312
STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007

2007eni

Embed Size (px)

Citation preview

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH

KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA

DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

ENIRAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

TAHUN 2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Pengembangan Wilayah

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa

Tenggara Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Enirawan

NIM : A155040091

ABSTRAK

ENIRAWAN, Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan SETIA HADI.

Pembangunan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima adalah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk itu dilakukan penelitian dengan tujuan : (1) mengidentifikasi potensi dan permasalahan dalam pengembangan wilayah, (2) mengkaji keterkaitan antar sektor dan mengetahui sektor unggulan wilayah, (3) mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional, dan (4) menyusun strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima. Penelitian ini menggunakan Analisis Deskriptif, Analisis IO, Analisis LQ, Model Grafitasi, AHP dan SWOT.

Kapet Bima memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat di atas pertumbuhan ekonomi propinsi, yang dapat menjadikan Kapet Bima sebagai prime mover bagi pertumbuhan wilayah sekitarnya. Hal ini didukung dengan pengembangan sektor tanaman bahan makanan dan industri pengolahan non migas sebagai sektor unggulan yang memiliki keterkaitan dan dampak yang tinggi terhadap pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Kapet Bima berinteraksi khususnya dengan kawasan pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia. Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut, menunjukkan bahwa dinamika sosial lebih tinggi dari pada dinamika ekonomi wilayah di Kapet Bima. Strategi umum yang digunakan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima adalah pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi, pengembangan sosial ekonomi perdesaan, pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan kering dan pesisir/kelautan, serta pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional.

. Kata Kunci : Kapet Bima, prime mover, keterkaitan, sektor unggulan, interaksi dan pengembangan wilayah

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apa pun, baik cetak, foto copi, mikrofilm, dan sebagainya

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH

KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA

DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

ENIRAWAN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

Judul Tesis : Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat

Nama : Enirawan

NIM : A155040091

Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan (PWD)

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D

3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 11 April 2007

Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala karunia, kemudahan

dan petunjukNya sehingga tesis yang berjudul : “Studi Pengembangan Wilayah

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa

Tenggara Barat” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu

prasyarat dalam memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Ilmu-Ilmu

Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian

Bogor.

Dalam penyelesaian tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai

pihak. Untuk itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. H. Bambang Juanda, MS dan

Bapak Dr. Ir. H. Setia Hadi, MS selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing

serta Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku Penguji Luar Komisi atas

segala bimbingan, arahan dan motivasinya. Demikian juga kepada Ketua Program

Studi PWD Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D beserta staf pengajar yang

telah memberikan pendidikan baik ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai

kehidupan. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa PWD

atas segala bentuk solidaritas dan social capital yang telah dibangun selama ini,

serta semua pihak atas berbagai perannya dalam studi penulis.

Penulis dengan sepenuh cinta menyampaikan terima kasih kepada istriku

Ratna, S.Sos. dan anakda Aiyun Safira Alwana atas segala pengorbanan dan

kesabarannya dalam mendampingi penulis menjalani studi. Kepada Bapak Israil

Hasan dan Ibunda Ipa Mustari, Ayahanda Syanif Hemon dan Ibunda Mujnah, atas

doa dan perjuangannya membesarkan penulis, serta saudara-saudaraku dan

keluargaku, yang telah memberikan dukungan material maupun spiritual. Tidak

lupa pula ucapan terima kasih dan doa penulis sampaikan untuk almarhumah

Ibunda Kartini yang telah melahirkan dan memberikan kasih sayangnya, semoga

Ibunda tercinta mendapatkan tempat yang layak di sisi Yang maha Kuasa.

Akhirnya, Penulis dengan rendah hati mohon saran dan kritik dari

berbagai pihak untuk perbaikan tesis ini dan semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2007

Enirawan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Piong Sanggar Kabupaten Bima Propinsi Nusa

Tenggara Barat pada tanggal 2 Agustus 1977 dari Ayahanda Syanif Hemon, A.Ma

dan Ibunda Kartini (Almarhumah), yang selanjutnya diasuh oleh Ibunda Mujnah.

Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Menikah dengan

Ratna, S.Sos. pada tanggal 27 Juni 2004 dan diberi amanah seorang putri pada

tanggal 18 Agustus 2005 yang diberi nama Aiyun Safira Alwana.

Pendidikan sekolah dasar ditempuh Penulis pada SDN I Piong dan tamat

tahun 1988. Menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama pada SMPN

Sanggar pada tahun 1991. Pendidikan sekolah menengah atas pada SMAN I Bima

dan tamat tahun 1994. selanjutnya Penulis menempuh pendidikan sarjana (S1)

pada Program Studi Penyuluhan Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Mataram dan tamat Maret 1999.

Sejak kuliah, Penulis aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Pada tahun

1997 sebagai Sekretaris Umum Korps Sukarela (KSR-Unram), membentuk

Lembaga Pemantau dan Penanganan Krisis Ekonomi dan Kelaparan (LPPKEK)

sekaligus sebagai koordinator pada tahun 1997-1999. Aktif melakukan kajian dan

pendampingan perencanaan dan pembangunan desa bersama Lesa Demarkasi,

Solidaritas Untuk Demokrasi (SOLUD) serta pada Lembaga Pengkajian dan

Pengembangan Potensi Daerah (LP3D) sejak tahun 1999. Sebagai Petugas

Konsultan Lapangan (PKL) Departemen Koperasi tahun 1999-2001. Sebagai

Tenaga Profesional-Pegawai Otonomi Daerah Kabupaten Bima tahun 2001-2002.

Diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) mulai Oktober 2002 dan

ditempatkan pada Dinas Koperasi dan PKM Kabupaten Bima.

Pada Tahun 2004, Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program

Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)

Sekolah Pascasarjana (Magister Sains) Institut Pertanian Bogor, atas bantuan dan

beasiswa dari Pemerintah Kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat.

DAFTAR ISI

HalamanDAFTAR TABEL ..….…………………………………………………… DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… I. PENDAHULUAN ……...…………………………………………… 1 1.1. Latar Belakang ....……….…...……………………………… 1 1.2. Rumusan Masalah …......…….……………………………… 5 1.3. Tujuan Penelitian …..…………………...…………………… 8 1.4. Kegunaan Penelitian …....…………………………….……... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ..…… 9 2.1. Konsep Wilayah dan Kawasan …....………………………… 9 2.2. Disparitas Regional …....….………………………………… 11 2.3. Pengembangan Wilayah …...………...……………………… 13 2.4. Titik Pertumbuhan (Growth Point) dan Kutub Pertumbuhan

(Growth Pole) ………..........................……………………… 14

2.5. Interaksi dan Keterkaitan Wilayah ………………………….. 17 2.6. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu ………………... 19 2.7. Penelitian Terdahulu ………………………………………... 22 2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian ...…………………………... 26 III. METODE PENELITIAN …………………………………………. 31 3.1. Kerangka Pendekatan Studi ...….…………………………… 31 3.2. Penentuan Lokasi, Responden dan Waktu Penelitian ......…... 31 3.3. Metode Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data …….…. 32 3.3.1. Studi Literatur dan Data Sekunder ......……………….. 32 3.3.2. Wawancara ...…………………………………………. 32 3.4. Metode Analisis .……………………………………………. 32 3.4.1. Analisis Deskriptif Potensi Pengembangan

Wilayah ……………………………….……………… 33 3.4.2. Penyusunan dan Analisis Input-Output (IO) ..………. 34 3.4.3. Indeks Output Sektor (IOS) ..………. 38 3.4.4. Indeks Daya Tarik (IDT) dan Indeks Daya

Dorong (IDD) ..................................................………. 39 3.4.5. Analisis Location Quotien (LQ) .……………………. 40 3.4.6. Analisis Tingkat Keunggulan Sektor (TKS) .….…….. 41 3.4.7. Model Grafitasi ..……..………………………………. 42 3.4.8. Analisis Deskriptif Interaksi Spasial ….………….. 44 3.4.9. Analisis Deskriptif Kelembagaan ….…………………. 44 3.4.10. Analisis Hirarki Proses (AHP) ..…..………………… 44 3.4.11. Analisis SWOT …..………………………………… 48 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ...……………. 51 4.1. Gambaran Umum Wilayah Administrasi dan

Kependudukan ………………………………………………. 51

4.1.1. Batas Administrasi Wilayah Penelitian ...…………….. 51 4.1.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ……...…………….. 52 4.2. Gambaran Umum Perekonomian Wilayah .………………... 55 4.2.1. Struktur Perekonomian Wilayah .............…………….. 55 4.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah .............…………….. 58 4.3. Kondisi Fisik Wilayah ..…………………………….…….…. 61 4.3.1. Topografi .............................................……………….. 61 4.3.2. Iklim .............…………………………………………. 62 4.3.3. Hidrologi ......…………………………………………. 62 4.3.4. Geologi .........…………………………………………. 63 4.3.5. Tanah ............…………………………………………. 63 4.4. Pola Penggunaan Lahan ……………………………………. 63 4.5. Potensi Pengembangan Wilayah ……………………………. 64 4.5.1. Komoditi Pertanian …………..……….……………… 65 4.5.2. Pertambangan dan Galian …………….……………… 69 4.5.3. Panorama Alam dan Potensi Pariwisata ……………… 70 4.5.4. Sumber Daya Hayati ....……………….……………… 72 4.5.5. Sumber Daya Manusia, Sosial dan Budaya ..………… 73 4.5.6. Ketersediaan Infrastruktur dan Kelembagaan Usaha … 81 4.6. Permasalahan Pengembangan Wilayah .……………………. 95 V. HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................……………. 98 5.1. Keterkaitan Antar Sektor ……………………………………. 98 5.1.1. Struktur Input-Output (IO) …………….....………….. 98 5.1.2. Derajat Keterkaitan Antar Sektor ……....…………….. 103 5.2. Sektor Basis ..................................................………………... 106 5.3. Sektor Unggulan Potensial ...........................………………... 107 5.4. Interaksi Spasial Intra-Inter Regional ..…………….…….…. 113 5.4.1. Pola Hubungan Wilayah Intra-Inter Regional ……….. 113 5.4.2. Posisi Kapet Bima Dalam Hubungan Wilayah ............. 131 5.4.3. Model Interaksi Spasial ....……………………………. 133 5.4.4. Interaksi Spasial Dalam Tinjauan Sejarah .........….…. 136 5.5. Peranan Stakeholders Dalam Pengembangan wilayah ..……. 142 5.6. Strategi Pengembangan Wilayah ...…………………………. 149 5.6.1. Persepsi Stakekolders Dalam Pengembangan

Wilayah ..……………………..……….……………… 149 5.6.2. Lingkungan Strategis Dalam Pengembangan Wilayah.. 160 5.6.3. Analisis Strategi Pengembangan Wilayah .................... 166 5.6.4. Rumusan Strategi Pengembangan Wilayah ……..…… 168 VI. PENUTUP .....................................................................……………. 183 6.1. Kesimpulan ....................……………………………………. 183 6.2. Saran .............................................................………………... 186 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 191LAMPIRAN .................................................................................................. 195

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Matriks Pendekatan Studi …....……………………………………… 2 Kerangka Model Input-Output (IO) Kapet Bima ..………...……… 3 Matriks Nilai Perbandingan ….…………….………….……………. 4 Matriks Perbandingan Berpasangan …....…….……………………... 5 Matriks SWOT …....…….…………...……………………………… 6 Sebaran Kecamatan, Kelurahan dan Desa Per Kabupaten/Kota di

Kapet Bima …....…….………………………….…………………… 7 Luas Wilayah Kapet Bima …....…….………………………………. 8 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan

di Kabupaten Dompu .....…….……………………………………… 9 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di

Kabupaten Bima ….…....…….……………………………………… 10 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kota Bima .…… 11 Kontribusi Sektor-Sektor Terhadap PDRB KAPET Bima Atas

Harga Dasar Harga Konstan’93 Tahun 1996-2000 ………………… 12 PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan

Usaha Tahun 2003 Di Kapet Bima .………………………………… 13 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003 ..…………………………… 14 Laju Pertumbuhan PDRB KAPET Bima Atas Dasar Harga

Konstan’93 menurut Lapangan Usaha tahun 1996-2000 (persen) .… 15 Laju Pertumbuhan Rata-Rata PDRB Kapet Bima Pertahun Atas

Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2003 (Persen) …....…….………………………………………

16 Persentase Luas Lahan Berdasarkan Kemiringan di Wilayah KAPET Bima …….…....…….………………………………………

17 Luas Kapet Bima Berdasarkan Ketinggian Tempat Tiap Kabupaten (Satuan Ha) ……….…....…….………………………………………

18 Keadaan Iklim Di Wilayah Kapet Bima .....………………………… 19 Jenis Penggunaan Lahan Di Wilayah Kapet Bima .………………… 20 Komoditas Pertanian Dominan di Kapet Bima ….………………… 21 Komoditas Peternakan Dominan Di Kapet Bima ..………………… 22 Usaha Perikanan Dominan Di Kapet Bima ………………………… 23 Komoditi Perikanan Laut Dominan Di Kapet Bima …....……...…… 24 Potensi Bahan Galian Golongan B di Kapet Bima (Ton) …...……… 25 Potensi Bahan Galian Golongan C (m3) ..…………………………… 26 Sebaran Objek Wisata dan Panorama Alam di Kapet Bima ...……… 27 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kapet Bima …… 28 Persentase Penduduk Berumur 5-24 Tahun Menurut Partisipasi

Sekolah Di Kapet Bima ..........................................…....…….……… 29 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut

Pendidikan Tertinggi Yang Di Tamatkan Di Kapet Bima ………….. 30 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja

Menurut Lapangan Usaha Utama di Kapet Bima …………………...

31 Jumlah Sekolah Pada Berbagai Tingkat Pendidikan di Kapet Bima (Unit) .....…….………………………………………

32 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Sekolah di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) .…………………………………

33 Jumlah Tempat Peribadatan Di Kapet Bima (Unit) ...……………… 34 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Tempat

Peribadatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) ….………………… 35 Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kapet Bima ………………………… 36 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Fasilitas

Kesehatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) ……..……………… 37 Jumlah Sarana Perdagangan Di Kapet Bima ..……………………… 38 Perbandingan Jumlah Penduduk Terhadap Ketersediaan Sarana

Perdagangan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) …………………… 39 Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Dirinci

Menurut Kelompok Industri Di Kapet Bima ..……………………… 40 Beberapa Jenis Industri Dominan dan Nilai Produksi

Di Kapet Bima ………....…….……………………………………… 41 Keragaan Koperasi di Kapet Bima …....…..………………………… 42 Kapasitas Terpasang dan Jumlah Pelanggan Listrik

Di Kapet Bima ........…....…….……………………………………… 43 Kapasitas Air Bersih PDAM dan Jumlah Pelanggan

di Kapet Bima .........…....…….……………………………………… 44 Kapasitas Pelayanan Telekomunikasi di Kapet Bima …....…….…… 45 Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan Di Kapet Bima ...………… 46 Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan Di Kapet Bima ……………… 47 Sebaran Pelabuhan di Kapet Bima ..………………………………… 48 Komponen Penyusun Tabel Input Output Kapet Bima Tahun 2004 .. 49 Nilai Output dan IOS Masing-Masing Sektor di Kapet Bima

Tahun 2004 .......................................................................................... 50 Komponen Nilai Tambah Bruto Sektor Ekonomi di Kapet Bima

Tahun 2004 .............…....…….……………………………………… 51 Perbandingan Koefisien Teknis Komponen Input IO Kapet Bima

Tahun 2004, IO Jabodetabek Tahun 2002 dan IO Riau Tahun 2001 .. 52 Indeks Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima ....………………… 53 Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Location Quotient (LQ)

di Kapet Bima …….…....…….……………………………………… 54 Tingkat Keunggulan Masing-Masing Sektor di Kapet Bima ……..... 55 Persepsi Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk

Di Kapet Bima (%) …....…….……………………………………… 56 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Desa/Kelurahan

Dalam 1 (Satu) Kecamatan Di Kapet Bima ………………………… 57 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Kecamatan

Dalam 1 (Satu) Kabupaten Di Kapet Bima .....……………………… 58 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6)

Intra Regional Kapet Bima ......……………………………………… 59 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Kabupaten Lain

Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima ……………………………

60 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Kabupaten Lain Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima …………………………….

61 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Propinsi Lain Di Kapet Bima ........…....…….………………………………………

62 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Propinsi Lain Di Kapet Bima ................…….………………………………………

63 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Negara Lain Di Kapet Bima ........…....…….………………………………………

64 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKDP Di Kapet Bima ....…….………………………………………

65 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKAP Di Kapet Bima ....…….………………………………………

66 Lalu Lintas Pesawat dan Penumpang Di Bandara Udara Sultan Salahudin Kabupaten Bima ....………………………………………

67 Rata-Rata Jumlah Kapal Yang Berkunjung, Jumlah Penumpang dan Bongkar Muat Barang Tiap Tahun Di Berbagai Pelabuhan Laut Di Kapet Bima ………....…….………………………………………

68 Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima …………………

69 Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima ……...……

70 Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima ………………

71 Rata-Rata Jumlah Realisasi Komoditi yang Diantarpulaukan Tiap Tahun di Kapet Bima ....…….………………………………………

72 Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima …..……

73 Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Inter Regional Jalur Transportasi Laut di Kapet Bima ...........……………………………

74 Tingkat Pengaruh dan Peran Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah di Kapet Bima .…….………………………………………

75 Persepsi Stakeholders tentang Pendekatan Strategi Pengembangan Wilayah di Kapet Bima ……..………………………………………

76 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Sumber Daya Dalam Pengembangan Wilayah Di Kapet Bima ……………………………

77 Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan Analisis SWOT di Kapet Bima …… …....…….………………………………………

78 Rumusan Strategi Umum Pengembangan Wilayah di Kapet Bima …

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Diagram alir Kerangka Pemikiran Penelitian ..……………………… 2 Struktur AHP Strategi Pengembangan Wilayah Kapet Bima ............. 3 Salah Satu Bentuk Pakaian Tradisional di Kapet Bima ..…………… 4 Pelabuhan Laut Bima ..……………………………………………… 5 Keadaan Topografi Wilayah di Kapet Bima ……..………………… 6 Diagram Kartesius Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima ……… 7 Tingkat Keunggulan Sektor Berdasarkan Indeks Keunggulan Setiap

Indikator di Kapet Bima .........……………………………………… 8 Rerata Persentase Penduduk Pendatang Tiap Desa/Kelurahan

Berdasarkan Daerah Asal di Kapet Bima …………………………… 9 Rerata Persentase Penduduk Tiap Desa/Kelurahan Yang Pindah

Ke Daerah Lain Berdasarkan Daerah Tujuan Di Kapet Bima ……… 10 Arus Penumpang dan Barang Dominan Intra Regional

di Kapet Bima .……………………………………………………… 11 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Darat

Inter Regional Kapet Bima ......……………………………………… 12 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Udara

Inter Regional Kapet Bima ..………………………………………… 13 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Laut

Inter Regional Kapet Bima ......……………………………………… 14 Total Arus Penumpang dan Barang Inter Regional Kapet .………… 15 Tingkat Pengaruh dan Peran Stakeholders Dalam Pengembangan

Wilayah di Kapet Bima …..………………………………………… 16 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya

Institusi Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima ……………… 17 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya

Manusia Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima …………… 18 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya

Finansial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima .…………… 19 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya

Alam Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima ………………… 20 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya

Sosial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima …..…………… 21 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya

Infrastruktur Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima ….………

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Peta Wilayah Kapet Bima ...………………………………………… 2 Daftar Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet)

Indonesia …………………….....…………………………………… 3 Daftar Desa Sampel dan Responden Penelitian di Kapet Bima ......... 4 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar

Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……………………..………………………………………

5 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……………………………………………………………..

6 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……………………. ………………………………………

7 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) …………………………………………………………..…

8 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……

9 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ………………………..……………………………………

10 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……

11 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ………………………..……………………………………

12 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……

13 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) …………………………………..…………………………

14 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..…

15 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ……………….…………………………………

16 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..…

17 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………

18 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .......…………

19 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..……

20 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………..…

21 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..……

22 Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ….…

23 Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………

24 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ….…

25 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………

26 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …….

27 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………

28 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …...…………

29 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..……

30 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …...…………

31 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..……

32 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …...…………

33 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..……

34 Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………

35 Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …….................…………………………………

36 Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………

37 Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …….................…………………………………

38 Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………

39 Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ………………………………………………………………

40 Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………

41 Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………

42 Daftar Sektor Ekonomi/Komponen Tabel Input-Output di Kapet Bima ..........................………………………………………

43 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen (Rp.000) …………….…………………

44 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Koefisien Input Domestik Atas Dasar Harga Produsen .…...…………………………

45 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Matriks Pengganda Domestik Atas Dasar Harga Produsen ………………………………

46 Interaksi Inter Regional dan Model Grafitasi di Kapet Bima Melalui Pelabuhan Laut Bima ………………………………………

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa

pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain

berupa kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan rakyat antara Kawasan

Indonesia Barat yang lebih maju bila dibandingkan dengan Kawasan Indonesia

Timur yang masih jauh terbelakang.

Data Badan Pusat Statistik (2006) menunjukkan bahwa PDB Indonesia

sebagian besar (59.28 %) disumbangkan oleh 6 (enam) propinsi di Pulau Jawa

dengan kontribusi paling besar adalah DKI Jakarta (16.46 %), Jawa Timur

(15.22 %), Jawa Barat (14.61 %) dan Jawa Tengah (8.84 %). Daerah di luar Jawa

yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap PDB Nasional adalah Kalimantan

Timur (6.60 %), Riau (5.24 %) Sumatera Utara (5.16 %), dan Sumatera Selatan

(3.08 %).

Pada tahun 1996, Nusa Tenggara Barat menyumbang hanya 0.78 % dari

total PDRB seluruh propinsi. Angka tersebut terus meningkat dan mencapai

1.20 % pada tahun 2000, namun kontribusinya mengalami penurunan yakni

0.97 % pada tahun 2005. Peningkatan PDRB Nusa Tenggara Barat pada tahun

2000 sebagian besar berasal dari sektor pertambangan, yaitu setelah beroperasinya

PT. Newmont Nusa Tenggara.

Perbedaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia antar

wilayah pada suatu negara menciptakan disparitas dan ketidakseimbangan antar

wilayah. Terdapat wilayah yang berkembang lebih cepat dibandingkan wilayah

lain maupun wilayah sekitarnya. Ketidakseimbangan antar wilayah yang terjadi

dapat menimbulkan persoalan yang berujung pada penurunan kualitas kehidupan

masyarakatnya.

Dalam suatu masyarakat, usaha mengurangi disparitas internal yang

merupakan pengejewantahan pembangunan wilayah merupakan issue yang lebih

besar dan penting dari pada meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara

agregat. Disparitas internal mempunyai struktur yang multidimensi. Disparitas

2

dapat terjadi antar negara, antar wilayah dalam negara dan antar berbagai kelas

sosial (Haruo 2000).

Dalam perjalanan sejarahnya, Indonesia sebagai negara yang luas dan

kaya akan sumber daya alam maupun sumber daya manusia, menghadapi

disparitas wilayah dalam berbagai segi. Selain karena faktor endowment dari

masing-masing wilayah, disparitas juga terjadi sebagai akibat kebijakan dan

konsep wilayah yang dianut Pemerintah, yang merupakan cerminan dari

paradigma lama pembangunan di Indonesia (Kasikoen 2005).

Dari segi ekonomi, pembangunan wilayah dalam jangka panjang

bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Tambunan 2001).

Permasalahan yang dihadapi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat

khususnya di perdesaan dapat dimasukkan ke dalam beberapa permasalahan

utama sebagai berikut : (1) masih kurang berkembangnya kehidupan masyarakat

perdesaan karena terbatasnya akses masyarakat perdesaan ke sumber daya

produktif, seperti lahan, permodalan, infrastruktur, dan teknologi serta akses

terhadap pelayanan publik dan pasar; (2) masih terbatasnya pelayanan prasarana

dan sarana permukiman perdesaan, seperti air minum, sanitasi, persampahan, dan

prasarana lingkungan lain; (3) masih terbatasnya kapasitas kelembagaan

pemerintahan di tingkat lokal dan kelembagaan sosial ekonomi untuk mendukung

peningkatan sumber daya pembangunan perdesaan; dan (4) masih kurangnya

keterkaitan antara kegiatan ekonomi perkotaan dan perdesaan yang

mengakibatkan makin meningkatnya kesenjangan ekonomi dan pelayanan

infrastruktur antar wilayah.

Pembangunan ekonomi daerah di era otonomi menghadapi berbagai

tantangan, baik internal maupun eksternal, seperti masalah kesenjangan dan iklim

globalisasi. Yang disebut belakangan ini menuntut tiap daerah untuk mampu

bersaing di dalam dan luar negeri. Kesenjangan dan globalisasi berimplikasi

kepada propinsi dan kabupaten/kota, untuk melaksanakan percepatan

pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan

dan produk unggulannya.

Percepatan pembangunan ini bertujuan agar daerah tidak tertinggal dalam

persaingan pasar bebas, seraya tetap memperhatikan masalah pengurangan

3

kesenjangan. Karena itu seluruh pelaku memiliki peran mengisi pembangunan

ekonomi daerah dan harus mampu bekerjasama melalui bentuk pengelolaan

keterkaitan antar sektor, antar program, antar pelaku, dan antar daerah

(Tim P4W-IPB 2002).

Kawasan andalan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah

suatu kawasan yang dikembangkan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah

melalui pengembangan kegiatan ekonomi yang diandalkan sebagai motor

penggerak pengembangan wilayah. Kawasan andalan diharapkan mampu menjadi

pusat dan pendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan di sekitarnya. Kawasan

andalan juga diharap mampu bersaing di dalam dan luar negeri (Tim P4W-IPB

2002).

Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur dalam rangka

mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat berbagai strategi

dan program telah dilakukan. Perhatian terhadap Kawasan Indonesia Timur secara

formal-politis dimulai saat frase ”Pembangunan Kawasan Timur Indonesia”

dicantumkan pada GBHN tahun 1993. Kemudian hal ini segera diikuti dengan

pembentukan Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Selanjutnya pada

tahun 1996, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia memperkenalkan

Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) sebagai model perencanaan

pembangunan di Kawasan Indonesia Timur.

Model ini mengadopsi konsep growth centers, yaitu menciptakan dan

mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan, berupa satu kawasan andalan prioritas

mewakili masing-masing propinsi. Kawasan ini didukung oleh kegiatan

sektor/komoditi unggulan, yang berupa potensi sumber daya lokal, yang

diharapkan menjadi prime mover pengembangan propinsi yang bersangkutan

(Prasetya dan Hadi 2000).

Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers (growth

pole) dibanyak negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan

tersebut adalah melupakan kekuatan industrial-linkages yang mestinya dibangun

jauh sebelumnya, baik dalam proses penambahan nilai, keterkaitan produk

(industrial tree), maupun keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi).

Dengan dipertanyakan keterkaitan ini, maka trickle down effect yang dijadikan

4

harapan saat diberlakukannya konsep growth centers ini menjadi menipis

(Kasikoen, 2005).

Menurut Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian

disempurnakan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya

diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150

Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet. Pengertian Kapet adalah

suatu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

a. Memiliki potensi untuk cepat tumbuh, dan atau

b. Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan

ekonomi di wilayah sekitarnya

c. Memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten

Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima.

Secara geografis Kapet Bima memiliki pospek yang cukup besar baik

secara nasional, regional maupun internasional. Secara nasional ujung timur Kapet

Bima yaitu Pelabuhan Laut Sape merupakan daerah paling timur yang dapat

dilalui transportasi darat dari dan keseluruh Kawasan Indonesia Barat, sehingga

Pelabuhan Laut Sape dapat dijadikan sebagai pelabuhan bongkar muat barang dari

kawasan Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya serta wilayah perairan Indonesia

bagian barat atau sebaliknya. Posisi Kapet Bima lebih membuka peluang

memperpendek jalur arus barang/jasa lewat laut ke Australia dan kawasan Pasifik.

Hubungan udara melalui Bandara M. Salahuddin Bima sudah dapat

membuka hubungan dengan wilayah lain di Indonesia dan untuk hubungan

internasional yang terdekat adalah Bandara Udara Ngurah Rai Bali yang dapat

ditempuh dalam 1 jam penerbangan dari Bandar Udara Salahuddin Bima, sedang

lewat darat ditempuh dalam waktu 24 jam.

Di sisi lain, Kapet Bima termasuk dalam posisi jalan wisata segi tiga emas

yaitu di sebelah utara Tanah Toraja, sebelah Timur Pulau Komodo dan sebelah

barat Pulau Bali. Dalam hal ini Kapet Bima telah menunjukkan peranannya

sebagai jalan masuk wisatawan mancanegera ke Pulau Komodo, sehingga

5

memungkinkan pembangunan fasilitas akomodasi di wilayah Kapet Bima yang

memudahkan wisatawan mengunjungi Pulau Komodo, karena di Pulau Komodo

sendiri tidak boleh dibangun fasilitas akomodasi.

Pertumbuhan perekonomian kawasan secara umum terus mengalami

peningkatan, hal ini dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

yang diperoleh setiap tahun. Pada tahun 2000, PDRB Kabupaten Dompu adalah

sebesar Rp.607,014.51 juta, Kabupaten Bima dan Kota Bima adalah

Rp.1,245,933.76 juta, sedangkan pada Tahun 2003 PDRB Kabupaten Dompu

sebesar Rp.869,791.79 juta, Kabupaten Bima dan Kota Bima adalah

Rp.1,742,626.69 juta, sehingga rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kapet Bima

Tahun 2000-2003 adalah 4.45 % pertahun untuk Kapet Bima (Badan Pusat

Statistik Nusa Tenggara Barat 2004).

Posisi perekonomian Kapet Bima yang ditunjukkan nilai PDRB per kapita

maupun pertumbuhan ekonominya berada di atas Propinsi Nusa Tenggara Barat

(3.64 %), namun sebaran kontribusi tiap sektor belum merata, ini ditunjukkan

dengan masih dominannya sektor pertanian terhadap PDRB Kapet Bima yakni

sebesar 46.31 % (Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat 2004).

Pertumbuhan ekonomi wilayah jika mengarah pada kecenderungan

konsentrasi pembangunan yang berpusat pada satu atau beberapa daerah utama

saja maka akan melahirkan disparitas wilayah berupa tingkat pendapatan, standar

hidup (standards of living), fasilitas pelayanan, pertumbuhan penduduk,

perkembangan ekonomi, serta dapat menciptakan keterbelakangan dan

kemiskinan di perdesaan yang secara jangka panjang akan menyebabkan terjadi

kemandekan pertumbuhan ekonomi wilayah.

1.2. Rumusan Masalah

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) merupakan kawasan

andalan pusat pertumbuhan ekonomi di Wilayah Indonesia Timur khususnya di

Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam upaya pemerataan pembangunan dan hasil-

hasilnya, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penggerak pembangunan di

wilayah sekitarnya.

6

Dalam era Otonomi Daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan

instansi Pemerintah Daerah yang terkait, pihak swasta dan masyarakat mulai dari

proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, pengendalian dan

pelaporan kegiatan yang operasionalnya disesuaikan dengan fungsi dan batas

kewenangan masing-masing pihak.

Perubahan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah, menjadi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang

Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperbaharui dengan Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2003 telah mempengaruhi dinamika demokrasi, sosial politik dan

ekonomi daerah termasuk didalamnya perubahan struktur kelembagaan pengelola

Kapet Bima (yang meliputi Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat,

Pemerintah Kabupaten Dompu, Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemerintah

Kota Bima serta Badan Pengelola Kapet Bima), hal ini membawa implikasi pada

interaksi institusi dan kebijakan pembangunan kawasan.

Pertumbuhan perekonomian kawasan secara umum terus mengalami

peningkatan dengan rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kapet Bima tahun 2000-

2003 adalah 4.45 % pertahun, namun sebaran kontribusi tiap sektor belum merata,

ini ditunjukkan dengan masih dominannya sektor pertanian terhadap PDRB Kapet

Bima sedangkan di sisi lain perkembangan investasi semakin menurun.

Pengembangan berbagai sektor ekonomi di Kapet Bima masih diusahakan secara

lokal, tradisional dan belum optimal, belum berkembangnya industri pengolahan

sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku) serta

tidak didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata.

Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak selalu diikuti berkurangnya

berbagai kesenjangan wilayah. sehingga disparitas wilayah berupa tingkat

pendapatan, standar hidup (standards of living), fasilitas pelayanan, pertumbuhan

penduduk, perkembangan/pertumbuhan ekonomi, dan lainnya akan melahirkan

keterbelakangan dan kemiskinan di perdesaan serta secara jangka panjang akan

terjadi kemandekan pertumbuhan ekonomi.

Hasil studi Tim P4W-IPB (2002) menyatakan bahwa kesenjangan

antarwilayah tersebut umumnya disebabkan kurang adanya kesesuaian antara

program-program pengembangan kawasan yang dilaksanakan oleh sektor-sektor

7

dengan karakteristik wilayah. Selain itu, program-program pengembangan

kawasan yang dilaksanakan dalam suatu wilayah kurang berorientasi pada sisi

permintaan atau pasar dan kurang memperhatikan keterkaitan antara

pengembangan wilayah dengan aspek institusi, dalam mendorong peningkatan

pembangunan ekonomi daerah.

Untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah diperlukan peningkatan

efektivitas program-program pengembangan kawasan yang didasarkan atas

kesesuaian tipologi atau karakteristik wilayah. Selain itu, program-program

pengembangan kawasan dalam mengantisipasi tantangan ke depan, diharapkan

untuk memperhatikan keterkaitan antar daerah, keterkaitan antar institusi,

sinergisme antar program dan kerjasama, ditunjang dengan kelengkapan sistem

informasi dan instrumen program yang tepat.

Muara dari berbagai hal di atas, terletak pada pilihan strategi kebijakan di

dalam melakukan intervensi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sehingga pertanyaan kunci dari hal ini adalah bentuk-bentuk kebijakan seperti apa

yang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan dan perbaikan keterkaitan antar

wilayah serta dalam upaya pencapaian pertumbuhan yang berimbang.

Kebijakan yang tepat hanya dapat dirumuskan secara efektif jika dilandasi

dengan pemahaman struktur hubungan (keterkaitan dan sistim aliran sumberdaya

dan komoditi) melalui penentuan pola hubungan antar wilayah dan sebaran sektor

unggulan sebagai prime mover yang didukung oleh ketersediaan sarana dan

prasarana serta kelembagaan yang efektif.

Untuk itu perlu diketahui dan dianalisis :

1. Apakah yang menjadi potensi dan permasalahan dalam pengembangan

wilayah Kapet Bima?

2. Bagaimana keterkaitan antar sektor dan apakah yang menjadi sektor

unggulan wilayah Kapet Bima?

3. Bagaimana pola hubungan spasial intra-inter regional di Kapet Bima?

4. Bagaimana strategi pengembangan wilayah Kapet Bima?

8

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Mengidentifikasi potensi dan permasalahan dalam pengembangan wilayah

Kapet Bima.

2. Mengkaji keterkaitan antar sektor dan untuk mengetahui sektor unggulan

wilayah Kapet Bima.

3. Mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional di Kapet Bima.

4. Menyusun strategi pengembangan wilayah Kapet Bima.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang

pengembangan kawasan dalam berbagai dimensi kajian spasial. Selain itu,

diharapkan pula hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pembuat

kebijakan di pusat dan daerah dalam menentukan strategi pengembangan wilayah

dan pola hubungan kerjasama daerah di Kabupaten Bima, Kota Bima dan

Kabupaten Dompu (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Bima) Propinsi

Nusa Tenggara Barat.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN

KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN

2.1. Konsep Wilayah dan Kawasan

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

aspek administrasi dan atau aspek fungsional (Undang-Undang Nomor 24 tahun

1992). Sedangkan menurut Glasson (diacu dalam Kasikoen 2005) wilayah

merupakan area kontinue yang terletak antara tingkat lokal dan tingkat nasional.

Dinyatakan pula, pendefinisian wilayah itu sendiri bergantung pada tujuan

analisis atau tujuan perumusan kebijakan pembangunan wilayah yang akan

disusun.

Rustiadi et al. (2005) mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis

dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut

(subwilayah) satu sama lain berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut,

terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan

yang ada lebih bersifat “meaningful” untuk perencanaan, pelaksanaan,

monitoring, pengendalian maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah

tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-

ubah).

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey 1977 dalam

Rustiadi et al. 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep

wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu : (1) wilayah homogen (uniform/

homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah

perencanaan (planning region atau programming region).

Konsep homogenitas, menetapkan wilayah berdasarkan beberapa

persamaan unsur, baik aspek fisik, sosial maupun ekonomi (Anwar 2005). Pada

dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum

terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artificial. Faktor alamiah yang dapat

menyebabkan homogenitas wilayah adalah kemampuan lahan, iklim dan berbagai

faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artificial adalah

homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu

10

yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artificial adalah wilayah

homogen atas dasar kemiskinan yang antara lain dalam bentuk peta kemiskinan

(Rustiadi et al. 2005).

Konsep nodal menetapkan wilayah berdasarkan perbedaan struktur tata

ruang, dimana terdapat sifat ketergantungan secara fungsional, misal antara

wilayah pusat (inti) yang biasanya kawasan perkotaan dengan wilayah belakang

yang biasanya kawasan perdesaan. Hubungan secara fungsional ini bisa berupa :

arus mobilitas penduduk, barang dan jasa, maupun komunikasi dan transportasi.

Dalam satu unit wilayah bisa terdapat struktur tata ruang yang bertingkat (hirarki),

hirarki tertinggi (orde satu) berupa kota metropolitan, kemudian kota besar, kota

kecil sampai perdesaan dengan tingkat orde yang lebih rendah (Anwar 2005).

Konsep ketiga adalah batas wilayah administrasi seperti propinsi,

kabupaten atau kecamatan. Perencanaan pembangunan wilayah yang banyak

dilakukan adalah berdasar batas wilayah administratif, walaupun berdasar batas

fungsional seperti konsep nodal, sering kali menemui hambatan karena

pertimbangan-pertimbangan politis. Untuk itu bentuk perencanaan pembangunan

wilayah yang seimbang baik antar maupun intra wilayah, sangat mendukung

keberhasilan pembangunan wilayah yang berdimensi ruang (Anwar 2005).

Di Indonesia, berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti

“wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”, “area”, “ruang” dan istilah-istilah

sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya

walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-

beda. Secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah,

kawasan dan daerah, semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah

(region).

Penggunaan istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya

penekanan fungsional suatu unit wilayah. Dalam Undang-Undang Nomor 24

tahun 1992 tentang Penataan Ruang, pengertian “kawasan” adalah wilayah

dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Karena itu definisi konsep kawasan

adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-

komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan

berdasarkan aspek fungsional.

11

2.2. Disparitas Regional

Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan

selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan

dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan

yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusat-

pusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan

terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-

wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive

backwash effect) (Anwar 2001). Secara makro dapat kita lihat terjadinya

ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara wilayah desa-kota,

antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non

Jawa dan sebagainya.

Menurut Murty (2000), secara terperinci terdapat beberapa faktor utama

yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah baik yang bersifat alamiah

atau fisik maupun struktural akibat dari faktor-faktor utama ini antara lain

mencakup : (1) geografis; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah;

(5) administrasi; (6) sosial; dan (7) ekonomi.

Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang

dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan.

Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya

kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula

hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling

memperlemah (Rustiadi 2001).

Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumber

daya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga

menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa. Fenomena urbanisasi

yang mampu memperlemah perkembangan kota ini dapat dilihat di kota-kota

besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerah kumuh (slum area), tingginya

tingkat polusi, terjadinya kemacetan dan sebagainya. Perkembangan perkotaan

pada akhirnya sarat dengan permasalahan-permasalah sosial, lingkungan dan

ekonomi yang makin kompleks dan rumit untuk diatasi (Rustiadi 2001).

12

Di Indonesia, wujud disparitas juga dalam bentuk urban bias dan pro

Jawa. Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), kebijakan yang urban bias

dimaksudkan sebagai kebijakan yang lebih menguntungkan kawasan perkotaan

dan memperlemah posisi bargaining wilayah perdesaan. Di dalam alokasi

sumber daya, bias ini tercermin dalam kepincangan pembangunan antara wilayah

perdesaan dan wilayah perkotaan, yang mana secara ekonomi keseluruhan

menjadi tidak efisien.

Pembuktian adanya pro urban dan pro Java di Indonesia di antaranya

dilakukan oleh Garcia (2000) dengan menggambarkan kebijakan pemerintah pada

masa orde baru berdasarkan data tahun 1993 dan 1995. Dinyatakan bahwa pada

masa orde baru, intervensi pemerintah ditunjukkan dengan memproteksi industri

10 (sepuluh) kali lebih banyak dibanding proteksi pertanian dan kehutanan, dan

telah menetapkan pajak terhadap minyak, gas dan sektor pertambangan.

Pulau Jawa mempunyai ratio tenaga kerja terhadap luas lahan yang besar

dan memproduksi sebagian besar output dari sektor industri di Indonesia, sedang

pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur, rasio tenaga

kerja terhadap luas lahan relatif kecil, tetapi mempunyai sumber daya alam besar

dan memproduksi output terbesar dari sektor sumber daya alam. la menyimpulkan

bahwa pemerintah orde baru lebih berpihak pada penduduk perkotaan daripada

penduduk perdesaan, dan pada kegiatan industri daripada sektor-sektor primer,

dan pada Pulau Jawa daripada Bali, Sumatera dan Indonesia Timur

Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), masalah kemiskinan adalah ciri dan

pemandangan yang umum sebagian besar penduduk perdesaan. Sedang menurut

Lipton (1977) secara umum terjadi misalokasi sumberdaya antara perkotaan dan

perdesaan (urban bias). Lipton bahkan menggambarkan adanya kesepakatan

umum di antara para pengambil kebijakan bahwa pembangunan berarti

pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, investasi

dipusatkan untuk industri yang dianggap lebih menguntungkan dan mengabaikan

fakta bahwa mayoritas penduduk berada di perdesaan.

13

Terdapat tiga karakteristik penting dari kebijakan yang bias

perkotaan/urban bias, yaitu :

- menitikberatkan pada pasar dan pertumbuhan ekonomi

- memprioritaskan industri lebih besar daripada pertanian

- alokasi sumberdaya lebih besar ke masyarakat kota daripada ke desa

Dari hasil penelitian dan pernyataan di atas, terlihat bahwa kebijakan yang

bias perkotaan tersebut lebih menekankan pada kegiatan perekonomian di wilayah

perkotaan. Kurangnya kegiatan perekonomian di wilayah perdesaan mengurangi

sumber pendapatan penduduk perdesaan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya penduduk desa akan menuju wilayah perkotaan, terjadi keterkaitan

perkotaan - perdesaan.

Melihat kondisi yang demikian dan dampak negatifnya terhadap

perkembangan wilayah perdesaan dan perkotaan serta pertumbuhan perekonomian

nasional secara agregat, maka dirasa perlu untuk mengurangi disparitas antar

wilayah dengan mulai berupaya untuk meningkatkan pembangunan wilayah

perdesaan agar tercapai pembangunan wilayah yang berimbang.

Menurut Murty (2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan

sebuah pertumbuhan yang merata dari berbagai wilayah yang berbeda untuk

meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak

selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama

atau mempunyai tingkat industri yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang

sama atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama, akan tetapi yang lebih

penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang

dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian

diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan

hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah

yang terlibat.

2.3. Pengembangan Wilayah

Dalam banyak hal, istilah pembangunan dan pengembangan banyak

digunakan dalam hal yang sama, yang dalam Bahasa Inggrisnya adalah

development, sehingga untuk berbagai hal, istilah pembangunan dan

14

pengembangan wilayah dapat saling dipertukarkan, namun berbagai kalangan di

Indonesia cenderung untuk menggunakan secara khusus istilah pengembangan

wilayah/kawasan dibandingkan pembangunan wilayah/kawasan untuk istilah

regional development. Secara umum istilah pengembangan dianggap mengandung

konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan lokalitas (Rustiadi et al.

2005).

Pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas.

Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak

dari nol, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan

melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya

ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat

pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki

kapasitas (bukannya tidak memiliki sama sekali) namun perlu ditingkatkan

kapasitasnya (Rustiadi et al. 2005).

Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya

yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat

menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga

yang paling humanistik. Dengan perkataan lain proses pengembangan merupakan

proses memanusiakan manusia. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan

yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi

(effeciency), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) dalam

memberi panduan kepada alokasi sumber daya (semua kapital yang berkaitan

dengan natural, human, man-made maupun social) baik pada tingkatan nasional,

regional maupun lokal, yang sering memerlukan sumber daya dari luar, seperti

barang-barang modal untuk diinvestasikan guna mengembangkan infrastruktur

ekonomi, sosial dan lingkungan (Anwar 2005).

2.4. Titik Pertumbuhan (Growth Point) dan Kutub Pertumbuhan

(Growth Pole)

Konsep titik pertumbuhan (growth point concept) berawal dari adanya

pemikiran keuntungan-keuntungan aglomerasi, yaitu konsentrasi produksi

yang lebih efisien daripada terpencar-pencar.

15

Pemikiran terjadinya titik pertumbuhan adalah karena kegiatan ekonomi

cenderung beraglomerasi di sekitar sejumlah titik fokus. Dalam suatu wilayah,

arus polarisasi akan bergravitasi ke arah titik-titik fokus tersebut, yang dapat

merupakan pusat kontrol atau pusat dominan dalam wilayah tersebut. Dari arus

pergerakan akan dapat ditentukan garis perbatasan penurunan arus sampai pada

titik minimum. Pusat tersebut dinamakan titik pertumbuhan, sedangkan di

dalam garis perbatasan adalah wilayah pengaruhnya atau wilayah pertumbuhan.

(Adisasmita 2005)

Berdasarkan penjelasan di atas, titik pertumbuhan tersebut dapat

merupakan suatu kota (kota kecil atau menengah), sedang wilayah

pengaruhnya adalah perdesaan di sekitarnya. Kepadatan arus menunjukkan

adanya keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan di sekitarnya.

Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal

dari karya ahli-ahli teori ekonomi wilayah, dan yang paling menonjol adalah

Francois Perroux. la telah mengembangkan konsep kutub pertumbuhan

(growth pole) pada tahun 1955 (dikenal sebagai pole de croissance) dan

menunjukkan bahwa pembangunan ditimbulkan oleh suatu konsentrasi

(aglomerasi) tertentu bagi kegiatan ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak

(Miyoshi 1997). Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan

spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri, adalah bahwa

pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara

serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub

perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah, perkembangan itu

menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka-ragam dan dengan efek

yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Glasson 1976,

diacu dalam Kasikoen, 2005).

Sementara berbagai perhatian diberikan oleh akademisi terhadap

konsep growth pole tersebut, praktisi menerapkan konsep ini menjadi suatu

strategi growth pole dan secara bersemangat dipertimbangkan dan diterapkan

pada negara-negara maju dan negara sedang berkembang di tahun 1960an

(Miyoshi, 1997), seperti dinyatakan oleh Friedmann (1966) : “pola

pembangunan wilayah di USA seyogyanya diterapkan di semua negara sedang

16

berkembang". Kesimpulan ini diperoleh dari suatu sintesa beberapa studi

empiris mengenai pembangunan wilayah di USA, seperti juga dikatakan oleh

Schultz (1951), North (1955) dan Perloff (1960) dan Miyoshi (1997). Schultz

(1951) menetapkan "hipotesa tentang kelambatan" dimana pembangunan

ekonomi akan terjadi pada pusat pertumbuhan industri-kota (industrial-urban

growth centers) dengan kegiatan manufacturing dan ini membutuhkan

penyerapan kegiatan pertanian di periphery-nya.

Dari pernyataan tersebut jelaslah konsep growth pole telah diikuti oleh

berbagai negara, utamanya negara sedang berkembang sebagai strategi

pembangunannya. Sebagai suatu negara yang sedang berkembang, dan

perencanaan pembangunan negaranya berkiblat pada Negara Amerika Serikat,

maka Indonesia juga menganut strategi growth pole dalam melaksanakan

kebijakan tata ruangnya.

Meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi bukti yang menunjukkan

Indonesia menganut konsep kutub pertumbuhan (growth pole) dapat dilihat dari

banyaknya kota-kota primat di Indonesia yang mendasari terwujudnya konsep

kutub pertumbuhan dalam ruang. Kota-kota primat tersebut antara lain Jakarta,

Surabaya, Medan, dan lain lain. (Desmond 1971, Yeung & Lo 1976, Mills 1994,

Gilbert & Gugler 1996, Henderson dan Kuncoro 1996, diacu dalam Kasikoen

2005).

Strategi growth pole pada akhirnya membawa dampak terjadinya

disparitas wilayah dan kemiskinan di perdesaan. Hal ini sejalan pernyataan Anwar

(2001) bahwa pembangunan ekonomi dalam kurun waktu 20 tahun ke belakang,

telah mendahulukan pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan spatial

(keruangan) yang dilakukan dalam konsep kutub pertumbuhan (growth pole).

Konsep ini semula diramalkan akan terjadi penetesan (trickle down effect) dari

kutub-kutub pertumbuhan tersebut ke daerah belakangnya (hinterland), tetapi

kerangka berfikir tersebut ternyata menimbulkan net-effect yang mengarah

kepada pengurasan besar-besaran (massive backwash effect) dari wilayah

belakang perdesaan ke pusat pertumbuhan di kota-kota besar.

17

2.5. Interaksi dan Keterkaitan Wilayah

Setiap bagian wilayah mempunyai faktor endowment yang khas dalam

bentuk sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Untuk memenuhi

kebutuhan hidup penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhinya

dari wilayah lain, oleh karena itu penduduk harus melakukan perjalanan ke

wilayah lain sehingga membentuk hubungan antar wilayah. Hubungan atau

kontak ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan

(demand) dan penawaran (supply).

Hubungan antar wilayah dapat disebut sebagai keterkaitan (linkages)

antar wilayah. Kontak atau hubungan antar wilayah tersebut dapat juga

diartikan sebagai interaksi. Secara harfiah interaksi dapat diartikan sebagai hal

yang saling mempengaruhi. Proses-proses interaksi dibentuk oleh keterkaitan-

keterkaitan (linkages) di antara permukiman. Itu berarti penduduk yang tinggal di

wilayah perdesaan dan kampung-kampung kecil memperoleh akses ke pelayanan,

fasilitas, infrastruktur dan kegiatan ekonomi yang berlokasi di kota-kota kecil dan

kota-kota besar. Melalui keterkaitan-keterkaitan ini penduduk desa menerima

banyak input yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan

pasar barang yang mereka produksi (Rondinelli 1985).

Berpijak adanya pemenuhan kebutuhan hidup dan disparitas wilayah

seperti yang tergambar di atas, maka akan terjadi hubungan timbal balik

antar wilayah yang dapat disebut keterkaitan antar wilayah. Wilayah itu

sendiri dapat merupakan wilayah perkotaan maupun wilayah perdesaan.

Keterkaitan antar wilayah sebagai akibat ketimpangan dan

kemiskinan. la juga menjelaskan terdapat tiga hubungan dualistik dalam

keterkaitan antar wilayah, yaitu (Fu 1981, diacu dalam Kasikoen 2005):

(1) Utara-selatan, menggambarkan keterkaitan antar wilayah dalam suatu

negara yang menggambarkan dua kutub

(2) Perkotaan-perdesaan, menggambarkan keterkaitan intra wilayah

(3) Formal-informal, menggambarkan keterkaitan antar wilayah yang

menekankan pada kegiatannya

18

Ketiga hubungan dualistik tersebut dihubungkan dan diintegrasikan

dalam suatu tingkah laku yang kompleks, yang berbeda antara satu negara

dengan negara lain yang bergantung pada empat faktor dominan dan

sejarah masing-masing negara. Keempat faktor dominan tersebut adalah :

(1) resource endowment : pertanian, mineral dan sumber daya alam

lainnya;

(2) karakteristik demografi : kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan

dan tingkat urbanisasi

(3) teknologi : tipe-tipe teknologi yang diadopsi dan pembangunan modal

sumberdaya manusia; dan

(4) development ideology: ideologi dalam pembangunan negaranya.

Keterkaitan antar wilayah tidak dapat terjalin bila tidak didukung

prasarana dan sarana penghubung antar kedua wilayah yang saling

berinteraksi. Dukungan tersebut dapat merupakan prasarana dan sarana

transportasi, dapat pula dalam bentuk lain. Oleh karena itu keterkaitan

(linkages) antar wilayah adalah bentukan dari proses interaksi antar wilayah

yang diakibatkan adanya hubungan supply-demand, yang didukung oleh

kemudahan perhubungan antara keduanya, serta dapat menguntungkan,

merugikan maupun saling mendukung salah satu maupun kedua wilayah yang

berinteraksi tersebut.

Menurut Pradhan (2003) keterkaitan perkotaan-perdesaan meliputi tiga

elemen penting, yaitu wilayah perkotaan, wilayah perdesaan dan hubungan

keterkaitan tersebut. Wilayah perdesaan merupakan tempat dihasilkannya

bahan mentah, produksi pertanian, kerajinan tangan, tenaga kerja dan modal,

sedang wilayah perkotaan merupakan tempat produksi barang, pelayanan,

teknologi, ide-ide dan tersedianya pekerjaan. Untuk menghubungkan wilayah

perkotaan dan perdesaan tersedia jaringan jalan dan transportasi serta sistem

kelembagaan.

Dari gambaran keterkaitan antar wilayah dalam pembangunan spasial

yang diberikan oleh Rondinelli maupun Pradhan yang terdiri atas berbagai jenis,

pada dasarnya keterkaitan antar wilayah dapat dikelompokkan dalam 4 (empat)

jenis keterkaitan, yaitu keterkaitan fisik, ekonomi, sosial dan kelembagaan serta

19

teknologi. Keterkaitan fisik, merupakan gambaran hubungan fisik antar wilayah

perkotaan-perdesaan. Keterkaitan ekonomi memberi gambaran hubungan

ekonomi, sedang keterkaitan sosial dan kelembagaan memberikan gambaran

hubungan sosial dan kelembagan antar wilayah perkotaan-perdesaan.

Keterkaitan teknologi memberi gambaran hubungan teknologi antar wilayah

perkotaan-perdesaan.

2.6. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur dalam rangka

mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat, pemerintah telah

memberikan perhatian terhadap Kawasan Indonesia Timur yang secara formal-

politis dimulai saat frase ”pembangunan Kawasan Indonesia Timur” dicantumkan

pada GBHN Tahun 1993. Kemudian hal ini segera diikuti dengan pembentukan

Dewan Pengembangan KTI. Pada Tahun 1996, Kapet (kawasan pengembangan

ekonomi terpadu) diperkenalkan menjadi model perencanaan pembangunan di

Kawasan Indonesia Timur oleh dewan tersebut .

Model ini mengadopsi konsep growth centers (growth pole), yaitu

menciptakan dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan, berupa satu kawasan

andalan prioritas mewakili masing-masing propinsi. Kawasan ini didukung oleh

kegiatan sektor/komoditi unggulan, yang berupa potensi sumber daya lokal, yang

diharapkan menjadi prime mover pengembangan propinsi yang bersangkutan

(Prasetya dan Hadi 2000).

Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers dibanyak

negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan tersebut adalah

melupakan kekuatan industrial-linkages yang mestinya dibangun jauh-jauh hari,

baik dalam proses penambahan nilai, keterkaitan produk (industrial tree), maupun

keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi). Termasuk dalam kelemahan

linkages ini adalah ketiadaan konsep operasional yang kongkrit bagaimana

masyarakat bawah dilibatkan dan diangkat kehidupannya dalam pengembangan

Kapet yang sebagian besar berbasis agroindustri dan agribisnis tersebut. Dengan

dipertanyakan keterkaitan ini, maka trickle down effect yang dijadikan harapan

20

saat diberlakukannya konsep growth centers ini menjadi menipis (Kasikoen

2005).

Menurut Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian

disempurnakan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya

diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150

Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet. Pengertian Kapet adalah

suatu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

a. Memiliki potensi untuk cepat tumbuh, dan atau

b. Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan

ekonomi di wilayah sekitarnya

c. Memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten

Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima.

Secara geografis Kapet Bima memiliki pospek yang cukup besar baik

nasional, regional maupun internasional. Secara nasional ujung timur Kapet Bima

yaitu Pelabuhan Laut Sape merupakan daerah paling timur yang dapat dilalui

transportasi darat dari dan keseluruhan Kawasan Indonesia Barat, sehingga

Pelabuhan Laut Sape dapat dijadikan sebagai pelabuhan bongkar muat barang dari

kawasan Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya serta wilayah perairan Indonesia

bagian barat atau sebaliknya. Posisi Kapet Bima lebih membuka peluang

memperpendek jalur arus barang/jasa lewat laut ke Australia dan kawasan Pasifik.

Hubungan udara melalui Bandara M. Salahuddin Bima sudah dapat

membuka hubungan dengan wilayah lain di Indonesia dan untuk hubungan

Internasional yang terdekat adalah Bandar Udara Ngurah Rai Bali yang dapat

ditempuh dalam satu jam penerbangan dari Bandar Udara Salahuddin Bima,

sedangkan lewat darat ditempuh dalam 24 jam (BP Kapet Bima dan BPPT 2000).

Di sisi lain Kapet Bima termasuk dalam posisi jalan wisata segi tiga emas

yaitu di sebelah utara Tanah Toraja, sebelah Timur Pulau Komodo dan sebelah

barat Pulau Bali. Dalam hal ini Kapet Bima telah menunjukkan peranannya

sebagai jalan masuk wisatawan mancanagera ke Pulau Komodo, sehingga

21

memungkinkan pembangunan fasilitas akomodasi di wilayah Kapet Bima yang

memudahkan wisatawan mengunjungi Pulau Komodo, karena di Pulau Komodo

sendiri tidak boleh dibangun fasilitas akomodasi (BP Kapet Bima dan BPPT

2000).

Potensi sumber daya alam pada ketiga Kabupaten tersebut belum

dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan Kawasan

Pengembangan dengan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang

mengacu pada pemberdayaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan

sumber daya buatan, sehingga tercipta pembangunan yang berwawasan

lingkungan hidup dan bermuara pada kesejahteraan dan kenyamanan hidup rakyat

yang berada di kawasan tersebut (BP Kapet Bima dan BPPT 2000).

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas agar operasional

pengembangannya tepat arah dan tindakan maka telah disusun Rencana Induk

Pengembangan KAPET Bima yang intinya memuat struktur dan arahan pola

pengembangan kawasan, sehingga tercipta kondisi-kondisi sebagai berikut

(BP Kapet dan BPPT 2000) :

a. Meningkatnya pertumbuhan dan memperluas pengembangan sektor-sektor

unggulan sebagai motor penggerak ekonomi (prime mover) kawasan.

b. Meningkatnya keterpaduan operasional pembangunan oleh instansi, sektor dan

daerah serta dunia usaha (swasta) dalam rangka mencapai laju perkembangan

ekonomi setinggi-tingginya yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya

setempat.

c. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi, berkurangnya kesenjangan sosial

ekonomi antar kawasan dan antar masyarakat yang ada dalam kawasan.

d. Meningkatnya efisiensi dan efektifitas investasi pemerintah, swasta dan

masyarakat dalam pengembangan kawasan.

e. Terumuskannya keterpaduan program investasi antar Public Services dan

Private Investment sekaligus merumuskan kemungkinan terlaksananya

program kegiatan tersebut.

f. Terumuskannya pola-pola insentif di kawasan dengan memperhatikan

berbagai kebijaksanaan yang berlaku terutama yang berkaitan dengan regulasi

22

dibidang pertanian, industri, pertambangan, perikanan dan kelembagaan

sehingga dapat menunjang dan mendukung efektifitas dan efisiensi investasi

g. Terumuskannya pola promosi untuk berbagai peluang investasi yang akan

dikembangkan.

Berbagai sektor ekonomi yang ada di Kapet Bima merupakan potensi

untuk dikembangkan, seperti pada sektor pertanian, perikanan dan peternakan,

kehutanan, pertambangan dan sektor pariwisata. Sementara pada sektor industri,

yakni kegiatan industri rumah tangga, tambak garam dan bahan makanan sebagai

sumber mata pencaharian penduduk lokal yang dapat dikembangkan lebih lanjut.

Pengembangan berbagai sektor ekonomi di atas masih diusahakan secara lokal,

tradisional dan belum optimal, belum berkembangnya industri pengolahan

sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku).serta

tidak didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata (BP Kapet Bima

2004).

2.7. Penelitian Terdahulu

Kawasan Indonesia Timur memiliki potensi sumber daya alam yang sangat

besar seperti sumber daya hutan, sumber daya perikanan laut dan sumber daya

mineral. Dengan kebijaksanaan yang sentralistik, Kawasan Indonesia Timur telah

mengalami banyak kebocoran regional dari pemanfaatan sumber daya alamnya.

Investasi di Indonesia dalam bentuk eksploitasi SDA tersebut banyak bersifat

rural enclave yang sebagian besar manfaat (nilai tambah) dibawa keluar wilayah

Indonesia Timur (Hadi 2001).

Dalam perjalanan waktu, titik berat pembangunan Indonesia diarahkan

pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Karena pendekatan pembangunan

yang terlalu berorientasi kepada pertumbuhan, ternyata memberikan penekanan

pada pembangunan sektoral yang relatif parsial dalam perencanaan maupun

pelaksanaannya, sehingga berimplikasi pada pembangunan yang relatif tidak

terpadu dan komprehensip serta menimbulkan disparitas dan keterbelakangan di

Kawasan Indonesia Timur. Untuk memudahkan dalam memacu pengembangan

kawasan-kawasan di Indonesia Timur ini diperlukan sektor-sektor unggulan yang

dimiliki kawasan tersebut. Untuk itu berbagai komoditas unggulan yang dimaksud

23

adalah komoditas yang mampu mendorong kegiatan ekonomi, baik di kawasan

andalan itu sendiri (Kapet) berupa diversifikasi kegiatan ekonomi maupun

kegiatan-kegiatan di daerah belakangnya (Bakry 1999).

Pemerintah Daerah Propinsi Maluku menetapkan Pulau Seram sebagai

salah satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang

dikembangkan secara nasional. Hal ini terutama disebabkan oleh kawasan tersebut

mengandung potensi perikanan, perkebunan, pariwisata, pertambangan dan energi

yang berpeluang untuk menarik investor (Bakry 1999).

Bakry (1999) menyatakan bahwa karakteristik usaha perikanan rakyat di

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Pulau Seram masih didominasi oleh

usaha nelayan yang berskala kecil dengan sarana penangkapan berupa perahu

tanpa motor yakni sebanyak 14.593 unit atau 94,27 % dari seluruh armada

perikanan. Sedangkan Perahu Motor Tempel sebanyak 729 unit atau 4,75 % dan

Kapal Motor hanya 124 unit atau 0,8 %.

Dari sisi permodalan umumnya nelayan enggan berhubungan dengan

lembaga keuangan perbankan karena prinsip kehati-hatian bank dimana

dipersyaratkan adanya agunan yang dapat dijadikan sebagai jaminan, sementara

nelayan/petani kecil tidak memiliki aset yang dapat diagunkan. Terbatasnya

modal kerja bagi nelayan kecil dimana jumlahnya mencapai 94,86 % dari total

nelayan Maluku Tengah berdampak pada tingkat kemampuan nelayan untuk

meningkatkan hasil produksi, karena terbatasnya wilayah tangkapan (fishing

ground).

Dari sisi kelembagaan khusunya kelembagaan tradisional (hukum adat

sasi) yang merupakan salah satu nilai-nilai yang mengandung keraifan-kearifan

tertentu terhadap lingkungan dan sumberdaya alam ternyata semakin menurun

nilainya. Lembaga ini mulai berkurang peranannya dalam upaya distribusi yang

adil terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini disebabkan oleh kuatnya

pengaruh pemerintahan desa (sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979) bila

dibandingkan dengan hukum adat (Bakry 1999).

Selanjutnya secara makro-regional, yang dianalisis melalui kontribusi

relatif sektor perikanan terhadap perekonomian wilayah dari sisi pendapatan

(PDRB) dan serapan tenaga kerja, sektor perikanan menunjukan nilai yang positif,

24

artinya sektor perikanan telah memberikan kontribusi terhadap perubahan struktur

perekonomian wilayah, walaupun kontribusinya relatif kecil. Analisis dampak

pengembangan sektor perikanan terhadap perekonomian kawasan dari sisi output

wilayah menunjukan bahwa sektor perikanan memberi kontribusi kepada output

wilayah pada urutan ke 3 dari 5 sektor penyumbang terbesar kepada output

wilayah. Di bidang ekspor dan impor wilayah, sektor perikanan menduduki

peringkat ke 3 yakni menyumbang sebesar 14,40 %, sedangkan dari sisi impor

sektor perikanan menduduki peringkat ke 12. Ini menunjukan bahwa sektor

perikanan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya

(Bakry 1999).

