View
263
Download
7
Category
Preview:
DESCRIPTION
ICOR Banjarmasin tahun 2014
Citation preview
i
KERJA SAMA BADAN PUSAT STATISTIK DAN
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA BANJARMASIN
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 ii
INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT
RATIO (ICOR)
KOTA BANJARMASIN
2013
ISBN : 9794 729906 No Publikasi : 63710.09.09 Katalog BPS : 9201202.6371 Ukuran Buku : 18 cm x 25 cm Jumlah Halaman : xi + 54 halaman Naskah/Penyunting : Seksi Neraca Wilayah Dan Analisis
Gambar Kulit : Seksi Neraca Wilayah Dan Analisis
Diterbitkan oleh : BPS Kota Banjarmasin
Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 iii
WALIKOTA BANJARMASIN
KATA SAMBUTAN
Assalamu’alaikum wr. wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT mengiringi penerbitan Publikasi Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Kota Banjarmasin tahun 2013. Publikasi ini merupakan terbitan perdana sebagai hasil kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Banjarmasin dan Badan Pusat Statistik Kota Banjarmasin.
Publikasi ini menyajikan analisis ICOR yang merupakan indikator perekonomian yang berkaitan dengan investasi. Angka (koefisien) ICOR digunakan untuk mempermudah stake holder bidang perekonomian di daerah untuk menentukan besarnya investasi (tambahan modal) dalam mengejar laju pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Semakin kecil nilai koefisien ICOR di suatu sektor menunjukkan semakin efisien investasi pada sektor tersebut. Publikasi ini bertujuan untuk menyediakan informasi dalam rangka mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan barang modal yang dilakukan oleh sektor‐ sektor ekonomi di Kota Banjarmasin. Dengan diperolehnya ICOR menurut sektor, maka perkiraan kebutuhan investasi Kota Banjarmasin di masa mendatang secara sektoral dapat diketahui. Di samping itu merupakan rujukan yang baik dan terukur dalam penyusunan perencanaan pembangunan yang akan datang baik di tingkat regional.
Besar harapan kami buku ini dapat digunakan untuk membantu semua instansi pemerintah/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Kota Banjarmasin maupun swasta yang memerlukan data potensi kinerja perekonomian yang up to date dalam upaya penyusunan skala prioritas bagi pembangunan bidang ekonomi dan peluang investasi.
Akhirnya Saya ucapkan terima kasih kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Banjarmasin yang telah bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik Kota Banjarmasin dan pihak terkait lainnya sehingga publikasi ini dapat diterbitkan. Semoga publikasi ini dapat membantu dan mendatangkan manfaat bagi kita semua dalam merencanakan pembangunan.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Banjarmasin, Oktober 2014
WALIKOTA
H. MUHIDIN
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 iv
KATA PENGANTAR
Dalam perencanaan pembangunan ekonomi, target pertumbuhan ekonomi
biasanya telah ditentukan. Salah satu penentu pertumbuhan ekonomi adalah investasi,
maka agar target itu bisa ditentukan secara realistis diperlukan suatu indikator yang
berkaitan dengan investasi. Indikator yang diperlukan itu adalah Incremental Capital
Output Ratio (ICOR) atau rasio antara tambahan output dengan tambahan modal. Jika
suatu daerah mempunyai angka (koefisien) ICOR, maka daerah tidak akan menemui
kesulitan dalam menentukan berapa besarnya investasi yang diperlukan untuk
mengejar target pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Semakin kecil nilai koefisien
ICOR, semakin efisien perekonomian suatu daerah pada periode waktu tertentu.
Penyusunan publikasi ICOR Sektoral Kota Banjarmasin 2009 ‐ 2013 ini dapat
terwujud atas kerjasama antara Bappeda Kota Banjarmasin dengan BPS Kota
Banjarmasin. Publikasi ini bertujuan untuk menyediakan informasi dalam rangka
mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan barang modal yang dilakukan
oleh sektor‐ sektor ekonomi. Dengan diperolehnya ICOR menurut sektor, maka
perkiraan kebutuhan investasi mendatang secara sektoral dapat diketahui.
Saran dan kritik perbaikan dari semua pengguna data sangat diharapkan untuk
penyempurnaan publikasi sejenis pada masa yang akan datang. Kepada semua pihak
yang ikut berpartisipasi dalam penyusunan publikasi ini diucapkan terima kasih.
Banjarmasin, Oktober 2014
Badan Pusat Statistik Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Banjarmasin Kota Banjarmasin Kepala, Kepala, Ir. H. RISMANTO, MP Ir. H. N. FAJAR DESIRA, CES Pembina TK. I Pembina Utama Muda NIP 19630522 199102 1 001 NIP 19641203 199003 1 012
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 v
ABSTRAKSI
Investasi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam
pembangunan ekonomi karena mempunyai keterkaitan langsung dengan
kesinambungan kegiatan ekonomi di masa depan. Dengan melakukan investasi,
kapasitas produksi dapat ditingkatkan yang berarti kenaikan output. Adanya kenaikan
output akan meningkatkan pendapatan/daya beli masyarakat. Dalam jangka panjang,
akumulasi investasi dapat mendorong perkembangan berbagai aktivitas ekonomi
sehingga diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di suatu
wilayah/negara.
Pemahaman kondisi tersebut memberikan pengertian pentingnya informasi
mengenai investasi. Berdasarkan System of National Accounts (SNA) yang diterbitkan
PBB, besarnya investasi yang direalisasikan di suatu wilayah/negara pada suatu periode
tertentu adalah sama dengan jumlah Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)
ditambah perubahan inventori/stok. PMTB menggambarkan investasi fisik domestik
yang telah direalisasikan pada suatu periode tertentu dalam bentuk berbagai jenis
barang kapital, seperti: bangunan, mesin‐ mesin, alat‐alat transportasi dan barang
modal lainnya. Sedangkan inventori/stok meliputi output setengah jadi, atau input yang
belum digunakan, termasuk juga barang jadi yang belum terjual. Stok termasuk
dalam modal kerja yang merupakan bagian investasi yang direncanakan. Perubahan
inventori merupakan selisih antara stok akhir dengan stok awal pada suatu periode
tertentu.
Iklim investasi yang kondusif akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi,
yakni didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan
ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Oleh
karena itu, perbaikan iklim investasi yang baik merupakan suatu tugas penting bagi
pemerintah daerah mengingat kontribusi investasi pemerintah hanya merupakan bagian
kecil dari total investasi.
Data yang digunakan untuk penyusunan ICOR sektoral bersumber dari hasil
survei‐survei BPS seperti: Survei Tahunan Industri Besar/Sedang, Survei Tahunan
Perusahaan Air Minum, Survei Tahunan Konstruksi, Survei Khusus Pendapatan
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 vi
Regional, Survei Angkatan Kerja Nasional, dan survei lainnya yang relevan, serta Sensus
Ekonomi 2006. Kemudian digunakan juga data Produk Domestik Regional Bruto baik
menurut sektor/lapangan usaha (by industrial origin) maupun menurut penggunaan (by
expenditure). Pemanfaatan hasil‐hasil survei ini dilakukan karena penghitungan ICOR
memerlukan sumber dan cakupan data yang relatif cukup luas. Ada dua metode
penghitungan ICOR, yaitu metode standar dan metode akumulasi investasi. Selain
penghitungan ICOR dengan metode standar lag 1, disajikan pula kombinasi
penghitungan dengan lag 0 dan lag 1.
Dalam penyusunan, pengertian investasi dibatasi pada penambahan
pembentukan modal tetap bruto (∆ PMTB). Berdasarkan harga konstan 2000,
perkembangan nilai investasi riil di Kota Banjarmasin selama periode 2009‐2013 terus
mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 nilai investasi yang ditanamkan
mencapai 2.125,32 miliar rupiah, kemudian tahun 2012 menjadi 3,206,84 miliar rupiah
dan pada tahun 2013 mencapai 3.820,72 miliar rupiah.
Angka ICOR total Kota Banjarmasin selama periode 2009‐2013 mengalami
fluktuasi dalam kisaran yang sempit antara 3,46 sampai 3,84. Angka ICOR tertinggi
terjadi pada tahun 2012 sebesar 3,84 dan terendah pada tahun 2009 sebesar 3,46. Baik
menggunakan metode akumulasi maupun standar, dengan pendekatan investasi
identik dengan PMTB saja atau PMTB ditambah perubahan inventori menghasilkan
angka ICOR yang relatif hampir sama. Tiga sektor dengan ICOR terendah adalah
bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; dan keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan. Sedangkan tiga sektor dengan ICOR tertinggi adalah: pertanian; listrik,
gas, dan air bersih; dan industri pengolahan.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 vii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA SAMBUTAN.................................................................................................. . . . . . . . . iii
KATA PENGANTAR.................................................................................................. . . . . . . . iv
ABSTRAKSI ......................................................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................... x
TABEL‐TABEL LAMPIRAN ....................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 2
1.1. Latar Belakang........................................................................................... 2
1.2. Dasar Pelaksanaan ................................................................................... 3
1.3. Maksud dan Tujuan .................................................................................. 4
1.4. Sasaran……………………..…………………………………………………………………………. 4
1.5. Pembiayaan……………….………………………………………………………………………... 5
1.6. Ruang Lingkup........................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 7
2.1. Pengertian ICOR ....................................................................................... 7
2.2. Pengertian Investasi………………………………………………………………………………. 9
2.2.1. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)…………………..……………. 11
2.2.2. Klasifikasi PMTB ............................................................................ 11
2.3. Pengertian………………………………………………..………………………………………….. 13
2.4. Pengertian Nilai Tambah ........................................................................... 14
2.5. Penelitian Terdahulu................................................................................. 15
BAB III METODOLOGI .................................................................................................. 19
3.1. Sumber…………………………………………..……………………………………………………. 19
3.2. Estimasi PMTB Sektoral ............................................................................. 19
3.3. Penghitungan Pertambahan Output…………….………………………………………. 20
3.4. Metodologi Penghitungan ICOR ................................................................ 20
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 viii
3.4.1. Metode Standar ..................................................................................... 20 3.4.2. Metode Akumulasi Investasi .................................................................. 22 3.4.3. Time Lag Investasi .................................................................................. 22 3.4.4. Koefisien ICOR Negatif .......................................................................... 23 3.4.5. Koefisien ICOR yang Besar dan Positif .................................................. 23 3.4.6. Penyesuaian Tahap Akhir Dalam Penyusunan ICOR .............................. 23 3.4.7. Asumsi Dasar......................................................................................... 24
BAB IV HASIL PENGHITUNGAN ICOR DAN PEMBAHASAN ……………………………………… 27
4.1. Pertumbuhan Ekonomi ............................................................................ 27
4.2. ICOR Sektoral........................................................................................... 32
4.3. Kebutuhan Investasi dan Pilihan Investasi ............................................... 36
BAB V Penutup........................................................................................................... 40
TABEL‐TABEL LAMPIRAN ................................................................................................. 41
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Kota Banjarmasin menurut Sektor, 2009‐2013 (%) .......................................................................................................30
Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Kota Banjarmasin menurut Penggunaan, 2009‐2013 (%) ...................................................................................................... 32
Tabel 3. ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi = PMTB + Perubahan Inventori, 2009‐2013 ........................................ 33
Tabel 4. ICOR Sektoral Metode Akumulasi, Lag=0 Dengan Pendekatan Investasi = PMTB dengan dan tanpa Perubahan Inventori, 2009‐2013………. 34
Tabel 5. ICOR Sektoral Metode Standar, Lag=0 Dengan Pendekatan Investasi = PMTB, 2009‐2013 ............................................................................... 36
Tabel 6. Skenario Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi Kota Banjarmasin, Tahun 2013 ............................................................................. 37
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Kota Banjarmasin, 2009‐2013 (%) ...............27
Gambar 2. Rata‐rata Pertumbuhan Ekonomi menurut Sektor, Periode
2009‐2013 (%) ...................................................................................... 28
Gambar 3. Rata‐rata Pertumbuhan PDRB menurut Komponen Penggunaan,
2009‐2013 (%) .....................................................................................31
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 xi
TABEL‐TABEL LAMPIRAN
Halaman
Tabel 1. PDRB Kota Banjarmasin atas dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha, 2009‐2013 (Juta Rupiah) ................................................... 42
Tabel 2. PDRB Kota Banjarmasin atas dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha, 2009‐2013 (Juta Rupiah)............................................... 44
Tabel 3. PDRB Kota Banjarmasin atas dasar Harga Berlaku menurut Penggunaan, 2009‐2013 (Juta Rupiah) ......................................................... 46
Tabel 4. PDRB Kota Banjarmasin atas dasar Harga Konstan 2000 menurut Penggunaan, 2009‐2013 (Juta Rupiah)………………………………………………………. 47
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dasar Pelaksanaan
Maksud dan Tujuan
Sasaran
Pembiayaan
Ruang Lingkup
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan kekuatan ekonomi
global di Asia. Dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang diperkirakan telah menembus
angka US$ 1 trilyun di tahun 2012, Indonesia telah menjadi negara dengan ekonomi
terbesar di Asia Tenggara. Dengan resistensinya terhadap krisis keuangan global
dibanding negara‐negara tetangga, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,7% di
tahun 2013 dan menjadikannya sebagai “Negara dengan perekonomian paling stabil
selama lima tahun terakhir” oleh publikasi terkemuka dunia The Economist. Indonesia
telah tumbuh sebesar 6,2% di tahun 2012 dan di 2014, pertumbuhan ekonomi yang lebih
kuat diharapkan akan dapat mencapai angka 5,8% – 6,2%. Ekspansi ekonomi berikutnya
diharapkan dapat mencakup pertumbuhan yang lebih inklusif dengan angka PDB per
kapita diharapkan dapat tumbuh sebanyak 4 kali lipat di tahun 2020, berdasarkan laporan
Standard Chartered Report.
