1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Isu mengenai usaha manajer perusahaan untuk melakukan manajemen laba
bukan merupakan permasalahan baru di bidang akuntansi. Scott (2003:344)
menyatakan bahwa “Earning Management is the choice by manager of
accounting policies so as to achieve some spesific objectives” dimana dalam hal
ini manajemen laba dianggap sebagai suatu tindakan oportunistik yang dapat
dilakukan oleh manajer untuk memaksimalkan kepentingannya dalam
menghadapi kontrak kompensasi, kontrak hutang dan dan biaya politik.
Manajemen laba memberikan kemudahan kepada manajer untuk melindungi
perusahaannya untuk mengantisipasi hal-hal yang bersifat tidak terduga dan untuk
keuntungan kepentingan pihak – pihak yang terlibat di dalamnya, namun tidak
untuk para investor atau pengguna laporan keuangan lainnya.
Dengan melakukan manajemen laba, baik melalui peningkatan pendapatan
ataupun penurunan pendapatan, maka suatu laporan keuangan dapat dikatakan
tidak mencerminkan kondisi keuangan perusahaaan yang sebenarnya sehingga
tidak dapat memberikan informasi yang berkualitas untuk mendukung
pengambilan keputusan investor. Adanya perubahan informasi atas laba bersih
suatu perusahaan melalui berbagai cara akan memberikan dampak yang cukup
2
berpengaruh terhadap tindak lanjut para pengguna informasi keuangan yang
bersangkutan khususnya dalam hal pengambilan keputusan (Juniarti,2005:148).
Manajer perusahaan lebih mengetahui informasi internal perusahaan
dibandingkan dengan pemegang saham. Sebagai pengelola, manajer perusahaan
berkewajiban memberikan informasi yang benar kepada para pengguna laporan
keuangan. Akan tetapi, informasi–informasi yang disampaikan terhadap para
pengguna laporan keuangan terkadang tidak sesuai dengan kondisi yang
sebenarnya. Kondisi inilah yang disebut asimetri informasi, dimana menurut Peter
S.Rose (2003:53), asimetri informasi merupakan ketidakefisienan oleh pengguna
laporan keuangan dalam hal ketersediaan dan penggunaan informasi laporan
keuangan. Di dalam kondisi yang tidak seimbang tersebut, manajemen
mempunyai fleksibilitas untuk dapat mempengaruhi angka–angka akuntansi yang
disajikan dalam laporan keuangan dengan melakukan praktik manajemen laba.
Praktik manajemen laba ini diindikasi timbul sebagai dampak persoalan
keagenan atau agency theory. Agency theory terjadi karena adanya
ketidakselarasan kepentingan antara pemilik perusahaan dan manajemen (Cornet
dkk,2009:15). Manajer mungkin cenderung untuk mengoperasikan perusahaan
untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka sendiri, bukan untuk investor.
Terkadang, keuntungan yang paling banyak didapat oleh manajer tidak sesuai
dengan tujuan para investor. Hal ini menciptakan suatu situasi yang dinamakan
Agency Problem atau Agency Theory .
Manajemen laba dapat terjadi karena tingkat leverage yang tinggi.
Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi mempunyai insentive yang lebih
3
besar dalam mengelola pendapatan utnuk menghindari perjanjian pelanggaran
atau untuk mencegah efek buruk pada peringkat utang mereka. (Watts and
Zimmerman, 1990).
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memonitor serta mencegah
praktik manajemen laba adalah melalui mekanisme Good Corporate Governance.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Welvin I Guna dan Arleen
Herawaty (2010), peneliti menggunakan 4 indikator yaitu kepemilikan
institusional, kepemelikian manajerial, proporsi komisaris independen, dan komite
audit sebagai indikator mekanisme Good Corporate Governance. Namun, dalam
penelitian ini, peneliti menambahkan dewan komisaris sebagai salah satu
indikator mekanisme good corporate governance. Dewan komisaris dalam suatu
perusahaan bertugas untuk melakukan kontrol melalui fungsi utamanya sebagai
pengawas direksi dalam menjalankan tata kelola perusahaan.
Peneliti juga menggunakan kualitas audit dengan proksi Big Four dan non
Big Four sebagai salah satu variabel yang dapat mempengaruhi timbulnya praktek
manajemen laba. Kualitas audit telah menjadi pembicaraaan yang hangat setelah
terjadinya skandal yang melibatkan perusahaan terkenal yaitu Enron dan KAP
Big Four Arthur Andersen. Skandal ini cukup menarik perhatian karena biasanya
KAP Big Four memiliki kualitas audit yang lebih baik dibandingkan dengan KAP
non Big Four. Permasalahan tersebut mendorong peneliti untuk meneliti lebih
lanjut kebenaran hubungan kualitas audit dengan manajemen laba pada
perusahaan-perusahaan manufaktur yang ada di Indonesia. Berdasarkan latar
belakang permasalahan tersebut, maka penulis mengambil “Pengaruh Leverage,
4
Mekanisme Good Corporate Governance, dan Kualitas Audit terhadap
Praktek Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia Periode 2007-2010“ sebagai judul penelitian ini .
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah leverage,
mekanisme good corporate governance, dan kualitas audit berpengaruh secara
signifikan terhadap manajemen laba ? “
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah leverage,
mekanisme good corporate governance, dan kualitas audit berpengaruh terhadap
manajemen laba ?
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, antara lain :
1. Bagi perusahaan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat dalam menerapkan mekanisme good corporate
governance untuk meningkatkan kinerja perusahaan
5
2. Bagi investor, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
informasi mengenai praktik manajemen laba serta faktor – faktor yang
mempengaruhinya sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan
3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan tentang
mekanisme good corporate governance dan manajemen laba
1.5. Sistematika Skripsi
BAB I PENDAHULUAN
BAB I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, serta sistematika skripsi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II terdiri dari landasan teori, penelitian sebelumnya, hipotesis
dan model analisis, serta kerangka berpikir .
BAB III METODE PENELITIAN
BAB III terdiri dari pendekatan penelitian, identifikasi variabel,
definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, prosedur
pengumpulan data, serta teknik analisis.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV terdiri dari gambaran umum mengenai subyek dan obyek
penelitian, deskripsi hasil penelitian, analisis model dan atau
pembuktian hipotesis, serta pembahasan
6
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
BAB V terdiri dari simpulan dan keterbatasan penelitian serta saran
untuk penelitian selanjutnya
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Laporan Keuangan
Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi
keuangan utama kepada pihak – pihak di luar perusahaan. Laporan ini
menampilkan sejarah perusahaan yang dikuantifikasi dalam nilai moneter.
Laporan keuangan yang sering disajikan adalah neraca, laporan laba rugi, laporan
arus kas, dan laporan ekuitas pemilik. Selain itu, catatan atas laporan keuangan
atau pengungkapan juga merupakan bagian integral dari setiap laporan keuangan
(Kieso, dkk, 2007:2)
Laporan keuangan merupakan produk dari akuntansi yang menyajikan
data–data kuantitatif keuangan atas semua transaksi–transaksi yang telah
dilaksanakan oleh suatu perusahaan untuk suatu periode tertentu. Laporan
keuangan dibuat untuk mempertanggungjawabkan atas aktivitas perusahaan
terhadap pemilik dan juga membebankan informasi mengenai posisi perusahaan
dan hasil – hasil yang telah dicapai perusahaan terhadap pihak – pihak lain yang
berkepentingan. (Yusuf dan Soraya, 2004:100)
Sesuai Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 2009, tujuan
laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi
keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang
bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.
8
Laporan keuangan yang disusun untuk tujuan ini memenuhi kebutuhan bersama
sebagian besar pemakai. Namun demikian, laporan keuangan tidak menyediakan
semua informasi yang mungkin dibutuhkan pemakai dalam pengambilan
keputusan ekonomi karena secara umum menggambarkan pengaruh keuangan dari
kejadian di masa lalu, dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi
nonkeuangan. Laporan keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan
manajemen, atau pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang
dipercayakan kepadanya. Pemakai yang ingin menilai apa yang telah dilakukan
atau pertanggungjawaban manajemen berbuat demikian agar mereka dapat
membuat keputusan ekonomi.
2.1.2. Manajemen Laba
Pada dasarnya, definisi operasional dari manajemen laba adalah potensi
penggunaan manajemen akrual dari variabel–variabel dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan pribadi. Pendekatan umum untuk mengestimasikan
akrual pilihan adalah dengan meregresikan total akrual dari variabel – variabel
yang merupakan wakil dan akrual normal. Akrual yang tidak diharapkan atau
akrual pilihan dianggap sebagai komponen yang tidak dapat dijelaskan dan total
akrual . (Belkoui, 2007: 201).
Sri Sulistyanto (2008:6) mengemukakan bahwa manajemen laba adalah
upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi–
informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabuhi stakeholder
yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Pemahaman tentang
9
manajemen laba penting untuk akuntan karena memungkinkan pemahaman yang
lebih baik dari kegunaan laba bersih, baik untuk pelaporan kepada investor
maupun kepada kontraktor. Hal ini juga dapat membantu akuntan untuk
menghindari beberapa konsekuensi hukum dan reputasi yang muncul ketika
perusahaan menjadi kesulitan finansial.
William R. Scott (2003:344) menyatakan bahwa , “Earning Management is
the choice by manager of accounting policies so as to achieve some spesific
objectives”. Manajemen laba adalah pilihan seorang manager dalam memilih
kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan spesifik. Manajemen laba dianggap
sebagai suatu tindakan oportunistik yang dapat dilakukan oleh manajer untuk
memaksimalkan kepentingannya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak
hutang dan dan biaya politik.
2.1.2.1. Motivasi Manajemen Laba
Scott (2003:334) dalam “ Financial Accounting Theory “ mengemukakan
bahwa motivasi manajer untuk melakukan manajemen laba adalah :
1. Rencana bonus ( bonus scheme )
Manajer yang bekerja di perusahaan dengan rencana bonus akan
berusaha mengatur laba yang dilaporkan agar dapat memaksimalkan
bonus yang akan diterimanya.
10
2. Kontrak hutang jangka panjang ( debt covenant )
Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori
akuntansi positif, yaitu semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran
perjanjian hutang, maka manajer akan cenderung memilih metode
akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode
berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan
mengalami pelanggaran kontrak.
3. Motivasi politik ( political motivation )
Perusahaan – perusahaan besar dan industri strategis cenderung untuk
menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya untuk memperoleh
kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.
4. Motivasi perpajakan ( taxation motivation )
Perpajakan merupakan suatu alasan utama mengapa perusahaan
mengurangi laba yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang
dilaporkan, maka perusahaan dapat meminimalkan besar pajak yang
harus dibayarkan kepada pemerintah.
5. Pergantian CEO
CEO yang akan habis masa penugasannya akan melakukan strategi
memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya. Demikian pula
dengan CEO yang kinerjanya kurang baik, akan cenderung
memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan
pemecatannya.
11
6. Penawaran saham perdana ( Initial Public Offering )
Saat perusahaan go public, informasi keuangan yang ada dalam
prospektus merupakan sumber informasi yang penting. Informasi ini
dapat dipakai sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai
perusahaan.
2.1.2.2. Pola Manajemen Laba
Scott (2003:345) mengidentifikasi adanya empat pola yang dilakukan oleh
pihak manajemen untuk melakukan manajemen laba , yaitu taking a bath, income
minimization, income maximization, dan income smoothing.
1. Taking a bath dilakukan ketika terjadi keadaan buruk yang tidak
menguntungkan dan tidak dapat dihindari, yaitu dengan cara mengakui biaya
– biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan.
2. Income minimization dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas
yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian yang politis.
3. Income maximization dilakukan dengan memaksimalkan laba agar
memperoleh bonus yang lebih besar. Dari Positive Accounting Theory, para
manajer dapat terlibat dalam maksimilisasi laba bersih yang dilaporkan untuk
tujuan bonus .
4. Income smoothing dilakukan dengan menaikkan atau menurunkan laba untuk
mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil
dan tidak beresiko tinggi.
12
Tindakan manajemen laba dapat dihitung melalui model akrual dan model
akrual pilihan . (Belkoui, 2007:202)
1. Model akrual
Dalam model akrual, terdapat dua model umum yang digunakan untuk
perhitungan akrual, yaitu pendekatan neraca dan pendekatan arus kas .
Pendekatan neraca untuk perhitungan akrual total adalah sebagai berikut :
TAt = ∆CAt - ∆Casht - ∆CL + ∆DCLt - DEPt.................................. (1)
Dimana, ∆CAt adalah perubahan dalam aktiva tahun berjalan di tahun t ,
∆Casht adalah perubahan dalam kas dan setara kas di tahun t, ∆CLt adalah
perubahan dalam utang tahun berjalan di tahun t, dan ∆DCLt adalah
perubahan dalam utang tahun berjalan di tahun t, serta DEPt adalah beban
penyusutan dan amortisasi dalam tahun t. Berdasarkan atas temuan bahwa
studi–studi yang didasarkan pada pendekatan neraca tradisional untuk
menghitung total akrual mengalami kelemahan akibat potensi kontaminasi
dari perhitungan akrual total.
