3
TINJAUAN PUSTAKA
Teknik Evaluasi Nilai Nutrisi Hijauan Pakan
Metode In vitro
Metode in vitro merupakan metode evaluasi nilai nutrisi pakan dengan
melalui pengukuran kecernaan menggunakan mikroorganisme rumen dari cairan
rumen segar. Metode ini memakai dasar sistem pencernaan dua tahap. Tahap
pertama meliputi perlakuan fermentasi bahan pakan termasuk hijauan dalam
fermentasi in vitro menggunakan mikroba cairan rumen segar selama 48 jam.
Pencernaan tahap kedua adalah pencernaan hidrolisis komponen bahan kering oleh
pepsin. Pencernaan tahap pertama mensimulasi pencernaan dalam rumen dan tahap
kedua mensimulasi pencernaan yang terjadi di dalam organ alat pencernaan pasca
rumen. Nilai koefisien cerna yang diperoleh dari teknik analisis in vitro tersebut
mendekati hasil dengan sistem in vivo (Tilley dan Terry, 1963).
Metode in vitro Tilley dan Terry (1963) yang dimodifikasi oleh Makkar
(2002) merupakan proses metabolisme nutrien pakan yang terjadi di dalam rumen
dan abomasum atau di luar tubuh ternak. Metode ini sering digunakan untuk
menduga kecernaan komponen bahan pakan dalam saluran pencernaan ternak.
Teknik in vitro ini memberikan hasil analisa yang cepat dan proses yang murah, serta
dapat digunakan untuk mengevaluasi bahan pakan dalam jumlah besar. Namun
metode ini sulit diterapkan pada material seperti sampel jaringan atau fraksi dinding
sel (Makkar, 2002).
Kamaruddin dan Sutardi (1977) menggunakan waktu inkubasi 24 jam dengan
pertimbangan lebih praktis dan memperkecil keragaman hasil fermentasi. Inkubasi
yang terlalu pendek, hasil yang diperoleh cenderung mempunyai keragaman yang
besar. Inkubasi 24 jam juga digunakan untuk mengetahui konsentrasi produk akhir
fermentasi sebelum terjadi pencernaan hidrolitik oleh enzim pepsin. Keragaman hasil
fermentasi dapat terjadi akibat berbagai faktor termasuk kualitas cairan rumen yang
digunakan. Jumlah dan jenis mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi
tergantung kepada jenis dan pola pemberian pakan serta waktu pengambilan cairan
rumen setelah pemberian pakan. Dengan teknik yang sama kecernaan bahan organik
dapat ditentukan dengan mengukur kadar bahan organik bahan pakan dan residu
proses fermentasi (McDonald et al., 2002).
4
Volatile Fatty Acid (VFA)
Ternak ruminansia memiliki mikroba (bakteri dan protozoa) di dalam alat
pencernaannya yang merombak nutrien secara fermentatif sehingga menjadi senyawa
lain yang berbeda dari molekul nutrien asalnya (Sutardi,1980). Produk akhir yang
terpenting dari fermentasi adalah asam lemak terbang atau volatile fatty acids (VFA)
terutama asetat, propionat, butirat serta produk lainnya termasuk CO2, methan, dan
panas. Ruminansia menggunakan VFA sebagai sumber energi untuk proses hidupnya
(Church dan Pond, 1988; Sutardi 1980). Beberapa spesies bakteri memproduksi
amonia dan VFA berantai cabang dari asam-asam amino tertentu. Konsentrasi VFA
dalam abomasum adalah setengahnya dari yang ada di dalam cairan rumen.
Meskipun sebagian besar absorpsi VFA terjadi dalam omasum, tetapi sejumlah besar
masuk ke dalam abomasum (Arora, 1989).
Volatile Fatty Acid (asam lemak terbang) merupakan salah satu produk
fermentasi karbohidrat di dalam rumen yang menjadi sumber energi utama bagi
ternak ruminansia dan dapat menyumbang 55-60% dari kebutuhan energinya.
Konsentrasi VFA dapat dijadikan salah satu tolak ukur fermentabilitas pakan dan
sangat erat kaitannya dengan aktivitas mikroba rumen (Parakkasi, 1999).
Amonia (NH3)
Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptide dan
asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi ammonia. Protein
mengalami degradasi intensif di dalam rumen pada pH 6,5 (Blackburn dan Hobson,
1960). Ammonia diproduksi bersama dengan peptide dan asam amino yang akan
digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et
a.l, 2002).
Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Di
dalam rumen, protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Hidrolisa protein
menjadi asam amino diikuti oleh proses deaminasi untuk membebaskan amonia.
Kecepatan deaminasi biasanya lebih lambat dari pada proteolisis sehingga terdapat
konsentrasi asam-asam amino dan peptida yang lebih besar setelah makan, kemudian
diikuti oleh konsentrasi amonia sekitar 3 jam setelah makan (Arora, 1989). Kadar
amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis
protein oleh mikroba rumen. Jika pakan defisien akan protein atau proteinnya tahan
5
degradasi maka konsentrasi ammonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan
mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan
(McDonald et al, 2002).
Amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba
untuk mensintesis protein tubuhnya (Arora, 1989). Menurut McDonald et al. (2002),
kisaran konsentrasi NH3 yang optimal untuk sintesis protein oleh mikroba rumen
adalah 6 - 21 mM. Konsentrasi nitrogen amonia sebesar 5% sudah mencukupi
kebutuhan nitrogen mikroba. Amonia di dalam rumen akan diproduksi terus-menerus
walaupun sudah terjadi akumulasi (Sutardi, 1977). Faktor utama yang
mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang
berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan protein mikroba. Menurut
Sutardi (1977), agar NH3 dapat dimanfaatkan oleh mikroba penggunaannya perlu
disertai dengan sumber energi yang mudah difermentasi, misalnya dedak padi.
Rumput
Rumput daerah tropika mengandung kadar protein yang rendah dan serat
kasar yang tinggi bila dibandingkan dengan rumput daerah beriklim sedang yang
dipotong pada fase pertumbuhan yang sama. Di lain pihak produksi kadar bahan
kering jenis rumput daerah tropika sering jauh lebih tinggi dari pada rumput daerah
sedang (McIlroy, 1976; Close dan Menke, 1986). Arora (1989) menyatakan bahwa
rumput tropika memiliki banyak lignin daripada rumput yang tumbuh di daerah
beriklim sedang. Lignin dinding sel mempengaruhi proses pencernaan pakan dalam
saluran pencernaan. Rumput dengan kandungan lignin rendah tetapi mempunyai
lebih banyak dinding sel kurang dapat dicerna dibanding legum yang mempunyai
lignin dua kali lebih banyak karena mempunyai kandungan dinding sel yang lebih
rendah dari pada rumput atau graminae (Arora, 1989; Ogimoto dan Imai, 1981).
Beberapa jenis rumput unggul yang telah banyak dikenal peternak di
Indonesia adalah Pennisetum purpureum (rumput gajah), Panicum maximum (rumput
benggala), Paspalum notatum (rumput bahia), Setaria splendida (setaria gajah) dan
Brachiaria humidicola. Rumput mengandung serat kasar yang tinggi. Serat kasar
terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika. Selulosa merupakan salah satu
bahan organik yang terdapat dalam jumlah banyak di alam dan merupakan sumber
energi yang sangat potensial bagi ruminansia. Mikroorganisme anaerob di dalam
6
rumen mampu membantu pencernaan selulosa untuk menghasilkan molekul gula
sederhana atau produk fermentasi seperti volatile fatty acids (VFA) yang merupakan
sumber energi utama asal pakan pada ruminansia. Bahan kering pakan khususnya
rumput pada ruminasia sebagaian besar dicerna dalam rumen (Arora, 1989).
Rumput gajah merupakan tanaman tahunan, berumpun, secara alami terdapat
di sungai dan aliaran-aliran air, serta tersebar di seluruh Afrika Utara. Tingginya
dapat mencapai 4,5 m. Rumput ini disukai oleh ternak, tahan kering, dan
produksinya tinggi. Di daerah lembab atau dengan irigasi produksinya dapat
mencapai lebih dari 290 ton rumput segar/ ha/ tahun (McIlroy, 1976). Rumput gajah
mempunyai kadar nutrien yang lebih baik dari jenis rumput lainnya. Rumput gajah
dapat mengandung 9,2% - 13,4% abu, 1-2%, lemak kasar, 36,6 - 38,8% serat kasar,
40,3 42,4% bahan ektrak tanpa nitrogen (BETN), dan 5,5 - 10,7% protein kasar
(Batubara dan Manurung, 1990; Hartadi et al., 1986).
