Upload
rijalul-wal-jalali
View
42
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
TAFSIR TAHLILIUntuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Study Al-Qur’an”
Dosen pengampu :
Dr. Ahmad Zainal Abidin, M.Ag
Oleh
M. Ivan Kanzul Fikri (17506164041)
Fakultas : Pascasarjana
Prodi : PAI
Semester : I A
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PASCASARJANA
TULUNGAGUNG NOVEMBER 2016
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayahNya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Sholawatullah wasalamuhu semoga tetap kita limpahkan kepada
junjungan kita, habiibina, Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari
zaman kegelapan menuju zaman terang benderang dengan ajarannya yakni dinn al
islam
Atas terselesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada:
1. Dr. Maftukhin, M.Ag, selaku ketua IAIN Tulungagung
2. Prof. Dr. H. Achmad Fatoni, M.Ag, selaku direktur pascasarjana IAIN
Tulungagung
3. Dr. Ahmad Zainal Abidin, M.Ag, selaku dosen pengampu mata kuliah
4. Semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah
ini.
Dan akhirnya, dalam penyusunan penulisan makalah ini mungkin masih
banyak sekali kesalahan dan sebagainya, untuk itu saran dan kritik bagi makalah ini
selalu kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini. khususnya, dan
bagi semua pihak yang mengkaji karya ini pada umumnya.
Tulungagung, 5 Desember 2016
penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-qur’an adalah kallamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai pedoman hidup umat manusia agar bisa selamat di dunia dan di
akhirat. Maka dari itu, kita sebagai umat manusia harus bisa memahami isi
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an agar dapat menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk bisa memahami isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an agar
dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa memahami isi
kandungan lahirlah ilmu tafsir.
Ilmu tafsir menurut beberapa ulama dibagi menjadi empat macam yaitu,
tafsir tahlili, tafsir ijmali, tafsir muqaran, dan tafsir mawdlu’i. Namun, yang
akan kita bahas kali ini yaitu tentang tafsir tahlili.
Tafsir Tahlili adalah ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an secara detail
dari mulai ayat demi ayat, surat demi surat ditafsirkan secara berurutan, selain
itu tafsir ini mengkaji Al-Qur’an dari berbagai makna segi dan makna. Tafsir
ini juga lebih sering digunakan dari pada tafsir-tafsir lainnya. Dan untuk lebih
lanjutnya tentang tafsir Tahlili akan dibahas pada bab selanjutnya
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari tafsir Tahlili?
2. Bagaimana ciri-ciri tafsir Tahlili?
3. Bagaimana contoh tafsir Tahlili?
4. Bagaimana kelebihan dan kekurangan tafsir Tahlili?
C. Batasan masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari tafsir Tahlili
2. Untuk mengetahui ciri-ciri tafsir Tahlili
3. Untuk mengetahui contoh tafsir Tahlili
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir Tahlili
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian Tafsir Tahlili.
Kata tahlili berasal dari kata hala, terdiri dari huruf ha dan lam, yang berarti
membuka sesuatu. Sedangkan kata tahliliy sendiri termasuk bentuk infinitif
(masdar) dari kata hattala, yang secara sematik berarti mengurai, menganalisis,
menjelaskan, bagian-bagiannya serta fungsinya masing-masing. Al-Farmawi
mendefinisikan metode tahliliy ini sebagai tafsir yang mengkaji ayat-ayat Al-
Quran dari segi maknanya berdasarkan urutan ayat atau sunah dalam “mushaf”
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat
tersebut; dengan menjelaskan pengertian dan kandungan lafal-lafalnya,
hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, sebab nuzulnya, hadis-hadis
yang berhungungan dengannya, pendapat-pendapat para mufasir terdahulu yang
diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya masing-masing.1
Tahlili adalah salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan
kandungan-kandungan al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Seorang penafsir yang
mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara runtut dari awal
hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf ‘Usmani.