2. Model Akrual Pilihan
a. Model de Angelo
Porsi pilihan dalam Model de Angelo adalah perbedaan antara akrual total
di tahun peristiwa t disimbolkan dalam aktiva total (At -1 ) dan akrual
bukan pilihan (NDAt). Perhitungan akrual bukan pilihan (NDAt)
bergantung pada akrual total di periode sebelumnya (TAt-1) disimbolkan
dengan aktiva total keseluruhan (At-2) dengan kata lain :
13
NDAt = TA t -1 / At-2................................................... (1)
b. Model Healy
Dalam model Healy , akrual bukan pilihan (NDAt) adalah nilai rata – rata
dari akrual total Tat yang dilambangkan dengan total aktiva keseluruhan
( ) dari periode estimasi . Dengan kata lain :
NDAt = 1 / n ∑ᵧ (TA ᵧ / A ᵧ - ................(1)
Dimana NDAt adalah akrual bukan pilihan di tahun t yang dinyatakan
dalam skala dengan aktiva total keseluruhan, n adalah jumlah tahun di
periode estimasi, dan ᵧ adalah lambang tahun untuk waktu ( t-n ,t – n + 1,
...t – 1 ) termasuk dalam periode estimasi. Porsi pilihan adalah perbedaan
antara akrual total di tahun peristiwa yang disimbolkan dengan At-1 dan
NDAt. Perbedaan utama antara model de Angelo dengan Model Healy
adalah bahwa NDA mengikuti proses acak dalam model de Angelo dan
suatu rata – rata kebalikan dalam model Healy .
c. Model Jones
Tujuan utama dari model Jones ini adalah untuk mengendalikan
pengaruh perubahan dalam kondisi perusahaan pada akrual bukan
pilihan.
NDAt = α1 (1 / A t-1) + α2 (∆REVt / At-1) + α3 (PPEt /At-1) ..........(1)
14
Dimana ,
NDAt : akrual bukan pilihan di tahun t disimbolkan dengan aktiva
total keseluruhan
∆REVt : pendapatan di tahun t dikurangi pendapatan di tahun t-1
PPEt : aktiva tetap kotor di tahun t – 1
α 1 , α 2 , α 3 : parameter spesifik perusahaan
Variasi dalam model Jones mencakup suatu model yang memperluas
model Jones dengan menambahkan akrual total keseluruhan dan
pengembalian saham keseluruhan sebagai dua variabel penjelasan
tambahan serta suatu model yang menggantikan perubahan penjualan
dalam model Jones dengan mengganti penjualan tunai.
d. Model Jones yang Dimodifikasi
Untuk dapat mengeliminasi kecenderungan asumsi dalam model Jones
guna mengukur akrual pilihan dengan kesalahan pada saat pilihan
dipergunakan terhadap pengakuan pendapatan, model yang dimodifikasi
memperhitungkan akrual bukan pilihan selama periode peristiwa sebagai
berikut:
Persamaan 1:
NDAt = α1 (1 / At-1) + α2 (∆REVt - ∆RECt / At-1) + α3 (PPEit/At-1) -
ԑit.................................................................. (1)
Dimana, ∆RECt adalah piutang bersih di tahun t dikurangi piutang bersih
di tahun t-1 dan area variabel lainnya di persamaan sebelumnya. Variabel
15
manajemen laba seringkali diproksikan dengan discretionary accruals.
Komponen akrual dapat dipisahkan menjadi discretionary accruals dan
non discretionary accrual. Dalam penghitungan discretionary accruals
yaitu menggunakan pendekatan arus kas, dengan menentukan terlebih
dahulu besarnya total akrual suatu perusahaan dengan menghitung selisih
antara jumlah laba bersih dan arus kas dari aktivitas operasi suatu
perusahaan.
Persamaan 2:
TAit = NIit – CFOit ...................................... (2)
TAit : Total akrual perusahaan i pada tahun t
NIit : Laba bersih perusahaan i pada tahun t
CFOit : Kas dari operasi perusahaan i pada tahun t
Total akrual sebuah perusahaan adalah penjumlahan dari
discretionary accruals dan non discretionary accrual
Persamaan 3:
TAit = NDAit + DAit .................................... (3)
NDAit : Non discretionary accrual perusahaan i pada tahun t
DAit : Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t
Selanjutnya digunakan model Jones seperti pada persamaan 1 untuk
memisahkan discretionary accrual dan non discretionary accrual. Model
ini merumuskan tingkat non discretionary accrual sebagai suatu fungsi
perbedaan antara perubahan pendapatan dan perubahan piutang, dan
tingkat dari tanah dan bangunan serta peralatan. Dengan model Jones,
16
nilai total akrual diestimasi dengan permasaan regresi OLS yang telah
disajikan dalam persamaan 1.
Lalu dengan koefisien regresi tersebut, nilai non discretionary accrual
dihitung dengan menggunakan rumus :
Persamaan 4 :
NDAt = α1’ (1 / At-1) + α2’ (∆REVt - ∆RECt / At-1) +
α3’ (PPEit/At-1)................ (4 )
NDAit : non discretionary accrual perusahaan i pada tahun t
Ait-1 : total perusahaan aktiva i pada tahun t-1
REVit : perubahan pendapatan perusahaan i pada tahun t
RECit : perubahan piutang bersih perusahaan i pada tahun t
PPEit : aktiva tetap perusahaan i pada tahun t
α1 , α2 , α3 : koefisien regresi model Jones
α1’ , α2’ , α3’: fitted coefficient yang diperoleh dari hasil regresi model
Jones yang dimodifikasi
Selanjutnya, nilai discretionary accrual didapatkan dengan
mengurangkan total akrual dengan nilai non diskretionary accrual-
nya.
Persamaan 5 :
DAit = TAit / Ait-1 – NDAit......................................................... (5)
17
e. Model Industri
Model industri melonggarkan asumsi bahwa akrual bukan pilihan
adalah konstan dari tahun ke tahun. Alih – alih mencoba membuat
suatu model untuk menentukan akrual buka pilihan secara langsung,
model industri berasumsi bahwa variasi dalam penentuan akrual
bukan pilihan adalah umum terjad di antara perusahaan di industri
yang sama.
Persamaan 1 :
NDAt = β1 + β2 median ( TAt / At-1 ) .............. (1)
Dimana, NDAt dihitung dengan model Jones dan median TAt / At-1
adalah nilai median dari akrual total di tahun t yang disimbolkan
dengan aktiva total keseluruhan untuk seluruh perusahaan yang tidak
diambil contoh di dalam industri klasifikasi industri standar.
Parameter spesifik β1 dan β2 dihasilkan dari suatu regresi rata-rata
biasa dalam suatu pengamatan di periode estimasi .
f. Model Kang dan Sivaramakrishnan
Model Kang dan Sivaramakrishnan bergantung pada pendekatan
alternatif dimana (a) mengestimasi akrual yang dikelola dengan
menggunakan tingkatan daripada menggunakan perubahan dalam
aktiva lancar dan utang lancar, mencakup harga pokok penjualan dan
juga beban – beban lain dan tidak membutuhkan regresi menjadi
tidak terkontaminasi.
18
Persamaan 1 :
ABi,t = Ø0 + Ø1 [δ1,i + REV i,t] + Ø2[δ2,i + EXPi,t] + Ø3 [δ3,i GPPEi,t] +
ui,t........................................ (1)
ABi,t : saldo akrual = AR i,t = INV i,t + OCAi,t – CLi,t – DEPi,t
AR i,t : piutang , di luar pengembalian pajak
INV i,r : persediaan
OCA i,t : aktiva lancar lainnya selain kas , piutang dan persediaan
CL i,t : utang lancar tanpa pajak dan utang jangka panjang yang
jatuh tempo dalam waktu satu tahun
DEP i,t : penyusutan dan amortisasi
REV i,t : pendapatan penjualan bersih
EXP i,t : beban operasi
GPPE i,t : aktiva tetap kotor
NTA i,t : aktiva total bersih
Sedangkan menurut Sri Sulistyanto (2008:7), ada tiga kelompok model
empiris manajemen laba yang diklasifikasikan atas dasar basis pengukuran yang
digunakan, yaitu model yang berbasis akrual agregat, akrual khusus, dan distribusi
laba .
1. Model berbasis akrual merupakan model yang menggunakan discretionary
accruals sebagai proksi manajemen laba. Model manajemen laba ini
dikembangkan oleh Healy (1985), De Angelo (1986), Jones (1991), serta
Dechow, Sloan, dan Sweeny (1995)
19
2. Model yang berbasis specific accruals, yaitu pendekatan yang menghitung
akrual sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item laporan
keuangan tertentu dari industri tertentu pula. Model ini dikembangkan oleh
McNichols dan Wilson, Petroni, Beaver dan Engel, Beneish, serta Bever dan
McNichols .
3. Model distribution of earnings dikembangkan oleh Burgtahler dan Dichev ,
Degeorge, Patel, dan Zeckhauser, serta Myzer dan Skinner .
Tabel 2.1
Model Distribution Of Earning
Peneliti Proksi Manajemen Laba
1. Model Akrual Agregat
Healy (1985)
De Angelo (1986)
Jones (1991)
Model Jones
dimodifikasi dari
Dechow , Sloan , dan
Sweeny (1995)
Kang dan
Suvaramakrishnan
(1995)
Total akrual
Perubahan dalam total akrual
Sisa regresi total akrual dari perubahan
penjualan dan property, plant, dan
equipment
Sisa regresi total akrual dari perubahan
penjualan dan property, plant, dan
equipment, dimana pendapatan
disesuaikan dengan perubahan piutang
yang terjadi pada periode bersangkutan.
Kewajiban yang dibagi dengan aktiva
bersangkutan pada periode sebelumnya
yang disesuaikan dengan kenaikan
pendapatan, biaya, dan plant and
equipment
20
2. Model Spesific Accruals
McNichols dan Wilson
(1988)
Petroni (1992)
Beaver dan Engel
(1996)
Beneish (1997)
Beaver dan McNichols
(1998)
Sisa provisi untuk piutang tak tertagih
yang diestimasi sebagai sisa regresi
provisi untuk piutang tak tertagih pada
saldo awal, serta penghapusan piutang
periode berjalan dan periode yang akan
datang .
Klaim terhadap estimasi cadangan
kesalahan , yang diukur selama lima tahun
perkembangan cadangan kerugian
penjaminan kerusakan property .
Biaya yang tersisa dari kerugian pinjaman,
yang diestimasi sebagai sisa regresi biaya
dari kerugian pinjaman pada charge-of
bersih, pinjaman yang beredar, aktiva yang
tidak bermanfaat, dan melebihi satu tahun
perubahan aktiva tidak bermanfaat
Hari – hari dalam indeks piutang, indeks
laba kotor, indeks kualitas aktiva, indeks
depresiasi, indexs biaya administrasi
umum dan penjualan, indeks total akrual
terhadap total aktiva.
Korelasi serial dari satu tahun
perkembangan cadangan kerugian
pinjaman kerusakan property
3. Model Distribution Of Earnings
Burgtahler dan Duchev
(1997)
Menguji apakah frekuensi realisasi laba
tahunan yang merupakan bagian atas laba
yang besarnya nol dan laba akhir tahun
21
Degeorge et al . (1999)
Myers dan Skinner
(1999)
adalah lebih besar (kecil) daripada yang
diharapkan
Menguji apakah frekuensi realisasi laba
kuartalan yang merupakan bagian atas
(bawah) laba yang besarnya nol, laba akhir
kuartal dan forecast investor adalah lebih
besar (kecil) daripada yang diharapkan
Menguji apakah angka–angka laba
meningkat yang berurutan adalah lebih
besar dibandingkan dengan angka – angka
jika tanpa manajemen laba
Sumber: Sulistyanto (2008)
2.1.3. Asimetri Informasi
Menurut Peter S. Rose (2003:53), asimetri informasi adalah
ketidakefisienan oleh pengguna laporan keuangan dalam hal ketersediaan dan
penggunaan informasi laporan keuangan. Manajer sebagai pengelola perusahaan
lebih banyak mengetahui informasi – informasi yang ada dalam perusahaan serta
prospeknya di masa depan dibandingkan dengan pemegang saham. Sebagai
pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi
perusahaan kepada pemegang saham .
Menurut Scott (2003) , terdapat dua macam asimetri informasi yaitu :
1. Adverse selection, yaitu para manajer dan pihak internal lainnya mengetahui
lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan
investor pihak luar. Fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan
22
yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan
informasinya kepada pemegang saham
2. Moral hazard, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak
seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman
sehingga manajer dapat melakukan tindakan di luar pengetahuan pemegang
saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma
mungkin tidak layak dilakukan.
2.1.4. Teori Keagenan
Menurut Jensen Meckling (1976:5), ada dua macam bentuk hubungan
keagenan, yaitu antara manajer dan pemegang saham dan antara manajer dan
pemberi pinjaman. Sedangkan positive accounting theory secara implisit
mengakui tiga bentuk hubungan keagenan, yaitu antara pemilik dengan
manajemen (bonus plan hypothesis), kreditur dengan manajemen (debt / equity
hypothesis), dan pemerintah dengan manajemen (political cost hypothesis).
Masalah keagenan muncul ketika principal kesulitan untuk memastikan
bahwa agen bertindak untuk memaksimumkan kesejahteraan principal. Menurut
teori keagenan, salah satu mekanisme yang secara luas digunakan dan diharapkan
dapat menyelaraskan tujuan principal dan agen adalah melalui mekanisme
pelaporan keuangan. Namun, karena dalam akuntansi dikenal dengan adanya
dasar akrual yang mewajibkan perusahaan untuk mngakui pendapatan yang sudah
menjadi hak / kewajiban dalam periode sekarang, sehingga angka – angka dalam
23
laporan keuangan mengandung komponen akrual baik yang berada di bawah
kebijakan manajemen ataupun tidak (Midiastuty dan Machfoedz,2003).
Dalam suatu hubungan agensi, pihak prinsipal memberikan wewenang atas
beberapa pengambilan keputusan kepada pihak agen. Prinsipal dan agen membuat
suatu perjanjian tentang hubungan tersebut. Sebuah permasalahan agensi timbul
karena agen tidak mengupayakan keuntungan yang terbaik untuk prinsipal karena
agen lebih mementingkan kesejahteraan pribadinya. Hubungan agensi dikatakan
telah terjadi ketika suatu kontrak antara seseorang atau lebih, seorang prinsipal,
dan orang lainnya, serta seorang agen untuk memberikan jasa demi kepentingan
prinsipal termasuk melibatkan adanya pemberian delegasi kekuasaan pengambilan
keputusan kepada agen. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan untuk
termotivasi hanya oleh kepentingan dirinya sendiri, yaitu untuk memaksimalkan
kegunaan subjektif mereka, dan juga untuk menyadari kepentingan bersama
mereka. (Belkoui, 2007:186)
2.1.5. Good Corporate Governance
Ada tuntutan publik yang berkembang sejalan dengan semakin maraknya
penyimpangan korporasi yang terjadi di seluruh dunia, yaitu agar suatu bisnis
dapat berjalan secara bersih dan bertanggung jawab. Secara empiris, terbukti
bahwa kasus penyimpangan tersebut tidak hanya mempengaruhi kondisi
perusahaan maupun pihak–pihak yang mempunyai hubungan bisnis dengan
perusahaan bersangkutan, tetapi secara makro juga mempengaruhi kondisi
perekonomian suatu negara, bahkan dalam beberapa kasus ada penyimpangan
24
korporasi yang secara global mempengaruhi perekonomian internasional.
