View
175
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PNEUMOTHORAX
A . D e f i n i s i
Pneumotoraks adalah suatu kondisi adanya udara dalam rongga pleura akibat
robeknya pleura (Price & Willson, 2003). Pneumotoraks terjadi ketika pleura parietal ataupun
visceral tertembus (robek) dan rongga pleura terpapar dengan tekanan udara positif (Smeltzer
et al,2008).
B.Tipe Pneumotoraks
a . S i m p l e P n e u m o t o r a k s
Simple pneumotoraks merupakan pneumotoraks sederhana atau spontan yang terjadi
ketika udara memasuki rongga paru melalui penembusan pleura parietal ataupun visceral.
Kondisi ini paling sering terjadi seiring dengan masuknya udara ke pleura melalui rupturnya
fistula bronkopleural. Pneumotoraks spontan dapat terjadi pada orang sehat tanpa adanya
trauma, namun terjadi akibat rupturnya blister pada permukaan paru, memungkinkan udara dari
jalan nafas memasuki rongga pleura. Kondisi ini dapat dihubungkan dengan penyakit paru
interstisial yang menyebar, dan emfisema berat.
b . T r a u m a t i c P n e u m o t o r a k s
Traumatic pneumotoraks terjadi ketika udara terlepas dari laserasi pada paru dan
memasuki rongga pleura, atau memasuki rongga pleura melalui luka pada dinding dada.
Pneumotoraks jenis ini dapat terjadi akibat trauma tumpul, luka tembus dada atau abdomen,
serta robekan diafragmatik. Pneumotoraks traumatic dapat terjadi selama prosedur invasive
pada toraks, seperti torasentesis, biopsi paru transbronkhial, serta pemasukan akses sub klavia
di mana dilakukan penusukan pada pleura, atau karena barotrauma dari ventilator mekanik.
Pneumotoraks traumatic cedera mayor seringkali disertai dengan hemotoraks. Selain itu,
gabungan dari udara dan darah juga kadang ditemukan setelah trauma mayor. Pneumotoraks
terbuka, salah satu jenis dari pneumotoraks traumatic terjadi ketika perlukaan pada dinding
dada cukup besar untuk masuk dan keluarnya udara secara bebas setiap kali usaha nafas
dilakukan. Desakan udara terhadap luka pada dinding dada menimbulkan suara seperti
hisapan.
c . T e n s i o n P n e u m o t o r a k s
Tension pneumotoraks terjadi ketika udara ditarik ke rongga pleura dari paru yang
mengalami laserasi atau melalui luka terbuka pada dinding dada. Pneumotoraks jenis ini bisa
menjadi komplikasi dari tipe pneumotoraks lain. Udara yang masuk ke rongga dada akan
terjebak setiap inspirasi, udara tersebut tidak dapat keluar saat ekspirasi melalui jalan nafas
atau bukaan pada dinding dada. Akibatnya, terjadi mekanisme ball valve dimana udara masuk
ke dalam rongga pleura, namun tidak dapat keluar. Setiap tarikan nafas, tekanan (positif)
meningkat dalam rongga pleura yang terkena. Hal ini menyebabkan paru-paru kolaps dan
jantung, pembuluh darah besar, dan trachea bergeser ke arah paru yang tidak terkena
(mediastinal shift ). Ketika mediastinal shift terjadi, maka fungsi pernafasan dan sirkulasi akan
terganggu karena peningkatan tekanan intratoraks sehingga menurunkan aliran balik vena ke
jantung, menyebabkan penurunan cardiac output , dan gangguan pada sirkulasi perifer.
