View
28
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
Nekrolisis epidermal toksik
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Nekrolisis epidermal toksik ditemukan pertama kali pada tahun 1956,
sebanyak empat kasus oleh Alana Lyell, penyakit ini biasanya disebut sindrom Lyell.
NET ditemukan oleh Alana Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai
luka bakar pada kulit akibat terkena cairan panas (scalding).
Penyebab NET belum jelas, tetapi obat-obatan (sulfonamid dan butazonez)
dan spesies Staphylococus merupakan penyebab utama . oleh karena itu nekrolisis
epidermal toksik atau NET merupakan penyakit erupsi kulit yang umunya timbul
akibat obat-obatan dan lesi berupa bulla, dengan penamapakan kulit seperti terbakar
yang menyeluruh.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi kulit
Kulit merupakan organ yang istimewa pada manusia. Berbeda dengan
organ lain, kulit yang terletak pada sisi terluar manusia ini memudahkan
pengamatan, baik dalam kondisi normal maupun sakit. Manusia secara sadar terus
menerus mengamati organ ini. Dari kulit, muncul berbagai asesori yang terindera
manusia; rambut ( kasar dan halus), kuku, dan kelenjar (sekretnya terurai oleh
mikroorganisme dan keluarlah bau). Dalam kondisi sehat, kulit beserta
aksesorinya ini menunjang rasa percaya diri seseorang; dalam keadaan sakit,
mereka mungkin menjadi sumber keresahan.
Kulit adalah organ terbesar pada tubuh manusia, dengan berat sekitar 5 kg
dan luas 2 m2 pada seseorang dengan berat badan 70 kg. Bila diamati lebih teliti,
terdapat variasi kulit sesuai dengan area tubuh. Kulit yang tida berambut disebut
kulit glabrosa, ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki. Pada kedua
lokasi tersebut, kulit memiliki relief yang jelas di permukaannya yang disebut
dermatoglyphics.
Kulit glabrosa kira-kira 10 kali lebih tebal dibandingkan dengan kulit
yang paling tipis, misalnya di daerah lipatan (fleksural). Secara histologik, kulit
glabrosa kaya akan kelenjar keringat etapi miskin kelenjar sebasea. Kulit kepala
memiliki banyak folikel juga memiliki kelenjar sebasea. Kulit kepala memiliki
folikel rambut yang besar dan terletak dalam hingga ke lapisan lemak kulit
( subkutis), sedangkan kulit dahi memiliki rambut yang halus (velus) tetapi
dengan kelenjar sebasea yang berukuran besar.
Selain keberadaan rambut, warna kulit merupakan aspek yang paling
mudah dilihat pada kulit manusia. Dikenal pembagian warna kulit menurut
Fitzpatrick berdasarkan pada kemampuan kulit untuk berpigmentasi ( tanning )
dan kemungkinan terbakar ( sunbum) pasca pajanan sinar ultraviolet. Terdapat
pula variasi regional pigmentasi kulit berdasarkan lokasi tubuh.
Kulit ( dan adneksa) menjalankan berbagai tugas dalam memelihara
kesehatan manusia secara utuh yang meliputi fungsi, yaitu:
2
1) Perlindungan fisik ( terhadap gaya mekanik, sinar ultraviolet, bahan
kimia)
2) Perlindungan imunologik
3) Ekskresi
4) Pengindera
5) Pengaturan suhu tubuh
6) Pembentukan vitamin D
7) Kosmetis
Fungsi- fungsi tersebut lebih mudah dipahami dengan meninjau struktur
mikroskopik kulit yang terbagi menjadi 3 lapisan : epidermis, dermis, subkutis.
Dalam menjalankan berbagai fungsi diatas ketiga lapisan tersebut
bertindak sebagai satu kesatuan yang saling terkait satu dengan yang lain. Sebagai
contoh, perlindungan imonologik terhadap infeksi dikerjakan bersama oleh
keratinosit dan sel penyaji antigen di epidermis yang berkomunikasi dengan
limfosit yang beredar disekitar pembuluh darah dermis
I. EPIDERMIS
Lapisan epidermis adalah lapisan kulit dinamis, senantiasa beregenerasi,
berespons terhadap rangsangan di luar maupun dalam tubuh manusia . tebalnya
bervariasi antara 0,4 – 1,5 mm. Penyusun terbesar epidermis adalah keratinosit.
