29
Tugas Mandiri Dosen Pembimbing PERAKTEK MONOPOLI RONY KURNIAWAN SH.MH TINDAKAN YANG DI LARANG DALAM PERSAINGAN USAHA UU NOMOR 5 TAHUN 1999 OLEH : INDRA WIJAYA 11027100841 JURUSAN ILMU HUKUM/VI FAKULTAS SYARIAH & ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM

Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah ini menjelaskan hal hal yang di larang dalam UU no 5 tahun 1999 dalam persaingan usaha.

Citation preview

Page 1: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

Tugas Mandiri Dosen Pembimbing

PERAKTEK MONOPOLI RONY KURNIAWAN SH.MH

TINDAKAN YANG DI LARANG DALAM PERSAINGAN USAHA

UU NOMOR 5 TAHUN 1999

OLEH :

INDRA WIJAYA

11027100841

JURUSAN ILMU HUKUM/VI

FAKULTAS SYARIAH & ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN SYARIF KASIM

R I A U

2013

Page 2: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

KATA PENGENTAR

Alhamdulliah puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Hukum Adat berjudul “tindakan

Yang Dilarang dalam persaingan usaha ( UU NOMOR 5 TAHUN 1999 )” tepat pada

waktunya dan kita semua dapat membaca serta mepelajari makalah saya yang sangat

sederhana ini.

Makalah ini pada mengupas pemahaman-pemahaman yang berkaitan tentang Peraktek

Monopoli yang diuraikan dan disusun secara sistematis agar semua orang dengan mudah

dapat memahaminya.

Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam

menyelesaikan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain Ibu

dosen pembimbing yaitu dan juga teman-teman yang selalu memberikan masukan kepada

saya.

Akhir kata saya mengucapkan mohon maaf karena masih banyaknya kekurangan

disana-sini yang terdapat dalam makalah ini, oleh sebab itu saya mengharapkan kritik dan

saran yang membangun dari semua pihak agar kiranya dapat mencapai kesempurnaan

makalah-makalah kami diwaktu yang akan datang. Mudah-mudahan makalah ini dapat

bermanfaat bagi kita semua yang mau mempelajarinya dengan ikhlas.

Pekanbaru, 12 Juni 2013

Penulis

INDRA WIJAYA

2

Page 3: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................. 2

DAFTAR ISI ................................................................................. 3

BAB I

Pendahuluan

Latar Belakang Masalah ................................................................ 5

Rumusan masalah .......................................................................... 5

Tujuan Penelitian ........................................................................... 5

BAB II

Pembahasan

A. Perjanjian Yang Dilarang

1. Oligopoli..................................................…....……..…. 7

2. Penetapan Harga............................................................. 8

3. Pembagian Wilayah/Market........................................... 9

4. Pemboikotan................................................................... 9

5. Kartel.............................................................................. 11

6. Trust................................................................................ 11

7. Oligopsoni...................................................................... 12

8. Integrasi Vertikal............................................................ 12

9. Perjanjian tertutup.......................................................... 12

10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negri.............................. 13

B. Kegiatan yang dilarang

1. Monopoli........................................................................ 13

2. Monopsoni...................................................................... 14

3. Penguasaan Pasar........................................................... 15

4. Persekongkolan.............................................................. 16

C. Posisi Dominan

1. Penyalah Gunaan Posisi Dominan................................. 16

2. Jabatan Rangkap............................................................. 17

3. Pemilikan Saham............................................................ 17

4. Penggabungan, Peleburan, Pengalihan........................... 18

3

Page 4: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

BAB III

Penutup

Kesimpulan .................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA…………………………………….……….. 20

4

Page 5: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli membuat tiga kategori tindakan-

tindakan yang dilarang, yaitu "perjanjian yang dilarang" (Bab III), " kegiatan yang dilarang"

(Bab IV), dan "posisi domiinan" (Bab V). Didalarn kategori "perjanjian yang dilarang"

ditentukan ada scpuluh tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkan

untuk kategori "kegiatan yang dilarang" dan "posisi dominan" masing-masing ditentukan ada

empat dan tiga tindakan yang tidak diperbolehkan.