Rumput benggala (Panicum maximum) merupakan tanaman tahunan,
berumpun, dan tingginya dapat mencapai 0,5 4,5m dan memerukan curah hujan
1000 1800 mm per tahun.Tanaman ini berasal dari Afrika tropika dan subtropika,
serta terdapat pada seluruh daerah tropika humida dan subtropika. Rumput ini
disukai oleh ternak, tidak sekasar rumput gajah dan kandungan proteinnya lebih
tinggi dibanding rumput tropikal lainnya (4 14%). Produksi hijauan segar sebanyak
115 ton/ha/tahun (McIlroy, 1976; Close dan Menke, 1986). Komposisi nutrien
rumput benggala adalah sebagai beriku 11,4% abu, 1% lemak kasar, 40,3% serat
kasar, 42,3% BETN, 4,9% protein kasar (Hartadi et al., 1986).
Rumput bahia (Paspalum notatum) merupakan tanaman tahunan berhizoma,
berakar dalam, tingginya dapat mencapai 60 cm atau lebih. Rumput bahia berasal
dari Afrika Tengah dan Selatan dan beradaptasi di daerah tropika dan subtropika.
Rumput tersebut merupakan rumput padang penggembalaan yang baik, tahan
terhadap tekanan penggembalaan, dan cukup tahan kering. Palatabilitas umumnya
dianggap rendah namun mempunyai pertumbuhan yang cepat. Padang rumput dapat
digembalai 3 bulan sesudah penanaman. Rumput mudah membentuk hamparan
rumput yang rapat. Merupakan rumput yang baik untuk pengawetan tanah, dapat
ditanam dengan stek atau biji (McIlroy, 1976).
7
Rumput setaria gajah (Setaria splendida) merupakan salah satu hijauan pakan
yang produktif dan mudah cara penanamannya. Setaria splendida serupa dengan
Setaria sphacellata, tetapi lebih besar, lebih tinggi, dan lebih tegar dibanding
kultivar komersil lain. Rumput setaria gajah sangat disukai oleh ternak, merupakan
rumput tahunan, tumbuh tegak, berumpun dengan tinggi 1,5-3,5 m. panjang daun
bisa mencapai 70 cm dengan lebar 12-20 mm. (Bogdan, 1977). Komposisi nutrien
Setaria splendida adalah sebagai berikut: 13,8% abu, 34,5% serat kasar, 8,6%
protein kasar, dan 41% BETN (Batubara dan Manurung, 1990).
Brachiaria humidicola merupakan tanaman rumput tahunan yang mempunyai
banyak stolon dan rizoma dan membentuk lapisan penutup tanah yang padat.
Tumbuh pada beragam jenis tanah mulai dari tanah sangat asam (pH 3,5) dan tidak
subur, tanah dengan Alumunium tinggi, tanah liat berat merekah, sampai tanah pasir
berbatu pH tinggi. Kebutuhan rumput akan unsur Ca rendah. Tahan terhadap tanah
berpengairan buruk dan sering ditemukan pada tanah liat basah musiman. B.
humidicola memerlukan 1000-4000 mm curah hujan tahunan dengan distribusi yang
baik. Kurang baik pada lingkungan dengan curah hujan tahunan 6
bulan musim kering. B. humidicola tumbuh paling baik pada lingkungan dataran
rendah tropis pada lintang sampai 27o, dengan ketinggian sampai 1000 m.
Kadar protein rumut B. humidicola dapat mencapai PK 5-17%. Kecernaan
bahan kering rumput berkisar antara 48-75%. Biasanya kualitas rumput tersebut lebih
rendah dibanding spesies Brachiaria yang lain (B. decumbens , B. brizantha atau B.
ruziziensis ) dengan kecernaan menurun dengan cepat bila tidak digembalai (Tropical
Forages, 2005).
Bakteri Rumen
Rumansia adalah hewan yang mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan
pakan berserat kasar tinggi. Kemampuan tersebut terkait dengan adanya retikulo-
rumen yang sebagai tempat pencernaan fermentatif pakan yang dikonsumsi hewan
tersebut. Fermentasi yang terjadi di dalam retikulo-rumen melibatkan
mikroorganisme baik bakteri, protozoa dan jamur. Namun bakteri merupakan
mikroorganisme paling dominan dalam fermentasi tersebut. Populasi bakteri rumen
dapat mencapai 1010 - 1012/ml cairan rumen, sedangkan populasi protozoa adalah 105
106/ml cairan rumen (Ogimoto dan Imai, 1981).
