Anestesi Dan Obesitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anestesi pada obesitas

Citation preview

21

BAB IPENDAHULUAN

Obesitas merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Saat ini, obesitas mencapai proporsi epidemik di seluruh dunia. Estimasi terbaru memperkirakan bahwa jumlah individu dengan status gizi obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami malnutrisi. Sekitar 1/3 penduduk Amerika (33,8%) mengalami obesitas. Prevalensi obesitas di United States tidak menyebar secara merata sesuai dengan geografis, ras, etnis maupun sosial ekonomi. Akan tetapi kasus obesitas semakin meningkat dan prevalensi indvidu dengan obesitas diperkirakan akan mencapai 50% pada tahun 2030.1 Badan kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan obesitas sebagai kondisi lemak tubuh berlebih yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang. Pada tahun 2010, prevalensi obesitas tertinggi diantara 192 negara Eropa anggota WHO adalah di Nauru (laki-laki 84,6%, perempuan 80,5%) dan Pulau Cook (laki-laki 72,1%, perempuan 73,4%). Sedangkan di United States telah dilaporkan sebanyak 44,2% laki-laki dengan obesitas dan 48,3% perempuan dengan obesitas pada tahun 2010.1,2Keadaan obesitas dapat menimbulkan efek merugikan bagi sistem organ secara keseluruhan meliputi gangguan pada sistem respirasi, sistem kardiovaskular dan hematologi, sistem gastrointestinal maupun sistem renal dan endokrin. Kondisi yang berhubungan dengan obesitas seperti gagal jantung, diabetes insulin dan noninsulin dependen dan beberapa tipe keganasan dapat menyebabkan kematian. Pembedahan pada pasien dengan obesitas memiliki resiko komplikasi yang tinggi. Dismping itu prosedur anestesi juga dapat mmberikan implikasi yang signifikan pada pasien obesitas. Oleh karena itu, perencanaan yang hati-hati, penilaian resiko perioperatif, managemen anestesi yang tepat, pencegahan venatrombosis, manajemen nyeri postoperatif dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Dengan managemen perioperatif yang tepat, diharapkan pembedahan pada pasien obesitas dapat berjalan dengan aman dan mencapai hasil operasi yang efektif.2,3 BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas2.1.1Definisi dan Klasifikasi ObesitasObesitas didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan energi yang menghasilkan kelebihan lemak badan lebih dari 20% berat badan ideal. Sejumlah literatur mengatakan bahwa laki-laki dengan jumlah lemak tubuh lebih dari 25% dan wanita lebih dari 30% termasuk dalam golongan kelebihan berat badan atau obesitas.3,4,5 Berat badan ideal (BBI) atau ideal body weight (IBW), merupakan konsep yang berasal dari perusahaan asuransi jiwa yang dirujuk dari tabel tinggi badan-berat badan. Pada Indeks Broca (dimana tinggi badan dalam satuan sentimeter selanjutnya dikurangi 100 pada laki-laki dan dikurangi 105 pada perempuan), maka BBI selanjutnya dapat dihitung dengan rumus:1,5

Laki-laki: BBI (kg) = TB (cm) 100Perempuan : BBI (kg) = TB (cm) 105

BMI = tinggi (kg)/ berat badan (m2)Dalam praktek klinis, untuk mengestimasikan tingkat obesitas seseorang, umumnya digunakan pengukuran body mass index (BMI). BMI ditentukan berdasarkan pengukuran berat badan (dalam kg) dan tinggi badan (dalam meter), dengan menggunakan rumus:1,4,5

Seorang individu dikatakan mengalami obesitas jika bedasarkan pengukuran dengan rumus tersebut didapatkan BMI 30 kg/m2. Standar BBI, berat badan spesifik berdasarkan jenis kelamin diperkenalkan oleh Metropolitan Life dengan klasifikasi sebagai berikut antara lain:5 Anoreksia: BMI 40,0 Super obese: BMI > 50,0

Kadangkala sistem ini dipergunakan tanpa membedakan jenis kelamin. Berikut disajikan tabel klasifikasi status gizi berdasarkan perhitungan BMI tanpa membedakan jenis kelamin dikombinasikan dengan risiko penyakit sistemik dari setiap nilai BMI tersebut berdasarkan pengukuran lingkar lengan atas pada individu laki-laki dan perempuan dewasa (Tabel 1).1,5

Tabel 1. Klasifikasi Obesitas dan Risiko Penyakit Sistemik Berdasarkan Lingkar Lengan Atas1BMI (kg/m2)Status GiziRisiko Penyakit Sistemik (Berdasarkan Lingkar Lengan Atas)

