14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perdagangan dunia telah mengalami perkembangan yang pesat dalam
beberapa tahun terakhir sehingga menyebabkan peningkatan intensitas kerja sama
perdagangan regional, bilateral maupun multilateral. Salah satu bentuk kerja sama
perdagangan adalah perdagangan furniture kayu.
Industri furniture kayu telah lama diakui sebagai industri padat karya dan
banyak menyerap tenaga kerja. Pengembangan industri ini diarahkan pada industri
yang menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, berdaya saing global dan
berwawasan lingkungan. Sampai saat ini, industri furniture kayu masih
merupakan industri yang banyak menarik minat para pengusaha baik lokal,
maupun internasional untuk terus memproduksinya karena nilai produknya yang
cukup menjanjikan dan melihat adanya peluang produksi yang semakin hari
semakin bertambah.
Perekembangan industry furniture kayu yang cukup pesat juga terjadi di
Indonesia. Industry furniture kayu di Indonesia tersebar di banyak wilayah seperti
di Jepara, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah lainnya. Banyaknya
wilayah industry furniture kayu di Indonesia menyebabkan konsumsi produk
hutan juga meningkat. Akan tetapi konsumsi produk hutan di Indonesia sebagian
besar dilakukan secara illegal. Ada tiga faktor pendorong utama penyebab
terjadinya illegal loging, degradasi hutan, dan berkurangnya bahan baku pada
15
industri furniture kayu. Pertama, perencanaan tata ruang yang tidak efektif dan
tenurial yang lemah. Kedua, manajemen hutan yang tidak efektif. Ketiga, tata-
kelola (governance) dan penegakan hukum yang lemah. Penggunaan bahan baku
yang illegal dilakukan untuk mendapatkan biaya yang rendah demi mendapatkan
keuntungan yang tinggi. Kondisi ini senada dengan pernyataan Loebis (2005), dua
cara perusahaan lokal untuk bersaing dalam ekonomi global yaitu low road dan
high road. Para pengusaha furniture Indonesia cenderung menggunakan cara low
road yang artinya mereka bersaing dengan membayar upah serendah mungkin
dengan mengabaikan standar lingkungan dan menghindari pajak.
Perusahaan yang menggunakan low road didominasi oleh para pengusaha
furniture kayu yang masih berskala kecil. Penggunaan low road oleh para
pengusaha dikarenakan bahan baku industri furniture kayu yang diperoleh secara
illegal didapat dengan proses yang mudah dan dengan biaya yang murah.
Pemerolehan bahan baku secara illegal menyebabkan kerusakan hutan dalam
bentuk deforestasi, konservasi keanekaragaman hayati serta berkurangnya bahan
baku produk kayu akibat penebangan liar. Kondisi ini menarik perhatian para
pemerhati lingkungan dunia sehingga tercetuslah ide sertifikasi untuk produk
furniture kayu Indonesia.
Sertifikasi produk furniture kayu berfungsi sebagai bukti pengesahan atau
seal of approval bahwa produk yang diberi label sertifikasi tersebut diproduksi
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan tentunya ramah lingkungan.
Sertifikasi produk furniture kayu diawali dengan adanya Standardization Regime
yang dibuat karena Trend konsumen dunia saat ini yang menginginkan produk
16
furniture kayu bersertifikat ramah lingkungan. Salah satu bentuk sertifikasi untuk
produk furniture kayu yang digunakan di Indonesia dan telah memenuhi standar
pasar internasional adalah Sistem Verivikasi Legalitas Kayu (SVLK).
SVLK telah lama dicanangkan di Indonesia. Penggunaannya baru
diberlakukan pada awal Januari 2013 untuk kayu hasil hutan yang akan diekspor
ke luar negeri. Sementara itu, pemberlakuan SVLK pada produk furniture kayu
baru akan diberlakukan pada tahun 2015. SVLK sendiri merupakan suatu
kebijakan yang dihasilkan dari kerja sama antara Indonesia dan UE yang
digunakan untuk produk yang berbahan dasar kayu yang berarti juga digunakan
pada produk furniture kayu. Kebijakan sertifikasi ini merupakan penjaminan
ketaatan pemegang izin atau pemegang hak pengelolaan serta pemilik hutan hak
dalam pemenuhan kewajiban pada kegiatan penebangan/pemanenan,
pengangkutan, pengolahan dan pemasaran hasil industri produk kayu sebagai
landasan bagi keberhasilan pengelolaan dan pemasaran hasil industri produk kayu,
sebagai landasan bagi keberhasilan pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan
penjaminan ketaatan industri primer, industri lanjutan, industri rumah
tangga/pengrajin dan eksportir.
