BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1. RUMAH SAKIT
2.1.1. Pengertian Rumah Sakit
Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa rumah sakit merupakan
pusat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar dan medik
spesialistik, pelayanan penunjang medis, pelayanan perawatan, baik rawat jalan,
rawat inap maupun pelayanan instalasi. Rumah sakit sebagai salah satu sarana
kesehatan dapat diselenggarakan oleh pemerintah, dan atau masyarakat.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana kesehatan yang juga
merupakan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta bertujuan untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan dilakukan
dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan
penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan
(rehabilitatif) yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu serta
berkesinambungan.
2.1.2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna adalah
pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Untuk menjalankan tugas sebagaimana yang dimaksud, rumah sakit mempunyai
fungsi :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan,
dan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.1.3. Jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit
A. Jenis Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan
pengelolaannya.
1. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.
a. Rumah sakit umum, memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang
dan jenis penyakit.
b. Rumah sakit khusus, memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau
satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
2. Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit
publik dan rumah sakit privat.
a. Rumah sakit publik sebagaimana dimaksud dapat dikelola oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba.
Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah
diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau
Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan
pemerintah daerah sebagaimana dimaksud tidak dapat dialihkan menjadi
Rumah Sakit privat.
b. Rumah sakit privat sebagaimana dimaksud dikelola oleh badan hukum
dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, rumah sakit dapat ditetapkan menjadi rumah sakit pendidikan
setelah memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan.
B. Klasifikasi Rumah Sakit Di Indonesia
Dalam rangka penyelenggaraan kesehatan secara berjenjang dan fungsi
rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan
fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit
umum diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Rumah Sakit umum kelas A
Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis
penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas)
subspesialis.
b) Rumah Sakit umum kelas B
Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat)
spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua)
subspesialis dasar.
c) Rumah Sakit umum kelas C
Adalah Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4
(empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik.
d) Rumah Sakit umum kelas D.
Adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.
Klasifikasi Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud terdiri atas :
a. Rumah Sakit khusus kelas A
Adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis
sesuai kekhususan yang lengkap.
b. Rumah Sakit khusus kelas B
Adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis
sesuai kekhususan yang terbatas.
c. Rumah Sakit khusus kelas C.
Adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis
sesuai kekhususan yang minimal.
2.2. Pelayanan Kesehatan
2.2.1. Pengertian Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan menurut Levey dan Loomba (1973) adalah setiap
upaya yang akan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat.
Somer dan Somers (1974) dalam Azwar (2002) membagi pelayanan
kesehatan yang menyeluruh dan terpadu kepada dua jenis yaitu :
1. Pelayanan kesehatan yang berhasil memadukan berbagai upaya kesehatan di
masyarakat seperti pelayanan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan,
pencegahan, penyembuhan penyakit, serta pemulihan kesehatan. Dianggap
terpadu bila mengandung kelima unsur ini.
2. Pelayanan kesehatan yang menerapkan pendekatan menyeluruh (holistic
approach). Jadi tidak hanya memperhatikan kesehatan penderita saja, akan
tetapi juga memperhatikan keadaan sosial ekonomi, sosial budaya, sosial
pysikologi dan lain sebagainya. Di sini diperhatikan berbagai aspek para
pemakai jasa pelayanan kesehatan. Pendekatan tersebut dapat ditempuh
dengan dua cara yaitu:
a. Pendekatan Institusi
Artinya penyelenggaraan kesehatan dilakukan dalam satu atap.
Setiap jenis dan bentuk pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dikelola
dalam satu institusi kesehatan saja.
b. Pendekatan Sistem
Akibat kompleksnya pelayanan kesehatan, maka adalah mustahil
untuk menyediakan segala bentuk dan jenis pelayanan dalam satu institusi,
Karen terlalu mahal dan tidak efektif dan efisien. Dalam keadaan seperti
ini diharapkan mewujudkan pelayanan kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh melalui pendekatan sistem (system approach).
