View
28
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
Latihan, SP, Prop, Proposal, Revisi, D4, Keselamatan, Kesehatan, Kerja,
Citation preview
PROPOSAL SKRIPSI
HUBUNGAN KUALITAS UDARA TERHADAP INFEKSI SALURAN PERNAFASAN ATAS DI
KONSTRUKSI RSP. UNS
Mikhael Andre Juan KurniawanR.0212030
PROGRAM DIPPLOMA 4 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA2014
PROPOSAL SKRIPSI
I. Nama Peneliti : Mikhael Andre Juan Kurniawan
II. NIM : R0212030
III. Judul Penelitian : Hubungan Kualitas Udara Terhadap Infeksi
Saluran Pernafasan Atas di Konstruksi RSP.UNS.
IV. Bidang Ilmu : Ilmu Kesehatan Kerja
V. Latar Belakang Masalah
Perkembangan pembangunan menuju industrialisasi dapat
membawa berbagai resiko positif maupun negatif yang mempengaruhi
para pekerja dan keluarganya. Resiko positifnya antara lain pembangunan
gedung bertingkat dan penataan kota menjadi rapi, terbukanya lapangan
kerja sehingga kemakmuran dapat dinikmati oleh masyarakat. Sedangkan
resiko negatif dari pembangunan industrialisasi antara lain kemungkinan
terjadinya penyakit akibat kerja (occupational disease), penyakit akibat
hubungan kerja (work related disease) dan kecelakaan akibat kerja
yang dapat menimbulkan kecacatan bahkan kematian. Resiko timbul
akibat adanya lingkungan kerja yang tidak memenuhi persyaratan
sehingga menjadi bahaya potensial bagi kesehatan pekerja.
Kemajuan teknologi dunia telah membawa dampak berupa
perubahan peradapan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri.
Dan pada era globalisasi sekarang ini juga telah menunjukkan perubahan
yang sangat cepat dari masyarakat industri menuju masyarakat
informasi. Salah satu ciri dari masyarakat informasi adalah
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja didalam gedung
moder n dengan menggunakan ventilasi buatan seperti Air Conditioning
(AC). Namun demikian didalam masyarakat kita juga masih berkembang
suatu pola pikir dimana pekerjaan yang dilakukan didalam ruangan suatu
gedung modern merupakkan pekerjaan yang tidak mempunyai resiko atau
paling nyaman dan aman dari pengaruh negatif lingkungan kerja.
Kenyataannya bahwa kualitas udara dalam suatu ruangan merupaka faktor
yang signifikan yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan tenaga kerja.
Hal tersebut disebabkan oleh keadaan- keadaan sebagai berikut :
1. Semakin meningkatkan jumlah orang yang menghabiskan
waktunya didalam ruangan.
2. Konstruksi-konstruksi bangunan gedung yang dirancang tidak
menggunakan jendela yang dapat dibuka.
3. Meningkatkan penggunaan teknologi baru dan bahan-bahan
sintetis.
4. Sarana energi konversi yang dapat menurunkan jumlah udara
dari luar yang disirkulasikan.
Lingkungan kerja dikaitkan dengan segala sesuatu yang berada di
sekitar pekerja atau berhubungan dengan tempat kerja yang dapat
mempengaruhi pekerja dalam melaksanakan tugas yang dibebankan,
lingkungan kerja yang baik mempengaruhi kesehatan pekerja, kesehatan
pekerja yang baik meningkatkan produktivitasnya. Berdasarkan teori
Blum, yang menyatakan bahwa faktor lingkungan merupakan faktor
terbesar yang dapat mempengaruhi status kesehatan individu disamping
faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan yang terkecil pengaruhnya adalah
faktor keturunan. Oleh karena itu, faktor lingkungan di tempat kerja
memberikan pengaruh yang besar terhadap kesehatan pekerja yang
meliputi kesehatan fisik dan psikis. (Tesis. Paryati, 2012)
Komite Organisasi Kesehatan Dunia 1986 dalam laporannya
menyatakan bahwa hingga 30 persen gedung baru dan bangunan renovasi
di seluruh dunia mungkin menjadi subjek keluhan berlebihan terkait
dengan kualitas udara dalam ruangan (Indoor Air Quality). Seringkali
kondisi ini bersifat sementara, tetapi beberapa bangunan yang memiliki
masalah jangka panjang. (EPA, 1998)
Aktivitas di gedung perusahaan PT. X bagian kantor dan
lingkungan sekitarnya yang padat dan dekat jalan raya meningkatkan
jumlah polutan dalam ruangan. Kenyataan ini menyebabkan risiko
terpaparnya polutan dalam ruangan terhadap manusia semakin tinggi,
namun hal ini masih jarang diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu
peneliti tertarik untuk mengetahui efek kualitas udara pada ruangan ber-
AC terhadap kejadian Sick Building Syndrome (SBS) pada tingkatan
stress kerja karena kondisi lingkungannya.
VI. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan
antara suhu, kelembaban, kecepatan gerak udara, kadar partikulat dan
mikrobiologi (Kualitas Udara) dalam ruang pada kejadian Sick
Building Syndrome pada pekerja di PT.X Surakarta.
VII. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
a. Menganalisis kualitas udara dalam ruang terhadap kejadian Sick
Building Syndrome dengan pekerja di kantor PT.X Surakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Mengukur faktor-faktor fisika, kimia dan biologi yang
menyebabkan sick building syndrome.
b. Mengidentifikasi kejadian Sick Building Syndrome pada pekerja
kantor PT. X Surakarta.
c. Menganalisis kualitas udara dengan stress kerja.
VIII. Manfaat Penelitian
1. Bagi PT. X
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kualitas udara ruangan kantor terhadap kejadian Sick Building
Syndrome pada pekerja sehingga perusahaan-perusahaan di Surakarta
dapat mengambil tindakan pengendalian dan upaya perbaikan aktif
pada lingkungan kerjanya.
2. Bagi Peneliti
Memberikan pengalaman langsung bagi penulis dalam melaksanakan
penelitian serta mengaplikasikan berbagai teori dan konsep yang
didapat dibangku perkuliahan, khususnya mengenai ddan keselamatan
kerja dan menuliskan hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah.
