Download docx - Jurnal Perdarahan

Transcript
Page 1: Jurnal Perdarahan

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN DAN KOAGULOPATI PADA TRAUMA

MAYOR: PEDOMAN BAKU EROPA TERBARU

Lebih lanjut, dua studi prospektif yang baru dipublikasikan oleh Bulger dan para pekerja

(186,187) yang tidak termasuk dalam meta-analisis ini menganalisis efek rawat jalan terhadap

pemberian cairan hipertonik pada hasil neurologik pada TBI parah dan korban selamat pasca

trauma syok hipovolemik. Studi ini tidak mampu mendemonstrasikan keuntungan apapun

dibandingkan dengan saline normal 0.9% diantara 2.184 pasien yang termasuk. Kesimpulannya,

bukti ini menyarankan bahwa cairan saline hipertonik aman, tapi tidak juga meningkatkan

ketahanan hidup maupun hasil neurologic setelah TBI.

Vasopressor dan agen inotropic

Rekomendasi 15 kami menyarankan pemberian vasopresior untuk mempertahankan

tekanan arteri target karena tidak adanya respon terapi cairan. (Grade 2C), kami

menyarankan infus agen inotropic akibat adanya disfungsi miokardiak (grade 2c)

Alasan:

Tahap pertama pada resusitasi syok adalah untuk mengembalikan secara cepat tekanan

arteri rata-rata dan aliran darah sistemik untuk mencegah hipoperfusi luas dan hipoksia jaringan.

cairan resusitasi merupakan strategi pertama yang diterapkan untuk mengembalikan tekanan

arteri rata-rata pada syok hemoragik. Namun, agen vasopressor dapat sementara dibutuhkan

untuk menopang hidup dan menjaga perfusi jaringan akibat adanya hipotensi yang mengancam

jiwa, bahkan ketika ekspansi cairan sedang berlangsung dan hipovolemik belum dikoreksi.

Norefinefri (NE) sering digunakan untuk mengembalikan tekanan arteri dalam syok septik

dan hemoragik. Sekarang NE direkomendasikan sebagai agent of choice untuk tujuan ini selama

syok septik. NE adalah agen simpatomimetik dengan efek vasokonstriktif yang sangat dominan.

Stimulasi arteri α-adrenergik meningkatkan resistensi arteri dan meningkatkan cardiac afterload,

dan NE memacu stimulasi arteri dan venaα-adrenergik. Malah sebagai efek vasokonstriksi

tambahan, NE menginduksi venokonstriksi pada tingkat sirkulasi splanknik dalam partikel, yang

meningkatkan tekanan dalam pembuluh kapasitansi dan secara aktif menggeser volume darah

splanknik menuju sirkulasi sistemik. Stimulasi vena adrenergic dapat merekrut darah dari

volume darah unstressed, yaitu volume darah yang mengisi pembuluh darah, tanpa menghasilkan

Page 2: Jurnal Perdarahan

tekanan intravaskuler. Lebih lanjut, stimulasi reseptor β-adrenergik menurunkan resistensi vena

dan meningkatkan aliran balik vena.

Studi pada hewan menggunakan model hemoragik tak terkontrol merekomendasikan infus

NE untuk mengurangi jumlah resusitasi cairan yang dibutuhkan untuk mencapai target tekanan

arteri yang diinginkan, yang berhubungan dengan kehilangan darah yang lebih sedikit dan

ketahanan hidup yang meningkat. Namun, efek NE belum ditinjau secara ketat pada manusia

dengan syok hemoragik. Analisis sementara yang dilakukan selama studi prospektif tersebut

menyimpulkan bahwa penggunaan awal vasopressor untuk dukungan hemodinamik setelah syok

hemoragik dapat berbahaya dibandingkan dengan resusitasi volume secara agresif dan

seharusnya sangat diperhatikan penggunaannya. Studi ini punya beberapa keterbatasan, namun,

pertama, ini adalah analisis sekunder pada studi kohort prospektif dan tidak didesain untuk

menjawab hipotesis teruji yang spesifik dan kedua, kelompok yang menerima vasopressor

sebagian besar menjalani operasi thorakotomi. Demikianlah, studi ini untuk menentukan efek

vasopressor pada syok hemoragik jelas sangat dibutuhkan. Vasopressor dapat berguna jika

digunakan sementara untuk mempertahankan tekanan arteri dan menjaga perfusi jaringan untuk

menghadapi hipotensi yang mengancam jiwa. Jika digunakan, sangat penting untuk mematuhi

saran penggunaan pada tekanan arteri (tekanan arteri sistolik 80-90 mmHg).

Karena vasopressor dapat meningkatkan cardiac afterload jika rata-rata infus berlebihan

atau fungsi ventrikel kiri sudah mengalami gangguan, penilaian fungsi jantung selama

pemeriksaan ultrasound awal sangat penting. Disfungsi jantung dapat berubah pada trauma

pasien dengan kontusio jantung, efusi perikardiak, atau cedera kepala sekunder dengan hipertensi

intracranial. Adanya disfungsi miokardiak membutuhkan penanganan dengan agen inotropic,

seperti dobutamin atau epinephrine. Apabila tidak terdapat evaluasi pengawasan fungsi jantung

atau cardiac output, sering kasus tersebut pada fase awal dari penatalaksanaan syok hemoragik,

disfungsi jantung harus dicurigai sebagai penyebab lemahnya respon terhadap ekspansi cairan

dan NE.

Manajemen temperature

Rekomendasi 16 kami merekomendasikan penerapan cepat pengukuran untuk mengurangi

hilangnya panas dan hangatkan pasien hipotermik untuk mencapai dan menjaga

normotermik. (grade 1c), kami mengusulkan bahwa hipotermi pada 33-35oC selama ≥48

Page 3: Jurnal Perdarahan

jam diterapkan pada pasien dengan TBI sekali berdarah dari sumber lain harus dikontrol.

(grade 2c)

Alasan:

Hipotermia, didefinisikan sebagai suhu tubuh inti ≤35oC, yang berhubungan dengan

asidosis, hipotensi dan koagulopati pada pasien cedera berat. Pada studi retrospektif dengan 122

sampel, hipotermia merupakan tanda klinis yang buruk, dibarengi dengan mortalitas tinggi dan

kehilangan darah. Efek klinis mendalam pada hipotermia akhirnya memicu morbiditas dan

mortalitas yang lebih tinggi, dan pasien hipotermia membutuhkan lebih banyak darah.

Hipotermia berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan hebat, dan hipotermia pada

pasien trauma yang memunculkan faktor risiko independen untuk perdarahan dan kematian. Efek

hipotermia termasuk perubahan fungsi trombosit, gangguan fungsi faktor koagulasi (penurunan

suhu sebanyak 1oC berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh sebanyak 10%), hambatan

enzim dan fibrinolysis. Suhu tubuh dibawah 34oC memicu koagulasi darah, namun hal ini hanya

terjadi ketika dilakukan uji koagulasi (PT dan APTT) dilakukan pada suhu rendah terlihat pada

pasien dengan hipotermia, dan tidak terjadi ketika dinilai pada suhu 37oC sebagai kegiatan rutin

untuk beberapa pengujian. Tahapan untuk mencegah hipotermia dan risiko koagulopati

hipotermia yang terinduksi termasuk memindahkan pakaian yang basah, menutupi pasien untuk

mencegah kehilangan panas tambahan, meningkatkan suhu lingkungan, meningkatkan panas

udara, terapi cairan hangat, dan pada kasus yang lebih ekstrim, peralatan penghangat tambahan.

Meskipun hipotermia harusnya dihindari pada pasien tanpa TBI, hasil berlawanan telah

diobservasi pada meta-analisis ini yang menilai mortalitas dan hasil neurologisc yang

berhubungan dengan hipotermia ringan pada TBI, mungkin disebabkan oleh kriteria penelitian

yang berbeda. Kecepatan induksi dan durasi hipotermia dapat menjadi faktor penting yang

mempengaruhi keuntungan yang berhubungan dengan terapi ini. Telah ditunjukkan bahwa

pendinginan jangka panjang selama 5 hari lebih efektif dibandingkan dengan pendinginan jangka

pendek selama 2 hari ketika hipotermia ringan digunakan untuk mengendalikan hipertensi

intracranial yang sulit disembuhkan pada pasien dewas dengan TBI parah. Secara jelas, rentang

waktu hipotermia sangat penting, karena sebuah studi prospektif RCT dengan 225 anak dengan

TBI parah menunjukkan bahwa terapi hipotermia dimulai pada waktu 8 jam setelah cedera dan

berlanjut selama 24 jam tidak meningkatkan hasil neurologisc dan meningkatkan mortalitas.

Page 4: Jurnal Perdarahan

Lebih lanjut, mode induksi hipotermia serebral mempengaruhi keefektifannya. Pada RCT

dibandingkan pendinginan otak non-invasif dan selektif (33-35oC) pada 66 pasien dengan TBI

parah dan hipotermia sistemik ringan (suhu rektal 33-35oC) dan kelompok control tidak terpapar

hipotermia, dihangatkan secara alamiah dimulai setelah tiga hari. Tekanan intracranial rata-rata

(ICP) (24, 48 atau 72 jam setelah cederadapat secara signifikan lebih rendah pada kelompok

pendinginan otak selektif dibandingkan kelompok control). Pada studi lainnya, perbedaan

tekanan intracranial menggunakan dua tingkat berbeda pada hipotermia dinilai. Namun, studi

observasional ini gagal mendemonstrasikan perbedaan pada reduksi ICP juga hipotermia 35-

33oC.

Berbagai studi meta-analisis terbaru membagi 12 RCT menganalisis efek hipotermia

ringan dibandingkan dengan terapi standard untuk TBI pada 1.327 pasien kedalam 2 sub-

kelompok berdasarkan strategi pendinginan: jangka pendek (≤48 jam) dan jangka panjang (≥48

jam dan/atau berlanjut hingga normalisasi dari ICP). Walaupun seorang peneliti

mendemonstrasikan mortalitas lebih rendah (RR 0.73, 95% CI 0.62-0.85) dan berbagai hasil

positif lainnya (RR 1.52, CI 1.28-1.80) untuk seluruh 12 studi pada pasien dengan terapi

hipotermia, efek menguntungkan ini tdak mampu juga untuk ditunjukkan sehubungan dengan

mortalitas (RR 0.98, 95% CI 0.75-1.30) dan tidak juga dengan hasil neurologisc (RR 1.31, 95%

CI 0.94-1.83) jika hanya pendinginan jangka pendek yang dianalisa. Sebaliknya, sekitar 8 studi

jangka panjang dan pendinginan langsung ke tujuan, mortalitas berkurang (RR 0.62, 95% CI

0.51-0.76) dan hasil neurologisc yang umum terjadi (RR 1.68, 95% CI 1.44-1.96). Hasil ini

sejalan dengan meta-analisis dua tahun sebelumnya. Namun, hasil ini tidak dikonfirmasi oleh

Studi Cedera Trauma Otak Akut Nasional: Hipotermia II (NABIS: H II), merupakan studi

tentang RCT pada 233 pasien dengan cedera otak parah yang terkena cedera selama 2,5 jam dan

terkena hipotermia (35OC diikuti dengan 33o selama 48 jam dan menghangat kembali perlahan

lahan) atau diterapi dengan suhu normal. Karena kriteria eksklusi sekunder, hanya 52 pasien

tetap termasuk kelompok hipotermia dan hanya 45 yang termasuk kelompok normothermia, yang

merupakan salah satu alasan bahwa pengujian dihentikan karena gagal diuji setelah 3,5 tahun.

Tidak terdapat mortalitas dan hasil neurologisc yang mendemonstrasikan keuntungan untuk

hipotermia sebagai strategi perlindungan primer terhadap persarafan pada pasien dengan TBI

parah.