C . E t i o l o g i
• Trauma dada
• Luka tusuk
• Fraktur iga
D . P a t o f i s i o l o g i
Trauma dada(tumpul atau tajam) Rongga pleura bocor udara dari luar dapat masuk Udara
dari luar terhisap masuk ke dalam rongga pleura Tekanan pleura terus meningkat Paru-
paru terdesak Pertukaran gas berkurang Sesak nafas progresif Gangguan pola nafas
E.Manifestasi Kl in is
Tanda dan gejala yang berhubungan dengan pneumotoraks, bergantung pada ukuran
dan penyebabnya. Tanda dan gejala yang dapat dilihat antara lain:
Simple pneumotoraks:
• Nyeri tiba-tiba
• Takipnea
• Ekspansi dada menurun
• Perkusi dada normal – hiperresonan
Pneumotoraks luas dan paru-paru kolaps total:
• Cemas
• Dyspnea
• Air hunger
• Peningkatan penggunaan otot bantu pernapasan
• Sianosis akibat hipoksemia sentral
Tension pneumotoraks:
• Trachea bergeser ke arah sisi yang terkena
• Ekspansi dada menurun
• Suara nafas menurun atau tidak ada sama sekali
• Perkusi dada hiper resonan
• Agitasi
• Peningkatan hipoksemia
• Sianosis sentral
• Hipotensi
• Takikardia
• Diaforesis berlebihan
F.Pemeriksaan Diagnost ik
X ray dada: Menyatakan akumulasi udara pada area pleural, dapat menunjukkan
penyimpanganstruktur mediastinal.
Analisa gas darah: Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. Pa CO2 kadang-kadang
meningkat. PaO2 mungkin normal atau menurun, saturasi oksigen biasanya menurun.
G.Masalah Keperawatan
Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal
karena akumulasi udara.
Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan
untuk ambulasi dengan alat eksternal.
Risiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
Referensi
Brunner & Suddarth. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. (edisi Ke delapan),
volume2. Jakarta : EGCCorwin, Elizabeth. ( 2001).
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) /
Sindrom Gawat Pernapasan Pada Dewasa
A. Pengertian
ARDS merupakan bentuk edema paru yang dapat dengan cepat menimbulkan gagal
napas akut. Sindrom ini juga dikenal dengan nama shock lung, stiff lung, wet lung atau Da Na
Lung. ARDS dapat terjadi sesudah cedera langsung atau tidak langsung pada paru-paru. Oleh
karena itu penegakkan diagnosis ARDS cukup sulit dan kematian dapat terjadi 48 jam sesudah
awitan sindrome jika diagnosis tidak segera dilakukan. Pasien yang sembuh dari sindrom ini
bisa sedikit mengalami kerusakan paru yang permanen atau sama sekali tidak mengalami
kerusakan pada paru-parunya.
B. Etiologi
Penyebab ARDS yang sering ditemukan meliputi :
1. Cedera pada paru-paru akibat trauma (penyebab paling sering), seperti kontusio jalan
napas.
2. Faktor yang berhubungan dengan trauma, seperti emboli paru, sepsis, syok, kontusio paru
dan tranfusi multiple yang meningkatkan kemungkinan mikroemboli.
3. Anafilaksis
4. Aspirasi isi lambung
5. Pneumonia difusa, khususnya pneumonia karena virus
6. Overdosis obat, seperti heroin, aspirin atau ethklorvinol
7. Reaksi obat yang idiosinkratik terhadap ampisilin atau hidroklorotiazid
8. Inhalasi gas berbahaya, seperti nitruos oksida, amonia atau klorin
9. Keadaan nyaris tenggelam
10. Intoksiskasi oksigen
11. Sepsis
12. Pencangkokan bypass arteri koronaria
13. Hemodialisis
14. Leukemia
15. TB millier akut
16. Pankreatitis
17. Purpura trombositopenia trombotik
18. Uremia
19. Emboli udara dalam darah vena
C. Patofisiologi
1. Pada fase 1, cedera mengurangi aliran darah normal ke dalam paru-paru. Trombosit
mengadakan agregasi dan melepaskan Histamin (H), serotonin (S), serta brdikinin (B).
