Download docx - bahan ujian filsafat

Transcript
Page 1: bahan ujian filsafat

Sebelum penulis membahas tentang bagaimana hubungan antara ilmu dengan filsafat agar ada kejelasan kita harus tahu apa itu yang dinamakan dengan ilmu dan apa yang dinamakan filsafat.Hubungan ilmu dan Filsafat1.Pengertian Ilmu

Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alama. Arti dasar dari kata ini adalah pengetahuan. Penggunaan kata ilmu dalam proposisi bahasa Indonesia sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Kata science itu sendiri memang bukan bahasa Asli Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, Scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari kata scientia yang berarti pengetahuan. Scientia bersumber dari bahasa Latin Scire yang artinya mengetahui.1 Terlepas dari berbagai perbedaan asal kata, tetapi jika benar ilmu disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris, maka pengertiannya adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dipakai dalam bahasa Indonesia, kata dasarnya adalah “tahu”.2 Secara umum pengertian dari kata “tahu”ini menandakan adanya suatu pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan pemahaman tertentu yang dimiliki oleh seseorang.3

Pendapat yang sama diungkapkan M. Quraish Shihab. Ia berpendapat bahwa ilmu berasal dari bahasa Arab, ilm. Arti dasar dari kata ini adalah kejelasan. Karena itu, segala bentuk kata yang terambil dari kata ‘ilm seperti kata ‘alm (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘alam (gunung-gunung) dana ‘alamat mengandung objek pengetahuan. Ilmu dengan demikian dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.4

Athur Thomson mendefinisikan ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah yang sangat sederhana.5 S. Hornby mengartikan ilmu sebagai: Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact (ilmu adalah susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta.6 Kamus bahasa Indonesia, menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Kamu ini juga menerangkan bahwa ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir dan bathin.

Poincare menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi (science consist entirely of convertions in the sence of disguised definitions). Pengertian dan kandungan ilmu yang dicoba ditawarkan Poincare ini, harus pula diakui memperoleh penolakan dari berbagai ahli. Bahkan ada anggapan yang menyatakan bahwa pikiran Poincare ini merupakan kesalahan besar. Le Ray seolah menjadi antitesis dari pemikiran Poincare. Le Ray misalnya menyatakan bahwa “Science consist only of consecrations and it is solely to this circumstance that is owes its apparent certainly”. Le Ray juga menyatakan bahwa science cannot teach us the truth, it’s can serve us only as a rule of action (ilmu tidak mengajarkan tentang kebenaran, ia hanya menyajikan sejumlah kaidah dalam berbuat.7 Dari

Page 2: bahan ujian filsafat

beberapa definisi ilmu di atas, maka, kandungan ilmu berisi tentang; hipotesa, teori, dalil dan hukum.Penjelasan di atas juga menyiratkan bahwa hakekat ilmu bersifat koherensi sistematik. Artinya, ilmu sedikit berbeda dengan pengetahuan. Ilmu tidak memerlukan kepastian kepingan-kepingan pengetahuan berdasarkan satu putusan tersendiri, ilmu justru menandakan adanya satu keseluruhan ide yang mengacu kepada objek atau alam objek yang sama saling berkaitan secara logis.Setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan penalaran masing-masing orang. Ilmu akan memuat sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang sepenuhnya belum dimantapkan. Oleh karena itu, ilmu membutuhkan metodologi, sebab dan kaitan logis. Ilmu menuntut pengamatan dan kerangka berpikir metodik serta tertata rapi. Alat bantu metodologis yang penting dalam konteks ilmu adalah terminology ilmiah.

Filsafat ilmu Tentang Hubungan ilmu dan Filsafat2.Pengertian Filsafat

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia dan philoshophos. Menurut bentuk kata, philosophia diambil dari kata philos dan shopia atau philos dan sophos. Philos berarti cinta dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Dalam pengertian ini seseorang dapat disebut telah berfilsafat apabila seluruh ucapannya dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan dan terhadap hikmah.8Pada awalnya, kata sofia lebih sering diartikan sebagai kemahiran dan kecakapan dalam suatu pekerjaan, seperti perdagangan dan pelayaran. Dalam perkembangan selanjutnya, makna dari kata kemahiran ini lebih dikhususkan lagi untuk kecakapan di bidang sya’ir dan musik. Makna ini kemudian berkembang lagi kepada jenis pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk mengetahui kebenaran murni. Sofia dalam arti yang terakhir ini, kemudian dirumuskan oleh Pythagoras bahwa hanya Dzat Maha Tinggi (Allah) yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, manusia hanya dapat sampai pada sifat “pencipta kebijaksanaan”. Pythagoras menyatakan: “cukup seorang menjadi mulia ketika ia menginginkan hikmah dan berusaha untuk mencapainya.”9

Harun Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, filosofia. Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih berarti sebagai “Himbauan kepada kebijaksanaan”.10Harun Nasution beranggapan bahwa kata filsafat bukan berasal dari struktur kata Philos dan shopia, philos dan shophos atau filosofen. Tetapi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang struktur katanya berasal dari kata philien dalam arti cinta dan shofos dalam arti wisdom. Orang Arab menurut Harun memindahkan kata Philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan tabi’at susunan kata-kata bahasa Arab, yaitu filsafat dengan pola (wajan) fa’lala, fa’lalah, dan fi’la. Berdasarkan wajan itu, maka penyebutan kata filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya disebut falsafat atau Filsaf.11

Page 3: bahan ujian filsafat

Harun lebih lanjut menyatakan bahwa kata filsafat yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia, sebenarnya bukan murni berasal dari bahasa Arab sama seperti tidak murninya kata filsafat terambil dari bahasa Barat, philosophy. Harun justru membuat kompromi bahwa filsafat terambil dari dua bahasa, yaitu Fil diambil dari bahasa Inggris dan Safah dari bahasa Arab. Sehingga kata filsafat, adalah gabungan antara bahasa Inggris dan Arab. Berfilsafat artinya berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya. Atas dasar itu, maka menurut Harun, secara etimologi filsafat dapat didefinisikan sebagai:

1.Pengetahuan tentang hikmah

2.Pengetahuan tentang prinsip atau dasar

3.mencari kebenaran

4.Membahas dasar dari apa yang dibahas

Ali Mudhafir berpendapat bahwa kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Phyloshophy (Inggris), Philosophie (Jerman, Belanda dan Perancis). Semua kata itu, berasal dari bahasa Yunani Philosphia. Kata philosophia sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu Philien, Philos dan shopia. Philien berarti mencintai, philos berarti teman dan sophos berarti bijaksana, shopia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, menurut Ali Mudhafir ada dua arti secara etimologi dari kata filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philien dan shopos, maka ia berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (ia menjadi sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan shopia, maka ia berarti teman kebijaksanaan (filsafat menjadi kata benda)12Makalah Filsafat ilmu Tentang Hubungan ilmu dan Filsafat3.Hubungan Antara Ilmu dan Filsafat

Berbagai pengertian tentang filsafat dan ilmu sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka berikutnya akan tergambar pula. Pola relasi (hubungan) antara ilmu dan filsafat. Pola relasi ini dapat berbentuk persamaan antara ilmu dan filsafat, dapat juga perbedaan di antara keduanya.Di zaman Plato, bahkan sampai masa al Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu

Page 4: bahan ujian filsafat

anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan ole manusia. Sebab manusia hari ini mementingkan ilmu yang sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit “dibumikan”. Tetapi masalahnya betulkah demikian?

Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen.13 Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri, dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung Spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem pengetahuan manusia yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang terteoritisasi.14 Kebenaran ilmu dibatasi hanya pada sepanjang pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki pengetahuan yang koprehensif, yakni; yang luas, yang umum dan yang universal (menyeluruh) dan itu tidak dapat diperoleh dalam ilmu.Lalu jika demikian, dimana saat ini filsafat harus ditempatkan? Menurut Am. Saefudin, filsafat dapat ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada taraf tertentu dijangkau oleh ilmu. Menafikan kehadiran filsafat, sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari realitas kehidupan manusia yang memiliki sifat untuk terus maju.

15Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat. Ilmu bersifat pasteriori. Kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni; kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data emfiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof. Meski demikian aktifitas berpikir. Tetapi aktivitas dan ilmuwan itu sama, yakni menggunakan aktifitas berpikir filosof. Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka hasil kerja filosofis dapat dilanjutkan oleh cara kerja berfikir ilmuwan. Hasil kerja filosofis bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu. Namun demikian, harus juga diakui bahwa tujuan akhir dari ilmuwan yang bertugas mencari pengetahuan, sebagaimana hasil analisa Spencer, dapat dilanjutkan oleh cara kerja berpikir filosofis.Di samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosofis, memang mengandung sejumlah persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya.Berbagai gambaran di atas memperlihatkan bahwa filsafat di satu sisi dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu pengetahuan, namun di sisi yang lainnya ia juga dapat berfungsi sebagai cara kerja akhir ilmuwan. “Sombongnya”, filsafat yang sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of

Page 5: bahan ujian filsafat

science) dapat menjadi pembuka dan sekaligus ilmu pamungkas keilmuan yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu.Kenapa demikian? Sebab filsafat dapat merangsang lahirnya sejumlah keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen yang melahirkan berbagai pencabangan ilmu. Realitas juga menunjukan bahwa hampir tidak ada satu cabang ilmu yang lepas dari filsafat atau serendahnya tidak terkait dengan persoalan filsafat. Bahkan untuk kepentingan perkembangan ilmu itu sendiri, lahir suatu disiplin filsafat untuk mengkaji ilmu pengetahuan, pada apa yang disebut sebagai filsafat pengetahuan, yang kemudian berkembang lagi yang melahirkan salah satu cabang yang disebut sebagai filsafat ilmu.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa antara ilmu dan filsafat ada persamaan dan perbedaannya.Perbedaannya ilmu bersifat Posterior kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang sedangkan filsafat bersifat priori kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian, sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris seperti yang dimiliki ilmu karena filsafat bersifat spekulatif.

Di samping adanya perbedaan antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan aktivitas ilmu digerakan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta, sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya

I. FILOSOFIS PENDIDIKAN  

1.  PENGERTIAN FILSAFAT  

Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.  

Ciri-ciri berfikir filosfi :

1. Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi. 2. Berfikir secara sistematis.

Page 6: bahan ujian filsafat

3. Menyusun suatu skema konsepsi, dan 4. Menyeluruh.

Empat persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat ialah :

1. Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika 2. Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi. 3. Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat.

Beberapa ajaran filsafat yang  telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah:

1. Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.

2. Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.

3. Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan hakitat yang asli dan abadi.

4. Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.

Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :

1. Sebagai dasar dalam bertindak. 2. Sebagai dasar dalam mengambil keputusan. 3. Untuk mengurangi salah paham dan konflik. 4. Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.

2.  FILSAFAT PENDIDIKAN  

Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

Beberapa aliran filsafat pendidikan;

1. Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme. 2. Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan 3. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.  Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Page 7: bahan ujian filsafat

ILMU DASAR FILSAFATPengertian Filsafat1. Arti filsafat

Apakah filsafat itu? Bagaimana definisinya? Demikianlah pertanyaan pertama. yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah "filsafat" dapat ditinjau dari dua segi, yakni:

1. Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab 'falsafah', yang berasal dari bahasa Yunani, 'philosophia', yang berarti 'philos' = cinta, suka (loving), dan 'sophia' = pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi 'philosophia' berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut 'philosopher', dalam bahasa Arabnya 'failasuf". Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.

2. Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti 'alam pikiran' atau 'alam berpikir'. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa "setiap manusia adalah filsuf". Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya: Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.

Beberapa definisi

Kerana luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:

1. Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).

2. Aristoteles (384 SM - 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmua pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).

3. Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM) politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan: Filsafat adalah

Page 8: bahan ujian filsafat

pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.

4. Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

5. Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:

" apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)

" apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)

" sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)

6. Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.

7. Drs H. Hasbullah Bakry merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

KesimpulanSetelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:

a. Filsafat adalah 'ilmu istimewa' yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.

b. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu:

" hakikat Tuhan,

" hakikat alam semesta, dan

" hakikat manusia,

serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut. Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.

Page 9: bahan ujian filsafat

Pengertian Filsafat, Cabang-Cabang Filsafat, Filsafat dan Agama

23 Desember 2009 — Abied

Arti filsafat

Apakah filsafat itu? Bagaimana definisinya? Demikianlah pertanyaan pertama yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni:

a)      Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’, yang berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ = cinta, suka (loving), dan ‘sophia’ = pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘failasuf”.

Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan

hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.

b)      Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam.

Tegasnya: Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.

Beberapa definisi

Karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:

Page 10: bahan ujian filsafat

1. Plato (427SM – 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).

2. Aristoteles (384 SM – 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).

3. Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43SM) politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan: Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.

4. Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

5. Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:

Apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika) Apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika) Sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)

1. Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.

2. Drs H. Hasbullah Bakry merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

Kesimpulan

Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:

1. Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.

2. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu:

Hakikat Tuhan, Hakikat alam semesta, dan Hakikat manusia,

serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut. Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.

Page 11: bahan ujian filsafat

2. Cara membatasi filsafat

Karena sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula orang mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara membahasnya agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya.

Pada zaman modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari ilmu filsafat itu dengan dua cara, yaitu dengan memplajari sejarah perkembangan sejak dahulu kala hingga sekarang (metode historis), dan dengan cara mempelajari isi atau lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis).

Dalam metode historis orang mempelajari perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Seperti juga pembicaraan tentang zaman purba dilakukan secara berurutan (kronologis) menurut waktu masing masing.

Dalam metode sistematis orang membahas langsung isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak mementingkan urutan zaman perjuangannya masing-masing. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan mana yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Kemudian dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan manakah yang baik dan manakah yang buruk dalam pembuatan manusia. Di sini tidak dibicarakan persoalan-persoalan logika atau metafisika. Dalam metode sistematis ini para filsuf kita konfrontasikan satu sama lain dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya dalam soal etika kita konfrontasikan saja pendapat pendapat filsuf zaman klasik (Plato dan Aristoteles) dengan pendapat filsuf zaman pertengahan (Al-Farabi atau Thimas Aquinas), dan pendapat filsuf zaman ‘aufklarung’ (Kant dan lain-lain) dengan pendapat-pendapat filsuf dewasa ini (Jaspers dan Marcel) dengan tidak usah mempersoalkan tertib periodasi masing-masing. Begitu juga dalam soal-soal logika, metafisika, dan lain-lain.

3. Cabang-cabang filsafat

Telah kita ketahui bahwa filsafat adalah sebagai induk yang mencakup semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat. Mula-mula matematika dan fisika melepaskan diri, kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lain. Adapun psikologi baru pada akhir-akhir ini melepaskan diri dari filsafat, bahkan di beberapa insitut, psikologi masih terpaut dengan filsafat.

Setelah filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati, tetapi hidup dengan corak baru sebagai ‘ilmu istimewa’ yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Yang menjadi pertanyaan ialah : apa sajakah yang masih merupakan bagian dari filsafat dalam coraknya yang baru ini? Persoalan ini membawa kita kepada pembicaraan tentang cabang-cabang filsafat.

Page 12: bahan ujian filsafat

Ahli filsafat biasanya mempunyai pembagian yang berbeda-beda. Coba perhatikan sarjana-sarjana filsafat di bawah ini:

1. H. De Vos menggolongkan filsafat sebagai berikut:

” metafisika,

” logika,

” ajaran tentang ilmu pengetahuan

” filsafat alam

” filsafat sejarah

” etika,

” estetika, dan

” antropologi.

2. Prof. Albuerey Castell membagi masalah-masalah filsafat menjadi enam bagian, yaitu:

” masalah teologis

” masalah metafisika

” masalah epistomologi

” masalah etika

” masalah politik, dan

” masalah sejarah

3 Dr. Richard H. Popkin dan Dr Avrum Astroll dalam buku mereka, Philosophy Made Simple, membagi pembahasan mereka ke dalam tujuh bagian, yaitu:

” Section I Ethics

” Section II Political Philosophy

” Section III Metaphysics

” Section IV Philosophy of Religion

Page 13: bahan ujian filsafat

” Section V Theory of Knowledge

” Section VI Logics

” Section VII Contemporary Philosophy,

4. Dr. M. J. Langeveld mengatakan: Filsafat adalah ilmu Kesatuan yang terdiri atas tiga lingkungan masalah:

” lingkungan masalah keadaan (metafisika manusia, alam dan seterusnya)

” lingkungan masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori pengetahuan, logika)

” lingkungan masalah nilai (teori nilai etika, estetika yangb ernilai berdasarkan religi)

5. Aristoteles, murid Plato, mengadakan pembagian secara kongkret dan sistematis menjadi empat cabang, yaitu:

a) Logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.

b) Filsafat teoretis. Cabang ini mencangkup:

” ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini,

” ilmu matematika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu dalam      kuantitasnya,

” ilmu metafisika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu. Inilah yang      paling utama dari filsafat.

c) Filsafat praktis. Cabang ini mencakup:

” ilmu etika. yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup     perseorang

” ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran di dalam negara.

d) Filsafat poetika (Kesenian).

Pembagian Aristoteles ini merupakan permulaan yang baik sekali bagi perkembangan pelajaran filsafat sebagai suatu ilmu yang dapat dipelajari secara teratur. Ajaran Aristoteles sendiri, terutama ilmu logika, hingga sekarang masih menjadi contoh-contoh filsafat klasik yang dikagumi dan dipergunakan.

Walaupun pembagian ahli yang satu tidak sama dengan pembagian ahli-ahli lainnya, kita melihat lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Dari pandangan para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai beberapa cabang, yaitu metafisika, logika, etika, estetika, epistemologi, dan filsafat-filsafat khusus lainnya.

Page 14: bahan ujian filsafat

1. Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia.

2. Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.3. Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk.4. Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek.5. Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan.6. Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat

sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan    sebagainya.

Seperti telah dikatakan, ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Yang ditujunya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Maka persoalannya menjadi apakah sesuatu itu hakiki (asli) atau palsu (maya).

Dari tinjauan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam tiap-tiap pembagian sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam ilmu filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan etika.

4. Tujuan, fungsi dan manfaat filsafat

Menurut Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol, dan tujuan seni adalah kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).

Dr Oemar A. Hoesin mengatakan: Ilmu memberi kepada kita pengatahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran.

S. Takdir Alisyahbana menulis dalam bukunya: filsafat itu dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Dalam tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran) itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat di antara kerja manusia yang lain. Kebenaran dalam arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya baginya, itulah tujuan yang tertinggi dan satu-satunya. Bagi manusia, berfilsafat itu bererti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun kebenaran.

Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan: Tugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan ‘nation’, ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.

Page 15: bahan ujian filsafat

Studi filsafat harus membantu orang-orang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal saja kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.

Berbeda dengan pendapat Soemadi Soerjabrata, yaitu mempelajari filsafat adalah untuk mempertajamkan pikiran, maka H. De Vos berpendapat bahwa filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Orang mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya dasar-dasar pengetahuan, yang dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup agar dapat menjadi manusia yang baik dan bahagia.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).

5. Aliran-aliran dalam filsafat

Aliran-aliran yang terdapat dalam filsafat sangat banyak dan kompleks. Di bawah ini akan kita bicarakan aliran metafisika, aliran etika, dan aliran-aliran teori pengetahuan.

a. Aliran-aliran metafisika

Menurut Prof. S. Takdir Alisyahbana, metafisika ini dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu : (1) yang mengenai kuantitas (jumlah) dan (2) yang mengenai kualitas (sifat).Yang mengenai kuantitas terdiri atas (a)monisme, (b) dualisme, dan (c) pluralisme. Monisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa unsur pokok segala yang ada ini adalah esa (satu). Menurut Thales: air menurut Anaximandros: ‘apeiron’ menurut Anaximenes: udara. Dualisme adalah aliran yang berpendirian bahwa unsur pokok sarwa yang ada ini ada dua, yaitu roh dan benda. Pluralisme adalah aliran yang berpendapat bahwa unsur pokok hakikat kenyataan ini banyak. Menurut Empedokles: udara, api, air dan tanah.

Yang mengenai kualitas dibagi juga menjadi dua bagian besar, yakni (a) yang melihat hakikat kenyataan itu tetap, dan (b) yang melihat hakikat kenyataan itu sebagai kejadian.

Yang termasuk golongan pertama (tetap) ialah:

” Spiritualisme, yakni aliran yang berpendapat bahwa hakikat itu bersifat roh.

” Materialisme, yakni aliran yang berpendapat bahwa hakikat itu bersifat   materi.

Yang termasuk golongan kedua (kejadian) ialah:

Page 16: bahan ujian filsafat

” Mekanisme, yakni aliran yang berkeyakinan bahwa kejadian di dunia ini berlaku dengan sendirinya menurut hukum sebab-akibat.

” Aliran teleologi, yakni aliran yang berkeyakinan bahwa kejadian yang   satu berhubungan dengan kejadian yang lain, bukan oleh hukum sebab-akibat,   melainkan semata-mata oleh tujuan yang sama.

” Determinisme, yaitu aliran yang mengajarkan bahwa kemauan manusia itu   tidak merdeka dalam mengambil putusan-putusan yang penting, tetapi sudah   terpasti lebih dahulu.

” Indeterminisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa kemauan manusia itu   bebas dalam arti yang seluas-luasnya.

b. Aliran-aliran etika

Aliran-aliran penting dalam etika banyak sekali, diantaranya ialah:

1)      Aliran etika nuturalisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa     kebahagiaan manusia itu diperoleh dengan menurutkan panggilan natural    (fitrah) kejadian manusia sekali.

2)      Aliran etika hedonisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa perbuatan     susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan ‘hedone’ (kenikmatan dan    kelezatan).

3)      Aliran etika utilitarianisme, yaitu aliran yang menilai baik dan    buruknya perbuatan manusia ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat bagi    manusia (utility = manfaat).

4)      Aliran etika idealisme, yaitu aliran yang menilai baik buruknya    perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab-musabab lahir, tetapi    haruslah didasarkan atas prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi.

5)      Aliran etika vitalisme, yaitu aliran yang menilai baik-buruknya    perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada atau tidak adanya daya hidup    (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.

6)      Aliran etika theologis, yaitu aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran    baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai atau tidak    sesuainya dengan perintah Tuhan (Theos = Tuhan).

c. Aliran-aliran teori pengetahuan

Aliran ini mencoba menjawab pertanyaan, bagaimana manusia mendapat pengetahuannya sehingga pengetahuan itu benar dan berlaku.

Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan. Termasuk ke dalamnya:

Page 17: bahan ujian filsafat

Rationalisme, yaitu aliran yang mengemukakan bahwa sumber pengetahuan   manusia ialah pikiran, rasio dan jiwa manusia.

Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia itu   berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang ditangkap  pancainderanya.

Kritisisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa  pengetahuan manusia itu berasal dari luar maupun dari jiwa manusia itu  sendiri.

Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia. Termasuk ke dalamnya:

Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambar yang baik dan tepat dari kebenaran dalam pengetahuan yang baik tergambarkan kebenaran seperti sungguh-sungguhnya ada.

Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu sekaliannya terletak di luarnya.

d. Aliran-aliran lainnya dalam filsafat

Di samping aliran-aliran di atas, masih banyak aliran yang lain dalam filsafat. Aliran-aliran itu antara lain ialah:

1. Eksistensialisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongkret, yaitu manusia sebagai eksistensi, dan sehubungan dengan titik tolak ini. maka bagi manusia eksistensi itu mendahului esensi.

2. Pragmatisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa benar dan tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung pada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak di dalam kehidupannya.

3. Fenomenologi, yaitu aliran yang berpendapat bahwa hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dan keyakinan bahwa pengertian itu dapat dicapai jika kita mengamati fenomena atau pertemuan kita dengan realitas.

4. Positivisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa filsafat hendaknya semata-mata berpangkal pada peristiwa yang positif, artinya peristiwa-peristiwa yang dialami manusia.

5. Aliran filsafat hidup, yaitu aliran yang berpendapat bahwa berfilsafat barulah mungkin jika rasio dipadukan dengan seluruh kepribadian sehingga filsafat itu tidak hanya hal yang mengenai berpikir saja, tetapi juga mengenai ada, yang mengikutkan kehendak, hati, dan iman, pendeknya seluruh hidup.

6. Filsafat, agama, dan ilmu pengetahuan

a. Filsafat dan agama

Dalam buku Filsafat Agama karangan Dr. H. Rosjidi diuraikan tentang perbedaan filsafat dengan agama, sebab kedua kata tersebut sering dipahami secara keliru.