Page 5: Jurnal Perdarahan

Kesimpulannya, hipotermia yang lama dapat dipertimbangkan pada pasien dengan

trauma kepala terisolasi setelah hemoragik dihentikan. Jika hipotermia ringan diterapkan pada

TBI, pendinginan harus dilakukan 3 jam setelah cedera, lebih baik menggunakan pendinginan

otak selektif dengan pendinginan pada kepala dan leher, dipertahankan selama >48

jam,penghangatan harus bertahan selama 24 jam dan tekanan perfusi serebral harus dijaga pada

>50 mmHg (tekanan darah sistolik ≥70 mmHg). Pasien yang umumnya memiliki keuntungan

dari hipotermia merupakan pasiendengan GCS pada pengobatan antara 4 hingga 7. Efek samping

yang mungkin terjadi adalah hipotensi, hipovolemik, gangguan elektrolit, resistensi insulin dan

menurunnya secret insulin dan meningkatnya risiko infeksi. Namun, satu studi case controltidak

mendapatkan bukti bahwa hipotermia selama 48 jam meningkatkan risiko infeksi pada pasien

setelah TBI diobati dengan dekontaminasi kanal selektif. Lebih lanjut, studi tersebut menjamin

untuk mengobservasi keuntungan tentang hipotermia pada TBI.

Eritrosit

Rekomendasi 17kami merekomendasikan sebuah hemoglobin target (TB) antara 7 hingga 9

g/dL. (grade 1c)

Alasan:

Pengiriman oksigen ke jaringan merupakan hasil dari aliran darah dan kandungan oksigen

arteri, yang langsung berhubungan dengan kadar Hb. Penurunan kadar Hb dapat berakibat

hipoksia jaringan. namun, respon fisiologis tubuh terhadap anemia normovolemik akut, termasuk

sirkulasi makro dan mikro berubaha didalam aliran darah, dapat menimbulkan kompensasi

berupa penurunan konsentrasi Hb.

Belum ada RCT prospektif yang dapat membandingkan regimen transfusi liberal dan

restriktif pada trauma, tapi 203 pasien trauma dari bagian kebutuhan transfusi pada uji perawatan

kritis dianalisa. Regimen transfusi restriktif (pemicu transfusi Hb <7 g/dL) menghasilkan

transfusi yang lebih sedikit dibandingkan regimen transfusi liberal (pemicu transfusi Hb <10

g/dL) dan tampak lebih aman. Namun, tidak ada keuntungan signifikan pada kegagalan multi

organ atau infeksi pasca trauma yang diteliti. Harus ditekankan bahwa studi ini tidak didesain

atau diperkuat untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat. Sebagai tambahan, hal ini

tidak dapat dikesampingkan bahwa jumlah unit sel darah merah (RBC) yang ditransfusikan

hanya mencerminkan keparahan cedera. Namun, transfusi RBC telah ditunjukkan pada berbagai

Page 6: Jurnal Perdarahan

studi yang dihubungkan dengan peningkatan mortalitas, cedera paru, peningkatan kejadian

infeksi, dan kegagalan ginjal pada korban trauma. Efek penyakitini dapat menjadi penting

dengan penyimpanan RBCC lebih dari 14 hari.

Meskipun terdapat bukti kekurangan dari penelitian tingkat tinggi untuk pemicu transfusi

Hb spesifik pada pasien dengan TBI, pasien tersebut ditransfusi pada banyak daerah untuk

mencapai kadar Hb sekitar 10 g/dL. Hal ini dibenarkan melalui temuan bahwa peningkatan Hb

dari 8,7 ke 10,2 g/dL meningkatkan oksigenasi serebral local pada 75% pasien. Pada studi

sebelumnya tentang pasien dengan TBI, satu hingga dua transfusi pada kadar Hb sekitar 9 g/dL

sementara mengalami peningkatan oksigenasi serebral (tiga hingga enam jam), juga terjadi pada

75% pasien. Waktu penyimpanan lebih dari 19 hari menghalangi efek ini. Pada studi lainnya,

oksigenasi jaringan serebral, sebagian besar, tidak meningkat karena peningkatan Hb dari 8,2

menjadi 10,1 g/dL. Namun peneliti menyimpulkan, berdasarkan model statistic multivariat,

bahwa perubahan pada oksigenasi serebral berhubungan signifikan dengan konsentrasi Hb.

Kesimpulan ini, dipertanyakan pada banyak studi. Pada studi hasil inisial kadar Hct terendah

berhubungan dengan hasil neurologis yang merugikan dan transfusi RBC juga ditemukan

sebagai faktor independen untuk memprediksi hasil neurologis merugikan. Menariknya, jumlah

hari dengan Hct dibawah 30% ditemukan berhubungan dengan peningkatan hasil neurologis,

pada studi tentang hasil pada 1150 pasien dengan TBI, transfusi RBC ditemukan berhubungan

dengan peningkatan mortalitas dua kali lipat dan peningkatan komplikasi rata-rata tiga kali lipat.

Analisis observasional pada 139 pasien TBI menyarankan bahwa peningkatan Hct diatas 28%

selama tahap ruang operasi tidak stabil awal mengikuti TBI parah tidak berhubungan dengan

peningkatan hasil sebagaimana yang ditentukan oleh skala hasil Glasgow setelah 6 bulan. Pada

studi lainnya pada 234 pasien dengan TBI parah, anemia (disebut sebagai Hb <10 g/dL) pada

IGD atau ICU bukan merupakan faktor risiko untuk hasilyang buruk. Karena itu, pasien dengan

TBI berat tidak boleh dirawat dengan ambang batas transfusi Hb berbeda daripada pasien dengan

sakit kritis.

Eritrosit berkontribusi terhadap hemostasis dengan mempengaruhi respons biokimia dan

fungsional pada trombosit aktif melalui efek rheology pada margin trombosit dan melalui

dukungan terhadap turunan thrombin. Namun, konsentrasi optimal Hct atau Hb perlu

mempertahankan hemostasis pada pasien perdarahan masif juga belum diketahui. Observasi

lanjutan terhadap peran konsentrasi Hb pada hemostasis pada pasien trasfusi yang masif dijamin.

Page 7: Jurnal Perdarahan

Efek Hct pada koagulasi darah belum sepenuhnya jelas. Reduksi Hct akut dalam

peningkatan pada waktu perdarahan dengan pemulihan setelah transfusi ulang. Hal ini

berhubungan dengan adanya enzim elastase pada permukaan membrane RBC, yang

mengaktifkan koagulasi faktor IX. Namun, reduksi sedang pada Hct tidak meningkatkan

kehilangan darah dari luka terbuka biasa, dan reduksi isolasi in vitro tidak membahayakan

koagulasi darah seperti yang terjadi pada tromboelastometri.

Pengendalian cepat pada perdarahan

Pengendalian awal perdarahan abdomen

Rekomendasi 18 kami merekomendasikan bahwa pengendalian perdarahan awal pada

abdomen dapat dicapai menggunakan control perdarahan operasi secara packingdan direk

dan penggunaan prosedur hemostasis local. Pada pasien kehilangan darah, klamp silang

aorta dapat dilakukan sebagai tambahan.

Packing resusitasi abdomen adalah bagian awal dari laparotomy pasca trauma untuk

mengidentifikasi cedera mayor dan sumber hemoragik. Jika perdarahan tidak dapat dikontrol

menggunakan packing dan teknik bedah konvensional ketika pasiaen dalam kondisi ekstrim atau

ketika kontrol vaskuler proksimal dianggap perlu sebelum pembukaan abdomen, klamp silang

aorta dapat dilakukan sebagai tambahan untuk menghentikan perdarahan dan mendistribusikan

aliran darah ke jantung dan otak. Ketika kehilangan darah signifikan, ukuran pembedahan tidak

berhasil dan/atau ketika pasien kedinginan, asidosis dan koagulopatis, packingdefinitive dapat

dilakukan sebagai tahap pertama pembedahan dalam konsep control kerusakan.

Tujuan packing adalah untuk menekan rupture liver atau menggunakan tekanan langsung

pada sumber perdarahan. Packing definitive abdomen dapat percobaan lebih lanjut untuk

mencapai hemostasis total melalui angiografi dan/atau koreksi koagulopati. Pemindahan packing

lebih baik dilakukan hanya setelah 48 jam setelah risiko perdarahan kembali menurun. Walaupun

pengalaman klinis pada konsep control kerusakan baik, bukti ilmiah masih terbatas.

Penutupan dan stabilisasi pelvic ring

Rekomendasi 19 kami merekomendasikan bahwa pasien dengan gangguan pelvic ring pada

syok hemoragik menjalani penutupan dan stabilisasi pelvic ring segera

Packing, embolisasi, dan pembedahan

Page 8: Jurnal Perdarahan

Rekomendasi 20 kami merekomendasikan bahwa pasien dengan ketidakstabilan

hemodinamik walaupun memiliki pelvic ring yang adekuat harus menerima packing

preperitoneal, embolisasi angiografi dan/atau pembedahan perdarahan.

Alasan:

Tingkat mortalitas pasien dengan gangguan pelvic ring berat dan ketidakstabilan

hemodinamik masih tetap tinggi. Deteksi awal cedera ini dan usaha permulaan untuk

mengurangi gangguan dan menstabilkan pelvis yang mengalami perdarahan sangat penting.

Marker hemoragik pelvis termasuk pemotongan pergeseran anterior-posterior dan vertical pada

roentgenogram standard, gambar CT “kemerahan” (ekstravasasi arteri aktif), tekanan kompresi

kandung kemih, hematoma pelvis dengan volume>500 ml dibuktikan melalui CT dan

ketidakstabilan hemodinamik meskipun ada kestabilan fraktur yang adekuat.

Terapi awal pada fraktur pelvis termasuk control pada vena dan/atau perdarahan tulang

kanselus melalui penutupan pelvis. Beberapa instansi juga menggunakan fixator eksternal primer

untuk mengontrol hemoragik dari fraktur pelvis, namun penutupan pelvis juga dapat dicapai

menggunakan seprai, pengikat pelvis atau klamp C pelvis. Tambahannya untuk penutupan

pelvis, stabilisasi fraktur dan efek tamponade pada hematoma, pra, ekstra, aatau packing

retroperitoneal akan mengurangi dan menghentikan perdarahan. Packing pre-peritoneal

mengurangi kebutuhan embolisasi pelvis dan dapat dilakukan bersamaan atau segera setelah

stabilisasi fraktur pelvis. Packing pelvis dapat berpotensi membantu pada pengontrolan awal

perdarahan intrapelvis dan memberikan waktu krusial untuk manajemen hemoragik selektif

lainnya. Teknik ini dapat dikombinasikan dengan laparotomy konsekutif jika dirasakan perlu.

Hal ini mengurangi tingkat mortalitas yang tinggi yang terjadi pada pasien cedera pelvis mayor

yang menjalani laparotomy sebagai tindakan primer. Konsekuensinya, hal ini direkomendasikan

bahwa laparotomy non-terapeutik harus dihindari.

Angiografi dan embolisasi dianggap sangat efektif yang berarti untuk mengontrol

perdarahan arteri yang tidak dapat dikontrol pada stabilisasi fraktur. Martinelli dkk melaporkan

pada penggunaan penutup balon intra-aorta untuk mengurangi perdarahan dan memberikan jalur

untuk angiografi. Sebaliknya, Morozumi dkk menyarankan penggunaan angiografi secara digital

pada IGD untuk embolisasi arteri dilakukan oleh ahli bedah. Sejumlah peneliti menekankan

bahwa hipotensi yang diperbolehkan slama stabilisasi pelvis dan/atau angiografi (resusitasi

control luka, cairan hipertonik, hipotermia terkendali) dapat meningkatkan ketahanan hidup

Page 9: Jurnal Perdarahan

pasien. Pernyataan kontroversi tentang indikasi dan waktu optimal angiofrafi pada pasien dengan

hemodinamik tidak stabil. Perbedaan pada kapasitas untuk melakukan angiografi dan embolisasi

secara tepat waktu dapat menjelaskan perbedaan algoritma terapi yang disarankan oleh para

peneliti. Namun, consensus umum adalah bawah pendekatan secara multidisipliner pada cedera

berat diperlukan.

