Upload
radit-radovzky-mayangkara
View
17
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS PRESENTASI KASUS
KANKER SERVIKS
Tutor :
dr. Hardjono, Sp.OG
Kelompok D
G1A009050 Purindri Maharani
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2012
I. PENDAHULUAN
Kanker serviks adalah penyebab kematian terbanyak akibat kanker di
negara berkembang. Pencegahan kanker serviks dapat dilakukan dengan program
skrining sitologi dan pelayanan kesehatan yang baik. Setiap tahun diperkirakan
didapatkan 50.000 orang penderita baru di seuruh dunia yang pada umumnya
terjadi di negara berkembang (Edianto, 2006).
Insidensi dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan kedua
setelah kanker payudara. Di negara berkembang, kanker serviks masih menempati
urutan pertama sebagai penyebab kematian akibat kanker pada wanita usia
reproduktif. Hampir 30 % jumlah kasus kanker serviks terjadi di negara
berkembang. Sebelum tahun 1930, kanker serviks merupakan penyebab utama
kematian, namun jumlah penderita turun secara drastis sejak mulai dilakukan
teknik skrining pap smear. Namun, saat ini program skrinning belum
memasyarakat di negara berkembang, sehingga insidensi kanker serviks masih
tinggi (Edianto, 2006).
Upaya registrasi kanker sudah dilakukan untuk mengetahui insidensi
kejadian kanker. Namun, di negara berkembang, sistem registrasi ini belum
berjalan dengan baik., sehingga sulit didapatkan data yang akurat mengenai
kanker serviks. Data yang bisa didapatkan saat ini adalah berdasarkan data dari
laboratorium pemeriksaan histopatologi (Edianto, 2006).
Bagi penderita kanker serviks, yang paling penting adalah penegakkan
diagnosis sedni mungkin dan memberikan terapi yang efektif dan sekaligus
prediksi prognosisnya. Hingga saat ini, pilihan terapi masih sangat terbatas pada
operasi, radiasi, dan kemoterapi., atau kombinasi dari beberapa modalitas terapi
ini. Namun, tentu saja terapi ini masih bersifat simptomatis karena belum
menyentuh dasar penyebab kanker uaitu adanya perubahan perilaku sel. Saat ini
pilihan terapi masih sangat bergantung pada luasnya penyebaran penyakit secara
anatomis dan senantiasa berubah seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran.
Penetuan pilihan terapi dan prediksi prognosisnya atau untuk membandingkan
tingkat keberhasilan terapi baru harus berdasarkan pada perluasan penyakit.
Secara universal disetujui penetuan luasnya penyebaran penyakit melalui sistem
stadium (Edianto, 2006).
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari
metaplasia epitel di daerah skuamkolumner junction yaitu daerah peralihan
mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks meruakan
kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya
antara uterus dan vagina. Kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa
yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil
lendir pada saluran servikal.
B. Etiologi
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus HPV(human
papilloma virus). Lebih dari 90% kanker serviks jenis skuamosa
menganung DNA virus HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan
HPV tipe 16. Penyebaran virus ini terutama melalui hubungan seksual
(Edianto, 2006).
Faktor lain yang berhubungan dengan kanker serviks adalah
aktivitas seksual terlalu muda (<16 tahun), jumlah pasangan seksual yang
tinggi, dan adanya riwayat infeksi. Selain itu, bahan karsinogenik spesifik
dari tembakau dijumpai dalam lendir serviks wanita perokok. Bahan ini
dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama dengan infeksi HPV
mencetukan transformasi maligna (Edianto, 2006).
C. Patofisiologi
Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi
kanker diakibatkan oleh adanya mutasi en pengendali siklus sel. Gen
pengandali tersebut adalah onkogen, tumor supresor gen, dan repair gen.
Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam
karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi
maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan
tumr yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun
kanker invasif berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua
perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami
regresi secara spontan sebanyak 3-35% (Debbie, 2012).
