Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Universitas Kristen Maranatha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan salah satu dari kebutuhan manusia saat ini.
Tingginya tingkat pendidikan dapat mendukung seseorang untuk mencapai cita-
cita dan masa depan yang diharapkan. Pendidikan juga diperlukan sebagai pilar
tegaknya bangsa, melalui pendidikanlah bangsa akan tegak, mampu menjaga
martabat.
Undang - undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pada Pasal 3 menyebutkan tentang tujuan pendidikan nasional yaitu
bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Pendidikan dapat diperoleh melalui proses belajar, baik secara formal
maupun secara informal, yaitu menggali informasi dari buku-buku, majalah,
koran, televisi, internet, juga dari percobaan lapangan, laboratorium, seminar,
diskusi dan tukar pengalaman dengan orang lain (www.radarbanjar.com). Setelah
mendapatkan informasi, informasi tersebut dapat dikembangkan menjadi suatu
kecakapan, kemudian kecakapan itu digunakan sebagai bekal hidup, dimana harus
2
Universitas Kristen Maranatha
benar-benar dimengerti dan betul-betul dipahami. Belajar merupakan jalan
menuju kesuksesan hidup, dimana sebenarnya kesuksesan hidup itu selalu terbuka
bagi individu yang mau bekerja keras tanpa kenal menyerah dan memanfaatkan
setiap kesempatan yang ada. Dalam belajar, tentunya ada banyak hambatan yang
dapat merintangi individu meraih apa yang dicita-citakan. Hambatan dalam
belajar bisa berasal dari dalam maupun dari luar diri individu, tetapi semua itu
tergantung pada motivasi yang dimiliki oleh individu yang kemudian akan
mendorong individu tersebut untuk bisa mencapai apa yang dicita-citakannya.
Motivasi dibutuhkan dalam belajar, karena peranan motivasi selama
pembelajaran itu penting, motivasi dapat mempengaruhi apa, kapan, dan
bagaimana individu belajar (Schunk, 1991b dalam Pintrich & Schunk 2002).
Motivasi melatarbelakangi banyak perilaku manusia dan motivasi menghasilkan
dorongan serta arah untuk bertindak. Motivasi dilihat sebagai sesuatu yang
membuat individu tergugah, membuat individu tetap bergerak, dan membantu
individu untuk menyelesaikan tugasnya. Motivasi penting dalam pencapaian goal
akademik. Dengan memiliki motivasi yang tinggi, terutama dalam belajar maka
individu dengan sendirinya akan terdorong untuk mengejar goal akademik yang
ingin dicapai.
Goal akademik bisa tercapai melalui achievement behavior (aktivitas fisik
dan mental dalam konteks belajar) dan teori yang menjelaskannya adalah
achievement goal orientation. Achievement goal orientation menggambarkan pola
terintegrasi dari belief yang mengarahkan individu kepada cara pendekatan yang
3
Universitas Kristen Maranatha
berbeda dalam melibatkan diri, dan merespon situasi-situasi berprestasi (Ames,
1992b).
Achievement goal orientation terbagi atas dua golongan besar, yaitu:
mastery goal orientation dan performance goals orientation (Ames, 1992b), baik
mastery goal orientation maupun performance goal orientation terbagi lagi
menjadi approach dan avoidance. Jadi achievement goal orientation terdiri dari
empat bentuk, yaitu mastery approach orientation, mastery avoidance
orientation, performance approach orientation, dan performance avoidance
orientation. Individu memiliki keempat achievement goal orientation ini dalam
mencapai tiap goal akademik mereka, namun salah satunya lebih dominan
sehingga yang lebih dominan diadopsi menjadi goal orientation individu dalam
mencapai goal akademiknya.
Fokus individu yang memiliki pola mastery goal orientation adalah belajar
dan menguasai bahan, perkembangan yang dicapai dilihat dari tolok ukur pribadi
dan saat menemui kegagalan, individu akan mengeluarkan usaha yang lebih keras
untuk mengatasi kegagalan tersebut, sehingga pada akhirnya mampu mengolah
kegagalan tersbut dan memperbaikinya. Fokus individu yang memiliki pola
performance goal orientation adalah menggunakan kemampuan yang dimilikinya
dan meraih prestasi yang lebih tinggi dibandingkan teman-teman lainnya, hasil
dilihat dari perbandingan dengan orang lain dan saat menemui kegagalan,
individu akan merasa tidak berdaya dan tidak mampu sehingga membuat individu
tidak mau berusaha lagi dalam proses belajar (Ames, 1992b).
4
Universitas Kristen Maranatha
Siswa di SMAK “X“terbagi menjadi dua jurusan untuk kelas XI dan XII,
yaitu jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Di kelas XI jurusan IPA ini, terdapat dua jenis mata pelajaran, yaitu mata
pelajaran IPA dan mata pelajaran umum. Mata pelajaran umum yaitu pelajaran
yang sama diterapkan, baik kepada kelas IPA maupun IPS. Mata pelajaran IPA,
terdiri dari matematika, fisika, kimia, dan biologi. Mata pelajaran tersebut
tentunya memiliki derajat kesulitan masing-masing.