Operasi control luka

Rekomendasi 21 kami merekomendasikan bahwa operasi control luka dapat dilakukan

pada pasien cedera berat dengan syok hemoragik hebat, yang ditandai dengan perdarahan

dan koagulopati.

Faktor lain yang memicu pendekatan control luka adalah koagulasi berat, hipotermia,

asidosis, dan cedera anatomis mayor yang tidak terjangkau, dibutuhkan prosedur yang

memakan waktu atau cedera mayor luar abdomen yang bersamaan. (grade 1c)

Kami merekomendasikan manajemen bedah definitive primer pada pasien dengan

hemodinamik stabil dan tidak ada faktor pencetus lainnya.

Alasan:

Pasien dengan cedera berat yang tiba di RS dengan perdarahan kontinu atau syok

hemoragik hebat biasanya memiliki peluang hidup rendah kecuali dilakukan penanganan

perdarahan awal, resusitasi yang baik, dan transfusi darah. Hal ini sebagian besar benar pada

pasien dengan perdarahan tak terkontrol karena cedera tusukan multiple aatau pasien dengan

cedera abdomen mayor dan fraktur pelvis tidak stabil dengan perdarahan dari bagian fraktur dan

pembuluh darah retroperitoneal. Penyebab umum pada pasiien ini adalah rendahnya penerimaan

fisiologis dengan hasil asidosis hebat, hipotermia, dan koagulopati, juga disebut “siklus

perdarahan ganas” atau “segitiga kematian”. Tahun 1983, Stone menjelaskan teknik laparotomy

secara cepat, packing untuk mengontrol perdarahan dan penundaan perbaikan operasi definitive

sampai koagulasi membaik. Kemudian, sejumlah peneliti menjelaskan hasil menguntungkan dari

konsep ini, sekarang disebut “control luka”. Tipe pasien cedera multiple yang menjadi subjek

strategi control luka didefinisikan saat ini. Hal ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan

cedera abdomen mayor dan kebutuhan untuk penggunaan tambahan angioembolisasi, cedera

abdomen mayor dan keperluan untuk evaluasi cepat cedera lainnya, cedera abdomen mayor dan

trauma amputasi anggota tubuh. Faktor yang dapat memicu pendekatan control luka pada kamar

Page 10: Jurnal Perdarahan

operasi adalah suhu ruangan ≤34OC, pH ≤7,2, cedera vena mayor yang tidak dapat dijangkau,

perlunya prosedur yang memakan waktu pada pasien dengan respon rendah terhadap resusitasi

atau ketidakmampuan untuk mencapai hemostasiss karena koagulopati yang tidak membaik.

Operasi control luka pada abdomen terdiri atas tiga komponen. Komponen pertama adalah

resusitasi laparotomi cepat untuk control perdarahan, pemulihan aliran darah yang perlu dan

control terhadap kontaminasi. Hal ini harus dilakukan secara cepat tanpa membuang-buang

waktu pada perbaikan organ yang dapat ditunda nantinya. Abdomen dibalut dan penutupan

abdomen temporer dilakukan. Komponen kedua adalah perawatan secara intensif, berfokus pada

penghangatan pusat luka, koreksi imbalansi dasar asam dan koagulopati sebaik pada perbaikan

ventilasi dan status hemodinamik. Jika angiografi pelengkap dan/atau penilaian cedera lanjutan

dibutuhkan, maka harus dilakukan. Komponen ketiga adalah perbaikan bedah definitive yang

dilakukan hanya ketika seluruh parameter target telah tercapai. Walaupun konsep “control luka”

beralasan penggunaannya, belum ada RCT yang mendukung. Studi retrospektif mendukung

konsep tersebut yang menunjukkan penurunan morbiditas dan mortalitas pada populasi.

Prinsip “control luka” yang sama telah dilakukan pada cedera ortopedik pada pasien cedera

berat. Scalea dkk merupakan yang pertama menciptakan istilah “control luka ortopedik”. Fraktur

yang bersangkut paut harus distabilkan secara primer dengan fixator eksternal lebih sedikit

daripada osteosintesis definitive primer. Trauma yang sedikit dan durasiprosedur operasi yang

lebih singkat bertujuan untuk mengurangi cedera sekunder. Operasi osteosintesis definitive dapat

dilakukan setelah 4 -14 hari ketika pasien telah memulih. Studi klinis retrospektif dan studi

kohort mendukung konsep control luka ini. Satu-satunya studi randomized yang menunjukkan

keuntungan strategi ini adalah pada pasien “borderline”. Konsep control luka telah dijelaskna

untuk operasi thoraks dan saraf sebagaimana pada pasien anestesi pasca trauma .

Pengukuran hemostasis local

Rekomendasi 22 kami merekomendasikan penggunaan agen hemostasis local sebagai

kombinasi dengan ukuran bedah lainnya atau dengan packing pada perdarahan sedang

pada vena atau arteri berhubungan dengan cedera parenkim.

Alasan:

Agen homestasis local dengan jangkauan luas saat ini tersedia sebagai tambahan pada

teknik operasi biasa untuk mengontrol perdarahan. Agen topical ini dapat digunakan ketika sulit

Page 11: Jurnal Perdarahan

menjangkau tempat perdarahan. Agen homestasis local termasuk kolagen, gelatin atau produk

berbahan dasar selulosa, fibrin dan lem sintetik atau adhesive yang dapat digunakan untuk luka

eksternal dan internal sedangkan bahan dasar polisakarida dan hemostasis non-organik masih

digunakan dan aman untuk perdarahan eksternal.

Kegunaan agen homestasis topical harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti jenis

prosedur operasi, biaya, keparahan perdarahan, status koagulasi dan karakteristik spesifik agen.

Beberapa agen homestasis harus dihindari ketika melakukan autotransfusi, beberapa

kontraindikasi lain perlu diperhatikan. Kapasitas tiap agen untuk mengontrol perdarahan awalnya

dipelajari pada hewan namun peningkatan pengalaman pada manusia juga telah ada.

Jenis agen homeoostasis berbeda terdapat berdasarkankapasitas dasar alamiah dan

hemostasis pasien. Agen berbahan dasar kolagen memicu pengumpulan trombosit, menghasilkan

gumpalan ketika mengalami kontak dengan permukaan perdarahan. Mereka sering

dikombinasikan dengan agen berbahan prokoagulan sperti thrombin untuk meningkatkan efek

hemostasis. Efek positif hemostasis telah banyak dipelajari.

Produk berbahan dasar gelatin dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan dengan agen

pro-koagulan. Pembengkakan gelatin pada kontak dengan darah mengurangi aliran darah dan,

pada kombinasi dengan komponen berbahan thrombin, meningkatkan hemostasis. Produk

tersebut telah berhasil digunakan pada control perdarahan lokal pada operasi otak dan tiroid

ketika elektrokauter dapat menyebabkan kerusakan pada saraf, atau mengontrol perdarahan dari

permukaan irregular, seperti pada operasi pasca-sinus.

Efek agen hemostasis berbahan dasar selulosa pada perdarahan masih belum dipelajari dan

hanya dilaporkan ada beberapa kasus yang mendukung penggunaan obat tersebut.

Fibrin dan lem sintetik atau adesif memiliki hemostasis dan pelengket, dan efek terbaik

pada hemostasis telah ditunjukkan pada beberapa studi yang melibatkan operasi vaskuler, tulang,

kulit, dan visceral.

Agen hemostasis berbahan dasar polisakarida dapat dibagi dalam dua kategori:

glikosaminoglikan mengandung N-asetil-glukosamin dimurnikan dari hasil hemosfer mikroalga

dan diatom dan mikroporous polisakarida dari sari pati kentang. Mekanisme aksi ini sangat

kompleks dan tergantung dari penyaringan atau kombinasi dengan substansi lain sperti selulosa

atau fibrin. Sejumlah produk berbeda dalam bentuk bantalan, potongan kecil atau balutan yang

tersedia dan terbukti efisien untuk penggunaan eksternal pada perdarahan splanknik pada hewan.

Page 12: Jurnal Perdarahan

Sebuah studi observasional menunjukkan bahwa control perdarahan dicapai menggunakan

balutan berbahan dasar poli-N-asetilglukosamin yang diterapkan pada 10 pasien dengan cedera

hepar dan abdomen berat, asidosis, dan koagulopati klinis.

Hemostasis inorganic berbahan dasar mineral, seperti zeolite atau smektit, telah digunakan

dan dipelajari terutama pada pre-rumah sakit dan sumber luka eksternal.

V. manajemen perdarahan dan koagulasi

Perawatan koagulasi

Rekomendasi 23 kami merekomendasikan bahwa monitoring dan pengukuran untuk

mearawat koagulasi harus dilakukan secepat mungkin\

Alasan:

Hasil trauma mayor tidak hanya pada perdarahan dari bagian anatomis tapi juga pada

koagulopati, yang berhubungan dengan peningkatan berkali lipat pada mortalitas. Koagulopati

awal pada trauma ditemukan pada pasien dengan hipoperfusi (deficit dasar >6 mE/I) dan

dikarakteristikkan oleh regulasi trombomodulin endotel, yang membentuk kompleks dengan

thrombin.

Monitoring awal pada koagulopati penting untuk mendeteksi koagulopati akibat trauma

dan untuk menemukan penyebab utama, termasuk hiperfibrinolisis. Intervensi terapi awal tidak

meningkatkan uji koagulasi, mengurangi kebutuhan transfusi RBC, FFP dan trombosit,

mengurangi insiden gagal organ multiple, memperpendek lama rawat di rumah sakit, dan

meningkatkan harapan hidup. Oleh karena itu, pengobatan cepat dan agresif lebih meningkatkan

hasil dari pasien cedera berat. Namun, terdapat studi yang menyebutkan tidak ada keuntungan

terhadap harapan hidup yang tampak. Namun menariknya, studi ini hanya meninjau dari hasil

lab, seperti PT, aPTT dan hitung trombosit, digunakan untuk monitoring koagulasi dan hanya

FFP dan trombosit yang digunakan untuk mengobati koagulopati.

Agen antifibrinolitik

Rekomendasi 24 kami merekomendasikan bahwa asam tranexamic diberikan secepat

mungkin pada pasien trauma yang mengalami perdarahan atau memiliki risiko hemoragik

signifikan pada dosis obat pada infus 1 g selama 10 menit, diikuti dengan infus iv sebanyak

1 g selama 8 jam. (graded 1A)

Page 13: Jurnal Perdarahan

Kami merekomendasikan pemberian asam tranexamic pada pasien trauma yang

mengalami perdarahan dalam 3 jam setelah cedera.(grade 1B)

Kami menyarankan protocol untuk manajemen pasien perdarahan mempertimbangkan

pemberian dosis pertama asam tranexamic sewaktu dalam perjalanan ke rumah sakit.

(grade 2C)

Alasan:

Asam tranexamic (asam trans-4-aminometilsikloheksan-1-karboksilic;TXA) merupakan

analog lisin sintetik merupakan inhibitor kompetitif dari plasminogen. TXA didistribusikan

melalui seluruh jaringan, dan paruh waktu plasmanya 120 menit. Uji CRASH-2 (terapi

antifibrinolitik pada uji klinis acak dalam hemoragik hebat) menilai efek pemberian awal dosis

rendah TXA untuk risiko terhadap kematian, kejadian penutupan vaskuler, dan penerimaan

transfusi darah pada pasien trauma yang mengalami perdarahan atau berisiko tinggi perdarahan.