2. Pada fase 2, substansi yang dilepaskan menimbulkan inflamasi dan kerusakan pada
membran kapiler alveoli sehingga terjadi peningkatan permeabiltas kaplier. Kemudian cairan
berpindah ke dalam ruang interstisial.
3. Pada fase 3, permeabilitas kapiler meningkat dan terjadi kebocoran protein serta cairan
sehingga meningkatkan tekanan osmotik interstisial dan menimbulkan edema paru.
4. Pada fase 4, penurunan aliran darah dan cairan dalam alveoli akan merusak surfaktan dan
merusak kemampuan sel untuk memproduksi lebih banyak surfaktan lagi. Kemudian terjadi
kolaps alveoli yang merusak pertukaran gas.
5. Pada fase 5, oksigensasi akan mengalami kerusakan, tetapi karbondioksida dengan mudah
melewati membran alveoli dan dibuang keluar melalui ekspirasi. Kadar O2 dan CO2 darah
rendah.
6. Pada fase 6, edema paru semakin bertambah parah dan inflamasi menimbulkan fibrosis.
Pertukaran gas mengalami hambatan lebih lanjut.
D. Tanda Dan Gejala
1. Pernapasan yang cepat serta dangkal dan dispnea, yang terjadi beberapa jam hingga
beberapa hari pasca cedera awal. Gejala ini timbul sebagai reaksi terhadap penurunan kadar
oksigen dalam darah.
2. Peningkatan frekuensi ventilasi akibat hipoksemia dan efeknya pada pusat pnumotaksis.
3. Retraksi interkostal dan suprasternal akibat peningkatan dan upaya yang diperlukan untuk
mengembangkan paru-paru yang kaku.
4. Ronchi basah dan kering yang terdengar dan terjadi karena penumpukan cairan di dalam
paru-paru.
5. Gelisah, khawatir dan kelambanan mental yang terjadi karena sel-sel otak mengalami
hipoksia.
6. Disfungsi motorik yang terjadi karena hipoksia berlanjut
7. Takikardia yang menandakan upaya jantung untuk memberikan lebih banyak lagi oksigen
kepada sel dan organ vital.
8. Asidosis respiratorik yang terjadi ketika karbondioksida bertumpuk di dalam darah dan kadar
oksigen menurun.
9. Asidosis metabolik yang pada akhirnya akan terjadi sebagai akibat kegagalan mekanisme
kompensasi.
E. Komplikasi
1. Hipotensi
2. Penurunan keluaran urine
3. Asidosis metabolik
4. Asidosis respiratorik
5. MODS
6. Febrilasi ventrikel
7. Ventricular arrest
F. Diagnosis
1. Analisa gas darah arteri (awalnya PaO2 kurang dari 60 mmHg dan PaCO2 kurang dari 35
mmHg). Ketika ARDS semakin parah terjadi asidosis respiratorik (PaCO2 di atas 45 mmHg).
2. Keteterisasi arteri pulmonalis membantu identifikasi penyebab edema paru dengan
mengukur tekanan baji arteri pulmonalis (PAWP/ pulmonary artery wedge pressure).
3. Foto serial thoraks pada stadium dini memperlihatkan infiltrat bilateral, pada stadium lanjut
dapat terlihat gambaran ”ground glass” dan warna putih yang menyeluruh di kedua lapang
paru.
4. Analisis sputum yang meliputi pewarnaan gram dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas
menunjukkan mikroorganisme penyabab infeksi.
5. Pemeriksaan kultur darah
6. Pemeriksaan skrining toksikologi.
7. Pemeriksaan kadar amilase serum dapat menyingkirkan kemungkinan pankreatitis.
G. Penanganan
1. Pemberian oksigen yang diatur kelembabannya melalui masker yang pas sehingga
memungkinkan penggunaan tekanan positif saluran nafas yang kontinu.
