BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Fraktur (patah tulang) pada ujung distal fibula dan tibia merupakan istilah yang
digunakan untuk menyatakan fraktur pergelangan kaki (ankle fracture). Fraktur ini
biasanya disebabkan oleh terpuntirnya tubuh ketika kaki sedang bertumpu di tanah atau
akibat salah langkah yang menyebabkan tekanan yang berlebihan (overstressing) pada
sendi pergelangan kaki. Fraktur yang parah dapat terjadi pada dislokasi pergelangan kaki.
Fraktur ankle itu sendiri yang dimaksudkan adalah fraktur pada maleolus lateralis (fibula)
dan/atau maleolus medialis. Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan
penopang badan dimana talus duduk dan dilindungi oleh maleolus lateralis dan medialis
yang diikat dengan ligament. Dahulu, fraktur sekitar pergelangan kaki disebut sebagai
fraktur Pott.
Fraktur pada pergelangan kaki sering terjadi pada penderita yang mengalami
kecelakaan (kecelakaan lalu lintas atau jatuh). Bidang gerak sendi pergelangan kaki hanya
terbatas pada 1 bidang yaitu untuk pergerakan dorsofleksi dan plantar fleksi. Maka mudah
dimengerti bila terjadi gerakan-gerakan di luar bidang tersebut, dapat menyebabkan fraktur
atau fraktur dislokasi pada daerah pergelangan kaki. Bagian-bagian yang sering
menimbulkan fraktur dan fraktur dislokasi yaitu gaya abduksi, adduksi, endorotasi atau
eksorotasi.
II. ANATOMI
Fraktur ankle didefinisikan oleh Sir Pervical Pott pada tahun 1768, sebagai fraktur
fibula yang disertai dengan kerusakan deltoid. Fraktur bimaleolus didefinisikan oleh
Dupuytren pada tahun 1819 sebagai fraktur ankle tipe supinasi-eversi. Maison-neuve pada
tahun 1840 menjelaskan adanya fraktur spiral pada bagian proksimal fibula, yang
disebabkan oleh rotasi eksternal. Tillaux pada tahun 1872 menemukan terjadinya fraktur
avulse dari insersi tibia ke anterior tibiofibular ligament. Semuanya ini menjadi eponym
tipe tertentu dari fraktur ankle.
Penanganan dan biomekanika fraktur ankle masih menjadi masalah, walaupun telah
ada berbagai publikasi klasifikasi dan makalah. Tujuan akhir penanganan fraktur ankle
adalah memperoleh posisi anatomi ankle mortice dan ankle joint yang stabil, mobile, dan
bebas nyeri. Injuri ankle sangat sering terjadi dan bisa melibatkan struktur tulang serta
ligament. Tingkat keparahan trauma bervariasi dari ankle sprain sampai unstable
bi/trimalleolar fracture, pilon, dan open ankle fractures/ dislocations.
Ankle merupakan modified hinge joint yang terdiri dari tiga tulang (tibia, fibula, dan
talus), serta ligamen-ligamen yang mempersatukan tulang-tulang tersebut. Stabilitas
talocrural ankle joint ditentukan oleh elemen osseus dan ligament yang kuat. Lateral
collateral ligament terdiri dari tiga komponen: anterior talofibular ligament (ATFL),
calcaneofibular ligament (CFL), dan posterior talofibular ligament (PTFL), sementara itu
medial deltoid ligament terdiri dari bagian superficial dan profundus (bagian yang lebih
kuat) yang merupakan medial stabilizers ankle joint.
Ujung distal fibula berada di tibial groove, diperkuat oleh tibiofibular ligament dan
diberi nama syndesmosis. Bagian yang kompleks ini terdiri dari sekelompok ligament-
anteroinferior dan posteroinferior tibiofibular ligament dan yang paling kuat, interosseus
ligament yang merupakan bagian interosseus membrane yang paling tebal. Di sekitar ankle
joint ada 11 tendon dan elemen neurovaskulernya. Tidak ada perlekatan otot atau active
stabilizers, sehingga stabilitas sendi hanya tergantung pada struktur konfigurasi tulang dan
capsuloligament.
Biomekanika
Ligament dan tendon yang berada di sekitar ankle joint memperkuat stabilitas sendi
demikian pula coupled motion pada sagital plane dan lebih sedikit pada frontal plane.