Dua kategori yang pertama ("perjanjian yang dilarang" dan "kegiatan yang dilarang")

tarnpak lebih ditekankan pada pcngaturan perilaku (behavior) yang mengarah pada akibat

yang tidak dikehendaki, sedangkan kategori "posisi dominan" lebih dititik breratkan pada

larangan penggunaan struktur tertentu (posisi dominan) untuk bersaing secara tidak fair.

Di dalain wacana hukum persaingan usaha, aturan yang dititikberatkan pada larangan

perilaku tertentu dikatakan sebagai aturan yang memiliki pendckatan "behavioral."

Sedangkan aturan yang melarang pembentukan atau penyalahgunaan struktur disebut sebagai

aturan yang merniliki pendekatan "struktural".

Meskipun Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli menentukan adanya tiga

kategori tindakan yang dilarang, dasar yang dipakai untuk mcmbuat katégori tersebut tidak

terlalu jelas. Ketidakjelasan itu khususnya tampak dari katcgori yang pertama dan kategori

yang kedua.

Sebaliknya, tidak terlalu jelas pula mengapa pemboikotan sebagai Salah satu tindakan

yang dilarang diletakkan di bawah kategori "perjanjian yang dilarang scmentara pemboikotan

(boycott) sebenarnya bisa dilakukan olch pelaku tunggal (single actor) tanpa perjanjian

dengan pihak lain.

Terlepas dari kekurang jelasan kategorisasi di atas, dalam bagian ini hendak diuraikan

masing-masing kategori scrta tindakan-tindakan yang dilarang secara lebih rinci.

5

Page 6: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

B. Rumusan Masalah

Apa saja Tindakan-Tindakan Yang di Larang Dalam Persaingan Usaha Menurut UU

NO 5 Tahun 1999 ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Tindakan-Tindakan Yang di

Larang Dalam Persaingan Usaha Menurut UU NO 5 Tahun 1999.

6

Page 7: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

BAB II

PEMBAHASAN

A.Perjanjian yang Dilarang

Ada sepuluh tindakan yang tcrgolong sebagai "perjanjian yang dilarang". Masing-

masing tindakan tersebut akan diuraikan berikut ini.

1. Oligopoli (Pasa14)

Pengertian oligopoli tidak didapati secara tegas, baik di dalam definisi peristilahan

(Pasal 1) maupun dalam Pasal 4 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli. Namun,

secara implisit dapat ditafsirkan bahwa oligopoli adalah penguasaan produksi dan atau

pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat oleh beberapa pelaku usaha secara bcrsama-sama dengan

pembuatan perjanjian.

Berbeda dari monopoli yang dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok pelaku

usaha, oligopoli dilakukan oleh beberapa pelaku usaha. Ayat (2) dari Pasa14 menentukan

perihal batas minimal penguasaan pangsa pasar untuk dapat dikatakan oligopoli.

Menurut ayat terscbut, oligopoli dianggap terjadi apabila pcnguasaan bersama atas

produksi dan atau pcmasaran barang/jasa menghasilkan penguasaan dua atau tiga pelaku

usaha/kelompok pelaku usaha atas 75% pangsa pasar barang atau jasa tertentu.

Contoh:

Perusahaan x, Perusahaan y, dan Perusahaan z masing-masing memproduksi barang A.

Dikatakan terjadi oligopoli apabila ketiga perusahaan itu menguasai produksi pemasaran

barang A dan pcnguasaan itu menghasilkan penguasaan pangsa pasar sebesar 75% oleh dua

atau tiga pcrusahaan.

7

Page 8: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

2. Penetapan Harga (Pasal 5 - 8).

Penetapan harga yang diadakan pelaku usaha dengan pesaingnya (horizontal price

fixing) untuk menetapkan harga yang harus dibayar konsumen untuk suatu barang pada pasar

bersangkutan yang sama (Pasal 5 ayat (1)). Ketentuan ini dapat disimpangi apabila perjanjian

penetapan harga itu dibuat dalam suatu usaha patungan atau didasarkan pada undang-undang

yang berlaku ((Pasal 5 ayat (2).

