Upload
bellazieta
View
116
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
KUSTA
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kusta adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium leprae. Penyakit
ini dapat menyebabkan masalah yang kompleks, terutama dari segi medis seperti cacat
fisik. Bila tidak ditangani dengan cermat, kusta dapat menyebabkan cacat dan keadaan
ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat
untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya (Widoyono,2008 : 95).
Menurut Blum lingkungan merupakan faktor penyumbang terbesar kejadian
penyakit, kemudian perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik. Lingkungan dapat
menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai bakteri, termasuk bakteri kusta. Rumah
merupakan bagian dari lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan individu
dan masyarakat. Rumah yang menjadi tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan
seperti ventilasi rumah, dinding rumah, pencahayaan lantai suhu dan kelembaban di
rumah.
Berdasarkan Report of the International Leprosy Association Technical Forum di
Paris pada 22-28 Februari 2002 dilaporkan adanya M.leprae pada debu, air untuk mandi
dan mencuci di rumah penderita. Perlunya kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat
kesehatan agar dapat mencegah penyebaran M. leprae di lingkungan. Kondisi fisik
rumah mencakup jenis bahan bangunan rumah dan lokasi rumah seperti jenis dinding,
lantai dan atap. Jenis bahan bangunan rumah akan mempengaruhi peresapan air dan
jumlah debu dalam rumah. Menurut Ehler dan Steel sanitasi sebagai pencegahan
penyakit dengan cara menghilangkan atau mengawasi faktor-faktor lingkungan yang
berkaitan dengan mata rantai perpindahan penyakit. Sanitasi rumah yang perlu
ditingkatkan untuk mencegah penyebaran bakteri kusta antara lain sarana air bersih
yang memenuhi syarat, ventilasi dan pencahayaan yang baik serta kepadatan hunian
yang sesuai.
Penyakit ini sendiri merupakan salah satu gambaran nyata kemiskinan di
masyarakat Indonesia, karena kenyataannya sebagian besar penderita kusta berasal dari
golongan ekonomi lemah. Adanya hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan sebagai salah satu bagian dari perilaku dengan proses penularan dan
penyembuhan pada penderita kusta. Orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi
tentang kusta tentunya akan berusaha menjauhkan dirinya dari faktor-faktor yang
1 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
dapat menjadi sumber penularan penyakit ini (Mukhlis, 2010). Selain itu, pengetahuan
tentang penyakit juga harus sejalan dengan perilaku hygiene seseorang dalam
kesehariannya. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa perilaku hygiene memiliki
hubungan bermakna pada penularan penyakit kusta (Idris, 2008). Tingginya angka
insidensi kusta pada orang-orang kontak serumah hampir sepuluh kali dibanding
mereka yang tidak kontak serumah. Pada mereka yang kontak serumah dengan
penderita Multi Basiler (borderline dan lepromatosa) mempunyai risiko lebih tinggi
dari pada kontak serumah dengan penderita Pausi Basiler (tuberculoiddan
indeterminate), yaitu antara empat sampai sepuluh kali pada kontak dengan penderita
Multi Basiler dibandingkan hanya dua kali pada kontak dengan penderita Pausi
Basiler. Seorang anak yang tinggal lama di daerah endemik kusta juga mempunyai
kesempatan yang lebih besar untuk melakukan kontak dengan penderita kusta bertipe
menular. Faktor umur dalam penelitian ini sangat berkaitan dengan sistem imun yang
belum berkembang dengan baik, kontak sekali saja atau beberapa kali kontak dengan
penderita kusta menular yang banyak mengandung bakteri ini mungkin sudah cukup
untuk tertular penyakit tersebut (Awaluddin, 2004). Selain itu, terdapat pula faktor jenis
kelamin dalam penularan kusta sebab Sebagian besar negara di dunia menunjukkan
bahwa laki-laki lebih banyak menderita kusta dibandingkan perempuan (Winarsih,
2011).
Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab penyakit ini sebenarnya sangat
lambat dalam memperbanyak diri sehingga masa inkubasi penyakit ini sekitar lima
tahun. Gejalanya dapat memakan waktu selama 20 tahun untuk muncul. Meskipun
WHO telah mencanangkan program eliminasi kusta pada tahun 2000 dan melaporkan
118 dari 122 negara telah eliminasi, namun kenyataannya jumlah penderita kusta
masih tinggi dan masih banyak temuan kasus baru yang dilaporkan setiap tahunnya.
Situasi ini bahkan lebih serius jika mereka yang terkena dampak adalah anak-anak
(Anonim, 2001).
Dusun Ngaget Tuban merupakan salah satu daerah endemik penayakit kusta.
Para penyandang kusta di Dusun Nganget tinggal diatas lahan seluas 105.695 m2 milik
Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur. Sebagian lagi tinggal di lahan milik Perhutani.
Lahan dan hunian tersebut berada di wilayah Desa Mulyorejo dan Desa Kedung Jambe.
Namun status kependudukan mereka masuk dalam Dusun Nganget Desa Kedung
Jambe Kecamatan Singgahan.
2 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
Berdasarkan uraian di atas, diantaranya tentang pentingnya upaya pencegahan
penularan kusta, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran
faktor resiko kejadian Kusta di Dusun Ngaget kabupaten Tuban dengan Variabel yang
diteliti yaitu pengetahuan, umur, jenis kelamin, kontak fisik, hygiene perorangan,
ventilasi rumah, dinding rumah, lantai, suhu ruangan, kepadatan penghuni dan sarana
air bersih.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah :
Faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta di Dusun Ngaget
Tuban ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk Mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta
Di Dusun Ngaget Tuban.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis hubungan pengetahuan dengan kejadian penyakit Kusta di di
Dusun Nganget Tuban.
