BAB I
KASUS
KASUS
Farmakologi Klinik Tanggal: 9 Agustus 2011
RSUD AWS-FK Unmul
I. Identitas pasien :Tn. S Tanggal Pemeriksaan: 04 Agustus 2011
Usia: 47 Tahun Dokter yang memeriksa: dr. C
BB: -
Pekerjaan: Swasta
Alamat: Jl. Soekarno-Hatta km. 39
II. Anamnesis (Subyektif)
Keluhan Utama: Demam
RPS: Demam dirasakan pasien sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam disertai
dengan berkeringat dan menggigil. Demam disertai dengan sakit kepala berat. Selain itu
pasien juga mengeluhkan adanya nyeri dada, nyeri di daerah perut terutama ulu hati dan
sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Mual dan muntah tidak ada. BAB dan BAK pasien normal
tidak ada kelainan. Pasien mengaku pernah masuk ke hutan sekitar 3 minggu yang lalu.
Pasien merupakan pasien rujukan dari Puskesmas Sungai Merdeka.
RPD : Pernah mengalami keluhan serupa 1 tahun yang lalu.
RPK : Tidak ada keluarga dengan keluhan serupa
III. Pemeriksaan Fisik (obyektif)
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Vital Sign: TD= 160/100 RR= 20 x/i
Nadi= 100 x/i Temp= 38oC
Kesadaran: CM (kompos mentis) GCS= E4V5M6
Kepala&Leher: Anemia (-/-), Ikterus (-/-), Sianosis (-/-),
Pembesaran KGB (-).
1
Thoraks: Pergerakan dada simetris, sonor, Fremitus raba D=S, Vesikular,
Rhonki (-/-), Wheezing (-/-), S1S2 tunggal, regular, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen: Flat, soefl, BU(+) N, tympani, Nyeri Tekan Epigastrium (+)
Ekstremitas: Akral hangat, oedema ekstremitas (-), ptechiae (-)
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium:
Leukosit: 8.600/L
Hb: 15,9 g/dl
Hct: 45,8 %
Trombosit: 58.000/L
DDR: (+)3 P. vivax
GDS 145
Ureum 38,8
Creatinin 0,9
Na 138
K 4,8
Cl 103
IV. Diagnosa (assessment)
Malaria Tersiana (Malaria vivax)
V. Prognosis
Dubia ad Bonam
VI. Terapi (plan)
a. RL 20 tpm
b. Coartem 2x4 tab
c. Paracetamol tab 3x500 mg
d. Ranitidin inj 2x1 amp
2
e. Primaquin 1x1 tab
f. Ondancentron inj 2x1 amp
Follow up harian:
3
4
Tanggal Subjektif / Objektif Assesment/ Planning
5.08.2011 S : sakit kepala (+), nyeri
ulu hati (+), Demam (+)
O : CM, TD 130/70, N:
80x/i, RR 23x/i, T=38,0 oC,
anemis (-/-), ikterik (-/-),
Splenomegali (-), NTE (+),
S1S2 tunggal reguler
A: Malaria vivax
P :
- RL 20 tpm
- Coartem 2x4 tab hari I
- Paracetamol 3x500 mg
- Ranitidin inj 2x1 amp
- Primaquin 1x1 tab hari I
- Ondancentron inj 2x1 amp
6.08.2011 S : sakit kepala (+), nyeri
ulu hati (+), Demam (-),
berkeringat (+)
O : CM, TD 130/80, N:
88x/i, RR 24x/i, T=37 C,
anemis (-/-), ikterik (-/-),
Splenomegali (-), NTE (+),
S1S2 tunggal reguler
A: Malaria vivax
P :
- RL 20 tpm
- Coartem 2x4 tab hari II
- Paracetamol 3x500 mg
- Ranitidin inj 2x1 amp
- Primaquin 1x1 tab hari II
- Ondancentron inj 3x1 amp
8.08.2011 S : sakit kepala (+), nyeri
ulu hati (+), Demam (-)
O : CM, TD 140/90, N:
68x/i, RR 22 x/i, T= 36,8 C,
anemis (-/-), ikterik (-/-),
Splenomegali (-), NTE (+),
S1S2 tunggal reguler
A: Malaria vivax
P :
- RL 20 tpm
- Paracetamol 3x500 mg
- Ranitidin inj 2x1 amp
- Primaquin 1x1 tab hari IV
- Ondancentron inj 3x1 amp
9.08.2011 S : sakit kepala (+), nyeri
ulu hati (+), Demam (-)
O: CM, TD 140/90, N:
82x/i, RR 24 x/i, T= 36,5 C,
anemis (-/-), ikterik (-/-),
Splenomegali (-), NTE (+),
S1S2 tunggal reguler
A: Malaria vivax
P :
- RL 20 tpm
- Paracetamol 3x500 mg
- Ranitidin inj 2x1 amp
- Primaquin 1x1 tab hari V
- Ondancentron inj 3x1 amp
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria
2.1.1 Definisi Malaria
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat cepat maupun lama prosesnya,
malaria disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium bentuk aseksual yang masuk
kedalam tubuh manusia ditularkan oleh nyamuk malaria (anopeles) betina. Selain
berasal dari vektor nyamuk, malaria juga dapat ditularkan melalui transfusi darah atau
jarum suntik yang terkontaminasi darah penderita malaria. Malaria kongenital
disebabkan oleh penularan agen penyebab melalui barier plasenta, namun kejadian ini
jarang terjadi. Sebaliknya, malaria neonatus, agak sering terjadi dan merupakan akibat
dari pencampuran darah ibu yang terinfeksi dengan darah bayi selama proses kelahiran.
2.1.2 Klasifikasi Malaria
Berikut ini merupakan klasifikasi parasit malaria:
Phylum (Apicocomplexa), Kelas (Sporozoa), Subkelas (Coccidiida), Ordo
(Eucoccidies), Sub-ordo (Haemosporidiidea), Famili (Plasmodiidae), Genus
(Plasmodium), Sub-genus (Laverania), Spesies (Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale).
