Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PENGARUH VARIABEL STRUKTUR EKONOMI,
TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA, KREDIT
INVESTASI, DANA ALOKASI UMUM DAN BELANJA MODAL
TERHADAP KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR
PROVINSI DI INDONESIA
SKRIPSI
Disusun oleh :
Feiruz Niswah
115020107111048
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
RIWAYAT HIDUP Nama : Feiruz Niswah
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 29 Desember 1992
NIM : 115020107111048
Jurusan : S1 Ilmu Ekonomi
Konsentrasi : Perencanaan Pembangunan
Status : Belum Menikah
Alamat : Bunga Andong Dalam Timur No 5
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
1. SDN Grogol Selatan 03 Pagi Kebayoran Lama Jakarta 1998-2004
2. SMP Negeri 48 Jakarta Kebayoran Lama Lulus Pada Tahun Pelajaran 2004-2007
3. SMA Negeri 32 Jakarta Lulus Pada Tahun Pelajaran 2007-2010
4. S1 Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya,Malang
2011-2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
anugrah-Nya dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ANALISIS PENGARUH
VARIABEL STRUKTUR EKONOMI, TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN
KERJA, KREDIT INVESTASI, DANA ALOKASI UMUM, DAN BELANJA
MODAL TERHADAP KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR PROVINSI DI
INDONESIA”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Brawijaya, Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Jurusan Ilmu Ekonomi Konsentrasi Perencanaan Pembangunan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak dapat terseleseikan
tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, hidayah serta anugerah-Nya kepada penulis.
2. Kedua Orangtuaku yang selama ini tidak kenal lelah mendukung setiap langkahku
hingga sampai saat ini aku berhasil menyelesaikan pendidikan S1. Terimakasih atas
dukungan keluaraga yang telah memberikan motivasi dan dorongan baik moral,
materi maupun spiritual. Terima kasih atas dukungan kalian. Penulis sangat
bersyukur bisa terlahir sebagai bagian dari keluarga penuh kasih sayang ini.
3. Dr.Sasongko,SE.,MS. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan
pikirannya dalam membimbing, memberikan saran dan masukan yang bermanfaat
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Dosen Penguji Skripsi : Prof.Candra Fajri Ananda, Ph.D, Dr.Moh. Khusaini., SE.,
M.Si., MA dan Dr. Sasongko,SE.,MS Proses dialektika dalam perdebatan tanpa
kehilangan nalar rasional ketika penulis mempertahankan argumentasi, telah
mengantarkan kritik-konstruktif bagi revisi skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi Brawijaya, ucapan terimakasih khususnya
ditujukan untuk seluruh dosen Jurusan Ilmu Ekonomi, dimana penulis mendapatkan
banyak ilmu, pengalaman dan pembelajaran hudup sebagai bekal penulis dalam
melanjutkan usaha dalam meraih mimpi. Semoga kelak dari ilmu yang sudah
diberikan dapat menjadikan penulis sebagai seorang yang sukses dan dapat
menyumbangkan ilmu yang telah didapat kepada orang lain.
6. Seluruh teman-teman seangkatan, sahabat-sahabat terdekat, ara, mega, heni, dona,
iva, dan adik adik tingkat 2013 yang selama ini telah mendukung dan saling
memberikan semangat serta berjuang bersama dalam menyelesaikan tugas akhir
(skripsi) masing-masing. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
7. Begitu juga kepada seluruh pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu
dalam tulisan ini. Semoga amal baiknya dibalas oleh Allah SWT, Amin.
Akhirnya kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Malang, 04 September 2017
Penulis
ABSTRAK
Ketimpangan pembangunan merupakan masalah yang kompleks dan bersifat
multidemansional dalam proses pembangunan ekonomi di Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor struktur ekonomi, tingkat partisipasi
angkatan kerja, kredit investasi, dana alokasi umum dan belanja modal terhadap
ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia.
Metode yang digunakan adalah panel dana menggunakan data sekunder, data
dengan pendekatan efek tetap (Fixed Effect Method) dan dummy wilayah. Penggunaan
dummy wilayah dalam penelitian ini adalah untuk melihat variasi tingkat ketimpangan
pembangunan antar 33 provinsi.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada alpha 5 persen variabel pdrb sektor
industri dan jasa, tingkat partisipasi angkatan kerja, dan kredit investasi berpengaruh
signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia. Sedangkan
variabel pdrb sektor pertanian, dana alokasi umum dan belanja modal tidak berpengaruh
signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia.
Kata kunci: Ketimpangan pembangunan antar provinsi, struktur ekonomi, tingkat
partisipasi angkatan kerja, kredit investasi, dana alokasi umum, belanja modal.
ABSTRACT
Development inequality is a complex and multidemansional problem in the
process of economic development in Indonesia. This study aims to analyze the influence
of economic factors, labor force participation rate, investment credit, general allocation
funds and capital expenditures for inequality of inter-provincial development in
Indonesia.
The method used is fund panel by using secondary data, by method. The use
of dummy area in this research is to see the variation of level of development gap
between 33 provinces.
The results of this study show at alpha 5 percent variable ppb industrial sector
and services, labor force participation rate, and investment credit significant to the
imbalance of development between provinces in Indonesia. While the variable pdrb
agricultural sector, general allocation funds and capital expenditure is not significant to
the inequality of development between provinces in Indonesia.
Keywords: Inequality of inter-provincial development, economic structure, labor force
participation rate, investment credit, general allocation fund, capital expenditure.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................... i DAFTAR TABEL .................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ....................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 10
1.5 Sistematika Penulisan .................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 12 2.1. Tinjauan Teori............................................................................. 12
2.1.1 Pembangunan Dan Pertumuhan Ekonomi ........................ 12
2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi ............................................ 14
2.1.2.1 Teori Pertumbuhan Klasik ..................................... 14
2.1.2.2 Teori Pertumbuhan Neo-Klasik .............................. 15
2.1.2.3 Teori Pertumbuhan Endogen ................................ 19
2.1.3 Teori Perubahan Struktural ................................................ 21
2.1.4 Teori Keynes ..................................................................... 24
2.1.4.1 Teori Kebijakan Fiskal ........................................... 24
2.1.4.2 Konsep-konsep Kebijakan Fiskal .......................... 26
2.1.4.3 Fungsi dan Tujuan Kebijakan Fiskal ..................... 26
2.1.5.Teori Ketimpangan Pembangunan Wilayah ...................... 28
2.1.5.1 Pengukuran Ketimpangan Wilayah ......................... 29
2.1.5.1.1 Indeks Williamson.................................... 29
2.1.6. Struktur Ekonomi
(PDRB Sektor Pertanian, Industri, dan Jasa) .............................. 30
2.1.6.1 Hubungan Struktur Ekonomi (PDRB Sektor Pertanian,
Sektor Industri, dan Sektor Jasa dengan Ketimpangan
pembangunan .................................................................. 31
2.1.7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) ......................... 32
2.1.7.1 Hubungan TPAK dengan
Ketimpangan Pembangunan ............................................ 32
2.1.8.Kredit Investasi ................................................................... 33
2.1.8.1 Hubungan Kredit Investasi dengan Ketimpangan
Pembangunan .................................................................. 34
2.1.9.Dana Alokasi Umum (DAU) .................................................. 35
2.1.9.1 Hubungan DAU dengan
Ketimpangan Pembangunan ........................................... 36
2.1.10. Belanja Modal ................................................................. 37
2.1.10.1 Hubungan Belanja Modal dengan Ketimpangan
Pembangunan .................................................................. 39
2.2 Penelitian Terdahulu ................................................................... 40
2.3 Kerangka Pikir ........................................................................... 43
2.4 Hipotesis...................................................................................... 44
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 46 3.1 Pendekatan Penelitian ................................................................ 46
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 47
3.3 Definisi Operasional ................................................................... 48
3.4 Jenis dan Sumber Data .............................................................. 49
3.5 Metode Pengumpulan Data ........................................................ 50
3.6 Metode Analisis .......................................................................... 50
3.6.1. Analisis Data Panel ......................................................... 51
3.6.1.1 Common Effect ................................................... 53
3.6.1.2 Metode Efek Tetap (Fixed Effect)......................... 54
3.6.1.3 Random Effect Model .......................................... 54
3.7 Pemilihan Metode Data Panel ............................................. 55 3.8 Pengujian Statistik (Uji Hipotesis) ........................................ 57 3.9 Uji Asumsi Klasik ................................................................. 60
3.9.1. Uji Multikoliniearitas ........................................................ 61
3.9.2. Uji Heteroskedastisitas ................................................... 62
3.10 Model Persamaan .................................................................... 64
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 65 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ................................................... 65
4.1.1 Kondisi Geografis Indonesia ...................................... 65 4.1.2 Kondisi Perekonomian Indonesia ............................. 69 4.1.3 Gambaran Umum Variabel ........................................ 72
4.1.3.1 Ketimpangan Pembangunan ........................... 72 4.1.3.2 Struktur Ekonomi ............................................. 73
4.1.3.3 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) ..... 75 4.1.3.4 Kredit Investasi ................................................ 77
4.1.3.5 Dana Alokasi Umum ....................................... 79 4.1.3.6 Belanja Modal ................................................. 80
4.2 Analisis Dan Pembahasan Uji Statistik ................................ 82 4.2.1 Uji Asumsi Klasik ....................................................... 83
4.2.1.1 Multikolinearitas .............................................. 83 4.2.1.2 Heteroskedastisitas ......................................... 84
4.2.2 Uji Chow .................................................................... 85 4.2.3 Uji Hausman .............................................................. 86
4.2.4 Hasil Regresi Data Panel ................................................. 87 4.2.4.1 Uji F ................................................................. 88 4.2.4.2 Uji T ................................................................. 88
4.3 Pembahasan dan Hail Implikasi ........................................... 90 4.3.1 Pengaruh Struktur Ekonomi Terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia .......................... 90
4.3.2 Pengaruh Struktur Ekonomi Terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia .......................... 94 4.3.3 Pengaruh Kredit Investasi Terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia .......................... 96 4.3.4 Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia .... 99 4.3.5 Pengaruh Belanja Modal Terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia .......................... 100
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 102 5.1 Kesimpulan .......................................................................... 102 5.2 Saran .................................................................................. 104
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... v LAMPIRAN ......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL
No Tabel Judul Gambar Hal
Tabel 1.1 Pertumbuhan Perekonomian Negara-negara Berkembang di ASEAN
PERSEN (%) ................................................................................... 1
Tabel 1.2 Perkembanban Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2005-2013 (Miliyar Rupiah) ..................................... 2
Tabel 1.3 PDRB ADHK menurut Pulau di Indonesia Tahun 2012-2014 (%) ...... 4
Tabel 4.1 Angkatan Kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di
Indonesia tahun 2005-2014 .............................................................. 74
Tabel 4.2 Tenaga Kerja per Sektor Indonesia Tahun 2011-2014 ...................... 76
Tabel 4.3 Hasil Uji Asumsi Multikolinearitas ..................................................... 83
Tabel 4.4 Hasil Uji Asumsi Heteroskedastisitas ............................................... 84
Tabel 4.5 Hasil Uji Chow .................................................................................. 84
Tabel 4.6 Hasil Uji Hausman ............................................................................ 85
Tabel 4.7 Hasil Regresi Data Panel dengan Fixed Effect Method (FEM) ......... 86
Tabel 4.8 Pertumbuhan PDB Indonesia Menurut Sektor Tahun 2009-2011 ..... 92
Tabel 4.9 Tingkat Partisipasi Kerja dan Tingkat Pengganggura Terbuka Tahun
2013-2014 Indonesia ........................................................................................ 94
Tabel 4.10 Realisasi PMA Berdasarkan Lokasi Tahun 2014 ............................. 96
DAFTAR GAMBAR
No Gambar Judul Gambar Hal
Gambar 1.1 Hasil Analisis Indeks Williamson untuk PDRB PERKAPITA
DI Indonesia Tahun 200-2012 .............................................. 5
Gambar 1.2 Struktur APBD di era desentralisasi fiskal ............................ 7
Gambar 2.2 Skema Hubungan Antara Ketimpangan Pembangunan dan
Variabel-Variabel yang Mempengaruhinya ......................... 3
Gambar 4.1 Peta Kepulauan Indonesia ................................................ 65
Gambar 4.2 Laju PDRB Provinsi Indonesia Tahu 2009-2013 ............... 69
Gambar 4.3 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Tahun 2014 ................ 70
Gambar 4.4 Indeks Williamson Provinsi Tahun 2014 .......................... 72
Gambar 4.5 Struktur Ekonomi Indonesia Tahun 2009-2014 ................ 73
Gambar 4.6 Persentase Penduduk Usia Kerja Menurut Pendidikan yang
ditamatkan Tahun 20014 ................................................... 75
Gambar 4.7 Laju Pertumbuhan Kredit Investasi Perbankan Tahun 2005-
2014 .................................................................................. 77
Gambar 4.8 Total Realisasi PMA dan PMDN per Provinsi Indonesia
Tahun 2009-2013 ............................................................... 77
Gambar 4.9 Distribusi Dana Transfer APBN Berdasarkan Wilayah Tahun
2010-2013 (%) ................................................................... 78
Gambar 4.10 Realisasi Anggaran Belanja Modal Pemerintah Pusat
Tahun 2008-2013 (Dala Triliun Rupiah) ............................ 80
Gambar 4.11Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Tahun 2004-
2014 ................................................................................... 91
Gambar 4.12 Pengeluaran Dana Alokasi Umum Tahun 2012-2015 ...... 99
Gambar 4.13 Belanja APBD Indonesia Tahun 2014 ...........................101
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang
masalah yang menjadi dasar perulu dilakukannya penelitian, perumusan pokok
permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan
ini.
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dijadikan sebagai indikator tercapainya
pembangunan ekonomi. Negara-negara di Asia Timur pada tahun 2010 hingga
2014 mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi. Perlambatan tersebut juga
yang di alamai juga oleh Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun 2010
sebesar 6,4% mejadi 5,0% di tahun 2014 seperti yang ada pada tabel 1.1. Dapat
dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik, namu masih
tertinggal sedikit dengan negara tetangga seperti Malaysia sbesar 1.0% untuk
tahun 2014.
Tabel 1.1 : Pertumbuhan Perekonomian Negara-negara berkembang di
ASEAN persen (%)
Sumber : World Bank, East Asia Juli 2014
Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri dari tahun
2005 hingga tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut :
NEGARA TAHUN
2010 2011 2012 2013 2014
Indonesia 6,4 6,2 6,1 5,6 5,2
Malaysia 7,4 5,2 5,6 4,7 6,1
Filipina 7,6 3,7 6,8 7,2 6,2
Thailand 7,8 0,1 6,5 2,9 0,8
Vietnam 6,4 6,2 5,2 5,4 6,2
ASEAN 7,1 4,5 6,2 5,1 4,6
2
Tabel 1.2 : Perkembangan Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar
Harga Konstan Tahun 2005-2013 (Miliaran Rupiah)
TAHUN PDB PERTUMBUHAN
2005 1.750.815,20 5,7
2006 1.847.126,70 5,5
2007 1.964.327,30 6,3
2008 2.082.465,10 6,1
2009 2.178.850,40 4,6
2010 2.314.458,80 6,2
2011 2.464.566,10 6,5
2012 2.618.938,40 6,3
2013 2.770.345,10 5,8
Sumber : BPS Data (diolah)
Dari data tabel 1.2 diatas menunjukan perkembangan Produk Domestik
Bruto Indonesia tahun 2005-2013 yang secara positif mengalami perkembangan
pasca terjadi krisis ekonomi di tahun 1998/1999. Pada tahun 2006 pertubuhan
PDB Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2005 yaitu sebesar 5,7%
menjadi 5,5%. Penurunan pertumbuhan PDB juga terjadi pada tahun 2008,
dimana pertumbuhan PDB yaitu sebesar 6,3% pada tahun 2007 dan 6,1% pada
tahun 2008. Penurunan pertumbuhan ini terjadi akibat adanya krisis global yang
terjadi di Negara Amerika yang berdampak kepada seluruh Negara termasuk
Indonesia.
Perubahan ekonomi yang dimaksud tidak hanya untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat saja, tetapi juga distribusi
yang merata keseluruh wilayah atau daerah. Hal ini mengapa menjadi masalah
ketimpangan pembangunan ekonomi terjadi. Ketimpangan merupakan suatu
aspek yang umum terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia,
bahkan negara maju sekalipun memiliki masalah ketimpangan. Menurut Neo
Klasik ketimpangan terjadi karena adanya perbedaan sumber daya, tenaga kerja
dan teknologi. Akibat dari adanya perbedaan tersebut, kemampuan suatu daerah
3
dalam mendorong perbangunan juga menjadi berbeda. Sehingga muncul daerah
yang maju dan daerah yang terbelakang. Pembangunan yang dilaksanakan di
suatu daerah merupakan suatu proses yang dilakukan dengan kerjasama antar
pemerintah serta masyarakat untuk dapat mengelola sumber-sumber daya yang
ada baik dengan pihak pemerintah daerah ataupun pihak swasta agar dapat
mendorong perkembangan ekonomi di wilayah tersebut (Blakely, 1989 dalam
Kuncoro, 2004:110)
Pengertian pembangunan ekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu
proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita meningkat dalam jangka
panjang sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat
(Sukirno, 1985:13). Pembangunan ekonomi yang secara terus menerus disebut
gross domestic product atau Produk Domestik Bruto untuk suatu negara.
Sedangkan untuk provinsi, kabupaten, dan kota pembangunan ekonomi
difokuskan kepada peningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (Kuncoro,
2004:62). Dengan demikian untuk dapat mencapai pemerataan pembangunan
bisa dilihat dari besarnya PDRB suatu daerah. Menurut Sadono (2000), alat
untuk dapat melihat dan mengukur keberhasilan perekonomian suatu wilayah
adalah pertumbuhan ekonomi yang terjadi di wilayah itu sendiri.
Dalam Tabel 1.3 struktur PDRB masih didominasi oleh kelompok provinsi
di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional
Bruto sebesar 57,65 persen, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar
22,71 persen, Pulau Kalimantan 8,61 persen, dan Pulau Sulawesi 5,81 persen,
dan sisanya 5,22 persen didapat dari pulau lainnya. Pertumbuhan PDRB pada
tahun 2014 dipengaruhi oleh empat provinsi penyumbang terbesar dengan total
kontribusi sebesar 52,61 persen. Provinsi yang menyumbang kontribusinya
4
adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan
pertumbuhan masing-masing 6,22%, 6,01%, 5,46%, dan 6,16 %.
Tabel 1.3 : PDRB ADHK menurut pulau di Indonesia Tahun 2012 – 2014
persen (%)
WILAYAH TAHUN
2012 2013 2014
SUMATERA 23,01 23,08 22,71
KALIMANTAN 56,69 9,23 8,61
JAWA 2,79 57,08 57,65
SULAWESI 9,66 5,49 5,81
BALI DAN NUSA TENGGARA 5,41 2,81 3,02
MALUKU DAN PAPUA 2,35 2,26 2,22
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Tingginya tingkat perbedaan PDRB antar pulau di Indonesia dan PDRB
tertinggi berada pada Pulau Jawa. Hal tersebut dapat disebabkan karena
perkembangan dari penduduk di Pulau Jawa yang menyangkut kualitas dan
kuantitas di kota itu sendiri. Perbedaan lainnya adalah dari segi demografis
seperti tingkat kelahiran, kematian dan migrasi penduduk yang mempengaruhi
pertumbuhan daerah. Semakin tinggi tingkat PDRB suatu daerah, akan semakin
baik tingkat perekonomian daerah tersebut walaupun ukuran ini belum mencakup
faktor kesenjangan pendapatan antar penduduk. Adanya perbedaan tingkat
PDRB suatu wilayah atau daerah dapat menyebabkan ketimpangan. Sehingga
perlu adanya peningkatan dalam pembangunan di wilayah daerah yang
tertinggal agar tingkat ketimpangan tidak terlalu besar.
Terjadinya kesenjangan atau ketimpangan yang terjadi di suatu wilayah
atau daerah merupakan sebuah konsekuensi dari pembangunan dan merupakan
suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Ketimpangan
pembangunan antar wilayah merupakan masalah yang sering dihadapi negara-
negara berkembang di dunia. Pengukuran disparitas atau ketimpangan
pembangunan dapat ditunkjukan dengan menggunakan Indeks Williamson.
5
Indeks Williamson (Indeks Ketimpangan Regional) adalah indeks untuk
mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah atau provinsi dalam waktu
tertentu. Semakin tinggi suatu nilai indeks williamson berarti akan semakin besar
atau melebar kesenjangan yang terjadi di wilayah atau daerah tersebut dan
sebaliknya semakin kecil indeks williamson yang ada akan semakin mengecil
atau sedikit kesenjangan yang terjadi antar wilayah atau daerah.
Gambar 1.1 : Hasil Analisis Indeks Williamson untuk PDRB perkapita di
Indonesia tahun 2000-2012
Sumber : BAPPENAS, 2013
Pada Gambar 1.1 hasil analisis terlihat ketimpangan berdasarkan Indeks
Williamson untuk ketimpangan pembangunan sangat tinggi atau pembangunan
antar provinsi tidak merata dengan ketimpangan indeks williamson dari tahun
2000-2012 rata-rata > 1. Sementara ketimpangan pembangunan antar provins
menurut masing-masing pulau menunjukan bahwa pulau Sumatera, Jawa+Bali,
Kalimantan,dan Nusta-Maluku-Papua mengalami pembangunan tidak merata
(ketimpangan tinggi), sebaliknya di Sulawesi mengalami pembangunan yang
merata (ketimpangan rendah).
Menurut Todaro (2006) ketimpangan yang terjadi dapat memiliki dampak
yang positif maupun negatif. Dampak positif dari ketimpangan yaitu dapat
6
mendorong wilayah yang lain yang kurang maju dan berkembang untuk dapat
bersaing dan meningkatakan pertumbuhannya sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraanya. Sedangkan dampak negatif dari ketimpangan yang terlalu
besar antara lain adalah inefesiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan
solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil
untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih lanjut dalam publikasi BAPPENAS (2013) menyebutkan bahwa
kesenjangan atau ketimpangan yang terjadi di suatu daerah menimbulkan
berbagai permasalahan, seperti peningkatan migrasi dari daerah miskin ke
daerah yang lebih maju, pengangguran, kriminalitas, dan konflik antar
masyarakat. Struktur perekonomian yang dapat mengalami transformasi
struktural ke arah industri kemudian beralih pada sektor jasa, dalam hal ini
proses transformasi struktural dapat ditandai dengan adanya perubahan dalam
kontribusi sektoral terhadap output nasional sebagai akibat terjadinya pergeseran
faktor-faktor lain bisa terjadi karena faktor alami, faktor kondisi sosial dan
keputusan-keputusan dari kebijakan yang diambil pemerintah Krisyanti (2007).
Menurut Dumairy (1996) peran pemerintah dalam perekonomian
dikategorikan dalam empat macam yaitu : 1) peran alokasi, 2) peran distribusi, 3)
peran stabilitas, 4) peran dinamisasi. Sejalan dengan Undang-Undang No 33
Tahun 2004 Pasal 66, Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD)
memiliki fungsi otoritas, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi. Untuk
membantu mengurangi masalah ketimpangan, dengan meningkatkan percepatan
pertumbuhan dan pemerataan serta pembangunan baik infrastruktur, investasi,
perluasan lapangan pekerjaan, dan penerimaan dan pemasukan keuangan
daerah. Sebagai bagian dari upaya pemerintah pembangunan antar daerah,
pada tahun 2001 pemerintah melakukan kebijakan otonomi daerah dan
7
kebijakan desentralisasi fiskal. Otonomi Daerah yang ditandai dengan
dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.