2.2.2. Tujuan Pelayanan Kesehatan
Dalam usaha pelayanan kesehatan pada masyarakat, tujuan pelayanan kesehatan
dibagi atas 3 golongan, yaitu:
a. Pencegahan
b. Pengobatan
c. Pemulihan
Ketiga hal tersebut dimaksudkan agar setiap warga masyarakat dapat
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
2.2.3. Penilaian Pelayanan Kesehatan Suatu Rumah Sakit
Menurut Iskandar Damly (1998:40), dalam mengukur tingkat pelayanan
kesehatan pada rumah sakit digunakan suatu indikator, yaitu:
1. Angka Pemakaian Tempat Tidur/ Bed Occupancy Rate (BOR)
BOR menurut Huffman (1994) adalah “the ratio of patient service
days to inpatient bed count days in a period under consideration
”. Sedangkan
menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur
pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi
rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai parameter
BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005).
2. Rata–rata Lama Dirawat/ Average Lenght of Stay (a-LOS)
a-LOS menurut Huffman (1994) adalah “The average hospitalization
stay of inpatient discharged during the period under consideration
”. a-LOS
menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien.
Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat
memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis
tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara
umum nilai ALOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005).
3. Angka Kematian Netto/Net Death Rate (NDR)
NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 48 jam
setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini
memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.
2.3. Kualitas Pelayanan dan Kepuasan Konsumen
Kualitas adalah keseluruhan ciri dan sifat dari suatu produk atau pelayanan
yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang
dinyatakan atau yang tersirat (Kotler, 2005).
Kualitas pelayanan adalah salah satu unsur penting dalam organisasi jasa.
Hal ini disebabkan oleh kualitas pelayanan merupakan salah satu alat yang
digunakan untuk mengukur kinerja organisasi jasa (Hope dan Muhlemann, 1997).
Oleh karena itu, kualitas pelayanan harus mendapat perhatian yang serius dari
manajemen organisasi jasa. Untuk menetapkan kualitas pelayanan yang ingin
dicapai oleh sebuah organisasi jasa, terlebih dahulu organisasi tersebut harus
mempunyai tujuan yang jelas.
Berbagai definisi diberikan para ahli terhadap kualitas pelayanan.
Parasuraman, A., et al (1998) mengartikan kualitas sebagai suatu bentuk sikap,
berhubungan namun tidak sama dengan kepuasan, yang merupakan hasil dari
perbandingan antara harapan dengan kinerja aktual. Namun kualitas pelayanan
dan kepuasan dibentuk dari hal yang berbeda. Selanjutnya disebutkan bahwa
pengertian yang paling umum dari perbedaan kualitas pelayanan dan kepuasan
adalah bahwa kualitas pelayanan merupakan satu bentuk sikap, penilaian
dilakukan dalam waktu lama, sementara kepuasan merupakan ukuran dari
transaksi yang spesifik. Perbedaan antara kualitas pelayanan dan kepuasan
mengarah pada cara diskonfirmasi yang dioperasionalkan. Dalam mengukur
kualitas pelayanan yang dibandingkan adalah apa yang seharusnya didapatkan,
sementara dalam mengukur kepuasan yang diperbandingkan adalah apa yang
pelanggan mungkin dapatkan.
Menurut Ovreveit (dalam Ester Saranga, 2000), kualitas dalam jasa
kesehatan terdiri dari kualitas konsumen (yang berkaitan dengan apakah
pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang dikehendaki pasien), kualitas
professional (yang berkaitan apakah pelayanan yang diberikan memenuhi
kebutuhan pasien sesuai dengan yang didiagnosa oleh para professional), dan
kualitas manajemen (yang berkaitan dengan apakah jasa yang diberikan dilakukan
tanpa pemborosan dan kesalahan, pada harga yang terjangkau, dan memenuhi
peraturan-peraturan resmi dan peraturan lainnya).
Dari berbagai pendapat tentang kualitas pelayanan di atas, dapat
disimpulkan bahwa definisi kualitas pelayanan secara umum adalah bahwa
kualitas harus memenuhi harapan-harapan pelanggan dan memuaskan kebutuhan
mereka.
Kepuasan konsumen (customer satisfaction) dalam hal ini dapat
didefinisikan sebagai perasaan senang/kecewa seseorang sebagai hasil
perbandingan antara prestasi/produk yang dirasakan dan yang diharapkan.
Penilaian terhadap kepuasan konsumen dilakukan setelah konsumen membeli
suatu produk/jasa karena kepentingannya yang kemudian dibandingkan dengan
apa yang diharapkan (Rangkuti, 2000).