Penetapan harga oleh pelaku usaha dengan perjanjian yang mcngakibatkan pembeli

yang satu harus membayar harga yang A berbeda dari harga yang dibayar pembeli lain untuk

barang dan jasa yang sama (Pasal 6).

Ada ketidakjelasan di dalam ketentuan Pasal 6. Menurut pasal tersebut yang dilarang

adalah diskriminasi harga (price discrimination) yang didasarkan pada perjanjian (oleh karena

itu tindakan ini termasuk kategori "perjanjian yang dilarang") padahal sebenarnya

diskriminasi harga bisa dilakukan secara unilateral, tanpa perjanjian apa pun. Pasal 6 yang

mernberi tekanan pada perjanjian sebagai dasar diskriminasi harga bisa rnemunculkan

pertanyaan eontang boleh tidaknya diskriminasi harga secara sepihak (unilateral) yang tidak

didasarkan pada perjanjian.

Penetapan harga di bawah harga pasar melalui perjanjian horizontal (antara pélaku

usaha dengan pesaingnya) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat

(Pasal 7).

Dikaitkan dengan isi Pasal 5 ayat (l), Pasal 7 ini sebenarnya mcrupakan pasal yang

berlebihan. Pasal 5 ayat (1) ini jelas melarang pclaku usaha untuk rnernbuat perjanjian

penetapan harga déngan pesaingnya untuk rnonentukan harga yang harus dibayar oleh

konsumen. Karena yang dilarang oleh Pasal 5 adalah perjanjian untuk menetapkan harga,

sernestinya perjanjian penetapan harga di bawah harga pasar yang dimaksudkan oleh Pasal 7

sudah tercakup di dalam Pasal 5.

Penetapan harga maksimal secara vertikal atau vertical maximum price fixing (Pasal

8). Pasal 8 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang mensyaratkan penerima

barang/jasa tidak akan menjual kernbali barang/jasa tersebut dengan harga lebih rendah dari

harga tertentu yang diperjanjikan. Praktek semacam ini juga disebut RPM (resale price

maintenance).

8

Page 9: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

Contoh:

Perusahaan x menjual barang A pada Perusahaan y (distributor) dengan syarat Perusahaan y

tidak boleh menjual barang tersebut

di bawah harga tertentu.

3. Pombagian Wilayah / Market / Territorial Distribution (Pasal 9)

Pasal 9 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya

dongan maksud rnembagi wilayah atau alokasi pasar barang/jasa sehingga rnengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Karena yang dilarang oleh Pasal 9 adalah perjanjian di antara para pesaing

(horizontal), dapat ditafsirkan bahwa perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain

yang bukan pesaing, melainkan distributor / retailer-nya (vertikal), tidak terrnasuk dalam

ruang lingkup pengaturan Pasal 9. Namun, ternyata di dalam penjelasan Pasal 9 dikatakan

bahwa perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 9 rnencakup pcrjanjian yang bersifat horizontal

maupun vertikal.

Untuk menghindari ketidakjelasan yang justru muncul dari bagian penjelasan Pasal 9,

sebenarnya akan lebih baik apabila dibuat definisi untuk "perrjanjian vortikal" dan

"pcrjanjian horizontal". Tanpa penjelasan dernikian, kontradiksi sangat mungkin muncul di

antara pasal yang satu dengan pasal yang lain atau di antara satu pasal dengan penjelasannya.

Pasal 9 rnelarang perjanjian antara pelaku usaha dengan pesaingnya (horizontal), sedangkan

penjelasan Pasal 9 justru rnemperluas dan rnengaburkan isi Pasal 9 dengan rnemasukkan juga

perjanjian vertikal dalam cakupan pasal tersebut.

