BAB I
KASUS
1.1 Hasil Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Identitas Pasien
• Nama : Ny. Y
• TTL : Sukabumi, 14 April 1984
• Usia : 30 tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Status : Menikah
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• Agama : Islam
• Alamat : Cibadak
• Tgl masuk RS : 27 Juni 2014
• No. Rekam Medik : 00 10 60 12
Anamnesis
Keluhan Utama:
OS datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit.
Keluhan Tambahan:
Batuk, mual, sakit kepala
Riwayat Peyakit Sekarang:
OS MRS dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam SMRS. Sesak napas dirasakan
hilang timbul, bertambah saat beraktivitas dan berkurang saat beristirahat. Sesak napas
disertai dengan batuk, batuk dirasakan sejak 3 minggu SMRS, batuk berdahak berwarna
hijau, dan batuk tidak bercampur darah. OS mengatakan saat batuk tenggorokan terasa
gatal dan dahak susah dikeluarkan. OS juga mengeluhkan sakit kepala yang hilang timbul,
mual tapi tidak muntah. Selain itu, OS juga mengaku sesak mengganggu tidur dan kadang
terdengar bunyi mengi. BAB dan BAK tidak ada keluha. Demam dan pilek disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :1
Riwayat asma (+), maag (+)
Riwayat Tuberkulosis paru, DM, hipertensi, disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Ibu OS mempunyai riwayat asma
Riwayat tuberkulosis paru, DM, hipertensi, disangkal.
Riwayat Alergi :
udang (+)
Debu, obat-obatan dan makanan disangkal
Riwayat Pengobatan:
OS sempat berobat ke klinik 24 jam namun tidak ada perbaikan.
Riwayat Psikososial:
Pola makan tidak teratur, jarang olahraga, tidak merokok, dan lingkungan sekitar
rumah polusi.
Pemeriksaan Umum:
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis, kooperatif
BB : 52 kg
TB : 158 cm
Status Gizi : Normal
Tanda Vital
TD : 100/80 mmHg
N : 90 kali/menit
RR : 44 kali/menit
S : 36 0 C
Kepala : Bentuk normocephal, rambut warna hitam, distribus merata, tidak
mudah dicabut.
Mata : Alis mata madarosis (-/-), bulu mata rontok (-), konjungtiva anemis
(-), sklera ikterik (-), refleks pupil (+), isokor kanan-kiri.
2
Kulit : Peteki (-), hematom (-), skar (-), eritema (-), ikterik (-).
Hidung : Normonasi, deviasi septum (-), sekret (-), darah (-).
Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-/-), otore (-/-), darah (-/-),
Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), tepi lidah hiperemis (-),
perdarahan gusi (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)
Thorax : Normochest
Paru-paru:
Inspeksi : Simetris, skar (-), otot pernapasan (+/+),
spider nevi (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris, nyeri tekan (-/-)
Perkusi : Sonor pada semua lapang paru, batas paru-hepar setinggi
ICS 6, midclavicularis dextra
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing(+/+)
Jantung:
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan jantung linea sternalis dextra
Batas kiri jantung linea midclavikularis sinistra
Auskultasi : BJ 1 dan 2 reguler, Murmur (-), Gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : cekung (-), skar (-), caput medusa (-), spider nevi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri tekan abdomen (-),
Hepatomegali (-), Splenomegali (-),
Rebound tes (-), Ballotement (-)
Perkusi : Timpani pada 4 kuadran, shifting dullness (-)3
Ekstremitas
Ekstr. Atas : Pucat, akral hangat, edema (-/-), palmar eritem (-/-)
Ekstr. Bawah : Pucat, akral hangat, edema (-/-), eritem (-/-), luka (-/-)
Pemeriksaan Laboratorium 2 7 Mei 201 4
Pemeriksaan Nilai Rujukan
GDS 94 <120
SGOT 15 0-37
SGPT 12 0-40
Ureum 19 20-40
Creatinin 0,5 0,6-1,2
Na 140 134-146
K 3,5 3,4-4,5
Cl 90 96-108
Analisa Gas Darah Nilai Rujukan
Measured 37,0 C -
Ph 7,271 7,350-7,450
PCO2 46,8 32,0-45,0 mmHg
PO2 87,7 75,0-100,0 mmHg
Calculated data - -
HCO3 act 21,1 -
HCO3std 19,6 21-25 mmol/L
BE (ecf) -5,8 2,5- +2,5 mmol/L
BE (B) -5,9 mmol/L
Ct CO2 22,5 mmol/l
02 sat 95,5 85-95 %
Laju Endap Darah 22 0-20
Hb 13,5 11,3-
4
Leukosit 15,700 4,3-10,4/mm3
Diff - -
Basofil 0 0-0,3 %
Eosinofil 2 2-4 %
Nuetrofil batang 3 1-5 %
Neutrofil segmen 75 51-67 %
Limfosit 15 20-30 %
Monosit 5 2-6 %
Hematokrit 40,0 38-47
Trombosit 299 132-440
Pemeriksaan Sputum
BTA I (-) Negatif
BTA II (-) Negatif
Resume
Ny. I, 37 tahun MRS dengan keluhan sesak napas sejak 3 jam SMRS. Sesak hilang