b. Menganalisis hubungan umur dengan kejadian penyakit Kusta di di Dusun
Nganget Tuban
c. Menganalisis hubungan jenis kelamin dengan kejadian penyakit Kusta di di
Dusun Nganget Tuban
d. Menganalisis hubungan kontak fisik dengan kejadian penyakit Kusta di di
Dusun Nganget Tuban
e. Menganalisis hubungan Hygiene Perorangan dengan kejadian penyakit Kusta di
di Dusun Nganget Tuban
f. Menganalisis hubungan ventilasi rumah dengan kejadian penyakit Kusta di di
Dusun Nganget Tuban
g. Menganalisis hubungan dinding rumah dengan kejadian penyakit Kusta di di
Dusun Nganget Tuban
h. Menganalisis hubungan lantai rumah dengan kejadian penyakit Kusta di di
Dusun Nganget Tuban
i. Menganalisis hubungan kepadatan penghuni rumah dengan kejadian penyakit
Kusta di di Dusun Nganget Tuban
3 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
j. Menganalisis hubungan suhu ruangan/rumah dengan kejadian penyakit Kusta di
di Dusun Nganget Tuban
k. Menganalisis hubungan kelembaban ruangan/rumah dengan kejadian penyakit
Kusta di di Dusun Nganget Tuban
l. Menganalisis hubungan pencahayaan dengan kejadian penyakit Kusta di di
Dusun Nganget Tuban
m. Menganalisis hubungan air bersih dengan kejadian penyakit Kusta di di Dusun
Nganget Tuban
1.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi peneliti
Merupakan pengalaman dan pengaplikasian pengetahuan yang di peroleh selama
mengikuti pendidikan dan dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian
selanjutnya
b. Bagi masyarakat Dusun Ngaget Tuban
Hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai bahan acuan dan masukan bagi
masyarakat yang tinggal di Dusun Nganget dalam upaya pencegahan penularan
penyakit kusta
c. Bagi penenliti lainnya
Dapat digunakan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya dengan variabel lain
yang beum di teliti.
1.5 Hipotesis Penelitian
Pada penelitian ini hipotesis yang diajukan adalah :
1. Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian penyakit kusta
2. Ada hubungan umur dengan kejadian penyakit kusta
3. Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian penyakit kusta
4. Ada hubungan kontak fisik dengan kejadian penyakit kusta
5. Ada hubungan hygiene perorangan dengan kejadian penyakit kusta
6. Ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian penyakit Kusta
7. Ada hubungan dinding rumah dengan kejadian penyakit Kusta
8. Ada hubungan lantai rumah dengan kejadian penyakit Kusta
9. Ada hubungan keadatan penghuni dengan kejadian penyakit Kusta
10. Ada hubungan suhu ruangana(rumah) dengan kejadian penyakit Kusta
4 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
11. Ada hubungan kelembaban ruangana(rumah) dengan kejadian penyakit Kusta
12. Ada hubungan pencahayaan dengan kejadian penyakit Kusta
13. Ada hubungan suhu sarana air bersih dengan kejadian penyakit Kusta
5 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENYAKIT KUSTA
A. Pengertian
Kusta merupakan penyakit menular yang bersifat menahun dan disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya kecuali susunan saraf pusat (Weng, 2007; Spencer, 2005).
Menurut Depkes RI (2006) penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular
yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah tersebut bukan hanya
dari segi medis tetapi meluas sampai segi sosial, ekonomi, psikologis (dalam
Hutabarat, 2008)
B. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H.
Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk
pleomorf lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung -
ujungnya bulat dengan ukuran panjang 1- 8 um dan diameter 0,25- 0,3 um. Basil ini
menyerupai kuman berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak
berspora. Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk
batang yang utuh, berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil
yang mati bentuknya terpecah- pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup
dalam sel terutama jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam
media buatan (invitro). Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :
a. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari
bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk
M. leprae . Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate,
yang dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid,
yang terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui
molekul fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia
yangunik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. Leprae
6 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
b. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida
yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan
rantai panjang asam mikolat, mirip dengan yang ditemukan pada Mycobacteria
lainnya.
b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang dihubungkan
melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-amino yang
mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk
digunakan sebagai antigen diagnostik.
c. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang
khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme.
Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan
secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat
membentuk‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M.
leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.
d. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik
asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang
penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam
mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi
dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara
genetik, terkait erat dengan M. tuberculosisdan M. scrofulaceum.
C. Diagnosisi penyakit Kusta
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama
atau tanda kardinal, yaitu:
a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau
kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf
tepi (neuritis perifer).
Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa :
7 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
2. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise).
3. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.
c. Ditemukannya M. Leprae pada pemeriksaan bakteriologis.
D. Tanda-tanda Penyakit Kusta
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau
tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda
secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu:
1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
3. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis
magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi
tipis dan mengkilat.
4. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit Alis
rambut rontok
5. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).
Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :
1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2. Anoreksia.
Anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang berupa kekurangan nafsu
makan meski sebenarnya lapar dan berselera terhadap makanan Kondisi ini
umumnya ditandai beberapa gejala psikologis:
a. Keinginan memiliki tubuh kurus
b. Ketakutan berlebihan terhadap kegemukan
c. Penolakan untuk mempertahankan berat
d. badan yang normal
e. Hilangnya siklus menstruasi
f. Mempelajari tentang makanan dan kalori
g. secara berlebihan
h. Menyembunyikan atau sengaja
i. membuang makanan
8 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
Sekitar 95 persen penderita anoreksia adalah perempuan berstatus sosial ekonomi
menengah ke atas. Kelainan ini mulai muncul di masa remaja dan kadang di masa
dewasa. Anoreksia bisa bersifat ringan, sementara atau berat dan berlangsung lama.
j. Nausea (mual), kadang-kadang disertai vomitus (muntah)
k.Cephalgia (sakit kepala).
l. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis (inflamasi/peradangan pada testis) dan
Pleuritis (radang pada pleura, yaitu lapisan titpis yang membungkus paru-paru).
m. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis (kerusakan Ginjal) dan
hepatospleenomegali (pembengkakan hati).
n.Neuritis (peradangan syaraf optik mata).
