59
Pendidikan Di Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda Filed under: Makalah by Azkia Alawi — Tinggalkan komentar 15 April 2010 BAB I PENDAHULUAN 1. A. Latar Belakang Pada zaman kolonial pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-sekolah ini ialah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Namun lambat laun, dalam berbagai macam sekolah yang terpisah-pisah itu terbentuklah hubungan- hubungan sehingga terdapat suatu sistem yang menunjukkan kebulatan. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertical sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit. Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda. Selain itu kejadian- kejadian di dunia luar, khususnya yang terjadi di Asia, mendorong dipercepatnya pengembangan sistem pendidikan yang lengkap yang akhirnya, setidaknya dalam teori, memberikan kesempatan kepada setiap anak desa yang terpencil untuk memasuki perguruan tinggi. Dalam kenyataan hanya anak-anak yang mendapat pelajaran di sekolah berorientasi Barat saja yang dapat melanjutkan pelajarannya, sekalipun hanya terbatas pada segelintir orang saja. 1. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari makalah ini adalah:

Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

  • Upload
    anan-nur

  • View
    84.951

  • Download
    9

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Pendidikan Di Indonesia Pada Masa Penjajahan   Belanda Filed under: Makalah by Azkia Alawi — Tinggalkan komentar 15 April 2010

BAB I

PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang

Pada zaman kolonial pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-sekolah ini ialah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Namun lambat laun, dalam berbagai macam sekolah yang terpisah-pisah itu terbentuklah hubungan-hubungan sehingga terdapat suatu sistem yang menunjukkan kebulatan. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertical sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit.

Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda. Selain itu kejadian-kejadian di dunia luar, khususnya yang terjadi di Asia, mendorong dipercepatnya pengembangan sistem pendidikan yang lengkap yang akhirnya, setidaknya dalam teori, memberikan kesempatan kepada setiap anak desa yang terpencil untuk memasuki perguruan tinggi. Dalam kenyataan hanya anak-anak yang mendapat pelajaran di sekolah berorientasi Barat saja yang dapat melanjutkan pelajarannya, sekalipun hanya terbatas pada segelintir orang saja.

1. B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah:

1. Apa alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia?

2. Faktor apa saja yang menyebabkan berlangsungnya politik etika?

3. Bagaimana sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda?

4. Apa saja ciri umum politik pendidikan Belanda?

1. C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah:

1. Agar mengetahui alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia.

Page 2: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

2. Agar mengetahui faktor yang menyebabkan berlangsungnya politik etika.

3. Agar mengetahui sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda.

4. Agar mengetahui ciri umum politik pendidikan Belanda.

BAB II

PEMBAHASAN

1. A. Pendidikan selama penjajahan Belanda

Pendidikan selama penjajahan Belanda  dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.

1. Zaman VOC (Kompeni)[1]

Orang belanda datang ke indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang. Mereka di motifasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan kilometer dalam kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari indonesia. Namun pedagang itu merasa perlunya memiliki tempat yang permanen di daratan dari pada berdagang dari kapal yang berlabuh di laut. Kantor dagang itu kemudian mereka perkuat dan persenjatai dan menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan teritorial. Setelah peperangan kolonial yang banyak akhirnya indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan belanda. Namun penguasaan daerah jajahan ini baru selesai pada permulaan abad ke 20.

Metode kolonialisasi belanda sangat sederhana. Mereka mempertahankan raja-raja yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan melalui raja-raja itu akan tetapi menuntut monopoli hak berdagang dan eksploitasi sumber-sumber alam. Adat istiadat dan kebudayaan asli dibiarkan tanpa perubahan aristokrasi tradisional digunakan oleh belanda untuk memerintah negri ini dengan cara efisien dan murah. Oleh sebab belanda tidak mencampuri kehidupan orang Indonesia secara langsung, maka sangat sedikit yang mereka perbuat untuk pendidikan bangsa. Kecuali usaha menyebarkan agama mereka di beberapa pulau di bagian timur Indonesia. Kegian pendidikan pertama yang dilakukan VOC.

Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad sebelum kedatangan belanda, pedagang portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu di hasilkan. Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan penduduk kedalam agama katolik yang paling berhasil tiantara mereka adalah Ordo Jesuit di bawah pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang

Page 3: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka di ternate, kemudian di solor dan pendidikan agama yang lebih tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan portugis saat itu. Bahasa portugis hamper sama populernya dengan bahasa melayu, kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan portugis melemah akibat peperangan denngan raja-raja Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh belanda pada tahun 1605.

1. Zaman Pemerintahan Belanda Setelah VOC

Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/ komisaris jendral harus memulai system pendidikan dari dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau Enlightenment menaruh kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social. Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur Belanda mendapat perintah Raja Lodewijk untuk meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang pribumi poetra,serta melenyapkan perdagangan budak. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil, bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan kerja paksa (rodi).

Didalam lapangan pendidikan Deandels memerintahkan kepada Bupati-bupati di Pulau Jawa agar mendirikan sekolah atasa uasaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan kebiasaan sendiri. Kemidian Deandels mendirikan sekolah Bidan di Jakarta dan sekolah ronggeng di Cirebon. Kemudian Pada masa (interregnum inggris) pemerintahan Inggris (1811-1816) tidak membawa perubahan dalam masalah pendidikan walaupun Sir Stamford Raffles seorang ahli negara yang cemerlang. Ia lebih memperhatikan perkembanagan ilmu pengetahuan, sedangkan pengajaran rakyat dibiarkan sama sekali. Ia menulis buku History of Java.

Setelah ambruknya VOC tahun 1816 pemerintah Belanda menggantikan kedudukan VOC. Statua Hindia Belanda tahun 1801 dengan terang-terangan menyatakan bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda. Pada tahun 1842 Markus, menteri jajahan, memberikan perintah agar Gubernur Jendral berusaha dengan segenap tenaga agar memperbesar keuntungan bagi negerinya. Walaupuan setiap Gubernur Jendaral pada penobatannya berjanji dengan hidmat bahwa ia akan memajukan kesejahteraan hindia Belanda dengan segenap usuha prinsip yang masih dipertahankan pada tahun 1854 ialah bahwa hindia Belanda sebagai “negeri yang direbut harus terus member keuntungan kepada negeri belanda sebagai tujuan pendidikan itu.  Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817 yang segera diikuti oleh pembukaan sekolah dikota lain di Jawa. Prinsip yang dijadikan pegangan tercantum distatuta 1818 bahwa sekolah-sekolah harus dibuka ditiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda dan diizinkan  oleh keadaan.

Gubernur Jendral Van der Capellen (1819-1823) menganjurkan pendidikan rakyat dan pada tahun 1820 kembali regen-regen diinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi penduduk untk mengajar anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi peketi yang baik. Anjuran Gubernur Jendral itu tidak berhasil untuk mengembangkan pendidikan oleh regen yang aktif.

Page 4: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Tahun 1826 lapangan pendidikan dan pengajaran terganganggu oleh adanyan usaha-usaha penghematan. Sekolah-sekolah yang ada hanya  bagi anak-anak Indonesia yang memeluk agama Nasrani. Alsannya adalah karena adanya kesulitan financial yang berat yang dihadapi orang Belanda sebagai akibat perang Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan menelan banyak korban seerta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839).

Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja belanda untuk meninggalkan prinsip-prinsip liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van den Bosch, bekas Gubernur di Guyana, jajahan Belanda di Amerika selatan, untuk memanfaatkan pekerjaan budak menjadi dasar eksploitasi colonial. Ia membawa ide penggunaan kerja paksa(rodi) sebagai cara yang ampuh untuk memperoleh cara usaha maksimal, yang kemudian terkenal dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang memaksa penduduk untuk menghasilkan tanaman yang diperlukan dipasaran Eropa.

Van den Bosch mengerti, bahwa untuk memperbaiki stesel pembangunan ekonomi bagi belanda dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang banyak. Setelah tahun 1848 dikeluarkan peraturan-peraturan yang menunjukan perintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan diparlemen Belanda dan mencerminkan sikap Liberal yang lebih menguntungkan tehadap rakyat Indonesia. Terbongkarnya penyalahgunaan system tanam paksa merupakan factor dalam perbahan pandangan. Peraturan pemerintah tahun 1854 mengimtruksikan Gubernur Jendral untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi pendidikan anak pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan Gubernur Jendral untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumi putera pada umumnya menikmati pendidikan.

Sistem tanam paksa dihapuskan tehun 1870 dan digantikan dengan undang-undang Agraria 1870. Pada tahun itu di Indonesia timbul masa baru dengan adanya undang-undang Agraria dari De Waal, yang member kebebasan pada pengusaha-pengusaha pertania partikelir. Usaha-usaha perekonomian makin maju, masyarakat  lebih banyak lagi membutuhkan pegawai. Sekolah-sekolah  yang ada dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha mencetak calon-calon pegawai makin dipergiat lagi. Kini tugas departemen adalah memelihara sekolah-sekolah yang ada dengan lebih baik dan mempergiat usaha-usaha perluasan sekolah-sekolah baru.

Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini disebabkan:[2]

1. Hasil sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah colonial. Hal ini terutama sekali desebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.

2. Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf bahwa yang harus mendapat pengjaran itu bukan hanya lapisan atas saja.

3. Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan dilapangan pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisa bawah.

Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran bumi putra, keluarlah indisch staatsblad 1893 nomor 125 yang membagi sekolah bumi putra menjadi dua bagian:

Page 5: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

a)      Sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum terkemuka.

b)      Sekolah-sekolah kelas II untuk rakyat jelata.

Perbedaan sekolah kelas I dan kelas II antara lain:

Kelas I [3]

Tujuan: memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan dan  perusahaan.

Lama bersekolah: 5 tahun

Mata pelajarannya: membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu ukur.

Guru-guru: keluaran Kweekschool

Bahasa pengantar: Bahasa Daerah/Melayu

Kelas II

Tujuan: Memenuhi kebutuhan pengajaran di kalangan rakyat umum

Lama bersekolah: 3 tahun

Mata paelajaran: Membaca, menulis dan berhitung.

Guru-guru: persyaratannya longgar

Bahasa pengantar: Bahasa Daerah/Melayu

Pada tahun 1914 sekolah kelas I diubah mejadi HIS (Hollands Inlandse School) dengan bahasa pengantar bahasa Belanda sedangkan sekolah kelas II tetap atau disebut juga sekolah vervolg (sekolah sambungan) dan merupakan sekolah  lanjutan dari sekolah desa yang mulai didirikan sejak tahun 1907.

1. B. Politik Etika dan pengajaran

Indonesia yang kaya raya ini di keruk terus menerus oleh penjajah Belanda. Keuntungan mengalir terus ke negeri Belanda. Rakyat Indonesia tetap miskin. Keadaan ini sangat menggelisahkan kaum Importir Belanda yang membawa barang hasil industry dari Eropa ke Indonesia. Mereka tidak dapat menjual barangnya karena daya beli masyarakat sangat rendah, sedangkan industri di negeri Belanda sedang pesat. Mereka menginginkan agar Indonesia yang banyak penduduknya itu menjadi pasar bagi industry Belanda. Sedangkan para eksportir mendapat laba besar dengan membawa barang mentah dari Indonesia. Untuk memenuhi kaum importir tidak ada jalan lain yang harus segera ditempuh selain memperbaiki dan membuat ekonomi rakyat Indonesia yang sudah rusak.

Selain itu pada tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul “Hutang Kehormatan” dalam majalah De Gids. Disitu ia mengemukakan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari perbendaharaan

Page 6: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Negara. Peristiwa itu dapat dipandang sebagai ekspresi ide yang baru kemudian dikenal dengan politik etika. Van Devender menganjurkan program ini untuk memajukan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki irigasi agar memprodusi pertanian, menganjurkan trasmigrasi dan perbaikan dalam lapangan pendidikan. Ia juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda secara cultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi bangsanya.

Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, serikat islam partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919, adanya volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk menyatakan pendapatnya. Sejak dilaksanakannya politik etika tampak sekali kemajuan dalam pendidikan dengan diperbanyaknya sekolah rendah, sekolah yang berorientasi Barat untuk orang Cina dan Indonesia didirikan .Demikian juga pendidikan dikembangkan secara vertical dengam didirikannya MULO dan AMS yang terbuka bagi anak Indonesia untuk melanjutkan ke tingkat universitas.

Dalam rangka memperbaiki pengajaran rendah bagi kaum bumi putra, maka pada tahun 1907 diambil dua tindakan penting yaitu:

1. 1. Memberi corak dan sifat kebelandaan-belandaan pada sekolah kelas I, misalnya:

a)   Bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran sejak kelas 3

b)   Di kelas 6 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar

c)   Lama belajar menjadi 7 tahun

d)  Tahun 1914 dijadikan  KIS dan menjadi bagian pengajaran rendah barat

e)   Murid-muridnya anak-anak bangsawan dan terkemuka

1. 2. Mendirikan Sekolah Desa

Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia tidak tercapai, karena sekolah-sekolah bumi putra kelas II merupakan lembaga yang mahal dan memerlukan anggaran yang besar. Maka atas perintah Gubernur Jendral Van Heutsz tahun 1907 didirikan sekolah-sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan guru-gurunya juga diangkat oleh desa pula, jadi bukan pegawai negeri.

