Upload
hunter-capable
View
76
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH
KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA
DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
ENIRAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TAHUN 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Pengembangan Wilayah
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa
Tenggara Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2007
Enirawan
NIM : A155040091
ABSTRAK
ENIRAWAN, Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan SETIA HADI.
Pembangunan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima adalah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk itu dilakukan penelitian dengan tujuan : (1) mengidentifikasi potensi dan permasalahan dalam pengembangan wilayah, (2) mengkaji keterkaitan antar sektor dan mengetahui sektor unggulan wilayah, (3) mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional, dan (4) menyusun strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima. Penelitian ini menggunakan Analisis Deskriptif, Analisis IO, Analisis LQ, Model Grafitasi, AHP dan SWOT.
Kapet Bima memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat di atas pertumbuhan ekonomi propinsi, yang dapat menjadikan Kapet Bima sebagai prime mover bagi pertumbuhan wilayah sekitarnya. Hal ini didukung dengan pengembangan sektor tanaman bahan makanan dan industri pengolahan non migas sebagai sektor unggulan yang memiliki keterkaitan dan dampak yang tinggi terhadap pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Kapet Bima berinteraksi khususnya dengan kawasan pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia. Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut, menunjukkan bahwa dinamika sosial lebih tinggi dari pada dinamika ekonomi wilayah di Kapet Bima. Strategi umum yang digunakan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima adalah pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi, pengembangan sosial ekonomi perdesaan, pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan kering dan pesisir/kelautan, serta pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional.
. Kata Kunci : Kapet Bima, prime mover, keterkaitan, sektor unggulan, interaksi dan pengembangan wilayah
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, foto copi, mikrofilm, dan sebagainya
STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH
KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA
DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
ENIRAWAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada
Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
Judul Tesis : Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat
Nama : Enirawan
NIM : A155040091
Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan (PWD)
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 11 April 2007
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala karunia, kemudahan
dan petunjukNya sehingga tesis yang berjudul : “Studi Pengembangan Wilayah
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa
Tenggara Barat” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu
prasyarat dalam memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Ilmu-Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian
Bogor.
Dalam penyelesaian tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai
pihak. Untuk itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. H. Bambang Juanda, MS dan
Bapak Dr. Ir. H. Setia Hadi, MS selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing
serta Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku Penguji Luar Komisi atas
segala bimbingan, arahan dan motivasinya. Demikian juga kepada Ketua Program
Studi PWD Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D beserta staf pengajar yang
telah memberikan pendidikan baik ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai
kehidupan. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa PWD
atas segala bentuk solidaritas dan social capital yang telah dibangun selama ini,
serta semua pihak atas berbagai perannya dalam studi penulis.
Penulis dengan sepenuh cinta menyampaikan terima kasih kepada istriku
Ratna, S.Sos. dan anakda Aiyun Safira Alwana atas segala pengorbanan dan
kesabarannya dalam mendampingi penulis menjalani studi. Kepada Bapak Israil
Hasan dan Ibunda Ipa Mustari, Ayahanda Syanif Hemon dan Ibunda Mujnah, atas
doa dan perjuangannya membesarkan penulis, serta saudara-saudaraku dan
keluargaku, yang telah memberikan dukungan material maupun spiritual. Tidak
lupa pula ucapan terima kasih dan doa penulis sampaikan untuk almarhumah
Ibunda Kartini yang telah melahirkan dan memberikan kasih sayangnya, semoga
Ibunda tercinta mendapatkan tempat yang layak di sisi Yang maha Kuasa.
Akhirnya, Penulis dengan rendah hati mohon saran dan kritik dari
berbagai pihak untuk perbaikan tesis ini dan semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2007
Enirawan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Piong Sanggar Kabupaten Bima Propinsi Nusa
Tenggara Barat pada tanggal 2 Agustus 1977 dari Ayahanda Syanif Hemon, A.Ma
dan Ibunda Kartini (Almarhumah), yang selanjutnya diasuh oleh Ibunda Mujnah.
Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Menikah dengan
Ratna, S.Sos. pada tanggal 27 Juni 2004 dan diberi amanah seorang putri pada
tanggal 18 Agustus 2005 yang diberi nama Aiyun Safira Alwana.
Pendidikan sekolah dasar ditempuh Penulis pada SDN I Piong dan tamat
tahun 1988. Menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama pada SMPN
Sanggar pada tahun 1991. Pendidikan sekolah menengah atas pada SMAN I Bima
dan tamat tahun 1994. selanjutnya Penulis menempuh pendidikan sarjana (S1)
pada Program Studi Penyuluhan Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Mataram dan tamat Maret 1999.
Sejak kuliah, Penulis aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Pada tahun
1997 sebagai Sekretaris Umum Korps Sukarela (KSR-Unram), membentuk
Lembaga Pemantau dan Penanganan Krisis Ekonomi dan Kelaparan (LPPKEK)
sekaligus sebagai koordinator pada tahun 1997-1999. Aktif melakukan kajian dan
pendampingan perencanaan dan pembangunan desa bersama Lesa Demarkasi,
Solidaritas Untuk Demokrasi (SOLUD) serta pada Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Potensi Daerah (LP3D) sejak tahun 1999. Sebagai Petugas
Konsultan Lapangan (PKL) Departemen Koperasi tahun 1999-2001. Sebagai
Tenaga Profesional-Pegawai Otonomi Daerah Kabupaten Bima tahun 2001-2002.
Diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) mulai Oktober 2002 dan
ditempatkan pada Dinas Koperasi dan PKM Kabupaten Bima.
Pada Tahun 2004, Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program
Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)
Sekolah Pascasarjana (Magister Sains) Institut Pertanian Bogor, atas bantuan dan
beasiswa dari Pemerintah Kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat.
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR TABEL ..….…………………………………………………… DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… I. PENDAHULUAN ……...…………………………………………… 1 1.1. Latar Belakang ....……….…...……………………………… 1 1.2. Rumusan Masalah …......…….……………………………… 5 1.3. Tujuan Penelitian …..…………………...…………………… 8 1.4. Kegunaan Penelitian …....…………………………….……... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ..…… 9 2.1. Konsep Wilayah dan Kawasan …....………………………… 9 2.2. Disparitas Regional …....….………………………………… 11 2.3. Pengembangan Wilayah …...………...……………………… 13 2.4. Titik Pertumbuhan (Growth Point) dan Kutub Pertumbuhan
(Growth Pole) ………..........................……………………… 14
2.5. Interaksi dan Keterkaitan Wilayah ………………………….. 17 2.6. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu ………………... 19 2.7. Penelitian Terdahulu ………………………………………... 22 2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian ...…………………………... 26 III. METODE PENELITIAN …………………………………………. 31 3.1. Kerangka Pendekatan Studi ...….…………………………… 31 3.2. Penentuan Lokasi, Responden dan Waktu Penelitian ......…... 31 3.3. Metode Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data …….…. 32 3.3.1. Studi Literatur dan Data Sekunder ......……………….. 32 3.3.2. Wawancara ...…………………………………………. 32 3.4. Metode Analisis .……………………………………………. 32 3.4.1. Analisis Deskriptif Potensi Pengembangan
Wilayah ……………………………….……………… 33 3.4.2. Penyusunan dan Analisis Input-Output (IO) ..………. 34 3.4.3. Indeks Output Sektor (IOS) ..………. 38 3.4.4. Indeks Daya Tarik (IDT) dan Indeks Daya
Dorong (IDD) ..................................................………. 39 3.4.5. Analisis Location Quotien (LQ) .……………………. 40 3.4.6. Analisis Tingkat Keunggulan Sektor (TKS) .….…….. 41 3.4.7. Model Grafitasi ..……..………………………………. 42 3.4.8. Analisis Deskriptif Interaksi Spasial ….………….. 44 3.4.9. Analisis Deskriptif Kelembagaan ….…………………. 44 3.4.10. Analisis Hirarki Proses (AHP) ..…..………………… 44 3.4.11. Analisis SWOT …..………………………………… 48 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ...……………. 51 4.1. Gambaran Umum Wilayah Administrasi dan
Kependudukan ………………………………………………. 51
4.1.1. Batas Administrasi Wilayah Penelitian ...…………….. 51 4.1.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ……...…………….. 52 4.2. Gambaran Umum Perekonomian Wilayah .………………... 55 4.2.1. Struktur Perekonomian Wilayah .............…………….. 55 4.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah .............…………….. 58 4.3. Kondisi Fisik Wilayah ..…………………………….…….…. 61 4.3.1. Topografi .............................................……………….. 61 4.3.2. Iklim .............…………………………………………. 62 4.3.3. Hidrologi ......…………………………………………. 62 4.3.4. Geologi .........…………………………………………. 63 4.3.5. Tanah ............…………………………………………. 63 4.4. Pola Penggunaan Lahan ……………………………………. 63 4.5. Potensi Pengembangan Wilayah ……………………………. 64 4.5.1. Komoditi Pertanian …………..……….……………… 65 4.5.2. Pertambangan dan Galian …………….……………… 69 4.5.3. Panorama Alam dan Potensi Pariwisata ……………… 70 4.5.4. Sumber Daya Hayati ....……………….……………… 72 4.5.5. Sumber Daya Manusia, Sosial dan Budaya ..………… 73 4.5.6. Ketersediaan Infrastruktur dan Kelembagaan Usaha … 81 4.6. Permasalahan Pengembangan Wilayah .……………………. 95 V. HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................……………. 98 5.1. Keterkaitan Antar Sektor ……………………………………. 98 5.1.1. Struktur Input-Output (IO) …………….....………….. 98 5.1.2. Derajat Keterkaitan Antar Sektor ……....…………….. 103 5.2. Sektor Basis ..................................................………………... 106 5.3. Sektor Unggulan Potensial ...........................………………... 107 5.4. Interaksi Spasial Intra-Inter Regional ..…………….…….…. 113 5.4.1. Pola Hubungan Wilayah Intra-Inter Regional ……….. 113 5.4.2. Posisi Kapet Bima Dalam Hubungan Wilayah ............. 131 5.4.3. Model Interaksi Spasial ....……………………………. 133 5.4.4. Interaksi Spasial Dalam Tinjauan Sejarah .........….…. 136 5.5. Peranan Stakeholders Dalam Pengembangan wilayah ..……. 142 5.6. Strategi Pengembangan Wilayah ...…………………………. 149 5.6.1. Persepsi Stakekolders Dalam Pengembangan
Wilayah ..……………………..……….……………… 149 5.6.2. Lingkungan Strategis Dalam Pengembangan Wilayah.. 160 5.6.3. Analisis Strategi Pengembangan Wilayah .................... 166 5.6.4. Rumusan Strategi Pengembangan Wilayah ……..…… 168 VI. PENUTUP .....................................................................……………. 183 6.1. Kesimpulan ....................……………………………………. 183 6.2. Saran .............................................................………………... 186 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 191LAMPIRAN .................................................................................................. 195
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Matriks Pendekatan Studi …....……………………………………… 2 Kerangka Model Input-Output (IO) Kapet Bima ..………...……… 3 Matriks Nilai Perbandingan ….…………….………….……………. 4 Matriks Perbandingan Berpasangan …....…….……………………... 5 Matriks SWOT …....…….…………...……………………………… 6 Sebaran Kecamatan, Kelurahan dan Desa Per Kabupaten/Kota di
Kapet Bima …....…….………………………….…………………… 7 Luas Wilayah Kapet Bima …....…….………………………………. 8 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan
di Kabupaten Dompu .....…….……………………………………… 9 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di
Kabupaten Bima ….…....…….……………………………………… 10 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kota Bima .…… 11 Kontribusi Sektor-Sektor Terhadap PDRB KAPET Bima Atas
Harga Dasar Harga Konstan’93 Tahun 1996-2000 ………………… 12 PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan
Usaha Tahun 2003 Di Kapet Bima .………………………………… 13 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003 ..…………………………… 14 Laju Pertumbuhan PDRB KAPET Bima Atas Dasar Harga
Konstan’93 menurut Lapangan Usaha tahun 1996-2000 (persen) .… 15 Laju Pertumbuhan Rata-Rata PDRB Kapet Bima Pertahun Atas
Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2003 (Persen) …....…….………………………………………
16 Persentase Luas Lahan Berdasarkan Kemiringan di Wilayah KAPET Bima …….…....…….………………………………………
17 Luas Kapet Bima Berdasarkan Ketinggian Tempat Tiap Kabupaten (Satuan Ha) ……….…....…….………………………………………
18 Keadaan Iklim Di Wilayah Kapet Bima .....………………………… 19 Jenis Penggunaan Lahan Di Wilayah Kapet Bima .………………… 20 Komoditas Pertanian Dominan di Kapet Bima ….………………… 21 Komoditas Peternakan Dominan Di Kapet Bima ..………………… 22 Usaha Perikanan Dominan Di Kapet Bima ………………………… 23 Komoditi Perikanan Laut Dominan Di Kapet Bima …....……...…… 24 Potensi Bahan Galian Golongan B di Kapet Bima (Ton) …...……… 25 Potensi Bahan Galian Golongan C (m3) ..…………………………… 26 Sebaran Objek Wisata dan Panorama Alam di Kapet Bima ...……… 27 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kapet Bima …… 28 Persentase Penduduk Berumur 5-24 Tahun Menurut Partisipasi
Sekolah Di Kapet Bima ..........................................…....…….……… 29 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut
Pendidikan Tertinggi Yang Di Tamatkan Di Kapet Bima ………….. 30 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja
Menurut Lapangan Usaha Utama di Kapet Bima …………………...
31 Jumlah Sekolah Pada Berbagai Tingkat Pendidikan di Kapet Bima (Unit) .....…….………………………………………
32 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Sekolah di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) .…………………………………
33 Jumlah Tempat Peribadatan Di Kapet Bima (Unit) ...……………… 34 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Tempat
Peribadatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) ….………………… 35 Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kapet Bima ………………………… 36 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Fasilitas
Kesehatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) ……..……………… 37 Jumlah Sarana Perdagangan Di Kapet Bima ..……………………… 38 Perbandingan Jumlah Penduduk Terhadap Ketersediaan Sarana
Perdagangan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) …………………… 39 Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Dirinci
Menurut Kelompok Industri Di Kapet Bima ..……………………… 40 Beberapa Jenis Industri Dominan dan Nilai Produksi
Di Kapet Bima ………....…….……………………………………… 41 Keragaan Koperasi di Kapet Bima …....…..………………………… 42 Kapasitas Terpasang dan Jumlah Pelanggan Listrik
Di Kapet Bima ........…....…….……………………………………… 43 Kapasitas Air Bersih PDAM dan Jumlah Pelanggan
di Kapet Bima .........…....…….……………………………………… 44 Kapasitas Pelayanan Telekomunikasi di Kapet Bima …....…….…… 45 Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan Di Kapet Bima ...………… 46 Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan Di Kapet Bima ……………… 47 Sebaran Pelabuhan di Kapet Bima ..………………………………… 48 Komponen Penyusun Tabel Input Output Kapet Bima Tahun 2004 .. 49 Nilai Output dan IOS Masing-Masing Sektor di Kapet Bima
Tahun 2004 .......................................................................................... 50 Komponen Nilai Tambah Bruto Sektor Ekonomi di Kapet Bima
Tahun 2004 .............…....…….……………………………………… 51 Perbandingan Koefisien Teknis Komponen Input IO Kapet Bima
Tahun 2004, IO Jabodetabek Tahun 2002 dan IO Riau Tahun 2001 .. 52 Indeks Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima ....………………… 53 Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Location Quotient (LQ)
di Kapet Bima …….…....…….……………………………………… 54 Tingkat Keunggulan Masing-Masing Sektor di Kapet Bima ……..... 55 Persepsi Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk
Di Kapet Bima (%) …....…….……………………………………… 56 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Desa/Kelurahan
Dalam 1 (Satu) Kecamatan Di Kapet Bima ………………………… 57 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Kecamatan
Dalam 1 (Satu) Kabupaten Di Kapet Bima .....……………………… 58 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6)
Intra Regional Kapet Bima ......……………………………………… 59 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Kabupaten Lain
Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima ……………………………
60 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Kabupaten Lain Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima …………………………….
61 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Propinsi Lain Di Kapet Bima ........…....…….………………………………………
62 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Propinsi Lain Di Kapet Bima ................…….………………………………………
63 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Negara Lain Di Kapet Bima ........…....…….………………………………………
64 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKDP Di Kapet Bima ....…….………………………………………
65 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKAP Di Kapet Bima ....…….………………………………………
66 Lalu Lintas Pesawat dan Penumpang Di Bandara Udara Sultan Salahudin Kabupaten Bima ....………………………………………
67 Rata-Rata Jumlah Kapal Yang Berkunjung, Jumlah Penumpang dan Bongkar Muat Barang Tiap Tahun Di Berbagai Pelabuhan Laut Di Kapet Bima ………....…….………………………………………
68 Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima …………………
69 Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima ……...……
70 Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima ………………
71 Rata-Rata Jumlah Realisasi Komoditi yang Diantarpulaukan Tiap Tahun di Kapet Bima ....…….………………………………………
72 Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima …..……
73 Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Inter Regional Jalur Transportasi Laut di Kapet Bima ...........……………………………
74 Tingkat Pengaruh dan Peran Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah di Kapet Bima .…….………………………………………
75 Persepsi Stakeholders tentang Pendekatan Strategi Pengembangan Wilayah di Kapet Bima ……..………………………………………
76 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Sumber Daya Dalam Pengembangan Wilayah Di Kapet Bima ……………………………
77 Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan Analisis SWOT di Kapet Bima …… …....…….………………………………………
78 Rumusan Strategi Umum Pengembangan Wilayah di Kapet Bima …
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Diagram alir Kerangka Pemikiran Penelitian ..……………………… 2 Struktur AHP Strategi Pengembangan Wilayah Kapet Bima ............. 3 Salah Satu Bentuk Pakaian Tradisional di Kapet Bima ..…………… 4 Pelabuhan Laut Bima ..……………………………………………… 5 Keadaan Topografi Wilayah di Kapet Bima ……..………………… 6 Diagram Kartesius Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima ……… 7 Tingkat Keunggulan Sektor Berdasarkan Indeks Keunggulan Setiap
Indikator di Kapet Bima .........……………………………………… 8 Rerata Persentase Penduduk Pendatang Tiap Desa/Kelurahan
Berdasarkan Daerah Asal di Kapet Bima …………………………… 9 Rerata Persentase Penduduk Tiap Desa/Kelurahan Yang Pindah
Ke Daerah Lain Berdasarkan Daerah Tujuan Di Kapet Bima ……… 10 Arus Penumpang dan Barang Dominan Intra Regional
di Kapet Bima .……………………………………………………… 11 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Darat
Inter Regional Kapet Bima ......……………………………………… 12 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Udara
Inter Regional Kapet Bima ..………………………………………… 13 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Laut
Inter Regional Kapet Bima ......……………………………………… 14 Total Arus Penumpang dan Barang Inter Regional Kapet .………… 15 Tingkat Pengaruh dan Peran Stakeholders Dalam Pengembangan
Wilayah di Kapet Bima …..………………………………………… 16 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya
Institusi Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima ……………… 17 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya
Manusia Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima …………… 18 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya
Finansial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima .…………… 19 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya
Alam Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima ………………… 20 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya
Sosial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima …..…………… 21 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya
Infrastruktur Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima ….………
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Peta Wilayah Kapet Bima ...………………………………………… 2 Daftar Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet)
Indonesia …………………….....…………………………………… 3 Daftar Desa Sampel dan Responden Penelitian di Kapet Bima ......... 4 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar
Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……………………..………………………………………
5 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……………………………………………………………..
6 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……………………. ………………………………………
7 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) …………………………………………………………..…
8 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……
9 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ………………………..……………………………………
10 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……
11 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ………………………..……………………………………
12 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) ……
13 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) …………………………………..…………………………
14 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..…
15 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ……………….…………………………………
16 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..…
17 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………
18 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .......…………
19 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..……
20 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………..…
21 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..……
22 Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ….…
23 Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………
24 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ….…
25 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………
26 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …….
27 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………
28 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …...…………
29 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..……
30 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …...…………
31 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..……
32 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …...…………
33 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …..……
34 Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………
35 Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …….................…………………………………
36 Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………
37 Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …….................…………………………………
38 Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………
39 Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ………………………………………………………………
40 Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………
41 Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) …………….……………………………………
42 Daftar Sektor Ekonomi/Komponen Tabel Input-Output di Kapet Bima ..........................………………………………………
43 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen (Rp.000) …………….…………………
44 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Koefisien Input Domestik Atas Dasar Harga Produsen .…...…………………………
45 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Matriks Pengganda Domestik Atas Dasar Harga Produsen ………………………………
46 Interaksi Inter Regional dan Model Grafitasi di Kapet Bima Melalui Pelabuhan Laut Bima ………………………………………
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa
pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain
berupa kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan rakyat antara Kawasan
Indonesia Barat yang lebih maju bila dibandingkan dengan Kawasan Indonesia
Timur yang masih jauh terbelakang.
Data Badan Pusat Statistik (2006) menunjukkan bahwa PDB Indonesia
sebagian besar (59.28 %) disumbangkan oleh 6 (enam) propinsi di Pulau Jawa
dengan kontribusi paling besar adalah DKI Jakarta (16.46 %), Jawa Timur
(15.22 %), Jawa Barat (14.61 %) dan Jawa Tengah (8.84 %). Daerah di luar Jawa
yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap PDB Nasional adalah Kalimantan
Timur (6.60 %), Riau (5.24 %) Sumatera Utara (5.16 %), dan Sumatera Selatan
(3.08 %).
Pada tahun 1996, Nusa Tenggara Barat menyumbang hanya 0.78 % dari
total PDRB seluruh propinsi. Angka tersebut terus meningkat dan mencapai
1.20 % pada tahun 2000, namun kontribusinya mengalami penurunan yakni
0.97 % pada tahun 2005. Peningkatan PDRB Nusa Tenggara Barat pada tahun
2000 sebagian besar berasal dari sektor pertambangan, yaitu setelah beroperasinya
PT. Newmont Nusa Tenggara.
Perbedaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia antar
wilayah pada suatu negara menciptakan disparitas dan ketidakseimbangan antar
wilayah. Terdapat wilayah yang berkembang lebih cepat dibandingkan wilayah
lain maupun wilayah sekitarnya. Ketidakseimbangan antar wilayah yang terjadi
dapat menimbulkan persoalan yang berujung pada penurunan kualitas kehidupan
masyarakatnya.
Dalam suatu masyarakat, usaha mengurangi disparitas internal yang
merupakan pengejewantahan pembangunan wilayah merupakan issue yang lebih
besar dan penting dari pada meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
agregat. Disparitas internal mempunyai struktur yang multidimensi. Disparitas
2
dapat terjadi antar negara, antar wilayah dalam negara dan antar berbagai kelas
sosial (Haruo 2000).
Dalam perjalanan sejarahnya, Indonesia sebagai negara yang luas dan
kaya akan sumber daya alam maupun sumber daya manusia, menghadapi
disparitas wilayah dalam berbagai segi. Selain karena faktor endowment dari
masing-masing wilayah, disparitas juga terjadi sebagai akibat kebijakan dan
konsep wilayah yang dianut Pemerintah, yang merupakan cerminan dari
paradigma lama pembangunan di Indonesia (Kasikoen 2005).
Dari segi ekonomi, pembangunan wilayah dalam jangka panjang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Tambunan 2001).
Permasalahan yang dihadapi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
khususnya di perdesaan dapat dimasukkan ke dalam beberapa permasalahan
utama sebagai berikut : (1) masih kurang berkembangnya kehidupan masyarakat
perdesaan karena terbatasnya akses masyarakat perdesaan ke sumber daya
produktif, seperti lahan, permodalan, infrastruktur, dan teknologi serta akses
terhadap pelayanan publik dan pasar; (2) masih terbatasnya pelayanan prasarana
dan sarana permukiman perdesaan, seperti air minum, sanitasi, persampahan, dan
prasarana lingkungan lain; (3) masih terbatasnya kapasitas kelembagaan
pemerintahan di tingkat lokal dan kelembagaan sosial ekonomi untuk mendukung
peningkatan sumber daya pembangunan perdesaan; dan (4) masih kurangnya
keterkaitan antara kegiatan ekonomi perkotaan dan perdesaan yang
mengakibatkan makin meningkatnya kesenjangan ekonomi dan pelayanan
infrastruktur antar wilayah.
Pembangunan ekonomi daerah di era otonomi menghadapi berbagai
tantangan, baik internal maupun eksternal, seperti masalah kesenjangan dan iklim
globalisasi. Yang disebut belakangan ini menuntut tiap daerah untuk mampu
bersaing di dalam dan luar negeri. Kesenjangan dan globalisasi berimplikasi
kepada propinsi dan kabupaten/kota, untuk melaksanakan percepatan
pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan
dan produk unggulannya.
Percepatan pembangunan ini bertujuan agar daerah tidak tertinggal dalam
persaingan pasar bebas, seraya tetap memperhatikan masalah pengurangan
3
kesenjangan. Karena itu seluruh pelaku memiliki peran mengisi pembangunan
ekonomi daerah dan harus mampu bekerjasama melalui bentuk pengelolaan
keterkaitan antar sektor, antar program, antar pelaku, dan antar daerah
(Tim P4W-IPB 2002).
Kawasan andalan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah
suatu kawasan yang dikembangkan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah
melalui pengembangan kegiatan ekonomi yang diandalkan sebagai motor
penggerak pengembangan wilayah. Kawasan andalan diharapkan mampu menjadi
pusat dan pendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan di sekitarnya. Kawasan
andalan juga diharap mampu bersaing di dalam dan luar negeri (Tim P4W-IPB
2002).
Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur dalam rangka
mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat berbagai strategi
dan program telah dilakukan. Perhatian terhadap Kawasan Indonesia Timur secara
formal-politis dimulai saat frase ”Pembangunan Kawasan Timur Indonesia”
dicantumkan pada GBHN tahun 1993. Kemudian hal ini segera diikuti dengan
pembentukan Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Selanjutnya pada
tahun 1996, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia memperkenalkan
Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) sebagai model perencanaan
pembangunan di Kawasan Indonesia Timur.
Model ini mengadopsi konsep growth centers, yaitu menciptakan dan
mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan, berupa satu kawasan andalan prioritas
mewakili masing-masing propinsi. Kawasan ini didukung oleh kegiatan
sektor/komoditi unggulan, yang berupa potensi sumber daya lokal, yang
diharapkan menjadi prime mover pengembangan propinsi yang bersangkutan
(Prasetya dan Hadi 2000).
Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers (growth
pole) dibanyak negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan
tersebut adalah melupakan kekuatan industrial-linkages yang mestinya dibangun
jauh sebelumnya, baik dalam proses penambahan nilai, keterkaitan produk
(industrial tree), maupun keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi).
Dengan dipertanyakan keterkaitan ini, maka trickle down effect yang dijadikan
4
harapan saat diberlakukannya konsep growth centers ini menjadi menipis
(Kasikoen, 2005).
Menurut Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian
disempurnakan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya
diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150
Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet. Pengertian Kapet adalah
suatu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Memiliki potensi untuk cepat tumbuh, dan atau
b. Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan
ekonomi di wilayah sekitarnya
c. Memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten
Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima.
Secara geografis Kapet Bima memiliki pospek yang cukup besar baik
secara nasional, regional maupun internasional. Secara nasional ujung timur Kapet
Bima yaitu Pelabuhan Laut Sape merupakan daerah paling timur yang dapat
dilalui transportasi darat dari dan keseluruh Kawasan Indonesia Barat, sehingga
Pelabuhan Laut Sape dapat dijadikan sebagai pelabuhan bongkar muat barang dari
kawasan Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya serta wilayah perairan Indonesia
bagian barat atau sebaliknya. Posisi Kapet Bima lebih membuka peluang
memperpendek jalur arus barang/jasa lewat laut ke Australia dan kawasan Pasifik.
Hubungan udara melalui Bandara M. Salahuddin Bima sudah dapat
membuka hubungan dengan wilayah lain di Indonesia dan untuk hubungan
internasional yang terdekat adalah Bandara Udara Ngurah Rai Bali yang dapat
ditempuh dalam 1 jam penerbangan dari Bandar Udara Salahuddin Bima, sedang
lewat darat ditempuh dalam waktu 24 jam.
Di sisi lain, Kapet Bima termasuk dalam posisi jalan wisata segi tiga emas
yaitu di sebelah utara Tanah Toraja, sebelah Timur Pulau Komodo dan sebelah
barat Pulau Bali. Dalam hal ini Kapet Bima telah menunjukkan peranannya
sebagai jalan masuk wisatawan mancanegera ke Pulau Komodo, sehingga
5
memungkinkan pembangunan fasilitas akomodasi di wilayah Kapet Bima yang
memudahkan wisatawan mengunjungi Pulau Komodo, karena di Pulau Komodo
sendiri tidak boleh dibangun fasilitas akomodasi.
Pertumbuhan perekonomian kawasan secara umum terus mengalami
peningkatan, hal ini dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
yang diperoleh setiap tahun. Pada tahun 2000, PDRB Kabupaten Dompu adalah
sebesar Rp.607,014.51 juta, Kabupaten Bima dan Kota Bima adalah
Rp.1,245,933.76 juta, sedangkan pada Tahun 2003 PDRB Kabupaten Dompu
sebesar Rp.869,791.79 juta, Kabupaten Bima dan Kota Bima adalah
Rp.1,742,626.69 juta, sehingga rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kapet Bima
Tahun 2000-2003 adalah 4.45 % pertahun untuk Kapet Bima (Badan Pusat
Statistik Nusa Tenggara Barat 2004).
Posisi perekonomian Kapet Bima yang ditunjukkan nilai PDRB per kapita
maupun pertumbuhan ekonominya berada di atas Propinsi Nusa Tenggara Barat
(3.64 %), namun sebaran kontribusi tiap sektor belum merata, ini ditunjukkan
dengan masih dominannya sektor pertanian terhadap PDRB Kapet Bima yakni
sebesar 46.31 % (Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat 2004).
Pertumbuhan ekonomi wilayah jika mengarah pada kecenderungan
konsentrasi pembangunan yang berpusat pada satu atau beberapa daerah utama
saja maka akan melahirkan disparitas wilayah berupa tingkat pendapatan, standar
hidup (standards of living), fasilitas pelayanan, pertumbuhan penduduk,
perkembangan ekonomi, serta dapat menciptakan keterbelakangan dan
kemiskinan di perdesaan yang secara jangka panjang akan menyebabkan terjadi
kemandekan pertumbuhan ekonomi wilayah.
1.2. Rumusan Masalah
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) merupakan kawasan
andalan pusat pertumbuhan ekonomi di Wilayah Indonesia Timur khususnya di
Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam upaya pemerataan pembangunan dan hasil-
hasilnya, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penggerak pembangunan di
wilayah sekitarnya.
6
Dalam era Otonomi Daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan
instansi Pemerintah Daerah yang terkait, pihak swasta dan masyarakat mulai dari
proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, pengendalian dan
pelaporan kegiatan yang operasionalnya disesuaikan dengan fungsi dan batas
kewenangan masing-masing pihak.
Perubahan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, menjadi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2003 telah mempengaruhi dinamika demokrasi, sosial politik dan
ekonomi daerah termasuk didalamnya perubahan struktur kelembagaan pengelola
Kapet Bima (yang meliputi Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat,
Pemerintah Kabupaten Dompu, Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemerintah
Kota Bima serta Badan Pengelola Kapet Bima), hal ini membawa implikasi pada
interaksi institusi dan kebijakan pembangunan kawasan.
Pertumbuhan perekonomian kawasan secara umum terus mengalami
peningkatan dengan rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kapet Bima tahun 2000-
2003 adalah 4.45 % pertahun, namun sebaran kontribusi tiap sektor belum merata,
ini ditunjukkan dengan masih dominannya sektor pertanian terhadap PDRB Kapet
Bima sedangkan di sisi lain perkembangan investasi semakin menurun.
Pengembangan berbagai sektor ekonomi di Kapet Bima masih diusahakan secara
lokal, tradisional dan belum optimal, belum berkembangnya industri pengolahan
sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku) serta
tidak didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata.
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak selalu diikuti berkurangnya
berbagai kesenjangan wilayah. sehingga disparitas wilayah berupa tingkat
pendapatan, standar hidup (standards of living), fasilitas pelayanan, pertumbuhan
penduduk, perkembangan/pertumbuhan ekonomi, dan lainnya akan melahirkan
keterbelakangan dan kemiskinan di perdesaan serta secara jangka panjang akan
terjadi kemandekan pertumbuhan ekonomi.
Hasil studi Tim P4W-IPB (2002) menyatakan bahwa kesenjangan
antarwilayah tersebut umumnya disebabkan kurang adanya kesesuaian antara
program-program pengembangan kawasan yang dilaksanakan oleh sektor-sektor
7
dengan karakteristik wilayah. Selain itu, program-program pengembangan
kawasan yang dilaksanakan dalam suatu wilayah kurang berorientasi pada sisi
permintaan atau pasar dan kurang memperhatikan keterkaitan antara
pengembangan wilayah dengan aspek institusi, dalam mendorong peningkatan
pembangunan ekonomi daerah.
Untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah diperlukan peningkatan
efektivitas program-program pengembangan kawasan yang didasarkan atas
kesesuaian tipologi atau karakteristik wilayah. Selain itu, program-program
pengembangan kawasan dalam mengantisipasi tantangan ke depan, diharapkan
untuk memperhatikan keterkaitan antar daerah, keterkaitan antar institusi,
sinergisme antar program dan kerjasama, ditunjang dengan kelengkapan sistem
informasi dan instrumen program yang tepat.
Muara dari berbagai hal di atas, terletak pada pilihan strategi kebijakan di
dalam melakukan intervensi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Sehingga pertanyaan kunci dari hal ini adalah bentuk-bentuk kebijakan seperti apa
yang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan dan perbaikan keterkaitan antar
wilayah serta dalam upaya pencapaian pertumbuhan yang berimbang.
Kebijakan yang tepat hanya dapat dirumuskan secara efektif jika dilandasi
dengan pemahaman struktur hubungan (keterkaitan dan sistim aliran sumberdaya
dan komoditi) melalui penentuan pola hubungan antar wilayah dan sebaran sektor
unggulan sebagai prime mover yang didukung oleh ketersediaan sarana dan
prasarana serta kelembagaan yang efektif.
Untuk itu perlu diketahui dan dianalisis :
1. Apakah yang menjadi potensi dan permasalahan dalam pengembangan
wilayah Kapet Bima?
2. Bagaimana keterkaitan antar sektor dan apakah yang menjadi sektor
unggulan wilayah Kapet Bima?
3. Bagaimana pola hubungan spasial intra-inter regional di Kapet Bima?
4. Bagaimana strategi pengembangan wilayah Kapet Bima?
8
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Mengidentifikasi potensi dan permasalahan dalam pengembangan wilayah
Kapet Bima.
2. Mengkaji keterkaitan antar sektor dan untuk mengetahui sektor unggulan
wilayah Kapet Bima.
3. Mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional di Kapet Bima.
4. Menyusun strategi pengembangan wilayah Kapet Bima.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
pengembangan kawasan dalam berbagai dimensi kajian spasial. Selain itu,
diharapkan pula hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pembuat
kebijakan di pusat dan daerah dalam menentukan strategi pengembangan wilayah
dan pola hubungan kerjasama daerah di Kabupaten Bima, Kota Bima dan
Kabupaten Dompu (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Bima) Propinsi
Nusa Tenggara Barat.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN
KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN
2.1. Konsep Wilayah dan Kawasan
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administrasi dan atau aspek fungsional (Undang-Undang Nomor 24 tahun
1992). Sedangkan menurut Glasson (diacu dalam Kasikoen 2005) wilayah
merupakan area kontinue yang terletak antara tingkat lokal dan tingkat nasional.
Dinyatakan pula, pendefinisian wilayah itu sendiri bergantung pada tujuan
analisis atau tujuan perumusan kebijakan pembangunan wilayah yang akan
disusun.
Rustiadi et al. (2005) mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis
dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut
(subwilayah) satu sama lain berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut,
terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan
yang ada lebih bersifat “meaningful” untuk perencanaan, pelaksanaan,
monitoring, pengendalian maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah
tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-
ubah).
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey 1977 dalam
Rustiadi et al. 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep
wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu : (1) wilayah homogen (uniform/
homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah
perencanaan (planning region atau programming region).
Konsep homogenitas, menetapkan wilayah berdasarkan beberapa
persamaan unsur, baik aspek fisik, sosial maupun ekonomi (Anwar 2005). Pada
dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum
terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artificial. Faktor alamiah yang dapat
menyebabkan homogenitas wilayah adalah kemampuan lahan, iklim dan berbagai
faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artificial adalah
homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu
10
yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artificial adalah wilayah
homogen atas dasar kemiskinan yang antara lain dalam bentuk peta kemiskinan
(Rustiadi et al. 2005).
Konsep nodal menetapkan wilayah berdasarkan perbedaan struktur tata
ruang, dimana terdapat sifat ketergantungan secara fungsional, misal antara
wilayah pusat (inti) yang biasanya kawasan perkotaan dengan wilayah belakang
yang biasanya kawasan perdesaan. Hubungan secara fungsional ini bisa berupa :
arus mobilitas penduduk, barang dan jasa, maupun komunikasi dan transportasi.
Dalam satu unit wilayah bisa terdapat struktur tata ruang yang bertingkat (hirarki),
hirarki tertinggi (orde satu) berupa kota metropolitan, kemudian kota besar, kota
kecil sampai perdesaan dengan tingkat orde yang lebih rendah (Anwar 2005).
Konsep ketiga adalah batas wilayah administrasi seperti propinsi,
kabupaten atau kecamatan. Perencanaan pembangunan wilayah yang banyak
dilakukan adalah berdasar batas wilayah administratif, walaupun berdasar batas
fungsional seperti konsep nodal, sering kali menemui hambatan karena
pertimbangan-pertimbangan politis. Untuk itu bentuk perencanaan pembangunan
wilayah yang seimbang baik antar maupun intra wilayah, sangat mendukung
keberhasilan pembangunan wilayah yang berdimensi ruang (Anwar 2005).
Di Indonesia, berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti
“wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”, “area”, “ruang” dan istilah-istilah
sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya
walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-
beda. Secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah,
kawasan dan daerah, semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah
(region).
Penggunaan istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya
penekanan fungsional suatu unit wilayah. Dalam Undang-Undang Nomor 24
tahun 1992 tentang Penataan Ruang, pengertian “kawasan” adalah wilayah
dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Karena itu definisi konsep kawasan
adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-
komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek fungsional.
11
2.2. Disparitas Regional
Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan
selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan
dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan
yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusat-
pusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan
terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-
wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive
backwash effect) (Anwar 2001). Secara makro dapat kita lihat terjadinya
ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara wilayah desa-kota,
antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non
Jawa dan sebagainya.
Menurut Murty (2000), secara terperinci terdapat beberapa faktor utama
yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah baik yang bersifat alamiah
atau fisik maupun struktural akibat dari faktor-faktor utama ini antara lain
mencakup : (1) geografis; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah;
(5) administrasi; (6) sosial; dan (7) ekonomi.
Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang
dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan.
Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya
kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula
hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling
memperlemah (Rustiadi 2001).
Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumber
daya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga
menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa. Fenomena urbanisasi
yang mampu memperlemah perkembangan kota ini dapat dilihat di kota-kota
besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerah kumuh (slum area), tingginya
tingkat polusi, terjadinya kemacetan dan sebagainya. Perkembangan perkotaan
pada akhirnya sarat dengan permasalahan-permasalah sosial, lingkungan dan
ekonomi yang makin kompleks dan rumit untuk diatasi (Rustiadi 2001).
12
Di Indonesia, wujud disparitas juga dalam bentuk urban bias dan pro
Jawa. Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), kebijakan yang urban bias
dimaksudkan sebagai kebijakan yang lebih menguntungkan kawasan perkotaan
dan memperlemah posisi bargaining wilayah perdesaan. Di dalam alokasi
sumber daya, bias ini tercermin dalam kepincangan pembangunan antara wilayah
perdesaan dan wilayah perkotaan, yang mana secara ekonomi keseluruhan
menjadi tidak efisien.
Pembuktian adanya pro urban dan pro Java di Indonesia di antaranya
dilakukan oleh Garcia (2000) dengan menggambarkan kebijakan pemerintah pada
masa orde baru berdasarkan data tahun 1993 dan 1995. Dinyatakan bahwa pada
masa orde baru, intervensi pemerintah ditunjukkan dengan memproteksi industri
10 (sepuluh) kali lebih banyak dibanding proteksi pertanian dan kehutanan, dan
telah menetapkan pajak terhadap minyak, gas dan sektor pertambangan.
Pulau Jawa mempunyai ratio tenaga kerja terhadap luas lahan yang besar
dan memproduksi sebagian besar output dari sektor industri di Indonesia, sedang
pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur, rasio tenaga
kerja terhadap luas lahan relatif kecil, tetapi mempunyai sumber daya alam besar
dan memproduksi output terbesar dari sektor sumber daya alam. la menyimpulkan
bahwa pemerintah orde baru lebih berpihak pada penduduk perkotaan daripada
penduduk perdesaan, dan pada kegiatan industri daripada sektor-sektor primer,
dan pada Pulau Jawa daripada Bali, Sumatera dan Indonesia Timur
Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), masalah kemiskinan adalah ciri dan
pemandangan yang umum sebagian besar penduduk perdesaan. Sedang menurut
Lipton (1977) secara umum terjadi misalokasi sumberdaya antara perkotaan dan
perdesaan (urban bias). Lipton bahkan menggambarkan adanya kesepakatan
umum di antara para pengambil kebijakan bahwa pembangunan berarti
pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, investasi
dipusatkan untuk industri yang dianggap lebih menguntungkan dan mengabaikan
fakta bahwa mayoritas penduduk berada di perdesaan.
13
Terdapat tiga karakteristik penting dari kebijakan yang bias
perkotaan/urban bias, yaitu :
- menitikberatkan pada pasar dan pertumbuhan ekonomi
- memprioritaskan industri lebih besar daripada pertanian
- alokasi sumberdaya lebih besar ke masyarakat kota daripada ke desa
Dari hasil penelitian dan pernyataan di atas, terlihat bahwa kebijakan yang
bias perkotaan tersebut lebih menekankan pada kegiatan perekonomian di wilayah
perkotaan. Kurangnya kegiatan perekonomian di wilayah perdesaan mengurangi
sumber pendapatan penduduk perdesaan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya penduduk desa akan menuju wilayah perkotaan, terjadi keterkaitan
perkotaan - perdesaan.
Melihat kondisi yang demikian dan dampak negatifnya terhadap
perkembangan wilayah perdesaan dan perkotaan serta pertumbuhan perekonomian
nasional secara agregat, maka dirasa perlu untuk mengurangi disparitas antar
wilayah dengan mulai berupaya untuk meningkatkan pembangunan wilayah
perdesaan agar tercapai pembangunan wilayah yang berimbang.
Menurut Murty (2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan
sebuah pertumbuhan yang merata dari berbagai wilayah yang berbeda untuk
meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak
selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama
atau mempunyai tingkat industri yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang
sama atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama, akan tetapi yang lebih
penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang
dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian
diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan
hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah
yang terlibat.
2.3. Pengembangan Wilayah
Dalam banyak hal, istilah pembangunan dan pengembangan banyak
digunakan dalam hal yang sama, yang dalam Bahasa Inggrisnya adalah
development, sehingga untuk berbagai hal, istilah pembangunan dan
14
pengembangan wilayah dapat saling dipertukarkan, namun berbagai kalangan di
Indonesia cenderung untuk menggunakan secara khusus istilah pengembangan
wilayah/kawasan dibandingkan pembangunan wilayah/kawasan untuk istilah
regional development. Secara umum istilah pengembangan dianggap mengandung
konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan lokalitas (Rustiadi et al.
2005).
Pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas.
Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak
dari nol, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan
melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya
ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat
pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki
kapasitas (bukannya tidak memiliki sama sekali) namun perlu ditingkatkan
kapasitasnya (Rustiadi et al. 2005).
Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya
yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga
yang paling humanistik. Dengan perkataan lain proses pengembangan merupakan
proses memanusiakan manusia. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan
yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi
(effeciency), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) dalam
memberi panduan kepada alokasi sumber daya (semua kapital yang berkaitan
dengan natural, human, man-made maupun social) baik pada tingkatan nasional,
regional maupun lokal, yang sering memerlukan sumber daya dari luar, seperti
barang-barang modal untuk diinvestasikan guna mengembangkan infrastruktur
ekonomi, sosial dan lingkungan (Anwar 2005).
2.4. Titik Pertumbuhan (Growth Point) dan Kutub Pertumbuhan
(Growth Pole)
Konsep titik pertumbuhan (growth point concept) berawal dari adanya
pemikiran keuntungan-keuntungan aglomerasi, yaitu konsentrasi produksi
yang lebih efisien daripada terpencar-pencar.
15
Pemikiran terjadinya titik pertumbuhan adalah karena kegiatan ekonomi
cenderung beraglomerasi di sekitar sejumlah titik fokus. Dalam suatu wilayah,
arus polarisasi akan bergravitasi ke arah titik-titik fokus tersebut, yang dapat
merupakan pusat kontrol atau pusat dominan dalam wilayah tersebut. Dari arus
pergerakan akan dapat ditentukan garis perbatasan penurunan arus sampai pada
titik minimum. Pusat tersebut dinamakan titik pertumbuhan, sedangkan di
dalam garis perbatasan adalah wilayah pengaruhnya atau wilayah pertumbuhan.
(Adisasmita 2005)
Berdasarkan penjelasan di atas, titik pertumbuhan tersebut dapat
merupakan suatu kota (kota kecil atau menengah), sedang wilayah
pengaruhnya adalah perdesaan di sekitarnya. Kepadatan arus menunjukkan
adanya keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan di sekitarnya.
Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal
dari karya ahli-ahli teori ekonomi wilayah, dan yang paling menonjol adalah
Francois Perroux. la telah mengembangkan konsep kutub pertumbuhan
(growth pole) pada tahun 1955 (dikenal sebagai pole de croissance) dan
menunjukkan bahwa pembangunan ditimbulkan oleh suatu konsentrasi
(aglomerasi) tertentu bagi kegiatan ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak
(Miyoshi 1997). Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan
spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri, adalah bahwa
pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara
serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub
perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah, perkembangan itu
menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka-ragam dan dengan efek
yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Glasson 1976,
diacu dalam Kasikoen, 2005).
Sementara berbagai perhatian diberikan oleh akademisi terhadap
konsep growth pole tersebut, praktisi menerapkan konsep ini menjadi suatu
strategi growth pole dan secara bersemangat dipertimbangkan dan diterapkan
pada negara-negara maju dan negara sedang berkembang di tahun 1960an
(Miyoshi, 1997), seperti dinyatakan oleh Friedmann (1966) : “pola
pembangunan wilayah di USA seyogyanya diterapkan di semua negara sedang
16
berkembang". Kesimpulan ini diperoleh dari suatu sintesa beberapa studi
empiris mengenai pembangunan wilayah di USA, seperti juga dikatakan oleh
Schultz (1951), North (1955) dan Perloff (1960) dan Miyoshi (1997). Schultz
(1951) menetapkan "hipotesa tentang kelambatan" dimana pembangunan
ekonomi akan terjadi pada pusat pertumbuhan industri-kota (industrial-urban
growth centers) dengan kegiatan manufacturing dan ini membutuhkan
penyerapan kegiatan pertanian di periphery-nya.
Dari pernyataan tersebut jelaslah konsep growth pole telah diikuti oleh
berbagai negara, utamanya negara sedang berkembang sebagai strategi
pembangunannya. Sebagai suatu negara yang sedang berkembang, dan
perencanaan pembangunan negaranya berkiblat pada Negara Amerika Serikat,
maka Indonesia juga menganut strategi growth pole dalam melaksanakan
kebijakan tata ruangnya.
Meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi bukti yang menunjukkan
Indonesia menganut konsep kutub pertumbuhan (growth pole) dapat dilihat dari
banyaknya kota-kota primat di Indonesia yang mendasari terwujudnya konsep
kutub pertumbuhan dalam ruang. Kota-kota primat tersebut antara lain Jakarta,
Surabaya, Medan, dan lain lain. (Desmond 1971, Yeung & Lo 1976, Mills 1994,
Gilbert & Gugler 1996, Henderson dan Kuncoro 1996, diacu dalam Kasikoen
2005).
Strategi growth pole pada akhirnya membawa dampak terjadinya
disparitas wilayah dan kemiskinan di perdesaan. Hal ini sejalan pernyataan Anwar
(2001) bahwa pembangunan ekonomi dalam kurun waktu 20 tahun ke belakang,
telah mendahulukan pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan spatial
(keruangan) yang dilakukan dalam konsep kutub pertumbuhan (growth pole).
Konsep ini semula diramalkan akan terjadi penetesan (trickle down effect) dari
kutub-kutub pertumbuhan tersebut ke daerah belakangnya (hinterland), tetapi
kerangka berfikir tersebut ternyata menimbulkan net-effect yang mengarah
kepada pengurasan besar-besaran (massive backwash effect) dari wilayah
belakang perdesaan ke pusat pertumbuhan di kota-kota besar.
17
2.5. Interaksi dan Keterkaitan Wilayah
Setiap bagian wilayah mempunyai faktor endowment yang khas dalam
bentuk sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Untuk memenuhi
kebutuhan hidup penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhinya
dari wilayah lain, oleh karena itu penduduk harus melakukan perjalanan ke
wilayah lain sehingga membentuk hubungan antar wilayah. Hubungan atau
kontak ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan
(demand) dan penawaran (supply).
Hubungan antar wilayah dapat disebut sebagai keterkaitan (linkages)
antar wilayah. Kontak atau hubungan antar wilayah tersebut dapat juga
diartikan sebagai interaksi. Secara harfiah interaksi dapat diartikan sebagai hal
yang saling mempengaruhi. Proses-proses interaksi dibentuk oleh keterkaitan-
keterkaitan (linkages) di antara permukiman. Itu berarti penduduk yang tinggal di
wilayah perdesaan dan kampung-kampung kecil memperoleh akses ke pelayanan,
fasilitas, infrastruktur dan kegiatan ekonomi yang berlokasi di kota-kota kecil dan
kota-kota besar. Melalui keterkaitan-keterkaitan ini penduduk desa menerima
banyak input yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan
pasar barang yang mereka produksi (Rondinelli 1985).
Berpijak adanya pemenuhan kebutuhan hidup dan disparitas wilayah
seperti yang tergambar di atas, maka akan terjadi hubungan timbal balik
antar wilayah yang dapat disebut keterkaitan antar wilayah. Wilayah itu
sendiri dapat merupakan wilayah perkotaan maupun wilayah perdesaan.
Keterkaitan antar wilayah sebagai akibat ketimpangan dan
kemiskinan. la juga menjelaskan terdapat tiga hubungan dualistik dalam
keterkaitan antar wilayah, yaitu (Fu 1981, diacu dalam Kasikoen 2005):
(1) Utara-selatan, menggambarkan keterkaitan antar wilayah dalam suatu
negara yang menggambarkan dua kutub
(2) Perkotaan-perdesaan, menggambarkan keterkaitan intra wilayah
(3) Formal-informal, menggambarkan keterkaitan antar wilayah yang
menekankan pada kegiatannya
18
Ketiga hubungan dualistik tersebut dihubungkan dan diintegrasikan
dalam suatu tingkah laku yang kompleks, yang berbeda antara satu negara
dengan negara lain yang bergantung pada empat faktor dominan dan
sejarah masing-masing negara. Keempat faktor dominan tersebut adalah :
(1) resource endowment : pertanian, mineral dan sumber daya alam
lainnya;
(2) karakteristik demografi : kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan
dan tingkat urbanisasi
(3) teknologi : tipe-tipe teknologi yang diadopsi dan pembangunan modal
sumberdaya manusia; dan
(4) development ideology: ideologi dalam pembangunan negaranya.
Keterkaitan antar wilayah tidak dapat terjalin bila tidak didukung
prasarana dan sarana penghubung antar kedua wilayah yang saling
berinteraksi. Dukungan tersebut dapat merupakan prasarana dan sarana
transportasi, dapat pula dalam bentuk lain. Oleh karena itu keterkaitan
(linkages) antar wilayah adalah bentukan dari proses interaksi antar wilayah
yang diakibatkan adanya hubungan supply-demand, yang didukung oleh
kemudahan perhubungan antara keduanya, serta dapat menguntungkan,
merugikan maupun saling mendukung salah satu maupun kedua wilayah yang
berinteraksi tersebut.
Menurut Pradhan (2003) keterkaitan perkotaan-perdesaan meliputi tiga
elemen penting, yaitu wilayah perkotaan, wilayah perdesaan dan hubungan
keterkaitan tersebut. Wilayah perdesaan merupakan tempat dihasilkannya
bahan mentah, produksi pertanian, kerajinan tangan, tenaga kerja dan modal,
sedang wilayah perkotaan merupakan tempat produksi barang, pelayanan,
teknologi, ide-ide dan tersedianya pekerjaan. Untuk menghubungkan wilayah
perkotaan dan perdesaan tersedia jaringan jalan dan transportasi serta sistem
kelembagaan.
Dari gambaran keterkaitan antar wilayah dalam pembangunan spasial
yang diberikan oleh Rondinelli maupun Pradhan yang terdiri atas berbagai jenis,
pada dasarnya keterkaitan antar wilayah dapat dikelompokkan dalam 4 (empat)
jenis keterkaitan, yaitu keterkaitan fisik, ekonomi, sosial dan kelembagaan serta
19
teknologi. Keterkaitan fisik, merupakan gambaran hubungan fisik antar wilayah
perkotaan-perdesaan. Keterkaitan ekonomi memberi gambaran hubungan
ekonomi, sedang keterkaitan sosial dan kelembagaan memberikan gambaran
hubungan sosial dan kelembagan antar wilayah perkotaan-perdesaan.
Keterkaitan teknologi memberi gambaran hubungan teknologi antar wilayah
perkotaan-perdesaan.
2.6. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur dalam rangka
mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat, pemerintah telah
memberikan perhatian terhadap Kawasan Indonesia Timur yang secara formal-
politis dimulai saat frase ”pembangunan Kawasan Indonesia Timur” dicantumkan
pada GBHN Tahun 1993. Kemudian hal ini segera diikuti dengan pembentukan
Dewan Pengembangan KTI. Pada Tahun 1996, Kapet (kawasan pengembangan
ekonomi terpadu) diperkenalkan menjadi model perencanaan pembangunan di
Kawasan Indonesia Timur oleh dewan tersebut .
Model ini mengadopsi konsep growth centers (growth pole), yaitu
menciptakan dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan, berupa satu kawasan
andalan prioritas mewakili masing-masing propinsi. Kawasan ini didukung oleh
kegiatan sektor/komoditi unggulan, yang berupa potensi sumber daya lokal, yang
diharapkan menjadi prime mover pengembangan propinsi yang bersangkutan
(Prasetya dan Hadi 2000).
Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers dibanyak
negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan tersebut adalah
melupakan kekuatan industrial-linkages yang mestinya dibangun jauh-jauh hari,
baik dalam proses penambahan nilai, keterkaitan produk (industrial tree), maupun
keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi). Termasuk dalam kelemahan
linkages ini adalah ketiadaan konsep operasional yang kongkrit bagaimana
masyarakat bawah dilibatkan dan diangkat kehidupannya dalam pengembangan
Kapet yang sebagian besar berbasis agroindustri dan agribisnis tersebut. Dengan
dipertanyakan keterkaitan ini, maka trickle down effect yang dijadikan harapan
20
saat diberlakukannya konsep growth centers ini menjadi menipis (Kasikoen
2005).
Menurut Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian
disempurnakan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya
diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150
Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet. Pengertian Kapet adalah
suatu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Memiliki potensi untuk cepat tumbuh, dan atau
b. Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan
ekonomi di wilayah sekitarnya
c. Memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten
Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima.
Secara geografis Kapet Bima memiliki pospek yang cukup besar baik
nasional, regional maupun internasional. Secara nasional ujung timur Kapet Bima
yaitu Pelabuhan Laut Sape merupakan daerah paling timur yang dapat dilalui
transportasi darat dari dan keseluruhan Kawasan Indonesia Barat, sehingga
Pelabuhan Laut Sape dapat dijadikan sebagai pelabuhan bongkar muat barang dari
kawasan Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya serta wilayah perairan Indonesia
bagian barat atau sebaliknya. Posisi Kapet Bima lebih membuka peluang
memperpendek jalur arus barang/jasa lewat laut ke Australia dan kawasan Pasifik.
Hubungan udara melalui Bandara M. Salahuddin Bima sudah dapat
membuka hubungan dengan wilayah lain di Indonesia dan untuk hubungan
Internasional yang terdekat adalah Bandar Udara Ngurah Rai Bali yang dapat
ditempuh dalam satu jam penerbangan dari Bandar Udara Salahuddin Bima,
sedangkan lewat darat ditempuh dalam 24 jam (BP Kapet Bima dan BPPT 2000).
Di sisi lain Kapet Bima termasuk dalam posisi jalan wisata segi tiga emas
yaitu di sebelah utara Tanah Toraja, sebelah Timur Pulau Komodo dan sebelah
barat Pulau Bali. Dalam hal ini Kapet Bima telah menunjukkan peranannya
sebagai jalan masuk wisatawan mancanagera ke Pulau Komodo, sehingga
21
memungkinkan pembangunan fasilitas akomodasi di wilayah Kapet Bima yang
memudahkan wisatawan mengunjungi Pulau Komodo, karena di Pulau Komodo
sendiri tidak boleh dibangun fasilitas akomodasi (BP Kapet Bima dan BPPT
2000).
Potensi sumber daya alam pada ketiga Kabupaten tersebut belum
dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan Kawasan
Pengembangan dengan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang
mengacu pada pemberdayaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan
sumber daya buatan, sehingga tercipta pembangunan yang berwawasan
lingkungan hidup dan bermuara pada kesejahteraan dan kenyamanan hidup rakyat
yang berada di kawasan tersebut (BP Kapet Bima dan BPPT 2000).
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas agar operasional
pengembangannya tepat arah dan tindakan maka telah disusun Rencana Induk
Pengembangan KAPET Bima yang intinya memuat struktur dan arahan pola
pengembangan kawasan, sehingga tercipta kondisi-kondisi sebagai berikut
(BP Kapet dan BPPT 2000) :
a. Meningkatnya pertumbuhan dan memperluas pengembangan sektor-sektor
unggulan sebagai motor penggerak ekonomi (prime mover) kawasan.
b. Meningkatnya keterpaduan operasional pembangunan oleh instansi, sektor dan
daerah serta dunia usaha (swasta) dalam rangka mencapai laju perkembangan
ekonomi setinggi-tingginya yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya
setempat.
c. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi, berkurangnya kesenjangan sosial
ekonomi antar kawasan dan antar masyarakat yang ada dalam kawasan.
d. Meningkatnya efisiensi dan efektifitas investasi pemerintah, swasta dan
masyarakat dalam pengembangan kawasan.
e. Terumuskannya keterpaduan program investasi antar Public Services dan
Private Investment sekaligus merumuskan kemungkinan terlaksananya
program kegiatan tersebut.
f. Terumuskannya pola-pola insentif di kawasan dengan memperhatikan
berbagai kebijaksanaan yang berlaku terutama yang berkaitan dengan regulasi
22
dibidang pertanian, industri, pertambangan, perikanan dan kelembagaan
sehingga dapat menunjang dan mendukung efektifitas dan efisiensi investasi
g. Terumuskannya pola promosi untuk berbagai peluang investasi yang akan
dikembangkan.
Berbagai sektor ekonomi yang ada di Kapet Bima merupakan potensi
untuk dikembangkan, seperti pada sektor pertanian, perikanan dan peternakan,
kehutanan, pertambangan dan sektor pariwisata. Sementara pada sektor industri,
yakni kegiatan industri rumah tangga, tambak garam dan bahan makanan sebagai
sumber mata pencaharian penduduk lokal yang dapat dikembangkan lebih lanjut.
Pengembangan berbagai sektor ekonomi di atas masih diusahakan secara lokal,
tradisional dan belum optimal, belum berkembangnya industri pengolahan
sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku).serta
tidak didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata (BP Kapet Bima
2004).
2.7. Penelitian Terdahulu
Kawasan Indonesia Timur memiliki potensi sumber daya alam yang sangat
besar seperti sumber daya hutan, sumber daya perikanan laut dan sumber daya
mineral. Dengan kebijaksanaan yang sentralistik, Kawasan Indonesia Timur telah
mengalami banyak kebocoran regional dari pemanfaatan sumber daya alamnya.
Investasi di Indonesia dalam bentuk eksploitasi SDA tersebut banyak bersifat
rural enclave yang sebagian besar manfaat (nilai tambah) dibawa keluar wilayah
Indonesia Timur (Hadi 2001).
Dalam perjalanan waktu, titik berat pembangunan Indonesia diarahkan
pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Karena pendekatan pembangunan
yang terlalu berorientasi kepada pertumbuhan, ternyata memberikan penekanan
pada pembangunan sektoral yang relatif parsial dalam perencanaan maupun
pelaksanaannya, sehingga berimplikasi pada pembangunan yang relatif tidak
terpadu dan komprehensip serta menimbulkan disparitas dan keterbelakangan di
Kawasan Indonesia Timur. Untuk memudahkan dalam memacu pengembangan
kawasan-kawasan di Indonesia Timur ini diperlukan sektor-sektor unggulan yang
dimiliki kawasan tersebut. Untuk itu berbagai komoditas unggulan yang dimaksud
23
adalah komoditas yang mampu mendorong kegiatan ekonomi, baik di kawasan
andalan itu sendiri (Kapet) berupa diversifikasi kegiatan ekonomi maupun
kegiatan-kegiatan di daerah belakangnya (Bakry 1999).
Pemerintah Daerah Propinsi Maluku menetapkan Pulau Seram sebagai
salah satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang
dikembangkan secara nasional. Hal ini terutama disebabkan oleh kawasan tersebut
mengandung potensi perikanan, perkebunan, pariwisata, pertambangan dan energi
yang berpeluang untuk menarik investor (Bakry 1999).
Bakry (1999) menyatakan bahwa karakteristik usaha perikanan rakyat di
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Pulau Seram masih didominasi oleh
usaha nelayan yang berskala kecil dengan sarana penangkapan berupa perahu
tanpa motor yakni sebanyak 14.593 unit atau 94,27 % dari seluruh armada
perikanan. Sedangkan Perahu Motor Tempel sebanyak 729 unit atau 4,75 % dan
Kapal Motor hanya 124 unit atau 0,8 %.
Dari sisi permodalan umumnya nelayan enggan berhubungan dengan
lembaga keuangan perbankan karena prinsip kehati-hatian bank dimana
dipersyaratkan adanya agunan yang dapat dijadikan sebagai jaminan, sementara
nelayan/petani kecil tidak memiliki aset yang dapat diagunkan. Terbatasnya
modal kerja bagi nelayan kecil dimana jumlahnya mencapai 94,86 % dari total
nelayan Maluku Tengah berdampak pada tingkat kemampuan nelayan untuk
meningkatkan hasil produksi, karena terbatasnya wilayah tangkapan (fishing
ground).
Dari sisi kelembagaan khusunya kelembagaan tradisional (hukum adat
sasi) yang merupakan salah satu nilai-nilai yang mengandung keraifan-kearifan
tertentu terhadap lingkungan dan sumberdaya alam ternyata semakin menurun
nilainya. Lembaga ini mulai berkurang peranannya dalam upaya distribusi yang
adil terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini disebabkan oleh kuatnya
pengaruh pemerintahan desa (sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979) bila
dibandingkan dengan hukum adat (Bakry 1999).
Selanjutnya secara makro-regional, yang dianalisis melalui kontribusi
relatif sektor perikanan terhadap perekonomian wilayah dari sisi pendapatan
(PDRB) dan serapan tenaga kerja, sektor perikanan menunjukan nilai yang positif,
24
artinya sektor perikanan telah memberikan kontribusi terhadap perubahan struktur
perekonomian wilayah, walaupun kontribusinya relatif kecil. Analisis dampak
pengembangan sektor perikanan terhadap perekonomian kawasan dari sisi output
wilayah menunjukan bahwa sektor perikanan memberi kontribusi kepada output
wilayah pada urutan ke 3 dari 5 sektor penyumbang terbesar kepada output
wilayah. Di bidang ekspor dan impor wilayah, sektor perikanan menduduki
peringkat ke 3 yakni menyumbang sebesar 14,40 %, sedangkan dari sisi impor
sektor perikanan menduduki peringkat ke 12. Ini menunjukan bahwa sektor
perikanan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya
(Bakry 1999).