Bakry (1999) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kontribusi sektor

perikanan terhadap Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Pulau

Seram maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1) pembangunan sektor

perikanan tidak hanya difokuskan pada upaya-upaya penigkatan produksi melalui

modernisasi alat tangkap akan tetapi lebih diarahkan kepada sistem budidaya,

sehingga ketergantungan petani/nelayan terhadap sumberdaya yang sifatnya open

access lambat laun akan berkurang; (2) lembaga keuangan formal (perbankan)

perlu menyederhanakan prosedur pengajuan kredit agar tidak berbelit-berbelit

sehingga mengurangi biaya-biaya transaksi yang sangat merugikan masyarakat;

(3) kebijakan pengembangan sektor perikanan di Kawasan Pengembangan

Ekonomi Terpadu Pulau Seram harus tetap menghargai hak-hak komunal terhadap

sumberdaya perikanan sehingga masyarakat komunal dapat ikut memelihara

kelestarian sumberdaya alat; (4) perlu dikembangkan sistem pengolahan dengan

teknologi tepat guna yang mudah dijangkau oleh masyarakat yang dapat membuka

peluang bagi berkembangnya kewirausahaan bagi masyarakat.

Dewi (2003) dalam melakukan penelitian tentang pengembangan

perekonomian daerah melalui kerjasama perbankan nasional dengan Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (Studi Kasus : Kapet Pare-Pare Sulawesi

Selatan) menemukan bahwa kredit perbankan yang disalurkan di wilayah Kapet

Pare-Pare belum optimal dalam mendukung kegiatan usaha yang berpotensi.

Kredit yang disalurkan umumnya pada sektor tersier, sedangkan untuk sektor

primer dan sekunder, kredit yang disalurkan relatif sedikit, walaupun sektor

25

unggulan pada wilayah Kapet Pare-Pare ini adalah udang, padi, kopi, kakao dan

jambu mete.

Kerja sama antara pemerintah daerah, pelaku usaha dan perbankan di

wilayah Kapet Pare-Pare masih kurang, belum terlihat sikap saling mempercayai

yang menghasilkan sinergi yang kuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi

daerah, padahal kerja sama yang baik diantara ketiga pihak tersebut di atas akan

bermanfaat bagi daerah-daerah di wilayah Kapet Pare-Pare dan Sulawesi Selatan

serta untuk memacu perekonomian Kawasan Indonesia Timur pada umumnya

(Dewi 2003).

Dewi (2003) menyarankan agar Kota Pare-Pare dijadikan pusat

pertumbuhan yang mempunyai keterkaitan dengan hinterland untuk wilayah

Kapet Pare-Pare lainnya. Sehingga perlu peranan perbankan dalam

membiayai/kredit investasi untuk mendirikan gudang-gudang penampungan dan

cold storage hasil pertanian dan udang sebelum dieksport. Pelabuhan di sini juga

dapat dikembangkan menjadi pelabuhan eksport dengan bantuan berupa kredit

investasi untuk menyempurnakan infrastruktur pelabuhan.

Hadi (2001) telah menyusun beberapa skenario kebijaksanaan

pembangunan berimbang antara Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia

Timur antara lain sebagai berikut : Jika investasi infrastruktur yang disertai

dengan adanya alokasi dana dan pemberian wewenang yang lebih besar kepada

pemerintah daerah/regional Kawasan Indonesia Timur dalam pengelolaan dana

pembangunan, maka dapat meningkatkan pendapatan dan produksi yang lebih

cepat untuk Kawasan Indonesia Timur. Apabila pengalokasian dana tersebut

didasarkan atas kebutuhan, dengan kata lain terdapat pengalokasian dana

pembangunan yang lebih besar ke Kawasan Indonesia Timur dalam arti investasi

infrastruktur di Indonesia Barat secara bertahap diserahkan kepada swasta, maka

dampak percepatannya menjadi lebih tinggi.

Adanya investasi pembangunan oleh pemerintah dalam melengkapi

infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur yang disusul dengan investasi usaha

oleh pihak swasta, serta kesempatan ekspor yang meningkat dapat meningkatkan

pendapatan golongan masyarakat di Indonesia Timur rata-rata 31.92 % dan

peningkatan produksi sebesar rata-rata 45.4 %. Di sisi lain dengan skenario ini,

26

pendapatan golongan masyarakat di Kawasan Indonesia Barat juga meningkat

sebesar rata-rata 6.37 % dan produksi meningkat rata-rata 3.69 % (Hadi 2001).

Pencapaian perimbangan pembangunan antara Kawasan Indonesia Barat

dengan Kawasan Indonesia Timur diperlukan perubahan mendasar dari

pembangunan sentralistik ke arah pembagian kewenangan (power sharing) dan

pembagian kesejahteraan (wealth sharing) antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintah Daerah. Pembagian kewenangan tersebut adalah dengan program

otonomi daerah yang tetap memperhatikan keragaman potensi dan permasalahan

antar daerah (Hadi 2001).

2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian

Pengembangan satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) di

setiap propinsi di Kawasan Indonesia Timur merupakan salah satu strategi yang

diambil oleh DP KTI dalam rangka percepatan pembangunan Kawasan Indonesia

Timur. Berdasarkan Keppres Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet), kemudian disempurnakan oleh

Keppres Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah dengan Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14

lokasi Kapet, salah satunya adalah Kapet Bima yang ditetapkan dengan Keppres

Nomor 166 Tahun 1998.

Pengembangan Kawasan Indonesia Timur dengan memprioritaskan upaya

pembangunan pada Kapet-Kapet adalah merupakan pendekatan pembangunan

yang didasarkan pada teori pembangunan growth center. Berdasarkan teori ini

maka pembangunan dipusatkan pada penciptaan dan pengembangan pusat-pusat

pertumbuhan. Pendekatan pembangunan ini diterapkan karena beberapa alasan,

antara lain sebagai berikut (Prasetya 2000) :

1). Tidak mungkin dilaksanakan upaya-upaya pembangunan dengan intensitas

yang sama pada waktu yang sama dan pada semua daerah. Hal ini karena

keterbatasan pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu harus dilakukan

prioritas pembangunan, baik dari segi daerah maupun sektor.

2). Tidak semua daerah mempunyai kemampuan yang sama dalam menyerap

investasi. Dengan keterbatasan dana pembangunan yang ada maka harus

27

diprioritaskan daerah-daerah dengan kemampuan menyerap investasi yang

besar.

Pengembangan Kapet yang didasarkan pada teori growth center

dikhawatirkan akan menimbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Untuk

mengantisipasi hal itu perlu diciptakan keterkaitan yang kuat antara pusat

pertumbuhan dengan daerah belakangnya di Kawasan Indonesia Timur, dan

mengembangkan keterkaitan secara regional dan nasional (Prasetya 2000).

Salah satu kritik dari teori growth center ini, adalah penerapan strategi

pembangunan dengan menggunakan asumsi bahwa pembangunan pusat-pusat

pertumbuhan akan mampu merangsang pertumbuhan daerah belakang dengan

harapan adanya efek menetes ke bawah (trickle down effect), namun pada

kenyataannya efek tersebut sulit terjadi malah memungkinkan terjadinya

ketimpangan antara pusat pertumbuhan dengan daerah-daerah belakangnya

(hinterland area).

Salah satu penyebab hal tersebut adalah lemahnya keterkaitan antara

pusat pertumbuhan dengan daerah belakang. Oleh karena itu perlu diciptakan

keterkaitan yang kuat antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya

untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ketimpangan antara pusat

pertumbuhan dengan daerah belakangnya. Keterkaitan tersebut meliputi

keterkaitan produksi, keterkaitan pemasaran dan keterkaitan transportasi.

Keterkaitan produksi terjadi karena setiap proses produksi membutuhkan

bahan masukan (input). Idealnya, daerah hinterland akan mampu memasok

bahan-bahan masukan untuk proses produksi di Kapet. Keterkaitan pemasaran

merupakan konsekuensi dari adanya proses produksi di Kapet. Hasil-hasil

produksi dari Kapet perlu dipasarkan baik ke daerah hinterland maupun ke

daerah lainnya. Kedua keterkaitan tersebut memerlukan dukungan keterkaitan

transportasi. Keterkaitan transportasi berarti bahwa antar Kapet dengan daerah

hinterland dan antar Kapet dengan Kapet lainnya terdapat prasarana

transportasi, sarana transportasi dan jalur transportasi yang cukup memadai

untuk mendukung hubungan antar daerah.

Salah satu perwujudan hubungan antar daerah ialah dengan adanya

pertukaran antar daerah baik yang berwujud barang, uang maupun jasa. Analisis

28

aliran barang, orang dan kendaraan dapat digunakan untuk mengetahui intensitas

hubungan antar daerah dan tingkat ketergantungan atau peranan suatu daerah

dengan daerah yang lain.

Dalam konteks sektoral, perkembangan ekonomi regional terjadi melalui

pertumbuhan sektor ekonomi unggulan serta adanya diversifikasi dan keterkaitan

antar sektor ekonomi. Hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward

linkages), ialah hubungan dengan penjualan barang hasil produksi yaitu tingkat

keterkaitan ke depan atau disebut juga derajat kepekaaan atau daya dorong, dan

hubungan kebelakang (backward linkages), merupakan hubungan dengan bahan

mentah/bahan baku atau disebut juga daya penyebaran atau daya tarik.

Pengembangan ekonomi kawasan secara berkesinambungan tidak terlepas

dari adanya ketersediaan dan dukungan sumber daya baik secara kualitas maupun

secara kuantitas, terutama sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam

(SDA), sumber daya sosial (SDS) serta sumber daya buatan (SDB), namun di sisi

lain pengembangan berbagai sektor ekonomi di Kapet Bima masih diusahakan

secara lokal dan tradisional, sementara industri pengolahan belum berkembang

sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku) serta

belum didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata

(BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Untuk itu, perlu dilakukan analisis tentang

identifikasi potensi dan permasalah pengembangan Kapet Bima, yang meliputi

ketersediaan fasilitas, sebaran penduduk, sebaran komoditas dan pertumbuhan

ekonomi serta berbagai dukungan dan hambatan lainnya.

Otonomi daerah merupakan tantangan sekaligus peluang dalam

menggerakkan berbagai sumber daya wilayah secara optimal. Dalam era otonomi

daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan instansi Pemerintah Daerah

yang terkait, pihak swasta dan masyarakat mulai dari proses perencanaan,

pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pengendalian. Dengan demikian,

perencanaan pembangunan di Kapet Bima akan bersifat bottom up atau

partisipatif serta selaras dengan perencanaan pemerintah daerah. Sinergi peran

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat serta stakeholders

lainnya sangat dibutuhkan melalui strategi dan pendekatan yang holistik dalam

pembangunan wilayah Kapet Bima secara berimbang dan berkelanjutan.

29

Dari uraian di atas maka dapat dibuat alur kerangka pemikiran penelitian

yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.

Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian

Menurut Murty (2000), pembangunan wilayah yang berimbang

merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk

meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak

selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama

atau mempunyai tingkat industri yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang

sama atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

(Kapet) Bima

Identifikasi Potensi Pengembangan

Wilayah

Keterkaitan Antar sektor

Interaksi Spasial

- Sebaran faslitas & penduduk

- Sebaran komoditas

- Pertumb ekon. - Sospolbud - Potensi dan

permsl lainnya

Inter Regional

Intra Regional

Keterkaitan kedepan dan kebelakang

Sektor Unggulan

Strategi Pengembangan Wilayah

Otonomi Daerah

Peran dan Interaksi Institusi

30

lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi

yang dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian

diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan

hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah

yang terlibat.

III. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu metode studi yang dilakukan seseorang

melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah

sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut (Hillway

1956, diacu dalam Nazir 2003), Penelitian juga bertujuan untuk mengubah

kesimpulan-kesimpulan yang telah diterima ataupun mengubah dalil-dalil dengan

adanya aplikasi baru dari dalil-dalil tersebut. Dari itu, penelitian dapat diartikan

sebagai pencarian pengetahuan dan pemberi artian yang terus-menerus terhadap

sesuatu. Penelitian juga merupakan percobaan yang hati-hati dan kritis untuk

menemukan sesuatu yang baru (Nazir 2003).

Dalam melakukan penelitian, maka untuk mencapai tujuan penelitian

akan mengikuti langkah-langkah yang disusun sebelum penelitian yang dilakukan

lebih jelas dan terarah. Bab ini akan menjelaskan proses penelitian yang

merupakan penjabaran alur kerangka pemikiran penelitian yang digambarkan

pada bab sebelumnya.

3.1. Kerangka Pendekatan Studi

Adapun uraian pendekatan studi yang meliputi tujuan, alat analisa,

variabel, jenis dan sumber data dapat dilihat pada tabel 1.

3.2. Penentuan Lokasi, Responden dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Bima, Kota Bima dan

Kabupaten Dompu yang merupakan daerah administratif kabupaten di Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai dengan Juni 2006.

Lokasi sampel sebanyak 19 desa/kelurahan yang dipilih secara purposive

sampling berdasarkan letak geografis yang dipilih dari kawasan bagian pusat

(daerah administrasi Kota Bima), kawasan bagian timur (daerah administrasi

Kabupaten Bima) dan kawasan bagian barat (daerah administrasi Kabupaten Bima

dan Dompu). Selanjutnya setiap desa ditetapkan 2 (dua) orang responden yang

dipilih secara purposive sampling berdasarkan tingkat pengetahuan tentang

desanya masing-masing, sehingga jumlah responden adalah sebanyak 38 orang.

32

Sedangkan khusus untuk analisis hirarki proses (AHP) dan analisis

stakeholders/kelembagaan adalah dengan menggunakan expert/key informan

masing-masing 1 (satu) orang sebagai responden dari tiap lembaga/stakeholders,

yakni dari : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (DP KTI) mewakili

Pemerintah Pusat, Bappeda Propinsi NTB mewakili Pemda Propinsi, Bappeda

Kabupaten Bima mewakili Pemda Kabupaten/Kota, Kadin Bima mewakili Swasta

dan LSM Dompu mewakili elemen masyarakat, sehingga jumlah responden 6

(enam) orang.

3.3. Metode Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan

informan kunci dilapangan. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari

instansi-instansi terkait yang telah tersedia dalam bentuk dokumen dan studi

literatur. Sedangkan pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara :

studi literatur/data sekunder dan survey/wawancara.

3.3.1. Studi Literatur/Data Sekunder

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan data

sekunder yang ada. Data ini diperoleh dari berbagai lembaga atau departemen

seperti Badan Pusat Statistik, Pemda Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemda

Kabupaten Bima, Kota Bima, Kabupaten Dompu, BP Kapet Bima, Dewan

Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dan Instansi terkait.

3.3.2. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan responden dan informan-informan kunci

seperti dari Pemda Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemda Kabupaten/Kota,

BP Kapet Bima, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Kadin, Tokoh

Masyarakat dan Instansi terkait lain.

3.4. Metode Analisis

Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian sehingga akan dapat menjawab permasalahan

yang diangkat

33

Tabel 1 Matriks Pendekatan Studi

No. Tujuan Teknik Analisa Variabel Sumber data

1. Identifikasi potensi pengembangan serta berbagai peluang dan kendalanya.

- Analisis Deskriptif Potensi Pengemb. Wilayah

- SDA - SDB/infrastruktur - SDSosbud - SDM - Kegiatan ekonomi

- Badan Pusat Statistik - Pemda Kabupaten - BP Kapet - Studi Literatur

2. Mengkaji keterkaitan antar sektor dan untuk mengetahui sektor/komoditi unggulan wilayah

- Analisis Deskriptif Input-Output

- Indeks Output Sektor (IOS)

- Indeks Daya Dorong (IDD)

- Indeks Daya Tarik (IDT)

- Nilai transaksi barang dan jasa

- Badan Pusat Statistik - Pemda - Instansi terkait - Data Survey

- Analisis LQ - PDRB - Badan Pusat Statistik - Analisis Tingkat

Keunggulan Sektor (TKS)

- Output ekonomi - Nilai pengganda sektor - Sektor basis

- Badan Pusat Statistik - Pemda - Instansi terkait - Data Survey

3. Mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional

- Model Grafitasi - Interaksi antar wilayah

- Massa wilayah - Jarak antar wilayah

- Badan Pusat Statistik - Dishub - Dispenda

- Analisis Deskriptif Interaksi spasial

- Interaksi antar wilayah

- Karakteristik wilayah

- Badan Pusat Statistik - Dishub - Dispenda - Pemda - Studi Literatur - Key Informan

4. Menyusun Strategi Pengembangan Wilayah

- Analisis Deskriptif Kelembagaan

- Fungsi peran lembaga

- Interaksi lembaga

- BP-Kapet - Pemda Propinsi - Pemda Kab/kota - Instansi terkait - Key Informan

- Analisis Hirarki Proses (AHP)

- Persepsi stakeholders

- Key Informan

- Analisis SWOT - Sintesa analisis - Faktor eksternal - Faktor internal

- Instansi terkait - Studi Literatur - Key Informan

3.4.1. Analisis Deskriptif Potensi Pengembangan Wilayah

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai potensi

pengembangan wilayah. Data dari berbagai variabel di atas selanjutnya diolah

baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kemudian data dikelompokkan atau

diklasifikasikan, lalu diidentifikasi berbagai komoditi, sektor dan wilayah yang

memiliki potensi pengembangan dengan memperhatikan karakteristik wilayah

serta berbagai faktor peluang dan hambatan, seperti sebaran penduduk, komoditas

34

potensial dan pola pertumbuhan ekonomi, selain itu digambarkan ketersediaan

fasilitas dan kelembagaan serta berbagai berbagai permasalahan dalam

pengembangan wilayah di Kabupaten Bima, Kota Bima, Kabupaten Dompu

dalam Kawasan Ekonomi Terpadu Bima. Selanjutnya data tersebut juga diplotkan

dalam bentuk grafik dan tabel, dari berbagai informasi tersebut akan diketahui

tingkat pertumbuhan dan pola spasial dari masing-masing variabel.

3.4.2. Penyusunan dan Analisis Input-Output (IO)

Kerangka Dasar

Secara sederhana Model IO wilayah menyajikan informasi tentang

transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar satuan kegiatan

ekonomi untuk suatu waktu tertentu yang disajikan dalam bentuk tabel. Isian

sepanjang baris menunjukkan alokasi output dan isian menurut kolom

menunjukkan pemakaian input dalam proses produksi (Badan Pusat Statistik

2000b). Sebagai model kuantitatif, model IO mampu memberi gambaran

menyeluruh tentang :

1. Struktur perekonomian yang mencakup struktur output dan nilai tambah

masing-masing kegiatan ekonomi di suatu daerah.

2. Struktur input antara (intermediate input), yaitu penggunaan barang dan

jasa oleh kegiatan produksi di suatu daerah.

3. Struktur penyediaan barang dan jasa baik yang berupa produksi dalam

negeri maupun barang-barang yang berasal dari impor.

4. Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh kegiatan

produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi dan ekspor.

Tabel IO Kapet Bima tahun 2004 terdiri dari 18 sektor, disusun dengan

menggunakan metode RAS yang diturunkan dari Tabel IO Propinsi Nusa

Tenggara Barat tahun 2004 yang terdiri dari 60 sektor. Sesuai dengan

namanya, model IO pada dasarnya berisikan gambaran mengenai saling

keterkaitan suatu sektor yang digunakan sebagai input, baik untuk

menghasilkan output sektor itu sendiri maupun sektor lain. Untuk

menghasilkan output, suatu sektor memerlukan input baik berupa barang, jasa

dan faktor produksi lainnya. Keterkaitan antara input dan output tersebut

digambarkan dalam kerangka Model IO seperti tertera pada tabel 2.

35

Tabel 2 Kerangka Model Input-Output (IO) Kapet Bima

Input Sektor Permintaan antara Permintaan

akhir Total

Output 1 2 … N

Input Antara

1 x11 x12 … X1n F1 X1 2 x21 x22 … X2n F2 X2 … … … … … … … n xn1 xn1 … xnn Fn Xn

Input Primer/NTB V1 V2 … Vn Total Input X1 X2 … Xn

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000.

Output yang diproduksi oleh sektor 1 (x1) didistribusikan kepada kedua

macam pemakai. Pemakai pertama adalah sektor produksi yang terdiri dari

sektor 1 sampai dengan sektor n. Sektor 1 sendiri menggunakan sebesar x11,

sektor 2 menggunakan sebesar x12, sektor 3 menggunakan sebanyak x13 dan

seterusnya hingga sektor n menggunakan sebesar x1n. Bagi sektor produksi,

output yang diproduksi oleh sektor 1 tersebut merupakan bahan baku atau

Input Antara (intermediate input) yang digunakan dalam proses produksi lebih

lanjut.

Pemakai kedua adalah para pemakai akhir dan bagi mereka output

sektor 1 digunakan sebagai Permintaan Akhir (final demand). Permintaan

Akhir terdiri dari empat komponen yaitu: (1) konsumsi rumah tangga (C), (2)

pembentukan modal tetap bruto atau investasi (I), (3) pengeluaran konsumsi

pemerintah (G), dan (4) ekspor (X). Komponen F1 menunjukkan nilai

Permintaan Akhir atas output sektor 1 dan Fn menunjukkan nilai Permintaan

Akhir atas output sektor n.

Output suatu sektor seluruhnya habis digunakan untuk Input Antara dan

Permintaan Akhir. Dengan demikian, total output sektor 1 (X1) adalah

sejumlah output sektor 1 yang digunakan sebagai Input Antara oleh sektor 1

sampai dengan n ditambah dengan Permintaan Akhir.

Persamaan permintaan dan penyediaan sektor i dapat ditulis dalam

bentuk notasi:

∑=

+=+n

j

MiXiFixij1

.......................................................................... (1)

36

dimana :

xij = Nilai output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j

Fi = Permintaan Akhir terhadap output sektor i

Xi = Total output sektor i

Mi = Total ouput sektor i yang diimpor

Bertolak dari konsep keseimbangan umum di dalam Model IO, Total

Output suatu sektor harus sama dengan Total Input sektor tersebut. Itulah

sebabnya Total Output sektor 1 bernilai sama dengan Total Input sektor 1 yaitu

X1. Namun input yang diperlukan dalam proses produksi sektor 1 bukan hanya

Input Antara, tetapi diperlukan juga input lain yang disebut Input Primer. Input

Primer disebut juga sebagai Nilai Tambah Bruto (NTB) atau gross value added

yaitu balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang terlibat dalam proses

produksi. Jika dirinci, NTB terdiri lima komponen yaitu: (1) upah dan gaji, (2)

surplus usaha (keuntungan), (3) depresiasi barang modal, (4) pajak tak langsung,

dan (5) subsidi. Komponen V1 diartikan sebagai nilai tambah yang dihasilkan

oleh sektor 1, kemudian nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor n adalah Vn.

Dengan demikian maka total input suatu sektor adalah jumlah seluruh

Input Antara dan Input Primer, yang dirumuskan dalam bentuk:

∑=

+=+n

j

MiXiVixij1

.......................................................................... (2)

yang mana :

xij = Nilai output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j Vj = Input primer (nilai tambah) sektor j Xj = Total input sektor yang digunakan oleh sektor j

Koefisien Input dan Pengganda Output

Koefisien input sangat penting dalam analisis IO antara lain untuk

melihat komponen input (Input Antara dan Input Primer) yang paling dominan,

peranan penggunaan bahan baku dan energi, tingkat pemakaian jasa bank,

komunikasi, transportasi dan sebagainya. Proporsi Input Antara yang berasal

dari sektor i terhadap total input sektor j disebut sebagai koefisien input antara

yang diperoleh dengan rumus :

37

aij = j

ij

Xx

………………………………………………………………... (3)

xij = aij Xj ……………………………………………………………………..……………………….... (4)

dimana :

aij = Koefisien input antara (koefisien teknis) sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j

xij = Nilai output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j Xj = Total input sektor yang digunakan oleh sektor j

Secara lengkap koefisien input antara atau koefisien teknis dapat ditata

kedalam suatu matriks A dengan struktur :

An x n =

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

nnnn

n

n

aaa

aaaaaa

...............

...

...

21

22221

11211

………………………..……………..…. (5)

Koefisien Input Primer menunjukkan peranan dan komposisi dari upah

dan gaji, surplus usaha (keuntungan), penyusutan, pajak tak langsung dan

subsidi. Koefisien Input Primer dirumuskan sebagai :

vj=j

j

XV

……………………………………………………………………………………………... (6)

dimana :

Vj = Input primer (nilai tambah) sektor j

Xj = Total input sektor yang digunakan oleh sektor j

vj = koefisien input primer

Berdasarkan persamaan di atas, jumlah koefisien Input Antara dan

koefisien Input Primer sektor j adalah satu, yaitu ∑=

=+n

ijij va

11. Bila ∑

=

n

iija

1

makin besar maka vj menjadi kecil, demikian pula sebaliknya.

Koefisien Input Antara menggambarkan tingkat penggunaan teknologi

dalam proses produksi sehingga koefisien ini disebut juga sebagai koefisien teknis

(technical coefficient). Koefisien teknis ini disebut juga sebagai kebutuhan

38

langsung (direct requirement), karena menunjukkan kebutuhan langsung suatu

sektor akan output sektor lainnya.

Matriks koefisien teknis merupakan dasar untuk perhitungan dampak

pengganda (multiplier effect) yang menjadi salah satu inti dari analisis Model IO.

sedangkan besarnya output dapat dihitung sebagai pengaruh induksi permintaan

akhir adalah:

X = (I - A)-1 F ...................................................................................... (7)

Dimana :

X = vektor total output berukuran n x 1

I = matriks identitas berukuran n x n

F = vektor permintaan akhir berukuran n x 1

A = matriks koefisien input berukuran n x n

Matriks identitas berguna untuk memudahkan manipulasi matematis.

Suatu matriks jika dikalikan dengan matriks identitas akan menghasilkan

matriks itu sendiri. Persamaan (7) inilah yang menjadi inti dari Model IO,

sedangkan (I - A)-1 disebut matriks Kebalikan Leontief yang berfungsi sebagai

pengganda output (output multiplier). Kenaikan permintaan akhir suatu sektor

tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kenaikan total output sektor itu

sendiri tetapi juga sektor lainnya. Besar kecilnya dampak kenaikan total output

akibat kenaikan permintaan akhir tergantung dari elemen-elemen matriks (I-A)-1.

3.4.3. Indeks Output Sektor (IOS)

Nilai output suatu sektor menggambarkan nilai akhir produksi yang

dihasilkan suatu sektor baik untuk digunakan kembali pada kegiatan produksi

domestik (permintaan antara) maupun digunakan untuk permintaan akhir

(konsumsi rumah tangga, pemerintah, investasi, dan eksport). Untuk melihat

perbandingan nilai output suatu sektor terhadap sektor lainnya, maka dapat

digunakan indeks output sektor (IOS) yang dapat diformulakan sebagai berikut :

IOSi = ii

i

XnX∑)/1(

39

Dimana :

IOSi = Indeks Output Sektor i

Xi = Nilai Output Sektor i (Juta Rupiah)

n = Jumlah Sektor

Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks output sektor >1, berarti nilai

output sektor tersebut di atas rata-rata nilai output sektor lainnya, dengan kata lain

bahwa sektor tersebut memiliki skala aktivitas (kapasitas ekonomi) yang tinggi.

namun jika nilai indeks output sektor <1, berarti nilai output sektor tersebut di

bawah rata-rata nilai output sektor lainnya, yang bermakna bahwa sektor tersebut

memiliki skala aktivitas (kapasitas ekonomi) yang relatif rendah.

3.4.4. Indeks Daya Tarik (IDT) dan Indeks Daya Dorong (IDD)

Salah satu keunggulan analisa dengan menggunakan Model I-O adalah

dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat hubungan atau

keterkaitan teknis antar unsur aktif (unsur yang menunjang kegiatan

industri/ekonomi, seperti perusahaan industri, prasarana dan pemusatan industri)

yang merupakan generator untuk memulai sesuatu proses polarisasi teknis.

Hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward linkages), ialah

hubungan dengan penjualan hasil produk yaitu tingkat keterkaitan ke depan atau

disebut juga derajat kepekaaan (daya dorong), dan hubungan kebelakang

(backward linkages), merupakan hubungan dengan bahan mentah/bahan baku atau

disebut juga daya penyebaran (daya tarik). Kedua indeks tersebut dapat digunakan

untuk menganalisa dan menentukan sektor-sektor kunci (key sektors) yang akan

dikembangkan dalam pembangunan ekonomi di suatu wilayah (Badan Pusat

Statistik 2000a).

Sektor yang mempunyai indeks daya tarik (IDT) yang tinggi memberikan

indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap

kegiatan ekonomi domestik sektor yang lain. Sebaliknya sektor yang mempunyai

indeks daya dorong (IDD) yang tinggi berarti sektor tersebut mempunyai

keterkaitan ke depan yang tinggi dibandingkan sektor yang lain.

Indeks Daya Tarik (IDT) dan Indeks Daya Dorong (IDD) suatu sektor

dapat diformulakan sebagai berikut (Badan Pusat Statistik 2000a) :

40

IDTj = ijji

iji

bnb∑∑

)/1(

IDDi = ijji

ijj

bnb∑∑

)/1(

Dimana :

IDTj = Indeks Daya Tarik sektor j (tingkat dampak keterkaitan ke belakang)

IDDi = Indeks Daya Dorong sektor i (tingkat dampak keterkaitan ke depan)

bij = Sel matriks kebalikan (I-Ad)-1 pada baris i dan kolom j

(dampak yang terjadi terhadap output sektor i akibat perubahan

permintaan akhir sektor j

n = Jumlah sektor (ukuran matriks)

Suatu sektor yang mempunyai nilai Indeks Daya Tarik (IDT) >1, berarti

daya tarik sektor tersebut di atas rata-rata daya tarik sektor lainnya. Demikian juga

jika nilai Indeks Daya Dorong (IDD) >1, berarti daya dorongnya di atas rata-rata

daya dorong sektor lainnya.

3.4.5. Analisis Location Quotien (LQ)

Metode analisis LQ di gunakan untuk menunjukkan lokasi

pemusatan/basis (aktivitas). Disamping itu LQ digunakan untuk mengetahui

kapasitas eksport perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan

barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah.

Adapun persamaan LQ adalah sebagai berikut (Saefulhakim. 2003) :

LQsk = Xsk / Xtk Xsp/Xtp Dimana :

LQsk = Location Quotien suatu sektor di Kapet Bima

Xsk = Pendapatan suatu sektor pada tingkat wilayah Kapet Bima

Xtk = Pendapatan total wilayah Kapet Bima

Xsp = Pendapatan suatu sektor pada tingkat wilayah Propinsi NTB

Xtp = Pendapatan total wilayah Propinsi NTB

Apabila LQ suatu sektor > 1, maka sektor tersebut merupakan sektor

basis, sedangkan bila LQ < 1, maka sektor tersebut merupakan sektor non basis.

41

Asumsi metode LQ ini adalah penduduk di Kapet Bima mempunyai pola

permintaan wilayah sama dengan pola permintaan Propinsi NTB. Asumsi lainnya

adalah bahwa permintaan wilayah akan sesuatu barang akan dipenuhi terlebih

dahulu oleh produksi wilayah, sedangkan kekurangannya diimpor dari wilayah

lain.

3.4.6. Analisis Tingkat Keunggulan Sektor (TKS)

Tingkat Keunggulan Sektor (TKS) digunakan untuk membandingan

tingkat keunggulan relatif suatu sektor terhadap sektor lainnya berdasarkan

indikator indeks output sektor, indeks daya tarik dan daya dorong terhadap sektor

lainnya dan nilai basis suatu sektor.

Untuk mendapatkan nilai tingkat keunggulan sektor maka nilai indeks

setiap indikator (IOS, IDT, IDD, LQ) dibuatkan skor keunggulan sektor.

- Jika nilai IOS > 1 (output tinggi), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai

IOS < 1 (output rendah), maka skor keunggulan = 0

- Jika nilai IDT > 1 (keterkaitan tinggi), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai

IDT < 1 (keterkaitan rendah), maka skor keunggulan = 0

- Jika nilai IDD > 1 (keterkaitan tinggi), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai

IDD < 1 (keterkaitan rendah), maka skor keunggulan = 0

- Jika nilai LQ > 1 (sektor basis), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai

LQ < 1 (sektor non basis), maka skor keunggulan = 0

Adapun formulasi Tingkat Keunggulan Sektor (TKS) adalah sebagai

berikut :

SKSi = SK_IOSi + SK_IDTi + SK_IDDi + SK_LQi

Dimana :

SKSi = Skor keunggulan sektor i

SK_IOSi = Skor keunggulan dari nilai indeks output sektor i

SK_ITKi = Skor keunggulan dari nilai indeks total keterkaitan sektor i

SK_LQi = Skor keunggulan dari nilai location quotion sektor i

Sektor unggulan pertama (TKS paling tinggi) adalah yang memiliki nilai

skor keunggulan sektor paling tinggi (SKS) max = 4, artinya sektor tersebut lebih

unggul dibandingkan sektor lain pada empat indikator keunggulan (IOS, IDD,

42

IDT dan LQ). Jika nilai SKS = 3, artinya sektor tersebut memiliki keunggulan

pada tiga dari empat indikator keunggulan sektor. Jika nilai SKS = 2, artinya

sektor tersebut memiliki keunggulan pada dua dari empat indikator keunggulan

sektor. Jika nilai SKS = 1, artinya sektor tersebut memiliki keunggulan pada satu

dari empat indikator keunggulan sektor, sedangkan nilai SKS = 0, artinya sektor

tersebut sama sekali tidak memiliki keunggulan dari keempat indikator

keunggulan sektor.

3.4.7. Model Grafitasi

Interaksi antar wilayah merupakan suatu mekanisme yang

menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena aktivitas

yang dilakukan oleh sumber daya manusia di dalam suatu wilayah.

Aktivitas-aktivitas yang dimaksud mencakup diantaranya mobilitas kerja,

migrasi, arus informasi dan arus komoditas, mobilitas pelajar, pemanfaatan

fasilitas pribadi dan atau fasilitas umum, bahkan tukar menukar

pengetahuan. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menduga

besarnya interaksi antar wilayah adalah model grafitasi. Persamaan dalam

model grafitasi ini bisa digunakan untuk menganalisis dan menduga pola

interaksi spasial.

Model grafitasi ini mempermudah kegiatan pengukuran secara

eksplisit posisi relatif dengan mengintegrasikan pengukuran jarak relatif

dan skala/ukuran relatifnya. Konsep Model Grafitasi Newton berkaitan

dengan dua hal pokok (Saefulhakim 2003): (1) Dampak skala, yaitu sejauh

mana dampak yang telah ditimbulkan oleh suatu aktivitas tertentu disuatu

lokasi tertentu terhadap daerah sekitarnya. Suatu lokasi dengan jumlah

populasi lebih besar cenderung akan membangkitkan dan menarik aktivitas

lebih banyak dibandingkan kota lain yang mempunyai populasi lebih

sedikit, sehingga dapat dihipotesiskan bahwa skala usaha aktivitas berkaitan

dengan besarnya daya tarik aktivitas tersebut. (2) Dampak jarak, yaitu

seberapa jauh dampak yang mampu ditimbulkan oleh suatu aktivitas disuatu

lokasi terhadap lokasi di sekitarnya. Ada kecendrungan, makin jauh jarak

antara dua lokasi, maka makin kecil interaksi yang terjadi antara dua lokasi

tersebut.

43

Model Grafitasi pada dasarnya merupakan bentuk analogi fenomena

Hukum Fisika Grafitasi Newton yang kemudian dikembangkan untuk ilmu

sosial. Dalam model grafitasi, interaksi antar dua wilayah i (asal) dan j

(tujuan) dimodelkan sebagai fungsi dari massa kedua wilayah mi dan mj,

serta jarak antar kedua wilayah dij (Saefulhakim 2003) :

Tij = k miamj

b. dij

c dimana :

Tij = interaksi antara wilayah asal dan tujuan

berupa arus barang/penumpang (ton/orang)

mi = massa wilayah asal berupa populasi/PDRB (jiwa/Rp.Juta)

mj = massa wilayah tujuan berupa populasi/PDRB (jiwa/Rp.Juta)

dij = jarak antara wilayah asal dan tujuan (km)

i = wilayah asal

j = wilayah tujuan

a, b dan c = koefisien peubah massa wilayah asal, massa wilayah tujuan,

dan jarak antara kedua wilayah

k = konstanta

Penyelesaian dari persamaan di atas dapat dipecahkan dengan

pendekatan fungsi regresi linear dengan terlebih dahulu mentrasformasikan

persamaan di atas ke dalam bentuk logarithma natural (ln), sehingga

menjadi :

ln Tij = lnk + a ln mi + b ln mj - c ln dij

Nilai parameter-parameter yang dihasilkan dari analisis diatas (a, b

dan c) dapat menggambarkan nilai elastisitas interaksi wilayah (Tij)

terhadap perubahan nilai variabel peubah (mi, m2, dan dij). Jika nilai

koefisien a, b dan c > 0, menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 % nilai

variabel peubah maka akan dapat meningkatkan nilai interaksi wilayah

dengan persentase perubahannya sebesar nilai koefisien masing-masing

variabel, namun jika nilai koefisien a, b dan c < 0, menunjukkan bahwa

setiap kenaikan 1 % nilai variabel peubah maka akan dapat menurunkan

nilai interaksi wilayah dengan persentase perubahannya sebesar nilai

koefisien masing-masing variabel.

44

3.4.8. Analisis Deskriptif Pola Interaksi Wilayah

Analisis ini pada dasarnya untuk melengkapi analisis grafitasi dalam

mengkaji interaksi spasial. Hal ini penting untuk melakukan cross check dan

sekaligus untuk menggali lebih dalam bagaimana bentuk keterkaitan antar wilayah

tersebut bisa terjadi. Terjadinya interaksi wilayah, selain disebabkan oleh adanya

massa tiap wilayah tersebut seperti populasi, tingkat pendapatan wilayah, serta

fasilitas yang terdapat disuatu wilayah, juga dapat dipengaruhi oleh daya tarik

atau daya dorong suatu wilayah seperti berkaitan dengan keadaan sosial-budaya

atau karena adanya keterkaitan sejarah antar wilayah. Analisis deskriptif ini akan

mengkaji dan memberikan gambaran dari aspek kuantitatif dan kualitatif terhadap

aktivitas interaksi spasial.

3.4.9. Analisis Deskriptif Stakeholders/Kelembagaan

Dalam analisis ini akan diidentifikasi bentuk-bentuk institusi yang terlibat

dan terkait dengan pembangunan wilayah di Kawasan Pengembangan Ekonomi

Terpadu (Kapet) Bima. Institusi ini bisa berbentuk institusi formal maupun non

formal, antara lain seperti BP Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet)

Bima, Pemda Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemda Kabupaten Bima, Pemda

Kota Bima, Pemda Kabupaten Dompu, Swasta, Pemerintah Pusat, serta institusi

masyarakat lokal.

Model institusi seperti ini tentunya akan dapat memberikan informasi

yang memadai terhadap keberadaan berbagai lembaga/stakeholders, baik terkait

fungsi-peran maupun tingkat keterlibatan suatu lembaga/stakeholders dalam

pengelolaan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima.

3.4.10. Analisis Hirarki Proses (AHP)

Pemilihan Pendekatan strategi pengembangan Kapet Bima adalah dengan

menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP). Analisis Hirarki Proses (AHP)

adalah metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan suatu

masalah yang disederhanakan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir,

sehingga memungkinkan dalam pengambilan keputusan yang efektif atas masalah

tersebut (Marimin 2004).

45

Alasan digunakannya metode AHP adalah untuk menangkap secara

rasional persepsi berbagai stakeholders yang berhubungan sangat erat dengan

permasalahan pengembangan wilayah melalui prosedur yang didesain sampai

pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Dengan metode ini

diharapkan dapat ditarik kesimpulan tentang pendekatan strategi pengembangan

wilayah di Kapet Bima.

Analisis AHP dilakukan dengan melakukan perbandingan berpasangan

(pairwise comparisons) untuk mendapatkan tingkat kepentingan suatu kriteria

relatif terhadap kriteria lain dan dapat dinyatakan dengan jelas proses

perbandingan berpasangan ini yang dilakukan untuk setiap level atau tingkat,

yakni meliputi : tingkat 1 (sasaran), tingkat 2 (Pendekatan Strategi), tingkat 3

(Dukungan Sumber Daya) dan tingkat 4 (Komponen Sumber Daya).

KOMPONEN : SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6)

SUB KOMPONEN : (a) (a) (a) (a) (a) (a)

(b) (b) (b) (b) (b) (b) (c) (c) (c) (c) (c) (c) (d) (d) (d) (d) (d) (e) (e) (e) (f)

Gambar 2 Struktur AHP Strategi Pengembangan Wilayah Kapet Bima

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KAPET BIMA

YANG BERIMBANG

KETERPADUAN ANTAR

SEKTOR (A)

KETERPADUAN ANTAR

WILAYAH (B)

KETERPADUAN ANTAR

INSTITUSI (C)

SASARAN :

PENDEKATAN STRATEGI :

46

Keterangan : Komponen sumber daya dalam pengembangan wilayah : 1. Sumber daya manusia, meliputi :

a. Jumlah penduduk b. Tingkat pendidikan c. Lapangan pekerjaan d. Tingkat kesehatan

2. Sumber daya alam, meliputi : a. Sumber daya lahan dan air b. Perikanan dan kelautan c. Industri dan pertambangan d. Keanekaragaman sumber daya hayati e. Panorama alam wisata

3. Sumber Daya Buatan/Infrastruktur, meliputi : a. Sosial dan budaya b. Ekonomi dan perdagangan c. Transportasi d. Informasi dan komunikasi e. Ilmu pengetahuan dan teknologi

4. Sumber daya sosial, meliputi : a. Adat istiadat b. Hubungan masyarakat c. Keamanan d. Tingkat mobilitas

5. Sumber daya finansial, meliputi : a. Modal asing b. Modal domestik dalam negeri c. Modal domestik dalam kapet

Menurut Saaty (1993) tahapan analisis data sebagai berikut :

1). Mendifinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.

Pendekatan AHP dalam rangka penentuan prioritas strategi pengembangan

wilayah, untuk menyusun analisis perlu diketahui terlebih dahulu faktor-faktor

yang berpengaruh terhadap pengembangan wilayah di Kapet Bima.

2). Membuat struktur hirarki.

Struktur hirarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan

penentuan berbagai pendekatan strategi, serta dukungan sumber daya dan

berbagai komponennya. Adapun struktur hirarki strategi pengembangan wilayah

dalam penelitian ini adalah seperti pada gambar 2.

47

3). Membuat matriks dan nilai perbandingan berpasangan.

Matriks perbandingan berpasangan ini menggambarkan pengaruh relatif

atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat

diatasnya. Perbandingan didasarkan kepada Judgement (pendapat) dari para

pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen

dibandingkan dengan elemen lainnya.

Membuat matriks komparasi berpasangan dimaksudkan untuk

menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-

masing tujuan atau kriteria/kepentingan yang setingkat diatasnya.

Penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hirarki (pendapat)

dilakukan dengan teknik komparasi berpasangan. Teknik komparasi berpasangan

yang dipakai dalam AHP adalah Judgement dari narasumber yang memahami

permasalahan (dipilih sebagai expert/key informan) dengan cara melakukan

wawancara langsung dan menilai tingkat kepentingan satu elemen dan

dibandingkan dengan elemen lainnya.

Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen

dengan komparasi berpasangan yang dimulai dari tingkat yang paling tinggi

sampai dengan yang terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan Judgment para

narasumber berdasarkan skala komparasi 1-9. Nilai skala komparasi digunakan

untuk mengkuantitatifkan data yang bersifat kualitatif. Skala banding secara

berpasangan tersebut dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Matriks Nilai Perbandingan

Tingkat

kepentingan Definisi

1 Kedua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya

5 Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya

7 Satu elemen sangat jelas lebih penting daripada elemen lainnya 9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai-nilai yang diberikan apabila ragu-ragu antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Jika vektor pembobotan elemen-elemen kegiatan A1,A2,… An dinyatakan

sebagai vektor W, dengan W = (W1,W2,… Wn), maka intensitas kepentingan

48

elemen kegiatan A1 dibandingan dengan A2 dinyatakan sebagai perbandingan

bobot elemen kegiatan A1 terhadap A2, dimana nilai perbandingan elemen

kegiatan A1 terhadap A2 adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan elemen

kegiatan A2 terhadap A1. sehingga matriks perbandingannya sebagai mana yang

tertuang pada tabel 4.

Tabel 4 Matriks Perbandingan Berpasangan

A1 A2 A3 An

A1 A2 A3 .

An

W1/W1 W1/W2 W1/W3 ……… W1/Wn W2/W1 W2/W2 W2/W3 ……… W2/Wn W3/W1 W3/W2 W3/W3 ……… W3/Wn

Wn/W1 Wn/W2 Wn/W3 …….. Wn/Wn

4). Penentuan Prioritas

Setelah setiap kriteria dan alternative dilakukan perbandingan

berpasangan (pair wise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian

diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternative.

Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan

sesuai dengan Judgment yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan

prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui

penyelesaian persamaan matematik.

5). Konsistensi Logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara

konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Untuk membantu dalam analisis

hirarki proses sampai pada penentuan konsistensi pendapat (consistency ratio)

maka digunakan software : Expert Choice 2000.

3.4.9. Analisis SWOT

Atas dasar hasil analisis sebelumnya serta dengan memperhatikan

keadaan lingkungan baik internal maupun eksternal, maka selanjutnya dilakukan

analisis strategi pengembangan wilayah Kapet Bima. Analisis strategi

pengembangan wilayah Kapet Bima dilakukan dengan metode analisis SWOT

(Strengths Opportunities Weaknesses dan Threats).

49

Analisis SWOT digunakan untuk menelaah strategi pengembangan

wilayah Kapet Bima ke depan, yakni dengan menggunakan analisis kualitatif

untuk menganalisis berbagai faktor secara sistematis dan memformulasikan

strategi pengembangan wilayah. Dengan mengunakan matriks SWOT akan dapat

memberikan kesimpulan tentang strategi pengembangan wilayah Kapet Bima.

Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan

(Strengths) dan peluang (Opportunities) suatu program pengelolaan dan secara

bersamaan dapat pula meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman

(Threats). Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar

keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui minimal 3 (tiga) tahapan

berikut (Marimin 2004) :

1. Tahap 1, pengumpulan data, identifikasi dan evaluasi faktor internal dan

eksternal.

2. Tahap 2, Analisis dan pembuatan matriks SWOT.

3. Tahap 3, pengambilan keputusan dari berbagai alternatif Kebijakan

Tahapan pengumpulan data , identifikasi dan evaluasi, digunakan untuk

mengetahui keadaan lingkungan internal dan eksternal dalam pengembangan

wilayah yang didapat baik dari data primer maupun dari data sekunder. Data-data

tersebut dievaluasi dan dikelompokkan dalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan,

peluang dan ancaman.

Tahapan selanjutnya adalah tahapan menganalisis dalam suatu Matrik

SWOT, yang menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman

eksternal yang dihadapi dalam pengembangan wilayah dapat disesuaikan dengan

kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Dari matriks ini akan terbentuk empat

kemungkinan alternatif strategi. Adapun Matrik SWOT serta alternatif strategi

dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5 Matriks SWOT Faktor intern

Faktor ekstern STRENGTH-S :

Daftar faktor-faktor kekuatan WEANESS-W :

Daftar faktor-faktor kelemahan OPPORTUNITIES-O :

Daftar faktor-faktor peluang STRATEGI S-O :

Gunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

STRATEGI W-O : Atasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang

THREATS-T : Daftar faktor-faktor ancaman

STRATEGI S-T : Gunakan kekuatan untuk

menghindari ancaman

STRATEGI W-T : Meminimalkan kelemahan dan

menghindari ancaman

50

Matriks SWOT digunakan untuk menyusun strategi pengembangan

wilayah Kapet Bima. Matriks ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang

dan ancaman yang dihadapi dalam pelaksanaan dari program. Matriks ini

menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi, yaitu strategi SO

(Strengths-Opportunities), strategi WO (Weaknesses-Opportunities), strategi ST

(Strengths-Threats)dan strategi WT (Weaknesses-Threats). Pemilihan strategi

dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi kegiatan dalam mencapai

tujuan pengembangan wilayah yang ditetapkan.

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Wilayah Administrasi dan Kependudukan

4.1.1. Batas Administrasi Wilayah Penelitian

Secara Administrasi, Kapet Bima terdiri dari 2 (dua) kabupaten dan

1 (satu) kota, yakni Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu dan Kota Bima.

Kabupaten Bima terdiri dari 14 kecamatan dan 150 desa. Kota Bima terdiri dari

3 (tiga) kecamatan dan 25 kelurahan. Sedangkan Kabupaten Dompu terdiri dari

8 (delapan) kecamatan, 9 (sembilan) kelurahan dan 57 desa. Adapun gambaran

tentang Sebaran Kecamatan, Kelurahan dan Desa Per Kabupaten/Kota di Kapet

Bima dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6 Sebaran Kecamatan, Kelurahan dan Desa Per Kabupaten/Kota di Kapet Bima.

Kabupaten/Kota Kecamatan Kelurahan Desa

Kabupaten Bima 14 - 150

Kota Bima 3 25 -

Kabupaten Dompu 8 9 57

Kapet Bima 25 36 207 Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Adapun batas-batas wilayah Kapet Bima adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Laut Flores

Sebelah Selatan : Samudra Hindia

Sebelah Timur : Selat Sape

Sebelah Barat : Kabupaten Sumbawa

Wilayah Kapet Bima berupa daratan dan perairan/lautan. Luas wilayah

daratan Kapet Bima 6.921,45 Km2 terdiri dari Kabupaten Bima 4.374,65 Km2,

Kabupaten Dompu 2.324,55 Km2 dan Kota Bima 222,25 Km2, sedangkan luas

lautnya adalah 12,180.96 Km2 yang terdiri dari Kabupaten Bima 9,785.00 Km2,

Kota Bima 142.96 Km2 dan Kabupaten Dompu 2,253.00 Km2. Adapun gambaran

luas wilayah Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 7.

52

Tabel 7 Luas Wilayah Kapet Bima

Kabupaten/Kota Luas Wilayah

Jumlah (Km2) (%)

Darat (Km2) (%)

Laut (Km2) (%)

Kab. Bima 4,374.65 63.20 9,785.00 80.33 14,159.65 74.12

Kota Bima 222.25 3.21 142.96 1.17 365.21 1.91Kab. Dompu 2,324.55 33.58 2,253.00 18.50 4,577.55 23.96Kapet Bima 6,921.45 100.00 12,180.96 100.00 19,102.41 100.00

Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Tabel 7 di atas menjelaskan bahwa Kabupaten Bima memiliki luas

wilayah yang paling besar yaitu 74.12 %, kemudian Kabupaten Dompu 23.96 %

dan yang paling kecil luas wilayah adalah Kota Bima 1.91 %. Selain berupa

daratan yakni dengan luas 36.23 % juga yang tidak kalah pentingnya adalah

keberadaan perairan dan lautan yang mencapai 63.77 % dari total luas wilayah,

sehingga keberadaan laut dan sumber daya yang terkandung didalamnya memiliki

potensi yang besar dan pengaruh yang strategis dan signifikan dalam

pengembangan wilayah di Kapet Bima.

4.1.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk

Jumlah penduduk Kapet Bima Tahun 2004 adalah sebanyak 735,084 jiwa,

yang terdiri dari 419,302 jiwa penduduk Kabupaten Bima, 116,425 jiwa penduduk

Kota Bima dan 199,357 jiwa penduduk Kabupaten Dompu. Dengan Luas

6,922.45 Km2, Kapet Bima memiliki kepadatan penduduk rata-rata 106 jiwa/Km2.

Tingkat kepadatan penduduk antar wilayah di Kapet Bima sangat beragam, baik

antar kabupaten maupun antar kecamatan.

Jumlah dan kepadatan penduduk perkecamatan di Kabupaten Dompu juga

sangat bervariasi, Kecamatan Dompu dan Woja memiliki jumlah penduduk paling

banyak yakni masing-masing 22.57 % dan 23.67 % dari total penduduk

Kabupaten Dompu sedangkan yang paling sedikit penduduknya adalah kecamatan

Kilo (5.42 %) dan Pajo (5.97 %). Tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi

adalah Kecamatan Dompu (201 jiwa) dan Woja (157 jiwa) sedangkan kepadatan

yang paling rendah adalah Pekat (30 jiwa) dan Kilo (46 jiwa). Adapun gambaran

53

tentang jumlah dan kepadatan penduduk perkecamatan di Kabupaten Dompu

dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kabupaten Dompu

No. Kecamatan Luas Jumlah Penduduk Kepadatan (Km2) (Jiwa) (%) (Jiwa/ Km2) 1 Huu 186.50 15,011 7.53 80 2 Pajo 135.32 11,892 5.97 88 3 Dompu 223.37 44,988 22.57 201 4 Woja 301.16 47,197 23.67 157 5 Kilo 235.00 10,811 5.42 46 6 Kempo 191.67 17,612 8.83 92 7 Manggelewa 176.46 25,480 12.78 144 8 Pekat 875.17 26,366 13.23 30 Jumlah 2,324.65 199,357 100.00 86

Sumber : BPS Kabupaten Dompu, 2004

Tabel 9 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kabupaten Bima

No. Kecamatan Luas Jumlah Penduduk Kepadatan (Km2) (Jiwa) (%) (Jiwa/ Km2) 1 Monta 451.00 43,773 10.44 97 2 Bolo 101.41 40,563 9.67 400 2 Mada Pangga 189.09 27,074 6.46 143 3 Woha 75.25 39,217 9.35 521 4 Belo 153.30 49,589 11.83 323 5 Langgudu 283.18 20,282 4.84 72 6 Wawo 225.27 27,980 6.67 124 7 Sape 244.53 48,957 11.68 200 8 Lambu 374.12 30,846 7.36 82 9 Wera 392.00 27,084 6.46 69 10 Ambalawi 255.50 17,475 4.17 68 11 Donggo 406.00 28,999 6.92 71 12 Sanggar 720.00 11,296 2.69 16 13 Tambora 505.00 6,167 1.47 12 Jumlah 4,375.65 419,302 100.00 96

Sumber : BPS Bima, 2004

Pada Tabel 9 tentang jumlah dan kepadatan penduduk perkecamatan di

Kabupaten Bima terlihat bahwa yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah

Kecamatan Belo (11.83 %), Sape (11.68 %), Monta (10.44 %), Bolo (9.67 %) dan

54

Woha (9.35 %), sedangkan jumlah penduduk yang relatif sedikit adalah

Kecamatan Tambora (1.47 %), Sanggar (2.69 %), Ambalawi (4.17 %) dan

Langgudu (4.84 %).

Berdasarkan Kepadatan Penduduk, Kecamatan yang memiliki tingkat

kepadatan paling tinggi adalah Woha (521 jiwa), Bolo (400 jiwa), Belo (323 jiwa)

dan Sape (200 jiwa), sedangkan tingkat kepadatan paling rendah adalah

Kecamatan Tambora (12 jiwa), Sanggar (16 jiwa), Ambalawi (68 jiwa) dan Wera

(69 jiwa).

Secara umum seluruh kecamatan di Kota Bima memiliki tingkat kepadatan

penduduk yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan kecamatan di Kabupaten

Bima atau Kabupaten Dompu yakni dengan rata-rata 524 jiwa, namun yang paling

menyolok adalah tingkat kepadatan di Kecamatan Rasanae Barat yakni 1,050 jiwa

sedangkan Rasanae Timur dan Asakota masing-masing memiliki tingkat

kepadatan penduduk 433 jiwa dan 361 jiwa. Hal ini dapat dimengerti mengingat

Kecamatan Rasanae Barat merupakan daerah pusat perdagangan sekaligus sebagai

pusat wilayah di Kapet Bima. Adapun gambaran tentang jumlah dan kepadatan

penduduk perkecamatan di Kota Bima dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kota Bima

No. Kecamatan Luas Jumlah Penduduk Kepadatan (Km2) (Jiwa) (%) (Jiwa/ Km2) 1 Rasanae Barat 40.10 42,088 36.15 1,050 2 Rasanae Timur 118.87 51,491 44.23 433 3 Asakota 63.28 22,846 19.62 361

Jumlah 222.25 116,425 100.00 524 Sumber : BPS Bima, 2004

Berdasarkan uraian di atas, terdapat fenomena bahwa daerah-daerah yang

secara relatif berada disekitar titik tengah wilayah atau yang dilewati jalur jalan

negara terdapat adanya kecenderungan pemusatan pemukiman penduduk

sedangkan daerah-daerah pinggir (hinterland) memiliki jumlah dan tingkat

kepadatan penduduk yang relatif rendah.

Tingkat pertumbuhan penduduk akan sangat menentukan perkembangan

wilayah. Penduduk akan cenderung bergerak menuju kepada wilayah yang

memiliki tingkat fasilitas hidup dan usaha yang relatif lengkap serta relatif

55

menyediakan lapangan pekerjaan dan peluang usaha yang lebih besar, namun

disisi lain tingkat kepadatan penduduk akan mempengaruhi tingkat kemampuan

pelayanan suatu fasilitas/infrastruktur wilayah. Jika tingkat kepadatan penduduk

makin meningkat, sementara kapasitas suatu fasilitas/infrastruktur tetap atau tidak

berubah, maka ketika melewati titik optimalnya, kualitas atau kemampuan

pelayanan fasilitas/infrastruktur wilayah tersebut cenderung akan semakin

menurun.

4.2. Gambaran Umum Perekonomian Wilayah

4.2.1. Struktur Perekonomian Wilayah

Struktur ekonomi yang terbentuk disuatu daerah ditentukan oleh peranan

masing-masing sektor dalam menciptakan nilai tambah. Struktur ekonomi tersebut

menggambarkan potensi dan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan

berproduksi dari masing-masing sektor. Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya

alam dan faktor-faktor produksi lainnya dalam menciptakan nilai tambah. PDRB

merupakan jumlah dari nilai tambah yang diciptakan dari seluruh aktivitas

perekonomian di suatu wilayah.

Tabel 11 menggambarkan kontribusi sektor-sektor terhadap PDRB Kapet

Bima atas dasar harga konstan’93 tahun 1996-2000. dari tabel tersebut

menjelaskan bahwa dari tahun 1996 sampai tahun 2000, perolehan PDRB di

Kapet Bima ternyata masih didominasi oleh sektor pertanian, kemudian diikuti

oleh sektor perdagangan hotel restoran dan sektor jasa-jasa, namun kontribusi

sektor pertanian di Kabupaten Bima dan Kota Bima mengalami penurunan

(45.87 % pada tahun 1996 dan 41.97 % tahun 2000) sedangkan sektor lain seperti

perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi

mengalami peningkatan, hal ini disebabkan oleh terus berkembangnya Kota Bima

sebagai daerah perdagangan dan jasa serta sebagai pusat pelayan bagi daerah-

daerah sekitarnya.

Di Kabupaten Dompu, kontribusi sektor pertanian sangat dominan

terhadap total PDRB dan mengalami peningkatan dari 43.43 % pada tahun 1996

meningkat menjadi 46.55 % pada tahun 2000, sedangkan sektor-sektor lain

56

cenderung mengalami penurunan seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran

serta sektor jasa-jasa. Keadaan ini menjelaskan adanya pertumbuhan daerah-

daerah hinterland di Kabupaten Dompu, dimana struktur perekonomian daerah-

daerah tersebut didominasi oleh sektor pertanian.

Tabel 11 Kontribusi Sektor-Sektor Terhadap PDRB Kapet Bima Atas Harga

Dasar Harga Konstan’93 Tahun 1996-2000

No

S e k t o r 1996 1997 1998 1999 2000

Kabupaten Bima dan Kota Bima 1 Pertanian 45.87 44.50 42,26 42,07 41,97 2 Pertambangan dan Energi 2.28 2.45 2,39 2,40 2,50 3 Industri Pengolahan 3.91 3.94 4,30 4,34 4,374 Listrik, Gas, Air Bersih 0.31 0.34 0,42 0,43 0,46 5 Bangunan 6.71 7.17 6,52 6,46 6,64 6 Perdagangan, Hotel, Restoran 15.74 16.11 16,60 16,43 16,42 7 Pengangkutan dan Komunikasi 7.35 8.01 9,75 10,34 10,65 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 2.00 2.21 1,32 1,34 1,35

9 Jasa-Jasa 15.78 15.28 16,45 16,18 15,64Kabupaten Dompu

1 Pertanian 43.43 43.53 43.15 45,61 46,55 2 Pertambangan dan Energi 2.71 2.69 2.46 2,40 2,32 3 Industri Pengolahan 3.73 3.67 4.04 3,92 3,83 4 Listrik, Gas, Air Bersih 0.29 0.28 0.33 0,34 0,36 5 Bangunan 8.11 8.00 7.55 7,17 6,95 6 Perdagangan,Hotel,Restoran 16.23 16.98 15.98 15,29 15,56 7 Pengangkutan dan Komunikasi 4.24 6.01 6.93 7,05 6,94 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 3.16 3.21 2.78 2,48 2,42

9 Jasa-Jasa 16.09 16.63 16.77 15,75 15,06Sumber : Bima dan Dompu Dalam Angka tahun 2001.

Tabel 12 menjelaskan nilai PDRB Kapet Bima Tahun 2003 sedangkan

tabel 13 menjelaskan pembentukan struktur ekonomi di Kapet Bima yang masih

didominasi oleh sektor pertanian yakni 46.31 % terhadap nilai total PDRB sebesar

Rp.1.21 trilyun. Diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar

16.03 % dan sektor jasa-jasa dengan kontribusi sebesar 14.82 %. Sedangkan total

nilai PDRB Kapet Bima adalah Rp.2.61 trilyun. Keadaan ini tidak berbeda jauh

dengan peranan masing-masing sektor ekonomi sebelum dibentuknya Kapet Bima

(sebelum tahun 1999), artinya belum ada perubahan struktur (transformasi)

ekonomi daerah yang siginifikan sejak dibentuknya Kapet Bima.

57

Tabel 12 PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003 Di Kapet Bima

No. Lapangan Usaha (Rp.000)

1 Pertanian 1,209,849,960 2 Pertambangan dan Penggalian 59,235,026 3 Industri Pengolahan 79,691,000 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 9,076,542 5 Bangunan 182,882,966 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 418,847,269 7 Pengangkutan dan Komunikasi 226,700,057 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 38,853,721 9 Jasa-Jasa 387,281,925

Total PDRB 2,612,418,466 Sumber : BPS Propinsi NTB, 2004a

Tabel 13 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003

No. Lapangan Usaha Kab. Dompu

Kab. Bima

Kota Bima

Kapet Bima

1 Pertanian 47.06 52.00 25.39 46.31

2 Pertambangan dan Penggalian 2.04 3.05 0.12 2.27

3 Industri Pengolahan 3.31 2.78 3.38 3.05 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.27 0.22 0.94 0.35 5 Bangunan 7.80 6.58 6.67 7.00

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 17.96 14.57 16.78 16.03

7 Pengangkutan dan Komunikasi 6.91 8.09 14.57 8.68

8 Keu, Persewaan dan Jasa Perushn 2.15 1.02 1.61 1.49

9 Jasa-Jasa 12.50 11.69 30.53 14.82 Total PDRB 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber : BPS Propinsi NTB, 2004a

Peranan tiga sektor yakni pertanian, perdagangan, hotel dan restoran serta

jasa-jasa cukup tinggi terhadap struktur ekonomi di tiga kabupaten/kota di Kapet

Bima. Meskipun demikian masing-masing daerah ini memiliki karakteristik

masing-masing. Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima memiliki struktur

ekonomi yang hampir sama yakni sektor pertanian (primer) memberikan

kontribusi paling tinggi (masing-masing sebesar 47.06 % dan 52.00 %), disusul

perdagangan, hotel dan restoran (tersier) kemudian yang ketiga adalah jasa-jasa

58

(tersier). Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi tinggi terhadap struktur

ekonomi Kota Bima adalah jasa-jasa, kontribusi sektor tersier ini sebesar 30.53 %,

kemudian sektor pertanian (primer) dan perdagangan, hotel dan restoran (tersier),

namun untuk kegiatan sektor sekunder seperti industri pengolahan, aktivitas dan

nilai tambah di semua daerah di Kapet Bima cukup rendah yakni hanya sekitar

tiga persen dari total kegiatan ekonomi.

4.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator keberhasilan

pembangunan suatu daerah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Tabel 14 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 pertumbuhan ekonomi Kabupaten

Bima dan Kota Bima adalah sebesar 7.52 %. Pertumbuhan paling tinggi adalah

pada sektor-sektor tersier, seperti sektor listrik gas dan air bersih, keuangan,

persewaan dan jasa perusahaan, pengangkutan dan komunikasi, perdagangan,

hotel dan restoran, namun pada tahun 1997 sampai tahun 1998, pertumbuhan

ekonomi di Kabupaten Bima dan Kota Bima mengalami kemerosotan, yakni

minus 2.44 %. Demikian juga halnya dengan keadaan ekonomi Kabupaten

Dompu. Pada tahun 1996 pertumbuhan ekonomi mencapai 7.83 % dan pada tahun

1998 penurunan mencapai 1.08 %.