Filsafat

1. Filsafat berarti berpikir, jadi yang penting ialah ia dapat berpikir.

Page 18: bahan ujian filsafat

2. Menurut William Temple, filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk memahami.3. C.S. Lewis membedakan ‘enjoyment’ dan ‘contemplation’, misalnya laki-laki mencintai

perempuan. Rasa cinta disebut ‘enjoyment’, sedangkan memikirkan rasa cintanya disebut ‘contemplation’, yaitu pikiran si pecinta tentang rasa cintanya itu.

4. Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang.5. Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat

dasarnya.6. Seorang ahli filsafat, jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain, biasanya

bersikap lunak.7. Filsafat, walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya, sering mengeruhkan pikiran

pemeluknya.8. Ahli filsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen, walaupun

argumenya sendiri.

Agama

1. Agama berarti mengabdikan diri, jadi yang penting ialah hidup secara beragama sesuai dengan aturan-aturan agama itu.

2. Agama menuntut pengetahuan untuk beribadat yang terutama merupakan hubungan manusia dengan Tuhan.

3. Agama dapat dikiaskan dengan ‘enjoyment’ atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian (dedication) atau ‘contentment’.

4. Agama banyak berhubungan dengan hati.5. Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan

gemuruhnya.6. Agama, oleh pemeluk-pemeluknya, akan dipertahankan dengan habis-habisan, sebab

mereka telah terikat dn mengabdikan diri.7. Agama, di samping memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian

diri, juga mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya.8. Filsafat penting dalam mempelajari agama.

Demikianlah antara lain perbedaan yang terdapat dalam filsafat dan agama menurut Dr. H. Rosjidi.

b. Filsafat dan ilmu pengetahuan

Apakah hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan? Oleh Louis Kattsoff dikatakan: Bahasa yang pakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi. Hanya saja bahasa yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk berbicara mengenai ilmu pengetahuan, dan bukanya di dalam ilmu pengetahuan. Namun, apa yang harus dikatakan oleh seorang lmuwan mungkin penting pula bagi seorang filsuf.

Pada bagian lain dikatakan: Filsafat dalam usahanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok yang kita ajukan harus memperhatikan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam usahanya menemukan rahasia alam kodrat haruslah mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai

Page 19: bahan ujian filsafat

alam kodrat tersebut. Filsafat mempersoalkan istilah-istilah terpokok dari ilmu pengetahuan dengan suatu cara yang berada di luar tujuan dan metode ilmu pengetahuan.

Dalam hubungan ini Harold H. Titus menerangkan: Ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi yang faktual dan deskriptif, yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat. Banyak ilmuwan yang juga filsuf. Para filsuf terlatih di dalam metode ilmiah, dan sering pula

menuntut minat khusus dalam beberapa ilmu sebagai berikut:

1)      Historis, mula-mula filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana juga filsuf identik dengan ilmuwan.

2)      Objek material ilmu adalah alam dan manusia. Sedangkan objek material filsafat adalah alam, manusia dan ketuhanan.

c. Bedanya filsafat dengan ilmu-ilmu lain.

1) Filsafat menyelidiki, membahas, serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain. Jadi ia memandang satu kesatuan yang belum dipecah-pecah serta pembahasanya secara kesuluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu lain atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya ilmu hayat membicarakan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia; ilmu bumi membicarakan tentang kota, sungai, hasil bumi dan sebagainya.

2) Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab-akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya sekaligus. Sedangkan ilmu vak membahas tentang   sebab dan akibat suatu peristiwa.

3) Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana asalnya, dan hendak ke mana perginya. Sedangkan ilmu vak harus menjawab pertanyaan bagaimana dan apa sebabnya.

Sebagian orang menganggap bahwa filsafat merupakan ibu dari ilmu-ilmu vak. Alasannya ialah bahwa ilmu vak sering menghadapi kesulitan dalam menentukan batas-batas lingkungannya masing-masing. Misalnya batas antara ilmu alam dengan ilmu hayat, antara sosiologi dengan antropologi. Ilmu-ilmu itu dengan sendirinya sukar menentukan batas-batas masing-masing. Suatu instansi yang lebih tinggi, yaitu ilmu filsafat, itulah yang mengatur dan menyelesaikan hubungan dan perbedaan batas-batas antara ilmu-ilmu vak tersebut.

7. Rangkuman

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan

Page 20: bahan ujian filsafat

sebab-sebab hal itu.

Jadi berarti ada metode, ada sistem, ada satu pandangan yang dipersatukan (memberi sintesis), dan yang dicari ialah sebab-sebabnya. Demikian filsafat mempunyai metode dan sistem sendiri dalam usahanya untuk mencari hakikat dari segala sesuatu, dan yang dicari ialah sebab-sebab yang terdalam. Ilmu-ilmu pengetahuan dirinci menurut lapangan atau objek dan sudut pandangan. Objek dan sudut pandangan filsafat disebut juga dalam definisinya, yaitu “segala sesuatu”.

Lapangan filsafat sangat jelas; ia meliputi segala apa yang ada. Pertanyaan-pertanyaan kita itu mengenai kesemuanya yang ada, tak ada yang dikecualikan. Hal-hal yang tidak kentara pun (seperti jiwa manusia,

kebaikan, kebenaran, bahkan Tuhan sendiri pun) dipersoalkan. Lapangan yang sangat luas ini nanti kita bagi-bagi ke dalam beberapa lapangan pokok.

Sebab-sebab yang terdalam Dengan ini ditunjuk sudut pandangan, aspek khusus, sudut khusus yang

dipelajari dalam segala sesuatu itu. Sudut pandangan (juga disebut “object formal”) ini yang membedakan berbagai ilmu pengetahuan yang mengenai objek atau lapangan yang sama. Misalnya ilmu kedoktoran mempelajari manusia dilihat dari sudut tubuhnya yang sakit dan harusnya disembuhkan, sosiologi mempelajari manusia dalam sudut kemasyarakatan. Demikianlah filsafat mempelajari dalam segala sesuatu itu ialah keterangan yang penghabisan, yang terakhir, dan terdalam, sampai habis, sampai pada sebab yang  terakhir. Yang kita cari ialah kebijaksanaan, hakikat dari seluruh  kenyataan, intisari dan esensi dari semua yang ada.

Kekuatan pikiran manusia sendiri

Dengan ini ditunjuk alat yang kita gunakan dalam usaha kita untuk mencapai kebijaksanaan itu, yaitu pikiran kita sendiri. Ini membedakan filsafat dari teologi (ilmu ke-Allahan) yang juga mengenai segala sesuatu, tetapi yang berdasarkan wahyu Tuhan. Filsafat tidak berdasarkan wahyu Tuhan, tidak meminta pertolongan dari Kitab Suci, tetapi berdasarkan asas-asas dan dasar-dasarnya hanya dengan cara analisis-analisis oleh pikiran kita sendiri. Justru karena itu, filsafat dapat merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum, bagi setiap orang, terserah agama mana yang dianutnya. Akantetapi, ini pun kelemahan filsafat: jika hanya filsafat saja yang cukup dipakai sebagai pegangan hidup, pandangan hidup, maka ini tidak cukup, sebab banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan 100% memuaskan oleh filsafat, sedangkan filsafat sendiri dalam usahanya mencari hakikat dari seluruh kenyataan menunjuk kepada Tuhan sebagai sumber terakhir dan sebab pertama. (Jadi, sebetulnya filsafat dan agama !! tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi).

+++

Karena sangat luasnya lapangan yang diselidiki dan sulit serta berbelit-belitnya soal-soal yang dihadapi maka lapangan yang sangat luas ini dibagi-bagi ke dalam beberapa lapangan pokok

Page 21: bahan ujian filsafat

agar penyelidikan dapat dilakukan dengan sistemis dan baik. Pembagian ini diadakan secara induksi, yaitu dengan melihat dulu persoalan-persoalan mana yang timbul dan minta diselesaikan.

a. Tentang pengetahuan (alat untuk mencapai ‘insight’ itu)

1) Logika formal (logic)

Membentangkan hukum-hukum yang harus ditaati agar kita berpikir dengan lurus dan baik dan dapat mencapai kebenaran. Ini akan dipelajari lebih lanjut dalam masa akan datang.

2) Kritika atau logika material (epistemology)

Memandangkan isi pengetahuan kita, sumber-sumbernya, proses terjadinya pengetahuan, dan memberikan pertanggungjawaban tentang kemungkinan dan batas-batas pengetahuan kita (soal kekeliruan, kepastian, dan sebagainya).

b. Tentang pertanyaan dan sebab-sebabnya yang terdalam

3) Metafisika (ontology/metaphysics)

Mengupas apa ertinya “ada” itu, apa tujuannya, apa sebab-sebabnya, dan mencari hakikat dari semua barang yang ada (hylemorphisme)

4) Theodycea atau teologia naturalis (natural theology)

Merupakan konsekuensi terakhir dari penyelidikan filsafat, dengan menunjukkan sebab pertama dan tujuan terakhir; mencari berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri bukti-bukti tentang adanya Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubunganNya dengan dunia.

c. Tentang manusia dan dunia

5) Filsafat tentang manusia (philosophy of man)

(Juga sering disebut antropologia metafisika atau psikologia metafisika). Ini merupakan inti dan pangkalan dari seluruh filsafat: Orang mengetahui tentang “ada” itu dari adanya sendiri. Maka diselidiki apa kodrat (nature) manusia itu, bagaimana susunannya atas badan dan jiwa, bagaimana terjadinya pengetahuan, apa kehendak bebas, apa arti dan peranan keinderaan dan perasaan, apa arti kepribadian, dan sebagainya.

6) Kosmologia (philosophy of nature)

Mempersoalkan dunia material, susunannya, aturannya, mencari hakikat dari waktu dan tempat, gerakan, hidup, dan sebagainya.

d. Tentang kesusilaan

Page 22: bahan ujian filsafat

7) Etika atau filsafat moral (ethics)

Membentangkan apa yang baik, apa yang buruk, apa ukuran-ukurannya, bagaimana dan mengapa manusia terikat oleh aturan-aturan ke susilaan, bagaimana kita dipimpin oleh suara batin, bagaimana tujuan hidup dapat kita capai, dan sebagainya.

Etika sosial

Merupakan bagian dari etika yang sangat penting pula, yaitu yang membicarakan norma-norma hidup kemasyarakatan (keluarga, negara internasional).

e. Lain-lain

Lapangan-lapangan yang tersebut di atas merupakan lapangan-lapangan pokok dari filsafat. Di samping. Di samping itu ada beberapa lapangan yang penting pula, yang merupakan rincian legih lanjut, penerapan asa-asas filsafat pada lapangan-lapangan hidup tertentu. Antara lain: asas-asas filsafat pada lapangan-lapangan hidup tertentu. Antara lain:

” filsafat kebudayaan (kombinasi etika dan filsafat tentang manusia).

” filsafat kesenian atau estetika, praktis

” filsafat hukum

” filsafat tentang sejarah, bahasa, ekonomi, teknik, agama, kerja dan lain-lain.

+++

Kepentingan filsafat

Akhirnya sepatah kata tentang kepentingan filsafat. Filsafat sering dianggap teori belaka, yang jauh dari kenyataan hidup konkret. Akan tetapi, filsafat ada segi praktisnya juga. Sikap dan pandangan yang dipertanggungjawabkan, seperti yang kita cari dalam filsafat, dengan sendirinya akan mempengaruhi sikap kita praktis juga. Kebijaksanaan tidak hanya berarti “pengetahuan yang mendalam”, tetapi juga “sikap hidup yang benar”, yang tepat, sesuai dengan pengetahuan yang telah dicapai itu.

Ini nampak dengan jelas terutama pada pelajaran etika dan logika yang bersama-sama memberikan pegangan dan bimbingan kepada pikiran dan kepada kehendak, agar hidup dengan ‘benar’ dan ‘baik’. maka konkretnya:

1) Filsafat menolong mendidik, membangun diri kita sendiri: dengan berpikir lebih mendalam, kita mengalami dan menyadari kerohanian kita. Rahasia hidup yang kita selidiki justru memaksa kita untuk berpikir untuk hidup sesadar-sadarnya, dan memberikan isi kepada hidup kita sendiri.

Page 23: bahan ujian filsafat

2) Filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari. Orang yang hidup secara “dangkal” saja, tidak mudah melihat persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahnya. Dalam filsafat kita dilatih melihat dulu apa yang menjadi persoalan, dan ini merupakan syarat mutlak untuk memecahkannya.