Untuk tujuan klinis dan diagnostik, malaria dapat dianggap sebagai dua wujud
penyakit. Malaria yang paling berbahaya disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan
disebut sebagai malaria tertiana maligna. Malaria ini menyebabkan timbulnya berbagai
manifestasi klinis akut yang bila tidak diobati dapat mematikan dalam beberapa hari
sejak mulai terinfeksinya. Malaria jenis kedua yaitu malaria yang disebabkan oleh
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Malaria tersebut
disebut dengan malaria tertiana benigna, karena malaria tersebut hampir tidak pernah
mematikan penderitanya.
5
2.1.3 Jenis-Jenis Malaria
a. Malaria Tropika (Plasmodium falcifarum)
Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang
ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi.
Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk eritrosit.
Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa Ring atau cincin kecil
yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya spesies
yang memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin). Plasmodium falcifarum menyerang
sel darah merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium falcifarum sering kali menyebabkan
sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk
melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan
iskemik lokal.
Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang sistem tubuh,
malaria tropika merupakan malaria yang paling berat di tandai dengan panas yang
ireguler, anemia, splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering terjadinya
komplikasi seperti: malaria serebral, gangguan gastrointestinal, algid malaria, dan
black water fever.
b. Malaria Kwartana (Plasmoduim malariae)
Plasmodium malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim
vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak atau lebih biru. Tropozoit matur
mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai
membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang
tersusun seperti kelopak bunga/ rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan
Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.
Ciri-cirinya berupa demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain
nyeri pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum.
Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan
komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites,
proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.
6
c. Malaria Ovale (Plasmodium ovale)
Malaria Ovale (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae,
skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah.
Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang
terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale
merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh Plasmodium
ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walau pun periode laten sampai 4 tahun. Serangan
paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walau pun tanpa terapi dan
terjadi pada malam hari.
d. Malaria Tersiana (Plasmodium vivax)
Malaria Tersiana (Plasmodium vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang
diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan Plasmodium
falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid.
Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk
oval hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala
malaria jenis ini secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan
mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam.
2.1.4 Etiologi
Malaria biasanya didapat dari gigitan nyamuk anopeles betina yang sebelumnya
terinfeksi. Pada keadaan umum, malaria berkembang pasca-penularan transplasenta
atau sesudah tranfusi darah yang terinfeksi, dimana keduanya melewati fase pre-
eritrositer perkembangan parasit dalam hati. Sporozoit yang di injeksikan ke dalam
aliran darah oleh gigitan nyamuk mencapai sinusoid hati dan memasuki sitoplasma sel
hati. Pertumbuhan dan pembelahan sel cepat dan terbentuk kista mikroskopik
(Schizont) yang mengandung merozoit. Kebanyakan kista dari semua spesies pecah
pada akhir 6-15 hari perkembangan. Melepaskan beribu-ribu merozoit untuk menembus
sel darah merah. Namun beberapa bentuk P. vivax dan P. ovale tetap dalam hati selama
beberapa minggu atau beberapa bulan, membuka jalan untuk relaps. Masa inkubasi
(antara gigitan nyamuk yang terinfeksi dan adanya parasit dalam darah) bervariasi
sesuai dengan species pada P. falciparum masa inkubasinya 10-13 hari, pada P. vivax
7
dan P. ovale, 12-16 hari , dan pada P. malariae 27-37 hari, tergantung pada ukuran
inokulum.
Manifestasi klinis infeksi yang di induksi oleh salah satu cara dapat di tekan
selama beberapa bulan dengan pengobatan subkuratif, terutama pada kasus malaria
vivax dan quartana. Merozoit yang menginvasi sel darah merah mula-mula tampak
pada sedian berwarna sebagai cincin kebiru-biruan atau pita sitoplasma (P. malariae)
dengan satu atau kadang-kadang dengan dua titik kromatin inti. Parasit yang sedang
tumbuh diberi nama trophozoit, dan yang muncul bersamaan pada sel darah merah
adalah granula pigmen kuning-coklat yang terdiri atas hematin yang berasal dari
hemoglobin yang di konsumsi parasit untuk memenuhi kebutuhan proteinnya. Bentuk
organisme bervariasi selama pertumbuhan sampai ia menjadi bulat. Nukleus parasit
sekarang membelah secara aseksual beberapa kali, sitoplasmanya tersusun di sekeliling
nukleus baru dan pigmen mengelompok dalam kelompok besar. Eritrosit yang
mengandung merozoit pecah dan merozoit bebas, pigmen dan puing-puing eritrosit di
bebaskan ke dalam plasma. Merozoit yang lolos dari inaktivasi oleh imunoglobulin atau
fagositosis masuk ke dalam sel darah merah. Dengan demikian siklus aseksual di mulai
setiap saat kelompok baru merozoit menginvasi sel darah merah. Siklus ini yang
lamanya sangat penting secara klinis. Pertumbuhan parasit tertentu gagal membelah,
nukleus tetap utuh selama masa maturasi. Mereka berdeferensiasi menjadi bentuk
jantan dan betina yang di sebut gametosit, yang tidak penting secara klinis tetapi
mampu menginfeksi nyamuk yang menghisap penderita.
Pada infeksi campuran biasanya hanya satu spesies yang menimbulkan pola
klinis, dengan falsiparum mendominasi vivax dan vivax mendomonasai quartana. Pada
infeksi dengan satu spesies kelompok yang berbeda dapat berkembang karena merozoit
dalam hati tidak di bebaskan secara silmutan dan skizon eritrositer tidak semuanya
pecah pada saat yang sama, beberapa kelompok parasit memulai keberadaannya dalam
sel darah merah, sebelum atau yang sesudah mayoritas dimana sering matang dalam
jumlah yang cukup untuk menimbulkan reaksi klinis tersendiri. Pada infeksi vivax satu
kelompok akan menghasilkan reaksi demam selang sehari, sedang jika dua kelompok
yang berkembang akan ada paroksismal tiap hari. Pada malaria falciparum gambaran
klasik demam intermiten mungkin segera terganggu juga.