Kebijakan sertifikasi SVLK untuk produk furniture kayu Indonesia
berfungsi untuk menunjukkan legalitas produk dan juga untuk mengembalikan
citra Indonesia dari negara yang dulu dikenal sebagai Illegal Logger, menjadi
negara pertama di Asia yang berkomitmen mempromosikan kayu legal dalam
perdagangan kayunya, khususnya ke pasar mancanegara. Penggunaan SVLK juga
17
diharapkan mampu untuk meningkatkan Added Value (daya saing) dan
memperluas pangsa pasar internasional.
Upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing produk
furniture kayu melalui SVLK dalam perdagangan internasional dipengaruhi oleh
para actor yang terlibat di dalamnya. Para actor tersebut memberikan pengaruh
yang besar terhadap penciptaan dan pengimplementasian SVLK pada produk
furniture kayu. Kondisi yang saling mempengaruhi antar actor pembuat kebijakan
SVLK yang dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia, NGO, pihak UE, dan para
pengusaha furniture kayu seperti tergambar dalam konsep commercial diplomacy.
Prinsip utama diplomasi komersial dalam perdagangan global produk
furniture kayu Indonesia adalah adanya kerja sama yang terjalin antara pemerintah
Indonesia dengan UE untuk menciptakan dan memberlakukan SVLK pada produk
furniture kayu. Dalam hal ini, kebijakan SVLK sebagai sebuah kebijakan yang
bertaraf internasional yang diambil oleh pemerintah Indonesia dipengaruhi oleh
para actor diantaranya UE, NGO, dan para pengusaha furniture kayu. Selain
adanya factor yang saling mempengaruhi antar actor tersebut, dalam diplomasi
komersial juga mencakup area perdagangan global sehingga SVLK yang
digunakan pada produk furniture kayu akan dapat diterima oleh pasar global
karena telah memenuhi standarisasi yang telah ditetapkan oleh dunia
internasional.
Usaha pemerintah Indonesia untuk menghasilkan SVLK dan
menerapkannya pada furniture kayu Indonesia dalam lingkup diplomasi
perdagangan di pasar internasional menjadi menarik untuk dikaji. Hal ini
18
dikarenakan oleh beberapa hal diantaranya pembuatan dan penerapan kebijakan
SVLK yang digunakan pada produk furniture kayu melibatkaan dua actor utama
yaitu pemerintah Indonesia dan UE dengan tujuan agar produk furniture kayu
Indonesia dapat memenuhi standar internasional dan dapat diterima di pasar
internasional; dan penerapan SVLK pada produk furniture kayu Indonesia dirasa
belum sepenuhnya maksimal karena belum semua perusahaan furniture memiliki
SVLK dikarenakan oleh beberapa alasan diantaranya adalah biaya SVLK yang
terlalu mahal, prosedur SVLK yang terlalu berbelit, dan lain sebagainya.
Berdasarkan dua alasan utama pada paragraph sebelumnya maka
penelitian ini fokus pada bagaimana upaya diplomasi perdagangan internasional
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menciptakan SVLK yang
memiliki standar internasional sehingga dapat ditetima oleh pasar internasional;
dan fokus pada penerapan sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu Indonesia
sebagai usaha untuk menaikkan daya saing produk di kancah internasional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam penelitian ini dirumuskan
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana sertifikasi SVLK berperan sebagai instrument diplomasi
perdagangan pada produk furniture kayu di pasar internasional?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menguraikan SVLK sebagai instrument
diplomasi perdagangan pada produk furniture kayu di pasar internasional;
19
menggambarkan penggunaan SVLK pada produk furniture kayu; mendeskripsikan
penerapan SVLK pada produk furniture kayu dan upaya diplomasi yang dilakukan
Indonesia agar diterima di pasar internsional untuk menaikkan daya saing; dan
menyajikan hasil analisis model penerapan SVLK pada produk furniture kayu
dengan mengambil studi kasus pada industry furniture kayu di Yogyakarta.
D. Tinjauan Literatur
Penelitian dalam bidang sertifikasi yang mencakup sertifikasi produk
hutan maupun produk furniture kayu telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa
orang diantaranya adalah Indrawan (2012) dengan judul „Strategi Implementasi
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada Industri Furniture di Indonesia‟.
