25
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun Sabun adalah dari senyawa garam asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat C 17 H 35 COO - Na + . Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkam dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaaan dari air. Konsep ini dapat dipahami dengan mengingat kedua sifat dari anion sabun. Suatu gambaran dari stearat terdiri dari ion karboksil sebagai “kepala” dengan hidrokarbon yang panjang sebagai “ekor” (Rukaesih, 2004). Sabun merupakan produk pembersih untuk kulit manusia. Seperti detergen, sabun mempunyai gugus hidrofobik yang berinteraksi dengan minyak dan ujung anionik yang larut air. Mekanisme sabun mengangkat minyak/ lemak dari benda adalah molekul sabun larut dalam air dan ujung hidrofobik mengepung molekul minyak sedangkan ujung anion terlarut dalam air membentuk misel sehingga minyak terlepas dari benda. Garam natrium atau kalium yang dihasilkan oleh asam lemak dapat larut dalam air dikenal sebagai sabun. Sabun kalium disebut sabun lunak dan digunakan sebagai sabun untuk bayi. Asam lemak yang digunakan untuk sabun umumnya adalah asam palmitat atau stearat. Dalam industri, sabun tidak dibuat dari asam lemak tetapi langsung dari minyak yang berasal dari tumbuhan. Minyak adalah ester asam lemak tidak jenuh dengan gliserol. Melalui proses hidrogenasi dengan bantuan katalis Pt atau Ni, asam lemak tidak jenuh diubah menjadi asam lemak jenuh, dan melalui proses penyabunan dengan basa KOH dan NaOH akan terbentuk sabun dan gliserol (Poejiadi, 2007). Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabunrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/42444/5/Chapter... · 2014-11-27 · BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Sabun . Sabun adalah dari senyawa garam

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sabun

Sabun adalah dari senyawa garam asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat

C17H35COO-Na+. Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkam dari kekuatan

pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaaan dari air. Konsep ini

dapat dipahami dengan mengingat kedua sifat dari anion sabun. Suatu gambaran dari

stearat terdiri dari ion karboksil sebagai “kepala” dengan hidrokarbon yang panjang

sebagai “ekor” (Rukaesih, 2004).

Sabun merupakan produk pembersih untuk kulit manusia. Seperti detergen,

sabun mempunyai gugus hidrofobik yang berinteraksi dengan minyak dan ujung

anionik yang larut air. Mekanisme sabun mengangkat minyak/ lemak dari benda

adalah molekul sabun larut dalam air dan ujung hidrofobik mengepung molekul

minyak sedangkan ujung anion terlarut dalam air membentuk misel sehingga minyak

terlepas dari benda.

Garam natrium atau kalium yang dihasilkan oleh asam lemak dapat larut dalam

air dikenal sebagai sabun. Sabun kalium disebut sabun lunak dan digunakan sebagai

sabun untuk bayi. Asam lemak yang digunakan untuk sabun umumnya adalah asam

palmitat atau stearat. Dalam industri, sabun tidak dibuat dari asam lemak tetapi

langsung dari minyak yang berasal dari tumbuhan. Minyak adalah ester asam lemak

tidak jenuh dengan gliserol. Melalui proses hidrogenasi dengan bantuan katalis Pt atau

Ni, asam lemak tidak jenuh diubah menjadi asam lemak jenuh, dan melalui proses

penyabunan dengan basa KOH dan NaOH akan terbentuk sabun dan gliserol

(Poejiadi, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Minyak nabati seperti sawit merupakan bahan utama pembuat sabun. Minyak

hewani seperti lemak sapi dan babi juga sering dimanfaatkan untuk pembuatan sabun.

Molekul sabun terdiri atas rantai hidrokarbon dengan gugus COO- pada ujungnya.

Bagian hidrokarbon bersifat hidrofob artinya tidak suka pada air atau tidak mudah

larut dalm air, sedangkan gugus COO- bersifat hidrofil, artinya suka akan air, jadi

dapat larut dalam air. Oleh karena adanya dua bagian itu, molekul sabun tidak

sepenuhnya larut dalam air, tetapi membentuk misel yaitu kumpulan rantai

hidrokarbon dengan ujung yang bersifat hidrofil dibagian luar (Poejiadi, 2007).

Sementara itu SNI (1994) menjelaskan bahwa sabun mandi merupakan

pembersih yang dibuat dengan mereaksikan secara kimia antara basa natrium atau

basa kalium dan asam lemak yang berasal dari minyak nabati dan atau lemak hewani

yang umumnya ditambahkan zat pewangi atau antiseptik dan digunakan untuk

membersihkan tubuh manusia dan tidak membahayakan kesehatan. Sabun tersebut

dapat berwujud padat, lunak atau cair, berbusa dan digunakan sebagai pembersih.

2.1.1 Sejarah Sabun

Tidak ada catatan pasti kapan sejarah pembuatan sabun dimulai. Pada waktu dahulu

kala di tahun 600 SM masyarakat Funisia di mulut Sungai Rhone sudah membuat

sabun dari lemak kambing dan abu kayu khusus. Mereka juga membarterkannya

dalam berdagang dengan bangsa Kelt, yang sudah bisa membuat sendiri sabun dari

bahan serupa.

Pliny (dalam bukunya berjudul Historia Naturalis, 23 – 79) menyebut sabun

sebagai bahan cat rambut dan salep dari lemak dan abu pohon beech yang dipakai

masyarakat di Gaul, Perancis. Tahun 100 masyarakat Gaul sudah memakai sabun

keras. Ia juga menyebut pabrik sabun di Pompei yang berusia 2000 tahun, yang belum

tergali. Di masa itu sabun lebih sebagai obat. Baru belakangan ia dipakai sebagai

pembersih, seperti kata Galen, ilmuwan Yunani, di abad II.

Universitas Sumatera Utara

Tahun 700-an di Italia membuat sabun mulai dianggap sebagai seni. Seabad

kemudian muncul bangsa Spanyol sebagai pembuat sabun terkemuka di Eropa.

Sedangkan Inggris baru memproduksi tahun 1200-an. Secara bersamaan Marseille,

Genoa, Venice, dan Savona menjadi pusat perdagangan karena berlimpahnya minyak

zaitun setempat serta deposit soda mentah. Akhir tahun 1700-an Nicolas Leblanc,

kimiawan Perancis, menemukan larutan alkali dapat dibuat dari garam meja biasa.