3. Bagi Diploma 4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Sebagai tambahan kepustakaan dalam pengembangan ilmu di
dibidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
IX. Tinjauan Pustaka
A. Sick Building Sindrome
1. Pengertian Sick Building Sindrome
Istilah S indrom gedung sakit (Sick Buiding Syndrome)
pertama dikenalkan oleh para ahli di Negara Skandinavia di awal
tahun 1980 – an. Istilah S BS dikenal juga dengan TBS (Tigh
Buiding Syndrome) atau Nen Spesific Building -Related Symptoms
(BRS). Karena sindrom ini umumnya dijumpai dalam ruangan
gedung – gedung pencakar langit. (Joshi SM, 2008)
EPA mendefenisikan sindrom gedung sakit merupakan istilah
untuk menguraikan situasi di mana penghuni gedung atau
bangunan mengalami gangguan kesehatan akut atau efek timbul
saat berada dalam bangunan, tetapi tidak ada penyebab yang
spesifik. Menurut Tjandra Yoga Aditama (2002) Istilah S BS
mengandung dua maksud yaitu:
a. Kumpulan gejala (sindroma) yang dikeluhkan
seseorang atau sekelompok orang meliputi perasaan-
perasaan tidak spesifik yang mengganggu kesehatan
berkaitan dengan kondisi gedung tertentu,
b. Kondisi gedung tertentu berkaitan dengan keluhan atau
gangguan kesehatan tidak spesifik yang dialami
penghuninya, sehingga dikatakan “gedung yang sakit”.
SBS adalah gejala-gejala gangguan kesehatan, umumnya berkaitan
dengan saluran pernafasan. Sekumpulan gejala ini dihadapi
oleh orang yang bekerja di gedung atau di rumah yang ventilasinya
tidak direncanakan dengan baik, SBS merupakan kategori
penyakit umum yang berkaitan dengan beberapa aspek fisik
sebuah gedung dan selalu berhubungan dengan sistem
ventilasi.Faktor resiko yang terjadi pada manusia, karakteristik
biologik dan praktek kerja atau lingkungan kerja sangat
berhubungan dengan gejala Sick bulding syndrome. faktor resiko
individual adalah dermatitis seborrheic, gatal-gatal yang sangat
luas pada kulit dan adanya atopy merupakan faktor resiko yang
terbesar. Pada individu yang terpapar oleh pencemaran bahan
kimia dilingkungan kerja akan mengalami gejala iritasi mata,
saluran pernafasan sampai adanya perasaan lelah dan lesu yang
menaun akibat adanya anemia dan beberapa kelainan pada sistem
Hematopoietik. Faktor resiko yang lain adalah faktor individiual
dimana stress kerja juga merupakan suatu faktor resiko yang besar
untuk terjadinya Sick Building Syndrome.
2. Gejala Sick Building Syndrome
Pada umumnya gejala dan gangguan S BS berupa penyakit
yang tidak spesifik, tetapi menunjukkan pada standar tertentu,
misal berapa kali seseorang dalam jangka waktu tertentu
menderita gangguan saluran pernafasan. Keluhan itu hanya
dirasakan pada saat bekerja di gedung dan menghilang secara
wajar pada akhir minggu atau hari libur, keluhan tersebut lebih
sering dan lebih bermasala h pada individu yang mengalami
perasaan stress, kurang diperhatikan atau kurang mampu dalam
mengubah situasi pekerjaannya. (EPA, 1991)
Keluhan S BS yang diderita oleh pekerja antara lain sakit
kepala, iritasi mata, iritasi hidung, iritasi tenggorokan, batuk
kering, kulit kering atau iritasi kulit, kepala pusing, sukar
berkonsentrasi, cepat lelah atau letih dan sensitif terhadap bau
dengan gejala yang tidak dikenali dan kebanyakkan keluhan
akan hilang setelah meninggalkan gedung. (EPA, 1991)
Membagi keluhan atau gejala dalam tujuh kategori sebagai berikut:
a. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan
berair
b. Iritasi hidung. Seperti iritasi tenggorokkan, sakit
menelan, gatal, bersin, batuk kering
c. Gangguan neorotoksik (gangguan saraf/gangguan
kesehatan secara umum), seperti sakit kepala, lemah,
capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi
d. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi,
sesak nafas, rasa berat di dada
e. Gangguan kulit, seperti kulit kering,
kulit gatal f. Gangguan saluran
cerna, seperti diare
f. Gangguan lain- lain, seperti gangguan perilaku, gangguan
saluran kencing dll
Orang dinyatakan menderita SBS apabila memiliki
keluhansejumlah kurang lebih 2/3 dari sekumpulan gejala
seperti lesu, hidung tersumbat, kero ngkonggan kering, sakit
kepala, mata gatal- gatal, mata pedih, mata kering, pilek – pilek,
mata tegang, pegal-pegal, sakit leher atau punggung, dalam kurun
waktu bersamaan.8 Untuk menegakkan adanya syndrome
gedung sakit (SBS ) maka berbagai keluhan tersebut harus
dirasakan oleh sekitar 20%-50% pengguna suatu gedung, dan
keluhan- keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua
minggu.
3. Penyebab Sick Building Syndrome
Fenomena SBS berkaitan dengan kondisi gedung, terutama
rendahnya kualitas udara ruangan. Berbagai bahan pencemar
(kontaminan) dapat mengganggu lingkungan udara dalam
gedung ( Indoor Air Environment) melalui empat mekanisme
utama, yaitu gangguan sistem kekebalan tubuh (Immunologik),
terjadinya infeksi; bahan pencemar yang bersifat racun (toksik);
bahan pencemar yang mengiritasi dan menimbulkan gangguan
kesehatan. (EPA,1991) Gangguan sistem kekebalan tubuh
dipengaruhi oleh konsumsi zat gizi. Sehingga meningkatkan
ketahanan fisik dan meningkatkan produktifitas kerja, di samp
ing membantu mengurangi infeksi. (Depkes RI, 1990) Sedangkan
bahan kimia yang bersifat racun (Toksik) lebih banyak diserap
oleh orang usia muda dan tua di banding pada orang dewasa.
(Frank C. Lu, 1995) Biasanya sulit untuk menemukan suatu
penyebab tunggal dari syndrome gedung sakit atau S BS.
