Upload
truongthuan
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
FITRAH MANUSIA DALAM AL QUR’AN
SURAT AL-RUUM AYAT 30
A. Pengertian Fitrah Manusia
Dalam literatur Islam, istilah fitrah memiliki makna yang beragam. Hal
ini disebabkan oleh pemilihan sudut makna.
a. Makna Etimologi
Menurut asal katanya, kata fitrah ( فطرة ) berasal dari akar kata
secara etimologi fitrah memiliki arti, pertama yaitu fitrah( فطر يفطر فطرا )
al-insyaqaq atau al-syaaq yang berarti al-inkisar (pecah atau belah).1) Arti
ini diambil dari lima ayat 2) yang menyebut kata fitrah yang obyeknya
ditujukan kepada langit saja. Kedua : Fitrah yang berarti al-Khilqah al-Ijad atau al-Ibda’
(penciptaan)3) arti ini terdapat pada 14 ayat yang menyebutkan kata fitrah,
6 ayat diantaranya berkaitan dengan penciptaan manusia, sedangkan
sisanya berkaitan dengan penciptaan langit dan bumi 4).
Kedua makna tersebut pada dasarnya adalah saling melengkapi.
Makna al-insyiqaq kendatipun digunakan untuk pemaknaan alam (al
1) Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arabi, Daar al-Ma’arif, jilid V, tanpa tahun, hal 3432., Lauwis
Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah 1956, hal 587., M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan umat, Mizan Bandung, 2003 cet. XIII, hal.283.,Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis, Darul Falah, Jakarta, 1999. hal. 18. Yasien Mohamed, Insan yang Suci Konsep Fitrah dalam Islam, Mizan Bandung. tt. hal.18.
2). Ayat itu adalah QS Maryam : 90, al –Syura : 5, al-Infithar : 1, al-Mulk : 3, al-Muzammil : 18.
3). Ibn Mandzur, Opcit, hal.3433., Louwis Ma’luf , Opcit, hal 588., Abdul Mujib, Opcit. Murtadho Muthohhari, Fitrah, Lentera Basritama, Jakarta 1998 cetakan I hal 7. Yasien Mohamed, Opcit, hal. 19
4). Ayat itu adalah : QS. Hud : 51, al Rum : 30, (dua kali), Yasin : 22, al-Zukruf : 27, Thaha : 72, al-Isra : 51. sedang objek pada langit bumi, seperti dalam., QS al An’am : 14, 79, al-Anbiya : 56, al-Syura : 11, Ibrahim : 10 al-Fathir : 1, Yusuf : 101 dan al Zumar : 46
11
12
kawn), namun sebenarnya dapat dipergunakan pula untuk manusia.
Manusia merupakan mikro kosmos (alam kecil), sedangkan kosmos adalah
manusia makro (al insan kawn shaghir wa al kawn insan kabir). Manusia
merupakan miniatur alam yang kompleks. Fisiknya yang menggambarkan
alam fisikal, sedangkan psikisnya menggambarkan alam kejiwaan. Segala
proses takdir atau sunnah Allah SWT. yang berlaku pada alam (al kawn)
sebenarnya berlaku juga pada manusia, seperti konsep penciptaan.
Sedangkan fitrah berarti penciptaan merupakan makna yang lazim
disepakati dalam penciptaan manusia, baik dalam penciptaan fisik (al
jism), maupun psikis (al nafs).5)
b. Makna Terminologi
Secara terminologis para pakar fitrah mendefinisikan fitrah adalah
sebagai berikut :
Pertama, Definisi yang dikemukakan oleh Muhammad Ibn Asyur
yang dikutip oleh M. Quraish Shihab:
او جده اهللا يف كل خملق والفطرة الىت ختص نوع الفطرة هي النظام الذي االنسان هي ما خلقه اهللا عليه جسدا وعقال
“Fitrah adalah suatu sistem yang diwujudkan oleh Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang khusus untuk jenis manusia adalah apa yang diciptakan Allah padanya yang berkaitan dengan jasad dan akal (ruh)”.6)
Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan manusia berjalan dengan
kakinya adalah fitrah jasadiahnya. Sementara menarik kesimpulan melalui
premis-premis adalah fitrah aqliahnya (jiwa rasionalitasnya)7)
Menurut Abdul Mujib dalam definisi tersebut fitrah memiliki ruang
lingkup yang luas. Fitrah mencakup totalitas apa yang ada di alam dan
dalam diri manusia. Fitrah yang berada didalam manusia merupakan
5) Abdul Mujib, Loc. Cit, hal. 79. 6) Quraish Syihab,Loc. Cit , hal. 285. 7) Ibid
13
substansi yang memiliki organisasi konstitusi yang dikendalikan oleh
sistem tertentu. Sistem yang dimaksud terstruktur dalam dari komponen
jasad dan ruh. Masing-masing komponen ini memiliki sifat dasar, natur,
watak, dan cara kerja tersendiri. Semua komponen itu bersifat potensial
yang diciptakan oleh Allah sejak awal penciptaannya. Aktualitas fitrah
menimbulkan tingkah laku manusia yang disebut dengan “kepribadian”.
Kepribadian inilah yang menjadi ciri unik manusia.8)
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhur dan Al-
Jurjaniy yang dikutip oleh Abdul Mujib :
الفطرة هي حالة اجلبلة والطبع املتهيئ لقبول الدين
“Fitrah adalah kondisi konstitusi dan karakter yang dipersiapkan
untuk menerima agama”.9)
Menurut Abdul Mujib pengertian fitrah disini dianggap sebagai
satu kondisi (halat) konstitusi dan watak manusia. Konstirusi manusia
memiliki aspek pisik dan psikis. Demikian juga watak manusia memiliki
kondisi baik dan buruk. Kondisi ini sudah ada sejak awal penciptaan
manusia. Tujuan dari konstitusi dan watak agar manusia mampu menerima
agama. Sedang agama yang sesuai dengan fitrah manusia adalah al
Islam.10)
Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Laowis Ma’luf.
الفطرة هي الصفة الىت يتثف ا كل موجود يف اول زمان خلقته صفة االنسان الطبعة الذين السنه
“Fitrah adalah sifat yang digunakan untuk mensifati semua yang ada (didunia) sewaktu awal penciptaannya, sifat manusia adalah bertabiat agama, sunnah 11)
8) Abdul Mujib, Opcit, hal 79 9) Ibid, hal. 34 10) Ibid 11) Louwis Ma’luf, Loc Cit.
14
Definisi ini membatasi arti fitrah pada sifat yang melekat pada
semua makhluk yang ada di dunia. Misalnya sifat malaikat adalah taat
pada Allah, sifat setan durhaka pada Allah, sifat manusia mampu
menerima agama dan mencontoh tindakan-tindakan atau perbuatan yang
berkaitan dengan sunah nabi, sifat air adalah mudah mengalir ke tempat
yang rendah, sifat binatang adalah buas.
