56
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kusta adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium leprae. Penyakit ini dapat menyebabkan masalah yang kompleks, terutama dari segi medis seperti cacat fisik. Bila tidak ditangani dengan cermat, kusta dapat menyebabkan cacat dan keadaan ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya (Widoyono,2008 : 95). Menurut Blum lingkungan merupakan faktor penyumbang terbesar kejadian penyakit, kemudian perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik. Lingkungan dapat menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai bakteri, termasuk bakteri kusta. Rumah merupakan bagian dari lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat. Rumah yang menjadi tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan seperti ventilasi rumah, dinding rumah, pencahayaan lantai suhu dan kelembaban di rumah. Berdasarkan Report of the International Leprosy Association Technical Forum di Paris pada 22-28 Februari 2002 dilaporkan adanya M.leprae pada debu, air untuk mandi dan mencuci di rumah penderita. Perlunya kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan agar dapat mencegah penyebaran M. leprae di lingkungan. Kondisi fisik rumah mencakup jenis bahan bangunan rumah dan lokasi rumah seperti jenis dinding, lantai dan atap. Jenis bahan 1 | faktor resiko kejadian kusta

Proposal Kusta Revisi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KUSTA

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kusta adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium leprae. Penyakit

ini dapat menyebabkan masalah yang kompleks, terutama dari segi medis seperti cacat

fisik. Bila tidak ditangani dengan cermat, kusta dapat menyebabkan cacat dan keadaan

ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat

untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya (Widoyono,2008 : 95).

Menurut Blum lingkungan merupakan faktor penyumbang terbesar kejadian

penyakit, kemudian perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik. Lingkungan dapat

menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai bakteri, termasuk bakteri kusta. Rumah

merupakan bagian dari lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan individu

dan masyarakat. Rumah yang menjadi tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan

seperti ventilasi rumah, dinding rumah, pencahayaan lantai suhu dan kelembaban di

rumah.

Berdasarkan Report of the International Leprosy Association Technical Forum di

Paris pada 22-28 Februari 2002 dilaporkan adanya M.leprae pada debu, air untuk mandi

dan mencuci di rumah penderita. Perlunya kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat

kesehatan agar dapat mencegah penyebaran M. leprae di lingkungan. Kondisi fisik

rumah mencakup jenis bahan bangunan rumah dan lokasi rumah seperti jenis dinding,

lantai dan atap. Jenis bahan bangunan rumah akan mempengaruhi peresapan air dan

jumlah debu dalam rumah. Menurut Ehler dan Steel sanitasi sebagai pencegahan

penyakit dengan cara menghilangkan atau mengawasi faktor-faktor lingkungan yang

berkaitan dengan mata rantai perpindahan penyakit. Sanitasi rumah yang perlu

ditingkatkan untuk mencegah penyebaran bakteri kusta antara lain sarana air bersih

yang memenuhi syarat, ventilasi dan pencahayaan yang baik serta kepadatan hunian

yang sesuai.

Penyakit ini sendiri merupakan salah satu gambaran nyata kemiskinan di

masyarakat Indonesia, karena kenyataannya sebagian besar penderita kusta berasal dari

golongan ekonomi lemah. Adanya hubungan yang bermakna antara tingkat

pengetahuan sebagai salah satu bagian dari perilaku dengan proses penularan dan

penyembuhan pada penderita kusta. Orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi

tentang kusta tentunya akan berusaha menjauhkan dirinya dari faktor-faktor yang

1 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

dapat menjadi sumber penularan penyakit ini (Mukhlis, 2010). Selain itu, pengetahuan

tentang penyakit juga harus sejalan dengan perilaku hygiene seseorang dalam

kesehariannya. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa perilaku hygiene memiliki

hubungan bermakna pada penularan penyakit kusta (Idris, 2008). Tingginya angka

insidensi kusta pada orang-orang kontak serumah hampir sepuluh kali dibanding

mereka yang tidak kontak serumah. Pada mereka yang kontak serumah dengan

penderita Multi Basiler (borderline dan lepromatosa) mempunyai risiko lebih tinggi

dari pada kontak serumah dengan penderita Pausi Basiler (tuberculoiddan

indeterminate), yaitu antara empat sampai sepuluh kali pada kontak dengan penderita

Multi Basiler dibandingkan hanya dua kali pada kontak dengan penderita Pausi

Basiler. Seorang anak yang tinggal lama di daerah endemik kusta juga mempunyai

kesempatan yang lebih besar untuk melakukan kontak dengan penderita kusta bertipe

menular. Faktor umur dalam penelitian ini sangat berkaitan dengan sistem imun yang

belum berkembang dengan baik, kontak sekali saja atau beberapa kali kontak dengan

penderita kusta menular yang banyak mengandung bakteri ini mungkin sudah cukup

untuk tertular penyakit tersebut (Awaluddin, 2004). Selain itu, terdapat pula faktor jenis

kelamin dalam penularan kusta sebab Sebagian besar negara di dunia menunjukkan

bahwa laki-laki lebih banyak menderita kusta dibandingkan perempuan (Winarsih,

2011).

Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab penyakit ini sebenarnya sangat

lambat dalam memperbanyak diri sehingga masa inkubasi penyakit ini sekitar lima

tahun. Gejalanya dapat memakan waktu selama 20 tahun untuk muncul. Meskipun

WHO telah mencanangkan program eliminasi kusta pada tahun 2000 dan melaporkan

118 dari 122 negara telah eliminasi, namun kenyataannya jumlah penderita kusta

masih tinggi dan masih banyak temuan kasus baru yang dilaporkan setiap tahunnya.

Situasi ini bahkan lebih serius jika mereka yang terkena dampak adalah anak-anak

(Anonim, 2001).

Dusun Ngaget Tuban merupakan salah satu daerah endemik penayakit kusta.

Para penyandang kusta di Dusun Nganget tinggal diatas lahan seluas 105.695 m2 milik

Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur. Sebagian lagi tinggal di lahan milik Perhutani.

Lahan dan hunian tersebut berada di wilayah Desa Mulyorejo dan Desa Kedung Jambe.

Namun status kependudukan mereka masuk dalam Dusun Nganget Desa Kedung

Jambe Kecamatan Singgahan.