2. PEEP (positive end-expiratory pressure) pada keadaan hipoksemia yang tidak cukup
responsive terhadap tindakan di atas.
3. Hiperkapnia yang diperbolehkan untuk membatasi peak inspiratory pressure.
4. Obat golongan sedatif , narkotik atau penyekat neuromuskuler seperti pankuronium bromida.
5. Pemberian sodium bikarbonat yang dapat membalikkan asidosis metabolik yang berat.
6. Pemberian cairan iv untuk mempertahankan tekanan darah dengan mengatasi hipovolemia.
7. Pemberian preparat vasopresor untuk menurunkan tekanan darah.
8. Pemberian preparat antimikroba untuk mengatasi infeksi nanvirus.
9. Pemberian preparat diuretik untuk mengurangi edema interstisiel dan edema paru.
10. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit dan asam-basa.
11. Pembatasan cairan untuk mencegah bertambahnya edema interstisiel dan edema paru.
Referensi :
Kowalak, Jenifer P. 2011.Buku Ajar Patofisiologi.Jakarta:EGC
KONTUSIO PARU
1. Definisi
Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul dada
akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
2. Etiologi
Trauma toraks
Kecelakaan lalu lintas
Terjadi terutama setelah trauma tumpul toraks
Dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan edema parenkim
3. Manifestasi Klinis
Dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma
Dispnea
↓ PaO2 arteri
Ronki
Infiltrat pada foto thoraks
Pada kondisi berat dapat disertai : sekret trakeobronkial yang banyak, hemoptisis, dan
edema paru
Primary Surveys
Pada primary surveys di TKP yang dinilai adalah ABC
A = Airway
Kelancaran jalan napas
Jika penderita dapat berbicara mengindikasikan A-nya baik
Identifikasi kemungkinan-kenungkinan obstruksi A oleh karena benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea, fraktur servikal
B = Breathing
Melibatkan paru, dinding dada, dan diafragma harus dievaluasi secara cepat
Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernapasan
Auskultasi untuk memastikan udara masuk ke paru-paru
Perkusi untuk menilai adanya udara atau darah pada rongga pleura
Inspeksi dan palpasi dapat menilai kelainan dinding dada
C = Circulation
Penilaian volume darah dan CO
- Tingkat kesadaran : akibat ↓ suplai darah ke otak, kesadaran ↓
- Warna kulit (dapat membantu diagnosis hipovolemik) : wajah yang pucat keabuan, kulit
ekstrimitas yang pucat menandakan hipovolemik
- Nadi, periksa pada nadi yang besar (Femoralis, karotis) untuk kekuatan, kecepatan, dan
irama :
* tidak cepat, kuat, teratur = normovolemi
* cepat, kecil = hipovolemi
* tidak teratur = biasanya gangguan jantung
* tidak ditemukan = perlu resusitasi segera
Penilaian perdarahan
Ada atau tidak perdarahan luar ataupun perdarahan dalam /tidak terlihat.
Contoh : Perdarahan pada rongga thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang,
retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebagai akibat luka tembus dada/perut.
Secondary Surveys
D : (Sepintas bisa primary. Tapi selengkapnya bisa secondary)
Tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda – tanda lateralisasi, tingkat/level cidera
spinal :
- Tingkat kesadaran dapat dinilai dengan GCS atau APVU.