Sabun pun makin mudah dibuat, alhasil sabun terjangkau bagi semua orang. (Tambun,

2006)

2.1.2 Sifat – sifat Sabun:

1. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak sehingga akan dihidrolisis parsial oleh

air. Karena itu larutan sabun dalam air bersifat basa.

CH3(CH2)16COONa + H2O →CH3(CH2)16COOH + OH-

2. Jika larutan sabun dalam air diaduk maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini

tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih setelah

garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.

CH3(CH2)16COONa + CaSO4 → Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2

3. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia koloid,

sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang

bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai gugus polar dan non polar.

Molekul sabun mempunyai rantai CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang

bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut dalam zat organik sedangkan COONa+

sebagai kepala yang bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air. ( Pratiwi, 2013)

2.1.3 Kegunaan Sabun

Kegunaan sabun ialah kemampuannya mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat

dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat sabun.

Universitas Sumatera Utara

Pertama, rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun larut dalam zat-zat non-polar,

seperti tetesan-tetesan minyak. Kedua, ujung anion molekul sabun, yang tertarik pada

air, ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang menyembul dari tetesan

minyak lain. Karena tolak-menolak antara tetes-tetes sabun-minyak, maka minyak itu

tidak dapat saling bergabung tetapi tetap tersuspensi. (Ralph J, Fessenden, 1992)

2.1.4 Jenis – jenis Sabun

Jenis sabun yang utama adalah sabun mandi dan sabun cuci, kedua jenis sabun ini dibuat

dengan beberapa cara. Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan sabun. Salah

satunya adalah penggolongan berdasarkan bentuk fisik dan fungsi.

1. Sabun batang

Terbuat dari lemak netral yang padat dan dikeraskan melalui proses hidrogenasi. Jenis

alkali yang digunakan adalah natrium hidroksida dan sukar larut dalam air.

Kebanyakan orang mulai meninggalkan sabun batang karena alasan kurang higienis

dan berisiko menjadi tempat perpindahan bakteri, namun sabun batang dipercaya irit

dan memiliki wangi yang lebih tahan lama. Terbukti, sebesar 43% dari 100 orang

yang disurvei masih menggunakan sabun batang hingga kini. Jenis sabun batangan

lainnya adalah sabun mandi kecantikan. Sabun mandi kecantikan adalah suatu produk

sabun untuk perawatan kecantikan kulit wajah dan tubuh dengan formulasi yang sesuai

untuk kulit. Memberikan zat-zat gizi dan nutrisi yang sangat diperlukan kulit dan

membantu memelihara kulit dengan mempertahankan kelembaban kulit serta membantu

pertumbuhan sel-sel baru jika terjadi kerusakan sel kulit. Pada sabun kecantikan busa

harus lembut dan sifat basanya lebih rendah. (Luis Spitz, 1996).

2. Sabun cair

Sabun jenis ini dibuat dari minyak kelapa jernih dan penggunaan alkali yang berbeda

yaitu kalium hidroksida. Bentuknya cair dan tidak mengental pada suhu kamar. Sabun

cair lebih digemari karena praktis dan mudah penyimpanannya, terutama bagi orang

yang suka bepergian.

Universitas Sumatera Utara

3. Shower gel

Sabun dengan kandungan emulsi berupa cocamide DEA, lauramide DEA,

linoleamide DEA, dan oleamide DEA ini berfungsi sebagai substansi pengental untuk

mendapatkan tekstur gel. Sabun jenis ini memang belum terlalu populer dan biasanya

lebih sering digunakan oleh wanita yang hobi berendam karena menghasilkan busa

yang cenderung lebih banyak.

4. Sabun antisepik

Mengandung bahan aktif antibacterial, seperti triclosan, triclocarban/

trichlorocarbamide, yang berguna untuk membantu membunuh bakteri dan mikroba,

namun tidak efektif untuk menonaktifkan virus.

(http://www.femina.co.id/cantik/beauty.news/komposisi.dan.jenis.sabun/002/001/113)

2.1.5 Cara Kerja Sabun Sebagai Penghilangan Kotoran

1. Sabun di dalam air menghasilkan busa yang akan menurunkan tegangan

permukaan sehingga kain menjadi bersih dan air meresap lebih cepat kepermukaan

kain.

2. Molekul sabun akan mengelilingi kotoran dengan ekornya dan mengikat molekul

kotoran. Proses ini disebut emulsifikasi karena antara molekul kotoran dan

molekul sabun membentuk suatu emulsi.

Sedangkan bagian kepala molekul sabun didalam air pada saat pembilasan menarik

molekul kotoran keluar dari kain sehingga kain menjadi bersih. ( Pratiwi, 2013)

2.1.6 Pembuatan Sabun dalam Industri

1. Saponifikasi (Penyabunan)

Pada proses saponifikasi trigliserida dengan suatu alkali, kedua reaktan tidak mudah

bercampur. Reaksi saponifikasi dapat mengkatalisis dengan sendirinya pada kondisi

Universitas Sumatera Utara

tertentu dimana pembentukan produk sabun mempengaruhi proses emulsi kedua

reaktan tadi, menyebabkan suatu percepatan pada kecepatan reaksi.

Proses reaksi saponifikasi adalah proses mereaksikan minyak dan NaOH pada

reaktor pada suhu ± 1250C dengan bantuan pemanas steam. Komposisi antara minyak

dan NaOH dengan perbandingan 3 : 1, jika tidak maka akan didapati reaksi yang tidak

setimbang sehingga akan didapat sabun yang kurang sempurna. Reaksi dilakukan

selama 10 menit dengan bantuan agitator dan recycle pompa ke reaktor. Minyak dan

NaOH yang berada dalam storage tank (tangki penyimpanan) diumpankan ke reaktor

lalu diinjeksikan steam sebesar 2 bar, selanjutnya ditambahkan larutan garam NaCl

(brine) 22%. Hal ini dilakukan guna memperkaya elektrolit sehingga hasil reaksi

antara minyak dan NaOH mudah dipisahkan pada proses selanjutnya.

O

CH2 O C R1 CH2 OH R1COONa

O

CH O C R2 + 3NaOH CH OH + R2COONa

O

CH2 O C R3 CH2 OH R3COONa

Trigliserida Natrium hidroksida Gliserol Asam Lemak

Minyak yang direaksikan adalah campuran dari beberapa minyak (dalam

satuan %b/%b) yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun yaitu palm oil,

palm stearine, dan palm kernel oil dengan perbandingan yang berbeda-beda sesuai

dengan formulasi yang telah ditetapkan untuk sabun yang akan diproduksi.

