KATA PENGANTAR
Puji dan syukur panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat Nya kami
dapat menyelesaikan refrat ini.
Pada kesempatan kini kami selaku mahasiswa kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma
Jaya mengambil topik Tumor Sinonasal, karena meskipun cukup jarang terjadi namun sering kali
terlambat diketahui sehingga memperburuk prognosis.Diharapkan dengan adanya refrat ini dapat
menambah pengetahuan kita bersama mengenai tumor sinonasal ini dan membuat para praktisi
klinis memikirkan kemungkinan penyakit ini.
Kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr.Armiyanto, Sp.THT-KL (K),
sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing kami dalam
presentasi refrat ini. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dan mendukung proses penyusunan refrat ini.
Akhir kata, di dalam penulisan refrat ini kami menyadari masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar kami dapat
melakukan perbaikan di dalam penyusunan refrat selanjutnya.
Jakarta, 22Juli 2012
Penulis
1
Daftar Isi
Halaman Judul..........................................................................................................0
Kata Pengantar......................................................................................................... 1
Daftar Isi....................................................................................................................2
Daftar Gambar……………………………………………………………………..3
Daftar Tabel………………………………………………………………………...4
BAB I Pendahuluan..................................................................................................5
BAB II Pembahasan................................................................................................. 6
2.1 Anatomi Nasal dan Sinus Paranasal.................................................................6
2.2 Tumor Sinonasal.................................................................................................8
2.2.1. Definisi..............................................................................................................10
2.2.2. Epidemiologi.....................................................................................................10
2.2.3. Faktor Resiko....................................................................................................10
2.2.4. Etiologi………………………………………………………………………..11
2.2.5. Manifestasi Klinis…………………………………………………………….12
2.2.6. Patologi……………………………………………………………………….12
2.2.7. Pendekatan Diagnosis.......................................................................................14
2.2.8. Diagnosa Banding…………………………………………………………….18
2.2.9. Prinsip Penatalaksanaan………………………………………………………22
2.2.9.1. Pembedahan...................................................................................................22
2.2.9.2.Rehabilitasi.....................................................................................................26
2.2.9.3.Terapi Radiasi……………............................................................................26
2.2.9.4. Kemoterapi….................................................................................................27
BAB III Kesimpulan.................................................................................................28
Daftar Pustaka...........................................................................................................29
2
Daftar Gambar
Gambar 2.1. Anatomi Hidung.................................................................................6
Gambar 2.2 Anatomi Sinus......................................................................................8
Gambar 2.3. Potongan Sagital Nasal.......................................................................9
Gambar 2.4. Gambaran CT scan untuk Tumor Sinonasal...................................16
Gambar 2.5. Gambaran MRI Potongan Koronal pada Tumor Sinonasal……..17
Gambar 2.6. Gambaran MRI Potongan Aksial pada Tumor Sinonasal.............17
Gambar 2.7. Gambar Letak Tumor Intranasal yang Bisa dilakukan Reseksi...23
Intranasal Endoskopi.
Gambar 2.8. Gambar Letak Tumor Intranasal yang Bisa Menggunakan…….23
Tehnik Midfacial Degloving
Gambar 2.9. Lateral Rhinotomy………………………………………………….24
Gambar 2.10. Letak Tumor yang Dapat Dilakukan Kraniotomi………………26
3
Daftar Tabel
Tabel 2.1. Gejala Awal dan Gejala Lanjutan Tumor Sinonasal………………..14
Tabel 2.2. Ringkasan Pemeriksaan untuk Diagnosa Sinus Paranasal................18
Tabel 2.3. Klasifikasi Histologi Tumor Sinonasal..................................................19
Tabel 2.4.Komplikasi Terapi Radiasi……………………......................................27
Tabel 2.5. Ringkasan Terapi dan Indikasi………………………………………..27
4
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor pada sinus paranasal baik ganas maupun jinak sebenarnya cukup jarang dijumpai
pada bagian kepala dan leher. Keganasan pada sinus paranasal ditemukan pada 3% keganasan
pada kepala dan leher dan 0.5% dari semua keganasan. Biasanya tumor ini sering diidentifikasi
terlambat, pada saat stadium lanjut karena gejala – gejala awalnya sangat mirip dengan gejala
inflamasi rhinosinusitis kronik. Tumor sinonasal ganas yang paling sering dijumpai adalah
karsinoma sel skuamosa. Tumor ini terutama timbul mulai dari antrum sinus maksilari, namun
dapat pula dari sinus ethmoid. Terapi yang disarankan adalah dengan operasi reseksi dan radiasi.
Tumor yang bersifat jinak biasanya muncul dengan gejala yang mirip juga. Terapi yang
diberikan berupa operasi reseksi dan yang terpenting adalah follow up setelah operasi. Saat ini
pemeriksaan dengan nasal endoskopi makin sering dilakukan sehingga tumor pada sinonasal
baik jinak maupun ganas dapat diketahui dengan lebih dini.1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi
Hidung
Hidung terdiri dari atas nasus externus (hidung luar) dan cavum nasi.2
Nasus Externus
Nasus externus mempunyai ujung yang bebas, yang dilekatkan kedahi melalui radix
nasi.Kedua lubang luar hidung disebut nares. Setiap naris dibatasi di lateral oleh alanasi dan di
medial oleh septum nasi.2
5
Rangka nasus externus dibentuk di atas oleh os.nasale, processus frontalis ossis
maxillaries, dan pars nasalisossis frontalis. Di bawah, rangka ini dibentuk oleh lempeng-lempeng
tulang rawan, yaitu cartilage nasi superior dan inferior, dan cartilago septum nasi.2
Cavum Nasi
Cavum nasi terletak dari nares di depan sampai choanae di belakang. Rongga ini dibagi
oleh septum nasi menjadi belahan kiri dan belahan kanan.Dasar cavum nasi dibentuk oleh
processus palatinus maxillae dan lamina horizontalisossis palatine, yaitu permukaan atas palatum
durum.Bagian atap sempit dan dibentuk dari belakang kedepan oleh corpus ossis sphenoidalis,
