52
BAB I STATUS PASIEN 1.1 Identitas Pasien Anamesa Pribadi Nama : Hafni Amnah Harianja Umur : 35 tahun Jenis Kelamin : Menikah Status Perkawinan : Perempuan Agama : Islam Pekerjaan : PNS Alamat : Jl. Payungan Gg Abadi No.8 Sidempuan Tanggal MRS : 13 – Maret - 2013 No. RM : 19 77 53 1.2 Anamnese Anamnese Penyakit Keluhan Utama : Hidung tersumbat dan sakit kepala Telaah : Hal ini sudah dialami OS lebih kurang 2 tahun yang lalu, keadaan ini semakin memberat 3 hari yang lalu, sakit kepala disertai keluar darah dan nanah dari hidung. RPT : Sinusitis sejak 14 tahun yang lalu. RPO : (-) RPK : (-)

Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

  • Upload
    bulan

  • View
    76

  • Download
    12

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien

Anamesa Pribadi

Nama : Hafni Amnah Harianja

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Menikah

Status Perkawinan : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS

Alamat : Jl. Payungan Gg Abadi No.8 Sidempuan

Tanggal MRS : 13 – Maret - 2013

No. RM : 19 77 53

1.2 Anamnese

Anamnese Penyakit

Keluhan Utama : Hidung tersumbat dan sakit kepala

Telaah : Hal ini sudah dialami OS lebih kurang 2 tahun

yang lalu, keadaan ini semakin memberat 3 hari

yang lalu, sakit kepala disertai keluar darah dan

nanah dari hidung.

RPT : Sinusitis sejak 14 tahun yang lalu.

RPO : (-)

RPK : (-)

1.3  Pemeriksaan Fisik

1. a.      Status present

Keadaan umum

Sensorium : Compos Mentis

TD : 110/70 mmHg

HR : 80 x/mnt

Page 2: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

RR                               : 20 x/mnt

Suhu                            : 36,8 ˚C

b.      Pemeriksaan umum

Kulit                : cianosis (-), ikterik (-), turgor menurun (-)

Kepala             : bentuk normocephali

Mata                : anemi -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/-

Mulut              : stomatitis (-), hiperemi pharing (-), pembesaran tonsil (-)

Leher               : pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tonsil (-)

Paru                 :

Inspeksi : pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan normal, retraksi

costae -/-

Palpasi : teraba massa abnormal -/-, pembesaran kel. Axilla -/-

Perkusi : sonor +/+, hipersonor -/-, pekak -/-

Auskultasi : vesikuler +/+, suara nafas menurun -/-, Wh -/-, Rh -/-

Jantung         :

Inspeksi : iktus cordis tak teraba

Palpasi : thrill -/-

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : denyut jantung regular

Abdomen        :

inspeksi      : flat , distensi -, gambaran pembuluh darah collateral –

Palpasi       : Soepel

Perkusi      : Timpani

Auskultasi : peristaltik (+) normal

Ekstremitas     : edema -/-

1.4 Pemeriksaan Penunjang

Hasil lab. Tgl 06 Maret 2013

Darah Rutin

HB : 14,6 g/dL

Page 3: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

HT : 41,6 %

Eritrosit : 4600.000 /uL

Leukosit : 7800 /uL

Trombosit : 290.000 /uL

Index Eritrosit

MCV : 89,80 fL

MCH : 31,40 pg

MCHC : 35,0 %

Hitung Jenis Leukosit

N. segmen : 72 %

Limfosit : 21 %

Monosit : 6 %

Eosinofil : 2 %

Basofil : 0 %

LED : 7 mm/Jam

LFT :

SGOT : 14 U/L

SGPT : 12 U/L

RFT :

Ureum : 21.80 mg/dl

Kreatinin : 0.80 mg/dl

Metabolik

KGD Adrandom : 86,2 mg/dl

EKG : dalam batas normal

Radiologi : jantung dan paru dalam batas normal

1.5 Diagnosis

Diagnosa :

Page 4: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

1.6 Rencana Tindakan

Tindakan : FESS

Anesthesi : GA-ETT

PS-ASA : 1

Posisi : Supinasi

Pernafasan : Di kontrol dengan ventilator 02,

LAPORAN OPERASI

Page 5: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi
Page 6: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

1.7 Diskusi Penatalaksanaan

A. Pre-Operatif

Persiapan di ruangan OK telah siap malam sebelumnya, yaitu tanggal 06

Maret 2013

Dan pada malam tanggal 05, dokter anastesi yang bertanggung jawab

mengunjungi pasien yang akan di operai guna mengetahui kondisi terakhir

pasien

B. Durante operatif

Lama Anestesi: 15.00-16.00

Lama Operasi : 15.05-15.45

Jumlah cairan :

- PO : RL 500 cc

- DO : RL 100 cc

Produksi Urin : tidak ada

Perdarahan :

- Kasa basah : 10 cc x - = -

- Kasa ½ basah : 5 cc x 4 = 20 cc

- Suction : -

EBV : (65) x BB

= 65 x 80kg = 5200

EBL 10 % à 520

EBL 20% à 1040

EBL 30% à 1560

C. Post Operatif

B1 ( Breath)

- Airway : clear

- RR : 16 x/mnt

Page 7: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

- SP : vesikuler ka=ki

- ST : (-) ronchi, wheezing (-/-), snoring/gargling/crowing (-/-/-)