E. Epidemiologi
Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil yaitu tipe
multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya
berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang
lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. Leprae masih dapat
hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta bervariasi, 40 hari sampai 40
tahun. Kusta menyerang semua umur dari anak -anak sampai dewasa. Faktor sosial
ekonomi memegang peranan, makin rendah sosial ekonomi makin subur penyakit
kusta, sebaliknya sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan
dengan iklim, kusta tersebar di daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab,
terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di
India, Brazil, Bangladesh, dan Indonesia.
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah, karena ada beberapa
faktor yang mempengaruhi, antara lain sumber penularan adalah kuman kusta utuh
(solid) yang berasal dari pasien kusta MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau
tidak teratur berobat. Penularan kuman kusta terjadi dalam kurun waktu yang sangat
lama, yaitu sekitar 3-5 tahun, bahkan bisa lebih lama lagi, hal ini tergantung juga
pada sistem imun seseorang (Arief Mansjoer, 2000: 65). Kuman kusta mempunyai
masa inkubasi rata-rata selama 2-5 tahun. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang
utuh atau hidup keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain,
misalnya melalui pernafasan dan kontak kulit. Bakteri M. leprae banyak terdapat
pada kulit tangan, daun telinga, dan mukosa hidung (Widoyono, 2011: 49). Dalam
9 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
A. Kosasih (2005) dijelaskan bahwa kuman kusta dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu (A. Kosasih, 2005:
73). Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan
penderita, namun penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO
tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain (P2 Kusta, 2006: 10).
F. Klasifikasi Kusta
Klasifikasi kusta bertujuan untuk menentukan regimen pengobatan,
prognosis, komplikasi dan perencanaan operasional. Sehubungan dengan
penggunaan regimen multi drug therapy (MDT), maka WHO klasifikasi dibagi
menjadi dua tipe, yaitu
1. PB (Pausi Basiler)
Tipe PB yaitu tipe kusta kering, tipe kusta ini tidak menular, tetapi cukup
membahayakan penderita kusta karena dapat menimbulkan cacat bila tidak
diobati dengan teratur.
2. Tipe MB (Multi Basiler)
Tipe MB yaitu kusta basah,merupakan tipe kusta yang dapat menularkan pada
orang lain. Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta
menurut WHO adalah sebagai berikut :
KLASIFIKASI KUSTA
Tanda Utama Paucibacillary Baciler (PB)
Multibacillary Baciler (MB)
Bercak Kusta
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi (Gangguan fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan)
Sediaan apusan
Jumlah 1 s/d 5 lesi
Hanya satu saraf
BTA negatif
Jumlah > 5 lesi
Satu saraf
BTA positif
Sumber: Sumber: (P2 Kusta, 2006: 41)
10 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi penyakit
kusta yaitu:
Kelainan Kulit dan Hasil Pemeriksaan
PB MB
1. Bercak (makula) mati rasaa. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
b. DistribusiUnilateral atau
Bilateral asimetrisBilateral simetris
c.Konsistens
iKering dan kasar Halus, berkilat
d. Batas Tegas Kurang tegas
e.
Kehilangan rasa pada
bercak
Selalu ada dan jelas
Biasanya tidak jelas, jika ada
terjadi pada yang sudah lanjut
f.
Kehilangan
kemampuan
berkeringat, rambut rontok pada
bercak
Selalu ada dan jelas
Biasanya tidak jelas, jika ada
terjadi pada yang sudah lanjut
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak adaAda, kadang-
kadang tidak ada
b.
Membrana mukosa (hidung
tersumbat, perdaraha
n di hidung)
Tidak adaAda, kadang-
kadang tidak ada
c. Ciri-ciriCentral healing
(penyembuhan di tengah)
Punched out lesion
(lesi bentuk seperti donat)
a. Madarosisb. Ginekomastic. Hidung pelanad. Suara sengau
a. Nodulus Tidak adaAda, kadang-
kadang tidak ada
b.Deformita
sTerjadi dini
Biasanya simetris,terjadi lambat
Sumber: P2 Kusta, 2006: 41
11 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
G. Patogenesis
Setelah Mycobacterium masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler mediated immune) pasien.
Kalau sistem imunitas seluler rendah, penyakit berkembang kearah lepromatosa
mycobacterium leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih rendah.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai
penyakit imunologi (Arief Mansjoer, 2009: 66).
H. Kecacatan
Micobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari
kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik,
motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi
saraf tepi.
a. Tingkat Cacat
Kerusakan saraf pada pendirita kusta meliputi :
1. Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa
(anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi
luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya
reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda- benda asing
yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya buta.
2. Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-
lama otot mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari -jari tangan
dan kaki menjadi bengkok (clow hand/clow toes) dan akhirnya dapat terjadi
kekakuan pada sendi, bila terjadi kelemahan/ kekakuan pada mata, kelopak
mata tidak dapat dirapatkan (lagoptalmus)
3. Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan
12 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
akhirnya dapat pecah- pecah. Pada umumnya apabila terdapat kerusakan
fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan tepat maka akan terjadi cacat ke
tingkat yang lebih berat. karena kuman kusta maupun karena terjadinya
peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra.
Tingkat cacat pada penderita kusta
Tingkat kecacatanTingkat Mata Tangan/Kaki0 Tidak ada pada mata
akibat kusta, penglihatan masih Normal
Tidak ada anestesi, tidak ada cacat yang terlihat akibat kusta
1 Ada kelainan mata akibat kusta, penglihatan kurang terang (masih dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)
Ada anestesi tetapi tidak ada cacat atau terlihat yang kelihatan
2 Penglihatan sangat kurang terang (tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)
Ada cacat atau kerusakan yang terlihat
Keterangan:
1. Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat,
2. Cacat tingkat I adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensorik yang
tidak terlihat seperti kehilangan rasa raba pada telapak tangan dan telapak kaki.