Dari segi istilah fitrah apabila dikaitkan dengan proses kejadian
manusia adalah asal-usul atau pola dasar kejadian manusia, dan apabila
dikaitkan dengan sifat-sifat dasar manusia maka pengertiannya adalah sifat
asli yang secara kodrati ada pada manusia. Dan apabila dikaitkan dengan
kemampuan manusia adalah kemampuan yang dimiliki oleh manusia sejak
ia diciptakan.
Sifat-sifat dan kemampuan yang ada pada manusia adalah berbeda-
beda, hal ini tergantung pada diri manusia bagaimana ia mengolah dan
mengembangkan semua yang ia miliki. Perbedaan ini bisa dilihat kepada
perilaku manusia kepada realita yang ada di bumi ini.
Sedangkan fitrah (asal-usul) manusia adalah sama yakni
sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam surat Al A’raf ayat 172.
“Yaitu tentang kesaksian manusia terhadap Allah, bahwa Dia adalah
Tuhannya”.
Setelah menerangkan pengertian fitrah dari segi bahasa dan istilah
perlu diterangkan juga pengertian watak dan naluri yang kadang kala
kebanyakan manusia mengartikan arti kedua kata tersebut sama seperti
pengertian fitrah. Hal ini diperlukan untuk memahami lebih jelas makna
fitrah itu sendiri. Ketiga kata ini memang sulit untuk dicari perbedaanya
dan kalau kita perhatikan kelihatannya ketiga kata itu memiliki arti yang
sama, padahal tidak sama.
Perbedaan itu dapat dilihat dalam penjelasan Murtadho
Mutohhari yang membedakan arti istilah ketiga kata yaitu watak, naluri
dan fitrah. Watak (sifat dasar) biasanya dan banyak digunakan untuk
15
benda-benda mati. Tapi, bisa juga untuk benda-benda hidup, seperti
binatang, tumbuh-tumbuhan dan manusia. Contohnya, jika kita bermaksud
menunjukkan salah satu karakteristik (ciri khas) air, maka kita akan
mengatakan “Wataknya (sifat dasarnya) adalah begini” yaitu sifat dasar air
mudah mengalir pada tempat yang rendah. Dan juga bila kita mau
mengatakan kepada ciri khas manusia adalah “wataknya si A itu begini,
dan wataknya si B itu begitu”, jadi bisa dismpulkan watak (sifat dasar)
bahasa arabnya ath thabi’ah (tabi’ah) adalah bisa digunakan untuk benda-
benda mati dan benda-benda hidup.
Sedangkan kata naluri atau istilah naluri ini banyak digunakan
pada hewan, dan jarang sekali digunakan untuk manusia dan tidak pernah
digunakan untuk benda-benda mati dan tumbuh-tumbuhan. Hakikat naluri
ini menurut Murtadho Muthohhari belum jelas saat ini, dan orang belum
atau tidak sanggup menginterpretasikan apa sebenarnya naluri itu. Kendati
demikian beliau mengatakan dalam diri binatang terdapat kekhususan-
kekhususan internal tertentu yang menjadi penuntun hidupnya. Di dalam
naluri tersebut terdapat kondisi setengah sadar dan kondisi tersebut bukan
muktasabah (diperoleh melalui usaha) yang dengan kondisi ini binatang
dapat dibedakan perjalanan hidupnya.12) Beliau mencontohkan seekor anak
binatang yang akan menyusu induknya. Tanpa diberi tahu oleh induknya
dan tanpa mencari kesana-kemari, dia langsung menyusup dibawah perut
induknya. Lalu begitu ia menemukan sesuatu ia langsung menyusunya.
Kemudian pada diri semut, ia adalah hewan yang suka mengumpulkan
makanan dan ia tidak tahu dari mana asal makanan itu. Semut juga tahu
bahwa jika biji-bijian yang dikumpulkan tanpa diganggu (dimakan),
niscaya akan tumbuh menjadi tunas.
Pengetahuan itulah yang oleh Murtadho Muthohhari disebut
naluri. Yakni kondisi kesadaran yang tidak sempurna. Suatu keadaan yang
merupakan gabungan dari sadar dan tidak sadar. Naluri bukanlah
12) Murtadho Muthohhari, Loc Cit, hal.19.
16
kecenderungan, sebab kata beliau yang disebut kecenderungan adalah
kondisi yang sepenuhnya sadar dan bersifat internal, sedang dalam naluri
tidak terdapat kesadaran yang penuh.13) Fitrah, istilah ini hanya digunakan
untuk manusia dan tidak digunakan untuk benda-benda mati, tumbuh-
tumbuhan dan binatang.14) Fitrah merupakan bawaan alami, ia merupakan
sesuatu yang melekat dalam diri manusia dan bukan diperoleh melalui
usaha. Fitrah mirip dengan kesadaran, sebab manusia mengetahui apa
yang dia ketahui dari dirinya.15) Sebagaimana yang dinukil oleh Abdul
Mujib, Ibnu Taimiyah membedakan antara fitrah dengan tabiat. Fitrah
merupakan potensi bawaan yang berlabel Islam dan berlaku untuk semua
manusia. Sedangkan tabiat merupakan suatu yang ditentukan atau ditulis
oleh Allah melalui ilmuNya. Dengan kata lain fiitrah manusia itu sama
yaitu Islam, tetapi tabiatnya berbeda-beda. Fitrah hanya memiliki satu
natur, sedangkan tabiat memiliki beberapa natur.16) Natur tabiat manusia
dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ; pertama, natur baik yang
merupakan natur asli tabiat manusia, natur ini bersumber dari fitrah, hal
ini dapat dibuktikan lewat kisah Nabi Adam dan Siti Hawa ketika masih
berada dalam surga. Keduanya memiliki prinsip yang baik yaitu enggan
melanggar aturan Allah. Namun karena godaan Iblis yang bertabiat jelek
maka keduanya kemasukan tabiat buruk, akhirnya keduanya melangar
aturan Allah dan selanjutnya dikeluarkan dari surga (Q.S. Al-Baqarah : 30-
39)17) Bentuk natur tabiat baik adalah diantaranya mampu memikul
amanah Allah (Q.S. Al-Ahzab : 72), menjadi hamba yang setia (Q.S. Al-
Dzariyah : 56), menjadi kholifah Allah (Q.S. Al-Baqarah : 30), memiliki
potensi untuk memahami, melihat dan mendengarkan ayat-ayat Allah, baik
ayat-ayat Qur’ani maupun kauni; memiliki ilmu pengetahuan melalui
13) Ibid, hal. 20. 14) Ibid, hal.20. 15) Ibid, hal.20 16) Abdul Mujib, Loc Cit, hal. 31 17) Ibid, hal 31-32
17
penguasaan asma-asma Allah, memiliki beberapa sifat dan insting yang
lengkap. Ekspresi sifat dan insting yang baik akan mendapatkan balasan
surga, sedang yang buruk diberi neraka tabiat biologisnya diciptakan
dalam bentuk sebaik-baiknya (ahsan taqwim).18) Kedua, natur tabiat yang
buruk diantaranya adalah; diciptakan dalam kondisi lemah (al-dho’if),
tergesa-gesa (‘aji) (Q.S. Al-Anbiya’ : 37), keluh kesah dan kikir (halu’a),
apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia diberi suatu
kebaikan ia amat kikir, memiliki kebiasaan mudah putus asa dan kikir
nikmat, suka melampaui batas, tidak mau menyadari karunia Allah yang
diberikan kepadanya, mudah lalai apa yang telah diberikan.19) Tabiat baik
ini menurut Abdul Mujib, lebih mudah teraktualisasi dari pada tabiat
buruk. Sebab tabiat baik lebih dekat dengan fitrah. Semakin erat interaksi
tabiat dengan fitrah maka semakin baik pula tingkat kualitasnya.20)
Tabiat manusia juga memiliki kebutuhan-kebutuhan asasi.