(Sulistyanto, 2008:154) .
Perwujudan good corporate governance dilakukan untuk meminimalisasi
manajemen laba dalam pengelolaan dunia usaha. Ada beberapa faktor yang
ditengarai mengapa upaya manajemen laba seringkali terjadi dalam dunia usaha,
antara lain aturan dan standar akuntansi, transparansi, dan auditing yang lemah,
sistem pengawasan serta pengendalian sebuah perusahaan yang belum optimal ,
serta moral hazard pengelola perusahaan yang cenderung mendahulukan dan
mengutamakan kesejahteraan pribadi dan kelompoknya (Sulistyanto, 2008: 154).
Untuk itu, salah satu kunci utama untuk mewujudkan bisnis yang bersih, sehat,
dan bertanggungjawab adalah dengan membangun sistem pengawasan dan
pengendalian yang lebih baik. Terwujudnya sistem pengawasan dan pengendalian
yang baik akan mendorong terciptanya keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan
responsibilitas dalam pengelolaan sebuah perusahaan.
2.1.5.1. Pengertian Good Corporate Governance
Good Corporate Governance merupakan isu yang sedang hangat
diperbincangkankan sebagai suatu alat yang bisa memecahkan masalah dalam
pengelolaan dan pertanggungjawaban perusahaan modern. Good Corporate
Governance adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar yang berkaitan erat
dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun
terhadap iklim usaha di suatu negara . (Darmawati, 2003).
25
Penerapan Good Corporate Governance mendorong terciptanya
persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif. Oleh karena itu,
diterapkannya Good Corporate Governance oleh perusahaan – perusahaan di
Indonesia sangat penting untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
yang berkesinambungan. Penerapan Good Corporate Governance juga
diharapkan dapat menunjang upaya pemerintah dalam menegakkan Good
Corporate Governance pada umumnya di Indoensia. (Komite Nasional Kebijakan
Governance, 2010)
Menurut KEP–117/M-MBU/2002 Tentang Penerapan Good Corporate
Governance Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menyatakan bahwa
Corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ
BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan
guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan
perundangan dan nilai-nilai etika.
2.1.5.2. Prinsip – Prinsip dan Tujuan Good Corporate Governance
Prinsip – Prinsip Good Corporate Governance yang tercantum sesuai
dengan KEP–117/M-MBU/2002 Tentang Penerapan Good Corporate Governance
Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meliputi:
1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan
informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
26
2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan
pertanggungjawaban organ sebagai pengelolaan perusahaan terlaksana
secara efektif. 1
3. Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan
prinsip – prinsip korporasi yang sehat .
4. Kemandirian (independency), yaitu keadaan dimana perusahaan
dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan
pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat.
5. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam
memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian
dan peraturan perundang-undangan.
Pedoman good corporate governance memuat tiga belas aspek, yaitu
pemegang saham, dewan komisaris, direksi, sistem audit, sekretaris perusahaan,
pihak – pihak yang berkepentingan, keterbukaan, kerahasiaan, informasi orang
dalam, etika berusaha dan anti korupsi, donasi, kepatuhan pada peraturan
perundang-undangan tentang proteksi kesehatan, keselamatan kerja dan
pelestarian lingkungan, dan kesempatan kerja yang sama . (Trihapsari ,2006:4) .
Sesuai KEP–117/M-MBU/2002, penerapan prinsip-prinsip Good
Corporate Governance bertujuan untuk:
27
1. mengoptimalkan nilai perusahaan agar perusahaan memiliki daya saing yang
kuat, baik secara nasional maupun secara internasional, sehingga mampu
mempertahankan keberadaannya dan hidup berkelanjutan untuk mencapai
maksud dan tujuan perusahaan;
2. mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, efisien, dan efektif, serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ Persero/
Perum;
3. mendorong agar organ Persero/Perum dalam membuat keputusan dan
menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan, serta kesadaran akan adanya
tanggung jawab sosial BUMN terhadap stakeholders maupun kelestarian
lingkungan di sekitar BUMN
4. meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional;
5. meningkatkan iklim yang kondusif bagi perkembangan investasi nasional.
2.1.5.3. Dewan Komisaris / Dewan Pengawas
Untuk memastikan bahwa Perseroan menerapkan prinsip Good
Corporate Governance dengan baik, Dewan Komisaris melakukan kontrol
melalui fungsi utamanya sebagai pengawas direksi dalam menjalankan tata kelola
perusahaan. Fungsi pengawasan Dewan Komisaris tersebut dilaksanakan melalui
mekanisme yang sudah ditentukan antara lain melalui optimalisasi fungsi Komite
Audit sebagai Komite Independen yang dibentuk oleh Dewan Komisaris dan
28
berperan membantu Komisaris mendapatkan informasi mengenai kondisi serta
aktifitas – aktifitas tertentu yang sedang dilakukan oleh perusahaan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Komisaris/Dewan Pengawas harus
mematuhi Anggaran Dasar dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Komisaris/Dewan Pengawas bertanggung jawab dan berwenang mengawasi
tindakan Direksi dan memberikan nasehat kepada Direksi jika dipandang perlu
oleh Komisaris/Dewan Pengawas. Komisaris/Dewan Pengawas harus memantau
efektifitas praktek good corporate governance yang diterapkan BUMN.
Komposisi Komisaris/Dewan Pengawas harus sedemikian rupa sehingga
memungkinkan pengambilan putusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat
bertindak secara independen dalam arti tidak mempunyai kepentingan yang dapat
mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan
kritis dalam hubungan satu sama lain dan terhadap Direksi. Paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari anggota Komisaris/Dewan Pengawas harus berasal dari
kalangan di luar BUMN yang bersangkutan.
Sesuai dalam KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good
Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara, Komisaris/Dewan
Pengawas bertanggung jawab dan berwenang. Dalam melaksanakan tugasnya,
Komisaris/Dewan Pengawas harus mematuhi Anggaran Dasar dan peraturan
perundangundangan yang berlaku. Komisaris/Dewan Pengawas harus memantau
efektifitas praktek good corporate governance yang diterapkan BUMN.
Komposisi Komisaris/Dewan Pengawas harus sedemikian rupa sehingga
memungkinkan pengambilan putusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat
29
bertindak secara independen dalam arti tidak mempunyai kepentingan yang dapat
mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan
kritis dalam hubungan satu sama lain dan terhadap Direksi. Paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari anggota Komisaris/Dewan Pengawas harus berasal dari
kalangan di luar BUMN yang bersangkutan yang bebas dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. tidak menjabat sebagai Direksi di perusahaan terafiliasi;
2. tidak bekerja pada Pemerintah termasuk di departemen, lembaga dan
kemiliteran dalam kurun waktu tiga tahun terakhir;
3. tidak bekerja di BUMN yang bersangkutan atau afiliasinya dalam kurun
waktu tiga tahun terakhir;
4. tidak mempunyai keterkaitan finansial, baik langsung maupun tidak
langsung dengan BUMN yang bersangkutan atau perusahaan yang
menyediakan jasa dan produk kepada BUMN yang bersangkutan dan
afiliasinya;
5. bebas dari kepentingan dan aktivitas bisnis atau hubungan lain yang
dapat menghalangi atau mengganggu kemampuan Komisaris/Dewan
Pengawas yang berasal dari kalangan di luar BUMN yang bersangkutan
untuk bertindak atau berpikir secara bebas di lingkup BUMN.
30
2.1.5.4. Komite Audit dan Komisaris Independen
Dengan menyampingkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri
BUMN Nomor KEP-103/M-MBU/2002, pada BUMN tersebut dibawah ini,
Komisaris/Dewan Pengawas harus membentuk Komite Audit yang bekerja secara
kolektif dan berfungsi membantu Komisaris/Dewan Pengawas dalam
melaksanakan tugasnya, yaitu :
1. BUMN yang mempunyai kegiatan usaha di bidang asuransi dan jasa
keuangan lainnya;
2. BUMN yang menjadi PT Terbuka;
3. BUMN yang berada dalam persiapan privatisasi;
4. BUMN yang assetnya bernilai sekurang-kurangnya Rp.
1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).
Pada BUMN selain yang dimaksudkan dalam ayat (1), Komisaris/Dewan
Pengawas dapat membentuk Komite Audit yang bekerja secara kolektif dan
berfungsi membantu Komisaris/Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya.
Komisaris/Dewan Pengawas BUMN dapat mempertimbangkan untuk membentuk
Komite lain yang terdiri dari Komite Nominasi, Komite Remunerasi, serta Komite
Asuransi dan Resiko Usaha guna menunjang pelaksanaan tugas Komisaris/Dewan
Pengawas. Salah seorang anggota Komite anggota Komisaris yang sekaligus
berkedudukan sebagai Ketua Komite. Komite Audit bertugas membantu
Komisaris/Dewan Pengawas dalam memastikan efektifitas sistem pengendalian
intern dan efektifitas pelaksanaan tugas external auditor dan internal auditor.
31
Dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-103/M-MBU/2002 juga
menjelaskan tentang auditor eksternal suatu perusahaan, dimana dalam keputusan
menteri tersebut menjelaskan bahwa auditor eksternal harus ditunjuk oleh
RUPS/Pemilik Modal dari calon yang diajukan oleh Komisaris/Dewan Pengawas
berdasarkan usul Komite Audit. Komite Audit melalui Komisaris/Dewan
Pengawas wajib menyampaikan kepada RUPS/Pemilik Modal alasan pencalonan
tersebut dan besarnya honorarium/imbal jasa yang diusulkan untuk external
auditor tersebut. Eksternal auditor tersebut harus bebas dari pengaruh
Komisaris/Dewan Pengawas, Direksi dan pihak yang berkepentingan di BUMN
(stakeholders).
2.1.5.4.1. Definisi Komite Audit
Berdasarkan pada KEP. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang
dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan
fungsinya dalam hal pengawasan pengelolaan perusahaan. Sedangkan komisaris
independen adalah anggota komisaris yang berasal dari luar perusahaan.
Komisaris independen tidak memiliki kepemilikan saham pada perusahaan publik.
2.1.5.4.2. Keanggotaan Komite Audit
Keanggotaan sebagaimana sesuai dengan Surat Edaran SE-008/BEJ/12-
2001 tentang Keanggotaan Komite Audit dan Peraturan no IX.I.5 tentang
Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit menjelaskan bahwa
anggota komite audit yang merupakan komisaris independen adalah bertindak
32
sebagai ketua komite audit. Dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa jumlah
komite audit sekurang-kurangnya 3 orang, termasuk ketua komite audit.
2.1.5.4.3. Tugas dan Tanggung Jawab Komite Audit
Sesuai dengan Keputusan Ketua BAPEPAM yaitu KEP-29/PM/2004,
komite audit yaitu antara lain:
1. melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan
perusahaan seperti laporan keuangan, proyeksi, dan informasi keuangan
lainnya;
2. melakukan penelahaan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal san peraturan perundang-undangan lainnya
yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan;
3. melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditro internal;
4. melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan
pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi;
5. melakukan penelaahan dan melaporkan kepada komisaris atas pengaduan yang
berkaitan dengan Emiten atau Perusahaan Publik, dan
6. menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan informasi perusahaan .
33
2.2. Penelitian Sebelumnya
Tabel 2.2
Penelitian Sebelumnya
No Judul Penelitian Peneliti Temuan yang Signifikan
1
Faktor – Faktor yang
Mempengaruhi Praktik
Perataan Laba pada
Perusahaan yang
Terdaftar di Bursa Efek
Jakarta
Liauw She Jin dan
Mas’ud Machfoedz
(1998)
Leverage berpengaruh
secara signifikan terhadap
manajemen laba
2 Corporate Governance
dan Manajemen Labs:
Suatu Studi Empiris
Deni Darmawati
(2003)
Leverage signifikan
terhadap manajemen laba
.
3 Analisis Hubungan
Mekanisme Corporate
Governance dan
Indikasi Manajemen
Laba
Pratana Puspa
Midiastuty dan
Mas’ud Machfoedz
(2003)
Kepemilikan institusional ,
kepemilikan manajerial ,
dan ukuran dewan direksi
berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba
yang diukur dengan
discretionary accrual
4 Pengaruh Struktur
Kepemilikan , Ukuran
Perusahaan , dan
Praktek Good
Governance terhadap
Pengelolaan Laba
(Earnings Management)
Sylvia Veronica
N.P. Siregar dan
Siddharta Utama
(2006)
Ukuran perusahaan secara
konsisten berpengaruh
terhadap besarnya
manajemen laba .
5 “ Mekanisme Good
Corporate Governance ,
Manajemen Laba , dan
Kinerja Keuangan
Perusahaan Manufaktur
di Bursa Efek Indonesia
Werner R.Murhadi
(2009)
CEO duality dan top share
berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba
34
6 Pengaruh Struktur
Kepemilikan dan
Kualitas Audit terhadap
Manajemen Laba
Tuti Sriwedari
(2009)
Secara individual masing –
masing indikator tersebut
berpengaruh negatif tetapi
tidak signifikan terhadap
manajemen laba kecuali
komite audit .