Penelitian ini mengkaji tentang isu illegal logging dan illegal trading yang terjadi
di Indonesia beserta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi
SVLK pada industry furniture di Indonesia dan bagaimana strategi implementasi
SVLK pada industri furniture di Indonesia.
Penelitian kedua adalah dari Salam, Purwanto, dan Suherman (2013)
dengan judul ‟SVLK; Salah Satu Jenis Eco Label untuk Mengontrol Pergerakan
Kayu pada Industri Furnitur di Jepara‟. Penelitian ini bermula dari adanya
sorotan yang dilakukan oleh masyarakat internasional akan penggunaan bahan
baku dari hutan tropis yang dilakukan secara illegal sehingga menyebabkan
industri pengolahan kayu di Jepara terkena imbasnya. Oleh karenanya, penelitian
ini menekankan pada penerapan penerapan SVLK yang dilakukan oleh beberapa
industri furnitur kayu di Jepara; dan menjelaskan seberapa besar manfaat yang
20
diperoleh dari penerapan ekolabel tersebut dan kendala apa saja yang didapat dari
penerapan tersebut.
Penelitian ketiga adalah dari Sukradi (2009) yang menyingkap dua hal
penting yang banyak menjadi bahan perbincangan para pemerhati hutan dan
kehutanan. Pertama adalah tentang pengertian sertifikasi yang berbeda dengan
sustainable forest management. Kedua adalah mengenai pentingnya kriteria dan
indicator dalam Pengelolaan Hutan Lesari (PHL). Terdapat tiga aspek penting
yang digunakan sebagai kriteria dan indikator yaitu adanya keseimbangan antara
unsur-unsur ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Sukradi menjelaskan
pentingnya menyeimbangkan ketiga aspek tersebut sehingga pemanfaatan
terhadap hutan dapat memeberikan keuntungan yang sebesar-besarnya baik bagi
negara maupun masyarakat sekitarnya tanpa mengorbankan aspek kelestarian
hutan dan fungsi ekologisnya.
Penelitian keempat adalah dari Haryadi (2009) yang mengkaji tentang
perkembangan industri furniture dengan sertifikasi di Indonesia dalam
menghadapi persaingan di pasar global. Penelitian ini menjelaskan bahwa
sosialisasi dan promosi perlu dilakukan untuk meningkatkan permintaan produk
furniture bersertifikat sehingga bila permintaan meningkat maka produsen akan
mau memproduksi walaupun dengan modal yang lebih tinggi karena harga
jualnya pun meningkat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan pelanggan akan mempengaruhi pilihan dari pelanggan tersebut.
Penelitian kelima adalah dari Hamilton dan Zilberman (2006) tentang daya
saing furniture dengan sertifikat. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa
21
keunggulan produk furniture bersertifikat dari sisi lingkungan merupakan bonus
tambahan, tetapi sering kali menjadi faktor yang menentukan antara nilai produk
dan kualitas. Mereka juga menjelaskan peran pemerintah dalam pengembangan
furniture bersertifikat dengan cara melakukan dan menggalakkan green public
procurement (GPP) terhadap furniture untuk memastikan bahwa pemerintah
berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup.
Penelitian keenam adalah dari Alt (2001). Penelitian ini membandingkan
pendapat antara perusahaan bersertifikat dengan perussahaan yang tidak
bersertifikat. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perusahaan yang
memiliki sertifikat menyatakan bahwa faktor paling penting dalam suatu usaha
adalah marketing advantage, akses ke pasar baru, publikasi/dampak image; dan
faktor yang kurang penting adalah cost, demand, profits. Sedangkan untuk
perusahaan tidak bersertifikat, factor paling penting dalam suatu usaha adalah
profits.
Tinjauan literatur yang ketujuh diambil dari artikel dengan judul “Aspek
Perdagangan Terkait dengan Sertifikasi PHL” (1996). Artikel ini menjelaskan
tentang sertifikasi PHL dan pelabelan produk hasil hutan sebagaimana program
sertifikasi yang lain dan dimaksudkan untuk memberi informasi dan
meningkatkan kesadaran konsumen mengenai karakteristik produk hasil hutan
yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan.