Dalam penelitian ini, peneliti membahas tentang pelajaran fisika di kelas
XI IPA. Di kelas XI IPA ini terdapat mata pelajaran IPA, salah satunya Fisika
yang berbeda dengan mata pelajaran yang lain. Dalam pelajaran fisika di kelas XI
IPA ini, pelajaran yang diberikan tidak hanya berupa teori, tapi juga terdapat
praktikum. Dalam pelajaran teori fisika, siswa diajarkan mengenai asal dari suatu
kejadian fisika, rumus- rumus fisika, dan penerapan fisika dalam persoalan
hitungan. Pada praktikum fisika, siswa diajarkan mengenai penerapan fisika
dalam kehidupan sehari-hari secara langsung. Di pelajaran fisika ini juga, proses
belajar dilakukan oleh tiga orang guru fisika. Dua guru pertama membahas teori,
yaitu guru pertama membahas materi bab ganjil sedangkan guru kedua membahas
materi bab genap. Kedua guru ini membahas materi pelajaran secara bergantian
setiap harinya, sehingga jam belajar untuk pelajaran fisika pun menjadi dua kali
lipat lebih banyak dari pelajaran lainnya yaitu 12 jam pelajaran dalam setiap
minggunya. Dalam pelajaran teori fisika, proses belajar yang dilakukan adalah
melalui penyampaian materi oleh guru dan pemberian soal-soal hitungan. Setiap
siswa memiliki sebuah buku Latihan Kerja Siswa (LKS), setiap harinya, setiap
5
Universitas Kristen Maranatha
ada pelajaran fisika, maka guru akan memberikan tugas untuk dikerjakan dari
buku LKS tersebut. Selain dikerjakan di sekolah setelah penyampaian materi,
persoalan dalam LKS tersebut juga diberikan sebagai tugas Pekerjaan Rumah
(PR). Guru ketiga adalah guru untuk pelajaran praktikum fisika, praktikum ini
dilakukan dua minggu sekali.
Di pelajaran fisika, siswa dituntut untuk dapat memahami, mengerti, dan
mendalami materi yang diberikan, baik berupa pemaparan teori, proses berhitung,
dan juga rumus fisika beserta turunannya. Siswa juga dituntut untuk memenuhi
nilai ketuntasan mutlak pada pelajaran fisika. Nilai ketuntasan mutlak pelajaran
fisika berbeda dengan pelajaran lainnya, seperti Bahasa Inggris, biologi, Bahasa
Indonesia, dan beberapa pelajaran lainnya. Pelajaran tersebut memiliki nilai
ketuntasan mutlak dengan nilai 60, sedangkan pelajaran fisika tuntutan nilai
ketuntasan mutlaknya adalah 65. Dengan tuntutan nilai ketuntasan mutlak yang
tinggi, tentunya harus diimbangi dengan proses belajar siswa untuk mencapai nilai
ketuntasan mutlak tersebut. Nilai terakhir pelajaran fisika siswa kelas XI IPA
mayoritas berada di bawah nilai ketuntasan mutlak. Hampir setiap ulangan,
mereka mendapat nilai yang tidak sesuai nilai ketuntasan mutlak.
Dari semua proses belajar dan tuntutan dalam belajar pada pelajaran fisika,
tujuan yang ingin dicapai dari pelajaran fisika ini adalah siswa dapat mengerti,
memahami, dan mendalami setiap materi pelajaran fisika. Siswa juga diharapkan
dapat menerapkan rumus fisika sesuai teori yang ada dan dapat menghitungnya
sesuai dengan proses berhitung dalam rumus tersebut. Siswa juga dapat
menetapkan dan menerapkan rumus pada soal-soal yang berupa soal cerita. Selain
6
Universitas Kristen Maranatha
itu, tujuan lainnya adalah agar siswa dapat mengerjakan setiap soal latihan dan
ulangan serta ujian, sehingga dapat mencapai nilai ketuntasan mutlak yang telah
ditetapkan.
Tujuan pembelajaran fisika tersebut dan usaha untuk mencapaian goal
akademik pada mata pelajaran fisika, siswa diharapkan untuk untuk mengadopsi
mastery goal orientation. Siswa yang menggunakan mastery approach orientation
diharapkan mampu mengerti, memahami, dan mendalami setiap materi pelajaran
fisika, dapat menerapkan rumus fisika sesuai teori yang ada, dan dapat
menghitungnya sesuai dengan proses berhitung dalam rumus tersebut, mencapai
nilai ketuntasan mutlak. Siswa dengan mastery approach orientation belajar dan
memahami setip materi untuk meningkatkan kemampuan dirinya sehingga
memperoleh perkembangan pribadi.
Siswa dengan mastery avoidance orientation, diharapkan juga mampu
mengerti, memahami, dan mendalami setiap materi pelajaran fisika, dapat
menerapkan rumus fisika sesuai teori yang ada, dan dapat menghitungnya sesuai
dengan proses berhitung dalam rumus tersebut, mencapai nilai ketuntasan mutlak.
Siswa dengan mastery approach orientation belajar dan memahami setip materi
dengan standar tidak melakukan kesalahan dan menuntut kesempurnaan dalam
pengerjaan soal fisika.
Siswa yang mengadopsi performance approach orientation, goal
akademiknya adalah berusaha mendapatkan nilai yang baik dan bukan berusaha
untuk mendalami mata pelajaran fisika. Siswa yang mengadopsi performance
goal orientation ini juga diharapkan mampu memperoleh prestasi yang baik di
7
Universitas Kristen Maranatha
kelas. Siswa ini belajar hanya untuk mendapatkan nilai yang terbaik dan menjadi
yang terbaik diantara orang lain.
Siswa yang mengadopsi performance avoidance orientation, goal
akademiknya adalah menghindari terihat tidak mampu atau bodoh sehingga ia
berusaha untuk mencapai nilai ketuntasan mutlak.