Untuk itu, ia menguraikan kosakata dan lafadz, menjelaskan arti yang
dikehendaki, juga unsur-unsur i’jaz dan balaghah, serta kandungan dalam
berbagai aspek pengetahuan dan hukum. Penafsiran dengan metode tahlili juga
tidak mengabaikan aspek asbab al-nuzul suatu ayat, munasabah (hubungan)
ayat-ayat al-Qur’an antara satu sama lain. Dalam pembahasannya, penafsir
biasanya merujuk riwayat-riwayat terdahulu baik yang diterima dari nabi,
Sahabat maupun ungkapan-ungkapan Arab pra Islam dan kisah isra ‘iliyat. Oleh
karena pembahasan yang terlalu luas itu maka tidak tertutup kemungkinan
penafsiran diwarnai bias subjektivitas penafsir, baik latar belakang keilmuan
maupun aliran madzhab yang diyakininya. Sehingga menyebabkan adanya
kecenderungan khusus yang teraplikasikan dalam karya mereka.2 Metode ini
1 Usman, Ilmu Tafsir, (Yoyakarta, Teras, 2009) hlm, 280-2812 Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Teras, 2010), hlm 41-42
4
terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai
tabi’in; terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi
khusus lainnya yang kesemuanya ditunjukan untuk memahani al-Qur’an yang
mulia.3
Dibanding metode tafsir lainnya, metode tahliliy ini dipandang lebih tua.
Tafsir ini ada semenjak masa ulama terdahulu. Akan tetapi, diantara ada yang
mengemukakan penafsiran itu secara panjang lebar (al-ithnab), seperti
syihabuddin al-Alusiy, Fakhruddin al-Raziy dan Ibn Jarir al-Thabariy, ada yang
mengemukakan secara singkat (al-ijaz), seperti jalaludin al-Suyuthiy dan
Jalaludin al-Mahally dan Muhammad Farid Wajdi, dan ada juga yang
mengambil langkah-langkah pertengahan (al-musawah), seperti Imam Al-
Baidhawiy, Muhammad Abduh, Al-Nisaburiy, dan lain-lain.4
Para mufasir tidak seragam dalam mengoperasionalkan metode ini. Ada
yang mengeruaikan secara ringkas, ada pula yang menguraikan secara terperinci.
Macam-macam tafsir di bawah ini menunjukkan keragaman itu:5
1. Tafsir bi Al-Ma’tsur
Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat
dengan hadits,yang menjelaskan makna sebagian ayat yang berasa sulit
difahami para sahabat, atau penafsiran ayat, dengan penafsiran ijtihad
para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in.6
2. Tafsir bi Ar-Ra’y
Tafsir bi Ar-Ra’y adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihadterutama
seorang penafsir itu betul-betul menegetahui perihal bahasa arab,
asbabunmuzul, nasikh mansukh dan hal-hal lain yang diperlukan
lazimnya seorang penafsir.7
3. Tafsir Ash-Shufi
3 Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi At-Tafsir Al Maudhu’i: Dirasah ManhajiyyahMaudhu’iyyah, Terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhui, (Bandung, Pustaka Setia, 2002),hlm 244 Usman, Ilmu Tafsir, . . . hlm 2815 Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi At-Tafsir Al Maudhu’i . . . hlm 246 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran (Yogyakarta, Pustaka Belajar,2007), hlm 707 Ibid, hlm 71
5
Penafsiran yang dilakukan oleh para sufi pada umumnya dikuasai oleh
ungkapan mistik. Ungakapan-ungakapan tersebut tidak dapat difahami
kecuali orang-orang sufi yang melatih diri untuk menghayati ajaran
tasawuf.8
4. Tafsir Al-fiqhi
Tafsir Al-fiqhi ialah penafsir ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh
madzhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran
madzabnya.9
5. Tafsir Al-falasafi
Aliran Tafsir Al-falasafi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan
teori-teori filsafat. Penafsiran ini berupaya mengkompromikan atau
mencari titik temu antara filsafat danagama serta berusaha
menyingkirkan segala pertentangan diantara keduanya.10
6. Tafsir Al-Ilmi
Aliran tafsir ini mencoba menafsirkan ayat-ayat kauniyah yang terdapat
dalam Al-Qur’an dengan mengkaitkannya dengan ilmu-ilmu
pengetahuan moderen yang timbul pada masa sekarang.11
7. Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima.
Aliran Tafsir Al-Adabi muncul sebagai akibat perkembangan
penghidupan moderen. Aliran tafsir ini memiliki karakteristik yang
berbeda dari corak tafsir lainnya memiliki corak tersendiri yang betul-
betul bagi dunia tafsir.12
B. Ciri-ciri Tafsir Tahlili
Adapun ciri-ciri metode tahlili sebagai berikut13 :
a. Penafsir al-Qur’an berdasarkan ayat perayat sesuai dengan urutan mushaf.