Kemerosotan ekonomi bukan hanya dialami oleh Kapet Bima. PDRB

Propinsi Nusa Tenggara Barat terus tumbuh dan berkembang dengan rata-rata laju

pertumbuhan 7.17 %, namun mengalami penurunan sebesar 5.26 % pada tahun

1997 sedangkan pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi minus 3.07 %.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 menurun dibandingkan tahun-tahun

sebelumnya, karena Indonesia dilanda krisis moneter yang berlanjut kepada krisis

ekonomi. Terjadinya krisis ekonomi juga berdampak pada aktivitas sektor-sektor

produksi.

Pada tahun 1999, yakni setelah Kapet Bima terbentuk. Pertumbuhan

ekonomi di daerah ini mulai membaik kembali. Ekonomi Kabupaten Bima dan

Kota Bima mengalami pertumbuhan sebesar 3.01 % dan pertumbuhan paling

tinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi yakni sebesar 9.28 %.

Sedangkan di Kabupaten Dompu, secara umum pertumbuhannya mencapai

59

7.34 %, keadaan ini karena didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian sebagai

sektor dominan di daerah itu yakni mencapai 13.47 %. Sedangkan pertumbuhan

ekonomi rata-rata di Kapet Bima tahun 2000-2003 adalah sebesar 4.45 %

pertahun di atas pertumbuhan ekonomi propinsi NTB yakni 3.64 % pertahun. Hal

ini ditunjukkan pada tabel 15.

Tabel 14 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan’93

menurut Lapangan Usaha tahun 1996-1999 (persen)

No

S e k t o r 1996 1997 1998 1999Kabupaten Bima 7,52 4,56 -2,44 3,01

1 Pertanian 5,75 5,42 -3,17 2,542 Pertambangan dan Energi 8,90 10,57 -6,96 3,573 Industri Pengolahan 9,37 8,28 1,55 3,954 Listrik, Gas, Air Bersih 14,61 14,51 3,46 6,005 Bangunan 11,00 9,76 -12,11 2,016 Perdagangan, Hotel,Restoran 10,51 9,45 -1,55 2,017 Pengangkutan dan Komunikasi 12.10 11,73 9,30 9,288 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 13,55 13,18 -42,26 4,76

9 Jasa-Jasa 4,13 3,33 1,74 1,36Kabupaten Dompu 7,83 5,34 1,08 7,34

1 Pertanian 6,45 4,41 3,71 13,472 Pertambangan dan Energi 6,34 7,03 -12,91 4,603 Industri Pengolahan 10,45 5,85 0,95 4,134 Listrik, Gas, Air Bersih 10,90 8,85 -1,02 9,065 Bangunan 9,02 4,30 -7,89 1,946 Perdagangan,Hotel,Restoran 11,59 7,83 2,35 2,677 Pengangkutan dan Komunikasi 11,54 4,96 3,82 9,138 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 13,84 6,85 15,92 -4,34

9 Jasa-Jasa 4,50 5,32 2,48 0,80Sumber : Bima dan Dompu Dalam Angka Tahun 2001

Tabel 15 menggambarkan bahwa sektor yang memiliki laju pertumbuhan

paling tinggi di Kabupaten Dompu adalah pengangkutan dan komunikasi yakni

sebesar 8.65 %, Kabupaten Bima dan Kota Bima adalah keuangan, persewaaan

dan jasa perusahaan masing-masing sebesar 7.52 % dan 7.80 %. Sedangkan sektor

yang memiliki laju pertumbuhan paling rendah di Kabupaten Dompu, Bima, dan

Kota Bima adalah sektor jasa-jasa dengan laju pertumbuhan masing-masing

sebesar 2.43 %, 2.16 %, dan 1.76 %.

60

Tabel 15 Laju Pertumbuhan Rata-Rata PDRB Kapet Bima Pertahun Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2003 (Persen)

No. Lapangan Usaha Kab.

Dompu Kab. Bima

Kota Bima

Kapet Bima

1 Pert, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 3.86 4.34 3.87 4.15

2 Pertambangan dan Penggalian 5.52 5.51 6.21 5.52 3 Industri Pengolahan 4.62 4.34 5.54 4.65 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5.29 6.52 5.11 5.66 5 Bangunan 5.59 5.02 5.20 5.22

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7.53 4.54 5.90 5.63

7 Pengangkutan dan Komunikasi 8.65 4.91 6.32 6.09

8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 6.62 7.52 7.80 7.16

9 Jasa-Jasa 2.43 2.16 1.76 2.12 Total PDRB 4.82 4.29 4.34 4.45

Sumber : BPS Propinsi NTB, 2004a

Laju pertumbuhan perekonomian Kapet Bima ikut memberikan dampak

pada pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Laju pertumbuhan PDRB Kapet

Bima pada tahun 2001 adalah 4.51 % sedangkan Propinsi NTB adalah sebesar

3.07 %, dan pada tahun 2003 laju pertumbuhan PDRB Kapet naik menjadi 5.34 %

sehingga dapat mendorong laju pertumbuhan PDRB Propinsi NTB mencapai

4.33 % pada tahun 2003.

Kapet Bima memiliki posisi penting dalam mendorong pertumbuhan

wilayah di Propinsi NTB yakni sebagai pusat pertumbuhan dan prime mover bagi

wilayah lainnya khususnya bagian timur Propinsi NTB (Pulau Sumbawa).

Aktivitas perdagangan sangat tinggi, yang didukung oleh kegiatan pengangkutan

yang cukup memadai, dinamika dan interaksi Kapet Bima dengan daerah lain di

Indonesia baik kawasan timur maupun Kawasan Indonesia Barat berlangsung

cukup baik. Kapet Bima memberikan kontribusi PDRB sebesar 22 % pada tahun

2000, dan pada tahun 2003 memberikan kontribusi sebesar 25 % dari total

PDRB NTB.

61

4.3. Kondisi Fisik Wilayah

4.3.1. Topografi

Kemiringan lahan di Wilayah Kapet Bima terbagi dalam 3 kategori yaitu :

< 15 % sebesar 32.20 %, kemiringan 15 – 40 % sebesar 35.56 % dan di atas 40 %

adalah 32.24 %. Secara rinci Persentase Luas Lahan Berdasarkan Kemiringan

untuk masing-masing wilayah disajikan pada tabel 16.

Tabel 16 Persentase Luas Lahan Berdasarkan Kemiringan

di Wilayah Kapet Bima

Kabupaten/Kota

Tingkat Kemiringan < 15o 15-40 o > 40 o

Kab. Bima 31.91 32.52 35.57

Kota Bima 50.03 37.82 12.15

Kab. Dompu 31.03 41.06 27.90

Kapet Bima 32.20 35.56 32.24 Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa dengan nilai kemiringan yang

beragam tersebut mengindikasikan bahwa Kapet Bima memiliki karakteristik

sebagai wilayah yang berbukit, sehingga menjadi suatu tantangan dalam

mobilitas sumber daya dan pengembangan wilayah. Sedangkan luas Kapet Bima

berdasarkan ketinggian tempat secara rinci disajikan pada tabel 17 berikut.

Tabel 17 Luas Kapet Bima Berdasarkan Ketinggian Tempat Tiap Kabupaten (Satuan Ha)

No. Kabupaten / Kota

Ketinggian Tempat (mdpl) Jumlah0 – 100 100 – 500 500 – 1000 >1000

1 Bima & Kota 117.41 205.75 89.35 47.19 459.69

2 Dompu 56.78 123.02 38.56 14.10 232.46

Total 174.19 328.77 127.90 61.28 692.15

Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

62

Daerah-daerah dengan ketinggian 10-1000 mdpl memiliki potensi sebagai

Kawasan Budidaya, sedangkan daerah dengan ketinggian di atas 1000 mdpl dapat

dipertahankan sebagai Kawasan lindung yakni 61.28 Ha.

4.3.2. Iklim

Menurut Schmith dan Ferguson, Iklim di wilayah Kapet Bima termasuk

iklim tipe D, E dan F, dengan suhu udara di wilayah relatif tinggi yaitu 30-32 0C

pada siang hari.

Tabel 18 Keadaan Iklim Di Wilayah Kapet Bima

No. Uraian Satuan Nilai

1 Suhu Udara 07.00 oC 25.10 13.00 oC 31.90 18.00 oC 26.80 Rata-Rata oC 27.20 Min oC 20.10 Max oC 36.20 2 Curah Hujan mm 83.90 3 Radiasi Matahari % 75.20 4 Keadaan Lembab Nisbi 07.00 (RH %) 86.00

13.00 (RH %) 57.00 18.00 (RH %) 79.00 Rata-Rata (RH %) 77.00

Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Tabel 18 memberikan gambaran bahwa rata-rata suhu udara adalah

27.20 0C, dengan kisaran 20.10 0C sampai dengan 36.20 0C sedangkan rata-rata

curah hujan di Kapet Bima adalah rata-rata 83.9 mm/bulan dengan 13 hari hujan

perbulan.

4.3.3. Hidrologi

Kabupaten Bima dan Kota Bima dialiri sungai besar dan kecil sebanyak

26 buah dengan panjang 5-95 Km dan sudah dimanfaatkan untuk irigasi pertanian.

Di Kabupaten Dompu terdapat 18 buah sungai dengan sungai Baka dan sungai

Laju merupakan sungai besar yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk

kegiatan pertanian (BP Kapet Bima 2004).

63

Daerah Kabupaten Bima dan Kota Bima memiliki drainase cukup baik,

yakni dengan luas lahan yang tidak tergenang 1.085 ha atau

(91,7 %) sedangkan areal tergenang terus menerus seluas 98 ha (8,3 %) dan

lokasinya tersebar. Sedangkan daerah Kabupaten Dompu seluas 98,65%

(229.312 ha) tidak tergenang air dan yang tergenang secara periodik hanya seluas

1.35 % atau 3.019 ha (BP Kapet Bima 2004).

4.3.4. Geologi

Berdasarkan Peta Geologi Pulau Sumbawa skala 1 : 250.000, Kabupaten

Bima dan Kota Bima tersusun atas kelompok batuan endapan permukaan (seperti

krikil, pasir, lempung dan andesit, batuan gunung api muda dan tua, batuan

endapan dan batuan terobosan). Tingkat erosi tanah di Kabupaten Bima dan Kota

Bima relatif tinggi yaitu sebesar 91,34% (418.89 ha).

Kabupaten Dompu tersusun dari batuan hasil gunung api lebih tua, tua,

muda, batuan endapan permukaan, lempeng tufan dan terumbu karang. Sedangkan

tanah yang peka erosi di Kabupaten Dompu sebesar 62,10% (114.34 Ha).

4.3.5. Tanah

Jenis tanah di wilayah Kapet Bima pada umumnya terdiri dari jenis

aluvial, Komplek Regusol, Litosol dan Komplek Mediteran. Sedangkan tekstur

tanah dikelompokkan atas tekstur kasar (pasir lempung berdebu, dan pasir

berdebu), tekstur sedang (lempung berdebu dan lempung liat berpasir) dan tekstur

halus (liat, liat berlempung, liat berpasir dan lempung liat berpasir). Tekstur

sedang memiliki daerah penyebaran yang paling luas yaitu mencapai 77,81 %,

tekstur halus hanya 0,93 % dan sisanya tekstur kasar seluas 21,26%

(BP Kapet Bima 2004).

4.4. Pola Penggunaan Lahan

Pola penggunaan lahan di wilayah Kapet Bima cukup beragam, namun

penggunaan untuk hutan adalah yang paling dominan, yakni meliputi Hutan

Rakyat 54.39 Ha (7.86 %) dan Hutan Negara 386,25 Ha (55.80 %). Pada tabel 19

dijelaskan bahwa sawah beririgasi hanya 36,823 Ha (5.32 %) sedangkan sisanya

64

berupa lahan kering, baik untuk jenis penggunaan padang rumput (3.59 %),

perkebunan (1.93 %), tegalan (7.08 %), ladang (1.34 %) maupun yang belum

diusahakan (3.63 %). Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa ketersediaan lahan

kering yang cukup besar di Kapet Bima (38.40 % atau seluas 94.68 % jika

termasuk hutan negara) menjadi permasalahan dalam pengembangan usaha tani

lahan basah, namun menjadi keunggulan komparatif tersendiri untuk

pengembangan agrobisnis dan agroindustri yang berbasis komoditi lahan kering

(palawija, peternakan, perkebunan dan kehutanan serta kegiatan industri).

Tabel 19 Jenis Penggunaan Lahan Di Wilayah Kapet Bima

Jenis Penggunaan Lahan Luas

(Ha) (%) Tanah Sementara Tidak Diusahakan 25,083 3.62 Kolam/empang/rawa 68 0.01 Hutan Rakyat 54,389 7.85 Hutan Negara 386,242 55.80 Padang Rumput 24,902 3.60

Perkebunan 13,331 1.92 Perumahan 6,377 0.92 Sawah irigasi 1 x panen 16,297 2.35 Sawah irigasi 2 x panen 20,526 2.96 Sawah tadah hujan 6,601 0.95 Tambak 3,054 0.44 Tegalan 48,984 7.07 Ladang/huma 9,238 1.33 Lainnya 77,053 11.13 Total 692,145 100,00

Sumber : BP Kapet Bima, 2004

4.5. Potensi Pengembangan Wilayah

Kapet Bima memiliki ragam sumber daya, baik ketersediaan sumber daya

alamnya seperti potensi pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan

dan kehutanan, perikanan dan peternakan, serta potensi tambang dan galian.

Selain itu juga didukung potensi sumber daya manusia, sosial dan budaya, serta

65

infrastruktur yang meliputi infrastruktur industri perdagangan, utilitas wilayah,

serta perhubungan.

4.5.1. Komoditi Pertanian

Sebagai daerah yang memiliki karakteristik agraris, maka aktivitas

pertanian dalam arti umum masih memberikan kontribusi besar dalam

perekonomian Kapet Bima. Usaha tani tersebut meliputi subsektor padi dan

palawija (7 komoditas), sayuran (15 komoditas), buah-buahan (16 komoditas),

perkebunan (15 komoditas), peternakan (13 komoditas) dan perikanan

(56 komoditas).

Tabel 20 Komoditas Pertanian Dominan di Kapet Bima

No. Komoditi Kapet Bima % Kapet Thdp NTB

A. Padi & Palawija Ha Ton Ha Ton

1. Padi 88,872.00 369,538.00 27.26 25.19

2. Kacang Tanah 14,945.00 18,198.00 36.43 36.97

3. Kacang Kedelai 36,952.00 44,172.00 48.84 48.28

B. Sayur-Sayuran Ha Ton Ha Ton

1. Bawang Merah 6,859.00 62,441.00 71.73 80.84

C. Buah-buahan Pohon Ton Pohon Ton

1. Sirsak/srikaya 290,715.00 30,593.00 71.13 88.00

2. Pepaya 120,599.00 4,343.00 54.28 45.49

3. Nangka 93,122.00 40,366.00 19.36 35.19

D. Perkebunan Ha Ton Ha Ton

1. Kopi 2,897.40 1,464.13 23.24 32.50

2. Jambu Mete 17,427.50 4,827.41 31.88 38.77

3. Asam 1,467.90 2,001.53 49.64 56.84

4. Kemiri 2,178.50 1,258.07 68.13 79.00

5. Wijen 1,056.10 381.03 86.77 50.24

6. Jarak 1,821.81 669.89 85.32 88.40 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

66

Dari tabel 20 diketahui bahwa terdapat beberapa komoditi dominan yang

diusahakan di Kapet Bima dengan nilai produksi > 300 ton atau pengusahaan

> 1,000 Ha serta memberikan kontribusi yang tinggi terhadap nilai produksi

pertanian di Propinsi Nusa Tenggara Barat (>25 %) . Adapun komoditi dominan

yang dimaksud adalah :

- Padi dan palawija : padi, kacang tanah dan kacang kedelai

- Sayur-sayuran : Bawang Merah

- Buah-buahan : Sirsak/srikaya, papaya dan nangka

- Perkebunan : Kopi, jambu mete, asam, kemiri, wijen dan jarak

Diantara komoditas dominan tersebut, yang memberikan kontribusi yang

paling tinggi terhadap produksi pertanian di Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah:

- Padi dan palawija : Kacang Kedelai (48,28 %)

- Sayur-Sayuran : Bawang Merah (80.84 %)

- Buah-buahan : Sirsak/srikaya (88.00 %)

- Perkebunan : Jarak (88.40 %)

Pada Subsektor peternakan, komoditas dominan yang diusahakan di Kapet

Bima dengan nilai pengusahaan > 10,000 ekor dan tingkat kontribusi

> 20 % terhadap produksi atau nilai populasi ternak di Propinsi Nusa Tenggara

Barat dapat dilihat pada tabel 21.

Tabel 21 Komoditas Peternakan Dominan Di Kapet Bima

No. Jenis Ternak Kapet Bima (Ekor) % Kapet Thdp NTB

1 Kuda 16,777 22.07

2 Sapi 105,442 24.75

3 Kerbau 44,443 28.35

4 Kambing 69,242 23.06 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Dari tabel 20 di atas terlihat bahwa terdapat 4 jenis ternak yang merupakan

komoditas dominan yakni : kuda, sapi, kerbau dan kambing. Komoditi dominan

yang memiliki jumlah populasi paling banyak adalah jenis ternak sapi

(105,442 ekor) sedangkan yang memberikan kontribusi yang paling besar

67

terhadap nilai produksi atau populasi ternak di Propinsi Nusa Tenggara Barat

adalah kerbau (28.35 %).

Salah satu aktivitas usaha yang paling dominan di Kapet Bima adalah di

subsektor perikanan. Kegiatan itu meliputi perikanan laut yakni berupa usaha

penangkapan, budidaya mutiara dan kerapu, sedangkan pada usaha perikanan

darat adalah kegiatan budidaya air payau.

Tabel 22 Usaha Perikanan Dominan Di Kapet Bima

No. Komoditi Produksi (Ton) % Kapet Thdp NTB

1. Ikan Laut Tangkapan 29,453.00 35.00

2. Biji Mutiara 0.50 42.00

3. Kerapu 62.20 32.00

4. Budidaya Air Payau 5,359.30 53.00 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Dari tabel 22 menjelaskan bahwa beberapa kegiatan yang memberikan

kontribusi paling besar terhadap nilai produksi usaha perikanan di Propinsi Nusa

Tenggara Barat adalah budidaya mutiara (42 %) untuk usaha perikanan laut, dan

budidaya air payau (53 %) untuk usaha perikanan darat.

Sumber daya perikanan laut di Kapet Bima terdiri dari 56 jenis komoditi,

namun yang memiliki produksi > 50 ton dan memberikan kontribusi > 30 %

terhadap produksi Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah 26 komoditas. Adapun

komoditi perikanan laut dominan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 23.

Dari 26 komoditas perikanan laut dominan di atas, maka yang memiliki

produksi tertinggi adalah peperek (2,246.20 ton), kembung (2,418.40 ton), Sunglir

(2,932.20 ton), teri (2,963.40), Lemuru (3,978.10 ton) dan Layang (4,270.30).

Sedangkan yang memberikan kontribusi terhadap produksi perikanan laut

Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah komoditi Beloso (89.31 %), udang dogol

(89.54 %), rajungan kepiting (85.45 %), rumput laut (89.47 %), dan ikan sunglir

(89.98 %).

Potensi berbagai komoditas pertanian di atas cukup tinggi dan diusahakan

oleh sebagian besar masyarakat di Kapet Bima, namun pengelolaannya masih

68

sederhana dan bersifat tradisional padahal di sisi lain kegiatan perikanan ini dapat

mendorong perkembangan hotel dan restoran, kepariwisataan, serta industri

pengolahan ikan. Disamping itu komoditi udang, kepiting dan rumput laut adalah

komoditi yang memiliki keunggulan komparatif serta bernilai jual tinggi untuk

kegiatan eksport.

Tabel 23 Komoditi Perikanan Laut Dominan Di Kapet Bima

No. Jenis Komoditi Kapet Bima (Ton) % Kapet Thdp NTB

1. Udang Lainnya 52.70 32.55 2. Udang Putih 63.20 52.89 3. Kepiting 90.10 56.95 4. Udang Windu 105.30 64.88 5. Beloso 117.00 89.31 6. Udang Dogol 117.30 89.54 7. Rajungan Kepiting 143.30 85.45 8. Sotong 146.30 50.92 9. Belanak 171.20 34.59 10. Gulamah 175.90 50.00 11. Cumi-Cumi 179.30 32.75 12. Tuna 193.70 35.36 13. Rumput Laut 219.20 89.47 14. Ikan Terbang 264.40 53.79 15. Kurisi 343.50 34.45 16. Merah Bambangan 365.70 39.92 17. Cakalang 712.40 28.01 18. Layur 808.20 63.73 19. Selar 1,099.50 45.54 20. Tembang 1,851.20 40.46 21. Peperek 2,246.20 42.50 22. Kembung 2,418.40 50.24 23. Sunglir 2,932.20 83.98 24. Teri 2,963.40 51.66 25. Lemuru 3,978.10 59.47 26. Layang 4,270.30 72.91

Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

69

4.5.2. Pertambangan dan Galian

Potensi bahan galian di Kapet Bima cukup beragam, yang terdiri dari

empat komoditi bahan galian B yakni belerang, emas, pasir besi dan perak, serta

enam komoditi bahan galian golongan C. Adapun sebaran potensi bahan galian

golongan B dan C dapat dilihat pada tabel 24 dan tabel 25.

Tabel 24 Potensi Bahan Galian Golongan B di Kapet Bima (Ton)

No. Jenis Galian Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima

1 Belerang 183.90 - - 183.90

2 Emas - 0.39 - 0.39

3 Pasir Besi 2,745,400.00 17,218.83 - 2,762,618.83

4 Perak - 3.90 - 3.90 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Dari tabel 24 terlihat bahwa pasir besi memiliki nilai ketersediaan yang

sangat besar yakni 2,76 juta ton yang tersebar di dua kabupaten, yakni Kabupaten

Bima sebanyak 17,21 ribu ton dan yang terbanyak di Kabupaten Dompu sebanyak

2.75 juta ton.

Tabel 25 Potensi Bahan Galian Golongan C (m3)

No. Jenis Galian Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima

1 Batu Bangunan 9,605,177.71 49,555,888.03 2,148,094.00 61,309,159.74

2 Pasir - 1,000.00 - 1,000.00

3 Sirtu Pasir & Kerikil 1,065,953.00 132,198.00 68,000.00 1,266,151.00

4 Batu Kapur 2,074.00 3,671,511.98 - 3,673,585.98

5 Tanah Liat 858,782.33 3,977,364.50 4,645,000.00 9,481,146.83

6 Marmer - 62,270,163.00 95,999,500.00 158,269,663.00 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Potensi bahan galian golongan C tersebar hampir merata di tiga

Kabupaten/Kota yang ada di Kapet Bima, dan yang paling besar ketersediaannya

adalah marmer sebanyak 156.27 juta m3, dengan rincian 62.27 juta m3 di

70

Kabupaten Bima dan 96 juta m3 di Kota Bima. Potensi bahan galian golongan B

di Kapet Bima pada umumnya pengelolaannya masih berstatus eksploratif.

Sedangkan bahan galian golongan C pada umumnya sudah diusahakan dan

dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat dan pemerintah, baik untuk

berbagai macam penggunaan terutama untuk perumahan dan bangunan lainnya.

4.5.3. Panorama Alam dan Potensi Pariwisata

Kapet Bima merupakan salah satu daerah transit wisata yang belum

dioptimalkan potensinya. Terdapat banyak panorama alam dan objek wisata yang

tersebar diseluruh wilayah yang meliputi wisata alam, wisata budaya, wisata

pantai, dan laut.

Tabel 26 Sebaran Objek Wisata dan Panorama Alam

di Kapet Bima

No. Nama Jenis Obyek Wisata Lokasi

1 Pulau Nisa sura Wisata Alam / Bahari Langgudu

2 Pantai Wane Wisata Alam / Bahari Monta

3 Pantai Lere Wisata Alam / Bahari Monta

4 Pantai Mrada Wisata Alam / Bahari Monta

5 Pantai Papa Wisata Alam / Bahari Lambu

6 Pantai Lambu Wisata Alam / Bahari Lambu

7 Pantai Nisa Nae Wisata Alam / Bahari Sape

8 Pantai Lamere Wisata Alam / Bahari Sape

9 Pantai Kelapa Wisata Alam / Bahari Sape

10 Pantai So See Wisata Alam / Bahari Sape

11 Pantai Matamboko Wisata Alam / Bahari Sape

12 Taman Laut Bajo Pulo Wisata Alam / Bahari Sape

13 Taman Laut Torowamba Wisata Alam / Bahari Sape

14 Gua Anak Fari Wisata Alam/laut Sape

15 Pesanggrahan Sape Wisata budaya Sape

16 Dam Sumi (Dimu Woro) Wisata alam Lambu

17 Taman Rekreasi (Oi Wobo) Wisata alam Wawo

18 Lengge Maria Wisata budaya Wawo

19 Rumah Adat Sambori Wisata budaya Wawo

71

No. Nama Jenis Obyek Wisata Lokasi

20 Pesanggrahan Wawo Wisata budaya Wawo

21 Rumah Adat Mbawa Wisata budaya Donggo

23 Wadu Pa’a Situs budaya Donggo

24 Pesanggrahan Donggo Situs Budaya Donggo

25 Karombo Wera Wisata budaya Wera

26 Pulau Sangiang Situs budaya Wera 27 Pantai Oi Fanda Wisata Alam/laut Wera

28 Pantai Nangaraba Wisata Alam / Bahari Wera

29 Pulau Ular Wisata Alam / Bahari Wera

30 Mada Oi Pangga Wisata alam Madapangga 31 Air terjun Sori Panihi Wisata alam Tambora 32 Mata air Tampuro Wisata alam Sanggar 32 Mata air Tampuro Wisata alam Sanggar 33 Puncak gunung Tambora Wisata alam Tambora

34 Kebun kopi Wisata alam Tambora

35 Pantai Lawata Wisata Alam / Bahari Teluk Bima

36 Pantai Ule Wisata Alam / Bahari Asakota 37 Pantai Kolo Wisata Alam / Bahari Asakota 38 Pulau Kambing Wisata Alam / Bahari Teluk Bima

39 Benteng Asakota. Wisata Budaya Asakota

40 Istana Kesultanan Bima Wisata Budaya Rasanae Barat

41 Bukit dantraha (komplek makam kesultanan Bima) Wisata Budaya Rasanae Barat

42 Pantai Labuhan Kananga Wisata Alam / Bahari Tambora

43 Pantai Hu'u Wisata Alam / Bahari Hu’u

44 Pantai Lakey di Teluk Cempi Wisata Bahari/Surfing Hu’u

45 Pantai Riwo Wisata Alam / Bahari Woja

46 Pantai Hodo Wisata Tirta/Bahari Kempo

47 Pantai Ria Wisata alam/bahari Woja

48 Pulau Satonda dan Sekitarnya Wisata alam/bahari Pekat/Tambora

49 Gili Nae (Nisa Panihi) Wisata alam/bahari Kempo

50 Gili Bajo Wisata alam/bahari Kempo

51 Gili Macangkir Wisata alam/bahari Kempo

52 Gili Torobero Wisata alam/bahari Kempo

53 Gili Sapeno Wisata alam/bahari Kempo

54 Gili Saroko Wisata alam/bahari Kempo Sumber : Dari Berbagai Data Sekunder.

72

Dari tabel 26 diketahui bahwa di Kapet Bima teridentifikasi sedikitnya 54

obyek wisata dan panorama alam yang memiliki karakteristik dan keunikan

masing-masing dan tersebar hampir merata diseluruh wilayah Kapet Bima, mulai

dari ujung timur Kecamatan Sape dan Lambu sampai ujung barat wilayah Kapet

Bima yakni Kecamatan Tambora dan Pekat, namun obyek wisata dan panorama

alam tersebut umumnya belum dikelola dengan baik dan professional sebagai

suatu potensi ekologi, ekonomi dan sosial wilayah yang bernilai tinggi.

4.5.4. Sumber Daya Hayati

Kapet Bima memiliki karakteristik wilayah yang relatif beragam.

Wilayahnya berbukit-bukit namun juga merupakan daerah pesisir yang dikelilingi

lautan, sedangkan dibeberapa tempat terdapat hutan belukar serta hamparan

rumput dan ilalang. Di dalam wilayah tersebut terdapat kekayaan sumber daya

hayati.

Sumber daya hayati yang cukup terkenal dari Kapet Bima adalah madu

merah dan madu kristal. Madu memiliki kalori tinggi dan kaya khasiatnya sebagai

suplemen energi dan obat berbagai penyakit. Sumber penghasil madu di wilayah

Kapet Bima ada di beberapa tempat, namun yang terkenal adalah di Kawasan

Gunung Tambora (2.851 mdpl), tepatnya di Desa Piong Kecamatan Sanggar. Di

sekitar gunung yang pernah meletus Tahun 1815 itu terdapat kawasan hutan

seluas 122,600 Ha, tumbuh pepohonan sebagai sumber nektar madu dan koloni

lebah madu berkembang biak.

Madu kristal (madu putih) yang juga merupakan madu hutan liar (tidak

dibudidayakan) mengandung 100 kali serbuk sari dibandingkan madu merah,

terdapat di lereng Gunung Tambora pada ketinggian 900-2000 mdpl,

terkonsentrasi di areal seluas 15,000 Ha. Di lokasi tersebut tumbuh “taride bura”

(tumbuhan liar berbunga putih) atau Moschosma Polystachlyum yang diduga

sebagai nektar sehingga menjadi sebab mengkristalnya madu tersebut, namun

anggapan tersebut diragukan oleh para peneliti LIPI.

Menurut Soenarto Adisoemarto dan Anita Hanna Atmowidjojo (Peneliti

LIPI yang menjelajah kawasan Tambora 16 September-1 Oktober 1986) bahwa

kristalisasi madu tersebut masih dianggap misteri dan langka karena jenis

73

tumbuhan yang termasuk suku labitae tersebut ada juga di daerah lain, seperti di

pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTB, NTT dan daerah lainnya, namun madu

kristal itu tidak ada di daerah-daerah lain selain di Lereng Gunung Tambora

(Hamzah, 2004).

Selain madu, masih banyak sumber daya hayati yang terdapat di Kapet

Bima diantaranya adalah sebagai berikut (Hamzah, 2004) :

- Susu kuda liar, dapat menyembuhkan kanker, tumor dan liver.

- Jamblang (duwe), dapat membantu memperbaiki gangguan pencernaan dan

menurunlan kadar glukosa darah

- Delima (talima), dapat membantu menghentikan pendarahan dan anti virus.

- Mahkota dewa, dapat membantu menghilangkan gatal dan anti kanker.

- Patah Tulang (bake tula), dapat membantu menyembuhkan rematik dan nyeri

saraf.

- Sesuru, dapat berfungsi sebagai anti radang dan sesak napas.

- Tapak liman, dapat berfungsi sebagai antibiotik dan penawar racun

- Tasbeh, dapat membantu menyembuhkan demam dan hipertensi.

4.5.5. Sumber Daya Manusia, Sosial dan Budaya

a. Komposisi Penduduk, Pendidikan dan Lapangan Usaha

Pesatnya pertumbuhan dan kepadatan penduduk jika tidak diimbangi

dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta lapangan pekerjaan yang

cukup, malah menjadi suatu permasalahan besar dalam pengembangan suatu

wilayah, baik aspek sosial ekonomi dan politik. Berbagai permasalahan yang

dapat ditimbulkannya antara lain rendahnya tingkat produktifitas dan pendapatan

baik secara total maupun perkapita, tingkat pengangguran dan kemiskinan yang

tinggi, kriminalitas dan beban sosial lainnya dapat menjadi semakin besar.

Jumlah penduduk di wilayah Kapet Bima pada tahun 2001 adalah

694.362 jiwa dengan rincian di Kabupaten Bima 396.626 jiwa, di Kabupaten

Dompu 184.846 jiwa dan Kota Bima 112.890 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk

tahun 1990-2000 rata-rata 1,78 % pertahun dimana Kabupaten/Kota Bima tumbuh

1,24 % per tahun, Kabupaten Dompu banyak menerima transmigran tumbuhnya

2,31 % pertahun.

74

Penyebaran penduduk tidak merata dan konsentrasinya relatif tinggi pada

kecamatan-kecamatan yang berada dilintasan jalan negara yaitu Kecamatan Woja,

Dompu, Bolo, Woha, Belo, RasanaE Barat, RasanaE Timur, Wawo Utara dan

Sape. Kepadatan penduduk Kapet Bima rata-rata 100,32 jiwa/Km2 dengan

kepadatan di Kabupaten Bima 90,66 jiwa/Km2, Kabupaten Dompu

79,51 jiwa/ Km2 dan Kota Bima 507,94 jiwa/ Km2.

Kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Bima yaitu 7 jiwa/Km2

berada di Kecamatan Tambora yang merupakan Kecamatan terluas kedua setelah

Kecamatan Sanggar yaitu 505,00 Km2. Kondisi yang relatif sama di Kabupaten

Dompu terdapat di Kecamatan Pekat yaitu kepadatan 27 jiwa/Km2 dengan luas

875,17 Km2 (kecamatan terluas). Penduduk terpadat di Kabupaten Bima yaitu

sebesar 510 jiwa/Km2 terdapat di Kecamatan Woha dengan luas 75,25 Km2 dan

untuk Kabupaten Dompu terdapat di Kecamatan Dompu dengan kepadatan 166

jiwa/Km2 dengan luas wilayahnya 223,27 Km2 . Sementara itu kepadatan

penduduk di Kota Bima, memiliki kepadatan penduduk diatas rata-rata kepadatan

penduduk Kapet Bima yakni terbanyak di Kecamatan Rasanae Barat sebesar

603 jiwa/Km2 (luas 103,38 Km2) dan terjarang 425 jiwa/Km2 (luas 118,87 Km2)

di Kecamatan Rasanae Timur .

Struktur umur penduduk Kapet Bima di Kabupaten Bima, Dompu dan

Kota Bima relatif sama. Diawal pembentukan Kapet Bima, penduduk usia 0 – 14

Tahun rata-rata terbanyak 54,70 %, usia produktif 15 – 64 Tahun sebesar 41,55%

dan usia di atas 65 Tahun sebesar 3,75%, namun berdasarkan Data Susenas NTB,

struktur umur penduduk Kapet Bima mengalami perubahan. Pada tahun 2004

diketahui bahwa persentase penduduk menurut kelompok umur didominasi oleh

kelompok usia produktif (penduduk berumur 15-64 tahun) yakni 59.21 %, namun

angka ini berada dibawah rata-rata NTB yakni 62.58 %. Keadaan ini

menggambarkan keberhasilan program kependudukan (keluarga berencana) yang

didukung oleh tingkat kesadaran dan pendidikan serta kesejahteraan

masyarakatnya yang semakin baik.

75

Tabel 27 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kapet Bima

Kelompok Umur Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima NTB

0-14 37.56 37.06 30.97 36.20 33.20

15-64 58.98 57.89 64.13 59.21 62.58 65+ 3.46 5.05 4.89 4.59 4.22

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber : Susenas NTB, 2004

Tabel 27 menggambarkan komposisi penduduk berdasarkan kelompok

umur. Kelompok umur 0-14 tahun di Kapet Bima yakni sebesar 36.20 %. Pada

kelompok umur ini Kota Bima memiliki persentase paling rendah yakni 30.97 %

dan memiliki persentase paling tinggi pada kelompok umur 15-64 tahun yakni

54.13 %. Untuk kelompok umur 65+ tahun, Kabupaten Dompu memiliki

persentase paling rendah, yakni 3.46 % dan angka ini berada dibawah rata-rata

Kapet Bima sebesar 4.59 %.

Tabel 28 Persentase Penduduk Berumur 5-24 Tahun Menurut

Partisipasi Sekolah Di Kapet Bima

Partisipasi Sekolah

Kabupaten Dompu

Kabupaten Bima

Kota Bima

Kapet Bima NTB

Tdk/Belum Pernah Sekolah 8.38 10.42 5.65 9.11 10.57

Masih Sekolah 65.15 62.05 67.03 63.68 57.41

Tidak Sekolah Lagi 26.47 27.54 27.42 27.23 32.02

Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber : Susenas NTB, 2004

Tabel 28 menggambarkan tingkat partisipasi sekolah di Kapet Bima.

Penduduk berumur 5-24 tahun yang tidak/belum pernah sekolah adalah sebanyak

9.11 %, sementara di Kota Bima jauh lebih rendah lagi yakni 5.65 %. Yang masih

sekolah 63.68 %, sementara di Kota Bima lebih tinggi lagi yakni 67.03 %

demikian juga Kabupaten Dompu yakni 65.15 %. Sedangkan penduduk yang

tidak sekolah lagi adalah sebanyak 27.23 %. Tingkat partisipasi sekolah di Kapet

Bima lebih baik jika dibandingkan angka partisipasi sekolah Propinsi NTB.

76

Penduduk Propinsi NTB berumur 5-24 tahun, yang tidak/belum pernah sekolah

adalah sebanyak 10.57 %, yang masih sekolah 57.41 %, Sedangkan penduduk

yang tidak sekolah lagi adalah sebanyak 32.02 %.

Tabel 29 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan

Tertinggi Yang Di Tamatkan Di Kapet Bima

Tk. Pendidikan Dompu Bima Kota Bima

Kapet Bima NTB

Tdk/Blm Pernah Sklh 12.68 13.98 11.55 12.74 19.82 Tdk/Blm Tamat SD 27.82 29.71 17.79 25.11 25.36 SD 22.43 26.29 20.69 23.14 26.36 SMP 16.35 13.06 18.27 15.89 13.55 SMU 16.74 15.07 26.03 19.28 12.23 Diploma 1.69 0.98 2.65 1.77 1.11 PT 2.29 0.91 3.02 2.07 1.57 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber : Susenas NTB, 2004

Tabel 29 menggambar struktur penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

penduduk berumur 10 tahun ke atas. Tingkat pendidikan adalah salah satu

indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas manusia di suatu wilayah.

Secara umum penduduk yang mencapai tingkat pendidikan SMP keatas baru

mencapai 39.02 %. Angka ini di atas rata-rata NTB yang baru mencapai 28.46 %.

Angka ini juga berkorelasi dengan terus tumbuhnya sekolah dan perguruan tinggi

di Kapet Bima khususnya di Kota Bima. Output dari sekolah dan perguruan tinggi

ini akan menghasilkan penduduk yang memiliki tingkat intelektual dan skill yang

relatif lebih tinggi pula, jika didukung oleh fasilitas, kurikulum dan kultur

akademik yang baik.

Karakteristik Kapet Bima sebagai daerah agraris sangat mempengaruhi

aktivitas usaha kehidupan masyarakatnya, hal ini diketahui dari tabel 30 yang

menginformasikan bahwa sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian

utama bagi masyarakat di Kapet Bima yakni sebanyak 53.51 %. Sedangkan

aktivitas masyarakat di sektor industri masih sangat minim yakni baru 4.95 %,

keadaan ini masih lebih rendah jika dibandingkan daerah lain di NTB yakni

dengan rata-rata 10.40 %, namun jika dibandingkan dengan data di awal

pembentukan Kapet Bima, pada tahun 1998 jumlah penduduk yang bekerja di

sektor pertanian mencapai 71.47 %, sedangkan sektor industri sebanyak 5.22 %

77

dan perdagangan adalah sebanyak 10.23 %. Sedangkan jasa adalah sebesar

7.31 %. Fenomena ini menjelaskan adanya transformasi ekonomi di Kapet Bima

yang ditunjukkan dengan perubahan struktur tenaga kerja dari sektor pertanian

(primer) ke sektor sekunder dan tersier.

Tabel 30 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama di Kapet Bima

Lapangan Usaha Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima NTB

Pertanian 63.83 71.83 24.86 53.51 50.92

Industri 2.21 3.03 9.60 4.95 10.40

Perdagangan 12.84 1.14 23.91 15.96 15.62

Jasa 11.66 6.06 26.61 14.78 10.87

Lainnya 9.46 7.94 15.02 10.81 12.19

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber : Susenas NTB, 2004

Di sektor perdagangan dan jasa, persentase penduduk Kapet Bima yang

bekerja adalah 30.74 %, dan khusus Kota Bima malah mencapai 50.52 %, jauh

lebih tinggi dari wilayah lain di NTB yakni dengan rata-rata 26.49 %. Dari

struktur penduduk di atas diketahui bahwa Kabupaten Dompu dan Kabupaten

Bima memiliki kecenderung penduduknya bekerja di sektor pertanian yang

didukung oleh aktivitas penduduk di Kota Bima dominan bekerja di sektor

industri, perdagangan dan jasa.

Kegiatan industri, perdagangan dan jasa jika memiliki keterkaitan sektoral

dengan aktivitas pertanian maka akan dapat memberikan nilai tambah (value

added) terhadap produk-produk pertanian, sehingga pada akhirnya nilai tambah

tersebut secara signifikan akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

masyarakat dalam Kapet Bima.

b. Kearifan Nilai Budaya Dalam Pembangunan Wilayah

Koentjaraningrat (1992) mengemukakan bahwa konsep budaya dan

kebudayaan itu sangat luas, meliputi seluruh pikiran, karya dan hasil karya

manusia yang tidak bersifat naluri, tetapi yang dicetuskan oleh manusia setelah

78

melalui proses belajar yang melahirkan unsur-unsur universal sebagai isi dari

semua kebudayaan di dunia. Secara garis besarnya dapat dibagi dalam tujuh

unsur, yaitu : (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi

kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata

pencaharian dan kebutuhan hidup; (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya

ketujuh unsur universal ini dapat di rangkum ke dalam tiga wujud, yakni :

(1) keseluruhan ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan;

(2) keseluruhan aktivitas tingkah laku manusia sosial yang berpola;

(3) keseluruhan hasil karya manusia. Gambar 3 merupakan salah satu wujud

kebudayaan masyarakat Kapet Bima berupa pakaian tradisional yang bahannya

memanfaatkan sumber daya lokal dan selaras dengan nilai religi Islam yang dianut

masyarakat setempat.

Nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat dapat

diaktualisasikan sebagai spirit dan bagian dari suatu komponen sumber daya

dalam pembangunan daerah dan wilayah. Menurut Syamsudin (1999), Manusia

menciptakan dan membutuhkan budaya bagi kesejahteraan hidupnya dan mereka

memiliki potensi untuk dapat melaksanakannya, karena hanya masyarakat

manusia sajalah yang mampu meracang dan memiliki pranata (institusi) budaya

dan merealisasikannya dengan memperhatikan banyak hal termasuk situasi dan

kondisi yang dihadapi.

Gambar 3 Salah Satu Bentuk Pakaian Tradisional di Kapet Bima

79

Berikut ini beberapa potensi nilai budaya masyarakat yang dapat menjadi

determinan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, antara lain sebagai

berikut :

1). Kriteria Pemimpin : “Nggusu Waru” (Oktagonal/Delapan Sisi)

Terdapat delapan kriteria kepemimpinan yang hendaknya ada dalam diri

setiap masyarakat Bima. Menurut Mochtar (1999) delapan kriteria kepemimpinan

ini telah disampaikan dalam bentuk suatu nasehat luhur baik untuk kalangan atas

(bangsawan) maupun kepada masyarakat awam yang disampaikan oleh para

ulama, inang pengasuh, dan orang-orang tua, tersirat dalam pelaksanaan adat dan

peringatan hari besar islam maupun pada saat upacara perkawinan dan khitanan.

Adapun kriteria kepemimpinan nggusu waru tersebut adalah sebagai

berikut :

- Ma to’a di ruma labo rasul (yang taat kepada Allah dan Rasul)

- Ma loa ra bade (yang cerdas dan berpengetahuan luas)

- Ma ntiri nggahi ra kalampa (yang jujur dalam berbicara dan berbuat)

- Ma poda nggahi ra paresa (yang menegakkan kebenaran)

- Ma mbani ra disa (yang gagah berani)

- Ma tenggo ra wale (yang kuat dan gigih berjuang)

- Ma bisa ra guna (yang sakti/berwibawa/berkharismatik dan berdaya guna untuk

negerinya)

- Londo dou taho (dari keturunan/lingkungan baik)

2). Jiwa Kepemimpinan : “Katohompara Wekiku Sura Dou Mori Na Labo

dana” (Tidak Peduli Untuk Diriku, Asalkan Untuk Rakyat dan Negara)

Menurut Tajib (1999) kalimat itu disebut epilogi yang diucapkan sejak

Bima mengenal sistem pemerintahan berbentuk kerajaan. Calon raja atau setiap

pemimpin sebelum dilantik mengucapkan kalimat epilogi itu sebagai tanggapan

atas usulan, peringatan dan bahkan ancaman yang disampaikan pejabat atau

komponen kerajaan dan disaksikan oleh rakyat umum, dengan naskah lengkapnya

sebagai berikut :

Karentaku ba reraku di dou ma labo dana,

Indokapo ra’a saciri ma kamorina weki,

Saraka nu’u mancuri kantuwu.

80

Na su’u sawaleku ra kalampa sara,

Ba dei ru’u taho ra ncihi kai dana ro rasa,

Katohompara wekiku sura dou mori na labo dana

Aku ikrarkan dengan lidahku kepadamu rakyat dan negeri,

Adapun darah setetes menghidupkan diriku,

Sampai kepada anak cucu.

Mereka akan mematuhi dan menjunjung tinggi ketentuan pemerintah,

Demi kebaikan dan kemaslahatan negeri,

Tidak peduli untukku asalkan untuk orang banyak.

3). Prinsip Pengambilan Keputusan : “Nggahi Ra Sama Kai”

(Kata/Keputusan Yang Disepakati Bersama)

Sumber dari prinsip musyawarah adalah adat lama sejak zaman ncuhi

(sebelum zaman kerajaan) yang dikenal sebagai ungkapan tua “nggahi ra sama

kai” atau kata/keputusan yang telah disepakati bersama.

Untuk mencapai kesepakatan bersama ini ada suatu pedoman falsafah

kepemimpinan, yang umpamanya seorang pemimpin itu laksana duduk di atas

sehelai tikar selembar lampit, merentang tali sipat yang tegak lurus, menaruh

jangkar yang tepat bundar dan dacin yang tepat berimbang, untuk menuju

kesamaan pemikiran dan satunya kehendak demi kebaikan bersama (Maryam

1999).

4). Prinsip Kerja : “Nggahi Rawi Pahu” (Satunya Kata dan Perbuatan

Untuk Mewujudkan Kenyataan)

Menurut Tajib (1999) kalimat itu adalah petunjuk awal pelaksanaan

epilogi, untuk konsekuen terhadap apa yang diniat dan direncanakan sehingga

harus diimplementasikan dalam suatu aksi sampai berwujud suatu hasil.

Sedangkan Maryam (1999) menyatakan rumusan “nggahi rawi pahu” merupakan

kebenaran ucapan yang dinyatakan dalam tindakan dan perilaku sebagaimana

peribahasa Bima “Ka Sabuaku Nggahi Ma Labo Rawi” (satukan kata dan

perbuatan) adalah prinsip yang sampai sekarang dianggap oleh orang

81

Bima/Dompu sebagai pertanda sifat orang yang bertanggung jawab dan dapat

dipercaya.

5). Nilai Pengendalian : “Maja Labo Dahu” (Malu dan Takut)

Maja labo dahu ialah budaya malu dan takut kepada Tuhan dan kepada

orang banyak bila melakukan suatu perbuatan yang menyimpang dari nilai-nilai

luhur dan peraturan yang berlaku.

Maryam (1999) menyatakan Maja labo dahu berfungsi pula sebagai alat

kontrol baik vertikal maupun horizontal terhadap pelaksanaan epilogi, serta

mengandung pula makna :

- Malu dan takut (taqwa) kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan

rahmatNya.

- Patuh kepada semua ketentuan yang berlaku dan norma yang ada dalam

masyarakat

- Mengerjakan yang baik, meninggalkan yang batil

- Rendah hati, tidak sombong dan takabur

- Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah

- Sabar dan pantang mundur

4.5.6. Ketersediaan Infrastruktur dan Kelembagaan Usaha

a. Infrastruktur Pendidikan, Kesehatan dan Keagamaan

Untuk mendukung kualitas kehidupan masyarakat maka dibutuhkan

ketersediaan infrastruktur sosial. Infrastruktur penting dibidang sosial adalah

pendidikan, kesehatan dan kegiatan keagamaan.

Di Kapet Bima Keberadaan Sekolah tersedia mulai dari tingkat taman

kanak-kanak sampai tingkat perguruan tinggi, selain sekolah umum juga tersedia

sekolah menengah kejuaraan yakni sejumlah 13 unit sedangkan Madrasah Aliyah

sejumlah 27 unit dan pondok pesantrennya sejumlah 33 unit yang tersebar di tiga

daerah administratif Kapet Bima. Adapun gambaran Jumlah Sekolah Pada

Berbagai Tingkat Pendidikan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 31

82

Tabel 31 Jumlah Sekolah Pada Berbagai Tingkat Pendidikan di Kapet Bima (Unit)

No. Tingkat Sekolah Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima

1 TK 58 141 46 245 2 SD 203 388 79 670 3 M.Ibtidaiyah 28 45 7 80 4 SLTP 26 44 13 83 5 M. Tsanawiyah 22 24 6 52 6 SMU 16 27 17 60 7 M. Aliyah 10 12 5 27 8 SMK 3 5 5 13 9 Pondok Pesantren 3 23 7 33 10 PT 1 1 7 9

Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Tabel 32 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Sekolah di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit)

No. Tingkat Sekolah Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima

1 TK 3,437 2,974 2,531 3,000 2 SD 982 1,081 1,474 1,097 3 M.Ibtidaiyah 7,120 9,318 16,632 9,189 4 SLTP 7,668 9,530 8,956 8,856 5 M. Tsanawiyah 9,062 17,471 19,404 14,136 6 SMU 12,460 15,530 6,849 12,251 7 M. Aliyah 19,936 34,942 23,285 27,225 8 SMK 66,452 83,860 23,285 56,545 9 Pondok Pesantren 66,452 18,231 16,632 22,275 10 PT 199,357 419,302 16,632 81,676

Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Tabel 32 menggambarkan perbandingan ketersediaan sekolah dengan

jumlah penduduk. Jumlah SD di Kapet Bima adalah sebanyak 670 unit atau

dengan ratio 1,097 jiwa penduduk per unit. Jumlah SLTP adalah sebanyak 83 unit

atau dengan ratio 8,856 jiwa penduduk per unit. Jumlah SMU adalah sebanyak 60

unit atau dengan ratio 12,251 jiwa penduduk per unit. Sedangkan Jumlah

Perguruan Tinggi adalah sebanyak 9 unit atau dengan ratio 81,675 jiwa penduduk

per unit.

83

Keberadaan Sekolah Dasar di Kapet Bima tersedia di seluruh

desa/kelurahan, sekolah setingkat SLTP dan SMU pada umumnya tersedia di

tingkat kecamatan, namun masih terdapat kesenjangan ratio antara Kota Bima

dengan Kabupaten Bima dan Dompu, sehingga di Kabupaten Dompu dan

khususnya di Kabupaten Bima perlu dibangun lagi sekolah setingkat SLTP dan

SMU agar peluang masyarakat untuk memperoleh pendidikan lebih besar.

sedangkan sekolah kejuruan dan perguruan tinggi hanya ada di tingkat kabupaten

atau pada beberapa kecamatan saja. Berbagai perguruan tinggi tersebut

memberikan pilihan program studi yang dibutuhkan masyarakat masih terbatas.

Fasilitas peribadatan di Kapet Bima meliputi 693 unit masjid, 382 unit

langgar dan 235 unit mushalla yang tersebar di tiga kabupaten/kota. gereja

terdapat 10 unit yang juga tersebar di tiga kabupaten/kota, sedangkan pura

berjumlah 9 unit yang hanya tersedia di Kabupaten Dompu dan Kota Bima.

gambaran tentang jumlah tempat peribadatan di Kapet Bima dapat dilihat pada

tabel 33.

Tabel 33 Jumlah Tempat Peribadatan Di Kapet Bima (Unit)

No. Uraian Kab Dompu Kab Bima Kota Bima Kapet Bima

1 Masjid 228 349 116 693

2 Langgar 55 261 66 382

3 Mushalla 54 106 75 235

4 Pura 7 - 2 9

5 Gereja 5 2 3 10

Jumlah 349 718 262 1329 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Kegiatan peribadatan merupakan kegiatan rutin dan dilakukan setiap saat

oleh pemeluknya, sehingga fasilitas peribadatan harus cukup tersedia khususnya

bagi umat muslim sebagai masyarakat mayoritas di Kapet Bima, karena tempat

peribadatan merupakan ruang yang digunakan untuk melaksanakan ritual

hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, juga sebagai salah satu sentral dalam

berinteraksi dengan sesama. Pada tabel 34 terlihat bahwa bahwa setiap unit masjid

84

digunakan oleh paling tidak 1,061 jiwa penduduk sedangkan langgar dan

mushalla adalah masing-masing sebanyak 1,924 dan 3,128 jiwa penduduk.

Tabel 34 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Tempat Peribadatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit)

No. Uraian Kab Dompu Kab Bima Kota Bima Kapet Bima

1 Masjid 874

1,201

1,004 1,061

2 Langgar 3,625 1,607

1,764 1,924

3 Mushalla 3,692

3,956

1,552 3,128

4 Pura 28,480 -

58,213 81,676

5 Gereja 39,871

209,651

38,808 73,508 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Keberadaan berbagai jenis fasilitas kesehatan di Kapet Bima relatif

tersedia namun masih terbatas, tercatat baru 2 (dua) rumah sakit umum yang ada

di 3 (tiga) Kabupaten/Kota di Kapet Bima, artinya setiap rumah sakit melayani

367,542 jiwa penduduk. Ketersediaan apotik baru 11 buah sedangkan Kapet

Bima terdiri dari 25 kecamatan dengan jarak di antaranya cukup berjauhan,

sedangkan Puskesmas hanya tersedia 32 unit dengan ratio pelayanan setiap unit

22,971 jiwa penduduk yang dibantu oleh Puskesmas Pembantu (Pustu) sebanyak

127 unit atau dengan ratio pelayanan terhadap 5,788 jiwa penduduk. Pada

umumnya Puskesmas Pembantu tersedia di tiap desa/kelurahan. Adapun

gambaran tentang jumlah fasilitas kesehatan di Kapet Bima dapat dilihat pada

tabel 35 sedangkan ratio pelayanan setiap unit fasilitas kesehatan terhadap jumlah

penduduk pada tabel 36.

Ketersediaan fasilitas kesehatan sangat dibutuhkan untuk peningkatan

derajat kesehatan masyarakat. Sebagai ilustrasi, dengan keberadaan fasilitas

kesehatan di Kabupaten Dompu selama 5 (lima) tahun terakhir (2000-2004),

angka harapan hidup terus meningkat. Pada tahun 1999 angka harapan hidup

penduduk adalah 57.9 tahun meningkat menjadi 59.5 tahun pada tahun 2004,

85

sedangkan Infant Mortality Rate (IMR) atau angka kematian bayi (AKB) pada

Tahun 1999 sebanyak 80 kasus per 1000 kelahiran hidup kemudian menurun

menjadi 71 kasus per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2004 (Bappeda Dompu,

2006).

Tabel 35 Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kapet Bima

No. Unit Kesehatan Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima

1 Rumah Sakit Umum 1 - 1 2

2 Rumah Sakit Lainnya - 1 1 2

3 Puskesmas 9 18 5 32

4 Pustu 44 70 13 127

5 Apotik 1 1 9 11 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Tabel 36 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit)

No. Unit Kesehatan Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima1 Rumah Sakit Umum 199,357 - 116,425 367,542 2 Rumah Sakit Lainnya - 419,302 116,425 367,542 3 Puskesmas 22,151 23,295 23,285 22,971 4 Puskesmas Pembantu 4,531 5,990 8,956 5,788 5 Apotik 199,357 419,302 12,936 66,826

Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004 b. Infrastruktur dan Aktivitas Industri, Perdagangan dan Koperasi

Lebih dari 26 % penduduk di Kapet Bima bekerja di Sektor industri dan

perdagangan serta lebih dari 10 % sudah mulai bekerja di sektor jasa. sektor ini

sangat strategis dalam menggerakkan ekonomi riil wilayah baik untuk menarik

sisi produksinya (supply) maupun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyakat

lainnya (demand).

Tabel 37 Jumlah Sarana Perdagangan Di Kapet Bima No. Jenis Sarana 2003 2004 Perub. (%)1 Pasar Umum 28 28 0.00 2 Pasar Desa 2 5 150.003 Toko 1,174 1,419 21.004 Kios/Warung 1,248 1,383 11.00

86

Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Seiring dengan pertumbuhan penduduk maka akan semakin meningkat

pula kebutuhan hidup dan usaha masyarakat sehingga sangat dibutuhkan

ketersediaan sarana perdagangan yang memadai. Dari tabel 37 di atas terlihat

bahwa pada tahun 2004 sarana perdagangan di Kapet Bima mengalami

peningkatan kecuali pasar umum.

Tabel 38 Perbandingan Jumlah Penduduk Terhadap Ketersediaan Sarana Perdagangan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit)

No. Jenis Sarana Jumlah Sarana (Unit) Jiwa/Unit

1 Pasar Umum 28 24,503

2 Pasar Desa 5 147,017

3 Toko 1,419 518

4 Kios/Warung 1,383 532 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Pada tabel 38 terlihat bahwa rasio pelayanan setiap pasar umum yakni

24,503 jiwa penduduk, sedangkan Jumlah pasar desa meningkat 150 % yakni dari

2 unit menjadi 5 unit namun beban pelayanan setiap unit masih tinggi yakni

sebanyak 147,017 jiwa penduduk, sehingga ketersediaan pasar desa perlu

ditingkatkan, karena seharusnya merupakan fasilitas perdagangan terdekat dengan

masyarakat desa, sehingga segala kebutuhan hidup dan usaha masyarakat tersedia

dan dengan mudah untuk mendapatkannya. Kios/ warung mengalami peningkatan

sebesar 11 %, sedangkan toko jumlahnya meningkat 21 % dari sebelum 1,174 unit

pada tahun 2003 menjadi 1,419 unit pada tahun 2004. fenomena ini menunjukkan

adanya kecenderungan peningkatan aktivitas perdagangan, khususnya pada

ekonomi skala kecil atau menengah.

Jumlah perusahaan industri di Kapet Bima sebanyak 5,874 buah yang

terdiri dari 4,549 buah perusahaan industri non formal dan 1,325 buah perusahaan

formal. sedangkan dari total serapan tenaga kerja sebanyak 16,383 orang, pada

87

industri formal adalah 7,660 orang sedangkan industri non formal adalah 8,723

orang.

Nilai investasi yang diserap industri formal adalah 21.6 milyar rupiah, jauh

lebih besar dari pada industri non formal yakni hanya 3.9 milyar rupiah, namun

rasio nilai produksi terhadap investasi masih lebih unggul industri non formal

yakni 2.83 dibandingkan industri formal adalah sebesar 1.46. Adapun gambaran

tentang jumlah perusahaan, tenaga kerja dan nilai investasi dirinci menurut

kelompok industri di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 39.

Tabel 39 Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Dirinci Menurut

Kelompok Industri Di Kapet Bima

No Uraian Satuan Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima

Industri Formal

1 Perusahaan Buah 296 755 274 1,325

2 Tenaga Kerja Orang 1,880 4,455 1,325 7,660

3 Investasi (Rp.Juta) 4,423 12,849 4,385 21,657

4 Produksi (Rp.Juta) 9,924 15,484 6,250 31,658

Industri Non Formal

1 Perusahaan Buah 1,287 3,142 120 4,549

2 Tenaga Kerja Orang 2,847 5,626 250 8,723

3 Investasi (Rp.Juta) 777 2,119 990 3,886

4 Produksi (Rp.Juta) 3,363 4,815 2,815 10,993

Jumlah

1 Perusahaan Buah 1,583 3,897 394 5,874

2 Tenaga Kerja Orang 4,727 10,081 1,575 16,383

3 Investasi (Rp.Juta) 5,200 14,968 5,375 25,543

4 Produksi (Rp.Juta) 13,287 20,299 9,065 42,651 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Terdapat 21 jenis kegiatan industri dominan yang nilai produksinya

> Rp.300 juta, yang terdiri 13 jenis usaha dari industri hasil pertanian dan

kehutanan (IKAHH) dan 8 jenis usaha dari industri logam, mesin dan Kimia

(ILMEA). Jenis usaha yang memiliki nilai produksi paling tinggi adalah industri

genteng (Rp.5.32 milyar), penjahitan/konveksi (Rp.4.19 milyar) dan furniture

88

dan kayu (Rp.3.32 milyar) sedangkan nilai produksi industri kacang mete

(Rp.0.35 milyar), vulkasnisir (Rp.0.40 milyar) dan Industri tahu (Rp.0.41 milyar).

Kegiatan industri di Kapet Bima di dominasi oleh industri berbasis

pertanian, namun limpahan sumber daya pertanian belum diolah secara optimal,

hasil pertanian selain untuk konsumsi rumah tangga dan masyarakat sekitar juga

dijual keluar daerah, namun komoditi pertanian yang diperdagangkan masih

dalam bentuk produk mentah dan sedikit yang dalam bentuk produk olahan

setengah jadi. Adapun gambaran tentang jenis industri dominan dan nilai produksi

di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 40.

Tabel 40 Beberapa Jenis Industri Dominan dan Nilai Produksi

Di Kapet Bima

No.

Uraian

Kapet Bima (Rp.000,-) Formal Non Formal Jumlah

I. Bidang IKAHH 1 Es Batu 1,001,724 - 1,001,724 2 Pengeringan Cumi 1,600,000 - 1,600,000 3 Pengasinan Ikan - 776,454 776,454 4 Foto Copy 409,625 48,540 458,165 5 Furniture dan Kayu 2,910,945 406,286 3,317,231 6 Garam Rakyat 265,000 817,000 1,082,000 7 Barang Dari Semen 1,163,356 - 1,163,356 8 Batu Bata 556,648 525,275 1,081,923 9 Genteng 4,915,810 409,090 5,324,900 10 Penggilingan Daging 514,642 - 673,315 11 Kacang Mete 190,800 - 355,225 12 Tahu 252,879 - 406,530 13 Pengolahan Susu Kuda 1,285,635 30,545 1,316,180 II. Bidang ILMEA 1 Penjahitan/Konveksi 1,477,060 153,296 4,190,356 2 Pertenunan 1,328,303 1,131,250 2,884,553 3 Reparasi Kendr. Roda 2&4 1,557,200 - 2,669,200 4 Pengelasan 402,900 1,125 616,025 5 Air Isi Ulang 1,840,000 872,540 2,712,540 6 Vulkanisir 401,455 - 401,455 7 Tukang Kaleng - 964,628 964,628 8 Tukang Emas dan Perak 1,061,605 - 1,616,705

Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Produk-produk perikanan/kelautan seperti rumput laut oleh masyarakat

setempat sudah mulai diolah dalam bentuk dodol, namun dengan volume usaha

yang masih sangat kecil. Kemudian jenis usaha perikanan bandeng (perikanan air

89

payau) sudah mulai diproduksi dalam bentuk presto. pengolahan ikan laut baru

dilakukan pengasinan dan pengeringan. sedangkan komoditi ternak dijual keluar

daerah masih dalam keadaan hidup demikian juga komoditi kedelai atau bawang

pada umumnya dijual dalam bentuk glondongan sementara industri pengolahan

tahu atau tempe sangat terbatas. Kegiatan pengolahan pascapanen atau kegiatan

agroindustri di Kapet Bima relatif masih kurang sementara potensi sumber daya

cukup besar, sehingga peluang pengembangan agroindustri masih sangat besar

dan dibutuhkan suatu strategi kebijakan yang dapat menggarap sumber daya

wilayah secara optimal khususnya pada berbagai aktivitas ekonomi masyarakat

sehingga tercipta multiplier effect pembangunan yang lebih luas.

Sebagai lembaga usaha ekonomi kerakyatan, secara umum kinerja

koperasi semakin membaik. Jika pada tahun 2002 jumlah koperasi 409 unit maka

pada tahun 2004 terdapat 441 unit. Di sisi lain terdapat juga koperasi yang tidak

aktif yang sampai 2004 sebanyak 117 unit. Adapun gambaran tentang keragaan

koperasi di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 41.