7 Analisis Pengaruh
Struktur Kepemilikan ,
Praktik Corporate
Governance , dan
Kompensasi Bonus
terhadap Manajemen
Laba
Nuryaman ,
Rusmin , Joy Nanta
Ginting (2010)
Kepemilikan manajemen
dan kepemilikan
institusional berpengaruh
negatif terhadap manajemen
laba . Sedangkan kualitas
audit dengan proksi
spesialisasi industri kantor
akuntan publik berpengaruh
positif tidak signifikan
terhadap manajemen laba .
8 Pengaruh Mekanisme
Good Corporate
Governance ,
Independensi Auditor ,
Kualitas Audit dan
Faktor Lainnya
Terhadap Manajemen
Laba
Halima Sathila
Palestin
Struktur kepemilikan ,
proporsi dewan komisaris
independen , dan
kompensasi bonus
mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap
manajemen laba .
9 Pengaruh Mekanisme
Good Corporate
Governance,
Independensi Auditor,
dan Kualitas audit dan
faktor lainnya terhadap
manajemen laba
Welvin I Guna dan
Arleen Herawaty
(2010)
Leverage , kualitas auditor ,
dan profitabilitas
berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba .
35
2.3. Hipotesis
2.3.1. Leverage dan Manajemen Laba
Leverage merupakan perbandingan antara total hutang dengan total aset
yang dimiliki oleh perusahaan, jadi semakin tinggi tingkat leverage, maka
semakin sulit suatu perusahaan dapat memenuhi kewajiban membayar hutang
pada waktunya. Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh leverage terhadap
manajemen laba telah dilakukan oleh Welvin I Guna dan Herawati (2010).
Peneliti menyimpulkan bahwa leverage berbanding lurus dengan risiko yang
dihadapi investor sehingga investor akan meminta laba yang semakin besar.
Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Watts and Zimmerman dalam
hipotesis debt covenant bahwa motivasi debt covenant disebabkan oleh
munculnya perjanjian kontrak antara manajer dengan perusahaan yang berbasis
kompensasi manajerial (Watts Zimmerman, 1986). Dengan demikian, perusahaan
yang mempunyai rasio leverage yang tinggi, berarti proporsi hutangnya lebih
tinggi dibandingkan dengan proporsi aktivanya, akan cenderung melakukan
manipulasi dalam bentuk manajemen laba. Hal ini bertujuan untuk menghindari
pelanggaran perjanjian utang .
H1 : Leverage berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
2.3.2. Mekanisme Good Corporate Governance dan Manajemen Laba
Berdasarkan teori keagenan, untuk mengatasi ketidakselarasan kepentingan
antara manajer dan pemegang saham, maka suatu perusahaan harus mempunyai
36
tata kelola perusahaan yang baik atau yang dikenal dengan istilah Good Corporate
Governance. Indikator mekanisme good corporate governance ini dapat diukur
dengan kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan komisaris,
komisaris independen, dan komite audit . Dengan adanya pengelolaan perusahaan
dengan baik, diharapkan dapat mengurangi praktik manajemen laba yang dapat
dilakukan oleh manajer.
Struktur kepemilikan saham dalam perusahaan terdiri atas kepemilikan
institusional dan kepemilikan manajerial. Institusi sebagai salah satu pemegang
saham dianggap sebagai pihak yang lebih mampu mendeteksi kesalahan yang
terjadi . Hal ini dikarenakan investor institusi lebih berpengalaman dibandingkan
dengan investor individual. (Sriwedari, 2009: 14).
Dari beberapa teori tersebut, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
kepemilikan institusional, maka akan semakin kecil peluang manajer untuk
melakukan manajemen laba karena institusi dapat mengendalikan pihak
manajemen melalui monitoring yang secara efektif dapat mengurangi manajemen
laba . Hasil penelitian yang serupa juga terjadi pada penelitian oleh Nuryaman,
dkk (2010) serta Bangun dan Vincent (2008)
H2 : Mekanisme good corporate governance dengan proksi kepemilikan
institusional berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat bergantung
pada motivasi manajer itu sendiri. Motivasi manajer yang berbeda – beda dapat
mempengaruhi tingkatan manajemen laba. Berbeda dengan kepemilikan
institusional , kepemilikan manajerial dapat ikut menentukan kebijakan serta
37
metode akuntansi yang diterapkan perusahaan . Dengan kata lain , kepemilikan
manajerial dapat menimbulkan inisiatif untuk melakukan manajemen laba .
H3 : Mekanisme good corporate governance dengan proksi kepemilikan
manajemen berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
Dewan Komisaris melakukan kontrol melalui fungsi utamanya sebagai
pengawas direksi dalam menjalankan tata kelola perusahaan. Dewan komisaris
terdiri dari Komisaris utama dan komisaris independen. Dengan semakin
proporsionalnya dewan komisaris dalam suatu perusahaan, diharapkan dapat
mengurangi praktek manajemen laba, yaitu dengan cara melakukan pengawasan
dan kontrol.
H4 : Mekanisme good corporate governance dengan proporsi dewan
komisaris berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
Komisaris independen adalah anggota komisaris yang tidak terafiliasi
dengan manajer, anggota dewan komisaris lainnya, dan pemegang saham
pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis dan hubungan lainnya yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau semata-mata
demi kepentingan perusahaan. (Komite Nasional Kebijakan Good Corporate
Governance, 2006). Berdasarkan uraian tersebut , maka ;
H5 : Mekanisme good corporate governance dengan proporsi komisaris
independen berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
38
Komite audit bertugas untuk membantu komisaris dalam hal pengendalian
intern serta pelaksanaan tugas auditor eksternal dan internal. Keberadaan komite
audit dalam suatu perusahaan diharapkan dapat mengurangi praktek manajemen
laba. Berikut hipotesisnya :
H6 : Mekanisme good corporate governance dengan proporsi komite audit
berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
2.3.3. Kualitas Audit dan Manajemen Laba
Reputasi auditor sangat menentukan kredibilitas laporan keuangan.
Independensi dan kualitas auditor akan berdampak terhadap pendeteksian
manajemen laba. Terdapat dugaan bahwa auditor yang bereputasi baik dapat
mendeteksi kemungkinan adanya manajemen laba secara lebih dini. Reputasi
auditor yang baik merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi terjadinya
tindakan manajemen laba, oleh karena dengan adanya auditor yang mempunyai
reputasi kurang baik maka manajer berpeluang untuk melakukan manajemen laba.
Integritas atas laporan keuangan dapat dilihat dari hasil kualitas audit yang telah
dilaksanakan . (Ma’ruf, 2006:21)
H7 : Terdapat pengaruh kualitas auditor terhadap manajemen laba
2.4. Kerangka Berpikir
Berikut ini adalah kerangka berpikir dalam penelitian ini yaitu untuk
menguji variabel independen yang terdiri dari leverage, mekanisme good
39
corporate governance (kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan
komisaris, komisaris independen, dan komite audit ), dan kualitas auditor terhadap
variabel dependen yaitu manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang
terdapat pada Bursa Efek Indonesia untuk periode 2007-2010 .
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Berdasarkan gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa leverage, mekanisme
good corporate governance, dan kualitas audit merupakan beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi praktik manajemen laba. Manajemen laba dapat terjadi
Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Institusional
Kualitas Auditor
Komite Audit
Dewan Komisaris
Komisaris Independen
Leverage
Manajemen
Laba
40
karena tingkat leverage yang tinggi. Dengan memiliki tingkat leverage yang
tinggi, perusahaan dapat mengelola pendapatan untuk menghindari perjanjian
pelanggaran utang. Mekanisme good corporate governance merupakan
serangkaian mekanisme dalam tata kelola perusahaan yang baik, meliputi
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris, komite audit,
dan komisaris independen. Keempat indikator good corporate governance tersebut
diindikasi dapat mempengaruhi manajemen laba. Kualitas auditor juga dapat
dijadikan sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi praktik manajemen
laba. Hal ini dapat dilihat dari kualitas serta ukuran KAP yang digunakan oleh
suatu perusahaan. Pada umumnya, KAP yang terdaftar pada KAP Big Four
memiliki kualitas auditor yang baik sehingga dapat mengurangi praktek
manajemen laba yang terjadi pada suatu perusahaan.
41
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif yang memusatkan pada pengujian hipotesis. Data yang digunakan
adalah berupa data sekunder yang didapatkan dari Bursa Efek Indonesia ( BEI ).
Pengujian hipotesis menggunakan perhitungan matematis dengan rumus statistik
tentang hubungan antara variabel – variabel yang diteliti dan akan menghasilkan
kesimpulan yang dapat digeneralisasikan dan mempunyai tujuan untuk
membuktikan hipotesis.
3.2. Identifikasi Variabel
Penelitian ini akan menguji pengaruh dari variabel – variabel independen
terhadap variabel dependen. Variabel independen dan variabel dependen yang
digunakan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Variabel independen / bebas
Variabel independen adalah variabel yang dapat mempengaruhi perubahan
dalam variabel dependen dan mempunyai hubungan yang positif maupun
negatif bagi variabel dependen. Variabel independen sering disebut
variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi. (Situmorang, 2010:8).
Variabel independen dalam penelitian ini yaitu:
42
a. Leverage yang diukur dari total hutang terhadap total aset perusahaan
b. Mekanisme Good Corporate Governance yang diukur melalui :
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan
komisaris, proporsi komisaris independen, serta proporsi komite audit.
c. Kualitas auditor yang diukur melalui spesifikasi KAP Big Four dan non
Big Four
2. Variabel dependen / terikat
Variabel dependen / terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah manajemen
laba yang diukur melalui discretionary accrual
3.3. Definisi Operasional Variabel
Operasional variabel ini dibutuhkan untuk menentukan jenis dan indikator
dari variabel – variabel yang terkait dalam penelitian ini . Selain itu, proses ini
juga digunakan untuk menggunakan skala pengukuran dari masing–masing
variabel sehingga pengujian dengan menggunakan alat bantu statistik dapat
dilakukan dengan benar .
3.3.1. Variabel Independen
3.3.1.1. Leverage
Leverage merupakan perbandingan antara total hutang dengan total aktiva
yang dimiliki perusahaan. Semakin besar tingkat leverage, maka perusahaan
mungkin tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran hutang pada waktunya
43
yang dapat mengakibatkan perusahaan terancam default. Menurut I Guna dan
Herawati (2010:58), semakin tinggi nilai leverage, maka resiko yang akan
dihadapi investor akan semakin tinggi dan para investor akan meminta
keuntungan yang semakin besar. Dengan semakin besarnya tingkat leverage suatu
perusahaan, manajer dapat termotivasi untuk melakukan praktik tindakan
manajemen laba .
3.3.1.2. Kepemilikan Institutional
Kepemilikan institusional sering disebut sebagai investor yang canggih
dan seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode sekarang dalam
memprediksi laba masa depan dibandingkan dengan kepemilikan non institusional
(Siregar dan Utama, 2006). Tetapi, yang perlu menjadi perhatian adalah
pengelolaan laba dapat bersifat efisien, tidak selalu oportunis. Jika pengelolaan
laba tersebut efisien, maka kepemilikan institusional yang tinggi justru akan
meningkatkan manajemen laba, tetapi jika pengelolaan laba yang dilakukan
perusahaan bersifat oportunis, maka kepemilikan institusional yang tinggi akan
mengurangi manajemen laba.
3.3.1.3. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial merupakan saham yang dimiliki oleh
manajemen secara pribadi maupun saham yang dimiliki oleh anak cabang
perusahaan bersamgkutan beserta afiliasinya (Susiana dan Herawaty, 2007 ).
44
3.3.1.4. Dewan Komisaris
Berdasarkan pada UU Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan terbatas, dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umun atau khusus sesuai dengan anggaran dasar
serta memberikan nasihat kepada Direksi.
3.3.1.5. Proporsi Komisaris Independen
Keberadaan Komisaris Independen diharapkan akan dapat lebih efektif
dalam melakukan pengawasan kepada pihak manajemen, sehingga diharapkan
dapat mengurangi praktik earning management. Namun komisaris independen
diharapkan juga tidak hanya dipilih guna memenuhi peraturan yang ada di
Indonesia, karena bila tujuannya hanya untuk memenuhi ketentuan pasar modal
maka keberadaan komisaris independen menjadi tidak bermakna
(Murhadi,2009:5).
3.3.1.6. Komite Audit
Sesuai dengan Kep 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang
dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan
perusahaan . Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian
perusahaan. Selain itu, komite audit dianggap sebagai penghubung antara
pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam
menangani masalah pengendalian .
45
3.3.1.7. Kualitas Audit
Peran eksternal auditor adalah memberikan penilaian secara independen
dan profesional atas keandalan dan kewajaran penyajian laporan keuangan
perusahaan. Auditor eksternal dapat menjadi mekanisme pengendalian terhadap
manajemen agar manajemen menyajikan informasi keuangan secara handal dan
terbebas dari praktek kecurangan akuntansi . (Nuryaman, dkk, 2010:156 )
3.3.2. Variabel Dependen
3.3.2.1. Manajemen Laba
Manajemen laba merupakan suatu bentuk campur tangan manajemen
berupa kenaikan / penurunan laba dalam proses penyusunan eksternal. Nilai
discretionary accrual ( DA) dihitung dengan Model Jones yang dimodifikasi untuk
mengukur tingkat manajemen laba. (Dechow et al, 1995) .