Berdasarkan uraian tinjauan literature di atas, penelitian dalam tulisan ini
akan dikhususkan pada kajian bagaimana kebijakan SVLK pada produk furniture
kayu Indonesia berperan sebagai alat diplo,asi pada perdagangan Internasional
22
untuk meningkatkan daya saing produk furniture kayu di pasar internasional.
Penelitian ini juga merupakan studi kasus model penerapan SVLK pada industri
furniture kayu di Yogyakarta. Dengan melakukan studi kasus ini diharapkan hasil
yang didapat lebih spesifik dan lebih akurat.
E. Landasan Teori
Penelitian ini mengkaji bagaimana kebijakan sertifikasi SVLK pada
produk furnitur kayu berperan sebagai instrumen diplomasi baru perdagangan
global untuk menaikkan daya saing produk di pasar Internasional, maka
digunakanlah tiga landasan teori utama yaitu diplomasi komersial, konsep
sertifikasi dan daya saing yang akan diuraikan lebih rinci dalam pembahasan di
bawah ini.
Diplomasi Komersial adalah diplomasi dengan sentuhan komersial;
diplomasi yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah asing dan
keputusan peraturan yang mempengaruhi perdagangan global dan investasi.
Diplomasi komersial meliputi seluruh analisis, advokasi, dan rantai negosiasi yang
mengacu pada perjanjian internasional tentang perdagangan yang berkaitan
dengan isu-isu terkait. Permasalahan dalam perdagangan yang terkait dengan
kebijakan tunduk pada negosiasi perdagangan. Hal ini cenderung sangat kompleks
dan menyentuh berbagai masalah kebijakan domestik, ketentuan hukum, masalah
kelembagaan, dan kepentingan politik.
Curzon, Saner & Yiu (dalam Kostecki dan Naray, 2007) menyebutkan
bahwa diplomasi komersial mencakup dua jenis kegiatan yang berbeda yaitu:
23
1. Kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan kebijakan, contohnya
negosiasi perdagangan multilateral, konsultasi perdagangan, penyelesaian
sengketa; dan
2. Kegiatan-kegiatan pendukung bisnis.
Pembagian dua jenis kegiatan di atas dapat dijelaskan bahwa kegiatan
pertama mengacu pada diplomasi perdagangan dan dirancang untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah luar negeri dan peraturan keputusan yang
mempengaruhi perdagangan global dan investasi. Sedangkan kegiatan kedua
mencakup tindakan-tindakan pendukung bisnis yang dilakukan oleh para actor
yang terlibat dalam perdagangan global.
Beranjak dari dua jenis kegiatan dalam diplomasi komersial yang
dikemukakan oleh Curzon, Saner & Yiu, maka diplomasi komersial tidak hanya
digunakan untuk menganalisa isu perdagangan saja tetapi juga dapat digunakan
pada permasalahan lainnya seperti investasi, pariwisata, properti intelektual, dan
lain sebagainya. Penjelasan lebih rinci mengenai diplomasi komersial dapat dilihat
pada tabel 1 berikut:
24
Tabel 1 di atas menjelaskan bahwa fitur-fitur utama diplomasi komersial
dapat dikategorikan sebagai sebuah layanan yang meliputi layanan pemerintah,
diplomatik, publik, komersial, dan networking; dan juga menjelaskan implikasi
managerialnya. Pada tabel 1 di atas juga dijelaskan bahwa para aktor dalam
diplomasi komersial dibagi dalam dua kategori yaitu para aktor yang menduduki
Tabel 1: The Nature of Commercial Diplomacy Services and Their Managerial Implication (Sumber:
Kostecki, Michel dan Naray, Oliver. 2007. Discussion Papers in Diplomacy-Commercial Diplomacy
and International Bussiness. Netherlands Institute of International Relations „Clingendael‟
25
tingkat atas atau para aktor pembuat kebijakan utama (kepala negara, perdana
menteri, menteri atau anggota parlemen); dan ambasador dan para aktor yang
berada di level kedua seperti perwakilan perdagangan, commercial attache, atau
diplomat komersial.
Secara sederhana, diplomasi komersial dapat didefinisikan sebagai sebuah
diplomasi yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah asing dan
keputusan-keputusan peraturan yang mempengaruhi perdagangan global.
Sehingga dalam diplomasi komersial, pemerintah Negara dalam hal ini bukanlah
satu-satunya aktor yang berperan, melainkan juga terdapat pihak swasta yang
berperan seperti asosiasi, NGO dan perusahaan swasta.