25 tahun 1999 tentang Perimbangan Kuangan Pusat dan Daerah. Pelaksanaan
kedua Undang-Undang tersebut secara resmi mulai 1 Januari 2001. Kedua
Undang-Undang tersebut kemudian diambademen menjadi UU No. 32 dan No.
33 tahun 2004 (Kuncoro, 2012:300).
Gambar 1.2 : Struktur APBD di era desentralisasi fiskal
Sumber : Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 (diolah)
Pada Gambar 1.2 pada struktur belanja APBD didapat dari pendapatan
daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Dalam penelitian ini diwakili
oleh pendapatan oleh DAU dan belanja diwakili oleh belanja modal. Dana
Alokasi Umum yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah untuk mendanai berbagai kebutuhan daerah dalam
rangka desentralisasi fiskal yang dibagi sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Selain itu alokasi belanja modal untuk menciptakan kondisi ekonomi yang lebih
baik dengan pembenahan infrastruktur atau pelayanan publik.
APBN
PENDAPTAN
DAERAH
BELANJA
DAERAH
PEMBIAYAAN
DAERAH
DAERAH
PAD
DANA PERIMBANGAN
1. DAU
2. DAK
3. Dana Bagi Hasil
LAIN-LAIN PENDAPATAN
YANG SAH
BELANJA TIDAK
LANGSUNG
BELANJA LANGSUNG
1. Belanja Modal
2. Belanja Pegawai
3. Belanja Barang Dan
Jasa
PENGELUARAN
PEMBIAYAAN
PENERIMAAN
PEMBIAYAAN
8
Pelaksanaan otonomi daerah yang sudah dilaksanakaan oleh pemerintah
daerah pada hakikatnya adalah penyerahan wewenang atau segala urusan
pemerintahan kepada pemerintah daerah, pemerintah daerah diharapkan dapat
meningkatkan berbagai segi pelayanan kepada masyarakat. Sehingga
pemerintah daerah dapat menarik investasi, menyerap tenaga kerja,
pengembangan sumberdaya manusia dan infrastruktur fisik yang nantinya akan
berdampak kepada pemerataan ekonomi yang dapat terwujud. Perbaikan dalam
berbagai segi pelayanan terhadap masyarakat akan meningkatkan produktivitas
ekonomi dalam berbagai sektor. Walaupun dengan adanya pelaksanaan otonomi
daerah tersebut membuat kekhawatiran akan dapat meningkatkan ketimpangan
pembangunan antar daerah dikarenakan perbedaan dari segi SDA, namun akan
dapat terkompensasi dengan peningkatan SDM serta SDE (Mubyarto, 2001).
Berdasarkan dari uraian di atas menjadi penting untuk dapat mengetahui
pengaruh struktur ekonomi, tingkat partisipasi angkatan kerja, kredit investasi,
dana alokasi umum dan belanja modal pemerintah daerah di Indonesia.
Sehingga dalam hal ini pemerintah daerah dapat memfokuskan pada faktor-
faktor ini untuk dapat meningkatkan pemerataan dan dapat menekan
ketimpangan pembangunan di setiap provinsi di Indonesia. Yang mana dengan
jelas bahwa yang dikehendaki masyarakat Indonesia adalah pertumbuhan dan
pembangunan yang terus meningkat dan hasilnya dapat dirasakan oleh semua
lapisan masyarakat.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat masalah yang
berkaitan dengan penelitian yaitu sebagai berikut :
9
1. Bagaimana pengaruh Struktur Ekonomi (PDRB Sektor Agri, PDRB Sektor
Industri, PDRB Sektor Jasa) terhadap ketimpangan pembangunan antar Provinsi
di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaruh TPAK terhadap ketimpangan pembangunan antar
Provinsi di Indonesia ?
3. Bagaimana pengaruh Kredit Investasi terhadap ketimpangan pembangunan
antar Provinsi di Indonesia ?
4. Bagaimana pengaruh DAU terhadap ketimpangan pembangunan antar
Provinsi di Indonesia ?
5. Bagaimana pengaruh Belanja Modal terhadap ketimpangan pembangunan
antar Provinsi di Indonesia ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjabaran latar belakang dan rumusan masalah, tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui apakah terdapat hubungan pengaruh Struktur Ekonomi (PDRB
Sektor Agri, PDRB Sektor Industri, PDRB Sektor Jasa) terhadap ketimpangan
pembangunan antar di seluruh Provinsi di Indonesia.
2. Mengetahui apakah terdapat hubungan pengaruh TPAK terhadap
ketimpangan pembangunan antar di seluruh Provinsi di Indonesia.
3. Mengetahui apakah terdapat hubungan pengaruh Kredit Investasi terhadap
ketimpangan pembangunan diseluruh Provinsi di Indonesia.
4. Mengetahui apakah terdapat hubungan pengaruh DAU terhadap ketimpangan
pembangunan diseluruh Provinsi di Indonesia.
5. Mengetahui apakah terdapat hubungan pengaruh Belanja Modal terhadap
ketimpangan pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
10
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian mengenai ketimpangan
pembangunan atnar Provinsi di Indonesia adalah :
1. Sebagai bahan salah satu kontibusi akademis dalam upaya mengidentifikasi
ketimpangan pembangunan di Indonesia.
2. Tambahan referensi dalam penelitian lanjutan yang disesuaikan dengan
bidangnya.
3. Tambahan wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan ketimpangan
pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
4. Dapat digunakan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mempergunakan
konsep dan gagasan baru yang dihasilkan dalam penelitian ini.
1.5. Sistematika Penulisan
1. BAB I PENDAHULUAN :
Pada Bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat kegiatan, dan sistematika penulisan.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA :
Bab ini berisi tentang varabel penelitian dan deskripsi operasional variabel, jenis
dan sumber data, metode mengumpulkan data, serta metode analisi.
3. BAB III METODOLOGI PENELITIAN :
Bab ini berisi tentang variabel penelitian dan deskrisp operasional variabel, jenis
dan sumber data, metede mengumpulakan data, serta metode analisis.
4. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASA :
Bab ini berisikan mengenai analisis atau penyelesaian dari data yang ada yang
akan dibahas secara terperinci.
11
5. BAB V PENUTUP :
Bab ini merupakan penutup yang merangkum dan memberikan saran-saran yang
direkomendasikan kepada pihak-pihak tertentu yang berkaitan dengan tema
penelitian.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dijelaskan kerangka teori yang melandasi dalam
penelitian ini. Selain itu, pada bab ini penulis juga memaparkan teori-teori serta
beberapa referensi terkait perananan Struktur Ekonomi (PDRB Sektor Pertanian,
Industri, Jasa), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Kredit Investasi, Dana
Alokasi Umum (DAU), dan Belanja Modal terhadap Ketimpangan Pembangunan
Antar Provinsi di Indonesia. Pada bagian akhir bab ini, penulis akan menjelaskan
pembentukan model atau kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian.
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai adanya perkembangan dalam
kegiatan perekonomian yang secara perlahan lahan berdampak kepada
peningkatan produksi barang maupun jasa sehingga menciptakan kesejahteraan
untuk rakyat. Sedangkan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses
transformasi dalam suatu perubahan struktural dari waktu ke waktu ditandai
dengan peningkatan kualitas kehidupan dan kemampuan manusia dengan cara
menaikan standar kehidupan, harga diri dan kebebasan individu (Todaro,
2011:6).
Sehingga pada umumnya pembangunan selalu disertai dengan adanya
peningkatan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan
adanya pembangunan. Menurut (Todaro, 2011:27) proses pembangunan dalam
kehidupan harus memiliki tiga tujuan berikut: 1) peningkatan ketersediaan dan
perluasan distribusi barang-barang kebutuhan hidup yang pokok seperti
makanan, tempat tinggal, kesehtan, dan perlindungan; 2) peningkatan standar
hidup yang bukan hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga adanya
ketersediaan lapangan kerja yang lebih banyak, pendidikan yang lebih baik, serta
13
terdapat perhatian lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusian; 3)
perluasan pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi individu dan bangsa
secara keseluruhan.
Perlunya perencanaan pertumbuhan dan pembangunan adalah upaya
pemerintah dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi selama jangka
panjang secara hati-hati. Karena setiap keputusan-keputusan ekonomi tersebut
bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan seperti pendaptan, investasi,
konsumsi, tabungan, dll, yang pada akihrnya dapat terpenuhinya tujuan dari
pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah dapat diukur dengan
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga konstan atau harga
berlaku. PDRB ADHK digunakan untuk mengetahui ekonomi dari tahun ke tahun,
untuk menunjukan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan setiap sektor
dari tahun ke tahun. Sedangkan PDRB ADHB menurut sektor menunjukan
peranan sektor ekonomi dalam suatu daeah, sektor-sektor yang mempunyai
peranan besar menunjukan basis perekonomian suatu daerah. Dengan demikian
PDRB secara keseluruhan menunjukan kemampuan suatu daerah dalam
menghasilkan pendapatan atau balas jasa terhadap faktor produksi yang ada di
dalam proses produksi di daerah tersebut.
Laju pertumbuhan PDRB ini dapat memperlihatkan proses kenaikan
output perkapita dalam jangka panjang. Adanya proses dalam laju pertumbuhan
ini dikarenakan laju pertumbuhan bersifat dinamis berubah dan berkembang.
Oleh karenanya, pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dalam kurun waktu
tahunan. Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi adalah kedua hal yang
penting, karena didalamnya terdapat unsur pembentukan kinerja perekonomian
yang dapat meningkatkan tingkat tenaga kerja, investasi, jumlah output dan
14
pendapatan nasional. Jumlah peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
menjadi salah satu tujuan utama dari pembangunan suatu negara atau wilayah.
2.1.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Sejak lama ahli-ahli ekonomi telah menganalisis faktor-faktor penting
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan kepada
pertumbuhan ekonomi yang berlaku di berbagai negara atau wilayah dapat
disimpulkan bahwa adanya faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan serta
pembangunan adalah : kekayaan sumber daya alam dan tanahnya, jumlah serta
kualitas tenaga kerja, barang-barang atau modal yang tersedia, tingkat tekologi
yang digunakan dan sistem sosial dan sikap masyarakat.
Beberapa teori yang menerangkan mengenai hubungan diantara
berbagai faktor produksi dengan pertumbuhan ekonomi. Pandangan-pandangan
teori tersebut antara lain :
2.1.2.1 Teori Klasik
Menurut teori ekonomi klasik yang di kemukakan oleh Adam Smith, yang
menganalisis masalah terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Terdapat kelemahan yang dikemukaan oleh Adam Smith menurut (Arsyad,
1999:55) dalam (Sun’an, 2015:4) dalam mengklasifikasi proses pertumbuhan
ekonomi yang di bedakan menjadi dua aspek utama yaitu :
1. Pertumbuhan output total.
2. Pertumbuhan penduduk.
Menurut Teori Petumbuhan Klasik, pertumbuhan ekonomi bergantung
kepada faktor-faktor produksi. Unsur pokok dan sistem produksi suatu negara
terdapat tiga antara lain :
1. Sumber daya alam yang tersedia merupakan suatu faktor yang dasar bagi
suatu negara dalam kegiatan produksi dimana jumlah sumber daya alam yang
tersedia dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian.
15
2. Sumber daya insani atau jumlah penduduk merupakan pemeran dalam proses
pertumbuhan perekonomian. Maksudnya adalah jumlah penduduk akan
menyesuaikan diri dengan kebutuhan tenaga kerja dari suatu masyarakat.
3. Stok modal, menurut Adam Smith stok modal merupakan unsur produksi
secara aktif untuk menentukan tingkat output.
Dalam teori ini mengatakan bahwa modal memegang peranan yang
penting. Adanya akumulasi modal akan menentukan terjadinya cepat atau
lambatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu wilayah atau negara
tersebut (Kuncoro, 1997:39).
2.1.2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo-klasik
Pertumbuhan Neo-Klasik merupakan analisa yang didasarkan kepada
teori klasik. Dalam analisa Neo-Klasik, yang dikemukakan oleh Robert Solow
(1957) didasarkan pada pertumbuhan ekonomi bersumber pada penambahan
dan perkembangan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran agregat. Solow
Swan membagi proses pertumbuhan ekonomi dengan faktor-faktor produksi
yang berpengaruh yaitu :
1. Pengaruh tenaga Kerja yang bekerja
2. Pengaruh teknologi
3. Pengaruh modal
A. Model Pertumbuhan Tanpa Perkembangan Teknologi
Teori pertumbuhan Neo-Klasik tersebut mempunyai banyak variasi, yang
lalu dikembangkan oleh Cobb Douglas. Dalam model ini, fungsi dari faktor-faktor
produksi secara umum yaitu :
Yt = f ( Kt. Lt ) (2.1)
Dimana :
Yt = pendapatan rill pada tahun t
Kt = Stock modal pada pada tahun t
16
Lt = Jumlah tenaga kerja pada tahun t
Dalam model bentuk hubungan ini dikenal sebagai suatu fungsi produksi
Cobb-Douglass. Dengan mengambil A dan α adalah sebuah parameter yang
masing-masing adalah elastisitas pendapatan terhadap modal dan tenaga kerja
maka fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut :
Y = A Ktα L1-α (2.2)
Pendapatan akan dapat terus meningkat apabila setiap tenaga kerja
mendapatkan modal peralatan modal yang lebih dan proses tersebut disebut
“capital deepening”. Tetapi tidak secara terus menerus meningkat, tanpa adanya
pertumbuhan teknologi karena modal (seperti juga tenaga kerja) akhirnya akan
dapat meningkatkan pertumbuhan yang semakin berkurang (diminishing return).
Menurut teori yang di paparkan diatas model pertumbuhan Neo-Klasik
menunjukan semakin adanya hasil menurun dari faktor tenaga kerja dan modal
yang terpisah serta hasil konstan dari kedua faktor itu secara bersama-sama.
Sehingga faktor terpenting untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi bukanlah
pertambahan modal dan pertambahan tenaga kerja, tetapi faktor yang lain juga
penting adalah dari adanya kemajuan teknologi dan kemahiran dan keahlian
tenaga kerja (Sadono, 2006).
Penganut Model Neo-Klasik dalam (Syafrizal, 2008:95) beranggapan
bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada mulanya
adalah proses pembangunan akan terjadi kurang lancar. Akibatnya, pada saat itu
modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju
sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah atau daerah cenderung
melebar (divergence). Akan tetapi bila proses pembangunan tersebut
berlangsung dengan baik akan meningkatkan prasaran dan fasilitas komunikasi
maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lebih baik.
17
Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutakan telah maju
maka ketimpangan pembangunan cendrung berkurang (convergance).
B. Model Pertumbuhan Dengan Perkembangan Teknologi
Kemajuan teknologi pada model teori ini supaya lebih realistis maka
ditambahkan dengan faktor perkembangan teknologi yang akan dapat
mempengaruhi pertumbuhan pendapatan. Cara yang paling umum adalah
memasukan perkembangan teknologi sebagai bagian elemen dari fungsi
produksi. Modal dan tenaga kerja diasumskan dapat mengambil keuntungan dari
adanya perkembangan teknologi. Fungsi produksi yang baru menjadi :
Yt = f(At , Kt , Lt) (2.3)
Dengan A sebagai perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi
dapat dikatakan tidak melekat dalam model karena tidak tergantung dari
masukan modal dan tenaga kerja. Dapat diasumsikan bahwa perkembangan
teknologi meningkat secara halus sepanjang waktu (tingkat pertumbuhan tetap),
maka fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai berikut :
Y = Aegt Ktα Lt
β (2.4)
dengan g adalah pertumbuhan dari perkembangan teknologi per periode waktu
(t). Cara ini merupakan penyederhanaan dengan mengabaikan kemungkinan
terjadinya perkembangan teknologi melalui investasi. Sebagai tambahan, tenaga
kerja dapat juga menjadi lebih terampil sehingga dapat menaikan efesiensi dan
dalam kasus ini (seperti juga modal) dianggap bersifat homogen. Asumsi lain
yang digunakan model ini adalah pada sistem perekonomian berdasarkan pasar
yang berkompetisi sempurna dengan faktor harga yang fleksibel serta sumber
daya pada kesempatan kerja penuh.
Persamaan (2.4) dengan mengambil persamaan logaritma natural dapat
dideferensialkan terhadap waktu maka didapat pertumbuhan pendapatan dan
dinyatakan sebagai berikut :
18
yt = g + αkt + βlt (2.5)
y = pertumbuhan pendapatan (misalnya dalam periode satu tahun)
k = pertumbuhan stok modal
l = pertumbuhan tenaga kerja
Huruf kecil y,k,l di sini menunjukan bahwa tingakat pertumbuhan Y, K, L.
Konstanta á dan â menyatakan elastisitas pendapatan terhadap modal dan
tenaga kerja seperti telah disebutkan sebelumnya.
Pada pertumbuhan Neo-Klasik dengan perkembangan teknologi memberi
landasan yang cukup untuk menunjukan adanya faktor yang berperan dalam
menjelaskan perbedaan pertumbuhan regional. Dengan menyederhanakan
persamaan (2.5) ke dalam modal pertumbuhan regional maka akan terlihat
bahwa perbedaan tersebut dapat terjadi karena :
1. Perbedaan dalam perkembangan teknologi antar wilayah.
2. Pertumbuhan stok modal yang memiliki perbedaan antar wilayah.
3. Pertumbuhan tenaga kerja dapat juga berlainan antar wilayah.
Dengan menyederhanakan subkrip waktu (t) maka persamaan
pertumbuhan untuk masing-masing wilayah dapat dinyatakan sebagai berikut:
Yr = gr + αkr + βlr (2.6)
dengan r menyatakan wilayah tertentu. Sehingga gr dapat dibaca sebagai tingkat
perkembangan teknologi di wilayah r yang harganya untuk setiap daerah dapat
berlainan (untuk jangka pendek).
Sehingga kesenjangan anatar daerah dalam pertumbuhan output per
pekerja dijelaskan oleh perbedaan regional dalam tingkat kemajuan dari
teknologi dan oleh perbedaan regional dalam pertumbuhan rasio/tenaga kerja.
Pengaruh potensial pada disparitas atau kesenjangan pertumbuhan regional
adalah masalah migrasi antar daerah. Menurut model beoklasik, modal dan
tenaga kerja akan pindah dari daerah-daerah yang menawarkan tingkat laba
19
tertinggi. Produsen akan mencari lokasi yang paling menguntungkan untuk
membangun pabrik dan mesin mereka, sementara para pekerja akan tertarik ke
daerah-daerah yang memiliki upah yang tinggi. Model neoklasik mengasumsikan
bahwa tidak ada hambatan mobilitas faktor antar daerah dan bahwa ada
pengetahuan yang sempurna tentang harga di semua wilayah. Oleh sebab itu,
adanya perbedaan pertumbuhan regional terjadi bukan hanya karena perbedaan
regional dalam pertumbuhan modal dan tenaga kerja, tetapi juga disebabkan
karena faktor migrasi antar daerah. Argumen serupa berlaku untuk pertumbuhan
angakatan kerja, yang akan tergantung tidak hanya pada laju pertumbuhan
penduduk, tetapi juga faktor migrasi antar daerah lain.
2.1.2.3 Teori Pertumbuhan Endogen
Teori pertumbuhan endogen menjelaskan tingkat tabungan dan investasi
serta dengan adanya kemajuan teknologi yang mempengaruhi tingkat output.
Dengan adanya kemajuan teknologi akan mempengaruhi pertumbuhan,
sedangkan dengan tidak adanya kemajuan teknologi tidak akan adanya
pertumbuhan dalam jangka panjang (kondisi dinamis).
Dalam teori pertumbuhan endogen menurut Romer ( Romer Endogenous
Growth Model) dalam (Todaro, 2011), teori ini menganggap bahwa dalam
pertumbuhan ekonomi lebih ditentukan oleh faktor produksi. Kemajuan teknologi
merupakan hal yang endogen, pertumbuhan merupakan bagian dari pelaku-
pelaku ekonomi untuk melakukan investasi. Peran modal, tenaga kerja dan
pengetahuan teknologi pekerja masuk dalam fungsi Romer. Namun dalam hal ini
pengetahuan teknologi diasumsikan sebagai bagian dari pekerja itu sendiri.
Sehingga dapat di masukan kedalam fungsii sebagai berikut :
Y= Kα (AL)1-α (2.7)
Akumulasi modal adalah sumber utama dari pertumbuhan ekonomi.
Definisi modal dapat diperluas dengan memasukan model ilmu pengetahuan dan
20
sumber daya manusia. Perubahan teknologi bukan merupakan suatu yang
berasal dari model (eksogen) tetapi teknologi merupakan bagian dari proses
pertumbuhan ekonomi. Dalam teori pertumbuhan endogen bisa dikatakan peran
dari investasi dalam modal fisik serta modal manusia turut mendorong
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tabungan dan investasi dapat
mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustained
development) (Mankiw, 2004).
Teori pertumbuhan endogen berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
adalah modal. Pada awalnya, teori pertumbuhan endogen mulai berkembang
dalam dua cabang pemikiran. Pertama, mereka percaya bahwa learning-by-
doing dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam
perekonomian merupakan pendorong bagi penigkatan produktivitas
perekonomian. Kedua, mereka yang percaya bahwa penemuan-penemuan baru
adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi. Kedua aliran itu
sepakat bahwa SDM merupakan kunci utama dari peningkatan produktivitas
ekonomi.
Sumber pertumbuhan dalam teori pertumbuhan endogen, baik yang
didorong oleh learning-by-doing maupun penemuan input baru, terkandung
dalam kualitas SDM. Sumber Daya Manusia (SDM) mempunyai peran yang baik
dalam memanfaatkan eksternalitas yaitu melalui kegiatan learning maupun
menciptakan eksternalitas melalui sektor R & D yang kompetitif.
Studi mengenai sumbangan human capital terhadap pertumbuhan
dikembangkan oleh Romer (1986). Dalam perkembangan teori Romer
menyatakan bahwa kualitas SDM menyumbang secara cukup berarti bagi
pertumbuhan atau kira-kira sama dengan modal fisik. Model Solow hanya
menerangkan bahwa hubungan modal dan angkatan kerja yang bekerja saja,
sehingga ditambahkan lagi variabel mutu modal manusia untuk membantu
21
menjelaskan pola pertumbuhan ekonomi selain modal dan angkatan kerja yang
bekerja yaitu :
(2.8)
Dimana Yi adalah output produksiperusahaan i, Ki adalah stok modal, Li adalah
tenaga kerja, dan K adalah teknologi. K diasumsikan mempunyai efek menyebar
yang positif terhadap setiap produksi.
2.1.3. Teori Perubahan Struktural
Dalam Todaro (2006:132) dalam (Sun’an, 2015:77) teori ini menjelaskan
bahwa terdapat perubahan struktural (structura-change theory) yang
memusatkan perhatiannya kepada mekanisme yang dapat memungkinkan
negara-negra berkembang bertransformasi dalam struktur perekonomiannya,
yang semula berpusat kepada pola perekonomian pertanian subsisten tradisional
ke perekonomian yang lebih modern, dan sangat didominasi oleh sektor jasa dan
industri. Dalam perubahan model struktural tersebut terdapat analisis yang
menggunakan pendekatan neo-klasik berupa teori harga dan sumber daya,
serta metode ekonometri modern lainnya. Teori pembangunan struktural
ekonomi ini ditemukan oleh W.Arthur Lewis dengan teori migrasi, teori pola
pembangunan yang dikemukakan oleh Holis B. Chenery.