Persamaan 1
TAC it = NIit – CFOit .............. (1)
TAC it : Total akrual perusahaan i pada tahun t
NIit : Laba bersih perusahaan i pada tahun t
CFOit : Arus kas dari operasi perusahaan i pada tahun t
Nilai total accrual yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS sebagai
berikut :
TAC t / A t-1 = β1 (1/ A it-1 ) + β2 (∆REVit - ∆RECit / A it-1 ) + β3 ( PPEt / A t-1 ) + e
....(2)
46
Dengan menggunakan koefisien regresi di atas ( β1 , β2 , β3 ) nilai non
discretionary accrual ( NDA ) dapat dihitung dengan rumus :
Persamaan 3 :
NDAit = β1 (1 / Ait-1) + β2 (∆REVit - ∆RECit / A it-1) + β3 (PPEit /Ait-1) ....... (3)
Selanjutnya , discretionary accrual ( DA ) dapat dihitung sebagai berikut :
Persamaan 4 :
DAit =TACit – NDAit ............................................... (4)
Dimana :
TAC t : Total akrual dalam periode t
NIit : laba bersih perusahaan i pada periode ke-t
CFOit : aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke t
DAit : Discretionary accrual perusahaan i pada periode ke t
At-1 : Total aset periode t-1
∆REVit : Perubahan penjualan bersih perusahaan i dalam periode t
∆RECit : Perubahan piutang bersih perusahaan i dalam periode t
PPEt : Property , plant , and equipment / aktiva tetap
1 , β2 , β3 : persamaan koefisien regresi
47
3.4. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal
dari laporan keuangan dan tahunan perusahan – perusahaan yang masih terdaftar
di Bursa Efek Indonesia sampai akhir tahun 2010 serta ICMD 2007-2010.
1. Untuk menghitung manajemen laba, data sekunder yang dibutuhkan
adalah laporan keuangan tahunan 2007 – 2010 yang sudah diaudit yang
meliputi laporan laba rugi, laporan arus kas, serta neraca
2. Untuk menghitung leverage, data sekunder yang dibutuhkan adalah
laporan keuangan tahunan yang sudah diaudit, khususnya neraca.
LEV :
3. Untuk menghitung masing – masing indikator penerapan Good Corporate
Governance , data yang digunakan adalah :
a. Kepemilikan institusional : persentase saham yang dimiliki oleh
lembaga – lembaga / institusi terhadap kepemilikan keseluruhan pada
laporan keuangan tahunan.
KI :
b. Kepemilikan manajerial : persentase saham yang dimiliki oleh pihak
manajerial terhadap modal saham yang beredar
KM :
48
c. Dewan komisaris : jumlah keberadaan dewan komisaris dalam
perusahaan i pada tahun t
d. Komisaris independen : persentase jumlah komisaris independen
terhadap keseluruhan dewan komisaris perusahaan yang terdapat pada
laporan keuangan tahunan
KOMIS :
Dimana, sesuai dengan KEP-305/BEJ/07-2004, setiap perusahaan
wajib memiliki komisaris independen, yaitu sekurang-kurangnya 30%
dari seluruh anggota komisaris
e. Komite audit : jumlah keberadaan komite audit dalam perusahaan i
pada tahun t
4. Untuk menghitung kualitas auditor, digunakan variabel dummy, yaitu
pemberian angka 1 apabila KAP yang digunakan berafiliasi dengan KAP
Big Four dan pemberian angka 0 apabila KAP yang digunakan tidak
berafiliasi dengan KAP Big Four
3.5. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara
mengumpulkan data sekunder berupa laporan keuangan tahunan perusahaan
manufaktur yang masih terdaftar di Bursa Efek Indonesia sampai tahun 2010
serta ICMD.
49
3.6. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan– perusahaan
manufaktur yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia sampai tahun 2010.
Sampel yang digunakan adalah perusahaan–perusahaan manufaktur yang terdaftar
pada Bursa Efek Indonesia yang telah memenuhi kriteria yang ditentukan .
Metode ini disebut Metode Purposive Sample. Adapun kriteria dari penentuan
sampel adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan tersebut adalah perusahaan manufaktur yang telah terdaftar dan
masih tercatat sebagai emiten sampai tanggal 31 Desember 2010
2. Perusahaan tersebut menyampaikan laporan keuangan tahunan yang sudah
diaudit kepada Bursa Efek Indonesia sejak tahun 2007 sampai dengan 2010
secara berturut-turut
3. Perusahaan menggunakan mata uang rupiah dalam pelaporan laporan
keuangan
4. Perusahaan melaporkan laporan keuangan dengan tahun fiskal akhir
Desember
5. Perusahaan melaporkan data yang lengkap yang dibutuhkan peneliti
50
3.7. Teknik Analisis
3.7.1. Perhitungan Variabel
1. Menghitung besarnya tingkat akrual baik discretionary accrual dan
non discretionary accrual dengan menggunakan model Jones yang
dimodifikasi
2. Menghitung persentase kepemilikan institusional yaitu yang memiliki
saham perusahaan paling sedikit 5%
3. Menggolongkan serta memberikan nilai sesuai dengan variabel
dummy terkait dengan apakah suatu perusahaan memiliki kepemilikan
manajerial atau tidak
4. Menghitung jumlah dewan komisaris dalam perusahaan setiap
tahunnya.
5. Menghitung persentase jumlah komisaris independen terhadap
keseluruhan anggota dewan komisaris pada setiap tahunnya dalam
suatu perusahaan.
6. Menghitung jumlah komite audit dalam perusahaan setiap tahunnya.
7. Menggolongkan serta memberikan nilai sesuai dengan variabel
dummy terkait dengan apakah suatu perusahaan menggunakan KAP
yang berafiliasi dengan KAP Big Four apa non Big Four.
Ketentuannya yaitu apabila dalam perusahaan menggunakan KAP
yang berafiliasi dengan KAP Big Four, maka diberi angka 1.
51
Sebaliknya, pemberian angka 0 yaitu apabila perusahaan tidak
menggunakan KAP yang berafiliasi dengan KAP Big Four.
3.7.2. Uji Asumsi Klasik
Analisis regresi berganda digunakan untuk meramalkan bagaimana
keadaan variabel dependen apabila dua atau lebih variabel independen dijadikan
sebagai indikator (Gujarati, 2004). Persamaan regresinya adalah sebagai berikut:
Persamaan 1 :
Y = a + b1X1+b2X2+…+bnXn + e ............... (1)
Y = variabel terikat
a = konstanta
b1,b2 = koefisien regresi
X1, X2 = variabel bebas
e = faktor pengganggu
Untuk memperoleh hasil yang lebih akurat pada analisis regresi berganda,
maka dilakukan pengujian asumsi klasik agar hasil yang diperoleh merupakan
persamaan regresi yang memiliki sifat Best Linier Unbiased Estimator.
Pada model regresi linier berganda terdapat beberapa asumsi yang harus
dipenuhi, oleh karenanya perlu dilakukan pengujian terhadap penyimpangan
asumsi model klasik yang meliputi:
52
1. Uji Multikolineritas
Multikolineritas merupakan suatu situasi dimana beberapa atau semua
variabel independen berkorelasi kuat. Jika terdapat korelasi yang kuat di
antara sesama variabel independen, maka konsekuensinya adalah:
a. Koefisien – koefisien regresi yang menjadi tidak dapat ditaksir
b. Nilai standar error setiap koefisien regresi menjadi tidak terhingga
Dengan demikian, berarti semakin besar korelasi di antara sesama variabel
independen, maka tingkat kesalahan dari koefisien regresi semakin besar
yang mengakibatkan standar errornya semakin besar pula. Cara yang
digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas adalah dengan
menggunakan Variance Inflation Factor / VIF
Persamaan 1 :
VIF = 1 / ( 1 – Ri2 ) ......................... (1)
Sumber : Gujarati , 2004
Dimana Ri2 adalah koefisien determinasi yang diperoleh dengan
meregresikan salah satu variabel bebas terhadap variabel bebas lainnya. Jika
nilai VIF kurang dari 10, maka tidak terdapat multikolinieritas dalam data.
2. Uji Autokorelasi
Autokorelasi didefinisikan sebagai korelasi antar observasi yang
diukur berdasarkan deret waktu dalam model regresi atau dengan kata lain
error dari observasi yang satu dipengaruhi oleh error dari observasi
53
sebelumnya. Akibat dari adanya autokorelasi dalam model regresi yaitu
koefisien regresi yang diperoleh menjadi tidak efisien dimana tingkat
kesalahannya menjadi sangat besar dan koefisien regresi menjadi tidak stabil .
Untuk menguji ada atau tidaknya autokorelasi, data dihitung dengan
menggunakan nilai statistik Durbin-Watson ( D-W ):
Sumber : Gujarati , 2004
a. Jika D-W < dL atau D-W > 4-dL , maka pada data tersebut terdapat
autokorelasi
b. Jika du < D-W < 4-du , maka pada data tersebut tidak terdapat
autokorelasi
c. Tidak ada kesimpulan jika dL D-W ≤ du atau 4-du D-W ≤ 4-dL
3. Uji Heterokedastisitas
Selain itu, dengan menggunakan SPSS, uji heterokedastisitas dapat juga
dilihat dengan menggunakan grafik scatterplot antara nilai prediksi variabel
independen dengan residualnya. Jika ada pola tertentu seperti titik–titik yang
membentuk pola tertentu yang teratur, maka telah terjadi heterokedastisitas.
Namun, jika tidak terdapat pola tertentu atas titik – titik tersebut berarti tidak ada
heterokedastisitas dalam data tersebut.
D-W = ∑ (et – et-1 ) / ∑ e2t
54
4. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
dependen dan variabel independen keduanya mempunyai distribusi normal atau
tidak. (Gujarati, 2004).
Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau
mendekati normal Uji normalitas ini dilakukan dengan cara melihat penyebaran
data ( titik ) pada sumbu diagonal dari grafik normal P-P Plot. Adapun
pengambilan keputusan didasarkan kepada :
a. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis
diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal,
maka model regresi memenuhi asumsi normalitas
b. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak menunjukkan
pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi
normalitas.
Pengujian normalitas dengan menggunakan normal P-P Plot dan Histogram
terkadang bersifat subyektif, sehingga dalam hal normalitas, pengujian dapat
dilakukan dengan menggunakan Uji Kolmogorof, dimana apabila signifikansi
melebihi 0,05, maka data tersebut telah terdistribusi normal.
55
3.7.3. Metode Analisis Data
Model analisis data pada penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh dari
leverage, mekanisme good corporate governance yang meliputi kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, jumlah dewan komisaris, proporsi komisaris
independen, dan komite audit serta kualitas auditor terhadap manajemen laba.
Dalam penelitian ini menggunakan metode statistik deskriptif untuk mengetahui
profil perusahaan yang dijadikan sebagai sampel. Data yang digunakan meliputi
profil perusahaan, distribusi frekuensi, rata – rata, minimum, maksimum dan nilai
akrual perusahaan selama periode pengamatan .
3.7.3.1 Uji Hipotesis
Model yang diuji dalam penelitin ini dapat dinyatakan dalam persamaan
regresi berganda dibawah ini :
Dimana ,
DA : nilai discretionary accrual pada
β1LEV : leverage perusahaan
β2KI : kepemilikan institusional
β3KM : kepemilikan manajerial
β4 DK : jumlah keberadaan dewan komisaris
β5 KOMIS : proporsi komisaris independen
DA = β0 + β1LEV + β2KI + β3KM + β4 DK + β5 KOMIS + β6 KA + β7AUD + ε
56
β6 KA : jumlah keberadaan komite audit di
β7AUD : auditor baik Big Four maupun non Big Four
ε : error
1. Pengujian Secara Parsial ( Uji t )
Pengujian ini bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya
pengaruh yang signifikan dari variabel independen secara individu terhadap
variabel dependen. Tahapan dalam uji t adalah sebagai berikut :
a. Menentukan hipotesis nol ( H0 )
H0 : β 1 = 0
Berarti bahwa variabel independen tidak mempunyai pengaruh
terhadap variabel dependen.
H1 : β 1 ≠ 0
Berarti bahwa variabel independen mempunyai pengaruh terhadap
variabel dependen.
b. Menentukan besarnya tingkat signifikansi
Tingkat signifikansi yang digunakan adalah sebesar 5%
c. Menentukan signifikan atau tidaknya uji t
Pengujian setiap koefisien regresi dikatakan signifikan bila
signifikansinya kurang dari 5%. Apabila tingkat signifikansi lebih
dari 5%, maka H1 ditolak, sebaliknya apabila tingkat signifikansi
kurang dari 5%, maka H1 diterima.
57
2. Pengujian Secara simultan ( Uji F )
Pengujian secara simultan digunakan untuk menguji secara
bersama – sama antara variabel bebas dengan variabel terikat. Tahapan yang
perlu dilakukan dalam uji F adalah:
a. Menentukan null hypothesis ( Ho) , yaitu :
H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = β6 = β7 = 0
Berarti semua variabel tidak mempunyai pengaruh terhadap
variabel dependen
H1 : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ β4 ≠ β5 ≠ β6 ≠ β7 ≠ 0
Berarti semua atau ada satu variabel independen yang mempunyai
pengaruh terhadap variabel dependen .
b. Menentukan besarnya tingkat signifikansi ( α )
Tingkat signifikansi yang digunakan yaitu sebesar 5%
c. Menentukan signifikan tidaknya uji F
Untuk menguji secara bersama – sama antara variabel bebas
dengan variabel terikat dengan melihat tingkat signifikansi yang
kurang dari 5% ,
3. Uji Koefisien Determinan ( R2 )
Koefisien determinan (R2) digunakan untuk mengetahui
seberapa baik sampel menggunakan data (Gujarati, 2004). R2
mengukur besarnya jumlah reduksi dalam variabel dependen yang
diperoleh dari penggunaan variabel bebas. R2 mempunyai nilai antara
58
0 sampai 1, dengan nilai R2 yang tinggi berkisar antara 0,7 sampai 1.
R2 yang digunakan adalah nilai adjusted R2 yang merupakan R2 yang
telah disesuaikan. Adjusted R2 merupakan indikator untuk mengetahui
penambahan suatu variabel independen ke dalam persamaan.