lamina cribrosa ossis ethmoidalis, os.frontalis, os.nasale, dan cartilaginesnasi. Dinding lateral
ditandaidengantigatonjolandisebut concha nasalis superior, media, dan inferior. Area
dibawahsetiap concha disebut meatus.2
Gambar 2.1. Anatomi Hidung
Recessus sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak di atas concha nasalis
superior dan di depan corpus ossis sphenoidalis. Di daerah ini terdapat muara sinus
sphenoidalis.2
Meatus Nasi
Meatus nasi superior terletak di bawah dan lateral concha nasalis superior. Di sini
terdapat muara sinus ethmoidalis posterior.2
Meatus nasi media terletak di bawah dan lateral concha media. Pada dinding lateralnya
terdapat promentia bulat, disebut bulla ethmoidalis, yang disebabkan oleh penonjolan sinus
ethmoidalis media yang terletak di bawahnya.Sinus ini bermuara pada pinggir atas
6
meatus.Sebuahcelahmelengkungdisebut hiatus semilunaris, terletaktepatdibawah bulla.Ujung
anterior hiatus masukkedalamsaluranberbentukcorongdisebut infundibulum.Sinus
maxilarisbermuarapada meatus nasi media melalui hiatus semilunaris.Sinus
frontalisbermuaradandilanjutkanoleh infundibulum.Sinus ethmoidalis anterior jugabermuarapada
infundibulum.Meatus nasi media dilanjutkankedepanolehsebuahlekukandisebut atrium.Atrium
inidibatasi di atasolehsebuahrigi, disebutaggernasi. Dibawahdandepan atrium dansedikit di dalam
naris terdapatvestibulum. Vestibuluminidilapisiolehkulit yang
telahbermodifikasidanmempunyairambut-rambutmelengkungdanpendekatau vibrissae.2
Meatus nasi inferior terletak di bawahdan lateral concha inferior
danpadanyaterdapatmuaraductusnasolacrimalis.2
Dinding medial atau septum nasiadalahsekatos.cartilago yang ditutupi membran
mukosa.Bagianatasdibentukoleh lamina
perpendicularisossisethmoidalisdanbagianposteriornyadibentukos.vomer.Bagian anterior
dibentukoleh kartilago septi.2
Membranmukosamelapisicavumnasikecualivestibulum yang dilapisiolehkulit yang
telahmengalamimodifikasi.Terdapatduajenis membran mukosa, yaitu membran olfaktoriusdan
respiratorius.Membranmukosa olfaktoriusmelapisipermukaan atas konka nasal superior
danrecessussphenoidalisjugamelapisidaerah septum nasi yang
berdekatandanatap.Fungsinyamenerimaransanganpenghidudanuntukfungsiinimukosamemilikifu
ngsisel-seltertentu.Aksonsel-selini (serabutn.olfactorius) berjalanmelaluilubang-lubangpada
lamina cribrosaossisethmoidalisdanberakhirpadabulbus olfaktorius.Permukaanmukosatetapbasah
oleh sekret kelenjar serosa yang berjumlahbanyak.Membranrespiratorius melapisi
bagianbawahcavum nasi.Fungsinyaadalahmenghangatkan, melembabkan,
danmembersihkanudarainspirasi.2
Persarafan cavum nasi
N.olfactorius berasal dari sel-sel olfaktorius khusus yang terdapat pada membrane
mukosa olfactorius.Saraf ini naik keatas melalui lamina cribosa dan mencapai bulbus
olfaktorius.Saraf-saraf sensasi umum berasal dari divisi ophthalmica dan maxillaris n.
trigeminus.Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari n.ethmoidalis anterior. Persarafan
bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasoplatinus, dan ramus palatinus
ganglion pterygopalatinum.2
7
Perdarahancavumnasi
Suplai arteri untuk cavum nasi terutama berasal dari cabang-cabang a. maxillaris.Cabang
yang terpenting adalah
a.sphenopalatina.A.sphenonopalatinaberanastomosisdengancabangseptalis a.labialis superior
yang merupakancabang a. facialis di daerahvestibulum.Vena-vena membentuk plexus yang luas
di dalamsubmukosa.Plexus inidialirkanoleh vena-vena yang menyertaiarteri.2
Sinus paranasales
Sinus paranasalesadalahrongga-rongga yang terdapatdalam os.maxilla, os.frontale,
os.sphenoidale, danos.ethmoidale.Sinus-sinus inidilapisiolehmucoperiosterumdanberisiudara,
Berhubungandengancavumnasimelalui apertura yang relatif kecil. Sinus maxillaries dan sinus
sphenoidalepadawaktulahirdalambentukrudimenter,
setelahusiadelapantahunmenjadicukupbesardanmenjadisempurnapadamasaremaja. Sekret yang
dihasilkanolehkelenjar-kelenjar di dalam membrane
mukosadidorongkedalamhidungolehgerakansiliasel-selsilindris.2
Gambar 2.2.Anatomi Sinus Paranasal.
Sinus maxillaries terletak di dalam corpus maxillaris. Sinus ini berbentuk piramid dengan
basis membentukdinding lateral hidungdan apex di dalamprocessuszygomaticus maxillae.
Atapdibentukolehdasarorbita, sedangkandasardibentukolehprocessusalveolaris.Akar premolar
pertamadankeduaserta molar ketiga, dan kadang-kadangakarcaninusmenonjolkedalam
sinus.Infeksigigitersebutdapatmenyebabkansinusistis.2
Sinus maxillaries bermuarakedalam meatus nasimediusmelalui hiatus semilunaris.Karena
sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontalisbermuarakedalam infundibulum, kemudianke hiatus
semilunaris, kemungkinanpenyebaraninfeksidari sinus-sinus inike sinus maxillaries
8
seringterjadi.Membranmukosa sinus maxillaries dipersarafi oleh N.alveolaris superior dan
N.infraorbitalis.2
Sinus frontalisadaduabuah, terdapat di dalamos.frontaledandipisahkansatudengan yang
lain oleh septum tulang, yang seringmenyimpangdaribidang median. Setiap sinus
berbentuksegitiga, meluaskeatas, di atasujung medial alismata, dankebelakang kebagian medial
ataporbita. Masing-masing sinus frontalisbermuarakedalam meatus nasimediusmelalui
infundibulum.Membranmukosadipersarafi oleh N.supraorbitalis.2
Sinus sphenoidalisterdapat di dalam corpus osssissphenoidalis.Setiap sinus
bermuarakedalamrecessussphenoethmoidalis di atas concha nasalis
superior.Membranmukosadipersarafi oleh N.ethmoidalis posterior.2
Sinus ethmoidalisterdapat di dalamos.ethmoidalis, diantarahidungdanorbita.Sinus
initerpisahdariorbitaolehselapis tipis tulang, sehinggainfeksidenganmudahmenjalardari sinus
kedalamorbita.Sinus initerbagi kedalam 3 kelompok, yaitu anterior, media, dan
posterior.Kelompok anterior bermuarakedalam infundibulum.Kelompok media
bermuarakedalam meatus nasimedius, pada atap di atas bulla ethmoidalis.Kelompok posterior
bermuarakedalam meatus nasi superior.Membranmukosadipersarafi oleh N. ethmoidalis anterior
dan posterior.2
Gambar 2.3.Potongan Sagital Nasal.
2.2. Tumor Sinonasal
2.2.1. Definisi
Tumor sinonasal adalah adanya massa ditemukan dalam jaringan sinus paranasal danjaringan
sekitar hidung yang bersifat jinak maupun ganas.3
2.2.2. Epidemiologi
9
Kejadian tahunan tumor hidung di AmerikaSerikat diperkirakan kurangdari 1 per 100.000
orang per tahun. Tumor ini paling sering pada orang kulit putih dan kejadian pada laki-lakidua
kali lipat dari perempuan.Tumor epitel paling sering terjadi pada dekade kelima dan keenam.4
Meskipun tumor dari rongga hidung dibagi menjadi jenis jinak dan ganas, Sebagian besar
tumor sinus paranasal bersifat ganas. Sekitar 55% tumor sinonasal berasal dari sinus maksila,
35% dari rongga hidung, 9% dari sinus ethmoid, dan sisanya dari sinus frontal dan sphenoid.
