10,142 10,047 83,16 Adsorben 3 5,285 5,285 5,142 5,237 91,22

    Dari Tabel 4 dan tabel 5 dapat disimpulkan bahwa dengan komposisi masa yang sama pada adsorben 1 kemampuan penyerapan terhadap gas H2S memiliki kemampuan penyerapan yang berbeda. Adsorben 1 tanpa aktivasi kemampuan penyerapan terhadap gas lebih kecil dibanding dengan adsorben 1 dengan aktivasi. Hal ini dikarenakan dengan aktivasi luas permukaan, volume total pori dan rerata jari pori zeolit alam menjadi lebih besar dibandingkan tanpa aktivasi sehingga kemampuan penyerapan terhadap gas H2S juga lebih besar. Begitu juga pada adsorben 2 dan 3 tanpa aktivasi. Berdasarkan data yang disajikan diatas efisiensi penyerapan zeolit alam terhadap gas H2S optimum terdapat pada adsorben 3 (aktivasi) dengan nilai persentase penyerapan sebesar 91,22%.

    0,004

    0,33

    0,5610,708

    0,941y = 0.014x + 0.058

    R = 0.98

    0

    0,2

    0,4

    0,6

    0,8

    1

    1,2

    0 20 40 60 80

  • JKK, Tahun 2014, Volume 3(2), halaman 56-63 ISSN 2303-1077

    62

    Selain mengetahui efisiensi gas H2S yang teradsorpsi juga dapat diketahui kapasitas adsorpsi zeolit alam sebagai adsorben tanpa dan dengan aktivasi.

    Gambar 6. Kapasitas penyerapan zeolit pada gas H2S Zeolit dengan aktivasi memiliki pengaruh besar terhadap adsorpsi gas H2S. Hal ini terlihat bahwa adsorpsi gas H2S oleh zeolit tanpa aktivasi hanya mampu menyerap 2,267 ppm/g sedangkan zeolit alam dengan aktivasi mampu menyerap dua kali lebih besar gas H2S yang terserap yaitu sebanyak 5,731 ppm/g. Yuliusman dkk. (2010) menyatakan hal ini dikarenakan pada zeolit dengan aktivasi terjadi pelepasan zat-zat pengotor di dalam pori-pori zeolit sehingga pori-pori yang terbuka berisi zat pengotor dapat mengadsorpsi gas H2S. SIMPULAN

    Zeolit alam dengan aktivasi memiliki nilai kapasitas adsorpsi dua kali lebih besar dibandingkan zeolit tanpa aktivasi. Selain itu berdasarkan hasil uji adsorpsi gas H2S menggunakan metode metilen biru pada variasi ketebalan adsorben 3 cm memilki nilai efisiensi optimum sebesar 91,22 %.

    DAFTAR PUSTAKA Alwathan; Mustafa danDanthahir, R., 2013,

    Pengurangan Kadar H2S dari Biogas Limbah Cair Rumah Sakit dengan Metode Adsorpsi, Konversi, 2(1):1-6.

    Gustian, I. dan Suharto, T.E., 2005, Studi Penurunan Salinitas Air dengan Menggunakan Zeolit Alam yang Berasal dari Bengkulu, J. Gradien, 1(1): 38-42.

    Hamidi, N. dan ING, W., 2012, Peningkatan Kualitas Biogas melalui Proses Pemurnian dengan Zeolit Alam, J. Rekayasa Mesin, 2(1):227-231.

    Hartati, E., 2007, Studi Pengolahan Kandungan Ion Logam (Fe,Mn,Cu,Zn) Lindi Sampah oleh Zeolit, J. Sains Mipa, Edisi Khusus, 13(1):29-34.

    Jetyssa, A.H. dan Maygasari, D.A., 2010, Optimasi Proses Aktivasi Katalis Zeolit Alam dengan Uji Proses Dehidrasi Etanol, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang.

    Kesuma, R.F; Sitorus, B dan Adhitiyawarman, 2013, Karakterisasi Pori Adsorben Berbahan Baku Kaolin Capkala dan Zeolit Dealuminasi, J. Kimia Khatulistiwa, 19-23.