Pada penelitian kali ini, teori diplomasi komersial digunakan sebagai salah
satu teori untuk menganalisa upaya diplomasi perdagangan yang telah dilakukan
oleh pemerintah Indonesia terkait dengan kebijkan sertifikasi SVLK pada produk
furniture kayu di Indonesia agar diterima di Pasar Internasional. Seperti halnya
dengan kebijakan sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu, kebijakan tersebut
dibuat oleh pemerintah yang dalam hal ini pemerintah bukanlah merupakan satu-
satunya actor yang berperan. Peran swasta pun ikut di dalam nya seperti asosiasi,
NGO, dan lain sebgaianya. Peran pemerinah Negara dan swasta bekerjasama
menghasilkan kebijakan dan kapasitas administrasi yang kuat pada sertifikasi
SVLK produk furniture kayu agar dapat bersaing dan dapat diterima di dalam
tatanan ekonomi dunia yang telah mengalami perubahan-perubahan. Susan
Strange dan John M. Stopford melihat bahwa negara dan swasta semakin saling
26
tergantung satu sama lain dalam menciptakan tatanan kebijakan yang dalam hal
ini sertifikasi SVLK produk furniture kayu.
Digunakannya SVLK sebagai sertifikasi produk furniture kayu yang akan
diperdagangkan sebagai akibat dari adanya tuntutan pasar yang menginginkan
kelegalan suatu produk. Hal ini senada dengan adanya konsep rezim sertifikasi
internasional. Elliot (1999) menjelaskan bahwa konsep sertifikasi adalah sebagai
instrument kebijakan. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa sertifikasi adalah
suatu alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kerja sama
untuk menetapkan standar suatu produk berdasarkan kesepakatan yang telah
mereka setujui atau berdasarkan standar yang telah ditetapkan secara
Internasional. Negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan Certification
sebagai :
The provision of information about product characteristic, such as those
that relate to the environment, to enable more informed consumer
purchasing decisions and to differentiate product and create markets for
the differentiate products (LEI,2005).
Definisi tersebut menggambarkan bahwa sertifikasi merupakan ketetapan
informasi tentang karakteristik suatu produk seperti yang berkaitan dengan
lingkungan; sertifikasi juga memberikan informasi kepada konsumen tentang
produk tersebut sehingga konsumen dapat dengan mudah untuk memutuskan
produk mana yang akan dibeli; dan sertifikasi juga merupakan pembeda antar
produk dan untuk menciptakan pangsa pasar yang berbeda untuk setiap produk.
Sertifikasi dalam penelitian ini dikhususkan pada sertifikasi produk
furniture kayu. Sertifikasi pada produk furniture kayu muncul sebagai akibat dari
27
meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap masalah kerusakan hutan
yang semakin tinggi yang terjadi di hampir seluruh Negara yang memiliki hutan.
Ghazali dan Simula (1994) mendefinisikan Certification sebagai :
A process wich result in a written statement which is certificate attesting
the origin of wood raw material and its status and/or qualifications
following validation by an independent third party (LEI, 2005a).
Mereka menjelaskan bahwa sertifikasi merupakan suatu proses yang
menghasilkan suatu dokumen yang menunjukkan kelegalan bahan kayu mentah
dan statusnya dan menujukkan bahwa produk kayu telah memenuhi kualifikasi
yang ditetapkan oleh pihak ketiga.
Senada dengan pengertian di atas, Forest Stewardship Council (FSC)
(2005) mendefinisikan Certification sebagai proses pengevaluasian terhadap hutan
atau daerah hutan untuk menentukan apakah mereka telah diatur berdasarkan
standar yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, semua produk hutan yang
dikelola oleh pemerintah maupun swasta harus memenuhi standarisasi yang telah
ditetapkan sehingga pemanfaatan produk hutan dapat diimbangi dengan
pelestariannya.
Konsep sertifikasi produk hutan dan produk furnitur kayu muncul dari
adanya Standardization Regime pada lingkup Internasional sebagai respon dari
adanya illegal logging dan illegal trade. Standardization Regime bertujuan
menjaga hutan dan bahan baku suatu produk yang dihasilkan dari hutan serta
mengembalikan kelestarian hutan sebagai sumber daya bahan baku pada produk
kayu secara berkelanjutan.