A. Teori Pembangunan Arthur Lewis
Teori pembangunan ekonomi Arthur Lewis yang membahas mengenai
proses pembangunan yang terjadi di antara daerah kota dengan desa, yang
dimana terjadinya pola urbanisasi dan migrasi diantara kedua tempat tersebut,
sehingga terjadi perpindahaan (mobilitas). Selain itu teori ini juga membahas
model investasi dan sistem penempatan upah pada sistem modern yang
berpengaruh terhadap arus urbanisasi yang ada. Perhatian utama dari model
Lewis diarahkan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta
22
pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern.
Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja dimungkinkan oleh
adanya perluasan output pada sektor modern.
Teori Arthur Lewis mengasumsikan bahwa bila perekonomian suatu
negara pada dasarnya akan terbagi menjadi dua pola (Kuncoro, 1997:59) yaitu:
1. Perekonomian Tradisional
Lewis mengasumsikan bahwa sektor di daerah pedesaan dengan sistem
perekonomian tradisionalnya, akan mendapatkan surplus tenaga kerja. Akibat
dari adaya surplus tenaga kerja yang erat berkaitan dengan perekonomian
tradisional. Kondisi masyarakat berada pada kondisi subsiten pula ditandai
dengan adanya produk marginal dari tenaga kerja yang bernilai nol. Sehingga
kondisi ini menciptan bahwa tenaga kerja justru akan mengurangi total produksi
yang ada, dan sebaliknya dengan menguranginya pun juga tidak akan
mengurangi jumlah produksi yang ada. Dengan demikian, nilai upah rill
ditentukan oleh rata-rata produk marginal, dan bukan oleh produk marginal dari
tenaga kerja.
2. Perekonomian Industri
Perekonomian industri berperan sangat penting, dalam sektor ini yang
wilayahnya terletak di perkotaan. Pada sektor ini menunjukan bahwa tingkat
produktivitas sangat tinggi termasuk input dan tenaga kerja yang digunakan.
Dalam hal ini memberikan nilai produk marginal terutama tenaga kerja bernilai
positif. Selain menjadi tujuan transfer tenaga kerja dari wilayah pedesaan ke
wilayah perkotaan yang menarik tenaga kerja adalah tingkat upah, sehingga
terjadinya daya taraik bagi penduduk pedesaan untuk melakukan urbanisasi.
Dengan demikian perekonomian di perkotaan akan menjadi tujuan bagi tenaga
kerja di pedesaan, karena nilai produk marginal dari tenaga kerja yang positif
menunjukan adanya fungsi belum berada pada tingkat optimal yang akan
23
dicapai. Selain lapangan pekerjaan yang tersedia tidak kalah menarik tingkat
upah di kota yang mencapai 30%, ini kemudian menjadi ketertarikan bagi
penduduk desa dalam melakukan urbanisasi.
B. Teori Pola Pembangunan Chenery
Pada teori pola pembangunan Chenery menganalisis mengenai
perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri ke
struktur institusi dalam proses pembangunan perekonomian suatu negara yang
sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari sektor pertanian
tradisional beralih ke sektor industri sebagai bagian utama dari pertumbuhan
ekonomi (Sun’an, 2015:73). Dalam penelitiannya Chenery mengungkapkan,
bahwa peningkatan pendapatan perkaita perekonomian suatu negara akan
bergeser dari yang semula adalah mengandalkan sektor pertanian akan
bergeser menjadi sektor industri dan akan menuju lagi berubah menjadi pada
sektor jasa sebagai sektor yang dianggap paling tinggi pada struktur ekonomi.
Chenery menjadikan Kuznet dalam tolak ukur penelitianya, sehingga
dalam penelitiannya disisnggung mengenai proses akumulasi, alokasi dan
distribusi sebagai pokok dari ciri-ciri pembangunan perubahan struktural
(Djojohadikusumo, 1994:145). Akumulasi yang diartikan sebagai proses dari
pembinaan atau pengelolaan sumber-sumber daya produksi yang meningkatkan
kemampuan berproduksi dalam susunan ekonomi masyarakat. Alokasi yang
diartikan sebagai pola pembangunan dari sumber-sumber daya produksi yang
dapat membawa perubahan pada struktur produksi (peran dan sumbangan
sektoral dalam produk nasional), pada kondisi sektoral terdapat permintaan
domestik, dan lalu lintas perdagangan dan pembayaran luar negeri. Distribusi
pendapatan yang diartikan sebagai pendapatan yang diukur secara kuantitatif
dengan dua konsep, yaitu : 1) Kemiskinan absolut (absolute proverty) yang
menggambarkan kepada jumlah penduduk berada di bawah garis kemiskinan,
24
dan yang ke 2) Kesenjangan atau ketimpangan relatif (relative inequality) yang
mendeskripsikan adanya ketimpangan dalam pembagian pendapatan
masyarakat antara golongan-golongan yang berpendapatan rendah,
berpendapatan menengah dan berpendapatan tinggi.
2.1.4. Teori Keynes
Teori Keynes dimana memliki persamaan keseimbangan pendapatan
nasional adalah :
Y = C+I+G+NX (2.9)
Dimana (Y) merupakan pendapatan nasional, (C) merupakan pengeluaran
konsumsi, (I) Investasi, (G) adalah pengeluaran pemerintah dan (NX) adalah net
ekspor. Dengan ini membandingkan nilai (G) terhadap Y serta dapat mengamati
dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran dan
pembentukan pendapatan nasional (Dumairy, 1996). Menurut Keynes, untuk
menghindari timbulnya stagnasi dalam perekonomian, pemerintah berupaya
untuk meningkatkan jumlah pengeuaran (G) dengan tingkat yang lebih tinggi dari
pendapaan nasional, sehingga dapat mengimbangi kecendrungn konsumsi (C)
dalam perekonoman.
Teori keynes mengacu pada aliran siklus uang, yang megacu kepada
perekonomian yang akan menigkatkan pendapatan yang kemudian akan
mendorong lagi belanja dan pendaptan. Aliran ekonomi keynesian juga
menganjurkan supaya sektor publik dalam hal ini campur tangan pemerintah
dapat meningkatkan perekonomian secara umum.
2.1.4.1 Teori Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi makro yang ditetapkan
oleh pemerintah berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran keuangan suatu
negara. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, yang menerangkan bahwa Presiden memberikan kuasa
25
pengelolaan keuangan dan kekayaan negara kepada Menteri Keuangan selaku
pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan negara yang
dipisahkan (KEMENKEU).
Dengan ditetapkannya kebijakan fiskal adalah untuk mengarahkan
ekonomi suatu negara dengan adanya kebijakan moneter, yang bertujuan dapat
men-stabilkan perekonomian dengan cara mengkontrol tingkat bunga dan juga
jumlah uang yang beredar. Hal ini dilakukan pemerintah dengan cara
menentukan besar dan kecil jumlah konsumsi pengeluaran atau belanja
pemerintah, dan jumlah pendapatan pajak yang diterima pemerintah sehingga
dapat mempengaruhi tingkat pendapata nasional dan tingkat kesempatan kerja.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
yang menyebutkan instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan
pengeluaran pemerintah yang tertuang dalam APBN sebagai suatu operasi
keuangan pemerintah.
a. Peningkatan penerimaan karena perubahan tarif pajak akan dapat
berpengauh terhadap ekonomi.
b. Pengeuaran pemerintah akan berpengaruh pada stimulasi perekonomian
melalui sisi pengeluaran agregat.
c. Politik anggaran (surplus, berimbang, defisit) sebagai respon atas suatu
kondisi.
d. Strategi pembiayaa dan pengelolaan hutang (kebijakan fiskal dan penyusunan
APBN, direktorat jendral anggaran).
Kebijakan fiskal adalah suatu langkah-langkah pemerintah dalam
mengelola pengeluaran dan pendapatan serta penggunaan intstrumen-instrumen
fiskal untuk dapat memaksimalkan bekerjanya sistem ekonomi agar terciptanya
kesejahteraan ekonomi.
26
2.1.4.2 Konsep-Konsep Dasar Kebijakan Fiskal
Secara operasional, penggunaan fiskal dibuat menjadi lebih ramping demi
penyehatan APBN diupayakan melalui pengendalian defisit anggaran dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Peningkatan pendapatan negara yang menitikberatkan pada peningkatan
penerimaan pajak dan optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
2. Pengendalian dan pinjaman prioritas alokasi belanja negara dengan tetap
menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar dan alokasi belanja minimum.
3. Pengelolaan hutang negara yang sehat dalam rangka menutupi kesenjangan
pembiayaan anggaran yang dihadapi pemerintah.
4. Perbaikan dala struktur penerimaan dan alokasi belanja negara, dengan
meperbesar peanan sektor pajak non migas, dan pengalihan subsidi secara
bertahap kepada bahan-bahan kebutuhan pokok bagi masyarakat yang kurang
mampu agar dapat lebih tepat sasaran.
5. Pengelolaan keuangan negara yang lebih efektif, efisien, dan
berkesinambungan, antara lain dalam memperbaiki manajemen pengeluaran
negara.
2.1.4.3 Fungsi dan Tujuan Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal yang dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan kondisi
ekonomi secara kondusif dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Tujuan yang
ingin dicapai dari pelaksanaan kebijakan fiskal tersebut antara lain :
1. Penciptaan tenaga kerja
Salah satu indikatornya adalah tersedianya kesempatan kerja yang luas dan
berkurangnya jumlah pengangguran. Hal ini tertuag dalam Pasal 27 Ayat 2
secara tegas menyatakan bahwa semua warga Negara berhak mendapatkan
atas pekerjaan dan kehidupan yang layak. Untuk menciptakan hal tersebut dapat
27
dilakukan melalui kebijakan fiskal, antara lain melalu pengeluaran pemerintah
yang diarahkan kepada penyedian modal overhead sosial dan ekonomi.
2. Meningkatkan dan mendistribusikan pendaptan nasional
Permasalahan ekonomi menjadi masalah bagi ketimpang pendapatan
kesenjangan antar wilayah. Untuk dapat mengurangi ketimpangan tersebut,
kebijakan fiskal dapat digunakan melalui pengalokasian kegiatan-kegiatan
pengeluaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Meningkatkan laju investasi
Peningkatan laju investasi dapat dilakukan dengan menciptakan iklim
investasi sektor swasta atau pemerintah. Pemerintah dapat mendorong tingkat
investasi melalui pengeluaran anggaran yang bijak untuk kebutuhan masyarakat.
Peningkatan investasi pemerintah maupun swasta dapat diharapkan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
4. Meningkatkan stabilitas ekonomi.
Stabilitas ekonomi sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Adanya guncangan baik bersifat eksternal seperti kondisi perekonomian global
yang tidak stabil, maupun kondisi internal dari tekanan inflasi harus dapat
diantisipasi pemerintah. Kebijakan fiskal salah satu antisipasi dalam
mempertahankan stabilitas ekonomi. Selain itu, kebijakan fiskal sendiri dapat
membuat kesinambungan peningkatan kemandirian fiskal (penurunan defisit
anggaran) dengan cara peningkatan pendapatan negara dan peningkatan
efektivitas dan efesiensi pengeluaran negara.
2.1.5 Teori Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Ketimpangan pembangunan dapat terjadi di mana saja pada suatu
negara atau daerah. Adanya ketimpangan akan memberikan perbedaan antara
wilayah yang tertinggal dan unggul. Sehingga memunculkan dorongan agar
daerah yang tertinggal bisa mengejar daerah yang unggul agar mengurangi
28
ketimpangan yang ada. Ketimpangan pada kenyataanya tidak dapat dihilangkan
dalam pembangunan suatu daerah.
Adanya ketimpangan akan memberikan dorongan kepada daerah atau
wilayah lain agar berusaha meningkatkan kualitas hidupnya agar tidak terlalu
jauh tertinggal dengan daerah sekitarnya. Munculnya ketimpangan dapat
membuat negatif seperti inefesiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan
solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil
bagi wilayah atau daerah (Todaro, 2006:248). Seperti yang dijelaskan dalam
Dumairy (1996:65), bahwa pemerataan sama pentingnya dengan kemakmuran,
pengurangan ketimpangan atau kesenjangan sama pentingnya dengan
pengurangan kemiskinan.
Penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah atau daerah antara
lain yaitu (Manik, 2009) :
1. Adanya perbedaan kandungan sumber daya alam.
Perbedaan sumber daya aam yang dimiliki masing-masing daerah akan
mendrong timbulanya ketimpangan. Kandungan sumber daya alam seerti
minyak, gas alam, pertanian dll mempengaruhi pembangunan masing masing
daerah. Kondisi ini mendorong produksi dan tingkat pendapatan daerah tersebut
menjadi lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain.
2. Perbedaan kondisi geografis.
Perbedaan kondisi geografis ini kaan dapat mempengaruhi ketimpangan antar
adaerah satu dengan yang lainya. Kondisi geografis meliputi wilayah, tingkat
pertumbuhan penduduk, tingkat pendidkan dan kesehatan, kondisi tenaga kerja
dan tingkah laku masyarakat. Akibat adanya perbedaan ini akan berpengaruh
kepada produktivitas perekonomian daerah yang bersangkutan.
29
3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa.
Mobilitas distribusi barang dan jasa dalam perdangan antar daerah akan
mempengaruhi kondisi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Tersendatnya
proses kegiatan perdanganan akibat kenyamanan infratruktur yang kurang baik.
Akobatnya penyebaran proses pembangunan akan terhambat dan ketmpangan
pembangunan antar wilayah akan cendrung meningkat.
4. Perbedaan Konsentrasi Ekonomi Daerah.
Perbedaan kegiatan konsentrasi ekonomi daerah yang cukup tinggi akan
cendrung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar daerah
karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daeah dengan
konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Dengan demikian pula
sebaliknya terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih
rendah.
5. Alokasi Dana Pembangunan Antar Daerah.
Investasi merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan pertumbuhan
ekonomi suatu daerah. Oleh karena itu, daerah yang dapat menarik banyak
investasi pemerintah maupun pihak swasta akan cendrung memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga dapat mengurangi ketimpangan
pembangunan daerahnya.
2.1.5.1 Pengukuran Ketimpangan Antar Wilayah
2.1.5.1.1 Indeks Wiliamson
Indeks williamson merupakan salah satu dari penilaian mengenai tingkat
ketimpangan wilayah atau kesenjangan. Tingkat ketimpangan wilayah dapat
dihitung dengan indeks williamson dengan ukuran penyimpangan pendapatan
perkapita penduduk tiap wilayah dan pendapatan perkapita nasional. Hasil
pengukuran Indeks Williamson ditunjukan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 <
IW < 1. Jika Indeks Williamson semakin mendekati angka 0 maka akan semakin
30
kecil ketimpangan pembangunan ekonomi dan jika Indeks Williamson semakin
mendekati angka 1 maka semakin melebar ketimpangan pembangunan ekonomi
(Safrizal, 2008).
Untuk mengetahui tingkat ketimpangan antar wilayah menggunakan
Indeks Williamson bisa dihitung mnggunakan fungsi sebagai berikut :
(2.10)
Dimana:
IW =Indeks Willamson
Yi = PDRB per kapita daerah i
Y = PDRB per kapita rata-rata seluruh daerah
fi = Jumlah penduduk daerah i
n = Jumlah penduduk seluruh daerah
Nilai Indeks Williamson terbagi dalam bebrapa kategori sebagai berikut :
1. Indeks > 1 , ketimpangan sangat tinggi
2. Indeks 0,7 - 1 , ketimpangan tinggi
3. Indeks 0,4 - 0,5 , ketimpangan menengah
4. Indeks < 0,3 , ketimpangan rendah
2.1.6 Struktur Ekonomi ( PDRB Sektor Pertanian, Sektor Industri, dan
Sektor Jasa )
Pada umumnya pembangunan di daerah difokuskan pada pembangunan
ekonomi melalui usaha pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang
berkaitan denga peningkatan barang dan jasa, antara lain dapat diukur dengan
besaran PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Faktor tersebut adalah yang
menentukan pertumbuhan ekonomi adanya permintaan terhadap barang dan
jasa di daerah, sehingga sumber daya lokal akan dapat menghasilkan kekayaan
daerah yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan di daerah tersebut
(Boediono, 1999:1).
31
Dalam teorinya W. Athur Lewis menjelaskan dua sektor lewis di negara
yang sedang berkembang terjadinya transformasi struktur perekonomian dari
pola perekonomian pertanian tradisional menjadi ke perekonomian modern, lebih
kearah kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih
bervariasi serta sektor-sektor jasa yang kuat. Proses perubahan perekonomian
atau struktur ekonomi di tandai dengan merosotnya pangsa sektor primer atau
pertanian, meningkatnya sektor sekunder atau industri, dan pangsa sektor tersier
atau jasa kurang lebih konstan, namun kontribusinya akan meningkat sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi.
2.1.6.1 Hubungan Struktur Ekonomi (PDRB Sektor Pertanian, Sektor
Industri, dan Sektor Jasa) terhadap Ketimpangan Pembangunan
Adanya kesenjangan pembangunan terjadi apabila terjadi konsentrasi
kegiatan ekonomiyang tinggi di daerah tertentu. Karena daerah yang konsentrasi
ekonominya rendah maka tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonominya
cendrung rendah. Salah satu faktor yang dapat membuat suatu daerah
mempunyai tingkat konsentrasi yang tinggi adalah adanya sektor industri
manufaktur. Dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya, industri memang
merupakan sektor ekonomi yang potensial dan sangat produktif, dilihat dari
sumbangannya terhadap pembentukan PDB atau PDRB.
Suatu pembangunan ekonomi mengacu kepada keadaan perubahan
dalam struktur ekonomi dan disertai perubahan output atau PDRB. Proses
pergeseran struktur ekonomi di negara-negara berkembang dimaksudkan untuk
dapat mengurangi ketimpangan pembangunan ekonomi, sebaba negara yang
hanya mengandalkan sektor pertanian saja umumnya terjadi ketimpangan
antarwilayah. Semula yang didominasi oleh satu sektor yaitu pertanian kemudian
bergeser secara dinamis pada sektor tertentu seperti industri dan jasa, dimana ini
32
memberikan transformasi yang dapat memberikan penurunan ketimpangan
antarwilayah atau daerah.
2.1.7. TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja)
TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) adalah indikator penting
mengenai masalah ketenagakerjaan. Indikator ini adalah besarnya penduduk
usia yang bekerja aktif secara ekonomi di suatu wilayah atau negara. TPAK
menunjukan besaran relatif dari pasokan tenaga kerja (labour supply) yang
tersedia untuk memproduksi barang-barang ataupun jasa-jasa dalam suatu
perekonomian. Faktor yang dapat mempengaruhi adanya TPAK dalam fluktuasi
tingkat supplay-demand tenaga kerja antara lain : kondisi perekonomian
seseorang, akses terhadap informasi/ peluang kerja, jenis kelamin, lokasi (desa-
kota), usia, dan tingkat pendidikan itu sendiri sangat berpengaruh. Cara
menghitung tingkap pasrtisipasi angkatan kerja (TPAK) sebagai berikut :
(2.11)
Angkatan kerja yang bekerja adalah seluruh jumlah penduduk yang
tergolong dalam usia 15 tahun keatas sampai dengan 64 tahun yang telah
mendapatkan pekerjaan.
2.1.7.1 Hubungan TPAK Dengan Ketimpangan Pembangunan Antar Wiayah
Salah satu penyebab dari adanya ketimpangan wilayah adalah
perbedaan kondisi geografis. Menurut Syafrizal (2008), kondisi geografis suatu
wilayah meliputi perbedaan pada tingkat pertumbuhan dan struktur
kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan serta kesehatan, ketenagakerjaan
dan etos kerja yang dimiliki oleh masyarakat daerah tersebut. Perbedaan faktor
tersebut dapat memepngaruhi dari adanya produktivitas perekonomian di suatu
wilayah atau daerah.
33
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia termasuk didalamnya adalah
mobilitas tenaga kerja seperti mobilitas komuter, mobilitas sirkuler, dan mobilitas
pekerjaan (Statistik Mobilitas Penduduk dan Tenaga Kerja, 2013). Mobilitas atau
suatu pergerakan seseorang untuk melakukan kegiatan yang mana dalam hal ini
terjadinya migrasi. Sehingga terjadinya ketimpangan antara daerah yang atu
dengan daerah yang lainya akibatdari adanya mobiitas tersebut.
Tingkat partisipasi angakatan kerja sangat mempengaruhi produktivitas
perekonomian. Dalam hal ini daerah yang memiliki supplay terhadap tenaga
kerja yang produktif akan memiliki peningkatan dalam memproduksi barang dan
jasa. Sehingga bila suatu daerah memiliki perbedaan yang cukup tinggi antara
jumlah tenaga kerja yang aktif bekerja dengan tenaga kerja yang tidak aktif
bekerja maka akan mengalamai ketimpangan pembangunan. Dalam hal ini
keadaan penduduk suatu daerah sangat mempengaruhi pada pengembangan
sumber daya manusia itu sendiri sebagai bagian dari kegiatan ekonomi.
2.1.8. Kredit Investasi
Teori ekonomi mengartikan atau mendefinisikan investasi sebagai
”pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan -
peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah
barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk
memproduksikan barang dan jasa di masa depan”. Menurut (Sadono, 2006),
investasi adalah pengeluaran atau penanaman modal untuk membeli barang-
barang dan perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan produksi
barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.
Besar kecilnya investasi dalam kegiatan perekonomian ditentukan oleh
tingkat suku bunga, pendapatan, kemajuan teknologi, ramalan kondisi ekonomi
ke depan, dan faktor-faktor lainya. Seperti teori Rostow yang menjelaskan bahwa
pembangunan akan lebih mudah tercapai dengan meingkatkan jumlah tabungan.
34
Apabila tabungan naik maka investasi juga akan naik serta pertumbuhan
ekonomi akan dapat tercapai dalam pendapatan nasional. Serta teori endogen
yang menjelaskan bahwa faktor teknologi dapat meningkatkan investasi dalam
sumber daya manusia dan industri-industri padat teknologi.
Menurut (Mankiw, 2007), investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli
untuk penggunaan di masa depan. Investasi merupakan jumlah dari pembelian
peralatan modal, persediaan, dan bangunan atau struktur. Investasi dibagi
menjadi menjadi tiga macam 1) Business Fixed Investment mencakup peralatan
dan sarana yang digunakan dalam kegiatan produksi; 2) Residential Investment
merupakan tempat tinggal atau rumah baik dipakai sendiri atau disewakan
kembali; 3) Inventory investment adalah barang atau bahan baku persedian
setengah jadi atau jadi.
Kredit Investasi yang digunakan pada penelitian ini adalah kredit jangka
panjang / menengah yang digunakan untuk perluasan usaha atau membangun
proyek / pabrik baru atau keperluan rehabilitasi, moderenisasi, dan perluasan.
Contoh kredit investasi misalnya untuk membangun pabrik, pembelian mesin-
mesin, bangunan dan tanah. Masa pemakaiannya untuk suatu periode yang
relatif lebih lama dan dibutuhkan modal yang relatif besar. Hal tersebut sama
dengan investasi pada umumnya, namun dengan variabel data kredit investasi
ini merupakan simbol peran dari swasta dalam kontribusinya dalam investasi.