Tabel 41 Keragaan Koperasi di Kapet Bima

No. Uraian Satuan 2002 2004 Perub. (%)

1 Jumlah Koperasi Unit 409 441 3.85

2 Jumlah Anggota Orang 57,009 94,038 32.22

3 Pelaksanaan Rat Unit 215 240 5.68

4 Koperasi Aktif Unit 299 324 4.10

5 Koperasi Tdk Aktif Unit 110 117 3.18

6 Pengurus Orang 1,404 1,482 2.77

7 Pengawas Orang 1,145 1,142 0.01

8 Manajer Orang 76 77 0.66

9 Karyawan Orang 736 791 3.67

10 Modal Sendiri Rp.000 31,505,736 48,180,888 23.92

11 Modal Luar Rp.000 26,299,184 30,007,558 6.83

12 Volume Usaha Rp.000 97,973,963 116,085,180 9.60

13 SHU Rp.000 4,326,764 5,507,781 20.90

14 Asset Rp.000 57,804,920 78,188,446 16.40 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

90

Peran koperasi dalam perekonomian wilayah semakin dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah

anggota koperasi sebesar 32.22 % yakni 57,009 orang pada tahun 2002 menjadi

94,038 orang pada Tahun 2004. selain itu kinerja dari sisi produktivitas dan

keuangan koperasi di Kapet Bima juga mengalami perkembangan yang baik.

Tercatat rata-rata peningkatan modal sendiri setiap tahun adalah 23.92 %, SHU

sampai mencapai 20.90 % sedangkan peningkatan rata-rata asset sebesar 16.40 %

per tahun.

c. Ketersediaan Utilitas Wilayah

Listrik merupakan sumber energi dalam berbagai aktivitas kehidupan dan

pembangunan pada umumnya yang berfungsi sebagai prasarana untuk

meningkatkan kesejahteraan hidup dan dalam kegiatan produksi hampir seluruh

sektor kegiatan usaha penduduk. Adapun gambaran tentang Kapasitas Terpasang

dan Jumlah Pelanggan Listrik dapat dilihat pada tabel 42.

Tabel 42 Kapasitas Terpasang dan Jumlah Pelanggan Listrik Di Kapet Bima

No. Kabupaten/Kota Kapasitas

(Kwh) Pelanggan

(KK)

1 Kab Dompu 7,907,000 17,549

2 Kab Bima 4,209,279 36,451

3 Kota Bima 31,343,549 17,294

Kapet Bima 43,459,828 71,294 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Jangkauan pelayanan listrik di Kapet Bima baru 40.96 % dari jumlah

174,059 KK. Tingkat pelayanan yang paling tinggi adalah di Kota Bima yakni

sebanyak 63.54 % dari total KK, selanjutnya Kabupaten Dompu 38.22 % dari

total KK dan yang paling rendah Kabupaten Bima sebanyak 36.12 % dari total

KK.

Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk pada Tahun 2010 sebanyak

1.053.568 jiwa dan standar rata-rata kebutuhan listrik 0,2 KW / orang / hari, maka

91

perkiraan kebutuhan listrik Kapet Bima adalah 188.011 KW.sehingga perlu

peningkatan kapasitas listrik, jangkauan pelayanan listrik juga perlu diperluas

hingga ke pedesaan. Khususnya pada wilayah Kecamatan Pekat, Tambora dan

Kecamatan Lambu (RTRW Kapet Bima, 2004).

Pelayanan air bersih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan primer

penduduk dan aktivitas usahanya seperti Industri pengolahan hasil pertanian dan

indutri lainnya, pasar, perkantoran, perdagangan, dan lainnya sampai saat ini

masih dilayani oleh PDAM. Dari jumlah 174,059 KK (kepala keluarga) di

Kapet Bima yang terlayani baru 9.28 % atau 16,147 KK, yang terdiri dari 45,920

KK di Kabupaten Dompu dan 128,139 KK di Kabupaten Bima dan Kota Bima.

Adapun gambaran tentang Kapasitas Air Bersih PDAM dan Jumlah Pelanggan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 43.

Tabel 43 Kapasitas Air Bersih PDAM dan Jumlah Pelanggan

di Kapet Bima

Kabupaten/Kota Kapasitas (m3) Pelanggan (KK)

Kab Dompu 2,544,803 5,776

Kab Bima dan Kota Bima 1,892,938 10,371

Kapet Bima 4,437,741 16,147 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Untuk mendukung pengembangan wilayah di Kapet Bima, maka interaksi

pelaku/stakeholders mutlak membutuhkan informasi dan komunikasi. Pelayanan

telekomunikasi di Kapet Bima dikelola oleh Kantor Pelayanan PT. Telkom Tbk.

Cabang Bima dan Dompu serta didukung oleh sistem komunikasi telepon seluler

yang sekarang menjangkau hampir diseluruh wilayah Kapet Bima. Adapun

gambaran tentang Kapasitas Pelayanan Telekomunikasi di Kapet Bima dapat

dilihat pada tabel 44.

Perkiraan kebutuhan telepon Kapet Bima pada tahun 2010 berdasarkan

proyeksi jumlah penduduk dan standar rata-rata kebutuhan satuan sambungan

telepon 0,02 SST per orang, adalah 20.890 SST. Selain kapasitas sambungan

telepon, jangkauan pelayanan telepon juga perlu diperluas termasuk pada ibukota

92

Kecamata seperti Pekat, Tambora serta kawasan-kawasan yang cepat berkembang

seperti Labuhan Kananga, So Se’e dan Wane (BP Kapet Bima 2004).

Tabel 44 Kapasitas Pelayanan Telekomunikasi di Kapet Bima Kabupaten/Kota Kapasitas (SST) Sudah Terisi (SST)

Dompu 2,606 2,512 Kab Bima 1,700 1,433 Kota Bima 4,482 4,348 Kapet Bima 8,788 8,293

Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004 d. Infrastruktur Transportasi

Di dalam sistem jaringan transportasi nasional, Kapet Bima memegang

peranan cukup penting. Untuk sistem transportasi darat, kota-kota dalam Kapet

Bima dihubungkan melalui jalur kolektor primer. Selain itu, Bima juga

merupakan salah satu simpul jaringan penyeberangan lintas selatan (Jakarta-Bali-

Bima-Kupang-Dili-Tual). Jalur Mataram-Sorong yang berfungsi menghubungkan

kawasan andalan Komodo dan kawasan andalan Lombok juga akan sangat

bermanfaat bagi pengembangan Kapet Bima. Untuk mendukung sistem

transportasi di Kapet Bima maka perlu didukung infrastruktur yang memadai.

Tabel 45 Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan Di Kapet Bima

No. Uraian 2002 2004 Km % Km %

1 Aspal 706.71 39.07 980.35 50.02 2 Kerikil 459.70 25.41 488.53 24.93 3 Tanah 642.59 35.52 465.77 23.77 4 Tidak Terinci - - 25.23 1.29

Jumlah 1,809.00 100.00 1,959.88 100.00 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Tabel 45 menjelaskan bahwa panjang jalan di Kapet Bima pada Tahun

2002 adalah 1.809 Km, dengan jenis permukaan yang sudah diaspal baru 39.07 %

atau 706.71 Km, sedangkan sisanya berupa permukaan kerikil 25.41 % dan jalan

tanah 35.52 %. Kemudian pada tahun 2004 panjang jalan meningkat menjadi

1,959.88 Km, dan jalan dengan jenis pemukaan yang berasal sepanjang 980.35 %

93

atau 50.02 % dari total panjang jalan. Jenis permukaan kerikil 24.93 % dan

permukaan tanah > 23 %.

Upaya meningkat panjang jalan dan perbaikan jalan terus dilakukan di

Kapet Bima. Hal ditunjukkan dalam tabel 46, bahwa pada tahun 2002 panjang

jalan yang kondisinya berstatus baik adalah sepanjang 419.64 Km dan meningkat

menjadi 638.31 Km. meskipun demikian secara umum kondisi jalan di Kapet

Bima perlu upaya perbaikan yang cukup besar yakni > 60 % untuk mendukung

pertumbuhan ekonomi dan interaksi spasial.

Tabel 46 Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan Di Kapet Bima

No. Uraian 2002 2004 Km % Km %

1 Baik 419.64 23.17 638.31 32.572 Sedang 290.14 16.02 422.91 21.583 Rusak 487.40 26.91 329.25 16.804 Rusak Berat 614.32 33.91 569.41 29.055 Tidak Terinci - - - - Jumlah 1,811.50 100.00 1,959.88 100.00

Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Untuk jaringan transportasi laut, ditetapkan hirarki pelabuhan laut dan

hirarki jaringan transportasi laut nasional. Sistem pelabuhan nasional terdiri dari

dua hirarki pelayanan, yaitu :

1. Pelabuhan utama (truk port) yang terdiri dari pelabuhan utama primer,

sekunder dan terseier

2. Pelabuhan pengumpan (feeder port) yang terdiri dari pelabuhan pengumpan

regional dan lokal.

Berdasarkan RTRWN, pelabuhan Bima di Kabupaten Bima berfungsi

sebagai salah satu pelabuhan pengumpan regional yang melayani kegiatan

bongkar muat angkutan laut dalam jumlah kecil dan jangkauan pelayanan relatif

dekat. Secara hirarkis, pelabuhan Bima berfungsi sebagai pengumpan kepada

pelabuhan – pelabuhan utama, terutama yang terdekat adalah pelabuhan Ujung

Pandang. Sedangkan pelabuhan Kempo dan Calabai di Kabupaten Dompu dan

Pelabuhan Sape, Waworada di Kabupaten Bima ditetapkan sebagai pelabuhan

94

pengumpan lokal, yang berfungsi sebagai pengumpan kepada pelabuhan utama

dan pengumpan regional.

Tabel 47 menjelaskan bahwa di Kapet Bima terdapat 5 (lima) buah

pelabuhan yaitu pelabuhan laut di Teluk Bima, pelabuhan penyeberangan di

Kecamatan Sape, pelabuhan Waworada di Langgudu, ketiganya di Kabupaten

Bima, dan pelabuhan laut di Calabai dan Kempo (Kabupaten Dompu). Untuk

mewujudkan Kapet Bima sebagai pusat perdagangan yang maju, maka pelabuhan

laut Bima yang merupakan pintu gerbang ke Kapet Bima perlu dikembangkan

sehingga memenuhi syarat untuk disinggahi kapal-kapal nusantara maupun

mancanegara. Demikian pula pelabuhan penyeberangan Sape perlu

dikembangkan.

Tabel 47 Sebaran Pelabuhan di Kapet Bima

Nama Pelabuhan Lokasi (Kecamatan)

Jenis Pelabuhan

Keterangan (Pengelola)

Bima/Kota Bima:

- Pelabuhan Bima Kota Bima Umum Nasional PT.Pelindo

- Pelabuhan Sape Kecamatan Sape Angk. Penyeberangan PT. ASDP

- Pelab. Waworada Kec Langgudu Umum Lokal Pemkab.Bima

Kabupaten Dompu:

- Pelabuhan Kempo Kec Kempo Khusus Nasional Pemkab. Dompu

- Pelabuhan Calabai Kecamatan Pekat Khusus Nasional Pemkab. Dompu Sumber : Data Dari Berbagai Sumber

Dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata yang memanfaatkan

jalur wisata dari Bima ke Pulau Komodo PP dibangun pelabuhan penyeberangan

dari Pantai Mbotu/Lambu Sape ke Pulau Komodo (lama pelayaran 2-2,5 jam) dari

pada pelabuhan penyeberangan Sape lama penyeberangannya 6-7 jam. Disamping

itu dibangun pelabuhan penyeberangan Labuhan Kananga ke Pulau Satonda

(BP Kapet Bima 2004).

Untuk sistem transportasi udara, Bandara Udara M.Salahuddin di kota

Bima merupakan salah satu simpul transportasi udara nasional, yang

pelayanannya meliputi beberapa kabupaten yang menghubungkan antara bandar

95

udara utama dan kedua, yaitu Bajawa, Denpasar, Ende, Kupang, Mataram,

Labuan Bajo, Ruteng, Surabaya, Tambulaka dan Waingapu.

Adapun keadaan umum dari Bandara tersebut adalah sebagai berikut :

♦ Runway : 1.800 x 30 m ♦ Apron : 172 x 70 m ♦ Taxiway : 100 x 10 m ♦ Shoulder : 2 x 16.000 x 60 m ♦ Over Run : 150 x 30 m ♦ Kekuatan Landasan : 46.000 LBS ♦ Terminal : 294 m2. ♦ Lapangan Parkir : 3.218 m2 ♦ Pergerakan : 12 pergerakan/hari

Bandara Muhammad Salahudin, terletak ± 15 Km dari kota Bima. Bandara

M. Salahuddin dapat didarati secara bebas oleh pesawat jenis Foker 27, Foker 28

dan malah sudah dapat didarati pesawat merpati F 100 dengan rute Bima-

Denpasar (pulang pergi) dan jalur Bima-Denpasar-Jakarta (pulang pergi) setiap

hari. Gambar 4 memberikan gambaran tentang kondisi beberapa infrastruktur

transpotasi di Kapet Bima.

(a) (b) (c)

Gambar 4 Pelabuhan Laut-Bima (a), Bandara Salahudin-Bima (b), dan Pelabuhan Calabai-Dompu (c).

4.6. Permasalahan Pengembangan Wilayah

Beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan wilayah

di Kapet Bima antara lain sebagai berikut :

1. Sebagian besar wilayah berupa pegunungan dengan kemiringan lahan yang

agak curam dan curam, sehingga memiliki faktor kesulitan yang relatif tinggi

untuk menghubungkan antar wilayah melalui prasarana jalan yang di bangun

serta dalam membangun jaringan irigasi untuk mendukung kegiatan pertanian.

96

Adapun keadaan topografi wilayah di Kapet Bima dapat dilihat pada

gambar 5.

2. Makin banyaknya lahan kritis yang berkorelasi pula dengan banyaknya

pengelolaan lahan dan hutan yang belum dilaksanakan secara optimal baik

untuk tujuan ekonomi maupun ekologi.

3. Struktur perekonomian masih bertumpu pada sektor pertanian secara umum

khususnya pada subsektor tanamanan bahan makanan (pangan dan

hortikultural) sedangkan luas lahan mengalami keterbatasan dan tingkat

produksi dengan laju yang stagnan.

Gambar 5 Keadaan Topografi Wilayah di Kapet Bima

4. Kualitas SDM relatif masih rendah. Secara umum tingkat pendidikan

masyarakat masih rendah (yang tidak sekolah atau belum tamat SD mencapai

37.8 %) walaupun masih di atas tingkat pendidikan rata-rata Propinsi NTB.

Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pendidikan masyarakat ini adalah

prasarana pendidikan yang masih kurang terutama tingkat pendidikan lanjutan.

Demikian juga di sektor kesehatan, keberadaan sarana dan prasarana

pelayanan kesehatan masyarakat termasuk tenaga medis masih minim

97

sehingga hal ini dapat mempengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan

masyarakat.

5. Prasarana dan sarana utilitas seperti distribusi air bersih, drainase dan listrik

belum terpenuhi bagi kebutuhan perumahan dan usaha masyarakat. Demikian

juga prasarana irigasi dan transportasi yang sangat membutuhkan perbaikan

dan pengembangan lebih lanjut untuk pengembangan ekonomi wilayah Kapet

Bima.

6. Lembaga ekonomi (koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya) saat ini

sesungguhnya menjadi salah satu pelaku pembangunan utama, namun

perannya masih belum optimal khususnya dalam pengembangan

perekonomian di perdesaan.

7. Modal yang dimiliki daerah maupun pengusaha lokal sangat terbatas,

sedangkan investor luar daerah dan asing sulit didatangkan.

8. Sebagian besar kegiatan belum mampu menerapkan manajemen modern,

masih ada kecenderungan menerapkan manajemen keluarga sedangkan

Penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi masih relatif terbatas

sehingga belum memiliki daya saing yang tinggi, akibatnya peningkatan nilai

tambah sulit tercapai

9. Lemahnya komunikasi dan koordinasi internal pemerintah propinsi maupun

antar pemerintah propinsi dan kabupaten/kota

10. Kurang tegasnya pembagian tugas wewenang (belum adanya prosedur

operasional standar) antar instansi terkait dengan Kapet Bima mengakibatkan

kurang lancarnya tugas yang diemban oleh BP Kapet Bima.

11. Orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial meskipun telah

diantisipasi dengan Musbang Desa dan Kecamatan, Rakorbang Tingkat

Kabupaten, Tingkat Propinsi dan Rakornas.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari berbagai data dan informasi yang diperoleh, selanjutnya dilakukan

berbagai teknik analisis untuk bisa menjawab rumusan masalah penelitian.

Berikut ini adalah uraian pembahasan hasil analisis dari berbagai fenomena

empiris yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

5.1. Keterkaitan Antar Sektor

5.1.1. Struktur Input-Output (IO)

Tabel Input-Output menggambarkan transaksi barang dan jasa dari

berbagai sektor ekonomi yang saling berkaitan dan mempunyai hubungan saling

ketergantungan. Penyusunan Tabel Input-output Kapet Bima terdiri dari 18 sektor

yang disederhanakan dan diturunkan dari Tabel Input-Output Propinsi NTB

Tahun 2004 yang terdiri dari 60 sektor. Adapun gambaran umum perekonomian

Kapet Bima berdasarkan Tabel Input-Output Kapet Bima dijelaskan pada tabel 48.

Tabel 48 Komponen Penyusun Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004

No. Komponen Jumlah (Rp.000) Distribusi (%)

1. Sisi Permintaan (Output) a. Permintaan Antara 876,764,822 23.18 b. Permintaan Akhir 2,905,956,433 76.82 c. Total Permintaan 3,782,721,256 100.00

2. Sisi Penawaran (Input)

a. Input Antara 876,764,822 23.18 b. Import 293,537,967 7.76 c. Jumlah Nilai Tambah Bruto 2,612,418,466 69.06 d. Jumlah Input 3,782,721,256 100.00

Sumber : Data Hasil Analisa

Dari Tabel 48 dijelaskan bahwa total nilai output ekonomi wilayah di

Kapet Bima adalah sebesar Rp.3.78 trilyun yang terdiri dari permintaan antara

sebesar Rp.0.88 trilyun (23.18 %) dan permintaan akhir sebesar Rp.2.90 trilyun

99

(76.82 %) yang meliputi konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah,

pembentukan modal tetap, perubahan stok dan eksport.

Besarnya nilai permintaan akhir menggambarkan tingginya permintaan

(demand side). Konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan pembentukan

modal tetap serta perubahan stok menggambarkan kegiatan transaksi intra

regional (domestik) sedangkan nilai eksport menggambarkan kegiatan transaksi

inter regional.

Makin tinggi tingkat permintaan maka makin besar pula nilai transaksi

barang/jasa hal ini mendorong peningkatan nilai output total suatu sektor, namun

nilai permintaan akhir belum menggambarkan sepenuhnya nilai permintaan total

suatu sektor serta dampak totalnya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.

Permintaan akhir yang terlalu tertinggi mengakibatkan permintaan antara

yang rendah. Permintaan antara di Kapet Bima hanya sebesar Rp.876.76 juta atau

sebesar 23.18 %. Artinya dari total output wilayah yang dihasilkan hanya 23.18 %

yang dikembalikan dalam kegiatan produksi domestik. Sedangkan di sisi lain

kegiatan eksport lebih banyak barang mentah atau setengah jadi karena rendahnya

kegiatan industri pengolahan domestik. Hal ini menggambarkan rendahnya

keterkaitan (linkages) kegiatan ekonomi domestik dan nilai tambah (margin

value) suatu sektor/komoditi, yang pada akhirnya berbagai daerah di Kapet Bima

adalah sebagai daerah tertinggal karena rendahnya daya kompetitif. Disamping itu

karena nilai tambah lebih besar di dapat oleh pengguna manfaat luar kawasan

maka pada akhirnya juga terjadi kebocoran wilayah.

Tabel 49 memberikan gambaran tentang nilai output masing-masing sektor

ekonomi. Berdasarkan klasifikasi 18 sektor ekonomi, terlihat bahwa 6 (enam)

sektor yang memiliki nilai output paling tinggi di atas rata-rata output sektor lain,

tercermin dari nilai output sektor (IOS) > 1 adalah Tanaman bahan makanan

(26.93 %) , selanjutnya adalah Jasa pemerintahan umum (14.62 %), Perdagangan

Besar dan Eceran (11.65 %), Industri Pengolahan Non Migas (10.94 %), dan

Bangunan (8.36 %) serta angkutan (7.28 %). sektor-sektor ini pun memiliki nilai

tambah bruto lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.

100

Tabel 49 Nilai Output Masing-Masing Sektor di Kapet Bima Tahun 2004

Kode Nama Sektor Output (Rp.000)

Distribusi (%) IOS

1 Tanaman Bahan Makanan 1,018,624,436 26.93 4.85 2 Tanaman Perkebunan 69,002,172 1.82 0.33

3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 173,502,877 4.59 0.83

4 Kehutanan 98,207,516 2.60 0.47 5 Perikanan 161,325,827 4.26 0.77 6 Penggalian 69,485,970 1.84 0.33

7 Industri Pengolahan Non Migas 413,699,519 10.94 1.97

8 Listrik 26,358,675 0.70 0.13 9 Air bersih 2,391,808 0.06 0.01 10 Bangunan 316,102,626 8.36 1.50

11 Perdagangan Besar dan Eceran 440,672,839 11.65 2.10

12 Hotel dan Restoran 56,578,194 1.50 0.27 13 Angkutan 275,254,192 7.28 1.31 14 Pos dan Telekomunikasi 27,299,484 0.72 0.13

15 Bank dan Lembaga Keu. Bukan Bank 30,598,277

0.81 0.15

16 Sewa Bangunan dan Jasa Preusan 17,236,467

0.46 0.08

17 Jasa Pemerintahan Umum 553,212,140 14.62 2.63 18 Jasa Swasta 33,168,238 0.88 0.16 Jumlah 3,782,721,256 100.00 1.00

Sumber : Data Hasil Analisa

Nilai output tanaman bahan makanan paling tinggi dibandingkan dengan

sektor/komoditi lainnya. Sedangkan tanaman perkebunan, peternakan dan

kehutanan nilai outputnya masih sangat rendah (masing-masing sebesar 1.82 %,

4.59 % dan 2.60 % dari total output). Keadaan ini bertolak belakang dengan

potensi lahan di Kapet Bima, dimana areal beririgasi sebagai lahan usaha tani

tanaman bahan makanan adalah 36,823 Ha atau 5.32 %. Sedangkan lahan kering

sebagai tempat pengusahaan peternakan, perkebunan dan kehutanan adalah seluas

38.48 % dari total wilayah (tidak termasuk hutan Negara). Hal ini menunjukkan

bahwa pengelolaan lahan kering sebagai salah satu potensi sumber daya wilayah

yang cukup besar masih belum dimanfaatkan secara lebih optimal.

Apabila diperhatikan nilai output ekonomi tersebut, maka dapat diketahui

bahwa peran petani masih dominan sebagai pelaku ekonomi di Kapet Bima, hal

101

ini juga ditunjukkan pada tabel 29, bahwa jumlah petani mencapai 50.92 %

penduduk Kapet Bima.

Perekonomian Kapet Bima juga masih tergantung cukup besar terhadap

sektor pemerintahan, sementara pada struktur APBD kabupaten/kota di Kapet

Bima dana alokasi dari pusat (DAK dan DAU) masih dominan sedangkan

penerimaan dari komponen pendapatan asli daerah (PAD) yang juga dapat

dijadikan indikator kemandirian daerah masih rendah (< 5 %).

Di sisi input, komponennya terdiri dari input antara (23.18 %), import

(7.76 %) dan yang memberikan kontribusi paling besar adalah input primer atau

nilai tambah bruto yakni sebesar Rp.2.61 trilyun (69.06 %). Proporsi nilai tambah

bruto ini terhadap total input di Kapet Bima sedikit lebih tinggi dari pada di

Propinsi NTB yakni 68.93 %.

Komponen nilai tambah bruto sendiri terdiri dari upah dan gaji, surplus

usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. Besarnya nilai masing-masing

komponen terhadap nilai tambah bruto dapat dilihat pada tabel 50 berikut ini.

Tabel 50 Komponen Nilai Tambah Bruto Sektor Ekonomi di Kapet Bima Tahun 2004

No. Komponen Jumlah (Rp.000) Distribusi (%)

1. Upah dan Gaji 1,038,418,059 39.75

2. Surplus Usaha 1,394,832,276 53.39

3. Penyusutan 147,118,344 5.63

4. Pajak Tak Langsung Netto 32,049,787 1.23

Jumlah 2,612,418,466 100.00 Sumber : Data Hasil Analisa

Beberapan komponen nilai tambah bruto memiliki nilai dan besaran

kontribusi yang bervariasi. Nilai tambah yang besar adalah komponen surplus

usaha yang diterima oleh pengusaha yakni dengan total sebesar Rp.1.39 trilyun

atau 53.39 % dari total nilai tambah bruto. selanjutnya komponen upah dan gaji

yang diterima pekerja dengan total nilai Rp.1.04 trilyun diterima oleh pekerja. dan

komponen yang paling kecil nilainya adalah pajak tak langsung netto yang

102

diterima pemerintah yakni sebesar Rp.32.05 milyar. Nilai ini menunjukkan bahwa

kemampuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaannya masih relatif rendah

yakni 1.23 % apalagi jika dibandingkan dengan Propinsi NTB yang mencapai

3.56 % dari total nilai tambah bruto.

Tabel 51 Perbandingan Koefisien Teknis Komponen Input IO Kapet Bima Tahun 2004, IO Jabodetabek Tahun 2002 dan IO Riau Tahun 2001

No. Komponen IO Kapet Bima 2004

IO Jabodetabek 2002

IO Riau 2001

1. Upah dan Gaji 0.2745 0.1488 0.1044

2. Surplus Usaha 0.3687 0.2902 0.4383

3. Penyusutan 0.0389 0.0418 0.0370

4. Pajak Tak Langsung Netto 0.0085 0.0346 0.0139

5. Total Input Antara 0.2318 0.4109 0.4064

6. Total Input Primer 0.6906 0.5891 0.5936

Sumber : Data Hasil Analisa

Tabel 51 memberikan gambaran perbandingan struktur penyusun Tabel

IO Kapet Bima dengan dua wilayah lainnya yang memiliki karakteristik yang

berbeda. Kapet Bima memiliki karakteristik wilayah dengan output ekonomi

didominasi oleh aktivitas kegiatan pertanian, jasa pemerintahan dan perdagangan.

Jabodetabek didominasi oleh kegiatan industri pengolahan non migas,

perdagangan dan pertanian sedangkan Riau didominasi oleh pertambangan

minyak, industri mesin dan industri perminyakan.

Perbandingan struktur input antara pada wilayah Kapet Bima,

Jabodetabek, dan Riau menunjukkan perbedaan. Total input antara Kapet Bima

adalah sebesar 23.18 % dari total output ekonomi, lebih rendah jika dibandingkan

wilayah Jabodetabek dan Riau yakni mencapai > 40 % dari total output ekonomi

wilayah. Data ini menjelaskan bahwa Kapet Bima yang didominasi oleh aktivitas

pertanian, jasa pemerintahan dan perdagangan menggunakan output untuk

kegiatan produksi (sebagai faktor produksi) masih sangat rendah, sehingga

keterkaitan antar sektor domestik juga rendah yang dapat berakibat terjadinya

kebocoran wilayah. Kegiatan-kegiatan industri pengolahan dan pemanfaatan

103

sektor domestik dalam kegiatan ekonomi wilayah telah mendorong Jabodetabek

dan Riau sebagai wilayah yang relatif lebih maju.

Pada struktur input antara, koefisien teknis upah dan gaji di Kapet Bima

lebih baik dari pada dua wilayah yang lainnya, namun dari sisi penerimaan

pemerintah di Kapet Bima hanya menerima 0.85 % dari total output. Sedangkan

Riau mencapai 1.39 % dan yang paling tinggi adalah Jabodetabek dengan

karaktristik sebagai daerah industri dan perdagangan dapat memberikan

penerimaan pemerintah sebesar 3.46 % dari total output ekonomi wilayah.

5.1.2. Derajat Keterkaitan Antar Sektor

Salah satu keunggulan analisa dengan menggunakan Model IO adalah

dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat hubungan atau

keterkaitan teknis antar sektor, hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan

(forward linkages) atau daya dorong maupun hubungan kebelakang (backward

linkages) atau daya tarik.

Tabel 52 Indeks Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima

Kode Nama Sektor Indeks Daya Dorong (IDD)

Indeks Daya Tarik (IDT)

1 Tanaman Bahan Makanan 1.3422 0.9224 2 Tanaman Perkebunan 0.9945 0.8493 3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 0.9725 1.0316 4 Kehutanan 0.8075 0.8186 5 Perikanan 1.0240 0.9701 6 Penggalian 0.8846 0.8783 7 Industri Pengolahan Non Migas 1.2141 1.5195 8 Listrik 0.9543 1.0002 9 Air bersih 0.7991 0.9336 10 Bangunan 0.9560 1.0908 11 Perdagangan Besar dan Eceran 1.3366 0.8823 12 Hotel dan Restoran 0.8917 1.3757 13 Angkutan 1.1883 0.8799 14 Pos dan Telekomunikasi 1.0171 0.8948 15 Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank 1.0925 1.0321 16 Sewa Bangunan dan Jasa Persh 0.9126 0.8591 17 Jasa Pemerintahan Umum 0.7924 1.0538 18 Jasa Swasta 0.8201 1.0079

Sumber : Data Hasil Analisis

Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks daya dorong >1, berarti daya

dorong sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Demikian juga jika nilai

104

indeks daya tarik >1, berarti daya tarik sektor tersebut di atas rata-rata sektor

lainnya.

Dari tabel 52 diketahui bahwa yang memiliki daya dorong paling tinggi

adalah tanaman bahan makanan (sektor 1) yakni dengan nilai indeks 1.3422

sedangkan sektor yang memiliki daya tarik paling tinggi adalah industri

pengolahan non migas (sektor 7) yakni dengan nilai indeks 1.3757.

Untuk membantu menggambarkan tingkat keterkaitan suatu sektor

terhadap sektor lainnya maka sektor-sektor tersebut dapat ditempatkan dalam

“diagram kartesius keterkaitan antar sektor”. Diagram ini memiki dua sumbu

yakni sumbu vertikal yang menunjukkan indeks daya tarik dan sumbu horizontal

yang menunjukkan indeks daya dorong. selanjutnya sumbu vertikal dibagi

menjadi dua wilayah yakni yang memiki nilai daya tarik di atas rata-rata (nilai

indeks >1) dan yang berada dibawah rata-rata seluruh sektor. Demikian juga

sumbu horizontal dibagi menjadi dua wilayah yakni yang memiliki nilai daya

dorong di atas rata-rata (nilai indeks >1) dan yang berada di bawah rata-rata.

Sehingga jika dua sumbu ini diletakkan dalam satu diagram maka akan

menghasilkan 4 (empat) kuadran.

Gambar 6 menjelaskan keberadaan masing-masing sektor dalam kuadran-

kuadran keterkaitan antar sektor, Diagram tersebut memiliki 4 (empat) kuadran.

Kuadran I, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan sektor

kebelakang (hulu) yang tinggi namun memiliki hubungan dengan sektor ke

depan (hilir) yang rendah. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran I ini

adalah : peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3), listrik (sektor 8), bangunan

(sektor 10), Hotel dan restoran (sektor 12), jasa pemerintahan umum (sektor 17)

dan jasa swasta (sektor 18). Keberadaan sektor-sektor pada kuadran I ini,

hendaknya dapat menggerakkan sektor-sektor hilir atau dengan kata lain, harus

diciptakan kegiatan atau aktivitas yang dapat memanfaatkan secara optimal

sektor-sektor pada kuadran I baik sebagai bagian dari faktor produksi maupun

sebagai sarana-prasarana atau komponen pendukung dalam kegiatan produksi

sehingga dapat menggerakkan nilai total ekonomi wilayah secara signifikan.

105

Gambar 6 Diagram Kartesius Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima

Kuadran II, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan

sektor kebelakang (hulu) yang tinggi serta memiliki hubungan dengan sektor ke

depan (hilir) yang tinggi pula. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran II

ini adalah : Industri Pengolahan Non Migas (sektor 7), bank dan Lembaga

Keuangan Non Bank (sektor 15), Keberadaan sektor-sektor pada kuadran II sangat

penting sebagai sektor atau kegiatan antara yang menghubungan sektor-sektor di

hulu dengan hilir, sehingga sektor-sektor yang berada di kuadran II ini harus

ditingkatkan keberadaan baik dari jumlah aktivitas maupun dari nilai output

(produksi) yang dihasilkan.

Kuadran III, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan

sektor kebelakang (hulu) yang rendah namun memiliki hubungan dengan sektor

ke depan (hilir) yang tinggi. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran III

ini adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1), perikanan (5), Perdagangan besar

dan eceran (sektor 11), Hotel dan restoran (sektor 13), jasa pemerintahan umum

KETERKAITAN ANTAR SEKTOR

214166

7 12

1017

49

11 1

13 518 8 15 3

0.0000

0.2000

0.4000

0.6000

0.8000

1.0000

1.2000

1.4000

1.6000

0.0000 0.5000 1.0000 1.5000

INDEKS KEPEKATAN

I N D E K S

D A Y A

T A R I K

I II

III IV

INDEKS DAYA DORONG

106

(sektor 14) dan jasa swasta (sektor 18). Keberadaan sektor-sektor pada kuadran III

ini, hendaknya dapat memanfaatkan secara optimal sektor-sektor di hulu untuk

mendukung aktivitas atau dalam kegiatan produksi sehingga dapat menggerakkan

nilai total ekonomi wilayah secara signifikan.

Kuadran IV, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan

sektor kebelakang (hulu) yang rendah namun memiliki hubungan dengan sektor

ke depan (hilir) yang tinggi. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran IV

ini adalah : kehutanan (sektor 4), penggalian (sektor 6), air bersih (sektor 9), sewa

bangunan dan jasa perusahaan (sektor 16). Keberadaan sektor-sektor pada

kuadran IV ini, cenderung sebagai sektor pendukung bagi pengembangan sektor-

sektor lain baik di kegiatan atau industri di hulu maupun di hilir khususnya

terhadap kegiatan produksi domestik.

5.2. Sektor Basis

Model ekonomi basis (economic base model) menjelaskan bahwa arah dan

pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh kecenderungan eksport wilayah

tersebut. Eksport tersebut dapat berupa tenaga barang, jasa atau tenaga kerja serta

dapat juga berupa barang-barang tidak bergerak (immobile) seperti yang

berhubungan dengan aspek geografi, iklim, peninggalan sejarah dan pariwisata.

sektor atau industri yang bersifat seperti seperti itu disebut sektor basis.

Salah satu metode pengukuran sektor basis adalah dengan metode location

quotient (LQ). Apabila suatu sektor nilai LQ > 1 maka merupakan sektor basis

sedangkan bila LQ < 1 maka sektor tersebut merupakan non basis. Pada tabel 53

terlihat bahwa dari 18 sektor ekonomi, terdapat 5 (lima) sektor yang menjadi

sektor basis yakni : (1) Tanaman bahan makanan, (3) peternakan dan hasilnya,

(4) kehutanan, (5) perikanan dan (9) Air bersih. Sedangkan sektor yang lain

merupakan sektor non basis (sektor pendukung).

Lima sektor basis di Kapet Bima adalah termasuk dalam sektor-sektor

primer yakni kegiatan yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber

daya alam, sedangkan sektor sekunder dan tersier seperti perdagangan, jasa dan

industri kapasitas usahanya belum menjadi sektor yang memiki keunggulan

komparatif wilayah.

107

Tabel 53 Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Location Quotient (LQ) di Kapet Bima

Kode Sektor PDRB (Rp.000) LQ PDRB

1 Tanaman Bahan Makanan 799,682,448 1.4892

2 Tanaman Perkebunan 61,151,894 0.7558

3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 130,132,782 1.0020

4 Kehutanan 92,079,324 2.7388

5 Perikanan 126,803,512 1.5223

6 Penggalian 59,235,026 0.8069

7 Industri Pengolahan Non Migas 79,691,000 0.5262

8 Listrik 7,339,056 0.6834

9 Air bersih 1,737,486 1.1709

10 Bangunan 182,882,966 0.7386

11 Perdagangan Besar dan Eceran 394,075,257 0.9583

12 Hotel 24,772,012 0.3870

13 Angkutan 202,457,556 0.7582

14 Pos dan Telekomunikasi 24,242,501 0.5310

15 Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank 23,332,098 0.6756

16 Sewa Bangunan dan Jasa Preusan 15,521,623 0.7261

17 Jasa Pemerintahan Umum 364,150,028 0.9899

18 Jasa Swasta 23,131,897 0.4508

Jumlah 2,612,418,466 1.0000 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Propinsi NTB, 2004

5.3. Sektor Unggulan Potensial

Sektor unggulan merupakan sektor basis dan berperan sebagai penggerak

utama pertumbuhan ekonomi wilayah serta memiliki potensi besar untuk

dikembangkan. Sehingga kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan sektor

unggulan potensial wilayah :

(1). Merupakan sektor basis, hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai LQ PDRB

yang tinggi.

(2). Memiliki kemampuan yang tinggi untuk menggerakkan sektor lain baik

keterkaitan kedepan (dengan sektor hilir) maupun keterkaitan kebelakang

108

(dengan sektor hulu), hal ini dapat ditunjukkan dengan indeks daya tarik dan

daya dorong terhadap sektor lain yang tinggi.

(3). Memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, hal ini ditunjukkan dengan

nilai indeks output ekonomi suatu sektor .

Tabel 54 Tingkat Keunggulan Masing-Masing Sektor di Kapet Bima

Kode Nama Sektor Skor Keunggulan Sektor (SKS) TKS IOS IDT IDD LQ Jmlh 1 Tanaman Bahan Makanan 1 0 1 1 3 I 2 Tanaman Perkebunan 0 0 0 0 0 IV 3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 0 1 0 1 2 II 4 Kehutanan 0 0 0 1 1 III 5 Perikanan 0 0 1 1 2 II

6 Penggalian 0 0 0 0 0 IV 7 Industri Pengolahan Non Migas 1 1 1 0 3 I 8 Listrik 0 1 0 0 1 III 9 Air bersih 0 0 0 1 1 III

10 Bangunan 1 1 0 0 2 II 11 Perdagangan Besar dan Eceran 1 0 1 0 2 II 12 Hotel dan Restoran 0 1 0 0 1 III 13 Angkutan 1 0 1 0 2 II

14 Pos dan Telekomunikasi 0 0 1 0 1 III 15 Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank 0 1 1 0 2 II 16 Sewa Bangunan dan Jasa Pershn 0 0 0 0 0 IV 17 Jasa Pemerintahan Umum 1 1 0 0 2 II 18 Jasa Swasta 0 1 0 0 1 III

Sumber : Data Hasil Analisis

Berdasarkan peringkat keunggulan sektor seperti yang dijelaskan pada

tabel 54, maka yang menjadi sektor unggulan I (total skor = 3) adalah : tanaman

bahan makanan dan industri pengolahan non migas; Sektor unggulan II (total skor

= 2) adalah : Peternakan dan hasilnya, Perikanan, bangunan, perdagangan besar

dan eceran, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank serta sektor jasa

pemerintahan umum; Sektor unggulan III adalah (total skor = 1) : kehutanan,

listrik, air bersih, hotel dan restoran, pos dan telekomunikasi, dan jasa swasta;

sedangkan unggulan IV (total skor = 0) adalah : tanaman perkebunan, penggalian

dan sewa bangunan dan jasa perusahaan.

109

Untuk membantu menggambarkan tingkat keunggulan suatu sektor

terhadap sektor lainnya maka sektor-sektor tersebut dapat ditempatkan dalam

grafik yang dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini.

TINGKAT KEUNGGULAN SEKTOR

-

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

KODE SEKTOR

IND

EKS

KEU

NG

GU

LAN

IOSIDDIDTLQ

Gambar 7 Tingkat Keunggulan Sektor Berdasarkan Indeks Keunggulan Setiap Indikator di Kapet Bima

Sektor yang merupakan unggulan I merupakan sektor yang memenuhi

indikator keunggulan paling tinggi dibandingkan sektor lainnya, namun tidak ada

satupun sektor yang memenuhi seluruh indikator keunggulan sektor (empat

indikator). Adapun sektor unggulan I adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1)

dan industri pengolahan non migas (sektor 7). Kedua sektor ini memiliki total skor

keunggulan sektor (SKS) = 3, artinya sektor tersebut memiliki keunggulan pada

110

tiga dari empat indikator keunggulan sektor. Sektor tanaman bahan makanan

memiliki keunggulan pada indikator nilai output ekonomi wilayah yang tinggi,

daya dorong (keterkaitan kedepan) terhadap sektor lain serta merupakan sektor

basis yang merupakan sektor yang berpotensial untuk melakukan kegiatan

eksport, namun rendah pada indikator daya tarik (keterkaitan kebelakang)

terhadap sektor lainnya. Sedangkan sektor industri pengolahan non migas

memiliki keunggulan pada indikator nilai output ekonomi wilayah yang tinggi

serta keterkaitan yang kuat dengan sektor lainnya baik keterkaitan kebelakang

(daya tarik) maupun keterkaitan kedepan (daya dorong).

Seperti ditunjukkan pada gambar 7 di atas. Sektor tanaman bahan makan

memiliki output yang sangat dominan terhadap total ekonomi wilayah. nilai

output sektor ini adalah sebesar Rp.1.02 trilyun yakni dengan indeks output sektor

(IOS) sebesar 4.85, artinya nilai outputnya hampir mencapai 5 (lima) kali

besarnya output rata-rata di Kapet Bima. Jenis komoditas yang masuk dalam

sektor tamanan bahan makanan antara lain padi, kacang tanah, kedelai dan

bawang merah. Nilai produksi komoditi ini rata-rata > 25 % dari total produksi

Propinsi NTB, bahkan bawang merah mencapai 80.84 % dari total produksi

Propinsi NTB sehingga merupakan salah satu komoditi unggulan yang dieksport

(diperdagangkan) antar pulau. Sektor ini memiliki keterkaitan kebelakang dengan

sektor pengangkutan, perdagangan besar dan eceran. Selain itu juga memiliki

keterkaitan ke depan yang kuat, yang dapat mendorong pertumbuhan industri

pengolahan (makanan), hotel dan restoran, bangunan, peternakan, perikanan dan

pemerintahan.

Sektor industri pengolahan non migas memiliki nilai output ekonomi

terbesar keempat di Kapet Bima yakni sebesar Rp.413.70 milyar yakni dengan

indeks output sektor (IOS) sebesar 1.97, artinya nilai output sektor ini sebesar

1.97 kali besarnya output rata-rata di Kapet Bima. Sektor industri pengolahan non

migas memiliki tingkat keterkaitan yang tinggi dengan sektor lainnya. Dengan

nilai indeks daya dorong sebesar 1.21 dan indeks daya tarik sebesar 1.52

menjadikan kegiatan industri pengolahan non migas sebagai sektor kunci yang

menghubungkan kegiatan ekonomi sektor-sektor hulu dengan kegiatan ekonomi

sektor hilir.

111

Di sisi lain, keberadaan sektor industri pengolahan non migas belum

menjadi sebagai sektor basis. Sektor ini memiliki aktivitas dan volume usaha yang

relatif masih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Propinsi NTB.

Produk-produk industri serta berbagai faktor produksi usaha (hulu) masih banyak

yang didatangkan dari luar kawasan, seperti pakan ikan/ternak, ayam broiler,

pupuk dan obat-obatan pertanian, alat dan mesin usaha perikanan/pertanian,

sedangkan kegiatan industri di sektor hilir juga masih rendah. Karena komoditi

yang dijual pada umumnya masih produk mentah dan setengah jadi. Oleh karena

sektor ini memiliki kemampuan untuk menggerakkan sektor lainnya baik dengan

keterkaitan kedepan dan kebelakang maka perlu ditingkatkan jumlah usaha dan

kelembagaannya, serta nilai produktivitasnya dengan berbasis (keunggulan)

produk spesifik lokal.

Sektor unggulan II (total skor = 2) adalah : Peternakan dan hasilnya

(sektor 3), Perikanan (sektor 5), bangunan (sektor 10), perdagangan besar dan

eceran (sektor 11), sektor angkutan (sektor 13), bank dan lembaga keuangan

bukan bank (sektor 15) dan jasa pemerintahan umum (sektor 17). Aktivitas

ekonomi sektor bangunan dan jasa pemerintahan umum memiliki output ekonomi

yang tinggi serta telah menyerap faktor produksi (input) domestik dalam kegiatan

ekonominya, namun keberadaan sektor ini belum menjadi sebagai sektor basis

jika dibandingkan dengan daerah lain di Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Sektor bangunan dan jasa pemerintahan umum ini belum mampu

mendorong yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi lainnya. Indeks daya dorong

atau keterkaitan kedepan masih rendah. Artinya alokasi anggaran pembangunan

hendaknya memperhatikan aktivitas ekonomi produktif dan dengan proporsi nilai

alokasi yang lebih besar.

Sektor unggulan II yang merupakan sektor basis adalah sektor peternakan

dan perikanan. Komoditi peternakan dan perikanan dapat menjadi komoditi

unggulan karena merupakan komoditi eksport. Dengan potensi sumber daya lahan

yang luas dimana lahan kering mencapai 94.68 (termasuk didalamnya terdapat

55.80 %) yang merupakan lahan potensial untuk pengembangan peternakan dan

luas kawasan pesisir dan kelautan sebesar 63.77 % dari total luas wilayah,

merupakan sumber daya potensial untuk pengembangan sektor perikanan, namun

112

output sektor ini masih rendah yakni masing-masing hanya mencapai Rp.173.50

milyar dan Rp.161.33 milyar.

Komoditi peternakan di Kapet Bima merupakan komoditi eksport antar

pulau seperti kuda, sapi, kerbau dan kambing meliki keterkaitan kebelakang yang

kuat namun memilki keterkaitan kedepan yang rendah. Sektor ini memiliki

keterkaitan ke belakang yang kuat terhadap sektor industri pengolahan,

perdagangan besar dan eceran, angkutan, tanaman bahan makanan, tanaman

perkebunan. Sedangkan keterkaitan ke depan yakni dengan sektor hotel dan

restoran seta industri pengolahan.

Begitu pula dengan komoditi perikanan/kelautan. Sektor ini memiliki

keterkaitan kebelakang dengan sektor industri pengolahan, perdagangan,

angkutan, serta memiliki keterkaitan kedepan dengan sektor hotel dan restoran,

dan sektor industri pengolahan. Mutiara sebagai salah satu komoditi perikanan

yang dibudidayakan di Kapet Bima merupakan komoditi eksport, dan nilai

produksinya mencapai 42 % dari total produksi di Propinsi NTB, namun kegiatan

kerajinan mutiara hampir tidak didapat Kapet Bima seperti hal di daerah Sekarbila

Mataram. Begitu juga dengan kegiatan kerajinan kulit kerang mutiara, yang juga

bernilai jual tinggi. Sedangkan pengolahan komoditi lainnya seperti rumput laut

dan ikan juga masih terbatas. Rumput laut sudah mulai diolah dalam bentuk

dodol, kemudian ikan bandeng sudah ada yang diproduksi dalam bentuk presto,

sedangkan ikan laut lebih banyak yang dijual dalam keadaan segar dan

pengolahannya baru diusahakan dalam bentuk pengasinan atau pengeringan.

Sektor perdagangan, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank

memiliki indeks daya dorong yang tinggi yakni masing-masing sebesar 1.34, 1.18

dan 1.10. Dengan output ekonomi yang tinggi, sektor perdagangan dan angkutan

dapat mendorong dinamika ekonomi wilayah serta hubungan antar wilayah baik

intra maupun inter regional.

113

5.4. Interaksi Spasial Intra-Inter Regional

5.4.1. Pola Hubungan Wilayah Intra-Inter Regional

Setiap wilayah memiliki potensi sumber daya dan karakteristik masing-

masing baik sebagi faktor endowment maupun sebagai faktor buatan berupa

teknologi dan hasil interaksi sosial-ekonomi wilayah lainnya. Perbedaan sumber

daya (supply side) serta disisi lainnya perbedaan kebutuhan (demand side)

menyebabkan terjadinya transaksi dan interaksi sosial maupun ekonomi wilayah.

Mobilisasi sumber daya dan pemenuhan kebutuhan masing-masing

wilayah sehingga terjadinya hubungan/interksi wilayah dapat berwujud arus atau

pergerakan orang, kendaraan atau barang serta komponen wilayah lainnya

(seperti teknologi, modal dan informasi) melalui jalan dan transportasi, sistem

atau kelembagaan yang melaksanakannya. dan tingkat dan sifat interaksi akan

menentukan perkembangan suatu wilayah.

Tabel 55 Persepsi Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk Di Kapet Bima (%)

No.

Keperluan

Daerah Tujuan Dlm Desa

Dlm Kec

Dlm Kab

Luar Kab Jumlah

1 Membeli Sembako 29.73 37.84 27.03 5.41 100.00

2 Membeli Saprotan 15.15 30.30 45.45 9.09 100.00

3 Membeli Pakaian 7.41 37.04 48.15 7.41 100.00

4 Membeli Bahan Bangunan 6.45 35.48 51.61 6.45 100.00

5 Membeli Barang Elektronik 6.90 27.59 55.17 10.34 100.00

6 Membeli Alat dan Mesin 5.00 15.00 65.00 15.00 100.00

7 Membeli Sepeda 8.00 32.00 48.00 12.00 100.00

8 Membeli Sepeda Motor 9.09 36.36 45.45 9.09 100.00

9 Membeli Mobil - 14.29 64.29 21.43 100.00

10 Rekreasi/Traveling 8.57 37.14 40.00 14.29 100.00

11 Menjual Produk Usaha 14.71 32.35 47.06 5.88 100.00

Rerata 10.09 30.49 48.84 10.58 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer

Sifat pergerakan penduduk sendiri secara garis besar terbagi dua macam.

Yang pertama adalah pergerakan yang bersifat sementara, yakni perjalanan atau

114

bepergian untuk memenuhi kebutuhan hidup dan atau usahanya kemudian

selanjutnya akan kembali lagi ke tempat asalnya. Sedangkan yang kedua adalah

pergerakan yang bersifat tetap, yakni perpindahan penduduk dari suatu tempat

ketampat lain dengan tujuan untuk menetap secara permanen.

Pergerakan penduduk yang bersifat sementara, tergambar dari orientasi

perjalanan/bepergian penduduk di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 55. Dari

tabel 55 dapat dijelaskan bahwa untuk memenuhi berbagai keperluannya,

penduduk selain mendapatkan dari lingkungannya (desa/kelurahan sendiri) juga

lebih banyak didapat dari luar desa/kelurahannya. Yang relatif mudah untuk

didapat dalam desa/kelurajan adalah membeli sembako dan saprotan (sarana

produksi pertanian) sedangkan 9 (sembilan) keperluan lainnya relatif sulit didapat.

Secara umum keperluan yang dapat dipenuhi dalam desa/kelurahan

sebanyak 10.09 %. Dalam kecamatan (biasanya di ibu kota kecamatan) adalah

sebanyak 30.49 % dan yang paling banyak adalah di dalam wilayah Kabupaten

(di ibu kota kabupaten atau pusat perdagangan kabupaten/kota, seperti di

Kecamatan Rasanae Barat, Kecamatan Dompu, Ibu Kota Kecamatan Sape, Sila

Bolo, Tente Woha, dan Manggelewa) adalah sebesar 48.84 %, diantaranya untuk

membeli alat dan mesin, membeli mobil serta membeli barang elektonik.

Uraian di atas menunjukkan bahwa tiap keperluan penduduk (barang/jasa)

memiliki tingkat ketersediaan yang berbeda-beda, jika sembako (kebutuhan

primer) dan saprotan tersedia hampir di seluruh tingkat desa/kelurahan, sedangkan

pakaian, bahan bangunan (kebutuhan sekunder) dan sepeda, sebagian besar

penduduk mendapatkan di pasar tingkat kecamatan, maka alat dan mesin, sepeda

motor dan mobil (kebutuhan tersier), pada umumnya penduduk mendapatkannya

di pusat perdagangan tingkat kabupaten. Sehingga terdapat kecenderungan bahwa

ada hubungan antara hirarki ketersediaan barang/jasa dengan hirarki tingkat

perkembangan suatu wilayah di Kapet Bima, atau dengat kata lain, pengaruh

ketersediaan barang/jasa yang dibutuhkan penduduk akan sangat menentukan

tingkat perkembangan suatu wilayah.

Pergerakan penduduk yang kedua adalah pergerakan yang bersifat tetap,

yakni perpindahan penduduk dari suatu tempat ketempat lain dengan tujuan untuk

menetap secara permanen. Dengan objek kajian tingkat desa/keluarahan maka

115

dapat digambarkan pola perpindahan penduduk berdasarkan daerah asal dan

tujuannya.

Pola Perpindahan Penduduk Berdasarkan Daerah Asal

52.37

23.7917.62

5.720.50-

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

Dlm Kec Dlm Kab Dlm Prop Dlm Negeri Luar NegeriDaerah Asal

Pend

uduk

Yan

g Pi

ndah

(%)

Gambar 8 Rerata Persentase Penduduk Pendatang Tiap Desa/Kelurahan Berdasarkan Daerah Asal di Kapet Bima

Dari gambar 8 diperoleh informasi bahwa persentase penduduk yang

pindah ke suatu desa/kelurahan di Kapet Bima, sebanyak 52.37 % berasal dari

desa tetangga sekitarnya dalam satu kecamatan, selanjutnya 23.79 % berasal dari

kecamatan lain dalam satu kabupaten, 17.62 % dari kabupaten lain dalam satu

propinsi, 5.72 dari propinsi lain dan 0.50 % berasal dari negara lain. Dari uraian di

atas terdapat kecenderungan bahwa pola perpindahan penduduk ke suatu

desa/kelurahan di Kapet Bima makin tinggi searah dengan makin dekatnya jarak

daerah asalnya.

Dari gambar 9 diketahui bahwa dari jumlah penduduk yang pindah ke luar

desa/kelurahannya, sebanyak 41.83 % ke propinsi lain, 28.76 % ke kabupaten lain

dalam satu propinsi, 10.84 % ke desa lain dalam 1 kecamatan, 9.57 % ke negara

lain dan 9.00 % ke kecamatan lain dalam satu kabupaten. Data ini menunjukkan

bahwa perpindahan penduduk suatu desa/kelurahan di Kapet Bima ke daerah lain

tidak dipengaruhi oleh jarak antar wilayah tapi di tentukan oleh daya tarik atau

daya dorong suatu wilayah.

116

Pola Perpindahan Penduduk Berdasarkan Daerah Tujuan

10.84 9.00

28.76

41.83

9.57

-5.00

10.0015.0020.0025.0030.0035.0040.0045.00

Dlm Kec Dlm Kab Dlm Prop Dlm Negeri Luar Negeri

Daerah Tujuan

Pend

uduk

Yan

g Pi

ndah

(%)

Gambar 9 Rerata Persentase Penduduk Tiap Desa/Kelurahan Yang Pindah Ke Daerah Lain Berdasarkan Daerah Tujuan Di Kapet Bima

a. Pola Hubungan Wilayah Intra Regional

Hubungan wilayah intra regional meliputi hubungan wilayah antar desa,

antar kecamatan dan atau antar kabupaten/kota di Kapet Bima. Hubungan antar

wilayah khususnya sangat dipicu oleh pergerakan penduduk untuk memobilisasi

sumber daya wilayahnya dan atau memenuhi kebutuhan hidup dan usahanya,

sehingga faktor-faktor tersebut menjadi daya dorong atau daya tarik suatu

wilayah.

Tabel 56 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Desa/Kelurahan Dalam 1 (Satu) Kecamatan Di Kapet Bima

Alasan/Motivasi Pindah %

a. Mencari nafkah/kerja 18.93

b. Ikut suami/istri/keluarga 26.17

c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 8.80

d. Rasa nyaman/keamanan 6.46

e. Sekolah 39.64

f. Lain-Lain -

Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer

117

Tabel 56 menjelaskan bahwa alasan/motivasi perpindahan penduduk antar

desa/kelurahan dalam satu kecamatan di Kapet Bima masih di dominasi oleh

tujuan melanjutkan pendidikan (39.64 %), hal ini disebabkan karena di tingkat

desa/kelurahan lembaga pendidikan pada umumnya hanya tersedia sampai tingkat

SD sementara tingkat SLTP pada umumnya hanya tersedia di ibukota kecamatan.

Motivasi kedua adalah karena ikut suami/istri/keluarga, fenomena ini

dapat menggambarkan masih kuatnya tingkat keeratan hubungan

sosial/kekeluargaan penduduk di Kapet Bima, yaitu adanya ikatan pernikahan

yang kecenderungannya dengan famili atau dengan keluarga yang telah dikenali,

serta adanya fenomena migrasi berantai karena kekerabatan dalan suatu keluarga

besar, yakni perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain yang diikuti

penduduk (kerabatnya). Perpindahan demikian biasanya terjadi apabila

rombongan atau orang yang pertama berhasil maka akan menarik saudara atau

kerabatnya yang lain.

Adapun alasan/motivasi perpindahan penduduk antar kecamatan dalam

satu kabupaten di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 57 dan uraian berikut ini.

Tabel 57 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Kecamatan

Dalam 1 (Satu) Kabupaten Di Kapet Bima

Alasan/Motivasi Pindah %

a. Mencari nafkah/kerja 20.12

b. Ikut suami/istri/keluarga 30.34

c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 9.22

d. Rasa nyaman/keamanan 3.13

e. Sekolah 34.91

f. Lain-Lain 2.29

Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer

Tabel 57 menjelaskan masih terdapatnya kesenjangan fasilitas pendidikan

antar kecamatan, khususnya antara kecamatan di ibu kota kabupaten dengan luar

ibu kota kabupaten yakni pada tingkat pendidikan SMU/SMK sehingga hal

tersebut masih menjadi alasan/motivasi penduduk untuk berpindah (34.91 %).

118

Fenomena perpindahan akan adanya hubungan kekerabatan juga sangat tinggi

(30.34 %) sedangkan persepsi penduduk adanya peluang kerja dalam wilayah

telah menjadi motivasi ekonomi penduduk untuk melakukan migrasi (20.12 %).

Hubungan antar wilayah di Kapet Bima didukung oleh ketersediaan

prasarana dan sarana transportasi baik berupa transportasi antar desa maupun

antar kecamatan/daerah dalam wilayah Kapet Bima, namun terdapat beberapa

daerah yang intensitasnya relatif rendah seperti di Kecamatan Donggo dan

Tambora Kabupaten Bima.

Tabel 58 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) Intra Regional Kapet Bima

Kabupaten

Jumlah Trayek

Jmlh Kendaraan

(Buah)

Perkiraan Pergerakan Perhari

Jml Penumpang (Org)

Jml Barang (Kg)

Kab dan Kota Bima 67 401 9,410 88,309

Dompu 11 64 1,502 14,094

Jumlah Kapet Bima 78 465 10,912 102,403 Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer dan Data Sekunder

Tabel 58 menjelaskan bahwa terdapat 465 jumlah kendaraan roda 4 dan 6

yang melewati sekitar 78 trayek antar kota dalam wilayah Kapet Bima sehingga

diperkirakan terdapat pergerakan penumpang sebanyak lebih dari 10.912 orang

dengan jumlah barang sebanyak lebih dari 102 ton perhari. jumlah ini belum

termasuk mobil pribadi dan kegiatan khusus pengangkutan barang yang ada dalam

wilayah Kapet Bima.

Dari gambar 10 terlihat bahwa wilayah Kapet Bima yang dibatasi oleh

keadaan geografis yang berbukit serta wilayah yang berbentuk poligon tidak

teratur, sehingga membentuk jalur transportasi yang bersifat linear dan melingkar,

tidak bersifat kompak atau menyebar, sehingga sangat sulit membentuk jaringan

transportasi intra regional yang optimal (kurang efisien). namun tiap wilayah

membentuk hubungan dengan wilayah lain cenderung bersifat fungsional

sehingga arus-arus pergerakan membentuk simpul-simpul dominan dan

membentuk beberapa daerah inti atau yang berfungsi sebagai pusat-pusat

pelayanan (node) dengan berbagai tingkatan (hirarki), yakni sebagai berikut :

119

(1) Hiraki pertama adalah Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima, dimana

semua wilayah lain dalam Kapet Bima cenderung akan bergerak Ke

daerah ini, khusunya untuk mendapatkan barang/jasa/pelayanan yang

berhirarki tinggi (tidak tersedia di daerah lain).

(2) Hirarki kedua adalah Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu dan

Kecamatan Sape Kabupaten Bima. Kecamatan Dompu berfungsi

menyangga hampir semua daerah di Kabupate Dompu, khususnya di

wilayah Dompu bagian selatan. Sedangkan Kecamatan Sape menyangga

sebagian wilayah Kecamatan Wawo, Kecamatan Wera dan Langgudu serta

mendukung hubungan dengan Propinsi NTT dan Kawasan Timur

Indonesia lainnya.

(3) Hirarki ketiga adalah Kecamatan Manggelewa Kabupaten Dompu,

Kecamatan Bolo dan Woha Kabupaten Bima. Kecamatan Manggelewa

mendukung perkembangan Kecamatan-Kecamatan di sekitar semenanjung

Gunung Tambora, Kecamatan Bolo mendukung perkembangan

Kecamatan Donggo dan Madapangga, sedangkan Kecamatan Woha

mendukung perkembangan wilayah selatan Kabupaten Bima.

Gambar 10 Arus Penumpang dan Barang Dominan Intra Regional

di Kapet Bima

120

b. Pola Hubungan Wilayah Inter Regional

Hubungan wilayah inter regional meliputi hubungan wilayah antara

daerah-daerah di dalam dan diluar Kapet Bima, baik berupa hubungan antar

pelabuhan, kota, kabupaten maupun dengan suatu propinsi.

Hubungan antar wilayah khususnya sangat dipicu oleh pergerakan

penduduk serta mobilisasi sumber daya wilayahnya dan atau memenuhi

kebutuhan hidup penduduk dan usaha dalam skala yang lebih besar. sehingga

faktor-faktor tersebut menjadi daya dorong atau daya tarik suatu wilayah.

Adapun faktor-faktor yang dapat menjadi daya tarik dan daya dorong

hubungan wilayah dapat diidentifikasi dari alasan/motivasi perpindahan penduduk

serta besaran dan jenis pergerakan barang dan jasa yang dapat dijelaskan pada

tabel 59 dan uraian berikut.

Tabel 59 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Kabupaten Lain Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima

Alasan/Motivasi Pindah %

a. Mencari nafkah/kerja 25.43

b. Ikut suami/istri/keluarga 23.81

c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 17.15

d. Rasa nyaman/keamanan 5.95

e. Sekolah 27.65

f. Lain-Lain -

JUMLAH 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer

Tabel 59 mengidentifikasi tiga faktor utama yang menjadi alasan

perpindahan penduduk yaitu melanjutkan pendidikan, ikut famili dan mencari

nafkah/kerja. Tingginya perkembangan jumlah perguruan tinggi di Kota Bima

menjadi faktor penarik bagi penduduk selain dari Kota Bima, Kabupaten Bima

dan Dompu juga berasal dari Kabupaten Sumbawa Besar dan Sumbawa Barat.

Sedangkan dari Kabupaten Lobar dan Loteng cenderung mencari nafkah

khususnya di sektor perdagangan dan industri pengolahan serta sebagai migrasi

121

berantai mengikuti kerabat yang sebelumnya banyak menjadi transmigran yang

bergerak disektor pertanian.

Tabel 60 menjelaskan bahwa faktor dominan yang menjadi alasan/motifasi

penduduk untuk pindah ke kabupaten lain dalam satu propinsi adalah melanjutkan

pendidikan (58.85 %). Daerah tujuan utama untuk melanjutkan pendidikan adalah

Kota Mataram. Walaupun di Kota Bima, Kabupaten Bima dan Dompu terdapat

perguruan tinggi, namun satu-satunya perguruan tinggi negeri di Propinsi NTB

adalah di Mataram (Universitas Mataram), di Kota Mataram pun memiliki

berbagai perguruan tinggi yang menawarkan jurusan/program studi yang tidak

terdapat diperguruan tinggi di daerah-daerah Kapet Bima.

Tabel 60 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Kabupaten Lain Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima

Alasan/Motivasi Pindah %

a. Mencari nafkah/kerja 18.75

b. Ikut suami/istri/keluarga 12.50

c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 8.75

d. Rasa nyaman/keamanan 1.15

e. Sekolah 58.85

f. Lain-Lain -

Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer

Adapun Alasan/motiviasi Perpindahan Penduduk dari propinsi lain di

Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 61. Tabel tersebut menjelaskan bahwa tiga

faktor utama yang menjadi alasan/motifasi penduduk untuk bermigrasi ke daera-

daerah di Kapet Bima adalah mencari nafkah (33.19 %), ikut kerabat (29.74 %)

serta mencari kehidupan yang memadai. Penduduk dari Jatim, Sulawesi Selatan,

dan Sumatera Barat banyak yang melakukan kegiatan perdagangan. Migrasi dari

Bali sebagian besar sebagai transmigrasi dan bergerak di sektor pertanian

sedangkan migrasi dari NTT bergerak di sektor informal.