Pergerakan ankle memiliki rentang antara 150 sampai dengan 320 dorsiflexion sampai 15-
300 plantarflexion. Untuk langkah normal hanya diperlukan 100 dorsiflexion dan 200
plantarflexion. Juga ada beberapa pergerakan fibula pada bagian distal tibiofibular joint.
Ankle merupakan weight bearing joint (sendi yang digunakan untuk menyangga berat
badan) yang dapat menahan beban sampai dengan lima kali lipat berat badan selama
berjalan dan berlari. Fibula bisa menahan seperenam berat badan. Fungsi ankle tergantung
pada pemeliharaan hubungan anatomi yang normal antara semua elemen ini, terutama
integritas syndemosis.
Dengan demikian, ankle injuries yang menurunkan tibiotalar contact area akan
menyebabkan peningkatan contact pressure, rasa nyeri pada sendi, dan meningkatkan
degenerasi. Hal ini sering dijumpai pada syndemotic dan bipolar injuries, dengan talar
displacement dimana ankle joint inkongruen dan rentan terhadap terjadinya perubahan
arthritis tanpa penanganan yang adekuat.
Peran struktur ankle yang berbeda telah diteliti secara luas dan kesimpulannya
primary stabilizer pada ankle joint adalah lateral fibular complex dan talus. Tibiofibular
dysfunction menyebabkan talar displacement yang hebat dan berhubungan dengan
perubahan degeneratif.
Ankle ligament injuries sering terjadi (terutama anterior talofibular ligament) dan jika
terjadi bersamaan dengan fraktur ankle, maka waktu penyembuhan akan menjadi lebih
lama. Dengan demikian, jika nyeri tetap ada untuk waktu yang lama setelah terjadinya
penyembuhan fraktur, maka hal ini mungkin terjadi akibat instabilitas sendi, reactive
synositis atau kompresi saraf. Ankle injuries yang samar-samar (hampir tidak terlihat
secara radiografi) seperti fraktur osteochondral atau chondral bisa menimbulkan rasa nyeri.
Maka dalam hal ini disarankan untuk melakukan magnetic resonance imaging (MRI).
Gambar 1. Anatomi Pergelangan Kaki
III. KLASIFIKASI
Dengan adanya penelitian mengenai fraktur ankle selama beberapa dekade, maka ada
banyak klasifikasi yang melibatkan mekanisme injuri dan pola fraktur. Klasifikasi yang
paling sering digunakan adalah Lauge-Hansen dan Weber. Klasifikasi Weber lebih mudah
digunakan secara klinis, namun terlalu sederhana sehingga tidak bisa menjelaskan
mekanisme injuri/fraktur ankle yang kompleks. Kombinasi kedua klasifikasi ini lebih
disukai karena ahli bedah akan bisa menetapkan hubungan antara radiografi fraktur,
mekanisme injuri dan metode penanganan yang optimal.
Klasifikasi Lauge – Hansen
Saat ini, klasifikasi yang paling bisa diterima adalah yang dibuat oleh Lauge-Hansen
pada tahun 1948. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan percobaan, gambaran klinis dan
radiografi dan menunjukkan bahwa tipe fraktur tergantung pada posisi foot dan arah gaya
saat terjadinya injuri. Pemahaman klasifikasi Lauge-Hansen merupakan dasar bagi
penanganan fraktur ankle secara rasional.
Istilah klasifikasi Lauge-Hansen, yang dibuat berdasarkan penelitian dengan
menggunakan cadaver, saat ini dimodifikasi untuk alasan semantik. Eversi foot diubah
dengan istilah external rotation, yang menekankan mekanisme utama fraktur ankle berupa
rotasi yang berlebihan dan posisi talus pada ankle mortice, pada saat injury. Ada lima
kelompok utama fraktur ankle (tabel 1).
Klasifikasi Danis-Weber
Klasifikasi Danis-Weber dibuat berdasarkan tingkat fraktur lateral/fibula, tingkat
kerusakan syndesmosis tibiofibular, dan kemungkinan instabilitas talus (ankle).
Berdasarkan system Danis-Weber, setiap tipe fraktur bisa dihubungkan dengan tipe injuri
yang sesuai dengan klasifikasi Lauge-Hansen (Tabel 2).
