26
Nekrolisis Epidermal Toksik I. PENDAHULUAN Nekrolisis epidermal toksik (TEN) dan Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) adalah reaksi akut dari suatu pengobatan yang ditandai dengan kematian dan pengelupasan kulit di bagian epidermis. NET umumnya merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada SSJ, sehingga jika pengobatannya tidak cepat dan tepat sering menyebabkan kematian. (1, 2) Penyakit ini melibatkan kulit dan membran mukosa. Makula yang eritem sebagian besar berada pada badan dan lengan yang proksimal, secara cepat berubah menjadi lepuhan dan akhirnya akan terkelupas. Gejala kulit yang terpenting ialah epidermolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata. (1, 2) Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Allan Lyell pada tahun1956 sebanyak empat kasus, sehingga penyakit ini disebut juga Sindrom Lyell’s. NET ditemukan oleh Allan Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai luka bakar pada kulit akibat terkena cairan panas 1

Nekrolisis Epidermal Toksik(1)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

...

Citation preview

Nekrolisis Epidermal Toksik

I. PENDAHULUAN

Nekrolisis epidermal toksik (TEN) dan Sindroma Stevens-Johnson (SSJ)

adalah reaksi akut dari suatu pengobatan yang ditandai dengan kematian dan

pengelupasan kulit di bagian epidermis. NET umumnya merupakan penyakit yang

berat, lebih berat daripada SSJ, sehingga jika pengobatannya tidak cepat dan tepat

sering menyebabkan kematian.(1, 2)

Penyakit ini melibatkan kulit dan membran mukosa. Makula yang eritem

sebagian besar berada pada badan dan lengan yang proksimal, secara cepat berubah

menjadi lepuhan dan akhirnya akan terkelupas. Gejala kulit yang terpenting ialah

epidermolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lender di orifisium

dan mata.(1, 2)

Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Allan Lyell pada tahun1956

sebanyak empat kasus, sehingga penyakit ini disebut juga Sindrom Lyell’s. NET

ditemukan oleh Allan Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai luka

bakar pada kulit akibat terkena cairan panas (scalding). Kata “toxic” yang digunakan

mengacu pada kondisi dimana beredarnya racun dalam peredaran darah yang

menyebabkan timbulnya gejala-gejala dan nekrolisis epidermal. Sedangkan kata

“necrolysis” digunakan Lyell’s dengan menggabungkan gejala klinis epidermolisis

dengan gambaran histopatologi “necrosis’. Beliau juga menggambarkan keterlibatan

mukosa sebagai bagian dari sindrom, dan ditemukan hanya terjadi sedikit inflamasi di

daerah dermis yang kemudian disebut “dermal silence”. Sindrom ini juga dapat

mengenai konjungtiva, kornea, iris, mukosa mulut, bibir dan membran mukosa

genitalia. Gambaran klinis ini jelas berbeda dengan penyakit lain yang memiliki

1

gambaran klinik berupa lepuhan (blister) dan terjadi inflamasi, seperti yang terjadi

pada eritema multiformie, dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa.(3, 4)

Pada awalnya sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik

(NET) dianggap sebagai manifestasi dari suatu penyakit yang sama, eritema

multiforme, hanya saja tingkat keprahannya yang berbeda. Sementara itu beberapa

penulis menganggap bahwa NET merupakan kelanjutan dari SSJ yang lebih parah,

karena pada sebagian penderita SSJ penyakitnya akan berkembang menjadi NET.