Contoh permasalahan yang rnungkin tirnbul adalah sebagai berikut:

Perusahaan A rnemiliki lima distributor (B, C, D, E, dan F). Karena masing masing

merupakan distributor dari barang yang sama (produk Perusahaan A), maka rnereka berada

pada posisi pesaing satu sarna lain. Yang dilarang oleh Pasal 9 adalah perjanjian pembagian

wilayah antar pesaing, sehingga dalarn hal ini dua distributor atau lebih (di antara B, C, D, E,

dan F) tidak dibenarkan rnembuat perjanjian wilayah. Persoalan akan muncul dalam hal

pembagian wilayah tidakd ibuat

9

Page 10: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

di antara para distributor yang saling menjadi pesaing, melainkan antara Perusahaan A

dengan setiap distributornya. Karena Perusahaan A pada akhirnya berkopentingan agar

produknya diserap pasar, bisa saja ia rnernbuat perjanjian dcngan setiap distributor yang

menentukan wilayah pernasaran distributor tersebut. Dengan distributor B rnisalnya,

Perusahaan A menentukan bahwa wilayah pemasaran B adalah di lokasi I. Dengan C,

Perusahaan A mernbuat perjanjian untuk rnenentukan lokasi ll sebagai wilayah pemasaran.

Hal yang sama juga dilakukan A dengan D, E, dan F yang masing-masing ditentukan

rnemiliki wilayah pemasaran sendiri sendiri. Meskipun berakhir pada kondisi terbaginya

wilayah pemasaran para distributor sebagai pesaing, dalarn kasus di atas para distributor tidak

rnengadakan perjanjian di antara mereka.

Perjanjian diadakan antara perusahaan A dengan B, C, D, E, dan F. Karena A berada

pada tahap distribusi yang berbeda dari B, C, D, E dan F, sulit mengatakan bahwa A adalah

pesaing B, C, D, E, dan F.

Menurut Pasal 9, perjanjian antara A dengan masing-rnasing distri butornya tidak

terinasuk perjanjian yang dilarang mengingat perjanjian itu tidak terjadi antara A dengan

pesaing-pesaingnya. Narnun, apabila restriksi Pasal 9 ditinggalkan sama sekali dan

penjelasan Pasal 9 diterapkan, perjanjian vertikal antara A dongan B, C, D, E, dan F bisa

menjadi perjanjian yang dilarang.

Di sini lantas tarnpak adanya inkonsistensi antara Pasal 9 dengan penjelasannya. Pasal

9 yang sudah cukup sernpit ternyata diperluas lagi oleh penjelasannya. Sebenarnya,

penjelasan harus bersifat mempertegas atau mempersempit ketentuan pasal, bukan

sebaliknya.

4. Pemboikotan (Pasal 10)

Seperti telah disinggung di muka, pemboikotan yang secara tegas diatur oleh Undang-

Undang Larangan Praktek Monopoli adalah pernboikotan yang dilakukan dengan perjanjian.

Satu hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa sobenarnya pemboikotan bisa dilakukan

secara sepihak (unilateral), tanpa perjanjian dengan pihak lain.

Unilateral boycott tidak secara togas diatur di dalam Undang-Undang Larangan

Praktek Monopoli. Menurut Pasal 10, pemboikotan dapat terwujud dalam dua bentuk, yaitu

sebagai berikut.

10

Page 11: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

Perjanjian horizontal (antar pesaing) untuk menghalangi pelaku usaha lain melakukan

usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalarn negéri rnaupun luar negeri (prevention to

enter a business) yang diatur dalam ayat (1). Perjanjian horizontal guna menolak penjual

setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga merugikan/dapat diduga

merugikan pelaku usaha lain atau membatasi pelaku usaha lain dalain menjual atau meinbeli

barang/jasa dari pasar yang bersangkutan (ayat 2).

Apa yang diatur dalain Pasal 10 ayat (2) tersebut juga dikenal dcngan istilah "refusal

to deal", yang sekali lagi tidak harus terjdi melalui perjanjian, melainkan bisa melalui

tindakan tunggal sepihak (single unilateral action).