timbul, bertambah jika beraktivitas dan berkurang saat beristirahat. Sesak dirasakan
mengganggu saat tidur dan kadang terdengar bunyi mengi. Sesak disertai batuk, batuk
berdahak berwarna hijau sejak 3 minggu SMRS. Sakit kepala (+), mual (+),. Riwayat asma
(+), riwayat sinusitis (+). Pemeriksaan Fisik didapatkan pernapasan 44 kali/menit
(takipneu), mukosa bibir kering, pada auskultasi terdengar bunyi wheezing (+/+), pada
palpasi abdomen terdapat nyeri tekan eipigastrium (+). Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan hasil Ureum ↓, kreatinin ↓, Clorida ↓, (pH ↓, PCO2 ↑, HCO3std ↓, O2Sat ↑
asidosis metabolik), LED ↑, Leukosit ↑, Neutrofil segmen ↑, limfosit ↓, Pemeriksaan BTA
I dan II hasil negatif (-).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ASMA BRONKIAL
2.1 Definisi
Asma adalah penyakit paru dengan karakteristikobstruksi saluran napas yang
reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun
dengan pengobatan, inflamasi saluran napas, dan peningkatan respons saluran napas
terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas).
2.2 Prevalensi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-
kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi
menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause
perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi
dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak.
Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang
sama. Di Indonesia prevalensi berkisar antara 5-7 %.
2.3 Klasifikasi
Sangat sukar membedakan satu jenis asama dengan asma yang lain. Dahulu
dibedakan asma alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (instrinsik). Asma alergik terutama
munculnya pada waktu kanak-kanak, mekanisme serangannya melalui reaksi alergi tipe
I terhadap alergen. Sedangkan asma dikatakan asma instrinsik bila tidak ditemukan
tanda-tanda reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Namun klasifikasi tersebut pada
prakteknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua sifat alergik dan non-
alergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3 kategori, yaitu asma
6
ekstrinsik, asma instrinsik, dan asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruksi
kronik.
2.4 Etiologi
2.5 Patogenesis
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun
berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan
respons saluran napas yang berlebihan.
a. Asma sebagai penyakit inflamasi
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi
ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan
karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena
rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini
syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-sel radang.
Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya
baik yang alergik maupun non-alergik.
7
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik
dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling
tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan terebut. Jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cell = sel
penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th. Sel Th ini akan memberikan instruksi melalui interleukin atau
sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti
mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin,
leukotrien, platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin, dan lain-lain
akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang,
sekresi mukus dan fibrosis subepitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran
napas (HSN). Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang
sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.
b. Hipereaktivitas saluran napas
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas pasien
asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia
(histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka
terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap alergen yang
spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat.
Berbagai keadaan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas seseorang,
yaitu:
Inflamasi saluran napas. Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang
dikeluarkan terbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini
didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat
menurunkan derajat HSN dan gejala asma.