Berdasarkan pendapat Wexley dan Yuki (1998), mendefinisikan
kepuasaan seseorang berarti terpenuhinya kebutuhan yang diinginkan yang
diperoleh dari pengalaman melakukan sesuatu, pekerjaan, atau memperoleh
perlakuan tertentu dan memperoleh sesuatu sesuai kebutuhan yang diinginkan.
Istilah kepuasaan dipakai untuk menganalisis atau mengevaluasi hasil,
membandingkan kebutuhan yang diinginkan yang ditetapkan individu dengan
kebutuhan yang diperoleh (Anonim, 2003).
Bila kepuasan konsumen terhadap barang/jasa jauh dibawah apa yang
diharapkan, maka konsumen akan kehilangan minat terhadap produsen/penyedia
jasa dalam hal ini adalah rumah sakit. Demikian pula sebaliknya, jika barang/jasa
yang mereka nikmati memenuhi/melebihi tingkat kepentingannya, maka
konsumen akan cenderung memakai lagi barang/jasa tersebut (Kotler, 1997).
Tingkat kualitas pelayanan tidak dapat dinilai berdasar sudut pandang penyedia
jasa akan tetapi harus dipandang dari sudut pandang konsumen. Banyak penyedia
jasa gagal dalam memberikan kepuasan terhadap kosumennya yang disebabkan
terjadinya kesenjangan kepentingan diantara keduanya (Kotler, 1997).
Pengukuran tingkat kepuasan konsumen erat hubungannya dengan mutu
produk barang atau jasa. Pengukuran aspek mutu bermanfaat bagi pengelola jasa,
yaitu (Supranto, 1997):
a. Mengetahui dengan baik bagaimana jalannya atau bekerjanya proses
pelayanan jasa.
b. Mengetahui dimana harus melakukan perubahan dalam upaya melakukan
perbaikan secara terus menerus untuk memuaskan konsumen terutama
untuk hal-hal yang dianggap penting oleh konsumen.
c. Menentukan apakah perubahan yang dilakukan mengarah ke perbaikan
atau tidak (improvement).
d. Kepuasan konsumen harus diperhatikan penyedia jasa, konsumen yang
tidak puas akan meninggalkan penyedia jasa dan akan beralih ke penyedia
jasa lain yang dapat memberikan pelayanan yang lebih baik sehingga
konsumen akan merasa lebih puas. Makin banyak konsumen yang beralih
menggunakan jasa di tempat lain maka menjadi indikasi terjadinya
penurunan kualitas pelayanan penyedia jasa (Supranto, 1997).
Namun demikian meskipun definisi ini berorientasi pada konsumen, tidak
berarti bahwa dalam menentukan kualitas pelayanan penyedia jasa harus menuruti
semua keinginan konsumen. Dengan kata lain, dalam menetapkan kualitas
pelayanan, perusahaan harus mempertimbangkan selain untuk memenuhi harapan-
harapan pelanggan, juga tersedianya sumberdaya dalam perusahaan.
2.3.1. Pengukuran Kepuasan Konsumen
Pemantauan dan pengukuran terhadap kepuasan konsumen telah menjadi
kebutuhan mendasar bagi setiap penyedia jasa. Hal ini dikarenakan langkah
tersebut dapat memberikan umpan balik dan masukan bagi keperluan
pengembangan dan implementasi strategi peningkatan kepuasan konsumen. Pada
prinsipnya kepuasan konsumen dapat diukur dengan berbagai macam metode dan
teknik. Ada 4 metode dalam mengukur kepuasan konsumen, sebagai berikut:
a. Sistem keluhan dan saran.
Setiap organisasi yang berorientasi pada konsumen (customer
oriented) perlu memberikan kesempatan yang luas kepada para konsumen
untuk menyampaikan saran, pendapat dan keluhan mereka terhadap
pelayanan yang disediakan.
b. Ghost Shopping
Salah satu cara untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan
konsumen adalah dengan memperkerjakan beberapa orang (ghost
shopping) untuk berperan atau bersikap sebagai konsumen kepada pesaing.