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka
regresi yang tinggi. Watu yang diperlukan dari displasia menjadi
karsinoma insitu berkisar antara 1-7 tahun, sedangkan waktu yang
diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3-20 tahun. Proses
perkembangan kanker servik berlangsung lambat, diawali adanya
perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini
daat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya
akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan
gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7-10 tahun
perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi
invasif pada stroma serviks degan adanya proses keganasan. Perluasan lesi
di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat
berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada
serviks, parametria dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau
vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada
sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan
perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap,
dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi
keganasan. Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada
dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein
tersebut E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading
frame. Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetic
(Debbie, 2012).
Pada infeksi fase laten, terjadi ekspresi E1 dan E2 yang
menstimulus ekspresi terutama L1 dan L2 yang berfungsi pada replikasi
dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel
epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi
imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang
mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan
E2 dan jumlah HPV lebih dari kurang lebih 50.000 viron per sel dapat
menorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu
untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif. Ekspresi E1 dan E2
rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6
dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV,
protein 53 (p53) sebagai suppresor tumpr diduga paling banyak berperan.
Fungsi p53 wild type sebagai kontrol negatif siklus sel dan genom
mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi
p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild
type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit (Prayetni, 1997).
Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis
berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai
sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan
lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks. Dengan
demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV
terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi
penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV. Dan seharusnya p53
dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker
serviks. Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke
pembuluh getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah
bening obturator, iliaca eksterna, dan kelenjar getah bening hipogastrika.
Dari sini tumor menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan
pada aorta. Secara hematogen, tempat penyebaran terutama adalah paru-
paru, kelenjar getah bening mediastinum dan supravesikuler, tulang, hepar,
empedu, pankreas, dan otak (Prayetni, 1997).
D. Penegakkan diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis, sering kali ditemukan adanya pengeluaran
sekret vagina yang agak banyak dan kadang-kadang disertai dengan
bercak perdarahan. Tanda ini akan berulang dan terjadi setelah
bersetubuh atau membersihkan vagina. Seiring dengan perjalanan
penyakit, maka perdarahan akan menjadi semakin sering, lebih
banyak, dan berlangsung lebih lama. Sekret vagina juga akan
menjadi berbau siring dengan masa nekrosis lanjut. Apabila tumor
telah menyebar ke luar dari serviks dan melibatkan jaringan di
rogga pelvis, dapat dijumpai nyeri yang menjalar ke pinggul atau
kaki. Beberapa penderita juga akan mengeluhkan nyeri berkemih,
hematuria, perdarahan rektum sampai sulit berkemih dan buang air
besar. Penyebaran ke kelenjar getah bening tungkai bawah dapat
menimbulkan edema tungkai bawah, atau terjadi uremia apabila
ada penyumbatan kedua ureter (Mansjoer, 2001).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, serviks dapat teraba membesar,
ireguler, dan teraba lunak. Bila tumor tumbuh eksofitik maka
terlihat lesi pada porsio atau sudah sampai vagina (Mansjoer,
2001).
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Histopatologi jaringan biopsi
Diagnosis kanker serviks dapat dilakukan melalui
pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi. Bila dijumpai lesi
seperti kanker secara kasat mata, harus dilakukan biopsi walau
hasil pemeriksaan pap smear masih dalam batas normal. Biopsi
lesi yang tidak nyata dapat dilakukan dengan bantuan
kolposkopi (Edianto, 2006).
Kecurigaan lesi tidak kasat mata didasarkan pada hasil
pemeriksaan sitologi serviks. Diagnosis kanker serviks hanya
berdasarkan pada hasil pemeriksaan histopatologi jaringan
biopsi. Hasil pemeriksaan sitologi tidak bisa digunakan sebagai
dasar penetapan diagnosis (Edianto, 2006).
Biopsi dapat silakukan secara langsung tanpa bantuan
anestesia dan dapat dilakukan secara rawat jalan. Perdarahan
yang terjadi dapat diatasi dengan penekanan atau meninggalkan
tampon vagina. Lokasi biopsi sebaiknya dapat diambil dari
jaringan yang masih sehat dan hindari biopsi jaringan nekrosis
pada lesi besar. Bila hasil biopsi dicurigai adanya mikroinvasi,
dilanjutka dengan konisasi. Konisasi dapat dilakukan dengan
pisau atau dengan elektrokauter (Edianto, 2006).