Uji klinis pada 20.211 pasien trauma dewasa dengan atau berisiko tinggi perdarahaan pada TXA

(dosis 1 g selama 10 menit diikuti infus 1 g selama 8 jam) atau menggunakan placebo dalam 8

jam kecelakaan. Hasil primer adalah kematian di rumah sakit 4 minggu pasca cedera. Seluruh

hasil analisis menilai “keinginan mengobati” populasi. Seluruh penyebab mortalitas menurun

signifikann dengan TXA (1,463 (14.5%) TXA vs. 1,613 (16.0%) placebo; risiko relatif 0.91,

95% CI 0.85 hingga 0.97; P = 0.0035), dan risiko kematian karena perdarahan menurun

signifikan (4.9%) vs. 574 (5.7%); risiko relatif 0.85, 95% CI 0.76 hingga 0.96; P = 0.0077). tidak

ada bukti bahwa efek TXA pada kematian karena perdarahan bergantung pada tekanan darah

sistolik, GCS atau tipe cedera. Risiko percepatan thrombosis dengan penggunaan analog TXA

lisin dan asam ε-aminocaproic telah diperhatikan; namun, CRASH-2 menunjukkan tingkat

thrombosis, khususnya infark miokard, lebih rendah dengan TXA. Tidak ada efek samping

disebutkan akibat TXA pada CRASH-2, walaupun tingkat kejang meningkat disebutkan pada

pasien yang menggunakan TXA dosis tinggi ketika menjalani operasi jantung.

Analisis lain pada data CRASH-2 menunjukkan pengobatan awal (<1 jam dari cedera)

mengurangi risiko kematian karena perdarahan (198/3,747 (5.3%) events TXA vs.

286/3,704(7.7%) placebo; risiko relatif (RR) 0.68, 95% CI 0.57 hingga 0.82; P <0.0001).

pengobatan dilakukan antara 1-3 jam juga mengurangi risiko kematian karena perdarahan

(147/3,037 (4.8%) vs. 184/2,996 (6.1%); RR 0.79, 0.64 to 0.97; P = 0.03). pengobatan diberikan

setelah 3 jam tampak meningkatkan risiko kematian karena perdarahan (144/3,272 (4.4%) vs.

Page 14: Jurnal Perdarahan

103/3,362 (3.1%); RR 1.44, 1.12 hingga 1.84; P = 0.004), oleh karena itu, kami rekomendasikan

bahwa TXA tidak diberikan lebih dari 3 jam pasca cedera. Agar memastikan TXA diberikan

secara cepat, pemberian TXA diluar rumah sakit pada daerah cedera harus direncanakan dan

kami menyarankan protocol untuk manajemen pasien perdarahan mempertimbangkan pemberian

dosis pertama TXA pada daerah cedera. Untuk efek lebih luas, TXA diberikan pada pasien

dengan trauma dan perdarahan signifikan. Kemudian pedoman untuk mengobati “kehilangan

darah masif” harus diperbaharui untuk memasukkan seluruh pasien perdarahan, tidak hanya

pasien hemoragik mayor.

Keefektifan biaya TXA pada trauma telah dihitung pada tiga Negara; Tanzania sebagai

contoh negara pendapatan rendah, India sebagai negara dengan pendapatan menengah dan Inggri

sebagai negara dengan pendapatan tinggi. Biaya pemberian TXA pada 1000 pasien adalah US$

17.483 di Tanzania, US$ 19.550 di India dan US$ 30.830 di Inggris. Estimasi kenaikan biaya per

jiwa per tahun pada pemberian TXA adalah US$48, US$66, dan US$64 di Tanzania, India, dan

Inggris secara berurut.

Asam ε-aminocaproic juga merupakan analog sintetik lisin memiliki potensi 10 kali lipat

lebih lemah daripada TXA. Obat ini diberikan pada dosis 150 mg/kg diikuti dengan infus terus

menerus sebanyak 15 mg/kg/jam. Paruh waktu awal adalah 60 hingga 75 menit dan harus,

diberikan melalui infus terus menerus untuk menjaga kadar terapeutik obat hingga risiko

perdarahan membaik. Agen in merupakan potensi alternative jika TXA tidak tersedia.

Penggunaan aprotinin kontraindikasi dengan pasien trauma perdarahan, sekarang TXA telah

lebih efektif dan aman untuk trauma, sehingga keamanan aprotinin diperhatikan pada bagian

lain.

Kalsium

Rekomendasi 25 kami rekomendasikan kadar ion kalsium untuk diawasi dan dijaga dalam

jarak normal selama transfusimasif.(grade 1c)

Alasan:

Dua studi kohort menunjukkan bahwa kadar ion kalsium pada pengobatan berhubungan

dengan peningkatan mortalitas seperti pada peningkatan kebutuhan transfusimasif. Lebih lanjut,

hipokalsemia selama 24 jam pertama dapat menentukan mortalitas dan kebutuhan transfusi

multipel lebih baik daripada konsentrasi fibrinogen terendah, asidosis, dan hitung trombosit

Page 15: Jurnal Perdarahan

terendah. Pengukuran kadar ion kalsium pada pengobatan dapat membantu identifikasi cepat

pasien yang membutuhkan transfusi massif, membuat persiapan lebih cepat pemberian produk

darah yang diperlukan. Namun, belum ada data yang menunjukkan bahwa pencegahan

hipokalsemia ion dapat menurunkan mortalitas antara pasien dengan perdarahan kritis yang

memerlukan transfusi darah massif.

Kalsium pada plasma ekstrasel terdapat juga pada ion bebas atau terikat pada protein dan

molekul lain pada bagian biologis yang tidak aktif. Konsentrasi normal pada ion sekitar 1.1

hingga 1.3 mmol/L dan dipengaruhi pH. Peningkatan 0.1 unit pada pH menurunkan konsentrasi

ion kalsium sekitar 0.05 mmol/L. ketersediaan ion kalsium penting untuk formasi waktu dan

stabilisasi bagian polimerisasi fibrin, dan penurunan konsentrasi sitosol kalsium mempercepat

penurunan aktivitas trombosit. Tambahannya, kontraktilitas jantung dan resistensi vasskuler

sistemik rendah pada penurunan ion kalsium. Kombinasi keuntungan jantung dan efek

koagulopati, kadar konsentrasi ion kalsium seharusnya dipertahankan >0.9 mmol/L.

Hipokalsemia awal pada cedera trauma berhubungan signifikan dengan jumlah plasma

beku yang ditransfusikan dan juga dengan jumlah infus koloid, namun tidak dengan kristaloid.

Hipokalsemia berkembang selama transfusi sebagai hasil dari sitrat sebagai antikoagulan pada

produk darah. Sitrat menggunakan aktivitas antikoagulannya dengan mengikat ion kalsium, dan

hipokalsemia merupakan paling umum berhubungan dengan FFP dan transfusi trombosit karena

produk ini mengandung sitrat yang tinggi. Sitrat melalui metabolisme hepar yang cepat, dan

hipokalsemia umumnya terjadi sementara selama proses transfusi standard. Metabolisme ssitrat

dapat terganggu oleh hipoperfusi, hipotermia, dan pada pasien dengan gangguan hepar.

Plasma

Rekomendasi 26 kami rekomendasikan pemberian awal plasma (plasma beku segar/FFP)

atau plasma pathogen inaktif) (grade 1B) atau fibrinogen (grade 1c) pada pasien dengan

perdarahan hebat.

Jika plasma telah diberikan, kami sarankan pemberian plasma optimal; rasio sel darah

merah setidaknya 1:2. (grade 2c).

Kami rekomendasikan transfusi plasma dihindari pada pasien tanpa perdarahan hebat.

Alasan:

Page 16: Jurnal Perdarahan

Resusitasi control luka bertujuan untuk mengobati secara cepat koagulopati trauma akut

melalui penggantian awan dari faktor pembekuan darah. Plasma (FFP) digunakan seluruh dunia

sebagai faktor fibrinogen dan faktor pembekuan darah. FFP memiliki 70% dari kadar normal

seluruh faktor pembekuan darah; oleh karena itu, dapat menjadi pengganti faktor pembekuan

yang adekuat; namun, persiapan berbeda memberi hasil berbeda. Asidosis sebagai hasil dari

perdarahan hebat memiliki efek samping pada proses koagulasi; pH rendah mempengaruhi

aktivitas dari faktor VII dan sedikit dari faktor X dan faktor V. Lebih lanjut, studi lain

menunjukkan bahwa hipoperfusi pada pasien trauma berhubungan dengan reduksi awal pada

aktivitas faktor V dan dengan sedikit penurunan pada aktivitas faktor II, VII, IX, X, dan XI.

Tandanya turun pada faktor V disebabkan adanya aktivitas fibrinolitik karena faktor V sangat

mudah dihancurkan oleh fibrinolysis. Trauma akibat koagulopati ada pada 25%-30% pasien

dengan trauma mayor sewatu tiba di IGD.

Penggunaan plasma tidak bebas bahaya dan berhubungan dengan peningkatan kejadian

gagal organ multipel pasca trauma, sindrom distress pernafasan akut, infeksi, dan dengan

peningkatan komplikasi sewaktu volume plasma meningkat. Seperti seluruh produk dalam tubuh

manusia, risikonya berhubungan dengan pengobatan FF juga termasuk overload sirkulasi,

inkompatibilitas ABO, transmisi penyaki infeksi (termasuk penyakit prion) dan reaksi alergi

ringan. Cedera paru akut akibat transfusi (TRALI) adalah efek samping parah yang berhubungan

dengan antibody leukosit pada plasma transfusi. Transmisi penyakit infeksi dapat diperkecil

dengan penggunaan plasma pathogen inaktif.

Walaupun jalur tetap antara pengobatan FFP, pengontrolan perdarahan, dan peningkatan

hasil perdarahan masih belum baik, beberapa ahli setuju bahwa pengobatan FFP baik pada pasien

dengan perdarahan hebat atau perdarahan signifikan akibat komplikasi dari koagulopati.

Berdasrakan laporan dari perang irak, pada Mei tahun 2005. Sebuah konsep baru untuk resusitasi

pasien dengan perdarahan hebat dan direkomendasikan pengobatan segera terhadap komponen

koagulasi dengan rasio 1:1:1 antara RBC, plasma dan trombosit. Tahun tahun berikutnya dari

militer dan sipil menunjukkan peningkatan hasil pada pasien dengan perdarahan hebat setelah

mengadopsi protocol tersebut, termasuk pemberian awal dosis tinggi plasma. Sementara itu, 19

studi, 6 tinjauan sistematis, dan 1 meta analisis telah menunjukkan efek rasio FFP : RBC.

Namun, studi ini punya keterbatasan: tidak ada studi RCT, namun sebagian besar adalah studi

retrospektif dan sejumlah besarnya banyak yang bias. Mayoritas peneliti menggunakan transfuse

Page 17: Jurnal Perdarahan

hebat (10 RBC selama 24 jam) sebagai kriteria, namun Davenport dkk fokus pada perdarahan

signifikan (>4 unit RBC), Borgman dkk menggunakan skor TASH untuk mengidentifikasi

pasien yang membutuhkan rasio tinggi FFP:RBC, sementara peneliti lain menggunakan paruh

waktu daripada 24 jam. Terdapat heteroggenitas signifikan antara studi berbeda. FFP butuh

dicairkan sebelum diberikan, oleh karena itu, sering tidak tersedia saat itu juga. Sekitar 50%

pasien yang mati karena hemoragik mati dalam waktu 6 jam pertama, sebagian besar tidak

sempat mendapatkan darah pada rasio yang diinginkan, sehingga muncul bias waktu potensial

dan ketahanan hidup yang dapat mengacaukan hasil studi. Untuk menghindari bias ini, para

peneliti telah mengesampingkan pasien yang mati dalam beberapa jam pada perawatan rumah

sakit, namun dapat berbeda hasilnya tapi bias yang lebih baik karena pasien mati akibat

kehilangan darah, namun mendapat rasio FFP:RBC yang tinggi, dikesampingkan pada analisis

ini. Untuk berbagai alasan, kualitas bukti masih rendah. Umumnya, hasil sering tampak pada

pasien yang mendapat rasio plasma:RBC yang tinggi, namun rasio optimal perlu diketahui untuk

meningkatkan tingkat ketahanan hidup masih belum tetap. Satu studi meta analisis menunjukkan

reduksi signifikan pada risiko kematian pada pasien trauma yang menjalani transfuse hebat pada

rasio plasma:RBC adalah 1:2,5 hingga 1:1, namun perhatian peneliti berlawanan dengan bukti

yang masih sangat sedikit. Mayoritas tinjauan sistematis mencapai kesimpulan yang sama,

peningkatan mortalitas dengan level plasma yang lebih tinggi, walaupun menekankan bahwa

rasio optimal dan konsisten dari FFP:RBC belum diketahui, dan kurangnya butki untuk

mendukung rasio tersebut. Lier dkk adalah satu-satunya kelompok peneliti yang merasakan

bahwa bukti sudah cukup kuat untuk membuat rasio tetap FFP:RBC adalah 1:2 hingga 1:1.