Terselip diantara keratinosit adalah sel Langerhans dan melanosit, dan kadang-
kadang juga sel merkel dan limfosit.
Keratinosit tersusun dalam beberapa lapisan. Lapisan paling bawah
disebut stratum basalis, diatasnya berturut-turut adalah stratum spinosum dan
stratum granulosum. Ketiga lapisan epidermis ini di kenal sebagai stratum
korneum yang tersusun oleh keratinosit yang telah mati ( korneosit)
Susunan epidermis yang berlapis-lapis ini menggambarkan proses
diferensiasi (keratinisasi ) yang dinamis, yang tidak lain berfungsi menyediakan
sawar kulit pelindung tubuh dari ancaman di permukaan.
a. Stratum basalis
3
Keratinosit stratum basalis berbentuk toraks, berjajar di atas lapisan
struktural yang disebut basal membran zone (BMZ). Keratinosit basal berdiri
kokoh di atas BMZ karena protein struktural yang memaku membran sitoplasma
keratinosit pada BMZ yang disebut hemidesmosom.
Terdapat berbagai jenis hemidesmosom, yang penting diantaranya adalag
BPAg dan integrin. Gangguan pada struktur hemidesmososm akan menyebabkan
kulit tidak dapat menahan trauma mekanik. Pada penyakit pemfigoid bulosa
misalnya, reaksi autoimun yang menghancurkan BPAg akan menyebabkan
timbulnya celah subepidermal yang terletak antara keratinosit basal dan BMZ.
Terdapat tiga subpopulasi keratinosit di stratum basalis, yaitu:
1. Sel punca (stem cells)
2. Transient amplifing cells (TAC)
3. Sel pascamitosis (postmitotic cells)
Sel punca lambat membela diri, biasanya aktif saat terjadi kerusakan luas
epidermis yang membutuhkan regenerasi cepat. TAC, sesuai dengan namanya,
aktif bermitosis dan merupakan subpopulasi terbesar stratum basalis. Sel –sel ini
tidak lama tinggal di stratum basalis;setelah beberapa kali membelah diri
( pascamitosis ) dan berkomitmen untuk berdiferensiasi, mereka pindah ke atas
lapisan stratum basalis ( suprabasal).
Keratinosit memiliki struktur intrasitoplasma yang disebut keratine
intermediate filament (KIF). Terdapat berbagai macam jenis keratine dengan
keasaman dan berat molekul yang berbeda. Dua macam keratine akan
berpasangan dan terpilih dalam ikatan α-heliks, yang kokoh dan berfungsi sebagai
sitoskeleton ( cytoskeleton). DNA keratinosit basal menyandi protein keratine 5
dan 14, sedangkan keratinosit di stratum spinosom menyandi protein K1/K10.
Sitoskeleton memberi kekuatan pada keratinosit untuk menahan gaya
mekanik pada kulit. Pada genodermatosis ( kelainan kulit akibat gangguan
genetik ) tertentu, misalnya epidermolisis bulosa simpleks (EBS), terjadi mutasi
DNA sedimikian rupa sehingga KIF tidak terbentuk atau tidak dapat membentuk
ikatan α-helik yang sempurna. Akibatnya, kulit bayi yang menyandang EBS
sangat rentan dengan gesekan sehingga mudah terjadi lepuh saat bayi belajar
4
bergerak. Kelak, saat keratinosit mati dan mencapai stratum korneum, KIF akan
mengalami penataan ulang guna membentuk sawar kulit.
