41
1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Film, sebagai medium penyampai pesan adalah salah satu media yang paling diminati khalayak. Tak sekedar menonton, khalayak biasanya melakukan pembahasan akan film yang ditonton. Pembahasan bisa lewat obrolan ringan, hingga ke diskusi yang serius. Salah satu faktor yang membuka ruang kemungkinan terciptanya perbincangan maupun diskusi tentang film, adalah adanya interpretasi yang berbeda-beda. Variasi Interpretasi tiap penonton, berkontribusi menjadi pemantik obrolan-obrolan. Setiap individu memiliki interpretasi yang berbeda-beda terhadap teks media massa. Beberapa faktor seperti pengalaman, maupun latar belakang khalayak, sedikit banyak berpengaruh pada diverivikasi tafsir, walaupun yang media yang dikonsumsi sama. Hingga tahun ini, film semakin menjadi primadona untuk menyampaikan pesan. Mengingat ada sebuah masalah yang belum tuntas di Indonesia, melalui medium film Joshua Oppenheimer mencoba menyampaikan pesan rekonsiliasi terkait tragedi 1965. Joshua menyampaikan pesan tersebut melalui film berjudul Senyap.Film ini menggambarkan betapa dasyat kebutuhan rekonsiliasi di Indonesia sekarang. 1 ” ungkap Joshua dalam sebuah wawancara dengan BBC, sedang di dalam booklet DVD film Senyap ia menuliskan “kami berharap pesan film Senyap ini mencerminkan optimisme kami: rekonsiliasi adalah jalan berat bukan jalan yang tak mungkin.” Kembali melihat kebelakang, pada tahun 1965 terjadi sebuah pembantaian besar-besaran di negeri ini. Pembantaian yang ditujukan kepada anggota Partai Komunis Indonesia(PKI) dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya. 1 Ging, Ginanjar. 2014. Oppenheimer: Kita Tidak Bisa Lari Dari Sejarah. Terarsip di http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/11/141110_wwc_oppenheimer_ging diakses pada 27 februari 2015.

A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

1

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Film, sebagai medium penyampai pesan adalah salah satu media yang

paling diminati khalayak. Tak sekedar menonton, khalayak biasanya melakukan

pembahasan akan film yang ditonton. Pembahasan bisa lewat obrolan ringan,

hingga ke diskusi yang serius. Salah satu faktor yang membuka ruang

kemungkinan terciptanya perbincangan maupun diskusi tentang film, adalah

adanya interpretasi yang berbeda-beda. Variasi Interpretasi tiap penonton,

berkontribusi menjadi pemantik obrolan-obrolan. Setiap individu memiliki

interpretasi yang berbeda-beda terhadap teks media massa. Beberapa faktor

seperti pengalaman, maupun latar belakang khalayak, sedikit banyak berpengaruh

pada diverivikasi tafsir, walaupun yang media yang dikonsumsi sama.

Hingga tahun ini, film semakin menjadi primadona untuk menyampaikan

pesan. Mengingat ada sebuah masalah yang belum tuntas di Indonesia, melalui

medium film Joshua Oppenheimer mencoba menyampaikan pesan rekonsiliasi

terkait tragedi 1965. Joshua menyampaikan pesan tersebut melalui film berjudul

Senyap.“Film ini menggambarkan betapa dasyat kebutuhan rekonsiliasi di

Indonesia sekarang.1” ungkap Joshua dalam sebuah wawancara dengan BBC,

sedang di dalam booklet DVD film Senyap ia menuliskan “kami berharap pesan

film Senyap ini mencerminkan optimisme kami: rekonsiliasi adalah jalan berat

bukan jalan yang tak mungkin.”

Kembali melihat kebelakang, pada tahun 1965 terjadi sebuah pembantaian

besar-besaran di negeri ini. Pembantaian yang ditujukan kepada anggota Partai

Komunis Indonesia(PKI) dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya. 1 Ging, Ginanjar. 2014. Oppenheimer: Kita Tidak Bisa Lari Dari Sejarah. Terarsip di http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/11/141110_wwc_oppenheimer_ging diakses pada 27 februari 2015.

Page 2: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

2

Kini 50 tahun berlalu, kebenaran belum diungkap, keadilan belum ditegakkan.

Tendensinya justru legitimasi pembantaian tersebut dianggap sebagai bukan

sebuah kesalahan yang perlu diperbaiki.

Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di

Indonesia pada tahun 1998, tak lantas menghentikan wacana anti-komunis yang

telah memiliki pondasi yang kuat. Salah satu aspek penting yang memberikan

kontribusi terhadap bagaimana ideologi anti-komunis dibentuk oleh rezim Orde

Baru dan dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama adalah kampanye

kebudayaan dalam melegitimasi kekerasan terhadap simpatisan komunis pada

1965-19662.

Narasi utama yang dikenal bangsa ini tentang tragedi 1965, adalah cerita

versi Orde Baru, yang dipropagandakan melalui berbagai macam media. Salah

satu yang paling dikenal adalah Pengkhianatan G30S/PKI yang hadir dalam

bentuk film (Arifin C. Noer,1984) dan novel (Arswendo Atmowiloto). Secara

garis besar, film produk Orde Baru itu menunjukan bagaimana Komunisme adalah

sebuah idelogi yang kejam dan tidak bermoral.

Upaya rekonsiliasi terhadap peristiwa tersebut masih sulit dilakukan,

walau Indonesia sudah memasuki era reformasi. Pada November 2000 Yayasan

Peneilitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP) melakukan penggalian

tulang belulang korban pembunuhan massal yang dilakukan oleh militer di bawah

komando Jendral Soeharto sebagai akibat dari peristiwa 30 September 1965.

Bersama keluarga korban, YPKP hendak melakukan pemakaman ulang, namun

dihalangi oleh sekelompok orang yang menamakan diri FUIK (Forum Ukhuwah

Islamiyah Kaloran). FUIK secara tegas menolak pemakaman yang hendak

dilakukan di desa mereka, Kaloran. Mereka mengancam para pengurus upacara,

2 Wijaya Herlambang. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Jakarta: Marjin Kiri. Hal 31-32

Page 3: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

3

merampas dan menghancurkan dan memporak-porandakan tulang belulang

korban3

Orde Baru juga telah mengamankan wacana ini melalui Tap MPRS

XXV/1966, yang berisi tentang pelarangan penyebaran paham komunisme karena

dianggap bertentangan dengan pancasila. Pada era singkat presiden Gus Dur

berkuasa, Tap MPRS ini sedang direncanakan untuk dicabut. “TAP tersebut jadi

karena semata-mata hawa nafsu seseorang yang takut dinamakan dia PKI. Saya

ini lahir dari keluarga bukan PKI, tetapi saya tahu hak orang” ungkap Gus Dur

dalam dialog rutin usai Shalat Jumat di Masjid Al-Munawaroh, Ciganjur, Jakarta,

Jumat 31 Maret 2000 lalu. Namun belum sempat mencabut, Gus Dur lebih dulu

lengser dari jabatannya. Belum lama ini, pada era kampanye Jokowi-JK, tim

sukses mereka, Prof Dr Musdah Mulia, mengatakan bahwa Jokowi akan mencabut

Tap MPRS tersebut. Wacana mengejutkan ini lantas mendapat respons negatif.

salah satunya dari Budayawan Ridwan Saidi yang mengatakan “Komunis itu,

ajaran yang memiliki pengalaman kelam di Indonesia, dan bangsa ini berjuang

dengan darah untuk membasmi faham itu.”

Kini, 17 tahun setelah reformasi, mulai muncul beberapa kajian-kajian

tentang peristiwa 1965. Beberapa karya untuk merekonstruksi dan rekonsiliasi

seperti buku Dalih Pembunuhan Masal—yang memenangi International

Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007—karya John Roosa dan film

Jagal dan Senyap karya Joshua Oppenheimer, tidak berjalan tanpa kekerasan.

Buku John Roosa sempat dilarang terbit oleh Kejaksaan Agung pada tahun 20094.

Sementara film karya Joshua Openheimer yang banyak mendapat penghargaan

internasional, juga mendapat pelarangan dari banyak pihak.

3 Ibid., Hal 3. 4 Anton Septian. 2009. Kejaksaan Akan Sita Buku Dalih Pembuhan massal terarsip di

http://www.tempo.co/read/news/2009/12/28/058216004/ diakses pada tanggal 27 februari 2015.

Page 4: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

4

Film kedua Joshua Openheimmer, Senyap berisi upaya rekonsiliasi tentang

salah seorang keluarga korban pembantaian massal 1965. Seperti film

sebelumnya—Jagal—yang menuai kontroversi dan pencekalan, di film Senyap

pun mendapat respons demikian. Bahkan lebih dari itu, pemutaran-pemutaran film

Senyap juga dibubarkan paksa. Pelarangan ini bahkan masuk hingga ke level

kampus.

Diawali dari pelarangan pemutaran oleh pihak kampus di Universitas

Brawijaya, hingga yang terbaru, pelarangan pemutaran di kampus Universitas

Sanata Dharma. Sebelumnya pembubaran paksa juga terjadi di kampus Institut

Seni Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Pada dua nama terakhir,

pembubaran dilakukan oleh Forum Umat Islam (FUI) yang pada saat orasi

pembubaran, terekam mengatakan sebagai alumni UGM5.Pembubaran Ini menjadi

bukti bahwa, represi budaya masih eksis bahkan di tingkat kampus, tempat di

mana diskusi ilmiah terbuka seluas-luasnya. Bahkan Tap MPR XXV/66 buah

Orde Baru pun sebenarnya telah mengizinkan kajian-kajian terkait komunisme

dikaji untuk wilayah kampus.

Senyap, berdasarkan sang pembuat film, memiliki sebuah wacana mulia,

yakni upaya rekonsiliasi. Disini, peneliti ingin melihat bagaimana wacana itu

diinterpretasi oleh kalangan mahasiswa FISIPOL UGM. Senyap menjadi sangat

menarik untuk dikaji karena film ini adalah film paling kontemporer terkait

dengan wacana rekonsiliasi konfilk 65. Film ini juga menjadi film terbaik di

beberapa media, dan mendapat beberapa penghargaan internasional. Prestasi-

prestasi film tersebut menguatkan sebagai indikator kelayakan akan sebuah film

untuk diteliti, selain tentunya substansi utama film ini.

Penelitian difokuskan di FISIPOL UGM, karena adanya antusiasme tinggi

terhadap film ini, yang di saat bersamaan juga terjadi penolakan yang diikuti

pembubaran paksa di FISIPOL. Pemilihan objek penelitian di kampus, juga untuk 5 Titah Winedar.2014. Kronologi Pembubaran Diskusi Dan Pemutaran Film Senyap Di UGM terarsip di http://www.warningmagz.com/2014/12/18/kronologi-pembubaran-diksusi-dan-pemutaran-film-Senyap -di-ugm diakses pada tanggal 27 februari 2015

Page 5: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

5

mengukur bagaimana khalyak kampus FISIPOL menerima pesan rekonsiliasi

yang dibawa oleh film Senyap.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana mahasiswa FISIPOL UGM memaknai wacana rekonsiliasi

tragedi 1965 dalam film Senyap karya Joshua Oppenheimer?

C. Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan fenomena the intellectual audiens dalam meresepsi

sebuah film dokumenter

2. Mendeskripsikan keragaman resepsi film Senyap oleh mahasiswa

FISIPOL UGM.

3. Mengetahui aspek-aspek yang ikut membentuk proses pemaknaan

wacana rekonsiliasi konfilk dalam film Senyap

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian bisa menjadi acuan buat para pembuat pesan melalui

medium film, untuk melihat bagaimana pesan yang mereka sampaikan

diinterpretasi oleh khalayak

2. Memberikan kontribusi dalam kajian Ilmu Komunikasi yang berkaitan

dengan dunia kajian khalayak terhadap film dokumenter

Page 6: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

6

E. Kerangka Pemikiran

1. Audiens

Dalam sebuah proses komunikasi, audiens—disebut juga dengan khalayak—

adalah pihak yang menerima pesan atau biasa disebut juga komunikan. Akan

tetapi tidak semua komunikan merupakan audiens. Karena, audiens adalah

komunikan dalam proses komunikasi massa. Audiens adalah komunikan yang

mengonsumsi media massa seperti surat kabar, televisi, musik, film dan

seterusnya. Menurut Wilbur Schramm, istilah audiens merupakan istilah kolektif

untuk penerima pesan (receivers) dalam model proses komunikasi massa.

Istilah audiens sendiri awalnya merujuk pada penonton pertunjukan musik,

teater, atau pertandingan olahraga pada masa Yunani dan Romawi. Kemudian

istilah ini mengalami berbagai penyesuaian sesuai dengan perkembangan media.

Misalnya penerima pesan komunikasi massa disebut pendengar radio (listeners),

media cetak disebut audiens pembaca (reader), dan dalam televisi disebut audiens

pemirsa (viewers). Berkaitan dengan perkembangan tersebut, secara sederhana

audiens dapat didefinisikan sebagai penerima atau pengonsumsi teks media

Penelitian audiens dan media memiliki beberapa pandangan tentang

karakteristik audiens, terkait dengan bagaimana audiens mengonsumsi media.

Awalnya, penelitian media berpendapat bahwa media massa merupakan sarana

yang paling efektif dalam menyampaikan pemikiran dari kelompok yang lebih

dominan ke populasi massa yang lebih luas. Pandangan lama ini memposisikan

masyarakat atau massa sebagai audiens pasif yang dapat dipengaruhi oleh media

secara terus menerus dan tanpa mereka sadari telah dipengaruhi oleh pengirim

pesan. Hal ini ditunjukan dalam teori jarum hipodermik yang banyak dikritik dan

diperdebatkan.

Page 7: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

7

Dalam model ini, masyarakat merupakan massa, sementara komunikasi massa

menyuntikan ide, sikap, dan sifat yang mengarah pada perilaku pasif dan mudah

terpengaruh6. Berdasarkan teori ini, audiens menerima begitu saja sepenuhnya

pesan dari media massa. Media massa berada di posisi yang kuat dan

mendominasi khalayaknya. Media massa dengan perbandingan jumlah yang lebih

sedikit, sebagai suatu lembaga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini

audiens mengenai suatu hal.

Dalam media massa, ada tiga sub-kelompok dasar dari audiens. Sub-kelompok

ini dibagi menjadi tiga yaitu the illiterate, the pragmatist, dan the intellectual.

Untuk mengkaji audiens dapat dimulai dengan mengenali karakterisitiknya.

Pertama, seorang audiens dapat diartikan dalam cara yang saling bersinggungan

dan berbeda: oleh tempat (sebagaimana dalam kasus media lokal); oleh orang-

orang (seperti ketika media menggolongkannya sebagai pertimbangan kepada

kelompok tertentu, jenis kelamin, kepercayaan politik atau kategori pendapatan);

oleh tipe fakta khusus dari media atau saluran yang terlibat (kombinasi dari

teknologi dan organisasi); oleh isi dari pesan tersebut (genre, persoalan, dan

gaya); oleh waktu (sebagaimana waktu seseorang berbicara tentang audiens

‘daytime‘ atau ‘primetime‘, atau audiens yang cepat berlalu dan berjangka pendek

yang dibandingkan dengan audiens yang bertahan lama).7

Lebih lanjut, untuk mengkaji audiens, ada beberapa isu utama dan

permasalahan yang dapat menjadi perhatian. Misalnya kecanduan akan

penggunaan media tertentu, masyarakat audiens dan pemisahan sosial, perilaku

audiens (kepasif-aktifan), manipulasi atau ketahanan terhadap media, hak audiens

minoritas, dan dampak dari teknologi media baru.

6 Todd Gitlin. 2002. Media Sociology: The Dominant Paradigm. dalam Denis McQuail (ed).

McQuail‟s Reader in Mass Communication Theory. London: SAGE Publications. hal. 29. 7 Denis McQuail. 2002. Reader in Mass Communication Theory. London: SAGE Publications Ltd. hal. 396

Page 8: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

8

Media dan audiens memiliki hubungan yang lebih kompleks. Tidak sebatas

bahwa media dapat mempengaruhi audiens. Para teoritisi media pun masih

memperdebatkan konseptualisasi audiens. Apakah audiens merupakan masyarakat

massa (mass society) atau komunitas (community) dan gagasan mengenai audiens

pasif atau audiens aktif8.Pandangan mengenai masyarakat massa (mass society)

senada dengan teori-teori powerful effect yakni bahwa media memiliki kekekuatan

yang besar dalam mempengaruhi audiens. Dalam pemikiran ini, audiens

dipandang sebagai suatu populasi besar yang dapat dibentuk dan atau diarahkan

oleh media. Pandangan ini serupa dengan pandangan bahwa audiens bersifat pasif

(passive audience).

Sebagai komunitas, audiens dipandang sebagai anggota dari kelompok kecil

yang dapat dibedakan dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Audiens sebagai

community terdiri dari beragam kelompok, masing-masing dengan nilai, ide dan

minatnya sendiri. Richard T. La Piere dalam bukunya Theory of Social Control

menyatakan bahwa lingkungan inti seperti rumah, keluarga, dan jaringan

persahabatan lebih mempengaruhi nilai, sikap, dan perilaku individu ketimbang

media9.

Khalayak mengonsumsi media untuk memperoleh apa yang mereka cari,

bukan menyerahkan diri kepada media untuk dipengaruhi. Seseorang tidak begitu

saja dengan mudah mengubah keyakinan atau pendapatnya tentang sesuatu,

apalagi ada jarak dalam hubungan media dengan individu. Individu lebih

mempercayai lingkungan sosial terdekatnya. Hubungan sosial yang tercipta

menjadi penyaring hubungan impersonal dengan media massa. Lalu, pesan media

akan diterima bila itu sesuai dengan pesan di lingkungan sosialnya.

8 Stephen W. Littlejohn. 2002. Theories of Human Communication. Belmont, CA: Wadsworth

Thomson Learning. hal. 310. 9 Jay W. Jensen, Theodore Peterson, & William L. Rivers. 2003. Media Massa dan Masyarakat

Modern. Edisi Kedua. Jakarta: Kencana. hal. 41.

Page 9: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

9

Gagasan audiens sebagai community ini sejalan dengan gagasan tentang

audiens yang aktif dalam membuat keputusan penggunaan media atau disebut

juga audiens aktif (active audience). Selanjutnya, audiens aktif tersebut bukan

terbatas pada penggunaan atau pemilihan media. Dalam kajian lanjutan mengenai

audiens, audiens dipandang aktif dalam memaknai pesan-pesan media (active

interpreter) dan tidak begitu saja menerima pesan yang dimaksud komunikator.

Untuk target audiens pada penelitian ini sendiri, diperkirakan akan masuk di

kategori the pragmatist dan the intelectual mengingat target audiens adalah

mahasiswa FISIPOL UGM yang sudah pasti masuk di salah dua kategori tersebut.

2. Analisis Resepsi Dalam Studi Khalayak

Jensen dan Rosengren membagi riset khalayak dalam lima tradisi, yaitu studi

efek (effect), uses and gratifications, literary criticism, cultural studies dan

analisis resepsi (reception analysis).10 Tradisi tersebut kemudian disederhanakan

menjadi tiga pokok studi khalayak, yakni structural tradition, behavoruist

tradition, dan cultural tradition-reception analysis.

Structural tradition adalah riset khalayak yang bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan media massa dalam mengidentifikasi khalayaknya. Penelitian dalam

tradisi ini pada umumnya berjenis kuantitatif. Kemudian Bahaviourist tradition

banyak mengkaji penggunaan dan efek media. Kajian mengenai efek media

umumnya menganggap bahwa khalayak bersifat pasif dan mudah terkena efek

media yang sebagaian besar dipersepsikan negatif. Sementara kajian penggunaan

media lebih melihat khalayak sebagai individu yang aktif dalam memilih media

yang dibutuhkan.

Cultural tradition, termasuk di dalamnya analisis resepsi, merupakan tradisi

baru dalam studi khalayak. Cultural tradition berada dalam ranah ilmu sosial

10 Dennis McQuail. 1997. Audience Analysis. California: SAGE Publication. Hal 16.

Page 10: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

10

sekaligus humaniora dan banyak mengkaji budaya populer. Tradisi ini

menekankan penggunaan media sebagai refleksi konteks sosial budaya tertentu

dan sebagai proses memberikan makna terhadap produk budaya dan pengalaman

sehari-hari. Tradisi ini juga menolak egek stimulus-respons dan pandangan umum

bahwa pesan memiliki kekuatan besar. Analisis resepsi sendiri merupakan bagian

dari studi budaya modern yang menekankan pada studi mendalam terhadap

khalayak sebagai bagian dari interpretive communities.

a. Analisis Resepsi

Analisis resepsi merupakan salah satu fokus studi yang mengkaji audiens

aktif. Tradisi ini mengkaji audiens sebagai penerima pesan yang aktif dalam

proses pemaknaan. Konsep penting dari analisis resepsi adalah bahwa makna teks

media tidak melekat pada teks media tersebut, tetapi diciptakan dalam interaksi

antara audiens dengan teks.11

Sebagai respons terhadap tradisi keilmuan dalam ilmu sosial, analisis

resepsi menandakan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media—

kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi dan

wacana. Studi ini seharusnya tidak sekedar menggunakan operasinalisasi, seperti

penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya sebagai respon terhadap

studi teks humanistik, analisis resepsi menyarankan baik audiens maupun konteks

dalam komunikasi massa perlu dilihat secara sosial dan menjadi objek analisis

empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (persepektif sosial dan diskursif) itulah

yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social

production of meaning).12

11 Ido Prijana Hadi. 2008. Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis. dalam Jurnal

Ilmiah Scriptura.Vol.(2).No.1.hal.1-7. Terarsip di:

http://puslit.petra.ac.id/journals/pdf.php?PublishedID=IKO09030101. Diakses: 1 Mei 2015 12 Klaus Bruhn Jensen. 1993“Media Audiences. Reception Analysis; mass communication as the

social production of meaning”. Dalam Klaus Bruhn Jensen and Jankowski, W Nicholas. 1993. A

Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Second Edition. London:

Rotledge. Hal 137

Page 11: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

11

Secara umum, analisis resepsi memiliki dua premis yaitu teks media

mendapatkan makna pada saat penerimaan, dan bahwa audiens secara aktif

memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-

teks sesuai dengan posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Premis kedua, sebagai

landasan penelitian, menyiratkan bahwa pesan-pesan media secara subjektif

dikontruksikan audiens secara individual, bahkan ketika media berada dalam

posisi paling dominan. Premis ini memposisikan audiens sebagai makhluk bebas

yang mempunyai kekuatan besar dalam pemaknaan atau pemberian makna

terhadap pesan.13

Analisis resepsi mengkaji audiens sebagai penerima pesan yang aktif

dalam proses pemaknaan pesan. Studi ini melewati tiga generasi. Generasi

pertama adalah penelitian resepsi (reception research), Kedua etnografi khalayak

(audience ethnography) dan ketiga pandangan konstruksionis (constructionist

view).

Penelitian resepsi salah satunya didominasi oleh pandangan Stuart Hall.

Pendekatan semiotiknya terhadap pesan melihat komunikasi sebagai proses di

mana suatu pesan dikirim dan diterima dengan efek tertentu. Semiotika yang

diperkenalkannya menekankan pada interpretasi pesan media. Hall juga

mengenalkan konsep encoding dan decoding dalam proses pengiriman dan

penerimaan pesan. Gagasan encoding oleh pengirim pesan dan decoding oleh

penerima pesan. Pesan yang dikirim dan diterima tidak lagi identik. Khalayak

yang berbeda akan melakukan decoding pesan secara berbeda pula.

Analisis resepsi memandang khalayak bersifat aktif. Khalayak tidak begitu

saja mangamini pesan media. Khalayak juga memiliki latar belakang dan

pengalaman sendiri yang mempengaruhi pemikirannya dalam melakukan

pemaknaan pesan media. Media tidak dapat memaksakan khalayak untuk

13 David Croteau & William Hoynes. 2003. Media/Society: Industry, Images, and Audiences.

London: Pine Forge Press. hal 274

Page 12: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

12

menerima pesan media seperti yang dimaksudkan. Khalayak memiliki kesempatan

terbuka untuk melihat dan memaknai teks dengan caranya sendiri.

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Denis McQuail dalam bukunya

Audience Analysis. McQuail menyatakan bahwa analisis resepsi yang termasuk

dalam studi kultural (cultural studies) menekankan pada penggunaan media

(media use) sebagai refleksi dari konteks sosiokultural dan sebagai suatu proses

pemaknaan pesan pada produk budaya serta pengalaman-pengalaman.14

McQuail juga menjelaskan bahwa studi resepsi berkembang dan

menekankan gagasan kepada audiens sebagai interpretive communities. Pada

audiens penasfir, teks dan pesan-pesan media dimaknai secara bebas oleh audiens

menurut lingkungan sosial dan budaya dimana aktivitas berbagi pengalaman-

pengalaman pemaknaan terjadi. Melalui proses decoding dan pemaknaan terhadap

teks media, maka masyarakat sebagai audiens memiliki kekuatan untuk bertahan

dari dominasi media massa.

Penelitian mengenai analisis resepsi ini menekankan studi mendalam

terhadap audiens yang interpretatif. Hal ini menekankan penggunaan media

sebagai refleksi terutama dari konteks sosio-kultural dan sebagai proses dari

pemberian makna kepada produk budaya dan pengalaman dari kehidupan sehari-

hari. Kristen Drotner menggolongkan etnografi audiens dalam tiga fitur utama,

yaitu: lebih melihat kepada sekelompok orang daripada isi media; mengikuti

kelompok dalam lokasi yang berbeda; dan tinggal cukup lama untuk menghindari

prasangka. Analisis resepsi secara efektif berfungsi pada penelitian audiens dari

cultural studies moderen, daripada sebuah tradisi independen.15 Dan poin-poin

utama dari tradisi kultural riset audiens dapat diringkas sebagai berikut:

14 McQuail. Op. Cit. hal 18 15 McQuail. Op. Cit. hal 440

Page 13: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

13

1) Teks media harus ‘dibaca‘ melalui sudut pandang dari audiensnya, yang

membangun tujuan dan kesenangan yang ditawarkan oleh teks media (dan

hal ini bukanlah sesuatu yang pasti atau terprediksi).

2) Proses dari penggunaan media dan cara yang mana terbuka pada konteks

khusus yang berada pada obyek perhatian utama.

3) Penggunaan media adalah situasi yang tipikal-spesifik dan berorientasi

pada tugas sosial yang mana mengembangkan partisipasi dalam komunitas

interpretative

4) Para audiens untuk genre media tertentu seringkali terdiri secara terpisah

dari komunitas interpretatif yang mana membagi banyak bentuk dari

wacana dan kerangka kerja untuk mengertikan media.

5) Audiens tidak pernah benar-benar pasif, tidak satupun dari anggota mereka

yang sama, semenjak ada yang lebih berpengalaman atau lebih

menggemari daripada lainnya.

6) Metodenya harus ‘kualitatif‘ dan mendalam, seringkali etnografi, catatan

tentang isi, serta tindakan dari resepsi dan konteks secara bersamaan.16

Interaksi antara audiens, teks, pembuat dan budaya itu sendiri sudah

kompleks, dan hanya dapat dijelaskan melalui aplikasi yang diskursif dan metode

etnografi: yang mana, melalui interpretasi, bahasa yang detail dalam deskripsi dan

observasi yang sangat detail dan wawancara mendalam.

3. Film Sebagai Medium Penyampai Pesan

Film merupakan salah satu medium komunikasi massa yang hadir sebagai

suatu teknologi yang mampu mentransformasikan tradisi seni pertunjukan lama

kepada cara yang baru. McQuail menyatakan, film hadir di abad 19 sebagai

teknologi baru yang menawarkan konten dan fungsi yang hampir baru juga.

16 McQuail. Op. Cit. hal 404

Page 14: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

14

Film memperkenalkan hiburan dengan cara presentasi dan distribusi baru,

menawarkan cerita, pertunjuan, komedi, dan trik-trik teknis untuk konsumsi

popular.17

Sebagai media massa, film mengalami perkembangan yang cukup pesat

dari masa ke masa. Film terus berkembang dari segi penonton, teknologi

perfilman, distribusi, hingga genre film tersebut. Masing-masing negara di

belahan bumi ini memiliki sejarah perfilman dan ciri khas genre film tersendiri.

Perkembangan yang pesat tersebut membuat banyak akademisi melirik

film beserta unsur-unsur yang terdapat didalamnya untuk dikaji secara akademis.

Jowett dan Linton seperti dikutip oleh Austin menyatakan film sebagai media

massa banyak diteliti oleh akademisi sebagai objek penelitian, baik dari segi

audiens maupun konten, karena perkembangan film mampu memunculkan

perdebatan-perdebatan.18

Film diproduksi dan dikirim oleh komunikator professional atau lembaga.

Komunikator professional terdiri dari sutradara, produser dan pihak-pihak yang

terkait dengan production house penghasil film yang bersangkutan. Film pada

umumnya membidik pasar audiens tertentu berdasarkan hal-hal tertentu di

masyarakat. Misalnya umur, kultur, status ekonomi dan terkadang gender. Film

disampaikan oleh pembuat film (filmmaker) sebagai komunikator profesional

(perusahan produsen film) dan umumnya didistribusikan melalui perusahaan

distributor film baik skala besar maupun kecil, nasional maupun internasional.

Film, sebagai medium komunikasi massa, mampu menjangkau audiens

dalam skala besar bahkan, ia mampu menjangkau populasi yang berada di daerah

terpencil, dengan catatan ketersediaan alat dan teknis yang mampu memutar film.

17 McQuail. Op. Cit. hal 32 18 Bruce A. Austin. 1991.Movies as Mass Communication. Terarsip dalam Canadian Journal of Communication Vol. 16 No 2. http://www.cjc-online.ca/index.php/journal/article/view/617/523. Diakses tanggal 22 April 2015

Page 15: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

15

Jangkauan penonton yang luas membuat film acapkali dibuat untuk

menyampaikan suatu pandangan tertentu yang diangkat dari realiatas dan

fenomena sosial di masyarakat. McQuail menyatakan bahwa film sebagai medium

komunikasi massa mempunyai fungsi lain yaitu sebagai alat propaganda. Secara

tersirat dan bahkan tersurat banyak film yang memasukan unsur-unsur ideologi ke

dalam alur ceritanya. Fenomena semacam ini berakar dari keinginan untuk

merefleksikan kondisi masyarakat atau mungkin juga bersumber dari keinginan

untuk memanipulasi.19

Salah satu yang terkenal, adalah bagaimana sutradara asal Jerman, Leni

Riefenstahl mempropagandakan idelogi-idelogi Nazi melalui film Triumph of the

Will. Film yang dirilis tahun 1935 itu, disebut-sebut sebagai role model film-film

propaganda lainnya. Di Indonesia—seperti jerman yang sempat memiliki

pemerintahan dikatatorial—sebuah film propaganda serupa juga pernah dibikin.

Adalah film G30S PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer, sebagai film

propaganda paling dahsyat di negeri ini. Film tersebut bertujuan untuk

mempropaganakan ideologi anti-komunis, yang berangkat dari buku 40 Hari

Kegagalan G30S.20

Dari paparan-paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa film memiliki

peran yang cukup penting sebagai medium komunikasi massa. Ia dapat

merepresentasikan beragam persepsi, ideologi dan bahkan produk media lain.

Meskipun konten dalam film tidak dapat bersifat bebas nilai, karena konten dalam

film merupakan hasil kontruksi dan rekontruksi dari apa yang ingin disampaikan

komunikator.

a. Film Dokumenter dan Politik

Secara sederhana film dokumenter dapat diartikan sebagai film yang

mendokumentasikan kenyataan. Film dokumenter biasanya diasosiasikan sebagai

19 McQuail. Op. Cit. hal 32 20 Herlambang.Op Cit.. hal. 135

Page 16: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

16

film nonfiksi. Istilah "dokumenter" pertama digunakan dalam sebuah resensi film

Moana (1926) karya sutradara Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer—

nama samara John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.

Di Prancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi,

termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini,

film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-

hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter

merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan

kembali fakta yang ada dalam kehidupan.

Menurut Gerzon R. Ayawaila, dalam buku Dokumenter: Dari Ide Sampai

Produksi, film dokumenter dibagi menjadi 12 jenis sebagai berikut: Laporan

Perjalanan, Sejarah, Biografi, Nostalgia, Rekonstruksi, Investigasi, Perbandingan

& kontradiksi, ilmu pengetahuan, Buku Harian, Musik, Association Picture Story,

Dokudrama.21

Film documenter sendiri cenderung berfungsi memberikan informasi (to

inform), menghibur (entertain), mengkritik (criticize)—juga memotivasi penonton

untuk mengambil tindakan, dan untuk merayakan (celebrate). Lebih detail,

berikut beberapa fungsi film dokumenter beserta penjelasannya.22

1) Dokumenter dan waktu: Biasanya film dokumenter menampilkan masa

lalu atau masa kini.Namun dapat juga digunakan untuk meramalkan masa

depan. Seperti pada film The War Game (1965) Oleh peter Watkins,

pengetahuan pada peristiwa pengeboman kota Dresden, Hiroshima dan

Nagasaki, untuk mecuatkan dugaan akan serangan nuklir ke London.

21 Gerzon R. Ayawaila.2008. Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi, Jakarta: IKJ. hal 12. 22 Michael Rabiger. 1998, Directing The Documentary, Singapore: Focal Press. hal 3-6

Page 17: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

17

2) Dokumenter sebagai penanganan kreatif atas realitas: Mencakup semua

bentuk non fiksi seperti, alam, ilmu pengetahuan, cerita tentang perjalanan,

industri, pendidikan, dan bahkan film untuk kepentingan promosi.

3) Dokumenter untuk menangani masalah sosial: Perhatian pada kualitas dan

keadilan kehidupan masyarakat, biasanya membawa film dokumenter

melampaui sekedar fakta-fakta, menuju kepada dimensi moral dan etika,

yang akan meneliti kembali penataan kehidupan masyarkat dan lebih jauh

lagi mengenai kesadaran manusia.

4) Dokumenter, individualitas dan cara pandang: Emile Zola, seorang

saastrawan Perancis terkemuka, menyatakan bahwa “sebuah pekerjaan

seni adalah sudut alam yang dilihat melalui sebuah watak tertentu.” Maka

setiap dokumenter akan menghadirkan keterlibatan kondisi manusia yang

segar, unik, dan memikat.

5) Dokumenter sebagai sebuah cerita yang terorganisasi: Film dokumenter

yang sukses, seperti layakya film fiksi, memerlukan cerita yang bagus

dengan karakter yang menarik, penekanan-penekanan melalui narasi, dan

sudut pandang yang lengkap.

6) Rentang bentuk dokumenter: Sebuah film dokumenter dapat terkontrol dan

melalui perenungan, spontan dan tak dapat diduga, puitis dan

mengesankan, sangat observatif, memuat komentar atau bahkan tidak ada

narasi sama sekali, menginterogasi subyek, bahkan menyergap atau

menangkap basah subyek. Dapat memaksa atau meminta, menggunakan

kata-kata, gambar, musik, atau perilaku manusia. Bisa menggunakan

literatur, seni teater, tradisi lisan dan bantuan musik, lukisan, lagu, essai,

atau koreografi.

7) Ketelitian untuk melihat situasi yang ada berhadapan dengan kenyataan

yang seungguhnya.: Film dokumenter tidak memiliki batasan, tetapi film

dokumenter selalu memantulkan daya tarik dan rasa hormat pada

aktualitas. Aktualitas adalah sesuatu yang obyektif, yang dapt dilihat,

diukur, dan kita setujui bersama.

Page 18: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

18

8) Dokumenter untuk menggugah sebuah kesadaran: Salah satu fungsi ini

adalah ketika penonton merasa adanya pertentangan batin untuk

direnungkanSeperti misalnya film dokumenter tentang pendidikan pra

prajurit muda. Di satu sisi penonton merasa penting untuk mendidik para

parajurit dengan disiplin tinggi, di satu sisi ada rasa kemanusiaan yang

kadang terusik karena yang tampak seolah hanya kekerasan semata.

9) Dokumenter sebagai sebuah bentuk seni sosial: Tujuannya adalah untuk

mengarahkan kepada penonton, pengalaman-pengalaman pembuatnya

dalam perjuanganya untuk memahami setiap kejadian khusus yang tengah

terjadi.Film biasanya dibuat oleh suatu kelompok, sehingga kesadaran ini

akan muncul dalam diri individu-individu yang terlibat di dalamnya. film,

dan khususnya dokumenter, adalah suatu bentuk seni sosial.

Berdasarkan banyak kritikus film, film dokumenter dimaknai sebagai

mediated reality. Mediate dapat diartikan sebagai perantara dua pihak atau

berfungsi sebagai penyalur.23 Berikut bagaimana film documenter menjadi

perantara realitas dan penonton(viewer). :

Reality -> Documentary Film -> Viewer

Dokumenter bukanlah realitas, Ia berfungsi sebagai perantara bagi realitas

dan penonton. Sebuah film dokumenter mungkin merepresentasikan realitas

secara objektif, namun sebenarnya tidak. Film dokumenter tidak pernah objektif,

dan kebenarannya bukan tidak terbantahkan. Ia adalah produk dari banyak pilihan,

rekaman dan manipulasi dari pembuat film.

Sementara kelindan film dokumenter dengan politik, tampak pada salah

satu fungsinya, sebagai alat untuk menyebarkan propaganda, atau menjalankan

fungsinya sebagai alat untuk mengkritik. Sebagai sebuah medium propaganda,

film mempunyai jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang

hebat karena film mempunyai kemampuan untuk menjangkau sekian banyak

23 William Philips.2009. Film And Introduction. London: Bedford. Hal 364

Page 19: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

19

orang dalam waktu yang cepat dan kemampuannya untuk memanipulasi

kenyataan yang tampak dalam pesan fotografis tanpa kehilangan kredibilitas.

Mulai dari abad ke 20, politik dan film mulai berkelindan dalam

melakukan rekonstruksi Perang Boer di Balkan.24 Film terbukti sangat berguna

untuk agenda politik dan kepentingan militer saat film mampu menjangkau

banyak orang dan bisa menciptakan penolakan imaji akan musuh. Film

propaganda paling awal, dibuat oleh Vitagraph Studios pada saat perang Spanyol-

Amerika di tahun 1898. Lalu film propaganda, yang hadir dalam bentuk film

panjang pertama, dibuat oleh kerajaan Romania dengan tajuk Independenţa

României pada tahun 1912. The Birth of a Nation juga tercatat sebagai film

propaganda generasi awal. Beberapa film diatas adalah contoh film propaganda

yang menjalankan kepentingan politik pihak yang berkuasa, dan sifatnya pun film

fiksi.

Berbeda dengan film-film fiksi propaganda pemerintah yang berkuasa,

film dokumenter cenderung dipakai sebagai senjata politik untuk perlawanan

terhadap neo-kolonialisme dan kapitalisme sacara umum. Khususnya di Amerika

latin, La Hora de los hornos karya Octavio Getino and Arnold Vincent Kudales

Sr. yang menginspirasi sutradara-sutradara pada zamannya. Dari banyaknya film

dokumenter politik yang diproduksi pada tahun 1970,

Kelindan film dan politik semakin jelas mengingat film punya sejarah

panjang tak hanya membentuk kekerasan politik, perang dan pembantaian, tapi

juga menunjukan bagaimana itu terjadi. Berangkat dari situ memahami bagaimana

gambar gerak bisa berdampak pada imiginasi dan aksi dari pelaku maupun korban

dari kekerasan sangatlah penting.25

24 Stern, Frank. 2000. Screening Politics: Cinema and Intervention. Georgetown Journal of International Affairs. February 2012. 25 Joshua Oppenheimer.2013. Killer Image. New York: Columbia University Press. hal 1.

Page 20: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

20

Urgensi pemahaman itu, bisa dilihat dari contoh kekerasan-kekerasan yang

terjadi Afrika yang menggunakan film sebagai senjata politik mereka. Di Liberia

misalnya, saat perang sipil berlangsung Joshua Wilthon Blahyi melakukan

pemutaran film aksi kepada para tentara yang masih anak-anak, yang mana di film

tersebut menunjukan bagaimana seorang yang terbunuh dalam sebuah film bisa

berperan lagi di film lainnya. Hal ini membuat anak-anak cenderung lebih mudah

untuk melakukan pembunuhan. Hal serupa juga terjadi di Sierra Leone, dimana

film Rambo yang rilis tahun 1982 menjadi rujukan utama untuk tentara

pemberontak Revolutionary United Force, yang menerapkan norms-de-guerre

langsung dari Hollywood. Di penjara Guantanamo, juga melakukan hal yang

sama, mereka melakukan metode penyiksaan kepada narapidana sungguhan

berkat inspirasi film Jack Bauer yang memberikan segudang teknik menyiksa

teroris. Dari contoh-contoh tadi semakin menguatkan argumen bahwa film, baik

fiksi maupun film dokumenter, kerap berdampak langsung pada imaginasi dan

mekanisme lahirnya kekerasan massal.

Indonesia pun demikian, di Medan, sekelompok preman bioskop yang

melakukan penyiksaan terhadap mereka yang tertuduh PKI dengan referensi

langsung dari film-film Hollywood. Selain itu tentu saja, harus disebutkan contoh

populer film G30S/PKI yang mampu membuat sebuah wacana anti-komunisme

bertahan hingga sekarang. Tak hanya lewat satu film, Indonesia juga

menghasilkan beberapa film propaganda militer lainnya, seperti seperti Janur

Kuning karya Alam Surawidjaja dan Serangan Fajar karya Arifin C. Noer. Film-

film tersebut kemudian menghasilkan glorifikasi terhadap mantan presiden

Soeharto yang notabene punya catatan buruk sebagai penjahat HAM26.

b. Posisi Senyap dalam film dokumenter

26Glori K. Wadrianto. 2010. Terarsip di http://nasional.kompas.com/read/2010/10/18/14595112/Soeharto.Penjahat.Nasional-14 . Diakses pada 27 agustus 2015

Page 21: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

21

Jika mengikuti kategori Wiliam Philips, film Senyap memiliki beberapa

fungsi. Pertama, sebagai film dokumenter untuk menangani masalah sosial.

Fungsi itu terpenuhi, karena di film ini menaruh perhatian pada dan keadilan

terhadap korban pembantaian dengan nenaruh perhatian pada kehidupan

masyarakat yang kemudian membawa film ini melampaui sekedar fakta-fakta,

menuju kepada dimensi moral dan etika, yang akan meneliti kembali penataan

kehidupan masyarkat dan lebih jauh lagi mengenai kesadaran manusia.

Di samping itu, Senyap juga berfungsi sebagai film dokumenter untuk

menggugah sebuah kesadaran. Hal ini berangkat dari isi film yang menghadirkan

pertentangan batin untuk direnungkan. Misal pada adegan permintaan maaf yang

dituntut oleh Adi Rukun (adik korban pembantaian) kepada pelaku, namun tak

satupun kata maaf keluar. Di sisi lain, film ini juga menampilkan pembenaran-

pembenaran pelaku, yang berdalih membunuh atas perintah agama ataupun

negara. Disini, rasa kemanusiaan penonton akan terusik melihat ironi yang

ditampilkan.

Sedangkan untuk dikategorikan dalam jenis film dokumenter—

berdasarkan kategori yang dibuat Gerzon R. Ayawaila—Senyap bisa dikategorikan

pada beberapa jenis sekaligus. Pertama, sebagai dokudrama, Rekonstruksi, Investigasi

serta ilmu pengetahuan. Senyap memiliki alasan-alasan kuat untuk dikelompokan ke

empat jenis tersebut. Namun, banyak kritikus film yang bertendensi memasukan Senyap

dalam kategori Dokudrama. Dalam dokudrama, sangat mungkin terjadi reduksi

realita, mengingat dokudrama memeliki tendensi untuk mengejar keindaahan

artistik, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Namun demikian, jarak

antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda

jauh. Dalam dokudrama, realita tetap menjadi pegangan. Begitu pula pada film

Senyap , yang menghadirkan realita berdasarkan fakta-fakta empiris.

4. Tragedi 1965 dan Rekonsiliasi Konflik

Page 22: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

22

Dalam rentang 1965-1966 pembantaian massal paska peristiwa G30S,

berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Pembantaian tersebut ditujukan

kepada orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah

terjadinya Gerakan 30 September. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang

tewas dalam pembunuhan massal tersebut. Pembantaian ini menjadi salah satu

pembantaian terbesar yang terjadi pada masa damai di abad ke 20.27

Para tertuduh komunis yang selamat dari pembunuhan dijebloskan ke

berbagai penjara di Indonesia. Lebih dari sepuluh ribu lelaku dikirim ke Pulau

Buru yang terkenal menyeramkan di Kepulauan Maluku, sementara sejumlah

besar tahananperempuan dari Jawa dikirim ke penjara di desa Plantungan, Jawa

Tengah.28

Pasca pembunuhan dan penahanan, anggota keluarga dari orang-orang

yang dibunuh maupun dipenjara, mendapat perlakuan diskriminasi dari

masyarakat. Mereka dituduh “sudah tercemar” oleh komunisme, dan oleh sebab

itu tidak diperbolehkan bekerja sebagai pegawi negeri atau tentara. Tuduhan dan

stigmatisasi yang mengikutinya terus berlanjut hingga waktu yang lama, jauh

seetelah peristiwa 1965.29

Trauma masih tetap ada walau telah melewati puluhan tahun pasca

kejadian itu. Di pertengahan 90-a Suharto mencabut banyak pembatasan

terhadap mereka yang dicap terlibat. Tahanan-tahanan istimewa seperti mantan

menteri luar negeri Subandrio dan panglima Angkatan Udara Omar Dhani

dibebaskan. Namun begitu, seluruh kejadian-kejadian itu masih di bawah

kerundung penindasan mendalam.30 Bertahun-tahun lamanya pada setiap malam

27 Geoffrey Robinson, The dark Side of Paradise: Political Violence in Bali. Ithaca, NY: Cornell University Press. 1995. Hal. 273 28 Hj Sumiyarsi Siwirini, Plantungan: Pembuangan Tapol Perempuan. Yogyakarta: Pusdep Universitas Sanata Dharma. 2010. 29 Baskara Wardaya. 1965 Indonesia dan Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2013. Hal 222 30 Frans Magnis-Suseno dalam buku 1965: Indonesia dan Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2013. hal

Page 23: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

23

satu oktober ditayangkan film tentang Gestapu di TVRI yang menyajikan cerita

tragedi 1965 versi Orde Baru. Film tersebut memberi efek indoktrinasi yang luar

biasa. Terbukti ketika presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000

mengusulkan pembatalan dekrit MPRS 1966 yang melarang partai komunis dan

ajaran Marxisme-Leninisme, disambut dengan letusan kemarahan dalam

masyarakat.

a. Rekonsiliasi Konflik

Jatuhnya Soeharto membuka jalan untuk melakukan rekonsiliasi konflik.

Selasa 15 Maret 2000, Gus Dur secara terbuka meminta maaf dan dan

memberikan usulannya untuk mencabut TAP MPRS XXV/1966 di TVRI . Dalam

Sebuah tulisan berjudul Keadilan dan Rekonsiliasi31, Gus Dur Menuturkan:

“Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan karena mereka

dituduh ‘terlibat’ dan bahkan memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).

Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan

yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali,

termasuk hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah dan harta benda

mereka dirampas. Sementara stigma (cap) mereka adalah pengkhianat bangsa

tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini”

Pada November 2000 Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966

(YPKP) melakukan penggalian tulang belulang korban pembunuhan massal yang

dilakukan oleh militer di bawah komando Jendral Soeharto sebagai akibat dari

peristiwa 30 September 1965. Bersama keluarga korban, YPKP hendak

melakukan pemakaman ulang, namun dihalangi oleh sekelompok orang yang

menamakan diri FUIK (Forum Ukhuwah Islamiyah Kaloran). FUIK secara tegas

menolak pemakaman yang hendak dilakukan di desa mereka, Kaloran. Mereka

mengancam para pengurus upacara, merampas dan menghancurkan dan

memporak-porandakan tulang belulang korban.

31 Salahuddin Wahid. 2014. Terarsip di http://kompas.com/kompas-cetak/0402/14/opini/857176.html diakses tanggal 22 april 2015.

Page 24: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

24

Pada Tahun 2003, anak-anak dari korban kekerasan, di antaranya putri

Jendral Ahmad Yani, anak-anak D.N Aidit, Supardjo dan Kartosuwirjo

membentuk Forum Silahturahmi Anak Bangsa yang hingga hari ini

mengusahakan rekonsiliasi.

b. Memahami Rekonsiliasi

Rekonsiliasi sebagai suatu bentuk resolusi konflik (conflict resolution)

akhir-akhir ini menjadi sangat populer, terutamasetelah kasus Afrika Selatan

dengan komisi kebenaran dan rekonsiliasinya (truth and reconciliation

commission), dianggapcukup berhasil. Rekonsiliasi dapat dianggap sebagai

bagianatau satu cara untuk menuntaskan konflik, dalam hal inirekonsilasi

diperlukan agar persoalan-persoalan pasca konflik dapat dituntaskan. Rekonsiliasi

dapat juga disejajarkanpengertiannya dengan upaya transformasi konflik,

yaitubagaimana mengubah konflik menjadi damai.

Rekonsiliasi tidak hanya berbicara tentang bagaimana membangun

hubungan yang telah retak akibat konflik, tetapi ia juga berbicara tentang suatu

konsep dan praxis yang mencoba untuk mengkerangkakan kembali makna dari

konflik secara positif. Mengacu kepada membangun kembali hubungan antar

manusia yang teralienasikan dan terpisah antaranya selama konflik berlangsung.

Rekonsiliasi terjadi tidak hanya dalam hubungan, tetapi juga pada tingkat

spiritual, sosial, struktural, dan ekologikal

Jika kita melihat lagi dari apa yang telah diungkapkan diatas maka kita

dapat menyimpulkan bahwa rekonsiliasi adalah sesungguhnya difokuskan kepada

bagaimana membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat dari konflik.

Dimensi relasional akan menghubungkan kita dengan aspek emosional dan

psikologis seseorang dan kelompok atas kelompok yang lainnya. Selain itu ia

akan selalu menghubungkan kita dengan kebutuhan akan pengakuan atas apa yang

telah terjadi di masa lampau, mengorek kesalahan masa lampau dan meminta

Page 25: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

25

pengakuan atas kesalahan yang telah diperbuat. Namun rekonsiliasi juga

bagaimana kita dapat mengeksplorasi masa depan bersama yang lebih baik.

Rekonsiliasi adalah sebuah locus, yang menciptakan ruang yang dapat

mempertemukan pihak-pihak yang berbeda, mempertemukan segala energi yang

ada, dan semua paradox dari kebenaran dan welas asih, keadilan, dan perdamaian

akan bertemu.

John Paul Lederach berasumsi bahwa rekonsiliasi relasional antar pihak

berkonflik yang sifatnya berkesinambungan dalam konteks masyarakat yang

sudah terpecah belah karena konflik atau pertikaian (divided society) adalah suatu

keharusan yang mutlak untuk dilakukan ketika suatu masyarakat ingin

meninggalkan masa lampaunya, menuju masa depan yang damai.32 Dengan

meninggalkan sejarah masa lampau akan kebencian, kemarahan, dan kekerasan,

akan dapat memberikan energi baru dalam membangun masa depan yang lebih

baik. Barang tentu saja rekonsiliasi haruslah sesuatu yang sifatnya

berkesinambungan, agar dapat menjamin kelangsungan proses pembangunan

dapat berjalan lancar tanpa terganggu konflik-konflik yang muncul kemudian.

Ada 3 asumsi penting yang mendasari mengapa rekonsiliasi yang sifatnya

berkesinambungan penting untuk dilakukan.

1) Hubungan antar manusia (relationship) sesungguhnya adalah dasar dari

permasalahan konflik dan pemulihan hubungan jalinan antar manusia

yang baik adalah suatu solusi jangka panjang. Hubungan antar manusia

yang baik adalah suatu vocal point dalam membangun dialog yang

berkesinambungan

2) Rekonsiliasi haruslah dapat menemukan ruang untuk mengagendakan

masa lampau tanpa harus kita terkunci dan terikat pada masa lampau itu

32Prasetyo, Adi. 2010. Konsep Rekonsiliasi.terarsip dalam http://etnobudaya.net/2010/01/15/konsep-rekonsiliasi/ diakses tanggal 22 april 2015.

Page 26: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

26

sendiri, yang penuh dengan kemarahan, ketakutan, kebencian, dan

kekerasan.

3) Rekonsiliasi selalu membutuhkan suatu cara pandang yang dapat

melihat permasalahan utama dari sisi luar tradisi politik internasional

yang ada, wacana yang berkembang, dan operasional atau usaha-usaha

yang telah ada, agar dapat menemukan suatu inovasi baru dalam upaya

rekonsiliasi

Sebagai suatu representasi dari ruang sosial, rekonsiliasi tidak hanya

mempertemukan pihak yang saling benci, namun ia juga menurut Lederach adalah

suatu tempat yang di dalamnya terdapat kebenaran (truth), sifat kasih manusia

(mercy), keadilan (justice), dan damai (peace) dapat bertemu dan bersatu secara

bersama.

Lebih lanjut Lederach menyatakan, sebuah rekonsiliasi yang sejati setidaknya

akan tercapai jika mengandung syarat-syarat akan:

1) Kebenaran (truth) yang didalamnya terdapat pengakuan, transparansi,

pengungkapan, dan klarifikasi atas suatu kebenaran;

2) Sifat welas asih (mercy) yang mana didalamnya terdapat unsur

penerimaan, pengampunan, dukungan, keharusan, dan penyembuhan;

3) Perdamaian dimana didalamnya terdapat unsur harmoni, kesatuan,

kesejahteraan, keamanan, dan penghargaan, dan yang terakhir adalah

adanya syarat

4) Keadilan yang mana didalamnya terdapat unsur kesetaraan, pemulihan

hubungan atas dasar hak-hak yang dimiliki seseorang, memulihan

segala sesuatunya sesuai dengan hak-hak dan kewajibannya, dan

adanya restitusi atau pengembalian hak-hak masing-masing individu.

Tahun 2014 Senyap hadir untuk turut berkontribusi dalam upaya

rekonsiliasi. Senyap membuat sebuah rekonsiliasi dengan prinsip memaafkan

Page 27: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

27

tanpa melupakan. Memang, dalam film itu kita disuguhkan untuk kembali

membuka luka lama yang tentu menyakitkan, tapi dari proses itulah akan tercipta

sebuah penyadaran. Mereka berusaha melakukan apa yang tidak bisa dilakukan

oleh keluarga korban. Keluarga korban tidak memiliki akses untuk bersuara.

Melalui film ini, diharapkan masyarakat Indonesia bisa melihat dengan lebih

jernih apa yang sebenarnya terjadi kala itu, yang selama ini ditutupi tabir

kegelapan.

Akan tetapi, nampaknya jalan menuju rekonsiliasi memang tidaklah

mudah. Dalam film Senyap saja, bisa kita lihat bahwa pelaku pembantaian sama

sekali tidak merasa bersalah. Ada yang beranggapan pembantaian itu merupakan

tugas suci yang direstui agama, ada pula yang melimpahkan tanggungjawabnya

pada negara. Apa yang diinginkan Adi (adik korban pembantaian dalam film

Senyap), hanyalah pengakuan dan permintaan maaf secara tulus dari pelaku

pembantaian. Itu pun tidak didapatkannya. “Yang sudah ya sudah, kita mulai yang

baik-baik sajalah buat ke depannya,” kira-kira seperti itu kata pelaku-pelaku untuk

melepas tanggungjawab moralnya.

Film Senyap pertama kali diputar di Indonesia pada 10 November 2014 di

Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. "Pesan penting film karya Joshua

Oppenheimer ini adalah jalan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi konflik

yang tidak mudah," kata Komisoner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron di

Taman Ismail Marzuki.

Joshua juga menambahkan, dirinya tidak sedang berupaya membela orang

komunis tetapi lebih kepada membela setiap nyawa manusia yang dihilangkan

secara paksa. Hak hidup manusia menurut dia tidak boleh dilanggar hanya karena

memiliki ideologi yang tidak sejalan dengan pemerintahan yang berkuasa.33

33 Joko Nugroho. 2014. Film "Senyap " Hadirkan Kisah Konflik 30 September http://www.antarasumbar.com/berita/123034/film-Senyap -hadirkan-kisah-konflik-30-september.html diakses tanggal 22 april 2015

Page 28: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

28

F. Kerangka Konsep

1. Khalayak Film

Khalayak atau audiens telah disepakati bersama sebagai istilah untuk

penerima pesan dalam model sederhana proses komunikasi massa yang banyak

diguanakan oleh para peneliti media. McQuail menyebutkan, khalayak adalah

semua orang yang benar-benar dijangkau oleh konten media tertentu atau

saluran media. Khalayak dapat juga merupakan target yang dibayangkan atau

penerima yang dituju. Selain itu, khalayak media juga bukan sesuatu yang pasti

kecuali setelah menjadi rating misalnya, yang diketahui melalui statistik.

Khalayak juga dapat diartikan menurut media atau konten yang relevan.

Dengan begitu, penonton film juga merupakan khalayak. Untuk memudahkan

penelitian, peneliti akan menyebut mereka sebagai khalayak film. Khalayak film

yang dimaksud disini adalah mereka yang menonton film sebagai media massa,

yaitu dalam bentuk film yang terdistribusi melalui komunikator professional

(film maker) dan lembaganya. Dikaitkan dengan analisis resepsi, khalayak film

adalah mereka yang meneirma, menginterpretasi dan menggunakan musik

sebagai produk budaya, sehingga latar belakang budaya khalayak akan sangat

mempengaruhi proses pemaknaan pesan.

Secara umum, audiens kerap didiskreditkan tidak terlalu berpengaruh

dalam konteks penyebaran pesan. Untuk menjawab itu, audiens memiliki

kemampuan untuk setidaknya, membuka ruang kemungkinan bagi mereka

sendiri untuk aktif berperan dalam penyebaran pesan secara massif. Sangat

penting untuk mengerti bahwa potensi audines untuk melakukan intervensi

dalam penyebaran pesan (broadcasting) itu ada.34

Dalam penelitian ini, audiens akan dipilih berdasarkan kategori-katageri

tertentu terkait latar belakan audiens. Kategorisasi yang akan peneliti gunakan

34 Karen Rosss and Virginia Nightingale. 2003. Media and audiences. Bankshire. Hal 102

Page 29: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

29

menitikberatkan kepada latar belakang sosial, seperti keaktifan pada organisasi

terentu, ketertarikan akan isu 65, ketetarikan terhadap film, juga latar belakang

fokus pendidikan, pengalaman, hingga ke hal-hal personal seperti agama.

Selain bebeapa faktor-faktor pokok diatas, peneliti juga akan

mempertimbangkan praktik bermedia yang dilakukan informan sebagai salah

satu faktor dasar kegiatan pemaknaan yang dilakukan khalayak. Peneliti akan

melihat bagaimana keseharian informan mengkonsumsi media film.

2. Decoding (proses resepsi film oleh audiens)

Decoding adalah peran penerima pesan dalam menentukan makna pada pesan

yang datang dari sumber atau pengirim pesan.35 Proses decoding

(pengawasandian) terhadap pesan dapat dilihat melalui bagan di bawah:

Gambar 1.1 diagram proeses decoding36

Encoding dilakukan oleh komunikator, sedang decoding dilakukan oleh

komunikan. Masing-masing proses tersebut melibatkan sejumlah faktor seperti

kerangka pengetahuan, relasi produksi dan infrastruktur teknis. Bila antara

pengirim dan penerima pesan memiliki faktor yang sama atau sejalan, maka

penerima pesan akan menerima pesan seperti yang dimaksudkan komunikator.

35 Stanley J. Baran, Jerilyn S. Mclntrye, & Timothy P. Mayer. 1984. Self, Symbol, and Society. An Introduction to Mass Communication. New York: Random House. hal. 13-15 36 Stuart Hall. 1980. Culture, media, language. Routledge. hal 128-138.

Page 30: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

30

Dengan kata lain pemahaman—penerimaan pesan—terjadi bila pesan yang

melawati proses decoding ekuivalen dengan pesan yang telah melewati encoding.

Konsep decoding tersebut diperkenalkan oleh Stuart Hall yang

menyatakan model komunikasi massa yang menyoroti pentingnya interpretasi

aktif dalam kode yang relevan. Berbeda dari model-model komunikasi yang

sebelumnya ada, di sini Stuart Hall memberikan peran siginifikan pada decoder,

begitu juga encoder.

Pada proses ini, makna disampaikan dalam kode. Kode sendiri berfungsi

sebagai sistem pengorganisasian tanda. Sistem-sistem tersebut dijalankan oleh

aturan-aturan yang disepakati oleh semua anggota komunitas yang menggunakan

kode tersebut. Ini berarti bahwa studi tentang kode seringkali memberikan

penekann pada dimensi sosial komunikasi.

Media massa dengan kodenya menawarkan identitas sosial pada khalayak

sesuai cara media massa tersebut menyampaikannya. Namun begitu khalayak

tidak harus menerima seluruh kode tersebut. Pada saat khalayak yang terlibat

dalam komunikasi tidak berbagi kode dan posisi sosial bersama, memungkinkan

proses decoding akan berbeda dari makna yang diharapkan encoder.

Stuart Hall menetapkan posisi-posisi Khalayak terhadap pemaknaan teks

media, mejadi 3 peran sebagai berikut:37

a. Dominant (hegemonic) reading: Khalayak sepenuhnya berbagi kode teks,

menerima dan mereproduksi preferred reading (pemaknaan pesan

terhadap khalayak yang sesuai dengan maksud si pembuat pesan). Dalam

posisi ini kode tampak jelas.

37 Stuart Hall.Op Cit.

Page 31: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

31

b. Negotiated reading: khalayak berbagi sebagian kode teks dan secar luas

menerima preferred reading, tetapi memungkikan untuk mengubah

bahkan menentangnya. Posisi ini melibatkan kontradiksi.

c. Oppositional (counter hegemonic) reading: khalayak, yang situasi

sosialnya berada dalam relasi berlawanan denga kode dominan,

memahami preferred reading tetapi tidak berbagi kode teks dan menolak

pembacaan ini, serta mengajukan alternatif frame of reference

Menurut Hall, preferred reading merupakan ideologi dominan dalam

media teks, tetepi tak lantas secara otomatis diadopsi oleh khalayak. Situasi sosial

khalayak akan mengarahkan mereka untuk mengadopsi pendirian lain.

‘Dominant reading terbentuk dari mereka yang situasi sosialnya sejalan

dengan preferred reading. Sedang ‘negotiated’ reading datang dari mereka yang

menggunakan preferred reading untuk mengambil tempat di posisi sosial.

Sementara ‘oppositional’ readings datang dari mereka yang posisi sosialnya

berada dalam konflik—bertentangan—langsung dengan preferred reading.

Dalam melakukan analisis ini, peneliti akan mengidentifikasi preferred

reading dari pengirim pesan. Pertama tentu dengan memahami teks, melihat

konteks yang mendasari pengirim pesan dalam membuat pesan, serta bertanya

langsung kepada pembuat pesan.

Setelah pesan yang ingin disampaikan pengirim pesan diketahui,

pembacaan khalayak dapat dianalisis untuk dimasukkan dalam kategori dominan,

oposisi atau negosiasi. Karena decoding adalah peran yang dilakukan oleh

khalayak, maka sumber utama peneliti untuk mengetahui bagaimana pemaknaan

teks dilakukan adalah dari khalayak sendiri. Dalam hal ini, decoding tidak hanya

melibatkan pengenalan dasar atau pemahaman menyeluruh terhadap teks, tetapi

juga interpretasi dan evaluasi pada makna berkenaan dengan kode teks yang

Page 32: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

32

relevan. Kemudian, perlu juga dilihat bagaimana penerimaan dan penolakan

khalayak terhadap teks. Kesenangan dalam mengonsumsi teks juga akan dianalisis

dalam menentukan posisi pembacaan khalayak terhadap teks. Jadi, selain melihat

apakah audiens setuju atau tidak dengan pesan yang disampaikan film Senyap,

peneliti juga akan menganalisis bagaimana kesenangan khalayak dalam menonton

film Senyap mempengaruhi pemaknaannya.

3. Film Senyap dan wacana rekonsiliasi konflik dalam film

Seperti yang telah dilakukan Gus Dur, Yayasan Peneilitian Korban

Pembunuhan 1965-1966 (YPKP), Forum Komunikasi Anak Bangsa dan beberapa

lembaga maupun individu lain, telah mencoba melakukan rekonsiliasi terkait

tragedi 1965, Film Senyap hadir dengan tujuan yang sama.

Joshua Oppenheimer bersama ko-sutradara anonim mencoba mengirim

pesan rekonsiliasi melalui medium film. Mereka berupaya menyuguhkan apa yang

dirasakan oleh para penyintas tragedi 1965. Joshua mempertemukan Adi Rukun—

keluarga penyintas—dengan para pelaku pembunuhan beserta keluarganya. Narasi

yang dibangun, melalui keluarga korban yang penasaran mencari siapa

sesungguhnya orang-orang yang membunuh keluarganya tersebut.

Dalam sebuah pernyataan terhadap film Senyap, ko-sutradara anonim

menuturkan, “Film Senyap menunjukan betapa rekonsiliasi adalah sebuah jalan

panjang, penuh rintangan dan berat. Kami berharap pesan film ini mencerminkan

optimisme kami: Rekonsiliasi adalah jalan berat, bukan jalan yang tak mungkin.”

38

Pengambilan gambar dilakukan di sekitar Medan, Sumatera Utara—salah

satu kota yang banyak menelan korban jiwa saat pergolakan 1965 terjadi. Narasi

utamanya, Adi Rukun—keluarga penyintas—mendatangi satu persatu orang-

38 Booklet DVD film Senyap

Page 33: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

33

orang yang menjadi pelaku pembantaian kakaknya. Dalam film ini, disuguhkan

bagaimana dialog terjadi antara keluarga penyintas dan pelaku tanpa kekerasan

fisik.

Muhammad Nurkhoirun selaku komisioner komnas HAM memberikan

sambutan “Adi sesunguhnya telah melakukan proses yang selama ini telah

dijalankan oleh aktivis pegiat HAM, rekonsiliasi.” Ia lalu menjelaskan tentang

rekonsiiliasi tragedi 1965, “Dalam proyek rekonsiliasi, pekerjaan awal kita adalah

berusaha meretas kebisuan yang telah diciptakan rezim Orde Baru selama puluhan

tahun dan mengungkap kebenaran atas tragedi 1965”

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, akan digunakan penelitian kualitatif dengan motede

analisis resepsi. Penelitian kualitatif sendiri, bercirikan fleksibilitas dalam

interaksi antara peneliti dan partisipan studi. Hal tersebut bisa dilihat dari tipe

pertanyaan yang memungkinkan jawaban yang bebas dan fleksibel oleh masing-

masing partisipan studi.

Untuk diperjelas, metode analisis resepsi kerap disamakan dengan metode

etnografi, perbedaan antara analisis resepsi dengan etnografi adalah pada fokus

kajian dimana mereka berkembang, jika audiens digunakan dalam kajian ilmu

komunikasi maka etnografi lebih kepada ilmu budaya. Sebagaimana sedikit

perbandingan antara keduanya dijelaskan dibawah ini:

Gephert mendefinisikan etnografi merupakan kegunaan dari observasi

secara langsung dan memperpanjang penelitian lapangan untuk mendapatkan

deskripsi yang tebal dan paling natural dari manusia dan budaya mereka.

Etnografi berusaha mengungkap simbol dan kategori para anggota dari dalam

Page 34: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

34

budaya tersebut untuk menafsirkan dunia mereka dan etnografi dengan demikian

mempertahankan integritas dan sifat yang melekat pada fenomena budaya.39

Sedangkan analisis audiens seperti yang dijelaskan McQuail, analisis

audiens lebih ke cara memandang khalayak dengan sudut pandang yang unik.

Khalayak yang merupakan produk konteks sosial sekaligus sebagai respons atas

berbagai ajaran media. Khalayak dapat didefinisikan melalui beragam

karakteristik yang cenderung tumpang tindih; berdasarkan tempat, kelompok

orang, jenis media tertentu, isi pesan media, atau waktu. Dengan demikian,

khalayak tidak hanya menjadi produk teknologi, tetapi juga bentukan beragam

kehidupan sosial.40

Analisis resepsi dipilih sebagai metode penelitian ini karena metode ini

cukup efektif—selain sesuai—untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam

penelitian ini. Analisis resepsi tidak menggeneralisasi fenomena yang terjadi pada

sejumlah informan, tetapi berusaha menemukan kebenaran dari sebuah peristiwa

dengan tetap mengaitkannya pada konteks yang ada. Adapun nanti data yang

dibutuhkan bisa dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan informan,

studi dokumentasi, dan focus group discussion (FGD)

Tujuan utama dari analisis resepsi ini adalah untuk memahami suatu

pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan

kehidupan, serta untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya. Intinya

adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang

menimpa orang yang ingin kita pahami. Karenanya, penelitian ini melibatkan

aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar,

berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda.41

Dengan menggunakan analisis resepsi, kita akan melihat bagaimana

metode ini melibatkan pengamatan atas manusia dalam proses komunikasi—

39 R. Frey Lawrence, Et. Al. 1991. Investigating Communication. New Jersey: Prentice-Hall, Hal 229. 40 Denis McQuail. 1997. Audience Analysis. Thousand Oaks: Sage Publication, Hal.11 41 James P. Spradley. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, hal 3-5.

Page 35: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

35

termasuk bagaimana mereka menunjukan perannya seterbuka mungkin. Secara

garis besar, relevansi metode analisis resepsi dengan penelitian ini, adalah analisis

resepsi bisa mengetahui bagaimana pembacaan—pemahaman—pesan dalam

media oleh khalayak.

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa FISIPOL UGM. Penentuan subjek

berangkat dari observasi pra penelitian dari peneliti ketika mengorganisir sebuah

screening dan diskusi di FISIPOL UGM beberapa waktu silam. Peneliti melihat

antusiasme yang tinggi dari para pengunjung yang notabene mayoritas

mahasiswa FISIPOL UGM. Selain itu, sebagai mahasiswa, terlebih yang belajar

di ilmu sosial dan politik, tafsiran akan sebuah pesan yang berkaitan dengan isu

sosial politik, tentu akan menarik. Terlebih pesan ini disampaikan melalui

medium film. Maka ada unsur sosial, politik dan komunikasi yang kuat dalam

penelitian ini, hal tersebut tentu sangat relevan dengan kapasitas subjek

penelitian sebagai mahasiswa FISIPOL UGM. Selain itu berangkat dari sebuah

catatan tentang massifnya pemutaran film Senyap di FISIPOL, tercatat lebih dari

tiga kali digelar pemutaran film ini, selalu penuh dan beberapa diantaranya selalu

menyisipkan diskusi pasca menonton film ini. Termasuk pembubaran pemutaran

film Senyap di FISIPOL

Informan dalam penelitian ini—dari mahasiswa FISIPOL UGM, yang

diseleksi berdasarkan delapan kriteria:

1) Pertama, informan sudah menonton film Senyap, hal ini bersifat

mutlak, karena dasar penelitian akan membahas bagaimana para

subjek meresepsi film Senyap, dan untuk bisa melakukan itu, tidak

bisa tidak subjek harus lebih dulu menonton film Senyap.

2) Kedua, informan memiliki ketetarikan dengan film. Ketertarikan

dengan film bisa diukur dari bagaimana aktivitasnya

bersinggungan dengan film, bisa jadi mereka yang terlibat pada

proses produksi film, atau aktivitas konsumsi film yang intens.

Page 36: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

36

3) Ketertarikan akan isu tragedi 1965 juga menjadi daya ukur

pemilihan informan. Hal ini dikarenakan film Senyap bercerita

tentang upaya rekonsiliasi tragedi 1965. Ketertarikan akan isu ini

membuka ruang kemungkinan untuk menghasilkan penerimaan

pesan—apapun itu—dalam film Senyap

4) Latar belakang informan. Latar belakang informan yang memiliki

relasi keluarga yang bersinggungan terhadap pristiwa ’65 dijadikan

salah satu pertimbangan.

5) Jurusan studi para informan turut menjadi karakteristik pemilihan,

mengingat FISIPOL terbagi menjadi disiplin ilmu sosial dan ilmu

politik. Untuk itu diversitas jurusan informan akan dibagi rata

dalam penelitian ini.

6) Usia juga akan dibedakan, hal ini untuk melihat apakah ada

perbedaan pandangan bagi mahasiswa angkatan tertentu dengan

angkatan lainnya.

7) Di samping itu informan juga akan dibagi berdasarkan gender,

karena ada kemungkinan perbedaan pandangan akibat gender yang

dimiliki.

8) Latar belakang organisasi yang diikuti informan—yang notabene

mahasiswa—juga cukup berpengaruh dalam pemilihan informan.

Hal ini dikarenakan pengaruh organisasi yang diikuti mahasiswa,

memiliki peran dalam menentukan pandangan.

Penelitian sendiri akan berlangsung di FISIPOL UGM, karena penelitian

mamang difokuskan di tempat ini. Pemilihan tempat ini juga akan memudahkan

penelitian, pertama karena kedekatan geografis, juga karena banyaknya calon

informan yang membuat ketersediaan akan narasumber untuk penelitian ini

tercukupi.

Page 37: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

37

Untuk memenuhi keragaman kategori informan, setelah melakukan riset,

peneliti menetapkan enam orang informan. Adapun informan-informan tersebut

antara lain:

1) Adya Nisita, Mahasiswi angkatan 2012, jurusan Ilmu Hubungan

Internasional, aktif menulis tentang film di berbagai media, berasal

dari keluarga polisi.

2) Vidi Mahatma, Mahasiswa Angkatan 2010, jurusan Ilmu Komunikasi,

aktif dalam dunia film, ia pernah menjadi aktor dan crew di beberapa

film. Vidi berasal dari keluarga korban di tragedi 1965

3) Dwiki Rahmad, Mahasiswa angkatan 2014 Jurusan Ilmu Komunikasi,

aktif di organisasi kampus, dan berprofesi sebagai freelance di media

Hipwee. Ia berasal dari keluarga pelaku pembantaian pada tragedi

1965.

4) Ramadhan, mahasiswa angkatan 2013, aktif di organisasi kampus,

kuliah di jurusan Sosiologi.

5) Dias Prasongko, mahasiswa angkatan 2011, aktif di pers kampus,

jurusan ilmu pemerintahan, beragama katolik.

6) Nindias Nur Khalika, mahasiswi angkatan 2010,Jurusan Ilmu

Komunikasi, keluarga tentara yang turut serta berperan dalam tragedi

1965, aktif di dalam dunia film, pernah menjadi aktor dan crew di

beberapa film, aktif di komunitas-komunitas luar kampus.

Keenam narasumber mempunyai kesamaan: sudah menonton film Senyap,

dan memiliki ketertarikan pada film. Pemilihan enam orang tersebut dirasa

sudah cukup representatif guna menghadirkan latar belakang yang variatif.

2. Teknik Pengumpulan data

Page 38: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

38

Dalam penelitian kali ini akan menggunakan metode wawancara guna

mengumpulkan data. Wawancara sendiri merupakan bagian dari metode

kualitatif. Dalam metode kualitatif ini ada dikenal dengan teknik wawancara-

mendalam (In-depth Interview). Pengertian wawancara-mendalam (In-depth

Interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan

cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden

atau orang yang diwawncarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman

(guide) wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan

sosial yang relatif lama Ciri dari wawancara-mendalam ini adalah

keterlibatannya dalam kehidupan responden/informan.

Menurut Moleong, wawancara mendalam merupakan proses menggali

informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus

penelitian dan diarahkan pada pusat penelitian42. Dalam hal ini metode

wawancara mendalam yang dilakukan dengan adanya daftar pertanyaan yang

telah dipersiapkan sebelumnya.

Dalam wawancara-mendalam melakukan penggalian secara mendalam

terhadap satu topik yang telah ditentukan (berdasarkan tujuan dan maksud

diadakan wawancara tersebut) dengan menggunakan pertanyaan terbuka.

Penggalian yang dilakukan untuk mengetahui pendapat mereka berdasarkan

perspective responden dalam memandang sebuah permasalahan. Teknik

wawancara ini dilakukan oleh seorang pewawancara dengan mewawancarai satu

orang secara tatap muka (face to face).

Dalam penelitian kali ini, wawancara dilakukan di tempat-tempat yang

berbeda-beda. Beberapa ada yang dilakukan di kampus FISIPOL UGM, ada

yang di rumah informan dan cafe. Karena menggunakan teknik wawancara

mendalam, pada prosesnya wawancara tidak dilakukan satu kali pertemuan. Hal

ini dilakukan guna membuat narasumber tidak lelah dalam menjawab

pertanyaan, terlebih lagi tema yang diangkat cukup berat. Mayoritas wawancara

42 Moleong, L. Y. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Penerbit Remaja Rosdakarya. hal 46

Page 39: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

39

dilakukan minimal dua kali pertemuan, salah satu informan bahkan dilakukan

empat kali pertemuan.

Pada prosesnya, pertemuan pertama adalah memberikan introduksi dan

wawancara ringan seputar latar belakang, baik tentang keluarga, kondisi

ekonomi, kampus, maupun organisasi-organisasi yang diikuti. Setelah itu mulai

masuk ke aktivitas-aktivitas mereka yang berkelindan dengan film, sembari

diberikan pertanyaan untuk melihat bagaimana wawasan informan. Hal itu juga

guna mendekatkan diri dengan informan.

Selesai di situ, wawancara dilanjutkan dengan membahas isu tragedi 1965,

rekonsiliasi konflik dan film Senyap itu sendiri. Biasanya tak semua informan

sanggup berlama-lama mengikuti proses wawancara mendalam ini, untuk itu

dilakukan wawancara lanjutan di kemudian hari.

Dari kesemua informan, menyatakan bersedia namanya ditulis terang,

serta identitasnya di buka untuk kepentingan akademis, walaupun ada satu-dua

pertanyaan di mana mereka meminta untuk off the record. Secara keseluruhan

proses wawancara berjalan dengan lancar.

Berikut tabel waktu wawancara dengan informan

no Informan Tanggal

1 Adya Nisita 17 juni 2016 & 24 juni 2016

2 Dias Prasongko 14 juni 2016 & 22 Juni 2016

3 Dwiki Aprinaldi 14 Juli 2016 & 29 Juli 2016

4 Nindias Khalika 14 Juli 2016 & 29 Juli 2016

5 Ramadhan 18 Juni 2016 & 23 Juni 2016

6 Vidi Mahatma 24 juni 2016 & 10 juli 2016

Page 40: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

40

3. Analisis data

Data hasil dari wawancara dalam penelitian ini nantinya akan dikumpulkan

dalam bentuk catatan dan transkrip. Nantinya analisis data akan dibagi menjadi

tiga tahapan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan43.

a. Reduksi Data

Reduksi data adalah pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data data kasar yang

muncul dari catatan-catatan di lapangan. Dalam penelitian ini, setelah

melakukan transkrip wawancara, akan direduksi data yang dirasa kurang

penting, seperti wawancara perihal latar belakang informan, yang

ditanyai secara detail akan dirangkum menjadi satu. Data yang kurang

penting semisal pengalaman-pengalaman diluar objek penelitian akan

dibuang. Setelah itu jawaban-jawaban dari informan akan dikelompokan

dan diringkas menjadi beberapa poin utama.

b. Penyajian Data

Penyajian data adalah kumpulan informasi yang tersusun untuk

membuka ruang kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pegambilan tindakan. Pada penelitian ini, setelah dilakukan reduksi data,

selanjutnya data tersebut akan disajikan dalam beberapa poin utama,

mulai dari karakteristik informan yang meliputi latar belakang informan

dan kelindan informan dengan dunia film. Lalu disajikan pula poin

tentang analisis informan yang membedah pengetahuan informan akan

hal-hal yang terkait pada objek penelitian, terakhir akan ditampilkan

bagaimana para informan memaknai film Senyap. Pada poin ini, akan

dibagi beberapa poin kecil yang mendukung narasi utama pemaknaan

terhadap film Senyap. Penyajian data dengan cara seperti itu berfungsi

memudahkan pembacaan terhadap penelitian ini. Disertakan pula tabel

43Matthew B. Miles dan Micahel Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press. Hal. 16-19

Page 41: A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/SI-2016... · Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di Indonesia pada tahun

41

posisi pemaknaan, berdasarkan teori Stuart Hall untuk memudahkan

pengidentifikasian respons dari tiap informan.

c. Menarik Kesimpulan

Dari permulaan pengumpulan data, penganalisis mulai mencari arti

benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi

yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proporsisi. Bagian ini akan berisi

analisis dan interpretasi data resepsi para informan terhadap Film

Senyap. Data tersebut kemudian dijelaskan dengan mengaitkan pada

konteks, seperti pengaruh latar belakang, pengetahuan maupun hal lain

terhadap proses resepsi pada film Senyap dengan merujuk pada

konsep/teori berdasarkan literatur yang ada.