28
Standardization Regime merupakan perwujudan dari keinginan para
konsumen produk furnitur kayu dunia yang menuntut adanya produk yang ramah
lingkungan dan bersertifikat legal. Legalitas produk furnitur kayu menunjukkan
bahwa produk tersebut diproduksi dengan menggunakan cara yang benar dan
telah sesuai dengan standar yang ditetapkan mulai dari pengambilan bahan baku,
proses produksi, hingga distribusi akhirnya. Standardization Regime juga
berkaitan erat dengan organisasi independen yang mengembangkan standar
pengelolaan hutan untuk produk kayu dengan baik, dan sebagai auditor
independen yang mengeluarkan sertifikat untuk operasi pengelolaan produk hutan
yang sesuai dengan standar tersebut.
Standar yang digunakan pada masa Standardization Regime adalah berupa
sertifikasi yang mempunyai peran sebagai verivikator. Dengan adanya sertifikasi
pada produk hutan maupun produk furnitur kayu berfungsi memberikan
keterangan bahwa hutan dan produk hutan dikelola dengan baik berdasarkan
standar yang telah ditetapkan dan memastikan bahwa produk kayu datang dari
hutan yang terkelola secara dengan baik sehingga dapat mewujudkan suatu tata
kelola yang baik (good governance).
Sertifikasi yang ditetapkan oleh setiap perusahaan, organisasi, maupun
negara baik itu yang bertaraf nasional maupun internasional yang digunakan pada
produk hutan maupun produk furnitur kayu memiliki standar yang berbeda.
Akibatnya, tidak ada manajemen pengelolaan hutan dan produk hutan yang ber-
standar tunggal dan setiap sistem mengambil pendekatan yang berbeda dalam
mendefinisikan standar untuk pengelolaan hutan dan produk hutan secara lestari.
29
Dari semua standar untuk produk hutan dan produk furnitur kayu yang telah ada
terdapat beberapa standar yang dapat digunakan secara umum. Standar ini
biasanya berupa standar yang ditetapkan dan diakui oleh dunia Internasional
seperti EUTR, Lacey Act, Green Konyuho, SVLK, dan lain sebagainya.
Standard produk hutan atau produk furnitur kayu yang telah ditetapkan dan
diakui oleh dunia Internasional dapat digunakan dalam perdagangan Internasional.
Standar ini sebagai prasyarat agar suatu produk dapat berkompetisi di pasar global
dengan lebih leluasa. Brenner (2001, dikutip dari tacconi et al, 2004:7-8)
menjelaskan bahwa sertifikasi diyakini membawa berbagai manfaat yang tidak
hanya di sektor lingkungan dan kehutanan saja tetapi juga sektor perdagangan,
yang diantaranya:
1. Peningkatan daya saing dan pendapatan: sertifikasi dapat
mengidentifikasi jenis produk bagi pembeli dengan alasan berikut : i)
harga premium yang signifikan, dan ii) preferensi merk dagang yang
kuat.
2. Pengurangan resiko: bagi produsen sertifikasi dapat berfungsi untuk
mengurangi resiko yaitu: i) resiko pasar, misal pasar luar negeri atau
pembeli utama meminta sertifikasi; ii) resiko peraturan: sertifikasi bisa
menghindari intervensi peraturan; iii) resiko citra; iv) resiko sumber
daya
3. Penggunaan biaya: skema sertifikasi menyatakan adanya peningkatan
efisiensi untuk industri yang bersertifikat: i) membaiknya skala
ekonomi, misal, lebih besarnya skala ekonomi dalam produksi,
pemasaran atau distribusi; ii) akses yang berbiaya efektif pada
teknologi dan proses baru; iii) menurunnya komplektisitas operasional,
misal efisiensi kegiatan-kegiatan umum dapat ditingkatkan setelah
penelitian dan analisis yang ketat dilakukan sebagai upaya sertifikasi.
4. Perbaikan tata kelola kehutanan : adanya sertifikasi diharapkan mampu
menjadikan tata kelola (governance) pada sektor kehutanan agar
menjadi lebih baik.
30
Seperti yang telah dikemukakan oleh Brenner (2001) di atas bahwa
sertifikasi mampu untuk meningkatkan daya saing suatu produk. Sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa sertifikasi yang diberlakukan pada produk furnitur kayu
dapat digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan daya saing di pasar
regional maupun internasional.