5. Kartel (Pasal 11)

Meskipun tidak ada definisi yang tegas tentang kartel di dalarn Undang-Undang

Larangan Praktek Monopoli, dari Pasal 11 dapat dikonstruksikan bahwa kartel adalah

perjanjian horizontal untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau

pernasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

6. Trust (Pasal 12)

Pasal 12 berisi larangan bagi pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian yang

mengarah pada pernbentukan trust. Tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang

dimaksud dengan trust, narnun dari Pasal 12 dapat dikemukakan bahwa trust adalah

pembentukan gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap

mempertahankan identitas perusahaan anggotanya dengan tujuan mengontrol produksi dan

atau pernasaran barang/jasa.

Trust sebenarnya merupakan bentuk kerja sama yang lebih bersifat integratif

dibanding kartel. Anggota-anggota kartel hanya diikat oleh perjanjian / kesepakatan (atau

paling banter mengambil bentuk "asosiasi pengusaha" yang tidak berbadan hukum),

sementara anggota-anggota trust diikat oleh perusahaan gabungan yang lebih besar.

11

Page 12: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

7. Oligopsoni (Pasal 13)

Selain oligopoli yang diatur di dalam Pasal 4, Undang-Undang Larangan Praktek

Monopoli juga secara khusus melekatkan larangan bagi dibuatnya perjanjian yang mengarah

pada terjadinya oligopsoni , yakni penguasaan pembelian atau penerimaan pasokan oleh

beberapa pelaku usaha sehingga mereka bisa mengendalikan barang atau jasa dalam pasar

bersangkutan.

Ayat (2) dart Pasal tersebut menjelaskan bahwa oligopsoni patut diduga terjadi

apabila dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar barang/jasa

tertentu. Pasal 13 ternyata juga tidak bisa menjelaskan segala hal. Pertanyaan bisa muncul

dalarn hal 80% pangsa pasar dikuasai oleh tiga pelaku usaha, narnun penguasaan itu tidak

rnengakibatkan terjadinya praktek rnonopoli sebagairnana disyaratkan oleh Pasal 13 ayat (1)

8. Integrasi Vertikal (Pasal 14)

Apabila rnengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 14 melarang dibuatnya

perjanjian integrasi vertikal. Penjelasan Pasal 14 menyebutkan bahwa integrasi vertikal

adalah penguasaan serangkaian proses produksi barang tertentu rnulai hulu sampai hilir atau

proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha.

Apabila dicermati, ada pertentangan antara Pasal 14 dengan penjelasan ya. Penjelasan

Pasal 14 mengartikan integrasi vertikal sebagai :

penguasaan proses produksi "dari hulu sampai hilir", sedangkangkan Pasal 14 tidak

mcnsyaratkan integrasi vertikal yang sedemikian luas rnulai dari hulu hingga hilir.

9. Perjanjian Tertutup (Pasal 15)

Ada ernpat jenis perjanjian yang dilarang oleh Pasal 15 di bawah judul "Perjanjian

Tertutup". Masing-masing perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.

· Perjanjian yang mensyaratkan bahwa pihak penerima barang/jasa hanya mernasok

barang/jasa tersebut pada pihak tertentu atau pada tempat tertentu. Dengan kalimat lain,

perjanjian ini melarang atau mewajibkan seseorang penerima barang/jasa memasok kepada

pihak tertentu.

12

Page 13: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

· Perjanjian yang mensyaratkan bahwa pihak penerima barang/jasa harus bersedia

membeli barang/jasa lain dari pernasok (tgying-in arrangement).

· Perjanjian tentang harga atau potongan harga barang/jasa dengan penerirna barang/jasa

harus membeli barang/jasa lain dari pemasok (conditional tying-in).

· Perjanjian tentang harga atau potongan harga barang/jasa dengan syarat penerirna

barang/jasa tidak akan membeli barang / jasa yang sama atau sejenis dari pesaing pemasok

(conditional exclusive dealing). Penjelasan Pasal 15 menegaskan bahwa pengertian memasok

mencakup tindakan menyediakan pasokan, jual be1i, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa

guna usaha (leasing).

