47
KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi) Undang A. Darsa 1 1. Konsepsi Kosmologi Istilah kosmos (Yunani) berarti susunan atau ketersusunan yang baik; lawannya ialah khaos yang artinya keadaan kacau-balau. Jadi, kosmologi ialah ilmu pengetahuan tentang tata alam jagat raya. Dewasa ini, kosmologi juga dipergunakan dalam ilmu-ilmu empirik guna menunjukkan ilmu mengenai evolusi kosmis 2 . Dalam kaitan ini manusia terikat erat pada alam semesta dan memiliki pandangan terhadap adanya hubungan gaib secara timbal-balik antara manusia dengan alam semesta itu. Demikian pula konsep tata ruang masyarakat Nusantara yang di dalamnya termasuk Sunda secara kosmologis berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Nusantara memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Berkaitan dengan ini, Eliade 3 berpendapat bahwa pada umumnya manusia religius mempunyai sikap tertentu terhadap kehidupan, yaitu dunia, manusia, dan terhadap apa yang dianggapnya suci atau sakral. Dunia merupakan wilayah yang sudah dikonsentrasikan sebagai kosmos. Sementara di luar wilayah itu, masih merupakan dunia lain, dunia yang kacau, asing, tempat tinggal roh-roh, setan, jin, dan sebagainya. Keadaan yang kacau dan tidak berbentuk itulah disebut khaos. Wilayah tersebut dapat dijadikan daerah teratur dan berbentuk dengan cara peniruan, yaitu penciptaan semesta alam oleh para dewa melalui upacara. Dalam pandangan kosmologis, dunia terdiri atas tiga lapisan, yaitu: (1) dunia atas yang merupakan dunia Illahiah, surga, tempat para roh suci dan para leluhur; (2) dunia tengah yang merupakan dunia hunian manusia dan makhluk-makhluk lainnya ciptaan Sang Khalik; dan (3) dunia bawah yang merupakan dunia atau alam kematian. Ketiga dunia ini membentuk tiga lapisan yang dihubungkan dengan sebuah poros yang disebut axis mundi. Axis mundi terletak pada pusat dunia yang menghubungkan lapisan dunia yang satu dengan dunia yang lain. Melalui axis mundi itulah manusia mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Tidak heran bila dalam membangun sebuah negeri, kota bahkan rumah, manusia selalu berusaha mendekatkannya dengan pusat dunia 4 . Konsep kosmologi secara universal sudah mentradisi pada setiap bangsa di dunia. Dalam tatanan pandang masyarakat Sunda, antara lain, digambarkan dalam naskah Sunda Kuno 5 yang berjudul Sang Hyang Hayu (XVI Masehi) 6 , tata ruang jagat raya (kosmos) 1 Dosen & Peneliti Bidang kajian Utama Filologi (Tradisi Tulis Kuno) FIB Unpad. 2 Bakker, Anton. 1995. Kosmologi & Ekologi; Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 3 Mircea Eliade dalam bukunya berjudul The Sacred and the Profan, 1959. New York: Harcourt, Brace & World Inc. 4 Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius, hal. 44-49. 5 Naskah Sunda Kuno yang ditemukan berjumlah puluhan, namun yang telah ditransliterasi dan diterjemahkan, di antaranya, Sanghiyang Siksakandang Karesian, Sewaka Darma, Serat Dewabuda, Kawih Paningkes, Jatiniskala, Amanat Galunggung, Kisah Bujangga Manik, Carita Parahiyangan, Carita Ratu Pakuan, Sanghyang Hayu, dan Sanghyang Ragadewata. Naskah-naskah kuno tersebut berasal dari sekitar abad 13 sampai dengan akhir abad 16 Masehi. 6 Naskah SHH kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta, dengan kode kropak: Br.634 (Serat Catur Bumi), Br.636 (Serat Buwana Pitu), Br.637 (Serat Sewaka Darma), dan Br.638 (Serat Dewa Buda). Keempatnya berbahan nipah ditulis dalam model aksara Gunung dengan tinta. Pada tahun 1988, Ayatrohaédi melakukan transliterasi dan terjemahan Br.638. Penulis sendiri pada tahun 1990 s.d. 1993 berhasil mentransliterasi ketiga kropak lainnya, termasuk mentransliterasi ulang kropak Br.638. Dilihat dari nama yang tertempel pada tiap-tiap kropak jelas berbeda, namun ketika dibaca keempat kropak itu isinya sama, semua diawali dengan Ndah Sang Hyang Hayu ‘Inilah Sang Hyang Hayu’. Di antara keempat kropak itu hanya satu yang secara jelas mencantumkan angka tahun, yaitu Br.634: panyca warna catur bumi (1445 Saka/1523 Masehi). Naskah Sang Hyang Hayu ini terdapat pula dalam koleksi Kabuyutan Ciburuy Garut. Lihat tesis Undang A. Darsa, Pascasarjana Unpad, 1998.

KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Istilah kosmos (Yunani) berarti susunan atau ketersusunan yang baik; lawannya ialah khaos yang artinya keadaan kacau-balau. Jadi, kosmologi ialah ilmu pengetahuan tentang tata alam jagat raya. Dewasa ini, kosmologi juga dipergunakan dalam ilmu-ilmu empirik guna menunjukkan ilmu mengenai evolusi kosmis2. Dalam kaitan ini manusia terikat erat pada alam semesta dan memiliki pandangan terhadap adanya hubungan gaib secara timbal-balik antara manusia dengan alam semesta itu. Demikian pula konsep tata ruang masyarakat Nusantara yang di dalamnya termasuk Sunda secara kosmologis berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Nusantara memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Bagaimana dengansitus megalit Gunung Padang?

Citation preview

Page 1: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA

(Sebuah Perspektif Filologi) Undang A. Darsa1

1. Konsepsi Kosmologi

Istilah kosmos (Yunani) berarti susunan atau ketersusunan yang baik; lawannya ialah khaos yang artinya keadaan kacau-balau. Jadi, kosmologi ialah ilmu pengetahuan tentang tata alam jagat raya. Dewasa ini, kosmologi juga dipergunakan dalam ilmu-ilmu empirik guna menunjukkan ilmu mengenai evolusi kosmis2. Dalam kaitan ini manusia terikat erat pada alam semesta dan memiliki pandangan terhadap adanya hubungan gaib secara timbal-balik antara manusia dengan alam semesta itu. Demikian pula konsep tata ruang masyarakat Nusantara yang di dalamnya termasuk Sunda secara kosmologis berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Nusantara memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia.

Berkaitan dengan ini, Eliade3 berpendapat bahwa pada umumnya manusia religius mempunyai sikap tertentu terhadap kehidupan, yaitu dunia, manusia, dan terhadap apa yang dianggapnya suci atau sakral. Dunia merupakan wilayah yang sudah dikonsentrasikan sebagai kosmos. Sementara di luar wilayah itu, masih merupakan dunia lain, dunia yang kacau, asing, tempat tinggal roh-roh, setan, jin, dan sebagainya. Keadaan yang kacau dan tidak berbentuk itulah disebut khaos. Wilayah tersebut dapat dijadikan daerah teratur dan berbentuk dengan cara peniruan, yaitu penciptaan semesta alam oleh para dewa melalui upacara.

Dalam pandangan kosmologis, dunia terdiri atas tiga lapisan, yaitu: (1) dunia atas yang merupakan dunia Illahiah, surga, tempat para roh suci dan para leluhur; (2) dunia tengah yang merupakan dunia hunian manusia dan makhluk-makhluk lainnya ciptaan Sang Khalik; dan (3) dunia bawah yang merupakan dunia atau alam kematian. Ketiga dunia ini membentuk tiga lapisan yang dihubungkan dengan sebuah poros yang disebut axis mundi. Axis mundi terletak pada pusat dunia yang menghubungkan lapisan dunia yang satu dengan dunia yang lain. Melalui axis mundi itulah manusia mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Tidak heran bila dalam membangun sebuah negeri, kota bahkan rumah, manusia selalu berusaha mendekatkannya dengan pusat dunia 4. Konsep kosmologi secara universal sudah mentradisi pada setiap bangsa di dunia.

Dalam tatanan pandang masyarakat Sunda, antara lain, digambarkan dalam naskah Sunda Kuno5 yang berjudul Sang Hyang Hayu (XVI Masehi)6, tata ruang jagat raya (kosmos)

1 Dosen & Peneliti Bidang kajian Utama Filologi (Tradisi Tulis Kuno) FIB Unpad.

2 Bakker, Anton. 1995. Kosmologi & Ekologi; Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta:

Kanisius. 3 Mircea Eliade dalam bukunya berjudul The Sacred and the Profan, 1959. New York: Harcourt, Brace & World Inc. 4 Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius, hal. 44-49.

5 Naskah Sunda Kuno yang ditemukan berjumlah puluhan, namun yang telah ditransliterasi dan diterjemahkan, di

antaranya, Sanghiyang Siksakandang Karesian, Sewaka Darma, Serat Dewabuda, Kawih Paningkes, Jatiniskala, Amanat Galunggung, Kisah Bujangga Manik, Carita Parahiyangan, Carita Ratu Pakuan, Sanghyang Hayu, dan Sanghyang Ragadewata. Naskah-naskah kuno tersebut berasal dari sekitar abad 13 sampai dengan akhir abad 16 Masehi.

6 Naskah SHH kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta, dengan kode kropak: Br.634 (Serat Catur Bumi),

Br.636 (Serat Buwana Pitu), Br.637 (Serat Sewaka Darma), dan Br.638 (Serat Dewa Buda). Keempatnya berbahan nipah ditulis dalam model aksara Gunung dengan tinta. Pada tahun 1988, Ayatrohaédi melakukan transliterasi dan terjemahan Br.638. Penulis sendiri pada tahun 1990 s.d. 1993 berhasil mentransliterasi ketiga kropak lainnya, termasuk mentransliterasi ulang kropak Br.638. Dilihat dari nama yang tertempel pada tiap-tiap kropak jelas berbeda, namun ketika dibaca keempat kropak itu isinya sama, semua diawali dengan Ndah Sang Hyang Hayu ‘Inilah Sang Hyang Hayu’. Di antara keempat kropak itu hanya satu yang secara jelas mencantumkan angka tahun, yaitu Br.634: panyca warna catur bumi (1445 Saka/1523 Masehi). Naskah Sang Hyang Hayu ini terdapat pula dalam koleksi Kabuyutan Ciburuy Garut. Lihat tesis Undang A. Darsa, Pascasarjana Unpad, 1998.

Page 2: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

2

terbagi menjadi tiga susunan, yaitu: (1) susunan dunia bawah yang dinamakan saptapatala ‗tujuh neraka‘, (2) buhloka adalah bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada; dan (3) susunan dunia atas yang dinamakan saptabuana atau buanapitu ‗tujuh tingkat alam kesorgaan‘. Jadi, tempat di antara saptapatala dengan saptabuana itulah yang disebut madyapada, yakni pratiwi ‗dunia tempat manusia‘. Hal serupa sama dengan bagian dalam teks naskah Sunda Kuno berjudul Sanghyang Raga Dewata (XVI Masehi) yang mengisahkan proses penciptaan jagat raya beserta segala isinya, hanya cara pemaparannya yang agak berbeda dengan teks naskah Sanghyang Hayu. Begitu pula dalam bagian teks naskah Sunda Kuno yang berjudul Kisah Sri Ajnyana (XVI Masehi)7 yang mengisahkan proses turunnya manusia ke dunia, di dalamnya dilukiskan tentang struktur kosmos. Pada bagian teks naskah Kawih Panyaraman (1483 M) yang berisi tentang ―Séwaka Darma‖ pun terdapat episode yang intinya melukiskan bagian susunan dunia atas sebagai aras langitan alam kesorgaan. 2. Struktur Kosmologi Sunda

Konsep tata ruang masyarakat Sunda secara kosmologis umumnya cenderung bersifat triumvirate ‗tiga serngkai, tritunggal‘. Dalam tatanan tersebut, mereka berupaya mencari makna dunia menurut eksistensinya, yakni menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan. Ini artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Pada masa yang lalu, gambaran mengenai alam semesta ini tercatat dalam naskah-naskah Sunda kuno.

Salah satu naskah yang menggambarkan mitos tentang proses penciptaan alam adalah teks naskah berbahasa Sunda Kuno Sang Hyang Raga Dewata8. Dalam naskah itu dinyatakan bahwa proses penciptaan alam meliputi buwana (jagat raya), pretiwi (bumi), sarira (diri sendiri), dan para dewa pengatur jagat. Penciptaan alam diawali dengan dibangunkannya siang dari kegelapan oleh kekuatan Sang Bayu (Yang Maha Kuat) dari Sang Hyang Raga Dewata. Setelah itu, diciptakanlah bumi, bulan, matahari, dan bintang-bintang di bawah naungan angkasa raya. Matahari ditempatkan di arah timur dan bulan di arah barat. Bumi, oleh Sang Hyang Tunggal diciptakan dari sebutir telur yang terbuat dari sekepal tanah liat. Ketika telur itu menetas, menjelmalah berbagai makhluk, di antaranya adalah Batara Guru yang ditempatkan di Gunung Kahyangan. Batara Guru dapat menjelma sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa. Ia juga berhak mengendalikan Batara Basuki penguasa bumi dan Batara Baruna penguasa lautan. Sang Hyang Raga Dewata adalah Dzat Tunggal sebagai pencipta tetapi tidak dicipta, sebagai pembuat tetapi tidak dibuat, dan yang mengetahui tetapi tidak diketahui. Dialah Maha Pencipta. Manusia adalah salah satu makhluk yang dipandang sebagai mikrokosmos jagat raya yang seluruh kehidupannya harus selalu menjalankan Siksa Sanghyang Darma atau Ajaran tentang Hukum-hukum. Itulah manusia ideal yang kelak dapat mencapai kesempurnaan surga abadi9.

Naskah kuno lainnya yaitu Kropak 422 10 yang menyebutkan bahwa alam semesta terbagi dalam tiga buana atau dunia, yaitu sakala (dunia nyata), niskala (dunia gaib), dan

7 Naskah ini merupakan koleksi Museum Nasional, kini Perpustakaan Nasional Jakarta, lihat Noorduyn & Teeuw

(Three Old Sundanese Poems. 2003). 8 Sang Hyang Raga Dewata merupakan salah satu naskah milik Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga” dengan

nomor kode koleksi 07.106. Naskah itu berasal dari Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1991. Ukuran fisik naskah meliputi: (a) Kropak : 26,5 x 2,5 x 4,5 cm; (b) Lempir : 23,5 x 3,5 cm. Jumlah (a) Lempir: 25 (21 utuh; 4 tidak utuh); (b) Halaman: 50 (47 ditulisi; 3 kosong). Bahan Naskah: nipah. Tipe aksara: Gunung atau Buda abad ke-16, model Priangan (Ciburuy, Galuh) dan Cirebon (Talaga) yang ditulis dengan tinta (Holle, 1882). Bahasa: Sunda Kuno. Bentuk Karangan: Prosa (Ekadjati & Darsa, 2000: 242-243).

9 Ekadjati & Darsa, 2000: 244-245. 10 Kropak 422 tercatat sebagai koleksi naskah Perpustakaan Nasional Jakarta, yang diberikan oleh Bupati Galuh

R.A.A. Kusumadiningrat. Kropak ini berasal dari Kabuyutan Kawali, Ciamis yang ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda Kuna. Beradasarkan tempat temuannya, diduga naskah ini ditulis ketika Kerajaan Sunda beribukotakan di Kawali pada abad 14-15 Masehi (Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006: 15-17: Ayatrohaédi, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa, 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala. Alih Aksara dan Terjemahan. Bandung: Departemen

Page 3: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

3

jatiniskala (kemahagaiban sejati). Buana sakala adalah alam nyata sebagai tempat tinggal manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat diindra. Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadari-bidadari, apsara-apsari, dan sebagainya, serta berkedudukan lebih tinggi dari manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan terdiri atas surga dan neraka. Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah Dzat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, Dzat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Dzat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas11.

Tabel 1: Alam Semesta menurut Naskah Kropak 422

Jagat Semesta Susunan

Ruang Tempat Hunian

Jatiniskala (Kemahagaiban Sejati, Kahyangan)

Ø Sang Hyang Manon atau Si Ijunajati Nistemen.

Niskala (Alam Gaib) Surga

Makhluk gaib: dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, dan rokh-rukh halus.

Neraka Manusia yang tidak menjalani ajaran Sanghyang Manon

Sakala (Alam Nyata, Dunia)

Ø Manusia, hewan, tumbuhan, dan makhluk lainnya.

Sebagaimana teks naskah tersebut, jagat langitan digambarkan tidak jauh berbeda

dalam teks naskah Sri Ajnyana baris 360-400; dan 470-106512. Setelah meninggalkan bumi, raga mereka yang bercahaya bagaikan kunang-kunang tiba di alam pertama yaitu angkasa, alam tengah antara langit dan bumi. Setelah itu, sampai ke Sanghiyang Limur (surga di dalam kabut), Yogadita (surga Hyang Mega), Taranggana (surga Hyang Bintang). Tahap selanjutnya tiba di Sadinem (surga Hyang Wulan), Gerehananda (surga Hyang Rahu). Setelah melewati itu, mereka menyeberangi titian kencana yang mengarahkannya ke jalan menuju langit, dan akhirnya menaiki tangga emas kencana di istana Pancamirah.