Penyebab utama SBS adala h bahan kimia yang digunakan
manusia, jamur pada sirkulasi udara serta faktor fisik seperti
kelembaban, suhu dan aliran udara dalam ruangan, sehingga
makin lama orang tinggal dalam sebuah gedung yang sakit akan
mudah menderita SBS. (P.S Burge,2004)
a. Penyebab lain dari S BS yaitu :
1) Kualitas Ventilasi
Ventilasi merupakan salah satu faktor yang
penting dalam menyebabkan terjadi S BS. Standar
ventilasi pada gedung yaitu kira-kira 15 kaki berbentuk
kubus sehingga udara luar dapat masuk dan
menyegarkan penghuni didalamnya, terutama tidak
semata- mata untuk melemahkan dan memindahkan
bau. Dengan ventilasi yang tidak cukup, maka proses
pengaturan suhu tidak secara efektif mendistribusikan
udara pada penghuni ruangan sehingga menjadi faktor
pemicu timbulnya SBS. Ventilasi yang paling ideal
untuk suatu ruangan apabila ventilasi dalam keadaan
bersih, luas memenuhi syarat, sering dibuka, adanya
cross ventilation. Ketidak seimbangan antara ventilasi
dan pencemaran udara merupakan salah satu sebab
terbesar gejala S BS. (P.S Burge, 2004)
Ventilasi dalam lingkungan kerja ditujukan untuk
mengatur kondisikenyamanan, memperbaruhi udara
dengan pencemaran udara ruangan pada batas
normal, menjaga kebersihan udara dari
kontaminasi berbahaya. Ventilasi ruangan secara
alami didapatkan dengan jendela terbuka yang
mengalirkan udara luar kedalam ruangan, namun
selama beberapa ta hun terakhir AC menjadi salah satu
pilihan terbaik .
b. Zat pencemar kimia bersumber dari dalam ruangan
Polusi udara dalam ruangan bersumber dari dalam ruangan
itu sendiri, seperti gas bahan pembersih karpet, mesin
fotocopy, tembakau dan termasuk formaldehid merupakan
gas yang tidak berwarna dengan bau yang cukup tajam.
Partikel-partikel yang biasanya terdapat dalam ruangan
udara meliputi; partikel hasil pembakaran dari proses
memasak, dan merokok, debu dari pakaian, kertas dan karpet,
serat asbes dari bahan bangunan, serat fiberglass yang
terdapat dalam saluran pipa AC. Secara umum kadar partikel
yang berlebihan dapat menyebabkan reaksi alergi seperti
mata kering, problem kontak lensa mata, iritasi
hidung, tenggorokan dan kulit, batuk-batuk dan sesak nafas.
Pada gedung perkantoran rerata partikel debu pada
ruangan non-smoking area adalah 10 μg/m3 sedangkan
pada smoking area berkisar antara 30 – 100 μg/m3.
Standar maksimum partikel debu untuk ruang kerja
perkantoran ternyata beragam, WHO menetapkan rerata
kadar debu dalam setahun 40 μg/m3 dan kadar maksimum
24 jam adalah 120 μg/m3. NH&MRC menetapkan rerata
kadar dalam setahun adalah 90 μ g/m3. Sedangkan S
AA(1980) menetapkan kadar dalam setahun adalah 60 μ
g/m3 dan kadar maksimum 24 jam adalah 150 μg/m3.2
c. Zat pencemar kimia bersumber dari luar
gedung
Udara yang masuk pada suatu bangunan biasa merupakan
suatu sumber polusi udara dalam gedung, seperti pengotor
dari kendaraan bermotor, pipa ledeng, lubang angin dan
semua bentuk partikel baik padat maupun cair yang dapat
masuk melalui lubang angin atau jendela dekat sumber
polutan. Bahan – bahan polutan yang mungkin ada dalam
ruangan dapat berupa gas karbon monoksida, nitrogen
dioksida dan berbagai bahan organik lainnya. Kadar CO
yang tinggi akan berakibat buruk pada jantung dan otak.
d. Zat pencemar biologi
Bakteri, virus dan jamur adalah jenis pencemar biologi
yang berkumpul di dalam pipa saluran udara dan alat
pelembab udara serta berasal dari alat pembersih.
e. Faktor fisik lingkungan
Temperatur yang tidak cukup, kelembaban dan
pencahayaan merupakan faktor fisik pendorong timbulnya S
BS. Pada kelembaban tinggi (di atas 60-70%) dan dalam
temperatur hangat, keringat hasil badan tidak mampu untuk
menguap sehingga temperatur ruangan dirasakan lebih panas
dan akan merasa lengket. Ketika kelembaban rendah (di
bawah 20%), temperatur kering, embun menguap dengan
lebih mudah dari keringat, sehingga selaput lendir dan kulit,
kerongkongan serta hidung menjadi mengering,
akibatnya kulit menjadi gatal serta ditandai dengan sakit
kepala, kekakuan dan mata mengering.
Iklim kerja merupakan faktor lingkungan fisik yang berperan
dalam perlindungan bagi tenaga kerja terhadap bahaya
kesehatan dan keselamatan Kerja. NAB terendah untuk iklim
kerja adalah 21 – 30 oC pada kelembaban nisbi 65 – 95%
(SE Menaker No. 01/Men/1978). Comfort zone pada
negara dengan dua musim seperti Indonesia, Grandjean
(1993) memberikan batas toleransi suhu tinggi sebesar 35-
40OC; kecepatan gerak udara 0,2 m/detik; kelembaban antara
40-50%; perbedaan suhu permukaan <4oC.
Tabel Kecepatan gerak udara yang direkomendasikan
untuk ruang kerja yang disesuaikan dengan suhu
dan kelembaban ruangan setempat.
Temperatur Kelembapan Kecepatan Udara
Suhu
Kering
Suhu
Basah
(%) Minimum
(m/det)
Maksimum
(m/det)oC oC
21 19 8
0
0,15 0,3024 16 4
0
0,15 0,30
24 18 6
0
0,25 0,40
24 21 8
0
0,25 0,50
27 16 3
0
0,25 0,50
27 19 5
0
0,40 0,50
27 23 7
5
0,50 0,80
29 16 2
5
0,40 0,80
29 19 4
5
0,50 0,80
29 23 6
5
0,80 0,80
32 17 2
0
0,50 0,80
32 22 4
0
0,80 0,80
32 26 6 1,00 1,00
Sumber : Tarwaka & Bakri 2004
f. Pencahayaan
Cahaya merupakan pancaran gelombang
elektromagnetik yang melayang melewati udara.