Setelah reaksi sempurna maka sabun dipompakan ke static separator untuk

memisahkan antara sabun dan gliserol. Gliserol yang didapat hasil proses saponifikasi

ini yang dijadikan sebagai bahan baku untuk proses pembuatan gliserin yang disebut

dengan spent lye dengan kemurnian gliserin 20-30%.

Dalam static separator ini sabun akan terpisah dengan spent lye dan kemudian

dilanjutkan atau dimasukkan ke washing coloumn sambil diumpankan fresh lye, untuk

Universitas Sumatera Utara

memisahkan sabun, half spent lye, magnesium, dan logam-logam lain yang

terkandung di dalamnya. Half spent lye yang dihasilkan diumpankan kembali ke

reaktor. Fresh lye (larutan pencuci) yang akan dimasukkan (dicampurkan) ke dalam

washing coloumn ini terdiri dari larutan NaOH 48%, larutan NaCl 22%, dan air atau

H2O. (PT. Oleochem and Soap Industri, 2010)

Minyak dan lemak mempunyai sifat yang berbeda selama proses pembuatan

sabun seperti laju penyabunan, jumlah alkali yang dibutuhkan untuk saponifikasi dan

kekuatan elektrolit untuk penggaraman. Keduanya juga mempunyai hasil sabun

setengah jadi dan gliserin yang bervariasi.

2. Netralisasi

Setelah sabun telah dipisahkan di washing coloumn selanjutnya dimasukkan ke

Centrifuge (Cf). Didalam centrifuge ini sabun ini juga dipisahkan antara lye dan neat

soap. Lye yang telah dipisahkan dikembalikan lagi ke washing coloumn sedangkan

sabunnya dilanjutkan ke Neutralizer. Didalam neutralizer ini aditif yang dicampur

adalah Palm Kernel Oil (PKO) dan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetate). PKO

ditambahkan dengan tujuan untuk memastikan kandungan kadar NaOH dalam neat

soap sebesar 0,025% - 0,045%. dan selanjutnya di transfer ke Crutcher. Didalam

crutcher ini neat soap masih dicampur aditif yaitu EDTA dan Turpinal, kemudian

diaduk agar homogen kemudian dilanjutkan ke Feed Tank. (PT. Oleochem and Soap

Industri, 2010)

Reaksi asam basa antara asam dengan alkali untuk menghasilkan sabun

berlangsung lebih cepat daripada reaksi trigliserida dengan alkali. Jumlah alkali

(NaOH) yang dibutuhkan untuk menetralisasi suatu paduan asam lemak dapat

dihitung sebagai berikut :

NaOH = {berat asam lemak x 40) / MW asam lemak

Berat molekul rata rata suatu paduan asam lemak dapat dihitung dengan

persamaan :

MW asam lemak = 56,1 x 1000/ AV

Universitas Sumatera Utara

Dimana AV (angka asam asam lemak paduan) = mg KOH yang dibutuhkan untuk

menetralisasi 1 gram asam lemak

3. Pengeringan Sabun

Setelah feed tank telah terisi maka neat soap direcycle untuk tahap

pengeringan (drying) dan kemudian direcycle dengan cara dipanaskan melalui Heat

Exchanger (HE) dengan speed VLS 50% dan dengan speed feed tanknya 42% dengan

tekanan 1,5 bar. Disetting secara perlahan-lahan. Setelah semuanya dalam kondisi

yang telah disetting maka saatnya diumpankan (feeding) ke atomizer dengan menjaga

tekanan dan temperatur agar jangan sampai drop. Sabun yang sudah dikeringkan dan

didinginkan tersimpan pada dinding ruang vakum dan dipindahkan dengan alat

pengerik sehingga jatuh di plodder, yang mengubah sabun ke bentuk lonjong panjang

atau butiran yang kemudian disimpan dalam suatu wadah penyimpanan soap noodle

dikenal dengan nama Silo. (PT. Oleochem & Soap Industri, 2010)

Sabun banyak diperoleh setelah penyelesaian saponifikasi (sabun murni) yang

umumnya dikeringkan dengan vacum spray dryer. Kandungan air pada sabun

dikurangi dari 30-35% pada sabun murni menjadi 8-18% pada sabun butiran atau

lempengan. Jenis jenis vacum spray dryer, dari sistem tunggal hingga multi sistem,

semuanya dapat digunakan pada berbagai proses pembuatan sabun. Operasi vacum

spray dryer sistem tunggal meliputi pemompaan sabun murni melalui pipa heat

exchanger dimana sabun dipanaskan dengan uap yang mengalir pada bagian luar pipa.

Dryer dengan mulai memperkenalkan proses pengeringan sabun yang lebih luas dan

lebih efisien dari pada dryer sistem tunggal.

4. Penyempurnaan Sabun

Dalam pembuatan produk sabun batangan, sabun butiran dicampurkan dengan

zat pewarna, parfum, dan zat aditif lainnya ke dalam mixer (analgamator). Campuran

sabun ini kemudian diteruskan untuk digiling untuk mengubah campuran tersebut

menjadi suatu produk yang homogen. Produk tersebut kemudian dilanjutkan ke tahap

pemotongan. Sebuah alat pemotong dengan mata pisau memotong sabun tersebut

menjadi potongan - potongan terpisah yang dicetak melalui proses penekanan menjadi

Universitas Sumatera Utara

sabun batangan sesuai dengan ukuran dan bentuk yang diinginkan. Proses

pembungkusan, pengemasan, dan penyusunan sabun batangan merupakan tahap akhir.

(Pratiwi, 2013)

2.2 Bahan Baku Utama Pembuatan Sabun

2.2.1 Minyak Atau Lemak

Minyak dan lemak yang umum digunakan dalam pembuatan sabun adalah trigliserida

dengan tiga buah asam lemak yang tidak beraturan diesterifikasi dengan gliserol.

Masing- masing lemak mengandung sejumlah molekul asam lemak dengan rantai

karbon panjang antara C12 (asam laurat) hingga C18 (asam stearat) pada lemak jenuh

dan begitu juga dengan lemak tak jenuh. Campuran trigliserida diolah menjadi sabun

melalui proses saponifikasi dengan larutan natrium hidroksida membebaskan gliserol.