Setingkat di atasnya terdapat kahyangan di keempat wilayah, yaitu timur, selatan, barat, dan utara. Kahyangan timur, ditempati oleh Isora Guru yang disebut Jambudrasana, meru bertiang perak, tempat tujuan pertapa sejati. Kahyangan selatan ditempati oleh Brahmaloka, meru beratap tembaga. Kahyangan ini adalah tempat bagi orang-orang yang melaksanakan janjinya dan orang-orang yang membakar dupa dan kayu bakar. Kahyangan barat tidak bernama, meru beratap emas ini menjadi tujuan orang-orang yang memberikan bantuan amal (dana punya). Akhirnya, kahyangan utara disebut utarapada, meru tumpang tiga, tempat tujuan para pahlawan perang. Setelah melewati tempat itu, menyusuri jalan raya yang lurus ke langit kencana yang disebut sorga kancana dan bumi kancana. Jalan yang dibatasi oleh barisan pepohonan dan perdu, melintasi bebatuan, danau-danau serta tebing-tebing, jembatan-jembatan, dari satu ke lain tangga. Wewangian semerbak rupa-rupa bunga di sepanjang jalan mengiringi perjalanan hingga tiba di surga kencana, tempat Sri Ajnyana sebelum diturunkan ke bumi.

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda.

11 Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006: 24-26.

12 Naskah Sri Ajnyana adalah salah satu naskah kajian Noorduyn dalam Kropak Jakarta, nomor 625. Naskah ini berbahasa Sunda kuna, dan tidak bernama. Kemudian Noorduyn memberi nama Sri Ajnyana sesuai dengan tokoh dalam naskah tersebut, dan dibukukan dalam Noorduyn, J., dan A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. KITLV, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa, dalam Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2009, hal. 260-277.

Page 4: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

4

Setelah beranjak dari situ, Sri Ajnyana pergi dan melintasi berbagai kahyangan. Dia melintasi keempat jagat (caturloka), kemudian buana Meukah bernama surga Siak. Naik setingkat dari sana, sampai ke Sanghiyang Lengis, tempat tinggal Manondari dan Puah Nilasita, istri Hyang Surugiwa yang mati mengorbankan diri. Setelah itu, tiba di Sangkan Herang, tempat tinggal Sanghiyang Sri (dewi padi), kemudian tiba di Sari Dewata tempat tinggal Wiru Mananggay, Manarawang, tempat tinggal Sanghiyang Sri (lain) dan Dewi Satiawati. Setelah meninggalkan tempat-tempat di kahyangan, Sri Ajnyana melalui Budi Keling dan Rahina Sada tiba di Rahina Wengi kediaman Puah Lakawati. Untuk kemudian turun ke bumi, tiba di dunia dan sampai ke Mandala Singkal, pertapaan tempat tinggal sebagai manusia. Secara garis besar uraian alam semesta dalam naskah itu sebagaimana tabel berikut.

Tabel 2: Alam Semesta dalam Sri Ajnyana

Jagat Semesta Susunan Ruang Tempat Hunian

Niskala (Kahyangan)

Bumi Kancana (Manarawang)

Sanghiang Sri dan Dewi Satiawati

Sari Dewata Wiru Mananggay, nu watek titiagian meyet manéh mo lakian

Sangkan Herang, Sanghiang Sri (Dewi Bumi),

Sanghiyang Lengis Manondari; Puah Nilasita istri Sang Surugiwa

Buana Meukah (Surga Siak)

Ø

Catur Loka Ø Surga Kancana Ø

Angkasa (Alam Tengah Antara Langit dan Bumi)

Kahyangan Jagat

Utara: Meru Tumpang Tiga; Timur: Meru Bertiang Perak, disebut Jambudrasana tempat tinggal Isora Guru; Barat: Meru Beratap Emas Selatan: Meru Beratap Tembaga, disebut Kahyangan warna merah, tempat tinggal Batara Brahma.

Istana Pancamirah Ø Sadinem Hyang Wulan Gerehananda Hyang Rahu Sanghiyang Limur Hyang Kabut Yogadita Hyang Mega Taranggana Hyang Bintang

Sakala (Alam Nyata)

Ø Tempat tinggal manusia

Teks naskah Sang Hyang Hayu13 diawali dengan seruan Sang Pembicara kepada para

pendengarnya, khususnya kepada para pencari ilmu pengetahuan supaya dapat menyimak secara sungguh-sungguh mengenai pokok cerita dari ajaran suci yang dituturkan seorang mahaguru (wiku). Pembicaraan diawali dengan asal mula penciptaan terjadinya para dewa golongan Siwais (Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, dan Siwa) maupun golongan Resi yang dikenal dengan istilah Pancakusika (Kusika, Garga, Mestri, Kurusya, dan Patanjala), aneka ragam Buda, dan termasuk ruh-ruh jahat (yaksa ‗raksasa jahat setengan dewa‘, pisaca ‗kuraci, setan‘, prata ‗hantu‘, buta ‗raksasa rakus‘ pitara ‗arwah leluhur gentayangan‘).

Menurut tuturan para leluhur, tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan, yaitu: (1) susunan dunia bawah, saptapatala ‗tujuh neraka‘, (2) buhloka adalah bumi tempat

13

Darsa, Undang A. 1997. Sang Hyang Hayu. Tesis Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Page 5: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

5

kita berada saat ini yang disebut madyapada; dan (3) susunan dunia atas, saptabuana atau buanapitu ‗tujuh sorga‘. Jadi, di antara saptapatala dan saptabuana disebut madyapada, yakni pratiwi ‗dunia tempat manusia‘.

Saptapatala itu susunan bentuknya bagaikan kerucut tengadah, yang terdiri atas tujuh neraka: patala, nitala, sutala, talantala, talaningtala, mahatala, dan atyanta artapatala ‗neraka terdalam yang sangat mengerikan‘. Sedangkan susunan Saptabuana atau Buanapitu menyerupai keadaan sarang lebah berbentuk labu, terdiri atas tujuh loka ‗ruang lepas-bebas‘, yakni: buwahloka, suwahloka, janahloka, tapwaloka, satyaloka, mahaloka, dan atyanta artaloka ‗sorga tertinggi‘.

Setelah saptabuana masih ada tempat tujuh susun yang bersuasana kasunyian ―sunyi-hampa‖, yaitu sunya, atisunya, paramasunya, atyantasunya, nirmalasunya, suksmasunya, dan acintyasunya. Di atasnya lagi adalah tujuh susun yang berupa tempat taya ―kesirnaan-lenyap‖, yaitu taya, atitaya, paramataya, atyantataya, nirmalataya, suksmataya, dan acintyataya.

Kemudian, di atas tempat tersebut masih ada tempat yang dinamakan abyantarataya ‗bagian terdalam kesirnaan‘. Abyantarataya artinya tidak dapat terjangkau oleh cahaya bintang, rembulan, matahari, pelangi, bianglala, kabut, asap, awan, hujan, petir, halilintar, guruh, guntur, meteor, paramanuh ‗partikel-partikel kecil, atom‘, dan berbagai suara mahluk hidup. Semua itu tidak akan pernah sampai ke sana.

Setelah abyantarataya adalah pancatanmantra ‗unsur halus‘ yang terdiri atas buddi ‗bijak‘, guna ‗pandai‘, pradana ‗saleh‘. Di atas itu terdapat sunyataya nirmala ‗kesunyisenyapan suci abadi‘; dan berakhir pada tingkat kanirasrayan ‗kemahakuasaan atau kebebasan tertinggi‘, yakni ―takdir‖. Susunan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3: Alam Semesta menurut Sang Hyang Hayu

Susunan Alam Susunan Ruang Bagian Ruang

Saptabuwana atau Buwanapitu (Tujuh Surga)

(7) Kanirasrayan, artinya ruang ‗kemahakuasaan atau kebebasan tertinggi‘, yaitu ―Takdir‖

Ø

(6) Sunyatayanirmala, artinya ruang ‗kesunyisenyapan suci abadi‘

Ø

(5) Pancatanmantra, artinya ruang buddi ‗bijak‘, guna ‗pandai‘, pradana ‗saleh‘

Ø

(4) Abyantarataya, artinya ruang yang tidak dapat terjangkau oleh cahaya: bintang, rembulan, matahari; pelangi, bianglala, kabut, asap, awan, hujan, petir, halilintar, guruh, guntur, meteor, paramanuh ‗partikel-partikel kecil, atom‘; dan berbagai suara mahluk hidup.

Ø

(3) Taya (Ruang Kesirnaan)

(7) Acintyataya (6) Suksmataya (5) Nirmalataya (4) Atyantataya (3) Paramataya (2) Atitaya (1) Taya

Page 6: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

6

(2) Kasunyian (Ruang Kesunyian-Kehampaan)

(7) Acintyasunya (6) Suksmasunya (5) Nirmalasunya (4) Atyantasunya (3) Paramasunya (2) Atisunya (1) Sunya

(1) Loka (Ruang Lepas-Bebas)

(7) Atyantaartaloka (6) Mahaloka (5) Satyaloka (4) Tapwaloka (3) Janahloka (2) Suwahloka (1) Buwahloka

Buhloka atau Madyapada (Dunia Tempat Tinggal Manusia)

Ø Ø

Sapta Patala (Tujuh Neraka).

(1) Patala Ø (2) Nitala Ø (3) Sutala Ø (4) Talantala Ø (5) Talaningtala Ø (6) Mahatala Ø (7) Atyanta Artapatala (Neraka

yang sangat mengerikan). Ø

Teks naskah Sewaka Darma 14 — isi Kawih Panyaraman menurut SKK ─ lebih

menekankan keadaan di dunia atas. Teks ini berisi pengajaran keagamaan tempat Sang Séwaka Darma sering muncul sebagai murid yang harus diberi tuntunan perihal segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian. Dibicarakan pula nilai-nilai moral dan etis serta berbagai hal yang terdapat di dunia, dan di alam kesorgaan juga tentang kosmologis. Pendek kata, isinya sarat dengan ajaran mistis religio-filosofis dari koalisi tradisi lokal Sunda dengan konsep-konsep Hindu Budha15.

Sebagai sebuah teks tutur dalam bentuk puisi Sunda Kuno, teks SD berbicara mengenai pengajaran guru kepada murid. Ada dua bagian utama yang digambarkan dalam teks ini setelah terlebih dahulu diawali tujuh larik pembukaan. Dalam paruh pertama tokoh utama, Sang Séwaka Darma adalah seorang murid yang menerima berbagai wejangan keagamaan dan moral dari seorang guru, yang dinamakan pandita, mahapandita, déwatakaki, atau sang nugraha ‗yang menyampaikan anugerah‘, juga petuah-petuah tentang nasib buruk yang menunggunya apabila ia mengabaikan petunjuk-petunjuk itu. Dengan demikian, ingetkeun na dasasila, iseuskeun na panycasaksi ‗ingatlah tentang dasasila, camkanlah dalam pancasaksi‘ (0016-0017). ‗Apabila salah dalam perilaku, buruk itikad dan buruk pikiran, iri dengki kepada

14 Lihat Darsa (2012). 15

Mengenai pembauran antara konsep-konsep Hindu dan Budha dapat disimak pula, antara lain dalam teks Poernawidjaja’s Hellevaart of de Volledige Verlossing ‘Perjalanan Suci Purnawijaya atau Pembebasan Sepenuhnya’ (Pleyte, 1914), sebuah teks naskah Sunda Kuno yang diduga merupakan adaptasi dari teks Jawa Kuno Kuñjarakarņa yang berasal dari wilayah Jawa Barat (Kern,1922: 1-76; Zoetmulder, 1983: 470-478; van der Molen, 1983). Bosch (1928) menyatakan hal semacam ini sebagai “sinkretisme”, namun Gonda (1970) menyarankan supaya digunakan istilah “koalisi” yang berdenotasi memperjuangkan tujuan akhir yang sama lewat jalan berbeda. Hal ini tampak dalam teks yang tengah dihadapi peneliti sekarang pun menunjukkan adanya perbauran konsep-konsep Hindu dan Budha ke dalam tradisi Sunda. Hal-hal yang sama antara satu dengan yang lain itu ialah berupa konsep tentang prinsip tertinggi dengan berbagai manifestasinya. Jadi biarpun jalan-jalan yang ditempuh tampaknya berbeda-beda, tetapi akhirnya puncak yang sama bisa dicapai.

Page 7: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

7

orang lain, sampai-sampai meneluh dan meracuni, mengguna-gunai dan menyakiti hati, setiap yang mendorong tekad jahat, apalagi benar-benar berdusta, membunuh orang-orang budiman, menuntut yang tidak berdosa. Itulah yang disebut kejahatan sesungguhnya (0045-0054). Maka dingatkan: Mulah sia jajamuga, kéna éta na drebya, kéna ti inya sangkanna, sangkan suka saka duka, mula hala lawan hayu, uit pati lawan hurip, tangkal sorga lawan papa ‗Jangan sampai engkau sukses, jika itu semata-mata karena harta, sebab dari situlah asalnya, sumber kesenangan dan pangkal derita, awal keburukan dan kebajikan, jembatan kematian dan kehidupan, sumber kebahagiaan dan kesengsaraan‘ (0062-0068). Intinya berisi berbagai ajaran atau petunjuk untuk menghindarkan diri dari segala godaan perilaku yang tidak sesuai dengan norma kehidupan duniawi. Bagian teks berikutnya ialah mengenai paparan atau pelukisan perjalanan jiwa menuju pembebasan sesudah meninggalkan penjaranya yang berupa jasad dan kehidupan duniawi.

Pemaparan hal dimaksud diawali ketika sang murid diberi tahu bahwa sekarang tiba saatnya bertemu di ambang maut. Terlihat jelas perbatasan, dan terdengar bertalu-talu pertanda sudah sampai waktunya bayu-sabda-hedap ‗tenaga-kata-pikiran‘ hendak meninggalkan tempat. Ketika: jalan anggeus dicaangan, dora anggeus dibukakeun ‗jalan sudah diterangi, gerbang sudah dibukakan‘ (0546-0547), barulah samecat Sanghiang Atma, sadiri na ti kurungan (0550-0556) ‗atma lepas dari jasad‘. Tiga serangkai bayu-sabda-hedap ini termasuk salah satu rangkaian yang disebut ―tiga rahasia‖ dalam SHH. Sebutan itu mengisyaratkan ketiganya sangat halus, sangat pelik, samar-samar dan sulit ditangkap. Ketiganya adalah kekuatan hidup yang amat halus yang menyebabkan adanya berbagai kenyataan. Ketiga unsur halus yang lepas itu sangat besar pengaruhnya bagi jiwa. Jiwa yang telah kehilangan tiga unsur itulah yang disebut atma, juga biasa disebut sukma, yakni roh murni.

Bayu mengandung makna yang amat luas. Bayu tidak terbatas tempatnya. Bayu adalah segala daya yang terasa dan teraba. Dalam pada itu, salah satu hal penting mengenai sabda ialah ada sabda yang tersembunyi di dalam sabda itu sendiri. Artinya, ada sabda sama halnya dengan tidak ada sabda. Sabda seperti juga bayu, mengisi seluruh mahluk dan jagat semesta. Sabda merupakan pembuka tabir rahasia karena dengan sabda dapat menamai segala apa yang tampak dan terdengar, yang terasa dan teraba, pemasti dunia yang nyata dan yang tidak nyata, sarana perjanjian di alam semesta; dan sabda tidak akan pernah berkurang meskipun mahluk bertambah. Hedap juga seperti bayu dan sabda, tanpa batas. Hedap itu ketika digunakan untuk: melihat keluar dari mata, mendengan keluar dari telinga, mencium keluar dari hidung, merasa keluar dari lidah, dan meraba keluar dari kulit. Hedap pulalah yang membuat sesuatu hadir dan sirna dalam mimpi. Kasar dan lembutnya bayu sabda hedap dapat diketahui. Kasarnya bayu karena bisa dimasukkan, dikeluarkan, dan ditahan di hidung; lembutnya bayu tak terpegang. Kasarnya sabda adalah apa saja yang bisa terdengar, terucapkan, dan tertahan; lembutnya sabda karena tak terlihat. Kasarnya hedap dapat digunakan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa; lembutnya hedap tak pernah kesulitan ke mana pun pergi serta begitu cepat sampai ke tujuan, tak berbekas, dan tak bersisa.

Makanya tatkala atma terbebas dari ketiga unsur itu disimbolisasikan berkilau bagaikan emas pindah, bagaikan kunang-kunang terbang, bagaikan pelangi muncul, bagaikan panah melesat naik, tiada yang menghalang-halangi. Adapun yang disebut persimpangan, tiada lain dari tujuh jalan mendaki, simpangannya bercabang lima, jalan yang sama lebarnya. Berbagai marabahaya telah terlangkaui atma, bahkan penjaga gerbang neraka, Sang Yama tiba-tiba menyembah melihat atma berlalu menuju alam kesorgaan. Tidak kesulitan atma menempuh jalan besar tanpa hambatan yang jejak sapunya masih rapi. Bunyi burung tekukur, perkutut, dan burung jalak telah membuatnya segar dan terhibur.

Penggambaran mengenai keadaan alam menjelang atma naik melewati berbagai lapisan aras langitan ini dikembangkan melalui deskripsi panjang (0582-0900) dengan penuh pesona aneka ragam tanaman bunga 16 yang tidak kurang dari empat puluh jenis. Setelah

16

Bunga tampaknya telah sejak lampau dijadikan tradisi sebagai lambang kesucian dan lambang ketulusan hati sanubari yang diwarisi dan diwariskan turun-temurun.