Bakry (1999) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kontribusi sektor
perikanan terhadap Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Pulau
Seram maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1) pembangunan sektor
perikanan tidak hanya difokuskan pada upaya-upaya penigkatan produksi melalui
modernisasi alat tangkap akan tetapi lebih diarahkan kepada sistem budidaya,
sehingga ketergantungan petani/nelayan terhadap sumberdaya yang sifatnya open
access lambat laun akan berkurang; (2) lembaga keuangan formal (perbankan)
perlu menyederhanakan prosedur pengajuan kredit agar tidak berbelit-berbelit
sehingga mengurangi biaya-biaya transaksi yang sangat merugikan masyarakat;
(3) kebijakan pengembangan sektor perikanan di Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu Pulau Seram harus tetap menghargai hak-hak komunal terhadap
sumberdaya perikanan sehingga masyarakat komunal dapat ikut memelihara
kelestarian sumberdaya alat; (4) perlu dikembangkan sistem pengolahan dengan
teknologi tepat guna yang mudah dijangkau oleh masyarakat yang dapat membuka
peluang bagi berkembangnya kewirausahaan bagi masyarakat.
Dewi (2003) dalam melakukan penelitian tentang pengembangan
perekonomian daerah melalui kerjasama perbankan nasional dengan Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (Studi Kasus : Kapet Pare-Pare Sulawesi
Selatan) menemukan bahwa kredit perbankan yang disalurkan di wilayah Kapet
Pare-Pare belum optimal dalam mendukung kegiatan usaha yang berpotensi.
Kredit yang disalurkan umumnya pada sektor tersier, sedangkan untuk sektor
primer dan sekunder, kredit yang disalurkan relatif sedikit, walaupun sektor
25
unggulan pada wilayah Kapet Pare-Pare ini adalah udang, padi, kopi, kakao dan
jambu mete.
Kerja sama antara pemerintah daerah, pelaku usaha dan perbankan di
wilayah Kapet Pare-Pare masih kurang, belum terlihat sikap saling mempercayai
yang menghasilkan sinergi yang kuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi
daerah, padahal kerja sama yang baik diantara ketiga pihak tersebut di atas akan
bermanfaat bagi daerah-daerah di wilayah Kapet Pare-Pare dan Sulawesi Selatan
serta untuk memacu perekonomian Kawasan Indonesia Timur pada umumnya
(Dewi 2003).
Dewi (2003) menyarankan agar Kota Pare-Pare dijadikan pusat
pertumbuhan yang mempunyai keterkaitan dengan hinterland untuk wilayah
Kapet Pare-Pare lainnya. Sehingga perlu peranan perbankan dalam
membiayai/kredit investasi untuk mendirikan gudang-gudang penampungan dan
cold storage hasil pertanian dan udang sebelum dieksport. Pelabuhan di sini juga
dapat dikembangkan menjadi pelabuhan eksport dengan bantuan berupa kredit
investasi untuk menyempurnakan infrastruktur pelabuhan.
Hadi (2001) telah menyusun beberapa skenario kebijaksanaan
pembangunan berimbang antara Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia
Timur antara lain sebagai berikut : Jika investasi infrastruktur yang disertai
dengan adanya alokasi dana dan pemberian wewenang yang lebih besar kepada
pemerintah daerah/regional Kawasan Indonesia Timur dalam pengelolaan dana
pembangunan, maka dapat meningkatkan pendapatan dan produksi yang lebih
cepat untuk Kawasan Indonesia Timur. Apabila pengalokasian dana tersebut
didasarkan atas kebutuhan, dengan kata lain terdapat pengalokasian dana
pembangunan yang lebih besar ke Kawasan Indonesia Timur dalam arti investasi
infrastruktur di Indonesia Barat secara bertahap diserahkan kepada swasta, maka
dampak percepatannya menjadi lebih tinggi.
Adanya investasi pembangunan oleh pemerintah dalam melengkapi
infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur yang disusul dengan investasi usaha
oleh pihak swasta, serta kesempatan ekspor yang meningkat dapat meningkatkan
pendapatan golongan masyarakat di Indonesia Timur rata-rata 31.92 % dan
peningkatan produksi sebesar rata-rata 45.4 %. Di sisi lain dengan skenario ini,
26
pendapatan golongan masyarakat di Kawasan Indonesia Barat juga meningkat
sebesar rata-rata 6.37 % dan produksi meningkat rata-rata 3.69 % (Hadi 2001).
Pencapaian perimbangan pembangunan antara Kawasan Indonesia Barat
dengan Kawasan Indonesia Timur diperlukan perubahan mendasar dari
pembangunan sentralistik ke arah pembagian kewenangan (power sharing) dan
pembagian kesejahteraan (wealth sharing) antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah. Pembagian kewenangan tersebut adalah dengan program
otonomi daerah yang tetap memperhatikan keragaman potensi dan permasalahan
antar daerah (Hadi 2001).
2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian
Pengembangan satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) di
setiap propinsi di Kawasan Indonesia Timur merupakan salah satu strategi yang
diambil oleh DP KTI dalam rangka percepatan pembangunan Kawasan Indonesia
Timur. Berdasarkan Keppres Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet), kemudian disempurnakan oleh
Keppres Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14
lokasi Kapet, salah satunya adalah Kapet Bima yang ditetapkan dengan Keppres
Nomor 166 Tahun 1998.
Pengembangan Kawasan Indonesia Timur dengan memprioritaskan upaya
pembangunan pada Kapet-Kapet adalah merupakan pendekatan pembangunan
yang didasarkan pada teori pembangunan growth center. Berdasarkan teori ini
maka pembangunan dipusatkan pada penciptaan dan pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan. Pendekatan pembangunan ini diterapkan karena beberapa alasan,
antara lain sebagai berikut (Prasetya 2000) :
1). Tidak mungkin dilaksanakan upaya-upaya pembangunan dengan intensitas
yang sama pada waktu yang sama dan pada semua daerah. Hal ini karena
keterbatasan pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu harus dilakukan
prioritas pembangunan, baik dari segi daerah maupun sektor.
2). Tidak semua daerah mempunyai kemampuan yang sama dalam menyerap
investasi. Dengan keterbatasan dana pembangunan yang ada maka harus
27
diprioritaskan daerah-daerah dengan kemampuan menyerap investasi yang
besar.
Pengembangan Kapet yang didasarkan pada teori growth center
dikhawatirkan akan menimbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Untuk
mengantisipasi hal itu perlu diciptakan keterkaitan yang kuat antara pusat
pertumbuhan dengan daerah belakangnya di Kawasan Indonesia Timur, dan
mengembangkan keterkaitan secara regional dan nasional (Prasetya 2000).
Salah satu kritik dari teori growth center ini, adalah penerapan strategi
pembangunan dengan menggunakan asumsi bahwa pembangunan pusat-pusat
pertumbuhan akan mampu merangsang pertumbuhan daerah belakang dengan
harapan adanya efek menetes ke bawah (trickle down effect), namun pada
kenyataannya efek tersebut sulit terjadi malah memungkinkan terjadinya
ketimpangan antara pusat pertumbuhan dengan daerah-daerah belakangnya
(hinterland area).
Salah satu penyebab hal tersebut adalah lemahnya keterkaitan antara
pusat pertumbuhan dengan daerah belakang. Oleh karena itu perlu diciptakan
keterkaitan yang kuat antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ketimpangan antara pusat
pertumbuhan dengan daerah belakangnya. Keterkaitan tersebut meliputi
keterkaitan produksi, keterkaitan pemasaran dan keterkaitan transportasi.
Keterkaitan produksi terjadi karena setiap proses produksi membutuhkan
bahan masukan (input). Idealnya, daerah hinterland akan mampu memasok
bahan-bahan masukan untuk proses produksi di Kapet. Keterkaitan pemasaran
merupakan konsekuensi dari adanya proses produksi di Kapet. Hasil-hasil
produksi dari Kapet perlu dipasarkan baik ke daerah hinterland maupun ke
daerah lainnya. Kedua keterkaitan tersebut memerlukan dukungan keterkaitan
transportasi. Keterkaitan transportasi berarti bahwa antar Kapet dengan daerah
hinterland dan antar Kapet dengan Kapet lainnya terdapat prasarana
transportasi, sarana transportasi dan jalur transportasi yang cukup memadai
untuk mendukung hubungan antar daerah.
Salah satu perwujudan hubungan antar daerah ialah dengan adanya
pertukaran antar daerah baik yang berwujud barang, uang maupun jasa. Analisis
28
aliran barang, orang dan kendaraan dapat digunakan untuk mengetahui intensitas
hubungan antar daerah dan tingkat ketergantungan atau peranan suatu daerah
dengan daerah yang lain.
Dalam konteks sektoral, perkembangan ekonomi regional terjadi melalui
pertumbuhan sektor ekonomi unggulan serta adanya diversifikasi dan keterkaitan
antar sektor ekonomi. Hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward
linkages), ialah hubungan dengan penjualan barang hasil produksi yaitu tingkat
keterkaitan ke depan atau disebut juga derajat kepekaaan atau daya dorong, dan
hubungan kebelakang (backward linkages), merupakan hubungan dengan bahan
mentah/bahan baku atau disebut juga daya penyebaran atau daya tarik.
Pengembangan ekonomi kawasan secara berkesinambungan tidak terlepas
dari adanya ketersediaan dan dukungan sumber daya baik secara kualitas maupun
secara kuantitas, terutama sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam
(SDA), sumber daya sosial (SDS) serta sumber daya buatan (SDB), namun di sisi
lain pengembangan berbagai sektor ekonomi di Kapet Bima masih diusahakan
secara lokal dan tradisional, sementara industri pengolahan belum berkembang
sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku) serta
belum didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata
(BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Untuk itu, perlu dilakukan analisis tentang
identifikasi potensi dan permasalah pengembangan Kapet Bima, yang meliputi
ketersediaan fasilitas, sebaran penduduk, sebaran komoditas dan pertumbuhan
ekonomi serta berbagai dukungan dan hambatan lainnya.
Otonomi daerah merupakan tantangan sekaligus peluang dalam
menggerakkan berbagai sumber daya wilayah secara optimal. Dalam era otonomi
daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan instansi Pemerintah Daerah
yang terkait, pihak swasta dan masyarakat mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pengendalian. Dengan demikian,
perencanaan pembangunan di Kapet Bima akan bersifat bottom up atau
partisipatif serta selaras dengan perencanaan pemerintah daerah. Sinergi peran
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat serta stakeholders
lainnya sangat dibutuhkan melalui strategi dan pendekatan yang holistik dalam
pembangunan wilayah Kapet Bima secara berimbang dan berkelanjutan.
29
Dari uraian di atas maka dapat dibuat alur kerangka pemikiran penelitian
yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
Menurut Murty (2000), pembangunan wilayah yang berimbang
merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk
meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak
selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama
atau mempunyai tingkat industri yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang
sama atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
(Kapet) Bima
Identifikasi Potensi Pengembangan
Wilayah
Keterkaitan Antar sektor
Interaksi Spasial
- Sebaran faslitas & penduduk
- Sebaran komoditas
- Pertumb ekon. - Sospolbud - Potensi dan
permsl lainnya
Inter Regional
Intra Regional
Keterkaitan kedepan dan kebelakang
Sektor Unggulan
Strategi Pengembangan Wilayah
Otonomi Daerah
Peran dan Interaksi Institusi
30
lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi
yang dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian
diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan
hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah
yang terlibat.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu metode studi yang dilakukan seseorang
melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah
sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut (Hillway
1956, diacu dalam Nazir 2003), Penelitian juga bertujuan untuk mengubah
kesimpulan-kesimpulan yang telah diterima ataupun mengubah dalil-dalil dengan
adanya aplikasi baru dari dalil-dalil tersebut. Dari itu, penelitian dapat diartikan
sebagai pencarian pengetahuan dan pemberi artian yang terus-menerus terhadap
sesuatu. Penelitian juga merupakan percobaan yang hati-hati dan kritis untuk
menemukan sesuatu yang baru (Nazir 2003).
Dalam melakukan penelitian, maka untuk mencapai tujuan penelitian
akan mengikuti langkah-langkah yang disusun sebelum penelitian yang dilakukan
lebih jelas dan terarah. Bab ini akan menjelaskan proses penelitian yang
merupakan penjabaran alur kerangka pemikiran penelitian yang digambarkan
pada bab sebelumnya.
3.1. Kerangka Pendekatan Studi
Adapun uraian pendekatan studi yang meliputi tujuan, alat analisa,
variabel, jenis dan sumber data dapat dilihat pada tabel 1.
3.2. Penentuan Lokasi, Responden dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Bima, Kota Bima dan
Kabupaten Dompu yang merupakan daerah administratif kabupaten di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai dengan Juni 2006.
Lokasi sampel sebanyak 19 desa/kelurahan yang dipilih secara purposive
sampling berdasarkan letak geografis yang dipilih dari kawasan bagian pusat
(daerah administrasi Kota Bima), kawasan bagian timur (daerah administrasi
Kabupaten Bima) dan kawasan bagian barat (daerah administrasi Kabupaten Bima
dan Dompu). Selanjutnya setiap desa ditetapkan 2 (dua) orang responden yang
dipilih secara purposive sampling berdasarkan tingkat pengetahuan tentang
desanya masing-masing, sehingga jumlah responden adalah sebanyak 38 orang.
32
Sedangkan khusus untuk analisis hirarki proses (AHP) dan analisis
stakeholders/kelembagaan adalah dengan menggunakan expert/key informan
masing-masing 1 (satu) orang sebagai responden dari tiap lembaga/stakeholders,
yakni dari : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (DP KTI) mewakili
Pemerintah Pusat, Bappeda Propinsi NTB mewakili Pemda Propinsi, Bappeda
Kabupaten Bima mewakili Pemda Kabupaten/Kota, Kadin Bima mewakili Swasta
dan LSM Dompu mewakili elemen masyarakat, sehingga jumlah responden 6
(enam) orang.
3.3. Metode Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan
informan kunci dilapangan. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari
instansi-instansi terkait yang telah tersedia dalam bentuk dokumen dan studi
literatur. Sedangkan pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara :
studi literatur/data sekunder dan survey/wawancara.
3.3.1. Studi Literatur/Data Sekunder
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan data
sekunder yang ada. Data ini diperoleh dari berbagai lembaga atau departemen
seperti Badan Pusat Statistik, Pemda Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemda
Kabupaten Bima, Kota Bima, Kabupaten Dompu, BP Kapet Bima, Dewan
Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dan Instansi terkait.
3.3.2. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan responden dan informan-informan kunci
seperti dari Pemda Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemda Kabupaten/Kota,
BP Kapet Bima, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Kadin, Tokoh
Masyarakat dan Instansi terkait lain.
3.4. Metode Analisis
Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian sehingga akan dapat menjawab permasalahan
yang diangkat
33
Tabel 1 Matriks Pendekatan Studi
No. Tujuan Teknik Analisa Variabel Sumber data
1. Identifikasi potensi pengembangan serta berbagai peluang dan kendalanya.
- Analisis Deskriptif Potensi Pengemb. Wilayah
- SDA - SDB/infrastruktur - SDSosbud - SDM - Kegiatan ekonomi
- Badan Pusat Statistik - Pemda Kabupaten - BP Kapet - Studi Literatur
2. Mengkaji keterkaitan antar sektor dan untuk mengetahui sektor/komoditi unggulan wilayah
- Analisis Deskriptif Input-Output
- Indeks Output Sektor (IOS)
- Indeks Daya Dorong (IDD)
- Indeks Daya Tarik (IDT)
- Nilai transaksi barang dan jasa
- Badan Pusat Statistik - Pemda - Instansi terkait - Data Survey
- Analisis LQ - PDRB - Badan Pusat Statistik - Analisis Tingkat
Keunggulan Sektor (TKS)
- Output ekonomi - Nilai pengganda sektor - Sektor basis
- Badan Pusat Statistik - Pemda - Instansi terkait - Data Survey
3. Mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional
- Model Grafitasi - Interaksi antar wilayah
- Massa wilayah - Jarak antar wilayah
- Badan Pusat Statistik - Dishub - Dispenda
- Analisis Deskriptif Interaksi spasial
- Interaksi antar wilayah
- Karakteristik wilayah
- Badan Pusat Statistik - Dishub - Dispenda - Pemda - Studi Literatur - Key Informan
4. Menyusun Strategi Pengembangan Wilayah
- Analisis Deskriptif Kelembagaan
- Fungsi peran lembaga
- Interaksi lembaga
- BP-Kapet - Pemda Propinsi - Pemda Kab/kota - Instansi terkait - Key Informan
- Analisis Hirarki Proses (AHP)
- Persepsi stakeholders
- Key Informan
- Analisis SWOT - Sintesa analisis - Faktor eksternal - Faktor internal
- Instansi terkait - Studi Literatur - Key Informan
3.4.1. Analisis Deskriptif Potensi Pengembangan Wilayah
Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai potensi
pengembangan wilayah. Data dari berbagai variabel di atas selanjutnya diolah
baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kemudian data dikelompokkan atau
diklasifikasikan, lalu diidentifikasi berbagai komoditi, sektor dan wilayah yang
memiliki potensi pengembangan dengan memperhatikan karakteristik wilayah
serta berbagai faktor peluang dan hambatan, seperti sebaran penduduk, komoditas
34
potensial dan pola pertumbuhan ekonomi, selain itu digambarkan ketersediaan
fasilitas dan kelembagaan serta berbagai berbagai permasalahan dalam
pengembangan wilayah di Kabupaten Bima, Kota Bima, Kabupaten Dompu
dalam Kawasan Ekonomi Terpadu Bima. Selanjutnya data tersebut juga diplotkan
dalam bentuk grafik dan tabel, dari berbagai informasi tersebut akan diketahui
tingkat pertumbuhan dan pola spasial dari masing-masing variabel.
3.4.2. Penyusunan dan Analisis Input-Output (IO)
Kerangka Dasar
Secara sederhana Model IO wilayah menyajikan informasi tentang
transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar satuan kegiatan
ekonomi untuk suatu waktu tertentu yang disajikan dalam bentuk tabel. Isian
sepanjang baris menunjukkan alokasi output dan isian menurut kolom
menunjukkan pemakaian input dalam proses produksi (Badan Pusat Statistik
2000b). Sebagai model kuantitatif, model IO mampu memberi gambaran
menyeluruh tentang :
1. Struktur perekonomian yang mencakup struktur output dan nilai tambah
masing-masing kegiatan ekonomi di suatu daerah.
2. Struktur input antara (intermediate input), yaitu penggunaan barang dan
jasa oleh kegiatan produksi di suatu daerah.
3. Struktur penyediaan barang dan jasa baik yang berupa produksi dalam
negeri maupun barang-barang yang berasal dari impor.
4. Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh kegiatan
produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi dan ekspor.
Tabel IO Kapet Bima tahun 2004 terdiri dari 18 sektor, disusun dengan
menggunakan metode RAS yang diturunkan dari Tabel IO Propinsi Nusa
Tenggara Barat tahun 2004 yang terdiri dari 60 sektor. Sesuai dengan
namanya, model IO pada dasarnya berisikan gambaran mengenai saling
keterkaitan suatu sektor yang digunakan sebagai input, baik untuk
menghasilkan output sektor itu sendiri maupun sektor lain. Untuk
menghasilkan output, suatu sektor memerlukan input baik berupa barang, jasa
dan faktor produksi lainnya. Keterkaitan antara input dan output tersebut
digambarkan dalam kerangka Model IO seperti tertera pada tabel 2.
35
Tabel 2 Kerangka Model Input-Output (IO) Kapet Bima
Input Sektor Permintaan antara Permintaan
akhir Total
Output 1 2 … N
Input Antara
1 x11 x12 … X1n F1 X1 2 x21 x22 … X2n F2 X2 … … … … … … … n xn1 xn1 … xnn Fn Xn
Input Primer/NTB V1 V2 … Vn Total Input X1 X2 … Xn
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000.
Output yang diproduksi oleh sektor 1 (x1) didistribusikan kepada kedua
macam pemakai. Pemakai pertama adalah sektor produksi yang terdiri dari
sektor 1 sampai dengan sektor n. Sektor 1 sendiri menggunakan sebesar x11,
sektor 2 menggunakan sebesar x12, sektor 3 menggunakan sebanyak x13 dan
seterusnya hingga sektor n menggunakan sebesar x1n. Bagi sektor produksi,
output yang diproduksi oleh sektor 1 tersebut merupakan bahan baku atau
Input Antara (intermediate input) yang digunakan dalam proses produksi lebih
lanjut.
Pemakai kedua adalah para pemakai akhir dan bagi mereka output
sektor 1 digunakan sebagai Permintaan Akhir (final demand). Permintaan
Akhir terdiri dari empat komponen yaitu: (1) konsumsi rumah tangga (C), (2)
pembentukan modal tetap bruto atau investasi (I), (3) pengeluaran konsumsi
pemerintah (G), dan (4) ekspor (X). Komponen F1 menunjukkan nilai
Permintaan Akhir atas output sektor 1 dan Fn menunjukkan nilai Permintaan
Akhir atas output sektor n.
Output suatu sektor seluruhnya habis digunakan untuk Input Antara dan
Permintaan Akhir. Dengan demikian, total output sektor 1 (X1) adalah
sejumlah output sektor 1 yang digunakan sebagai Input Antara oleh sektor 1
sampai dengan n ditambah dengan Permintaan Akhir.
Persamaan permintaan dan penyediaan sektor i dapat ditulis dalam
bentuk notasi:
∑=
+=+n
j
MiXiFixij1
.......................................................................... (1)
36
dimana :
xij = Nilai output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j
Fi = Permintaan Akhir terhadap output sektor i
Xi = Total output sektor i
Mi = Total ouput sektor i yang diimpor
Bertolak dari konsep keseimbangan umum di dalam Model IO, Total
Output suatu sektor harus sama dengan Total Input sektor tersebut. Itulah
sebabnya Total Output sektor 1 bernilai sama dengan Total Input sektor 1 yaitu
X1. Namun input yang diperlukan dalam proses produksi sektor 1 bukan hanya
Input Antara, tetapi diperlukan juga input lain yang disebut Input Primer. Input
Primer disebut juga sebagai Nilai Tambah Bruto (NTB) atau gross value added
yaitu balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang terlibat dalam proses
produksi. Jika dirinci, NTB terdiri lima komponen yaitu: (1) upah dan gaji, (2)
surplus usaha (keuntungan), (3) depresiasi barang modal, (4) pajak tak langsung,
dan (5) subsidi. Komponen V1 diartikan sebagai nilai tambah yang dihasilkan
oleh sektor 1, kemudian nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor n adalah Vn.
Dengan demikian maka total input suatu sektor adalah jumlah seluruh
Input Antara dan Input Primer, yang dirumuskan dalam bentuk:
∑=
+=+n
j
MiXiVixij1
.......................................................................... (2)
yang mana :
xij = Nilai output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j Vj = Input primer (nilai tambah) sektor j Xj = Total input sektor yang digunakan oleh sektor j
Koefisien Input dan Pengganda Output
Koefisien input sangat penting dalam analisis IO antara lain untuk
melihat komponen input (Input Antara dan Input Primer) yang paling dominan,
peranan penggunaan bahan baku dan energi, tingkat pemakaian jasa bank,
komunikasi, transportasi dan sebagainya. Proporsi Input Antara yang berasal
dari sektor i terhadap total input sektor j disebut sebagai koefisien input antara
yang diperoleh dengan rumus :
37
aij = j
ij
Xx
………………………………………………………………... (3)
xij = aij Xj ……………………………………………………………………..……………………….... (4)
dimana :
aij = Koefisien input antara (koefisien teknis) sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j
xij = Nilai output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j Xj = Total input sektor yang digunakan oleh sektor j
Secara lengkap koefisien input antara atau koefisien teknis dapat ditata
kedalam suatu matriks A dengan struktur :
An x n =
⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
nnnn
n
n
aaa
aaaaaa
...............
...
...
21
22221
11211
………………………..……………..…. (5)
Koefisien Input Primer menunjukkan peranan dan komposisi dari upah
dan gaji, surplus usaha (keuntungan), penyusutan, pajak tak langsung dan
subsidi. Koefisien Input Primer dirumuskan sebagai :
vj=j
j
XV
……………………………………………………………………………………………... (6)
dimana :
Vj = Input primer (nilai tambah) sektor j
Xj = Total input sektor yang digunakan oleh sektor j
vj = koefisien input primer
Berdasarkan persamaan di atas, jumlah koefisien Input Antara dan
koefisien Input Primer sektor j adalah satu, yaitu ∑=
=+n
ijij va
11. Bila ∑
=
n
iija
1
makin besar maka vj menjadi kecil, demikian pula sebaliknya.
Koefisien Input Antara menggambarkan tingkat penggunaan teknologi
dalam proses produksi sehingga koefisien ini disebut juga sebagai koefisien teknis
(technical coefficient). Koefisien teknis ini disebut juga sebagai kebutuhan
38
langsung (direct requirement), karena menunjukkan kebutuhan langsung suatu
sektor akan output sektor lainnya.
Matriks koefisien teknis merupakan dasar untuk perhitungan dampak
pengganda (multiplier effect) yang menjadi salah satu inti dari analisis Model IO.
sedangkan besarnya output dapat dihitung sebagai pengaruh induksi permintaan
akhir adalah:
X = (I - A)-1 F ...................................................................................... (7)
Dimana :
X = vektor total output berukuran n x 1
I = matriks identitas berukuran n x n
F = vektor permintaan akhir berukuran n x 1
A = matriks koefisien input berukuran n x n
Matriks identitas berguna untuk memudahkan manipulasi matematis.
Suatu matriks jika dikalikan dengan matriks identitas akan menghasilkan
matriks itu sendiri. Persamaan (7) inilah yang menjadi inti dari Model IO,
sedangkan (I - A)-1 disebut matriks Kebalikan Leontief yang berfungsi sebagai
pengganda output (output multiplier). Kenaikan permintaan akhir suatu sektor
tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kenaikan total output sektor itu
sendiri tetapi juga sektor lainnya. Besar kecilnya dampak kenaikan total output
akibat kenaikan permintaan akhir tergantung dari elemen-elemen matriks (I-A)-1.
3.4.3. Indeks Output Sektor (IOS)
Nilai output suatu sektor menggambarkan nilai akhir produksi yang
dihasilkan suatu sektor baik untuk digunakan kembali pada kegiatan produksi
domestik (permintaan antara) maupun digunakan untuk permintaan akhir
(konsumsi rumah tangga, pemerintah, investasi, dan eksport). Untuk melihat
perbandingan nilai output suatu sektor terhadap sektor lainnya, maka dapat
digunakan indeks output sektor (IOS) yang dapat diformulakan sebagai berikut :
IOSi = ii
i
XnX∑)/1(
39
Dimana :
IOSi = Indeks Output Sektor i
Xi = Nilai Output Sektor i (Juta Rupiah)
n = Jumlah Sektor
Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks output sektor >1, berarti nilai
output sektor tersebut di atas rata-rata nilai output sektor lainnya, dengan kata lain
bahwa sektor tersebut memiliki skala aktivitas (kapasitas ekonomi) yang tinggi.
namun jika nilai indeks output sektor <1, berarti nilai output sektor tersebut di
bawah rata-rata nilai output sektor lainnya, yang bermakna bahwa sektor tersebut
memiliki skala aktivitas (kapasitas ekonomi) yang relatif rendah.
3.4.4. Indeks Daya Tarik (IDT) dan Indeks Daya Dorong (IDD)
Salah satu keunggulan analisa dengan menggunakan Model I-O adalah
dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat hubungan atau
keterkaitan teknis antar unsur aktif (unsur yang menunjang kegiatan
industri/ekonomi, seperti perusahaan industri, prasarana dan pemusatan industri)
yang merupakan generator untuk memulai sesuatu proses polarisasi teknis.
Hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward linkages), ialah
hubungan dengan penjualan hasil produk yaitu tingkat keterkaitan ke depan atau
disebut juga derajat kepekaaan (daya dorong), dan hubungan kebelakang
(backward linkages), merupakan hubungan dengan bahan mentah/bahan baku atau
disebut juga daya penyebaran (daya tarik). Kedua indeks tersebut dapat digunakan
untuk menganalisa dan menentukan sektor-sektor kunci (key sektors) yang akan
dikembangkan dalam pembangunan ekonomi di suatu wilayah (Badan Pusat
Statistik 2000a).
Sektor yang mempunyai indeks daya tarik (IDT) yang tinggi memberikan
indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap
kegiatan ekonomi domestik sektor yang lain. Sebaliknya sektor yang mempunyai
indeks daya dorong (IDD) yang tinggi berarti sektor tersebut mempunyai
keterkaitan ke depan yang tinggi dibandingkan sektor yang lain.
Indeks Daya Tarik (IDT) dan Indeks Daya Dorong (IDD) suatu sektor
dapat diformulakan sebagai berikut (Badan Pusat Statistik 2000a) :
40
IDTj = ijji
iji
bnb∑∑
∑
)/1(
IDDi = ijji
ijj
bnb∑∑
∑
)/1(
Dimana :
IDTj = Indeks Daya Tarik sektor j (tingkat dampak keterkaitan ke belakang)
IDDi = Indeks Daya Dorong sektor i (tingkat dampak keterkaitan ke depan)
bij = Sel matriks kebalikan (I-Ad)-1 pada baris i dan kolom j
(dampak yang terjadi terhadap output sektor i akibat perubahan
permintaan akhir sektor j
n = Jumlah sektor (ukuran matriks)
Suatu sektor yang mempunyai nilai Indeks Daya Tarik (IDT) >1, berarti
daya tarik sektor tersebut di atas rata-rata daya tarik sektor lainnya. Demikian juga
jika nilai Indeks Daya Dorong (IDD) >1, berarti daya dorongnya di atas rata-rata
daya dorong sektor lainnya.
3.4.5. Analisis Location Quotien (LQ)
Metode analisis LQ di gunakan untuk menunjukkan lokasi
pemusatan/basis (aktivitas). Disamping itu LQ digunakan untuk mengetahui
kapasitas eksport perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan
barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah.
Adapun persamaan LQ adalah sebagai berikut (Saefulhakim. 2003) :
LQsk = Xsk / Xtk Xsp/Xtp Dimana :
LQsk = Location Quotien suatu sektor di Kapet Bima
Xsk = Pendapatan suatu sektor pada tingkat wilayah Kapet Bima
Xtk = Pendapatan total wilayah Kapet Bima
Xsp = Pendapatan suatu sektor pada tingkat wilayah Propinsi NTB
Xtp = Pendapatan total wilayah Propinsi NTB
Apabila LQ suatu sektor > 1, maka sektor tersebut merupakan sektor
basis, sedangkan bila LQ < 1, maka sektor tersebut merupakan sektor non basis.
41
Asumsi metode LQ ini adalah penduduk di Kapet Bima mempunyai pola
permintaan wilayah sama dengan pola permintaan Propinsi NTB. Asumsi lainnya
adalah bahwa permintaan wilayah akan sesuatu barang akan dipenuhi terlebih
dahulu oleh produksi wilayah, sedangkan kekurangannya diimpor dari wilayah
lain.
3.4.6. Analisis Tingkat Keunggulan Sektor (TKS)
Tingkat Keunggulan Sektor (TKS) digunakan untuk membandingan
tingkat keunggulan relatif suatu sektor terhadap sektor lainnya berdasarkan
indikator indeks output sektor, indeks daya tarik dan daya dorong terhadap sektor
lainnya dan nilai basis suatu sektor.
Untuk mendapatkan nilai tingkat keunggulan sektor maka nilai indeks
setiap indikator (IOS, IDT, IDD, LQ) dibuatkan skor keunggulan sektor.
- Jika nilai IOS > 1 (output tinggi), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai
IOS < 1 (output rendah), maka skor keunggulan = 0
- Jika nilai IDT > 1 (keterkaitan tinggi), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai
IDT < 1 (keterkaitan rendah), maka skor keunggulan = 0
- Jika nilai IDD > 1 (keterkaitan tinggi), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai
IDD < 1 (keterkaitan rendah), maka skor keunggulan = 0
- Jika nilai LQ > 1 (sektor basis), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai
LQ < 1 (sektor non basis), maka skor keunggulan = 0
Adapun formulasi Tingkat Keunggulan Sektor (TKS) adalah sebagai
berikut :
SKSi = SK_IOSi + SK_IDTi + SK_IDDi + SK_LQi
Dimana :
SKSi = Skor keunggulan sektor i
SK_IOSi = Skor keunggulan dari nilai indeks output sektor i
SK_ITKi = Skor keunggulan dari nilai indeks total keterkaitan sektor i
SK_LQi = Skor keunggulan dari nilai location quotion sektor i
Sektor unggulan pertama (TKS paling tinggi) adalah yang memiliki nilai
skor keunggulan sektor paling tinggi (SKS) max = 4, artinya sektor tersebut lebih
unggul dibandingkan sektor lain pada empat indikator keunggulan (IOS, IDD,
42
IDT dan LQ). Jika nilai SKS = 3, artinya sektor tersebut memiliki keunggulan
pada tiga dari empat indikator keunggulan sektor. Jika nilai SKS = 2, artinya
sektor tersebut memiliki keunggulan pada dua dari empat indikator keunggulan
sektor. Jika nilai SKS = 1, artinya sektor tersebut memiliki keunggulan pada satu
dari empat indikator keunggulan sektor, sedangkan nilai SKS = 0, artinya sektor
tersebut sama sekali tidak memiliki keunggulan dari keempat indikator
keunggulan sektor.
3.4.7. Model Grafitasi
Interaksi antar wilayah merupakan suatu mekanisme yang
menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena aktivitas
yang dilakukan oleh sumber daya manusia di dalam suatu wilayah.
Aktivitas-aktivitas yang dimaksud mencakup diantaranya mobilitas kerja,
migrasi, arus informasi dan arus komoditas, mobilitas pelajar, pemanfaatan
fasilitas pribadi dan atau fasilitas umum, bahkan tukar menukar
pengetahuan. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menduga
besarnya interaksi antar wilayah adalah model grafitasi. Persamaan dalam
model grafitasi ini bisa digunakan untuk menganalisis dan menduga pola
interaksi spasial.
Model grafitasi ini mempermudah kegiatan pengukuran secara
eksplisit posisi relatif dengan mengintegrasikan pengukuran jarak relatif
dan skala/ukuran relatifnya. Konsep Model Grafitasi Newton berkaitan
dengan dua hal pokok (Saefulhakim 2003): (1) Dampak skala, yaitu sejauh
mana dampak yang telah ditimbulkan oleh suatu aktivitas tertentu disuatu
lokasi tertentu terhadap daerah sekitarnya. Suatu lokasi dengan jumlah
populasi lebih besar cenderung akan membangkitkan dan menarik aktivitas
lebih banyak dibandingkan kota lain yang mempunyai populasi lebih
sedikit, sehingga dapat dihipotesiskan bahwa skala usaha aktivitas berkaitan
dengan besarnya daya tarik aktivitas tersebut. (2) Dampak jarak, yaitu
seberapa jauh dampak yang mampu ditimbulkan oleh suatu aktivitas disuatu
lokasi terhadap lokasi di sekitarnya. Ada kecendrungan, makin jauh jarak
antara dua lokasi, maka makin kecil interaksi yang terjadi antara dua lokasi
tersebut.
43
Model Grafitasi pada dasarnya merupakan bentuk analogi fenomena
Hukum Fisika Grafitasi Newton yang kemudian dikembangkan untuk ilmu
sosial. Dalam model grafitasi, interaksi antar dua wilayah i (asal) dan j
(tujuan) dimodelkan sebagai fungsi dari massa kedua wilayah mi dan mj,
serta jarak antar kedua wilayah dij (Saefulhakim 2003) :
Tij = k miamj
b. dij
c dimana :
Tij = interaksi antara wilayah asal dan tujuan
berupa arus barang/penumpang (ton/orang)
mi = massa wilayah asal berupa populasi/PDRB (jiwa/Rp.Juta)
mj = massa wilayah tujuan berupa populasi/PDRB (jiwa/Rp.Juta)
dij = jarak antara wilayah asal dan tujuan (km)
i = wilayah asal
j = wilayah tujuan
a, b dan c = koefisien peubah massa wilayah asal, massa wilayah tujuan,
dan jarak antara kedua wilayah
k = konstanta
Penyelesaian dari persamaan di atas dapat dipecahkan dengan
pendekatan fungsi regresi linear dengan terlebih dahulu mentrasformasikan
persamaan di atas ke dalam bentuk logarithma natural (ln), sehingga
menjadi :
ln Tij = lnk + a ln mi + b ln mj - c ln dij
Nilai parameter-parameter yang dihasilkan dari analisis diatas (a, b
dan c) dapat menggambarkan nilai elastisitas interaksi wilayah (Tij)
terhadap perubahan nilai variabel peubah (mi, m2, dan dij). Jika nilai
koefisien a, b dan c > 0, menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 % nilai
variabel peubah maka akan dapat meningkatkan nilai interaksi wilayah
dengan persentase perubahannya sebesar nilai koefisien masing-masing
variabel, namun jika nilai koefisien a, b dan c < 0, menunjukkan bahwa
setiap kenaikan 1 % nilai variabel peubah maka akan dapat menurunkan
nilai interaksi wilayah dengan persentase perubahannya sebesar nilai
koefisien masing-masing variabel.
44
3.4.8. Analisis Deskriptif Pola Interaksi Wilayah
Analisis ini pada dasarnya untuk melengkapi analisis grafitasi dalam
mengkaji interaksi spasial. Hal ini penting untuk melakukan cross check dan
sekaligus untuk menggali lebih dalam bagaimana bentuk keterkaitan antar wilayah
tersebut bisa terjadi. Terjadinya interaksi wilayah, selain disebabkan oleh adanya
massa tiap wilayah tersebut seperti populasi, tingkat pendapatan wilayah, serta
fasilitas yang terdapat disuatu wilayah, juga dapat dipengaruhi oleh daya tarik
atau daya dorong suatu wilayah seperti berkaitan dengan keadaan sosial-budaya
atau karena adanya keterkaitan sejarah antar wilayah. Analisis deskriptif ini akan
mengkaji dan memberikan gambaran dari aspek kuantitatif dan kualitatif terhadap
aktivitas interaksi spasial.
3.4.9. Analisis Deskriptif Stakeholders/Kelembagaan
Dalam analisis ini akan diidentifikasi bentuk-bentuk institusi yang terlibat
dan terkait dengan pembangunan wilayah di Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (Kapet) Bima. Institusi ini bisa berbentuk institusi formal maupun non
formal, antara lain seperti BP Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet)
Bima, Pemda Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemda Kabupaten Bima, Pemda
Kota Bima, Pemda Kabupaten Dompu, Swasta, Pemerintah Pusat, serta institusi
masyarakat lokal.
Model institusi seperti ini tentunya akan dapat memberikan informasi
yang memadai terhadap keberadaan berbagai lembaga/stakeholders, baik terkait
fungsi-peran maupun tingkat keterlibatan suatu lembaga/stakeholders dalam
pengelolaan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima.
3.4.10. Analisis Hirarki Proses (AHP)
Pemilihan Pendekatan strategi pengembangan Kapet Bima adalah dengan
menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP). Analisis Hirarki Proses (AHP)
adalah metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan suatu
masalah yang disederhanakan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir,
sehingga memungkinkan dalam pengambilan keputusan yang efektif atas masalah
tersebut (Marimin 2004).
45
Alasan digunakannya metode AHP adalah untuk menangkap secara
rasional persepsi berbagai stakeholders yang berhubungan sangat erat dengan
permasalahan pengembangan wilayah melalui prosedur yang didesain sampai
pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Dengan metode ini
diharapkan dapat ditarik kesimpulan tentang pendekatan strategi pengembangan
wilayah di Kapet Bima.
Analisis AHP dilakukan dengan melakukan perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons) untuk mendapatkan tingkat kepentingan suatu kriteria
relatif terhadap kriteria lain dan dapat dinyatakan dengan jelas proses
perbandingan berpasangan ini yang dilakukan untuk setiap level atau tingkat,
yakni meliputi : tingkat 1 (sasaran), tingkat 2 (Pendekatan Strategi), tingkat 3
(Dukungan Sumber Daya) dan tingkat 4 (Komponen Sumber Daya).
KOMPONEN : SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6)
SUB KOMPONEN : (a) (a) (a) (a) (a) (a)
(b) (b) (b) (b) (b) (b) (c) (c) (c) (c) (c) (c) (d) (d) (d) (d) (d) (e) (e) (e) (f)
Gambar 2 Struktur AHP Strategi Pengembangan Wilayah Kapet Bima
STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KAPET BIMA
YANG BERIMBANG
KETERPADUAN ANTAR
SEKTOR (A)
KETERPADUAN ANTAR
WILAYAH (B)
KETERPADUAN ANTAR
INSTITUSI (C)
SASARAN :
PENDEKATAN STRATEGI :
46
Keterangan : Komponen sumber daya dalam pengembangan wilayah : 1. Sumber daya manusia, meliputi :
a. Jumlah penduduk b. Tingkat pendidikan c. Lapangan pekerjaan d. Tingkat kesehatan
2. Sumber daya alam, meliputi : a. Sumber daya lahan dan air b. Perikanan dan kelautan c. Industri dan pertambangan d. Keanekaragaman sumber daya hayati e. Panorama alam wisata
3. Sumber Daya Buatan/Infrastruktur, meliputi : a. Sosial dan budaya b. Ekonomi dan perdagangan c. Transportasi d. Informasi dan komunikasi e. Ilmu pengetahuan dan teknologi
4. Sumber daya sosial, meliputi : a. Adat istiadat b. Hubungan masyarakat c. Keamanan d. Tingkat mobilitas
5. Sumber daya finansial, meliputi : a. Modal asing b. Modal domestik dalam negeri c. Modal domestik dalam kapet
Menurut Saaty (1993) tahapan analisis data sebagai berikut :
1). Mendifinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
Pendekatan AHP dalam rangka penentuan prioritas strategi pengembangan
wilayah, untuk menyusun analisis perlu diketahui terlebih dahulu faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap pengembangan wilayah di Kapet Bima.
2). Membuat struktur hirarki.
Struktur hirarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan
penentuan berbagai pendekatan strategi, serta dukungan sumber daya dan
berbagai komponennya. Adapun struktur hirarki strategi pengembangan wilayah
dalam penelitian ini adalah seperti pada gambar 2.
47
3). Membuat matriks dan nilai perbandingan berpasangan.
Matriks perbandingan berpasangan ini menggambarkan pengaruh relatif
atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat
diatasnya. Perbandingan didasarkan kepada Judgement (pendapat) dari para
pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen
dibandingkan dengan elemen lainnya.
Membuat matriks komparasi berpasangan dimaksudkan untuk
menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-
masing tujuan atau kriteria/kepentingan yang setingkat diatasnya.
Penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hirarki (pendapat)
dilakukan dengan teknik komparasi berpasangan. Teknik komparasi berpasangan
yang dipakai dalam AHP adalah Judgement dari narasumber yang memahami
permasalahan (dipilih sebagai expert/key informan) dengan cara melakukan
wawancara langsung dan menilai tingkat kepentingan satu elemen dan
dibandingkan dengan elemen lainnya.
Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen
dengan komparasi berpasangan yang dimulai dari tingkat yang paling tinggi
sampai dengan yang terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan Judgment para
narasumber berdasarkan skala komparasi 1-9. Nilai skala komparasi digunakan
untuk mengkuantitatifkan data yang bersifat kualitatif. Skala banding secara
berpasangan tersebut dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Matriks Nilai Perbandingan
Tingkat
kepentingan Definisi
1 Kedua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya
5 Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya
7 Satu elemen sangat jelas lebih penting daripada elemen lainnya 9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya
2,4,6,8 Nilai-nilai yang diberikan apabila ragu-ragu antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Jika vektor pembobotan elemen-elemen kegiatan A1,A2,… An dinyatakan
sebagai vektor W, dengan W = (W1,W2,… Wn), maka intensitas kepentingan
48
elemen kegiatan A1 dibandingan dengan A2 dinyatakan sebagai perbandingan
bobot elemen kegiatan A1 terhadap A2, dimana nilai perbandingan elemen
kegiatan A1 terhadap A2 adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan elemen
kegiatan A2 terhadap A1. sehingga matriks perbandingannya sebagai mana yang
tertuang pada tabel 4.
Tabel 4 Matriks Perbandingan Berpasangan
A1 A2 A3 An
A1 A2 A3 .
An
W1/W1 W1/W2 W1/W3 ……… W1/Wn W2/W1 W2/W2 W2/W3 ……… W2/Wn W3/W1 W3/W2 W3/W3 ……… W3/Wn
Wn/W1 Wn/W2 Wn/W3 …….. Wn/Wn
4). Penentuan Prioritas
Setelah setiap kriteria dan alternative dilakukan perbandingan
berpasangan (pair wise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian
diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternative.
Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan
sesuai dengan Judgment yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan
prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui
penyelesaian persamaan matematik.
5). Konsistensi Logis
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara
konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Untuk membantu dalam analisis
hirarki proses sampai pada penentuan konsistensi pendapat (consistency ratio)
maka digunakan software : Expert Choice 2000.
3.4.9. Analisis SWOT
Atas dasar hasil analisis sebelumnya serta dengan memperhatikan
keadaan lingkungan baik internal maupun eksternal, maka selanjutnya dilakukan
analisis strategi pengembangan wilayah Kapet Bima. Analisis strategi
pengembangan wilayah Kapet Bima dilakukan dengan metode analisis SWOT
(Strengths Opportunities Weaknesses dan Threats).
49
Analisis SWOT digunakan untuk menelaah strategi pengembangan
wilayah Kapet Bima ke depan, yakni dengan menggunakan analisis kualitatif
untuk menganalisis berbagai faktor secara sistematis dan memformulasikan
strategi pengembangan wilayah. Dengan mengunakan matriks SWOT akan dapat
memberikan kesimpulan tentang strategi pengembangan wilayah Kapet Bima.
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(Strengths) dan peluang (Opportunities) suatu program pengelolaan dan secara
bersamaan dapat pula meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman
(Threats). Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar
keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui minimal 3 (tiga) tahapan
berikut (Marimin 2004) :
1. Tahap 1, pengumpulan data, identifikasi dan evaluasi faktor internal dan
eksternal.
2. Tahap 2, Analisis dan pembuatan matriks SWOT.
3. Tahap 3, pengambilan keputusan dari berbagai alternatif Kebijakan
Tahapan pengumpulan data , identifikasi dan evaluasi, digunakan untuk
mengetahui keadaan lingkungan internal dan eksternal dalam pengembangan
wilayah yang didapat baik dari data primer maupun dari data sekunder. Data-data
tersebut dievaluasi dan dikelompokkan dalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman.
Tahapan selanjutnya adalah tahapan menganalisis dalam suatu Matrik
SWOT, yang menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman
eksternal yang dihadapi dalam pengembangan wilayah dapat disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Dari matriks ini akan terbentuk empat
kemungkinan alternatif strategi. Adapun Matrik SWOT serta alternatif strategi
dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5 Matriks SWOT Faktor intern
Faktor ekstern STRENGTH-S :
Daftar faktor-faktor kekuatan WEANESS-W :
Daftar faktor-faktor kelemahan OPPORTUNITIES-O :
Daftar faktor-faktor peluang STRATEGI S-O :
Gunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI W-O : Atasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang
THREATS-T : Daftar faktor-faktor ancaman
STRATEGI S-T : Gunakan kekuatan untuk
menghindari ancaman
STRATEGI W-T : Meminimalkan kelemahan dan
menghindari ancaman
50
Matriks SWOT digunakan untuk menyusun strategi pengembangan
wilayah Kapet Bima. Matriks ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang
dan ancaman yang dihadapi dalam pelaksanaan dari program. Matriks ini
menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi, yaitu strategi SO
(Strengths-Opportunities), strategi WO (Weaknesses-Opportunities), strategi ST
(Strengths-Threats)dan strategi WT (Weaknesses-Threats). Pemilihan strategi
dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi kegiatan dalam mencapai
tujuan pengembangan wilayah yang ditetapkan.
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Wilayah Administrasi dan Kependudukan
4.1.1. Batas Administrasi Wilayah Penelitian
Secara Administrasi, Kapet Bima terdiri dari 2 (dua) kabupaten dan
1 (satu) kota, yakni Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu dan Kota Bima.
Kabupaten Bima terdiri dari 14 kecamatan dan 150 desa. Kota Bima terdiri dari
3 (tiga) kecamatan dan 25 kelurahan. Sedangkan Kabupaten Dompu terdiri dari
8 (delapan) kecamatan, 9 (sembilan) kelurahan dan 57 desa. Adapun gambaran
tentang Sebaran Kecamatan, Kelurahan dan Desa Per Kabupaten/Kota di Kapet
Bima dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6 Sebaran Kecamatan, Kelurahan dan Desa Per Kabupaten/Kota di Kapet Bima.
Kabupaten/Kota Kecamatan Kelurahan Desa
Kabupaten Bima 14 - 150
Kota Bima 3 25 -
Kabupaten Dompu 8 9 57
Kapet Bima 25 36 207 Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Adapun batas-batas wilayah Kapet Bima adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Laut Flores
Sebelah Selatan : Samudra Hindia
Sebelah Timur : Selat Sape
Sebelah Barat : Kabupaten Sumbawa
Wilayah Kapet Bima berupa daratan dan perairan/lautan. Luas wilayah
daratan Kapet Bima 6.921,45 Km2 terdiri dari Kabupaten Bima 4.374,65 Km2,
Kabupaten Dompu 2.324,55 Km2 dan Kota Bima 222,25 Km2, sedangkan luas
lautnya adalah 12,180.96 Km2 yang terdiri dari Kabupaten Bima 9,785.00 Km2,
Kota Bima 142.96 Km2 dan Kabupaten Dompu 2,253.00 Km2. Adapun gambaran
luas wilayah Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 7.
52
Tabel 7 Luas Wilayah Kapet Bima
Kabupaten/Kota Luas Wilayah
Jumlah (Km2) (%)
Darat (Km2) (%)
Laut (Km2) (%)
Kab. Bima 4,374.65 63.20 9,785.00 80.33 14,159.65 74.12
Kota Bima 222.25 3.21 142.96 1.17 365.21 1.91Kab. Dompu 2,324.55 33.58 2,253.00 18.50 4,577.55 23.96Kapet Bima 6,921.45 100.00 12,180.96 100.00 19,102.41 100.00
Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Tabel 7 di atas menjelaskan bahwa Kabupaten Bima memiliki luas
wilayah yang paling besar yaitu 74.12 %, kemudian Kabupaten Dompu 23.96 %
dan yang paling kecil luas wilayah adalah Kota Bima 1.91 %. Selain berupa
daratan yakni dengan luas 36.23 % juga yang tidak kalah pentingnya adalah
keberadaan perairan dan lautan yang mencapai 63.77 % dari total luas wilayah,
sehingga keberadaan laut dan sumber daya yang terkandung didalamnya memiliki
potensi yang besar dan pengaruh yang strategis dan signifikan dalam
pengembangan wilayah di Kapet Bima.
4.1.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk Kapet Bima Tahun 2004 adalah sebanyak 735,084 jiwa,
yang terdiri dari 419,302 jiwa penduduk Kabupaten Bima, 116,425 jiwa penduduk
Kota Bima dan 199,357 jiwa penduduk Kabupaten Dompu. Dengan Luas
6,922.45 Km2, Kapet Bima memiliki kepadatan penduduk rata-rata 106 jiwa/Km2.
Tingkat kepadatan penduduk antar wilayah di Kapet Bima sangat beragam, baik
antar kabupaten maupun antar kecamatan.
Jumlah dan kepadatan penduduk perkecamatan di Kabupaten Dompu juga
sangat bervariasi, Kecamatan Dompu dan Woja memiliki jumlah penduduk paling
banyak yakni masing-masing 22.57 % dan 23.67 % dari total penduduk
Kabupaten Dompu sedangkan yang paling sedikit penduduknya adalah kecamatan
Kilo (5.42 %) dan Pajo (5.97 %). Tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi
adalah Kecamatan Dompu (201 jiwa) dan Woja (157 jiwa) sedangkan kepadatan
yang paling rendah adalah Pekat (30 jiwa) dan Kilo (46 jiwa). Adapun gambaran
53
tentang jumlah dan kepadatan penduduk perkecamatan di Kabupaten Dompu
dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kabupaten Dompu
No. Kecamatan Luas Jumlah Penduduk Kepadatan (Km2) (Jiwa) (%) (Jiwa/ Km2) 1 Huu 186.50 15,011 7.53 80 2 Pajo 135.32 11,892 5.97 88 3 Dompu 223.37 44,988 22.57 201 4 Woja 301.16 47,197 23.67 157 5 Kilo 235.00 10,811 5.42 46 6 Kempo 191.67 17,612 8.83 92 7 Manggelewa 176.46 25,480 12.78 144 8 Pekat 875.17 26,366 13.23 30 Jumlah 2,324.65 199,357 100.00 86
Sumber : BPS Kabupaten Dompu, 2004
Tabel 9 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kabupaten Bima
No. Kecamatan Luas Jumlah Penduduk Kepadatan (Km2) (Jiwa) (%) (Jiwa/ Km2) 1 Monta 451.00 43,773 10.44 97 2 Bolo 101.41 40,563 9.67 400 2 Mada Pangga 189.09 27,074 6.46 143 3 Woha 75.25 39,217 9.35 521 4 Belo 153.30 49,589 11.83 323 5 Langgudu 283.18 20,282 4.84 72 6 Wawo 225.27 27,980 6.67 124 7 Sape 244.53 48,957 11.68 200 8 Lambu 374.12 30,846 7.36 82 9 Wera 392.00 27,084 6.46 69 10 Ambalawi 255.50 17,475 4.17 68 11 Donggo 406.00 28,999 6.92 71 12 Sanggar 720.00 11,296 2.69 16 13 Tambora 505.00 6,167 1.47 12 Jumlah 4,375.65 419,302 100.00 96
Sumber : BPS Bima, 2004
Pada Tabel 9 tentang jumlah dan kepadatan penduduk perkecamatan di
Kabupaten Bima terlihat bahwa yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah
Kecamatan Belo (11.83 %), Sape (11.68 %), Monta (10.44 %), Bolo (9.67 %) dan
54
Woha (9.35 %), sedangkan jumlah penduduk yang relatif sedikit adalah
Kecamatan Tambora (1.47 %), Sanggar (2.69 %), Ambalawi (4.17 %) dan
Langgudu (4.84 %).
Berdasarkan Kepadatan Penduduk, Kecamatan yang memiliki tingkat
kepadatan paling tinggi adalah Woha (521 jiwa), Bolo (400 jiwa), Belo (323 jiwa)
dan Sape (200 jiwa), sedangkan tingkat kepadatan paling rendah adalah
Kecamatan Tambora (12 jiwa), Sanggar (16 jiwa), Ambalawi (68 jiwa) dan Wera
(69 jiwa).
Secara umum seluruh kecamatan di Kota Bima memiliki tingkat kepadatan
penduduk yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan kecamatan di Kabupaten
Bima atau Kabupaten Dompu yakni dengan rata-rata 524 jiwa, namun yang paling
menyolok adalah tingkat kepadatan di Kecamatan Rasanae Barat yakni 1,050 jiwa
sedangkan Rasanae Timur dan Asakota masing-masing memiliki tingkat
kepadatan penduduk 433 jiwa dan 361 jiwa. Hal ini dapat dimengerti mengingat
Kecamatan Rasanae Barat merupakan daerah pusat perdagangan sekaligus sebagai
pusat wilayah di Kapet Bima. Adapun gambaran tentang jumlah dan kepadatan
penduduk perkecamatan di Kota Bima dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kota Bima
No. Kecamatan Luas Jumlah Penduduk Kepadatan (Km2) (Jiwa) (%) (Jiwa/ Km2) 1 Rasanae Barat 40.10 42,088 36.15 1,050 2 Rasanae Timur 118.87 51,491 44.23 433 3 Asakota 63.28 22,846 19.62 361
Jumlah 222.25 116,425 100.00 524 Sumber : BPS Bima, 2004
Berdasarkan uraian di atas, terdapat fenomena bahwa daerah-daerah yang
secara relatif berada disekitar titik tengah wilayah atau yang dilewati jalur jalan
negara terdapat adanya kecenderungan pemusatan pemukiman penduduk
sedangkan daerah-daerah pinggir (hinterland) memiliki jumlah dan tingkat
kepadatan penduduk yang relatif rendah.
Tingkat pertumbuhan penduduk akan sangat menentukan perkembangan
wilayah. Penduduk akan cenderung bergerak menuju kepada wilayah yang
memiliki tingkat fasilitas hidup dan usaha yang relatif lengkap serta relatif
55
menyediakan lapangan pekerjaan dan peluang usaha yang lebih besar, namun
disisi lain tingkat kepadatan penduduk akan mempengaruhi tingkat kemampuan
pelayanan suatu fasilitas/infrastruktur wilayah. Jika tingkat kepadatan penduduk
makin meningkat, sementara kapasitas suatu fasilitas/infrastruktur tetap atau tidak
berubah, maka ketika melewati titik optimalnya, kualitas atau kemampuan
pelayanan fasilitas/infrastruktur wilayah tersebut cenderung akan semakin
menurun.
4.2. Gambaran Umum Perekonomian Wilayah
4.2.1. Struktur Perekonomian Wilayah
Struktur ekonomi yang terbentuk disuatu daerah ditentukan oleh peranan
masing-masing sektor dalam menciptakan nilai tambah. Struktur ekonomi tersebut
menggambarkan potensi dan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan
berproduksi dari masing-masing sektor. Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya
alam dan faktor-faktor produksi lainnya dalam menciptakan nilai tambah. PDRB
merupakan jumlah dari nilai tambah yang diciptakan dari seluruh aktivitas
perekonomian di suatu wilayah.
Tabel 11 menggambarkan kontribusi sektor-sektor terhadap PDRB Kapet
Bima atas dasar harga konstan’93 tahun 1996-2000. dari tabel tersebut
menjelaskan bahwa dari tahun 1996 sampai tahun 2000, perolehan PDRB di
Kapet Bima ternyata masih didominasi oleh sektor pertanian, kemudian diikuti
oleh sektor perdagangan hotel restoran dan sektor jasa-jasa, namun kontribusi
sektor pertanian di Kabupaten Bima dan Kota Bima mengalami penurunan
(45.87 % pada tahun 1996 dan 41.97 % tahun 2000) sedangkan sektor lain seperti
perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi
mengalami peningkatan, hal ini disebabkan oleh terus berkembangnya Kota Bima
sebagai daerah perdagangan dan jasa serta sebagai pusat pelayan bagi daerah-
daerah sekitarnya.
Di Kabupaten Dompu, kontribusi sektor pertanian sangat dominan
terhadap total PDRB dan mengalami peningkatan dari 43.43 % pada tahun 1996
meningkat menjadi 46.55 % pada tahun 2000, sedangkan sektor-sektor lain
56
cenderung mengalami penurunan seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran
serta sektor jasa-jasa. Keadaan ini menjelaskan adanya pertumbuhan daerah-
daerah hinterland di Kabupaten Dompu, dimana struktur perekonomian daerah-
daerah tersebut didominasi oleh sektor pertanian.
Tabel 11 Kontribusi Sektor-Sektor Terhadap PDRB Kapet Bima Atas Harga
Dasar Harga Konstan’93 Tahun 1996-2000
No
S e k t o r 1996 1997 1998 1999 2000
Kabupaten Bima dan Kota Bima 1 Pertanian 45.87 44.50 42,26 42,07 41,97 2 Pertambangan dan Energi 2.28 2.45 2,39 2,40 2,50 3 Industri Pengolahan 3.91 3.94 4,30 4,34 4,374 Listrik, Gas, Air Bersih 0.31 0.34 0,42 0,43 0,46 5 Bangunan 6.71 7.17 6,52 6,46 6,64 6 Perdagangan, Hotel, Restoran 15.74 16.11 16,60 16,43 16,42 7 Pengangkutan dan Komunikasi 7.35 8.01 9,75 10,34 10,65 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 2.00 2.21 1,32 1,34 1,35
9 Jasa-Jasa 15.78 15.28 16,45 16,18 15,64Kabupaten Dompu
1 Pertanian 43.43 43.53 43.15 45,61 46,55 2 Pertambangan dan Energi 2.71 2.69 2.46 2,40 2,32 3 Industri Pengolahan 3.73 3.67 4.04 3,92 3,83 4 Listrik, Gas, Air Bersih 0.29 0.28 0.33 0,34 0,36 5 Bangunan 8.11 8.00 7.55 7,17 6,95 6 Perdagangan,Hotel,Restoran 16.23 16.98 15.98 15,29 15,56 7 Pengangkutan dan Komunikasi 4.24 6.01 6.93 7,05 6,94 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 3.16 3.21 2.78 2,48 2,42
9 Jasa-Jasa 16.09 16.63 16.77 15,75 15,06Sumber : Bima dan Dompu Dalam Angka tahun 2001.
Tabel 12 menjelaskan nilai PDRB Kapet Bima Tahun 2003 sedangkan
tabel 13 menjelaskan pembentukan struktur ekonomi di Kapet Bima yang masih
didominasi oleh sektor pertanian yakni 46.31 % terhadap nilai total PDRB sebesar
Rp.1.21 trilyun. Diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar
16.03 % dan sektor jasa-jasa dengan kontribusi sebesar 14.82 %. Sedangkan total
nilai PDRB Kapet Bima adalah Rp.2.61 trilyun. Keadaan ini tidak berbeda jauh
dengan peranan masing-masing sektor ekonomi sebelum dibentuknya Kapet Bima
(sebelum tahun 1999), artinya belum ada perubahan struktur (transformasi)
ekonomi daerah yang siginifikan sejak dibentuknya Kapet Bima.
57
Tabel 12 PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003 Di Kapet Bima
No. Lapangan Usaha (Rp.000)
1 Pertanian 1,209,849,960 2 Pertambangan dan Penggalian 59,235,026 3 Industri Pengolahan 79,691,000 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 9,076,542 5 Bangunan 182,882,966 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 418,847,269 7 Pengangkutan dan Komunikasi 226,700,057 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 38,853,721 9 Jasa-Jasa 387,281,925
Total PDRB 2,612,418,466 Sumber : BPS Propinsi NTB, 2004a
Tabel 13 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003
No. Lapangan Usaha Kab. Dompu
Kab. Bima
Kota Bima
Kapet Bima
1 Pertanian 47.06 52.00 25.39 46.31
2 Pertambangan dan Penggalian 2.04 3.05 0.12 2.27
3 Industri Pengolahan 3.31 2.78 3.38 3.05 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.27 0.22 0.94 0.35 5 Bangunan 7.80 6.58 6.67 7.00
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 17.96 14.57 16.78 16.03
7 Pengangkutan dan Komunikasi 6.91 8.09 14.57 8.68
8 Keu, Persewaan dan Jasa Perushn 2.15 1.02 1.61 1.49
9 Jasa-Jasa 12.50 11.69 30.53 14.82 Total PDRB 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : BPS Propinsi NTB, 2004a
Peranan tiga sektor yakni pertanian, perdagangan, hotel dan restoran serta
jasa-jasa cukup tinggi terhadap struktur ekonomi di tiga kabupaten/kota di Kapet
Bima. Meskipun demikian masing-masing daerah ini memiliki karakteristik
masing-masing. Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima memiliki struktur
ekonomi yang hampir sama yakni sektor pertanian (primer) memberikan
kontribusi paling tinggi (masing-masing sebesar 47.06 % dan 52.00 %), disusul
perdagangan, hotel dan restoran (tersier) kemudian yang ketiga adalah jasa-jasa
58
(tersier). Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi tinggi terhadap struktur
ekonomi Kota Bima adalah jasa-jasa, kontribusi sektor tersier ini sebesar 30.53 %,
kemudian sektor pertanian (primer) dan perdagangan, hotel dan restoran (tersier),
namun untuk kegiatan sektor sekunder seperti industri pengolahan, aktivitas dan
nilai tambah di semua daerah di Kapet Bima cukup rendah yakni hanya sekitar
tiga persen dari total kegiatan ekonomi.
4.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator keberhasilan
pembangunan suatu daerah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tabel 14 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Bima dan Kota Bima adalah sebesar 7.52 %. Pertumbuhan paling tinggi adalah
pada sektor-sektor tersier, seperti sektor listrik gas dan air bersih, keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan, pengangkutan dan komunikasi, perdagangan,
hotel dan restoran, namun pada tahun 1997 sampai tahun 1998, pertumbuhan
ekonomi di Kabupaten Bima dan Kota Bima mengalami kemerosotan, yakni
minus 2.44 %. Demikian juga halnya dengan keadaan ekonomi Kabupaten
Dompu. Pada tahun 1996 pertumbuhan ekonomi mencapai 7.83 % dan pada tahun
1998 penurunan mencapai 1.08 %.