122

Tabel 61 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Propinsi Lain Di Kapet Bima

Alasan/Motivasi Pindah %

a. Mencari nafkah/kerja 33.19

b. Ikut suami/istri/keluarga 29.74

c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 27.59

d. Rasa nyaman/keamanan 2.16

e. Sekolah 3.02

f. Lain-Lain 4.31

Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer

Tabel 62 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Propinsi Lain Di Kapet Bima

Alasan/Motivasi Pindah %

a. Mencari nafkah/kerja 41.52

b. Ikut suami/istri/keluarga 8.17

c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 3.06

d. Rasa nyaman/keamanan 0.82

e. Sekolah 46.43

f. Lain-Lain -

Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer

Tabel 62 di atas menjelaskan bahwa terdapat dua faktor utama yang

menjadi alasan motifasi penduduk bermigrasi ke luar daerah yakni mencari

nafkah/kerja (41.52 %) dan sekolah (46.43 %). Penduduk yang mencari

nafkah/kerja khususnya di sektor formal cenderung menuju daerah Jakarta,

Tangerang dan Bekasi, Surabaya, Sulawesi Selatan, Banjarmasin, Balikpapan dan

Samarinda. Sedangkan penduduk yang ingin melanjutkan pendidikan cenderung

menuju daerah-daerah Malang, Yogyakarta, dan Ujung Pandang. Berbagai daerah

123

tujuan migrasi ini memang adalah merupakan daerah-daerah pusat pertumbuhan

ekonomi dan pendidikan di Kawasan Timur dan Barat Indonesia.

Tabel 63 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Negara Lain

Di Kapet Bima

Alasan/Motivasi Pindah %

a. Mencari nafkah/kerja 92.73

b. Ikut suami/istri/keluarga 2.18

c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 3.64

d. Rasa nyaman/keamanan -

e. Sekolah 1.45

f. Lain-Lain -

Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer

Hubungan wilayah di Kapet Bima, selain bersifat intra regional, inter

regional juga internasional, hal ini tergambar dari migrasi penduduk ke berbagai

negara seperti terlihat pada tabel 63. Tabel tersebut menjelaskan bahwa alasan

utama perpindahan penduduk ke negara lain adalah untuk mencari nafkah/kerja

yakni sebagai TKI/TKW di negara-negara berikut : Malaysia, Arab Saudi, Korea

Selatan dan Jepang, sedangkan negara tujuan melanjutkan pendidikan adalah ke

Australia.

1). Hubungan Inter Regional Melalui Jaringan Transportasi Darat

Keterkaitan antar wilayah tidak dapat terjalin bila tidak didukung oleh

hubungan antar wilayah yang saling berinteraksi. Hubungan tersebut dapat terjadi

melalui jaringan transportasi (ketersediaan prasarana dan sara transportasi).

Tabel 64 menjelaskan ketersediaan angkutan umum antar kota dalam

propinsi, yang melewati jalur mulai dari Bima, Dompu, Sumbawa sampai

Mataram. Jalur ini melewati semua kota/kabupaten yang ada di Propinsi Nusa

Tenggara Barat, sehingga tingkat mobilitas antara Kapet Bima dan kabupaten/kota

lain berjalan cukup lancar dengan jumlah pergerakan penumpang lebih dari 549

orang dan jumlah barang lebih dari 5 ton per hari. Nilai ini baru berasal dari

angkutan umum, belum termasuk angkutan pribadi dan angkutan barang.

124

Tabel 64 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKDP

Di Kapet Bima

No.

Trayek

Jmlh Kendaraan

(Buah)

Perkiraan Pergerakan Perhari Jml Penumpang

(Org) Jml Barang

(Kg)

1 Dara-Dompu-Sumbawa Besar-Mataram 19 289 2,768

2 Dara-Tente-Dompu-Sumbawa Besar 13 250 2,392

Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer dan Data Sekunder

Tabel 65 menjelaskan ketersediaan angkutan umum antar kota antar

propinsi, yang melewati jalur mulai dari Bima, Lombok, Bali, Surabaya sampai

Jakarta. Jalur ini melewati Propinsi NTB, Bali dan semua propinsi di Jawa kecuali

Jawa Barat. sehingga tingkat mobilitas antara Kapet Bima dan Propinsi Lain yang

ada di Jawa dan Bali berjalan cukup lancar dengan jumlah pergerakan penumpang

lebih dari 199 orang dan jumlah barang 1.9 ton per hari artinya terdapat

pergerakan arus penumpang sebanyak lebih dari 70 ribu orang pertahun dari dan

ke Kapet Bima dengan Kota Lain di Jawa dan Bali khususnya daerah Jakarta,

Tangerang dan Bekasi. Nilai ini baru berasal dari angkutan umum, belum

termasuk angkutan pribadi dan angkutan barang.

Tabel 65 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKAP

Di Kapet Bima

No.

Trayek

Jmlh Kendaraan (Buah)

Pergerakan Perhari Jml Penumpang

(Org) Jml Brg

(Kg)

1 Dara-Mataram-Surabaya 10 46 437

2 Dara-Mtrm-Surabaya-Jakarta 47 153 1,466

Jumlah 57 199 1,903 Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer dan Data Sekunder

125

Dalam sistem jaringan transportasi nasional, Kapet Bima memegang

peranan cukup penting. Untuk sistem transportasi darat, kota-kota dalam Kapet

Bima dihubungkan melalui jalur kolektor primer. Selain itu, Bima juga

merupakan salah satu simpul jaringan penyeberangan lintas selatan (Jakarta-

Surabaya-Bali-Lombok-Sumbawa-Bima) yang terhubungan dengan kota-kota

sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia, (dapat dilihat

pada gambar 11 di atas).

2). Hubungan Inter Regional Melalui Jaringan Transportasi Udara

Hubungan wilayah Kapet Bima dengan Kota lain di Indonesia juga

didukung oleh ketersediaan jaringan transportasi udara. Tabel 66 menjelaskan

bahwa pada tahun 2001 jumlah kedatangan sebanyak 734 kali, kemudian turun

pada tahun 2002 sebanyak 642 kali namun sejak tahun 2003 meningkat menjadi

sebanyak 898 kali dan tahun 2004 sebanyak 970 kali. Sedangkan jumlah

Gambar 11 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Darat Inter Regional Kapet Bima

126

keberangkatan pesawat nilai dan perkembangannya hampir tidak berbeda dengan

kedatangan pesawat.

Tabel 66 Lalu Lintas Pesawat dan Penumpang Di Bandara Udara Sultan Salahudin Kabupaten Bima

Tahun

Pesawat Penumpang

Datang Berangkat Datang Berangkat Transit

2001 734 734 7,771 7,555 2,482

2002 642 697 6,834 7,411 2,847

2003 898 898 12,307 12,068 15,370

2004 970 970 18,165 18,286 30,720Sumber : Kantor Bandar Udara Muhammad Salahudin Bima, 2005

Frekuensi kedatangan dan keberangkatan pesawat secara signifikan

berkorelasi positif terhadap pergerakan penumpang. Pada tahun 2001 jumlah

kedatangan penumpang sebanyak 7,771 orang dan yang berangkat 7,555 orang,

Gambar 12 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Udara Inter Regional Kapet Bima

127

kemudian turun pada tahun 2002, yakni kedatangan penumpang sebanyak 6,834

orang dan yang berangkat sebanyak 7,411 orang, namun pada tahun 2003

mengalami peningkatan kedatangan penumpang sekitar dua kali lipat yakni

sebanyak 12,304 dan yang berangkat sebanyak 12,068 orang. dan pada tahun

2004 tetap mengalami peningkatan, kedatangan penumpang sebanyak 18,165 dan

yang berangkat sebanyak 18,286 orang.

Untuk sistem transportasi udara, Bandara Udara M. Salahuddin di

Kabupaten Bima merupakan salah satu simpul transportasi udara Nasional, yang

pelayanannya meliputi beberapa kabupaten yang menghubungkan antara bandar

udara utama dan kedua, yaitu Jakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram serta dengan

Ende, Kupang, Labuan Bajo, Ruteng, Tambulaka dan Waingapu (dapat dilihat

pada Gambar 12). Sistem transportasi udara memiliki karakteristik dengan tingkat

mobilitas yang tinggi sehingga dapat mendorong akselerasi pertumbuhan sosial-

ekonomi wilayah.

3). Hubungan Inter Regional Melalui Jaringan Transport. Laut

Hubungan wilayah Kapet Bima dengan daerah lain yang tidak tercover

oleh jalur transportasi darat dan udara dilayani oleh jaringan transportasi laut.

Tabel 67 menjelaskan bahwa terdapat tiga pelabuhan laut utama di Kapet Bima

yaitu pelabuhan laut Dompu, Bima dan Sape, namun pelabuhan laut Dompu lebih

berfungsi sebagai tempat bongkar muat kayu sedangkan pelabuhan laut Bima dan

Sape melayani arus penumpang dan barang.

Tabel 67 Rata-Rata Jumlah Kapal Yang Berkunjung, Jumlah Penumpang dan Bongkar Muat Barang Tiap Tahun Di Berbagai Pelabuhan Laut

Di Kapet Bima

Pelab. Kunjgn Kapal (Kali)

Penumpang (Org) Barang (Ton) Hewan (Ekor) Kayu

(m3) Turun Naik Bgkr Muat Bgkr Muat Bgkr Muat

Dompu 42 - 24 - 200 - - - 5,799

Bima 2,344 21,994 13,513 95,797 50,362 - 17,935 1,545 -

Sape 551 1,599 1,460 143 324 - 564 193 -

Total 2,937 23,593 14,997 95,940 50,886 - 18,499 1,738 5,799 Sumber : BPS Kabupaten Bima, Kabupate Dompu dan Kota Bima, 2004

128

Total kunjungan kapal laut di Kapet Bima adalah lebih dari 2,937 kali

dengan frekuensi tertinggi di pelabuhan laut Bima yakni sebanyak 2.344 kali

pertahun, sedangkan total arus penumpang yang turun sebanyak lebih dari 23.593

orang dan yang berangkat lebih dari 14.997 dengan frekuensi tertinggi di

pelabuhan laut Bima yakni penumpang yang turun sebanyak lebih dari 21,994

orang dan yang berangkat lebih dari 13,513 orang.

Adapun arus barang dengan total yang dibongkar 95,940 ton dan yang

dimuat 50,362 ton, dan jumlah hewan yang dimuat lebih dari 18,499 ekor dengan

freuensi tertinggi di Pelabuhan laut Bima. Sedangkan total kegiatan bongkar

muatan kayu sebanyak 1,738 m3 dengan frekuensi tertinggi di pelabuhan laut

Bima sebanyak dan yang dimuat sebanyak 1,545 m3 dan kegiatan muat kayu

hanya di Pelabuhan Laut Dompu yakni sebanyak 5,799 m3.

Gambar 13 memberikan gambaran tentang arus penumpang dan barang

melalui transportasi laut di Kapet Bima setidaknya berhubungan dengan 29

kota/daerah di indonesia, namun interaksi yang paling tinggi adalah dengan

Gambar 13 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Laut Inter Regional Kapet Bima

129

kota/daerah di delapan propinsi yakni Propinsi Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa

Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, DKI Jakarta

dan Papua.

Tabel 68 Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima

No. Daerah Total Barang (Ton) Asal Tujuan

1 Surabaya Bima 5,778.75

2 Makasar Bima 3,918.00 Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 68 menjelaskan bahwa terdapat dua daerah yang dominan menjadi

pemasuk barang. Daerah tersebut adalah Surabaya dan Makasar. Surabaya

memasuk beberapa komoditi (total 5,778 ton pertahun) antara lain : minyak

goreng, tepung terigu, pakan ternak dan kayu lapis serta semen. Sedangkan dari

Makasar adalah sebagai pemasuk beberapa komoditi (total 3,918 ton pertahun)

antara lain : beras, gula pasir dan tepung terigu serta semen.

Tabel 69 Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut

Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima

No. Daerah Jumlah Penumpang (Org) Asal Tujuan

1 Maumere Bima 1,416 2 Surabaya Bima 252 3 Waingapu Bima 2,475 4 Lab. Bajo Bima 2,603 5 Makasar Bima 10,476 6 Lembar Bima 1,152 7 P. Komodo Bima 312 8 Benoa Bima 1,302

Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 69 menjelaskan terdapat delapan daerah yang menjadi daerah asal

dominan penumpang yang datang ke Kapet Bima. Daerah dimaksud adalah :

maumere, Surabaya, waingapu, Labuhan Bajo, Makasar, Lembar, Pulau Komodo

130

dan Benoa dan daerah asal yang paling banyak kedatangan penumpang adalah

Makasar rata-rata sebanyak 10,476 orang.

Tabel 70 Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut

Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima

No. Daerah Total Barang (Ton) Asal Tujuan

1 Bima Maumere 985 2 Bima Surabaya 2,692 3 Bima Makasar 1,762 4 Bima Banjarmasin 11,737 5 Bima Kupang 6,124 6 Bima Balikpapan 217

Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 70 menjelaskan bahwa terdapat tujuh daerah tujuan dominan arus

barang dari Kapet Bima yakni : Maumere, Surabaya, Labuhan Bajo, Makasar,

banjarmasin, NTT (Kupang) dan Balikpapan. Daerah tujuan yang paling tinggi

jumlah arus barang dari Kapet Bima adalah Banjarmasin, NTT dan Makasar.

Total barang dengan tujuan Banjarmasin adalah rata-rata sebanyak 11.737

ton pertahun, yakni terdiri dari beberapa komoditi antara lain : beras, kedelai,

garam, kacang dan bawang merah. Total barang tujuan NTT (Kupang) adalah

rata-rata lebih dari 6,124 ton pertahun, yang terdiri dari beberapa komoditi antara

lain : beras, kedelai, garam dan bawang merah sedangkan total barang tujuan

Makasar adalah rata-rata lebih dari 1,762 ton pertahun, yang terdiri dari beberapa

komoditi antara lain : kedelai, garam, kacang dan bawang merah.

Tabel 71 Rata-Rata Jumlah Realisasi Komoditi yang Diantarpulaukan Tiap

Tahun di Kapet Bima

No. Komoditi Jumlah (ekor) Daerah Tujuan

1. Sapi Jantan 4.379 - DKI Jakarta

2. Sapi Betina 613 - Lombok

3. Kerbau Jantan 1.738 - Jatim

4. Kerbau Betina 507 - Kalimantan Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder

131

Data pada tabel 71 di atas menjelaskan bahwa terdapat empat daerah

utama sebagai pasar bagi komoditi peternakan yakni DKI Jakarta, Lombok, Jatim

dan Kalimantan. Komoditi ternak terbanyak yang di eksport adalah Sapi Jantan

sebanyak 4.379 ekor selanjutnya adalah kerbau jantan sebanyak 1,738 ekor.

Tabel 72 Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima

No. Daerah Jumlah

Penumpang (Org) Asal Tujuan

1 Bima Maumere 1,077

2 Bima Benoa 834

3 Bima Waingapu 927

4 Bima Surabaya 267

5 Bima Lembar 229

6 Bima Lab. Bajo 1,762

7 Bima Makasar 7,736

8 Bima P. Komodo 277 Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 72 menjelaskan bahwa terdapat delapan daerah tujuan dominan arus

penumpang dari Kapet Bima yakni : Maumere, Benoa, Waingapu, Surabaya,

Lembar Labuhan Bajo dan Makasar, serta Pulau Komodo, dan daerah tujuan

yang paling tinggi jumlah arus penumpang dari Kapet Bima adalah Labuhan Bajo

(1,762 orang pertahun) dan Makasar (7,736 orang pertahun), Maumere (1,077

orang pertahun), waingapu (927 orang pertahun) dan Benoa (834 orang pertahun).

5.4.2. Posisi Kapet Bima dalam Hubungan Wilayah Nasional

Secara faktual, Kota Bima merupakan kota penting di Nusantara

khususnya di kawasan timur, terutama dalam hubungan wilayah dan percaturan

dagang. Posisi dan peranannya yang penting ini didukung oleh letaknya yang

strategis. Teluk Bima disamping dianggap sebagai salah satu teluk yang terindah

di Indonesia, juga merupakan tempat berlabuh yang aman. Bima menjadi kota

jangkar yang menghubungkan antara kawasan Indonesia bagian barat (Jawa)

132

dengan Sulawesi dan kepulauan – kepulauan Indonesia timur lainnya. Setiap

armada dagang yang lalu lalang di perairan selat Sunda ke Timur umumnya

melakukan transit di pelabuhan Bima, baik dalam rangka mengembangkan

perdagangan maupun sekedar untuk berlindung dari serangan badai angin barat.

Seperti terlihat pada gambar 14, Kapet Bima memiliki aksessibilitas yang

tinggi terhadap berbagai kawasan strategis lainnya. Aktifitas sosial ekonomi kota

dihubungkan secara rutin dan lantar oleh sarana/prasarana transportasi darat, laut

dan udara. Melalui darat, tersedia 2 terminal utama (yakni terminal Dara Kota

Bima dan terminal Ginte Kabupaten Dompu) dan dua sub terminal dengan

dukungan ± 76 armada Bus antar kota dan antar pulau (ke Lombok, Bali dan

Jawa). Melalui laut, didukung oleh pelabuhan laut Kota Bima dan armada kapal

ferry dan PELNI yang cukup intensif ke berbagai pelabuhan yaitu Tanjung Perak,

Ujung Pandang, Labuhan Bajo, Kupang dan Maumere. Sedangkan melalui udara

Gambar 14 Total Arus Penumpang dan Barang Inter Regional Kapet

133

terdapat jalur pesawat udara jenis F27, F100 dan B737 ke Mataram NTB serta ke

Denpasar, Surabaya dan Jakarta setiap hari.

5.4.3. Model Interaksi Spasial

Interaksi antar wilayah (spasial) menggambarkan dinamika yang terjadi di

suatu wilayah karena adanya aktivitas yang dilakukan oleh penduduknya,

sehingga terjadi mobilitas kerja, migrasi, arus informasi dan komoditas, mobilitas

pelajar serta aktivitas ekonomi lainnya, seperti yang tergambar pada pembahasan-

pembahasan interaksi spasial sebelumnya di atas.

Tabel 73 Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Inter Regional Jalur Transportasi Laut di Kapet Bima

No. Model Grafitasi k a b c R Sq.

I. Wil Asal (i) : Kapet Bima

1. T1ij = k. m1ia.m1j

b. dij-c -32.61 2.99 0.14 -0.51 0.03

2. T1ij = k. m2ia.m2j

b. dij-c -31.39 2.84 0.82** -2.68** 0.36**

3. T2ij = k. m1ia.m1j

b. dij-c -233.1 18.32 -0.50* -0.002 0.41*

4. T2ij = k. m2ia.m2j

b. dij-c -70.46 5.74 -0.31* -0.23 0.39*

II. Wil Tujuan (j) : Kapet Bima

1. T1ij = k. m1ia.m1j

b.dij-c 38.27 0.26 -2.18 -0.89 0.08

2. T1ij = k. m2ia.m2j

b.dij-c 8.74 0.64** 0.16 -2.31** 0.29**

3. T2ij = k. m1ia.m1j

b.dij-c -164.4* -66.15** 39.98** 93.74** 0.76*

4. T2ij = k. m2ia.m2j

b.dij-c 37.54 6.58 -6.39 -6.97 0.58

Sumber : Hasil Analisis *) Signifikan pada taraf α = 0.10 **) Signifikan pada taraf α = 0.05 dimana : i = Wilayah asal j = Wilayah tujuan T1ij = Arus penumpang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (orang) T2ij = Arus barang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (ton) m1i = Jumlah penduduk wilayah asal (orang) m1j = Jumlah penduduk wilayah tujuan (orang) m2i = Total nilai PDRB wilayah asal (Juta Rupiah) m2j = Total nilai PDRB wilayah tujuan (Juta Rupiah) dij = Jarak antara wilayah asal dan tujuan (km) a,b,c = Koefisien peubah massa (m) wilayah asal, massa

wilayah tujuan dan jarak. k = konstanta

134

Untuk melakukan pendugaan nilai interaksi spasial di Kapet Bima

digunakan model grafitasi. Dengan menggunakan data pergerakan orang dan

barang melalui jalur transportasi laut antara Kapet Bima dan berbagai daerah di

Indonesia maka hasil pendugaan parameter model interaksi spasialnya adalah

seperti yang terlihat pada tabel 73.

Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut terlihat bahwa

dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus

penumpang dari Kapet Bima secara sigifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan

ekonomi wilayah daerah tujuan (b = 0.82), dimana setiap kenaikan 1 % PDRB

daerah tujuan akan dapat meningkatkan arus penumpang dari Kapet Bima sebesar

0.82 % dan menurun sebesar 2.68 % seiring dengan penambahan jarak antar

wilayah sebesar 1 %. Hasil estimasi model (I2) menunjukkan bahwa koefisien

determinasi R2 = 0.36, artinya bahwa arus penumpang melalui transportasi laut

dari Kapet Bima ke berbagai daerah di Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-

variabel dalam model sebesar 36 %, sedangkan sisanya sekitar 64 % dijelaskan

oleh variabel lain diluar model.

Arus penupang dari Kapet Bima yang dominan adalah menuju Makasar-

Sulawesi Selatan yakni mencapai 8,669 orang pada tahun 2003, pada tahun 2004

sebanyak 7,918 orang, pada tahun 2005 sebesar 6,798 orang dan pada tahun 2006

mencapai 7,575 orang. Arus penumpang ini melakukan perjalanan untuk tujuan

bisnis/perdagangan, melanjutkan pendidikan dan karena kegiatan kunjungan

keluarga/kerabat. Tingginya dinamika dunia pendidikan di Makasar dengan

banyaknya alternatif bidang ilmu yang ditawarkan disamping biaya hidup yang

cukup murah telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pelajar dari Kapet Bima.

Begitu pula dengan perkembangan ekonomi dan infrastruktur Kota Makasar, hal

tersebut menjadi tarikan besar bagi arus migrasi dari Kapet Bima untuk mencari

pekerjaan dan melakukan kegitan perdagangan.

Arus barang dari Kapet Bima secara signifikan ditentukan oleh jumlah

penduduk (b = -0.50, dengan nilai R2 = 0.41) dan PDRB wilayah tujuan

(b = -0.31, dengan nilai R2 = 0.39), artinya setiap kenaikan jumlah penduduk dan

PDRB daerah tujuan sebesar 1 % akan menurunkan arus barang dari Kapet Bima

masing-masing sebesar 0,50 % dan 0.31 %.

135

Arus barang yang paling besar dari Kapet Bima adalah menuju ke berbagai

daerah di Propinsi Nusa Tenggara Timur, selain itu juga menuju Makasar,

Surabaya, Banjarmasin dan Balikpapan. Pada tahun 2006 saja arus barang menuju

ke berbagai Propinsi Nusa Tenggara Timur yakni lebih dari 14,500 ton.

Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima ditentukan oleh

pertumbuhan ekonomi wilayah asal (b = 0.64) dan jarak antar wilayah (c = -2.31 ,

dengan nilai R2 = 0.29, dimana setiap peningkatan nilai PDRB 1 % akan

meningkatkan arus penumpang sebesar 0.64 % dan tambahan jarak antar wilayah

sebesar 1 % maka arus penumpang yang menuju Kapet Bima akan turun sebesar

2.31 %. Sedangkan arus barang yang menuju Kapet Bima secara siginifikan

ditentukan oleh jumlah penduduk Kapet Bima dan daerah asal serta jarak antar

wilayah (R2 = 0.76), dimana setiap kenaikan 1 % jumlah penduduk Kapet Bima

dan jarak wilayah, maka secara signifikan menaikkan arus barang menuju Kapet

Bima masing-masing sebesar 39.98 % dan 93.74 %, namun setiap kenaikan 1 %

jumlah penduduk daerah asal, arus barang menuju Kapet Bima menurun sebesar

66.15 %.

Komoditi Kapet Bima yang dikirim keluar daerah pada umumnya berupa

hasil alam (komoditi pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan garam)

sedangkan komoditi yang masuk ke Kapet Bima meliputi produk hasil industri

seperti minyak goreng, tepung terigu, pakan ternak, kayu lapis, semen dan bahan

bangunan lainnya, komiditi tersebut dominan berasal dari Surabaya dan Makasar.

Dari model gravitasi di atas terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter

regional di Kapet Bima adalah merupakan refleksi dari pertumbuhan penduduk

dan perubahan PDRB dari tiap wilayah. Implikasinya adalah searah dengan

pertumbuhan penduduk, maka perlu dibangun berbagai infrastruktur pelayanan

umum serta yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah di Kapet Bima

sesuai dengan keunggulan wilayah.

Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan

pembangunan infrastruktur yang memadai akan mengakibatkan rendahnya

kemampuan pelayanan sosial dan serapan tenaga kerja dalam wilayah yang dapat

mendorong penduduk untuk melakukan migrasi ke daerah lain, baik dengan

tujuan melanjutkan pendidikan maupun untuk mencari pekerjaan dan kehidupan

136

yang layak, sehingga pada akhirnya sumber daya manusia khususnya yang

memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang baik akan semakin

berkurang.

Pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan karakter sumber daya lokal

akan dapat menggerakkan ekonomi sektor riil. Rendahnya produktivitas ekonomi

lokal karena tidak ditunjang oleh infrastruktur usaha yang memadai khususnya

bagi kegiatan industri pengolahan sektor-sektor unggulan, sementara disisi lain

keterbatasan infrastruktur transportasi dan komunikasi akan meningkatkan biaya

transportasi dan transaksi yang dapat menurunkan daya kompetitif suatu komoditi

wilayah.

5.4.4. Interaksi Spasial Dalam Tinjauan Sejarah

Penduduk daerah-daerah di wilayah Kapet Bima (Bima dan Dompu)

merupakan pembauran antara induk ras Bangsa Melayu Purba dan Melayu Baru,

sehingga antara keduanya tidak terdapat perbedaan yang tajam. Mereka hidup

terpencar/nomad di pesisir pantai, di pegunungan dan dataran tinggi. Mata

pencaharian mereka bercocok tanam dengan berhuma. Mereka sudah mengenal

alat-alat yang terbuat dari logam seperti tombak, sumpit, pisau dan parang.

pakaian dengan warna dasar putih, merah, dan biru melengkapi kehidupan mereka

(Tajib, 1995).

Melalui proses yang lama akhirnya mereka membentuk kelompok

berdasarkan keturunan pertalian darah yang menghuni suatu daerah tertentu.

Kelompok seperti itu disebut masyarakat paguyuban yang dipimpin oleh seorang

Ncuhi (kepala suku). Selanjutnya melalui musyawarah mufakat mereka

membentuk semacam federasi antara Kerajaan Ncuhi (5 Kerajaan Ncuhi : Ncuhi

Dara, Dorowoni, Banggapupa, Padolo dan Parewa) yakni Dewan Pemerintahan

Federasi dibentuk dengan nama ”DARI NCUHI” kemudian disebut ”DARI

MBOJO”

Perkawinan Sang Bima (Tokoh yang datang dari Jawa) dengan puteri

setempat melambangkan persatuan antara pendatang dengan penduduk setempat

dengan penuh perdamaian. Selanjutnya melalui perkawinan dan pertimbangan

lain, Dari Mbojo sepakat untuk mengangkat Sang Bima sebagai raja mereka.

137

Sejak kejadian itu, Federasi Ncuhi berubah statusnya menjadi kerajaan dan Sang

Bima selaku raja pertama (de jure), namun ia tidak pernah memerintah secara

langsung. Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari (de facto) tetap dilakukan oleh

Dari Mbojo pimpinan Ncuhi Dara. Selanjutnya Sang Bima kembali ke Jawa

bersama anak istrinya. Selanjutnya pada tahun 823 H = 1420 M anak keturunan

Sang Bima yakni Indra Zamrut dan Indra Komala datang dari Jawa ke Bima untuk

melanjutkan kepemimpinan atas Kerajaan Bima (Tajib 1995).

Kehidupan masyarakat Mbojo (Bima) dengan bercocok tanam sistem

berkebun dan berhuma serta beternak merupakan kebiasaan sejak periode zaman

Ncuhi tetap menjadi kegiatan pokok sampai pada masa pemerintahan raja ke-12,

Raja Ma Waa Paja Longge. Dimungkinkan oleh lahan pertanian luas dengan

penduduk sedikit, menyebabkan penduduk tidak terdorong untuk meningkatkan

ketrampilan bercocok tanam dan beternak. Keadaan yang statis berdampak pula

dalam struktur dan sistem pemerintahan. Hanya sedikit sekali pengaruh luar

berperan dalam tata kehidupan masyarakat atau pola pikirnya. Kesemuanya itu

dapat diduga bahwa kerajaan tidak mengalami perkembangan dan kemajuan.

Perdagangan sebagai salah satu pintu kemajuan belum tumbuh apalagi

berkembang. Tingkat kehidupan masyarakat berada pada tingkat yang amat

sederhana.

Titik Balik terjadi dalam abad XIV. Diawali dengan kebijaksanaan Raja

Ma Waa Paju Longge. Raja melepaskan diri dari hidup isolasi dan berorientasi ke

utara yakni ke Gowa. Hubungan Bima dan Gowa bukan hal baru atau kebetulan.

Raja Bima dan Raja Gowa menurut silsilah adalah berasal dari moyang yang

sama yaitu Maharaja Indra Palasar. Maharaja mempunyai 2 orang putera, masing-

masing Indra Ratu menjadi cikal bakal raja-raja Luwu/Sarwigading dan Maharaja

Tunggak Pandita menjadi cikal bakal raja-raja Bima. Jadi orientasi Raja Ma Waa

Paju Longge pada dasarnya menghubungkan kembali mata rantai keluarga yang

telah putus sekian lama.

Kitab BO (1119 H-1709 H) melukiskan : ” Ketika kakaknya Raja Ma Waa

Paju Longge menjadi raja maka Ma Waa Bilama dan Manggapo Donggo disuruh

berguru di Kerajaan Manurung. Oleh Raja Manurung kedua anak raja ini diantar

kepada orang sakti di Gunung Lampobatang, di tempat tersebut mereka belajar

138

selama tiga tahun. Setelah itu diajarkan juga tata cara pemerintahan di Kerajaan

Gowa, setelah dianggap tamat, Rumata Manggapo Donggo pulang ke tanah Bima,

sedangkan Ma Waa Bilmana mengembara seorang diri sampai ke Negeri Bone

dan Luwu untuk berguru. Setelah tamat maka dia pun kembali ke tanah Bima.”

Pengalaman baru diperoleh yakni cara bercocok tanam dengan sistem

irigasi, belajar pula tentang percetakan sawah, serta cara membuat bendungan

dengan salurtan pengairan. Demikian pula tentang menggunakan bajak dan

menanam padi di sawah. Pengetahuan dan pengalaman baru tersebut amat

bermanfaat dalam upaya pengembangan dan peningkatan taraf hidup masyarakat

yang pada waktu itu masih berada pada tingkat yang amat sederhana.

Pada masa pemerintahan Ma Waa Bilmana sebagai Bicara atau Tureli

Nggampo dan Manggapo Donggo sebagai Raja Bima perbaikan di bidang

ekonomi dan peningkatan keamanan negeri memperlihatkan keberhasilan,

pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna tersusun, namun ancaman

laten bagi negeri masih ada. Dipulau sebelah timur yaitu Pulau Flores dan

khususnya wilayah Manggarai menjadi basis perompak/bajak laut, karena itu

perlu tindakan penanganan yang tegas. Bicara Bilama menugaskan anaknya La

Mbila dan La Ara untuk maksud itu sekaligus untuk menguasinya. Manggarai

awalnya merupakan daerah kekuasaan Karaeng-Karaeng Gowa, namun Akhirnya

La Mbila dan La Ara berhasil menguasai Manggarai. Dari Manggarai La Mbila

kemudian meluaskan wilayah ke sebelah timur yakni Ende, Larantuka sampai

Pulau Solor. Gerakan itu dilanjutkan ke arah selatan dengan menguasai pulau

Sumba. pimpinan Hadat Bima di wilayah timur ini dipegang oleh Jena Luma

Mbojo. Konsolidasi kekuasaan diseberang lautan itu berlangsung sampai Tahun

1064 H = 1657 M (Tajib 1995).

Pada tahap permulaan, Bima mengadakan hubungan tradisional dengan

Gowa. Melalui pelabuhan dagang Gowa, pedagang Bima memperdagangkan

beras dan hasil hutan. Jalur perdagangan Bima dan Gowa mulai ramai dan sejak

saat itu Bima dikenal dan membuka hubungan dengan daerah lain di Indonesia.

Komoditas dagang Bima berupa beras, hasil hutan, kain tenun diperdagangkan

diberbagai pelabuhan di Indonesia.

139

Setelah tahun 1400 C (Tahun Saka) = 1478 M, Kerajaan Majapahit

mengalami disintegrasi dan melemah, peranan Bandar Ujung Galuh sebagai pintu

gerbang Majapahit dalam politik dan ekonomi di Nusantara berangsur-angsur

hilang. Kegaitan perdagangan pindah ke daerah-daerah yang yang telah

melepaskan diri dari majapahit. Kemudian daerah-daerah tersebut berkembang

sendiri-sendiri dan khususnya sektor perdagangan diperankan oleh orang Jawa

yang telah memeluk agama Islam.

Menurut berita dari orang Portugis dan Belanda, pusat perdagangan

tersebut berada di kota-kota pelabuhan disepanjang pesisir pantai utara pulau

Jawa. Bandar memainkan peranan sebagai bandar dagang transit yaitu bandar

dagang perantara dalam perdagangan antar pulau di Nusantara, seperti Tuban,

Gresik, Jepara dan Banten. Journal orang portugis mengatakan bahwa sekitar

Tahun 1400, Gresik merupakan bandar utama tempat mengumpulkan rempah-

rempah asal Maluku.

Gresik, Jaratan dan Sedayu adalah merupakan kota yang mengumpulkan

rempah-rempah dari Maluku. Berita orang Belanda mengatakan bahwa kota

tersebut mempunyai armada dagang yang besar sehingga dapat mengadakan

hubungan dengan daerah-daerah yang lain. Pelayaran dilakukan sesuai dengan

musim. Pada musim kemarau pelayaran menuju selat Malaka, Siam dan

sebagainya. Sedangkan pada musim hujan menuju Bali, Bantam, Bima, Solor,

Timor, Selayar, Buton dan sebagainya.

Maluku melakukan impor langsung beras dari Jawa dan tambahannya dari

Bima, kain tenun dari Bali, uang kepeng dan lain sebagainya, ditukar dengan

rempah-rempah yang akan dijual kepada pedagang Cina dan India. Pusat-pusat

perdagangan Jawa ternyata berkedudukan sebagai bandar perantara dalam

perdagangan rempah-rempah dan lada. Hal ini dimungkinkan karena Jawa

mempunyai persediaan beras yang cukup guna memenuhi kebutuhan Maluku,

Malaka dan Sumatera Bagian Timur.

Dalam journal orang Portugis dan Belanda, disebutkan bahwa barang-

barang dari Bima, pada musim barat, beras, kain tenunan, hasil hutan diangkut ke

Gresik, Banten dan ke Maluku melalui pelabuhan Gowa. Karena kebutuhan akan

140

beras semakin meningkat, maka pedagang Jawa berdagang langsung dengan Bima

disamping dengan Gowa.

Kedatangan Agama Islam di Bima dalam keadaan kemelut politik internal

kerajaan. Di sana tiba para Mubaliq Islam kiriman Raja Gowa, terdiri dari orang

Tallo, Bone, Luwu dan Gowa. Tentang kedatangan mubaliq Islam tersebut dalam

Kitab BO tertulis :

”Hijratun Nabi S.A.W. 1028 (1617 M) Hari Bulan Jumadil awal telah

datang di Pelabuhan Sape saudara Daeng Mangali di Bugis Sape dengan orang

Luwu dan Tallo dan Bone untuk berdagang. Kemudian pada malam hari datang

menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan Ci’lo

kain Bugis dan keris serta membawa Agama Islam.

Selanjutnya kerajaan Gowa turut membatu Sultan Abdul Kahir (saat itu

masih sebagai putera mahkota Kerajaan Bima) dalam menyelesaikan kemelut

politik internal kerajaan dengan mengirim ekspedisi militer sampai tiga kali.

Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H (1620 M), keempat keturunan Raja

Bima masuk Islam, yakni : La Kai (Sultan Abdul Kahir, Sultan pertama), La

Mbila (Jalaludin), Bumi Jara Sape (Awaludin), dan Manuru Bata (Sirajudin).

Sehingga di mulai era Kesultanan Bima yang dibantu oleh dua ulama besar yaitu

Abdul Makmur Datu Di Bandang dan Datu Di Tiro, yang berasal dari Sumatera

Barat.

Dalam rangka upaya peningkatan hubungan antara Gowa dan Bima,

Sultan Muhammad Said (atau Malikussaid, Bapak dari Sultan Hasanudin)

mengawinkan puterinya Karaeng Bonto Je’ne dengan Putera Mahkota Kerajaan

Bima Abdul Khair Sirajuddin (Putera Sultan Abdul Kahir). Perkawinan

berlangsung dalam tahun 1646 M.

Keeratan hubungan kerajaan Bima dan Gowa juga terlihat dari keterlibatan

laskar Bima membantu Gowa dalam berbagai peperangan, seperti saat Perang

Bone Tahun 1646 (laskar Bima dipimpin langsung Sultan Abdul Khair Sirajudin),

Perang Somba Opu Tahun 1660 melawan kompeni, Perang Buton Tahun 1666,

Perang Somba Opu II Tahun 1666.

Pada Tahun 1676 Putera Mahkota Nuruddin (putera Sultan Abdul Khair

Sirajuddin) berada di Jawa Timur bergabung dengan lasykar Karaeng Galesong,

141

kemudian menjadi salah seorang pimpinan laskar dan menggabungkan diri dalam

Perang Trunojoyo melawan pasukan Mataram yang dipayungi kompeni dibawah

pimpinan Poleman. Nurudin bersama anak buahnya berada di Cirebon sejak

Januari 1680-Maret 1681, melakukan kunjungan ke Istana Sunan Gunung Jati

untuk memperdalam pengetahuan agama Islam.

Hubungan Bima dengan Jawa sudah terbina sejak lama. Hubungan

tersebut selain dalam bentuk hubungan perdagangan, politik, keagamaan namun

juga hubungan kekerabatan. Selain pendiri Kerajaan Bima sendiri yakni Sang

Bima yang menikah dengan puteri dari Bima, beberapa kajian sejarah menyatakan

bahwa Pangeran Diponegoro memiliki garis keturunan dari Bima seperti yang

tercantum pada catatan kaki buku berjudul Asal Usul Perang Jawa karangan

DR. Peter Carey, tertulis : ”Moyang perempuan Dipanegara, Ratu Ageng

(Tegalrejo) (C.1735-1803) adalah puteri Ki Ageng Derpayuda, Kyai termashur

awal abad 18 yang berdiam di kawasan Sragen di dekat Surakarta. Melalui ibunya

Ni Agung Derpayuda, Ratu Ageng (Tegal Rejo) dilahirkan dalam generasi ketiga

dari Sultan Bima di Pulau Sumbawa, kesultanan di Indonesia Bagian Timur yang

tersohor ketaatannya pada Agama Islam, karena itu dalam diri Dipanegara

mengalir darah Madura (dari neneknya Ratu Kedhaton) dan darah Bima”. Pada

dokumen lain yang berasal dari Raja-Raja Mataram ada disebutkan bahwa Kyahi

Suleman Bekel Jamus (Surakarta) adalah putera Raja Bima dan lahir tahun 1601.

Selain menjalin hubungan dengan berbagai daerah/kerajaan di wilayah

Nusantara, Kesultanan Bima juga membina hubungan baik dengan negara-negara

Timur Tengah (terutama dengan Dinas Utsmany yang dimulai sejak abad ke-18)

khususnya dibidang pendidikan dan keagamaan.

Pada masa Kesultanan Ibrahim, disamping membina Agama Islam di

dalam-daerah, sultan Ibrahim mengirim pula pelajar dan mahasiswa ke luar daerah

dan keluar negeri. Putera daerah yang cakap dikirim ke Bagdad, Mesir dan

terutama ke Mekkah dan Madina dengan beasiswa kerajaan.

Hasil hubungan baik antar negara/kerajaan ini, dari Bima telah lahir

ulama-ulama besar kelas dunia seperti Syekh Abdulghani Al-Bimawi (Abad ke-

19). Syekh Abdulghani Al-Bimawi selain sebagai pengajar di Madrasah

Haramayn, juga sekaligus sebagai Imam Masjid Haram Mekkah (Hamzah 2004).

142

Dalam garis genealogi (hubungan kekerabatan intelektual), Syekh Abdulghani

Al-Bimawi merupakan salah satu moyang ulama Nusantara. Ia termasuk yang

disebut Azra (1995) sebagai penyambung mata rantai jaringan ulama Nusantara

abad 19 dengan Timur Tengah. Ia termasuk guru dari Syekh Nawawi Banten yang

terkenal di Indonesia dan dunia Arab (Guru dari Syekh Nawawi Banten, yakni :

Syekh Abdulghani Al-Bimawi, Khatib Sambas dan A.H. Daghestani). Sedangkan

Syekh Nawawi sendiri merupakan guru dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU)

Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ary (Dhofier 1982. diacu dalam Hamzah,

2004).

Pada tahun 1900 Kesultanan Bima membangun sebuah rumah wakaf di

Mekkah. Sumber dana untuk beasiswa dan pembangunan rumah wakaf tersebut

diperoleh dari uang kehormatan sultan, hasil sawah jaminan sultan yang disebut

dana pajakai dan dana ngaji. Rumah wakaf yang didirikan Sultan Ibrahim tersebut

berlokasi di Jalan Gaza sebelah selatan Masjidil Haram.

Hubungan dan kerjasama antar wilayah di Kapet Bima telah dilakukan sejak

lama. Keberadaan kerajaan/kesultanan di Kapet Bima tersebut memiliki posisi

strategis dalam hubungan intra-inter regional bahkan internasional. Hubungan

tersebut tidak hanya bersifat sosial, namun juga bersifat ekonomi dan politik, serta

memberikan pula dampak pada dinamika sosial, ekonomi dan politik wilayah.

5.5. Peranan Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah

Sebagai upaya mengatasi kesenjangan sekaligus mempercepat

pertumbuhan Kawasan Indonesia Timur yaitu dengan pembentukan Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet Bima). Pembentukan dan fungsi peran

Kapet mengalami beberapa kali perubahan (reposisi). Awal pembentukan Kapet

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian dilakukan

perubahan dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya

diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 2000. Selain itu masing-

masing Kapet memiliki Keppres pembentukannya, dan berdasarkan Keputusan

Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten

Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

(Kapet) yang disebut Kapet Bima.

143

Pengelolaan Kapet Bima melibatkan berbagai pihak, mulai dari tingkat

pusat sampai tingkat daerah dan masyarakat. Secara garis besar setidaknya

terdapat enam pelaku (stakeholders) yaitu : BP Kapet Bima, Pemda Propinsi NTB,

Pemerintah Daerah kabupaten/Kota (Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu dan

Kota Bima), Pemerintah Pusat, Swasta, Lembaga Masyarakat.

Tiap pelaku memiliki fungsi dan peran masing-masing. Fungsi

stakeholders/lembaga menyangkut tugas dan kewajiban serta kewenangan yang

dimilikinya. Fungsi suatu stakeholders atau lembaga akan menentukan tingkat

pengaruhnya terhadap lingkungan atau wilayahnya. sehingga jika stakeholders

yang memiliki fungsi yang besar kemudian melaksanakan (memerankan)

fungsinya tersebut maka akan memberikan pengaruh yang besar pula terhadap

lingkungan atau wilayahnya. Sedangkan peran atau keterlibatan

stakeholders/lembaga menyangkut aktivitas atau aktualisasi dari fungsi yang

dimiliki masing-masing stakeholders yang berdampak pada pengembangan

wilayah Kapet Bima.

Berdasarkan persepsi stakeholders maka dapat dinilai tingkat pengaruh

(fungsi) dan keterlibatan masing-masing stakeholders itu sendiri. Penilai

dilakukan dengan memberikan peringkat. Nilai 1 (satu) diberikan kepada

stakeholders yang memiliki tingkat pengaruh atau keterlibatan yang paling

rendah, sehingga semakin tinggi nilainya yang diberikan maka semakin tinggi

pula tingkat pengaruh atau keterlibatan stakeholders tersebut.

Pada tabel 74 terlihat bahwa yang memiliki fungsi yang secara relatif

paling besar pengaruhnya terhadap pengembangan Kapet Bima adalah Pemerintah

Daerah Propinsi NTB dalam hal ini adalah gubernur dan jajarannya (Tingkat

Pengaruh = 6) karena dan yang memiliki fungsi yang secara relatif paling kecil

pengaruhnya terhadap pengembangan Kapet Bima. Adapun yang memiliki tingkat

keterlibatan yang secara relatif paling besar melalui implementasi program kerja

yang sudah dilaksanakan adalah Pemda kabupaten/Kota yang ada di Kapet Bima

(Tingkat Keterlibatan = 6), Sedangkan yang paling rendah adalah BP Kapet Bima.

144

Tabel 74 Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah di Kapet Bima

No. Stakeholders Tk. Pengaruh Tk. Keterlibatan

1 BP Kapet Bima 2 1

2 Pemda Propinsi NTB 6 3

3 Pemda Kab/Kota 5 6

4 Pemerintah Pusat 1 2

5 Swasta 4 4

6 Lembaga Masyarakat 3 5 Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer

Keberadaan stakeholders tersebut di atas tidak terlepas dari peraturan yang

mengatur tentang keberadaan dan pengelolaan Kapet itu sendiri. Pada tahun 1996,

dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan

Pengembangan Ekonomi terpadu (Kapet) selanjutnya diperbaharui dengan

Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998. Keppres tersebut merupakan dasar

hukum pertama bagi pengembangan Kapet secara operasional. Keppres tersebut

menjelaskan bahwa penetapan kebijakan dan pelaksanaan koordinasi kegiatan

pembangunan di Kapet dilakukan oleh tim pengarah. Tim ini terdiri dari unsur-

unsur Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dan unsur-unsur

Pemerintah Daerah.

Pada pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Kapet di lakukan oleh

Badan Pengelola Kapet yang terdiri dari unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah

Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Ketua dan Wakil Ketua

BP Kapet diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Tim Pengarah.

Wakil Ketua BP Kapet sekaligus berfungsi sebagai Pelaksana Harian BP Kapet

dan berkedudukan di lokasi Kapet yang bersangkutan. Sedangkan anggota

BP Kapet diangkat dan diberhentikan oleh Tim Pengarah atas usul Ketua

BP Kapet. Dalam pelaksanaan tugas BP Kapet seharí-hari, Pelaksana Harian

BP Kapet dibantu oleh beberapa direktur dan staff.

Dalam Keppres masing-masing Kapet disebutkan bahwa BP Kapet

bertugas mengendalikan dan mengawasi kegiatan pembangunan di wilayah Kapet

berdasarkan rencana induk pengembangan yang ditetapkan oleh Tim Pengarah

145

sesuai dengan Rencana Tata Ruang Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah.

BP Kapet menyelenggarakan fungsi :

(1) melaksanakan Rencana Induk Pengembangan Kapet yang telah ditetapkan

oleh Tim Pengarah.

(2) Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan industri perdagangan

dan jasa di wilayah Kapet.

(3) Memberikan dan mengendalikan perijinan usaha berdasarkan limpahan

wewenang dari instansi terkait dalam rangkan pelayanan satu atap.

Pada tahun 2000 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 2000

tentang Kawasan Pengembangan ekonomi Terpadu (Kapet). Menurut Keppres ini

bahwa kelembagaan pengelolaan Kapet terdiri dari tiga lembaga terkait, yakni dua

lembaga pengelola di tingkat pusat dan satu lembaga pengelola di daerah. Ketiga

lembaga tersebut adalah :

(1) Badan Pengembangan Kapet. Lembaga ini diketuai oleh Menko

Perekonomian, wakil Ketua Menkimpraswil dan Sekretaris Ketua Bappenas.

Anggota Badan ini adalah sembilan menteri kabinet dan kepala BPN.

(2) Tim teknis, tim ini diketuai oleh Menteri pemukiman dan prasarana wilayah

dan anggota akan ditentukan kemudian oleh Badan Pengembangan Kapet.

(3) Badan Pengelola Kapet, berkedudukan di lokasi Kapet, diketuai oleh

gubernur. Badan ini terdiri dari wakil ketua dan anggota yang diangkat dan

diberhentikan oleh gubernur.

Adapun tugas masing-masing lembaga ini di atur dalam Keppres dengan

uraian sebagai berikut :

(1) Tugas Badan pengembangan Kapet

- memberikan usulan kepada presiden untuk kawasan yang akan ditetapkan

sebagai Kapet setelah memperhatikan usulan dari gubernur yang

bersangkutan.

- Merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi nasional untuk

mepercepat pembangunan Kapet.

- Merumuskan kebijakan yang diperlukan untuk mendorong dan

mempercepat masuknya investasi dunia usaha di Kapet.

146

- Mengkoordinasikan penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan

pembangunan Kapet.

- Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pembangunan Kapet.

(2) Tugas Tim Teknis

- Membantu tugas Badan Pengembangan Kapet.

- Melakukan pembinaan teknis terhadap Badan Pengelola Kapet.

(3) Tugas Badan Pengelola

- membantu pemerintah daerah dengan memberikan pertimbangan teknis

bagi permohonan perijinan kegiatan investasi pada Kapet.

Perubahan peraturan (Keppres) tentang Kepet memberikan dampak pada

perubahan struktur kelembagaan pengelolaan Kapet serta fungsi-tugas dari

kelembagaan itu sendiri. Pada Keppres Nomor 89 Tahun 1996 jo. Nomor 9 Tahun

1998 terdapat hirarki yang lebih tegas mulai kelembagaan tingkat pusat sampai

tingkat daerah dengan otorita (kewenangan) yang lebih besar khususnya Kepada

BP Kapet di tingkat daerah, misalnya mengembangkan dan mengendalikan serta

perijinan dalam kegiatan pembangunan Kapet. Sedangkan didalam Keppres

Nomor 150 Tahun 2000, kelembagan pengelolaan Kapet kurang didukung oleh

struktur hirarki dan kewenangan yang jelas seperti tugas Tim Teknis dan Badan

pengelola yang cenderung mengambang (hanya memberikan pertimbangan teknis

bagi pemberian perijinan investasi). Padahal secara hirarki, tugas kelembagaan

yang semakin rendah, maka fungsi-tugasnya harus lebih teknis-operasional dan

jelas.

Adapun gambaran posisi stakeholders dalam kuadran kartesius

berdasarkan tingkat pengaruh dan peran di dalam pengembangan wilayah Kapet

Bima dapat dijelaskan dengan gambar 15. Dari gambar 15,

stakeholders/kelembagaan dibagi dalam empat kuadran. Kuadran I, merupakan

kuadran yang memiliki tingkat pengaruh (kewenangan) yang relatif rendah namun

memiliki tingkat peran (keterlibatan) yang relatif tinggi, yang masuk dalam

kuadran ini adalah kelembagaan masyarakat. Sehingga pelaku dalam kuadran ini

perlu dilibatkan bukan hanya dibutuhkan perannya dalam pelaksanaan

pembangunan, namun juga dibutuhkan keterlibatannya dalam perencanaan dan

147

mengambil bagian dalam menyusun kebijakan serta pengawasan dan evaluasi,

yakni antara lain melalui upaya pemberdayaan.

Tingkat Kepentingan dan Peran Stakeholders

Pem Pusat

BP Kapet

Lbg Masy

Swasta

PemKab

PemProv

0

1

2

3

4

5

6

7

0 1 2 3 4 5 6 7

Tingkat Kepentingan

Ting

kat P

eran

Gambar 15 Tingkat Pengaruh dan Peran Stakeholders Dalam Pengembangan

Wilayah di Kapet Bima

Kuadran II, merupakan kuadran yang memiliki tingkat pengaruh yang

relatif tinggi serta memiliki tingkat peran (keterlibatan) yang relatif tinggi, yang

masuk dalam kuadran ini adalah Pemerintah daerah kabupaten/Kota dan swasta.

Sehingga pelaku dalam kuadran ini perlu dikoordinir dan disinergi potensi yang

dimiliki secara lebih optimal, seperti melalui kemitraan dan atau kerjasama antar

daerah dan swasta.

Kuadran III, merupakan kuadran yang memiliki tingkat pengaruh

(kewenangan) yang relatif tinggi namun memiliki tingkat peran (keterlibatan)

yang relatif rendah. yang masuk dalam kuadran ini adalah Pemerintah daerah

Propinsi. Sehingga pelaku dalam kuadran ini perlu di dorong agar berperan lebih

besar dengan menggunakan pengaruh dan atau kewenangan yang dimilikinya

I

IV III

II

Tingkat Pengaruh

Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan Stakeholders T k

K e t e r l i b a t a n

148

untuk pengembangan wilayah Kapet Bima, baik karena jabatan Gubernur (kepala

daerah propinsi) secara ad.interm selaku ketua BP Kapet Bima maupun selaku

kelembagaan pemerintah yang bersifat otonom yaitu kewenangan dalam bentuk

desentralisasi dan dekonsentrasi (pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2004), yang

melaksanakan fungsinya dalam mengelola sumber daya wilayah lingkup propinsi,

serta melakukan koordinasi dan fasilitasi lintas pemerintah daerah kabupaten/kota

dalam lingkup propinsi (pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal 17 dan pasal 18 UU

Nomor 32 Tahun 2004).

Kuadran IV, merupakan kuadran yang memiliki tingkat pengaruh yang

relatif rendah serta memiliki tingkat peran (keterlibatan) yang relatif rendah, yang

masuk dalam kuadran ini adalah Pemerintah pusat dan BP Kapet Bima. Sehingga

pelaku dalam kuadran ini perlu memiliki ketegasan fungsi tugasnya melalui

peraturan yang jelas untuk hal tersebut. serta memiliki program kerja yang

efektif bagi pengembangan wilayah Kapet Bima, baik untuk jangka pendek,

menengah dan panjang.

Perubahan kebijakan pemerintah pusat terkait keberadaan Kapet dan

pengelolaannya seperti yang tertuang dalam Keppres Nomor 150 Tahun 2000,

berimbas pada kelembagaan dan pengelolaan Kapet yang tidak jelas. Karena

struktur hirarki Tim Teknis dan Badan pengelola yang cenderung mengambang

dan kewenangannya hanya memberikan pertimbangan teknis bagi pemberian

perijinan investasi, padahal secara hirarki, kelembagaan pada level yang semakin

rendah, maka fungsi-tugasnya harus lebih teknis-operasional dan jelas. Dengan

memperhatikan berbagai permasalahan dan kebutuhan pengembangan wilayah di

atas, maka reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima dapat didorong untuk

melaksanakan fungsinya sebagai Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) di

bidang pengembangan ekonomi, industri dan perdagangan.

Tugas Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) diarahkan untuk

melakukan kajian, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi atas pelaksanaan kerja

sama. Sehingga Badan Kerjasama Antar Daerah (Bakesda) dapat memberikan

masukan atau saran secara lebih efektif kepada kepada masing-masing Kepala

Daerah mengenai kebijakan dan program pengembangan wilayah pada bidang

kerja sama dimaksud.

149

Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) didalam penyelenggaraan

kerja sama perlu menyusun program kerja baik untuk periode jangka pendek (satu

tahun) maupun untuk jangka menengah dan panjang. Program kerja tersebut

terintegrasi dengan program pembangunan wilayah masing-masing daerah

sehingga segala pembiayaan dan pendapatan daerah sebagai akibat kerja sama ini

dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang

sebelumnya telah dikonsultasikan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) masing-masing. Selain itu pembiayaan dapat pula diusahakan

melalui pembiayaan APBD Propinsi, APBN dan atau dari pihak ketiga.

Dalam era Otonomi Daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan

instansi Pemerintah Daerah yang terkait, pihak swasta dan masyarakat mulai dari

proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan kegiatan.

Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah, menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperbaharui dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2003 telah mempengaruhi dinamika demokrasi, sosial politik

dan ekonomi daerah termasuk didalamnya perubahan struktur kelembagaan

pengelola Kapet Bima (yang meliputi Pemerintah Propinsi NTB, Pemerintah

Kabupaten Dompu, Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemerintah Kota Bima serta

Badan Pengelola Kapet Bima). Berbagai hal tersebut membawa implikasi pada

interaksi institusi dan kebijakan pembangunan kawasan yang memerlukan

pendekatan yang bersifat holistik.

5.6. Strategi Pengembangan Wilayah

5.6.1. Persepsi Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah

Paradigma pembangunan telah mengalami perubahan dari yang

cenderung bersifat top-down ke arah kecenderungan yang bersifat bottom-up.

Paradigma terakhir ini menekankan perlunya keterlibatan pemangku kepentingan

(stakeholders) dalam proses pembangunan baik pada level perencanaaan,

pelaksanaan dan pengawasan pada berbagai tingkat partisipasi. Dalam menyusun

strategi pengembangan wilayah, stakeholders memiliki persepsi berdasarkan

pengetahuan dan pengalaman yang dilalui dalam ruang dan waktunya masing-

masing.

150

a. Pendekatan Strategi Dalam Pengembangan Wilayah

Dalam pengembangan wilayah yang demikian kompleks, serta

melibatkan banyak pihak, maka perlu dilakukan secara holistik dan terpadu.

Sementara di sisi lain, ego sektoral, ego kewilayahan dan ego institusi yang

berjalan sendiri-sendiri adalah sebagai penghambat sekaligus menciptakan

inefisiensi dalam pembangunan. Sehingga solusi alternatif adalah adanya

keterpaduan antar sektor, antar wilayah dan antar institusi di dalam

pengembangan wilayah.

Dalam tabel 75 berikut dijelaskan persepsi stakeholders tentang

pendekatan strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima, yang telah diolah

dengan menggunakan Analisi Hirarki Proses (Aplikasi Program Expert Choice

2000).

Tabel 75 Persepsi Stakeholders tentang Pendekatan Strategi Pengembangan Wilayah di Kapet Bima

No. Komponen Bobot Prioritas

Priorities With Respect To:

Goal: Strategi Pengembangan Wilayah

1 Keterpaduan Antar sector 0.211 2

2 Keterpaduan Antar Wilayah 0.188 3

3 Keterpaduan Antar Institusi 0.601 1 Sumber : Hasil Analisis dari Data Primer

Dari Tabel 75 tergambar persepsi stakeholders tentang prioritas

pendekatan strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima. Keterpaduan antar

institusi (bobot 0.601) merupakan pendekatan yang perlu menjadi prioritas utama,

sedangkan keterpaduan antar sektor (bobot 0.211) merupakan prioritas ke-2 dan

keterpaduan antar wilayah (bobot 0.188) adalah prioritas ke-3.

Keterpaduan antar institusi merupakan suatu interaksi antar institusi

dengan penekanan pada aspek koordinasi dan sinergi setiap gerak-langkah

masing-masing pihak terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dengan adanya

keterpaduan antar institusi menjadi prasyarat yang sekaligus memiliki dampak

151

yang besar untuk terlaksananya keterkaitan antar sektor dan keterkaitan antar

institusi.

Keterpaduan antar sektor merupakan keterkaitan aktivitas dan hubungan

fungsional antar sektor, sehingga setiap kegiatan secara sektoral akan dapat

menggerakan secara total kegiatan sektor lainnya baik disisi hulu maupun disisi

hilir.

Keterpaduan antar wilayah merupakan suatu bentuk pola interaksi

wilayah yang saling menunjang dan dalam saling memenuhi kebutuhan pada

setiap wilayah, dimana perkembangan suatu wilayah akan dapat mendorong

perkembangan wilayah lainnya. Keterpaduan antar wilayah bersifat saling

menguntungkan (spread effect) apabila keterpaduan antar institusi dan

keterpaduan antar sektor dapat berjalan dengan baik.

b. Dukungan Sumber Daya Dalam Pengembangan Wilayah

Berbagai pendekatan strategi pengembangan wilayah membutuhkan

dukungan sumber daya wilayah yang memadai. Sumber daya dibutuhkan sebagai

input (baik langsung atau tidak langsung) dalam pembangunan atau yang dapat

menghasilkan utilitas (kemanfaatan) proses produksi atau penyediaan barang dan

jasa.

Menurut Rustiadi (2005) sesuatu dapat dikatakan sebagai sumber daya

jika : (1) manusia telah memiliki atau menguasai teknologi untuk

memanfaatkannya, dan (2) adanya permintaan untuk memanfaatkannya. Sumber

daya selalu memiliki sifat langka (scarcity) dan memiliki guna (utility) melalui

suatu aktivitas produksi atau melalui penyediaan berupa barang dan jasa.

Prinsip-prinsip kelangkaan sumber daya membutuhkan adanya suatu

strategi yang menjamin ketersediaan dan sistem alokasi yang tepat. Karena sifat

dasar manusia memiliki keinginan yang tinggi, setidaknya terdapat rencana dan

capaian pengembangan wilayah yang progresif dibanding periode waktu

sebelumnya, sedangkan di sisi lain ketersediaan sumber daya sangat terbatas dan

cenderung tidak merata. Hal ini membutuhkan pilihan prioritas dan model

pengelolaan sumber daya yang tepat sehingga tercapai optimalisasi manfaat

pembangunan dalam konteks spasial.

152

Secara garis besar terdapat enam komponen sumber daya wilayah yakni

sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan

(SDB), sumber daya sosial (SDS), sumber daya finansial (SDF) dan sumber daya

institusi (SDI). Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing komponen

sumber daya dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dapat dilihat pada

tabel 76.

Berdasarkan persepsi stakeholders, dukungan sumber daya yang paling

penting adalah ketersediaan institusi/kelembagaan yang dapat mendorong

pengembangan wilayah secara lebih efektif (bobot sumber daya institusi yakni

0.3440), kemudiaan berturut-turut adalah sumber daya manusia (bobot 0.2192),

sumber daya finansial (bobot 0.1436), sumber daya alam (bobot 0.1288), sumber

daya sosial (bobot 0.0835) dan terakhir sumber daya buatan (0.0809).

Tabel 76 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Sumber Daya Dalam Pengembangan Wilayah Di Kapet Bima

Sumber Daya

Keterpaduan Sektor

Keterpaduan Wilayah

Keterpaduan Institusi Jumlah Prioritas

SDM 0.0450 0.0380 0.1361 0.2192 2

SDA 0.0766 0.0307 0.0216 0.1288 4

SDB 0.0206 0.0204 0.0399 0.0809 6

SDS 0.0065 0.0080 0.0691 0.0835 5

SDF 0.0291 0.0323 0.0822 0.1436 3

SDI 0.0332 0.0586 0.2521 0.3440 1

Jumlah 0.2110 0.1880 0.6011 1.0000

Prioritas 2 3 1 Sumber : Hasil Analisis dari Data Primer

Peran kelembagaan sangat penting dalam pengembangan wilayah, karena

penguasaan dan pengelolaan sumber daya sangat ditentukan oleh jumlah dan

bentuk serta sistem kelembagaan yang terlibat dalam suatu wilayah. Kelembagaan

(institution) adalah sebagai kumpulan aturan main (rules of game) dan organisasi

berperan penting dalam mengatur penggunaan dan alokasi sumber daya secara

efisien, merata dan berkelanjutan.

153

c. Komponen Sumber Daya Kelembangaan/Institusi Dalam Pengembangan

Wilayah

Organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang di

atur oleh sistem kelembagaan atau aturan (behavior rule), didalamnya termasuk

tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dari tiap organisasi.

Secara garis besar terdapat 6 (enam) subkomponen kelembagaan yang

terlibat dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni BP Kapet Bima,

Pemda Propinsi NTB, Pemda Kabupaten, Pemerintah, Swasta dan Lembaga

Masyarakat. Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing subkomponen

sumber daya institusi dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dapat dilihat

pada gambar 16 berikut.

-

0.10

0.20

0.30

0.40Bp Kapet

Pemprov

Pemkab

Pempusat

Swasta

Lbg masy.

Gambar 16 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya

Institusi Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima

Dari gambar 16 di atas terlihat bahwa Pemerintah Daerah Propinsi NTB

memiliki fungsi-peran yang yang sangat penting dalam pengembangan wilayah

Kapet Bima yakni dengan bobot 0.308, disusul pemda kabupaten/kota (bobot

0.219), swasta (0.174), Lembaga masyarakat (bobot 0.135), BP Kapet (bobot

0.118) dan terakhir Pemerintah Pusat (bobot 0.047).

154

Era otonomi daerah telah memberikan hak, wewenang, dan kewajiban

Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di bawahnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Daerah Propinsi memiliki posisi strategis didalam

pengembangan wilayah Kapet Bima karena memiliki kewenangan Desentralisasi

untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya, memfasilitasi dan

mengkoordinir pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dalam lingkup wilayahnya,

serta memiliki kewenangan Dekonsentrasi yang merupakan pelimpahan

wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil

pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

d. Komponen Sumber Daya Manusia Dalam Pengembangan Wilayah

Konsep pembangunan menghendaki adanya peningkatan kualitas hidup

penduduk baik secara fisik, mental maupun spiritual, dan secara eksplisit makna

pembangunan adalah menitikberatkan pada pembangunan sumber daya manusia

secara fisik dan mental, dalam hal ini posisi manusia sebagai objek pembangunan,

yang mengandung makna peningkatan kapasitas dasar penduduk yang kemudian

akan memperbesar kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam proses

pembangunan yang berkelanjutan, dan dalam konteks ini posisi manusia adalah

sebagai subjek pembangunan.