Pada fraktur tipe A, terjadi fraktur fibula transversal di bawah joint line, dengan
syndemosis yang intak, dan fraktur tipe ini berhubungan dengan fraktur supinasi-aduksi
Lauge-Hansen.
Fraktur tipe B berupa fraktur pada tingkat ankle joint line, disertai dengan partial
syndemosis injury. Fraktur ini sesuai dengan supination-eversion injury pada klasifikasi
Lauge-Hansen.
Tipe C merupakan fraktur fibula di bagian proksimal tibiofibular joint yang
berhubungan dengan kerusakan syndesnmosis. Ada dua subtype fraktur yang diketahui:
diaphysis (Dupuytren) dan proksimal (Maisonnevue). Fraktur tipe ini sesuai dengan fraktur
pronation-eversion atau pronation-abduction Lauge-Hansen. Fraktur ini memiliki
instabilitas yang paling lemah. Weber mengabaikan bagian medial ankle joint dan
menekankan syndemosis fibula dan tibiofibular.
Segi penting klasifikasi apapun tergantung pada kemampuannya untuk dipraktekkan
secara klinis. Harus ditunjukkan struktur mana yang mengalami kerusakan dan bagian
mana yang harus diperbaiki, bahkan walaupun bagian tersebut tidak terlihat pada X-ray
(lesi ligament).
Yang tidak boleh dilupakan adalah ankle sprain yang merupakan injuri yang paling
sering ditemukan pada ankle, namun injuri ini tidak dibahas pada artikel mengenai fraktur
ankle. Sebagian besar ankle sprain terjadi akibat foot inversion dan injuri terletak pada
lateral ligament complex. Sebagian besar ankle sprain, termasuk grade III, bisa ditangani
dengan gips (cast immobilization).
IV. MEKANISME CEDERA
Pola terjadinya cedera pada pergelangan kaki tergantung dari banyak faktor termasuk
usia pasien, kualitas dari tulang itu sendiri, posisi kaki saat terjadi cedera, arah, dan
besarnya gaya yang harus ditanggung. Menurut Lauge-Hansen, pengaruh pola cedera yang
berhubungan dengan posisi kaki saat cedera dideskripsikan lebih dulu dan arah dari gaya
yang dihasilkan dideskripsikan kemudian. Gaya yang terbentuk pada saat cedera
pergelangan kaki adalah adduksi, abduksi, exorotasi, dan penahanan beban vertikal.
Pronasi dan supinasi adalah posisi kaki selama berotasi di sekeliling aksis dari sendi
subtalaris. Adduksi dan abduksi adalah gaya yang terbentuk pada saat rotasi talus di
sekeliling aksis panjangnya, sementara endorotasi dan exorotasi adalah gerakan rotasional
sekeliling aksis vertikal dari tibia. Mekanisme cedera ini dideskripsikan dengan berbagai
terminologi di bawah ini.
Supinasi-Adduksi
Bersamaan dengan supinasi kaki, struktur lateral menegang. Supinasi berlanjut dan
gaya adduksi dapat menyebabkan ruptur dari ligamentum collateralis atau avulsi
ligamentum-ligamentum dari tempat perlekatannya dengan tulang pada distal fibula, yang
menyebabkan terkilirnya pergelangan kaki. Fibula distal dapat teravulsi menghasilkan
fraktur melintang di bawah level ligamentum syndesmosis yang masih intak. Adduksi yang
lebih jauh membawa talus ke arah medial dari sendi, menghasilkan fraktur vertikal pada
maleolus medialis dan seringkali fraktur impaksi dari permukaan artikulasi medialis tibia.
Gaya ini juga dapat mengakibatkan impaksi atau fraktur osteokondral pada talus atau
cedera pada permukaan artikulasinya.
Supinasi-Exorotasi
Saat kaki berexorotasi atau kaki berendorotasi pada kaki yang supinasi, struktur
lateral dan ligamentum syndesmosis anterior menegang. Sindesmosis anterior biasanya
cedera dengan ruptur ligamen atau avulsi dari tempat insersio tulangnya. Exorotasi
menghasilkan fraktur spiral dari fibula, yang berjalan anteroinferior ke posterosuperior.