2.1.8.1. Hubungan Kredit Investasi dengan Ketimpangan Pembangunan
Pembentukan modal atau investasi adalah faktor yang penting dalam
menentukan pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya investasi
disuatu daerah akan membuat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita
di daerah tersebut rendah dan kegiatan ekonomi menjadi kurang produktif.
Dengan adanya pemusatan modal atau investasi di suatu daerah atau wilayah,
maka ketimpangan distribusi investasi menjadi tidak seimbang, akibatnya terjadi
35
ketimpangan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi (Amstrong dan Taylor,
2000).
Seperti teori Harrod-Domar yang menjelaskan bahwa untuk
meningkatkan laju perekonomian, maka diperlukan investasi-investasi baru
sebagai stok tambahan modal. Maka ada hubungan positif antara tingkat
investasi dengan laju pertumbuhan ekonomi. Adanya permintaan yang
meningkat di wilayah atau daerah yang maju akan dapat merangsang investasi
yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan menciptakan putaran
investasi.
2.1.9 Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana alokasi umum merupakan dana yang berasal dari pemerintah pusat
yang dialokasikan dengan tujuan meminimalkan ketimpangan fiskal kemampuan
keuangan daerah dengan tujuan membiayai pembelanjaan. Dana Alokasi Umum
(DAU) dimaksudkan untuk dapat memperbaiki pemerataan perimbangan
keuangan yang ditimbulkan dari bagi hasil sumber daya alam yang ada pada
suatu daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) sendiri ditetapkan sekurang-kurangnya
25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN (Mentayani dan
Rusmanto, 2013). Perhitungan perolehan DAU pada suatu daerah ditentukan
tas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih
antara kebutuhan daerah (fiscal need) dengan potensi daerah (fiscal capacity).
Dana yang diserahkan kepada daerah dalam bentuk block grand dimana
pemanfaatan dana tersebut sepenuhnya diberikan kepada pemerintah daerah.
Ketentuan dana alokasi umum yang diberikan kepada daerah adalah sebagai
berikut :
1. Dana alokasi (DAU) yang ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari
penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.
36
2. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk setiap daerah provinsi 10% dan
kabupaten/kota ditetapkan sebesar 90% dari dana alokasi umum sesuai
dengan yang ditetapkan diatas.
3. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk setiap daerah kabupaten/kota tertentu
ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana alokasi umum daerah
kabupaten/kota yang ditetapkan APBN dengan porsi daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
4. Porsi yang diberikan daerah kabupaten/kota sebagaimana yang tertulias
diatas merupakan proporsi bobot daerah kabupaten/kota diseluruh
Indonesia.
Pengalokasian DAU per daerah dilakukan berdasarkan aturan
sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, yaitu Alokasi Dasar
ditambah Celah Fiska. Celah Fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal
dan kapasitas fiskal. Seperti yang ditetapkan dalam APBN dana alokasi umum
suatu daerah provinsi ditetapkan berdasarkan jumlah Dana Alokasi Umum suatu
daerah provinsi dikalikan dengan rasio bobot daerah provinsi yang bersangkutan
terhadap jumlah bobot seluruh provinsi (Adisasmita, 2011;177). Rumus Dana
Alokasi Umum untuk provinsi tertentu yaitu :
(2.12)
Perhitungan DAU untuk daerah otonom baru dilakukan secara
proposional antar daerah induk dan daerah otonom baru berdasarkan data (1)
Jumlah Penduduk; (2) Luas Wilayah; dan (3) Belanja Pegawai.
2.1.9.1 Hubungan Dana Alokasi Umum (DAU) Dengan Ketimpagan
Pembangunan
Sebagaimana salah satu dari tujuan DAU adalah untuk memperkecil
kesenjangan antar daerah, maka diharapkan dengan adanya dana bantuan
37
tersebut daerah yang terbelakang bisa mengejar ketertinggalan terhadap daerah
yang maju. Pemerintah pusat memberikan dana alokasi umum kepada
pemerintah daerah dengan bertujuan untuk memperkecil kesenjangan horizontal
antar pemerintah daerah agar pelayanan publik dapat tercapai dengan standar
pelayanan minimum. Pengalokasian DAU ini ada hubungannya dengan
persentase kemiskinan suatu daerah. Apabila suatu daerah memiliki jumlah
penduduk miskin yang besar, maka daerah tersebut akan mendapatkan DAU
yang besar pula. Transfer dari pemerintah pusat diharapkan dapat membantu
untuk menggali potensi lokal. Transfer dana alokasi umum yang diberikan
kepada pemerintah daerah menjadi insentif daerah untuk meningkatkan
kemampuan fiskalnya, sehingga dapat membantu proses pembangunan dan
memberikan hasil terhadap kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian
diharapkan proses pembangunan daerah secara keseluruhan akan dapat
ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antar wilayah
akan dapat pula dikurangi (Sjafrizal,2008).
2.1.10. Belanja Modal
Belanja modal adalah pengeluaran yang digunakan dalam rangka
memperoleh atau menambah asset tetap dan aset lainnya yang dapat
memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan
minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah
(Halim, 2007:101). Dana yang diperoleh pemerintah daerah secara garis besar
digunkan untuk membiayai belanja pemerintah. Namun setelah adanya sistem
anggaran berdasarkan Permendagri No. 13 tahun 2006, belanja daerah dibagai
menjadi 2 bagian yaitu belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja
langsung adalah bagian belanja yang dianggarkan tekait dengan pelaksanaan
program.
38
Belanja langsung terdiri dari kegiatan pembuatan jalan, kegiatan
pengadaan kendaraan dinas operasional, kegiatan pendidikan dan pelatihan
serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintah
daerah yang telah dianggarkan. Sedangkan belanja tidak langsung adalah
bagian dari belanja yang dianggarkan tidak terkait langsung dengan pelaksanaan
program. Belanja tak langsung terdiri dari : belanja pegawai berupa gaji dan
tunjangan yang telah ditetapkan oleh undang-undang, belanja bunga, belanja
hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada provinsi kabupaten/ kota
dan desa, belanja bantuan keuangan, serta belaja tak terduga lainnya.
Jenis belanja yang digunakan dalam penelitian ini adalah belanja modal
yang merupakan bagian dari belanja langsung dan didefinisikan sebagai
pengeluaran yang digunakan untuk pembelian, pengadaan barang,
pembanguanan asset tetap berwujud yang nilai manfaatnya lebih dari setahun
dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan daerah.
Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5 kategori utama (Syaiful, 2006) :
1. Belanja modal tanah
Belanja modal tanah adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk
pengadaan/ pembelian/ pembebasan penyelesaian balik nama dan sewa
tanah, sehubungan dengan perolehan hak atas tanah sampai tanah dimaksud
siap pakai.
2. Belanja Modal peralatan
Peralatan dan mesin adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk
pengadaan/ penggantian/ penambahan, dan peningkatan dalam inventari
kantor yang memberikan manfaat lebih dari dua belas bulan.
3. Belanja Modal Gedung
Belanja Modal Gedung dan bangunan adalah pengeluaran atau biaya yang
digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian, dan termasuk
39
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan gedung dan
bangunan yang menambah kapasitas.
4. Belanja Modal Jalan
Belanja Modal untuk irigasi dan jajaringan adalah pengeluaran atau biaya
yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan/
perawatan, semua itu termasuk dalam pengeluaran perencanaan.
5. Belanja Modal Fisik
Belanja modal fisik adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk
pengadaan/ penambahan/ penggantian/ pembuatan serta perawatan fisik
lainnya yang tidak dikategorikan dalam kriteria belanja modal tanah,
peralatan, mesin dan bangunan, jalan irigasi dan jaringan. Belanja fisik ini
masuk kedalam modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian,
purbakala, museum, hewan, buku, jurnal ilmiah.
2.1.10.1 Hubungan Belanja Modal dengan Ketimpangan Pembangunan
Peran Pemerintah yang tercermin melalui pengeluaran pemerintah dari
belanja modal merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi guna mengurangi ketimpangan pembangunan. Menurut (Lin dan Liu,
2000: Mardiasmo, 2002; Wong, 2004) dalam Darwanto dan Yustikasari (2007)
Semakin besar pengeluaran yang dikeluarkan akan dapat berdampak baik pada
pertumbuhan ekonomi pada daerah tersebut. Pengeluaran pemerintah dapat
menjadi dorongan perekonomian melalui program atau kegiatan produktivitas
sumber daya yang ada, untuk kepentingan pelayanan publik, sehingga akan
dapat mengurangi ketimpangan pembangunan yang terjadi dalam suatu wilayah
atau daerah. Halim & Syukry (2004) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan
sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah
daerah, bukti empiris dalam jangka panjang transfer dapat menyebabkan
penurunan dalam pengeluaran belanja modal.
40
2.2. Penelitian Terdahulu
Dalam sebuah penelitian dibutuhkan referensi-referensi dari penelitian
lain yang terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, guna mendukung
karya ilmiah atau hasil dari penelitian penulis. Penelitian terdahulu bertujuan
untuk membandingkan dan memperkuat hasil analisis yang dilakukan yang
merujuk dari beberapa studi, baik yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu, berikut merupakan penelitian terdahulu yang dijadikan
referensi oleh penulis dalam penelitian ini, antara lain yakni :
a. Budiantoro Hatono, 2008, ”Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di
Provinsi Jawa Tengah”. Tesis. Metode Analisis regresi berganda. Variabel
terkait : ketimpangan pembangunan antar daerah. Variabel bebeas : investasi
swasta per-kapita (X1), ratio angkatan kerja (X2), alokasi dana (X3),
pembangunan pekapita. Berdasarkan perhitungan di ketahui bahwa investasi
swasta (X1) menunjukan t hitung sebesar 2,362. Variabel ratio (X2) angkatan
kerja sebesar -2,128. Variabel (X3) pembangunan perkapita menunjukan t
hitung sebesar 7,184 dengan angka signifikan lebih kecil dari 0,05 maka dapat
disimpulakan variabel bebas secara parsial dan signifikan berpengaruh
terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Jawa Tengah. Sedangkan
nilai F hitung sebesar 1,899 dengan angka signifikasi sebesar
0,000(0,000<0,05) sehingga ketiga variabel independen yaitu investasi, ratio
angkatan kerja, dan pembangunan perkapita secara langsung berpengaruh
terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Jawa Tengah. Hasilnya
menunjukan bahwa 93,7 persen variabel independen dapat dijelaskan,
sisanya 6,3 persen dijelaskan faktor-faktor lain diluar model.
b. Etik Umiyati, “Analisa Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Pembangunan Antara Wilayah di Pulau Sumatera”. Jurnal Paradigma
Ekonomika. Volume 1, No. 7 April 2013. Analiasi yang digunakan adalah dua
41
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk
menganalisis pertumbuhan PDRB ekonomi, sedangkan kuantitatif
menggunkan Indeks Williamson. Hasil ketimpangan di P. Sumatera terjadi
akibat kesenjangan struktural akibat aktivitas perekonomian yang bertumpu
pada sektor-sektor tertentu (sektor primer : pertanian tradisional). Namun jika
menggunakan Indeks Williamson ketimpangang pembangunan di Pulau
Sumatera cendrung kecil dan relative merata, kecuali provinsi riau sebesar
0,322 dan KEPRI sebesar 0,325.
c. Herwin Moppangga, “Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan
Ekonomi di Provinsi Gorontalo”. Dalam Jurnal Trikonomika Volume 10, No1, 1
Juni 2011, Hal. 40-51. Metode Analisis Shift Share dan matriks Tipologi
Klassen dan model regresi berganda unbalanced panel. Variabel terkait :
Indeks Williamson dan Indeks Gini Ratio. Variabel bebas : PDRB perkapita,
IPM dan Rasio Belanja Infrastruktur. Hasil Shift Share menunjukan sektor
yang potensial dan pertumbuhan ekonomi masing masing kabupaten dan kota
rata-rata terjadi di sektor non pertanian. Artinya terjadi trasformasi struktur
ekonomi. Berdasarkan Indeks williamson kondisi ketimpangan Gorontalo
diawal pembangunan meningkat lalu berangsur menurun. Secara simultan,
perbedaan pada PDRB per kapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio
Belanja Infrastruktur sangat sigifikan sebagai sumber terjadi ketimpangan di
Provinsi Grorontalo. Namun dengan menggunakan model Indeks Gini hanya
variabel PDRB perkapita yang tidak signifikan terhadap ketimpangan
pembangunan. Sedangkan IPM dan RBI sangat signifikan sebagai sumber
ketimpangan Provinsi Gorontalo.
d. Ida Ayu Utami Dewi, “Anlisis Ketimpangan Pembangunan Antara
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”. Volume 03. No 02 Tahun 2014. Metode
yang di gunakan Teknik analisa Tipologi Klassen, Indeks Williamson dan
42
Regresi Non Linier. Hasil Penelitian : Struktur pertumbuhan ekonomi terdapat
empat pola daerah yang maju dan tumbuh cepat yaitu Kota Badung; daerah
berkembang cepat tetapi tidak maju yaitu Denpasar, Kabupaten Gianyar dan
Kabupaten Buleleng; daerah maju tapi tertekan yaitu Kabupaten Klungkung
dan daeah tertinggal yaitu Kabupaten Tabanan, Jembaran Bangil dan
Karangasem. Indeks Williamson di Provinsi Bali berada pada nilai 0,8428
termasuk kategori ketimpangan yang tinggi. Hipotesis Kuznets tentang hub.
Pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan tidak berlaku di
provinsi Bali.
e. Khusaini, “Kajian Desentralisasi Fiskal, Pengaruhnya terhadap Efesiensi
Ekonomi Sektor Publik, Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan
Masyarakat” di Kabupaten / Kota Jawa Timur, dalam jurnal tersebut berkaitan
dengan masalah pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi di daerah Jawa Timur. Metode yang digunakan SME (Structural
Education Modeling) dan mengunakan data kota/kab di Jawa Timur pada
periode 1999-2002. Dari hasil penelitianya mendapatkan bahwa desentralisasi
fikal daerah Jawa Timur yang berarti sudut pandang penerimaan
desentralisasi belum terimplikasikan dengan baik di Jawa Timur. Sedangkan
dari sisi pengeluaran daerah, beliau mendapatkan bahwa adanya pengaruh
yang positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang
berarti sejak diimplementasikannya desentralisasi fiskal, program-program
pembangunan yang sebelumnya ditangani pemerintah pusat sekarang banyak
yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
f. Rosmeli, “Dampak Belanja Daerah Terhadap Ketimpangan Antar Daerah Di
Provinsi Jambi”. Jurnal Paradigma Ekonomika, Vol. 9 No 01 April 2014.
Analisis yang digunakan dalam penulisan jurnal adalah metode Library
Research (kepustakaan) datan analisis berupa model persamaan regresi.
43
Variabel terkait : ketimpangan pembangunan (Indeks Williamson). Variabel
bebas : Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung. Dari hasil nilai indeks
wiliamson tahun 2001-2013 sebesar 0,3964 dikategorikan kedalam
ketimpangan sedang. Dari hasil regresi besarnya belanja langsung dan
belanja tidak langsung sebesar 26,7%, sedangkan sisanya 73,3% dijelaskan
oleh variabel lain diluar penelitian ini.
2.3. Kerangka Pikir
Berdasarkan Latar Belakang yang telah dijelaskan di awal, maka dapat
disusun kerangka pemikiran sebagai berikut :
Faktor yang menjadi hubungan terkait Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK), Kredit Investasi, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Belanja Modal
terhadap ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia (studi kasus 33
provinsi) periode tahun 2005-2014. Skema hubungan antara ketimpangan
pembangunan dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya dapat
digambarkan sebagai berikut :
44
Gambar 2.2 : Skema Hubungan antara Ketimpangan Pembangunan dan
Variabel-Variabel Yang Mempengaruhinya
Sumber : Berbagai sumber diolah
2.4 Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam kajian ini adalah bertujuan untuk
menjelaskan faktor yang mempengaruhi Ketimpangan Pembangunan antar
Provinsi di Indonesia, yang dijelaskan sebagai berikut :
H1 : Diduga variabel Struktur Ekonomi PDRB Sektor Pertanian berpengaruh
signifikan tehadap ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia.
H2 : Diduga variabel Struktur Ekonomi PDRB sektor Industri berpengaruh
signifikan tehadap ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia.
H3 : Diduga variabel Struktur Ekonomi PDRB Sektor Jasa berpengaruh signifikan
tehadap ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia.
KETIMPANGAN PEMBANGUNAN
(Indeks Williamson)
Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja
(TPAK)
Kredit
Investasi
Dana
Alokasi
Umum
Belanja
Modal
Teori
NeoKlasik
Teori
Keyness
Struktur
Ekonomi (PDRB
Pertania,
Industri, Jasa)
Teori
Struktural
Ekonomi
Ekonomi
Ekonokm
45
H4 : Diduga variabel Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) berpengaruh
signifikan tehadap ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia.
H5 : Diduga Variabel Kredit Investasi berpengaruh signifikan terhadap
ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia.
H6 : Diduga variabel Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh signifikan tehadap
ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia.
H7 : Diduga variabel Belanja Modal berpengaruh signifikan tehadap ketimpangan
pembangunan antar provinsi di Indonesia.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan dan prosedur
yang digunakan oleh peneliti. Metodelogi merupakan analisis teoritis mengenai
suatu cara atau metode. Penelitian merupakan suatu penyelidikan secara
sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan usaha
yang sistematis dan terorganisir untuk meneliti suatu masalah tertentu yang
memerlukan jawaban.
Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pengaruh Analisis Pertumbuhan Variabel PDRB Pertanian,
PDRB Industri, PDRB Jasa, TPAK (Tingkat Partisispasi Angkatan Kerja), Kredit
Investasi, DAU (Dana Alokasi Umum), dan Belanja Modal Terhadap
Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia. Selanjutnya bab ini
akan menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian.
3.1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kuantitatif, dimana
metode ini merupakan pendekatan-pendekatan terhadap kajian empiris untuk
mengumpulkan, menganalisa dan menampilakan data dalam bentuk numerik dari
pada naratif, dimana bersifat induktif, objektif dan ilmiah data yang diperoleh
berupa angka-angka (score, nilai) atau dengan analisis statistik (Donmoyer
,2008:713).
Penelitian kuantitaif merupakan sebuah penelitian yang berlangsung
secara ilmiah dan sistematis dimana pengamatan yang dilakukan melingkupi
segala yang berhubungan dengan objek penelitian, fenomena yang terjadi serta
47
korelasi. Tujuan penelitian kuantitatif adalah untuk dapat memperoleh hasil
penjelasan dari teori-teori yang ada yang digunakan dalam penelitian.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Lingkup dari penelitian ini adalah provinsi-provinsi di Indonesia, adapun
alasan peneliti memilih lokasi Indonesia sebagai obyek penelitian ini dikarenakan
negara Indonesia memiliki wilayah yang luas terdiri dari kepulauan atau pulau-
pulau sehingga memiliki keanekaragamaan pada hasil setiap daerahnya. Hal
tersebut dapat dilihat dari kekayaan alam Negara Indonesia yang melimpah.
Selain itu, wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau inilah yang akan
menjadi daerah yang bersaing dengan daerah yang lainya berlomba-lomba
dalam mengembangkan potensi daerahnya. Sehingga dapat memenuhi
kebutuhan dan menjadikan daerahnya wilayah yang berkembang dan maju.
Tentunya dengan adanya perkembangan pembangunan tersebut terdapat
ketimpangan antara daerah yang berkembang dan daerah yang kurang
berkembang. Dalam pengembangan infrastruktur dan sektor pendukung lainnya
dibutuhkan dana atau anggaran yang sebagian didapatkan dari pendapatan asli
daerah dan sebagian dari dana bantuan pemerintah pusat. Yang kemudian
dikeluarkan oleh pemerintah melalui APBN atau APBD.
DAU (Dana Alokasi Umum) yang di transfer kepada tiap provinsi-provinsi
di Indonesia inilah yang akan dapat membantu keuangan daerah tersebut.
Dengan mengarahkan DAU (Dana Alokasi Umum) untuk pembangunan
infrastruktur, akan meningkatkan investasi yang juga berperan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi di daerah. Dengan berkembangnya investasi, maka
industri-industri juga akan ikut berkembang, dengan demikian peluang untuk
penyerapan tenaga kerja juga akan terbuka lebar sehingga akan banyak tenaga
kerja yang akan terserap. Dengan banyaknya tenaga kerja maka tingkat
pengangguran pun bisa ditekan dan dengan demikian pertumbuhan ekonomi
48
juga dapat meningkat. Penulisan penelitian ini dibatasi dari tahun 2005 hingga
tahun 2014.
3.3. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan suatu informasi mengenai cara untuk
mengukur variabel dan memberikan informasi bagi penulis lain yang ingin
menggunakan variabel yang sama. Selain itu, definisi operasional juga
digunakan untuk lebih memudahkan dan menghindari salah pengertian serta
memusatkan penelitian pada pokok permasalahan dalam penelitian ini. Dalam
hal ini peneliti memberi batasan variabel sebagai berikut :
1. PDRB Sektor Pertanian, Industri dan Jasa
Ketiga variabel tersebut dipilih berdasarkan dari teori pertumbuhan struktural,
yang menjelaskan teori struktural membahas pada mekanisme transformasi
ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang, yang dahulu bersifat
subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju sektor industri dan
jasa. Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah triliun rupiah.
2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
menunjukan adanya pasokan angkatan kerja atau tenaga kerja yang tersedia
aktif dalam kegiatan ekonomi sehari-hari di suatu wilayah atau daerah tersebut.
Angkatan kerja yang bekerja berusia 15-64 tahun yang aktif dalam proses
perekonomian. Satuan yang digunakan adalah juta jiwa.
3. Kredit Investasi
Kredit Investasi pada penelitian adalah kredit yang diberikan bersumber dari
BI. Kredit Investasi disini didapatkan dari investasi pihak swasta, dengan adanya
investasi akan meningkatkan perumbuhan ekonomi secara tidak langsung.
Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah miliyar rupiah.
49
4. DAU (Dana Alokasi Umum)
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan daerah tersebut untuk membiayai kebutuhan
desentralisasi. Satuan yang digunakan pada penelitian ini adalah miliyar rupiah.
5. Belanja Modal
Belanja modal merupakan komponen belanja langsung dalam anggaran
pemerintah yang menghasilkan output berupa aset tetap. Dalam penelitian ini
variabel belanja modal yang digunakan adalah realisasi dari total belanja modal
daerah per provinsi di Indonesia. Satuan yang digunakan pada oenelitian ini
adalah triliun rupiah.
6. Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Ketimpangan pembangunan antar wilayah disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di setiap wilayah kabupaten/kota di
provinsi-provinsi di Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan perhitungan
indeks williamson dalam menentukan besar ketimpangan pembangunan antar
wilayah pada Provinsi-provinsi di Indonesia.
3.4. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya adalah data
sekunder. Adapun dta yang digunakan adalah :
1. PDRB Sektor Pertanian, Sektor Industri, Sektor Jasa per 33 provinsi di
Indonesia tahun 2005-2014.
2. Data TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) per 33 provinsi di Indonesia
tahun 2005-2014.
3. Data TPT (Tingkat pengangguran Terbuka) per 33 provinsi di Indonesia tahun
2013-2014.