Berdasarkan hasil survei awal terhadap 20 siswa kelas XI IPA SMAK ”X”
terdapat 55%, yaitu 11 orang siswa yang menyatakan bahwa mereka berusaha
untuk menguasai materi pelajaran fisika dengan alasan agar mereka dapat
memahami materi secara mendalam, menunjukkan usaha yang kuat dalam
memahami materi, tekun dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit, dan suka
mencari tantangan, dengan mengasah diri mengerjakan soal-soal dalam jumlah
lebih banyak dan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Siswa juga aktif di dalam
kelas, baik aktif bertanya maupun aktif dalam menjawab persoalan lisan dari
gurunya. Siswa juga berlatih soal-soal untuk mendalami pemahaman dan melatih
diri mengerjakan soal-soal dengan beragam jenis dan tingkat kesulitan. Siswa
mempersiapkan diri dengan belajar setiap saat, saat ada ulangan ataupun tidak ada
ulangan, yaitu dengan mengulang materi yang telah diajarkan saat pulang ke
rumah. Perilaku di atas merupakan ciri perilaku yang menggambarkan mastery
approach orientation. Siswa dengan mastery approach orientation diharapkan
dapat memperoleh nilai yang tinggi yaitu mencapai nilai ketuntasan mutlak, nilai
di atas nilai ketuntasan mutlak dan nilai di atas rata-rata kelas dalam pelajaran
fisika, baik dalam ulangan ataupun ujian, dapat menyelesaikan tugas dengan hasil
yang baik dan selesai tepat pada waktunya.
8
Universitas Kristen Maranatha
Terdapat 30%, yaitu 6 orang siswa yang menyatakan bahwa mereka
berusaha untuk memahami materi pelajaran fisika sebagai alasan agar tidak
melakukan kesalahan dalam belajar dan mengerjakan soal dan menghindari nilai
di bawah nilai ketuntasan mutlak, sehingga membuat mereka berusaha untuk
memahami materi, memiliki kriteria yang ditentukan oleh diri sendiri untuk tidak
melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugas. Siswa juga mampu menguasai
materi dan mengerjakan tugas dengan baik, namun semua itu dilakukan agar
siswa tidak mendapatkan hukuman atau nilai yang kurang baik. Siswa belajar baik
pada saat ada ulangan atau ujian dan berlatih soal saat ada pekerjaan rumah,
maupun saat tidak ada ujian atau ulangan serta tugas. Perilaku-perilaku tersebut
merupakan ciri perilaku yang menggambarkan mastery avoidance orientation.
Siswa dengan mastery avoidance orientation diharapkan juga untuk mendapatkan
nilai yang tinggi dalam pelajaran fisika di kelasnya.
Terdapat pula 10 % , yaitu 2 orang siswa yang menyatakan bahwa mereka
ingin mencapai nilai yang terbaik dalam mata pelajaran fisika dan ingin
mengalahkan teman sekelas lainnya, ingin menonjolkan diri dan terlihat pandai,
kurang tekun dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit, dan tidak suka mencari
tantangan. Siswa juga mampu memahami materi yang ada agar dapat
mengerjakan soal ulangan dan ujian. Siswa ini juga mengerjakan tugas,
mengerjakan soal ulangan, mengerjakan pekerjaan rumah agar dapat mengalahkan
teman lainnya yang ia anggap sebagai saingannya. Perilaku-perilaku tersebut
menggambarkan performance approach orientation.
9
Universitas Kristen Maranatha
Terdapat 5 %, yaitu 1 orang siswa menyatakan bahwa mereka belajar agar
mereka tidak terlihat bodoh atau tidak mampu dalam pelajaran fisika, tidak ingin
mendapatkan nilai terendah di dalam kelas sehingga mereka berusaha untuk
mendapatkan nilai yang baik, menghindari tantangan dalam tugas sehingga lebih
memilih tugas yang ringan. Perilaku tersebut merupakan ciri perilaku yang
menggambarkan performance avoidance orientation.
Dari 20 siswa , didapatkan bahwa ada 11 orang siswa memiliki ciri
perilaku yang menggambarkan mastery approach orientation, 6 orang siswa
memiliki ciri perilaku yang menggambarkan mastery avoidance orientation,
selain itu ada 2 orang siswa memiliki ciri perilaku yang menggambarkan
performance approach orientation, dan ada 1 orang siswa memiliki ciri perilaku
yang menggambarkan performance avoidance orientation. Padahal, sebenarnya
setiap siswa perlu mengadopsi ciri-ciri perilaku yang menggambarkan mastery
approach orientation dalam mempelajari pelajaran fisika. Dengan mengadopsi
mastery approach orientation, diharapkan siswa dapat mencapai goal
akademiknya pada mata pelajaran fisika.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Studi Deskriptif Tentang Achievement Goal Orientation
Dalam Pelajaran Fisika Pada Siswa Kelas XI IPA di SMAK “X” Bandung”
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Dari penelitian ini, ingin diketahui Achievement Goal Orientation dalam
pelajaran fisika pada siswa kelas XI IPA di SMAK “X” Bandung
10
Universitas Kristen Maranatha
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui Achievement Goal
Orientation siswa pada Pelajaran Fisika di kelas XI IPA SMAK “X”
Bandung
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai
bentuk Achievement Goal Orientation yang dimiliki siswa kelas XI IPA
pada Pelajaran Fisika di SMAK “X” Bandung.