Dengan cara ini dapat diketahui kekuatan dan kelemahan dari pesaing.
c. Lost Customer Analysis
Penyedia jasa mengevaluasi dan menghubungkan konsumen yang
telah berhenti membeli atau yang telah pindah ke penyedia jasa agar dapat
memahami mengapa hal itu terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan
perbaikan selanjutnya. Pemantauan terhadap lost customer analysis sangat
penting karena peningkatannya menunjukkan kegagalan penyedia jasa
dalam memuaskan konsumen.
d. Survei kepuasan konsumen
Melalui survei, penyedia jasa akan memperoleh tanggapan dan
umpan balik (feedback) secara langsung dari konsumen serta memberikan
kredibilitas positif bahwa penyedia jasa menaruh perhatian terhadap para
konsumen (Kotler, 1997).
Metode survei kepuasan konsumen dapat menggunakan pengukuran
SERVQUAL (service quality) yang dibangun atas adanya perbandingan dua
faktor utama yaitu persepsi konsumen atas layanan yang nyata mereka terima
(perceived service) dengan layanan yang diharapkan (expected service).
Jika kenyataan lebih dari yang diharapkan, maka layanan dapat dikatakan
bermutu sedangkan jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, maka layanan
dikatakan tidak bermutu. Apabila kenyataan sama dengan harapan, maka layanan
disebut memuaskan. Dengan demikian service quality dapat didefinisikan sebagai
jauhnya perbedaan antara kenyataan dan harapan konsumen atas layanan yang
mereka terima (Lupiyoadi, 2001).
Pengukuran kualitas jasa model service quality didasarkan pada skala
multi item yang dirancang untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan serta
gap diantara keduanya pada 5 dimensi kualitas jasa (keandalan, daya tanggap,
kepastian, empati, berwujud). Uraiannya adalah sebagai berikut:
1) Tangible (Bukti Fisik) yakni adanya penampakan berupa fasilitas-fasilitas
penunjang, petugas ataupun sarana komunikasi yang menyertai produk
tersebut. Karena suatu service tidak bisa dilihat, tidak bisa dicium dan tidak
bisa diraba, maka aspek tangible menjadi penting sebagai ukuran terhadap
pelayanan. Pelanggan akan menggunakan indera penglihatan untuk menilai
suatu kualitas pelayanan.
2) Reliability (dapat diandalkan, adanya kemampuan untuk mewujudkan produk
seperti yang telah dijanjikan). Kepuasan pelanggan terhadap pelayanan
perusahaan juga ditentukan oleh dimensi reliability, yaitu dimensi yang
mengukur keandalan dari perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada
pelanggannya. Dimensi ini sangat penting bagi pelanggan dari berbagai
industri jasa. Ada dua aspek dari dimensi ini, pertama adalah kemampuan
perusahaan untuk memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan. Kedua
adalah seberapa jauh suatu perusahaan mampu memberikan pelayanan yang
tepat dan akurat.
3) Responsiveness (Daya Tanggap) adalah adanya keinginan untuk menolong
konsumen dan menyediakan kecepatan dan ketepatan pelayanan. Harapan
pelanggan terhadap kecepatan pelayanan hampir dapat dipastikan akan
berubah yang kecenderungannya naik dari waktu ke waktu. Dalam bahasa
ekonomi waktu adalah ”Scarce Resources”. Karena itu waktu sama dengan
uang yang harus digunakan secara bijak. Itulah sebabnya pelanggan merasa
tidak puas apabila waktunya terbuang secara percuma karena dia sudah
kehilangan kesempatan lain untuk memperoleh sumber ekonomi . Pelanggan
bersedia untuk mengorbankan atau pelayanan yang lebih mahal untuk setiap
waktu yang dapat dihemat.
4) Assurance (Jaminan/dapat dipertanggungjawabkan) adalah adanya
pengetahuan dari karyawan dalam menanamkan kepercayaan atas produk
tersebut. Ada empat aspek dari dimensi ini, yakni: keramahan, kompetensi,
kredibilitas, dan keamanan. Keramahan adalah salah satu aspek kualitas
pelayanan yang paling mudah diukur. Salah satu bentuk konkretnya adalah
bersikap sopan dan murah senyum. Aspek kompetensi maksudnya adalah
setiap karyawan perusahaan harus memiliki pengetahuan yang baik terhadap
suatu produk atau jasa yang diberikan sehingga tidak terlihat bodoh saat
berhadapan dengan pelanggan. Kredibilitas adalah sejauh mana perusahaan
memiliki reputasi yang baik sehingga pelanggan mempunyai keyakinan untuk
menggunakan produk perusahaan. Sedangkan keamanan dalam hal ini adalah
pelanggan harus mempunyai rasa aman dalam melakukan transaksi. Aman
karena perusahaan jujur dalam bertransaksi.