Secara garis besar terdapat empat subkomponen sumber daya manusia

dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni jumlah penduduk,

pendidikan, pekerjaan dan kesehatan. Dari gambar 17 terlihat bahwa lapangan

pekerjaan merupakan penentu utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima

yakni dengan bobot 0.467, sehingga setiap penduduk berpeluang untuk

mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak, yang pada gilirannya akan

meningkatkan kemampuan penduduk untuk mencapai tingkat pendidikan dan

derajat kesehatan yang lebih baik. Selanjutnya disusul subkomponen kesehatan

yang memiliki pengaruh dengan peringkat ke-2 (bobot 0.268), disusul kesehatan

(bobot 0.215) dan terakhir jumlah penduduk (bobot 0.049).

155

-0.100.20

0.300.40

0.50Jumlah Pddk

Pendidikan

Lapangan Kerja

Kesehatan

Gambar 17 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya

Manusia Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima

e. Komponen Sumber Daya Finansial Dalam Pengembangan Wilayah

Berbagai aktivitas penduduk dan pembangunan wilayah tidak dapat

terlepas dari dukungan finansial (keuangan), baik berasal dari masyarakat, swasta

(pengusaha) maupun dari pemerintah. Tersedianya finansial yang cukup akan

dapat membantu pembiayaan pembangunan serta dapat menggerakkan

aktivitas/perekonomian riil di masyarakat.

Secara garis besar terdapat tiga subkomponen sumber daya finansial dalam

pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni modal asing, modal dalam negeri

dan modal dalam Kapet. Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing

subkomponen sumber daya finansial dalam pengembangan wilayah Kapet Bima

dapat dilihat pada gambar 18.

Dari gambar 18 terlihat bahwa modal dalam negeri merupakan

subkomponen yang paling penting dalam pengembangan wilayah Kapet Bima

yakni dengan bobot 0.565, disusul modal dalam Kapet (bobot 0.347), dan terakhir

modal asing (bobot 0.088).

156

-0.100.200.300.400.500.60Modal asing

Modal dlm negeriModal dlm Kapet

Gambar 18 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya

Finansial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima

Sampai Tahun 2005 di Kapet Bima tidak terdapat kegiatan penanaman

modal asing (PMA) hal ini dapat dimengerti karena secara nasionalpun

pergerakan modal asing ke dalam negeri mengalami kelesuan. Sedangkan disisi

lain pergerakan keuangan yang berasal dari dalam Kapet Bima sendiri masih

didominasi oleh belanja atau investasi pemerintah. Sehingga harapan besar adalah

pada modal dalam negeri baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun swasta

untuk dapat menggerakkan pembangunan khususnya bagi perkembangan ekonomi

wilayah di Kapet Bima.

f. Komponen Sumber Daya Alam Dalam Pengembangan Wilayah

Sumber daya alam merupakan sumber daya yang essensial bagi

kelangsungan hidup manusia dan sumber daya alam tidak saja mencukupi

kebutuhan hidup manusia namun juga memberikan kontribusi bagi kesejahteraan

penduduknya dan pengembangan suatu wilayah.

Tiap wilayah memiliki karakteristik sumber daya alam yang berbeda-beda

sebagai faktor bawaan (endowment). Pengelolaan sumber daya alam harus dapat

dilakukan dengan baik dan tepat untuk dapat memberikan manfaat berupa

kesejahteraan dan kemajuan suatu wilayah dengan tidak mengorbankan

kelestarian sumber daya alam itu sendiri.

157

Secara garis besar terdapat lima subkomponen sumber daya alam dalam

pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni lahan dan air, perikanan dan

kelautan, industri-pertambangan, sumber daya hayati dan panorama wisata. Dari

gambar 19 terlihat bahwa lahan dan air merupakan subkomponen dominan dalam

pengembangan wilayah Kapet Bima yakni dengan bobot 0.493, disusul perikanan

dan kelautan (bobot 0.258), panorama alam dan wisata (bobot 0.096), industri dan

pertambangan (bobot 0.089) dan terakhir sumber daya hayati (bobot 0.064).

-0.10

0.20

0.30

0.40

0.50Lahan dan air

Perikanan&kelautan

Industri&pertambanganSd hayati

Panorama wisata

Gambar 19 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya

Alam Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima

Sumber daya lahan dan air memiliki nilai strategis dalam hidup dan

kehidupan manusia karena merupakan tempat hidup, beraktivitas dan melanjutkan

generasi dan peradaban manusia. Di Kapet Bima, di atas lahan dan air

penduduknya memanfaatkan ruang wilayah untuk pemukiman. Selain itu untuk

kegiatan bercocok tanam, peternakan dan perkebunan, melakukan kegiatan

industri, perdagangan dan jasa, serta yang paling penting keberadaan lahan dan air

adalah sebagai komponen hulu sekaligus hilir dalam suatu ekosistem besar

wilayah dan bumi dalam skala luas.

g. Komponen Sumber Daya Sosial Dalam Pengembangan Wilayah

Sumber daya sosial adalah segala aspek sebagai hasil interaksi sosial

dalam suatu komunitas yang memberikan pengaruh atau manfaat baik secara

158

langsung atau tidak langsung dalam aktivitas pembangunan wilayah. Sedangkan

Putnam (1993) mendefisikan sumber daya sosial sebagai gambaran kehidupan

sosial yang memungkinkan para partisipan bertindak secara bersama dan secara

sinergik kearah kinerja yang lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.

Secara garis besar terdapat empat subkomponen sumber daya sosial dalam

pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni adat istiadat, hubungan masyarakat,

keamanan dan mobilitas masyarakat. Adapun gambaran bobot dan peringkat

masing-masing subkomponen sumber daya sosial dalam pengembangan wilayah

Kapet Bima dapat dilihat pada gambar 20.

-0.100.200.300.400.50Adat istiadat

Hub. masy.

Keamanan

Mobilitas masy.

Gambar 20 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Sosial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima

Dari gambar 20 terlihat bahwa keamanan merupakan subkomponen yang

paling penting dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yakni dengan bobot

0.409, karena keamanan menentukan tingkat stabilitas yang menjadi prakondisi

bagi segala aktivitas di suatu wilayah. Kemudian sub komponen penentu lainnya

adalah hubungan masyarakat (bobot 0.283), adat istiadat (bobot 0.211), dan

terakhir mobilitas masyarakat (bobot 0.097).

h. Komponen Sumber Daya Buatan Dalam Pengembangan Wilayah

Sumber daya buatan/infrastruktur merupakan sumber daya yang

mendorong peningkatan nilai sumber daya seperti dalam kegiatan produksi dan

159

pengolahan hasil sumber daya alam, meningkatkan produktivitas kerja sumber

daya manusia yakni dengan menggunakan alat/mesin dan berwujud bangunan

serta meningkatan mobilitas dan interaksi dengan adanya jalan, pasar, tempat

ibadah atau perkantoran.

Secara garis besar terdapat lima subkomponen sumber daya

buatan/infrastruktur dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni

infrastruktur sosial dan budaya, ekonomi dan perdagangan, transportasi dan

terakhir informasi dan komunikasi. Adapun gambaran bobot dan peringkat

masing-masing subkomponen sumber daya buatan dalam pengembangan wilayah

Kapet Bima dapat dilihat pada gambar 21.

-

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50Sosbud

Ekon&perdgn

TransportasiInkom

Iptek

Gambar 21 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Infrastruktur Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima

Dari gambar 21 terlihat bahwa infrastruktur ekonomi dan perdagangan

merupakan subkomponen yang paling penting dalam pengembangan wilayah

Kapet Bima yakni dengan bobot 0.434, disusul infrastruktur transportasi (bobot

0.249), infrastruktur sosial dan budaya (bobot 0.140), infrastruktur informasi dan

komunikasi (bobot 0.125) dan terakhir infrastruktur Iptek (bobot 0.052).

Di Kapet Bima infrastruktur transportasi dan sosial budaya relatif tersedia

dibandingkan infrastruktur lainnya, namun yang masih terbatas adalah

infrastruktur ekonomi dan perdagangan, seperti untuk kegiatan industri,

160

perdagangan di tingkat perdesaan (pasar desa), pasar komoditi, pusat grosir serta

pusat-pusat perdagangan lainnya. Padahal infrastruktur ini memberikan dampak

yang besar bagi aktivitas penduduk khususnya pada berbagai sektor ekonomi di

wilayah Kapet Bima.

5.6.2. Lingkungan Strategis Dalam Pengembangan Wilayah

Kajian lingkungan strategis penting untuk dilakukan, karena keberhasilan

dalam pengembangan suatu wilayah terkait erat dengan kemampuan mengelola

lingkungannya baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Pada

analisis SWOT ini juga dimasukkan hasil analisis pada pembahasan sebelumnya

sebagai bagian dari komponen analisis strategi ini sehingga diharapkan adanya

sintesa analisis untuk dapat merumuskan dan menentukan strategi yang tepat.

a. Aspek Internal

Lingkungan internal terdiri dari dua faktor, yaitu kekuatan dan kelemahan.

Analisis lingkungan internal dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi

elemen-elemen yang menjadi faktor kekuatan (strength) dan faktor kelemahan

(weakness).

1). Kekuatan

Kekuatan-kekuatan yang diidentifikasi mempengaruhi keberhasilan dalam

pengembangan wilayah Kapet Bima.

(1) Tersedianya lahan yang masih luas untuk pengembangan pertanian, industri

dan pengembangan kawasan terbangun lainnya

(2) Luas Lautan mencapai 12,180.96 Km2 (63.77 % dari total luas wilayah

Kapet Bima)

(3) Memiliki berbagai potensi pengembangan wilayah, meliputi komoditi

pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan dan

peternakan, pariwisata dan sumber daya hayati

(4) Pertumbuhan ekonomi Kapet Bima sebesar 4.45 % di atas pertumbuhan

Propinsi NTB yang hanya mencapai 3.64 %, sedangkan Total PDRB Kapet

Bima mencapai Rp.2.61 trilyun, dengan kontribusi 46.31 % berasal dari

161

sektor pertanian, 16.03 % dari sektor perdagangan, hotel dan restoral

sedangkan 14.82 % berasal dari sektor jasa-jasa

(5) Tersedianya sarana dan prasarana sosial dasar dan transportasi yang

menghubungkan antar daerah dalam wilayah Kapet Bima serta ketersediaan

pelabuhan laut dan bandara udara serta transportasi darat untuk berhubungan

dengan luar wilayah

(6) Struktur penduduk Kapet Bima dominan berusia produktif (59.21 %),

dengan tingkat partisipasi dan tingkat pendidikan di Kapet Bima lebih tinggi

dari pada Propinsi NTB, dimana yang tidak/belum pernah sekolah di Kapet

Bima adalah sebanyak 9.11 % sedangkan Propinsi NTB sebanyak 10.57 %.

Penduduk Kapet Bima yang mencapai tingkat pendidikan SMP ke atas

adalah 39.02 %, di atas rata-rata Propinsi NTB yang baru mencapai 28.46 %

(7) Memiliki nilai budaya/kearifan lokal terkait dengan kepemimpinan dan

pengelolaan wilayah

(8) Berdasarkan analisis IO Kapet Bima, terdapat 8 sektor yang memiliki daya

tarik yang kuat terhadap sektor lainnya, yakni peternakan, industri

pengolahan, listrik, bangunan, hotel dan restoran, bank dan lembaga

keuangan bukan bank, jasa pemerintahan, serta jasa swasta. Terdapat 7

sektor yang memiliki daya dorong yang kuat terhadap sektor lainnya yakni

tanaman bahan makanan, perikanan, industri pengolahan, perdagangan,

angkutan, pos dan telekomunikasi, bank dan lembaga keuangan bukan bank.

Sedangkan berdasarkan analisis LQ terdapat 5 sektor yang menjadi sektor

basis, yakni tanaman bahan makanan, peternakan, kehutanan, perikanan, dan

air bersih.

(9) Interaksi spasial (mobilitas masyarakat dan arus barang dan kendaraaan)

yang cukup tinggi baik intra maupun inter regional

(10) Sekitar 89.42 % kebutuhan hidup dan usaha penduduk Kapet Bima saat ini

cukup tersedia dalam kabupaten masing-masing, dimana produk-produk

hasil kegiatan industri sebagian besar langsung didatangkan dari Surabaya

dan Makasar

(11) Berdasarkan analisis stakeholders, Pemerintah kabupaten/kota dan swasta

memiliki tingkat pengaruh yang tinggi dan bersama berbagai elemen

162

masyarakat memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi dalam mendukung

pengembangan wilayah di Kapet Bima

2). Kelemahan

Kelemahan-kelemahan yang diidentifikasi mempengaruhi keberhasilan

dalam pengembangan wilayah Kapet Bima.

(1) Sebagian besar wilayah berupa pegunungan dengan kemiringan lahan yang

agak curam dan curam (luas wilayah yang memiliki kemiringan 15-40o =

35.56 % dan > 40o = 32.24 %), sehingga memiliki faktor kesulitan yang

relatif tinggi untuk menghubungkan antar wilayah melalui prasarana jalan

yang di bangun serta dalam membangun jaringan irigasi untuk mendukung

kegiatan pertanian

(2) Luas lahan kering mencapai 94.68 % (termasuk di dalamnya hutan negara

dengan luas mencapai 55.80 %). Di sisi lain, luas lahan kritis semakin terus

meningkat, yang berkorelasi pula dengan banyaknya pengelolaan lahan dan

hutan yang belum dilaksanakan secara optimal baik untuk tujuan ekonomi

maupun ekologi.

(3) Struktur perekonomian masih bertumpu pada sektor pertanian khususnya

pada subsektor tanamanan bahan makanan (pangan dan hortikultural)

sedangkan luas lahan mengalami keterbatasan dan tingkat produksi akan

mengalami tingkat kejenuhan

(4) Infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang masih kurang serta tidak

merata, sehingga dapat menurunkan kualitas SDM. Faktor yang berpengaruh

terhadap tingkat pendidikan masyarakat adalah ketersediaan prasarana

pendidikan yang masih kurang terutama tingkat pendidikan lanjutan.

Demikian juga di sektor kesehatan, keberadaan sarana dan prasarana

pelayanan kesehatan masyarakat termasuk tenaga medis masih minim

sehingga hal ini dapat mempengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan

masyarakat

(5) Prasarana dan sarana utilitas seperti distribusi air bersih, drainase dan listrik

belum sepenuhnya terpenuhi bagi kebutuhan perumahan dan usaha

masyarakat khususnya dipedesaan

163

(6) Demikian juga prasarana irigasi dan transportasi yang sangat membutuhkan

perbaikan dan pengembangan lebih lanjut untuk pengembangan ekonomi

wilayah Kapet Bima dalam skala regional

(7) Lembaga ekonomi (koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya) saat ini

sesungguhnya menjadi salah satu pelaku pembangunan, perannya masih

belum optimal dalam pengembangan perekonomian di perdesaan

(8) Modal yang dimiliki daerah maupun pengusaha lokal sangat terbatas,

sedangkan investor luar daerah dan asing sulit didatangkan

(9) Sebagian besar kegiatan usaha di Kapet Bima belum mampu menerapkan

manajemen modern, masih ada kecenderungan menerapkan manajemen

keluarga/tradisonal. Penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi masih

relatif terbatas sehingga belum memiliki daya saing yang tinggi, akibatnya

peningkatan nilai tambah produk/usaha rendah

(10) Masih rendahnya keterkaitan kegiatan ekonomi perdesaan dan perkotaan,

industri pengolahan relatif terbatas termasuk pengolahan hasil produk

pertanian, peternakan dan perikanan, kehutanan dan perkebunan. Di sisi lain,

sebaran kontribusi dan pertumbuhan ekonomi tiap sektor belum merata,

khsususnya sektor industri pengolahan.

(11) Berdasarkan analisis IO, bahwa total permintaan antara hanya mencapai

23.18 %, rendahnya permintaan antara ini menunjukkan bahwa dari total

output wilayah hanya 23.18 % yang dikembalikan untuk proses kegiatan

produksi domestik sehingga tingkat keterkaitan antar sektor rendah yang

pada akhirnya juga multiplier efek dari kegiatan ekonomi wilayah juga

rendah.

(12) Kemampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaannya masih

rendah, yakni 1.23 % dari total output wilayah. Keadaan ini menggambarkan

juga tingkat kemandirian daerah, karena dari struktur anggaran daerah,

sumber pendapatan daerah masih sangat bergantung kepada pusat melalui

alokasi perimbangan keuangan (DAU/DAK)

(13) Keterkaitan kegiatan pemerintah dengan sektor lain (khususnya keterkaitan

ke depan) masih rendah, padahal kegiatan sektor pemerintahan memberikan

164

kontibusi sebesar 14.62 % (peringkat ke-2) dari total output ekonomi

wilayah.

(14) Industri pengolahan dan perdagangan sebagai sektor yang memiliki

keterkaitan yang kuat (daya tarik dan daya dorong yang tinggi) dengan

sektor lain belum menjadi sebagai sektor basis

(15) Hotel dan restoran, jasa swasta dan perusahaan memiliki nilain output dan

LQ yang rendah, hal ini memberikan gambaran masih belum

berkembangnya pembangunan di sektor pariwisata.

(16) Arah pergerakan dan sebaran penduduk tidak menyebar (kompak) dan

merata tapi membentuk pola linear dan melingkar karena permasalahan

topografi yang berbukit disamping mengikuti arah perkembangan wilayah

yang terpusat dan mengikuti sekitar jalur jalan raya nasional

(17) Masih kurang berkembangnya daerah-daerah belakang di bagian utara,

selatan dan barat. Di bagian utara terdapat Kecamatan Wera, Ambalawi,

Donggo Kabupaten Bima, dan Kilo Kabupaten Dompu. Di bagian selatan,

Kecamatan Huu, Pajo Kabupaten Dompu dan Kecamatan Monta Kabupaten

Bima. Sedangkan Bagian Barat adalah Kecamatan Sanggar dan Tambora

Kabupaten Bima, Kecamatan Kempo, dan Pekat Kabupaten Dompu.

Daerah-daerah belakang ini memiliki kekayaan sumber daya alam.

(18) Lemahnya komunikasi dan koordinasi internal pemerintah propinsi maupun

antar pemerintah propinsi dan kabupaten/kota

(19) Kurang tegasnya pembagian tugas wewenang (belum adanya prosedur

operasi standar) antar instansi terkait dengan Kapet Bima. mengakibatkan

kurang lancarnya tugas yang diemban oleh BP Kapet Bima

(20) Orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial meskipun

telah diantisipasi dengan Musbang Desa dan Kecamatan Rakorbang

Tingkat Kabupaten, Tingkat Propinsi dan Rakornas

b. Aspek Eksternal

Lingkungan eksternal merupakan semua kekuatan yang timbul diluar

rentang kendali (span of control) daerah/wilayah, dan sulit untuk diramalkan

sehingga membawa dampak yang dapat mempengaruhi keputusannya serta

165

tindakan dalam pembangunan. Oleh karenanya perlu perhatian dan pencermatan

yang serius terhadap aspek yang melingkupinya. Lingkungan eksternal

mengandung peluang (opportunities) dan ancaman (threats), yang akan

mempengaruhi keberadaan dan gerak pembangunan daerah/wilayah.

1). Peluang

Adapun peluang-peluang yang diindikasi mempengaruhi keberhasilan

pengembangan wilayah adalah sebagai berikut :

(1) Secara Geografis, Bima merupakan kota jangkar yang menghubungkan

antara Kawasan Indonesia Barat (Jawa) dengan sulawesi dan kepulauan-

kepulauan Indonesia Timur lainnya. Selain itu berada dalam jalur segi tiga

emas pariwisata Indonesia (Bali-Pulau Komodo-Tanah Toraja)

(2) Kebijakan otonomi daerah yang mendorong dan memberikan peluang

kepada daerah untuk mengelola sumber daya wilayah serta bekerja sama

dengan daerah lain dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan kemajuan daerah itu sendiri

(3) Terus berkembangnya berbagai lembaga keuangan baik bank maupun non

bank

(4) Keadaan perekonomian nasional cenderung semakin membaik

(5) Perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang semakin

meningkat

(6) Peluang kerja sama dan eksport-import antar daerah dan antar pusat-pusat

pengembangan/pertumbuhan wilayah

(7) Peluang pasar nasional, regional dan internasional

(8) Pola kemitraan dan jaringan usaha terus berkembang seiring dengan

peningkatan interaksi antar wilayah

(9) Berdasarkan kajian sejarah, kerajaan di Kapet Bima telah cukup lama

berinteraksi dengan daerah lain di Nusantara maupun internasional

166

2). Ancaman

Adapun ancaman-ancaman yang diindikasi mempengaruhi keberhasilan

pengembangan wilayah adalah sebagai berikut :

(1) Kuatnya pengaruh global yang dapat berdampak pada ketidakseimbangan

perdagangan internasional, nasional dan regional bahkan terhadap

perekonomian perdesaan.

(2) Instabilitas politik dan keamanan

(3) Kebijakan dan penerapan aturan/hukum yang tidak jelas dan konisisten

(4) Kebijakan fiskal dan moneter yang lemah

(5) Berdasarkan analisis stakeholders, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat

dinilai memiliki tingkat keterlibatan yang rendah dalam pengembangan

wilayah Kapet Bima

(6) Tingginya kesenjangan antar wilayah dapat mendorong perpindahan

penduduk (migrasi) secara berlebihan akibat alasan ekonomi atau daya tarik

lainnya (infrastruktur pendidikan, perdagangan dan industri, lapangan

pekerjaan dan pendapat yang lebih tinggi), hal ini mengakibatkan makin

berkurangnya ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan

5.6.3. Analisa SWOT Pengembangan Wilayah

Setelah dilakukan identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal

pengembangan wilayah Kapet Bima, maka dilakukan analisa SWOT, yakni

mensinergikan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut.

Secara umum analisa SWOT akan menghasilkan 4 (empat) strategi, yakni :

(1) Strategi SO (strength-opportunities), (2) Strategi WO (weakness-

opportunities), (3) Strategi ST (strength-threats) dan (4) Strategi WT (weakness-

threats). Adapun uraian 4 (empat) strategi dimaksud dapat dilihat pada tabel 77.

1). Strategi SO (Strength-Opportunities)

(1) Pengembangan kerjasama antar kabupaten/kota dalam Pengelolaan Kapet

Bima

(2) Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat desa

(3) Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agrobisnis dan agroindustri

(4) Pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan

167

(5) Pengembangan infrastruktur perdagangan dan transportasi skala regional

(6) Promosi dan kerjasama intra-inter regional

2). Strategi WO (Weakness-Opportunities)

(1) Pengembangan sumber daya lahan kering melalui usaha tani lahan kering,

industri dan perdagangan

(2) Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik pada

sektor hulu maupun hilir

(3) Pemberdayaan KUKM serta lembaga lokal lainnya

Tabel 77 Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan Analisis SWOT di Kapet Bima

SWOT FAKTOR INTERNAL

STRENGTH-S : (S1-S11)

WEAKNESS-W : (W1-W20)

FAK

TO

R E

KST

ER

NA

L

OPP

OR

TU

NIT

IES-

O :

(O1-

O9)

STRATEGI -SO : 1. Pengembangan kerjasama antar

kabupaten/kota dalam Kapet Bima (S11, O3)

2. Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat desa (S6, O5)

3. Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agrobisnis dan agroindustri (S1, S4, S5, S8, O6-O8)

4. Pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan (S2, S3, O5, O7)

5. Pengembangan infrastruktur perdagangan dan transportasi skala regional (S1, S5, S9, O1, O5-O9)

6. Promosi dan kerjasama intra-inter regional (S1-S4, S8, O1, O2, O4-O9)

STRATEGI -WO : 1. Pengembangan sumber daya lahan

kering melalui usaha tani lahan kering, industri dan perdagangan (W1-W3, O5, O7)

2. Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik pada sektor hulu maupun hilir (W10, W11, W14, O6-O7)

3. Pemberdayaan KUKM serta lembaga lokal lainnya (W7-W13, W17, O2, O3, O6-O8)

TH

RE

AT

S-T

: (T

1-T

6)

STRATEGI -ST : 1. Pengembangan infrastruktur sosial

ekonomi perdesaan (S5, S7, S10, T6) 2. Pengembangan daya saing produk

unggulan melalui kebijakan pendukung (S3, S4, S8, S9, T1, T6)

STRATEGI -WT : 1. Pengembangan pusat pertumbuhan/

pelayanan di daerah hinterland (W1, W4-W6, W16, W17, T2, T6)

2. Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima (W18, W19, T3, T4, T6)

3. Perencanaan dan penganggaran pembangunan di Kapet Bima secara reguler pada jangka pendek, menengah dan panjang (W19, W20, T4, T5)

168

3). Strategi ST (Strength-Threats)

(1) Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan

(2) Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan pendukung

4). Strategi WT (Weakness- Threats)

(1) Pengembangan pusat pertumbuhan/ pelayanan di daerah hinterland

(2) Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima

(3) Perencanaan dan penganggaran pembangunan di Kapet Bima secara reguler

pada jangka pendek, menengah dan panjang

5.6.4. Rumusan Strategi Pengembangan Wilayah

Setelah dilakukan analisis identifikasi potensi dan masalah dalam

pengembangan wilayah, analisis keterkaitan wilayah, analisis interaksi spasial,

analisis fungsi dan keterlibahan stakeholder/lembaga, analisis persepsi

stakeholders serta analisa SWOT, maka selanjutnya dilakukan sintesa (kolaborasi)

analisis untuk mengetahui dan menentukan strategi alternatif pengembangan

wilayah Kapet Bima.

Tabel 78 Rumusan Strategi Umum Pengembangan Wilayah di Kapet Bima

SWOT STRATEGI PENGEMBANGAN SO (SO1-SO6) ST (ST1-ST2)

STR

ATE

GI P

ENG

EMB

AN

GA

N

WT

(WT1

-WT3

) 1. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas

institusi (SO1, SO6, WT2, WT3)

2. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan (SO2, ST1,

WO3, WT1)

3. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber

daya lahan kering dan pesisir/kelautan (SO3, SO4, ST2,

WO1, WO2)

4. Pengembangan infrastruktur transportasi dan

perdagangan skala regional (SO5)

1. SDI

DU

KU

NG

AN

SUM

BER

DA

YA

2. SDM

3. SDF

WO

(WO

1-W

O3)

4. SDA

5. SDS

6. SDB

1. KETERPADUAN INSTITUSI

2. KETERPD SEKTORAL

3. KETERPD WILAYAH AHP

PENDEKATAN STRATEGI

169

Berdasarkan analisis persepsi stakeholders, maka secara garis besar,

strategi pengembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan,

dengan prioritas secara berturut-turut adalah sebagai berikut : (1) Keterpaduan

Institusi/stakeholders, (2) Keterpaduan sektoral dan (3) keterpaduan wilayah.

Dari hasil analisis silang pada tabel 78, maka dapat dirumuskan strategi

umum pengembangan wilayah di Kapet Bima, yakni sebagai berikut :

1. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi

2. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan

3. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan kering

dan pesisir/kelautan

4. Pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional

a. Pengembangan Kerjasama dan Peningkatan Kapasitas Institusi

Pengembangan Wilayah Kapet Bima melibatkan berbagai pihak dan

secara administratif Kapet Bima terdiri dari tiga kabupaten/kota, yakni :

Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu dan Kota Bima. Konsekuensi dari hal di atas

adalah dibutuhkan koordinasi dan kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota

serta dengan pelaku pembangunan lainnya.

Untuk memenuhi hal tersebut maka dibutuhkan pengembangan kerjasama

dan peningkatan kapasitas institusi yang meliputi strategi : (1) Pengembangan

kerjasama antar kabupaten/kota dalam Pengelolaan Kapet Bima; (2) Penyusunan

dan penganggaran pembangunan Kapet Bima secara reguler pada jangka pendek,

menengah dan panjang; (3) Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima dan

(4) Promosi dan kerjasama inter regional.

Kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota dalam lingkup wilayah Kapet

Bima merupakan syarat utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima secara

terpadu karena permasalahan struktural-adiministratif, kendala teknis dan

keterbatasan infrastruktur merupakan kendala utama dalam kegiatan

pembangunan. Selain itu alternatif lainnya adalah dengan melakukan

penggambungan daerah administratif. Hal ini sesuai dengan pasal 4 sampai

dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang dalam

pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 yang

170

sekarang sedang dalam proses revisi, namun alternatif penggabungan daerah

administrasi dapat dilakukan apabila adanya usulan dan persetujuan dari daerah

yang bersangkutan dan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah.

Berbagai pilihan alternatif ini dalam pelaksanaannya harus melalui kajian yang

lebih mendalam sehingga tujuan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta

percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah secara terpadu dapat

diwujudkan.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kerjasama antar daerah ini

secara jelas ditekankan guna mendukung pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

daerah. Pada pasal 87 ayat (1) disebutkan bahwa beberapa daerah dapat

mengadakan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.

Untuk itu daerah dapat membentuk Badan Kerjasama Antar Daerah. Lebih lanjut

dinyatakan bahwa daerah dapat juga mengadakan kerjasama dengan badan lain

yang diatur dengan keputusan bersama.

Dalam penyempurnaannya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

menegaskannya kembali tentang kerjasama tersebut. Pada Pasal 195 disebutkan

bahwa dakam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat

mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan

efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.

Kerjasama ini justru diwajibkan seperti yang tersurat pada pasal 196, yakni :

(1) pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah

dikelola bersama oleh daerah terkait; (2) untuk menciptakan efisiensi, daerah

wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk

kepentingan masyarakat; (3) untuk pengelolaan kerjasama itu daerah dapat

membentuk badan kerjasama; (4) apabila daerah tidak melaksanakan kerjasama

tersebut, pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh

Pemerintah Pusat.

Terdapat banyak model kerjasama antar daerah yang telah dipraktekkan,

mulai dari pembagian (sharing) informal sumber-sumber pendapatan sampai

penciptaan daerah-daerah dengan tujuan khusus dan usaha bersama untuk

pencapaian layanan-layanan khusus. Banyak pengaturan kerjasama antara

Pemerintah Daerah dimulai dengan perlunya untuk mempertimbangkan

171

kepentingan bersama seperti : (1) memastikan untuk saling melengkapi penataan

lahan daerah-daerah terdekatnya; (2) pengelolaan bersama atas sumber-sumber

alam; dan (3) membentuk aliansi untuk bersaing dengan daerah-daerah lain atau

bernegosiasi agar lebih efektif (Sarundajang 2005).

Sampai saat ini terdapat beberapa daerah yang telah menjalin kerjasama

dengan bentuk-bentuk kerjasama seperti Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang

dan Bekasi) dan sekarang berkembang sesuai dengan tuntutan yang terus

berkembang, sehingga kerjasama itu menjadi Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor,

Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur). Kerjasama ini berkembang mulai dari

kerjasama memecahkan masalah-masalah kependudukan, transportasi dan

infrastruktur berkembang menjadi suatu kesatuan ekosistem. Jabodetabekpunjur

yang berpenduduk lebih dari 22 juta sekarang ini sudah berkembang menjadi

megapolitan dengan berbagai aktivitasnya dan merupakan pusat kegiatan nasional

yang harus dapat bersaing dengan wilayah lainnya dalam menarik investasi.

Daerah-daerah lain yang mengikuti Jabodetabekpunjur adalah bandung

dan daerah sekitarnya membentuk Bandung Raya (Great Bandung), semarang dan

daerah sekitarnya membentuk Badan Kerjasama Kedungsepur (Kendal, Ungaran,

Semarang dan Purwodadi), Surabaya dan daerah sekitarnya membentuk Gerbang

Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan),

Maminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa/Gowa dan Takalar).

Kerjasama antar daerah meliputi berbagai skema sangat luas. Mulai dari

kerjasama bersifat mikro (misalnya penempatan TPA sampah di daerah lain),

transfer fiskal antar daerah (telah ada contoh, misalnya antara Denpasar dan

Kabupaten Badung dengan beberapa daerah disekitarnya, hal ini disebabkan oleh

kesadaran eksternalitas ekstra yurisdiksi kegiatan pariwisata), kerjasama ekonomi

antar daerah (misalnya kasus kerjasama antar provinsi se-Sumatra), hingga

kerjasama tata pemerintahan antar daerah (misalnya pembentukan Supra DPRD,

asosiasi Kepala Daerah dengan tingkat koordinasi dan kewenangan tertentu)

Kerjasama-kerjasama antar daerah seperti ini perlu terus didorong agar

mempercepat pencapaian cita-cita otonomi daerah yang sekarang sedang

dilaksanakan.

172

Kerjasama antar daerah dilakukan dengan prinsip efisiensi, efektifitas,

sinergi dan saling menguntungkan, dimana objek kerjasama antar daerah meliputi

seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom.

Dengan memperhartikan karakteristik dan permasalahan daerah-daerah

kabupaten/kota di Kapet Bima, maka tiga kabupaten/kota ini dapat melakukan

kerjasama dibidang :

(1) Transportasi/perhubungan. Letak geografis daerah-daerah di Kapet Bima

cenderung menyebar dan terpisah, seperti Kecamatan Wera, Ambalawi,

Wawo, Sape dan Lambu Kabupaten Bima yang harus melewati Kota Bima

sedangkan Kecamatan Sanggar dan Tambora harus melewati Kabupaten

Dompu. Demikian pula keberadaan Kecamatan Kilo untuk menuju Ibu Kota

Kabupaten Dompu maka harus melewati Kecamatan Sanggar Kabupaten

Bima. Tiga kabupaten/kota ini berada pada satu jalur transportasi jalan

negara, sedangkan di sisi lain keberadaan Bandara Udara tersedia di

Kabupaten Bima dan Pelabuhan Laut skala regional berlokasi di Kota Bima

yang digunakan oleh berbagai daerah di Pulau Sumbawa, sehingga berbagai

hal tersebut dapat menjadi pertimbangan pola kerjasama terkait perijinan

dan pengelolaan serta pemanfaatan infrastruktur transportasi/perhubungan

ini.

(2) Pengelolaan sumber daya hutan dan wilayah perbatasan. Terdapat beberapa

kawasan hutan dan wilayah perbatasan antar daerah kabupaten/kota di Kapet

Bima, antara lain Kawasan Hutan Gunung Tambora antara Kabupaten Bima

dan Dompu. Kawasan Hutan Gunung Tambora memiliki kekayaan aneka

ragam sumber daya hayati, namun kerusakan kawasan hutan Gunung

Tambora ini sudah mencapai tingkat yang mengkuatirkan. Demikian juga

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menuju Teluk Bima, dimana yang

menjadi daerah hulu adalah Kecamatan Ambalawi dan Wawo Kabupaten

Bima, sedangkan yang menjadi daerah hilir adalah Kota Bima. Pengelolaan

dan pemanfaatan (DAS) yang tidak terarah, pendekatan penataan ruang yang

belum dilakukan secara terpadu serta makin berkurangnya daerah resapan

air telah menyebabkan banjir besar di Kota Bima pada tahun 2006 yang lalu.

Berbagai hal tersebut menjadi alasan penting bagi perlunya pengelolaan

173

kawasan hutan dan wilayah perbatasan secara bersama, terpadu, dan

berkelanjutan.

(3) Pengelolaan pesisir dan kelautan. Antara lain Teluk Bima yang

keberadaannya di Kabupaten Bima dan Kota Bima, Teluk Sanggar dan

Teluk Ombo merupakan wilayah Kabupaten Bima dan Dompu.

(4) Pengelolaan air bersih dan energi kelistrikan, antara Kabupaten Bima, Kota

Bima dan Kabupaten Dompu

(5) Pengembangan kegiatan ekonomi, industri dan perdagangan. Dibutuhkan

pengembangan industri pengolahan perikanan, pertanian dan peternakan

serta sumber daya alam masing-masing kabupaten/kota untuk meningkatkan

efisiensi dan skala ekonomi pada tingkat regional yang pada akhirnya dapat

meningkatkan kegiatan eksport kawasan baik di Kabupaten Bima, Dompu

dan Kota Bima.

(6) Pengembangan sosial budaya dan pariwisata. Kabupaten Bima, Dompu dan

Kota Bima merupakan satu kesatuan komunitas sosial budaya ”Suku

Mbojo” yang memiliki keadaan sosial dan nilai budaya yang secara

generalnya relatif sama, dan di sisi lain memiliki keragaman dan kekayaan

budaya dan objek pariwisata. Potensi sosial budaya dan pariwisata ini perlu

dibuatkan paket promosi dan pengembangan yang dilaksanakan secara

bersama dan terpadu, karena memiliki peluang pasar yang besar dan

menawarkan banyak pilihan wisata bagi turis domestik maupun

mancanegara.

Kerjasama antar daerah yang dilakukan dalam jangka panjang

membutuhkan suatu institusi penyelenggara kerja sama yang dapat berbentuk

badan kerja sama. Badan kerja sama dibentuk pada setiap bidang kerja sama,

dimana pembentukan dan susunan organisasi badan kerja sama sebaiknya

ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala Daerah sehingga memiliki

kekuatan hukum yang tetap. Penyelenggaraan kerjasama antar daerah

kabupaten/kota dapat difasilitasi oleh Gubernur, baik karena keberadaannya

sebagai Kepada Pemerintah Daerah Propinsi (kewenangan dalam bentuk

desentralisasi dan dekonsentrasi, pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2004) maupun

karena kewenangannya mengkoordinir fasilitasi lintas pemerintah daerah

174

kabupaten/kota dalam lingkup daerah propinsi (pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal

17 dan pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2004).

Perubahan kebijakan pemerintah pusat terkait keberadaan Kapet dan

pengelolaannya seperti yang tertuang dalam Keppres Nomor 150 Tahun 2000,

berimbas pada kelembagaan dan pengelolaan Kapet yang tidak jelas. Karena

struktur hirarki Tim Teknis dan Badan pengelola yang cenderung mengambang

dan kewenangannya hanya memberikan pertimbangan teknis bagi pemberian

perijinan investasi, padahal secara hirarki, kelembagaan pada level yang semakin

rendah, maka fungsi-tugasnya harus lebih teknis-operasional dan jelas. Dengan

memperhatikan berbagai permasalahan dan kebutuhan pengembangan wilayah di

atas, maka reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima dapat didorong untuk

melaksanakan fungsinya sebagai Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) di

bidang pengembangan ekonomi, industri dan perdagangan.

Tugas Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) diarahkan untuk

melakukan kajian, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi atas pelaksanaan kerja

sama. Sehingga Badan Kerjasama Antar Daerah (Bakesda) dapat memberikan

masukan atau saran secara lebih efektif kepada kepada masing-masing Kepala

Daerah mengenai kebijakan dan program pengembangan wilayah pada bidang

kerja sama dimaksud.

Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) didalam penyelenggaraan

kerja sama perlu menyusun program kerja baik untuk periode jangka pendek (satu

tahun) maupun untuk jangka menengah dan panjang. Program kerja tersebut

terintegrasi dengan program pembangunan wilayah masing-masing daerah

sehingga segala pembiayaan dan pendapatan daerah sebagai akibat kerja sama ini

dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang

sebelumnya telah dikonsultasikan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) masing-masing. Selain itu pembiayaan dapat pula diusahakan

melalui pembiayaan APBD Propinsi, APBN dan atau dari pihak ketiga.

Pasal 195 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan

bahwa dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan

pihak ke tiga yang dapat berbentuk perusahaan swasta yang berbadan hukum,

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),

175

koperasi, yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya. Objek kerja sama antara

lain pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) dan dukumen lainnya,

pengembangan dan pendampingan usaha tani, penyediaan kredit usaha kecil dan

menengah, pengembangan klaster atau kawasan sentra produksi, serta kerja sama

lainnya.

Kebijakan otonomi daerah yang mendorong dan memberikan peluang

kepada daerah-daerah di Kapet Bima untuk mengelola sumber daya wilayahnya

adalah sabagai peluang untuk bekerja sama dengan daerah atau pihak lain dengan

tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah itu

sendiri. Kegiatan promosi juga perlu didorong melalui pameran/expo, kampanye,

serta pemanfaatan media massa dan internet sehingga informasi tentang berbagai

keunggulan dan kekayaan berbagai sumber daya wilayah dapat diketahui dan

direspon oleh pihak atau daerah lain yang pada akhirnya akan melahirkan

transaksi dan kerjasama/kemitraan.

Untuk mendukung promosi dan kerjasama, maka yang tidak kalah

pentingnya adalah penciptaan image suatu produk suatu wilayah. Dibutuhkan

promosi dan kerjasama yang yang efektif untuk membangun pencitraan komoditi

dan wilayah yang didukung oleh pengembangan mutu dan ciri produk yang khas

(varietas/spesifik lokal) sehingga dapat membentuk trade mark Kapet Bima.

b. Pengembangan Sosial Ekonomi Perdesaan

Sebagian besar wilayah di Kapet Bima bercirikan agraris dan perdesaan,

dengan topografi yang berbukit dan berupa pegunungan dengan kemiringan lahan

yang agak curam dan curam (luas wilayah yang memiliki kemiringan 15-40o =

35.56 % dan > 40o = 32.24 %), sehingga memiliki faktor kesulitan yang relatif

tinggi untuk menghubungkan antar wilayah melalui prasarana jalan yang di

bangun serta dalam membangun jaringan irigasi untuk mendukung kegiatan

pertanian. Arah pergerakan dan sebaran penduduk tidak menyebar merata tapi

membentuk pola linear dan melingkar karena permasalahan topografi yang

berbukit disamping mengikuti arah perkembangan wilayah yang terpusat dan

mengikuti sekitar jalur jalan raya negara.

176

Daerah-daerah belakang Kapet Bima bagian utara, selatan dan barat secara

relatif kurang berkembang dibandingkan daerah di pusat wilayah (Kota Bima) dan

daerah disekitar jalan negara (jalan arteri). Di bagian utara terdapat Kecamatan

Wera, Ambalawi, Donggo Kabupaten Bima, dan Kilo Kabupaten Dompu. Di

bagian selatan, Kecamatan Huu, Pajo Kabupaten Dompu dan Kecamatan

Langgudu Kabupaten Bima. Sedangkan Bagian Barat adalah Kecamatan Sanggar

dan Tambora Kabupaten Bima, Kecamatan Kempo, dan Pekat Kabupaten Dompu.

Daerah-daerah belakang ini memiliki kekayaan sumber daya alam.

Untuk mengembangan kondisi sosial ekonomi perdesaan maka dibutuhkan

beberapa strategi pengembangan wilayah, yakni : (1) Pengembangan infrastruktur

sosial ekonomi perdesaan; (2) Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha

masyarakat desa; (3) Pemberdayaan KUKM serta lembaga lokal lainnya; dan

(4) Pengembangan pusat pertumbuhan/ pelayanan di daerah hinterland.

Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan ditujukan untuk

meningkatkan derajat kesejahteran masyarakat. Peningkatan tingkat pendidikan,

kesehatan, dan kebutuhan dasar penduduk diperdesaan akan dapat mendorong

produktivitas masyarakat yang pada akhirnya dapat menggerakkan perekonomian

wilayah serta memiliki daya saing atau kemampuan berkompetisi dengan daerah

lainnya.

Secara relatif, Struktur penduduk Kapet Bima dominan berusia produktif

(59.21 %), dengan tingkat partisipasi dan tingkat pendidikan di Kapet Bima lebih

tinggi dari pada Propinsi NTB, dimana yang tidak/belum pernah sekolah di Kapet

Bima adalah sebanyak 9.11 % sedangkan Propinsi NTB sebanyak 10.57 %.

Penduduk Kapet Bima yang mencapai tingkat pendidikan SMP ke atas adalah

39.02 %, di atas rata-rata Propinsi NTB yang baru mencapai 28.46 %, namun

tingkat pendidikan yang diharapkan adalah outcome-nya dapat memanfaatkan

potensi sumber daya khususnya di perdesaan. Untuk itu dibutuhkan pendidikan-

pendidikan informal dan sekolah-sekolah kejuruan yang berbasis sumber daya

lokal (sekolah kejuruan pertanian, peternakan, perikanan, industri, ekonomi, dan

lainnya) yang tersedia di tingkat perdesaan sehingga akan terjadi alih pengetahuan

dan teknologi yang mendorong modernisasi di tingkat perdesaan.

177

Untuk mendukung aktivitas sosial ekonomi perdesaan, maka diperlukan

peran lembaga koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (UKMK) serta

lembaga-lembaga lokal lainnya. Peningkatan kapasitas lembaga dan usaha sosial

ekonomi perdesaan, dapat dilakukan melalui pendampingan manajemen usaha,

kemitraan dan perkuatan permodalan.

Perkuatan lembaga-lembaga perdesaan tidak berarti meninggalkan nilai-

nilai setempat/kearifan lokal. Nilai-nilai tersebut dapat diadopsi mulai dari

pembentukan kelompok dan pemilihan pengurus dengan kriteria kepemimpinan

”nggusu waru”, penanaman jiwa kepemimpinan ”katohompara wekiku sura dou

mari na labo dana”, prinsip pengambilan keputusan ”nggahi ra sama kai”,

penanaman prinsip kerja ”nggahi rawi pahu” dan nilai-nilai pengendalian ”majo

labo dahu” serta kearifan budaya lainnya.

Berkembangnya infrastruktur dan aktivitas sosial dan ekonomi dengan

karakteristik spesifik masing-masing wilayah wilayah (sebagai keunggulan

komparatif wilayah) akan meningkatkan interaksi dan transaksi dengan wilayah

lainnya. Untuk mendorong pertumbuhan wilayah serta meningkatkan efisiensi

usaha dalam skala ekonomi tingkat wilayah maka perlu dibangun pusat-pusat

pertumbuhan sekaligus sebagai pusat pelayanan pedesaan di daerah hinterland.

Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di daerah hinterland

memungkinkan untuk dilakukan, karena di daerah sekitarnya sudah terbentuk pula

pusat pertumbuhan/pelayanan yang dapat mendukung atau mendorong daerah

hinterland. Disamping itu pula sekitar 89.42 % kebutuhan hidup dan usaha

penduduk Kapet Bima saat ini cukup tersedia dalam kabupaten masing-masing,

walaupun produk-produk hasil kegiatan industri sebagian besar didatangkan dari

Surabaya dan Makasar, sehingga kebutuhan hidup dan usaha masyarakat

perdesaan dapat dipenuhi melalui suply barang jasa tersebut ke pusat pelayanan

daerah hinterland-nya.

Pengembangan wilayah dan pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di

daerah-daerah belakang dapat meningkatkan akselarasi pertumbuhan ekonomi

secara agregat di tingkat reginal (Kapet Bima) serta dapat mengurangi

kesenjangan antar wilayah. Tingginya kesenjangan antar wilayah dapat

mendorong perpindahan penduduk (migrasi) secara berlebihan akibat alasan

178

ekonomi atau daya tarik lainnya (infrastruktur pendidikan, perdagangan dan

industri, lapangan pekerjaan dan pendapat yang lebih tinggi), hal ini

mengakibatkan makin berkurangnya ketersediaan tenaga kerja di sektor

pertanian/perdesaan dan dapat mendorong kemandekan ekonomi secara jangka

panjang.

c. Pengembangan Sektor Unggulan dan Optimalisasi Sumber Daya Lahan

Kering dan Pesisir/Kelautan

Pertumbuhan ekonomi Kapet Bima sebesar 4.45 % di atas pertumbuhan

Propinsi NTB yang hanya mencapai 3.64 %, sedangkan Total PDRB Kapet Bima

mencapai Rp.2.61 trilyun, dengan kontribusi 46.31 % berasal dari sektor

pertanian, namun struktur perekonomian masih bertumpu pada sektor pertanian

khususnya pada subsektor tanamanan bahan makanan (pangan dan hortikultura)

sedangkan luas lahan basah mengalami keterbatasan dan tingkat produksi akan

mengalami tingkat kejenuhan.

Secara umum ketersedian lahan masih cukup luas untuk pengembangan

pertanian, industri dan pengembangan kawasan terbangun lainnya. Luas lahan

kering mencapai 94.68 % (termasuk di dalamnya hutan negara dengan luas

mencapai 55.80 %). Di sisi lain, luas lahan kritis semakin terus meningkat, yang

berkorelasi pula dengan banyaknya pengelolaan lahan dan hutan yang belum

dilaksanakan secara optimal baik untuk tujuan ekonomi maupun ekologi.

Sedangkan luas lautan mencapai 12,180.96 Km2 (63.77 % dari total luas wilayah

Kapet Bima) juga pemanfaatannya masih dilakukan secara terbatas. Ketersediaan

lahan dan perairan dapat dimanfaatkan secara lebih optimal dengan

mengembangkan atau mengusahakan komoditi-komoditi unggulan.

Sektor unggulan merupakan sektor yang dapat berperan sebagai penggerak

utama pertumbuhan ekonomi wilayah. Perkembangan ekonomi regional terjadi

melalui pertumbuhan sektor ekonomi unggulan serta adanya diversifikasi dan

keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya.

Berdasarkan peringkat keunggulan sektor, maka yang menjadi sektor

unggulan I (total skor = 3) adalah : tanaman bahan makanan dan industri

pengolahan non migas; Sektor unggulan II (total skor = 2) adalah : Peternakan dan

179

hasilnya, Perikanan, bangunan, perdagangan besar dan eceran, angkutan, bank dan

lembaga keuangan bukan bank serta sektor jasa pemerintahan umum; Sektor

unggulan III adalah (total skor = 1) : kehutanan, listrik, air bersih, hotel dan

restoran, pos dan telekomunikasi, dan jasa swasta; sedangkan unggulan IV (total

skor = 0) adalah : tanaman perkebunan, penggalian dan sewa bangunan dan jasa

perusahaan.

Agar sektor unggulan dan pemanfaatan sumber daya lahan kering dan

perairan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah di

Kapet Bima, dibutuhkan strategi pengembangan wilayah sebagai berikut :

(1) Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agrobisnis dan agroindustri;

(2) Optimalisasi sumber daya pesisir dan kelautan melaui kegiatan penangkapan

dan budidaya; (3) Pengembangan sumber daya lahan kering melalui usaha tani

lahan kering, industri dan perdagangan; (4) Pengembangan industri pengolahan

berbasis sumber daya lokal baik pada sektor hulu maupun hilir;

(5) Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan pendukung.

Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agroindustri dan

agribisnis merupakan suatu strategi yang dapat meningkatkan keterkaitan sektor

unggulan dengan sektor lainnya. Pengembangan sektor unggulan dengan

memperhatikan sektor hulu, seperti pengadaan faktor produksi, sampai pada

kegiatan sektor hulu, pengolahan, pengemasan dan pemasaran yang dilakukan

secara terpadu, serta didukung oleh ketersediaan lembaga pendamping/

penyuluhan, lembaga keuangan serta kegiatan penelitian untuk alih teknologi

berbasis sumber daya lokal akan dapat mendorong peningkatan produksi dan

produktivitas, efisiensi dengan skala usaha yang lebih besar, sehingga sektor

unggulan di Kapet Bima dapat memiliki keunggulan komparatif (sebagai sektor

basis) dan keunggulan kompetitif (berdaya saing) terhadap wilayah lainnya.

Sektor-sektor unggulan seperti tanaman bahan makanan, peternakan, dan

perikanan adalah sektor-sektor primer, sektor yang memiliki keterkaitan langsung

dengan sumber daya lahan dan air (sumber daya alam). Sektor-sektor ini

merupakan sektor basis, yang memiliki pemusatan kegiatan yang tinggi serta

merupakan sektor eksport unggulan di Kapet Bima, namun kegiatan usaha sektor

180

ini, perlu didorong agar aktivitas ekonominya memiliki keterkaitan yang tinggi

dengan sektor lainnya.

Industri pengolahan non migas dan perdagangan besar dan eceran adalah

sektor yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan aktivitas usaha sektor

lainnya, namun sektor-sektor ini memiliki aktivitas dan volume usaha yang relatif

masih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Propinsi NTB. Berbagai

faktor produksi usaha (hulu) masih banyak yang didatangkan dari luar kawasan,

seperti pakan ikan/ternak, ayam broiler, pupuk dan obat-obatan pertanian, alat dan

mesin usaha perikanan/pertanian, sedangkan kegiatan industri di sektor hilir juga

masih rendah. Karena komoditi yang dijual pada umumnya masih produk mentah

dan setengah jadi.

Sektor-sektor industri pengolahan, bank dan lembaga keuangan non bank

serta perdagangan memiliki kemampuan untuk menggerakkan sektor lainnya

karena memiliki keterkaitan kedepan dan atau kebelakang yang kuat dengan

sektor lainnya, namun perlu ditingkatkan jumlah usaha dan kelembagaannya, serta

nilai produktivitasnya dengan berbasis (keunggulan) produk spesifik lokal.

Sektor-sektor unggulan primer masih bisa dikembangkan lebih besar pada

lahan (lahan kering) dan peraiaran yang masih sangat luas. Selain untuk

pengusahaan sektor pertanian, pada lahan kering dapat pula diusahan sektor

unggulan non pertanian, yakni sektor industri pengolahan dan perdagangan.

Saat ini lahan kering baru sebagian kecil dimanfaatkan untuk usaha

peternakan (pelepasan ternak) dan perkebunan, sedangkan sebagian besar lainnya,

masih sebagai lahan tidur, belum diusahakan sama sekali. Ketersediaan air yang

terbatas dan tingginya biaya usaha tani adalah menjadi alasan sulitnya berusaha

tani lahan kering. Pengusahaan kegiatan usaha tani yang mencirikan usaha tani

lahan kering serta kegiatan non pertanian dapat mengeliminir permasalahan

dimaksud.

d. Pengembangan Infrastruktur Transportasi dan Perdagangan Skala

Regional

Secara faktual, Kota Bima merupakan kota penting di Nusantara khususnya

di kawasan timur, terutama dalam hubungan wilayah dan percaturan dagang

181

regional. Posisi dan peranannya yang penting ini didukung oleh letaknya yang

strategis. Bima menjadi kota jangkar yang menghubungkan antara Kawasan

Indonesia Barat (Jawa) dengan Sulawesi dan kepulauan – kepulauan di Kawasan

Indonesia Timur lainnya. Setiap armada dagang yang berlayar di perairan Selat

Sunda ke timur umumnya melakukan transit di Pelabuhan Bima, baik dalam

rangka mengembangkan perdagangan maupun sekedar untuk berlindung dari

serangan badai angin barat. Selain itu Kapet Bima berada dalam jalur segi tiga

emas pariwisata Indonesia (Bali-Pulau Komodo-Tanah Toraja) dan Berdasarkan

kajian sejarah, kerajaan di Kapet Bima telah cukup lama berinteraksi dengan

daerah lain di Nusantara maupun internasional

Kapet Bima memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap berbagai kawasan

strategis lainnya. Aktifitas sosial ekonomi kota dihubungkan secara rutin dan

lancar oleh sarana/prasarana transportasi darat, laut dan udara. Melalui darat,

tersedia 2 terminal utama (yakni terminal Dara Kota Bima dan terminal Ginte

Kabupaten Dompu) dan dua sub terminal dengan dukungan ± 76 armada Bus

antar kota dan antar pulau (ke Lombok, Bali dan Jawa). Melalui laut, didukung

oleh pelabuhan laut Kota Bima dan armada kapal ferry dan PELNI yang cukup

intensif ke berbagai pelabuhan yaitu Tanjung Perak, Ujung Pandang, Labuhan

Bajo, Kupang dan Maumere. Di Kapet Bima terdapat 5 (lima) buah pelabuhan

yaitu pelabuhan laut di Teluk Bima, pelabuhan penyeberangan di Kecamatan

Sape, pelabuhan Waworada di Langgudu, ketiganya di Kabupaten Bima, dan

pelabuhan laut di Calabai dan Kempo (Kabupaten Dompu). Untuk mewujudkan

Kapet Bima sebagai pusat perdagangan yang maju, maka Pelabuhan Laut Bima

yang merupakan pintu gerbang ke Kapet Bima perlu dikembangkan sehingga

memenuhi syarat untuk disinggahi kapal-kapal nusantara maupun mancanegara.

Demikian pula pelabuhan penyeberangan Sape perlu dikembangkan untuk

mendukung interaksi spasial skala regional.

Untuk sistem transportasi udara, Bandara Udara M. Salahuddin di kota

Bima merupakan salah satu simpul transportasi udara nasional, yang

pelayanannya meliputi beberapa wilayah yang menghubungkan antara bandar

udara utama dan kedua, yakni dengan pesawat udara jenis F27, F100 dan B737

ke Mataram, Denpasar, Surabaya dan Jakarta setiap hari serta ke NTT.

182

Memperhatikan peran dan keberadaan Kapet yang memnghubungkan

pusat-pusat pertumbuhan Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia

Timur, maka dipandang perlu untuk meningkatkan infrastruktur transportasi dan

perdagangan skala regional. Peningkatan hubungan intra dan inter regional di

Kapet Bima melalui pengembangan prasarana dan sarana transportasi dan

perdagangan mendorong mobilitas sumber daya dan kerja sama antar wilayah

yang optimal dan berimbang.

Untuk mendukung promosi dan keberlanjutan kegiatan perdagangan juga

perlu didukung dengan pengadaan gudang, cold storage dan etalase khususnya

untuk komoditi unggulan baik dalam kawasan maupun di daerah-daerah pasar

potensial luar kawasan. Pengadaan gudang, cold storage dan etalase komoditi

dapat menciptakan pencitraan komoditi yang baik, menjaga/mengendalikan

tingkat harga yang layak serta dapat meningkatkan daya saing komoditi dari

Kapet Bima. Kegiatan ini dapat melibatkan pihak perbankan dan swasta/kadin.

VI. PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah

di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Kapet Bima memiliki beragam potensi sumber daya dalam pengembangan

wilayah. Kabupaten Bima dan Dompu memiliki karakteristik sebagai daerah

pertanian dan perdagangan sedangkan Kota Bima dengan karakteristik sebagai

kota jasa dan perdagangan. Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang terus

meningkat (rata-rata 4.45 % pertahun atas dasar harga konstan dan 12.16 %

atas dasar harga berlaku) di atas pertumbuhan ekonomi propinsi, dapat

menjadikan kawasan ini sebagai prime mover bagi pertumbuhan wilayah

sekitarnya, namun di sisi lain, ketersedian infrastruktur sosial ekonomi relatif

terbatas dan kurang merata, disamping belum optimalnya pengelolaan lahan

kering, kawasan pesisir dan kelautan, serta masih lemahnya komunikasi dan

koordinasi antar pelaku pembangunan kawasan sehingga orientasi dan

kepentingan pembangunan masih bersifat parsial.

2. Sektor yang memiliki tingkat keunggulan paling tinggi di Kapet Bima (Skor

keunggulan = 3) adalah sektor tanaman bahan makanan dan industri

pengolahan non migas. Sektor tanaman bahan makan merupakan sektor basis

(LQ-PDRB > 1) dengan output ekonomi yang paling tinggi yakni sebesar

Rp.1.02 trilyun serta memiliki daya dorong yang tinggi terhadap sektor

lainnya. Sedangkan kegiatan industri pengolahan non migas juga merupakan

sektor yang memiliki output ekonomi yang tinggi serta memiliki tingkat

keterkaitan yang tinggi baik kedepan maupun kebelakang dengan sektor

lainnya, sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap total

pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor unggulan kedua (skor keunggulan = 2)

adalah peternakan dan hasilnya, perikanan, bangunan, perdagangan besar dan

eceran, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank serta sektor jasa

pemerintahan umum. Sektor-sektor ini memenuhi dua dari tiga indikator

keunggulan sektor

184

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari

pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan gambaran

sebagai berikut :

a. Penduduk di Kapet Bima melakukan perjalan untuk memenuhi

berbagai kebutuhan sosial maupun ekonomi. Sekitar 88.50 % kebutuhan

penduduk dapat dipenuhi dalam kawasan (intra regional) sedangkan

sisanya 11.50 % dipenuhi dari luar kawasan (inter regional).

Hubungan Interregional Kapet Bima secara garis besar melalui tiga

jaringan transportasi, yaitu darat, udara dan laut. Melalui jaringan

transportasi darat, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah

lain di Propinsi NTB, Bali, Jatim, Jateng, Yogyakarta, DKI Jakarta dan

Banten. Melalui jaringan transportasi udara, Kapet Bima dominan

berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Propinsi NTT,

Bali, Jatim, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi laut,

Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi

NTB, NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan

Timur, dan Kalimantan Selatan.

b. Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut terlihat bahwa

dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus

penumpang dari Kapet Bima, secara sigifikan dipengaruhi oleh

pertumbuhan ekonomi wilayah daerah tujuan (b = 0.82) dan menurun

seiring dengan makin jauh jarak antar wilayah (c = -2.68), sedangkan arus

barang dari Kapet Bima secara signifikan menurun seiiring dengan

peningkatan jumlah penduduk (b = -0.50) dan PDRB wilayah tujuan

(b = -0.31).Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima

ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah asal (b = 0.64) dan

menurun seiring dengan makin jauhnya jarak wilayah tersebut dengan

Kapet Bima (c = -2.31). sedangkan arus barang menuju Kapet Bima secara

signifikan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Kapet

Bima (b = 39.98) dan jarak antar wilayah (c = 93.74), namun menurun

seiring peningkatan jumlah penduduk daerah asal (a = -66.15). Fenomena

ini menunjukkan bahwa dinamika sosial (yang ditunjukkan dengan arus

185

penumpang) di Kapet Bima lebih tinggi dari pada dinamika ekonomi

(yang ditunjukkan dengan arus barang).

c. Dalam interaksi wilayah secara nasional, Kapet Bima memegang peranan

cukup penting karena merupakan salah satu simpul jaringan transportasi

penyeberangan lintas selatan dan terhubung dengan daerah-daerah yang

berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Kawasan Indonesia Barat

dan Timur. Sedangkan dalam kajian sejarah Kapet Bima juga melakukan

hubungan internasional khususnya dengan Negara-Negara Timur Tengah.

Keberadaan Kapet Bima tersebut memiliki posisi strategis dalam

hubungan intra-interregional, serta memberikan dampak pada

perkembangan sosial, ekonomi dan politik wilayah.

4. Dalam menyusun strategi pengembangan wilayah Kapet Bima, maka

digunakan analisis stakeholders, analisis hirarki proses, analsis SWOT serta

disintesakan (kolaborasi) dengan analisis sebelumnya. Adapun rumusan

strategi umum pengembangan wilayah Kapet Bima sebagai berikut :

a. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi, yakni

meliputi :

- Pengembangan kerjasama antar kabupaten/kota dalam Kapet Bima.

Peluang kerja sama yang dapat dilakukan adalah pada bidang

transportasi/perhubungan, pengelolaan sumber daya hutan dan wilayah

perbatasan, pengelolaan pesisir dan kelautan, pengelolaan air bersih

dan energi kelistrikan, pengembangan kegiatan ekonomi, industri dan

perdagangan serta pengembangan sosial budaya dan pariwisata.

- Promosi dan kerjasama intra-interregional.

- Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima.

- Perencanaan dan penganggaran pembangunan wilayah Kapet Bima

secara reguler pada jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

b. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan, yakni meliputi :

- Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat

perdesaan

- Pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) serta

lembaga lokal lainnya

186

- Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan

- Pengembangan pusat pertumbuhan/pelayanan di daerah hinterland.

c. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan

kering dan pesisir/kelautan, yakni meliputi :

- Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan

pendukung

- Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agribisnis dan

agroindustri

- Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik di

sektor hulu maupun di hilir

- Pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan

- Pengembangan sumber daya lahan kering melalui melalui usaha tani

lahan kering, industri dan perdagangan

d. Pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional

6.2. Saran

Sehubungan dengan kesimpulan di atas, berikut ini disampaikan beberapa

saran berkenaan dengan kebijakan pemerintah dan pengembangan studi ke depan,

yakni sebagai berikut :

1. Potensi berbagai sumber daya wilayah potensial di Kapet Bima, khususnya di

sektor pertanian cukup tinggi dan diusahakan oleh sebagian besar masyarakat

di Kapet Bima, namun pengelolaannya masih sederhana dan bersifat

tradisional. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu melakukan

pembinaan/pendampingan dengan melibatkan stakeholders lainnya terutama

pada kegiatan agribisnis subsistem pascapanen dan pemasaran sehingga

petani atau masyarakat mendapatkan nilai tambah (value added) produk yang

berkorelasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya. Selain itu

juga perlu dioptimalkan pemanfaatan sumber daya buatan, pariwisata, sumber

daya hayati, sumber daya sosial dan nilai budaya dalam pengembangan

wilayah secara terpadu.