- SpO2 : 97-100%

B2 ( Blood)

- Akral : Hangat/Merah/Kering

- TD : 110/70 mmHg

- HR : 20x/mnt, reguler

- t/v : kuat/cukup

B3 (Brain)

- Sensorium : Compos Mentis

- Pupil : isokor, ka=ki Ø 3mm/3mm, RC : (+)/(+)

B4 (Bladder)

- Kateter tidak terpasang

B5 (Bowl)

- Abdomen : soepel

- Peristaltik : normal (+)

- Mual/Muntah : (-)/(-)

B6 (Bone)

- Oedem : (-)

Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan pasien

pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign stabil pasien

Page 8: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

dipindahkan ke bangsal, dengan anjuran untuk bed rest , tidur terlentang dengan 1

bantal, tetap diawasi vital sign selama 24 jam post operasi.

Bed rest

IVFD RL 30gtt/i

Inj. Ketarolac 30mg/8 jam IV, bila kesakitan

Inj. Ondancetron 4mg/8 jam IV, bila mual/muntah

Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

Acc pindah ruangan Aldert score ≥ 9-10.

Page 9: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

BAB 2

GENERAL ANESTESI

2.1 SEJARAH ANESTESIA

Eter ([CH3CH2]2O) adalah salah satu zat yang banyak digunakan sebagai

anestesi dalam dunia kedokteran hingga saat ini. Eter ditemukan seorang ahli

kimia berkebangsaan Spanyol, Raymundus Lullius pada tahun 1275. Lullius

menamai eter "sweet vitriol". Eter pertama kali disintesis Valerius Cordus,

ilmuwan dari Jerman pada tahun 1640. Kemudian seorang ilmuwan bernama

W.G. Frobenius mengubah nama "sweet vitriol" menjadi eter pada tahun 1730.

Sebelum penemuan eter, Priestly menemukan gas nitrogen-oksida pada tahun

[[1777], dan berselang dua tahun dari temuannya itu, Davy menjelaskan kegunaan

gas nitrogen-oksida dalam menghilangkan rasa sakit.

Sebelum tahun 1844, gas eter maupun nitrogen-oksida banyak digunakan

untuk pesta mabuk-mabukan. Mereka menamai zat tersebut "gas tertawa", karena

efek dari menghirup gas ini membuat orang tertawa dan lupa segalanya.

Penggunaan eter atau gas nitrogen-oksida sebagai penghilang sakit dalam

dunia kedokteran sebenarnya sudah dimulai Horace Wells sejak tahun 1844.

Sebagai dokter gigi, ia bereksperimen dengan nitrogen-oksida sebagai penghilang

rasa sakit kepada pasiennya saat dicabut giginya. Sayangnya usahanya

mempertontonkan di depan mahasiswa kedokteran John C. Warren di Rumah

Sakit Umum Massachusetts, Boston gagal, bahkan mendapat cemoohan.

Usahanya diteruskan William Thomas Green Morton.

Morton berpikir untuk menggunakan gas nitrogen-oksida dalam

praktiknya sebagaimana yang dilakukan Wells. Kemudian ia meminta gas

nitrogen-oksida kepada Charles Jackson, seorang ahli kimia ternama di sekolah

kedokteran Harvard. Namun Jackson justru menyarankan eter sebagai pengganti

gas nitrogen-oksida.

Page 10: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Morton menemukan efek bius eter lebih kuat dibanding gas nitrogen-

oksida. Bahkan pada tahun 1846 Morton mendemonstrasikan penggunaan eter

dalam pembedahan di rumah sakit umum Massachusetts. Saat pasien dokter

Warren telah siap, Morton mengeluarkan gas eter (atau disebutnya gas letheon)

yang telah dikemas dalam suatu kantong gas yang dipasang suatu alat seperti

masker. Sesaat pasien yang mengidap tumor tersebut hilang kesadaran dan

tertidur. Dokter Warren dengan sigap mengoperasi tumor dan mengeluarkannya

dari leher pasien hingga operasi selesai tanpa hambatan berarti.

Tanggal 16 Oktober 1846 menjadi hari bersejarah bagi dunia kedokteran.

Demonstrasi Morton berhasil dengan baik dan memicu penggunaan eter sebagai

anestesi secara besar-besaran. Revolusi pembedahan dimulai dan eter sebagai

anestesi dipakai hingga saat ini. Ia bukanlah yang pertama kali menggunakan

anestesia, namun berkat usahanyalah anestesia diakui dunia kedokteran. Wajar

jika Morton masuk dalam 100 orang paling berpengaruh dalam sejarah dunia

dalam buku yang ditulis William H. Hart beberapa tahun yang lalu.

Di balik kesuksesan zat anestesi dalam membius pasien, para penemu dan

penggagas zat anestesi telah terbius ketamakan mereka untuk memiliki dan

mendapatkan penghasilan dari paten anestesi yang telah digunakan seluruh dokter

di seluruh bagian dunia.

Terjadilah perseteruan di antara Morton, Wells, dan Jackson. Masing-

masing mengklaim zat anestesi adalah hasil penemuannya. Di tempat berbeda,

seorang dokter bernama Crawford W. Long telah menggunakan eter sebagai zat

anestesi sejak tahun 1842, empat tahun sebelum Morton memublikasikan ke

masyarakat luas. Ia telah mengunakan eter di setiap operasi bedahnya. Sayang, ia

tidak memublikasikannya, hanya mempraktikkan untuk pasien-pasiennya.