Fraktur dapat dimulai di bagian bawah, tepat, atau di atas tempat melekat dari ligamentum
tibiofibularis anterior pada tuberkulum anterior dari fibula. Bila fraktur mulai di bawah
tuberkulum anterior dari fibula, ligamentum tibiofibularis anterior akan tetap utuh. Fraktur
berjalan oblik melalui permukaan artikulasi superior dari fibula. Yang paling umum,
fraktur dimulai pada atau di atas level tuberkulum anterior dan sindesmosis anterior
sebagian atau seluruhnya mengalami disrupsi.
Walaupun jarang, pola supinasi-exorotasi bisa ada pada fraktur fibula yang muncul di
atas level sindesmosis dengan disrupsi dari kedua sindesmosis dan membrana interoseus.
Dengan gaya yang berkelanjutan, talus yang berotasi dapat memberikan tekanan pada
sindesmosis posterior mengakibatkan ruptur ligamentum tibiofibularis posterior atau lebih
umum avulsi dari tuberkulum posterior lateralis. Pada beberapa kasus fraktur fibula dapat
mendekompresi struktur-struktur ini sehingga gaya pada talus diarahkan ke medial dan
tidak ada cedera posterior yang terjadi.
Pada akhirnya, bila terjadi gaya yang cukup besar, terdapat tension pada struktur
medial yang berakibat fraktur avulsi dari maleolus medialis atau ruptur ligamentum
deltoidea. Dengan cedera medial ini, talus bebas untuk bergeser ke lateral.
Pronasi-Abduksi
Pada pronasi, struktur-struktur medial menegang dan mengalami cedera untuk
pertama kalinya. Akan terjadi fraktur avulsi dari maleolus medialis atau ruptur ligamentum
deltoidea. Gaya abduksi kemudian akan menyebabkan ruptur ligamentum syndesmosis atau
avulsi dari tulang tempat melekatnya ligamentum-ligamentum tersebut.
Gaya lateral yang berlanjut dari fraktur talus pada sisi fibula tepat pada atau di atas
level dari sindesmosis dan ruptur membrana interoseus bisa terjadi pada fraktur ini. Fraktur
ini merupakan akibat dari pembengkokan dan antara fraktur oblik atau melintang sebagian
dengan kominusi lateral atau pembentukan buterfly fragment. Pola fraktur fibula ini
menandakan adanya cedera medial yang berhubungan.
Pronasi-Exorotasi
Cedera terjadi pada sisi medial terlebih dahulu. Exorotasi kemudian berakibat pada
ruptur dari ligamentum tibiofibularis anterior atau pada tempat insersio tulangnya, diikuti
fraktur fibula pada level yang sama atau di atas sindesmosis.
Fraktur fibula berbentuk spiral tapi berjalan anterosuperior ke posteroinferior dan
membrana interoseus ruptur pada level fraktur fibula. Dengan rotasi yang berlanjut,
sindesmosis posterior mengalami cedera dengan ruptur ligamen atau fracture avulsi dari
tibia posterolateralis.
Fraktur proximal dari fibula (tipe Maisonneuve) merupakan akibat dari exorotasi.
Ada beberapa variasi pada pola fraktur fibula, yang mencerminkan tipe cedera supinasi-
eksorotasi atau pronasi-exorotasi. Kaki bahkan dapat bergerak dari pronasi relatif ke
supinasi selama cedera timbul.
Titik beban vertikal (Vertical Loading)
Titik beban vertikal mengarahkan talus ke tibia distal. Posisi dari kaki dan kecepatan
penahanan beban mempengaruhi pola cedera yang dapat berkisar dari fraktur terisolasi dari
permukaan anterior atau posterior tibia ke fraktur kompleks, intra artikular dari tibia distal
(fracture pilon).
Dari semua pola cedera di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak kombinasi
cedera tulang dan ligamen. Posisi kaki mempengaruhi lokasi dari derajat inisial cedera
tersebut. Supinasi dari kaki menegangkan struktur lateral. Pronasi kaki menegangkan
struktur medial. Pada sisi lateral, adduksi mengakibatkan cedera pada ligamentum
collateralis lateralis atau avulsi dari fibula distal.