8
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Patofisiologi malaria
adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Penghancuran eritrosit
Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung
parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak
mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan
hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (black water fever)
dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.
b. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif
endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam perubahan
patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal
dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri dapat melepaskan faktor neksoris
tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin, ditemukan dalam darah hewan dan manusia
yang terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan
demam, hipoglikemia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS =
adult respiratory distress syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh
darah paru. TNF dapat juga menghancurkan Plasmodium falciparum in vitro dan dapat
meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler.
Konsentrasi TNF dalam serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan
langsung dengan mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit.
c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi
Eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum stadium lanjut dapat membentuk
tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen
malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit
yang mengandung Plasmodium falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam
alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi
perifer. Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan
9
membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alat-alat dalam.
Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi permeabel)
dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas
dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P. falciparum ditemukan pada
tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada empat macam protein untuk
sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang di temukan pada pasien dengan malaria secara umum antara lain
sebagai berikut :
a. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporolasi). Pada
Malaria Tertiana (P. vivax dan P. ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka
periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan Malaria Kuartana (P. malariae)
pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan di
tandai dengan beberapa serangan demam periodik. Gejala umum (gejala klasik) yaitu
terjadinya “Trias Malaria” (malaria proxysm) secara berurutan :
1) Periode dingin
Mulai menggigil, kulit kering dan dingin, penderita sering membungkus diri
dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan
bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang
kedinginan. Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan
meningkatnya temperatur.
2) Periode panas
Muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tetap tinggi sampai
40oC atau lebih, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital,
muntahmuntah, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium
sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai
2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.
10
3) Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah,
temperatur turun, penderita merasa capai dan sering tertidur. Bila penderita
bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
b. Splenomegali
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria kronik.
Limpa mengalami kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan pigmen
eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah. Pembesaran limpa terjadi pada beberapa
infeksi ketika membesar sekitar 3 kali lipat. Lien dapat teraba di bawah arkus costa kiri,
lekukan pada batas anterior. Pada batasan anteriornya merupakan gambaran pada
palpasi yang membedakan jika lien membesar lebih lanjut. Lien akan terdorong ke
bawah ke kanan, mendekat umbilicus dan fossa iliaca dekstra.
c. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia
karena falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang berlebihan
oleh parasit.
d. Ikterus
Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit dan sklera mata akibat kelebihan bilirubin
dalam darah. Bilirubin adalah produk penguraian sel darah merah. Terdapat tiga jenis
ikterus antara lain: ikterus hemolitik yang disebabkan oleh lisisnya (penguraian) sel
darah merah yang berlebihan, ikterus hepatoseluler yaitu bila terjadi penurunan
penyerapan dan konjugasi bilirubin oleh hati (terjadi pada disfungsi hepatosit), dan
ikterus obstruktif dimana terjadi sumbatan terhadap aliran darah ke empedu keluar hati
atau melalui duktus biliaris.
11
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan mikroskopis malaria
Diagnosis malaria sebagai mana penyakit pada umumnya didasarkan pada manifestasi
klinis (termasuk anamnesis), uji imunoserologis dan ditemukannya parasit
(plasmodium) di dalam penderita. Uji imunoserologis yang dirancang dengan
bermacam-macam target dianjurkan sebagai pelengkap pemeriksaan mikroskopis dalam
menunjang diagnosis malaria atau ditujukan untuk survey epidemiologi di mana
pemeriksaan mikrokopis tidak dapat dilakukan. Diagnosis definitif demam malaria
ditegakan dengan ditemukanya parasit plasmodium dalam darah penderita.
Pemeriksaan mikrokropis satu kali yang memberi hasil negatif tidak menyingkirkan
diagnosis demam malaria. Untuk itu diperlukan pemeriksaan serial dengan interval
antara pemeriksaan satu hari. Pemeriksaan mikroskropis membutuhkan syarat-syarat
tertentu agar mempunyai nilai diagnostik yang tinggi (sensitivitas dan spesifisitas
mencapai 100%). Syarat-syaratnya yaitu: pertama, waktu pengambilan sampel harus
tepat yaitu pada akhir periode demam memasuki periode berkeringat, dimana pada
periode ini jumlah trophozoite dalam sirkulasi dalam mencapai maksimal dan cukup
matur sehingga memudahkan identifikasi spesies parasit. Kedua, volume yang diambil
sebagai sampel cukup, yaitu darah kapiler (finger prick) dengan volume 3,0-4,0 mikro
liter untuk sediaan tebal dan 1,0-1,5 mikro liter untuk sedian tipis. Ketiga, kualitas
preparat harus baik untuk menjamin identifikasi spesies plasmodium yang tepat.
Keempat, identifikasi spesies plasmodium. Kelima, identifikasi morfologi sangat
penting untuk menentukan spesies plasmodium dan selanjutnya digunakan sebagai
dasar pemilihan obat.
b. QBC (Semi Quantitative Buffy Coat)
Prinsip dasar: tes fluoresensi yaitu adanya protein pada plasmodium yang dapat
mengikat acridine orange akan mengidentifikasi eritrosit terinfeksi plasmodium. QBC
merupakan teknik pemeriksaan dengan menggunakan tabung kapiler dengan diameter
tertentu yang dilapisi acridine orange tetapi cara ini tidak dapat membedakan spesies
plasmodium dan kurang tepat sebagai instrumen hitung parasit.
12
c. Pemeriksaan imunoserologis
Pemeriksaan imunoserologis didesain baik untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap
paraasit plasmodium maupun antigen spesifik plasmodium atau eritrosit yang terinfeksi
plasmodium. Teknik ini terus dikembangkan terutama menggunakan teknik
radioimmunoassay dan enzim immunoassay.
d. Pemeriksan Biomolekuler
Pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA spesifik parasit atau
plasmodium dalam darah penderita malaria. Tes ini menggunakan DNA lengkap yaitu
dengan melisiskan eritrosit penderita malaria untuk mendapatkan ekstrak DNA.