Klasifikasi Bastuji-Garrin dkk (1993) dibuat berdasarkan luasnya pelepasan kulit,

pada sindrom Steven-Johnson kurang dari 10% dan pada nekrolisis epidermal toksik

lebih dari 30%. Diantara 10%-30% merupakan bentuk peralihan.(5-7)

Menurut Djuanda dkk (2009) perbedaan mendasar antara SSJ dan NET yaitu,

dimana pada NET ditemukan adanya epidermolisis, pemisahan epidermis dari

dasarnya, yang tidak ditemukan pada SSJ.(2)

II. DEFINISI

Nekrolisis epidermal toksik ialah penyakit berat, gejala kulit yang terpenting

ialah epidermolisis generalisata dapat disertai kelainan pada selaput lendir di

orifisium dan mata.(2)

Nekrosis epidermal toksik dan Steven-Johnson sindrom merupakan reaksi

akut mukokutaneus yang mengancam berupa nekrosis dan pelepasan epidermis yang

luas.(1)

III.EPIDEMIOLOGI

Penyakit NET ini bisa terjadi pada segala kelompok umur, dan meningkat

pada usia kepala empat, dan wanita lebih sering terkena. Tingkat kematian rata-rata

2

pada NET adalah 20-25%. Usia yang lebih tua, kelainan yang bermakna, dan daerah

kulit yang lebih banyak terlibat berhubungan dengan prognosis yang buruk.

Kelompok pasien yang berisiko, yaitu pasien dengan imunitas yang rendah (HIV,

Limfoma) dan pasien dengan tumor otak yang menjalani radioterapi dan menerima

anti epilepsi.(1, 3)

Diseluruh dunia insidens NET mencapai 0,4-1,3 kasus per 1 juta populasi, di

Perancis survei yang dilakukan oleh dermatologists melaporkan insidens NET

mencapai 1 kasus per 1 juta penduduk. Di amerika serikat kejadian NET dilaporkan

sekitar 0,22-1,23 kasus per 100,000 populasi.(7)

Djuanda dkk dalam bukunya dikatakan jika dibandingkan dengan Sindrom

Stevens-Johnson (SSJ), penyakit Nekrolisis epidermal toksik lebih jarang. Hanya ada

2-3 kasus setiap tahun. (2)

Tingkat mortalitas NET mencapai 34% sampai 40%. Tingkat mortalitas ini

tidak dipengaruhi oleh jenis obat. Saat ini tingkat kejadian NET meningkat sekitar 1

kasus per seribu populasi per tahun pada populasi HIV-positif. Peningkatan insiden

NET pada penderita HIV disebabkan penggunaan sulfonamid pada penderita.(8)

IV. ETIOLOGI

Penyebab dari NET masih belum jelas, namun ditemukan bahwa obat-obatan

merupakan salah satu faktor penting. Obat-obatan yang beresiko tinggi yaitu

sulfonamid, antikonvulsan aromatik, allopurinol, anti inflamasi non-steroid,

lamotrigin, dan nevirapin. Ada juga obat dengan resiko lebih rendah yang dilaporkan

jenis antibiotik non-sulfonamid seperti aminopenicilin, kuinolon, sepalosporin, dan

tetrasiklin. Mekanisme fisik seperti radioterapi dalam hal ini penangan dengan obat

anti-epilepsi seperti phenytoin, fenobarbital, atau karbamazepin dapat menimbulkan

NET dengan cara radiasi.(1)

3

Penyebab utama NET yang ditemukan yaitu allergi obat yang berjumlah 80-

95% dari semua pasien. Pada penelitian yang dilakukan selama lima tahun (1998-

2002) penyebab utama ialah derivat pensilin (24%), disusul oleh parasetamol (17%),

dan karbamazepin (24%). Penyebab yang lain adalah analgetik/antipiretik, yang lain,

kotrimokzasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, jamu dan aditif.(2)

Selain karena obat, NET dapat pula diinduksi oleh infeksi atau bersifat

idiopatik. Namun obat merupakan penyebab tersering, dilaporkan bahwa lebih dari

100 jenis obat dapat menyebabkan terjadinya NET..(9)

Tabel 1. Jenis dan nama obat yang sering menyebabkan NET.(7)

Jenis Obat Nama Obat

Antibiotik Sulfonamides 94,5 kasus per 1 juta pengguna per

minggu

Chloramphenicol

Macrolides (eritromisin)

Penisilin

Quinolon (ciprofloxacin, trovafloxacin)