Berdasarkan laporan World Economic Forum dalam Global Competitiveness
Report 2014‐2015, indeks daya saing global (Global Competitiveness Index/GCI) Indonesia
tahun 2014 kembali naik ke peringkat 34 dari 144 negara. Pada tahun 2009 Indonesia
berada pada peringkat 54, tahun 2010 naik ke peringkat 44, tetapi pada tahun 2011 turun
menjadi peringkat 46 dan peringkat 50 pada tahun 2012, kemudian naik ke peringkat 38
pada tahun 2013. Peringkat Indonesia ini berada diatas negara‐negara seperti Spanyol,
yang berada di peringkat 35, Portugal ke 36, Kuwait di peringkat 40, Turki di 45, Afrika
Selatan di peringkat 56, Brazil di 57, Meksiko di peringkat 61 serta India yang berada di
peringkat 71. Memang dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (Peringkat 20),
Singapura (Peringkat 2) dan Thailand (Peringkat 31), yang peringkatnya lebih baik
dibandingkan Indonesia, tetapi Indonesia masih lebih unggul dibandingkan Filipina
(Peringkat 52), Vietnam (Peringkat 68), Laos (Peringkat 93), Kamboja (Peringkat 95) dan
Myanmar (Peringkat 134).
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 3
Salah satu faktor kesuksesan ekonomi Indonesia dipicu oleh pertumbuhan kelas
menengah dan pertumbuhan ekonomi makro yang stabil. Indonesia kini termasuk di
dalam negara MINT (Mexico, Indonesia, Nigeria dan Turki), yakni negara‐negara dengan
perekonomian paling menarik bagi investor jangka panjang karena karateristik
demografis‐nya. Rasio hutang terhadap PDB Indonesia telah turun secara stabil dari 83%
di tahun 2001 menjadi kurang dari 26% di akhir tahun 2013. Nilai terendah diantara
negara ASEAN, selain Singapura yang tidak memiliki hutang pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk yang tinggi
merupakan tujuan dari pembangunan ekonomi di hampir semua daerah atau negara.
Namun demikian, perencana pembangunan dihadapkan pada sumber daya yang
terbatas baik itu anggaran pemerintah, tabungan domestik, maupun kepemilikan
sumber daya lain seperti: lahan pertanian, sistem irigasi, bahan galian, dan
ketersediaan tenaga kerja terampil. Oleh karena itu, dana yang terbatas seharusnya
diinvestasikan secara bijak guna mencapai laju pertumbuhan dan tingkat
kesejahteraan yang relatif tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini diperlukan
untuk mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Dalam teori ekonomi, investasi merupakan salah satu faktor produksi yang
penting, disamping faktor produksi sumberdaya manusia, dalam proses pembangunan
ekonomi suatu wilayah karena investasi berpotensi untuk meningkatkan kapasitas
produksi. Dengan kapasitas produksi yang meningkat, yaitu misalnya karena investasi
digunakan untuk membeli atau menambah barang‐barang modal seperti mesin‐mesin
dan peralatannya, maka hasil‐hasil produksi di wilayah tersebut diharapkan juga akan
meningkat. Pada satu sisi, peningkatan hasil‐hasil produksi berarti peningkatan
pendapatan wilayah yang berarti juga peningkatan pendapatan masyarakat.
Peningkatan pendapatan masyarakat akan menyebabkan kenaikan permintaan seperti
kenaikan konsumsi masyarakat. Untuk memenuhi kenaikan permintaan masyarakat,
sektor ekonomi perlu untuk meningkatkan produksi, yang pada gilirannya akan
menyebabkan pendapatan wilayah dan pendapatan masyarakat kembali meningkat.
Demikian seterusnya interaksi ekonomi yang terjadi sebagai dampak dari investasi,
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 4
sehingga menyebabkan peningkatan pendapatan wilayah dan pada gilirannya akan
meningkatkan pendapatan masyarakat. Demikian pentingnya peran investasi, sehingga
setiap perencanaan pembangunan ekonomi perlu memperhatikan ketersediaan dana
untuk maksud investasi. (Slamet Sutomo)
Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi,
yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan
memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke
dalam proses produksi. Oleh karena itu memperbaiki iklim investasi merupakan suatu
tugas yang penting bagi pemerintah daerah mengingat investasi pemerintah hanya
merupakan bagian kecil dari total investasi.
Dengan kewenangan di bidang pemerintahan yang telah diserahkan kepada
pemerintah daerah untuk lebih leluasa dalam menciptakan iklim investasi di daerahnya
masing‐masing. Proses pengambilan kebijakan pembangunan yang sebelumnya lebih
banyak dikendalikan oleh pemerintah pusat, selanjutnya menjadi lebih dekat dengan
masyarakat di daerah. Kesiapan dan kemampuan daerah dalam berkreasi, merupakan
salah satu penentu keberhasilan pembangunan di daerah termasuk dalam menciptakan
iklim investasi yang kondusif.
Banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah untuk pembenahan, mulai
dari tata kelembagaan pemerintahan, perencanaan perekonomian daerah dan
kemasyarakatan serta lain sebagainnya. Disisi lain dengan berbagai alasan tidak sedikit
justru dijumpai praktik‐praktik negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik, yang justru mengurangi daya saing investasi daerah. Keterbatasan
pemda dalam melakukan pembiayaan pembangunan perekonomian daerah, sering
dijadikan alasan mengeluarkan kebijakan yang justru kontraproduktif terhadap
penciptaan daya saing investasi. Padahal dalam konteks pembangunan regional,
investasi memegang peranan penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Pemerintah daerah harus berupaya keras mendorong agar sebanyak mungkin investasi
dapat masuk ke daerahnya. Yang menjadi persoalan adalah investasi tidak selalu datang
ke setiap daerah. Hanya daerah‐daerah yang memiliki daya saing investasi yang baik
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 5
yang akan mendapatkan peluang investasi yang lebih besar. Di era otonomi daerah,
daerah‐daerah harus bersaing dengan daerah lainnya untuk menarik investasi.
Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya saing terhadap investasi salah
satunya bergantung kepada kemampuan daerah dalam merumuskan kebijakan yang
berkaitan dengan investasi dan dunia usaha, serta peningkatan kualitas pelayanan
terhadap masyarakat. Hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam upaya menarik
investor, selain makro ekonomi yang kondusif, juga adanya pengembangan sumber daya
manusia dan ketersediaan infrastruktur dalam arti luas. Kondisi inilah yang mampu
menggerakan sektor swasta untuk ikut serta dalam menggerakkan roda ekonomi.
Dalam perencanaan pembangunan ekonomi, target pertumbuhan ekonomi
biasanya telah ditentukan. Salah satu penentu pertumbuhan ekonomi adalah investasi,
maka agar target itu bisa ditentukan secara realistis diperlukan suatu indikator yang
berkaitan dengan investasi. Indikator yang diperlukan itu adalah Incremental Capital
Output Ratio (ICOR) atau rasio antara tambahan output dan tambahan modal. Apabila
suatu daerah mempunyai angka ICOR, maka daerah tidak akan menemui kesulitan lagi
menentukan berapa besarnya investasi yang diperlukan untuk mengejar target
pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Semakin kecil nilai ICOR semakin besar
produktivitas dan efisiensi dari investasi yang ditanamkan. Konsekuensinya adalah
dengan tingkat investasi yang sama, nilai ICOR yang rendah akan menghasilkan laju
pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi.
Dengan menghitung ICOR suatu wilayah, perencana ekonomi dapat
memperkirakan berapa kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi tertentu. Apabila dari APBD setempat tidak bisa menunjang
besarnya investasi yang diperlukan, maka sektor swasta harus dipacu untuk
melengkapi. Agar pelaksanaan pembangunan bisa lebih operasional, maka target
pertumbuhan harus dibuat lebih dahulu, sebagai akibatnya maka koefisien ICOR tiap‐
tiap sektor harus ditentukan, sehingga kebutuhan investasi di tiap‐tiap sektor bisa
ditentukan.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 6
Dengan demikian manfaat dihitungnya ICOR atau ICVAR antara lain adalah
memberikan gambaran tentang efisiensi dalam penggunaan kapital, memberikan
gambaran tentang efisiensi penggunaan model produksi (capital intensive atau labour
intensive), dan merupakan alat perencanaan untuk memperkirakan kebutuhan
investasi.
Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi,
yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan
memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke
dalam proses produksi. Oleh karena itu memperbaiki iklim investasi merupakan suatu
tugas yang penting bagi pemerintah daerah mengingat investasi pemerintah hanya
merupakan bagian kecil dari total investasi.
Kota Banjarmasin yang merupakan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan,
merupakan pusat pertumbuhan dan pergerakan ekonomi Kalimantan Selatan, dimana
sumbangan PDRB Kota Banjarmasin terhadap total PDRB Kalimantan Selatan sebesar .....
persen, sehingga Banjarmasin merupakan salah satu daerah tujuan investasi terutama di
sektor sekunder dan tersier. Oleh karena itulah informasi mengenai efisiensi investasi
perlu disusun, menurut Professor Soemitro Djoyohadikusumo, bahwa tinggi rendahnya
ICOR mencerminkan tinggi rendahnya biaya ekonomi atas investasi agregatif.
1.2. Dasar Pelaksanaan
a. Undang‐Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik
b. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 86 Tahun 1998 tentang Badan Pusat
Statistik
c. Keputusan Presiden R.I. Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pemerintah sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 95
Tahun 2009 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 7
d. Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
e. Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik
f. Keputusan Kepala BPS No. 001 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Badan Pusat Statistik
1.3. Maksud dan Tujuan
1.3.1. Maksud
Maksud dari penyusunan ICOR Kota Banjarmasin Sektoral periode 2009‐2013 ini
adalah untuk memperoleh data dan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar
perencanaan pembangunan ekonomi di Kota Banjarmasin pada saat ini dan masa yang
akan datang. Selain itu angka ICOR yang disusun ini merupakan salah satu data/informasi
sebagai bahan pertimbangan atau kalkukasi proses bisnis bagi investor yang berminat
menanamkan modalnya di wilayah Kota Banjarmasin.
1.3.2. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan ICOR Kota Banjarmasin Sektoral periode
2009‐2013 ini secara rinci adalah:
a. Tersedianya model penghitungan ekonomi khususnya besarnya investasi pada
sektor‐sektor yang diperlukan agar terjadi pertumbuhan ekonomi di Kota
Banjarmasin.
b. Tersajikannya ICOR Sektoral Kota Banjarmasin.
c. Tersajikannya kondisi investasi (PMTB) dan PDRB yang ada di Kota
Banjarmasin.
d. Menghitung besarnya tingkat investasi fisik di Kota Banjarmasin.
e. Memperkirakan kebutuhan tambahan investasi baru dengan skenario
beberapa pertumbuhan ekonomi kota Banjarmasin pada tahun 2013.
1.4. Sasaran
Sasaran penulisan publikasi ini antara lain untuk:
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 8
a. Menghitung ICOR seluruh sektor lapangan usaha menurut pengelompokan
1 digit berdasarkan International Standard Industrial Classification of All Economic
Activities (ISIC) periode 2009‐2013.
b. Menghitung ICOR sektor‐sektor penting di Kota Banjarmasin menurut
pengelompokan 2 digit ISIC periode 2009‐2013.
c. Tersedianya informasi kinerja investasi di Kota Banjarmasin periode 2009‐2013.
d. Tersedianya tabel ICOR sektoral di Kota Banjarmasin periode 2009‐2013.
e. Tersajinya contoh kebutuhan tambahan investasi baru dengan beberapa
skenario pertumbuhan ekonomi di kota Banjarmasin pada tahun 2015.
1.5. Pembiayaan
Sumber pembiayaan pelaksanaan pekerjaan Penyusunan ICOR Kota Banjarmasin
Sektoral periode 2009‐2013 ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Pemerintah Kota Banjarmasin, dalam hal ini Anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Kota
Banjarmasin Tahun Anggaran 2014.
1.6. Ruang Lingkup
1.6.1. Lingkup Materi
Penghitungan ICOR Kota Banjarmasin Sektoral dilakukan dengan
menggunakan data PDRB, komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada
periode 2009‐2013. Angka‐angka ICOR disusun menurut sektor ekonomi. Dan untuk
memperluas kajian diuraikan pula hubungan antara ICOR dengan beberapa indikator
tambahan seperti Laju Pertumbuhan Ekonomi, dan Inflasi selama periode 2009‐2013.
1.6.2. Lingkup Wilayah
Penyusunan ICOR Sektoral mencakup seluruh wilayah Kota Banjarmasin.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 9
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian ICOR
Pengertian Investasi
Pengertian Output
Pengertian Nilai Tambah
Penelitian Terdahulu
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian ICOR
Pembentukan modal merupakan faktor paling penting dan strategis di dalam
proses pembangunan ekonomi. Pembentukan modal bahkan disebut sebagai “kunci
utama menuju pembangunan ekonomi”. Sekali proses ini berjalan, ia akan senantiasa
menggumpal dan menghidupi dirinya sendiri. Proses ini berjalan melewati tiga tingkatan
: (i) kenaikan volume tabungan nyata yang tergantung pada kemauan dan kemampuan
untuk menabung; (ii) keberadaan lembaga kredit dan keuangan untuk menggalakkan
dan menyalurkan tabungan agar dapat dialihkan menjadi dana yang dapat di
investasikan; dan (iii) penggunaan tabungan untuk tujuan investasi dalam barang‐barang
modal pada perusahaan. Pembentukan modal juga berarti pembentukan keahlian
karena keahlian kerapkali berkembang sebagai akibat pembentukan modal.
Mekanisme perekonomian dengan pengertian investasi yang diarahkan kepada usaha
mempercepat pertumbuhan ekonomi lebih banyak diterangkan oleh Sir Roy Harrod dan Evsey
Domar yang lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod‐Domar. Mereka berpendapat
bahwa pertumbuhan pendapatan nasional secara positif berhubungan dengan rasio tabungan
dan sebaliknya secara negatif berhubungan dengan COR atau ICOR (Capital Output Rasio atau
Incremental Capital Output Rasio).