Sifat-sifat sabun yang dihasilkan ditentukan oleh jumlah dan komposisi dari

komponen asam asam lemak yang digunakan. Komposisi asam asam lemak yang

sesuai dalam pembuatan sabun dibatasi panjang rantai dan tingkat kejenuhan. Pada

umumnya, panjang rantai yang kurang dari 12 atom karbon dihindari penggunaanya

karena dapat membuat iritasi pada kulit, sebaliknya panjang rantai yang lebih dari 18

atom karbon membentuk sabun yang sukar larut dan sulit menimbulkan busa. Terlalu

besar bagian asam lemak tak jenuh menghasilkan sabun yang mudah teroksidasi bila

terkena udara. Alasan-alasan diatas, faktor ekonomis dan daya jual menyebabkan

lemak dan minyak yang dibuat menjadi sabun terbatas.

Asam lemak tak jenuh memiliki ikatan rangkap sehingga titik lelehnya lebih

rendah daripada asam lemak jenuh yang tak memiliki ikatan rangkap, sehingga sabun

yang dihasilkan juga akan lebih lembek dan mudah meleleh pada temperatur tinggi.

Asam lemak (fatty acid) adalah senyawa alifatik dengan gugus karboksil.

Bersama-sama dengan gliserol, asam lemak merupakan penyusun utama minyak

nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipid pada makhluk hidup.

Asam ini mudah dijumpai dalam minyak masak (goreng), margarin, atau lemak hewan

Universitas Sumatera Utara

dan menentukan nilai gizinya. Secara alami, asam lemak bisa berbentuk bebas

(sebagai lemak yang terhidrolisis) maupun terikat sebagai gliserida.

Asam lemak tidak lain adalah asam alkanoat atau asam karboksilat dengan

rumus kimia R-COOH atau R-CO2H. Contoh yang cukup sederhana misalnya adalah

H-COOH (asam format), H3C-COOH (asam asetat), H5C2-COOH (asam propionat),

H7C3-COOH (asam butirat) dan seterusnya mengikuti gugus alkil yang mempunyai

ikatan valensi tunggal, sehingga membentuk rumus bangun alkana.

Karena berguna dalam mengenal ciri-cirinya, asam lemak dibedakan menjadi

asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki

ikatan tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak

jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon

penyusunnya.

Asam lemak merupakan asam lemah, dan dalam air terdisosiasi sebagian.

Umumnya berfase cair atau padat pada suhu ruang (27° Celsius). Semakin panjang

rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut. Asam

lemak jenuh bersifat lebih stabil (tidak mudah bereaksi) daripada asam lemak tak

jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen

(mudah teroksidasi). Karena itu, dikenal istilah bilangan oksidasi bagi asam lemak.

Keberadaan ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh menjadikannya memiliki

dua bentuk: cis dan trans. Semua asam lemak nabati alami hanya memiliki bentuk cis

(dilambangkan dengan "Z", singkatan dari bahasa Jerman zusammen). Asam lemak

bentuk trans (trans fatty acid, dilambangkan dengan "E", singkatan dari bahasa Jerman

entgegen) hanya diproduksi oleh sisa metabolisme hewan atau dibuat secara sintetis.

Akibat polarisasi atom H, asam lemak cis memiliki rantai yang melengkung. Asam

lemak trans karena atom H-nya berseberangan tidak mengalami efek polarisasi yang

kuat dan rantainya tetap relatif lurus.

Ketengikan (rancidity) terjadi karena asam lemak pada suhu ruang dirombak

akibat hidrolisis atau oksidasi menjadi hidrokarbon, alkanal, atau keton, serta sedikit

Universitas Sumatera Utara

epoksi dan alkohol (alkanol). Bau yang kurang sedap muncul akibat campuran dari

berbagai produk ini.

Karena mudah terhidrolisis dan teroksidasi pada suhu ruang, asam lemak yang

dibiarkan terlalu lama akan turun nilai gizinya. Pengawetan dapat dilakukan dengan

menyimpannya pada suhu sejuk dan kering, serta menghindarkannya dari kontak

langsung dengan udara. (http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_lemak)

Asam lemak jenuh :

1. Bersifat non essensial

2. Dapat disintesis oleh tubuh

3. Padat pada suhu kamar

4. Diperoleh dari sumber zat hewani contoh mentega

5. Tidak ada ikatan rangkap

Tabel 2.1 Asam Lemak Jenuh Dalam Minyak Sawit

Jenis Asam Rumus Molekul Titik Cair (oC) Titik Didih (oC)

Asetat CH3COOH -16,6 118

Laurat CH3(CH2)10COOH 44 225

Miristat CH3(CH2)12COOH 58 250,5

Palmitat CH3(CH2)14COOH 64 215

Stearat CH3(CH2)16COOH 69,4 383

Asam lemak tidak jenuh :

1. Bersifat essensial

2. Tidak dapat diproduksi tubuh

3. Cair pada suhu kamar

4. Diperoleh dari sumber zat nabati contoh minyak goreng

5. Ada ikatan rangkap

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Asam Lemak Tidak Jenuh Dalam Minyak Sawit

Jenis

Asam Rumus Molekul

Titik

Cair

(oC)

Titik

Didih

(oC)

Oleat CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH 14 360

Linoleat CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH 5 230

Linolenat CH3CH2CH=CHCH2CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH 11 231

2.2.2 Alkali

Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH, KOH,

Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines. NaOH, atau yang biasa dikenal dengan soda

kaustik dalam industri sabun, merupakan alkali yang paling banyak digunakan dalam

pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam pembuatan sabun cair karena

sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu soda/natrium karbonat) merupakan

alkali yang murah dan dapat menyabunkan asam lemak, tetapi tidak dapat

menyabunkan trigliserida (minyak atau lemak).

Ethanolamines merupakan golongan senyawa amin alkohol. Senyawa tersebut

dapat digunakan untuk membuat sabun dari asam lemak. Sabun yang dihasilkan

sangat mudah larut dalam air, mudah berbusa, dan mampu menurunkan kesadahan air.

Sabun yang terbuat dari ethanolamines dan minyak kelapa menunjukkan sifat

mudah berbusa tetapi sabun tersebut lebih umum digunakan sebagai sabun industri

dan deterjen, bukan sebagai sabun rumah tangga. Pencampuran alkali yang berbeda

sering dilakukan oleh industri sabun dengan tujuan untuk mendapatkan sabun dengan

keunggulan tertentu.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Bahan-Bahan Pendukung Pembuatan Sabun

Bahan baku pendukung digunakan untuk membantu proses penyempurnaan sabun

hasil saponifikasi (pengendapan sabun dan pengambilan gliserin) sampai sabun

menjadi produk yang siap dipasarkan. Bahan-bahan tersebut adalah NaCl (garam) dan

bahan-bahan aditif.