Sebaliknya, tinjauna dari Kozek dkk menyimpulkan bahwa ada ketidakkonsistenan dan bukti

kontradiktif dengan efektivitas FFP, dan menyebutkan bahwa fibrinogen dapat memberikan

keuntungan alternative, walaupun studi berkualitas lainnya perlu dilakukan sebelum keputusan

tercapai.

Menariknya, sebuah studi kohort oleh Davenport dkk menganalisa parameter koagulasi

sebelum dan sesudah transfuse pada setiap 4 unit RBC dengan tingkat variabel plasma oleh

tromboelastometri rotasional. Peneliti lain yang menilai efek hemostasis maksimal dengan rasio

plasma:RBC berkisar antara 1:2 dan 3:4. Tingkat lebih tinggi tidak memberikan efek tambahan,

dan pada pasien lain dengan gangguan hemostasis. Data ini tetap dengan hasil model computer

pada transfuse hebat.

Page 18: Jurnal Perdarahan

Fibrinogen dan kriopresipitasi

Rekomendasi 27 kami rekomendasikan pengobatan dengan konsentrat fibrinogen atau

kriopresipitasi pada pengobatan berkelanjutan pada pasien dengan perdarahan signifikan

dan dibarengi dengan tanda tromboelastometrik pada deficit fungsional fibrinogen atau

kadar plasma fibrinogen kurang dari 1.5 hingga 2 g/dL.

Kami sarankan pemberian konsentrat fibrinogen inisiasi sekitar 3-4 g atau 50 mg/kg, atau

sekitar setara dengan 15-20 single unit pada orang dewasa dengan berat 70 kg. dosis

berulang dapat diberikan dan diawasi dengan monitoring viscoelastis dan penilaian hasil

lab pada kadar fibrinogen.

Alasan:

Fibrinogen adalah komponen akhir dari siklus koagulasi, ligan pada agregasi trombosit dan,

kunci untuk koagulasi efektif dan fungsi trombosit. Hipofibrinogenemia adalah komponen biasa

dari kompleks koagulopati yang berhubungan dengan perdarahan hebat. Pasien trauma

koagulopati memiliki konsentrasi fibrinogen 0.9 g/L yang berhubungan dengan ketegasan

bekuan (MCF) 6 mm menggunakan tromboelastometri, dimana hanya 2,5% relawan sehat yang

memiliki MCF <7 mm. pada pasien trauma, MCF 7 mm berhubungan dengan kadar fibrinogen

sekitar 2 g/L. selama penggantian darah yang hilang, fibrinogen adalah faktor koagulasi pertama

yang menurun drastic. Selama perdarahan postpartum, konsentrasi plasma fibrinogen adalah

parameter koagulasi satu-satunya yang berhubungan dengan proses berkaitan dengan perdarahan

hebat, dengan kadar <2 g/L memiliki nilai prediktif 100%.

Studi observasional lain menyaranakan bahwa penggantian fibrinofen dapat meningkatkan

ketahanan hidup pada pasien trauma perang. Tinjauan oada kehilangan darah massif pada pasien

trauma menyarankan bahwa penggunaan fibrinogen dipantau dengan tromboelastometri dengan

produk darah lain mengurangi mortalitas ketika dibandingkan dengan mortalitas yang yang

diharapkan, mengurangi paparan produk darah alogenik dan meningkatkan ketahanan hidup

selama 30 hari. Namun, tinjauan sistematis saat ini menunjukkan bahwa tidak ada uji klinis yang

adekuat yang mendemonstrasikan keuntungan dari penggunaan fibrinogen tambahan untuk

mengobati pasien trauma perdarahan.

Pemberian fibrinogen menggunakan metode viscoelastis sebagai panduan lebih baik untuk

mengukur kadar fibrinogen. Beberapa metode pada metode lab untuk mengukur fibrinogen

masih ada, karena adanya koloid artifisial, seperti HES, bahkan sering menjadi metode yang

Page 19: Jurnal Perdarahan

direkomendasikan. Metode Clauss, mengestimasikan terlalu signifikan kadar fibrinogen

sebenarnya.

Masalah apakah pemberian fibrinogen melalui faktor konsentrat, kriopresipitasi atau FFP

berhubungan dengan peningkatan risiko tromboembolisme vena pasca dirawat di RS belum

diketahui. Namun, kadar fibrinogen diharapkan mencapai kadar sekitar 7 g/L setelah operasi

mayor dan trauma, bahkan tanpa pemberian fibrinogen intra-operatif, dan efek pemberian

fibrinogen intra-operatif pasca trauma belum diketahui. Namun, konsentrat fibrinogen pada

pengobatan intra-operatif pada pasien yang menjalani cystectomy dan operasi jantung

menghasilkan kadar fibrinogen pasca operasi yang tinggi namun setelah 24 jam kadar fibrinogen

identic pada pasien dengan atau tanpa pemberian fibrinogen intra-operatif. Studi lain yang

mengevaluasi efek pemberian fibrinogen perlu diketahui.

Trombosit/trombosit

Rekomendasi 28 kami rekomendasikan bahwa trombosit harus diberikan untuk menjaga

kadar hitung trombosit diatas 50 x 109/L. (grade 1c)

Kami sarankan pemeliharaan kadar hitung trombosit diatas 100 x 109/L pada pasien

dengan perdarahan atau TBI.(grade 2c)

Kami sarankan dosis awal 4-8 single unit trombosit atau satu bungkus aphaeresis.(grade

2c)

Alasan:

Peran trombosit pada perkembangan koagulopati trauma belum dipahami; namun, ada

kelemahan bukti ilmiah untuk mendukung ambang batas transfuse trombosit khusus pada pasien

trauma. Satu studi dilakukan pada pasien transfuse berat menemukan satu uji hitung trombosit

<100 x 109 /L atau fibrinogen <0.5 g/L merupakan predictor paling sensitive pada perdarahan

mikrovaskuler. Pasien dengan nilai trombosit dan fibrinogen diatas kadar tersebut hanya

memiliki 4% peluang perkembangan perdarahan mikrovaskular. Sebuah hitung trombosit >100 x

109 /L akan meningkatkan ketahanan hidup pasien dengan perdarahan hebat karena rupture

aneurisma aorta abdominal ditangani secara proaktif dengan trasfusi trombosit dibandingkan

dengan kadar lebih rendah.

Hasilnya, consensus para ahli adalah bahwa hitung trombosit tidak boleh kurang dari kadar

kritis yaitu 50 x 109 /L pada pasien perdarahan akut, dengan beberapa ahli memutuskan bahwa

Page 20: Jurnal Perdarahan

ambang batas yang lebih tinggi sekitar 75 x 109/L lebih aman. Kadar target yang lebih tinggi

sekitar 100 x 109/L disarankan untuk pasien multi trauma, cedera otak, dan perdarahan hebat.

Sementara, ditemukan bahwa hitung trombosit<100 x 109/L adalah predictor independen

mortalitas pada pasien dengan TBI.

Lebih lanjut, pada pasien trauma, pemberian hitung trombosit dalam jarak normal, dengan

kurang dari 5% pasien sampai di IGD dengan hitung trombosit <100 x 109/L. pada kehilangan

darah akut awal, sumsum tulang dan limpa saling melepas trombosit, dan hitung trombosit 50 x

109/L dapat diantisipasi ketika sekitar dua kantung darah digantikan dengan cairan atau sel darah

merah. Tambahan, pasien yang mengalami koagulopati trauma, hitung trombosit tidak

berlawanan dengan kadar yang diharapkan berpengaruh terhadap koagulopati, namun, hitung

trombosit dapat menjadi penentu hasil yang didokumentasikan pada banyak pasien trauma yang

diinfus, dimana hitung trombosit berhubungan terbalik dengan keparahan cedera, morbiditas, dan

mortalitas.

Kemudian. Hitung trombosit yang normal tidak cukup setelah mengalami trauma berat, dan

hitung trombosit sendiri merupakan indicator lemah pada transfuse trombosit karena

mengabaikan disfungsi trombosit. Tambahannya, fungsi trombosit pada pasien trauma belum

diketahui. Cedera parah dapat meningkatkan aktivasi trombosit, yang sejalan dengan penurunan

fungsi seperti yang dinilai pada TBI, yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Pasien

yang tidak selamat pada studi lain secara signifikan memiliki defek trombosit yang dinilai

dengan elektroda multiplate agregometri dibandingkan dengan yng selamat. Akhir akhir ini

ditemukan bahwa setelah cedera disfungsi trombosit terjadi bahkan sebelum cairan tambahan

atau transfuse darah diberikan dan berlanjut selama resusitasi, hal ini menimbulkan peran

potensial untuk transfuse trombosit awal.

Dosis terapeutik normal trombosit adalah satu konsentrat (60 hingga 80 x 109 trombosit)

per 10 kg berat tubuh. Satu produk trombosit aphaeresis, yang kira-kira sama dengan 6 unit

kantong darah, umumnya mengandung sekitar 3-4 x 1011 trombosit pada 150-450 donor plasma.

Satu dosis pada 4-8 unit trombosit atau satu unit aphaeresis biasanya cukup untuk mendukung

hemostasis pada trombositopenik, pasien perdarahan, dan meningkatkan hitung trombosit sekitar

30-50 x 109/L. transfuse konsentrat trombosit harus identic dengan ABO, atau setidaknya sesuai

dengan ABO, untuk hasil yang baik.

Page 21: Jurnal Perdarahan

Untuk manajemen koagulopati trauma, belum terdapat bukti berkualitas yang mendukung

transfuse up-front trombosit atau dosisi yang lebih tinggi diberikana pada rasio yang ditentukan

dengan produk darah lain. Uji klinis lain mengevaluasi transfuse trombosit profilaksis pada rasio

dengan seluruh darah 1:2 dibandingkan dengan jumlah sama plasma pada pasien yang menerima

>12 unit darah penuh selama 12 jam menyimpulkan bahwa pemberian trombosit tidak

mempengaruhi perdarahan nonbedah mikrovaskuler. Walaupun sebagian studi dan metaanalisis

termasuk studi yang diterbitkan antara 2005-2010 yang menginvestigasi efek transfuse trombosit

pada trauma berat dan transfuse hebat menunjukkan peningkatan ketahanan hidup antara pasien

yang menerima rasio trombosit tinggi dengan RBC, sejumlah bukti didukung studi lain dapat

menjadi subjek pada faktor tambahan serius, seperti kemampuan bertahan hidup masih bias.

Waktu transfuse trombosit berhubungan dengan inisiasi transfuse RBC/FFP tidak dilaporkan,

dan ada lebih dari satu rasio optimal berdasarkan keparahan trauma, derajat, dan dinamis

kehilangan darah dan pemberian cairan sebelumnya. Satu analisis lainnya menunjukkan bahwa

rasio trombosit tinggi : RBC berhubunngan dengan ketahanan hidup selama diberikan dlm 6 jam

dan melalui 24 jam pertama, bahkan ketika waktu fluktuasi pada komponen transfuse dihitung,

tidak bias. Hasil negative dan sebagian besar positif juga dilaporkan pada pasien dengan

transfuse massif. Menariknya, pasien dengan cedera tusukan, dan wanita tidak mendapat

keuntungan dari rasio tersebut, dan tidak ada perbedaan mortalitas dinilai pada pasien dengan

transfusi non massif menerima rasio trombosit yang lebih tinggi dibandingkan RBC. Ketika satu

intervensi studi (sebelum dan sesudah perkenalan protocol perdarahan hebat dilakukan dengan

rasio plasm dan trombosit lebih tinggi dibandingkan RBC) dilaporkan, ketahanan hidup

meningkat tampak pada tiga studi, namun tidak pada studi lanjutan. Karena itu, pemberian

trombosit tinggi : RBC sejalan dengan plasma tinggi : RBC masih kontroversial.