Cacat tingkat I pada telapak kaki berisiko terjadinya ulkus plantaris, namun
dengan diri secara rutin hal ini dapat cegah. Mati rasa pada bercak bukan
merupakan cacat tingkat I karena bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer
utama tetapi rusaknya saraf lokal pada kulit.
3. Cacat tingkat II berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.
Untuk mata :
a. Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmus)
b. Kemerahan yang jelas pada mata
c. Gangguan penglihatan berat atau kebutaan
Untuk tangan dan kaki :
a. Luka/ulkus di telapak
b. Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki simper atau
kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorpsi dari jari - jari
13 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
b. Upaya pencegahan cacat
Komponen pencegahan cacat terdiri dari :
1. Penemuan dini penderita sebelum cacat
2. Pengobatan penderita dengan MDT
3. Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara rutin
4. Penanganan reaksi
5. Penyuluhan Perawatan diri
6. Penggunaan alat bantu
7. Rehabilitasi medis (operasi rekontruksi)
Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh
kuman kusta. Tetapi cacat pada mata, tangan dan kaki yang terlanjur cacat
akan tetap permanen, sehingga harus dilakukan perawatan diri dengan rajin
agar cacatnya tidak bertambah berat. Prinsip pencegahan pencegahan
bertambahnya cacat pada dasarnya adalah 3 M :
1. Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
2. Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
3. Merawat diri
c. Batasan Cacat Kusta
Menurut WHO dalam Srinvasan (2004) batasa n kusta adalah sebagai berikut:
1. Impairment . Kehilangan atau abnormalitas struktur dan fungsi yang bersifat
psikologik, fisiologik atau anatomi
2. Disability. Keterbatasan akibat empairment untuk melakukan kegiatan dalam
batas- batas kehidupan yang normal bagi manusia.
3. Handicap. Kemunduran pada individu yng membatasi atau menghalangi
penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, jenis kelamin dan
faktor sosial budaya. Jenis Cacat
Cacat yang timbul akibat penyakit kusata dapat dikelompokan menjadi 2 (dua)
yaitu :
1. Cacat primer. Pada kelompok ini cacat disebabkan langsung oleh aktifitas
penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap Micobacterium
leprae
2. Cacat sekunder. Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama
kerusakan akibat saraf sensorik, moto rik dan otonom.Contoh : ulkus jari
tangan, atau kaki putus.
14 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
I. Pencegahan Penyakit kusta .
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum
terkena penyakit kusta dan memiliki risiko tertular karena berada di sekitar
atau dekat dengan penderita seperti keluargapenderita dan tetangga penderita,
yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang
diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita
sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya
dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga
penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2005)
b. Pemberian imunisasi
Saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta
seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi
tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian
dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%,
namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia
karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian
vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2005).
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
Pengobatan pada penderita kusta
pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai
penularan,menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau
mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian
Multi drug therapypada penderita kustaterutama pada tipe Multibacilerkarena tipe
tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI,
2006).
15 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
3. Pencegahan tertier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tertier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada
penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
1. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum
cacat, pengobatan secara teratur dan penanganan reaksi untuk mencegah
terjadinya kerusakan fungsi saraf.
2. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki yang sudah mengalami
gangguan fungsi saraf.
b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi
penyesuaian diri secara maksimal atasusaha untuk mempersiapkan penderita
cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang
penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah
penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh
kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya
mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006) Rehabilitasi
terhadap penderita kusta meliputi:
1. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur
2. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak
mendapat tekanan yang berlebihan
3. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi
4. Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan
normalterbatas pada tangan
5. Konseling dilakukan untuk mengurangidepresi pada penderita cacat Tujuan
pencegahan penyakit kusta adalah merupakan upaya pemutusan mata rantai
penularan penyakit kusta.
16 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
2.2 Faktor -faktor yang menyebabkan kejadian Kusta
a. Agent
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan
tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kusta adalah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri M. leprae yang menyerang kulit, saraf tepi di tangan
maupun kaki, dan selaput lendir pada hidung, tenggorokan dan mata.
kusta hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan
terhadap sinar matahari. Kuman kusta dapat bertahan hidup pada tempat yang
sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun - tahun lamanya.
Kuman leprae jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain
itu. Seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada
lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80%
volume sel bakteri dan merupakan hal esensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan
media yang baik untuk bakteri - bakteri patogen termasuk yang memiliki rentang
suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam
rentang 25- 400C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31- 370C.
Pengetahuan mengenai sifat- sifat agent sangat penting untuk
pencegahan dan penanggulangan penyakit, sifat- sifat tersebut termasuk ukuran,
kemampuan berkembangbiak, kematian agent atau daya tahan terhadap
pemanasan atau pendinginan.
b. Host
Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman seperti
Mycobacterium leprae, kuman tersebut dapat menularkan pada 10- 15 orang.
Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan (1991). Tingkat penularan kusta di
lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata- rata
dapat menularkan kepada 2- 3 orang di dalam rumahnya. Karakteristik dalam
penelitian ini meliputi : umur, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, hygiene
perorangan, dan kontak fisik.
c. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik
benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk
akibat interaksi semua elemen- elemen termasuk host yang lain. Lingkungan
terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari : keadaan
17 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan dan lain - lain), kelembaban
udara, suhu, lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non fisik meliputi :
sosial (pendidikan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi
(kebijakan mikro dan local) dan politik (suksesi kepemimpinan yang
mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit).