Jadi susunan pengajaran bagi anak-anak Indonesia untuk sekolah rendah ada tiga, yaitu:

a)   Sekolah Desa, bagi anak-anak biasa

b)   Sekolah kelas II, yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg

c)   Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan dan aristocrat

1. C. Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda

Page 7: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.

1. Pendidikan Rendah ( Lager Onderwijs )

Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok yaitu:

1. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.

a)   Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing  atau Bumi putra dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818.

b)   Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun 1908 lama sekolah tujuh tahun.

c)   Sekolah Bumi  putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya sekolah tujuh tahun dan pertama didirikan pada tahun 1914.

1. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah

1. Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892.

2. Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra. Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.

3. Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali didirikan pada tahun 1914.

4. Sekolah Peralihan (Schakelschool)

Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa  (tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.

1. Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah

Page 8: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

1. MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun. Yang  pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak zaman jepang hingga sampai sekarang bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun.

2. AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua jurusan (afdeling= bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam ) pada zaman jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA.

3. HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda dan berorentasi ke Eropa Barat, khususnyairikan pada belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan lima tahun. Didirikan pada tahun 1860

4. Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )

Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada  adalah sebagai berikut:

1. Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah  dan menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang. didirikan pada tahun 1881

2. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS  atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piñata batu

3. Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur.

4. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.

5. Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah pertaian Yang menerima lulusan sekolah dasra yang berbahasa penganatar belanda. Pada tahun 1911 mulai didirikan sekolah pertanian (cultuurschool) yang

Page 9: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

terdiri dari dua jurusan, pertanian dan kehutanan. Lama belajaranya sekitar 3-4 tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan. Pada rtahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian menengah atas (Middelbare Landbouwschool) yang menerima lulusan MULO atau HBS yang lamanya belajar 3 tahun.

6. Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs).

7. Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikn oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga (Huishoudschool). Lama belajarnya tiga tahun.

8. Pendidikan keguruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Sekolah guru negeri yang pertama didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Sebelum itu pemerintah telah menyelenggarakan kursus-kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan guru-guru sekolah desa. Pada abad ke-20 terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu:

1. Normalschool,sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa dearah.

2. Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan berbahasa belanda.

3. Hollandschool Indlandschool kweekschool, sekolah guru 6 tahun berbahasa pengantar Belada dan bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS.

4. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)

Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:

a)   Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School).

Sekolah Tehnik Tinggi ini yang diberi nama THS didirikan atas usaha yayasan pada tahun 1920 di Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia, lama belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.

b)   Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school).

RHS didirikan pada tahun 1924 di Jakarta. Lama belajarnya 5 tahun, yang tama AMS dapat diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau hakim pada pengadilan.

c)   Pendidiakn tinggi kedokteran.

Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima tahun. Bahasa pengantarnya bahasa melayu . pada tahun 1902 sekolah dokter jawa diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa pengantar Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya

Page 10: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di Jakarta didirikan sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) Yang lama belajaranya 6 tahun dan menerima lulusan AMS  dan HBS.

1. D. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda

Politik pendidikan colonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan prakti pendidikan tertentu.

Ø Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:

1. System Dualisme

Dalam system dualisme diadakan garis pemisahan antara system pendidikan untuk golongan Eropa dan system pendidikan unutk golongan bumi putra. Jadi disini diadakan garis pemisah sesuai dengan politik colonial yang membedakan antara bumi putra dan pihak penjajah.

1. System Korkondasi

System ini berarti bahwa pendidikan didaerah penjajahan disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di Belanda. System ini diasumsikan bahwa dengan System yang berkrkondasi dengan system yang ada di negeri Belanda, maka mutu pendidikan terjamin setingkat pendidikan di Negara Belanda.

1. Sentralisasi

Kebijakan pendidikan dizaman colonial diurus oleh departemen pengajaran. Departemen ini yang mengatur segala sesuatu mengeani pendidikan dengan perwakilannya yang terdapat dipropinsi-propinsi Besar.

1. Menghambat gerakan Nasional

Pendidikan pada masa itu sangat selektif karena bukan diperuntukan untuk masyarakat pribumi putra untuk mendapatkan pendidikan dengan seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi. Didalam kurikulum pendidikan colonial pada waktu itu, misalnya sangat dipentingkan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda. Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi putra harus menghapal kota-kota kecil yang ada di negeri Belanda.

1. Perguruan swasta yang militer

Salah satu perguruan swasta yang gigih menentang kekuasaan colonial adalah seolah-olah taman siswa yang didirikan oleh kihajar dewantara  tanggal 3 juli 1922.

1. Tidak adanya perencanaan pendidikanyan sistematis

Page 11: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Perkembangan pendidikan merupakan rangkaian kompromi antara usaha pemerintah untuk memberikan pendidikan minimal bagi pribumi dan tuntutan yang terus menerus dari pihak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan orang Belanda.

Ø Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam cirri umum politik pendidikan Belanda, yaitu:[4]

1. Dualisme

Dualisme dalam pendidikan dengan adanya sekolah untuk anak Belanda dan untuk yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan melanjutkan dan tidak memeberi kesempatan.

1. Gradualisme

Gradualisme dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah untuk anak Indonesia.

1. Prinsip Konkordansi

Prinsip yang memaksa semua sekolah berorientasi barat mengikuti model sekolah Nederland dan menghalangi penyesuaiannya dengan keadaan Indonesia.

1. Control sentral yang kuat

Yang menciptakan birokrasi yang ketat yang hanya memungkinkan perubahan kurikulum dengan persetujuan para pembesar di Indonesia maupun di negeri Belanda.

1. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis

Menyebabkan pemerintah mengadakan percobaan dengan berbagai macam sekolah menurut keadaan zaman.

1. Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.

Penyelenggaraan dan penerimaan murid didasarkan atas kebutuhan pemerintah Belanda dalam tenaga kerja.

Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:

1. Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu;

2. Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial;

3. Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.

4. Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi

Page 12: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.[5]

BAB III

KESIMPULAN

Alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia yaitu untuk mendidik anak Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC. Dan pada saat itu belum terdapat pengajaran klasik. Mengajar berdasarkan pengajaran individual. Murid-murid datang seorang demi seorang ke meja guru dan menerima bantuan individual. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa melayu dan portugis, karena bahasa belanda masih dirasakan sulit.

Faktor-faktor yang menyebabkan berlangsungnya politik etika

1. Terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul “Hutang Kehormatan” dalam majalah De Gids. Disitu ia mengemukakan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari perbendaharaan Negara.

2. Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908,

3. serikat islam partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919,

4. adanya volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk menyatakan pendapatnya.

Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, diantaranya:

1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)

2. Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah

3. Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )

4. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)

Ciri umum politik pendidikan Belanda

ü  Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:

1. System Dualisme

Page 13: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

2. System Korkondasi

3. Sentralisasi

4. Menghmbat gerakan Nasional

5. Perguruan swasta yang militer

6. Tidak adanya perencanaan pendidikanyan sistematis

ü  Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam cirri umum politik pendidikan Belanda, yaitu:

1. Dualisme

2. Gradualisme

3. Prinsip Konkordansi

4. Control sentral yang kuat

5. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis

6. Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.

[1] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 29

[2] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 36

[3] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 37

[4] Prof. Dr. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 20

[5] http://khairuddinhsb.blog.plasa.com/2008/07/21/pendidikan-di-zaman-belanda/

Page 14: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Tag: sistem pendidikan jaman belanda

Selayang Pandang: Kebijakan Pendidikan Di Indonesia Pra Proklamasi Kemerdekaan1. PENDAHULUAN

Kebijakan merupakan keputusan yang telah ditetapkan atau standing decision yang memiliki karakteristik tertentu seperti konsistensi sikap dan keberulangan bagi subyek dan obyeknya (Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam Reyes, 2001). Sementara kebijakan pendidikan dapat dimaknai sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatur pendidikan di negaranya. Yang pasti, kebijakan apapun itu, selalu diwujudkan dalam bentuk keputusan yang menekankan pada implementasi tindakan, terlepas dari tindakan tersebut pada akhirnya dilakukan atau tidak.

Pelaku dan perumus kebijakan publik di Indonesia adalah perumus kebijakan itu sendiri (legislatif: DPR dan MPR), pemerintah (eksekutif: Presiden), badan administratif (Menteri Kabinet), dan peserta non-struktural (partai politik, interest groups, tokoh maupun perorangan). Perwujudan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan tersebut dapat dikategorisasikan menjadi 2 bentuk, yaitu yang pertama, terwujud dalam bentuk peraturan pemerintah seperti: GBHN, TAP MPR, UU tentang pendidikan, PP, dan seterusnya; yang kedua terwujud dalam bentuk sikap pemerintah, terutama dari Menteri Pendidikan Nasional yang meliputi sikap formal yang dituangkan melalui SK atau Permen, dan sikap non-formal seperti komentar, pernyataan, atau anjuran tentang segala hal yang berkaitan dengan pendidikan nasional (Assegaf, 2005). Tentunya, dalam pembentukan segala jenis peraturan pemerintah dan sikap formal pemerintah, tidaklah berjalan tanpa aturan. Di Indonesia, pembuatan kebijakan publik telah diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Mekanisme pembuatan kebijakan tersebut terbagi dalam tahap perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundang-undangan, dan penyebarluasan (Sirajuddin dkk, 2007). Tentunya kebijakan publik yang dimaksud juga meliputi kebijakan pendidikan yang berada dalam ranah publik.

Pembahasan mengenai masalah kebijakan pendidikan nasional tentunya tidak akan pernah terlepas dari pembahasan mengenai dimensi politik yang mengonstruknya. Dapat dikatakan bahwa segala kebijakan pendidikan pada dasarnya merupakan keputusan politik (Supriadi dan Hoogenboom, 2003). Pendapat tersebut juga didukung oleh pakar analisis kebijakan publik dari Amerika Serikat, William N. Dunn, yang menyatakan bahwa pada dasarnya proses pembuatan kebijakan merupakan proses politik yang berlangsung dalam tahap-tahap tertentu yang saling bergantung, yaitu penyusunan agenda kebijakan,  formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Di lain pihak, permasalahan yang diagendakan dalam perumusan kebijakan menjadi jauh lebih jelas bila digambarkan melalui dimensi politik. Pendapat tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Murray Edelman, bahwa munculnya permasalahan kebijakan tentu melalui cara-cara yang sangat kompleks. Kompleksitas tersebut muncul dari dinamika masyarakat yang telah melibatkan aspirasinya, self concept-nya, kepercayaannya, ketakutannya, dan pada akhirnya mengkonstruksi permasalahan-permasalahan tertentu (Howlett dan Ramesh, 1998). Sehingga menjadi sebuah kewajaran bila berbagai elemen dan situasi yang melingkupi keadaan sosio-politik sebuah bangsa akan sangat menentukan seperti apa bangunan kebijakan yang akan dihasilkan nantinya. Adanya dimensi politik yang menjadi bagian dalam proses pembuatan kebijakan publik tersebut telah banyak diuraikan oleh para pakar, yang salah satunya menelurkan konsep formulasi kebijakan publik dalam sebuah realitas politik makro dan mikro yang begitu penuh dengan kompleksitas (Grindle dan Thomas dalam Wibowo dkk, 2004).

Kentalnya dimensi politik dalam arena kebijakan publik, dalam hal ini yang dibahas secara khusus adalah kebijakan pendidikan, memunculkan berbagai macam permasalahan. Bahkan, kebijakan tersebut diklaim sebagai bagian dari suatu sistem masalah yang menjadi sumber

Page 15: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah (Dunn, 2003). Sehingga berbagai upaya dilakukan untuk menganalisis kebijakan yang telah, sedang, maupun akan dibuat oleh pemerintah, tentunya dari berbagai sudut pandang terutama dari dimensi politik. Dalam mengkaji politik kebijakan pendidikan di Indonesia, tentunya tidak dapat dilakukan dengan hanya melakukan kajian terhadap kebijakan pendidikan yang dikeluarkan baru-baru ini saja. Konteks sejarah tentunya tidak dapat diabaikan bila tidak ingin mengalami akronisme (kesalahan yang sering diabaikan oleh penulis karena tidak menghiraukan konteks dan realita jaman). Kajian tersebut tentunya harus dimulai dari jaman sebelum bangsa Indonesia merdeka. Seperti dipaparkan oleh sejarawan Ong Hok Ham, para pejuang kemerdekaan Indonesia tidaklah mendirikan negara baru dari bawah dengan unsur-unsur revolusioner melainkan mewarisi suatu negara beserta aparatus-aparatusnya (Ham, 2004). Sehingga dengan memulai kajian terhadap kebijakan pendidikan sejak periode sebelum bangsa ini merdeka akan sangat membantu analisis yang akan dilakukan, karena apa yang terjadi dimasa lalu akan menjelaskan apa-apa yang terjadi dimasa sekarang. Itulah sebabnya, kajian terhadap politik kebijakan pendidikan di Indonesia ini paparannya akan disesuaikan dengan periodisasi sejarah Indonesia. Periodisasi yang digunakan merupakan hasil pengembangan dari periodisasi sejarah Indonesia yang dibuat oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo (Kartodirdjo, 1987). Secara garis besar, periodisasi sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut digambarkan sebagaimana berikut:

1 Zaman Permulaan Kebudayaan Indonesia (Sebelum 1M)

2 Zaman Dicernakannya Unsur-Unsur Kebudayaan Hindu Dan Budha (Abad 1 M - 15 M)

3 Zaman Dicernakannya Unsur-Unsur Kebudayaan Islam (Abad 12 M)

4 Pengaruh Kedatangan Portugis (Awal Abad 16 M Hingga Menjelang Akhir Abad 16 M)

5 Zaman Penjajahan Belanda

5.1 Zaman VOC (1596-1799)

5.2 Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1799-1811)

5.2.1 Gubernur Jenderal Dirk van Hogendorp (1799-1808)

5.2.2 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1811)

6 Zaman Pendudukan Inggris (1811-1816)

7 Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942)

7.1 Serah Terima Komisaris Jenderal Belanda dari pihak Inggris (1816-1818)

7.2 Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819-1826)

7.3 Gubernur Jenderal LPJ Du Bus de Gisignies (1826-1830)

7.4 Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830-1848)

7.5 Gubernur Jenderal Rochussen (1848-1852)

7.6 Pemerintahan Hindia Belanda Pada Pertengahan Hingga Akhir Abad 19 M

7.7 Periode Politik Etis (1900-1942)

8 Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945)

2. ZAMAN SEBELUM PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA

2.1 ZAMAN PERMULAAN KEBUDAYAAN INDONESIA (SEBELUM 1 M)

Sebelum masuknya agama Hindu dan Budha yang disebarkan melalui pedagang-pedagang dari India, penduduk yang tinggal (terutama) di pulau Jawa masih menganut paham animisme dan dinamisme. Dapat diperkirakan bahwa proses pendidikan yang berlangsung pada masa tersebut masih berkisar pada pengajaran life skill, seperti bagaimana caranya melangsungkan kehidupan dan bertahan hidup, yang diajarkan turun-temurun melalui keluarga-keluarga yang hidup secara berkelompok. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikutip berikut ini, bahwa “…keterampilan yang perlu sebagai senjata mencari penghidupannya kelak dipelajari dengan

Page 16: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

langsung dari praktek sehari-hari, tidak berurutan dan beraturan sehingga tidak canggung lagi menghadapi kesulitan hidup” (Said dan Affan, 1987). Ditambahkan pula, bahwa sistem pendidikan tersebut sangat bergantung dengan sistem perkawinan, apakah patrilineal atau matrilineal, seperti halnya pendidikan pada suku Batak yang patrilineal tentunya sangat berbeda dengan suku Minangkabau yang matrilineal, dan seterusnya.

2.2 ZAMAN DICERNAKANNYA UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN HINDU DAN BUDHA (ABAD 1 M - 15 M)

Di India, agama Budha timbul sebagai reaksi terhadap pengaruh kasta Brahmana yang memonopoli agama untuk keuntungan golongan mereka sendiri. Berbeda dengan negara asal agama Budha tersebut, di Indonesia terjadi sinkretisme antara agama Budha dan Hindu. Sesuai dengan kronologi penyebarannya, agama Budha lalu disusul dengan agama Hindu, maka masuknya agama Hindu dianggap sebagai sebuah awalan baru karena Syiwa dianggap sebagai penjelmaan sosok Budha. Hal tersebut mungkin disebabkan karena unsur-unsur reformis dalam kedua sosok tersebut yang kurang lebih hampir sama. Dewa Syiwa paling banyak ditakuti karena kekuasaannya yang sangat tak terbatas, bahkan banyak raja-raja pada masa itu yang mengaku bahwa mereka adalah titisan dari dewa Syiwa. Aliran sinkretisme tersebut lebih mudah berkembang karena sangat dekat dengan aliran-aliran yang pernah diyakini oleh penduduk sebelum masuknya kedua agama tersebut, yaitu penyembahan terhadap arwah nenek moyang. Selain itu, agama Budha dianggap sebagai agama kaum elit yang sedang berkuasa. Wajar saja bila anggapan tersebut muncul karena pada masa itu, yang mendapatkan pendidikan hanya kaum pendeta yang lalu memberi petunjuk pada kaum elit bangsawan dan ksatria saja. Sehingga hal yang sama seperti di India, terjadi pula di bumi Nusantara, yaitu monopoli ilmu pengetahuan oleh kaum pendeta. Bukti nyata dari hal tersebut salah satunya adalah penguasaan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa yang hanya dipahami oleh kaum Pendeta saja.

Pada masa dicernakannya unsur-unsur kebudayaan agama Budha, Sriwijaya menjadi kerajaan maritim terbesar di wilayah Asia Tenggara. Sebab itulah, penjagaan pangkalan dan operasional kapal membutuhkan sangat banyak tenaga. Sehingga selain pendidikan yang diberikan oleh kaum pendeta pada kalangan elit, berkembanglah pendidikan-pendidikan untuk melatih tenaga operasional pangkalan dan kapal-kapal, yang tentunya bertujuan sangat praktis (Said dan Affan, 1987).

Pengetahuan terhadap bahasa daerah kerajaan tetangga pada masa itu, adalah suatu bentuk good-neigbourhood-policy. Sriwijaya pun tentunya tidak mau kalah sehingga dibukalah lembaga-lembaga pendidikan bahasa dan ilmu pengetahuan, yang pada mulanya bertujuan untuk penerjemahan semata, di ibukota kerajaan. Kerjasama yang baik antara Sriwijaya dengan kerajaan Benggala di bidang pendidikan dibuktikan dengan dibangunnya sejumlah asrama di perguruan tinggi Nalanda di India untuk peserta didik yang berasal dari Nusantara, tentunya hanya untuk golongan tertentu saja. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada masa tersebut juga dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan situs perguruan tinggi Sakyakirti yang memiliki reputasi internasional di wilayah kerajaan Sriwijaya (sekarang daerah Palembang).

Menurut catatan I-Ching, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu pengetahuan. Lebih dari seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Ching menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan sejawatnya di India (http://peziarah.wordpress.com, 2007).

Pendidikan pada zaman tersebut masih bersifat sangat individualistis, hanya mementingkan kesejahteraan dan keselamatan diri sendiri atau golongan tertentu. Hal ini menjadi salah satu faktor pendukung dalam kemunduran kerajaan Sriwijaya yang akhirnya tergantikan dengan kerajaan agraris pedalaman seperti kerajaan Majapahit yang besar dengan percampuran agama Budha dengan Hindu Syiwa (Said dan Affan, 1987).

Penyebaran agama Hindu merupakan jalan masuk ilmu pengetahuan seperti baca-tulis, perhitungan tahun Saka, wawasan tentang alam raya, sastra yang mengandung filsafat keagamaan dan filsafat kehidupan beserta ajaran mistik yang cukup halus (Ibtihadj, 2006). Ajaran

Page 17: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Hindu yang cukup kental dengan mistik tersebut sangat mudah untuk diterima oleh penduduk yang ada pada masa itu karena animisme dan dinamisme yang mereka anut. Bahkan melalui agama Hindu juga didapatkan teori-teori ketatanegaraan dan pemerintahan. Kekuasaan raja dianggap keramat karena raja dianggap sebagai wakil para dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang telah diberkati oleh para dewa. Itulah sebabnya agama Hindu melahirkan banyak kerajaan-kerajaan besar terutama di pulau Jawa.

Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu, proses transfer nilai-nilai keagamaan dan ilmu pengetahuan dilakukan secara turun temurun melalui golongan kastanya masing-masing. Pemuka agama atau yang disebut dengan kaum Brahmana, memegang kendali sistem pendidikan dari jenjang yang paling dasar hingga yang paling tinggi (Djojonegoro, 1996), tentunya atas dasar lisensi yang diberikan oleh kerajaan. Proses pendidikan pada umumnya dilangsungkan di padepokan-padepokan dengan sistem asrama, tentunya dengan jumlah murid yang sangat terbatas. Kaum bangsawan biasanya mengirimkan anak-anak mereka ke padepokan untuk mendapatkan pengajaran atau bahkan memanggil guru yang bersangkutan ke kediaman mereka. Namun demikian, proses pendidikan dan pengajaran tidak dilangsungkan melalui penjenjangan secara formal sehingga dimungkinkan bagi tiap siswa untuk berpindah-pindah dari guru satu ke guru lainnya untuk memperdalam atau menambah ilmu pengetahuan yang akan dipelajarinya (Gunawan, 1995).

Ajaran Hindu yang menganut sistem kasta membuka celah yang sangat lebar dalam munculnya perbudakan. Secara otomatis, kasta yang lebih tinggi akan melakukan hegemoni terhadap kasta yang lebih rendah karena kastanisasi dalam ajaran Hindu sangatlah tertutup (tidak memungkinkan adanya percampuran antar kasta). Sebab itulah, hanya golongan kasta menengah keatas saja yang mendapatkan pengajaran budi pekerti untuk kesempurnaan pribadi dalam hal agama, kekebalan dan kekuatan fisik, keterampilan menggunakan senjata tajam, dan menunggang kuda. Secara politis, minimnya distribusi ilmu pengetahuan menjadi salah satu upaya golongan yang memiliki kasta tertinggi, yaitu raja dan keturunannya, untuk melanggengkan hegemoni terhadap kasta-kasta yang lebih rendah darinya. Sehingga rakyat jelata yang berada pada golongan kasta terendah tetap saja buta huruf, tidak berilmu pengetahuan, dan tetap terhegemoni dalam lestarinya budaya bisu.

Pengaruh agama Hindu dianggap berakhir dengan runtuhnya kerajaan Majapahit yang memiliki kekuasaan terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-15 (Said dan Affan, 1987). Selain faktor internal kerajaan, runtuhnya kerajaan Majapahit juga didukung oleh faktor eksternal seperti mulai berkembangnya agama Islam di daerah pesisir utara. Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid), Sutasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (epik berdirinya Kediri hingga Majapahit).

2.3 ZAMAN DICERNAKANNYA UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN ISLAM PADA AWAL PENYEBARANNYA (ABAD 12 M)

Agama Islam mulai masuk dan berkembang secara perlahan-lahan di daerah pesisir pantai pulau Jawa diperkirakan mulai abad 12 hingga abad 13. Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu terbesar yang mulai mengalami keruntuhan pada masa itu juga sangat mempermudah penyebaran Islam. Pasalnya, disintegrasi politik dan degenerasi kultural tersebut menjadi kondisi yang sangat optimal untuk sebuah perubahan dalam hal penerimaan nilai-nilai baru seperti nilai Islam (Kartodirdjo, 1987). Sehingga agama para pedagang dari Arab, Parsi, Gujarat, dan Bengala ini menjadi sangat mudah diterima oleh penduduk. Islam yang menjadi nilai baru dalam kehidupan penduduk tersebut dianggap memiliki prestige yang tinggi karena agama tersebut dibawa oleh para pedagang tersebut. Sehingga memeluk agama Islam pun dianggap akan memperlancar hubungan mereka dengan pedagang-pedagang tersebut. Selain itu, agama Islam yang tidak mengenal kastanisasi juga sangat menarik bagi para pedagang yang termasuk dalam golongan kasta rendah dalam agama Hindu. Tidak hanya itu, Islamisasi juga terjadi melalui pernikahan antara pedagang yang beragama Islam dengan penduduk lokal. Walaupun demikian, Islam tidak menginternalisasi secara penuh pada penduduk di daerah Indonesia yang pada masa

Page 18: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

itu kebudayaannya masih berakar kuat pada Hinduisme sehingga muncul istilah Islam abangan. Hal tersebut dapat terlihat jelas dari banyaknya penduduk pemeluk Islam yang masih memelihara anjing, meminum arak, dan tidak menutup aurat sebagaimana ketentuan agama Islam dalam berbusana, dst.

Agama Islam yang juga menjadi jalan masuk bagi ilmu pengetahuan di bumi nusantara berkembang melalui sebuah model lembaga pendidikan tradisional yang disebut dengan pesantren. Karel Steenbrink bahkan membuat klasifikasi terhadap model pengajaran agama Islam menjadi 2 bentuk, yang pertama adalah pengajaran Al-Qur’an sebagai model pendidikan Islam yang paling sederhana dan dapat ditemukan di langgar, surau, maupun di rumah guru mengaji; yang kedua adalah pendidikan lanjutan berupa pengajian kitab-kitab selain Al-Qur’an dan ilmu fiqh, ushuluddin, tafsir Al-Qur’an, bahasa Arab dan sejenisnya pada sebuah lembaga pendidikan tradisional yang disebut dengan pesantren. Pada model pertama, pengajian Al-Qur’an diberikan secara individual sehingga lama pendidikan setiap santri akan berbeda-beda sesuai dengan daya tangkapnya masing-masing. Pada model kedua, santri belajar dengan sistem halaqah (pengajaran diberikan pada santri secara berkelompok oleh seorang kiai) dan juga model asistensi (santri yang lebih lama dan memiliki pengetahuan lebih dahulu menjadi pembimbing bagi santri yang baru masuk). Selain perbedaan akan apa yang dipelajari, santri yang belajar di pesantren diharuskan menginap dalam pondok-pondok yang biasanya berada di sekitar rumah kiai pemilik pesantren, berbeda dengan model pengajian Al-Qur’an di langgar atau surau yang tidak menginapkan santri. Kesemua model pendidikan Islam ini tidaklah memungut biaya karena dalam agama Islam tidak diperkenankan untuk meminta bayaran atas penyebaran agama Islam. Sehingga para kiai pemilik pesantren mendapat bayaran dari statusnya sebagai daerah perdikan atau waqaf dan juga mendapatkan hadiah berupa hasil panen dari orang tua santri maupun zakat yang dibayarkan pada kiai tersebut (Steenbrink, 1986).

