Upload
cathelinstella
View
39
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pneumothorak
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Paru paru merupakan organ elastik yang akan mengempis bila tidak ada yang
mempertahankan pengembangannya. Paru-paru mengapung dalam rongga toraks dan
dikelilingi oleh membran yang membentuk dua lapisan yaitu lapisan parietal dan visceral
diantara kedua lapisan ini membentuk rongga pleura, didalamnya terdapat cairan pleura yang
berfungsi sebagai pelumas bagi paru-paru supaya dapat mengembang dan mengempis.
Pneumothorax adalah keadaan terdapatnya gas atau udara di dalam rongga pleura
sehingga menyebabkan tekanan negatif rongga pleura berkurang. tanpa adanya tekanan
negatif yang menjaga paru tetap mengembang maka paru akan kolaps oleh karena sifat
elastisitasnya. Hal ini menyebabkan volume paru berkurang dan dapat menyebabkan gagal
pernafasan. Pneumothoraks terbagi menjadi dua yaitu pneumothoraks spontan dan traumatik.
Pneumothoraks spontan dapat dibagi menjadi primer atau sekunder. Pneumothoraks tramatik
dapat dibagi menjadi iatrogenic atau non iatrogenic.
Insidensi pneumothoraks sering sulit diketahui secara pasti oleh karena banyak
episode yang muncul dan hilang tanpa diketahui. Secara epidemiologi ditemukan lebih sering
muncul pada penderita berumur lebih dari 40 tahun dengan perbandingan laki-laki :
perempuan adalah 5:1.
Dalam perkembangan ilmu kedokteran terdapat kemajuan di bidang penatalaksanan
kasus pneumothoraks. Pendekatan seperti VATS(video assisted thoracoscopy surgery)
memberi banyak keuntungan pada pasien yang mengalami pneumothoraks relaps dan dapat
mengurangi lama rawat inap.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura
yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (3).
Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum
pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa
mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :
1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus
akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini disebut sebagai closed
pneumotoraks. Apabila kebocoran pleura viseralis berfungsi sebagai katup, maka
udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada
saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga
mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya
tension pneumotoraks.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan antara
kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3
diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding
traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga
dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi
2
dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga
dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang
tersebut. Kondisi ini disebut sebagai open pneumotoraks
B. Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (2), (3) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini
dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba
tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya
fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma,
dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun
paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena
jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis
karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada
parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan
paru.
3
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga jenis, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks Tertutup (Closed Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di
dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan
udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).
Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada
pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai
dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (4).
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan
menjadi positif (4). Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal,
tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound) (2).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama
makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada
waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan
selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di
dalam rongga pleura tidak dapat keluar (4). Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal
napas (2).
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru
(< 50% volume paru).
4
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>
50% volume paru).
C. Penghitungan Luas Pneumotoraks
Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis
kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa dipakai
dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana masing-
masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (2).
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter kubus rata-
rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus
adalah :
83 512______ = ________ = ± 50 % 103 1000
2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah dengan
jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan jarak terdekat
antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2).
3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks (4).
5
% luas pneumotoraks
A + B + C (cm) = __________________ x 10
3
D. PATOFISIOLOGI
Paru-paru dibungkus oleh dua lapisan yang terdiri dari satu membran yang
membentuk pleura viceralis dan pleura parietalis. Diantara pleura viceralis dan parietalis
terdapat cavum pleura. Dalam cavum pleura terdapat sekitar 1cc cairan pleura yang berguna
sebagai pelumas paru saat mengembang. Tekanan intra pleura selalu negatif dalam keadaan
normal.Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses respirasi. Secara garis
besar, semua jenis pneumotorak mempunyai dasar patofisiologi yang hampir sama.
