BAB I
A. LATAR BELAKANG
Dalam masyarakat tontonan, kemasan, citra dan perilaku dari aktor lebih
dikedepankan daripada kualitas isi pesan. Masyarakat tontonan telah terbentuk
sejak dahulu kala ketika tontonan menjadi bagian tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Budaya media adalah industri yang diorganisasikan pada
model produksi massal dan ditujukan bagi audiens massal sesuai jenis, mengikuti
formula konvensional, kode dan aturan. Budaya media menggabungkan antara
budaya dan teknologi. Budaya media mendefinisikan apa yang dianggap baik dan
buruk, positif atau negatif dan bermoral atau tidak bermoral (kellner, 1995:1).
Media massa sebagai bagian dari industri budaya adalah korporasi dari
sistem ideologi ekonomi kapitalisme. Media melakukan representasi dan
komodifikasi berita, informasi, dan hiburan sebagai langkah strategis untuk
memproduksi komoditas demi meraup keuntungan yang berdampak kepada
pamor atau rating industri media tersebut.
Media massa sekaligus menjadi tontonan (spectacle) itu sendiri. Media
tidak hanya berperan sebagai ‘pasar’, mengiklankan banyak produk, melainkan
juga memproduksi citra individu secara positif. Misalnya selebritis yang
diidolakan. Dalam konteks ini, media menjadikan penonton sebagai konsumen
aktif atas komoditi yang diidolakan. Pada sisi lain, sang idola, tanpa disadari juga
ikut serta ‘dijual’ oleh media sebagai rezim konstruksi realitas. Industri budaya
memanipulasi penonton tidak sekedar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan
semua (lebih banyak) artefak budaya sebagai produk industri dan komoditas
belaka.
Kondisi masyarakat seperti ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh
Guy Debord sebagai masyarakat tontonan (society of spectacle). Menurut Debord
(1967) masyarakat tontonan adalah masyarakat yang hampir di segala aspek
kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan dan menjadikannya sebagai
rujukan nilai dan tujuan hidup. Selain itu, tontonan memanipulasi dan
mengeksploitasi nilai-guna (use-value) dan kebutuhan manusia sebagai sarana
memperbesar keuntungan dan kontrol ideologis atas manusia. Dalam masyarakat
tontonan (spectacle society), segala sesuatu ditampilkan sebagai citra-citra yang
bahkan tampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. Inilah awal dimana
tempat lahirnya masyarakat hipperrealitas (hyperreality society).
Musik adalah contoh tontonan yang telah menjadi tontonan global dan
menjadi komoditi utama yang diburu media massa. Media banyak menampilkan
pertunjukan musik (off dan on air), maupun gosip-gosip tentang pelaku selebritas
musik. Semua pertunjukan tersebut tidak hanya berbicara kemampuan menari,
menyanyi, dan memainkan alat musik, namun menjadi tontonan yang ditunggu
karena kemampuannya untuk memikat penonton. Semua tontonan tersebut tidak
akan lepas dari unsur kompetisi, kemenangan, sukses dan akhirnya uang.
Di Indonesia, sekumpulan gadis cantik atau pemuda tampan yang
membentuk grup musik dan bernyanyi bersama disebut boyband atau girlband.
Istilah ini datang dari barat atau western sejak tahun 90-an, karena saat itu sedang
demam boyband asal dunia barat, sebut saja Westlife, Backstreet Boys, N'Sync,
dan lain-lain. Sekarang, setelah bertahun-tahun dunia boyband/girlband sempat
meredup, Korea pun muncul dan menjadi wabah latah bagi pelaku musik di
Indonesia.
Di tengah-tengah hembusan gelombang pop korea, Indonesia memiliki
sebuah grup yang lain, unik, dan keluar dari mainstream dunia permusikan
boyband/girlband. Mereka adalah JKT48 (baca: jekeiti forty eight). JKT48 sudah
mewarnai belantika musik Indonesia hingga kurang lebih dua tahun hingga di
penghujung tahun 2013 ini. Bisa dibilang JKT48 adalah fenomena di belantika
musik Indonesia, karena kurang lebih dari dua tahun setelah berdiri, JKT48 telah
membius penikmat musik Indonesia dengan menawarkan penampilan musik yang
berbeda, segar, dan tidak menjemukan mata. JKT48 berbeda dengan girlband
karena secara konsep memang berbeda.