Anticonvulsan Phenobarbital

Phenytoin

Carbamazepin

Valproic acid

Lamotrigine

NSAIDs Phenylbutazone dan oxybutazone

Oxicams

Ibuprofen

Indomethacin

4

Sulindac

Tolmetin

V. PATOGENESIS

Mekanisme yang jelas sehingga obat dapat menyebabkan timbulnya NET

belum diketahi secara pasti. Tetapi, mekanisme imunologis, metabolit obat yang

mengalami reaktivasi dan interaksi diantara keduanya diduga merupakan patogenesis

timbulnya NET.(10)

Meskipun rangkaian yang tepat dari peristiwa molekul dan seluler belum di

mengerti secara lengkap, beberapa studi telah memberikan petunjuk penting tentang

patogenesis dari NET. Menurut Adhi djuanda dan Mochtar Hamzah (2009), NET

ialah bentuk parah dari SSJ. Sebagian kasus-kasus SSJ berkembang menjadi NET.

Imunopatogenesis yakni merupakan reaksi tipe II (sitolitik). Studi immunopatologik

mendemonstrasikan kemunculan dari CD8+ limposit T pada epidermis dan dermis

dalam reaksi bentuk bulla, dengan ciri-ciri sel yang mirip natural killers pada fase

awal, dimana monosit akan muncul pada fase akhir. Beberapa sitokin penting yaitu

interleukin 6, TNF-α, dan Fas-L juga muncul pada lesi kulit pasien NET. TNF

mungkin juga berperan penting. Molekul ini muncul pada lesi epidermis, cairan

lepuh, dan dalam sel mononuclear perifer dan makrofag. Sekarang ditemukan teori

genetika yang juga berperan penting. Penemuan di Han cina antara NET-

carbamazepine dengan HLA-B1502 sangat berhubungan, meskipun tidak muncul

pada pasien Eropa yang tidak memiliki keturunan Asia.(1, 2)

Pada penderita NET ditemukan, keratinosit mengalami apoptosis yang luas.

Kondisi ini dipicu oleh adanya gangguan detoksifikasi metabolit obat yang bersifat

reaktif. Hal ini kemudian menginisiasi respon sistem imun tubuh membentuk

kompleks antigen yang kemudian menghasilakn sitokin-sitokin seperti interleukin

(IL)-6, TNF-α, interferon-γ, IL-18 dan Fas Ligand (FasL). Pada kondisi normal,

5

apoptosis sel segera dieliminasi pada tahap awal oleh fagosit. Namun, pada kondisi

seperti NET apoptosis yang luas terjadi sehingga kemampuan fagosit untuk

mengeliminasi sel yang apoptosis terbatas sehingga sel menjadi nekrosis dan

menghasilkan komponen intraseluler, yang menyebabkan respon inflamasi.(3)

Pada kulit yang normal FasL yang disajikan oleh keratinosit sangat rendah

dan terlokalisir di dalam sel (intraseluller). Pada lesi akibat NET, ditemukan level

FasL yang disajikan oleh kratinosit tinggi dan terletak dipermukaan luar sel

(ekstraseluler) sehingga terjadi interaksi antara Fas dan FasL. Setelah kontak terjadi

FasL menginduksi Fas multimerasi dan mengirimkan signal yang cepat sehingga

terjadi kematian cell akibat apoptosis. Semakin lausnya apoptosis semakin

menyebabkan destruksi epidermis yang luas pula.(3)

VI. GEJALA KLINIS

NET merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian

karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau karena sepsis. NET mulai

dalam 8 minggu atau biasanya 4-30 hari setelah terpapar oleh obat.(1, 2)

Gambar 1. Kematian pada kasus NET.