- Penurunan kesadaran dapat disebabkan :
© ↓ oksigenasi (hipoksia) atau hipoperfusi (hipovolemi) ke otak
© Trauma langsung pada otak / trauma kapitis
© Obat-obatan, alkohol
E : (secondary)
Pemeriksann head to toe
periksa kemungkinan-kemungkinan trauma lain
jaga suhu tubuh pasien / cegah hipotermia (selimuti,dll)
4. Faktor Risiko
Trauma toraks
Fraktur iga
5. Penatalaksanaan
Resusitasi Awal :
A = Airway
Usaha untuk membebaskan A harus melindungi vertebra servikal
Dapat dengan chin lift atau jaw thrust
Dapat pula dengan naso-pharyngeal airway atau oro-pharyngeal airway
Selama memeriksa dan memperbaiki A tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi
leher
Pertimbangkan bantuan A definitif (krikotiroidotomy, ETT,dll) kalau ragu berhasil
B = Breathing
Kontrol airway pada penderita yang terganggu karena faktor mekanik, gangguan ventilasi,
atau ada gangguan kesadaran bisa dengan intubasi ETT (oral/nasal) jika ETT tidak bisa
(karena KI atau masalah teknis), bisa surgical A / krikotiroidotomy
Setiap penderita trauma, beri O2 jika tidak intubasi, bisa pakai sungkup
C = Circulation
Jika ada perdarahan arteri luar, harus segera dihentikan, bisa dengan balut tekan atau
dengan spalk udara. Jangan pakai Torniquet, karena dapat merusak jaringan dan
menyababkan iskemia distal, sehingga torniquet hanya dipakai jika ada amputasi traumatik
Jika ada gangguan sirkulasi pasang iv line (sekalian ambil sampel darah untuk diperiksa
lab rutin dan tes kehamilan).
Infus RL / kristaloid lain 2-3 L. Jika tidak respon beri transfusi dari gol darah yang sesuai.
Kalau tidak ada beri gol darah O Rh – / gol O Rh + titer rendah yang dihangatkan dulu
untuk mencegah hipotermia
Jangan beri vasopresor, steroid, bicarbonat natricus
Penatalaksanaan tambahan :
Monitor EKG
Pasang kateter urin dan lambung
Rontgen , dll.
Tujuan penatalaksanaan :
Mempertahankan oksigenasi
Mencegah/mengurangi edema. Tindakan : bronchial toilet, batasi pemberian cairan
(iso/hipotonik), O2, pain control, diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP
> 5)
Intubasi ETT untuk dapat melakukan penyedotan dan memasang ventilasi mekanik dengan
continuous positive end-expiratory pressure (PEEP)
6. Komplikasi
Komplikasi dari kontusio paru adalah Sindrom distres pernapasan pada dewasa
TRAUMA THORAKS
1. Definisi
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma
atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak
dan terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat
terjadi kolaps.
2. Etiologi
1. Trauma tembus
• Luka Tembak
• Luka Tikam / tusuk
2. Trauma tumpul
• Kecelakaan kendaraan bermotor
• Jatuh
• Pukulan pada dada
3. Klasifikasi
1. Trauma Tembus
• Pneumothoraks terbuka
• Hemothoraks
• Trauma tracheobronkial
• Contusi Paru
• Ruptur diafragma
• Trauma Mediastinal
2. Trauma Tumpul
• Tension pneumothoraks
• Trauma tracheobronkhial
• Flail Chest
• Ruptur diafragma
• Trauma mediastinal
• Fraktur koste
4. Insidensi
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44
tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul
dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
5. Prognosis Penyakit
1. Open Pneumothorak
Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga paru
menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap
pada setiap inspirasi ( sucking chest wound ). Apabila lubang ini lebih besar dari pada 2/3
diameter trachea, maka pada inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada
dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak nafas yang hebat
2. Tension Pneumothorak
Adanya udara didalam cavum pleura mengakibatkan tension pneumothorak. Apabila
ada mekanisme ventil karena lubang pada paru maka udara akan semakin banyak pada sisi
rongga pleura, sehingga mengakibatkan :
• Paru sebelahnya akan terekan dengan akibat sesak yang berat
• Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok
Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera, sedangkan pada auskultasi bunyi
vesikuler menurun.
3. Hematothorak masif
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ada perkusi
terdengar redup, sedang vesikuler menurun pada auskultasi.
4. Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada satu segmen dinding dada
yang tidak ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi
justru masuk kedalam yang dikenal dengan pernafasan paradoksal
6. Patofisiologi
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh yang sangat mudah
terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan tempat jantung, paru dan pembuluh darah
besar. Trauma dada sering menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka pada
rongga thorak dan isinya dapat membatasi kemampuan jantung untuk memompa darah atau
kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen darah. Bahaya utama berhubungan
dengan luka dada biasanya berupa perdarahan dalam dan tusukan terhadap organ.
Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan goresan yang dapat
mengancurkan atau terjadi trauma penetrasi. Luka dada dapat berupa penetrasi atau non
penetrasi (tumpul). Luka dada penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka,
memberi kesempatan bagi udara atmosfir masuk ke dalam permukaan pleura dan mengganggu
mekanisme ventilasi normal. Luka dada penetrasi dapat menjadi kerusakan serius bagi paru,
kantung dan struktur thorak lain.
7. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda dan gejala pada trauma thorak :
1. Ada jejas pada thorak
2. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi
3. Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi
4. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek
5. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan
6. Penurunan tekanan darah
7. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher
8. Bunyi muffle pada jantung
9. Perfusi jaringan tidak adekuat
10.Pulsus paradoksus (tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan)
dapat terjadi dini pada tamponade jantung.
8. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi : X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
2. Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
3. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
4. Hemoglobin : mungkin menurun.
5. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
6. Pa O2 normal / menurun.
7. Saturasi O2 menurun (biasanya).
8. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan.
9. Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap simtomatik,
observasi.
10.Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura
dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit.
11.Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus
dipertimbangkan thorakotomi
12.Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc
segera thorakotomi)
9. Komplikasi
1. Iga : fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.
2. Pleura, paru-paru, bronkhi : hemo/hemopneumothoraks-emfisema pembedahan.
3. Jantung : tamponade jantung ; ruptur jantung ; ruptur otot papilar ; ruptur klep jantung.
4. Pembuluh darah besar : hematothoraks.
5. Esofagus : mediastinitis.
6. Diafragma : herniasi visera dan perlukaan hati, limpa dan ginjal (Mowschenson, 1990).
10. Penatalaksanaan
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat
ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.
b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan
rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis
of breathing" tetap baik.
2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.Mendeteksi di bagian dimana masuknya
slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang
menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh
pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi
analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
• Penetapan slang.
Slang diatur senyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu
dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat
dikurangi.
• Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang,
atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi
tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
d. Mendorong berkembangnya paru-paru.
• Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
• Latihan napas dalam.
• Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
• Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam
melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah atau
berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
f. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24
jam setelah operasi.
• Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan
pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
• Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction
kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke
posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh
gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena
perlekatanan di dinding paru-paru.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari, diukur berapa cairan yang keluar
kalau ada dicatat.
Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung
udara yang keluar dari bullow drainage.
Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu
meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus
tetap steril.
Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai
sarung tangan.
Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang
terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
h. Dinyatakan berhasil, bila :
Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
Tidak ada pus dari selang WSD.
3. Therapy
• Chest tube / drainase udara (pneumothorax).
• WSD (hematotoraks).
• Pungsi.
• Torakotomi.
• Pemberian oksigen.
• Antibiotika.
• Analgetika.
• Expectorant.
11. Manajemen Keperawatan
Diagnose Keperawatan
1.Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal
karena akumulasi udara/cairan.
2.Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3.Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek
spasme otot sekunder.
4.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow
drainage.
5.Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan
untuk ambulasi dengan alat eksternal.
6.Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma.
Daftar Pustaka
1. Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.
2. Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
3. Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
4. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
5. FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
6. Hudak, C.M. 1999. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
7. Mowschenson, Peter M. 1990. Segi Praktis Ilmu Bedah Untuk pemula. Edisi 2. Binarupa
Aksara : Jakarta.
8. Nasrul Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
9. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3.
EGC : Jakarta.
10.Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC:Jakarta.
Recommended