Kerusakan epitel. Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel.
Pada asma kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan
struktur ini akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta
8
mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah
terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator
yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus
akan mengakibatkan bronkodilatasi lebih mudah terjadi.
Mekanisme neurologis. Pada pasien asma terdapat peningkatan respons saraf
parasimpatis.
Gangguan Instrinsik. Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada
saluran napas diduga berperan pada HSN.
Obstruksi Saluran Napas. Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran
napas diduga ikut berperan pada HSN.
2.6 Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan iflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit
pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF). Dan pasien akan bernapas pada volume yang
tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar
saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif
dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak
Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan
derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran
napas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan
di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan
sesak lebih dominan dibanding mengi.
9
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga daerah kapiler yang melalui daerah
tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada
asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan
hiperventilasi agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2
menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis
respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan
alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya
pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan
bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2
yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2
(hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang
berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah
paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit
pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan
demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai
berikut, yaitu gangguan ventilasi berupa hipoventilasi, ketidakseimbangan ventilasi
perfusi dimana distribusi ventilasi tidak serta dengan sirkulasi darah paru, dan
gangguan difusi gas di tingkat alveoli.
2.7 Gambaran Klinis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan
pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk
tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan
sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien
asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough
variant ashtma. Bila hal yang terkahir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan
spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan
metakolin.
10
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala
asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap
faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran
napas ataupun perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada
awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap
memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan
dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak
flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja
mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
2.8 Diagnosis
Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak,
mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-
batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani.
Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rinitis alergi,
dermatitis atopik membantu diagnosis asma. Gejala asma sering timbul pada malam
hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi
pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan.
Dengan mengetahui faktor pencetus, kemudian menghindarinya, maka diharapkan
gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu:
1. Infeksi virus saluran napas: influenza
2. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang.
3. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi.
4. Kegiatan jasmani: lari.
5. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi.
6. Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi non-steroid.
7. Lingkungan kerja: uap zat kimia.11
8. Polusi udara: asap rokok.
9. Pengawet makanan; sulfit.
10. Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis.
2.9 Pemeriksaan Fisik
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan
cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam praktek jarang dijumpai
kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan
asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis.
2.10 Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma
adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 atau KVP sebanyak 20%
menunjukkan diagnosis asma. Hal-hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang
sudah normal atau mendekati normal. Demikian pula respons terhadap
bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat, oleh karena
obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan.
Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan di atas mungkin diperlukan
kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk
jangka waktu pengobatan 2-3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan
yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang
berbeda-beda misalnya beberapa hari atau beberapa bulan kemudian.
12
Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga
penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Kegunaan
spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada penatalaksanaan
hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus. Banyak pasien asma tanpa
keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini
mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bilaberlangsung
lama atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruksi kronik.
2. Uji Provokasi Bronkus
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya
hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa cara untuk
melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan histamin, metakolin,
kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua
destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan
kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit
sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna
bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit 10%.
Akan halnya uji provokasi dengan alergen, hanya dilakukan pada pasien yang alergi
terhadap alergen yang diuji.
3. Pemeriksaan Sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat
dominan pada bronkitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, kristal
Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk melihat
adanya miselium Aspergillus fumigatus.
4. Pemeriksaan Eosinofil Total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini
dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini
dapat juga dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis
kortikosteroid yang dibutuhkan paien asma.
5. Uji Kulit
13
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam
tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen yang positif tidak
selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
6. Pemeriksaan Kadar IgE Total dan IgE Spesifik dalam Sputum
Kagunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong atofi. Pemeriksaan IgE
spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya
kurang dapat dipercaya.
7. Foto Dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran
napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi
asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain.
8. Analisis Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium
yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya
pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45 mmHg),
hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
2.11 Diagnosis Banding
1. Bronkitis Kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang
mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab
batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkarkan
dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien
berumur > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari,
lama-kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani.pada
stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal.
2. Emfisema Paru. Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada
14
emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas,
hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto
dada menunjukkan hiperinflasi.