Illuminasi merupakan jumlah atau kuantitas cahaya yang
jatuh kesuatu permukaan. Apabila suatu gedung tingkat
illuminasinya tidak memenuhi syarat maka dapat
menyebabkan kelelahan mata, sehingga dapat
menimbulkan terjadinya kesalahan dalam melakukan
pekerjaan serta kelelahan pada indra mata yang terus
menerus dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada
mata. NAB surat edaran permenkes No.SE-01/MEN/1987
tentang besarnya illuminasi yaitu 300-900 Lux.
g. Kebersihan Udara
Kebersihan lingkungan berkaitan dengan keberadaan
kontaminan udara baik kimia maupun mikrobiologi.
Sistem ventilasi AC umumnya dilengkapi dengan
saringan udara untuk mengurangi atau menghilangkan
kemungkinan masuknya zat-zat berbahaya kedalam
ruangan.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sick Building Syndrom.
a. Usia
Pada usia yang meningkat akan diikuti dengan proses
regenerasi dari organ sehingga kemampuan organ akan
menurun. Dengan adanya penurunan kemampuan organ,
maka hal ini akan menyebabkan daya tahan tubuh
menurun sehingga akan lebih mudah terserang Sick
Building Syndrome.
b. Lama Kerja
Pada pekerjaan yang dilakukan dalam waktu yang
lama, maka dapat menyebabkan kemampuan dan
stamina menurun sehingga lebih mudah terserang
Sick Building Syndrome.
c. Status Gizi
Status gizi adalah salah satu faktor kapasitas kerja
dimana keadaan gizi baik maka pekerja akan dapat
bekerja dengan baik pula. Pada keadaan gizi buruk bisa
menurunkan efisiensi kerja sehingga lebih mudah
terserang Sick Building Syndrome.
5. Upaya Pencegahan Sick Building Syndrome
Pencegahan Sick Building Syndrome harus dimulai dari sejak
perencanaan sebuah gedung untuk suatu pekerjaan atau
kegiatan tertentu, penggunaan bahan bangunan mulai dari
pondasi bangunan, dinding, lantai, penyekat ruangan sampai
operasional peralatan. Perlu kewaspadaan dalam penggunaaan
bahan bangunan terutama yang berasal dari hasil tambang
terutama Asbes. Dianjurkan agar bangunan di disain
berdinding tipis serta memiliki sistem ventilasi yang baik,
pengurangan konsentrasi sejumlah gas/partikel dan
mikroorganisme didalam ruangan dapat dilakukan dengan
pemberian tekanan yang cukup besar didalam ruang,
peningkatan sirkulasi udara sering kali menjadi upaya yang
sangat efektif untuk mengurangi polusi dalam ruangan.
Dalam kondisi tertentu yaitu konsentrasi polutan sangat
tinggi, dapat diupayakan dengan ventilasi pompa keluar.
Bahan kimia tertentu yang merupakan polutan sumbernya
dapat berada didalam ruanga n itu sendiri. Bahan polutan
sebaiknya diletakkan didalam ruangan-ruangan khusus yang
berventilasi dan diluar area kerja. Sedangkan karpet yang
dipergunakan untuk pelapis dinding maupun lantai secara
rutin perlu dibersihkan dengan penyedot debu dan apabila
dianggap perlu dalam jangka waktu tertentu dilakukan
pencucian. Demikian juga dengan AC secara rutin harus
selalu dilakukan pembersihan. Tata letak peralatan
elektronik pemegang peranan penting. Tata letak yang
terkait dengan jarak pajanan peralatan penghasil radiasi
elektromagnetik ini tidak hanya dipandang dari segi
ergonomik tetapi juga kemungkinan memberikan andil
dalam menimbulkan Sick Building Syndrome. Kebutuhan
para penghuni ruangan untuk merokok tidak dapat dihindari,
perlu disediakan ruangan khusus yang berventilasi cukup, jika
tidak memungkinkan untuk meninggalkan gedung. Hal ini
untuk mencegah komulasi asap rokok yang mempunyai
andil dalam menimbulkan Sick Building Syndrome.
B. Pencemaran Udara dan Kesehatan
1. Pengertian Pencemaran Udara
Akibat perkembangan industri dan teknologi, udara yang di
hirup manusia menjadi tercemar. Menurut UU RI No. 23
Tahun 1997, pencemaran dalam arti luas adalah masuknya
dan dimasukkannya mak hluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya
tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses
alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan kurang atau tidak
dapat berfungsi sesuai peruntukkannya.
Pencemaran udara diartikan sebagai keadaan atmosfir, di mana
satu atau lebih bahan-bahan polusi yang jumlah dan
konsentrasinya dapat membahayakan kesehatan mahluk hidup,
merusak properti, mengurangi kenyamanan di udara,15
Berdasarkan definisi ini maka segala bahan padat, gas dan
cair yang ada di udara dan dapat menimbulkan tidak nyaman
yang di sebut polutan udara, sedangkan yang di maksud
pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau subtansi
fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang
mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat di deteksi oleh
manusia (atau ya ng dapat di hitung dan di ukur)
serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang,
vegetasi dan material karena ulah manusia (Man Made).
2. Macam-macam pencemaran udara
Pencemaran udara dapat dibedakan menjad i dua yaitu
pencemaran udara bebas dan pencemaran udara di
dalam ruangan (Indoor Air Pollution). Bahan atau zat
yang dapat mencemari udara dapat berbentuk gas dan
partikel. Berdasarkan ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa
partikel (debu, aerosol, timah hitam), gas (CO, Nox, Sox,
H2S) dan energi (suhu kebisingan, sedangkan menurut
kejadian atau terbentuknya ada pencemar primer (yang
dieliminasikan langsung oleh sumber) dan pencemar
sekunder yang terbentuk karena reaksi diudara antara berbagai
zat).