3) Filsafat memberikan pandangan yang luas, membendung “akuisme” dan “aku-sentrisme” (dalam segala hal hanya melihat dan mementingkan kepentingan dan kesenangan si aku).

4) Filsafat merupakan latihan untuk berpikir sendiri, hingga kita tak hanya ikut-ikutan saja, membuntut pada pandangan umum, percaya akan setiap semboyan dalam surat-surat kabar, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai pendapat sendiri, “berdiri-sendiri”, dengan cita-cita mencari kebenaran.

5) Filsafat memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya.

Page 24: bahan ujian filsafat

FILSAFAT ILMU POLITIK

DAN PEMERINTAHAN[1]

Oleh Wayan Gede Suacana[2]

1. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ilmu

Filsafat secara etimologis berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya. Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras (582-496 SM) dan kemudian diikuti oleh kaum sophist dan juga Socrates (470-399 SM). Ada juga yang berpendapat bahwa filsafat mengandung arti kegandrungan mencari hikmah kebenaran dan kebijaksanaan dalam hidup dan kehidupan.Dengan begitu, filsafat berarti mencintai kebijaksanaan dan mendambakan pengetahuan.

Menurut Mohammad Hatta, filsafat dapat meluaskan pandangan,  mempertajam pikiran, serta merentangkan pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan atau hal yang nyata. Sebab itu filsafat dapat disebut juga berpikir merdeka dengan tiada dibatasi kelanjutannya. Filsafat meninjau dengan pertanyaan “apa itu”, “dari mana” dan “kemana”. Disini orang tidak mencari pengetahuan sebab akibat suatu masalah seperti halnya penyelidikan ilmu, melainkan orang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya ada pada barang atau masalah itu, dari mana asalnya dan kemana tujuannya.

Ilmu filsafat adalah ilmu yang menunjukkan bagaimana upaya manusia yang tidak pernah menyerah untuk menentukan kebenaran atau kenyataan secara kritis, mendasar dan integral. Karena itu dalam berfilsafat, proses yang dilalui adalah refleksi, kontemplasi, abstraksi, dialog, evaluasi, menuju suatu sintesis jawaban atas dasar pilihan keyakinan sendiri-sendiri, yang disana-sini tidak sama, berbeda, bahkan saling bertentangan, yang muncul dalam setiap tahap atau pun kurun waktu.

Fungsi filsafat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama: secara teoritis orang belajar filsafat akan menambah ilmu pengetahuan diharapkan ia akan lebih pandai, sehingga di dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi akan bertindak secara hati-hati dan bijaksana, serta dalam melakukan penyelidikan-penyelidikan lebih mendalam dan menyeluruh. Filsafat di sini berfungsi sebagai sumber, pemberi asas, metode, petunjuk, pemersatu perangka, penafsir dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Kedua, secara praktis filsafat berfungsi sebagai pendorong manusia untuk berpikir secara logis. Berpikir secara logis artinya berpikir secara teratur, runtut dan sistematis sehingga dapat menarik kesimpulan dengan benar berdasarkan hukum-hukum logika. Filsafat juga berfungsi sebagai pembangun hidup kemanusiaan, artinya manusia dengan belajar filsafat akan selalu menjaga keharmonisannya dalam hubungan antara dia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam lingkungannya dan dengan penciptanya. Sehingga manusia akan bertindak bijaksana dan selalu mematuhi norma-norma yang ada.

Masalah-masalah filsafat dapat digolongkan menjadi empat, yaitu: pertama, masalah-masalah ilmu pengetahuan (epistemologi, logika, filsafat ilmu dan filsafat bahasa). Kedua, masalah-masalah realitas atau eksistensi (metafisika, ontologi, kosmologi). Ketiga, masalah-masalah nilai

Page 25: bahan ujian filsafat

(aksiologi, estetika, etika, filsafat agama), dan keempat, masalah-masalah masyarakat (filsafat sosial, ekonomi dan politik). Masalah besar filsafat adalah bagaimana caranya mepersatukan semua bagian yang berbeda-beda itu menjadi keseluruhan yang komprehensif.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin maju maka muncullah ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen, bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.

Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “knowledge is power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono, adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).

Lebih lanjut Koento Wibisono[12] menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler, yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.

Filsafat ilmu adalah salah satu cabang dari filsafat yang berkaitan dengan masalah-masalah ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pun sesungguhnya dapat dibagi lagi menjadi sejumlah filsafat ilmu yang lebih khusus, seperti filsafat matematika, filsafat ilmu-ilmu fisika, filsafat biologi, filsafat linguistik, filsafat psikologi, filsafat ilmu-ilmu sosial dan filsafat ilmu-ilmu lainnya

Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie[13], filsafat ilmu adalah segenap   pemikiran   reflektif   terhadap  persoalan-persoalan  mengenai  segala  hal  yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.

Page 26: bahan ujian filsafat

Koento Wibisono S.[14] memberikan pengertian tentang filsafat ilmu (Philosopy of Science, Wissenchaftlehre, Wetenschapsleer) sebagai cabang dari ilmu filsafat itu sendiri. Menurtnya, kalau ilmu filsafat didefinisikan sebagai kegiatan berefleksi secara mendasar dan integral, maka filsafat ilmu adalah refleksi mendasar dan integral mengenai hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu merupakan penerusan dalam pengembangan filsafat pengetahuan, sebab ‘pengetahuan ilmiah’ tidak lain adalah a higher level dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, objek kedua cabang filsafat ini di sana-sini sering berhimpitan namun berada dalam aspek dan motif pembahasannya.

Filsafat ilmu merupakan refleksi secara filsafati akan hakekat ilmu yang tidak akan mengenal titik henti dalam menuju sasaran yang hendak dicapai, yaitu kebenaran dan kenyataan. Memahami filsafat ilmu berarti memahami seluk-beluk ilmu pengetahuan hingga segi-segi dan sendi-sendinya yang paling mendasar, untuk dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa melalui upaya filsafat ilmu, seseorang dapat meninjau dasar dan kedalaman ilmu hingga ke hakekatnya.

Tujuan filsafat ilmu adalah memberikan pemahaman tentang apa dan bagaimana hakekat, sifat dan kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam cakrawala pengetahuan  manusia. Di  samping  itu filsafat  ilmu  juga  memperluas  wawasan  ilmiah sebagai kesiapan dalam menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi yang berlangsung dengan begitu cepat, spektakuler, mendasar, yang secara intensif menyentuh semua segi dan sendi kehidupan dan secara intensif merombak budaya manusia.

Filsafat ilmu dengan begitu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.

Lebih lanjut Koento Wibisono[18], mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.

Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo, dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya,

Page 27: bahan ujian filsafat

struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

Dalam perkembangan filsafat ilmu juga mengarahkan pada strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, akan tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia[20]. Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat.

Pemikiran Archie J. Bahm yang dimuat dalam artikelnya: “What is Science?”[21] bisa dimasukkan dalam alur perkembangan baru dalam filsafat ilmu. Uraian Bahm tentang komponen ilmu menunjukkan adanya pemahaman yang baru, bahwa ilmu pengetahuan, selalu memiliki keterkaitan dengan unsur kemanusiaan dan juga sosial. Hal ini sebenarnya merupakan upaya pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan yang telah bercokol sebelumnya yakni logico-positivisme yang mengadopsi ajaran filsafat “Bapak Sosiologi” Auguste Comte.

Pemikiran seperti itu dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh filsafat ilmu baru seperti: Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter,  Stephen Toulmin, dan Imre Lakatos. Satu ciri khas yang merupakan kesamaan mereka satu sama lain secara umum dan dengan begitu membedakan mereka dari filsafat ilmu yang hendak mereka dobrak adalah perhatian besar terhadap sejarah ilmu, serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi.

Perkembangan ilmu pengetahuan menurut Bahm mau tidak mau pada akhirnya berhadapan dengan berbagai pengaruh serta matra etis[22]. Pertama, pengaruh ilmu pengetahuan terhadap teknologi dan industri melalui apa yang disebut dengan ilmu terapan. Dalam diri para ilmuwan yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuan modern dan sibuk merancang cara-cara penerapan hasil ilmu-ilmu itu. Kedua, pengaruh ilmu terhadap__atau dalam__masyarakat dan peradaban. Dalam diri kebanyakan orang yang hidup dalam dunia modern, yang mau tak mau secara mendalam dipengaruhi dan dikuasai oleh hasil perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi modern.

Dampak perkembangan ilmu pengetahuan pada pada perkembangan manusia dan dunianya menimbulkan semacam kecenderungan yang khas dan tak bisa dipisahkan dari suatu ilmu yang sedang maju. Kecenderungan pertama ialah kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan untuk maju terus tanpa henti dan tanpa batas. Setelah suatu penemuan atau suatu perumusan tercapai, ketika itu juga tampaklah kemauan dan kemungkinan untuk maju selangkah lagi, entah itu menuju dasar yang lebih dalam ataupun ke arah cakramawala yang lebih luas. Kecenderungan kedua ialah hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia mikro maupun makro. Semakin suatu ilmu maju, semakin keinginan itu meningkat sampai memaksa, merajalela dan bahkan membabi buta. Ilmu pengetahuan dan hasilnya menjadi tidak manusiawi lagi, justru memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya.

Page 28: bahan ujian filsafat

Secara umum kegiatan keilmuan dan pengembangan ilmu terkait dengan dua pertimbangan, yaitu pertimbangan objektivitas dan pertimbangan nilai (kemanusiaan). Pertimbangan objektivitas mengharuskan ilmu pengetahuan menetapkan kebenaran sebagai landasan dan pola dasarnya. Sedang pertimbangan nilai (kemanusiaan) menunut ilmu pengetahuan untuk bekerja dengan pertimbangan pada tahap pra-ilmu dan sekaligus pasca-ilmu, artinya perlu mempertimbangkan asumsi dasar, latar belakang dan tujuan dari kegiatan tersebut.

Jika demikian, sebagai konsekuensi dari pertimbangan itu, para ilmuwan terpolarisasi menjadi dua, tak lain karena dua pertimbangan itu belum dapat berjalan seiring dan masih berat sebelah. Maka berdasarkan pertimbangan demikian, pandangan para ilmuwan dapat dibedakan menjadi 2 golongan[24].

Pertama, Para ilmuwan yang hanya menggunakan satu pertimbangan, yaitu nilai kebenaran dengan mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai metafisika yang lain, seperti nilai etika, kesusilaan dan kegunaannya akan sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Prinsip tentang ilmu pengetahuan yang bebas nilai akan menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya ukuran dan segala-galnya bagi seluruh kegiatan ilmiah, termasuk penentuan tujuan bagi ilmu pengetahuan. Beberapa pandangan ilmuwan yang berprinsip bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai, misalnya Jacob Bronowski  yang  berpendapat  bahwa  tujuan pokok  ilmu adalah  mencari  sesuatu   yang benar tentang dunia. Aktivitas ilmu diarahkan untuk melihat kebenaran, dan hal ini dinilai  dengan ukuran pembenaran fakta.  Tujuan pokok ilmu bukan pada penerapan, tujuan  ilmu ialah mencapai pemahaman-pemahaman terhadap sebab dan kaidah-kaidah tentang proses-proses ilmiah.

Para ilmuwan memang harus menaati ciri-ciri dan langkah-langkah dari metode ilmiahnya sehingga hasil dan tujuan yang ingin dicapainya juga tetap mencerminkan ciri-ciri pokoknya, yaitu bersifat empirik. Pada garis besarnya tujuan pokok ilmu pengetahuan adalah merupakan kaidah-kaidah baru atau penyempurnaan kaidah-kaidah lama tentang dunia kealaman. Peluang untuk memasukkan pertimbangan nilai-nilai lain di luar nilai kebenaran dalam kegiatan ilmiah memang tidak dimungkinkan. Saintisme macam ini adalah bentuk matang dari positivisme modern yang dirintis oleh Aguste Comte pada abad lalu, dan lingkungan Wina pada abad kita ini. Basis epistemologisnya adalah doktrin fenomenalisme, yaitu sebuah penegasan bahwa fondasi terakhir pengetahuan adalah pengalaman inderawi, maka segala omongan mengenai sesuatu yang melampaui pengalaman adalah mustahil, misalnya diskusi etika, metafisika, dan agama tentang “Allah”, “Hakekat”, “Kebaikan”, dan seterusnya.[25]

Archie J. Bahm seakan mengkhawatirkan bahwa ilmu pengetahuan telah ‘ditarik-tarik’ sehingga dilepaskan dari keterhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan dengan berdalih objektivitas[26]. Keprihatinan itu begitu tampak, dalam setiap komponen ilmu pengetahuan versinya. Dapat dilihat bagaimana ia menempatkan secara tidak terpisahkan komponen sikap ilmiah dan komponen pengaruh ilmu ke dalam enam komponen utama ilmu pengetahuan. Begitu juga sampai tampak jika dilihat pada komponen pertama (problem), bahwa sesuatu itu akan menjadi masalah jika ada perhatian kepadanya, selanjutnya masalah itu akan menjadi masalah ilmiah jika tentangnya ada kemampuan untuk berkomunikasi sebagai sikap dan metode ilmiah. Di sini menjadi jelas bahwa ‘masalah’ itu bukan sama sekali immune dari unsur-unsur subjektivitas ilmuwan.

