152

Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

  • Upload
    haque

  • View
    271

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,
Page 2: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

I S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Page 3: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

ii Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Page 4: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

iiiJurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Jurnal Analisa terbit enam bulan sekali. Redaksi menerima artikel dari hasil

penelitian dan pemikiran mengenai kehidupan keagamaan, pendidikan agama dan keaga-

maan, serta lektur keagamaan. Panjang tulisan untuk artikel hasil penelitian antara 15 – 20

halaman ( 30.000 – 40.000 karakter) dan artikel pemikiran antara 10 – 15 halaman (20.000

– 30.000 karakter). Diketik dengan kertas ukuran kuarto (A4), 1,5 spasi dan font huruf Times

New Roman ukuran 12 pt dengan model sesuai format jurnal. Artikel dilengkapi dengan ab-

strak maksimal 200 kata dan kata kunci dan biodata penulis. Transliterasi bahasa Arab meng-

gunakan pedoman yang ditetapkan oleh Departemen Agama dan Departemen P dan K. Naskah

diserahkan dalam bentuk print out dan softcopy kepada redaksi Jurnal Analisa Balai

Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Redaksi berhak menyunting naskah artikel

tanpa mengubah maksud isi artikel. Isi artikel menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.

I S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Penanggung JawabDrs. H. Arifuddin Ismail, M.Pd

RedaktuR ahli/ MitRa bestaRiProf. Dr. H. Mudjahirin Thohir, M.A.

(Universitas Diponegoro),Prof. Dr. H. Muhtarom HM.

(IAIN Walisongo), Dr. Iwan Junaedi

(Universitas Negeri Semarang)

PeMiMPin RedaksiDrs. H. Ahmad Sodli, M. Ag.

anggota RedaksiDrs. Mulyani Mudis Taruna, M. Pd.,

Drs. R. Aris Hidayat, M. Pd.Joko Tri Haryanto, S. Ag., M.S.I.,

adMinistRasiMoh Hasim, S. Sos.I, M.Pd.,

Umi Muzayanah, S.Si.Nur Laili Noviana, S.Psi

layouteRFathurozi, S.Sos.I

diteRbitkan olehBalai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

alaMat RedaksiBalai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Jl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep, Ngaliyan Semarang. Telp. (024) 7601327.

Page 5: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

iv Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Page 6: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

vJurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Kata Pengantar — vii-viii

PEMIKIRAN

Mudjahirin thohirFundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan — 165-174

PeneLitian

ARIFUDDIN ISMAILRefleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)— 175-186AHMAD SODLIRevitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB — 187-199MARMIATI MAWARDITradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis — 201-214

nuruL hudaKarakteristik Metodologis dan Penafsiran Teologis dalam Kitab Tafsir Ar-Ragib Al-Asfahani — 215-226

ariS hidaYatTransformasi Nilai Keislaman melalui Kitab Lokal (Kajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya, KH. Badawi Hanafi) — 227-242

UMI MASFIAHRespons Santri terhadap Kitab Risalah Al Mahid sebagai Pedoman Haid Santri di Pondok Pesantren Manbail Futuh, Jenu, Tuban, Jawa Timur— 243-262

Moh. haSiMPembelajaran Berbasis Masyarakat di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga — 263-274

MULYANI MUDIS TARUNAPelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali — 275-290

aLi KhudrinDampak Pendidikan Agama Terhadap Kesehatan Reproduksi pada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat — 291-302

BIODATA PENULIS — 304-305

Daftar Isi

Page 7: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

vi Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Page 8: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

viiJurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat

Dinamika keberagamaan masyarakat di Indonesia sangat menarik untuk dicermati. Hal ini mengingat masyarakat Indonesia yang plural dan multikul-tur, di mana agama, budaya, dan latar belakang lainnya, sangat berpengaruh terhadap perilaku keberagamaannya. Pemeluk agama dalam bersikap terha-dap dunia di luar dirinya, menurut Berger (1992), pada umumnya bereaksi dalam tiga pola. Pertama, Deduksi yaitu menegaskan kembali otoritas tra-disi agama, di mana hal ini bertolak dari wahyu Allah, “Deus Dixit” atau Tu-han bersabda. Dalam pola ini semua persoalan dipandang hanya Allah yang mempunyai jawaban atas berbagai persoalan manusia. Kedua, Reduksi, yaitu melakukan demitologi agama, melakukan tafsir rasional dalam kerangka sekular untuk tujuan eksistensi religius. Dan ketiga, Induksi yaitu usaha me-ngungkap pengalaman manusiawi ke dalam tradisi religius, sekaligus men-emukan yang transenden dalam pengalamannya yang manusiawi. Implikasi dari sikap reaksi di atas, dapat menjadikan pemeluk agama menjadi funda-mental, bahkan radikal. Namun dapat pula sebaliknya, pemeluk agama akan memahami keberagamaannya secara lebih moderat dan toleran, terutama terkait hubungannya dengan umat beragama yang lain.

Jurnal Analisa Vol. XVII No.02 Juli-Desember 2010 ini menampilkan dinamika keberagamaan di masyarakat. Artikel pemikiran dari Prof. Mudja-hirin Thohir yang berjudul Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan, mengungkapkan bahwa fundamentalisme memandang Islam tidak sekedar doktrin agama yang membimbing aspek spiritual saja, melain kan juga sistem ketatanegaraan. Pandangan ini, tak jarang melahirkan tin-dakan radikal dan kekerasan. Arifuddin Ismail dalam artikel penelitian ke-hidupan keagamaan tentang Pola Kerukunan Umat Beragama (Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat) menunjukkan keru-kunan umat beragama di Indonesia menjadi suatu keniscayaan, karena di ma-syarakat masih terdapat ruang sosial untuk media dialog antaragama secara alami berupa ruang-ruang kebudayaan, melalui tradisi-tradisi lokal. Hal ini terlihat juga pada hasil penelitian Ahmad Sodli tentang Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar Lombok Barat (NTB). kajiannya pada tradisi Perang Topat di NTB, menunjukkan bahwa tra-disi ini terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat pemiliknya karena fung-sional menjadi sarana merekatkan kerukunan antarumat beragama.

Artikel penelitian dalam bidang kehidupan keagamaan yang lain adalah penelitian Marmiati Mawardi tentang Tradisi Upacara Kematian Umat Kho-

Page 9: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

viii Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

nghucu dalam Perspektif Psikologis. Upacara kematian bagi umat Khonghucu mengandung nilai-nilai psikologis yakni mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang untuk mempertimbangkan tindakannya di dunia.

Artikel penelitian bidang lektur keagamaan antara lain menampilkan penelitian Nurul Huda tentang Karakteristik Metodologis dan Penafsiran Te-ologis dalam Kitab “Tafsīr Ar-Rāġib Al-Aşfahani”. Penelitian mengungkap berbagai karakteristik metodologis, dan penafsiran teologis al-Aşfahāni, serta kecenderungan al-Aşfahāni terhadap teologi ahlusunah. Meskipun demikian kecenderungan ini bukan sebagai corak penafsiran yang dominan dalam kar-yanya itu, karena karakteristik metodologis tersebut berbeda-beda sesuai masa, metode,bentuk, dan coraknya. Tulisan Aris Hidayat tentang Transfor-masi Nilai Keislaman Melalui Kitab Lokal (Kajian teks kitab “Niyat Ingsun Ngaji” karya KH.Badawi Hanafi), menunjukkan cara pengajaran klasik se-bagaimana dalam kitab yang dikaji ini dipandang mampu memberi nilai in-trospektif bagi peningkatan keimaman santri. Sedangkan artikel Respon Santri Terhadap Kitab “Risalah Al-Mahid” yang ditulis oleh Umi Masfiah, menganalisis respon santriwati terhadap kitab Risalah al Mahid yang berisi fiqh perempuan yakni fiqh al khusus dima ‘-mar’ah. Penelitian ini menunjuk-kan bahwa kitab ini oleh para santri dipandang sangat penting sebagai pan-duan bagi perempuan yang telah menjelang akil baligh dan mendapat haid.

Sementara artikel bidang pendidikan agama dan keagamaan menampil-kan tulisan Muh. Hasim tentang Pembelajaran Berbasis Masyarakat di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga. Penelitian ini menemukan bahwa ke-mampuan dan sumber potensi lokal yang didukung oleh sistem pendidikan kontekstual dan disokong partisipasi masyarakat warga, menjadikan SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah sekolah yang bermutu. Mulyani Mudis Taruna, dalam artikel penelitiannya tentang Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali, menunjukkan bahwa di sekolahan tersebut, pelaksanaan kurikulum pendidikan agama telah memberikan la-yanan kepada peserta didik, yaitu memberikan pengajaran pendidikan agama sesuai dengan agama peserta didik dan diajarkan oleh tenaga pendidik yang seagama dengan agama peserta didik. Sedangkan penelitian kuantitatif yang dituliskan oleh Ali Khudrin dalam artikelnya, Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksi pada MAN 1 Mataram NTB, menunjukkan bahwa tingkat pemahaman peserta didik MAN 1 Mataram tentang kesehatan reproduksi berada pada kategori Baik dan Sangat Baik.

Semoga artikel-artikel yang dimuat dalam jurnal Analisa Vol. XVII No.02 Juli-Desember 2010 ini memberi manfaat bagi pengembangan keilmuan, khususnya dalam bidang keagamaan. Selamat membaca.

Redaksi

Page 10: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

165Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

PEMIKIRAN

AbstrAk :Religion becomes reference of civilized value system which is played and

plays to underlie pattern of community’s act. In this case, religion as knowl-edge system and believe system really depends on a result of interpretation on religious symbols. As a result, in each religion there will be variety of understanding, attitude, and respond toward their problems. One of those is fundamentalism view. Fundamentalist sees Islam is not only religious doc-trine which directs human being in spiritual aspect, but also Islam develops state system. To implement that view, they sometimes commit radical action and violence. This writing tries to explore the phenomena of fundamentalism in the cultural perspective.

Keywords : Fundamentalism, Cultural

PendAhuluAn

Agama sebagai sistem pengetahuan dan sistem keyakinan, menyediakan sarana-sarana berupa pengetahuan-pengetahuan keagamaan yang menurut keyakinan pemeluknya sendiri, bersumber dari wahyu yang terkodifikasi ke dalam teks-teks suci, berupa serangkaian simbol-simbol terutama simbol-simbol konstitutif (agama). Hasil tafsiran pemahaman atas teks-teks simbolik itu melahirkan kecenderungan umum bagi para pemeluknya seperti klaim ke-benaran secara sepihak. Dengan demikian, pada setiap agama terdapat alir-an-aliran keagamaan. Para pemeluk dari agama dan aliran-aliran keagamaan yang diikuti, cenderung melahirkan perbedaan-perbedaan pemahaman, pen-sikapan, dan tindakan (tanggapan) terhadap berbagai persoalan yang dih-adapi. Dari sini pula agama dalam kehidupan sosial mengekspresikan atau diekspresikan oleh umatnya sebagai pemersatu sekaligus sebagai pemisah

Dalam konteks seperti ini, sepertinya agama menjadi dan dijadikan sa-rana pendorong melakukan serangkaian tindakan sekalipun dalam bentuk

FUNDAMENTALISME KEAGAMAAN DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN

Oleh MuDJahIrIN ThOhIr*1

* Prof. Mudjahirin Thohir adalah guru besar antropologi budaya Universitas Diponegoro Semarang

Page 11: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

166 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan Mudjahir in Thohir

kekerasan1. Ini artinya, antara kepentingan agama dan kepentingan umat beragama, dalam kehidupan social sering kali menjadi tumpang tindih. Di sinilah ketegangan bahkan konflik di Indonesia yang terkait dengan masalah agama dengan keumatan, dapat dipetakan menjadi lima kategori ketegangan/konflik keagamaan sebagai berikut:

Agama dalam perspektif kebudayaan, dapat mengambil bentuk sebagai sistem pengetahuan dan keyakinan sehingga ia fungsional untuk acuan tin-dakan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat manusia terutama sebagai pemenuhan kebutuhan adab. Tulisan ini secara khusus akan mengkaji funda-mentalisme (radikalisme) dilihat dari perspektif kebudayaan.

RelAsi AgAmA dAn negArA

Menurut Abd Salam Arif (dalam The Thematic Encyclopaedia, 2004: 1-40), ada tiga kategori paradigmatik untuk menjelaskan bagaimana umat, memaknai agama dan peran umat beragama di dalam kehidupan sosio-poli-tik. Pertama, kategori yang mengikuti pola paradigma substantif. Kedua,

1. Kekerasan sosial merupakan tindakan yang dilakukan secara bersama atau kolektif dalam bentuk “amuk” disertai dengan hujatan dan atau pengrusakan sehingga melahirkan keru-gian material dan atau konflik terbuka. Kerugian material menyangkut kerugian materi seperti harta benda, kehormatan, maupun nyawa. Sedang konflik terbuka, bisa dalam bentuk fisik atau nonfisik seperti hujatan-hujatan terbuka (Thohir, 2005: 14). Untuk melihat lebih jauh kondisi ketegangan-ketegangan sosial yang diikuti dengan tindak kekerasan sosial yang terjadi di Indo-nesia yang diakibatkan oleh tumpang-tindihnya pemahaman dan kepentingan antara agama dan umat beragama, silakan lihat pada tulisan M.M. Billah (1999: 16-28).

NoKategori Konflik

Kasus (Pelaku) Issue yang Berkembang

1 Intern aliran Satu aliran keagamaan tetapi beda interest politik

Perbedaan kepentingan politik

2 Lintas aliran dalam satu agama

Pengikut sunni dll dengan Ahmadiyah/LDII

Klaim kebenaran sepihak

3 Lintas agama Moslem dengan kristiani

Pendirian rumah ibadah; kepentingan kekuasaan dsb.

4 Agama dan kepercayaan lokal

Penganut Islam puritan dengan penganut agama lokal

Kemusyrikan; penyimpangan keagamaan dll

5 Agama dan negara

Kelompok keras Fundamentalisme; ekstremisme dll.

Page 12: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan

167Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mudjahir in Thohir

kategori yang dalam hal-hal tertentu memiliki paradigma sekuleristik, dan ketiga, kategori kelompok yang secara formalistik bersesuaian dengan faham fundamentalis, terutama ketika dihadapkan kepadanya tentang relasi antara agama dan negara.

Kategori pertama, yaitu kelompok yang menempatkan dan mengekspre-sikan sikap keagamaannya dengan paradigma substantif. Pengikut kelom-pok paradigma substantif ini melihat dan memposisikan hubungan agama dan negara bersifat simbiotik, yakni suatu hubungan timbal balik yang sal-ing memerlukan. Menurut pandangan kelompok ini, negara (state) seperti Indonesia, memerlukan panduan etika dan moral sebagaimana diajarkan oleh agama. Sementara agama sendiri memerlukan kawalan negara untuk kelestarian dan eksistensinya. Dalam konteks Indonesia, Pancasila yang di-gunakan sebagai dasar negara dilihat sebagai hal yang tidak perlu diperma-salahkan mengingat dua hal, yaitu (a) roh dari lima dasar Pancasila itu sendiri bersesuaian dengan substansi ajaran agama; serta (b) penggunaan Pancasila (bukan secara formal agama Islam) adalah karena untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat-masyarakat Indonesia yang pluralistik baik dalam hal suku maupun agama.

Aliran pemahaman kelompok ini dengan tegas menyatakan bahwa Islam sama sekali tidak mewajibkan kepada umatnya untuk menjadikan Islam se-bagai ideologi negara, tetapi yang lebih dipentingkan ialah berlakunya nilai dan substansi ajaran agama itu sendiri di dalam kehidupan sosial yang berco-rak pluralistik. Bagaimana Islam dan umat Islam hidup dalam negara atau pemerintahan yang mendasarkan pada Pancasila? Dalam konteks seperti ini, Islam dan umat Islam harus tampil dan menampilkan misi Islam itu sendiri yaitu “rahmatan lil alamin”. Inilah universalitas Islam.

Pandangan mengenai universalitas Islam dalam konteks negara yang di-tawarkan oleh kelompok ini, didasari oleh tujuh prinsip.(Arif, 2004: 11 – 18) Ketujuh prinsip itu, pertama, adalah al-syura (consultation). Artinya, prin-sip musyawarah merupakan suatu prinsip yang diperintahkan al-Quran dan karena itu menjadi prinsip etika politik. Kedua, prinsip al-musawa (equal-ity) dan al-ikha’ (brotherhood), yang berarti persamaan dan persaudaraan. Pada prinsip ini, manusia adalah sama, yang berbeda atau yang membeda-kan adalah kualitas ketaqwaannya. Ketiga, prinsip al-‘adallah (justice) yang mengandung arti: honesty, fairness, dan integrity yaitu keadilan yang harus ditegakkan tanpa diskriminasi, penuh kejujuran, ketulusan dan integritas. Keempat ialah al-hurriyyah (freedom) yang berarti menganut kebebasan. Kebebasan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat harus dia-tur oleh aturan-aturan perundang-undangan agar kebebasan seseorang tidak melanggar kebebasan pihak lain. Kelima ialah prinsip al-amanah (trust). Dalam konteks kekuasaan negara, amanah merupakan mandat rakyat yang di dalamnya mempunyai nilai kontrak sosial yang tinggi. Keenam ialah prin-

Page 13: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

168 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan Mudjahir in Thohir

sip al-salam (peace) atau perdamaian sebagaimana dikemukakan al-Quran. Ketujuh adalah al-tasamuh (toleran) yaitu prinsip saling menghormati antar sesama warga masyarakat. Prinsip ini berlaku universal, bukan saja terhadap masalah yang bersifat profan, tetapi juga masalah yang bersifat sakral, seperti toleransi dan menghormati agama-agama lain.

Kategori kedua ialah pengikut aliran yang bergerak pada paradigma sekuler. Aliran kedua ini merupakan kategori gerakan yang cenderung menekankan pemisahan antara agama dan negara. Mereka berpandangan bahwa “agama sama sekali tidak menekankan kewajiban mendirikan negara.

Aliran ketiga adalah aliran yang mempunyai doktrin innal al-Islam al-Din wa al-Daulah (sesungguhnya Islam itu agama dan negara). Oleh karena Islam adalah agama dan negara maka Islam tidak sekedar doktrin agama yang membimbing manusia dari aspek spiritual saja, melainkan juga berusaha membangun suatu sistem ketatanegaraan. Dalam pandangan kelompok ini, Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan semata, tetapi juga memuat ajaran tentang hubungan antarsesama manusia, baik dalam as-pek sosial maupun politik kenegaraan. Dalam format demikian, Islam meru-pakan tipikal sosio-politik, di mana fungsi agama dan politik tidak dapat di-pisahkan melainkan harus terbentuk secara formalistik-legalistik dalam satu wadah yang bernama “Negara Islam”.

Gagasan politik Islam demikian itu – jika ditelusuri latar belakang se-jarahnya -- menjadi tipologi gerakan Islam yang dalam ranah sejarah dapat dirujuk contohnya pada dua organisasi besar yaitu al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan Jamaah al-Islamiyah di Pakistan. Keduanya bergerak ke arah penguatan basis umat Islam sebagai modal politiknya dan menempatkan Is-lam sebagai ideologi gerakannya. Keduanya bergerak dengan dilandasi teo-logi politik yang kuat dan mengakar dalam ide dan sikapnya sebagai pengan-jur gerakan Islam fundamentalis atau radikalis.

gerAkAn FundAmentAlisme keAgAmAAn Radikalisme 2 adalah “prinsip-prinsip atau praktik-praktik yang dilaku-

kan secara radikal. Suatu pilihan tindakan yang umumnya dilihat dengan mempertentangkan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangklan oleh kelompok (aliran) agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau

2. Secara etimologi, istilah radikalisme berasal dari kata: radix artinya akar (root) kemu-dian mendapat tambahan morfem akhir “al” menjadi radical. Dalam kamus The American Col-lege Dictionary (1961: 998) kata radikal memuat arti al: (1) going to the root or origin; funda-mental; (2) throrough going or extreme esp.in the way of reform; (3) belonging or pertaining to a political party favoring drastic reform; (4) forming the basis or foundation; (5) existing inherently in a thing or person: radical defect of character. Karena itu, radikalisme dalam kon-teks pemikiran dan tindakan menurut kamus tersebut diartikan: (1) the holding or following of radical or extreme views or principles; dan (2) the principles or practices of radicals. Lihat pula pada definisi yang diajukan oleh The American College Dictionary (1961: 998) dan Fananie, dkk. Ed. (2002: 01)

Page 14: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan

169Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mudjahir in Thohir

dipandangan mapan pada saat itu. Karena itu pula, radikalisme sering dis-ejajarkan dengan istilah ekstremisme, militanisme, atau fundamentalisme.(Lihat pada Effendi & Sirry, 2003: 105; Bukhori, 1986: 57; Jansen, 1986; dan Ruthven, 1984; Priyono, 2003: 15; serta Burrel, 1995: 2) Istilah-istilah itu digunakan dalam banyak pengertian yang berbeda-beda, tetapi yang jelas, istilah-istilah tersebut tidak terbatas tertuju pada Islam, termasuk juga tidak terbatas pada kegiatan agama, karena banyak contoh tentang fundamen-talisme dalam beberapa gerakan politik yang mempunyai ideologi-ideologi sekuler, jika bukan ateis yang memiliki watak radikal.

Ciri-ciri umum dari fundamentalisme Islam ialah: (a) gerakan-gerakan Islam yang secara politik menjadikan Islam sebagai ideologi dan secara bu-daya menjadikan Barat sebagai the others; (b) memiliki prinsip yang me-ngarah pada paham perlawanan (oppotionalisme); (c) penolakan terhadap hermeneutika karena pemahaman al-Quran sepenuhnya adalah skriptualis-tik; (d) dan secara epistemologis, dalam wilayah gerakan sosial-politik me-nolak pluralisme dan relativisme; serta (e) penolakan perkembangan historis dan sosiologis, karena dalam pandangan mereka, “umat manusia yang tengah melakukan aktivitas sejarah di dunia harus menyesuaikan diri dengan teks al-Qur’an, bukan sebaliknya”.(Abegebriel dan Syitaba, 2004: 506-7)

Dalam bidang politik, seperti halnya dalam bidang agama3, radikalisme atau terkadang disebut fundamentalisme4, diberi arti sebagai suatu pendirian yang tegas dan tidak ragu-ragu bahwa keyakinan-keyakinan tertentu tentang suatu kebenaran – biasanya diambil dari teks-teks suci – merupakan kewa-jiban orang-orang beriman untuk menggiatkan kehidupan mereka dan men-garahkan aktivitas-aktivitas mereka sesuai dengan keyakinan-keyakinannya itu, sehingga untuk beberapa hal membenarkan penggunaan istilah militan. Militansi di sini, umumnya terkait pada ciri usaha merombak secara total suatu tatanan politik atau tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan dan dengan semangat militan. Sikap militan itu ditunjukkan dari

3. Di kalangan masyarakat Indonesia, istilah agama perlu dibedakan dalam arti politis dan arti ilmiah. Dalam arti politis, yang disebut agama yaitu suatu kepercayaan kepada Tuhan serta dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaannya itu, sejauh diakui oleh pemerintah RI. Sedang dalam arti ilmiah, agama ialah suatu kepercayaan ke-pada Tuhan/dewa dsb, serta dengan ajaran, kebaktian dari kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaannya itu. Agama dalam arti ini disebut religi (Paassen, 1978: 20; Koentjara-ningrat, 1974: 137-142).

4. Istilah fundamentalisme bisa berari faham yang berusaha untuk memperjuangkan atau menerapkan apa yang dianggap mendasar. Kemunculan diskursus fundamentalisme keagamaan ini, pertama kali muncul di kalangan Kristen (Ilyas Ba Yunus, dalam Hasyim, 2002: 9). Dalam sebuah artikelnya, “The Myth of Islamic Fundamentalism”, Ilyas menjelaskan bahwa diskursus fundamentalisme untuk yang pertama kali muncul dalam sebuah konferens mengenai Bible 1878 yang diselenggarakan di Nigara Falls New York. Konferensi ini dihadiri terutama oleh kalan-gan pemimpin Baptis, Presbyterian, dan aktvis gereja. Salah seorang dari peserta (?) yaitu Sheila McDonough, memilih istilah fundamentalisme untuk menjelaskan denomena pemikiran radika-lisme Islam yang diperkenal oleh Maulana Maududi mengenai revivalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan dunia” (Hasyim, 2002: 8-9).

Page 15: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

170 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan Mudjahir in Thohir

gerakan-gerakannya yang bersifat agresif, gemar atau siap berjuang, bertem-pur, berkelahi, atau berperang, terutama untuk memperlihatkan pengabdian mereka yang total terhadap suatu cita-cita. Sikap radikal dan tidak-toleran demikian itu, adalah karena “mereka menyederhanakan persoalan yang ada dalam suatu masyarakat secara berlebih-lebihan. Mereka melakukan over-simplikasi terhadap persoalan yang ada”.(Burrel, 1995: 3; dan Bukhori, 1986: 68)

Pilihan kepada sikap radikal demikian itu, sering mengalami ketegangan bahkan terkadang konflik dengan lingkungan mereka sendiri. Dalam suasana ketegangan itu pula, kesan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, sering diper-tanyakan oleh warga masyarakat luar yang sudah terbiasa hidup di dalam ke-hidupan yang multi-kultural5 dan multi-etnik. Apalagi kalau cara-cara mem-perjuangkan tegaknya Islam dengan klaim jihad6 untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetapi dengan cara-cara kekerasan.

Sikap dan tindakan keras atau ekstrem7 yang seringkali diacukan kepa-da gerakan kaum fundamentalis, dalam perjalanannya berakar dari reaksi terhadap kenyataan baik dalam bentuk kebijakan pemerintah yang dicurigai memojokkan Islam atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam, se-hingga akar dari fundamentalisme itu pada dasarnya ingin mengembalikan Islam menurut sumber literal (text) Alquran tanpa perlu tafsil (kias), tetapi dalam perjalanannya, gerakan itu sendiri tidak terlepaskan dari wilayah-wilayah politik.

Secara skematik, model dari gerakan dan orientasi Islam fundamentalis itu sebagai berikut:

Pada masing-masing sel di atas, dalam praktiknya tentu saja tidak bisa dilihat secara dikotomi secara hitam-putih, sebab masing-masing dari

5. Multikultural adalah keanekaragaman budaya yang ada seperti keanekaragaman budaya Indonesia. Faham yang memberi tempat secara seimbang kepada semua budaya yang ada itu disebut multikulturalisme. Dengan demikian, multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.

6. Secara etimologis, kata jihad berasal dari jahada yang artinya: mengerahkan upaya; berusaha dengan sungguh-sungguh; berjuang keras. Namun dalam pengertian yang lebih teknis, kata ini digunakan untuk memerangi dan melawan segala hal yang dianggap mengancam Islam (Rumadi, 2002: 60).

7. “Bila kita mau jujur, kita akan melihat sikap ekstrim bukan milik kaum fundamentalis (saja; mth), ia ada juga pada kaum sekuler, modernis, dan tradisional. Ekstremitas sekuler dapat dilihat pada Ataturkisme; modernis pada Ahmad Khan; dan Wahabiyah dan Salafiyah belakang-an ini (Rakhmad, 1984: 86)”

Gerakan Politik kekuasaanIhwanul Muslimin MesirJama’ah al Islamiyah Pakistan

Gerakan Pemikiran Keagaman

Model Syiah(Iran)Puritanisme Wahabiyah

(Timur Tengah; Arab Saudi)

Page 16: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan

171Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mudjahir in Thohir

sel tersebut bisa saling “meminjam dan memberi” atau memberi inspirasi. Meng-apa? Karena memperjuangkan pemikiran keagamaan, tidak cukup dengan sharing wacana tetapi yang lebih sering adalah pendesakan dan pemaksaan untuk penerimaan gagasan yang telah diyakini kebenarannya. Dalam konteks seperti inilah, piranti kelembagaan dibutuhkan, yang berarti pula penguasaan politik dilihat sebagai syarat (condition sine quanon). Hal itu nampak bahwa gerakan fundamentalisme yang bercorak militant, umum-nya karena sangat dipengaruhi oleh adanya dua kecenderungan utamanya yaitu (1) fundamentalisme yang berpusat pada syari’ah; dan (2) oleh adanya anti-kolonialisme dan anti-imperalisme yang kemudian disimplikasi men-jadi anti-Barat. Dalam hal ini, disinyalir bahwa Islamisme politik mengalami pergeseran menjadi neo-fundamentalisme sejak dekade 1980-an. Kelompok-kelompok Islamis militant yang sebelumnya berjuang untuk revolusi Islam, mulai segera terlibat dalam proses re-Islamisasi dari bawah, mendakwahkan perlunya meningkatkan praktek ibadah dan kampanye penegakan syariah melalui pendekatannya yang puritanis dan formalis. Proses itu masih ber-langsung hingga sekarang, dan di beberapa wilayah semakin menguat men-jadi kecenderungan yang siginifikan.(Roy, 1994: 194-2003). Sedang dilihat dari perspektif politik, terutama motivasi yang menggerakkan, adalah bahwa “di dalam Islam, tidak ada pembedaan antara komunitas agama, dan komu-nitas politik. Setiap protes keagamaan dengan mudah berubah menjadi se-buah gerakan politik”.(Kartodirdjo, 1984: 211) Fenomena demikian itu dapat dicarikan pembenarannya atas tema-tema yang secara umum diusung oleh gerakan fundamentalis.

Tema atau isu mendasar yang hampir merata pada setiap gerakannya, yaitu pertama, meniscayakan hubungan yang harmonis antara agama dan neg-ara terutama terbentuknya institusi-institusi yang berlabelkan Islam, se-perti isu negara Islam, formulasi syariat Islam, mempermasalahkan gender dan simbol-simbol ideologi keagamaan lainnya. Kedua, adanya pandangan yang stigmatik terhadap Barat. Dalam image kaum fundamentalis, Barat tampil sebagai monster imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka. Ketiga, adanya deklarasi perang terhadap paham sekuler (yang diusung oleh Barat). Kaum fundamentalis Islam berjuang keras untuk memerangi dan meruntuhkan tatanan yang sekuler tentang lembaga-lemba-ga politik dan bermaksud menggantikannya dengan tatanan Tuhan.(Kasdi, 2002: 23-4).

Page 17: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

172 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan Mudjahir in Thohir

PenutuP

Muatan pada setiap agama pada dasarnya adalah sistem-sistem nilai ke-beradaban yang berfungsi dan yang difungsikan untuk mendasari pola-pola tindakan masyarakat manusia itu sendiri. Karena itu, bagaimana agar agama ditempatkan sebagai sumber-sumber nilai dan mengkonstruksi nilai-nilai ke-beradaban, dan bukan sebagai pengesah munculnya sikap sektarian dan ke-kerasan merupakan suatu upaya serius yang harus diperjuangkan oleh penga-nut agama dan Negara itu sendiri.

Abegebriel, A Maftuch dkk. 2004. Negara Tuhan – The Thematic Encyclo-paedia. Jakarta: SR-Ins Publ.

Buchori, Moctar. 1986. “Radikalisme Agama – Sebuah Catatan Awal”, dalam Pesantren, No. 4/Vol.III. Hlm. 55-69.

Burrel, RM, (ed.). 1995. Fundamentalisme Islam.(Terj.) Yogyakarta: Pusta-ka Pelajar Ofsett.

Effendy, Bahtiar dan Sirry, Mun’in A. 2003. “Ekstremisme Islam: Bukan Sekadar Persoalan Teologis atau Penafsiran Keagamaan”, dalam Jur-nal Demokrasi & Ham. Vol. 3, No. 1, Januari – April. Hlm 105-121.

Fananie, Zainuddin dkk. 2002. Radikalisme Keagamaan & Perubahan So-sial. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Hasyim, Syafiq. 2002. “Fundamentalisme Islam: Perebutan dan Perge-seran Makna”, dalam Afkar. Edisi No. 13, hlm. 5- 18.

Jansen, Johannes J. G. 1986. The Neglected Duty: The Creed of Sadat’s As-sassins and Islamic Resurgence in the Middle East. New York: Macmil-lan

Kartodirdjo, Sartono. 1984. Modern Indonesia, Tradition and Transforma-tion. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Kasdi, Abdurrahman. 2002. “Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana dan Politisasi Agama”, dalam Afkar, Edisi No. 13, hlm. 19-35.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentaliteit, dan Pembangunan. Ja-karta: Gramedia.

Paassen, Y.v. 1978. “Kerjasama Antar Agama dan Prospeknya: Kasus Su-lawesi Utara”, dalam Prisma 5, Juni . Hlm. 18-27.

Priyono, AE. 2003. “Fenomena ‘Terorisme Agama’ dan Kebangkitan Neo-Fundalisme Islam di Indonesia Pasca Orde Baru”, dalam Jurnal De-mokrasi & Ham. Vol. 3, No. 1, Januari – April. Hlm: 6 -34.

Rakhmat, Jalaluddin. 1984. “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas”, dalam Prisma Ekstra. Hlm: 78-88.

Roy, Oliver. 2002. “Neo-Fundamentalisme”, dalam Afkar, Edisi 13. Hlm. 111-116.

Rumadi. 2002. “Jihad: Mengapa Jadi ‘Hantu’ Islam?, dalam Afkar, edisi 13. Hlm. 60-73.

Ruthven, Malise. 1984. Islam in the World. dalam http://www.bible.ca/is-

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan

173Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mudjahir in Thohir

PenutuP

Muatan pada setiap agama pada dasarnya adalah sistem-sistem nilai ke-beradaban yang berfungsi dan yang difungsikan untuk mendasari pola-pola tindakan masyarakat manusia itu sendiri. Karena itu, bagaimana agar agama ditempatkan sebagai sumber-sumber nilai dan mengkonstruksi nilai-nilai ke-beradaban, dan bukan sebagai pengesah munculnya sikap sektarian dan ke-kerasan merupakan suatu upaya serius yang harus diperjuangkan oleh penga-nut agama dan Negara itu sendiri.

Abegebriel, A Maftuch dkk. 2004. Negara Tuhan – The Thematic Encyclo-paedia. Jakarta: SR-Ins Publ.

Buchori, Moctar. 1986. “Radikalisme Agama – Sebuah Catatan Awal”, dalam Pesantren, No. 4/Vol.III. Hlm. 55-69.

Burrel, RM, (ed.). 1995. Fundamentalisme Islam.(Terj.) Yogyakarta: Pusta-ka Pelajar Ofsett.

Effendy, Bahtiar dan Sirry, Mun’in A. 2003. “Ekstremisme Islam: Bukan Sekadar Persoalan Teologis atau Penafsiran Keagamaan”, dalam Jur-nal Demokrasi & Ham. Vol. 3, No. 1, Januari – April. Hlm 105-121.

Fananie, Zainuddin dkk. 2002. Radikalisme Keagamaan & Perubahan So-sial. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Hasyim, Syafiq. 2002. “Fundamentalisme Islam: Perebutan dan Perge-seran Makna”, dalam Afkar. Edisi No. 13, hlm. 5- 18.

Jansen, Johannes J. G. 1986. The Neglected Duty: The Creed of Sadat’s As-sassins and Islamic Resurgence in the Middle East. New York: Macmil-lan

Kartodirdjo, Sartono. 1984. Modern Indonesia, Tradition and Transforma-tion. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Kasdi, Abdurrahman. 2002. “Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana dan Politisasi Agama”, dalam Afkar, Edisi No. 13, hlm. 19-35.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentaliteit, dan Pembangunan. Ja-karta: Gramedia.

Paassen, Y.v. 1978. “Kerjasama Antar Agama dan Prospeknya: Kasus Su-lawesi Utara”, dalam Prisma 5, Juni . Hlm. 18-27.

Priyono, AE. 2003. “Fenomena ‘Terorisme Agama’ dan Kebangkitan Neo-Fundalisme Islam di Indonesia Pasca Orde Baru”, dalam Jurnal De-mokrasi & Ham. Vol. 3, No. 1, Januari – April. Hlm: 6 -34.

Rakhmat, Jalaluddin. 1984. “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas”, dalam Prisma Ekstra. Hlm: 78-88.

Roy, Oliver. 2002. “Neo-Fundamentalisme”, dalam Afkar, Edisi 13. Hlm. 111-116.

Rumadi. 2002. “Jihad: Mengapa Jadi ‘Hantu’ Islam?, dalam Afkar, edisi 13. Hlm. 60-73.

Ruthven, Malise. 1984. Islam in the World. dalam http://www.bible.ca/is-

DAFTAR PUSTAKA

Page 19: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

174 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan

lam/library/islam-quotes-ruthven.htm

The American College Dictionary. 1961. Washington: The Library of Con-gress.

The Thematic Encyclopaedia. 2004. Yogyakarta: SR-Ins Publishing.

Thohir, Mudjahirin. 2005. Kekerasan Sosial di Pesisir Utara Jawa : Kajian Berdasarkan Paradigma Kualitatif. Semarang : Lengkongcilik Press bekerja sama dengan Pusat Penelitian Sosial Budaya, Lembaga Peneli-tian, Universitas Diponegoro

Page 20: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Fundamentalisme Keagamaan dalam Perspektif Kebudayaan

175Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara ideal, agama merupakan rahmat bagi seluruh alam sebagai bentuk cinta kasih Allah kepada makhluknya. Cinta kasih itulah yang semestinya direfleksikan dalam kehidupan melalui hubungan sosial, agar bisa saling mengenal. Dalam teologi Kristen dikenal istilah credenta dan agenda. Credenta mengacu pada apa yang diimani atau dipercayai, yang dapat diungkapkan melalui pengakuan iman dan konfesi. Sedangkan agenda menunjukkan pada perilaku dan sikap etis serta moral yang dikerjakan berdasarkan credenta. Konsep teologi Kristen ini juga dimiliki oleh agama-agama lain, (seperti: iman, islam, dan ikhsan dalam Islam). Dengan konsep itu, seharusnya keimanan sesorang pada Tuhannya tidak bisa diwujudkan

REFLEKSI POLA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali danKalimantan Barat)

Oleh arIfuDDIN IsMaIl*1

* Drs. H. Arifuddin Ismail, M.Pd. adalah peneliti bidang kehidupann keagamaan pada Balai Litbang Agama Semarang

AbstrAct :In a plural community, harmony among religious followers is unde-

niable although in fact there have been many social conflicts with religious nuance in some part of Indonesia. Focus of this research is how the pattern of harmony in Indonesia connected with social dimension does. Finding of this research shows that religious tolerance will grow up when there is a space for dialogue. In social and cultural space discussion among believers will be naturally developed without any coercion. By a local tradition dialog, an ego can decrease indirectly. Even a cloth of religion recognized as identity can be leaved.

Keywords : Dialogue, culture, harmony

PENELITIAN

Page 21: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

176 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)

ari fuddin Ismai l

secara abstrak semata, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan kongkrit dalam kehidupan di masyarakat.

Namun dalam kenyataan, prinsip yang baik ini tidak selalu dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam sejarahnya, agama secara ideal dan normatif, diharapkan membawa kesejukan sebagai rahmat umat manusia, tetapi faktanya tidak selalu demikian. Agama justru sering dimanfaatkan untuk membenarkan tindakan permusuhan.

Dalam sejarah umat manusia, sinyalemen pemanfaatan agama sebagai senjata untuk konflik telah terbukti. Pada abad pertengahan di Eropa misalnya, berkorban perang salib dengan dalih membela Yerusalem dari serangan Islam. Begitu juga yang dilakukan oleh Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bangsa ini memporakporandakan kebudayaan negeri jajahan atas nama salib. Di Srilangka, separatis Tamil memakai nama agama untuk tujuan memisahkan diri. Di India, Partai Janata membangkitkan konflik emosi keagamaan untuk memperoleh simpati dari kaum Hindu Ortodoks. Di Nigeria, Islam dan Kristen dipertentangkan hanya agar seseorang tetap bertahan sebagai presiden. Di Sudan, kaum Kristen menjadi kurban berbagai intimidasi, tetapi di Kosovo, umat Islam ditindas oleh kaum Kristen Ortodoks demi kemenangan politik. (Yewangoe, AA. 2009)

Situasi konflik agama juga dialami Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Berbagai kerusuhan terjadi di daerah, antara lain di Tasikmalaya, Situbondo, Kupang, Sambas, Poso dan juga di Maluku. Padahal, Indonesia selama ini dikenal sebagai bangsa yang plural, beradab, dan memiliki semangat teloransi antara satu dengan yang lainnya dengan semangat kerukunan. Perbedaan agama di Indoensia bukan merupakan hal baru, akan tapi sudah terpatri sejak nenek moyang. Sayang sekali, suasana kerukunan kehidupan di masyarakat itu diusik secara brutal oleh berbagai kepentingan sempit dari pihak-pihak yang mengiginkan Indonesia bercerai-berai melalui konflik sosial.

Upaya untuk membangun kerukunan agama kembali setelah tercerai-berainya masyarakat akibat dari konflik agama sangat diperlukan dalam membangun harmoni kehidupan. Kerukunan umat beragama merupakan bagian dari pilar pembangunan, yang memberikan pengaruh besar pada keberhasilan. Dengan semakin mantapnya kerukunan antar umat beragama maupun intern umat beragama, akan semakin kokoh pula persatuan dan kesatuan bangsa. Pada saat yang sama, upaya untuk memanfaatkan agama untuk melegitimasi konflik sosial akan semakin sulit dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Masalah Penelitian

Dari latar belakang di atas, penelitian ini mengkaji mengenai bentuk kerukunan umat beragama di Indonesia, dan dimensi sosial yang mempengaruhi bentuk kerukunan umat beragama di Indonesia dimaksud.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, Bali, dan Kalimantan Barat. Wilayah Jawa Tengah dipilih Kabupaten Semarang, tepatnya Ambarawa; Kabupaten Temanggung, yaitu di Kecamatan Kaloran, Kota Salatiga dan Kabupaten Kudus. Untuk wilayah Provinsi Bali dipilih Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan. Kemudian, untuk wilayah Kalimantan Barat dipilih Kota Singkawang, Kota Pontianak, dan Kabupaten Sungai Pinyuh. Penentuan lokasi penelitian ditentukan secara purposif. Pertimbangan bahwa ada pola-pola kerukunan yang berbeda antar wilayah berdasarkn pada keunikan khasanah lokal.

Secara umum metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan teknik pengambilan data melaui wawancara, studi dokumen, dan pengamatan. Data diambil dengan teknik snowball melalui informan kunci yaitu tokoh agama/adat yang berpengaruh. Informasi awal dari informan kunci terus dikembangkan. Data-data yang tidak mendukung fokus penelitian direduksi. Hasil dari proses reduksi data setelah mendapat pengujian derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability) di sajikan dalam paparan data untuk dianalisa guna mendapatkan kesimpulan.

temuAn PenelitiAn

Potensi kerukunan umat beragama berada dalam ranah sosial, di mana masing-masing umat yang berbeda agama melakukan interaksi dalam kehidupan sosial mereka. Dengan kata lain, mereka tidak dipertemukan dalam lintas iman, melainkan dalam lingkungan sosial. Ini artinya, kerukunan beragama tidak bisa dan memang tidak perlu menyentuh ranah teologis. Ranah sosial inilah yang harus dipelihara, dijaga sebagai bentuk ruang dialog. Secara umum, dari hasil penelitian di sembilan lokasi ditemukan ada faktor-faktor yang bisa menjadi sarana/wadah sosial terciptanya kerukunan yaitu, tradisi, adat/budaya, tokoh agama, dan organisasi kelembagaan masyarakat/pemerintah yang mestinya dapat dikembangkan. Dari hasil analisa pengelompokan data berdasarkan wilayah provinsi, ditemukan adanya tipologi yang berbeda antarwilayah, sesuai ruang interaksi antar umat beragama.

Kerukunan Masyarakat di Jawa Tengah

Dari empat lokasi penelitian yang dilakukan di Provinsi Jawa Tengah, pola interaksi umat beragama yang mengarah pada bentuk kerukunan yang terwadahi dalam tradisi lokal. Di Kecamatan Kaloran Temanggung, ditemukan tradisi gotong-royong, nyadran. Di Ambarawa terdapat tradisi cheng beng (nyadran ala Khonghucu), sonjo, dan lebaran bersama. Sementara untuk wilayah Kudus ditemukan tradisi larangan menyembih sapi, sebagai bentuk

Page 22: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)

177Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ari fuddin Ismai l

secara abstrak semata, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan kongkrit dalam kehidupan di masyarakat.

Namun dalam kenyataan, prinsip yang baik ini tidak selalu dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam sejarahnya, agama secara ideal dan normatif, diharapkan membawa kesejukan sebagai rahmat umat manusia, tetapi faktanya tidak selalu demikian. Agama justru sering dimanfaatkan untuk membenarkan tindakan permusuhan.

Dalam sejarah umat manusia, sinyalemen pemanfaatan agama sebagai senjata untuk konflik telah terbukti. Pada abad pertengahan di Eropa misalnya, berkorban perang salib dengan dalih membela Yerusalem dari serangan Islam. Begitu juga yang dilakukan oleh Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bangsa ini memporakporandakan kebudayaan negeri jajahan atas nama salib. Di Srilangka, separatis Tamil memakai nama agama untuk tujuan memisahkan diri. Di India, Partai Janata membangkitkan konflik emosi keagamaan untuk memperoleh simpati dari kaum Hindu Ortodoks. Di Nigeria, Islam dan Kristen dipertentangkan hanya agar seseorang tetap bertahan sebagai presiden. Di Sudan, kaum Kristen menjadi kurban berbagai intimidasi, tetapi di Kosovo, umat Islam ditindas oleh kaum Kristen Ortodoks demi kemenangan politik. (Yewangoe, AA. 2009)

Situasi konflik agama juga dialami Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Berbagai kerusuhan terjadi di daerah, antara lain di Tasikmalaya, Situbondo, Kupang, Sambas, Poso dan juga di Maluku. Padahal, Indonesia selama ini dikenal sebagai bangsa yang plural, beradab, dan memiliki semangat teloransi antara satu dengan yang lainnya dengan semangat kerukunan. Perbedaan agama di Indoensia bukan merupakan hal baru, akan tapi sudah terpatri sejak nenek moyang. Sayang sekali, suasana kerukunan kehidupan di masyarakat itu diusik secara brutal oleh berbagai kepentingan sempit dari pihak-pihak yang mengiginkan Indonesia bercerai-berai melalui konflik sosial.

Upaya untuk membangun kerukunan agama kembali setelah tercerai-berainya masyarakat akibat dari konflik agama sangat diperlukan dalam membangun harmoni kehidupan. Kerukunan umat beragama merupakan bagian dari pilar pembangunan, yang memberikan pengaruh besar pada keberhasilan. Dengan semakin mantapnya kerukunan antar umat beragama maupun intern umat beragama, akan semakin kokoh pula persatuan dan kesatuan bangsa. Pada saat yang sama, upaya untuk memanfaatkan agama untuk melegitimasi konflik sosial akan semakin sulit dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Masalah Penelitian

Dari latar belakang di atas, penelitian ini mengkaji mengenai bentuk kerukunan umat beragama di Indonesia, dan dimensi sosial yang mempengaruhi bentuk kerukunan umat beragama di Indonesia dimaksud.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, Bali, dan Kalimantan Barat. Wilayah Jawa Tengah dipilih Kabupaten Semarang, tepatnya Ambarawa; Kabupaten Temanggung, yaitu di Kecamatan Kaloran, Kota Salatiga dan Kabupaten Kudus. Untuk wilayah Provinsi Bali dipilih Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan. Kemudian, untuk wilayah Kalimantan Barat dipilih Kota Singkawang, Kota Pontianak, dan Kabupaten Sungai Pinyuh. Penentuan lokasi penelitian ditentukan secara purposif. Pertimbangan bahwa ada pola-pola kerukunan yang berbeda antar wilayah berdasarkn pada keunikan khasanah lokal.

Secara umum metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan teknik pengambilan data melaui wawancara, studi dokumen, dan pengamatan. Data diambil dengan teknik snowball melalui informan kunci yaitu tokoh agama/adat yang berpengaruh. Informasi awal dari informan kunci terus dikembangkan. Data-data yang tidak mendukung fokus penelitian direduksi. Hasil dari proses reduksi data setelah mendapat pengujian derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability) di sajikan dalam paparan data untuk dianalisa guna mendapatkan kesimpulan.

temuAn PenelitiAn

Potensi kerukunan umat beragama berada dalam ranah sosial, di mana masing-masing umat yang berbeda agama melakukan interaksi dalam kehidupan sosial mereka. Dengan kata lain, mereka tidak dipertemukan dalam lintas iman, melainkan dalam lingkungan sosial. Ini artinya, kerukunan beragama tidak bisa dan memang tidak perlu menyentuh ranah teologis. Ranah sosial inilah yang harus dipelihara, dijaga sebagai bentuk ruang dialog. Secara umum, dari hasil penelitian di sembilan lokasi ditemukan ada faktor-faktor yang bisa menjadi sarana/wadah sosial terciptanya kerukunan yaitu, tradisi, adat/budaya, tokoh agama, dan organisasi kelembagaan masyarakat/pemerintah yang mestinya dapat dikembangkan. Dari hasil analisa pengelompokan data berdasarkan wilayah provinsi, ditemukan adanya tipologi yang berbeda antarwilayah, sesuai ruang interaksi antar umat beragama.

Kerukunan Masyarakat di Jawa Tengah

Dari empat lokasi penelitian yang dilakukan di Provinsi Jawa Tengah, pola interaksi umat beragama yang mengarah pada bentuk kerukunan yang terwadahi dalam tradisi lokal. Di Kecamatan Kaloran Temanggung, ditemukan tradisi gotong-royong, nyadran. Di Ambarawa terdapat tradisi cheng beng (nyadran ala Khonghucu), sonjo, dan lebaran bersama. Sementara untuk wilayah Kudus ditemukan tradisi larangan menyembih sapi, sebagai bentuk

Page 23: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

178 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)

ari fuddin Ismai l

penghormatan pada kepercayaan Hindu.

Gotong rotong dalam istilah Jawa disebut sambatan yaitu melakukan kegiatan bersama untuk sebuah tujuan tertentu. Gotong royong biasa dilakukan dalam rangka memperbaiki rumah, sarana sosial, perhelatan perkawinan, perkuburan, dan aktifitas-aktifitas sosial lainnya termasuk perbaikan tempat ibadah. Dalam acara gotong-royong, tokoh yang paling berperan yaitu tokoh masyarakat.

Nyadran adalah tradisi yang biasanya dilakukan pada bulan Ruwah (penanggalan jawa) atau Sya’ban. Nyadran dilakukan dalam bentuk mengirim do’a pada arwah leluhur, nenek moyang, kerabat, yang telah meninggal dunia. Nyadran dapat dilakukan di perkuburan atau dirumah sendiri melalui acara kenduri. Nyadran yang mengandung nilai kerukunan yaitu nyadran yang dilakukan diperkuburan desa, karena bisa melibatkan berbagai kelompok agama. Kelompok agama yang terlibat, dengan kesadarannya meningalkan atribut keagamaan lebur dalam ritual tradisi.

Tradisi “sonjo” dilakukan sebagai bentuk silaturahmi antar warga, sanak famili, kerabat, dan saudara. Pada bentuk sosial, sonjo umumnya untuk menghormati kematian dengan “melek-melek” (terjaga sampai malam), atau dalam malam-malam perhelatan berkaitan dengan upacara daur hidup. Dengan sonjo masyarakat dapat mendo’akan seseorang yang telah meninggal dunia tanpa membedakan agama apapun.(Sulaiman, 2010)

Lebaran bersama dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan saling memaafkan atas kesalahan yang dilakukan sebagai sesama manusia. Lebaran bersama diisi dengan saling mengunjungi antar kerabat, saudara, teman, tanpa membedakan agama. Dalam pertemuan itulah, mereka bisa saling memberikan maaf atas kesalahan yang dilakukan selama bergaul, tanpa membedakan latar belakang agama.

Kalau ditengok pada literature lain, sebagian dari tradisi lokal yang ditemukan hampir dapat ditemukan pada wilayah lain di Jawa Tengah. Tradisi lokal seperti gotong royong, nyadran, sonjo, dan lebaran bersama merupakan bagian dari kearifan tradisi Jawa. Tradisi itu merupakan bagian dari tradisi lama yang telah mendapatkan kondifikasi dari agama-agama baru, terutama Islam. Sehingga melalui tradisi ini dapat terjalin komunikasi antara sebuah komunitas dengan keyakinan lokal yang telah menggumpal. (Sulaiman, 2010; Sodli, 2010; Fauzi, 2010; Ismail 2010)

Pola Kerukunan Kalimantan Barat

Pada ranah sosial, pola interaksi antar umat beragama di Kalimantan Barat mengarah pada simbolisasi adat dengan agama. Identifikasi pemeluk agama terkait dengan identifikasi etnis dengan sistem adatnya. Seperti pemeluk Islam di Kalimantan Barat diidentikkan dengan etnis Melayu, meskipun itu berasal dari suku dayak. Bahkan anggota suku Dayak yang memeluk Islam dianggap

telah keluar dari anggota suku dengan menanggalkan identitas budayanya. (Rahmadani, 2010)

Kekuatan pengaruh suku yang begitu kuat dalam masyarakat Kalimantan memunculkan pengukukan identitas etnis dalam bentuk organisasi massa seperti Dewan Adat Dayak (DAD), Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), Ikatan Keluarga Besar Madura (IKBM), Kerukunan Sulawesi Selatan (KSS) Paguyuban Masyarakat Jawa (PMJ), Kerabat Batak (KB) dan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT).

Dengan adanya organisasi massa beridentitas etnik tentu diharapkan bisa mempermudah pembentukan pola kerukunan umat beragama di Kalimantan. Akan tetapi dalam praktek kehidupan sosial, keberadaan organisasi massa itu justru lebih dekat bersentuhan dengan politik praktis. Padahal organisasi massa tersebut selain sebagai identitas etnis juga melekat simbol-simbol agama.

Dominasi adat dalam kehidupan masyarakat sebetulnya bisa menjadi modal sosial menciptakan kerukunan umat beragama. Akan tetapi adat justru lebih berperan dalam ranah politik. Akibatnya pola kerukunan umat beragama di Kalimantan Barat tidak membumi. Dalam pola kerukunan di Kalimantan Barat tidak ditemukan bentuk kerukunan yang terwadahi secara kuat dalam kultur budaya. Akibatnya, pola kerukunan antar umat beragama masih berada pada dataran kulit, hanya sebatas untuk menjaga kestabilan sosial dan ekonomi.

Akibat dari pola sosial seperti itu, bentuk kerukunan yang ada hanya sebatas kerukunan sebagai warga masyarakat. Bentuk kerukunan yang ada yaitu saling mengunjungi ketika ada perhelatan perkawinan, kelahiran atau kematian. Bentuk kerukunan yang lebih luas, yaitu ketika terjadi acara berkaitan dengan peringatan hari-hari besar nasional seperti peringatan hari kemerdekaan RI, upacara robok-robok, upacara capgomeh, dan upacara naik dangau. Keterlibatan anggota agama lain dalam acara itu, hanya sebatas tamu undangan, penonton atau panitia pendukung. (Haryanto, 2010; Rahmadhani, 2010; Mawardi, 2010)

Pola Kerukunan di Bali

Nilai-nilai budaya di Bali tidak bisa terlepas dengan pengaruh Agama Hindu. Tidak dapat dihindari bahwa pengaruh Agama Hindu dan budaya India di Bali demikian besarnya, hal ini dibuktikan dari berbagai peninggalan purbakala seperti diungkapkan oleh Swellengrebel (1960:17), yaitu: sumber utamanya adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja yang banyak jumlahnya baik yang tertulis pada batu maupun pada logam (tembaga).

Prasasti-prasasti itu menceritakan para raja yang memerintah dan para menterinya, hubungannya dengan administrasi pemerintahan pusat dan orang-orang di desa-desa, peraturan di bidang keagamaan, aturan yang

Page 24: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)

179Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ari fuddin Ismai l

penghormatan pada kepercayaan Hindu.

Gotong rotong dalam istilah Jawa disebut sambatan yaitu melakukan kegiatan bersama untuk sebuah tujuan tertentu. Gotong royong biasa dilakukan dalam rangka memperbaiki rumah, sarana sosial, perhelatan perkawinan, perkuburan, dan aktifitas-aktifitas sosial lainnya termasuk perbaikan tempat ibadah. Dalam acara gotong-royong, tokoh yang paling berperan yaitu tokoh masyarakat.

Nyadran adalah tradisi yang biasanya dilakukan pada bulan Ruwah (penanggalan jawa) atau Sya’ban. Nyadran dilakukan dalam bentuk mengirim do’a pada arwah leluhur, nenek moyang, kerabat, yang telah meninggal dunia. Nyadran dapat dilakukan di perkuburan atau dirumah sendiri melalui acara kenduri. Nyadran yang mengandung nilai kerukunan yaitu nyadran yang dilakukan diperkuburan desa, karena bisa melibatkan berbagai kelompok agama. Kelompok agama yang terlibat, dengan kesadarannya meningalkan atribut keagamaan lebur dalam ritual tradisi.

Tradisi “sonjo” dilakukan sebagai bentuk silaturahmi antar warga, sanak famili, kerabat, dan saudara. Pada bentuk sosial, sonjo umumnya untuk menghormati kematian dengan “melek-melek” (terjaga sampai malam), atau dalam malam-malam perhelatan berkaitan dengan upacara daur hidup. Dengan sonjo masyarakat dapat mendo’akan seseorang yang telah meninggal dunia tanpa membedakan agama apapun.(Sulaiman, 2010)

Lebaran bersama dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan saling memaafkan atas kesalahan yang dilakukan sebagai sesama manusia. Lebaran bersama diisi dengan saling mengunjungi antar kerabat, saudara, teman, tanpa membedakan agama. Dalam pertemuan itulah, mereka bisa saling memberikan maaf atas kesalahan yang dilakukan selama bergaul, tanpa membedakan latar belakang agama.

Kalau ditengok pada literature lain, sebagian dari tradisi lokal yang ditemukan hampir dapat ditemukan pada wilayah lain di Jawa Tengah. Tradisi lokal seperti gotong royong, nyadran, sonjo, dan lebaran bersama merupakan bagian dari kearifan tradisi Jawa. Tradisi itu merupakan bagian dari tradisi lama yang telah mendapatkan kondifikasi dari agama-agama baru, terutama Islam. Sehingga melalui tradisi ini dapat terjalin komunikasi antara sebuah komunitas dengan keyakinan lokal yang telah menggumpal. (Sulaiman, 2010; Sodli, 2010; Fauzi, 2010; Ismail 2010)

Pola Kerukunan Kalimantan Barat

Pada ranah sosial, pola interaksi antar umat beragama di Kalimantan Barat mengarah pada simbolisasi adat dengan agama. Identifikasi pemeluk agama terkait dengan identifikasi etnis dengan sistem adatnya. Seperti pemeluk Islam di Kalimantan Barat diidentikkan dengan etnis Melayu, meskipun itu berasal dari suku dayak. Bahkan anggota suku Dayak yang memeluk Islam dianggap

telah keluar dari anggota suku dengan menanggalkan identitas budayanya. (Rahmadani, 2010)

Kekuatan pengaruh suku yang begitu kuat dalam masyarakat Kalimantan memunculkan pengukukan identitas etnis dalam bentuk organisasi massa seperti Dewan Adat Dayak (DAD), Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), Ikatan Keluarga Besar Madura (IKBM), Kerukunan Sulawesi Selatan (KSS) Paguyuban Masyarakat Jawa (PMJ), Kerabat Batak (KB) dan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT).

Dengan adanya organisasi massa beridentitas etnik tentu diharapkan bisa mempermudah pembentukan pola kerukunan umat beragama di Kalimantan. Akan tetapi dalam praktek kehidupan sosial, keberadaan organisasi massa itu justru lebih dekat bersentuhan dengan politik praktis. Padahal organisasi massa tersebut selain sebagai identitas etnis juga melekat simbol-simbol agama.

Dominasi adat dalam kehidupan masyarakat sebetulnya bisa menjadi modal sosial menciptakan kerukunan umat beragama. Akan tetapi adat justru lebih berperan dalam ranah politik. Akibatnya pola kerukunan umat beragama di Kalimantan Barat tidak membumi. Dalam pola kerukunan di Kalimantan Barat tidak ditemukan bentuk kerukunan yang terwadahi secara kuat dalam kultur budaya. Akibatnya, pola kerukunan antar umat beragama masih berada pada dataran kulit, hanya sebatas untuk menjaga kestabilan sosial dan ekonomi.

Akibat dari pola sosial seperti itu, bentuk kerukunan yang ada hanya sebatas kerukunan sebagai warga masyarakat. Bentuk kerukunan yang ada yaitu saling mengunjungi ketika ada perhelatan perkawinan, kelahiran atau kematian. Bentuk kerukunan yang lebih luas, yaitu ketika terjadi acara berkaitan dengan peringatan hari-hari besar nasional seperti peringatan hari kemerdekaan RI, upacara robok-robok, upacara capgomeh, dan upacara naik dangau. Keterlibatan anggota agama lain dalam acara itu, hanya sebatas tamu undangan, penonton atau panitia pendukung. (Haryanto, 2010; Rahmadhani, 2010; Mawardi, 2010)

Pola Kerukunan di Bali

Nilai-nilai budaya di Bali tidak bisa terlepas dengan pengaruh Agama Hindu. Tidak dapat dihindari bahwa pengaruh Agama Hindu dan budaya India di Bali demikian besarnya, hal ini dibuktikan dari berbagai peninggalan purbakala seperti diungkapkan oleh Swellengrebel (1960:17), yaitu: sumber utamanya adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja yang banyak jumlahnya baik yang tertulis pada batu maupun pada logam (tembaga).

Prasasti-prasasti itu menceritakan para raja yang memerintah dan para menterinya, hubungannya dengan administrasi pemerintahan pusat dan orang-orang di desa-desa, peraturan di bidang keagamaan, aturan yang

Page 25: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

180 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)

ari fuddin Ismai l

berhubungan dengan pengairan, perpajakan, dan sebagainya. Sumber lainnya adalah peninggalan purbakala, arca-arca dan artifak-artifak, sumber-sumber teks berupa berbagai manuskrip (lontar) yang cukup banyak jumlahnya.

Posisi agama sebagai bagian dari budaya di masyarakat Bali, menjadikan agama Hindu menempati posisi penting dalam ranah sosial. Dominasi kebudayaan Hindu sebagai mayoritas menjadikan pola kehidupan di Bali di pengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu, sehingga posisi agama-agama lain hanya menjadi bagian kecil dari warna sosial. Dalam posisi seperti itu maka ruang interaksi budaya antar umat agama dengan agama lain hampir tidak ada karena agama lain di luar agama Hindu tidak mampu mewarnai corak budaya Bali.

Dalam sosial budaya seperti itu, Lembaga Adat Banjar sebagai pusat kegiatan sosial menempati posisi cukup strategis untuk menjaga harmoni kerukunan umat beragama. Fungsi Banjar sebagai bagian dari penjaga budaya Bali memberikan pengaruh kuat dimasyarakat dalam aktifitas sosial. Konsep “nyama braya” hidup bersama menempatkan persaudaraan senegara, persaudaraan sebangsa, dan persaudaraan sesama umat manusia.

Selain nyama bray di Banjar Adat juga memiliki tradisi sima karma yaitu upaya untuk menyerap aspirasi masyarakat baik dalam bentuk saran, masukan hingga kritik, yang diadakan sebulan sekali dengan tidak melihat latar belakangnya. Mereka yang datang dalam forum sima karma bisa berdialog dengan bebas tanpa membedakan latar bekang agama.

Pada kegiatan sosial terdapat tradisi gotong-royong. Gotong royong dilakukan sebagai kewajiban warga terhadap lingkungan sosialnya. Gotong royong biasanya dilakukan atas perintah ketua adat dalam bentuk kebersihan lingkungan atau persiapan dalam acara perhelatan seperti pernikahan. Dalam pernikahan inilah ada tradisi ngejot. Ngejot merupakan bentuk penghormatan pada tamu muslim pada perhelatan perkawinan dengan memberikan hidangan khusus, yaitu hidangan yang diolah dengan cara muslim untuk menghindari terampurnya makanan dengan daging bagi. (Darno, 2010; Dahlan, 2010)

AnAlisis hAsil

Selama ini masyarakat dan negara masih terjebak oleh slogan Indonesia adalah negara yang masyarakatnya penuh dengan toleransi, sehingga cenderung menafikan realitas bahwa agama mengandung sumber “penyakit” yaitu potensi konflik. Slogan teloransi menjadikan masyarakat dan pemerintah lupa memetakan dan teruatama menjaga potensi-pontensi kerukunan antar umat beragama. Sehingga ketika terjadi konflik bernuansa agama merebak di Indonesia, masyarakat dan pemerintah menjadi terkaget-kaget.

Jauh sebelumnya, Huntington (2005) meramalkan akan terjadi benturan peradaban memicu konflik yang didalamnya agama memberikan peran. Meskipun secara substansi, konflik yang terjadi bukan semata-mata

Page 26: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)

181Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ari fuddin Ismai l

konflik agama tetapi benturan-benturan sosial di masyarakat yang dipicu oleh kepentingan sosial ekonomi. Sejalan dengan Huntington, menurut Meyer (dalam Manoppo : 2005) substansi dasar penyebab konflik adalah ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan manusia yang didukung oleh faktor-faktor pemicu lain yaitu: nilai, struktur, sejarah, emosi dan komunikasi, seperti pada gambar.1

Peta Konflik Sosial

Gambar : 1

Posisi agama sebagai ajaran secara substansial harus diakui rawan akan konflik. Hal ini dikarenakan ajaran agama memiliki keterikatan emosional menyangkut nilai kebenaran yang diyakini. Agama mengandung nilai-nilai kebenaran absolut yang tidak bisa diganggu gugat. Ajaran agama bagi pemeluknya adalah pegangan sepanjang hidupnya. Kebenaran absolut agama ini dibutuhkan sebagai peneguh eksistensi keyakinan untuk menghilangkan kebimbangan.

Kegamangan dialog agama pada sisi substansi agama sebagai ajaran, tentu membutuhkan ruang pada ranah sosial. Dialog umat beragama hanya bisa dibangun dan dimungkinkan terwujud ketika ada ruang sosial yang dibangun bersama oleh umat beragama tanpa ada unsur paksaan dari pihak lain, termasuk pemerintah. Faktor yang memungkinkan terbangunnya ruang sosial sebagai ruang dialog secara alamiah adalah melalui pendekatan budaya. Oleh karenanya pemeliharaan khasanah tradisi budaya lokal menjadi sangat diperlukan.

Dari hasil temuan penelitian, forum-forum pertemuan yang secara alamiah terbentuk di masyarakat sebagai bagian dari tradisi lokal memungkinkan terbentuk ruang dialog antar agama. Dengan adanya dialoq melalui tradisi, secara tidak langsung ego agama menjadi berkurang. Bahkan “baju” agama yang dipandang sebagai pegangan hidup dapat ditanggalkan sementara. Dialog agama pada ruang budaya melalui tradisi ini nampak dimiliki oleh masyarakat Jawa Tengah. Pelaksanaan tradisi seperti nyadran, sonjo, tidak menyembelih sapi, dilaksanakan bukan atas pertimbangan ajaran agama, tetapi untuk menjalankan tradisi nenek-moyang.

Untuk wilayah Kalimantan Barat, karena dominasi adat dalam ruang sosial

Dasar

Page 27: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

182 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)

ari fuddin Ismai l

yang didalamnya terdapat kepentingan politik, maka bentuk kerukunan yang ada di Kalimantan tidak dapat dibangun secara utuh. Kesadaran umat untuk melakukan hubungan kerukunan hanya sebatas dilakukan untuk menjaga stabilitas sosial. Nampak masih ada kepentingan yang bersifat kesukuan, rasa ingin menonjolkan suku masih ada. Padahal keberadaan majlis adat sangat berkaitan dengan simbol-simbol agama. Maka ketika ada kepentingan politik yang jauh lebih besar, bangunan kerukunan yang ada akan mudah runtuh. Seperti yang terjadi pada realitas sosial masyarakat di Sungaipinyuh. Akibat dari pengelompokan masyarakat berdasarkan keasalan (suku), seringkali terjadi benturan dengan pola tradisi adat yang semula masalah pribadi berlanjut menjadi solidaritas etnis yang membawa bendera agama. Bahkan, dengan adanya legalitas kelompok yang terwadahi dalam dewan adat, muncul perasaan berkuasaa. Seperti contoh kasus ketika pemerintah Kota Pontianak mengeluarkan SK No. 127 Tahun 2008 tentang jual beli, pemasangan petasan, dan pelaksanaan arakan naga/barongsai. Bagi kalangan Cina itu dianggap membatasi ekspresi warga keturunan Cina di Kalimantan Barat. Sementara itu kelompok Dekrarasi Melayu Bersatu menyatakan dukungannya terhadap kebijakan pemerintah.

Di propinsi Bali, dominasi Hindu dalam kebudayaan Bali memberikan dampak besar pada pola kerukunan masyarakat Bali. Pada posisi ini, kehidupan sosial keagamaan tidak luput dari hegemoni agama Hindu. Akibatnya, pendatang/agama lain diluar Bali tidak memiliki ruang budaya secara longgar dalam mengekspresikan keyakinan agama. Karena ranah budaya Bali telah menyatu dengan ranah agama Hindu.

Penguasaan agama pada ranah budaya di Bali memberikan dampak pola kerukunan umat beragama hanya bisa dimungkinkan tercipta ketika ada kebesaran hati agama Hindu dan kesadaran dari para pendatang untuk memahami kebudayaan masyarakat Bali. Di sinilah posisi tenting para tokoh agama, untuk menyadarkan umat agar bisa saling memahami, dan saling menghormati. Peran kuat para tokoh adat dan tokoh agama menjadi sangat penting untuk membangun kesadaran saling menghormati. Tokoh agama dapat menjadi jembatan komunikasi antara warga mayoritas dengan minoritas.

Pada dataran formal, hubungan umat beragama membutuhkan pola pengaturan yang dapat dipahami oleh semua agama. Peran FKUB dalam kegiatan sosial keagamaan menjadi sangat penting. FKUB sebagai wadah kerukunan umat beragama, menempati posisi sebagai penengah, pemberi informasi, dan membawa suasana kerukunan. Pada tingkatan formal hubungan kemasyarakatan, terutama pada perayaan hari-hari besar agama seperti nyepi menuntut semua agama terlibat dalam bentuk penghormatan.

Konteks kerukunan yang didominasi oleh salah satu agama sebagai mayoritas yang menguasai budaya dapat menumbuhkan perasaan

Page 28: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)

183Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ari fuddin Ismai l

Gambar : 2Pola Kerukunan di Jawa Tengah

Gambar : 3Pola Kerukunan di Kalimantan Barat

1. Pusat Kerukunan2. Tradisi Lokal3. Ajaran Agama4. Tokoh Agama5. Kelembagaan Masyarakat/Pemerintah

1. Pusat Kerukunan2. Adat3. Tokoh Adat/Agama4. Ajaran Agama5. Kelembagaan Masyarakat/Pemerintah

keterpaksaan bagi minoritas. Karena itu, jika kelompok minoritas agama di Bali dapat tumbuh menyamai agama Hindu sebagai mayoritas, ekses sosial terkait dengan agama dapat dengan mudah muncul.

Dari analisa ini dapat dirumuskan sebuah sintesa tiga tipe kerukuan atas dasar faktor yang berpengaruh. Tiga tipe kerukunan dapat digambarkan sebagai berikut :

Dari analisa di atas, idealnya bangunan kerukunan beragama adalah sebagaimana yang ada di Jawa Tengah, meskipun tidak berarti tidak memiliki tantangan yang cukup besar dari kalangan internal agama itu sendiri. Tantangan yang ada yaitu nilai-nilai adat yang dijalankan oleh umat beragama bisa jadi dinilai mengotori kemurnian ajaran agama. Tradisi adat tertentu dinilai mengandung nilai kesyirikan, sehingga ajaran agama perlu

Page 29: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

184 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)

ari fuddin Ismai l

dimurnikan seperti sumber aslinya.

Proses purifikasi atau pemurnian ini akan menjadi awal munculnya ketegangan antara agama di satu sisi dan tradisi lokal di sisi yang lain. Saat ini, ada kecenderungan proses otentifikasi penyebaran agama-agama di masyarakat. Agama yang semula mesra dengan tradisi cultural setempat mulai digugat kemurniannya. Agama adalah sakral, sementara tradisi kultural adalah profan dan bagian dari bid’ah. Tradisi lokal patut dibersihkan digantikan dengan ajaran-ajaran agama sebagaimana hadir dari sumbernya yang pertama.

Padahal dengan dialog Budaya dalam bentuk pelaksanaan tradisi lokal dapat membuka perasaan saling memiliki suasana sosial, keterbukaan sosial, menghilangkan rasa curiga, dan sikap fanatik yang berlebihan dalam beragama. Forum-forum pertemuan yang terwadahi dalam tradisi lokal bisa mengkontruksi kebersamaan, rasa saling memiliki hubungan persaudaraan, dan saling mengenal.

Pendekatan yang memungkinkan secara rasional dilakukan untuk memulihkan kerukunan yaitu melalui pendekatan budaya sebagai bentuk tindakan preventif. Pola-pola kerukunan perlu dipetakan untuk mencegah sedini mungkin gejala konflik agama. Ibarat sakit-kita sudah mencegah sebelum sakit itu muncul, yaitu misalnya dengan pola hidup sehat. Tidak baru ketika sakit kita berobat.

Dalam konteks Indonesia, ruang kerukunan hanya akan bisa dibentuk ketika budaya masyarakat mampu menciptakan sarana pertemuan diluar konteks agama. Pada posisi inilah dibutuhkan pelestarian arena interaksi umat dari berbagai agama secara alami. Ruang interaksi yang benar-benar tumbuh dari kesadaran umat beragama untuk berbaur dengan kelompok agama lain, bukan arena interaksi yang secara politis dipaksakan.