Kebutuhan asasinya adalah beragama, sebab agama merupakan potensi
yang ada sejak adanya tabiat itu. Fitrah agama ini kemudian mengaktual
dalam bentuk kebudayaan dan peradaban, seperti dalam berekonomi,
bersosial, berpolitik, berlogika, berseni dan sebagainya. Semua kebutuhan
ini bermuara pada agama, jika ternyata tidak maka manusia itu akan
mengalami penyimpangan fitrah asalnya .21) Jadi jelaslah fitrah adalah asal
usul kejadian manusia yang pertama kali yang berhubungan dengan
kondisi psikologi (jiwa). Diperoleh bukan melalui usaha, tetapi dengan
kesadaran. Fitrah ini berupa ketauhidan.
18) Ibid, hal 32 19) Ibid 20) Ibid 21) Ibid, hal 32
18
B. Konsep Fitrah Dalam Surat Al Ruum Ayat 30.
1. Teks Ayat dan Terjemahnya
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ) 30(ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”22)
2. Munasabah Ayat
Munasabah ayat 30 dari surat Al Ruum dengan ayat sebelumnya
adalah bahwa Allah menunjukkan agama yang benar menurut fitrah
manusia adalah agama yang menyembah Tuhan Allah saja, hal ini
diterangkan dan dijelaskan dengan pembuktian kaum penyembah Allah
melawan kaum musyrikin / penyembah berhala dan sejenisnya. Dalam
pertempuran antara kaum penyembah Allah dengan kaum musyrikin
dimenangkan oleh kaum penyembah Allah, kemenangan perjuangan ini
diterangkan dalam ayat 1-7. Kemenangan ini tak lain juga karena atas
pertolongan Allah Yang Maha Esa seperti yang terdapat pada ayat 5,
dalam surat ini.
Akan tetapi manusia hanya mengetahui yang dhahir saja, yaitu
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kehidupan dunia saja, ayat 7.
Selanjutnya Allah menerangkan bahwa bahwa kebanyakan
manusia mengingkari akan menyerupai Tuhan ayat 8. Karena itu mereka
tidak memikirkan diri mereka sendiri dan memperhatikan ciptaan Allah
yaitu langit dan bumi yang diciptakan dengan indah. Manusia juga tidak
mau mengambil i’tibar terhadap orang-orang yang telah lalu
memakmurkan bumi dan Rosul memberi peringatan, akibatnya mereka
berbuat jahat dan mendustakan ayat-ayat Allah. Karena itu Allah
22) Soenaryo, dkk, Depag RI, hal 645.
19
memberikan pahala bagi orang-orang yang berbuat baik berupa surga
adapun mereka yang kufur ditempatkan dalam neraka. Hal ini terdapat
dalam ayat 8-16. Pada ayat selanjutnya 17-19 Allah menerangkan agar
manusia mendapat pahala akhirat (surga), maka manusia disuruh
mensucikan dirinya diwaktu petang, senja dan subuh yaitu fajar mulai
memancar, diwaktu isya dan waktu lohor (dhuhur), Ashar. Allah juga
memperingatkan manusia akan kehidupan setelah mati, ini dikarenakan
agar manusia dapat selalu mengingat dan mensucikan Allah dari segala
yang tidak layak.
Dan selanjutnya Allah menerangkan dalam ayat 21-27 akan
tanda-tanda kekuasaanNya, yaitu tentang penciptaan manusia dan juga
penciptaan langit dan bumi. Hal ini ditunjukkan kepada manusia agar
mereka mau berfikir. Allah juga menerangkan tentang penghidupan
manusia setelah kematian mereka. Dalam hal kehidupan setalah kematian
orang-orang kafir merasa aneh dan tidak percaya terhadap kejadian ini
maka turunlah ayat yang ke 27 dari surat Al Ruum.23)
وهو الذي يبدأ الخلق ثم يعيده وهو أهون عليه وله المثل الأعلى في كيمالح زيزالع وهض والأرات ووم27(الس (
“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu lebih mudah bagi-Nya. Dan bagiNyalah sifat yang Maha Tinggi dilangit dan dibumi dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kemudian pada ayat 28 Allah memberi teguran terhadap kaum
Makkah akan kemusyrikan mereka. Yang mengatakan : Ya Allah aku
menyambut panggilan-Mu, aku menyambut panggilan-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu, kecuali satu sekutu yang dimiliki oleh-Mu dan oleh sekutu itu.
Kelaliman orang-orang musyrik yang mengikuti hawa nafsu mereka
sendiri dengan tak ada pengetahuan itu tidak akan ada yang bisa
23) Qomarudin Shaleh dkk, Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat Al-Qur’an), CV. Diponegoro, Bandung, cet ke 7, hal. 383.
20
menolongnya kecuali dengan petunjuk Allah dan Allah sendiri yang
menolongNya, ayat 29.
Dan setelah sekian lama Nabi memperingatkan kaum kafir
Makkah untuk menyembah Allah semata, akan tetapi kaum itu tidak mau
mendengarkannya, maka Allah memperingatkan Nabi agar jangan berkecil
hati dan agar Nabi memusatkan dirinya pada agama hanif (agama
Ibrahim). Yaitu agama yang diciptakan Allah untuk manusia dan yang
sesuai dengan fitrah manusia, ayat 30. Oleh karena itu kembalilah kamu
kepada Allah dan berbaktilah, dengan mendirikan sembahyang dan jangan
menjadi orang-orang yang mempersekutukan Allah, hal ini terdapat pada
ayat 31-32.
Jadi munasabah ayat 30 dengan ayat sebelum dan sesudahnya
adalah ayat 30 itu merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Hal ini bisa
dilihat pada ayat 29 yang intinya bahwa orang-orang yang lalim itu hanya
menuruti hawa nafsunya sendiri, mereka tidak mempunyai pengetahuan,
maka tidak ada seorangpun penolong baginya dalam mengentaskan
kelalimannya, kecuali dengan petunjuk Allah sendiri. Oleh karena itu
maka Nabi disuruh condong dengan sepenuh hati kepada agama hanif,
yaitu agama Ibrahim. Agama yang hanya menyembah Tuhan yang Esa dan
jangan sampai menjadi orang-orang musyrik yang tidak berpengetahuan.