1.4 KEGUNAAN PENELITIAN
1.4.1 Kegunaan Teoretis
Memberi informasi bagi ilmu Psikologi, terutama Psikologi Pendidikan
dalam hal achievement goal orientation siswa pada pelajaran Fisika di
kelas XI IPA
Memberikan informasi bagi peneliti lain yang berminat melakukan
penelitian lanjutan mengenai achievement goal orientation siswa pada
pelajaran Fisika di kelas XI IPA
1.4.2 Kegunaan Praktis
Memberikan informasi bagi siswa kelas XI IPA SMAK “X” Bandung
mengenai achievement goal orientation mereka, sehingga dapat menjadi
11
Universitas Kristen Maranatha
bahan untuk pengenalan dan pengembangan diri dalam mencapai tujuan
belajar yang diharapkan
Memberikan informasi kepada guru pelajaran fisika kelas XI IPA SMAK
“X” Bandung mengenai achievement goal orientation pada pelajaran
Fisika di kelas XI IPA serta faktor-faktor yang menunjang tercapainya
achievement goal orientation pada pelajaran Fisika di kelas XI IPA agar
dapat membantu siswa untuk menigkatkan motivasinya dalam mencapai
tujuan belajar yang diharapkan.
1.5 KERANGKA PIKIR
Pelajar kelas XI IPA memiliki goal akademik masing-masing dalam
pelajaran fisika dan untuk mencapai goal akademiknya, siswa melakukan
achievement behavior. Achievement behavior adalah aktivitas fisik maupun
mental yang dilakukan siswa untuk bisa mencapai goal akademiknya. Teori goal
orientation berusaha untuk menjelaskan achievement behavior siswa.
Achievement goal orientation atau goal orientation menggambarkan pola
terintegrasi dari belief siswa yang mengarahkannya kepada cara pendekatan yang
berbeda, melibatkan diri, dan merespon terhadap situasi-situasi berprestasi (Ames,
1992b), keyakinan yang mencerminkan alasan mengapa siswa mendekati dan
terlibat dalam tugas-tugas akademik.
Achievement goal orientation dari Ames, terbagi menjadi mastery goal
dan performance goal. Mastery goal orientation dihubungkan dengan sesuatu
yang positif, pola atribusi yang adaptif. Mastery goal orientation menunjukkan
12
Universitas Kristen Maranatha
seperti apakah usaha yang dikeluarkan oleh siswa untuk menguasai suatu
kemampuan atau konsep tertentu. Siswa dengan mastery goal orientation akan
berusaha untuk memahami dan mendalami suatu materi,bekerja dengan keras,
bertahan dalam menghadapi kesulitan dan frustrasi, akan mengambil resiko dan
mencoba segala sesuatu yang baru, semua hal di atas adalah usaha untuk
menguasai materi (Dweck and Leggett, 1988; Ames and Archer, 1987 dalam
Pintrich & Schunk 2002). Mastery goal orientation terbagi lagi menjadi mastery
approach orientation dan mastery avoidance orientation (Elliot, 1999 dalam
Pintrich & Schunk 2002).
Mastery approach orientation memiliki fokus untuk menguasai materi
pelajaran fisika dan dalam belajar. Standar yang digunakan dalam mastery
approach orientation adalah memperoleh perkembangan pribadi, pemahaman
yang mendalam mengenai materi Fisika, dan berkembang dalam pengerjaan tugas
Fisika dan jika mengalami kegagalan, akan menganggap kegagalan senagai proses
belajar. Fokus mastery avoidance orientation adalah untuk menghindari
melakukan kesalahan dalam penguasaan materi Fisika dan standar yang
digunakan dalam mastery avoidance orientation adalah tidak melakukan
kesalahan dalam mengerjakan tugas maupun mempelajari materi Fisika. Baik
approach maupun avoidance mastery goal orientation bertujuan untuk menguasai
materi dan tugas Fisika, namun standar yang digunakan berbeda jika siswa dengan
mastery approach orientation ingin menguasai materi Fisika untuk memperoleh
perkembangan pribadi dan memperoleh pemahaman yang mendalam, sebaliknya
siswa dengan mastery avoidance orientation ingin menguasai materi Fisika agar
13
Universitas Kristen Maranatha
tidak melakukan kesalahan, yang dicari adalah kesempurnaan dalam mengerjakan
tugas dan mema mi materi bukan memperoleh perkembangan pribadi.
Performance goal orientation berfokus pada kompetensi atau kemampuan
dan bagaimana kemampuan akan menilai secara relatif kepada hal yang lainnya
(Ames, 1992b). Fokus performance approach orientation adalah mendapatkan
nilai yang terbaik di kelas dan berusaha menjadi yang terbaik dengan
membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Siswa lebih memilih untuk
mengerjakan tugas sesuai dengan yang bisa lakukannya, dan siswa tidak mau
untuk mengambil resiko serta ingin melakukan sesuatu tersebut lebih baik dari
siswa lain. Goal akademik bagi siswa dengan performance goal orientation
adalah mendapatkan nilai yang terbaik dan menjadi yang terbaik diantara teman-
temannya dalam pelajaran Fisika.
Performance goal orientation juga terbagi atas performance approach
orientation dan performance avoidance orientation (Elliot, Pintrich & Schunk
2002). Fokus siswa dengan performance approach orientation adalah untuk
menjadi yang terbaik, mengalahkan siswa yang lainnya dalam hal nilai, dan
menjadi yang terpandai dalam Fisika. Standar yang digunakan oleh performace
approach orientation adalah standar normatif dengan ingin mendapatkan nilai
yang tinggi sehingga dapat menduduki peringkat tertinggi dikelas. Fokus siswa
dengan performance avoidance orientation adalah untuk menghindari terlihat
tidak mampu dalam pelajaran Fisika dan menghindari terlihat bodoh jika
dibandingkan dengan siswa yang lainnya. Standar dalam performance avoidance
orientation yaitu tidak mendapatkan nilai yang buruk sehingga tidak mendapatkan
14
Universitas Kristen Maranatha
peringkat terbawah dikelas dan menghindari penilaian buruk dari siswa yang
lainnya.