Daya saing yang dimiliki oleh suatu produk akan menjadikan produk
tersebut mampu bertahan di pasar. Tyson menjabarkan daya saing sebagai
kemampuan kita untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji
persaingan internasional” (dikutip dari Cho dan Moon, 2003). Dengan kata lain,
daya saing adalah usaha yang dilakukan para produsen dalam memproduksi
barang dan jasa yang disesuaikan dengan standar internasional.
Menurut Alternbug (1998),
“daya saing merupakan kemampuan untuk mempertahankan posisi pasar
dengan mensuplai produk secara tepat waktu dan pada harga yang
kompetitif melalui fleksibilitas untuk merespon perubahan permintaan
secara cepat dan melalui manajemen diferensiasi produk yang sukses
dengan membangun kapasitas inovatif dan sistem pemasaran yang
efektif.” Penjelasan Alternbug dapat pula dilihat pada gambar 1 berikut:
Gambar 1: Konsep Daya Saing Menurut Altenburg (Sumber: LIPI, 2008)
31
Pada gambar 1, dijelaskan bahwa daya saing merupakan kemampuan suatu
barang dan jasa untuk bertahan di pasar yang didukung beberapa factor
diantaranya kemampuan untuk menyuplai barang dan jasa sesuai dengan waktu
yang dijadwalkan; pemberian harga yang kompetitif sehingga dapat dijangkau
oleh konsumen; melakukan respon yang cepat terhadap setiap perubahan atau
selera pasar; dan kemampuan untuk memberikan barang dan jasa yang berbeda
yang membedakannya dari produk lainnya sehingga dapat menarik minat
konsumen. Lebih lanjut, manajemen diferensiasi produk dipengaruhi oleh dua hal
yaitu kapasitas yang inovatif dan sistem pemasaran yang efektif.
Porter (1985) daya saing adalah sebagai suatu peluang untuk menerima
bisnis yang baru dan kesempatan untuk berinovasi dan berkembang. Daya saing
dalam lingkup perdagangan merupakan suatu kondisi dimana suatu produk yang
akan dipasarkan memiliki nilai lebih untuk bersaing dengan produk yang sama .
Daya saing suatu produk dipengaruhi oleh kompetitornya dan juga tempat produk
tersebut dijual sehingga suatu produsen suatu produk akan terus melakukan
inovasi agar produknya dapat bertahan di pasar. Kondisi ini senada dengan yang
dikemukakan Porter bahwa daya saing sebagai hal yang sifatnya eksternal.
Penjabaran daya saing dari Porter dapat dilihat secara lebih rinci pada gambar 2
berikut ini:
Gambar 2: Konsep Daya Saing Menurut Porter (Sumber: LIPI, 2008)
32
Berdasarkan gambar 2, konsep daya saing yang diberikan oleh Porter
menunjukkan bahwa daya saing memiliki dua fungsi utama. Fungsi yang pertama
adalah untuk meningkatkan produktivitas. Kondisi ini dapat diartinkan bahwa
dengan adanya daya saing maka para produsen barang dan jasa akan berlomba-
lomba untuk meningkatkan produksi barang dan jasanya. Porter menjelaskan
bahwa peningkatan produktivitas dipengaruhi oleh peningkatan modal, tenaga
kerja, kualitas bahan baku, dan faktor-faktor pendukung lainnya. Kemudian untuk
fungsi yang kedua adalah untuk melakukan perluasan pasar. Daya saing yang
dimiliki oleh suatu barang dan jasa akan menjadikannya mampu untuk
memperluas penyebaran barang dan jasa ke berbagai pasar. Porter mengatakan
bahwa terdapat empat faktor utama yang menentukan keunggulan bersaing
industri nasional, yaitu kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan
(demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and
supporting industry), dan struktur persaingan dan strategi industry (firm strategy,
structure and rivairy). Disamping itu, terdapat dua faktor yang mempengaruhi
interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu, faktor kesempatan (chance event)
dan faktor pemerintah (government).
Berpedoman dari beberapa konsep daya saing yang telah diuraikan di atas
maka konsep daya saing diyakini sesuai untuk menganalisa implementasi
sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu Indonesai untuk meningkatkan daya
saing di pasar Internasional. Sebagaimana telah diketahui bahwa SVLK sedang
diperbincangkan sebagai salah satu sertifikasi yang dapat meningkatkan daya
saing produk furniture kayu Indonesia. Dari pengertian yang dijeaskan oleh
33
Porter, bahwa daya saing produk di pasar internasional dipengaruhi oleh kualitas
bahan baku yang dalam hal ini SVLK berperan dalam menciptakan bahan baku
yang berkualitas yang berasal dari bahan baku yang legal dengan proses produksi
yang benar.