PenutuP

Kerukunan umat beragama dimungkinkan akan tumbuh ketika agama

Gambar : 4Pola Kerukunan di Bali

1. Pusat Kerukunan2. Budaya Bali3. Tokoh Adat dan Agama4. Kelembagaan Masyarakat/Pemerintah

Page 30: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama(Fenomena Keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat)

185Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ari fuddin Ismai l

diberikan ruang untuk berdialoq dalam ruang budaya tanpa ada unsur paksaan dari pihak lain. Dengan dialog, kerukunan beragama akan menjadi nyata melalui peningkatan pemahaman ajaran agama pada masing-masing pengikut/umat beragama; menjunjung tinggi perbedaan dan keanekaragaman pemahaman keagamaan; mengesampingkan pikiran-pikiran yang menganggap pendekatan budaya tidak relevan. Lewat dialog itu pula akan tumbuh kedewasaan beragama, yakni kesanggupan untuk menghormati perbedaan keyakinan dalam beragama.

Page 31: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

186 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Dahlan. 2010. Kerukunan Umat Beragama di Kota Denpasar. Semarang: Balai Litbang Agama.

Darno. 2010. Peran FKUB Dalam Kerukunan Antar Umat Beragama di Tabanan. Semarang: Balai Litbang Agama.

Fauzi, Romzan. Peran Pemuka Agama Dalam Merajut Kerukunan Antar Umat Beragama di Kota Salatiga. Semarang: Balai Litbang Agama.

Haryanto, Joko Tri. 2010. Interaksi Sosial Dalam Kerukunan Umat Beragama di Kota Singkawang. Semarang: Balai Litbang Agama.

Huntington, Samuel P. 2005. Benturan Antar Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta : Qalam.

Ismail, Arifuddin. Majelis Taklim Hidayatullah di Perusahaan Non Muslim Kudus : Suatu Fenomena Kerukunan Umat Beragama. Semarang: Balai Litbang Agama.

Manopo, Pieter George. 2005. Refolusi Konflik Interaktif Berbasis Komunitas. Surabaya : PT. Dieta Pratama.

Mawardi, Marmiati. 2010. Tokoh Agama Di Tengah Keragaman Etnis dan Agama. Semarang: Balai Litbang Agama.

Rachmadhani, Arnis. 2010. Pola Kerukunan Umat Beragama : Studi Di Kota Pontianak. Semarang: Balai Litbang Agama.

Sodli. Ahmad. 2010. Kerukunan Antra Umat Islam dan Umat Budha di Kecamatan Kaloran. Semarang: Balai Litbang Agama.

Sulaiman. 2010. Pola Kerjasama Antar Umat Beragama di Ambarawa. Semarang: Balai Litbang Agama.

Swellengrebel, J.L.1960. Bali Studies in Life, Thought, and Ritual, Ed. The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Ltd.

DAFTAR PUSTAKA

Page 32: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

187Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

PENELITIAN

AbsrAct :This study focuses on topat war which exists in Lingsar sub District West

Lombok. This tradition still becomes guidance for the residents. Questions of this research are, how the revitalization of local tradition named topat war is empowered by communities as a way to integrate them, and what are the supporting factors of it? This is a qualitative research. Data were gath-ered using interview, observation, and documentary research. Result of this study depicts that there are many steps of topat war, namely cleaning of holy weapons and hereditary articles, making tetaring, a tent made of coco-nut leaf and bamboo, remember day of the death of KH. Abdul Malik, KH. Abdul Rouf, and Hj. R. Ayu Dewi Anjani, remembering the way of KH.Abdul Malik, slaughtering buffalo for dish service, conducting topat war. This topat war has been seen as a way of community’s integration in many aspects, for instance in remembering the way of KH.Abdul Malik, animal used, and the origin of topat. This tradition has been guarded because it is a way to glue harmony among believers.

Keywords : Tradition, Topat War, Religius, Harmony

PendAhuluAn

Latar Belakang

Secara umum agama dapat diartikan sebagai suatu sistem kepercayaan dan norma yang meliputi perintah, larangan dan petunjuk bagi manusia dalam menjalani hidup kesehariannya dalam rangka mendapatkan kebaha-giaan lahir-batin, dunia-akhirat. Dalam konteks sosial, agama dapat dijadikan

REVITALISASI KEARIFAN LOKALDALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL

DI KECAMATAN LINGSAR, LOMBOK BARAT, NTB

Oleh ahMaD sODlI*1

* Drs. H. Ahmad Sodli adalah peneliti bidang kehidupan keagamaan pada Balai Litbang Agama Semarang

Page 33: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

188 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

ahmad sodl i

sebagai perekat bagi kehidupan masyarakat dalam kebersamaan, persatuan, dan kesatuan. Namun dalam kondisi dan suasana tertentu, agama bisa juga menjadi sumber munculnya konflik, keretakan, dan malapetaka (Geertz, 1983: 475).

Sehubungan dengan ini, agama berdimensi teologis dan sosiologis. Dalam dimensi teologis, agama terwujud dalam serangkaian upacara-upa-cara keagamaan, sedang dalam dimensi sosial terwujud dalam seperangkat nilai-nilai yang sangat berharga sebagai pedoman perilaku manusia, seperti: nasionalisme, idealisme, kerja keras, kedisiplinan, kejujuran, kebersamaan, persatuan dan kesatuan.

Pluralitas masyarakat Indonesia, tercermin dari berbagai ragam budaya dan agama yang dipeluk termasuk beraneka-ragam suku, seperti Suku Me-layu, Suku Batak, Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Madura, Suku Bugis, Suku Dayak, dan sebagainya. Kondisi demikian ini memungkinkan mudah ter-jadinya konflik. Munculnya bermacam-macam kasus kerusuhan, disinyalir karena tidak adanya pemahaman yang cukup terhadap pluralitas budaya dan agama yang berperspektif multikultural. Sebaliknya, pemahaman dan penaf-siran agama yang bersifat monolitik cenderung memunculkan klaim kebena-ran (truth claim). Pandangan monolitik cenderung memunculkan sikap tidak memberi ruang bagi pemeluk agama yang berbeda untuk mengakui kebenar-an agama dan budaya lain, termasuk local wisdom (kearifan lokal).

Kearifan lokal yang masih eksis di masyarakat secara fungsional mem-perkuat sistem budaya sebagai acuan kehidupan bersama. Pada gilirannya, kearifan lokal bisa menjadi kohesi sosial di antara warga masyarakat yang bersangkutan. Kearifan lokal seperti nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan sikap keteladanan –sayangnya, mulai banyak terkikis di dalam lingkungan masyarakat dewasa ini. Oleh karena itu, menjadi pen ting untuk dilakukan kajian tentang “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Ma-syarakat Multikultural” untuk memperkuat kerukunan umat beragama.

Rumusan Masalah

Menyadari realitas bangsa yang majemuk ini diperlukan upaya untuk tetap menjaga harmoni atau kerukunan di antara warga masyarakat yang ber-beda agama dan etnis. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menghidup-kan kembali (revitalisasi) kearifan lokal seperti yang tercermin pada tradisi Perang Topat untuk difungsionalkan sebagai perekat dalam masyarakat mul-tikultural. Persoalannya adalah bagaimana bentuk perang topat itu berkem-bang dan dijadikan pedoman bagi masyarakat? Jika fungsional, lalu bagaima-na masyarakat melakukan revitalisasi kearifan perang topat?

Page 34: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

189Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ahmad sodl i

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk kearifan lokal (Perang Topat) yang berkembang dan dijadikan sebagai acuan oleh masyarakat dalam berinteraksi, baik secara individual maupun kelompok, terutama yang berkait-an dengan kehidupan keagamaan. Dari hasil penelitian ini diharapkan ber-guna bagi pemerintah cq. Departemen Agama untuk pengambilan kebijakan dalam pembinaan kehidupan beragama masyarakat yang aman, tenteram, rukun, dan sejahtera. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi lembaga-lembaga keagamaan agar memiliki wawasan keberagaman dan bu-daya sebagai modal dasar bagi bangsa atas terciptanya kerukunan umat ber-agama yang lebih mantap dan kuat.

Metode Penelitian

Kajian mengenai perang topat sebagai cerminan kearifan lokal, dilaku-kan dengan menggunakan pendekatan kualitatif di Nusa Tenggara Barat. Pemilihan daerah tersebut karena masih adanya kearifan lokal, yaitu Perang Topat yang diikuti oleh berbagai penganut agama dan etnis atau suku kelom-pok umat beragama, namun mulai menunjukkan adanya pergeseran norma yang terkandung dalam kearifan budaya lokal akibat derasnya arus globali-sasi, dan pergeseran nilai yang dipegangi oleh masyarakat akibat intervensi pemerintah pusat yang demikian intensif selama pemerintahan Orde Baru (UU No 5 Tahun 1979). Selain itu, kearifan lokal ini pada batas-batas tertentu telah berubah menjadi objek wisata dan menjadi aset pemerintah.

keAriFAn lokAl PerAng toPAt

Sejarah Perang Topat (Perang Ketupat)

Perang Topat (Ketupat) adalah salah satu rangkaian dari upacara pu-jawali, yaitu memperingati atau mengenang Syekh K.H.Abdul Malik, salah seorang penyiar agama Islam di Pulau Lombok. Daerah Lingsar, Lombok Barat, tempat diadakannya Perang Topat dahulu kala adalah suatu daerah tandus dan gersang, yang hanya ditumbuhi semak belukar dan dihuni oleh binatang-binatang melata dan liar. Setelah Syekh K.H.Abdul Malik dengan dua orang saudaranya, yaitu K.H.Abdul Rouf dan Hj. Raden Ayu Dewi An-jani datang ke daerah tersebut, keadaan daerah Lingsar yang tandus berubah menjadi daerah yang makmur.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pada suatu malam yang hening, bulan di langit sedang purnama karena malam itu tanggal 15 bu-lan Qomariyah, sasi kapitu (bulan ketujuh) menurut kalender Sasak, Syekh K.H.Abdul Malik berkhalwat semalam suntuk. Beliau bangun dari tempat khalwatnya esok harinya saat menjelang salat Ashar. Beliau lalu berjalan pelan dengan memegang sebuah tongkat menuju ke sebuah kaki bukit dan

Page 35: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

190 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

ahmad sodl i

berhenti di sebuah pohon waru yang hanya tumbuh sebatang kara. Di bawah pohon waru itu beliau berdo’a lalu menancapkan tongkat yang ada di tangan-nya ke dalam tanah. Tongkat itu lalu dicabutnya dan dari tanah itu keluar air yang sangat deras. Suara airnya terdengar sampai jauh dan bersamaan den-gan itu bunga-bunga pohon waru jatuh berguguran. Peristiwa itu kemudian di sebut Rarak Kembang Waru. Dari peristiwa keluarnya air itu terciptalah nama “Lingsar”. “Ling” dalam bahasa Sasak berarti suara dan “sar” artinya suara atau bunyi air yang besar dan deras. Peristiwa itu, hingga sekarang di-peringati setiap tahun saat bulan purnama, sasi kapitu wariga Sasak (bulan ketujuh menurut kalender Sasak).

Untuk menyambut kehadiran air yang ada di Lingsar yang dulunya tandus itu, masyarakat mengadakan upacara Rarak Kembang Waru yaitu upacara Khaul K.H.Abdul Malik dan upacara Perang Topat. Dalam sejarahnya, perang Topat mulai diadakan sejak keluarnya mata air Lingsar. Dengan demikian di balik pengadaan perang topat ini, pertama, sebagai ekspresi rasa suka cita atas peristiwa keluarnya air tersebut, kedua sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan supaya bisa hidup rukun, damai, dan saling mengasihi, serta sebagai pengganti peperangan yang terjadi antarkelompok-kelompok yang ada pada masayarakat Sasak. Tindakan partisipan dalam perang Topat itu, adalah se-bagai simbol melempar syaitan, supaya selamat dari godaan syaitan yang selalu menjerumuskan manusia ke lembah kehancuran. Oleh karena itu, wa-laupun ada di antara mereka yang wajahnya luka atau badannya lebam ter-kena lemparan Topat, setelah selesai Perang Topat, para peserta tidak ada lagi dendam.

Beberapa waktu setelah peristiwa Rarak Kembang Waru usai, salah seorang pengiring Syekh K.H.Abdul Malik, yaitu K.H.Abdur Rouf mohon izin kepada beliau untuk melanjutkan syiar Islam ke tanah Bali.Setelah mendapat restu, beliau berangkat ke Bali bagian timur (daerah Pegoyaman) dan Peng-abih (pengawal) Syekh K.H.Abdul Malik, yaitu Hj.R. Ayu Dewi Anjani mohon izin pula untuk melakukan syiar Islam pada golongan jin ke Gunung Rinjani, sehingga semua jin yang ada di sekitar Gunung Rinjani memeluk agama Is-lam.

Perang Topat diselenggarakan di Pura Gaduh dan Kemalik Lingsar (dibangun sekitar permulaan abad ke-18). Sejarah kedua lokasi itu sendiri bermula pada saat pemimpin Kerajaan Karang Asem, Bali, bermaksud mem-perluas wilayahnya dengan mengirimkan tentara ke tanah Lombok. Mereka mendarat di pantai sebelah barat tanah Lombok, lalu bergerak memasuki pedalaman pulau Lombok (yaitu Gunung Pengsong) dan melanjutkan menu-ju Pagutan, Pegesangan, dan Gunung Sari. Dari gunung Sari pasukan berger-ak ke arah timur menuju Punikan dan bermalam di sana.

Pada malam harinya, pasukan Kerajaan Karang Asem mendengar suara gemuruh, lalu pagi harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju sum-

ber suara gemurug tersebut. Mereka sampai di daerah Ulon dan dari Ulon mereka bergerak ke arah barat dan menemukan sumber suara tersebut. Pa-sukan Karang Asem sangat takjub melihat sumber air yang sangat besar ke-luar dari kaki bukit, lalu mereka menemui pemangku adat setempat, bernama Indrawan. Pemimpin pasukan yaitu Anak Agung Ketut (adik Raja Karang Asem) berdialog dengan pemangku adat Kemalik dan berjanji akan memban-gun Pura Gaduh di samping Kemalik Lingsar bila nanti sudah menguasai Pu-lau Lombok. Janji Anak Agung Ketut tersebut dipenuhinya di kemudian hari, lalu pada tahun 1759 dibangun Pura Gaduh, tempat umat Hindu melakukan kegiatan ritual keagamaan dan Kemalik, tepat umat Sasak melakukan ritual keagamaan.

Perangkat Perang Topat dan Maknanya

Perangkat atau alat-alat untuk melaksanakan Perang Topat adalah bun-ga setaman, Rombong (lumbung kecil), Sesaji (sajian), Kebon udik (kebun mini), Lamak, Momot, Kerbau jantan, dan Topat (ketupat). Perlengkapan tersebut adalah perangkat atau alat-alat yang dibawa pada waktu napak tilas perjalanan Syekh K.H.Ahmad Malik (Pura Daksina) mengelilingi pura Gadah dan Kemalik. Bunga setaman seperti mawar, melati, dan sebagainya ditem-patkan di baki tembaga kunimg yang berkaki. Makna bunga setaman ini adalah kesucian hati, niat yang tulus dalam melaksanakan upacara ini dan sekali-us sebagai penghormatan kepada wali Syekh K.H.Abdul Malik.

Rombong atau lumbung kecil yang berisi beras ketan, sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan sosial. Dengan membawa rombong atau lum-bung kecil ini diharapkan negara “Indonesia” diberi kemakmuran dan rakyat-nya hidup dalam kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Sesaji (sajian) yaitu berupa dulang (tempat kecil) berjumlah sembilan buah yang berisi nasi, mengandung arti sebagai lambang kesuburan alam dan kemakmuran rakyat. Jumlah dulang ada 9 (sembilan) karena angka 9 adalah angka keramat dan angka 9 adalah lambang Walisongo.

Kebon udik atau kebun mini (kecil) terbuat dari buah kelapa hijau yang sudah tua. Kelapa tersebut dipangkas ujungnya sampai rata dan ditaruh di dalam baki dari kuningan. Di atas daging kelapa ini ditancapkan 9 batang bambu yang panjangnya 30 cm dan 9 batang bambu yang panjangnya 20 cm. Batang bambu yang panjangnya 30 cm dan batang bambu yang panjangnya 20 cm ditancapkan berselang-seling di pinggir buah kelapa. Sebuah batang bambu yang panjangnya 30 cm ditancapkan di tengah-tengah buah kelapa. Dengan demikian, batang bambu yang ditancapkan di pinggir buah kelapa dengan berkeliling berjumlah 17 buah dan 1 batang di tengah-tengah. Hal ini melambangkan kesuburan kebun atau tanah yang dipenuhi dengan batang-batang pohon yang lebat dan hijau untuk kemakmuran rakyat. Batang bambu di pinggir berjumlah 17 melambangkan rakyat wajib melaksanakan ibadah

Page 36: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

191Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ahmad sodl i

berhenti di sebuah pohon waru yang hanya tumbuh sebatang kara. Di bawah pohon waru itu beliau berdo’a lalu menancapkan tongkat yang ada di tangan-nya ke dalam tanah. Tongkat itu lalu dicabutnya dan dari tanah itu keluar air yang sangat deras. Suara airnya terdengar sampai jauh dan bersamaan den-gan itu bunga-bunga pohon waru jatuh berguguran. Peristiwa itu kemudian di sebut Rarak Kembang Waru. Dari peristiwa keluarnya air itu terciptalah nama “Lingsar”. “Ling” dalam bahasa Sasak berarti suara dan “sar” artinya suara atau bunyi air yang besar dan deras. Peristiwa itu, hingga sekarang di-peringati setiap tahun saat bulan purnama, sasi kapitu wariga Sasak (bulan ketujuh menurut kalender Sasak).

Untuk menyambut kehadiran air yang ada di Lingsar yang dulunya tandus itu, masyarakat mengadakan upacara Rarak Kembang Waru yaitu upacara Khaul K.H.Abdul Malik dan upacara Perang Topat. Dalam sejarahnya, perang Topat mulai diadakan sejak keluarnya mata air Lingsar. Dengan demikian di balik pengadaan perang topat ini, pertama, sebagai ekspresi rasa suka cita atas peristiwa keluarnya air tersebut, kedua sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan supaya bisa hidup rukun, damai, dan saling mengasihi, serta sebagai pengganti peperangan yang terjadi antarkelompok-kelompok yang ada pada masayarakat Sasak. Tindakan partisipan dalam perang Topat itu, adalah se-bagai simbol melempar syaitan, supaya selamat dari godaan syaitan yang selalu menjerumuskan manusia ke lembah kehancuran. Oleh karena itu, wa-laupun ada di antara mereka yang wajahnya luka atau badannya lebam ter-kena lemparan Topat, setelah selesai Perang Topat, para peserta tidak ada lagi dendam.

Beberapa waktu setelah peristiwa Rarak Kembang Waru usai, salah seorang pengiring Syekh K.H.Abdul Malik, yaitu K.H.Abdur Rouf mohon izin kepada beliau untuk melanjutkan syiar Islam ke tanah Bali.Setelah mendapat restu, beliau berangkat ke Bali bagian timur (daerah Pegoyaman) dan Peng-abih (pengawal) Syekh K.H.Abdul Malik, yaitu Hj.R. Ayu Dewi Anjani mohon izin pula untuk melakukan syiar Islam pada golongan jin ke Gunung Rinjani, sehingga semua jin yang ada di sekitar Gunung Rinjani memeluk agama Is-lam.

Perang Topat diselenggarakan di Pura Gaduh dan Kemalik Lingsar (dibangun sekitar permulaan abad ke-18). Sejarah kedua lokasi itu sendiri bermula pada saat pemimpin Kerajaan Karang Asem, Bali, bermaksud mem-perluas wilayahnya dengan mengirimkan tentara ke tanah Lombok. Mereka mendarat di pantai sebelah barat tanah Lombok, lalu bergerak memasuki pedalaman pulau Lombok (yaitu Gunung Pengsong) dan melanjutkan menu-ju Pagutan, Pegesangan, dan Gunung Sari. Dari gunung Sari pasukan berger-ak ke arah timur menuju Punikan dan bermalam di sana.

Pada malam harinya, pasukan Kerajaan Karang Asem mendengar suara gemuruh, lalu pagi harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju sum-

ber suara gemurug tersebut. Mereka sampai di daerah Ulon dan dari Ulon mereka bergerak ke arah barat dan menemukan sumber suara tersebut. Pa-sukan Karang Asem sangat takjub melihat sumber air yang sangat besar ke-luar dari kaki bukit, lalu mereka menemui pemangku adat setempat, bernama Indrawan. Pemimpin pasukan yaitu Anak Agung Ketut (adik Raja Karang Asem) berdialog dengan pemangku adat Kemalik dan berjanji akan memban-gun Pura Gaduh di samping Kemalik Lingsar bila nanti sudah menguasai Pu-lau Lombok. Janji Anak Agung Ketut tersebut dipenuhinya di kemudian hari, lalu pada tahun 1759 dibangun Pura Gaduh, tempat umat Hindu melakukan kegiatan ritual keagamaan dan Kemalik, tepat umat Sasak melakukan ritual keagamaan.

Perangkat Perang Topat dan Maknanya

Perangkat atau alat-alat untuk melaksanakan Perang Topat adalah bun-ga setaman, Rombong (lumbung kecil), Sesaji (sajian), Kebon udik (kebun mini), Lamak, Momot, Kerbau jantan, dan Topat (ketupat). Perlengkapan tersebut adalah perangkat atau alat-alat yang dibawa pada waktu napak tilas perjalanan Syekh K.H.Ahmad Malik (Pura Daksina) mengelilingi pura Gadah dan Kemalik. Bunga setaman seperti mawar, melati, dan sebagainya ditem-patkan di baki tembaga kunimg yang berkaki. Makna bunga setaman ini adalah kesucian hati, niat yang tulus dalam melaksanakan upacara ini dan sekali-us sebagai penghormatan kepada wali Syekh K.H.Abdul Malik.

Rombong atau lumbung kecil yang berisi beras ketan, sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan sosial. Dengan membawa rombong atau lum-bung kecil ini diharapkan negara “Indonesia” diberi kemakmuran dan rakyat-nya hidup dalam kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Sesaji (sajian) yaitu berupa dulang (tempat kecil) berjumlah sembilan buah yang berisi nasi, mengandung arti sebagai lambang kesuburan alam dan kemakmuran rakyat. Jumlah dulang ada 9 (sembilan) karena angka 9 adalah angka keramat dan angka 9 adalah lambang Walisongo.

Kebon udik atau kebun mini (kecil) terbuat dari buah kelapa hijau yang sudah tua. Kelapa tersebut dipangkas ujungnya sampai rata dan ditaruh di dalam baki dari kuningan. Di atas daging kelapa ini ditancapkan 9 batang bambu yang panjangnya 30 cm dan 9 batang bambu yang panjangnya 20 cm. Batang bambu yang panjangnya 30 cm dan batang bambu yang panjangnya 20 cm ditancapkan berselang-seling di pinggir buah kelapa. Sebuah batang bambu yang panjangnya 30 cm ditancapkan di tengah-tengah buah kelapa. Dengan demikian, batang bambu yang ditancapkan di pinggir buah kelapa dengan berkeliling berjumlah 17 buah dan 1 batang di tengah-tengah. Hal ini melambangkan kesuburan kebun atau tanah yang dipenuhi dengan batang-batang pohon yang lebat dan hijau untuk kemakmuran rakyat. Batang bambu di pinggir berjumlah 17 melambangkan rakyat wajib melaksanakan ibadah

Page 37: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

192 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

ahmad sodl i

(sholat) sebanyak 17 rakaat dan 1 batang terletak di tengah menunjukkan arah kiblat. Jadi, rakyat melaksanakan sholat 17 rakaat semuanya menghadap ke kiblat. Selain itu, di dalam kebon udik itu ada berbagai macam buah-buahan yang melambangkan di kebun atau bumi ini dipenuhi oleh berbagai macam buah-buahan sebagai tanda kesuburan. Jadi, sebagai makhluk Tuhan, ma-syarakat wajib bersyukur atas berbagai macam makanan dan buah-buahan yang tumbuh di bumi ini. Bersyukur dengan cara melaksanakan ibadah ke-pada Tuhan.

Lamak atau alas yaitu tikar, terbuat dari daun pandan. Tikar ini digu-lung dan didalamnya ditaruh sajadah serta alat-alat sholat (bagi orang laki-laki seperti sarung, baju takwa, peci, sedang dan perempuan rukuh, dan mukena). Tikar digulung lalu diikat, dan di atas gulungan tikar diletakkan kitab suci al-Qur’an yang ditempatkan pada sog-sogan, yaitu peti yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat tertutup. Peti ini diikat kuat di atas tikar. Gulungan tikar yang ada al-Qur’an dan alat-alat sholat disunggi di atas kepala. Makna dari perangkat atau alat-alat ini adalah mengingatkan agar tidak lupa melakukan sholat lima waktu sebagai kewajiban umat Islam.

Momot yaitu sebuah botol berukuran + satu liter dalam keadaan kosong. Momot ini ditutup rapat, disegel, dan dibungkus dengan kain putih lalu diikat dengan kuat. Hal ini mengandung arti atau melambangkan kehidupan yang kekal di alam akhirat. Momot artinya diam tidak bergerak seperti patung. Hal ini menunjukkan orang yang sudah mati tidak dapat bergerak, seperti patung dan dilambangkan dengan botol yang dibungkus dengan kain putih.

Kerbau dipergunakan ketika napak tilas mengelilingi pura. Kerbau ini di-maknai sebagai bekal yang dibawa Syekh K.H.Abdul Malik sewaktu berdak-wah di daerah Lingsar dan sekitarnya. Kerbau lalu disembelih, untuk makan bersama perserta napak tilas dari suku Sasak dan umat Hindu. Dipilih bina-tang kerbau, karena apabila yang dipergunakan binatang sapi, tidak diperbo-lehkan umat Hindu. Sapi adalah binatang suci bagi umat Hindu, dan apabila yang dipergunakan adalah binatang babi, tidak diperbolehkan umat Sasak (Islam). Babi adalah binatang yang haram dimakan oleh umat Sasak (Islam).

Topat (ketupat) adalah alat untuk pelaksanaan upacara Perang Topat (ketupat). Ketupat inilah yang dilemparkan oleh masing-masing partisipan. Ketupat ini berbentuk segi lima dan besarnya kurang lebih sebesar telur ayam. Jumlah ketupat mencapai “puluhan ribu” dan jumlah ini harus kelipat-an angka 9 (sembilan) atau harus habis dibagi sembilan. Topat (ketupat) di-pergunakan sebagai alat saling melempar, mengandung arti ketupat terbuat dari beras dan setelah selesai perang ketupat, ketupat itu dikembalikan atau dibuang ke sawah untuk menyuburkan tanaman padi yang ada di sawah. Ke-tupat dari beras dikembalikan ke sawah yang menghasilkan padi atau beras. Hal ini menunjukkan keserasian atau kecocokan antara ketupat dan padi. Ketupat berbentuk segi lima melambangkan rukun Islam yang berjumlah

lima. Jumlah ketupat harus kelipatan sembilan atau habis dibagi sembilan, melambangkan angka 9 (sembilan) adalah angka keramat dan menunjukkan Walisongo yang berjumlah sembilan.

Prosesi Perang Topat

Sebelum dilaksanakan Perang Topat, tiga hari sebelumnya diadakan ac-ara pembersihan atau penyucian alat-alat upacara dan benda-benda pusaka. Alat-alat upacara seperti baki tembaga, rombong, botol, tikar, payung, pe-dang, senapan tiruan, tombak, dan lain-lain dibersihkan dan dicuci. Benda-benda pusaka seperti al-Qur’an bertulis tangan, kipas angin dari kayu yang bertuliskan Ayat Kursi, alat pengetam padi (ani-ani) yang bertuliskan lafadz Allah dibersihkan pula. Orang-orang yang membersihkan adalah masyarakat sekitar, tanpa diperintah mereka datang sendiri. Alat-alat upacara yang sudah rusak diganti dengan alat-alat yang baru.

Dua hari sebelum upacara dilaksanakan, dilakukan pembuatan tetaring, yaitu tratag atau tarub yang dibuat dari daun kelapa dan tiangnya memakai bambu. Tetaring ini untuk melindungi para peserta upacara dan peserta Pe-rang Topat dari panas teriknya matahari. Daun kelapa dan bambu didapat dari bantuan masyarakat dan pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat pula.

Sehari sebelum pelaksanaan Perang Topat, diadakan khaul Syekh K.H.Abdul Malik, K.H.Abdul Rouf, dan Hj.R.Ayu Dewi Anjani. Khaul ini dise-lenggarakan setelah waktu Dhuhur bertempat di ruang persinggahan Syekh K.H.Abdul Malik. Khaul ini dipimpin oleh Bapak Penghulu atau Tuan Guru yang khusus diundang untuk memimpin khaul. Peserta atau jamaah yang mengikuti khaul ini adalah masyarakat sekitar Desa Lingsar. Dalam acara khaul ini dibakar pula kemenyan Arab, untuk mengharumkan tempat dan ruangan khaul, serta agar para malaikat datang, karena malaikat senang pada bau yang harum.

Pada sore hari, setelah sholat Ashar atau setelah Rarak Kembang Waru, yaitu setelah bunga pohon waru berguguran jatuh, diadakan upacara napak tilas mengelilingi pura Lingsar, yaitu Pura Gaduh dan Kemalik. Upacara napak tilas ini melambangkan perjalanan Syekh K.H.Abdul Malik sewaktu berdakwah menyiarkan agama Islam di daerah Lombok. Napak tilas dimulai dari tempat atau ruangan persinggahan Syekh K.H.Abdul Malik menuju ke pura dan mengelilinginya sampai tiga kali. Peserta napak tilas ini berbaris dan urutan barisan ini adalah sebagai berikut.

Barisan paling depan adalah barisan pasukan pengawal yang berjumlah 6 orang dan 1 orang komandan pasukan kerajaan dengan membawa senjata laras panjang tiruan. Di belakang tujuh orang ini adalah 3 orang sebagai sim-bol 3 orang waliyullah, yaitu Syekh K.H.Abdul Malik, K.H.Abdul Rouf, dan Hj.R.Ayu Dewi Anjani. Ketiga orang ini disertai Pemangku Kemalik Bapak Suparman.

Page 38: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

193Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ahmad sodl i

(sholat) sebanyak 17 rakaat dan 1 batang terletak di tengah menunjukkan arah kiblat. Jadi, rakyat melaksanakan sholat 17 rakaat semuanya menghadap ke kiblat. Selain itu, di dalam kebon udik itu ada berbagai macam buah-buahan yang melambangkan di kebun atau bumi ini dipenuhi oleh berbagai macam buah-buahan sebagai tanda kesuburan. Jadi, sebagai makhluk Tuhan, ma-syarakat wajib bersyukur atas berbagai macam makanan dan buah-buahan yang tumbuh di bumi ini. Bersyukur dengan cara melaksanakan ibadah ke-pada Tuhan.

Lamak atau alas yaitu tikar, terbuat dari daun pandan. Tikar ini digu-lung dan didalamnya ditaruh sajadah serta alat-alat sholat (bagi orang laki-laki seperti sarung, baju takwa, peci, sedang dan perempuan rukuh, dan mukena). Tikar digulung lalu diikat, dan di atas gulungan tikar diletakkan kitab suci al-Qur’an yang ditempatkan pada sog-sogan, yaitu peti yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat tertutup. Peti ini diikat kuat di atas tikar. Gulungan tikar yang ada al-Qur’an dan alat-alat sholat disunggi di atas kepala. Makna dari perangkat atau alat-alat ini adalah mengingatkan agar tidak lupa melakukan sholat lima waktu sebagai kewajiban umat Islam.

Momot yaitu sebuah botol berukuran + satu liter dalam keadaan kosong. Momot ini ditutup rapat, disegel, dan dibungkus dengan kain putih lalu diikat dengan kuat. Hal ini mengandung arti atau melambangkan kehidupan yang kekal di alam akhirat. Momot artinya diam tidak bergerak seperti patung. Hal ini menunjukkan orang yang sudah mati tidak dapat bergerak, seperti patung dan dilambangkan dengan botol yang dibungkus dengan kain putih.

Kerbau dipergunakan ketika napak tilas mengelilingi pura. Kerbau ini di-maknai sebagai bekal yang dibawa Syekh K.H.Abdul Malik sewaktu berdak-wah di daerah Lingsar dan sekitarnya. Kerbau lalu disembelih, untuk makan bersama perserta napak tilas dari suku Sasak dan umat Hindu. Dipilih bina-tang kerbau, karena apabila yang dipergunakan binatang sapi, tidak diperbo-lehkan umat Hindu. Sapi adalah binatang suci bagi umat Hindu, dan apabila yang dipergunakan adalah binatang babi, tidak diperbolehkan umat Sasak (Islam). Babi adalah binatang yang haram dimakan oleh umat Sasak (Islam).

Topat (ketupat) adalah alat untuk pelaksanaan upacara Perang Topat (ketupat). Ketupat inilah yang dilemparkan oleh masing-masing partisipan. Ketupat ini berbentuk segi lima dan besarnya kurang lebih sebesar telur ayam. Jumlah ketupat mencapai “puluhan ribu” dan jumlah ini harus kelipat-an angka 9 (sembilan) atau harus habis dibagi sembilan. Topat (ketupat) di-pergunakan sebagai alat saling melempar, mengandung arti ketupat terbuat dari beras dan setelah selesai perang ketupat, ketupat itu dikembalikan atau dibuang ke sawah untuk menyuburkan tanaman padi yang ada di sawah. Ke-tupat dari beras dikembalikan ke sawah yang menghasilkan padi atau beras. Hal ini menunjukkan keserasian atau kecocokan antara ketupat dan padi. Ketupat berbentuk segi lima melambangkan rukun Islam yang berjumlah

lima. Jumlah ketupat harus kelipatan sembilan atau habis dibagi sembilan, melambangkan angka 9 (sembilan) adalah angka keramat dan menunjukkan Walisongo yang berjumlah sembilan.

Prosesi Perang Topat

Sebelum dilaksanakan Perang Topat, tiga hari sebelumnya diadakan ac-ara pembersihan atau penyucian alat-alat upacara dan benda-benda pusaka. Alat-alat upacara seperti baki tembaga, rombong, botol, tikar, payung, pe-dang, senapan tiruan, tombak, dan lain-lain dibersihkan dan dicuci. Benda-benda pusaka seperti al-Qur’an bertulis tangan, kipas angin dari kayu yang bertuliskan Ayat Kursi, alat pengetam padi (ani-ani) yang bertuliskan lafadz Allah dibersihkan pula. Orang-orang yang membersihkan adalah masyarakat sekitar, tanpa diperintah mereka datang sendiri. Alat-alat upacara yang sudah rusak diganti dengan alat-alat yang baru.

Dua hari sebelum upacara dilaksanakan, dilakukan pembuatan tetaring, yaitu tratag atau tarub yang dibuat dari daun kelapa dan tiangnya memakai bambu. Tetaring ini untuk melindungi para peserta upacara dan peserta Pe-rang Topat dari panas teriknya matahari. Daun kelapa dan bambu didapat dari bantuan masyarakat dan pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat pula.

Sehari sebelum pelaksanaan Perang Topat, diadakan khaul Syekh K.H.Abdul Malik, K.H.Abdul Rouf, dan Hj.R.Ayu Dewi Anjani. Khaul ini dise-lenggarakan setelah waktu Dhuhur bertempat di ruang persinggahan Syekh K.H.Abdul Malik. Khaul ini dipimpin oleh Bapak Penghulu atau Tuan Guru yang khusus diundang untuk memimpin khaul. Peserta atau jamaah yang mengikuti khaul ini adalah masyarakat sekitar Desa Lingsar. Dalam acara khaul ini dibakar pula kemenyan Arab, untuk mengharumkan tempat dan ruangan khaul, serta agar para malaikat datang, karena malaikat senang pada bau yang harum.

Pada sore hari, setelah sholat Ashar atau setelah Rarak Kembang Waru, yaitu setelah bunga pohon waru berguguran jatuh, diadakan upacara napak tilas mengelilingi pura Lingsar, yaitu Pura Gaduh dan Kemalik. Upacara napak tilas ini melambangkan perjalanan Syekh K.H.Abdul Malik sewaktu berdakwah menyiarkan agama Islam di daerah Lombok. Napak tilas dimulai dari tempat atau ruangan persinggahan Syekh K.H.Abdul Malik menuju ke pura dan mengelilinginya sampai tiga kali. Peserta napak tilas ini berbaris dan urutan barisan ini adalah sebagai berikut.

Barisan paling depan adalah barisan pasukan pengawal yang berjumlah 6 orang dan 1 orang komandan pasukan kerajaan dengan membawa senjata laras panjang tiruan. Di belakang tujuh orang ini adalah 3 orang sebagai sim-bol 3 orang waliyullah, yaitu Syekh K.H.Abdul Malik, K.H.Abdul Rouf, dan Hj.R.Ayu Dewi Anjani. Ketiga orang ini disertai Pemangku Kemalik Bapak Suparman.

Page 39: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

194 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

ahmad sodl i

Barisan kedua adalah pembawa bunga setaman, yaitu seorang wanita. Bunga setaman antara lain bunga mawar dan melati, diletakkan di tempat yang terbuat dari kuningan. Wanita yang membawa bunga dengan cara di-sunggi dan diapit oleh dua orang laki-laki yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Dua orang laki-laki yang mengapit wanita pembawa bunga, satu orang membawa tombak dan satu orang membawa payung bergagang pan-jang berwarna kuning keemasan dengan hiasan rumbai-rumbai. Wanita pem-bawa bunga dan dua orang laki-laki yang mendampinginya berpakaian adat suku Sasak.

Pada barisan di belakangnya, adalah wanita yang membawa rombong (lumbung kecil) berisi beras dan beras ketan. Lumbung kecil ini terbuat dari anyaman pandan yang diberi hiasan. Wanita pembawa rombong ini diapit oleh dua orang laki-laki, satu orang membawa tombak dan satu orang mem-bawa payung bergagang panjang berwarna kuning keemasan dengan hiasan rumbai-rumbai. Rombong ini dibawa oleh wanita tersebut dengan cara di-sunggi di atas kepala. Mereka berpakaian adat suku Sasak.

Di belakangnya, ada wanita yang membawa sesaji (sajian), yaitu berupa sembilan dulang (tempat) yang bersisi nasi, lauk pauk, dan buah-buahan. Du-lang adalah baki kecil yang terbuat dari kayu dan berkaki. Sembilan dulang ini dibawa dengan disunggi di atas kepala. Wanita pembawa dulang ini diapit oleh dua orang laki-laki seperti wanita pembawa bunga dan rombong.

Barisan ini dilanjutkah oleh pembawa kebon udik. Pembawa kebon udik ini seorang wanita pula, didampingi dua orang laki-laki di sebelah kanan dan kirinya. Kebon udik ini dibawa dengan disunggi di atas kepala.

Di belakang pembawa kebon udik, menyusul wanita yang membawa la-mak (alas), yaitu tikar yang digulung, di dalamnya berisi alat-alat salat untuk laki-laki dan wanita. Pembawa lamak ini juga seorang wanita, membawanya dengan disunggi di atas kepala. Di sebelah kanan dan kirinya ada dua orang laki-laki pendamping yang membawa tombak dan payung.

Pada barisan yang ketujuh, seorang wanita menyunggi momot di atas kepala. Pembawa momot ini didampingi dua orang laki-laki pendamping yang membawa tombak dan payung. Barisan selanjutnya adalah warga umum termasuk dari umat Hindu dan grup kesenian, serta beberapa orang yang menuntun kerbau. Kerbau ini sebagai lambang bekal Syekh K.H.Abdul Malik sewaktu berdakwah.

Napak tilas atau pura daksina atau keliling Pura Gaduh dan Kemalik dimulai di depan tempat persinggahan Syekh K.H.Abdul Malik dengan pem-bacaan atau ucapan syukur kepada Sang Hyang Attunggal, Allah swr. dan pembacaan al-Fatihah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad dan ketiga wali, yaitu K.H.Abdul Malik, K.H.Abdul Rouf, dan Hj.R.Ayu Dewi Anjani. Pe-mimpin yang membuka acara ini ialah Bapak Pemangku Kemalik, Suparman. Setelah selesai keliling Pura Gaduh dan Kemalik sebanyak tiga kali, alat-alat

atau praperangkat napak tilas dibawa ke Kemalik dan disimpan di sekitar mata air Lingsar untuk dipergunakan dalam Perang Topat esok harinya.

Pada hari pelaksanaan Perang Topat, kerbau (yang digunakan napak ti-las) disembelih untuk hidangan makanan para peserta napak tilas dan Perang Topat. Pagi hari itu umat Sasak dan umat Hindu memasak nasi dan lauk pauk secara bersama-sama, di berbagai tempat yang tersedia. Umat Sasak memasak di sekitar rumah Pak Pemangku Kemalik dan umat Hindu memasak di kantor Puri yang bersebelahan dengan rumah Pak Pemangku Kemalik. Petugas yang menyembelih kerbau diambil dari umat Sasak. Setelah kerbau disembelih, dagingnya dibagi kepada umat Sasak dan umat Hindu. Paha belakang dan kepala kerbau tidak ikut dimasak, tetapi dibawa ke Kemalik dan digantung di dahan pohon. Sore harinya, paha dan kepala ini diambil dan dimasak untuk makan bersama lagi antara umat Sasak dan umat Hindu.

Sore hari, setelah sholat Ashar atau setelah Rarak Kembang Waru, setelah bunga waru berguguran, dimulailah Perang Topat. Saat itu, perangkat atau alat-alat yang digunakan untuk pura daksina dan napak tilas diambil dari Ke-malik dan dibawa lagi oleh para wanita yang bertugas saat napak tilas. Mereka berkumpul dan berbaris lagi di tempat persinggahan K.H.Abdul Malik, seperti urutan sewaktu napak tilas. Dari tempat persinggahan tersebut, barisan ber-jalan menuju Kemalik dipimpin oleh Pemangku Kemalik. Pemangku Kemalik berjalan di depan dan di barisan belakangnya, adalah wanita pembawa bunga setaman. Pemangku Kemalik mengambil sekuntum bunga dengan jarinya, kemudian setelah sampai di pintu Kemalik beliau melemparnya ke depan. Hal ini menunjukkan permintaan izin kepada K.H.Abdul Malik. Barisan lalu ma-suk ke Kemalik dan meletakkan alat-alat atau praperangkat upacara di sekitar mata air Lingsar yang ada di Kemalik.

Setelah peletakan atau penyimpanan alat-alat upacatra selesai, dimulai-lah Perang Topat. Para hadirin duduk di bawah tetaring atau tenda di ha-laman Kemalik. Para tamu yang datang antara lain Bapak Gubernur, Pang-dam, kapolda, bupati, dan camat di Lombok Barat. Topat atau ketupat yang digunakan untuk perang ketupat berasal dari sumbangan para petani yang menggunakan mata air Lingsar dan masyarakat sekotar Kecamatan Lingsar. Pengumpulan ketupat ini dikoordinasi oleh kepala subak (Bekasih) melalui subaknya masing-masing.

Pertama-tama yang memberikan ketupat kepada peserta Perang Topat adalah gubernur (atau pejabat lainnya jika gubernur berhalangan hadir). Ada tiga gadis remaja yang berpakaian adat Sasak membawa masing-masing satu baki berisi ketupat. Ketiga gadis ini masing-masing menyerahkan baki kepada Bapak Gubernur dan pejabat lainnya. Penyerahan baki berisi ketupat ini di-pandu oleh Bapak Pemangku Kemalik. Seorang gadis remaja pembawa baki menyerahkan baki pertama kepada Bapak Gubernur. Kemudian disusul pem-bawa baki yang lain menyerahkannya kepada pejabat yang ditunjuk. Bapak

Page 40: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

195Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ahmad sodl i

Barisan kedua adalah pembawa bunga setaman, yaitu seorang wanita. Bunga setaman antara lain bunga mawar dan melati, diletakkan di tempat yang terbuat dari kuningan. Wanita yang membawa bunga dengan cara di-sunggi dan diapit oleh dua orang laki-laki yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Dua orang laki-laki yang mengapit wanita pembawa bunga, satu orang membawa tombak dan satu orang membawa payung bergagang pan-jang berwarna kuning keemasan dengan hiasan rumbai-rumbai. Wanita pem-bawa bunga dan dua orang laki-laki yang mendampinginya berpakaian adat suku Sasak.

Pada barisan di belakangnya, adalah wanita yang membawa rombong (lumbung kecil) berisi beras dan beras ketan. Lumbung kecil ini terbuat dari anyaman pandan yang diberi hiasan. Wanita pembawa rombong ini diapit oleh dua orang laki-laki, satu orang membawa tombak dan satu orang mem-bawa payung bergagang panjang berwarna kuning keemasan dengan hiasan rumbai-rumbai. Rombong ini dibawa oleh wanita tersebut dengan cara di-sunggi di atas kepala. Mereka berpakaian adat suku Sasak.

Di belakangnya, ada wanita yang membawa sesaji (sajian), yaitu berupa sembilan dulang (tempat) yang bersisi nasi, lauk pauk, dan buah-buahan. Du-lang adalah baki kecil yang terbuat dari kayu dan berkaki. Sembilan dulang ini dibawa dengan disunggi di atas kepala. Wanita pembawa dulang ini diapit oleh dua orang laki-laki seperti wanita pembawa bunga dan rombong.

Barisan ini dilanjutkah oleh pembawa kebon udik. Pembawa kebon udik ini seorang wanita pula, didampingi dua orang laki-laki di sebelah kanan dan kirinya. Kebon udik ini dibawa dengan disunggi di atas kepala.

Di belakang pembawa kebon udik, menyusul wanita yang membawa la-mak (alas), yaitu tikar yang digulung, di dalamnya berisi alat-alat salat untuk laki-laki dan wanita. Pembawa lamak ini juga seorang wanita, membawanya dengan disunggi di atas kepala. Di sebelah kanan dan kirinya ada dua orang laki-laki pendamping yang membawa tombak dan payung.

Pada barisan yang ketujuh, seorang wanita menyunggi momot di atas kepala. Pembawa momot ini didampingi dua orang laki-laki pendamping yang membawa tombak dan payung. Barisan selanjutnya adalah warga umum termasuk dari umat Hindu dan grup kesenian, serta beberapa orang yang menuntun kerbau. Kerbau ini sebagai lambang bekal Syekh K.H.Abdul Malik sewaktu berdakwah.

Napak tilas atau pura daksina atau keliling Pura Gaduh dan Kemalik dimulai di depan tempat persinggahan Syekh K.H.Abdul Malik dengan pem-bacaan atau ucapan syukur kepada Sang Hyang Attunggal, Allah swr. dan pembacaan al-Fatihah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad dan ketiga wali, yaitu K.H.Abdul Malik, K.H.Abdul Rouf, dan Hj.R.Ayu Dewi Anjani. Pe-mimpin yang membuka acara ini ialah Bapak Pemangku Kemalik, Suparman. Setelah selesai keliling Pura Gaduh dan Kemalik sebanyak tiga kali, alat-alat

atau praperangkat napak tilas dibawa ke Kemalik dan disimpan di sekitar mata air Lingsar untuk dipergunakan dalam Perang Topat esok harinya.

Pada hari pelaksanaan Perang Topat, kerbau (yang digunakan napak ti-las) disembelih untuk hidangan makanan para peserta napak tilas dan Perang Topat. Pagi hari itu umat Sasak dan umat Hindu memasak nasi dan lauk pauk secara bersama-sama, di berbagai tempat yang tersedia. Umat Sasak memasak di sekitar rumah Pak Pemangku Kemalik dan umat Hindu memasak di kantor Puri yang bersebelahan dengan rumah Pak Pemangku Kemalik. Petugas yang menyembelih kerbau diambil dari umat Sasak. Setelah kerbau disembelih, dagingnya dibagi kepada umat Sasak dan umat Hindu. Paha belakang dan kepala kerbau tidak ikut dimasak, tetapi dibawa ke Kemalik dan digantung di dahan pohon. Sore harinya, paha dan kepala ini diambil dan dimasak untuk makan bersama lagi antara umat Sasak dan umat Hindu.

Sore hari, setelah sholat Ashar atau setelah Rarak Kembang Waru, setelah bunga waru berguguran, dimulailah Perang Topat. Saat itu, perangkat atau alat-alat yang digunakan untuk pura daksina dan napak tilas diambil dari Ke-malik dan dibawa lagi oleh para wanita yang bertugas saat napak tilas. Mereka berkumpul dan berbaris lagi di tempat persinggahan K.H.Abdul Malik, seperti urutan sewaktu napak tilas. Dari tempat persinggahan tersebut, barisan ber-jalan menuju Kemalik dipimpin oleh Pemangku Kemalik. Pemangku Kemalik berjalan di depan dan di barisan belakangnya, adalah wanita pembawa bunga setaman. Pemangku Kemalik mengambil sekuntum bunga dengan jarinya, kemudian setelah sampai di pintu Kemalik beliau melemparnya ke depan. Hal ini menunjukkan permintaan izin kepada K.H.Abdul Malik. Barisan lalu ma-suk ke Kemalik dan meletakkan alat-alat atau praperangkat upacara di sekitar mata air Lingsar yang ada di Kemalik.

Setelah peletakan atau penyimpanan alat-alat upacatra selesai, dimulai-lah Perang Topat. Para hadirin duduk di bawah tetaring atau tenda di ha-laman Kemalik. Para tamu yang datang antara lain Bapak Gubernur, Pang-dam, kapolda, bupati, dan camat di Lombok Barat. Topat atau ketupat yang digunakan untuk perang ketupat berasal dari sumbangan para petani yang menggunakan mata air Lingsar dan masyarakat sekotar Kecamatan Lingsar. Pengumpulan ketupat ini dikoordinasi oleh kepala subak (Bekasih) melalui subaknya masing-masing.

Pertama-tama yang memberikan ketupat kepada peserta Perang Topat adalah gubernur (atau pejabat lainnya jika gubernur berhalangan hadir). Ada tiga gadis remaja yang berpakaian adat Sasak membawa masing-masing satu baki berisi ketupat. Ketiga gadis ini masing-masing menyerahkan baki kepada Bapak Gubernur dan pejabat lainnya. Penyerahan baki berisi ketupat ini di-pandu oleh Bapak Pemangku Kemalik. Seorang gadis remaja pembawa baki menyerahkan baki pertama kepada Bapak Gubernur. Kemudian disusul pem-bawa baki yang lain menyerahkannya kepada pejabat yang ditunjuk. Bapak

Page 41: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

196 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

ahmad sodl i

Gubernur lalu memberikan ketupat tersebut kepada para peserta dengan cara ditumpahkan. Para peserta lalu berebut ketupat lalu saling melempar.

Para pejabat lainnya atau para tokoh menyusulnya dengan menumpah-kan ketupat kepada para peserta. Selanjutnya, ketupat tersebut diberikan oleh petugas dari desa (Langlang) yang berjumlah 5 orang dari Kemalik ke-pada para peserta. Setelah selesai Perang Topat, pada peserta saling berebut ketupat yang telah digunakan perang. Ketupat bekas Perang Topat dibawa pulang dan ditebarkan di sawah, agar padinya tumbuh subur, ada yang digan-tung di pohon-pohon, agar pohonnya bertambah subur dan buahnya bertam-bah banyak.

Pada saat perang topat itu, peserta ada yang terluka, seperti hidungnya berdarah, wajahnya memar, dan badannya pegal. Namun mereka tidak den-dam, bahkan mereka merasa bangga, seperti pahlawan yang menang perang.

revitAlisAsi keAriFAn lokAl Perang Topat adalah bagian dari upacara pujawali yang dilakukan oleh

umat Sasak dan umat Hindu. Perang Topat ini dilaksanakan di sekitar pura Lingsar yang terdiri dari Pura Gaduh dan Kemalik. Pura Gaduh digunakan se-bagai tempat sembahyang umat Hindu dan Kemalik adalah tempat yang dik-eramatkan oleh umat Sasak (Islam). Pergeseran Perang Topat ini akan dilihat dari tempat Perang Topat dan tata cara Perang Topat.

Tempat Perang Topat

Perang Topat dilakukan di pelataran Pura Lingsar, khususnya Kemalik. Kamalik adalah suatu bangunan yang di dalamnya terdapat sumber mata air Lingsar. Menurut ceritanya, mata air ini terjadi ketika tongkat Syekh K.H.Abdul Malik ditancapkan ke tanah dan dicabut kembali, lalu keluar-lah air yang sangat deras dari tanah. Mata air ini sudah dibangun kolam dan dibuat sembilan pancuran yang terbagi dua, satu tempat pancuran berjumlah lima dan satu tempat lagi berjumlah empat pancuran. Mulai saat itu, sum-ber mata air tersebut dijadikan sebagai tempat bersemadi atau berdo’a bagi umat Sasak dan umat Hindu. Apabila umat Sasak (Islam) akan berdo’a atau minta kepada Allah, mereka harus meminta izin kepada Pemangku Kemalik dan berdo’anya dipimpin oleh pemangku atau orang yang mewakilinya. Lain halnya dengan umat Sasak, apabila umat Hindu akan berdo’a atau semadi di Kemalik, mereka tetap harus meminta izin kepada pemangku, namun berdo’a sendiri tanpa dipimpin pemangku.

Pada tahun 2004, saat Pemangku Kemalik dipegang oleh Bapak Sanusi, orang yang akan berdo’a di Kemalik masih banyak yang membawa batu seb-agai perantara/tawassul. Batu itu lalu diletakkan di pinggir bangunan kolam

mata air, dengan dibalut kain putih. Dengan perantara tersebut, mereka ber-keyakinan do’a atau permintaannya akan cepat terkabul. Hal ini dilakukan terutama oleh umat Hindu. Namun, setelah tahun 2005, oleh pemangku yang menggantikan Sanusi, yaitu Pemangku Suparman, tidak memperbolehkan lagi membawa batu ke tempat/kolam mata air karena dikhawatirkan akan menjadikan syirik kepada Allah, terutama bagi umat Sasak (Islam).

Perubahan lain adalah pintu gerbang masuk ke tempat Perang Topat (pelataran Kemalik). Sebelum tahun 1990-an, bentuk pintu gerbang seperti bangunan biasa, yaitu tembok persegi yang tebal dan agak tinggi, dianggap kurang menarik dari sisi keindahan arsitekturnya. Karena itu, setelah tahun 1990-an bentuk pintu dirombak dan dibangun sesuai arsitektur Bali. Pintu dibangun dengan bangunan tembok sebelah kanan dan kiri tinggi, serta diberi cat kecoklatan. Bentuk pintu gerbang ini sama dengan bentuk pintu gerbang yang ada di pura pulau Bali pada umumnya, sehingga terlihat lebih menarik terutama bagi wisatawan.

Tata Cara

Tata cara yang mengalami perubahan mencakup tata cara masuk ke Ke-malik, kesenian, dan perangkat. Dahulu, orang yang masuk ke Kemalik, baik umat Sasak ataupun umat Hindu bebas, tidak ada aturan tentang pakaian. Namun, sejak era Orde Baru, dibuatlah aturan untuk memasuki Kemalik, yaitu orang yang akan masuk ke Kemalik memakai selendang yang disabuk-kan di perut agar menambah daya tarik dan untuk mengundang wisatawan. Kain selendang disediakan di depan pintu masuk secara gratis. Hal ini juga dimaksudkan untuk menggalakkan pariwisata, karena dengan banyaknya kunjungan wisatawan akan menambah pendapatan daerah.

Perubahan kesenian terjadi pada acara Perang Topat. Setiap diadakan Perang Topat, harus dibarengi dengan pentas seni, terutama seni daerah sep-erti wayang, tari-tarian, gandrong, dan joged. Sebelum tahun 1990-an, pen-tas seni di Pura Gaduh dan di pelataran Kemalik diadakan selama seminggu sebelum pelaksanaan Perang Topat. Pentas seni ini dilakukan terutama oleh umat Hindu dan ada pula yang datang dari Bali. Tetapi setelah tahun 1990-an, pentas seni ini hanya dilakukan malam hari setelah Perang Topat dilakukan.

Perubahan yang lain adalah penyelenggaraan Perang Topat dewasa ini dijadikan ajang promosi berbagai produk, seperti rokok, minuman, dan se-bagainya, termasuk promosi perusahaan yang menyumbang kerbau dan mensponsori penyelenggaraan perang topat. Perubahan demikian, terkait dengan motif-motif untuk ajang pariwisata.

Peran Kearifan Lokal sebagai Perekat Kerukunan

Perang Topat sebagai perekat kerukunan terlihat pada waktu napak tilas, binatang yang digunakan napak tilas, binatang yang digunakan napak tilas,

Page 42: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

197Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ahmad sodl i

Gubernur lalu memberikan ketupat tersebut kepada para peserta dengan cara ditumpahkan. Para peserta lalu berebut ketupat lalu saling melempar.

Para pejabat lainnya atau para tokoh menyusulnya dengan menumpah-kan ketupat kepada para peserta. Selanjutnya, ketupat tersebut diberikan oleh petugas dari desa (Langlang) yang berjumlah 5 orang dari Kemalik ke-pada para peserta. Setelah selesai Perang Topat, pada peserta saling berebut ketupat yang telah digunakan perang. Ketupat bekas Perang Topat dibawa pulang dan ditebarkan di sawah, agar padinya tumbuh subur, ada yang digan-tung di pohon-pohon, agar pohonnya bertambah subur dan buahnya bertam-bah banyak.

Pada saat perang topat itu, peserta ada yang terluka, seperti hidungnya berdarah, wajahnya memar, dan badannya pegal. Namun mereka tidak den-dam, bahkan mereka merasa bangga, seperti pahlawan yang menang perang.

revitAlisAsi keAriFAn lokAl Perang Topat adalah bagian dari upacara pujawali yang dilakukan oleh

umat Sasak dan umat Hindu. Perang Topat ini dilaksanakan di sekitar pura Lingsar yang terdiri dari Pura Gaduh dan Kemalik. Pura Gaduh digunakan se-bagai tempat sembahyang umat Hindu dan Kemalik adalah tempat yang dik-eramatkan oleh umat Sasak (Islam). Pergeseran Perang Topat ini akan dilihat dari tempat Perang Topat dan tata cara Perang Topat.

Tempat Perang Topat

Perang Topat dilakukan di pelataran Pura Lingsar, khususnya Kemalik. Kamalik adalah suatu bangunan yang di dalamnya terdapat sumber mata air Lingsar. Menurut ceritanya, mata air ini terjadi ketika tongkat Syekh K.H.Abdul Malik ditancapkan ke tanah dan dicabut kembali, lalu keluar-lah air yang sangat deras dari tanah. Mata air ini sudah dibangun kolam dan dibuat sembilan pancuran yang terbagi dua, satu tempat pancuran berjumlah lima dan satu tempat lagi berjumlah empat pancuran. Mulai saat itu, sum-ber mata air tersebut dijadikan sebagai tempat bersemadi atau berdo’a bagi umat Sasak dan umat Hindu. Apabila umat Sasak (Islam) akan berdo’a atau minta kepada Allah, mereka harus meminta izin kepada Pemangku Kemalik dan berdo’anya dipimpin oleh pemangku atau orang yang mewakilinya. Lain halnya dengan umat Sasak, apabila umat Hindu akan berdo’a atau semadi di Kemalik, mereka tetap harus meminta izin kepada pemangku, namun berdo’a sendiri tanpa dipimpin pemangku.

Pada tahun 2004, saat Pemangku Kemalik dipegang oleh Bapak Sanusi, orang yang akan berdo’a di Kemalik masih banyak yang membawa batu seb-agai perantara/tawassul. Batu itu lalu diletakkan di pinggir bangunan kolam

mata air, dengan dibalut kain putih. Dengan perantara tersebut, mereka ber-keyakinan do’a atau permintaannya akan cepat terkabul. Hal ini dilakukan terutama oleh umat Hindu. Namun, setelah tahun 2005, oleh pemangku yang menggantikan Sanusi, yaitu Pemangku Suparman, tidak memperbolehkan lagi membawa batu ke tempat/kolam mata air karena dikhawatirkan akan menjadikan syirik kepada Allah, terutama bagi umat Sasak (Islam).

Perubahan lain adalah pintu gerbang masuk ke tempat Perang Topat (pelataran Kemalik). Sebelum tahun 1990-an, bentuk pintu gerbang seperti bangunan biasa, yaitu tembok persegi yang tebal dan agak tinggi, dianggap kurang menarik dari sisi keindahan arsitekturnya. Karena itu, setelah tahun 1990-an bentuk pintu dirombak dan dibangun sesuai arsitektur Bali. Pintu dibangun dengan bangunan tembok sebelah kanan dan kiri tinggi, serta diberi cat kecoklatan. Bentuk pintu gerbang ini sama dengan bentuk pintu gerbang yang ada di pura pulau Bali pada umumnya, sehingga terlihat lebih menarik terutama bagi wisatawan.

Tata Cara

Tata cara yang mengalami perubahan mencakup tata cara masuk ke Ke-malik, kesenian, dan perangkat. Dahulu, orang yang masuk ke Kemalik, baik umat Sasak ataupun umat Hindu bebas, tidak ada aturan tentang pakaian. Namun, sejak era Orde Baru, dibuatlah aturan untuk memasuki Kemalik, yaitu orang yang akan masuk ke Kemalik memakai selendang yang disabuk-kan di perut agar menambah daya tarik dan untuk mengundang wisatawan. Kain selendang disediakan di depan pintu masuk secara gratis. Hal ini juga dimaksudkan untuk menggalakkan pariwisata, karena dengan banyaknya kunjungan wisatawan akan menambah pendapatan daerah.

Perubahan kesenian terjadi pada acara Perang Topat. Setiap diadakan Perang Topat, harus dibarengi dengan pentas seni, terutama seni daerah sep-erti wayang, tari-tarian, gandrong, dan joged. Sebelum tahun 1990-an, pen-tas seni di Pura Gaduh dan di pelataran Kemalik diadakan selama seminggu sebelum pelaksanaan Perang Topat. Pentas seni ini dilakukan terutama oleh umat Hindu dan ada pula yang datang dari Bali. Tetapi setelah tahun 1990-an, pentas seni ini hanya dilakukan malam hari setelah Perang Topat dilakukan.

Perubahan yang lain adalah penyelenggaraan Perang Topat dewasa ini dijadikan ajang promosi berbagai produk, seperti rokok, minuman, dan se-bagainya, termasuk promosi perusahaan yang menyumbang kerbau dan mensponsori penyelenggaraan perang topat. Perubahan demikian, terkait dengan motif-motif untuk ajang pariwisata.

Peran Kearifan Lokal sebagai Perekat Kerukunan

Perang Topat sebagai perekat kerukunan terlihat pada waktu napak tilas, binatang yang digunakan napak tilas, binatang yang digunakan napak tilas,

Page 43: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

198 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

ahmad sodl i

peserta Perang Topat, keasalan ketupat, dan Kemalik digunakan pula untuk sembahyang umat Hindu.

1. Napak Tilas

Dalam napak tilas, umat Sasak dan umat Hindu bersama-sama mem-bentuk barisan dan berjalan mengelilingi Kemalik milik umat Sasak dan Pura Gaduh milik umat Hindu, lalu bergabung menjadi satu, merupakan sim-bol kebersamaan dan kesamaan hak antara kedua umat yang berbeda agama, suku bahkan golongan. Mereka tidak membeda-bedakan satu sama lain dalam kaitannya dengan penghormatan kepada leluhur dan sesama manusia. Pe-rang Topat yang dilakukan setiap tahun menjadikan ajang silaturahmi untuk mempererat persaudaraan dan kerukunan kedua umat tersebut.

2. Binatang yang digunakan Perang Topat

Binatang yang dipergunakan untuk hidangan saat upacara Perang Topat adalah kerbau, tidak lepas dari kebersamaan dan toleransi umat Sasak dan umat Hindu. Apabila binatang yang digunakan sapi misalnya, hal ini akan menyinggung dan menyakiti umat Hindu. Begitu pula apabila binatang yang digunakan babi, sebagai kebiasaan umat Hindu yang ada di Bali, hal ini akan menyinggung dan menyakiti umat Sasak. Daging kerbau ini dibagi umat Sa-sak dan umat Hindu sesuai dengan kapasitasnya dan dimasak untuk makan bersama. Di sinilah terlihat kegotong-royongan dan kebersamaan mereka, mereka tidak membedakan satu dengan lainnya.

3. Keasalan ketupat dan peserta Perang Topat

Ketupat yang digunakan untuk Perang Topat berasal dari sumbangan para petani yang menggunakan mata air Lingsar untuk mengairi sawah, di samping untuk melestarikan budaya lokal yang ada di daerahnya, juga untuk meneguhkan kegotong-royongan dan bekerja sama di antara mereka dengan tidak membedakan agama dan etnis.

Faktor Pendorong Pelaksanaan Kearifan Lokal

Upacara Perang Topat sebagai perekat kerukunan, hampir seluruh parti-sipannya terdiri dari umat Islam dan umat Hindu. Lewat perang Topat inilah, terjalin hubungan dan kerjasama yang baik di antara mereka. Fungsi pen-gukuhan hubungan persaudaraan tersebut semakin dikuatkan oleh adanya kepercayaan bahwa ketupat yang telah dipakai untuk Perang Topat dapat membawa berkah dan apabila ditabur di sawah akan menambah kesuburan tanah/ padi, sehingga merekapun amat bersemangat mengikuti Perang To-pat, untuk mempererat interaksi sosial antarpenduduk itu sendiri.

Ketika upacara Perang Topat yang kemudian dijadikan objek wisata oleh pemerintah, menjadikan pelaksanaan Perang Topat menjadi lebih ra-mai karena disaksikan oleh banyak turis seperti turis dari Australia, Jepang, Amerika, dan Taiwan. Dengan demikian, jangan sampai Perang Topat ini ke-hilangan sakralitas dan pesan kultural yang ingin disampaikan.

Page 44: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikulturaldi Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB

199Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

ahmad sodl i

PenutuP

Simpulan

Perang Topat diadakan pertama kali oleh Syekh K.H.Abdul Malik (pen-yiar agama Islam di Lombok) untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang ada di Suku Sasak yang suka berperang satu dengan lainnya. Acara ini dise-lenggarakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan dan supaya kehidupan ma-nusia selalu damai, rukun, dan saling mengasihi. Perang Topat ini diadakan sebagai pengganti peperangan antarkelompok tersebut sebagai simbol perda-maian.

Perangkat Perang Topat terdiri atas bunga, rombong (lumbung kecil), sesaji (sajian), kebon udik (kebun mini), lamak, momot, kerbau, dan ketupat, dipergunakan/ dibawa pada waktu napak tilas perjalanan Syekh K.H.Abdul Malik dan pada waktu pelaksanaan Perang Topat, menyampaikan pesan-pesan simbolik yaitu kemakmuran, kesuburan alam, dan pesan agar manusia akhirnya ingat dan menghadap Tuhan di akhirat. Upacara napak tilas men-gelilingi pura Lingsar, yaitu pura Gaduh dan Kemalik, di samping melam-bangkan perjalanan Syekh K.H.Abdul Malik sewaktu berdakwah menyiarkan agama Islam di Pulau Lombok, juga sebagai sarana silaturahmi warga.

Pergeseran pelaksanaan dan pemaknaan terjadi seiring dengan peruba-han waktu dan motif-motif lain di balik Perang Topat. Pada waktu sekitar ta-hun 2004, orang yang akan berdo’a di Kemalik masih banyak yang membawa batu sebagai perantara/ tawassul dan berkeyakinan dengan perantara batu tersebut, do’a atau permintaan mereka cepat terkabul. Namun, sejak 2005, orang yang berdo’a di Kemalik tidak diperbolehkan membawa batu lagi.

Keasalan ketupat yang menjadi perekat antara umat Islam dan Hindu, terutama dari para petani, bermakna pada kebersamaan. Di sinilah terlihat kegotong-royongan dan kebersamaan mereka, dengan tidak membedakan et-nis dan agama.

Saran

Disarankan kepada pemerintah agar keberadaan upacara Perang Topat ini terus dijaga dan dilestarikan karena dapat dijadikan perangkat untuk merekatkan kerukunan antarumat beragama dan menambah keharmonisan hubungan di antara mereka. Perang Topat ini perlu didukung semua pihak, baik dukungan moral maupun material, dan perlu dijadikan contoh oleh dae-rah-daerah yang lain.

Page 45: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

200 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Geertz, Cliffords. 1983. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa, terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

DAFTAR PUSTAKA

Page 46: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

201Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

AbstrAct :Based on the Con fu tse ’s teaching, life is a long journey without an end.

Birth is an entrance to the world. Death is an exit door from the world. Life in hereafter is a continuation of life in the world. Therefore, all of the human’s deed in the world will affect their life in hereafter. This article about death ceremony of Confucian is part of finding of my research on the religious life development to the Chinese who believes in Confucion in Surakarta. Death ceremony has psychological values which influence one’s attitude and char-acter in his/her life in the world.

Keywords : Death Ceremony, Confucion, Psycology

PendAhuluAn

Latar Belakang

Pembangunan agama yang dilaksanakan selama ini harus diakui secara jujur belum dapat sepenuhnya mampu meningkatkan kualitas infrastruktur keagamaan serta belum secara optimal berhasil menciptakan stabilitas ke-hidupan beragama. Lebih lanjut diungkapkan kondisi ini disebabkan paling tidak oleh lima faktor mendasar yang kiranya perlu mendapat perhatian seri-us, diantaranya mengenai pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai keagamaan di masyarakat belum memadai. Kehidupan beragama pada masyarakat baru dalam tataran simbol-simbol belum mencapai substansinya. Meski banyak kelemahan dalam pembangunan bidang agama, tetapi pada saat yang sama perkembangan kehidupan beragama akhir-akhir ini menun-jukkan gejala yang menggembirakan, terutama pada pelaksanaan ritual ke-agamaan. Kesemarakan tampak pada berbagai kegiatan yang tumbuh subur

TRADISI UPACARA KEMATIANUMAT KhONGhUCU

DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Oleh MarMIaTI MawarDI1

* Dra. Hj. Marmiati Mawardi adalah peneliti bidang kehidupan keagamaan pada Balai Litbang Agama Semarang

PENELITIAN

Page 47: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

202 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis Marmiat i Mawardi

di tempat-tempat ibadah. Pada kalangan masyarakat Tionghoa kesemarakan tampak giat dalam membenahi tempat ibadah dan menghidupkan kembali aktifitas keagamaan ( Mudzhar, 2007 ) .

Dalam era kebangkitan umat Khonghucu ini tokoh agama menjadi sa-ngat urgen atau penting kedudukannya dan tentu sangat dibutuhkan oleh umat Khonghucu dalam membina kehidupan beragama kearah kemapanan dalam realitas kehidupan yang kini telah terbuka lebar.tokoh agama cukup penting kedudukannya dalam memimpin upacara tradisi dalam agama Khon-ghucu, upacara kematihan sepenuhnya dipimpin oleh tokoh agama atau ro-kaniawan dan bakti orang tua adalah ajaran yang sangat ditekankan dalam agama Khonghucu sedangkan manifestasi ajaran tersebut dapat dilihat dari penghormatan anak terhadap orang tua pada akhir hayatnya.

Ajaran peribadatan terkait dengan upacara kematian dalam agama Khong-hucu sangat menarik untuk dikaji. Hal ini karena dalam upacara ter-sebut tidak saja mengandung nilai-nilai moral bakti anak kepada orang tua-nya, tetapi juga memiliki makna psikologis yang penting dalam keberagamaan umat Khonghucu. Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji tradisi upacara kematian umat Khonghucu dengan perspektif psikologis.

Rumusan Permasalahan

Dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang hendak dijawab adalah bagaimana tradisi upacara kematian dalam agama Khonghucu? dan apa makna psikologis upacara kematian yang dilaksanakan umat Khonghucu tersebut?

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat studi kasus dengan menggunakan pendekatan kua-litatif, mengenai kehidupan beragama masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu, khususnya upacara kematian. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Solo. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan, dan telaah dokumen. Wawancara dilakukan terhadap tokoh agama Khonghucu, tokoh organisasi Khonghucu, tokoh masyarakat, pejabat di lingkungan komu-nitas setempat dan penganut agama Khonghucu yang aktif mengikuti pembi-naan. Pengamatan dilakukan terhadap aktifitas keagamaan umat Khong-hucu seperti kegiatan peribadatan dalam upacara kematian, tepat upacara dan perlengkapan upacara. Sedangkan telaah dokumen dengan menyelidiki data-data yang terdapat dalam dokumen, seperti buku atau kitab rujukan un-tuk pembinaan dan catatan-catatan penting yang terkait dengan pembinaan keagamaan.

PembAhAsAn

Eksistensi Khonghucu

Kedatangan bangsa Tionghoa di Nusantara terjadi sebelum Indonesia merdeka. Kedatangan mereka juga membawa ajaran Khonghucu. Agama Khonghucu ini masuk Indonesia bersamaan dengan kedatangan perantau Tionghoa. Pengembangannya saat itu sangat sederhana, melalui keluarga tempat kepala keluarga bertanggung jawab kehidupan sehari-hari dan bertin-dak sebagai rohaniawan yang mendidik anak-anaknya untuk mengamalkan agama Khonghucu. Agama ini berkembang di berbagai daerah di Indonesia, sampai pada pemerintahan Presiden Soekarno. Berdasarkan ketetapan Pres-iden Soekarno No.1/Pn.ps/ 1965, tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, yang didalamnya menjelaskan bahwa agama-agama yang dipeluk bangsa Indonesia sejarahnya ada enam : Islam, Kristen, Khato-lik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Pemilihan keenam agama di atas didasar-kan pada definisi agama dan syarat agama sebagaimana diusulkan oleh men-teri agama ketika itu, yaitu syarat sebagai agama minimal memiliki kitab suci, nabi, kepercayaan akan satu Tuhan dan tata cara agama serta ibadah bagi pengikutnya.( Tanggok, 2005,104)

Awal pemerintahan Presiden Soeharto, agama Khonghucu tetap tumbuh wajar. Namun setelah itu keluar Inpres 14 / 1967 yang berisi tentang pencabu-tan agama Khonghucu, sehingga hanya lima agama yang diakui di Indonesia. Secara otomatis semua aktifitas umat Khonghucu berhenti dan tradisi leluhur mereka terbelenggu. Pada tanggal 17 Januari 2000, Inpres tersebut dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid, lewat Keppres No.6 Tahun 2000, yang intinya mengakui eksistensi agama Khonghucu di Indonesia.