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan khusus pada kasus- kasus malaria dapat diberikan tergantung dari jenis
plasmodium. Penatalaksanaan antara lain sebagai berikut:
a. Malaria Tersiana/ Kuartana
Biasanya di tanggulangi dengan kloroquin namun jika resisten perlu di tambahkan
mefloquin single dose 500 mg p.c (atau kinin 3x600 mg selama 4-7 hari). Terapi ini
disusul dengan pemberian primaquin 15 mg/hari selama 14 hari).
b. Malaria Ovale
Berikan kinin dan doksisklin (hari pertama 200 mg, lalu 1x100 mg selama 6 hari). Atau
mefloquin (2 dosis dari masing-masing 15 dan 10 mg/kg dengan interval 4-6 jam).
Pirimethamin-sulfadoksin (dosis tunggal dari 3 tablet ) yang biasanya di kombinasikan
dengan kinin (3x600 mg selama 3 hari).
c. Malaria Falcifarum
Kombinasi sulfadoksin 1000 mg dan pirimetamin 25 mg per tablet dalam dosis tunggal
sebanyak 2-3 tablet. Kina 3 x 650 mg selama 7 hari. Antibiotik seperti tetrasiklin 4 x
250 mg/ hari selama 7-10 hari dan aminosiklin 2 x 100 mg/ hari selama 7 hari.
13
Selain itu, saat ini WHO merekomendasikan pemberian Obat Anti Malaria (OAM)
kombinasi untuk mengatasi kegagalan terapi terhadap P. falciparum dengan
momoterapi. OAM kombinasi adalah penggunaan dua atau lebih OAM yang bersifat
skizontosida darah dengan mekanisme kerja yang berbeda dan target biokimia yang
berbeda terhadap parasit. Tujuan penggunaan OAM kombinasi adalah untuk
meningkatkan efektivitas terapi dan mencegah atau memperlambat timbulnya resistensi
terhadap obat tunggal. OAM kombinasi dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
Artemisinin-based combination therapy (ACT) dan non-ACT. Yang termasuk dalam
ACT, yaitu:
Artemeter 20 mg + Lumefantrin 120 mg (Coartem), dosis 2x4 tablet fixed dose
combination selama 3 hari untuk orang dewasa.
50 mg Artesunat + 150 mg Amodiakuin dalam tablet terpisah, dosis: 4mg/kgBB
artesunat dan 10 mg/kgBB amodiakuin sekali sehari selama 3 hari
50 mg Artesunat + 250 mg Meflokuin dalam tablet terpisah, dosis: 4 mg/kgBB
artesunat sekali sehari selama 3 hari dan 25 mg/kgBB meflokuin hari kedua dan
ketiga.
50 mg Artesunat + 500 mg Sulfadoksin-25 mg Pirimetamin dalam tablet
terpisah, dosis: artesunat 200 mg/hari sekali sehari selama 3 hari dan SP 3 tablet
dosis tunggal hari pertama.
Yang termasuk dalam non-ACT antara lain: SP+klorokuin, SP+amodiakuin,
SP+kina,klorokuin+dosisiklin/tetrasiklin,kina+doksisiklin/tetrasiklin,SP+doksisiklin/
tetrasiklin, kina+klindamisin.
2.2. Obat- Obatan
2.2.1 Paracetamol
Pada awal penemuannya tahun1973, berbagai penelitian tentang parasetamol sempat
diabaikan. Perhatian akan parasetamol baru dilayangkan saat era 1980-an. Waktu itu tengah
gencar dilakukan upaya mencari analgetik alternatif dari dua senyawa yang menjadi satu-
satunya tumpuan dalam menghilangkan rasa nyeri. Yakni senyawa yang terkandung dalam
white willow bark (akhirnya dikenal dengan salisin yang kemudian dikembangkan jadi
aspirin) dan cinchona bark . Pencarian alternatif dilakukan karena keberadaan kedua pohon
14
tersebut mulai langka. Hingga akhirnya Harmon Northop Morse berhasil mensintesa
parasetamol melalui reduksi p-nitrophenol dengan asam asetat.
Parasetamol kerap disebut dengan acetaminophen. Keduanya adalah nama kimia dari
senyawa N-acetyl-para-aminophenol dan para-acetyl-amino-phenol. Pada beberapa artikel
ilmiah, nama ini sering disingkat jadi apap, untuk N-acetyl-para-aminophenol. Obat ini
memiliki efek analgesia dan antipiretik, sehingga kerap digunakan untuk mengurangi sakit
kepala, demam, dan sakit serta nyeri minor lainnya. Parasetamol sangat aman jika diberikan
sesuai dosis yang direkomendasikan. Tak ayal lagi obat ini sangat gampang diperoleh dan
banyak sekali digunakan untuk mengatasi flu dan cold di seluruh jagad raya ini. Namun
perlu diperhatikan, akses yang gampang ini memperbesar kemungkinan overdosis baik yang
sengaja dilakukan (upaya bunuh diri) atau tanpa disadari.
Selain itu, parasetamol juga efektif menangani nyeri yang lebih parah. Hal ini tentu
sangat menguntungkan, karena bisa menurunkan kemungkinan penambahan dosis NSAID
atau opiod. Dengan demikian tentu bisa meminimalkan efek samping menyeluruh. Adapun
formulasi parasetamol yang paling sering digunakan adalah sediaan tablet.
Mekanisme parasetamol telah lama diduga sama dengan aspirin karena kesamaan
dalam struktur. Diperkirakan parasetamol bekerja mengurangi produksi prostaglandin yang
terlibat dalam proses nyeri dan edema, dengan menghambat enzim cyclooxygenase (COX).
Meski demikian, ada perbedaan penting antara efek keduanya. Seperti diketahui,
prostaglandin berpartisipasi terhadap respon inflamatori, tapi parasetamol tidak
memperlihatkan efek anti inflamasi.