(dikutip dari kepustakaan no 8)

Penyakit ini dimulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit

berat dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Gejala lain

berupa sakit kepala, rhinitis, dan myalgia muncul lebih awal 1 sampai 3 hari dari lesi

kulitnya. Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak

vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat disertai lesi pada

6

bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan pendarahan sehingga

terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir.(1, 2)

TEN yang biasa juga disebut sindrom Lyell’s, memiliki karakteristik sebagai

berikut(11):

a. Nekrosis epidermis yang tebal disertai lepuhan, tanpa disertai

inflamasi dari dermis yang mengenai >30% permukaan tubuh.

b. Terdapat dua atau lebih mukosa yang erosi (orofaring, hidung, mata,

traktus genitalia, dan traktus respiratoris)

Pada NET yang terpenting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis

yang terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Adanya epidermolisis

menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit

ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Pada sebagian para pasien kelainan

kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula,

kuku dapat pula terkelupas (onikolisis).(2)

Gambar 2. Epidermiolisis yang luas pada kasus peralihan sindrom Steven-Johnson dan NET

(diambil dari kepustakaan no.5)

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan dengan melihat gambaran klinik dan

histopatologi. Gambaran klinik meliputi eritema dan makula yang luas. Disertai tanda

Nikolsky positif yang dapat timbul jika dilakukan penekanan pada kulit.(12)

7

Gambar 3: Gambar histopatologi nekrolisis epidermal toksik. A: nekrosis epidermisdengan sedikit

reaksi dilapisan dermis pada stadium puncak. B. Pelepasan epidermis dari dermis yang

menyerupai lembaran

(diambil dari kepustakaan no. 1)

Biopsi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis dengan melihat

pemisahan yang terjadi pada subepidermis dan seluruh epidermis menjadi nekrosis.

Frozen section juga dapat membatu dengan cepat membedakan antara NET dengan

scalded skin syndrom.(13)

Tidak ada pemeriksaan yang dengan pasti dapat membantu untuk mengetahui

obat mana yang menyebabkan timbulnya NET karena cara provokasi yang dianggap

dapat menentukan penyebab NET sangat berbahaya jika dilakukan. Namun,

dilaporkan teknik mengeliminasi obat yang dikonsumsi pasien tanpa harus

diprovokasi terbukti berhasil membantu mengeetahui penyebab NET. Teknik

eliminasi obat tersebut dilakukan dengan memenuhi syarat sebagai berikut:(11)

1. Kebanyakan obat yang menyebabkan NET diberikan dalam kurun waktu 1-3

minggu sebelum terjadi reaksi.

2. Obat-obat yang diberikan 48-72 jam terakhir dicatat dapat menyebabkan

NET

3. Obat yang tercatat diberikan kurang dari 24 jam terakhir tetapi dikonsumsi

dalam 3 minggu terakhir tidak termasuk penyebab NET.

8

VIII. DIAGNOSIS BANDING

a. Sindrom Steven-Johnson (SSJ)

Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan selaput lendir

diorifisium dan kelainan mata. Karena NET dianggap bentuk parah dari SSJ,

makanya hendak dicari apakah terdapat epidermolisis. Pada NET terdapat

epidermolisis generalisata yang tidak terdapat pada SSJ.(14)

Gambar 4 : makula eritem disertai pelepasan kulit pada beberapa area yang

ditemukan pada sindrom Steven-Johnson

(diambil dari kepustakan no.11)

b. Staphylococcus scalded skin syndrome

Staphylococcus scalded skin syndrome (SSSS) merupakan penyakit yang

ditandai dengan munculnya lepuhan-lepuhan pada kulit yang disebabkan racun yang

dihasilkan oleh Staphylococcus aureus.(15)

Epidermolisis yang terjadi pada Staphylococcus scalded skin syndrome mirip

dengan nekrolisis epidermal toksis, hanya saja pada Staphylococcus scalded skin

9

syndrom epidermolisis hanya terbatas pada stratum korneum. Dari segi usia,

nekrolisis epidermal toksik muncul pada usia dewasa sedangkan staphylococcus

scalded skin syndrom muncul pada bayi dan anak-anak.(15)

Gambar 5: SSSS yang terjadi generalisata pada neonatus.