Awal tahun 2000 merupakan tahun keberuntungan bagi etnis Tionghoa, setelah sekian lama hak sipil mereka terpasung. Mereka bisa bergerak dengan leluasa setelah pemerintah memberikan kebebasan dalam mengaktualisasi-kan adat istiadat serta mengakui sepenuhnya akan hak-hak mereka sebagai umat Khonghucu. Mereka memperbaiki penampilan tempat peribadatan dengan pernik-pernik yang menunjukkan ciri kebudayaan Cina terutama ketika memperingati hari besar agama tersebut. Sisi positif dari kondisi ini adalah tempat-tempat ibadah tersebut bisa menjadi aset daerah sebagai tem-pat wisata rohani dan ekspresi keagamaan yang ditampilkan dalam bentuk kebudayaan Cina sehingga menambah khasanah kebudayaan di Indonesia.

Jeda waktu 33 tahun dari Inpres yang membelenggu umat Khonghucu hingga terbukanya kembali pintu kebebasan untuk mengaktualisasikan keya-kinan, mengamalkan ajaran agama serta melakukan aktifitas sosial secara leluasa, tentu saja hal tersebut menumbuhkan semangat keberagamaan dari setiap individu maupun kelompok. Semangat tersebut tentunya tidak serta merta terlaksana tanpa ada penggeraknya. Dengan demikian ada pembina

Page 48: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis

203Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Marmiat i Mawardi

di tempat-tempat ibadah. Pada kalangan masyarakat Tionghoa kesemarakan tampak giat dalam membenahi tempat ibadah dan menghidupkan kembali aktifitas keagamaan ( Mudzhar, 2007 ) .

Dalam era kebangkitan umat Khonghucu ini tokoh agama menjadi sa-ngat urgen atau penting kedudukannya dan tentu sangat dibutuhkan oleh umat Khonghucu dalam membina kehidupan beragama kearah kemapanan dalam realitas kehidupan yang kini telah terbuka lebar.tokoh agama cukup penting kedudukannya dalam memimpin upacara tradisi dalam agama Khon-ghucu, upacara kematihan sepenuhnya dipimpin oleh tokoh agama atau ro-kaniawan dan bakti orang tua adalah ajaran yang sangat ditekankan dalam agama Khonghucu sedangkan manifestasi ajaran tersebut dapat dilihat dari penghormatan anak terhadap orang tua pada akhir hayatnya.

Ajaran peribadatan terkait dengan upacara kematian dalam agama Khong-hucu sangat menarik untuk dikaji. Hal ini karena dalam upacara ter-sebut tidak saja mengandung nilai-nilai moral bakti anak kepada orang tua-nya, tetapi juga memiliki makna psikologis yang penting dalam keberagamaan umat Khonghucu. Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji tradisi upacara kematian umat Khonghucu dengan perspektif psikologis.

Rumusan Permasalahan

Dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang hendak dijawab adalah bagaimana tradisi upacara kematian dalam agama Khonghucu? dan apa makna psikologis upacara kematian yang dilaksanakan umat Khonghucu tersebut?

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat studi kasus dengan menggunakan pendekatan kua-litatif, mengenai kehidupan beragama masyarakat Tionghoa yang beragama Khonghucu, khususnya upacara kematian. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Solo. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan, dan telaah dokumen. Wawancara dilakukan terhadap tokoh agama Khonghucu, tokoh organisasi Khonghucu, tokoh masyarakat, pejabat di lingkungan komu-nitas setempat dan penganut agama Khonghucu yang aktif mengikuti pembi-naan. Pengamatan dilakukan terhadap aktifitas keagamaan umat Khong-hucu seperti kegiatan peribadatan dalam upacara kematian, tepat upacara dan perlengkapan upacara. Sedangkan telaah dokumen dengan menyelidiki data-data yang terdapat dalam dokumen, seperti buku atau kitab rujukan un-tuk pembinaan dan catatan-catatan penting yang terkait dengan pembinaan keagamaan.

PembAhAsAn

Eksistensi Khonghucu

Kedatangan bangsa Tionghoa di Nusantara terjadi sebelum Indonesia merdeka. Kedatangan mereka juga membawa ajaran Khonghucu. Agama Khonghucu ini masuk Indonesia bersamaan dengan kedatangan perantau Tionghoa. Pengembangannya saat itu sangat sederhana, melalui keluarga tempat kepala keluarga bertanggung jawab kehidupan sehari-hari dan bertin-dak sebagai rohaniawan yang mendidik anak-anaknya untuk mengamalkan agama Khonghucu. Agama ini berkembang di berbagai daerah di Indonesia, sampai pada pemerintahan Presiden Soekarno. Berdasarkan ketetapan Pres-iden Soekarno No.1/Pn.ps/ 1965, tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, yang didalamnya menjelaskan bahwa agama-agama yang dipeluk bangsa Indonesia sejarahnya ada enam : Islam, Kristen, Khato-lik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Pemilihan keenam agama di atas didasar-kan pada definisi agama dan syarat agama sebagaimana diusulkan oleh men-teri agama ketika itu, yaitu syarat sebagai agama minimal memiliki kitab suci, nabi, kepercayaan akan satu Tuhan dan tata cara agama serta ibadah bagi pengikutnya.( Tanggok, 2005,104)

Awal pemerintahan Presiden Soeharto, agama Khonghucu tetap tumbuh wajar. Namun setelah itu keluar Inpres 14 / 1967 yang berisi tentang pencabu-tan agama Khonghucu, sehingga hanya lima agama yang diakui di Indonesia. Secara otomatis semua aktifitas umat Khonghucu berhenti dan tradisi leluhur mereka terbelenggu. Pada tanggal 17 Januari 2000, Inpres tersebut dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid, lewat Keppres No.6 Tahun 2000, yang intinya mengakui eksistensi agama Khonghucu di Indonesia.

Awal tahun 2000 merupakan tahun keberuntungan bagi etnis Tionghoa, setelah sekian lama hak sipil mereka terpasung. Mereka bisa bergerak dengan leluasa setelah pemerintah memberikan kebebasan dalam mengaktualisasi-kan adat istiadat serta mengakui sepenuhnya akan hak-hak mereka sebagai umat Khonghucu. Mereka memperbaiki penampilan tempat peribadatan dengan pernik-pernik yang menunjukkan ciri kebudayaan Cina terutama ketika memperingati hari besar agama tersebut. Sisi positif dari kondisi ini adalah tempat-tempat ibadah tersebut bisa menjadi aset daerah sebagai tem-pat wisata rohani dan ekspresi keagamaan yang ditampilkan dalam bentuk kebudayaan Cina sehingga menambah khasanah kebudayaan di Indonesia.

Jeda waktu 33 tahun dari Inpres yang membelenggu umat Khonghucu hingga terbukanya kembali pintu kebebasan untuk mengaktualisasikan keya-kinan, mengamalkan ajaran agama serta melakukan aktifitas sosial secara leluasa, tentu saja hal tersebut menumbuhkan semangat keberagamaan dari setiap individu maupun kelompok. Semangat tersebut tentunya tidak serta merta terlaksana tanpa ada penggeraknya. Dengan demikian ada pembina

Page 49: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

204 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis Marmiat i Mawardi

dalam menggerakkan kehidupan beragama umat Khonghucu. Pembinaan tersebut bisa terjadi dari para orang tua (keluarga), bisa dari tokoh agama, maupun organisasi keagamaan dalam agama Khonghucu, terutama oleh etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa di Indonesia berjumlah lebih dari 10 juta, 95 persen ke atas sudah masuk kewarganegaraan Indonesia. Etnis Tionghoa tersebut sebagian menganut agama Konghucu ( Yuanzhi, 2005 : 45 - 46).

Dalam kepercayaan Khonghucu, sebagaimana dipaparkan dalam Tiong Yong, Bab Utama I – Agama merupakan bimbingan bagi manusia untuk me-nempuh jalan suci. Hidup di Jalan Suci berarti mengikuti Watak Sejati atau Firman Tuhan. ( Santoso, 2000)

Kepercayaan Dalam Khonghucu

Keimanan dalam hubungannya dengan nilai-nilai keagamaan yang dipe-luk menyangkut ketulusan keyakinan, pengakuan terhadap kebenaran dan kesungguhan dalam mengamalkan. Dalam agama Khonghucu, konsep iman ialah terjemah dari kata “Cheng” yang mengandung makna sempurnanya kata, batin dan perbuatan. Maka iman ialah sikap atau suasana batin yang menunjukkan kesempurnaannya, kepercayaan, keyakinan kepada TIAN Tu-han Yang Maha Esa, kepada Mu Duo atau Genta Rohani Nya serta kebenaran ajaran agama yang dibimbingkan.

Inti pengakuan iman bagi umat Khonghucu meliputi delapan (Ba Cheng Zhen Gui). Menurut Haksu / Xs. Tjhie Tjay Ing tiap umat Khonghucu wa-jib memahami, menghayati, dan mengimani dasar keimanannya yang pokok, yang tersurat di dalam Bab Utama Kitab Tengah Sempurna, Bab Utama Ajaran besar dan salam Iman yang tersurat di dalam Kitab Shu Jing.” Firman TIAN (TIAN Ming)Tuhan Yang Maha Esa, itulah dinamai Watak Sejati(Xing) Hidup mengikuti watak sejati itulah dinamai menempuh Jalan Suci (Dao). Bimbingan menempuh Jalan Suci, itulah dinamai Agama (Jio). Jalan Suci yang dibawakan Ajaran Besar (Da Xue) ialah menggemilangkan kebajikan Yang Bercahaya (Ming De), mengasihi rakyat (Qin Min), dan berhenti pada Puncak Kebaikan( hi shan).Dipermuliakanlah Hanya Kebajikan berkenan Tuhan Yang Maha Esa( Wei De Dong TIAN), Sungguh miliki yang satu itu: Kebajikan (Xian You Yi De) Shanzai”

Agama Khonghucu pada prinsipnya adalah monotheisme, agama Khon-ghucu yang aslinya disebut Ru Jiao atau agama bagi orang yang lembut hati (yang membimbing atau terpelajar) adalah bimbingan hidup karunia TIAN Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan lewat nabi dan para suci purba yang digenapkan, disempurnakan dengan ajaran Nabi Khongzi (551 SM-479 SM). Sebagai Mu Duo atau Genta Rohani TIAN maka orang-orang banyak menye-but Ru Jiao sebagai Kong Jiao atau agama Khonghucu. (Tjhie, Tjay Ing, 2004, 24-25)

Menurut kepercayaan Khonghucu, agama adalah bimbingan hidup ka-

runia Tuhan Yang Maha Esa agar manusia mampu membina diri menempuh DAO atau Jalan Suci yakni: hidup menegakkan firman Tuhan yang mewujud di dalam Watak Sejati, hakekat kemanusiaan insani. Hidup beragama berarti hidup beriman kepada Tuhan dan lurus satya melaksanakan FirmanNya ( Tjhie,Tjay Ing, 2004, 24-25)

Tiga macam pengungkapkan pengalaman keagamaan yaitu pemikiran, perbuatan, dan persekutuan (Wach, 1989,98). Sementara Koentjaraningrat melihat bahwa, kehidupan keagamaan erat hubungannya dengan masalah ke-percayaan. Sedangkan kepercayaan itu sendiri adalah suatu keyakinan terha-dap konsepsi tentang Tuhan, Dewa, sifat-sifat Tuhan, dunia roh dan akhirat serta segala nilai, norma maupun ajaran dari religi yang bersangkutan. Sistem kepercayaan erat berhubungan dengan ritus dan upacara serta menentukan tata urut dari unsur-unsur rangkaian upacara serta peralatan upacara. Sistem upacara merupakan manifestasi dari relegi. Sistem upacara meliputi ber-bagai upacara seperti berdo’a, bersujud, bersaji, berkorban, berpuasa, dan sebagainya. Tulisan ini menfokuskan pada upacara-upacara yang masuk ritus keagamaan Khonghucu.

Upacara Kematian

Upacara kematian dilakukan dengan kebaktian atau sembahyang, di-mulai dari meninggalnya seseorang sampai dengan tiga tahun masa perka-bungan. Ada tujuh bentuk upacara. Pertama, upacara Jib Bok yaitu upacara memasukkan jenazah kedalam peti. Kedua, upacara Mai Song dilaksanakan malam menjelang pemberangkatan jenazah. Ketiga, upacara Sang Cong yaitu upacara pemberangkatan jenazah. Keempat, upacara Jib Gong yaitu pemaka-man jenazah. Kelima, Peng Tuh, atau Ki Hok yaitu membalik meja. Keenam, upacara Siau Siang yaitu upacara yang dilakukan setelah satu tahun mening-gal. Ketujuh, upacara Thay Siang yaitu upacara yang dilakukan setelah tiga tahun meninggal dunia (Seri Genta Suci Konfusian,SAK.TH. XXVIII,No. 4-5)

Dalam upacara kematian ini tugas anak tertua laki-laki dalam keluarga bertanggung jawab terhadap pengurusan jenazah. Bila seseorang telah di-nyatakan meninggal dunia (ayah / ibu) maka anak tertua segera mencatat jam, hari, tanggal, bulan dan tahun terjadinya kematian. Kemudian melaku-kan thiam hio (sembahyang dengan menggunakan dupa atau hio) untuk me-laporkan kepada Tian, malaikat bumi dan roh leluhur tentang kematian tersebut dengan menyebutkan nama, umur dan waktu secara lengkap.Thiam hio (sembahyang) ditutup dengan membakar tiga lembar kertas siu kim, hal ini mengandung makna penyerahan terhadap Tian.Kemudian dilanjutkan de-ngan sembahyang di depan altar yang berada disamping jenazah. Perleng-kapan yang digunakan untuk sembahyang ini dengan menghidangkan segelas air putih, sebutir telur ayam yang sudah direbus, semangkok nasi dan dua batang hio yang batangnya berwarna merah. (Suharja, 1991: 1)

Page 50: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis

205Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Marmiat i Mawardi

dalam menggerakkan kehidupan beragama umat Khonghucu. Pembinaan tersebut bisa terjadi dari para orang tua (keluarga), bisa dari tokoh agama, maupun organisasi keagamaan dalam agama Khonghucu, terutama oleh etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa di Indonesia berjumlah lebih dari 10 juta, 95 persen ke atas sudah masuk kewarganegaraan Indonesia. Etnis Tionghoa tersebut sebagian menganut agama Konghucu ( Yuanzhi, 2005 : 45 - 46).

Dalam kepercayaan Khonghucu, sebagaimana dipaparkan dalam Tiong Yong, Bab Utama I – Agama merupakan bimbingan bagi manusia untuk me-nempuh jalan suci. Hidup di Jalan Suci berarti mengikuti Watak Sejati atau Firman Tuhan. ( Santoso, 2000)

Kepercayaan Dalam Khonghucu

Keimanan dalam hubungannya dengan nilai-nilai keagamaan yang dipe-luk menyangkut ketulusan keyakinan, pengakuan terhadap kebenaran dan kesungguhan dalam mengamalkan. Dalam agama Khonghucu, konsep iman ialah terjemah dari kata “Cheng” yang mengandung makna sempurnanya kata, batin dan perbuatan. Maka iman ialah sikap atau suasana batin yang menunjukkan kesempurnaannya, kepercayaan, keyakinan kepada TIAN Tu-han Yang Maha Esa, kepada Mu Duo atau Genta Rohani Nya serta kebenaran ajaran agama yang dibimbingkan.

Inti pengakuan iman bagi umat Khonghucu meliputi delapan (Ba Cheng Zhen Gui). Menurut Haksu / Xs. Tjhie Tjay Ing tiap umat Khonghucu wa-jib memahami, menghayati, dan mengimani dasar keimanannya yang pokok, yang tersurat di dalam Bab Utama Kitab Tengah Sempurna, Bab Utama Ajaran besar dan salam Iman yang tersurat di dalam Kitab Shu Jing.” Firman TIAN (TIAN Ming)Tuhan Yang Maha Esa, itulah dinamai Watak Sejati(Xing) Hidup mengikuti watak sejati itulah dinamai menempuh Jalan Suci (Dao). Bimbingan menempuh Jalan Suci, itulah dinamai Agama (Jio). Jalan Suci yang dibawakan Ajaran Besar (Da Xue) ialah menggemilangkan kebajikan Yang Bercahaya (Ming De), mengasihi rakyat (Qin Min), dan berhenti pada Puncak Kebaikan( hi shan).Dipermuliakanlah Hanya Kebajikan berkenan Tuhan Yang Maha Esa( Wei De Dong TIAN), Sungguh miliki yang satu itu: Kebajikan (Xian You Yi De) Shanzai”

Agama Khonghucu pada prinsipnya adalah monotheisme, agama Khon-ghucu yang aslinya disebut Ru Jiao atau agama bagi orang yang lembut hati (yang membimbing atau terpelajar) adalah bimbingan hidup karunia TIAN Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan lewat nabi dan para suci purba yang digenapkan, disempurnakan dengan ajaran Nabi Khongzi (551 SM-479 SM). Sebagai Mu Duo atau Genta Rohani TIAN maka orang-orang banyak menye-but Ru Jiao sebagai Kong Jiao atau agama Khonghucu. (Tjhie, Tjay Ing, 2004, 24-25)

Menurut kepercayaan Khonghucu, agama adalah bimbingan hidup ka-

runia Tuhan Yang Maha Esa agar manusia mampu membina diri menempuh DAO atau Jalan Suci yakni: hidup menegakkan firman Tuhan yang mewujud di dalam Watak Sejati, hakekat kemanusiaan insani. Hidup beragama berarti hidup beriman kepada Tuhan dan lurus satya melaksanakan FirmanNya ( Tjhie,Tjay Ing, 2004, 24-25)

Tiga macam pengungkapkan pengalaman keagamaan yaitu pemikiran, perbuatan, dan persekutuan (Wach, 1989,98). Sementara Koentjaraningrat melihat bahwa, kehidupan keagamaan erat hubungannya dengan masalah ke-percayaan. Sedangkan kepercayaan itu sendiri adalah suatu keyakinan terha-dap konsepsi tentang Tuhan, Dewa, sifat-sifat Tuhan, dunia roh dan akhirat serta segala nilai, norma maupun ajaran dari religi yang bersangkutan. Sistem kepercayaan erat berhubungan dengan ritus dan upacara serta menentukan tata urut dari unsur-unsur rangkaian upacara serta peralatan upacara. Sistem upacara merupakan manifestasi dari relegi. Sistem upacara meliputi ber-bagai upacara seperti berdo’a, bersujud, bersaji, berkorban, berpuasa, dan sebagainya. Tulisan ini menfokuskan pada upacara-upacara yang masuk ritus keagamaan Khonghucu.

Upacara Kematian

Upacara kematian dilakukan dengan kebaktian atau sembahyang, di-mulai dari meninggalnya seseorang sampai dengan tiga tahun masa perka-bungan. Ada tujuh bentuk upacara. Pertama, upacara Jib Bok yaitu upacara memasukkan jenazah kedalam peti. Kedua, upacara Mai Song dilaksanakan malam menjelang pemberangkatan jenazah. Ketiga, upacara Sang Cong yaitu upacara pemberangkatan jenazah. Keempat, upacara Jib Gong yaitu pemaka-man jenazah. Kelima, Peng Tuh, atau Ki Hok yaitu membalik meja. Keenam, upacara Siau Siang yaitu upacara yang dilakukan setelah satu tahun mening-gal. Ketujuh, upacara Thay Siang yaitu upacara yang dilakukan setelah tiga tahun meninggal dunia (Seri Genta Suci Konfusian,SAK.TH. XXVIII,No. 4-5)

Dalam upacara kematian ini tugas anak tertua laki-laki dalam keluarga bertanggung jawab terhadap pengurusan jenazah. Bila seseorang telah di-nyatakan meninggal dunia (ayah / ibu) maka anak tertua segera mencatat jam, hari, tanggal, bulan dan tahun terjadinya kematian. Kemudian melaku-kan thiam hio (sembahyang dengan menggunakan dupa atau hio) untuk me-laporkan kepada Tian, malaikat bumi dan roh leluhur tentang kematian tersebut dengan menyebutkan nama, umur dan waktu secara lengkap.Thiam hio (sembahyang) ditutup dengan membakar tiga lembar kertas siu kim, hal ini mengandung makna penyerahan terhadap Tian.Kemudian dilanjutkan de-ngan sembahyang di depan altar yang berada disamping jenazah. Perleng-kapan yang digunakan untuk sembahyang ini dengan menghidangkan segelas air putih, sebutir telur ayam yang sudah direbus, semangkok nasi dan dua batang hio yang batangnya berwarna merah. (Suharja, 1991: 1)

Page 51: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

206 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis Marmiat i Mawardi

Upacara kematian, bila jenazah disemayamankan di rumah duka maka pelaksanaan upacara persembahyangan adalah tanggung jawab keluarga. Jika jenazah disemayamkan di Thiong Thi maka pelaksanaan upacara dipimpin oleh rohaniawan Khonghucu. Tetapi tidak menutup kemungkinan, roha-niawan diminta memimpin upacara jenazah yang disemayamkan di rumah.

Pelayanan upacara kematian yang dilaksanakan oleh para rohaniawan berpedoman pada tata cara upacara duka dan berkabung yang telah dibaku-kan dan disusun dewan rohaniawan MATAKIN (2007). Dalam pelaksanaan, ada variasi yang disesuaikan dengan kebiasaan (tradisi) masyarakat antara lain dalam perlengkapan dan memberikan persembahan, tetapi tidak me nyimpang dari ajaran. Upacara yang dilaksanakan sebagai berikut :

1. Upacara Pra Jiep Bok

Setelah ada kepastian bahwa ayah atau ibu dan atau anak seseorang meninggal dunia, maka anak sulung dan/atau orang tuanya bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, memohon agar si mati (sebutkan nama, umur, saat menghembuskan nafas terakhir) yang telah menerima panggilan suci dari Tian semoga arwahnya dapat bersemayam kembali dalam keharib-aan Tian dalam kedamaian dan keabadian. Persembahyangan semacam ini agar keluarga yang ditinggalkan mendapat kemampuan dalam menghadapi peristiwa duka ini sehingga dapat menunaikan kuwajiban-kuwajibannya seb-agai keluarga yang berbakti.

Kemudian keluarga memindahkan jenazah dari pembaringannya ke di-pan yang khusus, lalu diberi penyekat bertirai kain. Sebuah meja kecil diletak-kan di samping jenazah, pada meja tersebut diletakkan tempat untuk menan-capkan hio (hio lo) sepasang lilin merah di kanan dan di kiri hio lo / xiang lu, semangkuk kecil nasi dan sebutir telur ayam rebus serta secangkir air, se-mangkuk air yang berisi kwa cai atau sawi yang diseduh diletakkan di muka hio lo. Setelah persembahan bakti itu siap, keluarga bersembahyang dihadap-an jenazah menyampaikan hormat dan mohon restu agar keluarga mampu melakukan kewajiban dan tidak mengecewakan dalam melakukan upacara-upacara duka dan berkabung hingga tay siang dengan sebaik-baiknya.

2. Upacara Jiep Bok /Ru Mu

Upacara jiep bok adalah upacara penyemayaman jenazah ke dalam peti mati. Maka keluarga wajib memohon restu kepada si mati untuk menyemay-amkan jasmaniahnya, dan memohon kepada Tian dengan bimbingan Nabi Khongcu agar upacara berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Menurut Js. Purwani, biasanya para orang tua (Thionghua) atau bagi mak–mak yang sudah lanjut usia dan mampu, biasanya sudah menyiapkan pakaian dan peti yang hendak di pakai ketika meninggal dunia, bahkan ada yang sudah mem-beli tanah untuk kuburan mereka jika menghendaki tidak dikremasi. Mereka membeli peti dari uangnya sendiri dan untuk membeli peti jenazah dilaku-kan pada tahun lo yaitu tahun yang terdiri dari 13 bulan dan tahun lo terjadi

setiap lima tahun sekali. Tahun lo dipercaya sebagai tahun yang baik, karena itu penjual peti pun kadang–kadang ada yang tidak mau melayani pemesanan peti jenazah selain pada tahun lo.

Setelah peti disiapkan kemudian jenazah dimandikan dengan menggu-nakan kembang dicampur arak putih, wajah hingga kaki dibasuh dan dilap dengan menggunakan handuk kecil, lalu dikenakan pakaian mati yang sudah disiapkan atau pakaian yang paling disukai dan kemudian disemayamkan ke dalam peti. Sebaiknya, sewaktu menyemayamkan anak tertua memegang ba-gian kepala dan anak-anak yang lainnya memegang tubuh dan kakinya. Ba-rang- barang yang dianggap perlu boleh disertakan ke dalam peti jenazah.

Perlengkapan yang perlu disediakan adalah dua buah meja yang diletak-kan pada ujung kaki jenazah Meja pertama dengan hio lo untuk keluarga, tersaji nasi, lauk pauk yang disukai almarhum/ah, air, bunga dan buah se-mangka. Pada meja kedua dengan hio lo untuk para sahabat tersaji beberapa jenis buah dan makanan lain. Jumlah buah genab untuk setiap jenis, kecuali semangka. (jumlah genap mengisyaratkan unsur Im /Yin, acuan Ya King / Yi Jing, Babaran Agung B. IV. 29 hal .154 & Swat Kwa II. 4 catatan hal 164). Apabila upacara dipimpin rohaniawan Khonghucu, maka posisi keluarga be-rada di belakang rohaniawan, saat do’a dipanjatkan keluarga bersimpuh (Hu Hok), usai do’a keluarga melakukan Jie Kui Pat Khau mengikuti aba-aba dari pimpinan upacara.Setelah Kiok Kiong tiga kali, keluarga membakar gin coa sebagai penutup upacara, kemudian peti ditutup.

3. Upacara Tutup Peti

Setelah peti ditutup lilin merah diganti dengan lilin putih, hio bergagang merah diganti hio bergagang hijau, persembahan bakti pada meja sembah -yang diganti dengan yang baru. Pergantian warna lilin dan gagang hio men-gisyaratkan bahwa keluarga telah memasuki masa berkabung. Maka untuk upacara tutup peti dan upacara – upacara berikutnya keluarga tidak lagi mengenakan pakaian yang mengandung warna merah hingga upacara Tai Siang dilaksanakan. Rohaniawan memandu upacara dan keluarga berdiri di belakang rohaniawan. Do’a syukur dipanjatkan atas ridlo Tian dan restu dari si mati upacara jiep bok telah dapat dilangsungkan. Mohon ridlo dan restu pula agar upacara–upacara berikutnya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Saat do’a keluarga tidak perlu Hu Hok dan tidak perlu melakukan Jie Kui Pat Khau.

4. Upacara Moy Song / Men Sang

Upacara Moy Song ialah upacara penghormatan kepada jenazah pada malam terakhir disemayamkannya di rumah duka. Pada saat itu, keluarga wajib meminta restu agar besuk pemberangkatan jenazahnya dari rumah duka ke pemakaman dapat berlangsung dengan baik. Dan mohon kepada Tian den-gan bimbingan Nabi Khongcu agar arwahnya dapat bersemayam diharibaan Tian dalam kedamaian dan keabadian (alam Sian Tian). Pelaksanaan upacara

Page 52: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis

207Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Marmiat i Mawardi

Upacara kematian, bila jenazah disemayamankan di rumah duka maka pelaksanaan upacara persembahyangan adalah tanggung jawab keluarga. Jika jenazah disemayamkan di Thiong Thi maka pelaksanaan upacara dipimpin oleh rohaniawan Khonghucu. Tetapi tidak menutup kemungkinan, roha-niawan diminta memimpin upacara jenazah yang disemayamkan di rumah.

Pelayanan upacara kematian yang dilaksanakan oleh para rohaniawan berpedoman pada tata cara upacara duka dan berkabung yang telah dibaku-kan dan disusun dewan rohaniawan MATAKIN (2007). Dalam pelaksanaan, ada variasi yang disesuaikan dengan kebiasaan (tradisi) masyarakat antara lain dalam perlengkapan dan memberikan persembahan, tetapi tidak me nyimpang dari ajaran. Upacara yang dilaksanakan sebagai berikut :

1. Upacara Pra Jiep Bok

Setelah ada kepastian bahwa ayah atau ibu dan atau anak seseorang meninggal dunia, maka anak sulung dan/atau orang tuanya bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, memohon agar si mati (sebutkan nama, umur, saat menghembuskan nafas terakhir) yang telah menerima panggilan suci dari Tian semoga arwahnya dapat bersemayam kembali dalam keharib-aan Tian dalam kedamaian dan keabadian. Persembahyangan semacam ini agar keluarga yang ditinggalkan mendapat kemampuan dalam menghadapi peristiwa duka ini sehingga dapat menunaikan kuwajiban-kuwajibannya seb-agai keluarga yang berbakti.

Kemudian keluarga memindahkan jenazah dari pembaringannya ke di-pan yang khusus, lalu diberi penyekat bertirai kain. Sebuah meja kecil diletak-kan di samping jenazah, pada meja tersebut diletakkan tempat untuk menan-capkan hio (hio lo) sepasang lilin merah di kanan dan di kiri hio lo / xiang lu, semangkuk kecil nasi dan sebutir telur ayam rebus serta secangkir air, se-mangkuk air yang berisi kwa cai atau sawi yang diseduh diletakkan di muka hio lo. Setelah persembahan bakti itu siap, keluarga bersembahyang dihadap-an jenazah menyampaikan hormat dan mohon restu agar keluarga mampu melakukan kewajiban dan tidak mengecewakan dalam melakukan upacara-upacara duka dan berkabung hingga tay siang dengan sebaik-baiknya.

2. Upacara Jiep Bok /Ru Mu

Upacara jiep bok adalah upacara penyemayaman jenazah ke dalam peti mati. Maka keluarga wajib memohon restu kepada si mati untuk menyemay-amkan jasmaniahnya, dan memohon kepada Tian dengan bimbingan Nabi Khongcu agar upacara berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Menurut Js. Purwani, biasanya para orang tua (Thionghua) atau bagi mak–mak yang sudah lanjut usia dan mampu, biasanya sudah menyiapkan pakaian dan peti yang hendak di pakai ketika meninggal dunia, bahkan ada yang sudah mem-beli tanah untuk kuburan mereka jika menghendaki tidak dikremasi. Mereka membeli peti dari uangnya sendiri dan untuk membeli peti jenazah dilaku-kan pada tahun lo yaitu tahun yang terdiri dari 13 bulan dan tahun lo terjadi

setiap lima tahun sekali. Tahun lo dipercaya sebagai tahun yang baik, karena itu penjual peti pun kadang–kadang ada yang tidak mau melayani pemesanan peti jenazah selain pada tahun lo.

Setelah peti disiapkan kemudian jenazah dimandikan dengan menggu-nakan kembang dicampur arak putih, wajah hingga kaki dibasuh dan dilap dengan menggunakan handuk kecil, lalu dikenakan pakaian mati yang sudah disiapkan atau pakaian yang paling disukai dan kemudian disemayamkan ke dalam peti. Sebaiknya, sewaktu menyemayamkan anak tertua memegang ba-gian kepala dan anak-anak yang lainnya memegang tubuh dan kakinya. Ba-rang- barang yang dianggap perlu boleh disertakan ke dalam peti jenazah.

Perlengkapan yang perlu disediakan adalah dua buah meja yang diletak-kan pada ujung kaki jenazah Meja pertama dengan hio lo untuk keluarga, tersaji nasi, lauk pauk yang disukai almarhum/ah, air, bunga dan buah se-mangka. Pada meja kedua dengan hio lo untuk para sahabat tersaji beberapa jenis buah dan makanan lain. Jumlah buah genab untuk setiap jenis, kecuali semangka. (jumlah genap mengisyaratkan unsur Im /Yin, acuan Ya King / Yi Jing, Babaran Agung B. IV. 29 hal .154 & Swat Kwa II. 4 catatan hal 164). Apabila upacara dipimpin rohaniawan Khonghucu, maka posisi keluarga be-rada di belakang rohaniawan, saat do’a dipanjatkan keluarga bersimpuh (Hu Hok), usai do’a keluarga melakukan Jie Kui Pat Khau mengikuti aba-aba dari pimpinan upacara.Setelah Kiok Kiong tiga kali, keluarga membakar gin coa sebagai penutup upacara, kemudian peti ditutup.

3. Upacara Tutup Peti

Setelah peti ditutup lilin merah diganti dengan lilin putih, hio bergagang merah diganti hio bergagang hijau, persembahan bakti pada meja sembah -yang diganti dengan yang baru. Pergantian warna lilin dan gagang hio men-gisyaratkan bahwa keluarga telah memasuki masa berkabung. Maka untuk upacara tutup peti dan upacara – upacara berikutnya keluarga tidak lagi mengenakan pakaian yang mengandung warna merah hingga upacara Tai Siang dilaksanakan. Rohaniawan memandu upacara dan keluarga berdiri di belakang rohaniawan. Do’a syukur dipanjatkan atas ridlo Tian dan restu dari si mati upacara jiep bok telah dapat dilangsungkan. Mohon ridlo dan restu pula agar upacara–upacara berikutnya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Saat do’a keluarga tidak perlu Hu Hok dan tidak perlu melakukan Jie Kui Pat Khau.

4. Upacara Moy Song / Men Sang

Upacara Moy Song ialah upacara penghormatan kepada jenazah pada malam terakhir disemayamkannya di rumah duka. Pada saat itu, keluarga wajib meminta restu agar besuk pemberangkatan jenazahnya dari rumah duka ke pemakaman dapat berlangsung dengan baik. Dan mohon kepada Tian den-gan bimbingan Nabi Khongcu agar arwahnya dapat bersemayam diharibaan Tian dalam kedamaian dan keabadian (alam Sian Tian). Pelaksanaan upacara

Page 53: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

208 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis Marmiat i Mawardi

sama dengan pelaksanaan upacara Jiep Bok.

5. Upacara Sang Cong / Sang Song

Upacara Sang Cong ialah upacara pemberangkatan atau pelepasan jenazah dari rumah duka ke tempat pemakaman. Untuk menentukan pem-berangkatan jenazah ada yang memilih hari baik, sehingga lama jenazah di-persemayamkan ada yang sampai satu minggu. Dari pengamatan di Tiong Ting Surakarta upacara pemberangkatan jenazah Liem Siao Ing, dipandu oleh rohaniawan diawali dengan menyanyikan lagu “ Bundaku’, dan dilan-jutkan khutbah dan diteruskan dengan do’a. Keluarga perlu meminta restu kembali kepada si mati agar berkenan diberangkatkan dari rumah duka dan mohon kepada Tian dengan bimbingan Nabi Khongcu agar arwah dapat ber-semayam diharibaan Tian dalam kedamaian dan keabadian. Waktu upacara keluarga berdiri di belakang pimpinan upacara dengan bersikap Hu Hok saat panjatan do’a dan melakukan Jie Kui Pat Khau. Setelah Kiok Kiong, keluarga membakar gin coa. Terakhir, sanak keluarga berjalan mengitari jenazah, jen-azah siap diberangkatkan.

Anak (sulung) diharapkan membawa hio lo dan anak berikutnya memba-wa foto si mati Di antara kerabat membawa ting dan memayungi hio lo, salah seorang kerabat lainnya mengambil semangka dari altar dan siap memban-ting semangka di depan mobil jenazah. Semua tugas-tugas tersebut dilakukan orang laki-laki. Sebelum membanting semangka, petugas mengucapkan do’a mohon agar Tian berkenan menjadikan saat keberangkatan jenazah sebagai saat terbaik dan semoga mendapat perlindungan dari-Nya, agar sampai ke tempat yang dituju dengan selamat dan upacara dapat dilaksanakan dengan baik. Pembawa hio lo dan foto, bersama dengan kerabat yang lain mendapat ucapan bela sungkawa dari tamu yang hadir dan kemudian mengambil tem-pat di sebelah pengemudi mobil jenazah, semangka dibanting dan jenazah diberangkatkan ke pemakaman.

Jika jenazah tidak di kubur, melainkan dikremasi (bagi orang yang ter-golong mampu abu jenazah akan di bawa ke Semarang) untuk dilarung atau dibuang ke laut (pantai Marina). Biasanya, keluarganya akan mengambil air laut tersebut untuk dibawa kembali ke Solo dan air laut tersebut di buang di Sungai Bengawan Solo. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah keluarga bila ingin berziarah, agar tidak usah pergi ke Semarang tetapi cukup datang ke Sngai Bengawan Solo.

6. Jiep Kong (An Cong ) / Ru Kong ( An Zang)

Ketika tiba di tempat pemakaman pembawa hio lo dan foto berjalan per-lahan-lahan di depan peti jenazah hingga ke liang lahat. Lalu membalikkan badan membelakangi liang lahat. Menunggu usainya persembahyangan ke-pada Sien Bing (Malaikat Bumi ) “Hok Tek Ceng Sin” atau Tho Sien / Tu Shen dan atau Tho Tee Kong / Tu Di Gong yang terletak di sebelah kiri liang lahat. Inti upacara ini adalah mohon izin dan persembahan yang diletakkan di atas

altar berupa dupa, air teh, dan tiga macam buah-buahan yaitu pisang, apel dan belimbing. Tetapi berdasarkan tradisi seperti di Solo ada yang meleng-kapi dengan manisan tiga macam, makanan tiga macam yaitu kue ku, wajik yang dibentuk seperti gunung, kue mangkok, ketiganya berwarna pink, selain itu ada uang – uangan yang dilipat-lipat, satu piring ikan yang belum dimasak yaitu kerang, kepiting serta daging babi dan tebu berjumlah 9 potong diyakini angka 9 angka yang baik bagi komonitas Khonghucu.

Macam-macam persembahan tersebut merupakan simbul yang memi-liki makna pengharapan agar terpenuhi permohonannya. Makanan yang disajikan adalah makanan yang disukai Sien Bing. Ada kepercayaan untuk persembahan berupa kue mangkok akan cepat sampai atau diterima apabila kue mangkok tersebut dibeli dari Semarang yaitu kue mangkok bikinan Bah Bayi di Pasar Gang Baru. Pasar ini merupakan salah satu pasar di Semarang, tempat komunitas Tionghoa berbelanja dan beraktifitas, berada di dalam wilayah lingkungan yang disebut pecinan. Lingkungan tersebut merupakan pusat perdagangan yang sebagian besar dimiliki orang Tionghoa dan tidak jauh dari situ terdapat tempat peribadatan (Klenteng) dan juga banyak Tion-ghoa yang bertempat tiggal disekitar pasar Gang Baru.

Setelah persembahyangan terhadap Sien Bing selesai hio lo dan foto dil-etakkan di muka liang lahat dan upacara pemakaman siap diaksanakan. Kelu-arga bediri dibelakang Cu Cee/Zhu Ji atau pimpinan upacara untuk mengikuti upacara. Hu Hok / Fu Fu ( kepala tidak sampai menyentuh tanah) saat do’a dipajatkan. Melakukan Jie Kui Pat Khau/Er Gui Ba Koa. Usai Kiok Giong /Ju gong membakar gin coa. Kemudian keluarga menabur tanah tiga kali lalu menabur bunga diikuti para kerabat dan para hadirin. Ketika jenazah ditu-runkan ke dalam liang lahat anak-anak si mati tidak diperkenankan melihat atau membelakangi liang lahat, hal ini dilakukan untuk menjaga jika ada anak yang tidak tega melihat dan menimbulkan hal-hal yang tidak dinginkan.

7. Ki Hok ( Balik To’)

Setelah pemakaman selesai hio lo dan foto almarhum /ah dibawa pulang, kemudian diletakkan di sebuah meja yang sebelumnya telah dipersiapkan dan selanjutnya disebut Hio Hwee / Xiang Huo (altar leluhur atau tempat meletakkan abu leluhur). Sementara itu dipasang “teng” digantung di muka pintu utama rumah. Setelah perlengkapan upacara dengan persembahan ter-tata, dimulailah sembahyang Ki Hok / Qi Fu dilaksanakan.

Keluarga menyampaikan puji syukur kehadirat Thian dengan bimbingan Nabi Khongcu yang telah berkenan meridhoi sehingga serangkaian upacara ,khususnya upacara pemakaman telah dapat dilaksanakan dengan baik. Juga mengucapkan terimakasih kepada si mati yang telah merestui keluarga se-hingga dapat menunaikan kewajiban baktinya, serta mohon restu agar kelu-arga mampu menjaga Hio Hwee dengan sebaik-baiknya. Dalam kepercayaan Khonghucu Hio Hwee harus dijaga jangan sampai apinya mati, karena jika

Page 54: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis

209Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Marmiat i Mawardi

sama dengan pelaksanaan upacara Jiep Bok.

5. Upacara Sang Cong / Sang Song

Upacara Sang Cong ialah upacara pemberangkatan atau pelepasan jenazah dari rumah duka ke tempat pemakaman. Untuk menentukan pem-berangkatan jenazah ada yang memilih hari baik, sehingga lama jenazah di-persemayamkan ada yang sampai satu minggu. Dari pengamatan di Tiong Ting Surakarta upacara pemberangkatan jenazah Liem Siao Ing, dipandu oleh rohaniawan diawali dengan menyanyikan lagu “ Bundaku’, dan dilan-jutkan khutbah dan diteruskan dengan do’a. Keluarga perlu meminta restu kembali kepada si mati agar berkenan diberangkatkan dari rumah duka dan mohon kepada Tian dengan bimbingan Nabi Khongcu agar arwah dapat ber-semayam diharibaan Tian dalam kedamaian dan keabadian. Waktu upacara keluarga berdiri di belakang pimpinan upacara dengan bersikap Hu Hok saat panjatan do’a dan melakukan Jie Kui Pat Khau. Setelah Kiok Kiong, keluarga membakar gin coa. Terakhir, sanak keluarga berjalan mengitari jenazah, jen-azah siap diberangkatkan.

Anak (sulung) diharapkan membawa hio lo dan anak berikutnya memba-wa foto si mati Di antara kerabat membawa ting dan memayungi hio lo, salah seorang kerabat lainnya mengambil semangka dari altar dan siap memban-ting semangka di depan mobil jenazah. Semua tugas-tugas tersebut dilakukan orang laki-laki. Sebelum membanting semangka, petugas mengucapkan do’a mohon agar Tian berkenan menjadikan saat keberangkatan jenazah sebagai saat terbaik dan semoga mendapat perlindungan dari-Nya, agar sampai ke tempat yang dituju dengan selamat dan upacara dapat dilaksanakan dengan baik. Pembawa hio lo dan foto, bersama dengan kerabat yang lain mendapat ucapan bela sungkawa dari tamu yang hadir dan kemudian mengambil tem-pat di sebelah pengemudi mobil jenazah, semangka dibanting dan jenazah diberangkatkan ke pemakaman.

Jika jenazah tidak di kubur, melainkan dikremasi (bagi orang yang ter-golong mampu abu jenazah akan di bawa ke Semarang) untuk dilarung atau dibuang ke laut (pantai Marina). Biasanya, keluarganya akan mengambil air laut tersebut untuk dibawa kembali ke Solo dan air laut tersebut di buang di Sungai Bengawan Solo. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah keluarga bila ingin berziarah, agar tidak usah pergi ke Semarang tetapi cukup datang ke Sngai Bengawan Solo.

6. Jiep Kong (An Cong ) / Ru Kong ( An Zang)

Ketika tiba di tempat pemakaman pembawa hio lo dan foto berjalan per-lahan-lahan di depan peti jenazah hingga ke liang lahat. Lalu membalikkan badan membelakangi liang lahat. Menunggu usainya persembahyangan ke-pada Sien Bing (Malaikat Bumi ) “Hok Tek Ceng Sin” atau Tho Sien / Tu Shen dan atau Tho Tee Kong / Tu Di Gong yang terletak di sebelah kiri liang lahat. Inti upacara ini adalah mohon izin dan persembahan yang diletakkan di atas

altar berupa dupa, air teh, dan tiga macam buah-buahan yaitu pisang, apel dan belimbing. Tetapi berdasarkan tradisi seperti di Solo ada yang meleng-kapi dengan manisan tiga macam, makanan tiga macam yaitu kue ku, wajik yang dibentuk seperti gunung, kue mangkok, ketiganya berwarna pink, selain itu ada uang – uangan yang dilipat-lipat, satu piring ikan yang belum dimasak yaitu kerang, kepiting serta daging babi dan tebu berjumlah 9 potong diyakini angka 9 angka yang baik bagi komonitas Khonghucu.

Macam-macam persembahan tersebut merupakan simbul yang memi-liki makna pengharapan agar terpenuhi permohonannya. Makanan yang disajikan adalah makanan yang disukai Sien Bing. Ada kepercayaan untuk persembahan berupa kue mangkok akan cepat sampai atau diterima apabila kue mangkok tersebut dibeli dari Semarang yaitu kue mangkok bikinan Bah Bayi di Pasar Gang Baru. Pasar ini merupakan salah satu pasar di Semarang, tempat komunitas Tionghoa berbelanja dan beraktifitas, berada di dalam wilayah lingkungan yang disebut pecinan. Lingkungan tersebut merupakan pusat perdagangan yang sebagian besar dimiliki orang Tionghoa dan tidak jauh dari situ terdapat tempat peribadatan (Klenteng) dan juga banyak Tion-ghoa yang bertempat tiggal disekitar pasar Gang Baru.

Setelah persembahyangan terhadap Sien Bing selesai hio lo dan foto dil-etakkan di muka liang lahat dan upacara pemakaman siap diaksanakan. Kelu-arga bediri dibelakang Cu Cee/Zhu Ji atau pimpinan upacara untuk mengikuti upacara. Hu Hok / Fu Fu ( kepala tidak sampai menyentuh tanah) saat do’a dipajatkan. Melakukan Jie Kui Pat Khau/Er Gui Ba Koa. Usai Kiok Giong /Ju gong membakar gin coa. Kemudian keluarga menabur tanah tiga kali lalu menabur bunga diikuti para kerabat dan para hadirin. Ketika jenazah ditu-runkan ke dalam liang lahat anak-anak si mati tidak diperkenankan melihat atau membelakangi liang lahat, hal ini dilakukan untuk menjaga jika ada anak yang tidak tega melihat dan menimbulkan hal-hal yang tidak dinginkan.

7. Ki Hok ( Balik To’)

Setelah pemakaman selesai hio lo dan foto almarhum /ah dibawa pulang, kemudian diletakkan di sebuah meja yang sebelumnya telah dipersiapkan dan selanjutnya disebut Hio Hwee / Xiang Huo (altar leluhur atau tempat meletakkan abu leluhur). Sementara itu dipasang “teng” digantung di muka pintu utama rumah. Setelah perlengkapan upacara dengan persembahan ter-tata, dimulailah sembahyang Ki Hok / Qi Fu dilaksanakan.

Keluarga menyampaikan puji syukur kehadirat Thian dengan bimbingan Nabi Khongcu yang telah berkenan meridhoi sehingga serangkaian upacara ,khususnya upacara pemakaman telah dapat dilaksanakan dengan baik. Juga mengucapkan terimakasih kepada si mati yang telah merestui keluarga se-hingga dapat menunaikan kewajiban baktinya, serta mohon restu agar kelu-arga mampu menjaga Hio Hwee dengan sebaik-baiknya. Dalam kepercayaan Khonghucu Hio Hwee harus dijaga jangan sampai apinya mati, karena jika

Page 55: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

210 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis Marmiat i Mawardi

sampai apinya mati dikhawatirkan arwah akan salah jalan atau kesasar.

Peringatan meninggalnya seseorang dilakukan menjelang hari ketiga dan ketujuh setelah pemakaman, keluarga dapat melangsungkan persem-bahan di altar leluhur. Dan pada esok paginya bisa melakukan sembahyang lagi di makam almarhum/ah. Selama pelaksanaan Coo Sha hingga Coo Ciet, keluarga menyampaikan persembahan bakti (Hau Pui) pada pagi dan sore hari. Selanjutnya upacara peringatan 49 hari dan 100 hari dilaksanakan di lingkungan keluarga.

8. Siau Siang / Xiao / Xiang

Siau Siang adalah sembahyang yang dilakukan sehari sebelum tepat se-tahun atau menjelang bulan ketiga belas hari kematian Pada malam harinya keluarga melaksanakan upacara Siau Siang, seperti halnya Cho Sha dan Cho Ciet, kemudian paginya melakukan persembahyangan di makam.

9. Thay Siang / Da Xiang

Seperti halnya Siau Siang, sehari sebelum tepat tiga tahun meninggalnya almarhum/ah pada malam harinya keluarganya melakukan upacara Thay Siang dan paginya melaksanakan upacara di makam, maka sempurnalah ke-luarga dalam menunaikan kewajiban berkabung selama 3 tahun. Pelepasan pakaian perkabungan bisa dilaksanakan di rumah usai sembahyang, ditandai dengan melekatkan pita merah di baju atau di rambut bagi perempuan, apa-bila keluarga tidak bisa ke makam.

Tata cara upacara dan perlengkapan upacara kematian dalam keluarga dari penempatan peti jenazah di dalam rumah, penempatan dupa, sajian dan do’a telah ditentukan. Penempatan peti jenazah bagi rumah yang berpintu dua dan berpintu tiga dibedakan, sesuai dengan status dalam keluarga. Untuk rumah berpintu dua, kalau yang meninggal keluarga yang masih muda atau bukan keluarga dan yang sederajat dengan itu maka peti jenazah diletakkan di pintu kanan. Apabila yang meninggal kepala keluarga atau orang tua, nenek, dan orang yang telah berusia lebih dari 50 tahun.Bagi rumah yang berpintu tiga kalau keluarga yang meninggal masih muda atau bukan keluarga dan yang sederajat maka jenazah diletakkan di pintu kanan. Apabila yang menin-ggal kepala keluarga atau orang tua atau nenek dan yang berusia lebih dari 50 tahun peti jenazah diletakkan di pintu tengah.

Dupa diletakkan pada meja sembahyang, disediakan dua buah tempat dupa (Hio Lo) untuk tamu yang diletakkan di muka dengan 2 batang dupa bergagang merah, atau 1 batang. Sedangkan untuk keluarga disediakan 2 dupa begagang hijau atau kelipatannya. Ketika berlutut bagi keluarga : 1 kali kwi dilanjutkan dengan 4 kali menundukkan kepala (Iet Kwi Su Khau) diulangi 2 kali, menjadi dua kali Kwi dan 8 kali Khau - siu (Ji Kwi Pat Khau). Bila tamu /bukan keluarga yang memberi hormat dengan Kwi dan Khau Siu, maka tuan rumah / keluarga harus menyambutnya dengan Kwi. Demikian pula boleh

dilakukan pada saat dilaksanakan pembacaan Surat Do’a /Cee -bun.

Sajian disesuaikan dengan musimnya, cukup dengan Teeliau, nasi, sayur sawi dan Ngo Koo (lima macam buah).bila akan sembahyang dengan mengi-kuti tradisi setempat boleh namun cukup sederhana seperti anjuran Nabi dalam sabdanya Tiong Yong XVIII : 3. Do’a untuk kematian ada beberapa macam ditulis pada kertas putih. Untuk membedakan do’a-do’a tersebut, masing-masing surat do’a digulung dengandiberi tanda pita yang berlainan warna. Surat do’a saat jieb-bok diberi pita warna biru, Surat do’a saat moi-song diberi pita warna biru, surat do’a saat sang-cong digunakan pita warna hitam, Surat do’a saat pemakaman / penyempurnaan digunakan pita warna putih. Surat do’a setelah itu digunakan pita warna hitam. Surat do’a saat Tai Siang digunakan pita warna merah.

Pelaksaan upacara pembacaan surat do’a secara berurutan sebelum surat do’a dibacakan lebih dahulu dinaikan dupa (8 batang), oleh pemimpin upac-ara yang didampingi oleh dua orang pembantu. Pembacaan surat do’a dapat diiringi dengan nyanyian yang sesuai dengan suara halus atau bersenandung, tidak melebihi suara pembaca surat do’a. Surat do’a dibakar setelah surat dibacakan. Kemudian penaikan dupa diiringi lagu : Wi Tik Tong Thian dan penyempurnaan surat do’a diiringi dengan lagu : Thian Poo atau Tuhan me-lindungi. Setelah dilakukan Iep kemudian dilakukan penghormatan bersama dengan membungkukkan diri 3 kali ke arah altar.

tinjAuAn Psikologis

Tatacara dalam upacara kematian orang tua mengandung nilai-nilai bu-daya dan norma yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang (anak). Budaya sebagai pandangan hidup sekelompok orang, Tylor dalam Berry, dkk (1999, 325) membatasi budaya sebagai keseluruhan kompleks yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral,hukum, adat kebiasaan dan kapa-bilitas lain serta kebiasaan apa saja yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Loner & Malpass dalam Berry dkk (1999) nilai budaya itu melibatkan keyakinan umum tentang cara bertingkah laku yang di-ingin kan dan yang tidak diinginkan dan tujuan atau keadaan akhir yang dingink-an.

Rokeach dalam Berry, dkk (1973.104), menyatakan bahwa nilai sebagai suatu keyakinan yang relatif stabil dalam perwujudannya dapat dibedakan menjadi dua katagori yaitu nilai instrumental dan nilai terminal. Nilai ins-trumental sebagai nilai moral dan nilai kompetensi. Nilai moral berkaitan dengan cara bertingkah laku, berkaitan dengan nilai yang berhubungan in-trapersonal terhdap hati nirani. Nilai kompetensi atau aktualisasi diri, adalah nilai instrumental yang fokusnya lebih bersifat pribadi dan tidak terlalu keli-hatan berkaitan dengan moralitas.

Nilai terminal merujuk ke keadaan akhir eksistensi yang sangat diingin-

Page 56: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis

211Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Marmiat i Mawardi

sampai apinya mati dikhawatirkan arwah akan salah jalan atau kesasar.

Peringatan meninggalnya seseorang dilakukan menjelang hari ketiga dan ketujuh setelah pemakaman, keluarga dapat melangsungkan persem-bahan di altar leluhur. Dan pada esok paginya bisa melakukan sembahyang lagi di makam almarhum/ah. Selama pelaksanaan Coo Sha hingga Coo Ciet, keluarga menyampaikan persembahan bakti (Hau Pui) pada pagi dan sore hari. Selanjutnya upacara peringatan 49 hari dan 100 hari dilaksanakan di lingkungan keluarga.

8. Siau Siang / Xiao / Xiang

Siau Siang adalah sembahyang yang dilakukan sehari sebelum tepat se-tahun atau menjelang bulan ketiga belas hari kematian Pada malam harinya keluarga melaksanakan upacara Siau Siang, seperti halnya Cho Sha dan Cho Ciet, kemudian paginya melakukan persembahyangan di makam.

9. Thay Siang / Da Xiang

Seperti halnya Siau Siang, sehari sebelum tepat tiga tahun meninggalnya almarhum/ah pada malam harinya keluarganya melakukan upacara Thay Siang dan paginya melaksanakan upacara di makam, maka sempurnalah ke-luarga dalam menunaikan kewajiban berkabung selama 3 tahun. Pelepasan pakaian perkabungan bisa dilaksanakan di rumah usai sembahyang, ditandai dengan melekatkan pita merah di baju atau di rambut bagi perempuan, apa-bila keluarga tidak bisa ke makam.

Tata cara upacara dan perlengkapan upacara kematian dalam keluarga dari penempatan peti jenazah di dalam rumah, penempatan dupa, sajian dan do’a telah ditentukan. Penempatan peti jenazah bagi rumah yang berpintu dua dan berpintu tiga dibedakan, sesuai dengan status dalam keluarga. Untuk rumah berpintu dua, kalau yang meninggal keluarga yang masih muda atau bukan keluarga dan yang sederajat dengan itu maka peti jenazah diletakkan di pintu kanan. Apabila yang meninggal kepala keluarga atau orang tua, nenek, dan orang yang telah berusia lebih dari 50 tahun.Bagi rumah yang berpintu tiga kalau keluarga yang meninggal masih muda atau bukan keluarga dan yang sederajat maka jenazah diletakkan di pintu kanan. Apabila yang menin-ggal kepala keluarga atau orang tua atau nenek dan yang berusia lebih dari 50 tahun peti jenazah diletakkan di pintu tengah.

Dupa diletakkan pada meja sembahyang, disediakan dua buah tempat dupa (Hio Lo) untuk tamu yang diletakkan di muka dengan 2 batang dupa bergagang merah, atau 1 batang. Sedangkan untuk keluarga disediakan 2 dupa begagang hijau atau kelipatannya. Ketika berlutut bagi keluarga : 1 kali kwi dilanjutkan dengan 4 kali menundukkan kepala (Iet Kwi Su Khau) diulangi 2 kali, menjadi dua kali Kwi dan 8 kali Khau - siu (Ji Kwi Pat Khau). Bila tamu /bukan keluarga yang memberi hormat dengan Kwi dan Khau Siu, maka tuan rumah / keluarga harus menyambutnya dengan Kwi. Demikian pula boleh

dilakukan pada saat dilaksanakan pembacaan Surat Do’a /Cee -bun.

Sajian disesuaikan dengan musimnya, cukup dengan Teeliau, nasi, sayur sawi dan Ngo Koo (lima macam buah).bila akan sembahyang dengan mengi-kuti tradisi setempat boleh namun cukup sederhana seperti anjuran Nabi dalam sabdanya Tiong Yong XVIII : 3. Do’a untuk kematian ada beberapa macam ditulis pada kertas putih. Untuk membedakan do’a-do’a tersebut, masing-masing surat do’a digulung dengandiberi tanda pita yang berlainan warna. Surat do’a saat jieb-bok diberi pita warna biru, Surat do’a saat moi-song diberi pita warna biru, surat do’a saat sang-cong digunakan pita warna hitam, Surat do’a saat pemakaman / penyempurnaan digunakan pita warna putih. Surat do’a setelah itu digunakan pita warna hitam. Surat do’a saat Tai Siang digunakan pita warna merah.

Pelaksaan upacara pembacaan surat do’a secara berurutan sebelum surat do’a dibacakan lebih dahulu dinaikan dupa (8 batang), oleh pemimpin upac-ara yang didampingi oleh dua orang pembantu. Pembacaan surat do’a dapat diiringi dengan nyanyian yang sesuai dengan suara halus atau bersenandung, tidak melebihi suara pembaca surat do’a. Surat do’a dibakar setelah surat dibacakan. Kemudian penaikan dupa diiringi lagu : Wi Tik Tong Thian dan penyempurnaan surat do’a diiringi dengan lagu : Thian Poo atau Tuhan me-lindungi. Setelah dilakukan Iep kemudian dilakukan penghormatan bersama dengan membungkukkan diri 3 kali ke arah altar.

tinjAuAn Psikologis

Tatacara dalam upacara kematian orang tua mengandung nilai-nilai bu-daya dan norma yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang (anak). Budaya sebagai pandangan hidup sekelompok orang, Tylor dalam Berry, dkk (1999, 325) membatasi budaya sebagai keseluruhan kompleks yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral,hukum, adat kebiasaan dan kapa-bilitas lain serta kebiasaan apa saja yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Loner & Malpass dalam Berry dkk (1999) nilai budaya itu melibatkan keyakinan umum tentang cara bertingkah laku yang di-ingin kan dan yang tidak diinginkan dan tujuan atau keadaan akhir yang dingink-an.

Rokeach dalam Berry, dkk (1973.104), menyatakan bahwa nilai sebagai suatu keyakinan yang relatif stabil dalam perwujudannya dapat dibedakan menjadi dua katagori yaitu nilai instrumental dan nilai terminal. Nilai ins-trumental sebagai nilai moral dan nilai kompetensi. Nilai moral berkaitan dengan cara bertingkah laku, berkaitan dengan nilai yang berhubungan in-trapersonal terhdap hati nirani. Nilai kompetensi atau aktualisasi diri, adalah nilai instrumental yang fokusnya lebih bersifat pribadi dan tidak terlalu keli-hatan berkaitan dengan moralitas.

Nilai terminal merujuk ke keadaan akhir eksistensi yang sangat diingin-

Page 57: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

212 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis Marmiat i Mawardi

kan. Aspek yang terkandung didalamnya meliputi : 1) hidup nyaman; 2) Hidup bergairah; 3) cara berprestasi; 4) dunia damai; 5) Dunia indah; 6) kesamaan (persaudaraan, kesempatan yang sama untuk semua); 7) keagamaan keluarga (merawat orang-orang yang dicintai); 8) kemerdekaan (tidak ketergantu-ngan, pilian bebas); 9) kebahagiaan; 10) harmoni batin (kebebasan dari kon-flik batin); 11) cinta dewasa (kekarban seksual dan spiritual ; 12) keamanan nasional (perlindungan ); 13) kesenangan (hidup santai dan dapat dinikmati); 14) keselamatan (hidup abadi dan terselamatkan); 15) menghargai diri; 16) pengakuan sosial; 17) persahabatan sejati; 18) kebijaksanaan (pemahaman dewasa akan kehidupan).

Hofstede dalam Bery,dkk. (1987), mengemukakan bahwa secara univer-sal dimensi-dimensi nilai budaya adalah individualism - collectivism (IC), power distanceuncer (PD), unser-tainty avois dance (UA),dan masculinity (MA). Demensi nilai individualisme mendukung anggotanya untuk otonom menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya. Dimensi nilai collec-tivism mendukung anggotanya untuk menyelaraskan tujuan kepada kelom-pok bahkan jika perlu mengorbankan diri demi menjaga harmoni kelompok. Dimensi power distance adalah derajat ketidak setaraan dalam kekuasaan (power) antara individu yang memiliki kekuasaan atau status tinggi dengan yang rendah. Unser-tainty avois dance, di mana budaya mengembangkan institusi- institusi ritual untuk menyesuaikan dengan kecemasan akibat keti-dakpastian dan samar-samar. Masculinity adalah derajad di mana budaya mendukung perbedaan gender di antara anggota-anggotanya.

Pendapat ini menurut pandangan sekelompok peneliti yang menyebut dirinya sebagai penghubung kebudayaan Cina (the Chinese Cultur connec-tions) kemungkinan studi Hofstede dicemari oleh nilai-nilai Barat. Dengan menggunakan sampel orang-orang Cina para peneliti tersebut menemukan kenyataan bahwa demensi individualism versus kolektifisme, maskulinitas versus feminitas dan jarak kekuasaan (power distance) juga berlaku pada masyarakat Cina. Mereka justru menemukan demensi nilai yang tidak ber-laku universal tetapi menjadi karakteristik budaya Cina yaitu Confution work dynamism.

Para ahli nampaknya lebih mengacu pada demensi nilai individualisme dan kolektifisme dalam penelitian-penelitian yang dilakukan. Kedua demensi tersebut diungkapkan oleh Hofstede dipandang masih bersifat global. Mi-sal-nya Cina dan Jepang dalam analisis Hofstede dikatakan sama-sama cender-ung kolektif, namun sebenarnya keduanya memiliki perbedaan. Orang-orang cina lebih berorientasi keluarga, sementara Jepang lebih berorientasi kepada tugas/kerja.

Dalam keluarga Tionghua penanaman nilai - nilai ajaran Khonghucu dan budaya melalui sosialisasi dalam keluarga. Kepala keluarga adalah pemimpin upacara dalam ibadat keluarga. Dalam agama Khonghucu keluarga adalah

Page 58: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis

213Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Marmiat i Mawardi

unsur pokok dalam pembinaan mental dan spiritual atau juga dalam mene-gakkan firman Tuhan.

Menurut ajaran agama Khonghucu kehidupan ini sebuah perjalanan pan-jang yang tidak berakhir, kelahiran adalah pintu masuk ke dunia dan kema-tian adalah pintu keluar dari dunia. Kehidupan di alam baka adalah lanjutan dari kehidupan di dunia maka semua perbuatan manusia di dunia ini akan berpengaruh kepada kehidupannya di alam baka.

Nabi Khongcu mengajarkan supaya orang hidup memperlakukan orang mati seperti orang hidup. Ungkapan ini mengandung maksud bahwa orang yang mati pernah mengalami hidup “ada pengalaman sebagai manusia yang tidak dapat dilupakan”meskipun sudah di alam lain. Dalam upacara semba-hyang kepada arwah dengan memberikan sesaji berupa makanan dan minu-man itu berarti memperlakukan arwah seperti orang hidup dan sekaligus mengenang jasa-jasanya.

Bakti kepada orang tua, sangat ditekankan dalam ajaran Khonghucu, maka membahagiakan kepada orang tua dilakukan semasa masih hidup dan sembahyang kepada arwah dan persembahan makanan sesuai kesukaannya adalah wujud dari hormat seorang anak kepada orang tuanya. Secara spikolo-gis anak tertua memikul tanggung jawab untuk merawat orang tuanya dan mengebumikan atau mengkremasi apabila orang tuanya meninggal. Dan sampai pada pengurusan jenazahpun harus selalu meminta izin kepada orang tuanya. Menurut Berry dkk (1999), penandaan tugas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan pengasuhan anak, kenyataan menciptakan per-bedaan psiklogis antara lelaki-perempuan manapun.

Budaya menghormati terhadap orang tua dalam budaya orang-orang Tionghoa tidak membedakan anak laki-laki dengan perempuan. Budaya terse-but tidak jauh berbeada dengan budaya Jawa. Fenomena yang berkembang dewasa ini budaya Orang Jawa menghormati orang yang lebih tua telah me-ngalami pergeseran. Bahkan seorang anak bisa berbuat kejam terhadap orang tuanya, seperti tega membunuh orang tuanya hanya karena tidak terpenuhi keinginannya. Hal ini sangat berbeda dengan orang-orang Tionghua, jarang sekali bahkan tidak pernah ada anak yang tega membunuh orang tuanya.

Hubungan spikologis antara anak dan orang tua dalam keluarga Thiong-hoa betul-betul terjaga. Hal ini dikarenakan restu orang tua diyakini sebagai hal yang akan membawa keberuntungan sehingga ketundukan dan kepatu-han terhadap orang tua tetap terjaga. Matsumoto (2004: 243) mengungkap-kan penelitian - penelitian lintas- budaya menunjukkan bahwa nilai-nilai pengasuhan anak turut memperkuat nilai-nilai konfornitas, ketundukan dan kepatuhan melalui proses sosialisasi. Tatacara dan tradisi dengan simbol-simbol dalam upacara kematian merupakan bentuk sosialisasi para orang tua terhadap generasi berikutnya.

Page 59: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

214 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis

Berry, Poortinga, Segall,M, Dasen,P. 1999. Psikologi Lintas –Budaya : Riset Dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Budi, Santoso, Tanuwibowo. 2000. Agama Khonghucu Dalam Perspektif Teologis, Legal, Sosio Kultural, dan Sepiritual, Semarang, Makalah Seminar

Matsumoto, D. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya, (Terj Anindito Aditomo). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Mudzhar, A. 2007. Memperkokoh Peran Institusi Kelitbangan dalam Perkembangan Kebijakan Berbasis Riset, Position Paper, Temu Pe-neliti Badan Litbang dan Diklat Depag.

Seri Genta Suci Konfusian.1984. SAK.TH.XXVIII.No 4-5. TATA Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu. MATAKIN

Tanggok, I. 2005. Mengenal lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Jakarta: Penerbit, Pelita Kebajikan.

Team Perumus (Khusus) dewan Rohaniawan. 2007. Standar Baku Tata Cara &Upacara Duka dan Berkabung. MATAKIN.

Tjhie, Tjay Ing, dalam Genta Harmoni. 2004. Solo: MATAKIN.

Wach, J. 1989, Ilmu Perbandingan Agama Inti Dan Bentuk Pengalaman Keagamaan, (Terj Damanhuri). Jakarta: Penerbit Rajawali.

Yuanzhi, Kong.2005 Silang Budaya Tiongkok Indonesia, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

DAFTAR PUSTAKA

Page 60: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tradisi Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif Psikologis

215Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

PENELITIAN

AbstrAct :This is a library research on kitab Tafsir ar-Ragib al-Aşfahani. This study

aims to draw characteristic of methodology Tafsir ar-Ragib al-Aşfahani and theological exegesis. Method of this research is factual history and eclectic (principle of skepticism). This method shows many characteristics of meth-odology of Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni and al-Aşfahani’s theological exege-sis, and inclination of al-Aşfahani toward theology of ahlusunah. However, this preference is not the main pattern of his exegesis. That characteristic of methodology divers based of time, method, form and types.

Keywords: Methology, Exegesis, Ar-Rāġib al-Aşfahāni

PendAhuluAn

Latar Belakang

Bahasa al-Qur’an memiliki karakteristik, diantaranya ia diproses melalui wahyu, adanya keistimewaan/keindahan dan unsur i’jaz dari segi sastranya dan merupakan bahasa kitab suci yang diturunkan kepada Muhammad saw., Nabi dan utusan Allah yang terakhir.

Nabi Muhammad saw. sebagai penerima wahyu dan penyampai ajaran al-Quran yang diutus oleh Allah swt., adalah yang paling mengerti isi atau maksud dari bahasa kitab suci ini. Karena itu, dalam konteks penafsiran al-Qur’an, perkataan Nabi saw. atau Hadis yang bersifat menafsirkan al-Qur’an merupakan sumber tafsir al-Qur’an. Namun demikian, sejalan dengan ber-tambahnya kompleksitas kehidupan dan kemajuan khazanah keilmuan Is-lam, penafsiran berdasarkan hadits yang berkembang lagi dengan berdasar-

KARAKTERISTIK METODOLOGIS DAN PENAFSIRAN TEOLOGIS

DALAM KITAB TAFSIR AR-RAGIB Al-ASFAhANI

Oleh Nurul huDa*1

* Nurul Huda, S.Th.I adalah calon peneliti pada Balai Litbang Agama Semarang

Page 61: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

216 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

Nurul hudaKarakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

kan periwayatan lainnya (qoul sahabat dan tabi’in) atau yang dikenal dengan tafsir bi al-ma’śūr masih memerlukan bentuk tafsir lainnya yaitu yang dike-nal dengan tafsir bi ar-ra’y atau penafsiran yang melalui jalan ijtihad (aż-Żahabi,tt.: 12-19 )

Dalam kaitan ini, al-Aşfahāni dalam tafsir ar-Rāġib yang dari sisi penaf-siran aspek bahasanya dikenal banyak dijadikan rujukan, menyatakan bahwa hal pertama yang membutuhkan penekanan dalam ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sastra/bahasa (al-Aşfahāni, 1984: 19). Ke-mampuan di bidang sastra/bahasa ini memang telah diakui banyak pihak. Al-Baydāwi meringkaskan isytiqaq (asal-usul dan hubungan makna antar kata) dari tafsir al-Aşfahāni ini (Hāji Khālifah, 1994: 197).

Dalam hal teologi terdapat komentar bahwa al-Aşfahāni beraliran Mu’tazilah, Syi’ah dan Ahlussunah. Namun mengenai kecenderungan Syi’ah-nya menurut para ahli dianggap tidak berdasar, karena hanya berupa perki-raan bukan pernyataan al-Aşfahāni sendiri atau pemikirannya secara jelas. Pokok persoalan yaitu pada penyebutan amirul mu’minin pada sahabat Ali bin Abu Talib r.a., padahal hal itu masih dianggap biasa. Khalifah lain juga disebutkan periwayatannya. Inilah yang dianggap penting. Kecenderungan ia beraliran Ahlusunah, dikatakan oleh penulis kitab al-Raudat al-Jannat. Namun menurut Farahat, secara umum dalam kaitannya dengan apakah al-Aşfahāni Mu’tazilah atau Ahlusunah perlu dilakukan penelitian atau kajian mengenai teologinya, meskipun indikasi yang lebih kuat adalah ia bermazhab Asy’ariyyah/Ahlusunah waljamaah (al-Aşfahāni, 1984: 13-16).

Karena itu, perlu diselidiki penafsiran teologisnya, apakah bercorak Mu’tazilah atau Ahlusunah, yang dalam hal ini melalui pembahasan corak penafsirannya dan karakteristik metodologis tafsirnya. Penggunaan karak-teristik metodologis penafsiran untuk membedah kecenderungan penafsiran teologisnya adalah karena teologi dikategorikan sebagai salah corak dalam metodologi penafsiran al-Qur’an.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini, 1) bagaimana karakteristik metodologis dalam kitab Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni, dan 2) penafsiran teologis al-Aşfahāni dalam kitabnya Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni?

Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan, 1) untuk mengungkap karakteristik metodolo-gis dalam kitab Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni, dan 2) penafsiran teologis al-Aşfahāni dalam kitab Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan bagi pem-inat tafsir tentang ciri khas penafsiran al-Aşfahāni dalam kitab tafsir al-Ragib al-Aşfahāni dari aspek metodologi tafsir berikut penafsiran teologisnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan dengan materi/sumber primer kitab Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni. Data dihimpun melalui metode dokumentasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan meru-pakan model penelitian historis faktual, karena yang diteliti adalah pemikir-an keislaman tokoh tafsir dalam salah satu karyanya. Analisis data dilakukan berdasarkan teori pada kajian teoritis di bagian sebelumnya dan mengguna-kan metode ekliktik (bagian dari prinsip skeptis) (Sudarto ,2002: 92-93) yang mengacu pada metode-metode historis yang digunakan pada model peneli-tian historis faktual (Bakker, 1984: 136-138, Sudarto,2002: 95-106).