Page 8: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

8

menyebut aneka bunga, dilukiskan bangunan yang tiangnya bertaburkan intan permata mengelilingi jalan, tentu saja lengkap dengan bunga warna-warni yang cerah kemerahan, diperindah dengan saluran air berjajar, nyatanya parit-parit yang mengapit tiap-tiap tepi pertamanan. Tidak mengherankan bila aroma aneka ragam bunga itu memikat berbagai jenis kumbang dan tawon. Gaungan serta dengungan kumbang dan tawon itu laksana menciptakan bunyi alunan paduan suara beragam alat musik yang harmonis. Petit saron bertautan dengan suara gong dan tambur, suara dram turut mengembang, suara lembut tarawangsa, suara kecapi menyenangkan, suara kukuran besar, suara calintuh17 di laut. Semua bergema di sekitar telaga tenang yang berada di lokasi yang tertata rapi. Tanah pedataran diberi batas, ada ngarai diberi jembatan, tanah miring diberi titian, tanah berbukit dibuat tangga-tangga. Harum wewangian pun memenuhi udara perjalanan atma ke tingkat-tingkat alam kesorgaan.

Di lokasi air pensucian berupa pancuran tembaga dengan gayungnya berupa mangkuk perak, sang atma dimandikan, dikeramasi, dan disucikan dari dasamala ‗sepuluh noda‘. Lalu ia dipangku duduk di kursi dalam sebuah bangunan emas oleh ibunda nan penuh kasih, perintah dari kahyangan. Bangunan itu terbuat dari aneka ragam logam pilihan dengan beragam motif ukiran yang dilengkapi serba macam hiasan permata. Di situ, sang atma berganti pakaian, dihias indah diolesi wewangian sehingga kembali ke rupa sejati. Inilah sebuah anugerah nyata bagi nu tuhu mangun hayu, laksana miguna tapa, nuturkeun saur nu tuhu, mapay sabda nu bisa, kéna tutur kawastuanana ‗yang setia berbuat kebaikan, berhasil melaksanakan tapa, mengikuti nasihat yang benar, menuruti perkataan orang mengerti, karena berisi tutur kebenaran‘ (0833-0837). Segala macam gogaan sudah tak akan mempan menerjang sang atma, betapapun datang para bidadara ataupun bidadari dengan aneka ragam hiasan pakaian serba indah yang mereka kenakan, pahi nanggeuy jurung omas, teherna mawa aisan ‗sambil menating lempengan emas, kemudian membawa gendongan‘ (0866-0867). Yang jelas semenjak berada di tempat ini, sang atma diaping bisikan lembut sang ambu utusan dari kahiangan menjelang perjalanan berikutnya menuju lapisan aras langitan. Intinya, ia mesti menghindari beragam pesona bentuk keindahan dan kesenangan keduniawian di masa lalu, di alam sakala. Dengan kemampuan mengendalikan serta menahan segala hasrat maka ia akan nyaman dan ringan sehingga terbebas lepas dari ketidaksempurnaan.

Barulah setelah itu sang atma beranjak naik ke alam kesorgaan pertama lewat pelangi nyelinap ke matahari lalu digapainya tangga emas menuju tingkat-tingkat aras langitan. Sang atma tiba di wekas ning sabda ‗alam kesirnaan suara‘, batas antara siang dan malam. Lewat setingkat dari situ, ia tiba di caturloka, empat tempat bersemayamnya para dewa pelindung jagat, tempat yang terang-benderang sehingga terlihat arwah para leluhur. Di timur, Batara Isora dengan kahyangan perak putih, tujuan yang lulus tapa. Di utara, Batara Wisnu dengan kahyangan pagoda hitam, tujuan yang sempurna perbuatannya. Di barat, Batara Mahadewa dengan kahyangan pagoda kuning, tujuan kaum pahlawan perang berani mati. Di selatan, Batara Brahma dengan kahyangan warna merah, tempat para penghuni neraka yang suka memperbudak dan menyengsarakan orang. Di tengah, Batara Siwa dengan kahyangan baranang siang, tujuan mereka yang suka beramal shaleh serta mengamalkan budi pekertinya.

Lewat setingkat dari situ, sang atma tiba di Sanghiang Lengis, kahyangan licin serba mengkilap yang dihuni oleh Manondari, Dewi Nyanawati, dan Pwah Nilasita. Kita kenal tokoh Manondari isteri Rawana dan Nilasita isteri Sugriwa dalam teks naskah lontar Sunda Kuno yang memuat kisah putera Rama dan Rawana atau yang lebih dikenal dengan Pantun Ramayana. Di sinilah sorga para isteri setia kepada suami yang tidak mau berbuat ingkar. Sang atma naik ke tingkat berikutnya, namanya Sangkan Hérang, sumber kejernihan tempat Sang Sri Dewi Pertiwi. Tokoh inilah yang biasa dikenal dalam mitos lokal Sunda dengan sebutan Nyi Pohaci Sanghiyang Sri sebagai dewi bumi yang dipercaya kuat dalam urusan pertanian. Setingkat berikutnya yang dilalui sang atma adalah Saridéwata kediaman Wiru Mananggay, Pwah Lakawati, dan Pwah Sekar Dewata. Inilah mahligai para wanita pertapa yang memantapkan dirinya tak bersuami karena bertepuk sebelah tangan. Penjelajahan sang atma naik setingkat

17

Batang bambu yang ruasnya dilubangi agar berbunyi bila tertiup angin; hingga sekarang masih bisa kita saksikan di bukit-bukit perladangan masyarakat Kanekes, Baduy.

Page 9: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

9

lagi ke Wekasning Caang, artinya siang selama-lamanya, siang yang abadi, tempat para pertapa perempuan yang shalehah.

Setingkat dari situ lalu sampailah sang atma ke Bungawari, yaitu penghujung langit terluar, lereng tuntas kebebasan, gerbang buntu kehampaan, namanya Puncak Angkasa, cakrawala jagat raya, tempat yang bersinar tanpa api, yang menyala tak terpadamkan. Di sini, Pwah Sanghiyang Sri tinggal bersama Pwah Kamadewi, Dayang Terusnawati, dan Pwah Naga Nagini, juga Pwah Soma Adi sebagai dewa bulan. Pendakian sang atma ke puncak angkasa ini melalui jalan yang beralas aneka manik permata, dipasangi tangga emas hingga tiba di Bumi Kancana yang abadi menyala-nyala, tempat tinggal para pertapa setia yang penuh kasih, yang berhasil melaksanakan ajaran. Di situlah sang atma disambut Dzat Maha Kuasa dalam suasana penuh haru walau hanya lewat tegur sapanya yang lembut nan penuh kasih sayang dari balik layar kemahagaiban: Anaking Sanghiang Atma, mana cunduk mara daréyuk, mana datang mara diundang, nu tuhu teher laksana, ageung teher hérang tineung. Mana na cunduk ka puhun, mana na datang ka tangkal, mana na nepi ka jati, mana na deuheus ka anggeus, datang ka ambu ka ayah (1100-1109) ‗Anakku Sanghiyang Atma, makanya tiba silakan pada duduk, makanya datang memang diundang, yang setia juga rupawan, terhormat lagi pula jernih pikir. Maka kini tiba kepada leluhur, maka kini datang kepada nenek moyang, maka kini sampai ke asal, maka kini sampai ke tuntas, datang kepada ibu dan ayah‘.

Tak ada lontaran jawaban yang keluar dari sang atma sebagaimana biasanya dilakukan kepada mahapandita atau kepada déwatakaki. Yang jelas, ia kini telah mencapai suasana alam: suka tan pabalik duka, wareg tan pabalik lapar, hurip tan pabalik pati, sorga tan pabalik papa, hayu tan pabalik hala, nohan tan pabalik wogan, moksa leupas tan pabalik wulat ‗suka tanpa kembali duka, kenyang tanpa kembali lapar, hidup tanpa kembali maut, bahagia tanpa kembali derita, baik tanpa kembali buruk, pasti tanpa kembali kebetulan, lepas sempurna tak nampak kembali‘ (1110-1116). Inilah gambaran di aras langitan terakhir pengembaraan sang atma, totog ka Jatiniskala ‗mentok di alam maha gaib sejati‘, tempat hunian Dzat Tunggal Maha Kuasa pencipta batas tapi tak terkena batas. Sang atma terhindar dari para leluhur, hilang dari Yang Nirwujud, pada kesirnaan yang tak terjangkau pikiran, pada hening tanpa dengar, yang halus tanpa kurungan, dalam lepas tak berbaur. Itulah yang disebut moksa ‗lepas sempuna secara hakiki‘.

Dengan lain perkataan, di situlah atma ada setelah hilangnya bayu-sabda-hedap. Bayu-sabda-hedap menjadi kunci untuk membuka misteri sang atma sebagai roh murni yang teramat halus. Tidak seperti kunci pada umumnya, ini kunci hanya berguna kalau hilang. Pintu setiap tangga pendakian terbuka setelah kuncinya hilang. Begitu masuk, ia tidak akan kembali. Bukan karena tidak ingin atau tidak bisa, tapi karena kata ingin dan bisa tidak ada lagi. Itulah sebuah pengembaraan untuk hilang, bukan untuk pulang. Tan pabalik, begitulah ungkapan yang dimunculkan teks SD yang berarti ‗tidak akan kembali‘. Hanya itulah kata kunci bagi yang telah menemukan hakikat darma, yang tercapai oleh Sang Séwaka Darma. Untuk lebih jelas mengenai gambaran tersebut dapat dilihat tabel berikut.

Tabel 4 : Alam Semesta menurut teks Sewaka Darma

Jagat Semesta Susunan Ruang Tempat Hunian

Jatiniskala ‗Alam Mahagaib Sejati‘

Ø

Tempat hunian Dzat Tunggal Maha Kuasa, pencipta batas yang tak terkena batas, yakni, Sang Hyang Tunggal.

Niskala ‗Alam Gaib‘ (Kahyangan)

(7) Bungawari ‗Penghujung langit terluar, lereng tuntas kebebasan, gerbang buntu kehampaan, namanya Puncak Angkasa, cakrawala jagat raya,

Di sini, Pwah Sanghiyang Sri tinggal bersama Pwah Kamadewi, Dayang Terusnawati, dan Pwah Naga Nagini, juga Pwah Soma Adi sebagai dewa bulan. Tokoh Pwah

Page 10: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

10

tempat yang bersinar tanpa api, yang menyala tak terpadamkan‘. Pendakian sang atma ke puncak angkasa ini melalui jalan yang beralas aneka manik permata, dipasangi tangga emas hingga tiba di Bumi Kancana yang abadi menyala-nyala, tempat tinggal para pertapa setia yang penuh kasih, yang berhasil melaksanakan ajaran. Di situlah sang atma disambut Dzat Maha Kuasa dalam suasana penuh haru walau hanya lewat tegur sapanya yang lembut nan penuh kasih sayang dari balik layar kemahagaiban.

Sanghiyang Sri inilah yang biasa dikenal dalam mitos lokal Sunda dengan sebutan Nyi Pohaci Sanghiyang Sri yang dipercaya penuh dalam urusan pertanian.

(6) Wekasning Caang ‗Kahyangan siang selama-lamanya, siang nan abadi‘

Tempat para pertapa perempuan yang shalehah.

(5) Saridéwata ‗Hakikat Kedewataan‘

Kediaman Pwah Wiru Mananggay, Pwah Lakawati, dan Pwah Sekar Dewata. Inilah mahligai para wanita pertapa yang memantapkan dirinya tak bersuami karena bertepuk sebelah tangan.

(4) Sangkan Hérang ‗Sumber Kejernihan‘

Tempat Sang Sri Dewi Pertiwi atau Dewi Bumi.

(3) Sanghyang Lengis ‗Kahyangan licin serba mengkilap‘

Tempat Manondari, Dewi Nyanawati, dan Pwah Nilasita. Sorga para isteri setia kepada suami yang tidak mau berbuat ingkar.

(2) Caturloka ‗Ruang bergerbang empat tempat bersemayamnya para dewa pelindung jagat, tempat yang terang-benderang sehingga terlihat arwah para leluhur‘.

Gerbang Timur, Batara Isora dengan kahyangan perak putih, tujuan yang lulus tapa. Gerbang Utara, Batara Wisnu dengan kahyangan pagoda hitam, tujuan yang sempurna perbuatannya. Gerbang Barat, Batara Mahadewa dengan kahyangan pagoda kuning, tujuan kaum pahlawan perang berani mati. Gerbang Selatan, Batara Brahma dengan kahyangan warna merah,

Page 11: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

11

tempat para penghuni neraka yang suka memperbudak dan menyengsarakan orang. Di tengah, Batara Siwa dengan kahyangan baranang siang atau aneka warna nan gemerlap, tujuan mereka yang suka beramal shaleh serta mengamalkan budi pekertinya.

(1) Wekasning Sabda ‗alam kesirnaan suara, batas antara siang dan malam‘.

Sang Atma pada persinggahannya yang pertama.

‗ ―Alam Gerbang Perantara Kahyangan‖. Jalannya bersimpang 5 dan bertangga 7 yang dikelilingi telaga tenang dengan lokasi nan tertata rapi. Tanah pedataran diberi batas, ada ngarai diberi jembatan, tanah miring diberi titian, tanah berbukit dibuat tangga-tangga.

Ø

Jiwa pada persinggahannya yang pertama ketika lepas dari raga. Di lokasi air pensucian berupa pancuran tembaga dengan gayungnya berupa mangkuk perak, jiwa dimandikan, dikeramasi, dan disucikan dari dasamala ‗sepuluh noda‘. Lalu ia dipangku duduk di kursi dalam sebuah bangunan emas oleh ibunda nan penuh kasih, perintah dari kahyangan. Semenjak berada di tempat ini, jiwa kembali murni menjadi Sang Atma diaping bisikan lembut Sang Ambu utusan dari kahyangan menjelang perjalanan berikutnya menuju lapisan aras langitan. Intinya, ia mesti menghindari beragam pesona bentuk keindahan dan kesenangan keduniawian di masa lalu, di alam sakala.

Sakala ‗Alam Nyata atau Alam Dunia‘

Ø Tempat tinggal manusia dan makhluk lainnya.

Dalam teks naskah Sanghyang Siksakandang Karesian18, paparan kahyangan para

dewa lokapala (pelindung dunia), disesuaikan dengan kedudukan mata angin dengan warna masing-masing yang disebut Sanghiyang Wuku Lima di Bumi, yaitu Isora bertempat di

18 Naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian tercatat sebagai koleksi Perpustakaan Nasional dengan nomor

inventaris Kr. 630. Naskah daun nipah itu ditulis menggunakan pena bertinta hitam, berbahasa Sunda kuno. Selesai ditulis dalam tahun saka Saka nora catur sagara wulan (1440 Saka/1518 Masehi).

Page 12: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

12

kahyangan timur (Purwa), putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat tinggal Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat tempat tinggal Hyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara tempat tinggal Hyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya. Paparan kahyangan ini tidak jauh berbeda dengan teks naskah Sewaka Darma. Naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian menyatakan bahwa moksa adalah keadaan jiwa yang berhasil memasuki kahyangan, dan dengan tegas membedakan surga (tempat dewa) dengan kahyangan (tempat Hyang). Masuk surga disebut munggah, sedangkan masuk kahyangan disebut moksa atau luput.

Dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik bait 1455- 175519 — beberapa lempir lonrat hilang sehingga menjadi tidak jelas — paparan kahyangan tidak jauh berbeda dengan paparan kahyangan dalam teks naskah Sewaka Darma. Ketika raga memasuki jagat maut, sukma mengecil menjadi setara dengan para dewa, tiba di bentang jalan terbuka menuju taman bunga. Setelah melewati pemeriksaan Dorakala, penjaga gerbang kesorgaan yang bertanya pada jiwa murni (atma), dia menunjukkan jalan menuju surga (kasorgaan). Kemudian atma akan diterima dengan upacara resmi melalui serangkaian upacara dimulai dari atma yang diangkut oleh kereta putih yang sarat dengan hiasan diiringi berbagai irama tetabuhan surga. Keindahan ranah surgawi digambarkan dengan istilah-istilah yang amat agung. Sanghyang Kala dalam teks naskah BM disebut dengan Sang Dorakala, yaitu sebagai mahluk penjaga gerbang alam saptabuana ‗kesorgaan‘, simbol perjalanan spiritual seseorang ketika mulai memasuki alam niskala. Dalam hubungan ini dapat disimak sebuah gambaran proses kematian, yakni berpisahnya ruh melepas raga untuk menuju ke gerbang alam gaib. Gambaran yang dimaksud tampak dalam kutipan teks naskah BM baris 1432 hingga baris 1564 berikut ini.