Sementara ketiga dokter dan ilmuwan yang awalnya adalah tiga sahabat itu mulai

besar kepala, dokter Long tetap menjalankan profesinya sebagai dokter spesialis

bedah.

Page 11: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Wells, Morton, dan Jackson menghabiskan hidupnya demi pengakuan dari

dunia bahwa zat anestesi merupakan hasil temuannya. Morton selama dua puluh

tahun menghabiskan waktu dan uangnya untuk mempromosikan hasil temuannya.

Ia mengalami masalah meskipun ia telah mendaftarkan hak patennya di lembaga

paten Amerika Serikat (U.S. Patent No. 4848, November 12, 1846). Ketika tahun

1847 dunia kedokteran mengetahui, zat yang digunakan adalah eter yang telah

digunakan sejak abad 16, Morton tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk

mendapat keuntungan dari patennya. Jackson juga mengklaim, dirinya juga

berhak atas penemuan tersebut.

Ketika Akademi Kedokteran Prancis menganugerahkan penghargaan

Monthyon yang bernilai 5.000 frank di tahun 1846, Morton menolak untuk

membaginya dengan Jackson. Ia mengklaim, penemuan tersebut adalah miliknya

pribadi. Sementara itu, Wells mencoba eksperimen dengan zat lain (kloroform)

sebagai bahan anestesi.

2.2 DEFINISI GENERAL ANASTESI

General anestesi adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara

yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat

anestesi.1

General Anastesi merupakan anestesi yang biasanya dimanfaatkan untuk

tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu

pengerjaannya panjang.  Caranya dengan memasukkan obat-obat bius baik secara

inhalasi maupun intravena beberapa menit sebelum pasien di operasi. Obat-obatan

ini akan bekerja menghambat hantaran aliran listrik ke otak, sehingga sel otak

tidak bisa menyimpan memori atau mengenali impuls nyeri di area tubuh tertentu

dan membuat pasien dalam kondisi tidak sadar (loss of consciousness). Cara

kerjanya selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan

membuat amnesia, juga merelaksasi otot. Maka selama penggunaan anestesi juga

Page 12: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

dibutuhkan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi

kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan. 2

Rees dan Gray membagi anestesi menjadi 3 komponen, yaitu:

1. Hipnotika : pasien kehilangan kesadaran

2. Anestesia : pasien bebas nyeri

3. Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot rangka

Syarat Ideal General Anastesi :

Memberi induksi yg halus dan cepat.

Timbul situasi pasien tak sadar / tak berespons

Timbulkan keadaan amnesia

Hambat refleks-refleks

Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernafasan.

Hambat persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yg cukup

untuk operasi.

Berikan keadaan pemulihan yg halus cepat dan tak timbulkan ESO yg

berlangsung lama.3

Kontra Indikasi General Anastesia

Tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan, (harus

hindarkan pemaiakaian obat)

Hepar à obat hepatotoksik, dosis dikurangi/ obat yang toksis terhadap

hepar/dosis obat diturunkan

Jantung à obat-obat yang mendespresi miokard/ menurunkan aliran darah

koroner

Ginjal à obat yg diekskresi di ginjal

Paru à obat yg merangsang sekresi Paru

Endokrin à hindari obat yg meningkatkan kadar gula darah/ hindarkan

pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada diabetes

penyakit basedow, karena bias menyebabkan peninggian gula darah.3

Page 13: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

EFEK GENERAL ANESTESIA

a. Efek anestetik inhalasi

1.      Efek terhadap kardivaskular

Halotan, desfluran, enfluran, dan isofluran menurunkan tekanan arteri rata-rata

yang berbanding langsung dengan konsentrasi alveolarnya. Dengan halotan dan

enfluran, penurunan tekanan arteri tampaknya disebabkan penurunan curah

jantung karena sedikitnya perubahan dalam tahanan vascular sistemik (misalnya

peningkatan darah serebral). Sebaliknya, isofluran dan desfluran mempunyai efek

depresi terhadap tekanan arteri sebagai akibat penurunan tahanan vascular

sistemik; mereka mempunyai efek yang kecil terhadap curah jantung.

Anestetik inhalasi mengubah denyut jantung dengan mengubah depolarisasi

nodus sinus secara langsung atau dengan mengubah keseimbangan saraf otonom.

Bradikardi mungkin terlihat pada halotan yang mungkin akibat depresi langsung

atas kecepatan atrium. Sebaliknya, metoksifluran dan ensifluran meningkatkan

denyut jantung. Semua perubahan dalam denyut jantung tersebut telah ditentukan

pada orang normal yang menjalani operasi. Pada penderita prabedah atau trauma

operasi selama operasi berlangsung sering mengubah respon jantung terhadap

anestetik inhalasi.

Semua obat anestetik inhalasi cenderung meningkatkan tekanan atrium

kanan yang bergantung pada dosis dan sekaligus menggambarkan depresi fungsi

miokardium. Anestetik inhalasi mengurangi konsumsi oksigen jantung, terutama

dengan menurunkan variable yang menegontrol kebutuhan oksigen, seperti

tekanan darah arteri dan kekuatan kontraktilitas.