5) Emphaty (perhatian/kepedulian) adalah adanya perhatian secara individual
dari perusahaan terhadap konsumennya.
Parasuraman, A., et al (1985), mendefinisikan kualitas pelayanan
(perceived service quality) sebagai perbandingan antara harapan dan persepsi
pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan. Definisi ini telah diterima dan
digunakan secara luas dan umum.
Menurut Parasuraman, A., et al (1998), ada lima gap (kesenjangan) yang
memungkinkan kegagalan penyampaian jasa, antar lain:
1. Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen. Gap ini muncul
apabila manajemen tidak merasakan atau mengetahui dengan tepat apa yang
diinginkan oleh para pelanggannya.
2. Gap antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas jasa. Gap ini bisa
terjadi apabila manajemen mungkin mampu merasakan atau mengetahui
secara tepat apa yang dibutuhkan pelanggannya, tetapi tidak menyusun standar
kerja yang harus dicapai.
3. Gap antara spesifikakasi kualitas penyampaian jasa. Hal ini bisa terjadi
apabila standar-standar yang ditetapkan manajemen saling bertentangan
sehingga tidak dapat dicapai. Misalnya karyawan diminta untuk harus
meluangkan waktu mendengarkan keluhan pelanggan dan melayani mereka
dengan cepat.
4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Gap ini bisa terjadi
apabila apa yang dikomunikasikan (dipromosikan) perusahaan kepada pihak
luar berbeda dengan kondisi nyata yang dijumpai pelanggan pada perusahaan
tersebut.
5. Gap antara jasa yang dipersepsikan dan jasa yang diharapkan. Gap ini terjadi
apabila pelanggan mengukur kinerja perusahaan dengan cara yang berbeda
dan salah dalam mempersepsikan kualitas jasa tersebut.
2.3.2. Penyebab Terjadinya Kesenjangan antara Harapan dengan Kinerja
Layanan Kesehatan
Suatu organisasi layanan kesehatan mungkin belum menerapkan jaminan
kualitas kesehatan sehingga tingkat kepuasan pasien tidak pernah diukur. Dengan
demikian, organisasi layanan kesehatan tidak mengetahui apa yang diharapkan
oleh pasien dan bagaimana tingkat kinerja layanan kesehatan yang dihasilkan oleh
organisasi layanan kesehatan tersebut. Kemungkinan lainnya, petugas kesehatan
tidak atau kurang mematuhi standar layanan kesehatan yang telah ditetapkan
sehingga kinerja layanan kesehatan tidak seperti yang diharapkan. Kesenjangan
yang terjadi akan semakin bertambah lebar karena pasien akan mengukur kinerja
layanan kesehatan yang diperolehnya dengan standar pribadinya, yaitu standar
yang tidak resmi.
2.3.3. Standar Layanan Kesehatan
Standar layanan kesehatan merupakan bagian dari layanan kesehatan itu
sendiri dan memainkan peranan yang penting dalam mengatasi masalah mutu
layanan kesehatan. Jika suatu organisasi layanan kesehatan ingin
menyelenggarakan layanan kesehatan yang bermutu secara taat-asas atau
konsisten, keinginan tersebut harus dijabarkan menjadi suatu standar layanan
kesehatan atau standar prosedur operasional.
Standar layanan kesehatan merupakan suatu alat organisasi untuk
menjabarkan mutu kesehatan layanan kesehatan ke dalam terminologi operasional
sehingga semua orang terlibat dalam layanan kesehatan akan terikat dalam suatu
sistem, baik pasien, penyedia layanan kesehatan, penunjang layanan kesehatan,
ataupun manajemen organisasi layanan kesehatan. Standar, indikator, dan angka
nilai ambang batas menjadi unsur-unsur yang akan membuat jaminan mutu
layanan kesehatan dapat diukur, objektif, dan bersifat kualitatif.
Menurut Rowland and Rowland (1983), standar adalah spesifikasi dari
fungsi atau tujuan yang harus dipenuhi oleh suatu sarana pelayanan agar pemakai
jasa pelayanan dapat memperoleh keuntungan yang maksimal dari pelayanan yang
diselenggarakan.