Dengan kembali kepada Allah dan bertobat padaNya dengan mendirikan
sholat, maka manuusia akan selalu mengingat Tuhannya dan mereka akan
selamat dunia akhirat.
3. Tafsir Ayat
Untuk memulai menafsirkan ayat 30 dari surat Al Ruum ini akan
penulis mulai dari menjelaskan / menafsirkan kata-kata yang sulit dalam
ayat tersebut. Kemudian menjelaskan secara global.
21
فاقم,Fa pada lafadz fa aqim menurut ahli qiroah adalah sebagai
istaknafiiyah24) yang artinya adalah permulaan atau merupakan permulaan
atau awalan dalam kalimat.
Menurut al Maroghi huruf Fa yang terdapat dalam lafadz fa-aqim
mempunyai arti penegasan atau keharusan sebuah perintah sehingga
artinya adalah kamu (Muhammad) harus meluruskan pandanganmu
dengan seksama jangan sampai menengok ke kanan dan ke kiri agar
terhindar dari segala macam perbuatan yang telah dilakukan oleh orang
musyrik. Sehingga mereka tidak mendapatkan seorang penolongpun yang
bisa menolong mereka dari kesesatan yang mereka lakukan dengan
menuruti hawa nafsu mereka sendiri. فاقم lafadz ini berasal dari
Kalimat هموقوودالع اقام yakni bila dia meluruskan kayu itu, artinya dia
telah meluruskan dan melepangkan kayu itu. Sedang makna yang
dimaksud disini adalah menerima agama Islam dan teguh di dalam
memegangnya25), sedangkan menurut Imam al-Zujjaj, fa-aqim dimaknai
dengan ittabi’ yang artinya ikutilah, yang dimaksud disini adalah di suruh
mengikuti agama hanif Ibrahim (agama Islam).26) Selanjutnya lafadz
“wajjah” diterangkan dalam kitab Tajjul Mashodir adalah berarti anggota
badan tertentu dan terkadang yang dimaksud adalah dzat keseluruhan jiwa
raga.27) Dalam Tafsir al-Khozin diterangkan pula yang dimaksud dengan
lafadz “wajjah” adalah menghadap dengan seluruh badanya.28) Pada
lafadz Liddini, diterangkan dalam tafsirnya Sayyed Muhammad Husein
24) Abdul Wahid Sholeh, Al-I’rob al-Mufasil Li Kitabullah Murotal, Darul Fikri, th, 1993
cet. I. hal. 106. 25) Ahmad Musthofa al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, diterjemahkan oleh Bahrun Abu
Bakar, LC., dkk, CV. Toha Putra Semarang, cet II, th. 1992, hal. 30. 26) al-Qurtubi, Op Cit hal. 17. 27) Ismail al-Barwasawy, Tafsir Ruhul Bayan, Dar al-Fikr, Beirut, tth Jilid VIII, hal. 30 28) Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ibrahim al- Bagdadi, Tafsir al-Khozin, Darul kutub al-
Ilmiah Baerut, tth, Juz V hal. 71.
22
bahwa “lam” yang melekat pada lafadz ad-dien secara dhohir
menunjukkan hubungan yang erat, maksudnya adalah agama Islam.29)
Kemudian pada lafadz hanifa, sebagai hal dari fa’ilnya aqim (maksudnya
adalah suatu perintah pada Nabi Muhammad) boleh juga menjadi hal dari
ad-dien atau hal dari lafadz wajjah, tetapi hal yang pertama itu lebih jelas
karena sesuai dengan konteks kalamnya, hanif artinya mencondongkan
kedua kaki dengan tegak lurus setelah bengkok (rukuk). Jelasnya lurus
dengan tegak antara kaki dan badan seperti i’tidal.30) Dijelaskan pula
dalam Tafsir Ruhul Bayan, lafadz hanifa, sebagai hal yang menunjukkan
kepada agama Muhammad. Maksudnya adalah Nabi Muhammad beserta
umatnya itu diperintahkan untuk condong kepada agama hanif, dari pada
agama-agama yang lain, dan disuruh beristiqomah di dalamnya. Dan boleh
juga lafadz hanif, menjadi hal dari ad-dien yang maksudnya adalah agama
Ibrahim atau agama Tauhid.31) Al-Maroghi mengartikan lafadz hanifan,
berasal dari kata al-hanif yang artinya Allah dapat di selidiki dalam diri
manusia, yaitu mau menerima kebenaran dan persiapan untuk
menemukannya.32) Bisa jadi yang dimaksud lafadz haniffan ini adalah
agama yang mana ajarannya mengandung ke Maha Esaan Allah itu bisa
dikenali, atau diselidiki lewat dalam diri manusia itu sendiri. Sedang lafadz hanifan menurut al-Rozi artinya adalah
menghadap pada agama Allah dan menolak segala sesuatu selain Allah
sehingga kita meninggalkannya.33) Dan menurut Murtadho Muthohhari,
hunafa’ adalah jamak dari hanif, artinya orang yang condong pada Islam
dan berpegang teguh padanya. Dikalangan bangsa Arab, yang disebut al-
29) Sayyed Muhammad Husain at-Thoba Thobay, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut-
Lebanon, tth. Juz 16, hal. 183 30) Ibid 31) Ismail al-Barsawy, Op Cit, hal. 30. 32) Ahmad Musthofa al-Maraghi, Op Cit, hal. 81. 33) Imam Muhammad al-Rozy, Tafsir Fakhrur Rozi, Dar al-Fikr, Juz XXV, hal. 121.
23
hanif adalah orang yang mengikuti agama Ibrahim as. Arti asal al-hanif
adalah “condong”, karena itu makna al-hanif yang benar menurut
Murthadho Muthohhari ialah orang yang condong kepada kebenaran,
kepada Allah, kepada Tauhid. Dengan begitu, hanifisme (al-hanafiyyah)
merupakan kumpulan kecenderungan yang terdapat dalam fitrah manusia.
Artinya, fitrah manusia merupakan himpunan dari kecenderungan-
kecenderungan kepada kebenaran dan kepada (agama) Allah.34)
Jadi فانين حيللد كهجو فاقم PقلىP penjelasannya adalah maka
arahkanlah wajahmu dengan lurus menuju ke arah yang telah ditentukan
oleh Tuhanmu demi taat kepadaNya, yaitu kearah agama yang lurus dan
agama fitrah. Dan berpalinglah kamu dari kesesatan untuk menuju kepada
petunjuk.35). Yakni : apabila telah nyata kebenaran dan telah batal
kesyirikan, maka hadapkanlah mukamu kepada agama yang lapang / hanif
/ lurus dan hindarkanlah dari segala rupa kesesatan.36)
PقلىP فطرت اهللا التى فطر الناس عليها
“Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.”
Lafadz fitrah, ini banyak disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak
20 kali 37). Hanya saja yang mengikuti pola fi’lah hanya satu yaitu yang
terdapat dalam ayat ini yakni Al Ruum ayat 30.