Pendidikan yang diberikan melalui pesantren lebih menekankan pada aspek spiritualitas yang berdimensi ukhrawi, berpusat pada pembentukan akhlakul karimah, ketaatan beribadah, pengabdian kepada Allah, dan kurang membekali pengetahuan material peserta didiknya (Steenbrink, 1986). Diketahui bahwa pesantren mula-mula didirikan oleh Sunan Ampel atau Raden Rahmat di daerah Kembang Kuning, Surabaya (Said dan Affan, 1987). Pesantren berkembang pesat melalui santri-santri yang sudah selesai menuntut ilmu dan kemudian mendirikan pesantren-pesantren di daerah yang mereka lalui atau di sekitar daerah asal mereka. Selain itu, penyebaran Islam menjadi sangat masif dengan bantuan para wali yang terus berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain dalam melakukan perjalanan dakwah.

Pendidikan agama Islam dilakukan secara damai sebelum kedatangan bangsa Eropa yang tidak murni berdagang melainkan juga melakukan politik ekspansi yang pada akhirnya mengarah pada kolonisasi. Tentunya model pendidikan Islam mulai banyak mendapatkan tantangan yang cukup berarti pada masa tersebut. Semisal setelah kedatangan Portugis yang begitu masif upaya Katholikisasinya, membuat penyebaran agama Islam di wilayah Timur nusantara terhenti. Demikian halnya dengan kedatangan bangsa Belanda yang cukup membuat penyebaran agama Islam melalui lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren semakin terdesak ke desa-desa terpencil di pedalaman. Berbeda dengan kedatangan Jepang yang justru semakin memasifkan kegiatan pendidikan ke-Islam-an di Indonesia meskipun tetap melanjutkan kebijakan yang dualistis warisan Belanda yang sampai saat ini masih diberlakukan dalam sistem pendidikan nasional.

2.4 PENGARUH KEDATANGAN PORTUGIS (AWAL ABAD 16 M HINGGA MENJELANG AKHIR ABAD 16 M)

Perjanjian Tordessilas (1494 M) berisi hak istimewa dari Bulla Paus untuk bangsa Portugis dan Spanyol dalam hal pembagian wilayah daratan untuk dikuasai. Perjanjian tersebut menjadi dasar perjalanan mereka untuk melakukan politik ekspansi ke daratan Asia dan Afrika. Tujuan tersebut jelas karena pada dasarnya, bangsa Eropa menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang mendapatkan tugas suci dari Tuhan untuk menyelamatkan penduduk selain bangsa mereka ke jalan yang benar. Akhirnya Portugis menginjakkan kakinya untuk pertama kali di daratan Malaka pada tahun 1509 M.

Page 19: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Kedatangan mereka yang selalu dibarengi dengan para misionaris Roma Katholik, membuat setiap daerah yang mereka datang menjadi memiliki gereja dan sekolah. Sekolah pertama yang didirikan oleh orang-orang Portugis adalah di pulau Ambon pada tahun 1536 (Supriadi, 2003). Pada masa kepemimpinan Antonio Galvao waktu itu, yang didirikan adalah sekolah seminari untuk anak-anak pribumi. Tentunya selain mengajarkan agama Katholik, mereka juga mengajarkan pelajaran calistung. Sekolah sejenis juga dibuka di daerah kepulauan Solor tetapi dengan menambahkan bahasa Latin dalam mata pelajarannya. Sekolah keguruan pertama didirikan beberapa saat setelahnya di daerah Ternate oleh kaum pendeta Portugis.

Ketika Portugis menjejakkan kakinya di Maluku, seperti diutarakan oleh Russell Jones, Islam telah mengakar di kalangan penduduk setempat sekitar 80 tahun. Di daerah ini khususnya Ambon, melalui peran ordo Jesuit hingga tahun 1560 M, tercatat ada sekitar 10.000 orang yang memeluk Roma Katholik dan bertambah menjadi 50.000 hingga 60.000 pada tahun 1590 M. Sementara ordo Dominikan mampu mengkonversikan kedalam agama Roma Katholik sekitar 25.000 orang di kepulauan Solor (http://peziarah.wordpress.com, 2007). Katholikisasi yang masif ini pada akhirnya mengakibatkan penyebaran Islam di daerah Timur nusantara menjadi terhenti.

Selain mengemban misi penyebaran agama Katholik (Gunawan, 1995), kedatangan orang-orang Portugis juga untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari hasil perdagangan. Mereka selalu berusaha memonopoli perdagangan dengan cara-cara kasar sehingga bangsa Portugis kurang disukai. Tidak salah bila pada masa ini sering terjadi pergolakan yang penuh dengan perebutan kekuasaan. Tetapi, pada akhirnya kedatangan bangsa Belanda di bumi nusantara berhasil menghalau Portugis hingga ke wilayah Timor Timur pada tahun 1641. Seluruh gereja dan sekolah yang telah dibangun oleh Portugis, diambil alih sepenuhnya oleh Belanda. Berbagai upaya bahkan dilakukan untuk menghilangkan pengaruh Portugis di bumi Nusantara, seperti dengan mengajarkan agama Kristen di sekolah-sekolah dan mengganti penggunaan bahasa Portugis dengan bahasa Belanda yang juga diajarkan di sekolah-sekolah (Said dan Affan, 1987).

2.5 ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA (AKHIR ABAD 16 M HINGGA PERTENGAHAN ABAD 20 M)

Penelusuran kebijakan pendidikan di zaman Belanda ini dibagi dalam 4 periode besar berdasarkan pemerintahan yang berkuasa pada masa tersebut. Periode yang pertama adalah periode awal Belanda menginjakkan kakinya di bumi nusantara dan lalu mendirikan VOC; periode yang kedua adalah masa pemerintahan Hindia Belanda yang menggantikan VOC yang tumbang karena kebangkrutannya; periode yang ketiga adalah masa pemerintahan Inggris yang berlangsung sangat singkat tetapi berandil besar dalam kemunduran pendidikan di bumi nusantara; periode yang keempat adalah kembalinya kekuasaan di bumi nusantara ini pada pemerintah Hindia Belanda hingga berpindah tangan pada Jepang. Pada periode pemerintah Hindia Belanda yang termasuk dalam empat periode besar tersebut, periodisasinya dibagi lagi dalam sub-sub yang lebih kecil lagi berdasarkan masa pemerintahan Gubernur Jenderal pada masa tersebut. Hal ini dilakukan untuk lebih memperjelas kebijakan pendidikan yang diambil oleh masing-masing Gubernur Jenderal yang tentunya memiliki pribadi dan ambisi yang berlainan dalam menetapkan kebijakan pendidikan bagi penduduk jajahan.

2.5.1 ZAMAN VOC (1596-1799)

Delapan tahun setelah bangsa Belanda menginjakkan kaki di bumi Nusantara, berdirilah Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang diberikan otonomi penuh untuk melakukan monopoli terhadap segala aktivitas perdagangan di negeri jajahan oleh kerajaan Belanda. Selama kurang lebih 2 abad berkuasa, VOC yang semula hanyalah sebuah persatuan kongsi dagang telah menjelma menjadi sebuah birokrasi pemerintahan yang kuat dengan pegawai-pegawai dan kekuatan pertahanan untuk mengamankan kepentingannya, disamping keberadaan armada pelayaran yang begitu besar (Supriadi, 2003). Pada masa tersebut, pendidikan dilakukan tidak semata untuk mencapai kesejahteraan pengetahuan peserta didik, apalagi kedatangan Belanda juga dibarengi dengan Nederlands Zendelingen Genootschap (NZG), gereja Kristen dari Belanda yang akhirnya menangani pendidikan di bumi nusantara. Sehingga tidaklah mengherankan bila pendidikan pada masa itu termasuk dalam usaha-usaha Kristenisasi, terlebih lagi dengan motto Gold-Glory-Gospel yang diusung oleh bangsa-bangsa Eropa.

Page 20: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

VOC pada masa itu hanya mendirikan sekolah di daerah-daerah tertentu yang telah dikuasainya, karena hal tersebut juga merupakan salah satu jalan untuk menanamkan pengaruhnya di bidang ekonomi dan politik, yaitu untuk memperat hubungan dengan penduduk lokal. Cara mengajar di sekolah-sekolah tersebut pada umumnya sama dengan cara mengajar di langgar maupun surau. Pada masa itu, jumlah orang tua yang tidak mau memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah tersebut cukup banyak, sehingga Belanda memberikan uang pada calon orang tua murid agar mereka tidak merasa “terpaksa” untuk mengirimkan anak-anaknya ke sekolah. Hal tersebut ternyata berhasil membuat jumlah murid meroket tajam (Said dan Affan, 1987).

Pada awalnya VOC banyak mendirikan sekolah di daerah Timur nusantara yang struktur politiknya dianggap masih lemah, seperti Ambon dan Banda (Supriadi, 2003). Tetapi, sebenarnya tujuan pendirian sekolah di daerah-daerah tersebut tidaklah sesederhana itu, melainkan untuk menghalau pengaruh Portugis yang juga melakukan Katholikisasi. Pada akhirnya sekolah-sekolah yang mengajarkan agama Katholik dan bahasa Portugis digantikan dengan sekolah-sekolah yang mengajarkan agama Kristen dan bahasa Belanda, sepenuhnya dengan pembiayaan dari VOC tanpa campur tangan kerajaan Belanda. Sekolah pertama didirikan di Ambon pada 1607, atau sekitar 70 tahun setelah Portugis mendirikan sekolah pertama di pulau tersebut.

Pendidikan berbasis agama Islam tidak disentuh secara kasar oleh pemerintah Belanda pada masa itu (der Wal, 1977). Karena memang kebijakan yang diambil adalah untuk mengambil hati penduduk jajahan sehingga mereka tidak ingin secara terang-terangan terlihat memusuhi pemeluk agama Islam walaupun sebenarnya memang demikian.

Secara yuridis formal, tujuan pendidikan dalam peraturan persekolahan yang dikeluarkan pada tahun 1684 menetapkan bahwa “…murid-murid kelas satu sanggup dipekerjakan pada pemerintahan dan gereja” (IJ Brugmans dalam Said dan Affan, 1987). Meskipun tujuan pendidikan pada masa itu adalah untuk mencetak pegawai pemerintahan dan misi Kristenisasi, sifat umum dari pengajaran tetaplah diutamakan. Dan hal tersebut menjadi ciri khas dari pengajaran di zaman pendudukan Belanda.

Pada akhir abad ke-18, VOC mengalami kebangkrutan karena persoalan internal mereka yang tidak sehat, yaitu rendahnya gaji pegawai sehingga korupsi pun merajalela, meskipun hal tersebut juga tidak menjadi satu-satunya penyebab keruntuhannya (Boxer, 1985). Pegawai VOC harus menyuap untuk mendapatkan jabatan strategis dan agar modal mereka kembali, mereka juga harus menjual jabatan bupati hingga kepala desa pada penawar tertinggi (Ham, 2004). Lebih parahnya lagi, mereka bahkan sering melakukan perdagangan yang nilainya lebih besar daripada transaksi VOC, yang tentunya hanya untuk kepentingan pribadi. Kepailitan VOC tersebut diakhiri dengan penyerahan aset dan segala hutang VOC pada pemerintah kerajaan Belanda pada 31 Desember 1799.

2.5.2 ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA (1799-1811)

Setelah Portugis dihalau oleh Belanda, tidak ada dorongan yang mendesak untuk meluaskan Kristenisasi (Said dan Affan, 1987). Sehingga pendidikan yang berlandaskan Kristenisasi pada masa tersebut adalah untuk memberangus pengaruh Portugis semata.

2.5.2.1 Gubernur Jenderal Dirk van Hogendorp (1799-1808)

Pada masa ini, aktivitas pemerintahan yang dilakukan lebih kepada upaya-upaya normalisasi keadaan sepeninggal VOC yang kebangkrutannya mewarisi banyak hutang (Kartodirdjo, 1987). Tidak ada kebijakan yang cukup berarti dalam bidang pendidikan pada masa Gubernur Jenderal Dirk van Hogendorp. Hal tersebut dapat diasumsikan sedemikian rupa karena dari sekian banyak literatur yang ditemui oleh penulis, belum ditemukan satu pun yang membahas permasalahan pendidikan pada masa itu. Aktivitas yang dilakukan malah lebih banyak menekankan pada upaya normalisasi pemerintahan sepeninggal kebangkrutan VOC yang salah satunya adalah mengusahakan model desentralisasi pemerintahan untuk memotong jalur korupsi pada model sentralisasi yang telah diberlakukan sebelumnya.