Mekanisme pada saat inspirasi oleh karena tekanan negatif pleura maka bila ada hubungan
antara dunia luar dengan cavum pleura maka udara akan masuk ke dalam pleura dan paru
tidak akan mengembang. Pada pneumothoraks, tekanan dalam cavum pleura menjadi
semakin positif oleh karena terdapatnya udara di dalam rongga pleura. Pada keadaan tersebut
paru akan mengganggu ekspansi paru oleh karena tekanan di rongga pleura yang negatif
diperlukan untuk menjaga supaya paru mengikuti gerak dinding dada. Bila jumlah udara
cukup banyak maka pada saat inspirasi terjadi hiperekspansi cavum pleura yang dapat
mengakibatkan penekanan pada mediastinum yang kemudian menekan sisi dada yang
sehat. Pada saat ekspirasi, mediastinal kembali lagi ke posisi semula. Proses yang terjadi ini
dikenal dengan mediastinal flutter. Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi,
sehingga respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan
bekerja dengan sempurna. Bila karena luka yang bersifat ventil, udara akan masuk ke rongga
pleura setiap kali inspirasi dan terperangkap saat ekspirasi, hiperekspansi cavum pleura
pada saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak
pada paru dan cavum pleura terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang
6
(L) hemitorak – (L) kolaps paru
(AxB) - (axb)_______________ x 100 % AxB
sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh
karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotorak.
E. EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi berbeda-beda berdasarkan jenis pneumothorax.
1. Pneumothoraks spontan primer, sekunder dan rekuring:
Sangat mungkin bahwa insidensi pneumothorax spontan primer dibawah
perkiraan. Lebih dari 10% pasien asimtomatik, dan yang memiliki gejala ringan
sering tidak berobat. Sering muncul pada grup usia 20-30 tahun, dengan insidensi
tertinggi pada umur 20-an awal. Jarang ditemukan pada individu diatas umur 40
tahun. Pria memiliki insidensi 7,4-18 kasus per 100.000 orang per tahun dan pada
wanita1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun. Perbandingan antara pria dan
wanita adalah 6,2:1.
Pada pneumothoraks spontan sekunder muncul lebih sering pada usai 60-65
tahun. Insidensi antara 6,3 kasus per 100.000 orang per tahun untuk wanita dan
2per100.000 pada wanita. Perbandingan antara pria dan wanita adalah 3,2:1.
Penyakit paru obstruktif kronis adalah penyebab yang sering pada pneumothoraks
spontan sekunder dengan insidensi 26:100.000 kasus per tahun.
Hal-hal yang dapat meningkatkan insidensi pneumothorax: merokok
meningkatkan resiko 20 kali lipat pada pria dan 10 kali lipat pada wanita,
meningkat setara dengan jumlah rokok yang dikonsumsi per hari. Habitus tubuh
pria kurus tinggi antara umur 20-40 memiliki tingkat insidensi tertinggi.
2. Pneumothorax traumatik
Tension dan traumatik pneumothorax muncul lebih sering dari pada
pneumothorax spontan, dan meningkat oleh karena meningkatnya jumlah fasilitas
perawatan intensif yang semakin menambah jumlah penggunaan modalitas
ventilator tekanan positif dan penempatan kateter vena sentral yang meningkatkan
potensial terjadinya pneumothorax iatrogenic.
Insidensi pneumothorax iatrogenic adalah antara 5-7:10.000 pasien rawat inap,
dengan pasien bedah thorax dieksklusikan karena merupakan outcome yang sering
terjadi.
7
Pneumothorax muncul pada 1-2% dari semua neonatus, dengan insidensi lebih
tinggi pada bayi dengan neonatal respiratory distres syndrome. Terdapat penelitian
yang melaporkan insidensi setinggi 19%.
3. Pneumothoraks ventil
Pneumothorax ventil adalah komplikasi pada 1-2% pasien pneumothorax
spontan. Sampai akhir abad ke-19 tuberkulosis merupakan etiologi terbanyak dari
pneumothorax spontan, 1,4% penderita tuberkulosis mengalami pneumothorax.