Dalam bahasa Arab, bentuk fi’lah ini menunjuk pada masdar
yang menunjukkan arti ”keadaan atau jenis perbuatan”, jika kita
mengucapkan kata jaslah, maka menunjukkan arti duduk satu kali, jika
34) Murtadho Muthohhari, Fitrah, terjemahan H. Afif Muhammad, Lentera, 1998 M. Cet
I, hal. 17. 35) Ahmad Musthofa al-Maroghi, Op Cit, hal. 83. 36) Hasbi Ash Shidiqy, Tafsir al-Qur’anul Majid “AN-NUR”, Bulan Bintang, Jakarta,
1965, Cet. I Juz XIX, hal. 50. 37) Muhamad Fuar Abdul Baqi, Mu’jam al Mufahrosi li al Fadhili al Quranul Karim,
darul hadis, tt, hal 633.
24
kita katakan jislah, maka artinya adalah keadaan duduk. Karena itu
ucapan yang berbunyi “Jalasta jilsata zaidin”, berarti aku duduk seperti
duduknya Zaid”. Yakni, duduk seperti keadaan duduk yang dilakukan
Zaid. Berdasarkan hal itu, maka lafadz fitrah yang berkaitan dengan
keadaan manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama, yakni
yang terdapat dalam surat Al Ruum ayat 30, mengandung arti keadaan
yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya Allah telah menciptakan
manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat kekhususan-
kekhususan yang ditempatkan Allah dalam dirinya saat dia di ciptakan,
dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.38) Diterangkan dalam Tafsir Al
Mizan lafadz fitrah menjadi bina’ nau’ dari lafadz al-Fathara yang
artinya: al-Ijadi wal ibtida’, yang artinya penciptaan awal mula, atau
lafadz fitratallah itu menjadi nasab dengan mentakdirkan lafadz a’nii,
yang dimaksud al-Fitrah adalah al Millah maksudnya tetaplah dan
istiqomahlah kepada agama yang Allah telah menciptakan manusia atas
fitrah itu, tidak ada perubahan atas ciptaan Allah. Lafadz fitrah menjadi
maf’ul mutlak kepada fa’il yang terbuang, jadi maksudnya adalah Allah
menciptakan fitrah dan Allah menciptakan manusia atas dasar fitrah, maka
manusia merusaknya dari yang sudah jelas.39) Artinya bahwa Allah telah
menciptakan manusia atas dasar fitrah yang suci akan tetapi manusia telah
merusaknya sendiri dari yang sudah jelas, yaitu suatu yang Allah telah
mencipta manusia atas dasar fitrah.
Sedang yang dimaksud lafadz fitratallahi adalah merupakan
isyaroh bahwa agama yang wajib diteguhkan adalah sesuatu yang di
ilhamkan kepada ciptaannya dan Allah menunjukkan kepada fitrah
ilahiyah yang tak bisa diubahnya.40) Yang dimaksudkan fitrah Ilahiyah
disini adalah ketauhidan dimana Allah telah berfirman :
38) Murtadho Muthohhari, Op Cit, hal.8, 39) Sayyid Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafssir al-Qur’an, Op.cit. hal. 185. 40) Ibid, hal. 183.
25
فسهملى أنع مهدهأشو مهتيذر ورهمظه من مني ءادب من كبذ رإذ أخو ذا غافلنيه نا عا كنة إنامالقي موقولوا يا أن تنهدلى شقالوا ب كمببر تألس
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab : ”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-esaan Tuhan) (al-A’raf : 172).
Kata jiwa dalam ayat diatas menurut Ikhwan al Shafa adalah
substansi ruhaniah yang mengandung unsur langit dan nuraniah, hidup
dengan zatnya, mengetahui dengan daya, efektif secara tabiat, mengalami
proses belajar, aktif di dalam tubuh, memanfaatkan tubuh, serta
memahami bentuk segala sesuatu.41)
Jiwa itu satu, dan diberi berbagai nama dengan fungsinya daya-
dayanya yang beragam. Sedangkan daya jiwa itu ada 3 jenis, yaitu daya
jiwa tumbuh-tumbuhan, daya jiwa hewan, dan daya jiwa rasional.42)
Daya jiwa tumbuh-tumbuhan berpusat dihati dan memiliki sifat
diantaranya, hasrat untuk makan dan minum, menyerap, tumbuh,
merasakan dan membedakan antara enam arah, menyebarkan akar ke
segala arah yang rendah dan tanah yang lembut, mengarahkan dahan dan
ranting ke arah luas, kecenderungan, menghindari tempat-tempat yang
sempit dan fisik yang menyiksa.43)
Jiwa hewan berpusat dijantung, dan memiliki sifat diantaranya
adalah ; sahwat seksual, sahwat kepemimpinan dll.44)
Jiwa rasional berpusat diotak memiliki sifat dan daya disamping
sifat dan daya yang ada pada tumbuh-tumbuhan dan sifat dan daya pada
41) Muhammad Ustman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Pustaka
Hidayah, 1993, Cet I, hal. 117. 42) Ibid, hal. 129-130. 43) Ibid,hal 118. 44) Ibid,hal 118.
26
hewan. Sifat dan daya rasional ini memiliki hasrat untuk mendapatkan,
memperluas dan membanggakan diri, mengwembangkan ilmu
pengetahuan, untuk berkarya, berseni dan merasa tinggi untuk mencapai
tujuan.45) Jiwa rasional ini memiliki akal gharizi (instink), yaitu akal yang
ada pada setiap orang dan bisa ditemukan dalam wataknya sendiri tanpa
melalui perantara.46)
Jiwa rasional melaksanakan fungsinya yang dinisbahkan pada
akal. Jiwa rasional atau akal menurut Ibnu Sina adalah kesempurnaan
pertama bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu
sisi ia melakukan berbagai perilaku ekstensial berdasarkan ikhtiyar pikiran
dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsi sama persoalan
universal.47)
Menurut Ibnu Hazm akal adalah kemampuan membedakan yang
utama dari yang nista, melaksanakan tujuan yang baik bagi tujuan di alam
keabadian.48) Intinya akal adalah sesuatu yang membedakan dan mampu
memilih mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ketika mencari
pengetahuan tentang Tuhan. Dan dia telah ditunjukkan oleh Allah melalui
akalnya tentang siapa Tuhan yang benar itu. Sehingga dia kemudian tidak
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, dan dia juga
pengikut agama yang benar, yaitu agama yang mengajarkan tentang
keesaan Allah.49)
Oleh karena itu sebenarnya manusia semuanya mau tidak mau
harus mengenal Allah. Karena di relung sanubarinya yang paling dalam
(jiwa) ia sadar akan keharusan tersebut sebab didalam batinnya ia
45) Ibid,hal 119. 46) Ibid,hal 119. 47) Ibid, hal 146. 48) Ibid, hal 186. 49) Hal ini dapat dilihat pada firman Allah yang terdapat dalam Al Qur’an surat al-An’am
ayat 74-80.