2. Pemeriksaan sitologi
Tes sitologi dilakukan dengan melakukan tes pap smear.
Tes ini merupakan penapisan untuk mendeteksi infeksi HHPV
dan prakanker serviks. Ketepatan diagnostik sitologinya kurang
lebih 90% pada displasia keras atau karsinoma in situ, dan 76%
pada displasia ringan atau sedang didapatkan hasil negatif palsu
5-50%, sebagian besar disebabkan pengambilan sediaan yang
tidak adekuat. Sedangkan hasil positif palsu sebesar 3-15%
(Prayetni, 1997).
Hasil dinyatakan negatif apabila tidak ditemukan sel ganas
dan pemeriksaan harus diulangi satu tahun lagi. Hasil
inkonklusif adalah bila sediaan tidak memuaskan. Hal ini bisa
disebabkan karena fiksasi tidak baik, tidak ditemukan sel
endoserviks, gambaran sel radang yang padat menutupi sel.
Pemeriksaan sitologi diulangi setelah dilakukan pengobatan
radang dan sebagainya (Prayetni, 1997).
Displasia adalah bila didapatkan sel-sel diskariotik
padapemeriksaan mikroskopik. Derajat ringan, sedang, sampai
karsinoma in situ. Diperlukan konfirmasi dengan kolposkopi
dan biopsi. Setelah itu, harus dilakukan penanganan lebih lanjut
dan harus diamati minimal 6 bulan berikutnya. Hasil akan
dinyatakan positif apabila terdapat sel-sel ganas pada
pengamatan mikroskopik. Selanjutnya harus dilakukan biopsi
untuk memastikan diagnosis dan penanganan harus dilakukan
rumah sakit rujukan dengan seorang ahli onkologi (Prayetni,
1997).
HPV akan keluar sebagai hasil apabila pada infeksi virus
ditemukan sediaan negatif atau displasia. Selanjutnya dilakukan
pemantauan ketat dengan konfirmasi kolposkopi dan ulangi
kembali pemeriksaan pap smear (Prayetni, 1997).
3. Kolposkopi
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena
proses metaplasia. Pemeriksaan kolposkopi memerlukan
keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam mengetes
daerah yang abnormal (Prayetni, 1997).
4. Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan
yodium. Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang
terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen.
Sedangkan pada sel epitel serviks yang mengandung kanker
akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada
glikogen (Prayetni, 1997).
5. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah pelvik
limfangiografi yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada
saluran pelvik. Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan
intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap
lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter
terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk
mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi
sitoskopi, pielogravi intravena, enema barium, dan
sigmoidoskopi. MRI atau CT-scan abdomen atau pelvis dapat
dilakukan untuk menilai penyebarn lokal dari tumor dan/atau
terkenanya nodus limpa regional. (Gale, 2000)
Gambar 2.1. Stadium kanker serviks menurut FIGO
E. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis dipastikan secara histologik dan sesduah
dikerjakan perencanaan oleh tim yang bisa melakukan rehabilitasi dan
pengamatan lanjutan, maka terapi karsinoma serviks dapat ditegakkan.
Pemilihan pengobatan kanker leher rahim tergantung pada lokasi dan
ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan
rencana penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat rendah biasanya tidak
memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal
seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada
lesi preanker bisa berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi (diatermi),
pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel abnormal tanpa melukai
jaringan yang sehat di sekitarnya dan LEEP (Loop Electrosurgical Excision
Procedure) atau konisasi (Wiknjosastro ,1997).
1. Pembedahan
Pada karsinoma in situ, seluru kanker sering kali dapat diangkat
dengan bantuan pisau bedah ataupun LEEP atau konisasi. Dengan
pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak. Karena
kanker bisa kambuh kembali, maka pasien dianjurkan untuk menjalani
pemeriksaan ulang dan pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun
pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Penderita dapat melakukan
histerektomi apabila tidak memiliki rencana untuk hamil lai.