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis tumor ganas yang paling umum (sekitar 70-80%)
diikuti dengan karsinoma adenoid kistik dan adenokarsinoma (sekitar 10% masing-
masing).5Secara demografis, predominan usia antara 50-90 tahun. Frekuensi pada usia muda
rendah rendah antara 0,1-0,3 per 100.000 pada tahun pertama kehidupan. Pada dekade
kedelapan, frekuensi naik menjadi 7 per 100.000. Tumor terjadi pada seluruh ras dan tidak ada
predileksi jenis kelamin.6
2.2.3. Faktor Resiko
Eksposur kepada asap industri, debu kayu, penyulingan nikel, dan penyamakan kulit
semua telah terlibat dalam karsinogenesis berbagai jenis tumor ganas sinonasal. Eksposur
khusus, kayu debu dan penyamakan kulit baik berhubungan dengan peningkatan risiko
adenokarsinoma lain. Agen etiologi telah dilaporkan termasuk minyak mineral, dan senyawa
kromium kromium, minyak isopropil, cat pernis, solder dan las.7
Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras, merupakan
faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Peningkatan resiko (5-50
kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini
mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah
penghentian paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi faktor
resiko tambahan.7
2.2.4. Etiologi
Kanker nasal dan sinus paranasal termasuk kasus yang sangat jarang terjadi dan sampai
sekarang masih belum ada penjelasan pasti tentang penyebab dari penyakit ini tetapi banyak hal
yang merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko seseorang mengidap kanker nasal dan
paranasal.7
Merokok
10
Merokok tembakau ( rokok, cerutu, atau pipa tembakau ) dapat meningkatkan
resikoseseorang terkena kanker nasal dan sinus paranasal. Jika seseorang merupakan
seorangperokok aktif maka individu tersebut memiliki resiko yang tinggi mengidap kanker
nasaldan sinus paranasal. Kanker nasal dan sinus paranasal cukup jarang terjadi bahkan
padapopulasi perokok sekalipun tetapi sangat jelas merokok memiliki peran yangsignifikan
dalam meningkatkan resiko seseorang mengidap kanker nasal dan sinusparanasal.7
Bahan Kimia
Orang-orang yang memiliki pekerjaan sebagai buruh pabrik bahankimia yang sudah
bekerja bertahun-tahun lamanya.Dalam hal ini bisa disimpulkanpopulasi ini terpapar dengan
bahan kimia sudah dalam jangka waktu yang lama yangberada di sekitar tempat kerja
mereka.Beberapa substansi yang dapat meningkatkan resikotersebut adalah debu
kayu,formaldehida, nikel, dan debu kromium. Beberapa peneliti juga sedang
mempelajarihubungan peningkatan resiko dengan riwayat seseorang mengidap infeksi
humanpapiloma virus, nasal polip, perokok pasive dan buruh yang terpapar debu tekstil
atauasbestos tetapi sampai detik ini tidak mendapatkan bukti yang cukup untuk
menegakkanhubungannya dengan peningkatan resiko mengidap kanker nasal dan sinus
paranasal.7
2.2.5. Manifestasi klinis
Permasalahan terbesar dari kanker sinonasal adalah gejala klinis yang tidak bisa
secaralangsung mengidentifikasi penyakit ini pada setiap pasien.Gejala yang diperlihatkanoleh
pasien dengan penyakit ini identik dengan gejala yang ditimbulkan oleh penyakitperadangan
pada sinus yang biasanya terwujud dalam gejala awal. Oleh karena itu, masalah ini menyebabkan
keterlambatan diagnosa dan menetukan stadium daripenyakit ini dan berlanjut dengan
mempengaruhi prognosis dari perkembangan kanker sinonasal itu sendiri.8
Gejala yang sering muncul pada pasien dengan kanker sinonasal yaitu obstruksi pada
nasal airway, epistaksis, sakit kepala, facial pain, dan nasal discharge. Tetapi terkadangpada 9%
sampai 12% pasien, tidak menunjukkan gejala sama sekali.9
Gejala klinis yang dapat terlihat pada kanker nasal dan sinus paranasal yang
secaraspesifik pada bagian nasal adalah adanya sumbatan yang menyebkan rasa penuh padasatu
sisi hidung dan tidak sembuh-sembuh, epistaksis, penurunan fungsi penghidu, danadanya cairan
mukus yang berasal dari nasal yang mengalir ke bagian posterior nasaldan tenggorokan.9
11
Gejala klinis yang terlihat pada organ mata adalah bulging pada satu sisi mata,kehilangan
penglihatan baik total maupun sebagian, penglihatan ganda ( double vision),rasa sakit pada
bagian superior atau inferior mata, dan mata berair yang terkadang tidaksembuh-sembuh.9
Gejala lain yang dapat ditimbulkan adalah adanya massa yang tumbuh pada bagian
wajah,hidung atau bagian atap dari rongga mulut, sakit atau kehilangan fungsi sensorik
padabagian wajah, gigi yang tanggal, kesulitan membuka mulut, pembesaran kelenjar
getahbening di leher, dan sakit saat dilakukan penekanan pada salah satu telinga.9
2.2.6. Patologi
Pembagian dari kanker sinonasal berdasarkan gambaran histologi dibagi menjadi jinak
dan ganas. Neoplasma yang terjadipada sinus sebagian besar merupakan suatu keganasan,
sedangkan neoplasma pada kavum nasal memiliki distribusi jinak maupun ganas yang hampir
sama. Mayoritaspenyakit lesi jinak epithelial yang paling sering adalah papilloma . Papilloma
dibagilagi menjadi 3 kategori yaitu fungiform (50%), inverted (45%), dan cylindric cell (5%).6
Fungiform papilloma merupakan suatu exophytic septal lesions . Berdasarkan
histologi,fungiform papilloma memiliki gambaran nonkeratinizing squamous epitelium yang
menutupi fibrovaskular struma . Berbeda dengan jenis papilloma yang lain, fugiformpapilloma
tidak memiliki kemungkinan berkembang menjadi ganas.6
Inverted papilloma memiliki karakteristik berupa squamous atautransitional
cellepithelium yang mengelilingi fibrovaskular struma dengan pertumbuhan yang endofitik.