Konsep rasio modal output (koefisien modal) menunjukkan hubungan antara nilai
investasi modal dan nilai output. Rasio ini menunjukkan jumlah modal yang diperlukan
untuk memproduksi satu unit output. Bila rasio modal output dalam ekonomi dikatakan
5 : 1, ini berarti diperlukan investasi modal sebesar Rp. 5,‐ untuk menghasilkan output
(pendapatan) sebesar Rp. 1,‐. Jadi dapat didefinisikan sebagai “suatu hubungan yang
ada antara investasi yang dilakukan dan pendapatan tahunan yang dihasilkan dari
investasi tersebut”. Rasio modal output ada dua macam : Rasio modal output rata‐rata
dan rasio modal output marginal atau inkrimental. Rasio modal output rata‐rata (ACOR)
menunjukkan segala sesuatu yang telah dinvestasikan pada masa lalu dan pada
keseluruhan pendapatan. Rasio modal output marginal/inkrimental, menunjukkan
segala sesuatu yang saat ini ditambahkan pada modal atau pendapatan. Yang pertama
disebut konsep statis, sementara yang kedua disebut konsep dinamis. Istilah rasio modal
output sebagaimana dipergunakan dalam ilmu ekonomi berkaitan dengan rasio modal
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 11
output inkrimental atau marginal. Rasio ini biasanya bergerak antara 3 dan 4 dan
menunjuk pada suatu periode waktu tertentu
Incremental Capital Output Ratio (ICOR) adalah suatu besaran yang
menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk
menaikkan/menambah satu unit output. Besaran ICOR diperoleh dengan
membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output. Karena unit
kapital bentuknya berbeda‐beda dan beraneka ragam sementara unit output relatif
tidak berbeda, maka untuk memudahkan penghitungan keduanya dinilai dalam bentuk
uang (nominal).
Pengkajian mengenai ICOR menjadi sangat menarik karena ICOR dapat
merefleksikan besarnya produktifitas kapital yang pada akhirnya menyangkut
besarnya pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Secara teoritis hubungan ICOR
dengan pertumbuhan ekonomi dikembangkan pertama kali oleh R.F. Harrod dan Evsey
Domar. Profesor Evsey Domar, seorang ekonom Amerika Serikat, (1939) dan Sir Roy
Harrod, seorang ekonom Inggris, (1947), mengembangkan suatu koefisien yang
diturunkan dari suatu rumus tentang pertumbuhan ekonomi. Namun karena kedua teori
tersebut banyak kesamaannya, maka kemudian teori tersebut lebih dikenal sebagai teori
Harrod‐Domar. Koefisien itu mengaitkan pertambahan kapasitas terpasang (capital)
dengan pertumbuhan ekonomi (output).
Teori Harrod – Domar mempunyai beberapa asumsi:
a. Perekonomian dalam pengerjaan penuh dan barang‐barang modal dalam
masyarakat digunakan sepenuhnya.
b. Perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor rumah tangga dan sektor
perusahaan. Ini berarti dalam analisis dianggap tidak terdapat sektor pemerintah
dan sektor luar negeri.
c. Besarnya tabungan masyarakat adalah merupakan fraksi tertentu dari besarnya
pendapatan nasional. Ini berarti fungsi tabungan dimulai dari titik nol.
d. Kecenderungan masyarakat untuk menabung (marginal propensity to save = MPS)
besarannya tetap, demikian juga rasio antara modal – output (capital output ratio
= COR) dan rasio pertambahan modal‐output (incremental capital output ratio =
ICOR).
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 12
Beberapa kelemahan dari Teori Harrod–Domar adalah:
a. Anggapan bahwa MPS dan ICOR konstan adalah anggapan yang terlalu kaku
mengingat dalam jangka panjang mungkin sekali kedua variabel tersebut
berubah.
b. Teori Harrod–Domar beranggapan proporsi penggunaan tenaga kerja dan modal
tetap. Anggapan ini tidak dapat dipertahankan mengingat pada kenyataannya
hubungan antara tenaga kerja dan modal tidak selalu dalam proporsi yang tetap.
c. Model Harrod–Domar mengabaikan perubahan‐perubahan harga pada umumnya.
Padahal perubahan harga selalu terjadi di setiap waktu dan sebaliknya dapat
mengendalikan situasi ekonomi yang tidak stabil.
d. Asumsi bahwa suku bunga tidak berubah adalah tidak relevan dengan analisis
yang bersangkutan. Suku bunga dapat berubah dan pada akhirnya akan
mempengaruhi investasi.
Pada dasarnya teori tentang ICOR dilandasi oleh dua macam konsep yaitu:
(i) Rasio Modal‐Output atau Capital Output Ratio (COR) atau sering disebut sebagai
Average Capital Output Ratio (ACOR), yaitu perbandingan antara kapital yang
digunakan dengan output yang dihasilkan pada suatu periode tertentu. COR atau
ACOR ini bersifat statis karena hanya menunjukkan besaran yang menggambarkan
perbandingan modal dan output.
(ii) Rasio Modal‐Output Marginal atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yaitu
suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang
dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output baik secara fisik
maupun secara nilai (uang). Konsep ICOR ini Iebih bersifat dinamis karena
menunjukkan perubahan /penambahan output sebagai akibat langsung dari
penambahan kapital.
Dari pengertian pada butir (ii), maka ICOR bisa diformulasikan sebagai berikut:
∆∆
di mana:
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 13
ΔK = investasi, atau penambahan barang modal ΔY
=
baru/kapasitas terpasangpertambahan output
Contoh:
Misalkan diketahui, bahwa koefisien ICOR di kota Banjarmasin sebesar 4. Artinya untuk
meningkatkan output satu unit diperlukan investasi sebesar 4 unit. Jika diketahui juga,
output di daerah itu pada tahun sebelumnya sebesar Rp. 3 miliar, maka agar output
pada tahun yang akan datang tumbuh 10 persen, atau bertambah sebesar Rp. 0,3 miliar,
dibutuhkan investasi sebesar: 4 x Rp. 0,3 miliar = Rp. 1,2 miliar.
Dalam perkembangannya, data yang digunakan untuk menghitung ICOR bukan
lagi hanya penambahan barang modal baru atau perubahan stok kapital, melainkan
Investasi (I) yang ditanam baik oleh swasta maupun pemerintah sehingga rumusan ICOR
dimodifikasi
menjadi:
∆
di mana:
I = Investasi
ΔY = perubahan output
Pada kenyataannya pertambahan output bukan hanya disebabkan oleh
investasi, tetapi juga oleh faktor‐faktor lain di luar investasi seperti: pemakaian tenaga
kerja, penerapan teknologi, dan kemampuan kewiraswastaan. Dengan demikian, untuk
melihat peranan investasi terhadap output berdasarkan konsep ICOR, maka peranan
faktor‐faktor selain investasi diasumsikan konstan (ceteris paribus).
2.2. Pengertian Investasi
Pertumbuhan merupakan gambaran yang nyata dari dampak suatu kebijakan
pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi merupakan ciri dari
adanya pertumbuhan ekonomi. Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi salah
satunya diperlukan modal (investasi) untuk menaikkan kapasitas produksi suatu
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 14
perekonomian. Menurut teori Harrod‐Domar, pembentukan modal (investasi)
merupakan faktor penting yang menentukan pertumbuhan ekonomi (Lincoln Arsyad,
2010).
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau penanaman modal atau
perusahaan untuk membeli barang‐barang modal dan perlengkapan‐perlengkapan
produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang‐barang dan jasa‐jasa yang
tersedia dalam perekonomian (Sukirno, 2010:121).
Investasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam pembangunan
ekonomi karena investasi mempunyai keterkaitan dengan keberlangsungan kegiatan
ekonomi di masa yang akan datang. Dengan melakukan investasi diharapkan kapasitas
produksi dapat ditingkatkan, yang berarti peningkatan output. Sehingga dengan
peningkatan output akan meningkatkan pendapatan. Dalam jangka panjang akumulasi
investasi dapat mendorong perkembangan berbagai aktivitas ekonomi sehingga
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah/negara.
Pemahaman kondisi tersebut memberikan pengertian pentingnya informasi
investasi. Berdasarkan buku panduan yang diterbitkan oleh United Nations (PBB)
mengenai penyusunan neraca nasional yang disebut System of National Accounts (SNA),
besarnya investasi yang direalisasikan di suatu wilayah/negara pada suatu tahun
tertentu adalah sama dengan jumlah Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) plus
perubahan inventori/stok. PMTB menggambarkan investasi domestik fisik yang telah
direalisasikan pada suatu tahun tertentu dalam bentuk berbagai jenis barang kapital,
seperti: bangunan, mesin‐mesin, alat‐alat transportasi, dan barang modal lainnya;
sedangkan inventori/stok meliputi output setengah jadi, atau input yang belum
digunakan, termasuk juga barang jadi yang belum dijual. Inventori/stok termasuk dalam
modal kerja yang merupakan bagian investasi yang direncanakan. Perubahan inventori
merupakan selisih antara stok akhir dengan stok awal pada suatu periode tertentu.
Investasi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: fisik, finansial, dan sumber daya
manusia (SDM). Investasi yang berwujud fisik dapat berupa: jalan, jembatan, gedung,
kantor, mesin‐mesin, mobil dan sebagainya. Investasi finansial dapat berupa: pembelian
surat berharga, pembayaran premi asuransi, penyertaan modal dan investasi keuangan
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 15
lainnya. Sedangkan investasi SDM dapat berupa pendidikan dan pelatihan. Adapun
penekanan investasi di sini lebih kepada investasi yang berupa fisik.
Dalam penghitungan ICOR, konsep investasi yang digunakan mengacu pada
konsep ekonomi nasional. Pengertian investasi yang dimaksud di sini adalah fixed
capital formation/pembentukan barang modal tetap yang terdiri dari: tanah,
gedung/konstruksi, mesin dan perlengkapannya, kendaraan, dan barang modal lainnya.
Sementara itu nilai yang diperhitungkan mencakup:
a. Pembelian barang baru dan barang bekas dari luar negeri,
b. Pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan pihak lain,
c. Pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan sendiri,
d. Penjualan barang modal bekas.
Total nilai investasi diperoleh dari penjumlahan seluruh pembelian barang modal
baru/bekas, pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan oleh pihak lain dan sendiri
dikurangi penjualan barang modal bekas.
2.2.1. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)
Secara konseptual, PMTB didefinisikan sebagai pengeluaran untuk pengadaan
barang modal yang meliputi: pembuatan sendiri, pembelian barang modal baru dari
dalam negeri dan barang modal baru maupun bekas dari luar negeri, setelah dikurangi
barang modal yang dijual atau yang diberikan kepada pihak lain. Barang modal adalah
barang atau peralatan yang digunakan dalam proses produksi dan mempunyai umur
pemakaian satu tahun atau lebih (disebut sebagai barang modal tetap; sedangkan bruto
mencerminkan bahwa penghitungan PMTB belum dikurangi dengan penyusutan barang
modal).
Secara lebih rinci PMTB pada dasarnya meliputi:
a. Pembentukan modal berupa bangunan, mesin, angkutan dan perlengkapannya
yang mempunyai umur pemakaian satu tahun atau lebih.
b. Perbaikan besar, maksudnya biaya yang dikeluarkan untuk perbaikan barang
modal untuk meningkatkan mutu barang modal tersebut atau menambah umur
pakai barang modal.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 16
c. Biaya untuk pengembangan atau perbaikan lahan, penanaman kembali hutan,
perluasan daerah pertambangan, penanaman dan peremajaan tanaman keras.
d. Pembelian ternak untuk pembiakan, pemerahan susu, atau sebagai alat
angkutan, tetapi tidak termasuk ternak potong untuk konsumsi.
e. Margin perdagangan dan ongkos‐ongkos yang berkaitan dengan transaksi jual beli
tanah, hak paten, hak cipta, dan sebagainya.
2.2.2. Klasifikasi PMTB
PMTB dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. PMTB menurut jenis barang modal,
b. PMTB menurut lapangan usaha/sektor,
c. PMTB menurut institusi.
2.2.2.1. PMTB menurut jenis barang modal
PMTB menurut jenis barang modal dapat dibedakan atas:
a. Pembentukan modal berupa bangunan, yaitu: bangunan tempat tinggal,
bangunan bukan tempat tinggal, dan bangunan lainnya seperti: jalan raya, instalasi
listrik, jaringan komunikasi, bendungan, pelabuhan, dan sebagainya.
b. Pembentukan modal berupa mesin, seperti: mesin pertanian, mesin
pertambangan, mesin industri, dan alat perabot serta perlengkapan untuk kantor,
hotel, dan restoran.
c. Pembentukan modal berupa alat angkutan seperti: mobil, bus, truk, kapal laut,
pesawat, sepeda motor, dan sebagainya.
[Keterangan: yang dimaksud dalam PMTB adalah barang‐barang modal yang
digunakan untuk keperluan pabrik, kantor maupun usaha rumahtangga, tetapi
tidak termasuk yang digunakan untuk konsumsi (durable goods)].
d. Barang modal lainnya seperti: perluasan hutan; pengembangan/
perluasan lahan; penanaman kembali hutan; ternak untuk pembiakan,
pemerahan susu atau sebagai alat angkutan; perluasan areal pertambangan; dan
sebagainya.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 17
2.2.2.2. PMTB menurut Lapangan Usaha/Sektor
PMTB menurut lapangan usaha/sektor adalah:
1) Pertanian
2) Pertambangan dan penggalian
3) Industri pengolahan
4) Listrik, gas dan air bersih
5) Konstruksi
6) Perdagangan, hotel dan restoran
7) Pengangkutan dan komunikasi
8) Keuangan, real estat dan jasa perusahaan
9) Jasa‐jasa.