2. Pencemaran udara dalam ruang
Kualitas udara dalam suatu ruang atau di kenal dengan
istilah Indoor Air Quality adalah salah satu aspek keilmuan
yang memfokuskan perhatian pada mutu udara dalam suatu
ruang dan udara yang akan dimasukkan ke dalam ruang atau
gedung yang ditempati oleh manusia, apakah udara yang
dipergunakan dalam ruang atau gedung tersebut memenuhi
syarat kese hatan atau sebaliknya.
Pengertian udara dalam ruang atau indoor air menurut
NHMRC (National Health Medical Researt Counsil) adalah
udara yang berada di dalam suatu ruangan gedung yang
ditempati oleh sekelompok orang yang memiliki tingkat
kesehatan yang berbeda-beda selama minimal satu jam. Pada
suatu ruangan kerja, dimana ditempati oleh banyak orang
dengan kondisi kesehatan yang berlainan maka kemungkinan
untuk dapat terpapar oleh resiko infeksi melalui kontak
dengan orang lain sangat besar. Ruang kerja yang terlalu
padat penghuninya dan AC yang kurang terawat dengan
sirkulasi udara yang kurang memadai kemungkinan dapat
meningkatkan resiko timbulnya gangguan kesehatan. Ruang
gedung yang di maksud dalam pengertian ini meliputi
rumah, sekolah, restoran, gedung untuk umum, hotel, rumah
sakit dan perkantoran.
Pada dasarnya ada tiga syarat utama yang berhubungan
dengan kualitas udara dalam suatu ruangan atau Indoor Air
Quality adalah:
a. Level suhu atau panas dalam suatu ruang atau
gedung masih dala m batas- batas yang dapat diterima.
b. Gas-gas hasil pernafasan dalam
konsentrasi normal
c. Kontaminan atau bahan-bahan pencemar udara berada
di bawah level ambang batas kesehatan.
3. Penyebab Pencemaran Udara dalam ruangan
Bahan pencemar udara atau polutan di bagi menjadi dua,
polutan primer dan polutan sekunder. Polutan primer
merupakan polutan yang dikeluarkan langsung dari sumber
tertentu dan dapat berupa polutan gas, seperti senyawa
karbon, sulfur, nitrogen dan lain – lain serta berupa
partikel yang memp unyai karakteristik yang spesifik,
dapat berupa zat padat maupun suspensi aerosol cair di
atmosfir misalnya asap (smog), sedangkan polutan sekunder
biasanya terjadi akibat reaksi dari dua atau lebih bahan
kimia di udara, misalnya reaksi fotokimia. Berdasarkan
sumbernya, jenis polutan dibedakan atas sumber titik yang
merupakan sumber diam berupa cerobong asap, sumber
mob il atau sumber yang bergerak misal berasal dari
kendaraan bermotor dan sumber area atau sumber yang
berasal dari pembakaran terbuka di daerah pemukiman,
terminal kendaraan bermotor dan lain- lain.
Kualitas udara dalam ruangan menurut EPA, 2-5 kali lebih
buruk dari pada udara di luar, sedangkan sumber utama
pencemaran udara di dalam gedung berdasarkan penelitian
The National Institute For Occupational Safety and Health
(NIOSH), yaitu pencemaran alat – alat di dalam gedung
(17%), pencemaran dari luar gedung (11%), pencemaran
bahan bangunan (3%), pencemaran mikroba (5%),
gangguan ventilasi (52%) dan sumber yang tidak di ketahui
(12%).
Beberapa kondisi yang potensial menyebabkan polusi
udara didalam gedung adalah kepadatan manusia, bahan
material dan dekorasi interior, sistem ventilasi dan
pemanasan, keberadaan jamur dan bakteri, gas berbahaya,
radiasi, benzene – bahan kimia penyebab leuke mia yang
berasal dari bahan baka r, produk – produk rumah tangga dan
asap tembakau. Di lihat secara kimiawi, bahan pencemar
utama udara (Major Air Pollution) adalah golongan oksida
karbon (CO,CO 2), oksida belerang (SO2, SO3), partikel
(asap, debu, metal, garam sulfat), senyawa inorganik,
hidrokarbon, energi panas (suhu) dan kebisingan.
4. Model Proses Pemasukkan Udara Ke Dalam Gedung
Dalam menjalankan program manajeman atau pengaturan
Indoor Air Quality di suatu gedung perlu mengetahui
proses pengaturan udara yang diterapkan, sehingga akan
memudahkan dalam mengenali, mengevaluasi dan
mengo ntrol aspek-aspek yang berhubungan dengan udara
dalam ruangan.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Udara dalam
Ruangan
Kualitas udara dalam ruangan suatu gedung dapat dipengaruhi
oleh banyak faktor, baik yang berasal dari dalam gedung
sendiri ma upun dari luar gedung. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas udara dalam ruang adalah:
a. Faktor fisik
1) Suhu/temperatur (tekanan udara)
2) Kelembaban
3) Kecepatan gerakkan udara (air movement)
b. Faktor kimia
1) Partikulat
a) Asbestos, fiber glass, debu cat, debu
kertas, partikel shoot
b) Debu bangunan atau konstruksi,
partikel ETS
2) Produk-produk pernapasan, seperti uap air,
karbondioksida
c. Gas-gas produk kebakaran
1) Karbondioksida, CO,NO2
2) Poliaromatik hidrokarbon
3) ETS fase gas
4) Ozone (sumber dari fotocopy, lampu UV, printer
laser, ionizer)
5) Formaldehida (sumber: Plywood, partikel board,
karpet, bahan isolasi foam yang terbuat dari urea
formaldehid)
6) Zat- zat organik mudah menguap, seperti:
alkohol, aldehid, hidrokarbon, alipatik, aromatik,
ester, kelompok halogen. S umber: material
bangunan gedung, kosmetik, asap rokok, zat
pembersih, purnish, bahan adesif atau perekat dan
cat.