Sitoplasma keratinosit banyak mengandung melanin, pigmen warna yang
tersimpan dalam melanososm. Melanosit mensintesis melanin dan
mendistribusikannya pada sekitar 36 keratinosit di stratum basalis. Melanin yang
tersebar dalam keratinosit memberikan warna secara keseluruhan pada kulit
seseorang. Melanin dapat menyerap sinar ultraviolet yang berbahaya bagi DNA.
Tidak mengherankan warna kulit manusia meninjukkan variasi geografis;
populasi asli dengan kondisi alam dengan intensitas sinar ultraviolet tinggi
memiliki warna kulit yang lebih gelap. Keganasan kulit terkait sinar matahari
lebih banyak dijumpai pada orang Kaukasia yang tinggal di Australia. Selain
merusak DNA sinar ultraviolet juga mampu mepercepat penuaan dan timbulnya
kerutan. Sedikit ironis, kini banyak orang berlomba-lomba menghilangkan
pigmen alami mereka demi obsesi akan kecantikan.
Sel merkel berfungsi sebagai reseptor mekanik (mechanoreceptors),
terutama berlokasi pada kulit dengan sensitivitas raba yang tinggi, termasuk kulit
yang berambut maupun glabrosa ( bibir dan jari ).
b. Stratum spinosom
Keratinosit stratum spinosom memilikibentuk poligonal, berukuran lebih
besar daripada keratinosit stratum basale. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat
struktur mirip taji (spina) pada permukaan keratinosit yang sebenarnya
merupakan penyambung antar keratinosit yang disebut desmosom. Desmosom
terdiri dari berbagai protein struktural, misalnya desmoglein dan desmokolin.
Struktur ini memberikan kekuatan pada epidermis untuk menahan trauma fisis di
permukaan kulit. Pada beberapa penyakit autoimun , misalnya Pemfigus, terjadi
gangguan terhadap pembentukan desmoglein sehingga keratinosit tidak lagi
terhubung satu dengan yang lain ( akantolisis). Pada epidermis berbentuk celah
yang berisi keratinosit yang terlepas dari kesatuan, yang disebut sel akantolitik.
Celah tersebut secara klinis akan tampak sebagai vesikel atau bula. Ekspresi KIF
pada lapisan ini berubah menjadi Keratin 1 /K10; pada keadaan hiperproliferasi,
misalnya psoriasis, ekspresinya berubah menjadi K6/K16.
5
Keratinosit stratum spinosom mulai membentuk struktur khusus yang
disebut lamellar granules (LG) yang dapat dilihat menggunakan mikroskop
elektron. Struktur ini terdiri dari barbagai protein dan lipid, misalnya
glikoprotein, glikolipid, fosfolipid, dan yang terpenting gukoseramid yang
merupakan cikal bakal seramid, yang kelak akan berperan dalam pembentukan
sawar lipid pada stratum korneum. Sawar lipid akan bersinergi dengan sawar
struktural yang terbentuk oleh KIF pada lapisan stratum korneum.
Pada stratum spinosom dan granulosum terdapat sel Langerhans (SL), sel
dendiritik yang merupakan sel penyaji antigen. Antigen yang menerobos sawar
kulit akan difagosit dan diproses oleh SL, untuk kemudian dibawa dan disajikan
kepada limfosit untuk dikenali. Dengan demikian, SL berperan penting dalam
pertahanan imonologik manusia. Keratinosit sendiri hingga derajat tertentu juga
mampu membangkitkan respons imonologik dengan cara melepaskan sitokin
proinflamasi, jika terjadi jejas yang mengancam.
c. Stratum granulosum
Keratinosit stratum granulosum mengandung keratohyaline granules
(KG) yang terlihat pada pemeriksaan mikroskopik biasa. KG mengandung
profilagrin dan loricrin yang penting dalam pembentukan cornified cell envelope
(CCE). Secara sederhana, keratinosit distratum granulosum memulai program
kematiannya sendiri (apoptosis), sehingga kehilangan inti dan organel sel
penunjang hidupnya. Profilagrin akan dipecah menjadi filagrin yang akan
bergabung dengan KIF menjadi makrofilamen. Beberapa molekul filagen kelak
akan dipecah menjadi molekul asam urokanat yang memberikan kelembaban
stratum korneum dan menyaring sinar ultraviolet. Loricrin akan bergabung
dengan protein-protein struktural dermosom, dan berikatan dengan membran
plasma keratinosit. Proses –proses tersebut menghasilkan CCE yang akan
menjadi bagian dari sawar kulit di stratum korneum.