JKT48 adalah sebuah grup idola (idol group) yang dibentuk oleh Produser
sekaligus pencipta lagu yang sudah sangat terkenal di Jepang, Akimoto Yasushi.1
Akimoto adalah produser dari 48 family yang beranggotakan grup idola AKB48
(Akihabara, Tokyo), NMB48 (Namba, Osaka), SKE48 (Sakae, Nagoya), HKT48
(Hakata, Fukuoka), sister group pertama di luar Jepang yaitu JKT48 (Jakarta,
Indonesia) dan yang kedua adalah SNH48 (Shanghai, Cina). Seluruh anggota 48
family berbasis idol group.
1 Selain produser musik, Akimoto adalah Rektor Kyoto University Art and Design.
Idol group adalah konsep seperti sebuah Akademi Keartisan. Setiap
anggota yang berhasil lolos audisi yang ketat akan dididik untuk menjadi seorang
idola yang multi talenta. Tak hanya menyanyi dan menari, namun juga akting,
public speaking, membawakan acara, dan sebagainya. Seperti layaknya sebuah
Akademi, 48 family juga mengenal istilah graduate (lulus). Lulusnya seorang
anggota idol group dari 48 family ditentukan oleh Akimoto sendiri, apakah sudah
layak diluluskan atau tidak, atau bisa saja dari keputusan si anggota tersebut,
misalnya ingin fokus ke pendidikan atau ingin melanjutkan sebagai penyanyi solo.
Graduate juga bisa diterapkan kepada seorang anggota yang melanggar aturan-
turan khusus yang dimiliki dari 48 family (tentunya diluluskan secara tidak
hormat).
Graduate/lulusnya seorang anggota idol group 48 family juga disambut
dengan Upacara Kelulusan yang diikuti seluruh anggota idol group tersebut, dan
anggota yang lulus juga mendapat sertifikat kelulusan dari Akademi 48 family,
yang menandakan ia telah siap untuk menapaki karir sendiri tanpa embel-embel
48 family.
Konsep ini jelas berbeda dengan Boyband/Girlband pada umumnya, yang
dilatih hanya untuk menyanyi dan menari, merilis album, dan menghibur lewat
tarian dan nyanyian. Menjadi bintang iklan dan akting di sebuah film/sinetron
bagi mereka hanyalah “aji mumpung” setelah mereka terkenal, berbeda dengan
anggota idol group yang memang dibentuk untuk menjadi seorang multi talenta.
Kejelian JKT48 dalam membidik pasar dengan mengolah konsep yang
menarik, terbukti dengan banyaknya fans yang fanatik. Para penggemar fanatik
JKT48 (dan pop idol group lainnya) seringkali disebut dengan istilah Jepang yaitu
wota, atau kependekan dari otaku, yang berarti orang dengan minat sangat serius
atau obsesif pada bidang tertentu, seperti dunia anime dan manga. Dalam bahasa
Inggris, istilah ini mungkin bisa dipadankan dengan geek dan nerd.
Fans JKT48 umumnya adalah remaja laki-laki tapi tidak sedikit juga anak-
anak dan kaum perempuan bahkan orang dewasa yang sudah berusia cukup
matang. Banyaknya jumlah fans yang beragam dan tersebar di berbagai wilayah
akhirnya membuat beberapa di antara mereka bernisiatif untuk mendirikan
fanbase atau kelompok penggemar. Salah satu yang terbesar ada di Yogyakarta
dengan JKT48 JOGJA FC. Masyarakat tontonan yang diciptakan mampu
membius salah satu fans dari kota pelajar ini. Berikut tulisan yang berbicara
tentang kegelisahan seorang fans dari yogya yang menantikan idolanya, salah satu
personil JKT48, Beby Chaesera Anadila :
“Dear whoever reading this. SMILE because life is too short to be
unhappy .” ~ beby
Hey perempuan bermata sipit, bagaimana kabarmu? Semoga kamu tidak
kelelahan menjalani segala rentetan peristiwa dalam kegiatan menghibur
penggemarmu. Dalam jarak sejauh ini apa yang bisa aku harapkan selain
keadaanmu yang semoga senantiasa selalu baik saja. Walau aku tak bisa
menatapmu dari dekat tapi percayalah diam-diam aku selalu merapal
namamu dalam doa.