Banyak faktor yang mempengaruhi efek kardiovaskular pada pemberian

anestetik inhalasi. Perangsangan selama operasi, hiperkapnia, dan lamanya

operasi berlangsung akan menurunkan efek depresi obat anestetik   inhalasi.

Hiperkapnia akan membebaskan katekolamin yang melemahkan penurunan

tekanan darah. Tekanan darah menurun lebih sedikit 5 jam pemberian anestesi

Page 14: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

dibandingkan setelah pemberian 1 jam. Halotan dapat mensensitasi otot jantung

terhadap katekolamin dan dapat terjadi aritmia ventrikel pada penderita dengan

penyakit jantung yang diberikan obat simpatomimetik yang bekerja langsung atau

tidak langsung yang tinggi dalam darah. Obat inhalasi modern lainnya sudah

jarang menimbulkan aritmia. (Katzung, 1998)

Salah satu studi klinis dilakukan oleh Sedic F., dkk dalam  The FASEB

Journal tahun 2007 dan dengan hasilnya menunjukkan bahwa pemberian

desflurane dan sevoflurane sebelumnya dapat mengurangi kematian sel masing-

masing sebesar 34% dan 15%. Dalam penelitian tersebut juga dibandingkan efek

sevoflurane dan desflurane pada status redoks mitokondria dengan menganalisis

mitochondrial flavoproteins fluorescente (MFF). Hasilnya menunjukkan bahwa

terapi dengan masing-masing anestetik menyebabkan peningkatan MFF. Derajat

oksidasi flavoprotein meningkat lebih besar dengan desflurane dibanding

sevoflurane (68% vs 41%).

Kesimpulan dari hasil studi tersebut adalah bahwa desflurane menawarkan

derajat proteksi jatung yang lebih besar dibanding sevoflurane, dan

mekanismenya mungkin melibatkan interaksi anestetik dengan status oksidatif

mitokondria. (EKM, 2011)

Pemberian sevofluran tidak berhubungan dengan takikardi atau

vasodilatasi koroner pada konsentrasi anestetik, berlawanan dengan isofluran.

Berbeda dengan halotan dan enfluran, sevofluran tidak berhubungan dengan

sensitasi miokardium terhadap adrenalin. Sevofluran mendepresi kontraktilitas

jantung secara ringan. Sistemik vascular resisten dan tekanan darah arterial

menurun sangat sedikit dibandingkan isofluran dan desfluran. (Tandjung, 2008)

2.      Efek terhadap sistem pernafasan

Dengan pengecualian terhadap nitrogen oksida, semua anestetik inhalasi akan

menurunkan volumetidal dan meningkatkan frekuensi pernafasan. Akan tetapi,

peningkatan frekuensi pernafasan tidak cukup untuk mengkompensasi penurunan

volume, yang menghasilkan penuruna pernafasan per menit. Semua obat anestesi

inhalasi akan menurunkan pernafasan, seperti yang dapat diukur dengan berbagai

variasi kadar CO2. Derajat depresi ventilasi antar obat anestetik dimana enfluran

Page 15: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

dan isofluran merupakan depresan terkuat. Semua obat inhalasi anestesi

meningkatkan kadar PaCO2.

Anestetik inhalasi meningkatkan ambang apnoe (kadar PaCO2turun dimana

apnoe terjadi melalui tidak adanya rangsangan pernapasan yang digerakkan oleh

CO2) dan menurunkan respon ventilasi terhadap hipoksia. Efek terakhir yang

sangat penting karena konsentrasi pada subanestetik menekan peningkatan

kompensasi normal dalam ventilasi paru yang terjadi selama hipoksia. Semua

maslah depresi pernafasan oleh obat anestesi dapat diatasi dengan ventilator

mekanik selama operasi berlangsung. Lebih jauh, depresan ventilator memberi

efek terahadap anestetik inhalasi yang diperkecil dengan rangsangan operasi dan

peningkatan lamanya anestesi.

Obat anestetik inhalasi juga menekan fungsi mukosiliar saluran pernafasan.

Jadi anestesi yang berlangsung lama dapat menyebabkan penimbunan mucus dan

dapat menyebabkan atelektasis serta infeksi saluran pernafasan. Di lain pihak,

obat anestetik inhalasi cenderung bersifat bronkodilator. Efek ini sudah banyak

digunakan pada pasien dengan status asamatikus. Iritasi pernafasan baik karena

batuk atau pengaruh pernafasan lainnya jarang menjadi masalah pada pemberian

anestetik inhalasi. Namun, hal ini relative umum dengan desfluran dan induksi

mungkin lebih sulit untuk mengerjaan dengan obat tersebut selain koefisien partisi

darah: udara yang rendah. Ketajaman enfluran dapat memperoleh ketahanan nafas

yang dapat membatasi kecepatan induksi. (Katzung, 1998)

Penggunaan sevofluran dengan kelarutan dalam darah yang rendah, bau

yang tidak menyengat, tidak mengiritasi saluran pernafasan, dan kardivaskular

yang stabil menyebabkan induksi inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus.