Kajian Pustaka

Menurut Muhammad Kurd ‘Ali karya-karya al-Aşfahāni yang tidak sedikit jumlahnya merupakan karya yang sangat bermanfaat bagi pembacanya karena keistimewaannya dalam memadukan hukum syara’ dan hikmahnya, (penggu-naan akal dalam syariat) yang dihasilkan dari pemaknaan/penafsirannya atas kosa kata al-Qur’an. Tokoh lain yang mengomentari penafsiran al-Aşfahāni antara lain Haji Khalifah, dan as-Suyuti. Menurut as-Suyuti karya tafsir al-Aşfahāni (Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni) merupakan tafsir yang mu’tabar dan merupakan salah satu sumber pengambilan tafsir al-Baydawi. Hāji Khālifah menyatakan bahwa tafsir al-Baydāwi merupakan ringkasan dari kitab Tafsir al-Ragib al-Aşfahāni, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan isytiqāq ‘ki-asan akar/asal kata’ (Khalifah: 1996: 197).

Adapun buku yang yang membahas penafsiran al-Aşfahāni adalah buku karya Prof. Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud dalam bukunya berjudul Manhaj al-Mufassirīn, akan tetapi pembahasannya hanya secara sekilas saja ditambah dengan beberapa contoh penafsiran al-Aşfahāni.

Dalam pendahuluan tafsirnya al-Aşfahāni telah menjelaskan metodologi penafsiran berikut contoh penerapannya. Karena itu penelitian ini lebih meli-hat karakteistik metodologisnya dalam rangka mengetahui penafsiran teolo-gisnya.

Kerangka Teori

Karakteristik metodologis tafsir dalam penelitian ini ditelusuri melalui dua cara. Pertama, penelusuran dari segi historisnya dan kedua, penelusuran dari segi metodologinya. Penelusuran pertama dimaksudkan untuk mengeta-hui karakteristik metodologis tafsir yang berkaitan dengan penggunaan peri-wayatan dan ijtihad, karena yang dikaji adalah tentang narasi cara pengam-

Page 62: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

217Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Nurul hudaKarakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

kan periwayatan lainnya (qoul sahabat dan tabi’in) atau yang dikenal dengan tafsir bi al-ma’śūr masih memerlukan bentuk tafsir lainnya yaitu yang dike-nal dengan tafsir bi ar-ra’y atau penafsiran yang melalui jalan ijtihad (aż-Żahabi,tt.: 12-19 )

Dalam kaitan ini, al-Aşfahāni dalam tafsir ar-Rāġib yang dari sisi penaf-siran aspek bahasanya dikenal banyak dijadikan rujukan, menyatakan bahwa hal pertama yang membutuhkan penekanan dalam ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sastra/bahasa (al-Aşfahāni, 1984: 19). Ke-mampuan di bidang sastra/bahasa ini memang telah diakui banyak pihak. Al-Baydāwi meringkaskan isytiqaq (asal-usul dan hubungan makna antar kata) dari tafsir al-Aşfahāni ini (Hāji Khālifah, 1994: 197).

Dalam hal teologi terdapat komentar bahwa al-Aşfahāni beraliran Mu’tazilah, Syi’ah dan Ahlussunah. Namun mengenai kecenderungan Syi’ah-nya menurut para ahli dianggap tidak berdasar, karena hanya berupa perki-raan bukan pernyataan al-Aşfahāni sendiri atau pemikirannya secara jelas. Pokok persoalan yaitu pada penyebutan amirul mu’minin pada sahabat Ali bin Abu Talib r.a., padahal hal itu masih dianggap biasa. Khalifah lain juga disebutkan periwayatannya. Inilah yang dianggap penting. Kecenderungan ia beraliran Ahlusunah, dikatakan oleh penulis kitab al-Raudat al-Jannat. Namun menurut Farahat, secara umum dalam kaitannya dengan apakah al-Aşfahāni Mu’tazilah atau Ahlusunah perlu dilakukan penelitian atau kajian mengenai teologinya, meskipun indikasi yang lebih kuat adalah ia bermazhab Asy’ariyyah/Ahlusunah waljamaah (al-Aşfahāni, 1984: 13-16).

Karena itu, perlu diselidiki penafsiran teologisnya, apakah bercorak Mu’tazilah atau Ahlusunah, yang dalam hal ini melalui pembahasan corak penafsirannya dan karakteristik metodologis tafsirnya. Penggunaan karak-teristik metodologis penafsiran untuk membedah kecenderungan penafsiran teologisnya adalah karena teologi dikategorikan sebagai salah corak dalam metodologi penafsiran al-Qur’an.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini, 1) bagaimana karakteristik metodologis dalam kitab Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni, dan 2) penafsiran teologis al-Aşfahāni dalam kitabnya Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni?

Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan, 1) untuk mengungkap karakteristik metodolo-gis dalam kitab Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni, dan 2) penafsiran teologis al-Aşfahāni dalam kitab Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan bagi pem-inat tafsir tentang ciri khas penafsiran al-Aşfahāni dalam kitab tafsir al-Ragib al-Aşfahāni dari aspek metodologi tafsir berikut penafsiran teologisnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan dengan materi/sumber primer kitab Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni. Data dihimpun melalui metode dokumentasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan meru-pakan model penelitian historis faktual, karena yang diteliti adalah pemikir-an keislaman tokoh tafsir dalam salah satu karyanya. Analisis data dilakukan berdasarkan teori pada kajian teoritis di bagian sebelumnya dan mengguna-kan metode ekliktik (bagian dari prinsip skeptis) (Sudarto ,2002: 92-93) yang mengacu pada metode-metode historis yang digunakan pada model peneli-tian historis faktual (Bakker, 1984: 136-138, Sudarto,2002: 95-106).

Kajian Pustaka

Menurut Muhammad Kurd ‘Ali karya-karya al-Aşfahāni yang tidak sedikit jumlahnya merupakan karya yang sangat bermanfaat bagi pembacanya karena keistimewaannya dalam memadukan hukum syara’ dan hikmahnya, (penggu-naan akal dalam syariat) yang dihasilkan dari pemaknaan/penafsirannya atas kosa kata al-Qur’an. Tokoh lain yang mengomentari penafsiran al-Aşfahāni antara lain Haji Khalifah, dan as-Suyuti. Menurut as-Suyuti karya tafsir al-Aşfahāni (Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni) merupakan tafsir yang mu’tabar dan merupakan salah satu sumber pengambilan tafsir al-Baydawi. Hāji Khālifah menyatakan bahwa tafsir al-Baydāwi merupakan ringkasan dari kitab Tafsir al-Ragib al-Aşfahāni, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan isytiqāq ‘ki-asan akar/asal kata’ (Khalifah: 1996: 197).

Adapun buku yang yang membahas penafsiran al-Aşfahāni adalah buku karya Prof. Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud dalam bukunya berjudul Manhaj al-Mufassirīn, akan tetapi pembahasannya hanya secara sekilas saja ditambah dengan beberapa contoh penafsiran al-Aşfahāni.

Dalam pendahuluan tafsirnya al-Aşfahāni telah menjelaskan metodologi penafsiran berikut contoh penerapannya. Karena itu penelitian ini lebih meli-hat karakteistik metodologisnya dalam rangka mengetahui penafsiran teolo-gisnya.

Kerangka Teori

Karakteristik metodologis tafsir dalam penelitian ini ditelusuri melalui dua cara. Pertama, penelusuran dari segi historisnya dan kedua, penelusuran dari segi metodologinya. Penelusuran pertama dimaksudkan untuk mengeta-hui karakteristik metodologis tafsir yang berkaitan dengan penggunaan peri-wayatan dan ijtihad, karena yang dikaji adalah tentang narasi cara pengam-

Page 63: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

218 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

Nurul hudaKarakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

bilan sumber penafsirannya sehingga perlu disajikan dan diseleksi secara memadai segi-segi historis yang berkaitan. Selain itu, studi ini diproyeksikan sebagai kajian historis mengenai pemikiran atau penafsiran tokoh tafsir yang melalui pembahasan karakteristik metodologisnya. Penelusuran kedua di-fokuskan untuk menelusuri karakteristik metodologis tafsir menurut tipolog-inya. Ini diperlukan karena materi yang diteliti berkaitan pula dengan karak-teristik metodologis tafsir. Selanjutnya, dikemukakan teori tentang penafsiran teologis al-Aşfahāni dalam karya tersebut.

1. Karakteristik Metodologis Tafsir Berdasarkan Periode Perkem-bangannya.

Dari segi periode perkembangannya, tafsir dapat dikelompokkan dalam tiga periode. Pertama, periode masa Nabi dan masa sahabat. Kedua, periode masa tabi’in. Ketiga, periode masa setelah tabi’in atau sejak dimulainya kodi-fikasi berbagai ilmu sampai sekarang. Adapun ciri-ciri metodologis menurut al-Zahabi dan al-Rumi (al-Zahabi, tt: 12-19, al-Rumi, tt: 14-40) sebagai beri-kut.

a. Periode Masa Nabi saw.

Karakteristik metodologis pada periode ini adalah tidak berpanjang lebar dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan hanya menyampaikan penafsiran seperlunya apabila ada pertanyaan dari sahabat Nabi.

b. Periode Sahabat

Karakteristik metodologis penafsiran al-Qur’an periode ini adalah:

1) Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an

2) Penafsiran yang bersumber dari Hadis Nabi saw. (Nabi menjelaskan maksud suatu ayat kepada sahabat)

3) Penafsiran yang berupa ijtihad dan istinbath sahabat

4) Penafsiran dengan sumber ahlul kitab (hanya untuk ‘ibrah ‘me-ngambil faedah/pelajaran dari umat terdahulu’)

c. Periode Masa Tabi’in

Karakteristik metodologis penafsiran al-Qur’an periode ini adalah:

1) Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an

2) Penafsiran berdasarkan Hadis Nabi saw.

3) Penafsiran yang diriwayatkan dari sahabat

4) Penafsiran dengan sumberr ahlul kitab (hanya untuk ‘ibrah ‘me-ngambil faedah/pelajaran dari umat terdahulu’)

5) Adanya ijtihad

d. Periode masa setelah Tabi’in atau Sejak Dimulainya Kodifikasi Ber-bagai Ilmu (masa-masa akhir Dinasti Umayah dan masa-masa awal Di-

nasti Abasiah) sampai dengan Sekarang

Dalam periode ini tafsir diurutkan tahapannya dalam empat periode:

1) Periode Pertama

Karakteristik metodologis tafsir pada periode pertama masa setelah tabi’in adalah:

a) Ada perhatian khusus terhadap sanad

b) Pengumpulan tafsir dilakukan berdasarkan bab-bab Hadis, belum berdiri sendiri atau belum mengikuti urutan mushaf. Hal ini kare-na saat tersebut adalah masa pentadwinan/kodifikasi Hadis.

c) Meliputi tafsir yang diriwayatkan dari Nabi saw.(secara marfu’), sahabat, dan tabi’in

d) Hanya berupa tafsir bi al-ma’śūr (dengan periwayatan)

2) Periode Kedua

Karakteristik metodologis periode ini adalah:

a) Dijadikannya tafsir sebagai ilmu yang mandiri dan mengikuti tata urutan mushaf al-Quran

b) Sebagaimana periode sebelumnya (periode pertama) tafsir periode ini juga menggunakan tafsir yang diriwayatkan (ma’tsur) secara muttasil (bersambung) dari Nabi saw., sahabat dan tabi’in.

c) Tidak memperhatikan kritik dan penelitian kesahihan riwayat Hadis terhadap tafsir yang dikumpulkan sehingga menjadikan bercampurnya periwayatan Hadis yang shahih dan yang bukan shahih dalam kodifikasi tafsir tersebut

d) Meluasnya periwayatan isra’iliyat dalam tafsir

3) Periode Ketiga

Karakteristik metodologis periode ini adalah:

a) Masih berlakunya tafsir bi al-ma’śūr sebagaimana dua periode sebelumnya, tetapi mulai periode ini sanad periwayatannya di-ringkas dan mengutip penafsiran mufassir generasi sebelumnya tanpa mencantumkan mufassir tersebut.

b) Munculnya pemalsuan di dalam tafsir karena hal tersebut

c) Bercampurnya periwayatan shahih dan da’if.

4) Periode Keempat

Karakteristik metodologis penafsiran al-Qur’an periode ini adalah:

a) Tafsir bi al-ma’śūr dengan sanad periwayatan yang diringkas dan pengutipan tanpa penyebutan sumber seperti yang terjadi pada periode sebelumnya dan bercampur dengan penafsiran ‘aqli atau bi ar-ra’y.

Page 64: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

219Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Nurul hudaKarakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

bilan sumber penafsirannya sehingga perlu disajikan dan diseleksi secara memadai segi-segi historis yang berkaitan. Selain itu, studi ini diproyeksikan sebagai kajian historis mengenai pemikiran atau penafsiran tokoh tafsir yang melalui pembahasan karakteristik metodologisnya. Penelusuran kedua di-fokuskan untuk menelusuri karakteristik metodologis tafsir menurut tipolog-inya. Ini diperlukan karena materi yang diteliti berkaitan pula dengan karak-teristik metodologis tafsir. Selanjutnya, dikemukakan teori tentang penafsiran teologis al-Aşfahāni dalam karya tersebut.

1. Karakteristik Metodologis Tafsir Berdasarkan Periode Perkem-bangannya.

Dari segi periode perkembangannya, tafsir dapat dikelompokkan dalam tiga periode. Pertama, periode masa Nabi dan masa sahabat. Kedua, periode masa tabi’in. Ketiga, periode masa setelah tabi’in atau sejak dimulainya kodi-fikasi berbagai ilmu sampai sekarang. Adapun ciri-ciri metodologis menurut al-Zahabi dan al-Rumi (al-Zahabi, tt: 12-19, al-Rumi, tt: 14-40) sebagai beri-kut.

a. Periode Masa Nabi saw.

Karakteristik metodologis pada periode ini adalah tidak berpanjang lebar dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan hanya menyampaikan penafsiran seperlunya apabila ada pertanyaan dari sahabat Nabi.

b. Periode Sahabat

Karakteristik metodologis penafsiran al-Qur’an periode ini adalah:

1) Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an

2) Penafsiran yang bersumber dari Hadis Nabi saw. (Nabi menjelaskan maksud suatu ayat kepada sahabat)

3) Penafsiran yang berupa ijtihad dan istinbath sahabat

4) Penafsiran dengan sumber ahlul kitab (hanya untuk ‘ibrah ‘me-ngambil faedah/pelajaran dari umat terdahulu’)

c. Periode Masa Tabi’in

Karakteristik metodologis penafsiran al-Qur’an periode ini adalah:

1) Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an

2) Penafsiran berdasarkan Hadis Nabi saw.

3) Penafsiran yang diriwayatkan dari sahabat

4) Penafsiran dengan sumberr ahlul kitab (hanya untuk ‘ibrah ‘me-ngambil faedah/pelajaran dari umat terdahulu’)

5) Adanya ijtihad

d. Periode masa setelah Tabi’in atau Sejak Dimulainya Kodifikasi Ber-bagai Ilmu (masa-masa akhir Dinasti Umayah dan masa-masa awal Di-

nasti Abasiah) sampai dengan Sekarang

Dalam periode ini tafsir diurutkan tahapannya dalam empat periode:

1) Periode Pertama

Karakteristik metodologis tafsir pada periode pertama masa setelah tabi’in adalah:

a) Ada perhatian khusus terhadap sanad

b) Pengumpulan tafsir dilakukan berdasarkan bab-bab Hadis, belum berdiri sendiri atau belum mengikuti urutan mushaf. Hal ini kare-na saat tersebut adalah masa pentadwinan/kodifikasi Hadis.

c) Meliputi tafsir yang diriwayatkan dari Nabi saw.(secara marfu’), sahabat, dan tabi’in

d) Hanya berupa tafsir bi al-ma’śūr (dengan periwayatan)

2) Periode Kedua

Karakteristik metodologis periode ini adalah:

a) Dijadikannya tafsir sebagai ilmu yang mandiri dan mengikuti tata urutan mushaf al-Quran

b) Sebagaimana periode sebelumnya (periode pertama) tafsir periode ini juga menggunakan tafsir yang diriwayatkan (ma’tsur) secara muttasil (bersambung) dari Nabi saw., sahabat dan tabi’in.

c) Tidak memperhatikan kritik dan penelitian kesahihan riwayat Hadis terhadap tafsir yang dikumpulkan sehingga menjadikan bercampurnya periwayatan Hadis yang shahih dan yang bukan shahih dalam kodifikasi tafsir tersebut

d) Meluasnya periwayatan isra’iliyat dalam tafsir

3) Periode Ketiga

Karakteristik metodologis periode ini adalah:

a) Masih berlakunya tafsir bi al-ma’śūr sebagaimana dua periode sebelumnya, tetapi mulai periode ini sanad periwayatannya di-ringkas dan mengutip penafsiran mufassir generasi sebelumnya tanpa mencantumkan mufassir tersebut.

b) Munculnya pemalsuan di dalam tafsir karena hal tersebut

c) Bercampurnya periwayatan shahih dan da’if.

4) Periode Keempat

Karakteristik metodologis penafsiran al-Qur’an periode ini adalah:

a) Tafsir bi al-ma’śūr dengan sanad periwayatan yang diringkas dan pengutipan tanpa penyebutan sumber seperti yang terjadi pada periode sebelumnya dan bercampur dengan penafsiran ‘aqli atau bi ar-ra’y.

Page 65: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

220 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

Nurul hudaKarakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

b) Mulai munculnya tafsir bi ar-ra’y (melalui ijtihad), baik yang mażmūm (tercela) maupun yang Mahmūd (terpuji) (al-Zahabi, tt: 12-19, al-Rumi, tt: 14-40)

Dari perkembangan tafsir seperti tersebut di atas muncul dua bentuk tafsir, yaitu, 1) tafsir bi ar-ra’y yang menekankan otonomi akal dalam beri-jtihad dan 2) tafsir bi al-ma’śūr yang berbentuk periwayatan (Baidan, 1988: 6). Perkembangan dua tafsir seperti tersebut di atas, terlihat bahwa tafsir bi ar-ra’y yang dicirikan dengan ijtihad dan baru muncul pada periode akhir, pada prakteknya telah dilakukan pada periode sahabat dan tabi’in. Namun demikian, di samping karena belum dilakukan pembukuan atau pentadwi-nan tafsir pada masa sahabat dan tabi’in, tafsir dengan jalan ijtihad pada dua periode tersebut merupakan sumber tafsir bi al-ma’śūr bagi periode tabi’in dan setelahnya.

2. Karakteristik Metodologis Tafsir Berdasarkan Metode, Bentuk dan Corak

Secara metodologis ada empat jenis metode tafsir yaitu: metode ijma-li (bersifat global dan ayat per ayat secara berurutan), metode tahlīli yaitu tafsir yang bersifat analitis dan penafsiran ayat per ayat secara berurutan, meski-pun tidak pada seluruh surat dalam al-Quran, meliputi pembahasan dari ber-bagai aspek sesuai kecenderungan mufassir (ar-Rumi, tt: 57). me-tode muqārin (perbandingan), dan metode mawdu’i (tematik). Dari segi ben-tuknya tafsir meliputi tafsir bi ar-ra’y (dengan cara ijtihad) dan tafsir bi al-ma’śūr (de-ngan cara periwayatan).Dari segi coraknya tafsir meliputi: corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawuf, dan corak satra budaya kemasyarakatan. (Shihab, 1992: 72)

Lebih lanjut mengenai pembahasan karakteristik metodologis tafsir ini mengacu pada buku tentang metodologi tafsir karya Husain az-Zahabi dalam bukunya ‘ilm al-Tafsir, M Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an, Nashirudin Baidan dalam bukunya Metodologi Penafsiran al-Qur’an dan Fahd bin Sulaiman ar-Rumi dalam bukunya Buhus fi Usul al-Tafsir wa Manahijih. Dalam kitab-kitab yang disebutkan tersebut pembahasan metodo-logis dilakukan dengan cara memberikan contoh-contoh penafsiran, terma-suk dalam pembahasan corak penafsiran dari sebuah kitab tafsir. Kemudian dari pembahasan karakteristik metodologis berikut penerapannya tersebut akan dapat ditelusuri kecondongan penafsirannya di bidang teologi. Dari hal ini dan dari penjelasan pada latar belakang masalah dibangun asumsi: ada ke-cenderungan al-Aşfahāni terhadap ahlusunah dalam penafsiran teologisnya tetapi bukan sebagai corak penafsiran yang dominan dalam karyanya terse-but.

PembAhAsAn

Biografi ar-Rāġib al-Aşfahāni

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Muhammad bin al-Mufaddal Abu al-Qasim ar-Rāġib al-Aşfahāni. Dalam berbagai literatur, tidak diketahui kapan kelahirannya. Al-Aşfahāni diperkirakan wafat pada tahun 502 H/1108 M (Mahmud, 2006: 304-305).

Ia dikenal sebagai sastrawan terkemuka, ulama yang memiliki kecer-dasan intelektual, seorang faqih pilihan dan menguasai berbagai disiplin ilmu lainnya. Namun demikian yang paling terkemuka dalam reputasi ilmiahnya adalah bidang tafsir atau ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an (Mahmud, 2006: 304-305).

Berkaitan dengan reputasi ilmiah al-Aşfahāni, Al-Razi, tokoh tafsir ter-kemuka, menjelaskan bahwa al-Aşfahāni dapat disejajarkan dengan Imam al-Ġazāli (1059- 1111 M). Bahkan dikatakan bahwa al-Ġazāli banyak mengutip pendapat al-Aşfahāni dalam kitab aż-Żarī’ah-nya yang berisi tentang akhlak. (al-Aşfahāni, 1984: 17, Mahmud, 2006: 304-305)

Karya-karya al-Aşfahāni antara lain: Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni/Jami’ at-Tafāsir, Hillu Mutasyābihāt al-Qur’ān, Tahqiq al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, dan al-Mufradāt, Kitāb al-Akhlāq, Durrah at-Ta’wīl wa Ġurrah at-Tanzīl, Risālah Munabbihah ‘alā Fawāid al-Qur’ān, Tahqiq al-Alfaz al-Mutarādifah, tafsil an-Nasy’atain wa Tahsīl as-Sa’ādatain. Kebanyakan karya-karyanya yang lain, seperti aż-Żarī’ah fī Makārim asy-Syarī’ah ber-sumber dari pengkajiannya terhadap al-Qur’an (Mahmud, 2006: 304-305, al-Aşfahāni, 1984: 16-22)

Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa masa al-Aşfahāni yang wafat sekitar 1108 M adalah masa dinasti Abasiah, dan secara keilmuan dalam di-nasti ini banyak mengalami kemajuan dan banyak lahir karya di bidang ilmu pengetahuan termasuk tafsir. (Karim, 2007: 178-179)

Deskripsi Kitab

Kitab berjudul Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni yang akan dikaji dalam pe-nelitian ini berisi penafsiran Q.S. al-Fatihah sampai dengan Q.S. al-Maidah. Kitab ini telah ditahqiq dan dikumpulkan dalam satu kitab yang terdiri dari tiga bagian. Kecuali bagian pertama yang berjumlah satu juz, masing-mas-ing bagian kitab terdiri dari dua juz. Kitab ini diterbitkan oleh Universitas Tanta,(bagian pertama) cetakan Tahun 1999, Penerbit Dar al-Watan (bagian kedua, Juz 2 dan 3), Riyad cetakan tahun 2003, dan Perguruan tinggi Um-mul Qura (juz 4 dan 5), cetakan tahun 2001. Terbitan lain yang digunakan adalah Kitab Muqaddimah Jāmi’ at-Tafāsir ma’a Tafsīr Sūrah al-Fātihah wa Maţāli’ al-Baqarah (Jāmi’ at-Tafāsir adalah nama lain Tafsīr ar-Rāġib

Page 66: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

221Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Nurul hudaKarakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

b) Mulai munculnya tafsir bi ar-ra’y (melalui ijtihad), baik yang mażmūm (tercela) maupun yang Mahmūd (terpuji) (al-Zahabi, tt: 12-19, al-Rumi, tt: 14-40)

Dari perkembangan tafsir seperti tersebut di atas muncul dua bentuk tafsir, yaitu, 1) tafsir bi ar-ra’y yang menekankan otonomi akal dalam beri-jtihad dan 2) tafsir bi al-ma’śūr yang berbentuk periwayatan (Baidan, 1988: 6). Perkembangan dua tafsir seperti tersebut di atas, terlihat bahwa tafsir bi ar-ra’y yang dicirikan dengan ijtihad dan baru muncul pada periode akhir, pada prakteknya telah dilakukan pada periode sahabat dan tabi’in. Namun demikian, di samping karena belum dilakukan pembukuan atau pentadwi-nan tafsir pada masa sahabat dan tabi’in, tafsir dengan jalan ijtihad pada dua periode tersebut merupakan sumber tafsir bi al-ma’śūr bagi periode tabi’in dan setelahnya.

2. Karakteristik Metodologis Tafsir Berdasarkan Metode, Bentuk dan Corak

Secara metodologis ada empat jenis metode tafsir yaitu: metode ijma-li (bersifat global dan ayat per ayat secara berurutan), metode tahlīli yaitu tafsir yang bersifat analitis dan penafsiran ayat per ayat secara berurutan, meski-pun tidak pada seluruh surat dalam al-Quran, meliputi pembahasan dari ber-bagai aspek sesuai kecenderungan mufassir (ar-Rumi, tt: 57). me-tode muqārin (perbandingan), dan metode mawdu’i (tematik). Dari segi ben-tuknya tafsir meliputi tafsir bi ar-ra’y (dengan cara ijtihad) dan tafsir bi al-ma’śūr (de-ngan cara periwayatan).Dari segi coraknya tafsir meliputi: corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawuf, dan corak satra budaya kemasyarakatan. (Shihab, 1992: 72)

Lebih lanjut mengenai pembahasan karakteristik metodologis tafsir ini mengacu pada buku tentang metodologi tafsir karya Husain az-Zahabi dalam bukunya ‘ilm al-Tafsir, M Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an, Nashirudin Baidan dalam bukunya Metodologi Penafsiran al-Qur’an dan Fahd bin Sulaiman ar-Rumi dalam bukunya Buhus fi Usul al-Tafsir wa Manahijih. Dalam kitab-kitab yang disebutkan tersebut pembahasan metodo-logis dilakukan dengan cara memberikan contoh-contoh penafsiran, terma-suk dalam pembahasan corak penafsiran dari sebuah kitab tafsir. Kemudian dari pembahasan karakteristik metodologis berikut penerapannya tersebut akan dapat ditelusuri kecondongan penafsirannya di bidang teologi. Dari hal ini dan dari penjelasan pada latar belakang masalah dibangun asumsi: ada ke-cenderungan al-Aşfahāni terhadap ahlusunah dalam penafsiran teologisnya tetapi bukan sebagai corak penafsiran yang dominan dalam karyanya terse-but.

PembAhAsAn

Biografi ar-Rāġib al-Aşfahāni

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Muhammad bin al-Mufaddal Abu al-Qasim ar-Rāġib al-Aşfahāni. Dalam berbagai literatur, tidak diketahui kapan kelahirannya. Al-Aşfahāni diperkirakan wafat pada tahun 502 H/1108 M (Mahmud, 2006: 304-305).

Ia dikenal sebagai sastrawan terkemuka, ulama yang memiliki kecer-dasan intelektual, seorang faqih pilihan dan menguasai berbagai disiplin ilmu lainnya. Namun demikian yang paling terkemuka dalam reputasi ilmiahnya adalah bidang tafsir atau ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an (Mahmud, 2006: 304-305).

Berkaitan dengan reputasi ilmiah al-Aşfahāni, Al-Razi, tokoh tafsir ter-kemuka, menjelaskan bahwa al-Aşfahāni dapat disejajarkan dengan Imam al-Ġazāli (1059- 1111 M). Bahkan dikatakan bahwa al-Ġazāli banyak mengutip pendapat al-Aşfahāni dalam kitab aż-Żarī’ah-nya yang berisi tentang akhlak. (al-Aşfahāni, 1984: 17, Mahmud, 2006: 304-305)

Karya-karya al-Aşfahāni antara lain: Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni/Jami’ at-Tafāsir, Hillu Mutasyābihāt al-Qur’ān, Tahqiq al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, dan al-Mufradāt, Kitāb al-Akhlāq, Durrah at-Ta’wīl wa Ġurrah at-Tanzīl, Risālah Munabbihah ‘alā Fawāid al-Qur’ān, Tahqiq al-Alfaz al-Mutarādifah, tafsil an-Nasy’atain wa Tahsīl as-Sa’ādatain. Kebanyakan karya-karyanya yang lain, seperti aż-Żarī’ah fī Makārim asy-Syarī’ah ber-sumber dari pengkajiannya terhadap al-Qur’an (Mahmud, 2006: 304-305, al-Aşfahāni, 1984: 16-22)

Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa masa al-Aşfahāni yang wafat sekitar 1108 M adalah masa dinasti Abasiah, dan secara keilmuan dalam di-nasti ini banyak mengalami kemajuan dan banyak lahir karya di bidang ilmu pengetahuan termasuk tafsir. (Karim, 2007: 178-179)

Deskripsi Kitab

Kitab berjudul Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni yang akan dikaji dalam pe-nelitian ini berisi penafsiran Q.S. al-Fatihah sampai dengan Q.S. al-Maidah. Kitab ini telah ditahqiq dan dikumpulkan dalam satu kitab yang terdiri dari tiga bagian. Kecuali bagian pertama yang berjumlah satu juz, masing-mas-ing bagian kitab terdiri dari dua juz. Kitab ini diterbitkan oleh Universitas Tanta,(bagian pertama) cetakan Tahun 1999, Penerbit Dar al-Watan (bagian kedua, Juz 2 dan 3), Riyad cetakan tahun 2003, dan Perguruan tinggi Um-mul Qura (juz 4 dan 5), cetakan tahun 2001. Terbitan lain yang digunakan adalah Kitab Muqaddimah Jāmi’ at-Tafāsir ma’a Tafsīr Sūrah al-Fātihah wa Maţāli’ al-Baqarah (Jāmi’ at-Tafāsir adalah nama lain Tafsīr ar-Rāġib

Page 67: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

222 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

Nurul hudaKarakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

al-Aşfahāni) yang sudah disertai tahqiq. Kitab ini dicetak di Kuwait oleh Dar al-Da’wah tahun 1984. Isinya terdiri dari mukadimah kitab dan penafsiran Q.S al-fatihah dan sebagian surat al-Baqarah.

Kitab ini diawali dengan pendahuluan yang berisi pandangan al-Aşfahāni tentang dasar-dasar tafsir, seperti pembahasan syarat-syarat mufassir, per-bedaan tafsir dan ta’wil dan pembahasan lain yang berkenaan dengan met-odologi penafsiran.Pada bagian penafsiran kitab ini ar-Rāġib menjelaskan kandungan al-Qur’an dengan pembahasan ayat per ayat dari surat al-Fati-hah hingga akhir surat al-Maidah secara berurutan mengikuti urutan mushaf dengan penjelasan yang panjang apabila dibandingkan dengan tafsir jalalain yang singkat dan masuk kategori ijmali (global).

Karakteristik Metodologis Bentuk Penafsiran (segi periwayatan dan atau ijtihad)

Ciri khas dalam karakteristik ini adalah:

a. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an yang memiliki keterkaitan

Misalnya ketika menafsirkan Q.S al-fatihah/1:5 ar-Rāġib menghadirkan Q.S. al-Baqarah: 133, Q.S. Maryam: 93, Q.S. al-Hijr: 40, Q.S.al-Furqan: 63, dan kemudian Q.S. al-Baqarah: 256. (al-Aşfahāni, 1999 [I]: 55-57)

b. Menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis baik yang shahih maupun yang tidak shahih,

Misalnya pada penafsiran Q.S. al-Fatihah:4 ar-Rāġib menghadirkan Hadis dengan kualitas da’if tetapi pada prakteknya banyak dikenal/digunakan (al-Aşfahāni, 1999 [I]: 57). Selanjutnya dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah: 4 al-Ragib menghadirkan Hadis yang-berdasarkan tahqiq- berkualitas shahih. (al-Aşfahāni, 1984: 160)

c. Menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan sahabat dan tabi’in

Contohnya dalam menafsirkan Q.S.al-Maidah: 89 ar-Rāġib menghadir-kan qaul dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. (al-Aşfahāni, 2001 [V]: 430). Ke-mudian dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah: 138 dihadirkan penafsiran dari generasi tabi’in yaitu al-Hasan, Qatadah, dan Mujahid (al-Aşfahāni, 1999 [I]: 328-329)

d. Adanya ijtihad

Dalam pendahuluan tafsirnya al-Aşfahāni mengemukakan bahwa gagas-an tafsir al-‘aqli –secara istilah sama dengan tafsir bi ar-ra’y- dapat diterima selama mufassir memenuhi kriteria yang ditetapkan. Yaitu bahwa seorang mufassir harus menguasai/memenuhi alat-alat penafsiran yang dipersyarat-kan dan hal pertama yang dilakukan adalah menjelaskan kandungan makna al-Qur’an. Adapun alat-alat penafsiran yang harus dimiliki mufassir tersebut adalah: Ilmu bahasa, isytiqāq ‘asal-usul dan hubungan antar kata’, nahwu, pemahaman al-qira’āt ‘model bacaan al-Qur’an’, ilmu āśār/akhbār (dari

sahabat Nabi/tabi’in), pengetahuan tentang sunnah Nabi, ilmu fiqih dan zuhud/akhlaq, Ilmu Kalam dengan berpedoman dalil-dalil rasional, dan ilmu mawhibah. Yaitu ilmu yang diberikan Allah karena beramal dengan ilmunya (al-Aşfahāni, 1999 [I]: 37-40).

Penerapan bentuk bi ar-ra’y ‘ijtihad’-nya nampak dalam penafsiran wa yuqīmūn al-şalāh dalam Q.S. al-Baqarah: 3. Menurutnya penggunaan kata iqāmah merupakan bentuk peringatan bahwa maknanya tidak hanya sekedar melaksanakan tetapi harus memenuhi ketentuan dan melaksanakannya se-cara kontinyu. Dalam kaitan ini jika kalimat iqamah (baca: yuqīmūn aş-şalāh) dihubungkan dengan Hadis Nabi saw. tentang keharusan menghadapkan hati kepada Allah, maka makna ini adalah sebagai peringatan untuk menjadikan-nya sebagai bagian iqamah ‘mendirikan shalat’. )al-Aşfahāni,1999 [I]:81)

e. Tidak memperhatikan sanad

Ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah:3 , ar-Rāġib menggunakan kata qila, żahaba ba’dul muhaqqiqin, ruwiya ‘an ibn ‘abbās, ruwiya ‘an ibn mas’ūd yang menunjukkan pengutipan tanpa penyebutan sumber periwayatan (dua yang pertama) dan juga ada pemotongan dalam sanad yang hanya mencan-tumkan sahabat Nabi (dua yang terakhir). (al-Aşfahāni, 1984: 156-159).

Karakteristik Metode Penafsiran

Berdasarkan uraian pada deskripsi sistematika kitab, dan karakteristik bentuk penafsirannya maka dapat dipastikan bahwa metode penafsiran yang digunakan ar-Rāġib adalah metode analitis (tahlīli). Yaitu-seperti telah di-jelaskan sebelumnya pada kerangka teori- pembahasan ayat-ayat al-Qur’an sesuai urutan mushaf, baik sebagian surat atau seluruhnya dengan mema-parkan segala aspek yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Karakteristik Corak

Dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah: 4, yang berbicara tentang aspek te-ologi di mana mufassir seperti al-Baydāwi yang bercorak teologi menyajikan penafsiran dari berbagai aliran teologi kemudian menguatkan paham sunni-nya (al-Baydāwi, 1988: 17-20) al-Aşfahāni hanya mengupas sekilas, dan cend-erung ke pemaknaan bahasa.. Selain itu, dengan memperhatikan komentar al-Aşfahāni tentang signifikansi pemaknaan aspek bahasa, dan pandangannya dalam pendahuluan kitab serta penekanannya pada analisa aspek kebahasaan dalam penafsirannya maka dapat disimpulkan bahwa tafsirnya tersebut ber-corak sastra bahasa. Apalagi dalam teori ijtihad sebagai ciri tafsir bi ar-ra’y taqyid (pembatasan menjad bersyarat) atas yang mutlaq, tahsis (pengkhusus an) atas yang ‘am (umum), tipologi yang mujmal dengan yang mufassar dan lain-lain merupakan pembahasan yang mengharuskan penggunaan logika/kajian bahasa. (al-Aşfahāni, 1999[I]: 2-51)

Page 68: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

223Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Nurul hudaKarakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

al-Aşfahāni) yang sudah disertai tahqiq. Kitab ini dicetak di Kuwait oleh Dar al-Da’wah tahun 1984. Isinya terdiri dari mukadimah kitab dan penafsiran Q.S al-fatihah dan sebagian surat al-Baqarah.

Kitab ini diawali dengan pendahuluan yang berisi pandangan al-Aşfahāni tentang dasar-dasar tafsir, seperti pembahasan syarat-syarat mufassir, per-bedaan tafsir dan ta’wil dan pembahasan lain yang berkenaan dengan met-odologi penafsiran.Pada bagian penafsiran kitab ini ar-Rāġib menjelaskan kandungan al-Qur’an dengan pembahasan ayat per ayat dari surat al-Fati-hah hingga akhir surat al-Maidah secara berurutan mengikuti urutan mushaf dengan penjelasan yang panjang apabila dibandingkan dengan tafsir jalalain yang singkat dan masuk kategori ijmali (global).

Karakteristik Metodologis Bentuk Penafsiran (segi periwayatan dan atau ijtihad)

Ciri khas dalam karakteristik ini adalah:

a. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an yang memiliki keterkaitan

Misalnya ketika menafsirkan Q.S al-fatihah/1:5 ar-Rāġib menghadirkan Q.S. al-Baqarah: 133, Q.S. Maryam: 93, Q.S. al-Hijr: 40, Q.S.al-Furqan: 63, dan kemudian Q.S. al-Baqarah: 256. (al-Aşfahāni, 1999 [I]: 55-57)

b. Menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis baik yang shahih maupun yang tidak shahih,

Misalnya pada penafsiran Q.S. al-Fatihah:4 ar-Rāġib menghadirkan Hadis dengan kualitas da’if tetapi pada prakteknya banyak dikenal/digunakan (al-Aşfahāni, 1999 [I]: 57). Selanjutnya dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah: 4 al-Ragib menghadirkan Hadis yang-berdasarkan tahqiq- berkualitas shahih. (al-Aşfahāni, 1984: 160)

c. Menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan sahabat dan tabi’in

Contohnya dalam menafsirkan Q.S.al-Maidah: 89 ar-Rāġib menghadir-kan qaul dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. (al-Aşfahāni, 2001 [V]: 430). Ke-mudian dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah: 138 dihadirkan penafsiran dari generasi tabi’in yaitu al-Hasan, Qatadah, dan Mujahid (al-Aşfahāni, 1999 [I]: 328-329)

d. Adanya ijtihad

Dalam pendahuluan tafsirnya al-Aşfahāni mengemukakan bahwa gagas-an tafsir al-‘aqli –secara istilah sama dengan tafsir bi ar-ra’y- dapat diterima selama mufassir memenuhi kriteria yang ditetapkan. Yaitu bahwa seorang mufassir harus menguasai/memenuhi alat-alat penafsiran yang dipersyarat-kan dan hal pertama yang dilakukan adalah menjelaskan kandungan makna al-Qur’an. Adapun alat-alat penafsiran yang harus dimiliki mufassir tersebut adalah: Ilmu bahasa, isytiqāq ‘asal-usul dan hubungan antar kata’, nahwu, pemahaman al-qira’āt ‘model bacaan al-Qur’an’, ilmu āśār/akhbār (dari

sahabat Nabi/tabi’in), pengetahuan tentang sunnah Nabi, ilmu fiqih dan zuhud/akhlaq, Ilmu Kalam dengan berpedoman dalil-dalil rasional, dan ilmu mawhibah. Yaitu ilmu yang diberikan Allah karena beramal dengan ilmunya (al-Aşfahāni, 1999 [I]: 37-40).

Penerapan bentuk bi ar-ra’y ‘ijtihad’-nya nampak dalam penafsiran wa yuqīmūn al-şalāh dalam Q.S. al-Baqarah: 3. Menurutnya penggunaan kata iqāmah merupakan bentuk peringatan bahwa maknanya tidak hanya sekedar melaksanakan tetapi harus memenuhi ketentuan dan melaksanakannya se-cara kontinyu. Dalam kaitan ini jika kalimat iqamah (baca: yuqīmūn aş-şalāh) dihubungkan dengan Hadis Nabi saw. tentang keharusan menghadapkan hati kepada Allah, maka makna ini adalah sebagai peringatan untuk menjadikan-nya sebagai bagian iqamah ‘mendirikan shalat’. )al-Aşfahāni,1999 [I]:81)

e. Tidak memperhatikan sanad

Ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah:3 , ar-Rāġib menggunakan kata qila, żahaba ba’dul muhaqqiqin, ruwiya ‘an ibn ‘abbās, ruwiya ‘an ibn mas’ūd yang menunjukkan pengutipan tanpa penyebutan sumber periwayatan (dua yang pertama) dan juga ada pemotongan dalam sanad yang hanya mencan-tumkan sahabat Nabi (dua yang terakhir). (al-Aşfahāni, 1984: 156-159).

Karakteristik Metode Penafsiran

Berdasarkan uraian pada deskripsi sistematika kitab, dan karakteristik bentuk penafsirannya maka dapat dipastikan bahwa metode penafsiran yang digunakan ar-Rāġib adalah metode analitis (tahlīli). Yaitu-seperti telah di-jelaskan sebelumnya pada kerangka teori- pembahasan ayat-ayat al-Qur’an sesuai urutan mushaf, baik sebagian surat atau seluruhnya dengan mema-parkan segala aspek yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Karakteristik Corak

Dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah: 4, yang berbicara tentang aspek te-ologi di mana mufassir seperti al-Baydāwi yang bercorak teologi menyajikan penafsiran dari berbagai aliran teologi kemudian menguatkan paham sunni-nya (al-Baydāwi, 1988: 17-20) al-Aşfahāni hanya mengupas sekilas, dan cend-erung ke pemaknaan bahasa.. Selain itu, dengan memperhatikan komentar al-Aşfahāni tentang signifikansi pemaknaan aspek bahasa, dan pandangannya dalam pendahuluan kitab serta penekanannya pada analisa aspek kebahasaan dalam penafsirannya maka dapat disimpulkan bahwa tafsirnya tersebut ber-corak sastra bahasa. Apalagi dalam teori ijtihad sebagai ciri tafsir bi ar-ra’y taqyid (pembatasan menjad bersyarat) atas yang mutlaq, tahsis (pengkhusus an) atas yang ‘am (umum), tipologi yang mujmal dengan yang mufassar dan lain-lain merupakan pembahasan yang mengharuskan penggunaan logika/kajian bahasa. (al-Aşfahāni, 1999[I]: 2-51)

Page 69: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

224 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

Nurul hudaKarakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

Lebih jelasnya, dapat dilihat umpamanya dalam penafsirannya pada Q.S. Alfatihah. Dalam penafsirannya al-Aşfahāni selalu menguraikan ragam makna, hubungan antar kata dalam segi makna yang relevan, pembatasan, tipologi, dan pendefinisian arti istilah suatu kata, dan aspek nahwu atau i’rabnya.(al-Aşfahāni, 1999[I]: 52-69 dan selanjutnya)

Penafsiran Teologis al-Aşfahāni

Dalam bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa corak sastra bahasa mendominasi penafsiran al-Aşfahāni baik dalam pembahasan syariah, aqidah maupun lainnya, dengan tidak melupakan aspek periwayatan dalam tafsir bi ar-ra’y-nya meskipun periwayatannya tidak menyebutkan sanad secara leng-kap bahkan sering tanpa penyebutan jalur sanad sama sekali.

Dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah: 279, al-Aşfahāni menyatakan se-cara tegas penentangannya terhadap pendapat Mu’tazilah dan apa yang di-katakan oleh al-Jubā’i dan Abū Hāsyim bahwa gangguan setan tidak akan berpengaruh terhadap manusia kecuali dengan waswasah (godaan hati) dan itu pun hanya terjadi pada orang yang lemah hati/stress dan sedikit beriba-dah. Atas hal ini al-Aşfahāni pertama-tama menanggapi dengan kalimat fa naqulu ‘maka kami berkata’. Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan bahwa apa yang menjadi pendapat mereka itu tidak dapat dibenarkan menu-rut syari’at. Dalam penafsiran ini, diawali dengan analisa bahasa dan den-gan menghadirkan ayat al-Qur’an lainnya yang berkaitan, hadis nabi, dan apa yang diceritakan dari Nabi Ayub dan Nabi Musa, al-Aşfahāni menyatakan bahwa pendapat kelompok Mu’tazilah justru bertentangan dengan syari’at. Menurut al-Aşfahāni –dengan menyebutkan Hadis Nabi saw. - ada dua ben-tuk ganguan setan: melalui hati dengan target agar yang diganggu berkehen-dak sesuai keinginan setan dan yang kedua setan masuk melalui aliran darah. (al-Aşfahāni, 2003 [II] : 579-580)

Dari contoh ini nampak bahwa ada kalimat al-Aşfahāni sendiri yang menunjukkan penentangannya terhadap mu’tazilah dan menunjukkan ke-berpihakannya terhadap Ahlusunah. Bahkan pada kalimat penyimpulan al-Aşfahāni menyampaikannya secara induktif:

“…anggapan Mu’tazilah tentang jauhnya kemungkinan berpengaruhnya gangguan setan (terhadap manusia), semata-mata karena pandangan me-reka yang keluar dari batasan umum/orang kebanyakan dalam menjalankan yang diwajibkan oleh syari’at yang telah menetapkan batasan umum tersebut, kepicikan dalam penggambaran mereka, dan rusaknya metode mereka dalam me-nemukan berbagai kebenaran/hakikat dalam syari’at sesuai dengan ke-enaran/hakikat yang ditemukan oleh para ahli hikmah yang disifati oleh Allah dengan firman-Nya(al-Aşfahāni, 1999: 580): Dia memberi hikmah (kemam-

Page 70: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

225Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Nurul hudaKarakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

puan untuk memahami rahasia-rahasia syariat agama) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak …”, (Departemen Agama RI, 2002: 46)

Jika dihubungkan dengan bagian sebelum poin ini, nampak dengan jelas adanya kecenderungan al-Aşfahāni terhadap teologi ahlusunah dalam penaf-siran teologisnya tetapi bukan sebagai corak penafsiran yang dominan dalam karya tafsirnya yang berjudul Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni.

PenutuP

Berdasarkan penelitian ini disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Dari penelaahan tentang karakteristik metodologis tafsir al-Aşfahāni dalam kitab Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni terungkap bahwa: a) Karakeristik Bentuk Penafsiran (segi periwayatan dan atau ijtihad)-nya adalah: menaf-sirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an yang memiliki keterkaitan, menafsir-kan al-Qur’an dengan Hadis baik yang shahih maupun yang tidak shahih, menafsirkan al-Qur’an dengan qoul sahabat dan tabi’in, adanya ijtihad, dan, tidak memperhatikan sanad; b) karakeristik coraknya adalah adan-ya kecenderungan pada corak sastra bahasa; dan c) karakteristik metode penafsirannya adalah metode penafsiran analitis (tahlīli).

2. Dari studi penafsiran teologis dalam kitab tafsir al-Aşfahāni tersebut ter-ungkap bahwa ada kecenderungan al-Aşfahāni terhadap teologi Ahlusu-nah dalam penafsiran teologisnya tetapi bukan sebagai corak penafsiran yang dominan dalam karyanya yang berjudul Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni tersebut.

Page 71: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

226 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

Al-Baydāwi, Abdullah bin ‘Umar. 1988. Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Aż-Żahabi, Husain. tt. ilm at-Tafsir. Mesir: Dar al-Ma’arif.

Al-Aşfahāni, al-Rāgib Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin Mufad-dal. 1999. Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni, pentahqiq: Muhammad Abd al-Azīz Basūni, ttp: Universitas Tanta.

__________. 2003. Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni, Pentahqiq: Adil bin Ali, Riyad: Dar al-Watan.

__________. 2001. Tafsīr ar-Rāġib al-Aşfahāni, Pentahqiq: Hindun bin Muhammad bin Zahid. ttp: Ummul Qura.

__________. 1984. Jami’ at-Tafasir, Pentahqiq: Ahmad Hasan Farahat. Kuwait: Dar ad-Da’wah.

Ar-Rumi, Fahd bin Abd ar-Rahman bin Sulaiman. tt. Buhus fi Usul at-Tafsir wa Manahijuh. Riyad: Maktabah at-Taubah.

Baidan, Nashruddin, 1998. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bakker, Anton. 1984. Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Departemen Agama RI. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnua

Harahap, Syahrin. 2000. Metodologi Studi Penelitian Ilmu-Ilmu Ushulud-din. Jakarta: Rajawali Pers.

Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogya-karta: Pustaka Book Publisher.

Khālifah, Hāji. 1996. Kasyf az-Zunun ‘an Asami al-Kutub wa al-Funun. Bei-rut: Maktabah Wahbah.

Rippin, Andrew 1986. “Baydāwi”, The Encyclopaedia of Religion. New York: Mac Millan Publishing Company.

Shihab, Quraish. 1992. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Penerbit Mizan.

DAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKA

Page 72: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Karakteristik Metodologis dan Tafsir Teologis Al-Asfahani dalam Kitab Tafsir Ar-Raqib Al-Asfahani

227Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

PENELITIAN

AbstrAct :Islamic faith should be taught to communities since early ages. This

aims for filtering them from the deviate ideology. One of the ways is teaching classic books. This studies local book entitled Niyat Ingsun Ngaji written by KH.Badawi Hanafi. This uses an intertekstual method with other books such as Nur al-Zalam written by Syekh Nawawi Al-Bantani, Rawihat al-Aqwam written by KH.Bisri Mustafa, and Aqidah al-Awam written by Sayid Ahmad al-Marzuqi. Content of the book is analyzed using critical discourse analysis. It is to know transformation of value, interpretation, and response of kyai and santri. Finding of the research illustrates that Islamic transformation is limited in knowledge transformation. There is difference explanation of God’s character and Prophet’s character given by KH.Badawi Hanafi, Syekh Nawawi al-Bantani and KH.Bisri Mustafa. Interpretation of kyai and santri toward content of the book Niyat Ingsun Ngaji is relatively the same as the predecessor. Their response is more likely an introspective meaning which tends to enhance inner faith.

Keywords: classic book, transformation, Faith, interpretation, respond

PendAhuluAn

Agenda penting pemerintah dalam bidang agama adalah peningkatan kualitas kehidupan beragama. Untuk melaksanakan agenda tersebut, semua kebijakan pemerintah diarahkan pada peningkatan kualitas pelayanan, pemahaman agama dan kehidupan beragama, serta peningkatan kerukunan intern dan antarumat beragama. Arah kebijakan pemerintah tersebut tentu

TRANSFORMASI NILAI KEISLAMAN MELALUI KITAB LOKAL

(Kajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi

Hanafi)

Oleh r. arIs hIDayaT*1

* Drs. R. Aris Hidayat, M.Pd adalah Peneliti Bidang Lektur Keagamaan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Page 73: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

228 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

r. ar is hidayat

Secara umum, kitab-kitab yang dipelajari di pondok pesantren adalah kitab komentar (syarah) atau komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn, matan) (Bruinessen, 1995:141). Bruinessen (1995) menyebutkan kitab-kitab tauhid yang umumnya di ajarkan adalah: (1) Untuk tingkat Aliyah; kitab Umm al-Barahin, Dasuqi, (2) Untuk tingkat Tsanawiyah; kitab Sanusi, Tijan al-Durari, Nur al-Zhulam, Jauharat al-Tauhid, Tuhfat al-Murid, Fath al-Majid, Jawahir al-Kalamiyah, Husn al-Hamidiyah, Aqidah al-Islamiyah.

Selain itu, berdasarkan penelusuran awal yang dilakukan peneliti diketahui terdapat beberapa judul kitab tauhid lain yang diajarkan di pondok pesantren salaf meliputi; Syarah Kifayat al-‘Awam, Syarah Nur al-Zalam, Syarah Qomi’ al-Thughyan, Khoridati al-Bahiyyah, Syarah Qotru al-Ghois, Fajru al-Shodiq, dan lainnya. Selain itu, terdapat pula kitab Aqidah al-Awwam yang diajarkan untuk Tsanawiyah/Ibtidaiyah, dan Kifayat al-Awam diajarkan untuk tingkat Tsanawiyah/Aliyah (Bruinessen, 1995). Kitab-kitab tersebut di atas merupakan beberapa bahan ajar yang digunakan di pondok pesantren.

Pembelajaran kitab-kitab klasik, khususnya kitab tauhid, di pondok pesantren merupakan salah satu upaya untuk melestarikan pemikiran ulama klasik dan mendidik calon ulama dengan paham Islam tradisional (Dhofier, 1995). Amir Faishol (2001) dalam penelitiannya sebagaimana dikutip oleh Zubaidi (2007) menuturkan bahwa di pesantren Nurul Islam, yang menjadi sasaran penelitiannya, ada anggapan bahwa keilmuan klasik adalah ilmu keislaman utama yang tidak dapat disejajarkan dengan ilmu hasil karya ulama sesudahnya. Kandungan dari kitab klasik tersebut mempunyai kebenaran mutlak dan telah membentuk pola amalan-ibadah dan akhlak pada komunitas di pesantren tersebut (Zubaidi, 2007: 27).

Kitab klasik di pondok pesantren salaf, mempunyai peran penting bagi kalangan akademik di lingkungan pendidikan pesantren. Kitab tauhid adalah salah satu materi yang sangat penting karena bahasan mengenai tauhid ini berkaitan dengan keimanan. Keimanan yang dimaksud adalah keimanan kepada Tuhan, malaikat, nabi/rasul, kitab suci, dan lainnya. Dalam konteks ini interpretasi kyai terhadap isi kitab tauhid, juga merupakan elemen penting yang akan melandasi mereka dalam bersikap dan berinteraksi dengan dunia di luar pondok pesantren, seperti bagaimana mereka bersikap terhadap orang lain nonkelompoknya dan nonIslam. Kemudian, bagaimana pemahaman ataupun respon santri terhadap isi kitab juga penting untuk dilihat karena hal ini akan mempengaruhi mereka dalam bertindak dan bersikap dalam kehidupannya. Berdasarkan pemikiran di atas maka penelitian terhadap kitab tauhid, dalam hal ini kitab Niyat Ingsun Ngaji dan interpretasi kyai, serta respon santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji perlu dilakukan.

Latar belakang masalah di atas, memberikan gambaran bahwa ada masalah

berdasarkan masalah-masalah yang muncul di tengah masyarakat.

Salah satu masalah lama di bidang agama yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan dengan baik yakni munculnya berbagai paham atau pemikiran dan gerakan dalam masyarakat bernuansa keagamaan yang berbeda dari “mainstream”, di antaranya kelompok Komunitas Eden dengan pemimpinnya Lia Aminudin, Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, Jemaat Ahmadiyah dan lainnya.

Kelompok-kelompok ini mempunyai keyakinan yang oleh penganut paham “mainstream” dianggap “menyimpang” dari Islam secara umum. Dugaan penyimpangan yang dilakukan kelompok-kelompok itu di antaranya mengakui pemimpin mereka sebagai Nabi atau Rasul, misalnya Lia Aminudin mengaku dirinya adalah Rasul pembawa ajaran bagi kelompoknya, Ahmad Musadeq pemimpin Al-Qiyadah Al-Islamiyah juga mengaku dirinya adalah Rasul pembawa ajaran kebenaran atau disebut juga dengan al-Masih al Mau’ud. Sementara Jemaat Ahmadiyah juga mengakui pemimpin mereka yakni Mirza Ghulam Ahmad sebagai Rasul. Selain itu, di dalam kelompok-kelompok tersebut terdapat ajaran-ajaran yang berbeda dengan doktrin Islam yang telah mapan.

Fenomena munculnya kelompok-kelompok keagamaan dengan keyakinan yang berbeda dari Islam secara umum itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Hal itu merupakan suatu kenyataan yang harus disikapi dengan arif dan bijaksana, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Ada banyak alasan yang bisa menjadi penyebab tumbuhnya kelompok tersebut. Salah satu penyebabnya adalah kurang mantapnya pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan agama mereka.

Melihat fakta tersebut di atas, penting kiranya mengkaji masalah perbedaan pendapat itu dari perspektif kitab-kitab tauhid yang diajarkan di pondok pesantren salaf. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa kitab-kitab tauhid yang diajarkan di pondok pesantren salaf merupakan rujukan pokok masyarakat untuk menentukan suatu paham itu dinyatakan menyimpang atau tidak. Dengan kata lain isi kitab-kitab tauhid yang diajarkan di pondok pesantren menjadi barometer masyarakat untuk mengetahui apakah ada penyimpangan atau tidak dan juga untuk mengukur tingkat penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan yang ada.

Dalam konteks ini fungsi dan peran kitab tauhid di pondok pesantren di Indonesia menjadi sangat strategis karena kitab tauhid ini merupakan sumber rujukan utama di pondok pesantren, selain al-Qur’an dan Hadis, dalam menentukan suatu paham atau ajaran itu ‘menyimpang’ atau tidak. Kitab tauhid ini di pondok pesantren dan masyarakat tidak hanya untuk diketahui tetapi lebih jauh dari itu untuk dipedomani dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Page 74: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

229Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

r. ar is hidayat

Secara umum, kitab-kitab yang dipelajari di pondok pesantren adalah kitab komentar (syarah) atau komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn, matan) (Bruinessen, 1995:141). Bruinessen (1995) menyebutkan kitab-kitab tauhid yang umumnya di ajarkan adalah: (1) Untuk tingkat Aliyah; kitab Umm al-Barahin, Dasuqi, (2) Untuk tingkat Tsanawiyah; kitab Sanusi, Tijan al-Durari, Nur al-Zhulam, Jauharat al-Tauhid, Tuhfat al-Murid, Fath al-Majid, Jawahir al-Kalamiyah, Husn al-Hamidiyah, Aqidah al-Islamiyah.

Selain itu, berdasarkan penelusuran awal yang dilakukan peneliti diketahui terdapat beberapa judul kitab tauhid lain yang diajarkan di pondok pesantren salaf meliputi; Syarah Kifayat al-‘Awam, Syarah Nur al-Zalam, Syarah Qomi’ al-Thughyan, Khoridati al-Bahiyyah, Syarah Qotru al-Ghois, Fajru al-Shodiq, dan lainnya. Selain itu, terdapat pula kitab Aqidah al-Awwam yang diajarkan untuk Tsanawiyah/Ibtidaiyah, dan Kifayat al-Awam diajarkan untuk tingkat Tsanawiyah/Aliyah (Bruinessen, 1995). Kitab-kitab tersebut di atas merupakan beberapa bahan ajar yang digunakan di pondok pesantren.

Pembelajaran kitab-kitab klasik, khususnya kitab tauhid, di pondok pesantren merupakan salah satu upaya untuk melestarikan pemikiran ulama klasik dan mendidik calon ulama dengan paham Islam tradisional (Dhofier, 1995). Amir Faishol (2001) dalam penelitiannya sebagaimana dikutip oleh Zubaidi (2007) menuturkan bahwa di pesantren Nurul Islam, yang menjadi sasaran penelitiannya, ada anggapan bahwa keilmuan klasik adalah ilmu keislaman utama yang tidak dapat disejajarkan dengan ilmu hasil karya ulama sesudahnya. Kandungan dari kitab klasik tersebut mempunyai kebenaran mutlak dan telah membentuk pola amalan-ibadah dan akhlak pada komunitas di pesantren tersebut (Zubaidi, 2007: 27).

Kitab klasik di pondok pesantren salaf, mempunyai peran penting bagi kalangan akademik di lingkungan pendidikan pesantren. Kitab tauhid adalah salah satu materi yang sangat penting karena bahasan mengenai tauhid ini berkaitan dengan keimanan. Keimanan yang dimaksud adalah keimanan kepada Tuhan, malaikat, nabi/rasul, kitab suci, dan lainnya. Dalam konteks ini interpretasi kyai terhadap isi kitab tauhid, juga merupakan elemen penting yang akan melandasi mereka dalam bersikap dan berinteraksi dengan dunia di luar pondok pesantren, seperti bagaimana mereka bersikap terhadap orang lain nonkelompoknya dan nonIslam. Kemudian, bagaimana pemahaman ataupun respon santri terhadap isi kitab juga penting untuk dilihat karena hal ini akan mempengaruhi mereka dalam bertindak dan bersikap dalam kehidupannya. Berdasarkan pemikiran di atas maka penelitian terhadap kitab tauhid, dalam hal ini kitab Niyat Ingsun Ngaji dan interpretasi kyai, serta respon santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji perlu dilakukan.

Latar belakang masalah di atas, memberikan gambaran bahwa ada masalah

berdasarkan masalah-masalah yang muncul di tengah masyarakat.

Salah satu masalah lama di bidang agama yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan dengan baik yakni munculnya berbagai paham atau pemikiran dan gerakan dalam masyarakat bernuansa keagamaan yang berbeda dari “mainstream”, di antaranya kelompok Komunitas Eden dengan pemimpinnya Lia Aminudin, Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, Jemaat Ahmadiyah dan lainnya.

Kelompok-kelompok ini mempunyai keyakinan yang oleh penganut paham “mainstream” dianggap “menyimpang” dari Islam secara umum. Dugaan penyimpangan yang dilakukan kelompok-kelompok itu di antaranya mengakui pemimpin mereka sebagai Nabi atau Rasul, misalnya Lia Aminudin mengaku dirinya adalah Rasul pembawa ajaran bagi kelompoknya, Ahmad Musadeq pemimpin Al-Qiyadah Al-Islamiyah juga mengaku dirinya adalah Rasul pembawa ajaran kebenaran atau disebut juga dengan al-Masih al Mau’ud. Sementara Jemaat Ahmadiyah juga mengakui pemimpin mereka yakni Mirza Ghulam Ahmad sebagai Rasul. Selain itu, di dalam kelompok-kelompok tersebut terdapat ajaran-ajaran yang berbeda dengan doktrin Islam yang telah mapan.

Fenomena munculnya kelompok-kelompok keagamaan dengan keyakinan yang berbeda dari Islam secara umum itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Hal itu merupakan suatu kenyataan yang harus disikapi dengan arif dan bijaksana, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Ada banyak alasan yang bisa menjadi penyebab tumbuhnya kelompok tersebut. Salah satu penyebabnya adalah kurang mantapnya pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan agama mereka.

Melihat fakta tersebut di atas, penting kiranya mengkaji masalah perbedaan pendapat itu dari perspektif kitab-kitab tauhid yang diajarkan di pondok pesantren salaf. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa kitab-kitab tauhid yang diajarkan di pondok pesantren salaf merupakan rujukan pokok masyarakat untuk menentukan suatu paham itu dinyatakan menyimpang atau tidak. Dengan kata lain isi kitab-kitab tauhid yang diajarkan di pondok pesantren menjadi barometer masyarakat untuk mengetahui apakah ada penyimpangan atau tidak dan juga untuk mengukur tingkat penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan yang ada.

Dalam konteks ini fungsi dan peran kitab tauhid di pondok pesantren di Indonesia menjadi sangat strategis karena kitab tauhid ini merupakan sumber rujukan utama di pondok pesantren, selain al-Qur’an dan Hadis, dalam menentukan suatu paham atau ajaran itu ‘menyimpang’ atau tidak. Kitab tauhid ini di pondok pesantren dan masyarakat tidak hanya untuk diketahui tetapi lebih jauh dari itu untuk dipedomani dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Page 75: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

230 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

r. ar is hidayat

penting yang perlu dilakukan penelitian yakni bagaimana kalangan pondok pesantren mentransformasikan nilai-nilai keislaman dari ulama terdahulu yang dituangkan dalam kitab-kitab klasik kepada generasi sekarang. Dalam konteks ini persoalan penting yang diungkap dalam penelitian ini meliputi 1) Apa isi kitab Niyat Ingsun Ngaji yang diajarkan di Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin Cilacap? 2) Bagaimana interpretasi kyai dan santri Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin Cilacap terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji? 3) Bagaimana respon kyai dan santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji?.

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui isi kitab Niyat Ingsun Ngaji yang diajarkan di Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin Cilacap, 2) Untuk mengetahui interpretasi kyai dan santri Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin Cilacap terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji, dan 3) Untuk mengetahui respon kyai dan santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji.

Sasaran penelitian ini adalah kitab tauhid berjudul Niyat Ingsun Ngaji karya KH. Badawi Hanafi. Kitab ini diajarkan di pondok pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin, Cilacap, Jawa Tengah. Lokus penelitian ini pondok pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa kitab Niyat Ingsun Ngaji karya KH. Badawi Hanafi hanya diajarkan di pondok pesantren ini. Selain itu, pengajaran yang dilakukan sangat khas, mengajarkan kitab lokal berbahasa Jawa berjudul Niyat Ingsun Ngaji. Pengkajian terhadap pengajaran kedua kitab ini penting dilakukan dalam kaitannya dengan upaya memilah dan memilih materi yang tepat diberikan kepada para santri. Tujuan lebih lanjut dari kegiatan ini adalah untuk membentengi para santri dan masyarakat dari pengaruh kelompok-kelompok keagamaan yang menyebarkan paham yang dinilai ‘menyimpang’.

Untuk membekali santri dengan akidah yang kuat dan menangkal pengaruh berbagai paham atau ajaran yang dianggap ‘menyimpang’ maka di berbagai pondok pesantren di Cilacap, termasuk Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin, diajarkan kitab-kitab tauhid, khususnya kitab Niyat Ingsun Ngaji. Pengajaran itu merupakan wujud transformasi nilai-nilai keislaman oleh kalangan pondok pesantren kepada masyarakat, khususnya para santri. Selain itu, transformasi nilai keislaman dapat dilihat melalui penafsiran dan respon Kyai dan santri terhadap isi kitab itu, perlu dilakukan.

Kerangka Analisis

Analisis terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji dilakukan berdasarkan pendekatan Analisis Isi (Content Analysis) dan Analisis Wacana (Critical Discourse) Norman Fairclough. Metode yang digunakan meliputi metode intertekstual dan Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis). Kerangka analisis penelitian ini mengikuti kerangka analisis Norman

Page 76: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

231Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

r. ar is hidayat

Fairclough sebagai berikut:

temuAn PenelitiAn

Profil dan Pembelajaran di Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin

1. Profil Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin1

Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin berlokasi di Desa Kesugihan Kidul, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.2 Pondok pesantren ini berdiri pada tanggal 24 November 1925 M/1344 H. Pendiri pondok pesantren ini adalah KH. Badawi Hanafi.

Pada awalnya, Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin hanya berupa musala kecil milik ayah KH. Badawi Hanafi bernama KH. Fadil.3 Pondok pesantren ini dahulu dikenal dengan nama Pondok Pesantren Kesugihan, kemudian pada tahun 1961 pondok pesantren ini berubah nama menjadi Pendidikan dan Pengajaran Agama Islam (PPAI). Selanjutnya, pada tahun 1983 namanya berubah lagi menjadi Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin hingga sekarang. Pemberian nama Al-Ihya ‘Ulumaddin merupakan wujud penghargaan putra KH. Badawi Hanafi yang bernama KH. Mustolih Badawi kepada ayahnya yang merupakan pengagum Imam Al-Ghazali yang mempunyai karya monumental berupa kitab Ihya ‘Ulumuddin.

1. Disarikan dari buku “Agenda Santri PP Al-Ihya Ulumaddin Kesugihan I Cilacap Tahun 2008” dan hasil wawancara dengan beberapa informan di PP. Al-Ihya Ulumaddin

2. Sebagian masyarakat setempat menyebut wilayah Kesugihan sebagai “Kota Santri” kare-na di daerah ini terdapat pondok pesantren yang cukup banyak.

3. Musala tersebut di kalangan masyarakat setempat disebut “Langgar Dhuwur” karena musala atau langgar tersebut memang dibangun berbentuk panggung sehingga tempatnya ter-lihat tinggi (Jw. dhuwur).

Page 77: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

232 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

r. ar is hidayat

pagi hari. Kurikulum yang digunakan adalah Kurikulum Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), dan Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan Nasional).

Mata pelajaran yang dipelajari santri di Madrasah Islamiyah Nahdlatuthulab Sore (MINATS) Putra dan Putri seluruhnya adalah kitab-kitab klasik Islam pada bidang akidah/akhlak, fikih, nahwu, sharaf, tasawuf, dan lainnya. Jenis mata pelajaran secara lengkap yang dipelajari santri di Madrasah Islamiyah Nahdlatuthulab Sore Putra yaitu Tauhid, Fikih, Tajwid, Nahwu, Sharaf, I’lal, I’rab, Ilmu Hadis, Ilmu Tafsir, Ushul Fikih, Qawa’idul Fiqiyah, Mantiq, dan Balaghah. Mata pelajaran bidang Tauhid kelas 1 yaitu Niyat Ingsun Ngaji, kelas 2 Jawahir al-Kalamiyah, kelas 3 Kifayat al-Awam, kelas 4, 5, dan 6 adalah kitab Ad-Dasuqi. Mata pelajaran bidang Fikih kelas 1 Al-Mabadi’ Fiqhiyah, kelas 2 Taqrib, kelas 3 Fath al-Qarib, kelas 4, 5, dan 6 kitab Tahrir. Mata pelajaran bidang Tajwid pada kelas 1 Hidayat al-Sibyan, kelas 2 Hidayat al-Mustafid, kelas 3 sampai kelas 6 tidak ada. Mata pelajaran bidang Nahwu kelas 1 Al-Jurumiyah, kelas 2 Nadzam Imrithi, kelas 3 Mutamimah al-Jurumiyah, kelas 4, 5, dan 6 adalah kitab Alfiyah Ibn Malik.

Mata pelajaran bidang Sharaf kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 Al-Amtsilat Tasrifiyah, tetapi kelas 3 ditambah Nadzam Al-Maqsud, sedangkan untuk kelas 4, 5, dan 6, tidak ada mata pelajarannya. Mata pelajaran bidang I’lal hanya diberikan di kelas 2 yaitu kitab Athoidul Jalal dan Qawa’idush Sharaf. Mata pelajaran bidang I’rab hanya diberikan di kelas 3 yaitu kitab Qawa’idul I’rab. Mata pelajaran bidang Ilmu Hadis hanya diberikan di kelas 3 yaitu Hiya ‘Alanijah dan kelas 4 Minhat al-Mughits. Mata pelajaran Ilmu Tafsir diberikan di kelas 4, 5, dan 6 yaitu Madzrif al-Basyir. Mata pelajaran Ushul Fikih diberikan di kelas 5 yaitu Al-Waraqat dan kelas 6 Atho’if al-Isharah. Mata pelajaran bidang Qawa’id al-Fiqh diberikan di kelas 4, 5, 6, yaitu kitab Faraid al-Bahiyah. Mata pelajaran bidang Mantiq diberikan di kelas 4, 5, 6, yaitu kitab Idhahul Mabhum. Mata pelajaran bidang Balaghah diberikan di kelas 4, 5, dan 5, yaitu kitab Jauhar Maknun.

Ustadz yang mengajar di Madrasah Islamiyah Nahdlatuthulab Sore (MINATS) Putra pada tahun pelajaran 2009/2010 sebanyak 27 orang. Kitab-kitab yang dipelajari dalam pengajian sorogan oleh santri putra meliputi kitab Safinah al-Najah, Qatr al-Ghois, Durar al-Bahiyah, Tijan al-Daruri, Sulam Munajat, Bajuri Sanusiyah, Bidayah al-Hidayat, Sulam Taufiq, Taqrib, Ta’lim Muta’alim, dan Fath al-Qarib. Adapun untuk santri putri ada sedikit perbedaan mengenai kitab yang dipelajari, jumlahnya lebih sedikit. Nama-nama kitab yang dipelajari santri putri meliputi kitab Safinah al-Najah, Qatr al-Ghois, Tijan al-Durar, Sulam Munajat, Durar al-Bahiyah, Sulam Taufiq, Taqrib, dan Ta’lim al-Muta’alim. Kitab-kitab itu harus dikuasai santri melalui sistem sorogan, yaitu mengajukan diri kepada guru atau ustadz untuk diuji mengenai penguasaan materi itu.

Lokasi Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin secara geografis , berada di tepi sungai Serayu sekitar 20 kilometer dari pusat kota Cilacap. Masyarakat di daerah ini bermatapencaharian sebagai petani, nelayan, pedagang, wiraswasta, dan pegawai negeri/swasta. Santri pesantren ini selain dari Cilacap dan sekitarnya, juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Lampung, Kalimantan Barat, bahkan ada yang dari Malaysia.

2. Pembelajaran di Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin

Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin merupakan pondok pesantren tua yang berciri salafiyah. Meskipun demikian, pondok pesantren ini juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal dan nonformal. Lembaga pendidikan formal berada di bawah Yayasan Badan Amal Kesejahteraan Ittihadul Islamiyah disingkat Ya BAKII. Kegiatan pembelajarannya menggunakan kurikulum Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Lembaga pendidikan formal yang didirikan meliputi Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Perguruan Tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan itu tersebar di wilayah Kecamatan Kesugihan dan sekitarnya.

Lembaga pendidikan formal berupa Taman Kanak-kanak (TK) berjumlah enam buah, Madrasah Ibtidaiyah (MI) berjumlah enam belas buah, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak enam buah, dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) berjumlah enam buah. Adapun lembaga pendidikan formal tingkat lanjutan atas berupa Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 2 buah, Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 4 buah, dan sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Selain itu, PP Al-Ihya Ulumaddin juga mengelola perguruan tinggi yaitu Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG). Peguruan tinggi ini terdapat di empat lokasi di Kesugihan, Sidareja, Majenang, dan Kroya.

Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin juga menyelenggarakan pendidikan nonformal berupa madrasah diniyah dengan nama Madrasah Islamiyah Nahdlatuthulab Sore (MINATS). Madrasah ini terdiri atas MINATS Putra dan MINATS Putri. Lama belajar di madrasah ini yaitu enam tahun, yaitu kelas 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Adapun anak yang bisa masuk di madrasah ini terdiri atas anak yang berusia MTs/SMP dan MA/SMA. Pembagian kelas berdasarkan awal masuk santri, santri yang masuk pada usia MTs maka ditempatkan di kelas B, sedangkan santri yang masuk pada usia MA maka ditempatkan di kelas A. Pelajaran pada tahun pertama, kedua, dan ketiga, kitab yang dipelajari santri kelas B berbeda dengan santri kelas A, tetapi pada tahun keempat, kelima, dan keenam, kitab yang dikaji sama. Waktu belajar pada sore hari sejak pukul 14.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB.