Waktu yang diperlukan bagi keratinosit basal untuk mencapai stratum
korneum kira-kira 14 hari, dan dapat lebih singkat pada keadaan hiperproliferasi
misalnya psoriasis dan dermatitis kronik.
d. Stratum korneum
6
CCE yang mulai dibentuk pada stratum korneum akan mengalami
penataan bersama dengan lipid yang dihasilkan oleh LG. Susunan kedua
komponen sawar kulit tersebut sering dikiaskan sebagai brick and mortar, CCE
menjadi batu bata yang diliputi oleh lipid sebagai semen di sekitarnya. Matrik
lipid ektraselular ampuh menahan kehilangan air dan juga mengatur permeabilitas
, deskuamasi, akitivitas peptida antimikroba, eksklusi toksin dan penyerapan
kimia secaraselektif. Korneosit lebih berperan dalam memberi penguatan
terhadapa trauma mekanis, produksi sitokin yang memulai proses peradangan
serta perlindungan terhadap sinar ultraviolet. Waktu yang diperlukan bagi
korneosit untuk melepaskan diri (shedding) dari epidermis kira-kira 14 hari.
II. DERMIS
Dermis merupakan jaringan di bawah epidermis yang juga memberi
ketahanan pada kulit, termoregulasi, perlindungan imonologik, dan ekskresi.
Fungsi-fungsi tersebut mampu dilaksanakan dengan baik karena berbagai elemen
yang berada pada dermis, yakni struktur fibrosa dan filamentosa, groud substance
, dan selular yang terdiri atas endotel, fibroblas, sel radang, kelenjar, folikel
rambut dan saraf.
Serabut kolagen (collagen bundles ) membentuk sebagian besar dermis,
bersama-sam serabut elastik memberikan kulit kekuatan dan elastisitasnya.
Keduanya tertanam dalam matriks yang disebut ground substance yang terbentuk
dari proteoglikans ( PG) dan glikosaminoglikans ( GAG ). PG dan GAG dapat
menyerap dan mempertahankan air dalam jumlah besar sehingga berperan dalam
pengaturan cairan dalam kulit dan mempertahankan growth faktors dalam jumlah
besar.
Fibroblas, makrofag dan sel mast rutin ditemukan pada dermis. Fibroblas
adalah sel yang memproduksi protein matriks jaringan ikat dan serabut kolagen
serta elastik di dermis. Makrofag merupakan salah satu elemen pertahanan
imonologik pada kulit yang mampu bertindak sebagai fagosit, sel penyaji antigen,
maupun mikrobisidal dan tumorisidal.
III. Subkutis
7
Subkutis yang terdiri atas jaringan lemak mampu mempertahankan suhu
tubuh, dan merupakan cadangan energi, juga menyediakan bantalan yang
meredam trauma melalui permukaan kulit. Deposis lemak menyebabkan
terbentuknya lekuk tubuh yang memberikan efek kosmetis. Sel-sel lemak terbagi-
bagi dalam lobus satu sama lain dipisahkan oleh spta.
ADNEKSA KULIT
Yang tergolong adneksa kulit adalah ekrin dan apokrin, serta kuku.