2.2.2.3. PMTB menurut Institusi
PMTB menurut institusi dibedakan atas tiga kelompok berikut:
a. Pemerintah. Yang dimaksud dengan pemerintah disini adalah pemerintah yang
menyelenggarakan general administration, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Pengeluaran PMTB oleh pemerintah misalnya untuk
membangun gedung kantor, pembelian mesin‐mesin, komputer untuk
menyelenggarakan tugas pemerintah sebagai administration, termasuk juga bila
pemerintah mengeluarkan biaya untuk kepentingan masyarakat yang bersifat
infrastruktur, seperti: jalan raya, pembangunan irigasi, dan sebagainya.
b. Korporasi/Perusahaan Swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dalam kategori ini hanya pengeluaran
investasi yang benar‐benar dikuasai BUMN/BUMD, tetapi tidak termasuk
pengeluaran biaya oleh pemerintah pada butir a di atas. Kegiatan yang dicakup
perusahaan meliputi sektor finansial dan non finansial.
c. Rumah tangga dan Lembaga Swasta Nirlaba. Kegiatan membangun rumah
baru atau memperbaiki rumah milik sendiri secara besar‐besaran dianggap sebagai
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 18
bagian dari pembentukan modal. Hal ini sesuai dengan keharusan meng‐imputasi
sewa rumah penduduk (rumah tangga) baik milik sendiri maupun rumah dinas.
2.3. Pengertian Output
Output adalah nilai dari seluruh produk yang dihasilkan oleh sektor‐sektor
produksi dengan memanfaatkan faktor produksi yang tersedia di suatu wilayah (negara,
provinsi dan sebagainya) dalam suatu periode waktu tertentu (umumnya satu tahun),
tanpa memperhatikan asal usul pelaku produksinya.
Output diartikan sebagai seluruh nilai produk barang dan jasa yang mampu
dihasilkan oleh berbagai sektor produksi. Dengan kata lain, output merupakan
“keluaran” atau hasil yang diperoleh dari pendayagunaan seluruh faktor produksi baik
berbentuk barang atau jasa seperti: tanah, tenaga kerja, modal dan kewiraswastaan.
Dari segi ekonomi nasional, output merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang
dihasilkan oleh faktor‐faktor produksi domestik dalam suatu periode tertentu.
Dari segi perusahaan, output mencakup nilai barang (komoditi) jadi yang
dihasilkan selama suatu periode tertentu ditambah nilai perubahan inventori/stok
barang (komoditi) yang masih dalam proses. Output yang dimaksud adalah:
a. Barang‐barang yang dihasilkan.
b. Tenaga listrik yang dijual.
c. Selisih nilai stok setengah jadi.
Output ini dihitung atas dasar harga produsen, yaitu harga yang diterima oleh
produsen pada tingkat transaksi pertama. Karena masih mengandung nilai penyusutan
barang modal, output ini masih bersifat bruto. Untuk mendapatkan output neto atas
harga pasar, output bruto atas harga pasar harus dikurangi dengan penyusutan barang
modal.
Dalam pengertian ICOR, output adalah tambahan (flow) produk dari hasil
kegiatan ekonomi dalam suatu periode atau nilai‐nilai yang merupakan hasil
pendayagunaan factor‐faktor produksi. Output ini merupakan seluruh nilai tambah atas
dasar biaya faktor produksi yang dihasilkan dari seluruh kegiatan usaha. Seluruh output
yang dihasilkan dinilai atas dasar harga produsen. Output juga merupakan nilai
perolehan produsen atas kegiatan ekonomi produksinya.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 19
2.4. Pengertian Nilai Tambah
Konsep Nilai Tambah berkaitan erat dengan konsep penghitungan output. Nilai
Tambah Bruto (NTB) adalah nilai seluruh balas jasa faktor produksi yang meliputi upah
dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung (neto). Dengan kata lain,
nilai tambah adalah suatu tambahan nilai pada nilai input antara yang digunakan dalam
proses menghasilkan barang/jasa. Nilai input antara tersebut bertambah karena input
antara tersebut telah mengalami proses produksi yang mengubahnya menjadi barang
yang nilainya lebih tinggi. Sedangkan input antara mencakup nilai seluruh komoditi
yang habis atau dianggap habis dalam suatu proses produksi, seperti: bahan baku, bahan
bakar, pemakaian listrik, dan sebagainya. Barang yang digunakan sebagai alat dalam
suatu proses produksi dan umurnya kurang dari setahun dan habis dipakai dimasukkan
sebagai input antara (bukan barang modal).
Penghitungan nilai tambah bruto atas dasar harga pasar dari suatu unit
produksi adalah output bruto atas dasar harga produsen dikurangi input antara atas
dasar harga pasar. Karena keterbatasan data penyusutan barang modal dan pajak
tak langsung, maka pendekatan nilai tambah bruto inilah yang dipakai untuk
penghitungan ICOR ini.
2.5. Penelitian Terdahulu
Studi empiris mengenai efisiensi dan kebutuhan investasi daerah sudah pernah
dilakukan. Misalnya oleh Lucky et al (2011) di Provinsi Jawa Timur. Dengan menggunakan
metode ICOR, mereka memfokuskan analisis kebutuhan investasi sektoral Jawa Timur
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dari penelitian ini mereka menyimpulkan
bahwa sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas dan air bersih kegiatan
produksinya paling tidak efisien, dengan angka ICOR sebesar 31.1847 dan 36.4373.
Sedangkan kelima sektor, yakni sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian,
sektor perdagangan, hotel dan restaurant, sektor pengangkutan dan komunikasi serta
sektor jasa‐jasa menjadi sektor yang paling efisien.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Sarana (2006) dengan judul Kebutuhan
Investasi di Daerah Melalui Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang mengambil
lokasi penelitian di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Demak. Penelitian ini
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 20
menemukan bahwa ICOR Kabupaten Demak dalam periode tahun 2001‐2005 sebesar
1,77 sedangkan ICOR Kabupaten Purwakarta dalam periode tahun 2001‐2005 sebesar
0,99.
Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Khairil et al (2009) dengan judul Analisis
Determinan Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi Kabupaten Maros. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa besaran ICOR selama tahun pengamatan yaitu tahun
2000‐2009 adalah 0,74. Besaran ICOR merefleksikan produktivitas investasi yang pada
akhirnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai.
ICOR juga bisa digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi produksi suatu
daerah. Semakin tinggi nilai ICOR mengindikasikan bahwa produksi di daerah tersebut
semakin tidak efisien, karena dibutuhkan semakin banyak investasi untuk bisa
menghasilkan satu unit tambahan output. Nilai ICOR umumnya berbeda untuk tiap
daerah dengan karakteristik lapangan usaha yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan
adanya perbedaan komposisi investasi di lapangan‐lapangan usaha yang berbeda
tersebut.
Pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
Terhadap Produk Domestik Regional Bruto Secara Parsial. Hasil Penelitian ini
menunjukkan bahwa Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
berpengaruh signifikan secara simultan terhadap Produk Domestik Regional Bruto di
Provinsi Bali karena didapat nilai Fhitung sebesar 26,938 > Ftabel sebesar 3,49 dengan
nilai signifikansi 0,000 ≤ 0,05, dimana dalam penelitian ini besarnya Produk Domestik
Regional Bruto di pengaruhi oleh variabel Penanaman Modal Dalam Negeri dan
Penanaman Modal Asing sebesar 72,9 persen, ini terlihat dari koefisien determinasi atau
R2 = 0,729 sedangkan sisanya 27,1 persen dipengaruhi oleh faktor‐faktor lain yang tidak
dipergunakan dalam model regresi penelitian.
Penelitian ini sesuai dengan pendapat Tariq dan Saniya (2013) bahwa investasi
memerankan peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi, seperti
menimbulkan kapasitas produktif perekonomian, dan meningkatkan tenaga kerja. Hasil
penelitian ini juga sesuai oleh penelitian Sutawijaya (2010) yang menyatakan
pertumbuhan investasi swasta memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Kontribusi investasi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi permintaan, yakni
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 21
peningkatan investasi akan menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi dengan
menciptakan pertumbuhan yang efektif dan sisi penawaran, pertumbuhan investasi akan
merangsang pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan lebih banyak cadangan modal
yang akan berkembang dalam peningkatan kapasitas produksi. Sama hal nya dengan
penelitian Ocaya et al (2012) bahwa investasi juga merupakan penghubung yang kuat
untuk inovasi, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PMDN berpengaruh positif dan signifikan
terhadap Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Bali dengan hasil thitung sebesar
5,928 > ttabel sebesar 1,725 dan nilai signifikansi 0,000 ≤ 0,05. Dengan demikian variabel
Penanaman Modal Dalam Negeri mampu menjelaskan Produk Domestik Regional Bruto
di Provinsi Bali dengan dasar analisis tersebut. Berdasarkan koefisien regresi dari
Penanaman Modal Dalam Negeri sebesar 7,888 berarti apabila Penanaman Modal Dalam
Negeri naik 1 milyar dengan asumsi variabel bebas lainnya konstan, maka Produk
Domestik Regional Bruto akan naik sebesar 7,888 milyar.
Sesuai dengan penelitian Sodik dan Didi (2005) menyimpulkan bahwa penanaman
modal dalam negeri berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, artinya
investasi sangat diperlukan oleh suatu daerah untuk tumbuh dan berkembang. Begitu
juga dengan Jonaidi (2012) mengatakan semakin meningkatnya nilai investasi, maka
pertumbuhan ekonomi akan semakin meningkat. Penanaman Modal Dalam Negeri yang
meningkat akan berdampak terhadap sumber dana yang berasal dari dalam negeri yang
dapat terdiri dari sektor formal dan informal, tentu saja akan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali. Penelitian Momongan (2013) menyimpulkan
bahwa Penanaman Modal Dalam Negeri secara parsial mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap perkembangan Produk Domestik Regional Bruto. Hasil Penelitian ini
menunjukkan bahwa Penanaman Modal Asing berpengaruh positif dan signifikan secara
parsial terhadap Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Bali karena hasil analisis yang
didapat nilai thitung sebesar 4,237 > ttabel sebesar 1,725 dan nilai signifikansi 0,000 ≤
0,05. Dengan demikian variabel Penanaman Modal Asing mampu menjelaskan Produk
Domestik Regional Bruto di Provinsi Bali dengan dasar analisis yang dijelaskan.
Berdasarkan koefisien regresi dari Penanaman Modal Asing sebesar 25,905 berarti
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 22
apabila Penanaman Modal Asing naik 1 milyar dengan asumsi variabel bebas lainnya
konstan, maka Produk Domestik Regional Bruto akan naik sebesar 25,905 milyar.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Laksmi (2013) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif karena besarnya pengaruh
penanaman modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi, apabila penanaman modal
asing meningkat akan meningkatkan jumlah produksi dan jasa sehingga akan memicu
terjadinya pertumbuhan ekonomi begitu pula dengan sebaliknya. Ini sependapat juga
dengan penelitian Mustar (2013) mengatakan walaupun realisasi penanaman modal
asing berfluktuasi, akan tetapi Penanaman Modal Asing dapat diandalkan untuk
peningkatan Produk Domestik Regional Bruto.
Berdasarkan hasil perhitungan ICOR didapatkan hasil bahwa rata‐rata ICOR
selama periode tahun 1990‐2012 diperoleh sebesar 2. Ini artinya investasi yang dilakukan
di Provinsi Bali pada periode tahun 1990‐2012 adalah tergolong sangat efisien dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini sesuai dengan Jhingan
(2004:613) bahwa rasio efisiensi investasi terletak antara 3,0 dan 4,0 yang artinya apabila
nilai icor semakin kurang dari 3 maka dapat dikatakan investasi tersebut sangat efisien
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sedangkan apabila nilai ICOR melebihi 4
maka dapat dikatakan investasi tersebut semakin tidak efisien dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
Sesuai dengan penelitian Suryani (2013) nilai ICOR yang rendah menunjukkan
efisiensi suatu perekonomian dalam menggunakan faktor modal, dan sebaliknya nilai
ICOR yang tinggi mengindikasikan terjadinya inefisiensi. Penelitian Farid (2008)
mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mempengaruhi efisiensi, artinya jika kondisi
perekonomian stabil maka proses produksi nasionalpun akan lebih efisien. Penelitian
Irawan (2010) mengatakan banyak faktor yang mempengaruhi besar kecilnya koefisien
ICOR misalnya disebabkan keunikan dari masing‐masing sektor, teknologi yang
diterapkan, dan keadaan pasar. Selain itu juga daya tarik masing‐masing sektor atau
daerah di mata para investor, dan berbagai kebijakan serta peraturan pemerintah pusat
dan daerah, terjadinya krisis ekonomi juga akan mewarnai perbedaan koefisien ICOR di
masing‐masing daerah.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 23
Badan Pusat Statistik telah melakukan penghitungan Incremental Capital Output
Ratio (ICOR) Sektor Industri Pengolahan sebanyak tiga kali. Dua penghitungan pertama
(1983 dan 1993) tidak dipublikasikan, sementara penghitungan yang ketiga (1994) telah
dipublikasikan. Pada penghitungan yang pertama (1983) digunakan series data hasil
survei tahunan industri besar dan sedang tahun 1975‐1981 dan survei khusus barang‐
barang modal yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (sekarang menjadi Badan Pusat
Statistik). Sementara pada penghitungan kedua (1993) digunakan series data hasil survei
Tahunan Industri Besar dan Sedang tahun 1985‐1990. Selanjutnya, pada penghitungan
ketiga (1994) digunakan data hasil Survei Tahunan Industri Besar dan Sedang tahun
1980‐1990. Ketiga penghitungan tersebut masing‐masing dilakukan untuk klasifikasi
jenis barang 2 dan 3 digit ISIC.