187

2. Peningkatan keterkaitan antar sektor dan pengembangan sektor unggulan

dapat memberikan dampak pengganda yang besar bagi pengembangan

wilayah, untuk itu perlu diperhatihan beberapa hal sebagai berikut :

a. Dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dibutuhkan suatu kebijakan

yang strategis bagi total pertumbuhan wilayah, untuk itu perlu

diprioritaskan pengembangan sektor unggulan dengan meningkatkan

produktivitas, melalui investasi dan pengembangan teknologi khususnya

usaha tani lahan kering (pertanian lahan kering, peternakan, perkebunan

dan tanaman industri/kehutanan), membangun industri baik industri hulu,

pengadaan sarana produksi yang terjangkau, industri hilir/pengolahan yang

dapat meningkatkan keterkaitan antar sektor serta dengan meningkatkan

daya saing sektor unggulan tersebut.

b. Dibutuhkan promosi dan kerjasama yang yang efektif untuk membangun

pencitraan komoditi dan wilayah yang didukung oleh pengembangan mutu

dan ciri produk yang khas (varietas/spesifik lokal) sehingga dapat

membentuk image dan trade mark komoditi unggulan Kapet Bima. Selain

itu untuk mendukung promosi dan keberlanjutan kegiatan perdagangan di

butuhkan pengadaan gudang, cold storage dan etalase khususnya untuk

komoditi unggulan baik dalam kawasan maupun di daerah-daerah pasar

potensial luar kawasan. Pengadaan gudang, cold storage dan etalase

komoditi dapat menciptakan pencitraan komoditi yang baik,

menjaga/mengendalikan tingkat harga yang layak serta dapat

meningkatkan daya saing komoditi dari Kapet Bima. Kegiatan ini dapat

melibatkan pihak perbankan dan swasta/kadin.

3. Interaksi spasial intra dan inter regional perlu ditingkatkan untuk mendukung

pergerakan sumber daya yang optimal dan berimbang di Kapet Bima, untuk

itu perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

a. Peningkatan interaksi spasial intra dan inter regional melalui

pengembangan infrastruktur transportasi, meliputi peningkatan kapasitas

jalan raya, khususnya jalan negara yang dilalui oleh kendaraan besar dan

berat lintas propinsi, serta pengembangan pelabuhan laut dan udara yang

dapat melayani pada skala regional (daerah-daerah di Pulau Lombok,

188

Sumbawa dan NTT) dalam interaksinya dengan wilayah lain secara

nasional dan internasional sehingga memberikan dampak positif pada

perkembangan sosial, ekonomi wilayah.

b. Perkembangan wilayah yang cenderung mengikuti sepanjang jalan raya

negara dapat menciptakan pertumbuhan yang terpusat dan linear,

dampaknya mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dan fisik wilayah yang

lamban dan tidak merata. Untuk mengembangkan ekonomi daerah-daerah

hinterland (daerah pinggir) yang memiliki sumber daya alam yang besar,

maka pengelolaannya membutuhkan infrastruktur yang memadai. Untuk

itu perlu dikembangkan instalasi listrik yang dapat berupa energi listrik

alternatif dengan menggunakan sumber-sumber energi lokal khususnya

untuk mendukung home industri/indutri mikro-kecil dan menengah

diperdesaan. Selain itu juga perlu dibangun infrastruktur air bersih,

transportasi dan komunikasi serta pasar-pasar tingkat desa untuk

membantu kegiatan pemasaran komoditi lokal, sehingga terbentuk pusat-

pusat pertumbuhan baru yang berbasis sumber daya local di wilayah-

wilayah hinterland.

c. Alasan utama perpindahan penduduk dari desa/kelurahan di Kapet Bima

ke daerah lain adalah untuk melanjutkan pendidikan dan mencari

pekerjaan. Ketersediaan sekolah masih dirasakan terbatas. Perbandingan

jumlah sekolah dengan jumlah penduduk masih tinggi, karena itu perlu

dikembangkan lembaga pendidikan khususnya pendidikan kejuruan yang

dibangun di daerah pedesaan yang dibutuhkan dalam pengembangan

sumber daya setempat untuk meningkatkan SDM yang trampil di

perdesaan serta diharapkan secara signifikan dapat membuka lapangan

pekerjaan, hal ini dapat mengurangi migrasi keluar kawasan perdesaan di

Kapet Bima.

4. Untuk mendukung strategi pengembangan wilayah Kapet Bima, maka

beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Tiap stakeholders memiliki fungsi peran masing-masing dalam

pengembangan wilayah Kapet Bima, namun hubungan dan kerja sama

secara kelembagaan belum optimal. Sehingga berbagai stakeholders perlu

189

duduk bersama untuk menyusun kerangka kerja dan membangun

kemitraan efektif dalam suatu pola yang saling menguntungkan (win-win

solution) dalam berbagai kegiatan pengembangan sumber daya wilayah.

Untuk itu pemerintah daerah khususnya di tingkat kabupaten/kota perlu

menyiapkan perangkat kebijakan (misalnya Perda atau Peraturan

Bupati/Walikota) yang memberikan kemudahan atau insentif sehingga

dapat mendorong terjadinya kemitraan/keterlibatan khususnya pihak

swasta/perbankan.

b. Kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota dalam lingkup wilayah Kapet

Bima merupakan pilihan utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima

secara terpadu karena adanya permasalahan struktural, teknis dan

keterbatasan infrastruktur yang merupakan kendala utama dalam kegiatan

pembangunan. Selain itu alternatif lainnya adalah dengan melakukan

penggambungan daerah administratif. Hal ini sesuai dengan pasal 4

sampai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang

dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129

tahun 2000 yang sekarang sedang dalam proses revisi, namun alternatif

penggabungan beberapa daerah administratif dapat dilakukan apabila

adanya usulan dan persetujuan dari daerah yang bersangkutan dan

memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah. Berbagai pilihan

alternatif ini dalam pelaksanaannya harus melalui kajian yang lebih

mendalam sehingga tujuan peningkatan pelayanan kepada masyarakat

serta percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah secara

terpadu dapat diwujudkan.

c. Kerja sama antar daerah telah diamatkan dalam Undang-Undang 32 tahun

2004, khususnya pasal 195 dan 196, yang bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat serta efisiensi dan efektifitas dalam mengelola

pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya. Untuk

pengelolaan kerja sama ini daerah dapat membentuk Badan Kerja Sama

Antar Daerah (Bakesda). yang dibentuk sesuai dengan bidang kerja sama,

sehingga badan ini berjalan lebih fokus dan terarah.

190

d. BP Kapet Bima yang diharapkan sebagai ujung tombak pengembangan

wilayah Kapet Bima berjalan stagnan, karena kurang tegasnya fungsi dan

kewenangan BP Kapet sebagai lembaga pengelola pembangunan wilayah

di Kapet Bima, untuk itu keberadaan BP Kapet Bima perlu dilakukan

reposisi dan restrukturisasi, yang kelembagaannya dapat diarahkan sebagai

Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) dibidang pengembangan

Ekonomi, Industri dan Perdagangan.

e. Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) ini bertugas untuk melakukan

kajian, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi atas pelaksanaan kerja

sama. Sehingga Badan Kerjasama Antar Daerah (Bakesda) dapat

memberikan masukan atau saran secara lebih efektif kepada masing-

masing Kepala Daerah mengenai kebijakan dan program pengembangan

wilayah pada bidang kerja sama dimaksud.

f. Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) didalam penyelenggaraan

kerja sama perlu menyusun program kerja baik untuk periode jangka

pendek (satu tahun) maupun untuk jangka menengah dan panjang.

Program kerja tersebut terintegrasi dengan program pembangunan wilayah

daerah masing-masing sehingga segala pembiayaan dan pendapatan daerah

sebagai akibat kerja sama ini dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) yang sebelumnya telah dikonsultasikan dan

disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masing-masing.

Selain itu pembiayaan dapat pula diusahakan melalui pembiayaan APBD

Propinsi, APBN atau dari pihak ketiga.

g. Pemerintah Daerah Propinsi NTB memiliki kewenangan yang lebih besar

dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, namun tingkat peran

(keterlibatan)nya relatif masih rendah. Untuk itu Pemerintah Daerah

Propinsi NTB perlu berperan lebih besar dengan menggunakan

kewenangan yang dimilikinya untuk pengembangan wilayah Kapet Bima,

baik sebagai jabatan Gubernur (Kepala Daerah Propinsi) yang secara

ad.interm selaku ketua BP Kapet Bima maupun selaku pimpinan

kelembagaan pemerintah yang bersifat otonom, yang memiliki

kewenangan dalam bentuk desentralisasi dan dekonsentrasi (pasal 1 UU

191

Nomor 32 Tahun 2004), yang melaksanakan fungsinya dalam mengelola

sumber daya wilayah lingkup propinsi, serta melakukan koordinasi dan

fasilitasi lintas pemerintah daerah kabupaten/kota dalam lingkup propinsi

(pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal 17 dan pasal 18 UU Nomor 32 Tahun

2004).

5. Penelitian ini mengkaji pengembangan wilayah di Kapet Bima masih pada

tingkat wilayah kabupaten/kota, sehingga kesimpulan dan rekomendasi masih

bersifat umum, untuk itu dibutuhkan penelitian lanjutan yang mengkaji

wilayah secara lebih mikro, minimal sampai pada kajian tingkat kecamatan,

sehingga kajian tipologi/karakteristik wilayah dan rekomendasi hubungan

fungsional dan kerja sama intra regional dapat ditentukan secara lebih

spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, A. 2001. Pembangunan Wilayah Perdesaan dengan Desentralisasi Spatial

melalui Pembangunan Agropolitan yang Mereplikasi Kota-Kota Menengah dan Kecil. Makalah disampaikan pada Pembahasan Proyek Perintisan pengembangan Perdesaan. Bogor.

Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Bogor :

P4Wpress. Anwar A, Rustiadi E. 2000. Perspektif Pembangunan Tata Ruang (Spatial)

Wilayah Pedesaan Dalam Rangka Pembangunan Regional. Bogor : Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pascasarjana, IPB.

Adisasmita R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Jakarta : Penerbit Graha

Ilmu . Azra A. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII. Bandung : Mizan. Badan Pusat Satatistik, 2000a. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output.

Jakarta : Badan Pusat Satatistik. Badan Pusat Satatistik, 2000b. Tekhnik Penyusunan Tabel Input-Output. Jakarta :

Badan Pusat Satatistik. Badan Pusat Statistik, 2006. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi-

Propinsi di-Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Satatistik. Badan Pusat Satatistik Bima, 2001. Kabupaten Bima Dalam Angka. Bima : Badan

Pusat Satatistik Bima. Badan Pusat Satatistik Bima, 2004. Kabupaten Bima Dalam Angka. Bima : Badan

Pusat Satatistik Bima. Badan Pusat Satatistik Bima, 2004. Kota Bima Dalam Angka. Bima : Badan Pusat

Satatistik Bima. Badan Pusat Satatistik Dompu, 2001. Kabupaten Dompu Dalam Angka. Dompu :

Badan Pusat Satatistik Dompu. Badan Pusat Satatistik Dompu, 2004. Kabupaten Dompu Dalam Angka. Dompu :

Badan Pusat Satatistik Dompu.

193

Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kabupaten Se-Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat.

Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2001. Propinsi Nusa Tenggara Barat

Dalam Angka. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat. Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004b. Propinsi Nusa Tenggara

Barat Dalam Angka. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat.

Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004c. Survey Sosial Ekonomi

Nasional (Susenas) Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat.

Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004c. Tabel Input-Output (IO)

Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat.

Bakry, L., 1999. Kontribusi Sektor Perikanan Terhadap Pengembangan Kawasan

Ekonomi Terpadu Pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah [Tesis]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.

BP Kapet Bima dan BPPT, 2000. Rencana Induk Kegiatan Kapet Bima.

Mataram : BP Kapet Bima. BP Kapet Bima dan Unram, 2003. Penyusunan Businis Plan Kapet Bima.

Mataram : BP Kapet Bima. BP Kapet Bima, 2004. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kapet Bima.

Mataram : BP Kapet Bima. Darwanto, H., 2004. Membangun Wilayah Yang Produktif. Jakarta : Bulletin

Bappenas. Dewi, P.S., 2003. Pengembangan Perekonomian Daerah Melalui Kerjasama

Perbankan Nasional Dengan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet). Studi Kasus : Kapet Pare-Pare Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.

Fu, C.L. 1981. Rural-Urban Relations and Regional Development. Diacu dalam

Kasikoen, K.A., 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan – Perdesaan Di Jawa Barat [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.

194

Garcia, J.G. 2000. Indonesia’s Trade and Price Interventions : Pro-Java and Pro-Urban. Bulletin of Indonesian Economic Studi 36 (3) : 993-112.

Glasson, J. 1974. An Introduction to Regional Planing. Diacu dalam Kasikoen,

K.A., 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan – Perdesaan Di Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.

Miyosi, 1997. Successes and Failures Associated With The Growth Pole

Strategies University of Manchester, Depatemen of Economic Studies. Hadi, S., 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Terhadap Disparitas

Ekonomi Antar Wilayah (Pendekatan Model Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi) [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.

Haeruman, H. et al. 2000. Kebijakan DP KTI Dalam pengembangan Kawasan

Timur Indonesia. Jakarta : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.

Hamzah M. 2004. Ensiklopedia Bima. Bima : Pemerintah Kabupaten Bima. Hagget, P., A.D. Clift dan A. Frey. 1997. Location Analysis in Human

Geography. Diacu dalam Rustiadi, E. Saefulhakim, S. Panuju, D.R. 2005. Perencanaan Pengembangan Wilayah [Diktat Kuliah]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.

Haruo, N. 2000. Regional Development in Third World Countries – Paradigms

and Operational Principles. The International Development Journal, Co. Ltd. Tokyo. Japan.

Hillway, T. 1956. Introduction To Research. Diacu dalam Nazir, M. 2003. Metode

Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Isard, W. 1975. Introduction to Regional Science. Englewood Cliffs, N.J.:

Prentice-Hall. Kasikoen, K.A. 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan – Perdesaan Di Jawa Barat

[Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.

Lipton, M. 1977. Why Poor People Stay Poor. Gower Publishing Limited.

London. Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta : PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia.

195

Miyosi, 1997. Successes and Failures Associated With The Growth Pole Strategies dalam Kasikoen, K.A., 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan – Perdesaan Di Jawa Barat [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.

Murty, S. 2000. Regional Disparities: Need and Measures for Balances

Development (pp. 3-16). Paper in Regional Planning and Sustainable Development. Kanishka Publishers, Distributors. New Delhi.

Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Paauw, D. S. and Fei, J. C. H. 1973. The transition in open dualistic economies,

Theory and Southeast Asian experience. New Haven: Yale University Press.

Pradhan, K. Pushkar. 2003. Manual for Urban Rural Linkage and Rural

Development Analysis. New Hira Books Enterprises. Kirtipur, Kathmandu.

Prasetya, H. 2000. Pengembangan Keterkaitan Antar Kawasan Pengembangan

Ekonomi Terpadu (Kapet) di Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.

Prasetya, H. dan Hadi, A.R. 2000. Strategi Pengembangan Ekonomi Terpadu

(Kapet) di Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.

Pribadi, D.O., 2005. Pembangunan Kawasan Agropolitan Melalui Pengembangan

Kota-Kota Kecil, Menengah, Peningkatan Efisiensi Pasar Perdesaan dan Penguatan Akses Masyarakat Terhadap Lahan [Tesis]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.

Rondinelli, A.D. 1985. Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial

Dimensions of Development Policy. Westview Press / Boulder. London. Rustiadi, E. 2001. Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan.

Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Kebijakan dan Strategi pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan. Bogor.

Rustiadi, et. al. 2004. Studi Pengembangan Model dan Tipologi Kawasan

Agropolitan. Jakarta : Departemen Kimpraswil. Rustiadi, E. Saefulhakim, S. Panuju, D.R. 2005. Perencanaan Pengembangan

Wilayah [Diktat Kuliah]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.

196

Tim P4W-IPB. 2002. Penyusunan Arahan Strategi Pengembangan Inter-regional Berimbang. Jakarta : P4W IPB dan Bapenas.

Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta : PT.

Pustaka Binaman Pressindo. Saefulhakim RS. 2003. Permodelan Wilayah [Diktat Kuliah]. Bogor : Program

Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.

Smith, A. Carol. 1976. Regional Analysis, Volume I Economic System.

Department of Anthropology Duke University Durham. North Carolina. Sekretariat Negara RI. 1992. Undang-Undang Nomor 24 Tentang Penataan

Ruang. Jakarta : Sekretariat Negara RI. Sekretariat Negara RI. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tentang Pemerintahan

Daerah. Jakarta : Sekretariat Negara RI. Sekretariat Negara RI. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tentang Pemerintahan

Daerah, Pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Jakarta : Sekretariat Negara RI.

Tajib A. 1995. Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta : PT. Harapan Masa PGRI

Jakarta. Tambunan, T.TH. 2001. Perencanaan Indonesia – Teori dan Temuan Empiris.

Ghalia Indonesia. Jakarta.

LAMPIRAN Halaman?

Wilay PROPINSI NTB

Lampiran 1 Peta Wilayah Kapet Bima

198

Lampiran 2 Daftar Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Indonesia

NO. NAMA KAPET PROPINSI

1 SABANG DAERAH ISTIMEWA ACEH

2 NATUNA RIAU

3 SANGGAU KALIMANTAN BARAT

4 DASKAKAB KALIMANTAN TENGAH

5 BATULICIN KALIMANTAN SELATAN

6 SASAMBA KALIMANTAN TIMUR

7 PARE-PARE SULAWESI SELATAN

8 BATUI SULAWESI TENGAH

9 BUKARI SULAWESI TENGGARA

10 MANADO-BITUNG SULAWESI UTARA

11 BIMA NUSA TENGGARA BARAT

12 MBAY NUSA TENGGARA TIMUR

13 SERAM MALUKU

14 BIAK IRIAN JAYA

199

Lampiran 3 Daftar Desa Sampel dan Responden Penelitian di Kapet Bima

NO. NAMA DESA KECAMATAN KABUPATEN RESPONDEN (ORG)

1 SARAE RASANAE BARAT KOTA BIMA 2

2 PENARAGA RASANAE TIMUR KOTA BIMA 2

3 KOLO ASA KOTA KOTA BIMA 2

4 NARU SAPE KAB. BIMA 2

5 LANTA LAMBU KAB. BIMA 2

6 SAMBORI WAWO KAB. BIMA 2

7 NUNGGI WERA KAB. BIMA 2

8 DORO O'O LANGGUDU KAB. BIMA 2

9 TANGGA MONTA KAB. BIMA 2

10 SAMILI WOHA KAB. BIMA 2

11 RATO BOLO KAB. BIMA 2

12 CAMPA MADAPANGGA KAB. BIMA 2

13 BAJO DONGGO KAB. BIMA 2

14 PIONG SANGGAR KAB. BIMA 2

15 KANDAI DUA DOMPU KAB. DOMPU 2

16 MONTA BARU WOJA KAB. DOMPU 2

17 HUU HUU KAB. DOMPU 2

18 PEKAT PEKAT KAB. DOMPU 2

19 MALAJU KILO KAB. DOMPU 2

JMLH 19 19 3 38

200

Lampiran 4 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)

NO. LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan 306,400.95 360,122.62 390,418.56 409,287.42

2 Pertambangan dan Penggalian 12,080.28 13,619.61 15,430.00 17,760.13 3 Industri Pengolahan 20,772.50 22,776.92 25,518.71 28,816.95 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,189.20 1,496.48 1,872.85 2,331.71 5 Bangunan 41,017.12 46,116.75 55,263.50 67,874.53 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 100,636.31 117,331.30 134,437.66 156,191.31 7 Pengangkutan dan Komunikasi 32,584.04 38,778.05 47,572.38 60,071.47 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Prsh 11,632.35 13,530.57 15,872.60 18,710.95 9 Jasa-Jasa 80,701.77 89,951.54 96,178.29 108,747.32

JUMLAH 607,014.52 703,723.84 782,564.55 869,791.79

201

Lampiran 5 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan 99,109.21 105,513.97 108,339.54 110,996.82

2 Pertambangan dan Penggalian 4,950.06 5,123.31 5,411.79 5,814.42 3 Industri Pengolahan 8,149.91 8,477.68 8,869.35 9,331.47 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 767.34 830.89 863.25 895.11 5 Bangunan 14,803.17 15,196.89 16,086.15 17,415.87 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 33,133.24 34,740.47 36,837.34 41,148.31 7 Pengangkutan dan Komunikasi 14,786.22 15,605.52 16,383.11 18,912.15 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Prsh 5,152.64 5,421.82 5,793.12 6,245.25 9 Jasa-Jasa 32,063.53 32,612.22 33,767.91 34,455.41

JUMLAH 212,915.32 223,522.77 232,351.56 245,214.81

202

Lampiran 6 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 503,854.49 588,686.65 640,599.14 699,795.25

2 Pertambangan Dan Penggalian 29,185.78 33,933.89 37,479.37 40,983.23 3 Industri Pengolahan 28,521.10 30,592.85 34,433.04 37,475.68 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,556.96 1,801.31 2,417.90 3,005.64 5 Bangunan 60,540.10 70,383.13 80,711.97 88,534.29 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 144,602.78 160,811.51 181,285.88 196,093.52 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 70,365.29 83,074.86 100,538.79 108,825.21 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9,162.39 11,480.78 12,852.28 13,753.55 9 Jasa-Jasa 121,380.38 135,551.44 138,405.51 157,385.87

Jumlah 969,169.27 1,116,316.42 1,228,723.88 1,345,852.24

203

Lampiran 7 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 191,499.46 199,239.51 203,652.49 217,428.45

2 Pertambangan Dan Penggalian 12,762.07 13,752.51 14,319.76 14,987.07 3 Industri Pengolahan 16,628.84 17,319.95 18,058.89 18,885.99 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,129.52 1,231.08 1,300.30 1,364.78 5 Bangunan 26,557.05 27,850.65 29,228.14 30,759.70 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 63,924.46 66,607.39 69,508.87 73,026.74 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 35,919.68 37,917.02 39,619.74 41,476.28 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 4,833.97 5,522.20 5,769.11 5,990.68 9 Jasa-Jasa 47,926.67 49,006.42 50,078.74 51,093.67

Jumlah 401,181.72 418,446.73 431,536.04 455,013.36

204

Lampiran 8 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 72,323.54 84,801.32 94,249.45 100,767.29

2 Pertambangan Dan Penggalian 331.49 391.13 451.45 491.67 3 Industri Pengolahan 9,451.32 11,056.67 12,314.22 13,398.37 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,928.85 2,328.04 3,021.00 3,739.19 5 Bangunan 18,396.09 21,528.41 24,180.60 26,474.15 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 46,993.07 54,375.82 60,902.37 66,562.45 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 36,237.56 43,841.07 52,189.47 57,803.38 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 4,169.03 5,276.38 5,981.03 6,389.22 9 Jasa-Jasa 86,933.55 97,188.40 107,975.36 121,148.74

Jumlah 276,764.50 320,787.24 361,264.95 396,774.46

205

Lampiran 9 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 26,543.96 27,802.35 28,166.94 29,752.40

2 Pertambangan Dan Penggalian 204.65 218.52 233.86 245.18 3 Industri Pengolahan 6,087.10 6,443.19 6,833.01 7,155.53 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,248.96 1,314.63 1,387.03 1,450.07 5 Bangunan 7,960.77 8,351.65 8,773.41 9,269.10 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 21,366.66 22,554.06 23,893.06 25,372.44 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 19,411.78 20,615.85 21,936.03 23,332.09 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 2,181.88 2,493.95 2,615.02 2,726.12 9 Jasa-Jasa 33,325.15 33,662.20 34,614.95 35,118.58

Jumlah 118,330.91 123,456.40 128,453.31 134,421.51

206

Lampiran 10 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 882,578.98 1,033,610.59 1,125,267.15 1,209,849.96

2 Pertambangan Dan Penggalian 41,597.55 47,944.63 53,360.82 59,235.03 3 Industri Pengolahan 58,744.92 64,426.44 72,265.97 79,691.00 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 4,675.01 5,625.83 7,311.75 9,076.54 5 Bangunan 119,953.31 138,028.29 160,156.07 182,882.97 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 292,232.16 332,518.63 376,625.91 418,847.28 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 139,186.89 165,693.98 200,300.64 226,700.06 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 24,963.77 30,287.73 34,705.91 38,853.72 9 Jasa-Jasa 289,015.70 322,691.38 342,559.16 387,281.93

Jumlah 1,852,948.29 2,140,827.50 2,372,553.38 2,612,418.49

207

Lampiran 11 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 317,152.63 332,555.83 340,158.97 358,177.67

2 Pertambangan Dan Penggalian 17,916.78 19,094.34 19,965.41 21,046.67 3 Industri Pengolahan 30,865.85 32,240.82 33,761.25 35,372.99 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 3,145.82 3,376.60 3,550.58 3,709.96 5 Bangunan 49,320.99 51,399.19 54,087.70 57,444.67 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 118,424.36 123,901.92 130,239.27 139,547.49 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 70,117.68 74,138.39 77,938.88 83,720.52 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 12,168.49 13,437.97 14,177.25 14,962.05 9 Jasa-Jasa 113,315.35 115,280.84 118,461.60 120,667.66

Jumlah 732,427.95 765,425.90 792,340.91 834,649.68

208

Lampiran 12 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 3,296,155.79 3,694,834.32 3,977,689.70 4,082,697.81

2 Pertambangan Dan Penggalian 234,689.42 270,007.72 302,599.45 346,611.28 3 Industri Pengolahan 500,770.75 556,204.76 624,918.69 715,114.55 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 30,411.01 36,145.80 47,829.88 57,711.86 5 Bangunan 779,362.78 898,388.61 1,036,593.91 1,169,134.76 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 1,550,993.55 1,818,235.74 2,053,474.69 2,236,232.53 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 891,684.21 1,053,638.63 1,326,944.77 1,476,375.06 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 165,867.73 201,233.31 229,715.50 264,999.19 9 Jasa-Jasa 1,410,161.75 1,565,167.84 1,652,659.84 1,979,239.67

Jumlah 8,860,096.99 10,093,856.73 11,252,426.43 12,328,116.71

209

Lampiran 13 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 1,211,249.71 1,219,301.03 1,236,510.17 1,275,631.74

2 Pertambangan Dan Penggalian 101,298.95 106,374.03 110,958.75 116,240.39 3 Industri Pengolahan 173,835.15 183,691.60 194,498.67 207,119.38 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 19,338.16 20,250.90 21,059.05 21,949.74 5 Bangunan 271,479.30 283,614.43 296,632.33 314,014.99 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 548,873.63 582,706.04 615,777.25 649,967.29 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 423,669.30 445,100.47 471,090.14 501,899.27 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 78,308.97 86,233.75 91,015.67 96,845.48 9 Jasa-Jasa 565,763.41 570,590.58 581,762.79 592,462.55

Jumlah 3,393,816.58 3,497,862.83 3,619,304.82 3,776,130.83

210

Lampiran 14 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 50.48 51.17 49.89 47.06 49.65

2 Pertambangan Dan Penggalian 1.99 1.94 1.97 2.04 1.98 3 Industri Pengolahan 3.42 3.24 3.26 3.31 3.31 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.20 0.21 0.24 0.27 0.23 5 Bangunan 6.76 6.55 7.06 7.80 7.04 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 16.58 16.67 17.18 17.96 17.10 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 5.37 5.51 6.08 6.91 5.97 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.92 1.92 2.03 2.15 2.00 9 Jasa-Jasa 13.29 12.78 12.29 12.50 12.72

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

211

Lampiran 15 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 46.55 47.21 46.63 45.27 46.41

2 Pertambangan Dan Penggalian 2.32 2.29 2.33 2.37 2.33 3 Industri Pengolahan 3.83 3.79 3.82 3.81 3.81 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.36 0.37 0.37 0.37 0.37 5 Bangunan 6.95 6.80 6.92 7.10 6.94 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 15.56 15.54 15.85 16.78 15.93 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 6.94 6.98 7.05 7.71 7.17 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 2.42 2.43 2.49 2.55 2.47 9 Jasa-Jasa 15.06 14.59 14.53 14.05 14.56

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

212

Lampiran 16 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 51.99 52.73 52.14 52.00 52.21

2 Pertambangan Dan Penggalian 3.01 3.04 3.05 3.05 3.04 3 Industri Pengolahan 2.94 2.74 2.80 2.78 2.82 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.16 0.16 0.20 0.22 0.19 5 Bangunan 6.25 6.30 6.57 6.58 6.42 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 14.92 14.41 14.75 14.57 14.66 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 7.26 7.44 8.18 8.09 7.74 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.95 1.03 1.05 1.02 1.01 9 Jasa-Jasa 12.52 12.14 11.26 11.69 11.91

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

213

Lampiran 17 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 47.73 47.61 47.19 47.79 47.58

2 Pertambangan Dan Penggalian 3.18 3.29 3.32 3.29 3.27 3 Industri Pengolahan 4.14 4.14 4.18 4.15 4.15 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.28 0.29 0.30 0.30 0.29 5 Bangunan 6.62 6.66 6.77 6.76 6.70 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 15.93 15.92 16.11 16.05 16.00 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8.95 9.06 9.18 9.12 9.08 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.20 1.32 1.34 1.32 1.29 9 Jasa-Jasa 11.95 11.71 11.60 11.23 11.62

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

214

Lampiran 18 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 26.13 26.44 26.09 25.40 26.01

2 Pertambangan Dan Penggalian 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 3 Industri Pengolahan 3.41 3.45 3.41 3.38 3.41 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.70 0.73 0.84 0.94 0.80 5 Bangunan 6.65 6.71 6.69 6.67 6.68 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 16.98 16.95 16.86 16.78 16.89 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 13.09 13.67 14.45 14.57 13.94 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.51 1.64 1.66 1.61 1.60 9 Jasa-Jasa 31.41 30.30 29.89 30.53 30.53

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

215

Lampiran 19 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 22.43 22.52 21.93 22.13 22.25

2 Pertambangan Dan Penggalian 0.17 0.18 0.18 0.18 0.18 3 Industri Pengolahan 5.14 5.22 5.32 5.32 5.25 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1.06 1.06 1.08 1.08 1.07 5 Bangunan 6.73 6.76 6.83 6.90 6.80 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 18.06 18.27 18.60 18.88 18.45 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 16.40 16.70 17.08 17.36 16.88 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.84 2.02 2.04 2.03 1.98 9 Jasa-Jasa 28.16 27.27 26.95 26.13 27.13

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

216

Lampiran 20 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 47.63 48.28 47.43 46.31 47.41

2 Pertambangan Dan Penggalian 2.24 2.24 2.25 2.27 2.25 3 Industri Pengolahan 3.17 3.01 3.05 3.05 3.07 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.25 0.26 0.31 0.35 0.29 5 Bangunan 6.47 6.45 6.75 7.00 6.67 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 15.77 15.53 15.87 16.03 15.80 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 7.51 7.74 8.44 8.68 8.09 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.35 1.41 1.46 1.49 1.43 9 Jasa-Jasa 15.60 15.07 14.44 14.82 14.98

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

217

Lampiran 21 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 43.30 43.45 42.93 42.91 43.15

2 Pertambangan Dan Penggalian 2.45 2.49 2.52 2.52 2.50 3 Industri Pengolahan 4.21 4.21 4.26 4.24 4.23 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.43 0.44 0.45 0.44 0.44 5 Bangunan 6.73 6.72 6.83 6.88 6.79 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 16.17 16.19 16.44 16.72 16.38 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 9.57 9.69 9.84 10.03 9.78 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.66 1.76 1.79 1.79 1.75 9 Jasa-Jasa 15.47 15.06 14.95 14.46 14.99

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

218

Lampiran 22 Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 37.20 36.60 35.35 33.12 35.57

2 Pertambangan Dan Penggalian 2.65 2.67 2.69 2.81 2.71 3 Industri Pengolahan 5.65 5.51 5.55 5.80 5.63 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.34 0.36 0.43 0.47 0.40 5 Bangunan 8.80 8.90 9.21 9.48 9.10 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 17.51 18.01 18.25 18.14 17.98 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 10.06 10.44 11.79 11.98 11.07 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.87 1.99 2.04 2.15 2.01 9 Jasa-Jasa 15.92 15.51 14.69 16.05 15.54

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

219

Lampiran 23 Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 35.69 34.86 34.16 33.78 34.62

2 Pertambangan Dan Penggalian 2.98 3.04 3.07 3.08 3.04 3 Industri Pengolahan 5.12 5.25 5.37 5.48 5.31 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.57 0.58 0.58 0.58 0.58 5 Bangunan 8.00 8.11 8.20 8.32 8.15 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 16.17 16.66 17.01 17.21 16.76 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 12.48 12.72 13.02 13.29 12.88 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 2.31 2.47 2.51 2.56 2.46 9 Jasa-Jasa 16.67 16.31 16.07 15.69 16.19

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

220

Lampiran 24 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 17.53 8.41 4.83 10.26

2 Pertambangan Dan Penggalian - 12.74 13.29 15.10 13.71 3 Industri Pengolahan - 9.65 12.04 12.92 11.54 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 25.84 25.15 24.50 25.16 5 Bangunan - 12.43 19.83 22.82 18.36 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 16.59 14.58 16.18 15.78 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 19.01 22.68 26.27 22.65 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 16.32 17.31 17.88 17.17 9 Jasa-Jasa - 11.46 6.92 13.07 10.48

Jumlah - 15.93 11.20 11.15 12.76

221

Lampiran 25 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 6.46 2.68 2.45 3.86

2 Pertambangan Dan Penggalian - 3.50 5.63 7.44 5.52 3 Industri Pengolahan - 4.02 4.62 5.21 4.62 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 8.28 3.89 3.69 5.29 5 Bangunan - 2.66 5.85 8.27 5.59 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 4.85 6.04 11.70 7.53 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 5.54 4.98 15.44 8.65 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 5.22 6.85 7.80 6.63 9 Jasa-Jasa - 1.71 3.54 2.04 2.43

Jumlah - 4.98 3.95 5.54 4.82

222

Lampiran 26 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 16.84 8.82 9.24 11.63

2 Pertambangan Dan Penggalian - 16.27 10.45 9.35 12.02 3 Industri Pengolahan - 7.26 12.55 8.84 9.55 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 15.69 34.23 24.31 24.74 5 Bangunan - 16.26 14.68 9.69 13.54 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 11.21 12.73 8.17 10.70 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 18.06 21.02 8.24 15.78 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 25.30 11.95 7.01 14.75 9 Jasa-Jasa - 11.67 2.11 13.71 9.16

Jumlah - 15.18 10.07 9.53 11.59

223

Lampiran 27 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 4.04 2.21 6.76 4.34

2 Pertambangan Dan Penggalian - 7.76 4.12 4.66 5.52 3 Industri Pengolahan - 4.16 4.27 4.58 4.33 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 8.99 5.62 4.96 6.52 5 Bangunan - 4.87 4.95 5.24 5.02 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 4.20 4.36 5.06 4.54 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 5.56 4.49 4.69 4.91 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 14.24 4.47 3.84 7.52 9 Jasa-Jasa - 2.25 2.19 2.03 2.16

Jumlah - 4.30 3.13 5.44 4.29

224

Lampiran 28 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 17.25 11.14 6.92 11.77

2 Pertambangan Dan Penggalian - 17.99 15.42 8.91 14.11 3 Industri Pengolahan - 16.99 11.37 8.80 12.39 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 20.70 29.77 23.77 24.74 5 Bangunan - 17.03 12.32 9.49 12.94 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 15.71 12.00 9.29 12.34 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 20.98 19.04 10.76 16.93 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 26.56 13.35 6.82 15.58 9 Jasa-Jasa - 11.80 11.10 12.20 11.70

Jumlah - 15.91 12.62 9.83 12.78

225

Lampiran 29 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 4.74 1.31 5.63 3.89

2 Pertambangan Dan Penggalian - 6.78 7.02 4.84 6.21 3 Industri Pengolahan - 5.85 6.05 4.72 5.54 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 5.26 5.51 4.54 5.10 5 Bangunan - 4.91 5.05 5.65 5.20 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 5.56 5.94 6.19 5.90 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 6.20 6.40 6.36 6.32 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 14.30 4.85 4.25 7.80 9 Jasa-Jasa - 1.01 2.83 1.45 1.77

Jumlah - 4.33 4.05 4.65 4.34

226

Lampiran 30 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 17.11 8.87 7.52 11.17

2 Pertambangan Dan Penggalian - 15.26 11.30 11.01 12.52 3 Industri Pengolahan - 9.67 12.17 10.27 10.70 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 20.34 29.97 24.14 24.81 5 Bangunan - 15.07 16.03 14.19 15.10 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 13.79 13.26 11.21 12.75 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 19.04 20.89 13.18 17.70 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 21.33 14.59 11.95 15.96 9 Jasa-Jasa - 11.65 6.16 13.06 10.29

Jumlah - 15.54 10.82 10.11 12.16

227

Lampiran 31 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 4.86 2.29 5.30 4.15

2 Pertambangan Dan Penggalian - 6.57 4.56 5.42 5.52 3 Industri Pengolahan - 4.45 4.72 4.77 4.65 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 7.34 5.15 4.49 5.66 5 Bangunan - 4.21 5.23 6.21 5.22 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 4.63 5.11 7.15 5.63 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 5.73 5.13 7.42 6.09 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 10.43 5.50 5.54 7.16 9 Jasa-Jasa - 1.73 2.76 1.86 2.12

Jumlah - 4.51 3.52 5.34 4.45

228

Lampiran 32 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 12.10 7.66 2.64 7.46

2 Pertambangan Dan Penggalian - 15.05 12.07 14.54 13.89 3 Industri Pengolahan - 11.07 12.35 14.43 12.62 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 18.86 32.32 20.66 23.95 5 Bangunan - 15.27 15.38 12.79 14.48 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 17.23 12.94 8.90 13.02 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 18.16 25.94 11.26 18.45 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 21.32 14.15 15.36 16.95 9 Jasa-Jasa - 10.99 5.59 19.76 12.11

Jumlah - 13.92 11.48 9.56 11.65

229

Lampiran 33 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 0.66 1.41 3.16 1.75

2 Pertambangan Dan Penggalian - 5.01 4.31 4.76 4.69 3 Industri Pengolahan - 5.67 5.88 6.49 6.01 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 4.72 3.99 4.23 4.31 5 Bangunan - 4.47 4.59 5.86 4.97 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 6.16 5.68 5.55 5.80 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 5.06 5.84 6.54 5.81 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 10.12 5.55 6.41 7.36 9 Jasa-Jasa - 0.85 1.96 1.84 1.55

Jumlah - 3.07 3.47 4.33 3.62

230

Lampiran 34 Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.09 0.10 0.10 0.10 0.10

2 Pertambangan Dan Penggalian 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 3 Industri Pengolahan 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 5 Bangunan 0.05 0.05 0.05 0.06 0.05 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.06 0.06 0.07 0.07 0.07 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 9 Jasa-Jasa 0.06 0.06 0.06 0.05 0.06

Jumlah 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07

231

Lampiran 35 Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.08 0.09 0.09 0.09 0.09

2 Pertambangan Dan Penggalian 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 3 Industri Pengolahan 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 5 Bangunan 0.05 0.05 0.05 0.06 0.05 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.03 0.04 0.03 0.04 0.04 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.07 0.06 0.06 0.06 0.06 9 Jasa-Jasa 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06

Jumlah 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06

232

Lampiran 36 Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.15 0.18 0.19 0.21 0.18

2 Pertambangan Dan Penggalian 0.12 0.14 0.16 0.17 0.15 3 Industri Pengolahan 0.06 0.06 0.07 0.07 0.07 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.05 0.06 0.08 0.10 0.07 5 Bangunan 0.08 0.09 0.10 0.11 0.10 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.09 0.10 0.12 0.13 0.11 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.08 0.09 0.11 0.12 0.10 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.06 0.07 0.08 0.08 0.07 9 Jasa-Jasa 0.09 0.10 0.10 0.11 0.10

Jumlah 0.11 0.13 0.14 0.15 0.13

233

Lampiran 37 Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.16 0.16 0.17 0.18 0.17

2 Pertambangan Dan Penggalian 0.13 0.14 0.14 0.15 0.14 3 Industri Pengolahan 0.10 0.10 0.10 0.11 0.10 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.06 0.06 0.07 0.07 0.06 5 Bangunan 0.10 0.10 0.11 0.11 0.11 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.12 0.12 0.13 0.13 0.12 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.08 0.09 0.09 0.10 0.09 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.06 0.07 0.07 0.08 0.07 9 Jasa-Jasa 0.08 0.09 0.09 0.09 0.09

Jumlah 0.12 0.12 0.13 0.13 0.13

234

Lampiran 38 Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03

2 Pertambangan Dan Penggalian 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3 Industri Pengolahan 0.02 0.02 0.02 0.03 0.02 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.06 0.08 0.10 0.12 0.09 5 Bangunan 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.04 0.05 0.06 0.06 0.05 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.03 0.03 0.04 0.04 0.03 9 Jasa-Jasa 0.06 0.07 0.08 0.09 0.07

Jumlah 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04

235

Lampiran 39 Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02

2 Pertambangan Dan Penggalian 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3 Industri Pengolahan 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.06 0.07 0.07 0.07 0.07 5 Bangunan 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.04 0.04 0.04 0.05 0.04 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.05 0.05 0.05 0.06 0.05 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 9 Jasa-Jasa 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06

Jumlah 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04

236

Lampiran 40 Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.27 0.31 0.34 0.37 0.32

2 Pertambangan Dan Penggalian 0.18 0.20 0.23 0.25 0.22 3 Industri Pengolahan 0.12 0.13 0.14 0.16 0.14 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.15 0.18 0.24 0.30 0.22 5 Bangunan 0.15 0.18 0.21 0.23 0.19 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.19 0.21 0.24 0.27 0.23 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.16 0.19 0.22 0.25 0.21 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.15 0.18 0.21 0.23 0.19 9 Jasa-Jasa 0.20 0.23 0.24 0.27 0.24

Jumlah 0.21 0.24 0.27 0.29 0.25

237

Lampiran 41 Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.26 0.27 0.28 0.30 0.28

2 Pertambangan Dan Penggalian 0.18 0.19 0.20 0.21 0.19 3 Industri Pengolahan 0.18 0.19 0.19 0.20 0.19 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.16 0.17 0.18 0.19 0.18 5 Bangunan 0.18 0.19 0.20 0.21 0.20 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.22 0.23 0.24 0.25 0.23 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.17 0.17 0.18 0.20 0.18 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.16 0.17 0.18 0.19 0.17 9 Jasa-Jasa 0.20 0.20 0.21 0.21 0.21

Jumlah 0.22 0.23 0.23 0.25 0.23

238

Lampiran 42 Daftar Sektor Ekonomi/Komponen Tabel Input-Output di Kapet Bima

Kode Nama Sektor

1 Tanaman Bahan Makanan 2 Tanaman Perkebunan 3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 4 Kehutanan 5 Perikanan 6 Penggalian 7 Industri Pengolahan Non Migas 8 Listrik 9 Air bersih 10 Bangunan 11 Perdagangan Besar dan Eceran 12 Hotel dan Restoran 13 Angkutan 14 Pos dan Telekomunikasi 15 Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank 16 Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan 17 Jasa Pemerintahan Umum 18 Jasa Swasta 190 Total Input Antara 200 Import 201 Upah dan Gaji 202 Surplus Usaha 203 Penyusutan 204 Pajak Tak Langsung Netto 209 Total Nilai Tambah Bruto 210 Total Input 180 Total Permintaan Antara 309 Total Permintaan Akhir 310 Total Output

239

Lampiran 43 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen (Rp.000) SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8

1 74,535,962 - 506,424 - 18,652 - 136,309,592 - 2 - 1,616,356 1,198,521 - - - 57,085,750 - 3 241,183 - 17,459,148 - 1,565 - 7,600,881 - 4 101 39 17,238 16,537 1,361 - 3,953,715 - 5 - - - - 8,449,849 - 20,372,354 - 6 - - 103,698 - 40,134 1,656,371 1,095,768 -

7 2,605,571 131,058 7,803,202 176,839 8,080,559 983,816 25,166,147 65,688 8 222,985 17,260 442,116 - 47,711 544 1,460,765 2,490,944 9 - 3,615 153,780 - 6,039 3,647 69,190 3,692 10 3,890,928 112,384 615,491 289,781 140,444 244,840 1,059,781 235,640 11 25,358,025 918,638 6,598,726 601,432 6,084,763 916,568 48,773,738 1,339,906 12 - 57,406 1,898 - 96,805 237,233 386,747 5,378 13 31,608,075 1,208,279 2,863,572 1,566,833 1,895,921 1,195,861 10,990,339 436,167 14 1,531,167 36,338 492,758 17,107 24,263 144,575 264,414 1,035,299 15 129,796 91,389 - - 688,411 314,166 301,619 118,028 16 2,934,798 144,774 - - - 124,534 95,199 - 17 - - - - - - - - 18 817,103 11,257 - 49,840 28,330 1,121 14,344 4,519

190 143,875,695 4,348,792 38,256,573 2,718,368 25,604,806 5,823,277 315,000,342 5,735,259 200 75,066,293 3,501,485 5,113,522 3,409,824 8,917,510 4,427,667 19,008,177 13,284,360 201 255,013,076 12,969,406 30,557,007 16,283,475 51,597,397 15,769,177 23,197,656 3,815,386 202 524,151,555 47,609,657 94,360,865 75,449,890 70,496,145 34,346,022 52,921,723 2,109,687 203 16,871,344 341,436 4,737,262 311,993 4,586,971 4,572,892 3,140,972 1,399,216 204 3,646,474 231,395 477,648 33,966 122,999 4,546,935 430,649 14,767 209 799,682,448 61,151,894 130,132,782 92,079,324 126,803,512 59,235,026 79,691,000 7,339,056 210 1,018,624,436 69,002,172 173,502,877 98,207,516 161,325,827 69,485,970 413,699,519 26,358,675

240

Lampiran 43 Lanjutan SEKTOR 9 10 11 12 13 14 15

1 - - - 3,009,969 - - - 2 - - - 265,082 - - - 3 - - - 3,769,220 - - - 4 - 1,079,842 - 425 - - - 5 - - - 7,493,067 - - - 6 - 22,158,060 - 3,544 5,056 - - 7 14,632 22,938,633 657,771 7,285,939 1,291,352 28,165 60,937 8 11,025 229,389 3,674,041 561,871 416,056 251,425 209,996 9 - 10,783 161,573 55,753 25,961 10,317 34,378 10 17,950 222,726 163,034 321,496 617,622 243,873 182,595 11 56,717 19,160,274 773,242 4,019,947 5,813,462 39,514 49,898 12 - - 891,864 8,320 4,185,535 9,321 329,568 13 5,829 19,700,924 25,504,734 980,748 3,391,002 252,252 13,758 14 175,863 409,358 9,145,691 352,460 1,076,402 1,124,137 317,413 15 377 1,306,676 1,231,369 1,122,806 2,397,010 857,631 5,638,661 16 83,017 3,122,033 736,344 1,055,062 855,186 76,264 207,613 17 - - - - - - - 18 736 8,950 175,191 4,022 2,956,342 - 8,673 190 366,145 90,347,648 43,114,854 30,309,733 23,030,987 2,892,899 7,053,490 200 288,177 42,872,012 3,482,727 1,496,448 49,765,649 164,084 212,689 201 864,603 92,769,685 97,993,969 8,198,000 52,289,927 8,299,961 14,283,932 202 469,310 68,645,755 263,236,061 13,700,456 101,546,338 15,448,458 7,823,620 203 341,500 17,880,320 18,784,924 1,657,455 45,923,304 389,683 467,962 204 62,074 3,587,206 14,060,303 1,216,101 2,697,986 104,400 756,584 209 1,737,486 182,882,966 394,075,257 24,772,012 202,457,556 24,242,501 23,332,098 210 2,391,808 316,102,626 440,672,839 56,578,194 275,254,192 27,299,484 30,598,277

241

Lampiran 43 Lanjutan SEKTOR 16 17 18 180 309 310

1 - 692,100 7,937 215,080,637 803,543,800 1,018,624,436 2 - 78,105 10,105 60,253,919 8,748,253 69,002,172 3 - 132,273 - 29,204,271 144,298,606 173,502,877 4 - - - 5,069,257 93,138,259 98,207,516 5 - 91,206 - 36,406,475 124,919,352 161,325,827 6 - - - 25,062,631 44,423,339 69,485,970 7 81,066 8,289,311 611,760 86,272,447 327,427,072 413,699,519 8 147,875 3,943,372 308,063 14,435,438 11,923,237 26,358,675 9 6,446 342,865 58,383 946,421 1,445,387 2,391,808 10 579,475 10,193,220 2,412,653 21,543,933 294,558,694 316,102,626 11 163,866 12,203,076 669,561 133,541,352 307,131,487 440,672,839 12 - 41,426,918 45,463 47,682,456 8,895,738 56,578,194 13 16,697 28,104,090 508,170 130,243,253 145,010,938 275,254,192 14 44,313 9,098,583 506,953 25,797,095 1,502,389 27,299,484 15 - 5,410,600 333,002 19,941,542 10,656,734 30,598,277 16 10,573 5,483,604 1,373,897 16,302,897 933,570 17,236,467 17 - - - - 553,212,140 553,212,140 18 32,871 4,738,015 129,487 8,980,800 24,187,438 33,168,238

190 1,083,181 130,227,338 6,975,433 876,764,822 2,905,956,433 3,782,721,256 200 631,663 58,834,774 3,060,908 293,537,967 233,319,449 526,857,416 201 2,253,356 346,809,537 5,452,508 1,038,418,059 - - 202 6,825,794 - 15,690,942 1,394,832,276 - - 203 6,434,438 17,340,491 1,936,182 147,118,344 - - 204 8,035 - 52,264 32,049,787 - - 209 15,521,623 364,150,028 23,131,897 2,612,418,466 - - 210 17,236,467 553,212,140 33,168,238 3,782,721,256 - -

242

Lampiran 44 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Koefisien Input Domestik Atas Dasar Harga Produsen SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 0.0732 - 0.0029 - 0.0001 - 0.3295 - - 2 - 0.0234 0.0069 - - - 0.1380 - - 3 0.0002 - 0.1006 - 0.0000 - 0.0184 - - 4 0.0000 0.0000 0.0001 0.0002 0.0000 - 0.0096 - - 5 - - - - 0.0524 - 0.0492 - - 6 - - 0.0006 - 0.0002 0.0238 0.0026 - - 7 0.0026 0.0019 0.0450 0.0018 0.0501 0.0142 0.0608 0.0025 0.0061 8 0.0002 0.0003 0.0025 - 0.0003 0.0000 0.0035 0.0945 0.0046 9 - 0.0001 0.0009 - 0.0000 0.0001 0.0002 0.0001 - 10 0.0038 0.0016 0.0035 0.0030 0.0009 0.0035 0.0026 0.0089 0.0075 11 0.0249 0.0133 0.0380 0.0061 0.0377 0.0132 0.1179 0.0508 0.0237 12 - 0.0008 0.0000 - 0.0006 0.0034 0.0009 0.0002 - 13 0.0310 0.0175 0.0165 0.0160 0.0118 0.0172 0.0266 0.0165 0.0024 14 0.0015 0.0005 0.0028 0.0002 0.0002 0.0021 0.0006 0.0393 0.0735 15 0.0001 0.0013 - - 0.0043 0.0045 0.0007 0.0045 0.0002 16 0.0029 0.0021 - - - 0.0018 0.0002 - 0.0347 17 - - - - - - - - - 18 0.0008 0.0002 - 0.0005 0.0002 0.0000 0.0000 0.0002 0.0003

190 0.1412 0.0630 0.2205 0.0277 0.1587 0.0838 0.7614 0.2176 0.1531 200 0.0737 0.0507 0.0295 0.0347 0.0553 0.0637 0.0459 0.5040 0.1205 201 0.2504 0.1880 0.1761 0.1658 0.3198 0.2269 0.0561 0.1447 0.3615 202 0.5146 0.6900 0.5439 0.7683 0.4370 0.4943 0.1279 0.0800 0.1962 203 0.0166 0.0049 0.0273 0.0032 0.0284 0.0658 0.0076 0.0531 0.1428 204 0.0036 0.0034 0.0028 0.0003 0.0008 0.0654 0.0010 0.0006 0.0260 209 0.7851 0.8862 0.7500 0.9376 0.7860 0.8525 0.1926 0.2784 0.7264 210 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000

243

Lampiran 44 Lanjutan SEKTOR 10 11 12 13 14 15 16 17 18

1 - - 0.0532 - - - - 0.0013 0.0002 2 - - 0.0047 - - - - 0.0001 0.0003 3 - - 0.0666 - - - - 0.0002 - 4 0.0034 - 0.0000 - - - - - - 5 - - 0.1324 - - - - 0.0002 - 6 0.0701 - 0.0001 0.0000 - - - - - 7 0.0726 0.0015 0.1288 0.0047 0.0010 0.0020 0.0047 0.0150 0.0184 8 0.0007 0.0083 0.0099 0.0015 0.0092 0.0069 0.0086 0.0071 0.0093 9 0.0000 0.0004 0.0010 0.0001 0.0004 0.0011 0.0004 0.0006 0.0018 10 0.0007 0.0004 0.0057 0.0022 0.0089 0.0060 0.0336 0.0184 0.0727 11 0.0606 0.0018 0.0711 0.0211 0.0014 0.0016 0.0095 0.0221 0.0202 12 - 0.0020 0.0001 0.0152 0.0003 0.0108 - 0.0749 0.0014 13 0.0623 0.0579 0.0173 0.0123 0.0092 0.0004 0.0010 0.0508 0.0153 14 0.0013 0.0208 0.0062 0.0039 0.0412 0.0104 0.0026 0.0164 0.0153 15 0.0041 0.0028 0.0198 0.0087 0.0314 0.1843 - 0.0098 0.0100 16 0.0099 0.0017 0.0186 0.0031 0.0028 0.0068 0.0006 0.0099 0.0414 17 - - - - - - - - - 18 0.0000 0.0004 0.0001 0.0107 - 0.0003 0.0019 0.0086 0.0039

190 0.2858 0.0978 0.5357 0.0837 0.1060 0.2305 0.0628 0.2354 0.2103 200 0.1356 0.0079 0.0264 0.1808 0.0060 0.0070 0.0366 0.1064 0.0923 201 0.2935 0.2224 0.1449 0.1900 0.3040 0.4668 0.1307 0.6269 0.1644 202 0.2172 0.5974 0.2422 0.3689 0.5659 0.2557 0.3960 - 0.4731 203 0.0566 0.0426 0.0293 0.1668 0.0143 0.0153 0.3733 0.0313 0.0584 204 0.0113 0.0319 0.0215 0.0098 0.0038 0.0247 0.0005 - 0.0016 209 0.5786 0.8943 0.4378 0.7355 0.8880 0.7625 0.9005 0.6582 0.6974 210 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000

244

Lampiran 44 Lanjutan SEKTOR 180 309 310

1 0.0569 0.2765 0.2693 2 0.0159 0.0030 0.0182 3 0.0077 0.0497 0.0459 4 0.0013 0.0321 0.0260 5 0.0096 0.0430 0.0426 6 0.0066 0.0153 0.0184 7 0.0228 0.1127 0.1094 8 0.0038 0.0041 0.0070 9 0.0003 0.0005 0.0006 10 0.0057 0.1014 0.0836 11 0.0353 0.1057 0.1165 12 0.0126 0.0031 0.0150 13 0.0344 0.0499 0.0728 14 0.0068 0.0005 0.0072 15 0.0053 0.0037 0.0081 16 0.0043 0.0003 0.0046 17 - 0.1904 0.1462 18 0.0024 0.0083 0.0088 190 0.2318 1.0000 1.0000 200 0.0776 201 0.2745 202 0.3687 203 0.0389 204 0.0085 209 0.6906 210 1.0000

245

Lampiran 45 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Matriks Pengganda Domestik Atas Dasar Harga Produsen SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 1.0803 0.0010 0.0228 0.0008 0.0205 0.0061 0.3811 0.0015 0.0028 2 0.0005 1.0244 0.0155 0.0003 0.0081 0.0024 0.1516 0.0006 0.0011 3 0.0004 0.0001 1.1130 0.0001 0.0013 0.0006 0.0222 0.0001 0.0002 4 0.0001 0.0000 0.0006 1.0002 0.0006 0.0002 0.0103 0.0001 0.0001 5 0.0003 0.0003 0.0029 0.0002 1.0584 0.0014 0.0560 0.0003 0.0004 6 0.0003 0.0001 0.0011 0.0002 0.0005 1.0247 0.0033 0.0008 0.0007 7 0.0037 0.0026 0.0542 0.0023 0.0570 0.0166 1.0715 0.0042 0.0077 8 0.0007 0.0005 0.0039 0.0001 0.0011 0.0004 0.0059 1.1055 0.0065 9 0.0000 0.0001 0.0010 0.0000 0.0001 0.0001 0.0003 0.0002 1.0001 10 0.0045 0.0019 0.0044 0.0031 0.0013 0.0039 0.0051 0.0105 0.0096 11 0.0286 0.0147 0.0508 0.0070 0.0480 0.0168 0.1431 0.0582 0.0263 12 0.0006 0.0012 0.0006 0.0003 0.0011 0.0039 0.0023 0.0008 0.0002 13 0.0361 0.0193 0.0245 0.0169 0.0179 0.0199 0.0537 0.0232 0.0058 14 0.0025 0.0010 0.0048 0.0004 0.0015 0.0028 0.0051 0.0468 0.0777 15 0.0008 0.0020 0.0008 0.0003 0.0061 0.0062 0.0030 0.0084 0.0034 16 0.0034 0.0023 0.0004 0.0001 0.0003 0.0021 0.0023 0.0005 0.0352 17 - - - - - - - - - 18 0.0013 0.0004 0.0003 0.0007 0.0004 0.0003 0.0010 0.0005 0.0005

Total 1.1641 1.0719 1.3019 1.0331 1.2243 1.1084 1.9177 1.2623 1.1783 Indeks 0.9224 0.8493 1.0316 0.8186 0.9701 0.8783 1.5195 1.0002 0.9336

246

Lampiran 45 Lanjutan SEKTOR 10 11 12 13 14 15 16 17 18

1 0.0284 0.0011 0.1112 0.0038 0.0009 0.0027 0.0028 0.0163 0.0098 2 0.0113 0.0004 0.0266 0.0012 0.0003 0.0008 0.0011 0.0048 0.0041 3 0.0018 0.0003 0.0773 0.0013 0.0001 0.0011 0.0002 0.0065 0.0007 4 0.0042 0.0000 0.0015 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0004 0.0005 5 0.0044 0.0006 0.1478 0.0026 0.0003 0.0021 0.0004 0.0124 0.0017 6 0.0722 0.0001 0.0011 0.0003 0.0007 0.0006 0.0025 0.0016 0.0055 7 0.0797 0.0025 0.1505 0.0080 0.0023 0.0053 0.0079 0.0297 0.0265 8 0.0022 0.0097 0.0134 0.0024 0.0110 0.0098 0.0097 0.0098 0.0115 9 0.0001 0.0004 0.0012 0.0002 0.0004 0.0014 0.0004 0.0008 0.0018 10 1.0020 0.0010 0.0082 0.0035 0.0098 0.0080 0.0340 0.0207 0.0751 11 0.0742 1.0042 0.1030 0.0244 0.0034 0.0050 0.0133 0.0356 0.0302 12 0.0017 0.0030 1.0014 0.0156 0.0010 0.0133 0.0001 0.0761 0.0020 13 0.0724 0.0595 0.0356 1.0151 0.0109 0.0022 0.0045 0.0584 0.0238 14 0.0037 0.0225 0.0104 0.0052 1.0440 0.0140 0.0035 0.0196 0.0178 15 0.0068 0.0051 0.0266 0.0117 0.0405 1.2269 0.0005 0.0157 0.0140 16 0.0106 0.0021 0.0197 0.0041 0.0034 0.0088 1.0011 0.0124 0.0428 17 - - - - - - - 1.0000 - 18 0.0009 0.0011 0.0007 0.0110 0.0001 0.0004 0.0020 0.0093 1.0043

Total 1.3766 1.1135 1.7362 1.1105 1.1293 1.3025 1.0842 1.3299 1.2720 Indeks 1.0908 0.8823 1.3757 0.8799 0.8948 1.0321 0.8591 1.0538 1.0079

247

Lampiran 45 Lanjutan SEKTOR Total Indeks

1 1.6939 1.3422 2 1.2550 0.9945 3 1.2273 0.9725 4 1.0191 0.8075 5 1.2923 1.0240 6 1.1164 0.8846 7 1.5322 1.2141 8 1.2044 0.9543 9 1.0085 0.7991 10 1.2066 0.9560 11 1.6868 1.3366 12 1.1253 0.8917 13 1.4996 1.1883 14 1.2837 1.017115 1.3788 1.0925 16 1.1517 0.9126 17 1.0000 0.7924 18 1.0350 0.8201

Total 22.7165 Indeks

248

Lampiran 46 Interaksi Inter Regional dan Model Grafitasi di Kapet Bima Melalui

Pelabuhan Laut Bima

Tahun Daerah Pergerakan

Asal Tujuan Barang (Ton)

Penumpang (Orang)

2003 MAUMERE (sika) BIMA - 2,514

2003 SURABAYA BIMA 3,237.00 150

2003 WAINGAPU (sumba timur) BIMA - 1,398

2003 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA -

2,011

2003 LEMBAR+SENGGIGI BIMA - 582

2003 MAKASAR BIMA 4,434.00 10,133

2003 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA - 2,688

2003 LAB. LOMBOK BIMA - 66

2003 KENDARI BIMA - 78

2003 BIMA MAUMERE 3,942.00 1,698

2003 BIMA BENOA+P.BAI+N.PENIDA - 2,286

2003 BIMA WAINGAPU - 396

2003 BIMA SURABAYA 1,506.00 126

2003 BIMA LEMBAR+SENGGIGI - 276

2003 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) -

1,615

2003 BIMA LAB. LOMBOK+KAYANGAN -

150

2003 BIMA MAKASAR 1,722.00 8,669

2003 BIMA KENDARI+SULTRA - 12

2004 MAUMERE (sika) BIMA - 2,538

2004 SURABAYA BIMA 4,350.00 396

2004 WAINGAPU (sumba timur) BIMA - 2,814

2004 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA -

2,531

2004 LEMBAR+SENGGIGI BIMA - 348

2004 BADAS BIMA - 36

2004 MAKASAR BIMA 4,782.00 12,181

2004 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA - 2,418

249

Lampiran 46 Lanjutan

Tahun Daerah Pergerakan

Asal Tujuan Barang (Ton)

Penumpang (Orang)

2004 KENDARI BIMA - 782004 BIMA MAUMERE 3,942.00 1,9262004 BIMA BENOA - 1,2062004 BIMA WAINGAPU - 9062004 BIMA SURABAYA 1,452.00 4202004 BIMA LEMBAR+SENGGIGI - 78

2004 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) - 1,658

2004 BIMA MAKASAR 750.00 7,9182004 BIMA BANJARMASIN 810.00 -2004 BIMA KENDARI+SULTRA - 122004 BIMA NTT/ENDE 1,830.00 -2004 BIMA BALIKPAPAN 870.00 -2005 MAUMERE (sika) BIMA - 1,2422005 SURABAYA BIMA 5,070.00 5942005 WAINGAPU (sumba timur) BIMA - 3,432

2005 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA - 2,809

2005 LEMBAR+SENGGIGI BIMA - 2762005 MAKASAR BIMA 3,780.00 12,4852005 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA - 8582005 BIMA MAUMERE - 1,2902005 BIMA BENOA - 4202005 BIMA WAINGAPU - 1,4882005 BIMA SURABAYA 2,022.00 6242005 BIMA LEMBAR+SENGGIGI - 126

2005 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) - 1,668

2005 BIMA BADAS - 90

250

Lampiran 46 Lanjutan

Tahun Daerah Pergerakan

Asal Tujuan Barang (Ton)

Penumpang (Orang)

2005 BIMA MAKASAR 1,104.00 6,798

2005 BIMA BANJARMASIN 1,590.00 - 2005 BIMA NTT/ENDE 12,426.00 - 2005 BIMA BALIKPAPAN 870.00 - 2005 BIMA MALUKU 144.00 -

2006 MAUMERE (sika) BIMA - 552

2006 SURABAYA BIMA 5,700.00 450

2006 WAINGAPU (sumba timur) BIMA - 2,532

2006 LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) BIMA -

3,064

2006 LEMBAR+SENGGIGI BIMA - 390

2006 MAKASAR BIMA 3,018.00 12,794

2006 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA - 384

2006 SELAYAR BIMA - 84

2006 BIMA MAUMERE - 684

2006 BIMA BENOA - 204

2006 BIMA WAINGAPU - 1,386

2006 BIMA SURABAYA 4,602.00 456

2006 BIMA LEMBAR+SENGGIGI - 270

2006 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) -

2,109

2006 BIMA BADAS - 90

2006 BIMA MAKASAR 1,194.00 7,575

2006 BIMA BANJARMASIN 3,174.00 - 2006 BIMA NTT/ENDE 14,532.00 - 2006 BIMA MALUKU 144.00 -

2006 BIMA PEMENANG - 132

251

Lampiran 46 Lanjutan

Tahun Daerah Jmlh Penduduk (Org) Asal Asal Asal Tujuan

2003 MAUMERE (sika) BIMA 275,344 725,519 2003 SURABAYA BIMA 2,660,381 725,519 2003 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 195,112 725,519