Laki-laki < 102 cmLaki-laki 102 cm

Perempuan < 88 cmPerempuan 88 cm

< 18,5Underweight

18,6 24,9Normal

25 29,9Overweight

30 34,9Obesity (class I)AverageAvegere

35 39,9Severe Obesity (class II)IncreasedHigh

40Morbid Obesity (class III)HighVery high

50Super ObesityVery highVery high

60Super-super obesityExtremely highExtremely high

Nilai BMI dapat membedakan individu obesitas dengan non obesitas dan mengestimasikan lemak tubuh karena BMI merujuk pada tinggi badan yang berhubungan erat dengan berat badan. Akan tetapi, BMI tidak dapat membedakan antara kelebihan lemak (overfat) dengan kelebihan berat badan (overweight), karena berat otot seseorang dapat diklasifikasikan sebagai kelebihan berat badan dengan menggunakan BMI. Oleh karena itu faktor-faktor lain seperti umur, dan distribusi lemak (lingkar lengan dan rasio lingkar lengan : lingkar panggul) harus dipertimbangkan karena hal tersebut berhubungan dengan resiko penyakit lain yang mempengaruhi konsep BMI.1 Terdapat beberapa perbedaan pola distribusi obesitas. Pada obesitas perifer (misalnya pada pola gynoid atau gluteal) maka individu tersebut menunjukkan bentuk tubuh seperti buah pir, dengan penimbunan jaringan lemak terletak dominan pada tubuh bagian bawah. Berbeda halnya dengan obesitas sentral (misalnya pada pola android atau cushingoid) maka terutama obesitas terjadi pada tubuh bagian atas, sehingga individu tersebut memperlihatkan bentuk tubuh seperti buah apel. Dari kedua tipe obesitas tersebut, maka obesitas sentral mempunyai hubungan yang lebih besar terhadap risiko perioperatif, peningkatan konsumsi oksigen dan peningkatan insiden penyakit kardiovaskular.1,5,6

Gambar 1. Perbedaan Obesitas Sentral dan Obesitas Perifer6

2.1.2Penyebab ObesitasObesitas merupakan kelainan kronik dengan penyebab multifaktor, meliputi: faktor sosial, budaya, fisiologi, psikologis, metabolik, endokrin, genetik, komponen tingkah laku, dan semuanya tersebut akhirnya menghasilkan penumpukan massa jaringan lemak secara berlebihan.4,5 Pada individu dengan obesitas, Resting Energy Expenditure (REE) meningkat, namun hal ini berlawanan dengan peningkaan konsumsi kalori yang dramatis. Regulasi nafsu makan dan rasa kenyang merupakan proses yang kompleks dibawah kontrol mekanisme humoral dan integrasi neurologis dan diproses pada pusat hipotalamus. Hormon yang memperngaruhi diantaranya leptin, adiponektin, insulin, ghrelin dan peptide YY3-36. Leptin dan adiponektin diproduksi oleh adiposit dan levelnya mencerminkan total massa adiposit. Leptin memberi sinyal rasa kenyang dan penting dalam mengurangi keinginan untuk makan. Namun. pada pasien obesitas, konsentrasi plasma leptin meingkat tetapi menunjukkan insensitivitas leptin. Disamping itu, keinginan untuk diet menghasilkan penurunan leptin yang menyebabkan peningkatan nafsu makan dan sifat ingin makan. Adiponektin memiliki signal yang mirip dengan leptin, tetapi konsentrasinya tidak meningkat pada kasus obesitas. Leptin dan adiponektin mengatur perubahan nafsu makan jangka panjang, dimana efek jangka pendeknya adalah disignaling oleh aktivitas insulin pada hipotalamus.7Rasa kenyang juga disignaling oleh kelompok peptide termasuk ghrelin yang dihasilkan oleh dinding perut. Saat makan dinding perut meregang dan menekan produksi ghrelin dan mengurangi rasa lapar. Ghrelin juga termasuk dalam regulasi dari sensivitas insulin. Ketika makanan melewati usus kecil, peptide YY3-36 dan beberapa peptide lainnya dilepaskan, memberi signal rasa kenyang. Ekstremitas efferent dari keseimbangan energi dan reflek lapar dimediasi oleh sistem saraf otonom.7 2.2 Managemen Anestesi pada Pasien Obesitas 2.2.1Managemen PreoperatifEvaluasi preoperatif memiliki peran penting bagi pasien obesitas yang akan menjalani operasi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik difokuskan pada sistem kardiovaskular dan respirasi serta evaluasi jalan napas. Pada beberapa kasus, pemeriksaan preoperatif diagnostik termasuk pemeriksaan darah rutin, foto rotgen dada, pemeriksaan stress jantung, ekokardiografi transthorax dan analisis gas darah penting untuk mengevaluasi status kesehatan pasien obesitas secara menyeluruh. Anamnesis mengenai riwayat anestesi dan operasi sebelumnya dengan perhatian spesifik kepada induksi dan intubasi juga menjadi bagian penting karena dapat membantu mengidentifikasi permasalahan jalan napas pada pasien obesitas.8,9,101. Evaluasi Jalan Napas Pasien obesitas memiliki potensi yang tinggi untuk mengalami kesulitan dalam proses ventilasi sungkup, laringoskopi dan intubasi. Oleh karena itu, penilaian secara detail mengenai jalan napas harus dilakukan untuk mengetahui gambaran anatomis pasien seperti: lemak wajah dan pipi, leher pendek, lidah lebar, ukuran tonsil yang besar, jaringan lunak faring dan palatum yang berlebih, keterbatasan membuka mulut, keterbatasan pergerakan leher dan/atau mandibula, payudara yang besar, peningkatan lingkar leher pada level kartilage tiroid, dan skor mallampati tiga atau lebih. Beberapa gambaran anatomis tersebut dapat menghambat pergerakan laringoskop dan meningkatkan kesulitan direct laryngiscopy (DL).8,11Secara keseluruhan, nilai BMI tidak terlalu banyak mempengaruhi kesulitan laringoskopi. Beberapa studi mengkorelasikan kesulitan tersebut dengan peningkatan umur, jenis kelamin laki-laki, kelainan sendi temporomandibular, skor mallampati tiga atau empat, obstructive sleep apnue (OSA), dan gigi rahang atas yang abnormal. Lingkar leher merupakan merupakan predisposisi terbesar kesulitan intubasi pada pasien obesitas. Lingkar leher yang lebar berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki, skor mallampati 3, laringoskop grade III, dan kejadian OSA.8,11Riwayat sleep apneu meningkatkan kemungkinan abnormalitas jalan napas atas yang dapat menjadi faktor predisposisi kesulitan ventilasi sungkup dan pembukaan epiglotis selama DL, seperti berkurangnya jarak anatomis untuk mengakomodasi pemindahan lidah ke depan. Ketika terbangun, pasien dapat mengkompensasi anatomi jalan napas dengan meningkatkan angulasi cranioservikal sehingga meningkatkan jarak antara mandibula dan tulang belakang servikal dan memperpanjang lidah dan jaringan lunak pada leher. Kompensasi ini hilang ketika pasien berada pada keadaan tidak sadar. Pada beberapa pasien, intubasi endotrakeal saat terbangun (awake intubation) menggunakan laringoskopi fiberoptik bisa menjadi metode paling tepat untuk melapangkan jalan napas. 1,8,11