4. Data Kredit Investasi per 33 provinsi di Indonesia tahun 2005-2014.
50
5. Data Realisasi PMA per 33 provinsi di Indonesia tahun 2014.
6. Data DAU (Dana Alokasi Umum) per 33 provinsi di Indonesia tahun 2005-
2014.
7. Data Belanja Modal per 33 provinsi di Indonesia tahun 2005-2014
3.5 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
data sekunder, yaitu merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung yang
dapat memberikan penjelasan dan keterangan yang mendukung. Hal ini
dilakukan dengan cara melalui studi kepustakaan, data-data yang diperoleh dari
BPS Nasional, BPS setiap provinsi, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia,
BAPPENAS, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), media massa,
internet, jurnal dan literatur-literatur lainnya yang terkait dengan penelitian yang
dilakukan.
3.6. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dan analisis inferensia (penarikan kesimpulan), yaitu analisis regresi
berganda dengan data panel. Metode data panel digunakan untuk menganalisis
keterkaitan antara Struktur Ekonomi, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK),
Kredit Investasi, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Belanja Modal terhadap
ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia. Metode data panel
merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang
tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series saja atau data
cross section saja Gujarati (2003) atau kombinasi antara keduanya dari deret
waktu (time series) dan deret lintang (cross section). Sedangkan untuk
pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Eviews 6 dan
Microsoft Office Excel 1997-2003.
51
3.6.1. Analisis Data Panel
Data panel merupakan gabungan antara data cross section dan data time
series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu
tertentu terhadap banyak individu, sedangkan data time series merupakan data
yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Data umumnya
diperoleh melalui survei yang berulang atau dengan mengikuti perkembangan
sample selama beberapa kurun waktu. Data panel juga biasa juga disebut
dengan time series cross section data, longitudinal data, micropanel data,
ataupun cohort analysis. Menurut Baltagi (2001), kelebihan yang diperoleh dari
penggunaan data panel adalah :
a. Mampu mengontrol heterogenitas individu.
b. Memberikan informasi yang lebih luas, mengurangi kolinearitas di antara
variabel, memperbesar derajat bebas, dan lebih efisien.
c. Data panel lebih baik untuk studi dynamic of adjustment.
d. Dapat lebih baik untuk mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat
dideteksi dalam model data cross section maupun time series.
e. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model perilaku (behavioral
models) yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section atau time
series.
Dalam analisis model data panel dikenal dengan tiga macam pendekatan
metode yang terdiri dari metode kuadrat terkecil (Common Effect Method),
metode efek tetap (fixed effect), dan metode efek acak (random effect).
Pemilihan model pada regresi data panel pertama dimulai dengan
menetapkan model awal terlebih dahulu. Penetapan model awal berdasarkan
pada bagaimana individu (cross-section) diambil. Jika individu mengambil
dengan data yang dipilih atau ditentukan oleh peneliti sendiri, maka model
awalnya adalah model efek tetap (fixed effect model). Jika individu mengambil
52
secara acak dari populasi, maka model awalnya adalah model efek acak
(random effect model) (Baltagi, 2008 & Park, 2011).
Jika model awal yang terpilih adalah model efek tetap, dilakukan uji Chow
untuk memilih antara model koefisien tetap (pooled regression) dan model efek
tetap. Jika model yang terpilih adalah model efek tetap, maka dilakukan
pengujian untuk memilih diantara model efek tetap dengan model efek acak
dengan uji Hausman. Jika model awal yang terpilih adalah model efek acak,
maka dilakukan uji Breusch Pagan untuk memilih antara model efek tetap
dengan model efek acak (random effect). Jika yang terpelih adalah model efek
acak (random effect) maka selanjutnya dilakukan uji untuk memilih antara atau
model efek acak dengan model efek tetap, yaitu uji Hausman.
Jika model yang terpilih adalah model efek tetap dilakukan pengujian
struktur varians koviarians. Jika sudah didapat model berdasarkan uji-uji diatas,
maka dilakukan pemerikasaan asumsi-asumsi klasik yang ada pada regresi
dengan metode estimasi Ordinary Least Square. Kemudian baru dilakukan uji
keberartian model (goodness of fit test) seperti uji simultan (uji F) dan parsial (uji
t).
Menurut Gujarati (2012) mengatakan bahwa pakar ekonometrika telah
membuat asumsi dalam pemilihan model yang tepat diantara Fixed Effect dan
Random Effect, dengan kriteria berikut:
1. Bila T (banyaknya unit time series) besar sedangkan N (jumlah unit cross
section) kecil maka hasil fixed effect dan random effect tidak jauh berbeda.
Sehingga dapat dipilih dengan menggunakan pendekatan yang lebih mudah
untuk dihitung yaitu fixed effect model.
2. Bila N (cross section) besar dan T (time series) kecil, maka hasil estimasi
kedua pendekatan akan berbeda jauh. Apabila unit cross section yang dipilih
dalam penelitian diambil secara acak maka hasil random effect yang harus
53
digunakan. Sebaliknya apabila unit cross section yang dipilih dalam penelitian
tidak diambil secara acak maka yang harus digunakan adalah fixed effect.
3. Apabila komponen error individual ɛit dan variabel bebas x berkorelasi maka
parameter yang diperoleh dengan random effect akan bias sementara parameter
yang diperoleh dengan fixed effect tidak bias.
4. Apabila N (cross section) besar dan T (time series) kecil, dan apabila asumsi
yang mendasari random effect dapat terpenuhi, maka random effect lebih efisien
dibandingkan dengan fixed effect.
Keempat pendekatan tersebut dilakukan dalam analisis data panel akan
dijelaskan pada bagian berikut ini, dimana dalam sub bab berikut akan dijelaskan
mengenai karakteristik dari 3 model regresi data panel :
3.6.1.1. Common Effect Method
Metode kuadrat terkecil biasa yang diterapkan dalam data yang berbentuk
pool merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data
panel. Contoh terdapat persamaan berikut ini :
Yit = α + βXit + ɛit
untuk i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T (3.1)
Dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah
periode waktunya. Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan
kuadrat terkecil biasa, maka proses estimasi dapat dilakukan secara terpisah
untuk setiap unit cross section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan
regresi cross section berikut :
Yi1 = α + βXi1 + ɛi1
untuk i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., N (3.2)
dimana yang akan berimplikasi diperolehnya sebanyak T persamaan yang
sama. Begitu juga sebaliknya, akan dapat diperoleh persamaan deret waktu
sebanyak N persamaan untuk setiap t observasi dengan α dan β konstan
54
sehingga akan dapat diperoleh bentuk regresi yang leih besar dengan
melibatkan NT observasi. Akan tetapi, perbedaan antar individu maupun antar
waktu tidak dapat terlihat.
3.6.1.2. Metode Efek Tetap (Fixed Effect)
Kendala atau masalah yang dimiliki oleh Common Effect Method adalah
asumsi yang menganggap intercept dan koefisien slope yang sama dengan
setiap unit cross section maupun time series. Dalam mengatasi hal itu,
pendekatan lainnya adalah dengan menggunakan variabel-variabel dummy
untuk dapat mengatasi apakah dapat terjadinya perubahan-perubahan dalam
intercept dari setiap unit cross-section maupun time series. Pendekatan ini
disebut dengan Fixed Effect Model atau Least Square Dummy Variabel. Adapun
kemungkinan asumsi intercept dan koefisien slope yang dapat terjadi adalah
sebagai berikut:
a. Intercept untuk setiap unit cross section berbeda-beda, koefisien slope
konstan.
b. Intercept untuk setiap unit cross section maupun time series berbeda-beda.
c. Intercept dan koefisien slope untuk semua individu atau unit cross section
berbeda-beda
Dengan adanya penggunaan variabel dummy dapat menjadi kelemahan
bagi model ini karena dapat menyebabkan rendahnya degree of freedom,
adanya variabel-variabel yang tidak berubah terhadap waktu kemungkinan ini
adalah adanya multikolinearitas, serta asumsi eror yang digunakan, yang pada
akhirnya akan mempengaruhi koefisien dari parameter yang digunakan untuk
diestimasi tersebut.
3.6.1.3. Metode Efek Acak (Random Effect Model)
Pada pendekatan model ini awalnya dibentuk untuk mengatasi
kelemahan pada fixed effect model atau model tetap dengan memasukkan
55
parameter-parameter yang berbeda antar unit cross section maupun time series
ke dalam error term. Pendekatan ini disebut Random Effect Model atau Error
Component Model dan diasumsikan bahwa komponen error antar unit cross
section dan time series tidak berkorelasi satu sama lain. Asumsi utama dari
random effect model ini adalah bahwa komponen error individu tidak berkorelasi
satu dengan yang lainnya, tidak berautokerlasi antar unit cross section dan time
series dan juga mengasumsikan bahwa error secara individual tidak berkorelasi
dengan error kombinasinya.
Pendekatan ini akan dapat mencoba untuk meningkatkan efisiensi proses
permodelan Ordinary Least Square, penganggu-penganggu antar unit cross
section dan time series diperhitungkan sehingga metode yang digunakan adalah
Generalized Least Square (GLS).
3.7. Pemilihan Metode Data Panel
Dalam pengolahan data panel mekanisme uji menentukan metode
pemilihan data panel yang tepat yaitu dengan cara membandingkan metode
pendekatan PLS dengan metode pendekatan FEM terlebih dahulu. Jika hasil
yang diperoleh menunjukkan model pendekatan PLS yang diterima, maka
pendekatan PLS yang akan dianalisis. Jika model FEM yang diterima, maka
dilakukan perbandingan lagi dengan model pendekatan REM. Untuk melakukan
model mana yang akan diapakai, maka dilakukan pengujian diantaranya :
a. Uji Chow
Yaitu uji yang akan digunakan untuk dapat mengetahui parameter
estimasi tidak sama dengan periode penilaian. Model Common Effect Method
(PLS) atau Fixed Effect Model (FEM) yang akan dipilih untuk estimasi data. Uji ini
dapat dilakukan dengan uji restriced F-Test atau uji Chow-Test.
Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut :
56
�0 : Model PLS (Restriced) �1: Model Fixed Effect (Unrestriced)
Dasar penolakan terhadap hipotesa nol tersebut adalah dengan
menggunakan F statistic seperti yang dirumuskan sebagai berikut:
Chow : (RRSS − URSS)/(N − 1) / URSS/(NT − N − K) (3.3)
Dimana :
RRSS = Restriced Residual Sum Square (merupakan Sum Square
Residual) yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode (Common
Effect Method/common intercept)
URSS = Unrestriced Residual Sum Square (merupakan Sum Square Residual
yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect)
N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series
K = Jumlah variabel penjelas
Pengujian ini mengikuti distribusi F statistic yaitu FN-1, N-K jika nilai F-test
atau Chow Statistik (F-statistik) hasil pengujian lebih besar dari F-Tabel, maka
apabila Prob. Cross-section F kurang dari 5% artinya menolak H0, sehingga
model yang paling tepat yang digunakan adalah model Fixed Effect Method
(FEM), dan sebaliknya apabila Prob. Cross-Section F lebih dari 5% artinya
menerima H0, sehingga model yang paling tepat digunakan adalah Pooled Least
Squere (PLS).
b. Uji Hausman
Pengujian ini dilakukan untuk menentukan apakah model Fixed Effect
atau Random Effect yang akan dipilih. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa
sebagai berikut: �0 : Model mengikuti Random Effect
57
�1: Model mengikuti Fixed Effect
Dasar penolakan H0, dengan Prob. Cross-section Random kurang dari
5% artinya menolak H0, sehingga model yang paling tepat dan baik digunakan
adalah Fixed Effect Method (FEM), dan sebaliknya apabila Prob. Cross-section
Rnadom lebih dari 5% artinya adalah menerima H0, sehingga model yang paling
tepat digunakan adalah Random Effect Method (REM).
3.8. Pengujian Statistik (Uji Hipotesis)
1. Uji Pengujian Signifikansi (Uji t)
Uji signifikansi parameter individual (uji t) dilakukan untuk melihat
signifikansi dari adanya pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak terikat
secara individual dan menganggap variabel lain konstan. Hipotesis yang
digunakan:
1. Ho : β1 > α, Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel PDRB Sektor
Pertanian dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
H1 : β1 ≤ α, Terdapat pengaruh sginifikan antara variabel PDRB Sektor
Pertanian dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
2. Ho : β2 > α, Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel PDRB Sektor
Industri dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
H1 : β2 ≤ α, Terdapat pengaruh sginifikan antara variabel PDRB Sektor
Industri dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
3. Ho : β3 > α, Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel PDRB Sektor
Jasa dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
H1 : β3 ≤ α, Terdapat pengaruh sginifikan antara variabel PDRB Sektor Jasa
dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
58
4. Ho : β4 > α, Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel TPAK (Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja) dengan Ketimpangan Pembangunan antar
Provinsi di Indonesia.
H1 : β4 ≤ α, Terdapat pengaruh sginifikan antara variabel TPAK (Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja) dengan Ketimpangan Pembangunan antar
Provinsi di Indonesia.
5. Ho : β5 > α, Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel Kredit
Investasi dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
H2 : β5 ≤ α, Terdapat pengaruh signifikan antara variabel Kredit Investasi
dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
6. Ho : β6 > α, Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel DAU (Dana
Alokasi Umum) dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di
Indonesia.
H6 : β6 ≤ α, Terdapat pengaruh sginifikan antara variabel DAU (Dana Alokasi
Umum) dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
7. Ho : β7 > α, Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabelBelanja Modal
dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia.
H7 : β7 ≤ α, Terdapat pengaruh sginifikan antara variabel Belanja Modal
dengan Ketimpangan Pembangunan antar Provinsi di Indonesia. Nilai t
hitung dapat dicari dengan rumus :
t = β1 - βi*
SE βi (3.4)
Dimana:
β1 = Parameter Yang Diestimasi
βi* = Nilai i pada hipotesis
SE( βi) = Standar error βi
59
Pada tingkat signifikansi 5 persen dengan pengujian yang digunakan
adalah sebagai berikut:
a. Jika t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak, artinya salah satu variabel independen
mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.
b. Jika t-hitung < t-tabel maka H0 diterima, artinya salah satu variabel
independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.
2. Pengujian Signifikansi (Uji F)
Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen
secara keseluruhan atau bersama-sama signifikan secara statistik dalam
mempengaruhi variabel dependen. Apabila nilai F hitung lebih besar dari nilai. F
tabel maka variabel-variabel independen secara keseluruhan berpengaruh
terhadap variabel dependen. Hipotesis yang digunakan :
H0 = β1 = β2 = 0
H1: Minimal ada satu koefisien regresi tidak sama dengan nol Nilai F hitung
dirumuskan sebagai berikut :
X = R2/(K-1) (3.5)
(1-R2)/(N-K)
Dimana :
K = Jumlah parameter yang diestimasi termasuk konstanta
N = Jumlah observasi Pada tingkat signifikasi 5 persen dengan kriteria pengujian
yang
digunakan sebagai berikut :
a. H0 diterima dan H1 ditolak apabila F hitung < F tabel, yang artinya variabel
penjelas secara serentak atau bersama-sama tidak mempengaruhi variabel yang
dijelaskan secara signifikan.
60
b. H0 ditolak dan H1 diterima apabila F hitung > F tabel, yang artinya variabel
penjelas secara serentak dan bersama-sama mempengaruhi variabel yang
dijelaskan secara signifikan.
3. Uji Koefisien Determinasi (Adjusted R2)
Suatu model yang mempunyai kebaikan dan kelemahan jika diterapkan
dalam masalah yang berbeda. Untuk dapat mengukur kebaikan dalam suatu
model (goodnes of fit) digunakan koefisien determinasi (R2). “Koefisien
deteminasi (�2) intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam
menerangkan variasi variabel terikat” (Mudrajad, 2006).
Koefisien determinasi dirumuskan sebagai berikut :
R2 = ∑ (Ȳ1 - Ȳ)2
∑ (Ȳ - Y )2
Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai �2 yang kecil
berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi
variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati nol (0) sampai satu (1)
berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang
dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Mudrajad,2006).
3.9 Uji Asumsi Klasik
Kelebihan dalam penelitian menggunakan data panel adalah data yang
digunakan lebih informatif, variabilitasnya lebih besar, kolineariti yang lebih
rendah diantara variabel dan banyak derajat bebas (degree of freedom) dan lebih
efisien. Regresi data panel memberikan alternatif model, Common Effect, Fixed
Effect dan Random Effect. Model Common Effect dan Fixed Effect menggunakan
pendekatan Ordinary Least Squared (OLS) dalam teknik estimasinya, sedangkan
Random Effect menggunakan Generalized Least Squares (GLS) sebagai teknik
estimasinya. Uji asumsi klasik yang digunakan dalam regresi linier dengan
61
pendekatan Ordinary Least Squared (OLS) meliputi uji Linieritas, Autokorelasi,
Heteroskedastisitas, Multikolinieritas dan Normalitas. Akan tetapi, tidak semua
ujia asumsi klasik dapat dilakukan pada setiap model regresi linier dengan
pendekatan OLS Walaupun demikian, tidak semua uji asumsi klasik harus
dilakukan pada setiap model regresi linier dengan pendekatan OLS., Baltagi
(dalam Nugraheni, 2012 ).
Uji linieritas hampir tidak dilakukan pada setiap model regresi linier.
Karena sudah diasumsikan bahwa model bersifat linier. Kalaupun harus
dilakukan semata-mata untuk melihat sejauh mana tingkat linieritasnya.
Autokorelasi hanya terjadi pada data time series. Pengujian autokorelasi pada
data yang tidak bersifat time series (cross section atau panel) akan sia-sia
semata atau tidaklah berarti. Multikolinieritas perlu dilakukan pada saat regresi
linier menggunakan lebih dari satu variabel. Pada intinya pada regresi data
panel, tidak semua uji asumsi klasik yang ada pada metode OLS dipakai, hanya
multikolinieritas dan heteroskedastisitas saja yang diperlukan (Baltagi, 2001).
3.9.1 Uji Multikoliniearitas
Uji Multikolinearitas adalah salah satu pengujian apakah dalam model
terdapat regresi panel ditemukan adanya kolerasi antar variabel independen.
Asumsi ini yang seharusnya dipenuhi adalah bahwa antar variabel bebas tidak
terdapat kolerasi sehingga estimasi parameter koefisien regresi dari masing-
masing variabel bebas benar-benar terdapat pengaruh terhadap variabel tak
bebas. Masalah ini terjadi bila pada model regresi linier berganda terdapat
hubungan antara variabel bebas. Jika suatu model regresi terdapat masalah
multikolinearitas, maka akan dapat menimbulkan untuk dapat melihat pengaruh
variabel penjelas terhadap variabel yang dijelaskan (Gujarati, 2012).
Uji moltikolerasi menyebabkan nilai dari koefisien-koefisien regresi tidak
dapat ditaksir, sehingga dapat menyebabkan interpretasi dan nilai standar eror
62
setiap koefisien regresi menjadi tak terhingga sehingga tingkat signifikan variabel
bebasnya buruk .
Ciri-ciri suatu persamaan regresi mengandung multikolinieritas adalah :
1. Melihat kekuatan korelasi variabel bebas. Jika ada korelasi antara variabel
bebas > 0,8 dapat diindikasikan terdapat multikolinearitas.
2. Melihat nilai tolerance dan Variance Infalting Factor (VIF). Jika nilai tolerance
< 0,1 dan VIF > 10 dapat dikatakan adanya multikolinearitas. Para pakar lebih
banyak menggunakan nilai Tolerance dan VIF dalam menentukan adanya
Multikoleritas dalam regresi.
3. Nilai koefisien determinasi R tinggi tetapi variabel bebas banyak yang tidak
signifikan.
4. Nilai standar erornya memiliki nilai yang tak terhingga atau cukup besar.
Regresi panel tidak sama dengan regresi linier, oleh karenanya pada model
data panel perlu memenuhi syarat terbebas dari pelanggaran asumsi-asumsi
dasar (asumsi klasik). Dengan demikian, adanya kolerasi yang kuat antara
variabel bebas dalam sebuah model (persamaa) sangatlah tidak dianjurkan
bisa terjadi., karena akan berdampak pada keakuratan parameter, dalam hal
ini koefisien regresi, dalam memperkirakan nilai yang sebenarnya. Korelasi
yang kuat anara variabel bebas dinamakan multikoleritas.
3.9.2 Uji Heteroskedastisitas
Regresi data panel tidak sama dengan model regresi linier, oleh karena
itu pada model data panel perlu memenuhi syarat BLUE (Best Linear Unbiased
Estimator) atau terbebas dari pelanggaran asumsi-asumsi dasar (asumsi klasik).
Jika dilihat dari ketiga pendekatan yang dipakai, maka hanya uji
heteroskedastisitas saja yang relevan dipakai pada model data panel. Uji
heteroskedastisitas digunakan untuk melihat apakah residual dari model yang
terbentuk memiliki varians yang konstan atau tidak. Suatu model yang baik
63
adalah model yang memiliki varians dari setiap gangguan atau residualnya
konstan. Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana asumsi tersebut tidak
tercapai, dengan kata lain dimana adalah ekspektasi dari error.
Regresi data panel tidak sama dengan model regresi linier, oleh karena
itu pada model data panel perlu memenuhi syarat BLUE (Best Linear Unbased
Estimator) atau terbebas dari pelanggaran asumsi-asumsi dasar (asumsi klasik).
Jika dilihat dari ketiga pendekatan yang dipakai, maka hanya uji
heteroskedastisitas saja yang relevan dipakai pada model data panel. Uji
heteroskedastisitas digunakan untuk melihat apakah residual dari model yang
terbentuk memiliki varians yang konstan atau tidak. Suatu model yang baik
adalah model yang memiliki varians dari setiap gangguan atau residualnya
konstan. Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana asumsi tersebut tidak
tercapai, dengan kata lain dimana adalah ekspektasi dari eror dan adalah varians
dari eror yang berbeda tiap periode waktu.
Dampak adanya heteroskedastisitas adalah tidak efisiennya proses
estimasi, sementara hasil estimasinya tetap konsisten dan tidak bias. Eksistensi
dari masalah heteroskedastisitas akan menyebabkan hasil Uji-t dan Uji-F menjadi
tidak berguna (miss leanding). Ada beberapa metode yang dapat digunakan
untuk menditeksi heteroskedastisitas, tetapi dalam penelitian ini hanya akan
dilakukan dengan menggunakan dilakukan dengan metode pengujian statistik uji
Breusch-Pagan Godfrey, Harvey dan Glejser Test pada consistent standard error
& covariance. Hasil yang diperlukan dari hasil uji ini adalah nilai F dan Obs*R-
squared, dengan hipotesis sebagai berikut:
Ho= Heterokedastisitas
H1 = Heterokedastisitas
Apabila probabilitas Obs *R-squeresnya kurang dari 5% maka H0 ditolak
atau terjadi masalah heterokedastisitas, sedangangkan apabila probabilitas
64
Obs*R-squeresnya lebih dari 5% maka H0 diterima atau tidak terjadi masalah
heterokedastisitas.
3.10 Model Persamaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi pengaruh PDRB Sektor
Pertanian, Industri dan Jasa, Tingakat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Kredit
Investasi, DAU (Dana Alokasi Umum), dan Bleanja Modal terhadap ketimpangan
pembangunan antar provinsi di Indonesia tahun 2005-2014. Data yang
digunakan adalah data time series dari tahun 2005 sampai 2014 dan data cross
section sebanyak 33 provinsi di Indonesia.