F. Argumen Utama
Argumen yang dibangun dalam penelitian ini adalah bahwa penerapan
sertifikasi SVLK sebagai instrument diplomasi perdagangan baru pada produk
furniture kayu dapat memberikan keuntungan bagi para pengusaha industri
furniture kayu Indonesia yaitu mendapatkan akseptabilitas dari Negara-negara di
dunia khususnya UE. Karena dengan digunakannya SVLK pada produk furniture
kayu berarti bahwa produk furniture kayu tersebut telah memiliki standar yang
diminta oleh dunia internasional berupa jaminan legalitas produk yang artinya
bahwa produk tersebut juga memiliki daya saing sehingga dapat bertahan di pasar
internasional. Akan tetapi, penerapan SVLK pada produk furniture kayu belum
dapat diterapkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan beberapa perusahaan
furniture dengan skala kecil menengah belum memiliki sertifikat SVLK. Mereka
terkendala biaya SVLK yang terlalu besar yang mencapai range Rp 20.000.000,00
sampai Rp 50.000.000,00 (sumber: ASMINDO Yogya, 2013) dan juga kurangnya
pemahaman terhadap SVLK akibat kurangnya sosialisasi. Masih adanya beberapa
pengusaha furniture kayu yang belum memiliki SVLK menjadi sebuah tantangan
tersendiri bagi pemerintah untuk dapat menyelesaikan hambatan yang dihadapi
34
oleh para pengusaha tersebut sehingga penerapan SVLK pada produk furniture
kayu dapat dioptimalkan sepenuhnya.
G. Jangkauan Penelitian
Pembatasan dalam penelitian ini perlu dilakukan guna menghindari
perluasan pembahasan. Batasan yang digunakan dalam penelitian meliputi tahun
pengambilan data yaitu pada dari tahun 2009 sampai tahun 2013; pembatasan
wilayah pengambilan data hanya pada wilayah industry furniture kayu yang ada di
Yogyakarta; dan konsep sertifikasi yang digunakan adalah SVLK.
H. Metodologi Penelitian
Metodologi dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu metode
penelitian dan teknik pengumpulan data.
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Neuman (1991, 328) menjelaskan bahwa metode penelitian kualitatif
berkaitan erat dengan pengumpulan dan penganalisaan data kualitatif. Metode ini
digunakan sebagai prosedur penelitian untuk mendapatkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis dari sumber literatur atau lisan dari nara sumber.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini didapat dari dua sumber yakni data
primer dan data sekunder. Penulusuran Informasi data primer yang diperoleh dari
narasumber yang relevan dan terpercaya baik melalui penelitian lapangan maupun
35
telaah literatur, serta mengumpulkan data-data sekunder yang berasal dari
beragam literatur seperti buku, jurnal, dokumen ataupun rilis media sebagai data
penunjang. Subjek penelitian dan pengambilan sampel dilakukan secara
purposive, yang berarti dipilih menurut tujuan penelitian.
I. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bagian.
Bagian pertama yaitu Bab I yang akan menjelaskan tentang latar belakang
penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan literatur, landasan teori,
argumen utama, jangkauan penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan. Bagian kedua adalah Bab II yang akan menjelaskan beberapa bagian
diantaranya: perkembangan diplomasi perdagangan pada produk furnitur kayu,
sertifikasi SVLK sebagai bentuk baru diplomasi perdagangan pada produk
furnitur kayu, upaya diplomasi perdagangan pemerintah Indonesia terkair
sertifikasi SVLK pada produk furnitur kayu, dan SVLK pada produk furnitur kayu
di Indonesia. Bagian ketiga adalah Bab III yang akan menguraikan tentang
kebijakan dan peran pemerintah dalam implementasi sertifikasi SVLK di pasar
internasional, para aktor yang berperan dalam SVLK pada produk furniture kayu,
hambatan SVLK pada produk furniture kayu, SVLK sebagai upaya meningkatkan
daya saing produk furniture kayu di pasar internasional, dan ekspor produk
furniture kayu Indonesia. Bagian keempat yaitu Bab IV yang akan memaparkan
tentang studi kasus yang dalam penelitian kali ini akan berfokus pada model
penerapan Sertifikasi SVLK pada produk furniture kayu di Yogyakarta. Bagian
Recommended