Gambar 2. Klasifikasi Mallampati11

2. Sistem KardiopulmonerEvaluasi perioperatif pada pasien obesitas yang berhubungan dengan sistem kardiopulmoner meliputi hipertensi sistemik, hipertensi pulmoner, tanda gagal jantung ventrikel kanan atau kiri, penyakit jantung iskemik serta riwayat anestesi pasien sebelumnya. Tanda-tanda gagal jantung seperti meningkatnya tekanan vena jugular, suara jantung yang abnormal, pulmonary crackles, hepatomegali, dan edema perifer akan sulit terdeteksi akibat kelebihan lemak tubuh. Hipertensi pulmonal sering terjadi pada pasien obesitas akibat dari kerusakan paru kronis. 1Kejadian sleep apneu dan obstructive hypoventilation sindrom (OHS) harus diketahui sebelum tindakan operasi berlangsung. Hal ini tidak hanya karena pasien pada keadaan ini dapat mengalami kesulitan jalan napas, akan tetapi kondisi ini juga dapat meningkatkan komplikasi perioperatif pulmonal. Riwayat hipertensi atau lingkar leher > 40 cm berhubungan dengan peningkatan probabilitas OSA. Kemungkinan monitoring invasif, intubasi jangka panjang, dan ventilasi mekanis post operatif harus diperhatikan dengan baik pada pasien obesitas.13. Masalah MetabolikPasien dengan rencana tindakan operasi bariatrik berulang sebaiknya dilakukan skrining terhadap abnormalitas nutrisi dan metabolik jangka panjang. Tingginya prevalensi resisten insulin dan diabetes pada pasien obesitas mengharuskan pengecekan gula darah saat evaluasi preoperatif. Evaluasi preoperatif pada pasien obesitas meliputi penilaian terapi untuk kontrol gula darah terakhir, serta dosis dan waktu pemberian terapi preoperatif untuk pasien-pasien tertentu. Elektrolit harus diperiksa sebelum operasi, khususnya pada pasien dengan compliance rendah terhadap pengobatan atau pasien dengan penyakit akut. Pemeriksaan peningkatan liver enzim (tersering peningkatan alanin aminotransferase) dapat terjadi pada pasien obesitas, akan tetapi tidak ada korelasi yang jelas antara abnormalitas tes fungsi hati dengan kapasitas hati untuk metabolisme obat.14. Masalah HematologikMasalah obesitas khususnya obesitas morbid dikeahui sebagai faktor resiko kejadian perioperatif tromboemboli. Guidlines American Society of Chest Physicians merekomendasikan penggunaan kombinasi heparin dengan alat kompresi paru intermiten bagi pasien yang akan melaksanakan operasi bariatrik serta dibutuhkan dosis yang lebih tinggi pada pasien obesitas dibandingkan pasien nonobesitas. Beberapa faktor resiko deep vein thrombosis (DVT) yang signifikan yaitu penyakit vena stasis, BMI 60, obesitas sentral, serta OHS dan/atau OSA. Jika terdapat hal tersebut, profilaksis perioperatif untuk filter vena cava inferior harus dipertimbangkan.1Pada pasien obesitas sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap penempatan kateter intravena perifer. Apabila terjadi kesulitaan pada ases intravena, bisa dipertimbangkan untuk pemasangan kateter intravena sentral sebelum proses induksi. Jika pasien didapatkan memiliki resiko intraoperatif dan postoperatif yang sangat tinggi, sebaiknya dipertimbangkan penempatan filter vena cava inferior sebelum operasi.8 5. Diagnostik Tes PreoperatifPemeriksaan elektrokardiografi (EKG), dapat menunjukkan temuan hipertrofi ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kiri, kelainan ritmik jantung, atau infark/iskemia miokard. Akan tetapi EKG tidak selalu reliabel pada pasien obesitas karena keadaan morfologi seperti kelainan letak jantung karena elevasi diafragma, peningkatan kerja jantung yang berhubungan dengan hipertrofi jantung, peningkatan jarak antara jantung dan elektroda disebabkan oleh kelebihan lemak tubuh pada dinding dada, dan kemungkinan peningkatan lemak epikardial dan berhubungan dengan penyakit paru kronis yang dapat merubah irama jantung. Pemeriksaan rotgen dada dapat menunjukkan tanda gagal jantung, peningkatan vaskularisasi, kongesti pulmonal, hipertensi pulmonal, hiperinflasi paru, atau penyakit paru lainnya. Elektrokardiografi transthorax berfungsi untuk mengevaluasi fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kangan dan kiri untuk mengidentifikasi hipertensi pulmonal. Pada kasus OSA berat, hasil analisa gas darah (AGD) arteri pada udara ruangan penting untuk managemen ventilator intraoperatif dan postoperatif.82.2.2Managemen Intraoperatif1. Posisi PasienPasien dengan obesitas harus diposisikan secara hati-hati selama operasi. Pada posisi supine, kapasitas residual fungsional atau functional residual capacity (FRC) dan oksigenasi menurun drastis sehingga dapat menyebabkan gangguan ventilasi, vena cava inferior dan kompresi aorta pada pasien obesitas. Posisi head down memperburuk FRC dan sebaiknya dihindari bila memungkinkan. Perubahan posisi dari duduk menjadi terlentang dapat menyebabkan peningkaan konsumsi oksigen dan cardiac output yang signifikan. Posisi head up menyediakan periode apnea jangka panjang yang aman selama induksi anestesi. Intraoperatif positive end expiratory pressure (PEEP) dan posisi head up dapat menurunkan cardiac output secara signifikan yang secara parsial meniadakan keuntungan oksigenasi. Posisi prone jarang diperlukan pada pasien obesitas karena harus dilakukan pemindahan abdomen secara hati-hati untuk mencegah efek merugikan pada pertahanan paru, ventilasi dan oksigenasi arterial. Posisi prone juga meingkatkan kemungkinan terjadinya DVT. Posisi lateral dekubitus memberikan efek penyimpangan diafragma dan lebih baik jika dilakukan posisi prone sewaktu-waktu apabila prosedur operasi mengijinkan.1,8,12Operasi bariatrik memerlukan desain meja operasi khusus yaitu dua meja operasi digabung menjadi satu. Umumnya meja operasi memiliki batasan berat maksimum kira-kira 205 kg, tetapi meja operasi dapat mengangkat beban hingga 455 kg dengan lebar ekstra untuk mengakomodasi pasien obesitas. Untuk memindahkan pasien dari stretcher ke meja operasi, dapat digunakan matrass angin (hovermatt) atau papan pemindah pasien (easy move). Posisi pasien dioptimalisasi dengan ramping atau ramped position untuk kepentingan jalan napas. Posisi ini menempatkan handuk atau selimut yang berlipat-lipat dibawah bahu, leher dan kepala sehingga kepala dapat diposisikan diatas dada pada garis horizontal yang dibentuk antara sternal notch dan meatus auditorius eksternal. Posisi ini dapat mengkompensasi fleksi leher yang berlebihan akibat lemak di servikal posterior. Manuver tersebut juga dikenal dengan sebutan stacking atau head elevated laryngoscopy position (HELP) yang merupakan posisi pasien agar ujung dagu berada pada level yang lebih tinggi daripada dinding dada untuk memfasilitasi mekanisme ventilasi, laringoskopi dan intubasi. 1,8,11Beberapa area tubuh yang mendapatkan tekanan seperti siku dan tumit harus diproteksi karena dapat terjadi cedera saraf pada pasien obesitas. Disamping itu, kelainan neurologis lain seperti gangguan pada pleksus brakialis, sindrom carpal tunnel dan ulnar neuropati dapat terjadi pada area yang mendapatkan tekanan tinggi. Ekstremitas atas dan bawah juga cenderung mengalami cedera saraf perifer akibat menopang beban berat di meja operasi.8,11