3. Gagal Jantung Kiri Akut. Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma
kardial, dan bila timbul pada malam hari disebut paroxysmal nocturnal dyspnea.
Pasien tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang
atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat
atau memperingan gejala gagal jantung. Di samping ortopnea, pada pemeriksaan
fisis ditemukan kardiomegali dan edema paru.
4. Emboli Paru. Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah
imobilisasi, gagal jantung dan tromboflebitis. Di samping gejala sesak napas, pasien
batuk-batuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan
pingsan. Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya ortopnea, takikardia, gagal
jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan hipertensi. Pemeriksaan
elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara lain aksis jantung ke kanan.
2.12 Komplikasi
1. Pneumotoraks
2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Aspergillosis bronkopulmoner alergik
5. Gagal napas
6. Bronkitis
7. Fraktur iga
15
2.13 Penatalaksaan
1. Mencegah Ikatan Alergen IgE
a. Menghindari alergen, tampaknya sederhana tetapi sering sukar dilakukan
b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin
diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan
mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada
orang dewasa saat ini masih diragukan.
2. Mencegah Penglepasan Mediator
Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus
yang dicetuskan oleh alergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga
mencegah penglepasan mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi
spasme bronkus yang telah terjadi. Oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat
profilaktik pada terapi pemeliharaan.
Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya alergi,
meskipun juga efektif pada sebagian pasien asma instrinsik dan asma karena
kegiatan jasmani. Obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat
sebagai bronkodilator juga dapat mencegah penglepasan mediator.
3. Melebarkan Saluran Napas dengan Bronkodilator
a. Simpatomimetik: 1). Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol,
prokaterol) merupakan obat-obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut.
Dapat diberikan secara inhalasi melalui MDI (Metere Dosed Inhaler) atau
nebulizer; 2). Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2
pada serangan asma yang berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anakatau
dewasa muda.
b. Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti
dengan dosis pemeliharaan.
16
c. Kortikosteroid. Tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapi secara tidak
langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan asma akut
atau terapi pemeliharaan.
d. Antikolinergik (ipatropium bromida) terutama dipakai sebagai suplemen
bronkodilator agonis beta 2.
4. Mengurangi Respons dengan Jalan Meredam Inflamasi Saluran Napas
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan maupun yang
berat menunjukkan inflamasi saluran napas. Secara histopatologis ditemukan
adanya infiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi di tempat tersebut.
Implikasi terapi proses inflamasi di atas adalah meredam inflamasi yang ada baik
dengan natrium kromolin, atau secara lebih poten dengan kortikosteroid baik secara
oral, parenteral, atau inhalasi seperti pada asma akut atau kronik.
2.14 Pengobatan Asma Menurut GINA (Global Initiative for Asthma)
1. Penyuluhan kepada pasien
2. Penilaian derajat beratnya asma
3. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
4. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala asma,
ada 3 hal yang harus dipertimbangkan yaitu obat-obat anti asma, pengobatan
farmakologis berdasarkan sistem anak tangga, pengobatan asma berdasarkan sistem
wilayah bagi pasien.
a. Obat-obat anti asma. Pada dasarnya dipakai untuk mencegah dan mengendalikan
gejala asma yang berfungsi:
- Pencegah (controller) yaitu obat-obat yan dipakai setiap hari, dengan tujuan
agar gejala asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-
obat anti-inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat
17
anti-inflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif
sebagai pencegah. Obat-obat antialergi, bronkodilator atau obat golongan lain
sering dianggap termasuk obat pencegah, meskipun sebenarnya kurang tepat,
karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas
misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik,
memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktivitas bronkus dan memperbaiki
kualitas hidup. Obat antiinflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta
mempunyai daya profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan antiinflamasi
jangka panjang ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta
penurunan reaktivitas bronkus lebih baik bila dibandingkan bronkodilator.
Termasuk golongan obat pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid
sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL),
agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral,dan
obat-obat anti alergi.