27
mendengar suatu pertanyaan : apakah Aku Tuhanmu?” dan ia menjawab
“ya benar” (Al A’raf :172).50)
Ayat 172 dari surat Al A’raf menurut Sayid Husain Naser
menyatakan perjanjian antara Allah dengan manusia sejak masih dalam
ruh.51) Sedang menurut menurutal-Thabathoba’i, dialog ruh dengan Allah
didalamarwah merupakan suatu penciptaan ketuhanan (sunnah al-Khilqah
Al-Ilahiyah) yang berlaku untuk semua manusia didunia kelak.52)Dengan
demikian dapat difahami bahwa fitrah adalah penciptaan al-Tauhid pada
diri manusia di alam perjanjian.53).
Ibn Qoyyim lebih menegaskan bahwa fitrah adalah benar-benar
kecenderungan bawaan untuk mengetahui Allah, Tauhid dan din
al-Islam.54) Berdasarkan pernyataan ini maka manusia sebelum dilahirkan
sudah membawa pengetahuan tentang Allah.
Sebagaimana diterangkan oleh Sahl At-Tustari bahwa fitrah
menyatu dengan jiwa manusia, diciptakan oleh Allah agar manusia bisa
mengikutiNya sebagai Tuhan yang memiliki kekuasaan atas segala
sesuatu. Tauhid menyatu dengan fitrah manusia sebab Allah, dengan
hikmahNya yang tidak terbatas, menghendaki manusia untuk
mengenalNya sebagai Tuhan yang Maha Esa. Inilah mengapa manusia
mampu untuk mengetahui Tuhannya sebelum keberadaannya di bumi.55)
Periode sebelum manusia di lahirkan di bumi ini disebut keadaan pra-
eksistensial yang ditandai dengan ketundukan kepada Allah dan
pengakuannya kepada Tuhan Yang Maha Esa secara langsung.56)
50) Ali Issa Othman, Manusia menurut Al Ghazali, terj. Johan Smif, Anas Mahyudin
Yusuf, Judul asli : The concept of Man in Islam in The Writing of Al Ghaza;li, Pustaka, Bandung, 1987. cet 2 hal.118.
51) Abdul Mujib, Op Cit, hal 24. 52) Ibid. 53) Ibid, hal 25 54) Hasan Ali Al Hijayi, Manhaj Tarbiyah Ibnul Qoyyim, Al Kausar , Jakarta, 2001, hal.73 55) Yasin Mohamed, Loc Cit, hal 41 56) Ibid
28
Tujuan ketuhanan dan nilai fungsional fitrah dalam keadaan pra
eksistensial manusia juga terletak dalam nilainya sebagai kesaksian
menentang kemusyrikan dan kekafiran yang mungkin berdalih tidak tahu
atau mungkin mengaku-aku, pada hari hisab, hanya mengikuti nenek
moyangnya.57) Allah menjawab jenis argumen ini dengan firmanNya
sebagai berikut :
“(Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu
tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (ke Esaan Tuhan), atau agar kamu tidak
mengatakan:“Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan
Tuhan sejak dulu, sedang kami adalah anak-anak keturunan yang (datang)
sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena
perbuatan-perbuatan orang yang sesat dahulu? (Q.S Al-A’raaf : 172-173).
Maka peranan para Nabi adalah untuk mengingatkan manusia
tentang Tauhid sehingga mereka akhirnya bisa mengetahui sifat dasar
bawaannya, fitrahnya.58) Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya
kamu hanyalah orang yang memberi peringatan (Q.S al-Ghasyiyyah : 21).
Jadi jelaslah kiranya bahwa konsep fitrah manusia yang terdapat
dalam surat ar-Rum ayat 30 adalah al-Tauhid, yaitu yang mana sejak
periode sebelum manusia dilahirkan kedunia ini atau dalam keadaan pra
eksistesialnya sudah membawa kecenderungan pengetahuan dan
mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid). Fitrah
Tauhid ini oleh para Mufasirin disebut agama Tauhid atau agama Islam.
Selanjutnya lafadz
ال تبديل لخلق اهللا"Tidak ada perubahan atas ciptaan Allah.”
Menurut sebagian mufasir ayat ini berhubungan kepada Nabi
yang diwaktu itu sedang sedih melihat kaumnya tidak mau beriman pada
57) Ibid 58) Ibid, hal 51
29
Allah. Kemudian Allah berfirman agar Nabi janganlah bersedih hati
lantaran orang-orang musyrik yang tidak beriman. Sebab mereka (orang
musyrik) diciptakan kepada kecelakaan. Dan siapa saja yang ditetapkan
untuk celaka maka ia tidak akan bahagia.59)
Maksud dari ayat diatas juga berarti “al-wahdaniyah” (ke Maha
Esaan Allah) yang ditanamkan dalam hati dan pikiran manusia dan Allah
tidak merubah yang demikian itu, sehingga andaikan mereka (orang-orang
kafir) ditanya “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”, mereka akan
menjawab “Allah”, akan tetapi iman yang fitri dan yang hanya diucapkan
dalam mulut itu belum cukup (sempurna).60
Dan ucapan yang mengandung arti bahwa Allah menciptakan
makhluk dan semua yang ada di bumi hanya untuk menyembah/ beribadah
pada Allah, tidak ada perubahan atas ciptaan Allah yang demikian itu;
artinya keadaan manusia sebagai hamba, tidak seperti hambanya
(budaknya) seorang raja yang bisa keluar atau merdeka dengan cara
ditebus, akan tetapi manusia adalah seorang hamba (budak) yang tidak
bisa keluar atau merdeka dari ciptaannya sebagai hamba (budak), dan
penyembahannya/melakukan ibadah kepada Allah. Pendapat ini
menjelaskan kepada pendapat-pendapat yang salah (1) Yang mengatakan
bahwa ibadah yang menghasilkan kesempurnaan dan orang yang
sempurna karena melakukan ibadah maka tidak wajib diberi beban lagi
tanggung jawab atau mereka sudah tidak lagi perlu melakukan ibadah haji
sampai akhir hayatnya. (2) Dan penjelasan pendapat orang-orang musyrik
yang mengatakan, manusia yang kurang sempurna tidaklah sah dalam
menyembah Allah, dan sesungguhnya manusia adalah hamba bintang-
bintang dan bintang-bintang adalah hamba Allah, (3) dan juga
menjelaskan pendapat orang-orang Nasrani, sesungguhnya Nabi Isa
dibolehkan oleh Allah untuk berbuat apa saja, maka jadilah Nabi Isa itu
59 Imam Muhamad Al Rozy Fakhrudin, Tafsir Fakhrur Rozy, Dar al Fikr juz xxv, hal 121 60 Ibid
30
dianggap sebagai Tuhan.61) Kemudian al-Rozy mengulang pendapatnya
bahwa “Tidak ada perubahan atas ciptaan Allah” maksudnya adalah semua
makhluk (manusia) adalah hamba (budak) yang tidak bisa merdeka atau
keluar dari ciptaannya sebagai hamba yang harus menyembah dan tunduk
pada Allah semata. 62)
Dalam kitab ringkasan tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa Firman
Allah Ta’ala “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah”, tafsirnya adalah
tidak ada perubahan atas dinul Islam yang menjadi landasan penciptaan
manusia. Kemudian Ibn Katsir menyertai pendapatnya ini dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari al-Aswad bin Sa’i al-Taimi : 63)
فقا تل . اتيت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم وغزوت معه فأصبت ظفرا فبلغ ذالك رسول اهللا عليه وسلم فقال ما بال , الناس يوم ئد حىت قتلو االولدان
فقال دجل يارسول اهللا اما هم . اقوام جاوزهم القتل اليوم حت قتلو االذرية مث قال ال تقتلوا ذرية ال ابناء املسركني فقال ال امنا حيار كم ابناء املشركني
فأبواها , تقتلوا ذرية وقال كل نسمة تولد على الفطرة حت يعرب عنها لساا )رواه امحد(يهوداا اوينصراا
“ Aku menjumpai Rasulullah SAW, lalu aku berperang bersama Beliau. Akupun mendapat kemenangan. Pada saat itu orang-orang pergi berperang lalu mereka membunuh anak-anak. Kejadian ini sampai kepada Rasulullah SAW. Maka Rasulullah bersabda “Mengapa orang-orang itu melampaui batas hingga membunuh anak-anak, seseorang berkata, wahai Rasulullah bukankah anak-anak itu adalah anak kaum musyrik? Beliau bersabda, bukan begitu orang-orang yang baik-baik diantara kamupun semula merupakan anak kaum muyrik, kemudian Beliau memerintahkan agar jangan membunuh anak-anak. Jangan membunuh anak-anak! Setiap diri dilahirkan dalamkeadaan fitrah, sehingga lisannya menyimpang dari fitrah itu maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi dan Nasrani” (HR. Ahmad).