Umumnya, induksi inhalasi berjalan dengan baik. Penambahan N2O saat induksi

secara nyata mengurangi kejadian eksitasi. Waktu induksi akan menjadi lbih cepat

bila sevofluran diberikan bersama N2O 66%, dimana waktu induksi hanya 45

detik pada infant dan anak yang lebih tua. (Tandjung, 2008)

3.      Efek terhadap otak

Obat anestetik inhalasi menurunkan laju metabolic otot. Namun kebanyakan

meningkatkan aliran darah serebrum karena penurunan tahanan vaskuler serebrum

Page 16: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

yang tidak diharapkan dalam klinik. Sebagai contoh, pada penderita dengan

tekanan intracranial yang meninggi karena tumor otak atau trauma kapitis,

pemberian obat anestetik inhalasi akan meningkatkan aliran darah otak, yang

kemudian akan meningkatkan volume darah otak dan lebih jauh akan

meningkatkan tekanan intracranial.

Di antara obat anestetik inhalasi, nitrogen oksida paling sedikit

menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, walaupun jika nitrogen oksdia

60% ditambahkan bersama dengan halotan, maka aliran darah otak akan selalu

meningkat lebih banyak dibanding pengguanan halotan saja. Pada dosis rendah,

semua preparat halogen mempunyai efek yang sama dalam meningkatkan aliran

darah otak. Pada dosis tinggi, enfluran dan isofluran sedikit meningkatkan aliran

darah otak dibandingkan pada halotan. Jika penderita dengan hiperventilasi

sebelum pemberian anestesi, peningkatan tekanan intracranial akibat pemberian

anestesi dapat dikurangi.

Halotan, enfluran, dan isofluran mempunyai efek yang sama pada

pemeriksaan EKG sampai dosis 1-15 MAC pada dosis besar, efek iritasi otak

enfluran dapat menyebabkan kedutan otot yang ringan secara umum yang dapat

diperkuat oleh hiperventilasi. Aktivitas kejang ini tidak pernah terbukti

mempunyai akibat klinis yang buruk dan merugikan. Efek ini tidak dapat

ditemukan pada pemakaian anestetik inhalasi yang lain. Walaupun nitrogen

oksida mempunyai efek inhalasi yang rendah, obat ini masih digunakan untuk

kerja naelgesi dan amnesia, sifat yang dinginkan jika digunakan bersama dengan

anestesi umum dan anestesi gigi.

4.      Efek terhadap ginjal

Dalam berbagai derajat, semua obat anestetik inhalasi menyebabkan penurunan

filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal, serta meningkatkan fraksi filtrasi.

Semua obat anestetik cenderung meningkatkan tahanan vascular ginjal.

Penurunan aliran darah ginjal selama anestesi umum akan mengganggu

autoregulasi aliran darah ginjal.

5.      Efek terhadap hati

Page 17: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Semua obat anestetik inhalasi akan menurunkan aliran darah ke hati dan pada

umumnya berkisar antara 15 sampai 45 persen dari aliran darah sebelum anestesi

dilakukan. Walaupun terjadi perubahan sepintas pada fungsi hati selama perasi

berlangsung, jarang terjadi perubahan fungsi hati yang permanen.

6.      Efek terhadap otot polos uterus

Nitrogen oksida mempunyai efek yang kecil terhadap otot polos uterus. Akan

tetapi isofluran, enfluran, dan halotan relaksan otot uterus yang kuat. Efek

farmakologi ini akan menguntungkan bila diperlukan relaksasi otot uterus yang

kuat untuk memanipulasi janin intrauterine selama persalinan. Sebaliknya, selama

dilatasi dan kuretase pada abortus teurapetik, obat anestetik tersebut mungkin

dapat meningkatkan pedarahan.

Selain itu, pemberian anestetik inhalasi juga dapat menyebabkan

toksisitas.

1.      Hepatotoksisitas (halotan)

Biasanya hepatitits pascabedah selalu dikaitkan dengan faktor lain seperti

transfuse darah, syok hipovolemik, atau stress bedah lainnya dibandingkan

toksisitas obat anestetik. Akan tetapi, obat halocarbon dapat menyebabkan

kerusakan hati, sedangkan koroform telah dikenal sebagaai anestetik hepatotoksik

selama dasawarsa abad ini.

Halotan telah diperkenalakan sejak tahun 1956 dan sampai tahun 1963

telah banyak dilaporkan kasus ikterik pascabedah dan nekrosis hati yang

berhubungan dengan pemakaian halotan. Walaupun begitu, berbagai penelitian

retrospektif tentang pemakaian halotan yang dibandingkan dengan anestetik

lainnya tidak menunjukkan peningkatan insidens kerusakan hati pascabedah

dengan halotan. Insiden nekrosis pasif yang berhubungan dengan halotan sebesar

7 dari 250.000 pemberian halotan atau sekitar 1 dalam 35.000 (bukan dalam

10.000 sperti yang pernah dilaporkan. Karena halotan merupakan salah satu obat

anestetik yang masih bermanfaat dan belum pasti sebagai perusak hati,

pemakaiannya belum perlu dibatasi.

Lain halnya dengan fluroksen dan kloroform yang dapat menyebabkan

infiltrasi lemak, nekrosis sentrolobular, dan meningkatkan enzim

Page 18: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

aminotransferase, halotan pada hewan percobaan yang terpapar hanya sedikit

menimbulkan hepatotoksik. Mekanisme dasar hepatotoksik halotan pada hewan

percobaan masih banyak yang belum jelas, walaupun diduga hal ini bergantung

metabolit reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan sel hati secara langsung

ataupun melewati respon imun.