Page 29: bahan ujian filsafat

Kedua, Para ilmuwan yang memandang sangat perlu memasukkan pertimbangan nilai-nilai etika, kesusilaan dan kegunaan untuk melengkapi pertimbangan nilai kebenaran, yang akhirnya sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus terkait dengan nilai. Tidak kurang dari seorang Francis Bacon berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Lebih lanjut dijelaskan mengenai tujuan ilmu bahwa tujuan yang sah dan senyatanya dari ilmu-ilmu adalah sumbangannya terhadap hidup manusia dengan ciptaan-ciptaan dan kekayaan baru. Sementara Daoed Joesoef[27] berpendapat, ilmu pengetahuan memang merupakan suatu kebenaran tersendiri, tetapi otonomi  ini  tidak dapat  diartikan  bahwa  ilmu  pengetahuan itu  bebas. Dengan kata lain  beberapa ilmuwan berpegangan pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus terkait dengan nilai. Gunar Myrdal, misalnya berpendapat bahwa ilmu ekonomi telah menjadi terlalu matematis, steril, dan tidak realistik. Objektivitas ilmiah yang secara  ketat nilainya hanya dipandang sebagai mitos, karena di balik teori-teori ekonomi tersebut terdapat nilai-nilai etika. Begitu pula Bacon berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial harus mempunyai komitmen pada usaha untuk membangun dunia dan merumuskan metode-metide yang cocok untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat yang mendesak.

Dengan demikian dapat diperoleh kejelasan bahwa hanya dengan menjaga jarak antara ilmu dan ideologi, maka pertimbangan etika bagi ilmu pengetahuan menjadi mungkin untuk dilaksanakan, yakni demi kepentingan masyarakat. Dalam lingkungan budaya dan kontelasi sosial politik tertentu, pertimbangan ilmu dapat saja berubah, tetapi tidak pada sistem ilmu itu sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa filsuf, termasuk Bahm sangat menaruh perhatian terhadap pentingnya pertimbangan nilai (kemanusiaan) bagi setiap kegiatan keilmuan dan pengembangan ilmu. Penjelasannya tentang setiap komponen ilmu, menunjukkan suatu konsistensi yang sangat tinggi dalam persoalan ini. Secara lebih eksplisit, terutama tampak pada komponen metode, yang memasukkan kesadaran akan adanya masalah sebagai langkah pertama yang berbeda dengan tradisi empiris—dimana observasi data sebagai langkah pertama yang memperlakukan fakta sebagai data yang ‘kering’ dari konteks nilai apapun. Pada komponen aktivitas yang menyadarkan bahwa aktivitas ilmu itu, kecuali ia merupakan kegiatan individu ilmuwan tertentu, tetapi juga merupakan kegiatan yang menyangkut masyarakat banyak, artinya ia merupakan usaha para komunitas ilmiah dan pihak-pihak lainnya. Begitu pula tampak pada pengaruh yang menjelaskan bahwa konsekuensi ilmu pengetahuan ada dua, yaitu berupa teknologi dan peradaban. Ilmu yang demikian inilah yang merupakan pengetahuan yang sebenarnya.

Memang harus diakui, perlu ada pembatasan, pada saat mana ilmu bebas nilai dan saat bagaimana terkait nilai. Pengembangan ilmu pengetahuan memerlukan dua pertimbangan, yaitu pertimbangan dari segi ilmu yang statis dan segi ilmu yang dinamis. Segi statis ilmu adalah ciri sistem yang tercermin dalam metode ilmiah, sedangkan segi dinamisnya adalah semacam pedoman, asas-asas yang perlu diperhatikan oleh para ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya. Metode ilmiah merupakan landasan tetap yang menjadi kerangka pokok atau pola dasarnya, sedangkan pertimbangan nilai-nilai menjadi latar belakang kegiatan ilmiah merupakan segi pertimbangan metafisika. Pertimbangan metafisika tersebut selain meliputi nilai kebenaran yang menjadi ukuran pokok dan bersifat tetap bagi ilmu pengetahuan, juga meliputi nilai kebaikan dan nilai keindahan kejiwaan.

Page 30: bahan ujian filsafat

Ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah mapan dan tanpa mengandung persoalan. Perbedaan pandangan antara ‘tradisi’ empiris (Inggris) dan pragmatis (Amerika), membawa konsekuensi cukup besar terhadap ‘konstruksi’ suatu ilmu pengetahuan.  Konsepsi tersebut dapat berbeda atau malah berlawanan dengan para ilmuwan yang lain, gejala yang oleh Thomas Kuhn dikatakan sebagai ‘anomali’ ilmu pengetahuan[28].

Dengan pegangan filsafat ilmu, para ilmuwan, akan mampu lebih mendalami bidang ilmunya sendiri. Begitu pula, para analis budaya akan jauh lebih memiliki kepercayaan diri akan pengetahuannya mengenai kajian budaya apabila filsafat ilmu yang terkait dengan kajian budaya itu sendiri dikuasainya secara baik dan benar. Lebih-lebih mereka yang sedang berada dalam tingkat pendidikan pasca sarjana. Penguasaan bidang ini menjadi makin penting karena pemegang atribut gelar magister dan doktor sudah pasti diyakini sebagai orang yang ahli dalam bidang yang dipelajarinya. Itulah sebabnya, tidak ada alasan bagi mahasiswa program pasca sarjana__apa pun bidang ilmu yang ditempuh__untuk tidak mempelajari filsafat ilmu. Hal ini berarti, sangat tepat apabila setiap program pendidikan pasca sarjana memasukkan mata kuliah filsafat ilmu ke dalam kurikulumnya untuk mengetahui hakekat ilmu, posisi ilmu dalam cakrawala pengetahuan manusia, serta peran ilmu bagi eksistensi manusia.

Kontekstualisasi   filsafat   ilmu  dengan   kondisi aktual  yang  sedang  kita   alami dewasa ini juga menjadi semakin dirasakan urgensinya. Hal itu seiring dengan perkembangan masyarakat yang sedang mengalami dekadensi dalam berbagai bidang kehidupan. Tokoh humanis dengan alat perjuangan: ahimsa, satyagraha dan swadeshi di Negeri Bharatawarsa-India, Mohandas K. Gandhi[29] pernah melukiskan kondisi tersebut sebagai: “politics without principle, wealth without work, commerce without morality, pleasure without conscience, education without character, science without humanity, and worship without sacrifice”.[30]

Dengan demikian sebagai “ilmunya ilmu pengetahuan” dan juga sebagai “ibu/ induknya ilmu pengetahuan”, filsafat ilmu merupakan dasar dan arah setiap bidang ilmu. Setiap bidang ilmu harus senantiasa bertumpu pada filsafat ilmu, sebab kalau tidak, ia tidak akan punya dasar atau landasan yang kokoh dan bahkan akan kehilangan arah terutama dalam pengembangan keilmuan selanjutnya. Koento Wibisono Siswomihardjo[31] menegaskan bahwa bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Jujun S. Suriasumantri[32] juga menyatakan secara substansial tiap jenis pengetahuan (knowledge) dibatasi dan dicirikan oleh hakekat apa yang dikaji, atau apa yang dicoba diketahuinya (“ontologi”), cara mendapatkan pengetahuan yang benar, atau bagaimana cara memeroses tubuh pengetahuan yang disusunnya (“epistemologi”) serta nilai kegunaan ilmu, atau nilai-nilai mana yang terkait dengan keberadaannya (“aksiologi”).

2. Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi

Ontologi ilmu meliputi apa hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being, sein, het zijn). Faham monisme yang terpecah menjadi idealisme dan spiritualisme, materilaisme, dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan “keyakinan” kita masing-masing

Page 31: bahan ujian filsafat

mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari[33]. Ontologi meliputi tiga segi ilmu, yaitu menurut prioritasnya, menurut nivo pemikirannya dan menurut objeknya. Dalam kaitan ini, ketiga sebutan, yaitu: ‘filsafat pertama’, ‘metafisika umum’, dan ‘ontologi’ dapat dipergunakan indiscrimination (tanpa dibedakan), kecuali sejauh ingin ditunjukkan dengan tepat salah satu segi tertentu.[34]

Epistemologi, atau filsafat pengetahuan, adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat atau skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[35] Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dnegan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal, pengalaman, intuisi merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model epistemologi seperti: rasionalisme, empirisisme, kritisme atau rasionalisme kritis, positivisme, dan fenomenologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologi beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, teori intersubjektif dan hermenetics.[36]

Aksiologi meliputi nilai-nilai (values)[37] yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine quanon yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.[38] Aksiologi mencakup nilai-nilai sebagaimana etika dan moral yang secara emperatif menjadi dasar dan arah pengalian, penelitian dan penerapan ilmu.

Dengan kata lain, ontologi membahas “apa” (what), epistemologi membahas “bagaimana” (how), dan aksiologi membahas “mengapa” (why). Apabila dihubungkan dengan konsep Bahm dalam artikelnya “What is ‘Science’ ?”[39] maka ontologi dari ilmu adalah problems, epistemologinya adalah methods, dan aksiologinya adalah attitudes. Bagan 1[40] berikut menunjukkan bahwa filsafat ilmu memang terdiri atas tiang-tiang penyangga, yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: ontologi, epistemologi dan aksiologi, yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan “apa” (what), “bagaimana” (how), dan “mengapa” (why).

3.  Politik dalam Perspektif Filsafat Ilmu dan Kajian Budaya

Politik sesungguhnya sangat dekat dengan kajian budaya, bahkan bisa jadi lebih dekat ketimbang dengan ilmu politik sendiri. Sejarah perkembangan kajian budaya adalah sejarah perlawanan terhadap dominasi kekuasaan sebuah tradisi ilmu pengetahuan. Kajian budaya muncul dari pemikiran sekelompok orang yang meyakini bahwa bangun teori adalah sebuah praktek politik sehari hari-manusia[41] . Ilmu pengetahuan bagi kajian budaya selanjutnya adalah sesuatu yang tidak netral, objektif, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan posisi tempat seseorang berbicara, kepada siapa sasaran pembicaraannya dan situasi tertentu yang melingkari.

Page 32: bahan ujian filsafat

Politik yang dirujuk oleh kajian budaya bukan politik sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu politik[42]. Operasi kekuasaan dalam ilmu politik telah tergumpal dalam persoalan mencapai sistem demokrasi yang ideal. Impian menuju demokrasi mewujud dalam kajian tentang aktor-aktor politik (lembaga dan atau individu), kualitas lembaga kepresidenan,lembaga perwakilan, partai politik, atau kualitas warganegara seperti elit dan warganegara biasa. Atau juga dalam bentuk kajian tentang produk-produk kebijakan, dan lain-lain. Kekuasaan telah tersistematisasi dalam wilayah-wilayah yang sangat definitif.

Selanjutnya, pendukung penting bagi keberhasilan demokrasi adalah sebuah kebudayaan politik, satu kajian khusus dalam ilmu politik. Kebudayaan bermakna sebagai orientasi, nilai dan seperangkat kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh warganegara. Dari sini tampak jelas bahwa kebudayaan bagi ilmu politik adalah suatu produk jadi, given. Political culture sebagai sebuah fokus kajian makin kukuh setelah dua ilmuwan terkenal dari Universitas Chicago melakukan penelitian di lima negara (Amerika, Inggris, Jerman, Italia dan Meksiko). Karya yang terbit pada 1960-an dengan judul The Civic Culture sampai sekarang masih menjadi rujuan utama pembahasan kebudayaan politik[43].

Politiknya kajian budaya sama sekali berbeda dengan ilmu politik mainstream ini. Kajian budaya justru ingin menelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk, operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak menopangnya, dan seterusnya. Politik dan budaya menjadi hancur-lebur batasnya dalam kajian budaya. Suatu hal yang justru dipertahankan dalam ilmu politik[44].