2.5.2.2 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811)

Page 21: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Gubernur Jenderal HW Daendels mendapatkan tugas dari Ratu untuk meringankan nasib rakyat jajahan dan mengurangi perbudakan, meski pada akhirnya malah menambah beban rakyat dengan kerja rodi proyek raksasa pembangunan jalan Anyer-Panarukan sepanjang 1000 km. Di bidang pendidikan, ia memiliki ide baru untuk memberikan pendidikan yang tidak terbatas pada golongan bangsa Eropa dan pemeluk Kristen saja seperti yang telah terjadi sebelumnya. Pada masa ini, ia menugaskan para Bupati di Jawa untuk mendirikan sekolah-sekolah rendah di tiap-tiap kabupaten yang memberikan pendidikan berdasarkan adat istiadat, undang-undang, dan agama Islam. Sekolah angkatan laut sempat didirikan di Semarang, demikian pula dengan sekolah kejuruan bidan dan sekolah ronggeng. Sayangnya semua usaha tersebut gagal karena pembiayaan yang sangat minim (Said dan Affan, 1987), disamping ia sudah terlanjur dipanggil pulang sebelum sempat merealisasikan semua ide-idenya (Najamuddin, 2005).

2.6 ZAMAN PENDUDUKAN INGGRIS (1811-1816)

Akibat kekalahan Belanda dalam Revolusi Perancis melawan Inggris, dimana Belanda bersekutu dengan Perancis, tanah Nederland diduduki oleh Inggris, berikut daerah jajahannya termasuk Hindia Belanda. Namun demikian, Belanda masih dapat mengakses daerah jajahannya meski dibawah pemerintahan Inggris. Thomas Stamford Raffles ditugaskan untuk menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda untuk mewakili pendudukan Inggris. Dibawah pemerintahan Raffles, kekuasaan Bupati dan segala kalangan elit priyayi berusaha dipangkas dengan model pemerintahan langsung meski mendapatkan banyak sekali tentangan (Kartodirdjo, 1987 dan Najamuddin, 2005). Kerja rodi dan perbudakan digantikan dengan pajak penyewaan tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat kepada pemerintah. Keadaan ekonomi yang sudah sangat sulit pada masa itu, malah semakin dipertajam dengan kewajiban untuk membayar pajak land rent, sehingga rakyat harus bekerja lebih ekstra lagi agar kewajibannya dapat dipenuhi. Raffles lebih berminat dalam mengadakan penelitian untuk menelusuri kebudayaan Jawa dibanding meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pendidikan. Pantas saja bila selama pemerintahan Raffles, sekolah-sekolah banyak yang tak terurus dan mati dengan sendirinya karena pemerintahan pada masa itu tidak menganggarkan dana untuk pendidikan rakyat jajahan.

2.7 ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA (1816-1942)

2.7.1 Serah Terima Komisaris Jenderal Belanda dari pihak Inggris (1816-1818)

Komisaris Jenderal pada masa tersebut cukup menaruh perhatian di bidang pendidikan. Terbukti setelah beberapa waktu berselang dari proses serah terima daerah jajahan dari pihak Inggris ke pihak Belanda, ia menunjuk CGC Reinwardt sebagai Direktur Pengajaran (Najamuddin, 2005). Pada tahun terakhir dimasa pemerintahannya, dikeluarkan peraturan persekolahan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan penyelenggaraan pengajaran. Sayangnya, ide-ide Daendels pada masa sebelumnya yang ingin memperluas kesempatan pemerolehan pendidikan bagi penduduk jajahan tidak dilanjutkan pada masa ini. Hal tersebut sangat jelas karena dalam ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan pada masa ini sangatlah sedikit yang membahas masalah pengajaran untuk penduduk jajahan. Salah satunya adalah peraturan umum tentang pendidikan sekolah, yang berisi bahwa “pendidikan hanya untuk orang Belanda saja” (Said dan Affan, 1987). Dan bahkan peraturan ini berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen. Meski pada tahun 1818 telah dikeluarkan Regeringsreglement untuk Hindia Belanda yang isinya antara lain membahas bahwa semua sekolah di Hindia Belanda dapat dimasuki baik orang Eropa maupun penduduk jajahan (Watson dalam Supriadi, 2003). Pada kenyataannya, yang memasuki sekolah-sekolah tersebut hanya sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi.

Pada tahun 1817, didirikan sekolah dasar khusus untuk anak-anak dari golongan bangsa Belanda (Europeese Lagere School). Bahasa pengantar di sekolah-sekolah tersebut adalah bahasa Belanda dan sistem maupun kurikulumnya disesuaikan dengan yang berlaku di Belanda agar tetap sinergis dengan sekolah lanjutan di Belanda (Boone dalam Supriadi, 2003). Sekolah ini semakin banyak didirikan di berbagai daerah sejalan dengan semakin banyak pula orang Belanda yang datang ke bumi nusantara sambil membawa keluarganya ikut serta.

Pendirian ELS ini tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah, melainkan juga pihak swasta seperti NZG atau yang dikenal dengan zending (Supriadi, 2003). Akan tetapi, penyelenggaraan

Page 22: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

pendidikan berbasis keagamaan yang dikelola oleh NZG ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1870 NZG mengalami kebangkrutan dan terpaksa menyerahkan segala aset persekolahannya pada pemerintah Belanda sehingga pengaruh agama Kristen dalam pendidikan semakin berkurang.

2.7.2 Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819-1826)

Pada masa awal pemerintahannya, Van der Capellen menerbitkan surat keputusan tertanggal 8 Maret 1819 yang berisi perintah untuk mengadakan penelitian tentang pendidikan masyarakat Jawa dengan tujuan:

(1) Meningkatkan kemampuan baca tulis masyarakat,

(2) Memperbaiki pelaksanaan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang pendidikan sesuai dengan hasil penelitian.

Meskipun kurang representatif, dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa ada beberapa orang juru tulis yang mengajarkan bahasa dan huruf Arab, Jawa, dan Latin, dan juga keberadaan lembaga pendidikan agama Islam dengan bahasa Arab yang dianggap sangat penting bagi masyarakat Jawa. Pasalnya, hanya 12 orang Residen yang mengumpulkan angket kembali, meski angket tersebut telah dibagikan pada seluruh Residen yang ada (Steenbrink, 1986).

2.7.3 Gubernur Jenderal LPJ Du Bus de Gisignies (1826-1830)

Gubernur Jenderal Du Bus yang diangkat oleh Raja Willem I untuk menggantikan Van der Capellen ini lebih menitikberatkan pada peningkatan produksi untuk ekspor sebagai dasar guna memajukan perdagangan dan pajak tanah (Kartodirdjo, 1987). Optimisme keberhasilan politik kolonial Du Bus ini pada akhirnya malah membuahkan kemerosotan pemasukan pajak tanah dan tidak menampakkan kemajuan hasil ekspor. Sementara di bidang pendidikan, belum ditemukan literatur yang membahas usaha-usaha Du Bus di bidang pendidikan yang mungkin saja dikarenakan tidak adanya kebijakan yang begitu berarti pada masa ini.

2.7.4 Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830-1848)

Pada masa pemerintahannya, pencetus tanam paksa ini mulai menyediakan kesempatan untuk pendidikan anak-anak priyayi meskipun jumlahnya sangat sedikit sekali. Tentunya pemberian kesempatan untuk memperoleh pendidikan tersebut tidaklah setulus kelihatannya, karena hal ini dilakukan dalam rangka menjalin hubungan baik dengan golongan priyayi elitis di pulau Jawa. Budaya paternalistik dan feodal yang mengakar di pulau Jawa semakin dilanggengkan demi memperkuat birokrasi pemerintahan Belanda. Selain itu, pelaksanaan tanam paksa juga sangat membutuhkan banyak sekali pegawai rendahan yang nantinya dijabat oleh anak-anak dari golongan priyayi. Pendirian sekolah bagi anak-anak Belanda dilakukan pada jenjang di atas sekolah dasar, semisal pendirian sekolah menengah di Surakarta pada tahun 1832 (Supriadi, 2003).

Meskipun pada masa ini kebutuhan pendirian sekolah sangatlah tinggi, realisasinya tidak didukung dengan pengadaan dana yang optimal. Kekurangan dana dalam bidang pendidikan disiasati dengan model magang. Anak-anak golongan priyayi ditempatkan magang sebagai pesuruh di rumah-rumah orang Belanda. Sembari bekerja, mereka diajarkan bahasa Belanda, dan calistung. Meski tidak digaji, mereka mendapatkan makan dan pemondokan gratis. Bila kepandaian mereka sudah dianggap cukup, barulah mereka dipekerjakan sebagai pegawai tata usaha di kantor-kantor pamong praja (Kartodirdjo, 1987).

2.7.5 Gubernur Jenderal Rochussen (1848-1852)

Hingga pada bulan September 1848 masa pemerintahan Gubernur Jenderal Rochussen, barulah terlihat komitmen pemerintah Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah dasar bagi penduduk pribumi dengan pengantar bahasa Melayu dengan diterbitkannya Dekrit Kerajaan yang mengatur pendirian Volksschool atau Sekolah Rakyat (Supriadi, 2003). Fokus pengajaran pada SR hanya sebatas pada calistung dengan bahasa Melayu atau bahasa lokal penduduk setempat.

Pada tahun 1849 tercatat bahwa penduduk pribumi yang berada di sekolah-sekolah Eropa di pulau Jawa hanyalah 37 orang. Dengan pembangunan SR yang terus berkelanjutan, pada

Page 23: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

akhirnya jumlah penduduk pribumi yang mengenyam pendidikan tentunya semakin meningkat. Pada tahap pertama didirikan 20 SR yang lokasinya diprioritaskan pada setiap ibukota karesidenan di pulau Jawa. Dari tahun ke tahun pendiriannya semakin diperbanyak sejalan dengan kebutuhan pemerintah Belanda yang semakin besar akan tenaga pegawai rendahan.

Kebijakan pendidikan yang tidak tulus untuk mencerdaskan penduduk negeri jajahan semata, ternyata juga menuai kritik dari warga Belanda sendiri. Kritik Van Hoevell terhadap perkembangan sekolah rakyat (Inlandschesholen): “Pemerintah hanya menyiapkan beberapa gelintir manusia saja untuk menjalankan roda pemerintahan, tidak untuk memuaskan keinginan orang Jawa pada pendidikan.” Tidak mengherankan bila jumlah murid di daerah jajahan Belanda ini (1846-1849) hanya 155.355 murid dan 102 guru.

2.7.6 Pemerintahan Hindia Belanda Pada Pertengahan Hingga Akhir Abad 19 M

Secara umum, perkembangan pendidikan dan pengajaran sampai akhir abad ke-19 menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang dipolitisir, sebagaimana kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda berikut ini:

(1) Pendidikan dan pengajaran harus bersifat netral dan tidak berdasarkan agama (Kartodirdjo, 1987). Hal ini jelas dilakukan karena pengaruh aliran liberalisme yang sedang berkembang di Nederland. Lagipula, model pendidikan tradisional yang sudah ada seperti pesantren dan langgar, dianggap sangat sukar untuk diintegrasikan dengan pendidikan yang liberal. Sehingga untuk memojokkan pendidikan berbasis agama Islam dilakukan Belanda dengan mengeluarkan Ordonantie yang rumit secara birokratis, tidak memberikan dukungan pendanaan, dan mempercepat kenaikan status pegawai pangreh praja yang sekuler kebarat-baratan meskipun memeluk Islam (Ham, 2004).

(2) Bahasa Belanda tidak diajarkan di sekolah-sekolah pribumi, dengan alasan untuk tetap melestarikan kebudayaan lokal dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah pribumi. Padahal kebijakan ini ditempuh karena ketakutan pemerintah Belanda bila penduduk jajahan mengetahui bahasa mereka maka akan mengetahui strategi kolonisasi Belanda.

(3) Pembukaan sekolah pribumi hanya didasarkan sebatas kebutuhan praktis pemerintah Belanda saja, misalnya untuk kebutuhan pegawai rendahan, dan tidak untuk mencerdaskan penduduk jajahan.

(4) Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elit (Rickfles, 2001).

Sistem pendidikan yang dualistis pada masa ini juga membuat garis pemisah yang tajam antara dua subsistem: sistem sekolah Eropa dan sistem sekolah pribumi. Tetapi, pada tahun 1892 akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap sistem persekolahan karena kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa Belanda, sebagaimana berikut (Kartodirdjo, 1987):

(1) Sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan priyayi dengan pelajaran bahasa Belanda;

(2) Sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa pelajaran bahasa Belanda.

2.7.7 Periode Politik Etis (1900-1942)

Pada tahun 1899, seorang berkebangsaan Belanda, van Deventer menulis sebuah artikel berjudul ‘Een Eereschuld’ (utang kehormatan) yang berisi kerisauan kaum intelektual Belanda terhadap dehumanisasi di Hindia Belanda yang terpengaruh kapitalisme sangat kuat (Supriadi, 2003). Begitu ironis karena Belanda pada masa tersebut telah menggembar-gemborkan dirinya sebagai bangsa yang humanis dan memiliki peradaban yang sangat tinggi, tetapi melakukan politik pengerukan keuntungan secara besar-besaran dengan sistem tanam paksa (1830) dan sistem liberal (1870). Diungkapkan pula oleh van Deventer bahwa pemerintah Belanda berhutang

Page 24: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

pada penduduk Hindia Belanda lebih dari 187 juta gulden yang mana harus dibayarkan kembali dengan menyediakan anggaran khusus untuk peningkatan kesejahteraan mereka di segala bidang.