Mastery goal orientation dan performance goal orientation dapat
dibedakan menurut tujuh karakteristik yang dimilikinya, yaitu: value of learning,
effort and ability, error/ failure, attribution, feedback, persistence/ ketekunan,
challenge (Ames, 1992b).
Karakteristik pertama, value of learning, pada siswa dengan mastery goal
orientation didasarkan pada motivasi instrinsik, yaitu adanya keinginan dari
dalam diri siswa untuk mempelajari pelajaran Fisika dan goal yang ingin dicapai
adalah meningkatkan pembelajaran dalam pelajaran Fisika. Pada siswa dengan
mastery goal orientation, mereka memaknai belajar sebagai suatu keinginan dari
dalam diri untuk memenuhi perkembangan pribadi, sehingga mereka belajar untuk
mendapatkan pendalaman pemahaman. Siswa dengan mastery avoidance
orientation memaknai belajar sebagai sarana untuk kesempurnaan dalam
mengerjakan dan menyelesaikan tugas guna menghindari kesalahan pengerjaan
tugas. Pada siswa dengan performance approach orientation, mereka memaknai
belajar sebagai saarana untuk mendapatkan nilai yang terbaik di kelas. Siswa
dengan performance avoidance orientation, mereka memaknai belajar dengan
alasan agar mereka mendapatkan dapat emencapai nilai ketuntasan mutlak
sehingga tidak terlihat kurang pandai di kelas.
Karakteristik yang kedua adalah effort and ability, siswa dengan mastery
approach orientation menyakini bahwa usaha dan kemampuan saling
berhubungan, dan usaha yang dikeluarkan untuk menguasai pelajaran Fisika akan
15
Universitas Kristen Maranatha
semakin meningkatkan kemampuan mereka dalam pelajaran Fisika, sedangkan
siswa dengan mastery avoidance orientation, menyakini bahwa usaha dan
kemampuan saling berhubungan, dan usaha yang dikeluarkan untuk menguasai
pelajaran Fisika akan semakin meningkatkan kemampuan untuk menghindari
kesalahan dalam mengerjakan persoalan fisika. Siswa dengan performance goal
orientation meyakini bahwa usaha yang dikeluarkan menunjukkan kurangnya
kemampuan yang dimiliki sehingga mereka harus belajar.
Karakteristik yang ketiga adalah error/ failure, siswa dengan mastery
approach orientation berfikir saat mereka gagal berarti strategi belajar yang
mereka gunakan kurang efektif. Siswa dengan mastery avoidance orientation
berpikir bahwa saat mereka mengalami kegagalan, strategi belajar yang digunakan
kurang efektif dan dapat menyebabkan hasil yang tidak sempurna dalam
pengerjaan persoalan fisika. Siswa dengan performance approach orientation saat
menemui kegagalan maka dalam diri mereka muncul ketakutan karena kegagalan
yang didapat berarti kemampuan mereka miliki rendah. Siswa dengan
performance avoidance orientation saat menemui kegagalan maka dalam diri
mereka muncul ketakutan karena kegagalan yang didapat berarti kemampuan
mereka miliki rendah dan merasa menjadi yang paling kurang pandai di kelas.
Karakteristik keempat adalah attribution, karakteristik ini dapat dilihat
pada siswa dengan mastery approach orientation akan menggunakan usaha atau
strategi dibandingkan kemampuan yang dimiliki untuk memperoleh pamahaman
fisika, sedangkan siswa dengan mastery avoidance orientation akan menggunakan
usaha atau strategi dibandingkan kemampuan yang dimiliki untuk menghindari
16
Universitas Kristen Maranatha
kesalahan dalam pengerjaan persoalan fisika. Siswa dengan performance goal
orientation akan lebih sering menggunakan kemampuan yang dimiliki
dibandingkan dengan usaha atau strategi.
Karakteristik kelima adalah feedback, siswa dengan mastery approach
orientation menggunakan feedback yang didapat dari guru untuk menilai proses
yang dilaluinya dan feedback tersebut digunakan sebagai informasi untuk
memperbaiki diri sehingga dapat meningkatkan proses pemahaman pembelajaran
mereka; sedangkan siswa dengan mastery avoidance orientation menggunakan
feedback yang didapat dari guru untuk menilai proses yang dilaluinya dan
feedback tersebut digunakan sebagai informasi untuk memperbaiki diri sehingga
dapatmengurangi kesalahan dalam pengerjaan persoalan fisika. Siswa dengan
performance approach orientation menggunakan feedback yang didapat sebagai
alat perbandingan diri dengan siswa yang lain untuk melihat nilai tertainggi di
kelasnya, sedangkan siswa dengan performance avoidance orientation
menggunakan feedback yang didapat sebagai alat perbandingan diri dengan siswa
yang lain agar tidak terlihat paling bodoh di kelas.
Karakteristik keenam adalah persistence atau ketekunan, siswa dengan
mastery approach orientation memiliki ketekunan yang tinggi dalam menghadapi
tugas yang sulit, mencari solusi terbaik dan menyelesaikan tugas tersebut demi
mendapatkan pemahaman yang mendalam; sedangkan siswa dengan mastery
avoidance orientation memiliki ketekunan yang tinggi dalam menghadapi tugas
yang sulit, mencari solusi terbaik dan menyelesaikan tugas tersebut demi
menghindari kesalahan dalam pengerjaan soal. siswa dengan performance
17
Universitas Kristen Maranatha
approach orientation memiliki ketekunan yang rendah dalam menghadapi tugas
namun tetap berusaha untuk mendapatkan nilai tertinggi di kelasnya. siswa
dengan performance avoidance orientation memiliki ketekunan yang rendah
dalam menghadapi tugas yang sulit sehingga lebih mudah menyerah dan hanya
berusaha untuk mencapai nilai ketuntasan mutlak agar terlihat tidak bodoh di
kelas.
