BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pernapasan adalah salah satu sistem penting dalam tubuh manusia karena saat
bernapas tubuh manusia menghirup oksigen yang sangat berfungsi sebagai gas kehidupan
pada sel dan membuang karbondioksida yang merupakan zat sisa metabolisme. Oleh karena
itu, gangguan apapun yang terjadi pada sistem ini akan berpengaruh secara sistemik pada
sistem-sistem tubuh lainnya. Terdapat banyak gangguan yang berkemungkinan terjadi pada
system pernapasan, diantaranya yaitu Pneumotoraks dan Hemotoraks.
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura.
Sedangkan Hemotoraks adalah terdapatnya darah dalam rongga pleura. (Price & Wilson,
1995). Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, gas, cairan ataupun darah,
karena paru-paru membutuhkan pleura agar dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada.
Sehingga jika terdapat benda asing pada pleura ini akan mengakibatkan paru-paru akan sulit
berelaksasi dirongga dada dan mengalami kesulitan untuk mendapatkan asupan oksigen yang
cukup bagi tubuh.
Insiden pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya yang acak penyebabnya.
Namun diketahui berdasarkan penelitian Seaton dkk. Menyebutkan bahwa pria lebih banyak
mengidap pneumotoraks daripada wanita dengan perbandingan 5:1 dan sekitar 81% kasus
pneumotoraks berada pada rentang umur dibawah 45 tahun. Di Olmested Country, Minessota,
Amerika, Melton et al melakukan penelitian selama 25 tahun (tahun 1950-1974) pada pasien
yang terdiagnosa pneumotoraks , didapatkan 75 pasien karena trauma, 102 pasien karena
iatrogenic dan sisanya 141 pasien karena pneumotoraks spontan (terjadi tiba-tiba tanpa ada
penyebab). Pada kasus pneumotoraks spontan didapatkan angka insidensi yaitu 7,4-
8,6/100.000 pertahun untuk pria dan 1,2/100.000 pertahun untuk wanita. (loddenkemper,
2003)
Sedangkan untuk Hemotoraks sangat jarang terjadi untuk etiologi spontan karena
kebanyakan kasus terdapatnya darah pada rongga pleura diakibatkan oleh cedera atau trauma
pada dada kecuali ada komplikasi lainnya. Menurut epidemiologinya, angka kejadian
hemotoraks terkait trauma atau cedera di Amerika Serikat adalah sebanyak 300.000 kasus
pertahun.
1
Berdasarkan prevalensi dan angka kejadian yang cukup tinggi untuk pneumotoraks dan
hemotoraks inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk mengangkatnya menjadi suatu
makalah, sehingga akan ditemui konsep mendalam dan asuhan keperawatan mengenai
gangguan system pernapasan ini.
2
BAB II
KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan
oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
B. ETIOLOGI
1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa
trauma tumpul dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.
C. ANATOMI
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri
dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen
tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari
sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum
menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas
organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk. Musculus pectoralis mayor
dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi,
trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus
posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk
lipatan/plika aksilaris posterior.
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan
gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus
interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan
terhisap melalui trakea danbronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik.
Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler.
Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan
mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax
dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi
dengan ekspansi paru – paru normal,
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago
kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung
3
membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah
mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut berperan dalam
ventilasi paru – paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.
D. PATOFISIOLOGI
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia
jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh
karena hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh
kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh :
tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh
tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat
kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).
E. INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini
dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.
b. Resusitasi fungsi vital.
c. Secondary survey yang terinci.
d. Perawatan definitif.
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini
perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan
sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol
airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap
adanya trauma – trauma yang bersifat khusus.
F. KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX
Trauma dinding thorax dan paru.
1) Fraktur iga
Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami trauma,
perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap
dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif
intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat
secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru. Fraktur sternum dan skapula
4
secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu
dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah
iga begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 )
2) Flail Chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau
lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan
parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan
menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma
pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding
dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek
ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada
penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang
tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya,
karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan
toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang
abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto
toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya
sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia
akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang
diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi
cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih
berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru
pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi
cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar
optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi
yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua
penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting
pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai
diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara
lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian
kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi
dan ventilasi.
5
3) Kontusio Paru
Adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest
injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak
langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah
berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan
evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65
mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan
diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang
berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah
indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita
dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi
mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring
EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang
optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi
dan ventilasi terlebih dahulu.
4) Pneumotoraks
Dikibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal.
Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks.
Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul.Dalam
keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai
dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura.
Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan
ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi
sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi
yang terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu
menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest
tube lpada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya
dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada
dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks
dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau
ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks
traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif
yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat
menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan
6
ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum
penderita ditransportasi/rujuk.
5) Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound )
Defek atau luka yang besar plada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks
terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir.
Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung
mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan
dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan
hiperkapnia. Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada
3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve
dimana saat inspirasi kasa pnutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam.
Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka
sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup
seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan
menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup
sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze, sehingga
penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.
6) Tension pneumorothorax
Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang
berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak
dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang
tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi
kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena
ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral. Penyebab tersering dari
tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan
ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension
pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma
toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah
arah pada pemasangan kateter subklavia atau vnea jugularis interna. Kadangkala defek atau
perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara
menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan
menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax jug adapat terjadi pada fraktur
tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh
7
terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax ditandai
dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes,
hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosisi merupakan manifestasi
lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung
maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya
suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat membedakan
keduanya. Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan
awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis
midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah
tension pneumothorax menjadi plneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi
pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan.
Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke
5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.
7) Hemothorax
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah
interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma
tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya
hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi.
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi
dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga
pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat
dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga
memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma
traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi
operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang
dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari
selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2
sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus
dipertimbangkan.
8) Hemotoraks masif
Yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal
ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau
pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan
darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat,
8
tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang
terjadi efek mekanik dari adarah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong mesdiastinum
sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis hemotoraks ditegakkan
dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada
yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume
darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus
cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pmeberian darah dengan
golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam
penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus, sebuah
selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang setinggi puting susu, anteriordari garis
midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks
masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500
ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera. Beberapa
penderita yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap
berlangsung. Ini juga mamebutuhkan torakotomi. Keputusan torakotomi diambil bila
didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4
jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan
selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah
awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya
harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau
vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya
torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di
daerah posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan
dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur
hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan
oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.
9) Cedera trakea dan Bronkus
Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus,
manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna,
hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas. Empisema mediastinal dan servical
dalam atau pneumothorax dengan kebocoran udara masif. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemasangan pipa endotrakea ( melalui kontrol endoskop ) di luar cedera untuk kemungkinan
ventilasi dan mencegah aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax atau
pneumothorax.
9
G. TRAUMA JANTUNG DAN AORTA
1. Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus.
Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah
baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard
manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang
terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian
jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui
perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik. Diagnosis tamponade jantung
tidak mudah. Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan
tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung
menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisi, distensi vena leher
tidak ditemukan bila keadaan penderita hipovlemia dan hipotensi sering disebabkan oleh
hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari
tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg,
maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus
tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan
lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan
tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa)
adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya
temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax
harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis,
tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai keadaan lain. Pemerikksaan USG
(Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian
perikardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu
sekitar 50 %. Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan
pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard,
dengan syarat tidak menghambat resusitasi (lihat Bab 5, Trauma abdomen, V.F, Studi
diagnostik spesifik pada trauma tumpul). Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan
indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi
cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak
boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana
untuk mengeluarkan cairan dari perikard adaah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang
tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap
usaha rsusitasi, merupakan indiksi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui
10
metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau
torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik
dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan. Walaupun kecurigaan besar
besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus awal masih dapat
meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil
melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini
menggunakan plastic-sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara
paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari
kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard
(peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh
epikardium) atau terjadinya disritmia.
2. Kontusio Miocard
Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar jantung dikenal
sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin bervariasi dari ptekie
epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural. Disritmia merupakan temuan yang
sering timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang
spesifik, EKG mungkin memperlihatkan perubahan gelombang T – ST yang non spesifik atau
disritmia. Adapun penatalaksanaan berupa suportif
3. Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau
ventrikel, ataupun kebocoran katup.
Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat
primary survey. Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur
adalah atrium. Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada
dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum
dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard
yang mengalami trauma. Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan
hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada
pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang
menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang multipel,
sinus takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya
kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada gambaran
EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan petunjuk
dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio jantung. Juga penting untuk diingat
bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dpat disebabkan adanya serangan infak miokard akut.
11
Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis karena adanya kondusksi yang abnormal
mempunyai resiko terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena
setelah interval tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.