Munculnya artikel tersebut akhirnya memicu perubahan yang sangat drastis pada kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda terhadap penduduk jajahan di Hindia Belanda, yaitu dengan dicanangkannya politik etis atau politik balas budi secara resmi pada tahun 1901 oleh Ratu Belanda. Rekaman surat-surat antar para pejabat pendidikan (khususnya Kementerian Pendidikan, Agama, dan Kerajinan), Menteri Tanah Jajahan, dan Gubernur Jenderal mengenai kebijakan pendidikan di Hindia Belanda dalam kurun waktu 1900-1940 menunjukkan secara jelas bahwa sejak awal abad ke-20 telah terjadi arus balik dari pendidikan yang elitis menuju pendidikan yang lebih populis (van der Wal dalam Supriadi, 2003), meskipun kedua model pendidikan tersebut masih tetap diberlakukan secara kombinatif hingga akhir pendudukan Belanda di bumi nusantara.

Meski kerajaan Belanda terlihat sangat tulus dalam perubahan kebijakan di negeri jajahan melalui politik etis, yang terjadi di Hindia Belanda tidaklah demikian (van Niel, 1984). Pasalnya, sistem pendidikan yang diterapkan di Hindia Belanda masih tetap dimaksudkan untuk mempertahankan keberlangsungan kekuasaan kolonial dan tidak berupaya untuk mencerdaskan kehidupan penduduk jajahan semata. Lulusan dari lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah Belanda hanya diproyeksikan untuk dapat memenuhi kebutuhan pegawai rendahan semata. Hal tersebut terlihat dari penerapan kurikulum sekolah tingkat dasar yang hanya terbatas pada calistung dan mengabaikan mata pelajaran geografi dan sejarah yang ditakutkan memiliki potensi untuk menumbuhkan semangat nasionalisme (Supriadi, 2003).

Selain memperluas pendirian pendidikan dasar, pemerintah Belanda juga mendirikan lebih banyak sekolah lanjutan umum (MULO), sekolah-sekolah kejuruan (Ambachtsschool), sekolah keguruan (Kweekschool dan Normaalschool), dan berbagai jenis sekolah tinggi (STOVIA, Rechtschool, dst) yang diperuntukkan bagi penduduk pribumi. Tentu saja kebijakan tersebut akhirnya membuat jumlah penduduk pribumi yang mengenyam pendidikan formal menjadi meningkat drastis. Akibat yang tidak disengaja muncul adalah bangkitnya kaum intelektual nasionalis yang merupakan hasil didikan lembaga-lembaga formal Belanda (Suminto, 1984). Mereka mendirikan berbagai macam organisasi pergerakan dan lembaga pendidikan kebangsaan yang turut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

2.8 ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)

Meski zaman pendudukan Jepang di bumi nusantara sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu telah disisipi misi Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia untuk membantu kepentingan perang Jepang. Misi tersebut dilakukan dengan mendekati tokoh-tokoh kiai yang menjadi panutan umat Islam agar dapat dijadikan sandaran politik mereka. Pertemuan antara 32 ulama dengan Gunseikan pada 7 Desember 1942 berisi tukar pendapat mengenai ke-Islam-an dan komitmen Jepang untuk melindungi adat dan agama Islam, tidak mencampuri lembaga keagamaan bahkan diperkenankan secara resmi untuk meneruskan pekerjaannya, serta memberi kedudukan yang baik pada mereka yang telah mendapatkan pendidikan agama tanpa membeda-bedakannya dengan golongan lain (Assegaf, 2005). Intinya, misi Nipponisasi tersebut dianggap akan tertanam lebih mudah pada rakyat kecil bila mereka sudah terebut hatinya dengan perlakuan istimewa Jepang terhadap mayoritas rakyat yang beragama Islam. Efek samping yang tidak disadari oleh Jepang karena kebijakan tersebut adalah perkembangan lembaga pendidikan ke-Islam-an non formal seperti pesantren dan yang formal seperti madrasah, menjadi begitu pesat.

Demi melancarkan usaha Nipponisasi-nya, Jepang juga melakukannya lewat kebijakan pelarangan penggunaan bahasa Eropa (Inggris dan Belanda) dalam komunikasi lisan dan tulisan, dan hanya memperbolehkan komunikasi dalam bahasa Indonesia dan Jepang. Pengaruh tersebut sangat terasa dalam dunia pendidikan karena semasa pendudukan Belanda, bahasa pengantar yang dipergunakan di sekolah-sekolah adalah bahasa Belanda. Sehingga pada masa itu, Jepang membentuk juru bahasa sebagai penerjemah ketika guru sedang mengajar,

Page 25: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

mempopulerkan bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda dengan membuka sekolah bahasa Jepang, mengadakan perlombaan bahasa Jepang, memasukkan bahasa Jepang dalam ujian calon guru dan ujian akhir murid. Selain itu, Jepang juga mengganti seluruh istilah yang digunakan baik dalam dunia pendidikan, persuratkabaran, hingga nama lembaga pemerintah maupun non pemerintah dengan bahasa Jepang. Propaganda tersebut juga dilakukan melalui radio dan dunia hiburan seperti film layar lebar, drama, wayang kulit, tari-tarian dan nyanyian. Selain itu, Jepang juga membentuk panitia penyempurnaan bahasa Indonesia, yang mana imbasnya sangatlah menguntungkan bagi perkembangan bahasa Indonesia.

Demi kepentingan perangnya, Jepang melakukan banyak upaya untuk memberdayakan bangsa Indonesia, misalnya melalui indoktrinasi dengan pengasramaan kiai dan santri-santri untuk dibekali kemampuan bela diri dan kemiliteran untuk membantu Jepang. Malah tanpa disadari Jepang, kebijakan tersebut malah menumbuhkan semangat nasionalisme dan keinginan untuk merdeka yang meluap-luap pada pemuda kalangan pesantren tersebut (Assegaf, 2005). Di lain tempat, pekarangan sekolah-sekolah ditanami umbi-umbian dan sayur-sayuran untuk tambahan bahan makanan, serta pohon jarak untuk menambah minyak demi kepentingan perang Jepang, tentunya semua hal tersebut dilakukan oleh para pelajar (Said dan Affan, 1987). Selain itu, mereka juga disuruh untuk bergotong royong mengumpulkan batu, kerikil, dan pasir untuk kepentingan pertahanan. Para pelajar juga dibekali dengan berbagai macam ketangkasan dalam perang untuk mempertahankan diri. Ditambahkan pula dengan kewajiban untuk senam pagi untuk menguatkan fisik pelajar dalam membantu Jepang. Indoktrinasi dilakukan melalui lagu senam yang berbahasa Jepang, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang sebelum masuk kelas, melakukan penghormatan kepada Kaisar Jepang, mengucapkan sumpah setia kepada cita-cita Indonesia dalam rangka mewujudkan Asia Raya, dan seterusnya.

Diskriminasi dan diferensiasi pendidikan yang diberlakukan pada zaman Belanda dengan menggolongkan sekolah menurut golongan bangsa dan status sosial dihapuskan oleh Jepang. Sehingga hanya berlaku satu macam sekolah tiap tingkatnya untuk segala kalangan dan bangsa Indonesia pun bebas untuk memasuki sekolah-sekolah tersebut. Meskipun kebijakan tersebut diambil oleh Jepang dengan tujuan untuk memudahkan proses pengawasan dan manajerial administratif saja, tetapi dampak penghapusan diskriminasi dan diferensiasi tersebut begitu besar bagi dunia pendidikan pada masa itu. Tentunya selain dampak positif, dampak negatifnya adalah penurunan drastis jumlah sekolah, guru, dan murid secara kuantitatif. Hal itu sangat jelas terasa karena banyak sekolah yang ditutup karena penyederhanaan sistem persekolahan tersebut dan guru-guru sekolah banyak yang terserap di bidang profesi lainnya seperti menjadi pegawai pemerintah dan tentara militer.

Kebijakan di bidang pendidikan yang dikeluarkan oleh Jepang memang banyak yang terlihat seolah-olah ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (mulai dari pemberlakuan sekolah gratis, pemberian tambahan insentif guru, hingga penyederhanaan sistem persekolahan), tetapi pada kenyataannya kebijakan tersebut sarat dengan muatan politis yang membawa misi Nipponisasi dan pemberdayaan bangsa Indonesia untuk perburuhan dan mobilisasi militer.

3. PENUTUP

Dari paparan yang telah disajikan oleh penulis, pada bab-bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan secara umum bahwa kebijakan pendidikan memang selalu bernuansa politis. Sistem pendidikan yang ditetapkan melalui kebijakan pendidikan tersebut sebenarnya adalah usaha-usaha pemerintah sebagai kelompok elit minoritas yang sedang berkuasa di sebuah negara untuk melanggengkan status kekuasaannya serta melestarikan hegemoni atas rakyat mayoritas yang menjadi sasaran implementasi kebijakan tersebut. Secara garis besar, arah makro politik kebijakan pendidikan di Indonesia pra proklamasi kemerdekaan Indonesia berdasarkan periodisasi perkembangan pendidikan adalah sebagai berikut:

Periodisasi Bentuk atau Model Kebijakan Pendidikan

Tujuan atau Arah Politik Kebijakan Pendidikan

Page 26: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Animisme & dinamisme

(sebelum 1M)

Pendidikan tidak terlembagakan dan berlangsung secara turun temurun menurut adat suku atau kelompok masyarakat.

Tujuan pendidikan sangatlah praktis untuk menjaga keberlangsungan hidup individu maupun kelompok.

Sinkretisme Budha & Hindu-Syiwa

(1M-15M)

Pendidikan yang berbasis keagamaan ini diselenggarakan oleh kaum Brahmana dan hanya diperuntukkan bagi kalangan kerajaan dan bangsawan dengan model pengajaran di kuil-kuil, pondok, maupun secara privat. Kasta rendah tidak diberikan kesempatan untuk berpendidikan

Tujuan pendidikan yang diadakan hanya bagi kasta tertentu ini adalah untuk melanggengkan kekuasaan kaum elit kerajaan dan bangsawan agar rakyat dapat dihegemoni melalui perbudakan.

Islam (12M) Pendidikan berbasis keagamaan ini diperuntukkan bagi semua golongan masyarakat secara tradisional dan melalui jalan damai. Pengajaran dilakukan di langgar, surau, pesantren, maupun model perjalanan dakwah melalui wali-wali.

Penguasa kerajaan memeluk Islam dan membantu penyebarannya untuk mempermudah hubungan dengan

pedagang-pedagang bangsa asing pemeluk agama Islam.

Portugis (16M)

Pendidikan dilakukan di sekolah formal seperti seminari dan sejenisnya, diperuntukkan bagi semua golongan.

Pendidikan berbasis keagamaan ini mengandung misi penyebaran agama Katholik melalui sekolah-sekolah formal.

VOC

(1596-1799)

Kebijakan dari VOC yang bekerjasama dengan pihak zending (NZG).

Pendidikan diselenggarakan dengan misi Kristenisasi untuk menghalau pengaruh Katholikisasi Portugis, dan untuk memfasilitasi anak-

anak pegawai VOC yang tinggal di negeri jajahan bersama orang tuanya, serta untuk mendapatkan pegawai rendahan dari golongan priyayi pribumi.

Hindia Belanda

(1799-1811)

Peraturan umum pendidikan dan pengajaran

Tujuan penyelenggaraan pendidikan adalah untuk memfasilitasi anak-anak pegawai VOC yang tinggal di negeri jajahan bersama orang tuanya, serta untuk mendapatkan pegawai

rendahan dari golongan priyayi pribumi.

Inggris Pendidikan tidak diperhatikan sehingga mengalami kemunduran.

-

Page 27: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

(1811-1816)

Hindia Belanda

(1816-1942)

Regeringsreglement 1848, Dekrit Kerajaan, dan peraturan-peraturan mengenai pendidikan dan pengajaran yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal dan

perangkat-perangkat dibawahnya.

Pendidikan diselenggarakan untuk memfasilitasi anak-anak pegawai VOC yang tinggal di negeri jajahan bersama orang tuanya, serta untuk mendapatkan pegawai

rendahan dari golongan priyayi pribumi.

Jepang

(1942-1945)

Osamu Sirei No.1 dan Maklumat-maklumat tentang sistem persekolahan

Tujuan penyelenggaraan pendidikan adalah untuk menghilangkan pengaruh Belanda dan menanamkan indoktrinasi Nipponisasi, memperkuat kepentingan perang Jepang, serta meluluskan tenaga kepegawaian untuk pengelolaan pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

Assegaf, Abd. Rachman. 2005 . Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran

Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta: Kurnia Kalam.

Beeby, CE. 1982 . Pendidikan Di Indonesia: Penilaian dan Pedoman

Perencanaan. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.

Boxer, CR. 1985 . Jan Kompeni. Terjemahan. Jakarta:Sinar Harapan.

BSNP. 2003 . Buletin BSNP. Jakarta: Depdiknas.

Buchori, Mochtar. 2007 . Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari

Kweekschool Sampai ke IKIP 1852-1998. Yogyakarta: Insist.

der Wal, SL. 1977 . Pendidikan di Indonesia 1900-1940: Kebijaksanaan

Pendidikan di Hindia Belanda 1900-1940. Terjemahan. Jakarta: Depdikbud.

Dunn, William N. 2003 . Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan.

Yogyakarta: UGM Press.

Djojonegoro, Wardiman. 1996 . Lima Puluh Tahun Perkembangan

Pendidikan Di Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Ellis, Arthur K., Cogan, JJ, dan Howey, KR. 1986 . Introduction to the

Foundations of Education. USA: Prentice Hall.