Fungsi persamaan kemudian dimasukan kedalam model regresi panel
dirumuskan menjadi model berikut :
Yit = αit + Inβ1X1 + Inβ2X2 + Inβ3X3 + Inβ4X4 + Inβ5X5 + Inβ6X6 + Inβ7X7+ ɛit (3.6)
Dimana :
Y = Indeks Williamson
i = Provinsi
t = Waktu (2005-2014)
α = Konstanta
β1 – β7 = Koefisien
X1 = PDRB Sektor Pertanian
X2 = PDRB Sektor Industri
X3 = PDRB Sektor Jasa
X4 = Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
X5 = Kredit Investasi
X6 = Dana Alokasi Umum
X7 = Belanja Modal
ɛit = Eror Term
65
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Objek Penelitian
4.1.1 Kondisi Geografis Indonesia
Indonesia adalah negara yang terdiri dari kepulauan yang terletak di
kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki luas daratan 1.922.570 km²,
sedangkan dari luas perairan 3.257.483 km². Dilihat dari lintangnya, Indonesia
terletak di antara 6º LU (Lintang Utara) dan 11º LS (Lintang Selatan). Sedangkan
dilihat dari letak garis bujurnya, wilayah Indonesia terletak diantara 95° (Bujur
Timur) dan 141° (Bujur Timur). Wilayah Indonesia sendiri dilalui oleh garis
khatulistiwa dan kepulauan Indonesia diapit oleh dua Benua Asia dan Benua
Australia serta diantara dua Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Negara Indonesia terdiri dari 5 pulau besar yaitu : Pulau Jawa, Pulau
Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua. Keseluruh
pulau-pulau tersebut yang menjadi satu kesatuan negara Republik Indonesia.
Berdasarkan garis besar Haluan Negara (GBHN) 1993, maka wilayah Indonesia
dibagi 2 kawasan pembangunan yaiu :
1. Kawasan Barat Indonesia. Terdiri dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali.
2. Kawasan Timur Indonesia. Terdiri dari Sulawesi, Maluku, Ppua, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Pada zaman orde baru tahun 1999, jumlah provinsi di indonesia adalah
27, saat itu Timor-Timur masih menjadi provinsi termuda. Tetapi setelah
reformasi berjalan, Timor Timur menjadi negara sendiri dan berganti nama
menjadi timor leste. Walaupun demikian, provinsi di indonesia bukannya
berkurang, tetapi malah bertambah menjadi 34 provinsi karena terjadinya
beberapa pemekaran di beberapa wilayah. Dari 34 provinsi tersebut, 5 di
65
66
antaranya memiliki status khusus sebagai daerah khusus atau daerah istimewa
yaitu: Aceh, Jakarta, Papua, Papua Barat, dan Yogyakarta. Dari ke-34 provinsi
tersebut, 10 di antaranya terletak di Pulau Sumatera, 6 di Pulau Jawa, 5 di Pulau
Kalimantan, 6 di Pulau Sulawesi, 3 di Kepulauan Nusa Tenggara, 2 di Kepulauan
Maluku, dan 2 lainnya terletak di Pulau Papua. Untuk penelitian ini hanya
menggunakan data 33 provinsi dari tahun 2005-2014. Adanya pemekaran di
Kalimantan yaitu untuk Kalimantan Utara pada tanggal 25 Oktober 2012 dengan
ibukota Tanjung Selor. Pulau-pulau di Indonesia yaitu :
Gambar 4.1: Peta Kepulauan di Indonesia
Sumber : Badan Pusat Statistik
a. Kepulauan Sumatera
Pulauan Sumatera terletak di Indonesia bagian barat, yang merupakan
pulau keenam terbesar di dunia. Pulau ini memiliki luas wiayah 473.481km²
dengan penduduk sekitar 52.210.926 (sensus 2010). Kepulauan ini merupakan
kawasan yang dilintasi oleh kerak bumi disepanjang Bukit Barisan yang disebut
patahan Sumatera dan patahan kerak bumi di dasar Samudera Hindia
disepanjang pantai sisi barat Sumatera, serta memiliki Danau terbesar yaitu
Danau Toba.
67
Pulau Sumatera meliputi provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera
Barat, Kepualuan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka,
Belitung, Lampung. Batas bagian utara Pulau Sumatera adalah Laut Andaman
dan di bagian selatan adalah Selat Sunda. Puau ini membujur dari barat laut ke
arah tenggara dan melintasi khatulistiwa, seperti membagi pulau sumatera atas
dua bagian, Sumatera belahan bumi utara dan Sumatera bumi selatan.
b. Kepulauan Kalimantan
Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar ketiga di dunia
setelah Irian Jaya. Luas Pulau Kalimantan adalah 743.330km² dengan jumlah
penduduk 18,93 juta sensus (2010). Pulau Kalimantan terbagi menjadi beberapa
wilayah bagian Negara, 73% Indonesia, 26% Malaysia dan 1% Brunei
Darussalam. Pulau Kalimantan memiliki julukan sebagai ”Pulau Seribu Sungai”
karena memiliki aliran sungai yang panjang dan luas. Sungai terpanjang dan
terluas adalah sungai Kapuas dengan panjang 1.125 kilometer.
Pulau Kalimantan secara administratif terbagi menjadi 4 provinsi yaitu
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
dan Kalimantan Utara (pemekaran 2012).
c. Kepulauan Jawa
Pulau Jawa melintang dari barat ke timur dan berada di bagian selatan
Indonesia. Pulau Jawa merupakan pulau yang paling banyak penduduknya,
hampir sekitar 160 juta jiwa sensus (2015) penduduk tinggal di pulau jawa.
Dengan luas wilayah 126.700km², pulau Jawa memiliki batas selatan dengan
Samudera Hindia dan bagian batas utara adalah Laut Jawa dan dipisahkan oleh
Pulau Madura dan Selat Madura. Pulau Jawa merupakan kawasan episentrum
gempa bumi karena dilintasi oleh patahan kerak bumi dari pulau Sumatera, yang
berada di lepas pantai selatan Pulau Jawa.
68
Secara administratif pulau Jawa memiliki 6 provinsi yaitu Banten, Daerah
Khusus IbuKota Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Timur.
d. Kepulauan Sulawesi
Pulau Sulawesi merupakan pulau terbesar ke 11 di dunia, dengan luas
wilayah 174.600km² dengan jumlah penduduk 1.339.374 juta jiwa sensus (2010).
Memiliki bagian batas utara oleh Laut Sulawesi, yang merupakan pemisah anara
Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindano, Filipina. Batas bagian Selatan dibatasi
oleh Flores, bagian barat dibatasi oleh Selat Makasar, yang merupakan pemisah
Pulau Sulawesi dengan Pulau Kalimantan. Sedangkan batas bagian Timur
dibatasi oleh Laut Banda.
Secara administratif pulau Sulawesi memiliki 6 provinsi yaitu Sulawesi
Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan
Sulawesi Utara.
e. Pulau Nusa Tenggara
Pulau Nusa Tenggara atau kepulauan sunda kecil ini memiliki luas
wilayah 72.876,65 km². Kepulauan sunda kecil ini terdiri dari pulau kecil yang
terpisah-pisah yang terelatk di selat khatulistiwa. Bagian batas utara adalah Laut
Flores dan Laut Banda. Dibagain selatan kepulauan ini dibatasi oleh Samudera
Hindia. Dibatas bagian barat dibatasi selat Bali. Sedangkan, di bagain timur
berbatasan dengan Kepulauan Maluku dan Papua yang dipisahkan oleh Laut
Banda. Kawasan Pulau Sunda Kecil ini termasuk labil terhadap gempa, karena
dilintasi oleh patahan erak bumi di selatan yang merupakan lanjutan patahan
kerak bumi diselatan Pulau Jawa.
Secara administratif wilayah kepulauan Nusa Tenggara atau Sunda Kecil
ini memiliki tiga provinis yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan
Bali.
69
f. Kepulauan Maluku dan Papua
Pulau Maluku dan Papua ini terletak di sebelah timur Indonesia.
Kepulauan ini terdiri dari satu puau besar dan ribuan pulau-pulau kecil, baik yang
berpenghuni ataupun tidak. Satu pulau besar adalah Pulau Papua yang
merupakan pulau terbesar di dunia dengan jumlah penduduk sebanyak 7,5 juta
jiwa sensus (2005) dan luas wilayah 785.753km² terletak di sebelah utara
Australia. Pulau ini dibagi menjadi dua bagian barat adalah Indonesia dan bagian
timur negara Papua Nugini.
Kepualauan Maluku berbatasan dengan Pulau Sulawesi di bagian barat,
bagian timur berbatasan dengan Nugini, dan Timor Leste di sebelah selatan.
Dengan luas wilayah 74.505km² dan jumlah penduduk sebanyak 1,5 juta jiwa
sensus(2010) pulau Maluku ini terkenal akan rempah-rempah yang sampai saat
ini menjadi penghasil terbesar untuk ekspor ke Eropa.
Secara administratif kepulauan Maluku memiliki dua provinsi yaitu Maluku
dan Maluku Utara, sedangkan Papua memiliki dua provinsi yaitu Papua dan
Papua Barat.
4.1.2. Kondisi Perekonomian Indonesia
Keadaan struktur perekonomian Indonesia salah satu tolak ukur dari
keberhasilan pembangunan. Dapat dilihat dari pertumbuhan angka Produk
Domesti Bruto (PDB), yaitu nilai darikeseluruhan semua barang dan jasa yang di
produksi di dalam wilayah baik atas dasar harga berlaku maupun berdasarkan
harga konstan, dan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yaitu nilai
tambah barang dan jasa yang di hasilkan dari seluruh kegiatan perekonomian
daerah dalam periode tahun tertentu.
Berdasarkan data laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia dapat
dilihat dari nilai PDRB pada tahun 2009-2013 yang dapat di lihat dari gambar 4.2
70
kondisi perekonomian golobal yang masih mengalami tekanan akibat dari krisis
menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009.
Gambar 4.2: Laju PDRB Provinsi Indonesia Tahun 2009-2013
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) , 2014
Kondisi perekonomian domestik yang mengalami perlambatan dari
adanya akibat kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Kondisi
tersebut menurunkan kepercayaan pelaku ekonomi di sektor keuangan dan
sektor riil, serta berpotensi menurunkan berbagai kinerja positif yang telah
dicapai dalam beberapa tahun sebelumnya sehingga menyebabkan
melambatnya pertumbuhan investasi
Adanya penurunan ekspor dan investasi, pertumbuhan ekonomi banyak
ditopang oleh konsumsi rumah tangga serta konsumsi pemerintah. Peran
konsumsi secara keseluruhan masih mampu menopang kegiatan ekonomi
Indonesia tahun 2009 untuk tetap tumbuh positif sebesar 4,77%. Meskipun lebih
rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 5,74%.
Berdasarkan nota keuangan dan APBN 2014 indonesia, pertumbuhan
ekonomi tahun 2013 cenderung menurun dengan presentase 5,9 persen,
dibanding tahun 2012 sebesar 6,3 persen. Dikutip dari (Detik news, 2014)
Sumber pertumbuhan masih berasal dari permintaan domestik, yaitu konsumsi
rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). PMTB mencakup
71
bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal, bangunan lain seperti jalan
dan bandara, serta mesin dan peralatan. Berdasarkan hasil data Kementerian
Keuangan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang oleh konsumsi
masyarakat bukan dari produksi (investasi). Hal ini menunjukan bahwa produksi
(investasi) belum mampu menjadi penopang perekonomian Indonesia, bahkan
cenderung mengalami penurunan pada tahun 2013.
Gambar 4.3 : Laju Pertumbuhan PDRB provinsi Indonesia tahun 2014
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), 2015
Pada gambar 4.3 menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi tiap provinsi
di Indonesia sangat baik hanya ada beberapa provinsi yang mengalami
perlambatan pertumbuhan. Pertumbuhan tertinggi PDRB menurut Provinsi tahun
2014 terjadi pada Provinsi Sulawesi Barat yaitu sebesar 8,73 persen. Lalu diikuti
oleh Provinsi Jambi yaitu sebesar 7,93 persen dan Provinsi Sulawesi Selatan
sebesar 7,57 persen. Provinsi yang memiliki pertumbuhan dibawah pertumbuhan
ekonomi Indonesia adalah Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sumatera
Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Papua, Provinsi Riau,
Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Aceh. Struktur perekonomian Indonesia
tahun 2014 secara spasial didominasi oleh Pulau Jawa yaitu sebesar 57,39
72
persen, lalu Pulau Sumatera yaitu sebesar 23,16 persen dan Pulau-Pulau
lainnya kurang dari 10 persen.
Tahun 2014, provinsi yang kaya akan Sumber Daya Alam termasuk mineral, batu
bara, dan migas seperti Papua 3,25 persen, Riau 2,62 persen, Kalimantan Timur
2,02 persen dan Aceh 1,65 persen mengalami laju pertumbuhan ekonomi paling
rendah. Sedangkan beberapa provinsi yang mengalami laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi justru adalah provinsi-provinsi yang berada diluar Jawa atau
KTI (kawasan timur Indonesia) antara lain provinsi-provinsi Sulawesi yang
perekonomianya tidak tergantung pada kekayaan mineral, batu bara dan migas.
4.1.3. Gambaran Umum Variabel
4.1.3.1 Ketimpangan Pembangunan
Ketimpangan Pembangunan antar wilayah atau daerah yang tinggi dapat
dilihat dari data Indeks Williamson, dimana nilai dai ketimpangan sendiri melebihi
angka maksimum atau lebih dari 1. Kesenjangan dapat dihitung dengan
menggunakan PDRB perkapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk
perdaerah. Menurut Armida S.Alisjahbana (2005) ketimpangan atau kesenjangan
antar wilayah atau daerah di provinsi-provinsi terjadi karena konsekuensi dari
terkonsentrasinya kegiatan pembangunan di Pulau Jawa dan Bali saja dan
dikarenakan perbedaan karakteristik antar wilayah atau daerah tersebut lebih
unggul dari wilayah atau daerah yang lain. Sehingga menjadi suatu
permasalahan pembangunan khususnya di negara-negara berkembang seperti
Indonesia.
Wilayah Indonesia yang memiliki Indeks terendah adalah Provinsi
Kalimantan Tengah dengan nilai indeks sebesar 0,18 dan Indeks Williamson
tertinggi atau dengan kata lain merupakan wilayah dengan ketimpangan
pembangunan tertinggi atau dengan kata lain merupakan wilayah dengan
73
ketimpangan pembangunan tertinggi dimiliki oleh Provinsi Papua Barat dengan
nilai sebesar 1,76.
Gambar 4.4 : Indeks Williamson Provinsi di Indonesia Tahun 2014
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015
4.1.3.2 Struktur Ekonomi
Di Indonesia pembangunan ekonomi secara umum dibagi kedalam
sembilan sektor usaha, yang senantiasa berubah. Dalam dinamika perubahan
struktur tersebut merupakan hal yang wajar dalam suatu perekonomian suatu
negara. Terdapat beberapa faktor perubahan struktur ekonomi, seperti adanya
perbedaan insentif (rate of retrun investment), yang senantiasa dapat berubah
seiring dengan perkembangan permintaan dan penawaran dalam masing-masing
sektor usaha, perkembangan teknologi dan ketersediaan sumber daya atau
faktor produksi bagi perkembangan suatu sektor usaha.
Perubahan struktur ekonomi tersebut juga terjadi seiring dengan
terjadinya perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi antar sektor usaha. Sektor
usaha yang tingkat pertumbuhannya lebih tinggi akan semakin besar share atau
penerimaan dalam perekonomian, sebaliknya yang tngkat pertumbuhannya
rendah akan menurun sharenya dalam perekonomian. Pada sektor pertanian,
74
yang menurun sharenya pda beberapa tahun terakhir, misalnya menjadi kurang
menarik dibandingkan sektor-sektor usaha yang pertumbuhanya tinggi dan
sharenya semakin besar. Pendapatan atas faktor produksi akan semakin tertuju
pada sektor-sektor usaha yang tengah berkembang dan semakin sedikit yang
bisa dinikmati oleh pelaku usaha di sektor pertanian. Akibat adanya pergeseran
ke sektor lainya seperti sektor industri dan jasa.
Gambar 4.5 : Struktur Ekonomi Indonesia tahun 2009-2014
Sumber : Badan pusat statistik, 2014
Adanya perubahan struktur ekonomi yang mengakibatkan terjadiya
ketimpangan di beberapa sektor-sektor ekonomi tersebut dan terjadinya
penurunan daya beli dari pemilik faktor produksi yang sektor usahanya mengecil
ke pemillik faktor produksi yang tengah berkembang. Hal ini memicu terjadinya
kemiskinan yang mana sektor pertaian adalah sektor yang dikategorikan
berpenghasilan atau memilki uaoah yang rendah dibandingkan sektor –sektor
ekonomi lainya.
75
4.1.3.3 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Salah satu tujuan yang penting dalam pembangunan ekonomi adalah
tersedianya lapagan pekerjaan yang cukup. Angkatan kerja adalah penduduk
yang aktif secara ekonomi, yaitu mereka yang mempunyai pekerjaan dan
menganggur, sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah mereka
yang masuk dalam usia kerja yang melakukan kegiatan sekolah, mengurus
rumah tangga dan lainnya. Berdasarkan data pada table 4.1 dari Badan Pusat
Statistik dari tahun 2005-2014 jumlah tenaga kerja Indonesia cendrung
mengalami peningkatan, dari tahun 2005 sebesar 105,81 juta orang dan terus
meningkat pada tahun 2014 sebesar 121,91 juta orang. Sedangkan untuk
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) cendrung menurut atau stagnan di
angka 66 sampai 69 persen data dari total penduduk tiap tahunnya.
Tabel 4.1 : Angkatan Kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (TPAK) Di
Indonesia Tahun 2005-2014
Tahun Angkatan Kerja (juta orang) TPAK (%)
2005 105,81 68,022006 106,28 66,742007 108,13 66,602008 111,48 67,332009 113,74 67,602010 116,53 67,832011 119,41 70,012012 120,41 69,592013 121,19 69,15
2014 121,91 69,17
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), 2014
Ketangakerjaan Indonesia hingga tahun 2014 masih didomonasi oleh
tenaga kerja yang berpendidikan rendah, namun dengan demikian kualitas
pendidikan penduduk bekerja cendrung membaik dari waktu ke waktu. Terlihat
pada tabel 4.6 persentase penduduk bekerja berpendidikan rendah (SMP ke
76
bawah) sebesar 64,82 persen ditahun 2014. Pada data persentase lain
penduduk bekerja yang berpendidikan tinggi (Diploma ke atas) pada tahun 2014
sebesar 9,79 persen.
Gambar 4.6 : Persentase Penduduk Usia Kerja Menurut Pendidikan yang
Ditamatkan Tahun 2014
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015
Apabila dilihat dari ketenagakerjaan, rata-rata penduduk Indonesia hanya
mengenyam tamat pendidikan rendah yaitu sekolah dasar (SD) dan sekolah
menengah pertama (SMP), sedangkan tingkat pendidikan sendiri sangat
menentukan dari jenis pkerjaan dan gaji yang didapat oleh pekerja tersebut. Oleh
karena itu peran pemerintah dan kementerian ketenaga kerjaan maupun
kementerian pendidikan harus saling bekerjasama dalam meningkatan lagi
bidang pendidikan dan keahlian masyarakat Indonesia. Dilihat dari
ketenagakerjaan menurut sektor, pekerjaan pertanian lebih besar dibandingkan
sektor lain. hal tersebut wajar dikarenakan Indonesia merupakan negara agraris
yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani.
Pada tabel 4.2 yang menjelaskan mengenai ketenagakerjaan
berdasarkan sektor pada tahun 2011-2014 terlihat tenaga kerja paling besar
adalah sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan pada tahun 2011
sebesr 42,5 juta, namun sampai pada tahun 2014 cendrung mengalami
77
penurunan menjadi 39,1 juta. Selanjutnya perdagangan menunjukan angka yang
meningkat setiap tahunnya pada tahun 2011 berada pada 23,2 juta menjadi 25,
juta pada tahun 2014.
Tabel 4.2 : Tenaga Kerja per Sektor IndonesiaTahun 2011-2014
TahunSektor2011 2012 2013 2014
Pertanian, kehutanan, Perburuan dan Perikanan 42,5 39,9 39,2 39,1Perdagangan, restoran dan Hotel 23,2 23,6 24,1 25,7Jasa Mayarakat, Sosial dan Pribadi 17,1 17,4 18,5 18,4Industri Manufaktur 13,7 15,6 15,1 15,3*dalam juta
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015
4.1.3.4 Kredit Investasi
Investasi swasta dari data yang digunakan pada penelitian ini adalah
kredit investasi yang bersumber dari BI yang berpengaruh terhadap tingkat
produktivitas perusahaan, antara lain digunakan sebagai pembelian kebutuhan
seperti mesin-mesin dan produksi. Kredit investasi yang diharapkan mampu
secara tidak langsung akan menciptakan lapangan kerja baru yang akan
berimabas kepada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Pada gambar 4.7 pada tahun 2005 sampai 2014 pertumbuhan kredit
investasi perbankan dari tahun 2005-2014 mengalami pertumbuhan yang sangat
baik. Di beberapa tahun mulai tahun 2009 hingga 2014 mengalami penurunan, di
tahun 2009 pertumbuhan kredit hanya mencapai 10 persen saja. Lalu di tahun
2010 hingga 2013 pertumbuhan kredit kembali membaik hingga menyentuk
angka lebih dari 20 persen. Namun kembali anjlok menjadi hanya 11,55 persen
saja. Seiring itu, perekonomian global yang tengah melemah berimbas pula ke
perekonomian domestik, yang dampaknya, investasi asing dan domestik
merosot.
78
Gambar 4.7 : Laju Pertumbuhan Kredit investasi Perbankan Tahun 2005
2014 (%)
Sumber : OJK, Bank Indonesia, 2014
Pada gambar 4.8 dibawah menunjukkan terjadi perbedaan antara
realisasi investasi dalam negeri dan investasi asing tiap provinsi. Untuk itu
pemerintah diharapkan dapat membantu investasi asing atau modal asing di
Indonesia untuk dapat menyerap tenaga kerja, khususnya penyerapan tenaga
kerja dalam negeri di provinsi tersebut. Sehingga tercipta keseimbangan antara
besaran investasi, khususnya investasi asing di suatu wilayah.
Gambar 4.8 : Total Realisasi PMA Dan PMDN Per Provinsi Indonesia Tahun
2009-2013
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), 2013
79
Kredit investasi diharapkan dapat bisa menjadi pendorong pertumbuhan
ekonomi Indonesia terutama penanaman investasi perusahaan dikalangan
menengah ke bawah agar dapat terus berkembang dari waktu ke waktu.
Pemerintah baik pemerintah daerah maupun pusat harus saling bekerja sama
menggunakan kesempatan adanya investasi asing ini untuk dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup warga negaranya. Kebijakan pemerintah sebenarnya lebih
diarahkan pembangunan Indonesia terus meningkat dan semakin baik.
4.1.3.5 Dana Aloksi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana transfer dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah untuk mengurangi atau memperkecil kesenjangan
keuangan antar daerah. Pemberian DAU setiap tahunnya berdasarkan formula
celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah merupakan pengurangan dari
kebutuhan fiskal terhadap kapasitas fiskal, dimana kebutuhan daerah diukur
dengan pendekatan pengukuran Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar
Analisa Belanja (SAB) masing-masing daerah.