10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)

Pasal 16 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli berbunyi,

"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain diIuar negeri yang

memuat ketentuan yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktek rnonopo1i dan atau

persaingan usaha tidak sehat'

Pasal ini sebenarnya cukup baik, karena merupakan antisipasi terhadap kemungkinan

interaksi pelaku usaha domestik dengan pelaku usaha asing. Hanya saja substansi pasal ini

sangat sumir. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah bagaimana dengan perjanjian antara

pelaku usaha dengan pelaku usaha asing yang rnengakibatkan persaingan usaha tidak sehat

dan bukan di dalam negeri, melainkan di luar negeri. Pasal 16 dan penjelasannya tidak

menegaskankan tentang di pasar mana (domestik atau asing) praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat disyaratkan terjadi.

B. Kegiatan yang Dilarang

Kategori yang kedua dari tindakan-tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang

Larangan Praktek Monopoli adalah "kegiatan yang dilarang". Seperti telah disinggung di

muka, kategorisasi tindakan-tindakan yang dilarang menjadi tiga jenis tidak terlampau jelas.

Namun demikian, kategori pertama yang telah diuraikan sebclumnya ("perjanjian yang

dilarang") agaknya dibuat untuk mewadahi larangan terhadap tindakan yang dilakukan

dengan perjanjian dan dengan demikian tindakan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu aktor

yang saling bekerja sama melalui perjanjian.

13

Page 14: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

Kategori kedua ini tampaknya dimaksudkan untuk mengakomodasi larangan terhadap

tindakan-tindakan yang hanya melibatkan seorang pelaku (unilateral action), bukan dua atau

lebih pelaku seperti yang ada dalam kategori "perjanjian yang dilarang".

Di bawah subjudul "kegiatan yang di1arang", Undang-Undang Larangan Praktek

Monopoli menentukan ada empat aktivitas yang tidak diperbolehkan. Masing-masing

tindakan tersebut akan diuraikan dibawah ini.

1. Monopoli (Pasal 17)

Pasal 17 melarang pelaku usaha melakukan monopoli yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dari isi Pasal 17 itu dapat

ditafsirkan bahwa tidak setiap monopoli dilarang. monopoli dilarang apabila mengakibatkan

terjadinya praktek dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Kondisionalitas bahwa monopoli yang dilarang adalah yang mangakibatkan terjadinya

praktck monopoli atau persaingan usaha tidak sehat sebenarnya berlebihan. Dengan mengacu

pada dafinisi peristilahan yang ada pada Pasal 1, sesungguhnya cukup disyaratkan bahwa

monopoli yang dilarang adalah yang mengakibatkan praktek monopoli.

Di dalam pengertian praktek monopoli telah terkandung pengertian mcnimbulkan

persaingan usaha tidak sehat (lihat pengertian istilah "praktek monopoli ") sehingga

persaingan tidak sehat sebenarnya tidak perlu dinyatakan tersendiri berdampingan dengan

praktek monopoli sebagai syarat monopoli yang tidak diperbolehkan.

Ayat (2) dari Pasal 17 memuat indikator yang bisa menjadi dasar dugaan terjadinya

monopoli yang dilarang. Menurut ayat (2) tersebut, seorang pelaku usaha patut diduga

melakukan monopoli yang dilarang apabila terjadi hal-hal berikut :

Barang dan atau jasa yang di monopoli belum ada substitusinya.

· Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang

dan atau jasa yang sarna. Penjelasan ayat (2) Pasal ini menyebutkan bahwa pelaku usaha lain

yang dimaksud adalah pelaku usaha yang mempunyai kcmampuan usaha bersaing yang

signifikan dalam pasar bersangkutan.

· Satu atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis

barang atau jasa tertentu.

14

Page 15: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

2. Monopsoni (Pasal 18)

Definisi yang tegas tentang monopsoni tidak didapati di mana pun dalam Undang-

Undang Larangan Praktek Monopoli. Meskipun demikian, dari Pasal 18 dapat

dikonstruksikan bahwa Monopsoni adalah penguasaan penerimaan pasokan atau menjadi

pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Seperti telah disebutkan dalam bagian awal, monopsoni sebenarnya adalah monopoli dari

sisi pembeli (monopoly of demand). Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli juga

melarang Monopsoni sepanjang tindakan itu mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

atau persaingan tidak sehat. Mengingat di dalam istilah praktek monopoli telah terkandung

pengertian persaingan usaha tidak sehat, sebenarnya dua hal ini tidak perlu disejajarkan

sebagai syarat monopsoni yang tidak dipcrbolehkan.