2.3.1 Garam (NaCl)

NaCl merupakan komponen kunci dalam proses pembuatan sabun. Kandungan NaCl

pada produk akhir sangat kecil karena kandungan NaCl yang terlalu tinggi di dalam

sabun dapat memperkeras struktur sabun. NaCl yang digunakan umumnya berbentuk

air garam (brine) atau padatan (kristal). NaCl digunakan untuk memisahkan produk

sabun dan gliserin. Gliserin tidak mengalami pengendapan dalam brine karena

kelarutannya yang tinggi, sedangkan sabun akan mengendap. NaCl harus bebas dari

besi, kalsium, dan magnesium agar diperoleh sabun yang berkualitas.

2.3.2 Bahan Aditif

Bahan aditif merupakan bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam sabun yang

bertujuan untuk mempertinggi kualitas produk sabun sehingga menarik konsumen.

Bahan-bahan aditif tersebut antara lain : builders, fillers inert, anti oksidan, pewarna,

dan parfum.

a. Builders (Bahan Penguat)

Builders digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-

mineral yang terlarut pada air, sehingga bahan - bahan lain yang berfungsi untuk

mengikat lemak dan membasahi permukaan dapat berkonsentrasi pada fungsi

utamanya. Builder juga membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar

proses pembersihan dapat berlangsung lebih baik serta membantu mendispersikan dan

mensuspensikan kotoran yang telah lepas. Yang sering digunakan sebagai builder

Universitas Sumatera Utara

adalah senyawa - senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium

silikat atau zeolit.

b. Fillers (Bahan Pengisi)

Bahan ini berfungsi sebagai pengisi dari seluruh campuran bahan baku. Pemberian

bahan ini berguna untuk memperbanyak atau memperbesar volume. Keberadaan

bahan ini dalam campuran bahan baku sabun semata mata ditinjau dari aspek

ekonomis. Pada umumnya, sebagai bahan pengisi sabun digunakan sodium sulfat.

Bahan lain yang sering digunakan sebagai bahan pengisi, yaitu tetra sodium

pyrophosphate dan sodium sitrat. Bahan pengisi ini berwarna putih, berbentuk bubuk,

dan mudah larut dalam air.

c. Coloring Agent ( Zat Pewarna)

Bahan ini berfungsi untuk memberikan warna kepada sabun. Ini ditujukan agar

memberikan efek yang menarik bagi konsumen untuk mencoba sabun ataupun

membeli sabun dengan warna yang menarik. Biasanya warna warna sabun itu terdiri

dari warna merah, putih, hijau maupun orange.

d. Fragrance (Bahan Pewangi)

Parfum termasuk bahan pendukung. Keberadaaan parfum memegang peranan besar

dalam hal keterkaitan konsumen akan produk sabun. Artinya, walaupun secara

kualitas sabun yang ditawarkan bagus, tetapi bila salah memberi parfum akan

berakibat fatal dalam penjualannya. Parfum untuk sabun berbentuk cairan berwarna

kekuning kuningan dengan berat jenis 0,9. Dalam perhitungan, berat parfum dalam

gram (g) dapat dikonversikan ke mililiter. Sebagai patokan 1 g parfum = 1,1ml. Pada

dasarnya, jenis parfum untuk sabun dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu parfum

umum dan parfum ekslusif.

Parfum umum mempunyai aroma yang sudah dikenal umum di masyarakat

seperti aroma mawar dan aroma kenanga. Pada umumnya, produsen sabun

Universitas Sumatera Utara

menggunakan jenis parfum yang ekslusif. Artinya, aroma dari parfum tersebut sangat

khas dan tidak ada produsen lain yang menggunakannya. Kekhasan parfum ekslusif

ini diimbangi dengan harganya yang lebih mahal dari jenis parfum umum. Beberapa

nama parfum yang digunakan dalam pembuatan sabun diantaranya bouquct deep

water, alpine, dan spring flower. (Fitri, 2013)

e. Antioksidan

EDTA (ethylene diamine tetra acetate) ditambahkan dalam sabun untuk membentuk

kompleks (pengkelat) ion besi yang mengkatalis proses degradasi oksidatif. Degradasi

oksidatif akan memutuskan ikatan rangkap pada asam lemak membentuk rantai lebih

pendek, aldehid dan keton yang berbau tidak enak. EDTA adalah reagen yang bagus,

selain membentuk kelat dengan semua kation, kelat ini juga cukup stabil untuk

metode titriametil. (Supena, 2007)

Bahan antioksidan pada sabun juga dapat menstabilkan sabun terutama pada

bau tengik atau rancid. Natrium silikat, natrium hiposulfid, dan natrium tiosulfat

diketahui dapat digunakan sebagai antioksidan. Stanous klorida juga merupakan

antioksidan yang sangat kuat dan juga dapat memutihkan sabun atau sebagai

bleaching agent. (Farid Kurnia, 2009)

2.4 Kadar Air

Keberadaan air dalam suatu produk sangat menentukan mutu produk tersebut tak

terkecuali sabun padat. Splitz (1996) berpendapat kuantitas air yang terlalu banyak

dalam sabun akan membuat sabun tersebut mudah menyusut dan tidak nyaman saat

akan digunakan. Keberadaan air dan udara dapat memicu terjadinya oksidasi.

Kataren (1986) menjelaskan bahwa proses oksidasi dapat berlangsung apabila

terjadi kontak antara sejumlah oksigen dan minyak atau lemak. Oksidasi biasanya

dimulai dengan pembentukan peroksida. Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam-

asam lemak disertai dengan konversi hidroksida menjadi aldehid dan keton serta

Universitas Sumatera Utara

asam-asam lemak bebas. Senyawa aldehid dan keton yang dihasilkan dari lanjutan

reaksi oksidasi ini memiliki sifat mudah menguap seperti alkohol .

2.5 Kadar Alkali Bebas (Dihitung Sebagai NaOH)

Sabun dihasilkan melalui reaksi safonifikasi antara asam lemak dalam minyak/ lemak

dengan alkali/ basa. Sabun yang baik adalah sabun yang dihasilkan dari reaksi yang

sempurna antara asam lemak dan alkali dan diharapkan tidak terdapat residu/ sisa

setelah reaksi . Namun tidak selamanya reaksi yang diharapkan dapat berlangsung

sempurna. Untuk itu diperlukan pengujian kadar alkali setelah beraksi karena dalam

pembuatan sabun padat ini digunakan alkali berupa NaOH maka kadar alkali bebas

dihitung sebagai NaOH.