61) Ibid 62) Dalam Tafsir Bhaidhowi karangan Nasir ad-Dien bin Said ‘Abdullah bin Umar
Muhamad Syairozy Baidhowi juz XI, dijelaskan seseorang tidak kuasa merubah ciptaan Allah 63) Muhamad Nasir al-Rifai, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, Gema Insani, Jakarta 1999, jilid
3 hal 765
31
Menurut Al-Maroghi “la tabdila likhoqillah” merupakan kalimat
berita yang mengandung makna perintah, jadi seolah-olah dikatakan,
”janganlah kalian mengganti agama Allah (agama tauhid) dengan
kemusyrikan”.64)
Lebih lanjut al-Maroghi menjelaskan, akal manusia itu seakan-
akan lembaran putih yang bersih dan siap menerima tulisan yang akan
dituangkan isinya dan ia seperti lahan yang menerima semua yang
ditanamkan kepadanya. Dan jiwa manusia itu datang kepadanya berbagai
macam agama dan pengetahuan, lalu menyerapnya, akan tetapi hal-hal
yang baiklah yang paling banyak diserapnya. Sebagaimana tumbuh-
tumbuhan, dan jiwa manusia itu tidak akan mengganti fitrah yang baik ini
dengan pendapat-pendapat yang rusak melainkan dengan adanya guru
yang mengajarinya. Seandainya orang tua membiarkan anaknya, niscaya
anak itu akan mengetahui dengan sendirinya, bahwa Tuhan itu satu, dan
akalnya tidak akan menuntun kepada hal lain. Sesungguhnya ternakpun
tidak akan terpotong-potong telinganya atau bagian tubuhnya yang lain
kecuali faktor dari luar. Demikian pula lembaran akal, ia tidak akan
terkena pengaruh melainkan faktor dari luar yang menyesatkannya.65)
Menurut keterangan ini maka ketetapan Allah yang berupa fitrah
manusia (pengakuan manusia terhadap Allah, bahwa Dialah satu-satunya
Tuhan) tidak akan diubah oleh Allah sampai hari kiamat nanti dan pada
hari itulah manusia nantinya akan diminta pertanggungjawabannya oleh
Allah tentang yang sudah ia ucapkan dan ia perbuat di muka bumi.
Disamping itu fitrah manusia adalah suatu kebaikan, maka
apabila kebaikan itu diberikan jalan yang baik dan lurus lewat
pengetahuan dan pendidikan yang baik maka ia akan berjalan lurus dan
baik sehingga manusia akan selamat jalannya dan bisa sampai tujuan.
Yaitu kembali kepada Allah dengan selamat, dan apabila fitrah manusia
64) Ahmad Mustofa Al-Maroghi, Op Cit, 84 65) Ibid
32
ini diberikan jalan yang jelek maka fitrah ini akan mandek dan manusia
akan berjalan dalam kesesatan sehingga apabila manusia tidak kembali
dan merubah kesesatan menjadi kebaikan maka ia akan kembali pada
Allah dengan tidak selamat. Firman Allah :
ماءهجو قول حسوا أن الرهدشو انهمإمي دعوا با كفرمقو دي اللههي فكيو اتنيالبالظالمني مدي القوهلا ي 86(الله(
“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman. Serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar Rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim.” (Ali-Imron : 86).
Zajjaj mengatakan, “kaifa yahdihim” adalah bahwa Allah tidak
memberikan hidayah kepada mereka karena mereka telah mengetahui
kebenaran, menyaksikan dan meyakininya, namun mereka sengaja kafir
terhadapnya. Dengan demikian, jika ia telah mengetahui petunjuk, ia
segera mendapatkan hidayah, sedangkan yang mengetahui kebenaran dan
meyakininya, serta hatinya mengakuinya, kemudian ia memilih 66),
kekafiran dan kesesatan, maka bagaimana Allah akan memberikan
petunjuk pada orang seperti ini? Jadilah mereka tidak akan kembali pada
Allah dengan selamat.67)
Firman Allah : مالقي نالذي ذلك
66) Dalam hal memilih manusia menggunakan akalnya untuk berfikir. Melalui akal
tersebut manusia dapat berfikir tentang kebaikan dan keburukan, ia juga dapat memilih mana yang baik dan yang buruk. Melalui akal inilah manusia menentukan jalan hidupnya, dan pemberian akal inilah Allah hendak menguji manusia
67) Tafsir Al Munir, Op Cit, hal 53 dan Muhamad Ali Sobuni, Sofwah al Tafsir, Dar al Fikr, Beirut hal 748
33
“Itulah agama yang lurus” maksudnya adalah fitrah manusia yang diciptakan oleh Allah tentang ketauhidan itu merupakan agama yang lurus.68)
Ibn Katsir mengatakan “Berpegang teguh kepada syari’at dan
fitrah yang selamat merupakan agama yang teguh dan lurus.” Namun
kebanyakan manusia tidak mengetahui agama itu. Penggalan ini seperti
Firman Allah “Dan Mayoritas manusia tidaklah beriman, walaupun kamu
(Muhammad) sangat menginginkannya.69)
Al-Maroghi’ dalam menafsirkan ayat diatas juga sama seperti Ibn
Katsir yaitu, yang Allah perintahkan kepada manusia adalah ajaran tauhid,
ia adalah agam yang haq, tiada kebengkokan dan tiada pula penyimpangan
di dalamnya.70) Oleh karena itu berpegang teguhlah kalian (manusia) pada
agama Allah itu niscaya kalian akan selamat.