Berbeda dari Pasa1 17 tentang rnonopoli, Pasal 18 tentang monopsoni hanya

mencantumkan satu indikator yang bisa mendasari dugaan terjadinya monopsoni yang

dilarang. Berdasarkan ayat (2) Pasal 18, pelaku usaha patut diduga melakukan Monopsoni

yang dilarang apabila satu atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%

pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Tidak ada kejelasan mengapa dua indikator

lain di dalam monopoli tidak diadopsi sekalian ke dalarn tindakan Monopsoni yang dilarang.

3. Penguasaan Pasar (Pasal 19 - Pasal 24)

Di bawah judul "Penguasaan Pasar" Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli

melarang pelaku usaha, baik sendiri ataupun secara bersama-sama melakukan kegiatan-

kegiatan yang diuraikan dalam Pasal 19 - Pasal 24. Menurut pasal-pasal tersebut, kegiatan

yang dilarang di bawah judul "penguasaan pasar" meliputi hal-hal berikut :

Menolak dan atau rnenghalangi pelaku usaha tcrtentu untuk rnelakukan kegiatan usaha

yang sama pada pasar bersangkutan (Pasal 19 huruf a).

Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk rnelakukan hubungan

usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu (Pasal 19 huruf b).

Membatasi peredaran bahan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar

beersangkutan (Pasal 19 huruf c).

15

Page 16: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tcrtentu (Pasal 19 huruf d).

Melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau

menetapkan harga yang rendah untuk menyingkirkan atau rnernatikan usaha pesaing.

Predatory pricing ini diatur di dalarn Pasal 20.

Melakukan kecurangan dalam meneetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang

menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 21).

4. Persekongkolan (Pasal 22)

Mengingat bahwa persekongkolan (conspiracy) selalu dilakukan oleh lebih dari satu

pelaku, sebenarnya tindakan ini bisa diatur di dalam kategori "perjanjian yang dilarang".

Persekongkolan yang dilarang oleh Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli mencakup

persekongkolan untuk:

mengatur atau menentukan pernenang tender atau tindakan bidrigging (Pasal 22),

mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang dapat diklasifikasikan sebagai

rahasia perusahaan (Pasal 23),

menghambat produksi dan atau pernasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya

dengan tujuan agar barang dan atau jasa itu berkurang kualitas maupun kuantitasnya serta

terganggunya ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasa124).

C. Posisi Dominan

Untuk kategori ini ada ernpat tindakan yang dilarang Undang- Undang Larangan Praktek

Monopoli. Masing-masing akan dikcmukakan berikut ini :

1. Penyalahgunaan Posisi Dominan (Pasal 25)

Istilah penyalahgunaan posisi dominan bukan istilah baku yang ada di dalam Pasa125.

Pasal tersebut secara formal berjudul "Umum".

Meskipun demikian, dari isi Pasal 25 dapat diketahui adanya larangan untuk

menggunakan posisi dominan untuk maksud tertentu. Tindakan penyalahgunaan posisi

dominan yang tercantum di dalam Pasal 25 adalah sebagai berikut :

16

Page 17: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

Menetapkan syarat perdagangan guna mencegah dan atau mcnghalangi konsumen

mcndapatkan barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas (Pasal

25 ayat (1) huruf a). Membatasi pasar dan pcengembangan teknologi (Pasal 25 ayat (1) huruf

b). Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar

bersangkutan (Pasal 25 ayat (1) huruf c).

Ayat (2) dari Pasa125 selanjutnya menentukan bahwa pelaku usaha memiliki posisi

dominan jika satu atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar

satu jenis barang atau jasa tertentu. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha

yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar barang/jasa tertentu pun dianggap mcmiliki

posisi dominan.

2. Jabatan Rangkap (Pasai 26)

Jabatan rangkap atau "interlocking directorate" secara eksplisit diatur di dalam Pasal 26.