59
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Mengenai Obyek Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan sampel sebanyak 100 perusahaan
yang berasal dari semua sub sektor industri manufaktur berdasarkan
penggolongan ICMD pada periode 2007-2010 yang terdaftar pada Bursa Efek
Indonesia. Pemilihan sampel tersebut berdasarkan pada:
Tabel 4.1
Pemilihan Sampel Obyek Penelitian
No Keterangan Jumlah
1 Perusahaan yang terdaftar di BEI dan masih
tercatat sebagai emiten sampai Desember 2010
152
2 Perusahaan tidak melaporkan laporan
keuangan yang sudah diaudit pada 2007-2010
secara lengkap
( 42 )
3
Perusahaan menggunakan mata uang selain
rupiah dalam pelaporan laporan keuangan
( 8 )
4 Perusahaan menggunakan laporan keuangan
dengan tahun fiskal selain Desember
( 2 )
Jumlah 100
60
Tabel 4.2
Persentase Jumlah Sampel Perusahaan Tiap Industri
ICMD INDEX JUMLAH PERSENTASE Food and Beverages
Tobacco Manufactures
Textile Mill Products
Apparel and Other Textile Products
Lumber and Wood Products
Paper and Allied Products
Chemical and Allied Products
Adhesive
Plastics and Glass Products
Cement
Metal and Allied Products
Fabricated Metal Products
Stone,Clay, Glass, and Concrete
Cables
Electronic and Office Equipment
Automotive and Allied Products
Photographic Equipment
Pharmaceuticals
Consumer Goods
14
2
0
13
2
3
4
2
7
3
7
2
4
4
4
15
3
9
2
14 %
2%
0%
13%
2%
3%
4%
2%
7%
3%
7%
2%
4%
4%
4%
15%
3%
9%
2%
Total 100 100%
61
4.2. Perhitungan Manajemen Laba
Berikut ini adalah tahap-tahap dalam menghitung nilai dicretionary
accrual :
1. Menghitung total accrual masing-masing perusahaan i pada tahun t
Persamaan 1: TACit = NIit – CFOit
2. Meregresikan nilai total accrual dengan persamaan regresi OLS
Persamaan 2 :
TACit /At-1 =β1(1/Ait-1) + β2 (∆REVit -∆RECit /A it-1) + β3 (PPEt/At-1) + e
3. Dengan menggunakan koefisien regresi di atas ( β1 , β2 , β3 ) nilai
non discretionary accrual ( NDA ) dapat dihitung dengan rumus :
Persamaan 3 :
NDAit = β1 (1 / Ait-1) + β2 (∆REVit - ∆RECit / A it-1) + β3 (PPEit /Ait-1)
4. Selanjutnya , discretionary accrual ( DA ) dapat dihitung sebagai
berikut :
Persamaan 4 : DAit = – NDAit
62
Berikut ini merupakan perhitungan manajemen laba per tahunnya :
1. Manajemen Laba Tahun 2007
Tabel 4.3
Koefisien Non Discretionary Accrual Tahun 2007
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -.048 .026 -1.848 .068
(delta REV-delta
REC)/Ait-1 2007
.079 .034 .248 2.334 .022
PPEit/Ait-1 2007 .029 .032 .097 .913 .364
a. Dependent Variable: TACit/Ait-1 2007
Sumber: Hasil Analisis Data
Berdasarkan pada tabel di atas, nilai konstanta persamaan regresi pada
manajemen laba tahun 2007 adalah -0,048. Sedangkan (ΔREV-∆REC)/At-1 dan
PPE/Ait-1 menunjukkan nilai masing-masing 0,079 dan 0,029. Nilai (ΔREV-
∆REC)/Ait-1 yang bernilai positif menandakan bahwa semakin besar nilai (ΔREV-
∆REC) maka semakin besar juga total akrualnya. Nilai koefisien yang bernilai
positif pada PPE/Ait-1 menunjukkan bahwa semakin besar PPEit maka semakin
besar pula total akrualnya.
Dengan menggunakan koefisien regresi di atas, nilai non discretionary
accrual (NDA) dapat dihitung untuk mengetahui nilai discretionary accrual. Nilai
perhitungan manajemen laba pada tahun 2007 seperti yang telah terlampir,
menunjukkan nilai positif dan negatif. Discretionary Accrual (DA) yang bernilai
63
positif menandakan bahwa pada tahun tersebut, perusahaan tersebut melakukan
manajemen laba melalui peningkatan laba / income increasing. Sedangkan nilai
negatif pada Discretionary Accrual (DA)menandakan bahwa pada tahun tersebut,
perusahaan melakukan manajemen laba melalui penurunan laba / income
decreasing.
2. Manajemen Laba Tahun 2008
Tabel 4.4
Koefisien Non Discretionary Accrual tahun 2008
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -.083 .045 -1.848 .068
(delta REV-delta REC) /
Ait-1 2008
.097 .054 .180 1.796 .076
PPEit / A It-1 2008 -.007 .093 -.007 -.072 .943
a. Dependent Variable: TACit/Ait-1 2008
Sumber: Hasil Analisis Data
Berdasarkan pada tabel di atas, nilai konstanta persamaan regresi pada
manajemen laba tahun 2008 adalah -0,083. Sedangkan (ΔREV-∆REC)/At-1 dan
PPE/Ait-1 menunjukkan nilai masing-masing 0,097 dan -0,007. Pada persamaan
tersebut, nilai (ΔREV-∆REC)/At-1 yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin besar nilai (ΔREV-∆REC) /At-1 maka semakin besar pula total
akrualnya.Begitu juga sebaliknya, semakin kecil nilai (ΔREV-∆REC) /At-1 , maka
64
semakin kecil total akrualnya. Sedangkan pada PPE/Ait-1, nilai koefisiennya
bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai PPEit, maka
semakin kecil total akrualnya. Begitu pula sebaliknya.
Dengan menggunakan koefisien regresi di atas, nilai non discretionary
accrual ( NDA ) diketahui untuk menghitung nilai discretionary accrual. Nilai
perhitungan manajemen laba pada tahun 2008 seperti yang telah terlampir,
menunjukkan nilai positif dan negatif. Discretionary Accrual (DA) yang bernilai
positif menandakan bahwa pada tahun tersebut, perusahaan tersebut melakukan
manajemen laba melalui peningkatan laba / income increasing. Sedangkan nilai
negatif pada Discretionary Accrual (DA) menandakan bahwa pada tahun tersebut,
perusahaan melakukan manajemen laba melalui penurunan laba.
3. Manajemen Laba Tahun 2009
Tabel 4.5
Koefisien Non Discretionary Accrual Tahun 2009
Sumber:hasil analisis data
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) .082 .083 .998 .321
(delta REV-delta
REC)/Ait-1 2009
.131 .117 .113 1.120 .265
PPEit/Ait-1 2009 -.073 .110 -.067 -.660 .511
a. Dependent Variable: TACit/Ait-1 2009
65
Berdasarkan pada tabel di atas, nilai konstanta persamaan regresi pada
manajemen laba tahun 2009 adalah 0,082. Sedangkan (ΔREV-∆REC)/At-1 dan
PPE/Ait-1 menunjukkan nilai masing-masing 0,131 dan -0,073. Pada persamaan
tersebut, nilai (ΔREV-∆REC)/At-1 yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin besar nilai (ΔREV-∆REC) maka semakin besar juga total
akrualnya. Hal ini berlaku juga untuk keadaan yang sebaliknya. Sedangkan pada
PPE/Ait-1, nilai koefisiennya bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar nilai PPEit, maka semakin kecil total akrualnya. Begitu juga
sebaliknya.
Dengan menggunakan koefisien regresi di atas, nilai non discretionary
accrual ( NDA ) dapat diketahui untuk menghitung nilai discretionary accrual.
Nilai perhitungan manajemen laba pada tahun 2009 seperti yang telah terlampir,
menunjukkan nilai positif dan negatif. Discretionary Accrual (DA) yang bernilai
positif menandakan bahwa pada tahun tersebut, perusahaan tersebut melakukan
manajemen laba melalui peningkatan laba. Sedangkan nilai negatif pada
Discretionary Accrual (DA)menandakan bahwa pada tahun tersebut, perusahaan
melakukan manajemen laba melalui penurunan laba.
66
4. Manajemen Laba Tahun 2010
Tabel 4.6
Koefisien Non Discretionary Accrual Tahun 2010
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -.096 .016 -6.203 .000
(delta REV-delta
REC)/Ait-1 2010
.019 .018 .066 1.007 .317
PPEit/Ait-1 2010 .229 .016 .932 14.284 .000
a. Dependent Variable: TACit/Ait-1 2010
Sumber:Hasil Analisis Data
Berdasarkan pada tabel di atas, nilai konstanta persamaan regresi pada
manajemen laba tahun 2010 adalah -0.096. Sedangkan (ΔREV-∆REC)/At-1 dan
PPE/Ait-1 menunjukkan nilai masing-masing 0,019 dan 0,229. Pada persamaan
tersebut, nilai (ΔREV-∆REC)/At-1 bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar nilai (ΔREV-∆REC) maka semakin besar juga total akrualnya. Hal
ini berlaku juga untuk keadaan yang sebaliknya. Sedangkan pada PPE/Ait-1, nilai
koefisiennya bernilai positif Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai
PPEit, maka semakin besar total akrualnya. Begitu juga sebaliknya.
Dengan menggunakan koefisien regresi di atas, nilai non discretionary
accrual (NDA) dapat diketahui untuk menghitung nilai discretionary accrual
(DA). Nilai perhitungan manajemen laba pada tahun 2010 seperti yang telah
terlampir, menunjukkan nilai positif dan negatif. Discretionary Accrual (DA)
67
yang bernilai positif menandakan bahwa pada tahun tersebut, perusahaan tersebut
melakukan manajemen laba melalui peningkatan laba. Sedangkan nilai negatif
pada Discretionary Accrual (DA) menandakan bahwa pada tahun tersebut,
perusahaan melakukan manajemen laba melalui penurunan laba.
4.3. Deskripsi Hasil Penelitian
Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen
laba, sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah leverage, kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris, komisaris independen,
komite audit, dan kualitas audit. Adapaun statistik deskriptif atas variabel-variabel
yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditunjukkan pada tabel 4.7 .
Tabel 4.7
Sumber: Hasil analisis data
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Leverage 400 .03 3.37 .6179 .53472
Dewan KOmisaris 400 2.00 11.00 4.1725 1.85914
KOmisaris Independen 400 .00 1.00 .3516 .15721
KOmite Audit 400 .00 5.00 3.0250 .45815
Kepemilikan Institusional 400 .00 99.92 69.9772 21.33821
Kepemilikan Manajerial 400 .00 25.61 1.8973 4.74081
Discretionary Accrual 400 -1.10 6.52 .0001 .37249
Valid N (listwise) 400
68
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sampel penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 400. Jumlah ini diperoleh dari
100 perusahaan selama 4 tahun. Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa:
1. Leverage memiliki nilai minimum 0,03 dan nilai maksimum 3,37 serta
rata-rata sebesar 0,6179 dengan standar deviasi sebesar 0,53472
2. Dewan komisaris memiliki nilai minimum dan maksimum masing-
masing 2,00 dan 11,00 dengan rata-rata 4,1725. Variabel dewan komisaris
memiliki standar deviasi 1,85914
3. Komisaris independen memiliki nilai minimum 0,00 dan maksimum
1,00 serta rata-rata sebesar 0,3516 dengan standar deviasi 0,15721
4. Komite audit memiliki nilai minimum 0,00 dan maksimum 5,00 serta
rata-rata sebesar 3,0250 dengan standar deviasi 0,45815
5. Kepemilikan institusional memiliki nilai minimum 0,00 dan
maksimum 99,92 dengan rata-rata 69,9772 dan standar deviasi 21,33821
6. Kepemilikan manajerial memiliki nilai minimum 0,00 dan maksimum
25,61 dengan rata-rata 1,8973 dan standar deviasi sebesar 4,74081.
7. Discretionary accrual memiliki nilai minimum -1,10 dan maksimum
6,52 dengan rata-rata sebesar 0,0001 dan standar deviasi 0,37249.
69
Tabel 4.8
Frekuensi Kualitas Audit
Kualitas Audit
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid .00 218 54.5 54.5 54.5
1.00 182 45.5 45.5 100.0
Total 400 100.0 100.0
Sumber: Hasil Analisis Data
Berdasarkan pada tabel 4.8, terdapat 45,5% sampel yang menggunakaan
KAP Big Four atau sebanyak 182 sampel. Sedangkan sisanya yaitu sebesar
54.4% atau 218 sampel tidak menggunakan KAP Big Four.
4.4. Uji Asumsi Klasik
Untuk mendapatkan hasil regresi yang efisien dan akurat, data harus
terbebas dari pelanggaran asumsi klasik. Uji asumsi klasik pada persamaan regresi
berganda bertujuan sebagai alat untuk menguji variabel-variabel bebas yang
digunakan dalam penelitian, apakah terbebas dari pelanggaran asumsi regresi atau
belum. Yang dimaksud dengan pelanggaran asumsi regresi adalah adanya sifat
autokorelasi, multikolineritas, dan heteroskedastisitas. Selain itu, uji asumsi klasik
juga berfungsi untuk memastikan bahwa data yang digunakan dalam penelitian
berdistribusi normal.
70
4.4.1 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan
antar variabel independen. Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi ini
digunakan uji Durbin Watson. Kriteria pengujian untuk mengetahui ada tidaknya
gejala autokorelasi adalah :
a. du ≤ DW ≤ 4 – du berarti tidak terjadi autokorelasi.
b. dL ≤ DW ≤ 4 – dL berarti ragu – ragu, tidak dapat diketahui terjadi
autokorelasi atau tidak.
c. DW < dL berarti terjadi autokorelasi positif .
d. DW > 4 – dL berarti terjadi autokorelasi negatif.
Sesuai tabel 4.8 berikut ini merupakan hasil uji autokorelasi dengan
leverage, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan
komisaris, komisaris independen, komite audit, dan kualitas audit sebagai
variabel bebas serta manajemen laba sebagai variabel terikat.