Lebih lanjut, COX juga menghasilkan tromboksan yang membantu pembekuan darah,
jadi aspirin mengurangi pembekuan darah, sementara parasetamol tidak. Terakhir hal yang
cukup menjadi misteri, aspirin serta NSAID lainnya biasanya memiliki efek merusak pada
saluran cerna, sedangkan parasetamol aman. Padahal, ketiga obat tersebut sama-sama
menghambat prostaglandin yang memegang peranan sebagai pelindung saluran cerna.
Setelah ditelusuri, ternyata aspirin bekerja dengan menghambat COX secara
irreversibel dan langsung memblokade sisi aktif enzim. Sementara parasetamol secara tidak
langsung menghambat COX, sehingga efek blokade ini jadi tidak efektif dengan kehadiran
peroksida. Ini mungkin menjelaskan kenapa parasetamol efektif pada sistem saraf pusat dan
sel endotelial, tapi tidak untuk platelet dan sel imun yang memiliki kadar tinggi peroksida.
Pada 2002 Swierkosz TA dkk telah melaporkan, parasetamol secera selektif
menghambat suatu varian enzim COX yang berbeda dari COX-1 dan COX-2. Enzim ini
hanya dikeluarkan di otak dan spinal cord, akhirnya sekarang disebut sebagai COX-3.
15
Bagaimana mekanisme yang jelas masih belum dimengerti, tapi penelitian lebih lanjut terus
mencoba menguak misteri tersebut.
Parasetamol dimetabolisme terutama di hati, dimana sebagian besar diantaranya (60-
90% dari dosis terapeutik) dirubah menjadi senyawa yang tak aktif melaui konjugasi dengan
sulfat dan glukoronida. Metabolit ini kemudian dieksresikan ke ginjal. Hanya sejumlah kecil
(5-10% dari dosis terapeutik) dimetabolisme melalui hati dengan sistem enzim cytochrome
P450 (khususnya CYP2E1).
Efek toksik parasetamol yang kerap digembar-gemborkan, sebenarnya terkait hanya
dengan sebuah metabolit alkilasi minornya (N-acetyl-p-benzo-quinone imine, disingkat
NAPQI). Jadi, efek toksik yang muncul bukanlah karena parasetamol itu sendiri atau
metabolit utamanya. Pada dosis yang lazim digunakan, metabolit toksik NAPQI secara cepat
didetoksifikasi melalui kombinasi irreversibel dengan gugus sulfhydryl dari glutation,
menghasilkan konjugasi non toksik yang akhirnya dikeluarkan melalui ginjal.
Paracetamol memiliki indeks terapeutik yang sempit. Artinya, dosis terapi tidak
terentang jauh dengan dosis toksik. Tanpa pengobatan yang tepat, overdosis parasetamol bisa
menyebabkan gagal hati dan kematian dalam beberapa hari. Dosis toksis parasetamol sangat
bervariasi. Pada dewasa, dosis tunggal di atas 10 gram atau 150 mg/kg bisa menyebabkan
toksisitas. Toksisitas juga bisa terjadi pada dosis multiple yang lebih kecil dalam 24 jam
melebihi kadar tersebut, atau bahkan pemberian jangka panjang dosis serendahnya 4 g/hari.
Berbeda dengan aspirin, parasetamol aman diberikan pada anak dan tidak terkait dengan
risiko Reye's syndrome pada anak dengan penyakit virus. Paracetamol juga aman digunakan
saat hamil, tidak berefek penutupan fetal ductus arteriosus(seperti yang dilakukan NSAIDs ).
2.2.2. Ranitidine
Senyawa furan ini (1981) daya menghambatnya terhadap sekresi asam lebih kuat
daripada simetidin, tetapi lebih ringan dibandingkan penghambat pompa proton (omeprazol,
dll). Tidak merintangi perombakan oksidatif dari obat-obat lain, sehingga tidak
mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan. Selain pada gastritis dan tukak lambung, obat
ini juga digunakan selama penggunaan prednisone guna mengindari keluhan lambung.
Reabsorpsinya pesat dan baik, tidak dipengaruhi oleh makanan. Bioavaibilitasnya 50-
60 %, plasma t ½ nya kira-kira 2 jam. Sifatnya sangat hidrofil maka ikatan dengan proteinnya
ringan (15%) dan sukar memasuki CCS. Ekskresinya melalui kemih terutama dalam keadaan
utuh.
16
Efek sampingnya mirip simetidin, tetapi tidak menimbulkan gynecomastia (karena
tidak bersifat antiandrogen) dan efek-efek psikis (kalut).
Dosis : 1x300 mg selama 4-8 minggu, atau i.v 50 mg sekali
2.2.3. Ondansentron
Senyawa carbaol ini (1990) adalah anatagonis-serotonin selektif (dari reseptor-5HT3).
Bekerja anti emetis kuat dengan mengantagoniskan refleks muntah dari usus halus dan
stimulasi CTZ yang keduanya diakibatkan oleh serotonin. Selain pada kemoterapi dan
radioterapi juga sering diberikan untuk profilaksasis
Reabsorpsinya dari usus cukup baik dengan bioavaibilitas rata-rata 75%, Protein
plasma 73% dan plasma t ½ nya 3-5 jam. Sebagian besar at ini dimetabolisme di dalam hati
dan metabolitnya dieksresikan lewat tinja dan kemih.
Efek sampingnya berupa nyeri kepala, obstipasi, rasa panas di muka (flashes) dan
perut bagian atas, jarang sekali gangguan ekstra pyramidal dan reaksi hipersensitivitas.
Kehamilam dan Laktasi. Belum ada cukup data mengenai penggunaanya selama
kehamilan. Selama menyusui tidak dianjurkan, karena zat ini masuk ke dalam air susu ibu.
Dosis 1-2 jam sebelum menjalankan kemoterapi 8 mg (garam HCL 2 aq) lalu tiap 12
jam 8 mg selama 5 hari i.v. 4-8 mg (perlahan).