Insidensi pneumothoraks venitl sulit ditentukan, 10-30% pasien trauma di US
menerima thorachostomi, namun tidak semua benar-benar memiliki
pneumothoraks ventil. Angka tersebut tinggi oleh karena resiko misdiagnosa dapat
mengakibatkan kematian.
4. Katamenial pneumothorax
Insidensi catamenial pneumothorax sangat jarang yang muncul pada wanita
umur 30-50 tahun. Secara tipikal muncul 1-3 hari setelah onset menstruasi.
F. MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah (2), (4), (5)
:
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan dapat bertambah makin berat.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada
sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak
pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung dan frekuensi nafas meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya
pada jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut, (2):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat
8
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta ada
tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila
penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan
pengisian yang kurang.
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3), (4):
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding
dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negative
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Röntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara
lain (6):
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
9
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai
berikut (3):
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung,
mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel
mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit.
Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara
yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju
daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat
banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan
ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma
Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah
merupakan bagian paru yang kolaps
10
1. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
2. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan
untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari
rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya,
penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup,
maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi
tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam
beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari (2).
Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra
pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara (2) :
11
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi
negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,
akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang
berada di dalam botol (4).
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum
dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding
toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula
tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik
infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang
keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (4).
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura
dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit.
Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat
dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau
pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2
di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke
rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter
toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter
toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa
plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya
berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat
dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut (3), (4).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura
tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif
12
sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang.
Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura
sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba
terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam.
Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa
belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam
keadaan ekspirasi maksimal (2).
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan
alat bantu torakoskop. Toraskoskopi yang dipandu dengan video ((Video Assisted
Thoracoscopy Surgery=VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan lebih baik
bagi operator maupun bagi pasiennya karena akan diperoleh lapang pandang yang
lebih luas dan gambar yang lebih bagus. Tindakan ini sangat efektif untuk
penanganan PSP dan mencegah berulangnya kembali. Tindakan ini dilakukan bila :
› Tindakan aspirasi maupun WSD gagal
› Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi
› Terjadinya fistula bronkopleura
› Timbulya kembali pneumotoraks setelah tindakan pleurodosis
4. Torakotomi
13
Tindakan pembedahan ini indikasinya hamper sama dengan torakoskopi.
Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla
terdapat di apeks paru.
5. Tindakan bedah (4)
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang
yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan
paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau
terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian
kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel
6. Non medikamentosa
a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator (4).
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).
c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema (3).
7. Rehabilitasi(4)
a. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan
secara tepat untuk penyakit dasarnya.
b. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu
keras.
c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.
d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk,
sesak napas.
BAB IV
14
KESIMPULAN
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh udara,
sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang menimbulkan gangguan
dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat proses respirasi. Oleh karena itu, pada
pasien sering mengeluhkan adanya sesak napas dan nyeri dada.
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun
traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan
pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik. Dan menurut fistel
yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat terbuka, tertutup dan ventil (tension).
Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan pada hasil foto
röntgen berupa gambaran translusen tanpa adanya corakan bronkovaskuler pada lapang paru
yang terkena, disertai adanya garis putih yang merupakan batas paru (colaps line). Dari hasil
röntgen juga dapat diketahui seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang
terkena pendesakan serta kondisi jantung dan trakea.
Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan pemberian O2 yang
dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang berat dapat dilakukan tindakan
pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi disesuaikan dengan penyakit yang
mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
15
1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC; 1997. p. 598.
2. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p. 1063.
3. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010 May
27; cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung). Cited
: 2011 January 10. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia
Press; 2007. p. 56
7. A Bobbio, R trisolini, D Damotte, M Alifano. Thoracic Endometriosis and Catamenial
Pneumothorax. Chapter 15. European Respiratory Monograph 54: Orphan Lung
Diseases. European Respiratory Surgery; 2011. P. 265-273.
16