7) Radon dan produk peluruha nnya
8) ETS (Environtmental Tobacco Smoke)
9) Mikrobiologi (virus, bakteri dan jamur)
6. Akibat Pencemaran Udara dalam ruangan
Secara umum efek pencemaran udara terhadap individu atau
manusia dapat berupa sakit baik akut maupun kronis,
mengganggu fungsi fisiologi (paru, syaraf, transport oksigen,
hemoglobin), iritasi sensorik, kemunduran penampilan dan
rasa tidak nyaman. Efek terhadap saluran pernapasan
antara lain iritasi pada saluran pernafasan yang dapat
menyebabkan pergerakkan silia menjadi lambat sehingga
tidak dapat membersihkan saluran pernafasan, peningkatan
produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar,
rusaknya sel pembunuh bakteri disaluran pernafasan,
membengkaknya saluran pernafasan dan merangsang
pertumbuhan sel. Akibat dari semua hal tersebut akan
menyebabkan terjadinya kesulitan bernafas, sehingga benda
asing termasuk bakteri atau mikroorganisme lain tidak
dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan dan akibatnya
memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan.
Polutan udara dapat menjadikan sumber penyakit virus,
bakteri dan beberapa jenis cacing. Dampak yang diakibatkan
oleh polutan udara yang buruk dapat mengakibatkan seseor
ang menjadi alergi yang selanjutnya menjadi pintu masuk
bagi bakteri yang dapat berpotensi terjadinya infeksi.
Gangguan- gangguan tidak spesifik tetapi khas yang di
derita individu atau manusia selama berada di dalam gedung
tertentu di kenal dengan istilah Sick Building Syndrome (SBS).
7. Kualitas Mikrobiologi dalam ruangan
Mikrobiologi adalah organisme yang dapat dilihat hanya
dengan bantuan pembesaran mikroskop berdaya tinggi,
berukuran sangat kecil (mikro) sehingga mudah dihembuskan
angin dan menempel pada debu (bioaerosol). Sejak tahun
1870 peranan mikroorganisme sebagai penyebab penyakit
mulai dimengerti dan diterima oleh para ilmuwan, hingga saat
ini dikenal ada lima kelompok Mikroorganisme yaitu :
Bakteri, Protozoa, Virus, Algae dan cendawan mikroskopis.
Peranan didasarkan pada perbedaan ciri morfologis dan
struktural serta keadaan lingkungan. Mikroorganisme terdapat
dalam jumlah sangat besar dan beragam, merupakan bentuk
kehidupan yang penyebarannya paling luas daripada lautan
hingga puncak gunung es, mata air panas, tanah berdebu,
bahkan tubuh manusia, dalam rongga mulut, hidung dan
setiap rongga tubuh. Habitat mikroorganisme adalah tempat
yang mengandung nutrient, kelembaban, dan suhu yang
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan.
Keberadaan mikroorganisme dalam ruangan umumnya tidak
berbahaya bagi kesehatan manusia, namun bakteri, virus
dan parasit yang kadang dapat menimbulkan penyakit.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi potensi
mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit yaitu
tempat masuknya mikroorganisme, jumlahnya cukup
banyak, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan
kemampuan berpindah pada Host yang baru. Potensi juga
masih bergantung pada pathogenesitas mikroba dan daya
tahan tubuh Host. Hanya 5 % dari Investigasi penyebab
Sick Building Syndrome digedung – gedung karena
konsentrasi Mikrobiologi. Mikroba seperti bakteri, fungi dan
protozoa masuk melalui sistem ventilasi, berkembang
didalam gedung, dikarpet yang lembab, furnuture dan
genangan air pada sistem ventilasi. kondisi demikian
memicu penurunan kondisi kesehatan yang biasa dikena l
sebagai humidifier fever, hipersensitivity pneomonitis, allergic
rhinitis dan conjunctivitis terutama pada orang-orang yang
rentan ( Suscep tible individual ).
X.Kerangka Pemikiran
Variabel Bebas
Faktor Fisika Faktor Kimia Faktor Biologi
Variabel Terikat
Sick Building Syndrome
Variabel Perancu
UmurJenis Kelamin
Hipotesis dari penelitian ini peneliti merumuskan
Hipotesis Nol (H0) sebagai berikut yaitu : Ada hubungan
kualitas udara dalam ruangan tertutup terhadap kejadian Sick
Building Syndrome dengan pekerja di PT. X Surakarta.
XII. Metode Penelitian
A. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Observasional dengan
pendekatan Cross Sectional untuk melihat gambaran kejadian
SBS dan faktor-faktor lingkungan yang diduga berhubungan.
Untuk itu dilakukan studi observasi (survei) serta pengukuran
terhadap beberapa parameter kualitas fisik, kimia udara (debu),
dan kualitas mikroorganisme (biologi). Penentuan kasus
SBS berdasarkan gambaran sakit dan keluhan yang dirasakan
responden selama bekerja di ruang kerjanya.
Studi analitik adalah studi untuk menentukan fakta dengan
interpretasi yang tepat, dan secara akurat melukiskan sifat-sifat
dari beberapa fenomena kelompok atau individu, sedangkan yang
di maksud pendekatan Cross Sectional adalah pendekatan yang
bersifat sesaat untuk melihat gambaran kejadian pada suatu
waktu dan tidak diikuti dalam suatu kurun waktu tertentu.
B. Lokasi dan Waktu penelitian
Lokasi : PT. X Surakarta
Waktu Penelitian : November 2014 – Januari 2015
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua karyawan di kantor PT. X
Surakarta
1. Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.
Populasi adalah seluruh penduduk yang dimaksud
untuk diselidiki. Populasi dibatasi dengan sejumlah
penduduk atau individu yang paling sedikit
Variabel Perancu
UmurJenis Kelamin
mempunyai sifat yang sama. Pengertian tersebut
mengandung mengandung maksud bahwa populasi
seluruh individu yang akan dijadikan obyek penelitian
dan keseluruhan dari individu yang paling baik, sedikit
memiliki satu sifat sama.