Folikel rambut sering di sebut sebagai unit polisebase karena terdiri atas bagian
rambut dan kelenjar sebasea yang bermuara ke bagian folikel rambut yang
disebut ismus. Rambut yang tebal dan berpigmen disebut rambut terminal,
misalnya rambut kulit kepala dan janggut. Rambut yang halus, panjangnya
kurang dari 1 cm dan tidak berpigmen disebut velus, terdapat pada sebagian besar
permukaan kuliat kecuali kulit glabrosa. Unit pilosebasea pada aksila dan
inguinal mengandung kelenjar apokrin, dan pada dada, punggung atas dan wajah
memiliki kelenjar sebasea yang besar. Rambut tumbuh mengikuti siklus 3 fase
anagen ( pertumbuhan ), katagen (involusi ) dan telogen (istirahat). Panjang
masing –masing fase berbeda pada lokasi kulit yang berbeda. Pada kulit kepala,
fase anagen berlangsung kira-kira selam 3 tahun, fase katagen 3 minggu dan fase
telogen 3 bulan. Pada suatu waktu pada kulit kepala 85% rambut berada pada fase
anagen, sekitar 10% berada pada fase telogen dan sisanya pada tahap katagen
maka, pada keadaan normal dapat ditemukan rambut yang rontok.
Kelnjar ekrin berada pada epidermis dan dermis. Bagian di epidermis
daisebut akrosiringium. Bagian sekretorik kelenjar ekrin terletak di dermis dalam,
dekat perbatasan dengan subkutis. Kelenjar ini tersebar di seluruh permukaan
kulit kecuali di daerah ujung penis, klitoris, dan bibir. Kepadatan pada berbagai
lokasi tubuh berbeda-beda.
Fungsi utama kelenjar eksrin adalah
1. Mengatur penglepasan panas
2. Ekskresi air dan elektrolit
3. Mempertahankan keasaman pemukaan kulit sehingga mencegah
kolonisasi kuman patogen
8
Kelenjar apokrin baru aktif saat pubertas; sekret yang dihasilkannya akan
diuraikan oleh kuman sehingga keluarlah bau. Fungsi kelenjar apokrin pada
manusia tidak jelas tetapi mungkin sekret kelenjar ini mengandung semacam
feromon.
2.2 Definisi Toxic Epidermal Necrolysis
Nekrolisis epidermal toksis merupakan reaksi mukokutan akut yang
mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga
terlepas.
Nekrolisis epidermal toksik juga merupakan kelainan yang berupa eritema
dan bula yang akhirnya mengelupas menimbulkan luka yang luas. Pengelupasan
terjadi pada pertemuan dermo-epidermal yang menyerupai luka bakar derajat dua.
Bila pengelupasan epidermis kurang dari 10% luas tubuh, penyakit ini di
golongkan Sindrom Stevens Johnson, sedangkan bila pengelupasan epidermis
lebih dari 30% disebut nekrosis epiderlal toksik
2.3 Epidemiologi
Penyakit NET ini biasanya terjadi oada segala kelompok umur, dan
meningkat pada usia 40 tahun dan wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki.
Angka kematian NET adalah 25-35%. NET (nekrolisis epidermal toksik) juga
merupakan penyakit yang jarang. Secara umum insiden NET adalah 0,4-1,2 kasus/
juta penduduk/ tahun.
Saat ini tingkat kejadian NET meningkat satu kasus per seribu populasi
pertahun populasi HIV positif. Peningkatan insiden NET pada penderita HIV
disebabkan pengguanaan sulfonamid pada penderita.
2.4 Etiologi
Penyebab dari NET masih belum jelas , namun ditemukan bahwa obat-
obatan merupakan salah satu faktor penting. Obat- obatan yang sering
menyebabkan NET adalah sulfonamida, antikonvulsan aromati, alopurinol, anti
inflamasi non steroid, dan nevirapin. Ada juga obat dengan resikolebih rendah
yang dilaporkan jenis antibiotik non –sulfonamid seperti aminopenicilin,
kuinolon, sepalosporin, dan tetracixilin
9
Penyebab utama NET yang ditemukan yaitu alrgi obat yang berjumlah 80-
95% dari semua pasien. Selain karena obat, NET dapat pula diinduksi oleh infeksi
Staphylococcus atau bersifat idiopatik.
2.5 Patogenesis
Mekanisme yang jelas sehingga obat dapat menyebabkan timbulnya NET
belum diketahi secara pasti. Tetapi, mekanisme imunologis, metabolit obat yang
mengalami reaktivasi dan interaksi diantara keduanya diduga merupakan
patogenesis timbulnya NET.