8
Beberapa bakteri rumen yang dominan adalah bakteri selulolitik. Bakteri
rumen dapat digolongkan ke dalam bakteri selulolitik, bakteri amilolitik, bakteri
hemiselulolitik, bakeri proteolitik dan lipolitik. Bakteri selulolitik diantarnya adalah
Bacteriodes succinogenes, Butyrivibrio fibrisolvens, Ruminococcus albus,
Clostridium lochheadii, Clostridium longisporum, Cillobacterium cellulosolvens.
Bakteri amilolitik diantaranya yaitu Streptococcus bovis, Bacteroides amylophilus,
Bacteroides ruminicola, Succinimonas amylolytica, dan Selenomonas ruminantium.
Sejumlah bakteri selulotik juga merupakan bakteri amilolitik contohnya Clostridium
lochheadii, Bacteriodes succinogenes, Butyrivibrio fibrisolvens (Hungate, 1966).
Bakteri hemiselulolitik diantaranya Eubacterium, Bacteroides amylogenes,
Bacteroides ruminicola, Butyrivibrio fibrisolvens, Ruminococcus flavefaciens, dan
Ruminococcus albus. Bakteri metanogenik yaitu Methanobacterium ruminantium.
Mikroorganisme rumen tumbuh pada kondisi dengan cairan rumen anaerob, pH 5
7,5. Temperatur di dalam rumen adalah 38-42oC (Arora, 1989; Ogimoto dan Imai,
1981; Hungate, 1966).
Penyimpanan dan Pemeliharaan Bakteri
Pembuatan dan penyimpanan koleksi (preservasi) mikroba diperlukan untuk
menjaga agar biakan mikroba tetap hidup, sifat mikroba tetap stabil dan tidak
berubah, serta hemat biaya dan tenaga. Metode penyimpanan yang dipilh sangat
tergantung pada sifat mikroba dan tujuan preservasi. Sifat mikroba tercermin dalam
(1) ciri-ciri morfologi mikroba yang beragam, (2) ciri-ciri fisiologi dan biokimia
mikroba, (3) dan kemampuan mikroba bertahan hidup baik dalam lingkunan
alaminya maupun lingkungan buatan (Machmud, 2001).
Koleksi dan preservasi mikroba meliputi tujuan jangka pendek dan jangka
panjang. Preservasi jangka pendek dilakukan untuk keperluan rutin penelitian yang
disesuaikan dengan kegiatan program atau proyek tertentu. Preservasi jangka
panjang dilakukan dalam kaitannya dengan koleksi dan konservasi plasma nutfah
mikroba, sehingga apabila suatu saat diperlukan dapat diperoleh kembali atau dalam
keadaan tersedia (Machmud, 2001).
Penyimpanan jangka pendek mikroba dilakukan dengan memindahkan secara
berkala jangka pendek misalnya sebulan sekali dari media lama ke media baru.
Teknik ini memerlukan waktu dan tenaga yang banyak. Beberapa teknik
9
penyimpanan sederhana yang efektif untuk penyimpanan isolat jangka pendek atau
menengah, dan biasanya tidak sesuai untuk penyimpanan jangka panjang. Diantara
teknik tersebut ialah penyimpanan dalam minyak mineral, parafin cair, tanah steril,
air steril, manik-manik porselin, lempengan gelatin, dan P2O5 dalam keadaan vakum.
Walaupun tidak digunakan secara luas, teknik tersebut hanya memerlukan peralatan
yang sederhana dan mudah diperoleh, sehingga dapat bermanfaat bagi lembaga yang
belum memiliki peralatan canggih (Machmud, 2001). Teknik preservasi yang
sekarang banyak dikembangkan dengan tingkat daya hidup mikroba yang tinggi
adalah teknik pengeringan beku (Puspawati, 2008).