Gambar 3. Ramping atau ramped position/stacking position/head elevated laryngoscopy position (HELP) untuk optimalisasi posisi pasien saat manajemen jalan napas11

2. Manajemen Jalan NapasSetelah evaluasi jalan napas, beberapa kesimpulan yang dapat diambil yaitu: (1) intubasi endotrakeal mungkin akan dapat dikerjakan melalui laringoskopi secara lansgung, sehingga jalan napas bisa diamankan setelah induksi general anestesi; atau (2) intubasi endotrakeal akan sulit dikerjakan dengan laringoskopi secara langsung, sehingga awake intubation akan lebih diperlukan. Keberhasilan intubasi bergantung pada penjajaran oral, faring dan laring yang disebut dengan sniffing position. Keadaan ini dapat dipertahankan dengan ramping position. 1,8,11 Pada proses induksi general anestesi sebelum dilakukan intubasi, sangat penting untuk melakukan preoksigenasi atau denitrogenasi pada pasien obesitas. Preoksigenasi yang cukup sangat penting pada pasien obesitas karena terjadi penurunan FRC dan peningkatan konsumsi oksigen. Ketika pasien kehilangan kesadaran, otot-otot faring dan lidah relaksasi dan menyebabkan oklusi jalan napas. Jalan napas oral atau nasal penting untuk mempertahankan kondisi jalan napas tetap terbuka dan untuk memfasilitasi ventilasi sungkup. Pada pasien obesitas dengan kelebihan jaringan lunak pada wajah, teknik ventilasi sungkup dua-tangan sangat efektif. Masing-masing tangan berada pada setiap sisi wajah mengangkat mandibula kearah sungkup sehingga tidak ada udara yang keluar dari sungkup selama proses ventilasi.1,8 Ventilasi sungkup merupakan manajemen jalan napas yang penting karena tetap mempertahankan oksigenasi pasien apabila terjadi kegagalan intubasi. Penggunaan ukuran laringoskopi yang tepat penting untuk keberhasilan intubasi. Pada pasien dimana jalan napas terlihat sulit, awake intubation merupakan pilihan yang tepat dengan syarat pasien harus kooperatif. Jalan napas diberikan anestesi topikal, pasien diberikan premedikasi yang cukup dan endotracheal tube (ETT) ditempatkan dengan menggunakan awake direct laringoscopy atau yang lebih umum dipakai adalah bronkoskopi fiberoptik. Ketika ETT telah ditempatkan dengan tepat, pasien diberikan general anestesi. 1,8 Apabila terjadi kesulitan jalan napas yang tidak terduga baik dari segi ventilasi maupun intubasi, laryngeal mask airway (LMA) merupakan pilihan yang tepat bagi ventilasi pasien. Akan tetapi, LMA sering dihindari pada pasien obesitas karena beresiko tinggi terjadi aspirasi pulmonal yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrabdomen, refluk gastroesofagus dan hiatal hernia. Pasien obesitas akan mengalami hipoventilasi dan alveoli bekerja capat selama ventilasi spontan dibawah general anestesi. Oleh karena itu, untuk mengontrol ventilasi pada jalan napas yang aman, ETT merupakan pilihan yang tepat bagi pasien obesitas. 1,8 3. Pilihan AnestesiBerdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA), anestesi lokal dan regional merupakan pilihan anestesi utama bagi pasien obesitas, sedangkan general anestesi digunakan hanya jika terdapat kepentingan untuk pemasangan epidural atau blok saraf perifer sebagai managemen nyeri postoperatif dan mengurangi kebutuhan narkotika untuk mengurangi insiden depresi napas postoperatif.8Regional anestesi termasuk spinal anestesi, epidural anestesi dan blok saraf perifer, mungkin sulit secara teknik pada pasien obesitas karena area anestesi menjadi tidak jelas akibat jaringan lemak yang berlebih. Diestimasikan bahwa resiko kegagalan regional anestesi 1,5 kali lebih tinggi pada pasien dengan BMI>30 kg/m2 daripada pasien dengan BMI rendah. Kelebihan regional anestesi adalah manipulasi jalan napas yang minimal, berkurangnya penggunaan medikasi intraoperatif dan postoperatif yang menekan sistem kardiopulmoner misalnya golongan opioid, berkurangnya resiko mual muntah postoperatif, dan hasil postoperatif yang lebih baik. Penggunaan general anestesi dihadapkan pada berbagai tantangan terutama pada managemen jalan napas baik berupa ventilasi, laringoskopi dan intubasi. Pada saat ekstubasi, diharapkan pasien sudah sadar, kooperatif dan telah membaik dari efek blok neuromuscular. Kemungkinan pemakaian CPAP (continous positive airway pressure), BIPAP (bilevel positive airway pressure) atau ventilasi mekanik pasca operasi juga penting untuk didiskusikan.8,11