Menurut Pasal tersebut, seseorang yang memegang jabatan direksi atau komisaris suatu

perusahaan dilarang memegang jabatan serupa pada perusahaan lain jika perusahaan-

perusahaan tersebut :

a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama;

b. memiliki keterkaitan erat dalam bidang dan suatu jenis usaha;

c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentuyang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

Secara logis perangkapan jabatan ini dilarang karena posisi demikian akan membuka

peluang bagi perusahaan-perusahaan terkait untuk menghindari persaingan.

3. Pemilikan Saham (Pasai 27)

Pasal 27 pada dasarnya melarang pemilikan saham yang bisa berdampak negatif terhadap

persaingan. Pasal tersebut melarang pemilikan saham mayoritas pada perusahaan-perusahaan

sejenis yang melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan yang sama

pula atau pendirian perusahaanperusahaan yang menjalankan kegiatan usaha yang sama pada

pasar bersangkutan yang sarna.

17

Page 18: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

Pemilikan saham dan pendirian perusahaan-pcrusahaan seperti terscbut di atas menjadi

dilarang apabila membawa akibat:

a. satu orang atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar

atau jasa tertentu,

b. dua atau tiga pclaku usaha atau kelompok-kelompok usaha menguasai lebih dari 75%

pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tcrtcntu.

4. Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan (Pasal 28-Pasal 29)

Secara substansial ada dua hal yang diatur di dalam Pasal 28 Undang-Undang Larangan

Praktek Monopoli, yaitu:

a. penggabungan dan peleburan badan usaha yang dapat meng akibatkan tcrjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (ayat (1) Pasal 28),

b. pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha ticlak sehat (ayat (2) Pasal 28).

Ayat (3) Pasal 28 nenegaskan bahwa ketentuan tentang penggabungan, peleburan,

maupun pengambilalihan saham akan diatur lebih lanjut di dalam pcraturan pemerintah.

Penjelasan Pasal 28 menerangkan tentang apa yang dimaksud badan usaha. Menurut

penjelasan pasal tersebut, pcngertian badan usaha di dalam Pasal 28 meliputi baik bentuk

usaha yang berbadan hukum maupun yang tidak bcrbadan hukurn.

Berbeda dari Pasa128 yang lebih substantif, Pasa129 mengatur aspek prosedural. Pasal ini

meletakan kewajiban pada pelaku usaha untuk melakukan penggabungan, peleburan, atau

pengambilalihan scperti yang dimaksud dalam Pasal 28 untuk selambat-lambatnya dalam

waktu 30 hari memberitahukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan itu jika

tindakan tersebut menyebabkan nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah

tertentu. Ketentuan tentang jumlah tertentu dan tata cara pemberitahuan akan diatur tersendiri

di dalam peraturan pemerintah.

18

Page 19: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

BAB III

PENUTUP

A. kesimpulan

Meskipun Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli menentukan adanya tiga

kategori tindakan yang dilarang, dasar yang dipakai untuk membuat katégori tersebut

tidak terlalu jelas. Ketidakjelasan itu khususnya tampak dari katcgori yang pertama dan

kategori yang kedua.

Sebaliknya, tidak terlalu jelas pula mengapa pemboikotan sebagai Salah satu tindakan

yang dilarang diletakkan di bawah kategori "perjanjian yang dilarang scmentara

pemboikotan (boycott) sebenarnya bisa dilakukan olch pelaku tunggal (single actor) tanpa

perjanjian dengan pihak lain.

19

Page 20: Tindakan yang di larang dalam persaingan usaha(uu no. 5 1999)

DAFTAR PUSTAKA

Arie Siswanto, Hukum persaingan usaha, cet.1, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002,

Abdul R. Saliman dan kawan-kawan, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan Contoh

Kasus, Jakarta : Kencana, 2004

Mahfud M.D., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1999

Adikusuma, Hilman,jual beli, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1993.

Darajat, Zakiah, Prof, Dr, Perbandingan Pasar monopoli dan non monopoli, Jakarta:Bulan

Bintang, 1993.

20