Satu alasan tambahan adalah karena adanya ketidakjelasan merupakan penyulit dalam

memisahkan efek rasio trombosit tinggi : RBC dari efek plasma tinggi : RBC. Pasien yang

menerima kombinasi rasio plasma tinggi dan trombosit tinggi mengalami peningkatan 6 jam, 24

jam, 30 hari di rumah sakit dan keluar dari rumah sakit. Namun, efek yang ditimbulkan trombosit

pada ketahanan hidup tidak sekuat transfuse plasma, lebih tinggi dari efek plasma, dan bahkan

jika tidak ada, kebalikan dari keuntungan peningkatan rasio plasma : RBC. Sebaliknya, rasio

transfuse trombosit tinggi : RBC dan bukan rasio tinggi plasma : RBC ditemukan berhubungan

dengan peningkatan ketahanan hidup pada pasien dengan TBI.

Page 22: Jurnal Perdarahan

Kekurangan utama studi ini adlaah jarak luas antara rasio trombosit : RBC, sejalan dengan

keluhan dengan rasio spesifik trombosit selama resusitasi aktif. Hasilnya, definisi rasio optimal

trombosit : RBC masih belum jelas. Usia trombosit transfuse berperan penting. Walaupun

penurunan morbiditas karena penggunaan agresif dari plasma dan trombosit dilaporkan,

transfuse trombosit profilaksis awal yang rutin sebagai protocol transfuse massif tidak tepat saat

ini.

Agen antitrombosit

Rekomendasi 29 kami sarankan pemberian trombosit pada pasien dengan perdarahan

hebat atau hemoragik intracranial yang telah diberikan agen antitrombosit. (grade 2C)

Jika pasien telah diberikan asam asetilsalisilat tunggal, kami sarankan pemberian

desmopresin ((0.3 μg/kg). (grade 2c)

Kami sarankan pengukuran fungsi trombosit pada pasien yang diberikan atau diduga

diberikan antitrombosit.(grade 2c)

Jika disfungsi trombosit didokumentasikan pada pasien dengan perdarahan

mikrovaskuler kontinu, kami sarankan pemberian konsentrat trombosit. (grade 2c)

Alasan:

Sedikit diketahui tentang efek agen antitrombosit (APAs), terutama aspirin dan clopidogrel,

pada trauma perdarahan. Data dari prosedur ortopedik non-elektif menunjukkan bahwa

peningkatan kehilangan darah pra operatif diberikan APAs sebelum operasi, atau tidak ada efek.

Peningkatan transfuse darah pada pasien ortopedik pada APAs juga kontroversi, namun,

penggunaan APAs pra-cedera tidak berdampak pada morbiditas dan mortalitas berdasarkan studi

pada pasien fraktur pelvis , atau trauma general tanpa cedera otak, tapi memiliki efek pada pasien

dengan cedera panggul. Sebaliknya bahkan trauma kepala ringan (GCS 14-15) ketika diberikan

APAs memiliki hubungan dengan insiden tinggi hemoragik intracranial (ICH), dan risiko ICH

terlambat pada kelompok ini memerlukan jangka waktu lebih lama untuk diobservasi. Lebih

lanjut, studi lainnya menemukan terjadi peningkatan 5 kali lipat pada trauma ICH pada pasien

yang diberikan APAs. Hubungan antara hasil dan pra-cedera APAs dalam pengobatan ICH

masih bertentangan antara literature tentang aturan trauma dan stroke, dan tinjauan sistematis

menunjukkan bahwa pengguna APAs pra-ICH mengalami mortalitas yang sedang dan sedikit

atau tidak ada peningkatan hasil fungsi klinis yang buruk.

Page 23: Jurnal Perdarahan

Beberapa studi telah berfokus pada hasil yang berhubungan dengan APA spesifik. Studi

yang menganalisis penggunaan clopidogrel pada pasien yang mengalami ICH spontan dan

trauma dilaporkan mengalami hasil lebih buruk. Dibandingkan dengan kelompok control, pasien

dengan clopidogrel menunjukkan 14,7 kali lipat peningkatan mortalitas, peningkatan morbiditas,

dan 3 kali lipat peningkatan pada perilaku pada jangka panjang. Sebaliknya, aspirin pra-cedera

tidak memberikan efek pada cedera kepala ringan hingga sedang atau mortalitas. Namun,

aktivitas trombosit menurun pada pasien ICH tanpa penggunaan aspirin, dan ini berhubungan

dengan pertumbuhan volume ICH dan hasil tiga bulan pertama yang buruk. Disfungsi trombosit

awal juga lazim setelah TBI parah tanpa APAs. Namun inhibisi trombosit yang lebih besar

diidentifikasi antara pasien yang mendapat kombinasi APAs dibandingkan dengan agen tunggal.

Temuan ini bersamaan dengan kenyataan bahwa 20-30% pasien yang tidak menerima aspirin,

clopidogrel atau keduanya menyarankan bahwa ukuran yang baik untuk fungsi trombosit dapat

berguna pada pengobatan pasien trauma perdarahan untuk membantu dokter menggunakan

transfuse trombosit. Pasien dengan disfungsi trombosit dapat diidentifikasi dan tidak perlu

pemberian transfuse trombosit.

Saat ini, tidak ada persetujuan pada uraian optimal tentang fungsi trombosit, dan banyak

teori kontroversi yang mempertanyakan apakah ICH pada pengobatan dengan APAs menjamin

transfuse trombosit. Transfuse trombosit kurang direkomendasikan pada pedoman baku

manajemen ICH pada pasien yang menggunakan APAs dan hanya diindikasikan pada pasien

dengan clopidogrel dan trauma perdarahan, walaupun kegunaan klinisnya masih belum jelas.

Studi lainnya gagal menunjukkan keuntungan dari transfuse trombosit pada pasien dengan APAs

dengan trauma ICH spontan. Studi metaanalisis tentang dampak transfuse trombosit pada

ketahanan hidup pasien dengan APAs pra-cedera yang menderita ICH, baik spontan maupun

trauma, tidak ditemukan keuntungan. Penelitian sejenis pada ICH trauma memberikan bukti

tidak adekuat untuk mendukung pemakaian rutin transfuse trombosit pada pasien dengan

pemakaian trombosit pra-cedera. Namun waktu pemberian trombosit masih belum optimal dan

studi lainnya menunjukkan bahwa transfuse trombosit awal, dalam 12 jam setelah onset

symptom, meningkatkan aktivitas trombosit dan berhubungan dengan ukuran hemoragik yang

mengecil dan lebih aman setelah 3 bulan. Penjelasan lain tentang observasi transfuse trombosit

tidak menunjukkan keuntungan bahwa efek inhibisi pada APAs tidak menjadi normal karena

Page 24: Jurnal Perdarahan

insufisiensi dosis, yang menonaktifkan trombosit transfuse. Hasil dari RCT multistage pada

trombosit transfuse pada pasien ICH yang menggunakan APAs masih dinilai.

Dosis yang dianjurkan untuk normalisasi aktivitas trombosit pada relawan sehat diberikan

aspirin tunggal atau kombinasi aspirin dan clopidogrel adalah 5 dan 10 hingga 15 unit trombosit.

Manajemen pra-operatif berhasil pada pasien dengan aspirin dan clopidogrel yang membutuhkan

operasii segera menggunakan dua unit trombosit apheresis. Disamping transfuse trombosit,

antitrombosit lain yang memiliki terapi berlawanan termasuk desmopresin dan gabungan faktor

koagulasi aktif faktor VII (rFVIIa). Kegunaan klinis desmopresin dan rFVIIa tidak dinilai untuk

efek samping APAs pra-cedera pada pasien dengan trauma ICH. Walaupun desmopresin telah

meningkatkan fungsi trombosit pada relawan dengan aspirin dan clopidogrel, dan secara peri-

operatif pada pasien dengan defek ringan trombosit bawaan, kegunaan desmopresin untuk

gangguan perdarahan diperoleh tidak didukung oleh bukti klinis. Satu metaanalisis lama

menyarankan kegunaan desmopresin pada pasien yang diberikan aspirin, dan desmopresin telah

direkomendasikan pada pasien yang diberikan inhibitor trombosit dan menderita ICH. Dosis

standard adalah 0.3 μg/kg diencerkan dalam 50 mL cairan dan diinfus selama 30 menit. Saat ini,

hal ini ditunjukkan bahwa identifikasi dari gangguan fungsi trombosit dengan penganalisa fungsi

trombosit PFA-100 atau agregometer elektroda multipel darah penuh dapat membantu

identifikasi pasien yang berefek baik pada desmopresin. Efek gabungan konsentrat trombosit dan

pemberian lanjutan desmopresin dianjurkan meningkatkan pemulihan fungsi trombosit normal.

Lebih lanjut, rFVIIa membalikkan efek inhibitor aspirin dan clopidogrel pada relawan sehat.

Menariknya, dosis efektif lebih rendah daripada yang digunakan pasien hemophilia. Tambahan,

TXA tampaknya meningkatkan fungsi trombosit pada pasien yang diberikan terapi antitrombosit

ganda yang diukur dengan agregometri elektroda multipel. Keefektifan potensial dalam

perkembangan hemostasis pada pasien trauma yang menerima APAs ditunjukkan pada

konsentrat fibrinogen.

Desmopresin

Rekomendasi 30 kami rekomendasikan bahwa desmopresin (0.3 μg/kg) diberikan pada

pasien yang diobati dengan obat anti trombosit atau dengan penyakit von Willebrand.

(grade 2c)

Page 25: Jurnal Perdarahan

Kami tidak merekomendasikan desmopresin digunakan rutin pada pasien trauma

perdarahan. (grade 2c)

Alasan:

Desmopresin meningkatkan kepatuhan trombosit dan agregasi pertumbuhan trombosit pada

subendotel arteri manusia dan pilihan pertama pada pasien perdarahan dengan penyakit von

Willebrand, penyakit yang terjadi pada 1 diantara 100 orang. Dua studi metaanalisis pada pasien

tidak mendiagnosis dengan von Willebrand, mampu mendemonstrasikan tren terkait penurunan

kehilangan darah peri-operatif, atau penurunan signifikan pada kebutuhan transfuse darah. Pasien

dengan gangguan fungsi trombosit dinilai dengan PFA-100 atau agregometer elektroda multipel

menunjukkan perbaikan akibat terapi desmopresin. Perhatian berdasarkan komplikasi

tromboemboli tidak dikonfirmasi pada studi tersebut.

Desmopresin tidak pernah dinilai pada trauma umum atau TBI. Namun, desmopresin

direkomendasikan pada pasien yang diberikan antitrombosit, dan pasien perdarahan

intraserebral, dan pasien trauma dengan penyakit von Willebrand. Namun, desmopresin

mencegah perkembangan gangguan akibat hipotermia pada hemostasis primer dan secara

signifikan meningkatkan agregasi platelet selama hipotermia dan asidosis.

Konsentrat kompleks protrombin

Rekomendasi 31 kami rekomendasikan penggunaan awal konsentrat kompleks protrombin

(PCC) untuk darurat daripada antikoagulan oral vitamin K-dependen.(grade 1B)

Jika strategi dengan konsentrat ini diterapkan, kami sarankan PCC diberikan pada pasien

perdarahan dengan bukti tromboelastometrik pada inisiasi koagulasi terlambat. (grade

2C)

Alasan:

Meskipun ada peningkatan penggunaan PCC, termasuk PCC aktif, tidak ada RCT yang

mendukungnya digunakan selain pada hemophilia atau pada pembalikan cepat efek antagonis

vitamin K oral. Pada protocol pasien trauma yang diobati dengan warfarin pra-cedera, studi

menunjukkan bahwa penggunaan PCC menghasilkan efek berbalik pada INR.