Karakteristik ilmu politik mainstream yang demikian tidak bisa dlepaskan dari sejarah perkembangan disiplin sebelum perang dunia II[45]. Periode itu merupakan masa pembentukan identitas politik sebagai sebuah disiplin keilmuan. Sebagai ilmu yang lahir di tengah-tengah dominasi ilmu alam, pertanyaan bernada gugatan yang meragukan eksistensi keilmuan sangat mengganggu dan menggelisahkan. Semangat zaman yang serba naturalis  kala itu  menjadi dasar  interogasi  disiplin  ini  terhadap keilmuan lainnya. Ilmu politik dalam pandangan tradisi tersebut, khususnya dari kalangan ilmuwan sosial kala itu, dianggap bukanlah ilmu yang sebenar-benarnya dengan alasan tiadanya subject matters yang jelas. Ilmu politik hanya memakai disiplin ilmu lain untuk menjelaskan fenomena kekuasaan.

Respons para pengusung ilmu politik kala itu adalah mengikuti logika keilmiahan saat itu. Jadilah politik sebuah ilmu dengan meminjam tradisi positivistik dalam melihat fenomena politik sekaligus untuk membedakan dirinya dengan periode sebelumnya yang dianggap terlalu di atas langit, yang melihat politik sebagai idealisme-idealisme kosong. Semua fenomena dikuantifikasikan, terukur dan karenanya terprediksi semua kemungkinannya, khususnya terhadap perilaku individu. Tradisi ini dikenal sebagai tradisi behavioralis, atau dikenal juga sebagai mazhab Chicago, tempat kajian dilakukan. Berbagai kritik terhadap tradisi ini muncul silih berganti. Kritik ini direspons dengan terus memperbaiki perangkat metode tanpa melepaskan dasar keinginan menjadikan ilmu politik sebagai ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah[46].

Page 33: bahan ujian filsafat

Kritik terhadap cara pandang ilmuwan politik yang melihat seperangkat nilai hanya sebatas produk adalah Antonio Gramsci[47]. Lewat konsepsi hegemoni, Gramsci sesungguhnya ingin mengatakan bahwa ada operasi kekuasaan yang berlangsung baik dalam proses maupun produk sebuah kebudayaan politik, karenanya membatasi kajian politik hanya sebatas pada produk akhir sangat mereduksi kompleksitas fenomena politik. Kritik Gramsci dan ilmuwan politik di kampus-kampus di Amerika sendiri mulai menimbulkan wacana-wacana tandingan dalam bidang ini.

Sampai saat ini kajian politik di Indonesia masih didominasi oleh tradisi behavioralis/ logico-positivisme. Hal ini bisa dipahami dengan melihat kenyataan puluhan mahasiswa yang belajar di universitas-universitas bertradisi behavioralis di Amerika membawa pulang main set behavioralis setidaknya dalam tesis atau disertasi mereka. Akhirnya studi ilmu politik di kampus-kampus utama di Indonesia terwarnai habis-habisan oleh tradisi ini sampai sekarang. Kurikulum-kurikulum jurusan ilmu politik masih dalam makna politik dalam kerangka klasik untuk tidak menyebutnya kuno.

Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari target pendidikan untuk mahasiswa strata satu di negeri ini. Target bahwa mahasiswa dapat berpikir logis dan fokus pada bidang yang dikajinya membuat peluang melakukan perkawinan-perkawinan antara berbagai pendekatan menjadi sangat minim. Kajian budaya dengan sendirinya keluar dari peluang pilihan. Tujuan pendidikan  seperti itu sesungguhnya telah merugikan kemajuan ilmu politik di Indonesia hampir separuh abad. Perkembangan studi disiplin yang sama tidak bisa begitu saja direspons di dalam negeri sendiri, termasuk perkembangan fenomena politik yang sangat pesat ditandai dengan kemunculan studi-studi seperti feminimisme. Fenomena politik kontemporer ini bukan tidak dialami di negeri ini. Perselisihan di daerah berbasis etnis dan mewujud dalam gerakan etnonasionalisme berlangsung cukup merata di tanah air. Dan sangat tidak memadai menjelaskan hal ini dari tradisi behavioralis, mengingat kompleksnya persoalan ini karena menyangkut pula asal-usul sosial.

Pada saat yang sama karya monumental rezim Orde Baru yang otoritarian selama lebih dari 30 tahun telah tidak hanya membatasi partisipasi warga negara melainkan juga membelasuknya kekuasaan ke dalam ruang-ruang yang tak terbayangkan sebelumnya. Politik masuk  ke tempat  tidur  karena  program  Keluarga  Berencana  yang mewajibkan berapa banyak anak yang boleh dimiliki oleh pasangan suami istri. Politik masuk dapur dan menggelisahkan ibu-ibu muslim karena label halal sebuah produk bumbu masak diragukan keabsahannya, akibat inkonsistensi dalam lembaga sertifikasi produk halal. Fenomena keseharian seperti itu sekali lagi tidak memadai kalau masih mau dilihat dengan cara yang lama.

Kalau yang berlangsung di kampus sedemikian tertinggalnya, kajian ilmu politik lebih berwarna-warni di luar kampus. Karya-karya ahli Indonesia di luar negeri sejak lama telah melepaskan diri dari landasan-landasan lama. Salah satunya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh oleh Lembaga Studi Realino (LSR), yang dibukukan dalam seri penerbitannya. Karya-karya LSR menulis fenomena politik dengan cara yang segar dan cukup kontributif meramaikan wacana. Salah satu buku tersebut bermaksud menggugat peran dwi fungsi ABRI, sama dengan banyaknya karya penelitian lembaga penelitian nomor satu di Indonesia yakni LIPI. Cara kajian ini sangat khas, ia memanfaatkan kajian semiotika yang menarik dan jelas basis argumentasinya. Porsi

Page 34: bahan ujian filsafat

sebagian besar perhatian tidak diberikan pada ABRI sebagai lembaga an sich yang sama kuatnya dengan negara Orde Baru, tapi pada pelacakan masyarakat melihat hal ini. Pada bagaimana siasat massa rakyat terhadap dominasi ini.

Studi politik Indonesia yang didominasi oleh kajian-kajian klasik politik tidak bisa dilepaskan dari hiruk-pikuk politik nasional. Jauh lebih menantang dan laku sebagai komoditas untuk menebak-nebak susunan kabinet Gotong Royong Megawati ketimbang mengurusi bagaimana siasat massa rakyat NU dalam menerima kekalahan Abdurrahman Wahid yang telah mereka anggap sebagai wakil Tuhan di dunia.

Dalam keterbatasan ini ilmu politik dapat bertemu dengan kajian budaya. Ilmu politik di Indonesia perlu insyaf dengan melebarkan makna kekuasaan di luar pagar-pagar format kelembagaan. Di sisi lain kajian budaya bisa lebih berdamai akan keperluan praktis studi politik atas keperluan perangkat kerja yang terinci. Bukan demi mereproduksi gaya berpikir positivistik, melainkan demi mengikuti semangat kehati-hatian tradisi ini yang telah teruji. Dan tentu saja demi membuka selebar-lebarnya ruang pluralitas dalam pendekatan ilmu politik di negeri sendiri.

Keterkaitan politik dan kajian budaya tersebut dengan sendirinya juga memerlukan pemahaman hakekat masing-masing ilmu dan kajian tersebut. Poespoprodjo[48], menyatakan dengan filsafat ilmu akan dapat dipahami perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Hal itu berarti, dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa, sehingga seorang ilmuwan politik dan pengkaji budaya dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

4.  Pemerintahan dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Sebagai sebuah ilmu yang multidimensional, pemerintahan__sebagaimana halnya  politik__juga masih menyimpan aneka problema, terutama dalam upaya penentuan ontologis, epistemologis dan aksiologis keilmuannya.

Dari aspek ontologis ilmu pemerintahan, baik menyangkut definisi maupun objek material dan formal, belum dijumpai adanya kesepahaman. Meskipun demikian ada beberapa titik persamaan mendasar  di kalangan  ilmuwan  pemerintahan,  yaitu: Pertama, bahwa ilmu pemerintahan itu ada dan sedang berkembang ke arah kemandirian. Kedua, adanya berbagai paradigma pemerintahan merupakan tanda bahwa ilmu pemerintahan bersifat teoritik konseptual dan tidak semata-mata praktis profesional. Dengan demikian, pemerintahan bukanlah semata-mata keterampilan belaka.

Realitas yang ada sampai saat ini mengisyaratkan bahwa perkembangan ilmu pemerintahan di tanah air masih dalam proses pemantapan posisinya di dalam keluarga besar ilmu-ilmu sosial. Tidak seperti ilmu-ilmu sosial yang lebih dulu berkembang, seperti psikologi, ekonomi dan sosiologi, pemerintahan masih butuh waktu panjang untuk bisa memantapkan dirinya menjadi “normal science” dalam terminologi Thomas Kuhn.

Page 35: bahan ujian filsafat

Ilmu pemerintahan disamping perlu mengembangkan konsep-konsep metodologi dan teori yang membedakannya dari cabang-cabang ilmu sosial lainnya, juga ditantang agar secara intensif menggarap berbagai unsur yang relevan dari ilmu-ilmu sosial untuk memperkaya bidang kajiannya. Munculnya istilah-istilah seperti: system analysis, check and balances, boundary maintenance, demand and support, input-output, black box, factor analysis, unit of analysis dan sejumlah istilah-istilah lainnya bisa jadi adalah manifestasi absorpsi oleh ilmu pemerintahan, di samping tentunya karena dampak behavioralisme.

Dari perspektif ini terlihat bahwa ilmu pemerintahan bisa dikategorikan sebagai suatu disiplin yang bersifat general atau multidimensional. Kenyataan ini menjadi sangat paralel dengan mainstream kajian budaya yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Kesamaan mainsteram ini terutama tampak dalam focus of interest ilmu pemerintahan, yang setidak-tidaknya juga harus mencakup dimensi-dimensi filsafat, hukum, politik, sosiologi, administrasi, sejarah, kebudayaan, ekonomi, kepemimpinan dan tentu kajian budaya sendiri. Penjabaran ke dalam dimensi-dimensi keilmuan yang merupakan inti dari kajian ilmu pemerintahan ke dalam kurikulum pengajaran, akan menghasilkan subjek-subjek pokok yang berkenaan dengan: Pengantar Ilmu Pemerintahan, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Filsafat Pemerintahan, Hukum Tata Pemerintahan, Politik Pemerintahan, Sosiologi Pemerintahan, Administrasi Pemerintahan, Sejarah Pemerintahan, Budaya Pemerintahan, Kepemimpinan dalam Pemerintahan dan Kajian budaya Pemerintahan.

Luasnya dimensi-dimensi yang tercakup dalam disiplin ilmu ini akhirnya banyak menimbulkan masalah kefilsafatilmuan, khususnya dalam upaya penentuan epistemologis dan aksiologisnya. Persoalan pertama berkaitan dengan penentuan batas-batas ilmu pemerintahan (termasuk fokus dan lokusnya). Sedangkan persoalan kedua lebih mengarah pada nilai guna atau segi kemanfatan keilmuan.

Fungsi ilmu setidaknya ada tiga, yaitu mendeskripsi, memprediksi serta mengatur gejala alam/ sosial. Supaya ketiga fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan metode yang tepat dan valid. Ada tiga metode keilmuan yang biasanya dipergunakan dalam khasanah perkembangan ilmu penegtahuan, yaitu metode rasional, metode empirik dan metode gabungan. Metode ilmu sangat bergantung pada objek material dan formal dari ilmu yang bersangkutan. Objek material ilmu pemerintahan adalah negara, sama seperti objek material ilmu politik atau ilmu administrasi negara. Sedangkan objek formal ilmu pemerintahan sampai dengan saat ini masih menjadi perbincangan.

Dalam laporan Temu Ilmiah Pengkajian Ilmu Pemerintahan (1985) dikemukakan beberapa pandangan mengenai objek formal ilmu pemerintahan. Soemendar Soerjosoedarmo berpendapat bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari kegiatan-kegiatan kenegaraan dalam rangka memenuhi kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Sedangkan Syafiie[49] menyatakan bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan koordinasi dan kemampuan memimpin bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam hubungan Pusat dan Daerah antar lembaga serta antara yang memerintah dengan yang diperintah.