2.3 Faktor Resiko host yang mempengaruhi kejadian kusta
a. Pengetahuan
Rendahnya tingkat pengetahuan seseorang dapat mengakibatkan lambatnya
pencarian pengobatan dan diagnosis penyakit, hal ini dapat mengakibatkan
kecacatan pada penderita kusta semakin parah. Hal ini disebabkan seseorang yang
memiliki pengetahuan baik lebih mengerti dan mengikuti instruksi tenaga kesehatan.
b. Umur
Kejadian suatu penyakit sering terkait pada umur. Pada penyakit kronik seperti
kusta diketahui terjadi pada semua umur, berkisar antara bayi sampai umur tua (3
minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada umur muda
dan produktif. Pada dasarnya kusta dapat menyerang semua umur, anak–anak lebih
rentan dari orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada orang dewasa ialah umur 25-35
tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun.
c. Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin terhadap timbulnya penyakit kusta belum dapat
dipastikan, pada dasarnya penyakit kusta dapat menyerang semua orang, namun
laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan
2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih
banyak
d. Kontak fisik
Riwayat kontak adalah riwayat seseorang yang berhubungan dengan penderita
kusta baik serumah maupun tidak. Sumber penularan kusta adalah kusta utuh atau
solid yang berasal dari penderita kusta, jadi penularan kusta lebih mudah terjadi jika
ada kontak dengan penderita kusta.
e. Hygiene Perorangan
Personal hygiene (kebersihan perseorangan) merupakan tindakan pencegahan
yang menyangkut tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta
membatasi menyebarnya penyakit menular terutama yang ditularkan melalui kontak
18 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
langsung seperti halnya kusta. M.leprae hanya dapat menyebabkan penyakit kusta
pada manusia dan tidak pada hewan. Juga penularannya melalui kontak yang lama
karena pergaulan yang rapat dan berulang–ulang, karena itu penyakit kusta dapat
dicegah dengan perbaikan personal hygiene atau kebersihan pribadi.
Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, tetapi menurut
sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan
erat), kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat,
dan diduga melalui air susu ibu. Pencegahan penyakit kusta dapat dilakukan dengan
meningkatkan personal hygiene, diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan
rambut, dan kuku. Karena penularan kusta sangat dipengaruhi oleh kontak langsung
dengan kulit dan folikel rambut, sehingga perlu dijaga kebersihannya.
2.4 faktor resiko Lingkungan
a. Ventilasi rumah
Ventilasi rumah yang sesuai dengan standar kesehatan sangatlah penting,
keberadaan ventilasi merupakan suatu syarat kesehatan akan mengakibatkan
terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke
dalam rumah, sehingga semakin lembab rumah maka semakin besar kemungkinan
perkembangbiakan mikroorganisme di dalam rumah. Mikroorganisme dapat berada
di udara melalui berbagai cara terutama dari debu yang berterbangan. Maka
dibutuhkanlah ventilasi yang memenuhi standar kesehatan agar udara di dalam
ruangan dapat berputar secara terus menerus.
Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut : luas lubang ventilasi
tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil
(dapat dibuka dan ditutup) minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi
10% dari luas lantai ruangan, udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap
atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain, aliran udara diusahakan cross
ventilation dengan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara
jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat
dan lain-lain.
Secara umum, penilaian ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan
roll meter. Menurut indicator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi
syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah. Rumah dengan luas
19 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi
penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam
rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak
memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen
dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi
penghuninya. Disamping itu, tidak cukup ventilasi akan menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk
tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri pathogen termasuk kuman leprae.
Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen seperti leprae, karena di situ selalu terjadi
aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, luas vertilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan
sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman leprae yang ada di
dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi udara dalam rumah serta mengurangi
kelembaban. Keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembaban. Semakin
banyak manusia dalam satu ruangan kelembaban semakin tinggi khususnya karena
uap air baik dari pernafasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruang tertutup
dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibanding kelembaban di
laur ruang. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara juga dengan kata lain
mengencerkan konsentrasi kuman leprae serta kuman lain terbawa keluar dan mati
terkena sinar ultra violet. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk memasukan
cahaya ultra violet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah
menggunakan genteng kaca.
b. Dinding Rumah
Dinding yang terbuat dari kayu, papan, dan bambu akan menyebabkan
penumpukan debu, sehingga dinding sulit untuk dibersihkan dan dapat menjadi
media yang baik untuk perkembangbiakan kuman/bakteri termasuk bakteri
Mycrobacterium leprae.
20 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
c. Lantai rumah
Lantai tanah memiliki risiko tinggi kejadian terhadap kejadian kusta karena
lantai yang tidak memenuhi standar atau lantai yang terbuat dari tanah merupakan
media yang baik untuk perkembangbiakan Mycrobacterium leprae. Hal ini
disebabkan karena bakteri Mycrobacterium leprae dapat bertahan hidup ditanah
hingga 46 hari.
d. Kepadatan penghuni
Kepadatan penghuni dalam satu tempat tinggal akan memberikan pengaruh
bagi para penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan dan berpotensi
terhadap penularan penyakit dan infeksi. Hal ini juga menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,
terutama kusta akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, seorang
penderita rata-rata dapat menularkan dua sampai tiga orang di dalam rumahnya.
Kategori tidak padat penghuni jika dihuni dua orang per 8 m2 dan padat penghuni
jika dihuni lebih dari dua orang per 8m2. Penularan penyakit lebih rentan terjadi
dengan kepadatan rumah yang tinggi yaitu dihuni lebih dari dua orang per 8 m2.
e. Suhu
Kuman M.leprae sebagai penyebab penyakit kusta merupakan kuman yang
dapat hidup dengan baik di suhu 27-30ºC . Maka jika suhu di suatu ruangan (rumah)
tidak memenuhi suhu normal (18-20ºC), rumah atau ruangan tersebut berpotensi
untuk menularkan penyakit menular, seperti kusta.
f. Kelembaban
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara.
Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu Kelembaban absolute, yaitu uap air per unit
21 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
volume udara; dan Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara
pada suatu temperature terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh dengan
uap air pada temperature tersebut.
Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan
hygrometer. Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat
kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri,
spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh
melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membrane
mukosa hidung menjadi keringat sehingga kurang efektif dalam menghadang
mokroorganisme. Bakteri-bakteri pada umumnya akan tumbuh dengan subur pada
lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80% volume
sel bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk petumbuhan dan kelangsungan
hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003).
Selain itu kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik
untuk bakteri-bakteri patogen. Mulyadi (2003) meneliti di Kota Bogor, penghuni
rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 70% berisiko
terkena penyakit tuberculosis 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada
perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 70%.
Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme,
termasuk kuman tuberkulosis dan leprae sehingga viabilitas lebih lama. Seperti telah
dikemukakan, kelembaban berhubungan dengan kepadatan dan ventilasi. Topografi
menurut penelitian juga berpengaruh terhadap kelembaban, wilayah yang lebih
tinggi cenderung memiliki kelembaban lebih rendah.
22 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
g. Pencahayaan
Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alam berupa
cahaya matahari yang berisi antara lain ultra violet. Cahaya matahari minimal masuk
60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi
syarat berisiko 2,5 kali terkena Tuberculose dan kusta dibanding penghuni yang
memenuhi persyaratan di Jakarta Timur (Pertiwi, 2004) dan pada kusta pun terjadi
hal yang sesuai dengan TB tersebut. Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan,
namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut.
Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman M.
tuberculosis dan leprae. Kuman tuberkulosa dan lepra dapat mati oleh sinar matahari
langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat
berpengaruh terhadap kejadian tuberculosis dan kusta. Kuman tuberkulosis dan
leprae dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar
matahari sampai bertahun-tahun lamanya, dan mala bila terkena sinar matahari,
sabun lisol, karbol dan panas api, kuman Mycobacterium tuberculosis dan leprae
akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari; oleh tincture iodii selama 5 menit
dan juga oleh ethanol 80% dalam waktu 2-10 menit serta mati oleh fenol 5% dalam
waktu 24 jam, rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita
tuberculosis seperti halnya kusta 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang
dimasuki sinar matahari.
h. Air bersih
Sarana air bersih dapat dibedakan menjadi sarana air bersih yang baik dan
tidak baik. Sarana air bersih baik adalah sarana air bersih yang berasal dari air dalam
kemasan, ledeng/PDAM, mata air/sumur terlindung, dan sumur pompa tangan,
23 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
sedangkan sarana air bersih yang tidak baik adalah berasal dari sumur tidak
terlindung, mata air tidak terlindung, sungai dan danau.
Sarana air bersih merupakan salah satu faktor lingkungan yang diduga kuat
menjadi sumber penularan di daerah-daerah endemik, dibuktikan dengan banyaknya
kasus-kasus baru pada daerah endemik yang tidak jelas ada riwayat kontak dengan
penderita kusta. Selain itu beberapa hasil penelitian sebelumnya menemukan adanya
DNA M. leprae pada sumber air penduduk di daerah endemik yang dibuktikan
dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil penelitian
sebelumnya tentang studi Mycobacterium leprae dari alam lingkungan di daerah
endemik kusta9 menunjukkan hasil dari 14 sampel air telaga ditemukan 9 sampel
(64,3 persen) menunjukkan BTA (+) yang 6 sampel (71,4 persen) diantaranya
positif ditemukannya DNA M. leprae. Dari 12 cairan yang melekat di akar tumbuhan
10 sampel (83,3 persen) menunjukkan hasil positif BTA dan DNA M. leprae.
24 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
2.5 Kerangka Konsep
25 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
Kejadian Kusta
Agent :
Bakteri : Mycobacterium leprae
Host :
a. Umur b. Jenis kelaminc. Pendidikan d. Kontak fisike. Hygiene
perorangan
Keterangan :
: diteliti
---- : tidak diteliti
Faktor lingkungan meliputi lingkungan fisik rumah seperti :
1. ventilasi rumah2. Dinding rumah, 3. Lantai rumah, 4. kepadatan penghuni rumah5. Suhu,6. Kelembaban,7. Pencahayaan,8. Sarana air bersih,dan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan studi
kasus kontrol (case control study). Penelitian ini di laksanakan wilayah kerja
puskesmas di Kecamatan Singgahan. Data awal diperoleh dengan melakukan
wawancara langsung kepada responden yang terpilih dengan menggunakan kuesioner
yang tersedia secara door to door. Data sekunder berupa identitas pasien, diagnosis
awal pasien, lama pengobatan dan riwayat pengobatan pasien diperoleh dari rekam
medik di puskesmas di wilayah kerja kecamatan singgahan. Pengolahan data dilakukan
secara elektronik dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package
and Social Siences) versi 20 . Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel
distribusi, grafik dan narasi untuk mengetahui faktor resiko kejadian kusta di Dusun
Nganget Tuban Desa Kedung Jambe Kecamatan Singgahan Tuban.
3.2 Lokasi dan waktu penelitian
1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dusun Ngaget kabupaten Tuban. Pemilihan lokasi
didasarkan karena daerah tersebut merupakan salah satu daerah endemis kusta.
2. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan maret 2015
3.3 Populasi dan sampel
1. Populasi
Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh penderita Penyakit
Kusta di Dusun Ngaget Tuban sebanyak 50 orang. Kelompok kasus adalah
penderita kusta di Dusun Nganget Tuban yang di diagnosis oleh dokter ahun
2014. Kelompok kontrol adalah masyarakat yang sehat atau menderita bukan
penyakit kusta yang mempunyai kesatuan epidemiologi dengan kasus sebanyak
35 orang.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang mendapatkan kesempatan
terpilih menjadi anggota sampel dalam penelitian. Pengambilan sampel dilakukan
26 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
secara Simple Random Sampling yaitu pengambilan sampel secara acak dan
sederhana, dimana setiap populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk
menjadi sampel.
Dalam penelitian ini sampel diambil dengan menggunakan rumus :
Sampel untuk kasus :
N =N
1+N ( d )2
= 50
1+50 (0,05 )2
=50
1,125
= 45 orang
Sampel untuk kontrol :
N =N
1+N ( d )2
= 35
1+35 (0,05 )2
=35
1,0875
= 32 orang
3.4 Variabel Penelitian
a. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mampu mempengaruhi variabel
terikat, dalam penelitian ini adalah : kejadian penyakit kusta di Desa Nganget
1. pendidikan
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Kontak fisik
5. Pendidikan
6. Ventilasi rumah
7. Dinding rumah
8. Lantai rumah
27 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
9. Kepdatan penghuni rumah
10.Suhu
11.Kelembaban
12.Pencahayaan
13.Sarana air bersih
b. Variabel terikat
Variabel terikat adalah variabel yang telah dipengaruhi oleh variabel bebas.