- Penghilang gejala (reliever). Obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang
dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya
dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja
pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, antikolinergik hirup, teofilin
kerja pendek, agonis beta 2 kerja pendek. Agonis beta 2 hirup (fenoterol,
salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat terpilih untuk gejala asma
akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan
asma karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai
penghilang gejala pada asma episodik. Peran kortikosteroid sistemik pada
asma akut adalah untuk mencegah perburukan gejala lebih lanjut. Obat
tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan
di ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau Ipatropium
bromida selain dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma
akut, juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi efek samping agonis beta 2. Teofilin maupun agonis beta 2
dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan sirup.
b. Berdasarkan pengobatan farmakologis sistemik anak tangga, maka menurut berat
ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat;
18
1. Asma intermiten
Gambaran klinis sebelum pengobatan
o Gejala intemiten (kurang dari sekali seminggu)
o Serangan singkat (beberapa jam sampai hari)
o Gejala asma malam kurang dari 2 kali sebulan
o Di antara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal
o Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas < 20 %.
Obat yang dapat dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergantung intensitas
serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral
2. Asma persisten ringan
Gambaran klinis sebelum pengobatan
o Gejala lebih dari 1x seminggu, tetapi kurang dari 1x per hari
o Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
o Serangan asma malam lebih dari 2x/sebulan
o Nilai APE atau VEP1 antara >80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30
%.
Obat yang digunakan setiap hari obat pencegah, agonis beta 2 bila perlu
3. Asma persisten sedang
Gambaran klinis sebelum pengobatan
o Gejala setiap hari
o Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
o Serangan asma malam lebih dari 1x seminggu
19
o Setiap hari menggunakan beta 2 agonis hirup
o Nilai APE atau VEP1 antara 60- 80% dari nilai prediksi, variabilitas >30
%.
Obat yang dipakai setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup) dan
bronkodiltor kerja panjang.
4. Asma persisten berat
o Gejala terus-menerus, sering mendapat serangan
o Gejala asma malam sering
o Aktivitas fisis terbatas karena gejala asma
o Nilai APE atau VEP1 < 60% dari nilai prediksi, variabilitas >30 %.
Obat yang dipakai setiap hari obat pencegah, dosis tinggi, kortikosterois
hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid jangka panjang.
5. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma) untuk gejala asma akut serta
bila diberikan sebelum kegiatan jasmani
6. Berobat secara teratur
2.15 Pasien dirujuk
1. Pasien dengan risiko tinggi kematian karena asma
2. Serangan asma berat APE < 60 % nilai prediksi
3. Respons bronkodilator tidak segera, dan bila ada respons hanya bertahan < 3 jam
4. Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah pengobatan kortikosteroid
5. Gejala asma makin memburuk.
20
BAB III
ANALISA KASUS
3.1 Asma Bronkial
Atas dasar anamnesis OS mengeluh sesak napas (+), sesak hilang timbul,
bertambah jika beraktivitas dan berkurang saat beristirahat. Sesak dirasakan
mengganggu saat tidur dan kadang terdengar bunyi mengi. Sesak disertai batuk,
batuk berdahak berwarna hijau sejak 3 minggu SMRS. Sakit kepala (+). Riwayat
asma (+), riwayat sinusitis (+), riwayat alergi cuaca dingin (+), dikeluarga ibu OS
riwayat asma (+)
Pada Pemeriksaan Fisik pernapasan 44 kali/menit (takipneu), mukosa bibir kering,
pada auskultasi terdengar bunyi wheezing (+/+)
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka dipikirkan asma
bronkial
Rencana diagnostik: Spirometri, uji provokasi bronkus, pemeriksaan sputum
Rencana terapi : beta 2 agonis, hindari faktor pencetus
21
DAFTAR PUSTAKA
Harisson. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol 3.ed.13. 2000. EGC: Jakarta.
Ismail, Dasnan, Idrus Alwi, Muin Rahman. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta.
Mubin, Halim. Buku Panduan Praktis : Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Price Sylvia A, Wilson Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. 2006. EGC :
Jakarta
Sudoyo, W. Aru. et. al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sudoyo, W. Aru. et. al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
22
Recommended