Tromboelastometri tampak menjadi alat berguna untuk membantu terapi PCC pada pasien

dengan koagulopati trauma. Dengan populasi berbeda usia, sebagian pasien trauma diobati

dengan antagonis vitamin K, sehingga, setiap unit trauma harus memiliki kebijakan pengobatan

Page 26: Jurnal Perdarahan

pada pasien ini. Karena ada variasi dalam produksi PCC, dosis harus ditentukan sesuai dengan

instruksi pada masing masing obat.

Penggunaan PCC memberikan peningkatan risiko thrombosis arteri dan vena selama

periode pemulihan, sehingga, risiko komplikasi thrombosis karena PCC dapat dihindari untuk

koagulopati yang efektif. Tromboprofilaksis secepat mungkin setelah control perdarahan telah

dicapai direkomendasikan pada pasien yang menerima PCC.

Antikoagulan baru

Rekomendasi 32 kami sarankan pengukuran aktivitas spesifik substrat anti faktor Xa pada

pasien yang diberikan atau diduga diberikan agen antifaktor Xa oral seperti rivaroxaban,

apixaban atau endoxaban. (grade 2c)

Jika perdarahan mengancam jiwa, kami sarankan obat selain rivaroxaban, apixaban dan

endoxaban dengan dosis tinggi (25-50 U/kg) PCC.(grade 2c)

Kami tidak menyarankan pemberian PCC pada pasien yang diberikan atau diduga

diberikan anti thrombin oral, seperti dabigatran. (grade 2B)

Alasan:

Selama ini, antikoagulan oral baru untuk pencegahan tromboemboli vena, pencegahan

stroke pada atrial fibrilasi, penurunan kejadian kardiovaskuler pada pasien dengan sindrom

coroner akut dan pengobatan emboli paru dan thrombosis vena hebat (DVT) dilakukan. Mode

primer dari aksi obat baru ini adalah menghambat faktor Xa secara direk (rivaroxaban, apixaban

dan endoxaban) atau inhibitor thrombin (dabigatran). Kami sering dihadapkan pada pasien

trauma yang diberikan salah satu obat tersebut, yang menghasilkan efek pada uji koagulasi dan

hemostasis.

Belum ada studi klinis dan hanya sedikit pengalaman klinis dalam pasien cedera trauma

yang diobati dengan obat tersebut yang masih hidup. Namun, saat ini tampak bahwa efek obat ini

pada uji koagulasi faktor Xa (rivaroxaban) tapi tidak dari antagonis faktor IIa (dabigatran) pada

relawan manusia yang segera dan sangat berlawanan dengan dosis tinggi (50 U/kg) PCC.

Aktivitas anti faktor Xa dapat diukur dengan uji substrat spesifik anti faktor Xa pada pasien

trauma yang diketahui atau diduga diberikan antagonis faktor Xa. Jika aktivitas anti faktor Xa

dideteksi, dosis tinggi (25-50 U/kg) dapat diberikan. Kami sarankan dosis awal 25 U/kg, diulang

jika perlu. Antagonis faktor IIa memperpanjang aPTT dan waktu thrombin namun dosis tinggi

PCC tidak efisien. Disamping pertimbangan dengan hemodialysis atau pemberian inhibitor

Page 27: Jurnal Perdarahan

faktor VIII, tidak ada pengobatan spesifik pada pasien yang diberikan antagonis faktor IIa yang

direkomendasikan. Keterlibatan hematologis dengan pengalaman koagulasi diperlukan.

Rekombinan koagulasi aktif faktor VII (rFVIIa)

Rekomendasi 33 kami sarankan penggunaan rFVIIa dapat dipertimbangkan jika

perdarahan mayor dan koagulopati traumat terjadi walaupun dilakukan usaha dasar

untuk mengontrol perdarahan dan penggunaan pengukuran hemostasis konvensional.

(grade 2c)

Kami tidak sarankan penggunaan rFVIIa pada pasien ICH karena trauma kepala

terisolasi. (grade 2c)

Alasan:

rFVIIa bukan pengobatan lini pertama untuk perdarahan dan dapat efektif hanya jika

sumber mayor perdarahan telah dikontrol. Ketika perdarahan mayor dari pembuluh darah yang

rusak dihentikan, rFVIIa dapat membantu untuk menginduksi koagulasi pada daerah dengan

perdarahan koagulopati jaringan pembuluh darah kecil. rFVIIa dipertimbangkan hanya jika lini

pertama dengan pendekatan bedah, pemakaian terbaik dari produk darah, (RBC, trombosit, FFP

dan kriopresipitasi/fibrinogen menghasilkan Hct diatas 24%, trombosit diatas 50 x 109/L dan

fibrinogen diatas 1,5-2,0 g/L), menggunakan antifibrinolitik dan koreksi asidosis hebat,

hipotermia berat dan hipokalsemia gagal untuk mengontrol perdarahan.

Karena rFVIIa bekerja pada system koagulasi pasien, jumlah adekuat kadar trombosit dan

fibrinogen dibutuhkan untuk melakukan “ledakan” thrombin diinduksi oleh farmakologi, dosis

supra-fisiologis rFVIIa melalui pengikatan langsung untuk mengaktifkan thrombosis. pH dan

suhu tubuh harus dikembalikan mendekati nilai normal, bahkan nilai yang rendah pada pH dan

suhu tubuh dapat memperlambat enzim kinetic koagulasi. Predictor lemahnya respon rFVIIa

adalah pH<7,2, hitung trombosit <100 x 109/L, dan tekanan darah <90 mmHg pada waktu

pemberian rFVIIa. Lebih lanjut, hipokalsemia sering tampak pada pasien cedera berat; sehingga,

pengawasan ion kalsium perlu, dan pemberian kalsium iv diperlukan.

Meskipun sejumlah studi melaporkan bahwa pengobatan dengan rFVIIa dapat

menguntungkan pada perawatan perdarahan akibat trauma, masih terdapat studi berkualitas

lainnya yang tidak mendukung. Sebuah studi case control double-blind menguji efektivitas

eFVIIa pada pasien dengan trauma tumpul dan penetrasi dan tampak bahwa pasien trauma

Page 28: Jurnal Perdarahan

tumpul lebih mampu selamat lebih dari 48 jam yang diberikan rFVIIa 200 μg/kg setelah mereka

mendapat 8 unit RBC dan dosis kedua dan ketiga 100 μg/mg 1 dan 3 jam kemudian mengalami

penurunan kebutuhan transfuse RBC dan transfuse massif (>20 unit RBC) dibandingkan placebo.

Mereka juga mengalami penurunan insiden ARDS secara signifikan. Sebaliknya, tidak ada efek

signifikan pada trauma tusuk pada studi ini, walaupun tren terkait penurunan kebutuhan RBC

dan transfuse massif dinilai. Hasil dan tren sama dinilai pada studi lainnya. Uji klinis lain

bertujuan untuk mengevaluasi rFVIIa sebagai tambahan untuk hemostasis direk pada pasien

trauma mayor yang diberikan 4-8 unit RBC selama 12 jam pasca cedera dan masih berdarah

walaupun resusitasi control ketat luka dan manajemen operasi dilakukan. Pasien diberikan

rFVIIa atau placebo. Uji ini dihentikan karena kesulitan untuk persetujuan dan pendaftaran

pasien dan menghasilkan tingkat mortalitas rendah karena kegagalan analisis. Kejadian efek

buruk thrombosis sama antara studi kohort.

Sebaliknya, penggunaan rFVIIa pada cedera kepala tertutup ditemukan berbahaya pada

studi case control pada pasien dengan trauma ICH, dengan risiko kematian tampak meningkat

dengan pemberian obat tersebut tanpa menghiraukan derajat keparahan. Tidak ada bukti dari

RCT yang mendukung efektifnya obat hemostasis dalam mengurangi mortalitas atau disabilitas

dalam pasien dengan TBI.

Dosis yang dibutuhkan pada rFVIIa masih diperdebatkan. Sedangkan dosis yang digunakan

pada RCT pada pasien trauma direkomendasikan oleh para ahli di Eropa, pedoman baku Israel

berdasarkna temuan dari sejumlah kasus pada 36 pasien yang menerima rFVIIa pada basis

penggunaan compassionate mengajukan dosis inisiasi 120 μg/kg (antara 100-140 μg/kg) dan

(jika perlu) dosis kedua dan ketiga. Teknik model farmakokinetik menunjukkan bahwa regimen

dosis untuk penggunaan pengobatan rFVIIa pada RCT yang dijelaskan diatas cukup untuk

membuktikan kadar plasma adekuat untuk obat mendukung hemostasis.

Jika rFVIIa diberikan, keluarga pasien selanjutnya harus diberitahukan bahwa rFVIIa

digunakan diluar indikasi, dapat meningkatkan risiko komplikasi tromboemboli. Sebuah studi

dilakukan oleh perusahaan obat menunjukkan risiko lebih tinggi efek samping tromboemboli

arteri (5,6% pada pasien yang mendapatkan rFVIIa dibandingkan placebo hanya 3.0%) diantara

2000 pasien yang terdaftar pada uji control placebo diluar indikasi kondisi klinis tersebut. Pada

pasien trauma, bagaimanapun, penggunaan rFVIIa tidak berhubungan dengan peningkatan risiko

komplikasi tromboemboli.

Page 29: Jurnal Perdarahan

Tromboprofilaksis

Rekomendasi 34 kami sarankan tromboprofilaksis mekanis dengan kompresi pneumatic

berselang (IPC) dan/atau stocking anti emboli secepat mungkin.(grade 2c)

Kami rekomendasikan tromboprofilaksis farmakologi selama 24 jam setelah perdarahan

dikontrol. (grade 1B)

Kami tidak rekomendasikan penggunaan rutin filter vena kava inferior sebagai

tromboprofilaksis.(grade 1c)

Alasan:

Risiko tromboemboli vena akibat perawatan rumah sakit sering terjadi setelah trauma

multipel, lebih dari 50% emboli paru adalah penyebab ketiga kematian pada pasien yang selamat

pada kondisi diatas. Ada beberapa penelitian RCT yang menilai tromboprofilaksis pada pasien

trauma, dan penggunaan stocking anti emboli tidak pernah dievaluasi pada pasien trauma. Studi

metaanalisis tidak mampu menunjukkan penurunan pada tingkat DVT dengan IP; bagaimanapun,

metode mekanis lebih umum digunakan karena risiko perdarahan yang rendah.

Uji tersebut juga menunjukkan bahwa dosis rendah heparin tidak terpecah (LDUH) tidak

lebih efektif daripada tromboprofilaksis. Studi RCT menunjukkan bahwa molekul ringan heparin

(LMWH) lebih efektif daripada LDUH, dengan penurunan risiko relative pada proksimal DVT

dengan LMWH adalah 58% dibandingkan dengan 30% pada LDUH. Lebih lanjut, LMWH

tampak lebih efektif daripada IPC, dengan rata-rata 1% pada proksimal DVT atau emboli paru

dibandingkan dengan 3% pada IPC. Kemudian, Profilaksis untuk Tromboemboli pada uji

Perawatan Kritis tampak bahwa LMWH lebih menguntungkan ketika dalteparin dibandingkan

dengan heparin tak terfraksi (UFH) pada populasi pasien kritis; terdapat tingkat yang sama pada

proksimal DVT sekitar 5%, namun tingkaat emboli paru lebih rendah dengan dalteparin dan 5%

pada perdarahan mayor.

Efek samping yang berhubungan dengan penggunaan heparin termasuk thrombosis

trombositopenia akibat heparin. Efek ini tampak sering terjadi dengan UFH daripada LMWH.