Sebagai variabel terikat adalah : kejadian penyakit kusta di Desa Nganget.
3.5 Definisi Oprasional
No Variabel Definisi oprasional Kriteria Skala pengukuran dan alat ukur
1. Kusta Kusta adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium leprae.
2. Umur Satuan waktu yang di gunakan untuk mengukur waktu keberadaan suatu makhluk.
1. <15 tahun2. 15-34 tahun3. 35- 54 tahun4. >55 tahun
Skala : ordinalAlat ukur :Lmbar Kuesioner
3. Jenis kelamin Jenis kelamin merupakan petanda gender seseorang.
1. Laki-laki2. Perempuan
Skala : nominalAlat ukur : lembr kuesioner
4. Pengetahuan Segala sesuatu yang diketahui dan dipahami seseorang tentang penyakit Kusta.
a. Baik (B) = nilai 50%-100%
b. Kurang Baik (KB)= nilai <50%
Skala :nominalAlat ukur : lembar kuesioner
5. Kontak fisik Bersentuhan secara langsung dengan penderita kusta (berupa kontak kulit )
1. Melakukan kontak fisik dengan penderita penyakit Kusta
2. Tidak melekukan kontak fisik dengan penderita penyakit Kusta
Skala : nominalAlat ukur :Panduan wawancara
28 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
No Variabel Definisi oprasional Kriteria Skala pengukuran dan alat ukur
6. HygienePerorangan
merupakan tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi menyebarnya penyakit menular terutama yang ditularkan melalui kontak langsung seperti halnya kusta.
a. Baik = 100-50%
b. Buruk =< 50%
Skala :nominalAlat ukur : Lembar kuesioner
7. Ventilasirumah
Pergerakan udara masuk dan keluar dari suatu ruang.
a. Tidak Memenuhi Syarat = luas ventilasi <10%
b. Memenuhi syarat= luas ventilasi ≥10%
Skala: nominal Alat ukur : lembar observasi
8. Dindingrumah
Jenis bahan yang digunakan untuk membatasi atau melindungi suatu ruangan.
a. Kurang Baik = terbuat dari kayu/papan/bambu
b. Baik = terbuat dari semen/bata/batako
Skala : nominalAlat ukur : lembar observasi
9. Lantai rumah Jenis bahan lantai sebagai bagian dasar suatu ruangan.
a. Kurang baik = terbuat dari tanah
b. Baik= Terbuat dari
semen/kramik/tegel
Skala:nominalAlat ukur : lembar obsevasi
10. KepadatanPenghunirumah
Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya.
a. Tidak padat = 2 orang per 8m2
b. Padat= >2 orang per 8m2
Skala : nominalAlat ukur : lembar observasi
11. Suhu Suhu optimum bakteri kusta yang bepotensi terhadap penularan kusta.
a. Tidak Memenuhi Syarat = 27-300C
b. Memenuhi syara = 18-200C
Skala : nominalAlat ukur : termometer dan lembar observasi
29 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
No Variabel Definisi oprasional Kriteria Skala pengukuran dan alat ukur
12. Kelembaban prosentase jumlah kandungan air dalam udara yang merupakan tempat yang disukai kuman leprae.
a. Tidak memenuhi syarat = <70%
b. Memenuhi syarat = >70%
Skala : nominalAlat ukur : psikrometer/higrometer dan lembar observasi
13. pencahayaan Intensitas cahaya alami (sinar matahari) yang dapat membunuh kuman leprae.
a. Tidak memenuhi syarat : <60 lux
b. Memenuhi syarat :≥60 lux
Skala : nominal Alat ukur : lux meter dan lembar observasi
c. Sarana air bersih
Sumber air yang digunakan untuk aktivitas.
a. Kurang baik = sumber dari mata air tidak terlindung, sungai, danau
b. Baik = sumber dari air dalam kemasan/ledeng/PDAM/mata air terlindung/sumur terlindung/sumur pompa tangan.
Skala : nominalAlat ukur : lembar observasi dan panduan wawancara
3.6 Sumber Data
a. Data Primer
Data Primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada
responden yang terpilih dan dengan menggunakan kuesioner yang tersedia secara
door to door.
b. Data Skunder
Data sekunder berupa identitas pasien, diagnosis awal pasien, lama
pengobatan dan riwayat pengobatan pasien diperoleh dari rekam medik di
puskesmas kecamatan singgahan Tuban.
30 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
3.7 Analisis Data
a. Pengolahan Data
Pengolahan Data di Lakukan dengan Cara :
a. Editing : merupakan kegiatan pengecekan dan perbaikan isian kuesioner
b. Coding : mengklasifikasikan jawaban dari hasil observasi menurut macamnya
sesuai dengan kode
c. Tabulasi :memasukkan data dalam bentuk tabel untuk memudahkan pembacaan
dan analisa.
b. Analisa Data
Pengolahan data dilakukan secara elektronik dengan menggunakan program
komputer SPSS (Statistical Package and Social Siences) versi 20. Model analisis
data yang dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat. Data yang telah dianalisis
disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan narasi untuk mengetahui faktor resiko
kejadian kusta di Dusun Nganget.