4. Premedikasi, Induksi dan MaintenancePenggunaan premedikasi anxiolitik seperti benzodiazepine pada pasien obesitas masih kontroversional dan pemilihan premedikasi sebaiknya berdasarkan kasus per kasus yang tergantung pada resiko obstruksi jalan napas atas.8Masalah hipoksemia, regurgitasi lambung, dan aspirasi selama induksi dan intubasi menjadi alasan penggunaan strategi rapid sequence induction (RSI). Penggunaaan RSI berlawanan dengan teknik induksi standar sehingga harus dievaluasi secara rutin dan hati-hati dan keputusan terakhir bergantung pada resiko kesulitan ventilasi sungkup, kesulitan intubasi, hipoksemia dan aspirasi lambung selama induksi. Dibutuhkan induksi dengan dosis yang lebih tinggi karena volume darah, massa otot, dan peningkatan curah jantung sebanding dengan tingkat obesitas. Suksinilkolin memiliki onset yang cepat dan durasi kerja yang terbatas sehingga direkomendasikan untuk intubasi trakeal khususnya pada pasien obesitas dengan kesulitan managemen jalan napas atau pada pasien dengan resiko tinggi hipoksemia dan aspirasi periinduksi.8,11Continious infusion terhadap agen intravena short-acting seperti propofol atau agen inhalasi lainnya atau kombinasi keduanya dapat digunakan untuk mempertahankan anestesi. Desflurane, sevoflurane, dan isoflurane dimetabolisme secara minimal dan merupakan agen yang bermanfaat pada pasien obesitas dimana desflurane menyebabkan stabilisasi hemodinamik yang lebih baik dan pemulihan yang cepat. Penggunaan N2O meskipun cepat mengeliminasi efek analgesik, penggunaannya dibatasi oleh kebutuhan oksigen yang tinggi pada pasien obesitas. Opioid short-acting lebih direkomendasikan untuk efek analgesia yang cukup tetapi depresi respirasi postoperatif sangat dihindari. Remifentanil dan fentanyl dititrasi hati-hati untuk efek klinis merupakan pilihan yang biasa digunakan. Dexmedetomidine, merupakan 2-agonist dengan efek sedatif analgesik tidak memiliki adverse effect yang signifikan pada sistem respirasi dan anestesi pada pasien obesitas serta mengurangi kebutuhan analgesik postoperatif. Vecuronium, rocuronium, dan cisatracurium merupakan agen nondepolarisasi muscle blocking untuk maintenance muscle relaxan.8

5. Managemen CairanKelebihan jaringan lemak menyebabkan visualisasi perfusi perifer menjadi sulit, menyebabkan keseimbangan cairan sulit dicapai. Kehilangan darah biasanya lebih tinggi pada pasien obesitas daripada pasien nonobesitas pada tipe operasi yang sama, karena kesulitan mengakses lokasi pembedahan memerlukan insisi yang lebih besar dan pemotongan yang lebih luas.1Perhitungan kebutuhan cairan pada pasien obesitas sebaiknya berdasarkan lean body weight (LBW) dengan rumus total body weight (TBW) dikurangi jaringan lemak. Tujuan terapi cairan adalah normovolemia, tidak hanya untuk menghindari hipovolemik yang berhubungan dengan peningkatan kestabilan hemodinamik dan insiden mual muntah pasca operasi, tetapi juga untuk menghindari hipovolemik yang berhubungan dengan risiko dekompensasi gagal jantung kongestif, edema jaringan perifer, dan kompliksi pulmonal. Loading cairan intravena tetes cepat, sebaiknya dihindari karena komplikasi gagal jantung kongestif biasa terjadi pada pasien obesitas.1