Awak eukeur beurat pading, eukeur meujeuh ngarampésan. Lamun bulan lagu tilem, panon poé lagu surup, beurang kasedek ku wengi, tutug tahun pantég hanca, nu pati di walang suji, nu hilang di walang sanga, awak nyampay ka na balay, mikarang hulu gegendis, paéh nyanghulu ka lancan. Pati aing hanteu gering, hilang tanpa sangkan lara, mecat sakéng kamoksahan. Diri na aci wisésa, mangkat na sarira ageung, ngaloglog anggeus nu poroc. Atma mecat ti pasambung, aci mecat ti na atma, pahi masah kaleumpangan. Ragaing nyurup ka petra, kaliwara jadi déwa, pasambung nyurup ka suwung. Atmaing dalit ka lentik, sarua deungeun déwata. Tuluy nyorang jalan caang, neumu jalan gedé bongbong. Unggal sampang dilamburan, laun lebak dicukangan, sumaray ditatanggaan, maléréng dipasigaran. Tapak sapu bérés kénéh, barentik marat nimurkeun. Golang-golang situ mungkal, patali patalumbukan. Di tengah bantar ngajajar, hanjuang sasipat mata, handeuleum salaput hulu, handong bang deung handong, „haat di janma sajagat, bihari basa ngahanan, masa di madiapada‟. ‗Badan sedang masanya dikubur, sedang saatnya menuju keindahan. Bagaikan bulan menjelang tenggelam, matahari menjelang terbenam, siang terdesak malam, tutup tahun bertemu ajal, yang mati di walangsuji, yang meninggal di walangsanga, badan bersandar pada balay20, kepala berbantalkan selendang, meninggal menghadap lawan. Kematianku tanpa sakit, meninggal bukan karena derita, melesat menuju kebebasan. Saat kepergian sang sukma, keluar dari raga kasar, copot sesudah yang terakhir, Sukma lepas dari ikatan, ruh lepas dari sukma, sama-sama lepas dan pergi. Ragaku lebur ke kubur, tak ternoda jadi dewa, nyambung lebur ke kehampaan. Sukmaku menyatu ke kegaiban, sama seperti leluhur. Selanjutnya menempuh jalan terang, menemukan jalan besar terbuka. Tiap persimpangan disediakan bangunan, tiap lembah dipasang jembatan, yang curam dipasangi tangga, yang miring dibuatkan titian. Bekas sapu masih nampak jelas, lengkungannya mengarah ke barat timur. Ngalir berputar telaga batu, saling kait bertumpukan. Kembang patah cumaréntam, Rangkaian bunga semarak warnanya, nambuluk apuy-apuyan, gemerlap menyala-nyala.

19 Naskah Kisah Bujangga Manik adalah salah satu naskah kajian awal J. Noorduyn dalam naskah yang tersimpan

pada koleksi Bodleian di Oxford. Naskah ini berbahasa Sunda kuno, yang diedit dengan bantuan Undang A. Darsa tahun 2000 kemudian diterbitkan dalam. J.Noorduyn & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. KITLV, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa, dalam judul Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2009.

20 Dapat diartikan dipan.

Page 13: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

13

Tajur pinang pumarasi, Kebun pinang pumarasi, pinang tiwi pinang ading, pinang tiwi pinang kuning, pinang tiwi kumarasi, pinang tiwi kumarasi, pinang ading asri kuning. pinang kuning indah kemuning. Di tengah parit berjajar, pohon hanjuang selaput mata, pohon handeuleum setinggi bahu, pohon handong merah dan handong, sayang kepada manusia sejagat, dahulu ketika tinggal, pada saat di alam dunia?‘

Rakaki Bujangga Manik, ngarasa manéh ditanya. Umun teher sia nyebut, némbalan sakayogyana, nyarék sakaangen-angen, némbalan sang Dorakala: „Mumul mangnyarékkeun manéh, sugan bener jadi bélot, sugan rampés jadi gopél, sugan sorga jadi papa, sugan pangrasa ku dapet, sugan pangrasa ku tembey. Mumul misaksi na janma, pangeusi buana ini, janma di madiapada. Sariwu saratus tunggal, kilang sahiji mo waya, janma nu teteg di carék. ‗Yang mulia Bujangga Manik, menyadari dirinya ditanya. Lalu nyembah sambil berkata, menjawab sebagaimana layaknya, bicara sesuai dengan nurani, menjawab kepada Sang Dorakala: ‗Malas membicarakan diri sendiri, kalau-kalau yang benar jadi salah, kalau-kalau yang baik jadi jelek, kalau-kalau kesenangan jadi penderitaan. kalau-kalau menurutku bisa, kalau-kalau menurutku sudah mulai. Tak mau minta saksi kepada manusia, penghuni wilayah ini, manusia di dunia. Seribu seratus satu, meski seorang pun takan pernah ada, manusia yang teguh akan ucapannya‘.

Réa nu papa naraka, kilang déwata kapapas, ku ngaing dipajar rényéh, ja daék milu ngahuru, ja daék dibaan salah, ku nu dusta jurujana. Kucawali hénggan hiji: saksiing sanghiang beurang, saksiing sanghiang peuting, candra wulan deungeun wéntang, deungeun sanghiang pratiwi. Itu nu ngingu mireungeuh: pratiwi nu leuwih ilik, akasa nu liwat awas, hidep nu nyaho di bener. Inya nu ngingetkeun rasa, itu nu ngingu na bayu, éta nu milala sabda, inya nu mireungeuh tineung, nu milala tuah janma, bisa di bélot di biner, Hénggan sakitu saksiing.‟ ‗Banyak yang menderita di neraka, bahkan leluhur pun terbawa-bawa, kuanggap tak ada yang bisa dipercaya, sebab mau ikut bersekongkol, sebab suka diajak salah, oleh pendusta yang jahat. Kecuali hanyalah satu: kesaksianku kepada siang, kesaksianku kepada malam, bulan purnama bersama bintang, serta kepada bumi. Itu semua yang memelihara keperdulian: bumi yang lebih teliti, angkasa yang sangat jeli, pikiranlah yang mengetahui kebenaran. Yaitu yang mengingatkan perasaan, itulah yang memelihara kekuatan, yakni yang memperhatikan ucapan, yaitu yang perduli akan ingatan, yang memperhatikan sifat manusia, mengerti tentang yang salah dan yang benar, nyaho di gopél di rampés. tahu tentang yang jelek dan yang baik. Hanya demikianlah kesaksianku.‘

Carék aki Dorakala: „Samapun sanghiang atma. Mungku aing mirebutan, ja na rua mungku samar. Na awak hérang ngalénggang, na rua diga déwata, kadi asra kadi manik. Na awak ruum ti candu, mahabara ti candana, amis ti kulit masui.‟ Kitu pamulu nu bener, éta na kingkila sorga. ‗Jawab yang mulia Dorakala: Mohon maaf, sanghiang sukma. Sebab aku tak akan ngambil paksa, karena dalam rupa tidak samar. Kilapan wujudmu kemilau, dalam hal rupa mirip dewata, bagaikan mutiara dan permata. Harum tubuhmu melebihi candu, semerbak melebihi wangi kayu cendana, manisnya lebih dari kulit masui.‘ Begitulah rupa yang sesungguhnya, itu merupakan pertanda kesorgaan‘.

Samapun sanghiang atma, rakaki Bujangga Manik, leumpang sakarajeun-rajeun, sia ka na kasorgaan. Samungkur aing ti inya, leumpang nanjak nyangtonggohkeun, husir kéh na taman hérang, dibalay ku peramata. ‗Mohon maaf, sahnghian sukma, yang mulia Bujangga Manik, silakan berjalan sekehendakmu, keberadaanmu di alam sorga. Lalu aku meninggalkan tempat itu, berjalan mendaki ke perbukitan, hendak menuju ke taman indah, yang ditaburi permata‘.

3. Fungsi Gunung sebagai Poros Jagat, Tempat Pengamatan dan Tiang Tapal Batas

Wilayah Pada sebagian tradisi kebudayaan di Nusantara, gunung sering-sering dipandang

memiliki pengertian simbolis sebagai poros penghubung antara makrokosmos dengan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Dalam pandangan demikian kehidupan kemanusiaan ini senantiasa berada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang bersumber pada penjuru arah mata angin, pada rasi-rasi bintang, planit-planit, dan benda-benda angkasa

Page 14: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

14

lainnya. Oleh karena itu, masyarakat tadrisional selalu berupaya menyelaraskan kehidupan dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diperoleh secara astrologis. Bukti-bukti seperti ini sering dijumpai dalam prasasti-prasasti (inskripsi) dan episode-episode naskah-naskah kuno, dalam gelar-gelar yang dilekatkan pada seseorang raja, dalam upacara-upacara tradisional, dalam karya-karya seni, seperti dalam ukiran atau pahatan ornamen-ornamen, dan bentuk-bentuk fisik suatu bangunan tertentu.

Menurut citarasa pikiran dalam kepercayaan masyarakat pada masa lalu, pada sebuah wilayah kekuasaan biasanya mesti mempunyai sebuah gunung tertentu sebagai pusat magisna, selain menjadi pusat tapal batas geogafis dari negeri yang bersangkutan. Sebagai poros (axis mundi) penghubung antara jagat raya dan dunia manusia, misalnya, dikemukakan pada catatan perjalanan Buangga Manik dalam naskah lontar Sunda Kuno abad 15 Masehi.

Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mungkal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia nénjo gunung: itu ta na Bukit Ageung, hulu wano 21 na Pakuan (BM, baris 59-64). ‗Setibanya aku ke Puncak, duduk di atas batu datar, lalu mengipasi diri. Kemudian diamatinya gunung-gunung: itulah yang namanya Bukit Ageung22, pusat tersakral di wilayah Pakuan‘.

Sadatang ka Gunung Kampud, datang ka Rabut Pasajén. Éta hulu (wano) Rabut Palah, kabuyutan Majapahit, nu disembah ku na Jawa (BM, baris 1055-1059). ‗Setibanya ke Gunung Kampud, mampir ke Rabut Pasajen. Itulah pusat tersakral Rabut Palah, tempat suci Majapahit, yang dikeramatkan orang Jawa‘.

Sebagai pusat pengamatan dan penentuan tapal batas wilayah geogafis, baris-baris redaksi teks naskah Sunda Kuno yang mengisahkan perjalanan Bujangga Manik pada nomor 1176 hingga nomor 1280 memberi catatan sebagai berikut.

Sananjak ka Papandayan, ngaranna na Panénjoan. Ti inya aing nénjo gunung, déréja dangka ri kabéh, para manuh para dangka, paningal Nusia Larang. Aing milang-melang inya. Ti kidul na alas Danuh, ti wétan na Karang Papak, ti kulon Tanah Balawong.

‗Mendaki ke (Gunung) Papandayan, yang biasa disebut tempat pengamatan. Dari situlah kuamati gunung-gunung, disebut satu per satu di antara semuanya, yang terlihat kecil dan jauh, sesuai daya pandang Nusia Larang23. Aku menghitungnya satu demi satu. Mulai dari selatan wilayah Danuh, dari timurnya ialah Karang Papak, dari arah barat adalah Tanah Balawong‘.

Itu ta na Gunung Agung, tanggeran na Pagerwesi. ‗Itulah yang disebut Gunung Agung, tiang tapal batas Pagerwesi‘.

Éta na Bukit Patuha, tanggeran na Majapura. ‘Itu adalah Gunung Patuha, tiang tapal batas Majapura.

Itu Bukit Pamerehan, tanggeran na Pasirbatang. ‗Yang itu Gunung Pamerehan, tiang tapal batas Pasirbatang‘.

Itu ta na Gunung Kumbang, tanggeran alas Maruyung, ti kalér alas Losari. ‗Itulah yang disebut Gunung Kumbang, tiang tapal batas daerah Maruyung, dari arah utaranya ialah daerah Losari.

Itu ta Bukit Caremay, tanggeran na Padabeunghar, ti kidul alas Kuningan, ti barat na Walangsuji, inya na lurah Talaga. ‗Yang itu Gunung Ciremay, tiang tapal batas Padabeunghar, dari arah selatan ialah daerah Kuningan, dari arah baratnya ialah Walangsuji, itulah daerah Talaga.

Itu ta na Tompo Omas, lurah Medang Kahiangan. ‗Itulah yang disebut (Gunung) Tampomas, wilayah Medang Kahiangan‘.

Itu Tangkuban Parahu, tanggeran na Gunungwangi. ‗Yang itu (Gunung) Tangkuban Parahu, tiang tapal batas Gunungwangi‘.

21

Gunung Keramat bagi Masyarakat Pakwan Pajajaran (Mahameru Sunda). 22

Bukit Ageung kini dikenal dengan sebutan Gunung Gedé yang berada dalam gugusan pegunungan berbentuk sisir: Gunung Salak – Gunung Gede – Gunung Burangrang – Gunung Tangkuban Parahu.

23 Manusia suci, manusia terpelajar.

Page 15: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

15

Itu ta Gunung Marucung, tanggeran na Sri Manggala. ‗Itu ialah Gunung Marucung, tiang tapal batas Sri Manggala‘.

Itu ta Bukit Burangrang, tanggeran na Saung Agung. ‗Itu ialah Gunung Burangrang, tiang tapal batas Saung Agung‘.

Itu ta na bukit Burung Jawa, tanggeran na Hujung Barat. ‘Itulah yang disebut Gunung Burung Jawa, tiang tapal batas Hujung Barat‘.

Itu ta Bukit Bulistir, tanggeran na Gunung Anten. ‟Itu ialah Gunung Bulistir, tiang tapal batas Gunung Anten‘.

Itu Bukit Naragati, tanggeran na Batu Hiang. ‘Yang itu Gunung Naragati, tiang tapal batas Batu Hiang‘.

Itu ta na Bukit Barang, tanggeran na [alas] Kurungbatu. ‘Itulah yang disebut Gunung Barang, tiang tapal batas daerah Kurungbatu‘.

Itu Bukit Banasraya, tanggeran na alas Sajra, ti barat Bukit Kosala. ‘Yang itu Gunung Banasraya, tiang tapal batas daerah Sajra, dari arah baratnya ialah Gunung Kosala‘.

Itu ta na Bukit Catih, tanggeran na Catih Hiang. ‟Itulah yang disebut Gunung Catih, tiang tapal batas Catih Hiang‘.

Itu Bukit Hulu Munding, tanggeran na Demaraja, ti barat Bukit Parasi, tanggeran na Tegal Lubu, ti wétan na Sédanura, nu awas ka alas Sinday. ‗Yang itu Gunung Hulu Munding, tiang tapal batas Demaraja, dari arah baratnya ialah Gunung Parasi, tiang tapal batas Tegal Lubu, dari arah timurnya ialah Sédanura, yang bisa memandang lepas ke daerah Sinday‘.

Éta ta na Gunung Kembang, geusan tiagi sagala, ti kidul na alas Maja, éta na alas Rumbia. ‗Itulah yang namanya Gunung Kembang, tempat berbagai pertapa perempuan, dari arah selatannya ialah daerah Maja, yaitu di daerah Rumbia‘.

Ti barat na wates Mener, tanggeran na Bojongwangi. ‗Dari arah baratnya ialah batas Mener, tiang tapal batas Bojongwangi‘.

Itu ta na Gunung Hijur, tanggeran na Kujarjaya. „Itulah yang namanya Gunung Hijur, tiang tapal batas Kujarjaya‘.

Itu ta na Gunung Sunda, tanggeran na Karangkiang. ‗Itulah yang namanya Gunung Sunda, tiang tapal batas Karangkiang‘.

Itu ta na Bukit Karang, tanggeran na alas Karang. ‗Itulah yang namanya Gunung Karang, tiang tapal batas daerah Karang‘.

Itu Gunung Cinta Manik, tanggeran na alas Rawa. ‘Yang itu Gunung Cinta Manik, tiang tapal batas daerah Rawa‘.

Itu ta na Gunung Kembang, tanggeran Labuhan Ratu. ‟Itulah yang namanya Gunung Kembang, tiang tapal batas Labuhan Ratu‘.

Ti kalér alas Panyawung, tanggeran na alas Wanten. ‗Dari arah utara ialah daerah Panyawung, tiang tapal batas darah Wanten‘.

Itu ta na Gunung (…)lér, tanggeran alas Paméksér, nu awas ka Tajak Barat. Itulah yang namanya Gunung ....lér, tiang tapal batas daerah Paméksér, yang bisa memandang lepas ke Tajak Barat‘.

Itu ta Pulo Sanghiang, heuleut-heuleut nusa24 Lampung, ti timur Pulo Tampurung, ti barat Pulo Rakata, gunung di tengah sagara. ‟Itu adalah Pulau Sanghiang, pertengahan jarak ke wilayah Lampung, dari arah timur ialah Pulau Tampurung, dari arah barat ialah Pulau Rakata (Krakatau), sebuah gunung di tengah laut‘.

Itu ta Gunung Jereding, tanggeran na alas Mirah, ti barat na léngkong Gowong. „Itu ialah Gunung Jereding, tiang tapal batas daerah Mirah, dari arah baratnya ialah Teluk Gowong‘.

24

Istilah ini mengandung makna yang bersifat generik, antara lain: nusa, pulau, wilayah, negreri.

Page 16: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

16

Itu ta Gunung Sudara, na Gunung Guha Bantayan, tanggeran na Hujung Kulon, ti barat Bukit Cawiri. „Itu ialah Gunung Sudara, yakni Gunung Guha Bantayan, tiang tapal batas Ujungkulon, dari arah baratnya ialah Gunung Cawiri‘.

Itu ta na Gunung Raksa, Gunung Sri Maha Pawitra, tanggeran na Panahitan, ti wétan na Suka Darma, ti barat na Gunung Manik. Awas ka Nusa Kambangan, Nusa Layaran …….., Nusa Dilih Nusa Bini, Nusa Keling Nusa Jambri, Nusa Cina Jambudipa, Nusa Gedah deung Malaka, Nusa Bandan Tanjungpura, Sakampung deung Nusa Lampung, Nusa Baluk Nusa Buwun, Nusa Cempa Baniaga, Langkabo deung Nusa Solok, Nusa Parayaman. „Itulah yang namanya Gunung Raksa, Gunung Sri Maha Pawitra, tiang tapal batas Panaitan, dari arah tumurnya ialah Suka Darma, dari arah baratnya ialah Gunung Manik. Dapat memandang jelas ke Nusa Kambangan, Pulau Layaran, Pulau Dilih Pulau Bini, negeri India negeri Jambri, wilayah negeri Cina juga Jambudipa, wilayah Kedah dan Malaka, wilayah negeri Bandan juga Tanjungpura, Sakampung dan wilayah Lampung, wilayah negeri Baluk juga Buwun, wilayah negeri Cempa (dan) Baniaga, Minangkabau dan wilayah Solok, wilayah Pariaman‘.