Sebelum tahun 1985, Survei Tahunan Industri Besar dan Sedang mengalami
lewat cacah sehingga terjadi "under coverage" untuk jumlah perusahaan. Dalam
mengatasi hal tersebut, BPS telah melakukan backcasting terhadap jumlah perusahaan
agar cakupannya lebih lengkap. Pada penghitungan ICOR kedua (periode 1985‐1990)
telah digunakan nilai output sektor industri yang di‐backcast sesuai dengan jumlah
perusahaannya. Namun nilai investasi yang digunakan belum disesuaikan dengan
cakupan yang lebih lengkap, sehingga nilai ICOR yang diperoleh relatif sangat rendah
yang berkisar antara 1 sampai 2. Sebaliknya, pada penghitungan ICOR ketiga (periode
1980‐ 1990) telah dilakukan backcasting terhadap nilai output dan investasi sehingga
cakupan datanya sama, hal ini berpengaruh pada besaran ICOR yang dihasilkan relatif
lebih baik.
Agar memperoleh satu nilai ICOR yang dapat mewakili suatu periode waktu
untuk masing‐masing klasifikasi industri digunakan penghitungan dengan rata‐rata
sederhana. Rumus yang digunakan pada penghitungan ICOR pertama dan kedua
sebanyak 12 rumus standar. Sedangkan pada penghitungan ICOR sektor industri yang
ketiga digunakan sebanyak 15 rumus standar yang juga digunakan pada
penghitungan ICOR dalam publikasi ini. Sebagai pembanding, pada penghitungan ICOR
ketiga dilakukan pula penghitungan berdasarkan akumulasi investasi dengan lag 1 yang
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 24
pada dasarnya menerapkan prinsip rata‐rata tertimbang. Selain itu pada penghitungan
ICOR ketiga ini juga dilakukan penghitungan ICOR yang memperhitungkan selisih stok
bahan baku, barang jadi, dan barang setengah jadi.
Pada penghitungan ICOR yang pertama dan kedua digunakan nilai output dan
nilai investasi sektor industri pengolahan sebagai data dasar. Namun pada penghitungan
ICOR ketiga digunakan nilai tambah sebagai proksi dari variabel output, dan fixed capital
formation (pembentukan modal tetap bruto) sebagai proksi dari variabel investasi.
Penggunaan variabel nilai tambah sebagai proksi dari output dilakukan untuk
menghindari double counting, karena output suatu kegiatan bisa merupakan input dari
kegiatan lainnya. Nilai tambah yang digunakan dalam penghitungan ini adalah seluruh
nilai output yang telah dikurangi dengan seluruh input/biaya antara. Selanjutnya,
komponen nilai tambah yang bukan merupakan hasil pendayagunaan barang modal
dikeluarkan dari seluruh nilai tambah.
Data sektor industri pengolahan skala besar dan sedang yang digunakan dalam
penghitungan ICOR ini merupakan data menurut harga berlaku sehingga masih
terpengaruh oleh inflasi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data/nilai menurut harga
konstan digunakan suatu indeks sebagai deflator.
Pada penghitungan ICOR pertama digunakan Indeks Harga Perdagangan Besar
(IHPB) sebagai deflator untuk nilai output pada masing‐masing kode industri.
Sementara deflator untuk nilai investasi pada penghitungan ICOR pertama adalah IHPB
barang‐barang modal yang dihitung berdasarkan data yang dikumpulkan melalui Survei
Khusus Barang Modal.
Pada penghitungan ICOR kedua dan ketiga, deflator yang digunakan untuk nilai
output masih sama dengan penghitungan ICOR pertama, yaitu dengan menggunakan
IHPB untuk masing‐masing kode ISIC industri. Sedangkan deflator untuk investasi adalah
rata‐rata tertimbang IHPB dari kode ISIC 382 (industri mesin bukan mesin listrik), 383
(industri mesin listrik dan perlengkapannya), 384 (industri alat angkutan), dan 390
(industri lainnya) dengan penimbang output dari masing‐masing kode di atas.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 25
METODOLOGI
Sumber Data
Estimasi PMTB Sektoral
Pertambahan Output Sektoral
Metodologi Penghitungan ICOR
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 26
BAB III
METODOLOGI
3.1. Sumber Data
Data yang digunakan untuk penyusunan ICOR sektoral Kota Banjarmasin 2009‐
2013 bersumber dari hasil sensus dan survei‐survei yang dilakukan oleh BPS, yaitu:
Sensus Ekonomi 2006, Survei Tahunan Industri Besar/Sedang, Survei Tahunan
Perusahaan Air Minum, Survei Tahunan Konstruksi, Survei Khusus Pendapatan Regional,
Survei Khusus Tabungan dan Investasi Rumah Tangga, Survei Angkatan Kerja Nasional,
serta survei lainnya yang relevan. Selain itu, digunakan juga data dari penghitungan
Produk Domestik Regional Bruto baik menurut lapangan usaha (by industrial origin)
maupun menurut penggunaan (by expenditure). Pemanfaatan hasil sensus dan survei ini
dilakukan karena penghitungan ICOR memerlukan sumber dan cakupan data yang cukup
luas. Sebagai referensi, digunakan juga sumber data sekunder yang diperoleh dari
Bappeda Bidang Investasi/Badan Kerjasama dan Penanaman Modal Daerah (BKPMD)
berupa data investasi PMA/PMDN yang disetujui maupun realisasi.
3.2. Estimasi PMTB Sektoral
PMTB yang dihitung di sini adalah PMTB atas dasar harga konstan 2000,
karena pertumbuhan ekonomi diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan.
Dalam menghitung PMTB sektoral atas dasar harga konstan digunakan metode alokasi.
Sebagai alokator adalah nilai penyusutan masing‐masing sektor yang diperoleh pada
penghitungan PDRB atas dasar harga konstan, sedangkan total investasi dihitung dari
jumlah PDRB yang digunakan untuk pembentukan modal tetap bruto dan perubahan
stok.
Digunakannya nilai penyusutan sebagai alokator didasarkan pada pemikiran
bahwa penyusutan barang modal tetap yang terjadi pada tahun tertentu akan
dipakai untuk investasi pada tahun itu juga. Ini berarti bahwa investasi mempunyai
hubungan linier dengan nilai penyusutan, sehingga sektor‐sektor yang mempunyai nilai
penyusutan besar akan memiliki investasi yang besar pula.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 27
3.3. Penghitungan Pertambahan Output Sektoral
Penghitungan pertambahan output (ΔY) didekati dengan pertambahan nilai
tambah bruto (Δ NTB) menurut sektoral. Sebagai contoh pertambahan output sektor
pertanian tahun 2011 didekati dengan pengurangan nilai tambah pada tahun 2011 atas
dasar harga konstan dengan nilai tambah sektor ini pada tahun
2010 menurut harga konstan. Dengan perlakuan yang sama, pertambahan output
sektoral dihitung dan disusun sebagai pertambahan NTB sektoral.
Pendekatan ini dilakukan karena data NTB tersedia dengan time series yang
cukup panjang diturunkan dari penghitungan PDRB sektoral. Selain itu, untuk beberapa
sektor yang outputnya berupa jasa, maka penghitungan nilai tambah akan lebih mudah
dan lebih tepat.
3.4. Metode Penghitungan ICOR
3.4.1. Metode Standar
Secara matematis rumus yang digunakan untuk menghitung ICOR
adalah:
ICOR = ΔK ΔY
…………………………………………………(1)
di mana :
ΔK = investasi, atau penambahan barang modal baru/kapasitas
terpasang
ΔY = pertambahan/pertumbuhan output
Dalam praktek, data yang diperoleh bukan penambahan barang modal baru atau
penambahan kapasitas terpasang, melainkan besarnya realisasi nilai investasi yang
ditanam baik oleh Pemerintah maupun Swasta. Sehingga dengan mengasumsikan ΔK =
I (investasi),
maka rumus (1) dapat dimodifikasi menjadi:
ICOR = I
ΔY
………………………………………(2)
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 28
Rumus (2) ini disebut dengan Gross ICOR yaitu suatu rasio yang menunjukkan besarnya
tambahan unit kapital yang diperlukan untuk memperoleh tambahan satu unit output
pada suatu periode tertentu. Dalam penerapannya rumus Gross ICOR ini lebih sering
dipakai karena data yang digunakan tersedia relatif lebih lengkap.
Dalam beberapa hal untuk kasus‐kasus tertentu, investasi yang ditanamkan pada
suatu tahun akan langsung menghasilkan tambahan output pada tahun itu juga,
sehingga rumus (2) di atas dapat dinyatakan sebagai berikut:
………………………………. (3)
di mana :
I = investasi pada tahun ke‐t
Yt = output pada tahun ke‐t
Yt‐1 = output pada tahun ke‐(t‐1)
Rumus (3) di atas dapat diartikan bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke‐t
akan menimbulkan output pada tahun t itu juga.
Pada metode standar, langkah penghitungan dilakukan terlebih dahulu dengan
mencari ICOR pada masing‐masing tahun untuk periode waktu t1 sampai tn,
sehingga akan didapatkan nilai ICOR sebanyak n buah. ICOR yang dianggap dapat
mewakili untuk periode waktu tersebut (t1 s.d tn) diperoleh dengan jalan membagi
antara jumlah nilai ICOR selama periode waktu t1 s.d tn dengan jumlah tahun (n),
atau dengan mencari rata‐rata nilai ICOR selama periode t1 sampai dengan tn.
Prinsip dari penghitungan ICOR metode standar ini adalah rata‐rata
sederhana dan penulisannya secara matematis
sebagai berikut:
∑ …………………………….. (4)
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 29
Kelemahan dari penggunaan rata‐rata sederhana ini adalah jika terjadi suatu
koefisien ICOR yang ekstrim pada tahun‐ tahun tertentu, maka koefisien ini
berpengaruh pada nilai rata‐rata koefisien ICOR dalam periode waktu penghitungan.
Namun demikian, penggunaan metode standar ini mempunyai daya tarik lain yaitu
mampu mencerminkan inefficiency yang sering terjadi dalam praktek.
3.4.2. Metode Akumulasi Investasi
Pendekatan penghitungan ICOR dengan metode akumulasi berdasarkan suatu
anggapan bahwa timbulnya kenaikan output selama periode waktu t disebabkan karena
adanya akumulasi investasi selama periode waktu t. Perumusan ICOR dengan metode ini
adalah rasio antara akumulasi investasi terhadap akumulasi peningkatan output selama
periode waktu t1 sampai tn yang secara matematis dituliskan sebagai berikut:
∑
∑………………………………..(5)
Kelebihan dari metode akumulasi adalah, dalam penerapannya metode ini
terkandung prinsip rata‐rata tertimbang. Dengan digunakannya rata‐rata tertimbang,
maka koefisien ICOR ekstrim yang terjadi pada tahun‐tahun tertentu bisa dihindari.
Tetapi, metode akumulasi ini tidak memperhitungkan kapasitas terpasang yang berlebih
dan tidak dimanfaatkan secara penuh. Dengan kata lain, metode akumulasi tidak bisa
mencerminkan inefficiency, yang memang terjadi dalam praktek.
3.4.3. Time lag Investasi
Biasanya investasi yang ditanam pada tahun tertentu tidak secara langsung
memberikan hasil tambahan output pada tahun itu juga, tetapi memerlukan waktu
beberapa tahun lagi. Rentang waktu yang diperlukan agar penanaman investasi dapat
menghasilkan tambahan output disebut time lag (lag).
Jika investasi yang ditanam pada tahun ke‐t baru menimbulkan kenaikan output
setelah s tahun, maka rumus (4) di atas (ICOR metode standar) dengan adanya faktor
time lag dapat dimodifikasi menjadi:
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 30
∑ …………………………….. (6)
di mana :
Time lag = 0, 1, 2, 3, 4, dst.
s = lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil/output terhitung sejak penanaman investasi.
3.4.4. Koefisien ICOR Negatif.
Koefisien ICOR negatif dapat terjadi jika output pada suatu waktu tertentu
lebih kecil dari pada tahun sebelumnya. Penurunan output terjadi jika ada sebagian
barang modal dijual, rusak atau tidak diaktifkan karena alasan tertentu. Walaupun
mungkin ada penambahan barang modal baru, tetapi barang modal baru tersebut
sementara belum berproduksi atau telah berproduksi tetapi output yang dihasilkan
relatif sangat kecil dibandingkan dengan output tahun sebelumnya. Sehingga selisih
output antara tahun ditanamkannya investasi dengan tahun sebelumnya bernilai negatif.
Pada gilirannya koefisien ICOR‐pun menjadi negatif. Dengan demikian, penanaman
barang modal baru belum menghasilkan output secara optimal, atau bisa dikatakan
investasi yang ditanamkan belum/tidak efisien pada saat itu. Tetapi jika ada
penambahan/penggantian barang modal, maka tidak bisa dikatakan bahwa telah
terjadi inefficiency. Namun demikian secara makro keadaan yang disebutkan
terakhir ini jarang terjadi.
3.4.5. Koefisien ICOR yang Besar dan Positif
Koefisien ICOR yang relatif besar terjadi jika investasi yang ditanamkan pada
tahun tertentu relatif besar, sedangkan output yang dihasilkan lebih besar tetapi hampir
sama dengan output pada tahun sebelumnya, atau tambahan output yang dihasilkan
relatif kecil. Dengan kata lain, investasi yang ditanamkan pada tahun itu belum efektif
sehingga relatif kurang efisien.
3.4.6. Penyesuaian Tahap Akhir Dalam Penyusunan ICOR
Dalam penghitungan ICOR masih ditemukan beberapa nilai ICOR yang bernilai
negatif. Hal ini terjadi karena ada series data nilai tambah untuk beberapa subsektor
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 31
yang masih berfluktuasi. Oleh karena itu, untuk beberapa subsektor yang memiliki nilai
tambah fluktuatif dilakukan perapihan dengan cara menghitung rata‐rata pertumbuhan
nilai tambah per tahun untuk masing‐masing subsektor. Kemudian, angka pertumbuhan
ini diterapkan pada perusahaan‐perusahaan yang memiliki tren nilai tambah menurun,
sehingga diperoleh suatu series nilai tambah yang lebih baik (smooth). Selain itu,
dilakukan juga perapihan nilai investasi yang ekstrim dengan menghitung rata‐rata
pertumbuhannya atau tidak mengikutsertakannya dalam penghitungan (outlier).
