If you can't read please download the document
Upload
doque
View
223
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dekomposisi Mayat Makhluk hidup yang telah menjadi mayat akan menjalani suatu proses
dekomposisi menjadi bentuk yang teruraikan karena sel-sel tubuh tidak dapat
bekerja lagi. (Nandy, 2000)
2.1.1. Definisi Keadaan yang disebut kematian adalah apabila organ-organ dalam tubuh
manusia sudah tidak dapat bekerja secara bersama maupun individual karena tidak
berfungsinya pusat kontrolnya, yaitu di batang otak. (Sharma & Harish, 2005)
Yang dimaksud dengan dekomposisi mayat adalah pemecahan struktur-
struktur sel menjadi bagian-bagian kecil pembentuk sel yang sudah terprogram
karena kehilangan pasokan nutrisi dan oksigen yang disebabkan oleh ketidak-
mampuan tubuh untuk mendistribusikan darah karena kematian. Pembusukan
mayat juga disebut sebagai Putrefaction dalam urutan dekomposisi mayat.(Nandy,
2000)
2.1.2. Mekanisme Kejadian setelah kematian adalah dekomposisi mayat. Pertama kali yang
terjadi adalah berhentinya jantung dan paru. Jantung yang tidak berdetak tidak
akan memungkinkan untuk darah supaya didistribusikan. Fungsi darah sendiri
adalah pengangkut oksigen dan nutrisi-nutrisi lain yang nantinya akan digunakan
oleh sel-sel tubuh lain. Dengan tidak adanya asupan gizi dan oksigen untuk
mempertahankan homeostasis kerja sel, maka sel akan dengan sendirinya merusak
bagian-bagian dalam sel untuk diubah menjadi asupan nutrisi cadangan.
Pemecahan dilakukan dengan enzim lisosome. (Kumar et al, 2010)
Semakin lama, bagian sel-sel penting pun akan mulai menghilang, dan
mulai akan terlihat pembengkakan sel karena mulai terjadi penarikan zat-zat dan
nutrisi secara paksa dari pembuluh darah untuk mempertahankan kerja sel yang
Universitas Sumatera Utara
5
adekuat. Akan terlihat gambaran sel yang mulai membesar dan nukleus yang
mulai samar, dan tidak terlihatnya beberapa bagian yang penting seperti golgi
apparatus, mitokondria, dan lain sebagainya. (Kumar et al, 2010)
Pada akhirnya sel akan pecah dan kehilangan integritasnya, sehingga akan
difagosit oleh leukosit untuk dijadikan bahan bakar sel lain. Nukleus akan terlihat
lebih besar dari sebelumnya, karena normalnya perbandingan nukleus dan sel
adalah 1:3. Disini endoplasma sel dan cairan-cairan sel lain sudah habis, sehingga
sel-sel akan terlihat mengkerut. (Kumar et al, 2010)
2.1.3. Faktor yang mempengaruhi Jika diletakkan di lapangan, atau di keadaan terbuka, temperatur dan
keadaan tanah akan sangat mempengaruhi kecepatan dekomposisi mayat. Menurut
Carter, Yellowlees, dan Tibbett (2008) disebutkan bahwa temperatur akan
mempengaruhi aktivitas enzim-enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang
menguraikan mayat. Juga disebutkan bahwa perbedaan jenis tanah yang berada
diantara mayat akan mempercepat dekomposisi mayat. (Tibbett, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu pembusukan mayat dibagi
menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi waktu pembusukan mayat dari luar tubuh
mayat, sedangkan faktor internal dari mayatnya sendiri. (Nandy, 2000)
Faktor eksternal meliputi:
a. Temperatur lingkungan dan tekanan atmosfer. Tekanan atmosfer dan
temperatur yang tinggi mempercepat dekomposisi. Jarak optimal
temperatur untuk dekomposisi adalah 21C -38C. Temperatur yang
optimal akan membantu dekomposisi optimal dengan membantu
pemecahan kimiawi dari jaringan dan perkembangan mikroorganisme
yang membantu pembusukan. Sementara temperatur yang ekstrim
(45C) memperlambat dekomposisi secara kasat mata.
Universitas Sumatera Utara
6
b. Kelembaban.
c.