Model analisa data yang dilakukan :
a. Analisa univariat
Untuk mengetahui deskripsi variabel penelitian menggunakan distribusi frekuensi
b. Analisa bivariat
a. Analisa bvariat untuk mengtahui kemaknaan hubungan (p) dengan analisa chi
square, dengan rumus :
x2 = Σ ([Oi-Ei]-0,52
Ei
Keterangan :
X2 = Distribusi Chi Square
O = Nilai yang nampak sebagai hasil
E = nilai yang diharapkan terjadi
Dg = (k-1)
α = 0,05
31 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
kriteria penilaian :
Ho ditolak, bila p<α, dan Ho diterima apabila P>α.
b. Analisa bivariat untuk mengetahui besarnya resiko dengan Odd Ratio (OR), dengan
Rumus :
OR=ADBC
Analisa dapat dibuat dalam bentuk tabel sebagai berikut ;
Tabel XX
Analisa Bivariat
kategori kasus kontrol
faktor resiko Kasus Kontrol jumlah
Ya A B A+B
Tidak C D C+D
Jumlah A+C B+D A+B+C+D
Keterangan :
A= kasus yang mengalami paparan
B=kontrol yang mengalami paparan
C= kasus yang tidak mengalami paparan
D=kontrol yang tidak mengalami paparan
32 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
KODE PENILAIAN
1. Umur
≤20 tahun = 1>20 tahun =2
2. Penyakit
Sakit = 1Tidak Sakit =2
3. Jenis Kelamin
Perempuan = 1Laki – laki = 2
4. Pengetahuan
Kurang baik = 1
Baik = 2
5. Kontak fisik
Tidak melakukan kontak fisik = 1Melakukan kontak fisik = 2
6. Hygiene Perorangan
Baik = 1Buruk = 2
7. Ventilasi
Tidak Memenuhi Syarat (TMS)= 1Memenuhi syarat (MS) = 2
8. Dinding Rumah
Kurang Baik = 1Baik = 2
9. Lantai rumah
Kurang baik = 1Baik = 2
10. Kepadatan penghuniTidak padat = 1Padat = 2
33 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
11. Suhu Tidak Memenuhi Syarat (TMS) = 1Memenuhi syarat (MS) = 2
12. Kelembaban Tidak Memenuhi Syarat (TMS) = 1Memenuhi syarat (MS) = 2
13. Pencahayaan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) = 1Memenuhi syarat (MS) = 2
14. Sarana Air BersihKurang baik = 1Baik = 2
34 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
KRITERIA PENILAIAN
a. Untuk penilaian pengetahuan adalah sebagai berikut :1. Skoring
a. Jika dijawab “a” diberi nilai 3
b. Jika dijawab “b” diberi nilai 2
c. Jika dijawab “c” diberi nilai 1
2. Perhitungan
a. Nilai maksimum : 10 x 3 = 30
b. Nilai minimum : 10 x 1 = 10
3. Kriteria Penilaian Pengetahuan
Kriteria = Nilai yangdiperoleh
Nilai maksimal x 100%
a. Baik : jumlah niai antara 15-30 = 50%-100%
b. Kurang baik : jumlah nilai antara 14-1 = ≥ 46,7%
b. Untuk penilaian Perilaku Hygiene Perorangan masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Skoring
a. Jika dijawab “a” diberi nilai 2
b. Jika dijawab “b” diberi nilai
2. Perhitungan
a. Nilai maksimum : 5 x 2 = 10
b. Nilai minimum : 5 x 1 = 5
3. Kriteria Penilaian prilaku Hygiene Perorangan
a. Baik = nilai antara 5-10 =50%-100%
b. Buruk = nilai >5 = >50%
c. Ventilasi
Tidak Memenuhi Syarat (TMS)= luas ventilasi <10%Memenuhi syarat (MS) = luas ventilasi ≥10%
d. Dinding RumahKurang Baik = terbuat dari kayu/papan/bambuBaik = terbuat dari semen/bata/batako
e. Lantai rumah
35 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
Kurang baik = terbuat dari tanahBaik = terbuat dari semen/kramik/tegel
f. Kepadatan penghuniTidak padat = 2 orang per 8m2
Padat = >2 orang per 8m2
g. Suhu Tidak Memenuhi Syarat (TMS) = 27-300CMemenuhi syarat (MS) = 18-200C
h. Kelembaban Tidak Memenuhi Syarat (TMS) = >70%Memenuhi syarat (MS) = <70%
i.Pencahayaan Tidak Memenuhi Syarat (TMS)= <60 luxMemenuhi syarat (MS) = ≥60 lux
j.Sarana Air BersihKurang baik = sumber dari mataair tidak terlindung, sungai, danauBaik = sumber dari air dalam kemasan/ledeng/PDAM/mata
air terlindung/sumur terlindung/sumur pompa tangan
36 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a
DAFTAR PUSTAKA
Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta Dan Masalah Yang Ditimbulkannya.
Http://Library.Usu.Ac.Id/Download/Fkm/Fkm-Zulkifli2.Pdf
Nugroho Susanto. 2006. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecacatan
PenderitaKusta.Https://Nugrohosusantoborneo.Files.Wordpress.Com/2010/02/150-
Nugroho-Susanto-04-Naspub.Pdf
Mahanani, Nursita. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perawatan Diri Kusta
Pada Penderita Kusta Di Puskesmas Kunduran Kecamatan Kunduran Kabupaten
Blora Tahun 2011. Http://Lib.Unnes.Ac.Id/18240/1/6450406030.Pdf
Simunati. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Kusta Di Poliklinik
Rehabilitasi Rumah Sakit Dr.Tadjuddin Chalid Makassar .
Http://Library.Stikesnh.Ac.Id/Files/Disk1/7/ELibrary%20stikes%20nani
%20hasanuddin--Simunati-316-1-31131411-1.Pdf
Akbar, Akmaludin. 2010. Optimisme Hidup Penyandang Kustadi Dusun Nganget Tuban
Jawa Timur. Http://Eprints.Ums.Ac.Id/8084/1/F100050185.Pdf
Manyullei , Syamsuar. 2012. Gambaran Faktor Yang Berhubungan Dengan Penderita Kusta
Di Kecama Tantamalate Kota Makassar.
Http://Repository.Unhas.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/4491/Syamsir_K1110831
5.Pdf?Sequence=1
Prawoto. 2008. Faktor - Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadapterjadinya Reaksi Kusta.
Http://Eprints.Undip.Ac.Id/17745/2/Prawoto.Pdf
37 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a