12
ASKEP KLIEN DENGAN TRAUMA DADA
(PNEUMOTHORAX, HEMATOTHORAX)
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh
(Boedihartono, 1994 : 10).Pengkajian pasien dengan trauma thoraks
(. Doenges, 1999) meliputi :
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat
2. Sirkulasi
Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical berpindah,tanda
Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ
3. Integritas ego
Tanda : ketakutan atau gelisah
4. Makanan dan cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
5. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajamdan nyeri,
menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinanmenyebar ke
leher, bahu dan abdomen.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkanwajah
6. Pernapasan
Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit parukronis,
inflamasi,/infeksi paaru, penyakit interstitial menyebar, keganasan ;pneumothoraks
spontan sebelumnya, PPOM.Tanda : Takipnea peningkatan kerja napas ; bunyi napas
turun atau tak ada ;fremitus menurun ; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan dada tidak
sama ;kulit pucat, sian osis, berkeringat, krepitasi subkutan ; mental
ansietas,bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif
7. Keamanan
Geajala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk kkeganasan
8. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya
bedahintratorakal/biopsy paru
13
B. ANALISA DATA
NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
1 Diisi pada saat
tanggal
pengkajian
Berisi data subjektif
dan data objektif yang
didapat dari
pengkajian
keperawatan
masalah yang sedang dialami
pasien seperti gangguan pola
nafas, gangguan keseimbangan
suhu tubuh, gangguan pola
aktiviatas,dll
Etiologi berisi
tentang penyakit
yang diderita
pasien
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi
udara/cairan.
Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk
sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi
dengan alat eksternal.
Potensial Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
Kerusakan integritas kulit b/d trauma mekanik terpasang bullow drainage
Resiko terhadap infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
14
NODIAGNOSA
KEPERAWATANTUJUAN PERENCANAAN
1) Ketidakefektifan
pola pernapasan
b/d ekspansi paru
yang tidak
maksimal karena
trauma
Pola pernapasan efektive
Dengan Kriteria Hasil :
1) Memperlihatkan
frekuensi pernapasan
yang efektive.
2) Mengalami perbaikan
pertukaran gas-gas pada
paru.
3) Adaptive mengatasi
faktor-faktor penyebab.
1. Berikan posisi yang nyaman,
biasanya dnegan peninggian kepala
tempat tidur. Balik ke sisi yang
sakit. Dorong klien untuk duduk
sebanyak mungkin.
2. Obsservasi fungsi pernapasan, catat
frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital.
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan
tersebut dilakukan untuk menjamin
keamanan.
4. Jelaskan pada klien tentang
etiologi/faktor pencetus adanya
sesak atau kolaps paru-paru.
5. Pertahankan perilaku tenang, bantu
pasien untuk kontrol diri dnegan
menggunakan pernapasan lebih
lambat dan dalam.
6. Perhatikan alat bullow drainase
berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam
2 Inefektif bersihan
jalan napas b/d
peningkatan sekresi
sekret dan penurunan
batuk sekunder akibat
nyeri dan keletihan
Jalan napas lancar/normal
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan batuk
yang efektif.
2) Tidak ada lagi
penumpukan sekret di
sal. pernapasan.
3) Klien nyaman.
1. Jelaskan klien tentang kegunaan
batuk yang efektif dan mengapa
terdapat penumpukan sekret di sal.
pernapasan.
2. Ajarkan klien tentang metode yang
tepat pengontrolan batuk.
3. Auskultasi paru sebelum dan
sesudah klien batuk.
4. Ajarkan klien tindakan untuk
menurunkan viskositas sekresi :
mempertahankan hidrasi yang
15
adekuat; meningkatkan masukan
cairan 1000 sampai 1500 cc/hari
bila tidak kontraindikasi.
5. Dorong atau berikan perawatan
mulut yang baik setelah batuk.
3 Perubahan
kenyamanan : Nyeri
akut b/d trauma
jaringan dan reflek
spasme otot
sekunder.
Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
1) Nyeri berkurang/ dapat
diadaptasi.
2) Dapat
mengindentifikasi
aktivitas yang
meningkatkan/menurun
kan nyeri.
3) Pasien tidak gelisah.
1) Jelaskan dan bantu klien dnegan
tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan non invasif.
2) Berikan kesempatan waktu istirahat
bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman ; misal waktu tidur,
belakangnya dipasang bantal kecil.
3) Tingkatkan pengetahuan tentang :
sebab-sebab nyeri, dan
menghubungkan berapa lama nyeri
akan berlangsung.
4) Kolaborasi denmgan dokter,
pemberian analgetik.
5) Observasi tingkat nyeri, dan respon
motorik klien, 30 menit setelah
pemberian obat analgetik untuk
mengkaji efektivitasnya. Serta
setiap 1 - 2 jam setelah tindakan
perawatan selama 1 - 2 hari.
16
DAFTAR PUSTAKA
Boedihartono, 1994,Proses Keperawatan di Rumah Sakit.EGC : Jakarta
Brooker, Christine. 2001.Kamus Saku Keperawatan.EGC : Jakarta
Doenges, Marilyn E. 1999.Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002.Kamus Kedokteran.EGC : Jakarta.
FKUI. 1995.Kumpulan Kuliah Ilmu bedah.Binarupa Aksara : Jakarta
Hudak, C.M. 1999.Keperawatan Kritis.Jakarta : EGC.
Mowschenson, Peter M. 1990.Segi Praktis Ilmu Bedah Untuk pemula. Edisi 2.
Binarupa Aksara : Jakarta
17
Recommended