Inverted papilloma paling sering ditemukan pada bagian lateral dari dindingnasal ( nasal wall )
dan pada sekitar 5% sampai15% pasien, inverted papilloma berkembang menjadi squamous cell
carcinoma.6
Cylindrical cell papilloma memiliki area distribusi yang sama yaitu pada bagian
lateraldinding nasal ( nasal wall ). Cylindical cell papiloma biasa disebut juga dengan
oncotycschneiderian papillomas dan papilloma jenis ini juga memiliki kemungkinan
besarberkembang menjadi keganasan. Berdasarkan histopatologi, cylindric cellpapilloma
memiliki gambaran garis epitel yang terdiri dari beberapa lapisan tersusun oleh sel eosinophilic,
sel goblet, dan microkista yang berisi mucin.6
Terdapat jenis tumor jinak epitelial yang lain yaitu adenoma, cholesteatoma,
dandermoids. Adenoma yang tumbuh pada traktus sinonasal memiliki karakteristik yangsama
dengan adenoma yang tumbuh di bagian tubuh yang lain. Adenoma biasa muncul pada umur
12
sekitar 40 sampai 70 tahun dan dalam perkembangannya melibatkannasal septum. Seperti pada
adenoma, cholesteatoma dan dermoid memiliki karakteristikhistopatologi yang sama dengan
cholesteatoma dan dermoid yang tumbuh pada bagian tubuh yang lain. Jika kedua penyakit ini
mucul pada bagian sinus, biasanya munculpada sinus frontal dan ethmoid.6
Keganasan epitelial merupakan penyakit yang paling umum terjadi padakeseluruhan
kasus tumor sinonasal (45% dari 85% keseluruhan kasus tumor sinonasal).Kasus ganas epitelial
neoplasma yang sering terjadi adalah squamous cellcarcinoma . Distribusinya hampir terjadi
pada semua sinus yaitu sinus maxilaris (60%),sinus ethmoid (10%-15%), sinus frontalis, dan
sphenoid (1%), dan juga kavitas nasal (20%-30%).6
Glandular carcinoma merupakan kasus neoplasma epitel yang palingumum terjadi setelah
squamous cell carcinoma (4% sampai15% dari keseluruhan kasusneoplasma). Jenis glandular
carcinoma yang paling sering terjadi adalahadenocarcinoma yang memiliki sekitar 5% sampai
19% dari keseluruhan kasus tumornasal dan sinus paranasal. Secara umum adenocarcinoma
dibagi menjadi low grade danhigh grade. Untuk jenis low grade dapat terjadi kekambuhan local
dan jarang terjadiberkembang ke arah metastasis sedangkan high grade adenocarcinoma
dapatberkembang ke arah metastasis regional maupun jauh.6
Karsinoma kista adenoid merupakan jenis yang jarang terjadi dibandingkan
denganadenoidcarcinoma.Tumor ini terdiri dari sekelompok small cell yang membentukbeberapa
pola yaitu tubular, cribriform, dan solid.Low grade adenoid cystic carcinomamemilki kurang dari
30% komponen padat dan high grade adenoid cystic carcinomamemiliki lebih dari 30%
komponen padat.High grade carcinoma memiliki karakteristikperiode survival yang pendek dan
insiden metastasis lanjut yang tinggi. Kedua subtype ini memiliki predileksi untuk invasi
perineural.6
Mucoepidermoid carcinoma merupakan kasus glandular carcinoma yang sangat
jarangsekali terjadi.jenis ini dibentuk dari kombinasi squamous cell dan glandular, mucus-
producing, basal cells. Jenis ini dapat menyebabkan metastasis jauh.6
Tumor lain yang dapat terjadi pada traktus sinonasal tetapi sangat jarang sekali
yaitutumor yang berasal dari neuroectodermal. Tumor tersebut adalah sinonasal melanoma dan
neuroblastoma olfaktori. Melanoma pada sinus memiliki kemungkinan kurang dari7% dari
keseluruhan sinonasal malignacy dan tidak memiliki perbedaan denganmelanoma yang tumbuh
pada bagian tubuh yang lain walaupun sekitar 30% telahdilaporkan termasuk amelanotik.
13
Melanoma dapat memiliki gambaranplasmacytoid, spindlecell, atau epithelioid cytologic dan
juga memiliki pola arsitektur histologi bervariasi seperti pleomorphik, epiteloid, atau mirip
seperti sarkoma (sarcoma-like).6
Neuroblastoma olfaktori merupakan tumor yang berasal dari neuroektodermal yang dapat
tumbuh pada daerah sinus paranasal. Penyakit ini memilikisatu dari dua pola berikut yaitu pola
seperti sarang (nesting pattern) yang terdiri olehsmall celldikelilingi oleh struma atau pola
dengan beberapa lapisan difusi dari sel tumor dengan struma yang lebih sedikit.6
Selanjutnya ada limfoma yang pada umumnya terdiri dari diffuse large B-celllymphoma
walaupun seperti itu natural killer/T-cell lymphoma yang lebih sering terjadi.6
2.2.7. Pendekatan Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan beberapa pemeriksaan, yaitu:
Anamnesis keluhan pasien
Tumor sinonasal biasanya muncul dengan gejala yang identik dengan penyakit inflamasi,
seperti obstruksi jalan nafas hidung, epistaksis, sakit kepala, nyeri wajah, nasal discharge, dan
sering tanpa gejala pada sekitar 9% sampai 12% pasien, yang memberikan kontribusi dalam
keterlambatan mendiagnosis hingga sekitar 8 bulan atau lebih.9,10
Gejala tumor sinonasal sendiri dibagi menjadi gejala awal dan gejala lanjutan. Gejala
awal yang berlangsung lebih dari 4 minggu atau terdapat gejala lanjutan perlu dilakukan
pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.10
EARLY LATE
Nasal obstruction Epistaxis
Rhinorrhea Cranial Nerve Dysfunction
Proptosis
Facial pain
Facial swelling
Trismus
Tabel 2.1 Gejala Awal dan Gejala Lanjutan pada Tumor Sinonasal10
Pemeriksaan Fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah ada asimetri atau
distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata. Jika mata terdorong ke atas
berarti tumor berasal dari sinus maksila, jika ke bawah dan lateral berarti tumor berasal dari sinus
frontal atau etmoid.7
14
Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi
anterior dan posterior. Deskripsi massa sebaik mungkin, apakah permukaannya licin, merupakan
pertanda tumor jinak atau permukaan berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah, merupakan
pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada
di sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, disamping inspeksi lakukanlah palpasi dengan
memakai sarung tangan, palpasi gusi, rahang atas, dan palatum, apakah ada nyeri tekan,
penonjolan atau gigi goyah.7
Pemeriksaan fisik harus menyeluruh, dengan penekanan pada daerah sinonasal, orbit, dan
saraf kranial, dan harus mencakup endoskopi pada hidung. Meskipun tidak pathonogmonic, mati
rasa atau hypesthesia dari infraorbital (V2) atau supraorbital (V3) saraf sangat menunjukkan
invasi ganas. Temuan lain seperti proptosis, kemosis, kerusakan otot luar mata, massa dalam
pipi, gusi atau sulkus gingivobukal, dan gigi longgar juga menunjukkan adanya tumor sinonasal.1
Pemeriksaan naso-endoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor dini. Adanya
pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar
leher.7
Pemeriksaan Penunjang
Pencitraansangat pentinguntuk tahaptumorsecara lokaldan untukmenyingkirkan
adanyametastasis. Pemeriksaan penunjang meliputi:
1. Foto polos sinus paranasal
Foto polos sinus paranasal kurang berfungsi dalam mendiagnosis dan menentukan
perluasan tumor, kecuali pada tumor tulang seperti osteoma. Tetapi foto polos tetap berfungsi
sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat unitaleral, harus
dicurigai keganasan. Meskipun demikian pada beberpa kasus dapat menunjukkan keadaan
normal.7Saat ini, CTscan danmagnetic resonance imaging (MRI)telah menggantikan fungsi foto
poloskarena menyajikan anatomi secara detail.11
2. CT scanning
Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada plain film untuk
menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada plain film. Pasien beresiko
tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial,
eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis
15
yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan aksial dan koronal dengan
kontras atau magnetic resonance imaging (MRI).9
CT scanning merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan
dasar tulang tengkorak, serta perluasan tumor. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai
tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotid.9,7
Gambar 2.4. Gambaran CT scan untuk Tumor Sinonasal6
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue, membedakan
sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion, menunjukkan penyebaran
perineural, membuktikan keunggulan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan
terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image digunakan untuk mengevaluai foramen rotundum,
vidian canal, foramen ovale dan optic canal.9
Sagital image berguna untuk menunjukkan tanda Meckel cave dengan intensitas rendah dan
lemak di dalam pterygopalatine fossa yang memiliki tanda yang sama dengan tumor
otak.MRI,bagaimanapun, lebih mahal daripadaCTscan danmembutuhkan waktu lebih lamauntuk
dilakukan, sehingga lebih rentan terdapatartefak akibat gerakan pasien.Selain itu, beberapapasien
tidak dapatmentolerirprosedurkarenaclaustrophobia.9,11
16
Gambar 2.5. Gambaran MRI Potongan Koronal pada Tumor Sinonasal9
Gambar 2.6. Gambaran MRI Potongan Aksial pada Tumor Sinonasal9
3. Positron emission tomography (PET)
PET sering digunakan untuk keganasan kepala dan leher meliputi staging dan
surveillance. Kombinasi PET/CT scan ditambah dengan gambaran anatomi yang detail dapat
membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat luasnya tumor. Meskipun PET ini
banyak membantu dalam menilai keganasan kepala dan leher tetapi sangat sedikit kegunaannya
untuk menilai keganasan pada nasal dan sinus paranasal.9
4. Angiography
Angiography dengan carotid-flow digunakan untuk penderita yang akan menjalani
operasi dengan tumor yang telah mengelilingi arteri karotid. Tes balloon occlusion yang
digunakan dengan single-photon emission CT (SPECT),xenon CT scan atau transcranial
Doppler, dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark otak iskemik jika arteri karotid internal
dikorbankan. Tes ini tidak dapat memprediksi iskemik pada area marginal atau fenomena
embolik.9
17
Coronal MRI T1 with contrast showing an esthesioneuroblastoma of the right nasal cavity eroding the skull base and invading the brain. The maxillary sinus is filled with edematous mucosa.
Axial MRI T1 with contrast of the same patient in image before this, showing mucus in the right sphenoid sinus due to obstruction of the tumor.
5. CT scan dada dan abdomen
Direkomendasikan untuk pasien dengan tumor yang bermetastasis secara hematogen,
seperti sarkoma, melanoma dan karsinoma kistik adenoid. Penilaian metastasis penting jika
reseksi luas dipertimbangkan untuk dilakukan. Lumbar dan brain puncture serta spine imaging
direkomendasikan jika tumor telah menginvasi meningen atau otak.9
2.9.2 Pemeriksaan histopatologi
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di
rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor
sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc
yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya
angofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang
terjadi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan angiografi.7
Tabel 2.2 Ringkasan Pemeriksaan untuk Penegakan Diagnosis Tumor Sinonasal9
2.2.8. Diagnosis Banding
Berdasarkan jenis histopatologinya, tumor sinonasal dibagi menjadi tumor jinak dan
tumor ganas.Masing-masing dibagi lagi menjadi tumor epitel dan tumor non-epitel.
18
KLASIFIKASI TUMOR SINONASAL
Epitel
Jinak
Exophytic papillomaInverted papillomaColumnar papillomaAdenoma
Ganas
Squamous cell carcinomaTransitional cell carcinomaAdenocarcinomaAdenoid cystic carcinomaMelanomaOlfactory neuroblastomaUndifferentiated carcinoma
Non-epitel Jinak FibromaChondromaOsteomaNeurilemmomaNeurofibromaHemangioma
Ganas Soft-tissue sarcomaRhabdomyosarcomaLeiomyosarcomaFibrosarcomaLiposarcomaAngiosarcomaMyxosarcomaHemangiopericytomaConnective tissue sarcomaChondrosarcomaOsteosarcoma
Tabel 2.3 Klasifikasi secara Histopatologi Tumor Sinonasal9
Tumor Jinak Epitel
Papilomayang merupakan tumor jinak tersering, timbul dari epitel skuamosa. Secara
makroskopis, mirip dengan polip tapi lebih vaskular, padat, dan tidak mengkilat.Hal ini mudah
diobati dengan eksisi sederhana atau kauterisasi. Papilloma dari rongga hidung dapat
diklasifikasikan dalam tiga kategori yang berbeda. Papiloma fungiform atau eksofitik timbul
dari septum hidung, sedangkan papiloma inverted dan columnar biasanya muncul dari dinding
lateral hidung.7,9
19
Meskipun jinak, papiloma (terutama papiloma inverted) dapat menghancurkan tulang,
kambuh bila tidak dibuang sama sekali, dan mungkin terkait dengan tumor ganas. Mereka yang
paling sering didiagnosis pada laki-laki putih sekitar dekade lima sampai tujuh(rata-rata 50
tahun). 7,9
Tumor Ganas Epitel
Tumor ganas tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%) disusul oleh karsinoma
tanpa diferensiasi dan tumor asal kelenjar.7
Melanoma pada saluran sinonasal mungkin primer atau metastasis. Meskipun 20% dari
seluruh melanoma berasal dari kepala dan leher, kurang dari 1% muncul dari saluran sinonasal.
Mereka yang paling sering ditemukan dalam rongga hidung, diikuti dengan sinus maksilaris (65-
80%), sinus etmoid (15-25%), dan sinus frontal. Kelangsungan hidup rata-rata untuk pasien
dengan melanoma sinonasal adalah 24 sampai 36 bulan. 7,9
Neuroblastoma olfaktorius adalah tumor langka yang timbul di epitel penciuman. Pasien
sering pertama kali terlihat dengan obstruksi hidung dan epistaksis. Ia memiliki frekuensi
bimodal pada usia 10 sampai 20 dan 50 sampai 60 tahun, dengan kejadian serupa pada pasien
pria dan wanita.9
Sinonasal Undifferentiated Carcinomas (SNUCs) biasanya terdiri dari sel-sel kecil dan
menengah dan harus dibedakan dari rhabdomyosarcoma, melanoma, neuroblastoma olfaktorius,
limfoma, dan karsinoma sel skuamosa.7,9
Tumor Jinak Non-epitel
Lesifibroosseous, termasuk osteomas, fibroma, dan kordomas, adalah tumorjinakyang
paling umumpada saluransinonasal. Pertumbuhan merekabiasanyalambatdan terbatas.
Eksisibedahsederhanadianjurkan ketikadiagnosishistologisdiperlukan atauuntuk meredakan
gejalaobstruktif.7,9
Kurang dari4% daritumorjinakpada selubung sarafmunculdi hidungdan sinusparanasal.
Merekapada awalnyadilihat sebagaipolypoid, tumbuh lambat, bisa mencapai ukuran yang
sangatbesar dansering menyebabkankelainan bentuk wajahdan kehancuranstruktur lokal.7,11
Sembilan puluhpersen dari tumorselubung sarafmenunjukkanhistologijinak.Dua pertiga
daritumor inischwannoma, dan sepertiga, neurofibroma. Schwannomadari hidungdan
sinusparanasalseringkali kekuranganenkapsulasitumor,dengan selneoplastikmerusakmukosa
pernapasan.9
20
Tumor Ganas Non-epitel
Rhabdomyosarcomas timbul di kepala dan leher sekitar 35% sampai 45% dari kasus.
Pada 10% pasien, mereka berasal dari sinus paranasal. Rhabdomyosarcomas memiliki hasil yang
kurang menguntungkan pada orang dewasa, dengan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun hanya
35%.9
Rhabdomyosarcomas pada saluran sinonasal diklasifikasikan sebagai parameningeal
nonorbital dan lebih agresif daripada yang timbul di lokasi lain. Rhabdomyosarcoma dewasa
biasanya dirawat dengan eksisi bedah luas. Fibrosarcoma adalah tumor yang timbul dari
fibroblast. Radiasi dan trauma telah terlibat sebagai faktor etiologi.Tindakan yang bisa dilakukan
adalah eksisi bedah luas untuk tumor yang sebelumnya tidak diobati.9
Hemangiopericytoma adalah tumor yang sangat jarang dengan vaskularisasi tinggi yang
timbul dari perisit kapiler dari Zimmerman. Pemeriksaan histologi menunjukkan gambaran oval
dan berbentuk gelendong. Tumor-tumor ganas dibedakan oleh aktivitas mitosis yang meningkat,
kepadatan sel tinggi, dan zona nekrotik dan perdarahan. Mereka menyerang secara lokal dan
bermetastasis pada 10% sampai 15% kasus. Metastasis hematogen melibatkan paru-paru, hati,
dan tulang. Enam belas persen ditemukan di kepala dan leher, dengan sekitar 50 kasus yang
dilaporkan timbul pada saluran sinonasal.9
Sarkoma osteogenic adalah tumor primer yang paling umum dari tulang di Amerika
Serikat, dengan kejadian diperkirakan satu kasus per 100.000. Tumor ini berasal dalam rahang
dan merupakan 7% sampai 10% dari semua osteosarcomas. Faktor etiologi mencakup radiasi,
displasia fibrosa, trauma, penyakit Paget, dan gen yang terkait dengan retinoblastoma. Terapi
yang paling efektif adalah eksisi bedah.9
Chondrosarcomasmerupakan tumor yang lambat pertumbuhannya yang biasanya muncul
dari struktur tulang rawan. Ukuran tumor berkorelasi dan grading dengan tingkat metastasis,
agresivitas lokal, dan kelangsungan hidup tertinggi.9
Limfoma pada saluran sinonasal menyumbang hanya 0,17% dari semua limfoma. T-sel
limfoma lebih sering terjadi pada populasi Asia, sedangkan sel B limfoma lebih sering terjadi
pada populasi Barat. Situs utama terjadinya di saluran sinonasal adalah sinus maksilaris (79%)
dan rongga hidung (20%).9
2.2.9. Prinsip Penatalaksanaan
21
Berbagai macam pilihan terapi tersedia untuk mengobati tumor sinus paranasal.Pilihan
terapi seperti pembedahan, radiasi, kemoterapi, dan kombinasi dari berbagai macam tehnik dapat
digunakan. Terapi multimodal dianjurkan dalam menangani tumor sinonasal.6
2.2.9.1. Pembedahan
Sebelum dilakukan pembedahan dapat diambil contoh jaringan menggunakan alat
endoskopi yang biasa digunakan untuk pembedahan sinus atau melalui open trancutaneousatau
prosedur transoral (contoh antrostomy Caldwell-Luc, external ethmoidectomy, rhinotomy).9
Dahulu, pasien dengan tumor nasal dan paranasal diobati menggunakan reseksi
pembedahan.Sekarang, perkembangan tehnik pencitraan menggunakan komputer, fiber-optic
endoscopy, dan pembedahan maju dapat menilai ukuran tumor, lokasi, dan keutuhan daerah
sekitar.Pemilihan reseksi berdasarkan lokasi tumor dan terdiri dari berbagai prosedur dari
pengangkatan melalui endoskopi untuk tumor besar sampai total maxillectomydengan
pengangkatan orbita. Fokusnya untuk mencapai reseksi total tumor semenjak rekurensi lokal
menjadi penyebab kegagalan paling sering. Reseksi en bloc ideal, meskipun kemungkinan kecil.
Ada kriteria untuk lesi yang tidak dapat direseksi seperti perluasan transdural, invasi fascia
prevertebra, keterlibatan saraf optik bilateral, dan invasi sinus kaverna menyeluruh.6
Endoskopi Pembedahan Sinus
Endoskopi digunakan pada keganasan sinus paranasal sebagai pilihan terapi untuk tumor
tingkat awal atau tumor jinak termasuk dinding lateral nasal, sinus ethmoid, atau sinus sphenoid.
Faktor yang menentukan penggunaan endoskopi tergantung perluasan tumor. Tumor dini
terbatas pada dinding lateral nasal dapat dilakukan endoskopi reseksi dengan hasil yang baik.
Keuntungannya yaitu mengurangi insisi pada wajah.Teknik endoskopi medial maxillektomi yang
mengangkat seluruh tumor sedikit demi sedikit diikuti reseksi batas-batas tumor pada papiloma
dilaporkan menimbulkan kekambuhan sekitar 17%.Namun, efektif untuk lesi yang besar pada sel
ethmoid posterior, duktus nasofrontal, dan sinus sphenoid.Kontraindikasi endoskopi adalah
invasi pada area yang tidak dapat terjangkau, termasuk bagian lateral sinus maksilari, periorbita,
sakus lakrimal, sel etmoid supraorbita, sinus frontal, dan dasar tengkorak Tumor yang dapat
diterapi menggunakan endoskopi yaitu papiloma, hemangioma, esthesioneuroblastoma, adenoid
kista karsinoma, adenokarsinoma, dan karsinoma sel skuamosa. Komplikasi yaitu kebocoran
cairan serebrospinal, trauma visual/orbita, perubahan penciuman.6
22
Gambar 2.7.Gambar Letak Tumor Intranasal yang Bisa dilakukan Reseksi Intranasal Endoskopi.
Teknik Midfacial Degloving
Teknik ini terdiri dari insisi intercartilago bilateral, insisi lengkap septocolumella, insisi
sublabial bilateral, dan insisi celah piriform bilateral.Prosedur dapat dilakukan pada kavitas
nasal, nasofaring, antrum maksila, dasar orbita, dan zygoma.Midfacial deglovingdapat
dikombinasikan dengan kraniotomi untuk tumor yang melibatkan bagian anterior dasar
tengkorak.Berbagai macam eksisi dapat dilakukan seperti medial maxillektomi, total
maxillectomy dengan atau tanpa perluasan orbita, ethmoidectomy, sphenoidectomy, dan reseksi
tumor meluas bagian anterior dasar tengkorak berhubungan dengan kraniotomi.Keuntungan yaitu
mengurangi perluasan insisi wajah, dapat digunakan untuk dasar tumor inferior, dan
menimbulkan komplikasi yang rendah. Kerugiannya adalah susah untuk digunakan pada dasar
tengkorak superior. Komplikasinya dapat berupa mati rasa pada bibir, stenosis vestibular, dan
fistula oroantral.6
Gambar 2.8. Gambar Letak Tumor Intranasal yang Bisa Menggunakan
Tehnik Midfacial Degloving
23
Lateral Rhinotomy
Lateral rhinotomydipakai sebagai dasar utama prosedur transfacial. Tekniknya memulai
insisi pada bagian inferomedial alis dan meluas pertengahan bawah antara dorsum nasal dan
medial canthus. Insisi bagian distal sebaiknya lebih jauh dari nasal dari alur nasofacial untuk
mendapatkan hasil estetika optimal. Insisi dapat diperluas melalui berbagai macam tehnik,
seperti insisi bibir terpisah untuk penarikan pipi, insisi dibawah kelopak mata lateral untuk
penarikan lebih jauh, insisi diatas kelopak mata ipsilateral(insisi Weber-Ferguson), insisi diatas
kelopak mata ipsilateral untuk penarikan orbita, atau insisi nasal superior untuk jalan ke daerah
kontralateral frontoethmoid. Tehnik tersebut kurang baik diterapkan pada tumor area supraorbita
ethmoidal, duktus frontal, fossa lacrimal, orbita, atau cribiform plate.Berbagai eksisi seperti
medial maxillectomy, radical maxillectomy, bilateral ethmoidectomy, dan reseksi paling superior
dasar tumor yang tidak secara langsung meluas cribiform plate atau fovea ethmoidalis.Lateral
rhinotomy dapat digunakan dengan kraniotomi untuk tumor yang menginvasi dasar tengkorak
(reseksi craniofacial).6
Gambar 2.9. Tehnik Lateral Rhinotomy
Penanganan untuk Bagian Sinus Frontal
Keterlibatan sinus frontal jarang tetapi dapat terjadi akibat perluasan dari tumor hidung
atau sinus ethmoid.Untuk itu, dapat dilakukan perluasan “gullwing” dari lateral
rhinotomyinferior ke alis mata dalam sulkus kelopak mata atas. Hal ini terutama dapat dilakukan
pada kulit yang diterobos tumor.Jika bagian anterior tidak terkena, dapat digunakan bilateral
craniotomi melalui insisi koronal.Insisi digunakan pada lesi frontal terbatas atau kombinasi
rhinotomy lateral untuk lesi meluas keatas dari sinus ethmoid atau kavitas hidung.6
Defek sinus frontal dapat dilenyapkan atau direkonstruksi. Komplikasi spesifik
berhubungan dengan penanganan tumor sinus frontal adalah pembentukan mukokel dan hasil
24
kosmetik yang buruk jika bagian depan harus direseksi. Defek tersebut dapat diperbaiki
denganbone graft tengkorak terpisah.6
Penanganan untukAnterior Lateral Dasar Tengkorak
Teknik ini baik digunakan pada tumor yang meluas pada fossa pterygopalatina, sinus
sphenoid, atau nasofaring melalui samping wajah/dasar tengkorak. Pendekatan dilakukan dengan
lateral facial split atau prosedur Fisch dan Mattox infratemporal fossa type C. Insisi digunakan
pada preauricula atau modifikasi Blair. Otottemporal diangkat dan diayun melalui
zygoma.Tambahannya, zygoma diangkat, pes anserinus saraf facial dipisahkan, ditarik, dibuat
rangka, dan mandibula dipisahkan dan dimajukan kedepan. Hal ini dapat membuka arteri karotis
dari bifurkasio ke sinus kaverna.6
Keuntungannya yaitu tersedia jalan kebagian sentral dasar tengkorak.Pembukaan luas
pada arteri karotis interna tidak hanya memudahkan pengambilan tumor tetapi juga pilihan untuk
melakukan bypass.Pada komplikasi dapat terjadi pemisahan saraf wajah atau kelemahan saraf
wajah akibat penarikan sehingga membutuhkan rekonstruksi neurorafi.6
Kraniotomi/Kraniofasial
Alternatif terapi tumor sinus paranasal adalah reseksi trankranial. Teknik
transfascialsusah dan sering tidak dapat digunakan untuk tumor yang menempel kedepan dasar
tengkorak. Resiko kebocoran cairan serebrospinal saat eksisi ekstrakranial meningkat.Akses
transkranial menjadi pilihan pada tumor di cribiform plateatau fovea ethmoidalis, terutama tumor
berasal dari meningeal atau kranial.Melalui transkranial direkomendasikan sebagai langkah awal
untuk memastikan tumor tidak dapat dioperasi karena meluas ke transdural atau otak.Prosedur
tersebut melibatkan insisi bicoronal dengan kraniotomi bifrontal. Sebelum operasi
direkomendasikan penggunaan antibiotik yang dapat menembus sawar otak, kortikosteroid dosis
tinggi, dan lumbar drain.6
Kerugiannya yaitu terbatasnya akses kebagian tengah dan bawah orbita pada sinus
maksila.Untuk alasan tersebut, prosedur dikombinasikan dengan tehnik transfacialbila ada
keterlibatan dasar maxilla, dasar nasal septum, atau jaringan lunak wajah atau saat eksisi juga
dilakukan pengangkatan orbita.Kombinasi dengan reseksi kraniofasial baik untuk mendapatkan
akses ke dinding bawah dan samping hidung. Keuntungannya dapat mengurangi morbiditas
operasi lewat pengurangan retraksi yang diperlukan pada lobus frontal dan hemostasis yang lebih
baik.6
25
Komplikasi spesifik yaitu kebocoran cairan serebrospinal, meningitis, dan
pneumocephalus.Para ahli menyarankan pemasangan trakeostomi untuk mengurangin insiden
pneumocephalus karena dapat mengakibatkan aspirasi. Kontraindikasi reseksi kraniofasial untuk
tumor yang telah lanjut.6
Gambar 2.10. Letak Tumor yang Dapat Dilakukan Kraniotomi
2.2.9.2.Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi sehabis pembedahan adalah penyembuhan luka, rekonstruski
kontur wajah, dan restorasi pemisahan oronasal yang berfungsi berbicara dan
menelan.Pertimbangan lainnya yaitu estetika. Rehabilitasi dapat berupa dental prosthesis atau
rekonstruksi flap, seperti flap otot temporalis dengan atau tanpa tulang kranial, pedikel, atau flap
mikrovaskular miokutan bebas ( pektoralis mayor, latissimus dorsi, trapezius), dan flap kulit
(dahi, kulit kepala, deltopektoral). Flap direkomendasikan untuk mengganti reseksi kulit,
menyediakan bantuan untuk orbita atau otak, atau memisahkan kavitas cranial dari traktus atas
aerodigestif.9
2.2.9.3. Terapi Radiasi
Radiasi dapat digunakan sebagai terapi sendiri atau tambahan pembedahan, atau hanya
terapi paliatif.Laporan terbaru menyatakan radiasi setelah operasi meningkatkan kontrol lokal
tetapi tidak memperpanjang kehidupan secara spesifik. Selain itu, dapat mematikan sel tumor
volume kecil, batas-batas tumor, dan untuk memprediksi penyembuhan luka.9
Beberapa tumor yang sensitif seperti limfoma, plasmasitoma, dan
estesineuroblastoma.Dosis setelah operasi antara 60 dan 70 Gy. Pasien yang tidah dapat
dilakukan pembedahan menerima dosis lebih tinggi yaitu 74-79 Gy.6
26
Komplikasi yang dapat timbul seperti kebutaan, obstruksi duktus nasolakrimal, sinusitis,
destruksi tulang hidung, nyeri orbita kronis, osteoradionekrosis, retinopati, dan fistula medial
kantus.Retina dan saraf optikus tidak dapat mentoleransi radiasi lebih dari 50 Gy.Risiko luka
pada gandula lakrimasi dengan ulserasi kornea, opasifikasi, atau vaskularisasi meningkat pada
dosis lebih dari 30 Gy. Komplikasi tersebut dapat dikurangi dengan penggunaan CT karena dapat
melokalisasi tumor dan struktur sekitar sehingga dapat mengurangi paparan radiasi.6
Jaringan Efek Radiasi
Glandula lakrimal Atrofi
Konjungtiva Hiperemia, infeksi sekunder
Kornea Edema, ulser kronis, perforasi
Retina Edema, retinopati
Lensa Katarak
Tabel 2.4. Komplikasi Terapi Radiasi.6
2.1.4. Kemoterapi
Peranan kemoterapi pada tumor sinonasal biasanya paliatif, digunakan untuk
menghilangkan nyeri dan obstruksi, atau untuk lesi masif eksterna. Kemoterapi ditambah radiasi
juga dapat dipakai pada pasien yang mempunyai resiko tinggi pembedahan dan menolak
pembedahan.9
Beberapa kemoterapi yang digunakan seperti cisplatin sebagai neoadjuvan pembedahan
adenokarsinoma yang mencapai dasar tengkorak, platinum efektif melawan estesineuroblastoma,
5-fluorouracil dikombinasikan dengan radiasi dan pembedahan kuretase dapat meminimalisasi
morbiditas.6
Terapi Indikasi
Pembedahan Terapi utama
Radiasi Tumor tidak dapat dioperasi atau limforetikular,
kandidat tidak memenuhi syarat operasi. Biasanya
dilakukan pembedahan drainase/pembersihan.
Terapi Kombinasi Batas tumor, perineural, invasi peruvaskular, nodus
limfa, tumor kambuhan
Kemoterapi Peranan paliatif, penelitian
Tabel 2.5. Ringkasan Terapi dan Indikasi.6
27
BAB III
KESIMPULAN
Tumor sinonasal adalah penyakit di mana sel tumor baik jinak maupun ganas ditemukan
dalam jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Tumor ini paling sering pada orang
kulit putih dan kejadian pada laki-laki dua kali lipat dari perempuan.Tumor epitel paling sering
terjadi pada dekade kelima dan keenam.Sekitar 55% tumor sinonasal berasal dari sinus maksila,
35% dari rongga hidung, 9% dari sinus ethmoid, dan sisanya dari sinus frontal dan sphenoid.
Kanker nasal dan sinus paranasal termasuk kasus yang sangat jarang terjadi dan sampai
sekarang masih belum ada penjelasan pasti tentang penyebab dari penyakit ini tetapi banyak hal
yang merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko seseorang mengidap kanker nasal dan
28
paranasal.Eksposur kepada asap industri, debu kayu, penyulingan nikel, dan penyamakan kulit
semua telah terlibat dalam karsinogenesis berbagai jenis tumor ganas sinonasal. Eksposur
khusus, kayu debu dan penyamakan kulit baik berhubungan dengan peningkatan risiko
adenokarsinoma lain. Agen etiologi telah dilaporkan termasuk minyak mineral, dan senyawa
kromium kromium, minyak isopropil, cat pernis, solder dan las.
Tingkat ketahanan hidup bagi pasien dengan rata-rata kanker sinus maksilaris sekitar
40% selama 5 tahun. Tahap awal tumor memiliki angka kesembuhan hingga 80%. Pasien dengan
tumor dioperasi diobati dengan radiasi saja memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang dari
20%. Pada hampir semua jenis tumor, tatalaksana yang tepat adalah dengan operasi dan pada
hampir semua keganasan yang terbaik adalah terapi kombinasi operasi dengan diikuti terapi
radiasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lalwani, Anil K. Current Diagnosis and Treatment in – Otolaryngology Head and Neck
Surgery. 2008. New York : Mc Graw Hill – LANGE.
2. Snell, Richard S. AnatomiKlinikuntukMahasiswaKedokteran. Ed ke-6. Indonesia : EGC ;
2006.
3. Genevieve S. Paranasal Sinus Kanker. Gale Encyclopedia Kanker. Juli 2002.
http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3405200357.html 16 Juli 2012
29
4. Caplan LS, Hall I, Levine RS, Zhu K. Preventable risk factors for nasal kanker. Ann
Epidemiol. 2000;10:186-91.
5. Weymuller EA, Gal TJ. Neoplasms of the nasal cavity. In: Cummings CW, Flint PW,
Harker LA et al. eds.Otolaryngology - Head and Neck surgery. 4th. Mosby; 2005.
6. Snow, James B., and Ballenger, John Jacob. Ballenger’s OtorhinolaryngologyHead and
Neck Surgery 16 thed. 2003. BC Decker.
7. Carrau R.L, et all. Ganas Tumors of the Nasal Cavity Treatment & Management. Diakses
dari: http://emedicine.medscape.com/article/846995-overview [ 15 Juli 2012]
8. Paranasal Sinus Cancer Gale Encyclopedia of Cancer | 2002 | Slomski,
Genevieve. http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3405200357.html
9. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head & Neck Surgery – Otolaryngology 4thed.
2006. Luppincot Williams & Wilkins.
10. Flint, Paul W., et all. Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery5thed. 2010.
Philadelphia: Elsevier.
11. Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. 2007. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
30
Recommended