8 Ibid, hlm 719 Ibid, hlm 7210 Ibid, hlm 7311 Ibid, hlm 7312 Ibid, hlm 7313 Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir,(Surabaya: Fak. Ushuluddin, 2007),hlm 104
6
b. Penjelasan ayat-ayat al-Qur’an sangat rinci meliputi segala aspek yang
berkaitan dengan penjelasan makna ayat, baik dari segi bahasa, munasabah
ayat dan lain sebagainya.
c. Luasnya penafsiran tergantung dari luasnya ilmu yang dimiliki para
mufassir.
d. Sumber pengambilan boleh jadi dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-
Ra’yi14 sumber-sumber fiqih dan lain sebagainya.
C. Contoh Tafsir Tahlili
Dari berbagai macam tafsir tahlili yang telah disebutkan sebelumnya,
berikut kitab yang mengikuti metode tahsir Tahlili:
1. Jami’al-Bayan Tafsir Al-Qur’an, Karya Ath-Thabari15 (w. 310 H.)
merupakan “Tafsir bi Al-Ma’tsur”
2. Anwar at-tanzil wa asrar at-ta’wil, karya al-baidhawi16 (w. 691 H.)
merupakan “Tafsir bi Ar-Ra’y”
3. Mafatih Al-Ghaib, Karya Fakhr Ar-Razi (w. 606 H.)17 merupakan “Tafsir
Al-falasafi”
4. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Karya Imam At-Titsuri18 (w. 412 H.)
merupakan “Tafsir Ash-Shufi”
5. Ahkam Al-Qur’an, Karya Al-Jashshash (w. 370 H.)19 merupakan “Tafsir Al-
fiqhi”
6. Tafsir Al-Manar, Karya Rasyidh Ridha (w. 1354 H.)20 merupakan “Tafsir
Al-Adabi Al-Ijtima”
Untuk lebih mudah mengenal metode analitis ini, berikut dikemukakan
contohnya dalam dua bentuk tafsir itu: al-ma’tsur dan ar-ra’y.21
a. Bentuk al-Ma’tsur
14 Ibid, hlm 3215 Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah Fi At-Tafsir Al Maudhu’i . . . hlm 2516 Ibid, hlm 2717 Ibid, hlm 3318 Ibid, hlm 3019 Ibid, hlm 3220 Ibid, hlm 3821 Nasirudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000), hlm41-50
7
ق و ب و ٱ ٱ و ا إنٱ ٱ
Artinya:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-
Nya) lagi Maha Mengetahui” (Al-Baqarah: 115)
Yang dimaksud Allah dengan firman-Nya ( ق و ب و ٱ ٱ ) ialah, Allah
berwenang penuh atas pemilikan dan pengaturan keduanya seperti dikatakan:
“rumah ini kepunyaan si pulan”. Artinya, dia berwenang penuh atas pemilikan
rumah itu. Dengan demikian firman-Nya ( و ب و ق ٱ ٱ ) bermakna bahwa
keduanya adalah milik dan makhluk-Nya. Kata ق ) (ٱ sama artinya dengan
( ) yang kasrah lam, yakni menunjuk “tempat terbit matahari”.
Jika ada yang bertanya betapa gerangan Allah menyebutkan timur dan
barat secara khusus, bahwa memiliki keduanya bukan yang lain? Para pakar
takwil (tafsir) berbeda pendapat dalam menjelaskan latar belakang penyebutan
kedua tempat itu secara khusus. Kami akan menjelaskan pendapat yang terbaik
dalam menafsirkan ayat itu setelah mengemukakan pendapat-pendapat mereka.
Ada yang berkata, Allah sengaja menyebut kedua tempat itu secara khusus
karena kaum Yahudi dalam shalat menghadap ke Baitul Maqdis; dan Rasulullah
pernah melakukan hal yang sama pada suatu periode; kemudian mereka
berpaling menghadap ke ka’bah. Dikarenakan itu kaum yahudi menyangkal
perbuatan Nabi tersebut dan berkata: “Apa gerangan yang memalingkan
mereka dari kiblat yang pernah mereka jadikan arah shalat?” Allah SWT
menjelaskan kepada mereka, “barat dan timur semuanya milik-Ku, Aku
memalingkan muka hamba-hamba-Ku (dalam shalat) sesuai keinginan-Ku;
maka kearah mana saja kamu menghadap niscaya di situ ada Allah (Aku).