2 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

Berdasarkan uraian di atas, diantaranya tentang pentingnya upaya pencegahan

penularan kusta, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran

faktor resiko kejadian Kusta di Dusun Ngaget kabupaten Tuban dengan Variabel yang

diteliti yaitu pengetahuan, umur, jenis kelamin, kontak fisik, hygiene perorangan,

ventilasi rumah, dinding rumah, lantai, suhu ruangan, kepadatan penghuni dan sarana

air bersih.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah :

Faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta di Dusun Ngaget

Tuban ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk Mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta

Di Dusun Ngaget Tuban.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis hubungan pengetahuan dengan kejadian penyakit Kusta di di

Dusun Nganget Tuban.

b. Menganalisis hubungan umur dengan kejadian penyakit Kusta di di Dusun

Nganget Tuban

c. Menganalisis hubungan jenis kelamin dengan kejadian penyakit Kusta di di

Dusun Nganget Tuban

d. Menganalisis hubungan kontak fisik dengan kejadian penyakit Kusta di di

Dusun Nganget Tuban

e. Menganalisis hubungan Hygiene Perorangan dengan kejadian penyakit Kusta di

di Dusun Nganget Tuban

f. Menganalisis hubungan ventilasi rumah dengan kejadian penyakit Kusta di di

Dusun Nganget Tuban

g. Menganalisis hubungan dinding rumah dengan kejadian penyakit Kusta di di

Dusun Nganget Tuban

h. Menganalisis hubungan lantai rumah dengan kejadian penyakit Kusta di di

Dusun Nganget Tuban

i. Menganalisis hubungan kepadatan penghuni rumah dengan kejadian penyakit

Kusta di di Dusun Nganget Tuban

3 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

j. Menganalisis hubungan suhu ruangan/rumah dengan kejadian penyakit Kusta di

di Dusun Nganget Tuban

k. Menganalisis hubungan kelembaban ruangan/rumah dengan kejadian penyakit

Kusta di di Dusun Nganget Tuban

l. Menganalisis hubungan pencahayaan dengan kejadian penyakit Kusta di di

Dusun Nganget Tuban

m. Menganalisis hubungan air bersih dengan kejadian penyakit Kusta di di Dusun

Nganget Tuban

1.4 Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti

Merupakan pengalaman dan pengaplikasian pengetahuan yang di peroleh selama

mengikuti pendidikan dan dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian

selanjutnya

b. Bagi masyarakat Dusun Ngaget Tuban

Hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai bahan acuan dan masukan bagi

masyarakat yang tinggal di Dusun Nganget dalam upaya pencegahan penularan

penyakit kusta

c. Bagi penenliti lainnya

Dapat digunakan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya dengan variabel lain

yang beum di teliti.

1.5 Hipotesis Penelitian

Pada penelitian ini hipotesis yang diajukan adalah :

1. Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian penyakit kusta

2. Ada hubungan umur dengan kejadian penyakit kusta

3. Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian penyakit kusta

4. Ada hubungan kontak fisik dengan kejadian penyakit kusta

5. Ada hubungan hygiene perorangan dengan kejadian penyakit kusta

6. Ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian penyakit Kusta

7. Ada hubungan dinding rumah dengan kejadian penyakit Kusta

8. Ada hubungan lantai rumah dengan kejadian penyakit Kusta

9. Ada hubungan keadatan penghuni dengan kejadian penyakit Kusta

10. Ada hubungan suhu ruangana(rumah) dengan kejadian penyakit Kusta

4 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

11. Ada hubungan kelembaban ruangana(rumah) dengan kejadian penyakit Kusta

12. Ada hubungan pencahayaan dengan kejadian penyakit Kusta

13. Ada hubungan suhu sarana air bersih dengan kejadian penyakit Kusta

5 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT KUSTA

A. Pengertian

Kusta merupakan penyakit menular yang bersifat menahun dan disebabkan

oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh

lainnya kecuali susunan saraf pusat (Weng, 2007; Spencer, 2005).

Menurut Depkes RI (2006) penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular

yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah tersebut bukan hanya

dari segi medis tetapi meluas sampai segi sosial, ekonomi, psikologis (dalam

Hutabarat, 2008)

B. Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H.

Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk

pleomorf lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung -

ujungnya bulat dengan ukuran panjang 1- 8 um dan diameter 0,25- 0,3 um. Basil ini

menyerupai kuman berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak

berspora. Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk

batang yang utuh, berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil

yang mati bentuknya terpecah- pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup

dalam sel terutama jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam

media buatan (invitro). Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :

a. Kapsul

Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari

bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk

M. leprae . Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate,

yang dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid,

yang terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui

molekul fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia

yangunik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. Leprae

6 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

b. Dinding sel

Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:

a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida

yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan

rantai panjang asam mikolat, mirip dengan yang ditemukan pada Mycobacteria

lainnya.

b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang dihubungkan

melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-amino yang

mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk

digunakan sebagai antigen diagnostik.

c. Membran

Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang

khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme.

Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan

secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat

membentuk‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M.

leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.

d. Sitoplasma

Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik

asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang

penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam

mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi

dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara

genetik, terkait erat dengan M. tuberculosisdan M. scrofulaceum.

C. Diagnosisi penyakit Kusta

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama

atau tanda kardinal, yaitu:

a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.

Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau

kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).

b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf

tepi (neuritis perifer).

Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa :

7 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.

2. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise).

3. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.

c. Ditemukannya M. Leprae pada pemeriksaan bakteriologis.

D. Tanda-tanda Penyakit Kusta

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau

tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda

secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu:

1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia

2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin

melebar dan banyak.

3. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis

magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi

tipis dan mengkilat.

4. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit Alis

rambut rontok

5. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).

Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :

1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.