Hey perempuan berjulukan “dancing queen”. Kamu tau kenapa aku
begitu mengidolakannmu?. Semua berjalan begitu cepat. Aku melihatmu,
mengenalmu, lalu menggilaimu sesederhana itu seolah kamu diciptakan
tidak untuk dilupakan. Kamu selalu berotasi dalam pikiranku seperti asap
menguap kemudian menggantung di udara.
Hey perempuan penggemar Chelsea. Kamu selalu menjadi penambang
rindu dihatiku. Aku rela menghabiskan waktu melotot di depan monitor
hanya untuk sekedar ingin tau bagaimana keadaamu. Sepi “linimasa”
twittermu selalu berhasil membuatku merasa jauh. Tolong berikan kabar
walau hanya sebatas salam sapa. Meskipun maya semua akan berubah
begitu nyata dan aku suka.
Hey perempuan bernama Beby Chaesara Anadila. Baru kali ini aku rajin
menghitung hari. hingga waktunya datang dan aku bertemu denganmu
lagi. Menunggu adalah bagian dari pertemuan itu sendiri beb. Sejak
terakhir kita bertemu di konser kafe Liquid jogja sampai sekarang aku
selalu menunggumu hingga esok kamu kembali kesini. Aku serta lainnya
menanti tanggal 19 - 20 april dan jogja mengharapkanmu untuk kembali.
Suaramu adalah senandung resonansi hati, lagu yang mengantarkanku
terlalap sampai kamu membangunkanku dengan kata siraman cinta. Aku
tunggu kamu di jogja!!!. (https://www.facebook.com/notes/cumski-
yumski/curhat-buat-beby/523103064470486)
Tulisan di atas menjadi contoh bahwa realitas asli telah tercerbut,
sedangkan realitas tontonan, yang sejatinya adalah semu, tampil dalam wajah
yang asli dan menjadi realitas dirinya. Fans JKT48 menjadi aktor dari masyarakat
tontonan yang berhasil disuguhi wacana idola sebagai realitas pertama. JKT48
telah mengubah wajah dunia menjadi tak lebih dari sebuah panggung tontonan
raksasa yang dihuni masyarakat yang haus tontonan.
Dalam wacana semacam itu, sudah menjadi dogma bahwa memproduksi
suatu komoditas harus disertai dengan memproduksi tontonan. Semua tontonan
menjadi komoditas, sebaliknya semua komoditas menjadi tontonan. Apabila pihak
media, tidak mampu menyajikan formula isi tayangan yang bernilai urgensif,
maka semakin nyata kalau kita sedang berkubang dalam masyarakat tontonan.
Artinya, adalah tontonan secara serentak tampak sebagai masyarakat itu sendiri,
sebagai bagian dari masyarakat, dan sebagai perangkat untuk mempersatukan.
(Suara Merdeka:27 Juni 2008)
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan,
adalah sebagai berikut
1. Bagaimana pemahaman konsep idol group JKT48 menurut fans?
2. Bagaimana perkembangan dari fenomena idol group JKT48?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan pemahaman tentang konsep Idol Group JKT48
2. Menjelaskan perkembangan dari fenomena Idol Group JKT48
3. Menganalisis fenomena Idol Group JKT48 dengan menggunakan
kajian Masyarakat Tontonan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut.
1. Bagi Peneliti
Mengimplementasikan pendekatan sosiologis mengenai kajian
masyarakat tontonan.
2. Bagi Masyarakat Umum
Memperkenalkan dan menjelaskan fenomena idol group di Indonesia.
E. TINJAUAN PUSTAKA
JKT48 adalah kelompok idola pop remaja terbentuk pada tahun 2011
sebagai sister group dari AKB48 yang berawal di Jepang. Group ini berisi
kumpulan gadis remaja sebanyak 44 anggota yang terbagi kedalam beberapa tim,
TIM J, TIM K, dan Trainee. Dalam waktu yang relatif singkat JKT48 mampu
memperoleh ribuan penggemar yang sangat militan hampir diseluruh indonesia.