Abduksi diakibatkan oleh fraktur tension, sering dengan kominusi, sementara
exorotasi menghasilkan fraktur spiral yang khas. Cedera pada ligamentum syndesmosis
harus dicurigai ketika terjadi fraktur fibula pada atau di atas level sindesmosis.
Cedera pada sisi medial disebabkan oleh trauma langsung dari talus atau dari tahanan
saat talus berotasi atau bergerak ke lateral mengikuti fibula. Beberapa kombinasi mungkin
terjadi: Ligamentum deltoidea profunda dapat robek. Kolikulus anterior dapat mengalami
avulsi oleh ligamentum deltoidea superfisialis sedangkan ligamentum deltoidea profunda
bisa ruptur atau intak.
Fraktur dari maleolus posterior disebabkan oleh abduksi atau exorotasi, dislokasi
poterior dari talus, titik beban vertikal, atau kombinasi dari gaya-gaya ini. Pada abduksi
atau exorotasi, ligamentum tibiofibularis posterior berada di bawah tekanan dan dapat
ruptur atau lebih umum mengalami avulsi pada sudut posterolateral tibia (segitiga
Volkmann). Maleolus posterior atau posteromedial dapat mengalami fraktur oleh trauma
langsung talus saat berotasi. Disrupsi syndesmosis dapat terjadi akibat exorotasi atau
abduksi. Ligamentum yang terlibat akan ruptur atau mengalami avulsi dari insersionya
pada tulang. Pada cedera yang lebih berat, bagian dari membrana interoseus dapat robek
secara distal atau proximal dan dapat terjadi fractureproximal fibula.Mekanisme ini terjadi
pada sebagian besar cedera pergelangan kaki.
V. DIAGNOSIS
Diagnosis fraktur ankle ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
gambaran radiologis. Pada anamnesis harus ditanyakan mengenai mekanisme injuri,
keadaan medis sebelumnya, dan kegiatan fisik (kebutuhan fungsional pergerakan ankle)
yang merupakan faktor yang paling penting untuk mengambil keputusan metode
penanganan apa yang akan diambil. Mekanisme injuri yang paling sering pada sebagian
besar kasus adalah jatuh. Pemeriksaan fisik mengidentifikasi kasus urgen, open fractures,
gangguan neurovaskuler, dan tanda-tanda terdapatnya sindrom kompartemen. Nyeri tekan
lokal dan stabilitas ankle seharusnya diperiksa. Gambaran radiologis penting untuk
menentukan struktur mana yang mengalami injuri, dan menentukan rencana terapi,
konfirmasi kualitas reduction dan evaluasi hasil penanganan.
Pemeriksaan X-ray awal meliputi tiga proyeksi: anterior-posterior, lateral, dan
mortice view dengan posisi foot internal rotation 150. Kadang-kadang diperlukan
penekanan gambaran radiografi untuk mencari instabilitas lateral atau medial. Three
dimensional computed tomography (3DCT) berguna untuk fraktur pilon. MRI juga berguna
untuk mendeteksi lesi ankle chondral, tendon atau ligamen.
VI. TATALAKSANA
1) Penatalaksanaan non-operatif
a) Reduksi tertutup dan pemasangan cast
Reduksi akurat dari fragment intra-artikular .Pemasangan cast membuat
observasi pembengkakan dan keadaan kulit menjadi tidak memungkinkan, dan
tergeser kembalinya fragmen yang telah direduksi sering terjadi. Pengobatan
dengan cara ini diindikasikan untuk fracture tanpa pergeseran (undisplaced) atau
pada pasien yang tidak dapat banyak bergerak.
b) Traksi
Pergerakan awal dan rehabilitasi sendi.Manajemen dengan traksi mempunyai
syarat bahwa pasien harus tetap di tempat tidur sampai terdapat bukti bahwa union
sudah terjadi.Biasanya minimum 6 minggu. Traksi juga dapat digunakan secara
inisial pada fracture-fracture yang telah direncanakan untuk operasi namun harus
ditunda karena status jaringan lunaknya.Pada kasus-kasus semacam ini efek
ligamentoaxis dari traksi calcaneus dapat menghasilkan reduksi yang cukup dan
mempertahankan panjang sampai intervensi bedah dapat dilakukan dengan aman.