Dalam kasus ini al-Mutsani telah menceritakan kepadaku, katanya: Abu
Shalih telah bercerita kepadanya, kata Abu Shalih: Mu’awiyah bin Shalih telah
bercerita kepadanya Ali dari Ibn ‘Abbas, katanya: “yang pertama kali
8
dinasikhkan adalah ayat tentang kiblat. Ketika Rsulullah hijrah ke Madinah,
mayoritas penduduknya adalah kaum Yahudi, maka Allah memerintahkan
menghadap Baitul Maqdis sebagai kiblat shalat. Hal itu membuat mereka
gembira, lalu Rasulullah Shalat menghadap Baitul Maqdis itu lebih kurang
selama 10 bulan. Tapi Rasul tetap menginginkan menghadap kiblat Nabi
Ibrahim (Ka’bah di Mekah. Dari itu dia selalu berdoa sambil melihat ke langit:
lantas Allah menurunkan: ( ء ا و ى ) hingga ( ا و
ه ) (sungguh Kami memperhatikan wajahmu sering menghadap ke langit . . .
(maka sekarang hadapkanlah wajahmu dalam shalat ke arah masjid Haram
[ka’bah]). Dengan demikian, timbul keraguan dikalangan kaum Yahudi lalu
mereka berkata: “mengapa dia memalingkan mereka dari kiblat yang pernah
mereka jadikan arah shalat.” Untuk menjawab pertanyaan itu Allah
menurunkan ( ق ب و ٱ ٱ ) (katakanlah milik Allah timur dan barat)
dan ditegaskan-Nya pula “ke arah mana saja kamu menghadap, di sana ada
Allah”).
Menurut ulama lain, ayat ini turun kepada Nabi saw sebagai dispensasi sari
Allah tetang kebolehan menghadap kemana saja dalam shalat sunnat ketika
sedang dalam perjalanan, ketika perang, disaat ketakutan atau menemui
kesukaran dalam shalat wajib. Dengan demikian diberitahukan kepada Nabi
saw bahwa kemana saja mereka menghadap maka di situ ada Allah sesuai
dengan firman-Nya tadi ( ق و ب و ٱ ٱ و ا ٱ )
Telah bercerita kepada Abu al-Saib, katanya: Ibn Fudhail telah
menyampaikan kepadanya dari ‘Abd al-Malik ibn Abu Sulaiman, dari Sa’id ibn
Jubair dari Ibn ‘Umar: “bahwa dia (ibn ‘Umar) telah berkata, ayat ini (
و ا ا ) turun supaya kamu dapat shalat sunnat di atas kendaraanmu
ke arah mana saja kendaraan itu menghadap.
Jadi, makna ayat ialah milik Allah penguasaan semua makhluk yang berada
antara timur dan barat, dan Dialah yang membuat mereka beribadah sesuai
9
kehendak-Nya; dan Dia pula yang mengutus bagaimana mentaati-Nya, maka
(dikatakan-Nya) hadapkanlah muka-mu sekalian hai kaum mukmin kearah-Ku,
ke arah mana saja kamu menghadap di sana ada Aku.
Adapun firman-Nya ( ) artinya “dimana ke arah mana”. ( ا ):
penafsirannya yang terbaik ialah: “kamu menghadap ke arah-Nya, kepada-
Nya”. Seperti seorang berkata: “saya menghadapkan muka ke arahnya, artinya
saya menghadapinya”. Kita katkan ini penafsiran yang “terbaik” karena
argumennya telah disepakati. Dan aneh sekali bila ada yang mengartikan ( ا )
itu dengan “membelakanginya”; sedangkan ( و ا ) yang mereka hadapi itu
berarti ( ا ). Kata ( )artinya disana .
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata ( ). Ada yang
berkata “di sana kiblat Allah”. Yang dimaksud adalah “wajah Allah” yang
mereka menghadap kepada-Nya.