Di dalam buku SNI (1994) dijelaskan bahwa alkali bebas ialah alkali dalam

sabun yang tidak terikat sebagai senyawa. Kelebihan alkali dalam sabun mandi tidak

boleh melebihi 0,1%. Kelebihan alkali pada sabun mandi dapat disebabkan jumlah

alkali yang melebihi jumlah alkali yang digunakan untuk melakukan saponifikasi

keseluruhan minyak menjadi sabun. Keberadaan alkali bebas yang berlebihan dapat

membahayakan kulit.

2.6 Kadar Asam Lemak Bebas

Asam lemak bebas adalah bilangan yang menunjukkan banyaknya NaOH yang

diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas didalam sabun. Maksudnya untuk

menentukan kadar asam lemak bebas yang tidak bereaksi dengan alkali menjadi

sabun. Penetapannya dilakukan dengan cara titrasi alkalimetri dengan larutan alkohol

KOH sebagai penitarnya karena asam lemak dicari jumlahnya dimana jumlahnya

ekivalen dengan asam dititar dengan alkali.

Universitas Sumatera Utara

2.7 Bilangan Peroksida

Bilangan peroksida merupakan jumlah miliekivalen peroksida per 1000 gram sampel,

yang dioksidasi kalium iodida.

Minyak atau lemak bersifat tidak larut dalam semua pelarut berair, tetapi larut

dalam pelarut organik seperti misalnya : petroleum eter, dietil eter, alkohol panas,

khloroform dan benzena. Dimana asam lemak rantai pendek sampai panjang rantai

atom karbon sebanyak delapan bersifat larut dalam air. Makin panjang rantai sehingga

akan terbentuk gugus karboksil yang tidak bermuatan. Kemudian dilakukan ekstraksi

menggunakan pelarut non-polar seperti petroleum. Asam lemak jenuh sangat stabil

terhadap oksidasi, akan tetapi asam lemak tidak jenuh sangat mudah terserang

oksidasi. Dimana lemak tidak dapat meleleh pada satu titik suhu, akan tetapi lemak

akan menjadi lunak pada suatu interval suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena pada

umumnya lemak merupakan campuran gliserida dan masing-masing gliserida

mempunyai titik cair sendiri-sendiri (Tranggono & Setiaji, 1989).

Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh

mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut

disebabkan pembentukkan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida.

Menurut teori yang sampai kini masih dianut orang sebuah atom hidrogen yang terikat

pada suatu atom karbon yang letaknya disebelah atom karbon lain yang mempunyai

ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi sehingga membentuk

radikal bebas. Kemudian radikal ini dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang

dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah

menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi,

energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa dengan rantai C lebih pendek ini

adalah asam-asam lemak, aldehid- aldehid, dan keton yang bersifat volatil dan

menimbulkan bau tengik pada lemak (Winarno, 1997)

Universitas Sumatera Utara

Reaksi oksidasi bergantung pada banyak frekuensi reaksi dari lemak dalam

bahan makanan. Ini biasanya terdiri oleh atmosfer oksigen, frekuensi yang sedikit oleh

ozon, peroksida, logam dan agen oksidasi yang lain. Dalam penambahan untuk

oksigen dan ozon, lemak dapat dirusak oleh pembentukan reaksi lain, seperti anion

superoksida (O2) dan radikal (O2), radikal perhidrosilik (HO2), hidrogen peroksida dan

hidrosil radikal (HO). Asam peroksida diproduksi oleh autoxidasi dari aldehid, dan

mungkin reaksi dengan molekul lain dari produk aldehid asam karboksilat.

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan

pada lemak dan minyak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan

rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida dapat ditentukan dengan

metode iodometri. Cara yang sering digunakan untuk menentukan bilangan peroksida,

berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan

peroksida. Iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititrasi dengan natrium

tiosulfat. Penentuan peroksida ini kurang baik dengan cara iodometri biasa meskipun

bereaksi sempurna dengan alkali iod. Hal ini disebabkan karena peroksida jenis

lainnya hanya bereaksi sebagian. Di samping itu dapat terjadi kesalahan yang

disebabkan oleh reaksi antara alkali iodida dengan oksigen dari udara (Ketaren, 1986).

Pada proses oksidasi ini akan dihasilkan sejumlah aldehid, asam bebas dan

peroksida organik. Untuk mengetahui tingkat ketengikan dari minyak atau lemak,

dapat dilakukan dengan menggunakan jumlah peroksida yang telah terbentuk pada

minyak atau lemak tersebut. Lemak tidak jenuh khususnya oleat ternyata lebih cepat

tengik dibandingkan lemak jenuh. Lemak yang tengik menimbulkan rasa tidak enak,

bahkan pada beberapa individu dapat menimbulkan keracunan ringan, dan dapat

merusak zat-zat lain yang ada dalam makanan seperti karoten, vitamin A dan vitamin

E. Kerusakan minyak dan lemak selain disebabkan oleh proses oksidasi dapat juga

disebabkan oleh proses hidrolisa. Pada proses hidrolisa dihasilkan gliserida dari asam-

asam lemak berantai pendek (C4-C12) sehingga akan terjadi perubahan rasa dan bau

menjadi tengik. (Winarno, 1997)

Universitas Sumatera Utara

Menurut Buckle et al. (1997) ada dua tipe kerusakan yang utama pada minyak

dan lemak, yaitu :

a. Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa dan bau yang mudah menguap

terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak tak

jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita-rasa yang tak

diinginkan dalam lemak dan minyak produk-produk yang mengandung lemak

dan minyak itu.

b. Hidrolisa minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat

mempengaruhi cita-rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat

disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena kegiatan

enzim.