Tabel 4.9
Uji Autokorelasi
Sumber: Hasil Analisis data
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .241a .058 .041 .13145 1.949
a. Predictors: (Constant), Kualitas Audit, KOmisaris Independen, Leverage, Kepemilikan
Institusional, KOmite Audit, Kepemilikan Manajerial, Dewan KOmisaris
b. Dependent Variable: Discretionary Accrual
71
Pada tabel 4.9 menunjukkan nilai Durbin-Watson 1,949. Jumlah variabel
bebas adalah sebanyak tujuh dan jumlah penelitian sebanyak 400.Berdasarkan
pada hasil perhitungan, Durbin-Watson berada di du ≤ DW ≤ 4 – du . Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terjadi autokorelasi pada regresi tersebut , karena
pengujian dikatakan bebas autokorelasi jika berada pada rentang du sampai 4-du
dimana penentuan nilai du diperoleh dari tabel Durbin-Watson.
4.4.2. Uji Multikolineritas
Uji multikolonieritas digunakan untuk mengetahui apakah dalam
persamaan regresi terdapat korelasi antar variabel bebas atau tidak (Gujarati,
2003:374). Cara yang digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas
adalah dengan menggunakan Variance Inflation Factor /VIF. Jika nilai VIF
kurang dari 10, maka tidak terdapat multikolinieritas dalam data.
Tabel 4.10
Hasil Uji Multikolinieritas
Variabel VIF Keterangan
Leverage 1.034 Bebas multikol
Kepemilikan Institusional 1.161 Bebas multikol
Kepemilikan Manajerial 1.223 Bebas multikol
Dewan Komisaris 1.230 Bebas multikol
Komisaris Independen 1.037 Bebas multikol
Komite Audit 1.095 Bebas multikol
Kualitas Audit 1.208 Bebas multikol
Sumber: Hasil analisis data
72
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa semua variabel independen yaitu
leverage, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris,
komisaris independen, komite audit dan kualitas audit memiliki nilai VIF < 10
sehingga pada model regresi ini tidak terjadi multikolineritas.
4.4.3. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel dependen dan variabel independen keduanya mempunyai distribusi
normal atau tidak . Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data
normal atau mendekati normal. Uji normalitas ini dilakukan dengan cara melihat
penyebaran data ( titik ) pada sumbu diagonal dari grafik normal P-P Plot dan
histogram.
Pengujian normalitas secara statistik dapat menggunakan Uji Kolmogrof-
Smirnov. Data dikatakan terdistribusi secara normal apabila nilai Kolmogrof-
Smirnov lebih besar dari 5%. Uji Kolmogrof-Smirnov untuk melihat distribusi
data peneletian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.11
Uji Kolmogorov-Smirnov 1
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Discretionary
Accrual
N 400
73
Berdasarkan pada tabel 4.11, terlihat bahwa nilai Signifikansi
Kolmogorov-Smirnov berada di bawah 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data
terdistribusi secara tidak normal sehingga dalam penelitian ini asumsi normalitas
belum terpenuhi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada beberapa data yang
outlier. Outlier merupakan data observasi yang memiliki karakteristik yang
terlihat sangat berbeda jauh dari observasi-observasi lainnya dan muncul dalam
bentuk nilai ekstrim, baik untuk sebuah variabel tunggal maupun kombinasi
(Ghozali, 2004).
Outlier dapat muncul dari observasi yang akurat tapi ekstrim dan
kesalahan data yang berasal dari sumbernya atau kesalahan data pada database.
Dalam peneltian ini, ada tidaknya outlier dapat dilihat melalui Casewise
Diagnostics.
Setelah data yang outlier dikeluarkan, maka pengujian dilakukan kembali
untuk melihat data telah terdistribusi normal atau belum. Hasil pengujian
Normal Parametersa,,b
Mean .0001
Std. Deviation .37249
Most Extreme Differences Absolute .254
Positive .254
Negative -.208
Kolmogorov-Smirnov Z 5.078
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
74
normalitas data dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov setelah
dikeluarkan data-data yang outlier terlihat pada tabel 4.12 di bawah ini:
Tabel 4.12
Uji Kolmogorov-Smirnov 2
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Discretionary
Accrual
N 388
Normal Parametersa,,b
Mean -.0216
Std. Deviation .13422
Most Extreme Differences Absolute .045
Positive .042
Negative -.045
Kolmogorov-Smirnov Z .891
Asymp. Sig. (2-tailed) .405
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
75
Sumber: Hasil Analisis Data
Berdasarkan pada tabel 4.12, terlihat bahwa nilai signifikansi
Kolmogorov-Smirnov dari model penelitian berada di atas 0,05 maka dapat
disimpulkan data telah terdistribusi secara normal. Selanjutnya untuk menguatkan
hasil uji Kolmogorov-Smirnov maka dapat digunakan uji grafik normal
probability plot dan histogram.
Gambar 4.1
Histogram Uji Normalitas
Sumber: Hasil analisis data
Berdasarkan pada Gambar 4.1, dapat diketahui bahwa data telah
terdistribusi normal setelah dilakukan casewise diagnostics. Data yang memiliki
distribusi normal adalah membentuk seperti lonceng.
76
Gambar 4.2
Sumber: Hasil analisis data
Berdasarkan pada gambar 4.2, data telah berdistribusi normal, dimana
dikatakan normal apabila grafik mendekati garis diagonal.
Berdasarkan pada Dalil Limit Pusat ( Central Limit Theorema ), uji
normalitas dapat diabaikan jika sampel yang digunakan dalam penelitian bernilai
77
besar. Pada penelitian ini, digunakan 400 sampel dari 4 periode sehingga uji
normalitas dapat diabaikan dan sudah dianggap normal.
4.4.4. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada
hubungan saling mempengaruhi di antara variabel bebas dan variabel terikat pada
persamaan regresi berganda. Uji heterokedastisitas dilihat dengan menggunakan
grafik scatterplot antara nilai prediksi variabel independen dengan residualnya .
Jika ada pola tertentu seperti titik – titik yang membentuk pola tertentu yang
teratur , maka telah terjadi heterokedastisitas . Namun , jika tidak terdapat pola
tertentu atas titik – titik tersebut berarti tidak ada heterokedastisitas dalam data
tersebut .
Gambar 4.3
Scatterplot
78
Sumber: Hasil Analisis Data
Berdasarkan pada gambar diatas, dapat dilihat bahwa titik – titik
menyebar dan tidak membentuk pola yang khas sehingga dalam regresi ini tidak
terdapat gejala heteroskedastisitas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan saling mempengaruhi di antara variabel bebas pada
persamaan linier berganda tersebut.
4.5. Pengujian Hipotesis
4.5.1 Pengujian secara Simultan (Uji F)
Tabel 4.13
Uji F
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
79
Sumber: Hasil Analisis data
Pada tabel 4.13, nilai signifikansi adalah sebesar 0,002 dimana nilainya F
sebesar 3,353 . Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama
dapat mempengaruhi variabel terikatnya karena nilai signifikansi kurang dari
0,05. Setelah dilakukan pengujian menggunakan uji F, maka langkah selanjutnya
adalah melakukan pengujian dengan uji t, dimana apabila ada pengaruh secara
bersama-sama maka sekurang-kurangnya ada 1 variabel yang berpengaruh secara
parsial.
4.5.2. Pengujian Secara Parsial (Uji t)
Berikut ini merupakan hasil uji regresi linier berganda yang menguji
pengaruh variabel independen yang terdiri dari leverage, kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris, komisaris independen,
komite audit, dan kualitas audit terhadap manajemen laba sebagai variabel
dependen.
Tabel 4.14
Hasil Uji Regresi
1 Regression .406 7 .058 3.353 .002a
Residual 6.566 380 .017
Total 6.972 387
a. Predictors: (Constant), Kualitas Audit, KOmisaris Independen, Leverage, Kepemilikan
Institusional, KOmite Audit, Kepemilikan Manajerial, Dewan Komisaris
b. Dependent Variable: Discretionary Accrual
80
Variabel
Koefisien
Regresi
Standar
Error
Beta t Sig
Konstanta -0.082 0.056 -1.475 0.141
Leverage -0.031 0,013 -0,126 -2.482 0.014
Kepemilikan Institusional -7.618E-5 0.000 0.012 -0.225 0.822
Kepemilikan Manajerial -0.001 0.002 -0.019 -0.346 0.729
Dewan Komisaris 0.003 0,004 0.044 0.806 0.421
Komisaris Independen 0.014 0,043 0,017 0,330 0.741
Komite Audit 0.031 0,015 0.108 2.066 0.040
Kualitas Audit -0.058 0,015 -0,216 -3.954 0.000
Koefisien korelasi (R) 0.241
Koefisien determinasi (R2) 0.041
Uji F 3.353
Signifikansi 0.002
Sumber: Hasil analisis data
Berdasarkan hasil perhitungan regresi di atas, maka persamaan regresinya adalah :
DA = -0,082 – 0,031 LEV -7.618E-5 KI -0,001 KM
+ 0,003 DK – 0,014
KOMIS + 0,031 KA – 0,058 AUD + e
Koefisien regresi penelitian menunjukkan tanda yang bervariasi, yaitu
positif dan negatif. Koefisien bertanda positif menunjukkan perubahan yang
searah antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Sedangkan koefisien yang
bertanda negatif menunjukkan arah perubahan yang berlawanan antara variabel
bebas terhadap variabel terikat. Berikut adalah interpretasi dari nilai koefisien
regresi di atas:
1. Koefisien variabel LEV (leverage) adalah sebesar -0,031 yang berarti bahwa
apabila LEV ditingkatkan satu satuan maka DA akan menurun sebesar 0,031
81
dan sebaliknya apabila LEV diturunkan satu satuan maka DA akan meningkat
sebesar 0,029 dengan asumsi variabel lain konstan.
2. Koefisien variabel KI (Kepemilikan institusional) adalah sebesar -7,618E-5
yang berarti bahwa apabila KI ditingkatkan satu satuan, maka DA akan
menurun sebesar -7,618E-5. Begitu pula sebaliknya. Dengan asumsi variabel
lain konstan.
3. Koefisien variabel KM (kepemilikan Manajerial) adalah sebesar -0,001 yang
berarti bahwa apabila KI ditingkatkan satu satuan, maka DA akan menurun
sebesar 0,001. Begitu pula sebaliknya.
4. Koefisien variabel DK (dewan komisaris) adalah sebesar 0,003 yang berarti
bahwa apabila DK ditingkatkan satu satuan, maka DA juga akan meningkat
sebesar 0,003 , begitu pula sebaliknya.
5. Koefisien variabel KOMIS (komisaris independen) adalah sebesar 0,014 yang
berarti bahwa apabila KOMIS ditingkatkan satu satuan, maka DA juga akan
meningkat sebesar 0,014, begitu pula sebaliknya.
6. Koefisien variabel KA (komite audit) adalah sebesar 0,031 yang berarti bahwa
apabila KA ditingkatkan satu satuan, maka DA juga akan meningkat sebesar
0,031, begitu pula sebaliknya.
7. Koefisien variabel AUD (kualitas audit) adalah sebesar -0,058 yang berarti
bahwa apabila AUD ditingkatkan satu satuan, maka DA akan menurun sebesar
0,058, begitu pula sebaliknya.
8. Nilai konstanta sebesar -0,082, berarti bahwa apabila tidak ada variabel lain
maka nilai DA adalah sebesar -0,082
82
4.5.3 Uji Koefisen Determinan ( R2 )
Pada tabel 4.12, dapat dilihat bahwa nilai adjusted R2 adalah sebesar 0,041.
Hal ini berarti bahwa perubahan variabel manajemen laba (variabel terikat) yang
disebabkan oleh adanya ketujuh variabel yaitu leverage, kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial, dewan komisaris, komisaris independen, komite audit,
dan kualitas audit adalah sebesar 0,041 atau 4,1% sedangkan sisanya yaitu
sebesar 95,9% dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel bebas yang
digunakan dalam penelitian. Variabel – variabel lainnya itu misalnya kompensasi
bonus, ukuran perusahaan, asimetri informasi , dan lain sebagainya. Kecilnya nilai
adjusted R2
ini dikarenakan hanya ada sedikit variabel-variabel bebas yang
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya.
4.6. Pembuktian Hipotesis
Untuk melakukan pengujian pengaruh variabel bebas secara bersama-sama
adalah dengan menggunakan teknik statistik uji F. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa nilai uji F adalah sebesar 3,353 dengan tingkat signifikansi 0,002. Nilai
signifikansi ini lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel
leverage, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris,
komisaris independen, komite audit, dan kualitas audit secara bersama-sama
83
berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba, yang berarti bahwa H1
diterima dan H0 ditolak.
Setelah dilakukan pengujian dengan menggunakan uji F, maka langkah
selanjutnya melakukan pengujian dengan uji t. Suatu variabel bebas dikatakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat apabila memiliki nilai
signifikansi kurang dari 0,05, jadi H1 akan diterima apabila berpengaruh
signifikan dan sebaliknya H0 akan ditolak.
Tabel 4.15
Pembuktian Hipotesis secara Parsial
Variabel
Koefisien
Regresi
Standar
Error
t Sig Keterangan
Konstanta -0.082 0.056 -1.475
Leverage -0.031 0,013 -2.482 0.014 H1 diterima
Kepemilikan Institusional -7.618E-5 000 -0.225 0.822 H2 ditolak
Kepemilikan Manajerial -0.001 0.002 -0.346 0.729 H3 ditolak
Dewan Komisaris 0,003 0.004 0.806 0.421 H4 ditolak
Komisaris Independen 0,014 0.043 0.330 0.741 H5 ditolak
Komite Audit 0.031 0.015 2.066 0.040 H6 diterima
Kualitas Audit -0,054 0.015 -3.954 0.000 H7 diterima
1. Nilai uji t pada variabel leverage adalah sebesar -2,482 dengan tingkat
signifikansi 0,014. Nilai signifikansi uji t ini kurang dari 0,05. Oleh karena
signifikansi di bawah 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa leverage
84
berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba sehingga H1
diterima.