Santri yang mengikuti Madrasah Islamiyah Nahdlatuthulab Sore, baik putra maupun putri adalah siwa sekolah atau madrasah yang belajar pada

Page 78: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

233Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

r. ar is hidayat

pagi hari. Kurikulum yang digunakan adalah Kurikulum Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), dan Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan Nasional).

Mata pelajaran yang dipelajari santri di Madrasah Islamiyah Nahdlatuthulab Sore (MINATS) Putra dan Putri seluruhnya adalah kitab-kitab klasik Islam pada bidang akidah/akhlak, fikih, nahwu, sharaf, tasawuf, dan lainnya. Jenis mata pelajaran secara lengkap yang dipelajari santri di Madrasah Islamiyah Nahdlatuthulab Sore Putra yaitu Tauhid, Fikih, Tajwid, Nahwu, Sharaf, I’lal, I’rab, Ilmu Hadis, Ilmu Tafsir, Ushul Fikih, Qawa’idul Fiqiyah, Mantiq, dan Balaghah. Mata pelajaran bidang Tauhid kelas 1 yaitu Niyat Ingsun Ngaji, kelas 2 Jawahir al-Kalamiyah, kelas 3 Kifayat al-Awam, kelas 4, 5, dan 6 adalah kitab Ad-Dasuqi. Mata pelajaran bidang Fikih kelas 1 Al-Mabadi’ Fiqhiyah, kelas 2 Taqrib, kelas 3 Fath al-Qarib, kelas 4, 5, dan 6 kitab Tahrir. Mata pelajaran bidang Tajwid pada kelas 1 Hidayat al-Sibyan, kelas 2 Hidayat al-Mustafid, kelas 3 sampai kelas 6 tidak ada. Mata pelajaran bidang Nahwu kelas 1 Al-Jurumiyah, kelas 2 Nadzam Imrithi, kelas 3 Mutamimah al-Jurumiyah, kelas 4, 5, dan 6 adalah kitab Alfiyah Ibn Malik.

Mata pelajaran bidang Sharaf kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 Al-Amtsilat Tasrifiyah, tetapi kelas 3 ditambah Nadzam Al-Maqsud, sedangkan untuk kelas 4, 5, dan 6, tidak ada mata pelajarannya. Mata pelajaran bidang I’lal hanya diberikan di kelas 2 yaitu kitab Athoidul Jalal dan Qawa’idush Sharaf. Mata pelajaran bidang I’rab hanya diberikan di kelas 3 yaitu kitab Qawa’idul I’rab. Mata pelajaran bidang Ilmu Hadis hanya diberikan di kelas 3 yaitu Hiya ‘Alanijah dan kelas 4 Minhat al-Mughits. Mata pelajaran Ilmu Tafsir diberikan di kelas 4, 5, dan 6 yaitu Madzrif al-Basyir. Mata pelajaran Ushul Fikih diberikan di kelas 5 yaitu Al-Waraqat dan kelas 6 Atho’if al-Isharah. Mata pelajaran bidang Qawa’id al-Fiqh diberikan di kelas 4, 5, 6, yaitu kitab Faraid al-Bahiyah. Mata pelajaran bidang Mantiq diberikan di kelas 4, 5, 6, yaitu kitab Idhahul Mabhum. Mata pelajaran bidang Balaghah diberikan di kelas 4, 5, dan 5, yaitu kitab Jauhar Maknun.

Ustadz yang mengajar di Madrasah Islamiyah Nahdlatuthulab Sore (MINATS) Putra pada tahun pelajaran 2009/2010 sebanyak 27 orang. Kitab-kitab yang dipelajari dalam pengajian sorogan oleh santri putra meliputi kitab Safinah al-Najah, Qatr al-Ghois, Durar al-Bahiyah, Tijan al-Daruri, Sulam Munajat, Bajuri Sanusiyah, Bidayah al-Hidayat, Sulam Taufiq, Taqrib, Ta’lim Muta’alim, dan Fath al-Qarib. Adapun untuk santri putri ada sedikit perbedaan mengenai kitab yang dipelajari, jumlahnya lebih sedikit. Nama-nama kitab yang dipelajari santri putri meliputi kitab Safinah al-Najah, Qatr al-Ghois, Tijan al-Durar, Sulam Munajat, Durar al-Bahiyah, Sulam Taufiq, Taqrib, dan Ta’lim al-Muta’alim. Kitab-kitab itu harus dikuasai santri melalui sistem sorogan, yaitu mengajukan diri kepada guru atau ustadz untuk diuji mengenai penguasaan materi itu.

Lokasi Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin secara geografis , berada di tepi sungai Serayu sekitar 20 kilometer dari pusat kota Cilacap. Masyarakat di daerah ini bermatapencaharian sebagai petani, nelayan, pedagang, wiraswasta, dan pegawai negeri/swasta. Santri pesantren ini selain dari Cilacap dan sekitarnya, juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Lampung, Kalimantan Barat, bahkan ada yang dari Malaysia.

2. Pembelajaran di Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin

Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin merupakan pondok pesantren tua yang berciri salafiyah. Meskipun demikian, pondok pesantren ini juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal dan nonformal. Lembaga pendidikan formal berada di bawah Yayasan Badan Amal Kesejahteraan Ittihadul Islamiyah disingkat Ya BAKII. Kegiatan pembelajarannya menggunakan kurikulum Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Lembaga pendidikan formal yang didirikan meliputi Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Perguruan Tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan itu tersebar di wilayah Kecamatan Kesugihan dan sekitarnya.

Lembaga pendidikan formal berupa Taman Kanak-kanak (TK) berjumlah enam buah, Madrasah Ibtidaiyah (MI) berjumlah enam belas buah, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak enam buah, dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) berjumlah enam buah. Adapun lembaga pendidikan formal tingkat lanjutan atas berupa Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 2 buah, Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 4 buah, dan sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Selain itu, PP Al-Ihya Ulumaddin juga mengelola perguruan tinggi yaitu Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG). Peguruan tinggi ini terdapat di empat lokasi di Kesugihan, Sidareja, Majenang, dan Kroya.

Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin juga menyelenggarakan pendidikan nonformal berupa madrasah diniyah dengan nama Madrasah Islamiyah Nahdlatuthulab Sore (MINATS). Madrasah ini terdiri atas MINATS Putra dan MINATS Putri. Lama belajar di madrasah ini yaitu enam tahun, yaitu kelas 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Adapun anak yang bisa masuk di madrasah ini terdiri atas anak yang berusia MTs/SMP dan MA/SMA. Pembagian kelas berdasarkan awal masuk santri, santri yang masuk pada usia MTs maka ditempatkan di kelas B, sedangkan santri yang masuk pada usia MA maka ditempatkan di kelas A. Pelajaran pada tahun pertama, kedua, dan ketiga, kitab yang dipelajari santri kelas B berbeda dengan santri kelas A, tetapi pada tahun keempat, kelima, dan keenam, kitab yang dikaji sama. Waktu belajar pada sore hari sejak pukul 14.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB.

Santri yang mengikuti Madrasah Islamiyah Nahdlatuthulab Sore, baik putra maupun putri adalah siwa sekolah atau madrasah yang belajar pada

Page 79: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

234 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

r. ar is hidayat

Analisis secara intertekstual pada kitab Niyat Ingsun Ngaji dan kitab Rawihat al-Aqwam dibandingkan dengan isi kitab Nur al-Zalam sebagai syarah kitab Aqidah al-Awam, diperoleh temuan bahwa penyebutan sifat muhal atau sifat mustahil Allah dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji dan kitab Rawihat al-Aqwam ada perbedaan. Berdasarkan analisis atas isi kedua kitab itu dapat diketahui bahwa perbedaan lebih banyak terdapat pada kitab Niyat Ingsun Ngaji dibandingkan dengan kitab Rawihat al-Aqwam. Perbedaannya tidak bersifat substantif tetapi lebih bersifat teknis kebahasaan, misalnya ‘fana’ (Nur al-Zalam) dan ‘thuruwul ‘adam’ (Niyat Ingsun Ngaji), ‘ihtiyaju ila muhali au muhditsin’ (Nur al-Zalam) dan ‘anla yakuna qaiman binafsihi’ (Niyat Ingsun Ngaji), ‘ta’adud’ (Nur al-Zalam) dan ‘anla yakuna wahidan’ (Niyat Ingsun Ngaji), ‘ikrahu’ (Nur al-Zalam) dan ‘‘adamul iradah’ (Niyat Ingsun Ngaji), ‘kaunuhu mukrahan’ (Nur al-Zalam) dan ‘ghoiru muridin’ (Niyat Ingsun Ngaji). Pengarang kitab Niyat Ingsun Ngaji yakni KH. Badawi Hanafi tidak menyebutkan sumber rujukannya, sedangkan KH. Bisri Mustafa di dalam kitab Rawihat al-Aqwam jelas menyebutkan bahwa kitab ini merupakan terjemahan dan syarah dari kitab Aqidah al-Awam. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa adanya perbedaan itu karena KH. Badawi Hanafi tidak menyebutkan sumber rujukannya. Diduga KH. Badawi Hanafi mengambil rujukan dari kitab-kitab tauhid lainnya, misalnya kitab Um al-Baraghin karena ada kesamaan pada keduanya.

Di sisi lain, ditemukan fakta bahwa penyebutan sifat-sifat muhal Allah di dalam kitab Rawihat al-Aqwam hampir seluruhnya sama dengan penyebutan di dalam kitab Nur al-Zalam. Perbedaan yang ada tidak begitu prinsip, misalnya ‘ikrahu’ (Nur al-Zalam) dan ‘karohah’ (Rawihat al-Aqwam), ‘kaunuhu mukrahan’ (Nur al-Zalam) dan ‘Kaunuhu karihan’ (Rawihat al-Aqwam). ‘ihtiyaju ila muhali au muhditsin’ (Nur al-Zalam) dan ‘ihtiyajuhu lighoirihi’ (Rawihat al-Aqwam). Fakta ini menegaskan pernyataan KH. Bisri Mustafa di dalam kitab Rawihat al-Aqwam bahwa sumber rujukan penulisan kitab Rawihat al-Aqwam adalah kitab Aqidah al-Awam, yang penjelasannya ada di dalam kitab Nur al-Zalam oleh Syekh Nawawi. Selain itu, penyebutan sifat-sifat wajib Allah di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji dan kitab Rawihat al-Aqwam ternyata juga sama. Berdasarkan kesamaan itu dapat diduga bahwa sumber rujukan yang digunakan oleh penulis kitab Niyat Ingsun Ngaji (KH. Badawi Hanafi) adalah kitab Aqidah al-Awam, meskipun bukan satu-satunya.

Di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji, KH. Badawi Hanafi menguraikan sifat jaiz Allah menjadi empat cabang. Keempat cabang itu berasal dari satu sifat jaiz Allah yaitu “fi’lu wa tarku” artinya Allah berhak untuk membuat atau tidak membuat. Empat cabang sifat jaiz Allah meliputi: 1) ‘adam ta’tsir bil quwat, 2) ‘adam ta’tsir bi tab’i, 3) hudutsul ’alam bi asrihi, 4) yaf’alul ashya’a li ghordzin. Satu sifat jaiz dan empat cabang sifat jaiz Allah itu juga memiliki sifat muhal sebagai kebalikannya, yaitu: 1) wujubul fi’li watsarki, 2) ta’tsir

Kegiatan di Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin meliputi kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Kegiatan pokok berupa: 1) pengajian al-Qur’an meliputi pengajian Juz ‘Amma bil Ghoib, pengajian al-Qur’an bil Nadzor, dan pengajian al-Qur’an bil Ghoib, 2) pengajian Sorogan, 3) pengajian Bandungan meliputi pengajian Bandungan Klasikal, pengajian Bandungan Fakultatif. Pesantren ini juga menyelenggarakan kegiatan penunjang berupa: 1) Tahlil, 2) Pengajian Selasan, 3) Rotiban, 4) Semaan al-Qur’an, 5) Pembacaan Salawat al-Barzanji, 6) Khitobah, 7) Takror Malam, 8) Muhafadzah meliputi muhafadzah kompleks, muhafadzah massal, 9) Takhasus Santri Baru, 10) Ziarah Kubur meliputi Ziarah ke makam keluarga pondok pesantren, dan Ziarah Walisongo.

Selain kegiatan pokok dan kegiatan penunjang, pondok pesantren ini juga menyelenggarakan kegiatan pengembangan berupa: 1) Madrasah Islamiyah Nahdlatut Thulab (MINAT) Sore, 2) Pengembangan Kepribadian berupa organisasi yaitu Ikatan Keluarga Santri Al-Ihya ‘Ulumaddin (IKSA), Himpunan Santri Pecinta Seni Hadrah al-Ihya (HISAPSEHADA), Pencak Silat, Persatuan Sepak Bola Al-Ihya (PERSEPPA), 3) Pengembangan Ketrampilan berupa Pelatihan Pertukangan dan Bangunan, Pelatihan Menjahit dan Bordir, Perbengkelan/ Montir. Di samping itu, pesantren juga memfasilitasi pengembangan individu santri dengan memberikan fasilitas berupa: 1) Perpustakaan Dar al-Hikmah, 2) Laboratorium Komputer, 3) Laboratorium Bahasa, 4) Gedung Balai Latihan Kerja Santri (BLKS). Pesantren Al-Ihya Ulumaddin memiliki struktur kepengurusan yang memisahkan antara struktur pengurus putra dan putri.

Analisis Isi Teks: Kajian Intertekstual Kitab Niyat Ingsun Ngaji

Kitab Niyat Ingsun Ngaji adalah kitab lokal berbahasa Jawa tentang tauhid. Kitab ini ditulis oleh KH. Badawi Hanafi, pendiri Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin, Cilacap, Jawa Tengah. Kitab Niyat Ingsun Ngaji berisi pengetahuan tentang sifat-sifat Allah, tentang Nabi/Rasul, Malaikat, Hari akhir, keluarga Nabi Muhammad saw, dan Isra’ Mi’raj. Isi kitab ini ada kemiripan dengan kitab tauhid berjudul Aqidah al-Awam karya Sayid Ahmad al-Marzuqi.

Kitab Aqidah al-Awam telah diberi penjelasan atau komentar (syarah) oleh berbagai pihak, di antaranya oleh Syekh Nawawi al-Bantani dengan kitab Nuruz Zalam, Bisri Mustafa dengan kitab Rawihat al-Aqwam, dan KH. Badawi Hanafi dengan kitab Syarah Niyat Ingsun Ngaji, dan lainnya. Kitab Niyat Ingsun Ngaji ada kesamaan isi (meskipun tidak seluruhnya) dengan kitab-kitab tersebut, sehingga pembahasannya dilakukan secara bersama-sama. Kitab Niyat Ingsun Ngaji dalam penelitian ini dijadikan sebagai salah satu bahan kajian, di samping kitab Nur al-Zalam dan kitab Rawihat al-Aqwam.

Page 80: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

235Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

r. ar is hidayat

Analisis secara intertekstual pada kitab Niyat Ingsun Ngaji dan kitab Rawihat al-Aqwam dibandingkan dengan isi kitab Nur al-Zalam sebagai syarah kitab Aqidah al-Awam, diperoleh temuan bahwa penyebutan sifat muhal atau sifat mustahil Allah dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji dan kitab Rawihat al-Aqwam ada perbedaan. Berdasarkan analisis atas isi kedua kitab itu dapat diketahui bahwa perbedaan lebih banyak terdapat pada kitab Niyat Ingsun Ngaji dibandingkan dengan kitab Rawihat al-Aqwam. Perbedaannya tidak bersifat substantif tetapi lebih bersifat teknis kebahasaan, misalnya ‘fana’ (Nur al-Zalam) dan ‘thuruwul ‘adam’ (Niyat Ingsun Ngaji), ‘ihtiyaju ila muhali au muhditsin’ (Nur al-Zalam) dan ‘anla yakuna qaiman binafsihi’ (Niyat Ingsun Ngaji), ‘ta’adud’ (Nur al-Zalam) dan ‘anla yakuna wahidan’ (Niyat Ingsun Ngaji), ‘ikrahu’ (Nur al-Zalam) dan ‘‘adamul iradah’ (Niyat Ingsun Ngaji), ‘kaunuhu mukrahan’ (Nur al-Zalam) dan ‘ghoiru muridin’ (Niyat Ingsun Ngaji). Pengarang kitab Niyat Ingsun Ngaji yakni KH. Badawi Hanafi tidak menyebutkan sumber rujukannya, sedangkan KH. Bisri Mustafa di dalam kitab Rawihat al-Aqwam jelas menyebutkan bahwa kitab ini merupakan terjemahan dan syarah dari kitab Aqidah al-Awam. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa adanya perbedaan itu karena KH. Badawi Hanafi tidak menyebutkan sumber rujukannya. Diduga KH. Badawi Hanafi mengambil rujukan dari kitab-kitab tauhid lainnya, misalnya kitab Um al-Baraghin karena ada kesamaan pada keduanya.

Di sisi lain, ditemukan fakta bahwa penyebutan sifat-sifat muhal Allah di dalam kitab Rawihat al-Aqwam hampir seluruhnya sama dengan penyebutan di dalam kitab Nur al-Zalam. Perbedaan yang ada tidak begitu prinsip, misalnya ‘ikrahu’ (Nur al-Zalam) dan ‘karohah’ (Rawihat al-Aqwam), ‘kaunuhu mukrahan’ (Nur al-Zalam) dan ‘Kaunuhu karihan’ (Rawihat al-Aqwam). ‘ihtiyaju ila muhali au muhditsin’ (Nur al-Zalam) dan ‘ihtiyajuhu lighoirihi’ (Rawihat al-Aqwam). Fakta ini menegaskan pernyataan KH. Bisri Mustafa di dalam kitab Rawihat al-Aqwam bahwa sumber rujukan penulisan kitab Rawihat al-Aqwam adalah kitab Aqidah al-Awam, yang penjelasannya ada di dalam kitab Nur al-Zalam oleh Syekh Nawawi. Selain itu, penyebutan sifat-sifat wajib Allah di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji dan kitab Rawihat al-Aqwam ternyata juga sama. Berdasarkan kesamaan itu dapat diduga bahwa sumber rujukan yang digunakan oleh penulis kitab Niyat Ingsun Ngaji (KH. Badawi Hanafi) adalah kitab Aqidah al-Awam, meskipun bukan satu-satunya.

Di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji, KH. Badawi Hanafi menguraikan sifat jaiz Allah menjadi empat cabang. Keempat cabang itu berasal dari satu sifat jaiz Allah yaitu “fi’lu wa tarku” artinya Allah berhak untuk membuat atau tidak membuat. Empat cabang sifat jaiz Allah meliputi: 1) ‘adam ta’tsir bil quwat, 2) ‘adam ta’tsir bi tab’i, 3) hudutsul ’alam bi asrihi, 4) yaf’alul ashya’a li ghordzin. Satu sifat jaiz dan empat cabang sifat jaiz Allah itu juga memiliki sifat muhal sebagai kebalikannya, yaitu: 1) wujubul fi’li watsarki, 2) ta’tsir

Kegiatan di Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin meliputi kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Kegiatan pokok berupa: 1) pengajian al-Qur’an meliputi pengajian Juz ‘Amma bil Ghoib, pengajian al-Qur’an bil Nadzor, dan pengajian al-Qur’an bil Ghoib, 2) pengajian Sorogan, 3) pengajian Bandungan meliputi pengajian Bandungan Klasikal, pengajian Bandungan Fakultatif. Pesantren ini juga menyelenggarakan kegiatan penunjang berupa: 1) Tahlil, 2) Pengajian Selasan, 3) Rotiban, 4) Semaan al-Qur’an, 5) Pembacaan Salawat al-Barzanji, 6) Khitobah, 7) Takror Malam, 8) Muhafadzah meliputi muhafadzah kompleks, muhafadzah massal, 9) Takhasus Santri Baru, 10) Ziarah Kubur meliputi Ziarah ke makam keluarga pondok pesantren, dan Ziarah Walisongo.

Selain kegiatan pokok dan kegiatan penunjang, pondok pesantren ini juga menyelenggarakan kegiatan pengembangan berupa: 1) Madrasah Islamiyah Nahdlatut Thulab (MINAT) Sore, 2) Pengembangan Kepribadian berupa organisasi yaitu Ikatan Keluarga Santri Al-Ihya ‘Ulumaddin (IKSA), Himpunan Santri Pecinta Seni Hadrah al-Ihya (HISAPSEHADA), Pencak Silat, Persatuan Sepak Bola Al-Ihya (PERSEPPA), 3) Pengembangan Ketrampilan berupa Pelatihan Pertukangan dan Bangunan, Pelatihan Menjahit dan Bordir, Perbengkelan/ Montir. Di samping itu, pesantren juga memfasilitasi pengembangan individu santri dengan memberikan fasilitas berupa: 1) Perpustakaan Dar al-Hikmah, 2) Laboratorium Komputer, 3) Laboratorium Bahasa, 4) Gedung Balai Latihan Kerja Santri (BLKS). Pesantren Al-Ihya Ulumaddin memiliki struktur kepengurusan yang memisahkan antara struktur pengurus putra dan putri.

Analisis Isi Teks: Kajian Intertekstual Kitab Niyat Ingsun Ngaji

Kitab Niyat Ingsun Ngaji adalah kitab lokal berbahasa Jawa tentang tauhid. Kitab ini ditulis oleh KH. Badawi Hanafi, pendiri Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin, Cilacap, Jawa Tengah. Kitab Niyat Ingsun Ngaji berisi pengetahuan tentang sifat-sifat Allah, tentang Nabi/Rasul, Malaikat, Hari akhir, keluarga Nabi Muhammad saw, dan Isra’ Mi’raj. Isi kitab ini ada kemiripan dengan kitab tauhid berjudul Aqidah al-Awam karya Sayid Ahmad al-Marzuqi.

Kitab Aqidah al-Awam telah diberi penjelasan atau komentar (syarah) oleh berbagai pihak, di antaranya oleh Syekh Nawawi al-Bantani dengan kitab Nuruz Zalam, Bisri Mustafa dengan kitab Rawihat al-Aqwam, dan KH. Badawi Hanafi dengan kitab Syarah Niyat Ingsun Ngaji, dan lainnya. Kitab Niyat Ingsun Ngaji ada kesamaan isi (meskipun tidak seluruhnya) dengan kitab-kitab tersebut, sehingga pembahasannya dilakukan secara bersama-sama. Kitab Niyat Ingsun Ngaji dalam penelitian ini dijadikan sebagai salah satu bahan kajian, di samping kitab Nur al-Zalam dan kitab Rawihat al-Aqwam.

Page 81: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

236 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

r. ar is hidayat

dalam kitab Nur al-Zalam dan penafsiran KH. Chasbullah Badawi, pengasuh pesantren itu. Para ustadz (yang menjadi informan penelitian ini) menyatakan bahwa isi kitab Niyat Ingsun Ngaji merupakan sesuatu yang wajib diketahui, dipahami, dan diamalkan oleh setiap santri maupun masyarakat. Menurut mereka orang yang sudah berada pada tingkatan Kyai saja tidak berani melakukan interpretasi terhadap isi kitab itu, apalagi dia sebagai seorang ustadz. Selain itu, para ustadz juga menyampaikan kesulitan yang dialami dalam mengajarkan kedua kitab yang sedikit berbeda itu. Namun mereka juga menyatakan bahwa semua itu diserahkan kepada para santri untuk menafsirkannya.

Interpretasi santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji secara umum juga tidak berbeda dengan penafsiran Syekh Nawawi dalam kitab Nur al-Zalam, tetapi mereka juga menyatakan bahwa di kalangan santri--khususnya santri senior-- ada sebagian yang berani menyampaikan pendapatnya yang berbeda. Mereka itu adalah santri yang merangkap sebagai mahasiswa di Institut Agama Islam Imam Ghazali (IAIIG). Mereka mencoba mengkritisi isi kitab Niyat Ingsun Ngaji berdasarkan ilmu yang mereka pelajari. Materi yang dikritisi di antaranya tentang jumlah istri-istri Nabi Muhammad. Menurut mereka apabila hal itu diimani dan diamalkan, maka akan menimbulkan persoalan. Namun setelah mereka mendalami alasan mengapa Nabi Muhammad memiliki istri sebanyak itu, mereka juga bisa menerimanya.

Selanjutnya, interpretasi Kyai dan santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji dikembangkan pada penafsiran atas sekelompok orang yang berbeda dengan penafsiran kaum Ahlussunah wal Jamaah. Penafsiran yang berbeda itu, dalam perspektif mainstream dikelompokkan sebagai paham yang ‘menyimpang’. Tentu saja tidak semua perbedaan penafsiran dikelompokkan sebagai paham menyimpang, melainkan perbedaan penafsiran tentang hal-hal yang bersifat prinsip dan hal-hal yang bersifat iftiraq (menimbulkan perpecahan umat) saja yang dianggap ‘menyimpang’. Pengertian paham ‘menyimpang’ yang dimaksud dalam hal ini adalah paham yang tidak mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw. dan sahabat-sahabat Rasulullah saw.

Pada prinsipnya pengertian paham menyimpang adalah paham yang tidak berpegang teguh atau tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw., dan sahabat Nabi Muhammad saw. Ajaran Nabi Muhammad dan sahabatnya ini yaitu berpegang teguh pada ajaran Allah dan Rasul-Nya (al-Qur’an dan Hadis) serta Ijma’ ulama secara utuh tanpa menambah, mengurangi, mengubah, atau membuat ajaran sendiri (Abdullah,2007:16). Kelompok atau firqah yang tidak mengikuti ajaran Allah, Rasul-Nya, dan Ijma’ ulama, menurut KH. Chasbullah Badawi disebut Firqah Dhalalah (Abdullah (2007:27). Sebaliknya, kelompok atau firqah yang mengikuti ajaran Allah, Rasulullah, dan Ijma’ ulama disebut Firqah Najiyah.

Menurut KH. Chasbullah Badawi, munculnya wacana tentang paham

bil quwat, 3) ta’tsir bitab’i, 4) qidamul ‘alam biasrihi, dan 5) yaf’alul ashya’a lighordzin. Sedangkan di dalam Rawihat al-Aqwam, KH. Bisri Mustafa hanya menyebutkan secara singkat bahwa sifat jaiz Allah yaitu “fi’lu kulli mumkin au tarkuhu” artinya “Allah memiliki hak untuk membuat atau tidak membuat”.

Temuan berikutnya mengenai sifat rasul. Penjelasan yang berbeda mengenai sifat wajib para rasul, dikemukakan oleh KH. Badawi Hanafi di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji. Menurut KH. Badawi Hanafi, sifat wajib para rasul itu ada tiga yaitu sifat Shidiq (jujur atau terpercaya), Tabligh (menyampaikan), dan Amanah (terpelihara). Sifat muhal para rasul juga tiga yaitu kidzib, khiyanat, dan kitman. Sedangkan di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji dan syarah Nur al-Zalam disebutkan bahwa sifat wajib rasul itu ada empat, yaitu Fathonah (cerdas), Shidiq (jujur), Tabligh (menyampaikan), dan Amanah (terpelihara).

Interpretasi Kyai dan Santri Tentang Isi Kitab Niyat Ingsun Ngaji

Pokok-pokok isi kitab Niyat Ingsun Ngaji meliputi pendahuluan, inti, dan penutup. Pendahuluan berisi, 1) membaca bismillah, 2) membaca alhamdulillah, 3) membaca salawat kepada Nabi Muhammad saw. Bagian inti berisi 1) kewajiban mengetahui sifat-sifat Allah, 2) mengenal para Nabi, Rasul, dan sifat-sifatnya, 3) mengenal malaikat, sifat-sifat dan tabiatnya, 4) mengenal kitab suci yang diturunkan Allah, 5) mengenal hari akhir atau kiamat, 6) mengenal keluarga Nabi Muhammad saw., dan 7) mengenal peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. Adapun bagian penutup berisi, 1) keterangan penulis, dan 2) keterangan jumlah nadzam dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji.

Interpretasi Kyai (KH. Chasbullah Badawi) terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji secara umum tidak berbeda dengan penafsiran Syekh Nawawi dalam kitab Nur al-Zalam dan KH. Bisri Mustafa dalam kitab Rawihat al-Aqwam. Namun demikian, untuk menambah wawasan dan penguatan akidah, KH. Chasbullah Badawi mewajibkan seluruh santri di Pesantren Al-Ihya Ulumaddin untuk mempelajari dan mengamalkan isi kitab Niyat Ingsun Ngaji.

Dalam konteks yang lebih luas, wacana tentang interpretasi Kyai tentang isi kitab Niyat Ingsun Ngaji ini sejalan dengan paham kaum Sunni atau Ahlussunah wal Jamaah. Demikian pula, interpretasi Kyai terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji juga tidak berbeda dengan paham kaum Ahlussunah wal Jamaah. Kaum Ahlussunah wal Jamaah juga menggunakan kitab Niyat Ingsun Ngaji dan kitab Niyat Ingsun Ngaji ini sebagai salah satu rujukan dalam menjelaskan akidah Islam menurut pandangan kaum Ahlussunah wal Jamaah.

Interpretasi ustadz di PP. Al-Ihya ‘Ulumaddin terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji secara umum tidak berbeda dengan penafsiran Syekh Nawawi

Page 82: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

237Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

r. ar is hidayat

dalam kitab Nur al-Zalam dan penafsiran KH. Chasbullah Badawi, pengasuh pesantren itu. Para ustadz (yang menjadi informan penelitian ini) menyatakan bahwa isi kitab Niyat Ingsun Ngaji merupakan sesuatu yang wajib diketahui, dipahami, dan diamalkan oleh setiap santri maupun masyarakat. Menurut mereka orang yang sudah berada pada tingkatan Kyai saja tidak berani melakukan interpretasi terhadap isi kitab itu, apalagi dia sebagai seorang ustadz. Selain itu, para ustadz juga menyampaikan kesulitan yang dialami dalam mengajarkan kedua kitab yang sedikit berbeda itu. Namun mereka juga menyatakan bahwa semua itu diserahkan kepada para santri untuk menafsirkannya.

Interpretasi santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji secara umum juga tidak berbeda dengan penafsiran Syekh Nawawi dalam kitab Nur al-Zalam, tetapi mereka juga menyatakan bahwa di kalangan santri--khususnya santri senior-- ada sebagian yang berani menyampaikan pendapatnya yang berbeda. Mereka itu adalah santri yang merangkap sebagai mahasiswa di Institut Agama Islam Imam Ghazali (IAIIG). Mereka mencoba mengkritisi isi kitab Niyat Ingsun Ngaji berdasarkan ilmu yang mereka pelajari. Materi yang dikritisi di antaranya tentang jumlah istri-istri Nabi Muhammad. Menurut mereka apabila hal itu diimani dan diamalkan, maka akan menimbulkan persoalan. Namun setelah mereka mendalami alasan mengapa Nabi Muhammad memiliki istri sebanyak itu, mereka juga bisa menerimanya.

Selanjutnya, interpretasi Kyai dan santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji dikembangkan pada penafsiran atas sekelompok orang yang berbeda dengan penafsiran kaum Ahlussunah wal Jamaah. Penafsiran yang berbeda itu, dalam perspektif mainstream dikelompokkan sebagai paham yang ‘menyimpang’. Tentu saja tidak semua perbedaan penafsiran dikelompokkan sebagai paham menyimpang, melainkan perbedaan penafsiran tentang hal-hal yang bersifat prinsip dan hal-hal yang bersifat iftiraq (menimbulkan perpecahan umat) saja yang dianggap ‘menyimpang’. Pengertian paham ‘menyimpang’ yang dimaksud dalam hal ini adalah paham yang tidak mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw. dan sahabat-sahabat Rasulullah saw.

Pada prinsipnya pengertian paham menyimpang adalah paham yang tidak berpegang teguh atau tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw., dan sahabat Nabi Muhammad saw. Ajaran Nabi Muhammad dan sahabatnya ini yaitu berpegang teguh pada ajaran Allah dan Rasul-Nya (al-Qur’an dan Hadis) serta Ijma’ ulama secara utuh tanpa menambah, mengurangi, mengubah, atau membuat ajaran sendiri (Abdullah,2007:16). Kelompok atau firqah yang tidak mengikuti ajaran Allah, Rasul-Nya, dan Ijma’ ulama, menurut KH. Chasbullah Badawi disebut Firqah Dhalalah (Abdullah (2007:27). Sebaliknya, kelompok atau firqah yang mengikuti ajaran Allah, Rasulullah, dan Ijma’ ulama disebut Firqah Najiyah.

Menurut KH. Chasbullah Badawi, munculnya wacana tentang paham

bil quwat, 3) ta’tsir bitab’i, 4) qidamul ‘alam biasrihi, dan 5) yaf’alul ashya’a lighordzin. Sedangkan di dalam Rawihat al-Aqwam, KH. Bisri Mustafa hanya menyebutkan secara singkat bahwa sifat jaiz Allah yaitu “fi’lu kulli mumkin au tarkuhu” artinya “Allah memiliki hak untuk membuat atau tidak membuat”.

Temuan berikutnya mengenai sifat rasul. Penjelasan yang berbeda mengenai sifat wajib para rasul, dikemukakan oleh KH. Badawi Hanafi di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji. Menurut KH. Badawi Hanafi, sifat wajib para rasul itu ada tiga yaitu sifat Shidiq (jujur atau terpercaya), Tabligh (menyampaikan), dan Amanah (terpelihara). Sifat muhal para rasul juga tiga yaitu kidzib, khiyanat, dan kitman. Sedangkan di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji dan syarah Nur al-Zalam disebutkan bahwa sifat wajib rasul itu ada empat, yaitu Fathonah (cerdas), Shidiq (jujur), Tabligh (menyampaikan), dan Amanah (terpelihara).

Interpretasi Kyai dan Santri Tentang Isi Kitab Niyat Ingsun Ngaji

Pokok-pokok isi kitab Niyat Ingsun Ngaji meliputi pendahuluan, inti, dan penutup. Pendahuluan berisi, 1) membaca bismillah, 2) membaca alhamdulillah, 3) membaca salawat kepada Nabi Muhammad saw. Bagian inti berisi 1) kewajiban mengetahui sifat-sifat Allah, 2) mengenal para Nabi, Rasul, dan sifat-sifatnya, 3) mengenal malaikat, sifat-sifat dan tabiatnya, 4) mengenal kitab suci yang diturunkan Allah, 5) mengenal hari akhir atau kiamat, 6) mengenal keluarga Nabi Muhammad saw., dan 7) mengenal peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. Adapun bagian penutup berisi, 1) keterangan penulis, dan 2) keterangan jumlah nadzam dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji.

Interpretasi Kyai (KH. Chasbullah Badawi) terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji secara umum tidak berbeda dengan penafsiran Syekh Nawawi dalam kitab Nur al-Zalam dan KH. Bisri Mustafa dalam kitab Rawihat al-Aqwam. Namun demikian, untuk menambah wawasan dan penguatan akidah, KH. Chasbullah Badawi mewajibkan seluruh santri di Pesantren Al-Ihya Ulumaddin untuk mempelajari dan mengamalkan isi kitab Niyat Ingsun Ngaji.

Dalam konteks yang lebih luas, wacana tentang interpretasi Kyai tentang isi kitab Niyat Ingsun Ngaji ini sejalan dengan paham kaum Sunni atau Ahlussunah wal Jamaah. Demikian pula, interpretasi Kyai terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji juga tidak berbeda dengan paham kaum Ahlussunah wal Jamaah. Kaum Ahlussunah wal Jamaah juga menggunakan kitab Niyat Ingsun Ngaji dan kitab Niyat Ingsun Ngaji ini sebagai salah satu rujukan dalam menjelaskan akidah Islam menurut pandangan kaum Ahlussunah wal Jamaah.

Interpretasi ustadz di PP. Al-Ihya ‘Ulumaddin terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji secara umum tidak berbeda dengan penafsiran Syekh Nawawi

Page 83: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

238 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

r. ar is hidayat

mempelajari kitab Aqidah al-Awam yang isinya agak berbeda dengan kitab, Niyat Ingsun Ngaji, misalnya tentang sifat Rasul. Para santri, khususnya santri baru merasa bingung menentukan mana yang harus diikuti, namun setelah mendalami kedua isi kitab itu mereka justru merasa senang karena semakin bertambah wawasannya.

Para santri lebih menekankan pada aspek sikap dan perilaku berupa ibadah yang meningkat kualitas dan kuantitasnya. Salat yang rajin, dan ibadah-ibadah lainnya juga rajin, serta mengamalkan ajaran Islam dengan baik, menurut ustadz Nur Kholis, ustadz Teguh Wibowo, dan santri Sidiq Nur mencerminkan kuatnya akidah dari orang atau santri tersebut. Akidah seseorang bisa mengalami pasang surut, bergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang itu. Apabila seseorang dalam keadaan normal (tidak mengalami kesulitan hidup) maka imannya kuat tetapi kadang-kadang iman itu dapat berubah atau mengalami penurunan ketika seseorang mengalami kesulitan hidup. Oleh karena itu, penguatan iman melalui pendalaman isi kitab Niyat Ingsun Ngaji itu harus senantiasa diberikan kepada para santri dan masyarakat pada umumnya agar mereka senantiasa kuat imannya meskipun dalam situasi dan kondisi yang sulit.

PenutuP

Berdasarkan kajian secara intertekstual terhadap isi kitab tauhid Niyat Ingsun Ngaji dan isi kitab Nur al-Zalam, kitab Rawihat al-Aqwam, dan kitab Aqidah al-Awam, dapat disimpulkan bahwa pokok-pokok isi kitab Niyat Ingsun Ngaji sama dengan isi kitab Nur al-Zalam dan kitab Rawihat al-Aqwam. Kitab Nur al-Zalam dan kitab Rawihat al-Aqwam merupakan kitab penjelas (syarah) dari kitab Aqidah al-Awam. Sedangkan isi kitab Niyat Ingsun Ngaji agak berbeda dengan isi kitab Aqidah al-Awam. Perbedaan isi pada kedua kitab itu di antaranya tentang sifat nabi dan rasul. Di dalam kitab Aqidah al-Awam disebutkan bahwa sifat nabi adalah fathonah, sidiq, tabligh, dan amanah, sedangkan di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji disebutkan bahwa sifat nabi adalah sidiq, tabligh, dan amanah.

Selain itu, berdasarkan buku Aqidah al-Awam yang diterjemahkan oleh HM. Fadlil Sa’id An-Nadwi dari penerbit Al-Hidayah Surabaya, ditemukan ada perbedaan pendapat antara Syekh Nawawi dengan KH. Bisri Mustafa dalam menentukan waktu penyelesaian penulisan kitab Aqidah al-Awam. Syekh Nawawi dalam terjemahan kitab Nur al-Zalam menyatakan bahwa akhir penulisan pada tahun 1218 Hijriyah. Dia menjelaskan bahwa kata “liy hayyun ghurrin” terdiri atas huruf lam melambangkan angka 30 yang berarti tanggal 30, huruf ya melambangkan angka 10 yang berarti bulan Syawal, huruf ha melambangkan angka 8, huruf ya melambangkan angka 10 sehingga berjumlah 18, kemudian huruf ghoin dan ra melambangkan angka 1000 dan 200, sehingga berjumlah 1200. Dengan demikian, kata “li hayyun

keagamaan yang dianggap ‘menyimpang’ dalam masyarakat terjadi karena kurang atau rendahnya pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan agama pada masyarakat itu. Meskipun ada di antara mereka itu alumni pesantren, namun karena kurang tuntas dalam mempelajari ilmu agama yang diajarkan di pesantren maka sangat mungkin muncul pemikiran atau pemahaman yang berbeda dengan paham mainstream umat Islam, khususnya di Indonesia.

Respons Kyai dan Santri Terhadap Isi Kitab Niyat Ingsun Ngaji

Secara umum respon Kyai (KH. Chasbullah Badawi) dan santri di Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji bersifat introspektif, artinya lebih baik melihat ke dalam diri sendiri tentang seberapa kuat iman kita kepada Allah dan Rasulnya, malaikat Allah, para nabi Allah dan keluarganya, kitab-kitab suci, dan Hari Akhir/Kiamat. Respon ini kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengoreksi sikap, perilaku, dan pikiran diri sendiri apakah sudah sesuai dengan yang dikehendaki di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji atau belum. Apabila belum, maka sebaiknya berusaha sungguh-sungguh agar sikap, perilaku, dan pikiran itu sejalan dengan isi kitab Niyat Ingsun Ngaji.

Respon demikian menunjukkan bahwa KH. Chasbullah termasuk orang yang realistis terhadap kenyataan yang ada. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang dilakukannya selama ini, KH. Chasbullah berkeyakinan bahwa secara kuantitatif jumlah orang atau santri yang berhasil dalam pendidikannya dan bisa menjadi seorang ulama atau panutan dalam masyarakat relatif masih sangat sedikit. Sebaliknya, jumlah santri yang kurang berhasil jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah santri yang berhasil. Pengertian berhasil dalam hal ini adalah bisa menjadi ulama yang bisa menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat.

KH.Chasbullah juga menjelaskan bahwa faktor penyebab banyaknya orang yang tidak bisa menjadi panutan karena sebagian besar orang sekarang lebih berfikir pragmatis yaitu bagaimana bisa mendapatkan sesuatu secara mudah dan cepat. Padahal untuk bisa menjadi panutan diperlukan ketekunan dan ketelatenan serta kesabaran. Berkenaan dengan semakin maraknya pemikiran dan gerakan keagamaan yang berbeda dengan paham mainstream umat Islam Indonesia yaitu Ahlussunah wal Jamaah, KH. Chasbullah memberikan saran agar dilakukan diskusi yang intensif untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi.

Respon ustadz dan santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji pada umumnya mereka menyatakan bahwa mempelajari kitab itu cukup mudah dan menyenangkan. Mudah karena isinya cukup singkat dan padat sehingga mudah dipelajari, sedangkan menyenangkan karena ditulis dalam bentuk nazam, sehingga mempermudah dalam menghafalnya. Namun demikian, sebagian santri juga merasa bingung ketika di waktu yang sama dia juga harus

Page 84: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

239Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

r. ar is hidayat

mempelajari kitab Aqidah al-Awam yang isinya agak berbeda dengan kitab, Niyat Ingsun Ngaji, misalnya tentang sifat Rasul. Para santri, khususnya santri baru merasa bingung menentukan mana yang harus diikuti, namun setelah mendalami kedua isi kitab itu mereka justru merasa senang karena semakin bertambah wawasannya.

Para santri lebih menekankan pada aspek sikap dan perilaku berupa ibadah yang meningkat kualitas dan kuantitasnya. Salat yang rajin, dan ibadah-ibadah lainnya juga rajin, serta mengamalkan ajaran Islam dengan baik, menurut ustadz Nur Kholis, ustadz Teguh Wibowo, dan santri Sidiq Nur mencerminkan kuatnya akidah dari orang atau santri tersebut. Akidah seseorang bisa mengalami pasang surut, bergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang itu. Apabila seseorang dalam keadaan normal (tidak mengalami kesulitan hidup) maka imannya kuat tetapi kadang-kadang iman itu dapat berubah atau mengalami penurunan ketika seseorang mengalami kesulitan hidup. Oleh karena itu, penguatan iman melalui pendalaman isi kitab Niyat Ingsun Ngaji itu harus senantiasa diberikan kepada para santri dan masyarakat pada umumnya agar mereka senantiasa kuat imannya meskipun dalam situasi dan kondisi yang sulit.

PenutuP

Berdasarkan kajian secara intertekstual terhadap isi kitab tauhid Niyat Ingsun Ngaji dan isi kitab Nur al-Zalam, kitab Rawihat al-Aqwam, dan kitab Aqidah al-Awam, dapat disimpulkan bahwa pokok-pokok isi kitab Niyat Ingsun Ngaji sama dengan isi kitab Nur al-Zalam dan kitab Rawihat al-Aqwam. Kitab Nur al-Zalam dan kitab Rawihat al-Aqwam merupakan kitab penjelas (syarah) dari kitab Aqidah al-Awam. Sedangkan isi kitab Niyat Ingsun Ngaji agak berbeda dengan isi kitab Aqidah al-Awam. Perbedaan isi pada kedua kitab itu di antaranya tentang sifat nabi dan rasul. Di dalam kitab Aqidah al-Awam disebutkan bahwa sifat nabi adalah fathonah, sidiq, tabligh, dan amanah, sedangkan di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji disebutkan bahwa sifat nabi adalah sidiq, tabligh, dan amanah.

Selain itu, berdasarkan buku Aqidah al-Awam yang diterjemahkan oleh HM. Fadlil Sa’id An-Nadwi dari penerbit Al-Hidayah Surabaya, ditemukan ada perbedaan pendapat antara Syekh Nawawi dengan KH. Bisri Mustafa dalam menentukan waktu penyelesaian penulisan kitab Aqidah al-Awam. Syekh Nawawi dalam terjemahan kitab Nur al-Zalam menyatakan bahwa akhir penulisan pada tahun 1218 Hijriyah. Dia menjelaskan bahwa kata “liy hayyun ghurrin” terdiri atas huruf lam melambangkan angka 30 yang berarti tanggal 30, huruf ya melambangkan angka 10 yang berarti bulan Syawal, huruf ha melambangkan angka 8, huruf ya melambangkan angka 10 sehingga berjumlah 18, kemudian huruf ghoin dan ra melambangkan angka 1000 dan 200, sehingga berjumlah 1200. Dengan demikian, kata “li hayyun

keagamaan yang dianggap ‘menyimpang’ dalam masyarakat terjadi karena kurang atau rendahnya pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan agama pada masyarakat itu. Meskipun ada di antara mereka itu alumni pesantren, namun karena kurang tuntas dalam mempelajari ilmu agama yang diajarkan di pesantren maka sangat mungkin muncul pemikiran atau pemahaman yang berbeda dengan paham mainstream umat Islam, khususnya di Indonesia.

Respons Kyai dan Santri Terhadap Isi Kitab Niyat Ingsun Ngaji

Secara umum respon Kyai (KH. Chasbullah Badawi) dan santri di Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji bersifat introspektif, artinya lebih baik melihat ke dalam diri sendiri tentang seberapa kuat iman kita kepada Allah dan Rasulnya, malaikat Allah, para nabi Allah dan keluarganya, kitab-kitab suci, dan Hari Akhir/Kiamat. Respon ini kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengoreksi sikap, perilaku, dan pikiran diri sendiri apakah sudah sesuai dengan yang dikehendaki di dalam kitab Niyat Ingsun Ngaji atau belum. Apabila belum, maka sebaiknya berusaha sungguh-sungguh agar sikap, perilaku, dan pikiran itu sejalan dengan isi kitab Niyat Ingsun Ngaji.

Respon demikian menunjukkan bahwa KH. Chasbullah termasuk orang yang realistis terhadap kenyataan yang ada. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang dilakukannya selama ini, KH. Chasbullah berkeyakinan bahwa secara kuantitatif jumlah orang atau santri yang berhasil dalam pendidikannya dan bisa menjadi seorang ulama atau panutan dalam masyarakat relatif masih sangat sedikit. Sebaliknya, jumlah santri yang kurang berhasil jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah santri yang berhasil. Pengertian berhasil dalam hal ini adalah bisa menjadi ulama yang bisa menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat.

KH.Chasbullah juga menjelaskan bahwa faktor penyebab banyaknya orang yang tidak bisa menjadi panutan karena sebagian besar orang sekarang lebih berfikir pragmatis yaitu bagaimana bisa mendapatkan sesuatu secara mudah dan cepat. Padahal untuk bisa menjadi panutan diperlukan ketekunan dan ketelatenan serta kesabaran. Berkenaan dengan semakin maraknya pemikiran dan gerakan keagamaan yang berbeda dengan paham mainstream umat Islam Indonesia yaitu Ahlussunah wal Jamaah, KH. Chasbullah memberikan saran agar dilakukan diskusi yang intensif untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi.

Respon ustadz dan santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji pada umumnya mereka menyatakan bahwa mempelajari kitab itu cukup mudah dan menyenangkan. Mudah karena isinya cukup singkat dan padat sehingga mudah dipelajari, sedangkan menyenangkan karena ditulis dalam bentuk nazam, sehingga mempermudah dalam menghafalnya. Namun demikian, sebagian santri juga merasa bingung ketika di waktu yang sama dia juga harus

Page 85: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

240 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

r. ar is hidayat

yang dianggap ‘menyimpang’ oleh mainstream umat Islam Indonesia. Apabila hal ini tidak segera dilakukan, maka dikhawatirkan akan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan dapat mengganggu kerukunan intern umat beragama di Indonesia.

Kalangan akademisi dan dunia pendidikan agar menjadikan hasil penelitian ini sebagai salah satu rujukan atau referensi dalam melakukan penelitian tentang kelekturan di pondok pesantren. Temuan penelitian ini menjelaskan bahwa isi kitab-kitab tauhid di pondok pesantren salaf masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi sekarang. Apalagi dalam situasi dan kondisi masyarakat yang semakin kompetitif dan konsumeristik, penguatan keimanan melalui studi atas kitab-kitab klasik menjadi suatu keharusan, untuk membentengi masyarakat dari gempuran ideologi dan paham keagamaan yang dianggap ‘menyimpang’. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan informasi terbaru dan pengetahuan mengenai bagaimana isi kitab-kitab tauhid di pondok pesantren salaf yang dapat digunakan sebagai referensi dan bahan untuk melakukan penelitian lanjutan.

Pengasuh dan pengelola pondok pesantren, khususnya Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin, Cilacap, agar menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kurikulum, khususnya di Madrasah Diniyah yang menggunakan kitab-kitab klasik sebagai materi utama pembelajarannya. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam menentukan jenis literatur yang cocok bagi penguatan akidah para santri.

Masyarakat, khususnya pemerhati kelekturan pesantren, agar menjadikan hasil penelitian ini sebagai salah satu sumber informasi penting dalam kerangka menentukan tingkat keterpakaian bahan kelekturan klasik pada pondok pesantren salaf yang sedang mengalami transformasi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat, khususnya para pemerhati kelekturan pesantren, tentang makna kelekturan Islam klasik bagi penguatan fungsi pesantren sebagai agent of change (agen perubahan). Wallahu a’lam bishawab.

ghurrin” menurut Syekh Nawawi berarti tanggal 30 Syawal 1218 Hijriyah. Namun menurut KH. Bisri Mustafa kata “liy hayyun ghurrin” berarti 1258. Dia menjelaskan bahwa huruf lam, ya, ha, dan ya, bila dijumlahkan menjadi 58, sedangkan ghoin dan ra bila dijumlahkan menjadi 1200, sehingga jumlah seluruhnya 1258 yang berarti tahun 1258 Hijriyah.

Interpretasi Kyai dan santri di Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin, Cilacap, terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji berdasarkan model analisis wacana Norman Fairclough, berada pada tataran praktik kewacanaan. Pada tataran praktik kewacanaan, interpretasi Kyai dan santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji tidak berbeda dengan penafsiran Syekh Nawawi dalam kitab Nur al-Zalam. Dalam konteks yang lebih luas dapat dikemukakan bahwa interpretasi Kyai dan santri di PP. Al-Ihya Ulumaddin Cilacap ini tidak berbeda dengan paham kaum Ahlussunah wal Jamaah.

Respon Kyai dan santri di Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji, menurut skema analisis wacana Norman Fairclough berada pada tataran praktik sosial. Pada tataran ini respon Kyai dan santri secara umum mengatakan cukup mudah dalam mempelajarinya dan juga menyenangkan. Isi kitab Niyat Ingsun Ngaji cukup mudah dipelajari, sedangkan tulisan yang berbentuk nadzam cukup mudah menghafalkannya. Kyai dan santri lebih menekankan respon dalam bentuk tindakan yang bersifat introspektif, artinya tindakan yang dilakukan lebih mengarah pada penguatan keimanan pada diri sendiri. Respon ini dilatar belakangi alasan bahwa secara kuantitatif jumlah orang atau santri yang berhasil dalam pendidikannya dan bisa menjadi ulama yang bisa menjadi panutan di masyarakat relatif sangat sedikit, sebaliknya jumlah orang atau santri yang kurang berhasil atau tidak bisa menjadi ulama yang bisa menjadi panutan masyarakat relatif sangat banyak. Kenyataan ini mendorong Kyai dan santri di pesantren ini untuk berbuat lebih baik, agar bisa mempengaruhi orang lain di sekitarnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengajarkan isi kitab Niyat Ingsun Ngaji kepada para santri dan masyarakat luas, agar mereka memiliki dasar-dasar akidah Islamiyah yang kuat. Dengan akidah Islamiyah yang kuat maka mereka tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham yang dianggap ‘menyimpang’.

Berdasarkan simpulan di atas disarankan kepada Menteri Agama c.q. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI agar meningkatkan bimbingan dan bantuannya kepada pondok pesantren salaf, khususnya Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin, Cilacap, Jawa Tengah. Bimbingan yang diperlukan oleh Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin berupa bimbingan teknis tentang penguatan keimanan, khususnya untuk para santri, melalui penyeleksian atas kitab-kitab klasik, terutama kitab klasik yang bernuansa lokal agar sesuai dengan yang diharapkan. Bimbingan ini penting dilakukan dalam konteks mengantisipasi merebaknya paham keagamaan

Page 86: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

241Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

r. ar is hidayat

yang dianggap ‘menyimpang’ oleh mainstream umat Islam Indonesia. Apabila hal ini tidak segera dilakukan, maka dikhawatirkan akan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan dapat mengganggu kerukunan intern umat beragama di Indonesia.

Kalangan akademisi dan dunia pendidikan agar menjadikan hasil penelitian ini sebagai salah satu rujukan atau referensi dalam melakukan penelitian tentang kelekturan di pondok pesantren. Temuan penelitian ini menjelaskan bahwa isi kitab-kitab tauhid di pondok pesantren salaf masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi sekarang. Apalagi dalam situasi dan kondisi masyarakat yang semakin kompetitif dan konsumeristik, penguatan keimanan melalui studi atas kitab-kitab klasik menjadi suatu keharusan, untuk membentengi masyarakat dari gempuran ideologi dan paham keagamaan yang dianggap ‘menyimpang’. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan informasi terbaru dan pengetahuan mengenai bagaimana isi kitab-kitab tauhid di pondok pesantren salaf yang dapat digunakan sebagai referensi dan bahan untuk melakukan penelitian lanjutan.

Pengasuh dan pengelola pondok pesantren, khususnya Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin, Cilacap, agar menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kurikulum, khususnya di Madrasah Diniyah yang menggunakan kitab-kitab klasik sebagai materi utama pembelajarannya. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam menentukan jenis literatur yang cocok bagi penguatan akidah para santri.

Masyarakat, khususnya pemerhati kelekturan pesantren, agar menjadikan hasil penelitian ini sebagai salah satu sumber informasi penting dalam kerangka menentukan tingkat keterpakaian bahan kelekturan klasik pada pondok pesantren salaf yang sedang mengalami transformasi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat, khususnya para pemerhati kelekturan pesantren, tentang makna kelekturan Islam klasik bagi penguatan fungsi pesantren sebagai agent of change (agen perubahan). Wallahu a’lam bishawab.

ghurrin” menurut Syekh Nawawi berarti tanggal 30 Syawal 1218 Hijriyah. Namun menurut KH. Bisri Mustafa kata “liy hayyun ghurrin” berarti 1258. Dia menjelaskan bahwa huruf lam, ya, ha, dan ya, bila dijumlahkan menjadi 58, sedangkan ghoin dan ra bila dijumlahkan menjadi 1200, sehingga jumlah seluruhnya 1258 yang berarti tahun 1258 Hijriyah.

Interpretasi Kyai dan santri di Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin, Cilacap, terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji berdasarkan model analisis wacana Norman Fairclough, berada pada tataran praktik kewacanaan. Pada tataran praktik kewacanaan, interpretasi Kyai dan santri terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji tidak berbeda dengan penafsiran Syekh Nawawi dalam kitab Nur al-Zalam. Dalam konteks yang lebih luas dapat dikemukakan bahwa interpretasi Kyai dan santri di PP. Al-Ihya Ulumaddin Cilacap ini tidak berbeda dengan paham kaum Ahlussunah wal Jamaah.

Respon Kyai dan santri di Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin terhadap isi kitab Niyat Ingsun Ngaji, menurut skema analisis wacana Norman Fairclough berada pada tataran praktik sosial. Pada tataran ini respon Kyai dan santri secara umum mengatakan cukup mudah dalam mempelajarinya dan juga menyenangkan. Isi kitab Niyat Ingsun Ngaji cukup mudah dipelajari, sedangkan tulisan yang berbentuk nadzam cukup mudah menghafalkannya. Kyai dan santri lebih menekankan respon dalam bentuk tindakan yang bersifat introspektif, artinya tindakan yang dilakukan lebih mengarah pada penguatan keimanan pada diri sendiri. Respon ini dilatar belakangi alasan bahwa secara kuantitatif jumlah orang atau santri yang berhasil dalam pendidikannya dan bisa menjadi ulama yang bisa menjadi panutan di masyarakat relatif sangat sedikit, sebaliknya jumlah orang atau santri yang kurang berhasil atau tidak bisa menjadi ulama yang bisa menjadi panutan masyarakat relatif sangat banyak. Kenyataan ini mendorong Kyai dan santri di pesantren ini untuk berbuat lebih baik, agar bisa mempengaruhi orang lain di sekitarnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengajarkan isi kitab Niyat Ingsun Ngaji kepada para santri dan masyarakat luas, agar mereka memiliki dasar-dasar akidah Islamiyah yang kuat. Dengan akidah Islamiyah yang kuat maka mereka tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham yang dianggap ‘menyimpang’.

Berdasarkan simpulan di atas disarankan kepada Menteri Agama c.q. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI agar meningkatkan bimbingan dan bantuannya kepada pondok pesantren salaf, khususnya Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin, Cilacap, Jawa Tengah. Bimbingan yang diperlukan oleh Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin berupa bimbingan teknis tentang penguatan keimanan, khususnya untuk para santri, melalui penyeleksian atas kitab-kitab klasik, terutama kitab klasik yang bernuansa lokal agar sesuai dengan yang diharapkan. Bimbingan ini penting dilakukan dalam konteks mengantisipasi merebaknya paham keagamaan

Page 87: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

242 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

Abbas, Siradjuddin,K.H. 2008. I’tiqad Ahlussunah wal Jamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru

Abduh, M. 1987. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.

Abdullah, Sufyan Raji, KH. M. 2007. Mengenal Aliran-aliran dalam Islam dan Ciri-ciri Ajarannya. Jakarta: Pustaka Al-Riyadl

Asrohah, H 2004. Pelembagaan Pesantren: Asal usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa. Jakarta: Departemen Agama RI Bagian proyek peningkatan Informasi Penelitian dan Diklat Keagamaan.

Azra, Azyumardi, Prof. Dr. 2007. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Pernada Media Group

Bruinessen, M.V. 1995. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan

Hanafi, Badawi, KH. tt. Niyat Ingsun Ngaji. Cilacap: Penerbit: PP Al-Ihya Ulumaddin

Izutsu, Toshihiko. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, Analisis Semantik Iman dan Islam. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana

Jorgensen, Marianne W.& Louise J. Phillips.2007. Analisis Wacana Teori & Metode.Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar

Marzuqi, Sayid Ahmad. 1258 H/1848 M. Aqidah al-Awam. Surabaya: Penerbit Muhammad Ibn Hamid Nabhan wal Wahidah

Mustafa, Bisri, KH. 1957 M/1376 H. Rawihat al-Aqwam. Rembang: Penerbit Menara Kudus

Nadwi, HM. Fadlil Sai’id An.(penerjemah). 1421 H. Terjemah dan Syarah Aqidah al-Awam. Surabaya: Penerbit Al-Hidayah

Zuhri, S. 1999. “Pendidikan Pesantren di Persimpangan Jalan”, dalam Wahid, M., Suwendi dan Zuhri, S (Eds.). Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah.

DAFTAR PUSTAKA

Page 88: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Tansformasi Nilai Keislaman Melalui Kitab LokalKajian Teks Kitab Niyat Ingsun Ngaji Karya KH. Badawi Hanafi

243Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

AbstrAck :A book entitled Risalah al Mahid tells about women fiqh specifically dima’

al-mar’ah. It is written by KH.Masruhan from Brumbung Demak Central Java, in 1956, using Javanese language and Arabic script (pegon). This book aims to teach women about dima’ al-mar’ah. Physically, female students having menstruation, her womb is ready for reproduction. It is as sign for them not to go to free social intercourse. This menstruation has affected women to comply with ta’abudi aspects. Woman having menstruation is not allowed reading Qur’an, prayer, I’tikaf, and others. These should be understood by female students. This research focuses on response of female students at Pesantren Mambail Futuh Jenu Tuban East Java toward content and learning process of a book Risalah al-Mahid. Result of the study describes that their response is quite good. They say that this book can be guidance for students with beginning experience of menstruation. They also tell that it is important to study this book. This research recommends that this book should be taught at pesantren and other basic educations.

Keywords: Respons Santri, Kitab Risalah al-Mahid, Pesantren Manbail Futuh

PendAhuluAn Latar Belakang

Kitab kuning yang dikaji di pondok pesantren cukup beragam meliputi kitab tauhid, kitab fikih, kitab faraid, kitab akidah, kitab akhlak, kitab ta-sawwuf dan lainnya. Kitab fikih memiliki posisi penting dalam proses pen-

RESPONS SANTRI TERhADAP KITAB RISALAH AL-MAHÎD

SEBAGAI PEDOMAN hAID SANTRIDI PESANTREN MANBAIL FUTUH,

JENU, TUBAN, JAWA TIMUR

Oleh uMI MasfIah*1

* Umi Masfiah, M.Ag adalah peneliti bidang lektur keagamaan pada Balai Litbang Agama Semarang

PENELITIAN

Page 89: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

244 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

umi Masf iah

Permasalahan

1. Bagaimana konsep Dima’ al-Mar’ah di dalam Risalah al-Mahid ?

2. Bagaimana respons santri terhadap kitab Risalah al-Mahid sebagai pe-doman haid para santri di Pondok Pesantren Manbail Futuh, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban ?

Kajian Pustaka

Penelitian terhadap kitab-kitab fiqih yang berkenaan dengan dima’ al-mar’ah telah dilakukan oleh para peneliti, di antaranya Nurhuda. Judul pene-litiannya yaitu Studi Kritis tentang Fiqh Dima’ al-Mar’ah dalam Kitab-Kitab Fiqh Klasik (Mencari Rumus Baru yang Lebih Praktis). Penelitiannya men-gacu pada beberapa kitab fiqih, yaitu : Bidayatul Mujtahid, Fiqhus Sunnah, Risalah ad-Dima’’ at Thabi’iyyah lin Nisa’, Fiqh Syafi’i, dan Kifayatul Ahyar.

Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada perbedaan pada kitab-kitab fikh tersebut dalam masalah penentuan masa haid maupun masa menapouse dan tidak ada rumus tentang haid yang dapat dipegangi secara pasti baik me-ngenai kapan mulainya maupun berapa lamanya serta hal-hal lainnya. Hal ini karena masing-masing perempuan memiliki karakter haid sendiri-sendiri.

Kemudian, dari lima kitab fiqh yang dijadikan contoh kiranya yang pa-ling praktis menjadi pedoman bagi perempuan yang haid tidak teratur adalah kitab Risalah ad-Dima’ at-Thabi’iyyah lin Nisa’ karya Muhammad Shaleh al-Utsaimin.

Penelitian Nurhuda mencoba membandingkan konsep dima’ al-mar’ah dalam beberapa kitab fikih yang dicocokkan dengan siklus haid kaum ibu yang memiliki haid tidak teratur. Sedangkan penelitian tentang kitab Risalah al-Mahid ini yaitu ingin melihat respons para santri terhadap kitab Risalah al-Mahid kaitannya dengan urgensi kitab sebagai pedoman bagi para santri-wati yang berada pada masa-masa awal mengalami haid.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis wacana kritis. Analisis Wacana kritis menyebutkan bahwa wacana merupakan salah satu ele-men di antara banyak aspek dalam praktik sosial atau dengan kata lain teks individu bergantung pada unsur-unsur dan teks-teks yang lain, (Jorgensen & Philips, 2007 :12)

Analisis wacana kritis dipilih dan digunakan karena analisis ini memi-liki lima karakteristik utama. Karakteristik-karakteristik tersebut meliputi : tindakan, konteks, historis, kekuasaaan dan ideologis. Tindakan maksudnya adalah wacana dipahami sebagai sebuah tindakan atau disamakan dengan in-teraksi sosial di ruang terbuka. Orang berbicara atau menulis diartikan tidak hanya berbicara atau menulis untuk dirinya sendiri namun juga untuk ber-

didikan di pondok pesantren. Kitab fikih senantiasa diajarkan dari tingkat pendidikan dasar yang biasa disebut Diniyyah hingga tingkat pendidikan tinggi yang biasa disebut Ma’had ‘Ali., Kitab fikih dapat dikatakan menjadi acuan utama dalam proses pengajaran di pondok pesantren terutama yang bertipe salaf.

Kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren di antaranya Fath al-Qarib, Kifayatul Akhyar, I’anatut Thalibin, Fath al-Wahab, Safinah, Sulam Taufiq, dan masih banyak lagi lainnya. Selain kitab-kitab fikih yang telah dise-butkan, ada juga kitab fikih yang berkenaan dengan fikih mar’ah misalnya kitab Uqud al-Lujjayn dan kitab Risalah al-Mahid.

Kitab Risalah al-Mahid merupakan sebuah risalah yang membahas ma-salah fikih perempuan dengan tema utama dima’ al-mar’ah khususnya haid. Haid menjadi sunatullah bagi kaum hawa sejak zaman manusia pertama diciptakan. Haid yang terjadi pada perempuan memberikan implikasi pada aspek ta’abudi (ibadah) yang dilakukannya. Perempuan yang sedang meng-alami haid tidak dapat melaksanakan ibadah salat, membaca al-Qur’an, i’tikaf, dan lainnya. Hukum-hukum tersebut muncul dikarenakan adanya haid yang terjadi pada seorang perempuan.

Kitab Risalah al-Mahid diajarkan di pondok pesantren berkaitan dengan kebutuhan para santri akan materi tentang dima’ al-mar’ah. Bagi para perem-puan (santri puteri) ketika pertama kali mengalami haid, mereka merasa ke-bingungan dan memerlukan panduan serta pengetahuan yang benar menge-nai haid. Hal ini menjadi salah satu bagian dari respons para santri terhadap urgensi kitab Risalah al-Mahid, di samping banyak hal lainnya.

Persoalan penting lainnya tentu berkaitan dengan bagaimana cara para ustadzah saat menerangkan persoalan haid, nifas, dan istihadhah berdasar-kan pemahaman mereka kaitannya dengan amaliah ibadah sehari-hari. Dan pemilihan kitab Risalah al-Mahid untuk diajarkan kepada para santri ber-kaitan pula dengan madzhab Syafi’i yang dianut pada sebagian besar Pondok Pesantren salaf.

Nilai penting selanjutnya dari kitab Risalah al-Mahid ini yaitu kedudu-kannya sebagai salah satu karya ulama nusantara yang seharusnya mendapat-kan apresiasi tinggi dalam bidangnya. Dan dari sisi ini, kitab Risalat al-Mahid menjadi lebih menarik untuk dikaji lebih lanjut. Kitab Risalah al-Mahid dika-rang oleh seorang ulama dari Demak yang bernama K.H. Masruhan.

Kitab Risalah al-Mahid ditulis saat kiai Masruhan masih tinggal di desa Berumbung, Demak sekitar tahun 1956. Kitab risalah ini dikarang dengan merujuk pada ajaran-ajaran tentang haid yang tercantum di dalam kitab-kitab klasik dan ditulis menggunakan huruf Arab Jawi (pegon). Pengarang menulis kitab ini karena melihat masih jarang sekali kitab-kitab yang khusus membahas masalah perempuan khususnya masalah dima’ al-mar’ah. Hal ini-lah yang menarik untuk diteliti.

Page 90: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

245Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

umi Masf iah

Permasalahan

1. Bagaimana konsep Dima’ al-Mar’ah di dalam Risalah al-Mahid ?

2. Bagaimana respons santri terhadap kitab Risalah al-Mahid sebagai pe-doman haid para santri di Pondok Pesantren Manbail Futuh, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban ?

Kajian Pustaka

Penelitian terhadap kitab-kitab fiqih yang berkenaan dengan dima’ al-mar’ah telah dilakukan oleh para peneliti, di antaranya Nurhuda. Judul pene-litiannya yaitu Studi Kritis tentang Fiqh Dima’ al-Mar’ah dalam Kitab-Kitab Fiqh Klasik (Mencari Rumus Baru yang Lebih Praktis). Penelitiannya men-gacu pada beberapa kitab fiqih, yaitu : Bidayatul Mujtahid, Fiqhus Sunnah, Risalah ad-Dima’’ at Thabi’iyyah lin Nisa’, Fiqh Syafi’i, dan Kifayatul Ahyar.

Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada perbedaan pada kitab-kitab fikh tersebut dalam masalah penentuan masa haid maupun masa menapouse dan tidak ada rumus tentang haid yang dapat dipegangi secara pasti baik me-ngenai kapan mulainya maupun berapa lamanya serta hal-hal lainnya. Hal ini karena masing-masing perempuan memiliki karakter haid sendiri-sendiri.

Kemudian, dari lima kitab fiqh yang dijadikan contoh kiranya yang pa-ling praktis menjadi pedoman bagi perempuan yang haid tidak teratur adalah kitab Risalah ad-Dima’ at-Thabi’iyyah lin Nisa’ karya Muhammad Shaleh al-Utsaimin.

Penelitian Nurhuda mencoba membandingkan konsep dima’ al-mar’ah dalam beberapa kitab fikih yang dicocokkan dengan siklus haid kaum ibu yang memiliki haid tidak teratur. Sedangkan penelitian tentang kitab Risalah al-Mahid ini yaitu ingin melihat respons para santri terhadap kitab Risalah al-Mahid kaitannya dengan urgensi kitab sebagai pedoman bagi para santri-wati yang berada pada masa-masa awal mengalami haid.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis wacana kritis. Analisis Wacana kritis menyebutkan bahwa wacana merupakan salah satu ele-men di antara banyak aspek dalam praktik sosial atau dengan kata lain teks individu bergantung pada unsur-unsur dan teks-teks yang lain, (Jorgensen & Philips, 2007 :12)

Analisis wacana kritis dipilih dan digunakan karena analisis ini memi-liki lima karakteristik utama. Karakteristik-karakteristik tersebut meliputi : tindakan, konteks, historis, kekuasaaan dan ideologis. Tindakan maksudnya adalah wacana dipahami sebagai sebuah tindakan atau disamakan dengan in-teraksi sosial di ruang terbuka. Orang berbicara atau menulis diartikan tidak hanya berbicara atau menulis untuk dirinya sendiri namun juga untuk ber-

didikan di pondok pesantren. Kitab fikih senantiasa diajarkan dari tingkat pendidikan dasar yang biasa disebut Diniyyah hingga tingkat pendidikan tinggi yang biasa disebut Ma’had ‘Ali., Kitab fikih dapat dikatakan menjadi acuan utama dalam proses pengajaran di pondok pesantren terutama yang bertipe salaf.

Kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren di antaranya Fath al-Qarib, Kifayatul Akhyar, I’anatut Thalibin, Fath al-Wahab, Safinah, Sulam Taufiq, dan masih banyak lagi lainnya. Selain kitab-kitab fikih yang telah dise-butkan, ada juga kitab fikih yang berkenaan dengan fikih mar’ah misalnya kitab Uqud al-Lujjayn dan kitab Risalah al-Mahid.

Kitab Risalah al-Mahid merupakan sebuah risalah yang membahas ma-salah fikih perempuan dengan tema utama dima’ al-mar’ah khususnya haid. Haid menjadi sunatullah bagi kaum hawa sejak zaman manusia pertama diciptakan. Haid yang terjadi pada perempuan memberikan implikasi pada aspek ta’abudi (ibadah) yang dilakukannya. Perempuan yang sedang meng-alami haid tidak dapat melaksanakan ibadah salat, membaca al-Qur’an, i’tikaf, dan lainnya. Hukum-hukum tersebut muncul dikarenakan adanya haid yang terjadi pada seorang perempuan.

Kitab Risalah al-Mahid diajarkan di pondok pesantren berkaitan dengan kebutuhan para santri akan materi tentang dima’ al-mar’ah. Bagi para perem-puan (santri puteri) ketika pertama kali mengalami haid, mereka merasa ke-bingungan dan memerlukan panduan serta pengetahuan yang benar menge-nai haid. Hal ini menjadi salah satu bagian dari respons para santri terhadap urgensi kitab Risalah al-Mahid, di samping banyak hal lainnya.

Persoalan penting lainnya tentu berkaitan dengan bagaimana cara para ustadzah saat menerangkan persoalan haid, nifas, dan istihadhah berdasar-kan pemahaman mereka kaitannya dengan amaliah ibadah sehari-hari. Dan pemilihan kitab Risalah al-Mahid untuk diajarkan kepada para santri ber-kaitan pula dengan madzhab Syafi’i yang dianut pada sebagian besar Pondok Pesantren salaf.

Nilai penting selanjutnya dari kitab Risalah al-Mahid ini yaitu kedudu-kannya sebagai salah satu karya ulama nusantara yang seharusnya mendapat-kan apresiasi tinggi dalam bidangnya. Dan dari sisi ini, kitab Risalat al-Mahid menjadi lebih menarik untuk dikaji lebih lanjut. Kitab Risalah al-Mahid dika-rang oleh seorang ulama dari Demak yang bernama K.H. Masruhan.