Selanjutnya, nilai ICOR untuk masing‐masing subsektor bersangkutan dihitung kembali.
3.4.7. Asumsi Dasar
Walaupun pertambahan output sebenarnya bukan hanya disebabkan oleh
investasi, tetapi juga oleh faktor‐faktor lain di luar investasi, dalam penghitungan ICOR
ini digunakan asumsi bahwa tidak ada faktor lain yang mempengaruhi output selain
investasi, dengan kata lain faktor‐faktor lain di luar investasi dianggap konstan (ceteris
paribus). Jadi perubahan/kenaikan output hanya disebabkan oleh adanya perubahan
kapital/investasi.
Output dari suatu kegiatan ekonomi merupakan input antara untuk kegiatan
ekonomi lainnya, sehingga jika digunakan konsep output dalam penghitungan ICOR
dirasakan kurang tepat karena akan terjadi penghitungan ganda (double counting), yaitu
ouput dari suatu perusahaan akan dihitung kembali sebagai input perusahaan lainnya.
Untuk menghindari hal tersebut, maka dalam penghitungan ICOR digunakan konsep
Nilai Tambah.
Konsep Nilai Tambah (Value Added) yang digunakan dalam penghitungan ICOR
ini selanjutnya dinamakan dengan istilah ICVAR (Incremental Capital Value Added
Ratio). Meskipun demikian, ukuran ICVAR ini juga digunakan untuk memprediksi suatu
rasio investasi terhadap output secara sektoral, dan bukannya terhadap nilai tambah
semata.
ICOR yang disajikan telah memperhitungkan perubahan inventori (selisih stok)
baik bahan baku, barang setengah jadi, maupun barang jadi. Dalam pendekatan mikro,
umumnya perusahaan diasumsikan tidak melakukan penimbunan atau akumulasi stok
barang untuk kelancaran produksi. Dalam pendekatan makro, perusahaan dianggap
telah membuat keputusan akumulasi stok dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi
yang akan datang. Misalnya, dalam hal ada kecenderungan bahan baku akan melonjak,
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 32
perusahaan dapat mengambil keputusan melakukan akumulasi stok bahan baku dengan
mempertimbangkan kondisi ekonomi mendatang. Penghitungan ICOR di sini,
menggunakan pendekatan makro, dengan menganggap perubahan inventori/stok
sebagai bagian dari pembentukan modal (investasi).
Beberapa asumsi lainnya yang dipakai dalam penyusunan ICOR ini adalah:
1. Perubahan output semata‐mata hanya disebabkan oleh perubahan
kapital/adanya investasi.
2. Faktor‐faktor lain di luar investasi, seperti pemakaian tenaga kerja,
penerapan teknologi dan kemampuan wiraswasta diasumsikan konstan.
Dengan asumsi‐asumsi di atas angka ICOR mempunyai keterbatasan, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Tidak mampu menjelaskan penyebab pertumbuhan ekonomi, apakah
dipengaruhi oleh pertumbuhan faktor produksi atau tingkat produktivitasnya.
2. Tidak mampu menjelaskan besaran peranan faktor di luar perubahan kapital
dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi.
Proses penghitungan ICOR yang optimal sebaiknya menggunakan periode
referensi yang panjang misalnya 10 tahun ke atas, karena pembentukan modal bersifat
akumulatif. Dalam kajian ini hanya dibatasi selama periode 2009‐2013.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 33
PEMBAHASAN
Pertumbuhan Ekonomi
ICOR Sektoral
Kebutuhan Investasi
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 34
BAB IV
HASIL PENGHITUNGAN ICOR DAN PEMBAHASANNYA
4.1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Kota Banjarmasin sampai dengan tahun 2013
mengalami akselerasi dari sebesar 6,71 persen pada tahun 2009 menjadi 7,17
persen di tahun 2013. Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Kota Banjarmasin
mengalami perlambatan menjadi 6,47 persen dan mencapai 6,31 persen di tahun
2012 (Gambar 1). Lesunya perekonomian global dan regional sebagai imbas dari
krisis keuangan di Amerika Serikat tidak banyak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi Kota Banjarmasin mengalami peningkatan menjadi 6,97
persen pada tahun 2011. Pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Kota
Banjarmasin kembali mengalami peningkatan menjadi 7,17 persen karena
meningkatnya produksi sektor‐sektor ekonomi di kota Banjarmasin.
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Kota Banjarmasin
Tahun 2009‐2013 (persen)
6.71 6.476.97
6.31
7.17
2009 2010 2011 2012 2013
Pertumbuhan
Tahun
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 35
Selama lima tahun terakhir, rata‐rata pertumbuhan ekonomi Kota Banjarmasin
mencapai 6,73 persen. Semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan positif. Sektor
yang mempunyai rata‐rata pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada sektor
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan tumbuh sebesar 9,92 persen. Kemudian
diikuti sektor Konstruksi 9,28 persen; sektor Jasa‐jasa sebesar 7,44 persen; sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 7,36 persen, sektor Listrik, Gas dan Air 6,65
persen, sektor Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 6,65 persen dan sektor
Pertanian sebesar 3,40 persen. Sedangkan sektor dengan rata‐rata pertumbuhan
ekonomi terendah terjadi pada sektor Industri Pengolahan yang mencapai 2,54 persen.
Gambar 2. Rata‐rata Pertumbuhan Ekonomi menurut Sektor Tahun 2009‐2013 (%)
4.15
2.54
6.8
9.28
7.36
6.65
9.92
7.44
6.73
1 2 3 4 5 6 7 8 9 PDRB
Pertumbuhan
Sektor
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 36
Selama periode 2009‐2013, perkembangan sektor industri pengolahan di Kota
Banjarmasin kurang menggembirakan. Kebijakan pelarangan penebangan kayu
beberapa tahun lalu yang berdampak pada ditutupnya beberapa perusaahaan kayu
lapis sampai periode ini masih terasa imbasnya. Namun jika dibandingkan dengan
periode sebelumnya yang selalu tumbuh negatif, sejak 2009 sektor industri sudah
menunjukkan geliatnya terlihat dengan pertumbuhan yang positif walaupun masih
berada dalam kisaran di bawah 4 persen. Sektor industri lebih dipengaruhi oleh sub
sektor Industri Besar/Sedang dibanding subsektor Industri Kecil dan subsektor Industri
rumahtangga Sekitar 2/3 angka sektor Industri Pengolahan merupakan konstribusi dari
subsektor Industri Besar/Sedang.
Sektor pertanian merupakan sektor yang tumbuh dengan rata‐rata di bawah
5 persen dalam periode 2009‐2013. Pertumbuhan sektor pertanian sangat
berfluktuatif, hal ini dapat dipahami mengingat sektor ini sangat terpengaruh oleh
faktor musim dan iklim. Makin sempitnya lahan yang tersedia akibat pembangunan
pemukiman penduduk turut mempengaruhi tingkat pertumbuhan sektor ini, bahkan
subsektor perkebunan selalu mengalami pertumbuhan minus. Pertumbuhan terendah
sektor pertanian terjadi pada tahun 2011 yang mengalami pertumbuhan sebesar 0,41
persen, sedangkan pertumbuhan tertinggi pada tahun 2012 dengan pertumbuhan
mencapai 5,74 persen.
Selain kedua sektor tersebut, semua sektor senantiasa mengalami pertumbuhan
di atas 5 (lima) persen adalah sektor Konstruksi dan sektor Jasa‐jasa. Tingginya
pertumbuhan sektor bangunan dan jasa‐jasa. Khusus sektor bangunan,
pertumbuhannya konsisten di atas 6 persen. Tingginya pertumbuhan di sektor
bangunan disebabkan oleh naiknya permintaan bangunan tempat tinggal maupun
bangunan komersial. Pembangunan beberapa ruas jalan baru di dalam kota turut
mempercepat pertumbuhan pada sektor ini walaupun berimbas pada semakin
sempitnya lahan untuk sektor pertanian. Sedangkan tingginya pertumbuhan sektor
jasa‐jasa lebih dipengaruhi karena Banjarmasin sebagai kota besar sebagai kota
pelabuhan sebagai pintu masuk bagi perdagangan daerah‐daerah lain di sekitarnya, hal
ini mendorong tumbuhnya sektor jasa sebagai penunjang sektor‐sektor lainnya.
Tingginya pertumbuhan sektor jasa‐jasa juga merupakan salah satu ciri dari kota besar
yang tidak memiliki sumber daya alam.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 37
Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Kota Banjarmasin
Menurut Sektor Tahun 2009‐2013 (Persen)
Sektor/Subsektor 2009 2010 2011 2012*) 2013**) Rata‐rata
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Pertanian 4,71 5,12 0,41 5,74 4,75 4,15
2. Pertambangan dan Penggalian
3. Industri Pengolahan 2,69 1,87 1,86 2,93 3,35 2,54
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 3,29 7,71 7,37 8,74 6,90 6,80
5. Bangunan 10,93 7,69 6,38 10,76 10,61 9,28
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 4,77 10,46 9,80 5,56 6,19 7,36
7. Pengangkutan dan Komunikasi 3,28 7,27 8,21 7,31 7,17 6,65
8. Keuangan, persewaaan dan Jasa Perusahaan
24,33 1,83 6,80 5,05 11,56 9,92
9. Jasa‐jasa 6,16 8,25 7,74 7,63 7,43 7,44
Pertumbuhan Ekonomi 6,71 6,47 6,97 6,31 7,17 6,73
Keterangan: *) Angka diperbaiki
**) Angka sangat sementara
Jika ditinjau dari sisi penggunaan, porsi terbesar PDRB kota Banjarmasin
digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Pada periode 2009‐2013, rata‐rata porsi
pengeluaran konsumsi rumah tangga per tahun di Kota Banjarmasin mencapai 52,46
persen dari total PDRB. Meskipun demikian peranan pengeluaran konsumsi rumah
tangga pada tahun 2011 mengalami penurunan, yaitu dari 53,58 persen pada tahun
2010 menjadi sebesar 51,63 persen di tahun 2011. Komponen terbesar kedua adalah
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), tercatat secara rata‐ rata selama periode
2009‐2013 sebesar 25,02 persen. Komponen terbesar ke tiga adalah Konsumsi
Pemerintah dengan rata‐rata share selama lima tahun terakhir mencapai 15,32 persen.
Selama kurun waktu 2009–2013, rata‐rata pertumbuhan pengeluaran konsumsi
lembaga swasta nirlaba tercatat pada posisi paling tinggi yaitu mencapai 11,34
persen. Meskipun demikian kontribusi sektor ini terhadap total PDRB sangat kecil
yaitu berkisar 0,51 persen. Sementara untuk periode yang sama rata‐rata
pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai sebesar 6,40 persen.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 38
Gambar 3. Rata‐rata Pertumbuhan PDRB Kota Banjarmasin menurut
Komponen Penggunaan Tahun 2009‐2013 (Persen)
Selama lima tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi rumah tangga
menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Dari tahun 2010 sampai 2013
mengalami kecenderungan menguat dari 5,82 persen menjadi 7,32 persen dan pada
tahun 2013. Selain komponen konsumsi rumah tangga, komponen konsumsi lembaga
swasta nirlaba pada periode tersebut justru mengalami kecenderungan yang
berlawanan. Komponen Lembaga Swasta Nirlaba cenderung melemah dari 13,83
persen pada tahun 2009 menjadi sebesar 9,88 persen pada tahun 2013. Sedangkan
untuk komponen PMTB mengalami kecenderungan menguat walaupun sempat
melemah dari tahun 2009 ke tahun 2010 yaitu pada tahun 2009 bisa mencapai 15,21
persen turun drastis menjadi 5,26 persen pada tahun 2010, sementara pada tahun 2011
sampai 2013 terus meningkat dari 9,43 persen meningkat jadi 10,02 persen tahun
2012 dan kembali meningkat lagi menjadi 10,86 persen pada tahun 2013. Menguatnya
pertumbuhan PMTB ini harus menjadi perhatian yang serius bagi perencana
pembangunan karena dengan semakin menguatnya investasi di kota Banjarmasin,
6.4
11.34
8.64
10.16
2.36
6.73
0 2 4 6 8 10 12
RUMAHTANGGA
LNP
PEMERINTAH
PMTB
LAINNYA
PDRB
Pertumbuhan Ekonomi
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 39
fasilitas pendukung untuk pertumbuhan ekonomi untuk tumbuh lebih cepat harus
senantiasa disiapkan.
Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Kota Banjarmasin Menurut Penggunaan Tahun 2009‐2013 (Persen)
Komponen 2009 2010 2011 2012 2013 Rata‐rata
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Konsumsi Rumahtangga 6,50 5,82 5,90 6,44 7,32 6,40
2. Konsumsi Lembaga
Swasta Nirlaba
13,83 13,40 9,78 9,79 9,88 11,34
3. Konsumsi Pemerintah 10,78 8,25 8,04 7,90 8,22 8,64
4. PMTB 15,21 5,26 9,43 10,02 10,86 10,16
5. Lainnya 0,68 10,17 3,13 1,52 ‐3,68 2,36
PDRB 6,71 6,47 6,97 6,31 7,17 6,73
4.2. ICOR Sektoral
4.2.1. ICOR Sektoral Tahunan
ICOR tahunan dihitung dengan lag 0 artinya investasi yang ditanam pada tahun
t akan menghasilkan nilai tambah pada tahun yang sama juga. Investasi yang dimaksud
dalam penghitungan ini, sudah mempertimbangkan perubahan inventori (Tabel 3).
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa angka ICOR Kota Banjarmasin bervariasi
menurut sektor. Namun demikian, ada beberapa kecenderungan yang bisa diamati.