(diambil dari kepustakaan No.14)

c. Pemfigus

Berdasarkan gambaran histopatologinya dapat didefersiasi dengan penyakit

pemfigus. Pemfigus nampak sama dengan NET hanya saja pada pemfigus perjalanan

penyakitnya lambat dan lebih terlokalisasi.(13)

Pemfigus merupakan suatu penyakit serius yang bersifat akut maupun kronik,

yang disebabkan oleh proses autoimun. Keadaan umum biasanya buruk, lesi biasanya

dimulai pada mukosa mulut, lesi tersebut biasanya berlangsung berbulan-bulan

sebelum timbul bulla generalisata. Penyakit ini tidak disertai gatal tetapi nyeri dan

rasa terbakar sering dikeluhkan oleh penderita pada daerah yang mengalami erosi dan

bulla.(16)

Bulla yang timbul berdinding kendur, mudah pecah, dengan meninggalkan

kulit terkelupas dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas kulit

yang terkelupas tersebut. Bulla dapat timbul di atas kulit yang tampak normal atau

yang eritematous. Tanda nikolskiy positif disebabkan oleh adanya akantolisis.(17)

10

Gambar 6: Bulla dan erosi yang luas pada pasien pemfigus vulgaris

(diambil dari kepustakaan no 16)

d. Sistemik Lupus eritematous

Penyakit vesickobulosa yang mirip dengan NET juga ditemukan pada pasien

Lupus eritematous akut dan subakut yang tidak diobati. Sontheimer dkk

memperkenalkan acute syndrome of apoptotic pan-epidermolysis untuk

menggambarkan sindrom klinis ini. (3)

Gambar 7: Subakut kutaneus Lupus eritematous. Berupa plak eritematous pada badan dan

leher penderita

(dikutip dari kepustakaan no. (18))

11

e. Luka bakar dan foto toksik

Luka bakar dan foto toksik dapat dihubungkan dengan NET jika dilihat dari

nekrosis epidermal yang terjadi. Tetapi, jika dilihat dari gambaran klinik secara

keseluruhan dan riwayat serta distribusi lesinya sebenarnya berbeda. (3)

Gambar 8. Gambaran Nekrolsis epidermal toksik yang menyerupai luka bakar. Tampak

kemerahan dan terdapat lepuhan.

(diambil dari kepustakaan 11)

IX. Penatalaksanaan

Jika NET disebabkan oleh pengunaan obat, maka obat yang diberikan tersebut

dihentikan penggunaanya. Selain itu, penatalaksanaan dilakukan secara simptomatik.

Perawatan yang intensif dan dukungan medis dibutuhkan, seperti pemasangan central

venous line, pemberian cairan intravena dan elektrolit. Beberapa pasien memerlukan

perawatan seperti layaknya luka bakar. Beberapa pendapat tidak menganjurkan

penggunaan kortikosteroid, tetapi jika diberikan hanya boleh diberikan dalam jangka

waktu yang singkat. Pemberian IgG dapat dipertimbangkan.(13)

Terapi Topikal

12

Meskipun lepuhannya sangat mudah pecah tapi jika belum juga pecah dapat

kita pecahkan dan kemudian diberi salep clorheksadine, octenisept atau polyhexadine

solution. Selain itu, penggunaan disinfektan yang digunakan untuk berkumur juga

dibutuhkan pada pasien NET untuk mengobati erosi pada mukosa mulut dan juga

dibutuhkan dexphantenol untuk mengobati erosi dan krusta yang ada di derah bibir.

Penanganan multidisiplin dibutuhkan pada lesi yang mengenai mukosa uretra ataupun

mata. Oleh karena itu pasien juga dikonsul pada bagian lain, yaitu spesialis urologi

dan spesialis mata.(19)

Perawatan Supportif

Pasien ditempatkan pada suhu kamar (30-320C) dan dibaringkan di atas

matras yang mudah ditukar (alternating matrass). Pasien NET membutuhkan

penggantian cairan elektrolit (0,7/kgBB/% area tubuh yang terkena) dan albumin (5%

human albumin, 1 ml/kgBB/% daerah yang terkena). Jika pasien tidak dapat makan

secara langsung, harus diberikan makanan melalui selang nasogastrik (1500 kalori

dalam 1500 ml pada 24 jam pertama, dan dinaikkan 500 kalori hingga mencapai

3500-4000 kalori per hari). Monitoring untuk pencegahhan infeksi diperlukan, jika

terdapat tanda infeksi pemeberian antibiotik dianjurkan dan menunggu hingga hasil

kultur dan sensitivitas keluar. Pemberian sedasi dan analgesik dianjurkan berdasrkan

tingkat keparahan.(19)