Tampak dengan jelas dalam penafsiran di atas suatu analisis yang lebih
memadai bila dibandingkan dengan tafsir yang memakai metode global. Mufasir
menjelaskan penafsiran ayat 115 dari al-Baqarah dengan mengemukakan
berbagai riwayat dan pendapat para ulama. Begitu pula dijelaskannya latar
belakang turun ayat, juga tak ketinggalan penjelasan kosa kata yang terdapat
didalamnya. Selain itu, ia juga menggunakan ayat-ayat lain yang berkaitan
dengan ayat tersebut. Pendapat ini pun tidak berasal dari pribadi mufasir sendiri,
melainkan merujuk kepada Ibn ‘Umar, al-Nakha’i, dan lail-lain. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun tafsir yang memakai metode
analitis ini mengandung uraian yang lebih rinci, namun dikarenakan bentuknya
al-ma’tsur, pendapat dari mufasirnya sendiri tetap sukar ditemukan.
b. Bentuk ar-Ra’y
ق و ب و ٱ ٱ و ا إنٱ ٱ
10
Artinya:
( ق و ب و ٱ ٱ ) maksudnya timur dan barat,dan seluruh penjuru bumi,
semuanya kepunyaan Allah, Dia yang memilikinya dan menguasainya; ( ),
maka ke arah manapun kamu menghadap yakni memalingkan wajahmu
menghadap kiblat, sesuai dengan maksud firman Allah SWT:
ا و م ا ا
ا و niscaya (disana ada Allah), artinya di tempat itu ada
Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan diperintahkan-Nya (kamu) untuk
menghadap-Nya (di situ).
Yang dimaksud oleh ayat itu ialah kamu terhalang melakukan shalat di
Masjidil Haram dan masjid Baitul Maqdis, maka (jangan khawatir sebab)
seluruh permukaan bumi telah Kejadian masjid tempat sembah yang bagimu.
Dari itu, kamu boleh sembahyang di tempat mana saja di muka bumi ini, dan
dan silahkan menghadap kearah mana saja yang kamu lakukan di tempat itu;
tidak terikat pada suatu masjid tertentu dan tidak pula yang lain; demikian pula
tidak terikat oleh lokasi mana pun. (hal itu dimungkinkan karena) rahmat-Nya.
Dia ingin memberikan kelonggaran dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya,
(lagi maha tahu) tentang kemaslahatan dan kebutuhan mereka. (penafsiran ini
sesuai dengan turunnya ayat yang), menurut Ibn Umar, ayat ini berkenaan
berkenaan dengan shalat mufasir di atas kendaraan ia menghadap. (tapi)
menurut Atha’, Ayat ini ini turun ketika tidak diketahui arah kiblat shalat oleh
suatu kaum (kelompok) lalu mereka shalat ke arah yang berbeda-beda (sesuai
keyakinan mereka masing-masing), setelah pagi hari ternyata mereka keliru
menghadap kiblat, lantas mereka menyampaikan peristiwa itu kepada Rasul
(maka turunlah ayat itu).
Ada yang berpendapat kebolehan menghadap ke arah mana saja itu adala
dalam berdoa, bukan dalam shalat.
11
Al-hasan membaca ayat itu ( ا ) dengan membaca harakat fathah
pada huruf ta’ sehingga bacaannya menjadi ( ا ) karena menurutnyakata itu
berasal dari ( ), yang berate “kea rah mana saja kamu menghadap kiblat”
Tanpa perlu pengamatan yang mendalam tampak kepada kita bahwa al-
Zamakhsyari memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran
rasional. Kemudian penafsiran itu didukung dengan firman Allah, setelah itu
baru dia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.
Dengan membandingkan kedua penafsiran itu, tampak dengan jelas
perbedaan nyata. Meskipun keduanya menggunakan metode yang sama, tetapi
dikarenakan yang pertama memakai bentuk ma’tsur, maka pemikiran mufasir
tidak tampak di dalamnya, sebaliknya pada penafsiran yang kedua menggunakan
bentuk ra’y pemikiran mufasir terasa amat dominan.
D. Kelebihan Dan Kekurangan Metode Analisis
Sebagaimana metode-metode yang lain, metode analitis juga mempunyai
kelebihan dan kekurangan.22
1. Kelebihan
Di antara metode ini ialah sebagai berikut:
a. Ruang lingkup yang luas
Metode analitis mempunyai ruang lingkup yang teramat luas.