2. Anoreksia.

Anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang berupa kekurangan nafsu

makan meski sebenarnya lapar dan berselera terhadap makanan Kondisi ini

umumnya ditandai beberapa gejala psikologis:

a. Keinginan memiliki tubuh kurus

b. Ketakutan berlebihan terhadap kegemukan

c. Penolakan untuk mempertahankan berat

d. badan yang normal

e. Hilangnya siklus menstruasi

f. Mempelajari tentang makanan dan kalori

g. secara berlebihan

h. Menyembunyikan atau sengaja

i. membuang makanan

8 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

Sekitar 95 persen penderita anoreksia adalah perempuan berstatus sosial ekonomi

menengah ke atas. Kelainan ini mulai muncul di masa remaja dan kadang di masa

dewasa. Anoreksia bisa bersifat ringan, sementara atau berat dan berlangsung lama.

j. Nausea (mual), kadang-kadang disertai vomitus (muntah)

k.Cephalgia (sakit kepala).

l. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis (inflamasi/peradangan pada testis) dan

Pleuritis (radang pada pleura, yaitu lapisan titpis yang membungkus paru-paru).

m. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis (kerusakan Ginjal) dan

hepatospleenomegali (pembengkakan hati).

n.Neuritis (peradangan syaraf optik mata).

E. Epidemiologi

Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil yaitu tipe

multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya

berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang

lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. Leprae masih dapat

hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta bervariasi, 40 hari sampai 40

tahun. Kusta menyerang semua umur dari anak -anak sampai dewasa. Faktor sosial

ekonomi memegang peranan, makin rendah sosial ekonomi makin subur penyakit

kusta, sebaliknya sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan

dengan iklim, kusta tersebar di daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab,

terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di

India, Brazil, Bangladesh, dan Indonesia.

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah, karena ada beberapa

faktor yang mempengaruhi, antara lain sumber penularan adalah kuman kusta utuh

(solid) yang berasal dari pasien kusta MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau

tidak teratur berobat. Penularan kuman kusta terjadi dalam kurun waktu yang sangat

lama, yaitu sekitar 3-5 tahun, bahkan bisa lebih lama lagi, hal ini tergantung juga

pada sistem imun seseorang (Arief Mansjoer, 2000: 65). Kuman kusta mempunyai

masa inkubasi rata-rata selama 2-5 tahun. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang

utuh atau hidup keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain,

misalnya melalui pernafasan dan kontak kulit. Bakteri M. leprae banyak terdapat

pada kulit tangan, daun telinga, dan mukosa hidung (Widoyono, 2011: 49). Dalam

9 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

A. Kosasih (2005) dijelaskan bahwa kuman kusta dapat ditemukan di kulit, folikel

rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu (A. Kosasih, 2005:

73). Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan

penderita, namun penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO

tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain (P2 Kusta, 2006: 10).

F. Klasifikasi Kusta

Klasifikasi kusta bertujuan untuk menentukan regimen pengobatan,

prognosis, komplikasi dan perencanaan operasional. Sehubungan dengan

penggunaan regimen multi drug therapy (MDT), maka WHO klasifikasi dibagi

menjadi dua tipe, yaitu

1. PB (Pausi Basiler)

Tipe PB yaitu tipe kusta kering, tipe kusta ini tidak menular, tetapi cukup

membahayakan penderita kusta karena dapat menimbulkan cacat bila tidak

diobati dengan teratur.

2. Tipe MB (Multi Basiler)

Tipe MB yaitu kusta basah,merupakan tipe kusta yang dapat menularkan pada

orang lain. Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta

menurut WHO adalah sebagai berikut :

KLASIFIKASI KUSTA

Tanda Utama Paucibacillary Baciler (PB)

Multibacillary Baciler (MB)

Bercak Kusta

Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi (Gangguan fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan)

Sediaan apusan

Jumlah 1 s/d 5 lesi

Hanya satu saraf

BTA negatif

Jumlah > 5 lesi

Satu saraf

BTA positif

Sumber: Sumber: (P2 Kusta, 2006: 41)

10 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi penyakit

kusta yaitu:

Kelainan Kulit dan Hasil Pemeriksaan

PB MB

1. Bercak (makula) mati rasaa. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil

b. DistribusiUnilateral atau

Bilateral asimetrisBilateral simetris

c.Konsistens

iKering dan kasar Halus, berkilat

d. Batas Tegas Kurang tegas

e.

Kehilangan rasa pada

bercak

Selalu ada dan jelas

Biasanya tidak jelas, jika ada

terjadi pada yang sudah lanjut

f.

Kehilangan

kemampuan

berkeringat, rambut rontok pada

bercak

Selalu ada dan jelas

Biasanya tidak jelas, jika ada

terjadi pada yang sudah lanjut

2. Infiltrat

a. Kulit Tidak adaAda, kadang-

kadang tidak ada

b.

Membrana mukosa (hidung

tersumbat, perdaraha

n di hidung)

Tidak adaAda, kadang-

kadang tidak ada

c. Ciri-ciriCentral healing

(penyembuhan di tengah)

Punched out lesion

(lesi bentuk seperti donat)

a. Madarosisb. Ginekomastic. Hidung pelanad. Suara sengau

a. Nodulus Tidak adaAda, kadang-

kadang tidak ada

b.Deformita

sTerjadi dini

Biasanya simetris,terjadi lambat

Sumber: P2 Kusta, 2006: 41

11 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

G. Patogenesis

Setelah Mycobacterium masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta

bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampui

tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler mediated immune) pasien.

Kalau sistem imunitas seluler rendah, penyakit berkembang kearah lepromatosa

mycobacterium leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih rendah.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun

pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler

daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai

penyakit imunologi (Arief Mansjoer, 2009: 66).

H. Kecacatan

Micobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari

kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik,

motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi

saraf tepi.

a. Tingkat Cacat

Kerusakan saraf pada pendirita kusta meliputi :

1. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa

(anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi

luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya

reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda- benda asing

yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya buta.

2. Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-

lama otot mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari -jari tangan

dan kaki menjadi bengkok (clow hand/clow toes) dan akhirnya dapat terjadi

kekakuan pada sendi, bila terjadi kelemahan/ kekakuan pada mata, kelopak

mata tidak dapat dirapatkan (lagoptalmus)

3. Kerusakan fungsi otonom

Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan

sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan

12 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

akhirnya dapat pecah- pecah. Pada umumnya apabila terdapat kerusakan

fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan tepat maka akan terjadi cacat ke

tingkat yang lebih berat. karena kuman kusta maupun karena terjadinya

peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra.