2.2.4 Coartem
Coartem merupakan salah satu Artemisin-based combination therapy (ACT) yang
direkomendasikan oleh WHO saat ini. Derivat artemisin adalah obat anti malaria yang
bekerja paling cepat yang dapat dinilai dari parasite clearance dan perbaikan klinis. Saat ini
belum dilaporkan kasus resistensi plasmodium terhadap derivat artemisinin. Derivat
artemisinin ini dapat menurunkan jumlah parasit 10.000 kali lipat setiap siklus aseksual
dibandingkan dengan obat anti malaria lain yang hanya mampu menurunkan jumlah parasit
100-1000 kali lipat setiap siklus. Derivat artemisinin dieliminasi dengan cepat sehingga jika
dikombinasikan dengan obat anti malaria yang eliminasinya cepat (tetrasiklin, klindamisin)
diperlukan waktu terapi 7 hari, sedangkan jika dikombinasikan dengan obat anti malaria yang
eliminasinya lambat, diperlukan waktu terapi hanya 3 hari. Tujuan dari obat anti malaria
kombinasi ini adalah untuk meningkatkan efektivitas terapi dan mencegah atau
memperlambat timbulnya resistensi terhadap obat tunggal.
Indikasi: Terapi malariafalciparum tanpa komplikasi apabila kina tidak efektif
17
Kontraindikasi :
Kehamilan trimeseter pertama.
Kehamilan : dapat menyebabkan kelainan pada janin, pabrik pembuatnya tidak
menganjurkan penggunaan pada kehamilan, pertimbangkan penggunaan apabila
keuntungan melebihi efek sampingnya.
Menyusui : pabrik pembuatnya tidak menganjurkan digunakan pada ibu menyusui,
hindari menyusui setidaknya 1 minggu setelah dosis terakhir.
Perhatian : dapat menimbulkan pusing, hati-hati saat menggunakan obat ini jika akan
melakukan kegiatan yang memerlukan ketelitian.
Efek samping : Sakit kepala, mual, muntah, nyeri perut, diare, pusing, telinga berdengung,
peningkatan enzim hati, pada dosis tinggi menimbulkan kerusakan jantung, pada studi hewan
ditemukan kerusakan saraf.
Interaksi obat : Pabrik pembuat arthemeter + lumefantrine tidak menganjurkan digunakan
bersamaan dengan obat-obat berikut: Mefloquin, Kuinin, Halofantrin, Kuinidin, Ketokonazol,
neuroleptik dan antidepresan trisiklik, antiretroviral.
Dosis : 20 mg artemeter dikombinasikan dengan 120 mg lumefantrin dengan dosis 2x4 tablet
fixed dose combination selama 3 hari untuk orang dewasa.
2.2.5 Primakuin
Primakuin efektif terhadap bentuk intrahepatik semua spesies plasmodium
(skizontosida jaringan) dan digunakan untuk terapi radikal P. vivax dan P. ovale dalam
kombinasi dengan skizontosida darah untuk parasit dalam fase eritrositik. Primakuin juga
bersifat gametosidal terhadap P. falciparum dan spesies plasmodium lain. Diduga mekanisme
kerja primakuin adalah menghambat proses respirasi mitokondria di dalam parasit malaria
melalui metabolitnya yang bersifat sebagai oksidan. Sediaan primakuin adalah dalam bentuk
tablet 15 mg basa difosfat (di negara lain juga tersedia dalam tablet 5 mg dan 7,5 mg). Kadar
puncak plasma 1-2 jam dan waktu paruh eliminasi 3-6 jam. Primakuin terdistribusi luas
dalam jaringan dan dimetabolisme dalam hati dengan metabolit utama karboksiprimakuin
yang dapat terakumulasi dalam plasma setelah pemberian berulang.
18
Dosis primakuin sebagai pelengkap pengobatan malaria klinis dan pengobatan
radikal malaria falciparum adalah 0,5-0,75 mg/kgBB/hari dosis tunggal pada hari pertama
pengobatan dan untuk pengobatan radikal malaria vivax, ovale, malariae yaitu 0,25
mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 14 hari. Untuk pengobatan profilaksis primakuin
diberikan dengan dosis 0,75 mg/kgBB dosis tunggal sekali seminggu mulai 1 minggu
sebelum memasuki daerah endemis sampai 4 minggu meninggalkan daerah endemis. Pada
pasien malaria vivax relaps digunakan primakuin 0,75 mg/kgBB dosis tunggal setiap minggu
selama 8-12 minggu bersamaan dengan klorokuin 3-4 tablet/minggu.
Efek samping primakuin adalah anemia ringan, leukositosis (sangat jarang) dan
anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD dan beberapa jenis
hemoglobinopati lain. Overdosis primakuin dapat menyebabkan leukopenia, agranulositosis,
gangguan gastrointestinal, anemia hemolitik dan methemoglobinemia dengan sianosis.
Primakuin tidak boleh diberikan untuk wanita hamil dan bayi di bawah 1 tahun karena resiko
terjadinya hemolisis pada janin (defisiensi enzim G6PD relatif).
19
BAB III
PEMBAHASAN
1. Problem Penderita
Pasien mengeluh demam
Pasien mengeluh nyeri ulu hati
Pasien mengeluh nyeri kepala
Pasien didiagnosa menderita Malaria vivax
2. Rencana Tujuan pengobatan
Mengobati demam pasien
Mengobati nyeri ulu hati pasien
Mengobati nyeri kepala pasien
Mengobati keluhan tambahan akibat penyakit yang di derita.
3. Terapi
IVFD RL. Cairan kristaloid yang memiliki komposisi yang serupa dengan cairan
ekstraseluler, yaitu natrium, kalium, klorida. Efektif dalam mengisi sejumlah volume
cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat dan
berguna dalam mengembalikan keseimbangan elektrolit pada pasien dengan
dehidrasi, dimana pada pasien ini terjadi demam yang dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan tubuh dan dikhawatirkan terjadi dehidrasi.