Karakteristik yang terakhir adalah challenge, siswa dengan mastery
approach orientation suka mencari tantangan didalam tugas untuk mendapatkan
pendalaman pemahaman dan siswa dengan mastery avoidance orientation suka
mencari tantangan di dalam tugas untuk mendapatkan pengetahuan dalam
pengerjaan soal agar tidak melakukan kesalahan. Siswa dengan performance goal
performance approach orientation menghindari resiko dan tantangan didalam
tugas, namun ia tetap berusaha mendapatkan nilai tertinggi di kelas, dan siswa
dengan performance avoidance orientation menghinadari tantangan agar jika
melakukan kesalahan tidak terlihat bodoh di kelas.
Pemilihan goal orientation dipengaruhi secara tidak langsung oleh dua hal,
yaitu: pertama faktor personal yang mencakup usia dan jenis kelamin (Ames,
1992b); yang kedua adalah faktor kontekstual kelas yang mencakup desain tugas
(Task), distribusi otoritas (Authority), pengakuan terhadap siswa (Recognition),
pengaturan kelompok (Grouping), evaluasi latihan (Evaluation), dan
pengalokasian waktu (Time) (Eipstein,1989 dalam Pintrich & Schunk 2002).
Faktor personal yang pertama yaitu usia. Usia mempengaruhi siswa untuk
memilih goal orientation, karena usia mempengaruhi perkembangan secara fisik
18
Universitas Kristen Maranatha
maupun psikis yang telah dicapai oleh siswa meliputi: kemampuan konseptual,
kecerdasan, usaha. Faktor usia juga mempengaruhi penerapan dari entity theories
of intelligence. Siswa kelas XI IPA rata-rata berusia 15-17 tahun dan rentang usia
tersebut sudah mengacu kepada mengacu kepada entity theories of intelligence,
bahwa kemampuan yang mereka miliki sudah menetap, stabil, dan tidak akan
berubah. Jika siswa memiliki keyakinan yang tinggi terhadap kemampuan mereka
maka goal orientation siswa lebih mengarah kepada mastery goal orientation
dimana siswa akan mencari tantangan dan memiliki ketekunan yang tinggi dalam
menghadapi tugas-tugas Fisika. Sebaliknya jika siswa memiliki keyakinan yang
rendah terhadap kemampuan mereka maka goal orientation siswa lebih mengarah
kepada performance goal orientation dimana siswa akan menjadi tidak berdaya,
menghindari tantangan, dan memiliki ketekunan yang rendah dalam menghadapi
tugas-tugas Fisika (Dweck and E. Leggett, 1988).
Menurut Santrock, siswa kelas XI IPA berada pada masa remaja akhir.
Rentang usia ini merupakan usia produktif dimana remaja dapat membentuk
identitas diri, mengambil keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masa
depannya, melakukan penalaran deduktif hipotesis, yaitu remaja memiliki
kemampuan kognitif untuk mengembangkan hipotesis atau dugaan terbaik
mengenai cara memecahkan masalah, dan menarik kesimpulan mengenai pola
mana yang diterapkan dalam pemecahan masalah.
Faktor personal yang kedua adalah jenis kelamin, menurut Dweck (1990),
siswi lebih mengacu kepada performance goal orientation dibandingkan mastery
goal orientation. Siswi juga berdasarkan stereotype-nya akan lebih cenderung
19
Universitas Kristen Maranatha
mengarah kepada mastery goal orientation, sedangkan siswa akan lebih
cenderung mengarah kepada performance goal orientation (Henderson & Dweck,
1990 dalam Pintrich & Schunk 2002). siswi dalam belajar biasanya didasari oleh
motivasi instrinsik dimana lebih mengacu kepada mastery goal orientation yaitu
untuk mempelajari secara mendalam materi yang diajarkan dalam mata
pelajaranFisikaa (Meece dan Holt, 1993; Nolen, 1988) sedangkan siswa dalam
belajar lebih dipengaruhi oleh motivasi ekstrinsik yaitu ingin mendapatkan nilai
yang terbaik dan mengalahkan siswa yang lainnya, hal ini tentunya lebih mengacu
kepada performance goal orientation (Rusillo and Arias, 2004; Anderman and
Anderman, 1999; Midgley and Urdan, 1996).
Faktor kedua yang mempengaruhi pemilihan achievement goal orientation
adalah kontekstual kelas yang terdiri atas enam dimensi. Dimensi yang pertama
adalah tugas dan kegiatan belajar mengajar. Tugas dan kegiatan belajar (Task)
yang pertama meliputi jumlah variasi dalam tugas. Jumlah variasi yang diberikan
didalam tugas Fisika dapat mempertahankan ketertarikan siswa untuk bisa terus
mengerjakan tugas tanpa merasa jenuh sehingga akan mendorong siswa untuk
mengadopsi mastery goal orientation (Marshall and Weinstein, 1984; Nicholls,
1989; Risenholtz and Simpson, 1984 dalam Pintrich & Schunk 2002). Tugas dan
pekerjaan rumah dalam mata pelajaran Fisika yang diberikan kepada siswa
disarankan agar lebih beragam, tidak selalu soal hitungan tetapi bisa juga berupa
uji coba percobaan fisika. Berikutnya adalah bagaimana tugas dikenalkan dan
dipresentasikan kepada siswa, jika guru dapat membantu siswa untuk melihat arti
perlunya belajar untuk kepentingan diri sendiri akan membuat siswa mengadopsi
20
Universitas Kristen Maranatha
mastery goal orientation (Brophy, 1987; Meece, 1991 dalam Pintrich & Schunk
2002).