Perkembangan mikroorganisme yang berhubungan
dengan dekomposisi akan terhambat bila kelembaban disekitarnya
rendah.
Udara.
d.
Angin yang tetap tidak akan membantu evaporasi dari cairan
tubuh, mempertahankan kondisi tubuh dan mempertahankan laju
dekomposisi.
Baju.
e.
Fungsi baju salah satunya adalah mencegah mikroorganisme
masuk ke dalam tubuh melalui udara. Tetapi jika keadaan udara
dingin, maka baju akan membantu mempertahankan temperatur tubuh
yang menyebabkan keadaan tubuh dapat ditinggali oleh beberapa jenis
mikroorganisme
Lingkungan.
f.
Jika tubuh terendam air, kecepatan dekomposisi akan
melambat karena pendinginan tubuh. Sementara jika diangkat,
kecepatan dekomposisi akan meningkat karena sudah diencerkan oleh
air dan tekanan atmosfer yang tinggi. Keduanya akan membantu
dekomposisi. Jika dikubur, kecepatan dari dekomposisi tergantung dari
dalamnya tempat mayat dikubur. Tanah permukaan memiliki bakteria
lebih banyak dan lebih lembab dibandingkan tanah dalam.
Invasi dari hewan dan serangga
Faktor-faktor internal dibagikan menjadi berikut:
. Ikan, kepiting, kura-kura, dan hewan
air lain akan merusak tubuh mayat, mempercepat pembusukan. Anjing,
tikus, dan hewan darat lain juga dapat merusak tubuh mayat, dan
membantu masuknya bakteri yang mendekomposisi mayat. Lalat juga
akan hinggap karena tertarik pada bau bangkai yang dikeluarkan mayat
dan menelurkan telurnya ke dalam mayat, yang akhirnya menjadi larva
yang memakan mayat tersebut.
a. Umur. Kematian dalam uterus hanya terjadi otolisis, tanpa adanya
bakteri yang membantu mendekomposisi mayat. Dekomposisi pada
neonatal akan dimulai dari luar, karena belum ada bakteri di dalam
Universitas Sumatera Utara
7
gastro intestinal dan di paru. Karena itu pada kasus ini kecepatan
dekomposisinya lambat.
b. Jenis Kelamin.
c.
Pada wanita, jumlah lemak subkutan lebih banyak
sedikit, mempertahankan panas tubuh sedikit lebih lama dan sedikit
mempercepat dekomposisi. Selain itu tidak ada yang mempengaruhi
dari perbedaan jenis kelamin.
Kondisi tubuh.
d.
Tubuh tipis lebih lama terdekomposisi daripada tubuh
besar yang berlemak atau bernutrisi baik, karena jumlah air pada tubuh
yang kecil lebih sedikit sehingga tidak memberikan tempat yang baik
untuk perkembangan mikroorganisme.
Penyebab kematian.
e.
Jika kematian karena infeksi atau septikemia,
akan mempercepat dekomposisi karena bakteri.
Perlukaan luar pada tubuh
2.1.4. Kriteria Penilaian
. Perlukaan sangat mempercepat
dekomposisi karena membantu masuknya mikroorganisme tambahan
dari luar tubuh.
Melanjutkan dari mekanisme dekomposisi mayat, tanda-tanda dari
mulainya dekomposisi mayat adalah terjadinya pembengkakan pada bagian
inferior tubuh karena cairan turun mengikuti gravitasi. Integritas dari organ juga
sudah lebih rapuh secara fisiologis. Konsistensi dari kulit, otot, dan organ-organ
lain akan berubah menjadi sangat terdisosiasi. (Nandy, 2000)
Secara histologi, akan terlihat perubahan-perubahan dari isi sel. Nukleus
akan lebih difus dari keadaan fisiologisnya, dan sel terlihat kembung pada tahap
awal dekomposisi. Kemudian karena pemakaian dari cairan dan nutrisi secara
terus menerus, sel akan mengerut dan mengecil, menampakkan pemandangan
yang terlihat nukleus lebih besar dari biasanya. (Kumar et al, 2010)
Terjadi perubahan biokimia juga pada organ-organ dalam tubuh. Tiap
organ memiliki biomarker masing-masing yang dapat menyatakan lebih jelas
apakah mayat baru saja meninggal atau sudah lama. (Vass, 2002).