2.2.2Managemen PostoperatifSebelum memindahkan pasien dari ruang operasi ke ruang pemulihan, pasien obesitas sebaiknya harus sadar penuh, duduk pada posisi semi tegak lurus (30 atau lebih), menerima suplemen oksigen dan monitoring pulse oksimetri. Kontak verbal harus dipertahankan selama transportasi untuk mendapatkan usaha napas yang adekuat. Ekstubasi dilakukan ketika pasien bangun dan sadar penuh dan telah pulih dari efek depresan dari anestesi.8 Managemen nyeri merupakan bagian terpenting dari terapi postoperatif pada pasien obesitas. Tujuan dari managemen nyeri tidak hanya untuk menyediakan analgesia yang cukup tetapi juga untuk menjamin mobilisasi dini dan fungsi respirasi yang cukup. Mobilisasi pada pasien obesitas sering mengalami kendala, tetapi merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah komplikasi. Ulkus akibat tekanan, emboli pulmonal, DVT dan pneumonia merupakan beberapa komplikasi yang dapat dicegah dengan mobilisasi dini. Beberapa pilihan managemen nyeri sebaiknya termasuk beberapa hal yaitu: multimodal analgesik, regional anestesi/teknik analgesia, mobilisasi dini, suplemen oksigen, dan elevasi kepala. Disamping teknik analgesik, monitoring postoperatif juga diperlukan untuk menjamin keamanan pasien.1Blok saraf perifer dan sentral dengan continuous infusion dari anestesi lokal dengan atau tanpa dosis ringan dari opioid merupakan metode efektif untuk analgesia postoperatif pada pasien obesitas. Suplemen nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), 2-reseptor agonis, N-methyl-d-aspartate (NMDA) reseptor, sodium channel blockers, atau analgesik nonopioid lainnya sangat direkomendasikan karena tidak memiliki efek depresi respirasi postoperatif. Ketorolac (golongan NSAIDs) berhasil digunakan untuk mengurangi nyeri pada periode postoperatif. Akan tetapi ketorolac tidak tepat digunakan pada pasien operasi bariatrik karena pasien ini memiliki resiko tinggi terhadap pendarahan gastrointestinal dimana ketorolac memiliki efek samping pada rasa tidak nyaman pada saluran pencernaan dan meningkatkan pendarahan pada lokasi operasi. Intravena acetaminophen telah diakui oleh food and drug administration (FDA). Namun pada pasien dengan penyakit hepar dan ginjal dosis harus dikurangi karena acetaminophene dimetabolisme pada hati dan diekskresikan melalui urin. Dexmedetomidine, selektif 2-reseptor agonis, menunjukkan pengurangan kebutuhan opioid melalui continuous infusion pada periode postoperatif. Ketamin meningkatkan efek analgesik dari morfin dengan menghambat aktivasi opioid NMDA reseptor. Ketamin dosis rendah dapat mengurangi nyeri postoperatif dan meningkatkan kesadaran serta saturasi oksigen. Jika opioid dibutuhkan untuk mengontrol nyeri postoperatif, patient-controlled analgesia merupakan pilihan yang tepat dengan dosis opioid bedasarkan LBW.8,11

BAB IIILAPORAN KASUS

3.1 Evaluasi Pra-Anestesi A. Identitas PasienNama:Made Abi DananjayaTempat/Tanggal Lahir: Budeng, 31 Desember 1999Umur:15 tahunJenis Kelamin:Laki - lakiAgama:HinduSuku/Bangsa:Bali/IndonesiaAlamat:Br. Tengah Budeng JembranaNo. CM:15004927Diagnosis Pra Bedah:OD Trauma Tumpul Komplikasi Ruptur Korneosklera + Margo PalpebraTindakan:Repair Ruptur Korneosklera + Margo PalpebraDiagnosis Pasca Bedah : OD Trauma Tumpul Post Repair Ruptur Korneosklera + Margo PalpebraMRS:25 Januari 2015 Tanggal Operasi:26 Januari 2015

B. AnamnesisPasien lakilaki, umur 15 tahun, datang ke RSUP Sanglah pada tanggal 25 Januari 2015 dengan keluhan utama nyeri pada mata kanan setelah terkena gangsing 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien merupakan rujukan dari RSU Negara dengan diagnosis trauma tajam OD post terkena gangsing pada konjungtiva. Pasien juga mengeluh pandangannya kabur. Riwayat pinsan dan muntah disangkal oleh pasien. MOI (Mechanism of Injury): Pasien sedang bermain gangsing dengan temannya di halaman rumah, tiba-tiba gangsing terpental ke mata kanan pasien. Pengobatan yang telah diterima pasien di RSU Negara meliputi wound toilet (WT) beban tekan, Amoxicillin 3 x 500 mg, Asam mefenamat 3 x 500 mg, dan Oksitetraticlyn salep mata. Riwayat demam, batuk berulang, sesak nafas disangkal oleh pasien. Buang air besar dan buang air kecil dikatakan normal. Riwayat alergi makanan maupun obat-obatan dikatakan tidak ada. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi, kencing manis, penyakit jantung dan juga riwayat asma di keluarga. Keluhan seperti ini pertama kali dirasakan oleh pasien. Dikeluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti yang dialami pasien. Pasien tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya.