Beberapa fanbase mulai terbentuk sebagai sarana berkumpul dan bertukar
informasi mengenai idola mereka. Kepopuleran JKT48 juga terlihat dari
antusiasme para penggemar ketika perhelatan konser dibeberapa kota. Yogyakarta
sebagai kota pelajar telah beberapa kali disinggahi, ribuan penggemarnya atau
biasa disebut wota kerap dibuat histeris, terpukau dengan penampilan yang
dibawakan idola mereka.
Jika diamati fenomena JKT48 dalam terminologi popular culture, saat ini
imbasnya cukup “serius” di Indonesia. Dengan kata lain efeknya bagi audience,
tidak hanya berkutat pada aspek produksi budaya semata, namun berimbas juga
pada paraktik konsumsi. Dengan demikian kiranya penelitian ini menjadi penting
untuk diulas. Sehingga untuk ulasan ini, fokus pembahasan penelitian terletak
pada audience/khalayak JKT48 yang tergabung dalam fanbase JKT48 JOGJA FC.
Pada konteks ini, penelitian akan menyoroti bagaimana media
mengkonstruksi nilai-nilai sosial menyediakan “way of life” bagi individu ikut
“terjebak” mendramatisir perilaku sosialnya (everday life), dalam logika
komodifikasi kehidupan sosial, melalui media dan entertaimant sebagai tontonan.
Alasan ini berangkat dari asumsi penulis, bahwa audience/khalayak tidak saja
hadir dalam kapasitasnya sebagai subjek namun pada saat yang bersamaan juga
tunduk sebagai objek atas pengaruh budaya popular, salah satunya melalui media.
Inilah alasan ketertarikan penulis mengulas secara kritis fenomena JKT48 dalam
hiruk-pikuk budaya pop.
Menurut Bren D. Ruben yang dikutip Cangara (2003:151) khalayak
adalah penerima suatu pesan yang bukan saja ditentukan oleh isi pesan, tetapi
juga oleh semua komponen yang mendukung terjadinya proses komunikasi.
Namun dewasa ini, hubungan antara media dengan audiensnya tidak lagi bisa
dipandang hanya satu arah, dimana sebelumnya media berada pada posisi
dominan.
Mick Counihan (dalam Morley dan Brunsdon (eds), 1999:120)
menyebutkan bahwa hubungan media dan audiens tidak sesederhana sebelumnya.
Orientasi “apa yang dilakukan media pada khalayak” menurutnya telah bergeser
menjadi “apa yang dilakukan khalayak pada media” Hal ini disebabkan khalayak
kini cenderung lebih aktif memilih produk media sesuai cara pandang dan
kebutuhan mereka. Stanley J Baran (2011:10-11) mencoba melihat pengaruh dari
perkembangan teknologi sebagai bagian yang urgent bagi kebutuahn informasi
khalayak. Kehadiran teknologi yang begitu pesat dalam industri komunikasi
menyebabkan konsumen media kontemporer lebih memilki kontrol dan seleksi
atas media. Dengan demikian, untuk kepentingan penelitian ini, yang dimaksud
sebagai audiens disini adalah penggemar JKT48 dimana mereka memilki cara
tersendiri dalam menggunakan dan juga memaknai pesan lewat media yang
tentunya akan dikaji lebih dalam pada bagian analisis dalam penelitain ini.
Berikut beberapa penelitian serupa tentang kajian media khususnya fans
group.
1. Konstuksi media cetak remaja atas representasi “idola”. (studi
semiotika artikel tokoh dalam cover majalah Aneka yess!) oleh Triyugi
Rizki Windarsi.
Dari penelitian ini terungkap bahwa media cenderung
menampilkan tokoh idola yang uggul secara fisik dan bergulat pada
profesi industri budaya. Munculnya sosok model, penyanyi komersil,
pemain sinetron, dan pemain sinetron dilakukan secara bergantian
dalam setiap edisinya. Kemudian media cenderung memunculkan
perilaku budaya popular pada tokoh dengan mengangkat isu-isu
pacaran, ulang tahun, kesenangan, perilaku konsumtif, dan
pengutamaan pada penampilan fisik. Media juga telah mengeksploitasi
tokoh tersebut untuk mempromosikan produk yang beriklan pada
media. Pada foto yang ditampilkan, media menampilkan foto tokoh
yang menggunakan pakaian, tata rias, dan arahan gaya dari pihak yang
beriklan pada media tersebut. Ini berarti bahwa media menggunakan
tokoh untuk media promosi produk layaknya etalase di toko.