Namun, jauh sebelum itu, Mariun[50] sudah menyatakan bahwa pemerintahan menunjuk kepada kegiatan atau fungsi-fungsi negara. Pemerintahan dalam arti luas menunjuk kepada segala

Page 36: bahan ujian filsafat

kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit, pemerintahan menunjuk hanya kepada kegiatan eksekutif semata.

Dari bagan di atas, terlihat bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah keseluruhan kegiatan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemerintahan dalam arti sempit hanya menunjuk kepada kegiatan eksekutif, dalam hal ini kegiatan presiden dan para menterinya. Dari bagan itu juga dapat dipahami bahwa sumber kegiatan presiden adalah program yang dibuat dalam kampanye, atau dalam sistem terdahulu GBHN yang merupakan cerminan dari aspirasi rakyat yang disampaikan melalui partai politik.

Tidak seperti ilmu-ilmu sosial yang lain, sampai dengan dekade 1990-an, ilmu pemerintahan di  Indonesia masih mengalami krisis  epistemologis dan identitas[52]. Namun begitu, sebagai satu solusi awal dari problema ini diajukan konstatasi bahwa objek formal dari ilmu pemerintahan adalah pemerintahan suatu negara. Pemerintahan hanya merupakan satu “field” atau bagian dari ilmu politik, seperti halnya ilmu administrasi negara, hubungan internasional dan yang lainnya.

Kenyataan ini tentu berbeda jauh dengan situasi sejak awal perkembangan ilmu pemerintahan di UGM yang sangat dipengaruhi oleh Mazhab Continental yang menyatakan bahwa ilmu pemerintahan berhubungan dengan: pertama,  kegiatan yang menyangkut politik pengambilan keputusan dalam negara (the politics of policy making). Kedua, pelaksanaan dari kebijakan itu sendiri (policy execution). Dengan kata lain, ilmu pemerintahan diidentikkan dengan ilmu politik. Pandangan ini sudah tentu tidak sesuai dengan realitas, karena ilmu pemerintahan hanyalah salah satu jurusan (field) yang dikembangkan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Dari pemahaman posisi itu, sasaran utama dan objek formal dari ilmu pemerintahan dengan sendirinya adalah pemerintahan Indonesia dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Dalam studi pemerintahan bisa dibahas masalah eksekutif, baik pada tingkat “presidency” maupun pada tingkat lokal. Demikian juga bisa dikaji persoalan “legislatures” terutama yang berkaitan dengan sejarah,kedudukan, fungsi serta peranan lembaga tersebut. Pemahaman terhadap lembaga MA, MPR, TNI, masalah kepartaian dan pemilu, perilaku politik, sosialisasi politik, politik pembuatan kebijakan, analisis dan implementasi serta evaluasi kebijakan yang ditempuh. Jadi, ruang lingkup ilmu pemerintahan adalah “hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama”.

Dari berbagai pendapat serta pandangan sebagaimana diungkapkan di atas masih terlihat bahwa belum ada kesamaan pendapat mengenai objek formal ilmu pemerintahan yang memang sangat luas bidang cakupannya. Masalah ini tentu saja pada taraf tertentu akan mempengaruhi tidak saja proses pembuatan silabi dan kurikulum untuk pengajaran ilmu tersebut, tetapi juga perkembangan keilmuan secara keseluruhan.

Berkaitan dengan aksiologi atau nilai gunanya, ilmu pemerintahan memiliki nilai guna/ fungsi ganda yakni fungsi akademik (penemuan dan pengambangan keilmuan) dan fungsi non-akademik[53]. Penerapan fungsi yang pertama telah dimulai sejak akhir tahun 1940-an bersamaan dengan mulai diterapkannya pola UGM dalam pengajaran ilmu sosial dan politik. Pola UGM berbeda dengan pola UI. Pertama, studi hubungan internasional dislenggarakan oleh

Page 37: bahan ujian filsafat

satu jurusan yang dinamakan Jurusan Hubungan Internasional yang merupakan salah satu dari enam jurusan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Pola UGM mempunyai jurusan Ilmu Pemerintahan yang sedikit berbeda dengan sub-departemen Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pola UI. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa Jurusan Ilmu Pemerintahan juga menawarkan beberapa mata kuliah yang erat kaitannya dengan Ilmu Administrasi. Beberapa diantaranya adalah Teori Organisasi dan Manajemen Pemerintahan, Kebijakan Pemerintah, Analisis Kebijakan Pemerintah. Mata kuliah-mata kuliah seperti itu tidak ditawarkan oleh Departemen Ilmu Politik.

Masuknya beberapa mata kuliah yang biasanya disajikan oleh Jurusan Administrasi dalam pola UGM dapat dimengerti jika disadari tujuan sebenarnya dari pendirian jurusan Ilmu Pemerintahan pada awalnya yakni menghasilkan para pegawai negeri, pejabat urusan luar negeri dan penerangan yang sangat dibutuhkan pada periode awal awal kemerdekaan. Pola UGM itu selanjutnya diikuti oleh beberapa universitas di Jawa maupun luar di Jawa. Nama “ilmu politik” tidak digunakan baik untuk nama jurusan ataupun bagiannya. Begitu pula mata kuliah-mata kuliah Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Hubungan Internasional tidak mempunyai hubungan yang sangat erat, walaupun kenyataannya bahwa keduanya dapat digolongkan sebagai bidang (field) ilmu politik.

Data terakhir menunjukkan adanya upaya mengembangkan ilmu pemerintahan, baik melalui jalur akademik maupun jalur profesional. Jalur pertama dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga ilmuwan pada jenjang S1, S2, atau S3 dari universtas-universitas. Sedangkan jalur kedua dipersiapkan untuk menelorkan tenaga-tenaga profesional dari akademi dari Institut Ilmu Pemerintahan (sekarang Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Dengan demikian, dari fungsi akademik ilmu pemerintahan secara pelan tapi pasti akan bisa mengejar ketertinggalannya dari pesatnya pengembangan keilmuan dari ilmu-ilmu sosial yang lain.

Penerapan fungsi kedua, fungsi non-akademik bisa dilakukan dengan secara bersama-sama menanamkan nilai-nilai yang menyangkut kehidupan kenegaraan di Indonesia, seperti nilai demokrasi, nasionalisme dan nilai-nilai yang akan membuat insan anak didik mempunyai kapasitas dalam kemampuan politik yang lebih baik dari kebanyakan warga lainnya. Nilai demokrasi, misalnya merupakan sesuatu yang sangat utama dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Seseorang yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu pemerintahan, dengan demikian dituntut di samping memiliki jiwa dan semangat demokrasi juga harus bisa mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, salah satu tujuan penting ilmu pemerintahan__disamping tujuan pengembangan keilmuannya__juga menyangkut “civic mission” dari ilmu pemerintahan itu sendiri.

Apabila dalam dua dekade lalu, kajian pemerintahan masih memahami negara sebagai “wilayah dengan batas kedaulatan tertentu yang berhadapan dengan wilayah lain”, maka sekarang pemahaman negara sebagai “satu entitas yang bisa memiliki kepentingan yang berbeda-beda dengan warganya “ mulai mengedepan. Pergeseran pemahaman ini bersamaan dengan munculnya kajian tentang daily politics, seperti governance, interdependensi, trust, capacity building, deliberation bersandingan dengan kosa kata klasik ilmu ini seperti “negara”, “pemilu”, “pemerintah”, “otoritas”, “legitimasi”, “kedaulatan”, dan lain-lain[54]. Kemunculan kosa kata

Page 38: bahan ujian filsafat

dan kajian baru ini kemudian dilembagakan dalam studi-studi kontemporer yang menjadi varian baru ilmu pemerintahan secara umum dan kajian demokrasi pada khususnya.

Konsep good governance misalnya, menjadi begitu populer seiring penggunaan istilah ini oleh badan-badan donor internasional, yang sekarang diakui sebagai “manifesto politik” baru. Bank Dunia misalnya sangat percaya bahwa di negara-negara  Dunia Ketiga, perilaku perburuan rente maupun korupsi kalangan elite justru dibanjiri oleh aliran utang luar negeri, yang menyebabkan memburuknya efektivitas pemerintahan. Analisis Bank Dunia menekankan pentingnya program good governance, yang di dalamnya mencakup kebutuhan akan kepastian hukum, pers yang bebas, penghormatan pada HAM, dan keterlibatan warga negara dalam organisasi-oragnisasi sukarela. Program good governance itu memusatkan perhatian pada reduksi besaran organisasi birokrasi pemerintah; privatisasi badan-badan milik negara; dan perbaikan administrasi bantuan keuangan.

Selanjutnya UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik good governance, seperti: adanya partisipasi, transparansi, akuntabel, efektif dan efisien. Selain itu mengembangkan kepastian hukum (rule of law), responsif, consensus oriented, serta equity and inclusiveness. Karakteristik ini bisa ditambah lagi dengan yang diberikan oleh lembaga-lembaga lain yang berkompeten.

Namun relevansi pemaknaan good governance di Indonesia, sebagaimana diakui Pratikno[55] (2004) cenderung ultraliberal dengan mendegradasi peran negara secara signifikan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Mengatasi hal itu paling tidak diperlukan peran dan kapasitas negara yang tepat untuk menjamin kesempatan yang setara, relasi yang berkeadilan, serta demokratis. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan democratic gavernance. Penerapan democratic governance diharapkan akan lebih mampu mengisi ruang-ruang kelemahan good governance sebelumnya dengan tidak hanya mengharap inisiatif aktor negara, melainkan juga mampu meningkatkan inisiatif publik dan terwujudnya partisipasi pada proses transisi demokrasi di Indonesia.

Dalam proses perkembangan kajian budaya politik/ pemerintahan yang pesat seperti itu, filsafat ilmu dengan komponen-komponen yang menjadi tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, akan dapat mengarahkan pada strategi pengembangan kajian budaya politik dan pemerintahan seperti tersebut di atas. Strategi tersebut tidak hanya menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan kajian budaya politik/ pemerintahan, akan tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia[56].

Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari kajian budaya politik/ pemerintahan, bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lainnya. Pada setiap perenungan yang mendasar tersebut, mau tidak mau akan mengantarkan kembali Sang ‘Anak’ kajian budaya politik/ pemerintahan untuk kembali menemui Sang ‘Ibu’ filsafat guna  menanyakan berbagai hal mendasar agar mampu melaksanakan dan mengembangkan kaidah-kaidah keilmuannya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan.

5.  Kesimpulan

Page 39: bahan ujian filsafat

5.1 Filsafat ilmu memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan keilmuan. Filsafat ilmu merupakan refleksi secara filsafati akan hakekat ilmu yang tidak akan mengenal titik henti dalam menuju sasaran yang hendak dicapai, yaitu kebenaran dan kenyataan. Memahami filsafat ilmu berarti memahami seluk-beluk ilmu pengetahuan hingga segi-segi dan sendi-sendinya yang paling mendasar, untuk dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang lainnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa melalui upaya filsafat ilmu, seseorang dapat meninjau dasar dan kedalaman ilmu hingga ke hakekatnya.

5.2  Bidang garapan filsafat ilmu terutama komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi juga dapat dipergunakan sebagai perspektif dalam melihat berbagai bidang ilmu.

5.4 Dalam bidang politik dan pemerintahan yang begitu pesat perkembangannya sekarang ini, filsafat ilmu dengan komponen-komponen ontologi, epistemologi dan aksiologinya, dapat ikut mengarahkan strategi pengembangannya. Strateginya tidak hanya menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan bidang politik dan pemerintahan, akan tetapi juga arti dan maknanya bagi kehidupan umat manusia.

6. Saran-saran

6.1 Pentingnya pemahaman filsafat ilmu perlu disosialisasikan sejak awal kepada mahasiswa ilmu politik dan pemerintahan agar mereka lebih terbuka wawasan ilmiahnya, bahwasanya filsafat, ilmu pengetahuan dan politik adalah saling terkait dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

6.2 Memasukkan mata kuliah filsafat ilmu ke dalam kurikulum sudah tepat dalam kerangka peningkatan mutu akademik. Hanya saja, cakupan materi filsafat ilmu yang sedemikian luas tidak cukup hanya ‘dihargai’ dengan 2 SKS. Penambahan SKS diperlukan (misalnya jadi 3 SKS) guna memberikan lebih banyak peluang bagi para mahasiswa mengetahui hakekat dan posisi ilmu politik dan pemerintahan dalam cakrawala pengetahuan manusia, serta peranannya bagi eksistensi manusia.