Meskipun rangkaian yang tepat dari peristiwa molekul dan seluler belum
di mengerti secara lengkap, beberapa studi telah memberikan petunjuk penting
tentang patogenesis dari NET. Menurut Adhi djuanda dan Mochtar Hamzah
(2009), NET ialah bentuk parah dari SSJ. Sebagian kasus-kasus SSJ berkembang
menjadi NET. Imunopatogenesis yakni merupakan reaksi tipe II (sitolitik). Studi
immunopatologik mendemonstrasikan kemunculan dari CD8+ limposit T pada
epidermis dan dermis dalam reaksi bentuk bulla, dengan ciri-ciri sel yang mirip
natural killers pada fase awal, dimana monosit akan muncul pada fase akhir.
Beberapa sitokin penting yaitu interleukin 6, TNF-α, dan Fas-L juga muncul pada
lesi kulit pasien NET. TNF mungkin juga berperan penting. Molekul ini muncul
pada lesi epidermis, cairan lepuh, dan dalam sel mononuclear perifer dan
makrofag. Sekarang ditemukan teori genetika yang juga berperan penting.
Penemuan di Han cina antara NET-carbamazepine dengan HLA-B1502 sangat
berhubungan, meskipun tidak muncul pada pasien Eropa yang tidak memiliki
keturunan Asia.
Pada penderita NET ditemukan, keratinosit mengalami apoptosis yang
luas. Kondisi ini dipicu oleh adanya gangguan detoksifikasi metabolit obat yang
bersifat reaktif. Hal ini kemudian menginisiasi respon sistem imun tubuh
membentuk kompleks antigen yang kemudian menghasilakn sitokin-sitokin
seperti interleukin (IL)-6, TNF-α, interferon-γ, IL-18 dan Fas Ligand (FasL). Pada
kondisi normal, apoptosis sel segera dieliminasi pada tahap awal oleh fagosit.
Namun, pada kondisi seperti NET apoptosis yang luas terjadi sehingga
kemampuan fagosit untuk mengeliminasi sel yang apoptosis terbatas sehingga sel
menjadi nekrosis dan menghasilkan komponen intraseluler, yang menyebabkan
respon inflamasi.
10
Pada kulit yang normal FasL yang disajikan oleh keratinosit sangat rendah
dan terlokalisir di dalam sel (intraseluller). Pada lesi akibat NET, ditemukan level
FasL yang disajikan oleh kratinosit tinggi dan terletak dipermukaan luar sel
(ekstraseluler) sehingga terjadi interaksi antara Fas dan FasL. Setelah kontak
terjadi FasL menginduksi Fas multimerasi dan mengirimkan signal yang cepat
sehingga terjadi kematian cell akibat apoptosis. Semakin lausnya apoptosis
semakin menyebabkan destruksi epidermis yang luas pula.
2.6 Gambaran klinis
NET merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian
karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau karena sepsis. NET mulai
dalam 8 minggu atau biasanya 4-30 hari setelah terpapar oleh obat
Penyakit ini dimulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak
sakit berat dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Gejala
lain berupa sakit kepala, rhinitis, dan myalgia muncul lebih awal 1 sampai 3 hari
dari lesi kulitnya. Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata kemudian
timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat
disertai lesi pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan
pendarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir.
TEN yang biasa juga disebut sindrom Lyell’s, memiliki karakteristik
sebagai berikut :
a. Nekrosis epidermis yang tebal disertai lepuhan, tanpa disertai inflamasi
dari dermis yang mengenai >30% permukaan tubuh.
b. Terdapat dua atau lebih mukosa yang erosi (orofaring, hidung, mata,
traktus genitalia, dan traktus respiratoris)
11
Pada N.E.T yang penting adalah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombusio. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolski positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya penderita berbaring. Pada sebagian para penderita kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula.