Misalnya guru membantu siswa untuk melihat pentingnya menguasai mata
pelajaran Fisika, yang dapat sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari. Jika siswa
sudah dapat menyadari betapa pentingnya penguasaan materi Fisikaa bagi dirinya
sendiri, maka dengan sendirinya siswa akan mengadopsi mastery goal orientation.
Sedangkan, jika tugas dan pekerjaan rumah dalam mata pelajaran Fisika yang
diberikan kepada siswa bersifat monoton dan tidak beragam, serta guru kurang
dapat membantu siswa untuk melihat arti perlunya belajar untuk kepentingan diri
sendiri akan mengarahkan siswa mengadopsi performance goal orientation
Terakhir dari dimensi tugas dan kegiatan belajar adalah tingkat kesulitan
tugas, tugas yang diberikan kepada siswa berada pada tingkatan moderat agar
menantang bagi siswa (Ames, 1992b; Pintrich & Schunk 2002). Seperti dalam
pembuatan tugas, siswa tidak secara serta merta diminta untuk mengerjakan soal
hitungan tetapi terlebih dahulu diberikan teori mengenai suatu materi dan
bagaimana cara untuk mengerjakan soal tersebut sehingga siswa dapat
mengerjakan soal tersebut. Tingkat kesulitan tugas yang diberikan sesuai dengan
kemampuan siswa akan lebih mengarahkan siswa untuk mengadopsi mastery goal
orientation, sedangkan jika tingkat kesulitan tugas yang diberikan tidak sesuai
atau bahkan kebih rendah dengan kemampuan siswa, maka akan lebih
mengarahkan siswa untuk mengadopsi performance goal orientation.
Dimensi kedua adalah distribusi otoritas (Authority) dari guru kepada
siswa, disini siswa diberi wewenang dan kesempatan oleh guru untuk menentukan
21
Universitas Kristen Maranatha
pilihan sehingga akan meningkatkan ketertarikan siswa dalam mengerjakan tugas
(Ames, 1992b). Misalnya: siswa dapat berpartisipasi dalam menentukan
keputusan untuk kelasnya, seperti mengatur kapan jadwal ulangan akan diadakan;
hal ini masih dibawah pengawasan guru jadi apabila waktu yang ditentukan siswa
tidak masuk akal guru dapat menegurnya. Jadi siswa diberikan kesempatan untuk
mengatur prioritas dalam penyelesaian tugas yang diberikan oleh guru sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan bersama. Tipe kesempatan seperti ini akan
memperlengkapi siswa dengan pilihan yang nyata dan menyemangati mereka
untuk mengembangkan tanggung jawab pribadi atas pembelajaran mereka sendiri,
sehingga akan membuat siswa akan lebih terarah untuk mengadopsikepada
mastery goal orientation. Siswa juga dapat mengadopsi performance goal
orientation jika siswa kurang diberikan kesempatan untuk mengatur prioritas
dalam penyelesaian tugas yang diberikan oleh guru sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan bersama.
Dimensi yang ketiga adalah pengakuan terhadap siswa (Recognition),
pengakuan berhubungan dengan pemberian hadiah berupa dorongan positif dan
pujian dari guru kepada siswa, yang mana memiliki peranan yang penting untuk
memotivasi siswa dalam belajar. Ames (1992b) merekomendasikan guru untuk
mengenali usaha dan kemajuan yang berhasil dicapai oleh siswa dalam mata
pelajaran Fisika, serta hasil akhir yang didapatkan. Pemberian hadiah atau
pengakuan berdasarkan pada pembelajaran dan kemajuan individual yang dicapai
oleh siswa, bukan perbandingan normatif. Memberikan siswa kesempatan untuk
mendapatkan pangakuan itu akan membantu untuk menghasilkan mastery goal
22
Universitas Kristen Maranatha
orientation. Jika beberapa siswa merasa bahwa mereka tidak akan pernah bisa
menghasilkan pangakuan baik dari guru maupun teman, maka mereka akan
menjadi kurang tertarik dan termotivasi untuk mengerjakan tugas-tugas yang
diberikan, hal ini akan membhuat siswa mengadopsi performance goal orientatio.
Pemberian hadiah atau pengakuan bisa berdasarkan tidak hanya pada keseluruhan
hasil prestasi ataupun nilai, tetapi pada kemajuan dan usaha (Brophy, 1998). Saat
siswa mencapai suatu kemajuan tertentu, baik dalam pencapaian nilai ujian atau
peningkatan dalam pengerjaan soal sehingga tidak banyak melakukan kesalahan,
guru disarankan untuk memberikan pujian dan dorongan untuk mengembangkan
mastery goal orientation pada diri siswa.
Dimensi yang keempat adalah pengaturan kelompok (Grouping),
pengaturan kelompok berfokus pada kemampuan siswa untuk bekerja secara
efektif dengan teman sekelompoknya untuk mengembangkan atmosfer dimana
perbedaan dalam kemampuan tidak dapat disamakan dengan perbedaan dalam
motivasi. Maksudnya adalah siswa dengan kemampuan yang lebih baik belum
tentu memiliki motivasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan siswa dengan
kemampuan rata-rata, bisa saja motivasinya lebih rendah dibandingkan dengan
siswa yang kemampuannya rata-rata. Bekerja dalam kelompok memungkinkan
siswa untuk berasumsi untuk lebih bertanggung jawab atas pembelajaran mereka.