Pemberian Immunoglobulin dan kortikosteroid

Djuanda (2009) mengatakan dalam bukunya, pengobatan yang dilakukan

yaitu dengan kortikosteroid. Cara pengobatan mirip dengan pengobatan pada

Sindrom Stevens Johnson (SSJ). Perbedaannya mengenai dosisnya, Nekrolisis

epidermal toksik (NET) lebih parah daripada SSJ sehingga dosis kortikosteroid lebih

tinggi, umumnya deksametason 40 mg sehari Intra vena dosis terbagi. Bila setelah

dua hari diobati dengan cara tersebut, masih juga timbul lesi baru hendaknya

dipikirkan kemungkinan alergi terhadap obat yang diberikanpada waktu rawat inap.(2)

13

Penggantian plasma menghasilkan remisi yang komplit dalam dua kali

pemberian. Plasmaparesis merupakan intervensi yang aman bagi pasien yang parah

dan menurunkan tingkat mortalitas. Intravena immunoglobulin G merupakan

penalatalaksanaan yang aman dan efektif untuk penderita NET dewasa dan anak-

anak. Penatalaksanaan dengan IVIG 3g/Kg dalam 3 hari atau 1g/Kg perhari untuk 3

hari direkomendasikan. Untuk mendapatkan hasil yang baik beberapa penulis

melaporkan dengan dosis maksimal 4g/Kg dalam 4 hari.(3, 8)

X. KOMPLIKASI

Toksik epeidermal nekrolisis merupakan kondisi kegawatdaruratan yang dapat

berakibat fatal. Infeksi dan kehilangan cairan serta elektrolit merupakan keadaan yang

mengancam. Nyeri yang dirasakan hampir di seluruh tubuh membuat pasien

menderita. Setelah fase akut terlewati kemungkinan menyebabkan timbulnya skar

pada kornea. Pasien NET juga sangat berisiko terkena hipotermi.(13, 20)

Satu diantara komplikasi yang parah adalah terkenanya epitel trakea dan

bronkial yang tejadi pada 20% pasien. Hipoksemia, hipocapnia dan alkalosis

metabolik adalah tanda penting dibutuhkannya ventilasi mekanik, ketiga kondisi

tersebut juga meningkatkan resiko kematian.(19)

Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya

ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonefritis.(2)

XI. PROGNOSIS

Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika

disebabkan alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit meliputi 50-70% permukaan

kulit, prognosisnya buruk. Jadi luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya.

Juga bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia. Angka kematian antara tahun

14

1999-2004 (selama 5 tahun) hanya 16,0% jadi lebih tinggi dari pada SSJ yang hanya

1 % karena NET memang lebih berat. Tingkat mortalitas pada pasien NET meningkat

pada pasien yang berusia lebih tua dan mengenai area tubuh yang luas. (2)

Lebih dari 50% pasien yang pernah menderita NET memiliki gejala sisa,

meliputi konjutiva sinekia, entropion, skar pada kulit, pigmentasi yang irreguler,

nevus yang eruptif, phimosis, vaginal sinekia, distrofi kuku, rambut rontok yang

difus.(2,!2)

Untuk memprediksi tingkat mortalitas dilihat berdasarkan tujuh factor resiko

SCORTEN, yaitu:(21)

a. Umur > 40 tahun

b. Frekuensi nadi ≥ 120/menit

c. Riwayat keganasan

d. Meliputi >10% permukaan tubuh

e. Serum nitrogen urea >10 mmol/L

f. Serum bicarbonat< 20 mmol/L

g. Serum glukosa >14 mmol/L

Tiap poin di atas bernilai 1 point. Dan berdasrkan penilain diatasa prognosis

mortalitasnya yaitu; Skor 0-1, mortalitasnya 3,2%. Skor 2, mortalitasnya 12,1%, skor