Untuk memandu para pelaksana program menjaga mutu agar tetap
berpedoman pada standar yang telah ditetapkan, disusunlah protokol. Protokol
(pedoman, petunjuk pelaksanaan) adalah suatu pernyataan tertulis yang disusun
secara sistematis dan yang dipakai sebagai pedoman oleh pelaksana dalam
mengambil keputusan dan atau dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Makin
dipatuhi protokol tersebut, makin tercapai standar yang telah ditetapkan.
Untuk mengukur tercapai atau tidaknya standar yang telah ditetapkan,
dipergunakanlah indikator. Indikator (tolak ukur) adalah ukuran kepatuhan
terhadap standar yang telah ditetapkan. Makin sesuai sesuatu yang diukur dengan
indikator, makin sesuai pula keadaannya dengan standar yang telah ditetapkan.
2.4. Ekonomi Kesehatan
2.4.1. Definisi Ekonomi Kesehatan
Menurut PPEKI (1989), menyatakan bahwa ilmu ekonomi kesehatan
adalah penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Perubahan yang mendasar terjadi pada sektor kesehatan, ketika sektor kesehatan
menghadapi kenyataan bahwa sumber daya yang tersedia (khususnya dana)
semakin hari semakin jauh dari mencukupi. Keterbatasan tersebut mendorong
masuknya disiplin ilmu ekonomi dalam perencanaan manjemen dan evaluasi
sektor kesehatan.
Pembahasan dalam ilmu ekonomi kesehatan mencakup :
a) Customer (dalam hal ini adalah pasien atau pengguna pelayanan
kesehatan).
b) Provider (yang merupakan profesional investor, yang terdiri dari publik
maupun privat).
c) Goverment (pemerintah)
Ilmu ekonomi berperan dalam rasionalisasi pemilihan dan pelaksanaan
kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, terutama yang menyangkut
penggunaan sumber daya yang terbatas. Dengan diterapkannya ilmu ekonomi
dalam bidang kesehatan, maka kegiatan yang akan dilaksanakan harus memenuhi
kriteria efisiensi, atau apakah kegiatan tersebut bersifat cost effective.
2.4.2. Manfaat Ekonomi Kesehatan dalam Sektor Pelayanan Kesehatan
Perawatan kesehatan sangat menyerap biaya pemerintah maupun anggaran
negara. Selain itu banyak juga peralatan kesehatan yang harus dibeli dengan
menggunakan valuta asing sehingga akan menghabiskan banyak devisa, hal
tersebut merupakan keterbatasan bagi negara miskin. Untuk dapat lebih
menghemat, dan meningkatkan efisiensi, banyak negara berusaha untuk mencari
sumber daya tambahan. Dalam hal ini ekonomi kesehatan akan sangat bermanfaat
karena dapat membantu pengalokasian dana secara lebih baik, meningkatkan
efisiensi, memilih teknologi yang lebih murah tapi tetap efektif dan mengevaluasi
sumber dana lainnya.
2.4.3. Peran Ekonomi Kesehatan Dalam Perencanaan Kesehatan
Perencanaan kesehatan pada dasarnya berhubungan erat dengan pemilihan,
yaitu memilih satu cara atau memilih beberapa cara diantara pilihan untuk
mencapai tujuan di masa yang akan datang. Di lain pihak, ekonomi kesehatan juga
berkaitan dengan pemilihan sehingga antara perencanaan dan ekonomi kesehatan
terdapat kesamaan dan keterkaitan.
Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di sebuah negara akan sangat
mempengaruhi derajat kesehatan penduduknya dan berkaitan erat pula dengan
kemampuan negara tersebut untuk mengembangkan pelayanan kesehatan maupun
kegiatan lain di sektor kesehatan. Oleh karena itu kebijaksanaan di bidang
kesehatan dan pelaksanaannya juga sangat dipengaruhi oleh pertimbangan
ekonomi secara makro.
Menurut Schultz (1960) dan Denison (1962) berpendapat bahwa kesehatan
dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui beberapa cara :
a. Perbaikan kesehatan seseorang akan menyebabkan pertambahan dalam
partisipasi tenaga kerja.
b. Perbaikan kesehatan dapat pula membawa perbaikan dalam tingkat
pendidikan yang kemudian menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi
ataupun perbaikan kesehatan menyebabkan bertambahnya penduduk yang
akan membawa tingkat partisipasi angkatan kerja.