Selain penggunaan dari kelompok kecil, budaya kelas secara umum bisa didesain
untuk mengembangkan kelompok belajar yang menekankan kelas sebagai suatu
kesatuan dalam belajar bersama (Pintrich & Schunk 2002). Tipe kelas dengan
budaya yang seperti ini, termasuk norma-norma dan ekspektasi tentang kolaborasi
23
Universitas Kristen Maranatha
diantara siswa dan guru, bukan kompetisi memicu atau mengembangkan
diadopsinya mastery goal dan fokus pada belajar. (Brophy, 1998) Namun, tipe
kelas yang tidak memiliki suasana belajar yang mendukung dan budaya kelas
tidak didesain untuk mengembangkan kelompok belajar akan mengembangkan
siswa untuk mengadopsi performance goal orientation.
Dimensi yang kelima adalah evaluasi (Evaluation), mempublikasikan hasil
dari tugas sebagai informasi pembandingan dengan kelompok atau kelas,
misalnya membacakan nilai ujian atau nilai kuis di depan kelas, menempelkan
nilai ulangan atai ujian di papan pengumuman akan semakin memacu siswa untuk
mengadopsi performance goal orientation (Ames, 1992b). Penempatan posisi
dalam kelas yang membedakan siswa berdasarkan tingkat kemampuannya juga
akan memacu siswa untuk mengadopsi performance goal orientation (Reuman,
Pintrich & Schunk 2002). Ames (1992b) menyarankan bahwa umpan balik
diberikan untuk mengkomunikasikan bahwa kesalahan adalah bagian dari belajar
dan bahwa usaha adalah sesuatu yang penting, sehingga akan mendorong siswa
untuk mengadopsi mastery goal orientation. Saat kriteria penilaian lebih
mengukur peningkatan individual, kemajuan, dan penguasaan; dibandingkan
dengan mengukur perbandingan normatif, maka siswa akan lebih fokus dalam
belajar dan lebih mengacu kepada mastery goal orientation dibandingkan untuk
berkompetisi dan mengadopsi performance goal orientation. Maka kriteria
evaluasi yang digunakan oleh guru disarankan untuk lebih mengacu pada
kemajuan yang dicapai oleh siswa, misalnya kemajuan siswa didalam
mengerjakan tugas yang makin membaik. Pemberian feedback diusahakan agar
24
Universitas Kristen Maranatha
siswa tidak merasa dituntut untuk semakin baik dalam mengerjakan tugas saja
tetapi siswa diberikan pemahaman bahwa kesalahan yang mereka lakukan
merupakan salah satu bagian dalam belajar. Jika guru dapat melakukan hal di atas
maka akan semakin mengarahkan siswa untuk mengadopsi mastery goal
orientation.
Dimensi yang keenam adalah pengalokasian waktu (Time), Waktu
meliputi kelayakkan dari beban kerja, langkah dari instruksi, dan alokasi waktu
untuk pemenuhan tugas (Epstein, 1989). Waktu berhubungan dekat dengan desain
dari tugas, tingkat kesulitan tugas disesuaikan dengan waktu yang diberikan
kepada siswa untuk menyelesaikan tugas tersebut. Strategi yang efektif untuk
memunculkan mastery goal orientation adalah dengan menambahkan waktu bagi
siswa yang mengalami masalah dalam menyelesaikan tugas dan mengijinkan
siswa tersebut untuk merencanakan rencana kerja mereka dan time table untuk
kemajuan siswa sendiri. untuk mandiri dan mengatur jadwal kerja seharusnya
mengembangkan mastery goal orientation. Strategi di atas mengurangi
kecemasan yang dirasakan siswa mengenai pembelajaran dan bisa meningkatkan
persepsi tentang kompetensinya dan motivasi. Jika pemberian waktu untuk
mengalami masalah dalam menyelesaikan tugas kurang serta kurangnya izin
siswa tersebut untuk merencanakan rencana kerja mereka dan time table untuk
kemajuan siswa sendiri akan mengarahkan siswa untuk mengadopsi performance
goal orientation.
Penjelasan dari uraian di atas, dapat dilihat dari bagan kerangka pikir
sebagai berikut:
25
Universitas Kristen Maranatha
1.5 Bagan Kerangka Pemikiran
Pelajar kelas XI IPA
di SMAK ”X” Goal Orientation
Mastery Approach
Orientation
Performance Avoidance
Orientation
Faktor personal:
1. Usia
2. Jenis kelamin
Faktor kontekstual:
1. Task Tugas dan kegiatan belajar
2. Authority Distribusi dari otoritas dan tanggung jawab
3. Recognition Pengakuan
4. Grouping Pengelompokkan
5. Evaluation Evaluasi latihan dan pemberian hadiah
6. Time Waktu
Mastery Avoidance
Orientation
Performance Approach
Orientation
Karakteristik Goal Orientation:
1. Value of learning
2. Effort and ability
3. Error/ failure
4. Attribution
5. Feedback
6. Persisten/ ketekunan
7. Challenge
26
Universitas Kristen Maranatha
1.6 ASUMSI
Achievement goal orientation yang dimiliki siswa kelas XI IPA di SMAK ”X”
Bandung berbeda-beda.
Faktor personal dan faktor kontekstual memiliki pengaruh terhadap pemilihan
achievement goal orientation pada siswa kelas XI IPA.