Universitas Sumatera Utara
8
Pembusukan mayat terjadi diluar dan didalam secara bersamaan, tetapi
tergantung keadaan, ada beberapa bagian tubuh yang lebih cepat laju
dekomposisinya. Bagian yang terjadi perubahan di permukaan kulit lebih dahulu
adalah regio abdominal kanan bawah, daerah sekitar letaknya caecum karena
dinding caecum tipis sehingga gampang perforasi. Daerah tersebut akan berubah
menjadi hijau dan kemudian menghitam. (Nandy, 2000)
Didalam buku Nandy A. (2000) disebutkan bahwa pada bagian dalam
tubuh, ada urutan dimana organ-organ tubuh terdekomposisi seperti berikut:
a. Laring dan trakea
b.
. Pada 12-24 jam pertama mukosa membran laring
dan trakea berubah coklat lalu menjadi hijau dan lembek.
Perut dan usus.
c.
Pada 24-36 jam pertama muncul bercak merah
kehitaman pada dinding posterior yang perlahan menyebar ke dinding
anterior lalu terbentuk kista berisi gas. Organ kemudian menjadi lembek
dan cokelat kehitaman.
Hepar
d.
. Dekomposisi dimulai pada 12-24 jam pertama setelah kematian.
Permulaannya, hepar lembut dan lembek. Bulla akan terbentuk pada
permukaannya. Pada hari kedua dan ketiga, gas dekomposisi akan
berkumpul pada bagian dalam hepar, membentuk suatu gambaran
seperti sarang lebah (honey-comb appearance) yang disebut juga foamy
liver. Ukurannya akan mengecil dan menghitam hingga seperti arang.
Empedu
e.
. Dekomposisi dimulai dengan menyebarnya cairan empedu ke
jaringan sekitarnya termasuk hepar, 24 jam setelah meninggal.
Omentum/Mesenterium
f.
. Dekomposisi mulai tampak 2-3 hari dengan
perubahan warna menjadi hijau keabu-abuan sampai menghitam.
Otak
g.
. Satu sampai dua hari setelah meninggal, akan terlihat
dekomposisi otak yang menjadi lembek dan mirip adonan. Pada hari
ketiga otak sudah menjadi seperti pasta. Tiga atau empat hari kemudian
otak akan mencair.
Jantung. Pada hari kedua dan ketiga setelah meninggal, jantung menjadi
lunak dan kecoklatan. Ukuran dan beratnya juga akan berkurang. Bulla
Universitas Sumatera Utara
9
berisi gas akan muncul di bagian permukaaan bawah perikardium.
Bilik-bilik jantung berisi darah yang berbusa.
h. Paru-paru.
i.
Pada akhir hari kedua dan ketiga paru akan terlihat
perubahan warna yang menggelap, kolaps sebagian, dan bulla berisi
gas. Paru juga menjadi kurang elastis. Terakhir paru akan kolaps total,
sangat kecil dan hitam.
Ginjal.
j.
Perubahan pada ginjal terjadi pada hari kedua dan ketiga. Ginjal
akan terlihat coklat kemerahan, lembek dan berminyak jika disentuh.
Semakin lama ukurannya akan semakin kecil, warnanya akan semakin
gelap, dan semakin lembek.
Diafragma.
k.
Karena terdiri dari jaringan fibromuskular, diafragma agak
lama terdekomposisi. Setelah beberapa hari konsistensinya melunak dan
terdisintegrasi.
Pembuluh darah.
l.
Pembuluh darah cukup lama bertahan walaupun dari
dalam sudah tercampur dengan sel darah dan terpapar ke sekitar.
Vesika urinaria.
m.
Secara keseluruhan, kandung kemih (vesika urinaria)
dapat bertahan lebih lama terhadap dekomposisi dari organ lain. Infeksi
pada kandung kemih dan kandung kemih yang penuh akan
terdekomposisi lebih cepat.
Prostat/Uterus.