Pada keterlibatan epidermis berkembang menjadi nekrosis, dengan ‘dusky
red macular lession’ yang berwarna abu-abu yang khas. Proses ini dapat terjadi
sangat cepat, beberapa jam ataupun hingga beberapa hari. Epidermis yang
nekrotik kemudian terlepas dari dermis yang mendasarinya, dan cairan yang
mengisi ruang antara dermis dan epidermis, sehingga menimbulkan bulla. Bulla
mempunyai gambaran khas mudah pecah dan dapat memanjang ke samping
dengan sedikit tekanan dari jempol dari nekrotik epidermis tersebut akan
berpindah ke lateral (Hansen Asboe-sign). Kulit basah menyerupai kertas rokok
seperti ditarik keluar oleh trauma, meliputi daerah yang luas dan perdarahan pada
12
dermis, yang disebut sebagai ‘scalding’. Oleh karena itu pasien tersebut harus
ditangani dengan sangat hati-hati. Bulla tegang biasanya terlihat pada permukaan
palmoplantar, di mana epidermis lebih tebal sehingga, lebih tahan terhadap
trauma ringan.
2.7 Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboraturium yang paling menunjang dignosis.
Pememriksaan histopatologi kulit dapat menyingkirkan diagnosis banding, dan
umunya diperlukan untuk kepentingan medikolegan. Pemeriksaan laboraturium
perlu dilakukan untuk mengevaluasi keparahan penyakit dan untuk tatalaksana
pasien.
Pemeriksaan yangperlu dilakukan adalah darah tepi lengkap, analisis gas
darah, kadar elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar,gula
darah sewaktu dan foto rontgen paru. Selama perawatan, perlu diwaspadai tanda-
tanda sepsis secara klinis dan dilakukan pemeriksaan laboraturium untuk
menunjang diagnosis sepsis.
2.8 Diagnosis klinis
Dasar diagnosis NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis
perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat
tersangkut: dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa.
2.9 Tatalaksana
Jika NET disebabkan oleh pengunaan obat, maka obat yang diberikan
tersebut dihentikan penggunaanya. Selain itu, penatalaksanaan dilakukan secara
simptomatik. Perawatan yang intensif dan dukungan medis dibutuhkan, seperti
pemasangan central venous line, pemberian cairan intravena dan elektrolit.
Beberapa pasien memerlukan perawatan seperti layaknya luka bakar. Beberapa
pendapat tidak menganjurkan penggunaan kortikosteroid, tetapi jika diberikan
hanya boleh diberikan dalam jangka waktu yang singkat. Pemberian IgG dapat
dipertimbangkan.
Terapi Topikal
Meskipun lepuhannya sangat mudah pecah tapi jika belum juga pecah
dapat kita pecahkan dan kemudian diberi salep clorheksadine, octenisept atau
13
polyhexadine solution. Selain itu, penggunaan disinfektan yang digunakan untuk
berkumur juga dibutuhkan pada pasien NET untuk mengobati erosi pada mukosa
mulut dan juga dibutuhkan dexphantenol untuk mengobati erosi dan krusta yang
ada di derah bibir. Penanganan multidisiplin dibutuhkan pada lesi yang mengenai
mukosa uretra ataupun mata. Oleh karena itu pasien juga dikonsul pada bagian
lain, yaitu spesialis urologi dan spesialis mata.
Perawatan Supportif
Pasien ditempatkan pada suhu kamar (30-320C) dan dibaringkan di atas
matras yang mudah ditukar (alternating matrass). Pasien NET membutuhkan
penggantian cairan elektrolit (0,7/kgBB/% area tubuh yang terkena) dan albumin
(5% human albumin, 1 ml/kgBB/% daerah yang terkena). Jika pasien tidak dapat
makan secara langsung, harus diberikan makanan melalui selang nasogastrik
(1500 kalori dalam 1500 ml pada 24 jam pertama, dan dinaikkan 500 kalori
hingga mencapai 3500-4000 kalori per hari). Monitoring untuk pencegahhan
infeksi diperlukan, jika terdapat tanda infeksi pemeberian antibiotik dianjurkan
dan menunggu hingga hasil kultur dan sensitivitas keluar. Pemberian sedasi dan
analgesik dianjurkan berdasrkan tingkat keparahan.