Populasi dari penelitian ini adalah semua karyawan
bagian admininstrasi publik, baik laki- laki maupun
perempuan yang berjumlah 50 tenaga kerja dengan
menempati lantai dalam gedung. Sesuai dengan syarat-
syarat populasi yang dipakai dalam penelitian dibatasi
sejumlah atau individu yang paling sedikit mempunyai
satu sifat yang sama. Maka populasi yang akan dipakai
oleh peneliti mempunyai persamaan sebagai berikut:
a. Sama-sama berada didalam ruangan yang
dengan sistem ventilasi AC sentral,
pencahayaan buatan, dekorasi dan penyekat
ruang minimal
b. Sama-sama memiliki pola kerja sejenis
yang bertugas non shift.
c. Sudah bekerja selama tiga bulan atau
lebih di PT. X Surakarta. Berdasarkan
alasan tersebut maka populasi yang
diambil telah memenuhi persyaratan
sebagai populasi, dimana populasi harus
memiliki satu sifat yang sama.
2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah semua karyawan
bagian administrasi sebanyak 50 orang, sedangkan
tehnik pengambilan sampel dengan menggunakan
tehnik Total Sampling. persyaratan yang ditetapkan
oleh peneliti untuk sampel adalah sebagai berikut
masa kerja responden minimal 3 bulan, responden
berada dite mpat penelitian saat penelitian
berlangsung, responden berada pada ruangan yang
menggunakan AC. Adapun karakteristik bangunan
terdapat 3 lantai yang semua ruangan menggunakan
ventilasi dengan sistem Air Conditioner (AC).
3. Krite ria ink lusi dan eksklusi
a. Kriteria Inklusi.
Kriteria inklusi adalah syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar responden dapat menjadi sampel.
kriteria inklusi menjadi sampel penelitian
meliputi:
1) Karyawan yang bekerja di PT.X
Surakarta, minimal 3 bulan kerja.
2) Umur pekerja : 20 – 55 tahun.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah syarat – syarat yang tidak
bisa dipenuhi oleh responden supaya dapat sampel.
kriteria eksklusi menjadi sampel penelitian
meliputi :
1) Karyawan yang menderita penyakit anemia.
2) Karyawan dengan riwayat penyakit saluran
pernafasan, TBC, penyakit mata.
3) Karyawan yang mempunyai penyakit
yang berhubungan dengan metabolisme
tubuh ( penyakit Hati dan Ginjal ) dan
atau sedang mengalami infeksi, atau pernah
mengalami infeksi dalam 1 bulan
4) Karyawan yang tidak bersedia sebagai
responden.
D. Rancangan (desain) penelitian
E. Identifikasi variabel penelitian
1. Definisi operasional
Variabel Bebas
N
oVariabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 SuhuSuhu ruangan yang
diukur pada saat
penelitian
PengukuranTermometer
Ruang0C Interval
2. Kelembaban Kandungan uap a ir Pengukuran Higrometer
%
Rasio
Populasi
Sample
Pengukuran
Total Populasi
Mengalami Sick Building
Syndrome
Tidak mengalamiSick Building
Syndrome
Analisis data dan hasil
Kuisioner dan wawancara
Faktor FisikSuhu
KelembapanKecepatan aliran
udara
Faktor KimiaPartikulat debu
BiologiMikroorganisme
Pengukuran
Udara dalam ruangan
3.Kecepatan
Gerak Udara
Kecepatan gerakan
udara yang diukur
pada saat penelitian
Pengukuran Anemometer m/dt Rasio
4.Kadar Debu
Kadar debu
ruangan yang
diukur pada tempat
penelitian
Pengukuran
Low
Volume
Air
Sampler
µg/m3 Rasio
5 Mikr obiologi
Jumlah bakteri
yang terdapat
dalam ruangan pada
saat penelitian
PengukuranNutrient
Agar
Jumlah
BakteriRasio
Variabel Terikat
1. Sick
Building
Syndrome
Kumpulan gejala
yang diakibatkan
oleh kualitas
udara indoor yang
buruk dan
didiagnosis
dengan adanya min
20% karyawan dan
Wawancara Lembar
Tanya Positif
Negatif
Nominal
2 Stress Kerja Tekanan dari
factor lingkungan
terhadap psikis
pekerja
Wawancara Lembar
Tanya
Positif
Negatif
Nominal
Variabel Pengganggu
1 Umur Jumlah usia
responden yang
dihitung semenjak
lahir sampai
penelitian dilakukan
Wawancara Kuesioner Tahun Rasio
2 Jenis Kelamin Jenis kelamun
responden baik laki-
laki dan perempuan
Wawancara Kuesioner Laki-laki
Perempuan
Nominal
3 Pendidikan Pendidikan
responden yang
bertugas pada
Wawancara Kuesioner D3
S1
Ordinal
tempat penelitian
4 Lama Kerja Lama bekerja
responden pada
tempat penelitian
Wawancara Kuesioner Tahun Rasio
5 Status Gizi Kondisi responden
yang merupakan
hasil asupan gizi
dalam tubuh yang
dapat dijelaskan
dengan pertumbuhan
fisik dan dihitung
dengan IMT
IMT = BB/
(TB/100)2
Timbangan
berat badan
dan
meteran
Kurus
< 18,5
Normal
18-23
Gemuk
> 23
Ordinal
2. Cara kerja penelitian
a. Tahap Persiapan
1) Peneliti membuat surat pengantar untuk melakukan
survey awal penelitian yang ditujukan kepada
pimpinan perusahaan PT. X Surakarta.
2) Peneliti mengajukan surat pengantar ke PT. X
Surakarta.
3) Peneliti melakukan survey awal berupa observasi
disekitar perusahaan dan data sekunder perusahaan
PT. X Surakarta.
4) Peneliti membuat proposal penelitian.
b. Tahap Pelaksanaan
1) Peneliti menetapkan sampel penelitian yang beerupa
total populasi dalam kantor PT. X
2) Observasi dan wawancara yang dilakukan oleh
peneliti.
3) Pengukuran
Macam dan prosedur pengukuran dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Suhu dan kelembaban
Pengukuran suhu dan kelembaban
udara dilakukan dengan menggunakan
metode pembacaan langsung dan alat
Termometer serta Higrometer
Prosedur Kerja
(1) Hygro meter terdiri dari dua
termometer yaitu termometer suhu
kering dan termometer suhu basah
(2) Pada ujung termometer suhu basah
terdapat sumbu yang dicelupkan ke
dalam aquadest
(3) Tempatkan alat tersebut di tempat
yang akan diukur suhu basah, suhu
kering, dan kelembabannya selama 30
menit.