C. Pemeriksaan FisikStatus Present:Kesadaran: Kompos mentis (GCS E4V5M6)Tekanan Darah : 130/70 mmHgNadi: 82 kali/menitSuhu: 36,6o CRespirasi: 16 kali/menitBerat badan: 100 kgTinggi badan: 170 cmBMI: 34,6 kg/m2Saturasi O2: 99%

Pemeriksaan Fisik UmumSusunan saraf pusat: GCS E4V5M6, anemis -/-, Refleks pupil +lambat/+ isokor, bulat regulerRespirasi: Spontan, RR 16 kali/menit, vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing-/- Kardiovaskuler: Tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 82 kali/menit reguler, S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)Gastrointestinal: Distensi (-), Bising Usus (+) normalUrogenital: Buang air kecil spontanMuskuloskeletal: Fleksi dan defleksi leher normal, mallapati II, CIS teraba gigi geligi utuh, gigi palsu tidak ada.VAS: Diam 1 cm, bergerak 2 cmD. Pemeriksaan penunjang

DARAH LENGKAP (26 Januari 2015)

PARAMETERHASILNIlAI RUJUKANREMARKS

WBC13,4 103/L4,10-11,00H

RBC5,36 103/L4,50-5,90N

HGB15,7 g/dL13,5-17,5N

HCT47,9 %41,0-53,0N

PLT329 3/ L150-440N

KIMIA KLINIK (25 Januari 2015)

PARAMETERHASILNILAI RUJUKANREMARKS

SGOT32,9 U/L11-33N

SGPT66,2 U/L11,00-50,00H

BS Acak120 mg/dL70,00-140,00N

BUN10 mg/dL8,00-23,00N

Creatinin0,7 mg/dL0,7-1,2N

Natrium (Na)136 mmol/L136-145N

Kalium (K)4,39 mmol/L3,50-5,10N

Chlorida (Cl)96,9 mmol/L94,00-110,00N

Kalsium (Ca)9,71 mg/dL9,20-11,00N

FAAL HEMOSTASIS (25 Januari 2015)

PARAMETERHASILNILAI RUJUKANREMARKS

PPT11,2 detikPerbedaan dengan kontrol < 2 detikN

Kontrol PTT11,1 detikN

INR0,97N

APTT27,4 detikPerbedaan dengan kontrol < 7 detikN

Kontrol APTT30,4 detikN

E. Assesment TS Mata OD Trauma Tumpul Komplikasi Ruptur Korneosklera + Margo Palpebra

F. KesimpulanPasien masuk dalam kategori status fisik ASA II E

3.2 Persiapan Pra-AnestesiA. Persiapan Rutin Sebelum Operasi1. Persiapan psikis: memberi penjelasan kepada pasien dan keluarganya mengenai prosedur tindakan anestesia dan pembedahan yang akan dilakukan.2. Persiapan fisik: Pasien puasa makanan padat 8 jam sebelum operasi dan puasa cairan jernih (air putih) 3 jam sebelum operasi Melepaskan pakaian, perhiasan dan aksesoris lainnya Menggunakan pakaian khusus untuk operasi3. Membuat surat persetujuan tindakan medis (informed consent).

B. Persiapan di Kamar Operasi1. Persiapan meja operasi dan peralatan lain yang diperlukan.2. Persiapan alat resusitasi antara lain: alat bantu nafas, laringoskop, pipa jalan nafas, alat hisap, defibrilator, dll.3. Persiapan obat-obat anestesi yang diperlukan.4. Persiapan alat-alat dan obat resusitasi seperti adrenalin, atropin, aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain-lain.5. Mempersiapkan pasien di meja operasi, memasang IV line, memasang alat pantau nadi, tekanan darah, saturasi, EKG dan selang oksigen. 6. Evaluasi ulang status present pasien: Tekanan Darah : 130/70 mmHg Nadi: 84 kali/menit Suhu: 36,6o C Respirasi: 16 kali/menit

3.3Pengelolaan Anestesi1. Jenis Anestesia: General Anesthesia Oro Tracheal Tube (GA-OTT)2. Teknik Anestesia: Pasien tidur dengan posisi supine (terlentang) dan dipasang monitor. Preoksigenasi dengan O2 100% 8 lpm selama 3-5 menit. Pemberian suplemen analgesia Fentanyl 200 mcg secara intravena. Induksi dengan Propofol 200 mg, titrasi sampai pasien terhipnosis. Fasilitas intubasi dengan Atracurium Besylate 40 mg. Pemasangan Oro Tracheal Tube ukuran 7,5 dengan level di bibir 21 dengan laringoscope view cormark I Maintenance dengan O2 (2 lpm), N2O (2 lpm), isoflurant 1% Vol. Ventilasi : Kendali Infus : Kristaloid (Ringer Laktat) pada manus dekstra dengan abocath 18 G. 3.Kronologis Anestesi : Pukul 09.10 : pasien datang di ruang persiapan Pukul 09.30: pasien dibawa masuk ke ruang operasi dan disiapkan Pukul 09.40 : induksi dimulai Pukul 09.50: operasi dimulai Pukul 11.30 : operasi selesai Pukul 11.40 : ekstubasi Pukul 11.50: pasien pindah ke ruang pemulihan4.Komplikasi selama anestesia : tidak ada5.Lama Operasi: 1 jam 40 menit6.Lama Anestesia: 2 jam 7.Keadaan akhir pembedahan: Tekanan Darah : 120/80 mmHg Nadi: 78 kali/menit Suhu: 36,7o C Respirasi: 18 kali/menit

8.Jumlah medikasi : Fentanyl 200 mcg Propofol 200 mg Atracurium 40 mg

3.4 Pengelolaan Pasca Bedah1. Pasca bedah pasien kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan pada pukul 11.50 WITA. Tekanan Darah : 120/80 mmHg Nadi: 80 kali/menit Suhu: 36,7o C Respirasi: 18 kali/menit2. Instruksi pasca bedah :Instruksi pasca bedah diberikan oleh TS Anestesi yang meliputi:1. Bila sakit atau nyeri: hubungi tim jaga APS2. Antibiotik: sesuai TS Mata (Cefttriaxon 2x1gr iv)3. Bila mual / muntah: ondancentron 4 mg i.v4. Obat-obatan lain: analgetik postoperatif ketorolac 30 mg IV @ 8 jam, paracetamol 500 mg PO @ 6 jam5. Infus : maintanance Ringer Lactat6. Minum : apabila sudah sadar baik.7. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, laju pernafasan setiap saat selama masih dalam pengaruh anestesi.