Distraksi dari fraktur menggunakan traksi calcaneus dapat menyebabkan
alignment yang memuaskan bila bagian sentral dari permukaan artikular tidak
remuk dan terimpaksi. Traksi membuat akses langsung dan elevasi kaki
memungkinkan dan dapat dikombinasikan dengan pergerakan awal dan rehabilitasi
sendi.Manajemen dengan traksi mempunyai syarat bahwa pasien harus tetap di
tempat tidur sampai terdapat bukti bahwa union sudah terjadi.Biasanya minimum 6
minggu.
Traksi juga dapat digunakan secara inisial pada fracture-fracture yang telah
direncanakan untuk operasi namun harus ditunda karena status jaringan
lunaknya.Pada kasus-kasus semacam ini efek ligamentoaxis dari traksi calcaneus
dapat menghasilkan reduksi yang cukup dan mempertahankan panjang sampai
intervensi bedah dapat dilakukan dengan aman.
2) Penatalaksanaan operatif
a) Reduksi terbuka dan fiksasi internal (Open Reduction and Internal Fixation)
Tujuan dari pembedahan dijabarkan oleh Ruedi dan Allgower sebagai berikut:
1) Mempertahankan panjang dan stabilitas fibula
2) Memulihkan permukaan sendi tibia
3) Memulihkan kerusakan yang terjadi pada tulang
4) Memperkuat bagian medial tibia
Dalam mengobati fraktur Pilon tibia, banyak cara pembedahan yang dapat
dipilih. Tetapi pengobatan fraktur harus selalu mempertimbangkan kepekaan
jaringan lunak dan manajemen setiap kasus fraktur harus disesuaikan tergantung
status jaringan lunaknya. Penekanan pada reduksi anatomis dari plafon tibia dengan
restorasi permukaan sendi secara umum merupakan tujuan utama pengobatan.
Estimasi derajat osteoporosis dan kominusi harus dipertimbangkan karena kualitas
tulang yang buruk akan menghambat stabilisasi bedah.
Insisi posterolateral digunakan untuk fiksasi fibula. Suatu insisi anteromedial
1 cm medial tendon tibia anterior melengkung ke arah maleolus medialis digunakan
untuk memperbaiki plafon tibia dan metafisis tibia. Care harus digunakan untuk
menguatkan jaringan lunak dan tendon anterior. Care juga harus digunakan untuk
mempertahankan skin bridge 8cm untuk mencegah nekrosis kulit anterior dan
hancurnya luka, terutama pada insisi medial.
Ada 4 prinsip dasar yang dideskripsikan oleh Ruedi sebagai berikut:
1) Langkah pertama adalah reduksi dan stabilisasi fibula. Langkah ini
mengembalikan panjang dan sindesmosis permukaan artikular lateral dan dapat
digunakan sebagai titik referensi rekonstruksi selanjutnya. Teknik reduksi
indirek atau penggunaan distraktor femoral berguna pada fase ini.
2) Permukaan artikular tibia distal kemudian direstorasi secara anatomis dan
distabilkan dengan multiple K-wires. Konfirmasi radiologik dan visual dari
reduksi artikular harus dilakukan.
3) Dilakukan pemasangan implant untuk menstabilkan tibia distal. Pemilihan
implan yang digunakan tergantung dari konfigurasi fraktur. Lag screws
digunakan untuk mengkompresi fragment fraktur. Butress plate digunakan
untuk pada bagian medial untuk mencegah kolaps.
4) Langkah terakhir melibatkan penggunaan transplantasi tulang fibrosa untuk
memperbaiki defek metafisis. Care harus diambil untuk mencegah
devascularisasi tibia anterior. Kemudian splinting dengan Jones type dressing
dengan suplemental plaster, aplikasi kantong es, dan elevasi extremitas
digunakan segera setelah operasi. Latihan pergerakan dimulai segera setelah
dapat ditoleransi oleh pasien, tapi pemberian beban ditunda sampai fracture
telah menyatu biasanya 3-4 bulan post operatif.
b) Fiksasi external
Pada pasien dengan kerusakan jaringan lunak yang signifikan atau pada fracture
terbuka, fixatorexternal dapat digunakan sebagai portable traction device mula-mula.