Pembedahan dapat bersifat kuratif maupun paliatif. Histerektomi
merupakan bentuk tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks ataupun salah satunya. Biasanya
dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA. Umur pasien sebaiknya
dilakukan sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat
dilakukan pada pasien dengan usia kurang dari 65 tahun. Pasien juga
harus dalam kondisi bebas dari penyakit umum dengan resiko tinggi
seperti penyakit jantung, ginjal, dan hepar (Gale, 2000).
2. Radioterapi
Radioterapi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta
mematikan limfe nodi pada pelvis. Kanker serviks stadium IIB, III, dan
IV sebaiknya diobati dengan radiasi. Metode radioterapi dapat bersifat
kuratif maupun paliatif. Pengobatan kuratif adalah mematikan sel
kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke
kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan sebanyak
mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum, vesika
urinaria, usus halus, dan ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya
akan diberikan pada pasien dengan stadium I sampi IIIB. Apabila sel
kanker sudah keluar ke rongga panggul, maka radioterapi hanya akan
bersifat paliatif dan diberikan secara selektif kepada stadium IVA
(Gale, 2000).
Terapi radioaktif ada dua jenis, yaitu radioterapi eksternal, dan
radio terapi internal. Radioterapi eksternal adalah penyinaran
menggunakan mesin yang dilakukan 5 hari per minggu selama 5-6
minggu. Radioterapi internal adalah pemberian kapsul berisi zat
radioaktif yang dimasukkan ke dalam serviks. Kapsul diberikan selama
1-3 hari dan pengobatan dapat diulang beberapa kali selama 1-2 minggu
(Gale, 2000).
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah pemberian obat melalui infus, tablet, atau
intramuskuler. Obat kemoterapi diguakan untuk membunuh sel kanker
dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi
tergantung pada jenis dan fase kanker. Kemoterapi diberikan untuk
mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak
mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir,
kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup
yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan untuk
penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum
memberikan keuntungan yang memuaskan. Obat yang digunakan paa
kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adremycin
Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin), dan lain-lain (Prayetni,
1997).
F. Prognosis
Prognosis pada kanker serviks bisa diketahui berdasarkan stadium
penyakit yang ditentukan dengan 5 years survival rate. Prognosis 5 years
survival rate untuk kanker serviks, yaitu :
Stadium I : 85-92 %
Stadium II A : 75-83 %
Stadium II B : 58-67 %
Stadium III : 25-35 %
Stadium IV : 8-14 % (Bader, 2005).
III. KESIMPULAN
Kanker serviks adalah penyakit yang penyebab utamanya adalah Human
Papiloma Virus yang merupakan penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
kanker pada wanita. Wanita dengan riwayat berganti-ganti pasangan, usia lanjut,
multipara, dan menikah waktu muda merupakan orang-orang dengan resiko tinggi
untuk terkena kanker serviks.
Kanker serviks dapat diatasi dengan melakukan pembedahan, radioterapi,
dan kemoterapi. Namun, pemilihan pengobatan disesuaikan dengan stadium
kanker. Penyakit ini memiliki prognosis berdasarkan 5 years survival rate yang
beragam berdasarkan stadium dari penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bader, Thomas J. 2005. Ob/Gyn Secrets 3rd Edition. Philadelphia : Elsevier
Mosby.
Debbie, Saslow. 2012. American Cancer Society, Amricaan Society for
Colposcopy and Cervival Pathology, and American Society for Clinica Pathology
Screening Guidelines for the Prevention and Early Detection of Cervical Cancer.
American Journal of Clinical Pathology. 137: 516-542.
Edianto, Deri. 2006. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Gale, Alic, Margaret, Odle, Theresa. 2006. Gale Encyclopedia of Cancer. The
Gale Group.
Mansjoer, Arif, Kuspuji, Triyanti, Savitri, Rakhmi, et al. 2001. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius.
Prayetni, Suprijono. 1997. Peran Squamus cell carcinoma dalam evaluasi terapi
karsinoma uteri.