Beuteung bogoh ku sakitu, saanggeusing milang gunung, saleumpang ti Panénjoan, sacunduk ka Gunung Sembung, éta hulu na Citarum, di inya aing ditapa, sambian ngeureunan palay. „Begitu mengagumkan semua itu, setelah kusebut gunung satu per satu, lalu berangkat dari tempat pengamatan, sampailah ke Gunung Sembung, itulah hulu sungai Citarum, di situ aku bertapa, sambil melepaskan lelah‘.

4. Konsepsi Lingkungan Alam Sebagai Kabuyutan

Kabuyutan di kalangan masyarakat Sunda kuno dapat diartikan sebuah lokasi atau tempat yang disakralkan menurut aturan tradisi, seperti: keraton atau istana raja, kabataraan sebagai lembaga kaum rama, kawikwan sebagai lembaga golongan resi, mandala sebagai lembaga pendidikan, tempat peribadatan dan keagamaan, tempat pemakaman, dan sebagainya. Adalah sebuah naskah Sunda Kuno yang diberi judul Amanat Galunggung mengungkapkan betapa pentingnya ―Kabuyutan25 Galunggung‖ untuk dipertahankan kemuliaannya. Dalam teks naskah tersebut diberitakan bahwa lebih bernilai kulit lasun ‗musang‘ yang dibuang ke tempat sampah daripada rajaputra ‗putra mahkota‘, apabila kabuyutan akhirnya jatuh ke tangan pihak lain. Dari ungkapan ini diketahui bahwa Kabuyutan Galunggung merupakan salah satu kabuyutan utama yang menjadi pusaka Kerajaan Sunda.

Sebagaimana Kabuyutan Galunggung, dalam teks naskah Kisah Perjalanan Bujangga Manik pun disebutkan ada sebuah kabuyutan yang menjadi kabuyutan rakyat Pakuan, yaitu Sanghiyang Talagawarna 26 , yang disebutkan pula dalam prasasti Batutulis dengan nama Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya. Berdasarkan isi prasasti tersebut, kecuali ibukota Pakuan Pajajaran, Ayatrohaédi 27 menghubungkan adanya kesesuaian fungsi dengan situs Rancamaya28. Pasir Badigul adalah tanda peringatan berupa bukit (gugunungan) sedangkan jalan yang dikeraskan adalah jalan yang menghubungkan istana ke tempat itu, sedangkan membuat samida adalah membuat hutan tutupan 29 . Talaga Rena Mahawijaya 30 tidak

25

Sebuah lokasi atau tempat yang disakralkan menurut aturan, seperti: keraton atau istana raja, kabataraan sebagai lembaga kaum rama, kawikwan sebagai lembaga golongan resi, mandala sebagai lembaga pendidikan, tempat peribadatan dan keagamaan, tempat pemakaman, dan sebagainya.

26 Noorduyn 1982: 419.

27 Ayatrohaédi, 1996: 94.

28 Situs ini sempat menjadi perbincangan para budayawan Sunda sekitar tahun 1992, sehubungan dengan

pembangunan real estate di tempat itu. Dari hasil ekskavasi penyelamatan tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dinyatakan bahwa situs itu bukan daerah pemukiman kuna (situs pemukiman).

29 Hutan tutupan atau daerah tutupan agaknya menjadi ciri masyarakat Sunda dalam menempatkan “tanah

larangan” atau tempat suci. Selain prasasti Batutulis, prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) menyebutkan pembuatan tepek (“tanah larangan”) di sebelah timur Sanghyang Tapak. Prasasti berangka tahun ini dikeluarkan oleh raja Sunda Sri Jayabhupati, ditulis dalam huruf Jawa kuna dan bahasa Jawa kuna (Djafar 1991: 20--21).

30 Rena Mahawijaya berasal dari kata rena yang berarti syukur, puas; dan mahawijaya yang berarti kemenangan

besar (Ayatrohaédi, 1996: 94).

Page 17: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

17

ditafsirkan sebagai nama diri danau atau telaga, melainkan lebih kepada fungsinya sebagai danau tempat menyatakan syukur atau berterimakasih atas kemenangan besar yang telah dicapai.

Letak lokasi di Rancamaya sesuai dengan apa yang tertulis di dalam teks naskah Carita Parahiyangan mencatat bahwa Jayadewata, nama lain Sri Baduga Maharaja dikenal sebagai sang mwakta ring rancamaya (CP: 19), diartikan ―yang diperabukan di Rancamaya‖. Rancamaya berasal dari kata ranca berarti rawa atau danau, dan maya berarti membayangkan arah yang ditempuh arwah sehingga rancamaya merupakan danau atau tempat menghubungkan diri dengan Hyang Pencipta. Dengan demikian daerah tersebut merupakan hutan tutupan, danau pemujaan, dan tempat ngahyang ‗penyempurnaan‘ mendiang Jayadewata. Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya dalam prasasti Batutulis adalah Sanghiyang Talaga Warna dalam naskah Bujangga Manik, sesuai dengan kutipan Sadatang ka Bukit Ageung: éta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, Sanghiyang Talaga Warna ‗Setelah sampai di bukit Agung: di situlah hulu sungai Cihaliwung itu, Kabuyutan Pakuan, Sanghiyang Talaga Warna‘.

Dalam pada itu, dibangunnya sejumlah kabuyutan oleh seorang tokoh (raja Sunda) diungkapkan dalam teks naskah Carita Parahiyangan sebagai berikut: Sang Rakéyan Darmasiksa, pangupatiyan Sanghyang Wisnu, inya nu nyieun sanghyang binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahiyangan. Ti naha bagina ? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sangiyang Darma, ngawakan Sanghyang Siksa (CP: 17). ‗Rakeyan Darmasiksa 31 titisan Sanghiyang Wisnu, dan dialah yang membangun tempat pendidikan, yang menjadikan kabuyutan-kabuyutan dari sang rama sang resi, sang disri, sang tarahan, dari parahiyangan. Apa manfaatnya? Dari sang wiku yang memelihara Jati Sunda, berpegang teguh kepada Sanghyang Darma, mengamalkan Sanghyang Siksa‘. Rakeyan Darmasiksa merupakan tokoh utama dalam salah satu karya sastra Sunda kuno lainnya, yaitu Amanat Galunggung. Di dalam naskah ini, Rakeyan Darmasiksa menuturkan ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasihat-nasihat kepada keturunan dan masyarakatnya.

Istilah mandala ditemukan pula dalam teks naskah Kawih Paningkes dan Kisah Bujangga Manik; dua naskah lontar Sunda Kuno yang menyiratkan bahwa mandala adalah lembaga pusat pendidikan di lingkungan pemukiman atau pedukuhan yang diperuntukkan bagi kaum intelektual dan agamawan. Naskah Kawih Paningkes menyebutkan ri dina bukit Palasari mandala si pasekulan ‗di atas bukit Palasari ada mandala bernama Pasekulan‘. Sementara naskah ini pun digubah di Gunung Cupu (salah satu bukit di Gunung Sawal), pada sebuah Mandala Pangarbuhan (lempir.39a--39b). Penulisan sebuah naskah keagamaan dan ilmu pengetahuan lainnya memang sudah biasa ditulis dalam sebuah lingkungan lembaga pendidikan. Lain daripada itu, naskah Bujangga Manik menyebutkan bahwa dia mengunjungi Mandala Puntang yang letaknya di daerah selatan Jawa Barat. Bujangga Manik adalah salah seorang pangeran Sunda yang memilih hidup sebagai pendeta pertapa atau pelajar kelana. Dalam perjalanannya, ia mengelilingi pulau Jawa yang sengaja mengunjungi tempat-tempat suci keagamaan (rabut), salah satu di antaranya adalah rabut Palah yang diidentifikasikan sebagai Candi Panataran, dan rabut di Bukit Gajah Mungkur (salah satu bukit di sisi baratlaut Gunung Pawitra) yang diidentifikasikan sebagai komplek candi Gunung Penanggungan (bdgkn. Munandar 1990/1994). Maksud kunjungan Bujangga Manik itu adalah dalam upaya mendapat memperluas pengetahuan perihal kaidah keagamaan yang ada.di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di Jawa Timur yang pada sekitar abad 15 Masehi (masa Majapahit) banyak terdapat kawikwan dan mandala. 5. Korelasi Antar-Kabuyutan

Dari sudut pandang lain, sebuah gunung maupun perbukitan sering-sering dijadikan suatu model konstelasi bangunan pusat aktivitas pemerintahan serta keagamaan bagi kalangan masyarakat. Hal yang dimaksud daspat disimak dalam uraian berikut.

31

Menurut naskah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta, tokoh ini adalah salah seorang raja Sunda yang memerintah tahun 1175-1297 M (Danasasmita, dkk. 1987: 8).

Page 18: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

18

5.1 Korelasi Legenda Denuh-Galuh-Galunggung Pengetahuan penulis teks naskah Carita Parahyangan (CP) mengenai tokoh serta

peristiwa dari masa lalu yang jauh terpaut dari masa penulisannya, pastilah didapat dari berbagai sumber naskah yang sudah dikenalnya hingga saat penulisan teks itu. Adapun gambaran untuk masa kemudian kemungkinan besar penulis atau pemrakarsa penulisan teks naskah CP sedikitnya masih mengalami atau mengenal tokoh dan peristiwa yang diabadikannya. Tanpa mempertimbangkan naskah-naskah pembanding yang lain, kita akan kesulitan untuk dapat menafsirkan bagaimanakah kisah-kisah yang disebut naskah CP tersebut. Teks naskah CP secara umum hanya mencatat masa pemerintahan seseorang raja setelah menggantikan pendahulunya dan kemudian digantikan raja berikutnya. Namun, ada beberapa raja serta rakyat yang dipimpinya, kisahnya dilengkapi dengan keterangan agak panjang. Ini dapat diduga bahwa raja-raja tertentu memiliki peran yang lebih dibanding dengan raja lainnya.

Di antara tokoh yang dimaksud adalah Rakéan Jambri alias Rahyang Sanyjaya yang mendapat tempat dalam 7 episode (V-XII) dari 25 episode seluruhnya. Sanjaya menjadi Maharaja Sunda selama 9 tahun (723–732 Masehi) yang selanjutnya mewarisi takhta dari pihak ibunda di Medang Mataram Kuno Jawa Tengah selama 22 tahun hingga akhir hayatnya (732 –754 Masehi). Berikut ini nukilan kisah tokoh Sanjaya dalam kaitannya dengan konstelasi atau korelasi antar-kabuyutan Denuh-Galuh-Galunggung berdasarkan teks naskah CP bagian episode kelima pada lempir halaman 8b dan bagian episode kedelapan pada lempir halaman 13a.

Disilihan ku Rahyangtang Mandiminyak. Seuweu Rahyangta ri Menir, teluan sapilanyceukan. Nu cikal nya Rahyang Sempakwaja adeg Batara Dangiangguru di Galunggung, Rahyangtang Kedul adeg Batara Hyangbuyut di Denuh, Rahyangtang Mandiminyak adeg di Galuh (8b: V). ‗Diganti oleh Rahyangtang Mandiminyak. Anak Rahyangta ri Menir (Wretikandayun) tiga bersaudara; yang sulung bernama Rahyang Sempakwaja menjabat sebagai Batara Dangiangguru di Galunggung, Rahyangtang Kedul menjabat sebagai Batara Hyangbuyut di Denuh, dan Rayang Mandiminyak menjabat sebagai (raja) di Galuh‘.

Lawasnyia ratu tujuh tahun. Na Rahyangtang Mandiminyak disilihan ku Sang Senna, lawasnyia tujuh tahun, disilih jungkat ku Rahyang Purbasora. Na Sang Sena diintarkeun ka Gunung Marapi, diseuwsu Rakéan Jambri. Ageung sakamantrian (Rakéan Jambri) lunga ka Rahyangtang Kedul, ka Denuh menta dibunikeun. Carék Rahyangtang Kedul, "Putu, aing mumul kapangkukan ku sia, sugan sia kanyahoan ku ti Galuh (13a: VIII). ‗Lamanaya menjadi raja tujuh tahun. Lalu Rahyangtang Mandiminyak diganti oleh Sang Sena selama tujuh tahun. Namun diganti secara paksa oleh Rahyang Purbasora, kemudian diasingkan ke Gunung Marapi dan berputra Rakean Jambri. Menginjak usia Dewasa (Rakean Jambri) pergi menghadap kepada Rahyangtang Kedul, ke Denuh guna minta yang dirahasiakan. Rahyangtang Kedul berkata, ―Cucuku, aku tak mau lama kehadiranmu di sini, jangan sampai kamu ketahuan oleh (pihak raja) yang berkedudukan di Galuh‘.

Aing pun seuweu Sang Senna. Aing nanyakeun pustaka bawa Rabuyut Sawal. Eusina ma ratuning bala sariwu pakeun séda, pakeun sakti, paméré Sang Rêsiguru. Dibikeun ku Rabuyut Sawal. Ti inya pulang ka Galuh Rakéan Jambri, tuluy diprang deung Rahyang Purbasora. Paéh Rahyang Purbasora. Lawasnyia ratu tujuh tahun. Disilihan ku Rakéan Jambri, inya Rahyang Sanyjaya (38b: VIII). ‗Hamba ini putra Sang Sena, bermaksud menanyakan kitab yang ada pada tuanku Rabuyut Sawal. Adapun isinya tentang teknik keutamaan memimpin ribuan pasukan demi kewibaan dan kesaktian, warisan Sang Resiguru. Diberikanlan oleh Rabuyut Sawal, dan setelah itu Rakean Jambri menuju ke Galuh berperang dengan Rahyang Purbasora hingga Rahyang Purbasora nemui ajalnya setelah berkuasa selama tujuh tahun, lalu digantikan oleh Rakean Jambri, yakni Rahyang Sanjaya‘.

Berdasarkan kutipan tersebut tampak ada bias-bias yang melukiskan fungsi masing-masing ketiga lokasi itu, yakni antara Denuh, Galunggung, dan Galuh dalam kaitannya dengan konsep Tri Tangtu di Buana ‗Tiga golongan yang menentukan roda kekuasaan di dunia‘. Tiga Golongan itu ialah prebu-rama-resi. Diuraikan dalam FCP lempir 5b dinyatakan bahwa, sang prebu itu harus ngagurat batu ‗berwatak teguh dalam menjalankan aturan‘, sedangkan sang

Page 19: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

19

rama harus ngagurat lemah ‗berwatak bisa menentukan pijakan atau aturan bagi para pelaksana pemerintahan‘, dan sang resi harus ngagurat cari ‗berwatak adil dan menyejukkan‘. Tampaknya konsep Tri Tangtu di buana tersebut mirip dengan konsep ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Charles de Secondat Montesquieu. Dalam bukunya yang berjudul Esprit des Lois ‗Jiwa Undang-undang‘ (terbit tahun 1748), Montesquieu berpandangan bahwa kekuasaan negara harus dibagi-bagi ke dalam tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (laséparation des pourvoirs ‗pemisahan kekuasaan-kekuasaan‘). Ketiga kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan: (1) membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif); (2) menjalankan undang-undang (kekuasaan eksekutif); dan (3) mengadili pelanggaran-pelanggaran undang-undang (kekuasaan yudikatif).

Hal ini dapat diinterpretasikan demikian: (1) Tugas golongan Rama ialah sebagai lembaga legislatif yang bertempat di kabataraan, Galunggung; (2) Tugas golongan Prebu ialah sebagai lembaga eksekutif yang bertempat di karatuan atau karaton, yakni Galuh; dan (3) Tugas golongan Resi ialah sebagai lembaga yudikatif yang bertempat di kawikuan, yakni Denuh. Konsep tri tangtu tadi terefleksikan dalam penataan tata letak kedudukan Rama-Resi-Prabu, seperti dapat dilihat dalam gambaran peta rekonstruksi di bawah ini.

Sumber Foto Budimansyah Suwardi & Tim

5.2 Legenda dan Mitos Selareuma dan Lingkungan Sekitarnya Apabila disimak lebih mendalam dari sudut pandang filologis melalui data-data yang

tercatat dalam teks-teks naskah Sunda Kuno sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, yakni naskah: Sang Hyang Hayu, Sanghyang Raga Dewata, Kisah Sri Ajnyana, Serat Purusangkara, Carita Ratu Pakuan, Kisah Bujanggamanik, dan naskah Sunda Kuno lainnya, akan banyak dijumpai bukti tentang dasar kosmologis dari sistem tata ruang di daerah Sumedang ini, khususnya berkenaan dengan Kampung Selareuma Pasanggrahan Sumedang Selatan.

Berkaitan dengan salah satu naskah yang menyinggung-nyinggung serta merujuk pada nama tempat atau lokasi yang bersifat mitos-legendaris adalah naskah yang berjudul Serat Purusangkara (SP), milik Museum Sri Baduga Jawa Barat, berasal dari Kuningan, berbahan kertas. Identitas naskah tersebut adalah: nomor kode 07.46; bahan daluang; aksara Cacarakan; bahasa Jawa dialek Pesisir Utara Jawa Barat; tebal 371 hl.; bentuk penyajian prosa; nama penulis dan/atau penyalin (?); waktu penulisan abad ke-19; asal naskah: Dalem Kangjeng Pangeran Panji Puspakusuma. Teks naskah SP ini secara garis besar mengisahkan tentang perjalanan Prabu Jaya Purusa yang susunan ceritanya terbagi ke dalam 11 bagian atau episode.