Program-program kesehatan hendaknya dipandang sebagai suatu strategi
menyeluruh untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi dari suatu
penduduk. Strategi tersebut membutuhkan pilihan program-program yang dapat
meningkatkan derajat kesehatan efisien. Misalnya, pengembangan jaringan
pelayanan kesehatan, pembangunan infrastruktur air bersih, peningkatan gizi
masyarakat, imunisasi dan sebagainya.
Dalam hal ini dibutuhkan kajian terhadap strategi dan skala prioritas yang
perlu ditetapkan sebagai kebijaksanaan dalam beberapa bentuk pelayanan yang
ada. Bagi negara miskin atau sedang berkembang, untuk menentukan prioritas
tersebut adalah tidak mudah dan sulit. Oleh karena itu segala usaha untuk
memperluas pilihan dalam hal meningkatkan pelayanan kesehatan dan
penyuluhan kesehatan akan dipandang sebagai sesuatu yang bermanfaat. Hal
tersebut sangat relevan bagi konteks ekonomi di negara yang berpendapatan
rendah.
2.5. Ilmu-ilmu Ekonomi yang Berkaitan dengan Pelayanan Kesehatan
2.5.1. Permintaan (Demand) bagi Pelayanan Kesehatan
Menurut Viceant Gaspersz (1996:13), permintaan didefenisikan sebagai
kuantitas barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama
periode waktu tertentu berdasarkan kondisi tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan adalah :
a. Harga barang itu sendiri
b. Harga barang yang terkait (subsitusi atau komplemen)
c. Tingkat pendapatan perkapita
d. Selera atau kebiasaan
e. Jumlah penduduk
f. Estimasi harga dimasa yang akan datang
g. Distribusi pendapatan
h. Usaha-usaha produsen untuk meningkatkan penjualan seperti promosi
Dimana hukum permintaan adalah hukum yang menjelaskan tentang
adanya hubungan yang bersifat negatif antara tingkat harga dengan jumlah barang
yang diminta. Apabila harga naik jumlah barang yang diminta sedikit dan apabila
harga rendah jumlah barang yang diminta meningkat.
Grossman (1972) mengemukakan bahwa konsumen sebenarnya
mempunyai cukup informasi yang memungkinkan melakukan pemilihan kondisi
kesehatan secara rasional, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Permintaan seseorang atas pelayanan kesehatan diderivasikan dari persepsinya
akan level kesehatannya sendiri yang optimal. Dengan demikian permintaan akan
pelayanan kesehatan muncul karena orang tersebut ingin menjembatani gap saat
ini dengan status kesehatan yang lebih tinggi sesuai dengan yang ia inginkan.
Di dalam fungsi permintaan diasumsikan bahwa orang akan memberikan
nilai kepada barang dan jasa yang membawa manfaat saja. Fungsi permintaan
menunjukkan hubungan antara harga dan jumlah barang yang diminta dengan
menganggap pendapat, harga barang lain dan selera adalah spontan.
Pada umumnya fungsi permintaan itu tercermin dari kurvanya menurun
dari kiri atas ke kanan bawah. Dengan demikian bila harga menurun maka jumlah
barang yang diminta akan meningkat.
Gambar 2.1 Kurva permintaan
Keterangan Gambar : P (price/harga) Q (Quantity/kualitas) D (Demand/permintaan) 2.5.2. Penawaran (Supply) bagi Pelayanan Kesehatan
Penawaran (Supply) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
produsen/penjual untuk menjual hasil produksinya pada waktu, tempat dan harga
tertentu. Faktor-faktor Mempengaruhi Penawaran Barang/Jasa:
a. Harga barang itu sendiri
b. Harga barang lain
c. Harga input produksi
d. Modal
e. Teknologi
Q
D
P
f. Harapan masa mendatang
g. Jumlah penduduk, dsb.
Sementara itu produsen mempunyai interest yang berbeda dengan
konsumen. Para ekonom sering mengasumsikan bahwa produsen senantiasa
mencoba memaksaimalkan keuntungan (profit), yaitu perbedaan antara
penerimaan yang mereka peroleh dari menjual barangnya dengan biaya untuk
memproduksi barang tersebut. Seandainya harga barangnya menjadi lebih tinggi
pada tingkat biayayang sama akan lebih tinggi pula keuntungan yang dapat dibuat
oleh si produsen, ceteris paribus.