BAB IVPEMBAHASAN

Pasien dengan keluhan utama nyeri pada mata kanan setelah terkena gangsing 8 jam sebelum masuk rumah sakit didiagnosis dengan OD Trauma Tumpul Komplikasi Ruptur Korneosklera + Margo Palpebra. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa status fisik pasien ASA II E yang berarti pasien dengan penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang. Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan pasien tidak memiliki riwayat alergi, tidak memiliki riwayat penyakit sistemik seperti penyakit jantung, kencing manis, hipertensi atau riwayat asma, maupun riwayat operasi. Pemeriksaan fisik secara umum menunjukkan tidak terdapat kelainan yang signifikan pada sistem respirasi, kardiovaskuler, hematologi, gastrointestinal, maupun sistem renal dan endokrin..Pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap menunjungkan peningkatan white blood cells (WBC) sejumlah 13,4 x 103/L dan terdapat peningkatan neutrofil dari rentang normal sejumlah 11,2 x 103/L (83,8%). Leukositosis dan peningkatan presentase neutrofil (neutrofilia) disebabkan oleh infeksi bakteri dan parasit, gangguan metabolit, pendarahan dan gangguan myeloproliperatif. Pada pasien ini peningkatan WBC dan neutrofil mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri akibat trauma tumpul pada mata kanan yang terjadi oleh karena terkena gangsing yang tidak bersih atau tidak steril. Disamping itu, dari hasil pemeriksaan kimia klinik menunjukkan peningkatan SGPT (Serum Glutamic Pyruvit Transaminase) sebesar 66,2 U/L. Peningkatan kadar SGPT dapat terjadi pada penyakit hepatoseluler, sirosis hari, obstruksi bilier dan hepatis. Akan tetapi nilai peningkatan yang signifikan adalah dua kali lipat dari nilai normal. Disamping itu nilai SGPT dapat juga meningkat pada keadaan obesitas, preeklampsia berat, dan leukimia limfoblastikakut (LLA). Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi, pasien ini telah menjalani puasa selama periode waktu tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif American Society of Anesthesiology yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi dan makanan tinggi lemak 8 jam preoperasi, dimana pasien telah berpuasa sejak pukul 12.00 WITA.Premedikasi ialah tindakan awal anestesi dengan memberikan obat-obatan pendahulu yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedatif/transkuilizer dan analgetik sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, menekan sekresi kelenjar dan refleks vagus, mempermudah induksi, mengurangi dosis obat anestesia dan mengurangi rasa sakit serta kegelisahan pasca bedah. Pada pasien ini tidak diberikan premedikasi dengan pertimbangan karena pasien nampak tenang, daerah operasi tidak terlalu luas yaitu terbatas pada daerah mata dan VAS pasien menunjukkan nyeri yang ringan. Untuk mengurangi komplikasi pengobatan pada pasien ini dimana pasien dengan status gizi obesitas sehingga sangat dipertimbangkan pemberian premedikasi khususnya jenis benzodiazepine yang masih bersifat kontroversial. Pada pasien ini dilakukan teknik anestesi berupa General Anesthesia Oro Tracheal Tube (GA-OTT). Pemilihan teknik anestesi tersebut berdasarkan pada lokasi, posisi, manipulasi dan durasi operasi. Lokasi operasi pada pasien ini adalah di daerah kepala, dengan posisi terlentang, manipulasi operasi di permukaan tubuh dan durasi operasi yang relatif singkat. Karena beberapa pertimbangan tersebut maka dipilih teknik anestesi dengan GA-OTT.Pasca operatif pasien telah sadar kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan dilakukan observasi terhadap kondisi pasien, didapatkan tekanan darah 120/80mmHg, nadi 80 kali/menit, suhu 36,7 0C respirasi 18 kali/menit. Pemantauan tanda-tanda vital meliputi tensi, nadi, suhu, dan respirasi setiap saat selama masih dalam pengaruh anestesi juga sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui efek samping anestesi sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat. Selain itu penting untuk memberikan penanganan nyeri akut pasca bedah karena nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh aspek psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang relatif sulit.

BAB VSIMPULAN

Made Abi Dananjaya usia 15 tahun dengan diagnosis pra bedah OD trauma tumpul komplikasi ruptur korneosklera dan margo palpebra dengan status fisik ASA II E dilakukan tindakan repair ruptur korneosklera dan margo palpebra. Tindakan anastesi yang dilakukan adalah General AnesthesiaOro Tracheal Tube (GA-OTT). Evaluasi preoperasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan adanya kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi umum. Selama durante operasi tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif stabil sampai operasi selesai dilakukan. Evaluasi postoperatif dilakukan pemantauan terhadap pasien dan tidak didapatkan keluhan. Antibiotik dan obat-obatan lain diberikan sesuai TS Mata. Evaluasi tanda-tanda vital meliputi nadi, suhu, respirasi, dan nyeri setiap saat selama pasien masih dalam pengaruh anestesi.