2. Adopsi identitas dan gaya hidup “jepang-jepangan” Pada remaja
anggota komunitas penggemar budaya popouler jepang di Yogyakarta,
oleh Denison Wicaksono.
Dalam penelitian ini terdapat temuan menarik mengenai
identitias jepang-jepangan. Munculnya identitas jepang-jepangan
dikarenakan konsumsi prodak budaya populer jepang dan merupakan
implikasi dari diplomasi budaya yang dilakukan oleh bangsa jepang.
Kemudian diperoleh hasil bahwa terdapat dua macam pengapdosian
gaya hidup yang dilakukan oleh remaja penggemar budaya populer
jepang. Yang pertama adalah gaya hidup masyarakat jepang yang
diadopsi secara dengan sadar diniatkan oleh pelaku yakni yang disebut
sebagai gaya hidup “imitasi”, dan kedua adalah gaya hidup
“konsumsi” yang secara tidak sadar diadopsinya akibat dari konsumsi
prodak-prodak budaya populer jepang. Pengadopsian gaya hidup
merupakan usaha diferensiasi (pembedaaan) dari remaja yang
mengalami “krisis identias” sehingga mereka dapat eksis di lingkungan
sosialnya dengan menjadi “berbeda”. Dari semua informan dalam
penelitian ini menyatakan bahwa mereka menyukai budaya popular
jepang karena keunikan yang membuat mereka menjadi berbeda
dengan yang lain. Hal ini memberikan gambaran bahwa budaya
popular jepang telah menjadi suatu referensi bagi remaja untuk dapat
diadopsi sebagai identitas dan gaya hidup.
F. KERANGKA TEORI
Society of spectacle
Society of spectacle adalah teori sosial yang pertama kali diperkenalkan
oleh guy debord salah seorang ilmuwan marxis yang berasal dari Perancis.
Menurut Debord, masyarakat tontonan merupakan sutau bentuk tampilan yang
berupaya melakukan identifikasi melalui relasi sosial dari seluruh aspek
kehidupan manusia. Artinya Tontonan (spectacle) di sini bukan koleksi citra
(image), melainkan relasi sosial yang dimediasi melalui citra. Relasi sosial telah
bergeser lebih jauh menjadi relasi komoditas. “The spectacle is not a collection of
images, but a social relation among people, mediated by images” ( Debord,
2002:4).
Komoditas tersebut bergerak secara otonom untuk memperdaya dan
mengambil alih segala aspek kehidupan. Tidak hanya itu, kehidupan yang ditandai
dengan relasi komoditas juga telah menyihir penontonnya untuk menjiplak dan
memproduksi ulang citra-citra yang tadi dipertontonkan. Kekuatan citra dalam
masyarakat tontonan mampu megerakan dan memotvasi individu seolah bertindak
seperti dihipnotis. Dengan begitu segala sesuatu yang dicitrakan (abstrak)
dipandang paling rasional. Sehingga rutinitas kehidupan sehari-hari (everday life)
telah dikonstruksi dalam lingkup masyarakat konsumen melipatgandakan citra
ilusi diproduksi sekaligus dikonsumsi oleh masyarakat. (Debord, 2002: 18)
Menurut Douglas Kellner, media sebagai indurti hiburan, tak ubahnya
adalah spectacle itu sendiri, melipatgandakan keuntungan melalui promosi atau
iklan. Maka media pun layak disebut “pasar”. Tidak hanya sebagai tempat jualan
produk yang sifatnya material, namun bergeser menjadi wadah memproduksi citra
individu secara positif. Seperti selebritis, media memiliki andil besar untuk itu,
karena dengan menjadi selebritis, artis atau publik figur, tentunya membutuhkan
pengakuan dari media berkat tontonan atas citra positif selebritis tersebut.