Reduksi dapat dilakukan dengan distraksi dan ligamentoaxis. Fixatorexternal dapat
digunakan untuk mengobati fracture sampai jaringan lunak membaik dan dapat dilakukan
terapi operatif. Dapat pula digunakan sebagai terapi definitif bila suatu reduksi yang
adekuat dapat dicapai atau terapi operatif lebih jauh dikontraindiikasikan.
Fixatorexternal dapat juga digunakan sebagai penguat medial (medial buttress).
Pada situasi ini, fixatorexternal menggantikan medial buttress plate tapi mengurangi
pentingnya diseksi jaringan lunak dalam jumlah besar. Prinsip dari reduksi terbuka dan
fixasiexternal digunakan dengan reduksi fibula dan restorasi panjang yang dilakukan
terlebih dahulu. Permukaan sendi tibia dapat direduksi secara anatomis dan difixasi
dengan screws. Suatu fixatorexternal diganti dengan plate setelahnya atau tetap dipasang
sebagai terapi definitif. Defek metafiseal apapun yang terjadi dapat ditangani dengan
transplantasi pada waktu operasi dimulai. Dapat juga dilakukan kemudian, terutama bila
fixatorexternalakan diganti dengan plate.
Variasi cara penggunaan fixator atau pin sirkular kecil telah banyak dipakai.
Manuver reduksi ditingkatkan dengan pin kecil untuk mengembalikan permukaan sendi
dan mempertahankan stabilitas tulang. Teknik ini terutama berguna bila luka terbuka
dikontraindikasikan dengan penggunaan fixator internal apapun. Setiap kali
fixatorexternal digunakan, perhatian khusus harus diberikan untuk pin calcaneus untuk
distraksi dari sendi tibiotalaris. Pada pasien yang pergerakan ankle-nya
dikontraindikasikan, sendi dapat didistraksi dan dipertahankan dengan pin calcaneus. Pin
tersebut dapat membantu mengurangi kekakuan sendi.
VII. KOMPLIKASI
a. Komplikasi jangka pendek
Biasanya diakibatkan oleh status cedera jaringan lunak, juga penanganan jaringan
saat pembedahan. Hematoma, kulit yang rusak dan nekrosis jembatan jaringan akan
mempengaruhi penyembuhan luka. Terpaparnya jaringan lunak karena jaringan yang
menutupinya hilang dapat membuat masalah infeksi seperti osteomielitis selain juga
menghambat penyembuhan luka.
Penggunaan penutupan kulit sekunder ketika kehilangan jaringan lunak ataupun
devascularisasi jaringan lunak muncul bisa dipertimbangkan. Cedera terbuka, crush
necrosis, degloving injuries dapat mengakibatkan nekrosis jaringan lunak jangka
panjang, infeksi, non union, atau delayed union
b. Komplikasi jangka panjang
Termasuk osteomielitis,delayed union, malunion, dan non union dari fracture.
Walaupun angka kejadian non union telah berkurang dengan manajemen jaringan
lunak yang baik, transplantasi tulang, dan teknik fixasi yang baik, delayed union masih
sering ditemukan. Malunion sering terjadi terutama pada reduksi fracture non anatomis
atau hilangnya metafisis medial dengan teknik buttressing yang inadekuat. Osteotomi
untuk mengkoreksi malalignment dapat dilakukan kemudian setelah union telah
dicapai, tapi terapi inisial dari medial buttress selama penyembuhan fracture dapat
meminimalisasi malalignment.
Artritis traumatik sering terjadi ketika ada kerusakan artikular yang
signifikan.Kerusakan kartilago artikular tidak boleh diabaikan walaupun rekonstruksi
anatomis telah dilakukan karena artritis traumatik degeneratif dapat terjadi sebagai
sekuelae. Arthrodesis telah diterima secara umum sebagai pengobatan alternatif untuk
masalah ini.
BAB II
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS
Identitas
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 31 tahun
MR : 360215
Seorang pasien laki-laki, 31 tahun datang ke IGD RSAM pada tanggal 25 September
dengan keluhan nyeri dan luka pada pergelangan kaki kanan sejak 2 jam yang lalu post
kecelakaan lalu lintas.