Gambar 4.9 : Distribusi Dana Transfer APBN Berdasarkan Wilayah Tahun
2010-2013 (%)
Sumber :DJPK Kementerian Keuangan, 2014
80
Pada gambar 4.9 Diatas berdasarkan distribusi kewilayahan, dana
transfer APBN selama tahun 2010-2013 dapat dikatakan terjadinya
ketidakmerataan. Wilayah Jawa dan Sumatera adalah wilayah yang dengan
distribusi dana transfer APBN terbesar yaitu masing-masing sebesar 35 persen
untuk wilayah Jawa sebesar 25 persen dan wilayah Sumatera. Keadaan ini
sangat berbeda untuk wilayah Maluku dan Papua yang justru mendapatkan
alokai dana paling keceil, yaitu sebesar 8 persen dari total dana seperti pada
gambar di atas.Pendapatan dana alokasi umum memang terbesar adalah
ditempati oleh Pulau Jawa dan Sumatera.
Sebagaimana DAU adalah salah satu tujuan untuk memperkecil
kesenjangan keuangan antar daerah yang nantinya diharapkan dana tersebut
mengear ketertinggalan daerah yang lebih maju. Pengalokasianya adalah
apabila daerah tersebut memiliki jumlah penduduk miskin lebih banyak makan
akan mendapatkan DAU yang besar pula.
4.1.3.6 Belanja Modal
Belanja Modal sebagai belanja keperluan operasional untuk menjalankan
kegiatan rutin pemerintahan. Belanja modal mencakup pembelian tanah,
pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi dan belanja modal nonfisik dan fisik
lainnya.
81
Gambar 4.10 : Realisasi Anggaran Belanja Modal Pemerintah Pusat Tahun
2008-2013 (Dalam Triliun Rupiah)
Sumber : nota keuangan APBN, 2014
Dilihat dari trend dari total belanja modal dalam lima tahun terakhir, yakni
dari tahun 2009-2013 seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, anggaran dari
pemerintah pusat untuk belanja modal cenderung mengalami peningkatan. Hal
ini cukup baik, namun peningkatan dalam realisasi anggaran belanja modal saja
masi belum cukup. Dibutuhkan efisiensi dari pengelolaan anggaran belanja
modal agar tepat sasaran. Di negara tetangga seperti malaysia hingga saat ini
terus mengembangkan sarana-sarana infrastruktur dengan melalui pengelolaan
anggaran belanja pemerintah yang efisien. Sehingga dengan demikian negara
akan terus maju dan tidak kalah saing dengan negara lain khususnya dalam
perekonomian. Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki kekayaan
alam yang berlimpah dan sumber daya menuasia yang dapat lebih
dikembangkan lagi.
Dengan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang berkembang
dan dapat dikelola dengan efisien dan baik, maka bukan tidak mungkin jika suatu
82
negara atau wilayah dapat lebih mandiri dan lebih maju dalam segi
perekonomian untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Untuk
mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan dana atau anggaran yang besar, selain itu
dibutuhkan sarana infrastruktur yang memadai, aman dan nyaman, sehingga
apabila kebutuhan dalam pembangunan sarana infrastruktur yang baik terpenuhi
akan dapat menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya. Untuk
anggaran infrastruktur di Indonesia sendiri sudah di sediakan oleh pemerintah
melalui penyaluran atau tranfer ke tiap daerah provinsi di Indonesia yang dalam
hal ini anggaran tersebut di alokasikan dalam belanja modal pemerintah.
Besarnya subsidi BBM di Indonesia saat ini membuat ruang fiskal dalam
mendorong produktivitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih
sinambung jadi berkurang. Hal ini karena besarnya porsi subsidi BBM akan
mengurangi porsi belanja modal dalam APBN yang notabene memiliki dampak
lebih luas dan permanen pada fondasi pertumbuhan ekonomi. Berbagai studi
menunjukkan tentang pentingnya peran belanja modal, termasuk pengeluaran
infrastruktur dalam menopang perekonomian secara keseluruhan. Apabila
dibandingkan dengan negara berkembang lain seperti negara tetangga Malaysia
saja misalnya, sistem pengalokasian dan efisiensi anggaran pengeluaran
pemerintah khususnya dalam belanja modal untuk infrastruktur Indonesia masih
kalah apabila dibandingkan dengan sistim pengeluaran pemerintah negara
malysia. Baiknya kondisi infrastrutur dan sistem perniagaan di malaysia
merupakan salah satu faktor negara tersebut dapat atau mampu mencakupi
kebutuhan hariannya tanpa ada beban.
4.2. Analisis dan pembahasan Uji Statistik
Dalam sub bab 4.2 akan dijelaskan hasil pengujian asumsi klasik dan
pengujian secara statistik dimana variabel bebas mempengaruhi variabel terkait
baik secara parsial maupun secara simultan. Dalam metode yang digunakan
83
pada penelitian ini menggunakan regresi data panel dengan Fixed Effect Method
(FEM). METODE Fixed Effect Method (FEM) dipilih karena terdapat beberapa
alasan yang menguatkan untuk dipilihnya metode Fixed Effect Method tersebut
dibandingkan dengan menggunakan Common Effect Method (CEM) dan
Random Effect Method (RAM). Pengujian ini dilakukan pemilihan metode data
panel untuk menetukan yang lebih tepat digunakan dalam estimasi regresi dapat
melalui uji Chow, uji Hausman dan uji Lagrange , uji Lagrange Mulltiplier (LM),
kemudian selanjutnya akan dijelaskan hasil uji signifikan yaitu uji t (pengujian
secara parsial) dan ui F (pengujian secara simultan).
4.2.1. Uji Asumsi Klasik
4.2.1.1. Multikolinearitas
Adanya multikolinieritas menyebabkan nilai dari koefisien-koefisien
regresi tidak dapat ditaksir, sehingga dapat menyesatkan interpretasi dan nilai
standar error setiap koefisien regresi menjadi tak terhingga sehingga tingkat
signifikansi variabel bebasnya buruk. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya
multikolinearitas dengan cara menganalisis matriks korelasi variabel - variabel
independen yang dapat di lihat melalui Variance inflantion Factor (VIF). Nilai VIF
yang bisa ditolernasi adalah 10. Apabila VIF variabel independen<10 berarti tidak
ada multikolinearitas. Oleh karena itu setelah penulis melakukan pengujian
asumsi klasik pada model penelitian ini di dapatkan hasil sebagai berikut yang
dapat dilihat pada tabel 4.3 :
84
Tabel 4.3: Hasil Uji Asumsi Multikolinearitas
Variabel Bebas VIF Keterangan
PDRB Pertanian(X1) 5.613 Non MultikolinearitasPDRB Industri (X2) 4.292 Non MultikolinearitasPDRB Jasa (X3) 9.711 Non MultikolinearitasTenaga Kerja (X4) 1.063 Non MultikolinearitasKredit Investasi (X5) 8.076 Non MultikolinearitasDAU (X6) 1.339 Non MultikolinearitasBelanja Modal (X7) 2.155 Non Multikolinearitas
Sumber : Eviews 6, data diolah
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui variabel bebas dalam penelitian
ini memiliki Variance Inflation Factor (VIF) lebih kecil dari 10, sehingga dapat
dikatakan bahwa tidak terdapat gejala multikolonearitas antara variabel bebas
dalam penelitian ini.
4.2.1.2. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah variasi dari eror term yang tidak konstan, hal
tersebut dapat mengakibatkan parameter yang kita duga menjadi tidak efisien
akibat besaran variansi yang selalu berubah-ubah. Untuk dapat mengetahi
adanya heterokedastisitas dapat dilakukan dengan uji White Heteroscedasticity
test. Pengujian hipotesa White Heteroscedasticity Test adalah :
H0 : Homokedastisitas
H1 : Heterokedastisitas
Pengujian asumsi heteroskedastisitas dilakukan dengan metode
pengujian uji statistik Breusch-Pagan Godfrey, Harvey dan Glejser. Apabila nilai
sig. > 0,05 maka akan terjadi homoskedastisitas dan jika nilai sig. < 0,05 maka
akan terjadi masalah heteroskedastisitas.
Berikut adalah hasil uji heterokedastisitas menggunakan Breusch-Pagan
Godfrey, Harvey dan Glejser :
85
Tabel 4.4 : Hasil Uji Asumsi Heteroskedastisitas
Uji Statistik Obs R-square Sig. Keterangan
Breusch-Pagan Godfrey 7,41 0,387
Tidak Terjadi Heteroskedastisitas
Harvey 10,045 0,186Tidak Terjadi
Heteroskedastisitas
Glesjer 7,25 0,403Tidak Terjadi
Heteroskedastisitas
Sumber :Eviews 6, data diolah
Berdasarkan hasil estimasi eviews diatas diketahui bahwa dari statistik uji
Breusch-Pagan Godfrey, Harvey dan Glejser diperoleh nilai signifikan. > 0,05
maka disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas atau dengan kata lain asumsi
tidak terjadi heteroskedastisitas telah terpenuhi.
4.2.2. Uji Chow
Pemilihan Uji Chow atau uji F-statistik digunakan untuk memilih beberapa
yang terbentuk apakah model Common Effect Method (CEM) dan Fixed Effect
Method (FEM) yang akan dipilih untuk dapat mengestimasi regresi panel data.
Adapun uji Chow adalah sebagi berikut :
Tabel 4 5: Hasil Uji Chow
F hitung F tabel Kesimpulan117,018 1,484 H0 ditolak
Redundant Fixed Effects Tests
Pool: PROVINSI
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 117.018234 (32,290) 0.0000Cross-section Chi-square 868.816552 32 0.0000
Sumber : Eviews 6, data diolah
86
Uji Chow memperlihatkan bahwa nilai Cross-Section F 0.0000 dengan
tingkat signifikasi α = 5%, maka menolak H0 dan menerima Ha (H0 = CEM, Ha =
FEM). Sehingga model panel data yang tepat digunakan untuk estimsi data
panel adalah Fixed Effect Method (FEM) dari pda Common Effect Method (CEM).
4.2.3. Uji Hausman
Selanjutnya Uji Hausman pada dasarnya digunakan untuk menentukan
metode apa yang paling baik digunakan antara Fixed Effect Method (FEM) dan
Random Effect Method (REM) dalam mengestimasi model persamaan regresi.
Dengan catatan FEM dan REM dinilai lebih baik dari pada Common Effect
Method (CEM). Pengujian Hausman ini adalah salah satu dai bentuk Chi-square
test dan dilakukan berdasarkan bentuk kuadrat dan selisih antara konsisten
estimator dan efisien estimator. Oleh karena itu, selanjutnya akan dilakukan uji
hipotesis untuk mengetahui apakah efek individu atau tidak terhadap variabel
bebas.
Tabel 4.6 : Hasil Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Pool: PROVINSI
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 15.157297 7 0.0340
Sumber : Eviews 6, data diolah
Uji Hausman memperlihatkan bahwa nilai probabilitas Cross-Section
Random sebesar 0.0340 dengan tingkat signifikan lebih dari α = 5%, maka
menolak Hα dan menerima H0((H0 = REM, Ha = FEM). Sehingga model panel
87
data yang tepat untuk estimasi data panel yang digunakan adalah Fixed Effect
Method dari pada Random Effect Method.
4.2.4. Hasil Regresi Data Panel
Berdasarkan pada hasil uji Chow dan Hausman, diperoleh hasil Fixed
Effect Method (FEM) merupakan metode yang paling efisien dan baik dalam
setimasi persamaan regresi panel data dalam penelitian ini. Oleh karena itu, Dari
beberapa hasil pemilihan model, maka diputuskan menggunakan Fixed Effect
Model (FEM). Variabel dependen pada hasil uji regresi panel adalah Indeks
Williamson (Y) dan variabel independennya adalah PDRB Pertanian (X1), PDRB
Industri (X2), PDRB Jasa (X3), Tenaga Kerja (X4), Kredit Investasi (X5), DAU
(X6) dan Belanja Modal (X7). Model regresi berdasarkan hasil analisis di atas
adalah:
Y = -0,435 + 0,008 X1 + 0,010 X2 – 0,039 X3 + 0,281 X4 + 0,001 X5 – 0,010 X6
+ 0,007 X7 + Provinsi + e
Berikut adalah hasil pengujian menggunkan metode Fixed Effect Method
(FEM).
Tabel 4.7 : Hasil Regresi Data Panel dengan Fixed Effect Method (FEM)
Variabel Koefisien Probabilitas KeputusanPDRB Pertanian (X1) 0.008029 0.1405 Tidak SignifikanPDRB Industri (X2) 0.010008 0.0000 SignifikanPDRB Jasa(X3) -0.039334 0.0000 SignifikanTPAK (X4) 0.281253 0.0355 SignifikanKredit Investasi (X5) 0.001490 0.0003 SignifikanDAU (X6) -0.009829 0.2606 Tidak SignifikanBelanja Modal (X7) 0.007057 0.0558 Tidak SignifikanR-squared 0.934509Prob (F-statistic) 0.000000
Sumber : Eviews 6, diolah
Pada hasil regresi data panel tabel 4.7 yang menggambarkan tentang uji
signifikan dimana variabel bebas (independent variabel) yaitu PDRB AGRI,
88
PDRB Industri, PDRB Jasa, TPAK, Kredit Investasi, DAU (Dana Alokasi Umum),
dan Belanja Modal mempengaruhi variabel terkait (dependent variabel) yaitu
Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia baik secara parsial
maupun simultan.
4.2.4.1 Uji F
Berdasarkan hasil didapatkan F hitung sebesar 106,105 signifikansi
sebesar 0.000000. Nilai F hitung ini lebih besar dari F tabel (2,038) dan Sig F
(0,000) yang lebih kecil dari 5% (0,050) menunjukkan bahwa H1 diterima dan H0
ditolak yang berarti bahwa secara bersama-sama variabel PDRB Pertanian (X1),
PDRB Industri (X2), PDRB Jasa (X3), Tenaga Kerja (X4), Kredit Investasi (X5),
DAU (X6) dan Belanja Modal (X7) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
variabel Indeks Williamson (Y). Hasil uji ini menjelaskan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara semua variabel bebas (indepedent variabel)
secara bersama-sama mempengaruhi variabel terkaitnya (dependent variabel).
Selain itu, juga didapat hasil dari R-square sebesar 0.934509. nilai
tersebut menunjukan bahwa variabel bebasnya (independent variabel) mampu
menjelaskan bahwa variabel terikat (dependent variabel) sebesar 93,4% dan
sisanya 7% mampu dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam
model.
4.2.4.2 Uji t
Sedangkan pada hasil uji signifikasi secara parsial (Uji t) berdasarkan
pengujain pada 4.7 menunjukan tingkat signifikan masing-masing variabel bebas
(independent variabel) dengan significant level sebesar α = 5%. Hasil tersebut
menjelaskan bahwa tiga variabel bebas (independent variabel) yaitu struktur
ekonomi (PDRB Sektor Industri dan Jasa), Tingkat Partisipasi Agkatan Kerja
(TPAK), dan Kredit Investasi secara parsial berpangaruh signifikan terhadap
ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia. Sedangkan tiga variabel
89
lain yaitu PDRB Sektor Pertanian, Dana alokasi Umum (DAU) dan Belanja Modal
secara parsial tidak berpengaruh terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar
Provinsi di Indonesia.
Variabel bebas (independent variabel) pertama adalah Struktur Ekonomi
PDRB Sektor Pertanian. Pada hasil penelitian PDRB Sektor Pertanian dalam
penelitian ini mempunyai nilai koefisien yang positif (0.008029) dan tidak
berpengaruh signifikan terhadap ketipangan pembangunan antar provinsi di
Indonesia. Hal ini berarti secara statistik peningkatan PDRB Sektor Pertanian
sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan ketimpangan pembanguanan sebesar
0.008029, dengan asumsi faktor lain citeris paribus.
Sedangkan PDRB Sektor Industri mempunyai nilai koefisien yang positif
(0.010008) dan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan.
Hal ini berarti secara statistik penigkatan PDRB Sektor Industri sebesar 1% akan
menyebabkan kenaikan ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia
sebesar 0.010008%, dengan asusmsi faktor lain citeris paribus.
Variabel PDRB Sektor jasa mempunyai nilai koefisien negatif (-0.039334)
dan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar provinsi
di Indonesia. Hal ini berarti secara statistik penigkatan PDRB Sektor Jasa
sebesar 1% akan menyebabkan penurunan ketimpangan pembangunan antar
provinsi di Indonesia sebesar -0.039334%, dengan asusmsi faktor lain citeris
paribus.
Selanjutnya adalah variabel Tingkat Patisipasi Angatan Kerja (TPAK).
Angkatan kerja yang bekerja pada penelitian ini memiliki nilai koefisien yang
positif dan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar
provinsi di Indonesia. Hal ini berarti secara statistik peningkatan angkatan kerja
yang bekerja sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan ketimpangan
90
pembangunan antar provinsi di Indonesia sebesar 0.281253%, dengan asusmsi
faktor lain adalah bersifat tetap atau citeris paribus.
Variabel Kredit Investasi pada peelitian ini memiliki nilai koefisien yang
positif dan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar
provinsi di Indonesia. Hal ini berarti secara statistik peningkatan investasi
sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan ketimpangan pembangunan antar
provinsi di Indonesia sebesar 0.001490%, dengan asumsi citeris paribus.
Variabel Dana Alokasi Umum (DAU) pada penelitian ini memiliki nilai
koefisien yang negatif (-0.009829) dan tidak berpengaruh signifikan terhadap
ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia. Hal ini berarti secara
statistik peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 1% akan menyebabkan
penurunan ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia sebesar (-
0.009829%), dengan asumsi citeris paribus.
Variabel Belanja Modal pada penelitian ini memiliki nilai koefisien yang
positif (0.007057) dan tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan
pembangunan antar provinsi di Indonesia. Hal ini berarti secara statistik
peningkatan Belanja Modal 1% akan menyebabkan kenaikan ketimpangan
pembangunan antar provinsi di Indonesia sebesar 0.007057%, dengan asumsi
citeris paribus.
4.3 Pembahasan dan Hasil Implikasi Penelitian
4.3.1 Pengaruh Struktur Eknomi Terhadap Ketimpangan Pembangunann
Antar Provinsi Di Indonesia
Struktur ekonomi PDRB Sektor Pertanian memiliki nilai koefisien positif
(0.008029) dan tidak berpengaruh signifikan. Sehingga, dapat diartikan bahwa
jika PDRB Sektor pertanian mengalami kenaikan maka indeks williamson diduga
akan menurun. Sebaliknya, jika indeks williamson mengalami kenaikan maka
PDRB Sektor Pertanian diduga akan mengalami penurunan. Hubungan ini
91
diduga dikarenakan bahwa tenaga kerja yang bekerja pada sektor ini adalah
masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan dan pendidikan yang rendah.
Sektor pertanian ini merupakan sektor yang tertinggal dari 2 sektor lainnya. Ini
sesuai dengan teori pembangunan struktural dimana pola perekonomian
pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, dan sangat
didominasi oleh sektor industri dan jasa. Variabel PDRB Sektor Pertanian tidak
berpengaruh signifikan karena secara tidak langsung Sektor pertanian
merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur
pembangunan perekonomian nasional. Sumber daya alam yang besar dan
jumlah penduduk Indonesia yang banyak menggantungkan hidupnya pada sektor
ini. Sehingga secara tidak langsung ketimpangan pembangunan antar provinsi
bisa menurun, dan secara langsung berarti bahwa sektor pdrb pertanian tidak
mempengaruhi ketimpangan pembangunan atau sebagai variabel yang tidak
dapat mempengaruhi ketimpangan pembangunan.
Struktur ekonomi PDRB Sektor Industri memiliki nilai koefisien yang positif
(0.010008) dan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan
antar provinsi di Indonesia. Sehingga dapat diartikan jika terjadi kenaikan pada
PDRB Sektor Industri sbesar 1% maka akan meningkatkan ketimpangan
pembangunan sebesar 0.010008%. Hal ini karena sebagian besar tenaga kerja
yang terserap pada sektor ini adalah tenaga kerja diatas garis kemiskinan. PDRB
Sektor Industri dapat meningkatkan ketimpangan akibat terjadinya pola migrasi
dan urbanisasi antara kedua tempat sehingga tejadi mobilitas tenaga kerja dari
desa ke kota. Seperti yang diungkapkan teori Artur Lewis bahwa perekonomian
industri pengalihan tenaga kerja dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di
sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja
dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern.
92
Struktur ekonomi PDRB Sektor jasa mempunyai nilai koefisien negatif (-
0.039334) dan berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan
antar provinsi di Indonesia. Sehingga dalam hal ini kenaikan PDRB Sektor Jasa
sebesar 1% maka akan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar
daerah di Indonesia sebesar -0.039334%. Sektor jasa merupakan proses dari
sebagai sektor yang dianggap paling tinggi dalam teori Pola Pembangunan
Chenry. Dimana suatu daerah yang maju dan makmur merupakan daerah yang
memiliki struktur ekonomi yang berbasis pada sektor jasa. Namun sektor jasa
tetap harus mengintegrasi dengan sektor lainnya. Sehingga terjadi saling
menguntungkan pada setiap sektor.
Gambar 4.11: Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Tahun 2004
2014
Sumber : BPS, 2014
Gambar diatas menjelaskan bahwa persebaran dari tenaga kerja di setiap
sektor. Pada tahun 2008 sektor pertanian lah yang menjadi unggul dalam
kegiatan perekonomian nasional, terdapat 40 juta tenaga kerja yang bekerja
pada sektor ini. Namun pada tahu 2009 keatas sektor jasa yang mulai
menunjukan peningkaan tren dan melewati jumlah tenaga kerja pada sektor
pertanian, sedangkan sektor pertaian mengalami penurunan dan mulai bergerak
93
kebawah. Adanya peralihan tenaga kerja pada sektor pertanian ke sektor industri
dan jasa akibat adanya faktor upah dan urbanisasi. Akan tetapi fenomena
adanya perubahan struktur ekonomi ini menunjukan hal dimana sektor inudtri
justru hanya menyerap sedikit tenaga kerja dan cendrung konstan.
Tabel 4.8 : Pertumbuhan PDB Indonesia menurut Sektor Tahun 2009-2014
TAHUNSEKTOR 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Pertanian 3,9 3,6 3,8 4,1 4,1 4,2Pertambangan 1,5 1,6 2,3 2,7 2,2 2,1Industri Pengolahan 2,6 3,9 4,8 5,5 6,3 6,5Utilitas 11,2 11,2 11,5 11,7 11,7 11,4Konstruksi 6,4 6,9 7,5 7,5 7,3 7,1Perdagangan, Hotel &Restorant 2,3 5,7 6,6 7,3 7,6 7,4
Transport dan Komunikasi 16,5 16,6 15,6 17,7 16,7 16,3Keuangan 6,2 6,9 7,5 7,6 7,5 6,9Jasa Jasa 6,6 6,5 6,6 6,6 6,6 6,3Produk Domestik Bruto 4,8 5,9 6,5 7,2 7,4 7,4
Sumber : BPS, 2014
Pertumbuhan PDB menurut sekor untuk pertanian, industri dan jasa pada
tahun 2009-2014 menjelaskan sumbangan dari sektor industri mendominasi
pada PDB. Hal ini berarti sektor industri yang hanya menyerap sedikit tenaga
kerja mampu menghasilkan PDB yang besar dari sektor lainnya. Bahkan sektor
industri mampu mendapatkan nilai PDB 3 kali lebih tinggi dari sektor pertanian,
sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Hal tersebut merupakan wajar
dimana adanya transformasi struktural yang terjadi pada tingginya daya sumbang
sektor industri terhadap PDB, bukan pada jumlah tenaga kerja yang turut serta
didalamnya. Ketimpangan ini perlu diatasi agar sektor yang paling banyak
mengasilkan output, diisi oleh tenaga kerja yang tinggi pula agar kesejahteraan
dan kemakmuran bagi ayoritas masyarakat Indonesia, bukan hanya sebagian
masyarakat kecil saja.