Pertama, sektor Bangunan; sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, serta sektor
Pengangkutan dan Komunikasi relatif mempunyai ICOR lebih baik dibanding sektor
lainnya. Kedua, sektor pertanian dan sektor listrik, gas dan air bersih mempunyai ICOR
relatif tinggi, hal ini berkaitan erat dengan karakter sektor tersebut yang bersifat padat
modal dan biasanya investasinya berjangka panjang.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 40
Ketiga, inefisiensi pada sektor jasa‐jasa disebabkan oleh inefisiensi pada jasa‐jasa
pemerintahan umum yang tercermin pada tingginya ICVAR subsektor ini padahal porsi
subsektor ini dalam perekonomian Kota Banjarmasin cukup besar.
Tabel 3. ICOR Sektoral Tahunan Metode Standar Lag 0 dengan Pendekatan Investasi=PMTB, 2009‐2013
Sektor 2009 2010 2011 2012 2013
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Pertanian 19,33 12,70 196,12 15,10 18,78
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan 5,82 9,86 9,75 6,72 6,31
Listrik, Gas dan Air Bersih 35,81 15,11 14,88 12,59 15,70
Bangunan 0,33 0,52 0,59 0,37 0,39
Perdagangan, Hotel dan Restoran 2,73 1,31 1,36 2,46 2,37
Pengangkutan dan Komunikasi 6,22 2,90 2,64 3,05 3,27
Keuangan, persewaaan dan Jasa Perusahaan 1,41 16,86 4,73 6,62 3,08
Jasa‐jasa 7,24 4,81 5,65 5,69 5,90
PDRB 3,46 3,54 3,37 3,84 3,52
Hal ini kemungkinan karena laporan daya serap anggaran (LDS) belum optimal
masih tersimpan dalam bentuk SBI / surat berharga lainnya. Keempat, secara umum
ICOR pada tahun 2009‐2013 cenderung membaik menurunnya ICOR disebabkan oleh
menggeliatnya perekonomian regional. Untuk sektor industri, pada tahun 2013 ICOR
mengalami penurunan cukup lumayan dari 6,62 pada tahun 2012 menjadi 3,08 pada
tahun 2013. Seperti diketahui sektor industri Kota Banjarmasin lebih didominasi oleh
perdagangan dan jasa sehingga kondisi krisis global menyebabkan kemampuan
menghasilkan nilai tambah terganggu.
4.2.2. ICOR Sektoral Metode Akumulasi
Sebagaimana diketahui koefisien ICOR adalah suatu besaran yang
menunjukkan besarnya tambahan modal baru yang dibutuhkan untuk
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 41
menaikkan/menambah satu unit output. Pada metode akumulasi ini baik investasi
maupun tambahan output merupakan akumulasi selama periode 2009 sampai
dengan 2013. Dalam penghitungan ini dilakukan dengan dua pendekatan investasi
dengan dan tanpa memperhitungkan perubahan inventori.
Besaran koefisien ICOR Kota Banjarmasin secara total dengan metode
akumulasi selama periode 2009–2013 mencapai 5,46, hal ini menggambarkan untuk
memperoleh penambahan satu unit output dalam rentang periode tersebut
dibutuhkan tambahan investasi fisik (PMTB) sebanyak 5,46 unit. Besaran koefisien
ICOR merefleksikan produktivitas dari penggunaan barang modal dalam rangka
mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai target yang diinginkan. Semakin kecil
koefisien ICOR menunjukkan semakin efisien pembentukan modal yang terjadi.
Tabel 4 berikut menyajikan besaran koefisien ICOR sektoral dengan metode
akumulasi pada periode 2009‐2013 di Kota Banjarmasin baik dengan pendekatan
investasi dengan atau tanpa memperhitungkan perubahan inventori. Tercatat sektor
yang mempunyai koefisien ICOR terkecil adalah sektor Konstruksi, sebesar 0,58.
Tabel 4. ICOR Sektoral Metode Akumulasi, Lag=0 Dengan Pendekatan Investasi = PMTB, 2009‐2013
Sektor ICOR
(1) (2)
Pertanian 33,05
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan 11,42
Listrik, Gas dan Air Bersih 26,83
Bangunan 0,58
Perdagangan, Hotel dan Restoran 2,74
Pengangkutan dan Komunikasi 4,77
Keuangan, persewaaan dan Jasa Perusahaan 5,44
Jasa‐jasa 9,35
PDRB 5,46
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 42
Artinya setiap penambahan Rp.1 miliar output memerlukan investasi sebesar Rp. 0,58
miliar. Sektor berikutnya adalah sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sebesar 2,74.
Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas investasi pada sektor ini cukup tinggi, karena
sebagian besar komoditas sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran mempunyai proses
produksi kurang dari satu tahun. Berikutnya adalah sektor perdagangan, hotel, dan
restoran sebesar 2,94, karena perputaran modal di sektor ini relatif cepat. Sektor‐
sektor lain selain dua sektor tersebut mempunyai angka ICOR pada kisaran di atas 3.
Sementara sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air
bersih; sektor jasa‐jasa mempunyai ICOR yang relatif tinggi.
4.2.3. ICOR Sektoral Metode Standar
Hasil penghitungan ICOR dengan metode standar seperti pada tabel 5 ternyata
secara umum relatif sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penghitungan
menggunakan metode akumulasi. Pada metode akumulasi bisa mengeliminir
terjadinya angka ekstrim pada suatu tahun tertentu. Sedangkan metode standar tidak
mampu membebaskan diri dari pengaruh angka yang sangat ektrim dan dapat
menyebabkan bias. Meskipun demikian, metode standar dapat mengidentifikasi
kegiatan subsektor yang kurang efisien. Metode standar memungkinkan
diperhitungkannya kapasitas produksi terpasang yang berlebih dan belum
dimanfaatkan secara penuh.
Dalam pemilihan metode penghitungan ICOR tergantung pada asumsi yang
digunakan atau prediksi keadaan riil di lapangan, juga misalnya keunikan dari masing‐
masing sektor, teknologi yang diterapkan, manajemen, kondisi pasar, dan
sebagainya. Selain itu, faktor daya tarik masing‐masing sektor di mata para investor,
dan berbagai kebijakan serta peraturan pemerintah juga mewarnai perbedaan
koefisien ICOR pada masing‐masing sektor.
Angka ICOR pada Tabel 5 berikut merupakan hasil penghitungan dengan
menggunakan metode standar lag=0 dan diasumsikan produksi berada pada kondisi
full capacity, jadi investasi yang ditanamkan sepenuhnya digunakan untuk
menaikkan output. Pendekatan investasi yang digunakan pada perhitungan metode
ini adalah dengan dan tanpa memperhitungkan perubahan inventori.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 43
Berdasarkan pendekatan investasi sama dengan PMTB plus perubahan
inventori, selama periode 2009‐2013 diperoleh ICOR Kota Banjarmasin sebesar 3,54.
Jika ditinjau menurut sektor, maka sektor Konstruksi dan sektor Perdagangan, Hotel
dan Restoran, merupakan sektor‐sektor ekonomi yang mempunyai ICOR relatif rendah
(lebih baik). Sedangkan sektor Industri Pengolahan, sektor industri Pengangkutan dan
komunikasi, sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa, dan sektor Jasa‐jasa merupakan
sektor‐sektor dengan perolehan ICOR relatif tinggi, yang berarti relatif kurang efisien
(Tabel‐5).
ICOR sektor pertanian sangat tinggi disebabkan kecilnya potensi pertanian di
kota Banjarmasin, sehingga investasi di sektor ini sangat tidak efisien dan perlu waktu
yang sangat lama. Sedangkan tingginya angka perolehan ICOR untuk sektor listrik, gas,
dan air bersih kemungkinan besar karena sifat investasi pada sektor tersebut biasanya
berjangka panjang dan bersifat padat modal. Akibatnya nilai investasi yang relatif besar
pada saat ini belum tentu langsung diikuti oleh naiknya nilai tambah kedua sektor
tersebut. Sektor listrik dan air bersih memerlukan waktu yang panjang, bisa mencapai
puluhan tahun, untuk mencapai break even point. Untuk sektor Industri Pengolahan,
tingginya angka ICOR disebabkan oleh besarnya nilai investasi yang diperlukan untuk
pembelian mesin, kendaraan, dan peralatan lainnya.
Tabel 5. ICOR Sektoral Metode Standar, Lag=0 Dengan Pendekatan Investasi = PMTB, 2009‐2013
Sektor ICOR
(1) (2)
Pertanian 52,41
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan 7,69
Listrik, Gas dan Air Bersih 18,82
Bangunan 0,44
Perdagangan, Hotel dan Restoran 2,05
Pengangkutan dan Komunikasi 3,62
Keuangan, persewaaan dan Jasa Perusahaan 6,54
Jasa‐jasa 5,86
PDRB 3,54
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 44
4.3. Kebutuhan Investasi dan Pilihan Investasi
Angka ICOR yang dipergunakan di sini adalah hasil perhitungan dengan metode
standar dan pendekatan investasi sama dengan PMTB plus perubahan inventori.
Dengan koefisien ICOR tersebut, pada tabel 6 berikut disajikan kebutuhan investasi
untuk beberapa skenario pertumbuhan ekonomi. Sebagai ilustrasi untuk skenario
pertumbuhan ekonomi 6,00 persen maka diperlukan investasi sebesar 3,68 trilyun
rupiah pada tahun 2015. Untuk skenario pertumbuhan 6,30 persen diperlukan
investasi senilai 3,87 triliun rupiah, dan untuk skenario pertumbuhan 5,75 persen
diperlukan investasi sebesar 4,14 triliun rupiah pada tahun yang sama. Kebutuhan
investasi tersebut tentu saja bukan menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota
Banjarmasin sendiri, karena anggaran pemerintah Kota Banjarmasin relatif terbatas.
Oleh karena itu, pemerintah kota Banjarmasin perlu menciptakan iklim investasi
yang kondusif untuk swasta dan rumah tangga baik dari dalam maupun luar kota serta
luar negeri.
Tabel 6. Skenario Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi Kota Banjarmasin Tahun 2015
Skenario Pertumbuhan
(%)
ΔY (Juta Rupiah)
Persentase Investasi Terhadap
PDRB Konstan
Kebutuhan Investasi adh
Konstan (Juta Rupiah)
Kebutuhan Investasi adh
Berlaku (Juta Rupiah)
(1) (2) (3) (5) (6)
6,00 384.191,67 19,88 1.360.038,53 3.681.817,56
6,10 390.594,87 20,21 1.382.705,84 3.743.181,19
6,20 396.998,06 20,54 1.405.373,15 3.804.544,82
6,30 403.401,26 20,87 1.428.040,45 3.865.908,44
6,40 409.804,45 21,21 1.450.707,76 3.927.272,07
6,50 416.207,65 21,54 1.473.375,07 3.988.635,69
6,75 432.215,63 22,36 1.530.043,34 4.142.044,76
7,00 448.223,62 23,19 1.586.711,62 4.295.453,82
Catatan : ICOR metode standar lag 0, 2009‐2013 = 3,54 Estimasi Indeks Implisit PDRB pada tahun 2015 = 270,71 PDRB Konstan 2013 = 5.989.012,45 Juta Rupiah
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 45
Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah pada sektor apa saja sebaiknya
investasi dilakukan. Apakah pilihan investasi dilakukan dengan indikator tunggal
berupa ICOR? Ada beberapa hal berikut yang perlu dipertimbangkan dalam
menentukan pilihan investasi. Pertama, sektor/subsektor dengan koefisien ICOR kecil
seharusnya mendapat prioritas untuk dilakukan investasi, karena dari segi ekonomi
sektor ini menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Kedua, sektor‐sektor yang
mempunyai serapan tenaga kerja yang besar meskipun mempunyai angka ICOR
yang relatif tinggi perlu mendapat prioritas investasi. Ketiga, sektor‐sektor yang
mempunyai backward dan forward linkages tinggi perlu dipertimbangkan untuk
mendapat prioritas investasi karena mempunyai multiplier effect yang relatif lebih
luas. Selain itu, pilihan investasi juga harus mempertimbangkan kepemilikan sumber
daya (resource endowsments) dari daerah setempat, kebijakan pemerintah mengenai
konservasi sumber daya alam, dan faktor lainnya.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 46
PENUTUP
Kesimpulan
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 47
BAB V PENUTUP
Berdasarkan kajian hasil penghitungan ICOR di Kota Banjarmasin periode 2009‐
2013 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
o Tren investasi di Kota Banjarmasin selama periode pengamatan terus
mengalami peningkatan dan pada tahun 2013 mencapai 3,82 triliun rupiah atas
dasar harga konstan 2000 dan diperkirakan pada tahun 2015 mencapai 5,37
triliun rupiah
o Secara sektoral, tercatat tiga sektor yang memberikan share terbesar, yaitu: sektor
Angkutan dan Komunikasi sebesar 22,77 persen; sektor perdagangan, hotel dan
restoran sebesar 21,27 persen; Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
mencapai 16,41 persen. Sedangkan investasi di sektor pertanian dan industri listrik,
gas dan air bersih hanya memberikan kontribusi masing‐masing sebesar 0,73 persen
dan 1,51 persen. Hasil penghitungan ICOR Total Kota Banjarmasin pada tahun 2013
sebesar 3,52. Angka ICOR ini sedikit menurun dibandingkan dengan tahun
sebelumnya terkait dengan meningkatnya produksi sektor‐ sektor ekonomi di kota
Banjarmasin.
o Baik dengan metode standar maupun akumulasi, dengan dan tanpa
memperhitungkan perubahan inventori menghasilkan koefisien ICOR relatif sama.