2.2. Pengawetan mayat
Organ-organ kelamin seperti prostat dan uterus adalah
yang terlama dalam urutan organ terdekomposisi. Pada prostat yang
besar dan berpenyakit, laju dekomposisi akan makin cepat. Pada uterus
yang gravid akan lebih cepat terdekomposisi daripada uterus non-gravid
dan uterus nullipara.
Pada zaman mesir kuno, pengawetan mayat sudah dilakukan dengan
tujuan mempertahankan keadaan tubuh karena dipercaya bahwa hanya rohnya
yang pergi, dan kemungkinan akan kembali lagi kepada tubuhnya yang lama.
(Budge, S.E.A.W; 2011)
Universitas Sumatera Utara
10
2.2.1. Definisi Pengawetan mayat ditujukan untuk mempertahankan rupa mayat dalam
waktu yang lama. Dengan mempertahankan rupa dari mayat, dapat memenuhi
kebutuhan masing-masing orang yang memerlukan. (Budge, S.E.A.W; 2011)
2.2.2. Fungsi Fungsi pengawetan mayat dapat berupa mempertahankan bentuk mayat
supaya dapat dipelajari atau mempertahankan keadaan rupa mayat untuk acara
duka. (Zulham, 2009)
Pengawetan mayat juga digunakan untuk pajangan seperti beberapa
pemimpin suatu negara seperti Rusia pada Lenin dan Korea Utara terhadap Kim
Jong Il dan Kim Il Sung. (Spanton, 2012)
2.2.2. Bahan yang dibutuhkan Bahan-bahan yang diperlukan dalam mengawetkan mayat ada banyak,
tergantung dari untuk apa mayat ini diawetkan. Secara umum, yang diperlukan
untuk mengawetkan mayat adalah orang yang memiliki sertifikasi dan
berkompeten untuk mengawetkan, seperti seorang pengawet (embalmer) khusus,
dokter forensik, atau dokter umum yang ada ditempat. Diperlukan juga tempat
khusus untuk mengawetkan, cairan pengawet, pompa elektrik, selang arteri, dan
trokar/aspirator. (Ezugworie et al, 2009.)
Jenis-jenis cairan pengawet ada banyak, tergantung dari apa dan
bagaimana suatu jaringan atau mayat akan diawetkan. Jenis cairan pengawet
secara praktis dibedakan menjadi 3, yaitu pengawetan secara mikroanatomis,
sitologi, dan histokimia. (Zulham, 2009)
Secara mikroanatomis, pengawet yang digunakan adalah golongan
formalin dan modifikasinya, cairan formalin alkohol asetat, cairan Heidenhain
Susa, cairan Zenker, dan cairan Bouin. (Nowacek, 2010)
Secara sitologis, pengawet yang digunakan adalah fiksasi Carnov untuk
fiksasi inti dan larutan Muller, Formol salin, Formol kalsium, dan Zenker Formol
untuk mengawetkan sitoplasma. (Zulham, 2009)
Universitas Sumatera Utara
11
Secara histokimia, pengawet yang digunakan adalah fiksasi glutaraldehida.
Fiksasi menggunakan glutaraldehida adalah yang terbaik untuk diberi pewarnaan
elektron. (Zulham, 2009)
2.2.3 Proses Dalam prosesnya, pengawetan mayat akan dilakukan dengan urutan
sebagai berikut :
a. Arterial Embalming
b. Cavity Embalming
c. Hypodermic Embalming (jika dibutuhkan)
d. Surface Embalming (jika dibutuhkan)
Sebelum dilakukan pengawetan, seorang pengawet (embalmer) harus
melakukan proteksi diri dari mayat untuk menghindari penyakit yang dibawa
mayat, bakteri dan larva yang membusukkan mayat, dan dari cairan yang
digunakan untuk pengawetan. Untuk itu, seorang embalmer harus mensterilkan
ruangan, memakai alat pelindung tubuh lengkap, dan mensterilkan mayat yang
akan diawetkan terlebih dahulu dengan cairan antiseptik.(Ezugworie et al, 2009.)
Arterial embalming adalah permulaan dalam mengawetkan mayat.