Primary Survei :
A : Clear
B : Spontan, nafas 24x/menit
C : Tekanan darah : 110/70 mmHg, Nadi : 88x/menit, Refilling kapiler <2 detik,
D : Alert, GCS 15
Secondary Survei :
- Nyeri dan luka pada pergelangan kaki kanan sejak 2 jam yang lalu post kecelakaan
lalu lintas.
- Awalnya pasien sedang mengendarai mobil, tiba-tiba mobil yang dikendarainya
menabrak tembok dan pasien mengerem mobilnya dengan kuat lalu berusaha keluar
dari pintu mobilnya.
- Pasien tetap sadar setelah kejadian.
- Mual (-) muntah (-)
-
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis/ GCS: 15 (E4V5M6)
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 92x/menit, irama teratur
Nafas : 23x/menit, reguler
Suhu : 36,30C
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Thorak : Dalam batas normal
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-),
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), massa (-),
Hepar dan lien dalam batas normal
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Status Lokalis
Regio ankle joint dextra
Look : Luka (+) dengan ukuran 8x5x5 cm, tepi tidak beraturan, dasar tulang
deformitas (+)
Feel : Nyeri tekan (+), refilling kapiler < 2 detik
Movement : ROM terbatas karena nyeri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium (24/09/2013)
Hemoglobin : 14,3 g/dl
Hematokrit : 39,9 %
Leukosit : 15000/mm3
Trombosit : 238.000/mm3
2. Pemeriksaan Rontgen
DIAGNOSIS
Open fraktur ankle joint dextra Lange Hansen supination adduction (maleolus lateral and medial)
TATALAKSANA
Awasi tanda vital
IVFD Ringer Laktat
Tetagam 1 amp
Antinyeri : Ketorolac 2 x1 amp
Antibiotik profilaksis : Gentamycin 2x500mg
Persiapan pre operative
Operative
o Debridemant luka
o Reposisi : Pemasangan ORIF pada # maleolus
BAB III
DISKUSI
Pada pasien ini didapatkan data Tn. S usia 31 tahun mengalami nyeri dan luka pada
pergelangan kaki kanan sejak 2 jam yang lalu setelah kecelakaan lalu lintas. Awalnya pasien
sedang mengendarai mobil, tiba-tiba mobil yang dikendarainya menabrak tembok dan pasien
mengerem mobilnya dengan kuat lalu berusaha keluar dari pintu mobilnya.
Dari anamnesis didapatkan pasien tetap sadar setelah kejadian, sakit kepala tidak ada,
mual dan muntah tidak ada. Hasil anamnesis tersebut menunjukkan pasien tidak mengalami
cedera kepala akibat kecelakaan yang dialaminya. Pasien mengeluh nyeri pada pergelangan kaki
kanan dan sulit untuk digerakkan karena terbatas nyeri. Hal ini dikarenakan daerah tersebut
terdapat kerusakan jaringan karena terjadi diskontinuitas pada tulang sehingga menimbulkan
nyeri.
Dari pemeriksaan fisik pada regio ankle joint dekstra didapatkan luka dengan ukuran
8x5x5 cm dengan tepi tidak beraturan dan memiliki dasar tulang. Pada inspeksi juga ditemukan
deformitas akibat fraktur dan kerusakan jaringan lunak di sekitarnya. Pada palpasi didapatkan
nyeri tekan positif pada daerah sekitar luka. Dan didapatkan refilling kapiler <2 detik yang
artinya masih dalam batas normal. Dari pemeriksaan ini sudah dapat disimpulkan adanya fraktur.
Namun untuk memastikan frakturnya maka dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto
rontgen.
Dari pemeriksaan foto rontgen didapatkan fraktur terbuka pada regio ankle join dekstra
(maleolus medial dan lateral) dengan alignment dan aposisi buruk. Fraktur dislokasi pada ankle
merupakan fraktur intra-artikuler sehingga diperlukan reduksi secara anatomis dan akurat serta
mobilisasi sendi yang sesegera mungkin.
Pada pasien ini direncanakan untuk penatalaksanaan secara operatif dengan ORIF (open
reduction internal fixation), namun sebelumnya dilakukan debridement pada luka pasien untuk
membersihkan pinggir-pinggir luka yang kotor. ORIF dipilih karena pada pasien sudah terdapat
luka yang cukup besar dan tidak memungkinkan lagi untuk direduksi secara tertutup.
Recommended