Page 20: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

20

Bagian yang menyebutkan istilah Selahuma sebagaimana tampak pada kutipan terjemahannya dalam bahasa Indonesia berikut ini:

Selesailah cerita negeri Yawastina akan diganti dengan keadaan di negeri Suralaya. Ketika itu Saghyang Girinata ditemani seluruh bidadara-bidadari. Sanghyang Naradha memanggil Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma untuk turun menjelma ke bumi. Kata Sanghyang Naradha, ―Duh Paduka Sang Jagad Yang Berkuasa, mengenai turunannya Brahma dan juga Kala itu sekarang menjadi raja di Tanah Selahuma. Merajai semua raksasa yang melindungi seluruh tempat di sana. Negerinya pasti dinamai Selahuma, sedangkan yang menjadi raja adalah Kala, dengan julukan Prabu Yaksadewa. Brahma itu menjadi gada yang dibawa Prabu Yaksadewa, sedangkan yang menjadi keinginannya adalah memusnahkan semua keturunan Wisnu‖. Sanghyang Girinata bertanya kembali, ―Mengapa sampai tiba-tiba hendak berbuat salah kepada sesama makhluk? Sekarang Brahma dan Kala itu sama-sama tidak patuh pada aturan saya‖.

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Selahuma mengacu pada sebuah nama tempat di bumi yang merujuk pada suatu lokasi lingkungan sebagaimana telah diuraikan di muka. Namun demikian, para penghuni tempat tersebut dapat dikategorikan sebagai mahluk dunia gaib, yakni: Saghyang Girinata, Sanghyang Naradha (penghuni Suryalaya), Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma (penghuni Suryalaya yang turun ke Selahuma). Dunia gaib itu dalam naskah SHH dapat diacukan pada alam saptabuana atau buanapitu. Ini artinya bahwa lokasi Selahuma atau Selareuma merupakan tempat yang memiliki fungsi magis dalam tatanan ruang bagi masyarakat yang tinggal di sekelilingnya.

Plotting kabuyutan Pasir Reungit dan morfologi pada peta topografi (Plotting oleh R. Abdul Latief, dan morfologi oleh Yahdi Zaim)

Sumber: Peta Topografi Bakosurtanas, tanpa tahun.

Page 21: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

21

Selareuma yang biasa disebut juga Pasir Reungit bukanlah sebuah tempat berdiri

sendiri, tetapi tempat itu dipandang sebagai axis mundi dalam sebuah sistem tata ruang kosmologis yang saling mempengaruhi dengan tenaga-tenaga yang bersumber pada tempat-tempat di sekitarnya. Di samping itu, Selareuma atau Pasir Reungit merupakan lingkungan dengan kandungan bebatuan, tanah, air dan tetumbuhan sebagai sumberdaya alam yang dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia sebagai makhluk historis memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk tinggal dalam lingkungan dengan seluruh kandungan sumberdaya alam itu sebagaimana adanya sekarang. Tenaga-tenaga ini mungkin bisa menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, atau bahkan bisa berakibat kehancuran. Hal tersebut bergantung pada dapat tidaknya individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat berhasil dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagat raya.

Sketsa rekonstruksi lahanSelareuma- Pasir Reungit; diubah dari sketsa gambar

Bapak Rohman dan staf kepolisian sesuai dengan kebutuhan penelitian oleh W.I. Puar.

Dengan demikian, lokasi Selareuma atau Selahuma tidak bisa dipisahkan dengan

lokasi lain yang ada di sekitarnya. Lokasi yang dimaksud, antara lain, adalah lokasi Batukursi di Pasir Peti yang secara geografis segaris lurus mengarah ke Utara-Selatan tembus ke Gunung Tampomas. Sejajar dengan posisi lokasi Batukursi di Pasir Peti adalah Pasir Gegerhanjuang. Di Pasir Gegerhanjuang ini terdapat sebuah kuburan atau makam Sunan Guling, salah seorang penguasa di Pagulingan. Lokasi Pagulingan ini masih berada di Pasir Gegerhanjuang. Tidak jauh dari lingkungan tersebut adalah lokasi Cadasgantung. Pagulingan ini merupakan pusat dari Sumedanglarang masa lalu. Bahkan, dalam teks naskah Carita Ratu Pakuan (CRP; Ceritera Sunda-Kuno dari Léréng Gunung Cikuray) 32 ada bagian-bagian yang berhubungan dengan gambaran lokasi tersebut, yakni:

Gunung Cupu Bukit Tamporasih, patapaan Pwahaci Niwarti, nu nitis ka Taambo Agung, nu leuwih kasih, ahis tuhan Rahmacuté, seuweu patih Prebu Wangi Serepong. Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang (baris 21-28). ‘Gunung Cupu Bukit Tamporasih, pertapaan Pohaci Niwarti, yang menitis kepada Taambo Agung, yang penuh

32

Lihat Atja, 1970; Darsa, 2008.

Page 22: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

22

kasih sayang, adik tuan Rahmacute, anak patih Prebu Wangi Serepong. Dialah Punara Putih, dari Sumedanglarang‘.

Gunung si Purnawijaya, lumenggang larang sorangan, di Sanghiyang keusik manik batu mirah, hanjuang di kembang homas, patapaan Raga Pwah Hérang Manik, nitis ka nu geulis Rajamantri, nu geulis palang ngajadi, nu micaya sisit peuting, cangkang beurang kale hésé, panonpoé miawak séda karuna, ahis tuhan Sunten Agung, sang Raja Gunung, seuweuna juru labuan, dayeuhan di Pagulingan, mangkubumi di Sumedanglarang, ngapwahan mohéta bedas, nu ngirutan Acidéwata. Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti, salaka Sanghiyang Nusa, di susuku gunung Kumbang, bukit si Salaka Mirah, mandala Sri Kapundutan, di Sanghiyang Salal Ading, nu mepek na bumi manik, patapaan Bagawat Sang Jalajala, susulan watek déwata, murba ka bumi Pakuan (baris 60-86). ‗Gunung si Purnawijaya, terpencil suci sendiri, di Sanghiyang pasir permata batu mirah, pohon hanjuang berbunga emas, pertapaan Raga Pwah Herang Manik, menitis kepada si cantik Rajamantri, yang cantik tiada tanding, yang menyinari sisik kegelapan malam, kulit siang tanpa susah, matahari menjelma suci karunia, adik tuan Sunten Agung, sang Raja Gunung, putera juru pelabuhan, bertempat tinggal di Pagulingan, mangkubumi di Sumedanglarang, menakjubkan luar biasa, yang mempesonakan Acidewata. Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti, salaka33 Sanghiyang Nusa, di kaki gunung Kumbang, bukit si Salaka Mirah, mandala Sri Kapundutan, di Sanghiyang Salal Ading, yang berkumpul dalam bangunan permata, pertapaan Bagawat Sang Jalajala, undangan bisikan gaib dewata, berkuasa ke tanah Pakuan‘.

Tujuh Sanghiyang Mahut Putih, nu mungguh di handaru, deung Sanghiyang Linggamanik, deung Sanghiyang Hindit-hinditan, nu mungguh di siki panon, deung Sanghiyang Karang Curi, nu mungguh tumpak di huntu, deung Sanghiyang Cadas Gumantung, nu mungguh di tungtung létah, deung Sanghiyang Cadas Putih Gumalasar, nu mungguh di harigu, deung Sanghiyang Adong Agung, sagedé munding saadi, nu mungguh di tulang tonggong, deung Sanghiyang Bitung Wulung, patét ka langit, nu mungguh tumpak di siki éta, reujeungna ngajadi (baris 102-119). ‗Tujuh Sanghiyang Mahut Putih, yang bersemayan di halilintar, kemudian Sanghiyang Linggamanik, dan Sanghiyang Hindit-hinditan, yang menetap di biji mata, kemudian Sanghiyang Batu Tegak, yang menetap tunggang pada gigi, lalu Sanghiyang Cadas Gumantung, yang menetap di ujung lidah, kemudian Sanghiyang Cadas Putih Gumalasar, yang menetap di dada, kemudian Sanghiyang Adong Agung, sebesar anak kerbau sesusu, yang menetap pada tulang punggung, lalu Sanghiyang bambu wulung, menjulang ke langit, yang menetap tunggang pada biji zakar, bersamanya menjelma‘.

Penulis teks naskah lontar CRP yang mengisahkan prosesi perjalanan perpindahan Raja Sunda dari Keraton Timur di Galuh Pakwan ke Keraton Barat di Pakwan Pajajaran pada sekitar abad ke-15 Masehi masih menyertakan beberapa gunung dan daerah tertentu sebagai simbol magis sekaligus penunjuk tempat asal seseorang tokoh dalam kisah perjalanan itu. Hal dimaksud nampak pada kutipan berikut.

Ini carita Ratu Pakuan, ti Gunung Kumbang. Gunung Giri Maya Séda, patapaan Pwahaci Mangbang Siang, nitis ka Rucita Wangi, ahis tuhan Jayasakti, seuweu patih Sang Atus Wangi… (baris 1-7) ‗Inilah kisah Ratu Pakuan, dari Gunung Kumbang. Gunung Giri Maya Seda, pertapaan Pohaci Mambangsiang, menitis kepada Rucita Wangi, adik tuan Jayasakti, putera Patih Sang Atus Wangi…‘.

Deung nu geulis Déwa Karuna, ahis Kebo Sang Mantriguru, putri ti Gunung Kukusan, deung nu geulis Cepet Manik, nu tarahan na Harisa Keling, ahisna Ponggang Sang Raja Panji, putri ti Hulu Padang, deung nu geulis Maya Padang, ahis tuhan Patih Pala, putri ti Nagara Tengah… (baris 300-319). ‗Bersama yang cantik Dewa Karuna, adik Kebo Sang Mantriguru, puteri dari Gunung Kukusan, kemudian yang cantik Cepet Manik, yang diperebutkan Harisa Keling, adiknya Ponggang Sang Raja Panji, puteri dari Hulu Padang, kemudian yang cantik Maya Padang, adik tuan Patih Pala, puteri dari negara Tengah‘.

33

Logam perak.

Page 23: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

23

Berdasarkan kutipan teks naskah CRP itu, tercatat nama, seperti Sumedanglarang dicatat dua kali (dalam teks lengkap dicatat 4x), Pagulingan, dan Cadasgantung ditulis dengan Cadas Gumantung di samping juga Cadas Putih Gumalasar. Di situ pun dicatat Sanghiyang Karang Curi yang artinya sama dengan Batu Tegak atau Batu Tiang. Gunung Tamporasih adalah nama lain dari Gunung Tampomas yang tercatat dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik sebanyak tiga kali:

Ku ngaing geus kaleumpangan, meuntas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan, ngalalar ka Tompo Omas, meuntas aing di Cimanuk (baris 69-73). ‗Semua itu telah kullalui, nyeberang di sungai Cipunagara, daerah Medang Kahiangan, berjalan lewat Tompo Omas, aku nyeberang di sungai Cimanuk‘.

Meuntas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan, ngalalar ka Tompo Omas, meuntas aing di Cimanuk (baris 716-719). ‗Menyeberang di sungai Cipunagara, wilayah Medang Kahiangan, berjalan lewat Gunung Tompo Omas, aku nyeberang di sungai Cimanuk‘.

Itu ta na Tompo Omas, lurah Medang Kahiangan. Itu Tangkuban Parahu, tanggeran na Gunung Wangi (baris 1200-1203). ‗Itulah yang disebut Gunung Tompo Omas, daerah Medang Kahiangan. Yang itu Gunung Tangkuban Parahu, sebagai tiang tapal batas Gunung Wangi‘.

5.3 Mitos dan Legenda Gunung Padang

Keberadaan Gunung (Bukit) Padang ini kemungkinan besar pada masa silam pernah ditata menurut konsepsi kepercayaan masyarakat Sunda Kuno tentang keadaan alam menjelang atma naik melewati tujuh lapisan aras langitan; perjalanan ke alam kesorgaan, menghadap ke Kahyangan ‗Alam Dzat Maha Gaib‘ dengan penuh pesona aneka ragam tanaman bunga 34, sebagaimana telah ditunjukkan pada uraian terdahulu. Bias-bias dari salah satu teks naskah lontar Sunda Kuno yang berjudul Kawih Panyaraman ‗Senandung Tauziah‘ yang berisi tentang Séwaka Darma ‗pengabdian terhadap hukum kehidupan‘ telah memantulkan bayangan gambaran wujud fisik dari keberadaan situs megalitik tersebut.

Dengan kata lain, mitos penggambaran mengenai keadaan struktur fisik situs Gunung Padang ini dikembangkan melalui deskripsi panjang sebagaimana nampak tersirat dalam bagian redaksi teks naskah tadi, yakni yang berkenaan dengan paparan atau pelukisan perjalanan jiwa menuju pembebasan sesudah meninggalkan penjaranya yang berupa jasad dan kehidupan duniawi. Konsep pembebasan berkaitan erat dengan pengetahuan yang benar atau pengetahuan tertinggi, sebab pengetahuan itulah yang pertama-tama diperlukan untuk menggapai kebebasan; bukan hanya renungan yang abstrak melainkan mencakup juga pengetahuan yang konkrit. Pembebasan tercapai tingkat demi tingkat hingga mencapai titik kulminasi pada tingkatan ketujuh. Tingkatan-tingkatan itu dipandang sebagai yang terkait dengan eksistensi serta manifestasi sang atma.

Di antara teks naskah yang memberi gambaran legendaris mengenai keberadaan lokasi yang bernama Gunung Padang ialah naskah berjudul Purwaning Jagat (PJ)35 yang merupakan salah satu koleksi Museum Negeri Jawa Barat ―Sri Baduga‖. Identitas naskan ini adalah: nomor kode 07.136; bahan kertas Eropa berwatermark Garden of Holland, PRO PATRIA; aksara Pegon dan Arab; bahasa Jawa dialek Priangan dan Arab; tebal 46 halaman; bentuk penyajian prosa; nama penulis dan/atau penyalin Hanapi, Wedana Pensiun Rongga; waktu penulisan abad ke-19 Masehi. Redaksi teks naskah PJ terdiri atas 38 episode, yang diawali bacaan berikut.

Kitab ini milikku, Wadana Pangsiun Rongga, Hanapi. Bismillahirrahmanirrohim. Inilah kisah Purwaning Jagat (awal mula terjadinya jagat) yang lahir serempak ketika planet-planet dan angkasa raya belun ada satu pun. Namanya La ta‟yun, goibul guyub, dan naqtu goibu. Maka ada yang berkehendak untuk menciptakan dan

34

Bunga tampaknya telah sejak lampau dijadikan tradisi sebagai lambang kesucian dan lambang ketulusan hati sanubari yang diwarisi dan diwariskan turun-temurun.

35 Naskah sejenis terdapat pada koleksi PNRI; Nomor kode: Br.32; Bahan: kertas Eropa dengan watermark Lion in

Medalion; Aksara: Pegon dan Arab; Bahasa: Jawa dialek Priangan dan Arab; Tebal naskah: 24 hl.; Bentuk penyajian: Prosa; Tempat dan waktu penulisan: Garut, 1890.

Page 24: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

24

ada hasil ciptaannya yang dinamakan „ayan sabitah. Lalu mulai ada berbagai jenis dan rupa yang dinamakan alam arwah roh idopi36.

Sumber Foto TTRM 2013

Adapun redaksi teks naskah yang berkaitan dengan mitos dan legenda mengenai

Gunung Padang ini, antara lain, dilukiskan pada episode 17 sebagai berikut. Maka tersebutlah tempat pertapaan Atmasuci di Samlor (Sam Utara?). Lalu berjodoh kepada Ki Sadana, anaknya perempuan bernama Dewi Rasa. Lalu berjodoh kepada Sang Jaya Keling, yaitu yang awal mula menjadikan pakaian, dan menjadi baju kebesaran Rajaputra. Lalu pindah ke Gunung Padang, dan yang disembahnya cahaya yang keluar dari matanya sehingga yang namanya Ratu Galuh menjadi berkuasa. Maka atas kehendak Allah Swt yang murka terhadap hambanya karena tidak mengikuti syariat Nabi Nuh, lalu berhembuslah angin topan dari berbagai penjuru lautan sehingga alam dunia menjadi gelap-gulita selama empat puluh hari. Sementara itu yang mengikuti syariat Nabi Nuh ke atas perahu37. Setelah Pajajaran runtuh, maka Pucuk Umun dibawa oleh Ratu Wetan. Lalu Ratu Sekar Mandapa berlari ke Gunung Gede mendatangi Ajar Sukrasa. Kemudian bertapa bersama Ajar itu38.

Di samping itu, terdapat pula catatan berkenaan dengan Gunung Padang dalam buku

yang berjudul The History of Java, sebuah karya besar Thomas Stamford Raffles yang diterbitkan oleh Black-Parbury & Allen di London tahun 1817, setahun setelah selesai memangku jabatannya selama enam tahun sebagai Lieutenant Governor East-Indian Company of Java yang tergolong cukup singkat (1811-1816). Wawasan keilmuannya yang luas dan tajam disertai keterampilan dan kemampuannya dalam bahasa Melayu, Raffles telah mampu mencurahkan sebagian minatnya terhadap sejarah kebudayaan ketimuran secara represetatif. Melalui karyanya tersebut, walaupun kini sebagian telah ketinggalan zaman, masih merupakan

36

Ieu kitab nu kaula, Wadana Pangsiun Rongga, Hanapi. Bismillahirrahmanirrohim. Hada Purwaning Jagat kang gumelar kabéh tatkala uwung-uwung awang-awang durung ana sawiji-sawiji. La ta’yun arané, goibul guyub arané, naqtu goibu arané iku. Maka ana karsa, ana kinarsakaken dén arané ‘ayan sabitah arané iku. Maka ana warna ana rupa dén arané alam arwah roh idopi…(01).