Pengobatan Nyeri Ulu Hati
Untuk pengobatan nyeri ulu hati dipilih obat-obatan di bawah ini
Pemilihan Obat
Golongan Efficacy Safety Suitability Cost
H2 Receptor
Antagonis
+++
FD: Secara kompetitif
++
ES: Sakit kepala,
++
KI: Hipersensitif
++++
Cimetidine
tab 200
20
menghambat ikatan
histamin dengan H2
reseptor di lambung
sehingga cAMP intrasel
menurun, maka sekresi
asam lambung menurun.
Poten menghambat asam
lambung basal, sekresi
nokturnal asam lambung
karena sangat tergantung
pada histamin (90%).
FK: diabsorbsi cepat dan
sempurna melalui GIT,
konsentrasi tertinggi
plasma dalam ½ jam,
T1/2 1-3 jam.
Didistribusi ke seluruh
cairan tubuh.
Metabolisme oleh enzim
mikrosom hati, ekskresi
melalui urine
pada orang tua
dapat
menimbulkan
nyeri otot,
bingung, psikosis,
depresi, cemas,
disorientasi,
halusinasi, jarang
menimbulkan
ginekomasti,
impoten, diare,
pusing
SP: Gangguan
hepar dan ginjal,
hamil, laktasi
mgx10x10
(Rp. 9.336)
amp 100
mg/mlx 2
mlx5 (Rp.
8.000)
Proton Pump
Inhibitor
(PPI)
++++
FD: Berikatan
irreversibel dan inhibisi
nonkompetitif dengan
H+/K+-ATPase (proton
pump) pada sel parietal
yang menghambat
sekresi ion H+ ke dalam
lumen lambung. Lebih
dari 90% menghambat
sekresi asam lambung
++
ES: Konsentrasi
bakteri di
lambung
meningkat pada
penggunaan lama,
Vitamin B12
menurun karena
absorbsinya perlu
suasana asam,
Sakit kepala
+++
KI:
SP: keganasan
+
OMZ
(Omeprazole)
20 mgx7 (Rp.
60.500) Amp
40 mgx1 (Rp.
78.000)
21
baik basal maupun yang
distimulasi oleh
makanan
FK: absorbsi cepat di
lambung, 99% terikat
protein plasma.
Mengalami siklus
enterohepatik. T1/2 >45
jam shingga dapat
diberikan 1x/hari.
(sering) Diare,
nyeri perut, mual,
pusing, asthenia,
muntah,
konstipasi, ISPA,
nyeri punggung,
rash, batuk
Mucosal
Protectan
+++
FD: kompleks sulfat
garam sukrosa dengan
alumunium hydroxida.
Meningkatkan
mekanisme proteksi
mukosa sehingga
mencegah injury
mukosa, menurunkan
inflamasi dan
menyembuhkan ulkus
yang telah ada yaitu
dengan membentuk
polimer mirip lem dalam
suasana asam dan terikat
pada jaringan nekrotik
ulkus secara selektif.
Melindungi mukosa
yang rusak dengan
mengabsorbsi asam
lambung, pepsin, garam
empedu.
++
ES: Konstipasi
(sering), mulut
kering, diare,
pusing, somnolen,
mual, rash, gatal,
tidak nyaman di
perut,
hipofosfatemia
++
KI:
SP: CRF, pasien
dialisis, hamil,
laktasi, anak
+
Inpepsa
(Sucralfate)
Lar 500
mg/mlx100
ml (Rp.
33.000), 200
ml (Rp.
55.000)
22
FK: absorbsi di GIT
cukup baik, 92-99%
terikat protein plasma.
T1/2 2-4 jam.
Metabolisme di hati,
ekskresi melalui urine
dan empedu.
Dipilih golongan H2 Receptor Antagonis, karena cukup efektif menurunkan asam
lambung dan harganya murah.
Pemilihan obat H2 receptor antagonis
Obat Efficacy Safety Suitability Cost
Cimetidine +
FD: Secara kompetitif
menghambat ikatan
histamin dengan H2
reseptor di lambung
sehingga cAMP intrasel
menurun, maka sekresi
asam lambung menurun.
Poten menghambat asam
lambung basal, sekresi
nokturnal asam lambung
karena sangat tergantung
pada histamin (90%).
FK: diabsorbsi cepat dan
sempurna melalui GIT,
konsentrasi tertinggi
plasma dalam ½ jam,
T1/2 1-3 jam.
+
ES: Sakit kepala,
pada orang tua
dapat
menimbulkan
nyeri otot,
bingung, psikosis,
depresi, cemas,
disorientasi,
halusinasi, jarang
menimbulkan
ginekomasti,
impoten, diare,
pusing
+
KI: Hipersensitif
SP: Gangguan
hepar dan ginjal,
hamil, laktasi
+++
Cimetidine
Prafa tab 200
mgx10x10
(Rp. 9.336)
amp 100
mg/mlx 2
mlx5 (Rp.
8.000)
23
Didistribusi ke seluruh
cairan tubuh.
Metabolisme oleh enzim
mikrosom hati, ekskresi
melalui urine
Ranitidine
++
FD: Secara kompetitif
menghambat ikatan
histamin dengan H2
reseptor di lambung
sehingga cAMP intrasel
menurun, maka sekresi
asam lambung menurun.
Poten menghambat asam
lambung basal, sekresi
nokturnal asam lambung
karena sangat tergantung
pada histamin (90%).
FK: diabsorbsi cepat dan
sempurna melalui GIT,
konsentrasi tertinggi
plasma dalam ½ jam,
T1/2 1-3 jam.
Didistribusi ke seluruh
cairan tubuh.
Metabolisme oleh enzim
mikrosom hati, ekskresi
melalui urine
++
ES: jarang,
agranulositosis,
hipersensitivitas,
diare
+
KI:
SP: ggn hati dan
ginjal, hamil,
menyusui, terapi
jangka panjang
++
Hexer
(Ranitidine
HCl) Tab 150
mgx5x10 (Rp.
157.500) Kapl
300 mgx3x10
(Rp. 142.500),
i.v 50 mg
Famotidine +++
FD: Secara kompetitif
menghambat ikatan
++
ES: demam,
sesak, edema
+
KI: hipersensitif
terhadap
++
Gestofam
(famotidine)
24
histamin dengan H2
reseptor di lambung
sehingga cAMP intrasel
menurun, maka sekresi
asam lambung menurun.