Kemerosotan ekonomi bukan hanya dialami oleh Kapet Bima. PDRB
Propinsi Nusa Tenggara Barat terus tumbuh dan berkembang dengan rata-rata laju
pertumbuhan 7.17 %, namun mengalami penurunan sebesar 5.26 % pada tahun
1997 sedangkan pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi minus 3.07 %.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 menurun dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya, karena Indonesia dilanda krisis moneter yang berlanjut kepada krisis
ekonomi. Terjadinya krisis ekonomi juga berdampak pada aktivitas sektor-sektor
produksi.
Pada tahun 1999, yakni setelah Kapet Bima terbentuk. Pertumbuhan
ekonomi di daerah ini mulai membaik kembali. Ekonomi Kabupaten Bima dan
Kota Bima mengalami pertumbuhan sebesar 3.01 % dan pertumbuhan paling
tinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi yakni sebesar 9.28 %.
Sedangkan di Kabupaten Dompu, secara umum pertumbuhannya mencapai
59
7.34 %, keadaan ini karena didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian sebagai
sektor dominan di daerah itu yakni mencapai 13.47 %. Sedangkan pertumbuhan
ekonomi rata-rata di Kapet Bima tahun 2000-2003 adalah sebesar 4.45 %
pertahun di atas pertumbuhan ekonomi propinsi NTB yakni 3.64 % pertahun. Hal
ini ditunjukkan pada tabel 15.
Tabel 14 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan’93
menurut Lapangan Usaha tahun 1996-1999 (persen)
No
S e k t o r 1996 1997 1998 1999Kabupaten Bima 7,52 4,56 -2,44 3,01
1 Pertanian 5,75 5,42 -3,17 2,542 Pertambangan dan Energi 8,90 10,57 -6,96 3,573 Industri Pengolahan 9,37 8,28 1,55 3,954 Listrik, Gas, Air Bersih 14,61 14,51 3,46 6,005 Bangunan 11,00 9,76 -12,11 2,016 Perdagangan, Hotel,Restoran 10,51 9,45 -1,55 2,017 Pengangkutan dan Komunikasi 12.10 11,73 9,30 9,288 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 13,55 13,18 -42,26 4,76
9 Jasa-Jasa 4,13 3,33 1,74 1,36Kabupaten Dompu 7,83 5,34 1,08 7,34
1 Pertanian 6,45 4,41 3,71 13,472 Pertambangan dan Energi 6,34 7,03 -12,91 4,603 Industri Pengolahan 10,45 5,85 0,95 4,134 Listrik, Gas, Air Bersih 10,90 8,85 -1,02 9,065 Bangunan 9,02 4,30 -7,89 1,946 Perdagangan,Hotel,Restoran 11,59 7,83 2,35 2,677 Pengangkutan dan Komunikasi 11,54 4,96 3,82 9,138 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 13,84 6,85 15,92 -4,34
9 Jasa-Jasa 4,50 5,32 2,48 0,80Sumber : Bima dan Dompu Dalam Angka Tahun 2001
Tabel 15 menggambarkan bahwa sektor yang memiliki laju pertumbuhan
paling tinggi di Kabupaten Dompu adalah pengangkutan dan komunikasi yakni
sebesar 8.65 %, Kabupaten Bima dan Kota Bima adalah keuangan, persewaaan
dan jasa perusahaan masing-masing sebesar 7.52 % dan 7.80 %. Sedangkan sektor
yang memiliki laju pertumbuhan paling rendah di Kabupaten Dompu, Bima, dan
Kota Bima adalah sektor jasa-jasa dengan laju pertumbuhan masing-masing
sebesar 2.43 %, 2.16 %, dan 1.76 %.
60
Tabel 15 Laju Pertumbuhan Rata-Rata PDRB Kapet Bima Pertahun Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2003 (Persen)
No. Lapangan Usaha Kab.
Dompu Kab. Bima
Kota Bima
Kapet Bima
1 Pert, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 3.86 4.34 3.87 4.15
2 Pertambangan dan Penggalian 5.52 5.51 6.21 5.52 3 Industri Pengolahan 4.62 4.34 5.54 4.65 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5.29 6.52 5.11 5.66 5 Bangunan 5.59 5.02 5.20 5.22
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7.53 4.54 5.90 5.63
7 Pengangkutan dan Komunikasi 8.65 4.91 6.32 6.09
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 6.62 7.52 7.80 7.16
9 Jasa-Jasa 2.43 2.16 1.76 2.12 Total PDRB 4.82 4.29 4.34 4.45
Sumber : BPS Propinsi NTB, 2004a
Laju pertumbuhan perekonomian Kapet Bima ikut memberikan dampak
pada pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Laju pertumbuhan PDRB Kapet
Bima pada tahun 2001 adalah 4.51 % sedangkan Propinsi NTB adalah sebesar
3.07 %, dan pada tahun 2003 laju pertumbuhan PDRB Kapet naik menjadi 5.34 %
sehingga dapat mendorong laju pertumbuhan PDRB Propinsi NTB mencapai
4.33 % pada tahun 2003.
Kapet Bima memiliki posisi penting dalam mendorong pertumbuhan
wilayah di Propinsi NTB yakni sebagai pusat pertumbuhan dan prime mover bagi
wilayah lainnya khususnya bagian timur Propinsi NTB (Pulau Sumbawa).
Aktivitas perdagangan sangat tinggi, yang didukung oleh kegiatan pengangkutan
yang cukup memadai, dinamika dan interaksi Kapet Bima dengan daerah lain di
Indonesia baik kawasan timur maupun Kawasan Indonesia Barat berlangsung
cukup baik. Kapet Bima memberikan kontribusi PDRB sebesar 22 % pada tahun
2000, dan pada tahun 2003 memberikan kontribusi sebesar 25 % dari total
PDRB NTB.
61
4.3. Kondisi Fisik Wilayah
4.3.1. Topografi
Kemiringan lahan di Wilayah Kapet Bima terbagi dalam 3 kategori yaitu :
< 15 % sebesar 32.20 %, kemiringan 15 – 40 % sebesar 35.56 % dan di atas 40 %
adalah 32.24 %. Secara rinci Persentase Luas Lahan Berdasarkan Kemiringan
untuk masing-masing wilayah disajikan pada tabel 16.
Tabel 16 Persentase Luas Lahan Berdasarkan Kemiringan
di Wilayah Kapet Bima
Kabupaten/Kota
Tingkat Kemiringan < 15o 15-40 o > 40 o
Kab. Bima 31.91 32.52 35.57
Kota Bima 50.03 37.82 12.15
Kab. Dompu 31.03 41.06 27.90
Kapet Bima 32.20 35.56 32.24 Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa dengan nilai kemiringan yang
beragam tersebut mengindikasikan bahwa Kapet Bima memiliki karakteristik
sebagai wilayah yang berbukit, sehingga menjadi suatu tantangan dalam
mobilitas sumber daya dan pengembangan wilayah. Sedangkan luas Kapet Bima
berdasarkan ketinggian tempat secara rinci disajikan pada tabel 17 berikut.
Tabel 17 Luas Kapet Bima Berdasarkan Ketinggian Tempat Tiap Kabupaten (Satuan Ha)
No. Kabupaten / Kota
Ketinggian Tempat (mdpl) Jumlah0 – 100 100 – 500 500 – 1000 >1000
1 Bima & Kota 117.41 205.75 89.35 47.19 459.69
2 Dompu 56.78 123.02 38.56 14.10 232.46
Total 174.19 328.77 127.90 61.28 692.15
Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
62
Daerah-daerah dengan ketinggian 10-1000 mdpl memiliki potensi sebagai
Kawasan Budidaya, sedangkan daerah dengan ketinggian di atas 1000 mdpl dapat
dipertahankan sebagai Kawasan lindung yakni 61.28 Ha.
4.3.2. Iklim
Menurut Schmith dan Ferguson, Iklim di wilayah Kapet Bima termasuk
iklim tipe D, E dan F, dengan suhu udara di wilayah relatif tinggi yaitu 30-32 0C
pada siang hari.
Tabel 18 Keadaan Iklim Di Wilayah Kapet Bima
No. Uraian Satuan Nilai
1 Suhu Udara 07.00 oC 25.10 13.00 oC 31.90 18.00 oC 26.80 Rata-Rata oC 27.20 Min oC 20.10 Max oC 36.20 2 Curah Hujan mm 83.90 3 Radiasi Matahari % 75.20 4 Keadaan Lembab Nisbi 07.00 (RH %) 86.00
13.00 (RH %) 57.00 18.00 (RH %) 79.00 Rata-Rata (RH %) 77.00
Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Tabel 18 memberikan gambaran bahwa rata-rata suhu udara adalah
27.20 0C, dengan kisaran 20.10 0C sampai dengan 36.20 0C sedangkan rata-rata
curah hujan di Kapet Bima adalah rata-rata 83.9 mm/bulan dengan 13 hari hujan
perbulan.
4.3.3. Hidrologi
Kabupaten Bima dan Kota Bima dialiri sungai besar dan kecil sebanyak
26 buah dengan panjang 5-95 Km dan sudah dimanfaatkan untuk irigasi pertanian.
Di Kabupaten Dompu terdapat 18 buah sungai dengan sungai Baka dan sungai
Laju merupakan sungai besar yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
kegiatan pertanian (BP Kapet Bima 2004).
63
Daerah Kabupaten Bima dan Kota Bima memiliki drainase cukup baik,
yakni dengan luas lahan yang tidak tergenang 1.085 ha atau
(91,7 %) sedangkan areal tergenang terus menerus seluas 98 ha (8,3 %) dan
lokasinya tersebar. Sedangkan daerah Kabupaten Dompu seluas 98,65%
(229.312 ha) tidak tergenang air dan yang tergenang secara periodik hanya seluas
1.35 % atau 3.019 ha (BP Kapet Bima 2004).
4.3.4. Geologi
Berdasarkan Peta Geologi Pulau Sumbawa skala 1 : 250.000, Kabupaten
Bima dan Kota Bima tersusun atas kelompok batuan endapan permukaan (seperti
krikil, pasir, lempung dan andesit, batuan gunung api muda dan tua, batuan
endapan dan batuan terobosan). Tingkat erosi tanah di Kabupaten Bima dan Kota
Bima relatif tinggi yaitu sebesar 91,34% (418.89 ha).
Kabupaten Dompu tersusun dari batuan hasil gunung api lebih tua, tua,
muda, batuan endapan permukaan, lempeng tufan dan terumbu karang. Sedangkan
tanah yang peka erosi di Kabupaten Dompu sebesar 62,10% (114.34 Ha).
4.3.5. Tanah
Jenis tanah di wilayah Kapet Bima pada umumnya terdiri dari jenis
aluvial, Komplek Regusol, Litosol dan Komplek Mediteran. Sedangkan tekstur
tanah dikelompokkan atas tekstur kasar (pasir lempung berdebu, dan pasir
berdebu), tekstur sedang (lempung berdebu dan lempung liat berpasir) dan tekstur
halus (liat, liat berlempung, liat berpasir dan lempung liat berpasir). Tekstur
sedang memiliki daerah penyebaran yang paling luas yaitu mencapai 77,81 %,
tekstur halus hanya 0,93 % dan sisanya tekstur kasar seluas 21,26%
(BP Kapet Bima 2004).
4.4. Pola Penggunaan Lahan
Pola penggunaan lahan di wilayah Kapet Bima cukup beragam, namun
penggunaan untuk hutan adalah yang paling dominan, yakni meliputi Hutan
Rakyat 54.39 Ha (7.86 %) dan Hutan Negara 386,25 Ha (55.80 %). Pada tabel 19
dijelaskan bahwa sawah beririgasi hanya 36,823 Ha (5.32 %) sedangkan sisanya
64
berupa lahan kering, baik untuk jenis penggunaan padang rumput (3.59 %),
perkebunan (1.93 %), tegalan (7.08 %), ladang (1.34 %) maupun yang belum
diusahakan (3.63 %). Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa ketersediaan lahan
kering yang cukup besar di Kapet Bima (38.40 % atau seluas 94.68 % jika
termasuk hutan negara) menjadi permasalahan dalam pengembangan usaha tani
lahan basah, namun menjadi keunggulan komparatif tersendiri untuk
pengembangan agrobisnis dan agroindustri yang berbasis komoditi lahan kering
(palawija, peternakan, perkebunan dan kehutanan serta kegiatan industri).
Tabel 19 Jenis Penggunaan Lahan Di Wilayah Kapet Bima
Jenis Penggunaan Lahan Luas
(Ha) (%) Tanah Sementara Tidak Diusahakan 25,083 3.62 Kolam/empang/rawa 68 0.01 Hutan Rakyat 54,389 7.85 Hutan Negara 386,242 55.80 Padang Rumput 24,902 3.60
Perkebunan 13,331 1.92 Perumahan 6,377 0.92 Sawah irigasi 1 x panen 16,297 2.35 Sawah irigasi 2 x panen 20,526 2.96 Sawah tadah hujan 6,601 0.95 Tambak 3,054 0.44 Tegalan 48,984 7.07 Ladang/huma 9,238 1.33 Lainnya 77,053 11.13 Total 692,145 100,00
Sumber : BP Kapet Bima, 2004
4.5. Potensi Pengembangan Wilayah
Kapet Bima memiliki ragam sumber daya, baik ketersediaan sumber daya
alamnya seperti potensi pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan
dan kehutanan, perikanan dan peternakan, serta potensi tambang dan galian.
Selain itu juga didukung potensi sumber daya manusia, sosial dan budaya, serta
65
infrastruktur yang meliputi infrastruktur industri perdagangan, utilitas wilayah,
serta perhubungan.
4.5.1. Komoditi Pertanian
Sebagai daerah yang memiliki karakteristik agraris, maka aktivitas
pertanian dalam arti umum masih memberikan kontribusi besar dalam
perekonomian Kapet Bima. Usaha tani tersebut meliputi subsektor padi dan
palawija (7 komoditas), sayuran (15 komoditas), buah-buahan (16 komoditas),
perkebunan (15 komoditas), peternakan (13 komoditas) dan perikanan
(56 komoditas).
Tabel 20 Komoditas Pertanian Dominan di Kapet Bima
No. Komoditi Kapet Bima % Kapet Thdp NTB
A. Padi & Palawija Ha Ton Ha Ton
1. Padi 88,872.00 369,538.00 27.26 25.19
2. Kacang Tanah 14,945.00 18,198.00 36.43 36.97
3. Kacang Kedelai 36,952.00 44,172.00 48.84 48.28
B. Sayur-Sayuran Ha Ton Ha Ton
1. Bawang Merah 6,859.00 62,441.00 71.73 80.84
C. Buah-buahan Pohon Ton Pohon Ton
1. Sirsak/srikaya 290,715.00 30,593.00 71.13 88.00
2. Pepaya 120,599.00 4,343.00 54.28 45.49
3. Nangka 93,122.00 40,366.00 19.36 35.19
D. Perkebunan Ha Ton Ha Ton
1. Kopi 2,897.40 1,464.13 23.24 32.50
2. Jambu Mete 17,427.50 4,827.41 31.88 38.77
3. Asam 1,467.90 2,001.53 49.64 56.84
4. Kemiri 2,178.50 1,258.07 68.13 79.00
5. Wijen 1,056.10 381.03 86.77 50.24
6. Jarak 1,821.81 669.89 85.32 88.40 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
66
Dari tabel 20 diketahui bahwa terdapat beberapa komoditi dominan yang
diusahakan di Kapet Bima dengan nilai produksi > 300 ton atau pengusahaan
> 1,000 Ha serta memberikan kontribusi yang tinggi terhadap nilai produksi
pertanian di Propinsi Nusa Tenggara Barat (>25 %) . Adapun komoditi dominan
yang dimaksud adalah :
- Padi dan palawija : padi, kacang tanah dan kacang kedelai
- Sayur-sayuran : Bawang Merah
- Buah-buahan : Sirsak/srikaya, papaya dan nangka
- Perkebunan : Kopi, jambu mete, asam, kemiri, wijen dan jarak
Diantara komoditas dominan tersebut, yang memberikan kontribusi yang
paling tinggi terhadap produksi pertanian di Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah:
- Padi dan palawija : Kacang Kedelai (48,28 %)
- Sayur-Sayuran : Bawang Merah (80.84 %)
- Buah-buahan : Sirsak/srikaya (88.00 %)
- Perkebunan : Jarak (88.40 %)
Pada Subsektor peternakan, komoditas dominan yang diusahakan di Kapet
Bima dengan nilai pengusahaan > 10,000 ekor dan tingkat kontribusi
> 20 % terhadap produksi atau nilai populasi ternak di Propinsi Nusa Tenggara
Barat dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21 Komoditas Peternakan Dominan Di Kapet Bima
No. Jenis Ternak Kapet Bima (Ekor) % Kapet Thdp NTB
1 Kuda 16,777 22.07
2 Sapi 105,442 24.75
3 Kerbau 44,443 28.35
4 Kambing 69,242 23.06 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Dari tabel 20 di atas terlihat bahwa terdapat 4 jenis ternak yang merupakan
komoditas dominan yakni : kuda, sapi, kerbau dan kambing. Komoditi dominan
yang memiliki jumlah populasi paling banyak adalah jenis ternak sapi
(105,442 ekor) sedangkan yang memberikan kontribusi yang paling besar
67
terhadap nilai produksi atau populasi ternak di Propinsi Nusa Tenggara Barat
adalah kerbau (28.35 %).
Salah satu aktivitas usaha yang paling dominan di Kapet Bima adalah di
subsektor perikanan. Kegiatan itu meliputi perikanan laut yakni berupa usaha
penangkapan, budidaya mutiara dan kerapu, sedangkan pada usaha perikanan
darat adalah kegiatan budidaya air payau.
Tabel 22 Usaha Perikanan Dominan Di Kapet Bima
No. Komoditi Produksi (Ton) % Kapet Thdp NTB
1. Ikan Laut Tangkapan 29,453.00 35.00
2. Biji Mutiara 0.50 42.00
3. Kerapu 62.20 32.00
4. Budidaya Air Payau 5,359.30 53.00 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Dari tabel 22 menjelaskan bahwa beberapa kegiatan yang memberikan
kontribusi paling besar terhadap nilai produksi usaha perikanan di Propinsi Nusa
Tenggara Barat adalah budidaya mutiara (42 %) untuk usaha perikanan laut, dan
budidaya air payau (53 %) untuk usaha perikanan darat.
Sumber daya perikanan laut di Kapet Bima terdiri dari 56 jenis komoditi,
namun yang memiliki produksi > 50 ton dan memberikan kontribusi > 30 %
terhadap produksi Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah 26 komoditas. Adapun
komoditi perikanan laut dominan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 23.
Dari 26 komoditas perikanan laut dominan di atas, maka yang memiliki
produksi tertinggi adalah peperek (2,246.20 ton), kembung (2,418.40 ton), Sunglir
(2,932.20 ton), teri (2,963.40), Lemuru (3,978.10 ton) dan Layang (4,270.30).
Sedangkan yang memberikan kontribusi terhadap produksi perikanan laut
Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah komoditi Beloso (89.31 %), udang dogol
(89.54 %), rajungan kepiting (85.45 %), rumput laut (89.47 %), dan ikan sunglir
(89.98 %).
Potensi berbagai komoditas pertanian di atas cukup tinggi dan diusahakan
oleh sebagian besar masyarakat di Kapet Bima, namun pengelolaannya masih
68
sederhana dan bersifat tradisional padahal di sisi lain kegiatan perikanan ini dapat
mendorong perkembangan hotel dan restoran, kepariwisataan, serta industri
pengolahan ikan. Disamping itu komoditi udang, kepiting dan rumput laut adalah
komoditi yang memiliki keunggulan komparatif serta bernilai jual tinggi untuk
kegiatan eksport.
Tabel 23 Komoditi Perikanan Laut Dominan Di Kapet Bima
No. Jenis Komoditi Kapet Bima (Ton) % Kapet Thdp NTB
1. Udang Lainnya 52.70 32.55 2. Udang Putih 63.20 52.89 3. Kepiting 90.10 56.95 4. Udang Windu 105.30 64.88 5. Beloso 117.00 89.31 6. Udang Dogol 117.30 89.54 7. Rajungan Kepiting 143.30 85.45 8. Sotong 146.30 50.92 9. Belanak 171.20 34.59 10. Gulamah 175.90 50.00 11. Cumi-Cumi 179.30 32.75 12. Tuna 193.70 35.36 13. Rumput Laut 219.20 89.47 14. Ikan Terbang 264.40 53.79 15. Kurisi 343.50 34.45 16. Merah Bambangan 365.70 39.92 17. Cakalang 712.40 28.01 18. Layur 808.20 63.73 19. Selar 1,099.50 45.54 20. Tembang 1,851.20 40.46 21. Peperek 2,246.20 42.50 22. Kembung 2,418.40 50.24 23. Sunglir 2,932.20 83.98 24. Teri 2,963.40 51.66 25. Lemuru 3,978.10 59.47 26. Layang 4,270.30 72.91
Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
69
4.5.2. Pertambangan dan Galian
Potensi bahan galian di Kapet Bima cukup beragam, yang terdiri dari
empat komoditi bahan galian B yakni belerang, emas, pasir besi dan perak, serta
enam komoditi bahan galian golongan C. Adapun sebaran potensi bahan galian
golongan B dan C dapat dilihat pada tabel 24 dan tabel 25.
Tabel 24 Potensi Bahan Galian Golongan B di Kapet Bima (Ton)
No. Jenis Galian Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima
1 Belerang 183.90 - - 183.90
2 Emas - 0.39 - 0.39
3 Pasir Besi 2,745,400.00 17,218.83 - 2,762,618.83
4 Perak - 3.90 - 3.90 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Dari tabel 24 terlihat bahwa pasir besi memiliki nilai ketersediaan yang
sangat besar yakni 2,76 juta ton yang tersebar di dua kabupaten, yakni Kabupaten
Bima sebanyak 17,21 ribu ton dan yang terbanyak di Kabupaten Dompu sebanyak
2.75 juta ton.
Tabel 25 Potensi Bahan Galian Golongan C (m3)
No. Jenis Galian Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima
1 Batu Bangunan 9,605,177.71 49,555,888.03 2,148,094.00 61,309,159.74
2 Pasir - 1,000.00 - 1,000.00
3 Sirtu Pasir & Kerikil 1,065,953.00 132,198.00 68,000.00 1,266,151.00
4 Batu Kapur 2,074.00 3,671,511.98 - 3,673,585.98
5 Tanah Liat 858,782.33 3,977,364.50 4,645,000.00 9,481,146.83
6 Marmer - 62,270,163.00 95,999,500.00 158,269,663.00 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Potensi bahan galian golongan C tersebar hampir merata di tiga
Kabupaten/Kota yang ada di Kapet Bima, dan yang paling besar ketersediaannya
adalah marmer sebanyak 156.27 juta m3, dengan rincian 62.27 juta m3 di
70
Kabupaten Bima dan 96 juta m3 di Kota Bima. Potensi bahan galian golongan B
di Kapet Bima pada umumnya pengelolaannya masih berstatus eksploratif.
Sedangkan bahan galian golongan C pada umumnya sudah diusahakan dan
dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat dan pemerintah, baik untuk
berbagai macam penggunaan terutama untuk perumahan dan bangunan lainnya.
4.5.3. Panorama Alam dan Potensi Pariwisata
Kapet Bima merupakan salah satu daerah transit wisata yang belum
dioptimalkan potensinya. Terdapat banyak panorama alam dan objek wisata yang
tersebar diseluruh wilayah yang meliputi wisata alam, wisata budaya, wisata
pantai, dan laut.
Tabel 26 Sebaran Objek Wisata dan Panorama Alam
di Kapet Bima
No. Nama Jenis Obyek Wisata Lokasi
1 Pulau Nisa sura Wisata Alam / Bahari Langgudu
2 Pantai Wane Wisata Alam / Bahari Monta
3 Pantai Lere Wisata Alam / Bahari Monta
4 Pantai Mrada Wisata Alam / Bahari Monta
5 Pantai Papa Wisata Alam / Bahari Lambu
6 Pantai Lambu Wisata Alam / Bahari Lambu
7 Pantai Nisa Nae Wisata Alam / Bahari Sape
8 Pantai Lamere Wisata Alam / Bahari Sape
9 Pantai Kelapa Wisata Alam / Bahari Sape
10 Pantai So See Wisata Alam / Bahari Sape
11 Pantai Matamboko Wisata Alam / Bahari Sape
12 Taman Laut Bajo Pulo Wisata Alam / Bahari Sape
13 Taman Laut Torowamba Wisata Alam / Bahari Sape
14 Gua Anak Fari Wisata Alam/laut Sape
15 Pesanggrahan Sape Wisata budaya Sape
16 Dam Sumi (Dimu Woro) Wisata alam Lambu
17 Taman Rekreasi (Oi Wobo) Wisata alam Wawo
18 Lengge Maria Wisata budaya Wawo
19 Rumah Adat Sambori Wisata budaya Wawo
71
No. Nama Jenis Obyek Wisata Lokasi
20 Pesanggrahan Wawo Wisata budaya Wawo
21 Rumah Adat Mbawa Wisata budaya Donggo
23 Wadu Pa’a Situs budaya Donggo
24 Pesanggrahan Donggo Situs Budaya Donggo
25 Karombo Wera Wisata budaya Wera
26 Pulau Sangiang Situs budaya Wera 27 Pantai Oi Fanda Wisata Alam/laut Wera
28 Pantai Nangaraba Wisata Alam / Bahari Wera
29 Pulau Ular Wisata Alam / Bahari Wera
30 Mada Oi Pangga Wisata alam Madapangga 31 Air terjun Sori Panihi Wisata alam Tambora 32 Mata air Tampuro Wisata alam Sanggar 32 Mata air Tampuro Wisata alam Sanggar 33 Puncak gunung Tambora Wisata alam Tambora
34 Kebun kopi Wisata alam Tambora
35 Pantai Lawata Wisata Alam / Bahari Teluk Bima
36 Pantai Ule Wisata Alam / Bahari Asakota 37 Pantai Kolo Wisata Alam / Bahari Asakota 38 Pulau Kambing Wisata Alam / Bahari Teluk Bima
39 Benteng Asakota. Wisata Budaya Asakota
40 Istana Kesultanan Bima Wisata Budaya Rasanae Barat
41 Bukit dantraha (komplek makam kesultanan Bima) Wisata Budaya Rasanae Barat
42 Pantai Labuhan Kananga Wisata Alam / Bahari Tambora
43 Pantai Hu'u Wisata Alam / Bahari Hu’u
44 Pantai Lakey di Teluk Cempi Wisata Bahari/Surfing Hu’u
45 Pantai Riwo Wisata Alam / Bahari Woja
46 Pantai Hodo Wisata Tirta/Bahari Kempo
47 Pantai Ria Wisata alam/bahari Woja
48 Pulau Satonda dan Sekitarnya Wisata alam/bahari Pekat/Tambora
49 Gili Nae (Nisa Panihi) Wisata alam/bahari Kempo
50 Gili Bajo Wisata alam/bahari Kempo
51 Gili Macangkir Wisata alam/bahari Kempo
52 Gili Torobero Wisata alam/bahari Kempo
53 Gili Sapeno Wisata alam/bahari Kempo
54 Gili Saroko Wisata alam/bahari Kempo Sumber : Dari Berbagai Data Sekunder.
72
Dari tabel 26 diketahui bahwa di Kapet Bima teridentifikasi sedikitnya 54
obyek wisata dan panorama alam yang memiliki karakteristik dan keunikan
masing-masing dan tersebar hampir merata diseluruh wilayah Kapet Bima, mulai
dari ujung timur Kecamatan Sape dan Lambu sampai ujung barat wilayah Kapet
Bima yakni Kecamatan Tambora dan Pekat, namun obyek wisata dan panorama
alam tersebut umumnya belum dikelola dengan baik dan professional sebagai
suatu potensi ekologi, ekonomi dan sosial wilayah yang bernilai tinggi.
4.5.4. Sumber Daya Hayati
Kapet Bima memiliki karakteristik wilayah yang relatif beragam.
Wilayahnya berbukit-bukit namun juga merupakan daerah pesisir yang dikelilingi
lautan, sedangkan dibeberapa tempat terdapat hutan belukar serta hamparan
rumput dan ilalang. Di dalam wilayah tersebut terdapat kekayaan sumber daya
hayati.
Sumber daya hayati yang cukup terkenal dari Kapet Bima adalah madu
merah dan madu kristal. Madu memiliki kalori tinggi dan kaya khasiatnya sebagai
suplemen energi dan obat berbagai penyakit. Sumber penghasil madu di wilayah
Kapet Bima ada di beberapa tempat, namun yang terkenal adalah di Kawasan
Gunung Tambora (2.851 mdpl), tepatnya di Desa Piong Kecamatan Sanggar. Di
sekitar gunung yang pernah meletus Tahun 1815 itu terdapat kawasan hutan
seluas 122,600 Ha, tumbuh pepohonan sebagai sumber nektar madu dan koloni
lebah madu berkembang biak.
Madu kristal (madu putih) yang juga merupakan madu hutan liar (tidak
dibudidayakan) mengandung 100 kali serbuk sari dibandingkan madu merah,
terdapat di lereng Gunung Tambora pada ketinggian 900-2000 mdpl,
terkonsentrasi di areal seluas 15,000 Ha. Di lokasi tersebut tumbuh “taride bura”
(tumbuhan liar berbunga putih) atau Moschosma Polystachlyum yang diduga
sebagai nektar sehingga menjadi sebab mengkristalnya madu tersebut, namun
anggapan tersebut diragukan oleh para peneliti LIPI.
Menurut Soenarto Adisoemarto dan Anita Hanna Atmowidjojo (Peneliti
LIPI yang menjelajah kawasan Tambora 16 September-1 Oktober 1986) bahwa
kristalisasi madu tersebut masih dianggap misteri dan langka karena jenis
73
tumbuhan yang termasuk suku labitae tersebut ada juga di daerah lain, seperti di
pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTB, NTT dan daerah lainnya, namun madu
kristal itu tidak ada di daerah-daerah lain selain di Lereng Gunung Tambora
(Hamzah, 2004).
Selain madu, masih banyak sumber daya hayati yang terdapat di Kapet
Bima diantaranya adalah sebagai berikut (Hamzah, 2004) :
- Susu kuda liar, dapat menyembuhkan kanker, tumor dan liver.
- Jamblang (duwe), dapat membantu memperbaiki gangguan pencernaan dan
menurunlan kadar glukosa darah
- Delima (talima), dapat membantu menghentikan pendarahan dan anti virus.
- Mahkota dewa, dapat membantu menghilangkan gatal dan anti kanker.
- Patah Tulang (bake tula), dapat membantu menyembuhkan rematik dan nyeri
saraf.
- Sesuru, dapat berfungsi sebagai anti radang dan sesak napas.
- Tapak liman, dapat berfungsi sebagai antibiotik dan penawar racun
- Tasbeh, dapat membantu menyembuhkan demam dan hipertensi.
4.5.5. Sumber Daya Manusia, Sosial dan Budaya
a. Komposisi Penduduk, Pendidikan dan Lapangan Usaha
Pesatnya pertumbuhan dan kepadatan penduduk jika tidak diimbangi
dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta lapangan pekerjaan yang
cukup, malah menjadi suatu permasalahan besar dalam pengembangan suatu
wilayah, baik aspek sosial ekonomi dan politik. Berbagai permasalahan yang
dapat ditimbulkannya antara lain rendahnya tingkat produktifitas dan pendapatan
baik secara total maupun perkapita, tingkat pengangguran dan kemiskinan yang
tinggi, kriminalitas dan beban sosial lainnya dapat menjadi semakin besar.
Jumlah penduduk di wilayah Kapet Bima pada tahun 2001 adalah
694.362 jiwa dengan rincian di Kabupaten Bima 396.626 jiwa, di Kabupaten
Dompu 184.846 jiwa dan Kota Bima 112.890 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk
tahun 1990-2000 rata-rata 1,78 % pertahun dimana Kabupaten/Kota Bima tumbuh
1,24 % per tahun, Kabupaten Dompu banyak menerima transmigran tumbuhnya
2,31 % pertahun.
74
Penyebaran penduduk tidak merata dan konsentrasinya relatif tinggi pada
kecamatan-kecamatan yang berada dilintasan jalan negara yaitu Kecamatan Woja,
Dompu, Bolo, Woha, Belo, RasanaE Barat, RasanaE Timur, Wawo Utara dan
Sape. Kepadatan penduduk Kapet Bima rata-rata 100,32 jiwa/Km2 dengan
kepadatan di Kabupaten Bima 90,66 jiwa/Km2, Kabupaten Dompu
79,51 jiwa/ Km2 dan Kota Bima 507,94 jiwa/ Km2.
Kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Bima yaitu 7 jiwa/Km2
berada di Kecamatan Tambora yang merupakan Kecamatan terluas kedua setelah
Kecamatan Sanggar yaitu 505,00 Km2. Kondisi yang relatif sama di Kabupaten
Dompu terdapat di Kecamatan Pekat yaitu kepadatan 27 jiwa/Km2 dengan luas
875,17 Km2 (kecamatan terluas). Penduduk terpadat di Kabupaten Bima yaitu
sebesar 510 jiwa/Km2 terdapat di Kecamatan Woha dengan luas 75,25 Km2 dan
untuk Kabupaten Dompu terdapat di Kecamatan Dompu dengan kepadatan 166
jiwa/Km2 dengan luas wilayahnya 223,27 Km2 . Sementara itu kepadatan
penduduk di Kota Bima, memiliki kepadatan penduduk diatas rata-rata kepadatan
penduduk Kapet Bima yakni terbanyak di Kecamatan Rasanae Barat sebesar
603 jiwa/Km2 (luas 103,38 Km2) dan terjarang 425 jiwa/Km2 (luas 118,87 Km2)
di Kecamatan Rasanae Timur .
Struktur umur penduduk Kapet Bima di Kabupaten Bima, Dompu dan
Kota Bima relatif sama. Diawal pembentukan Kapet Bima, penduduk usia 0 – 14
Tahun rata-rata terbanyak 54,70 %, usia produktif 15 – 64 Tahun sebesar 41,55%
dan usia di atas 65 Tahun sebesar 3,75%, namun berdasarkan Data Susenas NTB,
struktur umur penduduk Kapet Bima mengalami perubahan. Pada tahun 2004
diketahui bahwa persentase penduduk menurut kelompok umur didominasi oleh
kelompok usia produktif (penduduk berumur 15-64 tahun) yakni 59.21 %, namun
angka ini berada dibawah rata-rata NTB yakni 62.58 %. Keadaan ini
menggambarkan keberhasilan program kependudukan (keluarga berencana) yang
didukung oleh tingkat kesadaran dan pendidikan serta kesejahteraan
masyarakatnya yang semakin baik.
75
Tabel 27 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kapet Bima
Kelompok Umur Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima NTB
0-14 37.56 37.06 30.97 36.20 33.20
15-64 58.98 57.89 64.13 59.21 62.58 65+ 3.46 5.05 4.89 4.59 4.22
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : Susenas NTB, 2004
Tabel 27 menggambarkan komposisi penduduk berdasarkan kelompok
umur. Kelompok umur 0-14 tahun di Kapet Bima yakni sebesar 36.20 %. Pada
kelompok umur ini Kota Bima memiliki persentase paling rendah yakni 30.97 %
dan memiliki persentase paling tinggi pada kelompok umur 15-64 tahun yakni
54.13 %. Untuk kelompok umur 65+ tahun, Kabupaten Dompu memiliki
persentase paling rendah, yakni 3.46 % dan angka ini berada dibawah rata-rata
Kapet Bima sebesar 4.59 %.
Tabel 28 Persentase Penduduk Berumur 5-24 Tahun Menurut
Partisipasi Sekolah Di Kapet Bima
Partisipasi Sekolah
Kabupaten Dompu
Kabupaten Bima
Kota Bima
Kapet Bima NTB
Tdk/Belum Pernah Sekolah 8.38 10.42 5.65 9.11 10.57
Masih Sekolah 65.15 62.05 67.03 63.68 57.41
Tidak Sekolah Lagi 26.47 27.54 27.42 27.23 32.02
Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber : Susenas NTB, 2004
Tabel 28 menggambarkan tingkat partisipasi sekolah di Kapet Bima.
Penduduk berumur 5-24 tahun yang tidak/belum pernah sekolah adalah sebanyak
9.11 %, sementara di Kota Bima jauh lebih rendah lagi yakni 5.65 %. Yang masih
sekolah 63.68 %, sementara di Kota Bima lebih tinggi lagi yakni 67.03 %
demikian juga Kabupaten Dompu yakni 65.15 %. Sedangkan penduduk yang
tidak sekolah lagi adalah sebanyak 27.23 %. Tingkat partisipasi sekolah di Kapet
Bima lebih baik jika dibandingkan angka partisipasi sekolah Propinsi NTB.
76
Penduduk Propinsi NTB berumur 5-24 tahun, yang tidak/belum pernah sekolah
adalah sebanyak 10.57 %, yang masih sekolah 57.41 %, Sedangkan penduduk
yang tidak sekolah lagi adalah sebanyak 32.02 %.
Tabel 29 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan
Tertinggi Yang Di Tamatkan Di Kapet Bima
Tk. Pendidikan Dompu Bima Kota Bima
Kapet Bima NTB
Tdk/Blm Pernah Sklh 12.68 13.98 11.55 12.74 19.82 Tdk/Blm Tamat SD 27.82 29.71 17.79 25.11 25.36 SD 22.43 26.29 20.69 23.14 26.36 SMP 16.35 13.06 18.27 15.89 13.55 SMU 16.74 15.07 26.03 19.28 12.23 Diploma 1.69 0.98 2.65 1.77 1.11 PT 2.29 0.91 3.02 2.07 1.57 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : Susenas NTB, 2004
Tabel 29 menggambar struktur penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
penduduk berumur 10 tahun ke atas. Tingkat pendidikan adalah salah satu
indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas manusia di suatu wilayah.
Secara umum penduduk yang mencapai tingkat pendidikan SMP keatas baru
mencapai 39.02 %. Angka ini di atas rata-rata NTB yang baru mencapai 28.46 %.
Angka ini juga berkorelasi dengan terus tumbuhnya sekolah dan perguruan tinggi
di Kapet Bima khususnya di Kota Bima. Output dari sekolah dan perguruan tinggi
ini akan menghasilkan penduduk yang memiliki tingkat intelektual dan skill yang
relatif lebih tinggi pula, jika didukung oleh fasilitas, kurikulum dan kultur
akademik yang baik.
Karakteristik Kapet Bima sebagai daerah agraris sangat mempengaruhi
aktivitas usaha kehidupan masyarakatnya, hal ini diketahui dari tabel 30 yang
menginformasikan bahwa sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian
utama bagi masyarakat di Kapet Bima yakni sebanyak 53.51 %. Sedangkan
aktivitas masyarakat di sektor industri masih sangat minim yakni baru 4.95 %,
keadaan ini masih lebih rendah jika dibandingkan daerah lain di NTB yakni
dengan rata-rata 10.40 %, namun jika dibandingkan dengan data di awal
pembentukan Kapet Bima, pada tahun 1998 jumlah penduduk yang bekerja di
sektor pertanian mencapai 71.47 %, sedangkan sektor industri sebanyak 5.22 %
77
dan perdagangan adalah sebanyak 10.23 %. Sedangkan jasa adalah sebesar
7.31 %. Fenomena ini menjelaskan adanya transformasi ekonomi di Kapet Bima
yang ditunjukkan dengan perubahan struktur tenaga kerja dari sektor pertanian
(primer) ke sektor sekunder dan tersier.
Tabel 30 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama di Kapet Bima
Lapangan Usaha Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima NTB
Pertanian 63.83 71.83 24.86 53.51 50.92
Industri 2.21 3.03 9.60 4.95 10.40
Perdagangan 12.84 1.14 23.91 15.96 15.62
Jasa 11.66 6.06 26.61 14.78 10.87
Lainnya 9.46 7.94 15.02 10.81 12.19
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber : Susenas NTB, 2004
Di sektor perdagangan dan jasa, persentase penduduk Kapet Bima yang
bekerja adalah 30.74 %, dan khusus Kota Bima malah mencapai 50.52 %, jauh
lebih tinggi dari wilayah lain di NTB yakni dengan rata-rata 26.49 %. Dari
struktur penduduk di atas diketahui bahwa Kabupaten Dompu dan Kabupaten
Bima memiliki kecenderung penduduknya bekerja di sektor pertanian yang
didukung oleh aktivitas penduduk di Kota Bima dominan bekerja di sektor
industri, perdagangan dan jasa.
Kegiatan industri, perdagangan dan jasa jika memiliki keterkaitan sektoral
dengan aktivitas pertanian maka akan dapat memberikan nilai tambah (value
added) terhadap produk-produk pertanian, sehingga pada akhirnya nilai tambah
tersebut secara signifikan akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat dalam Kapet Bima.
b. Kearifan Nilai Budaya Dalam Pembangunan Wilayah
Koentjaraningrat (1992) mengemukakan bahwa konsep budaya dan
kebudayaan itu sangat luas, meliputi seluruh pikiran, karya dan hasil karya
manusia yang tidak bersifat naluri, tetapi yang dicetuskan oleh manusia setelah
78
melalui proses belajar yang melahirkan unsur-unsur universal sebagai isi dari
semua kebudayaan di dunia. Secara garis besarnya dapat dibagi dalam tujuh
unsur, yaitu : (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi
kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata
pencaharian dan kebutuhan hidup; (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya
ketujuh unsur universal ini dapat di rangkum ke dalam tiga wujud, yakni :
(1) keseluruhan ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan;
(2) keseluruhan aktivitas tingkah laku manusia sosial yang berpola;
(3) keseluruhan hasil karya manusia. Gambar 3 merupakan salah satu wujud
kebudayaan masyarakat Kapet Bima berupa pakaian tradisional yang bahannya
memanfaatkan sumber daya lokal dan selaras dengan nilai religi Islam yang dianut
masyarakat setempat.
Nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat dapat
diaktualisasikan sebagai spirit dan bagian dari suatu komponen sumber daya
dalam pembangunan daerah dan wilayah. Menurut Syamsudin (1999), Manusia
menciptakan dan membutuhkan budaya bagi kesejahteraan hidupnya dan mereka
memiliki potensi untuk dapat melaksanakannya, karena hanya masyarakat
manusia sajalah yang mampu meracang dan memiliki pranata (institusi) budaya
dan merealisasikannya dengan memperhatikan banyak hal termasuk situasi dan
kondisi yang dihadapi.
Gambar 3 Salah Satu Bentuk Pakaian Tradisional di Kapet Bima
79
Berikut ini beberapa potensi nilai budaya masyarakat yang dapat menjadi
determinan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, antara lain sebagai
berikut :
1). Kriteria Pemimpin : “Nggusu Waru” (Oktagonal/Delapan Sisi)
Terdapat delapan kriteria kepemimpinan yang hendaknya ada dalam diri
setiap masyarakat Bima. Menurut Mochtar (1999) delapan kriteria kepemimpinan
ini telah disampaikan dalam bentuk suatu nasehat luhur baik untuk kalangan atas
(bangsawan) maupun kepada masyarakat awam yang disampaikan oleh para
ulama, inang pengasuh, dan orang-orang tua, tersirat dalam pelaksanaan adat dan
peringatan hari besar islam maupun pada saat upacara perkawinan dan khitanan.
Adapun kriteria kepemimpinan nggusu waru tersebut adalah sebagai
berikut :
- Ma to’a di ruma labo rasul (yang taat kepada Allah dan Rasul)
- Ma loa ra bade (yang cerdas dan berpengetahuan luas)
- Ma ntiri nggahi ra kalampa (yang jujur dalam berbicara dan berbuat)
- Ma poda nggahi ra paresa (yang menegakkan kebenaran)
- Ma mbani ra disa (yang gagah berani)
- Ma tenggo ra wale (yang kuat dan gigih berjuang)
- Ma bisa ra guna (yang sakti/berwibawa/berkharismatik dan berdaya guna untuk
negerinya)
- Londo dou taho (dari keturunan/lingkungan baik)
2). Jiwa Kepemimpinan : “Katohompara Wekiku Sura Dou Mori Na Labo
dana” (Tidak Peduli Untuk Diriku, Asalkan Untuk Rakyat dan Negara)
Menurut Tajib (1999) kalimat itu disebut epilogi yang diucapkan sejak
Bima mengenal sistem pemerintahan berbentuk kerajaan. Calon raja atau setiap
pemimpin sebelum dilantik mengucapkan kalimat epilogi itu sebagai tanggapan
atas usulan, peringatan dan bahkan ancaman yang disampaikan pejabat atau
komponen kerajaan dan disaksikan oleh rakyat umum, dengan naskah lengkapnya
sebagai berikut :
Karentaku ba reraku di dou ma labo dana,
Indokapo ra’a saciri ma kamorina weki,
Saraka nu’u mancuri kantuwu.
80
Na su’u sawaleku ra kalampa sara,
Ba dei ru’u taho ra ncihi kai dana ro rasa,
Katohompara wekiku sura dou mori na labo dana
Aku ikrarkan dengan lidahku kepadamu rakyat dan negeri,
Adapun darah setetes menghidupkan diriku,
Sampai kepada anak cucu.
Mereka akan mematuhi dan menjunjung tinggi ketentuan pemerintah,
Demi kebaikan dan kemaslahatan negeri,
Tidak peduli untukku asalkan untuk orang banyak.
3). Prinsip Pengambilan Keputusan : “Nggahi Ra Sama Kai”
(Kata/Keputusan Yang Disepakati Bersama)
Sumber dari prinsip musyawarah adalah adat lama sejak zaman ncuhi
(sebelum zaman kerajaan) yang dikenal sebagai ungkapan tua “nggahi ra sama
kai” atau kata/keputusan yang telah disepakati bersama.
Untuk mencapai kesepakatan bersama ini ada suatu pedoman falsafah
kepemimpinan, yang umpamanya seorang pemimpin itu laksana duduk di atas
sehelai tikar selembar lampit, merentang tali sipat yang tegak lurus, menaruh
jangkar yang tepat bundar dan dacin yang tepat berimbang, untuk menuju
kesamaan pemikiran dan satunya kehendak demi kebaikan bersama (Maryam
1999).
4). Prinsip Kerja : “Nggahi Rawi Pahu” (Satunya Kata dan Perbuatan
Untuk Mewujudkan Kenyataan)
Menurut Tajib (1999) kalimat itu adalah petunjuk awal pelaksanaan
epilogi, untuk konsekuen terhadap apa yang diniat dan direncanakan sehingga
harus diimplementasikan dalam suatu aksi sampai berwujud suatu hasil.
Sedangkan Maryam (1999) menyatakan rumusan “nggahi rawi pahu” merupakan
kebenaran ucapan yang dinyatakan dalam tindakan dan perilaku sebagaimana
peribahasa Bima “Ka Sabuaku Nggahi Ma Labo Rawi” (satukan kata dan
perbuatan) adalah prinsip yang sampai sekarang dianggap oleh orang
81
Bima/Dompu sebagai pertanda sifat orang yang bertanggung jawab dan dapat
dipercaya.
5). Nilai Pengendalian : “Maja Labo Dahu” (Malu dan Takut)
Maja labo dahu ialah budaya malu dan takut kepada Tuhan dan kepada
orang banyak bila melakukan suatu perbuatan yang menyimpang dari nilai-nilai
luhur dan peraturan yang berlaku.
Maryam (1999) menyatakan Maja labo dahu berfungsi pula sebagai alat
kontrol baik vertikal maupun horizontal terhadap pelaksanaan epilogi, serta
mengandung pula makna :
- Malu dan takut (taqwa) kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmatNya.
- Patuh kepada semua ketentuan yang berlaku dan norma yang ada dalam
masyarakat
- Mengerjakan yang baik, meninggalkan yang batil
- Rendah hati, tidak sombong dan takabur
- Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah
- Sabar dan pantang mundur
4.5.6. Ketersediaan Infrastruktur dan Kelembagaan Usaha
a. Infrastruktur Pendidikan, Kesehatan dan Keagamaan
Untuk mendukung kualitas kehidupan masyarakat maka dibutuhkan
ketersediaan infrastruktur sosial. Infrastruktur penting dibidang sosial adalah
pendidikan, kesehatan dan kegiatan keagamaan.
Di Kapet Bima Keberadaan Sekolah tersedia mulai dari tingkat taman
kanak-kanak sampai tingkat perguruan tinggi, selain sekolah umum juga tersedia
sekolah menengah kejuaraan yakni sejumlah 13 unit sedangkan Madrasah Aliyah
sejumlah 27 unit dan pondok pesantrennya sejumlah 33 unit yang tersebar di tiga
daerah administratif Kapet Bima. Adapun gambaran Jumlah Sekolah Pada
Berbagai Tingkat Pendidikan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 31
82
Tabel 31 Jumlah Sekolah Pada Berbagai Tingkat Pendidikan di Kapet Bima (Unit)
No. Tingkat Sekolah Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima
1 TK 58 141 46 245 2 SD 203 388 79 670 3 M.Ibtidaiyah 28 45 7 80 4 SLTP 26 44 13 83 5 M. Tsanawiyah 22 24 6 52 6 SMU 16 27 17 60 7 M. Aliyah 10 12 5 27 8 SMK 3 5 5 13 9 Pondok Pesantren 3 23 7 33 10 PT 1 1 7 9
Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Tabel 32 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Sekolah di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit)
No. Tingkat Sekolah Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima
1 TK 3,437 2,974 2,531 3,000 2 SD 982 1,081 1,474 1,097 3 M.Ibtidaiyah 7,120 9,318 16,632 9,189 4 SLTP 7,668 9,530 8,956 8,856 5 M. Tsanawiyah 9,062 17,471 19,404 14,136 6 SMU 12,460 15,530 6,849 12,251 7 M. Aliyah 19,936 34,942 23,285 27,225 8 SMK 66,452 83,860 23,285 56,545 9 Pondok Pesantren 66,452 18,231 16,632 22,275 10 PT 199,357 419,302 16,632 81,676
Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Tabel 32 menggambarkan perbandingan ketersediaan sekolah dengan
jumlah penduduk. Jumlah SD di Kapet Bima adalah sebanyak 670 unit atau
dengan ratio 1,097 jiwa penduduk per unit. Jumlah SLTP adalah sebanyak 83 unit
atau dengan ratio 8,856 jiwa penduduk per unit. Jumlah SMU adalah sebanyak 60
unit atau dengan ratio 12,251 jiwa penduduk per unit. Sedangkan Jumlah
Perguruan Tinggi adalah sebanyak 9 unit atau dengan ratio 81,675 jiwa penduduk
per unit.
83
Keberadaan Sekolah Dasar di Kapet Bima tersedia di seluruh
desa/kelurahan, sekolah setingkat SLTP dan SMU pada umumnya tersedia di
tingkat kecamatan, namun masih terdapat kesenjangan ratio antara Kota Bima
dengan Kabupaten Bima dan Dompu, sehingga di Kabupaten Dompu dan
khususnya di Kabupaten Bima perlu dibangun lagi sekolah setingkat SLTP dan
SMU agar peluang masyarakat untuk memperoleh pendidikan lebih besar.
sedangkan sekolah kejuruan dan perguruan tinggi hanya ada di tingkat kabupaten
atau pada beberapa kecamatan saja. Berbagai perguruan tinggi tersebut
memberikan pilihan program studi yang dibutuhkan masyarakat masih terbatas.
Fasilitas peribadatan di Kapet Bima meliputi 693 unit masjid, 382 unit
langgar dan 235 unit mushalla yang tersebar di tiga kabupaten/kota. gereja
terdapat 10 unit yang juga tersebar di tiga kabupaten/kota, sedangkan pura
berjumlah 9 unit yang hanya tersedia di Kabupaten Dompu dan Kota Bima.
gambaran tentang jumlah tempat peribadatan di Kapet Bima dapat dilihat pada
tabel 33.
Tabel 33 Jumlah Tempat Peribadatan Di Kapet Bima (Unit)
No. Uraian Kab Dompu Kab Bima Kota Bima Kapet Bima
1 Masjid 228 349 116 693
2 Langgar 55 261 66 382
3 Mushalla 54 106 75 235
4 Pura 7 - 2 9
5 Gereja 5 2 3 10
Jumlah 349 718 262 1329 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Kegiatan peribadatan merupakan kegiatan rutin dan dilakukan setiap saat
oleh pemeluknya, sehingga fasilitas peribadatan harus cukup tersedia khususnya
bagi umat muslim sebagai masyarakat mayoritas di Kapet Bima, karena tempat
peribadatan merupakan ruang yang digunakan untuk melaksanakan ritual
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, juga sebagai salah satu sentral dalam
berinteraksi dengan sesama. Pada tabel 34 terlihat bahwa bahwa setiap unit masjid
84
digunakan oleh paling tidak 1,061 jiwa penduduk sedangkan langgar dan
mushalla adalah masing-masing sebanyak 1,924 dan 3,128 jiwa penduduk.
Tabel 34 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Tempat Peribadatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit)
No. Uraian Kab Dompu Kab Bima Kota Bima Kapet Bima
1 Masjid 874
1,201
1,004 1,061
2 Langgar 3,625 1,607
1,764 1,924
3 Mushalla 3,692
3,956
1,552 3,128
4 Pura 28,480 -
58,213 81,676
5 Gereja 39,871
209,651
38,808 73,508 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Keberadaan berbagai jenis fasilitas kesehatan di Kapet Bima relatif
tersedia namun masih terbatas, tercatat baru 2 (dua) rumah sakit umum yang ada
di 3 (tiga) Kabupaten/Kota di Kapet Bima, artinya setiap rumah sakit melayani
367,542 jiwa penduduk. Ketersediaan apotik baru 11 buah sedangkan Kapet
Bima terdiri dari 25 kecamatan dengan jarak di antaranya cukup berjauhan,
sedangkan Puskesmas hanya tersedia 32 unit dengan ratio pelayanan setiap unit
22,971 jiwa penduduk yang dibantu oleh Puskesmas Pembantu (Pustu) sebanyak
127 unit atau dengan ratio pelayanan terhadap 5,788 jiwa penduduk. Pada
umumnya Puskesmas Pembantu tersedia di tiap desa/kelurahan. Adapun
gambaran tentang jumlah fasilitas kesehatan di Kapet Bima dapat dilihat pada
tabel 35 sedangkan ratio pelayanan setiap unit fasilitas kesehatan terhadap jumlah
penduduk pada tabel 36.
Ketersediaan fasilitas kesehatan sangat dibutuhkan untuk peningkatan
derajat kesehatan masyarakat. Sebagai ilustrasi, dengan keberadaan fasilitas
kesehatan di Kabupaten Dompu selama 5 (lima) tahun terakhir (2000-2004),
angka harapan hidup terus meningkat. Pada tahun 1999 angka harapan hidup
penduduk adalah 57.9 tahun meningkat menjadi 59.5 tahun pada tahun 2004,
85
sedangkan Infant Mortality Rate (IMR) atau angka kematian bayi (AKB) pada
Tahun 1999 sebanyak 80 kasus per 1000 kelahiran hidup kemudian menurun
menjadi 71 kasus per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2004 (Bappeda Dompu,
2006).
Tabel 35 Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kapet Bima
No. Unit Kesehatan Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima
1 Rumah Sakit Umum 1 - 1 2
2 Rumah Sakit Lainnya - 1 1 2
3 Puskesmas 9 18 5 32
4 Pustu 44 70 13 127
5 Apotik 1 1 9 11 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Tabel 36 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit)
No. Unit Kesehatan Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima1 Rumah Sakit Umum 199,357 - 116,425 367,542 2 Rumah Sakit Lainnya - 419,302 116,425 367,542 3 Puskesmas 22,151 23,295 23,285 22,971 4 Puskesmas Pembantu 4,531 5,990 8,956 5,788 5 Apotik 199,357 419,302 12,936 66,826
Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004 b. Infrastruktur dan Aktivitas Industri, Perdagangan dan Koperasi
Lebih dari 26 % penduduk di Kapet Bima bekerja di Sektor industri dan
perdagangan serta lebih dari 10 % sudah mulai bekerja di sektor jasa. sektor ini
sangat strategis dalam menggerakkan ekonomi riil wilayah baik untuk menarik
sisi produksinya (supply) maupun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyakat
lainnya (demand).
Tabel 37 Jumlah Sarana Perdagangan Di Kapet Bima No. Jenis Sarana 2003 2004 Perub. (%)1 Pasar Umum 28 28 0.00 2 Pasar Desa 2 5 150.003 Toko 1,174 1,419 21.004 Kios/Warung 1,248 1,383 11.00
86
Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Seiring dengan pertumbuhan penduduk maka akan semakin meningkat
pula kebutuhan hidup dan usaha masyarakat sehingga sangat dibutuhkan
ketersediaan sarana perdagangan yang memadai. Dari tabel 37 di atas terlihat
bahwa pada tahun 2004 sarana perdagangan di Kapet Bima mengalami
peningkatan kecuali pasar umum.
Tabel 38 Perbandingan Jumlah Penduduk Terhadap Ketersediaan Sarana Perdagangan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit)
No. Jenis Sarana Jumlah Sarana (Unit) Jiwa/Unit
1 Pasar Umum 28 24,503
2 Pasar Desa 5 147,017
3 Toko 1,419 518
4 Kios/Warung 1,383 532 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Pada tabel 38 terlihat bahwa rasio pelayanan setiap pasar umum yakni
24,503 jiwa penduduk, sedangkan Jumlah pasar desa meningkat 150 % yakni dari
2 unit menjadi 5 unit namun beban pelayanan setiap unit masih tinggi yakni
sebanyak 147,017 jiwa penduduk, sehingga ketersediaan pasar desa perlu
ditingkatkan, karena seharusnya merupakan fasilitas perdagangan terdekat dengan
masyarakat desa, sehingga segala kebutuhan hidup dan usaha masyarakat tersedia
dan dengan mudah untuk mendapatkannya. Kios/ warung mengalami peningkatan
sebesar 11 %, sedangkan toko jumlahnya meningkat 21 % dari sebelum 1,174 unit
pada tahun 2003 menjadi 1,419 unit pada tahun 2004. fenomena ini menunjukkan
adanya kecenderungan peningkatan aktivitas perdagangan, khususnya pada
ekonomi skala kecil atau menengah.
Jumlah perusahaan industri di Kapet Bima sebanyak 5,874 buah yang
terdiri dari 4,549 buah perusahaan industri non formal dan 1,325 buah perusahaan
formal. sedangkan dari total serapan tenaga kerja sebanyak 16,383 orang, pada
87
industri formal adalah 7,660 orang sedangkan industri non formal adalah 8,723
orang.
Nilai investasi yang diserap industri formal adalah 21.6 milyar rupiah, jauh
lebih besar dari pada industri non formal yakni hanya 3.9 milyar rupiah, namun
rasio nilai produksi terhadap investasi masih lebih unggul industri non formal
yakni 2.83 dibandingkan industri formal adalah sebesar 1.46. Adapun gambaran
tentang jumlah perusahaan, tenaga kerja dan nilai investasi dirinci menurut
kelompok industri di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 39.
Tabel 39 Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Dirinci Menurut
Kelompok Industri Di Kapet Bima
No Uraian Satuan Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima
Industri Formal
1 Perusahaan Buah 296 755 274 1,325
2 Tenaga Kerja Orang 1,880 4,455 1,325 7,660
3 Investasi (Rp.Juta) 4,423 12,849 4,385 21,657
4 Produksi (Rp.Juta) 9,924 15,484 6,250 31,658
Industri Non Formal
1 Perusahaan Buah 1,287 3,142 120 4,549
2 Tenaga Kerja Orang 2,847 5,626 250 8,723
3 Investasi (Rp.Juta) 777 2,119 990 3,886
4 Produksi (Rp.Juta) 3,363 4,815 2,815 10,993
Jumlah
1 Perusahaan Buah 1,583 3,897 394 5,874
2 Tenaga Kerja Orang 4,727 10,081 1,575 16,383
3 Investasi (Rp.Juta) 5,200 14,968 5,375 25,543
4 Produksi (Rp.Juta) 13,287 20,299 9,065 42,651 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Terdapat 21 jenis kegiatan industri dominan yang nilai produksinya
> Rp.300 juta, yang terdiri 13 jenis usaha dari industri hasil pertanian dan
kehutanan (IKAHH) dan 8 jenis usaha dari industri logam, mesin dan Kimia
(ILMEA). Jenis usaha yang memiliki nilai produksi paling tinggi adalah industri
genteng (Rp.5.32 milyar), penjahitan/konveksi (Rp.4.19 milyar) dan furniture
88
dan kayu (Rp.3.32 milyar) sedangkan nilai produksi industri kacang mete
(Rp.0.35 milyar), vulkasnisir (Rp.0.40 milyar) dan Industri tahu (Rp.0.41 milyar).
Kegiatan industri di Kapet Bima di dominasi oleh industri berbasis
pertanian, namun limpahan sumber daya pertanian belum diolah secara optimal,
hasil pertanian selain untuk konsumsi rumah tangga dan masyarakat sekitar juga
dijual keluar daerah, namun komoditi pertanian yang diperdagangkan masih
dalam bentuk produk mentah dan sedikit yang dalam bentuk produk olahan
setengah jadi. Adapun gambaran tentang jenis industri dominan dan nilai produksi
di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 40.
Tabel 40 Beberapa Jenis Industri Dominan dan Nilai Produksi
Di Kapet Bima
No.
Uraian
Kapet Bima (Rp.000,-) Formal Non Formal Jumlah
I. Bidang IKAHH 1 Es Batu 1,001,724 - 1,001,724 2 Pengeringan Cumi 1,600,000 - 1,600,000 3 Pengasinan Ikan - 776,454 776,454 4 Foto Copy 409,625 48,540 458,165 5 Furniture dan Kayu 2,910,945 406,286 3,317,231 6 Garam Rakyat 265,000 817,000 1,082,000 7 Barang Dari Semen 1,163,356 - 1,163,356 8 Batu Bata 556,648 525,275 1,081,923 9 Genteng 4,915,810 409,090 5,324,900 10 Penggilingan Daging 514,642 - 673,315 11 Kacang Mete 190,800 - 355,225 12 Tahu 252,879 - 406,530 13 Pengolahan Susu Kuda 1,285,635 30,545 1,316,180 II. Bidang ILMEA 1 Penjahitan/Konveksi 1,477,060 153,296 4,190,356 2 Pertenunan 1,328,303 1,131,250 2,884,553 3 Reparasi Kendr. Roda 2&4 1,557,200 - 2,669,200 4 Pengelasan 402,900 1,125 616,025 5 Air Isi Ulang 1,840,000 872,540 2,712,540 6 Vulkanisir 401,455 - 401,455 7 Tukang Kaleng - 964,628 964,628 8 Tukang Emas dan Perak 1,061,605 - 1,616,705
Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Produk-produk perikanan/kelautan seperti rumput laut oleh masyarakat
setempat sudah mulai diolah dalam bentuk dodol, namun dengan volume usaha
yang masih sangat kecil. Kemudian jenis usaha perikanan bandeng (perikanan air
89
payau) sudah mulai diproduksi dalam bentuk presto. pengolahan ikan laut baru
dilakukan pengasinan dan pengeringan. sedangkan komoditi ternak dijual keluar
daerah masih dalam keadaan hidup demikian juga komoditi kedelai atau bawang
pada umumnya dijual dalam bentuk glondongan sementara industri pengolahan
tahu atau tempe sangat terbatas. Kegiatan pengolahan pascapanen atau kegiatan
agroindustri di Kapet Bima relatif masih kurang sementara potensi sumber daya
cukup besar, sehingga peluang pengembangan agroindustri masih sangat besar
dan dibutuhkan suatu strategi kebijakan yang dapat menggarap sumber daya
wilayah secara optimal khususnya pada berbagai aktivitas ekonomi masyarakat
sehingga tercipta multiplier effect pembangunan yang lebih luas.
Sebagai lembaga usaha ekonomi kerakyatan, secara umum kinerja
koperasi semakin membaik. Jika pada tahun 2002 jumlah koperasi 409 unit maka
pada tahun 2004 terdapat 441 unit. Di sisi lain terdapat juga koperasi yang tidak
aktif yang sampai 2004 sebanyak 117 unit. Adapun gambaran tentang keragaan
koperasi di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 41.
Tabel 41 Keragaan Koperasi di Kapet Bima
No. Uraian Satuan 2002 2004 Perub. (%)
1 Jumlah Koperasi Unit 409 441 3.85
2 Jumlah Anggota Orang 57,009 94,038 32.22
3 Pelaksanaan Rat Unit 215 240 5.68
4 Koperasi Aktif Unit 299 324 4.10
5 Koperasi Tdk Aktif Unit 110 117 3.18
6 Pengurus Orang 1,404 1,482 2.77
7 Pengawas Orang 1,145 1,142 0.01
8 Manajer Orang 76 77 0.66
9 Karyawan Orang 736 791 3.67
10 Modal Sendiri Rp.000 31,505,736 48,180,888 23.92
11 Modal Luar Rp.000 26,299,184 30,007,558 6.83
12 Volume Usaha Rp.000 97,973,963 116,085,180 9.60
13 SHU Rp.000 4,326,764 5,507,781 20.90
14 Asset Rp.000 57,804,920 78,188,446 16.40 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
90
Peran koperasi dalam perekonomian wilayah semakin dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah
anggota koperasi sebesar 32.22 % yakni 57,009 orang pada tahun 2002 menjadi
94,038 orang pada Tahun 2004. selain itu kinerja dari sisi produktivitas dan
keuangan koperasi di Kapet Bima juga mengalami perkembangan yang baik.
Tercatat rata-rata peningkatan modal sendiri setiap tahun adalah 23.92 %, SHU
sampai mencapai 20.90 % sedangkan peningkatan rata-rata asset sebesar 16.40 %
per tahun.
c. Ketersediaan Utilitas Wilayah
Listrik merupakan sumber energi dalam berbagai aktivitas kehidupan dan
pembangunan pada umumnya yang berfungsi sebagai prasarana untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup dan dalam kegiatan produksi hampir seluruh
sektor kegiatan usaha penduduk. Adapun gambaran tentang Kapasitas Terpasang
dan Jumlah Pelanggan Listrik dapat dilihat pada tabel 42.
Tabel 42 Kapasitas Terpasang dan Jumlah Pelanggan Listrik Di Kapet Bima
No. Kabupaten/Kota Kapasitas
(Kwh) Pelanggan
(KK)
1 Kab Dompu 7,907,000 17,549
2 Kab Bima 4,209,279 36,451
3 Kota Bima 31,343,549 17,294
Kapet Bima 43,459,828 71,294 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Jangkauan pelayanan listrik di Kapet Bima baru 40.96 % dari jumlah
174,059 KK. Tingkat pelayanan yang paling tinggi adalah di Kota Bima yakni
sebanyak 63.54 % dari total KK, selanjutnya Kabupaten Dompu 38.22 % dari
total KK dan yang paling rendah Kabupaten Bima sebanyak 36.12 % dari total
KK.
Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk pada Tahun 2010 sebanyak
1.053.568 jiwa dan standar rata-rata kebutuhan listrik 0,2 KW / orang / hari, maka
91
perkiraan kebutuhan listrik Kapet Bima adalah 188.011 KW.sehingga perlu
peningkatan kapasitas listrik, jangkauan pelayanan listrik juga perlu diperluas
hingga ke pedesaan. Khususnya pada wilayah Kecamatan Pekat, Tambora dan
Kecamatan Lambu (RTRW Kapet Bima, 2004).
Pelayanan air bersih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan primer
penduduk dan aktivitas usahanya seperti Industri pengolahan hasil pertanian dan
indutri lainnya, pasar, perkantoran, perdagangan, dan lainnya sampai saat ini
masih dilayani oleh PDAM. Dari jumlah 174,059 KK (kepala keluarga) di
Kapet Bima yang terlayani baru 9.28 % atau 16,147 KK, yang terdiri dari 45,920
KK di Kabupaten Dompu dan 128,139 KK di Kabupaten Bima dan Kota Bima.
Adapun gambaran tentang Kapasitas Air Bersih PDAM dan Jumlah Pelanggan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 43.
Tabel 43 Kapasitas Air Bersih PDAM dan Jumlah Pelanggan
di Kapet Bima
Kabupaten/Kota Kapasitas (m3) Pelanggan (KK)
Kab Dompu 2,544,803 5,776
Kab Bima dan Kota Bima 1,892,938 10,371
Kapet Bima 4,437,741 16,147 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Untuk mendukung pengembangan wilayah di Kapet Bima, maka interaksi
pelaku/stakeholders mutlak membutuhkan informasi dan komunikasi. Pelayanan
telekomunikasi di Kapet Bima dikelola oleh Kantor Pelayanan PT. Telkom Tbk.
Cabang Bima dan Dompu serta didukung oleh sistem komunikasi telepon seluler
yang sekarang menjangkau hampir diseluruh wilayah Kapet Bima. Adapun
gambaran tentang Kapasitas Pelayanan Telekomunikasi di Kapet Bima dapat
dilihat pada tabel 44.
Perkiraan kebutuhan telepon Kapet Bima pada tahun 2010 berdasarkan
proyeksi jumlah penduduk dan standar rata-rata kebutuhan satuan sambungan
telepon 0,02 SST per orang, adalah 20.890 SST. Selain kapasitas sambungan
telepon, jangkauan pelayanan telepon juga perlu diperluas termasuk pada ibukota
92
Kecamata seperti Pekat, Tambora serta kawasan-kawasan yang cepat berkembang
seperti Labuhan Kananga, So Se’e dan Wane (BP Kapet Bima 2004).
Tabel 44 Kapasitas Pelayanan Telekomunikasi di Kapet Bima Kabupaten/Kota Kapasitas (SST) Sudah Terisi (SST)
Dompu 2,606 2,512 Kab Bima 1,700 1,433 Kota Bima 4,482 4,348 Kapet Bima 8,788 8,293
Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004 d. Infrastruktur Transportasi
Di dalam sistem jaringan transportasi nasional, Kapet Bima memegang
peranan cukup penting. Untuk sistem transportasi darat, kota-kota dalam Kapet
Bima dihubungkan melalui jalur kolektor primer. Selain itu, Bima juga
merupakan salah satu simpul jaringan penyeberangan lintas selatan (Jakarta-Bali-
Bima-Kupang-Dili-Tual). Jalur Mataram-Sorong yang berfungsi menghubungkan
kawasan andalan Komodo dan kawasan andalan Lombok juga akan sangat
bermanfaat bagi pengembangan Kapet Bima. Untuk mendukung sistem
transportasi di Kapet Bima maka perlu didukung infrastruktur yang memadai.
Tabel 45 Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan Di Kapet Bima
No. Uraian 2002 2004 Km % Km %
1 Aspal 706.71 39.07 980.35 50.02 2 Kerikil 459.70 25.41 488.53 24.93 3 Tanah 642.59 35.52 465.77 23.77 4 Tidak Terinci - - 25.23 1.29
Jumlah 1,809.00 100.00 1,959.88 100.00 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Tabel 45 menjelaskan bahwa panjang jalan di Kapet Bima pada Tahun
2002 adalah 1.809 Km, dengan jenis permukaan yang sudah diaspal baru 39.07 %
atau 706.71 Km, sedangkan sisanya berupa permukaan kerikil 25.41 % dan jalan
tanah 35.52 %. Kemudian pada tahun 2004 panjang jalan meningkat menjadi
1,959.88 Km, dan jalan dengan jenis pemukaan yang berasal sepanjang 980.35 %
93
atau 50.02 % dari total panjang jalan. Jenis permukaan kerikil 24.93 % dan
permukaan tanah > 23 %.
Upaya meningkat panjang jalan dan perbaikan jalan terus dilakukan di
Kapet Bima. Hal ditunjukkan dalam tabel 46, bahwa pada tahun 2002 panjang
jalan yang kondisinya berstatus baik adalah sepanjang 419.64 Km dan meningkat
menjadi 638.31 Km. meskipun demikian secara umum kondisi jalan di Kapet
Bima perlu upaya perbaikan yang cukup besar yakni > 60 % untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi dan interaksi spasial.
Tabel 46 Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan Di Kapet Bima
No. Uraian 2002 2004 Km % Km %
1 Baik 419.64 23.17 638.31 32.572 Sedang 290.14 16.02 422.91 21.583 Rusak 487.40 26.91 329.25 16.804 Rusak Berat 614.32 33.91 569.41 29.055 Tidak Terinci - - - - Jumlah 1,811.50 100.00 1,959.88 100.00
Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004
Untuk jaringan transportasi laut, ditetapkan hirarki pelabuhan laut dan
hirarki jaringan transportasi laut nasional. Sistem pelabuhan nasional terdiri dari
dua hirarki pelayanan, yaitu :
1. Pelabuhan utama (truk port) yang terdiri dari pelabuhan utama primer,
sekunder dan terseier
2. Pelabuhan pengumpan (feeder port) yang terdiri dari pelabuhan pengumpan
regional dan lokal.
Berdasarkan RTRWN, pelabuhan Bima di Kabupaten Bima berfungsi
sebagai salah satu pelabuhan pengumpan regional yang melayani kegiatan
bongkar muat angkutan laut dalam jumlah kecil dan jangkauan pelayanan relatif
dekat. Secara hirarkis, pelabuhan Bima berfungsi sebagai pengumpan kepada
pelabuhan – pelabuhan utama, terutama yang terdekat adalah pelabuhan Ujung
Pandang. Sedangkan pelabuhan Kempo dan Calabai di Kabupaten Dompu dan
Pelabuhan Sape, Waworada di Kabupaten Bima ditetapkan sebagai pelabuhan
94
pengumpan lokal, yang berfungsi sebagai pengumpan kepada pelabuhan utama
dan pengumpan regional.
Tabel 47 menjelaskan bahwa di Kapet Bima terdapat 5 (lima) buah
pelabuhan yaitu pelabuhan laut di Teluk Bima, pelabuhan penyeberangan di
Kecamatan Sape, pelabuhan Waworada di Langgudu, ketiganya di Kabupaten
Bima, dan pelabuhan laut di Calabai dan Kempo (Kabupaten Dompu). Untuk
mewujudkan Kapet Bima sebagai pusat perdagangan yang maju, maka pelabuhan
laut Bima yang merupakan pintu gerbang ke Kapet Bima perlu dikembangkan
sehingga memenuhi syarat untuk disinggahi kapal-kapal nusantara maupun
mancanegara. Demikian pula pelabuhan penyeberangan Sape perlu
dikembangkan.
Tabel 47 Sebaran Pelabuhan di Kapet Bima
Nama Pelabuhan Lokasi (Kecamatan)
Jenis Pelabuhan
Keterangan (Pengelola)
Bima/Kota Bima:
- Pelabuhan Bima Kota Bima Umum Nasional PT.Pelindo
- Pelabuhan Sape Kecamatan Sape Angk. Penyeberangan PT. ASDP
- Pelab. Waworada Kec Langgudu Umum Lokal Pemkab.Bima
Kabupaten Dompu:
- Pelabuhan Kempo Kec Kempo Khusus Nasional Pemkab. Dompu
- Pelabuhan Calabai Kecamatan Pekat Khusus Nasional Pemkab. Dompu Sumber : Data Dari Berbagai Sumber
Dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata yang memanfaatkan
jalur wisata dari Bima ke Pulau Komodo PP dibangun pelabuhan penyeberangan
dari Pantai Mbotu/Lambu Sape ke Pulau Komodo (lama pelayaran 2-2,5 jam) dari
pada pelabuhan penyeberangan Sape lama penyeberangannya 6-7 jam. Disamping
itu dibangun pelabuhan penyeberangan Labuhan Kananga ke Pulau Satonda
(BP Kapet Bima 2004).
Untuk sistem transportasi udara, Bandara Udara M.Salahuddin di kota
Bima merupakan salah satu simpul transportasi udara nasional, yang
pelayanannya meliputi beberapa kabupaten yang menghubungkan antara bandar
95
udara utama dan kedua, yaitu Bajawa, Denpasar, Ende, Kupang, Mataram,
Labuan Bajo, Ruteng, Surabaya, Tambulaka dan Waingapu.
Adapun keadaan umum dari Bandara tersebut adalah sebagai berikut :
♦ Runway : 1.800 x 30 m ♦ Apron : 172 x 70 m ♦ Taxiway : 100 x 10 m ♦ Shoulder : 2 x 16.000 x 60 m ♦ Over Run : 150 x 30 m ♦ Kekuatan Landasan : 46.000 LBS ♦ Terminal : 294 m2. ♦ Lapangan Parkir : 3.218 m2 ♦ Pergerakan : 12 pergerakan/hari
Bandara Muhammad Salahudin, terletak ± 15 Km dari kota Bima. Bandara
M. Salahuddin dapat didarati secara bebas oleh pesawat jenis Foker 27, Foker 28
dan malah sudah dapat didarati pesawat merpati F 100 dengan rute Bima-
Denpasar (pulang pergi) dan jalur Bima-Denpasar-Jakarta (pulang pergi) setiap
hari. Gambar 4 memberikan gambaran tentang kondisi beberapa infrastruktur
transpotasi di Kapet Bima.
(a) (b) (c)
Gambar 4 Pelabuhan Laut-Bima (a), Bandara Salahudin-Bima (b), dan Pelabuhan Calabai-Dompu (c).
4.6. Permasalahan Pengembangan Wilayah
Beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan wilayah
di Kapet Bima antara lain sebagai berikut :
1. Sebagian besar wilayah berupa pegunungan dengan kemiringan lahan yang
agak curam dan curam, sehingga memiliki faktor kesulitan yang relatif tinggi
untuk menghubungkan antar wilayah melalui prasarana jalan yang di bangun
serta dalam membangun jaringan irigasi untuk mendukung kegiatan pertanian.
96
Adapun keadaan topografi wilayah di Kapet Bima dapat dilihat pada
gambar 5.
2. Makin banyaknya lahan kritis yang berkorelasi pula dengan banyaknya
pengelolaan lahan dan hutan yang belum dilaksanakan secara optimal baik
untuk tujuan ekonomi maupun ekologi.
3. Struktur perekonomian masih bertumpu pada sektor pertanian secara umum
khususnya pada subsektor tanamanan bahan makanan (pangan dan
hortikultural) sedangkan luas lahan mengalami keterbatasan dan tingkat
produksi dengan laju yang stagnan.
Gambar 5 Keadaan Topografi Wilayah di Kapet Bima
4. Kualitas SDM relatif masih rendah. Secara umum tingkat pendidikan
masyarakat masih rendah (yang tidak sekolah atau belum tamat SD mencapai
37.8 %) walaupun masih di atas tingkat pendidikan rata-rata Propinsi NTB.
Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pendidikan masyarakat ini adalah
prasarana pendidikan yang masih kurang terutama tingkat pendidikan lanjutan.
Demikian juga di sektor kesehatan, keberadaan sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan masyarakat termasuk tenaga medis masih minim
97
sehingga hal ini dapat mempengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat.
5. Prasarana dan sarana utilitas seperti distribusi air bersih, drainase dan listrik
belum terpenuhi bagi kebutuhan perumahan dan usaha masyarakat. Demikian
juga prasarana irigasi dan transportasi yang sangat membutuhkan perbaikan
dan pengembangan lebih lanjut untuk pengembangan ekonomi wilayah Kapet
Bima.
6. Lembaga ekonomi (koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya) saat ini
sesungguhnya menjadi salah satu pelaku pembangunan utama, namun
perannya masih belum optimal khususnya dalam pengembangan
perekonomian di perdesaan.
7. Modal yang dimiliki daerah maupun pengusaha lokal sangat terbatas,
sedangkan investor luar daerah dan asing sulit didatangkan.
8. Sebagian besar kegiatan belum mampu menerapkan manajemen modern,
masih ada kecenderungan menerapkan manajemen keluarga sedangkan
Penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi masih relatif terbatas
sehingga belum memiliki daya saing yang tinggi, akibatnya peningkatan nilai
tambah sulit tercapai
9. Lemahnya komunikasi dan koordinasi internal pemerintah propinsi maupun
antar pemerintah propinsi dan kabupaten/kota
10. Kurang tegasnya pembagian tugas wewenang (belum adanya prosedur
operasional standar) antar instansi terkait dengan Kapet Bima mengakibatkan
kurang lancarnya tugas yang diemban oleh BP Kapet Bima.
11. Orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial meskipun telah
diantisipasi dengan Musbang Desa dan Kecamatan, Rakorbang Tingkat
Kabupaten, Tingkat Propinsi dan Rakornas.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari berbagai data dan informasi yang diperoleh, selanjutnya dilakukan
berbagai teknik analisis untuk bisa menjawab rumusan masalah penelitian.
Berikut ini adalah uraian pembahasan hasil analisis dari berbagai fenomena
empiris yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.
5.1. Keterkaitan Antar Sektor
5.1.1. Struktur Input-Output (IO)
Tabel Input-Output menggambarkan transaksi barang dan jasa dari
berbagai sektor ekonomi yang saling berkaitan dan mempunyai hubungan saling
ketergantungan. Penyusunan Tabel Input-output Kapet Bima terdiri dari 18 sektor
yang disederhanakan dan diturunkan dari Tabel Input-Output Propinsi NTB
Tahun 2004 yang terdiri dari 60 sektor. Adapun gambaran umum perekonomian
Kapet Bima berdasarkan Tabel Input-Output Kapet Bima dijelaskan pada tabel 48.
Tabel 48 Komponen Penyusun Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004
No. Komponen Jumlah (Rp.000) Distribusi (%)
1. Sisi Permintaan (Output) a. Permintaan Antara 876,764,822 23.18 b. Permintaan Akhir 2,905,956,433 76.82 c. Total Permintaan 3,782,721,256 100.00
2. Sisi Penawaran (Input)
a. Input Antara 876,764,822 23.18 b. Import 293,537,967 7.76 c. Jumlah Nilai Tambah Bruto 2,612,418,466 69.06 d. Jumlah Input 3,782,721,256 100.00
Sumber : Data Hasil Analisa
Dari Tabel 48 dijelaskan bahwa total nilai output ekonomi wilayah di
Kapet Bima adalah sebesar Rp.3.78 trilyun yang terdiri dari permintaan antara
sebesar Rp.0.88 trilyun (23.18 %) dan permintaan akhir sebesar Rp.2.90 trilyun
99
(76.82 %) yang meliputi konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah,
pembentukan modal tetap, perubahan stok dan eksport.
Besarnya nilai permintaan akhir menggambarkan tingginya permintaan
(demand side). Konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan pembentukan
modal tetap serta perubahan stok menggambarkan kegiatan transaksi intra
regional (domestik) sedangkan nilai eksport menggambarkan kegiatan transaksi
inter regional.
Makin tinggi tingkat permintaan maka makin besar pula nilai transaksi
barang/jasa hal ini mendorong peningkatan nilai output total suatu sektor, namun
nilai permintaan akhir belum menggambarkan sepenuhnya nilai permintaan total
suatu sektor serta dampak totalnya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
Permintaan akhir yang terlalu tertinggi mengakibatkan permintaan antara
yang rendah. Permintaan antara di Kapet Bima hanya sebesar Rp.876.76 juta atau
sebesar 23.18 %. Artinya dari total output wilayah yang dihasilkan hanya 23.18 %
yang dikembalikan dalam kegiatan produksi domestik. Sedangkan di sisi lain
kegiatan eksport lebih banyak barang mentah atau setengah jadi karena rendahnya
kegiatan industri pengolahan domestik. Hal ini menggambarkan rendahnya
keterkaitan (linkages) kegiatan ekonomi domestik dan nilai tambah (margin
value) suatu sektor/komoditi, yang pada akhirnya berbagai daerah di Kapet Bima
adalah sebagai daerah tertinggal karena rendahnya daya kompetitif. Disamping itu
karena nilai tambah lebih besar di dapat oleh pengguna manfaat luar kawasan
maka pada akhirnya juga terjadi kebocoran wilayah.
Tabel 49 memberikan gambaran tentang nilai output masing-masing sektor
ekonomi. Berdasarkan klasifikasi 18 sektor ekonomi, terlihat bahwa 6 (enam)
sektor yang memiliki nilai output paling tinggi di atas rata-rata output sektor lain,
tercermin dari nilai output sektor (IOS) > 1 adalah Tanaman bahan makanan
(26.93 %) , selanjutnya adalah Jasa pemerintahan umum (14.62 %), Perdagangan
Besar dan Eceran (11.65 %), Industri Pengolahan Non Migas (10.94 %), dan
Bangunan (8.36 %) serta angkutan (7.28 %). sektor-sektor ini pun memiliki nilai
tambah bruto lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.
100
Tabel 49 Nilai Output Masing-Masing Sektor di Kapet Bima Tahun 2004
Kode Nama Sektor Output (Rp.000)
Distribusi (%) IOS
1 Tanaman Bahan Makanan 1,018,624,436 26.93 4.85 2 Tanaman Perkebunan 69,002,172 1.82 0.33
3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 173,502,877 4.59 0.83
4 Kehutanan 98,207,516 2.60 0.47 5 Perikanan 161,325,827 4.26 0.77 6 Penggalian 69,485,970 1.84 0.33
7 Industri Pengolahan Non Migas 413,699,519 10.94 1.97
8 Listrik 26,358,675 0.70 0.13 9 Air bersih 2,391,808 0.06 0.01 10 Bangunan 316,102,626 8.36 1.50
11 Perdagangan Besar dan Eceran 440,672,839 11.65 2.10
12 Hotel dan Restoran 56,578,194 1.50 0.27 13 Angkutan 275,254,192 7.28 1.31 14 Pos dan Telekomunikasi 27,299,484 0.72 0.13
15 Bank dan Lembaga Keu. Bukan Bank 30,598,277
0.81 0.15
16 Sewa Bangunan dan Jasa Preusan 17,236,467
0.46 0.08
17 Jasa Pemerintahan Umum 553,212,140 14.62 2.63 18 Jasa Swasta 33,168,238 0.88 0.16 Jumlah 3,782,721,256 100.00 1.00
Sumber : Data Hasil Analisa
Nilai output tanaman bahan makanan paling tinggi dibandingkan dengan
sektor/komoditi lainnya. Sedangkan tanaman perkebunan, peternakan dan
kehutanan nilai outputnya masih sangat rendah (masing-masing sebesar 1.82 %,
4.59 % dan 2.60 % dari total output). Keadaan ini bertolak belakang dengan
potensi lahan di Kapet Bima, dimana areal beririgasi sebagai lahan usaha tani
tanaman bahan makanan adalah 36,823 Ha atau 5.32 %. Sedangkan lahan kering
sebagai tempat pengusahaan peternakan, perkebunan dan kehutanan adalah seluas
38.48 % dari total wilayah (tidak termasuk hutan Negara). Hal ini menunjukkan
bahwa pengelolaan lahan kering sebagai salah satu potensi sumber daya wilayah
yang cukup besar masih belum dimanfaatkan secara lebih optimal.
Apabila diperhatikan nilai output ekonomi tersebut, maka dapat diketahui
bahwa peran petani masih dominan sebagai pelaku ekonomi di Kapet Bima, hal
101
ini juga ditunjukkan pada tabel 29, bahwa jumlah petani mencapai 50.92 %
penduduk Kapet Bima.
Perekonomian Kapet Bima juga masih tergantung cukup besar terhadap
sektor pemerintahan, sementara pada struktur APBD kabupaten/kota di Kapet
Bima dana alokasi dari pusat (DAK dan DAU) masih dominan sedangkan
penerimaan dari komponen pendapatan asli daerah (PAD) yang juga dapat
dijadikan indikator kemandirian daerah masih rendah (< 5 %).
Di sisi input, komponennya terdiri dari input antara (23.18 %), import
(7.76 %) dan yang memberikan kontribusi paling besar adalah input primer atau
nilai tambah bruto yakni sebesar Rp.2.61 trilyun (69.06 %). Proporsi nilai tambah
bruto ini terhadap total input di Kapet Bima sedikit lebih tinggi dari pada di
Propinsi NTB yakni 68.93 %.
Komponen nilai tambah bruto sendiri terdiri dari upah dan gaji, surplus
usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. Besarnya nilai masing-masing
komponen terhadap nilai tambah bruto dapat dilihat pada tabel 50 berikut ini.
Tabel 50 Komponen Nilai Tambah Bruto Sektor Ekonomi di Kapet Bima Tahun 2004
No. Komponen Jumlah (Rp.000) Distribusi (%)
1. Upah dan Gaji 1,038,418,059 39.75
2. Surplus Usaha 1,394,832,276 53.39
3. Penyusutan 147,118,344 5.63
4. Pajak Tak Langsung Netto 32,049,787 1.23
Jumlah 2,612,418,466 100.00 Sumber : Data Hasil Analisa
Beberapan komponen nilai tambah bruto memiliki nilai dan besaran
kontribusi yang bervariasi. Nilai tambah yang besar adalah komponen surplus
usaha yang diterima oleh pengusaha yakni dengan total sebesar Rp.1.39 trilyun
atau 53.39 % dari total nilai tambah bruto. selanjutnya komponen upah dan gaji
yang diterima pekerja dengan total nilai Rp.1.04 trilyun diterima oleh pekerja. dan
komponen yang paling kecil nilainya adalah pajak tak langsung netto yang
102
diterima pemerintah yakni sebesar Rp.32.05 milyar. Nilai ini menunjukkan bahwa
kemampuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaannya masih relatif rendah
yakni 1.23 % apalagi jika dibandingkan dengan Propinsi NTB yang mencapai
3.56 % dari total nilai tambah bruto.
Tabel 51 Perbandingan Koefisien Teknis Komponen Input IO Kapet Bima Tahun 2004, IO Jabodetabek Tahun 2002 dan IO Riau Tahun 2001
No. Komponen IO Kapet Bima 2004
IO Jabodetabek 2002
IO Riau 2001
1. Upah dan Gaji 0.2745 0.1488 0.1044
2. Surplus Usaha 0.3687 0.2902 0.4383
3. Penyusutan 0.0389 0.0418 0.0370
4. Pajak Tak Langsung Netto 0.0085 0.0346 0.0139
5. Total Input Antara 0.2318 0.4109 0.4064
6. Total Input Primer 0.6906 0.5891 0.5936
Sumber : Data Hasil Analisa
Tabel 51 memberikan gambaran perbandingan struktur penyusun Tabel
IO Kapet Bima dengan dua wilayah lainnya yang memiliki karakteristik yang
berbeda. Kapet Bima memiliki karakteristik wilayah dengan output ekonomi
didominasi oleh aktivitas kegiatan pertanian, jasa pemerintahan dan perdagangan.
Jabodetabek didominasi oleh kegiatan industri pengolahan non migas,
perdagangan dan pertanian sedangkan Riau didominasi oleh pertambangan
minyak, industri mesin dan industri perminyakan.
Perbandingan struktur input antara pada wilayah Kapet Bima,
Jabodetabek, dan Riau menunjukkan perbedaan. Total input antara Kapet Bima
adalah sebesar 23.18 % dari total output ekonomi, lebih rendah jika dibandingkan
wilayah Jabodetabek dan Riau yakni mencapai > 40 % dari total output ekonomi
wilayah. Data ini menjelaskan bahwa Kapet Bima yang didominasi oleh aktivitas
pertanian, jasa pemerintahan dan perdagangan menggunakan output untuk
kegiatan produksi (sebagai faktor produksi) masih sangat rendah, sehingga
keterkaitan antar sektor domestik juga rendah yang dapat berakibat terjadinya
kebocoran wilayah. Kegiatan-kegiatan industri pengolahan dan pemanfaatan
103
sektor domestik dalam kegiatan ekonomi wilayah telah mendorong Jabodetabek
dan Riau sebagai wilayah yang relatif lebih maju.
Pada struktur input antara, koefisien teknis upah dan gaji di Kapet Bima
lebih baik dari pada dua wilayah yang lainnya, namun dari sisi penerimaan
pemerintah di Kapet Bima hanya menerima 0.85 % dari total output. Sedangkan
Riau mencapai 1.39 % dan yang paling tinggi adalah Jabodetabek dengan
karaktristik sebagai daerah industri dan perdagangan dapat memberikan
penerimaan pemerintah sebesar 3.46 % dari total output ekonomi wilayah.
5.1.2. Derajat Keterkaitan Antar Sektor
Salah satu keunggulan analisa dengan menggunakan Model IO adalah
dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat hubungan atau
keterkaitan teknis antar sektor, hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan
(forward linkages) atau daya dorong maupun hubungan kebelakang (backward
linkages) atau daya tarik.
Tabel 52 Indeks Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima
Kode Nama Sektor Indeks Daya Dorong (IDD)
Indeks Daya Tarik (IDT)
1 Tanaman Bahan Makanan 1.3422 0.9224 2 Tanaman Perkebunan 0.9945 0.8493 3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 0.9725 1.0316 4 Kehutanan 0.8075 0.8186 5 Perikanan 1.0240 0.9701 6 Penggalian 0.8846 0.8783 7 Industri Pengolahan Non Migas 1.2141 1.5195 8 Listrik 0.9543 1.0002 9 Air bersih 0.7991 0.9336 10 Bangunan 0.9560 1.0908 11 Perdagangan Besar dan Eceran 1.3366 0.8823 12 Hotel dan Restoran 0.8917 1.3757 13 Angkutan 1.1883 0.8799 14 Pos dan Telekomunikasi 1.0171 0.8948 15 Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank 1.0925 1.0321 16 Sewa Bangunan dan Jasa Persh 0.9126 0.8591 17 Jasa Pemerintahan Umum 0.7924 1.0538 18 Jasa Swasta 0.8201 1.0079
Sumber : Data Hasil Analisis
Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks daya dorong >1, berarti daya
dorong sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Demikian juga jika nilai
104
indeks daya tarik >1, berarti daya tarik sektor tersebut di atas rata-rata sektor
lainnya.
Dari tabel 52 diketahui bahwa yang memiliki daya dorong paling tinggi
adalah tanaman bahan makanan (sektor 1) yakni dengan nilai indeks 1.3422
sedangkan sektor yang memiliki daya tarik paling tinggi adalah industri
pengolahan non migas (sektor 7) yakni dengan nilai indeks 1.3757.
Untuk membantu menggambarkan tingkat keterkaitan suatu sektor
terhadap sektor lainnya maka sektor-sektor tersebut dapat ditempatkan dalam
“diagram kartesius keterkaitan antar sektor”. Diagram ini memiki dua sumbu
yakni sumbu vertikal yang menunjukkan indeks daya tarik dan sumbu horizontal
yang menunjukkan indeks daya dorong. selanjutnya sumbu vertikal dibagi
menjadi dua wilayah yakni yang memiki nilai daya tarik di atas rata-rata (nilai
indeks >1) dan yang berada dibawah rata-rata seluruh sektor. Demikian juga
sumbu horizontal dibagi menjadi dua wilayah yakni yang memiliki nilai daya
dorong di atas rata-rata (nilai indeks >1) dan yang berada di bawah rata-rata.
Sehingga jika dua sumbu ini diletakkan dalam satu diagram maka akan
menghasilkan 4 (empat) kuadran.
Gambar 6 menjelaskan keberadaan masing-masing sektor dalam kuadran-
kuadran keterkaitan antar sektor, Diagram tersebut memiliki 4 (empat) kuadran.
Kuadran I, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan sektor
kebelakang (hulu) yang tinggi namun memiliki hubungan dengan sektor ke
depan (hilir) yang rendah. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran I ini
adalah : peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3), listrik (sektor 8), bangunan
(sektor 10), Hotel dan restoran (sektor 12), jasa pemerintahan umum (sektor 17)
dan jasa swasta (sektor 18). Keberadaan sektor-sektor pada kuadran I ini,
hendaknya dapat menggerakkan sektor-sektor hilir atau dengan kata lain, harus
diciptakan kegiatan atau aktivitas yang dapat memanfaatkan secara optimal
sektor-sektor pada kuadran I baik sebagai bagian dari faktor produksi maupun
sebagai sarana-prasarana atau komponen pendukung dalam kegiatan produksi
sehingga dapat menggerakkan nilai total ekonomi wilayah secara signifikan.
105
Gambar 6 Diagram Kartesius Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima
Kuadran II, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan
sektor kebelakang (hulu) yang tinggi serta memiliki hubungan dengan sektor ke
depan (hilir) yang tinggi pula. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran II
ini adalah : Industri Pengolahan Non Migas (sektor 7), bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank (sektor 15), Keberadaan sektor-sektor pada kuadran II sangat
penting sebagai sektor atau kegiatan antara yang menghubungan sektor-sektor di
hulu dengan hilir, sehingga sektor-sektor yang berada di kuadran II ini harus
ditingkatkan keberadaan baik dari jumlah aktivitas maupun dari nilai output
(produksi) yang dihasilkan.
Kuadran III, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan
sektor kebelakang (hulu) yang rendah namun memiliki hubungan dengan sektor
ke depan (hilir) yang tinggi. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran III
ini adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1), perikanan (5), Perdagangan besar
dan eceran (sektor 11), Hotel dan restoran (sektor 13), jasa pemerintahan umum
KETERKAITAN ANTAR SEKTOR
214166
7 12
1017
49
11 1
13 518 8 15 3
0.0000
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
1.0000
1.2000
1.4000
1.6000
0.0000 0.5000 1.0000 1.5000
INDEKS KEPEKATAN
I N D E K S
D A Y A
T A R I K
I II
III IV
INDEKS DAYA DORONG
106
(sektor 14) dan jasa swasta (sektor 18). Keberadaan sektor-sektor pada kuadran III
ini, hendaknya dapat memanfaatkan secara optimal sektor-sektor di hulu untuk
mendukung aktivitas atau dalam kegiatan produksi sehingga dapat menggerakkan
nilai total ekonomi wilayah secara signifikan.
Kuadran IV, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan
sektor kebelakang (hulu) yang rendah namun memiliki hubungan dengan sektor
ke depan (hilir) yang tinggi. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran IV
ini adalah : kehutanan (sektor 4), penggalian (sektor 6), air bersih (sektor 9), sewa
bangunan dan jasa perusahaan (sektor 16). Keberadaan sektor-sektor pada
kuadran IV ini, cenderung sebagai sektor pendukung bagi pengembangan sektor-
sektor lain baik di kegiatan atau industri di hulu maupun di hilir khususnya
terhadap kegiatan produksi domestik.
5.2. Sektor Basis
Model ekonomi basis (economic base model) menjelaskan bahwa arah dan
pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh kecenderungan eksport wilayah
tersebut. Eksport tersebut dapat berupa tenaga barang, jasa atau tenaga kerja serta
dapat juga berupa barang-barang tidak bergerak (immobile) seperti yang
berhubungan dengan aspek geografi, iklim, peninggalan sejarah dan pariwisata.
sektor atau industri yang bersifat seperti seperti itu disebut sektor basis.
Salah satu metode pengukuran sektor basis adalah dengan metode location
quotient (LQ). Apabila suatu sektor nilai LQ > 1 maka merupakan sektor basis
sedangkan bila LQ < 1 maka sektor tersebut merupakan non basis. Pada tabel 53
terlihat bahwa dari 18 sektor ekonomi, terdapat 5 (lima) sektor yang menjadi
sektor basis yakni : (1) Tanaman bahan makanan, (3) peternakan dan hasilnya,
(4) kehutanan, (5) perikanan dan (9) Air bersih. Sedangkan sektor yang lain
merupakan sektor non basis (sektor pendukung).
Lima sektor basis di Kapet Bima adalah termasuk dalam sektor-sektor
primer yakni kegiatan yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber
daya alam, sedangkan sektor sekunder dan tersier seperti perdagangan, jasa dan
industri kapasitas usahanya belum menjadi sektor yang memiki keunggulan
komparatif wilayah.
107
Tabel 53 Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Location Quotient (LQ) di Kapet Bima
Kode Sektor PDRB (Rp.000) LQ PDRB
1 Tanaman Bahan Makanan 799,682,448 1.4892
2 Tanaman Perkebunan 61,151,894 0.7558
3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 130,132,782 1.0020
4 Kehutanan 92,079,324 2.7388
5 Perikanan 126,803,512 1.5223
6 Penggalian 59,235,026 0.8069
7 Industri Pengolahan Non Migas 79,691,000 0.5262
8 Listrik 7,339,056 0.6834
9 Air bersih 1,737,486 1.1709
10 Bangunan 182,882,966 0.7386
11 Perdagangan Besar dan Eceran 394,075,257 0.9583
12 Hotel 24,772,012 0.3870
13 Angkutan 202,457,556 0.7582
14 Pos dan Telekomunikasi 24,242,501 0.5310
15 Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank 23,332,098 0.6756
16 Sewa Bangunan dan Jasa Preusan 15,521,623 0.7261
17 Jasa Pemerintahan Umum 364,150,028 0.9899
18 Jasa Swasta 23,131,897 0.4508
Jumlah 2,612,418,466 1.0000 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Propinsi NTB, 2004
5.3. Sektor Unggulan Potensial
Sektor unggulan merupakan sektor basis dan berperan sebagai penggerak
utama pertumbuhan ekonomi wilayah serta memiliki potensi besar untuk
dikembangkan. Sehingga kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan sektor
unggulan potensial wilayah :
(1). Merupakan sektor basis, hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai LQ PDRB
yang tinggi.
(2). Memiliki kemampuan yang tinggi untuk menggerakkan sektor lain baik
keterkaitan kedepan (dengan sektor hilir) maupun keterkaitan kebelakang
108
(dengan sektor hulu), hal ini dapat ditunjukkan dengan indeks daya tarik dan
daya dorong terhadap sektor lain yang tinggi.
(3). Memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, hal ini ditunjukkan dengan
nilai indeks output ekonomi suatu sektor .
Tabel 54 Tingkat Keunggulan Masing-Masing Sektor di Kapet Bima
Kode Nama Sektor Skor Keunggulan Sektor (SKS) TKS IOS IDT IDD LQ Jmlh 1 Tanaman Bahan Makanan 1 0 1 1 3 I 2 Tanaman Perkebunan 0 0 0 0 0 IV 3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 0 1 0 1 2 II 4 Kehutanan 0 0 0 1 1 III 5 Perikanan 0 0 1 1 2 II
6 Penggalian 0 0 0 0 0 IV 7 Industri Pengolahan Non Migas 1 1 1 0 3 I 8 Listrik 0 1 0 0 1 III 9 Air bersih 0 0 0 1 1 III
10 Bangunan 1 1 0 0 2 II 11 Perdagangan Besar dan Eceran 1 0 1 0 2 II 12 Hotel dan Restoran 0 1 0 0 1 III 13 Angkutan 1 0 1 0 2 II
14 Pos dan Telekomunikasi 0 0 1 0 1 III 15 Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank 0 1 1 0 2 II 16 Sewa Bangunan dan Jasa Pershn 0 0 0 0 0 IV 17 Jasa Pemerintahan Umum 1 1 0 0 2 II 18 Jasa Swasta 0 1 0 0 1 III
Sumber : Data Hasil Analisis
Berdasarkan peringkat keunggulan sektor seperti yang dijelaskan pada
tabel 54, maka yang menjadi sektor unggulan I (total skor = 3) adalah : tanaman
bahan makanan dan industri pengolahan non migas; Sektor unggulan II (total skor
= 2) adalah : Peternakan dan hasilnya, Perikanan, bangunan, perdagangan besar
dan eceran, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank serta sektor jasa
pemerintahan umum; Sektor unggulan III adalah (total skor = 1) : kehutanan,
listrik, air bersih, hotel dan restoran, pos dan telekomunikasi, dan jasa swasta;
sedangkan unggulan IV (total skor = 0) adalah : tanaman perkebunan, penggalian
dan sewa bangunan dan jasa perusahaan.
109
Untuk membantu menggambarkan tingkat keunggulan suatu sektor
terhadap sektor lainnya maka sektor-sektor tersebut dapat ditempatkan dalam
grafik yang dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini.
TINGKAT KEUNGGULAN SEKTOR
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
KODE SEKTOR
IND
EKS
KEU
NG
GU
LAN
IOSIDDIDTLQ
Gambar 7 Tingkat Keunggulan Sektor Berdasarkan Indeks Keunggulan Setiap Indikator di Kapet Bima
Sektor yang merupakan unggulan I merupakan sektor yang memenuhi
indikator keunggulan paling tinggi dibandingkan sektor lainnya, namun tidak ada
satupun sektor yang memenuhi seluruh indikator keunggulan sektor (empat
indikator). Adapun sektor unggulan I adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1)
dan industri pengolahan non migas (sektor 7). Kedua sektor ini memiliki total skor
keunggulan sektor (SKS) = 3, artinya sektor tersebut memiliki keunggulan pada
110
tiga dari empat indikator keunggulan sektor. Sektor tanaman bahan makanan
memiliki keunggulan pada indikator nilai output ekonomi wilayah yang tinggi,
daya dorong (keterkaitan kedepan) terhadap sektor lain serta merupakan sektor
basis yang merupakan sektor yang berpotensial untuk melakukan kegiatan
eksport, namun rendah pada indikator daya tarik (keterkaitan kebelakang)
terhadap sektor lainnya. Sedangkan sektor industri pengolahan non migas
memiliki keunggulan pada indikator nilai output ekonomi wilayah yang tinggi
serta keterkaitan yang kuat dengan sektor lainnya baik keterkaitan kebelakang
(daya tarik) maupun keterkaitan kedepan (daya dorong).
Seperti ditunjukkan pada gambar 7 di atas. Sektor tanaman bahan makan
memiliki output yang sangat dominan terhadap total ekonomi wilayah. nilai
output sektor ini adalah sebesar Rp.1.02 trilyun yakni dengan indeks output sektor
(IOS) sebesar 4.85, artinya nilai outputnya hampir mencapai 5 (lima) kali
besarnya output rata-rata di Kapet Bima. Jenis komoditas yang masuk dalam
sektor tamanan bahan makanan antara lain padi, kacang tanah, kedelai dan
bawang merah. Nilai produksi komoditi ini rata-rata > 25 % dari total produksi
Propinsi NTB, bahkan bawang merah mencapai 80.84 % dari total produksi
Propinsi NTB sehingga merupakan salah satu komoditi unggulan yang dieksport
(diperdagangkan) antar pulau. Sektor ini memiliki keterkaitan kebelakang dengan
sektor pengangkutan, perdagangan besar dan eceran. Selain itu juga memiliki
keterkaitan ke depan yang kuat, yang dapat mendorong pertumbuhan industri
pengolahan (makanan), hotel dan restoran, bangunan, peternakan, perikanan dan
pemerintahan.
Sektor industri pengolahan non migas memiliki nilai output ekonomi
terbesar keempat di Kapet Bima yakni sebesar Rp.413.70 milyar yakni dengan
indeks output sektor (IOS) sebesar 1.97, artinya nilai output sektor ini sebesar
1.97 kali besarnya output rata-rata di Kapet Bima. Sektor industri pengolahan non
migas memiliki tingkat keterkaitan yang tinggi dengan sektor lainnya. Dengan
nilai indeks daya dorong sebesar 1.21 dan indeks daya tarik sebesar 1.52
menjadikan kegiatan industri pengolahan non migas sebagai sektor kunci yang
menghubungkan kegiatan ekonomi sektor-sektor hulu dengan kegiatan ekonomi
sektor hilir.
111
Di sisi lain, keberadaan sektor industri pengolahan non migas belum
menjadi sebagai sektor basis. Sektor ini memiliki aktivitas dan volume usaha yang
relatif masih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Propinsi NTB.
Produk-produk industri serta berbagai faktor produksi usaha (hulu) masih banyak
yang didatangkan dari luar kawasan, seperti pakan ikan/ternak, ayam broiler,
pupuk dan obat-obatan pertanian, alat dan mesin usaha perikanan/pertanian,
sedangkan kegiatan industri di sektor hilir juga masih rendah. Karena komoditi
yang dijual pada umumnya masih produk mentah dan setengah jadi. Oleh karena
sektor ini memiliki kemampuan untuk menggerakkan sektor lainnya baik dengan
keterkaitan kedepan dan kebelakang maka perlu ditingkatkan jumlah usaha dan
kelembagaannya, serta nilai produktivitasnya dengan berbasis (keunggulan)
produk spesifik lokal.
Sektor unggulan II (total skor = 2) adalah : Peternakan dan hasilnya
(sektor 3), Perikanan (sektor 5), bangunan (sektor 10), perdagangan besar dan
eceran (sektor 11), sektor angkutan (sektor 13), bank dan lembaga keuangan
bukan bank (sektor 15) dan jasa pemerintahan umum (sektor 17). Aktivitas
ekonomi sektor bangunan dan jasa pemerintahan umum memiliki output ekonomi
yang tinggi serta telah menyerap faktor produksi (input) domestik dalam kegiatan
ekonominya, namun keberadaan sektor ini belum menjadi sebagai sektor basis
jika dibandingkan dengan daerah lain di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Sektor bangunan dan jasa pemerintahan umum ini belum mampu
mendorong yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi lainnya. Indeks daya dorong
atau keterkaitan kedepan masih rendah. Artinya alokasi anggaran pembangunan
hendaknya memperhatikan aktivitas ekonomi produktif dan dengan proporsi nilai
alokasi yang lebih besar.
Sektor unggulan II yang merupakan sektor basis adalah sektor peternakan
dan perikanan. Komoditi peternakan dan perikanan dapat menjadi komoditi
unggulan karena merupakan komoditi eksport. Dengan potensi sumber daya lahan
yang luas dimana lahan kering mencapai 94.68 (termasuk didalamnya terdapat
55.80 %) yang merupakan lahan potensial untuk pengembangan peternakan dan
luas kawasan pesisir dan kelautan sebesar 63.77 % dari total luas wilayah,
merupakan sumber daya potensial untuk pengembangan sektor perikanan, namun
112
output sektor ini masih rendah yakni masing-masing hanya mencapai Rp.173.50
milyar dan Rp.161.33 milyar.
Komoditi peternakan di Kapet Bima merupakan komoditi eksport antar
pulau seperti kuda, sapi, kerbau dan kambing meliki keterkaitan kebelakang yang
kuat namun memilki keterkaitan kedepan yang rendah. Sektor ini memiliki
keterkaitan ke belakang yang kuat terhadap sektor industri pengolahan,
perdagangan besar dan eceran, angkutan, tanaman bahan makanan, tanaman
perkebunan. Sedangkan keterkaitan ke depan yakni dengan sektor hotel dan
restoran seta industri pengolahan.
Begitu pula dengan komoditi perikanan/kelautan. Sektor ini memiliki
keterkaitan kebelakang dengan sektor industri pengolahan, perdagangan,
angkutan, serta memiliki keterkaitan kedepan dengan sektor hotel dan restoran,
dan sektor industri pengolahan. Mutiara sebagai salah satu komoditi perikanan
yang dibudidayakan di Kapet Bima merupakan komoditi eksport, dan nilai
produksinya mencapai 42 % dari total produksi di Propinsi NTB, namun kegiatan
kerajinan mutiara hampir tidak didapat Kapet Bima seperti hal di daerah Sekarbila
Mataram. Begitu juga dengan kegiatan kerajinan kulit kerang mutiara, yang juga
bernilai jual tinggi. Sedangkan pengolahan komoditi lainnya seperti rumput laut
dan ikan juga masih terbatas. Rumput laut sudah mulai diolah dalam bentuk
dodol, kemudian ikan bandeng sudah ada yang diproduksi dalam bentuk presto,
sedangkan ikan laut lebih banyak yang dijual dalam keadaan segar dan
pengolahannya baru diusahakan dalam bentuk pengasinan atau pengeringan.
Sektor perdagangan, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank
memiliki indeks daya dorong yang tinggi yakni masing-masing sebesar 1.34, 1.18
dan 1.10. Dengan output ekonomi yang tinggi, sektor perdagangan dan angkutan
dapat mendorong dinamika ekonomi wilayah serta hubungan antar wilayah baik
intra maupun inter regional.
113
5.4. Interaksi Spasial Intra-Inter Regional
5.4.1. Pola Hubungan Wilayah Intra-Inter Regional
Setiap wilayah memiliki potensi sumber daya dan karakteristik masing-
masing baik sebagi faktor endowment maupun sebagai faktor buatan berupa
teknologi dan hasil interaksi sosial-ekonomi wilayah lainnya. Perbedaan sumber
daya (supply side) serta disisi lainnya perbedaan kebutuhan (demand side)
menyebabkan terjadinya transaksi dan interaksi sosial maupun ekonomi wilayah.
Mobilisasi sumber daya dan pemenuhan kebutuhan masing-masing
wilayah sehingga terjadinya hubungan/interksi wilayah dapat berwujud arus atau
pergerakan orang, kendaraan atau barang serta komponen wilayah lainnya
(seperti teknologi, modal dan informasi) melalui jalan dan transportasi, sistem
atau kelembagaan yang melaksanakannya. dan tingkat dan sifat interaksi akan
menentukan perkembangan suatu wilayah.
Tabel 55 Persepsi Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk Di Kapet Bima (%)
No.
Keperluan
Daerah Tujuan Dlm Desa
Dlm Kec
Dlm Kab
Luar Kab Jumlah
1 Membeli Sembako 29.73 37.84 27.03 5.41 100.00
2 Membeli Saprotan 15.15 30.30 45.45 9.09 100.00
3 Membeli Pakaian 7.41 37.04 48.15 7.41 100.00
4 Membeli Bahan Bangunan 6.45 35.48 51.61 6.45 100.00
5 Membeli Barang Elektronik 6.90 27.59 55.17 10.34 100.00
6 Membeli Alat dan Mesin 5.00 15.00 65.00 15.00 100.00
7 Membeli Sepeda 8.00 32.00 48.00 12.00 100.00
8 Membeli Sepeda Motor 9.09 36.36 45.45 9.09 100.00
9 Membeli Mobil - 14.29 64.29 21.43 100.00
10 Rekreasi/Traveling 8.57 37.14 40.00 14.29 100.00
11 Menjual Produk Usaha 14.71 32.35 47.06 5.88 100.00
Rerata 10.09 30.49 48.84 10.58 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer
Sifat pergerakan penduduk sendiri secara garis besar terbagi dua macam.
Yang pertama adalah pergerakan yang bersifat sementara, yakni perjalanan atau
114
bepergian untuk memenuhi kebutuhan hidup dan atau usahanya kemudian
selanjutnya akan kembali lagi ke tempat asalnya. Sedangkan yang kedua adalah
pergerakan yang bersifat tetap, yakni perpindahan penduduk dari suatu tempat
ketampat lain dengan tujuan untuk menetap secara permanen.
Pergerakan penduduk yang bersifat sementara, tergambar dari orientasi
perjalanan/bepergian penduduk di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 55. Dari
tabel 55 dapat dijelaskan bahwa untuk memenuhi berbagai keperluannya,
penduduk selain mendapatkan dari lingkungannya (desa/kelurahan sendiri) juga
lebih banyak didapat dari luar desa/kelurahannya. Yang relatif mudah untuk
didapat dalam desa/kelurajan adalah membeli sembako dan saprotan (sarana
produksi pertanian) sedangkan 9 (sembilan) keperluan lainnya relatif sulit didapat.
Secara umum keperluan yang dapat dipenuhi dalam desa/kelurahan
sebanyak 10.09 %. Dalam kecamatan (biasanya di ibu kota kecamatan) adalah
sebanyak 30.49 % dan yang paling banyak adalah di dalam wilayah Kabupaten
(di ibu kota kabupaten atau pusat perdagangan kabupaten/kota, seperti di
Kecamatan Rasanae Barat, Kecamatan Dompu, Ibu Kota Kecamatan Sape, Sila
Bolo, Tente Woha, dan Manggelewa) adalah sebesar 48.84 %, diantaranya untuk
membeli alat dan mesin, membeli mobil serta membeli barang elektonik.
Uraian di atas menunjukkan bahwa tiap keperluan penduduk (barang/jasa)
memiliki tingkat ketersediaan yang berbeda-beda, jika sembako (kebutuhan
primer) dan saprotan tersedia hampir di seluruh tingkat desa/kelurahan, sedangkan
pakaian, bahan bangunan (kebutuhan sekunder) dan sepeda, sebagian besar
penduduk mendapatkan di pasar tingkat kecamatan, maka alat dan mesin, sepeda
motor dan mobil (kebutuhan tersier), pada umumnya penduduk mendapatkannya
di pusat perdagangan tingkat kabupaten. Sehingga terdapat kecenderungan bahwa
ada hubungan antara hirarki ketersediaan barang/jasa dengan hirarki tingkat
perkembangan suatu wilayah di Kapet Bima, atau dengat kata lain, pengaruh
ketersediaan barang/jasa yang dibutuhkan penduduk akan sangat menentukan
tingkat perkembangan suatu wilayah.
Pergerakan penduduk yang kedua adalah pergerakan yang bersifat tetap,
yakni perpindahan penduduk dari suatu tempat ketempat lain dengan tujuan untuk
menetap secara permanen. Dengan objek kajian tingkat desa/keluarahan maka
115
dapat digambarkan pola perpindahan penduduk berdasarkan daerah asal dan
tujuannya.
Pola Perpindahan Penduduk Berdasarkan Daerah Asal
52.37
23.7917.62
5.720.50-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
Dlm Kec Dlm Kab Dlm Prop Dlm Negeri Luar NegeriDaerah Asal
Pend
uduk
Yan
g Pi
ndah
(%)
Gambar 8 Rerata Persentase Penduduk Pendatang Tiap Desa/Kelurahan Berdasarkan Daerah Asal di Kapet Bima
Dari gambar 8 diperoleh informasi bahwa persentase penduduk yang
pindah ke suatu desa/kelurahan di Kapet Bima, sebanyak 52.37 % berasal dari
desa tetangga sekitarnya dalam satu kecamatan, selanjutnya 23.79 % berasal dari
kecamatan lain dalam satu kabupaten, 17.62 % dari kabupaten lain dalam satu
propinsi, 5.72 dari propinsi lain dan 0.50 % berasal dari negara lain. Dari uraian di
atas terdapat kecenderungan bahwa pola perpindahan penduduk ke suatu
desa/kelurahan di Kapet Bima makin tinggi searah dengan makin dekatnya jarak
daerah asalnya.
Dari gambar 9 diketahui bahwa dari jumlah penduduk yang pindah ke luar
desa/kelurahannya, sebanyak 41.83 % ke propinsi lain, 28.76 % ke kabupaten lain
dalam satu propinsi, 10.84 % ke desa lain dalam 1 kecamatan, 9.57 % ke negara
lain dan 9.00 % ke kecamatan lain dalam satu kabupaten. Data ini menunjukkan
bahwa perpindahan penduduk suatu desa/kelurahan di Kapet Bima ke daerah lain
tidak dipengaruhi oleh jarak antar wilayah tapi di tentukan oleh daya tarik atau
daya dorong suatu wilayah.
116
Pola Perpindahan Penduduk Berdasarkan Daerah Tujuan
10.84 9.00
28.76
41.83
9.57
-5.00
10.0015.0020.0025.0030.0035.0040.0045.00
Dlm Kec Dlm Kab Dlm Prop Dlm Negeri Luar Negeri
Daerah Tujuan
Pend
uduk
Yan
g Pi
ndah
(%)
Gambar 9 Rerata Persentase Penduduk Tiap Desa/Kelurahan Yang Pindah Ke Daerah Lain Berdasarkan Daerah Tujuan Di Kapet Bima
a. Pola Hubungan Wilayah Intra Regional
Hubungan wilayah intra regional meliputi hubungan wilayah antar desa,
antar kecamatan dan atau antar kabupaten/kota di Kapet Bima. Hubungan antar
wilayah khususnya sangat dipicu oleh pergerakan penduduk untuk memobilisasi
sumber daya wilayahnya dan atau memenuhi kebutuhan hidup dan usahanya,
sehingga faktor-faktor tersebut menjadi daya dorong atau daya tarik suatu
wilayah.
Tabel 56 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Desa/Kelurahan Dalam 1 (Satu) Kecamatan Di Kapet Bima
Alasan/Motivasi Pindah %
a. Mencari nafkah/kerja 18.93
b. Ikut suami/istri/keluarga 26.17
c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 8.80
d. Rasa nyaman/keamanan 6.46
e. Sekolah 39.64
f. Lain-Lain -
Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer
117
Tabel 56 menjelaskan bahwa alasan/motivasi perpindahan penduduk antar
desa/kelurahan dalam satu kecamatan di Kapet Bima masih di dominasi oleh
tujuan melanjutkan pendidikan (39.64 %), hal ini disebabkan karena di tingkat
desa/kelurahan lembaga pendidikan pada umumnya hanya tersedia sampai tingkat
SD sementara tingkat SLTP pada umumnya hanya tersedia di ibukota kecamatan.
Motivasi kedua adalah karena ikut suami/istri/keluarga, fenomena ini
dapat menggambarkan masih kuatnya tingkat keeratan hubungan
sosial/kekeluargaan penduduk di Kapet Bima, yaitu adanya ikatan pernikahan
yang kecenderungannya dengan famili atau dengan keluarga yang telah dikenali,
serta adanya fenomena migrasi berantai karena kekerabatan dalan suatu keluarga
besar, yakni perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain yang diikuti
penduduk (kerabatnya). Perpindahan demikian biasanya terjadi apabila
rombongan atau orang yang pertama berhasil maka akan menarik saudara atau
kerabatnya yang lain.
Adapun alasan/motivasi perpindahan penduduk antar kecamatan dalam
satu kabupaten di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 57 dan uraian berikut ini.
Tabel 57 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Kecamatan
Dalam 1 (Satu) Kabupaten Di Kapet Bima
Alasan/Motivasi Pindah %
a. Mencari nafkah/kerja 20.12
b. Ikut suami/istri/keluarga 30.34
c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 9.22
d. Rasa nyaman/keamanan 3.13
e. Sekolah 34.91
f. Lain-Lain 2.29
Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer
Tabel 57 menjelaskan masih terdapatnya kesenjangan fasilitas pendidikan
antar kecamatan, khususnya antara kecamatan di ibu kota kabupaten dengan luar
ibu kota kabupaten yakni pada tingkat pendidikan SMU/SMK sehingga hal
tersebut masih menjadi alasan/motivasi penduduk untuk berpindah (34.91 %).
118
Fenomena perpindahan akan adanya hubungan kekerabatan juga sangat tinggi
(30.34 %) sedangkan persepsi penduduk adanya peluang kerja dalam wilayah
telah menjadi motivasi ekonomi penduduk untuk melakukan migrasi (20.12 %).
Hubungan antar wilayah di Kapet Bima didukung oleh ketersediaan
prasarana dan sarana transportasi baik berupa transportasi antar desa maupun
antar kecamatan/daerah dalam wilayah Kapet Bima, namun terdapat beberapa
daerah yang intensitasnya relatif rendah seperti di Kecamatan Donggo dan
Tambora Kabupaten Bima.
Tabel 58 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) Intra Regional Kapet Bima
Kabupaten
Jumlah Trayek
Jmlh Kendaraan
(Buah)
Perkiraan Pergerakan Perhari
Jml Penumpang (Org)
Jml Barang (Kg)
Kab dan Kota Bima 67 401 9,410 88,309
Dompu 11 64 1,502 14,094
Jumlah Kapet Bima 78 465 10,912 102,403 Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer dan Data Sekunder
Tabel 58 menjelaskan bahwa terdapat 465 jumlah kendaraan roda 4 dan 6
yang melewati sekitar 78 trayek antar kota dalam wilayah Kapet Bima sehingga
diperkirakan terdapat pergerakan penumpang sebanyak lebih dari 10.912 orang
dengan jumlah barang sebanyak lebih dari 102 ton perhari. jumlah ini belum
termasuk mobil pribadi dan kegiatan khusus pengangkutan barang yang ada dalam
wilayah Kapet Bima.
Dari gambar 10 terlihat bahwa wilayah Kapet Bima yang dibatasi oleh
keadaan geografis yang berbukit serta wilayah yang berbentuk poligon tidak
teratur, sehingga membentuk jalur transportasi yang bersifat linear dan melingkar,
tidak bersifat kompak atau menyebar, sehingga sangat sulit membentuk jaringan
transportasi intra regional yang optimal (kurang efisien). namun tiap wilayah
membentuk hubungan dengan wilayah lain cenderung bersifat fungsional
sehingga arus-arus pergerakan membentuk simpul-simpul dominan dan
membentuk beberapa daerah inti atau yang berfungsi sebagai pusat-pusat
pelayanan (node) dengan berbagai tingkatan (hirarki), yakni sebagai berikut :
119
(1) Hiraki pertama adalah Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima, dimana
semua wilayah lain dalam Kapet Bima cenderung akan bergerak Ke
daerah ini, khusunya untuk mendapatkan barang/jasa/pelayanan yang
berhirarki tinggi (tidak tersedia di daerah lain).
(2) Hirarki kedua adalah Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu dan
Kecamatan Sape Kabupaten Bima. Kecamatan Dompu berfungsi
menyangga hampir semua daerah di Kabupate Dompu, khususnya di
wilayah Dompu bagian selatan. Sedangkan Kecamatan Sape menyangga
sebagian wilayah Kecamatan Wawo, Kecamatan Wera dan Langgudu serta
mendukung hubungan dengan Propinsi NTT dan Kawasan Timur
Indonesia lainnya.
(3) Hirarki ketiga adalah Kecamatan Manggelewa Kabupaten Dompu,
Kecamatan Bolo dan Woha Kabupaten Bima. Kecamatan Manggelewa
mendukung perkembangan Kecamatan-Kecamatan di sekitar semenanjung
Gunung Tambora, Kecamatan Bolo mendukung perkembangan
Kecamatan Donggo dan Madapangga, sedangkan Kecamatan Woha
mendukung perkembangan wilayah selatan Kabupaten Bima.
Gambar 10 Arus Penumpang dan Barang Dominan Intra Regional
di Kapet Bima
120
b. Pola Hubungan Wilayah Inter Regional
Hubungan wilayah inter regional meliputi hubungan wilayah antara
daerah-daerah di dalam dan diluar Kapet Bima, baik berupa hubungan antar
pelabuhan, kota, kabupaten maupun dengan suatu propinsi.
Hubungan antar wilayah khususnya sangat dipicu oleh pergerakan
penduduk serta mobilisasi sumber daya wilayahnya dan atau memenuhi
kebutuhan hidup penduduk dan usaha dalam skala yang lebih besar. sehingga
faktor-faktor tersebut menjadi daya dorong atau daya tarik suatu wilayah.
Adapun faktor-faktor yang dapat menjadi daya tarik dan daya dorong
hubungan wilayah dapat diidentifikasi dari alasan/motivasi perpindahan penduduk
serta besaran dan jenis pergerakan barang dan jasa yang dapat dijelaskan pada
tabel 59 dan uraian berikut.
Tabel 59 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Kabupaten Lain Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima
Alasan/Motivasi Pindah %
a. Mencari nafkah/kerja 25.43
b. Ikut suami/istri/keluarga 23.81
c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 17.15
d. Rasa nyaman/keamanan 5.95
e. Sekolah 27.65
f. Lain-Lain -
JUMLAH 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer
Tabel 59 mengidentifikasi tiga faktor utama yang menjadi alasan
perpindahan penduduk yaitu melanjutkan pendidikan, ikut famili dan mencari
nafkah/kerja. Tingginya perkembangan jumlah perguruan tinggi di Kota Bima
menjadi faktor penarik bagi penduduk selain dari Kota Bima, Kabupaten Bima
dan Dompu juga berasal dari Kabupaten Sumbawa Besar dan Sumbawa Barat.
Sedangkan dari Kabupaten Lobar dan Loteng cenderung mencari nafkah
khususnya di sektor perdagangan dan industri pengolahan serta sebagai migrasi
121
berantai mengikuti kerabat yang sebelumnya banyak menjadi transmigran yang
bergerak disektor pertanian.
Tabel 60 menjelaskan bahwa faktor dominan yang menjadi alasan/motifasi
penduduk untuk pindah ke kabupaten lain dalam satu propinsi adalah melanjutkan
pendidikan (58.85 %). Daerah tujuan utama untuk melanjutkan pendidikan adalah
Kota Mataram. Walaupun di Kota Bima, Kabupaten Bima dan Dompu terdapat
perguruan tinggi, namun satu-satunya perguruan tinggi negeri di Propinsi NTB
adalah di Mataram (Universitas Mataram), di Kota Mataram pun memiliki
berbagai perguruan tinggi yang menawarkan jurusan/program studi yang tidak
terdapat diperguruan tinggi di daerah-daerah Kapet Bima.
Tabel 60 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Kabupaten Lain Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima
Alasan/Motivasi Pindah %
a. Mencari nafkah/kerja 18.75
b. Ikut suami/istri/keluarga 12.50
c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 8.75
d. Rasa nyaman/keamanan 1.15
e. Sekolah 58.85
f. Lain-Lain -
Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer
Adapun Alasan/motiviasi Perpindahan Penduduk dari propinsi lain di
Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 61. Tabel tersebut menjelaskan bahwa tiga
faktor utama yang menjadi alasan/motifasi penduduk untuk bermigrasi ke daera-
daerah di Kapet Bima adalah mencari nafkah (33.19 %), ikut kerabat (29.74 %)
serta mencari kehidupan yang memadai. Penduduk dari Jatim, Sulawesi Selatan,
dan Sumatera Barat banyak yang melakukan kegiatan perdagangan. Migrasi dari
Bali sebagian besar sebagai transmigrasi dan bergerak di sektor pertanian
sedangkan migrasi dari NTT bergerak di sektor informal.
122
Tabel 61 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Propinsi Lain Di Kapet Bima
Alasan/Motivasi Pindah %
a. Mencari nafkah/kerja 33.19
b. Ikut suami/istri/keluarga 29.74
c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 27.59
d. Rasa nyaman/keamanan 2.16
e. Sekolah 3.02
f. Lain-Lain 4.31
Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer
Tabel 62 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Propinsi Lain Di Kapet Bima
Alasan/Motivasi Pindah %
a. Mencari nafkah/kerja 41.52
b. Ikut suami/istri/keluarga 8.17
c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 3.06
d. Rasa nyaman/keamanan 0.82
e. Sekolah 46.43
f. Lain-Lain -
Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer
Tabel 62 di atas menjelaskan bahwa terdapat dua faktor utama yang
menjadi alasan motifasi penduduk bermigrasi ke luar daerah yakni mencari
nafkah/kerja (41.52 %) dan sekolah (46.43 %). Penduduk yang mencari
nafkah/kerja khususnya di sektor formal cenderung menuju daerah Jakarta,
Tangerang dan Bekasi, Surabaya, Sulawesi Selatan, Banjarmasin, Balikpapan dan
Samarinda. Sedangkan penduduk yang ingin melanjutkan pendidikan cenderung
menuju daerah-daerah Malang, Yogyakarta, dan Ujung Pandang. Berbagai daerah
123
tujuan migrasi ini memang adalah merupakan daerah-daerah pusat pertumbuhan
ekonomi dan pendidikan di Kawasan Timur dan Barat Indonesia.
Tabel 63 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Negara Lain
Di Kapet Bima
Alasan/Motivasi Pindah %
a. Mencari nafkah/kerja 92.73
b. Ikut suami/istri/keluarga 2.18
c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai 3.64
d. Rasa nyaman/keamanan -
e. Sekolah 1.45
f. Lain-Lain -
Jumlah 100.00 Sumber : Hasil Analisis Data Primer
Hubungan wilayah di Kapet Bima, selain bersifat intra regional, inter
regional juga internasional, hal ini tergambar dari migrasi penduduk ke berbagai
negara seperti terlihat pada tabel 63. Tabel tersebut menjelaskan bahwa alasan
utama perpindahan penduduk ke negara lain adalah untuk mencari nafkah/kerja
yakni sebagai TKI/TKW di negara-negara berikut : Malaysia, Arab Saudi, Korea
Selatan dan Jepang, sedangkan negara tujuan melanjutkan pendidikan adalah ke
Australia.
1). Hubungan Inter Regional Melalui Jaringan Transportasi Darat
Keterkaitan antar wilayah tidak dapat terjalin bila tidak didukung oleh
hubungan antar wilayah yang saling berinteraksi. Hubungan tersebut dapat terjadi
melalui jaringan transportasi (ketersediaan prasarana dan sara transportasi).
Tabel 64 menjelaskan ketersediaan angkutan umum antar kota dalam
propinsi, yang melewati jalur mulai dari Bima, Dompu, Sumbawa sampai
Mataram. Jalur ini melewati semua kota/kabupaten yang ada di Propinsi Nusa
Tenggara Barat, sehingga tingkat mobilitas antara Kapet Bima dan kabupaten/kota
lain berjalan cukup lancar dengan jumlah pergerakan penumpang lebih dari 549
orang dan jumlah barang lebih dari 5 ton per hari. Nilai ini baru berasal dari
angkutan umum, belum termasuk angkutan pribadi dan angkutan barang.
124
Tabel 64 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKDP
Di Kapet Bima
No.
Trayek
Jmlh Kendaraan
(Buah)
Perkiraan Pergerakan Perhari Jml Penumpang
(Org) Jml Barang
(Kg)
1 Dara-Dompu-Sumbawa Besar-Mataram 19 289 2,768
2 Dara-Tente-Dompu-Sumbawa Besar 13 250 2,392
Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer dan Data Sekunder
Tabel 65 menjelaskan ketersediaan angkutan umum antar kota antar
propinsi, yang melewati jalur mulai dari Bima, Lombok, Bali, Surabaya sampai
Jakarta. Jalur ini melewati Propinsi NTB, Bali dan semua propinsi di Jawa kecuali
Jawa Barat. sehingga tingkat mobilitas antara Kapet Bima dan Propinsi Lain yang
ada di Jawa dan Bali berjalan cukup lancar dengan jumlah pergerakan penumpang
lebih dari 199 orang dan jumlah barang 1.9 ton per hari artinya terdapat
pergerakan arus penumpang sebanyak lebih dari 70 ribu orang pertahun dari dan
ke Kapet Bima dengan Kota Lain di Jawa dan Bali khususnya daerah Jakarta,
Tangerang dan Bekasi. Nilai ini baru berasal dari angkutan umum, belum
termasuk angkutan pribadi dan angkutan barang.
Tabel 65 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKAP
Di Kapet Bima
No.
Trayek
Jmlh Kendaraan (Buah)
Pergerakan Perhari Jml Penumpang
(Org) Jml Brg
(Kg)
1 Dara-Mataram-Surabaya 10 46 437
2 Dara-Mtrm-Surabaya-Jakarta 47 153 1,466
Jumlah 57 199 1,903 Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer dan Data Sekunder
125
Dalam sistem jaringan transportasi nasional, Kapet Bima memegang
peranan cukup penting. Untuk sistem transportasi darat, kota-kota dalam Kapet
Bima dihubungkan melalui jalur kolektor primer. Selain itu, Bima juga
merupakan salah satu simpul jaringan penyeberangan lintas selatan (Jakarta-
Surabaya-Bali-Lombok-Sumbawa-Bima) yang terhubungan dengan kota-kota
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia, (dapat dilihat
pada gambar 11 di atas).
2). Hubungan Inter Regional Melalui Jaringan Transportasi Udara
Hubungan wilayah Kapet Bima dengan Kota lain di Indonesia juga
didukung oleh ketersediaan jaringan transportasi udara. Tabel 66 menjelaskan
bahwa pada tahun 2001 jumlah kedatangan sebanyak 734 kali, kemudian turun
pada tahun 2002 sebanyak 642 kali namun sejak tahun 2003 meningkat menjadi
sebanyak 898 kali dan tahun 2004 sebanyak 970 kali. Sedangkan jumlah
Gambar 11 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Darat Inter Regional Kapet Bima
126
keberangkatan pesawat nilai dan perkembangannya hampir tidak berbeda dengan
kedatangan pesawat.
Tabel 66 Lalu Lintas Pesawat dan Penumpang Di Bandara Udara Sultan Salahudin Kabupaten Bima
Tahun
Pesawat Penumpang
Datang Berangkat Datang Berangkat Transit
2001 734 734 7,771 7,555 2,482
2002 642 697 6,834 7,411 2,847
2003 898 898 12,307 12,068 15,370
2004 970 970 18,165 18,286 30,720Sumber : Kantor Bandar Udara Muhammad Salahudin Bima, 2005
Frekuensi kedatangan dan keberangkatan pesawat secara signifikan
berkorelasi positif terhadap pergerakan penumpang. Pada tahun 2001 jumlah
kedatangan penumpang sebanyak 7,771 orang dan yang berangkat 7,555 orang,
Gambar 12 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Udara Inter Regional Kapet Bima
127
kemudian turun pada tahun 2002, yakni kedatangan penumpang sebanyak 6,834
orang dan yang berangkat sebanyak 7,411 orang, namun pada tahun 2003
mengalami peningkatan kedatangan penumpang sekitar dua kali lipat yakni
sebanyak 12,304 dan yang berangkat sebanyak 12,068 orang. dan pada tahun
2004 tetap mengalami peningkatan, kedatangan penumpang sebanyak 18,165 dan
yang berangkat sebanyak 18,286 orang.
Untuk sistem transportasi udara, Bandara Udara M. Salahuddin di
Kabupaten Bima merupakan salah satu simpul transportasi udara Nasional, yang
pelayanannya meliputi beberapa kabupaten yang menghubungkan antara bandar
udara utama dan kedua, yaitu Jakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram serta dengan
Ende, Kupang, Labuan Bajo, Ruteng, Tambulaka dan Waingapu (dapat dilihat
pada Gambar 12). Sistem transportasi udara memiliki karakteristik dengan tingkat
mobilitas yang tinggi sehingga dapat mendorong akselerasi pertumbuhan sosial-
ekonomi wilayah.
3). Hubungan Inter Regional Melalui Jaringan Transport. Laut
Hubungan wilayah Kapet Bima dengan daerah lain yang tidak tercover
oleh jalur transportasi darat dan udara dilayani oleh jaringan transportasi laut.
Tabel 67 menjelaskan bahwa terdapat tiga pelabuhan laut utama di Kapet Bima
yaitu pelabuhan laut Dompu, Bima dan Sape, namun pelabuhan laut Dompu lebih
berfungsi sebagai tempat bongkar muat kayu sedangkan pelabuhan laut Bima dan
Sape melayani arus penumpang dan barang.
Tabel 67 Rata-Rata Jumlah Kapal Yang Berkunjung, Jumlah Penumpang dan Bongkar Muat Barang Tiap Tahun Di Berbagai Pelabuhan Laut
Di Kapet Bima
Pelab. Kunjgn Kapal (Kali)
Penumpang (Org) Barang (Ton) Hewan (Ekor) Kayu
(m3) Turun Naik Bgkr Muat Bgkr Muat Bgkr Muat
Dompu 42 - 24 - 200 - - - 5,799
Bima 2,344 21,994 13,513 95,797 50,362 - 17,935 1,545 -
Sape 551 1,599 1,460 143 324 - 564 193 -
Total 2,937 23,593 14,997 95,940 50,886 - 18,499 1,738 5,799 Sumber : BPS Kabupaten Bima, Kabupate Dompu dan Kota Bima, 2004
128
Total kunjungan kapal laut di Kapet Bima adalah lebih dari 2,937 kali
dengan frekuensi tertinggi di pelabuhan laut Bima yakni sebanyak 2.344 kali
pertahun, sedangkan total arus penumpang yang turun sebanyak lebih dari 23.593
orang dan yang berangkat lebih dari 14.997 dengan frekuensi tertinggi di
pelabuhan laut Bima yakni penumpang yang turun sebanyak lebih dari 21,994
orang dan yang berangkat lebih dari 13,513 orang.
Adapun arus barang dengan total yang dibongkar 95,940 ton dan yang
dimuat 50,362 ton, dan jumlah hewan yang dimuat lebih dari 18,499 ekor dengan
freuensi tertinggi di Pelabuhan laut Bima. Sedangkan total kegiatan bongkar
muatan kayu sebanyak 1,738 m3 dengan frekuensi tertinggi di pelabuhan laut
Bima sebanyak dan yang dimuat sebanyak 1,545 m3 dan kegiatan muat kayu
hanya di Pelabuhan Laut Dompu yakni sebanyak 5,799 m3.
Gambar 13 memberikan gambaran tentang arus penumpang dan barang
melalui transportasi laut di Kapet Bima setidaknya berhubungan dengan 29
kota/daerah di indonesia, namun interaksi yang paling tinggi adalah dengan
Gambar 13 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Laut Inter Regional Kapet Bima
129
kota/daerah di delapan propinsi yakni Propinsi Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, DKI Jakarta
dan Papua.
Tabel 68 Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima
No. Daerah Total Barang (Ton) Asal Tujuan
1 Surabaya Bima 5,778.75
2 Makasar Bima 3,918.00 Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder
Tabel 68 menjelaskan bahwa terdapat dua daerah yang dominan menjadi
pemasuk barang. Daerah tersebut adalah Surabaya dan Makasar. Surabaya
memasuk beberapa komoditi (total 5,778 ton pertahun) antara lain : minyak
goreng, tepung terigu, pakan ternak dan kayu lapis serta semen. Sedangkan dari
Makasar adalah sebagai pemasuk beberapa komoditi (total 3,918 ton pertahun)
antara lain : beras, gula pasir dan tepung terigu serta semen.
Tabel 69 Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut
Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima
No. Daerah Jumlah Penumpang (Org) Asal Tujuan
1 Maumere Bima 1,416 2 Surabaya Bima 252 3 Waingapu Bima 2,475 4 Lab. Bajo Bima 2,603 5 Makasar Bima 10,476 6 Lembar Bima 1,152 7 P. Komodo Bima 312 8 Benoa Bima 1,302
Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder
Tabel 69 menjelaskan terdapat delapan daerah yang menjadi daerah asal
dominan penumpang yang datang ke Kapet Bima. Daerah dimaksud adalah :
maumere, Surabaya, waingapu, Labuhan Bajo, Makasar, Lembar, Pulau Komodo
130
dan Benoa dan daerah asal yang paling banyak kedatangan penumpang adalah
Makasar rata-rata sebanyak 10,476 orang.
Tabel 70 Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut
Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima
No. Daerah Total Barang (Ton) Asal Tujuan
1 Bima Maumere 985 2 Bima Surabaya 2,692 3 Bima Makasar 1,762 4 Bima Banjarmasin 11,737 5 Bima Kupang 6,124 6 Bima Balikpapan 217
Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder
Tabel 70 menjelaskan bahwa terdapat tujuh daerah tujuan dominan arus
barang dari Kapet Bima yakni : Maumere, Surabaya, Labuhan Bajo, Makasar,
banjarmasin, NTT (Kupang) dan Balikpapan. Daerah tujuan yang paling tinggi
jumlah arus barang dari Kapet Bima adalah Banjarmasin, NTT dan Makasar.
Total barang dengan tujuan Banjarmasin adalah rata-rata sebanyak 11.737
ton pertahun, yakni terdiri dari beberapa komoditi antara lain : beras, kedelai,
garam, kacang dan bawang merah. Total barang tujuan NTT (Kupang) adalah
rata-rata lebih dari 6,124 ton pertahun, yang terdiri dari beberapa komoditi antara
lain : beras, kedelai, garam dan bawang merah sedangkan total barang tujuan
Makasar adalah rata-rata lebih dari 1,762 ton pertahun, yang terdiri dari beberapa
komoditi antara lain : kedelai, garam, kacang dan bawang merah.
Tabel 71 Rata-Rata Jumlah Realisasi Komoditi yang Diantarpulaukan Tiap
Tahun di Kapet Bima
No. Komoditi Jumlah (ekor) Daerah Tujuan
1. Sapi Jantan 4.379 - DKI Jakarta
2. Sapi Betina 613 - Lombok
3. Kerbau Jantan 1.738 - Jatim
4. Kerbau Betina 507 - Kalimantan Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder
131
Data pada tabel 71 di atas menjelaskan bahwa terdapat empat daerah
utama sebagai pasar bagi komoditi peternakan yakni DKI Jakarta, Lombok, Jatim
dan Kalimantan. Komoditi ternak terbanyak yang di eksport adalah Sapi Jantan
sebanyak 4.379 ekor selanjutnya adalah kerbau jantan sebanyak 1,738 ekor.
Tabel 72 Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima
No. Daerah Jumlah
Penumpang (Org) Asal Tujuan
1 Bima Maumere 1,077
2 Bima Benoa 834
3 Bima Waingapu 927
4 Bima Surabaya 267
5 Bima Lembar 229
6 Bima Lab. Bajo 1,762
7 Bima Makasar 7,736
8 Bima P. Komodo 277 Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder
Tabel 72 menjelaskan bahwa terdapat delapan daerah tujuan dominan arus
penumpang dari Kapet Bima yakni : Maumere, Benoa, Waingapu, Surabaya,
Lembar Labuhan Bajo dan Makasar, serta Pulau Komodo, dan daerah tujuan
yang paling tinggi jumlah arus penumpang dari Kapet Bima adalah Labuhan Bajo
(1,762 orang pertahun) dan Makasar (7,736 orang pertahun), Maumere (1,077
orang pertahun), waingapu (927 orang pertahun) dan Benoa (834 orang pertahun).
5.4.2. Posisi Kapet Bima dalam Hubungan Wilayah Nasional
Secara faktual, Kota Bima merupakan kota penting di Nusantara
khususnya di kawasan timur, terutama dalam hubungan wilayah dan percaturan
dagang. Posisi dan peranannya yang penting ini didukung oleh letaknya yang
strategis. Teluk Bima disamping dianggap sebagai salah satu teluk yang terindah
di Indonesia, juga merupakan tempat berlabuh yang aman. Bima menjadi kota
jangkar yang menghubungkan antara kawasan Indonesia bagian barat (Jawa)
132
dengan Sulawesi dan kepulauan – kepulauan Indonesia timur lainnya. Setiap
armada dagang yang lalu lalang di perairan selat Sunda ke Timur umumnya
melakukan transit di pelabuhan Bima, baik dalam rangka mengembangkan
perdagangan maupun sekedar untuk berlindung dari serangan badai angin barat.
Seperti terlihat pada gambar 14, Kapet Bima memiliki aksessibilitas yang
tinggi terhadap berbagai kawasan strategis lainnya. Aktifitas sosial ekonomi kota
dihubungkan secara rutin dan lantar oleh sarana/prasarana transportasi darat, laut
dan udara. Melalui darat, tersedia 2 terminal utama (yakni terminal Dara Kota
Bima dan terminal Ginte Kabupaten Dompu) dan dua sub terminal dengan
dukungan ± 76 armada Bus antar kota dan antar pulau (ke Lombok, Bali dan
Jawa). Melalui laut, didukung oleh pelabuhan laut Kota Bima dan armada kapal
ferry dan PELNI yang cukup intensif ke berbagai pelabuhan yaitu Tanjung Perak,
Ujung Pandang, Labuhan Bajo, Kupang dan Maumere. Sedangkan melalui udara
Gambar 14 Total Arus Penumpang dan Barang Inter Regional Kapet
133
terdapat jalur pesawat udara jenis F27, F100 dan B737 ke Mataram NTB serta ke
Denpasar, Surabaya dan Jakarta setiap hari.
5.4.3. Model Interaksi Spasial
Interaksi antar wilayah (spasial) menggambarkan dinamika yang terjadi di
suatu wilayah karena adanya aktivitas yang dilakukan oleh penduduknya,
sehingga terjadi mobilitas kerja, migrasi, arus informasi dan komoditas, mobilitas
pelajar serta aktivitas ekonomi lainnya, seperti yang tergambar pada pembahasan-
pembahasan interaksi spasial sebelumnya di atas.
Tabel 73 Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Inter Regional Jalur Transportasi Laut di Kapet Bima
No. Model Grafitasi k a b c R Sq.
I. Wil Asal (i) : Kapet Bima
1. T1ij = k. m1ia.m1j
b. dij-c -32.61 2.99 0.14 -0.51 0.03
2. T1ij = k. m2ia.m2j
b. dij-c -31.39 2.84 0.82** -2.68** 0.36**
3. T2ij = k. m1ia.m1j
b. dij-c -233.1 18.32 -0.50* -0.002 0.41*
4. T2ij = k. m2ia.m2j
b. dij-c -70.46 5.74 -0.31* -0.23 0.39*
II. Wil Tujuan (j) : Kapet Bima
1. T1ij = k. m1ia.m1j
b.dij-c 38.27 0.26 -2.18 -0.89 0.08
2. T1ij = k. m2ia.m2j
b.dij-c 8.74 0.64** 0.16 -2.31** 0.29**
3. T2ij = k. m1ia.m1j
b.dij-c -164.4* -66.15** 39.98** 93.74** 0.76*
4. T2ij = k. m2ia.m2j
b.dij-c 37.54 6.58 -6.39 -6.97 0.58
Sumber : Hasil Analisis *) Signifikan pada taraf α = 0.10 **) Signifikan pada taraf α = 0.05 dimana : i = Wilayah asal j = Wilayah tujuan T1ij = Arus penumpang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (orang) T2ij = Arus barang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (ton) m1i = Jumlah penduduk wilayah asal (orang) m1j = Jumlah penduduk wilayah tujuan (orang) m2i = Total nilai PDRB wilayah asal (Juta Rupiah) m2j = Total nilai PDRB wilayah tujuan (Juta Rupiah) dij = Jarak antara wilayah asal dan tujuan (km) a,b,c = Koefisien peubah massa (m) wilayah asal, massa
wilayah tujuan dan jarak. k = konstanta
134
Untuk melakukan pendugaan nilai interaksi spasial di Kapet Bima
digunakan model grafitasi. Dengan menggunakan data pergerakan orang dan
barang melalui jalur transportasi laut antara Kapet Bima dan berbagai daerah di
Indonesia maka hasil pendugaan parameter model interaksi spasialnya adalah
seperti yang terlihat pada tabel 73.
Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut terlihat bahwa
dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus
penumpang dari Kapet Bima secara sigifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan
ekonomi wilayah daerah tujuan (b = 0.82), dimana setiap kenaikan 1 % PDRB
daerah tujuan akan dapat meningkatkan arus penumpang dari Kapet Bima sebesar
0.82 % dan menurun sebesar 2.68 % seiring dengan penambahan jarak antar
wilayah sebesar 1 %. Hasil estimasi model (I2) menunjukkan bahwa koefisien
determinasi R2 = 0.36, artinya bahwa arus penumpang melalui transportasi laut
dari Kapet Bima ke berbagai daerah di Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-
variabel dalam model sebesar 36 %, sedangkan sisanya sekitar 64 % dijelaskan
oleh variabel lain diluar model.
Arus penupang dari Kapet Bima yang dominan adalah menuju Makasar-
Sulawesi Selatan yakni mencapai 8,669 orang pada tahun 2003, pada tahun 2004
sebanyak 7,918 orang, pada tahun 2005 sebesar 6,798 orang dan pada tahun 2006
mencapai 7,575 orang. Arus penumpang ini melakukan perjalanan untuk tujuan
bisnis/perdagangan, melanjutkan pendidikan dan karena kegiatan kunjungan
keluarga/kerabat. Tingginya dinamika dunia pendidikan di Makasar dengan
banyaknya alternatif bidang ilmu yang ditawarkan disamping biaya hidup yang
cukup murah telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pelajar dari Kapet Bima.
Begitu pula dengan perkembangan ekonomi dan infrastruktur Kota Makasar, hal
tersebut menjadi tarikan besar bagi arus migrasi dari Kapet Bima untuk mencari
pekerjaan dan melakukan kegitan perdagangan.
Arus barang dari Kapet Bima secara signifikan ditentukan oleh jumlah
penduduk (b = -0.50, dengan nilai R2 = 0.41) dan PDRB wilayah tujuan
(b = -0.31, dengan nilai R2 = 0.39), artinya setiap kenaikan jumlah penduduk dan
PDRB daerah tujuan sebesar 1 % akan menurunkan arus barang dari Kapet Bima
masing-masing sebesar 0,50 % dan 0.31 %.
135
Arus barang yang paling besar dari Kapet Bima adalah menuju ke berbagai
daerah di Propinsi Nusa Tenggara Timur, selain itu juga menuju Makasar,
Surabaya, Banjarmasin dan Balikpapan. Pada tahun 2006 saja arus barang menuju
ke berbagai Propinsi Nusa Tenggara Timur yakni lebih dari 14,500 ton.
Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima ditentukan oleh
pertumbuhan ekonomi wilayah asal (b = 0.64) dan jarak antar wilayah (c = -2.31 ,
dengan nilai R2 = 0.29, dimana setiap peningkatan nilai PDRB 1 % akan
meningkatkan arus penumpang sebesar 0.64 % dan tambahan jarak antar wilayah
sebesar 1 % maka arus penumpang yang menuju Kapet Bima akan turun sebesar
2.31 %. Sedangkan arus barang yang menuju Kapet Bima secara siginifikan
ditentukan oleh jumlah penduduk Kapet Bima dan daerah asal serta jarak antar
wilayah (R2 = 0.76), dimana setiap kenaikan 1 % jumlah penduduk Kapet Bima
dan jarak wilayah, maka secara signifikan menaikkan arus barang menuju Kapet
Bima masing-masing sebesar 39.98 % dan 93.74 %, namun setiap kenaikan 1 %
jumlah penduduk daerah asal, arus barang menuju Kapet Bima menurun sebesar
66.15 %.
Komoditi Kapet Bima yang dikirim keluar daerah pada umumnya berupa
hasil alam (komoditi pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan garam)
sedangkan komoditi yang masuk ke Kapet Bima meliputi produk hasil industri
seperti minyak goreng, tepung terigu, pakan ternak, kayu lapis, semen dan bahan
bangunan lainnya, komiditi tersebut dominan berasal dari Surabaya dan Makasar.
Dari model gravitasi di atas terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter
regional di Kapet Bima adalah merupakan refleksi dari pertumbuhan penduduk
dan perubahan PDRB dari tiap wilayah. Implikasinya adalah searah dengan
pertumbuhan penduduk, maka perlu dibangun berbagai infrastruktur pelayanan
umum serta yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah di Kapet Bima
sesuai dengan keunggulan wilayah.
Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan
pembangunan infrastruktur yang memadai akan mengakibatkan rendahnya
kemampuan pelayanan sosial dan serapan tenaga kerja dalam wilayah yang dapat
mendorong penduduk untuk melakukan migrasi ke daerah lain, baik dengan
tujuan melanjutkan pendidikan maupun untuk mencari pekerjaan dan kehidupan
136
yang layak, sehingga pada akhirnya sumber daya manusia khususnya yang
memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang baik akan semakin
berkurang.
Pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan karakter sumber daya lokal
akan dapat menggerakkan ekonomi sektor riil. Rendahnya produktivitas ekonomi
lokal karena tidak ditunjang oleh infrastruktur usaha yang memadai khususnya
bagi kegiatan industri pengolahan sektor-sektor unggulan, sementara disisi lain
keterbatasan infrastruktur transportasi dan komunikasi akan meningkatkan biaya
transportasi dan transaksi yang dapat menurunkan daya kompetitif suatu komoditi
wilayah.
5.4.4. Interaksi Spasial Dalam Tinjauan Sejarah
Penduduk daerah-daerah di wilayah Kapet Bima (Bima dan Dompu)
merupakan pembauran antara induk ras Bangsa Melayu Purba dan Melayu Baru,
sehingga antara keduanya tidak terdapat perbedaan yang tajam. Mereka hidup
terpencar/nomad di pesisir pantai, di pegunungan dan dataran tinggi. Mata
pencaharian mereka bercocok tanam dengan berhuma. Mereka sudah mengenal
alat-alat yang terbuat dari logam seperti tombak, sumpit, pisau dan parang.
pakaian dengan warna dasar putih, merah, dan biru melengkapi kehidupan mereka
(Tajib, 1995).
Melalui proses yang lama akhirnya mereka membentuk kelompok
berdasarkan keturunan pertalian darah yang menghuni suatu daerah tertentu.
Kelompok seperti itu disebut masyarakat paguyuban yang dipimpin oleh seorang
Ncuhi (kepala suku). Selanjutnya melalui musyawarah mufakat mereka
membentuk semacam federasi antara Kerajaan Ncuhi (5 Kerajaan Ncuhi : Ncuhi
Dara, Dorowoni, Banggapupa, Padolo dan Parewa) yakni Dewan Pemerintahan
Federasi dibentuk dengan nama ”DARI NCUHI” kemudian disebut ”DARI
MBOJO”
Perkawinan Sang Bima (Tokoh yang datang dari Jawa) dengan puteri
setempat melambangkan persatuan antara pendatang dengan penduduk setempat
dengan penuh perdamaian. Selanjutnya melalui perkawinan dan pertimbangan
lain, Dari Mbojo sepakat untuk mengangkat Sang Bima sebagai raja mereka.
137
Sejak kejadian itu, Federasi Ncuhi berubah statusnya menjadi kerajaan dan Sang
Bima selaku raja pertama (de jure), namun ia tidak pernah memerintah secara
langsung. Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari (de facto) tetap dilakukan oleh
Dari Mbojo pimpinan Ncuhi Dara. Selanjutnya Sang Bima kembali ke Jawa
bersama anak istrinya. Selanjutnya pada tahun 823 H = 1420 M anak keturunan
Sang Bima yakni Indra Zamrut dan Indra Komala datang dari Jawa ke Bima untuk
melanjutkan kepemimpinan atas Kerajaan Bima (Tajib 1995).
Kehidupan masyarakat Mbojo (Bima) dengan bercocok tanam sistem
berkebun dan berhuma serta beternak merupakan kebiasaan sejak periode zaman
Ncuhi tetap menjadi kegiatan pokok sampai pada masa pemerintahan raja ke-12,
Raja Ma Waa Paja Longge. Dimungkinkan oleh lahan pertanian luas dengan
penduduk sedikit, menyebabkan penduduk tidak terdorong untuk meningkatkan
ketrampilan bercocok tanam dan beternak. Keadaan yang statis berdampak pula
dalam struktur dan sistem pemerintahan. Hanya sedikit sekali pengaruh luar
berperan dalam tata kehidupan masyarakat atau pola pikirnya. Kesemuanya itu
dapat diduga bahwa kerajaan tidak mengalami perkembangan dan kemajuan.
Perdagangan sebagai salah satu pintu kemajuan belum tumbuh apalagi
berkembang. Tingkat kehidupan masyarakat berada pada tingkat yang amat
sederhana.
Titik Balik terjadi dalam abad XIV. Diawali dengan kebijaksanaan Raja
Ma Waa Paju Longge. Raja melepaskan diri dari hidup isolasi dan berorientasi ke
utara yakni ke Gowa. Hubungan Bima dan Gowa bukan hal baru atau kebetulan.
Raja Bima dan Raja Gowa menurut silsilah adalah berasal dari moyang yang
sama yaitu Maharaja Indra Palasar. Maharaja mempunyai 2 orang putera, masing-
masing Indra Ratu menjadi cikal bakal raja-raja Luwu/Sarwigading dan Maharaja
Tunggak Pandita menjadi cikal bakal raja-raja Bima. Jadi orientasi Raja Ma Waa
Paju Longge pada dasarnya menghubungkan kembali mata rantai keluarga yang
telah putus sekian lama.
Kitab BO (1119 H-1709 H) melukiskan : ” Ketika kakaknya Raja Ma Waa
Paju Longge menjadi raja maka Ma Waa Bilama dan Manggapo Donggo disuruh
berguru di Kerajaan Manurung. Oleh Raja Manurung kedua anak raja ini diantar
kepada orang sakti di Gunung Lampobatang, di tempat tersebut mereka belajar
138
selama tiga tahun. Setelah itu diajarkan juga tata cara pemerintahan di Kerajaan
Gowa, setelah dianggap tamat, Rumata Manggapo Donggo pulang ke tanah Bima,
sedangkan Ma Waa Bilmana mengembara seorang diri sampai ke Negeri Bone
dan Luwu untuk berguru. Setelah tamat maka dia pun kembali ke tanah Bima.”
Pengalaman baru diperoleh yakni cara bercocok tanam dengan sistem
irigasi, belajar pula tentang percetakan sawah, serta cara membuat bendungan
dengan salurtan pengairan. Demikian pula tentang menggunakan bajak dan
menanam padi di sawah. Pengetahuan dan pengalaman baru tersebut amat
bermanfaat dalam upaya pengembangan dan peningkatan taraf hidup masyarakat
yang pada waktu itu masih berada pada tingkat yang amat sederhana.
Pada masa pemerintahan Ma Waa Bilmana sebagai Bicara atau Tureli
Nggampo dan Manggapo Donggo sebagai Raja Bima perbaikan di bidang
ekonomi dan peningkatan keamanan negeri memperlihatkan keberhasilan,
pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna tersusun, namun ancaman
laten bagi negeri masih ada. Dipulau sebelah timur yaitu Pulau Flores dan
khususnya wilayah Manggarai menjadi basis perompak/bajak laut, karena itu
perlu tindakan penanganan yang tegas. Bicara Bilama menugaskan anaknya La
Mbila dan La Ara untuk maksud itu sekaligus untuk menguasinya. Manggarai
awalnya merupakan daerah kekuasaan Karaeng-Karaeng Gowa, namun Akhirnya
La Mbila dan La Ara berhasil menguasai Manggarai. Dari Manggarai La Mbila
kemudian meluaskan wilayah ke sebelah timur yakni Ende, Larantuka sampai
Pulau Solor. Gerakan itu dilanjutkan ke arah selatan dengan menguasai pulau
Sumba. pimpinan Hadat Bima di wilayah timur ini dipegang oleh Jena Luma
Mbojo. Konsolidasi kekuasaan diseberang lautan itu berlangsung sampai Tahun
1064 H = 1657 M (Tajib 1995).
Pada tahap permulaan, Bima mengadakan hubungan tradisional dengan
Gowa. Melalui pelabuhan dagang Gowa, pedagang Bima memperdagangkan
beras dan hasil hutan. Jalur perdagangan Bima dan Gowa mulai ramai dan sejak
saat itu Bima dikenal dan membuka hubungan dengan daerah lain di Indonesia.
Komoditas dagang Bima berupa beras, hasil hutan, kain tenun diperdagangkan
diberbagai pelabuhan di Indonesia.
139
Setelah tahun 1400 C (Tahun Saka) = 1478 M, Kerajaan Majapahit
mengalami disintegrasi dan melemah, peranan Bandar Ujung Galuh sebagai pintu
gerbang Majapahit dalam politik dan ekonomi di Nusantara berangsur-angsur
hilang. Kegaitan perdagangan pindah ke daerah-daerah yang yang telah
melepaskan diri dari majapahit. Kemudian daerah-daerah tersebut berkembang
sendiri-sendiri dan khususnya sektor perdagangan diperankan oleh orang Jawa
yang telah memeluk agama Islam.
Menurut berita dari orang Portugis dan Belanda, pusat perdagangan
tersebut berada di kota-kota pelabuhan disepanjang pesisir pantai utara pulau
Jawa. Bandar memainkan peranan sebagai bandar dagang transit yaitu bandar
dagang perantara dalam perdagangan antar pulau di Nusantara, seperti Tuban,
Gresik, Jepara dan Banten. Journal orang portugis mengatakan bahwa sekitar
Tahun 1400, Gresik merupakan bandar utama tempat mengumpulkan rempah-
rempah asal Maluku.
Gresik, Jaratan dan Sedayu adalah merupakan kota yang mengumpulkan
rempah-rempah dari Maluku. Berita orang Belanda mengatakan bahwa kota
tersebut mempunyai armada dagang yang besar sehingga dapat mengadakan
hubungan dengan daerah-daerah yang lain. Pelayaran dilakukan sesuai dengan
musim. Pada musim kemarau pelayaran menuju selat Malaka, Siam dan
sebagainya. Sedangkan pada musim hujan menuju Bali, Bantam, Bima, Solor,
Timor, Selayar, Buton dan sebagainya.
Maluku melakukan impor langsung beras dari Jawa dan tambahannya dari
Bima, kain tenun dari Bali, uang kepeng dan lain sebagainya, ditukar dengan
rempah-rempah yang akan dijual kepada pedagang Cina dan India. Pusat-pusat
perdagangan Jawa ternyata berkedudukan sebagai bandar perantara dalam
perdagangan rempah-rempah dan lada. Hal ini dimungkinkan karena Jawa
mempunyai persediaan beras yang cukup guna memenuhi kebutuhan Maluku,
Malaka dan Sumatera Bagian Timur.
Dalam journal orang Portugis dan Belanda, disebutkan bahwa barang-
barang dari Bima, pada musim barat, beras, kain tenunan, hasil hutan diangkut ke
Gresik, Banten dan ke Maluku melalui pelabuhan Gowa. Karena kebutuhan akan
140
beras semakin meningkat, maka pedagang Jawa berdagang langsung dengan Bima
disamping dengan Gowa.
Kedatangan Agama Islam di Bima dalam keadaan kemelut politik internal
kerajaan. Di sana tiba para Mubaliq Islam kiriman Raja Gowa, terdiri dari orang
Tallo, Bone, Luwu dan Gowa. Tentang kedatangan mubaliq Islam tersebut dalam
Kitab BO tertulis :
”Hijratun Nabi S.A.W. 1028 (1617 M) Hari Bulan Jumadil awal telah
datang di Pelabuhan Sape saudara Daeng Mangali di Bugis Sape dengan orang
Luwu dan Tallo dan Bone untuk berdagang. Kemudian pada malam hari datang
menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan Ci’lo
kain Bugis dan keris serta membawa Agama Islam.
Selanjutnya kerajaan Gowa turut membatu Sultan Abdul Kahir (saat itu
masih sebagai putera mahkota Kerajaan Bima) dalam menyelesaikan kemelut
politik internal kerajaan dengan mengirim ekspedisi militer sampai tiga kali.
Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H (1620 M), keempat keturunan Raja
Bima masuk Islam, yakni : La Kai (Sultan Abdul Kahir, Sultan pertama), La
Mbila (Jalaludin), Bumi Jara Sape (Awaludin), dan Manuru Bata (Sirajudin).
Sehingga di mulai era Kesultanan Bima yang dibantu oleh dua ulama besar yaitu
Abdul Makmur Datu Di Bandang dan Datu Di Tiro, yang berasal dari Sumatera
Barat.
Dalam rangka upaya peningkatan hubungan antara Gowa dan Bima,
Sultan Muhammad Said (atau Malikussaid, Bapak dari Sultan Hasanudin)
mengawinkan puterinya Karaeng Bonto Je’ne dengan Putera Mahkota Kerajaan
Bima Abdul Khair Sirajuddin (Putera Sultan Abdul Kahir). Perkawinan
berlangsung dalam tahun 1646 M.
Keeratan hubungan kerajaan Bima dan Gowa juga terlihat dari keterlibatan
laskar Bima membantu Gowa dalam berbagai peperangan, seperti saat Perang
Bone Tahun 1646 (laskar Bima dipimpin langsung Sultan Abdul Khair Sirajudin),
Perang Somba Opu Tahun 1660 melawan kompeni, Perang Buton Tahun 1666,
Perang Somba Opu II Tahun 1666.
Pada Tahun 1676 Putera Mahkota Nuruddin (putera Sultan Abdul Khair
Sirajuddin) berada di Jawa Timur bergabung dengan lasykar Karaeng Galesong,
141
kemudian menjadi salah seorang pimpinan laskar dan menggabungkan diri dalam
Perang Trunojoyo melawan pasukan Mataram yang dipayungi kompeni dibawah
pimpinan Poleman. Nurudin bersama anak buahnya berada di Cirebon sejak
Januari 1680-Maret 1681, melakukan kunjungan ke Istana Sunan Gunung Jati
untuk memperdalam pengetahuan agama Islam.
Hubungan Bima dengan Jawa sudah terbina sejak lama. Hubungan
tersebut selain dalam bentuk hubungan perdagangan, politik, keagamaan namun
juga hubungan kekerabatan. Selain pendiri Kerajaan Bima sendiri yakni Sang
Bima yang menikah dengan puteri dari Bima, beberapa kajian sejarah menyatakan
bahwa Pangeran Diponegoro memiliki garis keturunan dari Bima seperti yang
tercantum pada catatan kaki buku berjudul Asal Usul Perang Jawa karangan
DR. Peter Carey, tertulis : ”Moyang perempuan Dipanegara, Ratu Ageng
(Tegalrejo) (C.1735-1803) adalah puteri Ki Ageng Derpayuda, Kyai termashur
awal abad 18 yang berdiam di kawasan Sragen di dekat Surakarta. Melalui ibunya
Ni Agung Derpayuda, Ratu Ageng (Tegal Rejo) dilahirkan dalam generasi ketiga
dari Sultan Bima di Pulau Sumbawa, kesultanan di Indonesia Bagian Timur yang
tersohor ketaatannya pada Agama Islam, karena itu dalam diri Dipanegara
mengalir darah Madura (dari neneknya Ratu Kedhaton) dan darah Bima”. Pada
dokumen lain yang berasal dari Raja-Raja Mataram ada disebutkan bahwa Kyahi
Suleman Bekel Jamus (Surakarta) adalah putera Raja Bima dan lahir tahun 1601.
Selain menjalin hubungan dengan berbagai daerah/kerajaan di wilayah
Nusantara, Kesultanan Bima juga membina hubungan baik dengan negara-negara
Timur Tengah (terutama dengan Dinas Utsmany yang dimulai sejak abad ke-18)
khususnya dibidang pendidikan dan keagamaan.
Pada masa Kesultanan Ibrahim, disamping membina Agama Islam di
dalam-daerah, sultan Ibrahim mengirim pula pelajar dan mahasiswa ke luar daerah
dan keluar negeri. Putera daerah yang cakap dikirim ke Bagdad, Mesir dan
terutama ke Mekkah dan Madina dengan beasiswa kerajaan.
Hasil hubungan baik antar negara/kerajaan ini, dari Bima telah lahir
ulama-ulama besar kelas dunia seperti Syekh Abdulghani Al-Bimawi (Abad ke-
19). Syekh Abdulghani Al-Bimawi selain sebagai pengajar di Madrasah
Haramayn, juga sekaligus sebagai Imam Masjid Haram Mekkah (Hamzah 2004).
142
Dalam garis genealogi (hubungan kekerabatan intelektual), Syekh Abdulghani
Al-Bimawi merupakan salah satu moyang ulama Nusantara. Ia termasuk yang
disebut Azra (1995) sebagai penyambung mata rantai jaringan ulama Nusantara
abad 19 dengan Timur Tengah. Ia termasuk guru dari Syekh Nawawi Banten yang
terkenal di Indonesia dan dunia Arab (Guru dari Syekh Nawawi Banten, yakni :
Syekh Abdulghani Al-Bimawi, Khatib Sambas dan A.H. Daghestani). Sedangkan
Syekh Nawawi sendiri merupakan guru dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU)
Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ary (Dhofier 1982. diacu dalam Hamzah,
2004).
Pada tahun 1900 Kesultanan Bima membangun sebuah rumah wakaf di
Mekkah. Sumber dana untuk beasiswa dan pembangunan rumah wakaf tersebut
diperoleh dari uang kehormatan sultan, hasil sawah jaminan sultan yang disebut
dana pajakai dan dana ngaji. Rumah wakaf yang didirikan Sultan Ibrahim tersebut
berlokasi di Jalan Gaza sebelah selatan Masjidil Haram.
Hubungan dan kerjasama antar wilayah di Kapet Bima telah dilakukan sejak
lama. Keberadaan kerajaan/kesultanan di Kapet Bima tersebut memiliki posisi
strategis dalam hubungan intra-inter regional bahkan internasional. Hubungan
tersebut tidak hanya bersifat sosial, namun juga bersifat ekonomi dan politik, serta
memberikan pula dampak pada dinamika sosial, ekonomi dan politik wilayah.
5.5. Peranan Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah
Sebagai upaya mengatasi kesenjangan sekaligus mempercepat
pertumbuhan Kawasan Indonesia Timur yaitu dengan pembentukan Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet Bima). Pembentukan dan fungsi peran
Kapet mengalami beberapa kali perubahan (reposisi). Awal pembentukan Kapet
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian dilakukan
perubahan dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya
diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 2000. Selain itu masing-
masing Kapet memiliki Keppres pembentukannya, dan berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten
Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
(Kapet) yang disebut Kapet Bima.
143
Pengelolaan Kapet Bima melibatkan berbagai pihak, mulai dari tingkat
pusat sampai tingkat daerah dan masyarakat. Secara garis besar setidaknya
terdapat enam pelaku (stakeholders) yaitu : BP Kapet Bima, Pemda Propinsi NTB,
Pemerintah Daerah kabupaten/Kota (Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu dan
Kota Bima), Pemerintah Pusat, Swasta, Lembaga Masyarakat.
Tiap pelaku memiliki fungsi dan peran masing-masing. Fungsi
stakeholders/lembaga menyangkut tugas dan kewajiban serta kewenangan yang
dimilikinya. Fungsi suatu stakeholders atau lembaga akan menentukan tingkat
pengaruhnya terhadap lingkungan atau wilayahnya. sehingga jika stakeholders
yang memiliki fungsi yang besar kemudian melaksanakan (memerankan)
fungsinya tersebut maka akan memberikan pengaruh yang besar pula terhadap
lingkungan atau wilayahnya. Sedangkan peran atau keterlibatan
stakeholders/lembaga menyangkut aktivitas atau aktualisasi dari fungsi yang
dimiliki masing-masing stakeholders yang berdampak pada pengembangan
wilayah Kapet Bima.
Berdasarkan persepsi stakeholders maka dapat dinilai tingkat pengaruh
(fungsi) dan keterlibatan masing-masing stakeholders itu sendiri. Penilai
dilakukan dengan memberikan peringkat. Nilai 1 (satu) diberikan kepada
stakeholders yang memiliki tingkat pengaruh atau keterlibatan yang paling
rendah, sehingga semakin tinggi nilainya yang diberikan maka semakin tinggi
pula tingkat pengaruh atau keterlibatan stakeholders tersebut.
Pada tabel 74 terlihat bahwa yang memiliki fungsi yang secara relatif
paling besar pengaruhnya terhadap pengembangan Kapet Bima adalah Pemerintah
Daerah Propinsi NTB dalam hal ini adalah gubernur dan jajarannya (Tingkat
Pengaruh = 6) karena dan yang memiliki fungsi yang secara relatif paling kecil
pengaruhnya terhadap pengembangan Kapet Bima. Adapun yang memiliki tingkat
keterlibatan yang secara relatif paling besar melalui implementasi program kerja
yang sudah dilaksanakan adalah Pemda kabupaten/Kota yang ada di Kapet Bima
(Tingkat Keterlibatan = 6), Sedangkan yang paling rendah adalah BP Kapet Bima.
144
Tabel 74 Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah di Kapet Bima
No. Stakeholders Tk. Pengaruh Tk. Keterlibatan
1 BP Kapet Bima 2 1
2 Pemda Propinsi NTB 6 3
3 Pemda Kab/Kota 5 6
4 Pemerintah Pusat 1 2
5 Swasta 4 4
6 Lembaga Masyarakat 3 5 Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer
Keberadaan stakeholders tersebut di atas tidak terlepas dari peraturan yang
mengatur tentang keberadaan dan pengelolaan Kapet itu sendiri. Pada tahun 1996,
dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan
Pengembangan Ekonomi terpadu (Kapet) selanjutnya diperbaharui dengan
Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998. Keppres tersebut merupakan dasar
hukum pertama bagi pengembangan Kapet secara operasional. Keppres tersebut
menjelaskan bahwa penetapan kebijakan dan pelaksanaan koordinasi kegiatan
pembangunan di Kapet dilakukan oleh tim pengarah. Tim ini terdiri dari unsur-
unsur Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dan unsur-unsur
Pemerintah Daerah.
Pada pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Kapet di lakukan oleh
Badan Pengelola Kapet yang terdiri dari unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Ketua dan Wakil Ketua
BP Kapet diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Tim Pengarah.
Wakil Ketua BP Kapet sekaligus berfungsi sebagai Pelaksana Harian BP Kapet
dan berkedudukan di lokasi Kapet yang bersangkutan. Sedangkan anggota
BP Kapet diangkat dan diberhentikan oleh Tim Pengarah atas usul Ketua
BP Kapet. Dalam pelaksanaan tugas BP Kapet seharí-hari, Pelaksana Harian
BP Kapet dibantu oleh beberapa direktur dan staff.
Dalam Keppres masing-masing Kapet disebutkan bahwa BP Kapet
bertugas mengendalikan dan mengawasi kegiatan pembangunan di wilayah Kapet
berdasarkan rencana induk pengembangan yang ditetapkan oleh Tim Pengarah
145
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah.
BP Kapet menyelenggarakan fungsi :
(1) melaksanakan Rencana Induk Pengembangan Kapet yang telah ditetapkan
oleh Tim Pengarah.
(2) Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan industri perdagangan
dan jasa di wilayah Kapet.
(3) Memberikan dan mengendalikan perijinan usaha berdasarkan limpahan
wewenang dari instansi terkait dalam rangkan pelayanan satu atap.
Pada tahun 2000 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 2000
tentang Kawasan Pengembangan ekonomi Terpadu (Kapet). Menurut Keppres ini
bahwa kelembagaan pengelolaan Kapet terdiri dari tiga lembaga terkait, yakni dua
lembaga pengelola di tingkat pusat dan satu lembaga pengelola di daerah. Ketiga
lembaga tersebut adalah :
(1) Badan Pengembangan Kapet. Lembaga ini diketuai oleh Menko
Perekonomian, wakil Ketua Menkimpraswil dan Sekretaris Ketua Bappenas.
Anggota Badan ini adalah sembilan menteri kabinet dan kepala BPN.
(2) Tim teknis, tim ini diketuai oleh Menteri pemukiman dan prasarana wilayah
dan anggota akan ditentukan kemudian oleh Badan Pengembangan Kapet.
(3) Badan Pengelola Kapet, berkedudukan di lokasi Kapet, diketuai oleh
gubernur. Badan ini terdiri dari wakil ketua dan anggota yang diangkat dan
diberhentikan oleh gubernur.
Adapun tugas masing-masing lembaga ini di atur dalam Keppres dengan
uraian sebagai berikut :
(1) Tugas Badan pengembangan Kapet
- memberikan usulan kepada presiden untuk kawasan yang akan ditetapkan
sebagai Kapet setelah memperhatikan usulan dari gubernur yang
bersangkutan.
- Merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi nasional untuk
mepercepat pembangunan Kapet.
- Merumuskan kebijakan yang diperlukan untuk mendorong dan
mempercepat masuknya investasi dunia usaha di Kapet.
146
- Mengkoordinasikan penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan
pembangunan Kapet.
- Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pembangunan Kapet.
(2) Tugas Tim Teknis
- Membantu tugas Badan Pengembangan Kapet.
- Melakukan pembinaan teknis terhadap Badan Pengelola Kapet.
(3) Tugas Badan Pengelola
- membantu pemerintah daerah dengan memberikan pertimbangan teknis
bagi permohonan perijinan kegiatan investasi pada Kapet.
Perubahan peraturan (Keppres) tentang Kepet memberikan dampak pada
perubahan struktur kelembagaan pengelolaan Kapet serta fungsi-tugas dari
kelembagaan itu sendiri. Pada Keppres Nomor 89 Tahun 1996 jo. Nomor 9 Tahun
1998 terdapat hirarki yang lebih tegas mulai kelembagaan tingkat pusat sampai
tingkat daerah dengan otorita (kewenangan) yang lebih besar khususnya Kepada
BP Kapet di tingkat daerah, misalnya mengembangkan dan mengendalikan serta
perijinan dalam kegiatan pembangunan Kapet. Sedangkan didalam Keppres
Nomor 150 Tahun 2000, kelembagan pengelolaan Kapet kurang didukung oleh
struktur hirarki dan kewenangan yang jelas seperti tugas Tim Teknis dan Badan
pengelola yang cenderung mengambang (hanya memberikan pertimbangan teknis
bagi pemberian perijinan investasi). Padahal secara hirarki, tugas kelembagaan
yang semakin rendah, maka fungsi-tugasnya harus lebih teknis-operasional dan
jelas.
Adapun gambaran posisi stakeholders dalam kuadran kartesius
berdasarkan tingkat pengaruh dan peran di dalam pengembangan wilayah Kapet
Bima dapat dijelaskan dengan gambar 15. Dari gambar 15,
stakeholders/kelembagaan dibagi dalam empat kuadran. Kuadran I, merupakan
kuadran yang memiliki tingkat pengaruh (kewenangan) yang relatif rendah namun
memiliki tingkat peran (keterlibatan) yang relatif tinggi, yang masuk dalam
kuadran ini adalah kelembagaan masyarakat. Sehingga pelaku dalam kuadran ini
perlu dilibatkan bukan hanya dibutuhkan perannya dalam pelaksanaan
pembangunan, namun juga dibutuhkan keterlibatannya dalam perencanaan dan
147
mengambil bagian dalam menyusun kebijakan serta pengawasan dan evaluasi,
yakni antara lain melalui upaya pemberdayaan.
Tingkat Kepentingan dan Peran Stakeholders
Pem Pusat
BP Kapet
Lbg Masy
Swasta
PemKab
PemProv
0
1
2
3
4
5
6
7
0 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Kepentingan
Ting
kat P
eran
Gambar 15 Tingkat Pengaruh dan Peran Stakeholders Dalam Pengembangan
Wilayah di Kapet Bima
Kuadran II, merupakan kuadran yang memiliki tingkat pengaruh yang
relatif tinggi serta memiliki tingkat peran (keterlibatan) yang relatif tinggi, yang
masuk dalam kuadran ini adalah Pemerintah daerah kabupaten/Kota dan swasta.
Sehingga pelaku dalam kuadran ini perlu dikoordinir dan disinergi potensi yang
dimiliki secara lebih optimal, seperti melalui kemitraan dan atau kerjasama antar
daerah dan swasta.
Kuadran III, merupakan kuadran yang memiliki tingkat pengaruh
(kewenangan) yang relatif tinggi namun memiliki tingkat peran (keterlibatan)
yang relatif rendah. yang masuk dalam kuadran ini adalah Pemerintah daerah
Propinsi. Sehingga pelaku dalam kuadran ini perlu di dorong agar berperan lebih
besar dengan menggunakan pengaruh dan atau kewenangan yang dimilikinya
I
IV III
II
Tingkat Pengaruh
Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan Stakeholders T k
K e t e r l i b a t a n
148
untuk pengembangan wilayah Kapet Bima, baik karena jabatan Gubernur (kepala
daerah propinsi) secara ad.interm selaku ketua BP Kapet Bima maupun selaku
kelembagaan pemerintah yang bersifat otonom yaitu kewenangan dalam bentuk
desentralisasi dan dekonsentrasi (pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2004), yang
melaksanakan fungsinya dalam mengelola sumber daya wilayah lingkup propinsi,
serta melakukan koordinasi dan fasilitasi lintas pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam lingkup propinsi (pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal 17 dan pasal 18 UU
Nomor 32 Tahun 2004).
Kuadran IV, merupakan kuadran yang memiliki tingkat pengaruh yang
relatif rendah serta memiliki tingkat peran (keterlibatan) yang relatif rendah, yang
masuk dalam kuadran ini adalah Pemerintah pusat dan BP Kapet Bima. Sehingga
pelaku dalam kuadran ini perlu memiliki ketegasan fungsi tugasnya melalui
peraturan yang jelas untuk hal tersebut. serta memiliki program kerja yang
efektif bagi pengembangan wilayah Kapet Bima, baik untuk jangka pendek,
menengah dan panjang.
Perubahan kebijakan pemerintah pusat terkait keberadaan Kapet dan
pengelolaannya seperti yang tertuang dalam Keppres Nomor 150 Tahun 2000,
berimbas pada kelembagaan dan pengelolaan Kapet yang tidak jelas. Karena
struktur hirarki Tim Teknis dan Badan pengelola yang cenderung mengambang
dan kewenangannya hanya memberikan pertimbangan teknis bagi pemberian
perijinan investasi, padahal secara hirarki, kelembagaan pada level yang semakin
rendah, maka fungsi-tugasnya harus lebih teknis-operasional dan jelas. Dengan
memperhatikan berbagai permasalahan dan kebutuhan pengembangan wilayah di
atas, maka reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima dapat didorong untuk
melaksanakan fungsinya sebagai Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) di
bidang pengembangan ekonomi, industri dan perdagangan.
Tugas Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) diarahkan untuk
melakukan kajian, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi atas pelaksanaan kerja
sama. Sehingga Badan Kerjasama Antar Daerah (Bakesda) dapat memberikan
masukan atau saran secara lebih efektif kepada kepada masing-masing Kepala
Daerah mengenai kebijakan dan program pengembangan wilayah pada bidang
kerja sama dimaksud.
149
Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) didalam penyelenggaraan
kerja sama perlu menyusun program kerja baik untuk periode jangka pendek (satu
tahun) maupun untuk jangka menengah dan panjang. Program kerja tersebut
terintegrasi dengan program pembangunan wilayah masing-masing daerah
sehingga segala pembiayaan dan pendapatan daerah sebagai akibat kerja sama ini
dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
sebelumnya telah dikonsultasikan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) masing-masing. Selain itu pembiayaan dapat pula diusahakan
melalui pembiayaan APBD Propinsi, APBN dan atau dari pihak ketiga.
Dalam era Otonomi Daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan
instansi Pemerintah Daerah yang terkait, pihak swasta dan masyarakat mulai dari
proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan kegiatan.
Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2003 telah mempengaruhi dinamika demokrasi, sosial politik
dan ekonomi daerah termasuk didalamnya perubahan struktur kelembagaan
pengelola Kapet Bima (yang meliputi Pemerintah Propinsi NTB, Pemerintah
Kabupaten Dompu, Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemerintah Kota Bima serta
Badan Pengelola Kapet Bima). Berbagai hal tersebut membawa implikasi pada
interaksi institusi dan kebijakan pembangunan kawasan yang memerlukan
pendekatan yang bersifat holistik.
5.6. Strategi Pengembangan Wilayah
5.6.1. Persepsi Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah
Paradigma pembangunan telah mengalami perubahan dari yang
cenderung bersifat top-down ke arah kecenderungan yang bersifat bottom-up.
Paradigma terakhir ini menekankan perlunya keterlibatan pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam proses pembangunan baik pada level perencanaaan,
pelaksanaan dan pengawasan pada berbagai tingkat partisipasi. Dalam menyusun
strategi pengembangan wilayah, stakeholders memiliki persepsi berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman yang dilalui dalam ruang dan waktunya masing-
masing.
150
a. Pendekatan Strategi Dalam Pengembangan Wilayah
Dalam pengembangan wilayah yang demikian kompleks, serta
melibatkan banyak pihak, maka perlu dilakukan secara holistik dan terpadu.
Sementara di sisi lain, ego sektoral, ego kewilayahan dan ego institusi yang
berjalan sendiri-sendiri adalah sebagai penghambat sekaligus menciptakan
inefisiensi dalam pembangunan. Sehingga solusi alternatif adalah adanya
keterpaduan antar sektor, antar wilayah dan antar institusi di dalam
pengembangan wilayah.
Dalam tabel 75 berikut dijelaskan persepsi stakeholders tentang
pendekatan strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima, yang telah diolah
dengan menggunakan Analisi Hirarki Proses (Aplikasi Program Expert Choice
2000).
Tabel 75 Persepsi Stakeholders tentang Pendekatan Strategi Pengembangan Wilayah di Kapet Bima
No. Komponen Bobot Prioritas
Priorities With Respect To:
Goal: Strategi Pengembangan Wilayah
1 Keterpaduan Antar sector 0.211 2
2 Keterpaduan Antar Wilayah 0.188 3
3 Keterpaduan Antar Institusi 0.601 1 Sumber : Hasil Analisis dari Data Primer
Dari Tabel 75 tergambar persepsi stakeholders tentang prioritas
pendekatan strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima. Keterpaduan antar
institusi (bobot 0.601) merupakan pendekatan yang perlu menjadi prioritas utama,
sedangkan keterpaduan antar sektor (bobot 0.211) merupakan prioritas ke-2 dan
keterpaduan antar wilayah (bobot 0.188) adalah prioritas ke-3.
Keterpaduan antar institusi merupakan suatu interaksi antar institusi
dengan penekanan pada aspek koordinasi dan sinergi setiap gerak-langkah
masing-masing pihak terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dengan adanya
keterpaduan antar institusi menjadi prasyarat yang sekaligus memiliki dampak
151
yang besar untuk terlaksananya keterkaitan antar sektor dan keterkaitan antar
institusi.
Keterpaduan antar sektor merupakan keterkaitan aktivitas dan hubungan
fungsional antar sektor, sehingga setiap kegiatan secara sektoral akan dapat
menggerakan secara total kegiatan sektor lainnya baik disisi hulu maupun disisi
hilir.
Keterpaduan antar wilayah merupakan suatu bentuk pola interaksi
wilayah yang saling menunjang dan dalam saling memenuhi kebutuhan pada
setiap wilayah, dimana perkembangan suatu wilayah akan dapat mendorong
perkembangan wilayah lainnya. Keterpaduan antar wilayah bersifat saling
menguntungkan (spread effect) apabila keterpaduan antar institusi dan
keterpaduan antar sektor dapat berjalan dengan baik.
b. Dukungan Sumber Daya Dalam Pengembangan Wilayah
Berbagai pendekatan strategi pengembangan wilayah membutuhkan
dukungan sumber daya wilayah yang memadai. Sumber daya dibutuhkan sebagai
input (baik langsung atau tidak langsung) dalam pembangunan atau yang dapat
menghasilkan utilitas (kemanfaatan) proses produksi atau penyediaan barang dan
jasa.
Menurut Rustiadi (2005) sesuatu dapat dikatakan sebagai sumber daya
jika : (1) manusia telah memiliki atau menguasai teknologi untuk
memanfaatkannya, dan (2) adanya permintaan untuk memanfaatkannya. Sumber
daya selalu memiliki sifat langka (scarcity) dan memiliki guna (utility) melalui
suatu aktivitas produksi atau melalui penyediaan berupa barang dan jasa.
Prinsip-prinsip kelangkaan sumber daya membutuhkan adanya suatu
strategi yang menjamin ketersediaan dan sistem alokasi yang tepat. Karena sifat
dasar manusia memiliki keinginan yang tinggi, setidaknya terdapat rencana dan
capaian pengembangan wilayah yang progresif dibanding periode waktu
sebelumnya, sedangkan di sisi lain ketersediaan sumber daya sangat terbatas dan
cenderung tidak merata. Hal ini membutuhkan pilihan prioritas dan model
pengelolaan sumber daya yang tepat sehingga tercapai optimalisasi manfaat
pembangunan dalam konteks spasial.
152
Secara garis besar terdapat enam komponen sumber daya wilayah yakni
sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan
(SDB), sumber daya sosial (SDS), sumber daya finansial (SDF) dan sumber daya
institusi (SDI). Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing komponen
sumber daya dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dapat dilihat pada
tabel 76.
Berdasarkan persepsi stakeholders, dukungan sumber daya yang paling
penting adalah ketersediaan institusi/kelembagaan yang dapat mendorong
pengembangan wilayah secara lebih efektif (bobot sumber daya institusi yakni
0.3440), kemudiaan berturut-turut adalah sumber daya manusia (bobot 0.2192),
sumber daya finansial (bobot 0.1436), sumber daya alam (bobot 0.1288), sumber
daya sosial (bobot 0.0835) dan terakhir sumber daya buatan (0.0809).
Tabel 76 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Sumber Daya Dalam Pengembangan Wilayah Di Kapet Bima
Sumber Daya
Keterpaduan Sektor
Keterpaduan Wilayah
Keterpaduan Institusi Jumlah Prioritas
SDM 0.0450 0.0380 0.1361 0.2192 2
SDA 0.0766 0.0307 0.0216 0.1288 4
SDB 0.0206 0.0204 0.0399 0.0809 6
SDS 0.0065 0.0080 0.0691 0.0835 5
SDF 0.0291 0.0323 0.0822 0.1436 3
SDI 0.0332 0.0586 0.2521 0.3440 1
Jumlah 0.2110 0.1880 0.6011 1.0000
Prioritas 2 3 1 Sumber : Hasil Analisis dari Data Primer
Peran kelembagaan sangat penting dalam pengembangan wilayah, karena
penguasaan dan pengelolaan sumber daya sangat ditentukan oleh jumlah dan
bentuk serta sistem kelembagaan yang terlibat dalam suatu wilayah. Kelembagaan
(institution) adalah sebagai kumpulan aturan main (rules of game) dan organisasi
berperan penting dalam mengatur penggunaan dan alokasi sumber daya secara
efisien, merata dan berkelanjutan.
153
c. Komponen Sumber Daya Kelembangaan/Institusi Dalam Pengembangan
Wilayah
Organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang di
atur oleh sistem kelembagaan atau aturan (behavior rule), didalamnya termasuk
tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dari tiap organisasi.
Secara garis besar terdapat 6 (enam) subkomponen kelembagaan yang
terlibat dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni BP Kapet Bima,
Pemda Propinsi NTB, Pemda Kabupaten, Pemerintah, Swasta dan Lembaga
Masyarakat. Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing subkomponen
sumber daya institusi dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dapat dilihat
pada gambar 16 berikut.
-
0.10
0.20
0.30
0.40Bp Kapet
Pemprov
Pemkab
Pempusat
Swasta
Lbg masy.
Gambar 16 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya
Institusi Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima
Dari gambar 16 di atas terlihat bahwa Pemerintah Daerah Propinsi NTB
memiliki fungsi-peran yang yang sangat penting dalam pengembangan wilayah
Kapet Bima yakni dengan bobot 0.308, disusul pemda kabupaten/kota (bobot
0.219), swasta (0.174), Lembaga masyarakat (bobot 0.135), BP Kapet (bobot
0.118) dan terakhir Pemerintah Pusat (bobot 0.047).
154
Era otonomi daerah telah memberikan hak, wewenang, dan kewajiban
Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di bawahnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah Propinsi memiliki posisi strategis didalam
pengembangan wilayah Kapet Bima karena memiliki kewenangan Desentralisasi
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya, memfasilitasi dan
mengkoordinir pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dalam lingkup wilayahnya,
serta memiliki kewenangan Dekonsentrasi yang merupakan pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
d. Komponen Sumber Daya Manusia Dalam Pengembangan Wilayah
Konsep pembangunan menghendaki adanya peningkatan kualitas hidup
penduduk baik secara fisik, mental maupun spiritual, dan secara eksplisit makna
pembangunan adalah menitikberatkan pada pembangunan sumber daya manusia
secara fisik dan mental, dalam hal ini posisi manusia sebagai objek pembangunan,
yang mengandung makna peningkatan kapasitas dasar penduduk yang kemudian
akan memperbesar kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam proses
pembangunan yang berkelanjutan, dan dalam konteks ini posisi manusia adalah
sebagai subjek pembangunan.
Secara garis besar terdapat empat subkomponen sumber daya manusia
dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni jumlah penduduk,
pendidikan, pekerjaan dan kesehatan. Dari gambar 17 terlihat bahwa lapangan
pekerjaan merupakan penentu utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima
yakni dengan bobot 0.467, sehingga setiap penduduk berpeluang untuk
mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak, yang pada gilirannya akan
meningkatkan kemampuan penduduk untuk mencapai tingkat pendidikan dan
derajat kesehatan yang lebih baik. Selanjutnya disusul subkomponen kesehatan
yang memiliki pengaruh dengan peringkat ke-2 (bobot 0.268), disusul kesehatan
(bobot 0.215) dan terakhir jumlah penduduk (bobot 0.049).
155
-0.100.20
0.300.40
0.50Jumlah Pddk
Pendidikan
Lapangan Kerja
Kesehatan
Gambar 17 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya
Manusia Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima
e. Komponen Sumber Daya Finansial Dalam Pengembangan Wilayah
Berbagai aktivitas penduduk dan pembangunan wilayah tidak dapat
terlepas dari dukungan finansial (keuangan), baik berasal dari masyarakat, swasta
(pengusaha) maupun dari pemerintah. Tersedianya finansial yang cukup akan
dapat membantu pembiayaan pembangunan serta dapat menggerakkan
aktivitas/perekonomian riil di masyarakat.
Secara garis besar terdapat tiga subkomponen sumber daya finansial dalam
pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni modal asing, modal dalam negeri
dan modal dalam Kapet. Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing
subkomponen sumber daya finansial dalam pengembangan wilayah Kapet Bima
dapat dilihat pada gambar 18.
Dari gambar 18 terlihat bahwa modal dalam negeri merupakan
subkomponen yang paling penting dalam pengembangan wilayah Kapet Bima
yakni dengan bobot 0.565, disusul modal dalam Kapet (bobot 0.347), dan terakhir
modal asing (bobot 0.088).
156
-0.100.200.300.400.500.60Modal asing
Modal dlm negeriModal dlm Kapet
Gambar 18 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya
Finansial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima
Sampai Tahun 2005 di Kapet Bima tidak terdapat kegiatan penanaman
modal asing (PMA) hal ini dapat dimengerti karena secara nasionalpun
pergerakan modal asing ke dalam negeri mengalami kelesuan. Sedangkan disisi
lain pergerakan keuangan yang berasal dari dalam Kapet Bima sendiri masih
didominasi oleh belanja atau investasi pemerintah. Sehingga harapan besar adalah
pada modal dalam negeri baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun swasta
untuk dapat menggerakkan pembangunan khususnya bagi perkembangan ekonomi
wilayah di Kapet Bima.
f. Komponen Sumber Daya Alam Dalam Pengembangan Wilayah
Sumber daya alam merupakan sumber daya yang essensial bagi
kelangsungan hidup manusia dan sumber daya alam tidak saja mencukupi
kebutuhan hidup manusia namun juga memberikan kontribusi bagi kesejahteraan
penduduknya dan pengembangan suatu wilayah.
Tiap wilayah memiliki karakteristik sumber daya alam yang berbeda-beda
sebagai faktor bawaan (endowment). Pengelolaan sumber daya alam harus dapat
dilakukan dengan baik dan tepat untuk dapat memberikan manfaat berupa
kesejahteraan dan kemajuan suatu wilayah dengan tidak mengorbankan
kelestarian sumber daya alam itu sendiri.
157
Secara garis besar terdapat lima subkomponen sumber daya alam dalam
pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni lahan dan air, perikanan dan
kelautan, industri-pertambangan, sumber daya hayati dan panorama wisata. Dari
gambar 19 terlihat bahwa lahan dan air merupakan subkomponen dominan dalam
pengembangan wilayah Kapet Bima yakni dengan bobot 0.493, disusul perikanan
dan kelautan (bobot 0.258), panorama alam dan wisata (bobot 0.096), industri dan
pertambangan (bobot 0.089) dan terakhir sumber daya hayati (bobot 0.064).
-0.10
0.20
0.30
0.40
0.50Lahan dan air
Perikanan&kelautan
Industri&pertambanganSd hayati
Panorama wisata
Gambar 19 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya
Alam Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima
Sumber daya lahan dan air memiliki nilai strategis dalam hidup dan
kehidupan manusia karena merupakan tempat hidup, beraktivitas dan melanjutkan
generasi dan peradaban manusia. Di Kapet Bima, di atas lahan dan air
penduduknya memanfaatkan ruang wilayah untuk pemukiman. Selain itu untuk
kegiatan bercocok tanam, peternakan dan perkebunan, melakukan kegiatan
industri, perdagangan dan jasa, serta yang paling penting keberadaan lahan dan air
adalah sebagai komponen hulu sekaligus hilir dalam suatu ekosistem besar
wilayah dan bumi dalam skala luas.
g. Komponen Sumber Daya Sosial Dalam Pengembangan Wilayah
Sumber daya sosial adalah segala aspek sebagai hasil interaksi sosial
dalam suatu komunitas yang memberikan pengaruh atau manfaat baik secara
158
langsung atau tidak langsung dalam aktivitas pembangunan wilayah. Sedangkan
Putnam (1993) mendefisikan sumber daya sosial sebagai gambaran kehidupan
sosial yang memungkinkan para partisipan bertindak secara bersama dan secara
sinergik kearah kinerja yang lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.
Secara garis besar terdapat empat subkomponen sumber daya sosial dalam
pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni adat istiadat, hubungan masyarakat,
keamanan dan mobilitas masyarakat. Adapun gambaran bobot dan peringkat
masing-masing subkomponen sumber daya sosial dalam pengembangan wilayah
Kapet Bima dapat dilihat pada gambar 20.
-0.100.200.300.400.50Adat istiadat
Hub. masy.
Keamanan
Mobilitas masy.
Gambar 20 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Sosial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima
Dari gambar 20 terlihat bahwa keamanan merupakan subkomponen yang
paling penting dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yakni dengan bobot
0.409, karena keamanan menentukan tingkat stabilitas yang menjadi prakondisi
bagi segala aktivitas di suatu wilayah. Kemudian sub komponen penentu lainnya
adalah hubungan masyarakat (bobot 0.283), adat istiadat (bobot 0.211), dan
terakhir mobilitas masyarakat (bobot 0.097).
h. Komponen Sumber Daya Buatan Dalam Pengembangan Wilayah
Sumber daya buatan/infrastruktur merupakan sumber daya yang
mendorong peningkatan nilai sumber daya seperti dalam kegiatan produksi dan
159
pengolahan hasil sumber daya alam, meningkatkan produktivitas kerja sumber
daya manusia yakni dengan menggunakan alat/mesin dan berwujud bangunan
serta meningkatan mobilitas dan interaksi dengan adanya jalan, pasar, tempat
ibadah atau perkantoran.
Secara garis besar terdapat lima subkomponen sumber daya
buatan/infrastruktur dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni
infrastruktur sosial dan budaya, ekonomi dan perdagangan, transportasi dan
terakhir informasi dan komunikasi. Adapun gambaran bobot dan peringkat
masing-masing subkomponen sumber daya buatan dalam pengembangan wilayah
Kapet Bima dapat dilihat pada gambar 21.
-
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50Sosbud
Ekon&perdgn
TransportasiInkom
Iptek
Gambar 21 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Infrastruktur Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima
Dari gambar 21 terlihat bahwa infrastruktur ekonomi dan perdagangan
merupakan subkomponen yang paling penting dalam pengembangan wilayah
Kapet Bima yakni dengan bobot 0.434, disusul infrastruktur transportasi (bobot
0.249), infrastruktur sosial dan budaya (bobot 0.140), infrastruktur informasi dan
komunikasi (bobot 0.125) dan terakhir infrastruktur Iptek (bobot 0.052).
Di Kapet Bima infrastruktur transportasi dan sosial budaya relatif tersedia
dibandingkan infrastruktur lainnya, namun yang masih terbatas adalah
infrastruktur ekonomi dan perdagangan, seperti untuk kegiatan industri,
160
perdagangan di tingkat perdesaan (pasar desa), pasar komoditi, pusat grosir serta
pusat-pusat perdagangan lainnya. Padahal infrastruktur ini memberikan dampak
yang besar bagi aktivitas penduduk khususnya pada berbagai sektor ekonomi di
wilayah Kapet Bima.
5.6.2. Lingkungan Strategis Dalam Pengembangan Wilayah
Kajian lingkungan strategis penting untuk dilakukan, karena keberhasilan
dalam pengembangan suatu wilayah terkait erat dengan kemampuan mengelola
lingkungannya baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Pada
analisis SWOT ini juga dimasukkan hasil analisis pada pembahasan sebelumnya
sebagai bagian dari komponen analisis strategi ini sehingga diharapkan adanya
sintesa analisis untuk dapat merumuskan dan menentukan strategi yang tepat.
a. Aspek Internal
Lingkungan internal terdiri dari dua faktor, yaitu kekuatan dan kelemahan.
Analisis lingkungan internal dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi
elemen-elemen yang menjadi faktor kekuatan (strength) dan faktor kelemahan
(weakness).
1). Kekuatan
Kekuatan-kekuatan yang diidentifikasi mempengaruhi keberhasilan dalam
pengembangan wilayah Kapet Bima.
(1) Tersedianya lahan yang masih luas untuk pengembangan pertanian, industri
dan pengembangan kawasan terbangun lainnya
(2) Luas Lautan mencapai 12,180.96 Km2 (63.77 % dari total luas wilayah
Kapet Bima)
(3) Memiliki berbagai potensi pengembangan wilayah, meliputi komoditi
pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan dan
peternakan, pariwisata dan sumber daya hayati
(4) Pertumbuhan ekonomi Kapet Bima sebesar 4.45 % di atas pertumbuhan
Propinsi NTB yang hanya mencapai 3.64 %, sedangkan Total PDRB Kapet
Bima mencapai Rp.2.61 trilyun, dengan kontribusi 46.31 % berasal dari
161
sektor pertanian, 16.03 % dari sektor perdagangan, hotel dan restoral
sedangkan 14.82 % berasal dari sektor jasa-jasa
(5) Tersedianya sarana dan prasarana sosial dasar dan transportasi yang
menghubungkan antar daerah dalam wilayah Kapet Bima serta ketersediaan
pelabuhan laut dan bandara udara serta transportasi darat untuk berhubungan
dengan luar wilayah
(6) Struktur penduduk Kapet Bima dominan berusia produktif (59.21 %),
dengan tingkat partisipasi dan tingkat pendidikan di Kapet Bima lebih tinggi
dari pada Propinsi NTB, dimana yang tidak/belum pernah sekolah di Kapet
Bima adalah sebanyak 9.11 % sedangkan Propinsi NTB sebanyak 10.57 %.
Penduduk Kapet Bima yang mencapai tingkat pendidikan SMP ke atas
adalah 39.02 %, di atas rata-rata Propinsi NTB yang baru mencapai 28.46 %
(7) Memiliki nilai budaya/kearifan lokal terkait dengan kepemimpinan dan
pengelolaan wilayah
(8) Berdasarkan analisis IO Kapet Bima, terdapat 8 sektor yang memiliki daya
tarik yang kuat terhadap sektor lainnya, yakni peternakan, industri
pengolahan, listrik, bangunan, hotel dan restoran, bank dan lembaga
keuangan bukan bank, jasa pemerintahan, serta jasa swasta. Terdapat 7
sektor yang memiliki daya dorong yang kuat terhadap sektor lainnya yakni
tanaman bahan makanan, perikanan, industri pengolahan, perdagangan,
angkutan, pos dan telekomunikasi, bank dan lembaga keuangan bukan bank.
Sedangkan berdasarkan analisis LQ terdapat 5 sektor yang menjadi sektor
basis, yakni tanaman bahan makanan, peternakan, kehutanan, perikanan, dan
air bersih.
(9) Interaksi spasial (mobilitas masyarakat dan arus barang dan kendaraaan)
yang cukup tinggi baik intra maupun inter regional
(10) Sekitar 89.42 % kebutuhan hidup dan usaha penduduk Kapet Bima saat ini
cukup tersedia dalam kabupaten masing-masing, dimana produk-produk
hasil kegiatan industri sebagian besar langsung didatangkan dari Surabaya
dan Makasar
(11) Berdasarkan analisis stakeholders, Pemerintah kabupaten/kota dan swasta
memiliki tingkat pengaruh yang tinggi dan bersama berbagai elemen
162
masyarakat memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi dalam mendukung
pengembangan wilayah di Kapet Bima
2). Kelemahan
Kelemahan-kelemahan yang diidentifikasi mempengaruhi keberhasilan
dalam pengembangan wilayah Kapet Bima.
(1) Sebagian besar wilayah berupa pegunungan dengan kemiringan lahan yang
agak curam dan curam (luas wilayah yang memiliki kemiringan 15-40o =
35.56 % dan > 40o = 32.24 %), sehingga memiliki faktor kesulitan yang
relatif tinggi untuk menghubungkan antar wilayah melalui prasarana jalan
yang di bangun serta dalam membangun jaringan irigasi untuk mendukung
kegiatan pertanian
(2) Luas lahan kering mencapai 94.68 % (termasuk di dalamnya hutan negara
dengan luas mencapai 55.80 %). Di sisi lain, luas lahan kritis semakin terus
meningkat, yang berkorelasi pula dengan banyaknya pengelolaan lahan dan
hutan yang belum dilaksanakan secara optimal baik untuk tujuan ekonomi
maupun ekologi.
(3) Struktur perekonomian masih bertumpu pada sektor pertanian khususnya
pada subsektor tanamanan bahan makanan (pangan dan hortikultural)
sedangkan luas lahan mengalami keterbatasan dan tingkat produksi akan
mengalami tingkat kejenuhan
(4) Infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang masih kurang serta tidak
merata, sehingga dapat menurunkan kualitas SDM. Faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat pendidikan masyarakat adalah ketersediaan prasarana
pendidikan yang masih kurang terutama tingkat pendidikan lanjutan.
Demikian juga di sektor kesehatan, keberadaan sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan masyarakat termasuk tenaga medis masih minim
sehingga hal ini dapat mempengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat
(5) Prasarana dan sarana utilitas seperti distribusi air bersih, drainase dan listrik
belum sepenuhnya terpenuhi bagi kebutuhan perumahan dan usaha
masyarakat khususnya dipedesaan
163
(6) Demikian juga prasarana irigasi dan transportasi yang sangat membutuhkan
perbaikan dan pengembangan lebih lanjut untuk pengembangan ekonomi
wilayah Kapet Bima dalam skala regional
(7) Lembaga ekonomi (koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya) saat ini
sesungguhnya menjadi salah satu pelaku pembangunan, perannya masih
belum optimal dalam pengembangan perekonomian di perdesaan
(8) Modal yang dimiliki daerah maupun pengusaha lokal sangat terbatas,
sedangkan investor luar daerah dan asing sulit didatangkan
(9) Sebagian besar kegiatan usaha di Kapet Bima belum mampu menerapkan
manajemen modern, masih ada kecenderungan menerapkan manajemen
keluarga/tradisonal. Penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi masih
relatif terbatas sehingga belum memiliki daya saing yang tinggi, akibatnya
peningkatan nilai tambah produk/usaha rendah
(10) Masih rendahnya keterkaitan kegiatan ekonomi perdesaan dan perkotaan,
industri pengolahan relatif terbatas termasuk pengolahan hasil produk
pertanian, peternakan dan perikanan, kehutanan dan perkebunan. Di sisi lain,
sebaran kontribusi dan pertumbuhan ekonomi tiap sektor belum merata,
khsususnya sektor industri pengolahan.
(11) Berdasarkan analisis IO, bahwa total permintaan antara hanya mencapai
23.18 %, rendahnya permintaan antara ini menunjukkan bahwa dari total
output wilayah hanya 23.18 % yang dikembalikan untuk proses kegiatan
produksi domestik sehingga tingkat keterkaitan antar sektor rendah yang
pada akhirnya juga multiplier efek dari kegiatan ekonomi wilayah juga
rendah.
(12) Kemampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaannya masih
rendah, yakni 1.23 % dari total output wilayah. Keadaan ini menggambarkan
juga tingkat kemandirian daerah, karena dari struktur anggaran daerah,
sumber pendapatan daerah masih sangat bergantung kepada pusat melalui
alokasi perimbangan keuangan (DAU/DAK)
(13) Keterkaitan kegiatan pemerintah dengan sektor lain (khususnya keterkaitan
ke depan) masih rendah, padahal kegiatan sektor pemerintahan memberikan
164
kontibusi sebesar 14.62 % (peringkat ke-2) dari total output ekonomi
wilayah.
(14) Industri pengolahan dan perdagangan sebagai sektor yang memiliki
keterkaitan yang kuat (daya tarik dan daya dorong yang tinggi) dengan
sektor lain belum menjadi sebagai sektor basis
(15) Hotel dan restoran, jasa swasta dan perusahaan memiliki nilain output dan
LQ yang rendah, hal ini memberikan gambaran masih belum
berkembangnya pembangunan di sektor pariwisata.
(16) Arah pergerakan dan sebaran penduduk tidak menyebar (kompak) dan
merata tapi membentuk pola linear dan melingkar karena permasalahan
topografi yang berbukit disamping mengikuti arah perkembangan wilayah
yang terpusat dan mengikuti sekitar jalur jalan raya nasional
(17) Masih kurang berkembangnya daerah-daerah belakang di bagian utara,
selatan dan barat. Di bagian utara terdapat Kecamatan Wera, Ambalawi,
Donggo Kabupaten Bima, dan Kilo Kabupaten Dompu. Di bagian selatan,
Kecamatan Huu, Pajo Kabupaten Dompu dan Kecamatan Monta Kabupaten
Bima. Sedangkan Bagian Barat adalah Kecamatan Sanggar dan Tambora
Kabupaten Bima, Kecamatan Kempo, dan Pekat Kabupaten Dompu.
Daerah-daerah belakang ini memiliki kekayaan sumber daya alam.
(18) Lemahnya komunikasi dan koordinasi internal pemerintah propinsi maupun
antar pemerintah propinsi dan kabupaten/kota
(19) Kurang tegasnya pembagian tugas wewenang (belum adanya prosedur
operasi standar) antar instansi terkait dengan Kapet Bima. mengakibatkan
kurang lancarnya tugas yang diemban oleh BP Kapet Bima
(20) Orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial meskipun
telah diantisipasi dengan Musbang Desa dan Kecamatan Rakorbang
Tingkat Kabupaten, Tingkat Propinsi dan Rakornas
b. Aspek Eksternal
Lingkungan eksternal merupakan semua kekuatan yang timbul diluar
rentang kendali (span of control) daerah/wilayah, dan sulit untuk diramalkan
sehingga membawa dampak yang dapat mempengaruhi keputusannya serta
165
tindakan dalam pembangunan. Oleh karenanya perlu perhatian dan pencermatan
yang serius terhadap aspek yang melingkupinya. Lingkungan eksternal
mengandung peluang (opportunities) dan ancaman (threats), yang akan
mempengaruhi keberadaan dan gerak pembangunan daerah/wilayah.
1). Peluang
Adapun peluang-peluang yang diindikasi mempengaruhi keberhasilan
pengembangan wilayah adalah sebagai berikut :
(1) Secara Geografis, Bima merupakan kota jangkar yang menghubungkan
antara Kawasan Indonesia Barat (Jawa) dengan sulawesi dan kepulauan-
kepulauan Indonesia Timur lainnya. Selain itu berada dalam jalur segi tiga
emas pariwisata Indonesia (Bali-Pulau Komodo-Tanah Toraja)
(2) Kebijakan otonomi daerah yang mendorong dan memberikan peluang
kepada daerah untuk mengelola sumber daya wilayah serta bekerja sama
dengan daerah lain dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan kemajuan daerah itu sendiri
(3) Terus berkembangnya berbagai lembaga keuangan baik bank maupun non
bank
(4) Keadaan perekonomian nasional cenderung semakin membaik
(5) Perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang semakin
meningkat
(6) Peluang kerja sama dan eksport-import antar daerah dan antar pusat-pusat
pengembangan/pertumbuhan wilayah
(7) Peluang pasar nasional, regional dan internasional
(8) Pola kemitraan dan jaringan usaha terus berkembang seiring dengan
peningkatan interaksi antar wilayah
(9) Berdasarkan kajian sejarah, kerajaan di Kapet Bima telah cukup lama
berinteraksi dengan daerah lain di Nusantara maupun internasional
166
2). Ancaman
Adapun ancaman-ancaman yang diindikasi mempengaruhi keberhasilan
pengembangan wilayah adalah sebagai berikut :
(1) Kuatnya pengaruh global yang dapat berdampak pada ketidakseimbangan
perdagangan internasional, nasional dan regional bahkan terhadap
perekonomian perdesaan.
(2) Instabilitas politik dan keamanan
(3) Kebijakan dan penerapan aturan/hukum yang tidak jelas dan konisisten
(4) Kebijakan fiskal dan moneter yang lemah
(5) Berdasarkan analisis stakeholders, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat
dinilai memiliki tingkat keterlibatan yang rendah dalam pengembangan
wilayah Kapet Bima
(6) Tingginya kesenjangan antar wilayah dapat mendorong perpindahan
penduduk (migrasi) secara berlebihan akibat alasan ekonomi atau daya tarik
lainnya (infrastruktur pendidikan, perdagangan dan industri, lapangan
pekerjaan dan pendapat yang lebih tinggi), hal ini mengakibatkan makin
berkurangnya ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan
5.6.3. Analisa SWOT Pengembangan Wilayah
Setelah dilakukan identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal
pengembangan wilayah Kapet Bima, maka dilakukan analisa SWOT, yakni
mensinergikan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut.
Secara umum analisa SWOT akan menghasilkan 4 (empat) strategi, yakni :
(1) Strategi SO (strength-opportunities), (2) Strategi WO (weakness-
opportunities), (3) Strategi ST (strength-threats) dan (4) Strategi WT (weakness-
threats). Adapun uraian 4 (empat) strategi dimaksud dapat dilihat pada tabel 77.
1). Strategi SO (Strength-Opportunities)
(1) Pengembangan kerjasama antar kabupaten/kota dalam Pengelolaan Kapet
Bima
(2) Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat desa
(3) Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agrobisnis dan agroindustri
(4) Pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan
167
(5) Pengembangan infrastruktur perdagangan dan transportasi skala regional
(6) Promosi dan kerjasama intra-inter regional
2). Strategi WO (Weakness-Opportunities)
(1) Pengembangan sumber daya lahan kering melalui usaha tani lahan kering,
industri dan perdagangan
(2) Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik pada
sektor hulu maupun hilir
(3) Pemberdayaan KUKM serta lembaga lokal lainnya
Tabel 77 Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan Analisis SWOT di Kapet Bima
SWOT FAKTOR INTERNAL
STRENGTH-S : (S1-S11)
WEAKNESS-W : (W1-W20)
FAK
TO
R E
KST
ER
NA
L
OPP
OR
TU
NIT
IES-
O :
(O1-
O9)
STRATEGI -SO : 1. Pengembangan kerjasama antar
kabupaten/kota dalam Kapet Bima (S11, O3)
2. Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat desa (S6, O5)
3. Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agrobisnis dan agroindustri (S1, S4, S5, S8, O6-O8)
4. Pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan (S2, S3, O5, O7)
5. Pengembangan infrastruktur perdagangan dan transportasi skala regional (S1, S5, S9, O1, O5-O9)
6. Promosi dan kerjasama intra-inter regional (S1-S4, S8, O1, O2, O4-O9)
STRATEGI -WO : 1. Pengembangan sumber daya lahan
kering melalui usaha tani lahan kering, industri dan perdagangan (W1-W3, O5, O7)
2. Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik pada sektor hulu maupun hilir (W10, W11, W14, O6-O7)
3. Pemberdayaan KUKM serta lembaga lokal lainnya (W7-W13, W17, O2, O3, O6-O8)
TH
RE
AT
S-T
: (T
1-T
6)
STRATEGI -ST : 1. Pengembangan infrastruktur sosial
ekonomi perdesaan (S5, S7, S10, T6) 2. Pengembangan daya saing produk
unggulan melalui kebijakan pendukung (S3, S4, S8, S9, T1, T6)
STRATEGI -WT : 1. Pengembangan pusat pertumbuhan/
pelayanan di daerah hinterland (W1, W4-W6, W16, W17, T2, T6)
2. Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima (W18, W19, T3, T4, T6)
3. Perencanaan dan penganggaran pembangunan di Kapet Bima secara reguler pada jangka pendek, menengah dan panjang (W19, W20, T4, T5)
168
3). Strategi ST (Strength-Threats)
(1) Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan
(2) Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan pendukung
4). Strategi WT (Weakness- Threats)
(1) Pengembangan pusat pertumbuhan/ pelayanan di daerah hinterland
(2) Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima
(3) Perencanaan dan penganggaran pembangunan di Kapet Bima secara reguler
pada jangka pendek, menengah dan panjang
5.6.4. Rumusan Strategi Pengembangan Wilayah
Setelah dilakukan analisis identifikasi potensi dan masalah dalam
pengembangan wilayah, analisis keterkaitan wilayah, analisis interaksi spasial,
analisis fungsi dan keterlibahan stakeholder/lembaga, analisis persepsi
stakeholders serta analisa SWOT, maka selanjutnya dilakukan sintesa (kolaborasi)
analisis untuk mengetahui dan menentukan strategi alternatif pengembangan
wilayah Kapet Bima.
Tabel 78 Rumusan Strategi Umum Pengembangan Wilayah di Kapet Bima
SWOT STRATEGI PENGEMBANGAN SO (SO1-SO6) ST (ST1-ST2)
STR
ATE
GI P
ENG
EMB
AN
GA
N
WT
(WT1
-WT3
) 1. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas
institusi (SO1, SO6, WT2, WT3)
2. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan (SO2, ST1,
WO3, WT1)
3. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber
daya lahan kering dan pesisir/kelautan (SO3, SO4, ST2,
WO1, WO2)
4. Pengembangan infrastruktur transportasi dan
perdagangan skala regional (SO5)
1. SDI
DU
KU
NG
AN
SUM
BER
DA
YA
2. SDM
3. SDF
WO
(WO
1-W
O3)
4. SDA
5. SDS
6. SDB
1. KETERPADUAN INSTITUSI
2. KETERPD SEKTORAL
3. KETERPD WILAYAH AHP
PENDEKATAN STRATEGI
169
Berdasarkan analisis persepsi stakeholders, maka secara garis besar,
strategi pengembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan,
dengan prioritas secara berturut-turut adalah sebagai berikut : (1) Keterpaduan
Institusi/stakeholders, (2) Keterpaduan sektoral dan (3) keterpaduan wilayah.
Dari hasil analisis silang pada tabel 78, maka dapat dirumuskan strategi
umum pengembangan wilayah di Kapet Bima, yakni sebagai berikut :
1. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi
2. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan
3. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan kering
dan pesisir/kelautan
4. Pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional
a. Pengembangan Kerjasama dan Peningkatan Kapasitas Institusi
Pengembangan Wilayah Kapet Bima melibatkan berbagai pihak dan
secara administratif Kapet Bima terdiri dari tiga kabupaten/kota, yakni :
Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu dan Kota Bima. Konsekuensi dari hal di atas
adalah dibutuhkan koordinasi dan kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota
serta dengan pelaku pembangunan lainnya.
Untuk memenuhi hal tersebut maka dibutuhkan pengembangan kerjasama
dan peningkatan kapasitas institusi yang meliputi strategi : (1) Pengembangan
kerjasama antar kabupaten/kota dalam Pengelolaan Kapet Bima; (2) Penyusunan
dan penganggaran pembangunan Kapet Bima secara reguler pada jangka pendek,
menengah dan panjang; (3) Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima dan
(4) Promosi dan kerjasama inter regional.
Kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota dalam lingkup wilayah Kapet
Bima merupakan syarat utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima secara
terpadu karena permasalahan struktural-adiministratif, kendala teknis dan
keterbatasan infrastruktur merupakan kendala utama dalam kegiatan
pembangunan. Selain itu alternatif lainnya adalah dengan melakukan
penggambungan daerah administratif. Hal ini sesuai dengan pasal 4 sampai
dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang dalam
pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 yang
170
sekarang sedang dalam proses revisi, namun alternatif penggabungan daerah
administrasi dapat dilakukan apabila adanya usulan dan persetujuan dari daerah
yang bersangkutan dan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah.
Berbagai pilihan alternatif ini dalam pelaksanaannya harus melalui kajian yang
lebih mendalam sehingga tujuan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta
percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah secara terpadu dapat
diwujudkan.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kerjasama antar daerah ini
secara jelas ditekankan guna mendukung pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah. Pada pasal 87 ayat (1) disebutkan bahwa beberapa daerah dapat
mengadakan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.
Untuk itu daerah dapat membentuk Badan Kerjasama Antar Daerah. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa daerah dapat juga mengadakan kerjasama dengan badan lain
yang diatur dengan keputusan bersama.
Dalam penyempurnaannya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menegaskannya kembali tentang kerjasama tersebut. Pada Pasal 195 disebutkan
bahwa dakam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat
mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan
efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.
Kerjasama ini justru diwajibkan seperti yang tersurat pada pasal 196, yakni :
(1) pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah
dikelola bersama oleh daerah terkait; (2) untuk menciptakan efisiensi, daerah
wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk
kepentingan masyarakat; (3) untuk pengelolaan kerjasama itu daerah dapat
membentuk badan kerjasama; (4) apabila daerah tidak melaksanakan kerjasama
tersebut, pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat.
Terdapat banyak model kerjasama antar daerah yang telah dipraktekkan,
mulai dari pembagian (sharing) informal sumber-sumber pendapatan sampai
penciptaan daerah-daerah dengan tujuan khusus dan usaha bersama untuk
pencapaian layanan-layanan khusus. Banyak pengaturan kerjasama antara
Pemerintah Daerah dimulai dengan perlunya untuk mempertimbangkan
171
kepentingan bersama seperti : (1) memastikan untuk saling melengkapi penataan
lahan daerah-daerah terdekatnya; (2) pengelolaan bersama atas sumber-sumber
alam; dan (3) membentuk aliansi untuk bersaing dengan daerah-daerah lain atau
bernegosiasi agar lebih efektif (Sarundajang 2005).
Sampai saat ini terdapat beberapa daerah yang telah menjalin kerjasama
dengan bentuk-bentuk kerjasama seperti Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang
dan Bekasi) dan sekarang berkembang sesuai dengan tuntutan yang terus
berkembang, sehingga kerjasama itu menjadi Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor,
Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur). Kerjasama ini berkembang mulai dari
kerjasama memecahkan masalah-masalah kependudukan, transportasi dan
infrastruktur berkembang menjadi suatu kesatuan ekosistem. Jabodetabekpunjur
yang berpenduduk lebih dari 22 juta sekarang ini sudah berkembang menjadi
megapolitan dengan berbagai aktivitasnya dan merupakan pusat kegiatan nasional
yang harus dapat bersaing dengan wilayah lainnya dalam menarik investasi.
Daerah-daerah lain yang mengikuti Jabodetabekpunjur adalah bandung
dan daerah sekitarnya membentuk Bandung Raya (Great Bandung), semarang dan
daerah sekitarnya membentuk Badan Kerjasama Kedungsepur (Kendal, Ungaran,
Semarang dan Purwodadi), Surabaya dan daerah sekitarnya membentuk Gerbang
Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan),
Maminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa/Gowa dan Takalar).
Kerjasama antar daerah meliputi berbagai skema sangat luas. Mulai dari
kerjasama bersifat mikro (misalnya penempatan TPA sampah di daerah lain),
transfer fiskal antar daerah (telah ada contoh, misalnya antara Denpasar dan
Kabupaten Badung dengan beberapa daerah disekitarnya, hal ini disebabkan oleh
kesadaran eksternalitas ekstra yurisdiksi kegiatan pariwisata), kerjasama ekonomi
antar daerah (misalnya kasus kerjasama antar provinsi se-Sumatra), hingga
kerjasama tata pemerintahan antar daerah (misalnya pembentukan Supra DPRD,
asosiasi Kepala Daerah dengan tingkat koordinasi dan kewenangan tertentu)
Kerjasama-kerjasama antar daerah seperti ini perlu terus didorong agar
mempercepat pencapaian cita-cita otonomi daerah yang sekarang sedang
dilaksanakan.
172
Kerjasama antar daerah dilakukan dengan prinsip efisiensi, efektifitas,
sinergi dan saling menguntungkan, dimana objek kerjasama antar daerah meliputi
seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom.
Dengan memperhartikan karakteristik dan permasalahan daerah-daerah
kabupaten/kota di Kapet Bima, maka tiga kabupaten/kota ini dapat melakukan
kerjasama dibidang :
(1) Transportasi/perhubungan. Letak geografis daerah-daerah di Kapet Bima
cenderung menyebar dan terpisah, seperti Kecamatan Wera, Ambalawi,
Wawo, Sape dan Lambu Kabupaten Bima yang harus melewati Kota Bima
sedangkan Kecamatan Sanggar dan Tambora harus melewati Kabupaten
Dompu. Demikian pula keberadaan Kecamatan Kilo untuk menuju Ibu Kota
Kabupaten Dompu maka harus melewati Kecamatan Sanggar Kabupaten
Bima. Tiga kabupaten/kota ini berada pada satu jalur transportasi jalan
negara, sedangkan di sisi lain keberadaan Bandara Udara tersedia di
Kabupaten Bima dan Pelabuhan Laut skala regional berlokasi di Kota Bima
yang digunakan oleh berbagai daerah di Pulau Sumbawa, sehingga berbagai
hal tersebut dapat menjadi pertimbangan pola kerjasama terkait perijinan
dan pengelolaan serta pemanfaatan infrastruktur transportasi/perhubungan
ini.
(2) Pengelolaan sumber daya hutan dan wilayah perbatasan. Terdapat beberapa
kawasan hutan dan wilayah perbatasan antar daerah kabupaten/kota di Kapet
Bima, antara lain Kawasan Hutan Gunung Tambora antara Kabupaten Bima
dan Dompu. Kawasan Hutan Gunung Tambora memiliki kekayaan aneka
ragam sumber daya hayati, namun kerusakan kawasan hutan Gunung
Tambora ini sudah mencapai tingkat yang mengkuatirkan. Demikian juga
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menuju Teluk Bima, dimana yang
menjadi daerah hulu adalah Kecamatan Ambalawi dan Wawo Kabupaten
Bima, sedangkan yang menjadi daerah hilir adalah Kota Bima. Pengelolaan
dan pemanfaatan (DAS) yang tidak terarah, pendekatan penataan ruang yang
belum dilakukan secara terpadu serta makin berkurangnya daerah resapan
air telah menyebabkan banjir besar di Kota Bima pada tahun 2006 yang lalu.
Berbagai hal tersebut menjadi alasan penting bagi perlunya pengelolaan
173
kawasan hutan dan wilayah perbatasan secara bersama, terpadu, dan
berkelanjutan.
(3) Pengelolaan pesisir dan kelautan. Antara lain Teluk Bima yang
keberadaannya di Kabupaten Bima dan Kota Bima, Teluk Sanggar dan
Teluk Ombo merupakan wilayah Kabupaten Bima dan Dompu.
(4) Pengelolaan air bersih dan energi kelistrikan, antara Kabupaten Bima, Kota
Bima dan Kabupaten Dompu
(5) Pengembangan kegiatan ekonomi, industri dan perdagangan. Dibutuhkan
pengembangan industri pengolahan perikanan, pertanian dan peternakan
serta sumber daya alam masing-masing kabupaten/kota untuk meningkatkan
efisiensi dan skala ekonomi pada tingkat regional yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kegiatan eksport kawasan baik di Kabupaten Bima, Dompu
dan Kota Bima.
(6) Pengembangan sosial budaya dan pariwisata. Kabupaten Bima, Dompu dan
Kota Bima merupakan satu kesatuan komunitas sosial budaya ”Suku
Mbojo” yang memiliki keadaan sosial dan nilai budaya yang secara
generalnya relatif sama, dan di sisi lain memiliki keragaman dan kekayaan
budaya dan objek pariwisata. Potensi sosial budaya dan pariwisata ini perlu
dibuatkan paket promosi dan pengembangan yang dilaksanakan secara
bersama dan terpadu, karena memiliki peluang pasar yang besar dan
menawarkan banyak pilihan wisata bagi turis domestik maupun
mancanegara.
Kerjasama antar daerah yang dilakukan dalam jangka panjang
membutuhkan suatu institusi penyelenggara kerja sama yang dapat berbentuk
badan kerja sama. Badan kerja sama dibentuk pada setiap bidang kerja sama,
dimana pembentukan dan susunan organisasi badan kerja sama sebaiknya
ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala Daerah sehingga memiliki
kekuatan hukum yang tetap. Penyelenggaraan kerjasama antar daerah
kabupaten/kota dapat difasilitasi oleh Gubernur, baik karena keberadaannya
sebagai Kepada Pemerintah Daerah Propinsi (kewenangan dalam bentuk
desentralisasi dan dekonsentrasi, pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2004) maupun
karena kewenangannya mengkoordinir fasilitasi lintas pemerintah daerah
174
kabupaten/kota dalam lingkup daerah propinsi (pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal
17 dan pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2004).
Perubahan kebijakan pemerintah pusat terkait keberadaan Kapet dan
pengelolaannya seperti yang tertuang dalam Keppres Nomor 150 Tahun 2000,
berimbas pada kelembagaan dan pengelolaan Kapet yang tidak jelas. Karena
struktur hirarki Tim Teknis dan Badan pengelola yang cenderung mengambang
dan kewenangannya hanya memberikan pertimbangan teknis bagi pemberian
perijinan investasi, padahal secara hirarki, kelembagaan pada level yang semakin
rendah, maka fungsi-tugasnya harus lebih teknis-operasional dan jelas. Dengan
memperhatikan berbagai permasalahan dan kebutuhan pengembangan wilayah di
atas, maka reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima dapat didorong untuk
melaksanakan fungsinya sebagai Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) di
bidang pengembangan ekonomi, industri dan perdagangan.
Tugas Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) diarahkan untuk
melakukan kajian, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi atas pelaksanaan kerja
sama. Sehingga Badan Kerjasama Antar Daerah (Bakesda) dapat memberikan
masukan atau saran secara lebih efektif kepada kepada masing-masing Kepala
Daerah mengenai kebijakan dan program pengembangan wilayah pada bidang
kerja sama dimaksud.
Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) didalam penyelenggaraan
kerja sama perlu menyusun program kerja baik untuk periode jangka pendek (satu
tahun) maupun untuk jangka menengah dan panjang. Program kerja tersebut
terintegrasi dengan program pembangunan wilayah masing-masing daerah
sehingga segala pembiayaan dan pendapatan daerah sebagai akibat kerja sama ini
dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
sebelumnya telah dikonsultasikan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) masing-masing. Selain itu pembiayaan dapat pula diusahakan
melalui pembiayaan APBD Propinsi, APBN dan atau dari pihak ketiga.
Pasal 195 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan
bahwa dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan
pihak ke tiga yang dapat berbentuk perusahaan swasta yang berbadan hukum,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
175
koperasi, yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya. Objek kerja sama antara
lain pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) dan dukumen lainnya,
pengembangan dan pendampingan usaha tani, penyediaan kredit usaha kecil dan
menengah, pengembangan klaster atau kawasan sentra produksi, serta kerja sama
lainnya.
Kebijakan otonomi daerah yang mendorong dan memberikan peluang
kepada daerah-daerah di Kapet Bima untuk mengelola sumber daya wilayahnya
adalah sabagai peluang untuk bekerja sama dengan daerah atau pihak lain dengan
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah itu
sendiri. Kegiatan promosi juga perlu didorong melalui pameran/expo, kampanye,
serta pemanfaatan media massa dan internet sehingga informasi tentang berbagai
keunggulan dan kekayaan berbagai sumber daya wilayah dapat diketahui dan
direspon oleh pihak atau daerah lain yang pada akhirnya akan melahirkan
transaksi dan kerjasama/kemitraan.
Untuk mendukung promosi dan kerjasama, maka yang tidak kalah
pentingnya adalah penciptaan image suatu produk suatu wilayah. Dibutuhkan
promosi dan kerjasama yang yang efektif untuk membangun pencitraan komoditi
dan wilayah yang didukung oleh pengembangan mutu dan ciri produk yang khas
(varietas/spesifik lokal) sehingga dapat membentuk trade mark Kapet Bima.
b. Pengembangan Sosial Ekonomi Perdesaan
Sebagian besar wilayah di Kapet Bima bercirikan agraris dan perdesaan,
dengan topografi yang berbukit dan berupa pegunungan dengan kemiringan lahan
yang agak curam dan curam (luas wilayah yang memiliki kemiringan 15-40o =
35.56 % dan > 40o = 32.24 %), sehingga memiliki faktor kesulitan yang relatif
tinggi untuk menghubungkan antar wilayah melalui prasarana jalan yang di
bangun serta dalam membangun jaringan irigasi untuk mendukung kegiatan
pertanian. Arah pergerakan dan sebaran penduduk tidak menyebar merata tapi
membentuk pola linear dan melingkar karena permasalahan topografi yang
berbukit disamping mengikuti arah perkembangan wilayah yang terpusat dan
mengikuti sekitar jalur jalan raya negara.
176
Daerah-daerah belakang Kapet Bima bagian utara, selatan dan barat secara
relatif kurang berkembang dibandingkan daerah di pusat wilayah (Kota Bima) dan
daerah disekitar jalan negara (jalan arteri). Di bagian utara terdapat Kecamatan
Wera, Ambalawi, Donggo Kabupaten Bima, dan Kilo Kabupaten Dompu. Di
bagian selatan, Kecamatan Huu, Pajo Kabupaten Dompu dan Kecamatan
Langgudu Kabupaten Bima. Sedangkan Bagian Barat adalah Kecamatan Sanggar
dan Tambora Kabupaten Bima, Kecamatan Kempo, dan Pekat Kabupaten Dompu.
Daerah-daerah belakang ini memiliki kekayaan sumber daya alam.
Untuk mengembangan kondisi sosial ekonomi perdesaan maka dibutuhkan
beberapa strategi pengembangan wilayah, yakni : (1) Pengembangan infrastruktur
sosial ekonomi perdesaan; (2) Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha
masyarakat desa; (3) Pemberdayaan KUKM serta lembaga lokal lainnya; dan
(4) Pengembangan pusat pertumbuhan/ pelayanan di daerah hinterland.
Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan ditujukan untuk
meningkatkan derajat kesejahteran masyarakat. Peningkatan tingkat pendidikan,
kesehatan, dan kebutuhan dasar penduduk diperdesaan akan dapat mendorong
produktivitas masyarakat yang pada akhirnya dapat menggerakkan perekonomian
wilayah serta memiliki daya saing atau kemampuan berkompetisi dengan daerah
lainnya.
Secara relatif, Struktur penduduk Kapet Bima dominan berusia produktif
(59.21 %), dengan tingkat partisipasi dan tingkat pendidikan di Kapet Bima lebih
tinggi dari pada Propinsi NTB, dimana yang tidak/belum pernah sekolah di Kapet
Bima adalah sebanyak 9.11 % sedangkan Propinsi NTB sebanyak 10.57 %.
Penduduk Kapet Bima yang mencapai tingkat pendidikan SMP ke atas adalah
39.02 %, di atas rata-rata Propinsi NTB yang baru mencapai 28.46 %, namun
tingkat pendidikan yang diharapkan adalah outcome-nya dapat memanfaatkan
potensi sumber daya khususnya di perdesaan. Untuk itu dibutuhkan pendidikan-
pendidikan informal dan sekolah-sekolah kejuruan yang berbasis sumber daya
lokal (sekolah kejuruan pertanian, peternakan, perikanan, industri, ekonomi, dan
lainnya) yang tersedia di tingkat perdesaan sehingga akan terjadi alih pengetahuan
dan teknologi yang mendorong modernisasi di tingkat perdesaan.
177
Untuk mendukung aktivitas sosial ekonomi perdesaan, maka diperlukan
peran lembaga koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (UKMK) serta
lembaga-lembaga lokal lainnya. Peningkatan kapasitas lembaga dan usaha sosial
ekonomi perdesaan, dapat dilakukan melalui pendampingan manajemen usaha,
kemitraan dan perkuatan permodalan.
Perkuatan lembaga-lembaga perdesaan tidak berarti meninggalkan nilai-
nilai setempat/kearifan lokal. Nilai-nilai tersebut dapat diadopsi mulai dari
pembentukan kelompok dan pemilihan pengurus dengan kriteria kepemimpinan
”nggusu waru”, penanaman jiwa kepemimpinan ”katohompara wekiku sura dou
mari na labo dana”, prinsip pengambilan keputusan ”nggahi ra sama kai”,
penanaman prinsip kerja ”nggahi rawi pahu” dan nilai-nilai pengendalian ”majo
labo dahu” serta kearifan budaya lainnya.
Berkembangnya infrastruktur dan aktivitas sosial dan ekonomi dengan
karakteristik spesifik masing-masing wilayah wilayah (sebagai keunggulan
komparatif wilayah) akan meningkatkan interaksi dan transaksi dengan wilayah
lainnya. Untuk mendorong pertumbuhan wilayah serta meningkatkan efisiensi
usaha dalam skala ekonomi tingkat wilayah maka perlu dibangun pusat-pusat
pertumbuhan sekaligus sebagai pusat pelayanan pedesaan di daerah hinterland.
Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di daerah hinterland
memungkinkan untuk dilakukan, karena di daerah sekitarnya sudah terbentuk pula
pusat pertumbuhan/pelayanan yang dapat mendukung atau mendorong daerah
hinterland. Disamping itu pula sekitar 89.42 % kebutuhan hidup dan usaha
penduduk Kapet Bima saat ini cukup tersedia dalam kabupaten masing-masing,
walaupun produk-produk hasil kegiatan industri sebagian besar didatangkan dari
Surabaya dan Makasar, sehingga kebutuhan hidup dan usaha masyarakat
perdesaan dapat dipenuhi melalui suply barang jasa tersebut ke pusat pelayanan
daerah hinterland-nya.
Pengembangan wilayah dan pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di
daerah-daerah belakang dapat meningkatkan akselarasi pertumbuhan ekonomi
secara agregat di tingkat reginal (Kapet Bima) serta dapat mengurangi
kesenjangan antar wilayah. Tingginya kesenjangan antar wilayah dapat
mendorong perpindahan penduduk (migrasi) secara berlebihan akibat alasan
178
ekonomi atau daya tarik lainnya (infrastruktur pendidikan, perdagangan dan
industri, lapangan pekerjaan dan pendapat yang lebih tinggi), hal ini
mengakibatkan makin berkurangnya ketersediaan tenaga kerja di sektor
pertanian/perdesaan dan dapat mendorong kemandekan ekonomi secara jangka
panjang.
c. Pengembangan Sektor Unggulan dan Optimalisasi Sumber Daya Lahan
Kering dan Pesisir/Kelautan
Pertumbuhan ekonomi Kapet Bima sebesar 4.45 % di atas pertumbuhan
Propinsi NTB yang hanya mencapai 3.64 %, sedangkan Total PDRB Kapet Bima
mencapai Rp.2.61 trilyun, dengan kontribusi 46.31 % berasal dari sektor
pertanian, namun struktur perekonomian masih bertumpu pada sektor pertanian
khususnya pada subsektor tanamanan bahan makanan (pangan dan hortikultura)
sedangkan luas lahan basah mengalami keterbatasan dan tingkat produksi akan
mengalami tingkat kejenuhan.
Secara umum ketersedian lahan masih cukup luas untuk pengembangan
pertanian, industri dan pengembangan kawasan terbangun lainnya. Luas lahan
kering mencapai 94.68 % (termasuk di dalamnya hutan negara dengan luas
mencapai 55.80 %). Di sisi lain, luas lahan kritis semakin terus meningkat, yang
berkorelasi pula dengan banyaknya pengelolaan lahan dan hutan yang belum
dilaksanakan secara optimal baik untuk tujuan ekonomi maupun ekologi.
Sedangkan luas lautan mencapai 12,180.96 Km2 (63.77 % dari total luas wilayah
Kapet Bima) juga pemanfaatannya masih dilakukan secara terbatas. Ketersediaan
lahan dan perairan dapat dimanfaatkan secara lebih optimal dengan
mengembangkan atau mengusahakan komoditi-komoditi unggulan.
Sektor unggulan merupakan sektor yang dapat berperan sebagai penggerak
utama pertumbuhan ekonomi wilayah. Perkembangan ekonomi regional terjadi
melalui pertumbuhan sektor ekonomi unggulan serta adanya diversifikasi dan
keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya.
Berdasarkan peringkat keunggulan sektor, maka yang menjadi sektor
unggulan I (total skor = 3) adalah : tanaman bahan makanan dan industri
pengolahan non migas; Sektor unggulan II (total skor = 2) adalah : Peternakan dan
179
hasilnya, Perikanan, bangunan, perdagangan besar dan eceran, angkutan, bank dan
lembaga keuangan bukan bank serta sektor jasa pemerintahan umum; Sektor
unggulan III adalah (total skor = 1) : kehutanan, listrik, air bersih, hotel dan
restoran, pos dan telekomunikasi, dan jasa swasta; sedangkan unggulan IV (total
skor = 0) adalah : tanaman perkebunan, penggalian dan sewa bangunan dan jasa
perusahaan.
Agar sektor unggulan dan pemanfaatan sumber daya lahan kering dan
perairan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah di
Kapet Bima, dibutuhkan strategi pengembangan wilayah sebagai berikut :
(1) Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agrobisnis dan agroindustri;
(2) Optimalisasi sumber daya pesisir dan kelautan melaui kegiatan penangkapan
dan budidaya; (3) Pengembangan sumber daya lahan kering melalui usaha tani
lahan kering, industri dan perdagangan; (4) Pengembangan industri pengolahan
berbasis sumber daya lokal baik pada sektor hulu maupun hilir;
(5) Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan pendukung.
Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agroindustri dan
agribisnis merupakan suatu strategi yang dapat meningkatkan keterkaitan sektor
unggulan dengan sektor lainnya. Pengembangan sektor unggulan dengan
memperhatikan sektor hulu, seperti pengadaan faktor produksi, sampai pada
kegiatan sektor hulu, pengolahan, pengemasan dan pemasaran yang dilakukan
secara terpadu, serta didukung oleh ketersediaan lembaga pendamping/
penyuluhan, lembaga keuangan serta kegiatan penelitian untuk alih teknologi
berbasis sumber daya lokal akan dapat mendorong peningkatan produksi dan
produktivitas, efisiensi dengan skala usaha yang lebih besar, sehingga sektor
unggulan di Kapet Bima dapat memiliki keunggulan komparatif (sebagai sektor
basis) dan keunggulan kompetitif (berdaya saing) terhadap wilayah lainnya.
Sektor-sektor unggulan seperti tanaman bahan makanan, peternakan, dan
perikanan adalah sektor-sektor primer, sektor yang memiliki keterkaitan langsung
dengan sumber daya lahan dan air (sumber daya alam). Sektor-sektor ini
merupakan sektor basis, yang memiliki pemusatan kegiatan yang tinggi serta
merupakan sektor eksport unggulan di Kapet Bima, namun kegiatan usaha sektor
180
ini, perlu didorong agar aktivitas ekonominya memiliki keterkaitan yang tinggi
dengan sektor lainnya.
Industri pengolahan non migas dan perdagangan besar dan eceran adalah
sektor yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan aktivitas usaha sektor
lainnya, namun sektor-sektor ini memiliki aktivitas dan volume usaha yang relatif
masih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Propinsi NTB. Berbagai
faktor produksi usaha (hulu) masih banyak yang didatangkan dari luar kawasan,
seperti pakan ikan/ternak, ayam broiler, pupuk dan obat-obatan pertanian, alat dan
mesin usaha perikanan/pertanian, sedangkan kegiatan industri di sektor hilir juga
masih rendah. Karena komoditi yang dijual pada umumnya masih produk mentah
dan setengah jadi.
Sektor-sektor industri pengolahan, bank dan lembaga keuangan non bank
serta perdagangan memiliki kemampuan untuk menggerakkan sektor lainnya
karena memiliki keterkaitan kedepan dan atau kebelakang yang kuat dengan
sektor lainnya, namun perlu ditingkatkan jumlah usaha dan kelembagaannya, serta
nilai produktivitasnya dengan berbasis (keunggulan) produk spesifik lokal.
Sektor-sektor unggulan primer masih bisa dikembangkan lebih besar pada
lahan (lahan kering) dan peraiaran yang masih sangat luas. Selain untuk
pengusahaan sektor pertanian, pada lahan kering dapat pula diusahan sektor
unggulan non pertanian, yakni sektor industri pengolahan dan perdagangan.
Saat ini lahan kering baru sebagian kecil dimanfaatkan untuk usaha
peternakan (pelepasan ternak) dan perkebunan, sedangkan sebagian besar lainnya,
masih sebagai lahan tidur, belum diusahakan sama sekali. Ketersediaan air yang
terbatas dan tingginya biaya usaha tani adalah menjadi alasan sulitnya berusaha
tani lahan kering. Pengusahaan kegiatan usaha tani yang mencirikan usaha tani
lahan kering serta kegiatan non pertanian dapat mengeliminir permasalahan
dimaksud.
d. Pengembangan Infrastruktur Transportasi dan Perdagangan Skala
Regional
Secara faktual, Kota Bima merupakan kota penting di Nusantara khususnya
di kawasan timur, terutama dalam hubungan wilayah dan percaturan dagang
181
regional. Posisi dan peranannya yang penting ini didukung oleh letaknya yang
strategis. Bima menjadi kota jangkar yang menghubungkan antara Kawasan
Indonesia Barat (Jawa) dengan Sulawesi dan kepulauan – kepulauan di Kawasan
Indonesia Timur lainnya. Setiap armada dagang yang berlayar di perairan Selat
Sunda ke timur umumnya melakukan transit di Pelabuhan Bima, baik dalam
rangka mengembangkan perdagangan maupun sekedar untuk berlindung dari
serangan badai angin barat. Selain itu Kapet Bima berada dalam jalur segi tiga
emas pariwisata Indonesia (Bali-Pulau Komodo-Tanah Toraja) dan Berdasarkan
kajian sejarah, kerajaan di Kapet Bima telah cukup lama berinteraksi dengan
daerah lain di Nusantara maupun internasional
Kapet Bima memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap berbagai kawasan
strategis lainnya. Aktifitas sosial ekonomi kota dihubungkan secara rutin dan
lancar oleh sarana/prasarana transportasi darat, laut dan udara. Melalui darat,
tersedia 2 terminal utama (yakni terminal Dara Kota Bima dan terminal Ginte
Kabupaten Dompu) dan dua sub terminal dengan dukungan ± 76 armada Bus
antar kota dan antar pulau (ke Lombok, Bali dan Jawa). Melalui laut, didukung
oleh pelabuhan laut Kota Bima dan armada kapal ferry dan PELNI yang cukup
intensif ke berbagai pelabuhan yaitu Tanjung Perak, Ujung Pandang, Labuhan
Bajo, Kupang dan Maumere. Di Kapet Bima terdapat 5 (lima) buah pelabuhan
yaitu pelabuhan laut di Teluk Bima, pelabuhan penyeberangan di Kecamatan
Sape, pelabuhan Waworada di Langgudu, ketiganya di Kabupaten Bima, dan
pelabuhan laut di Calabai dan Kempo (Kabupaten Dompu). Untuk mewujudkan
Kapet Bima sebagai pusat perdagangan yang maju, maka Pelabuhan Laut Bima
yang merupakan pintu gerbang ke Kapet Bima perlu dikembangkan sehingga
memenuhi syarat untuk disinggahi kapal-kapal nusantara maupun mancanegara.
Demikian pula pelabuhan penyeberangan Sape perlu dikembangkan untuk
mendukung interaksi spasial skala regional.
Untuk sistem transportasi udara, Bandara Udara M. Salahuddin di kota
Bima merupakan salah satu simpul transportasi udara nasional, yang
pelayanannya meliputi beberapa wilayah yang menghubungkan antara bandar
udara utama dan kedua, yakni dengan pesawat udara jenis F27, F100 dan B737
ke Mataram, Denpasar, Surabaya dan Jakarta setiap hari serta ke NTT.
182
Memperhatikan peran dan keberadaan Kapet yang memnghubungkan
pusat-pusat pertumbuhan Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia
Timur, maka dipandang perlu untuk meningkatkan infrastruktur transportasi dan
perdagangan skala regional. Peningkatan hubungan intra dan inter regional di
Kapet Bima melalui pengembangan prasarana dan sarana transportasi dan
perdagangan mendorong mobilitas sumber daya dan kerja sama antar wilayah
yang optimal dan berimbang.
Untuk mendukung promosi dan keberlanjutan kegiatan perdagangan juga
perlu didukung dengan pengadaan gudang, cold storage dan etalase khususnya
untuk komoditi unggulan baik dalam kawasan maupun di daerah-daerah pasar
potensial luar kawasan. Pengadaan gudang, cold storage dan etalase komoditi
dapat menciptakan pencitraan komoditi yang baik, menjaga/mengendalikan
tingkat harga yang layak serta dapat meningkatkan daya saing komoditi dari
Kapet Bima. Kegiatan ini dapat melibatkan pihak perbankan dan swasta/kadin.
VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah
di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kapet Bima memiliki beragam potensi sumber daya dalam pengembangan
wilayah. Kabupaten Bima dan Dompu memiliki karakteristik sebagai daerah
pertanian dan perdagangan sedangkan Kota Bima dengan karakteristik sebagai
kota jasa dan perdagangan. Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang terus
meningkat (rata-rata 4.45 % pertahun atas dasar harga konstan dan 12.16 %
atas dasar harga berlaku) di atas pertumbuhan ekonomi propinsi, dapat
menjadikan kawasan ini sebagai prime mover bagi pertumbuhan wilayah
sekitarnya, namun di sisi lain, ketersedian infrastruktur sosial ekonomi relatif
terbatas dan kurang merata, disamping belum optimalnya pengelolaan lahan
kering, kawasan pesisir dan kelautan, serta masih lemahnya komunikasi dan
koordinasi antar pelaku pembangunan kawasan sehingga orientasi dan
kepentingan pembangunan masih bersifat parsial.
2. Sektor yang memiliki tingkat keunggulan paling tinggi di Kapet Bima (Skor
keunggulan = 3) adalah sektor tanaman bahan makanan dan industri
pengolahan non migas. Sektor tanaman bahan makan merupakan sektor basis
(LQ-PDRB > 1) dengan output ekonomi yang paling tinggi yakni sebesar
Rp.1.02 trilyun serta memiliki daya dorong yang tinggi terhadap sektor
lainnya. Sedangkan kegiatan industri pengolahan non migas juga merupakan
sektor yang memiliki output ekonomi yang tinggi serta memiliki tingkat
keterkaitan yang tinggi baik kedepan maupun kebelakang dengan sektor
lainnya, sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap total
pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor unggulan kedua (skor keunggulan = 2)
adalah peternakan dan hasilnya, perikanan, bangunan, perdagangan besar dan
eceran, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank serta sektor jasa
pemerintahan umum. Sektor-sektor ini memenuhi dua dari tiga indikator
keunggulan sektor
184
3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari
pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan gambaran
sebagai berikut :
a. Penduduk di Kapet Bima melakukan perjalan untuk memenuhi
berbagai kebutuhan sosial maupun ekonomi. Sekitar 88.50 % kebutuhan
penduduk dapat dipenuhi dalam kawasan (intra regional) sedangkan
sisanya 11.50 % dipenuhi dari luar kawasan (inter regional).
Hubungan Interregional Kapet Bima secara garis besar melalui tiga
jaringan transportasi, yaitu darat, udara dan laut. Melalui jaringan
transportasi darat, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah
lain di Propinsi NTB, Bali, Jatim, Jateng, Yogyakarta, DKI Jakarta dan
Banten. Melalui jaringan transportasi udara, Kapet Bima dominan
berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Propinsi NTT,
Bali, Jatim, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi laut,
Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi
NTB, NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Selatan.
b. Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut terlihat bahwa
dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus
penumpang dari Kapet Bima, secara sigifikan dipengaruhi oleh
pertumbuhan ekonomi wilayah daerah tujuan (b = 0.82) dan menurun
seiring dengan makin jauh jarak antar wilayah (c = -2.68), sedangkan arus
barang dari Kapet Bima secara signifikan menurun seiiring dengan
peningkatan jumlah penduduk (b = -0.50) dan PDRB wilayah tujuan
(b = -0.31).Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima
ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah asal (b = 0.64) dan
menurun seiring dengan makin jauhnya jarak wilayah tersebut dengan
Kapet Bima (c = -2.31). sedangkan arus barang menuju Kapet Bima secara
signifikan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Kapet
Bima (b = 39.98) dan jarak antar wilayah (c = 93.74), namun menurun
seiring peningkatan jumlah penduduk daerah asal (a = -66.15). Fenomena
ini menunjukkan bahwa dinamika sosial (yang ditunjukkan dengan arus
185
penumpang) di Kapet Bima lebih tinggi dari pada dinamika ekonomi
(yang ditunjukkan dengan arus barang).
c. Dalam interaksi wilayah secara nasional, Kapet Bima memegang peranan
cukup penting karena merupakan salah satu simpul jaringan transportasi
penyeberangan lintas selatan dan terhubung dengan daerah-daerah yang
berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Kawasan Indonesia Barat
dan Timur. Sedangkan dalam kajian sejarah Kapet Bima juga melakukan
hubungan internasional khususnya dengan Negara-Negara Timur Tengah.
Keberadaan Kapet Bima tersebut memiliki posisi strategis dalam
hubungan intra-interregional, serta memberikan dampak pada
perkembangan sosial, ekonomi dan politik wilayah.
4. Dalam menyusun strategi pengembangan wilayah Kapet Bima, maka
digunakan analisis stakeholders, analisis hirarki proses, analsis SWOT serta
disintesakan (kolaborasi) dengan analisis sebelumnya. Adapun rumusan
strategi umum pengembangan wilayah Kapet Bima sebagai berikut :
a. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi, yakni
meliputi :
- Pengembangan kerjasama antar kabupaten/kota dalam Kapet Bima.
Peluang kerja sama yang dapat dilakukan adalah pada bidang
transportasi/perhubungan, pengelolaan sumber daya hutan dan wilayah
perbatasan, pengelolaan pesisir dan kelautan, pengelolaan air bersih
dan energi kelistrikan, pengembangan kegiatan ekonomi, industri dan
perdagangan serta pengembangan sosial budaya dan pariwisata.
- Promosi dan kerjasama intra-interregional.
- Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima.
- Perencanaan dan penganggaran pembangunan wilayah Kapet Bima
secara reguler pada jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
b. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan, yakni meliputi :
- Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat
perdesaan
- Pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) serta
lembaga lokal lainnya
186
- Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan
- Pengembangan pusat pertumbuhan/pelayanan di daerah hinterland.
c. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan
kering dan pesisir/kelautan, yakni meliputi :
- Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan
pendukung
- Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agribisnis dan
agroindustri
- Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik di
sektor hulu maupun di hilir
- Pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan
- Pengembangan sumber daya lahan kering melalui melalui usaha tani
lahan kering, industri dan perdagangan
d. Pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional
6.2. Saran
Sehubungan dengan kesimpulan di atas, berikut ini disampaikan beberapa
saran berkenaan dengan kebijakan pemerintah dan pengembangan studi ke depan,
yakni sebagai berikut :
1. Potensi berbagai sumber daya wilayah potensial di Kapet Bima, khususnya di
sektor pertanian cukup tinggi dan diusahakan oleh sebagian besar masyarakat
di Kapet Bima, namun pengelolaannya masih sederhana dan bersifat
tradisional. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu melakukan
pembinaan/pendampingan dengan melibatkan stakeholders lainnya terutama
pada kegiatan agribisnis subsistem pascapanen dan pemasaran sehingga
petani atau masyarakat mendapatkan nilai tambah (value added) produk yang
berkorelasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya. Selain itu
juga perlu dioptimalkan pemanfaatan sumber daya buatan, pariwisata, sumber
daya hayati, sumber daya sosial dan nilai budaya dalam pengembangan
wilayah secara terpadu.
187
2. Peningkatan keterkaitan antar sektor dan pengembangan sektor unggulan
dapat memberikan dampak pengganda yang besar bagi pengembangan
wilayah, untuk itu perlu diperhatihan beberapa hal sebagai berikut :
a. Dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dibutuhkan suatu kebijakan
yang strategis bagi total pertumbuhan wilayah, untuk itu perlu
diprioritaskan pengembangan sektor unggulan dengan meningkatkan
produktivitas, melalui investasi dan pengembangan teknologi khususnya
usaha tani lahan kering (pertanian lahan kering, peternakan, perkebunan
dan tanaman industri/kehutanan), membangun industri baik industri hulu,
pengadaan sarana produksi yang terjangkau, industri hilir/pengolahan yang
dapat meningkatkan keterkaitan antar sektor serta dengan meningkatkan
daya saing sektor unggulan tersebut.
b. Dibutuhkan promosi dan kerjasama yang yang efektif untuk membangun
pencitraan komoditi dan wilayah yang didukung oleh pengembangan mutu
dan ciri produk yang khas (varietas/spesifik lokal) sehingga dapat
membentuk image dan trade mark komoditi unggulan Kapet Bima. Selain
itu untuk mendukung promosi dan keberlanjutan kegiatan perdagangan di
butuhkan pengadaan gudang, cold storage dan etalase khususnya untuk
komoditi unggulan baik dalam kawasan maupun di daerah-daerah pasar
potensial luar kawasan. Pengadaan gudang, cold storage dan etalase
komoditi dapat menciptakan pencitraan komoditi yang baik,
menjaga/mengendalikan tingkat harga yang layak serta dapat
meningkatkan daya saing komoditi dari Kapet Bima. Kegiatan ini dapat
melibatkan pihak perbankan dan swasta/kadin.
3. Interaksi spasial intra dan inter regional perlu ditingkatkan untuk mendukung
pergerakan sumber daya yang optimal dan berimbang di Kapet Bima, untuk
itu perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
a. Peningkatan interaksi spasial intra dan inter regional melalui
pengembangan infrastruktur transportasi, meliputi peningkatan kapasitas
jalan raya, khususnya jalan negara yang dilalui oleh kendaraan besar dan
berat lintas propinsi, serta pengembangan pelabuhan laut dan udara yang
dapat melayani pada skala regional (daerah-daerah di Pulau Lombok,
188
Sumbawa dan NTT) dalam interaksinya dengan wilayah lain secara
nasional dan internasional sehingga memberikan dampak positif pada
perkembangan sosial, ekonomi wilayah.
b. Perkembangan wilayah yang cenderung mengikuti sepanjang jalan raya
negara dapat menciptakan pertumbuhan yang terpusat dan linear,
dampaknya mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dan fisik wilayah yang
lamban dan tidak merata. Untuk mengembangkan ekonomi daerah-daerah
hinterland (daerah pinggir) yang memiliki sumber daya alam yang besar,
maka pengelolaannya membutuhkan infrastruktur yang memadai. Untuk
itu perlu dikembangkan instalasi listrik yang dapat berupa energi listrik
alternatif dengan menggunakan sumber-sumber energi lokal khususnya
untuk mendukung home industri/indutri mikro-kecil dan menengah
diperdesaan. Selain itu juga perlu dibangun infrastruktur air bersih,
transportasi dan komunikasi serta pasar-pasar tingkat desa untuk
membantu kegiatan pemasaran komoditi lokal, sehingga terbentuk pusat-
pusat pertumbuhan baru yang berbasis sumber daya local di wilayah-
wilayah hinterland.
c. Alasan utama perpindahan penduduk dari desa/kelurahan di Kapet Bima
ke daerah lain adalah untuk melanjutkan pendidikan dan mencari
pekerjaan. Ketersediaan sekolah masih dirasakan terbatas. Perbandingan
jumlah sekolah dengan jumlah penduduk masih tinggi, karena itu perlu
dikembangkan lembaga pendidikan khususnya pendidikan kejuruan yang
dibangun di daerah pedesaan yang dibutuhkan dalam pengembangan
sumber daya setempat untuk meningkatkan SDM yang trampil di
perdesaan serta diharapkan secara signifikan dapat membuka lapangan
pekerjaan, hal ini dapat mengurangi migrasi keluar kawasan perdesaan di
Kapet Bima.
4. Untuk mendukung strategi pengembangan wilayah Kapet Bima, maka
beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Tiap stakeholders memiliki fungsi peran masing-masing dalam
pengembangan wilayah Kapet Bima, namun hubungan dan kerja sama
secara kelembagaan belum optimal. Sehingga berbagai stakeholders perlu
189
duduk bersama untuk menyusun kerangka kerja dan membangun
kemitraan efektif dalam suatu pola yang saling menguntungkan (win-win
solution) dalam berbagai kegiatan pengembangan sumber daya wilayah.
Untuk itu pemerintah daerah khususnya di tingkat kabupaten/kota perlu
menyiapkan perangkat kebijakan (misalnya Perda atau Peraturan
Bupati/Walikota) yang memberikan kemudahan atau insentif sehingga
dapat mendorong terjadinya kemitraan/keterlibatan khususnya pihak
swasta/perbankan.
b. Kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota dalam lingkup wilayah Kapet
Bima merupakan pilihan utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima
secara terpadu karena adanya permasalahan struktural, teknis dan
keterbatasan infrastruktur yang merupakan kendala utama dalam kegiatan
pembangunan. Selain itu alternatif lainnya adalah dengan melakukan
penggambungan daerah administratif. Hal ini sesuai dengan pasal 4
sampai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang
dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129
tahun 2000 yang sekarang sedang dalam proses revisi, namun alternatif
penggabungan beberapa daerah administratif dapat dilakukan apabila
adanya usulan dan persetujuan dari daerah yang bersangkutan dan
memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah. Berbagai pilihan
alternatif ini dalam pelaksanaannya harus melalui kajian yang lebih
mendalam sehingga tujuan peningkatan pelayanan kepada masyarakat
serta percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah secara
terpadu dapat diwujudkan.
c. Kerja sama antar daerah telah diamatkan dalam Undang-Undang 32 tahun
2004, khususnya pasal 195 dan 196, yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta efisiensi dan efektifitas dalam mengelola
pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya. Untuk
pengelolaan kerja sama ini daerah dapat membentuk Badan Kerja Sama
Antar Daerah (Bakesda). yang dibentuk sesuai dengan bidang kerja sama,
sehingga badan ini berjalan lebih fokus dan terarah.
190
d. BP Kapet Bima yang diharapkan sebagai ujung tombak pengembangan
wilayah Kapet Bima berjalan stagnan, karena kurang tegasnya fungsi dan
kewenangan BP Kapet sebagai lembaga pengelola pembangunan wilayah
di Kapet Bima, untuk itu keberadaan BP Kapet Bima perlu dilakukan
reposisi dan restrukturisasi, yang kelembagaannya dapat diarahkan sebagai
Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) dibidang pengembangan
Ekonomi, Industri dan Perdagangan.
e. Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) ini bertugas untuk melakukan
kajian, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi atas pelaksanaan kerja
sama. Sehingga Badan Kerjasama Antar Daerah (Bakesda) dapat
memberikan masukan atau saran secara lebih efektif kepada masing-
masing Kepala Daerah mengenai kebijakan dan program pengembangan
wilayah pada bidang kerja sama dimaksud.
f. Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) didalam penyelenggaraan
kerja sama perlu menyusun program kerja baik untuk periode jangka
pendek (satu tahun) maupun untuk jangka menengah dan panjang.
Program kerja tersebut terintegrasi dengan program pembangunan wilayah
daerah masing-masing sehingga segala pembiayaan dan pendapatan daerah
sebagai akibat kerja sama ini dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang sebelumnya telah dikonsultasikan dan
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masing-masing.
Selain itu pembiayaan dapat pula diusahakan melalui pembiayaan APBD
Propinsi, APBN atau dari pihak ketiga.
g. Pemerintah Daerah Propinsi NTB memiliki kewenangan yang lebih besar
dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, namun tingkat peran
(keterlibatan)nya relatif masih rendah. Untuk itu Pemerintah Daerah
Propinsi NTB perlu berperan lebih besar dengan menggunakan
kewenangan yang dimilikinya untuk pengembangan wilayah Kapet Bima,
baik sebagai jabatan Gubernur (Kepala Daerah Propinsi) yang secara
ad.interm selaku ketua BP Kapet Bima maupun selaku pimpinan
kelembagaan pemerintah yang bersifat otonom, yang memiliki
kewenangan dalam bentuk desentralisasi dan dekonsentrasi (pasal 1 UU
191
Nomor 32 Tahun 2004), yang melaksanakan fungsinya dalam mengelola
sumber daya wilayah lingkup propinsi, serta melakukan koordinasi dan
fasilitasi lintas pemerintah daerah kabupaten/kota dalam lingkup propinsi
(pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal 17 dan pasal 18 UU Nomor 32 Tahun
2004).
5. Penelitian ini mengkaji pengembangan wilayah di Kapet Bima masih pada
tingkat wilayah kabupaten/kota, sehingga kesimpulan dan rekomendasi masih
bersifat umum, untuk itu dibutuhkan penelitian lanjutan yang mengkaji
wilayah secara lebih mikro, minimal sampai pada kajian tingkat kecamatan,
sehingga kajian tipologi/karakteristik wilayah dan rekomendasi hubungan
fungsional dan kerja sama intra regional dapat ditentukan secara lebih
spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, A. 2001. Pembangunan Wilayah Perdesaan dengan Desentralisasi Spatial
melalui Pembangunan Agropolitan yang Mereplikasi Kota-Kota Menengah dan Kecil. Makalah disampaikan pada Pembahasan Proyek Perintisan pengembangan Perdesaan. Bogor.
Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Bogor :
P4Wpress. Anwar A, Rustiadi E. 2000. Perspektif Pembangunan Tata Ruang (Spatial)
Wilayah Pedesaan Dalam Rangka Pembangunan Regional. Bogor : Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pascasarjana, IPB.
Adisasmita R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Jakarta : Penerbit Graha
Ilmu . Azra A. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII. Bandung : Mizan. Badan Pusat Satatistik, 2000a. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output.
Jakarta : Badan Pusat Satatistik. Badan Pusat Satatistik, 2000b. Tekhnik Penyusunan Tabel Input-Output. Jakarta :
Badan Pusat Satatistik. Badan Pusat Statistik, 2006. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi-
Propinsi di-Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Satatistik. Badan Pusat Satatistik Bima, 2001. Kabupaten Bima Dalam Angka. Bima : Badan
Pusat Satatistik Bima. Badan Pusat Satatistik Bima, 2004. Kabupaten Bima Dalam Angka. Bima : Badan
Pusat Satatistik Bima. Badan Pusat Satatistik Bima, 2004. Kota Bima Dalam Angka. Bima : Badan Pusat
Satatistik Bima. Badan Pusat Satatistik Dompu, 2001. Kabupaten Dompu Dalam Angka. Dompu :
Badan Pusat Satatistik Dompu. Badan Pusat Satatistik Dompu, 2004. Kabupaten Dompu Dalam Angka. Dompu :
Badan Pusat Satatistik Dompu.
193
Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kabupaten Se-Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat.
Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2001. Propinsi Nusa Tenggara Barat
Dalam Angka. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat. Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004b. Propinsi Nusa Tenggara
Barat Dalam Angka. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat.
Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004c. Survey Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat.
Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004c. Tabel Input-Output (IO)
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat.
Bakry, L., 1999. Kontribusi Sektor Perikanan Terhadap Pengembangan Kawasan
Ekonomi Terpadu Pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah [Tesis]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.
BP Kapet Bima dan BPPT, 2000. Rencana Induk Kegiatan Kapet Bima.
Mataram : BP Kapet Bima. BP Kapet Bima dan Unram, 2003. Penyusunan Businis Plan Kapet Bima.
Mataram : BP Kapet Bima. BP Kapet Bima, 2004. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kapet Bima.
Mataram : BP Kapet Bima. Darwanto, H., 2004. Membangun Wilayah Yang Produktif. Jakarta : Bulletin
Bappenas. Dewi, P.S., 2003. Pengembangan Perekonomian Daerah Melalui Kerjasama
Perbankan Nasional Dengan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet). Studi Kasus : Kapet Pare-Pare Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.
Fu, C.L. 1981. Rural-Urban Relations and Regional Development. Diacu dalam
Kasikoen, K.A., 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan – Perdesaan Di Jawa Barat [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.
194
Garcia, J.G. 2000. Indonesia’s Trade and Price Interventions : Pro-Java and Pro-Urban. Bulletin of Indonesian Economic Studi 36 (3) : 993-112.
Glasson, J. 1974. An Introduction to Regional Planing. Diacu dalam Kasikoen,
K.A., 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan – Perdesaan Di Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.
Miyosi, 1997. Successes and Failures Associated With The Growth Pole
Strategies University of Manchester, Depatemen of Economic Studies. Hadi, S., 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Terhadap Disparitas
Ekonomi Antar Wilayah (Pendekatan Model Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi) [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.
Haeruman, H. et al. 2000. Kebijakan DP KTI Dalam pengembangan Kawasan
Timur Indonesia. Jakarta : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.
Hamzah M. 2004. Ensiklopedia Bima. Bima : Pemerintah Kabupaten Bima. Hagget, P., A.D. Clift dan A. Frey. 1997. Location Analysis in Human
Geography. Diacu dalam Rustiadi, E. Saefulhakim, S. Panuju, D.R. 2005. Perencanaan Pengembangan Wilayah [Diktat Kuliah]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.
Haruo, N. 2000. Regional Development in Third World Countries – Paradigms
and Operational Principles. The International Development Journal, Co. Ltd. Tokyo. Japan.
Hillway, T. 1956. Introduction To Research. Diacu dalam Nazir, M. 2003. Metode
Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Isard, W. 1975. Introduction to Regional Science. Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice-Hall. Kasikoen, K.A. 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan – Perdesaan Di Jawa Barat
[Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.
Lipton, M. 1977. Why Poor People Stay Poor. Gower Publishing Limited.
London. Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta : PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
195
Miyosi, 1997. Successes and Failures Associated With The Growth Pole Strategies dalam Kasikoen, K.A., 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan – Perdesaan Di Jawa Barat [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.
Murty, S. 2000. Regional Disparities: Need and Measures for Balances
Development (pp. 3-16). Paper in Regional Planning and Sustainable Development. Kanishka Publishers, Distributors. New Delhi.
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Paauw, D. S. and Fei, J. C. H. 1973. The transition in open dualistic economies,
Theory and Southeast Asian experience. New Haven: Yale University Press.
Pradhan, K. Pushkar. 2003. Manual for Urban Rural Linkage and Rural
Development Analysis. New Hira Books Enterprises. Kirtipur, Kathmandu.
Prasetya, H. 2000. Pengembangan Keterkaitan Antar Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (Kapet) di Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.
Prasetya, H. dan Hadi, A.R. 2000. Strategi Pengembangan Ekonomi Terpadu
(Kapet) di Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.
Pribadi, D.O., 2005. Pembangunan Kawasan Agropolitan Melalui Pengembangan
Kota-Kota Kecil, Menengah, Peningkatan Efisiensi Pasar Perdesaan dan Penguatan Akses Masyarakat Terhadap Lahan [Tesis]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.
Rondinelli, A.D. 1985. Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial
Dimensions of Development Policy. Westview Press / Boulder. London. Rustiadi, E. 2001. Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan.
Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Kebijakan dan Strategi pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan. Bogor.
Rustiadi, et. al. 2004. Studi Pengembangan Model dan Tipologi Kawasan
Agropolitan. Jakarta : Departemen Kimpraswil. Rustiadi, E. Saefulhakim, S. Panuju, D.R. 2005. Perencanaan Pengembangan
Wilayah [Diktat Kuliah]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.
196
Tim P4W-IPB. 2002. Penyusunan Arahan Strategi Pengembangan Inter-regional Berimbang. Jakarta : P4W IPB dan Bapenas.
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta : PT.
Pustaka Binaman Pressindo. Saefulhakim RS. 2003. Permodelan Wilayah [Diktat Kuliah]. Bogor : Program
Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB.
Smith, A. Carol. 1976. Regional Analysis, Volume I Economic System.
Department of Anthropology Duke University Durham. North Carolina. Sekretariat Negara RI. 1992. Undang-Undang Nomor 24 Tentang Penataan
Ruang. Jakarta : Sekretariat Negara RI. Sekretariat Negara RI. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tentang Pemerintahan
Daerah. Jakarta : Sekretariat Negara RI. Sekretariat Negara RI. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tentang Pemerintahan
Daerah, Pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Jakarta : Sekretariat Negara RI.
Tajib A. 1995. Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta : PT. Harapan Masa PGRI
Jakarta. Tambunan, T.TH. 2001. Perencanaan Indonesia – Teori dan Temuan Empiris.
Ghalia Indonesia. Jakarta.
198
Lampiran 2 Daftar Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Indonesia
NO. NAMA KAPET PROPINSI
1 SABANG DAERAH ISTIMEWA ACEH
2 NATUNA RIAU
3 SANGGAU KALIMANTAN BARAT
4 DASKAKAB KALIMANTAN TENGAH
5 BATULICIN KALIMANTAN SELATAN
6 SASAMBA KALIMANTAN TIMUR
7 PARE-PARE SULAWESI SELATAN
8 BATUI SULAWESI TENGAH
9 BUKARI SULAWESI TENGGARA
10 MANADO-BITUNG SULAWESI UTARA
11 BIMA NUSA TENGGARA BARAT
12 MBAY NUSA TENGGARA TIMUR
13 SERAM MALUKU
14 BIAK IRIAN JAYA
199
Lampiran 3 Daftar Desa Sampel dan Responden Penelitian di Kapet Bima
NO. NAMA DESA KECAMATAN KABUPATEN RESPONDEN (ORG)
1 SARAE RASANAE BARAT KOTA BIMA 2
2 PENARAGA RASANAE TIMUR KOTA BIMA 2
3 KOLO ASA KOTA KOTA BIMA 2
4 NARU SAPE KAB. BIMA 2
5 LANTA LAMBU KAB. BIMA 2
6 SAMBORI WAWO KAB. BIMA 2
7 NUNGGI WERA KAB. BIMA 2
8 DORO O'O LANGGUDU KAB. BIMA 2
9 TANGGA MONTA KAB. BIMA 2
10 SAMILI WOHA KAB. BIMA 2
11 RATO BOLO KAB. BIMA 2
12 CAMPA MADAPANGGA KAB. BIMA 2
13 BAJO DONGGO KAB. BIMA 2
14 PIONG SANGGAR KAB. BIMA 2
15 KANDAI DUA DOMPU KAB. DOMPU 2
16 MONTA BARU WOJA KAB. DOMPU 2
17 HUU HUU KAB. DOMPU 2
18 PEKAT PEKAT KAB. DOMPU 2
19 MALAJU KILO KAB. DOMPU 2
JMLH 19 19 3 38
200
Lampiran 4 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)
NO. LAPANGAN USAHA 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan 306,400.95 360,122.62 390,418.56 409,287.42
2 Pertambangan dan Penggalian 12,080.28 13,619.61 15,430.00 17,760.13 3 Industri Pengolahan 20,772.50 22,776.92 25,518.71 28,816.95 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,189.20 1,496.48 1,872.85 2,331.71 5 Bangunan 41,017.12 46,116.75 55,263.50 67,874.53 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 100,636.31 117,331.30 134,437.66 156,191.31 7 Pengangkutan dan Komunikasi 32,584.04 38,778.05 47,572.38 60,071.47 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Prsh 11,632.35 13,530.57 15,872.60 18,710.95 9 Jasa-Jasa 80,701.77 89,951.54 96,178.29 108,747.32
JUMLAH 607,014.52 703,723.84 782,564.55 869,791.79
201
Lampiran 5 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan 99,109.21 105,513.97 108,339.54 110,996.82
2 Pertambangan dan Penggalian 4,950.06 5,123.31 5,411.79 5,814.42 3 Industri Pengolahan 8,149.91 8,477.68 8,869.35 9,331.47 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 767.34 830.89 863.25 895.11 5 Bangunan 14,803.17 15,196.89 16,086.15 17,415.87 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 33,133.24 34,740.47 36,837.34 41,148.31 7 Pengangkutan dan Komunikasi 14,786.22 15,605.52 16,383.11 18,912.15 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Prsh 5,152.64 5,421.82 5,793.12 6,245.25 9 Jasa-Jasa 32,063.53 32,612.22 33,767.91 34,455.41
JUMLAH 212,915.32 223,522.77 232,351.56 245,214.81
202
Lampiran 6 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 503,854.49 588,686.65 640,599.14 699,795.25
2 Pertambangan Dan Penggalian 29,185.78 33,933.89 37,479.37 40,983.23 3 Industri Pengolahan 28,521.10 30,592.85 34,433.04 37,475.68 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,556.96 1,801.31 2,417.90 3,005.64 5 Bangunan 60,540.10 70,383.13 80,711.97 88,534.29 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 144,602.78 160,811.51 181,285.88 196,093.52 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 70,365.29 83,074.86 100,538.79 108,825.21 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9,162.39 11,480.78 12,852.28 13,753.55 9 Jasa-Jasa 121,380.38 135,551.44 138,405.51 157,385.87
Jumlah 969,169.27 1,116,316.42 1,228,723.88 1,345,852.24
203
Lampiran 7 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 191,499.46 199,239.51 203,652.49 217,428.45
2 Pertambangan Dan Penggalian 12,762.07 13,752.51 14,319.76 14,987.07 3 Industri Pengolahan 16,628.84 17,319.95 18,058.89 18,885.99 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,129.52 1,231.08 1,300.30 1,364.78 5 Bangunan 26,557.05 27,850.65 29,228.14 30,759.70 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 63,924.46 66,607.39 69,508.87 73,026.74 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 35,919.68 37,917.02 39,619.74 41,476.28 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 4,833.97 5,522.20 5,769.11 5,990.68 9 Jasa-Jasa 47,926.67 49,006.42 50,078.74 51,093.67
Jumlah 401,181.72 418,446.73 431,536.04 455,013.36
204
Lampiran 8 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 72,323.54 84,801.32 94,249.45 100,767.29
2 Pertambangan Dan Penggalian 331.49 391.13 451.45 491.67 3 Industri Pengolahan 9,451.32 11,056.67 12,314.22 13,398.37 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,928.85 2,328.04 3,021.00 3,739.19 5 Bangunan 18,396.09 21,528.41 24,180.60 26,474.15 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 46,993.07 54,375.82 60,902.37 66,562.45 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 36,237.56 43,841.07 52,189.47 57,803.38 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 4,169.03 5,276.38 5,981.03 6,389.22 9 Jasa-Jasa 86,933.55 97,188.40 107,975.36 121,148.74
Jumlah 276,764.50 320,787.24 361,264.95 396,774.46
205
Lampiran 9 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 26,543.96 27,802.35 28,166.94 29,752.40
2 Pertambangan Dan Penggalian 204.65 218.52 233.86 245.18 3 Industri Pengolahan 6,087.10 6,443.19 6,833.01 7,155.53 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,248.96 1,314.63 1,387.03 1,450.07 5 Bangunan 7,960.77 8,351.65 8,773.41 9,269.10 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 21,366.66 22,554.06 23,893.06 25,372.44 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 19,411.78 20,615.85 21,936.03 23,332.09 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 2,181.88 2,493.95 2,615.02 2,726.12 9 Jasa-Jasa 33,325.15 33,662.20 34,614.95 35,118.58
Jumlah 118,330.91 123,456.40 128,453.31 134,421.51
206
Lampiran 10 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 882,578.98 1,033,610.59 1,125,267.15 1,209,849.96
2 Pertambangan Dan Penggalian 41,597.55 47,944.63 53,360.82 59,235.03 3 Industri Pengolahan 58,744.92 64,426.44 72,265.97 79,691.00 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 4,675.01 5,625.83 7,311.75 9,076.54 5 Bangunan 119,953.31 138,028.29 160,156.07 182,882.97 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 292,232.16 332,518.63 376,625.91 418,847.28 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 139,186.89 165,693.98 200,300.64 226,700.06 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 24,963.77 30,287.73 34,705.91 38,853.72 9 Jasa-Jasa 289,015.70 322,691.38 342,559.16 387,281.93
Jumlah 1,852,948.29 2,140,827.50 2,372,553.38 2,612,418.49
207
Lampiran 11 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 317,152.63 332,555.83 340,158.97 358,177.67
2 Pertambangan Dan Penggalian 17,916.78 19,094.34 19,965.41 21,046.67 3 Industri Pengolahan 30,865.85 32,240.82 33,761.25 35,372.99 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 3,145.82 3,376.60 3,550.58 3,709.96 5 Bangunan 49,320.99 51,399.19 54,087.70 57,444.67 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 118,424.36 123,901.92 130,239.27 139,547.49 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 70,117.68 74,138.39 77,938.88 83,720.52 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 12,168.49 13,437.97 14,177.25 14,962.05 9 Jasa-Jasa 113,315.35 115,280.84 118,461.60 120,667.66
Jumlah 732,427.95 765,425.90 792,340.91 834,649.68
208
Lampiran 12 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 3,296,155.79 3,694,834.32 3,977,689.70 4,082,697.81
2 Pertambangan Dan Penggalian 234,689.42 270,007.72 302,599.45 346,611.28 3 Industri Pengolahan 500,770.75 556,204.76 624,918.69 715,114.55 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 30,411.01 36,145.80 47,829.88 57,711.86 5 Bangunan 779,362.78 898,388.61 1,036,593.91 1,169,134.76 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 1,550,993.55 1,818,235.74 2,053,474.69 2,236,232.53 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 891,684.21 1,053,638.63 1,326,944.77 1,476,375.06 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 165,867.73 201,233.31 229,715.50 264,999.19 9 Jasa-Jasa 1,410,161.75 1,565,167.84 1,652,659.84 1,979,239.67
Jumlah 8,860,096.99 10,093,856.73 11,252,426.43 12,328,116.71
209
Lampiran 13 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 1,211,249.71 1,219,301.03 1,236,510.17 1,275,631.74
2 Pertambangan Dan Penggalian 101,298.95 106,374.03 110,958.75 116,240.39 3 Industri Pengolahan 173,835.15 183,691.60 194,498.67 207,119.38 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 19,338.16 20,250.90 21,059.05 21,949.74 5 Bangunan 271,479.30 283,614.43 296,632.33 314,014.99 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 548,873.63 582,706.04 615,777.25 649,967.29 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 423,669.30 445,100.47 471,090.14 501,899.27 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 78,308.97 86,233.75 91,015.67 96,845.48 9 Jasa-Jasa 565,763.41 570,590.58 581,762.79 592,462.55
Jumlah 3,393,816.58 3,497,862.83 3,619,304.82 3,776,130.83
210
Lampiran 14 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 50.48 51.17 49.89 47.06 49.65
2 Pertambangan Dan Penggalian 1.99 1.94 1.97 2.04 1.98 3 Industri Pengolahan 3.42 3.24 3.26 3.31 3.31 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.20 0.21 0.24 0.27 0.23 5 Bangunan 6.76 6.55 7.06 7.80 7.04 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 16.58 16.67 17.18 17.96 17.10 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 5.37 5.51 6.08 6.91 5.97 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.92 1.92 2.03 2.15 2.00 9 Jasa-Jasa 13.29 12.78 12.29 12.50 12.72
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
211
Lampiran 15 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 46.55 47.21 46.63 45.27 46.41
2 Pertambangan Dan Penggalian 2.32 2.29 2.33 2.37 2.33 3 Industri Pengolahan 3.83 3.79 3.82 3.81 3.81 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.36 0.37 0.37 0.37 0.37 5 Bangunan 6.95 6.80 6.92 7.10 6.94 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 15.56 15.54 15.85 16.78 15.93 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 6.94 6.98 7.05 7.71 7.17 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 2.42 2.43 2.49 2.55 2.47 9 Jasa-Jasa 15.06 14.59 14.53 14.05 14.56
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
212
Lampiran 16 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 51.99 52.73 52.14 52.00 52.21
2 Pertambangan Dan Penggalian 3.01 3.04 3.05 3.05 3.04 3 Industri Pengolahan 2.94 2.74 2.80 2.78 2.82 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.16 0.16 0.20 0.22 0.19 5 Bangunan 6.25 6.30 6.57 6.58 6.42 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 14.92 14.41 14.75 14.57 14.66 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 7.26 7.44 8.18 8.09 7.74 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.95 1.03 1.05 1.02 1.01 9 Jasa-Jasa 12.52 12.14 11.26 11.69 11.91
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
213
Lampiran 17 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 47.73 47.61 47.19 47.79 47.58
2 Pertambangan Dan Penggalian 3.18 3.29 3.32 3.29 3.27 3 Industri Pengolahan 4.14 4.14 4.18 4.15 4.15 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.28 0.29 0.30 0.30 0.29 5 Bangunan 6.62 6.66 6.77 6.76 6.70 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 15.93 15.92 16.11 16.05 16.00 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8.95 9.06 9.18 9.12 9.08 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.20 1.32 1.34 1.32 1.29 9 Jasa-Jasa 11.95 11.71 11.60 11.23 11.62
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
214
Lampiran 18 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 26.13 26.44 26.09 25.40 26.01
2 Pertambangan Dan Penggalian 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 3 Industri Pengolahan 3.41 3.45 3.41 3.38 3.41 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.70 0.73 0.84 0.94 0.80 5 Bangunan 6.65 6.71 6.69 6.67 6.68 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 16.98 16.95 16.86 16.78 16.89 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 13.09 13.67 14.45 14.57 13.94 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.51 1.64 1.66 1.61 1.60 9 Jasa-Jasa 31.41 30.30 29.89 30.53 30.53
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
215
Lampiran 19 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 22.43 22.52 21.93 22.13 22.25
2 Pertambangan Dan Penggalian 0.17 0.18 0.18 0.18 0.18 3 Industri Pengolahan 5.14 5.22 5.32 5.32 5.25 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1.06 1.06 1.08 1.08 1.07 5 Bangunan 6.73 6.76 6.83 6.90 6.80 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 18.06 18.27 18.60 18.88 18.45 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 16.40 16.70 17.08 17.36 16.88 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.84 2.02 2.04 2.03 1.98 9 Jasa-Jasa 28.16 27.27 26.95 26.13 27.13
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
216
Lampiran 20 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 47.63 48.28 47.43 46.31 47.41
2 Pertambangan Dan Penggalian 2.24 2.24 2.25 2.27 2.25 3 Industri Pengolahan 3.17 3.01 3.05 3.05 3.07 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.25 0.26 0.31 0.35 0.29 5 Bangunan 6.47 6.45 6.75 7.00 6.67 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 15.77 15.53 15.87 16.03 15.80 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 7.51 7.74 8.44 8.68 8.09 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.35 1.41 1.46 1.49 1.43 9 Jasa-Jasa 15.60 15.07 14.44 14.82 14.98
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
217
Lampiran 21 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 43.30 43.45 42.93 42.91 43.15
2 Pertambangan Dan Penggalian 2.45 2.49 2.52 2.52 2.50 3 Industri Pengolahan 4.21 4.21 4.26 4.24 4.23 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.43 0.44 0.45 0.44 0.44 5 Bangunan 6.73 6.72 6.83 6.88 6.79 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 16.17 16.19 16.44 16.72 16.38 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 9.57 9.69 9.84 10.03 9.78 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.66 1.76 1.79 1.79 1.75 9 Jasa-Jasa 15.47 15.06 14.95 14.46 14.99
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
218
Lampiran 22 Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 37.20 36.60 35.35 33.12 35.57
2 Pertambangan Dan Penggalian 2.65 2.67 2.69 2.81 2.71 3 Industri Pengolahan 5.65 5.51 5.55 5.80 5.63 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.34 0.36 0.43 0.47 0.40 5 Bangunan 8.80 8.90 9.21 9.48 9.10 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 17.51 18.01 18.25 18.14 17.98 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 10.06 10.44 11.79 11.98 11.07 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 1.87 1.99 2.04 2.15 2.01 9 Jasa-Jasa 15.92 15.51 14.69 16.05 15.54
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
219
Lampiran 23 Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 35.69 34.86 34.16 33.78 34.62
2 Pertambangan Dan Penggalian 2.98 3.04 3.07 3.08 3.04 3 Industri Pengolahan 5.12 5.25 5.37 5.48 5.31 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.57 0.58 0.58 0.58 0.58 5 Bangunan 8.00 8.11 8.20 8.32 8.15 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 16.17 16.66 17.01 17.21 16.76 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 12.48 12.72 13.02 13.29 12.88 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 2.31 2.47 2.51 2.56 2.46 9 Jasa-Jasa 16.67 16.31 16.07 15.69 16.19
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
220
Lampiran 24 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 17.53 8.41 4.83 10.26
2 Pertambangan Dan Penggalian - 12.74 13.29 15.10 13.71 3 Industri Pengolahan - 9.65 12.04 12.92 11.54 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 25.84 25.15 24.50 25.16 5 Bangunan - 12.43 19.83 22.82 18.36 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 16.59 14.58 16.18 15.78 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 19.01 22.68 26.27 22.65 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 16.32 17.31 17.88 17.17 9 Jasa-Jasa - 11.46 6.92 13.07 10.48
Jumlah - 15.93 11.20 11.15 12.76
221
Lampiran 25 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 6.46 2.68 2.45 3.86
2 Pertambangan Dan Penggalian - 3.50 5.63 7.44 5.52 3 Industri Pengolahan - 4.02 4.62 5.21 4.62 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 8.28 3.89 3.69 5.29 5 Bangunan - 2.66 5.85 8.27 5.59 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 4.85 6.04 11.70 7.53 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 5.54 4.98 15.44 8.65 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 5.22 6.85 7.80 6.63 9 Jasa-Jasa - 1.71 3.54 2.04 2.43
Jumlah - 4.98 3.95 5.54 4.82
222
Lampiran 26 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 16.84 8.82 9.24 11.63
2 Pertambangan Dan Penggalian - 16.27 10.45 9.35 12.02 3 Industri Pengolahan - 7.26 12.55 8.84 9.55 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 15.69 34.23 24.31 24.74 5 Bangunan - 16.26 14.68 9.69 13.54 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 11.21 12.73 8.17 10.70 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 18.06 21.02 8.24 15.78 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 25.30 11.95 7.01 14.75 9 Jasa-Jasa - 11.67 2.11 13.71 9.16
Jumlah - 15.18 10.07 9.53 11.59
223
Lampiran 27 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 4.04 2.21 6.76 4.34
2 Pertambangan Dan Penggalian - 7.76 4.12 4.66 5.52 3 Industri Pengolahan - 4.16 4.27 4.58 4.33 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 8.99 5.62 4.96 6.52 5 Bangunan - 4.87 4.95 5.24 5.02 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 4.20 4.36 5.06 4.54 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 5.56 4.49 4.69 4.91 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 14.24 4.47 3.84 7.52 9 Jasa-Jasa - 2.25 2.19 2.03 2.16
Jumlah - 4.30 3.13 5.44 4.29
224
Lampiran 28 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 17.25 11.14 6.92 11.77
2 Pertambangan Dan Penggalian - 17.99 15.42 8.91 14.11 3 Industri Pengolahan - 16.99 11.37 8.80 12.39 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 20.70 29.77 23.77 24.74 5 Bangunan - 17.03 12.32 9.49 12.94 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 15.71 12.00 9.29 12.34 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 20.98 19.04 10.76 16.93 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 26.56 13.35 6.82 15.58 9 Jasa-Jasa - 11.80 11.10 12.20 11.70
Jumlah - 15.91 12.62 9.83 12.78
225
Lampiran 29 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 4.74 1.31 5.63 3.89
2 Pertambangan Dan Penggalian - 6.78 7.02 4.84 6.21 3 Industri Pengolahan - 5.85 6.05 4.72 5.54 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 5.26 5.51 4.54 5.10 5 Bangunan - 4.91 5.05 5.65 5.20 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 5.56 5.94 6.19 5.90 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 6.20 6.40 6.36 6.32 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 14.30 4.85 4.25 7.80 9 Jasa-Jasa - 1.01 2.83 1.45 1.77
Jumlah - 4.33 4.05 4.65 4.34
226
Lampiran 30 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 17.11 8.87 7.52 11.17
2 Pertambangan Dan Penggalian - 15.26 11.30 11.01 12.52 3 Industri Pengolahan - 9.67 12.17 10.27 10.70 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 20.34 29.97 24.14 24.81 5 Bangunan - 15.07 16.03 14.19 15.10 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 13.79 13.26 11.21 12.75 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 19.04 20.89 13.18 17.70 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 21.33 14.59 11.95 15.96 9 Jasa-Jasa - 11.65 6.16 13.06 10.29
Jumlah - 15.54 10.82 10.11 12.16
227
Lampiran 31 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 4.86 2.29 5.30 4.15
2 Pertambangan Dan Penggalian - 6.57 4.56 5.42 5.52 3 Industri Pengolahan - 4.45 4.72 4.77 4.65 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 7.34 5.15 4.49 5.66 5 Bangunan - 4.21 5.23 6.21 5.22 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 4.63 5.11 7.15 5.63 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 5.73 5.13 7.42 6.09 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 10.43 5.50 5.54 7.16 9 Jasa-Jasa - 1.73 2.76 1.86 2.12
Jumlah - 4.51 3.52 5.34 4.45
228
Lampiran 32 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 12.10 7.66 2.64 7.46
2 Pertambangan Dan Penggalian - 15.05 12.07 14.54 13.89 3 Industri Pengolahan - 11.07 12.35 14.43 12.62 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 18.86 32.32 20.66 23.95 5 Bangunan - 15.27 15.38 12.79 14.48 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 17.23 12.94 8.90 13.02 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 18.16 25.94 11.26 18.45 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 21.32 14.15 15.36 16.95 9 Jasa-Jasa - 10.99 5.59 19.76 12.11
Jumlah - 13.92 11.48 9.56 11.65
229
Lampiran 33 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan - 0.66 1.41 3.16 1.75
2 Pertambangan Dan Penggalian - 5.01 4.31 4.76 4.69 3 Industri Pengolahan - 5.67 5.88 6.49 6.01 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih - 4.72 3.99 4.23 4.31 5 Bangunan - 4.47 4.59 5.86 4.97 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran - 6.16 5.68 5.55 5.80 7 Pengangkutan Dan Komunikasi - 5.06 5.84 6.54 5.81 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh - 10.12 5.55 6.41 7.36 9 Jasa-Jasa - 0.85 1.96 1.84 1.55
Jumlah - 3.07 3.47 4.33 3.62
230
Lampiran 34 Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.09 0.10 0.10 0.10 0.10
2 Pertambangan Dan Penggalian 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 3 Industri Pengolahan 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 5 Bangunan 0.05 0.05 0.05 0.06 0.05 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.06 0.06 0.07 0.07 0.07 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 9 Jasa-Jasa 0.06 0.06 0.06 0.05 0.06
Jumlah 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07
231
Lampiran 35 Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.08 0.09 0.09 0.09 0.09
2 Pertambangan Dan Penggalian 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 3 Industri Pengolahan 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 5 Bangunan 0.05 0.05 0.05 0.06 0.05 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.03 0.04 0.03 0.04 0.04 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.07 0.06 0.06 0.06 0.06 9 Jasa-Jasa 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06
Jumlah 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06
232
Lampiran 36 Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.15 0.18 0.19 0.21 0.18
2 Pertambangan Dan Penggalian 0.12 0.14 0.16 0.17 0.15 3 Industri Pengolahan 0.06 0.06 0.07 0.07 0.07 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.05 0.06 0.08 0.10 0.07 5 Bangunan 0.08 0.09 0.10 0.11 0.10 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.09 0.10 0.12 0.13 0.11 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.08 0.09 0.11 0.12 0.10 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.06 0.07 0.08 0.08 0.07 9 Jasa-Jasa 0.09 0.10 0.10 0.11 0.10
Jumlah 0.11 0.13 0.14 0.15 0.13
233
Lampiran 37 Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.16 0.16 0.17 0.18 0.17
2 Pertambangan Dan Penggalian 0.13 0.14 0.14 0.15 0.14 3 Industri Pengolahan 0.10 0.10 0.10 0.11 0.10 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.06 0.06 0.07 0.07 0.06 5 Bangunan 0.10 0.10 0.11 0.11 0.11 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.12 0.12 0.13 0.13 0.12 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.08 0.09 0.09 0.10 0.09 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.06 0.07 0.07 0.08 0.07 9 Jasa-Jasa 0.08 0.09 0.09 0.09 0.09
Jumlah 0.12 0.12 0.13 0.13 0.13
234
Lampiran 38 Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03
2 Pertambangan Dan Penggalian 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3 Industri Pengolahan 0.02 0.02 0.02 0.03 0.02 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.06 0.08 0.10 0.12 0.09 5 Bangunan 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.04 0.05 0.06 0.06 0.05 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.03 0.03 0.04 0.04 0.03 9 Jasa-Jasa 0.06 0.07 0.08 0.09 0.07
Jumlah 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04
235
Lampiran 39 Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
2 Pertambangan Dan Penggalian 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3 Industri Pengolahan 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.06 0.07 0.07 0.07 0.07 5 Bangunan 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.04 0.04 0.04 0.05 0.04 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.05 0.05 0.05 0.06 0.05 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 9 Jasa-Jasa 0.06 0.06 0.06 0.06 0.06
Jumlah 0.03 0.04 0.04 0.04 0.04
236
Lampiran 40 Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.27 0.31 0.34 0.37 0.32
2 Pertambangan Dan Penggalian 0.18 0.20 0.23 0.25 0.22 3 Industri Pengolahan 0.12 0.13 0.14 0.16 0.14 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.15 0.18 0.24 0.30 0.22 5 Bangunan 0.15 0.18 0.21 0.23 0.19 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.19 0.21 0.24 0.27 0.23 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.16 0.19 0.22 0.25 0.21 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.15 0.18 0.21 0.23 0.19 9 Jasa-Jasa 0.20 0.23 0.24 0.27 0.24
Jumlah 0.21 0.24 0.27 0.29 0.25
237
Lampiran 41 Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)
No. Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 0.26 0.27 0.28 0.30 0.28
2 Pertambangan Dan Penggalian 0.18 0.19 0.20 0.21 0.19 3 Industri Pengolahan 0.18 0.19 0.19 0.20 0.19 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.16 0.17 0.18 0.19 0.18 5 Bangunan 0.18 0.19 0.20 0.21 0.20 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.22 0.23 0.24 0.25 0.23 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 0.17 0.17 0.18 0.20 0.18 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 0.16 0.17 0.18 0.19 0.17 9 Jasa-Jasa 0.20 0.20 0.21 0.21 0.21
Jumlah 0.22 0.23 0.23 0.25 0.23
238
Lampiran 42 Daftar Sektor Ekonomi/Komponen Tabel Input-Output di Kapet Bima
Kode Nama Sektor
1 Tanaman Bahan Makanan 2 Tanaman Perkebunan 3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 4 Kehutanan 5 Perikanan 6 Penggalian 7 Industri Pengolahan Non Migas 8 Listrik 9 Air bersih 10 Bangunan 11 Perdagangan Besar dan Eceran 12 Hotel dan Restoran 13 Angkutan 14 Pos dan Telekomunikasi 15 Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank 16 Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan 17 Jasa Pemerintahan Umum 18 Jasa Swasta 190 Total Input Antara 200 Import 201 Upah dan Gaji 202 Surplus Usaha 203 Penyusutan 204 Pajak Tak Langsung Netto 209 Total Nilai Tambah Bruto 210 Total Input 180 Total Permintaan Antara 309 Total Permintaan Akhir 310 Total Output
239
Lampiran 43 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen (Rp.000) SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8
1 74,535,962 - 506,424 - 18,652 - 136,309,592 - 2 - 1,616,356 1,198,521 - - - 57,085,750 - 3 241,183 - 17,459,148 - 1,565 - 7,600,881 - 4 101 39 17,238 16,537 1,361 - 3,953,715 - 5 - - - - 8,449,849 - 20,372,354 - 6 - - 103,698 - 40,134 1,656,371 1,095,768 -
7 2,605,571 131,058 7,803,202 176,839 8,080,559 983,816 25,166,147 65,688 8 222,985 17,260 442,116 - 47,711 544 1,460,765 2,490,944 9 - 3,615 153,780 - 6,039 3,647 69,190 3,692 10 3,890,928 112,384 615,491 289,781 140,444 244,840 1,059,781 235,640 11 25,358,025 918,638 6,598,726 601,432 6,084,763 916,568 48,773,738 1,339,906 12 - 57,406 1,898 - 96,805 237,233 386,747 5,378 13 31,608,075 1,208,279 2,863,572 1,566,833 1,895,921 1,195,861 10,990,339 436,167 14 1,531,167 36,338 492,758 17,107 24,263 144,575 264,414 1,035,299 15 129,796 91,389 - - 688,411 314,166 301,619 118,028 16 2,934,798 144,774 - - - 124,534 95,199 - 17 - - - - - - - - 18 817,103 11,257 - 49,840 28,330 1,121 14,344 4,519
190 143,875,695 4,348,792 38,256,573 2,718,368 25,604,806 5,823,277 315,000,342 5,735,259 200 75,066,293 3,501,485 5,113,522 3,409,824 8,917,510 4,427,667 19,008,177 13,284,360 201 255,013,076 12,969,406 30,557,007 16,283,475 51,597,397 15,769,177 23,197,656 3,815,386 202 524,151,555 47,609,657 94,360,865 75,449,890 70,496,145 34,346,022 52,921,723 2,109,687 203 16,871,344 341,436 4,737,262 311,993 4,586,971 4,572,892 3,140,972 1,399,216 204 3,646,474 231,395 477,648 33,966 122,999 4,546,935 430,649 14,767 209 799,682,448 61,151,894 130,132,782 92,079,324 126,803,512 59,235,026 79,691,000 7,339,056 210 1,018,624,436 69,002,172 173,502,877 98,207,516 161,325,827 69,485,970 413,699,519 26,358,675
240
Lampiran 43 Lanjutan SEKTOR 9 10 11 12 13 14 15
1 - - - 3,009,969 - - - 2 - - - 265,082 - - - 3 - - - 3,769,220 - - - 4 - 1,079,842 - 425 - - - 5 - - - 7,493,067 - - - 6 - 22,158,060 - 3,544 5,056 - - 7 14,632 22,938,633 657,771 7,285,939 1,291,352 28,165 60,937 8 11,025 229,389 3,674,041 561,871 416,056 251,425 209,996 9 - 10,783 161,573 55,753 25,961 10,317 34,378 10 17,950 222,726 163,034 321,496 617,622 243,873 182,595 11 56,717 19,160,274 773,242 4,019,947 5,813,462 39,514 49,898 12 - - 891,864 8,320 4,185,535 9,321 329,568 13 5,829 19,700,924 25,504,734 980,748 3,391,002 252,252 13,758 14 175,863 409,358 9,145,691 352,460 1,076,402 1,124,137 317,413 15 377 1,306,676 1,231,369 1,122,806 2,397,010 857,631 5,638,661 16 83,017 3,122,033 736,344 1,055,062 855,186 76,264 207,613 17 - - - - - - - 18 736 8,950 175,191 4,022 2,956,342 - 8,673 190 366,145 90,347,648 43,114,854 30,309,733 23,030,987 2,892,899 7,053,490 200 288,177 42,872,012 3,482,727 1,496,448 49,765,649 164,084 212,689 201 864,603 92,769,685 97,993,969 8,198,000 52,289,927 8,299,961 14,283,932 202 469,310 68,645,755 263,236,061 13,700,456 101,546,338 15,448,458 7,823,620 203 341,500 17,880,320 18,784,924 1,657,455 45,923,304 389,683 467,962 204 62,074 3,587,206 14,060,303 1,216,101 2,697,986 104,400 756,584 209 1,737,486 182,882,966 394,075,257 24,772,012 202,457,556 24,242,501 23,332,098 210 2,391,808 316,102,626 440,672,839 56,578,194 275,254,192 27,299,484 30,598,277
241
Lampiran 43 Lanjutan SEKTOR 16 17 18 180 309 310
1 - 692,100 7,937 215,080,637 803,543,800 1,018,624,436 2 - 78,105 10,105 60,253,919 8,748,253 69,002,172 3 - 132,273 - 29,204,271 144,298,606 173,502,877 4 - - - 5,069,257 93,138,259 98,207,516 5 - 91,206 - 36,406,475 124,919,352 161,325,827 6 - - - 25,062,631 44,423,339 69,485,970 7 81,066 8,289,311 611,760 86,272,447 327,427,072 413,699,519 8 147,875 3,943,372 308,063 14,435,438 11,923,237 26,358,675 9 6,446 342,865 58,383 946,421 1,445,387 2,391,808 10 579,475 10,193,220 2,412,653 21,543,933 294,558,694 316,102,626 11 163,866 12,203,076 669,561 133,541,352 307,131,487 440,672,839 12 - 41,426,918 45,463 47,682,456 8,895,738 56,578,194 13 16,697 28,104,090 508,170 130,243,253 145,010,938 275,254,192 14 44,313 9,098,583 506,953 25,797,095 1,502,389 27,299,484 15 - 5,410,600 333,002 19,941,542 10,656,734 30,598,277 16 10,573 5,483,604 1,373,897 16,302,897 933,570 17,236,467 17 - - - - 553,212,140 553,212,140 18 32,871 4,738,015 129,487 8,980,800 24,187,438 33,168,238
190 1,083,181 130,227,338 6,975,433 876,764,822 2,905,956,433 3,782,721,256 200 631,663 58,834,774 3,060,908 293,537,967 233,319,449 526,857,416 201 2,253,356 346,809,537 5,452,508 1,038,418,059 - - 202 6,825,794 - 15,690,942 1,394,832,276 - - 203 6,434,438 17,340,491 1,936,182 147,118,344 - - 204 8,035 - 52,264 32,049,787 - - 209 15,521,623 364,150,028 23,131,897 2,612,418,466 - - 210 17,236,467 553,212,140 33,168,238 3,782,721,256 - -
242
Lampiran 44 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Koefisien Input Domestik Atas Dasar Harga Produsen SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 0.0732 - 0.0029 - 0.0001 - 0.3295 - - 2 - 0.0234 0.0069 - - - 0.1380 - - 3 0.0002 - 0.1006 - 0.0000 - 0.0184 - - 4 0.0000 0.0000 0.0001 0.0002 0.0000 - 0.0096 - - 5 - - - - 0.0524 - 0.0492 - - 6 - - 0.0006 - 0.0002 0.0238 0.0026 - - 7 0.0026 0.0019 0.0450 0.0018 0.0501 0.0142 0.0608 0.0025 0.0061 8 0.0002 0.0003 0.0025 - 0.0003 0.0000 0.0035 0.0945 0.0046 9 - 0.0001 0.0009 - 0.0000 0.0001 0.0002 0.0001 - 10 0.0038 0.0016 0.0035 0.0030 0.0009 0.0035 0.0026 0.0089 0.0075 11 0.0249 0.0133 0.0380 0.0061 0.0377 0.0132 0.1179 0.0508 0.0237 12 - 0.0008 0.0000 - 0.0006 0.0034 0.0009 0.0002 - 13 0.0310 0.0175 0.0165 0.0160 0.0118 0.0172 0.0266 0.0165 0.0024 14 0.0015 0.0005 0.0028 0.0002 0.0002 0.0021 0.0006 0.0393 0.0735 15 0.0001 0.0013 - - 0.0043 0.0045 0.0007 0.0045 0.0002 16 0.0029 0.0021 - - - 0.0018 0.0002 - 0.0347 17 - - - - - - - - - 18 0.0008 0.0002 - 0.0005 0.0002 0.0000 0.0000 0.0002 0.0003
190 0.1412 0.0630 0.2205 0.0277 0.1587 0.0838 0.7614 0.2176 0.1531 200 0.0737 0.0507 0.0295 0.0347 0.0553 0.0637 0.0459 0.5040 0.1205 201 0.2504 0.1880 0.1761 0.1658 0.3198 0.2269 0.0561 0.1447 0.3615 202 0.5146 0.6900 0.5439 0.7683 0.4370 0.4943 0.1279 0.0800 0.1962 203 0.0166 0.0049 0.0273 0.0032 0.0284 0.0658 0.0076 0.0531 0.1428 204 0.0036 0.0034 0.0028 0.0003 0.0008 0.0654 0.0010 0.0006 0.0260 209 0.7851 0.8862 0.7500 0.9376 0.7860 0.8525 0.1926 0.2784 0.7264 210 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
243
Lampiran 44 Lanjutan SEKTOR 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 - - 0.0532 - - - - 0.0013 0.0002 2 - - 0.0047 - - - - 0.0001 0.0003 3 - - 0.0666 - - - - 0.0002 - 4 0.0034 - 0.0000 - - - - - - 5 - - 0.1324 - - - - 0.0002 - 6 0.0701 - 0.0001 0.0000 - - - - - 7 0.0726 0.0015 0.1288 0.0047 0.0010 0.0020 0.0047 0.0150 0.0184 8 0.0007 0.0083 0.0099 0.0015 0.0092 0.0069 0.0086 0.0071 0.0093 9 0.0000 0.0004 0.0010 0.0001 0.0004 0.0011 0.0004 0.0006 0.0018 10 0.0007 0.0004 0.0057 0.0022 0.0089 0.0060 0.0336 0.0184 0.0727 11 0.0606 0.0018 0.0711 0.0211 0.0014 0.0016 0.0095 0.0221 0.0202 12 - 0.0020 0.0001 0.0152 0.0003 0.0108 - 0.0749 0.0014 13 0.0623 0.0579 0.0173 0.0123 0.0092 0.0004 0.0010 0.0508 0.0153 14 0.0013 0.0208 0.0062 0.0039 0.0412 0.0104 0.0026 0.0164 0.0153 15 0.0041 0.0028 0.0198 0.0087 0.0314 0.1843 - 0.0098 0.0100 16 0.0099 0.0017 0.0186 0.0031 0.0028 0.0068 0.0006 0.0099 0.0414 17 - - - - - - - - - 18 0.0000 0.0004 0.0001 0.0107 - 0.0003 0.0019 0.0086 0.0039
190 0.2858 0.0978 0.5357 0.0837 0.1060 0.2305 0.0628 0.2354 0.2103 200 0.1356 0.0079 0.0264 0.1808 0.0060 0.0070 0.0366 0.1064 0.0923 201 0.2935 0.2224 0.1449 0.1900 0.3040 0.4668 0.1307 0.6269 0.1644 202 0.2172 0.5974 0.2422 0.3689 0.5659 0.2557 0.3960 - 0.4731 203 0.0566 0.0426 0.0293 0.1668 0.0143 0.0153 0.3733 0.0313 0.0584 204 0.0113 0.0319 0.0215 0.0098 0.0038 0.0247 0.0005 - 0.0016 209 0.5786 0.8943 0.4378 0.7355 0.8880 0.7625 0.9005 0.6582 0.6974 210 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
244
Lampiran 44 Lanjutan SEKTOR 180 309 310
1 0.0569 0.2765 0.2693 2 0.0159 0.0030 0.0182 3 0.0077 0.0497 0.0459 4 0.0013 0.0321 0.0260 5 0.0096 0.0430 0.0426 6 0.0066 0.0153 0.0184 7 0.0228 0.1127 0.1094 8 0.0038 0.0041 0.0070 9 0.0003 0.0005 0.0006 10 0.0057 0.1014 0.0836 11 0.0353 0.1057 0.1165 12 0.0126 0.0031 0.0150 13 0.0344 0.0499 0.0728 14 0.0068 0.0005 0.0072 15 0.0053 0.0037 0.0081 16 0.0043 0.0003 0.0046 17 - 0.1904 0.1462 18 0.0024 0.0083 0.0088 190 0.2318 1.0000 1.0000 200 0.0776 201 0.2745 202 0.3687 203 0.0389 204 0.0085 209 0.6906 210 1.0000
245
Lampiran 45 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Matriks Pengganda Domestik Atas Dasar Harga Produsen SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1.0803 0.0010 0.0228 0.0008 0.0205 0.0061 0.3811 0.0015 0.0028 2 0.0005 1.0244 0.0155 0.0003 0.0081 0.0024 0.1516 0.0006 0.0011 3 0.0004 0.0001 1.1130 0.0001 0.0013 0.0006 0.0222 0.0001 0.0002 4 0.0001 0.0000 0.0006 1.0002 0.0006 0.0002 0.0103 0.0001 0.0001 5 0.0003 0.0003 0.0029 0.0002 1.0584 0.0014 0.0560 0.0003 0.0004 6 0.0003 0.0001 0.0011 0.0002 0.0005 1.0247 0.0033 0.0008 0.0007 7 0.0037 0.0026 0.0542 0.0023 0.0570 0.0166 1.0715 0.0042 0.0077 8 0.0007 0.0005 0.0039 0.0001 0.0011 0.0004 0.0059 1.1055 0.0065 9 0.0000 0.0001 0.0010 0.0000 0.0001 0.0001 0.0003 0.0002 1.0001 10 0.0045 0.0019 0.0044 0.0031 0.0013 0.0039 0.0051 0.0105 0.0096 11 0.0286 0.0147 0.0508 0.0070 0.0480 0.0168 0.1431 0.0582 0.0263 12 0.0006 0.0012 0.0006 0.0003 0.0011 0.0039 0.0023 0.0008 0.0002 13 0.0361 0.0193 0.0245 0.0169 0.0179 0.0199 0.0537 0.0232 0.0058 14 0.0025 0.0010 0.0048 0.0004 0.0015 0.0028 0.0051 0.0468 0.0777 15 0.0008 0.0020 0.0008 0.0003 0.0061 0.0062 0.0030 0.0084 0.0034 16 0.0034 0.0023 0.0004 0.0001 0.0003 0.0021 0.0023 0.0005 0.0352 17 - - - - - - - - - 18 0.0013 0.0004 0.0003 0.0007 0.0004 0.0003 0.0010 0.0005 0.0005
Total 1.1641 1.0719 1.3019 1.0331 1.2243 1.1084 1.9177 1.2623 1.1783 Indeks 0.9224 0.8493 1.0316 0.8186 0.9701 0.8783 1.5195 1.0002 0.9336
246
Lampiran 45 Lanjutan SEKTOR 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 0.0284 0.0011 0.1112 0.0038 0.0009 0.0027 0.0028 0.0163 0.0098 2 0.0113 0.0004 0.0266 0.0012 0.0003 0.0008 0.0011 0.0048 0.0041 3 0.0018 0.0003 0.0773 0.0013 0.0001 0.0011 0.0002 0.0065 0.0007 4 0.0042 0.0000 0.0015 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0004 0.0005 5 0.0044 0.0006 0.1478 0.0026 0.0003 0.0021 0.0004 0.0124 0.0017 6 0.0722 0.0001 0.0011 0.0003 0.0007 0.0006 0.0025 0.0016 0.0055 7 0.0797 0.0025 0.1505 0.0080 0.0023 0.0053 0.0079 0.0297 0.0265 8 0.0022 0.0097 0.0134 0.0024 0.0110 0.0098 0.0097 0.0098 0.0115 9 0.0001 0.0004 0.0012 0.0002 0.0004 0.0014 0.0004 0.0008 0.0018 10 1.0020 0.0010 0.0082 0.0035 0.0098 0.0080 0.0340 0.0207 0.0751 11 0.0742 1.0042 0.1030 0.0244 0.0034 0.0050 0.0133 0.0356 0.0302 12 0.0017 0.0030 1.0014 0.0156 0.0010 0.0133 0.0001 0.0761 0.0020 13 0.0724 0.0595 0.0356 1.0151 0.0109 0.0022 0.0045 0.0584 0.0238 14 0.0037 0.0225 0.0104 0.0052 1.0440 0.0140 0.0035 0.0196 0.0178 15 0.0068 0.0051 0.0266 0.0117 0.0405 1.2269 0.0005 0.0157 0.0140 16 0.0106 0.0021 0.0197 0.0041 0.0034 0.0088 1.0011 0.0124 0.0428 17 - - - - - - - 1.0000 - 18 0.0009 0.0011 0.0007 0.0110 0.0001 0.0004 0.0020 0.0093 1.0043
Total 1.3766 1.1135 1.7362 1.1105 1.1293 1.3025 1.0842 1.3299 1.2720 Indeks 1.0908 0.8823 1.3757 0.8799 0.8948 1.0321 0.8591 1.0538 1.0079
247
Lampiran 45 Lanjutan SEKTOR Total Indeks
1 1.6939 1.3422 2 1.2550 0.9945 3 1.2273 0.9725 4 1.0191 0.8075 5 1.2923 1.0240 6 1.1164 0.8846 7 1.5322 1.2141 8 1.2044 0.9543 9 1.0085 0.7991 10 1.2066 0.9560 11 1.6868 1.3366 12 1.1253 0.8917 13 1.4996 1.1883 14 1.2837 1.017115 1.3788 1.0925 16 1.1517 0.9126 17 1.0000 0.7924 18 1.0350 0.8201
Total 22.7165 Indeks
248
Lampiran 46 Interaksi Inter Regional dan Model Grafitasi di Kapet Bima Melalui
Pelabuhan Laut Bima
Tahun Daerah Pergerakan
Asal Tujuan Barang (Ton)
Penumpang (Orang)
2003 MAUMERE (sika) BIMA - 2,514
2003 SURABAYA BIMA 3,237.00 150
2003 WAINGAPU (sumba timur) BIMA - 1,398
2003 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA -
2,011
2003 LEMBAR+SENGGIGI BIMA - 582
2003 MAKASAR BIMA 4,434.00 10,133
2003 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA - 2,688
2003 LAB. LOMBOK BIMA - 66
2003 KENDARI BIMA - 78
2003 BIMA MAUMERE 3,942.00 1,698
2003 BIMA BENOA+P.BAI+N.PENIDA - 2,286
2003 BIMA WAINGAPU - 396
2003 BIMA SURABAYA 1,506.00 126
2003 BIMA LEMBAR+SENGGIGI - 276
2003 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) -
1,615
2003 BIMA LAB. LOMBOK+KAYANGAN -
150
2003 BIMA MAKASAR 1,722.00 8,669
2003 BIMA KENDARI+SULTRA - 12
2004 MAUMERE (sika) BIMA - 2,538
2004 SURABAYA BIMA 4,350.00 396
2004 WAINGAPU (sumba timur) BIMA - 2,814
2004 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA -
2,531
2004 LEMBAR+SENGGIGI BIMA - 348
2004 BADAS BIMA - 36
2004 MAKASAR BIMA 4,782.00 12,181
2004 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA - 2,418
249
Lampiran 46 Lanjutan
Tahun Daerah Pergerakan
Asal Tujuan Barang (Ton)
Penumpang (Orang)
2004 KENDARI BIMA - 782004 BIMA MAUMERE 3,942.00 1,9262004 BIMA BENOA - 1,2062004 BIMA WAINGAPU - 9062004 BIMA SURABAYA 1,452.00 4202004 BIMA LEMBAR+SENGGIGI - 78
2004 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) - 1,658
2004 BIMA MAKASAR 750.00 7,9182004 BIMA BANJARMASIN 810.00 -2004 BIMA KENDARI+SULTRA - 122004 BIMA NTT/ENDE 1,830.00 -2004 BIMA BALIKPAPAN 870.00 -2005 MAUMERE (sika) BIMA - 1,2422005 SURABAYA BIMA 5,070.00 5942005 WAINGAPU (sumba timur) BIMA - 3,432
2005 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA - 2,809
2005 LEMBAR+SENGGIGI BIMA - 2762005 MAKASAR BIMA 3,780.00 12,4852005 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA - 8582005 BIMA MAUMERE - 1,2902005 BIMA BENOA - 4202005 BIMA WAINGAPU - 1,4882005 BIMA SURABAYA 2,022.00 6242005 BIMA LEMBAR+SENGGIGI - 126
2005 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) - 1,668
2005 BIMA BADAS - 90
250
Lampiran 46 Lanjutan
Tahun Daerah Pergerakan
Asal Tujuan Barang (Ton)
Penumpang (Orang)
2005 BIMA MAKASAR 1,104.00 6,798
2005 BIMA BANJARMASIN 1,590.00 - 2005 BIMA NTT/ENDE 12,426.00 - 2005 BIMA BALIKPAPAN 870.00 - 2005 BIMA MALUKU 144.00 -
2006 MAUMERE (sika) BIMA - 552
2006 SURABAYA BIMA 5,700.00 450
2006 WAINGAPU (sumba timur) BIMA - 2,532
2006 LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) BIMA -
3,064
2006 LEMBAR+SENGGIGI BIMA - 390
2006 MAKASAR BIMA 3,018.00 12,794
2006 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA - 384
2006 SELAYAR BIMA - 84
2006 BIMA MAUMERE - 684
2006 BIMA BENOA - 204
2006 BIMA WAINGAPU - 1,386
2006 BIMA SURABAYA 4,602.00 456
2006 BIMA LEMBAR+SENGGIGI - 270
2006 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) -
2,109
2006 BIMA BADAS - 90
2006 BIMA MAKASAR 1,194.00 7,575
2006 BIMA BANJARMASIN 3,174.00 - 2006 BIMA NTT/ENDE 14,532.00 - 2006 BIMA MALUKU 144.00 -
2006 BIMA PEMENANG - 132
251
Lampiran 46 Lanjutan
Tahun Daerah Jmlh Penduduk (Org) Asal Asal Asal Tujuan
2003 MAUMERE (sika) BIMA 275,344 725,519 2003 SURABAYA BIMA 2,660,381 725,519 2003 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 195,112 725,519
2003 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 647,179 725,519
2003 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 333,288 725,519 2003 MAKASAR BIMA 1,145,406 725,519 2003 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 519,936 725,519 2003 LAB. LOMBOK BIMA 1,022,154 725,519 2003 KENDARI BIMA - 725,519 2003 BIMA MAUMERE 725,519 275,344 2003 BIMA BENOA+P.BAI+N.PENIDA 725,519 519,936 2003 BIMA WAINGAPU 725,519 195,176 2003 BIMA SURABAYA 725,519 2,660,381 2003 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 725,519 333,288
2003 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 725,519 647,179
2003 BIMA LAB. LOMBOK+KAYANGAN 725,519 1,022,154
2003 BIMA MAKASAR 725,519 1,145,496 2003 BIMA KENDARI+SULTRA 725,519 - 2004 MAUMERE (sika) BIMA 277,850 736,961 2004 SURABAYA BIMA 2,681,092 736,961 2004 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 198,112 736,961
2004 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 657,543 736,961
2004 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 338,422 736,961 2004 BADAS BIMA - 736,961 2004 MAKASAR BIMA 1,160,033 736,961 2004 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 525,273 736,961
252
Lampiran 46 Lanjutan
Tahun Daerah Jmlh Penduduk (Org) Asal Asal Asal Tujuan
2004 KENDARI BIMA - 736,961 2004 BIMA MAUMERE 736,961 277,850 2004 BIMA BENOA 736,961 525,273 2004 BIMA WAINGAPU 736,961 198,112 2004 BIMA SURABAYA 736,961 2,681,092 2004 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 736,961 338,422
2004 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 736,961 657,543
2004 BIMA MAKASAR 736,961 1,160,033 2004 BIMA BANJARMASIN 736,961 740,469 2004 BIMA KENDARI+SULTRA 736,961 - 2004 BIMA NTT/ENDE 736,961 240,827 2004 BIMA BALIKPAPAN 736,961 - 2005 MAUMERE (sika) BIMA 280,356 748,583 2005 SURABAYA BIMA 2,698,972 748,583 2005 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 201,049 748,583
2005 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 667,908 748,583
2005 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 343,635 748,583 2005 MAKASAR BIMA 1,172,761 748,583 2005 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 532,350 748,583 2005 BIMA MAUMERE 748,583 280,356 2005 BIMA BENOA 748,583 532,350 2005 BIMA WAINGAPU 748,583 201,049 2005 BIMA SURABAYA 748,583 2,698,972 2005 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 748,583 1,050,236
2005 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 748,583 667,908
2005 BIMA BADAS 748,583 -
253
Lampiran 46 Lanjutan
Tahun Daerah Jmlh Penduduk (Org) Asal Tujuan Asal Tujuan
2005 BIMA MAKASAR 1,104.00 6,798
2005 BIMA BANJARMASIN 1,590.00 - 2005 BIMA NTT/ENDE 12,426.00 - 2005 BIMA BALIKPAPAN 870.00 - 2005 BIMA MALUKU 144.00 -
2006 MAUMERE (sika) BIMA - 552
2006 SURABAYA BIMA 5,700.00 450
2006 WAINGAPU (sumba timur) BIMA - 2,532
2006 LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) BIMA -
3,064
2006 LEMBAR+SENGGIGI BIMA - 390
2006 MAKASAR BIMA 3,018.00 12,794
2006 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA - 384
2006 SELAYAR BIMA - 84
2006 BIMA MAUMERE - 684
2006 BIMA BENOA - 204
2006 BIMA WAINGAPU - 1,386
2006 BIMA SURABAYA 4,602.00 456
2006 BIMA LEMBAR+SENGGIGI - 270
2006 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) -
2,109
2006 BIMA BADAS - 90
2006 BIMA MAKASAR 1,194.00 7,575
2006 BIMA BANJARMASIN 3,174.00 - 2006 BIMA NTT/ENDE 14,532.00 - 2006 BIMA MALUKU 144.00 -
2006 BIMA PEMENANG - 132
254
Lampiran 46 Lanjutan
Tahun Wilayah PDRB (Juta Rp.) Jarak (Km) Asal Tujuan Asal Tujuan
2003 MAUMERE (sika) BIMA 644,745.39 2,183,277.46
383.60
2003 SURABAYA BIMA 16,818,175.00 2,183,277.46
682.20
2003 WAINGAPU (sumba timur) BIMA
505,157.42 2,183,277.46 216.90
2003 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA
300,933.67 2,183,277.46 128.20
2003 LEMBAR+ SENGGIGI BIMA
1,271,399.00 2,183,277.46 296.20
2003 MAKASAR BIMA 8,882,254.69 2,183,277.46
377.70
2003 BENOA+P.BAI+ N.PENIDA BIMA
2,773,923.00 2,183,277.46 388.10
2003 LAB. LOMBOK BIMA 2,183,277.00 2,183,277.46
229.60
2003 KENDARI BIMA 788,644.00 2,183,277.46
649.20
2003 BIMA MAUMERE 2,183,277.46 644,745.39
383.60
2003 BIMA BENOA+P.BAI+ N.PENIDA
2,183,277.46 2,773,923.00
388.10
2003 BIMA WAINGAPU 2,183,277.46 505,157.42
216.20
2003 BIMA SURABAYA 2,183,277.46 16,818,175.00
682.20
2003 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 2,183,277.46 1,271,300.00
296.00
2003 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat)
2,183,277.46 300,934.00
128.00
2003 BIMA LAB. LBK+ KAYANGAN
2,183,277.46 2,098,339.00
229.60
2003 BIMA MAKASAR 2,183,277.46 8,882,255.00
377.70
2003 BIMA KENDARI+SULTRA 2,183,277.46 788,644.00
649.20
2004 MAUMERE (sika) BIMA 678,695.00 2,267,605.35
383.60
2004 SURABAYA BIMA 17,711,103.00 2,267,605.35
682.20
2004 WAINGAPU (sumba timur) BIMA
530,351.00 2,267,605.35 216.90
2004 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA
309,668.00 2,267,605.35 128.20
2004 LEMBAR+ SENGGIGI BIMA
1,392,171.00 2,267,605.35 296.20
2004 BADAS BIMA - 2,267,605.35 -
2004 MAKASAR BIMA 9,785,339.89 2,267,605.35
377.70
2004 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA
2,858,318.00 2,267,605.35 388.10
255
Lampiran 46 Lanjutan
Tahun Wilayah PDRB (Juta Rp.) Jarak (Km) Asal Tujuan Asal Tujuan
2004 KENDARI BIMA 841,399.00 2,267,605.35
649.20
2004 BIMA MAUMERE 2,267,605.37 678,695.00
383.60
2004 BIMA BENOA 2,267,605.37 2,858,318.00
388.10
2004 BIMA WAINGAPU 2,267,605.37 530,351.00
216.20
2004 BIMA SURABAYA 2,267,605.37 17,711,103.00
682.20
2004 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 2,267,605.37 1,392,171.00
296.00
2004 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat)
2,267,605.37 309,668.00
128.00
2004 BIMA MAKASAR 2,267,605.37 9,785,339.89
377.70
2004 BIMA BANJARMASIN 2,267,605.37 3,374,643.00
739.10
2004 BIMA KENDARI+SULTRA 2,267,605.37 841,399.00
649.20
2004 BIMA NTT/ENDE 2,267,605.37 615,952.00
324.20
2004 BIMA BALIKPAPAN 2,267,605.37 12,512,909.00
1,098.20
2005 MAUMERE (sika) BIMA 699,717.00 2,361,109.00
383.60
2005 SURABAYA BIMA 18,665,621.00 2,361,109.00
682.20
2005 WAINGAPU (sumba timur) BIMA
546,778.00 2,361,109.00
216.90
2005 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA
319,260.00 2,361,109.00
128.20
2005 LEMBAR+SENGGIGI BIMA
1,521,391.00 2,361,109.00
296.20
2005 MAKASAR BIMA 9,557,733.00 2,361,109.00
377.70
2005 BENOA+P.BAI+ N.PENIDA BIMA
2,960,252.00 2,361,109.00
388.10
2005 BIMA MAUMERE 2,361,109.00 699,717.00
383.60
2005 BIMA BENOA 2,361,109.00 2,960,252.00
388.10
2005 BIMA WAINGAPU 2,361,109.00 546,778.00
216.20
2005 BIMA SURABAYA 2,361,109.00 18,665,621.00
682.20
2005 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 2,361,109.00 1,521,391.00
296.00
2005 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat)
2,361,109.00 319,260.00
128.00
2005 BIMA BADAS 2,361,109.00 - -
256
Lampiran 46 Lanjutan
Tahun Wilayah PDRB (Juta Rp.) Jarak (Km) Asal Tujuan Asal Tujuan
2005 BIMA MAKASAR 2,361,109.00 9,557,733.00
377.70
2005 BIMA BANJARMASIN 2,361,109.00 3,550,522.00
739.10
2005 BIMA NTT/ENDE 2,361,109.00 635,030.00
324.20
2005 BIMA BALIKPAPAN 2,361,109.00 13,102,051.00
1,098.20
2005 BIMA MALUKU 2,361,109.00 - -
2006 MAUMERE (sika) BIMA 727,705.00 2,458,467.00
383.60
2006 SURABAYA BIMA 19,677,395.00 2,458,467.00
682.20
2006 WAINGAPU (sumba timur) BIMA
586,649.00 2,458,467.00
216.90
2006 LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) BIMA
332,030.00 2,458,467.00
128.20
2006 LEMBAR+ SENGGIGI BIMA
1,662,606.00 2,458,467.00
296.20
2006 MAKASAR BIMA 9,950,282.00 2,458,467.00
377.70
2006 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA
3,097,142.00 2,458,467.00
388.10
2006 SELAYAR BIMA 322,589.00 2,458,467.00
317.40
2006 BIMA MAUMERE 2,458,467.00 727,705.00
383.60
2006 BIMA BENOA 2,458,467.00 3,097,142.00
388.10
2006 BIMA WAINGAPU 2,458,467.00 568,649.00
216.20
2006 BIMA SURABAYA 2,458,467.00 19,677,395.00
682.20
2006 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 2,458,467.00 1,662,606.00
296.00
2006 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat)
2,458,467.00 332,030.00
128.00
2006 BIMA BADAS 2,458,467.00 - -
2006 BIMA MAKASAR 2,458,467.00 9,950,282.00
377.70
2006 BIMA BANJARMASIN 2,458,467.00 3,735,567.00
739.10
2006 BIMA NTT/ENDE 2,458,467.00 660,432.00
324.20
2006 BIMA MALUKU 2,458,467.00 - -
2006 BIMA PEMENANG 2,458,467.00 - -
257
Lampiran 46 Lanjutan
TAHUN WIL
ASAL WIL TUJUAN LN-PENUMPANG LN-PDDK KAPET LN-PDDK TUJUAN LN-JARAK 2003 BIMA MAUMERE 7.44 13.49 12.53 5.95 2003 BIMA BENOA+P.BAI+N.PENIDA 7.73 13.49 13.16 5.96 2003 BIMA WAINGAPU 5.98 13.49 12.18 5.38 2003 BIMA SURABAYA 4.84 13.49 14.79 6.53 2003 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 5.62 13.49 12.72 5.69 2003 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.39 13.49 13.38 4.85 2003 BIMA LAB. LOMBOK+KAYANGAN 5.01 13.49 13.84 5.44 2003 BIMA MAKASAR 9.07 13.49 13.95 5.93 2004 BIMA MAUMERE 7.56 13.51 12.53 5.95 2004 BIMA BENOA 7.10 13.51 13.17 5.96 2004 BIMA WAINGAPU 6.81 13.51 12.20 5.38 2004 BIMA SURABAYA 6.04 13.51 14.80 6.53 2004 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 4.36 13.51 12.73 5.69 2004 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.41 13.51 13.40 4.85 2004 BIMA MAKASAR 8.98 13.51 13.96 5.93 2005 BIMA MAUMERE 7.16 13.53 12.54 5.95 2005 BIMA BENOA 6.04 13.53 13.19 5.96 2005 BIMA WAINGAPU 7.31 13.53 12.21 5.38 2005 BIMA SURABAYA 6.44 13.53 14.81 6.53 2005 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 4.84 13.53 13.86 5.69 2005 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.42 13.53 13.41 4.85 2005 BIMA MAKASAR 8.82 13.53 13.97 5.93 2006 BIMA MAUMERE 6.53 13.54 12.55 5.95 2006 BIMA BENOA 5.32 13.54 13.20 5.96 2006 BIMA WAINGAPU 7.23 13.54 12.23 5.38 2006 BIMA SURABAYA 6.12 13.54 14.81 6.53 2006 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 5.60 13.54 12.76 5.69 2006 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.65 13.54 13.43 4.85 2006 BIMA MAKASAR 8.93 13.54 13.99 5.93
258
Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.177555076 R Square 0.031525805 Adjusted R Square -0.084691098 Standard Error 1.353392322 Observations 29 ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 3 1.490615241 0.496871747 0.271266951 0.845504929 Residual 25 45.79176945 1.831670778 Total 28 47.28238469 LN-PENUMPANG Coefficients Standard Error t Stat P-value
Intercept -32.61194922 191.8319265 -0.17000272 0.866376251LN-PDDK KAPET 2.997276391 14.19293578 0.21118086 0.834458157LN-PDDK TUJUAN 0.142702319 0.349899449 0.407838079 0.686864243LN-JARAK -0.52570027 0.595711016 -0.882475321 0.385926729
259
Lampiran 46 Lanjutan
TAHUN WIL
ASAL WIL TUJUAN LN-PENUMPANG LN-PDRB KAPET LN-PDRB TUJUAN LN-JARAK 2003 BIMA MAUMERE 7.44 14.60 13.38 5.95 2003 BIMA BENOA+P.BAI+N.PENIDA 7.73 14.60 14.84 5.96 2003 BIMA WAINGAPU 5.98 14.60 13.13 5.38 2003 BIMA SURABAYA 4.84 14.60 16.64 6.53 2003 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 5.62 14.60 14.06 5.69 2003 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.39 14.60 12.61 4.85 2003 BIMA LAB. LOMBOK+KAYANGAN 5.01 14.60 14.56 5.44 2003 BIMA MAKASAR 9.07 14.60 16.00 5.93 2003 BIMA KENDARI+SULTRA 2.48 14.60 13.58 6.48 2004 BIMA MAUMERE 7.56 14.63 13.43 5.95 2004 BIMA BENOA 7.10 14.63 14.87 5.96 2004 BIMA WAINGAPU 6.81 14.63 13.18 5.38 2004 BIMA SURABAYA 6.04 14.63 16.69 6.53 2004 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 4.36 14.63 14.15 5.69 2004 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.41 14.63 12.64 4.85 2004 BIMA MAKASAR 8.98 14.63 16.10 5.93 2004 BIMA KENDARI+SULTRA 2.48 14.63 13.64 6.48 2005 BIMA MAUMERE 7.16 14.67 13.46 5.95 2005 BIMA BENOA 6.04 14.67 14.90 5.96 2005 BIMA WAINGAPU 7.31 14.67 13.21 5.38 2005 BIMA SURABAYA 6.44 14.67 16.74 6.53 2005 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 4.84 14.67 14.24 5.69 2005 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.42 14.67 12.67 4.85 2005 BIMA MAKASAR 8.82 14.67 16.07 5.93 2006 BIMA MAUMERE 6.53 14.72 13.50 5.95 2006 BIMA BENOA 5.32 14.72 14.95 5.96 2006 BIMA WAINGAPU 7.23 14.72 13.25 5.38 2006 BIMA SURABAYA 6.12 14.72 16.79 6.53 2006 BIMA LEMBAR+SENGGIGI 5.60 14.72 14.32 5.69 2006 BIMA LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) 7.65 14.72 12.71 4.85 2006 BIMA MAKASAR 8.93 14.72 16.11 5.93
260
Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.603198901 R Square 0.363848915 Adjusted R Square 0.293165461 Standard Error 1.388825409 Observations 31 ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 3 29.78652792 9.928842639 5.147583 0.006055212Residual 27 52.07857246 1.928836017 Total 30 81.86510038
LN-PENUMPANG Coefficients Standard Error t Stat P-valueIntercept -31.39170166 82.85370728 -0.378881075 0.707739LN-PDRB KAPET 2.837580829 5.650141534 0.502214115 0.619588LN-PDRB TUJUAN 0.822461088 0.265479196 3.098024636 0.004512LN-JARAK -2.679274094 0.71638165 -3.740009387 0.000877
261
Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.603198901 R Square 0.363848915 Adjusted R Square 0.293165461Standard Error 1.388825409 Observations 31 ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 3 29.78652792 9.928842639 5.147583 0.006055212Residual 27 52.07857246 1.928836017 Total 30 81.86510038
LN-PENUMPANG Coefficients Standard Error t Stat P-valueIntercept -31.39170166 82.85370728 -0.378881075 0.707739LN-PDRB KAPET 2.837580829 5.650141534 0.502214115 0.619588LN-PDRB TUJUAN 0.822461088 0.265479196 3.098024636 0.004512LN-JARAK -2.679274094 0.71638165 -3.740009387 0.000877
262
Lampiran 46 Lanjutan TAHUN WIL ASAL WIL TUJUAN LN-BARANG LN-PDDK KAPET LN-PDDK TUJUAN LN-JARAK
2003 BIMA MAUMERE 8.28 13.49 12.53 5.95 2003 BIMA SURABAYA 7.32 13.49 14.79 6.53 2003 BIMA MAKASAR 7.45 13.49 13.95 5.93 2004 BIMA MAUMERE 8.28 13.51 12.53 5.95 2004 BIMA SURABAYA 7.28 13.51 14.80 6.53 2004 BIMA MAKASAR 6.62 13.51 13.96 5.93 2004 BIMA BANJARMASIN 6.70 13.51 13.52 6.61 2004 BIMA NTT/ENDE 7.51 13.51 12.39 5.78 2005 BIMA SURABAYA 7.61 13.53 14.81 6.53 2005 BIMA MAKASAR 7.01 13.53 13.97 5.93 2005 BIMA BANJARMASIN 7.37 13.53 13.55 6.61 2005 BIMA NTT/ENDE 9.43 13.53 12.40 5.78 2006 BIMA SURABAYA 8.43 13.54 14.81 6.53 2006 BIMA MAKASAR 7.09 13.54 13.99 5.93 2006 BIMA BANJARMASIN 8.06 13.54 13.57 6.61 2006 BIMA NTT/ENDE 9.58 13.54 12.41 5.78
263
Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.638428698 R Square 0.407591202 Adjusted R Square 0.259489002 Standard Error 0.750211972 Observations 16 ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 3 4.646784458 1.548928153 2.752094183 0.088704214Residual 12 6.753816038 0.562818003 Total 15 11.4006005 LN-BARANG Coefficients Standard Error t Stat P-valueIntercept -233.1062901 153.5175364 -1.518434282 0.154802404LN-PDDK KAPET 18.32405684 11.37226731 1.611293188 0.133089674LN-PDDK TUJUAN -0.503042192 0.273154365 -1.841604075 0.090372944LN-JARAK -0.002175144 0.726730317 -0.002993056 0.997661073
264
Lampiran 46 Lanjutan TAHUN WIL ASAL WIL TUJUAN LN-BARANG LN-PDRB KAPET LN-PDRB TUJUAN LN-JARAK
2003 BIMA MAUMERE 8.28 14.60 13.38 5.95 2003 BIMA SURABAYA 7.32 14.60 16.64 6.53 2003 BIMA MAKASAR 7.45 14.60 16.00 5.93 2004 BIMA MAUMERE 8.28 14.63 13.43 5.95 2004 BIMA SURABAYA 7.28 14.63 16.69 6.53 2004 BIMA MAKASAR 6.62 14.63 16.10 5.93 2004 BIMA BANJARMASIN 6.70 14.63 15.03 6.61 2004 BIMA NTT/ENDE 7.51 14.63 13.33 5.78 2004 BIMA BALIKPAPAN 6.77 14.63 16.34 7.00 2005 BIMA SURABAYA 7.61 14.67 16.74 6.53 2005 BIMA MAKASAR 7.01 14.67 16.07 5.93 2005 BIMA BANJARMASIN 7.37 14.67 15.08 6.61 2005 BIMA NTT/ENDE 9.43 14.67 13.36 5.78 2005 BIMA BALIKPAPAN 6.77 14.67 16.39 7.00 2006 BIMA SURABAYA 8.43 14.72 16.79 6.53 2006 BIMA MAKASAR 7.09 14.72 16.11 5.93 2006 BIMA BANJARMASIN 8.06 14.72 15.13 6.61
265
Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.629032465 R Square 0.395681841 Adjusted R Square 0.256223805Standard Error 0.65128034 Observations 17 ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 3 3.610436952 1.203478984 2.837282463 0.079213059Residual 13 5.514159058 0.424166081 Total 16 9.12459601
LN-BARANG Coefficients Standard Error t Stat P-value Intercept -70.46431672 60.53417317 -1.164041946 0.265326051LN-PDRB KAPET 5.749639318 4.162599889 1.381261584 0.190479717LN-PDRB TUJUAN -0.310843753 0.150481032 -2.065667335 0.059393005LN-JARAK -0.231583926 0.46857244 -0.494232921 0.629387776
266
Lampiran 46 Lanjutan TAHUN WIL ASAL WIL TUJUAN LN-PENUMPANG LN- PDDK ASAL LN- PDDK KAPET LN-JARAK
2003 MAUMERE (sika) BIMA 7.83 12.53 13.49 5.95 2003 SURABAYA BIMA 5.01 14.79 13.49 6.53 2003 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.24 12.18 13.49 5.38 2003 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.61 13.38 13.49 4.85 2003 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 6.37 12.72 13.49 5.69 2003 MAKASAR BIMA 9.22 13.95 13.49 5.93 2003 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 7.90 13.16 13.49 5.96 2003 LAB. LOMBOK BIMA 4.19 13.84 13.49 5.44 2004 MAUMERE (sika) BIMA 7.84 12.53 13.51 5.95 2004 SURABAYA BIMA 5.98 14.80 13.51 6.53 2004 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.94 12.20 13.51 5.38 2004 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.84 13.40 13.51 4.85 2004 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.85 12.73 13.51 5.69 2004 MAKASAR BIMA 9.41 13.96 13.51 5.93 2004 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 7.79 13.17 13.51 5.96 2005 MAUMERE (sika) BIMA 7.12 12.54 13.53 5.95 2005 SURABAYA BIMA 6.39 14.81 13.53 6.53 2005 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 8.14 12.21 13.53 5.38 2005 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.94 13.41 13.53 4.85 2005 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.62 12.75 13.53 5.69 2005 MAKASAR BIMA 9.43 13.97 13.53 5.93 2005 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 6.75 13.19 13.53 5.96 2006 MAUMERE (sika) BIMA 6.31 12.55 13.54 5.95 2006 SURABAYA BIMA 6.11 14.81 13.54 6.53 2006 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.84 12.23 13.54 5.38 2006 LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) BIMA 8.03 13.43 13.54 4.85 2006 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.97 12.76 13.54 5.69 2006 MAKASAR BIMA 9.46 13.99 13.54 5.93 2006 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 5.95 13.20 13.54 5.96 2006 SELAYAR BIMA 4.43 11.64 13.54 5.76
267
Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.274720707 R Square 0.075471467 Adjusted R Square -0.031204903 Standard Error 1.436884334 Observations 30 ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 3 4.382071284 1.460690428 0.707480646 0.556250586Residual 26 53.68055131 2.064636589 Total 29 58.06262259
LN-PENUMPANG Coefficients Standard Error t Stat P-value Intercept 38.26644754 199.4733744 0.19183737 0.849359983LN- PDDK ASAL 0.262457254 0.345988593 0.758571987 0.454930657LN- PDDK KAPET -2.182389896 14.73270813 -0.148132297 0.883381227LN-JARAK -0.890993925 0.625034353 -1.425511926 0.165905122
268
Lampiran 46 Lanjutan THN ASAL TUJUAN LN-PENUMPANG LN-PDRB ASAL LN-PDRB KAPET LN-JARAK
2003 MAUMERE (sika) BIMA 7.83 13.38 14.60 5.95 2003 SURABAYA BIMA 5.01 16.64 14.60 6.53 2003 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.24 13.13 14.60 5.38 2003 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.61 12.61 14.60 4.85 2003 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 6.37 14.06 14.60 5.69 2003 MAKASAR BIMA 9.22 16.00 14.60 5.93 2003 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 7.90 14.84 14.60 5.96 2003 LAB. LOMBOK BIMA 4.19 14.60 14.60 5.44 2003 KENDARI BIMA 4.36 13.58 14.60 6.48 2004 MAUMERE (sika) BIMA 7.84 13.43 14.63 5.95 2004 SURABAYA BIMA 5.98 16.69 14.63 6.53 2004 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.94 13.18 14.63 5.38 2004 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.84 12.64 14.63 4.85 2004 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.85 14.15 14.63 5.69 2004 MAKASAR BIMA 9.41 16.10 14.63 5.93 2004 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 7.79 14.87 14.63 5.96 2004 KENDARI BIMA 4.36 13.64 14.63 6.48 2005 MAUMERE (sika) BIMA 7.12 13.46 14.67 5.95 2005 SURABAYA BIMA 6.39 16.74 14.67 6.53 2005 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 8.14 13.21 14.67 5.38 2005 LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BIMA 7.94 12.67 14.67 4.85 2005 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.62 14.24 14.67 5.69 2005 MAKASAR BIMA 9.43 16.07 14.67 5.93 2005 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 6.75 14.90 14.67 5.96 2006 MAUMERE (sika) BIMA 6.31 13.50 14.72 5.95 2006 SURABAYA BIMA 6.11 16.79 14.72 6.53 2006 WAINGAPU (sumba timur) BIMA 7.84 13.28 14.72 5.38 2006 LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) BIMA 8.03 12.71 14.72 4.85 2006 LEMBAR+SENGGIGI BIMA 5.97 14.32 14.72 5.69 2006 MAKASAR BIMA 9.46 16.11 14.72 5.93 2006 BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA 5.95 14.95 14.72 5.96 2006 SELAYAR BIMA 4.43 12.68 14.72 5.76
269
Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.545784567 R Square 0.297880793 Adjusted R Square 0.222653735 Standard Error 1.346909586 Observations 32 ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 3 21.55095734 7.183652445 3.959755994 0.017969676Residual 28 50.79663211 1.814165432 Total 31 72.34758944
Y=LN PENUMPANG Coefficients Standard Error t Stat P-value Intercept 8.743561994 77.31310358 0.113092886 0.910763879LN-PDRB ASAL 0.640789873 0.243732111 2.629074474 0.013747588LN-PDRB TUJUAN 0.16295712 5.266080566 0.030944669 0.975533192LN-JARAK -2.310603368 0.676106758 -3.417512606 0.001952258
270
Lampiran 46 Lanjutan TAHUN WIL ASAL WIL TUJUAN LN-BARANG LN-PDDK ASAL LN-PDDK KAPET LN-JARAK
2003 SURABAYA BIMA 8.08 14.79 13.49 6.53 2003 MAKASAR BIMA 8.40 13.95 13.49 5.93 2004 SURABAYA BIMA 8.38 14.80 13.51 6.53 2004 MAKASAR BIMA 8.47 13.96 13.51 5.93 2005 SURABAYA BIMA 8.53 14.81 13.53 6.53 2005 MAKASAR BIMA 8.24 13.97 13.53 5.93 2006 SURABAYA BIMA 8.65 14.81 13.54 6.53 2006 MAKASAR BIMA 8.01 13.99 13.54 5.93
271
Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.871942561 R Square 0.760283829 Adjusted R Square 0.580496701Standard Error 0.142287681 Observations 8 ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 3 0.256846124 0.085615375 4.228800116 0.098705829Residual 4 0.080983137 0.020245784 Total 7 0.337829261
LN-BARANG Coefficients Standard Error t Stat P-value Intercept -164.4058243 60.37651511 -2.723009502 0.052822496LN-PDDK ASAL -66.15332994 20.17365914 -3.279193402 0.030523889LN-PDDK KAPET 39.98007285 12.08943944 3.307024535 0.029737128LN-JARAK 93.74905234 28.5224928 3.286846385 0.030305118
272
Lampiran 46 Lanjutan TAHUN WIL ASAL WIL TUJUAN LN-BARANG LN-PDRB ASAL LN-PDRB KAPET LN-JARAK
2003 SURABAYA BIMA 8.08 16.64 14.60 6.53 2003 MAKASAR BIMA 8.40 16.00 14.60 5.93 2004 SURABAYA BIMA 8.38 16.69 14.63 6.53 2004 MAKASAR BIMA 8.47 16.10 14.63 5.93 2005 SURABAYA BIMA 8.53 16.74 14.67 6.53 2005 MAKASAR BIMA 8.24 16.07 14.67 5.93 2006 SURABAYA BIMA 8.65 16.79 14.72 6.53 2006 MAKASAR BIMA 8.01 16.11 14.72 5.93
273
Lampiran 46 Lanjutan SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.766836061 R Square 0.588037545 Adjusted R Square 0.279065703Standard Error 0.186529469 Observations 8 ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 3 0.198656289 0.066219 1.903207561 0.270423253Residual 4 0.139172972 0.034793 Total 7 0.337829261 LN-BARANG Coefficients Standard Error t Stat P-valueIntercept 37.54442935 28.3540939 1.324127 0.256056344LN-PDRB ASAL 6.584906438 3.071460441 2.143901 0.098654664LN-PDRB KAPET -6.394679323 3.56826486 -1.792098 0.147589681LN-JARAK -6.972032397 3.362033077 -2.073755 0.106775096
275
Lampiran 48. Lembaran Kuisioner Analisis Hirarki Proses
Kode Responden :……………......... Tanggal Wawancara :…………………. Tempat Wawancara :………………….
Nama Responden :
Nama Lembaga/ Elemen
:
Pekerjaan /Jabatan :
Alamat :
Kami mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuisioner ini dengan objektif
dan benar, karena kuisioner ini adalah untuk penelitian tesis dengan tujuan ilmiah. Identitas Bapak/Ibu akan dijamin kerahasiaannya.
Terima kasih.
PENELITI :
ENIRAWAN A155040091
PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
JUDUL PENELITIAN TESIS :
STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI
TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
276
PENILAIAN STAKEHOLDER TENTANG STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH
KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA
PETUNJUK PENGISIAN TABEL
1. Responden hanya mengisi nilai sesuai intensitas kepentingan, antara satu faktor terhadap faktor pembanding yang lain dengan memberi nilai antara 1-9.
2. urutan intensitas dengan keterangan seperti Tabel sebagai berikut.
Tingkat kepentingan Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan.
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya
Pengalaman dan penilaian mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya.
5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya
Pengalaman dan penilaian dengan kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya.
7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya
Satu elemen sangat kuat didukung dan dominasi terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Nilai diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan.
Contoh :
Jika A sedikit lebih penting dari B, maka skor A terhadap B adalah = 3 dan B terhadap A adalah = 1/3,
sehingga matriksnya sebagai berikut : A B C
A 3 B 1/3 C
277
1. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari ketiga Strategi Pendekatan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Keterpaduan antar sektor b. Keterpaduan antar wilayah c. Keterpaduan antar pelaku/lembaga
STRATEGI PENDEKATAN (A) (B) (C) KETERPADUAN ANTAR SEKTOR (A) KETERPADUAN ANTAR WILAYAH (B) KETERPADUAN ANTAR PELAKU/ LEMBAGA (C)
Penjelasan :……………………..
2. Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar sektor dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6)
SDM (1) SDA (2)
INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA
SOSIAL (4)
FINANSIAL (5) INSTITUSI (6)
Penjelasan :……………………..
278
3. Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar wilayah dalam pengembangan wilayah Kapet Bima? a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6)
SDM (1) SDA (2) INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA SOSIAL (4)
FINANSIAL (5) INSTITUSI (6)
Penjelasan :……………………..
4. Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar pelaku/lembaga dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6)
SDM (1) SDA (2) INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA SOSIAL (4)
FINANSIAL (5) INSTITUSI (6)
Penjelasan :……………………..
279
5. Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar pelaku/lembaga dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6)
SDM (1) SDA (2) INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA SOSIAL (4)
FINANSIAL (5) INSTITUSI (6)
Penjelasan :……………………..
6. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari keeempat subkomponen sumber daya manusia dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Jumlah Penduduk b. Tingkat Pendidikan c. Lapangan Pekerjaan d. Tingkat Kesehatan
SDM (1) (a) (b) (c) (d) JUMLAH PDDK (a) PENDIDIKAN (b) PEKERJAAN (c) KESEHATAN (d)
Penjelasan :……………………..
280
7. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari kelima subkomponen sumber daya alam dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Lahan dan Air (Pertanian, Peternakan dan Kehutanan) b. Perikanan dan Kelautan c. Industri dan Pertambangan d. Keanekaragaman Sumber Daya Hayati e. Panorama Alam Wisata
SDA (2) (a) (b) (c) (d) (e) LAHAN DAN AIR (a)
PERIKANAN & KELAUTAN (b)
INDUSTRI & PERTAMBANGAN (c)
SD HAYATI (d) PANORAMA ALAM
WISATA (e)
Penjelasan :……………………..
8. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari kelima subkomponen infrastruktur dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Social dan budaya b. Ekonomi dan Perdagangan c. Transportasi d. Informasi dan Komunikasi e. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
INFRASTRUKTUR (3) (a) (b) (c) (d) (e) SOSIAL & BUDAYA (a)
EKONOMI & PERDAGANGAN (b)
TRANSPORTASI (c) INFORMASI &
KOMUNIKASI (d)
IPTEK (e) Penjelasan :……………………..
281
9. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari keempat subkomponen sumber daya social (SDS) dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Adat Istiadat b. Hubungan Masyarakat (dalam dan dengan luar komunitas) c. Keamanan d. Tingkat Mobilitas (pergerakan/perjalanan) masyarakat
SDS (4) (a) (b) (c) (d) ADAT ISTIADAT (a)
HUBUNGAN MASYARAKAT (b)
KEAMANAN (c) MOBILITAS
MASYARAKAT (d)
Penjelasan :……………………..
10. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari ketiga subkomponen finansial (permodalan) dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Modal Asing b. Modal Domestik Dalam Negeri c. Modal Domestik Dalam Kapet FINANSIAL (5) (a) (b) (c)
MODAL ASING (a) MODAL DOMESTIK DALAM NEGERI (b)
MODAL DOMESTIK DALAM KAPET (c)
Penjelasan :……………………..
282
STRUKTUR HIRARKI DALAM AHP STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KAPET BIMA
KOMPONEN : SUMBER DAYA
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
SUB KOMPONEN :
(a) (a) (a) (a) (a) (a)
(b) (b) (b) (b) (b) (b)
(c) (c) (c) (c) (c) (c)
(d) (d) (d) (d) (d)
(e) (e) (e)
(f)
STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KAPET BIMA
YANG BERIMBANG
KETERPADUAN ANTAR
SEKTOR (A)
KETERPADUAN ANTAR
WILAYAH (B)
KETERPADUAN ANTAR
INSTITUSI (C)
GOAL :
PENDEKATAN STRATEGI :
STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA
DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT1) (Regional Development Studi of Integrated Economical Development Regional
(Bima Kapet) In West Nusa Tenggara Province) 1)
Enirawan2), Bambang Juanda3), Setia Hadi4)
ABSTRACT The aim of Kapet development planning Model in Eastern Indonesian
Regional is to obtain the same level with Western Indonesian, therefore the present of Kapet program will be a prime mover to development of other regionals mainly at surrounding regions. The study was conducted in Bima Kapet with the objectives of : (1) to identify the potential of regional development of Bima Kapet and its problems, (2) to study the linkages among sectors and to find out the primary regional sector, (3) to study the spatial relationship pattern of intra-inter regional in Bima Kapet, and (4) to make strategy for regional development in Bima Kapet. The analyses used in this study were descriptive analysis involved : IO and LQ analyses, Grafitation model, AHP and SWOT analysis. Results of this study showed that : the primary regional sectors in Bima Kapet were farm food crops, livestock and their products, fisheries, non oil and gas manufacturing, and wholesale and retail trade. Based on gravitation models, variable or factor positively affected the spatial interaction (sea transportations) was number of population of origin area. Principally, strategies of regional development involved institutions/stakeholders, sectors, and regional integrations.
Key words : Bima Kapet, prime mover, linkages, primary sector, interaction, and integration.
PENDAHULUAN
Latar belakang Pembangunan Indonesia selama ini ternyata masih menyisakan
ketimpangan (disparitas) seperti kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan rakyat antara Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia Timur atau antara Pulau Jawa dan luar Jawa, hal ini didukung oleh data dari BPS (2006) yang menunjukkan bahwa 59.28 % PDB Indonesia berasal dari PDRB daerah-daerah di Pulau Jawa sedangkan Propinsi NTB hanya memberikan kontribusi sebesar 0.97 %. Disparitas terjadi selain karena faktor-faktor endowment dari masing-masing wilayah juga terjadi sebagai akibat kebijakan dan konsep wilayah yang dianut Pemerintah Indonesia.
Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat, maka pada Tahun 1996, diperkenalkan model perencanaan pembangunan Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu). Model ini mengadopsi konsep growth centers (pusat-pusat pertumbuhan) yang diharapkan menjadi prime mover pengembangan wilayah sekitarnya.
Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers (growth pole) di banyak negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan tersebut adalah melupakan kekuatan industrial-linkages, baik dalam proses
1) Makalah merupakan bagian dari tesis, disampaikan pada Seminar Sekolah Pascasarjana IPB, Program
Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan 2) Mahasiswa Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan 3) Ketua Komisi Pembimbing 4) Anggota Komisi Pembimbing
penambahan nilai, keterkaitan produk (industrial tree), maupun keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi), maka trickle down effect yang dijadikan harapan saat diberlakukannya konsep growth centers ini sulit terwujud (Haeruman, et al., 2000).
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima (BP Kapet Bima dan BPPT, 2000).
Pertumbuhan perekonomian kawasan secara umum terus mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kapet Bima Tahun 2000-2003 adalah 4.45 % pertahun di atas pertumbuhan Propinsi NTB yakni 3.64 % (BPS NTB, 2003). namun sebaran kontribusi tiap sektor belum merata, ini ditunjukkan dengan masih dominannya sektor pertanian terhadap PDRB Kapet Bima yakni 46.31 %. Di sisi lain, sebaran fasilitas dan penduduk juga tidak merata dan cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu (sebagai contoh, pada Tahun 2003 kepadatan penduduk Kecamatan Rasanae Barat adalah 1,050 jiwa/km2, sedangkan Kecamatan Tambora hanya 12 jiwa/km2). Sebaran fasilitas dan penduduk akan mempengaruhi tingkat pelayanan kebutuhan penduduk dan optimasi pemanfaatan ruang.
Kecenderungan konsentrasi manfaat pertumbuhan ekonomi jika hanya berpusat pada satu atau beberapa daerah utama saja akan menciptakan disparitas wilayah berupa tingkat pendapatan, standar hidup (standards of living), fasilitas pelayanan, dan aspek lainnya yang melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan di perdesaan serta secara jangka panjang dapat terjadi kemandekan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Perumusan Masalah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) adalah merupakan
kawasan andalan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Indonesia Timur dalam upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penggerak pembangunan di wilayah sekitarnya.
Pertumbuhan ekonomi kawasan yang tidak diikuti dengan penurunan kesenjangan, secara jangka panjang akan menyebabkan terjadinya kemandekan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kesenjangan antar wilayah umumnya disebabkan kurang adanya koordinasi dan kesesuaian program-program pengembangan kawasan yang dilaksanakan oleh berbagai pihak (stakeholders) dengan karakteristik wilayah, serta kurang memperhatikan keterkaitan sektor dan hubungan antar wilayah.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi potensi
pengembangan wilayah Kapet Bima serta berbagai peluang dan kendalanya (2) Mengkaji keterkaitan antar sektor dan untuk mengetahui sektor unggulan wilayah di Kapet Bima (3) Mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional di Kapet Bima, dan (4) Menyusun strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima.
KERANGKA PEMIKIRAN Pengembangan Kapet yang didasarkan pada teori growth center dapat
menimbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu diciptakan interaksi wilayah intra-inter regional dan keterkaitan antar sektor. Pengembangan sektor unggulan yang didukung ketersediaan berbagai potensi sumber daya dapat menggerakkan pertumbuhan sosial-ekonomi wilayah. Dalam era otonomi daerah, sinergi peran pemerintah daerah dan pelaku lainnya (stakeholders) sangat dibutuhkan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yang optimal dan berimbang.
METODE PENELITIAN
Lokasi, Waktu dan Data Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten
Dompu yang merupakan daerah administratif kabupaten di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2006. Data primer diperoleh langsung melalui wawancara dengan responden. Data sekunder diperoleh dari publikasi resmi BP Kapet Bima, Bappeda, BPS, Dinas Perhubungan, Disperindag serta instansi terkait lainnya.
Metode Analisis Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian. Untuk mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan wilayah digunakan analisis deskriptif. Penyusunan dan analisis IO digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar sektor, selanjutnya setelah menentukan sektor basis melalui analisis LQ tiap sektor maka dapat ditentukan sektor unggulan dengan memakai Indeks Keunggulan Sektor. Metode yang digunakan untuk mengkaji interaksi spasial adalah model grafitasi dan analisis deskriptif sedangkan untuk mengkaji peranan stakeholders digunakan analisis desktriptif kelembagaan. Selanjutnya dari hasil semua analisis maka dapat disusun strategi pengembangan wilayah dengan menggunakan analisis hirarki proses (AHP) dan analisis SWOT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi dan Permasalahan dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima memiliki struktur ekonomi yang
hampir sama yakni sektor pertanian (primer) memberikan kontribusi paling tinggi (masing-masing sebesar 47.06 % dan 52.00 %), disusul perdagangan, hotel dan restoran (tersier) kemudian yang ketiga adalah jasa-jasa (tersier). Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi tinggi terhadap struktur ekonomi Kota Bima adalah jasa-jasa, kontribusi sektor tersier ini sebesar 30.53 %, kemudian sektor pertanian (primer) dan perdagangan, hotel dan restoran (tersier). namun untuk kegiatan sektor sekunder seperti industri pengolahan, aktivitas dan nilai tambah di semua daerah di Kapet Bima cukup rendah yakni hanya sekitar tiga persen dari total kegiatan ekonomi.
Sebagai daerah yang memiliki karakteristik agraris, maka aktivitas pertanian dalam arti umum masih memberikan kontribusi besar dalam perekonomian Kapet Bima. Komoditas pertanian di Kapet Bima yang memberikan kontribusi paling tinggi terhadap total produksi Propinsi Nusa
Tenggara Barat yakni kacang kedelai (48,28 %), bawang merah (80.84 %), sirsak/srikaya (88.00 %), jarak (88.40 %). Pada Subsektor peternakan, komoditas dominan yang diusahakan di Kapet Bima dengan nilai pengusahaan > 10,000 ekor dengan tingkat kontribusi >20% terhadap total populasi ternak Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah kuda, sapi, kerbau dan kambing.
Kegiatan usaha perikanan di Kapet Bima yang memberikan kontribusi paling besar terhadap total produksi Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah budidaya mutiara (42 %), budidaya air payau (53 %), serta terdapat 26 komoditas perikanan laut yang masing-masing memiliki produksi >50 ton dengan kontribusi >30 % terhadap total produksi Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Potensi berbagai komoditas pertanian di atas cukup tinggi dan diusahakan oleh sebagian besar masyarakat di Kapet Bima, namun secara umum pengelolaannya masih sederhana dan bersifat tradisional. Selain itu, kegiatan pada subsistem pascapanen (pengolahan hasil) sangat terbatas, sehingga masyarakat tidak mendapatkan nilai tambah (value added) produk yang tinggi.
Selain potensi pertanian, di Kapet Bima juga memiliki berbagai potensi antara lain sebagai berikut : - Komposisi penduduk didominasi oleh kelompok usia produktif (penduduk
berumur 15-64 tahun yakni 59.21 %) - Secara umum, penduduk di Kapet Bima yang mencapai tingkat pendidikan
SMP ke atas baru mencapai 39.02 %, namun angka ini di atas rata-rata NTB yang baru mencapai 28.46 %. Angka ini juga berkorelasi dengan terus tumbuhnya sekolah dan perguruan tinggi di Kapet Bima khususnya di Kota Bima
- Terdapat kearifan nilai budaya masyarakat yang dapat menjadi faktor pendorong dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, antara lain (1) kriteria pemimpin “nggusu waru” (2) jiwa kepemimpinan “Katohompara Wekiku Sura Dou Mori Na Labo Dana” (3) Prinsip Pengambilan Keputusan “Nggahi Ra Sama Kai”(4) Prinsip Kerja “Nggahi Rawi Pahu” (5) Prinsip Pengendalian “Maja Labo Dahu”.
- Ketersediaan infrastruktur dasar, perdagangan, komunikasi dan transportasi baik darat, laut (5 pelabuhan laut) dan udara (1 bandara udara).
Beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan wilayah di Kapet Bima antara lain (1) Kualitas SDM relatif masih rendah (2) Peran lembaga ekonomi rakyat (koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya) belum optimal dalam pengembangan perekonomian di perdesaan (3) Modal yang dimiliki daerah maupun pengusaha lokal sangat terbatas, sedangkan investor luar daerah dan asing sulit didatangkan (4) Sebagian besar kegiatan usaha belum mampu menerapkan manajemen modern serta tingkat penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi masih terbatas sehingga belum memiliki daya saing yang tinggi, akibatnya peningkatan nilai tambah sulit tercapai (5) Lemahnya komunikasi dan koordinasi antara pemerintah propinsi dan kabupaten/kota (6) Kurang tegasnya pembagian tugas-wewenang (belum adanya prosedur operasional standar) antar instansi terkait dengan Kapet Bima. mengakibatkan kurang lancarnya tugas yang diemban oleh BP Kapet Bima (7) Orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial.
Keterkaitan Antar Sektor Berdasarkan Tabel IO dengan klasifikasi 18 sektor ekonomi, terlihat
bahwa 6 (enam) sektor yang memiliki nilai output paling tinggi adalah tanaman bahan makanan (26.93%), selanjutnya adalah jasa pemerintahan umum (14.62%), perdagangan besar dan eceran (11.65%), industri pengolahan non migas (10.94%), dan bangunan (8.36%) serta angkutan (7.28%). Sektor-sektor ini pun memiliki nilai tambah bruto lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.
Di sisi input, komponennya terdiri dari input antara (23.18%), import (7.76%) dan yang memberikan kontribusi paling besar adalah input primer atau nilai tambah bruto yakni sebesar Rp.2.61 trilyun (69.06%). Proporsi nilai tambah bruto ini terhadap total input di Kapet Bima sedikit lebih tinggi dari pada Propinsi NTB yakni 68.93 %.
Hasil analisis IO diketahui bahwa yang memiliki daya dorong paling tinggi adalah tanaman bahan makanan (sektor 1) yakni dengan nilai indeks 1.3422 sedangkan sektor yang memiliki daya tarik paling tinggi adalah industri pengolahan non migas (sektor 7) yakni dengan nilai indeks 1.3757 (Tabel 1). Sektor yang mempunyai daya tarik tinggi memberikan indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi terhadap sektor domestik lain. Sebaliknya sektor yang mempunyai daya dorong yang tinggi berarti sektor tersebut mempunyai keterkaitan ke depan yang kuat dibandingkan sektor yang lain.
Tabel 1. Indeks Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima
Kode Nama Sektor Daya Dorong
Daya Tarik
Total Keterkaitan
1 Tanaman Bahan Makanan 1.3422 0.9224 2.26462 Tanaman Perkebunan 0.9945 0.8493 1.8438 3 Peternakan dan Hasil-Hasilnya 0.9725 1.0316 2.00404 Kehutanan 0.8075 0.8186 1.6261 5 Perikanan 1.0240 0.9701 1.9941 6 Penggalian 0.8846 0.8783 1.7629 7 Industri Pengolahan Non Migas 1.2141 1.5195 2.7336 8 Listrik 0.9543 1.0002 1.9545 9 Air bersih 0.7991 0.9336 1.7327
10 Bangunan 0.9560 1.0908 2.0468 11 Perdagangan Besar dan Eceran 1.3366 0.8823 2.2188 12 Hotel dan Restoran 0.8917 1.3757 2.2674 13 Angkutan 1.1883 0.8799 2.0682 14 Pos dan Telekomunikasi 1.0171 0.8948 1.9119 15 Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank 1.0925 1.0321 2.124616 Sewa Bangunan dan Jasa Persh 0.9126 0.8591 1.7717 17 Jasa Pemerintahan Umum 0.7924 1.0538 1.8461 18 Jasa Swasta 0.8201 1.0079 1.8280
Sumber : Data Hasil Analisis Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks daya tarik >1, berarti daya
tarik sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Demikian juga jika nilai indeks daya dorong >1, berarti daya dorong sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Jika indeks daya tarik dan daya dorong sektor ini digabung maka akan didapat indeks keterkaitan antar sektor (total keterkaitan).
Tabel 1 menunjukkan bahwa sektor-sektor yang memiliki keterkaitan yang tinggi adalah tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya
(sektor 3), industri pengolahan non migas (sektor 7), bangunan (sektor 10), perdagangan besar dan eceran (sektor 11), hotel dan restotan (sektor 12), angkutan (sektor 13), bank dan lembaga keuangan non bank (sektor 15). Sektor-sektor ini memiliki tingkat keterkaitan lebih tinggi dari rata-rata sektor lainnya atau dengan total nilai indeks keterkaitan > 2.
Sektor Unggulan Adapun yang termasuk sektor unggulan dengan kriteria memiliki nilai LQ
dan indeks keterkaitan yang tinggi serta potensi pengembangan yang besar (Indeks Keunggulan Sektor > 3) adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3), kehutanan (sektor 4), perikanan (sektor 5), industri pengolahan non migas (sektor 7) serta perdagangan besar dan eceran (sektor 11). Gambaran keberadaan masing-masing sektor dalam kuadran-kuadran sektor unggulan dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
SEKTOR UNGGULAN POTENSIAL
7
113
15
4
0.0000
0.5000
1.0000
1.5000
2.0000
2.5000
3.0000
0.0000 0.5000 1.0000 1.5000 2.0000 2.5000 3.0000
INDEKS KETERKAITAN
LQ-P
DR
B
Gambar 1. Diagram Kartesius Sektor Unggulan di Kapet Bima
Kuadran I, merupakan sektor-sektor basis namun memiliki tingkat
keterkaitan dengan sektor lain masih rendah. Adapun sektor yang masuk dalam kuadran I ini adalah : Kehutanan (sektor 4) dan perikanan (sektor 5). Keberadaan sektor kuadran I ini perlu ditingkatkan aktivitas/kegiatan yang dapat menciptakan keterkaitan yang tinggi dengan sektor lain, yakni dengan menciptakan aktivitas/kegiatan antara seperti industri pengolahan hasil serta kegiatan domestik lainnya sehingga dapat menggerakkan ekonomi wilayah secara umum.
Kuadran II, merupakan sektor-sektor basis dan memiliki tingkat keterkaitan dengan sektor lain relatif tinggi. Sektor kuadran II adalah : Tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3). Sektor kuadran II ini harus fokus digerakkan serta dengan meningkatkan keunggulan kompetitifnya, baik dengan pendekatan marketing dan teknologi maupun dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif.
Kuadran III, merupakan sektor-sektor non basis namun memiliki tingkat keterkaitan dengan sektor lain relatif tinggi. Sektor kuadran III ini adalah :
I II
IIIIV
Industri pengolahan non migas (sektor 7), serta perdagangan besar dan eceran (sektor 11). Sektor kuadran III ini perlu ditingkatkan jumlah usaha dan kelembagaan, serta nilai produktivitasnya dengan berbasis (keunggulan) produk spesifik lokal.
Interaksi Spasial Intra-Inter Regional
Penduduk melakukan perjalanan/berpergian untuk memenuhi berbagai keperluan/kebutuhan hidup dan usahanya. Tabel 2 menjelaskan bahwa persepsi orientasi perjalanan penduduk untuk memenuhi keperluan/kebutuhan primer adalah 14.53 % dalam desa, 36.79 % dalam kecamatan dan 42.26 % dalam kabupaten. Kebutuhan sekunder dipenuhi dari dalam desa 9.81 %, dalam kecamatan 28.93 % dan dalam kabupaten 51.02 %. Kebutuhan tersier berasal dari dalam desa 4.29 %, 25.71 % dalam kecamatan, 52.14 % dalam kabupaten. Secara umum berbagai keperluan/kebutuhan penduduk di Kapet Bima dapat dipenuhi dalam kabupaten/kota masing-masing (82.50 %).
Tabel 2. Persepsi Orientasi Perjalanan Penduduk di Kapet Bima (%) No. Kebutuhan Dlm Desa Dlm Kec. Dlm Kab. Luar Kab. Jmlh 1. Primer 14.53 36.79 42.26 6.42 100.00 2. Sekunder 9.81 28.93 51.02 10.23 100.00 3. Tersier 4.29 25.71 52.14 17.86 100.00 Rata-Rata 9.54 30.48 48.48 11.50 100.00Sumber : Hasil Analisis Data Primer
Data Tabel 2 ini menunjukkan kecenderungan adanya hubungan antara hirarki ketersediaan barang/jasa dengan hirarki tingkat perkembangan suatu wilayah di Kapet Bima, atau dengan kata lain, pengaruh ketersediaan barang/jasa yang dibutuhkan penduduk di suatu wilayah akan menentukan tingkat perkembangan wilayah tersebut.
Arus penumpang, barang dan kendaraan Inter Regional di Kapet Bima secara garis besar melalui tiga jaringan transportasi, yaitu darat, udara dan laut. Melalui jaringan transportasi darat, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Bali, Jatim, Jateng, Yogyakarta, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi udara, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Propinsi NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi laut, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Papua.
Komoditi Kapet Bima yang dikirim keluar daerah pada umumnya berupa hasil alam (komoditi pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan garam) sedangkan komoditi yang masuk ke Kapet Bima meliputi produk hasil industri seperti minyak goreng, tepung terigu, pakan ternak, kayu lapis, semen dan bahan bangunan lainnya, komiditi tersebut dominan berasal dari Surabaya dan Makasar.
Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut (Tabel 3) terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus penumpang dari Kapet Bima secara sigifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi wilayah (b = 0.82) daerah tujuan dan menurun seiring dengan makin jauh jarak antar wilayah (c = -2.68), sedangkan arus barang dari Kapet Bima secara signifikan menurun seiiring dengan peningkatan jumlah penduduk (b = -
0.50) dan PDRB wilayah tujuan (b = -0.31). Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah asal (b = 0.64) dan menurun seiring dengan makin jauhnya jarak wilayah tersebut dengan Kapet Bima (c = -2.31). sedangkan arus barang menuju Kapet Bima secara signifikan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Kapet Bima (b = 39.98) dan jarak antar wilayah (c = 93.74), namun menurun seiring peningkatan jumlah penduduk daerah asal (a = 66.15).
Tabel 3. Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Inter Regional
Jalur Transportasi Laut di Kapet Bima No. Model Grafitasi k A b c R Sq. I. Wil Asal (i) : Kapet Bima
1. T1ij = k. m1ia.m1j
b. dij-c -32.61 2.99 0.14 -0.51 0.03
2. T1ij = k. m2ia.m2j
b. dij-c -31.39 2.84 0.82** -2.68** 0.36**
3. T2ij = k. m1ia.m1j
b. dij-c -233.1 18.32 -0.50* -0.002 0.41*
4. T2ij = k. m2ia.m2j
b. dij-c -70.46 5.74 -0.31* -0.23 0.39*
II. Wil Tujuan (j) : Kapet Bima 1. T1ij = k. m1i
a.m1jb.dij
-c 38.27 0.26 -2.18 -0.89 0.08 2. T1ij = k. m2i
a.m2jb.dij
-c 8.74 0.64 0.16 -2.31** 0.29** 3. T2ij = k. m1i
a.m1jb.dij
-c -164.40* -66.15** 39.98** 93.74** 0.76* 4. T2ij = k. m2i
a.m2jb.dij
-c 37.54 6.58 -6.39 -6.97 0.58 Sumber : Hasil Analisis *) Signifikan pada taraf α = 0.10 **) Signifikan pada taraf α = 0.05 dimana : i = Wilayah asal j = Wilayah tujuan T1ij = Arus penumpang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (orang) T2ij = Arus barang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (ton) m1i = Jumlah penduduk wilayah asal (orang) m1j = Jumlah penduduk wilayah tujuan (orang) m2i = Total nilai PDRB wilayah asal (Juta Rupiah) m2j = Total nilai PDRB wilayah tujuan (Juta Rupiah) dij = Jarak antara wilayah asal dan tujuan (km) a,b,c = Koefisien peubah massa (m) wilayah asal, massa wilayah tujuan dan jarak.
Selain melakukan hubungan wilayah regional dan nasional, dalam kajian
sejarah Kapet Bima juga melakukan hubungan internasional khususnya dengan negara-negara Timur Tengah. Keberadaan Kapet Bima tersebut memiliki posisi strategis dalam hubungan intra-inter regional, serta memberikan dampak pada perkembangan sosial, ekonomi dan politik wilayah.
Peranan Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah
Pengelolaan Kapet Bima melibatkan berbagai pihak. Secara garis besar terdiri dari BP Kapet, Pemda Propinsi NTB, Pemda Kabupaten/Kota di Kapet Bima, Pemerintah Pusat, Swasta dan Lembaga Masyarakat. Berdasarkan tingkat pengaruh dan keterlibatan stakeholders terdapat empat kelompok stakeholders (Gambar 2) : (K1) yaitu lembaga masyarakat, pelaku dalam kuadran ini perlu dilakukan pemberdayaan dan dilibatkan dalam rangkaian proses pembangunan, (K2) yakni Pemkab dan swasta, pelaku dalam kuadran ini perlu dikoordinir dan disinergi potensi yang dimiliki secara lebih optimal, melalui kemitraan atau kerjasama antar daerah dan swasta, (K3) yakni Pemerintah Propinsi, pelaku dalam
kuadran ini perlu di dorong agar berperan lebih besar dengan menggunakan pengaruh dan atau kewenangan yang dimilikinya untuk pengembangan wilayah Kapet Bima dan (K4) yakni pemerintah pusat dan BP Kapet Bima, pelaku dalam kuadran ini perlu memiliki ketegasan fungsi tugasnya serta memiliki program kerja yang efektif bagi pengembangan wilayah Kapet Bima, baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
Tingkat Kepentingan dan Peran Stakeholders
Pem Pusat
BP Kapet
Lbg Masy
Swasta
PemKab
PemProv
0
1
2
3
4
5
6
7
0 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Kepentingan
Ting
kat P
eran
Gambar 2. Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan Stakeholders Dalam
Pengembangan Wilayah di Kapet Bima
Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan analisis Hirarki Proses (AHP) dan analisis SWOT, maka
secara garis besar, strategi pengembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, dengan prioritas sebagai berikut : (1) Keterpaduan Institusi/Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah
a. Membangun komitmen dan kerjasama antar pelaku serta melakukan reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima ke arah penyelenggaran pengembangan wilayah terpadu yang selaras dengan semangat otonomi daerah.
b. Peningkatan kapasitas lembaga dan usaha ekonomi kerakyatan (UKMK) serta pengembangan kualitas SDM dan penguasaan teknologi terapan.
(2) Keterpaduan Sektoral Dalam Pengembangan Wilayah a. Pengembangan sumber daya wilayah khususnya pada sektor unggulan
melalui peningkatan produktivitas dan daya saing serta keterkaitan antar sektor.
b. Perkuatan struktur perekonomian wilayah di Kapet Bima, melalui pengembangan industri yang terkait dengan aktivitas dan pemanfaatan sumber daya lokal.
(3) Keterpaduan Wilayah Dalam Pengembangan Wilayah a. Peningkatan hubungan intra dan inter regional di Kapet Bima melalui
pengembangan prasarana dan sarana komunikasi-informasi dan
I
IV III
II
Tingkat Pengaruh
Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan StakeholdersK e t e r l i b a t a n
transportasi sehingga terwujud mobilitas sumber daya dan kerja sama antar wilayah yang optimal dan berimbang.
b. Perencanaan pembangunan wilayah Kapet Bima yang akomodatif-partisipatif dan antisipatif dengan mempertimbangkan arah kebijakan nasional dan pengaruh global.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kapet Bima memiliki berbagai potensi dan permasalah dalam
pengembangan wilayah. Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima memiliki struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor pertanian (primer) dan perdagangan. Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi tinggi terhadap struktur ekonomi Kota Bima adalah jasa-jasa dan perdagangan. namun kegiatan sektor sekunder seperti industri pengolahan di Kapet Bima masih cukup rendah.
Adapun yang termasuk sektor unggulan di Kapet Bima dengan kriteria nilai LQ dan keterkaitan antar sektor yang tinggi serta memiliki potensi pengembangan adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3), kehutanan (sektor 4), perikanan (sektor 5), industri pengolahan non migas (sektor 7) serta perdagangan besar dan eceran (sektor 11).
Arah dan besarnya pergerakan penduduk ditentukan oleh ketersediaan kebutuhannya di suatu wilayah, dan 82.50 % kebutuhan penduduk dapat dipenuhi dalam kabupaten/kota di Kapet Bima. Berdasarkan model grafitasi inter regional (melalui transportasi laut), arus penumpang dan barang dari Kapet Bima dipengaruhi oleh massa wilayah (pertumbuhan penduduk dan ekonomi) daerah tujuan dan jarak antar wilayah, sedangkan arus penumpang dan barang menuju Kapet Bima ditentukan oleh massa wilayah daerah asal dan Kapet Bima serta jarak antar wilayah..
Secara garis besar, strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, dengan prioritas sebagai berikut : (1) Keterpaduan Institusi/stakeholders khususnya antar Pemkab dengan koordinasi Pemprop NTB, (2) Keterpaduan sektoral serta fokus pada mengembangkan sektor unggulan dan (3) Keterpaduan wilayah baik intra maupun inter regional.
Saran Dalam pengembangan Wilayah Kapet Bima dibutuhkan suatu koordinasi
dan sinergi kebijakan-program yang memberikan dampak yang besar bagi total pertumbuhan wilayah. Untuk itu perlu diprioritaskan pengembangan sektor unggulan dengan meningkatkan produktivitas, membangun industri antara yang dapat meningkatkan keterkaitan antar sektor serta dengan meningkatkan daya saing sektor unggulan tersebut, yang didukung oleh pengembangan infrastruktur yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA BP Kapet Bima dan BPPT, 2000. Rencana Induk Kegiatan Kapet Bima. Mataram: BP Kapet Bima. BPS Jakarta, 2006. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi-Propinsi Di Indonesia Menurut
Lapangan Usaha 2001-2005. Jakarta. BPS NTB, 2004. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Tahun 2003. Mataram Haeruman H., et al., 2000. Kebijakan DP KTI Dalam Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.
Jakarta : Sekretariat Dewan Pengembangan KTI.
SEMINAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Enirawan Nomor Pokok : A155040091 Judul Penelitian : Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima Di Propinsi Nusa Tenggara Barat Komisi Pembimbing : 1. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS (Ketua) 2. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. (Anggota) Hari/Tanggal : Kamis, 12 Februari 2007 Waktu : 12.00-13.00 WIB Tempat : Auditorium Sosek Kampus IPB Darmaga Bogor
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Affendi. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. P4Wpress. Bogor.
Badan Pusat Satatistik, 2000. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output..
BPS. Jakarta. Badan Pusat Satatistik, 2000. Tekhnik Penyusunan Tabel Input-Output.. BPS.
Jakarta. BP Kapet Bima dan BPPT, 2000. Rencana Induk Kegiatan Kapet Bima. BP Kapet
Bima. Mataram. BPS Nusa Tenggara Barat, 2003. Propinsi Nusa Tenggara Barat Dalam Angka.
BPS Nusa Tenggara Barat. Mataram. Marimin, 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Pradhan, K. Pushkar. 2003. Manual for Urban Rural Linkage and Rural
Development Analysis. New Hira Books Enterprises. Kirtipur, Kathmandu.
Prastya, H.. 2000. Pengembangan Keterkaitan Antar Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (Kapet) di Kawasan Timur Indonesia. Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta.
Rondinelli, A. Dennis. 1985. Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial
Dimensions of Development Policy. Westview Press / Boulder. London. Rustiadi Ernan, Saefulhakim Sunsun, Dyah R. Panuju, 2005. Perencanaan
Pengembangan Wilayah. Diktat Kuliah. Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.