(4) Untuk ruangan yang terdapat tenaga
kerja, pada tenaga kerja duduk
tempatka n alat setinggi 0,6 m dan
untuk pekerja berdiri tempatkan alat
setinggi 1,2 m.
(5) Baca suhu pada termometer suhu
basah dan kering. Untuk angka
kelembaban dapat memutar panel
bundar pada bagian bawah hygrometer,
disesuaikan dengan angka pada suhu
basah dan kering sehingga didapatlah
angka kelembaban.
b) Kecepatan Gerak Udara
Pengukuran kecepatan gerak udara
dilakukan dengan menggunakan metode
pembacaan langsung dan memakai alat Stop
Watch serta Kata Thermometer
Adapun langkah- langkah pengukurannya
adalah:
(1) Celupkan reservator bawah kata
thermometer dalam air panas untuk
menaikkan alkohol sampai pada
reservaor atas
(2) Catat temperatur dan waktu
penurunan alkohol dari batas A-B.
batas temperatur ini disebut range
temperatur. Waktu penurunan disebut
waktu pendinginan (Cooling Time)
(3) Pengukuran dilakukan 3-5 kali,
nilai cooling time merupakan nilai
rata-rata
(4) Perhitungan gerak udara menggunakan
rumus.
c) Pengukuran Kadar debu dalam Ruangan
Pengukuran debu ruangan digunakan alat
Low Volume Air Sampler atau High Volume
Air Sampler
Adapun langkah- langkah
pengukurannya adalah:
(1) Pasang filter pada sampler holder
lalu sambungkan dengan pompa isap
(2) Atur kecepatan alir sebesar 10 menit
(3) Pasang sampler holder setinggi
zona pernapasan (tinggi sekitar 1,5-
1,6 m dari lantai dudukan)
(4) Lakukan pengambilan sampel selama
untuk masing- masing filter
(5) Lakukan pencatatan yang benar untuk
masing- masing lokasi (lokasi dan
nomor filter agar jelas)
(6) Pada saat pengujian di lapangan filter-
filter blanko juga harus dibawa
(7) Setelah selesai pengukuran, lipat filter-
filter dengan baik agar tidak ada debu
yang tumpah atau tertinggal
(8) Segera masukkan filter-filter ini ke
dalam desikator begitu tiba kembali
ke laboratorium
d) Pengukuran Mikroorganisme ruang kerja
Mikroorganisme ruang kerja adalah
adanya sejumlah jasad renik (bakteri dan
jamur) yang ditemukan didalam ruang
kerja. Parameter yang digunakan adalah
jumlah CFU/m3 , pengukuran
menggunakan Nutrient Agar atau alat
Biotest Hycon Air Sampler RCS. Menurut
Mentri Kesehatan RI nomor
1405/MENKES /SK/XI/2002 tentang
Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran
dan Industri, Kualitas udara dalam ruang
dikatakan baik apabila angka kuman dalam
ruang kurang dari 700 koloni/m3 udara dan
bebas kuman pathogen.
c. Tahap Penyelesaian
1) Analisis data serta penulisan laporan penelitian.
3. Teknik analisis data (statistik atau non statistik).
1. Analisa Data
Tek nik analisa data dalam penelitian ini adalah :
a. Analisa Univariat
Analisa Univariat adalah analisa dengan menampilkan
gambaran variabel- variabel yang diteliti dengan
menghitung frekuensi dan prosentase masing-
masing subjek penelitian meliputi :
1) Variabel Bebas
a) Kualitas udara suhu, kelembaban udara,
kecepatan gerak udara dan kadar debu,
mikroorganisme , umur, kebiasaan /
mobolitas kerja, status gizi
b) Variabel terikat
(1) Sick Building Syndrome
b. Analisa Bivariat
Untuk menguji hipotesis dilakukan analisis analitik
terhadap variabel bebas dan variabel terikat sesuai
skala data yang dipakai. Analisis dilakukan dengan
menggunakan bantuan komputer. Sedangkan uji
statistik yang digunakan adalah Chi Square dengan
tingkat kesalahan/level signifikansi () = 5 % dengan
tingkat kepercayaan 95% untuk mengetahui adanya
hubungan, dimana rumus chi Square yang digunakan
adalah sebagai berikut :
X2 = ∑ ( O – E )2
E
Keterangan :
X2 = Chi Square
O = Frekuensi Observasi (Observed)
E = Frekuensi Harapan (Expected)
Pengamatan dan pengukuran menggunakan model
tabel 2 X 2, berarti 2 baris dan 2 kolom seperti berikut
:
Tabel Hasil Pengamatan pada uji Chi Square
Faktor
Efek Ris iko
Ya Tidak Jumlah
Ya A B a + bTidak C d c + dJumlah a + c b +d a + b + c + d
Dimana :
a = Subyek dengan faktor risiko yang mengalami efek.
b = Subyek dengan faktor risiko yang tidak mengalami
efek.
c = Subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek.
d = Subyek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami
efek.
2. Analisis Multivariat
Analisis bertujuan untuk mengeta hui kekuatan hubungan
antara variabel utama dengan variabel dependen lainnya.
Analisis yang digunakan adalah Regresi logistik ganda,
Pemilihan regresi logistik ganda dikarenakan variabel
dependen penelitian ini dikotomus, dan variabel independen
lainnya lebih dari satu.
XIII. Daftar Pustaka
Joshi SM. 2008. The sick building syndrome. Indian J Occup Environ Med.12:61-
64
PS Burge. 2004. Sick Building Syndrome. Occup Environ Med. 61:185-190
Tarwaka., Bakri, Solichul HA. dan Sudiajeng, Lilik. 2004. Ergonomi Untuk
Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press,
Surakarta.
Paryati, Paryati (2012) Kajian Kualitas Udara Dalam Ruang Dan Kejadian Sick
Building Syndrome (Sbs) Di Kantor Badan Kepegawaian Daerah
Provinsi Kalimantan Barat. Masters Thesis, Program Pascasarjana
Undip.
United States Environmental Protection Agency. 1991.Indoor Air Facts No.4
(Revised) Sick Building Syndrome. MD-56
Frank C. Lu. 1995, Toksikologi Dasar (Azas, Organ Sasaran dan Penilaian.
Resiko) Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Recommended