Winknjosastro, H. 1997. Ilmu Kebidanan Edisi III. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sasworo Prawiroharjo.
STATUS PASIEN
Nama Pasien : Warkiah
Umur : 46 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Bobotsari, Purbalingga
I. Anamnesis
KU : Keluar darah dari jalan lahir
Gejala tambahan : Keputihan, nyeri supra pubik, poliuri
RPS : darah keluar sejak 1 jam sebelu datang ke rumah sakit,
berwarna hitam, disertai lendir, dan memerlukan ganti
pembalut hingga 3 kali per hari. Keputihan berwarna
kekuningan, berbau, tidak menyebabkan gatal dan rasa
panas. Frekuensi buang air kecil meningkat. Nyeri
suprapubik seperti ditusuk, hilang-timbul, dan biasanya
terasa ketika perdarahan.
RPD : Tidak ada riwayat keluhan serupa, tidak ada riwayat rawat
inap di rumah sakit, tidak ada riwayat penyakit hipertensi,
diabetes melitus, dan penyakit jantung.
Riwayat perkawinan : Pasien sudah menikah 3 kali. Pernikahan pertama 10
tahun, pernikahan kedua 1 tahun, dan pernikahan ketiga 1
tahun. Saat ini pasien tidak bersuami.
RPK : Tidak ada riwayat penyakit serupa, tidak ada riwayat
penyakit hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit
jantung.
Riwayat menstruasi : Saat ini pasien sudah mengalami menopause kurang
lebih 2 tahun, dan pada masa menstruasi dulu tidak pernah
mengalami masalah.
Riwayat ginekologi : Tidak ada riwayat operasi. Pasien sudah pernah
meakukan curet 5 tahun yang lalu di dukun, dan pasien
mengalami keputihan.
Riwayat kehamilan : G3P2A1. Anak pertama berusia 25 tahun, anak kedua
berusia 16 tahun, dan mengalami keguguran 5 tahun yang
lalu. Semua anak dilahirkan secara spontan dan tidak
mengalami cacat fisik sejak lahir.
II. Pemeriksaan fisik
1. Status Generalis
KU : Baik, kooperatif
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 72 kali/menit
Frekuensi napas : 24 kali/menit
Suhu : 37,1°C
Kepala :
Mata : sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-)
Hidung : sekret (-)
Telinga : sekret (-)
Mulut : gigi lengkap, rongga mulut, lidah, pallatum mole,
pallatum durum, dan gusi dalam batas normal.
Leher : Tidak ada deviasi trakea
Thoraks : Bentuk dada simetris, tidak ada napas tertinggal
Paru :
Inspeksi : Tidak ada napas tertinggal
Palpasi : Tidak ada napas tertinggal, fremitus taktil normal dextra =
sinistra.
Perkusi : Sonor, batas paru hepar di SIC 5
Auskultasi : SD vesikuler dextra et sinistra (+), ronki basah halus (-),
ronki basah kasar (-), wheezing (-)
Jantung : Tidak ada perbesaran jantung
Abdomen :
Inspeksi : Abdomen rata, tidak tampak ada lesi
Palpasi : Palpasi abdomen supel, teraba masa sebesar telur ayam,
keras, terfiksasi, dan permukaan halus, diduga sebagai
uterus yang terdorong.
Perkusi : Timpani, pekak pada regio suprapubik
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Ekstrimitas : Dalam batas normal, tidak ada sianosis, akral hangat.
2. Status ginekologi
Ginekologi eksterna : Perdarahan Per Vaginam (+)
III. Diagnosis :
P2A1 Kanker serviks uteri
IV. Pemeriksaan Penunjang :
- Histopatologi jaringan : Gambaran sesuai dengan adenokarsinoma
servix uteri differensiasi baik.
- USG : Massa pada regio servix uteri disertai
infiltrasi pada korpus uteri
- Darah rutin : gejala anemi dengan Hb:10,9 g/dL
- Foto thorax : Tidak tampak gambaran metastase pada
pulmo dan tulang yang terlihat
V. Terapi
- Radioterapi
- Kemoterapi
VI. Prognosis
5 years survival rate 75-83 %