2. Nilai uji t pada kepemilikan institusional adalah sebesar -0,225 dengan
tingkat signifikansi 0,822. Nilai signifikansi uji t ini lebih dari 0,05. Oleh
karena signifikansi di atas 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa kepemilikan
institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba sehingga H2 ditolak.
3. Nilai uji t pada kepemilikan manajerial adalah sebesar -0,346 dengan tingkat
signifikansi 0,729. Nilai signifikansi uji t ini lebih dari 0,05. Oleh karena
signifikansi di atas 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa kepemilikan
manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba sehingga H3 ditolak.
4. Nilai uji t pada dewan komisaris adalah sebesar 0,806 dengan tingkat
signifikansi 0,421. Nilai signifikansi uji t ini lebih dari 0,05. Oleh karena
signifikansi di atas 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa dewan komisaris
tidak berpengaruh terhadap manajemen laba sehingga H4 ditolak.
5. Nilai uji t pada komisaris independen adalah sebesar 0,330 dengan tingkat
signifikansi 0,741. Nilai signifikansi uji t ini lebih dari 0,05. Oleh karena
signifikansi di atas 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa komisaris
independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba sehingga H5 ditolak.
6. Nilai uji t pada komite audit adalah sebesar 2,066 dengan tingkat
signifikansi 0,040. Nilai signifikansi uji t ini kurang dari 0,05. Oleh karena
signifikansi di bawah 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa komite audit
berpengaruh terhadap manajemen laba sehingga H6 diterima
85
7. Nilai uji t pada kualitas audit adalah sebesar -3,954 dengan tingkat
signifikansi 0.000. Nilai signifikansi uji t ini kurang dari 0,05. Oleh karena
signifikansi di bawah 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas audit
berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba sehingga H7
diterima.
4.7. Pembahasan
Menurut pengujian asumsi klasik tentang ada tidaknya pelanggaran asumsi
residual yaitu autokorelasi, multikolinieritas, heteroskedastisitas, dan normalitas,
maka telah didapatkan hasil yang menunjukkan tidak ada satupun asumsi yang
dilanggar. Sehingga hasil regresi linier berganda yang didapatkan tidak
mengandung data yang bias. Dengan demikian, model regresi linier berganda
telah memenuhi asumsi Best Linear Unbiased Estimator (BLUE).
Berikut ini adalah pembahasan dari pengaruh masing-masing variabel bebas
yang diuji terhadap variabel terikat.
4.7.1. Pengaruh Leverage terhadap Manajemen Laba
Tingkat signifikansi leverage terhadap manajemen laba adalah sebesar
0,014 dengan nilai uji t sebesar -2,482. Hasil pengujian leverage berpengaruh
negatif signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini berarti H1 diterima dan H0
ditolak. Artinya semakin meningkat tingkat leverage, maka manajemen laba
86
semakin rendah. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil tingkat leverage, dapat
meningkatkan manajemen laba.
Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Darmawati
(2003) serta Welvin I Guna dan Arleen Herawaty (2010) dimana dalam penelitian
tersebut, besarnya hutang merupakan salah satu faktor yang memotivasi terjadinya
manajemen laba.
Leverage merupakan rasio antara utang jangka panjang dengan total aset.
Perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang tinggi biasanya memiliki biaya
agensi yang lebih tinggi pula. Manajer selaku pemilik perusahaan memiliki
insentive untuk menerima proyek yang beresiko tinggi untuk mentransfer
kekayaan dari kreditor kepada para pemegang saham (Aiyesha, 2008).
Sesuai dengan “Debt Covenant Hypothesis”, perusahaan yang mempunyai
rasio debt to equity yang tinggi, cenderung menggunakan metode akuntansi yang
dapat meningkatkan pendapatan. Perusahaan dengan rasio debt to equity yang
tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak
kresitor bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang. (Luhgiatno,
2008).
Pernyataan di atas tidak sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana pada
penelitian ini leverage justru dapat mengurangi manajemen laba. Perbedaan hasil
penelitian dimungkinkan karena masih ada keterlibatan / campur tangan kreditor
yang berasal dari luar perusahaan yang ikut serta memantau kinerja laporan
keuangan perusahaan sehingga pihak manajemen tidak dapat secara leluasa
melakukan manajemen laba.
87
4.7.2. Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba
Tingkat signifikansi kepemilikan institusional 0,822 dengan nilai uji t
adalah sebesar -0,225. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba sehingga H2 ditolak.
Berdasarkan penelitian Gideon (2005), kepemilikan institusional memiliki
kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring
secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham
tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan
laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat asrualisasi sesuai
pihak manajemen.
Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka tidak
menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara kepemilikan institusional
terhadap manajemen laba. Hal ini berarti kepemilikan institusional atau besar
kecilnya kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemegang saham institusi tidak
mampu mengawasi perilaku manajemen yang bersifat oportunistik dalam
mengelola laporan keuangan sehingga tindakan manajemen laba yang dilakukan
oleh pihak manajemen mungkin saja masih dapat terjadi. Hal ini konsisten dengan
penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Yusriati, Yuli, dan Eliada (2010)
4.7.3. Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen Laba
Berdasarkan persamaan regresi, nilai uji t kepemilikan manajerial adalah
sebesar -0,274. Tingkat signifikansi kepemilikan manajerial 0,871. Hal ini
88
menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba sehingga H3 ditolak.
Motivasi manajer suatu perusahaan sangat menentukan manajemen laba.
Motivasi yang berbeda-beda pada masing-masing manajer akan menghasilkan
ukuran manajemen laba yang berbeda pula. Kepemilikan saham oleh manajer
akan ikut menentukan kebijakan serta pengambilan keputusan terhdap metode
akuntansi yang diterapkan dalam suatu perusahaan. Secara umum, besar kecilnya
kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen dapat mempengaruhi tindakan
manajemen laba (Gideon, 2005).
Pernyataan di atas ternyata tidak sebanding dengan hasil penelitian ini.
Dalam penelitian ini, ternyata besar atau kecilnya kepemilikan saham tidak
mampu menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba.
Kemungkinan hal ini dapat terjadi karena terlalu kecilnya persentase kepemilikan
manajerial yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan sampel, sehingga
manajer tidak mampu melakukan tindakan yang oportunistik dalam laporan
keuangan sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap manajemen laba.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Yusriati, Yuli, dan Eliada (2010) dan tidak konsisten dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Nuryaman dan Rusmin (2010) serta Midiastuty
dan Machfoeds (2003).
4.7.4. Pengaruh Dewan Komisaris terhadap Manajemen Laba
89
Nilai signifikansi untuk komposisi dewan komisaris 0,634 > 0,05. Hal ini
membuktikan bahwa tidak terdapat pengaruh komposisi dewan komisaris
terhadap manajemen laba sehingga H4 ditolak.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Veronica dan Utama (2005) dan Nuryaman (2008). Keberadaan
jumlah dewan komisaris yang tinggi terbukti tidak dapat membatasi adanya
manajemen laba. Ada beberapa penjelasan mengenai hal tersebut menurut
pendapat Veronica dan Utama (2005):
1. Pengangkatan dewan komisaris oleh perusahaan mungkin hanya
dilakukan untuk pemenuhan regulasi saja tetapi tidak dimaksudkan
untuk menegakkan Good Corporate Governance di dalam perusahaan.
2. Banyak sedikitnya jumlah dewan komisaris dalam perusahaan belum
cukup mampu mengawasi kinerja perusahaan
Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat disimulkan bahwa keberadaan
dewan komisaris tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap manajemen
laba. Hal ini dimungkinkan karena pengambilan keputusan yang belum efektif,
tepat dan cepat serta belum dapat bertindak secara independen dalam arti dewan
komisaris masih mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu
kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dalam hubungan
satu sama lain dan terhadap Direksi. Selain itu, mungkin anggota Komisaris atau
Dewan Pengawas masih berasal dari kalangan di dalam perusahaan yang
bersangkutan.
90
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yusriati, Yuli, dan Eliada (2010).
4.7.5. Pengaruh Komisaris Independen terhadap Manajemen Laba
Nilai uji t pada komisaris independen adalah 0,330 dengan nilai
signifikansi yang lebih dari 0,05 yaitu sebesar 0,741. Hal ini membuktikan bahwa
tidak ada pengaruh proporsi komisaris independen terhadap manajemen laba
sehingga H5 ditolak.
Menurut Veronica dan Utama (2005), tidak adanya pengaruh proporsi
komisaris independen terhadap manajemen laba dikarenakan beberapa hal yaitu
antara lain :
1. Pengangkatan komisaris independen oleh perusahaan mungkin hanya
dilakukan untuk pemenuhan regulasi saja tetapi tidak untuk menegakkan
Good Corporate Governance di dalam perusahaan.
2. Ketentuan minimum dewan komisaris independen yaitu sebesar 30% dari
total jumlah dewan komisaris mungkin belum cukup tinggi untuk
menyebabkan dewan komisaris tersebut dapat mendominasi kebijakan
yang diambil oleh dewan komisaris.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa proporsi
komisaris independen tidak dapat mempengaruhi adanya manajemen laba jika
adanya komisaris independen dalam perusahaan hanya sebatas pemenuhan
regulasi saja, bukan semata-mata untuk menegakkan Good Corporate
Governance.
91
4.7.6. Pengaruh Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Nilai signifikansi untuk keberadaan komite audit adalah sebesar 0,040. Hal
ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara keberadaan komite audit
terhadap manajemen laba sehingha H6 diterima.
Berdasarkan pada KEP. 29/PM/2004, setiap perusahaan publik harus
membentuk komite audit sekurang-kurangnya 3 orang. Berdasarkan hasil uji t
yang menunjukkan nilai 2,066, maka dengan keberadaan komite audit justru dapat
meningkatkan manajemen laba. Keberadaan komite audit yang justru dapat
meningkatkan manajemen laba dikarenakan dalam proses pengangkatan komite
audit ditujukan untuk pemenuhan regulasi saja tetapi tidak dimaksudkan untuk
menegakkan Good Corporate Governance. Selain itu, mungkin saja pihak
manajemen bertindak subyektif dalam hal pengangkatan komite audit sehingga
keberadaan komite audit belum efektif dalam upaya mencegah manajemen laba.
Pada hasil penelitian ini, komite audit berpengaruh positif signifikan
terhadap manajemen laba. Hal ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Darmawati (2003) dan Welvin I Guna (2010). Berdasarkan
hasil yang diperoleh, keberadaan komite audit justru sebagai pemicu manajemen
laba. Hal ini menunjukkan bahwa komite audit sebagai salah satu fungsi Good
Corporate Governance dianggap gagal dalam mendeteksi manajemen laba.
Kegagalan komite audit dalam mendeteksi manajemen laba dapat
disebabkan karena belum terpenuhinya kriteria pemilihan komite audit dalam
92
mencapai Good Corporate Governance. Selain itu, ketidakkonsistenan tersebut
juga disebabkan karena komite audit tidak dapat memonitor laporan keuangan
sehingga dengan semakin banyaknya komite audit yang ada dalam perusahaan,
maka kinerja komite audit dalam perusahaan tersebut juga tidak efektif.
4.7.7. Pengaruh Kualitas Audit terhadap Manajemen Laba
Berdasarkan persamaan regresi, nilai uji t kualitas audit yang diproksikan
berdasarkan KAP big Four atau non Big Four adalah sebesar -3,954. Tingkat
signifikansi kualitas audit adalah sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas audit berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba sehingga H7
diterima. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Yusriati, Yuli, dan Eliada (2010) dan tidak konsisten dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nuryaman dan Rusmin (2010) serta
Midiastuty dan Machfoeds (2003).
Nilai negatif pada uji t berarti bahwa kualitas audit dapat mencegah adanya
manajemen laba.Hal ini mengindikasikan bahwa auditor eksternal yang termasuk
dalam KAP Big Four dapat memberikan laporan audit yang berkualitas. Auditor
yang bekerja di KAP Big Four dianggap memiliki kualitas yang lebih baik
dibandingkan dengan KAP non Big Four. KAP Big Four diharapkan dapat
membatasi praktik manajemen laba serta membantu menjaga dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat umum terhadap laporan keuangan.
93
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa leverage,
mekanisme Good Corporate Governance, dan kualitas audit berpengaruh secara
bersama-sama terhadap manajemen laba.
Leverage, komite audit, dan kualitas audit berpengaruh secara signifikan
terhadap manajemen laba. Leverage dan kualitas audit mampu meminimalisasi
adanya manajemen laba. Komite audit justru merupakan suatu faktor yang dapat
meningkatkan manajemen laba. Sedangkan variabel-variabel lainnya meliputi
94
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris, dan
komisaris independen terbukti tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal
ini dikarenakan variabel-variabel tersebut semata-mata hanya untuk pemenuhan
regulasi saja, bukan merupakan suatu kebutuhan untuk menegakkan Good
Corporate Governance dalam suatu perusahaan.
5.2 Saran
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan antara lain yaitu Good
Corporate Governance yang hanya diukur berdasarkan kelima indikator tersebut
sedangkan masih banyak indikator-indikator lain yang dapat digunakan untuk
mengukur Good Corporate Governance dalam suatu perusahaan. Selain itu, dalam
penelitian ini, pengukuran manajemen laba dihitung dengan menggunakan Model
Jones yang dimodifikasi. Keterbatasan selanjutnya adalah mengenai variabel
independen yang hanya mampu menjelaskan 4,1% dari variabel dependen.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah dengan menambah indikator
Good Corporate Governance yang lain, menambah variabel independenden di luar
penelitian yang lebih berpengaruh terhadap manajemen laba seprti ukuran
perusahaan, profitabilitas, dan fee audit serta melakukan pengukuran manajemen
laba dengan model lain seperti model de Angelo, Healy, atau Kang dan
Sivaramakrishnan. Penelitian selanjutnya juga dapat mengubah jumlah serta
periode observasi agar hasil penelitian dapat digeneralisasi.
95