Menurut Soedarmo et al (1988), kerusakan karena proses hidrolisa terutama

banyak terjadi pada minyak atau lemak yang mengandung asam lemak jenuh dalam

jumlah cukup banyak seperti pada minyak kelapa yang mengandung asam laurat,

sedangkan bau yang tengik ditimbulkan oleh asam lemak bebas yang terbentuk selama

proses hidrolisa. Proses hidrolisa pada minyak atau lemak umumnya disebabkan oleh

aktifitas enzim dan mikroba. Proses hidrolisa dapat dipercepat dengan kondisi

kelembaban yang tinggi, kadar air tinggi serta temperatur tinggi. Proses hidrolisa pada

minyak dan lemak akan menghasilkan ketengikan hidrolitik, dimana terjadi

pembebasan asam-asam lemak yang mempengaruhi rasa dari minyak tersebut. Enzim

yang dapat menimbulkan ketengikan hidrolitik adalah enzim lipase. Ketengikan pada

minyak dan lemak nabati terjadi karena berkurangnya kandungan vitamin E

(tocopherol) yang dapat berfungsi sebagai anti oksidan.

Lemak netral murni tidak berbau, tidak ada rasa, dan umumnya tidak berwarna.

Warna dari lemak dan minyak alami adalah karena adanya pigmen-pigmen yang

bercampur atau larut dalam lemak. Bila lemak dibiarkan dalam waktu yang lama

kontak langsung dengan udara dan lembab, khususnya ada cahaya dan panas, akan

terjadi perubahan menjadi tengik. Perubahan ini terjadi karena proses oksidasi dan

Universitas Sumatera Utara

proses ini akan dipercepat dengan adanya logam-logam yang bersifat katalisator

seperti Zn, Cu. (Soedarno & Girindra, 1988)

2.7.1 Titrasi Iodometri

Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat bereaksi

dengan I- (iodide) untuk menghasilkan I2. I2 yang terbentuk secara kuantitatif dapat

dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka titrasi iodometri adalah

dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali.

Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika

direaksikan dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titrant hal ini

disebabkan karena faktor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indikator yang dapat

dipakai untuk iodide. Oleh sebab itu titrasi kembali merupakan proses titrasi yang

sangat baik untuk titrasi yang melibatkan iodida.

Senyawaan iodida umumnya KI ditambahkan secara berlebih pada larutan

oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah equivalent dengan jumlah

oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi I2 dengan

larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3) dengan indikator

amilum jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks amilum I2 sampai warna ini

Universitas Sumatera Utara

tepat hilang. Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah

sebagai berikut :

IO3- + 5 I- + 6H+ → 3I2 + H2O

I2 + 2S2O32- → 2I- + S4O6

2-

Setiap mmol IO3- akan menghasilkan 3 mmol I2 dan 3 mmol I2 ini akan tepat

bereaksi dengan 6 mmol S2O32- (1 mmol I2 tepat bereaksi dengan 2 mmol S2O3

2-

sehingga mmol IO3- ditentukan atau setara dngan 1/6 mmol S2O3

2- Kita menitrasi

langsung antara tiosulfat dengan analit, alasannya adalah karena analit yang bersifat

sebagai oksidator dapat mengoksidasi tiosulfat menjadi senyawaan yang bilangan

oksidasinya lebih tinggi dari tetrationat dan umumnya reaksi ini tidak stoikiometri.

Alasan kedua adalah tiosulfat dapat membentuk ion kompleks dengan beberapa ion

logam seperti Besi(II).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi Iodometri

adalah sebagai berikut: Penambahan amilum sebaiknya dilakukan saat menjelang

akhir titrasi, dimana hal ini ditandai dengan warna larutan menjadi kuning muda (dari

oranye sampai coklat akibat terdapatnya I2 dalam jumlah banyak), alasannya

kompleks amilum- I2 terdisosiasi sangat lambat akibatnya maka banyak I2 yang akan

terabsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan pada awal titrasi, alasan kedua

adalah biasanya iodometri dilakukan pada media asam kuat sehingga akan

menghindari terjadinya hidrolisis amilum. Titrasi harus dilakukan dengan cepat untuk

meminimalisasi terjadinya oksidasi iodida oleh udara bebas. Pengocokan pada saat

melakukan titrasi iodometri sangat diwajibkan untuk menghindari penumpukan

tiosulfat pada area tertentu, penumpukkan konsentrasi tiosulfat dapat menyebabkan

terjadinya dekomposisi tiosulfat untuk menghasilkan belerang. Terbentuknya reaksi

ini dapat diamati dengan adanya belerang dan larutan menjadi bersifat koloid (tampak

keruh oleh kehadiran S).

S2O32-+ 2H+ → H2SO3 + S

Universitas Sumatera Utara

Pastikan jumlah iodida yang ditambahkan adalah berlebih sehingga semua

analit tereduksi dengan demikian titrasi akan menjadi akurat. Kelebihan iodida tidak

akan mengganggu jalannya titrasi redoks akan tetapi jika titrasi tidak dilakukan

dengan segera maka I- dapat teroksidasi oleh udara menjadi I2.

(http://kimiaanalsa.web.id/115)

2.7.2 Natrium Tiosulfat

Larutan Natrium tiosulfat tidak stabil dalam waktu lama. Bakteri yang memakai

belerang akhirnya masuk ke larutan itu, dan proses metaboliknya akan mengakibatkan

pembentukan SO32-, SO4

2- dan belerang koloidal. Belerang ini akan menyebabkan

kekeruhan, bila timbul kekeruhan larutan harus dibuang. Biasanya air yang digunakan

untuk menyiapkan larutan tiosulfat dididihkan agar steril, dan sering ditambahkan

boraks atau natrium karbonat sebagai pengawet. Oksidasi tiosulfat oleh udara

berlangsung lambat. Tetapi runutan tembaga sering kadang-kadang terdapat dalam air

suling akan mengkatalisis oksidasi oleh udara. Tiosulfat diuraikan dalam larutan asam

dengan membentuk belerang sebagai endapan mirip susu. (A.L. Underwood, 1986).

Larutan standard yang digunakan dalam kebanyakan proses iodometri adalah

natrium tiosulfat. Lazimnya garam ini dibeli sebagai pentahidrat, Na2S2O3.5H2O.

Larutan tak boleh distandarisasikan berdasarkan penimbangan langsung, melainkan

harus distandarisasikan terhadap standard primer.

S2O32- + 2H+ → H2S2O3 → H2S2O3 + S(s)

Tetapi reaksi lambat dan tak terjadi bila tiosulfat dititrasikan ke dalam larutan

iod yang asam, jika larutan diaduk dengan baik. Reaksi antara iod dan tiosulfat jauh

lebih cepat daripada reaksi penguraian.