(Kellner, 2003: 4)
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%argumentasi yang
dibangun oleh Kellner di atas, merupakan turunan langsung dari teori Guy
Debord @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% pada kajian spectacle
society.
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%
@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%kontem
porer.@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#
@%@^&$@%!^&&#@%kehadiran masyarakat konsumsi. Sekaligus penanda
dimulainya era kapitalisme lanjut.
…The spectacle is the stage at which the commodity has succeeded in totally
colonizing social life. Commodification is not only visible, we no longer see
anything else; the world we see is the world of the commodity.(Debord, 2002:42)
Dengan meminjam teori Marx dan Lukacs tentang komoditas fetisisme
dan reifikasi nilai sosial, ia sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat modern
tersusun atas subjek pasif yang mengkonsumsi tontonan (spectacle), serta
melakukan reifikasi aspek sosial dalam komoditas tontonan itu sendiri.
Sebagaimana Karl Marx, mendefinisikan komoditi dalam Das Kapital volume I:
Komoditi merupakan benda di luar kita, sesuatu yang sifatnya selalu ada cara
memenuhi kebutuhan manusia. Apakah kebuthan itu muncul dari perut atau
khayalan tidak jadi soal disini?. Kemakmuran dalam masyarakat ditentukan oleh
corak produksi kapitalis nampak pada sebuah timbunan besar komoditi. Komoditi
nampak sebagai bentuk dasarnya dan karena itu peneyelidikan mesti dimulai dari
telah terhadap komoditas (Marx, 2004:3)
Dalam@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% History Class
Consciouness, @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%Lukacs
menguraikan bahwa kapitalisme mengusai seluruh dimensi
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%kehidupan@#$&+$@#%_+%
@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@
%@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%masyarakat,
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%
@^&$@%!^&&#@%sehingga
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%interaksi@#$&+$@#%_+%@
$#@%@^&$@%!^&&#@%
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%
@^&$@%!^&&#@%@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%@#$&+
$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%masyarakat
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%selalu ditandai oleh
pemiskinan makna hidup yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualisasikan
dimensi kemanusiaan yang memaknai kebebesan dirinya telah tergantikan oleh
adanya@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% aktivitas pertukaran
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%nilai uang yang secara objektif
menimbulkan keterasingan hidup (alienasi). Proses ini kemudian disebut
komodifikasi. Dalam bukunya Communist Manifesto, Karl Marx mendefinisikan
komodifikasi@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% sebagai “Callous
Cash Payment”, @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%yakni
“pembayaran tunai yang tidak berperasaan”. Ia menggambarkan bahwa kaum
kapitalis yang mempunyai kontrol atas apapun telah mengubah nilai-
nilai@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% personal menjadi nilai
tukar. @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% Sehingga segala sesuatu
tidak@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% akan bernilai jika tidak
mempunyai nilai tukar. Hal @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%ini
lalu dipandang oleh @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%Lukas
terkait erat dengan proses reifikasi, yaitu proses merosotnya dimensi
manusia@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% yang utuh menjadi
semacam benda: manusia kehilangan jati dirinya sebagai subjek pelaku bagi
dirinya sendiri, karena lenyapnya kreativitas. Proses ini akhirnya berujung pada
fetisisme komoditas, @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% yaitu
“pemberhalaan” hidup manusia pada barang-barang, juga termasuk figur-figur
(selebritis) hasil industrial. Dengan fenomena ini, jati
diri@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% masyarakat menjadi
terfragmentasi ke dalam sistem sosial yang dibingkai oleh kepentingan ekonomis.
(Mudji Sutrisno. 2005:28)
Dengan @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%demikian,
perkembangan masyarakat modern seolah meniscayahkan adanya keterlibatan
dalam jebakan dunia tontonan,
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% pernyataan ini sekaligus
mempertegas apa yang dikemukan Guy Debord bahwa spectacle hadir bersamaan
dengan@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%perkembangan masyarakat,
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%karena spectacle merupakan
bagian dari masyarakat, yang kelihatanya saling menyatu namun sebenarnya
terpisah dari@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% realitas autentik.