Pengeringan Beku (Freeze dried)
Puspawati (2008) melakukan proses pengeringan beku pada isolat bakteri
asam laktat Pediococcus pentosaceus A16, Lactobacillus brevis A17, dan
Lactobacillus rhamnosus R21 pada berbagai bahan pelindung. Bahan pelindung yang
berupa campuran sukrosa 10%, laktosa 10%, dan susu skim 10% mampu
meningkatkan viabilitas ketiga isolat tersebut. Ketahanan kultur kering terhadap
garam empedu 0,5% pada ketiga isolat cukup tinggi. Namun, bahan pelindung yang
paling baik dalam melindungi isolat bakteri yaitu susu skim karena mampu
melindungi bakteri terhadap kerusakan karena paparan larutan dengan keasaman
tinggi dan garam empedu 0,5%. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai bahan dapat
digunakan sebagai media preservasi mikroba. Namun daya hidup mikroba dalam
media akan sangat tergantung pada proses preservasi itu sendiri.
Penyimpanan pada Tanah
Banyak bakteri dan jamur yang dapat bertahan hidup dengan baik pada tanah
kering yang disimpan pada suhu ruang untuk waktu yang lama, hingga 20 tahun atau
lebih. Teknik penyimpanan mikroba pada tanah kering terutama berguna untuk
fungi, Streptomyces spp., dan bakteri yang membentuk spora seperti Bacillus spp.
dan Clostridium spp. Rhizobium spp. juga dapat disimpan dengan baik dengan cara
ini (Jensen, 1961; Vincent 1970). Teknik ini mempunyai beberapa keuntungan, yaitu
biaya murah,penyimpanan pada suhu ruang, dan stabilitas genetik mikroba dapat
dipertahankan (Machmud, 2001).
10
Penyimpanan pada Urea Molasses Block
Urea molases block (UMB) merupakan pakan tambahan yang biasa diberikan
pada ternak saat hijauan yang diberikan memiliki kualitas dan palatabilitas yang
rendah. Wahyudi (2006) mengevaluasi penggunaan urea molasses mineral probiotik
blok (UMMPB) pada sapi perah laktasi terhadap produksi dan kualitas susu pada
peternakan skala kecil dan diperoleh hasil bahwa UMMPB mampu meningkatkan
produksi dan kualitas susu, sehingga direkomendasikan penggunaannya untuk
meningkatkan produktifitas sapi perah periode laktasi.
Urea Molasses Block sebagai suplemen, menyediakan nutrisi esensial pada
ternak seperti protein, energi, dan mineral yang biasanya defisien pada hijauan. Urea
Molasses Mineral Block (UMMB) berbentuk padat, keras, dan dapat larut di dalam
air. Ternak memakannya dengan cara menjilatnya. Urea Molasses Block dapat dibuat
dengan beberapa formulasi tergantung suplai dan harga bahan-bahan yang
dibutuhkan. Jumlah UMMB yang diberikan tergantung jenis ternak dan beratnya.
Molasses Mineral Block 5 kg diberikan pada pedet umur 7-10 hari atau kerbau
dengan berat 350-400 kg (FFTC, 2001). Penggunaan UMB atau UMMB untuk pedet
dapat diperkaya dengan inokulan bakteri atau probiotik sehingga dapat bermanfaat
untuk memacu perkembangan bakteri rumen.
Tepung Tapioka
Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan,
antara lain sebagai bahan pembantu atau pengisi dalam berbagai industri pangan.
Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi
nutrien tepung tapioka cukup baik dan juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna
putih (IPTEKnet, 2005). Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental,
bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan
puding, sop, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, dan industri farmasi
(IPTEKnet, 2005). Tepung tapioka dengan berbagai keunggulan fisik dan
kimiawinya memungkinkan dapat digunakan sebagai media penyimpan isolat
mikroba.
Arang
Arang merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon,
dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu
11
tinggi. Arang dapat digunakan sebagai absorben (penyerap). Daya serap arang
ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini dapat menjadi lebih
tinggi atau arang aktif jika arang tersebut diaktifasi dengan aktif faktor bahan-bahan
kimia atau dengan pemanasan pada temperatur tinggi. Proses aktifasi memungkinkan
arang mengalami perubahan sifat-sifat fisika dan kimia (Sembiring dan Sinaga,
2003). Malik (1990) menggunakan arang aktif pada suspensi media dengan susu
skim, rafinisa, inositol sebagai agen pelindung bakteri. Bakteri ungu non sulfur
Chromatiaceae, Ectothiorhodosporaceae dan bakteri hijau sulfur berhasil dilindungi
dengan menggunkan media tersebut.