Tingkat cacat pada penderita kusta

Tingkat kecacatanTingkat Mata Tangan/Kaki0 Tidak ada pada mata

akibat kusta, penglihatan masih Normal

Tidak ada anestesi, tidak ada cacat yang terlihat akibat kusta

1 Ada kelainan mata akibat kusta, penglihatan kurang terang (masih dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)

Ada anestesi tetapi tidak ada cacat atau terlihat yang kelihatan

2 Penglihatan sangat kurang terang (tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)

Ada cacat atau kerusakan yang terlihat

Keterangan:

1. Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat,

2. Cacat tingkat I adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensorik yang

tidak terlihat seperti kehilangan rasa raba pada telapak tangan dan telapak kaki.

Cacat tingkat I pada telapak kaki berisiko terjadinya ulkus plantaris, namun

dengan diri secara rutin hal ini dapat cegah. Mati rasa pada bercak bukan

merupakan cacat tingkat I karena bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer

utama tetapi rusaknya saraf lokal pada kulit.

3. Cacat tingkat II berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.

Untuk mata :

a. Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmus)

b. Kemerahan yang jelas pada mata

c. Gangguan penglihatan berat atau kebutaan

Untuk tangan dan kaki :

a. Luka/ulkus di telapak

b. Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki simper atau

kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorpsi dari jari - jari

13 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

b. Upaya pencegahan cacat

Komponen pencegahan cacat terdiri dari :

1. Penemuan dini penderita sebelum cacat

2. Pengobatan penderita dengan MDT

3. Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara rutin

4. Penanganan reaksi

5. Penyuluhan Perawatan diri

6. Penggunaan alat bantu

7. Rehabilitasi medis (operasi rekontruksi)

Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh

kuman kusta. Tetapi cacat pada mata, tangan dan kaki yang terlanjur cacat

akan tetap permanen, sehingga harus dilakukan perawatan diri dengan rajin

agar cacatnya tidak bertambah berat. Prinsip pencegahan pencegahan

bertambahnya cacat pada dasarnya adalah 3 M :

1. Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur

2. Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik

3. Merawat diri

c. Batasan Cacat Kusta

Menurut WHO dalam Srinvasan (2004) batasa n kusta adalah sebagai berikut:

1. Impairment . Kehilangan atau abnormalitas struktur dan fungsi yang bersifat

psikologik, fisiologik atau anatomi

2. Disability. Keterbatasan akibat empairment untuk melakukan kegiatan dalam

batas- batas kehidupan yang normal bagi manusia.

3. Handicap. Kemunduran pada individu yng membatasi atau menghalangi

penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, jenis kelamin dan

faktor sosial budaya. Jenis Cacat

Cacat yang timbul akibat penyakit kusata dapat dikelompokan menjadi 2 (dua)

yaitu :

1. Cacat primer. Pada kelompok ini cacat disebabkan langsung oleh aktifitas

penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap Micobacterium

leprae

2. Cacat sekunder. Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama

kerusakan akibat saraf sensorik, moto rik dan otonom.Contoh : ulkus jari

tangan, atau kaki putus.

14 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

I. Pencegahan Penyakit kusta .

1. Pencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :

a. Penyuluhan kesehatan

Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum

terkena penyakit kusta dan memiliki risiko tertular karena berada di sekitar

atau dekat dengan penderita seperti keluargapenderita dan tetangga penderita,

yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang

diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan

pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita

sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya

dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga

penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2005)

b. Pemberian imunisasi

Saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta

seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi

tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat

memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian

dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%,

namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia

karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian

vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2005).

2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :

Pengobatan pada penderita kusta

pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai

penularan,menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau

mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian

Multi drug therapypada penderita kustaterutama pada tipe Multibacilerkarena tipe

tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI,

2006).

15 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

3. Pencegahan tertier

a. Pencegahan cacat kusta

Pencegahan tertier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada

penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :

1. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum

cacat, pengobatan secara teratur dan penanganan reaksi untuk mencegah

terjadinya kerusakan fungsi saraf.

2. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk

mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki yang sudah mengalami

gangguan fungsi saraf.

b. Rehabilitasi kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi

penyesuaian diri secara maksimal atasusaha untuk mempersiapkan penderita

cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang

penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah

penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh

kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya

mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006) Rehabilitasi

terhadap penderita kusta meliputi:

1. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah

terjadinya kontraktur

2. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak

mendapat tekanan yang berlebihan

3. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi

4. Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan

normalterbatas pada tangan

5. Konseling dilakukan untuk mengurangidepresi pada penderita cacat Tujuan

pencegahan penyakit kusta adalah merupakan upaya pemutusan mata rantai

penularan penyakit kusta.

16 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

2.2 Faktor -faktor yang menyebabkan kejadian Kusta

a. Agent

Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan

tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kusta adalah penyakit yang

disebabkan oleh bakteri M. leprae yang menyerang kulit, saraf tepi di tangan

maupun kaki, dan selaput lendir pada hidung, tenggorokan dan mata.

kusta hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan

terhadap sinar matahari. Kuman kusta dapat bertahan hidup pada tempat yang

sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun - tahun lamanya.

Kuman leprae jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain

itu. Seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada

lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80%

volume sel bakteri dan merupakan hal esensial untuk pertumbuhan dan

kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan

media yang baik untuk bakteri - bakteri patogen termasuk yang memiliki rentang

suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam

rentang 25- 400C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31- 370C.

Pengetahuan mengenai sifat- sifat agent sangat penting untuk

pencegahan dan penanggulangan penyakit, sifat- sifat tersebut termasuk ukuran,

kemampuan berkembangbiak, kematian agent atau daya tahan terhadap

pemanasan atau pendinginan.

b. Host

Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman seperti

Mycobacterium leprae, kuman tersebut dapat menularkan pada 10- 15 orang.

Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan (1991). Tingkat penularan kusta di

lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata- rata

dapat menularkan kepada 2- 3 orang di dalam rumahnya. Karakteristik dalam

penelitian ini meliputi : umur, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, hygiene

perorangan, dan kontak fisik.

c. Environment

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik

benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk

akibat interaksi semua elemen- elemen termasuk host yang lain. Lingkungan

terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari : keadaan

17 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan dan lain - lain), kelembaban

udara, suhu, lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non fisik meliputi :

sosial (pendidikan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi

(kebijakan mikro dan local) dan politik (suksesi kepemimpinan yang

mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit).