Poten menghambat asam
lambung basal, sekresi
nokturnal asam lambung
karena sangat tergantung
pada histamin (90%).
Potensi 20x simetidin,
3x ranitidin
FK: diabsorbsi cepat dan
sempurna melalui GIT,
konsentrasi tertinggi
plasma dalam ½ jam,
T1/2 1-3 jam.
Didistribusi ke seluruh
cairan tubuh.
Metabolisme oleh enzim
mikrosom hati, ekskresi
melalui urine
orbita, kontusio,
palpitasi, astenia,
pusing, sakit
kepala, konstipasi,
diare, atralgia,
trombositopenia
famotidin
SP: anak, hamil,
laktasi, ggn
fungsi ginjal
Tab salut
selaput 20
mgx3x10 (Rp.
74.250) 40
mgx3x10 (Rp.
103.950)
Untuk kasus ini dipilih obat Ranitidine karena efek sampingnya yang minimal dan
mudah didapatkan sediannya di RS.
Pemberian Ondansentron. Pada pasien ini diberikan obat Ondansentron yang
memiliki efek kerja sebagai anti emetik kuat. Pemberian obat ini tidak memiliki
indikasi pada pasien karena dari keluhan yang disampaikan pasien tidak ada keluhan
mual dan muntah. Namun pemberian kombinasi antiemetikum dan analgetikum
(Ondansentron dengan paracetamol) dapat efektif melawan serangan akut sakit kepala
yang dirasakan pasien. Cara pemberian adalah obat antiemetikum diminum dahulu
25
lalu ½ jam kemudian obat analgesiknya agar obat bekerja optimal. Namun pemberian
obat ini harus hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati, karena ondansentron
sebagian besar dimetabolisme di hati.
Pemberian Paracetamol. Obat ini diindikasikan untuk keluhan demam yang dialami
pasien. Dan dosis yang diberikan sudah sesuai dengan dosis dewasa yaitu 3 kali sehari
tablet 500 mg. Namun, jika demam pasien sudah turun sebaiknya tidak usah
diberikan lagi. Selain bersifak antipiretik, obat ini juga memiliki efek analgesik
meskipun tidak sekuat dari golongan NSAID. Namun kombinasi dengan obat
antiemetikum dapat menjadi efektif sebagai terapi serangan akut sakit kepala yang
dikeluhkan pasien ini.
Pemberian Coartem. Coartem merupakan obat anti malaria kombinasi yang
digunakan sebagai terapi malaria akut tanpa komplikasi. Coartem merupakan derivat
artemisinin, yang termasuk dalam Artemisinin-based combination therapy yang saat
ini direkomendasikan WHO untuk pengobatan malaria. Derivat artemisinin
merupakan obat anti malaria yang bekerja paling cepat dan belum ada laporan
mengenai resistensi terhadap derivat artemisinin ini. Artemisinin dan derivatnya
merupakan skizontosida darah yang sangat poten terhadap semua spesies
plasmodium, dapat menurunkan jumlah parasit 10.000 kali lipat setiap siklus aseksual
dibandingkan dengan obat anti malaria lain yang hanya mampu menurunkan jumlah
parasit 100-1000 kali lipat setiap siklusnya. Oleh karenanya coartem banyak
digunakan pada pasien-pasien malaria. Obat ini diberikan dengan dosis 2x4 tablet
selama 3 hari, sesuai dengan pemberian pada pasien ini. Setelah 3 hari, pemberian
obat ini dihentikan. Namun demikian penggunaan obat ini memiliki efek samping
salah satunya adalah nyeri kepala yang dapat memperberat nyeri kepala yang
sebelumnya telah dikeluhkan pasien.
Pemberian Primakuin. Primakuin digunakan sebagai terapi radikal Plasmodium
vivax dan Plasmodium ovale dalam kombinasi dengan skizontosida darah untuk
parasit dalam fase eritrositik. Pada pasien ini didapatkan Plasmodium vivax (+3)
sehingga pemberian primakuin dikombinasikan dengan coartem yang merupakan
suatu skizontosida darah sudah tepat. Pemberian primakuin yaitu 1 tablet perhari
26
selama 14 hari, dengan sediaan primakuin dalam bentuk tablet 15 mg basa difosfat.
Dan pemberian obat sudah rasional pada pasien ini.
27
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien ini menderita Malaria Tersiana (Malaria vivax) dengan gejala yang dikeluhkan
demam, nyeri kepala, nyeri ulu hati.
Pengobatan pada pasien ini ditujukan untuk mengobati keluhan yang dialaminya.
Untuk keluhan nyeri ulu hati pada pasien ini diberikan golongan obat H2 antagonis,
dengan pilihan terbaik diberikan ranitide dan untuk demamnya diberikan obat
paracetamol. Paracetamol dapat bersifat analgesic meski lemah namun jika
penggunaannya dikombinasikan dengan obat anti emetic seperti Ondansentron dapat
bekerja efektif dalam pengobatan serangan akut sakit kepala yang dialami pasien.
Untuk pengobatan malaria vivax pada pasien ini diberikan coartem yang merupakan
Artemisinin-based combination therapy (ACT) diberikan bersama dengan Primakuin
sebagai terapi radikal untuk Plasmodium vivax.
28
DAFTAR PUSTAKA
Ellsworth, A.; Witt, D.; Dugdale, D. 2005. Mosby’s Medical Drug Reference. USA:
Elsevier Mosby
Gunawan, AC. 2009. Malaria: dari molekuler ke klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC
Ryan KJ; Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology (edisi ke-4th ed.).
McGraw Hill. hlm. pp. 544–51. ISBN 0-8385-8529-9.
Sweetman, S. C. 2005. Martindale The Complete Drug Reference 34th Edition. USA:
Pharmaceutical Press
Tjay, HT dan Rahardja Kirana. 2007. Obat-obat Penting. Edisi keenam. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo
29