6.3 Untuk lebih menarik minat khalayak dalam mempelajari filsafat ilmu, serta untuk menghilangkan ‘trauma’ bahwa bidang ini adalah sesuatu yang sulit dipelajari, maka penulisan/ publikasi buku-buku tentang filsafat ilmu bisa diusahakan lebih populer serta bersifat elementer agar tidak terkesan ‘berat’ dan lebih mudah ‘dicerna’.

DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel A., dan Verba, Sidney, 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Bina Aksara, Jakarta

Bahm, Archie J., 1980. What is “Science”? dalam My Axiology: The Science of Values, 44-49 World Books, Albuquerque, New Mexico.

Page 40: bahan ujian filsafat

_____________, 2003. Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Baker, Anton, 1992. Ontologi Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Budiardjo, Miriam, 1991. Dasar-dasar Ilmu Politik, Penerbit PT Gramedia, Jakarta

Fay, Brian (terj. M. Muhith), 2002, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta.

Frondizi, Risieri (terjemahan, Cuk Ananta Wijaya), 2001.Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka Pelajar, Yogyakart

Gaffar, Afan, Dua Tradisi Keilmuan, 1990. Diktat Kuliah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM

____________, 1991.“Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pengembangan Program Studi Ilmu Pemerintahan di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Posisi Ilmu Pemerintahan dalam Sistem Pendidikan Nasional, IIP-Depdagri, Jakarta 20-21 Oktobe

Gallagher, Kenneth T., (disadur P. Hardono Hadi), 1994, Epistemologis (Filsafat Pengetahuan), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Gandhi, Mahatma, 1985. Gandhi Sebuah Otobiografi: Kisah Eksprimen-eksprimenku dalam Mencari Kebenaran (Penerj. Gedong Bagoes Oka), Kata Pengantar Profesor Dr. Syed Abid Husain, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.

Hardiman, Budi, F.,2003. Melalui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Hatta, Mohammad, 1952. Alam Fikiran Yunani, Jilid I dan II, Tinta Mas Kramat 60, cetakan IV, Jakarta

Imawan, Riswandha, 1991.,“ Perkembangan dan Prospek Program Studi Jurusan Ilmu Pemerintahan pada Perguruan Tinggi di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Posisi Ilmu Pemerintahan dalam Sistem Pendidikan Nasional, IIP-Depdagri, Jakarta 20-21 Oktobe

Joesoef, Daoed., “Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan” makalah kunci disampaikan dalam forum Seminar Nasional Pancasila Sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu, diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM, 3-4 September 1986

Kleden, Ignas, 2002, “Konflik Etnis atau Konflik Politik ?” dalam Tempo Edisi Khsus 6 Januari 20

Page 41: bahan ujian filsafat

Koenig, Matthias, Democratic Governance in Multicultural Societies: Social Conditions for the Implementation of International Human Rights Through Multicultural Policies, Management of Social Transformations – MOST Discussion Paper No. 30 http://scout.cs.wisc.edu/report/socsci/current/index.html, 23 Februari 1999 Volume 2, Number 11

Kuhn, Thomas, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains,1989 (penerj.Tjun Surjaman), Penerbit Remadja Karya CV, Bandun

Lasiyo dan Yuwono, 1985. Pengantar Filsafat, Penerbit Liberty, Yogyakarta

Mariun, 1978. Pengantar Ilmu Pemerintahan, Badan Penerbitan Fisipol UGM, Yogyakart

Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Peursen, C.A. Van, 1989, Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

Pratikno, “Dari Good Governance Menuju Just and Democratic Governance”, Paper dipresentasikan pada Seminar Nasional Governance in Practices: Belajar dari Pengalaman di Indonesia, diselenggarakan oleh Panitia Dies Fisipol UGM ke 49, Yogyakarta, 25 September 200

Qadir, C.A. (Peny.), 1988. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Kata Pengantar oleh Jujun S. Suriasumantri, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Savirani, Amalinda, Dari Negara ke Coca Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia (serial online), Oct-Des.,[cited 2004 Nov.4]. Available from: URL: http:/www.kunci/eid.htm

__________________, “Ilmu Pemerintahan Masa Depan: Mengadopsi Politik Pinggiran”, dalam Jurnal Transformasi Volume 1, Nomor 1, September 2003.

Simon, Roger, 2004. (penerj.Kamdani dan Himam Baihaqi), Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sularto,ST., “’Ide-ide Menerobos’ Dr. M. Sastrapratedja”, dalam Kompas, Sabtu 15 Maret 2003.

Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, Penerbit PT Grasindo, Jakarta

Suriasumantri, Jujun S., 1985. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.

The Liang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu, Cet. Ke-4, Penerbit Liberty Yogyakarta

Page 42: bahan ujian filsafat

Thoyibi, M. (ed), 1998., Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, Muhammadyah University Press, Surakarta

Verhaak, C. dan Imam, Hayono R., Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991

Wibisono, S., Koento., 2004. “Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya”, Paper Pelengkap Materi Kuliah Filsafat Ilmu Program S3 Kajian Budaya Unud, Denpasar.

__________________, Silabus Mata Kuliah Filsafat Ilmu untuk Program Pasca Sarjana, Tahun Ajaran 2004/ 2005

__________________, 1999, “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”, Makalah, Ditjen Dikti Depdikbud – Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.

__________________, “Filsafat Ilmu, Sejarah Kelahiran serta Perkembangannya” dalam M. Thoyibi (ed), 1998., Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, Muhammadyah University Press, Surakarta

__________________,dkk.,1997., Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara, Klaten

____________________., 1996., Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Cet.Ke-2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

__________________, 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta

Yudha Triguna, IBG dan Inten Mayuni, AA, “Memahami Akar Intelektual Ilmu Sosial: Perspektif Filsafat Ilmu Pengetahuan”, dalam Jurnal Sarathi Volume 9 Nomor 2 Juni 2002.

[1] Materi Kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Politik/ Pemerintahan pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa. Blog URL:http://ilmupemerintahan.wordpress.com.

[2] Dosen  Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa.

Blog URL:http://wgsuacana.wordpress.com.

[3] Lasiyo dan Yuwono, 1985. Pengantar Filsafat, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm. 1.

[4] Hatta, 1952. Alam Fikiran Yunani, Jilid I, Tinta Mas Kramat 60, cetakan IV, Jakarta, hlm. 3

Page 43: bahan ujian filsafat

[5] Wibisono, 2004 b, op.cit., hlm. 4-5.

[6] Lasiyo dan Yuwono, op.cit., hlm. 17-18. [6] Bahm, 2003. Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 17.

[7] Bahm, 2003. Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 17.

[8] Peursen, 1989., Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, (penerj J.Drost), Penerbit PT Gramedia Jakarta, hlm. 4.

[9] Wibisono., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, hlm.3. Dalam Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara, Klaten, hlm. 6-7.

[10] Dalam Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara, Klaten, hlm. 6-7.

[11] Dalam The Liang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu, Cet. Ke-4, Penerbit Liberty Yogyakarta, hlm.29

[12] Wibisono S. dkk., 1997., op.cit., hlm 29

[13] The Liang Gie., 1999., op.cit.,hlm. 93.

[14] Wibisono, “Filsafat Ilmu, Sejarah Kelahiran serta Perkembangannya” dalam M. Thoyibi (ed), 1998., Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, Muhammadyah University Press, Surakarta.hlm 16-25.

[15] Loc.cit.

[16] Wibisono, Silabus Mata Kuliah Filsafat Ilmu untuk Program Pasca Sarjana, Tahun Ajaran 2004/ 2005

[17] Bahm., 1980., “What Is Science”, Reprinted from My Axiology; The Science Of Values; 44-49, World Books, Albuquerqe, New Mexico, hlm.1

[18] Wibisono., 1984., op.cit. hlm. 14.

[19] Dalam loc.cit., hlm 16.

[20] Koento Wibisono, 2004 a, op.cit., hlm 13.

[21] Bahm., 1980., “What Is Science”, Reprinted from My Axiology; The Science Of Values; 44-49, World Books, Albuquerqe, New Mexico, hlm 1-36.

Page 44: bahan ujian filsafat

[22] Bahm, loc.cit., hlm.30-34.

[23] Verhaak dan Imam, 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

[24] Pembahasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam  Peursen., 1989., op.cit, hlm.4-5

[25] Hardiman, 2003, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 174.

[26] Bahm, op.cit., hlm. 1

[27] Joesoef, “Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan” makalah kunci disampaikan dalam forum seminar nasional Pancasila Sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu, diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM, 3-4 September 1986.

[28] Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains,1989 (penerj.Tjun Surjaman), Penerbit Remadja Karya CV, Bandung, hlm. 57.

[29] Kisah perjalanan hidup Sang Mahatma dituangkan dalam Gandhi Sebuah Otobiografi: Kisah Eksprimen-eksprimenku dalam Mencari Kebenaran (Penerj. Gedong Bagoes Oka), Kata Pengantar Profesor Dr. Syed Abid Husain, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1985

[30] Sastrapratedja dalam  Wibisono, 2004 b, op.cit., hlm. 6.

[31] Wibisono, 2004 a, op.cit., hlm 12.

[32] Suriasumantri, op.cit., hlm. 63-229.

[33] Wibisono, op.cit., hlm. 12 atau Silabus Mata Kuliah Filsafat Ilmu, 2004.

[34] Baker, 1992. Ontologi Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 16-17.

[35] Gallagher (disadur P. Hardono Hadi), 1994, Epistemologis (Filsafat Pengetahuan), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

[36] Wibisono op.cit, hlm. 12

[37] Nilai diyakini sebagai kualitas yang tidak riel. Karena kualitas tidak dapat ada melalui dirinya sendiri, maka nilai adalah milik semua objek yang oleh Huserl dikatakan “tidak independen”, yakni nilai tidak memiliki kesubstantivan_hal yang menjadi ciri khas dan tanda fundamental bagi nilai. Lihat  Risieri Frondizi, (terjemahan, Cuk Ananta Wijaya), 2001.Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 7-11.

[38] Wibisono op.cit, hlm. 12

Page 45: bahan ujian filsafat

[39] Bahm., 1980. What is “Science”? dalam My Axiology: The Science of Values, World Books, Albuquerque, New Mexico. Mustansyir dan Munir, 2001, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 46.

[40] Mustansyir dan Munir, 2001, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 46.

[41] Barker, loc.cit.

[42] Dalam ilmu politik, politik diartikan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Lihat Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, Penerbit PT Grasindo, Jakarta, hlm. 10-11.

[43] Terjemahan Indonesianya, Almond  dan Verba, 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Bina Aksara, Jakarta.

[44] Savirani, Dari Negara ke Coca Cola:Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia (serial online), Oct-Des.,[cited 2004 Nov.4]. Available from: URL: http:/www.kunci/eid.htm.

[45] Sejarah perkembangan ilmu politik dapat dilihat dalam Budiardjo, 1991. Dasar-dasar Ilmu Politik, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, hlm. 1-3.

[46] Karakteristik dari mazhab positivisme dalam ilmu politik dapat dilihat dalam Gaffar, Dua Tradisi Keilmuan, Diktat Kuliah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.

[47] Simon, 2004. (penerj.Kamdani dan Himam Baihaqi), Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

[48] Op.cit., hlm 16.

[49] Syafiie, op.cit., hlm. 36.

[50] Mariun, 1978. Pengantar Ilmu Pemerintahan, Badan Penerbitan Fisipol UGM, Yogyakarta.

[51] Imawan, “ Perkembangan dan Prospek Program Studi Jurusan Ilmu Pemerintahan pada Perguruan Tinggi di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Posisi Ilmu Pemerintahan dalam Sistem Pendidikan Nasional, IIP-Depdagri, Jakarta 20-21 Oktober 1991.

[52] Gaffar, “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pengembangan Program Studi Ilmu Pemerintahan di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Posisi Ilmu Pemerintahan dalam Sistem Pendidikan Nasional, IIP-Depdagri, Jakarta 20-21 Oktober 1991.

[53] Loc.cit.

Page 46: bahan ujian filsafat

[54] Savirani, “Ilmu Pemerintahan Masa Depan: Mengadopsi Politik Pinggiran”, dalam Jurnal Transformasi Volume 1, Nomor 1, September 2003, hlm. 62-76.

[55] Pratikno, “Dari Good Governance Menuju Just and Democratic Governance”, Paper dipresentasikan pada Seminar Nasional Governance in Practices: Belajar dari Pengalaman di Indonesia, diselenggarakan oleh Panitia Dies Fisipol UGM ke 49, Yogyakarta, 25 September 2004.

[56] Wibisono, 2004 a, op.cit., hlm 13.