    Kesuma, R.F., 2013, Pembuatan dan Karakterisasi Adsorben Gas CO2 dari Kaolin Capkala-Zeolit Dealuminasi, Universitas Tanjungpura, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Pontianak, (Skripsi).

    Kismolo, E; Nurimaniwathy dan Suyatno, T., 2012, Karakterisasi Kapasitas Tukar Kation Zeolit untuk Pengolahan Limbah B3 Cair, Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan BATAN.

    Mutngimaturrohmah., Gunawan., dan Khabibi., 2009., Aplikasi Zeolit Alam Terdealuminasi dan Termodifikasi HDTMA sebagai adsorben Fenol. Universitas Diponegoro, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Semarang.

    Padang, Y.A; Jaya, I.K.P dan Sutanto, R., 2012. Reduksi Hidrogen Sulfida (H2S) dari Biogas dengan Menggunakan Besi Oksida (Fe2O3), J. Teknik Rekayasa, 13(1):6-12.

    Prasetyo, H.B., 2002, Pengembangan Sensor Gas Hidrogen Sulfida Berbasis Reagen Kering Timbal Asetat, Universitas Jember, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jember, (Skripsi).

    Rianto, L.B; Amalia, S dan Khalifah., S.N., 2012, Pengaruh Impregnasi Logam Titanium pada Zeolit Alam Malang terhadap Luas Permukaan Zeolit, Alchemy, 2(1):58-67.

    Rivai, H., 1995, Asas Pemeriksaan Kimia, UI Press, Jakarta.

    Roocyta, H., 2006, Pemanfaatan Zeolit Perlit untuk Bahan Katalis, Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Bandung.

    Setiadi dan Pertiwi, A., 2007, Preparasi dan Karakterisasi Zeolit Alam untuk Konversi Senyawa ABE menjadi Hidrokarbon, (Prosiding).

    Standar Nasional Indonesia (SNI) No 19-7117. 7-2005, Emisi Gas Buang- Sumber Tidak Bergerak- Bagian 7: Cara Uji Kadar Hidrogen Sulfida (H2S) dengan Metoda Biru Metilen menggunakan Spektrofotometer, Jakarta.

    Sutarti, M dan Rachmawati, M., 1994, Zeolit: Tinjauan Literatur, Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, Jakarta.

    2,267

    5,731

    tanpa aktivasi dengan aktivasi

    Kap

    asit

    asA

    dso

    rpsi

    (p

    pm

    /gra

    m)

  • JKK, Tahun 2014, Volume 3(2), halaman 56-63 ISSN 2303-1077

    63

    Sriatun dan Darmawan, A., 2005, Dealuminasi Zeolit Alam Cipatujah melalui Penambahan Asam dan Oksidator, JSKA, 8(2).

    Tagliabue, M; Farruseng, D; Valencia, S; Aguado, S; Ravon, U; Rizzo, C; Corma, A and Mirodatos, C., 2009, Natural Gas Treating by Selective Adsorption: Material Science and Chemical Engineering Interplay, Chemical Engineering Journal, (155):553-566.

    Tatsumi and Takash, 2004, Zeolites: Catalysis, Encyclopedia of Supramolecular Chemistry, Yokohama National University, Yokohama, Japan.

    Wahono, S.K; Maryana, R; Kismurtono, S; Nisa, K dan Poeloengasih, C.D., 2010, Modifikasi Zeolit Lokal Gunung Kidul Sebagai Upaya Peningkatan Performa Biogas Untuk Pembangkit Listrik, Universitas Diponegoro, Fakultas Teknik, Semarang.

    Weitkamp, J dan L. Puppe., 1999, Catalyst and Zeolites Fundamentals and Aplications, Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Jerman.

    Yamliha,A; Argo, B.A; Nugroho, W.A, Pengaruh Ukuran Zeolit terhadap Penyerapan Karbondioksida (CO2) pada Aliran Biogas, J. Bioproses Komoditas Tropis, 1(2):67-72.

    Yuliusman; Widodo, W.P; Yulianto, S.N dan Yuda, P., 2010, Preparasi Zeolit Alam Lampung dengan larutan HF, HCl dan Kalsinasi untuk Adsorpsi Gas CO, Universitas Diponegoro, Fakultas Teknik, Semarang.