Gunawan, Ary H. 1995 . Kebijakan-Kebijakan Pendidikan Di Indonesia.

Jakarta: Bina Aksara.

Ham, Ong Hok. 2004 . Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong: Refleksi

Historis Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Howlett, M., dan Ramesh, M. 1998 . Policy Subsystem Configurations

and Policy Change: Operationalizing the Postpositivist Analysis of the Politics of the Policy Process. Policy Studies Journal. Vol. 26 No.3.

Page 28: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Ibtihadj, Musyarof. 2006 . Islam Jawa: Kajian Fenomenal tentang Pengaruh

Islam Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Tugu Publisher.

Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-

1900, Dari Emporium Sampai Imperium, Jilid 1. Jakarta: Gramedia.

Kartono, Kartini. 1990 . Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan

Nasional. Bandung: Mandar Maju.

Najamuddin, 2005 . Perjalanan Pendidikan Di Tanah Air (Tahun 1800-

1945). Bandung: Rineka Cipta.

Poerbawakatja, Soegarda. 1968 . Pendidikan Dalam Alam Indonesia

Merdeka. Jakarta: Gunung Agung.

Reyes, Giovanni E. 2001 . The Policy Making Process and Models for

Public Policy Analysis.http://sincronia.cucsh.udg.mx/poan.htm . Diakses pada tanggal 3 Desember 2007.

Rickfles, MC. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta:

Serambi.

Said, Muhammad, dan Affan, Junimar. 1987 . Mendidik Dari Zaman Ke

Zaman. Bandung: Jemmars.

Sanit, Arbi. 1986 . Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sirajuddin, Fatkhurohman, dan Zulkarnain. 2007 . Legislative Drafting:

Pelembagaan Metode Partisipatif dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Malang: YAPPIKA, MCW, dan In Trans Publishing.

Sirozi, Muhammad. 2004 . Politik Kebijakan Pendidikan Di Indonesia:

Peran Pemimpin Muslim Dalam Penyusunan UU No.2 Tahun 1989 Tentang SPN. Jakarta-Leiden: INIS.

Suminto, Aqib. 1984 . Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor

Inlandsche zaken. Jakarta: LP3ES.

Supriadi, Dedi, dan Hoogenboom, Ireene. 2003. Guru di Indonesia Dari

Masa Ke Masa. Dalam Supriadi, Dedi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya sejak Zaman Kolonial hingga Era Reformasi. Jakarta: Depdikbud.

Supriadi, Dedi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan,

dan Perjuangannya sejak Zaman Kolonial hingga Era Reformasi. Jakarta: Depdikbud.

Steenbrink, Karel A. 1986 . Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan

Islam Dalam Kurun Moderen. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.

Syafiie, Inu Kencana, dan Azhari. 2006 . Sistem Politik Indonesia.

Bandung: Refika Aditama.

van Niel, Robert. 1984 . Munculnya Elit Modern Indonesia. Bandung:

Pustaka Jaya.

Wibowo, Eddi, dan Subandini, Mira, dan Tangkilisan, HNS. 2004 .

Hukum dan Kebijakan Publik. Yogyakarta: YPAPI.

…………… . 2007. Pendidikan di Zaman Hindu dan Zaman Kolonial

Page 29: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Portugis. http://peziarah.wordpress. com/ Diakses pada 31 Januari 2008.

KEBERHASILAN BELAJAR DAN BERBAGAI UPAYA UNTUK MEMOTIVASI SISWA DALAM   BELAJAR Filed under: Makalah, makalah pendidikan by Azkia Alawi — Tinggalkan komentar 25 April 2010

1. A. PENGERTIAN KEBERHASILAN, BELAJAR DAN KEBERHASILAN BELAJAR

1. 1. Keberhasilan

Keberhasilan secara etimologi  yaitu berasal kata dari hasil yang artinya sesuatu yang diadakan (dibuat, dijadikan, dsb) oleh usaha. Keberhasilan dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah perihal (keadaan) berhasil.[1]

Keberhasilan juga berarti memperoleh penghargaan, kepemimpinan. Keberhasilan bisa dikatakan bahwa akan dilihat lebih tinggi oleh orang lain dalam usaha dan kehidupan sosial seseorang. Keberhasilan juga berarti kebebasan, kebebasan dari rasa takut, rasa cemas, rasa frustasi dan kegagalan. Keberhasilan itu bisa diartikan sebagai penghargaan diri.

Keberhasilan itu adalah sebuah kemenangan, namun untuk bisa meraih yang namanya keberhasilan, maka anda harus mempunyai keyakinan untuk itu. Keberhasilan membutuhkan keyakinan. Ketika anda merasa yakin, maka anda secara otomatis akan memperoleh atau menghasilkan sebuah kekuatan, ketrampilan dan juga menghasilkan suatu energi yang diperlukan untuk sebuah keberhasilan. Ketika anda percaya dapat melakukannya, maka kembangkanlah bagaimana anda melakukannya.

1. 2. Belajar

Belajar secara etimologi adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Belajar berasal dari kata ajar yang artinya petunjuk yang di berikan kepada orang supaya diketahui atau diturut.[2]

Untuk memperoleh pengertian yang objektif tentang belajar terutama belajar di sekolah, perlu di rumuskan secara jelas pengertian belajar. Pengertian belajar sudah banyak dikemukakan oleh para ahli psikologi termasuk ahli psikologi pendidikan.

Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertamu berbunyi : “….acquisition of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and experience” ( Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman ). Rumusan keduanya adalah process of acquiring responses as a result of special practice (Belajar ialah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus).

Page 30: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Hintzman (1978) dalam bukunya The Psycology of Learning and Memory berpendapat bahwa “Learning is a change in organism due to experience which can affect the organism’s behavior” (Belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut). Jadi, dalam pandangan Hintzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme.

Menurut Made Pidarta, 2007: Belajar adalah perubahaan perilaku yang relative permanen sebagai hasil pengalamaan (bukan hasil perkembangaan,pengaruh obat, atau kecelakaan) dan melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengomunikasikaannya kepada orang lain. [3]

Menurut M. Sobry Sutikno, 2008: Belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapaan, keterampilan, dan sikap. Biasa juga di artikan bahwa belajar itu adalah suatu proses usaha yang di lakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhaan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungaannya.[4]

Belajar Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan ( Moh. Surya, 1992, 23).

Biggs (1991) dalam pendahuluan Teaching for Learning: The View From Cognitive Psychology mendefinisikan belajar dalam tiga macam rumusan, yaitu: rumusan kuantitatif; rumusan instusional; rumusan kualitatif.

Menurut pengertian secasa psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Pengertian belajar dapat di definisikan sebagai berikut :

“Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memeperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik sifat maupun jenisnya karena itu sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Kalau tangan seorang anak menjadi bengkok karena patah tertabrak mobil, perubahan semacam itu tidak dapat digolongkan kedalam perubahan dalam arti belajar. Demikian pula perubahan tingkah laku seseorang yang berada dalam keadaan mabuk, perubahan yang terjadi dalam aspek-aspek kematangan, pertumbuhan, dan perkembangan tidak termasuk perubahan dalam pengertian belajar.

Jika demikian, apakah ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar?

1. Perubahan terjadi secara sadar

Ini berarti seorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya.

Page 31: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

1. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fugsional

Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secara berkesinambungan, tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya.

1. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif

Dalam perubahan belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebihbaik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh.

1. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara

Perubahan yang bersifat sementara atau temporer terjadi hanya untuk beberapa saat saja, seperti berkeringat, keluar air mata, bersin, menangis, dan sebagainya, tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam arti belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.

1. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah

Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.

1. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku

Perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. jika seorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya.[5]

1. 3. Keberhasilan Belajar

Dari pengertian keberhasilan dan belajar kita dapat mengetahui bahwa keberhasilan belajar adalah tercapainya keadaan proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Keberhasilan belajar bias diketahui dengan evaluasi karena evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah assessment yang menurut Tardif dkk., (1989), berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan assessment ada pula kata lain yang searti dan relative lebih dikenal dalam dunia pendidikan kita yakni tes, ujian, dan ulangan.[6]

Page 32: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Keberhasilan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa ditentukan oleh efektivitasnya dalam upaya pencapaian kompetensi belajar. UNESCO (1996) menetapkan empat pilar pendidikan yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh pengelola dunia pendidikan, yaitu:

a. Belajar untuk menguasai ilmu pengetahuan (learning to know)

b. Belajar untuk menguasai keterampilan (learning to do)

c. Belajar untuk hidup bermasyarakat (learning to live together)

d. Belajar untuk mengembangkan diri secara maksimal (learning to be).

a. Learning to know

Dalam hal ini posisi seorang guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Di samping itu guru juga dituntut untuk dapat berperan aktif sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.

b. Learning to do

Akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Pendeteksian bakat dan minat siswa dapat dilakukan melalui tes bakat dan minat (attitude test). Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan (heredity) namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Dewasa ini, keterampilan bisa digunakan menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang. Untuk itu pembinaan terhadap keterampilan siswa perlu mendapat perhatian serius.

c. Learning to live together

Salah satu fungsi lembaga pendidikan adalah tempat bersosialisasi, tatanan kehidupan, artinya mempersiapkan siswanya untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan pendidikan. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan

d. learning to be

Pengembangan diri secara maksimal erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif peran guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal. Kemampuan diri yang terbentuk di sekolah secara maksimal memungkinkan anak untuk mengembangkan diri pada tingkat yang lebih tinggi. Keempat pilar akan berjalan dengan baik jika diwarnai dengan pengembangan keberagamaan. Nilai-nilai keberagamaan

Page 33: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

sangat dibutuhkan bagi setiap warganegara Indonesia dalam menapaki kehidupan di dunia ini. Pengintegrasian nilai-nilai agama ke dalam mata pelajaran yang diajarkan/dipelajari siswa akan lebih efektif dalam pembentukan pribadi anak yang ber-Ketuhahan Yang Maha Esa daripada diajarkan secara monolitik yang penuh dengan konsep.

1. B. Indikator Keberhasilan Belajar

Indikator yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menyatakan bahwa suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, adalah:

1. Daya serap terhadap bahan pelajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok, (kognitif).

2. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/ TIK telah dicapai siswa baik individu maupun klasikal (afektif).

Namun yang banyak dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan dari keduanya adalah daya serap siswa terhadap pelajara

Penilaian Keberhasilan

Tes prestasi belajar dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan dan dapat digolongkan kedalam jenis penilaian sebagai berikut :

Tes Formatif

Penilaian ini digunakan untuk menguur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap anak didik terhadap pokok bahasan tersebut. Hasil tes ini dimanfaatkan untuk memperbaiki proses balajar mengajar bahan tertentu dalam waktu tertentu Contohnya: ulangan harian.

Tes Subsumatif

Tes ini meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah diajarkan dalam waktu tertentu, bertujuan untuk memperoleh gambaran daya serap anak didik untuk meningkatkan tingkat prestasi belajar anak didik. Hasil tes ini digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan diperhitungkan dalam menentukan nilai rapor (UTS)

Tes Sumatif

Tes ini dilakukan untuk mengukur daya serap anak didik terhadap bahan pokok-pokok bahasan yang telah diajarkan selama satu semester atau dua tahun pelajaran, Tes ini bertujuan untuk menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar anak didik dalam suatu periode belajar tertentu. Hasil tes ini daigunakan untuk kenaikan kelas, menyusun rangking atau sebagai ukuran mutu sekolah (UAS)

Tingkat Keberhasilan

Page 34: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Untuk mengetahui sampai dimana tingkat keberhasilan belajar siswa terhadap proses belajar yang telah dilakukannya dan sekaligus juga untuk mengetahui keberhasilan mengajar guru, kita dapat menggunakan tingkat acuan sebagai berikut:

Istimewa / maksimal: apabila seluruh bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai siswa

Baik sekali/ optimal: apabila sebagian besar (85% s/d 94%) bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai siswa.

Baik / minimal: apabila bahan pelajaran yang diajarkan hanya 75% s/d 84% dikuasai siswa

Kurang  apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 75% dikuasai siswa.Proses belajar mencapai puncaknya pada hasil belajar siswa atau unjuk kerja siswa .

1. C. Pengertian Motivasi

Motivasi secara bahasa adalah energi atau kekuatan. Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.[7]

Robbin, S.P (1993) menyebutkan motivasi adalah suatu proses yang menghasilkan suatu intensitas, arah dan ketekunan individual dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan. Tiga unsur kunci dalam definisi ini adalah:

1. Intensitas: menyangkut seberapa kerasnya seseorang berusaha. Ini adalah unsur yang paling di fokuskan apabila berbicara tentang motifasi. Akan tetapi intensitas yang tinggi tidak akan membawa hasil yang diinginkan kecuali kalau upaya itu diarahkan ke suatu tujuan yang menguntungkan organisasi.

2. Tujuan: apa yang ingin dicapai oleh seseorang.

3. Ketekunan: ukuran tentang berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya. Individu-individu yang termotifasi tetap bertahan pada pekerjaan cukup lama untuk mencapai tujuannya.[8]

Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai suatu proses internal (dari dalam diri seseorang ) yang mengaktifkan, membimbing, dan mempertahankan perilaku dalam rentang waktu tertentu” (Baron, 1992:Schunk,1990 dalam Nur, 2003:2).