Keparahan trauma berhubungan dengan risiko thrombosis trombositopenia; sehingga, semakin

besar risiko, semakin besar keperluan pengawasan hitung trombosit pada pasien trauma. Sebagai

tambahan, penggunaan heparin ketika hemostasis telah dicapai ada opsi paling efektif untuk

pasien trauma. Pada pasien dengan risiko perdarahan, metode mekanis lebih diutamakan. Karena

ada perbedaan hasil dari uji perbanding antar UFH dengan LMWH, kami tidak

Page 30: Jurnal Perdarahan

merekomendasikan satupun pada kasus diatas. Karena LMWH diekskresikan lewat ginjal, tidak

seperti UFH, yang diekskresikan di hati, ada risiko akumulasi pada pasien dengan gagal ginjal,

sehingga, pengaturan dan/atau pengawasan dosis perlu dilakukan dengan LMWH berdasarkan

instruksi perusahaan obat.

Kontraindikasi pada tromboprofilaksis farmakologi termasuk pasien yang menerima dosis

penuh antikoagulan, pasien dengan trombositopenia hebat (hitung trombosit <50 x 109/L),

gangguan bawaan yang tidak diobati atau perdarahan, bukti adanya perdarahan aktif, hipertensi

tak terkontrol (>230/120), punksi lumbal/anestesi spinal diharapakan dalam 12 jam kedepan atau

dilakukan selama 4 jam terakhir (24 jam jika trauma), prosedur dengan risiko perdarahan hebat

atau stroke hemoragik baru.

Penggunaan filter vena kava inferior profilaksis biasa dilakukan, namun, tidak ada bukti

keuntungan tambahan ketika digunakan secar gabungan dengan tromboprofilaksis farmakologi.

Emboli paru masih terjadi meskipun terdapat filter, dan filter memiliki tingkat komplikasi jangka

pendek dan jangka panjang, berhubungan dengan biaya tinggi dan sering dibuktikan dengan rasa

keamanan yang salah, keterlambatan penggunaan tromboprofilaksis farmakologi. Kemudian,

filter vena kava inferior membutuhkan prosedur invasive sekunder untuk memindahkannya.

Waktu optimal untuk inisiasi tromboprofilaksis farmakologi sering sulit dinilai. Data dari

perawatan 175.000 pasien kritis tampak bahwa risiko mortalitas lebih tinggi pada pasien yang

tidak menerima tromboprofilaksis selama 24 jam pertama. Hal ini mencerminkan bahwa

perhatian terhadap pasien perdarahan memiliki tingkat tinggi terkena tromboemboli vena

daripada yang tidak berdarah.

Jalur pengobatan

Algoritme pengobatan

Rekomendasi 35 kami rekomendasikan bahwa tiap institusi mengimplementasikan

algoritma pengobatan berbasis bukti pada pasien trauma perdarahan.(grade 1c)

Checklist

Rekomendasi 36 kami rekomendasikan bahwa Checklist pengobatan harus digunakan

untuk membantu perawatan klinis.(grade 1b)

Kualitas manajemen

Page 31: Jurnal Perdarahan

Rekomendasi 37 kami rekomendasikan tiap institusi memasukkan penilaian kepatuhan

terhadap algoritma institusionl pada kualitas manajemen rutin.(grade 1c)

Alasan:

Perkembangan algoritma pengobatan berbasis bukti pada pasien trauma perdarahan

mengajukan sebuah kesempatan unik untuk menciptakan kepedulian antara seluruh tim medis

yang terlibat dan untuk meningkatkan pemahaman individu.algoritma pengobatan membuat

dalam framework terhadap ketersediaan bukti, fleksibilitas terhadap kondisi akomodasi local

penyelamatan pra-rumah sakit, opsi ketersediaan alat diagnostic dan terapeutik dan

meningkatkan konsistensi pelayanan. Sejumlah contoh menunjukkan nilai dari algoritma

pengobatan dalam meningkatkan pelayanan pasien trauma; beberapa juga menghasilkan

penghematan biaya. Sebaliknya, kerugian dari jalur pengobatan ini meningkatkan morbiditas dan

mortalitas pada pasien trauma, dengan peningkatan mortalitas tiga kali lipat.

Implementasi rekomendasi kami dan kepatuhan terhadap algoritma pengobatan local ini

difasilitasi oleh checklist analog untuk inisiatif keselamatan bedah. Item yang dianjurkan harus

termasuk beberapa checklist yang dapat dilihat pada tabel 4. Latihan penanganan trauma harus

menjadi bagian integral dari implementasi algoritma.

Sebagai tambahan, kepatuhan algoritma penanganan institusi harus termasuk sebagai

kualitas manajemen rutin institusi. Beberapa institusi menetapkan program peningkatan kualitas

untuk membantu tim klinis dalam mengevaluasi keunggulan masing masing. Sejumlah audit

untuk kepatuhan terhadap algoritam, termasuk perubahan praktik di bagian yang dirasa perlu

harus dimasukkan sebagai bagian dari implementasi panduan tersebut;

- Waktu dari cedera hingga intervensi awal untuk menghentikan perdarahan (operasi atau

embolisasi) pada pasien hipotensi yang tidak berespon dengan resusitasi awal

- Waktu dari ketibaan rumah sakit hingga ketersediaan hasil uji darah lengkap (hitung

darah lengkap, PT, fibrinogen, kalsium, uji viskoelastis (jika tersedia)

- Proporsi pasien yang menerima TXA sebelum meninggalkan IGD

- Waktu dari RS hingga pencitraan CT scan pada pasien perdarahan tanpa hemoragik

hebat.

- Teknik bedah control luka digunakan sesuai dengan Rekomendasi 21.

- Tromboprofilaksis dilakukan sesuai dengan Rekomendasi 34.

Page 32: Jurnal Perdarahan

Waktu follow-up pasca keluar dari RS diperlukan untuk mendukung data hasil jangka

panjang, karena peningkatan persentase mortalitas trauma terjadi setelah pasien keluar dari RS.

Sekitar 50% mortalitas antara pasien trauma lebih tua dari 65 tahun terjadi antara 30 hari dan 6

bulan setelah cedera.

Diskusi

Pedoman ini untuk perawatan pasien trauma perdarahan berdasarkan penilaian literature,

penilaian dari rekomendasi yang kami terbitkan tiga tahun lalu dan pertimbangan dari praktik

klinis saat ini pada area uji klinis tidak pernah dilakukan untuk alasan etis. Pada proses untuk

menghasilkan versi terbaru pedoman ini, kami mengidentifikasi sejumlah pertanyaan ilmiah

muncul atau tidak ditujukan sebelumnya dan telah mengembangkan rekomendasi untuk menutup

masalah ini. Rekomendasi yang baru dan diperbarui termasuk disini mencerminkan bukti terbaru

yang tersedia, menggeser profil pasien dan adaptasi konsekuen pada praktik umum.

Semua rekomendasi terdapat disini dirumuskan berdasarkan consensus yang dilakukan

peneliti dan kelompok professional lainnya. Gambar 3 dan 3 secara grafik menambahkan

rekomendasi termasuk pada pedoman ini. Kami melakukan hirearki GRADE atau bukti untuk

merumuskan tiap rekomendasi karena ini membuat rekomendasi kuat untuk didukung oleh bukti

klinis yang lemah pada area uji klinis ideal tidak bisa dilakukan. Untuk mengecilkan bias, kami

menggunakan sejumlah kelompok untuk mengembangkan tiap rekomendasi dan beberapa

tinjauan dan diskusi untuk mencapai kesepakatan pada pertanyaan yang dapat dipertimbangkan

dan untuk mecapai consensus akhir pada tiap rekomendasi. Untuk memastikan bahwa proses

termasuk input dari seluruh spesialistik yang relevan, kelompok tersebut mendirikan sebuah

kelompok ahli, termasuk keterlibatan aktif dari 5 kelompok professional paling relevan di Eropa.

Pedoman versi ini memasukkan bagian baru pada penggunaan vasopressor dan agen inotropic

dan mencerminkan perhatian terhadap pertumbuhan jumlah pasien pada populasi yang diterapi

dengan agen antitrombosit dan/atau antikoagulan oral. Seperti populasi yang lebih tua tumbuh,

praktek klinik harus mengadaptasi untuk mendukung perawatan optimal pada pasien dengan

risiko tromboemboli bawaan dan segera mengakomodasikan perawatan awal dengan obat

preventif. Kami terus menyetujui bahwa anak anak dan dewasa yang tidak diterapi inisiasi

dengan antikoagulan atau agen antitrombosit harus segera dirawat dengan cara yang dilakukan

Page 33: Jurnal Perdarahan

pada pasien dewasa. Pedoman saat ini juga memasukkan rekomendasi dan diskusi untuk strategi

tromboprofilaksis untuk seluruh pasien akibat cedera trauma.

Tambahan paling penting pada versi ini adalah bagian yang mendiskusikan kebutuhan tiap

institusi untuk mengembangkan implementasi dan mematuhi protocol evidence-based klinis

untuk menangani pasien cedera trauma. Kelompok peneliti merasa cukup bahwa sebuah

pendekatan komprehensif dan multidisipliner pada perawatan trauma dan mekanismenya dengan

memastikan bahwa protocol dipatuhi dan diimplementasikan secara konsisten untuk memastikan

keseragaman dan standard tinggi perawatan seluruh Eropa dan sekitarnya. Pedoman ini adalah

bagian utama dari STOP pada kampanye tentang perdarahan, yang bertujuan untuk mengurangi

jumlah pasien yang mati selama 24 jam setelah berada di RS karena kehabisan darah setidaknya

dalam 5 tahun kedepan. Untuk mencapai target ini, edukasi, implementasi dan pengendalian

penyesuaian harus dilakukan oleh tiap institusi. Pedoman ini disediakan sebagai bagian dari

strategi edukasi; namun, tahap edukasi tunggal sering gagal untuk menjelaskan hasil studi pada

praktik klinis, seperti yang ditunjukkan dengan ventilasi protektif paru. Satu alat yang dapat

mengukur dan membandingkan performa individu dan menilai efektivitas perawatan keseluruhan

akan menjadi pembentukan database trauma di Eropa yang mencakup indicator kualitas yang

telah ditentukan seperti waktu yang diperlukan untuk menghentikan perdarahan, mortalitas dan

morbiditas dalam 30 hari. Kampanye awal yang baru untuk mendukung institusi dalam

pengembangan dan implementasi protocol adaptasi local, dibantu dalam definisi berkas

manajemen dan mendorong tiap institusi untuk mematuhi system yang menilai penyesuaian

dengan strategi manajemen.

Kesimpulan

Pendekatan multidisipliner pada pasien cedera trauma masih merupakan dasar untuk

perawatan pasien optimal. Tiap institusi perlu mengembangkan, mengimplementasikan dan

mematuhi protocol yang telah diadaptasi. Sewaktu bukti baru tersedia, pedoman praktik klinis

dan protocol local akan berkembang sesuai dengan bukti yang ada.

Page 34: Jurnal Perdarahan

Kunci pesan

Monitoring dan pengukuran koagulasi untuk mendukung koagulasi harus

diimplementasikan secepat mungkin pada cedera trauma dan digunakan untuk

membantu terapi hemostasis.

Pendekatan control luka untuk prosedur bedah harus membantu manajemen

pasien, termasuk penutupan dan stabilisasi gangguan pelvic ring,packing,

embolisasi, dan ukuran hemostasis local.

Pedoman ini meninjau target fisiologis yang penting dan menyarankan penggunaan

dan pendosisan cairan, produk darah dan agen farmakologi pada pasien trauma

perdarahan.

Jumlah pasien tua terus bertambah membutuhkan perhatian khusu untuk

penanganan yang tepat pada risiko tromboemboli bawaan dan kemungkinan

penanganan dengan agen antitrombosit dan/atau antikoagulan oral.

Pendekatan multidisipliner untuk perawatan pasien cedera trauma masih menjadi

dasar perawatan optimal pasien, dan tiap institusi perlu mengembangkan,

mengimplementasikan dan mematuhi protokol manajemen evidence-based yang

telah diadaptasi pada kondisi local.