Tiga sektor dengan ICOR terendah menurut metode standar , yaitu: sektor
bangunan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; serta sektor perdagangan,
hotel dan restoran. Sedangkan tiga sektor dengan ICOR tertinggi adalah: sektor
pertanian; sektor listrik, gas, dan air bersih; dan sektor industri pengolahan. o Angka ICOR, pertumbuhan ekonomi, dan kemampuan untuk membiayai investasi
secara umum relatif stabil. Beberapa sektor seperti pertanian dan sektor listrik, gas
dan air memerlukan investasi yang sangat besar dan waktu yang lama karena
sempitnya ketersediaan lahan dan tidak adanya sumber daya alam yang mendukung.
Pada tahun 2013 ICOR sedikit menurun terkait meningkatnya produksi sektor‐
sektor ekonomi.
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 48
LAMPIRAN
PDRB Menurut Lapangan Usaha
PDRB Menurut Penggunaan
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 49
Tabel 1PDRB Kota Banjarmasin Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku 2009‐2013
(Jutaan Rupiah)
Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012*) 2013 **)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Pertanian 70.652,57 81.100,15 86.996,07 97.139,39 105.464,65
a. Tanaman Bahan Makanan 11.506,77 13.973,07 16.068,28 17.715,93 19.316,92
b. Tanaman Perkebunan 2.888,54 2.819,95 2.362,03 2.326,61 2.227,43
c. Peternakan dan Hasil‐hasilnya 25.263,55 27.758,15 26.175,13 28.665,27 31.823,84
d. Kehutanan 21.827,52 26.327,35 30.437,74 34.845,46 38.197,77
e. Perikanan 9.166,19 10.221,64 11.952,88 13.586,13 13.898,69
2. Pertambangan dan Penggalian
a. Minyak dan Gas Bumi ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐
b. Pertambangan Tanpa Migas ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐
c..Penggalian ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐
3. Industri Pengolahan 1.482.314,57 1.600.989,47 1.721.243,41 1.812.767,98 1.944.201,73
a. Industri Migas ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐
b. Industri Tanpa Migas 1.482.314,57 1.600.989,47 1.721.243,41 1.812.767,98 1.944.201,73
4. Listrik dan Air Minum 122.166,92 143.890,07 169.544,80 194.926,55 217.785,39
a. Listrik 76.223.66 91.626,18 111.009,24 129.366,72 146.167,06
b. Gas Kota ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐
c. Air Minum 45.943,26 52.263,89 58.535,56 65.559,83 71.618,33
5. Bangunan 849.650.55 962.990,09 1.065.082,82 1.228.005,35 1.405.753,84
6. Perdagangan, Restoran dan Perhotelan
1.696.059,19 1.958.731,33 2.323.383,75 2.687.688,84 3.064.326,65
a. Perdagangan Besar & Eceran 1.327.019,16 1.520.919,50 1.832.051,82 2.150.423,77 2.461.146,67
b. Perhotelan 114.982,04 138.938,00 158.770,00 174.373,50 193.882,22
c. Restoran 254.058,00 298.873,83 332.561,92 362.891,57 409.297,77
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 50
Lanjutan Tabel 1
Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012*) 2013 **)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
7. Pengangkutan dan Komunikasi 1.940.119,57 2.220.911,00 2.591.548,77 2.920.685,69 3.280.521,36
A. Pengangkutan 1.508.616,17 1.726.498,92 2.007.213,83 2.276.589,58 2.568.440,33
1. Angkutan Jalan Raya 601.687,32 717.182,76 850.209,39 986.875,93 1.136.801,31
2. Angkutan Laut 511.078,65 558.352,27 626.016,53 685.631,30 744.079,88
3. Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
15.464,39 20.344,76 22.172,50 23.806,13 24.902,63
4. Angkutan Udara 331.488,71 374.733,05 448.555,46 514.493,12 590.123,60
5. Jasa Penunjang Angkutan 48.897,10 55.886,08 60.259,94 65.783,11 72.532,91
B. Komunikasi 431.503,40 494.412.08 584.334,94 644.096,11 712.081,04
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
1.431.148,99 1.500.140,56 1.775.224,18 1.988.145,30 2.364.750,76
a. .B a n k 1.092.915,86 1.119.477,62 1.342.705,88 1.510.270,39 1.835.786,60
b. Lemb. Keuangan tanpa Bank 54.219,08 60.801,93 70.100,66 78.482,97 87.877,37
c. Jasa Penunjang Keuangan 1.373,10 1.533,34 1.710,43 1.866,56 2.076,15
d. Sewa Bangunan 250.492,57 281.025,14 317.272,43 348.592,49 385.052,38
e. Jasa Perusahaan 32.148,38 37.302,54 43.434,79 48.932,88 53.958,26
9. Jasa – jasa 1.172.576,03 1.279.519,71 1.525.216,11 1.773.023,78 2.026.649,95
A. Pemerintahan Umum 1.048.986,00 1.143.414,86 1.376.307,24 1.611.055,05 1.844.565,90
B. Swasta 123.590,03 136.104,85 148.908,87 161.968,73 182.084,05
1. Sosial Kemasyarakatan 51.142,04 56.040,93 61.785,69 66.499,20 73.387,57
2. Hiburan dan Rekreasi 25.851,20 29.592,85 32.644,13 37.051,62 42.615,61
3. Perorangan dan Rumahtangga 46.596,79 50.471,06 54.479,05 58.417,91 66.080,86
PDRB 8.764.688,39 9.748.272,38 11.258.239.91 12.702.382,88 14.409.454,34
*) Angka diperbaiki **) Angka sementara
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 51
Tabel 2PDRB Kota Banjarmasin Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2009‐2013
(Jutaan Rupiah)
Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012*) 2013 **)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Pertanian 51.662,60 54.305,62 54.529,67 57.662,10 60.399,75
a. Tanaman Bahan Makanan 8.587,55 8.667,51 9.407,91 9.919,40 10.034,60
b. Tanaman Perkebunan 2.012,31 1.788,90 1.366,80 1.296,55 1.199,89
c. Peternakan dan Hasil‐hasilnya 16.792,55 17.215,33 15.110,29 15.666,54 16.633,87
d. Kehutanan 18.469,44 20.685,77 22.321,01 23.956,25 25.630,87
e. Perikanan 5.800,75 5.948,10 6.323,65 6.823,36 6.900,52
2. Pertambangan dan Penggalian a. Minyak dan Gas Bumi ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐
b. Pertambangan Tanpa Migas ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐
c..Penggalian ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐
3. Industri Pengolahan 832.760,99 848.341,18 864.121,40 889.440,15 919.236,40
a. Industri Migas ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐
b. Industri Tanpa Migas 832.760,99 848.341,18 864.121,40 889.440,15 919.236,40
4. Listrik dan Air Minum 71.982,78 77.535,46 83.249,35 90.528,84 96.772,28
a. Listrik 49.292,54 52.757,57 56.107,18 60.927,20 64.501,59
b. Gas Kota ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐ ‐‐
c. Air Minum 22.690,24 24.777,89 27.142,17 29.601,64 32.270,68
5. Bangunan 428.155,63 461.069,66 490.505,12 543.293,08 600.954,96 6. Perdagangan, Restoran dan
Perhotelan 984.072,22 1.086.986,96 1.193.536,46 1.259.949,72 1.337.918,16
a. Perdagangan Besar & Eceran 764.810,51 851.176,53 948.662,97 1.003.323,74 1.063.222,16
b. Perhotelan 68.036,71 73.267,94 76.291,39 79.761,00 84.616,69
c. Restoran 151.225,00 162.542,48 168.582,11 176.864,98 190.079,31
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 52
Lanjutan Tabel 2
Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012*) 2013 **)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
7. Pengangkutan dan Komunikasi 1.132.170,05 1.214.512,11 1.314.198,28 1.410.326,82 1.511.469,08
A. Pengangkutan 851.432,08 906.413,84 975.855,92 1.046.737,89 1.117.483,14
1. Angkutan Jalan Raya 329.931,37 358.475,92 386.927,00 417.919,85 454.111,71
2. Angkutan Laut 275.558,36 286.515,67 306.036,87 319.592,55 330.370,90
3. Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
8.967,99 9.237,12 9.565,77 9.994,60 10.040,57
4. Angkutan Udara 212.492,77 225.606,89 244.944,63 268.853,10 290.106,38
5. Jasa Penunjang Angkutan 24.481,60 26.578,24 28.381,66 30.377,79 32.853,58
B. Komunikasi 280.737,96 308.098,27 338.342,36 363.588,93 393.985,94
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
552.270,83 562.396,56 600.647,13 630.995,99 703.909,28
a. .B a n k 369.892,94 366.760,05 389.235,08 406.804,37 467.508,95
b. Lemb. Keuangan tanpa Bank 33.263,24 34.987,87 37.773,49 40.321,65 44.019,14
c. Jasa Penunjang Keuangan 1.098,47 1.173,08 1.259,68 1.326,55 1.428,17
d. Sewa Bangunan 128.293,25 138.456,49 149.890,12 158.772,28 165.567,74
e. Jasa Perusahaan 19.722,93 21.019,07 22.488,76 23.771,14 25.385,28
9. Jasa – jasa 562.401,14 608.786,51 655.883,37 705.921,61 758.352,54
A. Pemerintahan Umum 493.038,44 535.370,34 578.174,98 623.728,58 669.282,19
B. Swasta 69.362,70 73.416,17 77.708,39 82.193,02 89.070,35
1. Sosial Kemasyarakatan 30.542,63 32.753,02 34.915,08 37.048,40 40.286,43
2. Hiburan dan Rekreasi 12.968,86 13.958,89 14.952,42 16.454,95 17.954,00
3. Perorangan dan Rumahtangga 25.851,20 26.704,26 27.840,89 28.689,67 30.829,92
PDRB 4.615.476,24 4.913.934,07 5.256.670,77 5.588.118,31 5.989.012,45
*) Angka diperbaiki **) Angka sementara
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 53
Tabel 3PDRB Kota Banjarmasin Menurut Penggunaan Atas Dasar Harga Berlaku 2009‐2013
(Jutaan Rupiah)
Komponen Penggunaan 2009 2010 2011 2012*) 2013**)
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
4.687.970,65 5.222.779,08 5.812.346,59 6.591.495,99 7,458,070.84
a. Makanan 2.297.105,62 2.610.960,90 2.876.150,59 3,212,476.65 3,560,074.25
b. Non Makanan 2.390.865,03 2.611.818,18 2.936.196,00 3,379,019.34 3,897,996.59
2. Pengeluaran Konsumsi Lembaga Swasta Nirlaba
39.374,40 48.786,77 58.827,50 68.224,12 78,650.46
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
1.241.214,00 1.449.863,92 1.745.941,37 2.022.929,42 2,325,908.61
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto
2.125.318,72 2.372.434,00 2.786.726,82 3.206.837,83 3,820,722.32
a. Bangunan 2.563.788,67 2,959,911.31 3,518,885.26
b. Non Bangunan 222.938,15 246,926.51 301,837.06
5. Perubahan Stok 1.283.307,03 3.022.731,85 2.841.840,63 2.451.747,77 2,013,538.38
6. Ekspor Barang dan Jasa 4.794.483,21 5.448.579,91 6.300.333,29 7.117.768,24 7,452,714.03
a. Ekspor Luar Negeri 3.202.116,71 3.710.511,87 4.196.913,43 4,797,604.50 4,959,348.80
b. Ekspor Antar Daerah 1.592.366,50 1.738.068,04 2.103.419,85 2,320,163.74 2,493,365.23
7. Dikurangi Impor Barang dan Jasa 5.402.449,62 7.816.903,15 8.287.776,28 8.756.620,50 8,740,150.30
a. Impor Luar Negeri 1.118.068,44 1.487.095,55 1.671.831,36 1,740,236.47 1,428,568.95
b. Impor Antar Daerah 4.284.381,19 6.329.807,60 6.615.944,92 7,016,384.03 7,311,581.36
PDRB 8,769,218.39 9.748.272,38 11.258.239,91 12.702.382,88 14.409.454,34
*) Angka diperbaiki **) Angka sementara
ICOR KOTA BANJARMASIN 2013 54
Tabel 4PDRB Kota Banjarmasin Menurut Penggunaan Atas Dasar Harga konstan 2009‐2013
(Jutaan Rupiah)
Komponen Penggunaan 2009 2010 2011 2012*) 2013**)
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
2.328.243,98 2.463.731,72 2.609.203,76 2.777.320,42 2,980,551.28
a. Makanan 1.136.505,85 1.188.290,96 1.245.663,76 1,313,872.23 1,403,144.59
b. Non Makanan 1.191.738,13 1.275.440,76 1.363.540,01 1,463,448.19 1,577,406.70
2. Pengeluaran Konsumsi Lembaga Swasta Nirlaba
20.389,50 23.121,69 25.384,03 27.870,00 30,624.09
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
604.076,10 653.923,43 706.477,79 762.317,23 825,017.61
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto
1.003.109,75 1.055.905,00 1.155.460,16 1.271.191,85 1,409,265.95
a. Bangunan 1.053.779,66 1,165,682.93 1,290,887.61
b. Non Bangunan 101.680,49 105,508.92 118,378.34
5. Perubahan Stok 1.005.108,37 1.081.713,61 1.028.055,21 948.845,53 814,270.33
6. Ekspor Barang dan Jasa 2.312.545,66 2.586.653,82 2.829.605,34 3.043.868,70 3,155,727.86
a. Ekspor Luar Negeri 1.503.512,54 1.717.663,25 1.883.100,81 2,073,606.90 2,134,430.30
b. Ekspor Antar Daerah 809.033,13 868.990,57 946.504,53 970,261.79 1,021,297.56
7. Dikurangi Impor Barang dan Jasa 2.657.997,12 2.951.115,20 3.097.515,52 3.243.295,42 3,226,444.68
a. Impor Luar Negeri 574.958,97 588.301,34 638.601,78 660,038.53 535,098
b. Impor Antar Daerah 2.083.038,15 2.362.813,85 2.458.913,74 2,583,256.89 2,691,346.62
PDRB 4,615,476.24 4.913.934,07 5.256.670,77 5.588.118,31 5.989.012,45
*) Angka diperbaiki **) Angka sementara
Recommended