Teknologi juga mempunyai pengaruh terhadap penawaran barang dan
jasa. Dalam hal ini teknologi yang semakin tinggi dalam melakukan pelayanan
kesehatan akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dari rumah sakit
tersebut.
s
Gambar 2.2 Kurva Kenaikan Supply dengan Demand Tetap
Quantity
E1
E2
Q1 Q2
P1
P2
H
a
r
g
a D
S1
S2
2.5.3. Need
Konsep kebutuhan (need), bisa digunakan untuk menjelaskan secara lebih
baik berbagai keputusan di sektor pelayanan kesehatan. Hal ini untuk menjelaskan
mengenai kompleksitas dan ada atau tidaknya demand dalam sektor pelayanan.
Kebutuhan untuk menggunakan pelayanan kesehatan merupakan
kombinasi normatif dan kebutuhan yang dirasakan, karena untuk keputusan
konsumsi dalam sektor kesehatan sering tergantung kepada informasi yang
tersedia yang diberikan oleh pemasok ditambah dengan preferensinya. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh pakar tentang demand, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Adanya hubungan antara tingkat pendapatan dengan besarnya permintaan
dalam pelayanan kesehatan
2. Harga berperan dalam menentukan demand terhadap pelayanan kesehatan.
Meningkatnya harga mungkin akan mengurangi demand dari kelompok
yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan kelompok
berpendapatan tinggi.
3. Pelayanan kesehatan sulit untuk dicapai secara fisik, sehingga banyak
menuntut pengorbanan waktu dan akan menurunkan demand.
4. Kemanjuran dan kualitas pelayanan kesehatan sangat berpengaruh dalam
pengambilan keputusan untuk meminta pelayanan jasa tertentu.
2.5.4. Efisiensi
Efisiensi berarti menggunakan sumber daya yang tersedia dengan cara
yang menghasilkan keuntungan yang maksimum. Equity berarti keadilan
(fairness) dalam mendistribusikan keuntungan tersebut. Issue dalam pelayanan
kesehatan menyangkut efisiensi dan inefisiensi.
Misalnya penggunaan rawat inap pada tersedianya pelayanan rawat jalan
dengan manfaat yang sama namun dengan harga yang lebih murah dan
penggunaan pemeriksaan laboratorium yang tidak perlu.
Issue mengenai equity sebagian besar meliputi akses yang tidak memadai
terhadap pelayanan kesehatan untuk orang-orang dengan pendapatan rendah dan
distribusi dokter yang tidak merata pada daerah-daerah perkotaan dan pedesaan.
Efisiensi dapat dibagi dua, yaitu:
a. Technical Efficiency (efisiensi teknik). Artinya mendapatkan output
terbesar yang mungkin dari suatu kombinasi input yang ada. Hal tersebut
erat hubungannya dengan kemubaziran atau disebut juga mismanagement.
b. Allocative Efficiency (efisiensi alokatif). Artinya menggunakan input dan
memproduksikan output dalam kombinasi yang tepat untuk memuaskan
keinginan masyarakat.
2.6. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh I Nyoman Nurcaya dari
Fakultas Ekonomi Universitas Udayana mengenai kualitas pelayanan rumah sakit
di Provinsi Bali, dimana tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui
apakah terdapat kesenjangan antara persepsi dan harapan pasien pada 4 (empat)
rumah sakit yang telah memperoleh Sertifikat ISO 9001:2000. Dimana hasil yang
diperoleh setelah dilakukan pengujian dengan menggunakan metode SERVQUAL
dan IPA, diperoleh hasil bahwa masih terdapat kesenjangan antara persepsi dan
harapan pasien pada tiap-tiap rumah sakit di Provinsi Bali.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Erlida Rosa tentang
analisis tingkat kepuasan nasabah terhadap pelayanan PT.Bank Mandiri Persero
Cabang Zainul Arifin Medan yang membandingkan antara kinerja perusahaan
dengan kepentingan nasabah dengan menggunakan metode SERVQUAL, dengan
6 indikator yaitu tangible, relialibility, responsiveness, assurance, emphaty dan
facility serta metode Customer Satisfaction Index (CSI) dan Importance
Performance Analisist (IPA) diperoleh kinerja yang baik pada keenam indikator
tersebut dan nilai CSI sebesar 66.26 % yang dikategorikan memuaskan.