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%Sehingga yang nampak adalah
imajinasi yang tersusun rapi dalam kesadaran semu masyarakat (Debord,2002: 3)
Lebih lanjut, bagi Guy Debord, masyarakat modern merupakan akumulasi
tontonan yang tak terhingga. “Apa yang pada awalnya dihidupi telah menjadi
representasi semata.” @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%
(Debord, 2002:1). Otentisitas kehidupan sosial telah mengalami degradasi dari
Being @#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%menjadi Having,
selanjutnya@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@% menjadi
Appearing. Totalitas dari ketiga aspek ini
@#$&+$@#%_+%@$#@%@^&$@%!^&&#@%diperhitungkan dengan alat
tukar, yaitu uang.
G. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif sebagai penelitian
yang menghasilkan data dengan tujuan untuk memecahkan masalah dengan
menggambarkan subjek ataupun objek penelitian.
Metodologi kulitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang
dapat diamati. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong, pendekatan ini
diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal
ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau
hipotesis, tetapi perlu memandannya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
(Moleong, 2005:4)
Deskriptif kulitatif adalah penelitian yang data-datanya berupa kata- kata
(bukan angka-angka, yang berasal dari wawancara, catatan laporan, dokumen dan
lain-lain) atau penelitian yang di dalamnya mengutamakan untuk pendeskripsian
secara analisis suatu peristiwa atau proses sebagaimana adanya dalam lingkungan
alami untuk memperoleh makna yang mendalam dari hakekat proses tersebut.
(Moleong, 2005:11)
1. Lokasi Penelitian
Untuk lebih mudah maka penelitian dilakukan di tempat JKT48
JOGJA FC berkumpul, mereka biasa berkumpul pada hari sabtu sore
disekitaran GSP UGM. Tidak menutup kemungkinan penelitian juga
dilakukan pada event atau kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh JKT48
JOGJA FC.
2. Informan Penelitian
Kumpulan objek penelitian yang akan memberikan berbagai
informasi yang diperlukan selama proses penelitian, yaitu beberapa
pengurus dan anggota dari fanbase JKT48 JOGJA FC.
3. Cara Pengumpulan Data
a. Wawancara Informan
Wawancara adalah hal yang sangat penting dalam
mengumpulkan data. Wawancara bertujuan untuk menemukan sesuatu
yang tidak dapat dipantau seperti perasaan, pikiran, keinginan, alasan,
dan sebagainya. Cara pengumpulan data ini menggunakan teknik
wawancara mendalam (indepth interview) dan terbuka. Data yang
diperoleh terdiri dari kutipan langsung dari orang-orang tentang
pengalaman,pendapat, perasaan, dan pengetahuannya. Pada penelitian
ini, jenis wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara
informal. Dimana dilakukan secara santai selayaknya obrolan antara
penanya dan penjawab kepada sesama teman.
b. Observasi Langsung
Data yang didapat melalui observasi langsung terdiri dari
pemberian rinci tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang, serta
juga keseluruhan kemungkinan interaksi interpersonal, dan proses
penataan yang merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat
diamati. Pada tahap ini, observasi peneliti termasuk dalam tipe
observe-as-participant. Dimana peneliti dengan terang-terangan
menyatakan sebagai observer yang diketahui hampir oleh semua
anggota kelompok. Peneliti melakukan pembicaraan, bergaul seperti
layaknya anggota kelompok, tetapi ia dalam hal ini diketahui sebagai
peneliti oleh anggota kelompok.
c. Telaah terhadap dokumen tertulis
Data yang diperoleh dari metode ini berupa cuplikan, kutipan,
atau pengglan-penggalan dari catatan-catatan organisasi, kelompok,
komunitas ; terbitan dan laporan resmi ; majalah, koran, dan video
documenter.
4. Teknik Analisa Data Deskriptif analitis
a. Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan dinterpretasikan. Analisis terdiri dari
tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu :
b. Reduksi data: Proses pemilihan, pemusatan perhatian,
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar”
yang muncul dari catata-catatan tertulis lapangan.
c. Penyajian data : sekumpulan informasi tersusun yang member
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Pada data kualitatif, data disajikan dalam bentuk teks
naratif.
d. Penarikan kesimpulan/naratif : Proses mencari arti benda-benda,
mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-
konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi.