50
BAB I PENDAHULUAN Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar diregio hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondriasinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputiseluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yangdisebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsionalorgan yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya 1

abses hepar.docx

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar1.500gr atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar diregio hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondriasinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputiseluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yangdisebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsionalorgan yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya terdapatsinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupfferyang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya yaitu pembentukan dan ekskresi empedu, pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan. Penimbunan vitamin dan mineral, mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain, hati juga berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi. (1,2,3,4) Abses hati masih merupakan masalah kesehatan dan sosial pada beberapa negara di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karenainfeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi denganpembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atausel darah didalam parenkim hati. (1)Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liverabscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP inimerupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yangjelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arusurbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan.Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkansecara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapadekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis,etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan sertaprognosisnya. (2)

BAB IILAPORAN KASUS

Dilaporkan kasus yang ditemukan di ruangan rajawali bawah, RSUD Anutapura,Palu. Identitas pasien, nama Tuan Moh.Zain, umur 48 tahun, alamat Desa Sibalaya Utara, Kec. Tanamulava, Kab. Sigi, pekerjaan Kepala Desa, agama Islam, pasien masuk tanggal 21 september 2014.Pasien masuk Rumah sakit dengan keluhan utama nyeri perut. Nyeri perut dirasakan pada bagian perut kanan atas sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya pasien mengalami demam tetapi menurut pasien hanya demam-demam biasa (suhu badan tidak terlalu panas). Setelah mengalami demam pasien kemudian mulai merasakan nyeri perut kanan atas secara tiba-tiba. Rasanya seperti ditusuk-tusuk sampai tembus kebelakang. Nyeri akan bertambah ketika pasien berjalan, dan agak berkurang ketika berbaring. Pasien tidak mengalami kejang, sakit kepala (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), batuk kadang-kadang, flu (-), nyeri dada (-), sesak nafas (-). Pasien juga mengalami mual tetapi tidak sampai muntah. Pasien mengatakan bahwa badannya terasa lemas dan nafsu makan berkurang. Buang air besar pasien normal, berwarna kuning kecoklatan. Buang air kecil kadang berwarna gelap seperti teh.

Riwayat penyakit sebelumnya dan kebiasaan/perilaku, pasien memiliki riwayat BAB cair dialami sekitar 1 bulan lalu, BAB cair selama 3 hari namun sembuh dengan sendirinya. Riyawat hipertensi (+), riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol (+). Pasien biasa mengkonsumsi air minum yang bersumber dari pengairan desa. Riwayat penyakit keluarga, tidak ada keluarga yang memiliki sakit serupa.Dari pemeriksaan fisik di temukan kesadaran kompos mentis, TD : 110/80 mmHg, N: 80 kali/menit, P : 20 kali/menit, suhu : 37,3oC, konjungtiva anemis (+). thorax: tidak ditemukan kelainan; abdomen: nyeri ketok regio hipokondrium dextra, hepatomegali (+), konsistensi lunak, tepi tumpul, permukaan rata, murphy sign (+). Nyeri tekan regio hipokondrium dextra.Dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin, didapatkan kesan leukositosis dengan WBC 21,07x103/uL, RBC 3,67x106/uL, HGB 10,5 g/dL, HCT 33,0%, MCV 89,9 fL, MCH 28,8 pg, MCHC 31,8 g/dL, PLT 384x103/uL. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 58 u/L, SGPT 44 u/L, Ureum 34 mg/dL, Kreatinin 0,6 mg/dL. Pada hari kedua perawatan, dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan USG abdomen pada pasien. Dari hasil pemeriksaan USG abdomen didapatkan hasil ukuran hepar membesar, tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct dengan kesan abses hepar.Pada hari ke tiga kembali dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan foto thorax (PA). Dan dari hasil pemerikaan foto thorax (PA) didapatkan adanya kesan elevasi diafragma kanan.Dari anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan, di ambil diagnosis kerja abses hepar. Yang di diagnosis bandingkan dengan kolesistitis akut dan hepatoma. Penanganan dari kasus ini adalah melalui non medikamentosa yaitu Istirahat yang cukup (tirah baring). Menjaga higienitas makanan, minuman, tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan lainnya, diet lunak, tinggi karbohidrat dan tinggi protein. Medikamentosa IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, Antibiotik : Metronidazole 0,5mg/8jam/IV, Antipiretik : Sistenol tablet 500 mg 3x1 tablet (jika panas). Operatif (Pertimbangan insisi drainase abses perkutaneus).Pasien menjalani perawatan selama kurang lebih 10 hari di RS Anutapura. Dilakukan follow up setiap hari pada pasien untuk melihat perkembangan kondisi pasien dan keberhasilan terapi yang diberikan. Dan dari hasil; follow up yang dilakukan, pasien mengalami perbaikan yang signifikan dengan pemberian antibiotik Metronidazole. Pada hari ke 10, Pasien pulang paksa.

BAB IIIPEMBAHASAN

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati. Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitua. Abses hati amebic (AHA) AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal, paling sering terjadi di daerah tropis/subtropik. AHA lebih sering terjadi endemic di negara berkembang dibanding AHP. AHA terutama disebabkan oleh E. Histolytica. Salmonella Thypi Entamoeba Hystolytica Streptokokus Escherichia ColiPada amebiasis hati penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati.(1,6)Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti. Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated. (1,6)Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme : Strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen. Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama pada flora bakteri.Mekanisme terjadinya amebiasis hati : Penempelan E.hystolitica pada mukus usus. Pengerusakan sawar intestinal. Lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell-mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll. Penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian besar melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri amebiasis. (1,6)

b. Abses hati piogenik (AHP/ Hepatic Abcess, Bacterial Liver Abcess)AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan sanitasi kurang. Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumonia, bacteroides, fusobacterium, S. aureus, S. milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, S. typhi, brucella militensis, dan fungal.Pada era pre-antibiotik, AHP terjadi akibat komplikasi apendisitis bersamaan dengan fileflebitis. Bakteri patogen melalui a. hepatica atau sirkulasi vena portal masuk ke dalam hati, sehingga terjadi bakterimia sistemik, atau menyebabkan komplikasi infeksi intraabdominal (diverticulitis, peritonitis, dan infeksi post operasi). (1,7,8)Sedangkan saat era antibiotik, terjadi peningkatan insidensi AHP akibat komplikasi dari sistem biliaris (kolangitis, kolesistitis). Hal ini karena makin tinggi angka harapan hidup dan makin banyak pula orang lanjut usia dikenai penyakit sistem biliaris ini. AHP juga bisa akibat trauma, luka tusuk / tumpul, dan kriptogenik. (1,7,8)Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari :a) Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan pielflebitis porta atau emboli septik.b) Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu empedu, kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.c) Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti abses perinefrik, kecelakaan lau lintasd) Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.e) Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ lanjut usia.Manifestasi akut lebih sering pada abses hati amuba dari pada piogenik. Jarang sekali penderita dengan ruptur abses hepar menyebabkan syok. Banyak pasien dewasa yang memiliki gejala yang sama, namun lebih berat pada abses hati piogenik. Pasien dengan abses hati amuba sering memiliki riwayat penyakit diare (20-50%). Gejala klinis yang klasik pada abses hati amuba dapat berupa demam yang tidak lebih dari 38,5 C, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan. Jarang sekali disertai ikterus, prekoma, atau koma. Bila lobus kiri yang terkena, akan ditemukan massa di daerah epigastrium. Kadang-kadang gejalanya tidak khas dan timbul pelan-pelan. Penderita tidak kelihatan sakit berat seperti pada abses karena bakteri. (1,6,7)

NoGejalaPresentase (%)

1Nyeri perut84-93

2Demam80-93

3Menggigil41-73

4Nausea45-85

5Berat badan menurun29-45

6Diare17-60

7Batuk2-41

NoTandaPresentase (%)

1 Nyeri tekan perut kanan atas67-80

2Hepatomegali 18-53

3Tanda peritoneal18-20

4Ikterus4-12

Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih berat dari abses hati amuba. Secara klinis, ditemukan demam yang naik turun, rasa lemas, penurunan berat badan dan nyeri perut. Nyeri terutama di bawah iga kanan atau pada kuadran kanan atas. Dapat dijumpai gejala dan tanda efusi pleura. (1,6,7)Nyeri sering berkurang bila penderita berbaring pada sisi kanan. Demam hilang timbul atau menetap bergantung pada jenis abses atau kuman penyebabnya. Dapat terjadi ikterus, ascites dan diare. Ikterus, terutama terdapat pada abses hati piogenik karena penyakit saluran empedu disertai dengan kolangitis supurativa dan pembentukan abses multiple. Jenis ini prognosisnya buruk.(1,6,7)Pada pemeriksaan mungkin didapatkan hepatomegali atau ketegangan pada perut kuadran lateral atas abdomen atau pembengkakan pada daerah intercosta. Ketegangan lebih nyata pada perkusi. Apabila abses terdapat pada lobus kiri, mungkin dapat diraba massa di epigastrium.(1,6,7)

NoGejalaPresentase (%)TandaPresentase(%)

1Demam80Hepatomegali50

2Nyeri perut50Nyeri tekan50

3Menggigil40Ikterus25

4Mual dan muntah35Efusi pleura20

5Berat badan menurun30

Kriteria penegakan diagnosis dari abses hepar ini, dapat dilihat dari beberapa kriteria yaitu: Kriteria Ramachandra Hepatomegali yang nyeri tekan Riwayat disentri Leukositosis Kelainan radiologis Respon terhadap terapi amoebisid

Kriteria Sherlock Hepatomegali yang nyeri tekan Respon yang baik terhadap terapi amoebisid Leukositosis Peninggian diafragma dengan pergerakan yang kurang Aspirasi pus Pada USG ditemukan rongga dalam hati Tes hemaglutinasi positif Kriteria Lamont dan Pooler ditegakan apabila didapatkan 3 atau lebih dari : Hepatomegali yang nyeri Kelainan hematologis Kelainan radiologi Pus amoebik Tes serologi positif Kelainan sidikan hati Respon yang baik terhadap terapi amoebisid

Dalam kasus ini, seorang Pasien laki-laki 48 tahun masuk rumah sakit dengan nyeri abdomen kuadran kanan atas sejak 1 bulan yang lalu secara tiba-tiba seperti ditusuk-tusuk tembus belakang. Nyeri bertambah ketika berjalan dan berkurang ketika berbaring. Riwayat demam sub febris (+), nausea (+), vomitus (-), malaise (+), anoreksia (+). BAK berwarna seperti teh. Pasien memiliki riwayat BAB encer sekitar 1 bulan lalu yang berlangsung selama kurang lebih 3 hari. Namun sembuh dengan sendirinya. TD : 110/80 mmHg, N: 80 kali/menit, P : 20 kali/menit, suhu : 37,3oC, thorax: tidak ditemukan kelainan; abdomen: nyeri ketok regio hipokondrium dextra, hepatomegali (+), konsistensi lunak, tepi tumpul, permukaan rata, murphy sign (+). Sesuai dengan teori yang ada bahwa secara umum, gejala dapat timbul secara mendadak (bentuk akut), atau secara perlahan-lahan (bentuk kronik). Dapat timbul bersamaan dengan stadium akut dari amebiasis intestinal atau berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah keluhan intestinal sembuh. Pada bentuk akut, gejalanya lebih nyata dan biasanya timbul dalam masa kurang dari 3 minggu. Keluhan yang sering diajukan yaitu rasa nyeri di perut kanan atas. Rasa nyeri terasa seperti tertusuk tusuk dan panas, demikian nyerinya sampai ke perut kanan. Dapat juga timbul rasa nyeri di dada kanan bawah, yang mungkin disebabkan karena iritasi pada pleura diafragmatika. Pada akhirnya dapat timbul tanda tanda pleuritis. Rasa nyeri pleuropulmonal lebih sering timbul pada abses hepatis jika dibandingkan dengan hepatitis. Rasa nyeri tersebut dapat menjalar ke punggung atau skapula kanan. Pada saat timbul rasa nyeri di dada dapat timbul batuk batuk. Keadaan serupa ini timbul pada waktu terjadinya perforasi abses hepatis ke paru paru. Sebagian penderita mengeluh diare. Hal seperti itu memperkuat diagnosis yang dibuat. Gejala demam merupakan tanda yang paling sering ditemukan pada abses hepar. Gejala yang non spesifik seperti menggigil, anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah badan dan penurunan berat badan merupakan keluhan yang biasa didapatkan. Lebih dari 90 % didapatkan hepatomegali yang teraba nyeri tekan. Hati akan membesar kearah kaudal atau kranial dan mungkin mendesak kearah perut atau ruang interkostal. Pada perkusi diatas daerah hepar akan terasa nyeri. Konsistensi biasanya kistik, tetapi bisa pula agak keras seperti pada keganasan. Pada tempat abses teraba lembek dan nyeri tekan. Dibagian yang ditekan dengan satu jari terasa nyeri, berarti tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa nyeri tekan dengan satu jari mudah diketahui terutama bila letaknya di interkostal bawah lateral. (6)Banyak penderita abses hati amuba hanya mengalami sedikit perubahan parameter laboratorium. Penulis lain menyebutkan pada penderita dengan abses hati amuba akut tidak didapatkan anemia, tetapi didapatkan derajat leukositosis yang cukup bermakna, sedangkan pada penderita dengan penyakit kronis mengalami anemia dengan leukositosis yang tidak jelas. Pada pemeriksaan hematologi pada abses hati amuba didapatkan hemoglobin antara 10,4-11,3%, sedangkan leukosit berkisar umumnya antara 10.000-12.000/ml. Pada abses hati piogenik, leukositosis didapatkan pada 70% penderita, sementara anemia didapatkan pada kira-kira 50% kejadian. Abnormalitas test faal hati lebih jarang terjadi dan lebih ringan pada abses hati amuba dibanding abses hati piogenik. Hiperbilirubinemia didapatkan hanya pada 10% penderita abses hati amuba. Pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,67-3,05 gr%, globulin 3,62-3,75 gr%, total bilirubin 0,9-2,44 gr%, alkali fosfatase 270,4-382 u/L sedangkan SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63 u/L. Karena pada abses amuba terjadi destruksi aktif parenkim hepar, dapat terjadi peningkatan PPT (Plasma Prothrombin Time). Pemeriksaan feses penderita, meskipun dengan sampel yang didapatkan dengan proktoskop bukan merupakan cara yang dapat dipercaya untuk mendiagnosis investasi amuba. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15% sampai 50% (penulis lain menyebutkan 15,4%) penderita abses amuba hepar, karena infeksi usus besar seringkali telah mereda saat penderita mengalami abses hepar. Complement fixation test lebih dapat dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran dan proktoskopi. Diagnosis sering ditegakkan dengan aspirasi dari kavitas abses, prosedur yang relatif tidak berbahaya. Tropozoit amuba ditemukan pada kurang dari sepertiga pasien. (6)Untuk kasus abses hepar pyogenik pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit meningkat dengan jelas (> 10.000/mm3) didapatkan pada 75-96% pasien, walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai normal. Laju endap darah biasanya meningkat dan dapat terjadi anemia ringan yang didapatkan pada 50-80% pasien. Alkali fosfatase dapat meningkat yang didapatkan pada 95-100 pasien. Peningkatan serum aminotransferase apartat dan serum aminotransferase alanin didapatkan pada 48-60% pasien. Prognosis buruk bila kadar serum amino transferase meningkat. Peningkatan bilirubin didapatkan pada 28-73% pasien. Penurunan albumin (3 g/dL) masih diamati. Protrombin time meningkat pada 71-87 pasien.(6) Dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin, didapatkan kesan leukositosis dengan WBC 21,07x103/uL, RBC 3,67x106/uL, HGB 10,5 g/dL, HCT 33,0%, MCV 89,9 fL, MCH 28,8 pg, MCHC 31,8 g/dL, PLT 384x103/uL. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 58 u/L, SGPT 44 u/L, Ureum 34 mg/dL, Kreatinin 0,6 mg/dL. Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien terdapat peningkatan enzim-enzim hati ( SGOT SGPT) yang menunjukan telah terjadi gangguan fungsi hati. Adanya proses infeksi memicu terjadinya peningkatan produksi enzim-enzim hati sehingga kadar enzim-enzim tersebut tinggi didalam darah. Leukositosis sendiri muncul akibat dari proses infeksi. Sebagai salah satu upaya sistem imun untuk melawan mikroorganisme penyebab infeksi. Kelainan foto dada pada abses hati amuba dapat berupa peninggian kubah diafragma kanan, berkurangnya gerak diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru.(7)

Gambaran Foto Dada Abses Hati Amuba

Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak, hanya mungkin dapat berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati jarang didapatkan berupa air fluid level.(7,9) Untuk mendeteksi abses hati amuba, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Sensitivitasnya dalam diagnosis abses hati amuba 85-95 %. USG dapat mendeteksi kelainan sebesar 2 cm disamping sekaligus dapat melihat kelainan traktus bilier dan diafragma. Keterbatasan USG terutama kelainan pada daerah tertentu, pasien gemuk atau kurang kooperatif.(7)Abses hati amuba stadium dini kelihatan seperti suatu massa dan jika terjadi pencairan bagian tengah, terlihat sebagai kista. Gambaran ultrasonografi pada abses hati amuba adalah:(7) Bentuk bulat atau oval Tidak ada gema dinding yang berarti Ekogenesitas lebih rendah dari parenkim hati normal Bersentuhan dengan kapsul hati Peninggian sonik distal

USG Abses Hati Amuba

Sensitivitas Tomografi Computer berkisar 95-100% dan lebih baik untuk melihat kelainan di daerah posterior dan superior. Tetapi tidak dapat melihat integritas diafragma, sehingga tidak dapat menentukan efusi pleura sebagai efusi reaktif atau ruptur dari diafragma.(7,9)

Gambaran CT Scan Abdomen Abses Hati Amuba dengan kontras IV dan oral. Gambaran ini tidak dapat dibedakan dengan abses hati piogenik.

Gambaran CT Scan Abdomen Abses Hati Amuba pada pasien yang sama dengan gambar 8 di atas tanpa kontras32

Membedakan abses piogenik dengan abses amuba pada hepar seringkali tidak dapat dilakukan dengan mempergunakan kriteria klinis, pemeriksaan laboratorium rutin dan pemeriksaan radiologis. Karena itu, pemeriksaan serologi diperlukan untuk memastikan adanya infeksi amuba. Respon antibodi bergantung pada lamanya sakit dan negatif pada minggu pertama. Titer antibodi dapat bertahan berbulan-bulan sampai tahunan pada pasien di daerah endemik. Jadi tidak begitu spesifik untuk daerah endemik, tetapi sangat spesifik untuk daerah bukan endemik. Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan meliputi IHA (Indirect Hemagglutination), GDP (Gel Diffusion Precipitin), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), counterimmunelectrophoresis, indirect immunofluorescence, dan complement fixation. IHA dan GDP merupakan prosedur yang paling sering digunakan. IHA dianggap positif jika pengenceran melampaui 1:128. Sensitivitasnya mencapai 95%. Bila tes tersebut diulang, sensitivitasnya dapat mencapai 100%. IHA sangat spesifik untuk amubiasis invasif, tetapi hasil yang positif bisa didapatkan sampai 20 tahun setelah infeksi mereda. GDP meskipun dapat mendeteksi 95% abses hepar karena amuba, juga mendeteksi colitis karena amuba yang noninvasif. Jadi, tes ini sensitif, tetapi tidak spesifik untuk abses amuba hepar. Namun demikian, GDP dapat dikatakan tidak mahal, mudah dilaksanakan, dan jarang sekali tetap positif sampai 6 bulan setelah sembuhnya abses. Karena itu, bila pada pemeriksaan radiologi ditemukan lesi "space occupying" di hepar, GDP sangat membantu untuk memastikan apakah kelainan tersebut disebabkan amuba.(7)ELISA, counterimmunelectrophoresis, dan indirect immunofluorescence juga sangat sensitif dan cepat prosedurnya untuk mendiagnosis amubiasis invasif. Namun pemeriksaan tersebut masih sulit didapatkan dibanding IHA dan GDP dan harganya lebih mahal. Prosedur "compement fixation" merupakan pemeriksaan serologi pertama yang dikembangkan untuk mendiagnosis amubiasis invasif, namun pelaksanaannya sukar dan sensitivitasnya kurang. Karena itu, pemeriksaan ini jarang digunakan. (7)Pada kasus ini, tidak semua pemeriksaan penunjang dilakukan. Hal ini dikarenakan fasilitas yang tersedia tidak lengkap. Dari pemeriksaan USG abdomen didapatkan ukuran hepar membesar, tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct dengan kesan abses hepar. Dan dari hasil pemerikaan foto thorax (PA) didapatkan adanya kesan elevasi diafragma kanan. Pada pasien abses hati amebik, foto thorax menunjukan peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval, tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal.Abses hepar dapat di diagnosis bandingkan dengan beberapa penyakit serupa yang memiliki manifestasi klinis hampir sama yaitu hepatoma yang merupakan tumor ganas hati primer. Pada hepatoma ini didapatkan penurunan berat badan, nyeri perut sebelah kanan atas, anoreksia, malaise, dan terdapat benjolan pada perut kanan atas. Sedangkan dari pemeriksaan fisik terdapat hepato megali yang berbenjol-benjol, dan stigmata penyakit hati kronik. Diagnosis banding selanjutnya adalah kolestitis akut yang merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kana atas, nyeri tekan dan peningkatan suhu tubuh. Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan perut kanan atas yang disertai dengan tanda-tanda peritonitis lokal, murphy sign (+). Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dan dari hasil USG didapatkan penebalan dinding kandung empedu.(6,7,8)Penanganan abses hati yang di anjurkan adalah pemberian Antibiotik. Dengan ditemukannya metronidazol, sebagian besar kasus abses hati amuba hepar tidak lagi memerlukan tindakan bedah. Aspirasi perkutan atau tindakan bedah diperlukan bila diagnosisnya masih belum dapat dipastikan atau bila terjadi komplikasi. Golongan imidasol meliputi metronidazol, tinidazol, dan niridazol dapat memberantas amuba pada usus maupun hepar. Metronidazol peroral, 750 mg, tiga kali sehari selama sepuluh hari, dapat menyembuhkan 95% penderita abses amuba hepar. Pemberian intravena sama efektifnya, diperlukan pada penderita yang mengalami rasa mual atau pada penderita yang keadaan umumnya buruk. Hasil yang positif pada pemberian metronidazol secara empiris dapat memperkuat diagnosis abses amuba hepar. Perbaikan gejala klinis terjadi dalam 3 hari dan pemeriksaan radiologis menunjukkan penurunan ukuran abses dalam 7 sampai 10 hari. Metronidazol tidak mahal dan aman, namun merupakan kontraindikasi pada kehamilan. Efek samping yang dapat terjadi ialah mual dan rasa logam. Neuropati perifer jarang terjadi.(6,7,8)Emetin, dehidroemetin, dan klorokuin berguna pada abses amuba hepar yang mengalami komplikasi atau bila pengobatan dengam metronidazol gagal.10,14 Karena obat ini hanya memberantas amuba yang invasif, diperlukan pemberian obat yang bekerja dalam usus secara bersamaan. Pemberian metronidazol dapat dilanjutkan. Setelah terapi abses hepar diberikan, direkomnedasikan pemberian agen luminal untuk mencegah kekambuhan. Agen Luminal yang efektif untuk amubiasis seperti iodokuinol, paronomysin dan diloxanide furoate. Emetin dan dehidroemetin diberikan secara intramuskular. Emetin memiliki "therapeutic range" yang sempit. Dapat terjadi proaritmia, efek kardiotoksik yang diakibatkan akumulasi dosis obat. Penderita yang mendapat obat ini harus tirah baring dan dilakukan pemantauan tanda vital secara teratur. (6,7,8)Emetin dan dehidroemetin diindikasikan terutama untuk penderita yang mengalami komplikasi paru, karena biasanya keadaan umumnya buruk dan memerlukan terapi "multidrug" untuk mempercepat perbaikan gejala klinis. Dehydroemetine 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (maksimum 99 mg/hari) selama 10 hari. Klorokuin dapat diberikan per oral. Dosisnya 1g/hari selama 2 hari dan diikuti 500/hari selama 20 hari. Meskipun efek samping penggunaan klorokuin lebih sedikit dibanding emetin dan dehidroemetin, obat ini kurang poten serta sering terjadi relaps jika digunakan sebagai obat tunggal. Saat ini klorokuin digunakan bersamaan dengan emetin dosis rendah untuk strain amuba yang resisten terhadap metronidazol. Kombinasi klorokuin dan emetin dapat menyembuhkan 90% sampai 100% penderita amubiasis ekstrakolon yang resisten. (6,7,8)Penderita yang mendapat pengobatan amubisid sistemik namun gejala klinisnya tidak menunjukkan perbaikan lebih dari 72 jam setelah dimulainya pengobatan, akan menunjukkan perbaikan dengan cara aspirasi rongga abses. Dalam hal ini, aspirasi berguna tidak hanya untuk mengurangi gejala-gejala penekanan, tetapi juga untuk menyingkirkan adanya infeksi bakteri sekunder. Aspirasi juga mengurangi risiko ruptur pada abses yang volumenya lebih dari 250 ml, abses yang terletak pada lobus kiri hepar, atau lesi yang disertai rasa nyeri hebat dan elevasi diafragma, dan untuk membedakan dengan abses hati piogenik Aspirasi juga bermanfaat bila terapi dengan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan. Tidak ada indikasi untuk melakukan injeksi obat-obatan ke dalam kavitas abses. Sebaiknya aspirasi ini dilakukan dengan tuntunan USG. Bila abses menunjukkan adanya infeksi sekunder, drainase terbuka adalah pilihan terapinya. (6,7,8)Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum dan perikardial. Tingginya viskositas cairan abses amuba memerlukan kateter dengan diameter yang besar untuk drainase yang adekuat. Infeksi sekunder pada rongga abses setelah dilakukan drainase perkutan dapat terjadi.(7)Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik dengan terapi konservatif. Laparotomi diindikasikan untuk perdarahan yang jarang terjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Tindakan operasi juga dilakukan bila abses amuba mengenai sekitarnya. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil. Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi terjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal. Sepanjang tindakan ini, kateter perkutan dimasukkan dengan tuntunan laparoskopi akan berhasil mengeluarkan abses dan mencegah tindakan laparotomi. (6,7,8)Pada pasien ini penanganan yang diberikan adalah terapi non medika mentosa yaitu Istirahat yang cukup (tirah baring). Menjaga higienitas makanan, minuman, tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan lainnya, diet lunak, tinggi karbohidrat dan tinggi protein. Medikamentosa IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, Antibiotik : Metronidazole 0,5mg/8jam/IV, Antipiretik : Sistenol tablet 500 mg 3x1 tablet (jika panas). Dan pasien menunjukan adanya perbaikan kondisi dengan pemberian antibiotik metronidasol.Diperkirakan 10% pasien dengan abses amuba hati akan mengalami komplikasi. Dari penelitian yang baru-baru ini diadakan di China dengan 503 kasus abses amuba hati yang didokumentasikan sepanjang 21 tahun, didapatkan 22% mengalami komplikasi dengan perforasi. Perforasi tersering meliputi struktur pleura dan paru (72%), ruang subfrenik (14%), dan ruang peritoneum (10%). Pada penelitian lain (India Selatan) dengan 200 kasus abses amuba hati yang didapati antara tahun 1989 dan 1991, komplikasi yang didapat 4% termasuk pleural efusi (dua kasus), konsolidasi paru (4 kasus), efusi perikardial (1 kasus), dan ascites (2 kasus). Peneliti di negara Barat melaporkan insidens komplikasi sebanyak 23%. Disebutkan pula pada sebuah penelitian bahwa pasien-pasien dengan komplikasi didapatkan perubahan yang bermakna dari hemoglobin, hematokrit, prothrombin time, total protein, albumin, LDH, dan BUN. Juga titer antibodi terhadap E. histolytica meningkat pada kelompok ini. (6,7,8)Seperti halnya abses piogenik, angka kematian meningkat pada pasien-pasien ini. Komplikasi tersering adalah ruptur abses ke dalam peritoneum atau ke dalam toraks. Abses dapat juga menyebabkan erosi organ di sekitarnya atau mendapat infeksi sekunder bakterial. Sangat jarang, hemobilia dan kegagalan hepar timbul sebagai akibat pertumbuhan yang erosif dari abses hati amuba.(7) Sistem pleuropulmonum merupakan sistem tersering terkena bila abses amuba hepar ruptur. Secara khusus, kasus tersebut berasal dari lesi yang terletak di lobus kanan hepar. Abses menembus diafragma dan akan timbul efusi pleura, empyema, abses pulmonum, atau pneumonia. Fistula bronkopleura, biliopleura, dan biliobronkial juga dapat timbul dari ruptur abses amuba. Pasien-pasien dengan fistula ini akan menunjukkan ludah yang berwarna kecoklatan yang berisi amuba yang ada. Kebanyakan komplikasi pleuropulmonum berespons baik terhadap antibiotik dan drainase. Pasien-pasien dengan amuba empyema akan mengakibatkan sesak napas dan perselubungan hemitoraks. Ini akan memerlukan terapi multimedikamentosa, pemasangan toraks drain, dan sering torakotomi dengan dekortikasi. Torakotomi mungkin juga diperlukan pada pasien-pasien dengan fistula biliobronkial yang tidak membaik dengan pengobatan konservatif. (6,7,8)Tiga puluh persen dari komplikasi abses amuba, termasuk kontaminasi peritoneal, berasal dari abses hepar kanan. Penanganan amubiasis ruptur intraperitoneal masih kontroversial. Beberapa penulis menganjurkan terapi antibiotik sistemik saja, yang lain menganjurkan drainase perkutan. Pasien-pasien dengan perdarahan yang mengancam nyawa atau yang gagal pada pengobatan konservatif memerlukan laparotomi, drainase abses, dan irigasi amubisidal. Terapi amubisidal sistemik adalah pengobatan awal dari fistula hepatokutan. (6,7,8)Pada kurang dari 2% pasien, abses hepar kiri dapat mengalami ruptur ke dalam perikardium. Pada kebanyakan pasien, akan timbul gagal jantung kongestif. Penanganan dari amubiasis perikardial adalah nonoperatif, dengan angka kematian yang rendah dengan aspirasi jarum dan amubisidal sistemik dibanding prosedur drainase terbuka. (6,7,8)Tidak seperti abses hati piogenik, angka kematian pada abses amuba hepar tercatat dalam sejarah lebih rendah. Tahun 1935, Ochner melaporkan 9% pasien dengan abses amuba meninggal karena penyakitnya. Para peneliti mengevaluasi pengobatan dengan antibiotik saja, antibiotik dikombinasikan dengan aspirasi jarum, dan antibiotik dengan drainase terbuka, telah dilaporkan dengan angka kematian yang sama antara 2% sampai 3%.(6,7,8,9,10,11)Beberapa faktor klinis telah dikaitkan dengan prognosis yang jelek pada pasien-pasien dengan abses amuba hepar. Peningkatan umur, manifestasi klinis yang lambat, encephalopathy, multipel abses, volume abses > 500 ml, dan komplikasi seperti ruptur intraperikardial atau komplikasi pulmonum meningkatkan tiga kali angka kematian. Hiperbilirubinemia (>3,5 mg/dL) juga termasuk faktor resiko, dengan ruptur timbul lebih sering pada pasien-pasien dengan jaundice. Kadar hemoglobin 8 g/dL dan serum albumin