37 Maka kocap Atmasuci iku tapané ing Samlor pernahé. Maka alaki maring Ki Sadana, putrané wadon namané

Déwi Rasa. Maka alaki maring Sang Jaya Keling,iya iku purwaning sakéhé sandangan, lan anggowané iku ana ing Rajaputra.maka angalih maring Gunung Padang. Kang dén sujudé cahya kang metu saking nétra iku karana dén arané Ratu Galuh dadi nyakrawati. Maka wonten karsaning Allah Ta’ala ambendoni maring umaté sabab ora anut ing saréaté Nabi Enuh. Maka metu angin topan, meti saking poncoroting sagara, maka kalem alam dunya antara patang puluh dina. Maka sakéhé kan anuting saréaté Nabi Enuh pada munggahing baita sadaya (17).

38 Demi sampun kalah Pajajaran, maka Pucuk Umun dén jarah déning Ratu Wétan. Maka Ratu Sekar Mandapa

malayu maring Gunung Gedé, maring Ajar Sukarsa. Maka atatapa lan Ajar iku…(23).

Page 25: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

25

pembahasan yang terperinci tentang kekayaan flora-fauna, bentuk postur jasmaniah, glotokronologi, sistem sosial, dan kebudayaan masa prasejarah dan masa sejarah dari sebagian besar Nusantara yang secara antropologis sangat berarti tetapi cukup kompleks. Berkenaan dengan gunung, atau lebih tepatnya disebut Bukit Padang, Raffles memberi tempat cukup panjang pada catatan kaki buku karyanya itu dalam rangka pembicaraan yang berhubungan dengan Galuh. Hal yang dimaksud nampak pada sebagian kutipan berikut.

Berdasarkan cerita-cerita orang Sunda bahwa, Ciung Wanara dan Raden Tanduran adalah dua saudara keturunan Raja Galuh yang bernama Raja Pamekas, sedangkan negerinya disebut Bojong. Dalam pada itu, berjangkit wabah penyakit yang banyak merenggut nyawa penduduk. Raja kemudian memerintahkan kepada patih pergi ke Bukit Padang untuk memanggil seseorang bernama Ki Ajar yang memiliki kemampuan memberi pertolongan dalam menghadapi musibah dan kesulitan itu. Ketika raja bertemu dengan Ajar dari Bukit Padang dan menyampaikan permintaannya, malah Ajar itu berkata, ―Oh Raja, menurut pendapat hamba, kamilah orang yang tepat memerintah negeri ini dan untuk melakukan apa yang diperlukan demi kebaikan negeri dan para penduduknya!‖ Raja langsung marah dan hampir membunuh Ajar itu. ―Raja, jika paduka berkeinginan untuk membunuhku, hamba menyerahkan sepenuhnya hudupku. Akan tetapi, paduka harus membayarnya, dan itu dengan putramu sendiri!‖, kata Ajar. Sekembalinya ke Bukit Padang, Ajar itu lalu dibunuh oleh Patih Galuh. Akhirnya kisah, antara lain, pernyataan Ajar dari Bukit Padang dulu menimpa raja yang tidak adil itu dan menemui ajalnya di tangan putranya sendiri.

5.4 Korelasi Legenda dan Mitos Gunung Padang dengan Selareuma

Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa susunan cerita dalam teks naskah Serat Purusangkara (SP) terbagi ke dalam 11 bagian atau episode. Adapun kisah mitos dan legenda yang berkaitan antara Selareuma dengan Gunung Padang terdapat pada episode 16 dan 17. Ringkasannya episode yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Ketika berjalan satu bulan pada tahun 841 Suryasangkala atau dua bulan pada tahun 866 Candrasangkala, termasuk tahun Sambrama, mangsa Pusa. Diceritakan bahwa di Suralaya, Sanghyang Girinatha memerintahkan Sanghyang Kala dan Sanghyang Brahma untuk turun ke bumi dan memimpin para raksasa di Sélahuma. Sanghyang Kala sebagai rajanya bergelar Prabu Yaksa Dewa dan Sanghyang Brahma menjadi pakaian dan gada Prabu Yaksa Dewa. Lalu diceritakan Maharsi Mayangkara alias Resi Anoman disuruh oleh Sanghyang Girinatha menuju ke negeri Yawastina untuk memberikan perjodohan antara putra-putra di Yawastina dengan putri-putri di Widarba. Di negeri Widarba, Prabu Jaya Purusa hendak menikahkan putranya yang bernama Raden Jaya Amijaya dengan Ken Satapi, cucu Resi Kumbayana di Gunung Padang. Tidak lama di sana kedatangan 2 raksasa Gawaksa dan Pradaksa utusan Prabu Yaksa Dewa dari Sélahuma untuk menyampaikan pustaka (surat) yang isinya ingin melamar putri raja yang bernama Dewi Pramesti. Namun, Prabu Jaya Purusa tidak menyetujuinya dan akhirnya terjadilah peperangan. Berkat bantuan Maharsi Mayangkara, pasukan dari Sélahuma dapat dikalahkan. Selanjutnya, ketiga putri Prabu Jaya Purusa dinikahkan dengan putra-putra negeri Yawastina, yaitu Dewi Pramesti dengan Prabu Astra Darma, Dewi Pramuni dengan Raden Darma Sarana, dan Dewi Sasanti dengan Raden Darma Kusuma. Ketiga putra negeri Yawastina berganti nama, Prabu Astra Darma menjadi Prabu Purusangkara, Raden Darma Sarana menjadi Arya Amijaya, dan Raden Darma Kusuma menjadi Arya Jaya Kirana. (Episode 16; hal. 95-225). Ketika berjalan tiga bulan pada tahun 842 Suryasangkala atau empat bulan pada tahun 867 Candrasangkala, termasuk tahun Biswawisu, mangsa Sitra. Diceritakan di negeri Yawastina, Prabu Purusangkara sangat sedih karena istrinya, yaitu Dewi Pramesti belum jua mengandung, sedangkan istri-istri adiknya tengah hamil. Ia berpikir takut terjadi apa-apa pada istrinya itu. Ketika sampai usia kandungan istri-istri adiknya, lahirlah dari Dewi Pramuni, seorang peremuan bernama Dewi Renggawati, dan dari Dewi Sasanti lahir seorang laki-laki bernama Raden Sanjaya. Kelahiran putra-putri adiknya itu semakin membuat sedih Prabu Purusangkara. Lalu, Prabu Purusangkara mengutus dua pengawalnya yaitu Arya Sudarsa dan Arya Sarana ke negeri Widarba untuk memnyampaikan kabar gembira, bahwa

Page 26: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

26

raja Widarba telah mempunyai 2 orang cucu dari putrinya, yaitu Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti. Sesampainya utusan Yawastina di Widarba dan menyampaikan kabar itu, Prabu Jaya Purusa sangat senang karena telah memiliki 2 cucu. Namun, ia pun sedih karena Dewi Pramesti, putrinya belum juga mengandung. Selanjutnya Prabu Jaya Purusa menyuruh Patih Suksara pergi ke Gunung Padang untuk menikahkan putranya, yaitu Prabu Jaya Amijaya dengan putri Ajar Subrata yang bernama Ken Satapi. Sesampainya di Gunung Padang, Patih Suksara menceritakan maksud kedatangannya, oleh Ajar Subrata disetujui. Akhirnya, Prabu Jaya Amijaya dinikahkan dengan Ken Satapi, pestanya selama 40 hari 40 malam. (Episode 17; hal. 225-248).

DAFTAR PUSTAKA Atja. 1968. Carita Parahyangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung:

Yayasan Kebudayaan Nusa Larang. -----. 1970. Tjarita Ratu Pakuan: Tjerita Sunda Kuno dari Lereng Gunung Tjikuraj. Bandung:

Lembaga Bahasa dan Sedjarah. Terjemahan Teks oleh Undang A. Darsa. 2007. Dalam Sundalana. Bandung: Kiblat.

Ayatrohaédi. 1975. "Masyarakat Sunda Sebelum Islam", BJ. 86:412-423. Ayatrohaédi, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala. Alih

Aksara dan Terjemahan. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda.

Bakker, Anton. 1995. Kosmologi & Ekologi. Yogyakarta: Kanisius. Binford, Lewis R. 1972. An Archaeolological Perspective. New York: Seminar Press. Clark, David L. (ed.). 1977. Spatial Archaeology. London: Academic Press. Dananjaya, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT

Pustaka Jaya Grafiti. Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa. 1987. Sewaka Darma,

Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bagian Proyek Penelitian dan Pengka jian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).

Darsa, Undang A. 1998. Sang Hyang Hayu: Kajian Filologis Naskah Bahasa Jawa Kuno di Sunda pada Abad XVI. Bandung: Universitas Padjadjaran.

-----. 2012. SÉWAKA DARMA: Suntingan Teks disertai Kajian Intertekstual dalam Naskah Tradisi Sunda Kuno Abad XV-XVII Masehi (SÉWAKA DARMA: Text Edition with Intertextual Studies in the Manuscript from the Old Sundanese Tradition (15th-17th Centuries). Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

-----. 2012. Kodikologi Sunda; Sebuah Dinamika Identifikasi dan Inventarisasi Tradisi Pernaskahan. Bandung: Rasdiaz Print.

Darsa, Undang A. & Edi S, Ekadjati. 2006. Kropak 420: Gambaran Kosmologi Sunda. Bandung: Kiblat.

-----. 2006. Kropak 421: Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Ajicakra, Mantera Darmapamulih, Ajaran Islam. Bandung: Kiblat.

Ekadjati, Edi S. & Undang A. Darsa. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A: Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & École Française d‘Extrême-Orient.

-----. 2004. Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420); Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Aji Cakra, Mantera Darmapamulih, Ajaran Islam (Kropak 421); Jatiraga (Kropak 422). Tokyo: The Toyota Foundation.

Eliade, Mircea. 1959. The Sacred and the Profan. New York: Harcourt, Brace & World Inc. Groslier, Bernard Philippe. 2002. Indocina Persilangan Kebudayaan. Jakarta-Paris: Gramedia. Littlejohn, Stephen W. 1995. Theories of Human Communication. Belmont: Wadsworth

Publishing Company (Fifth Edition). Magetsari, Nurhadi. 1999. Metode Interpretasi Dalam Arkeologi, makalah disampaikan dalam

Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Lembang, 22-26 Juni (tidak diterbitkan).

Page 27: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

27

Munandar, Agus Aris. 1991. ―Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan Karya Sastra,‖ dalam Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran. Bogor: Universitas Pakuan dan Puslitarkenas.

-----. 1994. Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda,‖ dalam Seminar Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna (dalam Rangka Purna Bakti M. M. Soekarto Karto Atmodjo). Yogyakarta, 23-24 Maret.

-----. 2007. Situs Sindang Barang: Bukti Kegiatan Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda (Abad 13-15 M). Laporan Hasil Penelitian Awal. Bogor: Padepokan Giri Sunda Pura Sindang Barang.

-----. 2008. ―Bangunan Suci dalam Masa Kerajaan Sunda: Tinjauan Terhadap Kerangka Analisis‖, dalam Seminar “Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang”, 19-20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang, Bogor. Belum diterbitkan.

Mundardjito. 1993. Pertimbangan Ekologi Dalam Penempatan Situs Masa Hindu Buda Di Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi-Ruang Skala Makro. Disertasi Jakarta: Universitas Indonesia.

Noorduyn, J. & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV. Terjemahan oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini & Undang Ahmad Darsa. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya & KITLV.

Pleyte, C.M. 1913. ―De Patapaän Adjar Soekaresi, ander gezegd: de kluizenarij op den Goenoeng Padang. Tweede bijdrage tot de kennis van het Oude Soenda‖. TBG 55: 231-428.

Raffles, T. S. 1817. The History of Java. 2 Vols. London-Blade: Parbury and Allen Murray. Terjemahan oleh Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin & Idda Qoryati Mahbubah. 2008. Yogyakarta: Narasi.

Ricouer, Paul. 1976. Interpretation Theory: Discouse and the Surplus of Meaning. Fortworth: Christian University of Texas Press.

Saringendyanti, Etty. 1996. Penempatan Situs Upacara Masa Hindu Budha: Tinjauan Lingkungan Fisik Kabuyutan Di Jawa Barat. Tesis Magister Arkeologi. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Toynbee, Arnold J.1935. A Study of History. Vols. I-XII. New York: Oxford University Press. Warnaen, Suwarsih, dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam

Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Sundanologi. Widiyanto & Suprapto Dibyosaputro. 1991. ―Geomorfologi‖, dalam Evaluasi Sumberdaya

Lahan. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjahmada. Zoetmulder, P.P. 1982. Old Javanese—English Dictionary. ‗S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Page 28: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

28

LAMPIRAN 1. Data Toponimi

Istilah toponim diambil dari kata bahasa Belanda, toponymie, plaatsnaamkunde ‗pengetahuan tentang nama tempat‘. Penelitian toponim bagi

studi sejarah kebudayaan sangat penting karena di dalamnya terkandung nilai sejarah, baik yang bertalian dengan lingkungan alam maupun dengan

kehidupan manusia yang menempatinya. Pada dasarnya, penamaan suatu tempat diberikan oleh manusia secara sengaja dengan mempertimbangkan

unsur-unsur tradisi dan lingkungan, mitologi, legenda, sejarah, keadaan alam, dan lain sebagainya. Berikut ini disajikan data toponimi berdasarkan

beberapa buah naskah yang tergolong dalam kategori tradisi naskah Sunda Kno.

Tabel 1: Data Naskah Bujangga Manik

No. N a m a L o k a s i

G u n u n g S u n g a i T e m p a t 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

Bukit Ageung Tompo Omas Bukit Ceremay Gunung Damalung Gunung Gajah Bukit Caru Bukit Timbun Bukit Sempil Bukit Bongkok Bukit Cungcung Caremay Gunung Agung Gunung Larang Gunung Rahung Gunung Dihéng Gunung Sundara Gunung Kedu Gunung Damalung Gunung Karungrungan Bukit Marapi Gunung Pawitra Gunung Gajah Mungkur Gunung Rajuna Gunung Mahaméru

Cilingga Cinangsi Citarum Cipunagara Cimanuk Cijeruk-manis Cisinggarung Cipamali Cipanas Cikéncal Ciluwer Cihaliwung Cipanangkilan Cileungsi Cihoé Ciwinten Citarum Cilamaya Cipunagara Cimanuk Cijeruk-manis Cisinggarung Cipamali Cibularang

Puncak Alas Éronan Medang Kahiangan Pada Beunghar Conam Luhur Agung Tungtung Sunda Alas Jawa Majapahit Alas Demak Pamalang Pabéyaan Mandi Rancan Ancol Tamiang Samprok Suka Kandang Luwuk Peuteuy Kuru Kandang Sérang Batur Pakeun Tubuy Pakeun Tayeum Batur Pakancilan

Page 29: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

29

25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 51. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63.

Gunung Brahma Gunung Hiang Gunung Arum Gunung Raung Gunung Watangan Gunung Hiang Gunung Mahaméru Gunung Kawi Gunung Anyar Gunung Kampud Gunung Wilis Gunung Lawu Gunung Marapi Gunung Sangkuan Gunung Condong Gunung Parasi Gunung Galunggung Panggarangan Bukit Cikuray Papandayan-Panénjoan Gunung Agung-tanggeran Pagerwesi Bukit Patuha-tanggeran Majapura Bukit Pamerehan-tanggeran Pasirbatang Gunung Kumbang-tanggeran Alas Maruyung Bukit Caremay-tanggeran Padabeunghar Tompo Omas Tangkuban Parahu-tanggeran Gunungwangi Gunung Marucung-tanggeran Srimanggala Bukit Burangrang-tanggeran Saung Agung Bukit Burung Jawa-tanggeran Hujungbarat Bukit Bulistir-tanggeran Gunung Anten Bukit Naragati-tanggeran Batuhiang Bukit Barang-tanggeran Alas Kurungbatu Bukit Banasraya-tanggeran Alas Sajra Bukit Kosala Bukit Catih-tanggeran Catih Hiang Bukit Hulu Munding-tanggeran Demaraja Bukit Parasi-taggeran Tegal Lubu Gunung Kembang-geusan tiagi sagala

Cicomal Cipakujati Kali Godang Ciwuluyu Bagawan Cangku Cironabaya Cirabut-wahangan Cironabaya Ciwuluyu Cibérang Ciloh-paraga Ciwatukura Cilohku Cisarayu Cipaterangan Muhara Citanduyan Cimedang Cikutrapinggan Ciwulan Ciloh-alit Cisaunggalah Citarum Cihéa Cisokan Cimarinjung Cihadéa Cicaréngcang Cisanti

Pancawara Pakeun Dora Pakeun Teluk Balungbungan Talaga Wurung Umbul Medang Umbul Songgol Leuwi Nutug Mulah Malik Pasagi Bala Indra Paniis Sanghiang Darah Caringin Bentik Bala Gajah Mayanggu Kandang Sérang Ratu Jaya Kadu Kanaka Citeureupkeun Tandangan Cigeuntis Goha Timbun Mandata Ramanéa Saung Agung Medang Kahiangan Tompo Omas Pada Beunghar Conam Timbang Hujung Barang Kuningan Darma Pakuan Luhur Agung Tungtung Su(n)da Arega Jati Jalatunda Lurah Barebes

Page 30: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

30

64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101.