Belakangan ini telah dilaporkan beberapa penderita dengan kerusakan

membrane sel hati yang membuat sel-sel menjadi lebih rentan pada luka yang

diinduksi halotan. Individu ini merupakan resiko tinggi untuk nekrosis hati yang

diinduksi halotan. Karena itu, sebelum dilakukan operasi, sebaiknya penderita

dilakukan terlebih dahulu tes fungsi hati.

2.      Nefrotoksisitas (metoksifluran)

Tahun 1966 pertama kali dilaporkan adanya penderita poliuro insufisiensi ginjal

yang resisten terhadap vasopressin pada 13 dari 41 penderita yang mendapat

anestetik metoksifluran untuk operasi abdomen. Akhirnya diketahui penyebabnya

adalah fluoride inorganic yang merupakan produk akhir biotransformasi

metoksifluran.

3.      Hipertermia great

Walaupun jarang ditemukan, kemungkinan pada penderita yang rentan secara

genetic yang terpapat anestetik inhalasi dapat terjadi sindrom yang bersifat letal

secara potensial, yang meliputi takikardi dan hipertensi dengan asidosis yang

progresif, hiperkalemia, kejang otot, dan hipertermia. Mula kerja ini terlihat jika

suksinilkolin dipakai untuk merelaksasi otot. Pengobatan dengan dantrolen

intravena dengan ukuran yang tepat untuk menurunkan suhu tubuh serta

mengembalikan keseimbanagn elektrolit dan asam basa.

4.      Toksisitas kronik

a.      Mutagenesitas

Dalam keadaan normal banyak anestetik modern dan anestetik inhalasi

konvensional tidak bersifat mutagen dan mungkin tidak bersifat karsinogenik. Di

lain pihak, anestetik konvensional yang mengandung gugus vinil (flureksin dan

divenil eter) mungkin bersifat mutagen. Preparat ini sudah jarang dan tidak

dipakai lagi.

Page 19: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

b.      Karsinogenisitas

Beberapa penyelidikan epidemiologic telah menggambarkan peningkatan

angka kanker pada petugas kamar operasi yang mungkin terpapar obat anestetik

dalam konsentrasi rendah. Tetapi, belum ada penelitian yang telah membuktikan

adanya hubungan anatara obat anestetik dengan terjadinya kanker. Kebanyakan

kamar operasi tercemar obat anestetik dalam konsentrasi yang amat rendah yang

dilepaskan mesin anestesi ke udara luar melalui kipas angin.

c.       Hematotoksisitas

Kontak yang lama dengan nitrogen oksida akan menyebabkan anemia

megaloblastik karena aktivitas penurunan enzim metionin sintetase. Hal ini

penting diketahui petugas kamar operasi yang bekerja pada kamar operasi yang

kurang ventilasi.

b. Efek obat anestetik intravena

1. Barbiturat kerja ultra singkat

Walaupun terdapat berbagai jenis barbiturate, thiopental merupakan obat

terlazim yang dipergunakan untuk anestetik induksi dan banyak dipergunakan

sebagai kombinasi dengan anestetik inhalasi.

Setelah pemberian secara intravena, thiopental akan melewati sawar darah

otak secara cepat, dan jika diberikan pada dosis yang mencukupi, akan

menyebabkan hypnosis dalam waktu sirkulasi. Efek yang sama akan terlihat pada

pemberian barbiturate dengan masa kerja ultra singkat lainnya seperti tiamilal dan

metoheksital. Pada semua barbiturate tersebut, keseimbangan plasma otak cepat

terjadi (kira-kira 1 menit) karena kelarutan lemak yang tinggi. Thiopental cepat

berdifusi keluar otak dan jaringan lain yang sangat vascular serta akan

didistribusikan ke dalam otot, lemak, dan seluruh jaringan tubuh. Hal ini karena

cepat dikelauarkan dari jaringan otak sehingga pemberian dosis tunggal thiopental

mempunyai masa kerja yang ultra singkat.

Pada pemberian dosis tinggi, thiopental akan menyebabkan penurunan

tekanan arteri, curah balik, dan curah jantung. Hal ini dapat menyebabkan depresi

miokard dan meningkatkan kapasitas vena, serta sedikit perubahan pada tahanan

arteri perifer.

Page 20: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Thiopental, seperti barbiturate lainnya mendepresi pusat pernafasan dan

menurunkan sensitivitasnya terhadap karbon dioksida. Metabolism otak dan

penggunaan oksigen akan menurun dalam proporsi terhadap tingkat depresi otak.

Aliran darah otak juga akan menurun, tetapi tidak mengurangi konsumsi oksigen

otak. Hal ini merupakan pertimbangan mengapa thiopental lebih banyak

digunakan pada penderita dengan peradangan otak dibandingkan anestetik

inhalasi selamam tekanan intracranial dan volume darah otak tidak meningkat.

2. Benzodiazepin

Anggota dari klompok ini seperti diazepam, lorazepam, dan

midazolam.diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air yang harus diencerkan

dengan vehikulum yang tidak encer, sehingga pemberian secara intravena dapat

menyebabkan iritasi lokal. Formulasi midazolam mudah larut dalam, sehingga

tidak mengiritasi, namun dapat melewati sawar otak dengan mudah.