2.3 Faktor Resiko host yang mempengaruhi kejadian kusta

a. Pengetahuan

Rendahnya tingkat pengetahuan seseorang dapat mengakibatkan lambatnya

pencarian pengobatan dan diagnosis penyakit, hal ini dapat mengakibatkan

kecacatan pada penderita kusta semakin parah. Hal ini disebabkan seseorang yang

memiliki pengetahuan baik lebih mengerti dan mengikuti instruksi tenaga kesehatan.

b. Umur

Kejadian suatu penyakit sering terkait pada umur. Pada penyakit kronik seperti

kusta diketahui terjadi pada semua umur, berkisar antara bayi sampai umur tua (3

minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada umur muda

dan produktif. Pada dasarnya kusta dapat menyerang semua umur, anak–anak lebih

rentan dari orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada orang dewasa ialah umur 25-35

tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun.

c. Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin terhadap timbulnya penyakit kusta belum dapat

dipastikan, pada dasarnya penyakit kusta dapat menyerang semua orang, namun

laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan

2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih

banyak

d. Kontak fisik

Riwayat kontak adalah riwayat seseorang yang berhubungan dengan penderita

kusta baik serumah maupun tidak. Sumber penularan kusta adalah kusta utuh atau

solid yang berasal dari penderita kusta, jadi penularan kusta lebih mudah terjadi jika

ada kontak dengan penderita kusta.

e. Hygiene Perorangan

Personal hygiene (kebersihan perseorangan) merupakan tindakan pencegahan

yang menyangkut tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta

membatasi menyebarnya penyakit menular terutama yang ditularkan melalui kontak

18 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

langsung seperti halnya kusta. M.leprae hanya dapat menyebabkan penyakit kusta

pada manusia dan tidak pada hewan. Juga penularannya melalui kontak yang lama

karena pergaulan yang rapat dan berulang–ulang, karena itu penyakit kusta dapat

dicegah dengan perbaikan personal hygiene atau kebersihan pribadi.

Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, tetapi menurut

sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan

erat), kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat,

dan diduga melalui air susu ibu. Pencegahan penyakit kusta dapat dilakukan dengan

meningkatkan personal hygiene, diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan

rambut, dan kuku. Karena penularan kusta sangat dipengaruhi oleh kontak langsung

dengan kulit dan folikel rambut, sehingga perlu dijaga kebersihannya.

2.4 faktor resiko Lingkungan

a. Ventilasi rumah

Ventilasi rumah yang sesuai dengan standar kesehatan sangatlah penting,

keberadaan ventilasi merupakan suatu syarat kesehatan akan mengakibatkan

terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke

dalam rumah, sehingga semakin lembab rumah maka semakin besar kemungkinan

perkembangbiakan mikroorganisme di dalam rumah. Mikroorganisme dapat berada

di udara melalui berbagai cara terutama dari debu yang berterbangan. Maka

dibutuhkanlah ventilasi yang memenuhi standar kesehatan agar udara di dalam

ruangan dapat berputar secara terus menerus.

Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut : luas lubang ventilasi

tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil

(dapat dibuka dan ditutup) minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi

10% dari luas lantai ruangan, udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap

atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain, aliran udara diusahakan cross

ventilation dengan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara

jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat

dan lain-lain.

Secara umum, penilaian ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan

roll meter. Menurut indicator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi

syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak

memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah. Rumah dengan luas

19 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi

penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam

rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak

memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen

dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi

penghuninya. Disamping itu, tidak cukup ventilasi akan menyebabkan peningkatan

kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan

penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk

tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri pathogen termasuk kuman leprae.

Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari

bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen seperti leprae, karena di situ selalu terjadi

aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu

mengalir (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, luas vertilasi yang tidak memenuhi syarat

kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan

sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman leprae yang ada di

dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.

Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi udara dalam rumah serta mengurangi

kelembaban. Keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembaban. Semakin

banyak manusia dalam satu ruangan kelembaban semakin tinggi khususnya karena

uap air baik dari pernafasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruang tertutup

dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibanding kelembaban di

laur ruang. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara juga dengan kata lain

mengencerkan konsentrasi kuman leprae serta kuman lain terbawa keluar dan mati

terkena sinar ultra violet. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk memasukan

cahaya ultra violet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah

menggunakan genteng kaca.

b. Dinding Rumah

Dinding yang terbuat dari kayu, papan, dan bambu akan menyebabkan

penumpukan debu, sehingga dinding sulit untuk dibersihkan dan dapat menjadi

media yang baik untuk perkembangbiakan kuman/bakteri termasuk bakteri

Mycrobacterium leprae.

20 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

c. Lantai rumah

Lantai tanah memiliki risiko tinggi kejadian terhadap kejadian kusta karena

lantai yang tidak memenuhi standar atau lantai yang terbuat dari tanah merupakan

media yang baik untuk perkembangbiakan Mycrobacterium leprae. Hal ini

disebabkan karena bakteri Mycrobacterium leprae dapat bertahan hidup ditanah

hingga 46 hari.

d. Kepadatan penghuni

Kepadatan penghuni dalam satu tempat tinggal akan memberikan pengaruh

bagi para penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah

penghuninya akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan dan berpotensi

terhadap penularan penyakit dan infeksi. Hal ini juga menyebabkan kurangnya

konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,

terutama kusta akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, seorang

penderita rata-rata dapat menularkan dua sampai tiga orang di dalam rumahnya.

Kategori tidak padat penghuni jika dihuni dua orang per 8 m2 dan padat penghuni

jika dihuni lebih dari dua orang per 8m2. Penularan penyakit lebih rentan terjadi

dengan kepadatan rumah yang tinggi yaitu dihuni lebih dari dua orang per 8 m2.

e. Suhu

Kuman M.leprae sebagai penyebab penyakit kusta merupakan kuman yang

dapat hidup dengan baik di suhu 27-30ºC . Maka jika suhu di suatu ruangan (rumah)

tidak memenuhi suhu normal (18-20ºC), rumah atau ruangan tersebut berpotensi

untuk menularkan penyakit menular, seperti kusta.

f. Kelembaban

Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara.

Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu Kelembaban absolute, yaitu uap air per unit

21 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

volume udara; dan Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara

pada suatu temperature terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh dengan

uap air pada temperature tersebut.

Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan

hygrometer. Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat

kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab

merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri,

spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh

melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membrane

mukosa hidung menjadi keringat sehingga kurang efektif dalam menghadang

mokroorganisme. Bakteri-bakteri pada umumnya akan tumbuh dengan subur pada

lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80% volume

sel bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk petumbuhan dan kelangsungan

hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003).

Selain itu kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik

untuk bakteri-bakteri patogen. Mulyadi (2003) meneliti di Kota Bogor, penghuni

rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 70% berisiko

terkena penyakit tuberculosis 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada

perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 70%.

Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme,

termasuk kuman tuberkulosis dan leprae sehingga viabilitas lebih lama. Seperti telah

dikemukakan, kelembaban berhubungan dengan kepadatan dan ventilasi. Topografi

menurut penelitian juga berpengaruh terhadap kelembaban, wilayah yang lebih

tinggi cenderung memiliki kelembaban lebih rendah.

22 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

g. Pencahayaan

Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alam berupa

cahaya matahari yang berisi antara lain ultra violet. Cahaya matahari minimal masuk

60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi

syarat berisiko 2,5 kali terkena Tuberculose dan kusta dibanding penghuni yang

memenuhi persyaratan di Jakarta Timur (Pertiwi, 2004) dan pada kusta pun terjadi

hal yang sesuai dengan TB tersebut. Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan,

namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut.

Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman M.

tuberculosis dan leprae. Kuman tuberkulosa dan lepra dapat mati oleh sinar matahari

langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat

berpengaruh terhadap kejadian tuberculosis dan kusta. Kuman tuberkulosis dan

leprae dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar

matahari sampai bertahun-tahun lamanya, dan mala bila terkena sinar matahari,

sabun lisol, karbol dan panas api, kuman Mycobacterium tuberculosis dan leprae

akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari; oleh tincture iodii selama 5 menit

dan juga oleh ethanol 80% dalam waktu 2-10 menit serta mati oleh fenol 5% dalam

waktu 24 jam, rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita

tuberculosis seperti halnya kusta 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang

dimasuki sinar matahari.

h. Air bersih

Sarana air bersih dapat dibedakan menjadi sarana air bersih yang baik dan

tidak baik. Sarana air bersih baik adalah sarana air bersih yang berasal dari air dalam

kemasan, ledeng/PDAM, mata air/sumur terlindung, dan sumur pompa tangan,

23 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

sedangkan sarana air bersih yang tidak baik adalah berasal dari sumur tidak

terlindung, mata air tidak terlindung, sungai dan danau.

Sarana air bersih merupakan salah satu faktor lingkungan yang diduga kuat

menjadi sumber penularan di daerah-daerah endemik, dibuktikan dengan banyaknya

kasus-kasus baru pada daerah endemik yang tidak jelas ada riwayat kontak dengan

penderita kusta. Selain itu beberapa hasil penelitian sebelumnya menemukan adanya

DNA M. leprae pada sumber air penduduk di daerah endemik yang dibuktikan

dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil penelitian

sebelumnya tentang studi Mycobacterium leprae dari alam lingkungan di daerah

endemik kusta9 menunjukkan hasil dari 14 sampel air telaga ditemukan 9 sampel

(64,3 persen) menunjukkan BTA (+) yang 6 sampel (71,4 persen) diantaranya

positif ditemukannya DNA M. leprae. Dari 12 cairan yang melekat di akar tumbuhan

10 sampel (83,3 persen) menunjukkan hasil positif BTA dan DNA M. leprae.

24 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

2.5 Kerangka Konsep

25 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

Kejadian Kusta

Agent :

Bakteri : Mycobacterium leprae

Host :

a. Umur b. Jenis kelaminc. Pendidikan d. Kontak fisike. Hygiene

perorangan

Keterangan :

: diteliti

---- : tidak diteliti

Faktor lingkungan meliputi lingkungan fisik rumah seperti :

1. ventilasi rumah2. Dinding rumah, 3. Lantai rumah, 4. kepadatan penghuni rumah5. Suhu,6. Kelembaban,7. Pencahayaan,8. Sarana air bersih,dan

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan studi

kasus kontrol (case control study). Penelitian ini di laksanakan wilayah kerja

puskesmas di Kecamatan Singgahan. Data awal diperoleh dengan melakukan

wawancara langsung kepada responden yang terpilih dengan menggunakan kuesioner

yang tersedia secara door to door. Data sekunder berupa identitas pasien, diagnosis

awal pasien, lama pengobatan dan riwayat pengobatan pasien diperoleh dari rekam

medik di puskesmas di wilayah kerja kecamatan singgahan. Pengolahan data dilakukan

secara elektronik dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package

and Social Siences) versi 20 . Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel

distribusi, grafik dan narasi untuk mengetahui faktor resiko kejadian kusta di Dusun

Nganget Tuban Desa Kedung Jambe Kecamatan Singgahan Tuban.

3.2 Lokasi dan waktu penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun Ngaget kabupaten Tuban. Pemilihan lokasi

didasarkan karena daerah tersebut merupakan salah satu daerah endemis kusta.

2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan maret 2015

3.3 Populasi dan sampel

1. Populasi

Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh penderita Penyakit

Kusta di Dusun Ngaget Tuban sebanyak 50 orang. Kelompok kasus adalah

penderita kusta di Dusun Nganget Tuban yang di diagnosis oleh dokter ahun

2014. Kelompok kontrol adalah masyarakat yang sehat atau menderita bukan

penyakit kusta yang mempunyai kesatuan epidemiologi dengan kasus sebanyak

35 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang mendapatkan kesempatan

terpilih menjadi anggota sampel dalam penelitian. Pengambilan sampel dilakukan

26 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

secara Simple Random Sampling yaitu pengambilan sampel secara acak dan

sederhana, dimana setiap populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk

menjadi sampel.