Metode ini dapat digunakan oleh mufasir dalam dua bentuknya: ma’tsur
dan ra’y. Bentuk ra’y dapat lagi dikembangkan dalam berbagai corak
penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir. Ahli
bahasa, misalnya, mendapat peluang luas untuk menafsirkan Al-Qur’an
dari pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir al-Nasafi karangan Abu al-
Su’ud, ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik
tolak dalam penafsirannya. Demikian pula ahli filsafat, kitab tafsirnya
di dominasi oleh pemikiran-pemikiran falasofis seperti Kitab Tafsir Al-
Fakhr Al-Razi. Mereka yang suka dengan sain dan teknologi
22 Nasirudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, . . . hlm 53-62
12
menafsirkan Al-Qur’an dari sudut teori-teori ilmiah atau sain seperti
Kitab Tafsir Al-Jawahiri karangan at-Thantawi al-Jauhari. Begitulah
seterusnya, sehingga lahir berbagai corak penafsiran sebagaimana telah
dijelaskan.
Itulah kelebihan-kelebihan yang tidak dijumpai pada metode lain di
luar metode analitis ini. Dengan demikian, metode ini dapat
menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya penafsiran Al-
Qur’an.
b. Memuat berbagai ide
Telah dikemukakan di atas, tafsir dengan metode analitis ini relatif
memberikan kesempatan yang luas kepada mufasir untuk mencurahkan
ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Itu berarti pola
penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam
di dalam benak mufasir. Dengan dibukakannya pintu selebar-lebarnya
bagi mufasir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam
menafsirkan Al-Qur’an, maka lahirlah berbagai kitab tafsir yang
berjilid-jilid seperti kitab Tafsir Al-Thabbari (15 jilid), Tafsir Ruh Al-
Maani (16 jilid), Tafsir Al-Fakhr Al-Razi (17 jilid) Tafsir Al-Maraghi
(10 jilid).
Jadi, didalam kitab analisis ini mufasir relatif mempunyai kebebasan
dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam
menafsirkan Al-Qur’an dari pada tafsir dengan metode ijmali.
Barangkali inilah yang membuat tafsir analitis lebih pesat
perkembangannya katimbang tafsir ijmali.
2. Kekurangan
Di anatara keukurang metode analitis ini adalah sebagai berikut:
a. Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial
Seperti halnya metode global, metode analitis juga dapat membuat
petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial atau terpeceh-pecah, sehingga
terasa seakan-akan Al-Qur’an memberikan pedoman secara tidak utuh
dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat
yang berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang
13
sama dengannya. Terjadinya perbedaan terutama disebabkan oleh
kurang diperhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengan.
Ayat ( و ة ا ), misalnya, yang tercantum pada permulaan surah an-
Nisa’, Ibn Katsir menafsirkan dengan Adam a.s. konsekuensinya,
ketika dia menafsirkan lanjutan ayat itu ( زو (و ia menulis
“yaitu siti hawa . . . diciptakan dari tulang rusuk adam yang kiri”. Itu
berarti, ungkapan ة) وا ) di dalam ayat itu menurut Ibn Katsir
tiada lain maksudnya dari Adam.
Sepintas lalu, dalam penafsiran Ibn Katsir itu tak ada persoalan. Tapi
jika tafsiran itu dibandingkan dengan penafsiran terhadap kata yang
sama pada ayat lain maka akan dijumpai perbedaan yang amat
mencolok seperti kata ( di dalam ayat 128 surah at-Taubah (ا
ditafsirkannya dengan “jenis (bangsa)”. Ketidak konsistenan Ibn
Katsir itu terasa sekali karena ( ) dan ( itu keduanya secara (ا
etimologi berasal dari akar kata sama yaitu (ن) (ف) dan (س); sehingga
membentuk ( ) dalam bentuk mufrad (tunggal) dan ( dalam (ا
bentuk jamak. Perubahan bentuk kata, dari bentuk tunggal kepada
jamak, hanya membawa perubahan konotasi dari kata tersebut, tidak
membawa perubahan makna.
Setelah memperhatikan pemakaian kata tersebut oleh Al-Qur’an
dalam berbagai ayatnya sebagaimana disebut tadi, dapat dikatakan
bahwa menafsirkan ة ) وا ) dengan Adam terasa kurang tepat
karena Adam tidak berkonotasi jenis atau bangsa, melaikan menunjuk
kepada seorang indifidu. Padahal Al-Qur’an memakai kata tersebut
bukan dalam pengertian indifidu melainkan dalam pengertian jenis atau
bangsa.