Dibandingkan barbiturate, benzodiazepine bekerja lebih lambat dan

memperlihatkan efek plateau. Penggunaan obat ini dapat memperpanjang masa

penyembuhan pascabedah dan menyebabkan amnesia anterograd dengan insidensi

tinggi.

3. Anestesi anelgetik opioid

Dosis besar opioid telah digunakan untuk anestesi umum, terutama operasi

penderita jantung atau operasi besar lainnya ketika cadangan sirkulasi dalam

keadaan minimal. Opioid intravena dapat meningkatkan rigiditas dinding dada,

yang dapat melemahkan ventilasi, dan depresi pernafasan pascabedah dapat

terjadi, membutuhkan bantuan ventilasi dan pemberian opioid antagonis, misalnya

nalokson. Efek depresi terhadap pernafasan dapat dikurangi dengan menurunkan

dosis opioid dan secara bersama diberikan barbiturat kerja pendek atau

benzodiazepine, yang biasanya bersama nitrogen oksida untuk keseimbangan

anestesi.

4. Ketamin

Ketamin menimbulkan anestesi disosiatif, yang ditandai dengan kataton,

amnesia, dan analgesi. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara menghambat efek

membrane eksitator neurotransmitter asam glutamate pada subtype resptor

Page 21: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

NMDA. Walaupun obat ini dapat digunakan sebagai anestetik, ketamin dapat

menyebabkan diorientasi , ilusi sensoris dan persepsi, serta mimpi gembira yang

mengikuti anesthesia, efek tersebut dikenal dengan sebutan “emergence

phenomena”. Pemberian diazepam sebelum penggunaan ketamin dapat

mengurangi efek ini.

Di samping sebagai anelsgetik yang kuat, ketamin merupakan satu-

satunya anestetik intravena yang merangsang sistem kardiovaskular. Denyut

jantung, tekana darah, dan curah jantung selalu meningkat secara bermakna.

Puncaknya 2-4 menit dan menurun perlahan sampai normal da 10-20 menit

kemudian. Ketamin merangsang sistem kardiovaskular dan mungkin menghambat

ambilan norepinefrin pada terminal saraf simpatis.  Peningkatan plasma epinefrin

dan norepinefrin terjadi 2 menit pertama dan kembali dalam batas control 15

menit kemudian.

Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen, dan

tekanan intracranial. Seperti anestetik inhalasi lainnya, ketamin sangat berbahaya

diberikan pada penderita dengan tekanan intracranial yang meninggi. Pada

kebanyakan kasus, dapat terjadi sedikit penurunan frekuensi pernafasan selama 2-

3 menit. Tonus otot saluran pernafasan bagian atas tidak terganggu dan reflex

masih tetap aktif. Ketamin dapat menyebabkan sedikit perubahan pada sistem

organ.

Karena tingginya insiden fenomena psikis pasca operasi setelah pemakaian

ketamin, maka di US sudah tidak dipakai  lagi pada operasi umum. Ketamin juga

dipertimbangkan untuk digunakan pada penderita geriatric resiko kecil dan pasien

syok karena bersifat kardiostimulator. Anestetik ini juga dipergunakan utnuk

penderita yang berobat jalan yang memerlukan pembiusan atau pada anak yang

menderita luka bakar untuk menghilangkan rasa sakit saat mengganti pembalut

luka. (Katzung, 1998)1

Page 22: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

BAB 4

SINUSISTIS

Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat

pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,

sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri Sinus paranasal merupakan hasil

pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.

Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung Semua sinus

dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang mengalami modifikasi dan

mampu menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga

hidung. Pada orang sehat, sinus terutamanya berisi udara.4

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada

muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.

Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),

terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,

resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan

ostium sinus maksila (Drake,1997).

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus

frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,

sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang

berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia

8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus

ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto

dan Mangunkusomo, 2007; Lee, 2008).

2.1.1. Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang

terbesar. Sinus maksila disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008).

Page 23: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang

dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa

(Mehra dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior

sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding

posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah

dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan

dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila

berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus

semilunaris melalui infundibulum etmoid ( Tucker dan Schow, 2008) Menurut

Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari

anatomi sinus maksila adalah: a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan

akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan

kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat

menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas

menyebabkan sinusitis. b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi

orbita. c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga

drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui

infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior

dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi

drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Page 24: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H.,

2006)

Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila

2.1.2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-

empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum

etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan

akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Ramalinggam, 1990).

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar

daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang

lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih

lima persen sinus frontalnya tidak berkembang (Lee, 2008).

Page 25: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm

dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-

lekuk (Netter, 2006; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Tidak adanya

gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen

menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005).

sinusitis.

Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H.,

2006)

Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila

2.1.2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-

empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum

etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan

akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Ramalinggam, 1990).

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar

daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang

lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih

lima persen sinus frontalnya tidak berkembang (Lee, 2008).

Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm

dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-

lekuk (Netter, 2006; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Tidak adanya

gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen

menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005).

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa

serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini

(Lund, 1997; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007).

Page 26: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus

frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008).

2.1.3. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat

merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk

sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari

anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior

dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006; Mangunkusomo, 2007).