Firman Allah :
ولكن اكثرالناس ال يعلمون “Dan akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Tafsirnya adalah : Kebanyakan mereka tidak mengetahui
fitrahnya, lantaran mereka tidak mau menggunakan akalnya, guna
memikirkan bukti-bukti yang jelas yang menunjukkan kepada
ketauhidan.71) Karena tidak mau memikirkan maka mereka tidak
mengetahui sesungguhnya mereka (manusia) tercipta hanya untuk
menyembah kepada Allah.72)
Akal merupakan perlengkapan manusia dan merupakan hidayah
Allah yang paling tinggi disamping agama, yang akan mengangkat
manusia ke derajat yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada
68) Yusuf Qardhowi, Al Quran Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,Gema Insani, Jakarta, 1998, hal 128
69) Muhamad Nasir Al Rifai, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, Op Cit, hal 766 70) Al Maraghy, Op Cit, hal 84 71) Ibid 72) Muhamad Ali Shobuni, Op Cit, hal 478
34
makhluk yang bernama malaikat. Dengan akal, pintu segala pengetahuan
terbuka lebar, dan dengan ilmu berbagai masalah hidup dan kehidupan
dapat terpecahkan.73)
Jadi tahu dan tidaknya manusia terhadap fitrah Allah, agama
Alah terletak pada akal manusia, apabila ia mau menggunakan akalnya
dengan sebaik-baiknya ia akan tahu dan mengetahui dan selanjutnya
mengamalkan dengan sebaiknya apa yang telah diperintahkan oleh Allah
dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. Dan apabila ia tidak mau
menggunakan akalnya dengan baik maka ia tidak akan tahu dan
selanjutnya mereka (manusia) akan ingkar terhadap perintah Allah.
Dari keterangan-keterangan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa isi kandungan surat Al Ruum ayat 30 adalah :
Pertama berisi tentang fitrah ketuhanan. Fitrah ini diterima
manusia dalam pra eksistensinya di bumi, dan ia masih dalam keadaan
suci, dan belum mendapatkan godaan syetan. Sehingga ia mudah
menerima dan mengimani bahwa Allah itu adalah Tuhan yang patut
disembah dan Dialah satu-satunya Tuhan, tidak ada Tuhan lain selain Dia.
Dia lah Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Maha Pemberi
ilmu pengetahuan. Sedangkan dibumi manusia banyak mendapatkan
godaan-godaan syetan yang selalu mengintainya, sehingga manusia kalau
dia tidak mendapatkan pendidikan yang tepat, maka bisa jadi ia tersesat
dan akan mengikuti syetan yang terkutuk, dia akan lupa siapa Tuhannya,
siapa yang memberi nikmat hidup di dunia ini, dan lupa apa yang
seharusnya ia lakukan terhadap Tuhannya.
Kedua, agama yang lurus. Agama Islam yang diwahyukan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad dan Nabi-Nabi sebelumnya, merupakan
wahana atau sarana dalam mendidik dan mengajarkan manusia pada
fitrahnya.
73) Ahmadi, Islam sebagai Paradigma Pendidikan,Aditya Media bekerja sama dengan
IAIN Wali songo Press, 1992, hal. 47-48
35
Ketiga, pentingnya akal yang harus digunakan dalam semestinya.
Artinya akal itu harus digunakan oleh manusia untuk memikirkan siapa
yang membuat dan menciptakan dia dan alam semesta ini. Untuk
memikirkan apa yang harus dilakukan manusia terhadap Tuhannya.
C. Fungsi Fitrah Bagi Manusia
Allah menciptakan semua yang ada di alam semesta tidaklah sia-sia,
artinya semua ada nilai gunanya. Kegunaan yang ada pada ciptaan Allah itu
satu sama lain berbeda. Nilai guna yang ada pada ciptaan Allah itu juga
berguna antara antara ciptaan yang satu dengan yang lainnya. Contohnya,
sayur-sayuran diciptakan oleh Allah yang di dalamnya terkandung beberapa
zat yang berguna untuk tubuh manusia, seperti wortel mengandung vitamin A
untuk kesehatan mata manusia. Dan gunung diciptakan oleh Allah fungsinya
sebagai pengokoh bumi agar tidak goncang.
Begitu juga fitrah diciptakan Allah dalam diri manusia sejak manusia
itu diciptakan juga mempunyai fungsi.
1. Sebagai pengikat.74) Dalam hal ini, Allah mengikat manusia dengan
diriNya, ketika manusia masih dalam keadaan pra eksistensial, dengan
pertanyaan yang Allah sendiri yang secara langsung memberikan
pertanyaan itu. Pertanyaan seperti yang termaktub dalam QS. Al A’raaf
ayat 172, yaitu : “Bukankah aku ini Tuhanmu?”. Melalui pertanyaan ini
juga manusia dengan sendirinya mengikatkan dirinya pada Allah; dengan
jawaban “Ya, benar”, kami menjadi saksi. Oleh karena itu manusia tidak
bisa lepas dari Allah. Manusia harus tunduk dan taat kepadanya. Ketaatan
dan ketundukan manusia kepada Allah akan memberikan kehidupan
manusia di bumi dan di akhirat akan selamat.
74) Yasien Mohamed, Loc Cit,hal 50
36
2. Sebagai saksi penentang kekafiran dan kemusyrikan yang mungkin
berdalih tidak tahu atau mengaku-aku, pada hari hisab, hanya mengikuti
nenek moyangnya.75)
3. Sebagai motivator dan dinamisator penggerak tingkah laku manusia,
meluruskan akal budi dan mengendalikan implus-implus yang rendah.76)
4. Sebagai pedoman dasar kehidupan ia di bumi. Fitrah manusia yang
melekat dalam diri manusia dan diciptakan pada awal penciptaan manusia
dimaksudkan Allah agar manusia bisa mengakuiNya sebagai Tuhan yang
memiliki kekuasaan atas segala sesuatu.77) Dengan berpedoman seperti ini
manusia yang diciptakan sebagai kholifah di bumi, harus tunduk pada
fitrahnya. Kehidupan manusia di bumi merupakan anugerah sekaligus
ujian bagi manusia. Oleh karena itu manusia tidak mungkin lepas dari
keimanan yang mereka ucapkan sendiri ketika ia masih dalam keadaan
pra-eksistensinya.
Manusia bumi secara potensi adalah seorang kholifah yang
sempurna, suatu mikro kosmos manusia universal. Agar manusia menjadi
sempurna dan memiliki pengetahuan tentang Allah, dia harus Tunduk dan
mematuhi fitrahnya dan mencapai manusia universal dalam dirinya dan
mengikuti Nabi Muhammad sebagai prototype spiritual.78)
75) Ibid, hal 51 76) Abdul Mujib, Loc Cit, hal 54 77) Yasien Mohemed, Op Cit, hal 49 78) Ibid