Gunung Hijur-taggeran Kujarjaya Gunung Sunda-tanggeran Karangkiang Bukit Karang-tanggeran Alas Karang Gunung Cinta Manik-tanggeran Alas Rawa Gunung Kembang-tanggeran Labuhanratu Gunung (…)lér-tanggeran Alas Paméksér Gunung Jereding-tanggeran Alas Mirah Gunung Sudara Gunung Guha Bantayan-tanggeran Hujung Kulan Bukit Cawiri Gunung Raksa Gunung Sri Maha Pawitra-tanggeran Panahitan Gunung Manik Gunung Sembung-hulu Citarum Bukit Karesi Bukit Langlayang Palasari Bukit Pala Bukit Patégéng-sakakala Sang Kuriang Bukit Ageung-hulu Cihaliwung Bukit Bulistir-hulu Cimarinjung Gunung Wayang Bukit Malabar Bukit Bajogé Gunung Guntur Mandalawangi Gunung Kéndan Bukit Patuha Gunung Ratu-sanghiang Karang Caréngcang-hulu Cisokan

Medang Agung Lurah Gebuhan Sangka Suci-Agi-Agi Moga Dana Kereta Sagara Balingbing Arega Séla Kupang-Batang Pakalongan Gerus Tinep-Tumerep Lurah Tabuhan Darma Tumulus Mano Hayu Pajinaran Panjalin Sembung Pakadangan Padanara Lurah Pantaran Danara Pidada Jemas Jajahan Demak Welahulu Pulutan Medang Kamulan Rabut Jalu Larangan Jempar Lurah Gegelang Bangbarung Gunung Jero Alas Daha Pujut Rambut Merem Wakul

Page 31: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

31

102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140.

Pacéléngan Bubat Manguntur buruan Majapahit Darma Anyar Karang Kajramanaan Karang Jaka Palintahan Alas Gresik Patukangan Rabut Wahangan Kadiran Tandes-Ranobawa Dingding Panca Nagara Sampang Gending Lésan Kamang Kuning Talaga Wurung Panarukan Patukangan Balungbungan Sélabatang Bali Malayu Palémbang Parayaman Talaga Wurung Baru Padang Alun Nusa Barong Sarampon Cakru Lurah Kenep Lamajang Kidul Pacira Ranobawa Kayu Taji Kukub

Page 32: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

32

141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164. 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179.

Kasturi Sagara Dalem Kagenengan Pamijahan Daliring Rabut Pasajén Rabut Palah Majapahit Waliring Polaman Balitar Pasepahan Luka-Saput Talun Pajadangan Kalang Abrit Pasugihan Dawuhan Lurah Urawan Pamanikan Sida Lepas Oyong Campagan Pamaguhan Pahul Caturan Roma Lurah Bobodo Taji Janawi Wedi Singhapura Maram Lurah Paguhan Kahuripan Rabut Bésér Pahit Taal Pegat Kulisi Pakuwukan

Page 33: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

33

180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190. 191. 192. 193. 194. 195. 196. 197. 198. 199. 200. 201. 202. 203. 204. 205. 206. 207. 208. 209. 210. 211. 212. 213. 214. 215. 216. 217. 218.

Lurah Danuh Lanabang Jawarah-Tadah Haji Tarungtung-Walakung Kalangan Pamarisan Tambangan Adipala Sawangan Mandala Ayah Pala Buaja Tegal Popoken Karang Siling Mambeng Dona Kalicung Alas Nusahé Sagaranak(an) Batulawang Bakur Pananjung Nusa Wuluhen Muhara Pasuketan Hujung Pusus Hujung Galuh Geger Gadung Saung Galah Pada Beunghar Pamipiran Timbang Jaya Mandala Puntang Alas Danuh Karang Papak Tanah Balawong Kuningan Walang Suji Lurah Talaga Medang Kahiangan Sédanura Alas Sinday

Page 34: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

34

219. 220. 221. 222. 223. 224. 225. 226. 227. 228. 229. 230. 231. 232. 233. 234. 235. 236. 237. 238. 239. 240. 241. 242. 243. 245. 246. 247. 248. 249. 250. 251. 252. 253. 254. 255. 256. 257. 258.

Alas Maja Alas Rumbia Wates Mener-tanggeran Bojongwangi Alas Panyawung-tanggeran Alas Wanten Tajakbarat Pulo Sanghiang Nusa Lampung Pulo Tampurung Pulo Rakata Léngkong Gowong Suka Darma Nusa Kambangan Nusa Layaran Nusa Dilih Nusa Bini Nusa Keling Nusa Jambri Nusa Cina-Jambudipa Nusa Gedah-Malaka Nusa Bandan-Tanjungpura Sakampung-Nusa Lampung Nusa Baluk Nusa Buwun Nusa Cempa-Baniaga Langkabo-Nusa Solot Nusa Parayaman Lurah Paméngkér Mananggul Lingga Lemah Éronan Lembu Hambalang Pakuan Talaga Warna Hujung Kulan Mandala Beutung Mulah Beunghar Tigal Luar Jampang Manggung Mulahmada

Page 35: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

35

259. 260. 261. 262. 263.

Tapakratu Sanghiang Rancagoda Linggapayung Kretihaji Bahumitra

Tabel 2: Data Naskah Carita Ratu Pakuan

No. N a m a L o k a s i

G u n u n g S u n g a i T e m p a t 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.

Gunung Kumbang (Gunung Giri Maya Séda) Gunung Tara Maya Séda (bukit si Panglipur Manik) Gunung Cupu Bukit Tamporasih (Srigina Bukit Manghening) Gunung si Purnawijaya (Gunung Lénggang) Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti Gunung Pagu Mandala Kumpay Bwana Gunung Gorak Mandala Terus Patala Gunung Paguh Mandala Hibar Bwana Gunung Paguh Mandala Léka Datar Gunung Jajar Sri Lénggang Gunung Tilu Mandala Lékamaya Gunung Manik Mandala Sri Nata Lénggang Gunung Kajapu Gunung Kukusan Gunung Larang Sri Manganti

Lamajang Pabéan Taalwangi Sumedanglarang Patanjala Panénjoan Kuningan Singapura Sumurwangi Pagulingan Pakuan Kalapa Jajar Pasir Batang Tanjung Wétan Tanjung Nagara Karang Sindulang Kuta Waringin Tungtung Pasang Nusa Pali Pasuketan Pulo Kambangan Nusa Donan Tiga Maruyung Hulu Padang Nagara Tengah sabrang nagara Cempa Baluk

Page 36: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

36

28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 51. 53. 54.

Pakalongan Nusa Balangah Nusa Maruyu Nusa Keling Nusa Palémbang Nusa Madinah Lamajang Pabéan Taal Wangi Sumedanglarang Sumur Wangi Pakungwati Kalapa Girang Kalapa Hilir Pulo Sagara Kandanghaur Tanjung Camara Solok Bako Karang Sindulang Muhara Cilamaya Pakancilan Umbul Majak Umbul Sogol Saligara Umbul Tubuy Hujung Tipu Siyang

Tabel 3: Data Peta Ciela Garut

No. N a m a L o k a s i

G u n u n g S u n g a i T e m p a t 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Gunung Pinangbarara Gunung Halu Gunung Sindangbarang Gunung Sawal Gunung Bongkok Gunung Pasibar Gunung Galunggung

Cipélés (dari Gunung Cawan bermuara ke Timur) Ciputrapinggan (dari Gunung Cawan) Cikidang (dari Gunung Cawan) Cikambulan (dari Gunung Bokko) Cijulanggading (dari Gunung Bokko) Cikidang/Cimedang (dari Gunung Bokko) Cikalisasi bercabang:

Lawanghaji Talagawarna Nusakalapa Pajajarran Rawa Marunda Gomatti Karawang

Page 37: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

37

8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46.

Gunung Caremay Gunung Sawal Gunung Lokka Guniung Putri (Kunci) Gunung Brama Gunung Paul Gunung Margaratu Gunung Gagabini Gunung Julang Gunung Pangrango Gunung Mas Gunung Kancana Gunung Sapuh Gunung Patuha Gunung Malabar Gunung Burangrang Kangwellassarayu (Gunung) Bukit Tunggul Gunung Manglayang Gunung Tompomas Gunung Licin Gunung . . . ? Gunung Jaya Gunung Karamat Gunung Puntang Gunung Karang Gunung Sigar Gunung Rajah Gunung Pasonggan Gunung Palla Gunung Pamoyanan Gunung Koba Gunung Paleugabayan Gunung Kurung Gunung Papandayan Gunung Padang Gunung Cikuray Gunung Kapur Gunung Putra

Cikunir (dari Galunggung) Cisarepieun (dari Galunggung) Cimérah Cikunten Cipanggarangan Cileummuyu Cinambo Cibakung Cilangla Cipabeureuhan Cipatireman Cipatujah Cijapya Girang Cipamumitan Cikaleprang Cipanglukutan Cipaluhukan Cikahéngan Cikaranggajah Cisanggiri Cikera Cibalingbing Cikandi Cipalebuh Cilauteureun Cibayongbong Cikarang Cipasérangan Cimangké Cilihrangka Cikaladaru Cikadang Cimawacong (bercabang: Ciharinem) Cilayu Cikanji Cidaun Cidamar Cipandak Cihujung

Rawa Nusakabangan Sagaranakan Lawang Haji Binuangeun Kalérjukur Jalan Leuwidamar Wates Jampang Gapalsi Dremayu Cipanggarangan Ciheuleut Cisaunggalah Cikadu Wétan Liyunggunung Cimuncang Limbangan Galuyungrung Sirah . . . Sirah Cilangla Sirah Ci… Batara Seuran Batutumpang Sirah Cigugur Hunijajar Sirah Ciglongmaya Pasir Pamoyanan Caliyanggarah Seladatar Ganasésa Jambénira Jambéniru Kawunggeténg Kaduluhur Peuteuynunggal Lemah Putih Guhalanang Cibarinem Lohnacogang Pasirdadap Rawakelang Sariohwana

Page 38: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

38

47. 48. 49. 50. 51. 51. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85.

Gunung Mandalawangi sirah Ciheuleut mipir Cisaunggalah Gunung Bado Sigartiga Ginaré Cikadu Wétan Liyunggunung, sirah Cimuncang Gunung Karamat Sigarlaya Wékpalangkan Gunung Canir Gunung Bitung Sigartiga kalér Limbangan kalérwétan Galuyungrung Gunung Cakrida Gunung Karacak Gunung Raja

Cisadéa Cisokan Cicaréngcang Cilebuganabong Cisokan Bubulak Cihayawan Cipanarikan Cibayah Cilangkap Cipancar Cimarinjung Kidul Palabuhanratu (bermuara ke arah barat) Cisadané, berhulu dari Talagawarna Cihalliwung, berhulu dari Talagawarna Cikapayang Cikapundung Cibéhét Cipikulan Cisangkuy Ciparragé Cilamaya Cihaseum Cicupunagara Cidanghaur Cilalanang Cipélés Ciharus Mudikmebes Cimularépan Cibunni Cidarédéng Ciberas Cinangsi Cilopang Cipallés Cipeujeuh Cipamulihan Ciléjét Cilimus Cikawungréréng

Talagagedé Pasar Yakmani Rawadengkeling Pasirkari Sangiyang Karamat Pakujajar Kandangwesi Tegalgedé Pasanggenéng Gintungpugur Tegalagung Tegalbayah Rawakelang Rawakalopo Leu(wi?)… Leuwigelam Hahurgenténg Batununggul Ciledug Timbanganten Talakjaya Régél Kapiyangkuning Cigasti Cigintung Cikaludutan Cikotok Logunggara Cisitu Reurihbérés Cipépé Kadangsérang Halakang Kawung Sangkan Muladu Cikulah Palemanan Mandalalénggang Cilahma

Page 39: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

39

86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124.

Cicadas Cigembor Cisisti Cibakuluban Cigugur Cipanycar Cipayung Cilolos Cibegammangdibya Cipodok Cikallembu Ciléngkrang Cirabal Ciburuy Cigupay Cikajang Cihideung Cidawa Cibingbin Cibudug Cipanyawahhan Cimulu Cipannareuman Cikalari Ciburuy (dari Kawah Manuk) Cibodas (dari Kawah Manuk) Cicopong (dari Kawah Manuk) Cipapasabban Cibeureum (dari Gunung Papandayyan) Cikopo Ciwarruga Cipinning Ciwaru Ciparragak Cipélah Ciséro Cidatar Ciseuseupan Cigerem

Citaman Nagarasari Tarung Heureunrasa Cilaray Sampireun Batununggul Gambira Cileuleuy Karéhén Cinarah Lakbok Pasir Jeungjing Bagawat Kayujati Mandungkuli Mulakiyan Dungngussalam Tajungséro Cibeureum Cilégong Sasampara Gunung Pading La . . Cidadap Kéjoréméh Kunci Kadijajar Tegal Manglayang Situ Walilarung Cibungur Sukahéjo Sasankeuntung Pitung Gunnung Tiga Salupari Cibitung Manganuwisan

Page 40: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

40

125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163.

Cirahab Cilugagereng Cibuluh Cikaléréhan Cilabuh Balariji Cisagarasak Cikuruban Cimawaté (dari Gunung Licin ngalir ke Cikalisasi) Cidelagunusa (dari Gunung Licin ngalir ke Cikalisasi) Cikolé (diapit Gintungpugur dan Tegal Hyang) Cijawajalaromén Mudik Ciharus Mudikmebes Cibudug Cipanyawahan Cimulu Cipannareuman Cikalari Ciburuy (dari Kawah Manuk) Cibodas (dari Kawah Manuk) Cicopong (dari Kawah Manuk) Cipapasabban Cikiruh Cibeureum (dari Gunung Papandayan) Cikopo Ciwaruga Cipining Ciwaru Ciparagak Cipélah Ciséro Cidatar Ciseuseupan Cigerem Cirahab Cilugagereng Cibuluh Cikaléréhan

Maranggi Lalareun . . Padarék Kamasan Sanding Mularajeun Pasirangin Panten-agung Buninagara Pasiripis Pangeureunan Salajambé Lebakwangi Luhurwangi Ciburuy Pangadeggan Cipaku Cihideung Cipeuteuy Nangkalangkak Bagawantta

Page 41: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

41

164. 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179. 180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190. 191. 192. 193. 194. 195. 196.

Cilabuh Cimularépan Cibunni Cidarédéng Ciberas Cinangsi Cilopang Cipalés Cipeujeuh Cipamulihan Ciléjét Cilimus Cikawungréréng Cicadas Cigembor Cisisti Cibakuluban Cigugur Cipancar Cipayung Cilolos Cibegamangdibya Cipodok Cikalembu Ciléngkrang Cirabal Ciburuy Cigupay Cikajang Cihideung Cidawa Cibingbin Cinambo Cibeulahjalu

Page 42: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

42

Tabel 4: Data Naskah Fragmen Carita Parahiyangan

No. N a m a L o k a s i

G u n u n g S u n g a i T e m p a t 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.

Sawal Kendeng Mandalawangi Kalahedong Haruman Gunung Tiga Gunung Manik Gunung Sri Papandayan Gunung Jaya Manglayang

Cipakancilan Ciwulan Cilanglayang Cipager Jampang Cilangla Cipalatih Cipahengan Cisogong Cipalu Cilamaya Cikaradukun Ciharus Cimangkeh Cikandangwesi Cipanglebakan

Pakwan Windupepet Hujung Galuh Pucung Rancamaya Sri Kedatuan ―Bima Punta Narayana Madura Suradipati‖ Galunggung Denuh Mandala Cidatar Gegergadung Kandangwesi Puntang Mandala Utama Jangkar lereng Pelangdatar lereng Sawal lereng Parakukan Geger Handiwung Pasir Taritih lereng Gunung Kendeng lereng Abwana lereng Pakujang lereng Kalahedong lereng Wates Sumur Galuh lereng Sukasangtub Medang Kamulan Bantar Bojong Cisalaka Gunung Tiga Utama Jangkar Jambudipa Lamabung Gunung Manik Gunung Sri

Page 43: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

43

36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.

Pacera Lewa Papandayan Gunung Jaya Lebak Pangha Urug Uka Sagara Datar Gulih Bojong Karéés Narangnarang Cikadu Cikondang Tambaga Galuh Wetan Reuma Saunggalah Padabeunghar

2. Contoh Foto Lempiran Naskah Sunda Kuno, Naskah Saeh dan Peta Ciela

Foto Dok. UAD: Beberapa Kropak dan Bundelan Naskah Sunda Kuno Koleksi Kabuyutan Ciburuy Garut

Page 44: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

44

Foto Dok. UAD: Naskah Carita Parahyangan

Foto Dok. UAD: Naskah Fragmen Carita Parahyangan

Foto Dok. UAD: Naskah Carita Ratu Pakuan

Page 45: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

45

Foto Dok. UAD: Naskah Bujangga Manik

Foto Dok. UAD: Naskah Sang Hyang Hayu

Foto Dok. UAD: Naskah Sang Hyang Raga Dewata

Page 46: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

46

Foto Dok. UAD: Naskah Kropak 421

Foto Dok. UAD: Naskah Purwaning Jagat

Page 47: KONSEPSI DAN EKSISTENSI GUNUNG BERDASARKAN TRADISI NASKAH SUNDA (Sebuah Perspektif Filologi)

UADarsa-FIBU-1432014

47

Foto Dok. UAD: Peta Ciela Garut