Graham & Golan, (1991) menyatakan bahwa :

Motivasi penting dalam menentukan seberapa banyak siswa akan belajar dari suatu kegiatan pembelajaran atau seberapa banyak menyerap informasi yang disajikan kepada mereka. Siswa yang termotivasi untuk belajar sesuatu akan menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari materi itu, sehingga siswa itu akan menyerap dan mengendapkan materi itu dengan lebih baik

Page 35: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Motivasi belajar siswa merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan belajarnya. Kadar motivasi ini banyak ditentukan oleh kadar kebermaknaan bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaranyang dimiliki oleh sisya yang bersangkutan ”(Djamarah S.B, dkk, 1995:70).

Motivasi ada dua macam yaitu motivasi yang datang dari dalam diri anak, disebut motivasi intrinsik, dan motivasi yang diakibatkan dari luar, disebut motivasi ekstrinsik (Djamarah S.B, 1997:223).

Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, sering sekali pengajar harus berhadapan dengan siswa-siswa yang prestasi akademisnya tidak sesuai dengan harapan pengajar. Bila hal ini terjadi dan ternyata kemampuan kognitif siswa cukup baik, pengajar  cendrung untuk mengatakan bahwa siswa tidak bermotivasi dan menganggap bahwa hal ini kondisi yang menetap.yang menentukan tingkatan kegiatan

Sebenarnya motivasi, yang dikemukakaan oleh Eysenck dkk dirumuskan sebagai suatu proses yang menentukan tingkatan kegiatan, intensitas, konsistensi, serta arah umum dari tingkah laku manusia, merupakan konsep yang rumit dan berkaitan dengan konsep-konsep lain seperti minat, konsep diri, dan sikap. Siswa yang tampaknya tidak bermotivasi, mungkin pada kenyataannya cukup bermotivasi tapi tidak dalam hal-hal yang diharapkan pengajar. Jumlah motivator yang mempengaruhi pada suatu saat yang sama banyak sekali, dan motif-motif (yaitu factor yang membangkitkan dan mengarahkan tingkah laku) yang di bangkitkan oleh motivator-motivator tersebut mengakibatkan terjadinya sejumlah tingkah laku yang dimungkinkan untuk ditampilkan oleh seorang siswa.

Ada teori motivasi, salah satu teori yang terkenal kegunaannya untuk menerangkan motivasi siswa adalah yang dikembangakan oleh Maslow (1943, 1970). Maslow percaya bahwa tingkah laku manusia dibangkitkan dan diarahkan oleh kebutuhan-kebutuhaan tertentu. Kebutuhan-kebutuhan ini (yang memotivasi tingkah laku seseorang) dibagi oleh Maslow kedalam tujuh kaegori:

1. Fisiologis

Ini merupakan kebutuhan manusia yang  paling dasar, meliputi kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat berlindung, yang penting untuk mempertahankan hidup.

1. Rasa aman

Ini merupakan kebutuhan kepastian keadaan dan lingkungan yang dapat diramalkan, ketidakpastian, ketidakdilan, keterancaman, akan menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada diri individu.

1. Rasa cinta

Ini merupakan kebutuhan afeksi dan pertalian dengan orang lain.

1. Penghargaan

Page 36: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Ini merupakan kebutuhan rasa berguna, penting, dihargai, dikagumi, di hormati oleh orang-orang lain. Secara tidak langsung ini merupakan kebutuhan perhatian, kebenaran, status, martabat, dan lain sebagainya.

1. Aktualisasi diri

Ini merupakan kebutuhan manusia untuk mengembangkan diri sepenuhnya, merealisasikan potensi-potensi yang di milikinya

1. Mengetahui dan mengerti

Ini merupakan kebutuhan manusia untuk memuaskan rasa ingin tahunya, untuk mendapatkan pengetahuan, untuk mendapatkan keterangan-keterangan dan untuk mengerti sesuatu.

1. Pada tahun 1970 Maslow memperkenalkan kebutuhan ketujuh yang tampaknya sangat mempengaruhi tingkah laku beberapa individu, yaitu yang disebutnya kebutuhan estetik. Kebutuhan ini dimanifestasikan sebagai kebutuhan akan keteraturan, keseimbangan, dan kelengkapan dari suatu tindakan.

Hierarki yang diajukan oleh Maslow ini merupakan suatu urutan kebutuhan yang bersifat kaku, tetapi dalam kenyataan sehari-hari pengajar mungkin menemukan pengecualian-pengecualian. Hal ini disebabkan karena sering kali tingkah laku tidak dibangkitkan oleh satu penyebab, melainkan oleh beberapa penyebab. Namun demikian hal tersebut tidak berarti bahwa teori Maslow ini tidak berguna sama sekali dalam pendidikan. Bahkan dengan memiliki pengetahuan ini pengajar dapat menganalisis penyebab tingkah laku sisiwa memahaminya, dan memakainya untuk memotivasi siswa dalam belajar.

1. D. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Memotivasi Siswa Dalam Belajar

Cara untuk membangkitankan motivasi belajar siswa mengingat  deemikian penting motivasi bagi siswa dalam belajar. Maka guru diharapkan dapat membangkitkan  motivasi belajar siswap-siswanya. Dalam usaha ini banyaklah cara yang dapat dilakukan. Menciptakan kondisi-kondisi tertentu dapat membangkitkan motivasi belajar.

Pentingnya peranan motivasi dalam proses pembelajaran perlu dipahami oleh pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau bantuan kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik diakibatkan faktor dari dalam maupun luar siswa, untuk mencapai tujuan tertentu guna memenuhi / memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks pembelajaran maka kebutuhan tersebut berhubungan dengan kebutuhan untuk pelajaran.

Peran motivasi dalam proses pembelajaran, motivasi belajar siswa dapat dianalogikan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin, motivasi belajar yang memadai akan mendorong siswa berperilaku aktif untuk berprestasi dalam kelas, tetapi motivasi yang terlalu kuat justru dapat berpengaruh negatif terhadap keefektifan usaha belajar siswa.

Adapun fungsi dari motivasi dalam pembelajaran diantaranya :

Page 37: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

1. Mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan, tanpa motivasi tidak akan timbul suatu perbuatan misalnya belajar.

2. Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya menggerakkan tingkah laku seseorang. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.

Sehubungan dengan pemeliharaan dan peningkatan motivasi siswa, Dececco & Grawford, (1974) menyatakan bahwa “dalam pemeliharaan dan peningkatan motivasi siswa ada 4 fungsi pengajar, yaitu:[9]

1. Menggairahkan siswa

2. Memberikan harapan realistis

3. Memberikan insentif, dan

4. Mengarahkan

Gage & Berliner, (1979) menyarankan juga sejumlah cara meningkatkan motivasi siswa, tanpa harus melakukan reorganisasi kelas secara besar-besaran, yaitu:[10]

1. Pergunakan pujian verbal

2. Pergunakan tes dalam nilai secara bijaksana

3. Bangkitkan rasa ingin tahu siswa dan keinginannya untuk mengadakan eksplorasi

4. Untuk tetap mendapatkan perhatian

5. Merangsang hasrat siswa dengan jalan memberikan pada siswa, contohnya: hadiah

6. Agar siswa lebih mudah memahami bahan pengajaran

7. Terapkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam konteks yang unik dan luar biasa

8. Minta pada siswa untuk mempergunakan hal-hal yang sudah dipelajari sebelumnya

9. Pergunakan simulasi dan permainan

10. Perkecil daya tarik system motivasi yang bertentangan.

11. Perkecil konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan dari keterlibatan siswa

12. Pengajar perlu memahami dan mengawasi suasana sosial di lingkungan sekolah

Page 38: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

13. Pengajar perlu memahami hubungan kekuasaan antara guru dan siswa

Guru wajib berupaya sekeras mungkin untuk neningkatkan motivasi belajar siswa. Ada beberapa strategi yang dapat dikembangakan dalam upaya untuk menumbuhkan dan membangkitkan motivasi belajar siswa dalam proses pembelajaran, di antaranaya:

1. Menjelaskan tujuan belajar ke siswa.

Pada permulaan belajar mengajar seharusnya guru terlebih dahulu menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus (TIK) pembelajaran yang akan dicapai oleh siswa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.

1. Tumbuhkan motivasi pada saat awal pengajaran dimulai.

Caranya dapat dilakukan dengan menanyakan pekerjaan rumah atau mengecek apakah pengajaran saat itu sudah diketahui oleh peserta didik atau belum, agar pendidik dapat membaca situasi kelas apakah peserta didik siap mengikuti pembelajaran atau belum.

1. Pada saat membuka pelajaran, upayakan untuk mengulangi pelajaran minggu lalu atau pertemuan sebelumnya dengan member beberapa pertanayaan kepada peserta didik.

2. Pada saat menyampaikan materi pelajaran, upayakan untuk menyelipi humor.

3. Berikanlah hadiah untuk siswa yang berprestasi

4. Saingan/kompetisi

Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.

1. Pujiaan

Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian.

1. Hukumaan

Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar.

1. Membangkitkan dorongan kepada siswa untuk belajar

Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke siswa.

1. Membentuk kebiasaan belajar yang baik

2. Membantu kesulitan belajar siswa secara individual maupun kelompok.

3. Menggunakan metode yang bervariasi

4. Menggunakan media yang baik, serta harus sesuai dengan tujuan pembelajaran.[11]

Page 39: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

BAB III

SIMPULAN

Ø Pengertian Keberhasilan, Belajar Dan Keberhasilan Belajar

1. Keberhasilan secara etimologi adalah asal kata dari hasil yang artinya sesuatu yang diadakan (dibuat, dijadikan, dsb) oleh usaha. Keberhasilan dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah perihal (keadaan) berhasil.

Keberhasilan juga berarti kebebasan, kebebasan dari rasa takut, rasa cemas, rasa frustasi dan kegagalan. Keberhasilan itu bisa diartikan sebagai penghargaan diri.

1. Belajar secara etimologi adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Belajar berasal dari kata ajar yang artinya petunjuk yang di berikan kepada orang supaya diketahui atau diturut.

Menurut M. Sobry Sutikno, 2008: Belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapaan, keterampilan, dan sikap. Biasa juga di artikan bahwa belajar itu adalah suatu proses usaha yang di lakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhaan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungaannya

1. Dari pengertian keberhasilan dan belajar kita dapat mengetahui bahwa keberhasilan belajar adalah tercapainya keadaan proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ø Indikator Keberhasilan Belajar

Indikator yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menyatakan bahwa suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, adalah:

1. Daya serap terhadap bahan pelajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok, (kognitif).

2. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/ TIK telah dicapai siswa baik individu maupun klasikal (afektif).

Ø Pengertian Motivasi

Motivasi secara bahasa adalah energi atau kekuatan. Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.

Robbin, S.P (1993) menyebutkan motivasi adalah suatu proses yang menghasilkan suatu intensitas, arah dan ketekunan individual dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan.

Ø Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Memotivasi Siswa Dalam Belajar

Page 40: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

Gage & Berliner, (1979) menyarankan juga sejumlah cara meningkatkan motivasi siswa, tanpa harus melakukan reorganisasi kelas secara besar-besaran, yaitu:

1. Pergunakan pujian verbal

2. Pergunakan tes dalam nilai secara bijaksana

3. Bangkitkan rasa ingin tahu siswa dan keinginannya untuk mengadakan eksplorasi

4. Untuk tetap mendapatkan perhatian

5. Merangsang hasrat siswa dengan jalan memberikan pada siswa, contohnya: hadiah

6. Agar siswa lebih mudah memahami bahan pengajaran

7. Terapkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam konteks yang unik dan luar biasa

8. Minta pada siswa untuk mempergunakan hal-hal yang sudah dipelajari sebelumnya

9. Pergunakan simulasi dan permainan

10. Perkecil daya tarik system motivasi yang bertentangan.

11. Perkecil konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan dari keterlibatan siswa

12. Pengajar perlu memahami dan mengawasi suasana sosial di lingkungan sekolah

13. Pengajar perlu memahami hubungan kekuasaan antara guru dan siswa

DAFTAR PUSTAKA

Afifuddin dan Sutikno, Sobry. 2008. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Prospect.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pidarta, made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta : PT. Asdi Mahasatya.

Slameto.2003. Belajar dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka cipta.

Sutikono, Sobry. 2008. Landasan Pendidikan. Bandung: Prospect.

Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakaya Offset.

Syah, Muhibbin. 2005. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Page 41: Pendidikan di indonesia pada masa penjajahan

[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) hlm. 343

[2] Ibid, hlm 14

[3] Made Pidarta, Landasan Kependidikan,(Jakarta:Rineka Cipta,2007), hlm.206

[4] M. Sobry Sutikno, Landasan Pendidikan,(Bandung:Prospect,2008), hlm.51

[5] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya,( Jakarta: Rineka Cipta, 2003) hlm. 3

[6] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 195

[7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 666

[8] Dr. H. Afifuddin, MM. dan M.Sobry Sutikno, Pengelolaan Pendidikan, (bandung:Prospect,2008), hlm 54

[9] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya,( Jakarta: Rineka Cipta, 2003) Hlm. 175

[10] Ibid, Hlm. 177

[11] M. Sobry Sutikno, Landasan Pendidikan,(Bandung:Prospect,2008), hlm.65