Pemberian Immunoglobulin dan kortikosteroid
Djuanda (2009) mengatakan dalam bukunya, pengobatan yang dilakukan
yaitu dengan kortikosteroid. Cara pengobatan mirip dengan pengobatan pada
Sindrom Stevens Johnson (SSJ). Perbedaannya mengenai dosisnya, Nekrolisis
epidermal toksik (NET) lebih parah daripada SSJ sehingga dosis kortikosteroid
lebih tinggi, umumnya deksametason 40 mg sehari Intra vena dosis terbagi. Bila
setelah dua hari diobati dengan cara tersebut, masih juga timbul lesi baru
hendaknya dipikirkan kemungkinan alergi terhadap obat yang diberikanpada
waktu rawat inap.
Penggantian plasma menghasilkan remisi yang komplit dalam dua kali
pemberian. Plasmaparesis merupakan intervensi yang aman bagi pasien yang
parah dan menurunkan tingkat mortalitas. Intravena immunoglobulin G
merupakan penalatalaksanaan yang aman dan efektif untuk penderita NET
dewasa dan anak-anak. Penatalaksanaan dengan IVIG 3g/Kg dalam 3 hari atau
14
1g/Kg perhari untuk 3 hari direkomendasikan. Untuk mendapatkan hasil yang
baik beberapa penulis melaporkan dengan dosis maksimal 4g/Kg dalam 4 hari.
2.10 Komplikasi
Toksik epeidermal nekrolisis merupakan kondisi kegawatdaruratan yang
dapat berakibat fatal. Infeksi dan kehilangan cairan serta elektrolit merupakan
keadaan yang mengancam. Nyeri yang dirasakan hampir di seluruh tubuh
membuat pasien menderita. Setelah fase akut terlewati kemungkinan
menyebabkan timbulnya skar pada kornea. Pasien NET juga sangat berisiko
terkena hipotermi.
Satu diantara komplikasi yang parah adalah terkenanya epitel trakea dan
bronkial yang tejadi pada 20% pasien. Hipoksemia, hipocapnia dan alkalosis
metabolik adalah tanda penting dibutuhkannya ventilasi mekanik, ketiga kondisi
tersebut juga meningkatkan resiko kematian.
Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya
ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonefritis.
2.11 Prognosis
Dalam perjalanan penyakitnya NET dapat mengalami penyulit yang
mnegancam nyawa berupa sepsis atu multipel organ failure. Prognosis NET dapat
diperkirakan berdasarkan scornet, seperti pada tabel 23.1
15
Pada pasien yang mengalami penyembuhan, re-epitalisasi terjadi dalam
waktu rata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan
gangguan pengelihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan
pigmentasi dan gangguan pertumbuhan kuku.
16
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nekrolisis epidermal toksik merupakan kelainan yang berupa eritema dan
bula yang akhirnya mengelupas menimbulkan luka yang luas. Penyebab dari NET
masih belum jelas. Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata kemudian
timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat
disertai lesi pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan
pendarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir.
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
mengevaluasi keparahan penyakit dan untuk tatalaksana pasien. Kemudian
tatalaksananya diberikan terapi topikal, perawatan supportif, dan pemberian
immunoglobulin dan kortikosteroid.
17
Daftar pustaka
1. Price,Sylvia A dan Lorraine M. Wilson.2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. (6 ed). Jakarta : EGC
2. Sjamsuhidrajat, R. 2010. Buku ajar ilmu bedah.(3 ed). Jakarta :EGC
3. Menaldi, S.L (2015). Ilmu penyakit kulit dan kelamin.(7 ed). Jakarta: Badan Penerbit
FKUI
4. Harr, T,.& French, L. E (2010). Toxic Epidermal Necrolysis and Steven-Johnson
Syndrome. Orphanet Journal of Rare Disease, 5 (39), 1-11
18
Recommended