2003 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 647,179 725,519

2003 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 333,288 725,519 2003 MAKASAR BIMA 1,145,406 725,519 2003 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 519,936 725,519 2003 LAB. LOMBOK BIMA 1,022,154 725,519 2003 KENDARI BIMA - 725,519 2003 BIMA MAUMERE 725,519 275,344 2003 BIMA BENOA+P.BAI+N.PENIDA 725,519 519,936 2003 BIMA WAINGAPU 725,519 195,176 2003 BIMA SURABAYA 725,519 2,660,381 2003 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 725,519 333,288

2003 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 725,519 647,179

2003 BIMA LAB. LOMBOK+KAYANGAN 725,519 1,022,154

2003 BIMA MAKASAR 725,519 1,145,496 2003 BIMA KENDARI+SULTRA 725,519 - 2004 MAUMERE (sika) BIMA 277,850 736,961 2004 SURABAYA BIMA 2,681,092 736,961 2004 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 198,112 736,961

2004 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 657,543 736,961

2004 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 338,422 736,961 2004 BADAS BIMA - 736,961 2004 MAKASAR BIMA 1,160,033 736,961 2004 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 525,273 736,961

252

Lampiran 46 Lanjutan

Tahun Daerah Jmlh Penduduk (Org) Asal Asal Asal Tujuan

2004 KENDARI BIMA - 736,961 2004 BIMA MAUMERE 736,961 277,850 2004 BIMA BENOA 736,961 525,273 2004 BIMA WAINGAPU 736,961 198,112 2004 BIMA SURABAYA 736,961 2,681,092 2004 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 736,961 338,422

2004 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 736,961 657,543

2004 BIMA MAKASAR 736,961 1,160,033 2004 BIMA BANJARMASIN 736,961 740,469 2004 BIMA KENDARI+SULTRA 736,961 - 2004 BIMA NTT/ENDE 736,961 240,827 2004 BIMA BALIKPAPAN 736,961 - 2005 MAUMERE (sika) BIMA 280,356 748,583 2005 SURABAYA BIMA 2,698,972 748,583 2005 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 201,049 748,583

2005 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 667,908 748,583

2005 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 343,635 748,583 2005 MAKASAR BIMA 1,172,761 748,583 2005 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 532,350 748,583 2005 BIMA MAUMERE 748,583 280,356 2005 BIMA BENOA 748,583 532,350 2005 BIMA WAINGAPU 748,583 201,049 2005 BIMA SURABAYA 748,583 2,698,972 2005 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 748,583 1,050,236

2005 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 748,583 667,908

2005 BIMA BADAS 748,583 -

253

Lampiran 46 Lanjutan

Tahun Daerah Jmlh Penduduk (Org) Asal Tujuan Asal Tujuan

2005 BIMA MAKASAR 1,104.00 6,798

2005 BIMA BANJARMASIN 1,590.00 - 2005 BIMA NTT/ENDE 12,426.00 - 2005 BIMA BALIKPAPAN 870.00 - 2005 BIMA MALUKU 144.00 -

2006 MAUMERE (sika) BIMA - 552

2006 SURABAYA BIMA 5,700.00 450

2006 WAINGAPU (sumba timur) BIMA - 2,532

2006 LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) BIMA -

3,064

2006 LEMBAR+SENGGIGI BIMA - 390

2006 MAKASAR BIMA 3,018.00 12,794

2006 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA - 384

2006 SELAYAR BIMA - 84

2006 BIMA MAUMERE - 684

2006 BIMA BENOA - 204

2006 BIMA WAINGAPU - 1,386

2006 BIMA SURABAYA 4,602.00 456

2006 BIMA LEMBAR+SENGGIGI - 270

2006 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) -

2,109

2006 BIMA BADAS - 90

2006 BIMA MAKASAR 1,194.00 7,575

2006 BIMA BANJARMASIN 3,174.00 - 2006 BIMA NTT/ENDE 14,532.00 - 2006 BIMA MALUKU 144.00 -

2006 BIMA PEMENANG - 132

254

Lampiran 46 Lanjutan

Tahun Wilayah PDRB (Juta Rp.) Jarak (Km) Asal Tujuan Asal Tujuan

2003 MAUMERE (sika) BIMA 644,745.39 2,183,277.46

383.60

2003 SURABAYA BIMA 16,818,175.00 2,183,277.46

682.20

2003 WAINGAPU (sumba timur) BIMA

505,157.42 2,183,277.46 216.90

2003 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA

300,933.67 2,183,277.46 128.20

2003 LEMBAR+ SENGGIGI BIMA

1,271,399.00 2,183,277.46 296.20

2003 MAKASAR BIMA 8,882,254.69 2,183,277.46

377.70

2003 BENOA+P.BAI+ N.PENIDA BIMA

2,773,923.00 2,183,277.46 388.10

2003 LAB. LOMBOK BIMA 2,183,277.00 2,183,277.46

229.60

2003 KENDARI BIMA 788,644.00 2,183,277.46

649.20

2003 BIMA MAUMERE 2,183,277.46 644,745.39

383.60

2003 BIMA BENOA+P.BAI+ N.PENIDA

2,183,277.46 2,773,923.00

388.10

2003 BIMA WAINGAPU 2,183,277.46 505,157.42

216.20

2003 BIMA SURABAYA 2,183,277.46 16,818,175.00

682.20

2003 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 2,183,277.46 1,271,300.00

296.00

2003 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat)

2,183,277.46 300,934.00

128.00

2003 BIMA LAB. LBK+ KAYANGAN

2,183,277.46 2,098,339.00

229.60

2003 BIMA MAKASAR 2,183,277.46 8,882,255.00

377.70

2003 BIMA KENDARI+SULTRA 2,183,277.46 788,644.00

649.20

2004 MAUMERE (sika) BIMA 678,695.00 2,267,605.35

383.60

2004 SURABAYA BIMA 17,711,103.00 2,267,605.35

682.20

2004 WAINGAPU (sumba timur) BIMA

530,351.00 2,267,605.35 216.90

2004 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA

309,668.00 2,267,605.35 128.20

2004 LEMBAR+ SENGGIGI BIMA

1,392,171.00 2,267,605.35 296.20

2004 BADAS BIMA - 2,267,605.35 -

2004 MAKASAR BIMA 9,785,339.89 2,267,605.35

377.70

2004 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA

2,858,318.00 2,267,605.35 388.10

255

Lampiran 46 Lanjutan

Tahun Wilayah PDRB (Juta Rp.) Jarak (Km) Asal Tujuan Asal Tujuan

2004 KENDARI BIMA 841,399.00 2,267,605.35

649.20

2004 BIMA MAUMERE 2,267,605.37 678,695.00

383.60

2004 BIMA BENOA 2,267,605.37 2,858,318.00

388.10

2004 BIMA WAINGAPU 2,267,605.37 530,351.00

216.20

2004 BIMA SURABAYA 2,267,605.37 17,711,103.00

682.20

2004 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 2,267,605.37 1,392,171.00

296.00

2004 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat)

2,267,605.37 309,668.00

128.00

2004 BIMA MAKASAR 2,267,605.37 9,785,339.89

377.70

2004 BIMA BANJARMASIN 2,267,605.37 3,374,643.00

739.10

2004 BIMA KENDARI+SULTRA 2,267,605.37 841,399.00

649.20

2004 BIMA NTT/ENDE 2,267,605.37 615,952.00

324.20

2004 BIMA BALIKPAPAN 2,267,605.37 12,512,909.00

1,098.20

2005 MAUMERE (sika) BIMA 699,717.00 2,361,109.00

383.60

2005 SURABAYA BIMA 18,665,621.00 2,361,109.00

682.20

2005 WAINGAPU (sumba timur) BIMA

546,778.00 2,361,109.00

216.90

2005 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA

319,260.00 2,361,109.00

128.20

2005 LEMBAR+SENGGIGI BIMA

1,521,391.00 2,361,109.00

296.20

2005 MAKASAR BIMA 9,557,733.00 2,361,109.00

377.70

2005 BENOA+P.BAI+ N.PENIDA BIMA

2,960,252.00 2,361,109.00

388.10

2005 BIMA MAUMERE 2,361,109.00 699,717.00

383.60

2005 BIMA BENOA 2,361,109.00 2,960,252.00

388.10

2005 BIMA WAINGAPU 2,361,109.00 546,778.00

216.20

2005 BIMA SURABAYA 2,361,109.00 18,665,621.00

682.20

2005 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 2,361,109.00 1,521,391.00

296.00

2005 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat)

2,361,109.00 319,260.00

128.00

2005 BIMA BADAS 2,361,109.00 - -

256

Lampiran 46 Lanjutan

Tahun Wilayah PDRB (Juta Rp.) Jarak (Km) Asal Tujuan Asal Tujuan

2005 BIMA MAKASAR 2,361,109.00 9,557,733.00

377.70

2005 BIMA BANJARMASIN 2,361,109.00 3,550,522.00

739.10

2005 BIMA NTT/ENDE 2,361,109.00 635,030.00

324.20

2005 BIMA BALIKPAPAN 2,361,109.00 13,102,051.00

1,098.20

2005 BIMA MALUKU 2,361,109.00 - -

2006 MAUMERE (sika) BIMA 727,705.00 2,458,467.00

383.60

2006 SURABAYA BIMA 19,677,395.00 2,458,467.00

682.20

2006 WAINGAPU (sumba timur) BIMA

586,649.00 2,458,467.00

216.90

2006 LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) BIMA

332,030.00 2,458,467.00

128.20

2006 LEMBAR+ SENGGIGI BIMA

1,662,606.00 2,458,467.00

296.20

2006 MAKASAR BIMA 9,950,282.00 2,458,467.00

377.70

2006 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA

3,097,142.00 2,458,467.00

388.10

2006 SELAYAR BIMA 322,589.00 2,458,467.00

317.40

2006 BIMA MAUMERE 2,458,467.00 727,705.00

383.60

2006 BIMA BENOA 2,458,467.00 3,097,142.00

388.10

2006 BIMA WAINGAPU 2,458,467.00 568,649.00

216.20

2006 BIMA SURABAYA 2,458,467.00 19,677,395.00

682.20

2006 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 2,458,467.00 1,662,606.00

296.00

2006 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat)

2,458,467.00 332,030.00

128.00

2006 BIMA BADAS 2,458,467.00 - -

2006 BIMA MAKASAR 2,458,467.00 9,950,282.00

377.70

2006 BIMA BANJARMASIN 2,458,467.00 3,735,567.00

739.10

2006 BIMA NTT/ENDE 2,458,467.00 660,432.00

324.20

2006 BIMA MALUKU 2,458,467.00 - -

2006 BIMA PEMENANG 2,458,467.00 - -

257

Lampiran 46 Lanjutan

TAHUN WIL

ASAL WIL TUJUAN LN-PENUMPANG LN-PDDK KAPET LN-PDDK TUJUAN LN-JARAK 2003 BIMA MAUMERE 7.44 13.49 12.53 5.95 2003 BIMA BENOA+P.BAI+N.PENIDA 7.73 13.49 13.16 5.96 2003 BIMA WAINGAPU 5.98 13.49 12.18 5.38 2003 BIMA SURABAYA 4.84 13.49 14.79 6.53 2003 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 5.62 13.49 12.72 5.69 2003 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.39 13.49 13.38 4.85 2003 BIMA LAB. LOMBOK+KAYANGAN 5.01 13.49 13.84 5.44 2003 BIMA MAKASAR 9.07 13.49 13.95 5.93 2004 BIMA MAUMERE 7.56 13.51 12.53 5.95 2004 BIMA BENOA 7.10 13.51 13.17 5.96 2004 BIMA WAINGAPU 6.81 13.51 12.20 5.38 2004 BIMA SURABAYA 6.04 13.51 14.80 6.53 2004 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 4.36 13.51 12.73 5.69 2004 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.41 13.51 13.40 4.85 2004 BIMA MAKASAR 8.98 13.51 13.96 5.93 2005 BIMA MAUMERE 7.16 13.53 12.54 5.95 2005 BIMA BENOA 6.04 13.53 13.19 5.96 2005 BIMA WAINGAPU 7.31 13.53 12.21 5.38 2005 BIMA SURABAYA 6.44 13.53 14.81 6.53 2005 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 4.84 13.53 13.86 5.69 2005 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.42 13.53 13.41 4.85 2005 BIMA MAKASAR 8.82 13.53 13.97 5.93 2006 BIMA MAUMERE 6.53 13.54 12.55 5.95 2006 BIMA BENOA 5.32 13.54 13.20 5.96 2006 BIMA WAINGAPU 7.23 13.54 12.23 5.38 2006 BIMA SURABAYA 6.12 13.54 14.81 6.53 2006 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 5.60 13.54 12.76 5.69 2006 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.65 13.54 13.43 4.85 2006 BIMA MAKASAR 8.93 13.54 13.99 5.93

258

Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Multiple R 0.177555076 R Square 0.031525805 Adjusted R Square -0.084691098 Standard Error 1.353392322 Observations 29 ANOVA

df SS MS F Significance F Regression 3 1.490615241 0.496871747 0.271266951 0.845504929 Residual 25 45.79176945 1.831670778 Total 28 47.28238469 LN-PENUMPANG Coefficients Standard Error t Stat P-value

Intercept -32.61194922 191.8319265 -0.17000272 0.866376251LN-PDDK KAPET 2.997276391 14.19293578 0.21118086 0.834458157LN-PDDK TUJUAN 0.142702319 0.349899449 0.407838079 0.686864243LN-JARAK -0.52570027 0.595711016 -0.882475321 0.385926729

259

Lampiran 46 Lanjutan

TAHUN WIL

ASAL WIL TUJUAN LN-PENUMPANG LN-PDRB KAPET LN-PDRB TUJUAN LN-JARAK 2003 BIMA MAUMERE 7.44 14.60 13.38 5.95 2003 BIMA BENOA+P.BAI+N.PENIDA 7.73 14.60 14.84 5.96 2003 BIMA WAINGAPU 5.98 14.60 13.13 5.38 2003 BIMA SURABAYA 4.84 14.60 16.64 6.53 2003 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 5.62 14.60 14.06 5.69 2003 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.39 14.60 12.61 4.85 2003 BIMA LAB. LOMBOK+KAYANGAN 5.01 14.60 14.56 5.44 2003 BIMA MAKASAR 9.07 14.60 16.00 5.93 2003 BIMA KENDARI+SULTRA 2.48 14.60 13.58 6.48 2004 BIMA MAUMERE 7.56 14.63 13.43 5.95 2004 BIMA BENOA 7.10 14.63 14.87 5.96 2004 BIMA WAINGAPU 6.81 14.63 13.18 5.38 2004 BIMA SURABAYA 6.04 14.63 16.69 6.53 2004 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 4.36 14.63 14.15 5.69 2004 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.41 14.63 12.64 4.85 2004 BIMA MAKASAR 8.98 14.63 16.10 5.93 2004 BIMA KENDARI+SULTRA 2.48 14.63 13.64 6.48 2005 BIMA MAUMERE 7.16 14.67 13.46 5.95 2005 BIMA BENOA 6.04 14.67 14.90 5.96 2005 BIMA WAINGAPU 7.31 14.67 13.21 5.38 2005 BIMA SURABAYA 6.44 14.67 16.74 6.53 2005 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 4.84 14.67 14.24 5.69 2005 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.42 14.67 12.67 4.85 2005 BIMA MAKASAR 8.82 14.67 16.07 5.93 2006 BIMA MAUMERE 6.53 14.72 13.50 5.95 2006 BIMA BENOA 5.32 14.72 14.95 5.96 2006 BIMA WAINGAPU 7.23 14.72 13.25 5.38 2006 BIMA SURABAYA 6.12 14.72 16.79 6.53 2006 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 5.60 14.72 14.32 5.69 2006 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.65 14.72 12.71 4.85 2006 BIMA MAKASAR 8.93 14.72 16.11 5.93

260

Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Multiple R 0.603198901 R Square 0.363848915 Adjusted R Square 0.293165461 Standard Error 1.388825409 Observations 31 ANOVA

df SS MS F Significance F Regression 3 29.78652792 9.928842639 5.147583 0.006055212Residual 27 52.07857246 1.928836017 Total 30 81.86510038

LN-PENUMPANG Coefficients Standard Error t Stat P-valueIntercept -31.39170166 82.85370728 -0.378881075 0.707739LN-PDRB KAPET 2.837580829 5.650141534 0.502214115 0.619588LN-PDRB TUJUAN 0.822461088 0.265479196 3.098024636 0.004512LN-JARAK -2.679274094 0.71638165 -3.740009387 0.000877

261

Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Multiple R 0.603198901 R Square 0.363848915 Adjusted R Square 0.293165461Standard Error 1.388825409 Observations 31 ANOVA

df SS MS F Significance F Regression 3 29.78652792 9.928842639 5.147583 0.006055212Residual 27 52.07857246 1.928836017 Total 30 81.86510038

LN-PENUMPANG Coefficients Standard Error t Stat P-valueIntercept -31.39170166 82.85370728 -0.378881075 0.707739LN-PDRB KAPET 2.837580829 5.650141534 0.502214115 0.619588LN-PDRB TUJUAN 0.822461088 0.265479196 3.098024636 0.004512LN-JARAK -2.679274094 0.71638165 -3.740009387 0.000877

262

Lampiran 46 Lanjutan TAHUN WIL ASAL WIL TUJUAN LN-BARANG LN-PDDK KAPET LN-PDDK TUJUAN LN-JARAK

2003 BIMA MAUMERE 8.28 13.49 12.53 5.95 2003 BIMA SURABAYA 7.32 13.49 14.79 6.53 2003 BIMA MAKASAR 7.45 13.49 13.95 5.93 2004 BIMA MAUMERE 8.28 13.51 12.53 5.95 2004 BIMA SURABAYA 7.28 13.51 14.80 6.53 2004 BIMA MAKASAR 6.62 13.51 13.96 5.93 2004 BIMA BANJARMASIN 6.70 13.51 13.52 6.61 2004 BIMA NTT/ENDE 7.51 13.51 12.39 5.78 2005 BIMA SURABAYA 7.61 13.53 14.81 6.53 2005 BIMA MAKASAR 7.01 13.53 13.97 5.93 2005 BIMA BANJARMASIN 7.37 13.53 13.55 6.61 2005 BIMA NTT/ENDE 9.43 13.53 12.40 5.78 2006 BIMA SURABAYA 8.43 13.54 14.81 6.53 2006 BIMA MAKASAR 7.09 13.54 13.99 5.93 2006 BIMA BANJARMASIN 8.06 13.54 13.57 6.61 2006 BIMA NTT/ENDE 9.58 13.54 12.41 5.78

263

Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Multiple R 0.638428698 R Square 0.407591202 Adjusted R Square 0.259489002 Standard Error 0.750211972 Observations 16 ANOVA

df SS MS F Significance F Regression 3 4.646784458 1.548928153 2.752094183 0.088704214Residual 12 6.753816038 0.562818003 Total 15 11.4006005 LN-BARANG Coefficients Standard Error t Stat P-valueIntercept -233.1062901 153.5175364 -1.518434282 0.154802404LN-PDDK KAPET 18.32405684 11.37226731 1.611293188 0.133089674LN-PDDK TUJUAN -0.503042192 0.273154365 -1.841604075 0.090372944LN-JARAK -0.002175144 0.726730317 -0.002993056 0.997661073

264

Lampiran 46 Lanjutan TAHUN WIL ASAL WIL TUJUAN LN-BARANG LN-PDRB KAPET LN-PDRB TUJUAN LN-JARAK

2003 BIMA MAUMERE 8.28 14.60 13.38 5.95 2003 BIMA SURABAYA 7.32 14.60 16.64 6.53 2003 BIMA MAKASAR 7.45 14.60 16.00 5.93 2004 BIMA MAUMERE 8.28 14.63 13.43 5.95 2004 BIMA SURABAYA 7.28 14.63 16.69 6.53 2004 BIMA MAKASAR 6.62 14.63 16.10 5.93 2004 BIMA BANJARMASIN 6.70 14.63 15.03 6.61 2004 BIMA NTT/ENDE 7.51 14.63 13.33 5.78 2004 BIMA BALIKPAPAN 6.77 14.63 16.34 7.00 2005 BIMA SURABAYA 7.61 14.67 16.74 6.53 2005 BIMA MAKASAR 7.01 14.67 16.07 5.93 2005 BIMA BANJARMASIN 7.37 14.67 15.08 6.61 2005 BIMA NTT/ENDE 9.43 14.67 13.36 5.78 2005 BIMA BALIKPAPAN 6.77 14.67 16.39 7.00 2006 BIMA SURABAYA 8.43 14.72 16.79 6.53 2006 BIMA MAKASAR 7.09 14.72 16.11 5.93 2006 BIMA BANJARMASIN 8.06 14.72 15.13 6.61

265

Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Multiple R 0.629032465 R Square 0.395681841 Adjusted R Square 0.256223805Standard Error 0.65128034 Observations 17 ANOVA

df SS MS F Significance F Regression 3 3.610436952 1.203478984 2.837282463 0.079213059Residual 13 5.514159058 0.424166081 Total 16 9.12459601

LN-BARANG Coefficients Standard Error t Stat P-value Intercept -70.46431672 60.53417317 -1.164041946 0.265326051LN-PDRB KAPET 5.749639318 4.162599889 1.381261584 0.190479717LN-PDRB TUJUAN -0.310843753 0.150481032 -2.065667335 0.059393005LN-JARAK -0.231583926 0.46857244 -0.494232921 0.629387776

266

Lampiran 46 Lanjutan TAHUN WIL ASAL WIL TUJUAN LN-PENUMPANG LN- PDDK ASAL LN- PDDK KAPET LN-JARAK

2003 MAUMERE (sika) BIMA 7.83 12.53 13.49 5.95 2003 SURABAYA BIMA 5.01 14.79 13.49 6.53 2003 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.24 12.18 13.49 5.38 2003 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.61 13.38 13.49 4.85 2003 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 6.37 12.72 13.49 5.69 2003 MAKASAR BIMA 9.22 13.95 13.49 5.93 2003 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 7.90 13.16 13.49 5.96 2003 LAB. LOMBOK BIMA 4.19 13.84 13.49 5.44 2004 MAUMERE (sika) BIMA 7.84 12.53 13.51 5.95 2004 SURABAYA BIMA 5.98 14.80 13.51 6.53 2004 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.94 12.20 13.51 5.38 2004 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.84 13.40 13.51 4.85 2004 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.85 12.73 13.51 5.69 2004 MAKASAR BIMA 9.41 13.96 13.51 5.93 2004 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 7.79 13.17 13.51 5.96 2005 MAUMERE (sika) BIMA 7.12 12.54 13.53 5.95 2005 SURABAYA BIMA 6.39 14.81 13.53 6.53 2005 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 8.14 12.21 13.53 5.38 2005 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.94 13.41 13.53 4.85 2005 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.62 12.75 13.53 5.69 2005 MAKASAR BIMA 9.43 13.97 13.53 5.93 2005 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 6.75 13.19 13.53 5.96 2006 MAUMERE (sika) BIMA 6.31 12.55 13.54 5.95 2006 SURABAYA BIMA 6.11 14.81 13.54 6.53 2006 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.84 12.23 13.54 5.38 2006 LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) BIMA 8.03 13.43 13.54 4.85 2006 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.97 12.76 13.54 5.69 2006 MAKASAR BIMA 9.46 13.99 13.54 5.93 2006 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 5.95 13.20 13.54 5.96 2006 SELAYAR BIMA 4.43 11.64 13.54 5.76

267

Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Multiple R 0.274720707 R Square 0.075471467 Adjusted R Square -0.031204903 Standard Error 1.436884334 Observations 30 ANOVA

df SS MS F Significance F Regression 3 4.382071284 1.460690428 0.707480646 0.556250586Residual 26 53.68055131 2.064636589 Total 29 58.06262259

LN-PENUMPANG Coefficients Standard Error t Stat P-value Intercept 38.26644754 199.4733744 0.19183737 0.849359983LN- PDDK ASAL 0.262457254 0.345988593 0.758571987 0.454930657LN- PDDK KAPET -2.182389896 14.73270813 -0.148132297 0.883381227LN-JARAK -0.890993925 0.625034353 -1.425511926 0.165905122

268

Lampiran 46 Lanjutan THN ASAL TUJUAN LN-PENUMPANG LN-PDRB ASAL LN-PDRB KAPET LN-JARAK

2003 MAUMERE (sika) BIMA 7.83 13.38 14.60 5.95 2003 SURABAYA BIMA 5.01 16.64 14.60 6.53 2003 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.24 13.13 14.60 5.38 2003 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.61 12.61 14.60 4.85 2003 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 6.37 14.06 14.60 5.69 2003 MAKASAR BIMA 9.22 16.00 14.60 5.93 2003 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 7.90 14.84 14.60 5.96 2003 LAB. LOMBOK BIMA 4.19 14.60 14.60 5.44 2003 KENDARI BIMA 4.36 13.58 14.60 6.48 2004 MAUMERE (sika) BIMA 7.84 13.43 14.63 5.95 2004 SURABAYA BIMA 5.98 16.69 14.63 6.53 2004 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.94 13.18 14.63 5.38 2004 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.84 12.64 14.63 4.85 2004 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.85 14.15 14.63 5.69 2004 MAKASAR BIMA 9.41 16.10 14.63 5.93 2004 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 7.79 14.87 14.63 5.96 2004 KENDARI BIMA 4.36 13.64 14.63 6.48 2005 MAUMERE (sika) BIMA 7.12 13.46 14.67 5.95 2005 SURABAYA BIMA 6.39 16.74 14.67 6.53 2005 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 8.14 13.21 14.67 5.38 2005 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.94 12.67 14.67 4.85 2005 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.62 14.24 14.67 5.69 2005 MAKASAR BIMA 9.43 16.07 14.67 5.93 2005 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 6.75 14.90 14.67 5.96 2006 MAUMERE (sika) BIMA 6.31 13.50 14.72 5.95 2006 SURABAYA BIMA 6.11 16.79 14.72 6.53 2006 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.84 13.28 14.72 5.38 2006 LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) BIMA 8.03 12.71 14.72 4.85 2006 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.97 14.32 14.72 5.69 2006 MAKASAR BIMA 9.46 16.11 14.72 5.93 2006 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 5.95 14.95 14.72 5.96 2006 SELAYAR BIMA 4.43 12.68 14.72 5.76

269

Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.545784567 R Square 0.297880793 Adjusted R Square 0.222653735 Standard Error 1.346909586 Observations 32 ANOVA

df SS MS F Significance F Regression 3 21.55095734 7.183652445 3.959755994 0.017969676Residual 28 50.79663211 1.814165432 Total 31 72.34758944

Y=LN PENUMPANG Coefficients Standard Error t Stat P-value Intercept 8.743561994 77.31310358 0.113092886 0.910763879LN-PDRB ASAL 0.640789873 0.243732111 2.629074474 0.013747588LN-PDRB TUJUAN 0.16295712 5.266080566 0.030944669 0.975533192LN-JARAK -2.310603368 0.676106758 -3.417512606 0.001952258

270

Lampiran 46 Lanjutan TAHUN WIL ASAL WIL TUJUAN LN-BARANG LN-PDDK ASAL LN-PDDK KAPET LN-JARAK

2003 SURABAYA BIMA 8.08 14.79 13.49 6.53 2003 MAKASAR BIMA 8.40 13.95 13.49 5.93 2004 SURABAYA BIMA 8.38 14.80 13.51 6.53 2004 MAKASAR BIMA 8.47 13.96 13.51 5.93 2005 SURABAYA BIMA 8.53 14.81 13.53 6.53 2005 MAKASAR BIMA 8.24 13.97 13.53 5.93 2006 SURABAYA BIMA 8.65 14.81 13.54 6.53 2006 MAKASAR BIMA 8.01 13.99 13.54 5.93

271

Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Multiple R 0.871942561 R Square 0.760283829 Adjusted R Square 0.580496701Standard Error 0.142287681 Observations 8 ANOVA

df SS MS F Significance F Regression 3 0.256846124 0.085615375 4.228800116 0.098705829Residual 4 0.080983137 0.020245784 Total 7 0.337829261

LN-BARANG Coefficients Standard Error t Stat P-value Intercept -164.4058243 60.37651511 -2.723009502 0.052822496LN-PDDK ASAL -66.15332994 20.17365914 -3.279193402 0.030523889LN-PDDK KAPET 39.98007285 12.08943944 3.307024535 0.029737128LN-JARAK 93.74905234 28.5224928 3.286846385 0.030305118

272

Lampiran 46 Lanjutan TAHUN WIL ASAL WIL TUJUAN LN-BARANG LN-PDRB ASAL LN-PDRB KAPET LN-JARAK

2003 SURABAYA BIMA 8.08 16.64 14.60 6.53 2003 MAKASAR BIMA 8.40 16.00 14.60 5.93 2004 SURABAYA BIMA 8.38 16.69 14.63 6.53 2004 MAKASAR BIMA 8.47 16.10 14.63 5.93 2005 SURABAYA BIMA 8.53 16.74 14.67 6.53 2005 MAKASAR BIMA 8.24 16.07 14.67 5.93 2006 SURABAYA BIMA 8.65 16.79 14.72 6.53 2006 MAKASAR BIMA 8.01 16.11 14.72 5.93

273

Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics Multiple R 0.766836061 R Square 0.588037545 Adjusted R Square 0.279065703Standard Error 0.186529469 Observations 8 ANOVA

df SS MS F Significance F Regression 3 0.198656289 0.066219 1.903207561 0.270423253Residual 4 0.139172972 0.034793 Total 7 0.337829261 LN-BARANG Coefficients Standard Error t Stat P-valueIntercept 37.54442935 28.3540939 1.324127 0.256056344LN-PDRB ASAL 6.584906438 3.071460441 2.143901 0.098654664LN-PDRB KAPET -6.394679323 3.56826486 -1.792098 0.147589681LN-JARAK -6.972032397 3.362033077 -2.073755 0.106775096

275

Lampiran 48. Lembaran Kuisioner Analisis Hirarki Proses

Kode Responden :……………......... Tanggal Wawancara :…………………. Tempat Wawancara :………………….

Nama Responden :

Nama Lembaga/ Elemen

:

Pekerjaan /Jabatan :

Alamat :

Kami mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuisioner ini dengan objektif

dan benar, karena kuisioner ini adalah untuk penelitian tesis dengan tujuan ilmiah. Identitas Bapak/Ibu akan dijamin kerahasiaannya.

Terima kasih.

PENELITI :

ENIRAWAN A155040091

PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

JUDUL PENELITIAN TESIS :

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI

TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

276

PENILAIAN STAKEHOLDER TENTANG STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA

PETUNJUK PENGISIAN TABEL

1. Responden hanya mengisi nilai sesuai intensitas kepentingan, antara satu faktor terhadap faktor pembanding yang lain dengan memberi nilai antara 1-9.

2. urutan intensitas dengan keterangan seperti Tabel sebagai berikut.

Tingkat kepentingan Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya

Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan.

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya

Pengalaman dan penilaian mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya.

5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian dengan kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya.

7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya

Satu elemen sangat kuat didukung dan dominasi terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Nilai diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan.

Contoh :

Jika A sedikit lebih penting dari B, maka skor A terhadap B adalah = 3 dan B terhadap A adalah = 1/3,

sehingga matriksnya sebagai berikut : A B C

A 3 B 1/3 C

277

1. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari ketiga Strategi Pendekatan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Keterpaduan antar sektor b. Keterpaduan antar wilayah c. Keterpaduan antar pelaku/lembaga

STRATEGI PENDEKATAN (A) (B) (C) KETERPADUAN ANTAR SEKTOR (A) KETERPADUAN ANTAR WILAYAH (B) KETERPADUAN ANTAR PELAKU/ LEMBAGA (C)

Penjelasan :……………………..

2. Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar sektor dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6)

SDM (1) SDA (2)

INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA

SOSIAL (4)

FINANSIAL (5) INSTITUSI (6)

Penjelasan :……………………..

278

3. Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar wilayah dalam pengembangan wilayah Kapet Bima? a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6)

SDM (1) SDA (2) INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA SOSIAL (4)

FINANSIAL (5) INSTITUSI (6)

Penjelasan :……………………..

4. Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar pelaku/lembaga dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6)

SDM (1) SDA (2) INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA SOSIAL (4)

FINANSIAL (5) INSTITUSI (6)

Penjelasan :……………………..

279

5. Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar pelaku/lembaga dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6)

SDM (1) SDA (2) INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA SOSIAL (4)

FINANSIAL (5) INSTITUSI (6)

Penjelasan :……………………..

6. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari keeempat subkomponen sumber daya manusia dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Jumlah Penduduk b. Tingkat Pendidikan c. Lapangan Pekerjaan d. Tingkat Kesehatan

SDM (1) (a) (b) (c) (d) JUMLAH PDDK (a) PENDIDIKAN (b) PEKERJAAN (c) KESEHATAN (d)

Penjelasan :……………………..

280

7. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari kelima subkomponen sumber daya alam dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Lahan dan Air (Pertanian, Peternakan dan Kehutanan) b. Perikanan dan Kelautan c. Industri dan Pertambangan d. Keanekaragaman Sumber Daya Hayati e. Panorama Alam Wisata

SDA (2) (a) (b) (c) (d) (e) LAHAN DAN AIR (a)

PERIKANAN & KELAUTAN (b)

INDUSTRI & PERTAMBANGAN (c)

SD HAYATI (d) PANORAMA ALAM

WISATA (e)

Penjelasan :……………………..

8. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari kelima subkomponen infrastruktur dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Social dan budaya b. Ekonomi dan Perdagangan c. Transportasi d. Informasi dan Komunikasi e. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

INFRASTRUKTUR (3) (a) (b) (c) (d) (e) SOSIAL & BUDAYA (a)

EKONOMI & PERDAGANGAN (b)

TRANSPORTASI (c) INFORMASI &

KOMUNIKASI (d)

IPTEK (e) Penjelasan :……………………..

281

9. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari keempat subkomponen sumber daya social (SDS) dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Adat Istiadat b. Hubungan Masyarakat (dalam dan dengan luar komunitas) c. Keamanan d. Tingkat Mobilitas (pergerakan/perjalanan) masyarakat

SDS (4) (a) (b) (c) (d) ADAT ISTIADAT (a)

HUBUNGAN MASYARAKAT (b)

KEAMANAN (c) MOBILITAS

MASYARAKAT (d)

Penjelasan :……………………..

10. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari ketiga subkomponen finansial (permodalan) dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Modal Asing b. Modal Domestik Dalam Negeri c. Modal Domestik Dalam Kapet FINANSIAL (5) (a) (b) (c)

MODAL ASING (a) MODAL DOMESTIK DALAM NEGERI (b)

MODAL DOMESTIK DALAM KAPET (c)

Penjelasan :……………………..

282

STRUKTUR HIRARKI DALAM AHP STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KAPET BIMA

KOMPONEN : SUMBER DAYA

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

SUB KOMPONEN :

(a) (a) (a) (a) (a) (a)

(b) (b) (b) (b) (b) (b)

(c) (c) (c) (c) (c) (c)

(d) (d) (d) (d) (d)

(e) (e) (e)

(f)

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KAPET BIMA

YANG BERIMBANG

KETERPADUAN ANTAR

SEKTOR (A)

KETERPADUAN ANTAR

WILAYAH (B)

KETERPADUAN ANTAR

INSTITUSI (C)

GOAL :

PENDEKATAN STRATEGI :

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA

DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT1) (Regional Development Studi of Integrated Economical Development Regional

(Bima Kapet) In West Nusa Tenggara Province) 1)

Enirawan2), Bambang Juanda3), Setia Hadi4)

ABSTRACT The aim of Kapet development planning Model in Eastern Indonesian

Regional is to obtain the same level with Western Indonesian, therefore the present of Kapet program will be a prime mover to development of other regionals mainly at surrounding regions. The study was conducted in Bima Kapet with the objectives of : (1) to identify the potential of regional development of Bima Kapet and its problems, (2) to study the linkages among sectors and to find out the primary regional sector, (3) to study the spatial relationship pattern of intra-inter regional in Bima Kapet, and (4) to make strategy for regional development in Bima Kapet. The analyses used in this study were descriptive analysis involved : IO and LQ analyses, Grafitation model, AHP and SWOT analysis. Results of this study showed that : the primary regional sectors in Bima Kapet were farm food crops, livestock and their products, fisheries, non oil and gas manufacturing, and wholesale and retail trade. Based on gravitation models, variable or factor positively affected the spatial interaction (sea transportations) was number of population of origin area. Principally, strategies of regional development involved institutions/stakeholders, sectors, and regional integrations.

Key words : Bima Kapet, prime mover, linkages, primary sector, interaction, and integration.

PENDAHULUAN

Latar belakang Pembangunan Indonesia selama ini ternyata masih menyisakan

ketimpangan (disparitas) seperti kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan rakyat antara Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia Timur atau antara Pulau Jawa dan luar Jawa, hal ini didukung oleh data dari BPS (2006) yang menunjukkan bahwa 59.28 % PDB Indonesia berasal dari PDRB daerah-daerah di Pulau Jawa sedangkan Propinsi NTB hanya memberikan kontribusi sebesar 0.97 %. Disparitas terjadi selain karena faktor-faktor endowment dari masing-masing wilayah juga terjadi sebagai akibat kebijakan dan konsep wilayah yang dianut Pemerintah Indonesia.

Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat, maka pada Tahun 1996, diperkenalkan model perencanaan pembangunan Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu). Model ini mengadopsi konsep growth centers (pusat-pusat pertumbuhan) yang diharapkan menjadi prime mover pengembangan wilayah sekitarnya.

Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers (growth pole) di banyak negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan tersebut adalah melupakan kekuatan industrial-linkages, baik dalam proses

1) Makalah merupakan bagian dari tesis, disampaikan pada Seminar Sekolah Pascasarjana IPB, Program

Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan 2) Mahasiswa Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan 3) Ketua Komisi Pembimbing 4) Anggota Komisi Pembimbing

penambahan nilai, keterkaitan produk (industrial tree), maupun keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi), maka trickle down effect yang dijadikan harapan saat diberlakukannya konsep growth centers ini sulit terwujud (Haeruman, et al., 2000).

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima (BP Kapet Bima dan BPPT, 2000).

Pertumbuhan perekonomian kawasan secara umum terus mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kapet Bima Tahun 2000-2003 adalah 4.45 % pertahun di atas pertumbuhan Propinsi NTB yakni 3.64 % (BPS NTB, 2003). namun sebaran kontribusi tiap sektor belum merata, ini ditunjukkan dengan masih dominannya sektor pertanian terhadap PDRB Kapet Bima yakni 46.31 %. Di sisi lain, sebaran fasilitas dan penduduk juga tidak merata dan cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu (sebagai contoh, pada Tahun 2003 kepadatan penduduk Kecamatan Rasanae Barat adalah 1,050 jiwa/km2, sedangkan Kecamatan Tambora hanya 12 jiwa/km2). Sebaran fasilitas dan penduduk akan mempengaruhi tingkat pelayanan kebutuhan penduduk dan optimasi pemanfaatan ruang.

Kecenderungan konsentrasi manfaat pertumbuhan ekonomi jika hanya berpusat pada satu atau beberapa daerah utama saja akan menciptakan disparitas wilayah berupa tingkat pendapatan, standar hidup (standards of living), fasilitas pelayanan, dan aspek lainnya yang melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan di perdesaan serta secara jangka panjang dapat terjadi kemandekan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Perumusan Masalah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) adalah merupakan

kawasan andalan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Indonesia Timur dalam upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penggerak pembangunan di wilayah sekitarnya.

Pertumbuhan ekonomi kawasan yang tidak diikuti dengan penurunan kesenjangan, secara jangka panjang akan menyebabkan terjadinya kemandekan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kesenjangan antar wilayah umumnya disebabkan kurang adanya koordinasi dan kesesuaian program-program pengembangan kawasan yang dilaksanakan oleh berbagai pihak (stakeholders) dengan karakteristik wilayah, serta kurang memperhatikan keterkaitan sektor dan hubungan antar wilayah.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi potensi

pengembangan wilayah Kapet Bima serta berbagai peluang dan kendalanya (2) Mengkaji keterkaitan antar sektor dan untuk mengetahui sektor unggulan wilayah di Kapet Bima (3) Mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional di Kapet Bima, dan (4) Menyusun strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima.

KERANGKA PEMIKIRAN Pengembangan Kapet yang didasarkan pada teori growth center dapat

menimbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu diciptakan interaksi wilayah intra-inter regional dan keterkaitan antar sektor. Pengembangan sektor unggulan yang didukung ketersediaan berbagai potensi sumber daya dapat menggerakkan pertumbuhan sosial-ekonomi wilayah. Dalam era otonomi daerah, sinergi peran pemerintah daerah dan pelaku lainnya (stakeholders) sangat dibutuhkan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yang optimal dan berimbang.

METODE PENELITIAN

Lokasi, Waktu dan Data Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten

Dompu yang merupakan daerah administratif kabupaten di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2006. Data primer diperoleh langsung melalui wawancara dengan responden. Data sekunder diperoleh dari publikasi resmi BP Kapet Bima, Bappeda, BPS, Dinas Perhubungan, Disperindag serta instansi terkait lainnya.

Metode Analisis Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian. Untuk mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan wilayah digunakan analisis deskriptif. Penyusunan dan analisis IO digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar sektor, selanjutnya setelah menentukan sektor basis melalui analisis LQ tiap sektor maka dapat ditentukan sektor unggulan dengan memakai Indeks Keunggulan Sektor. Metode yang digunakan untuk mengkaji interaksi spasial adalah model grafitasi dan analisis deskriptif sedangkan untuk mengkaji peranan stakeholders digunakan analisis desktriptif kelembagaan. Selanjutnya dari hasil semua analisis maka dapat disusun strategi pengembangan wilayah dengan menggunakan analisis hirarki proses (AHP) dan analisis SWOT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi dan Permasalahan dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima memiliki struktur ekonomi yang

hampir sama yakni sektor pertanian (primer) memberikan kontribusi paling tinggi (masing-masing sebesar 47.06 % dan 52.00 %), disusul perdagangan, hotel dan restoran (tersier) kemudian yang ketiga adalah jasa-jasa (tersier). Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi tinggi terhadap struktur ekonomi Kota Bima adalah jasa-jasa, kontribusi sektor tersier ini sebesar 30.53 %, kemudian sektor pertanian (primer) dan perdagangan, hotel dan restoran (tersier). namun untuk kegiatan sektor sekunder seperti industri pengolahan, aktivitas dan nilai tambah di semua daerah di Kapet Bima cukup rendah yakni hanya sekitar tiga persen dari total kegiatan ekonomi.

Sebagai daerah yang memiliki karakteristik agraris, maka aktivitas pertanian dalam arti umum masih memberikan kontribusi besar dalam perekonomian Kapet Bima. Komoditas pertanian di Kapet Bima yang memberikan kontribusi paling tinggi terhadap total produksi Propinsi Nusa

Tenggara Barat yakni kacang kedelai (48,28 %), bawang merah (80.84 %), sirsak/srikaya (88.00 %), jarak (88.40 %). Pada Subsektor peternakan, komoditas dominan yang diusahakan di Kapet Bima dengan nilai pengusahaan > 10,000 ekor dengan tingkat kontribusi >20% terhadap total populasi ternak Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah kuda, sapi, kerbau dan kambing.

Kegiatan usaha perikanan di Kapet Bima yang memberikan kontribusi paling besar terhadap total produksi Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah budidaya mutiara (42 %), budidaya air payau (53 %), serta terdapat 26 komoditas perikanan laut yang masing-masing memiliki produksi >50 ton dengan kontribusi >30 % terhadap total produksi Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Potensi berbagai komoditas pertanian di atas cukup tinggi dan diusahakan oleh sebagian besar masyarakat di Kapet Bima, namun secara umum pengelolaannya masih sederhana dan bersifat tradisional. Selain itu, kegiatan pada subsistem pascapanen (pengolahan hasil) sangat terbatas, sehingga masyarakat tidak mendapatkan nilai tambah (value added) produk yang tinggi.

Selain potensi pertanian, di Kapet Bima juga memiliki berbagai potensi antara lain sebagai berikut : - Komposisi penduduk didominasi oleh kelompok usia produktif (penduduk

berumur 15-64 tahun yakni 59.21 %) - Secara umum, penduduk di Kapet Bima yang mencapai tingkat pendidikan

SMP ke atas baru mencapai 39.02 %, namun angka ini di atas rata-rata NTB yang baru mencapai 28.46 %. Angka ini juga berkorelasi dengan terus tumbuhnya sekolah dan perguruan tinggi di Kapet Bima khususnya di Kota Bima

- Terdapat kearifan nilai budaya masyarakat yang dapat menjadi faktor pendorong dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, antara lain (1) kriteria pemimpin “nggusu waru” (2) jiwa kepemimpinan “Katohompara Wekiku Sura Dou Mori Na Labo Dana” (3) Prinsip Pengambilan Keputusan “Nggahi Ra Sama Kai”(4) Prinsip Kerja “Nggahi Rawi Pahu” (5) Prinsip Pengendalian “Maja Labo Dahu”.

- Ketersediaan infrastruktur dasar, perdagangan, komunikasi dan transportasi baik darat, laut (5 pelabuhan laut) dan udara (1 bandara udara).

Beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan wilayah di Kapet Bima antara lain (1) Kualitas SDM relatif masih rendah (2) Peran lembaga ekonomi rakyat (koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya) belum optimal dalam pengembangan perekonomian di perdesaan (3) Modal yang dimiliki daerah maupun pengusaha lokal sangat terbatas, sedangkan investor luar daerah dan asing sulit didatangkan (4) Sebagian besar kegiatan usaha belum mampu menerapkan manajemen modern serta tingkat penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi masih terbatas sehingga belum memiliki daya saing yang tinggi, akibatnya peningkatan nilai tambah sulit tercapai (5) Lemahnya komunikasi dan koordinasi antara pemerintah propinsi dan kabupaten/kota (6) Kurang tegasnya pembagian tugas-wewenang (belum adanya prosedur operasional standar) antar instansi terkait dengan Kapet Bima. mengakibatkan kurang lancarnya tugas yang diemban oleh BP Kapet Bima (7) Orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial.

Keterkaitan Antar Sektor Berdasarkan Tabel IO dengan klasifikasi 18 sektor ekonomi, terlihat

bahwa 6 (enam) sektor yang memiliki nilai output paling tinggi adalah tanaman bahan makanan (26.93%), selanjutnya adalah jasa pemerintahan umum (14.62%), perdagangan besar dan eceran (11.65%), industri pengolahan non migas (10.94%), dan bangunan (8.36%) serta angkutan (7.28%). Sektor-sektor ini pun memiliki nilai tambah bruto lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.

Di sisi input, komponennya terdiri dari input antara (23.18%), import (7.76%) dan yang memberikan kontribusi paling besar adalah input primer atau nilai tambah bruto yakni sebesar Rp.2.61 trilyun (69.06%). Proporsi nilai tambah bruto ini terhadap total input di Kapet Bima sedikit lebih tinggi dari pada Propinsi NTB yakni 68.93 %.

Hasil analisis IO diketahui bahwa yang memiliki daya dorong paling tinggi adalah tanaman bahan makanan (sektor 1) yakni dengan nilai indeks 1.3422 sedangkan sektor yang memiliki daya tarik paling tinggi adalah industri pengolahan non migas (sektor 7) yakni dengan nilai indeks 1.3757 (Tabel 1). Sektor yang mempunyai daya tarik tinggi memberikan indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi terhadap sektor domestik lain. Sebaliknya sektor yang mempunyai daya dorong yang tinggi berarti sektor tersebut mempunyai keterkaitan ke depan yang kuat dibandingkan sektor yang lain.

Tabel 1. Indeks Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima

Kode Nama Sektor Daya Dorong

Daya Tarik

Total Keterkaitan

1 Tanaman Bahan Makanan 1.3422 0.9224 2.26462 Tanaman Perkebunan 0.9945 0.8493 1.8438 3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 0.9725 1.0316 2.00404 Kehutanan 0.8075 0.8186 1.6261 5 Perikanan 1.0240 0.9701 1.9941 6 Penggalian 0.8846 0.8783 1.7629 7 Industri Pengolahan Non Migas 1.2141 1.5195 2.7336 8 Listrik 0.9543 1.0002 1.9545 9 Air bersih 0.7991 0.9336 1.7327

10 Bangunan 0.9560 1.0908 2.0468 11 Perdagangan Besar dan Eceran 1.3366 0.8823 2.2188 12 Hotel dan Restoran 0.8917 1.3757 2.2674 13 Angkutan 1.1883 0.8799 2.0682 14 Pos dan Telekomunikasi 1.0171 0.8948 1.9119 15 Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank 1.0925 1.0321 2.124616 Sewa Bangunan dan Jasa Persh 0.9126 0.8591 1.7717 17 Jasa Pemerintahan Umum 0.7924 1.0538 1.8461 18 Jasa Swasta 0.8201 1.0079 1.8280

Sumber : Data Hasil Analisis Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks daya tarik >1, berarti daya

tarik sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Demikian juga jika nilai indeks daya dorong >1, berarti daya dorong sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Jika indeks daya tarik dan daya dorong sektor ini digabung maka akan didapat indeks keterkaitan antar sektor (total keterkaitan).

Tabel 1 menunjukkan bahwa sektor-sektor yang memiliki keterkaitan yang tinggi adalah tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya

(sektor 3), industri pengolahan non migas (sektor 7), bangunan (sektor 10), perdagangan besar dan eceran (sektor 11), hotel dan restotan (sektor 12), angkutan (sektor 13), bank dan lembaga keuangan non bank (sektor 15). Sektor-sektor ini memiliki tingkat keterkaitan lebih tinggi dari rata-rata sektor lainnya atau dengan total nilai indeks keterkaitan > 2.

Sektor Unggulan Adapun yang termasuk sektor unggulan dengan kriteria memiliki nilai LQ

dan indeks keterkaitan yang tinggi serta potensi pengembangan yang besar (Indeks Keunggulan Sektor > 3) adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3), kehutanan (sektor 4), perikanan (sektor 5), industri pengolahan non migas (sektor 7) serta perdagangan besar dan eceran (sektor 11). Gambaran keberadaan masing-masing sektor dalam kuadran-kuadran sektor unggulan dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.

SEKTOR UNGGULAN POTENSIAL

7

113

15

4

0.0000

0.5000

1.0000

1.5000

2.0000

2.5000

3.0000

0.0000 0.5000 1.0000 1.5000 2.0000 2.5000 3.0000

INDEKS KETERKAITAN

LQ-P

DR

B

Gambar 1. Diagram Kartesius Sektor Unggulan di Kapet Bima

Kuadran I, merupakan sektor-sektor basis namun memiliki tingkat

keterkaitan dengan sektor lain masih rendah. Adapun sektor yang masuk dalam kuadran I ini adalah : Kehutanan (sektor 4) dan perikanan (sektor 5). Keberadaan sektor kuadran I ini perlu ditingkatkan aktivitas/kegiatan yang dapat menciptakan keterkaitan yang tinggi dengan sektor lain, yakni dengan menciptakan aktivitas/kegiatan antara seperti industri pengolahan hasil serta kegiatan domestik lainnya sehingga dapat menggerakkan ekonomi wilayah secara umum.

Kuadran II, merupakan sektor-sektor basis dan memiliki tingkat keterkaitan dengan sektor lain relatif tinggi. Sektor kuadran II adalah : Tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3). Sektor kuadran II ini harus fokus digerakkan serta dengan meningkatkan keunggulan kompetitifnya, baik dengan pendekatan marketing dan teknologi maupun dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif.

Kuadran III, merupakan sektor-sektor non basis namun memiliki tingkat keterkaitan dengan sektor lain relatif tinggi. Sektor kuadran III ini adalah :

I II

IIIIV

Industri pengolahan non migas (sektor 7), serta perdagangan besar dan eceran (sektor 11). Sektor kuadran III ini perlu ditingkatkan jumlah usaha dan kelembagaan, serta nilai produktivitasnya dengan berbasis (keunggulan) produk spesifik lokal.

Interaksi Spasial Intra-Inter Regional

Penduduk melakukan perjalanan/berpergian untuk memenuhi berbagai keperluan/kebutuhan hidup dan usahanya. Tabel 2 menjelaskan bahwa persepsi orientasi perjalanan penduduk untuk memenuhi keperluan/kebutuhan primer adalah 14.53 % dalam desa, 36.79 % dalam kecamatan dan 42.26 % dalam kabupaten. Kebutuhan sekunder dipenuhi dari dalam desa 9.81 %, dalam kecamatan 28.93 % dan dalam kabupaten 51.02 %. Kebutuhan tersier berasal dari dalam desa 4.29 %, 25.71 % dalam kecamatan, 52.14 % dalam kabupaten. Secara umum berbagai keperluan/kebutuhan penduduk di Kapet Bima dapat dipenuhi dalam kabupaten/kota masing-masing (82.50 %).

Tabel 2. Persepsi Orientasi Perjalanan Penduduk di Kapet Bima (%) No. Kebutuhan Dlm Desa Dlm Kec. Dlm Kab. Luar Kab. Jmlh 1. Primer 14.53 36.79 42.26 6.42 100.00 2. Sekunder 9.81 28.93 51.02 10.23 100.00 3. Tersier 4.29 25.71 52.14 17.86 100.00 Rata-Rata 9.54 30.48 48.48 11.50 100.00Sumber : Hasil Analisis Data Primer

Data Tabel 2 ini menunjukkan kecenderungan adanya hubungan antara hirarki ketersediaan barang/jasa dengan hirarki tingkat perkembangan suatu wilayah di Kapet Bima, atau dengan kata lain, pengaruh ketersediaan barang/jasa yang dibutuhkan penduduk di suatu wilayah akan menentukan tingkat perkembangan wilayah tersebut.

Arus penumpang, barang dan kendaraan Inter Regional di Kapet Bima secara garis besar melalui tiga jaringan transportasi, yaitu darat, udara dan laut. Melalui jaringan transportasi darat, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Bali, Jatim, Jateng, Yogyakarta, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi udara, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Propinsi NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi laut, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Papua.

Komoditi Kapet Bima yang dikirim keluar daerah pada umumnya berupa hasil alam (komoditi pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan garam) sedangkan komoditi yang masuk ke Kapet Bima meliputi produk hasil industri seperti minyak goreng, tepung terigu, pakan ternak, kayu lapis, semen dan bahan bangunan lainnya, komiditi tersebut dominan berasal dari Surabaya dan Makasar.

Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut (Tabel 3) terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus penumpang dari Kapet Bima secara sigifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi wilayah (b = 0.82) daerah tujuan dan menurun seiring dengan makin jauh jarak antar wilayah (c = -2.68), sedangkan arus barang dari Kapet Bima secara signifikan menurun seiiring dengan peningkatan jumlah penduduk (b = -

0.50) dan PDRB wilayah tujuan (b = -0.31). Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah asal (b = 0.64) dan menurun seiring dengan makin jauhnya jarak wilayah tersebut dengan Kapet Bima (c = -2.31). sedangkan arus barang menuju Kapet Bima secara signifikan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Kapet Bima (b = 39.98) dan jarak antar wilayah (c = 93.74), namun menurun seiring peningkatan jumlah penduduk daerah asal (a = 66.15).

Tabel 3. Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Inter Regional

Jalur Transportasi Laut di Kapet Bima No. Model Grafitasi k A b c R Sq. I. Wil Asal (i) : Kapet Bima

1. T1ij = k. m1ia.m1j

b. dij-c -32.61 2.99 0.14 -0.51 0.03

2. T1ij = k. m2ia.m2j

b. dij-c -31.39 2.84 0.82** -2.68** 0.36**

3. T2ij = k. m1ia.m1j

b. dij-c -233.1 18.32 -0.50* -0.002 0.41*

4. T2ij = k. m2ia.m2j

b. dij-c -70.46 5.74 -0.31* -0.23 0.39*

II. Wil Tujuan (j) : Kapet Bima 1. T1ij = k. m1i

a.m1jb.dij

-c 38.27 0.26 -2.18 -0.89 0.08 2. T1ij = k. m2i

a.m2jb.dij

-c 8.74 0.64 0.16 -2.31** 0.29** 3. T2ij = k. m1i

a.m1jb.dij

-c -164.40* -66.15** 39.98** 93.74** 0.76* 4. T2ij = k. m2i

a.m2jb.dij

-c 37.54 6.58 -6.39 -6.97 0.58 Sumber : Hasil Analisis *) Signifikan pada taraf α = 0.10 **) Signifikan pada taraf α = 0.05 dimana : i = Wilayah asal j = Wilayah tujuan T1ij = Arus penumpang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (orang) T2ij = Arus barang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (ton) m1i = Jumlah penduduk wilayah asal (orang) m1j = Jumlah penduduk wilayah tujuan (orang) m2i = Total nilai PDRB wilayah asal (Juta Rupiah) m2j = Total nilai PDRB wilayah tujuan (Juta Rupiah) dij = Jarak antara wilayah asal dan tujuan (km) a,b,c = Koefisien peubah massa (m) wilayah asal, massa wilayah tujuan dan jarak.

Selain melakukan hubungan wilayah regional dan nasional, dalam kajian

sejarah Kapet Bima juga melakukan hubungan internasional khususnya dengan negara-negara Timur Tengah. Keberadaan Kapet Bima tersebut memiliki posisi strategis dalam hubungan intra-inter regional, serta memberikan dampak pada perkembangan sosial, ekonomi dan politik wilayah.

Peranan Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah

Pengelolaan Kapet Bima melibatkan berbagai pihak. Secara garis besar terdiri dari BP Kapet, Pemda Propinsi NTB, Pemda Kabupaten/Kota di Kapet Bima, Pemerintah Pusat, Swasta dan Lembaga Masyarakat. Berdasarkan tingkat pengaruh dan keterlibatan stakeholders terdapat empat kelompok stakeholders (Gambar 2) : (K1) yaitu lembaga masyarakat, pelaku dalam kuadran ini perlu dilakukan pemberdayaan dan dilibatkan dalam rangkaian proses pembangunan, (K2) yakni Pemkab dan swasta, pelaku dalam kuadran ini perlu dikoordinir dan disinergi potensi yang dimiliki secara lebih optimal, melalui kemitraan atau kerjasama antar daerah dan swasta, (K3) yakni Pemerintah Propinsi, pelaku dalam

kuadran ini perlu di dorong agar berperan lebih besar dengan menggunakan pengaruh dan atau kewenangan yang dimilikinya untuk pengembangan wilayah Kapet Bima dan (K4) yakni pemerintah pusat dan BP Kapet Bima, pelaku dalam kuadran ini perlu memiliki ketegasan fungsi tugasnya serta memiliki program kerja yang efektif bagi pengembangan wilayah Kapet Bima, baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang.

Tingkat Kepentingan dan Peran Stakeholders

Pem Pusat

BP Kapet

Lbg Masy

Swasta

PemKab

PemProv

0

1

2

3

4

5

6

7

0 1 2 3 4 5 6 7

Tingkat Kepentingan

Ting

kat P

eran

Gambar 2. Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan Stakeholders Dalam

Pengembangan Wilayah di Kapet Bima

Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan analisis Hirarki Proses (AHP) dan analisis SWOT, maka

secara garis besar, strategi pengembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, dengan prioritas sebagai berikut : (1) Keterpaduan Institusi/Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah

a. Membangun komitmen dan kerjasama antar pelaku serta melakukan reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima ke arah penyelenggaran pengembangan wilayah terpadu yang selaras dengan semangat otonomi daerah.

b. Peningkatan kapasitas lembaga dan usaha ekonomi kerakyatan (UKMK) serta pengembangan kualitas SDM dan penguasaan teknologi terapan.

(2) Keterpaduan Sektoral Dalam Pengembangan Wilayah a. Pengembangan sumber daya wilayah khususnya pada sektor unggulan

melalui peningkatan produktivitas dan daya saing serta keterkaitan antar sektor.

b. Perkuatan struktur perekonomian wilayah di Kapet Bima, melalui pengembangan industri yang terkait dengan aktivitas dan pemanfaatan sumber daya lokal.

(3) Keterpaduan Wilayah Dalam Pengembangan Wilayah a. Peningkatan hubungan intra dan inter regional di Kapet Bima melalui

pengembangan prasarana dan sarana komunikasi-informasi dan

I

IV III

II

Tingkat Pengaruh

Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan StakeholdersK e t e r l i b a t a n

transportasi sehingga terwujud mobilitas sumber daya dan kerja sama antar wilayah yang optimal dan berimbang.

b. Perencanaan pembangunan wilayah Kapet Bima yang akomodatif-partisipatif dan antisipatif dengan mempertimbangkan arah kebijakan nasional dan pengaruh global.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Kapet Bima memiliki berbagai potensi dan permasalah dalam

pengembangan wilayah. Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima memiliki struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor pertanian (primer) dan perdagangan. Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi tinggi terhadap struktur ekonomi Kota Bima adalah jasa-jasa dan perdagangan. namun kegiatan sektor sekunder seperti industri pengolahan di Kapet Bima masih cukup rendah.

Adapun yang termasuk sektor unggulan di Kapet Bima dengan kriteria nilai LQ dan keterkaitan antar sektor yang tinggi serta memiliki potensi pengembangan adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3), kehutanan (sektor 4), perikanan (sektor 5), industri pengolahan non migas (sektor 7) serta perdagangan besar dan eceran (sektor 11).

Arah dan besarnya pergerakan penduduk ditentukan oleh ketersediaan kebutuhannya di suatu wilayah, dan 82.50 % kebutuhan penduduk dapat dipenuhi dalam kabupaten/kota di Kapet Bima. Berdasarkan model grafitasi inter regional (melalui transportasi laut), arus penumpang dan barang dari Kapet Bima dipengaruhi oleh massa wilayah (pertumbuhan penduduk dan ekonomi) daerah tujuan dan jarak antar wilayah, sedangkan arus penumpang dan barang menuju Kapet Bima ditentukan oleh massa wilayah daerah asal dan Kapet Bima serta jarak antar wilayah..

Secara garis besar, strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, dengan prioritas sebagai berikut : (1) Keterpaduan Institusi/stakeholders khususnya antar Pemkab dengan koordinasi Pemprop NTB, (2) Keterpaduan sektoral serta fokus pada mengembangkan sektor unggulan dan (3) Keterpaduan wilayah baik intra maupun inter regional.

Saran Dalam pengembangan Wilayah Kapet Bima dibutuhkan suatu koordinasi

dan sinergi kebijakan-program yang memberikan dampak yang besar bagi total pertumbuhan wilayah. Untuk itu perlu diprioritaskan pengembangan sektor unggulan dengan meningkatkan produktivitas, membangun industri antara yang dapat meningkatkan keterkaitan antar sektor serta dengan meningkatkan daya saing sektor unggulan tersebut, yang didukung oleh pengembangan infrastruktur yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA BP Kapet Bima dan BPPT, 2000. Rencana Induk Kegiatan Kapet Bima. Mataram: BP Kapet Bima. BPS Jakarta, 2006. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi-Propinsi Di Indonesia Menurut

Lapangan Usaha 2001-2005. Jakarta. BPS NTB, 2004. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Tahun 2003. Mataram Haeruman H., et al., 2000. Kebijakan DP KTI Dalam Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.

Jakarta : Sekretariat Dewan Pengembangan KTI.

SEMINAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Nama : Enirawan Nomor Pokok : A155040091 Judul Penelitian : Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima Di Propinsi Nusa Tenggara Barat Komisi Pembimbing : 1. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS (Ketua) 2. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. (Anggota) Hari/Tanggal : Kamis, 12 Februari 2007 Waktu : 12.00-13.00 WIB Tempat : Auditorium Sosek Kampus IPB Darmaga Bogor

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Affendi. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. P4Wpress. Bogor.

Badan Pusat Satatistik, 2000. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output..

BPS. Jakarta. Badan Pusat Satatistik, 2000. Tekhnik Penyusunan Tabel Input-Output.. BPS.

Jakarta. BP Kapet Bima dan BPPT, 2000. Rencana Induk Kegiatan Kapet Bima. BP Kapet

Bima. Mataram. BPS Nusa Tenggara Barat, 2003. Propinsi Nusa Tenggara Barat Dalam Angka.

BPS Nusa Tenggara Barat. Mataram. Marimin, 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.

PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Pradhan, K. Pushkar. 2003. Manual for Urban Rural Linkage and Rural

Development Analysis. New Hira Books Enterprises. Kirtipur, Kathmandu.

Prastya, H.. 2000. Pengembangan Keterkaitan Antar Kawasan Pengembangan

Ekonomi Terpadu (Kapet) di Kawasan Timur Indonesia. Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta.

Rondinelli, A. Dennis. 1985. Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial

Dimensions of Development Policy. Westview Press / Boulder. London. Rustiadi Ernan, Saefulhakim Sunsun, Dyah R. Panuju, 2005. Perencanaan

Pengembangan Wilayah. Diktat Kuliah. Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.