94
4.3.2 Pengaruh TPAK Terhadap Ketimpangan Pembangunann Antar
Provinsi Di Indonesia
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja memiliki hubungan yang positif
terhadap ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia. Pengaruhnya
positif dengan nilai koefisien sebesar 0.281253 dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa jika jumlah angkatan kerja yang bekerja pada suatu daerah
mengalami kenaikan sebesar 1%, maka pengaruhnya terhadap perubahan
tingkat ketimpangan pembangunan anatar provinsi di Indonesia meningkat
sebesar 0.281253%.
Dalam teori Neoklasik, tenaga kerja berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan suatu wilayah, dengan kata lain peningkatan dalam jumlah tenaga
kerja akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari wilayah tersebut, dan aliran
neoklasik percaya bahwa adanya mobilitas faktor yang sempurna. Jumlah tenaga
kerja yang meningkat akan menambah tingkat produksi. Tenaga kerja akan
berpindah dari daerah yang tertinggal menuju ke daerah yang lebih maju, dimana
daerah yang maju memiliki tingkat upah yang relatif kebih tinggi dibandingkan
dengan daerah yang tertinggal. Sehingga hal tersebut mengakibatkan
peningkatan kesenjangan/ketimpangan di suatu wilayah atau daerah, akibat
adanya perpindahan tenaga kerja yang produktif ke daerah yang maju. Namun
dalam jangka panjang faktor modal bergerak sebaliknya, yaitu dari daerah yang
maju ke daerah yang tertinggal. Karena daerah yang tertinggal memberikan
mempunyai nilai upah yang kecil sehingga para investor lebih memilih daerah
tertinggal dalam hal tingkat upah.
Pada penelitian untuk studi kasus provinsi di Indonesia ini dihasilkan
bahwa pengaruh tenaga kerja signifikan terhadap ketimpangan suatu kesimpulan
95
bahwa peningkatan jumlah angkatan kerja yang bekerja akan meningkatkan
ketimpangan pembangunan yang terjadi. Meskipun daerah maju memiliki nilai
upah yang tinggi, namun jumlah lapangan pekerjaan tetap memiliki jumlah yang
terbatas, dengan kata lain bahwa jumlah lapangan pekerjaan tidak sesuai
dengan jumlah pencari kerja, sehingga menyebabkan kurang terserapnya tenaga
kerja.
Tabel 4.9 : Tingkat Partisipasi Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka
tahun 2013-2014 Indonesia
TPTProvinsi
2013 2014Rata-rata
Aceh 8,34 6,75 7,54Sumatera Utara 6,09 5,95 6,02Sumatera Barat 6,39 6,32 6,36Riau 4,19 4,99 4,59Jambi 2,89 2,50 2,70Sumatera Selatan 5,41 3,84 4,62Bengkulu 2,10 1,62 1,86Lampung 5,07 5,08 5,08Kepulauan Bangka Belitung 3,22 2,67 2,95Kepulauan Riau 6,05 5,26 5,66DKI Jakarta 9,64 9,84 9,74Jawa Barat 8,88 8,66 8,77Jawa Tengah 5,53 5,45 5,49DI Yogyakarta 3,75 2,16 2,96Jawa Timur 3,97 4,02 4,00Banten 9,77 9,87 9,82Bali 1,93 1,37 1,65Nusa Tenggara Barat 5,28 5,30 5,29Nusa Tengggara Timur 2,12 1,97 2,04Kalimantan Barat 3,13 2,53 2,83Kalimantan Tengah 1,81 2,71 2,26Kalimantan Selatan 3,88 4,03 3,96Kalimantan Timur 8,94 8,89 8,92Sulawesi Utara 7,50 7,27 7,38Sulawesi Tengah 2,67 2,92 2,80Sulawesi Selatan 5,88 5,79 5,83Sulawesi Tenggara 3,43 2,13 2,78Gorontalo 4,51 2,44 3,47
96
Sulawesi Barat 2,02 1,60 1,81Maluku 6,97 6,59 6,78Maluku Utara 5,50 5,65 5,58
TPTProvinsi
2013 2014Rata-rata
Papua Barat 4,36 3,70 4,03Papua 2,91 3,48 3,19Indonesia 5,88 5,70 5,79
Sumber : BPS, Sakernas, 2015
Pada tabel 4.9 Tingkat pengangguran terbuka Indonesia mencatat bahwa
pada tahun 2014 mencatat angka terendah yaitu sebesar 5,7%. Sedangkan
untuk provinsi yang memiliki tingkat pengagguran tinggi adalah provinsi Aceh,
SumUt, SumBa, DKI Jakarta, JaBar, KalTim, SulUt, dan Maluku. Berdasarkan
data bps, jumlah orang yang menganggur tahun 2014 7,15 juta orang, menurun
jika pada tahun 2013 adalah 7,41 juta orang. Walaupun jumlah tingkat
pengangguran terbuka di Indonesia menurun namun penyerapan tenaga kerja
belum sepenuhnya. Hal tersebut diakibatkan karena kualitas sumber daya
manusia yang rendah seperti pada gambar 4.6 dimana jumlah yang
berpendidikan rendah lebih tinggi daripada yang berpendidikan tinggi, sehingga
persaingan sumber daya manusia menyebabkan masih banyak masyarakat
belum terserap tenaga kerja dan menyebabakan ketimpangan pembangunan
antar provinsi.
4.3.3 Pengaruh Kredit Investasi Terhadap Ketimpangan Pembangunann
Antar Provinsi Di Indonesia
Kredit Investasi memiliki hubungan positif dengan koefisien 0.001490 dan
berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar provinsi di
Indonesia. Artinya jika jumlah kredit investasi naik sebesar 1%, maka akan
meningkatkan ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia sebesar
0.001490%.
97
Berdasarkan teori aliran neoklasik mengatakan bahwa modal memiliki
hubungan yang positif dengan pertumbuhan ekonomi atau dengan hasil output
suatu wilayah. Kegiatan investasi membuat masyarakat terus menerus
meningkatkan kegiatan ekonominya dan membantu menciptkan lapangan kerja
dan menaikan produktivitas sektor-sektor. Selain itu menurut neoklasik, modal
akan mengalir dari daerah yang maju menuju ke daerah yang tertinggal atau
dengan kata lain memilki mobilitas sempurna.
Namun pada penelitian ini variabel kredit investasi memilki hasil yang
signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia. Hal
tersebut dikarenakan adanya aliran dana investasi diharapkan dapat mengurangi
ketimpangan anatar provinsi di Indonesia secara langsung namun perlu adanya
pemerataan dalam penyaluran dana kredit pada daerah dan sektor yang tepat.
Namun investasi yang terjadi pada tabel 4.10 ini memberikan gambaran bahwa
sebagian besar investasi swasta banyak terdapat pada daerah yang maju dan
kurangnya investasi pada daerah yang kurang maju. Ivestasi memang dapat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan dapat membantu mengurangi
ketimpangan namun jika investasi banyak mengalir sebagian besar di daerah
pulau Jawa saja dan kurang meratanya ke wilayah provinsi Indonesia. namun
perlu adanya pemerataan dalam penyaluran dana kredit pada wilayah dan sektor
yang tepat.
Tabel 4.10 : Reaslisasi PMA Berdasarkan Lokasi tahun 2014
NO LOKASI INVESTASI (JUTA $) PROYEK1 Jawa Barat 1.767,4 5062 Kalimantan Timur 798,6 1023 Riau 618,7 274 Banten 591,0 1945 DKI Jakarta 416,6 8806 Jawa Timur 339,6 1207 Kalimantan Tengah 309,6 55
98
8 Sumatera Selatan 304,1 459 Papua 285,7 2110 Kalimantan Barat 237,3 7011 Kalimantan Selatan 148,6 38NO LOKASI INVESTASI (JUTA $) PROYEK12 Bali 135,8 12113 Nusa Tenggara Barat 128,4 5114 Jawa Tengah 128,0 6015 Sumatera Utara 122,4 6516 Kepulauan Riau 107,7 3417 Papua Barat 77,8 1018 Sulawesi Tenggara 61,1 2119 Sulawesi Selatan 47,2 1620 Sulawesi Utara 46,5 3221 Sumatera Barat 37,5 2622 Maluku Utara 35,5 823 Kepulauan Bangka Belitung 34,9 724 Jambi 24,2 2725 Sulawesi Tengah 16,6 2726 Lampung 15,3 1627 DI Yogyakarta 9,6 728 Aceh 4,3 2229 Nusa Tenggara Timur 2,7 1830 Maluku 1,7 631 Bengkulu 1,7 332 Sulawesi Barat 0,1 433 Gorontalo 0,0 2
TOTAL 6.856,2 2.642
Sumber : BKPM, 2014
Dengan adanya data diatas menunjukan bahwa ketimpangan
pembangunan dalam variabel investasi pada setiap daerah. Untuk itu diharapkan
pemerintah bisa lebih mengarahkan investasi asing atau penanaman modal
asing di Indonesia untuk menyerap banyak tenaga kerja, khususnya penyerapan
tenaga kerja bagi masyarakat dalam negeri atau provinsi tertentu. Sehingga
dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara besaran dari nilai investasi,
khususnya investasi asing di suatu wilayah dengan penyerapan tenaga kerja
99
yang nantinya juga akan memberikan hasil atau dampak positif terhadap
perekonomian suatu wilayah.
4.3.4 Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Ketimpangan
Pembangunann Antar Provinsi Di Indonesia
Dana Alokasi Umum (DAU) memilki hubungan yang negatif terhadap
ketimpangan pembangunan antar provinsi di Indonesia. Hubunganya negatif
dengan koefisien sebesar -0.009829. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa jika dana alokasi umum yang dikeluarkan APBN mengalami kenaikan
sebesar 1% maka pengaruhnya terhadap ketimpangan pembangunan antar
provinsi di Indonesia menurun sebesar -0.009829%.
Menurut teori kebijakan fiskal pengeluaran pemerintah dalam bentuk
bantuan dana alokasi umum (DAU), adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desendtralisasi.
Prinsipnya, semakin besar sumbangan PAD kepada APBD akan menunjukan
semakin kecil ketergantungan daerah kepda pusat. Selain itu, adanya
perkembangan peningkatan pendapatan dari pos PAD di suatu daerah, juga
dapat memberikan gambaran bahwa daerah tersebut memiliki kinerja fiskal yang
semakin baik (khusaini, 2006). Desentralisasi fiskal memberikan keluluasaan
pemerintah daerah untuk mengatur angaran sendiri dengan standar tertentu dari
pemerintah pusat untuk dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah di
Indonesia.
100
Gambar 4.12 : Pengeluaran Dana Alokasi Umum tahun 2012-2015
Sumber : APBN 2016
Pada gambar 4.12 diatas terlihat dana alokasi umum (DAU) setiap
tahunnya meningkat mulai tahun 2012 hingga tahun 2015. Hal tersebut berarti
setiap daerah masih mengharapkan adanya dana bantuan untuk menutupi
kekurangan pada setiap kebutuhan daerah tersebut agar daerha yang satu
dengan daerah yang lain tidak terlalu timpang. Efektivitas penggunaan anggaran
dana alokasi umum di suatu daerah juga menunjang terciptanya ruang fiskal
yang cukup memberi ruang dalam pembangunan suatu daerah.
Dari hasil penelitian ini Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh tidak
signifikan terhadap ketimpangan pembangunan walau dengan adanya dana
alokasi umum (DAU) dapat membantu mengurangi ketimpangan pembangunan
antar daerah dengan bantuan tersebut. Menurut Muliana (2009) dana alokasi
umum secara tidak langsung membuat meningkatkan kemalasan dan
ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana bantuan pemerintah pusat,
DAU seharusnya hanya bersifat mendukung bagi pelaksanaan pemerintah dan
pembangunan daerah. Sehingga sebaiknya pemerintah daerah terus
mengembangkan potensi daerah dan berupaya agar pendapatan daerah dapat
memenuhi kebutuhan pengeluaran daerah sehingga menjadi daerah potensial.
101
4.3.5 Pengaruh Belanja Modal Terhadap Ketimpangan Pembangunann
Antar Provinsi Di Indonesia
Belanja Modal memiliki hubungan yang positif terhadap ketimpangan
pembangunan antar daerah di Indonesia. Pengaruhnya positif dengan nilai
koefisien sebesar 0.007057. dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahw jika
pengeluaran belanja modal daerah yang tertuang dalam APBD mengalami
kenaikan sebesar 1% maka pengaruhnya terhadap perubahan ketimpangan
pembangunan antar daerah di Indonesia naik sebesar 0.007057 persen.
Menurut kebijakan fiskal, peningkatan pengeluaran pemerintah daerah
untuk belanja modal untuk meningkatkan pembangunan. Karena struktur dari
belanja modal, pengeluaran terbesarnya diperuntukan untuk infrastruktur dan
fasilitas publik, maka dengan anggaran modal lebih banyak, utamanya untuk
infrastruktur jalan, dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. pemerintah pusat
maupun daerah dapat bekerjasama untuk lebih mengefisiensikan realisasi dari
anggaran belanja modal itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam
belanja modal, khususnya dalam pendanaan, pengembangan serta
pembangunan sarana Infrastruktur sebagai salah satu pos belanja yang memiliki
porsi anggaran lebih besar dibandingkan dengan jenis belanja modal lain seperti
tanah, peralatan, gedung pemerintahaan, dll.
102
Gambar 4.13 : Belanja APBD Indonesia tahun 2014
Sumber : Kemenkeu, 2015
Pada gambar 4.13 diatas terlihat bahwa pengeluaran untuk belanja
pegawai lebih tinggi dibandingkan dengan belanja modal. Belanja modal tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pembangunan antar
provinisi di Indonesia. Karena pengeluaran dalam belanja modal lebih kecil
dibandingkan pengeluaran belanja pegawai lebih besar karena dengan
mengingat bahwa disetiap daerah mengalami peningkatan jumlah pegawai dan
juga gaji yang diberikan, hal inilah yang menyebabkan belanja pegawai lebih
besar dari belanja modal. Daerah yang memiliki pendapatan daerah yang besar
akan besar pula pengeluaran untuk belanja modalnya. Namun pemerintah
sebaiknya meningkatkan belanja modal karena berkaitan dengan infrastruktur
atau fasilitas publik. Dengan adanya fasilitas tersebut daerah yang kurang dalam
sumberdaya alam akan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
103
103
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diatas penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari hasil estimasi pengujian menggunakan analisis regresi data panel
dalam penelitian ini, PDRB Sektor Pertanian, Sektor Industri dan Sektor
Jasa, TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja), Kredit Investasi, Dana
Aloksi Umum, dan Belanja Modal terdapat pengaruh terhadap
ketimpangan pembangunan. Dimana (1) PDRB Sektor Pertaniain
berhubungan positif dengan ketimpangan pembangunan, (2) PDRB
Sektor Industri berhubungan positif dengan ketimpangan pembangunan,
(3) PDRB Sektor Jasa berhubungan negatif dengan ketimpangan
pembangunan, (4) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja positif terhadap
ketimpangan pembangunan, (5) Kredit Investasi berhubungan positif, (6)
Dana Alokasi Umum berhubungan negatif dengan ketimpangan
pembangunan, dan (7) Belanja Modal berhubungan positif dengan
ketimpangan pembangunan.
2. Struktur ekonomi dibagi dalam 3 sektor yakni pertanian, Industri dan
Jasa. Untuk mengurangi ketimpangan pembangunan ketiga sekotor
tersebut harus saling diintegrasikan untuk dapat mengurangi ketimpangan
pembangunan. Di Indonesia dari ketiga sektor tersebut hanya sektor Jasa
yang memiliki hubungan negatif terhadap ketimpangan pembagunan hal
ini karena adanya pergeseran struktur ekonomi sehingga sektor jasa yang
104
mulai dapat banyak menyerap tenaga kerja sehingga dapat mengurangi
ketimpangan.
3. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa variabel yang memiliki
pengaruh dalam mengurangi ketimpangan pembangunan dan berslope
negatif adalah variabel PDRB Sektor Jasa dan variabel Dana Alokasi
Umum. Hal ini mengindikasikan bahwa selama
5.2. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan hasil penelitian, penulis mencoba
mengungkapkan beberapa saran yang dapat dijadikan salah satu pertimbangan
bagi pembuat kebijakan untuk menciptakan suatu kebijakan terkait dalam
mengurangi ketimpangan pembangunan. Berikut merupakan saran yang dapat
direkomendasikan oleh penulis:
1. Selain itu pemerintah di setiap wilayah provinsi di Indonesia diharapkan
dapat meningkatkan kembali kepercayaan para investor lewat
pengembangan potensi wilayah terutama dari segi sektor-sektor unggulan
di provinsi tersebut agar dengan demikian dapat lebih meningkatkan lagi
pertumbuhan ekonomi pada seluruh sektor di masing-masing Provinsi
Indonesia.
2. Peranan Investasi Asing sesuai dengan semangat otonomi daerah, hal
tersebut juga harus dipacu dengan peningkatan situasi kondusif
berinvestasi, pembuatan peta potensi wilayah di setiap provinsi Indonesia
dan pembentukan unit pelayanan terpadu di daerah-daerah untuk
mempermudah pelayanan pembuatan ijin usaha dan investasi.
3. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan kuantita infrastrutur dengan
cara meniakan anggaran belanja modal. Dalam mengumpulakan dana
tersebut tidak hanya dana dari pemerintah saja, namun juga bisa
105
menggunakan dana investasi swasta dengan cara mempermudah dan
mempromosikan investor untuk mau berinvestasi pada bidang
infrastruktur.
4. Perlunya menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah,
meningkatkan integrasi dan interkonektivitas seluruh wilayah sehingga
terjadi pemerataan pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2013. Teori-Teori Pembangunan Ekonomi ; Pertumbuhan ekonomi
dan Pertumbuhan Wilayah, cetakan pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Amstrong, H.W. and Taylor, J. 2000. Refional Economics and Policy, 3rd edition, Blackwell,
Oxford.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (bpkp). Data Dana Alokasi Umum
Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota. Web: bpkp.go.id, diakses 20 september
2016.
Badan Pusat Statistik (BPS). Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB Sektor
Pertanian). Web: http://bps.go.id, diakses pada 12 Juni 2017.
Badan Pusat Statistik (BPS). Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB Sektor
Industri). Web: http://bps.go.id, diakses pada 12 Juni 2017.
Badan Pusat Statistik (BPS). Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB Sektor Jasa).
Web: http://bps.go.id, diakses pada 12 Juni 2017.
Badan Pusat Statistik (BPS).Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Menurut Provinsi
2005-2014. Web: http://bps.go.id, diakses pada 8 Maret 2016.
Badan Pusat Statistik (BPS).Perkembangan PDB Indonesia ADHK tahun 2005-2013. Web:
http://bps.go.id, diakses pada 8 Maret 2016.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Katalog Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Katalog Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2010-
2035.
BAPPENAS. 2013. Analisis Kesenjangan Antar Wilayah 2013. Jakarta.
BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). 2014. Realisasi Penanaman Modal Di
Indonesia 2014. Jakarta.
Boediono. 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta : BPFE.
Darwanto dan Yulia Yustikasari. 2007. Magister Sains Ilmu-ilmu Ekonomi, Manajemen,
Akuntansi Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Simposium Naional Akutansi.
Universitas Hasanudin Makasar.
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK). Data Anggaran Belanja Modal per
Provinsi Indonesia. Diakses 12 Maret 2016.
Djojohadikusumo, Sumitro. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, dasar Teori
Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta : LP3ES.
Dumairy, 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Donmoyer, R. 2008. Generalizability. In Givens, L. (Ed.), Encyclopedia of Qualitative
Research.Thousand Oaks,CA: Sage.
Umiyati, Etik. 2013. Analisia Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan di
Pulau Sumatera. Journal of Paradigma Ekonomika Vol 1, No7 April 2013.
Gujarati, D.N. 2012. Dasar-Dasar Ekonometrika (Basic Econometrics), Edisi Kelima .
Penerbit : Jakarta, Salemba Empat
Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. McGraw-Hill International Edition, Economic
Series.
Hartono, Budiantoro. 2008. Tesis Analisi Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di
Provinsi Jawa Tengah. Tesis Dipublikasikan. Diakses Tanggal 20 Juni 2016.
Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. 2004. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan
Asli Daerah Terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten dan Kota di Jawa
dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No.2/Tahun XIII/25.
Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi keuangan daerah, Edisi Revisi.
Jakarta: Salemba Empat.
Kementerian PPN/BAPPENAS. 2014. Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Tahun 2010-2014. Jakarta.
Khusaini, M., 2006, Kajian Desentralisasi Fiskal, Pengaruhnya terhadap Efesiensi Ekonomi
Sektor Publik, Pertumbuhan Ekonomi Sektor Publik, Pertumbuhan Ekonomi
Kekhususan Studi Pembangunan, Program Pasca Sarjana, Universitas
Brawijaya Malang.
Krisyanti, Linda. 2007 Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Perannya dalam
Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Timur. Jurnsl Ilmu Ekonomi. Bogor : IPB
Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan Teori. Masalah. dan Kebijakan.
Yogyakarta : UPP STIM YKPN.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi Perencanaan,
Strategi dan Peluang. Jakarta : Erlangga.
Manik, Fitri R. 2009. Analisis Ketimpangan Pembangunan Antara Kota Medan dengan
Kabupaten Simalungun. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Mankiw, N. Gregory.2004. Teori Makro Ekonomi, Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.
Mankiw, N. Gregory. 2007. Makroekonomi, Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Mapongga, Herwin. 2011. Analisis Ketimpangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi
Gorontalo. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo. Volume 10,
No1 Juni 2011, Hal 40-51.
Mubyarto. 2001. Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis
Ekonomi. Yogyakarta : BPFE
Muliana. 2009. Pengaruh Rasio Efektivitas PAD, DAU, dan DAK Terhadap Tingkat
Kemandirian Keuangan Daerah. Skripsi. Medan: Fakultas Ekonomi Universitas
Sumatera Utara.
Rosmeli. 2014. Dampak Belanja Daerah Terhadap Ketimpangan Antar Daerah Di Provinsi
Jambi. Jurnal Paradigma Ekonomika. Volume 9. No 01 April 2014.
Sadono, Sukirno. 2006. Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah Dan Dasar Kebijakan,
Edisi Kedua. Jakarta : Kencana.
Sjafrizal, 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Baduose Media, Cetakan Pertama.
Padang.
Sun’an, Muammil. 2015. Ekonomi Pembangunan Daerah. Penerbit : Jakarta, Mitra
Wancana Media.
Syaiful. 2006. Pengertian dan Perlakuan Akuntansi Belanja Barang dan Belanja Modal
dalam Kaidah Akuntansi Pemerintahan. Artikel.
Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Terjemahan,
Edisi Kesembilan, Jilid 1 dan 2. Penerbit : Jakarta, Erlangga.
Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. 2011. Pembangunan Ekonomi. Terjemahan,
Edisi Kesebelas, Jilid 1 dan 2. Penerbit : Jakarta, Erlangga.
Undang-Undang Nomor. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta. Kementerian Keuangan Indonesia.