Kitab Risalah al-Mahid ditulis saat kiai Masruhan masih tinggal di desa Berumbung, Demak sekitar tahun 1956. Kitab risalah ini dikarang dengan merujuk pada ajaran-ajaran tentang haid yang tercantum di dalam kitab-kitab klasik dan ditulis menggunakan huruf Arab Jawi (pegon). Pengarang menulis kitab ini karena melihat masih jarang sekali kitab-kitab yang khusus membahas masalah perempuan khususnya masalah dima’ al-mar’ah. Hal ini-lah yang menarik untuk diteliti.

Page 91: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

246 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

umi Masf iah

hubungan dengan orang lain seperti untuk mempengaruhi, membujuk, me-nyanggah, atau mendebat dan lainnya.

Konteks maksudnya adalah wacana di sini dipandang, diproduksi, di-mengerti, dan dianalisis pada konteks tertentu seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Di antara konteks yang mempengaruhi terhadap produksi wa-cana adalah ; (1) partisipan wacana, siapa yang memproduksi wacana meli-puti beberapa hal sebagai berikut ; umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, dan agama. (2) setting sosial tertentu, misalnya, waktu, posisi, dan lingkungan fisik.

Historis yang berarti bahwa wacana tidak bisa terlepas dari konteks yang menyertainya, sehingga untuk mengetahui makna teks tertentu harus me-ngetahui konteks sejarahnya. Kekuasaan ; dalam analisis wacana kritis kekuasaan dipertimbangkan sebagai elemen penting karena wacana yang muncul baik dalam bentuk teks maupun percakapan bukanlah sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan pertarungan kekuasaan. Kelima, ideologi; wacana dipandang sebagai medium bagi kelompok dominan untuk mempengaruhi, membujuk, mempersuasi khalayak masyarakat dalam rang-ka melegitimasi tindakan mereka karena biasanya, ideologi diproduksi dan dibangun oleh kelompok dominan untuk mengabsahkan dominasi mereka (Bungin, 2007 ; 198-200 : Jorgensen & Philips, 2007).

Analisis wacana kritis ini dioperasionalisasikan dalam menelaah teks Risalah al-Mahiḍ. Lima komponen dalam analisis ini dilihat secara lebih men-dalam, misalnya : (1) Bagaimana teks Risalah al-Mahid bisa disebut sebagai tindakan yang berupaya mengkomunikasikan pesan dalam teks kepada pem-bacanya atau masyarakat, (2) konteks yang melingkupi yakni meliputi kondisi sosial di mana teks tersebut diproduksi dan latar dari penulis / penyunting atau penyalin naskah, (3) Kitab Risalah al-Mahid dilihat dari konteks sejarah yang menyertainya seperti bagaimana kekuasaan dan ideologi yang ada pada waktu kitab ditulis.

hAsil PenelitiAn

Identifikasi Kitab Risalah al-Mahid

1. Sampul kitab

Judul kitab Risalah al-Mahid ditulis pada pojok kiri atas sebelah kan-an menggunakan tulisan kaligrafi dalam sebuah lingkaran yang diberi war-na merah. Di bawahnya hingga menutup separuh lingkaran tersebut ditulis Limaratibiha Masruhan Ihsan Berumbung. Di bawah tulisan tersebut ter-dapat hiasan warna merah seperti cahaya yang memancar. Di bawahnya lagi terdapat tulisan qul huwa aza, yang ditulis agak miring ke atas menggunakan tinta warna biru dan diberi tanda seru sebanyak 5 buah.

Page 92: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

247Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

umi Masf iah

Disebelah kiri tulisan qul huwa aza ditulis dengan mendatar tulisan: “fa’tazilunnisa filmahîd la taqrabûhunna hatta yathurna faiża tatahharna fa’tu mun haidu amarakumullâh innallâha yuhibbutawwâbîna wa yuhibbul mutatahirîna.”

Pada bagian tengah, hampir memenuhi separuh halaman dan meng-habiskan bagian pojok kiri bawah terdapat gambar bola dunia (globe) yang diatasnya terdapat buku dan gambar lentera. Di sebelah kanan lentera ter-dapat tulisan: ”yasalûnaka ‘anil mahîd” dan diberi tanda tanya serta diberi tanda panah yang menunjuk kepada corong lentera. Jika dilihat secara kes-eluruhan halaman sampul, seolah-olah ada sinar matahari yang sedang men-erangi dunia.

2. Fisik Kitab

Kitab Risalah al-Mahid ditulis menggunakan huruf Arab dan berbaha-sa Jawa yang ditulis pada kertas biasa seperti kertas buram. Tulisanya jelas, ditulis menggunakan tinta warna hitam, dan mudah dibaca. Terdiri atas 47 halaman yang ditulis bolak balik. Jumlah baris pada tiap halaman tidak selalu sama, tetapi tulisan secara umum memenuhi keseluruhan halaman.

Bentuk karangan berupa risalah yang terdiri atas bab-bab. Pada tiap bab permasalahan yang dikemukakan berdiri sendiri, dalam arti setiap pemba-hasan tidak selalu saling berhubungan atau menyambung dari bab sebelum atau sesudahnya.

Kitab Risalah al-Mahid tidak memiliki halaman kosong. Penomoran hala-man terdapat di atas dan berada di tengah halaman. Di sebelah kanan nomor halaman mulai halaman 2 sampai halaman 7 ditulis muqaddimah, se-dangkan di sebelah kiri nomor halaman ditulis al-muratib.Sedangkan mulai halaman 8 sampai halaman 47, di sebelah kanan nomor halaman ditulis ri-salat dan di sebelah kiri nomor halaman ditulis al-mahid.

Iluminasi1 terdapat pada bagian sampul kitab dan pada bagian belakang kitab. Iluminasi pada sampul kitab berupa cahaya matahari dan gambar bola dunia serta lentera, sedangkan di lembar belakang kitab terdapat gambar ka-ligrafi dengan tulisan al-Quddus al-Salâmu. Tidak terdapat informasi pener-bit maupun tahun penerbitan.

3. Isi Kitab

Isi kitab Risalah al-Mahid yang diuraikan pada bab ini tidak mencakup keseluruhan isi kitab karena hanya menfokuskan pada dua hal yang diang-gap seabagai tema utama kitab. Tema yang dimaksud yaitu masalah dima’ al-mar’ah dan tentang qada salat bagi perempuan yang sedang haid, nifas, maupun istihadhah. Kedua tema tersebut yaitu :

a. Dima’ al-Mar’ah

1. Gambar yang biasanya terdapat dalam naskah-naskah berfungsi sebagai hiasan dan bi-asanya merupakan simbol dengan makna-makna tertentu

Page 93: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

248 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

umi Masf iah

Dima’ al-mar’ah atau darah perempuan termasuk bagian dari pemba-hasan fikih bab taharah (bersuci). Dan wilayah fikih dima’ al-mar’ah men-cakup wilayah sebagai berikut : pertama, haid yang meliputi: usia datang-nya haid, masa terjadinya haid, warna-warna darah, masa berhentinya haid, hal-hal yang dilarang, dan kewajiban orang yang haid. Kedua, nifas yang me-liputi: masa terjadinya nifas, warna darah nifas, hal-hal yang dilarang, dan kewajiban orang yang terkena nifas. Ketiga, Istihadhah yang meliputi: masa terjadinya istihadhah, warna darah istihadhah, hal-hal yang dilarang, dan ke-wajiban orang yang sedang istihadhah.

Kitab Risalah al-Mahid di dalamnya juga telah membahas persoalan dima’ al-mar’ah. Secara lebih rinci konsep dima’ al-mar’ah di dalam kitab Risalah al-Mahîḍ adalah sebagai berikut :

1). Darah Haid

Asbabun nuzul turunnya ayat al-Qur’an tentang haid yaitu adanya per-tanyaan-pertanyaan kepada Nabi Muhammad Saw. tentang masalah perem-puan yang mengalami haid. Pada waktu itu ada beberapa hukum yang diter-apkan kepada perempuan yang mengalami haid.

Bagi kaum Yahudi, hukum terhadap perempuan yang mengalami haid sangat keras. Mereka dilarang makan bersama-sama, duduk-duduk bersama, bahkan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat perempuan yang sedang haid juga dilarang. Sedangkan bagi kaum Nasrani sebaliknya hukum terha-dap perempuan yang sedang haid sangat longgar, tidak ada hukum apapun yang dikenakan padanya.

Kondisi tersebut menyebabkan banyak orang bertanya kepada nabi Saw. tentang bagaimana sebaiknya menghukumi perempuan yang sedang haid. Lalu turunlah ayat yang menyatakan bahwa darah haid itu kotor sehingga perempuan yang sedang haid dilarang untuk digauli, dan dilarang melakukan ibadah-ibadah lainnya seperti salat dan sebagainya.

Haid yang terjadi pada perempuan mengandung hikmah yang tidak se-dikit, di antaranya yaitu : dengan adanya darah haid yang bercampur dengan mani, maka terbentuklah seorang bayi, haid dapat menjadi pertanda telah se-lesainya iddah, haid dapat menjadi pertanda bahwa seorang perempuan tidak hamil, dan masih banyak lagi hikmah-hikmah lainnya.

Seorang perempuan mengalami haid paling sedikit berumur 9 tahun atau 9 tahun kurang 14 atau 16 hari. Jika sedang mengalami haid, seorang perem-puan dilarang melaksanakan salat, sujud tilawah, sujud syukur, towaf, puasa, i’tikaf, masuk masjid, membaca al-Qur’an, membawa atau menulis al-Qur’an, berjima’ (berhubungan badan) termasuk bersenang-senang di antara pusar dan lutut serta tidak boleh diceraikan. Seorang perempuan setelah haidnya selesai ia wajib melaksanakan mandi wajib dengan syarat-syarat tertentu.

Masa berlangsungnya haid paling sedikit 24 jam secara terus menerus

Page 94: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

249Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

umi Masf iah

atau lebih dari 24 jam meskipun secara terputus-putus tetapi dengan jum-lah darah jika dikumpulkan cukup sejumlah darah jika dikeluarkan sehari se-malam. Demikian pula jika mengeluarkan darah selama 5 sampai 7 hari tetapi darah yang dikeluarkan tidak cukup memenuhi syarat sejumlah darah yang dikeluarkan selama 24 jam secara terus menerus, maka tidak dapat dihukumi sebagai darah haid. Sedangkan masa haid yang paling banyak yaitu 15 hari, sehingga jika melebihi 15 hari maka disebut darah istihadhah.

Masa haid umumnya terjadi selama enam (6) atau tujuh (7) hari sehingga masa sucinya berkisar antara 24 atau 23 hari. Jumlah hari tersebut jika diga-bungkan jumlahnya menjadi genap selama 30 hari.

Adapun masa suci antara haid dengan haid yang akan datang tidak ada batasnya, karena terkadang ada perempuan yang dalam waktu satu tahun hanya mengalami haid sekali saja. Contohnya sayyidina Fatimah az-Zahra. Bahkan ketika melahirkan anaknya pada waktu tenggelamnya matahari sam-pai magrib sudah suci dari nifas, lalu melaksanakan shalat.

Darah haid itu bermacam-macam, baik dari segi sifat ataupun bentuknya, sesuai dengan jenis darahnya apakah termasuk darah kuat atau darah lemah (do’if). Warna darah kuat yaitu merah agak kehitaman atau kelabu atau merah muda. Sedangkan darah lemah itu berwarna kuning atau keruh atau cair.

Bagi seorang perempuan yang ketika datangnya haid belum melak-sanakan salat, maka ia wajib meng-qada salat yang belum dilaksanakan terse-but. Bahkan untuk salat yang bisa di-jamak, maka salat yang di-qada adalah kedua salat yang bisa di-jamak tersebut.

2). Darah Nifas

Nifas yaitu darah yang keluar sesudah melahirkan seorang anak. Lamanya nifas tidak tentu, ada yang cuma satu tetes, satu haru, atau tiga hari. Umumnya nifas yaitu selama 40 hari. Dan lamanya nifas tidak lebih dari 60 hari. Jika lebih dari 60 hari termasuk darah istihadhah.

3). Darah Istihadhah

Darah istihadhah di dalam kitab Risalah al-Mahid tidak disebutkan dalam bab khusus tetapi masuk ke dalam pembahasan haid dan nifas. Di antara pembahasan-pembahasan tentang darah istihadhah disebutkan mi-salnya ; umumnya nifas yaitu selama 40 hari, dan lamanya nifas tidak lebih dari 60 hari. Jika lebih dari 60 hari termasuk darah istihadhah. Atau ketika membahas haid disinggung tentang darah istihadhah dengan kalimat : jika mengeluarkan darah selama 5 sampai 7 hari tetapi darah yang dikeluarkan ti-dak cukup memenuhi syarat sejumlah darah yang dikeluarkan selama 24 jam secara terus menerus, maka itu bukan darah haid tetapi istihadhah.

b. Tata Cara Men-qada Salat Bagi Perempuan yang Haid, dan Nifas

Bagi seorang perempuan yang ketika datangnya haid belum melak-sanakan salat, maka ia wajib meng-qada salat yang belum dilaksanakan terse-

Page 95: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

250 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

umi Masf iah

tertulis di pojok kanan atas pada halaman sampul kitab. Nama ayahnya Ihsan, sehingga nama yang digunakan menjadi Masruhan Ihsan. Lahir pada tahun 1921 di dusun Sendang Delik Kelurahan Sumberejo Kecamatan Mranggen. Karena kondisinya, Masruhan menghabiskan masa kecilnya di desa. Ia tidak sempat mengenyam pendidikan formal, tetapi memiliki semangat untuk me-nimba ilmu yang sangat besar. Terbukti saat usianya menapak remaja, ke-inginanannya untuk menuntut ilmu keluar dari desanya tidak dapat dicegah. Dengan air mata berurai Masruhan Ihsan remaja memohon kepada kedua orang tuanya untuk diijinkan menuntut ilmu. Akhirnya beliau diijinkan, teta-pi tanpa diberi bekal sedikitpun.

Masruhan Ihsan remaja pun kemudian pergi berkelana dengan berjalan kaki. Atas petunjuk yang diterimanya untuk berjalan ke arah Timur, sampailah ia di Bandungsari, Grobogan. Pada saat itu, di Bandungsari terdapat pondok pesantren paling tua di antara pondok-pondok pesantren di sekitarnya. Di Bandungsari inilah Masruhan remaja mulai menimba ilmu hingga beberapa tahun kemudian. Setelahnya, ia menimba ilmu di Tremas, Jawa Timur. Di Tremas, Masruhan bersahabat dengan mbah Maemun Zubair dari Rembang.

Selama menjadi santri kelana, Masruhan muda selalu melaksanakan “puasa dalalil”. Berdasarkan kisah dari mbah Maemun Zuber yang diceritakan kembali oleh ibu Azizah (57 th), putri kedua kyai Masruhan, bahwa mbah kyai Masruhan kalau makan nasinya dicampur dengan pasir. Jadi makan sambil memilah antara nasi dan pasir. Dengan demikian waktu makannya lama teta-pi sebenarnya yang dimakan hanya sedikit. Manfaatnya untuk melatih dirinya dari nafsu makan yang berlebihan. Dan makan dengan dicampur pasir ini, di kalangan santri salafiyah merupakan salah satu bentuk “laku priyatin” yang dilakukan dengan tujuan agar tercapai apa yang dicita-citakannya. (wawan-cara dengan ibu Azizah, 19 Nopember 2009)

Selesai menuntut ilmu di Tremas, Masruhan kembali ke Demak untuk belajar tahfidz al-Qur’an tepatnya di pondok pesantren Betengan, Demak. Setelah khatam tahfidz al-Qur’an, beliau melanjutkan menimba ilmu di Banten dalam rangka tabarukan (mencari berkah) dari para kyai sepuh. Perjalanan ke Banten pada waktu itu juga ditempuh dengan berjalan kaki.

Tahun 1949 kiai Masruhan kembali ke desanya lalu beliau dinikahkan den-gan putri kiai Muhdhar yang bernama Nyai Hj. Mahsunah dari Karanganyar, Kecamatan Tugu, Kabupaten Semarang. Setelah menikah, kiai Masruhan dan keluarganya tinggal di desa Berumbung, Demak hingga tahun 1956. Pada ta-hun 1951 dikarunia anak pertama, menyusul tahun 1953 putri kedua dan se-lanjutnya hingga semuanya berjumlah 9 orang. Dari 9 orang anaknya, satu orang telah meninggal dunia sehingga saat ini tinggal 4 orang putra dan 4 orang putri.

Kiai Masruhan dan keluarga tidak lama tinggal di Berumbung kare-na pada saat itu beliau banyak dimusuhi oleh orang-orang di sekitarnya.

but. Bahkan untuk salat yang bisa di-jama’, maka salat yang di-qada adalah kedua salat yang bisa di-jama’ tersebut. Ketentuan tentang qada yaitu :

1). Jika datangnya haid pada waktu duhur dan belum melaksanakan salat duhur maka ia diwajibkan meng-qada salat duhur dan salat asar

2). Jika datangnya haid pada waktu salat asar dan ia belum melaksanakan salat asar maka ia diwajibkan meng-qada salat asar

3). Jika datangnya haid pada waktu salat magrib dan ia belum melaksanakan salat magrib maka ia diwajibkan meng-qada salat magrib dan isya

4). Jika datangnya haid pada waktu isya dan ia belum melaksanakan salat isya maka ia diwajibkan meng-qada salat isya

5). Jika datangnya haid pada waktu salat subuh dan ia belum melaksanakan salat subuh maka ia diwajibkan meng-qada salat subuh

Jadwal qada salat berkaitan dengan berhentinya masa haid. Jadwal yang diajarkan di dalam kitab Risalah al-Mahid, sebagai berikut :

1). Jika berhentinya haid pada waktu subuh, maka ia dapat langsung menger-jakan salat subuh

2). Jika berhentinya haid pada waktu salat isya maka ia dapat melaksanakan salat isya dan meng-qada salat magrib

3). Jika berhentinya haid pada waktu salat magrib maka ia dapat langsung mengerjakan salat magrib

4). Jika berhentinya haid pada waktu salat asar maka ia dapat melaksanakan salat asar dan meng-qada salat duhur

5). Jika berhentinya haid pada waktu salat duhur maka ia dapat langsung mengerjakan salat duhur

Jadwal qada salat berkaitan dengan berhentinya haid pada waktu yang sempit, sehingga tidak cukup untuk bersuci dan takbiratul ihram yaitu :

1). Jika berhentinya pada waktu subuh, maka salat subuh di qaḍa

2). Jika berhentinya pada waktu salat isya maka salat isya dan magrib di qaḍa

3). Jika berhentinya pada waktu salat magrib, maka salat magrib di-qada

4). Jika berhentinya pada waktu salat asar, maka salat asar dan duhur di-qada

5). Jika berhentinya pada waktu salat duhur, maka salat duhur di-qada

Biografi Pengarang kitab Risalah al-Mahid2

a. KH. Masruhan Ihsan dari Berumbung

Nama pengarang kitab Risalah al-Mahid yaitu Masruhan sebagaimana

2. Disusun berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Azizah, puteri kedua almarhum kiai Masruhan. Wawancara dilakukan pada tanggal 9 Nopember 2009

Page 96: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

251Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

umi Masf iah

tertulis di pojok kanan atas pada halaman sampul kitab. Nama ayahnya Ihsan, sehingga nama yang digunakan menjadi Masruhan Ihsan. Lahir pada tahun 1921 di dusun Sendang Delik Kelurahan Sumberejo Kecamatan Mranggen. Karena kondisinya, Masruhan menghabiskan masa kecilnya di desa. Ia tidak sempat mengenyam pendidikan formal, tetapi memiliki semangat untuk me-nimba ilmu yang sangat besar. Terbukti saat usianya menapak remaja, ke-inginanannya untuk menuntut ilmu keluar dari desanya tidak dapat dicegah. Dengan air mata berurai Masruhan Ihsan remaja memohon kepada kedua orang tuanya untuk diijinkan menuntut ilmu. Akhirnya beliau diijinkan, teta-pi tanpa diberi bekal sedikitpun.

Masruhan Ihsan remaja pun kemudian pergi berkelana dengan berjalan kaki. Atas petunjuk yang diterimanya untuk berjalan ke arah Timur, sampailah ia di Bandungsari, Grobogan. Pada saat itu, di Bandungsari terdapat pondok pesantren paling tua di antara pondok-pondok pesantren di sekitarnya. Di Bandungsari inilah Masruhan remaja mulai menimba ilmu hingga beberapa tahun kemudian. Setelahnya, ia menimba ilmu di Tremas, Jawa Timur. Di Tremas, Masruhan bersahabat dengan mbah Maemun Zubair dari Rembang.

Selama menjadi santri kelana, Masruhan muda selalu melaksanakan “puasa dalalil”. Berdasarkan kisah dari mbah Maemun Zuber yang diceritakan kembali oleh ibu Azizah (57 th), putri kedua kyai Masruhan, bahwa mbah kyai Masruhan kalau makan nasinya dicampur dengan pasir. Jadi makan sambil memilah antara nasi dan pasir. Dengan demikian waktu makannya lama teta-pi sebenarnya yang dimakan hanya sedikit. Manfaatnya untuk melatih dirinya dari nafsu makan yang berlebihan. Dan makan dengan dicampur pasir ini, di kalangan santri salafiyah merupakan salah satu bentuk “laku priyatin” yang dilakukan dengan tujuan agar tercapai apa yang dicita-citakannya. (wawan-cara dengan ibu Azizah, 19 Nopember 2009)

Selesai menuntut ilmu di Tremas, Masruhan kembali ke Demak untuk belajar tahfidz al-Qur’an tepatnya di pondok pesantren Betengan, Demak. Setelah khatam tahfidz al-Qur’an, beliau melanjutkan menimba ilmu di Banten dalam rangka tabarukan (mencari berkah) dari para kyai sepuh. Perjalanan ke Banten pada waktu itu juga ditempuh dengan berjalan kaki.

Tahun 1949 kiai Masruhan kembali ke desanya lalu beliau dinikahkan den-gan putri kiai Muhdhar yang bernama Nyai Hj. Mahsunah dari Karanganyar, Kecamatan Tugu, Kabupaten Semarang. Setelah menikah, kiai Masruhan dan keluarganya tinggal di desa Berumbung, Demak hingga tahun 1956. Pada ta-hun 1951 dikarunia anak pertama, menyusul tahun 1953 putri kedua dan se-lanjutnya hingga semuanya berjumlah 9 orang. Dari 9 orang anaknya, satu orang telah meninggal dunia sehingga saat ini tinggal 4 orang putra dan 4 orang putri.

Kiai Masruhan dan keluarga tidak lama tinggal di Berumbung kare-na pada saat itu beliau banyak dimusuhi oleh orang-orang di sekitarnya.

but. Bahkan untuk salat yang bisa di-jama’, maka salat yang di-qada adalah kedua salat yang bisa di-jama’ tersebut. Ketentuan tentang qada yaitu :

1). Jika datangnya haid pada waktu duhur dan belum melaksanakan salat duhur maka ia diwajibkan meng-qada salat duhur dan salat asar

2). Jika datangnya haid pada waktu salat asar dan ia belum melaksanakan salat asar maka ia diwajibkan meng-qada salat asar

3). Jika datangnya haid pada waktu salat magrib dan ia belum melaksanakan salat magrib maka ia diwajibkan meng-qada salat magrib dan isya

4). Jika datangnya haid pada waktu isya dan ia belum melaksanakan salat isya maka ia diwajibkan meng-qada salat isya

5). Jika datangnya haid pada waktu salat subuh dan ia belum melaksanakan salat subuh maka ia diwajibkan meng-qada salat subuh

Jadwal qada salat berkaitan dengan berhentinya masa haid. Jadwal yang diajarkan di dalam kitab Risalah al-Mahid, sebagai berikut :

1). Jika berhentinya haid pada waktu subuh, maka ia dapat langsung menger-jakan salat subuh

2). Jika berhentinya haid pada waktu salat isya maka ia dapat melaksanakan salat isya dan meng-qada salat magrib

3). Jika berhentinya haid pada waktu salat magrib maka ia dapat langsung mengerjakan salat magrib

4). Jika berhentinya haid pada waktu salat asar maka ia dapat melaksanakan salat asar dan meng-qada salat duhur

5). Jika berhentinya haid pada waktu salat duhur maka ia dapat langsung mengerjakan salat duhur

Jadwal qada salat berkaitan dengan berhentinya haid pada waktu yang sempit, sehingga tidak cukup untuk bersuci dan takbiratul ihram yaitu :

1). Jika berhentinya pada waktu subuh, maka salat subuh di qaḍa

2). Jika berhentinya pada waktu salat isya maka salat isya dan magrib di qaḍa

3). Jika berhentinya pada waktu salat magrib, maka salat magrib di-qada

4). Jika berhentinya pada waktu salat asar, maka salat asar dan duhur di-qada

5). Jika berhentinya pada waktu salat duhur, maka salat duhur di-qada

Biografi Pengarang kitab Risalah al-Mahid2

a. KH. Masruhan Ihsan dari Berumbung

Nama pengarang kitab Risalah al-Mahid yaitu Masruhan sebagaimana

2. Disusun berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Azizah, puteri kedua almarhum kiai Masruhan. Wawancara dilakukan pada tanggal 9 Nopember 2009

Page 97: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

252 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

umi Masf iah

Respons Santri Putri Pondok Pesantren Manbail Futuh Terhadap Kitab Risalah al-Mahid

1. Sejarah Pondok Pesantren Manbail Futuh

Pondok pesantren Manbail Futuh terletak di desa Beji Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban Propinsi Jawa Timur. Pondok pesantren ini terletak di be-lakang masjid Baiturrahman Beji, Jenu, Tuban. Pesantren Manbail Futuh dan merupakan pondok pesantren tertua di Kecamatan Jenu yang berdiri pada tahun 1925. Didirikan oleh bapak Said, ayah dari KH. Fathurrahman putera semata wayangnya.

2. Keadaan Santri

Pondok pesantren Manbail Futuh yang dirintis oleh KH. Fathurrahman hingga sekarang telah berkembang cukup pesat. Saat ini tercatat kurang leb-ih 2.000 santri yang mengikuti kegiatan sekolah formal di lingkungan pon-dok pesantren Manbail Futuh. Dari tingkat Taman Kanak-Kanak, Madrasah Tsanawiyah, hingga Madrasah Aliyah.

Selain para santri yang sekolah formal terdapat para santri yang selain sekolah formal juga mondok di Pesantren Manbail Futuh. Jumlahnya seki-tar 500 santri putera dan santri puteri. Para santri ini mendapat tambahan ilmu agama khusus dari pondok yang diajarkan diluar waktu sekolah, yaitu Madrasah Diniyah dan pengajian pondok.

Madrasah Diniyyah tidak hanya diperuntukkan bagi para santri yang mondok, tetapi juga dibuka bagi para santri yang tidak mondok atau anak-anak dari masyarakat di sekitar pondok. Madrasah Diniyyah puteri masuk pada waktu pagi sedangkan Madrasah Diniyyah putera masuk pada waktu siang hari.

Kajian kitab-kitab kuning atau pengajian yang khusus bagi santri yang mondok dilakukan sehabis salat Asyar dan Isya ditambah pengajian al-Qur’an sesudah salat Subuh. Mereka mendapat bimbingan langsung dari para pen-gasuh pondok yaitu KH Muslich Abdurahim, KH. Fathurrahman Mizan, KH. Muhiddin Romli, K. Zaenal Arifin, dan KH. Son Haji Abdil Hadi.

Para santri yang mondok di Pondok Pesantren Manbail Futuh tempat tinggalnya terpisah-pisah pada tempat yang berbeda tetapi masih dalam komplek Pondok Pesantren Manbail Futuh. Masing-masing lokasi terdiri atas beberapa orang santri dan memiliki pengasuh tersendiri. Sehingga dapat di-katakan, di dalam komplek Pondok Pesantren Manbail Futuh terdapat be-berapa pondok dengan nama dan pengasuh masing-masing, tetapi berada di bawah satu payung yayasan Manbail Futuh. Hal ini dilakukan agar setiap santri mendapat perhatian dan bimbingan yang maksimal. Meskipun demiki-an, kepemimpinan tertinggi tetap dipegang oleh kiai sepuh yaitu KH Muslich Abdurahim. Pondok Pesantren-Pondok Pesantren yang berada dikomplek

Lingkungannya saat itu banyak dihuni kalangan abangan yang tidak menyu-kai pegiat agama. Lagi pula tahun 1950-an waktunya dekat dengan tumbuh-nya gerakan G 30 S/PKI. Dengan kondisi tersebut akhirnya pada tahun 1956, kiai Masruhan dan keluarga pindah ke Mranggen.

Kiai Masruhan mulai menulis setelah beliau menikah. Dan kitab Risalat al-Mahid ditulis saat beliau masih tinggal di desa Berumbung, Demak sekitar tahun 1955. Kitab Risalat al-Mahid dikarang karena kiai Masruhan melihat masih jarang sekali kitab-kitab yang khusus membahas masalah perempuan terutama masalah dima’ al-mar’ah. Kitab Risalat al-Mahid disusun dengan merujuk pada ajaran-ajaran tentang haid yang tercantum pada kitab-kitab klasik.

Kiai Masruhan sebagai pengarang telah meniatkan Kitab Risalat al-Mahîḍ sebagai amal jariyah ilmu yang bermanfaat, yang pahalanya senantiasa me-ngalir meskipun orangnya telah meningal dunia. Oleh karenanya meskipun sampai sekarang kitab Risalat al-Mahid masih banyak beredar di toko-toko kitab, akan tetapi dari pihak keluarga sebagai pewarisnya tidak memperma-salahkan meskipun tidak mendapatkan keuntungan duniawi.

Pengarang kitab Risalat al-Mahid sangat menekankan para perempuan untuk berhati-hati dalam masalah ibadahnya. Hal ini dapat dilihat pada ajaran qada salat yang harus dilakukan oleh seorang perempuan ketika haid datang ataupun ketika berhenti haid belum sempat melaksanakan salat pada waktu kedatangan ataupun berhentinya. Dengan demikian, perempuan-perempuan akan memperhatikan ibadah salatnya, karena salat menjadi amal ibadah yang akan menjadi standar dari amal-amal ibadah lainnya. Dapat dikatakan se-seorang yang salatnya baik, maka amal-amal lainnya dinilai baik juga.

Kiai Masruhan Ihsan pergi melaksanakan ibadah haji pada tahun 1971 dengan menggunakan kapal laut. Beliau juga pernah menjadi pengurus pusat Thoriqat Naqsabandiyah yang membawa beliau bertemu presiden RI ke-2 pada saat dilantik menjadi presiden pertama kalinya. Kiai Masruhan mening-gal pada tahun 1984 setelah mengalami sakit stroke cukup lama.

b. Kitab-Kitab Karangannya

Kiai Masruhan mengarang beberapa kitab dan beliau termasuk salah satu ulama yang cukup produktif menulis. Selain kitab Risalat al-Mahid, ada beberapa kitab lain yang telah dikarangnya. Diantaranya :

1). Kitab hadis Joyoboyo

Kitab ini berisi nukilan hadis-hadis nabi Saw. yang isinya membahas tentang hari kiamat.

2). Kitab al-Maratus Shalihah

Kitab ini berisi panduan akhlak sehari-hari bagi anak puteri. Misalnya tentang sikap yang baik terhadap kedua orang tua, tamu, dan sebagainya. Ditulis menggunakan bahasa Jawa dan berhuruf Arab Jawi ( pegon).

Page 98: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

253Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

umi Masf iah

Respons Santri Putri Pondok Pesantren Manbail Futuh Terhadap Kitab Risalah al-Mahid

1. Sejarah Pondok Pesantren Manbail Futuh

Pondok pesantren Manbail Futuh terletak di desa Beji Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban Propinsi Jawa Timur. Pondok pesantren ini terletak di be-lakang masjid Baiturrahman Beji, Jenu, Tuban. Pesantren Manbail Futuh dan merupakan pondok pesantren tertua di Kecamatan Jenu yang berdiri pada tahun 1925. Didirikan oleh bapak Said, ayah dari KH. Fathurrahman putera semata wayangnya.

2. Keadaan Santri

Pondok pesantren Manbail Futuh yang dirintis oleh KH. Fathurrahman hingga sekarang telah berkembang cukup pesat. Saat ini tercatat kurang leb-ih 2.000 santri yang mengikuti kegiatan sekolah formal di lingkungan pon-dok pesantren Manbail Futuh. Dari tingkat Taman Kanak-Kanak, Madrasah Tsanawiyah, hingga Madrasah Aliyah.

Selain para santri yang sekolah formal terdapat para santri yang selain sekolah formal juga mondok di Pesantren Manbail Futuh. Jumlahnya seki-tar 500 santri putera dan santri puteri. Para santri ini mendapat tambahan ilmu agama khusus dari pondok yang diajarkan diluar waktu sekolah, yaitu Madrasah Diniyah dan pengajian pondok.

Madrasah Diniyyah tidak hanya diperuntukkan bagi para santri yang mondok, tetapi juga dibuka bagi para santri yang tidak mondok atau anak-anak dari masyarakat di sekitar pondok. Madrasah Diniyyah puteri masuk pada waktu pagi sedangkan Madrasah Diniyyah putera masuk pada waktu siang hari.

Kajian kitab-kitab kuning atau pengajian yang khusus bagi santri yang mondok dilakukan sehabis salat Asyar dan Isya ditambah pengajian al-Qur’an sesudah salat Subuh. Mereka mendapat bimbingan langsung dari para pen-gasuh pondok yaitu KH Muslich Abdurahim, KH. Fathurrahman Mizan, KH. Muhiddin Romli, K. Zaenal Arifin, dan KH. Son Haji Abdil Hadi.

Para santri yang mondok di Pondok Pesantren Manbail Futuh tempat tinggalnya terpisah-pisah pada tempat yang berbeda tetapi masih dalam komplek Pondok Pesantren Manbail Futuh. Masing-masing lokasi terdiri atas beberapa orang santri dan memiliki pengasuh tersendiri. Sehingga dapat di-katakan, di dalam komplek Pondok Pesantren Manbail Futuh terdapat be-berapa pondok dengan nama dan pengasuh masing-masing, tetapi berada di bawah satu payung yayasan Manbail Futuh. Hal ini dilakukan agar setiap santri mendapat perhatian dan bimbingan yang maksimal. Meskipun demiki-an, kepemimpinan tertinggi tetap dipegang oleh kiai sepuh yaitu KH Muslich Abdurahim. Pondok Pesantren-Pondok Pesantren yang berada dikomplek

Lingkungannya saat itu banyak dihuni kalangan abangan yang tidak menyu-kai pegiat agama. Lagi pula tahun 1950-an waktunya dekat dengan tumbuh-nya gerakan G 30 S/PKI. Dengan kondisi tersebut akhirnya pada tahun 1956, kiai Masruhan dan keluarga pindah ke Mranggen.

Kiai Masruhan mulai menulis setelah beliau menikah. Dan kitab Risalat al-Mahid ditulis saat beliau masih tinggal di desa Berumbung, Demak sekitar tahun 1955. Kitab Risalat al-Mahid dikarang karena kiai Masruhan melihat masih jarang sekali kitab-kitab yang khusus membahas masalah perempuan terutama masalah dima’ al-mar’ah. Kitab Risalat al-Mahid disusun dengan merujuk pada ajaran-ajaran tentang haid yang tercantum pada kitab-kitab klasik.

Kiai Masruhan sebagai pengarang telah meniatkan Kitab Risalat al-Mahîḍ sebagai amal jariyah ilmu yang bermanfaat, yang pahalanya senantiasa me-ngalir meskipun orangnya telah meningal dunia. Oleh karenanya meskipun sampai sekarang kitab Risalat al-Mahid masih banyak beredar di toko-toko kitab, akan tetapi dari pihak keluarga sebagai pewarisnya tidak memperma-salahkan meskipun tidak mendapatkan keuntungan duniawi.

Pengarang kitab Risalat al-Mahid sangat menekankan para perempuan untuk berhati-hati dalam masalah ibadahnya. Hal ini dapat dilihat pada ajaran qada salat yang harus dilakukan oleh seorang perempuan ketika haid datang ataupun ketika berhenti haid belum sempat melaksanakan salat pada waktu kedatangan ataupun berhentinya. Dengan demikian, perempuan-perempuan akan memperhatikan ibadah salatnya, karena salat menjadi amal ibadah yang akan menjadi standar dari amal-amal ibadah lainnya. Dapat dikatakan se-seorang yang salatnya baik, maka amal-amal lainnya dinilai baik juga.

Kiai Masruhan Ihsan pergi melaksanakan ibadah haji pada tahun 1971 dengan menggunakan kapal laut. Beliau juga pernah menjadi pengurus pusat Thoriqat Naqsabandiyah yang membawa beliau bertemu presiden RI ke-2 pada saat dilantik menjadi presiden pertama kalinya. Kiai Masruhan mening-gal pada tahun 1984 setelah mengalami sakit stroke cukup lama.

b. Kitab-Kitab Karangannya

Kiai Masruhan mengarang beberapa kitab dan beliau termasuk salah satu ulama yang cukup produktif menulis. Selain kitab Risalat al-Mahid, ada beberapa kitab lain yang telah dikarangnya. Diantaranya :

1). Kitab hadis Joyoboyo

Kitab ini berisi nukilan hadis-hadis nabi Saw. yang isinya membahas tentang hari kiamat.

2). Kitab al-Maratus Shalihah

Kitab ini berisi panduan akhlak sehari-hari bagi anak puteri. Misalnya tentang sikap yang baik terhadap kedua orang tua, tamu, dan sebagainya. Ditulis menggunakan bahasa Jawa dan berhuruf Arab Jawi ( pegon).

Page 99: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

254 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

umi Masf iah

Manbail Futuh diantaranya Pondok Pesantren Tahfidz, Pondok Pesantren al-Ma’shumah, Pondok Pesantren al-Masyitoh, dan Pondok Pesantren Puteri Manbail Futuh.

3. Visi dan Misi

Visi dan misi yang ingin dicapai oleh Pondok Pesantren Manbail Futuh yaitu mengedepankan akhlak dan fikih. 3

4. Pondok Pesantren Puteri al-Masyitoh

Pondok Pesantren Puteri al-Masyitoh merupakan salah satu pondok pe-santren yang berada di komplek Pondok Pesantren Manbail Futuh dan ber-ada di bawah naungan yayasan Manbail Futuh. Pondok Pesantren Puteri al-Masyitoh didirikan pada tahun 1991. Lokasi Pondok Pesantren berdekatan dengan kediaman KH. Muslich Abdurrahim, dan KH. Son Haji Abdul Hadi. Selain kedua pengasuh utama tersebut, terdapat ibu Nyai Shofiyatun, Ibu Muslimah, dan Ibu Ita. Ketiganya menjadi pengasuh Pondok Pesantren puteri baik dalam masalah pengajaran maupun dalam kegiatan sehari-hari.

Jumlah santri putri yang mendiami Pondok Pesantren al-Masyitoh tiap tahun mengalami perubahan, karena ada yang lulus sekolah dan ada yang baru masuk. Untuk tahun 2009 ini, jumlah santrinya ada 13 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah di sekitar Kabupaten Tuban. Usia mereka rata-rata antara 13 – 16 tahun.

Para santri puteri di Pondok Pesantren al-Masyitoh memiliki jad wal mengaji dan jadwal kegiatan yang cukup padat. Pagi hari sesudah salat Subuh mereka mengaji al-Qur’an kepada ibu Nyai Shofiyatun. Pukul 07.30-10.30 WIB mengikuti sekolah diniyyah. Siang hari mulai pukul 13.00 WIB – 17.00 WIB pergi sekolah di madrasah, ada yang masih duduk di Madrasah Tsanawiyah dan ada yang sudah duduk di bangku Madrasah Aliyah. Sesudah salat Magrib mereka masih mengikuti jadwal mengaji dengan ibu Muslimah atau Ibu Ita, mengkaji masalah akhlak dan fikih wanita. Saat ini, kitab yang dikaji yaitu kitab Washoya dibawah bimbingan ibu Muslimah. Sedangkan ibu Ita mengajarkan masalah fikih wanita.

Pengajaran fiqhunnisa yang dilakukan oleh ustadzah Muslimah dan ustadzah Ita dilakukan dengan sistem bandongan dan disertai tanya jawab. Sistem ini memungkinkan para santri putri dapat mempertanyakan hal-hal yang belum dipahami sampai mereka benar-benar paham. Biasanya ustadzah akan menanyakan kepada para santri dengan pertanyaan: “apakah kalian su-dah paham ?” (wawancara dengan ustadzah Muslimah, 12 Oktober 2009)

Kegiatan setelah mengaji fiqhunnisa selanjutnya salat Isya dilanjut-kan mengaji kitab kuning dengan pengasuh pondok, yaitu KH Muslich

3. Wawancara dengan ibu Ita tanggal 16 Oktober 2009

Page 100: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

255Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

umi Masf iah

Abdurrahim. Kitab yang dikaji kitab Fath al-Qarib. Pengajian kitab Fath al-Qarib ini dilakukan secara bersama-sama dengan santri putera. Hanya tem-patnya saja yang dibedakan. Sistem pengajiannya bandongan, santri hanya menyimak dan mendengarkan kiai menerangkan materi di dalam kitab.

5. Respons Santri Puteri terhadap Kitab Risalah al-Mahid

Respons santri puteri Pondok Pesantren Manbail Futuh diwakili oleh santri putri Pondok Pesantren al-Masyitoh. Pondok Pesantren ini berada di komplek Pondok Pesantren Manbail Futuh dan berada di bawah nau-ngan yayasan Manbail Futuh. Sehingga, mereka tetap disebut sebagai santri Pondok Pesantren Manbail Futuh.4 Wawancara dilakukan terhadap 11 orang santriwati Pondok Pesantren al-Masyitoh. Wawancara dengan para santri di-lakukan dengan menggunakan metode FGD (Focus Group Discussion). Yaitu proses wawancara yang dilakukan melalui diskusi secara bersama-sama.

Respons para santri puteri terhadap materi kitab Risalah al-Mahiḍ dalam pembahasan ini akan dikaitkan dengan persoalan dan hal-hal yang mereka alami dalam kesehariannya.Pembahasan-pembahasan tersebut meliputi :

a. Batas Usia haid

Batas usia perempuan mengalami haid pertama kali yaitu 9 tahun dan selambat-lambatnya usia 16 tahun. Jika seorang perempuan mengeluarkan darah meskipun lebih dari 24 jam akan tetapi usianya belum mencapai 9 tahun, maka hal tersebut bukan termasuk darah haid tetapi darah istihadhah. Demikian pula jika perempuan tersebut mengalami haid lebih dari usia 16 ta-hun, ia dihukumi darah istihadhah. Berbeda jika perempuan tersebut menge-luarkan darah yang pertama kali pada usia 9 tahun kurang dari 14 hari, maka hal tersebut sudah dihukumi haid.

Batas usia minimal para santri di Pondok Pesantren al-Masyitoh men-galami haid pertama kali terjadi setelah mereka berusia lebih dari 9 tahun. Kebanyakan mereka mengalami haid pertama kali pada usia 12 tahun. Data lengkap ada di dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.

Data santri dan usia pertama haid

No Nama Usia/ th Usia pertama haid/th

1 Im 16 13

2 Dm 15 13

3 Ft 15 134 Spy 15 13

4. Dikarenakan para santri yang menetap di Pondok Pesantren puteri al-Masyitoh tetap disebut sebagai santri Pondok Pesantren Manbail Futuh dan memang keduanya tidak dapat dipisahkan, maka judul tulisan ini tetap memakai kata-kata “ Santri Pondok Pesantren Manbail Futuh”

Page 101: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

256 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

umi Masf iah

c. Siklus haid

Siklus haid yang teratur dan umumnya para perempuan mengalaminya yaitu setiap bulan. Rata-rata jarak antara hari pertama haid hingga hari per-tama haid bulan berikutnya adalah 28 hari, namun pada sebagian perempuan lainnya ada yang lebih lambat atau lebih cepat.

Untuk para perempuan yang baru pertama atau tahun-tahun pertama masa haid, biasanya haid datangnya tidak teratur. Haid datangnya tidak se-tiap bulan tetapi kadang 2-3 bulan. Pada kondisi ini, kejadian tersebut tidak perlu dicemaskan karena tubuh seorang gadis yang baru mengalami haid membutuhkan waktu untuk menentukan siklus haidnya.

Kondisi tersebut juga ada yang mengalaminya di antara para santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh. Ada dua orang yang siklus haidnya tidak tera-tur terjadi setiap bulan. Data lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.

Data santri dan siklus haid

No Nama Usia/ th Siklus haid/ bulan

1 Im 16 42 Dm 15 13 Ft 15 14 Spy 15 15 Mn 15 16 Rn 15 17 Yn 13 28 Fz 16 19 Uz 15 110 Tk 16 111 Uf 15 1

Data tabel menyebutkan bahwa hanya lm dan Yn yang mengalami sik-lus haid 4 dan 2 bulanan. Dilihat dari segi usia keduanya belum terlalu jauh dari usia masa pertama kali mengalami haid. Jadi kondisi ini masih dalam ka tegori tidak perlu dicemaskan.

d. Istihadhah

Seseorang dihukumi mengalami istihadhah adalah jika ia mengalami haid lebih dari 15 hari, atau mengeluarkan darah kurang dari sehari semalam. Misalnya, jika seorang perempuan mengeluarkan haid selama 3 hari kemu-dian suci 12 hari, lalu keluar darah lagi 3 hari, maka 3 hari terakhir dihitung sebagai darah istihadhah. Atau jika seorang perempuan mengalami haid sela-ma 3 hari, kemudian berhenti 3 hari, keluar lagi 12 hari, kemudian keluar lagi selama 4 hari, maka 3 hari yang awal dan 12 hari kemudian yang dihukumi sebagai haid.

Data santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh yang ada menyebutkan bahwa ada 2 orang santri yang pernah mengalami istihadhah. Data lengkap

5 Mn 15 126 Rn 15 127 Yn 13 128 Fz 16 129 Uz 15 1210 Tk 16 1411 Uf 15 12

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa batas minimal santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh mengalami haid pertama yaitu usia antara 12 dan 13 tahun. Tidak ada yang mengalami haid pertama kali di bawah usia 9 tahun. Sehingga ketetapan batas minimal perempuan mengalami haid menurut hu-kum fikih setelah usia 9 tahun telah terpenuhi.

b. Masa haid

Masa haid bagi perempuan minimal 24 jam, umumnya satu minggu atau 6-7 hari, sehingga masa suci umumnya 23-24 hari. Sedangkan jumlah hari haid paling banyak 15 hari. Jika kurang dari 2 hari (24 jam) atau lebih dari 15 hari bukan lagi termasuk darah haid tetapi sudah dihukumi darah istihad-hah.

Data santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh saat ini kebanyakan mengalami masa haid selama 8 hari. Termasuk kategori pada umumnya perempuan mengalami masa haid. Di antara para santri puteri tersebut tidak ada yang mengalami masa haid selama 15 hari atau lebih. Data selengkapnya ada di tabel di bawah ini.

Tabel 2.

Data santri dan masa haid

No Nama Usia/ th Masa haid/hari1 Im 16 7-82 Dm 15 93 Ft 15 104 Spy 15 85 Mn 15 86 Rn 15 57 Yn 13 88 Fz 16 89 Uz 15 1010 Tk 16 811 Uf 15 8

Berdasarkan data di atas, ada 8 orang santri puteri yang masa haidnya termasuk kategori umumnya dialami para perempuan. Dan ada 3 orang yang mengalami masa haid 9 dan 10 hari. Meskipun jumlah 9 dan 10 hari cukup banyak, tetapi jumlah tersebut masih termasuk dalam hitungan masa haid karena masih kurang dari 15 hari.

Page 102: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

257Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

umi Masf iah

c. Siklus haid

Siklus haid yang teratur dan umumnya para perempuan mengalaminya yaitu setiap bulan. Rata-rata jarak antara hari pertama haid hingga hari per-tama haid bulan berikutnya adalah 28 hari, namun pada sebagian perempuan lainnya ada yang lebih lambat atau lebih cepat.

Untuk para perempuan yang baru pertama atau tahun-tahun pertama masa haid, biasanya haid datangnya tidak teratur. Haid datangnya tidak se-tiap bulan tetapi kadang 2-3 bulan. Pada kondisi ini, kejadian tersebut tidak perlu dicemaskan karena tubuh seorang gadis yang baru mengalami haid membutuhkan waktu untuk menentukan siklus haidnya.

Kondisi tersebut juga ada yang mengalaminya di antara para santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh. Ada dua orang yang siklus haidnya tidak tera-tur terjadi setiap bulan. Data lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.

Data santri dan siklus haid

No Nama Usia/ th Siklus haid/ bulan

1 Im 16 42 Dm 15 13 Ft 15 14 Spy 15 15 Mn 15 16 Rn 15 17 Yn 13 28 Fz 16 19 Uz 15 110 Tk 16 111 Uf 15 1

Data tabel menyebutkan bahwa hanya lm dan Yn yang mengalami sik-lus haid 4 dan 2 bulanan. Dilihat dari segi usia keduanya belum terlalu jauh dari usia masa pertama kali mengalami haid. Jadi kondisi ini masih dalam ka tegori tidak perlu dicemaskan.

d. Istihadhah

Seseorang dihukumi mengalami istihadhah adalah jika ia mengalami haid lebih dari 15 hari, atau mengeluarkan darah kurang dari sehari semalam. Misalnya, jika seorang perempuan mengeluarkan haid selama 3 hari kemu-dian suci 12 hari, lalu keluar darah lagi 3 hari, maka 3 hari terakhir dihitung sebagai darah istihadhah. Atau jika seorang perempuan mengalami haid sela-ma 3 hari, kemudian berhenti 3 hari, keluar lagi 12 hari, kemudian keluar lagi selama 4 hari, maka 3 hari yang awal dan 12 hari kemudian yang dihukumi sebagai haid.

Data santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh yang ada menyebutkan bahwa ada 2 orang santri yang pernah mengalami istihadhah. Data lengkap

5 Mn 15 126 Rn 15 127 Yn 13 128 Fz 16 129 Uz 15 1210 Tk 16 1411 Uf 15 12

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa batas minimal santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh mengalami haid pertama yaitu usia antara 12 dan 13 tahun. Tidak ada yang mengalami haid pertama kali di bawah usia 9 tahun. Sehingga ketetapan batas minimal perempuan mengalami haid menurut hu-kum fikih setelah usia 9 tahun telah terpenuhi.

b. Masa haid

Masa haid bagi perempuan minimal 24 jam, umumnya satu minggu atau 6-7 hari, sehingga masa suci umumnya 23-24 hari. Sedangkan jumlah hari haid paling banyak 15 hari. Jika kurang dari 2 hari (24 jam) atau lebih dari 15 hari bukan lagi termasuk darah haid tetapi sudah dihukumi darah istihad-hah.

Data santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh saat ini kebanyakan mengalami masa haid selama 8 hari. Termasuk kategori pada umumnya perempuan mengalami masa haid. Di antara para santri puteri tersebut tidak ada yang mengalami masa haid selama 15 hari atau lebih. Data selengkapnya ada di tabel di bawah ini.

Tabel 2.

Data santri dan masa haid

No Nama Usia/ th Masa haid/hari1 Im 16 7-82 Dm 15 93 Ft 15 104 Spy 15 85 Mn 15 86 Rn 15 57 Yn 13 88 Fz 16 89 Uz 15 1010 Tk 16 811 Uf 15 8

Berdasarkan data di atas, ada 8 orang santri puteri yang masa haidnya termasuk kategori umumnya dialami para perempuan. Dan ada 3 orang yang mengalami masa haid 9 dan 10 hari. Meskipun jumlah 9 dan 10 hari cukup banyak, tetapi jumlah tersebut masih termasuk dalam hitungan masa haid karena masih kurang dari 15 hari.

Page 103: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

258 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

umi Masf iah

Jadwal qada salat berkaitan dengan berhentinya masa haid

1). Jika berhentinya haid pada waktu subuh, maka ia dapat langsung menger-jakan salat subuh

2). Jika berhentinya haid pada waktu salat isya maka ia dapat melaksanakan salat isya dan meng-qada salat magrib

3). Jika berhentinya haid pada waktu salat magrib maka ia dapat langsung mengerjakan salat magrib

4). Jika berhentinya haid pada waktu salat asar maka ia dapat melaksanakan salat asar dan meng-qada salat duhur

5). Jika berhentinya haid pada waktu salat duhur maka ia dapat langsung mengerjakan salat duhur

Jadwal qaḍa salat berkaitan dengan berhentinya haid pada waktu yang sempit, sehingga tidak cukup untuk bersuci dan takbiratul ihram

1) Jika berhentinya pada waktu subuh, maka salat subuh di-qada

2) Jika berhentinya pada waktu salat isya maka salat isya dan magrib di-qada

3) Jika berhentinya pada waktu salat magrib, maka salat magrib di-qada

4) Jika berhentinya pada waktu salat asar, maka salat asar dan duhur di-qada

5) Jika berhentinya pada waktu salat duhur, maka salat duhur di-qada

Aturan-aturan qada salat yang telah disebutkan di dalam kitab Risalah al-Mahid ternyata semua itu tidak berlaku bagi santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh (Kompleks Pondok Pesantren Manbail Futuh). Sebabnya adalah mereka selalu tepat waktu melaksanakan salat wajib, dikerjakan secara ber-jamaah, dan tidak pernah menunda-nunda waktu salat. Sehingga ketika haid datang mereka sudah melaksanakan salat, jadi tidak perlu untuk mengqada di lain waktu sesudah selesainya haid. (FGD, tanggal 12 Oktober 2009)

Pengetahuan tentang qada salat bagi para santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh (Kompleks Yayasan Manbail Futuh) juga menjadi hal yang baru diketahui setelah mengaji kitab Risalah al-Mahid. Sebelumnya pengetahun tentang qada salat tidak diketahuinya. (FGD, 12 Oktober 2009).

f. Pengetahuan tentang haid serta hukum-hukumnya

Bagi para santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh yang berada di kompleks Pondok Pesantren Manbail Futuh, pengetahuan tentang haid dan hukum-hukumnya menjadi sangat penting, terutama ketika mereka pertama kali mengalami haid. Kebanyakan mereka mengalami kebingungan saat per-tama kali mengalami haid. Mereka mengatakan, orang-orang di sekitarnya akan menjadi tempat mereka bertanya pertama kali, terutama kepada ibu dan saudara-saudara perempuannya. Pengetahuan tentang haid ada juga

ada di tabel di bawah ini.

Tabel 4.

Data santri dan istihadhah

No Nama Usia/ th Istihadhah1 Im 16 Belum pernah2 Dm 15 Belum pernah3 Ft 15 Pernah4 Spy 15 Belum pernah5 Mn 15 Belum pernah6 Rn 15 Belum pernah7 Yn 13 Belum pernah8 Fz 16 Belum pernah9 Uz 15 Pernah10 Tk 16 Belum pernah11 Uf 15 Belum pernah

Ft pernah mengalami istihadah selama 5 hari, perhitungannya setelah haid berhenti beberapa hari lalu haid lagi. Setelah dihitung dari mulai awal haid sampai 15 hari kemudian ada sisa 5 hari yang kemudian dihitung sebagai darah istihadhah. Demikian pula yang dialami oleh Uz.

e. Qada Salat

Kitab Risalah al-Mahid di dalam salah satu babnya menyebutkan ten-tang bab qada salat bagi perempuan yang mengalami haid. Aturan meng-qada salat karena haid berdasarkan pada waktu datangnya haid, dan waktu berhentinya haid. Selain kedua hal tersebut juga didasarkan pada luas dan sempitnya waktu untuk salat baik ketika datang haid maupun ketika berhenti haid.

Aturan meng-qada salat juga berkaitan dengan salat yang dapat dijamak, jika salat yang ditinggalkan adalah salat yang bisa dijamak maka ketika meng-qada kedua salat tersebut harus di-qada. Secara lebih jelas disebutkan seb-agai berikut :

1). Jika datangnya haid pada waktu duhur dan belum melaksanakan salat duhur maka ia diwajibkan meng-qada salat duhur dan salat asar

2). Jika datangnya haid pada waktu salat asar dan ia belum melaksanakan salat asar maka ia diwajibkan meng-qada salat asar

3). Jika datangnya haid pada waktu salat magrib dan ia belum melaksanakan salat magrib maka ia diwajibkan meng-qada salat magrib dan isya

4). Jika datangnya haid pada waktu isya dan ia belum melaksanakan salat isya maka ia diwajibkan meng-qada salat isya

5). Jika datangnya haid pada waktu salat subuh dan ia belum melaksanakan salat subuh maka ia diwajibkan meng-qada salat subuh

Page 104: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

259Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

umi Masf iah

Jadwal qada salat berkaitan dengan berhentinya masa haid

1). Jika berhentinya haid pada waktu subuh, maka ia dapat langsung menger-jakan salat subuh

2). Jika berhentinya haid pada waktu salat isya maka ia dapat melaksanakan salat isya dan meng-qada salat magrib

3). Jika berhentinya haid pada waktu salat magrib maka ia dapat langsung mengerjakan salat magrib

4). Jika berhentinya haid pada waktu salat asar maka ia dapat melaksanakan salat asar dan meng-qada salat duhur

5). Jika berhentinya haid pada waktu salat duhur maka ia dapat langsung mengerjakan salat duhur

Jadwal qaḍa salat berkaitan dengan berhentinya haid pada waktu yang sempit, sehingga tidak cukup untuk bersuci dan takbiratul ihram

1) Jika berhentinya pada waktu subuh, maka salat subuh di-qada

2) Jika berhentinya pada waktu salat isya maka salat isya dan magrib di-qada

3) Jika berhentinya pada waktu salat magrib, maka salat magrib di-qada

4) Jika berhentinya pada waktu salat asar, maka salat asar dan duhur di-qada

5) Jika berhentinya pada waktu salat duhur, maka salat duhur di-qada

Aturan-aturan qada salat yang telah disebutkan di dalam kitab Risalah al-Mahid ternyata semua itu tidak berlaku bagi santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh (Kompleks Pondok Pesantren Manbail Futuh). Sebabnya adalah mereka selalu tepat waktu melaksanakan salat wajib, dikerjakan secara ber-jamaah, dan tidak pernah menunda-nunda waktu salat. Sehingga ketika haid datang mereka sudah melaksanakan salat, jadi tidak perlu untuk mengqada di lain waktu sesudah selesainya haid. (FGD, tanggal 12 Oktober 2009)

Pengetahuan tentang qada salat bagi para santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh (Kompleks Yayasan Manbail Futuh) juga menjadi hal yang baru diketahui setelah mengaji kitab Risalah al-Mahid. Sebelumnya pengetahun tentang qada salat tidak diketahuinya. (FGD, 12 Oktober 2009).

f. Pengetahuan tentang haid serta hukum-hukumnya

Bagi para santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh yang berada di kompleks Pondok Pesantren Manbail Futuh, pengetahuan tentang haid dan hukum-hukumnya menjadi sangat penting, terutama ketika mereka pertama kali mengalami haid. Kebanyakan mereka mengalami kebingungan saat per-tama kali mengalami haid. Mereka mengatakan, orang-orang di sekitarnya akan menjadi tempat mereka bertanya pertama kali, terutama kepada ibu dan saudara-saudara perempuannya. Pengetahuan tentang haid ada juga

ada di tabel di bawah ini.

Tabel 4.

Data santri dan istihadhah

No Nama Usia/ th Istihadhah1 Im 16 Belum pernah2 Dm 15 Belum pernah3 Ft 15 Pernah4 Spy 15 Belum pernah5 Mn 15 Belum pernah6 Rn 15 Belum pernah7 Yn 13 Belum pernah8 Fz 16 Belum pernah9 Uz 15 Pernah10 Tk 16 Belum pernah11 Uf 15 Belum pernah

Ft pernah mengalami istihadah selama 5 hari, perhitungannya setelah haid berhenti beberapa hari lalu haid lagi. Setelah dihitung dari mulai awal haid sampai 15 hari kemudian ada sisa 5 hari yang kemudian dihitung sebagai darah istihadhah. Demikian pula yang dialami oleh Uz.

e. Qada Salat

Kitab Risalah al-Mahid di dalam salah satu babnya menyebutkan ten-tang bab qada salat bagi perempuan yang mengalami haid. Aturan meng-qada salat karena haid berdasarkan pada waktu datangnya haid, dan waktu berhentinya haid. Selain kedua hal tersebut juga didasarkan pada luas dan sempitnya waktu untuk salat baik ketika datang haid maupun ketika berhenti haid.

Aturan meng-qada salat juga berkaitan dengan salat yang dapat dijamak, jika salat yang ditinggalkan adalah salat yang bisa dijamak maka ketika meng-qada kedua salat tersebut harus di-qada. Secara lebih jelas disebutkan seb-agai berikut :

1). Jika datangnya haid pada waktu duhur dan belum melaksanakan salat duhur maka ia diwajibkan meng-qada salat duhur dan salat asar

2). Jika datangnya haid pada waktu salat asar dan ia belum melaksanakan salat asar maka ia diwajibkan meng-qada salat asar

3). Jika datangnya haid pada waktu salat magrib dan ia belum melaksanakan salat magrib maka ia diwajibkan meng-qada salat magrib dan isya

4). Jika datangnya haid pada waktu isya dan ia belum melaksanakan salat isya maka ia diwajibkan meng-qada salat isya

5). Jika datangnya haid pada waktu salat subuh dan ia belum melaksanakan salat subuh maka ia diwajibkan meng-qada salat subuh

Page 105: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

260 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

umi Masf iah

yang menyatakan telah menerimanya dari sekolah melalui pelajaran agama, meskipun belum begitu mendetail. (FGD, 12 Oktober 2009)

Pengetahuan haid yang diberikan di Pondok Pesantren melalui penga-jian kitab khusus tentang haid seperti Risalah al-Mahîd diakui telah memberi pengetahuan kepada para santri tentang haid secara lebih lengkap dan detail. Apalagi di Pondok Pesantren al-Masyitoh, para santri dapat bertanya lang-sung kepada para ustadzah apabila ada hal-hal yang kurang paham. Bahkan ketika mengalami sendiri kondisi-kondisi tertentu para santri akan langsung bertanya kepada ustadzah, sebagaimana yang terjadi pada Ft. Ft ketika men-galami haid sebulan dua kali, ia merasa bingung sehingga langsung bertanya kepada para ustadzah yang ada. (FGD, 12 Oktober 2009) Dengan senang hati para ustadzah akan memberi tahu apakah hal itu termasuk darah haid atau darah istihadhah. (wawancara dengan ustadzah Muslimah, 12 Oktober 2009)

Berdasarkan hasil pertemuan dengan para santri puteri, dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang haid dan hukum-hukumnya sangat penting bagi mereka. Data lengkap dapat dilihat di dalam tabel di bawah ini.

Tabel 5.

Data tentang santri dan pentingnya pengetahuan tentang haid

No Nama Usia/ thPengetahuan tentang haid dan

hukum-hukumnya

1 Im 16 penting2 Dm 15 penting3 Ft 15 penting4 Spy 15 penting5 Mn 15 penting6 Rn 15 penting7 Yn 13 penting8 Fz 16 penting9 Uz 15 penting10 Ttk 16 penting11 Uf 15 penting

Berdasarkan hasil penelitian terhadap respons para santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh yang berada di komplek Pondok Pesantren Manbail Futuh terhadap kitab Risalah al-Mahid dapat diketahui, sebenarnya para santri (remaja) sangat membutuhkan pengetahuan tentang dima’ al-mar’ah. Mereka merasa antusias ketika diajak berdiskusi tentang masalah dima’ al-mar’ah yang secara luas termasuk ke dalam bab fiqhunnisa. Materi ini me-narik bagi mereka salah satunya tentu karena masalah-masalah tersebut telah dialaminya sendiri dan terasa familiar dalam keseharian remaja putri.

Para santri putri yang berada pada masa remaja merasa perlu dan penting mempelajari ajaran-ajaran agama saat dirinya memasuki usia baligh. Mereka semakin bertambah pengetahuannya dan terbuka pikirannya akan adanya

Page 106: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

261Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

umi Masf iah

aturan-aturan agama setelah mempelajari kitab Risalah al-Mahid. Dengan demikian, apa yang telah tergambar dengan jelas berdasarkan hasil penelitian ini akan semakin membuka kesadaran kepada para orang tua dan guru untuk semakin peduli akan kebutuhan pengajaran agama bagi anak-anak remaja, khususnya masalah dima’ al-mar’ah bagi remaja-remaja putri kita.

PenutuP

Simpulan

Simpulan yang dapat diketahui dari penelitian tentang kitab Risalah al-Mahid yaitu :

1. Isi kandungan kitab Risalah al-Mahid memiliki tema utama tentang kon-sep dima’ al-mar’ah yang mencakup tentang haid, nifas, dan istihadhah beserta hal-hal yang tercakup di dalamnya seperti larangan bagi perem-puan yang haid untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu, qada salat dan lainnya. Kitab Risalah al-Mahid juga mencakup materi tentang kehamilan dan anak zina. Hanya saja dalam penelitian ini kedua bab tersebut tidak menjadi fokus kajian.

2. Respons para santri puteri terhadap kitab Risalah al-Mahid cukup baik dengan menjadikan kitab Risalah al-Mahid sebagai pedoman di dalam memahami persoalan dima’ al-mar’ah yang mereka alami.

Rekomendasi

Kitab Risalah al-Mahid yang menjadi pedoman materi dima’ al-mar’ah di Pondok Pesantren al-Masyitoh di bawah naungan Pondok Pesantren Manbail Futuh setelah ditelusuri ternyata merupakan salah satu karya ulama nusantara. Pengarangnya bernama Kiai Masruhan Ihsan dari Demak. Kitab Risalah al-Mahid masih relevan menjadi acuan pengajaran fiqhunnisa pada lembaga-lembaga pendidikan, pengajian-pengajian, dan pondok pesantren.

Oleh karena itu kitab Risalah al-Mahid ini layak dijadikan sebagai sum-ber informasi tentang dima’ al-mar’ah dalam kaitannya dengan ibadah bagi wanita terutama pada remaja. Diharapkan Kementerian Agama c/q Ditjen Pendidikan Diniyyah dan Pesantren, maupun Puslitbang Lektur Keagamaan menjadikan kitab ini sebagai bahan ajar mulai tingkat Madrasah Ibtidaiyah. Karena saat ini banyak siswi-siswi Madrasah Tsanawiyah yang telah meng-alami masa haid.

Page 107: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

262 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Bruinessen, Martin Van. 1995. Kitab, Kuning, Pesantren dan Tarekat.Bandung : Mizan

Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES

Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). 2005. Kembang Setaman Perkawinan Analisis Kritis Kitab ‘Uqûd al-Lujjayn, Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Huda, Nur. 2006. Studi Kritis tentang Fiqh Dima’ al-Mar’ah dalam Kitab-Kitab Fiqh Klasik (Mencari Rumus Baru yang Lebih Praktis). Semarang: IAIN Walisongo (tidak diterbitkan)

Kulsum, Umi. 2007. Risalah Fiqih wanita Lengkap, Kajian Ilmu Agama Versi Pesantren sebagai Bimbingan Beribadah Wanita Muslimah. Surabaya : Cahaya Mulia.

Jorgensen & Philips, 2007, Analisis Wacana Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ihsan, Masruhan. t.th., Risalat al-Mahid.___________, al-Maratus Shalihah

___________, Hadis Joyoboyo

DAFTAR PUSTAKA

Page 108: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Respons Santri Terhadap Kitab Risalah Al-Mahid Sebagai Pedoman Haid Santri Di Pondok Pesantren Manbail Futuh,

Jenu, Tuban, Jawa Timur

263Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

AbstrAct :SLTP Alternative Qaryah Tayyibah Salatiga as community-based school

is able to provide answers to the weak access of the poor to get quality educa-tion in the middle of limitation ability of government give competent educa-tion to society. The focus of the problems examined in this research is how the implementation of community-based learning in SLTP Qaryah Alternative Thoyyibah. This Research find the existence of enableness of local potency and source supported by system study of contekstual which is student cen-tre as educative subjek which supported by society citizen participation, can send SLTP Alternative of Qaryah Thayyibah become certifiable school.

Keywords : learning, community participation

PendAhuluAn

Latar Belakang Masalah

Pendidikan berperan penting dalam menentukan keberhasilan pemba-ngunan di era globalisasi dan pasar bebas saat ini. Berbagai upaya telah dan terus diupayakan pemerintah untuk mewujudkan SDM berkualitas melalui usaha mengembangkan dan memperbaiki kurikulum, sistem evaluasi, sarana pendidikan, dan pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya. Akan tetapi upaya tersebut pada kenyataannya, sampai saat ini belum cukup untuk me-ningkatkan kualitas pelayanan pendidikan bagi masyarakat.

Menurut Mulyasa (2005) dan Suderajat (2005), rendahnya mutu pen-didikan di Indonesia merupakan dampak dari kebijakan yang tidak tepat dalam pembangunan di Indonesia. Pendekatan mutu dengan sistem pendi-dikan sebagai fungsi produksi tidak dilaksanakan dengan baik karena sistem

PEMBELAJARAN BERBASIS MASYARAKATDI SLTP ALTERNATIF QARYAh

ThAYYIBAh SALATIGA

Oleh MOh. hasIM*1

*Moh. Hasim, S.Sos.I, M.Pd adalah calon peneliti Balai Litbang Agama Semarang

PENELITIAN

Page 109: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

264 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

Moh. hasim

2. Mengetahui unsur-unsur pembelajaran yang diterapkan di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah

Kerangka Teori

Pembelajaran pada hakekatnya adalah kegiatan belajar yang dilaku-kan siswa dan kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru. Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan. Pengertian belajar menga-jar ini oleh para ahli pendidikan dirangkum dalam istilah pengajaran, dan pada perkembangan terakhir diubah menjadi istilah pembelajaran. Belajar, mengajar dan pembelajaran memiliki pengertian yang berbeda akan tetapi merupakan satu kesatuan yang mewujdukan proses pendidikan yang efektif (Sagala, 2003)

Proses pembelajaran di sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan se-nyatanya akan terjadi dalam kelas meskipun pembelajaran itu pada hakekat-nya tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dalam proses pembelajaran selain komponen siswa dan guru, pendidikan tidak bisa lepas dari unsur-unsur yang melekat dalam kurikulum yaitu tujuan, materi dan sumber belajar, metode dan alat, dan penilaian. Kelima unsur yang merupakan bagian dari komponen proses pembelajaran merupakan satu kesatuan yang saling terkait.

Dari sekian banyak model pelaksanaan pendidikan, Sudarman Danim (2006) memberikan pendapat bahwa pendidikan dengan basis masyarakat merupakan salah satu solusi alternatif untuk memecahkan problem pendi-dikan. Keterpurukan cara-cara lama dalam mengelola pendidikan yang lebih sentralistik mendorong perubahan cara pandang kearah sebaliknya, yaitu pemberian otonomi sekolah-masyarakat untuk mengelola pendidikan dengan memperhatian aspirasi serta kondisi yang terjadi di masyarakat.

Sejalan dengan pemikiran diatas, maka Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang hidup dari dan untuk masyarakat. Pendidikan yang berdasar pada masyarakat merupakan bentuk pendidikan yang sebenarnya. Pendidi-kan akan menjadi terasing dari konteks tujuannya apabila partisipasi ma-syarakat diabaikan, karena pendidikan tidak mampu menjawab kebutuhan dan kebudayaan yang nyata. Pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya yang ada didalamnya adalah pendidikan yang tidak memiliki akunt-abilitas (Tilaar, 2000)

Michael W. Galbraith (1995) secara lebih jelas mendefinisikan pendidi-kan berbasis masyarakat sebagai (community basic education) yaitu proses pendidikan dimana individu-individu (dalam hal ini orang dewasa) menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep-konsep mereka dalam mencapai kehidupan melalui usaha yang lebih, dalam mengontrol as-pek-aspek lokal masyarakat mereka melalui keterlibatan secara demokratis.

Secara lebih lengkap dari tiga pilar utama penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat, oleh Galbraith (1995) diuraikan secara lebih luas dalam

pelaksanaan pendidikan yang terlalu birokratis dan terpusat. Akibatnya mun-cul kecenderungan guru dalam mengajar terpaku pada kurikulum baku yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Peran guru yang seharusnya dapat menjadi promotor siswa dalam proses belajar siswa, turun hanya sebatas sebagai pe ngajar.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 disebutkan adanya konsep tentang pendidikan berbasis masyarakat. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk menyelenggarakan pendidikan dengan konsep yang disusun sendiri oleh masyarakat berdasarkan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan buda-ya. Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta managemen dan pandangannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Menurut Tilaar (2000) pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang hidup dari dan untuk masyarakat. Pendidikan yang berdasar pada masyara-kat merupakan bentuk pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan akan men-jadi terasing dari konteks tujuannya apabila partisipasi masyarakat diabai-kan, karena pendidikan tidak mampu menjawab kebutuhan dan kebudayaan yang nyata. Pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya yang ada di dalamnya adalah pendidikan yang tidak memiliki tanggungjawab. Pendidikan berbasis masyarakat dan manajemen pendidikan berbasis sekolah adalah wu-jud nyata dari demokratisasi dan desentralisasi pendidikan.

Dari sekian banyak kelompok masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat diantaranya yaitu ma-syarakat Desa Kalibening, Salatiga dengan mendirikan SLTP Alternatif Qar-yah Thayyibah.

Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Dari latar belakang penelitian di atas, maka penelitian ini menfokuskan permasalahan pada pelaksanaan proses pembelajaran berbasis komunitas yang dilakukan oleh SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga. Secara lebih rinci permasalahan penelitian diuraikan sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran pada SLTP Alternatif Qaryah Thayy-ibah Salatiga?

2. Bagaimana unsur-unsur pembelajaran diterapkan dalam pelaksanaan pem-belajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah?