Dalam penelitian ini sampel diambil dengan menggunakan rumus :

Sampel untuk kasus :

N =N

1+N ( d )2

= 50

1+50 (0,05 )2

=50

1,125

= 45 orang

Sampel untuk kontrol :

N =N

1+N ( d )2

= 35

1+35 (0,05 )2

=35

1,0875

= 32 orang

3.4 Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang mampu mempengaruhi variabel

terikat, dalam penelitian ini adalah : kejadian penyakit kusta di Desa Nganget

1. pendidikan

2. Umur

3. Jenis kelamin

4. Kontak fisik

5. Pendidikan

6. Ventilasi rumah

7. Dinding rumah

8. Lantai rumah

27 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

9. Kepdatan penghuni rumah

10.Suhu

11.Kelembaban

12.Pencahayaan

13.Sarana air bersih

b. Variabel terikat

Variabel terikat adalah variabel yang telah dipengaruhi oleh variabel bebas.

Sebagai variabel terikat adalah : kejadian penyakit kusta di Desa Nganget.

3.5 Definisi Oprasional

No Variabel Definisi oprasional Kriteria Skala pengukuran dan alat ukur

1. Kusta Kusta adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium leprae.

2. Umur Satuan waktu yang di gunakan untuk mengukur waktu keberadaan suatu makhluk.

1. <15 tahun2. 15-34 tahun3. 35- 54 tahun4. >55 tahun

Skala : ordinalAlat ukur :Lmbar Kuesioner

3. Jenis kelamin Jenis kelamin merupakan petanda gender seseorang.

1. Laki-laki2. Perempuan

Skala : nominalAlat ukur : lembr kuesioner

4. Pengetahuan Segala sesuatu yang diketahui dan dipahami seseorang tentang penyakit Kusta.

a. Baik (B) = nilai 50%-100%

b. Kurang Baik (KB)= nilai <50%

Skala :nominalAlat ukur : lembar kuesioner

5. Kontak fisik Bersentuhan secara langsung dengan penderita kusta (berupa kontak kulit )

1. Melakukan kontak fisik dengan penderita penyakit Kusta

2. Tidak melekukan kontak fisik dengan penderita penyakit Kusta

Skala : nominalAlat ukur :Panduan wawancara

28 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

No Variabel Definisi oprasional Kriteria Skala pengukuran dan alat ukur

6. HygienePerorangan

merupakan tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi menyebarnya penyakit menular terutama yang ditularkan melalui kontak langsung seperti halnya kusta.

a. Baik = 100-50%

b. Buruk =< 50%

Skala :nominalAlat ukur : Lembar kuesioner

7. Ventilasirumah

Pergerakan udara masuk dan keluar dari suatu ruang.

a. Tidak Memenuhi Syarat = luas ventilasi <10%

b. Memenuhi syarat= luas ventilasi ≥10%

Skala: nominal Alat ukur : lembar observasi

8. Dindingrumah

Jenis bahan yang digunakan untuk membatasi atau melindungi suatu ruangan.

a. Kurang Baik = terbuat dari kayu/papan/bambu

b. Baik = terbuat dari semen/bata/batako

Skala : nominalAlat ukur : lembar observasi

9. Lantai rumah Jenis bahan lantai sebagai bagian dasar suatu ruangan.

a. Kurang baik = terbuat dari tanah

b. Baik= Terbuat dari

semen/kramik/tegel

Skala:nominalAlat ukur : lembar obsevasi

10. KepadatanPenghunirumah

Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya.

a. Tidak padat = 2 orang per 8m2

b. Padat= >2 orang per 8m2

Skala : nominalAlat ukur : lembar observasi

11. Suhu Suhu optimum bakteri kusta yang bepotensi terhadap penularan kusta.

a. Tidak Memenuhi Syarat = 27-300C

b. Memenuhi syara = 18-200C

Skala : nominalAlat ukur : termometer dan lembar observasi

29 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

No Variabel Definisi oprasional Kriteria Skala pengukuran dan alat ukur

12. Kelembaban prosentase jumlah kandungan air dalam udara yang merupakan tempat yang disukai kuman leprae.

a. Tidak memenuhi syarat = <70%

b. Memenuhi syarat = >70%

Skala : nominalAlat ukur : psikrometer/higrometer dan lembar observasi

13. pencahayaan Intensitas cahaya alami (sinar matahari) yang dapat membunuh kuman leprae.

a. Tidak memenuhi syarat : <60 lux

b. Memenuhi syarat :≥60 lux

Skala : nominal Alat ukur : lux meter dan lembar observasi

c. Sarana air bersih

Sumber air yang digunakan untuk aktivitas.

a. Kurang baik = sumber dari mata air tidak terlindung, sungai, danau

b. Baik = sumber dari air dalam kemasan/ledeng/PDAM/mata air terlindung/sumur terlindung/sumur pompa tangan.

Skala : nominalAlat ukur : lembar observasi dan panduan wawancara

3.6 Sumber Data

a. Data Primer

Data Primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada

responden yang terpilih dan dengan menggunakan kuesioner yang tersedia secara

door to door.

b. Data Skunder

Data sekunder berupa identitas pasien, diagnosis awal pasien, lama

pengobatan dan riwayat pengobatan pasien diperoleh dari rekam medik di

puskesmas kecamatan singgahan Tuban.

30 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

3.7 Analisis Data

a. Pengolahan Data

Pengolahan Data di Lakukan dengan Cara :

a. Editing : merupakan kegiatan pengecekan dan perbaikan isian kuesioner

b. Coding : mengklasifikasikan jawaban dari hasil observasi menurut macamnya

sesuai dengan kode

c. Tabulasi :memasukkan data dalam bentuk tabel untuk memudahkan pembacaan

dan analisa.

b. Analisa Data

Pengolahan data dilakukan secara elektronik dengan menggunakan program

komputer SPSS (Statistical Package and Social Siences) versi 20. Model analisis

data yang dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat. Data yang telah dianalisis

disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan narasi untuk mengetahui faktor resiko

kejadian kusta di Dusun Nganget.