14
Dalam menafsirkan yang dikumukakan Ibn Katsir itu tampak
dengan jelas pemahaman Al-Qur’an terpecah-pecah, sehingga seakan-
akan Al-Qur’an tidak konsisten, padahal yang tidak konsisten itu
penafsirannya bukan Al-Qur’anmya.
b. Melahirkan penafsiran subjektif
Metode analitis, sebagaimana yang telah disebut dimuka,
memberikan peluang yang luas sekali kepada mufasir untuk
mengemukakan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga, kadang-kadang
mufasir tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan Al-Quran secara
subjektif, dan tidak mustahil pula ada diantara mereka yang
menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku. Hal itu
dimungkinkan karena metode analitis membuka pintu untuk demikian.
Didalam penafsiran Ibnu Katsir yang telah dikutip di atas misalnya,
terkesan bahwa dia terpengaruh sekali oleh sikap subjektifnya. Hal ini
terlihat jelas ketika dia menafsirkan ayat ( زو (و langsung
dikatakannya yaitu: “Siti Hawa . . . diciptakan-Nya dari tulang rusuk
Adam yang kiri”. Penafsiran ini didasarkan pada sebuah hadis sohih
yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk yang kiri.
Sebagai seorang hafidz (ahli hadis), sangat logis bila Ibn Katsir
menafsirkan Al-Qur’an melalui riwayat. Namun dia terkesan kurang
telaten dalam menempatkan suatu hadis, apakah hadis tersebut
dijadikan penafsir bagi suatu ayat atau tidak. Dalam kasus hadis yang
disebut di atas, misalnya, jelas sekali hadis itu tidak menegaskan Siti
Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam karena teks hadis hanya
berbunyi ( ) (dari tulang rusuk) secara umum, tidak pernah
menyinggung nama adam. Kata Adam agaknya muncul dari dalam
pikiran Ibn Katsir sendiri karena secara subjektif dia menafsirkan (
ة dalam (وا kalimat sebelumnya dengan adam.
15
Dari kenyataan itu dari kenyataan itu kita dapat berkata bahwa,
akibat dari sikap subjektif itu penafsiran menjadi kurang tepat, sehingga
maksud ayat berubah. Terjadinya hal yang demikian dapat disebut
sebagai konsekuensi logis dari metode analitis, karena didalam metode
ini tidak ada ketentuan yang mengatur kearah mana dan bagaimana
seharusnya mufasir berbuat agar dia tidak terjerumus dalam penafsiran
– penafsiran yang keliru.
Sikap subjektif semacam itu timbul berawal dari fanatisme madzhab
yang terlalu mendalam. Karena telah dirasuki oleh sikap Ashabiah
serupa itu mereka tidak peduli salah atau benar dalam penafsiran yang
diberikan karena yang penting bagi mereka adalah mencari legitimasi
kepada Al-Qur’an untuk membenarkan pemikiran dan tindakan, serta
sekaligus untuk meyakinkan para pengikut mereka bahwa ajaran
mereka kembangkan adalah benar.
c. Masuk pemikiran Israiliat
Dikarenakan metode tahlili tidak membatasi mufasir
mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai
pemikiran dapat masuk kedalamnya, tidak kecuali pemikiran israiliat.
Sepintas lalu, sebenarnya kisah-kisah israiliat tidak ada persoalan,
selama tidak dikaitkan dengan pemahaman Al-Qur’an. Tapi bila
dihubungkan dengan pemahaman kitab suci, timbul problema karena
akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan didalam cerita itu
merupakan maksud dari firman Allah, atau lebih tegas lagi itu adalah
petunjuk Allah, padahal belum tentu cocok dengan yang dimaksud
Allah di dalam Firman-Nya tersebut. Disinilah terletak negatifnya
kisah-kisah israiliat tersebut. Kisah-kisah itu bias masuk ke dalam tafsir
tahlili karena metodenya memang membuka pintu untuk itu. Sebagai
contoh seperti di dalam penafsiran Al-Qurthubi tentang penciptaan
manusia pertama yang termaktub di dalam ayat 30 dari surat Al-
Baqarah ( رض ا (ا sebagai dikatakannya: “Allah
menciptakan Adam dengan tangan-Nya sendiri langsung dari tanah
selama 40 tahun. Setelah kerangka itu siap lewatlah para malaikat di
16
depannya. Mereka terperanjat karena umat kagum melihat indahnya
ciptaan Allah itu dan yang paling kagum adalah iblis, lalu dipukul-
pukulnya kerangka Adam tersebut, lantas terdengar bunyi seperti
periuk belanga dipukul; seraya ia berucap: untuk apa kau diciptakan”
( )
Apabila dicermati penafsiran yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi
itu, maka ada benarnya ada penilaian yang diberikan Al-Khatib bahwa
penafsiran tersebut masuk kelompok Israiliat penafsiran Al-Qurthubi
ini tidak didukung oleh argument yang kuat karena proses penciptaan
Adam selama 40 tahun seperti digambarkan itu tidak ditemukan
rujukannya, baik didalam Al-Qur’an mau Hadis. Oleh karena itu, terasa
penafsiran tersebut dibuat-buat yang harusnya tidak perlu terjadi karena
hal itu akan merusak citra Al-Qur’an sebagai kitab suci dimata umat,
tapi karena Al-Qurthubi mengikuti metode analitis maka secara yuridis
formal dia tidak salah memasukkan pemikiran-pemikiran israiliat
kedalam kitab tafsirnya, sebab metode tersebut memang terbuka untuk
itu.