Adapun tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengungkap pelak-sanaan pembelajaran pada SLTP alternatif Qaryah Thayyibah di Salatiga. Se-cara operasional tujuan penelitian adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui pelaksanaan pembelajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayy-ibah

Page 110: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

265Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Moh. hasim

2. Mengetahui unsur-unsur pembelajaran yang diterapkan di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah

Kerangka Teori

Pembelajaran pada hakekatnya adalah kegiatan belajar yang dilaku-kan siswa dan kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru. Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan. Pengertian belajar menga-jar ini oleh para ahli pendidikan dirangkum dalam istilah pengajaran, dan pada perkembangan terakhir diubah menjadi istilah pembelajaran. Belajar, mengajar dan pembelajaran memiliki pengertian yang berbeda akan tetapi merupakan satu kesatuan yang mewujdukan proses pendidikan yang efektif (Sagala, 2003)

Proses pembelajaran di sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan se-nyatanya akan terjadi dalam kelas meskipun pembelajaran itu pada hakekat-nya tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dalam proses pembelajaran selain komponen siswa dan guru, pendidikan tidak bisa lepas dari unsur-unsur yang melekat dalam kurikulum yaitu tujuan, materi dan sumber belajar, metode dan alat, dan penilaian. Kelima unsur yang merupakan bagian dari komponen proses pembelajaran merupakan satu kesatuan yang saling terkait.

Dari sekian banyak model pelaksanaan pendidikan, Sudarman Danim (2006) memberikan pendapat bahwa pendidikan dengan basis masyarakat merupakan salah satu solusi alternatif untuk memecahkan problem pendi-dikan. Keterpurukan cara-cara lama dalam mengelola pendidikan yang lebih sentralistik mendorong perubahan cara pandang kearah sebaliknya, yaitu pemberian otonomi sekolah-masyarakat untuk mengelola pendidikan dengan memperhatian aspirasi serta kondisi yang terjadi di masyarakat.

Sejalan dengan pemikiran diatas, maka Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang hidup dari dan untuk masyarakat. Pendidikan yang berdasar pada masyarakat merupakan bentuk pendidikan yang sebenarnya. Pendidi-kan akan menjadi terasing dari konteks tujuannya apabila partisipasi ma-syarakat diabaikan, karena pendidikan tidak mampu menjawab kebutuhan dan kebudayaan yang nyata. Pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya yang ada didalamnya adalah pendidikan yang tidak memiliki akunt-abilitas (Tilaar, 2000)

Michael W. Galbraith (1995) secara lebih jelas mendefinisikan pendidi-kan berbasis masyarakat sebagai (community basic education) yaitu proses pendidikan dimana individu-individu (dalam hal ini orang dewasa) menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep-konsep mereka dalam mencapai kehidupan melalui usaha yang lebih, dalam mengontrol as-pek-aspek lokal masyarakat mereka melalui keterlibatan secara demokratis.

Secara lebih lengkap dari tiga pilar utama penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat, oleh Galbraith (1995) diuraikan secara lebih luas dalam

pelaksanaan pendidikan yang terlalu birokratis dan terpusat. Akibatnya mun-cul kecenderungan guru dalam mengajar terpaku pada kurikulum baku yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Peran guru yang seharusnya dapat menjadi promotor siswa dalam proses belajar siswa, turun hanya sebatas sebagai pe ngajar.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 disebutkan adanya konsep tentang pendidikan berbasis masyarakat. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk menyelenggarakan pendidikan dengan konsep yang disusun sendiri oleh masyarakat berdasarkan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan buda-ya. Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta managemen dan pandangannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Menurut Tilaar (2000) pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang hidup dari dan untuk masyarakat. Pendidikan yang berdasar pada masyara-kat merupakan bentuk pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan akan men-jadi terasing dari konteks tujuannya apabila partisipasi masyarakat diabai-kan, karena pendidikan tidak mampu menjawab kebutuhan dan kebudayaan yang nyata. Pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya yang ada di dalamnya adalah pendidikan yang tidak memiliki tanggungjawab. Pendidikan berbasis masyarakat dan manajemen pendidikan berbasis sekolah adalah wu-jud nyata dari demokratisasi dan desentralisasi pendidikan.

Dari sekian banyak kelompok masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat diantaranya yaitu ma-syarakat Desa Kalibening, Salatiga dengan mendirikan SLTP Alternatif Qar-yah Thayyibah.

Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Dari latar belakang penelitian di atas, maka penelitian ini menfokuskan permasalahan pada pelaksanaan proses pembelajaran berbasis komunitas yang dilakukan oleh SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga. Secara lebih rinci permasalahan penelitian diuraikan sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran pada SLTP Alternatif Qaryah Thayy-ibah Salatiga?

2. Bagaimana unsur-unsur pembelajaran diterapkan dalam pelaksanaan pem-belajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah?

Adapun tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengungkap pelak-sanaan pembelajaran pada SLTP alternatif Qaryah Thayyibah di Salatiga. Se-cara operasional tujuan penelitian adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui pelaksanaan pembelajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayy-ibah

Page 111: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

266 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

Moh. hasim

untuk disusun dalam bentuk diskripsi sistematis. Akhir dari proses analisis data yaitu menarikan kesimpulan yang dilakukan dengan mencari intisari data yang dapat mewakili hasil.

hAsil dAn PembAhAsAn

1. Sejarah Berdirinya Sekolah

Sejarah berdirinya SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga, tidak bisa lepas dari realitas kehidupan yang dialami oleh masyarakat Desa Kalibening. Keadaan kehidupan petani desa yang selalu berada dalam kondisi terbelakang akibat dari terhambatnya kesempatan mereka untuk mendapatkan kemajuan melalui pendidikan yang layak. Sebagaimana diungkapkan oleh Bahrudin:

“Kita mendirikan sekolah karena terusik oleh realitas yang dialami masyara-kat, terutama petani. Mereka hidup dalam kondisi yang tidak memungkinkan mengembangkan kualitas hidup. Karena struktur pertanian yang memiskinkan mereka, harga gabah sulit naik tetapi pupuk dan obat-obatannya terus melam-bung. Petani menjadi terbelakang akibat dari system yang menghambat kesem-patan mereka mendapatkan kemajuan. Kita bisa lihat realitas pendidikan kita”.

Melalui lembaga lembaga swadaya masyarakat (LSM) Paguyuban Petani Berkah Alam, Al-Barokah yang ia dirikan, Bahrudin berupaya mewujudkan impian-impiannya. Pada tanggal 14 Agustus 1999 paguyuban-paguyuban pe-tani dari 13 daerah yang ada di wilayah Semarang dan Salatiga bersatu dalam perserikatan. Di tempat usaha Roy Buddhianto Handoko, Hotel Bringin, Salatiga, kelompok-kelompok petani berkumpul membentuk serikat paguyub an petani baru yang peduli pendidikan.

Atas usul Raymond Toruan dari Harian The Jakarta Post, disepakati nama Qaryah Thayyibah sebagai nama organisasi serikat paguyuban petani yang baru dibentuk. Qaryah Thayyibah yang diambil dari bahasa Arab den-gan arti desa yang indah dianggap cukup mewakili eksistensi mereka dalam mewujudkan masyarakat desa yang berperadaban maju (civil society). (Dah-lan, 2005)

Niat untuk mendirikan lembaga pendidikan bagi anak petani mulai ter-buka ketika SPPQT yang ia pimpin mendapat simpati dari partai politik pas-ca pemilu 2004. SPPQT berkenalan dengan Partai Keadilan Sejahtera pada pertengahan tahun 2003, menjadikan SPPQT memiliki jaringan pendidikan dengan Yayasan Sekolah Rakyat (YSR), yaitu yayasan yang membidangi pen-didikan khususnya sebagai pembina tempat kegiatan belajar (TKB) SMP ter-buka se-Indonesia.

Bahrudin yang juga sebagai ketua RW dimudahkan dalam mengajak warga- nya bermusyawarah membahas rencana pendirian sekolah bagi anak-anak warga kampung. Bahrudin mengambil langkah untuk menyampaikan undangan kepada warga yang anaknya akan masuk ke pendidikan SMP. Jumlah warga yang hadir saat itu 30 orang.

9 prinsip yaitu: kemandirian dalam mengambil keputusan, mengatasi ma-salah secara mandiri, mengembangkan kepemimpinan dari dalam, menggali potensi lokal, keterpaduan masyarakat dalam pembiayaan, mengurangi du-plikasi pelayanan, menerima keanekaragaman, komitmen yang kuat untuk kepentingan masyarakat, dan semangat untuk belajar sepanjang hayat.

Formulasikan konsep pendididikan berbasis masyarakat bertumpu pada tiga pilar utama yaitu “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyara-kat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan merupakan jawaban dari apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat merupakan pelaku atau subjek pendidikan yang aktif, bu-kan hanya sekedar sebagai objek pendidikan sehingga masyarakat betul-betul memiliki, bertangungjawab dan peduli terhadap pendidikan. (Zubaidi, 2005)

Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan objek yang dikaji, penelitian Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga dilaku-kan dengan menggunakan pendekataan deskriptif kualitatif. (Moleong, 1989) Dengan melihat kasus-kasus yang menjadi fokus permasalahan, secara garis besar data digali dalam dua bagian yaitu data yang bersifat primer dan data sekunder melalui teknik observasi, wawancara, dan tealah dokumen.

Observasi dilakukan dengan menelusuri wilayah desa, mengamati ling-kungan sekolah, kegiatan pembelajaran di kelas, penggunaan waktu istirahat, pelatihan, diskusi siswa, gelar karya, fasilitas sekolah, kehadiran siswa, keha-diran guru, metode pembelajaran oleh guru.

Wawancara dilakukan pertama kali dengan informan kunci yaitu Bah-rudin. Penentuannya diakukan dengan purposive dengan mendasarkan ke-dudukan Bahrudin sebagai koordinator pengelola sekaligus pendiri sekolah. Dari informasi yang disampaikan oleh Bahrudin ini dikembangan wawancara lebih lanjut sesuai dengan prinsip snow ball.

Penggunakan teknik dokumen dalam penelitian ini didasarkan atas per-timbangan untuk mencari kejadian yang telah lampau yang terjadi di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah. Dokumen yang akan diambil dalam penelitian ini meliputi, dokumen kegiatan sekolah, dokumen proses belajar mengajar, dan dokumen kegiatan siswa.

2. Analisis Data

Secara proses analisis data dimulai dari saat pertama kami pengumulan data dilakukan baik dari telaah dokumen, wawancara, maupun pengamatan. Data ditelaah dan direduksi untuk ditemukan tema pokok. Hasil dari reduksi data ini kemudian disusun, diurutkan dalam tipologi satuan berdasar fokus

Page 112: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

267Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Moh. hasim

untuk disusun dalam bentuk diskripsi sistematis. Akhir dari proses analisis data yaitu menarikan kesimpulan yang dilakukan dengan mencari intisari data yang dapat mewakili hasil.

hAsil dAn PembAhAsAn

1. Sejarah Berdirinya Sekolah

Sejarah berdirinya SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga, tidak bisa lepas dari realitas kehidupan yang dialami oleh masyarakat Desa Kalibening. Keadaan kehidupan petani desa yang selalu berada dalam kondisi terbelakang akibat dari terhambatnya kesempatan mereka untuk mendapatkan kemajuan melalui pendidikan yang layak. Sebagaimana diungkapkan oleh Bahrudin:

“Kita mendirikan sekolah karena terusik oleh realitas yang dialami masyara-kat, terutama petani. Mereka hidup dalam kondisi yang tidak memungkinkan mengembangkan kualitas hidup. Karena struktur pertanian yang memiskinkan mereka, harga gabah sulit naik tetapi pupuk dan obat-obatannya terus melam-bung. Petani menjadi terbelakang akibat dari system yang menghambat kesem-patan mereka mendapatkan kemajuan. Kita bisa lihat realitas pendidikan kita”.

Melalui lembaga lembaga swadaya masyarakat (LSM) Paguyuban Petani Berkah Alam, Al-Barokah yang ia dirikan, Bahrudin berupaya mewujudkan impian-impiannya. Pada tanggal 14 Agustus 1999 paguyuban-paguyuban pe-tani dari 13 daerah yang ada di wilayah Semarang dan Salatiga bersatu dalam perserikatan. Di tempat usaha Roy Buddhianto Handoko, Hotel Bringin, Salatiga, kelompok-kelompok petani berkumpul membentuk serikat paguyub an petani baru yang peduli pendidikan.

Atas usul Raymond Toruan dari Harian The Jakarta Post, disepakati nama Qaryah Thayyibah sebagai nama organisasi serikat paguyuban petani yang baru dibentuk. Qaryah Thayyibah yang diambil dari bahasa Arab den-gan arti desa yang indah dianggap cukup mewakili eksistensi mereka dalam mewujudkan masyarakat desa yang berperadaban maju (civil society). (Dah-lan, 2005)

Niat untuk mendirikan lembaga pendidikan bagi anak petani mulai ter-buka ketika SPPQT yang ia pimpin mendapat simpati dari partai politik pas-ca pemilu 2004. SPPQT berkenalan dengan Partai Keadilan Sejahtera pada pertengahan tahun 2003, menjadikan SPPQT memiliki jaringan pendidikan dengan Yayasan Sekolah Rakyat (YSR), yaitu yayasan yang membidangi pen-didikan khususnya sebagai pembina tempat kegiatan belajar (TKB) SMP ter-buka se-Indonesia.

Bahrudin yang juga sebagai ketua RW dimudahkan dalam mengajak warga- nya bermusyawarah membahas rencana pendirian sekolah bagi anak-anak warga kampung. Bahrudin mengambil langkah untuk menyampaikan undangan kepada warga yang anaknya akan masuk ke pendidikan SMP. Jumlah warga yang hadir saat itu 30 orang.

9 prinsip yaitu: kemandirian dalam mengambil keputusan, mengatasi ma-salah secara mandiri, mengembangkan kepemimpinan dari dalam, menggali potensi lokal, keterpaduan masyarakat dalam pembiayaan, mengurangi du-plikasi pelayanan, menerima keanekaragaman, komitmen yang kuat untuk kepentingan masyarakat, dan semangat untuk belajar sepanjang hayat.

Formulasikan konsep pendididikan berbasis masyarakat bertumpu pada tiga pilar utama yaitu “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyara-kat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan merupakan jawaban dari apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat merupakan pelaku atau subjek pendidikan yang aktif, bu-kan hanya sekedar sebagai objek pendidikan sehingga masyarakat betul-betul memiliki, bertangungjawab dan peduli terhadap pendidikan. (Zubaidi, 2005)

Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan objek yang dikaji, penelitian Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga dilaku-kan dengan menggunakan pendekataan deskriptif kualitatif. (Moleong, 1989) Dengan melihat kasus-kasus yang menjadi fokus permasalahan, secara garis besar data digali dalam dua bagian yaitu data yang bersifat primer dan data sekunder melalui teknik observasi, wawancara, dan tealah dokumen.

Observasi dilakukan dengan menelusuri wilayah desa, mengamati ling-kungan sekolah, kegiatan pembelajaran di kelas, penggunaan waktu istirahat, pelatihan, diskusi siswa, gelar karya, fasilitas sekolah, kehadiran siswa, keha-diran guru, metode pembelajaran oleh guru.

Wawancara dilakukan pertama kali dengan informan kunci yaitu Bah-rudin. Penentuannya diakukan dengan purposive dengan mendasarkan ke-dudukan Bahrudin sebagai koordinator pengelola sekaligus pendiri sekolah. Dari informasi yang disampaikan oleh Bahrudin ini dikembangan wawancara lebih lanjut sesuai dengan prinsip snow ball.

Penggunakan teknik dokumen dalam penelitian ini didasarkan atas per-timbangan untuk mencari kejadian yang telah lampau yang terjadi di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah. Dokumen yang akan diambil dalam penelitian ini meliputi, dokumen kegiatan sekolah, dokumen proses belajar mengajar, dan dokumen kegiatan siswa.

2. Analisis Data

Secara proses analisis data dimulai dari saat pertama kami pengumulan data dilakukan baik dari telaah dokumen, wawancara, maupun pengamatan. Data ditelaah dan direduksi untuk ditemukan tema pokok. Hasil dari reduksi data ini kemudian disusun, diurutkan dalam tipologi satuan berdasar fokus

Page 113: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

268 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

Moh. hasim

nerima siswa dari luar daerah seperti, Kabupten Semarang, Kota Semarang, Demak, bahkan dari Jakarta. Siswa yang berasal dari luar daerah sebagian ditampung di rumah/ keluarga Bahrudin dan sebagian tinggal dipondok pesantren atau menempati rumah warga sebagai anak asuh atau menempati rumah warga yang dipinjamkan untuk dijadikan asrama. Dengan tinggal di-rumah warga masyarakat, siswa diharapkan dapat menyatu dengan warga, merasakan problem kehidupan yang mereka hadapi.

4. Kurikulum

Dengan adanya KBK, maka secara umum materi pembelajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah sama dengan materi pembelajaran di sekolah formal sejenjang. Seperti yang dikatakan oleh Dewi Maryam, bahwa kuriku-lum digunakan sebatas sebagai bahan perbandingan dalam proses pemberla-jaran. Perbedaan yang begitu mencolok dibanding dengan sekolah lain yaitu terletak pada model pembelajarannya, media dan sarana belajar, sampai de-ngan cara pembelajaran di kelas.

Dari kurikulum nasional yang dipelajari siswa, untuk memberikan arah dan tujuan belajar yang lebih bermanfaat bagi komunitas, maka kurikulum sekolah disesuaikan dengan kebutuhan sekolah berdasarkan aspirasi ma-syarakat dan terutama kebutuhan dari siswa itu sendiri. Diharapkan siswa belajar tidak hanya sekedar tahu, atau hanya untuk mendapatkan nilai. Akan tetapi juga mampu menghasilkan berkarya nyata yang berguna bagi masyara-kat.

KBK di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dikenal dengan kurikulum ber-basis kebutuhan. Belajar adalah bagaimana menjawab kebutuhan akan pen-gelolaan sekaligus menguatkan daya dukung sumberdaya yang tersedia dan dapat menjaga kelestarian serta memperbaiki kehidupan. Wujud nyata dari pelaksanaan kurikulum yang berpihak pada masyarakat yaitu upaya peman-faatan sumber energi alternatif kotoran manusia sebagai sumber bahan bakar biogas untuk keperluan masyarakat desa kalibening.

5. Materi dan Sumber Belajar

Secara umum materi pembelajaran belajar di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah mengacu pada KBK sebagai kurikulum nasional. Sehingga materi pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah formal lain-nya. Namun fleksibilitas penggunaan kurikulum nasional tidak terlalu men-jadi beban sekolah pada target pembelajaran.

Perbedaaan penentuan materi pembelajaran bagi siswa SLTP alternatif Qaryah Thayyibah yaitu pada konteks penentunan tujuan pembelajaran yang tidak dapat lepas dari konteks lingkungan siswa. sekolah dapat menambah beberapa materi pelajaran dengan muatan lokal dan beberapa mata pelajaran yang dirasa menjadi prioritas kebutuhan siswa mendapat porsi waktu belajar

Maka atas usulan dan kesepakatan warga dirintislah sebuah SLTP al-ternatif dengan harapan mampu menjawab persoalan yang dihadapi warga. Dari 30 orang warga yang diundang, 12 orang menyatakan siap bergabung dengan menyekolahkan anak mereka ke sekolah yang mereka bentuk, terma-suk Bahrudin. Tepat pada bulan Juni 2003 saat ajaran baru dimulai, sekolah yang digagas oleh Bahrudin bersama SPPQT dan masyarakat Desa Kalibening berdiri dengan nama SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah.

2. Tujuan Pembelajaran

Dengan keterbatasan dan sekaligus keungulan yang dimiliki, SLTP Alter-natif Qaryah Thayyibah dalam proses belajar mengajar berpegang pada tujuh prinsip proses pembelajaran. Adapun tujuan yang dirumuskan oleh pengelola beserta seluruh pengguna (stake holders) sekolah tujuan dalam proses pem-belajaran yang dilakukan di SLTP Alternatif Qaryah Yhayyibah adalah untuk mewujudkan pembelajaran mandiri bagi siswa.

Bahruddin menjelaskan:”Kalau pada gilirannya menyebut mutu, amal yang paling bermutu yaitu anak yang punya kesadaran untuk mengembangkan diri, menentukan dirinya sendiri, tidak bergantung pada siapapun. Dengan itu siswa bisa menginginkan dirinya seperti apa. Sehingga tidak pelu lagi menambah jam pelajaran, belajar ya long live. Ngak perlu ada lagi sekat-sekat waktu. Menyenangkan misalnya, dengan sendirinya orang akan belajar kalau dia senang, basisnya ya kebutuhan itu”.

3. Guru dan Siswa

SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah menghilangkan jauh-jauh istilah guru sebagai pengajar. Guru dalam keseharian proses pembelajaran adalah sebagai teman belajar. Seperti yang diturkan oleh Siti Maryam, “kalau di QT itu bukan guru akan tetapi teman belajar, begitu juga sebaliknya, sehingga kita bisa sama-sama belajar”. Sebagai sosok teman, guru di SLTP Alternatif Qoryah Thayyibah tidaklah meski berpendidikan tinggi atau dengan krite-ria akademis yang muluk-muluk dengan gelar. Menurut pengelola sekolah, guru adalah mereka yang mampu mendampingi siswa dalam belajar dengan memberikan pengarahan dan bimbingan. Sebagai pendamping, guru tidak berwenang untuk memaksa siswa belajar, ngetes siswa, apalagi menghukum siswa.

Mayoritas siswa SLTP Alternatif Qoryah Thayyibah lahir dari keluarga sederhana di Kalibening. Rata-rata dari orang tua siswa sebagian besar beker-ja pada sektor pertanian dan buruh dan sebagian kecil dari pedagang Meski-pun demikian tidak berarti SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah hanya meng-kususkan pada warga Kalibening yang mengalami kesulitan ekonomi. SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah terbuka untuk semua calon perserta didik yang memiliki komitmen belajar tanpa melihat latar belakang keluarga.

Pada perkembangannya SLTP alternatif Qaryah Thayyibah juga me-

Page 114: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

269Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Moh. hasim

nerima siswa dari luar daerah seperti, Kabupten Semarang, Kota Semarang, Demak, bahkan dari Jakarta. Siswa yang berasal dari luar daerah sebagian ditampung di rumah/ keluarga Bahrudin dan sebagian tinggal dipondok pesantren atau menempati rumah warga sebagai anak asuh atau menempati rumah warga yang dipinjamkan untuk dijadikan asrama. Dengan tinggal di-rumah warga masyarakat, siswa diharapkan dapat menyatu dengan warga, merasakan problem kehidupan yang mereka hadapi.

4. Kurikulum

Dengan adanya KBK, maka secara umum materi pembelajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah sama dengan materi pembelajaran di sekolah formal sejenjang. Seperti yang dikatakan oleh Dewi Maryam, bahwa kuriku-lum digunakan sebatas sebagai bahan perbandingan dalam proses pemberla-jaran. Perbedaan yang begitu mencolok dibanding dengan sekolah lain yaitu terletak pada model pembelajarannya, media dan sarana belajar, sampai de-ngan cara pembelajaran di kelas.

Dari kurikulum nasional yang dipelajari siswa, untuk memberikan arah dan tujuan belajar yang lebih bermanfaat bagi komunitas, maka kurikulum sekolah disesuaikan dengan kebutuhan sekolah berdasarkan aspirasi ma-syarakat dan terutama kebutuhan dari siswa itu sendiri. Diharapkan siswa belajar tidak hanya sekedar tahu, atau hanya untuk mendapatkan nilai. Akan tetapi juga mampu menghasilkan berkarya nyata yang berguna bagi masyara-kat.

KBK di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dikenal dengan kurikulum ber-basis kebutuhan. Belajar adalah bagaimana menjawab kebutuhan akan pen-gelolaan sekaligus menguatkan daya dukung sumberdaya yang tersedia dan dapat menjaga kelestarian serta memperbaiki kehidupan. Wujud nyata dari pelaksanaan kurikulum yang berpihak pada masyarakat yaitu upaya peman-faatan sumber energi alternatif kotoran manusia sebagai sumber bahan bakar biogas untuk keperluan masyarakat desa kalibening.

5. Materi dan Sumber Belajar

Secara umum materi pembelajaran belajar di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah mengacu pada KBK sebagai kurikulum nasional. Sehingga materi pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah formal lain-nya. Namun fleksibilitas penggunaan kurikulum nasional tidak terlalu men-jadi beban sekolah pada target pembelajaran.

Perbedaaan penentuan materi pembelajaran bagi siswa SLTP alternatif Qaryah Thayyibah yaitu pada konteks penentunan tujuan pembelajaran yang tidak dapat lepas dari konteks lingkungan siswa. sekolah dapat menambah beberapa materi pelajaran dengan muatan lokal dan beberapa mata pelajaran yang dirasa menjadi prioritas kebutuhan siswa mendapat porsi waktu belajar

Maka atas usulan dan kesepakatan warga dirintislah sebuah SLTP al-ternatif dengan harapan mampu menjawab persoalan yang dihadapi warga. Dari 30 orang warga yang diundang, 12 orang menyatakan siap bergabung dengan menyekolahkan anak mereka ke sekolah yang mereka bentuk, terma-suk Bahrudin. Tepat pada bulan Juni 2003 saat ajaran baru dimulai, sekolah yang digagas oleh Bahrudin bersama SPPQT dan masyarakat Desa Kalibening berdiri dengan nama SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah.

2. Tujuan Pembelajaran

Dengan keterbatasan dan sekaligus keungulan yang dimiliki, SLTP Alter-natif Qaryah Thayyibah dalam proses belajar mengajar berpegang pada tujuh prinsip proses pembelajaran. Adapun tujuan yang dirumuskan oleh pengelola beserta seluruh pengguna (stake holders) sekolah tujuan dalam proses pem-belajaran yang dilakukan di SLTP Alternatif Qaryah Yhayyibah adalah untuk mewujudkan pembelajaran mandiri bagi siswa.

Bahruddin menjelaskan:”Kalau pada gilirannya menyebut mutu, amal yang paling bermutu yaitu anak yang punya kesadaran untuk mengembangkan diri, menentukan dirinya sendiri, tidak bergantung pada siapapun. Dengan itu siswa bisa menginginkan dirinya seperti apa. Sehingga tidak pelu lagi menambah jam pelajaran, belajar ya long live. Ngak perlu ada lagi sekat-sekat waktu. Menyenangkan misalnya, dengan sendirinya orang akan belajar kalau dia senang, basisnya ya kebutuhan itu”.

3. Guru dan Siswa

SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah menghilangkan jauh-jauh istilah guru sebagai pengajar. Guru dalam keseharian proses pembelajaran adalah sebagai teman belajar. Seperti yang diturkan oleh Siti Maryam, “kalau di QT itu bukan guru akan tetapi teman belajar, begitu juga sebaliknya, sehingga kita bisa sama-sama belajar”. Sebagai sosok teman, guru di SLTP Alternatif Qoryah Thayyibah tidaklah meski berpendidikan tinggi atau dengan krite-ria akademis yang muluk-muluk dengan gelar. Menurut pengelola sekolah, guru adalah mereka yang mampu mendampingi siswa dalam belajar dengan memberikan pengarahan dan bimbingan. Sebagai pendamping, guru tidak berwenang untuk memaksa siswa belajar, ngetes siswa, apalagi menghukum siswa.

Mayoritas siswa SLTP Alternatif Qoryah Thayyibah lahir dari keluarga sederhana di Kalibening. Rata-rata dari orang tua siswa sebagian besar beker-ja pada sektor pertanian dan buruh dan sebagian kecil dari pedagang Meski-pun demikian tidak berarti SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah hanya meng-kususkan pada warga Kalibening yang mengalami kesulitan ekonomi. SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah terbuka untuk semua calon perserta didik yang memiliki komitmen belajar tanpa melihat latar belakang keluarga.

Pada perkembangannya SLTP alternatif Qaryah Thayyibah juga me-

Page 115: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

270 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

Moh. hasim

batasi oleh ruang dan waktu.

6. Metode Pembelajaran

Didorong oleh semangat pembebasan dan penghargaan terhadap subjek didik sebagai individu yang mandiri sebagai bagian dari alam lingkungan, maka proses pembelajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah diarahkan untuk memandirikan siswa dalam menggali pengetahuannya melalui proses pembelajaran aktif dengan pendekatan kontekstual.

Untuk mencapai sistem belajar aktif yang benar-benar menempatkan siswa sebagai subjek dalam pembelajaran, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah menerapkan tiga tahapan strategi pembelajaran. Tahap pertama merupakan tahap pengenalan. Dalam tahap ini guru masih mendominasi dalam proses belajar dengan sedikit demi sedikit memperkenalkan cara belajar aktif. Im-plementasi dari tahap pengenalan ini dilakukan pada siswa kelas satu.

Tahap kedua yaitu tahap peralihan, yaitu dengan memperbanyak porsi kerjasama antara siswa dalam proses pembelajaran. Strategi kedua ini diim-plementasikan di kelas II yaitu dengan membentuk pimpinan kelompok be-lajar bidang studi yang disebut sebagai leader. Leader memiliki tugas untuk mencari sumber belajar, mempresentasikan, mengarahkan siswa dalam pem-belajaran, termasuk juga memberikan tugas. Dalam tahap ini masih dibu-tuhkan peran guru yang bertugas memantau dan memberikan pengarahan terhadap proses pembelajaran.

Untuk tahap ketiga yaitu strategi pembelajaran mandiri. Stategi ini meng arah pada pembentukan kelas tanpa guru, yaitu proses pembelajaran murni direncanakan, dan dilakukan siswa untuk kepentingan bersama. Artinya bah-wa proses belajar dilaksanakan sesuai dengan apa yang diinginkan dan apa yang menjadi kebutuhan siswa tanpa harus terpaku pada rutinitas kelas.

Dengan sistem belajar mandiri maka, proses pembelajaran dapat dilaku-kan di mana saja dan kapanpun siswa berada. Kelompok belajar hanyalah sebagai motivator, karena kesadaran invidivu dalam belajar lebih dominan. Maka, pada proses pembelajaran mandiri ini, SLTP Alternatif Qaryah Tha-yibah bisa keluar dari konteks kurikulum menyesuaikan dengan apa yang menjadi minat dan kebutuhan siswa.

Pendekatan kontekstual atau lebih dikenal dengan metode belajar Con-textual Teaching and Learning (CTL) dalam proses belajar dimaksudkan agar siswa tidak asing dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem CTL adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa memahami isi dari materi aka-demik yang mereka pelajari dengan cara mengaitkan mata pelajaran terhadap konteks keadaan pribadi dan lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah lingkungan alam, lingkungan masyarakat /sosial, lingkungan budaya, dan juga lingkungan ekonomi.

Untuk mendukung CTL siswa didorong untuk aktif berkarya, baik itu

labih banyak seperti matematika dan bahasa Inggris.

Mengenai kurikulum Siti Maryam,menjelaskan: “Kami cuma menggunakan beberapa persen kurikulum sebatas sebagai bahan acuan perbandingan. Dan kami lebih banyak mengembangkan apa yang ada di lingkungan kita. Karena apa yang kita pelajari itu kan sesuai dengan kebutuhan. Dan materi-materi itu disusun bersama-sama bersama-sama antara guru dengan anak. Dan itu bisa lepas dari kurikulum, sehingga materi bisa diperluas sesuai dengan kebutuhan”.

Dengan sistem kurikulum yang dapat dikembangkan sesuai dengan ke-butuhan siswa, maka Siswa SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah yang memiliki keinginan belajar di luar konteks kurikulum diberikan kesempatan dan di-upayakan oleh sekolah untuk difasilitasi. Contoh kegiatan belajar diluar kon-teks kurikulum misalnya, pengetahuan tentang jurnalistik, penyiaran radio, beternak belut, desain grafis, editing vidio clip, dan belajar bahasa manda-rin.

Sudah menjadi pilihan bagi pengelola SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah terlepas dari keterbatasan dana dan pembiayaan dari sekolah untuk tidak ter-lalu bergantung pada buku-buku paket pelajaran. Untuk mencari sumber be-lajar, Siswa SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah cukup kreatif dalam mencari sumber belajar melalui penggalian sumber secara mandiri.

Keinginan yang kuat dan dorongan untuk maju, membuat mereka ti-dak sungkan untuk bertanya pada siswa sebaya dari sekolah-sekolah lain di Salatiga untuk meminjam buku materi pelajaran sekolah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kurikulum yang diberlakukan pada sekolah-sekolah umum lain. Jika upaya ini gagal maka, alternatif lain yang dapat mereka lakukan adalah dengan membeli secara kelompok. Sekolah tidak menganjurkan setiap siswa memiliki buku mata pelajaran secara pribadi, mengingat pembelian buku-buku yang berlebih akan mubazir, pemborosan dan setiap saat dapat berganti. Menurut seorang siswa, Wikan:

“Tidak ada buku paket di sekolah, tapi kita ada LKS. Sekolah tidak menganjurkan setiap siswa memiliki buku mata pelajaran secara pribadi-mengingat pembelian buku-buku yang berlebih akan mubazir, dan setiap saat dapat berganti. Untuk mencari sumber belajar kami tanya dengan siswa sekolah lain. Dari ini kemudian kami kembangkan sendiri, lewat internet atau tanya-tanya orang lain”.

Materi pelajaran yang diperoleh kemudian dikembangkan dengan me-manfaatkan kekayaaan alam lingkungan desa. Dalam hal ini masyarakat se-cara terbuka memberikan partisipasinya dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki termasuk didalamnya menggunakan fasilitas internet yang be-rada dirumah Bahruddin. Bahkan di rumah Bahruddin inilah sekaligus se-bagai pusat tempat mereka belajar. Sebagai sekolah yang mengembangkan pembelajaran berbasis masyarakat, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah tidak mengenal gedung sekolah, tempat mereka belajar dan sebagai sumber bela-jar adalah adalah alam desa mereka. Sehingga siswa SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dapat belajar dimana saja dan kapan saja mereka mau, tidak ter-

Page 116: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

271Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Moh. hasim

batasi oleh ruang dan waktu.

6. Metode Pembelajaran

Didorong oleh semangat pembebasan dan penghargaan terhadap subjek didik sebagai individu yang mandiri sebagai bagian dari alam lingkungan, maka proses pembelajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah diarahkan untuk memandirikan siswa dalam menggali pengetahuannya melalui proses pembelajaran aktif dengan pendekatan kontekstual.

Untuk mencapai sistem belajar aktif yang benar-benar menempatkan siswa sebagai subjek dalam pembelajaran, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah menerapkan tiga tahapan strategi pembelajaran. Tahap pertama merupakan tahap pengenalan. Dalam tahap ini guru masih mendominasi dalam proses belajar dengan sedikit demi sedikit memperkenalkan cara belajar aktif. Im-plementasi dari tahap pengenalan ini dilakukan pada siswa kelas satu.

Tahap kedua yaitu tahap peralihan, yaitu dengan memperbanyak porsi kerjasama antara siswa dalam proses pembelajaran. Strategi kedua ini diim-plementasikan di kelas II yaitu dengan membentuk pimpinan kelompok be-lajar bidang studi yang disebut sebagai leader. Leader memiliki tugas untuk mencari sumber belajar, mempresentasikan, mengarahkan siswa dalam pem-belajaran, termasuk juga memberikan tugas. Dalam tahap ini masih dibu-tuhkan peran guru yang bertugas memantau dan memberikan pengarahan terhadap proses pembelajaran.

Untuk tahap ketiga yaitu strategi pembelajaran mandiri. Stategi ini meng arah pada pembentukan kelas tanpa guru, yaitu proses pembelajaran murni direncanakan, dan dilakukan siswa untuk kepentingan bersama. Artinya bah-wa proses belajar dilaksanakan sesuai dengan apa yang diinginkan dan apa yang menjadi kebutuhan siswa tanpa harus terpaku pada rutinitas kelas.

Dengan sistem belajar mandiri maka, proses pembelajaran dapat dilaku-kan di mana saja dan kapanpun siswa berada. Kelompok belajar hanyalah sebagai motivator, karena kesadaran invidivu dalam belajar lebih dominan. Maka, pada proses pembelajaran mandiri ini, SLTP Alternatif Qaryah Tha-yibah bisa keluar dari konteks kurikulum menyesuaikan dengan apa yang menjadi minat dan kebutuhan siswa.

Pendekatan kontekstual atau lebih dikenal dengan metode belajar Con-textual Teaching and Learning (CTL) dalam proses belajar dimaksudkan agar siswa tidak asing dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem CTL adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa memahami isi dari materi aka-demik yang mereka pelajari dengan cara mengaitkan mata pelajaran terhadap konteks keadaan pribadi dan lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah lingkungan alam, lingkungan masyarakat /sosial, lingkungan budaya, dan juga lingkungan ekonomi.

Untuk mendukung CTL siswa didorong untuk aktif berkarya, baik itu

labih banyak seperti matematika dan bahasa Inggris.

Mengenai kurikulum Siti Maryam,menjelaskan: “Kami cuma menggunakan beberapa persen kurikulum sebatas sebagai bahan acuan perbandingan. Dan kami lebih banyak mengembangkan apa yang ada di lingkungan kita. Karena apa yang kita pelajari itu kan sesuai dengan kebutuhan. Dan materi-materi itu disusun bersama-sama bersama-sama antara guru dengan anak. Dan itu bisa lepas dari kurikulum, sehingga materi bisa diperluas sesuai dengan kebutuhan”.

Dengan sistem kurikulum yang dapat dikembangkan sesuai dengan ke-butuhan siswa, maka Siswa SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah yang memiliki keinginan belajar di luar konteks kurikulum diberikan kesempatan dan di-upayakan oleh sekolah untuk difasilitasi. Contoh kegiatan belajar diluar kon-teks kurikulum misalnya, pengetahuan tentang jurnalistik, penyiaran radio, beternak belut, desain grafis, editing vidio clip, dan belajar bahasa manda-rin.

Sudah menjadi pilihan bagi pengelola SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah terlepas dari keterbatasan dana dan pembiayaan dari sekolah untuk tidak ter-lalu bergantung pada buku-buku paket pelajaran. Untuk mencari sumber be-lajar, Siswa SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah cukup kreatif dalam mencari sumber belajar melalui penggalian sumber secara mandiri.

Keinginan yang kuat dan dorongan untuk maju, membuat mereka ti-dak sungkan untuk bertanya pada siswa sebaya dari sekolah-sekolah lain di Salatiga untuk meminjam buku materi pelajaran sekolah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kurikulum yang diberlakukan pada sekolah-sekolah umum lain. Jika upaya ini gagal maka, alternatif lain yang dapat mereka lakukan adalah dengan membeli secara kelompok. Sekolah tidak menganjurkan setiap siswa memiliki buku mata pelajaran secara pribadi, mengingat pembelian buku-buku yang berlebih akan mubazir, pemborosan dan setiap saat dapat berganti. Menurut seorang siswa, Wikan:

“Tidak ada buku paket di sekolah, tapi kita ada LKS. Sekolah tidak menganjurkan setiap siswa memiliki buku mata pelajaran secara pribadi-mengingat pembelian buku-buku yang berlebih akan mubazir, dan setiap saat dapat berganti. Untuk mencari sumber belajar kami tanya dengan siswa sekolah lain. Dari ini kemudian kami kembangkan sendiri, lewat internet atau tanya-tanya orang lain”.

Materi pelajaran yang diperoleh kemudian dikembangkan dengan me-manfaatkan kekayaaan alam lingkungan desa. Dalam hal ini masyarakat se-cara terbuka memberikan partisipasinya dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki termasuk didalamnya menggunakan fasilitas internet yang be-rada dirumah Bahruddin. Bahkan di rumah Bahruddin inilah sekaligus se-bagai pusat tempat mereka belajar. Sebagai sekolah yang mengembangkan pembelajaran berbasis masyarakat, SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah tidak mengenal gedung sekolah, tempat mereka belajar dan sebagai sumber bela-jar adalah adalah alam desa mereka. Sehingga siswa SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dapat belajar dimana saja dan kapan saja mereka mau, tidak ter-

Page 117: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

272 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

Moh. hasim

dalam bentuk tulisan maupun kerajinan tangan. Karya-karya siswa tersebut disamping ditempel di majalah dinding sekolah juga ditampilkan dalam gelar karya sekolah yang dilakukan setiap 2 minggu sekali pada hari Sabtu. Melalui gelar karya ini pula siswa dilatih untuk dapat tampil di muka umum, mem-berikan orasi ilmiah atau sekedar membacakan puisi karangan sendiri.

Pembelajaran dengan CTL diterapkan di SLTP Alternatif Qaryah Tha-yibah secara nyata diimplementasikan ketika siswa menyusun disertasi se bagai tugas akhir sekolah. Kepekaan terhadap realita hidup masyarakat sudah mulai terlihat dari sikap kritis yang dimiliki siswa dalam mensikapi fenomena sosial. Keberhasilan sekolah mengembangkan energi alternatif dari kotoran manusia, mendorong siswa untuk mencari energi alternatif lain. Seb-agai contoh disertasi yang dikemukakan oleh Amri, siswa kelas III yang men-coba membuat briket dari sampah daun bambu.

7. Evaluasi

Melalui sistem belajar aktif, siswa didorong untuk dapat menyumbang-kan karya nyata yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Melaui proses belajar mandiri siswa akan menjadi subjek pembelajaran yang sebenarnya se-hingga dengan sendirinya evaluasi telah berlangsung secara internal dalam proses pembelajaran. Diakui oleh Bahrudin, bahwa tidak ada evaluasi dalam bentuk tes yang dilakukan oleh sekolah untuk mengukur kemampuan siswa. Bagi Bahrudin penilaian hasil belajar siswa dengan materi ujian berbentuk soal-soal adalah pembodohan terhadap siswa.

Dengan didukung seluruh komponen sekolah, mereka (guru-siswa-orang tua) sepakat bahwa karya nyata siswa adalah bentuk penghargaan yang ter-tinggi yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur nyata keberhasilan dalam bela-jar. Dengan ini tegas Bahrudin, mutu bagi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah adalah ketika anak mampu menemukan citra dirinya secara mandiri dengan mengaktualisasikan apa yang telah diperoleh di sekolah dalam kehidupan nyata. Sehingga mutu kelulusan sekolah yang ideal adalah ketika anak mam-pu belajar secara mandiri. Bahrudin berkomentar:

“Oke kalau menyebut mutu, anak yang paling bermutu yaitu ketika anak punya kesadaran mengembangkan diri, menemukan dirinya, tidak bergantung pada siapapun. Itu sebenarnya, sehingga tidak perlu ada strategi penambahan jam, belajar itu ya long live. Ngak perlu ada sekat-sekat waktu”.

Dari itu maka, untuk mengukur kemampuan siswa dalam penguasaan pe-lajaran, guru atau pendamping siswa lebih memilih menugaskan kepada siswa untuk membuat report tentang penguasaan materi pelajaran yang diberikan di sekolah selama satu semester. Report dapat berisi apa saja menyangkut materi yang dirasa sulit, mudah, atau evaluasi terhadap proses pembelajaran secara menyeluruh. Hasil dari report dipresentasikan di depan kelas, dengan harapan siswa dapat mengukur kemampuannya secara mandiri di samping pula dapat masukan dan kritikan dari teman satu kelas.

Page 118: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

273Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Moh. hasim

Dengan model presentasi hasil report ini, siswa dapat pula masukan dari teman belajar (guru dan siswa lain) akan kepribadian, sikap dan kelemah-an-kelemahan yang dimiliki dalam proses pembelajaran. Dari model evalu-asi semacam itu, maka siswa tidak mendapatkan nilai hasil belajar dalam bentuk raport atau ijazah kelulusan. Bagi siswa ini tidak masalah, karena memang mereka tidak membutuhkan itu. Keyakinan untuk menolak evaluasi hasil belajar dengan tes, juga dibuktikan oleh siswa dengan tidak mengikuti ujian nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sebagai gantinya siswa kelas tiga memilih membuat disertasi sebagai ganti tugas akhir kuliah.

PenutuP

Sejarah berdirinya SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah di latarbelakangi oleh keinginan masyarakat Desa Kalibening yang mayoritas penduduknya petani untuk medapatkan sekolah murah dan bermutu. Kepeloporan Bahrud-din sebagai salah seorang tokoh masyarakat setempat ikut memberikan adil besar dalam terwujudnya SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dengan model pembelajaran berbasis masyarakat.

Pelaksanaan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh SLTP Alter-natif Qaryah Thayyibah mengupayakan untuk memberdayakan potensi lokal sebagai sumber dan sarana pembelajaran didukung oleh sistem pembelajaran kontekstual yang mengedepakan kemandirian siswa dalam belajar. Partisi-pasi warga masyarakat dalam pengelola SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah memberikan andil besar dalam membentuk pola pembelajaran berbasis ma-syarakat.

Page 119: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

274 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

Dahlan, M. 2005. Sejarah Qaryah Thayyibah. Jakarta: Majalah UIN.

Danim, Sudarman. 2006. Visi Baru Menajemen Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara

Galbraith, Michael W. 1995. Community –Based Organizations and The Delivery of Lifelong Learning Opportunities. http.//.www.ed.gov/pubs/PLLI Conf95/comm…html. Diakses tanggal 19 April 2006.

Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Remaja Karya.

Mulyasa. E. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pemberlajaran. Bandung: Alfa-beta

Suderajat, Hari. 2005, Menajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Bandung: CV Cipta Cekas Grafika.

Tilaar, H.A.R. 2000. Pradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Umaedi. 1999. Menejemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. http://www.ssep.net/director.html., diakses tanggal 12 Desember 2006

Zubaedi. 2005. Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta : Pustaka Pela-jar.

DAFTAR PUSTAKA

Page 120: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pembelajaran Berbasis Masyarakatdi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga

275Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

PENELITIAN

AbstrAct :This research was conducted at SMA Catholic Soverdi under umbrella of

Catholic foundation in Badung district Bali Province. Focuses of this study are, implementation of religious education was seen from the aspects of curriculum implementation, influencing factors of curriculum implementation. This is a qualitative research. Finding of the research depicts that development of the religious education’s curriculum uses curriculum set by ministry of education. This affects in developing of atmosphere of religious life at school. Substantially, implementation of curriculum on religious education are able to provide services for students, namely giving religious education fit with students’ religion, and the teacher’s religion is the same as student’s religion.

Keywords : Relegius education, curiculum

PendAhuluAn

latar Belakang

Pendidikan Agama di sekolah formal merupakan bagian dari keseluruhan kegiatan di sekolah yang cukup penting dalam proses pembelajaran dan pembentukan watak peserta didik. Pendidikan agama diharapkan dapat membentuk peserta didik sebagai generasi terpelajar yang memiliki kecerdasan otak melalui pengetahuan umum dan pengetahuan keterampilan dan memiliki kecerdasan emosional dan spiritual melalui pendidikan agama. Dengan demikian, diharapkan pendidikan agama mengokohkan kepribadian peserta didik menjadi manusia yang utuh/sempura.

PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA DI SMA KATOLIK SOVERDI KABUPATEN BADUNG BALI

Oleh MulyaNI MuDIs TaruNa*1

* Drs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd adalah peneliti bidang pendidikan agama di Balai Litbang Agama Semarang

Page 121: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

276 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali Mulyani Mudis Taruna

Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam Undang-Undang meletakkan pelaksanaan Pendidikan Agama pada urutan pertama, yaitu Pendidikan Agama dan akhlak mulia baru dilanjutkan dengan strategi lainnya. Pada penjelasan pasal 37 ayat (1) bahwa Pendidikan Agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia (UU Sisdikans,2007).

Sekolah-sekolah swasta umum yang berada di bawah Yayasan Keagamaan secara teoritis memiliki kesadaran akan pentingnya Pendidikan Agama yaitu dengan menambah materi keagamaan maupun kegiatan keagamaan di luar jam pelajaran inti. Persoalan penentuan kurikulum Pendidikan Agama pada sekolah swasta bervariasi dalam mengembangkan kurikulum, yaitu ada yang menyusun sendiri dan ada yang mengikuti kurikulum yang telah disusun oleh Depdiknas.

Untuk mengetahui lebih mendalam tentang bagaimana pelaksanaan Pendidikan Agama pada sekolah swasta di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali yang berada di bawah Yayasan Keagamaan, maka perlu ada kajian yang lebih mendalam melalui penelitian. Adapun rumusan masalah yang dijadikan fokus peneltian adalah bagaimana kurikulum Pendidikan Agama yang dikembangkan oleh SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung, bagaimana pelaksanaan kurikulum Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung, faktor apa sajakah yang mempengaruhi pelaksanaan kurikulum Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung, dan seberapa besar faktor penghambat dalam pelaksanaan kurikulum Pendidikan Agama yang dikembangkan oleh SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung.

Kerangka Teori

Konsep pendidikan dalam pelaksanaan Pendidikan Agama pada sekolah merupakan konsep yang lebih tepat dari konsep pengajaran. Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa (tenaga pendidik) dalam pergaulannya dengan anak-anak (peserta didik) untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan agar berguna bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat (Purwanto, 2000), sedangkan pengajaran hanya merupakan proses pemberian materi pelajaran agar dapat dikuasai sehingga peserta didik mampu menguasai materi tersebut sesuai tujuan kurikulum.

Pendidikan Agama tidak hanya untuk membentuk peserta didik memiliki pemahaman tentang ajaran agama yang luas dan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, akan tetapi Pendidikan Agama membentuk akhlak mulia sekaligus peningkatan spiritual. Dengan demikian peserta didik tidak hanya cerdas otaknya akan tetapi juga cerdas hatinya. Menurut Listia, dkk. (2007), bahwa Perilaku keagamaan peserta didik dipengaruhi oleh beberapa faktor selain faktor pengajaran di sekolah, yaitu faktor media, bimbingan orang tua, dan bimbingan agama yang diperoleh dari

masyarakat. Dari hasil penelitian menunjukan, bahwa pengaruh pendidikan yang cukup mendominasi dan membentuk karakter peserta didik antara lain adalah faktor media.

Menurut John Sealy yang dikutip oleh Ibnu Hadjar (Thoha,2004), bahwa Pendidikan Agama dapat diarahkan untuk mengemban salah satu atau gabungan dari beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut.

1. Fungsi Konfensional di mana Pendidikan Agama untuk meningkatkan komitmen dan perilaku keberagamaan peserta didik atau untuk mengagamakan orang yang beragama sesuai dengan keyakinannya.

2. Fungsi Neo Konfensional di mana Pendidikan Agama dimaksudkan untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik sesuai dengan keyakinannya.

3. Fungsi Konfensional tersembunyi di mana Pendidikan Agama menawarkan sejumlah pilihan ajaran agama dengan harapan peserta didik nantinya akan memilih salah satu yang dianggap paling benar atau sesuai dengan dirinya.

4. Fungsi Implisit di mana Pendidikan Agama dimaksudkan untuk mengenalkan peserta didik ajaran agama secara terpadu dengan seluruh aspek kehidupan. Fungsi ini menekankan pada nilai-nilai universal dari ajaran agama yang berguna bagi kehidupan manusia.

5. Fungsi Non Konfesional di mana Pendidikan Agama dimaksudkan sebagai alat untuk memahami keyakinan atau pandangan hidup yang dianut oleh orang lain. Fungsi ini lebih menekankan bahwa Pendidikan Agama tidak memiliki peran “agamis” tetapi semata-mata untuk mengembangkan sikap toleransi.

desAin PenelitiAn

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data-data yang dihimpun didasarkan pada hasil wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara yang dilakukan dengan metode snowball sampling untuk memperoleh informasi dan data yang utuh dan objektif. Wawancara ini dilakukan dengan peserta didik, pendidik, kepala sekolah, wakasek kurikulum, kepala bagian tata usaha, dan pengurus yayasan. Observasi dilakukan sejak studi kelayakan sampai pada saat penelitian ini dilakukan, sedangkan untuk mendukung data yang bersifat substantif dilakukan dengan menambah data yang bersifat dokumenter dan data yang dihasilkan dari respon peserta didik melalui kuesioner.

Page 122: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali

277Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mulyani Mudis Taruna

Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam Undang-Undang meletakkan pelaksanaan Pendidikan Agama pada urutan pertama, yaitu Pendidikan Agama dan akhlak mulia baru dilanjutkan dengan strategi lainnya. Pada penjelasan pasal 37 ayat (1) bahwa Pendidikan Agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia (UU Sisdikans,2007).

Sekolah-sekolah swasta umum yang berada di bawah Yayasan Keagamaan secara teoritis memiliki kesadaran akan pentingnya Pendidikan Agama yaitu dengan menambah materi keagamaan maupun kegiatan keagamaan di luar jam pelajaran inti. Persoalan penentuan kurikulum Pendidikan Agama pada sekolah swasta bervariasi dalam mengembangkan kurikulum, yaitu ada yang menyusun sendiri dan ada yang mengikuti kurikulum yang telah disusun oleh Depdiknas.

Untuk mengetahui lebih mendalam tentang bagaimana pelaksanaan Pendidikan Agama pada sekolah swasta di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali yang berada di bawah Yayasan Keagamaan, maka perlu ada kajian yang lebih mendalam melalui penelitian. Adapun rumusan masalah yang dijadikan fokus peneltian adalah bagaimana kurikulum Pendidikan Agama yang dikembangkan oleh SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung, bagaimana pelaksanaan kurikulum Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung, faktor apa sajakah yang mempengaruhi pelaksanaan kurikulum Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung, dan seberapa besar faktor penghambat dalam pelaksanaan kurikulum Pendidikan Agama yang dikembangkan oleh SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung.

Kerangka Teori

Konsep pendidikan dalam pelaksanaan Pendidikan Agama pada sekolah merupakan konsep yang lebih tepat dari konsep pengajaran. Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa (tenaga pendidik) dalam pergaulannya dengan anak-anak (peserta didik) untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan agar berguna bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat (Purwanto, 2000), sedangkan pengajaran hanya merupakan proses pemberian materi pelajaran agar dapat dikuasai sehingga peserta didik mampu menguasai materi tersebut sesuai tujuan kurikulum.

Pendidikan Agama tidak hanya untuk membentuk peserta didik memiliki pemahaman tentang ajaran agama yang luas dan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, akan tetapi Pendidikan Agama membentuk akhlak mulia sekaligus peningkatan spiritual. Dengan demikian peserta didik tidak hanya cerdas otaknya akan tetapi juga cerdas hatinya. Menurut Listia, dkk. (2007), bahwa Perilaku keagamaan peserta didik dipengaruhi oleh beberapa faktor selain faktor pengajaran di sekolah, yaitu faktor media, bimbingan orang tua, dan bimbingan agama yang diperoleh dari

masyarakat. Dari hasil penelitian menunjukan, bahwa pengaruh pendidikan yang cukup mendominasi dan membentuk karakter peserta didik antara lain adalah faktor media.

Menurut John Sealy yang dikutip oleh Ibnu Hadjar (Thoha,2004), bahwa Pendidikan Agama dapat diarahkan untuk mengemban salah satu atau gabungan dari beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut.

1. Fungsi Konfensional di mana Pendidikan Agama untuk meningkatkan komitmen dan perilaku keberagamaan peserta didik atau untuk mengagamakan orang yang beragama sesuai dengan keyakinannya.

2. Fungsi Neo Konfensional di mana Pendidikan Agama dimaksudkan untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik sesuai dengan keyakinannya.

3. Fungsi Konfensional tersembunyi di mana Pendidikan Agama menawarkan sejumlah pilihan ajaran agama dengan harapan peserta didik nantinya akan memilih salah satu yang dianggap paling benar atau sesuai dengan dirinya.

4. Fungsi Implisit di mana Pendidikan Agama dimaksudkan untuk mengenalkan peserta didik ajaran agama secara terpadu dengan seluruh aspek kehidupan. Fungsi ini menekankan pada nilai-nilai universal dari ajaran agama yang berguna bagi kehidupan manusia.

5. Fungsi Non Konfesional di mana Pendidikan Agama dimaksudkan sebagai alat untuk memahami keyakinan atau pandangan hidup yang dianut oleh orang lain. Fungsi ini lebih menekankan bahwa Pendidikan Agama tidak memiliki peran “agamis” tetapi semata-mata untuk mengembangkan sikap toleransi.

desAin PenelitiAn

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data-data yang dihimpun didasarkan pada hasil wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara yang dilakukan dengan metode snowball sampling untuk memperoleh informasi dan data yang utuh dan objektif. Wawancara ini dilakukan dengan peserta didik, pendidik, kepala sekolah, wakasek kurikulum, kepala bagian tata usaha, dan pengurus yayasan. Observasi dilakukan sejak studi kelayakan sampai pada saat penelitian ini dilakukan, sedangkan untuk mendukung data yang bersifat substantif dilakukan dengan menambah data yang bersifat dokumenter dan data yang dihasilkan dari respon peserta didik melalui kuesioner.

Page 123: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

278 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali Mulyani Mudis Taruna

Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis CIPP (Context, Input, Process, Product). Analisis evaluasi ini untuk memeriksa persesuaian antara tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil belajar yang dicapai (Daryanto,1999). Analisis Konteks digunakan untuk memperjelas pelaksanaan Pendidikan Agama yang tekait dengan kebijakan Yayasan dalam menerapkan kurikulum Pendidikan Agama, Input menekankan pada objek yang melaksanakan kebijakan pendidikan agama, Proses menekankan pada bagaimana pelaksanaan strategi dalam kegiatan pelaksanaan Pendidikan Agama, dan analisis Produk menekankan pada implikasi atau hasil yang dicapai dalam pengembangan Pendidikan Agama.

Kerangka pikir yang dijadikan alur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pengolahan data yang dihasilkan dari kuesioner didasarkan pada nilai kuantitatif dengan skala likert dari 1 sampai dengan 4 dengan menetapkan standar penilaian sebagai berikut 1) angka 1 sampai dengan 1,9 = rendah, 2) angka 2 sampai dengan 2,9 = sedang, 3) angka 3 sampai dengan 3,9 = tinggi, dan angka 4 = sangat tinggi/ sangat tinggi/ istimewa

Dinamika Pendidikan di SMA Katolik Soverdi

SMA Katolik Soverdi merupakan lembaga pendidikan tingkat atas dengan NSS 30 1 2204 05 004 dan NIS 30 014 0 dan berada di Jalan Komplek Burung No. 46 Desa Tuban, Kecamatan Kuta Tengah Kabupaten Badung Propinsi

Intrumental-Input

1. Guru Agama/Romo

2. Sarana/Fasilitas

3. Kurikulum Pend.Agama

4. Peraturan Pemerintah

OutputKeluaran yang

diharapkan

Process

Semua input diproses dan terproses melalui pelayanan pembelajaran Agama yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh sekolah. Keterlayanan tersebut dalam rangka transformasi nilai yang diemban oleh kurikulum pendidikan agama

Row-InputPeserta didik

Page 124: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali

279Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mulyani Mudis Taruna

Bali. Sekolah ini memiliki visi mengembangkan prestasi dan budaya bangsa berlandaskan cinta kasih dengan indikator berprestasi akademik, berprestasi non akademik, berprestasi dalam bidang seni dan budaya, bekerjasama dengan lingkungan dan masyarakat, dan beriman dan bertaqwa.

Kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan di SMA Katolik Soverdi mengikuti kurikulum yang telah dirumuskan oleh Depdiknas. Menurut Purwanto (Kepala Sekolah SMA Katolik Soverdi), bahwa standar kurikulum pendidikan agama secara keseluruhan mengikuti kurikulum yang di desain oleh Depdiknas, karena pada dasarnya kurikulum tersebut disusun oleh pakar yang berkompeten dan memiliki kredibilitas tinggi. Bagi sekolah bahwa yang terpenting dari pendidikan agama adalah bagaimana mengigamakan1 peserta didik karena beragama belum tentu berigama akan tetapi berigama sudah pasti beragama.

Menurut Maria Magdalena Tin (Wakasek Kurikulum) semua proses pembelajaran menggunakan kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah termasuk untuk mata pelajaran pendidikan agama. Meskipun demikian, terdapat kurikulum Pendidikan Budi Pekerti yang diajarkan kepada seluruh peserta didik. Kurikulum tentang budi pekerti ini menurut Romo Pungki Setiawan, SVD, M.Pd. (Badan Pelaksana Kegiatan Yayasan Soverdi) menekankan pada memantapkan tujuan pendidikan tentang memanusiakan manusia agar manusia selalu berada pada jalur yang baik dan benar sesuai ajaran agama. Pembelajaran budi pekerti ini tidak menyinggung masalah SARA melainkan menanamkan nilai-nilai yang baik dan benar yang mengatasi segala ajaran agama.

Menurut Romo Pungki, bahwa pembelajaran agama sebenarnya sudah tercermin dalam UU Sisdiknas dengan semangat demokrasi, hal ini nampak jelas dengan peraturan bahwa setiap sekolah harus mengajarkan pendidikan agama kepada peserta didik sesuai dengan agama peserta didik dan diajarkan oleh guru agama yang seagama dengan agama peserta didik. Dengan demikian, sekolah tidak “dituduh” membangun relativisme agama apalagi mengadakan ekspansi terhadap peserta didik yang beragama di luar agama yang dikembangkan oleh Yayasan maupun sekolah. SMA K Soverdi membangun universalisme dengan membuka diri dan mengembangkan kurikulum pendidikan agama ke arah pengembangan kecerdasan IQ (Intelligent Quotient), EQ (Emosional Quotient), AQ (Aquipment Quotient), dan LQ (Leadership Quotient/)

Dalam konteks pengembangan kurikulum pendidikan agama, menurut Purwanto, bahwa SMAK Soverdi merupakan lembaga pendidikan bukan untuk mencetak calon pastur melainkan untuk mengembangkan sekolah sebagaimana sekolah setingkat pada umumnya dan untuk mendukung

1. Berigama adalah menghayati dan melaksanakan ajaran agama dengan benar, sedangkan beragama belum tentu menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya dengan benar.

Page 125: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

280 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali Mulyani Mudis Taruna

terlaksananya pendidikan agama, sekolah berharap adanya pengembangan kurikulum pendidikan agama yang diselipkan (hidden curriculum) melalui mata pelajaran umum. Setiap tenaga pendidik bidang studi apapun diupayakan untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti/kebaikan dalam setiap pembelajaran dan bagi tenaga pendidik yang terbaik adalah keteladanan bukan nasehat.

Penekanan kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan adalah mengikuti perkembangan peserta didik dilihat dari aspek latarbelakang keagamaan. Sekolah lebih menekankan pada keterlayanan peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Menurut B. Wayan Purwanto, bahwa sekolah mencoba memberikan pelayanan terhadap pendidikan agama, baik secara teori maupun praktik, hal ini dilakukan agar peserta didik memiliki fanatisme agama ke dalam (fanatisme internal) yang lebih kuat sehingga tidak mudah terjebak dalam kehidupan yang negatif.

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama

Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum pendidikan agama di SMA Katolik Soverdi didasarkan pada visi dan misi sekolah. Penekanan proses pembelajaran pendidikan agama terkait dengan pengembangan kurikulum dan pelaksanaan kurikulum pendidikan agama, proses pelaksanaan kurikulum pendidikan agama, dan dampak yang dihasilkan dari pelaksanaan kurikulum pendidikan agama. Dari data angket yang diberikan kepada peserta didik dan pengelola sekolah dihasilkan respon sebagai berikut.

1. Visi dan Misi Sekolah

Respon peserta didik terkait dengan pernyataan bahwa pengembangan kurikulum pendidikan agama sesuai dengan visi dan misi yayasan dan sesuai dengan kehidupan beragama yang dikembangkan oleh yayasan berada pada tataran rendah (1,4)2. Begitu juga pengembangan kurikulum pendidikan agama diarahkan pada kehidupan beragama yang sesuai dengan visi dan misi sekolah berada pada tataran rendah (1,4). Hal ini menunjukan bahwa meskipun sekolah berada di bawah yayasan keagamaan dan memiliki visi dan misi keagamaan tertentu, akan tetapi terkait dengan kurikulum pendidikan agama yang diberikan kepada peserta didik tidak diarahkan dan dikondisikan sesuai dengan visi dan misi agama yang dikembangkan oleh yayasan.

Pada pernyataan sekolah menyediakan menu kurikulum pendidikan agama sesuai dengan kondisi keagamaan peserta didik berada pada kategori tinggi (3,9)3. Hal ini menunjukan bahwa sekolah memperhatikan

2. Rendah (1,4) artinya bahwa visi dan misi pengembangan kurikulum pendidikan agama di SMA Katolik Soverdi tidak disesuaikan dengan agama yang dianut oleh yayasan, melainkan sesuai dengan kondisi keberagamaan peserta didik.

3. Tinggi (3,9) artinya bahwa kurikulum pendidikan agama yang diajarkan kepada peserta didik sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik

Page 126: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali

281Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mulyani Mudis Taruna

latarbelakang keberagamaan peserta didik sehingga menu terkait dengan kurikulum pendidikan agama juga disesuaikan dengan kondisi keberagamaan peserta didik tersebut.

Untuk memantau pelaksanaan kurikulum pendidikan agama di sekolah, maka keterlibatan unsur pimpinan sekolah menjadi sesuatu yang sangat mendukung. Dari pernyataan tentang adakah keterlibatan unsur pimpinan sekolah dalam memantau pelaksanaan pembelajaran agama berada pada kategori tinggi (3,8) dan keterlibatan pimpinan sekolah dalam pelaksanaan peribadatan keagamaan yang menjadi visi dan misi sekolah adalah tinggi (3,7). Dengan demikian, keterlibatan unsur pimpinan sekolah dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah baik. Bahkan komitmen ini juga ditunjukan dengan penyediaan sarana dan prasarana peribadatan yang berada pada kategori tinggi (3,7) atau sekolah berusaha secara maksimal menyediakan sarana dan pra sarana ibadah.

2. Pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah

Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah di bawah yayasan keagamaan memiliki komitmen dalam kegiatan keagamaan peserta didik. Respon peserta didik terkait dengan pernyataan komitmen sekolah dalam kegiatan keagamaan peserta didik seperti pengiriman peserta didik untuk mengikuti lomba keagamaan yang diadakan sesuai dengan visi dan misi sekolah dan pengiriman peserta didik yang berkeyakinan lain dalam mengikuti lomba keagamaan di luar sekolah berada pada kategori tinggi, yaitu 3,6 dan 3,7. Hal ini berarti sekolah aktif menyertakan peserta didik untuk mengikuti lomba berkaitan dengan keagamaan yang diselenggarakan oleh pihak lain/lembaga lain.4

Berkaitan dengan pelaksanaan peribadatan keagamaan peserta didik, baik peribadatan harian, mingguan, bulanan dan tahunan rata-rata berada dalam kategori tinggi, yaitu antara 3,4 sampai 3,8 artinya pelaksanaan peribadatan peserta didik adalah baik. Adapun orientasi pengembangan dalam pelaksanaan pendidikan agama tidak hanya terfokus pada pengembangan kecerdasan spiritual, akan tetapi pada kecerdasan emosional, sosial, dan pembentukan akhlak mulia. Pelaksanaan pendidikan agama yang berorientasi pada kecerdasan emosional, sosial, spiritual, dan pembentukan akhlak mulia tersebut berada pada kategori tinggi dengan nilai skor rata-rata 3,8, 3,6, 3,8, dan 3,8. Hal ini berarti bahwa orientasi pelaksanaan pendidikan agama di SMA Katolik Soverdi baik pada aspek kecerdasan emosional, sosial, spiritual dan pembentukan akhlak berjalan dengan baik.

3. Dampak Kurikulum Pendidikan Agama

Secara umum dampak kurikulum pendidikan agama adalah adanya peningkatan atmosfir kehidupan beragama di kalangan peserta didik maupun di kalangan tenaga pendidik. Peningkatan atmosfir kehidupan beragama di

4. SMA Katolik Soverdi juara 1 lomba busana muslim tingkat SMA di propinsi Bali.

Page 127: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

282 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali Mulyani Mudis Taruna

kalangan peserta didik dan peningkatan atmosfir kehidupan beragama di kalangan tenaga pendidik berada pada kategori tinggi (3,7) dan (3,6), yaitu nuansa kehidupan keberagamaan di SMA Katolik Soverdi sangat mendukung terutama pada saat hari besar keagamaan.

Secara substansial, dampak kurikulum pendidikan agama terletak pada kualitas layanan kurikulum pendidikan agama terutama pada perbaikan kurikulum. Peningkatan kualitas layanan maupun perbaikan kurikulum pendidikan agama terjadi peningkatan yang cukup signifikan, yaitu berada pada kategori tinggi (3,4). Peningkatan layanan kurikulum ini juga berimplikasi pada peningkatan kualitas layanan pada proses pembelajaran pendidikan agama yang berada pada kategori tinggi (3,7) yang berarti bahwa pelaksanaan kurikulum pendidikan agama yang diterapkan di SMA Katolik Soverdi memiliki dampak baik terhadap kualitas penyusunan kurikulum pendidikan agama berikutnya dan juga kualitas layanan pendidikan agama yang semakin meningkat.

Dampak terhadap adanya peningkatan dalam pengembangan dan pelaksanaan kurikulum pendidikan agama adalah sesuatu yang logis. Hal ini disebabkan karena pengembangan dan pelaksanaan kurikulum pendidikan agama merupakan kegiatan pembelajaran yang telah terstruktur dan memiliki dimensi pembelajaran yang jelas. Bahkan pembelajaran tersebut memiliki dampak secara teoritis/pengetahuan dan pembentukan sikap dan perilaku keseharian pada seluruh warga sekolah. Dampak lain yang cukup signifikan selain peningkatan layanan kehidupan beragama bagi peserta didik adalah adanya peningkatan kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan peserta didik, dan pembentukan akhlak mulia.

Pengembangan dan Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi

Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa pelaksanaan pendidikan agama di SMA Katolik Soverdi sangat kondusif, baik dilihat dari aspek penerimaan peserta didik yang sangat heterogen/lintas agama maupun kurikulum pendidikan agama sesuai dengan agama peserta didik yaitu Hindu, Kristen, Katolik, Islam, dan Buddha. Aspek lain yang menjadikan atmosfir kehidupan keberagamaan di sekolah yang berada di bawah yayasan keagamaan ini sangat kondusif adalah adanya tenaga pendidik yang berlatarbelakang agama bukan Katolik meskipun mengajarkan bukan pendidikan agama. Hal ini menunjukan tingkat profesionalitas manajemen sekolah dan komitmen sekolah terhadap kompetensi tenaga pendidik sangat diperhatikan.

Berkaitan dengan pendidikan agama yang dikembangkan di SMA Katolik Soverdi adalah untuk mengigamakan peserta didik dan bukan mengagamakan peserta didik. Hal ini dikarenakan pada dasarnya peserta didik telah memiliki agama sebelum menjadi peserta didik SMA Katolik Soverdi.

Page 128: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali

283Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mulyani Mudis Taruna

1. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama

Pendidikan agama secara konseptual untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Pengembangan kurikulum pendidikan agama di SMA Katolik Soverdi diarahkan sebagai langkah operasional dalam kerangka tersebut, baik melalui pendidikan agama Hindu. Kristen, Katolik, Islam, maupun Buddha.

Kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan di SMA Katolik Soverdi merupakan hasil rumusan BSNP dan sekolah menyediakan menu kurikulum pendidikan agama sesuai dengan kondisi keberagamaan peserta didik. Penyediaan kurikulum adalah merupakan hak setiap peserta didik dan diamanatkan melalui UU Sisdiknas Bab V pasal 12 ayat (1) bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Langkah SMA Katolik Soverdi melalui penyiapan kurikulum pendidikan agama dengan memperhatikan kondisi latarbelakang keberagamaan peserta didik adalah langkah strategik dan nilai lebih bagi sekolah yang berada di bawah yayasan keagamaan tertentu. Bahkan visi dan misi sekolah diarahkan pada kehidupan agama tertentu menurut peserta didik tidak terjadi. Hal ini nampak dari respon peserta didik terhadap visi dan misi tersebut rendah, yaitu (1,4) yang menggambarkan bahwa meskipun sekolah berada di bawah yayasan Katolik, akan tetapi dalam mengembangkan visi dan misi sekolah tidak mendasarkan pada “pemaksaan” peserta didik untuk mengikuti agama Katolik. Di sinilah bahwa pengembangan kurikulum pendidikan agama tetap mengacu pada BSNP dan diberikan kepada peserta didik sesuai agama peserta didik dan diajarkan oleh tenaga pendidik yang seagama dengan peserta didik.

Input pengembangan kurikulum pendidikan agama baik dilihat dari penyusunan silabus/RPP dan buku bahan ajar mengikuti perkembangan dari buku yang telah disusun oleh BSNP dan diterbitkan oleh penerbit, sehingga dalam proses pembelajaran atau penyampaian materi oleh tenaga pendidik sesuai dengan konsep kurikulum yang disusun dengan memperhatikan kondisi pluralitas kehidupan warga sekolah tersebut. Model pengembangan kurikulum pendidikan agama seperti ini menghasilkan tingkat toleransi warga sekolah terhadap keyakinan yang berbeda berada pada kategori sangat tinggi/ istimewa (3,9) yang berarari bahwa dengan model kurikulum pendidikan agama yang diterapkan di sekolah menjadikan peserta didik memiliki toleransi agama yang sangat tinggi atau sangat baik.

Hasil atau produk dari model pengembangan kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan oleh sekolah juga dapat dilihat dari atmosfir kehidupan beragama di kalangan peserta didik maupun di kalangan tenaga

Page 129: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

284 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali Mulyani Mudis Taruna

pendidik yang berada pada kategori sangat tinggi/ istimewa (3,7 dan 3,8). Bahkan dampak dari pengembangan kurikulum pendidikan agama tersebut tidak hanya pada aspek pengetahuan (knowledge) saja melainkan pada aspek pembentukan akhlak, peningkatan kecerdasan emosional, peningkatan kecerdasan spiritual, dan peningkatan kecerdasan sosial peserta didik.

2. Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama

Kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan di sekolah dilaksanakan secara profesional dan konsisten. Untuk menunjang pelaksanaan tersebut berbagai unsur sekolah dilibatkan, seperti keterlibatan guru dalam peribadatan, keterlibatan unsur pimpinan sekolah dalam pembelajaran agama, keterlibatan manajemen sekolah dalam penyediaan sarana ibadah, dan keterlibatan unsur pimpinan sekolah dalam peribadatan. Keterlibatan tersebut secara keseluruhan berada pada kategori tinggi yaitu di atas 3 yang berarti keterlibatan unsur sekolah dalam pembelajaran agama kepada peserta didik dilakukan dengan baik. Kondisi ini didukung kuat oleh adanya dana dan kesempatan pengembangan kompetensi tenaga pendidik agama dan pengembangan potensi sumber daya manusia melalui pengiriman peserta didik dalam mengikuti lomba di luar sekolah.

Di samping keterlibatan berbagai manajemen sekolah, tenaga pendidik maupun unsur pimpinan sekolah dan yayasan, kondusifitas pelaksanaan kurikulum pendidikan agama nampak pada pelaksanaan pendidikan agama secara teoritis dalam kelas dan pelaksanaan ibadah harian, mingguan, bulanan/tahunan. Dari pelaksanaan ibadah ini hanya ibadah bulanan/tahunan yang berada pada kategori tinggi (3,1), sedangkan lainnya berada pada kategori sedang. Hal ini dikarenakan pelaksanaan ibadah bulanan/tahunan merupakan palaksanaan ibadah yang bersifat umum dan menjadi sebuah hari raya/hari besar agama.

Pada ibadah tahunan (hari besar keagamaan) di sekolah melibatkan berbagai unsur yang dijadikan panitia seperti OSIS, tenaga pendidik, dan tenaga administrasi. Unsur-unsur inilah yang menjadikan pelaksanaan ibadah bulanan/tahun berada pada kategori tinggi. Aspek lain yang mempengaruhi adalah pelaksanaan ibadah tahunan merupakan ibadah puncak yang dilaksanakan satu kali dalam satu tahun, seperti perayaan idul fitri, natalan, galungan, nyepi, dll. oleh karena itu, semangat warga sekolah untuk merayakan melebihi dari pada semangat melaksanakan ibadah harian atau mingguan.

Melihat pelaksanaan pendidikan agama berada pada kategori tinggi merupakan keberhasilan sekolah dalam membentuk perilaku peserta didik memiliki fanatisme agama yang cukup kuat, yaitu fanatisme internal. Di samping itu, untuk menuju konsep mengigamakan peserta didik mengalami keberhasilan melalui proses pembelajaran yang terstruktur dan tidak hanya mengedepankan aspek teoritis, akan tetapi lebih pada aspek praktis yang

didukung oleh orientasi pelaksanaan kurikulum pendidikan agama yang mencakup orientasi emosional, spiritual dan orientasi sosial peserta didik.

Pelaksanaan pendidikan agama di tengah proses pembelajaran di sekolah sangat kondusif untuk membentuk akhlak mulia peserta didik yang mengedepankan aspek perilaku emosional, spiritual maupun sosial. Hal ini membawa implikasi pada peningkatan atmosfir kehidupan beragama. Contoh dari atmosfir keberagamaan adalah terjadinya praktek ritual yang berjalan setiap moment, seperti pada saat misa bagi peserta didik yang beragama Katolik, shalat jum’at bagi peserta didik yang beragama Islam, dan perlakuan persembahan setiap saat bagai yang beragama Hindu. Peningkatan atmosfir kehidupan keberagamaan tersebut tidak hanya pada kalangan peserta didik, melainkan pada kalangan pengelola sekolah.

Menurut Purwanto (Kepsek SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung), bahwa konsep mengigamakan di sekolah tidak sekedar pada peserta didik, melainkan kepada semua warga sekolah yang terlibat dalam proses pendidikan. Diakui bahwa semua warga sekolah adalah manusia yang sudah beragama, akan tetapi belum tentu berigama yang benar-benar melaksanakan ajaran agama dengan baik. Di sinilah peran sekolah yang berada di bawah yayasan keagamaan berusaha bagaimana mengigamakan warga sekolah dan dalam pelaksanaan pendidikan diarahkan untuk membangun peserta didik melaksanakan ajaran agama dengan baik.

SMA Katolik adalah sekolah umum yang bernuansa keagamaan dalam bingkai agama Katolik, akan tetapi sekolah tersebut bukan untuk mencetak peserta didik menjadi Romo. Oleh karena itu model pendidikan agama yang dilaksanakan dan diterapkan pada peserta didik sesuai agama peserta didik dan diajarkan oleh tenaga pendidik yang seagama dengan agama peserta didik. Menurut Romo Pungki Setiawan SVD ciri agama Katolik yang disampaikan kepada semua peserta didik adalah dalam pembelajaran mata pelajaran budi pekerti.

Mata pelajaran budi pekerti diberikan kepada peserta didik selama satu jam pelajaran dan bersifat umum dengan orientasi pada penanaman nilai-nilai kebaikan dan kebenaran universal. Salah satu yang dicontohkan adalah pada materi kepedulian sosial dengan konsep memberi itu menyimpan energi dan jangan berharap akan segera kembali dapat balasan, karena balasan adalah sebuah proses untuk memperoleh keberuntungan yang diberikan dari hasil memberi.

Pembelajaran budi pekerti yang diajarkan langsung oleh Romo bukan berarti “ekspansi” agama, melainkan bagaimana beragama menjadi garam meskipun sedikit tapi tetap asin. Sekolah berusaha membangun dan mebentuk cinta kasih dalam relasi yang berbeda dan tidak “bernafsu” untuk mengkatolikan peserta didik yang sudah beragama dan dengan mengembangkan dan melaksanakan pendidikan agama sesuai UU Sisdiknas

Page 130: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali

285Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mulyani Mudis Taruna

pendidik yang berada pada kategori sangat tinggi/ istimewa (3,7 dan 3,8). Bahkan dampak dari pengembangan kurikulum pendidikan agama tersebut tidak hanya pada aspek pengetahuan (knowledge) saja melainkan pada aspek pembentukan akhlak, peningkatan kecerdasan emosional, peningkatan kecerdasan spiritual, dan peningkatan kecerdasan sosial peserta didik.

2. Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama

Kurikulum pendidikan agama yang dikembangkan di sekolah dilaksanakan secara profesional dan konsisten. Untuk menunjang pelaksanaan tersebut berbagai unsur sekolah dilibatkan, seperti keterlibatan guru dalam peribadatan, keterlibatan unsur pimpinan sekolah dalam pembelajaran agama, keterlibatan manajemen sekolah dalam penyediaan sarana ibadah, dan keterlibatan unsur pimpinan sekolah dalam peribadatan. Keterlibatan tersebut secara keseluruhan berada pada kategori tinggi yaitu di atas 3 yang berarti keterlibatan unsur sekolah dalam pembelajaran agama kepada peserta didik dilakukan dengan baik. Kondisi ini didukung kuat oleh adanya dana dan kesempatan pengembangan kompetensi tenaga pendidik agama dan pengembangan potensi sumber daya manusia melalui pengiriman peserta didik dalam mengikuti lomba di luar sekolah.

Di samping keterlibatan berbagai manajemen sekolah, tenaga pendidik maupun unsur pimpinan sekolah dan yayasan, kondusifitas pelaksanaan kurikulum pendidikan agama nampak pada pelaksanaan pendidikan agama secara teoritis dalam kelas dan pelaksanaan ibadah harian, mingguan, bulanan/tahunan. Dari pelaksanaan ibadah ini hanya ibadah bulanan/tahunan yang berada pada kategori tinggi (3,1), sedangkan lainnya berada pada kategori sedang. Hal ini dikarenakan pelaksanaan ibadah bulanan/tahunan merupakan palaksanaan ibadah yang bersifat umum dan menjadi sebuah hari raya/hari besar agama.

Pada ibadah tahunan (hari besar keagamaan) di sekolah melibatkan berbagai unsur yang dijadikan panitia seperti OSIS, tenaga pendidik, dan tenaga administrasi. Unsur-unsur inilah yang menjadikan pelaksanaan ibadah bulanan/tahun berada pada kategori tinggi. Aspek lain yang mempengaruhi adalah pelaksanaan ibadah tahunan merupakan ibadah puncak yang dilaksanakan satu kali dalam satu tahun, seperti perayaan idul fitri, natalan, galungan, nyepi, dll. oleh karena itu, semangat warga sekolah untuk merayakan melebihi dari pada semangat melaksanakan ibadah harian atau mingguan.

Melihat pelaksanaan pendidikan agama berada pada kategori tinggi merupakan keberhasilan sekolah dalam membentuk perilaku peserta didik memiliki fanatisme agama yang cukup kuat, yaitu fanatisme internal. Di samping itu, untuk menuju konsep mengigamakan peserta didik mengalami keberhasilan melalui proses pembelajaran yang terstruktur dan tidak hanya mengedepankan aspek teoritis, akan tetapi lebih pada aspek praktis yang

didukung oleh orientasi pelaksanaan kurikulum pendidikan agama yang mencakup orientasi emosional, spiritual dan orientasi sosial peserta didik.

Pelaksanaan pendidikan agama di tengah proses pembelajaran di sekolah sangat kondusif untuk membentuk akhlak mulia peserta didik yang mengedepankan aspek perilaku emosional, spiritual maupun sosial. Hal ini membawa implikasi pada peningkatan atmosfir kehidupan beragama. Contoh dari atmosfir keberagamaan adalah terjadinya praktek ritual yang berjalan setiap moment, seperti pada saat misa bagi peserta didik yang beragama Katolik, shalat jum’at bagi peserta didik yang beragama Islam, dan perlakuan persembahan setiap saat bagai yang beragama Hindu. Peningkatan atmosfir kehidupan keberagamaan tersebut tidak hanya pada kalangan peserta didik, melainkan pada kalangan pengelola sekolah.

Menurut Purwanto (Kepsek SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung), bahwa konsep mengigamakan di sekolah tidak sekedar pada peserta didik, melainkan kepada semua warga sekolah yang terlibat dalam proses pendidikan. Diakui bahwa semua warga sekolah adalah manusia yang sudah beragama, akan tetapi belum tentu berigama yang benar-benar melaksanakan ajaran agama dengan baik. Di sinilah peran sekolah yang berada di bawah yayasan keagamaan berusaha bagaimana mengigamakan warga sekolah dan dalam pelaksanaan pendidikan diarahkan untuk membangun peserta didik melaksanakan ajaran agama dengan baik.

SMA Katolik adalah sekolah umum yang bernuansa keagamaan dalam bingkai agama Katolik, akan tetapi sekolah tersebut bukan untuk mencetak peserta didik menjadi Romo. Oleh karena itu model pendidikan agama yang dilaksanakan dan diterapkan pada peserta didik sesuai agama peserta didik dan diajarkan oleh tenaga pendidik yang seagama dengan agama peserta didik. Menurut Romo Pungki Setiawan SVD ciri agama Katolik yang disampaikan kepada semua peserta didik adalah dalam pembelajaran mata pelajaran budi pekerti.

Mata pelajaran budi pekerti diberikan kepada peserta didik selama satu jam pelajaran dan bersifat umum dengan orientasi pada penanaman nilai-nilai kebaikan dan kebenaran universal. Salah satu yang dicontohkan adalah pada materi kepedulian sosial dengan konsep memberi itu menyimpan energi dan jangan berharap akan segera kembali dapat balasan, karena balasan adalah sebuah proses untuk memperoleh keberuntungan yang diberikan dari hasil memberi.

Pembelajaran budi pekerti yang diajarkan langsung oleh Romo bukan berarti “ekspansi” agama, melainkan bagaimana beragama menjadi garam meskipun sedikit tapi tetap asin. Sekolah berusaha membangun dan mebentuk cinta kasih dalam relasi yang berbeda dan tidak “bernafsu” untuk mengkatolikan peserta didik yang sudah beragama dan dengan mengembangkan dan melaksanakan pendidikan agama sesuai UU Sisdiknas

Page 131: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

286 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali Mulyani Mudis Taruna

Bab V pasal 12 ayat 1 (a) bukan berarti sekolah membangun relativitas agama, akan tetapi membangun manusia utuh melalui pendidikan agama dan budi pekerti di sekolah dan membangun relationship antara peserta didik, tenaga pendidik, tenaga administrasi dan yayasan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama

Pengembangan dan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah dapat berjalan seiring dengan tuntutan perkembangan peserta didik dilihat dari latarbelakang keberagamaan. Konsekuensi sekolah ketika menerima peserta didik dari berbagai latarbelakang keagamaan adalah menyediakan seperangkat kurikulum sesuai dengan keragamaan keagamaan peserta didik dan menyediakan tenaga pendidik sesuai dengan mata pelajaran agama yang disampaikan. Konsekuensi lain adalah penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang pembelajaran pendidikan agama karena pendidikan agama tidak hanya menekankan pada aspek kognitif yang dihasilkan dari wawasan/pengetahuan melalui buku pelajaran, akan tetapi aspek afektif dan psikomotorik dalam kerangka pembentukan akhlak mulia dan penerapan ajaran agama.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan dan pelaksanaan pendidikan agama berasal dari yayasan sebagai pemegang otoritas pelaksanaan pendidikan, manajemen sekolah yang bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran di sekolah, tenaga pendidik sebagai penyampai materi pelajaran, dan peserta didik yang menerima dan mengaplikasikan kurikulum pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari.

Pengaruh dari Yayasan terhadap pengembangan dan pelaksanaan pendidikan agama menurut Romo Pungki adalah sekolah welcome kepada siapa saja dan fair terhadap peserta didik dan tenaga pendidik apapun agamanya. Hal ini cukup “unik” karena tidak atau jarang sekali terjadi di jawa dengan sekolah yang berada di bawah yayasan keagamaan akan tetapi proses pembelajaran pendidikan agama diajarkan sesuai dengan agama peserta didik dan diajarkan oleh tenaga pendidik yang seagama dengan agama peserta didik.

Kebijakan yayasan memberikan layanan pendidikan agama sesuai dengan tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia atau pendidikan yang manusiawi sesuai dengan yang digariskan dalam UU Sisdiknas. Menurutnya UU Sisdiknas sudah sangat demokratis karena mengharuskan sekolah memberikan layanan maksimal terhadap peserta didik termasuk pada prinsip yang dimiliki peserta didik yaitu latarbelakang agama yang harus diterima dan diajarkan oleh tenaga pendidik yang seagama dengan agama peserta didik. Diakui bahwa, sekolah berada di bawah yayasan agama Katolik dan memiliki ciri dengan mengajarkan hakekat yang paling dalam,

yaitu cinta. Inilah sebuah konsep yang dikembangkan oleh yayasan Katolik melalui pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada seluruh peserta didik selama satu jam pelajaran.

Faktor yang cukup berpengaruh terhadap pengembangan dan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah adalah manajemen sekolah. Faktor ini berasal dari kebijakan kepala sekolah dan guru. Menurut Kepala Sekolah, bahwa penanaman nilai sekarang ini menjadi sangat penting seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu peserta didik harus dibekali nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari ajaran agama bahkan penanaman nilai tidak hanya melalui mata pelajaran pendidikan agama akan tetapi melalui seluruh kegiatan di sekolah harus ditanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Sekolah memberikan “kebebasan” kepada guru agama menyampaikan materi agamanya sesuai dengan kurikulum yang disusun oleh BSNP dalam kerangka membentuk peserta didik agar memiliki fanatisme internal melalui ajaran agamanya dan memiliki toleransi yang kuat terhadap keberadaan ajaran agama yang lain. Contoh kebebasan tenaga pendidik agama dalam menyampaikan ajaran agama adalah ketika pelajaran agama Islam menyampaikan babi itu najis dan haram tanpa adanya rasa canggung meskipun pada saat itu terdapat kepala sekolah yang beragama katolik. Menurut Kepala sekolah hal tersebut harus disampaikan kepada peserta didik untuk membentuk fanatisme internal sehingga peserta didik memahami sesuatu yang dilarang dan dibolehkan menurut ajaran agamanya.

Model penyampaian materi agama untuk membentuk fanatisme internal kepada peserta didik merupakan faktor pendukung bagi tenaga pendidik maupun peserta didik untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah dan “keberanian” tenaga pendidik menyampaikan materi dan kesiapan peserta didik memperoleh materi pelajaran agama sesuai dengan agamanya. Manajemen sekolah menempatkan kurikulum pendidikan agama yang disusun oleh BSNP harus dilaksanakan dengan baik dan benar, peserta didik yang menerima materi pelajaran agama tidak merasa dipaksa atau terpaksa menerima materi karena sesuai dengan agamanya, tenaga pendidikan memiliki kebebasan menyampaikan materi pelajaran agama dengan model atau metode yang dikuasai tanpa merasa canggung karena berada di bawah yayasan keagamaan yang berbeda dengan keyakinannya. Dengan demikian, paling tidak hasil yang diharapkan peserta didik dapat terbentuk akhlak mulia dan peserta didik memiliki kecerdasan emosional, spiritual, dan kecerdasan sosial cukup baik

4. Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama

Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah secara teknis operasional dapat

Page 132: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali

287Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mulyani Mudis Taruna

Bab V pasal 12 ayat 1 (a) bukan berarti sekolah membangun relativitas agama, akan tetapi membangun manusia utuh melalui pendidikan agama dan budi pekerti di sekolah dan membangun relationship antara peserta didik, tenaga pendidik, tenaga administrasi dan yayasan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama

Pengembangan dan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah dapat berjalan seiring dengan tuntutan perkembangan peserta didik dilihat dari latarbelakang keberagamaan. Konsekuensi sekolah ketika menerima peserta didik dari berbagai latarbelakang keagamaan adalah menyediakan seperangkat kurikulum sesuai dengan keragamaan keagamaan peserta didik dan menyediakan tenaga pendidik sesuai dengan mata pelajaran agama yang disampaikan. Konsekuensi lain adalah penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang pembelajaran pendidikan agama karena pendidikan agama tidak hanya menekankan pada aspek kognitif yang dihasilkan dari wawasan/pengetahuan melalui buku pelajaran, akan tetapi aspek afektif dan psikomotorik dalam kerangka pembentukan akhlak mulia dan penerapan ajaran agama.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan dan pelaksanaan pendidikan agama berasal dari yayasan sebagai pemegang otoritas pelaksanaan pendidikan, manajemen sekolah yang bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran di sekolah, tenaga pendidik sebagai penyampai materi pelajaran, dan peserta didik yang menerima dan mengaplikasikan kurikulum pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari.

Pengaruh dari Yayasan terhadap pengembangan dan pelaksanaan pendidikan agama menurut Romo Pungki adalah sekolah welcome kepada siapa saja dan fair terhadap peserta didik dan tenaga pendidik apapun agamanya. Hal ini cukup “unik” karena tidak atau jarang sekali terjadi di jawa dengan sekolah yang berada di bawah yayasan keagamaan akan tetapi proses pembelajaran pendidikan agama diajarkan sesuai dengan agama peserta didik dan diajarkan oleh tenaga pendidik yang seagama dengan agama peserta didik.

Kebijakan yayasan memberikan layanan pendidikan agama sesuai dengan tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia atau pendidikan yang manusiawi sesuai dengan yang digariskan dalam UU Sisdiknas. Menurutnya UU Sisdiknas sudah sangat demokratis karena mengharuskan sekolah memberikan layanan maksimal terhadap peserta didik termasuk pada prinsip yang dimiliki peserta didik yaitu latarbelakang agama yang harus diterima dan diajarkan oleh tenaga pendidik yang seagama dengan agama peserta didik. Diakui bahwa, sekolah berada di bawah yayasan agama Katolik dan memiliki ciri dengan mengajarkan hakekat yang paling dalam,

yaitu cinta. Inilah sebuah konsep yang dikembangkan oleh yayasan Katolik melalui pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada seluruh peserta didik selama satu jam pelajaran.

Faktor yang cukup berpengaruh terhadap pengembangan dan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah adalah manajemen sekolah. Faktor ini berasal dari kebijakan kepala sekolah dan guru. Menurut Kepala Sekolah, bahwa penanaman nilai sekarang ini menjadi sangat penting seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu peserta didik harus dibekali nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari ajaran agama bahkan penanaman nilai tidak hanya melalui mata pelajaran pendidikan agama akan tetapi melalui seluruh kegiatan di sekolah harus ditanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Sekolah memberikan “kebebasan” kepada guru agama menyampaikan materi agamanya sesuai dengan kurikulum yang disusun oleh BSNP dalam kerangka membentuk peserta didik agar memiliki fanatisme internal melalui ajaran agamanya dan memiliki toleransi yang kuat terhadap keberadaan ajaran agama yang lain. Contoh kebebasan tenaga pendidik agama dalam menyampaikan ajaran agama adalah ketika pelajaran agama Islam menyampaikan babi itu najis dan haram tanpa adanya rasa canggung meskipun pada saat itu terdapat kepala sekolah yang beragama katolik. Menurut Kepala sekolah hal tersebut harus disampaikan kepada peserta didik untuk membentuk fanatisme internal sehingga peserta didik memahami sesuatu yang dilarang dan dibolehkan menurut ajaran agamanya.

Model penyampaian materi agama untuk membentuk fanatisme internal kepada peserta didik merupakan faktor pendukung bagi tenaga pendidik maupun peserta didik untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah dan “keberanian” tenaga pendidik menyampaikan materi dan kesiapan peserta didik memperoleh materi pelajaran agama sesuai dengan agamanya. Manajemen sekolah menempatkan kurikulum pendidikan agama yang disusun oleh BSNP harus dilaksanakan dengan baik dan benar, peserta didik yang menerima materi pelajaran agama tidak merasa dipaksa atau terpaksa menerima materi karena sesuai dengan agamanya, tenaga pendidikan memiliki kebebasan menyampaikan materi pelajaran agama dengan model atau metode yang dikuasai tanpa merasa canggung karena berada di bawah yayasan keagamaan yang berbeda dengan keyakinannya. Dengan demikian, paling tidak hasil yang diharapkan peserta didik dapat terbentuk akhlak mulia dan peserta didik memiliki kecerdasan emosional, spiritual, dan kecerdasan sosial cukup baik

4. Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama

Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah secara teknis operasional dapat

Page 133: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

288 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali Mulyani Mudis Taruna

berjalan dengan baik dan sesuai dengan kurikulum yang disusun Depdiknas. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang menjadi penghambat dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama pada tataran aplikatif.

Berbagai hambatan dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan agama terutama berkaitan dengan kondisi sarana dan prasarana yang kurang mendukung. Menurut Kepala Sekolah, bahwa pelaksanaan pendidikan agama pada saat apilkasi ajaran agama seperti sembahyangan, praktek shalat jenazah dalam agama Islam, praktek shalat harian, mingguan, maupun bulanan/tahunan susah dilaksanakan karena faktor sarana dan prasarana yang tidak ada. Di samping itu, kurangnya atau tidak adanya buku-buku yang bernuansa keagamaan untuk menambah wawasan keagamaan peserta didik, kitab suci sebagai pegangan peserta didik pada saat pengajaran praktek.

Secara umum yang menjadi hambatan dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan agama antara lain 1) ruang kelas untuk pendidikan agama secara khusus tidak ada sehingga dalam pembelajaran menggunakan fasilitas perpustakaan bahkan menggunakan kelas sehingga bagi peserta didik yang tidak seagama berada di luar kelas atau di perpustakaan, 2) sarana peribadatan tidak tersedia sehingga peserta didik harus mencari / keluar untuk melakukan ibadat padahal tempat ibadat tidak mudah/jauh dari sekolah, 3) buku wawasan keagamaan di luar buku paket tidak tersedia sehingga peserta didik sangat rendah wawasan keagamaan, padahal tidak sedikit peserta didik ingin lebih memperdalam ajaran agama melalui buku-buku agama di luar buku paket, 4) Masih terdapatnya tenaga pendidik agama yang menggunakan metode ceramah.

Page 134: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Pelaksanaan Pendidikan Agama di SMA Katolik Soverdi Kabupaten Badung Bali

289Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Mulyani Mudis Taruna

kesimPulAn

Pengembangan kurikulum pendidikan agama di sekolah adalah untuk mengigamakan peserta didik dan bukan mengagamakan peserta didik. Dari hasil kajian penelitian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama memperhatikan kondisi latarbelakang keberagamaan peserta didik dan mengacu pada BSNP serta diberikan kepada peserta didik sesuai agama peserta didik dan diajarkan oleh tenaga pendidik yang seagama dengan peserta didik.

2. Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama secara profesional dan konsisten dengan melibatkan guru agama dan manajemen sekolah dalam mengusahakan penyediaan sarana ibadah. Adapun untuk menuju konsep mengigamakan peserta didik, proses pembelajaran dilakukan secara terstruktur dan tidak hanya mengedepankan aspek teoritis, akan tetapi lebih pada aspek praktis yang didukung oleh orientasi pelaksanaan kurikulum pendidikan agama mencakup orientasi emosional, spiritual dan orientasi sosial peserta didik.

3. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kurikulum pendidikan agama antara lain, bahwa sekolah welcome kepada siapa saja dan fair terhadap peserta didik dan tenaga pendidik apapun agamanya, sekolah memberikan “kebebasan” kepada guru agama menyampaikan materi agamanya sesuai dengan kurikulum yang disusun oleh Depdiknas, kebebasan dan “keberanian” tenaga pendidik menyampaikan materi, dan kesiapan peserta didik memperoleh materi pelajaran agama sesuai dengan agamanya.

4. Faktor penghambat dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan Agama antara lain ruang kelas untuk pendidikan agama secara khusus tidak ada, sarana peribadatan tidak tersedia, buku wawasan keagamaan di luar buku paket tidak tersedia,

5. Masih terdapatnya tenaga pendidik agama yang menggunakan metode ceramah, sedangkan peserta didik menginginkan diversifikasi metode pengajaran agar tidak menjenuhkan dan monoton.

Page 135: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

290 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Agustian, Ary Ginanjar. 2005. Rahasian Sukses zmembangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta. Penerbit Arga.

Anselm Strauss & Juliet Corbin. 2007. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif (Tatalangkah dan Teknik-teknik Teorisasi data.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta.Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

Listia, dkk.,2007. Problematika Pendidikan Agama di Sekolah (Hasil Penelitian tentang Pendidikan Agama di Kota Jogyakarta 2004-2006). Jogyakarta, Interfidei.

Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung, Rosdakarya.

Permendiknas. 2006. tentang SI dan SKL. 2006, Jakarta: Sinar Diagrama.

Purwanto. Ngalim. 2000. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Thaha, Chatib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta:, Pustaka Pelajar.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.2007. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

DAFTAR PUSTAKA

Page 136: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

291Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

AbstArAct :This research was conducted at MAN 1 Mataram. Focus of this study

is an impact of religious education toward health reproduction of students. The main objective of this research is, are there any difference impact of re-ligious learning toward reproduction attitudes among students majoring IPA, IPS and language? This study uses a qualitative approach. Data are analyzed using two way anova analysis. This research shows that students’ understanding of health reproduction is good and very good. The impacts of health reproduction attitude are, firstly there is a significant difference re-production attitude between students of IPA, IPS and Language with signifi-cant value 0,024 < 0,05. Secondly, there is difference reproduction attitude between male and female students with significant value 0,000 < 0,05. To cope with this result, it needs a specific handbook related to health reproduc-tion referred to Islamic teaching for students.

Keywords : Impact, Health reproduction, religious education

PendAhuluAn

Latar Belakang

Secara umum tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di madrasah adalah untuk membekali peserta didik agar dapat (1) mengetahui dan me-mahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli maupun dalil aqli yang dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial, (2) melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar sehingga diharapkan dapat menumbuhkan keta-

DAMPAK PENDIDIKAN AGAMA TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI

PADA MAN I MATARAM NUSA TENGGARA BARAT

Oleh. alI KhuDrIN*1

* Drs. Ali Khudrin adalah peneliti bidang pendidikan agama di Balai Litbang Agama

Semarang

PENELITIAN

Page 137: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

292 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

al i Khudr in

Penjelasan yang lebih komprehensif tentang kesehatan reproduksi me-lalui pendidikan agama sebenarnya sangat efektif, akan tetapi materi yang menekankan pada aspek di luar kesehatan lebih dominan dan materi yang menyinggung kesehatan reproduksi sangat sedikit. Menurut dr. Faizatul, pa-ling tidak remaja (peserta didik) perlu disampaikan materi antara lain.

1. Sebagai azas, maka perlu memberi pemahaman tentang jati diri remaja sehingga dalam menjalani episode hidupnya dengan benar sesuai dengan tujuan dihidupkan oleh Tuhan.

2. Jelaskan tentang perkembangan organ reproduksi tentang kon-sekuensinya dan bagaimana seharusnya bersikap.

3. Pahamkan makna naluri seksual sebagai suatu fitrah.

4. Kenalkan perilaku seksual yang benar sesuai denagn tuntunan syara’

5. Kenalkan perilaku seksual yang salah/menyimpang dan akibatnya

6. Pahamkan resiko perilaku seksual yang salah

7. Kenalkan organ reproduksi pria dan wanita antara fungsi dan pera-watan

8. Jelaskan proses konsepsi (terbentuknya janin), kehamilan dan kela-hiran.

Pada tataran praktis, pendidikan kesehatan reproduksi dalam pengertian pengembangan fungsi seksualitas sangat diperlukan. Hal ini dilakukan agar fungsi-fungsi reproduksi termasuk solusi seksual pada manusia yang dipa-hami sesuai nilai-nilai moral terutama moral agama. Naluri seks tidak dapat dibebas lepaskan karena membahayakan dan dapat menghancurkan peradab an manusia, dan apabila ditekan dan dimatikan, berarti penindasan terha-dap kodrat manusia sekaligus memupus harapan keberlangsungan regenerasi manusia.

Kerangka Berfikir

Pemahaman tentang kesehatan reproduksi pada tataran praktis dapat diperoleh peserta didik melalui mata pelajaran biologi bagi peserta didik yang berada di jurusan IPA, sedangkan bagi peserta didik yang berada pada jurus-an IPS dan Bahasa kemungkinan memperoleh pemahaman tersebut relatif sedikit, meskipun secara informal dapat diperoleh melalui berbagai media. Dengan melihat faktor jurusan di sekolah antara IPA, IPS, dan Bahasa akan berbeda, yaitu peserta didik yang berada pada jurusan IPA akan lebih mema-hami tentang kesehatan reprodksi atau paling tidak alat reproduksi diban-dingkan dengan peserta didik yang berada pada jurusan IPS dan Bahasa.

Salah satu pemahaman yang dapat diperoleh peserta didik dari berbagai jurusan tentang kesehatan reproduksi adalah melalui mata pelajaran pen-didikan agama Islam. Hanya saja karena perbedaan jurusan tersebut akan

atan menjalankan hukum Islam dengan disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosial.

Salah satu yang dipelajari adalah munakahat/pernikahan, akan tetapi materi tersebut belum secara mendetail diberikan pada peserta didik Ma-drasah Aliyah. Padahal dalam ajaran Islam, pernikahan selain sebagai suatu tindakan ibadah karena menjalankan sunnah Nabi, juga dalam rangka menye lematkan umat Islam khususnya dari perbuatan zina (hubungan seks tanpa ikatan pernikahan).

Kesehatan reproduksi sebagai bagian dari materi pernikahan memerlu-kan adanya pembelajaran dan sosialisasi yang tepat. Pemberian pengetahuan tentang kesehatan reproduksi diarahkan sebagai langkah sosialisasi kepada peserta didik yang sudah beranjak dewasa yang secara fisik telah siap untuk menikah dan melanjutkan keturunan.

Untuk mengetahui sejauhmana peserta didik MAN memahami konsep kesehatan reproduksi perlu dilakukan kajian/penelitian. Fokus penelitian adalah (1) apakah ada perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama terhadap perilaku kesehatan reproduksi pada peserta didik Jurusan IPA, IPS dan Bahasa, (2) apakah ada perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama terhadap perilaku kesehatan reproduksi pada peserta didik yang ber-beda jenis kelamin, dan (3) apakah ada interaksi antara jurusan dengan jenis kelamin terhadap perilaku kesehatan reproduksi peserta didik MAN 1 Mata-ram Nusa Tenggara Barat?

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) perbe-daan dampak pembelajaran Pendidikan Agama terhadap perilaku kesehatan reproduksi pada peserta didik Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, (2) perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama terhadap perilaku kesehatan re-produksi pada peserta didik yang berbeda jenis kelamin, dan 3) interaksi an-tara jurusan dan jenis kelamin terhadap perilaku peserta didik MAN 1 Mata-ram Nusa Tenggara Barat sebagai dampak dari pembelajaran Pendidikan Agama terhadap kesehatan reproduksi.

Kajian Teoritis

Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi bagi peserta didik di Madra-sah Aliyah memiliki nilai yang cukup mendasar dan strategis untuk dipela-jari. Nilai manfaat tersebut tidak hanya karena organ reproduksi usia remaja yang sudah mulai berfungsi, akan tetapi dilihat dari aspek ajaran agama Islam merupakan usia akil baligh yang telah terkena sangsi hukum apabila terjadi penyimpangan, seperti seks pra nikah atau terjadinya perilaku seksual yang menyimpang. Ajaran agama secara normatif dapat mendukung pendidikan reproduksi sehat. Oleh karena itu pengenalan tentang perilaku seksual yang benar sesuai dengan tuntunan syara’ menjadi sesuatu yang sangat penting (Suhanjati,2003).

Page 138: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

293Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

al i Khudr in

Penjelasan yang lebih komprehensif tentang kesehatan reproduksi me-lalui pendidikan agama sebenarnya sangat efektif, akan tetapi materi yang menekankan pada aspek di luar kesehatan lebih dominan dan materi yang menyinggung kesehatan reproduksi sangat sedikit. Menurut dr. Faizatul, pa-ling tidak remaja (peserta didik) perlu disampaikan materi antara lain.

1. Sebagai azas, maka perlu memberi pemahaman tentang jati diri remaja sehingga dalam menjalani episode hidupnya dengan benar sesuai dengan tujuan dihidupkan oleh Tuhan.

2. Jelaskan tentang perkembangan organ reproduksi tentang kon-sekuensinya dan bagaimana seharusnya bersikap.

3. Pahamkan makna naluri seksual sebagai suatu fitrah.

4. Kenalkan perilaku seksual yang benar sesuai denagn tuntunan syara’

5. Kenalkan perilaku seksual yang salah/menyimpang dan akibatnya

6. Pahamkan resiko perilaku seksual yang salah

7. Kenalkan organ reproduksi pria dan wanita antara fungsi dan pera-watan

8. Jelaskan proses konsepsi (terbentuknya janin), kehamilan dan kela-hiran.

Pada tataran praktis, pendidikan kesehatan reproduksi dalam pengertian pengembangan fungsi seksualitas sangat diperlukan. Hal ini dilakukan agar fungsi-fungsi reproduksi termasuk solusi seksual pada manusia yang dipa-hami sesuai nilai-nilai moral terutama moral agama. Naluri seks tidak dapat dibebas lepaskan karena membahayakan dan dapat menghancurkan peradab an manusia, dan apabila ditekan dan dimatikan, berarti penindasan terha-dap kodrat manusia sekaligus memupus harapan keberlangsungan regenerasi manusia.

Kerangka Berfikir

Pemahaman tentang kesehatan reproduksi pada tataran praktis dapat diperoleh peserta didik melalui mata pelajaran biologi bagi peserta didik yang berada di jurusan IPA, sedangkan bagi peserta didik yang berada pada jurus-an IPS dan Bahasa kemungkinan memperoleh pemahaman tersebut relatif sedikit, meskipun secara informal dapat diperoleh melalui berbagai media. Dengan melihat faktor jurusan di sekolah antara IPA, IPS, dan Bahasa akan berbeda, yaitu peserta didik yang berada pada jurusan IPA akan lebih mema-hami tentang kesehatan reprodksi atau paling tidak alat reproduksi diban-dingkan dengan peserta didik yang berada pada jurusan IPS dan Bahasa.

Salah satu pemahaman yang dapat diperoleh peserta didik dari berbagai jurusan tentang kesehatan reproduksi adalah melalui mata pelajaran pen-didikan agama Islam. Hanya saja karena perbedaan jurusan tersebut akan

atan menjalankan hukum Islam dengan disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosial.

Salah satu yang dipelajari adalah munakahat/pernikahan, akan tetapi materi tersebut belum secara mendetail diberikan pada peserta didik Ma-drasah Aliyah. Padahal dalam ajaran Islam, pernikahan selain sebagai suatu tindakan ibadah karena menjalankan sunnah Nabi, juga dalam rangka menye lematkan umat Islam khususnya dari perbuatan zina (hubungan seks tanpa ikatan pernikahan).

Kesehatan reproduksi sebagai bagian dari materi pernikahan memerlu-kan adanya pembelajaran dan sosialisasi yang tepat. Pemberian pengetahuan tentang kesehatan reproduksi diarahkan sebagai langkah sosialisasi kepada peserta didik yang sudah beranjak dewasa yang secara fisik telah siap untuk menikah dan melanjutkan keturunan.

Untuk mengetahui sejauhmana peserta didik MAN memahami konsep kesehatan reproduksi perlu dilakukan kajian/penelitian. Fokus penelitian adalah (1) apakah ada perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama terhadap perilaku kesehatan reproduksi pada peserta didik Jurusan IPA, IPS dan Bahasa, (2) apakah ada perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama terhadap perilaku kesehatan reproduksi pada peserta didik yang ber-beda jenis kelamin, dan (3) apakah ada interaksi antara jurusan dengan jenis kelamin terhadap perilaku kesehatan reproduksi peserta didik MAN 1 Mata-ram Nusa Tenggara Barat?

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) perbe-daan dampak pembelajaran Pendidikan Agama terhadap perilaku kesehatan reproduksi pada peserta didik Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, (2) perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama terhadap perilaku kesehatan re-produksi pada peserta didik yang berbeda jenis kelamin, dan 3) interaksi an-tara jurusan dan jenis kelamin terhadap perilaku peserta didik MAN 1 Mata-ram Nusa Tenggara Barat sebagai dampak dari pembelajaran Pendidikan Agama terhadap kesehatan reproduksi.

Kajian Teoritis

Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi bagi peserta didik di Madra-sah Aliyah memiliki nilai yang cukup mendasar dan strategis untuk dipela-jari. Nilai manfaat tersebut tidak hanya karena organ reproduksi usia remaja yang sudah mulai berfungsi, akan tetapi dilihat dari aspek ajaran agama Islam merupakan usia akil baligh yang telah terkena sangsi hukum apabila terjadi penyimpangan, seperti seks pra nikah atau terjadinya perilaku seksual yang menyimpang. Ajaran agama secara normatif dapat mendukung pendidikan reproduksi sehat. Oleh karena itu pengenalan tentang perilaku seksual yang benar sesuai dengan tuntunan syara’ menjadi sesuatu yang sangat penting (Suhanjati,2003).

Page 139: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

294 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

al i Khudr in

berpengaruh terhadap pemahaman kesehatan reproduksi secara utuh, baik dilihat dari aspek pengetahuan maupun tinjauan dari ajaran agama. Di sam-ping itu, terdapat faktor yang mempengaruhi terhadap perbedaan pandangan maupun persepsi tentang kesehatan reproduksi antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dari kedua faktor ini akan ditemukan jawaban bagaimana sesungguhnya peserta didik pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Mataram ini dalam memandang kesehatan reproduksi dalam aspek pengetahuan maupun aspek perilaku.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis deskriptif dan analisis jalur (Two Way Anova). Populasi yang dimaksud adalah seluruh peserta didik pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Mataram Nusa Tenggara Barat yang berjumlah 749 dan yang menjadi responden sekaligus menjadi sampel dalam penelitian berjumlah 180 peserta didik dengan ma-sing-masing jenis kelamin dan masing-masing jurusan berjumlah 30 peserta didik.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Pendidikan Agama pada Ma-drasah Aliyah Negeri 1 Mataram Nusa Tenggara Barat dan Variabel terikat (Dependent Variable) adalah tingkat pemahaman kesehatan reproduksi ser-ta Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Adapun hipotesis yang akan diuji dengan metode statistika tersebut adalah ;

1. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan perilaku tentang kesehatan reproduksi antara peserta didik yang berada pada jurusan IPA, IPS maupun Bahasa.

2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan perilaku tentang kesehatan reproduksi antara peserta didik yang berjenis kelamin laki-laki de-ngan yang berjenis kelamin perempuan.

3. Terdapat interaksi antara jurusan dan jenis kelamin terhadap perilaku kesehatan reproduksi pada MAN 1 Mataram

Secara statistik hipotesis di atas dinyatakan dengan µ1 = µ2 = µ3 = µ4 dengan tandingan paling kurang ada satu yang berbeda.

hAsil PenelitiAn

1. hasil Studi Pendahuluan

a. Perilaku Peserta didik tentang Kesehatan Reproduksi dilihat dari rata-rata pemahaman

Secara umum pemahaman peserta didik MAN 1 Mataram terhadap kes-ehatan reproduksi sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata pada tabel berikut.

Page 140: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

295Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

al i Khudr in

Apabila dilihat dari kategori pemahaman tentang kesehatan reproduksi sebagaimana yang ditetapkan dengan interval 31 – 52 Sangat Tidak Baik, 53 – 72 Tidak Baik, 73 – 92 Baik, dan 93 -120 Sangat Baik, maka rata-rata peserta didik MAN 1 Mataram memiliki pemahaman tentang kesehatan re-produksi Sangat Baik yaitu berada di antara 93 – 120. Untuk mengetahui sikap peserta didik tentang kesehatan reproduksi pada indikator-indikator pernyataan adalah sebagai berikut.

b. Pendidikan kesehatan reproduksi Penting bagi peserta didik.

Secara keseluruhan, peserta didik menjawab, bahwa pendidikan kes-ehatan reproduksi adalah penting bagi peserta didik, kecuali 1 peserta didik perempuan dari jurusan Bahasa. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

c. Pendidikan Kesehatan Reproduksi merupakan bagian dari Pendidikan Agama Islam.

Pernyataan tentang Kesehatan reproduksi merupakan bagian dari Pen-didikan Agama Islam cukup menarik perhatian peserta didik. Sikap terhadap pernyataan tersebut cukup beragam. , yaitu pada jurusan IPA hanya ada 1 (3,3%) peserta didik laki-laki sangat tidak setuju, sedangkan pada jurusan IPS 3 (10%) laki-laki dan 2 (6,7%) perempuan tidak setuju serta pada jurusan Ba-hasa 3 (10%) laki-laki dan 5 (16,7%) perempuan tidak setuju.

d. Penyuluhan/Sosialisasi tentang Kesehatan Reproduksi perlu diberikan pada MAN.

Penyuluhan/sosialisasi tentang kesehatan reproduksi ternyata tidak semua peserta didik setuju/sangat setuju, akan tetapi terdapat beberapa peserta didik yang sangat tidak setuju/tidak setuju. Sikap sangat tidak setuju/tidak setuju disampaikan oleh peserta didik dari jurusan IPS 2 (6,7%) laki-laki dan 1 (3,3%) dan 4 (13,3%) perempuan dan dari jurusan Bahasa 3 (10%) laki-laki dan 1 (3,3%) perempuan tidak setuju penyuluhan/sosialisasi diberikan kepada MAN. Sikap seperti ini tidak terjadi pada peserta didik jurusan IPA yang semuanya menyatakan setuju/sangat setuju.

e. MAN perlu menyediakan literatur yang terkait dengan kesehatan reproduk-si dipandang dari pendekatan ajaran agama Islam.

Sikap terhadap pernyataan tentang perlunya MAN menyediakan litera-tur yang terkait dengan kesehatan reproduksi dipandang dari pendekatan aja-

Kategori Gender

Dampak Pembelajaran PAI Terhadap Perilaku Kesehatan Reproduksi

IPA IPS BahasaPerempuan 101,27 93,47 97,63

Laki-laki 100 97,86 93,23

Tabel.1Skor Rata-rata Jawaban Responden terhadap Perilaku Kesehatan Reproduksi

Page 141: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

296 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

al i Khudr in

Sikap peserta didik tentang menjaga kebersihan organ reproduksi meru-pakan bagian dari menjaga kesehatan reproduksi hanya terdapat 1 (3,3%) peserta didik jurusan Bahasa yang berpendapat sangat tidak setuju, sedan-gkan untuk sikap tidak setuju hanya ada 3 (10%) dari jurusan IPS. Adapun sikap sangat setuju dan jumlah terbanyak, yaitu 24 (80%) peserta didik laki-laki jurusan IPA.

j. Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi berhubungan de-ngan Ajaran Islam

Sikap peserta didik terhadap pernyataan tentang pengetahuan kesehat-an reproduksi berhubungan dengan ajaran Islam adalah sebagai berikut. Peserta didik perempuan dari jurusan IPA memilih sikap setuju dan sangat setuju dan peserta didik laki-laki jurusan bahasa memilih sikap tidak setuju, setuju dan sangat setuju.

Jumlah peserta didik yang memilih sikap setuju terhadap pernyataan nomor 19 lebih tinggi dari pada yang memilih sangat setuju. Sikap setuju dari peserta didik secara keseluruhan adalah antara 60 % sampai 83,3%, dan sikap sangat setuju hanya berkisar antara 3,3 % sampai 33,3%.

k. Memelihara Kesehatan Reproduksi tidak terkai dengan Ibadah

Pernyataan tentang memelihara kesehatan reproduksi tidak terkait den-gan ibadah disikapi oleh peserta didik dari jurusan IPA dan peserta didik perempuan IPS dan Bahasa untuk tidak memilih sikap sangat setuju. Per-nyataan pada angket ini diberikan jawaban yang terbalik, yaitu 1 untuk jawa-ban sangat setuju, 2 setuju, 3 tidak setuju, dan 4 sangat tidak setuju. Dengan demikian peserta didik yangtidak memilih jawaban nomor 1 berarti sangat setuju.

Sikap peserta didik tentang memelihara kesehatan reproduksi tidak ter-kait dengan ibadah atau dengan kata lain bahwa peserta didik secara umum 8 (26,7%) sampai dengan 63,3%) setuju dan sangat setuju bahwa memelihara kesehatan reproduksi terkait dengan ibadah.

l. Perbuatan menyimpang terhadap Perilaku Seksual seperti Masturbasi ti-dak mempengaruhi Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Perempuan

Sikap peserta didik terhadap pernyataan nomor 22 di atas sangat be-ragam, yaitu terdapat peserta didik yang tidak memilih alternatif jawaban 1 (Sangat setuju) , 2 (setuju), 3 (tidak setuju) dan 4 (sangat tidak setuju). Per-nyataan dengan jawaban terbalik ini hanya 1 (3,3%) peserta didik perempuan jurusan IPS dan laki-laki jurusan Bahasa tidak memilih alternatif jawaban nomor 1. Sikap tidak setuju yang tertinggi adalah sikap yang ditunjukan oleh peserta didik laki-laki dari jurusan IPS, yaitu mencapai 20 (66,7%) dan sikap sangat tidak setuju tertinggi adalah peserta didik perempuan jurusan bahasa yang berjumlah 21 (70%).

m. Pemahaman yang Baik tentang Perawatan Organ Reproduksi dapat Men-

ran agama Islam tidak terdapat 1 peserta didikpun yang sangat tidak setuju, meskipun masih terdapat sikap tidak setuju. Namun demikian, secara umum peserta didik dari ketiga jurusan laki-laki maupun perempuan setuju dan san-gat setuju. Sikap peserta didik yang paling tinggi adalah peserta didik laki-laki jurusan IPS, yaitu mencapai 24 (80%) setuju. Sementara itu, peserta didik yang lainnya lebih banyak berada pada sikap setuju yang mencapai 90 (50%) dari total responden 180 adalah setuju dan selebihnya berada pada posisi ti-dak setuju dan sangat setuju.

f. Melakukan Deteksi Dini terhadap Kesehatan Reproduksi merupakan ba-gian dari Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Sikap peserta didik tentang melakukan deteksi dini terhadap kesehatan reproduksi merupakan bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi masih terdapat peserta didik yang sangat tidak setuju, yaitu 2 (6,7%) laki-laki dari jurusan IPS dan 1 (3,3%) laki-laki dari jurusan Bahasa. Untuk memperjelas sikap peserta didik dari jurusan dan jenis kelamin adalah sebagai berikut.

g. Melakukan Hubungan seksual sebelum nikah (Seks Pra Nikah) mempenga-ruhi Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan.

Sikap seks pra nikah bagi peserta didik mempengaruhi kesehatan re-produksi perempuan peserta didik dari jurusan IPA, IPS, dan Bahasa lebih banyak memiliki sikap setuju dan sangat setuju. Sikap sangat tidak setuju/tidak setuju bagi peserta didik karena boleh jadi memiliki pendapat bahwa, seks pra nikah berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi tidak hanya pada perempuan saja, melainkan juga berpengaruh terhadap laki-laki sebagaimana pada pernyataan Melakukan Hubungan seksual sebelum nikah (Seks Pra Ni-kah) mempengaruhi Kesehatan Reproduksi bagi laki-laki cukup beragam. Sikap sangat tidak setuju tidak dimiliki pada peserta didik perempuan ju-rusan IPA dan lebih banyak dimiliki peserta didik jurusan IPS dan Bahasa. Sebaliknya sikap setuju/sangat setuju lebih banyak didominasi oleh peserta didik dari jurusan IPA yang mencapai 27(90%) laki-laki dan 28 (93,3%)

h. Pengetahuan tentang Perawatan Kesehatan Organ Reproduksi seharusnya Berpedoman pada Ajaran agama Islam

Sikap peserta didik terhadap pernyataan bahwa pengetahuan tentang perawatan organ reproduksi seharusnya berpedoman pada ajaran agama Is-lam ternyata terdapat peserta didik MAN yang tidak setuju atau sangat tidak setuju. Di antara peserta didik yang sangat tidak setuju adalah peserta didik perempuan dari jurusan IPA dan IPS, yaitu masing-masing 1 (3,3%) dan 2 (6,7%). Sedangkan untuk sikap tidak setuju cukup beragam, yaitu 3 peserta didik dari jurusan IPA, 9 peserta didik dari jurusan IPS, dan 3 peserta didik dari jurusan Bahasa.

i. Menjaga Kebersihan Organ Reproduksi merupakan bagian dari menjaga Kesehatan Reproduksi

Page 142: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

297Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

al i Khudr in

Sikap peserta didik tentang menjaga kebersihan organ reproduksi meru-pakan bagian dari menjaga kesehatan reproduksi hanya terdapat 1 (3,3%) peserta didik jurusan Bahasa yang berpendapat sangat tidak setuju, sedan-gkan untuk sikap tidak setuju hanya ada 3 (10%) dari jurusan IPS. Adapun sikap sangat setuju dan jumlah terbanyak, yaitu 24 (80%) peserta didik laki-laki jurusan IPA.

j. Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi berhubungan de-ngan Ajaran Islam

Sikap peserta didik terhadap pernyataan tentang pengetahuan kesehat-an reproduksi berhubungan dengan ajaran Islam adalah sebagai berikut. Peserta didik perempuan dari jurusan IPA memilih sikap setuju dan sangat setuju dan peserta didik laki-laki jurusan bahasa memilih sikap tidak setuju, setuju dan sangat setuju.

Jumlah peserta didik yang memilih sikap setuju terhadap pernyataan nomor 19 lebih tinggi dari pada yang memilih sangat setuju. Sikap setuju dari peserta didik secara keseluruhan adalah antara 60 % sampai 83,3%, dan sikap sangat setuju hanya berkisar antara 3,3 % sampai 33,3%.

k. Memelihara Kesehatan Reproduksi tidak terkai dengan Ibadah

Pernyataan tentang memelihara kesehatan reproduksi tidak terkait den-gan ibadah disikapi oleh peserta didik dari jurusan IPA dan peserta didik perempuan IPS dan Bahasa untuk tidak memilih sikap sangat setuju. Per-nyataan pada angket ini diberikan jawaban yang terbalik, yaitu 1 untuk jawa-ban sangat setuju, 2 setuju, 3 tidak setuju, dan 4 sangat tidak setuju. Dengan demikian peserta didik yangtidak memilih jawaban nomor 1 berarti sangat setuju.

Sikap peserta didik tentang memelihara kesehatan reproduksi tidak ter-kait dengan ibadah atau dengan kata lain bahwa peserta didik secara umum 8 (26,7%) sampai dengan 63,3%) setuju dan sangat setuju bahwa memelihara kesehatan reproduksi terkait dengan ibadah.

l. Perbuatan menyimpang terhadap Perilaku Seksual seperti Masturbasi ti-dak mempengaruhi Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Perempuan

Sikap peserta didik terhadap pernyataan nomor 22 di atas sangat be-ragam, yaitu terdapat peserta didik yang tidak memilih alternatif jawaban 1 (Sangat setuju) , 2 (setuju), 3 (tidak setuju) dan 4 (sangat tidak setuju). Per-nyataan dengan jawaban terbalik ini hanya 1 (3,3%) peserta didik perempuan jurusan IPS dan laki-laki jurusan Bahasa tidak memilih alternatif jawaban nomor 1. Sikap tidak setuju yang tertinggi adalah sikap yang ditunjukan oleh peserta didik laki-laki dari jurusan IPS, yaitu mencapai 20 (66,7%) dan sikap sangat tidak setuju tertinggi adalah peserta didik perempuan jurusan bahasa yang berjumlah 21 (70%).

m. Pemahaman yang Baik tentang Perawatan Organ Reproduksi dapat Men-

ran agama Islam tidak terdapat 1 peserta didikpun yang sangat tidak setuju, meskipun masih terdapat sikap tidak setuju. Namun demikian, secara umum peserta didik dari ketiga jurusan laki-laki maupun perempuan setuju dan san-gat setuju. Sikap peserta didik yang paling tinggi adalah peserta didik laki-laki jurusan IPS, yaitu mencapai 24 (80%) setuju. Sementara itu, peserta didik yang lainnya lebih banyak berada pada sikap setuju yang mencapai 90 (50%) dari total responden 180 adalah setuju dan selebihnya berada pada posisi ti-dak setuju dan sangat setuju.

f. Melakukan Deteksi Dini terhadap Kesehatan Reproduksi merupakan ba-gian dari Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Sikap peserta didik tentang melakukan deteksi dini terhadap kesehatan reproduksi merupakan bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi masih terdapat peserta didik yang sangat tidak setuju, yaitu 2 (6,7%) laki-laki dari jurusan IPS dan 1 (3,3%) laki-laki dari jurusan Bahasa. Untuk memperjelas sikap peserta didik dari jurusan dan jenis kelamin adalah sebagai berikut.

g. Melakukan Hubungan seksual sebelum nikah (Seks Pra Nikah) mempenga-ruhi Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan.

Sikap seks pra nikah bagi peserta didik mempengaruhi kesehatan re-produksi perempuan peserta didik dari jurusan IPA, IPS, dan Bahasa lebih banyak memiliki sikap setuju dan sangat setuju. Sikap sangat tidak setuju/tidak setuju bagi peserta didik karena boleh jadi memiliki pendapat bahwa, seks pra nikah berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi tidak hanya pada perempuan saja, melainkan juga berpengaruh terhadap laki-laki sebagaimana pada pernyataan Melakukan Hubungan seksual sebelum nikah (Seks Pra Ni-kah) mempengaruhi Kesehatan Reproduksi bagi laki-laki cukup beragam. Sikap sangat tidak setuju tidak dimiliki pada peserta didik perempuan ju-rusan IPA dan lebih banyak dimiliki peserta didik jurusan IPS dan Bahasa. Sebaliknya sikap setuju/sangat setuju lebih banyak didominasi oleh peserta didik dari jurusan IPA yang mencapai 27(90%) laki-laki dan 28 (93,3%)

h. Pengetahuan tentang Perawatan Kesehatan Organ Reproduksi seharusnya Berpedoman pada Ajaran agama Islam

Sikap peserta didik terhadap pernyataan bahwa pengetahuan tentang perawatan organ reproduksi seharusnya berpedoman pada ajaran agama Is-lam ternyata terdapat peserta didik MAN yang tidak setuju atau sangat tidak setuju. Di antara peserta didik yang sangat tidak setuju adalah peserta didik perempuan dari jurusan IPA dan IPS, yaitu masing-masing 1 (3,3%) dan 2 (6,7%). Sedangkan untuk sikap tidak setuju cukup beragam, yaitu 3 peserta didik dari jurusan IPA, 9 peserta didik dari jurusan IPS, dan 3 peserta didik dari jurusan Bahasa.

i. Menjaga Kebersihan Organ Reproduksi merupakan bagian dari menjaga Kesehatan Reproduksi

Page 143: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

298 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

al i Khudr in

jaga Kehormatan Manusia.

Sikap peserta didik tentang pemahaman yang baik tentang perawatan organ keehatan reproduksi dapat menjaga kehormatan manusia sanga bera-gam, yaitu hanya 1 (3,3%) peserta didik perempuan jurusan IPS dan laki-laki jurusan Bahasa sangat tidak setuju. Jawaban peserta didik pada sikap tidak setuju hanya terdapat pada peserta didik IPA laki-laki dan perempuan mas-ing-masing berjumlah 1 (3,3%) dan peserta didik IPS laki-laki dan perempuan masing-masing 3 (10%). Pada sikap setuju yang memiliki jawaban tertinggi adalah peserta didik laki-laki dari jurusan IPS yang berjumlah 19 (63,3%) dan sikap sangat setuju yang paling tinggi adalah peserta didik laki-laki dari juru-san IPA yang berjumlah 22 (73,3%).

n. Mendiskusikan tentang Kesehatan Reproduksi berdasarkan Ajaran Agama Islam bukan merupakan Hal yang Tabu

Sikap terhadap pernyataan tentang mendiskusikan kesehatan reproduksi berdasarkan ajaran agama Islam bukan merupakan hal yang tabu cukup be-ragama. Dari beberapa sikap tersebut terdapat peserta didik perempuan dari jurusan IPA dan Bahasa yang tidak memilih alternatif jawaban sangat setuju. Jawaban peserta didik tentang pernyataan tersebut dengan pernyataan setuju jumlah 27 (90%) dari peserta didik perempuan jurusan bahasa, 23 (76,6%) laki-laki jurusan IPS, 22 (73,3%) perempuan dan laki-laki jurusan IPA dan IPS. Sikap sangat setuju yang menjawab paling banya adalah peserta didik laki-laki dari jurusan IPA.

o. Diperlukan buku panduan praktis menjaga Kesehatan Reproduksi sesuai Ajaran Agama Islam bagi Peserta didik MA

Buku panduan praktis sesuai ajaran agama Islam tentang kesehatan re-produksi adalah penting bahkan sangat penting. Sikap ini ditunjukan peserta didik dengan menyatakan setuju dan sangat setuju lebih banyak dari pada sikap sangat tidak setuju dan tidak setuju. Sikap sangat tidak setuju hanya diberikan oleh 1 (3,3%) peserta didik laki-laki dan perempuan dari jurusan IPA, IPS dan bahasa, sikap tidak setuju ditunjukan oleh peserta didik perem-puan dan laki-laki 1 (3,3%) dari jurusan IPA dan Bahasa. Sikap tertinggi dari jawaban setuju disampaikan oleh peserta didik perempuan 19 (63,3%) dari jurusan IPS, sedangkan pernyataan sangat setuju diberikan oleh peserta didik perempuan 16 (53,3%) dari jurusan IPA.

p. Diperlukan Mata Pelajaran Khusus (Intra Kurikuler) tentang Kesehatan Reproduksi sesuai Ajaran Agama Islam bagi Peserta didk MA

Sikap tentang diperlukan mata pelajaran khusus tentang kesehatan re-produksi sesuai ajaran agama Islam tidak terdapat peserta didik yang men-jawab sangat tidak setuju, yaitu peserta didik perempuan jurusan IPA, laki-laki dan perempuan jurusan IPS, dan peserta didik laki-laki jurusan Bahasa. Sementara itu, sikap setuju tertinggi disampaikan oleh peserta didik laki-laki

Page 144: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

299Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

al i Khudr in

20 (66,7%) jurusan IPA dan perempuan jurusan Bahasa dan sangat setuju disampaikan oleh peserta didik perempuan dari jurusan IPS dengan jumlah 11 (36,7%). Secara komunal, jawaban peserta didik yang menunjukan sikap setuju/sangat setuju dari jurusan IPA berjumlah 28 (93,4%) laki-laki dan perempuan, 25 (83,4%) laki-laki dan 29 (96,7%) perempuan jurusan IPS, dan 25 (83,4%) laki-laki dan 28 (93,4%) perempuan jurusan Bahasa.

q. Terdapat Hubungan antara Menjaga Kesehatan Organ Reproduksi dengan Kesehatan Mental (Kejiwaan)

Sikap peserta didik terhadap pernyataan tentang terdapat hubungan an-tara menjaga kesehatan organ reproduksi dengan kesehatan mental khusus-nys terkait dengan kejiwaan terdapat peserta didik yang tidak memilih alter-natif jawaban 1 (sangat tidak setuju) yaitu peserta didik laki-laki jurusan IPA dan IPS serta perempuan jurusan Bahasa. Dilihat dari persentase jawaban sikap peserta didik lebih banyak pada pilihan setuju/sangat setuju bahwa menjaga kesehatan organ reproduksi berhubungan dengan kesehatan men-tal. Jawaban tertinggi untuk sikap setuju berjumlah 25 (83,3%) peserta didik dari jurusan IPS dan peserta didik yang menjawab sangat setuju mencapai 12 (40%) yang disampaikan oleh peserta didik perempuan jurusan IPA dan Bahasa, sedangkan untuk peserta didik tertinggi hanya mencapai 10 (33,3%) dari jurusan Bahasa.

Pembahasan hasil Penelitian

1. Uji Normalitas dan Homogenitas Data

Dilihat dari hasil uji normalitas dan homogenitas dengan menggunakan Q-Q Plot dari SPSS.15 menunjukan, bahwa data yang diperoleh bersifat nor-mal

Sedangkan untuk uji homogenitas dengan menggunakan Q-Q Plot data tersebut memiliki tingkat homogenitas sebagaimana terlihat pada grafik di atas. Untuk melihat homogenitas data dapat dilihat pada grafik berikut.

Dengan uji normalitas dan uji homogenitas menggunakan grafik Q-Q Plot

Page 145: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

300 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

al i Khudr in

terhadapa Perilaku Kesehatan Reproduksi pada MAN 1 Mataram Nusa Teng-gara Barat dilakukan dengan uji Anova Dua Jalur dengan menggunakan SPSS versi 15. Hasil dai analisis uji Anova Dua Jalur tersebut adalah pada tabel berikut.

Dari tabel di atas terlihat pada baris gender bahwa nilai sig = 0,024 pada taraf signifikansi 0,05. Dengan demikian, F hit (0,024) < 0,05 yang berarti Ho = ditolak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku kesehatan reproduksi yang signifikan antara peserta didik laki-laki maupun perempuan yang berada pada jurusan IPA, IPS dan Bahasa. Dengan demiki-an, pembelajaran PAI pada peserta didik MAN 1 Kota Mataram terdapat dam-pak/pengaruh terhadap perilaku kesehatan reproduksi. Apabila dilihat dari rata-rata pemahaman peserta didik tertinggi adalah dari jurusan IPA, yaitu 100 dan 101,27 yang berada pada kategori sangat baik.

Perbedaan perilaku kesehatan reproduksi setelah memperoleh pembe-lajaran Pendidikan Agama dilihat dari jurusan yang ada, yaitu IPA, IPS dan Bahasa menunjukan nilai signifikansi 0.000 pada taraf signifikansi 0,05. Dengan demikian, F hit (0,000) < 0,05 yang berarti Ho = ditolak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku kesehatan reproduksi yang signifikan antara peserta didik yang berada pada jurusan IPA, IPS mau-pun Bahasa. Dengan demikian, pembelajaran PAI pada peserta didik MAN 1 Kota Mataram terdapat dampak/pengaruh terhadap perilaku kesehatan re-produksi pada jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.

Pada baris Interkasi antara gender dan jurusan memiliki nilai signifikansi 0,422 yang berarti di atas batas toleransi signifikansi 0,05. Atau 0,422 > 0,05 sehingga tidak terjadi interaksi antara pembelajaran Pendidikan Agama terhadap perilaku kesehatan reproduksi peserta didik dikaitkan antara jenis kelamin dan jurusan.Artinya pembelajaran PAI diterapkan pada peserta didik

menunjukan data bersifat normal dan homogen, maka uji analisis dapat di-lanjutkan dengan menggunakan analisis Anova dua jalur (Two-way Anova).

2. Uji Anova Dua Jalur

Untuk menganilisis lanjut penelitian tentang Dampak Pendidikan Agama

Page 146: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

301Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

al i Khudr in

jurusan IPA, IPS maupun Bahasa dan pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan tidak ada persoalan, yaitu tetap terdapat dampak/pengaruh.

kesimPulAn

1. Dilihat dari kategori pemahaman tentang kesehatan reproduksi menun-jukan, bahwa peserta didik MAN 1 Mataram memiliki tingkat pemaha-man tentang kesehatan reproduksi Sangat Baik yaitu berada di antara 93 – 120

2. Terdapat perbedaan perilaku tentang kesehatan reproduksi yang signifi-kan antara peserta didik yang berada pada jurusan IPA, IPS maupun Ba-hasa dengan nilai signifikansi 0,024 < 0,05

3. Terdapat perbedaan perilaku tentang kesehatan reproduksi yang signifi-kan antara peserta didik yang berjenis kelamin laki-laki dengan yang ber-jenis kelamin perempuan dengan nilai signifikansi 0,000 < 0,05.

4. Dampak Pendidikan Agama Islam terhadap perilaku kesehatan reproduksi secara umum adalah memiliki pengaruh yang signifikan. Namun demikian masih diperlukan buku panduan khusus yang terkait dengan kesehatan reproduksi dilihat dari ajaran agama Islam.

Source type iii Sum of Sguers

df Mean Sguare

F Sig

Corrected modelinterceptjenis Kelaminjurusangender *jurusaneror totalCorrected total

2316.1111667338.756

264.0221963.24488.844

8917.1331678572.00011233.244

51122

174180179

463.2221667338.756

264.022981.62244.42251.248

9.03932534.777

5.15219.154.867

.000

.000

.024

.000

.422

Dependent Variable: Keserprouksi

test of Between-Subjects effect

a. R Sguared = .206 (Adjusted R Sguared = .183

Tabel Uji F Anova Dua Jalur

Page 147: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

302 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

Budi Handrianto & Nana Mintarti. 1997. Seks dalam Islam,Jakarta. Puspa Swara.

Faizatul Rosydah, Mewujudkan Perilaku Reproduksi Remaja yang benar dengan Islam. http://www.eramuslim.com.

Harian Suara Merdeka tanggal 13 oktober 2003.

Stephanie Creagh. 2004. Pendidikan Seks di SMA D.I. Yogyakarta. ACICIS (Australian Consortium For In Country Indonesian Studies) bekerjasa-ma dengan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

DAFTAR PUSTAKA

Page 148: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

Dampak Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Reproduksipada MAN 1 Mataram Nusa Tenggara Barat

303Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Page 149: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

304 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Prof. DR. Mudjirin Thohir, M.A, lahir di Kendal 12 Maret 1954. Beliau telah menyelesaikan studi S1 Jurusan Filologi, S2 Jurusan Antropologi dan S3 Antropologi agama. Beliau kerap menjadi narasumber dalam ber-bagai acara seminar maupun diskusi. Salah satu pengalaman jabatannya adalah menjadi Anggota Dewan Riset Daerah Propinsi Jawa Tengah. Saat ini beliau menjabat sebagai Ketua Puslit Sosbub Lemlit Undip dan masih aktif mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.

Drs. h. Arifuddin Ismail, M.Pd. lahir di Majene, 29 Juni 1957. Sekarang sebagai Kepala Balai Litbang Agama Semarang dan Peneliti Madya pada bidang Kehidupan Keagamaan. Beliau menyelesaikan S.1 di Jurusan Aqi-dah Filsafat IAIN Alauddin Makassar tahun 1983 dan S.2 Jurusan An-tropologi Pasca Sarjana Universitas Negeri Makasar (UNM) tahun 2000, dan sekarang sedang proses Disertasi untuk program Doktoral (S.3) di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Beliau pernah menjadi peserta PLPIIS Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, tahun 1984 -1985 dan peserta Program Studi Islamology, Indonesia – Nedherland tahun 1986. Beberapa tulisan karya ilmiah yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, diantaranya, Tongkonan dan Saroang Alat Ampuh Pembinaan Keruku-nan Umat Beragama (1988), Pola Kehidupan Muslim Per-kotaan di Ma-taram (1994), Pola Kerukunan Umat Beragama di Tana Toraja (1995), Dinamika Pengelolaan Zakat Infaq dan Zadakah (2004), Efektivitas Pen-didikan Kader Ulama di Berbagai Pesantren (2006), El AI EM di Maluku (2006), Religi Manusia Nelayan Masyarakat Mandar (2007), Pesantren dan Radikalisme (Studi Kasus Pesantren Hidayatullah Ternate) (2007).

Drs. h. Ahmad Sodli, M.Ag. Lahir di Brebes, 24 Desember 1951. Sarjana penuhnya diselesaikan di IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 1980, dan Pendidikan S.2 diselesaikan di Program Pascasarjana IAIN Walison-go Semarang tahun 2004. Sekarang ia menjadi Peneliti Madia di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Beberapa hasil pene-litian yang pernah dilakukan antara lain: Kelompok Jamaah Tabligh di Kabupaten Sleman; Pelayanan KBIH al-Karimi terhadap Jamaah Haji di Gresik; Kehidupan Beragama Masyarakat Nelayan di Paciran; Kerukunan Hidup Umat Beragama di NTT; Pelayanan KUA terhadap Masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta, dan lain-lain.

Dra. Marmiati Mawardi, dilahirkan di Boyolali tanggal 11 Juli 1956. Ia me-nyelesaikan studi S.1 di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang tahun 1982, dan sekarang tengah menempuh S.2 di Jurusan Psikologi Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata Semarang. Kini ia sebagai Peneliti Madya di Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama Semarang.

Nurul huda, S.Th.I, lahir di Banjarnegara, 9 Nopember 1975. Menyelesai-kan Studi S.1 di Fakultas Ushuludin jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Lulus Tahun 2002 dan menjadi santri di PP al-Mu-nawir dan PP Wahid Hasyim Yogyakarta dan santri kilat di PP Lirboyo Jawa Timur dan beberapa pesantren di Jawa Tengah. Sekarang menjabat

BIODATA PENULIS

Page 150: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

305Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

sebagai calon peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Se-marang.

Drs. R. Aris hidayat, M.Pd., Lahir di Magetan, 30 Maret 1966. Ia menye-lesaikan pendidikan magisternya pada jurusan Pendidikan Bahasa Indo-nesia di Universitas Negeri Semarang (UNNES) tahun 2003. Sekarang ia sebagai peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Beberapa diklat yang pernah diikuti adalah Diklat Fungsional Peneliti di Jakarta Tahun 2003, Diklat Penelitian Naskah di Jakarta tahun 2007 dan 2008, dan lain-lain. Karya ilmiah yang telah dihasilkan diantaranya : Orang Dayak dan Agama Hindu Kaharingan, hasil penelitian kompetitif 2007; Hidup di Balik Hidup, Sebuah Aliran Keagamaan Islam Tahun 2004; Islam Kejawen (Studi Suluk Makmun Ubadi Salikin dan Suluk Dewa Ruci) tahun 2008; Naskah Jawa Klasik Bernuansa Islam tahun 2007; dan Cilinaya : Naskah Klasik Bernuansa Islam Tahun 2008.

Umi Masfiah, S.Ag, M.Ag lahir di Banyumas, 18 Oktober 1975. Menyele-saikan pendidikan S1 pada fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Sema-rang jurusan Tafsir Hadis lulus pada tahun 1999. Melanjutkan pendidi-kan pascasarjana di institusi yang sama dengan mengambil jurusan Etika Islam/Tasawuf lulus tahun 2003. Sekarang menjabat sebagai Peneliti Pertama di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Al-amat tinggal di Perum Koveri Jl. Mega Raya 236, Beringin, Ngaliyan.

Moh. hasim, S.Sos.I, M.Pd, lahir di Kudus, tepatnya pada tanggal 13 Mei 1975. Dengan berbekal pendidikan tingkat menengah atas tahun 1993, dia memutuskan untuk berkerja di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Selang beberapa tahun baru melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN Walisongo lulus tahun 2003 dan dilanjutkan pada pendidi-kan program pasca sarjana di Universitas Negeri Semarang, lulus tahun 2007. Beberapa Karya tulis yang dihasil- kan yaitu : Pendidikan Berbasis Masyarakat yang diterbitkan oleh Jurnal STAIN Kudus, dan Islam Mi-norita dan Pluralisme di Indonesia yang diterbitkan oleh jurnal Analisa, Balai Penelitian dan Pengembangan Agma Semarang.

Drs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd., lahir di Brebes, 31 Januari 1967. Ia meraih gelar sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, dan pendidikan S.2 diselesaikan di Jurusan PEP Universitas Negeri Yo-gyakarta. Di antara Diklat yang pernah diikuti adalah Program Latihan Peneliti Agama (PLPA) tahun 1997, 1999, dan 2002. Sekarang ia menjadi Peneliti Muda di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Beberapa karya ilmiah yang telah dipublikasikan adalah: Pendidikan Multikultural: Sebuah Dialog dalam Pembelajaran Agama (Studi Ka-sus di SMA N 1 Jepara) dimuat dalam Jurnal Empirik Vol.1/2007 yang diterbitkan oleh STAIN Kudus, dan Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Pontianak, dimuat di Jurnal Analisa Vol.XV/2008 oleh Balai Litbang Agama Semarang.

Drs. Ali Khudrin, lahir di Jepara, 15 Desember 1952. menyelesaikan pen-didikan S1 pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Page 151: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

306 Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010

Page 152: Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/Analisa-Volume-XVII... · Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar,

307Jurnal “Analisa” Volume XVII, No. 02, Juli - Desember 2010