3 mortalitasnya 35,8%, skor 4, mortalitasnya 58,3% dan skor =5 mortalitasnya 90%.(3)

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Veleyrie-Allanore L, Roujeau J-C. Epidermal Necrolysis In: WOLFF K, GOLDSMITH LA, KATZ SI, GILCHREST BA, PALLER AS, LEFFELL DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw.Hill; 2008. p. 349-55.

2. Djuanda A, Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toksis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. kelima ed. Jakarta: FKUI; 2009. p. 166-8.

3. Steven johnson sindrom dan Necrolysis epidermal toxic. 2 ed. Bolognia JL, LJorizzo J, Rapini RP, editors: Mosby; 2008.

4. Breathnach SM. Erythema multiformis, Steven Jhonson sindrom, Necrolysis epidermal toxic. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rooks' Text of Dermatology. 7 ed. Australia: Blackwell; 2004. p. 74.1-11.

5. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia. Eritema multiforme/Sindrom Steven-Johnson/Nekrolisis epidermal toksik. 2005.

16

6. DO SJP. Steven Jhonson Sindrom and Toxic Epidermolysis. 2007; Available from: http://link.springer.com/article.

7. Klein PA. Toxic Epidermal Necrolysis. 2011 [cited 2012 10 november 2012]; Available from: http://emedicine.com/article.

8. The Stevens-Johnson Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis Spectrum of Disease. In: Habif TP, editor. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4 ed. Philadelphia, Pennsylvania: Mosby; 2004. p. 630-4.

9. Bullous Drug Reactions (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In: William D James M, Timothy G Berger M, Dirk M Elston M, editors. Andrews' Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10 ed. Philadelphia, USA: Saunders ELsevier; 2000. p. 129-30.

10. George J, Sharma A, Dixit R, Chhabara N, Sharma S. Toxic epidermal necrolysis caused by fluconazole in a patient with human immunodeficiency virus infection. Journal of Pharmacology and Pharmachotherapeutics. 2012;3(3):276-8.

11. Das SK, Jana PK, Bandyopadhyay AK, Biswas I. Ethambutol and pyrazinamide-induced toxic epidermal necrolysis in an immunocompetent adult with tuberculosis. Lung India. [case report]. 2012:1-2.

12. Harr T, Lars E F. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome. Orphaned Journal of Rare Disease. 2010:1-12.

13. Bullous disease. 3 ed. Hunter J, Savin J, Dahl M, editors. Victoria: Blackwell; 2002.

14. Hamzah M. Sindrom Steven-Johnson. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 ed. Jakarta: FKUI; 2007. p. 163-4.

15. Ladhani S, Joannou CL, Lochrie DP, Evans RW, Poston SM. Clinical, Mikrobial and Biochemical Aspects of the Exfoliative Toxins causing Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. Clinical Microbiology Reviews. 1999;12:224-37.

16. Bullous disease. In: Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatrick's Color Atlas &Synopsis of Clinical Dermatology. 6 ed. New York: McGraw Hill; 2009. p. 106-9.

17. Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kroni. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2007. p. 204-5.

18. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Skin sign immune, autoimmune, and rheumatic disease. Fitzpatrick's Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 5th ed. New York: McGraw Hill; 2003.

17

19. Mockenhaupt M. The current understanding of Steven-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Expert-Review. 2011:803-15.

20. Vern-Gross TZ, Kowal-Vern A, Poulakidas SJ. Toxic Epidermal Necrolysis in an irradiated Patient Treated with a Nanocrystalline Seilver Dressing. KARGER. 2012.

21. Kim H-I, Kim S-W, Park G-Y, Kwon E-G, Kim H-H, Jeong J-y, et al. Causes and Treatment Outcomes of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in 82 Adult Patients. Korean Journal of Internal Medicine. 2012.

18