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang

tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di

antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang

bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke di meatus

superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di

depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan

dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya

lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis

(Hilger, 1997; Ballenger, 2009).

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut

resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar

disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang

disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan

atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan

pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan

Murad, 2004).

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan

lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis

dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita (Soetjipto dan

Page 27: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid

posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997).

2.1.4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.

Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya

adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya

bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di

bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus

(Hilger, 1997; Netter, 2006).

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media

dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral

berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah

posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons

(Ramalinggam, 1990).

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal

Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai

saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada

yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa,

karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.

Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi

sinus paranasal antara lain adalah:

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur

kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi

sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga

dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.

Page 28: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi

orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan

tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung

dan organ-organ yang dilindungi.

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan

memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga

teori ini dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan

ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.

Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada

hewan-hewan tingkat rendah.

e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak,

misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini

keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis.

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia

dan palut lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara

Page 29: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur

yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran

transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior

yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara

tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung

dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara

tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip),

tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam,

1997).

2.3. Klasifikasi Sinusitis

Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut

dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu

(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas

sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik

jika lebih dari tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu

infectious atau non-infectious (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).

Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut

dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi

kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen

terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang

menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe

dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan

sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar

(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4. Sinusitis Tipe Dentogen

2.4.1. Definisi

Page 30: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Sinusitis didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya

disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Kumar dan

Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal merupakan lanjutan dari

mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem

pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan paru-paru juga dapat

menyerang hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan

proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus

dianggap sebagai satu kesatuan (Hueston,2002).

2.4.2. Insidens dan Epidemiologi

Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang dewasa

antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi.

Ramalinggam (1990) di Madras, India mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila

tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan

abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan sepuluh

persen infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar gigi.

Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai

penyebab rinosinusitis maksila dentogen. Hilger (1994) dari Minnesota, Amerika

Serikat menyatakan terdapat sepuluh persen kasus rinosinusitis maksila yang

terjadi setelah gangguan pada gigi. Menurut Farhat (2004) di Medan mendapatkan

insiden rinosinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP Haji Adam Malik

sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal (71.43%).

2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :

a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi

dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi

pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis,

walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh

tulang yang tebal (Ross, 1999).

Page 31: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan

terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi (Saragih,

2007).

c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran

infeksi dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus

(Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris

dan sinus maksila (Ross, 1999).

e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan

tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).

f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo;

Rifki, 2001).

g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista

radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat

menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo dan

Soetjipto,2007).

2.4.4. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-

meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi

sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous

profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka

bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai

mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara

pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika

jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Page 32: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya

sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium

sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi

silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus

dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi

silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger,

1997).

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena

infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga

jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa

sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput

periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama

sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan

mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar

membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi

mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas

sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya

sinusitis maksila (Drake, 1997).

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini

berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas

sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem

fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

2.4.5. Gejala Klinis

Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri

kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya

seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan

kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow,

Page 33: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri

di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar

dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga

seringkali ada (Sobol,2011).

Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan

rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis

maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus

yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal

mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen

menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen (Mansjoer,2001).

2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan

nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik

dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk

diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema,

dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana yang

terkena. Rinoskopi posterior dapat

melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer,

2001).

Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal

dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan

menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui

sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda

khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior

dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan

sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain

Page 34: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana

pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post

nasal drip (Ross, 1999).

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-

scan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya

mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal.

Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid

level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004).

CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung

dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan

perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang

diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-

operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo

dan Soetjipto,2007).

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan

mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik

yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus

maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis disebabkan

infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella

catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi

didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk

dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).

Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding

medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat

dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan

irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4.7. Terapi

Prinsip terapi :

Page 35: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

a. Atasi masalah gigi

b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi

c. Operatif

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut

bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik

pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika diperkirakan kuman

telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan

Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi kedua (Chambers dan

Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti mukolitik,

analgetik, steroid oral dan topikal, pencucian rongga hidung dengan natrium

klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan irigasi sinus maksilaris atau

koreksi gangguan gigi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Bedah sinus

endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi pada hidung dan sinus yang

menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan

klirens mukosiliar (Longhini; Bransletter; Ferguson, 2010). Prinsip BSEF ialah

membuka dan membersihkan kompleks osteomeatal sehingga drainase dan

ventilasi sinus lancar secara alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat juga

dilakukan untuk memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila. Tindakan

ini dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk mengkoneksi sinus maksila

dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho dan Hwang, 2008).

2.4.8. Komplikasi

Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus

paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis etmoid,

kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui

tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah

edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan

selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo dan

Page 36: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi

Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan mata tidak

dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada nervus optikus (Hilger,

1997).

Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis

frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila

dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan Schow, 2008)

Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke otak

melalui tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan meningitis,

abses otak dan abses ekstradural atau subdural (Hilger, 1997).

Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis

kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan

paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya

asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan

(Ballenger, 2009).

2.4.9. Prognosis

Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan

pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus

membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai

prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).

Page 37: Bab i Lapkas Sinusitis Anastesi