Demikianlah beberapa kekurangan atau kelemahan yang dapat
diamati di dalam metode tahlili. Namun tidak berarti kekurangan itu
merupakan sesuatu yang negatif sehingga dilarang menggunakannya
sama sekali. Tidak demikian. Karena dengan mengetahui kekurangan
tersebut, para mufasir akan lebih berhati-hati dalam memakai metode
tersebut, sehingga dia tidak dapat terseret kedalam kekeliruan dalam
proses penafsiran Al-Qur’an sebagaimana tampak dalam contoh di atas.
Jadi, ambil yang baiknya dan tinggalkan yang jeleknya.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. metode tahliliy ini sebagai tafsir yang mengkaji ayat-ayat Al-Quran dari
segi maknanya berdasarkan urutan ayat atau sunah dalam “mushaf” sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat
tersebut, dengan menjelaskan pengertian dan kandungan lafal-lafalnya,
hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, sebab nuzulnya, hadis-
hadis yang berhungungan dengannya, pendapat-pendapat para mufasir
terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya
masing-masing.
2. Adapun ciri-ciri metode Tahlili sebagai berikut : Penafsir al-Qur’an
berdasarkan ayat perayat sesuai dengan urutan mushaf, Penjelasan ayat-
ayat al-Qur’an sangat rinci meliputi segala aspek yang berkaitan dengan
penjelasan makna ayat, baik dari segi bahasa, munasabah ayat dan lain
sebagainya, Luasnya penafsiran tergantung dari luasnya ilmu yang
dimiliki para mufassir, Sumber pengambilan boleh jadi dari Tafsir bi al-
Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi sumber-sumber fiqih dan lain sebagainya.
3. Kelebihan tafsir Tahlili dalam menafsirkan memiliki ruang lingkup yang
luas dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan
keahlian masing-masing mufasir, sehingga tidak memungkinkan memuat
berbagai ide dalam menafsirkan Al-Qur’an. Adapun kekurangan tafsir
tahlili metode analitis juga dapat membuat petunjuk Al-Qur’an bersifat
parsial atau terpeceh-pecah, sehingga terasa seakan-akan Al-Qur’an
memberikan pedoman secara tidak utuh, kadang-kadang musafir tidak
sadar bahwa dia telah menafsirkan Al-Quran secara subjektif, dan tidak
mustahil pula ada diantara mereka yang menafsirkan Al-Quran sesuai
dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau
norma-norma yang berlaku, dikarenakan metode tahlili tidak membatasi
mufasir mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka tidak
18
terkecuali pemikiran israiliat pun ikut mewarnai mufasir dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
4. Tafsir Tahlili yang bercorak al-ma’tsur, mengemukakan berbagai riwayat
dan pendapat para ulama, latar belakang turun ayat, juga tak ketinggalan
penjelasan kosa kata yang terdapat didalamnya, pendapat dari mufasirnya
sendiri tetap sukar ditemukan. Tafsir Tahlili yang bercorak ar-ra’y
memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional.
Kemudian penafsiran itu didukung dengan firman Allah, setelah itu baru
dia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.
19
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farmawi, Abdul Hayy, Al-Bidayah Fi At-Tafsir Al Maudhu’i: Dirasah
Manhajiyyah Maudhu’iyyah, Terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhui,
Bandung, Pustaka Setia, 2002
Baidan, Nasirudin Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2000
Kholid, Abd. Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, Surabaya: Fak.
Ushuluddin, 2007
Suryadilaga, Alfatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Teras, 2010
Usman, Ilmu Tafsir, Yoyakarta, Teras, 2009