Model analisa data yang dilakukan :

a. Analisa univariat

Untuk mengetahui deskripsi variabel penelitian menggunakan distribusi frekuensi

b. Analisa bivariat

a. Analisa bvariat untuk mengtahui kemaknaan hubungan (p) dengan analisa chi

square, dengan rumus :

x2 = Σ ([Oi-Ei]-0,52

Ei

Keterangan :

X2 = Distribusi Chi Square

O = Nilai yang nampak sebagai hasil

E = nilai yang diharapkan terjadi

Dg = (k-1)

α = 0,05

31 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

kriteria penilaian :

Ho ditolak, bila p<α, dan Ho diterima apabila P>α.

b. Analisa bivariat untuk mengetahui besarnya resiko dengan Odd Ratio (OR), dengan

Rumus :

OR=ADBC

Analisa dapat dibuat dalam bentuk tabel sebagai berikut ;

Tabel XX

Analisa Bivariat

kategori kasus kontrol

faktor resiko Kasus Kontrol jumlah

Ya A B A+B

Tidak C D C+D

Jumlah A+C B+D A+B+C+D

Keterangan :

A= kasus yang mengalami paparan

B=kontrol yang mengalami paparan

C= kasus yang tidak mengalami paparan

D=kontrol yang tidak mengalami paparan

32 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

KODE PENILAIAN

1. Umur

≤20 tahun = 1>20 tahun =2

2. Penyakit

Sakit = 1Tidak Sakit =2

3. Jenis Kelamin

Perempuan = 1Laki – laki = 2

4. Pengetahuan

Kurang baik = 1

Baik = 2

5. Kontak fisik

Tidak melakukan kontak fisik = 1Melakukan kontak fisik = 2

6. Hygiene Perorangan

Baik = 1Buruk = 2

7. Ventilasi

Tidak Memenuhi Syarat (TMS)= 1Memenuhi syarat (MS) = 2

8. Dinding Rumah

Kurang Baik = 1Baik = 2

9. Lantai rumah

Kurang baik = 1Baik = 2

10. Kepadatan penghuniTidak padat = 1Padat = 2

33 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

11. Suhu Tidak Memenuhi Syarat (TMS) = 1Memenuhi syarat (MS) = 2

12. Kelembaban Tidak Memenuhi Syarat (TMS) = 1Memenuhi syarat (MS) = 2

13. Pencahayaan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) = 1Memenuhi syarat (MS) = 2

14. Sarana Air BersihKurang baik = 1Baik = 2

34 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

KRITERIA PENILAIAN

a. Untuk penilaian pengetahuan adalah sebagai berikut :1. Skoring

a. Jika dijawab “a” diberi nilai 3

b. Jika dijawab “b” diberi nilai 2

c. Jika dijawab “c” diberi nilai 1

2. Perhitungan

a. Nilai maksimum : 10 x 3 = 30

b. Nilai minimum : 10 x 1 = 10

3. Kriteria Penilaian Pengetahuan

Kriteria = Nilai yangdiperoleh

Nilai maksimal x 100%

a. Baik : jumlah niai antara 15-30 = 50%-100%

b. Kurang baik : jumlah nilai antara 14-1 = ≥ 46,7%

b. Untuk penilaian Perilaku Hygiene Perorangan masyarakat adalah sebagai berikut :

1. Skoring

a. Jika dijawab “a” diberi nilai 2

b. Jika dijawab “b” diberi nilai

2. Perhitungan

a. Nilai maksimum : 5 x 2 = 10

b. Nilai minimum : 5 x 1 = 5

3. Kriteria Penilaian prilaku Hygiene Perorangan

a. Baik = nilai antara 5-10 =50%-100%

b. Buruk = nilai >5 = >50%

c. Ventilasi

Tidak Memenuhi Syarat (TMS)= luas ventilasi <10%Memenuhi syarat (MS) = luas ventilasi ≥10%

d. Dinding RumahKurang Baik = terbuat dari kayu/papan/bambuBaik = terbuat dari semen/bata/batako

e. Lantai rumah

35 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

Kurang baik = terbuat dari tanahBaik = terbuat dari semen/kramik/tegel

f. Kepadatan penghuniTidak padat = 2 orang per 8m2

Padat = >2 orang per 8m2

g. Suhu Tidak Memenuhi Syarat (TMS) = 27-300CMemenuhi syarat (MS) = 18-200C

h. Kelembaban Tidak Memenuhi Syarat (TMS) = >70%Memenuhi syarat (MS) = <70%

i.Pencahayaan Tidak Memenuhi Syarat (TMS)= <60 luxMemenuhi syarat (MS) = ≥60 lux

j.Sarana Air BersihKurang baik = sumber dari mataair tidak terlindung, sungai, danauBaik = sumber dari air dalam kemasan/ledeng/PDAM/mata

air terlindung/sumur terlindung/sumur pompa tangan

36 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

DAFTAR PUSTAKA

Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta Dan Masalah Yang Ditimbulkannya.

Http://Library.Usu.Ac.Id/Download/Fkm/Fkm-Zulkifli2.Pdf

Nugroho Susanto. 2006. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecacatan

PenderitaKusta.Https://Nugrohosusantoborneo.Files.Wordpress.Com/2010/02/150-

Nugroho-Susanto-04-Naspub.Pdf

Mahanani, Nursita. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perawatan Diri Kusta

Pada Penderita Kusta Di Puskesmas Kunduran Kecamatan Kunduran Kabupaten

Blora Tahun 2011. Http://Lib.Unnes.Ac.Id/18240/1/6450406030.Pdf

Simunati. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Kusta Di Poliklinik

Rehabilitasi Rumah Sakit Dr.Tadjuddin Chalid Makassar .

Http://Library.Stikesnh.Ac.Id/Files/Disk1/7/ELibrary%20stikes%20nani

%20hasanuddin--Simunati-316-1-31131411-1.Pdf

Akbar, Akmaludin. 2010. Optimisme Hidup Penyandang Kustadi Dusun Nganget Tuban

Jawa Timur. Http://Eprints.Ums.Ac.Id/8084/1/F100050185.Pdf

Manyullei , Syamsuar. 2012. Gambaran Faktor Yang Berhubungan Dengan Penderita Kusta

Di Kecama Tantamalate Kota Makassar.

Http://Repository.Unhas.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/4491/Syamsir_K1110831

5.Pdf?Sequence=1

Prawoto. 2008. Faktor - Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadapterjadinya Reaksi Kusta.

Http://Eprints.Undip.Ac.Id/17745/2/Prawoto.Pdf

37 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a

38 | f a k t o r r e s i k o k e j a d i a n k u s t a