Iod mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat :

4I2 + S2O32- + 5H2O → 8I- + 2SO4

2- + 10H+

Universitas Sumatera Utara

Dalam larutan netral atau sedikit sekali basa, oksidasi menjadi sulfat itu tidak

terjadi, jika digunakan iod sebagai titran. Banyak zat pengoksid kuat, seperti pereaksi

dichromat, permanganat dan garam serium (IV), mengoksidasi tiosulfat menjadi

sulfat, namun reaksinya tidak kuantitatif. (A.L. Underwood, 1986)

2.7.3 Kanji (Starch)

Larutan kanji mudah terurai oleh bakteri, suatu proses yang dapat dihambat dengan

jalan sterilisasi atau dengan penambahan suatu zat pengawet. Hasil peruraiannya

memakai iodium dan berubah menjadi kemerah-merahan. Merkurium (II) iodida,

asam borat atau asam furoat dapat digunakan sebagai pengawet. Kondisi yang

menimbulkan hidrolisis atau koagulasi kanji hendaklah dihindari. Kepekaan indikator

berkurang dengan naiknya temperatur dan oleh beberapa zat organik, seperti metil dan

etil alkohol.

Warna larutan iod 0,1 N cukup kuat sehingga iodium dapat bertindak sebagai

indikator sendiri. Iodium juga memberikan warna ungu atau merah lembayung yang

kuat kepada pelarut-pelarut seperti karbon tetraklorida atau kloroform, dan kadang-

kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir reaksi. Akan tetapi lebih umum

digunakan suatu larutan (dispersi koloid) kanji, dari warna biru tua kompleks pati-

iodium berperan sebagai uji kepekaan terhadap iodium.

Kepekaan lebih besar dalam larutan sedikit sekali asam daripada dalam larutan

netral dan lebih adanya ion iodida. Mekanisme yang tepat dari pembentukan kompleks

itu belum diketahui. Tetapi diduga bahwa molekul iodium diikat pada permukaan β-

amilosa, suatu konstituen-konstituen kanji lain, α-amilosa, atau amilopektin,

membentuk kompleks kemerahan dimana warna tidak mudah dihilangkan. Oleh

karena itu, kanji yang mengandung amilopektin sebaiknya tak digunakan. Produk

komersial, “kanji larut” terdiri terutama β -amilosa. (A.L. Underwood, 1986)

Universitas Sumatera Utara

2.8 Uji Organoleptik

Menurut Soekarto (1981), penilaian dengan indera disebut penilaian organoleptik atau

penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian

dengan indera banyak digunakan untuk meneliti mutu komoditi hasil pertanian dan

makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat

dan langsung. Kadang – kadang penilaian ini dapat memberikan hasil penelitian yang

teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat

yang paling sensitif.

Sistem penelitian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilai

dalam laboratorium, dunia usaha dan perdagangan. Laboratorium penilaian

organoleptik pun telah menjadi umum di industri maupun di lembaga-lembaga

penelitian. Penelitian organoleptik telah pula digunakan sebagai metode dalam

penelitian dan pengembangan. Untuk melaksanakan suatu penilaian organoleptik

diperlukan panel. Panel adalah satu atau sekelompok orang yang bertugas untuk

menilai sifat atau mutu benda berdasarkan kesan subjektif. Orang yang menjadi

anggota panel disebut panelis. Ada 6 macam panel yang biasa digunakan dalam

penilaian organoleptik yaitu :

1. Pencicip perorangan (individual expert)

Pencicip perorangan disebut juga pencicip tradisional. Pencicip demikian telah lama

digunakan dalam industri-industri makanan seperti pencicip teh, kopi, es krim atau

penguji bau pada industri minyak wangi (parfum).

2. Panel pencicip terbatas

Untuk menghindari ketergantungan pada seorang pencicip perorangan maka beberapa

industri menggunakan 3 – 5 orang penilai yang mempunyai kepekaan tinggi yang

disebut panel pencicip terbatas. Biasanya panel ini diambil dari personel laboratorium

yang sudah mempunyai pengalaman luas akan komoditi tertentu. Penggunaan panel

pencicip terbatas dapat mengurangi faktor kecenderungan (bias) dalam menilai rasa

suatu komoditi. Dalam mengambil keputusan dilakukan secara musyawarah diantara

anggota.

Universitas Sumatera Utara

3. Panel terlatih

Anggota panel terlatih yaitu antara 15 – 25 orang. Tingkat kepekaan yang diharapkan

tidak perlu setinggi panel pencicip terbatas. Untuk menjadi anggota panel ini perlu

diseleksi dan yang terpilih kemudian dilatih. Panel terlatih ini juga berfungsi sebagai

alat analisa, dan pengujian-pengujian yang dilakukan biasanya terbatas pada

kemampuan membedakan.

4. Panel tak terlatih

Jika panel terlatih biasanya untuk menguji pembedaan (different test), maka panel tak

terlatih umumnya untuk menguji kesukaan (preference test). Pemilihan anggota

dilakukan bukan terhadap kepekaan calon anggota tetapi pemilihan itu lebih

mengutamakan segi sosial seperti latar belakang pendidikan, asal daerah ekonomi,

dalam masyarakat dan sebagainya.

5. Panel konsumen

Panel ini biasanya mempunyai anggota yang besar jumlahnya dari 30 sampai 1000

orang. Pengujiannya biasanya mengenai uji kesukaan (preference test) dan dilakukan

sebelum pengujian pasar. Hasil uji kesukaan dapat digunakan untuk menentukan

apakah suatu jenis komoditi dapat diterima oleh masyarakat.

6. Panel agak terlatih

Panel ini tidak dipilih menurut prosedur pemilihan panel terlatih, tetapi juga tidak

diambil dari orang-orang awam yang tidak tahu menahu mengenai sifat-sifat sensorik

dan penilaian organoleptik. Panelis dalam kategori ini mengetahui sifat-sifat sensorik

dari contoh yang dinilai karena mendapat penjelasan atau sekedar latihan. Termasuk

dalam kategori panel agak terlatih adalah sekelompok mahasiswa dan atau staf

peneliti yang dijadikan panelis secara musiman atau hanya kadang-kadang. Panelis

pada panel agak terlatih dipilih berdasarkan kepekaan dan keandalan penilaian.

Jumlahnya berkisar antara 15 – 25 orang. Pengujian organoleptik dapat digolongkan

dalam beberapa kelompok. Cara yang paling populer adalah kelompok pengujian

pembedaan (different test) dan kelompok pengujian pemilihan (preference test).

(Purnamawati, 2006)

Universitas Sumatera Utara