Pertama, arteri karotis dekstra dipotong dan disambungkan kepada selang yang
terhubung dengan pompa mekanis untuk memasukkan cairan pengawet ke dalam
tubuh. Darah dikeluarkan melalui vena jugularis. Jika peredaran darah kurang
baik, dapat menggunakan arteri besar lain sebagai tempat masuknya cairan
pengawet yaitu arteri iliaka, femoralis, subklavia atau aksila. (Ezugworie et al,
2009.)
Setelah memasukkan cairan kedalam arteri, cairan yang berada di rongga
dalam perut dikeluarkan menggunakan aspirator atau trokar dan diganti dengan
cairan pengawet. Trokar atau aspirator dimasukkan pada bagian berongga, yaitu
rongga dada dan rongga perut. Setelah masuk, cairan akan dikeluarkan semua dan
digantikan dengan cairan pengawet. Ini disebut juga cavity embalming.
(Ezugworie et al, 2009.)
Universitas Sumatera Utara
12
Ada 2 cara tambahan dalam pengawetan mayat. Pada bagian-bagian yang
tidak memiliki perdarahan yang baik, dilakukan penyuntikan cairan pengawet
langsung ke dalam jaringan yang membutuhkan. Ini disebut juga dengan
hypodermic embalming. Surface Embalming sendiri hanya mengawetkan bagian
kulit dan area superfisial lainnya yang rusak. (Ezugworie et al 2009.)
2.3. Formalin
2.3.1. Karakteristik Formalin adalah campuran dari air dan formaldehida yang memiliki
bentuk gas dalam temperatur ruangan (25C) dengan perba ndingan komposisi
1:10. Secara umum, formalin adalah 40% formaldehida dalam air. Nama kimia
formaldehida yang diberikan dari International Union of Pure and Applied
Chemistry (IUPAC) adalah metanal dengan rumus dasar CH2O. Berat molekul
metanal adalah 30.03 mol. (NICNAS, 2006)
Pada temperatur ruangan, formaldehida adalah gas berbau kuat yang tidak
berwarna. Gas formaldehida sangat reaktif dan mudah terbakar serta dapat
membentuk campuran eksplosif di udara. Gas tersebut juga akan terbakar bila
terkena api. Diatas suhu 150C gas formaldehida akan terdekomposisi jadi
metanol dan karbon monoksida. (NICNAS, 2006)
Gas formaldehida dapat dilarutkan dengan air, alkohol, dan pelarut-pelarut
polar lainnya. Pada keadaan stabil, formaldehida akan membentuk polimer-
polimer yang jika dipanaskan berlebihan akan kembali membentuk gas-gas
formaldehida. (NICNAS, 2006)
2.3.2. Penggunaan Formaldehida 37-40% adalah formalin yang sering dijual di toko-toko
kimia. Formalin digunakan untuk pengawetan suatu jaringan organik, karena itu
sering digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan forensik, mengawetkan mayat,
memproses film foto, membuat bahan kulit, ataupun sterilisasi dengan uap
ataupun cairan formalin. (NICNAS, 2006)
Universitas Sumatera Utara
13
2.3.3. Cara kerja terhadap jaringan Formaldehida akan melakukan penetrasi ke dalam jaringan dan mengikat
gugus-gugus asam amino dasar, khususnya lisin, dan menyatukannya dengan
atom nitrogen amida pada ikatan peptida lainnya. Hubungan ini akan membentuk
jembatan metilen. (Nowacek, 2010)
Pada hati, akan terjadi polarisasi terhadap glikogen. Glikogen akan
bergeser ke sel hati lain dan mengganggu struktur hepatosit. Karena alasan
tersebut, perendaman hati dan jaringan lain yang memiliki sifat polarisasi terhadap
formaldehida akan mengalami perubahan struktur yang hebat. (Nowacek, 2010)
Penetrasi zat formaldehida ke dalam jaringan sangat cepat, tetapi
pembentukan jembatan metilen yang cukup lama. Kecepatan penetrasi
formaldehida tersebut kira-kira 0.5 mm/jam. Untuk jaringan yang berkapsul,
dibutuhkan waktu lebih lama daripada biasanya. Sering terjadi keadaan dimana
jaringan kapsulnya terfiksasi, tetapi dalamnya kurang. (Cromey, 2004)
Universitas Sumatera Utara